295 47 2MB
Indonesian Pages [226] Year 2021
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas Penulis: Gilang Desti Parahita
Widodo Agus Setianto
Novi Kurnia
Syaifa Tania
Wisnu Prasetya Utomo
Budi Irawanto
Zainuddin Muda Z. Monggilo
Wisnu Martha Adiputra
I Gusti Ngurah Putra
Irham Nur Anshari
Nyarwi Ahmad
Mashita Fandia
Editor: Muhamad Sulhan Lidwina Mutia Sadasri Penyunting Bahasa: Ifan Desain sampul: Anung Srihadi Tata letak isi: Rio Penerbit: Gadjah Mada University Press Anggota IKAPI dan APPTI Ukuran: 15,5 × 23 cm; xiv + 212 hlm ISBN: 978-623-359-006-8 2108170–B2E Redaksi: Jl. Sendok, Karanggayam CT VIII Caturtunggal Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta, 55281 Telp. /Fax.: (0274) 561037 ugmpress.ugm.ac.id | [email protected] Cetakan pertama: September 2021 3292.136.08.21 Hak penerbitan ©2021 Gadjah Mada University Press Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, photoprint, microfilm, dan sebagainya.
PRAKATA
I
lmu komunikasi menghadapi tantangan seiring dengan menguatnya pemanfaatan teknologi digital sebagai instrumen sekaligus arena relasi interpersonal berlangsung. Perkembangan teknologi menjadi faktor penting pergeseran pola dan bentuk komunikasi dari waktu ke waktu. Namun sangat pesat dan cepatnya kemajuan bentuk-bentuk teknologi digital dan berbagai platform media sosial telah menghadirkan revolusi pola dan sistem komunikasi. Kecepatan perkembangan teknologi ini telah membuat media dan pola lama komunikasi yang berbasis analog dan cetak tidak lagi relevan, berganti dengan yang berbasis digital. Pergerakan arus informasi juga berlangsung secara sangat kilat, menembus batas waktu dan teritorial, dengan variasi bentuk informasi yang sangat beragam. Pun halnya dengan model-model komunikasi yang semakin bersifat personalized dan customized. Sistem informasi yang berbasis digital juga telah melahirkan sumber daya baru dalam bentuk big data, sebagai new oil di era teknologi informasi. Perkembangan ini telah mendorong terbentuknya masyarakat yang semakin terkoneksi, berpengetahuan, dan berbagai peluang kemajuan ekonomi. Namun, di sisi lain berbagai tantangan terkait dengan menguatnya oligarki berbasis teknologi, ketimpangan akses, dan masalah literasi digital juga mengemuka. Buku berjudul Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas ini merupakan buah perenungan para dosen dan peneliti di Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) FISIPOL UGM terkait dengan dinamika perkembangan terkini dalam kajian Ilmu Komunikasi. Artikel yang termuat dalam buku ini mencakup analisis mutakhir yang berkembang dalam empat konsentrasi di Dikom, yaitu: jurnalisme, public relations, advertising, dan media entertainment. Dinamika jurnalisme kontemporer menunjukkan permasalahan jurnalistik akibat fenomena fragmentasi
[v]
sosial, sentimen negatif, politisasi informasi, dan berbagai bentuk negative contents (termasuk ujaran kebencian, fake news, dan stereotyping). Perkembangan ini menghadirkan tantangan kajian dari sisi posisi, peran, dan praktik jurnalistik di Indonesia. Dalam ranah public relations metamorfosis juga berlangsung sebagai akibat perkembangan teknologi digital. Fungsi, bentuk media, dan substansi public relations mengalami pergeseran, membutuhkan penelaahan lebih dalam, baik dari sisi praksis maupun teoritis. Di bidang advertising, revolusi teknologi komunikasi telah merombak pengelolaan dunia periklanan, yang semakin efisien dan murah. Komoditas periklanan juga bukan hanya berkaitan dengan barang dan jasa, namun juga ide-ide politik dan kebijakan. Sementara dalam media entertainment, mengguritanya pengaruh internet of things (IoT) telah merevolusi dunia hiburan. Industri media hiburan sangat dipengaruhi oleh kegilaan perilaku netizens dan maraknya creative contents. Hadirnya buku ini merupakan bagian dari upaya FISIPOL UGM untuk melakukan publikasi state of the art (atau state of the discipline) enam departemen yang ada. State of the art ini menghadirkan telaah kritis atas perkembangan kontemporer berbagai bidang keilmuan yang menjadi fokus perhatian masing-masing departemen, yang tergambar dalam berbagai aktivitas penelitian, publikasi, pengajaran, dan advokasi sosial. Publikasi state of the art merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan FISIPOL UGM dan departemen-departemen di dalamnya terhadap komunitas akademik, sekaligus sebagai upaya untuk menjaga posisi academic leadership, baik di Indonesia maupun lebih luas. Terbitnya buku ini diharapkan akan menjadi sumber inspirasi dan pemantik perdebatan dalam memahami perkembangan dan dinamika masyarakat digital, khususnya dari sudut pandang Ilmu Komunikasi. Atas terbitnya buku ini, saya sampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Poppy S. Winanti (Wakil Dekan yang membidangi Penelitian dan Publikasi) serta tim UP3M FISIPOL UGM yang tidak kenal lelah mengawal proses penulisan dan penerbitan serial state of the art ini. Apresiasi yang tinggi juga saya sampaikan kepada tim editor dan para penulis yang telah mendedikasikan waktunya untuk menyusun hasil penelitian dan analisisnya dalam bentuk artikel bab yang bernas dan kuat. Kepada BPP [ vi ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
UGM, khususnya UGM Press, yang telah memfasilitasi penerbitan buku ini, ucapan terima kasih juga saya sampaikan. Selamat membaca, semoga buku ini memberikan kontribusi, serta memicu perdebatan dan dialektika dalam bidang Ilmu Komunikasi. Yogyakarta, 23 Mei 2021 Dekan Wawan Mas’udi
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ vii ]
KATA PENGANTAR
P
uji syukur kehadirat Tuhan YME, kami panjatkan dengan penuh khidmat, atas selesainya penulisan buku Jagad Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas. Perjalanan penyusunan buku ini diawali pada pertengahan tahun 2020, perlunya Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (DIKOM UGM) memberi kontribusi pada keriuhan di semesta disiplin Ilmu Komunikasi. Semoga sumbangsih akademis yang dipetakan dapat mewakili program/peminatan dan kajian DIKOM UGM yaitu Jurnalisme, Kehumasan, Periklanan, serta Media Hiburan. Sejumlah 12 bab yang akhirnya tersaji manis di depan pembaca berkat besutan duo editor yang telah maraton mengawal penulisan buku ini. Dua belas menu bab ini hasil karya goresan 12 staf dosen DIKOM UGM yang telah memiliki kepakaran di bidangnya masing-masing. Terima kasih kami ucapkan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) yang telah memfasilitasi baik dana maupun pendampingan selama proses penulisan buku. Terima kasih juga kepada UGM Press yang telah berkenan untuk menerbitkan karya ini. Ucapan terima kasih juga kami haturkan pada segenap civitas akademika DIKOM UGM yang telah membantu dan tidak dapat kami sebutkan satu per satu namanya, “Benih baik kalian kiranya menuai buah yang berlimpah”. Akhir kata, selamat menikmati sajian menu bab-bab di buku ini. Tiada gading yang tak retak, tiada berlian tanpa goresan, buku ini tentu masih banyak kekurangan, kritik dan saran sangat kami nantikan. Yogyakarta, Mei 2021 Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM Dr. Rajiyem [ viii ]
Daftar Isi PRAKATA........................................................................................... v KATA PENGANTAR......................................................................... viii DAFTAR ISI....................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR.......................................................................... xii DAFTAR SINGKATAN.................................................................... xiii BAB 1 Pendahuluan: Mengulik Jagat Ranah, Riset, dan Realitas Komunikasi Muhamad Sulhan................................................................ 1 JOURNALISM: DARI FAKTA MENUJU IDEALISME NILAI BAB 2 Keberagaman Media dan Pers Era Digital: Pluralisme Agonistik sebagai Perspektif Gilang Desti Parahita........................................................ 24 BAB 3 Memahami Berita dan Kekacauan Informasi: Urgensi Literasi Berita untuk Pengajaran Media dan Jurnalisme Novi Kurnia........................................................................ 42 BAB 4 Jurnalisme Politik di Indonesia: Antara Paralelisme Politik dan Instrumentalisasi Media Wisnu Prasetya Utomo....................................................... 56 BAB 5 Kiprah Perempuan dalam Jurnalisme: Refleksi bagi Jurnalis Perempuan Indonesia Zainuddin Muda Z. Monggilo............................................ 67
[ ix ]
PUBLIC RELATIONS: DARI PERSPEKTIF PRAKTIS MENUJU KAJIAN AKADEMIK BAB 6 Memperkaya Kajian Public Relations di Indonesia I Gusti Ngurah Putra.......................................................... 84 BAB 7 Menyegarkan Kembali Kajian Komunikasi Politik di Indonesia: Visualisasi, Ideasi, dan Mediatisasi Politik Sebagai Domain Kajian dan Paradigma Riset Alternatif Nyarwi Ahmad.................................................................... 99 ADVERTISING: DARI PETA PEMODELAN MENUJU ASAS KEBERGUNAAN BAB 8 Transformasi Model Periklanan: Dari Era Pre-industrial Hingga Era Interaktif Global Widodo Agus Setianto......................................................... 112 BAB 9 Personalisasi dalam Periklanan Digital Syaifa Tania........................................................................ 127 MEDIA ENTERTAINMENT: DARI “BIASA” MENJADI “LUAR BIASA” BAB 10 Melampaui yang “Remeh-Temeh”: Media Hiburan Sebagai Bidang Kajian Ilmu Komunikasi Budi Irawanto..................................................................... 140 BAB 11 Jurnalisme Game: Merangkai Jurnalisme dan Media Hiburan Wisnu Martha Adiputra...................................................... 154 BAB 12 Produksi dan Monetisasi Kanal YouTube Irham Nur Anshari............................................................. 167 BAB 13 Aktualisasi Diri dan Media Hiburan: Menyoal Kaum Muda dalam Ruang Media Sosial Mashita Fandia.................................................................. 180
[x]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
BAB 14 Penutup: Agenda Pembelajaran, Riset, dan Advokasi Lidwina Mutia Sadasri....................................................... 196 INDEKS.............................................................................................. 201 Biodata Penulis......................................................................... 204
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ xi ]
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Model Ekologi Komunikasi dari Foulger..................... 7 Gambar 1.2 Model Sistem Proses Komunikasi Era IoT................... 8 Gambar 3.1 Kekacauan Informasi. ................................................... 44 Gambar 12.1 Mekanisme monetisasi dalam program Google AdSense......................................................................... 170
[ xii ]
DAFTAR SINGKATAN CPC
cost per click
CPM
cost per mille
IoT
Internet of Things
MCN
Multichannel Network
PR
Public Relations
[ xiii ]
BAB 1 Pendahuluan: Mengulik Jagat Ranah, Riset, dan Realitas Komunikasi Muhamad Sulhan “Since we live in revolutionary times, we ought to reflect and model those revolutionary new modes of communication in the way communication history is taught—and written.” (Bill Kovarik, 2015)
P
roses komunikasi manusia mengalami perkembangan seiring dengan konteks sejarah praktik berkomunikasi. Jika perenungan dan analisis atas praktik berkomunikasi itu berlangsung secara evolutif dalam ranah komunikasi antar manusia, tidak demikian halnya sejak teknologi muncul secara menakjubkan di abad ke-20. Teknologi media, dalam hal ini elemen alat transmiter, mengalami lompatan temuan yang tak terbayangkan. Sejak fenomena kemunculan telegram, radio, televisi, kemudian internet, praktik komunikasi manusia telah berubah total. Kehidupan menjadi lebih kompleks. Selain interval perubahan yang menjadi semakin pendek, implikasi teknologi media memantik relasi yang jauh lebih tak terduga. Kompleksitas atas perubahan itu muncul karena relasi timbal balik antara manusia sebagai pengguna teknologi media, dengan sifat kecanduan yang dipantik oleh penggunaan media. Dalam kelindan itulah, budaya, konflik, dan interaksi manusia membentang sepanjang lebih dari 50.000 tahun menghiasi peradaban (Poe, 2011; Ansary, 2019). Revolusi telah berlangsung dalam fenomena tersebut. Revolusi teknologi media komunikasi. Uniknya, sejarah selalu bergerak dalam garis linear. Bergerak terus ke depan, tanpa [1]
pengulangan. Narasi keheranan dan ketakjuban manusia atas teknologi komunikasi akan terus bertumpuk di belakang kita bagaikan puing-puing nostalgia. Artinya di masa depan, keheranan demi keheranan akan terus terjadi seiring dengan praktik berkomunikasi. Satu-satunya yang bersifat menetap, dan terus menduduki posisi penting dalam proses revolusi itu adalah kemampuan analisis manusia. Ilmu pengetahuan sebagai brankas tertua hasil olah pikir manusia akan terus eksis. Bahkan ditantang untuk terus mempertajam daya analisis dan daya kritisnya. Di sanalah fungsi utama keilmuan. Ilmu komunikasi adalah hasil pengembangan pemikiran yang melesat begitu cepat. Teknologi dan interaksi menjadi determinan utama. Terdapat beberapa alasan yang mendasari premis tersebut. Alasan pertama, disiplin keilmuan ini bergerak sejajar dengan beragam kepentingan peradaban manusia. Kita bisa mencatat bahwa perkembangan retorika (sebuah bidang asal muasal ilmu komunikasi, seni dan keahlian) muncul karena kebutuhan mendasar “berdebat” dan “mempersuasi” agar memenangkan posisi politik, hukum, dan ekonomi di persidangan Athena. Dari sana muncul kesadaran akan keharusan menguasai keterampilan berpidato dan berorasi. Inilah cikal bakal kaitan disiplin ilmu komunikasi dengan kepentingan praktis. Jejaknya masih begitu kental ditemui dalam fenomena politik hingga hari ini. Kepentingan peradaban berikutnya sejajar dengan orientasi kemenangan perang dingin. Benturan kepentingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet mencatatkan begitu banyak dinamika dalam perkembangan riset dan percobaan bidang media. Akarnya tetap sama: meningkatkan kemampuan persuasi dan memenangkan peperangan. Meski dalam beragam versi. Sejarah ilmu komunikasi mencatat bahwa sepanjang perang dingin tersebut, ilmu komunikasi berkembang pesat melewati batas perspektif dan geografis. Dari sebuah bidang komunikasi terbatas (jurnalistik) di Eropa, untuk kemudian bergeser menjadi bidang praktis kebergunaan media di Amerika (Dahnke & Clatterbuck, 1990; Rogers, 1994) Ini penanda revolutif dalam pembelajaran ilmu komunikasi. Argumen dari alasan ini adalah bahwa teknologi biasanya menjadi alat utama yang selalu mendukung arahan kepentingan manusia. Jika dia berkembang seiring dengan kebutuhan, pasti akan semakin melesat. Komunikasi adalah disiplin yang terkait erat dengan teknologi. [2]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Alasan kedua, disiplin komunikasi merupakan disiplin keilmuan yang sejak semula berkaitan dengan tiga elemen utama interaksi manusia: sosok kreator pesan, pesan itu sendiri, dan kompleksitas sosok penerima serta pengolah pesan kembali. Tiga sosok dan peran ini tetap abadi. Meskipun beragam model komunikasi telah lahir dan memodifikasinya, namun interaksi manusia dari sudut pandang komunikasi hanya terjadi melalui keniscayaan tiga hal itu. Tanpa itu semua, tidak akan ada komunikasi. Uniknya, tiga sosok utama proses interaksi tadi adalah objek dari keilmuan lain yang juga berkembang pesat hingga hari ini. Sosok kreator pesan dan penerima pesan adalah subjek utama dari berbagai disiplin ilmu raksasa, terutama terkait dengan sistem pemaknaan dan sistem kehidupan manusia sebagai makhluk personal dan sosial, seperti psikologi dan sosiologi. Elemen berikutnya adalah pesan (informasi). Pesan sebagai konten dalam proses komunikasi menjadi bidang garapan serius dalam ilmu informasi (information science). Beberapa universitas di seluruh dunia hari ini tengah fokus untuk menggarap perihal informasi sebagai sebuah landasan dalam kehidupan manusia. Mereka yakin bahwa teknologi media digital akan menjadi satu isu penting (Simonson & Park, 2016). Salah satu isu yang sangat mencolok terkait dengan trend ini adalah perihal artificial intelligence (AI) dan internet of things (IoT). Informasi menjadi jantung algoritma. Sistem raksasa yang menjadi denyut nadi Google, Youtube, Facebook, Instagram, Lazada, Traveloka, Uber, dan berjuta sistem aplikasi lainnya di seluruh dunia (Simon, 2013). Informasi dan sistem algoritma merupakan paru-paru ekonomi dunia hari ini. Keniscayaan yang menjadi nubuat masa depan. Simpul alasan ini adalah meskipun teknologi telah melaju pesat dengan segara bentuk inovasinya, namun hakikat interaksi manusia tidak terlepas dari elemen kunci komunikasi. Interaksi manusia dan teknologi menjadi kata kunci peradaban hari ini (Headrick, 2009; Harari, 2018; Wyatt dkk., 2019). Dua alasan di atas menjadi landasan untuk mengenal kembali ranah studi ilmu komunikasi, untuk kemudian mengembangkan metode penelitian yang tepat untuk mendalami dan mempelajari realitas yang muncul. Dua alasan tadi, di satu sisi mewakili kompleksitas historis perkembangan keilmuan komunikasi yang selalu berjalan beriringan dengan kebutuhan dan kepentingan manusia. Sementara di sisi lain tetap memegang teguh Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[3]
ranah dan bidang keilmuan agar tetap menciptakan keunikan berupa objek formal dan material dari sebuah disiplin keilmuan. Jika kemudian objek utama sebuah disiplin keilmuan telah terkoneksi dengan kebutuhan, dan mendapatkan dukungan dari teknologi, maka peradaban manusia secara otomatis akan mendapatkan bahan bakar abadi. Pada titik itulah perjalanan kehidupan ilmu komunikasi bermula hingga hari ini. Peta perjalanan ilmu komunikasi telah menjadi saksi tahapan dan lompatan sejarah bagaimana kemudian sebuah disiplin keilmuan terkoneksi dengan kebutuhan masyarakat, dan mendapat konteks yang menguntungkan seiring perkembangan teknologi.
Teknologi Media: Internet of Things (IoT) dalam Ranah Komunikasi Jika Anda memperhatikan judul buku ini, terdapat dua kata kunci yang membutuhkan penjelasan. Pertama adalah kata Jagat. Konsep “Jagat” yang menjadi judul buku ini sarat dengan maksud dan “beban” atas dunia komunikasi. Mewakili kata semesta, jagat identik dengan ruang tak terbatas imajinasi. Kosakata ini hadir dalam pikiran manusia sejak ditahbiskan oleh legenda hindu (jagat dewa batara) masa lalu, hingga penegasan ketakterhinggaan universe (jagat semesta) dalam film-film science fiction karya Marvel masa kini. Di dalam kata jagat terdapat potensi tanpa kontrol. Tanpa batas. Kebebasan. Dinamika. Proses. Bentuk nyata dari jagat hari ini adalah dunia maya. Sebuah dunia yang tak bertepi dan tak berbatas. Inilah metafora yang ingin disampaikan oleh para dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM) saat menulis bab demi bab buku ini. Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas pada dasarnya merupakan sebuah kesadaran akan potensi ketidakterhinggaan dinamika komunikasi di era kontemporer. Potensi ketidakterhinggaan itu bukan semata-mata karena praktik komunikasi manusia yang menjadi lebih kompleks, melainkan juga kesadaran bahwa teknologi komunikasi melalui internet hari ini telah menjadi ruang hidup maya yang niscaya dari sebuah ekologi kehidupan manusia. Faktanya, praktik komunikasi hari ini tidak bisa terlepas dari sistem interaksi manusia termediasi, dan telah mengalami revolusi setelah dipantik oleh [4]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
perkembangan teknologi. Sifat dan cakupan “jagat” adalah chaos, disruptif, dan tak terhingga. Kata kunci kedua adalah “Kontemporer” yang melekat pada kata komunikasi. Komunikasi kontemporer. Penjelasannya bisa bersifat subjektif semata-mata demi tujuan penerbitan buku ini. Secara umum, kontemporer bermakna kekinian. Secara khusus, arti ini mengacu pada gambaran holistik fenomena komunikasi tepat pada saat penulisan setiap bab di buku ini. Kata kontemporer dipilih untuk menunjukan bukti pergerakan zaman. Perspektif sejarah yang sebagian besar digunakan oleh para penulis untuk menggambarkan fenomena komunikasi berupaya untuk menunjukan perbedaan signifikan ragam kajian komunikasi yang menjadi ciri khas Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM. Penulisan setiap bab memposisikan empat kajian pada situasi dan kondisi hari ini, lengkap dengan realitas, perspektif riset, dan juga bidang khusus mereka sebagai peminatan utama. Sangat dimungkinkan problema dan kompleksitas komunikasi di masa berikutnya akan betul-betul berbeda. Kecepatan perubahan akan memaksa kita untuk terus tanggap dan bersiap. Bisa jadi kita akan terbata-bata mengantisipasinya. Namun dengan pembacaan komprehensif atas fenomena komunikasi hari ini, diharapkan kita bisa merencanakan hari esok dengan lebih baik. Kompleksitas dari fakta ketidakterhinggaan yang bisa dianalisis dari situasi hari ini atas fenomena komunikasi itu bisa dibingkai menjadi satu frasa utama yang menjadi mata rantai penghubung, teknologi. Situasi kontemporer atas komunikasi manusia sejak abad ke-20 akhir ditandai dengan pergerakan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat. Di tengah segala ketidakterhinggaan itu pula, pembacaan atas aspek teknologi berupa komunikasi digital, komunikasi termediasi komputer, dan fenomena media baru (new media) akan menjadi jembatan penghubung untuk membaca setiap fenomena. Sifat dan batasan “kontemporer” mengacu pada saat ini, hari ini, dan kontekstual. Membicarakan teknologi dalam konteks komunikasi bisa bermakna praktis aplikatif, dan konseptual teoretis (Littlejohn & Foss, 2009). Pada tataran praktis aplikatif, terdapat entri yang panjang terkait kompleksitas computer mediated communication (CMC) yang hari ini telah mewarnai Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[5]
hidup manusia. Pada tataran konseptual teoretis, pembicaraan terkait teknologi dibingkai dalam dinamika teori media baru (new media theory). Analisis aspek praktis dalam dinamika CMC membuat kajian komunikasi menjadi terkait erat dengan teknologi digital. Seperti diungkapkan Littlejohn & Foss (2009) bahwa kehadiran teknologi digital dalam CMC berkaitan dengan transformasi percakapan manusia yang dikonversi menjadi kode digital, ditransmisikan, untuk kemudian diuraikan lagi kepada pihak penerima. Praktik ini pada tataran selanjutnya menciptakan kompleksitas saat manusia terhubung melalui perantara internet, seperti email, dan media sosial (social media). Semuanya bisa bersifat sinkron dan asinkron. Praktik inilah yang menghasilkan begitu banyak riset dan tulisan terkait komunikasi digital, di antaranya Whitty & Gavin (2001), Whitty (2002), Herring (2004), Creeber & Martin (2009), dan Walther dkk. (2015). Sementara itu, analisis atas konsep media baru (new media) terpantik oleh percepatan penyebaran media digital dari teknologi informasi dan telekomunikasi pada 1990-an. Pada momen itulah studi media baru telah mendapat tempat sebagai cabang tersendiri dari teori komunikasi (Littlejohn & Foss, 2009). Rentang studi media baru sangat luas baik dalam aspek kesejarahan, maupun dalam aspek topik penelitian dan bahasan. Percepatan penelitian topik ini selain disebabkan oleh pertentangan pendapat antara para pembela media-media konvensional dengan pendukung revolusi media baru, juga terpantik oleh perluasan area debat mereka. Pada level makro sistemik, fenomena media baru menjadi semakin menarik karena berkaitan dengan aspek perubahan substansial pada level ekologi dan sistem media. Poin terakhir ini berjalan seiring dengan geseran fokus dari aspek perkembangan inkremental internal lingkungan media, menuju pada ranah substantif dan kualitatif. Beragam riset dalam konteks ini menjadi demikian popular karena menelaah unsur-unsur kontroversial dari pertentangan sistem media, di antaranya bisa dilihat pada karya McLuhan & Gordon (2003), Jenkins (2006), Flew & Smith (2014), Gruner (2016), dan McLuhan & Staines (2020). Teknologi media komunikasi seperti diungkapkan oleh Littlejohn & Foss (2009) telah menjadi mata rantai penghubung terbentuknya sistem masyarakat informasi (information society). Unsur-unsur dalam [6]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
masyarakat informasi seperti diutarakan oleh Jary & Jary (1991) mengarah pada terbentuknya industri jasa baru yang lebih menekankan pada peran pengetahuan atas produksi, konsumsi, dan waktu senggang (leisure). Ramalan itu telah diungkapkan Daniel Bell sejak tahun 1976. Bell (1976; 1999) telah memprediksi kemunculan masyarakat model baru ini. Dia menyebutnya post-industrial society. Pada masa itu, sistem sosial dan ekonomi akan bertumpu pada sistem informasi. Ramalan Bell itu terbukti di penghujung abad ke-20. Dalam kaitannya dengan model komunikasi, Foulger (2004) telah mengusulkan sebuah model ekologis komunikasi yang mengantisipasi dinamika masyarakat seperti paparan Bell. Relasi dinamis antara pihak yang berkomunikasi diterjemahkan menjadi kompleksitas sosok pencipta (creator) dan konsumen (consumer). Di antara relasi kompleks dua elemen ini, terdapat tiga elemen perantara yang juga tak kalah kompleksnya: pesan (message), bahasa (language), dan media. Jika digambarkan model ekologi Foulger tersebut adalah sebagai berikut:
Gambar 1.1 Model Ekologi Komunikasi dari Foulger Sumber: Davis Foulger. 2004. Model of the Communication Process. Bisa diakses di: http://davis.foulger.info/papers/ecologicalModelOfCommunication.html
Menggunakan proposisi yang ditawarkan oleh Craig (1999), juga asumsi diferensiasi dan keanekaragaman atas model dan teori komunikasi dari Berger & Chaffee (1988), Foulger menawarkan sebuah model yang Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[7]
lebih terintegrasi melalui keyakinan bahwa media memiliki peran yang signifikan dalam proses komunikasi manusia. Sejajar dengan pemahaman Capella (1991), Foulger yakin bahwa media akan menjadi determinan dalam setiap proses komunikasi manusia. Hal ini terbukti sangat cocok untuk menggambarkan proses komunikasi dan interaksi manusia di abad ke-21 (Holmes, 2005; Kovarik, 2015). Faktanya, kaitan antara teknologi informasi dan komunikasi dengan kekuatan artificial intelligence (AI) hari ini menghadirkan internet sebagai sesuatu yang niscaya. Inilah era internet of things (IoT) dengan segala problematikanya (Frank dkk., 2017; Tazl & Wotawa, 2019). Mencermati keniscayaan teknologi, media digital, AI, dan IoT seperti paparan di atas, membuat realitas komunikasi manusia tidak lagi sama dengan apa yang dibayangkan dan diteliti oleh para founder disiplin ilmu komunikasi abad ke-19. Kebutuhan untuk memasukkan elemen dasar teknologi ke dalam proses komunikasi menjadi sebuah tantangan besar bagi pembelajar ilmu komunikasi. Termasuk para dosen, peneliti, dan pemerhati ilmu komunikasi. Mempertimbangkan kebutuhan tersebut, sebuah model komunikasi sebagai sebuah sistem yang mencoba memayungi dinamika fenomena teknologi komunikasi dan informasi kontemporer layak untuk diusulkan. Berikut sebuah model yang bisa ditawarkan untuk mewadahi kompleksitas itu.
Gambar 1.2 Model Sistem Proses Komunikasi Era IoT [8]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Model sistem komunikasi di atas mengadopsi pola ekologis yang ditawarkan Foulger (2004) dengan memberi tekanan pada dinamika netizen dan determinasi media yang berbasis pada IoT. Penggunaan empat konsep yang berada diirisan lingkaran (representation, dan reception), dan di luar lingkaran (effects, dan narrative) bermaksud menjelaskan problem ranah penelitian yang biasanya menjadi pilihan para calon sarjana komunikasi pada saat mengerjakan karya ilmiah baik itu skripsi, tesis, maupun disertasi. Secara reduktif bisa dikatakan bahwa penempatan kompleksitas problem efek dan naratif di bagian atas lingkaran menunjukan kecenderungan pilihan sifat metode kuantitatif berparadigma positivisme. Sementara penempatan kompleksitas representasi dan resepsi pada bagian irisan lingkaran sebelah bawah dimaksudkan untuk menunjukan kecenderungan pilihan sifat metode kualitatif berparadigma kritis, maupun konstruktivisme. Berdasarkan model sistem komunikasi tersebut, empat elemen utama proses komunikasi manusia tetap tidak tergantikan. Melainkan bertambah kompleks sesuai fakta realitas proses komunikasi hari ini. Sesuai dengan semakin determinannya media berbasis IoT, penempatan aspek medium pada pusaran lingkaran menunjukkan vitalnya fungsi media dalam setiap proses komunikasi berbasis IoT. Unsur pesan yang selama ini menjadi elemen konten dalam proses komunikasi, telah bertambah kompleks dengan adanya dinamika bahasa. Ketiga aspek ini berkelindan sedemikian rupa dalam sebuah rentang vertikal untuk menunjukkan beragam bidang komunikasi yang bisa ditelaah dengan memperhatikan unsur-unsur tersebut. Sebut saja bidang komunikasi politik, sebagai ilustrasi. Pada saat ini banyak masalah dalam komunikasi politik muncul karena aspek seremonik dari bahasa yang bermuara pada problem etika, manipulasi, dan ujaran kebencian sedemikian rupa (Hardiman, 2005, 2010; Haryatmoko, 2007). Pesan dalam konteks ini menyediakan beragam kemungkinan untuk dilihat tidak semata dalam dimensi keterpengaruhan, melainkan juga dimensi representasi makna, dan juga dinamika persepsi berbasis budaya (resepsi). Melalui model tersebut, sebenarnya disiplin ilmu komunikasi telah membuka diri untuk lebih memahami kompleksitas komunikasi dari beragam sudut pandang keilmuan. Proses membuka diri ini juga menjadi penanda siapnya komunikasi sebagai titik sentral pertemuan dari beragam kajian. Masih sejajar dengan simpulan Rogers (1994) berpuluh tahun silam. Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[9]
Hari ini, ilmu komunikasi sudah menjadi lem perekat dan jembatan bagi begitu banyak disiplin ilmu lainnya. Juga menjadi jembatan penghubung antara begitu banyak bidang kepentingan kehidupan manusia. Banyak manfaat yang telah disumbangkan oleh peradaban komunikasi berbasis perkembangan teknologi. Bentuk konkretnya berupa keragaman dan multifungsi media komunikasi. Sebaliknya, tak terhitung banyaknya masalah yang muncul seiring dengan sifat asli manusia yang termanipulasi oleh kemudahan teknologi komunikasi. Insting berbahaya eksistensi, kelatahan melakukan penghasutan, manipulasi informasi, serta beragam permainan ekonomi berbasis penyesatan informasi. Inilah residu dari perkembangan peradaban. Pada akhirnya isu moral dan etika menjadi problem dan bahasan yang kerap kali mengemuka saat kita berinteraksi antarmanusia difasilitasi teknologi media (Piliang, 2017; Lanier, 2020). Pada titik inilah peran dan posisi institusi pendidikan tinggi ilmu komunikasi mendapatkan tantangan, sekaligus guncangan paradoks terkait eksistensi dan fungsi disiplin keilmuan.
Institusi Pendidikan: Penjaga Marwah Keilmuan Sebegitu besar implikasi komunikasi dalam kehidupan manusia, sehingga gugatan dan keresahan atas dimensi moral dan etika menjadi penanda komplikasi serius dinamika komunikasi dalam masyarakat (James, 2014; Elliott & Spance, 2018; Fabris, 2018; Dutta & Zapata, 2019). Ini adalah harga yang harus dibayar dari sebuah kemajuan peradaban. Khususnya kemajuan teknologi. Apabila teknologi memantik problem dalam masyarakat, dan apabila teknologi dipandang merugikan oleh sebagian besar pihak, untuk apa teknologi dikembangkan dan menjadi fondasi kehidupan? Seperti kebanyakan narasi sinema science fiction, perkara moral di satu sisi dan tawaran kemajuan teknologi di sisi lain selalu menjadi alur cerita yang digemari. Masalahnya, hidup nyata bukanlah sinema. Kehidupan memiliki alur dan tata letak yang tak sama. Institusi pendidikan adalah pihak yang selalu menjadi kambing hitam dari kegagapan (baca: ketidakmampuan) masyarakat dan pemerintah saat menghadapi dilema etika dan moral sebagai residu perkembangan teknologi. Dalam posisinya sebagai penjaga moral, dan penjawab atas [ 10 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
semua tudingan tersebut, dunia pendidikan wajib memiliki kompas dan koridor yang harus disampaikan kepada pihak di luar sana. Dalam dunia komunikasi, seluruh program studi yang secara resmi mengajarkan disiplin ilmu komunikasi harus memiliki sikap dan hipotesis untuk menjawab dinamika dan problematika komunikasi yang muncul. Syukur bila jawaban tersebut berujung pada solusi. Landasan berpikir inilah yang kemudian mengilhami proses penulisan buku yang Anda pegang. Sebuah kerisauan akademis, sekaligus juga praktis. Departemen Ilmu Komunikasi UGM adalah departemen yang berdiri pertama di Indonesia dengan nama Jurusan Publisistik. Tentu saja pada saat itu (tahun 1959) dunia komunikasi belumlah sekompleks hari ini. Seiring dengan perjalanan waktu, Departemen Ilmu Komunikasi (DIKOM) UGM ikut memberi warna dalam perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia. Keikutsertaan itu inheren dengan pertanggungjawaban moral atas motif dan orientasi perkembangan dunia komunikasi. Sejumlah dua belas (12) bab yang mengisi halaman demi halaman buku ini berupaya keras untuk memberikan paparan, ringkasan, dan jawaban atas beragam masalah dan orientasi disiplin ilmu komunikasi. Bukan hanya konteks Indonesia, namun juga konteks dunia. Sesuai dengan orientasi penerbitan buku ini, terdapat 12 bab (selain pendahuluan dan epilog) yang terdapat di dalamnya bermaksud menggambarkan kekuatan analisis dari civitas akademika keilmuan komunikasi di Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM. Sejajar dengan bidang peminatan yang menjadi keunikan departemen, maka dua belas tulisan itu akan dikelompokkan sesuai empat bidang peminatan yang tersedia di departemen. Keempat peminatan itu adalah Jurnalisme (Journalism), Kehumasan (Public Relations), Periklanan (Advertising), dan Media Hiburan (Media Entertainment). Para kontributor adalah sosok yang selama ini malang melintang dalam melakukan riset, kajian, dan pengajaran pada bidang peminatan masing-masing. Sejajar dengan klasifikasi peminatan, sejumlah 12 bab dikelompokkan sesuai dengan prinsip administratif dengan tekanan berbeda-beda pada setiap peminatan. Benang merah setiap topik peminatan adalah sebuah garis imajiner waktu yang bersifat linear. Garis linear menjadi cara untuk Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 11 ]
menunjukkan perkembangan elaborasi atas beragam realitas komunikasi masa lalu dan hari ini dan juga untuk menunjukkan ruang pergeseran dan perbedaan kajiannya dari masa ke masa. Meskipun tidak semua artikel secara tegas mencatat determinasi teknologi komunikasi, namun pergolakan dan kompleksitas yang terjadi dalam masyarakat informasi sesuai bidang peminatan masing-masing jelas menjadi topik tulisan mereka. Mari kita ungkap satu persatu setiap artikel di dalamnya. Bagian pertama peminatan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM adalah jurnalisme (journalism). Sejajar dengan topiknya, empat penulis pada bagian ini berupaya menghadirkan prinsip normatif dalam beragam fakta yang terjadi di dunia jurnalisme Indonesia. Di mulai dari tulisan Parahita (Bab 2), yang menegaskan pentingnya pluralisme agonistik sebagai sebuah perspektif yang dijadikan landasan jurnalisme di masa keberagaman hari ini. Menggunakan logika oposisi biner antara prinsip antagonistik (bermusuhan) dan prinsip agonistik (bertikai), Parahita memunculkan formula pluralisme agonistik sebagai solusi alternatif menciptakan dunia jurnalisme digital yang sehat. Hematnya, teknologi yang menciptakan ekosistem media digital pada dasarnya menjadi ruang hidup yang baik untuk menciptakan proses transformasi reduktif atas energi negatif. Dari sebuah keberbedaan menjadi ruang konflik kekerasan, bergeser menjadi saling memahami pengalaman dan sikap satu sama lain. Tulisan kedua dari Kurnia (Bab 3) memuat isu sentral terkait kekacauan informasi dalam proses komunikasi yang sangat marak dalam beberapa tahun terakhir ini. Melalui ulasan tentang problem yang terjadi saat munculnya misinformasi, disinformasi, dan malinformasi, Kurnia menegaskan keniscayaan untuk menjadikan literasi berita sebagai salah satu subjek penting dalam pengajaran media dan jurnalisme. Tujuan utamanya adalah agar publik memiliki kemampuan menavigasi keberlimpahan informasi sekaligus mampu membedakan fakta yang dapat diandalkan dan pengetahuan dari persoalan kekacauan informasi. Simpulan dari Kurnia sangat tegas. Pemahaman akan nilai berita menjadi syarat utama filterisasi bagi audien dan netizen saat mendapatkan informasi. Tulisan ketiga berasal dari area jurnalisme politik karya Utomo (Bab 4), yang mengulas jejak historis tradisi partisan dalam jurnalistik [ 12 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
di Indonesia. Utama menilai posisi pers Indonesia hari ini sebagai pilar keempat demokrasi, semakin jauh panggang dari api. Menggunakan konsep paralelisme dan instrumentalisasi media dalam perspektif sejarah, Utomo menyimpulkan ikatan tali temali kepentingan antara oligarki media dan kepentingan politik praktis menjadi semakin menguat hari demi hari. Inilah wajah ganda jurnalisme politik di Indonesia. Tulisan keempat karya Monggilo (Bab 5) bercerita tentang keunikan dan dinamika yang terjadi pada jurnalis perempuan. Dalam tulisannya, Monggilo menelisik ide emansipasi dan kesejajaran posisi, mengurai beberapa problem sentral terkait eksistensi perempuan dalam dunia jurnalistik. Monggilo menggunakan berbagai referensi kepustakaan menarik untuk menunjukkan masih banyak stereotyping bias gender berujung apresiasi yang rendah pada diri perempuan. Menggunakan isu-isu krusial seperti kepemimpinan dan represi, Monggilo menegaskan perlunya apresiasi berbasis nilai-nilai yang sama atas posisi jurnalis perempuan dan laki-laki. Terlebih dalam koridor profesional sebagai garda depan jurnalisme. Bagian kedua mengetengahkan fakta substitutif antara dunia praktik dan akademik dalam kajian public relations. Perspektif historis dan kontekstual problematis membuat dua tulisan yang terdapat pada bagian ini saling melengkapi satu sama lain. Muara dari dua tulisan di bagian ini adalah menegaskan kembali pentingnya riset dalam menunjang perspektif akademis. Tulisan pertama hasil karya Putra (Bab 6), memberikan ulasan kepustakaan atas penelitian public relations melalui tiga pendekatan dalam studi public relations di Amerika Serikat. Secara komprehensif dan runtut, Putra mengungkap relasi antara bidang industri praktis yang menjadi lahan tumbuh suburnya praktik public relations, dengan apresiasi di dunia akademis. Ketiganya adalah pendekatan retorik (rhetorical approach), pendekatan sistem (systems approaches) dan pendekatan kritis (critical approach). Di tengah keunikan dan karakteristik khas dari setiap pendekatan atas fenomena public relations tersebut, Putra menyarankan pentingnya para praktisi dan akademisi untuk mulai menghargai kontribusi riset dengan tujuan mengembangkan beragam perspektif baru bagi dunia public relations.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 13 ]
Bukti tentang penerapan fungsi-fungsi public relations ke dalam dunia politik menjadi pesan subliminal dari tulisan kedua di bagian ini. Paparan dari Nyarwi (Bab 7) secara unik mengelaborasi bagaimana aspek-aspek pemasaran ide dan gagasan di dunia politik juga menjadi ranah kajian bidang komunikasi. Pemasaran ide dan gagasan dunia politik memberi kontribusi pada perkembangan konsep visualisasi, ideasi, dan mediatisasi. Nyarwi memberikan bukti betapa dunia politik semakin dipenuhi dengan beragam ekspresi visual yang tidak terlepas dari metamorfosis bentuk dan keunikan komunikasi politik. Melalui paparan tentang penguatan ekspresi visual saat publik berdialog tentang isu politis, Nyarwi menawarkan tiga konsep utama (visualisasi, ideasi, dan mediatisasi) yang tidak semata dipertimbangkan sebagai domain kajian dalam ilmu komunikasi, melainkan lebih jauh sebagai paradigma alternatif untuk memperkaya, dan mengaktualisasikan kajian komunikasi politik di Indonesia. Bagian ketiga dari buku ini bercerita tentang dinamika kekinian advertising. Pola tulisan bergerak dari saran normatif tentang model periklanan yang seharusnya menjadi pedoman bagi praktik komunikasi pemasaran, hingga bukti konkret kemunculan prinsip personalisasi di bidang periklanan yang terfasilitasi oleh era digital. Terdapat dua artikel pada bagian ini yang bersifat saling melengkapi orientasi normatif tersebut. Tulisan pertama adalah karya Setianto (Bab 8). Menggunakan pendekatan historis linear atas lima tahapan (era) sejarah periklanan, Setianto menyimpulkan bahwa dunia periklanan mengalami akselerasi dalam evolusi dan transformasi model-model penyampaian pesannya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi media telah memberikan kontribusi yang besar dalam evolusi dan transformasi model periklanan. Tulisan kedua karya Tania (Bab 9) mengurai relasi antara praktik produksi dan konsumsi informasi dunia periklanan, dengan kontribusi teknologi era digital yang meneguhkan prinsip personalisasi. Seiring dengan munculnya perangkat berbasis efisiensi yang lebih menyederhanakan faktor volume dan biaya, dunia periklanan era digital mengalami metamorfosis sedemikian rupa. Berbasis pada kekuatan algoritma, periklanan di media digital bergerak menjadi lebih personal dan relevan bagi para penggunanya. Tania menyimpulkan bahwa dengan kemajuan teknologi digital hari ini, [ 14 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
proses dialektik antara produksi dan konsumsi pesan-pesan pemasaran di dunia periklanan telah bergeser secara dramatis. Dari paradigma masifikasi menjadi personalisasi (personalized advertising). Bagian keempat sebagai peminatan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM adalah media entertainment. Ini adalah sebuah peminatan baru yang menemukan momentumnya di abad-21. Topik bagian ini membayangkan adanya garis imajiner demarkasi waktu antara pandangan umum dan akademisi atas dunia hiburan sebagai sesuatu yang “tidak penting”, lalu tiba-tiba berubah drastis menjadi sebuah pokok bahasan yang “sangat penting”. Abad ke-21 menunjukan bukti tentang kuatnya pengaruh media hiburan ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kecepatan terbentuknya struktur masyarakat informasi mungkin sekali dipicu oleh invasi hiburan ke dalam hidup sehari-hari masyarakat. Di manapun di belahan dunia. Realitas dan tawaran analisis atas fenomena ini menjadi benang merah yang akan Anda dapatkan pada saat membaca bidang keempat. Ada empat artikel yang mengisi bidang ini. Mari kita lihat satu persatu. Tulisan pertama karya Irawanto (Bab 10), mengawali bagian ini dengan melakukan refleksi dan menantang kita untuk melihat potensi ekonomi yang besar dari media hiburan. Melalui ulasan terpantiknya minat industri periklanan untuk mengalokasikan uangnya ke berbagai media hiburan, dunia hiburan hari ini tidak bisa lagi dipandang sebagai sebuah bidang sederhana. Begitu audiens melihatnya sebagai bagian inheren dalam hidup mereka, maka media hiburan berubah menjadi penggerak perubahan sosial politik dalam masyarakat. Sisi ini menjadi alasan kuat betapa disiplin ilmu komunikasi sudah selayaknya menjadikan bidang ini sebagai kajian serius. Tulisan kedua dari Adiputra (Bab 11), menjadi jembatan penghubung antara fenomena dunia hiburan dengan keseriusan kajian komunikasi lainnya, Jurnalisme. Adiputra membangun logika menarik untuk menghubungkan dunia: sisi faktual dan fiksional ke dalam sebuah tulisan bernas tentang jurnalisme game. Menggunakan logika bertemunya kepentingan industri, kepentingan publik, aspek literasi, dan pengembangan praktik gamers, Adiputra kembali menegaskan pentingnya esensi hiburan game dijadikan sebagai landasan untuk menciptakan pembelajaran jurnalistik yang lebih Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 15 ]
bertanggung jawab. Melalui karakter jurnalisme game, akhirnya bidang ini berpeluang menggeser persepsi negatif banyak kalangan atas game yang semula sebatas hiburan, menjadi ruang kreasi yang bertanggung jawab. Jurnalisme game sekaligus akan menjadi ruang literasi digital. Tulisan ketiga dalam bagian ini bercerita tentang salah satu bentuk nyata industri dunia hiburan yang berimplikasi signifikan pada ranah ekonomi, politik, dan praktik nyata kebergunaan ilmu komunikasi. Anshari (Bab 12), membuka pemahaman kita tentang pentingnya kanal Youtube sebagai alternatif kajian dan penghasilan. Sebagai sebuah ranah baru industri kreatif, Anshari membuka wawasan tentang sisi kreativitas pada aspek produksi dan monetisasi kanal yang berkelindan dengan beragam kepentingan komunikasi antarbudaya, relasi global, dan komunikasi visual. Tulisan keempat karya Fandia (Bab 13) mewakili perspektif millennial. Fandia dengan unik menghubungkan antara media hiburan dengan problem utama netizen kaum muda saat ini di media sosial: aktualisasi diri. Menggabungkan beberapa hasil riset terkini tentang kaum muda, Fandia meramu dan meyakinkan kita bahwa kaum muda sebagai audiens dan content creator (pencipta isi media) harus ditempatkan sebagai kajian serius dalam riset ilmu komunikasi. Argumen yang dipaparkan Mashita menyimpulkan bahwa dinamika kaum muda di media sosial saat ini secara faktual telah membentuk kultur tersendiri yang betul-betul berbeda. Untuk itu, strategi telaah kehidupan mereka dalam bermedia juga harus adaptif dengan situasi kontemporer tersebut. Secara ideal pola membaca buku yang baik adalah dengan cara runtut dari awal halaman pertama hingga halaman terakhir. Namun kami sadar bahwa di abad ini kesibukan seseorang membuat dia tidak memiliki waktu cukup untuk menelaah secara maksimal isi sebuah buku. Inilah era di mana perilaku membaca harus dilakukan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Biasanya cara itu terbukti cepat, instan, dan acapkali menghasilkan pemahaman yang dangkal alias banal. Untuk mengantisipasi dan memenuhi harapan membaca cepat itu, namun sekaligus juga membuka peluang Anda mendapatkan pemahaman komprehensif, saya menawarkan jalan tengah. Jalan tengah itu adalah menawarkan kepada Anda dua cara membaca dan menyimak isi buku ini. Anggaplah itu sebagai pemantik drive dan [ 16 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
kebutuhan untuk mulai menyimak bidang dan bab yang sesuai dengan momen dan kepentingan Anda di suatu tempat, di suatu waktu, yang sifatnya sangat personal dan spesial. Pertama, cara berpikir historis melalui imajinasi linear tentang perjalanan sejarah disiplin ilmu komunikasi. Hal ini bisa Anda dapatkan saat membaca aspek historis bagaimana sisi sejarah kepentingan memberi nuansa khusus berkembangnya jurnalisme, public relations, periklanan, dan dunia media hiburan. Narasi ini dirangkai dalam sebuah fase garis lurus dari zaman pramodern, hingga pasca modern. Baik mengambil setting di AS, Eropa, maupun di berbagai belahan dunia lainnya. Anda akan mendapatkan paparan dan imajinasi tersebut setelah membaca dan menyimak tulisan Wisnu Prasetyo Utomo (Bab 4), I Gusti Ngurah Putra (Bab 6), Widodo Agus Setianto (Bab 8), dan juga Budi Irawanto (Bab 10). Cara menyimak kedua, melalui cara berpikir induktif problematis. Maksudnya bab-bab berikutnya bisa dibaca sebagai sebuah tawaran cara berpikir untuk melihat beragam fenomena, masalah, dan dinamika komunikasi kontemporer. Setting-nya kekinian. Setiap artikel berupaya menguraikan masalah dengan perspektif komunikasi, seperti problem personalisasi dalam iklan digital, jurnalisme digital, perspektif feminisme dalam jurnalistik, literasi media baru, jurnalisme game, jurnalisme politik, hingga elaborasi kanal Youtube sebagai sebuah fenomena industri kreatif. Melalui cara baca kedua ini Anda akan menemukan gagasan-gagasan menarik di bidang jurnalisme yang dikemukakan oleh Gilang Desti Parahita (Bab 2), Novi Kurnia (Bab 3), dan Zainuddin Muda Monggilo (Bab 5). Eksplanasi dan elaborasi atas fenomena di bidang public relations dan advertising menunjukan pergeseran beragam aspek menarik dari sisi politik, ekonomi, dan budaya. Gagasan ini bisa Anda temukan dalam tulisan Nyarwi Ahmad (Bab 7), dan Syaifa Tania (Bab 9). Sementara dari bidang media entertainment, Anda akan menemukan ide-ide menarik tentang problem jurnalisme game dari tulisan Wisnu Martha Adiputra (Bab 11), dinamika kanal Youtube dalam tulisan Irham Nur Anshari (Bab 12), dan aktualisasi diri kaum muda sebagai agensi di media sosial dalam karya Mashita Fandia (Bab 13).
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 17 ]
Begitulah, akhirnya upaya untuk menghimpun dinamika ranah, perspektif riset, dan problem berbagai realitas fenomena komunikasi dalam 12 (dua belas) bab telah coba dilakukan oleh staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM. Saat membaca halaman demi halaman buku ini, Anda akan menemukan uraian menarik tentang aspek fundamental keniscayaan teknologi dalam bentuk media digital sebagai wujud konkret era teknologi. Pada bagian penutup setiap bab, semua penulis menegaskan sikap optimis akan adanya solusi untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul seiring dengan kompleksitas era teknologi tersebut. Keniscayaan teknologi media berbasis IoT ini menjadi unsur kunci yang dibahas oleh Sadasri (Bab 14) pada epilog di akhir buku. Cerita panjang pergumulan interaksi manusia yang difasilitasi teknologi telah melahirkan beragam akses, baik negatif maupun positif. Keduanya menciptakan ruang negosiasi terus menerus yang membutuhkan telaah serius dan jiwa kritis tanpa henti dari perspektif pendidikan tinggi. Kehadiran 4 (empat) bagian, serta 14 (empat belas) bab dalam buku ini hanya menjadi perjalanan pendek dari upaya mengarungi jagat komunikasi yang terbentang maha luas dan tak terhingga. Di esok hari, eksplorasi dan elaborasi jagat komunikasi masih menanti sentuhan tangan dingin para akademisi ilmu komunikasi. Semoga ....
[ 18 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
DAFTAR PUSTAKA Ansary, Tamim. (2019). The Invention of Yesterday: A 50,000-Year History of Human Culture, Conflict, and Connection. New York: PublicAffairs. Bell, Daniel. (1999). The Coming of Post-Industrial Society: A Venture in Social Forecasting. New York: Basic Book. Berger, Charles R., & Steven H. Chaffee. (1988). “On Bridging Communication Gap”. Human Communication Research. 15 (2). 311318. Cappella, J. (1991). “Book Reviews: Theories of Human Communication”. Communication Theory. 1 (2). 165-171. Craig, Robert T. (1999). “Communication Theory as a Field”. Communication Theory. 9 (2). 119-161. Creeber, Glen., dan Royston Martin (Editors). (2009). Digital Cultures: Understanding New Media. New York: Open University Press.` Dahnke, Gordon L, dan Glen W. Clatterbuck. (1990). Human Communication: Theory and Research. California: Wardsworth Publishing Company. Dutta, Mohan Jyoti, & Dazzelyn Baltazar Zapata. (Editors). (2019). Communicating for Social Change: Meaning, Power, and Resistance. Singapore: Palgrave Macmillan. Elliott, Deni, & Edward H. Spance. (2018). Ethics for a Digital Era. New Jersey: Wiley Blackwell. Fabris, Adriano. (2018). Ethics of Information and Communication Technologies. New York: Springer. Flew, Terry., dan Richard Smith. (2014). New Media: An Introduction. Canada: Oxford University Press. Foulger, Davis. (2004). “An Ecological Model of the Communication Process”. Paper dipresentasikan pertama kali pada saat visiting Professor di kelas komunikasi interpersonal di Oswego State University/SUNI Oswego, spring class 2003. Bisa diakses pada http:// davis.foulger.info/papers/ecologicalModelOfCommunication.htm Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 19 ]
Frank, Malcolm. Paul Roehreg, & Ben Pring. (Editors). (2017). What to Do When Machines Do Everything: How to Get Ahead in a World of AI, Algorithms, Bots, and the Big Data. New Jersey: John Wiley & Sons Inc. Gruner, Daniel T. (2016). New Digital Media and Flow: A Study of Experience. Creativity Theories-Research-Applications. https://doi. org/10.1515/ctra-2016-0021, 3(2), 243-362. Harari, Yuval Noah. (2018). 21 Lessons for the 21st Century. London: Jonathan Cape. Hardiman, F. Budi. (2005). Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. _______________ . (2010). Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius. Haryatmoko. (2007). Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius. Headrick, Daniel R. (2009). Technology: A World History. New York: Oxford University Press. Herring, Susan C. (2004). Slouching towards the Ordinary: Current Trends in Computer-Mediated Communication. New Media and Society, https://doi.org/10.1177%2F1461444804039906, 6, 26-36. Holmes, Holmes. (2005). Communication Theory: Media, Technology, Society. London: Sage Publications. James, Carrie. (2014). Disconnected: Youth, New Media, and the Ethics Gap. London: The MIT Press. Jary, David, dan Julia Jary. (1991). Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: Harper Collins. Kovarik, Bill. (2015). Revolution in Communication: Media History from Gutenberg to the Digital Age. 2nd Edition. New York: Bloomsbury. Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss (Editors). (2009). Encyclopedia of Communication Theory. California: Sage Publications. McLuhan, Marshall, dan W. Terrence Gordon. (2003). Understanding Media: The Extension of Man: Critical edition. California: Gingko Press, Inc. [ 20 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
McLuhan, Stephanie, dan David Staines (Editors). (2020). Marshall McLuhan Understanding Me: Lecturers and Interviews. Toronto: M & S. Piliang, Yasraf Amir. (2017). Dunia yang Berlari: Dromologi, Implosi, Fantasmagoria. Yogyakarta: Aurora. Poe, Marshal T. (2011). A History of Communications: Media and Society from the Evolution of Speech to the Internet. New York: Cambridge University Press. Rogers, Everett M. (1994). A History of Communication Study: A Biographical Approach. New York: The Free Press. Simon, Phil. (2013). The Edge of the Platform: How Amazon, Apple, Facebook, and Google Have Redefined Business. Nevada: Motion Publishing. Simonson, Peter, & David W. Park (Editors). (2016). The International Story of Communication Study. New York: Routledge. Walther, Joseph B. (2015). “Overattribution of Liking in ComputerMediated Communication: Partners Infer the Results of Their Own Influence as Their Partners’ Affection”. Communication Research, https://doi.org/10.1177%2F0093650214565898, 43, 372-390. Whitty M. (2002). “Liar, liar! An Examination of How Open, Supportive and Honest People are in Chat Rooms”. Computer in Human Behaviour, http://dx.doi.org/10.1016/S0747-5632(01)00059-0, 18, 343-352. Whitty M., & Gavin J. (2001). “Age/Sex/Location: Uncovering the Social Cues in the Development of Online Relationships”. CyberPsychology and Behaviour, https://psycnet.apa.org/ doi/10.1089/109493101753235223, 4, 623-630. Wyatt, Sally, Flis Henwood, Nod Miller, Peter Senker. (Editors). (2019). Technology and In/Equality: Questioning the Information Society. New York: Routledge.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 21 ]
JOURNALISM: DARI FAKTA MENUJU IDEALISME NILAI Bagian ini mengulas tentang dinamika jurnalisme di Indonesia berdasarkan beragam fakta yang terjadi. Kemunculan beragam permasalahan jurnalistik pada dasarnya dipicu oleh fenomena pluralisme, sentimen negatif, kepentingan politis jangka pendek, ujaran kebencian, fake news, dan beragam anasir lain bernuansa SARA dan stereotyping ala Indonesia. Terdapat empat tulisan yang mencoba mengurai beragam fenomena tersebut dengan orientasi normatif atas posisi, peran, dan praktik jurnalistik di Indonesia.
BAB 2 Keberagaman Media dan Pers Era Digital: Pluralisme Agonistik sebagai Perspektif Gilang Desti Parahita Pengantar
H
adirnya sistem media yang terdiversifikasi dan plural mencerminkan prasyarat dasar bagi suatu rezim politik untuk disebut demokratik. Keberagaman perspektif pada ruang publik dibutuhkan warga untuk menelaah urusan-urusan bersama. Meski begitu, sejumlah kajian menunjukkan pada negara-negara demokrasi matang sekalipun muncul perbedaan kualitas maupun pendekatan terhadap pluralisme media.1 Pada konteks Indonesia, selain kebebasan pers yang masih terancam (Parahita & Ahmad, 2019; Abrar, 2020), dan kualitas berita online yang perlu ditakar ulang (Parahita, 2017), keberagaman media dan pers justru mengalami pelemahan (Nugroho, Siregar, & Laksmi, 2012). Diskusi keberagaman media dan pers era digital pada kancah akademik global saat ini masih terus berkembang. Sejumlah sarjana berupaya menempatkan perspektif keberagaman pada konteks media digital, menafsirkan ulang makna keberagaman (diversity) dan pluralisme (pluralisme), dan menawarkan perspektif agonistik untuk memandang ruang publik digital alih-alih deliberatif. Bab ini membahas perspektif keberagaman pada media digital, memetakan diskusi keberagaman dan pluralisme, serta mencoba menerapkan perspektif agonistik untuk mencermati ruang publik digital.
1
Faktor-faktor kontingen seperti Berlusconi di Italia dan struktural seperti sistem media pada masing-masing negara turut mempengaruhi kualitas pluralisme media (Ciaglia, 2013). Humprecht & Büchel (2020) menunjukkan bahwa perbedaan pluralisme berita pada sejumlah media online di Amerika Serikat dan lima negara di Eropa berhubungan dengan faktor-faktor makro (relevansi berita dan model sistem media), dan meso (organisasi). Cuilenburg (2007) menunjukkan perbedaan Amerika dan Eropa dalam memandang keberagaman. Amerika menekankan pada kebebasan komunikasi dan pluralisme media berita. Sebaliknya, negara-negara Eropa mengutamakan akses warga pada informasi plural dengan maksud menyediakan informasi penuh tentang kejadian-kejadian, opini-opini dan kelompok-kelompok di masyarakat.
[ 24 ]
Media Digital dan Pluralisme Pluralisme media dan pers pada era digital dan post-truth masih hangat dibincangkan secara akademik. Pajanan selektif dan beredarnya disinformasi pada lingkungan berita digital global maupun di Indonesia (Parahita, 2018) justru mengungkit kembali signifikansi konsep keberagaman media dan berita pada perdebatan akademik. Tingginya penetrasi media dan berita digital yang melahirkan fragmentasi dan duplikasi audiens memicu riset-riset mengenai sejauh mana audiens terpapar konten secara beragam, baik melalui mekanisme tekno-algoritma maupun dari perilaku audiens itu sendiri (Bodó et al., 2019; Fletcher & Nielsen, 2017; Yom-Tom, Dumais, Guo, 2014; van der Wurff, 2011; Carpenter, 2008). Keberagaman yang dikonsumsi (consumed diversity/diversity as received) berbeda dari keberagaman yang ditawarkan (offered diversity/diversity as sent) (Napoli, 2011). Banjir informasi digital pada sistem komputasi berjejaring menimbulkan ketegangan antara redundansi dan pluralisme informasi (Marty, Smyrnaios, Rebillard, 2011). Meski sebuah riset menemukan jurnalisme online berkonten lebih beragam daripada legacy media (Carpenter, 2010), ketiadaan model bisnis yang berkelanjutan untuk mendukung digital first berimplikasi pada pendaurulangan berita dan menurunnya keberagaman konten (Hendrickx, 2020). Riset-riset pada sejumlah negara di Eropa, Inggris dan Amerika justru menunjukkan bahwa keberagaman pada pers online justru rendah (Humprecht & Esser, 2018) sementara surat kabar justru menunjukkan peningkatan keberagaman konten (Beckers et al., 2017). Di tengah berkembangnya kajian mengenai pluralisme pada ruang media digital tersebut, sejumlah sarjana mencoba memetakan dan menafsirkan ulang pengertian keberagaman media dan pers. Hendrickx, Ballon, & Ranaivoson (2020) menawarkan model keberagaman pers (news diversity) dengan menyertakan level mikro, meso, dan makro.2 Ketiganya (2020:3) menggunakan istilah diversity daripada pluralism. Sebab, diversity dapat didekati dengan beragam perspektif. Banyak artikel akademik tentang diversity tidak menawarkan kontribusi teoretik baru, hanya 2
Mereka melacak lebih dari 200 artikel jurnal sejak tahun 2000 yang menyebut kata kunci news diversity dan news pluralism lalu memilih 60-an artikel untuk ditinjau.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 25 ]
pemodelan berdasarkan situasi kontingen terkini. Dari pelacakan tersebut, Hendrickx, Ballon & Ranaivoson (2020:11), menilai keberagaman pers dapat dimaknai melalui lima dimensi, yaitu keberagaman kepemilikan (struktur dan perusahaan-perusahaan), keberagaman produksi (jurnalis dan kerja-kerja rutin jurnalistik), keberagaman konten (luaran), keberagaman merek (label media individual) dan keberagaman konsumsi (konsumen).3 Berbeda dari Hendrickx, Ballon & Ranaivoson (2020), kajian pustaka Joris, et.al. (2020) mengakui adanya kemungkinan perbedaan makna antara diversity dan pluralism sebagaimana yang dituturkan oleh Karppinen (2007, 2008) dan Raeijmaekers & Maeseele (2015). Kajian pustaka tersebut turut menunjukkan sejumlah temuan masalah.4 Meski konseptualisasi atas keberagaman media dan pers tersebut bermacammacam, upaya mengevaluasi keberagaman itu mengalami kekurangan standar normatif (Joris et al., 2020). Menurut Joris et al. (2002: 1907), pertanyaan fundamental yang perlu dijawab di masa depan adalah bagaimana keberagaman media berita sebaiknya secara ideal beroperasi dalam masyarakat demokratik. Pertanyaan fundamental tersebut sebetulnya pernah dijawab oleh Raeijmaekers & Maeseele (2015). Metafora-metafora seperti “marketplace of ideas” atau “public forums” kerap menjadi benchmark dan jargon demokratik. Namun perspektif pluralisme di balik jargon-jargon tersebut secara umum tidak cukup spesifik. Raeijmaekers & Maeseele (2015) lantas menawarkan empat pendekatan pluralisme media berdasarkan tiga peran dan praktik media pada masyarakat demokratik yaitu model liberal, deliberatif, dan agonistik. Keempat pendekatan dihasilkan dari garis pemisah konseptual diversity/pluralism dan garis normatif critical/ affirmative. Pendekatan-pendekatan itu adalah keberagaman afirmatif, pluralisme afirmatif, keberagaman kritis dan pluralisme kritis.5 Pluralisme media ditafsirkan sebagai keberagaman afirmatif (affirmative diversity) apabila media dipandang sebagai “cermin dari 3 4 5
Kelimanya berhubungan satu sama lain dan keberagaman produksi menjadi titik tengah/krusial dari kelima elemen tersebut. Mereka memeriksa lebih dari 800 artikel ilmiah yang terbit di EBSO, Proquest dan Web of Science. Garis afirmatif/kritis berangkat dari asumsi berbeda tentang demokrasi dan peran media. Pada perspektif afirmatif, heterogenitas pada demokrasi didorong menjadi konsensus publik (melalui media). Perspektif afirmatif terkandung dalam perspektif liberal dan deliberatif. Sedangkan perspektif kritis tidak meyakini terciptanya harmoni dan konsensus publik pada demokrasi sebab masyarakat itu sendiri ditandai oleh konflik dan relasi kuasa asimetris. Diversity dimaknai sebagai keberagaman pada level empiris termasuk apa yang diliput sedangkan pluralism pada level ideologis yang juga mencakup bagaimana sesuatu diliput (Raeijmaekers & Maeseele, 2015:1047–1050).
[ 26 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
masyarakat” dan “pasar ide-ide” (the marketplace of ideas) (Raejimaekers & Maeseele, 2015:1053). Pendekatan ini mengasumsikan praktik ideal media yaitu memastikan representasi mimetik terhadap keberagaman sosial. Praktik media dievaluasi dari sisi panduan profesional atas objektivitas, keberimbangan, dan imparsialitas, juga responsif terhadap pasar. Sementara itu, pluralisme media dimaknai sebagai pluralism afirmatif (affirmative pluralism) manakala media menjadi forum publik. Gagasan itu dilahirkan dari pandangan demokrasi sebagai deliberasi. Media tidak hanya diharapkan untuk mentransmisikan keberagaman sosial, melain memainkan peran pada formasi identitas secara diskursif (Raejimaekers & Maeseele, ibid.). Keberagaman media sebagai keberagaman kritis (critical diversity) meletakkan media sebagai industri budaya dan merepresentasikan keberagaman sosial yang sudah ada sebelumnya. Namun pendekatan keberagaman media meyakini bahwa masyarakat ditandai dengan ketidaksetaraan terutama ekonomi maupun hambatan-hambatan struktural yang berpengaruh pada representasi media (Raejimakekers & Maeseele, ibid). Pendekatan pluralisme kritis (critical pluralism) memandang media sebagai situs pertarungan cara pandang ideologis yang beragam sebab masyarakat itu sendiri ditandai dengan ideologi hegemonik yang direproduksi atau dilawan melalui representasi media (Raejimaekers & Maseele, 2015:1054). Perhatian utama pendekatan ini adalah konflik ideologis, kontestasi dan perbedaan alih-alih konsensus dan rasionalitas. Dari keempat pendekatan tersebut, Raeijmaekers & Maeseele (2015) memandang bahwa pendekatan pluralisme-kritis mampu mengevaluasi wacana publik dan wacana media tak sekadar dari apa yang tampak di media, melainkan juga ketidaksetaraan yang terjadi pada struktur media maupun di masyarakat. Pendekatan itu juga mendukung hadirnya debat demokratis hingga ke taraf pengakuan terhadap disensus maupun pilihan-pilihan yang berbeda. Pada pendekatan pluralisme-kritis, media tidak dilihat sebagai solusi dan penetral konflik ideologis, melainkan media sebagai representasi terdistorsi atas keberagaman masyarakat itu sendiri. Pemetaan keempat pendekatan dan kesimpulan Raeijmaekers & Maeseele (2015) tersebut pernah didiskusikan oleh Karppinen (2007, 2008). Selain menunjukkan sejumlah dilema, ambiguitas dan paradoks dari Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 27 ]
konsep pluralisme media dan pers, Karppinen (2007, 2008) secara khusus menggarisbawahi dominasi perspektif liberal dan deliberasi Habermasian pada diskusi tentang keberagaman media sementara perspektif radikalplural Chantal Mouffe kurang mendapat perhatian.
Pluralisme Naif, Konsensual, dan Agonistik Kritik Karppinen (2007, 2008) terhadap jargon pluralisme media bermula dari pengamatannya pada penyusunan kebijakan media di Eropa. Kritiknya bertolak dari perspektif radikal-pluralis Chantal Mouffe terutama “pluralisme agonistik” untuk mencermati konsep deliberasi pada demokrasi. Menurutnya, perdebatan terkait pluralisme media di Eropa tersebut paling sering melewatkan dua sisi. Pertama, sisi sejauh mana wacana keberagaman itu telah cukup inklusif dan kedua, sisi relasi kuasa yang asimetris pada ruang publik kontemporer (Karppinen, 2008: 28). Ia berpendapat kedua titik buta itu disebabkan perspektif liberal dan deliberasi untuk memandang keberagaman berkembang dominan dalam penyusunan kebijakan media di Eropa. Keberagaman yang ditawarkan oleh liberalisme media dan pers melalui kompetisi pasar bebas dan pilihan (competition of free market and choice) adalah keberagaman yang naif (Karppinen, 2007a). Model pasar itu mengasumsikan adanya kompetisi bebas dan kuasa konsumen untuk memilih konten dan perspektif. Namun liberalisasi tidak serta-merta meluaskan kebebasan memilih dan otonomi individual sebab transformasi itu nyatanya hanya mengubah warga yang politis menjadi sekadar konsumen (Karppinen, 2007a). Penyamaan simplistis antara keberagaman media menjadi kompetisi pasar dan kebebasan memilih mengabaikan relasi kuasa yang lebih luas di mana media itu hidup. Lebih daripada itu, free marketplace of ideas yang tampak mengatur diri sendiri dan menjadi mediator spontan sebetulnya institusi yang dirancang secara politis. Pasar juga menerapkan kriteria pra-seleksi yang membatasi ragam pilihan publik (Karppinen, 2007a:17). Selain itu, pendekatan-pendekatan empiris keberagaman (diversity) hanya selalu melihat pluralisme dan keberagaman dalam pengertian menyediakan beragam pilihan bagi audiens, jarang yang mencermati sejauh mana perbedaan-perbedaan terrefleksikan secara [ 28 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
proporsional di media dan pers, dan ketimpangan akses terhadap beragam pandangan politik (Karppinen, 2007a:14). Model pluralisme pasar itu dikritik oleh penganut perspektif neoHabermasian. Mereka menekankan pentingnya ranah publik untuk menerapkan “pluralisme berprinsip” yaitu melayani seluruh anggota masyarakat termasuk keberagaman pandangan politik maupun nilai-nilai budaya. Dalam perspektif demokrasi deliberatif, peran ranah publik dan media dikonseptualisasikan sebagai penggunaan penalaran pada ruang publik oleh para anggota warga yang bebas dan setara (Karppinen, 2008:32). Pendekatan ranah publik Habermasian itu kerap menjadi tulang punggung pada perdebatan tentang struktur dan kebijakan media, terutama untuk membela siaran layanan publik. Ranah publik Habermasian mengandaikan adanya deliberasi yang rasional dan kritis, serta bebas dari pengaruh kepentingan negara dan korporasi, inklusif, dan ditujukan untuk pemahaman dan kesepakatan. Namun meski konsep tersebut mengaku memberikan ruang bagi perbedaan ternyata gagal untuk menteorisasikan pluralisme secara cukup bahkan cenderung mempertahankan status quo dan ketidaksetaraan (Karppinen, ibid.). Konsep konsensus rasional Habermas mengabaikan kedalaman pluralisme sosietal dan karakter mendasar konflik-konflik kepentingan. Konsep itu juga terlalu idealis, tidak realistis dan akademik, serta berbasis pada kriteria rasionalitas yang universal dan sentralistis. Sebagai jalan tengah antara pluralisme naif dari perspektif liberalisme media, dan pluralisme konsensual yang eksklusif ala Habermasian, Karppinen (2007a, 2007b, 2008) lantas menawarkan perspektif pluralisme radikal dari Chantal Mouffe. Pendekatan plural-radikal menolak esensialisme yang mendominasi interpretasi liberalis terhadap pluralisme, dan mengakui bahwa identitas tidak pernah tetap dan selalu berkontestasi. Dimensi afektif kerap mampu memobilisasi identifikasi dan gairah kolektif pada tataran politik—alih-alih dimensi rasio, dan menyadari adanya bentuk-bentuk eksklusi maupun ketimpangan relasi kuasa (Karppinen, 2008: 33–34). Agonisme merupakan suatu bentuk hubungan baik antara pihak-pihak yang bertentangan. Konflik-konflik yang terjadi pada relasi agonistik justru dapat mendorong kemajuan suatu masyarakat. Karppinen memandang bahwa pendekatan radikal pluralis itu bermanfaat untuk Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 29 ]
mengenali sisi kuasa, eksklusi dan kontrol yang inheren pada semua konsepsi ruang publik (Karppinen, 2008: 37). Relasi-relasi kuasa secara struktural membatasi pilihan-pilihan warga atas media dan berbagai macam hal dan melahirkan wacana-wacana hegemonik (Karppinen, 2007b: 506). Oleh karena itu, reformasi struktural lanskap media dan perluasan akses terhadap media pada kelompok-kelompok termarginalkan menjadi sangat urgen. Cara utamanya adalah dengan menjamin proses-proses politik dan representasi sosial pada proses pengabsahan kebijakan-kebijakan media turut melibatkan kelompok-kelompok termarjinalkan (Karppinen, 2007a: 16).
Ruang Publik Pluralis Agonistik Chantal Mouffe mengasumsikan bahwa masyarakat tercipta secara konfliktual dan antagonistik. Teori yang disebut pluralismeradikal-agonistik itu menyatakan bahwa demokrasi radikal bertujuan untuk mengubah antagonisme (konflik antarmusuh) menjadi agonisme (hubungan-hubungan baik antar pihak-pihak bertentangan) (Bond, 2011: 166).6 Prinsip agonistik bersandar pada komitmen prinsip-prinsip demokratik yaitu kebebasan dan kesetaraan. Menurut Mouffe—melawan pandangan Habermasian—konsensus penuh itu tidak mungkin tercipta tanpa melalui konflik dan adanya komitmen terhadap kebebasan dan kesetaraan sebagai etik-politik. Perspektif tersebut disebut sebagai radikalplural. Perspektif radikal-plural tidak meyakini adanya publik dan ranah publik yang rasional dan mendambakan konsensus. Universalisme yang menjadi asumsi paradigma deliberasi Habermasian mengabaikan keberagaman dan ketidaksetaraan yang telah ada sebelumnya. Dalam perspektif radikal-plural Mouffe, media sebagai ruang publik tidak bebas dari relasi kuasa. Semua ruang publik yang ada saat ini mengandung intensi politik, termasuk jurnalisme. Budarick (2018: 2413) melalui perspektif pluralisme agonistik profesionalisme menegaskan jurnalisme mengekang pluralitas sebab konsep itu bias model jurnalisme Anglo-Amerika, berperspektif 6
Asumsi Mouffe itu berbeda secara kontras dengan Jürgen Habermas yang menyebut bahwa masyarakat tercipta melalui proses pembentukan konsensus yang menyertakan diskusi rasional dan perdebatan pada kondisi-kondisi ideal tertentu (Bond, 2011). Dalam relasi agonistik, meski menjadi pihak berlawanan, saling menghormati hak-hak untuk berbicara dan didengarkan secara bersama, mengekspresikan emosi dan melindungi nilai-nilai dan sikap-sikap masing-masing terus dipelihara (Bond, 2011).
[ 30 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
putih, dan anti-kontingen. Sejumlah kajian media dan jurnalisme pada era digital menunjukkan paradigma deliberasi Habermasian tidak muncul pada ruang-ruang online, dan melihat potensi ruang publik agonistik. Meski begitu, Chantal Mouffe sendiri dalam wawancaranya bersama Nico Carpentier dan Bart Cammaerts (2006) justru tidak meyakini internet serta merta akan menjadi ruang-ruang publik (public spcaces) agonistik. Internet hanya akan menjadi ruang-ruang di mana orang-orang hanya mendengar dan berbicara dengan orang-orang yang setuju dengan mereka (Carpentier & Cammaerts, 2006: 968). Algoritma yang menyusun media sosial seperti Twitter, Facebook, YouTube dan sebagainya bersandar pada asumsi paradigma deliberasi di mana Internet merupakan agen kesetaraan, ruang debat rasional, dan memfasilitasi tumbuhnya konsensus namun kenyataannya robot, troll, hate speech banyak ditemukan di media sosial tersebut (Crawford, 2016). Alih-alih konsensus, pada lansekap komunikasi digital disensus kerap terjadi pada dialog publik di media sosial misalnya pada konteks dukungan Ben & Jerry terhadap gerakan Black Lives Matter (Ciszek & Logan, 2018). Dengan situasi tersebut, internet jelas bukanlah ruang deliberatif, akan tetapi apakah hal itu lantas menjadikan ruang-ruang publik digital berpotensi untuk menumbuhkan pluralisme agonistik? Jane (2017:468) mencoba menerapkan perspektif agonisme untuk mencermati gerakan feminis melawan #menspreading di media sosial dan menemui kesulitan untuk membedakan konflik yang produktif pada relasi agonistik (bertikai) dan yang destruktif pada relasi antagonistik (bermusuhan). Banyak sarjana menafsirkan ruang publik agonistik pada ruang publik digital secara beragam. Dengan memotret situasi Iran setelah pemilihan presiden 2009, media sosial menurut Rahimi (2011) merupakan arena agonistik di mana informasi, ide-ide, nilai-nilai, dan subjektivitas dikontestasi antara pihak-pihak berlawanan (yang tidak setara). Namun relasi pihak-pihak berlawanan itu sendiri tidak serta-merta menjadikan hubungan itu agonistik. Tong (2015) menganggap ranah publik di internet sebagai agonistik sebab emosi diekspresikan pada ruang-ruang media sosial dan berita. Berseberangan dengan Rahimi (2011) dan Tong (2015), tanpa adanya pengakuan atas perbedaan dan adanya konflik itu sendiri, respek terhadap satu sama lain, keterbukaan dan resiprositas Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 31 ]
(Connolly, 2004; Marichal & Neve, 2020), relasi antagonistik tidak bertransformasi menjadi relasi agonistik. Peredaran kabar bohong di media sosial telah melanggar kehormatan agonistik. Collins, Marichal & Neve (2020) mengusulkan algoritma wajib menerapkan nalar agonistik untuk menciptakan ruang-ruang publik yang lebih terbuka, rendah hati, dan bertimbal balik. Gelembung penyaring dan sistem rekomendasi konten merupakan kegagalan keberagaman liberal. Manipulasi teknikal semacam itu semestinya menjunjung tinggi etika peka terhadap keberagaman perspektif (Helberger, Karppinen, & D’Acunto, 2018). Alih-alih menempatkan pluralisme agonistik sebagai norma etik seperti Connolly (2004), Maeseele & Raejimakers (2020) menerjemahkan argumen-argumen Mouffe ke dalam kerangka pluralisme media agonistik. Keduanya memformulasi pluralisme media agonistik berdasarkan cakupan (aktor-aktor, preferensi), budaya ideologis outlet media, dan bentuk strategi diskursif (positioning, delegitimizing, dan denaturalizing) pada wacana media (2020: 1599-1604). Berdasarkan komponen-komponen tersebut, Maeseele & Raejimakers (2020: 1604) menilai adanya empat derajat pluralisme pada lanskap media yaitu keseragaman media (media uniformity), konformitas media (media conformity), keberagaman media (media diversity), dan pluralisme media (media pluralism). Paradigma keberagaman media cenderung mendepolitisasi, mengeksklusi pihak antagonis (mengeluarkan pihak lain dan memposisikan sebagai musuh), dan meniadakan debat politik (Maeseele & Raejimakers, ibid.). Sementara itu, pluralisme media terbangun pada wacana yang mempolitisasi warga, kontestasi yang berlangsung agonistik, dan debat politik terfasilitasi. Artinya, pluralisme media merupakan situasi di mana outlet-outlet media meyakini preferensi dan posisi ideologi yang beragam dan menampilkannya sebagaimana adanya. Media lalu mereproduksi kontestasi agonistik, dan merangsang debat yang terhormat mengenai perbedaan-perbedaan ideologis-politis terkini.
Internet, Pluralisme, dan Kebebasan Media Pada era pra-Internet, wacana pluralisme media berkutat pada kendala-kendala yang menghambat media arus utama merepresentasikan [ 32 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
keberagaman dalam konten dan programnya, kelompok minoritas dapat mengakses media, dan dukungan perlindungan terhadap keberagaman maupun kebebasan media. Kehadiran Internet dianggap dapat mengatasi hal tersebut. Akan tetapi, asumsi bahwa Internet dan semua bentuk teknologi komunikasi baru akan mendukung pluralisme dan keberagaman media barangkali terlalu optimistik. Meski “kepemilikan” media beragam, sumber-sumber informasi tumbuh secara eksponensial dan konten media semakin bervariasi, sejumlah hal masih perlu dikuatirkan. Kekhawatiran itu antar lain adanya konsentrasi kuasa media, terciptanya bentuk-bentuk baru penjaga gawang (gatekeepers), dan relasi-relasi yang tercipta pada level offline dan online. Saat ini demokrasi Indonesia semakin mengarah ke iliberalisme (Diprose, McRae, & Hadiz, 2019) dan populisme justru menguat (Hadiz & Robison, 2017). Hal itu bukan berarti perspektif pluralisme agonistik tidak sesuai untuk menilai keberagaman internal dan eksternal media di Indonesia.7 Konglomerasi dan oligarki media yang menguat di Indonesia mengakibatkan keterbatasan corak perspektif dan pluralisme pada level konten. Konsekuensi dari hal itu adalah warga mencari dan mendapatkan keberagaman konten melalui media digital baik pers maupun media sosial. Di negara Selatan semacam Indonesia di mana demokratisasi baru berjalan kurang dari 30 tahun, produksi konten lokal memang meningkat, dan sistem distribusi konten didukung oleh Internet. Namun, tantangan yang masih berlangsung terkait pluralisme media di Indonesia adalah pada level keberagaman eksternal media yaitu kapasitas untuk secara efektif mencapai audiens yang beragam, pemaknaan terhadap kebebasan media yang lebih multidimensional dan upaya menciptakan ruang publik yang pluralis-agonistik. Dengan adanya over the top companies yang menguasai arus distribusi konten digital di Indonesia seperti raksasa Google, YouTube, Facebook, Twitter, Instagram dan sebagainya, penjaga gawang konten media tak lagi hanya di kalangan produser, jurnalis, editor, pengawas dan regulator media di Indonesia saja melainkan juga global. Ketika algoritma yang dibuat oleh over the top companies tersebut memicu terkonsentrasinya orang-orang 7
Pluralisme internal berarti bagaimana keberagaman sosial dan politik terrefleksikan pada konten media, termasuk opini-opini dan pandangan-pandangan divergen. Pluralisme eksternal mencakup seberapa banyak pemilik, perusahaan media, badan editorial independen, kanal, titel, dan program-program.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 33 ]
berkarakter serupa pada kanal dan konten yang serupa, fragmentasi user semakin tajam. Fragmentasi user yang dimaksud di sini adalah user dengan kecenderungan minat, nilai, selera, dan ideologi tertentu bertemu dengan user-user lain dengan minat serupa karena mereka dilayani oleh kanalkanal digital yang memenuhi minat, nilai, selera, dan ideologi tersebut. Misalnya, Twitter membantu terartikulasinya identitas berbasis kelompokkelompok opini secara antagonistik melalui kata kunci dan tagar. Dengan kata lain, Twitter memfasilitasi terciptanya kesetujuan dan ketidaksetujuan kelompok-kelompok terhadap isu-isu spesifik (Evolvi, 2017). Fragmentasi itu bukan berarti user tersebut tidak mengakses kanal dan konten yang nilai atau pesan terkandung berseberangan sama sekali dengan nilai dan gagasan yang diyakininya sama sekali. Di media sosial, user dapat memberikan komentar dan saling merespons satu sama lain. Namun dengan adanya fragmentasi audiens digital akibat gelembung penyaring (filter bubble), user digital semakin rentan mengalami bias golongannya sendiri dan bahkan mungkin mempercayai informasi palsu. Sehingga, ketika user mengakses kanal yang mengandung pesan bertentangan dengan keyakinannya, bukan tidak mungkin ia berdebat tanpa dasar fakta dan tidak mengandung nalar publik. Padahal untuk menciptakan masyarakat yang kohesif dan kooperatif dalam tatanan demokrasi deliberatif, nalar publik adalah prasyarat (Hanif, 2007). Kecenderungan antagonistik digital (misalnya dalam bentuk postingan mengandung kebencian terhadap kelompok minoritas) itu bukan hal yang sama sekali eksklusif di jagad maya.8 Di dunia nyata, relasi antagonistik/bermusuhan itu pun telah berlangsung lama sejak sebelum Internet hadir di tengah masyarakat Indonesia. Bahkan pada media massa, pluralisme pada akhirnya hanyalah jargon belaka sebab representasi keberagaman Indonesia di layar kaca dihegemoni oleh budaya Jawa (Pawito, 2008). Relasi antagonistik yang mungkin terjadi pada dunia nyata itu terrefleksi pada dunia digital dan begitu pula sebaliknya. Sebelum di media sosial, kampanye hitam terhadap Joko Widodo juga muncul dalam bentuk tabloid cetak Obor Rakyat yang dikelola oleh Setiyardi Budiyono pada pemilihan presiden 2014 dan hal itu menguatkan polarisasi antarcapres 8
Menurut Hanif (2007), nalar kolektif akan dianggap sebagai nalar publik (public reason) apabila memenuhi syarat: (1) penggagas adalah warga negara yang diakui setara; (2) subjek nalar adalah kemaslahatan publik (public good) dan terkait dengan keadilan fundamental; (3) isinya mencerminkan hasrat bersama tentang prinsip-prinsip ideal untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan.
[ 34 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
(Yudantiasa, 2020). Fenomena berkembangnya mitos oposisional “cebong versus kampret” yang berkembang di wacana media terutama sejak kasus penistaan agama oleh Ahok pada 2017 menunjukkan adanya relasi antagonisme di dunia nyata tersebut (Husin & Al Akbar, 2019). Kasus penistaan agama yang dialami mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) mencerminkan saling terkaitnya fragmentasi masyarakat di dunia nyata (sebagai warga negara) dan di dunia maya (sebagai user digital) (Parahita, 2018). Intoleransi yang kemudian berkembang semenjak kasus Ahok dituduh memelintir ayat Al-Qur’an membuka perdebatan publik melalui media sosial mengenai makna keberagaman pada level negara, kelompok-kelompok sosial, maupun anggota masyarakat. Jagad Twitter Indonesia pada masa kampanye pemilihan presiden 2019 lalu juga menunjukkan kecenderungan relasi antagonisme antara pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto yaitu dalam bentuk hoaks, berita palsu, propaganda, dan banyaknya akun Twitter anonim (Gusfa & Kadjuand, 2020). Sayangnya, KUHP, Undang-undang penistaan agama (UU No. 1/ PNPS/ 1965), dan UU ITE digunakan oleh kelompok-kelompok yang bertikai untuk membungkam satu sama lain (Warburton & Aspinall, 2019) sehingga keberagaman perspektif pada ruang-ruang publik digital terancam. Pada titik inilah gagasan pluralisme dan kebebasan media sesungguhnya bagaikan dua sisi mata uang. Tanpa adanya kebebasan media dan pers, pluralisme tidak akan tercipta. Kebebasan media di negaranegara Selatan tidak hanya bisa dibatasi pada kebebasan pers, melainkan multidimensional yang melibatkan audiens yaitu kebebasan akses ke media dan kebebasan merespons media (Reid, 2017). Dalam kebebasan media yang multidimensional, warga dapat mengkritik media dan pers maupun sistem komunikasi di suatu negara untuk terartikulasikannya aspirasi atas hak-hak dan keadilan dari tiap-tiap kelompok. Ketika media dan pers dapat memberi ruang pada keberagaman termasuk relasi adversarial, dan hubungan komunikasi yang saling menghormati antarkelompok beritikaian tercipta. Regulasi yang ada harus menjamin kebebasan media dari intervensi kuasa dan memastikan terciptanya pluralisme dan independensi media.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 35 ]
Penutup Pluralisme memang mengandung sejumlah paradoks, ambiguitas, dan dilema (Karppinen, 2007a, 2007b, 2008) tapi artikel ini menunjukkan bahwa alih-alih konsepsi keberagaman itu tak lagi relevan, pluralismeagonistik Mouffe bisa menjadi perspektif untuk mencermati keberagaman media dan pers era digital. Ruang-ruang publik Indonesia saat ini barangkali menunjukkan adanya pertarungan-pertarungan berbasis sentimensentimen emosional, moralitas, antara “baik dan benar”, maupun adanya distorsi representasi keberagaman. Konteks lokal Indonesia itu lantas memicu pertanyaan bagaimana media dan pers digital dapat berkontribusi pada pengelolaan konflik antagonistik menjadi agonistik pada demokrasi yang illiberal. Berefleksi dari kasus konflik Poso, dialog agonistik justru menyertakan dinamika konflik maupun aspek-aspek relasional di antara para pihak berseteru (Maddison & Diprose, 2018). Hal itu membantu proses transformasi konflik kekerasan menjadi saling memahami pengalaman dan sikap-sikap pihak lawan (the other). Pada beragam tantangan demokratik tersebut, apakah media baru dan pers Indonesia dapat memfasilitasi dan mendorong transformasi menuju relasi agonistik tersebut?
[ 36 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
DAFTAR PUSTAKA Abrar, A. N. (2020). “West Papuan journalists today: An alternative human rights perspective from Indonesia” Pacific Journalism Review: Te Koakoa, 26(1), 123-139. Beckers, K. (et.al.). (2019). “Are newspapers’ news stories becoming more alike? Media content diversity in Belgium, 1983–2013”. Journalism 2019, 20(12): 1665–1683. Bodó, B., Helberger, N., Eskens, S. & Möller, J. (2019). “Interested in diversity”. Digital Journalism, 7(2): 206-229. Bond, S. (2011). “Negotiating a ‘democratic ethos’: Moving beyond the agonistic-comunicative divide”. Planning Theory, 10(2): 161-186. DOI: 10.1177/1473095210383081. Budarick, J. (2018). “Ethnic media and counterhegemony: Agonistic pluralism, policy, and professionalism”. International Journal of Communication, 12: 2406–2420. Carpenter, S. (2008). “Source Diversity in U.S. Online Citizen Journalism and Online Newspaper Articles”. Makalah dipresentasikan di International Symposium on Online Journalism, April 5, 2008. Carpenter, S. (2010). “A study of content diversity in online citizen journalism and online newspaper articles”. New media & society, 12(7): 1064–1084. Carpentier, N. & Cammaerts, B. (2006). “Hegemony, democracy, agonism and journalism”. Journalism Studies, 7(6): 964-975. Ciaglia, A. (2013). “Pluralism of the system, pluralism in the system: Assessing the nature of media diversity in two European countries”. The International Communication Gazette, 75(4) 410–426. Ciszek, E. & Logan, N. (2018). “Challenging the dialogic promise: how Ben & Jerry’s support for Black Lives Matter fosters dissensus on social media”. Journal of Public Relations Research, 30(3): 115-127.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 37 ]
Collins, B., Marichal, J., & Neve, R. (2020). “The social media commons: Public sphere, agonism, and algorithmic obligation”. Journal of Information Technology & Politics, 17(4): 409-425. Connolly, W.E. (2004). “Response: realizing agonistic respect”. Journal of the American Academy of Religion , 72(2): 507-511, Crawford, K. (2016). “Can an Algorithm be Agonistic? Ten Scenes from Life in Calculated Publics”. Science, Technology & Human Values, 41(1): 77-9. Diprose, R., McRae, D. & Hadiz, V.R. (2019). “Two decades of reformasi in Indonesia: Its illiberal turn”. Journal of Contemporary Asia, 49(5): 691-712. Evolvi, G. (2019). “#Islamexit: inter-group antagonism on Twitter”. Information, Communication and Society, 22(3): 386-401. Fletcher, R. & Nielsen, R.K. (2017). “Are News Audiences Increasingly Fragmented? A Cross-National Comparative Analysis of CrossPlatform News Audience Fragmentation and Duplication”. Journal of Communication, 67: 476–498. Gusfa, H., Kadjuand, F.E.D. (2020). “Political agonism for Indonesian cyberpolitic: Critical cuberculture to political campaign of 2019 Indonesian presidential election in Twitter”. Nyimak Jornal of Communication, 4(2): 211-232. Hadiz, V.R., Robison, R. (2017). “Competing populisms in postauthoritarian Indonesia”. International Political Science Review, 38(4): 488–50. Hanif, H. (2007). “Antagonisme sosial, diskonsensus dan rantai ekuivalensi: Menegaskan kembali urgansi model demokrasi agonistik”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 11(1): 119-136. Helberger, N., Karppinen, K. & D’Acunto, L. (2018). “Exposure diversity as a design principle for recommender systems”. Information, Communication & Society, 21(2): 191-207. Hendrickx, J. (2020). “Trying to survive while eroding news diversity: Legacy news media’s catch-22”. Journalism Studies, 21(5): 598-614.
[ 38 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Hendrickx , J. Ballon, P. & Ranaivoson, H. (2020). “Dissecting news diversity: An integrated conceptual framework”. Journalism, 1-19. Humprecht, E. & Büchel, F. (2020). “More of the Same or Marketplace of Opinions? A Cross-National Comparison of Diversity in Online News Reporting”. The International Journal of Press/Politics, 18(4) 436–461. Humprecht, E. & Esser, F. (2018). “Diversity in online news”. Journalism Studies, 19(12): 1825-1847. Husin, L.H. & Al Akbar, N. (2019). “Beyon the binary logic of populist articulations in 2019 Indonesian election: A Post-structuralist analysis of Sexy Killers documentary”. Central Eruopean Journal of international and Security Studies, 13(4): 411-431. Jane, E.A. (2017). “‘Dude … stop the spread’: antagonism, agonism, and #manspreading on social media”. International Journal of Cultural Studies, 20(5): 459–475. Joris G., De Grove, F., Van Damme, K. & Marez, L.D. (2020). “News diversity reconsidered: A systematic literature review unraveling the diversity in conceptualizations”. Journalism Studies, 21:13, 18931912, DOI: 10.1080/1461670X.2020.1797527 Karppinen, K. (2007a). “Making a difference to media pluralism: a critique of the pluralistic consensus in European media policy”. Dalam B. Cammaerts & N. Carpentier (eds.) Reclaiming the Media: Communicating Rights and Democratic Media Roles, Bristol UK: Intellect. Karppinen, K. (2008). “Media and paradoxes of pluralism. Dalam D. Hesmondalgh & J. Toynbee.” The Media and Social Theory, Oxon: Routledge. Karppinen, K. (2007b). “Against naïve pluralism in media politics: on the implications of the radical-pluralist approach to the public sphere”. Media, Culture & Society, 29(3): 495–508. Maddison, S. & Diproses, R. (2018). “Conflict dynmics and agonistic dialogue on historical violence: a case from Indonesia”. Third World Quarterly, 39(8):1622-1639. Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 39 ]
Maeseele, P. & Raejimaekers, D. (2020). “Nothing on the news but the establishment blues? Toward a framework of depoliticization and agonistic media pluralism”. Journalism, 21(11): 1593-1610. Marichal, J. & Neve, R. (2020). “Antagonistic bias: developing a typology of agonistic talk on Twitter using gun control networks Jose”. Online Information Review, 44(2): 343-363. Marty, E., Smyrnaios, N., Rebillard, F. (2011). “A Multifaceted study of online news diversity: issues and methods”. Dalam R. Salaverria (ed.), Diversity of Journalism, prosiding di ECREA Journalism Studies Section and 26th CICOM di Universitas Navarra, Pamplona, 4-5 Juli 2011. Napoli, P. (2011). “Exposure diversity reconsidered”. Journal of Information Policy, 1:246-259. Nugroho, Y., Siregar, M.F., & Laksmi, S. (2012). “Memetakan Kebijakan Media di Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia)”. Laporan. Bermedia, Memberdayakan Masyarakat: Memahami kebijakan dan tatakelola media di Indonesia melalui kacamata hak warga negara. Kerjasama riset antara Centre for Innovation Policy and Governance dan HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara, didanai oleh Ford Foundation. Jakarta: CIPG dan HIVOS. Parahita, G.D. & Ahmad, N. (2019). “What dampen the Indonesian’s Journalist Freedom and Safeness in the Post-Soeharto New Order?”. In S. Jamil (Ed.), Handbook of Research on Combating Threats to Media Freedom and Journalist Safety. IGI Global. Parahita, G.D. (2018). “Voters (Dis)-Believing Digital Political Disinformation in Gubernatorial Election of DKI Jakarta 2016-2017”. JSP, 22(2): 127-143. Parahita, G.D. (2017). “Melacak Wacana ‘Jurnalisme Publik’ Indonesia”. Dalam K. Ambardi, G.D. Parahita, L. Lindawati, A.W. Sukarno, Kualitas Jurnalisme Publik di Media Online: Kasus Indonesia. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Pawito. (2008). “Media massa dalam masyarakat pluralis”. Jurnal Ilmu Komunikasi, 6(2): 72-77. [ 40 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Raeijmaekers, D. & Maeseele, P. (2015). “Media, pluralism and democracy: what’s in a name?”. Media, Culture & Society, 37(7): 1042–105. Rahimi, B. (2011). “The agonistic social media: Cyberspace in the formation of dissent and consolidation of state power in postelection Iran”. The Communication Review, 14(3): 158-178. Reid, J. (2017). “Counter-mythologising “media freedom”: including the audience in media freedom discourses and a new normative position for the global south”. Communicatio, 43(2): 79-42. Tong, J. (2015). “The formation of an agonistic public sphere: emotions, the Internet and news media in China”. China Information, 29(3): 333-351. van Cuilenburg, J. (2007). “Media diversity, competition and concentration: Concepts and theories”. Dalam E.d. Bens, Media Between Culture and Commerce, Bristol: Intellect, hal. 25-54. van der Wurff, R. (2011). “Do audiences receive diverse ideas from news media? Exposure to a variety of news media and personal characteristics as determinants of diversity as received”. European Journal of Communication, 26(4): 328–342. Warburton, E. & Aspinall, E. (2019). “Explaining Indonesia’s democratic regression”. Contemporary Southeast Asia, 41(2): 255-285. Yom-Tov,E., Dumais, S. & Guo, Q. (2014). "Promoting civil discourse through search engine diversity". Social Science Computer Review, 32 (2): 145–154. Yudantiasa, R. (2020). “The face of Islam post-presidential election 2019: Democracy and the challenge of dialog”. Dialog, 43(2):265:274.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 41 ]
BAB 3 Memahami Berita dan Kekacauan Informasi: Urgensi Literasi Berita untuk Pengajaran Media dan Jurnalisme Novi Kurnia Pengantar
P
ada dasarnya berita adalah informasi mengenai peristiwa terkini yang bersifat faktual yang disampaikan dalam berbagai bentuk media seperti media cetak, radio, televisi maupun media daring. Namun demikian, dalam masyarakat digital dengan perputaran informasi yang bergerak sangat cepat dan volume informasi yang sangat besar, berita kemudian diredefinisikan. Berita bisa dianggap sebagai partisipasi yang melibatkan banyak pemain dalam suatu lingkungan dari informasi, pengaruh, akses, dan sirkulasi yang dibuat bersama (Fry, 2016). Hal ini bisa dipahami karena beragam informasi bergulir di beragam platform yang sumbernya bisa dari media maupun bukan media (Nee, 2019). Dalam kondisi seperti ini, setiap orang bisa menjadi prosumer yakni produsen sekaligus konsumen informasi yang berpartisipasi dalam proses kreatif produksi informasi dan konten media (Muratova, Grizzle, & Mirzhakmedova 2019; Seizov, 2016). Pengguna media bisa memproduksi pesan sendiri tanpa harus menjadi jurnalis dan tanpa harus mempunyai media (Eleton, 2018). Konsekuensinya, pengguna media digital mempunyai tantangan untuk membedakan mana informasi yang benar maupun yang tidak. Selain itu, kebenaran dari institusi yang dipercaya, yakni media yang memproduksi informasi berdasarkan kaidah jurnalistiknya, kini mulai diragukan (Eleton, 2018). Kebenaran kemudian menjadi milik siapa yang memproduksi informasi dan atau siapa yang memercayainya. Pemahaman masyarakat mengenai berita kemudian mengalami perubahan.
[ 42 ]
Istilah berita palsu (fake news) kemudian muncul di tengah-tengah banjirnya informasi yang dipermudah dengan hadirnya berbagai platform media daring dan media sosial. Secara sederhana, berita palsu ini dikatakan sebagai informasi yang secara sengaja diproduksi untuk menyesatkan masyarakat, misalnya saja dengan melakukan editing foto dan atau menampilkan data statistik yang menyesatkan (Farmer, 2019), maupun menciptakan kebohongan melalui kata dan angka (Janke & Cooper, 2017). Berita palsu ini dianggap sebagai salah satu bentuk misinformasi yang diproduksi atas dasar kesengajaan dengan tujuan untuk menyesatkan, mengajak bercanda tapi keterlaluan, memunculkan kepercayaan yang berlebihan, hingga memperoleh kuasa untuk memengaruhi orang lain maupun mendapatkan keuntungan material (Farmer, 2019). Definisi mengenai berita palsu ini ditentang oleh Ireton dan Posetti (2018) yang menyatakan bahwa istilah fake news tidak tepat. Pasalnya, istilah berita mempunyai makna informasi yang diperoleh dengan proses yang teruji serta dibuat untuk kepentingan umum berdasarkan kaidah jurnalistik. Dengan begitu, Ireton dan Posetti (2018) berargumentasi bahwa penggunaan istilah berita palsu jadi salah kaprah karena merendahkan kredibilitas berita yang sesungguhnya. Salah kaprah penggunaan istilah berita palsu ini kemudian diluruskan dengan pendefinisian berbagai bentuk kekacauan informasi (information disorder) yang terbagi atas misinformasi, disinformasi, dan malinformasi (Wardle & Derakhshan, 2017). Dalam dunia yang sarat dengan kekacauan informasi inilah, sangat penting peran pengajar media dan jurnalisme untuk mengembangkan pengajaran yang efektif supaya peserta didik mampu menavigasi keberlimpahan informasi sekaligus mampu membedakan fakta yang dapat diandalkan dan pengetahuan dari persoalan kekacauan informasi (Kajimoto, 2016). Oleh karena itu, bab yang ditulis berdasarkan studi pustaka ini akan mengelaborasi arti penting literasi berita dalam pengajaran media dan jurnalisme sehingga calon jurnalis dan praktisi media mampu mengambil peran penting dalam melawan kekacauan informasi kelak saat mereka menjadi jurnalis dan praktisi media yang profesional.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 43 ]
Kekacauan Informasi sebagai Tantangan Jurnalisme di era Digital Dalam era pasca kebenaran ini saat nyaris pengguna media digital bisa menjadi produsen sekaligus konsumen, informasi menjadi sangat berlimpah sehingga muncul kekacauan informasi yang mempunyai beragam bentuk sebagaimana digambarkan dalam Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Kekacauan Informasi.
(Sumber: Wardle dan Derakhsan, 2017:5) Ketiga bentuk kekacauan informasi tersebut menurut Wardle & Derakhsan (2017) adalah: misinformasi (mis-information), dis-informasi (di-sinformation), dan malinformasi (mal-information). Mis-informasi (misinformasi) yakni informasi yang salah yang disebarkan oleh orang yang memercayainya sebagai hal yang benar. Dis-informasi (disinformasi) adalah informasi yang salah yang dengan sengaja disebarkan oleh orang yang paham dan mengetahui bahwa informasi tersebut salah. Dalam bahasa lain, disinformasi bisa dikatakan sebagai kebohongan yang disengaja dan biasanya didesain oleh orang yang memang bertujuan tidak baik. Mal-informasi (malinformasi) yang merupakan informasi yang sebenarnya adalah realitas namun dimanfaatkan untuk kepentingan salah satu kelompok orang yang merugikan kelompok [ 44 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
lainnya. Misalnya saja informasi yang melanggar privasi seseorang tanpa ada relevansinya dengan kepentingan publik. Sekilas ketiga jenis ini dianggap sama, bahkan dalam bahasa seharihari di Indonesia, ketiga konsep ini sering disamakan dengan istilah umum yakni hoaks karena sama-sama menimbulkan konsekuensi yang nyaris mirip satu sama lain: merusak proses demokrasi dalam menyampaikan informasi di dalam masyarakat. Kekacauan informasi—baik berupa misinformasi, disinformasi dan malinformasi—dianggap hadir dalam masyarakat sebagai efek kehadiran media sosial karena beberapa alasan (Eleton, 2018). Pertama, media sosial memunculkan ruang gema, polarisasi dan partisipasi yang berlebihan. Kedua, media sosial memungkinkan terciptanya legitimasi masyarakat berdasarkan popularitas. Ketiga, media sosial membuka peluang munculnya manipulasi informasi oleh pemimpin populis, pemerintah maupun aktor ekstrem. Keempat, peluang untuk pengambilan data pribadi terbuka lebar. Kelima, terdisrupsinya ruang publik. Dalam kondisi seperti inilah jurnalisme yang dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi mendapat tantangan yang besar karena harus berebut perhatian warga digital yang tak hanya mencari informasi dari media melainkan juga dari media sosial dan berbagai platform lainnya. Informasi yang kadang berupa kekacauan informasi inilah yang kemudian sering ditemukan. Padahal kekacauan informasi berbeda dari jurnalisme yang menjaga kualitas berita sebagai produk yang memenuhi standar dan etika jurnalistik (Ireton & Posetti, 2018). Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat pula praktik jurnalisme yang buruk dengan cek fakta dan proses keredaksian yang kurang optimal sehingga tidak bisa disamakan dengan kekacauan informasi (Ireton & Posetti, 2018). Untuk mempunyai keterampilan mengenali kekacauan informasi maupun menyaring produk jurnalisme yang buruk inilah, literasi berita dibutuhkan agar masyarakat, terutama calon jurnalis dan praktisi media, mendapat pengetahuan dan kompetensi yang memadai sebagai aktor-aktor penting dalam masyarakat informasi di masa depan.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 45 ]
Dari Literasi Media, Literasi Digital ke Literasi Berita Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam era pasca kebenaran, kekacauan informasi dalam beragam bentuk bisa ditemukan di setiap platform yang ada. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk melengkapi pengguna media digital dengan kemampuan literasi, baik literasi media literasi digital, maupun literasi berita. Ragam literasi inilah yang akan membantu pengguna media digital untuk bisa membedakan mana informasi yang benar mana yang tidak dalam era pascakebenaran seperti sekarang ini (Jones-Jang dkk., 2019). Konsep literasi media pada dasarnya adalah kecakapan pengguna media dalam mengelola informasi yang ditemukan dalam media maupun dari luar media yakni dari kehidupan sehari-hari. Pengguna media yang aktif adalah mereka yang memperhatikan dengan waspada terhadap informasi yang diterima dan secara sadar berinteraksi dengan informasi tersebut (Potter, 2014). Pengguna media yang waspada dan sadar idealnya mempunyai tujuh kecakapan media dalam memilah informasi yang tersedia di media (Potter, 2004). Pertama, analisis, yaitu kecakapan dalam memilah sebuah pesan media ke dalam elemen-elemen yang bermakna. Kedua, evaluasi, yaitu kecakapan menentukan nilai pada suatu elemen pesan media. Penilaian tersebut dibuat dengan membandingkan berbagai elemen dalam beberapa kriteria. Ketiga, kecakapan mengelompokkan, yaitu menentukan mana elemen-elemen yang mirip dan berbeda dengan kriteria tertentu. Keempat, induksi, yaitu kecakapan dalam memahami pola dalam seperangkat elemen kemudian menggeneralisasi pola pada seperangkat elemen yang lebih makro. Kelima, deduksi, yaitu kemampuan menggunakan prinsipprinsip umum untuk menjelaskan hal-hal yang khusus. Keenam, sintesis, yaitu kecakapan memahami elemen-elemen dalam pesan media kemudian menyatukannya kembali ke dalam struktur yang baru. Ketujuh, abstraksi, yaitu kecakapan menciptakan deskripsi singkat, jelas, dan akurat yang merupakan tangkapan esensi dari pesan media ke dalam sejumlah kata atau kalimat. Dalam masyarakat modern saat internet menjadi media baru yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, literasi media kemudian [ 46 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
berkembang menjadi literasi digital. Konsep dan praktik literasi digital ini muncul karena ada kebutuhan akan pemahaman dan agensi penggunanya sebab teknologi hanyalah alat semata yang tidak menentukan bagaimana pengguna internet harus bertindak (Kurnia dkk., 2020; Koltay, 2011). Penggunaan istilah literasi sendiri sebenarnya mengandung arti yang jamak, sebab dengan meningkatnya penggunaan media konvergensi maka makna literasi juga meliputi serangkaian bentuk komunikasi dan media kontemporer (Buckingham, 2006). Tak heran jika dalam konsep dan praktik literasi media, muncul konsep literasi digital yang menekankan pada media digital sebagai tempat ditemukan beragam jenis informasi (Kurnia dkk., 2018). Selain itu muncul pula konsep literasi berita yang memfokuskan pada jenis informasi yang berupa berita. Fokus literasi media dan literasi berita tentulah tidak sama. Literasi media memberikan pengetahuan dan keterampilan untuk berpikir kritis tentang produksi dan efek segala jenis konten media (Bowe, 2019). Sedangkan literasi berita fokus pada beberapa hal. Pertama, proses membangun pemahaman aspek praktis dan legal jurnalisme yang memengaruhi konten media untuk mendorong keterlibatan dan kesadaran masyarakat sipil atas kejadian-kejadian terkini (Fleming, 2014). Kedua, proses khalayak mengonsumsi berita (Spike & Haque, 2015). Ketiga, proses memproduksi pengetahuan maupun motivasi untuk melakukan identifikasi serta terlibat dengan jurnalisme (Maks, Ashley & Craft, 2015). Dalam kaitannya dengan keterampilan menavigasi kualitas informasi, literasi berita juga bisa diartikan sebagai kemampuan untuk membedakan berita yang sesungguhnya dengan informasi yang menyerupai berita (Craft, 2016). Berita yang sesungguhnya dengan kaidah dan etika jurnalistik, sementara informasi yang menyerupai berita bukanlah produk jurnalistik karena tidak melibatkan proses penyaringan, cek fakta maupun pertimbangan redaksi (Bowe, 2019). Kurangnya transparansi dalam proses redaksional selama produksi konten daring ini membuat keterampilan literasi berita harus dikuasai secara simultan dan karenanya literasi berita menjadi lebih penting tapi sekaligus lebih rumit (Bowe, 2019).Farmer (2019) mengungkapkan beberapa alasan mengapa literasi berita menjadi persoalan penting dewasa ini. Pertama, kepercayaan masyarakat terhadap media arus Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 47 ]
utama berkurang karena beragam media sering menyajikan perspektif yang berbeda. Kedua, kehadiran media dan jejaring sosial memungkinkan setiap orang setiap harinya untuk berkontribusi pada perputaran berita. Media sosial kemudian memberikan tantangan yang cukup tinggi untuk media arus utama dengan kemudahan sosial media: sedikit proses penjagaan gerbang, biaya yang lebih murah namun kemampuan untuk menyampaikan informasi sangat cepat. Ketiga, kebiasaan verifikasi dan analisis informasi masyarakat yang cenderung rendah. Alasan lain yang bisa ditambahkan adalah argumen bahwa literasi berita merupakan keterampilan seumur hidup (Farmer, 2019). Dengan demikian sangat penting untuk memberikan bekal pemahaman dan keterampilan mengenai literasi berita pada peserta didik sebagai calon jurnalis dan calon pekerja media di Indonesia.
Pengajaran Literasi Media dan Literasi Berita Di Amerika, literasi berita adalah topik penting dalam pendidikan media dan jurnalisme maupun pendidikan seni liberal (liberal arts) (Bowe, 2019; Fleming, 2014). Meskipun begitu, literasi berita seringkali tidak menjadi subjek pengajaran tersendiri namun menjadi bagian dari subjek pengajaran literasi media. Demikian juga halnya di Indonesia di mana literasi berita bahkan jarang didiskusikan secara tersendiri karena literasi media dan literasi digital lebih populer sebagai subjek kajian dan pengajaran baik sebagai mata kuliah tersendiri atau menjadi bagian dari mata kuliah lain. Meski belum banyak mendapatkan perhatian, pengajaran literasi media pada dasarnya penting terutama untuk membantu siswa mengembangkan pemahaman yang lebih terinformasi dan kritis terhadap keberadaan dan pengaruh media massa (Fleming, 2014). Namun demikian, hal terpenting dari pengajaran literasi media ini adalah bahwa kurikulum sebaiknya disusun dengan menolak anggapan terkait peran media yang dianggap telah mengajar siswa di luar kelas (Fleming, 2014). Hal lain yang patut ditolak adalah anggapan bahwa mengajarkan literasi media sama halnya dengan mengajarkan keterampilan kritis. Terkait hal ini, Potter (2014) berargumen bahwa literasi media bersifat multidimensional, bukan hanya terkait keterampilan kritis saja. Bagi [ 48 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Potter (2014), pengguna media akan dipengaruhi aspek kognitif, sikap, emosi, psikologi, dan perilaku sehingga kemampuan aspek-aspek ini juga perlu diperkuat. Dengan begitu, pengajaran literasi media pun sebaiknya memperhatikan seluruh aspek tersebut. Tak berbeda jauh dengan pengajaran literasi media, pengajaran literasi berita juga tergantung pada dasar-dasar teori dan tujuan instruksional pengajarnya (Fleming, 2014). Meskipun begitu, pengajaran literasi berita secara khusus tanpa menjadi bagian dari pengajaran literasi media masih dianggap relatif baru. Padahal pentingnya pengajaran literasi berita ini didasarkan pada sejumlah penelitian yang menyatakan bahwa sebagian pengguna media digital sering menemukan kesulitan membedakan berita yang dapat dipercaya (reliable news) dengan iklan, propaganda, maupun jenis informasi lainnya (Johnson dkk., 2020). Pentingnya kekhususan pengajaran literasi berita semakin menjadi kebutuhan yang mendesak karena dewasa ini masyarakat cenderung tidak bisa memilah mana yang merupakan berita dan mana yang merupakan kekacauan informasi tapi sering kali dianggap sebagai berita. Argumen lainnya adalah berita mempunyai peranan yang penting dalam demokrasi sehingga beragam institusi penyedia berita mempunyai tanggung jawab khusus untuk menjadi bagian dari ketersediaan informasi yang akurat bagi warga negara yang mengatur diri mereka sendiri (Fleming, 2014). Dengan pentingnya pengajaran literasi berita, ada banyak elemen literasi berita yang sebaiknya menjadi topik-topik pengajaran. Menurut Maksl, Ashley & Craft (2015) terdapat berbagai elemen-elemen literasi berita yang patut untuk dipelajari. Pertama, konten media. Kedua, industri dan efek konten termasuk informasi sebagai nilai yang ada di balik berita dan bagaimana berita itu dikonstruksikan. Ketiga, pengaruh ekonomi media berita. Keempat, kepemilikan media. Kelima, pengawasan terhadap konten berita. Keenam, pajanan media berita. Sementara itu, berdasarkan studi yang dilakukannya saat survei pilot pengajaran literasi berita di Amerika, Formm (2016) mencatat beberapa topik yang muncul sesuai dengan urutan terbanyak pilihan responden: bias, kredibilitas, akurasi dan verifikasi informasi, etika, kebebasan pers, keterampilan menulis dan editing, sumber berita, definisi berita, nilai Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 49 ]
berita dan kelayakan berita, sudut pandang yang seimbang, keterampilan mewawancarai dan melaporkan fakta, sejarah dan tren media, manajemen media, dan berpikir kritis. Berdasarkan topik-topik tersebut terlihat literasi berita bukanlah sekedar memahami verifikasi dan cek berita serta produksi berita semata, namun juga beragam aspek sebagaimana dijelaskan oleh Potter (2014) terkait dengan kognitif, sikap, emosi, psikologi, perilaku, dan kemampuan berpikir kritis. Dengan banyaknya topik dan aspek yang sebaiknya disentuh dalam pengajaran literasi berita, ada beberapa strategi cara penyampaian yang bisa digunakan. Kajimoto (2016), pakar literasi yang mengembangkan studi mengenai kurikulum literasi berita di Hongkong, Vietnam dan Myanmar, menawarkan beberapa strategi untuk pengajaran literasi berita yang bisa digunakan oleh pengajar. Pertama, melakukan identifikasi pola konsumsi berita peserta didik pada awal pengajaran. Kedua, memasukkan pengalaman kebiasaan berita peserta didik dalam kurikulum dan materi pengajaran. Ketiga, mendesain latihan, penugasan, serta kegiatan pengajaran yang merefleksikan praktik jurnalisme di negara masing-masing. Sementara Bowe (2019) menggunakan Frayer model dalam pengajaran literasi berita. Model ini menggunakan empat elemen pokok: definisi berita, karakteristik kunci berita, contoh berita, dan contoh yang bukan berita. Model ini dianggap efektif dalam pengajaran literasi berita karena bisa membantu peserta didik mengorganisasi informasi sekaligus menjadi pembelajar yang reflektif agar memiliki kemampuan untuk membedakan mana berita dan mana yang bukan (Bowe, 2019). Di luar kedua strategi di atas, penting juga untuk mengutamakan prinsip-prinsip pengajaran literasi berita sebagai bagian pengajaran media dan jurnalisme dengan menggunakan beberapa prinsip yang ditawarkan oleh Posetti (2018). Pertama, akurasi, karena jurnalis tidak selalu bisa memastikan jaminan kebenaran berita namun memperoleh fakta dengan cara yang benar dan etis adalah prinsip utama jurnalisme. Kedua, independen, jurnalis harus mengutamakan transparansi dan bebas kepentingan agar bisa berposisi netral dan mandiri. Ketiga, keadilan, jurnalis meliput secara adil dan berimbang serta tidak berpihak pada kepentingan tertentu sehingga kepercayaan pembaca bisa dibangun. Keempat, kerahasiaan, [ 50 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
jurnalis melindungi dan memastikan keamanan dan keselamatan sumber berita. Kelima, kemanusiaan, jurnalis harus mengedepankan prinsip kemanusiaan dengan menerapkan gaya jurnalisme yang menghargai sumber informasi sebagai manusia dengan segala aspek kemanusiaannya. Keenam, akuntabilitas, jurnalis bersikap profesional dan beretika serta berani mempertanggungjawabkan kesalahan dengan baik. Ketujuh, transparansi, jurnalis menjadi bagian dari penciptaan akuntabilitas media dengan melakukan transparansi dalam proses peliputan berita sehingga bisa berperan dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap media. Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, pengajaran literasi berita idealnya bisa mendidik calon jurnalis dan praktisi media untuk memahami pentingnya profesi jurnalis dalam demokrasi karena menjadi bagian dari penyediaan informasi yang akurat.
Penutup Meskipun literasi berita adalah topik yang spesifik dalam pengajaran media dan jurnalisme, literasi berita sangat penting untuk diajarkan secara optimal. Tak hanya untuk membekali peserta didik agar mempunyai kemampuan memilah berita sebagai produk jurnalistik dan informasi yang dianggap berita namun merupakan kekacauan informasi, literasi berita bisa digunakan sebagai keterampilan seumur hidup sebagai warga digital. Meskipun demikian, banyak tantangan yang harus ditaklukkan di masa depan untuk menjadikan literasi berita sebagai salah satu subjek penting dalam pengajaran media dan jurnalisme. Pertama, pengarusutamaaan literasi berita sebagai subjek tersendiri dan bukan menjadi bagian dari literasi media sehingga kemampuan literasi berita anak didik lebih terjamin. Kedua, pemilihan topik yang beragam dan disesuaikan dengan karakter peserta didik dan konteks di mana pengajaran tersebut dilakukan. Ketiga, pemilihan metode penyajian materi yang melibatkan peserta didik lebih intensif. Keempat, penugasan yang sesuai dengan tujuan pengajaran. Kelima, pengembangan materi dan metode pengajaran berdasarkan riset yang berkualitas untuk memetakan persoalan dan tantangan pengajaran literasi berita terutama untuk konteks Indonesia. Keenam, pentingnya
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 51 ]
menumbuhkan sistem pembelajaran literasi berita yang komprehensif dan berkesinambungan. Melalui pengajaran literasi berita yang baik, calon jurnalis akan dibekali keterampilan yang memadai untuk menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas dan tidak terjebak pada praktik jurnalisme yang buruk. Sedangkan calon praktisi media akan mempunyai mempunyai kompetensi literasi media yang tinggi sehingga bisa menjadi bagian dari industri media yang bertanggung jawab. Dengan begitu, kekacauan informasi bisa diminimalkan, kepercayaan masyarakat terhadap media akan diperkuat, dan demokrasi informasi bisa ditegakkan.
[ 52 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
DAFTAR PUSTAKA Bowe, B. J. (2019). “Separating real from fake: Building news literacy with the Frayer Model”. Communication Teacher, 33:4, 256-261, DOI: 10.1080/17404622.2019.1575971 Buckingham, D. (2006). :Defining Digital Literacy: What do young people need to know about digital media?”. Digital Kompetanse, vol. 4(1), 263-276. Craft, S. (2016). “The very old and the very new challenge of news literacy”. Journalism Education, No. 5, Vol. 1, 14-16 Eleton, C. (2018). “Module 1: Truth, Trust and Journalism”. Dalam C. Ireton & J. Posetti, Journalism, ‘Fake News’, & Disinformation: Handbook for Journalism Education and Training. France: UNESCO. Farmer, L.S.J (2019). “News literacy and fake news curriculum: School librarians’ perceptions of pedagogical practices”. Journal of Media Literacy Education. 11 (3). 1-11. DOI: 10.23860/JMLE-2019-11-3-1 Fleming, J. (2014). “Media Literacy, News Literacy, or News Appreciation? A Case Study of the News Literacy Program at Stony Brook University”. Journalism & Mass Communication Educator. Vol. 69 (2) 146-165. DOI: 10.1177/1077695813517885 Fromm, M. (2016). “Finding a Consensus: a pilot surveys in news literacy education”. Journalism Education, No 5. Vol. 1, 123-135. Fry, K.G. (2016). “Re-thinking News, Re-thinking News Literacy: a usercentred perspective on information”. Journalism Education, No 5. Vol. 1, 35-44 Ireton, C. & Posetti, J. (2018). Journalism, ‘Fake News’, & Disinformation: Handbook for Journalism Education and Training. France: UNESCO. Janke, R.W. & Cooper, B. S. (2017). News Literacy: Helping Students and Teachers Decode Fake News. Lanham, Boulder, New York, London: Rowman & Littlefield.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 53 ]
Johnson, N.R, Paal, K., Waggoner, E. Bleier, K. (2020). “Scales for Assesing News Literacy Education in the Digital Era”. Journalism & Mass Communication Educator. 1-20. DOI: 10.1177/1077695820930980. Jones-Jang, S.M., Mortensen, T., & Liu, J. (2019). “Does Literacy Help Identification of fake News? Information Literacy Helps, but Other Literacies Don’t”. American Behavioral Scientist. 1-18 Kajimoto, M. (2016). “Developing news literacy curricula in the age of social media in Hongkong, Vietnam and Myanmar”. Journalism Education, Vol. 5 No. 1, 136-154 Koltay, T. (2011). “The media and the literacies: media literacy, information literacy, digital literacy”. Media, Culture, & Society 33(2), 211-221. Kurnia, N, Wendratama, E., Rahayu, R., Adiputra, W.M., Syafrizal, S., Monggilo, Z.M.Z…Sari, Y.A. (2020). WhatsApp Group and Digital Literacy Among Indonesian Women. Yogyakarta: WhatsApp, Program Studi Magister Ilmu Komunikasi, PR2Media dan Yogya Medianet. Kurnia, N., Monggilo, Z. M. Z., & Adiputra, W. M. (2018). Yuk tanggap dan bijak berbagi informasi bencana alam melalui aplikasi chat. Yogyakarta: Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM. Maks, A., Ashley, S., & Craft, S. (2015). “Measuring News Media Literacy”. Journal of Media Literacy Education. 6(3). 29-45 Muratova, N., Grizzle, A., & Mirzhakmedova, D. (2019). Media and Information Literacy in Journalism: A Handbook for Journalists and Journalism Educators. France: UNESCO. Nee, R.C. (2019). “Youthquakes in a Post-Truth Era: Exploring Social Media News Use and Information Verification Actions Among Global Teens and Young Adults”. Journalism & Mass Communication Educator. Vol 74(2), 171-184. DOI: 10.1177/1077695818825215 Posetti, J. (2018). “Using this handbook as model a model curriculum”. Dalam C. Ireton & J. Posetti, Journalism, ‘Fake News’, & Disinformation: Handbook for Journalism Education and Training. France: UNESCO, 32-43. Potter, W.J. (2014). Media Literacy (7th edition). London: Sage.
[ 54 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Seizov, O. (2016). “News Literacy in the digital age: challenges and opportunities”. Journalism Education, , Vol. 5 No. 1, 170-183. Spikes, M.A. & Haque, Y.S. (2015). “A Case Study Combining Online Social Media and Video to Teach News Literacy”. J. Educational Technology Systems. Vol. 43(1), 99-116. Wardle, C. & Derakhshan, H. (2017). Information Disorder: Towards an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making. Strasbourg: Council of Europe.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 55 ]
BAB 4 Jurnalisme Politik di Indonesia: Antara Paralelisme Politik dan Instrumentalisasi Media Wisnu Prasetya Utomo Pengantar
D
ua dekade belakangan, lanskap media di Indonesia ditandai dengan semakin agresifnya para pemilik media masuk ke dalam gelanggang politik baik dengan membentuk organisasi masyarakat, bergabung dengan partai politik, masuk dalam pemerintahan, bahkan menempatkan kadernya pada jabatan pemerintahan. Konsekuensi yang tak terhindarkan dari kondisi ini adalah semakin partisannya jurnalisme politik di Indonesia. Berita-berita semakin bias dengan cara yang demikian dangkal. Dua pemilu terakhir di tahun 2014 dan 2019 menunjukkan bagaimana hal itu terjadi. Semakin bias dan partisannya jurnalisme politik di Indonesia menarik untuk dilihat lebih jauh. Pangkalnya, ia punya jejak historis dalam sejarah pers di Indonesia. Dari sisi historis, ide sebagai pilar keempat demokrasi yang objektif, netral, dan nonpartisan tak pernah berjejak dalam tradisi pers di Indonesia. Baik di era zaman bergerak yang penuh pergulatan ideologi maupun era industri, pers senantiasa berada dalam posisi untuk menunjukkan keberpihakan secara tegas baik atas dasar kesadaran kebangsaan, afiliasi partai politik, represi negara, maupun tekanan pemiliknya. Berangkat dari latar belakang tersebut, tulisan ini akan mencoba menjelaskan kondisi jurnalisme politik di Indonesia saat ini dengan mengelaborasi pemikiran Hallin and Mancini (2004) tentang paralelisme politik dan instrumentalisasi lantas meletakkannya dalam konteks Indonesia.
[ 56 ]
Paralelisme politik dan instrumentalisasi media Paralelisme politik yang menguraikan hubungan antara media dan politik pada awalnya dikembangkan oleh Seymour-Ure (1974) dan Blumler dan Gurevitch (1995). Seymour-Ure (1974: 160) mengemukakan bahwa paralelisme pers dan partai politik digunakan untuk melihat bagaimana sistem media mencerminkan sistem kepartaian melalui tiga komponen: 1) organisasi; 2) tujuan (program dan taktik); dan 3) anggota dan pendukung. Dengan kata lain, media akan dipandang sejajar dengan partai politik (paralelisme lengkap) jika memiliki kedekatan dengan organisasi partai politik, memiliki tujuan yang sama, dan jika pembacanya yang partisan mendukung partai politik tersebut. Mancini (2012: 270) mengatakan bahwa paralelisme politik berkaitan dengan “keberadaan kelompok yang terorganisasi, stabil, dan tradisi debat budaya yang diartikulasikan dalam kondisi di mana berbagai pendapat saling berkontestasi dengan sehat.” Lebih jauh, paralelisme politik berkaitan dengan pluralisme eksternal daripada pluralisme internal. Pluralisme eksternal menitikberatkan pada aspek keberagaman gagasan dan sikap politik sebuah perusahaan media (Voltmer, 2013). Sedangkan pluralisme internal menitikberatkan pada keberagaman yang ada di dalam organisasi media. Hallin dan Mancini (2004: 29) mendefinisikan pluralisme eksternal sebagai "keberadaan berbagai media atau pandangan berbagai kelompok atau kecenderungan yang ada dalam masyarakat." Pluralisme ini terlihat dari perbedaan ideologi masing-masing media dalam spektrum politik tertentu, seperti sayap kiri dan sayap kanan atau ideologi liberal dan konservatif. Tingkat keberpihakan media yang signifikan terhadap kepentingan politik tertentu menjadi ciri pluralisme eksternal. Sedikit berbeda dari paralelisme politik, instrumentalisasi menggambarkan bagaimana kepemilikan media langsung mengarahkan kelompok kepentingan atau individu atau bisnis yang menggunakan media untuk mencapai tujuan politik tertentu, dari proses pembuatan kebijakan di tingkat pemerintah hingga alat kampanye dalam pemilihan umum (Hallin dan Mancini, 2004). Peningkatan jumlah media yang dimiliki oleh kelompok-kelompok kepentingan politik tertentu ini bisa dijelaskan oleh Hallin dan Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 57 ]
Papathanassopoulos (2002) dengan istilah klientelisme, suatu bentuk hubungan di mana suatu kelompok kepentingan politik tertentu memiliki kendali yang kuat atas kelompok lain, memungkinkan mereka untuk meminta kelompok lain tersebut untuk melaksanakan perintah atau kepentingannya. Mengikuti para ilmuwan politik komparatif, hubungan klientalistik dilakukan pada bentuk-bentuk di mana organisasi sosial memiliki akses ke sumber daya dan diberikan kepada klien dengan pertukaran yang menguntungkan satu sama lain (Roniger dan Guesesayata, 1994; Törnquist, 2004). Sementara itu, Susan C Stokes (2011: 649) mendefinisikan klientelisme sebagai: "pemberian materi sebagai imbalan atas dukungan elektoral, di mana kriteria yang digunakan patron adalah: “apakah Anda mau mendukung saya?” Yang paling menarik dari definisi Stokes adalah pertukaran patron dan klien terkadang menunjukkan bentuk ancaman dari satu pihak atau keduanya alih-alih kesepakatan sukarela. Hallin dan Mancini (2004) menunjukkan bahwa dalam bentuk hubungan ini, relasi formal kurang penting dan lebih banyak dalam bentuk hubungan personal yang dimediasi melalui bentuk lain seperti partai politik atau organisasi sosial. Oleh karena itu, klientelisme mengganggu sistem dengan jaringan yang dilindungi oleh individu atau organisasi. Seperti yang dikemukakan Hallin dan Papathanassopoulos (2002), klientelisme memengaruhi peran pers melalui instrumentalisasi. Pemilik media yang memasuki arena bisnis di mana kondisi keuangan dan politik tidak stabil, akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan dukungan politisi. Pemilik media yang kebetulan aktor politik adalah "patron" yang kuat. Mereka dapat menentukan apa yang bisa dan tidak bisa diberitakan oleh medianya. Media yang berada dalam posisi ini lalu menjadi seperti “klien” yang hanya bisa melakukan liputan sesuai apa yang diperintahkan atau diarahkan. Media lalu dipolitisasi menjadi senjata berbagai kelompok untuk saling menyerang. Dalam situasi lain, dan juga seperti yang belakangan semakin sering terjadi di Indonesia, sering kali pemilik media itu sendiri yang menjadi politisi atau mencalonkan diri. Demikian pula, politisi membutuhkan donor yang mendukung mereka sebagai kandidat dan juga platform yang [ 58 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
memungkinkan mereka untuk bisa berkampanye. Pemilik media dan media menyediakan saluran yang kemudian memungkinkan terjadinya koalisi antara mereka dan berbagai aktor politik. Yang kemudian bisa kita lihat melalui konsep klientelisme adalah bahwa jurnalis kemudian membangun kedekatan dengan aktor-aktor politik tersebut atau kelompok kepentingan yang berpengaruh. Instrumentalisasi dapat menjelaskan kecenderungan media milik pribadi melayani kepentingan politik pemiliknya. Ini terjadi ketika media menjadi instrumen politik, ditandai dengan kurangnya otonomi ruang redaksi yang dimiliki jurnalis, maka praktik jurnalistik sebuah media akan lebih banyak bertumpu pada alasan-alasan politik alih-alih untuk kepentingan publik. Sebagaimana dikemukakan oleh Mancini (2012), paralelisme politik dan instrumentalisasi memiliki perbedaan yang mendasar. Sementara paralelisme politik terjadi dalam masyarakat dengan sejarah perpecahan sosial yang kuat, instrumentalisasi hanya membatasi dirinya sendiri pada bagaimana media digunakan untuk melayani kepentingan tertentu pemilik media atau masalah tertentu. Namun paling tidak, kedua konsep tersebut penting untuk menganalisis fenomena kebangkitan oligarki media yang semakin terkonsentrasi di satu sisi dan kecenderungan menurunnya peran partai politik di berbagai negara di dunia di sisi lain dan juga di Indonesia.
Paralelisme ala Indonesia Duncan McCargo (2012) pernah menyampaikan istilah yang ia sebut sebagai partisanship polyvalence. Istilah ini ia gunakan untuk mengontekstualisasikan paralelisme Hallin dan Mancini di luar negaranegara barat yang punya tradisi dan karakter media yang berbeda. Dengan begitu ia bisa digunakan untuk membaca lanskap media di Indonesia. Apa yang disebut McCargo sebagai partisanship polyvalence adalah bahwa media tidak dapat dianggap sebagai satu kesatuan yang utuh. Alihalih satu kesatuan, perusahaan media adalah organisasi yang "berbicara dengan bahasa bercabang dua atau lebih," (McCargo, 2012: 202). Media bisa memiliki banyak suara di dalamnya.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 59 ]
Keberagaman suara tersebut membuat kita sulit untuk menyebut sebuah media sebagai proxy dari partai politik atau kelompok kepentingan khusus, sama seperti ketika kita mengkaji paralelisme partai pers Seymour-Uru. McCargo benar ketika dia menyebutkan bahwa alih-alih berafiliasi secara ideologis dengan partai politik, media di Asia lebih dekat hubungannya dengan berbagai aktor politik yang ada. Seperti yang dikatakan McCargo (2012: 208), "paralelisme politik dalam konteks Asia bukanlah tentang ikatan organisasi formal, melainkan segala sesuatu yang berkaitan dengan koneksi pribadi.” Penjelasan tersebut penting untuk menjelaskan kondisi media di Indonesia yang dari sisi sejarah, tidak punya tradisi media sebagai pilar demokrasi yang netral, dan nonpartisan. Di era pergantian abad ke19 hingga ke-20, berbagai surat kabar yang kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda kemudian menjelma menjadi alat perjuangan yang memiliki komitmen partisan untuk lepas dari belenggu penjajahan. Kelak, peran berbagai surat kabar ini menjadi faktor penting dalam membentuk apa yang oleh Ben Anderson (1983) disebut sebagai "komunitas yang terbayang". Pada 1950-an, Presiden Soekarno menyebut pers sebagai “alat revolusi yang bertugas menggerakkan opini publik,” (Mariani, 2001). Karenanya, jurnalis harus meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melawan kekuatan kontra-revolusioner. Di era ini, pasar media dikuasai oleh media-media yang berafiliasi dengan partai politik dari berbagai spektrum ideologis. Sebagaimana dicatat oleh Dhakidae (1991), 77,77% pers berafiliasi dengan partai politik (28,57% komunis, 18,14% sosialis, 11,56% Islam, dan 19,5% nasionalis) sedangkan pers independen (tidak berafiliasi dengan partai politik) berjumlah 22,22%. Harian Rakyat yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia menjadi surat kabar terbesar yang pernah beredar, mencapai 55.000 eksemplar per hari. Dhakidae (1991) menyebut bahwa tradisi jurnalisme politik ini sempat dibabat pasca-Tragedi 1965. Pemerintah Orde Baru mengikis akar hubungan antara media dan partai politik atau dengan kata lain melakukan depolitisasi media. Wajar jika di dekade ini jurnalisme politik di Indonesia pelan-pelan runtuh diganti dengan fase industrialisasi media. Dalam fase [ 60 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
ini, perubahan yang signifikan adalah pasar media dibiarkan berkembang selama media tidak banyak menyentuh aspek politik dan apalagi bersikap kritis terhadap pemerintah. Ironisnya, fase industrialisasi ini juga kelak yang akan membangkitkan kembali jurnalisme politik di Indonesia. Seperti yang bisa kita lihat, Reformasi 1998 tidak mengubah struktur pasar media yang sudah mapan. Struktur kepemilikan memang berubah, tidak lagi didominasi kroni-kroni Soeharto. Namun, ada periode ini, apa yang disebut nouveau riches muncul setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Mereka adalah generasi oligark yang tumbuh dan mendapatkan keuntungan di era Soeharto yang kemudian di era reformasi mengontrol pasar media. Para oligark ini memiliki pengaruh yang signifikan dalam politik Indonesia (Tapsell, 2015a, 2017). Sulit untuk memahami Indonesia kontemporer tanpa memahami cara kerja oligarki media. Untuk melihat siapa saja para oligark media ini, kita dapat merujuk pada penelitian Lim (2012) yang mencatat bahwa 13 kelompok menguasai kepemilikan media di Indonesia sedangkan Nugroho (2012) menemukan bahwa 12 kelompok signifikan menguasai hampir semua perusahaan media di Indonesia. Angka tersebut menyempit menjadi delapan dalam buku Tapsell yang diterbitkan pada 2017. Tapsell berpendapat bahwa mereka adalah kelompok yang dibesarkan oleh sistem politik yang masih di bawah kendali oligarki Orde Baru dan hukum Indonesia yang tidak ketat dalam membatasi kepemilikan media. Perbedaan jumlah kelompok media pada beberapa penelitian tersebut terjadi karena perbedaan metode yang digunakan dalam penelitiannya (Utomo, 2017). Sebagai contoh, studi Tapsell hanya melihat media yang berfokus pada media dan yang memiliki pengaruh terhadap dunia politik sehingga tidak memasukkan konglomerat (misalnya Grup Femina dan Grup Mugi Rekso Abadi) yang masuk dalam studi Nugroho dan Lim. Terlepas dari perbedaan jumlah yang pasti, para oligark media ini adalah pemilik media yang memulai kepemilikan media mereka dari televisi dan media cetak. Saat era digital tiba, mereka mulai mengintegrasikan media mereka ke dalam berbagai platform. Dalam konteks jurnalisme politik, kondisi ini membuat berita-berita menjadi jauh lebih partisan dan bias.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 61 ]
Bias yang dimaksud di sini tidak hanya berkaitan dengan mendukung kepentingan partai politik tertentu. Lebih dari itu, memperjuangkan kepentingan politik pemiliknya. Penelitian Heychael (2014a, 2014b) menunjukkan bagaimana pemilik media pada pemilu 2014 dengan tanpa malu mengalihkan dukungannya ke kandidat yang berbeda hanya karena mereka berbeda posisi politik dengan pemiliknya. Sebagai dijelaskan McCargo (2012), relasi antara pemilik media dan partai politik atau kandidat tertentu dalam pemilihan umum ini tidak selalu formal. Lebih sering yang terjadi adalah relasi informal. Dan pendulum dukungan bisa berubah-ubah menyesuaikan dengan kepentingan politik media saat itu. Media yang sebelumnya mendukung satu calon atau aktor politik, bisa tiba-tiba mendukung aktor politik yang lain. Jika melihat catatan, kondisi tersebut tidak terlalu mengherankan. Sejak rezim otoriter Orde Baru runtuh, setidaknya lima dari delapan pemilik media terlibat dalam partai politik dan/atau pemerintahan. Misalnya Hary Tanoe yang selain pernah mencalonkan diri sebagai calon presiden, ia juga menjadi ketua partai politik Perindo, pemilik media yang menjadi ketua partai politik adalah Surya Paloh (Metro TV dan Partai Nasdem) dan Aburizal Bakrie (TV One dan mantan Ketua Umum Partai Golkar 2009–2014) serta beberapa pemilik media seperti Dahlan Iskan (Jawa Pos Group) dan Chairul Tanjung (Trans Group) yang menjadi menteri dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009–2014. Sementara partai politik berusaha mendapatkan pemilih, oligark media membentuk berita di Indonesia dengan sangat berpihak pada kelompok kepentingannya masing-masing. Dengan kata lain, media menjadi proxy. Benturan antara media dan kelompok kepentingan politik ini kerap terjadi di masa pemilihan umum. Namun, dua dekade pasca-Reformasi menunjukkan bahwa benturan ini kemudian melampaui periode pemilihan umum dan berhubungan erat dengan situasi politik yang sedang terjadi. Dua dekade belakangan banyak melihat proses instrumentalisasi media di mana sebuah media digunakan untuk melakukan serangan terhadap lawan politik. Utomo (2018) menunjukkan bahwa serangan politik ini juga melibatkan benturan sesama pemilik media. Salah satu contoh terjadi di tahun 2016 dan 2017. Situasi politik Indonesia memanas [ 62 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
karena kasus penistaan agama yang melibatkan mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disebut Ahok menghasilkan serangkaian demonstrasi besar-besaran di Jakarta. Dalam situasi tersebut, media Tirto menerjemahkan berita yang dilakukan oleh wartawan investigasi Allan Nairn. Isi liputan tersebut cukup mengejutkan elite politik karena menuduh berbagai gerakan demonstrasi tersebut adalah upaya untuk melakukan kudeta atas pemerintah dan salah satu yang diduga mendalanginya adalah Hary Tanoe dan Gatot Nurmantyo yang saat itu menjadi Panglima TNI. Kabar ini sulit diverifikasi, tapi yang menarik adalah melihat respons media-media MNC Group yang dimiliki Hary Tanoe merespons berita tersebut. Dalam catatan Utomo (2018), media seperti Okezone berusaha mendelegitimasi berita yang dimuat Tirto tersebut dengan berbagai cara, dari menyebut bahwa Tirto tidak terdaftar di Dewan Pers, yang artinya tidak layak disebut sebagai media, sampai menyebut berita yang ditulis Allan Nairn tersebut bermasalah secara jurnalistik. Yang penting untuk diperhatikan, berbagai berita tersebut menggunakan narasumber dari partai Perindo, partai Hary Tanoe. Artinya, meski secara organisasi tidak ada relasi formal antara media-media MNC Group dan partai Perindo, secara isi pemberitaan sulit untuk tidak menyebut bahwa media-media tersebut sedang memperjuangkan kepentingan partai politik di mana Hary Tanoe menjadi ketua Perindo dan sekaligus pemilik mediamedia di bawah MNC Group. Dalam peristiwa tersebut, media-media Surya Paloh, salah satu pemilik media yang cukup berpengaruh di Indonesia di era pasca-1998, bersikap sebaliknya yaitu dengan memberikan ruang yang cukup lebar terhadap adanya dugaan kudeta atau makar. Strateginya secara jurnalistik, dengan memberikan ruang lebar bagi berbagai pernyataan-pernyataan narasumber khususnya yang berasal dari partai Nasdem, partai politik yang diketuai oleh Surya Paloh. Dari contoh ini, sulit untuk tidak menyebut terjadinya benturan kepentingan politik antara sesama pemilik media. Dan ia kerap berulang di berbagai peristiwa yang lain. Pada titik ini, dalam kasus-kasus tertentu, terjadi klaim kebenaran yang dilakukan oleh media sebagai bentuk dari ekspresi politik pemiliknya. Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 63 ]
Klaim kebenaran penting untuk memahami bagaimana suatu peristiwa dapat ditafsirkan secara berbeda. Media biasanya mengambil perspektif berbeda dari sumber berbeda yang menjelaskan suatu peristiwa dari satu sisi. Klaim acara tersebut secara positif mencerminkan relasi kuasa yang ada di balik media. Sampai di sini, saya ingin mengatakan bahwa jurnalisme politik di Indonesia yang pernah mengalami fase mati suri di masa Orde Baru yang menandai tahap industrialisasi media, pelan-pelan semakin menguat. Semakin menguatnya relasi media dan partai politik menunjukkan kemiripan dengan sejarah Indonesia pada periode 1945–1965. Di era ini, media secara struktural berafiliasi dengan partai politik dan menghasilkan apa yang digambarkan oleh Seymour-Ure (1974) sebagai paralelisme lengkap. Seymour-Ure (1974: 193) menyatakan bahwa paralelisme lengkap antara media dan partai politik akan terjadi jika tiga elemen terpenuhi. Ketiga elemen tersebut adalah kedekatan formal atau informal antara media dan partai politik, loyalitas media terhadap tujuan partai politik, dan keberpihakan pembaca media. Di Indonesia, kondisi politik dan lanskap industri media tidak pernah memungkinkan terjadinya paralelisme lengkap. Muncul tuntutan dari publik bahwa media harus objektif dan menjaga jarak dari kepentingan partai politik. Namun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan gejala-gejala yang mengindikasikan bahwa tren ini mulai bergeser. Hubungan antara media dan partai politik semakin terikat secara aktif baik secara formal maupun informal (Tapsell, 2017). Perlu ada studi lebih lanjut untuk menguji apakah paralelisme lengkap juga akan muncul kembali di Indonesia. Berdasarkan beberapa referensi (lihat misalnya Lim 2011; Tapsell, 2012, 2015a, 2015b, 2017), dan artikel ini, kecenderungan ke arah paralelisme lengkap sangat mungkin terjadi.
[ 64 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
DAFTAR PUSTAKA Blumler, J & Gurevitch, M. (1995). The Crisis of Public Communication. London: Routledge. Hallin, D & Mancini, P. (2004). Comparing Media Systems: Three Models of Media and Politics. Cambridge: Cambridge University Press. Hallin, D & Papathanassopoulos, S. (2002). “Political clientelism and the media: southern Europe and Latin America in comparative perspective”. Media, Culture & Society. 24 (2) pp. 175-195. Heychael, M.. (2014a). Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014: Ketika Media Jadi Corong Kepentingan Politik Pemilik (Bagian 2). Jakarta: Remotivi. Heychael, M. (2014b). Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014: Ketika Media Jadi Corong Kepentingan Politik Pemilik (Bagian 3). Jakarta: Remotivi. Lim, M. (2012) The League of Thirteen: Media Concentration in Indonesia. Report Ford Foundation. Dhakidae, D. (1991). “The State, the Rise of Capital and the Fall of Political Journalism: Political Economy of the Indonesian News Industry”. PhD thesis, Cornell University. McCargo, D. (2012). “Partisan polyvalence: Characterizing the political role of Asian media”. In D. Hallin & P. Mancini (Eds.), Comparing media systems beyond the Western world. Cambridge: Cambridge University Press. Mancini, P. (2012). “Instrumentalization of the media vs political parallelism”. Chinese Journal of Communication 5(3): 262–280. Mariani, E. (2001). Vox Pers Vox Partai. [Online.] Bisa diakses di https://www.pantau.or.id/?/=d/31 Nairn, A. (2017). “Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar”. Bisa diakses di https://tirto.id/cm2X Nugroho, Y, Putri, D.A. & Laksmi, S. (2012). Mapping the Landscape of the Media Industry in Contemporary Indonesia. Jakarta: Centre for Innovation Policy Governance. Roniger, L, & Ayș e Güneș -Ayata (eds). (1994). Democracy, Clientelism, and Civil Society. Boulder, Colo.: L. Rienner Publishers Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 65 ]
Stokes, S. (2011). “Political Clientelism”. In Goodin, R. The Oxford Handbook of Political Science. Oxford: Oxford University Press. Seymour-Ure C. (1974). The Political Impact of Mass Media. London/ Beverly Hills: Constable/Sage. Tapsell, R. (2017). Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizen, and Digital Revolution. London: Rowman Littlefield Tapsell, R. (2015a). “Indonesia’s media oligarchy and the Jokowi phenomenon”. Indonesia 99, April 2015, 29–42. Tapsell, R. (2015b). “The media and subnational authoritarianism in Papua”. Southeast Asia Research 23: 3, 319–334. Tapsell, R. (2012a). “Old tricks in a new era: Self-censorship in Indonesian journalism”. Asian Studies Review 36: 2, 27–245. Tapsell, R. (2012b). “Politics and the press in Indonesia: Aburizal Bakrie, the lapindo mudflow and the Surabaya post”. Media Asia 39, 2, 2012, 109–116. Törnquist, O. (2004). “Labour and democracy? Reflections on the Indonesian impasse”. Journal of Contemporary Asia, 34:3, 377-399 Utomo, WP. (2018). “Political Parallelism and the Rise of Media Oligarchs: A Critical Discourse Analysis of the Indonesian media’s coverage of the alleged coup”. Tesis di School of Media of Communication, University of Leeds. Tidak dipublikasikan. Utomo, WP. (2017). “Media oligarchy and the shaping of news in Indonesia”. Bisa diakses di https://theconversation.com/mediaoligarchy-and-the-shaping-of-news- in-indonesia-89094 Voltmer, K. (2013). The media in transitional democracies. Cambridge, UK: Polity.
[ 66 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
BAB 5 Kiprah Perempuan dalam Jurnalisme: Refleksi bagi Jurnalis Perempuan Indonesia Zainuddin Muda Z. Monggilo Pengantar
B
erdasarkan penelusuran kepustakaan ditemukan bahwasanya keterlibatan perempuan dalam jurnalisme masih mengkhawatirkan. Hal ini dilihat dari jumlah jurnalis perempuan yang masih kalah banyak dengan jurnalis laki-laki baik di level global, regional, maupun nasional/ lokal. Tidak saja dari segi jumlah, posisi penting yang ditempati jurnalis perempuan jika dibandingkan dengan jurnalis laki-laki dalam struktur organisasi media pun masih lebih sedikit (Smirnova, 2013). Posisi jurnalis perempuan yang berposisi sebagai wakil dan pemimpin redaksi teridentifikasi lebih rendah jumlahnya dari jurnalis laki-laki (Lawi, 2020).
Jurnalis perempuan pun lekat dilabeli sejumlah stereotip yang semakin mengganggu kredibilitas dan profesionalisme yang diupayakannya. Sebut saja anggapan bahwa jurnalis perempuan cenderung memiliki daya tahan yang lemah saat meliput peristiwa di lapangan, ditempatkan pada posisi pemanis seperti sekretaris, promosi, pemasaran dan semacamnya, kerap menjadi target pelecehan seksual (termasuk di dunia maya), hingga jerat urusan domestik (berada di dua kaki dalam mengurus rumah tangga dan pekerjaannya) (Geertsema‐Sligh, 2018; Hồng, Huế, Barnett, & Lee, 2016; White, 2009). Akibatnya, jurnalisme kerap dipandang sebagai profesi berkelamin laki-laki (Ruoho & Torkkola, 2018). Meski demikian, seiring dengan eksistensi masyarakat jaringan yang semakin terbuka dengan (digitalisasi) informasi, nyatanya memberi warna dan rupa tersendiri pada jejak karier perempuan di bidang jurnalistik. [ 67 ]
Perempuan mulai eksis di berbagai susunan redaksi media daring. Walau tidak banyak yang menempati posisi di level manajemen atas, tetapi eksistensi perempuan seperti mulai terdongkrak. Atribusi byline dalam berita cetak maupun daring serta penyematan direktori akses di dalamnya sedianya menyediakan rekam jejak (digital) dari karya-karya jurnalis perempuan. Meskipun jumlahnya belum cukup menggembirakan jika dibandingkan dengan jurnalis laki-laki (Mullin, 2015; Ponsford, 2017), tetapi keberadaannya diharapkan dapat mendorong apresiasi yang lebih baik lagi. Tidak hanya itu, jurnalis perempuan pun mulai menunjukkan eksistensinya dengan tergabung dalam kepengurusan serikat kerja internal maupun eksternal media guna menyuarakan berbagai isu penting yang dihadapi, termasuk penyetaraan gender bagi kaumnya. Mengutip pernyataan Najwa Shihab, "Saya melihat perempuan dan dunia jurnalistik malah punya kelebihan sendiri. Jurnalis perempuan itu biasanya lebih sensitif, lebih mudah berempati, lebih luwes untuk berhubungan dengan orang, lebih bisa menangkap apa yang tersembunyi. Jadi memiliki kemampuan yang bahkan membuatnya lebih istimewa ketika melakukan profesinya” (Widiyarti, 2018). Tulisan ini diposisikan sebagai studi literatur untuk menguraikan kiprah perempuan dalam jurnalisme. Lingkup bahasannya dimulai dari pengantar untuk mendudukkan problem yang dibahas lalu diikuti dengan diskursus perempuan dalam dimensi kepemimpinan, represi/tekanan, rekam karier, dan urgensi kebangkitan jurnalis perempuan dalam konteks global dan/atau nasional. Sebagai akhir, diberikan catatan refleksi bagi kajian mendatang khususnya dari aspek kontribusi pendidikan dan dinamika teknologi digital. Harapannya, tulisan ini tidak saja dapat dijadikan sebagai kerangka refleksi untuk mendalami lebih lanjut kajian serupa dalam konteks Indonesia—mengingat masih minimnya kajian terkait—tetapi juga sebagai penyokong nilai-nilai kesetaraan perempuan dalam profesi kewartawanan.
Jurnalis Perempuan dalam Kepemimpinan Mengutip Global Report on the Status of Women in the News Media oleh International Women’s Media Foundation (IWMF) (Byerly, 2011) dikemukakan bahwa 73% manajemen teratas dalam profesi media [ 68 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
diduduki oleh laki-laki dan perempuan hanya sebesar 27%. Jurnalis lakilaki pun memegang hampir dua pertiga pekerjaan, sementara perempuan hanya sepertiga. Secara spesifik menurut laporan tersebut, di benua Asia dan Oseania (dengan sampel negara Australia, Bangladesh, Tiongkok, Fiji, India, Jepang, Selandia Baru, Pakistan, Filipina dan Korea Selatan), jumlah jurnalis laki-laki sangat mendominasi dengan perbandingan 4:1. Di Jepang, perbandingannya lebih ekstrem mencapai 6:1. Posisi laki-laki pun hampir seluruhnya berada pada posisi pengambil keputusan. Sedangkan di Tiongkok, Fiji dan Selandia Baru, jurnalis perempuan bisa sejajar dengan jurnalis laki-laki dan bahkan bisa melebihi jumlahnya serta mencapai posisi strategis di manajemen puncak (Byerly, 2011). Perusahaan yang disurvei di Bangladesh dan Tiongkok pun baru mengadopsi sedikit saja kebijakan untuk membangun kesetaraan gender dalam kepemimpinan media. Sebaliknya, Fiji, Australia, India, dan Jepang masih dalam perjalanan yang panjang dan berliku untuk mengadopsi kebijakan serupa (Byerly, 2011). UNESCO Bangkok & UN Women Regional Office for Asia and the Pacific (2015) dalam survei di tujuh negara Asia Pasifik (Kamboja, India, Malaysia, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Vanuatu) menemukan bahwa kesetaraan gender dalam organisasi media masih belum merata. Hampir separuh dari total responden yang bekerja di media menyatakan bahwa kurang dari 10% perempuan menempati posisi di tingkat eksekutif maupun tingkat editorial senior. Jika di peringkat berdasarkan kawasan, Asia Tenggara (Kamboja dan Malaysia) menyumbang persentase terbanyak (48,6%), diikuti oleh Asia Selatan (India, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka) sebesar 37,2% dan 31,8% untuk Pasifik (Vanuatu). Sayangnya, survei Reuters Insitutite for the Study of Journalism (RISJ) yang dilakukan terhadap 200 media besar luring (TV, cetak, dan radio) dan daring di empat benua (Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa) kembali menemukan bahwa jurnalis perempuan masih berjuang untuk menempati posisi krusial dalam manajemen media. Temuan kuncinya: (i) hanya 23% dari 40% jurnalis perempuan dapat menempati posisi puncak; (ii) jurnalis laki-laki masih mendominasi posisi strategis di media—bahkan untuk negara seperti Brasil dan Finlandia yang jumlah jurnalis perempuannya lebih banyak daripada jurnalis laki-laki; (iv) persentase wanita di posisi teratas sangat bervariasi dari pasar ke pasar—di Jepang misalnya tidak ada Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 69 ]
sama sekali jurnalis perempuan yang menempati posisi atas, sementara di Afrika Selatan, 47% posisi puncak justru bisa diisi oleh perempuan; (v) cenderung tidak ada korelasi yang signifikan antara ketidaksetaraan gender di masyarakat dan persentase perempuan di posisi strategis di media—negara-negara seperti Jerman dan Korea Selatan memiliki sedikit perempuan yang menduduki jabatan kunci (Andi, Selva, & Nielsen, 2020).
Jurnalis Perempuan dalam Represi Tekanan lain yang dihadapi perempuan dalam kariernya sebagai jurnalis tidak dapat diceraikan dari isu-isu terkait dukungan profesionalisme kerja yang semestinya serta perlindungan dari pelecehan dalam kerja. Dalam laporan UNESCO Bangkok & UN Women Regional Office for Asia and the Pacific (2015) terkait kondisi dan kepuasaan kerja, menemukan sebanyak 55,4% responden yang terlibat dalam riset merasa bahwa jurnalis laki-laki dan perempuan menerima upah yang sama untuk pekerjaan yang sama di dalam media. Walau begitu, jumlah ini tidak begitu signifikan perbedaannya dengan mereka yang menjawab adanya kesenjangan upah. Dalam indikator lainnya di laporan yang sama, lebih sedikit perempuan yang menyatakan pernah menerima tawaran pelatihan peningkatan kompetensi dibandingkan dengan laki-laki. Lalu hanya 2,9% saja yang mengatakan tempat kerjanya menyediakan penitipan anak dan 30% yang menilai cuti melahirkan dan masuk kembali setelahnya sebagai hal yang lazim dan dapat diterima/dimaklumi. Sedangkan menurut kajian UNESCO ditegaskan bahwa perempuan juga mengalami pelecehan dan kekerasan seksual secara daring (Ireton & Posetti, 2018). Pelecehan yang lebih banyak dialami oleh jurnalis perempuan dan bersifat misoginis di antaranya berupa unggahan konten daring secara sengaja untuk menyinggung atau memprovokasi kemarahan dan kebencian (hate trolling) (Posetti, 2018). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh lembaga think tank Inggris, Demos, pun menemukan bahwa jurnalis perempuan lebih banyak menerima pelecehan daripada jurnalis laki-laki dengan jumlah jurnalis dan presenter berita televisi perempuan yang menerima kira-kira tiga kali lebih banyak pelecehan.
[ 70 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Data ini didapatkan dari ratusan ribu dengan kata kunci seperti slut, rape, whore atau pelacur dan pemerkosaan (Bartlett, Norrie, Patel, Rumpel, & Wibberley, 2014). Ciri dari pelecehan daring jurnalis perempuan ialah penggunaan taktik disinformasi yakni penyebaran kebohongan terkait karakter atau pekerjaan jurnalis perempuan. Tujuannya untuk merusak kredibilitas, mempermalukan, dan meredam suara dan peliputan mereka. Hal ini kian diperparah dengan ancaman kekerasan seperti pemerkosaan dan pembunuhan yang ditujukan secara organik, terorganisir, ataupun robotik (Posetti, 2018). Ironisnya, pelecehan seksual yang dialami oleh jurnalis perempuan dilakukan oleh atasan (59%) dan oleh rekan kerja sendiri (51%) (UNESCO Bangkok & UN Women Regional Office for Asia and the Pacific, 2015). Hal ini diperparah dengan kurangnya kebijakan anti-pelecehan seksual di tempat kerja dan masih ada pula jurnalis yang tidak memahami mekanisme perlindungan diri dan pelaporannya. Hanya 24% jurnalis perempuan di Asia Pasifik yang mengatakan ada kebijakan khusus gender dan dijalankan dengan baik di tempat mereka bekerja. Bahkan 35% tidak menyadari bahwa terdapat kebijakan semacam itu. Perasaan malu dan khawatir ketika melaporkannya akan memengaruhi pekerjaan mereka serta takut akan akibat yang lebih besar lagi adalah alasan-alasan yang sering dikemukakan sehingga insiden tersebut tidak dapat diusut tuntas dan tenggelam begitu saja dalam keheningan (UNESCO Bangkok & UN Women Regional Office for Asia and the Pacific, 2015). Sementara dalam kaitannya dengan keseimbangan representasi perempuan dalam konten media, mayoritas kehadiran perempuan sebagai narasumber atau pakar dalam pemberitaan hanya berkisar antara 10–30%. Perempuan juga dinilai paling sering digambarkan sebagai korban, tokoh dalam keluarga, dan objek seksual (UNESCO Bangkok & UN Women Regional Office for Asia and the Pacific, 2015). Sebagai akibatnya, representasi gender perempuan sebagai figur yang kuat dan penting bagi masyarakat semakin tergerus.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 71 ]
Menjejaki Kiprah Jurnalis Perempuan Indonesia Berdasarkan pemetaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tahun 2012 terkait kondisi kerja jurnalis perempuan di Indonesia diperoleh kesimpulan umum bahwasanya proporsi jumlah jurnalis perempuan masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah jurnalis laki-laki (1:3 hingga 1:4) (Luviana, 2012). Penelitian terakhir yang dilakukan AJI Indonesia (2016) pada sebuah kantor pengelola radio pemerintah semakin menegaskan bahwa tidak saja jumlah karyawan laki-laki (55%) yang lebih banyak dari jumlah perempuan (45%), tetapi juga pada posisi jabatan struktural yang baru diisi sekitar 300 posisi oleh perempuan (dari 900 jabatan struktural yang tersedia)—itupun lebih banyak pada level administratif, bukan pada pengambilan kebijakan. Kondisi ini diperparah dengan adanya penetapan ikatan kerja kontraktual yang berdampak pada terbatasnya peluang pengembangan karier pekerja perempuan (AJI Indonesia, 2016). Dalam kaitannya dengan jenjang karier pekerja media, perempuan memang memosisikan dirinya berbeda dari laki-laki dalam hal yang lebih positif—misalnya mengenai kesempatan yang setara bagi dirinya dengan pekerja media laki-laki. Akan tetapi, pengupayaan kesetaraan ini kerap berbenturan dengan posisinya sebagai ibu dan istri yang mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Perempuan masih cenderung memilih untuk berhenti dari pekerjaannya ketika pilihan dilematis antara rumah tangga dan pekerjaan dihadapkan padanya (Herawati, 2016; Stellarosa & Silaban, 2019). Sebagai implikasinya, jurnalis perempuan belum banyak yang menduduki posisi strategis selaku pengambil kebijakan (Luviana, 2012). Diskriminasi dan pelecehan/kekerasan dalam peliputan juga masih lebih sering dialami dibandingkan para jurnalis laki-laki (Luviana, 2012). Tidak saja oleh atasan atau rekan kerja, pelecehan pun dilakukan oleh narasumber (Halidi & Varwati, 2020). Misalnya adalah tiga kasus yang menimpa empat jurnalis perempuan di kantor berita Antara (Jakarta), seorang reporter magang perempuan di Radar Ngawi (Jawa Timur), dan seorang jurnalis perempuan saat peliputan di Medan (Sumatera Utara). Kasus di Jakarta dan Ngawi dilakukan oleh atasan mereka sendiri, sedangkan di Medan dilakukan oleh aparat TNI Angkatan Udara (AJI [ 72 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Indonesia, 2018). Kasus tersebut belum termasuk kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan yang belum terungkap (AJI Indonesia, 2017). Pelaporan dan pengusutan menjadi sulit ketika pelaku pelecehan atau intimidasi adalah atasannya sendiri sebab pada atasannya lah sesungguhnya titik kunci dari persoalan ini (AJI Indonesia, 2016). Ketimpangan yang diterima jurnalis perempuan masih ditambah dengan perbedaan fasilitas yang diterima, terutama dalam fasilitas kesehatan. Masih jarang ditemukan kebijakan reproduksi seperti kebijakan cuti haid dan menyusui serta fasilitas-fasilitas yang menunjang hal tersebut bagi perempuan. Dengan kata lain, sebagian besar media di Indonesia belum menganggap hal ini sebagai dimensi penting yang perlu diatur sedemikian rupa guna menyokong perlakuan jelas terhadap dedikasi dan profesionalisme kerja jurnalis perempuan (Luviana, 2012). Belum lagi menyinggung kasus khusus ketika jurnalis perempuan harus meliput ke lapangan walau minim dukungan alat pelindung diri di tengah pandemi Covid-19—dan menelan pahit perlakuan diskriminatif dari warga sebagai pembawa virus (Agustine, 2020; Monggilo, 2020). Perempuan pekerja media sering kali diberikan status lajang walau sudah menikah dan memiliki anak agar tidak mendapatkan asuransi untuk anak-anaknya (Victoria, 2020). Tidak jarang karena memiliki anak, jurnalis perempuan dipindahkan ke agenda liputan yang lebih ringan atau santai, sedangkan kanal peliputan politik atau hukum yang dirasa lebih berat dipercayakan pada jurnalis laki-laki (Halidi & Varwati, 2020). Apalagi pengotakan peliputan semacam ini didalihkan karena urusan domestik dapat menguras waktu dan tenaga (Stellarosa & Silaban, 2019). Artinya bahwa perlakuan khusus ini tidak diberikan atas dasar pertimbangan kompetensi atau kapabilitas, tetapi lebih pada alasan yang kian melanggengkan bias dan stereotip gender. Hal senada pun diungkapkan oleh Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Endah Lismartini. Menurutnya, dari data Indeks Pemberdayaan Gender dan laporan perekonomian Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, dukungan atas perempuan sebagai pekerja profesional masih belum memuaskan. Bahkan terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara pemberian upah kerja antara pekerja laki-laki dan Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 73 ]
pekerja perempuan, kesempatan yang lebih kecil bagi jurnalis perempuan untuk merasakan jenjang karier yang lebih tinggi dibanding laki-laki, serta fasilitas lain yang belum dioptimalkan untuk pekerja perempuan (Victoria, 2020). Fasilitas itu seperti tersedianya transportasi yang nyaman dan aman di saat peliputan malam hari serta pelibatan dalam pelatihan gender dan organisasi/asosiasi jurnalis (Luviana, 2020).
Kebangkitan Jurnalis Perempuan Indonesia: Bukan Seremonial Belaka Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh setiap 8 Maret, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia menggelar helatan bertajuk Successes and Challenges of Women Journalist in Indonesia (Berty, 2019). Acara ini menghadirkan tiga jurnalis perempuan di posisi yang cukup rentan dan biasanya diisi oleh jurnalis pria, yakni Adek Berry (jurnalis foto AFP yang meliput konflik Pakistan dan Afghanistan), Hanna Fauzie (jurnalis olahraga Koran Sindo), dan Maria Rita Hasugian (jurnalis liputan konflik Tempo). Hal positif yang disampaikan dari ketiga jurnalis ini adalah menyoal dedikasi dan komitmen mereka terhadap pekerjaannya serta pengakuan atas intelektualitas yang dinilai lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya (Berty, 2019). Dari hal ini, dapat dikatakan bahwa di tengah keterbatasan dan tekanan yang dihadapi jurnalis perempuan dalam pekerjaannya, terdapat sisi positif dan inspiratif lainnya yang kerap terabaikan. Acara lain yang diadakan oleh Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengundang tiga jurnalis perempuan pada posisi puncak sebagai pemimpin redaksi (pimred) yakni Rosiana Silalahi (Kompas TV), Irna Gustiawati (Liputan6.com) dan Uni Zulfiani Lubis (IDN Times). Pada kesempatan ini Rosiana menyatakan bahwa terdapat 15 orang pimred perempuan yang tergabung dalam Forum Pimred (Riaunin, 2020; Zulfikar, 2020). Irna menimpali bahwa walaupun komposisi laki-laki dan perempuan di ruang redaksi mereka mencapai 55% dan 45%, tetapi pemilihan posisi strategis sama sekali tidak melihat gender. Sedangkan bagi Uni yang sekaligus menjabat sebagai ketua umum Forum Jurnalis [ 74 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Perempuan Indonesia (FJPI), kesetaraan gender dalam ruang redaksi tidak berarti bahwa perempuan meminta perlakuan istimewa, tetapi agar perempuan lebih tangguh dan berdaya saing tinggi (Riauin, 2020; Zulfikar, 2020). Dalam meningkatkan daya saingnya, menurut Titin Rosmasari (Pimred Trans7 dan CNN Indonesia), jurnalis perempuan perlu beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang cepat. Keterampilan teknologi juga perlu kian ditingkatkan untuk bisa sukses di era revolusi industri 4.0 (Risanta, 2020). Tambahnya, walaupun perbandingan pekerja laki-laki dan perempuan di ruang redaksi Trans7 dan CNN Indonesia ialah antara 60%:50%, tetapi seiring berjalannya waktu, tersisa sekitar 20% saja jurnalis perempuan yang bertahan dan lainnya berhenti karena berbagai alasan. Padahal menurutnya, perempuan dapat bekerja lebih unggul daripada lakilaki karena memiliki kelebihan dalam komunikasi verbal, multitasking, ekspresif, serta berempati tinggi (FJPI, 2020). Langkah yang cukup sering direkomendasikan untuk dapat mendongkrak kiprah serta kebijakan perlindungan perempuan dalam profesi jurnalisme ialah antara lain dengan melibatkan lebih banyak perempuan dalam pekerjaan media di setiap tingkat, mendorong lebih banyak perempuan dalam peran pengambilan keputusan, dan serikat pekerja serta organisasi jurnalis juga dinilai harus bekerja lebih banyak untuk mendorong kesetaraan gender ini (Hồng, Huế, Barnett, & Lee, 2016). Era digital bahkan membuka kemungkinan advokasi digital yang lebih luas dan masif untuk menggaungkan problem-problem perempuan dalam jurnalisme (Winarnita, Mintarsih, & Bahfen, 2020). Penegakan hukum yang lebih kuat juga merupakan strategi yang terus disuarakan untuk memerangi pelecehan seksual secara efektif, selain dari peningkatan kesadaran di antara jurnalis perempuan serta mekanisme pengaduan yang terjamin (AJI Indonesia, 2016, 2017, 2018). Sebagaimana yang dikatakan oleh Mantan Presiden Perempuan Pertama Finlandia Tarja Halonen, “All nations have their own traditions, and gender stereotypes are part of it. But it is good to remember that they are made by people and can be reformed by people” (Council of Europe, 2016), kiprah perempuan dalam bidang ini tidak disangkal masih terkungkung Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 75 ]
oleh stereotip. Olehnya itu, bangkitnya sepak terjang perempuan dalam jurnalisme di Indonesia sudah seharusnya bukan saja diperingati sebagai seremonial semata, tetapi dirayakan sebagai keniscayaan dengan meruntuhkan setiap bias dan penyimpangan stereotip terhadapnya secara bersama-sama oleh berbagai kalangan.
Penutup Refleksi lainnya yang dapat diberikan untuk melengkapi hasil kajian dan riset terkait yang telah dikemukakan di antaranya adalah menyangkut aspek pendidikan dan teknologi digital. Keduanya dipandang sebagai faktor penentu yang terus bergerak seiring dengan perubahan yang juga terjadi dalam memahami fenomena perempuan dan jurnalisme, termasuk dalam kaitannya dengan kepemimpinan dan represi yang masih terus dialami. Pendidikan secara taktis dikaitkan dengan bagaimana perguruan tinggi menyiapkan lulusan/jurnalis masa depan yang berkualitas tanpa dikotomi gender. Sedangkan teknologi secara teknis dikaitkan dengan kemampuan beradaptasi dengan inovasi teknologi yang bisa dimanfaatkan dengan baik oleh jurnalis perempuan secara khusus. Pertama, perguruan tinggi yang mengajarkan komunikasi secara umum maupun spesifik pada jurnalisme turut berkontribusi dalam mencetak jurnalis masa depan yang siap kerja, tidak peduli laki-laki atau perempuan. Namun begitu, jumlah lulusan yang belajar jurnalisme di pendidikan tinggi (level diploma dan sarjana) tidak selalu akan meneruskan kariernya secara linear yaitu di bidang jurnalistik dan media. Belum lagi, jika dikaitkan dengan jumlah lulusan perempuan yang ketika berkarier di bidang ini cenderung menghadapi lebih banyak hambatan daripada lulusan laki-laki (Franks, 2013). Bahkan, walau pendidikan jurnalisme terus berkembang, perempuan yang menjadi jurnalis masih menunjukkan jumlah yang cenderung stagnan dengan lebih banyak diisi oleh jurnalis muda dengan masa kerja yang cenderung singkat (Figaro, 2018). Hal ini pun sayangnya masih dapat ditemui dalam pendidikan jurnalisme di Indonesia. Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Ika Ningtyas mengatakan bahwa jumlah jurnalis perempuan Indonesia yang masih minim diharapkan bisa meningkat seiring dengan dirawatnya minat dan tekad yang bulat dari pembelajar [ 76 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
perempuan sedari menempuh pendidikan di kampus (Panama, 2021). Jika sudah begini, pendidikan tinggi memegang peranan yang signifikan untuk menyiapkan calon jurnalis perempuan yang tangguh melalui dukungan materi pembelajaran yang relevan dan sarat nilai moral nan etis seperti penyetaraan dan pemberdayaan. Kedua, bila dikaitkan dengan perkembangan teknologi digital, jurnalis perempuan dihadapkan dengan kondisi simalakama, yakni terfasilitasi dalam mengeksplorasi serta mengekspresikan dirinya, tetapi juga di saat yang bersamaan dapat terpapar berbagai bentuk kekerasan gender berbasis online (KBGO), yakni kekerasan yang diniatkan menyerang secara seksual atau gender di ranah daring semisal pencemaran nama baik, peretasan, konten ilegal, pelanggaran privasi yang meningkat seiring dengan terbukanya akses dan meningkatnya penggunaan internet sebagai salah satu bentuk teknologi digital (Komnas Perempuan, 2021; Ridhoi, 2020; SAFEnet, 2019). Bahkan laporan terbaru UNESCO menyatakan bahwa serangan online terhadap jurnalis perempuan meningkat secara signifikan di masa pandemi COVID-19 (Sani, 2021). Termasuk di Indonesia, survei AJI Indonesia pada Agustus 2020 bahwa dari 31 jurnalis perempuan, sebanyak 25 orang mengalami kekerasan seksual. Artinya, dibutuhkan kajian lebih lanjut untuk menelaah interkoneksi antara pemanfaatan teknologi, jurnalis perempuan, dan aktivisme digital untuk mendorong tumbuhnya iklim digital yang suportif dengan literasi digital yang mendukung di dalamnya. Perempuan dan jurnalisme adalah topik yang tidak usang ditelan zaman dan karenanya dibutuhkan kontinuitas kajian yang sedianya tidak saja dilihat dari satu sudut pandang yaitu komunikasi semata. Akan tetapi, kajian terhadapnya juga perlu dilakukan dari sisi lainnya di antaranya sosiologi, politik, kebudayaan, psikologi, ekonomi, dan lainnya sehingga dapat dihasilkan temuan yang lebih holistik dan mampu memberikan solusi konkret atas persoalan yang terjadi. Pada akhirnya, penulis percaya bahwa jurnalis perempuan saat ini dan masa mendatang akan lebih berdaya dan bisa mewujudkan posisi setara yang lebih baik untuk dirinya, sesama rekan perempuannya, dan bahkan lebih luas lagi untuk komunitas tempat bekerja dan masyarakat. Masa itu akan segera datang.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 77 ]
DAFTAR PUSTAKA Agustine, F. P. (2020). “Miris, belum positif Covid-19 tapi dikucilkan”. Ayopurwakarta.com. Retrieved from http://www.ayopurwakarta.com/ read/2020/04/02/4668/miris-belum-positif-covid-19-tapi-dikucilkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. (2016). “Pekerja perempuan di media massa masih banyak alami diskriminasi”. Retrieved from https://www.aji.or.id/read/press-release/491/pekerjaperempuan-dimedia-massa-masih-banyak-alamiAliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. (2017). “Stop kekerasan seksual, penuhi hak jurnalis perempuan di ruang kerja”. Retrieved from https://aji.or.id/read/berita/622/stop-kekerasan-seksual-penuhihak-jurnalis-perempuan-di-ruang-kerja.html Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. (2018). “Catatan akhir tahun 2018: Jurnalis dibayangi persekusi dan kekerasan fisik”. Retrieved from https://aji.or.id/read/press-release/887/catatan-akhir-tahun2018-jurnalis-dibayangi-persekusi-dan-kekerasan-fisik.html Andi, S., Selva, M., & Nielsen R. K. (2020). “Women and leadership in the news media 2020: Evidence from ten markets”. Retrieved from https://reutersinstitute.politics.ox.ac.uk/women-and-leadership-newsmedia-2020-evidence-ten-markets Bartlett, J.; Norrie, R., Patel, S.; Rumpel, R. & Wibberley, S. (2014). “Misogyny on Twitter”. Retrieved from https://www.demos.co.uk/ files/MISOGYNY_ON_TWITTER.pdf Berty, T. T. S. (2019). “Hari perempuan internasional, 3 jurnalis wanita bicara soal kesetaraan”. Liputan6.com. Retrieved from https://www. liputan6.com/global/read/3915286/hari-perempuan-internasional-3jurnalis-wanita-bicara-soal-kesetaraan Byerly, C. M. (2011). Global report on the status of women in the news media. Washington DC: International Women’s Media Foundation. Council of Europe. (2016). “Combating gender stereotyping and sexism in the media”. Retrieved from https://edoc.coe.int/en/gender-
[ 78 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
equality/6945-combating-gender-stereotyping-and-sexism-in-themedia.html Figaro, R. (2018). “The world of work of female journalists: Feminism and professional discrimination”. Brazilian Journalism Research, 14(2), 546-567. https://doi.org/10.25200/BJR.v14n2.2018.1052 Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI). (2020). “Pimred Trans7 dan CNN berbagai kisah sukses pimpin medianya di era 4.0”. Retrieved from http://fjpindonesia.com/pimred-trans-7-dan-cnn-berbagi-kisahsukses-pimpin-medianya-di-era-4-0/ Franks, S. (2013). Women and journalism. London: I.B. Tauris & Co. Ltd. Geertsema‐Sligh, M. (2018). “Gender issues in news coverage”. In T.P. Vos, F. Hanusch, D. Dimitrakopoulou, M. Geertsema-Sligh, & A. Sehl (Eds.), The International Encyclopedia of Journalism Studies (pp. 1-8). Retrieved from https://doi.org/10.1002/9781118841570. iejs0162 Halidi, R. & Varwati, L. (2020). “Bentuk diskriminasi kerja pada jurnalis perempuan versi AJI, apa saja?”. Suara.com. Retrieved from https:// www.suara.com/lifestyle/2020/03/08/195000/bentuk-diskriminasikerja-pada-jurnalis-perempuan-versi-aji-apa-saja?page=1 Herawati, M. (2016). “Pemaknaan gender perempuan pekerja media”. Jurnal Kajian Komunikasi, 4(1), 85-95. http://dx.doi.org/10.24198/ jkk.v4i1.7851. Hồng, V. T., Huế, D. T., Barnett, B., & Lee, T. T. (2016). Gender stereotypes against female leaders in the Vietnamese media. Vietnam: Oxfam. Retrieved from https://vietnam.oxfam.org/sites/vietnam.oxfam.org/ files/file_attachments/Full%20Report%20EN.pdf Ireton, C. & Posetti, J. (2018). Journalism, ‘fake news’ & disinformation. Paris: UNESCO. Komnas Perempuan. (2021). “Perempuan dalam himpitan pandemi: Lonjakan kekerasan seksual, kekerasan siber, perkawinan anak, dan keterbatasan penanganan di tengah covid-19 - catatan kekerasan terhadap perempuan tahun 2020”. Retrieved from https:// komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 79 ]
Lawi, G. F. K. (2020). “Asosiasi jurnalis belum berkomitmen pada kesetaraan gender”. Bisnis Indonesia. Retrieved from https://lifestyle. bisnis.com/read/20200308/219/1210588/asosiasi-jurnalis-belumberkomitmen-pada-kesetaraan-gender Luviana. (2012). Jejak jurnalis perempuan: Pemetaan kondisi kerja jurnalis perempuan di Indonesia. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Retrieved from https://aji.or.id/read/buku/6/jejakjurnalis-perempuan.html Monggilo, Z. M. Z. (2020). “Jurnalis Indonesia di masa pandemi covid-19: Kisah profesi dan catatan harapan”. In Nurudin, D. H. Santoso, & F. Junaedi (Eds.), Media, komunikasi dan informasi di masa pandemi covid-19 (pp. 495-513). Yogyakarta: MBridge Press. Mullin, B. (2015). “Male bylines outnumber female ones at major U.S. news outlets, report finds”. Retrieved from https://www.poynter.org/ reporting-editing/2015/male-bylines-outnumber-female-ones-atmajor-news-outlets-report-finds/ Panama, N. (2021, April 3). “AJI: Waspadai kekerasan terhadap jurnalis perempuan”. Antaranews.com. Retrieved from https://www. antaranews.com/berita/2079046/aji-waspadai-kekerasan-terhadapjurnalis-perempuan Ponsford, D. (2017). “Study finds little change in five years as male bylines dominate UK national newspaper front pages”. Retrieved from https:// www.pressgazette.co.uk/study-finds-little-change-in-five-years-asmale-bylines-dominate-uk-national-newspaper-front-pages/ Posetti, J. (2018). “Module 7: Combatting online abuse: When journalists and their sources are targeted”. In C. Ireton & J. Posetti (Eds.), Journalism, ‘fake news’ & disinformation (pp.115-128). Paris: UNESCO. Riaunin. (2020, August 13). “3 pemred perempuan berbagi cerita tentang kesetaraan gender di ruang redaksi”. Riauin.com. Retrieved from https://www.riauin.com/read-16376-2020-08-13-3-pemredperempuan-berbagi-cerita-tentang-kesetaraan-gender-di-ruangredaksi%C2%A0.html
[ 80 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Ridhoi, M. A. (2020). “Kekerasan terhadap perempuan di masa covid-19”. Katadata.com. Retrieved from https://katadata.co.id/ muhammadridhoi/analisisdata/5f69619121b54/kekerasan-terhadapperempuan-di-masa-covid-19 Risanta, M. (2020). “Titin Rosmasari bicara peran jurnalis perempuan di era digital. Detik.com”. Retrieved from https://news.detik.com/ berita/d-4892443/titin-rosmasari-bicara-peran-jurnalis-perempuandi-era-digital Ruoho, I. & Torkkola, S. (2018). “Journalism and gender: Toward a multidimensional approach”. Nordicom Review, 39(1), 67-79. https:// doi.org/10.2478/nor-2018-0002. SAFEnet. (2019). “Memahami dan menyikapi kekerasan berbasis gender online: Sebuah panduan”. Retrieved from https://id.safenet.or.id/wpcontent/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf Sani, A. F. I. (2021, Mei 1). “UNESCO: Tiga perempat jurnalis perempuan alami kekerasan secara daring”. Tempo.co. Retrieved from https:// dunia.tempo.co/read/1458243/unesco-tiga-perempat-jurnalisperempuan-alami-kekerasan-secara-daring/full&view=ok Smirnova, O. V. (2013). “Women’s advancement in journalism: Psychological characteristics”. Psychology in Russia: State of the art, 6(1), 119-127. https://doi.org/10.11621/pir.2013.0111 Stellarosa, Y. & Silaban, M. W. (2019). “Perempuan, media dan profesi jurnalis”. Jurnal Kajian Komunikasi, 7(1), 97-109. https://doi. org/10.24198/jkk.v7i1.18844 United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Bangkok Office & UN Women Regional Office for Asia and the Pacific. (2015). Inside the news: Challenges and aspirations of women journalists in Asia and the Pacific. Thailand: UNESCO Bangkok. Victoria, A. O. (2020). “AJI: Masih ada ketidaksetaraan gender dalam dunia jurnalistik”. Katadata.com. Retrieved from https://katadata.co.id/ sortatobing/berita/5e9a470c9bea0/aji-masih-ada-ketidaksetaraangender-dalam-dunia-jurnalistik Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 81 ]
White, A. (2009). Getting the balance right: Gender equality in journalism. Belgium: International Federation of Journalists. Retrieved from https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000180707 Widiyarti, Y. (2018). “Najwa Shihab ungkap tantangan jurnalis perempuan. Tempo.co”. Retrieved from https://cantik.tempo.co/read/1156990/ najwa-shihab-ungkap-tantangan-jurnalis-perempuan/full&view=ok Winarnita, M., Mintarsih, A. R., & Bahfen, N. (2020). “How Indonesian female journalists take part in gender activism: The line between journalism and advocacy”. Theconversation.com. Retrieved from https://theconversation.com/how-indonesian-female-journaliststake-part-in-gender-activism-the-line-between-journalism-andadvocacy-148535 Zulfikar, M. (2020). “Jurnalis: Tidak ada perbedaaan gender dunia jurnalistik Indonesia”. Antaranews.com. Retrieved from https:// www.antaranews.com/berita/1666862/jurnalis-tidak-ada-perbedaaangender-dunia-jurnalistik-indonesia
[ 82 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
PUBLIC RELATIONS: DARI PERSPEKTIF PRAKTIS MENUJU KAJIAN AKADEMIK Public relations mengalami metamorfosis yang unik sejak menjadi instrumen praktis dunia industri, hingga menjadi objek kajian dari perspektif akademis. Fakta minimnya apresiasi terhadap kajian public relations dibahas dalam sebuah logika interelasi antara kondisi industri dan kondisi akademis berbasis konteks historis Amerika. Fakta lain yang sangat menarik adalah pemanfaatan fungsi-fungsi public relations ke dalam banyak aspek kehidupan konkret. Seperti dalam praktek komunikasi pemasaran, dan komunikasi politik. Gejala ini membuat dunia public relations berada dalam situasi unik. Di tengah kurang apresiatifnya perspektif akademis untuk menelaah praktek public relations, justru adopsi beragam teknik dan penerapan public relations ke dalam berbagai keahlian teknis menjadi tantangan tersendiri bagi akademisi.
BAB 6 Memperkaya Kajian Public Relations di Indonesia I Gusti Ngurah Putra Pengantar
P
ublic relations sebagai sebuah disiplin akademik di Indonesia selama ini cenderung ditempatkan sebagai disiplin keilmuan yang lebih berorientasi praktis daripada akademis. Mereka yang menempuh atau mengambil program studi public relations kebanyakan setelah lulus ingin menjadi praktisi atau bekerja di bidang public relations atau hubungan masyarakat. Sering juga pendidikan dalam bidang public relations disebut sebagai pendidikan profesional dengan syarat antara lain adanya pengembangan basis body of knowledge (Broom & Sha, 2013:138) melalui riset dengan harapan dari pendidikan ini akan lahir para pelaku profesi bidang public relations. Sayangnya, jika di beberapa negara riset untuk menghasilkan “body of knowledge” sudah berlangsung cukup lama (lihat misalnya Grunig, 2006), di Indonesia riset untuk pengembangan “body of knowledge” masih sangat terbatas, jika tidak ingin mengatakan tidak ada. Dalam posisi demikian, riset-riset yang dikembangkan juga lebih berorientasi pada kepentingan praktis dengan melihat public relations semata-mata sebagai praktik komunikasi dalam konteks pengembangan organisasi bisnis atau organisasi politik terutama pemerintah. Intinya, bagaimana riset dikembangkan untuk membuat praktik public relations lebih efektif bagi organisasi, sehingga public relations menjadi sangat corporate centric (Mackey, 2011). Dengan melihat public relations seperti itu, ada dampak serius terhadap keberadaan public relations sebagai disiplin keilmuan. Pertama, secara akademik, public relations tidak memperoleh penerimaan sebagai disiplin bergengsi yang bisa menarik orang-orang untuk menekuni disiplin
[ 84 ]
public relations. Apalagi ketika dalam dunia praktik para praktisi public relations juga tidak menempati posisi-posisi penting dalam manajemen dan cenderung menjadi bagian yang melegitimasi praktik-praktik tidak etis dalam bisnis seperti melakukan window dressing, spinning the issue, dan sejenisnya (Coombs & Holladay, 2014) sehingga cibiran negatif terhadap public relations sebagai sebuah praktik komunikasi dianggap hal yang layak diterima. Kedua, pengembangan riset dalam public relations tidak memperoleh tempat layak dalam pertarungan wacana akademik di jurnaljurnal akademik yang berreputasi tinggi. Ketiga, tidak banyak mereka yang memiliki kualifikasi yang bagus untuk tertarik berkarier dalam dunia akademik public relations seperti halnya mereka yang tertarik pada disiplin lain, walau dalam waktu belakangan sudah mulai muncul generasi-generasi baru yang tertarik untuk mengembangkan riset-riset public relations yang berorientasi akademis. Dalam usaha memberi ruang yang lebih baik kepada disiplin public relations sebagai kajian akademik dan meningkatkan kualitas riset sebagai pengembangan keilmuan public relations tulisan ini mengusulkan pentingnya menempatkan public relations dalam tempat yang lebih terbuka dengan melihat public relations tidak semata-mata sebagai praktik komunikasi hanya dilakukan oleh korporasi/perusahaan besar dan atau pemerintah, tetapi sebagai praktik komunikasi yang bisa dilakukan oleh siapa saja dalam memperjuangkan kepentingan mereka di arena atau pasar gagasan dalam negara demokratis (lihat misalnya Coombs & Holladay, 2014). Pengembangan riset public relations yang terlalu corporate centris dengan pendekatan yang terbatas terutama pada pendekatan manajemen strategis seperti yang dilakukan Grunig (2018). Grunig & Grunig (2000) juga ikut membatasi pengembangan public relations sebagai sebuah disiplin akademik yang bergengsi yang tidak semata-mata untuk melayani kepentingan korporasi tetapi juga melakukan emansipasi kemanusiaan. Oleh karena itu, tulisan ini akan me-review berbagai pendekatan yang telah dikembangkan oleh berbagai sarjana di berbagai tempat sehingga mampu menghasilkan riset dalam bidang public relations yang lebih bervariasi dan kaya perspektif. Tulisan ini akan dibagi ke dalam dua bagian, yakni pembahasan dominannya pengaruh Amerika Serikat dalam pengembangan disiplin public relations yang sayangnya pengaruh itu Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 85 ]
tidak memberi perspektif yang lebih variatif dalam pengembangan disiplin public relations. Meninjau secara terbatas riset-riset public relations di Indonesia untuk menunjukkan terbatasnya pendekatan dalam riset public relations dan mengajukan rekomendasi untuk pengembangan disiplin public relations di Indonesia.
Pengaruh Amerika Serikat dalam Disiplin Public Relations Tidak dapat dipungkiri di Indonesia bahkan di beberapa negara disiplin public relations sangat dipengaruhi oleh perkembangan disiplin public relations di Amerika Serikat, terutama melalui buku-buku teks yang sebagian besar masih mengacu pada buku teks terbitan Amerika Serikat melalui buku seperti Effective Public Relations karangan Cutlip & Center (1982) yang terakhir menjadi Cutlip & Center’s Effective Public Relations (Broom & Sha, 2013) atau buku karangan Wilcox dan kawan-kawan Public Relations: Strategies and Tactics (2015), karya Seitel, The Practice of Public Relations (2017), dan beberapa buku lainnya. Bahkan, bukubuku lama seperti, Modern Public Relations tulisan John Marston masih sering dijadikan rujukan. Atau buku Frasier Moore, Public Relations: Principles, Cases & Problems yang di Amerika Serikat sendiri sudah lama tidak diterbitkan lagi di Indonesia masih terus dicetak ulang. Buku-buku terbitan Amerika di samping menjadi acuan utama buku public relations di Indonesia juga secara langsung dijual, baik dalam bentuk asli maupun dalam bentuk terjemahan. Harus diakui, studi public relations di Amerika Serikat memang berkembang begitu pesat sehingga menghasilkan body of knowledge yang menjadi sumber penting pembelajaran dan juga pengembangan riset public relations di banyak tempat, walau perlu pula dicatat, di sejumlah tempat perspektif atau pendekatan dalam kajian public relations dilakukan secara hati-hati. Memang harus juga diakui ada buku-buku terbitan Inggris yang lebih cenderung memberi petunjuk praktis tanpa dukungan teori dan riset seperti buku teks terbitan AS, seperti karangan Frank Jefkins dan belakangan muncul juga buku teks yang lebih komprehensif sebagai karya akademisi public relations di daratan Eropa seperti Exploring Public Relations (Tench & Yeomas, 2017) dan beberapa karya Gregory (2010) dan beberapa karya lain. [ 86 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Dalam kata-kata Mackey (2011), industri utama public relations masih didominasi oleh ideologi korporatisme yang bersumber pada tradisi bisnis di Amerika Serikat dalam usaha mereka menghadapi berbagai perubahan dan tantangan yang muncul sejalan dengan gagasan tentang hak-hak asasi manusia. Perkembangan dan perdebatan paradigma dalam kajian public relations di Amerika Serikat, sayangnya tak sepenuhnya terbawa keluar termasuk yang masuk ke Indonesia. Buku-buku yang menjadi acuan atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau masuk secara langsung ke Indonesia tidak sepenuhnya memberi seluruh perspektif dalam mengkaji perkembangan public relations di Amerika Serikat. Digitalisasi yang kini berkembang memang sedikit membantu untuk mengetahui berbagai perdebatan teoritik yang berkembang terutama melalui jurnal elektronik yang kini mulai bisa diakses secara lebih bebas dan terbuka. Buku-buku yang masuk tentang public relations umumnya merupakan buku teks yang berkembang dan digunakan dalam tradisi sekolah jurnalisme dan komunikasi massa, sementara buku-buku public relations yang berasal dari tradisi sekolah speech communication hampir tak pernah muncul atau digunakan dalam pembelajaran public relations di Indonesia. Hal ini bisa dimaklumi karena sekolah-sekolah komunikasi di Indonesia umumnya lahir dari tradisi komunikasi massa atau publisistik dalam tradisi Jerman/Belanda. Ketika pengaruh Belanda berkurang dan Amerika mulai menancapkan pengaruhnya di Indonesia dengan membawa praktik humas melalui perusahaan-perusahaan minyaknya di tahun 1950-an (Putra, 2008) dan juga bantuan buku-buku teks komunikasi mulai tahun 1960an lewat Yayasan Rochefeller, disiplin komunikasi yang berkembang di Indonesia juga sedikit banyak dipengaruhi oleh disiplin komunikasi massa yang berkembang di Amerika Serikat. Buku legendaris dalam bidang Komunikasi Massa, the Process and Effect of Mass Communication (terbit pertama kali tahun 1955) yang disunting Wilbur Schramm dan Donald F. Roberts menjadi bacaan wajib mahasiswa komunikasi di sejumlah kampus seperti UI dan UGM sebagai dua kampus negeri yang paling awal memiliki jurusan publisistik (berubah menjadi Jurusan Komunikasi/Massa tahun 1983). Bidang public relations dalam buku-buku komunikasi massa selalu menjadi topik yang dibahas karena terkait dengan interaksi public relations perusahaan dengan media massa. Beberapa buku menempatkan Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 87 ]
bahasan tentang public relations sebagai sistem pendukung media (media support system) disejajarkan dengan periklanan (DeFleur & Dennis, 1985; Agee, Ault, dan Emery, 1991 dan sejumlah buku komunikasi massa lain). Sebenarnya, di Amerika Serikat sendiri, di samping berkembang sekolah dalam tradisi komunikasi massa dan jurnalisme berkembang juga sekolah speech communication yang mengembangkan disiplin komunikasi antarmanusia sehingga memberi perhatian lebih kepada proses komunikasi antarmanusia tanpa termediasi media massa atau lebih umum pada aspek retorika dalam komunikasi lisan walau belakangan juga retorika dalam berbagai konteks komunikasi. Tradisi ini berpengaruh terhadap perkembangan disiplin public relations sebagai sebuah kajian akademik di tingkat universitas. Tradisi sekolah jurnalisme dan komunikasi massa cenderung mengembangkan public relations dalam pendekatan sistem dan tradisi speech communication cenderung mengembangkan pendekatan retorik. Walaupun mungkin kecenderungan itu tidak begitu tegas bisa dibedakan. Oleh Grunig (2009), disebutkan sebagai adanya dua paradigma dalam melihat public relations yakni paradigma simbolis atau interpretif dan paradigma behavioral atau manajemen strategis yang saling memperebutkan pengaruh. Perbedaan paradigma ini sejalan dengan apa yang dibahas dalam buku Rhetorical and Critical Approaches to Public Relations baik yang edisi pertama (disunting oleh Robert L. Heath dan Elizabeth Toth) maupun yang kedua yang disunting oleh Robert L. Heath, Elizabeth Toth dan Damion Wayner, walaupun terdapat tambahan dengan adanya paradigma kritis, sehingga oleh Heath dan Toth disebutkan adanya tiga pendekatan dalam studi public relations di Amerika Serikat. Ketiganya adalah pendekatan retorik (rhetorical approach), pendekatan sistem (systems approaches), dan pendekatan kritis (critical approach). Pendekatan retorik atau teori retorik menempatkan peranan informasi, fakta dalam membentuk pengetahuan dan pendapat serta menjadikan orang lebih yakin dan termotivasi dalam bertindak (Heath, 2009: 21). Pendekatan retorik mengonsepkan public relations sebagai sebuah cara yang dimanfaatkan setiap organisasi atau kelompok dalam memengaruhi pihak lain melalui pesan-pesan persuasif. Kajian difokuskan pada pemanfaatan [ 88 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
wacana (discourse) untuk meyakinkan kalangan pihak berkepentingan (stakeholders). Menurut Heath (1992), public relations merupakan sebuah bentuk retorika. Melalui retorika, sebuah organisasi yang dibantu oleh para praktisi public relations memengaruhi pendapat, membentuk saling pemahaman, penilaian, dan juga sikap kelompok lain. Heath memandang retorika begitu penting peranannya dalam masyarakat karena melalui retorikalah, pendapat, pengertian dan penilaian dapat dibentuk dan tindakan dapat dilakukan. Retorika menjadi sangat penting dalam masyarakat yang demokratis dan terbuka. Setiap orang bisa memanfaatkan retorika untuk memperjuangkan kepentingan dan menjaga keberadaan diri mereka. Hal yang oleh pendekatan kritis dilihat sebagai sesuatu yang sulit diwujudkan karena terjadinya ketidakseimbangan power. Pendekatan sistem (systems approaches) bertumpu pada teori sistem dalam melihat organisasi yang berasal dari tradisi struktural fungsional dalam ilmu sosial. Heath (2009: 20) menyatakan teori ini berguna dalam melihat proses public relations tetapi gagal dalam membantu praktisi public relations dan para sarjana dalam memahami pesan-pesan yang secara strategis dan etis relevan untuk masing-masing pihak melakukan penyesuaian melalui informasi yang dialirkan dan dalam menyeimbangkan hubungan antara organisasi dan publik melihat public relations sebagai sebuah fungsi dalam organisasi untuk melakukan adaptasi dan penyesuaian terhadap lingkungan tempat ia berada. Sistem teori melihat sebuah organisasi sebagai sebuah organisme yang terdiri atas sejumlah bagian yang saling berhubungan satu sama lainnya dan organisme itu sendiri juga berinteraksi dengan lingkungan yang melingkupinya untuk mencapai tujuan tertentu (Putra, 1997; 123). Organisasi sebagai sebuah sistem hidup dalam sebuah lingkungan yang bisa disebut sebagai supra-sistem. Suprasistem selalu dalam kondisi yang labil atau mengalami perubahan sehingga setiap organisasi harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang bisa berubah dengan cepat. Dari perspektif demikian, public relations diharapkan dapat berfungsi untuk membela kepentingan organisasi juga berfungsi untuk membela kepentingan berbagai publik. Public relations membantu organisasi dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan yang berubah melalui pertukaran informasi (information seeking dan information releases). Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 89 ]
Sesuai dengan tradisi dalam pendekatan kritis, pendekatan ini bersumber pada usaha untuk membongkar dominasi dan kepentingan siapa yang dilayani oleh para praktisi public relations. Toth (1992) menganggap bahwa sarjana dari aliran kritis dalam studi public relations menganalisis organisasi dan pesan-pesan yang ditampilkan bukan dalam usaha untuk memperbaiki organisasi bersangkutan, tetapi lebih pada merusak kepercayaan orang terhadap organisasi. Memang, dalam kacamata pendekatan kritis, peranan utama public relations dalam sebuah organisasi lebih menonjol untuk mempertahankan “kesejahteraan” organisasi melalui usaha-usaha pengontrolan terhadap lingkungan organisasi (Gandhy, Jr., 1992) daripada membela kepentingan publik. Gandhy, misalnya, melihat berbagai upaya yang dilakukan sejumlah ahli untuk membawa public relations menuju praktik yang secara sosial lebih bisa diterima, seperti yang dilakukan James Grunig dkk., dianggap kurang realistis (lihat misalnya Rakow, 1989). Bagi pendekatan kritis, public relations adalah alat atau “tool” bagi sebuah organisasi untuk mendominasi pasar gagasan. Hal yang tak mendapat perhatian dari pendekatan retorik. Namun demikian, dalam konteks posmodern, kuasa (power) tidak hanya dimiliki oleh perusahaan, tetapi juga kelompok-kelompok di luar perusahaan, termasuk pada buruh. Suara buruh juga bisa dikaji untuk mengungkap bagaimana mereka memperjuangkan kepentingan mereka (Cassinger & Thelander, 2020). Public relations merupakan sebuah instrumen yang melayani kepentingan kelompok bisnis atau kelas dominan dalam masyarakat. Toth (2009:49) melihat adanya tiga pendekatan dalam kajian public relations sebagai sebuah pluralisme. Dalam pandangan Toth, pendekatan kritis dan pendekatan retorik dalam mengkaji public relations tidak sebatas bagaimana public relations berfungsi bagi organisasi, tetapi juga pada proses pembentukan makna (meaning-making) antara organisasi dan berbagai publiknya sejalan dengan pengembangan, penciptaan bersama, negosiasi dan menjaga hubungan satu sama lainnya. Oleh karena itu, Toth mengklaim para pengkaji dalam tradisi retorika dan kritis menggunakan pendekatan yang lebih humanis dalam mengkaji public relations. Menurut Toth, studi retorika menaruh kepedulian pada bagaimana orang sebagai individu, kelompok, dan organisasi menciptakan makna melalui argumen dan lawan argumen, menciptakan masalah, mengatasi [ 90 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
ketidakpastian, bersaing untuk memperoleh posisi yang menguntungkan atau untuk membangun koalisi dalam penyelesaian masalah (2009:50).
Arah Riset Public Relations di Indonesia Dominasi Amerika Serikat dalam pengembangan disiplin public relations bukannya tanpa tandingan dari negara-negara lain. Pengembangan excellent public relations oleh Grunig dkk. (1992) melalui proyek riset dengan label Proyek Excellent yang disponsori oleh IABC mendapat berbagai kritik tidak saja dari pengembang tradisi ‘speech communication’ di Amerika Serikat tetapi juga oleh para pengembang public relations di Eropa dan Australia. Kritik terhadap teori excellent public relations bersumber pada pengabaian teori ini terhadap aspek power (Fitch, 2016). Sejumlah sarjana dalam bidang public relations dari Eropa menawarkan beragama perspektif yang berbeda dengan pengembangan public relations di Amerika Serikat (lihat misalnya Ihlen dkk., 2009; Edward & Hodge, 2011). Walau usaha untuk membangun body of knowledge sudah mulai mendapat perhatian dengan munculnya riset-riset public relations pada tingkat doktoral (Yudarwati, 2011; Dhani, 2018), dan beberapa yang lain, kajian-kajian public relations di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh tradisi dalam pendekatan sistem dengan buku babon utama di samping buku Effective Public relations dan buku-buku lain seperti buku Excellent Public Relations karya Grunig dkk. (1992). Oleh karena itu, untuk melengkapi kajian public relations di Indonesia kiranya perlu juga mempertimbangkan berbagai pendekatan yang telah dikembangkan dalam disiplin lain seperti misalnya antropologi dengan mengembangkan antropologi public relations (L’etang, 2011), atau yang dalam istilah Edward dan Hodges (2011) sebagai perubahan radikal menuju kajian sosial-budaya dalam public relations. Riset-riset humas di Indonesia selama ini masih dominan menggunakan perspektif tunggal dengan pendekatan teori sistem atau riset yang berfokus pada bagaimana public relations melayani kepentingan organisasi, terutama organisasi bisnis atau organisasi politik, terutama pemerintah. Cukup banyak peneliti yang meneliti tentang strategi komunikasi seperti yang dilakukan Romli dan Romli (2020) yang meneliti tentang Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 91 ]
strategi komunikasi yang digunakan oleh praktisi public relations dalam membangun brand kota, dalam hal ini implementasi strategi komunikasi “Bandung Juara” sebagai bagian dari city branding Kota Bandung. Namun demikian, mulai berkembang juga penelitian yang menggunakan manajemen hubungan seperti yang dilakukan Tania (2020) yang meneliti hubungan organisasi-publik dalam akun Instagram resmi perusahaan telekomunikasi (Tania, 2020). Hampir sebagian besar kajian tentang public relations masih menggunakan pendekatan sistem yang menekankan pada public relations sebagai fungsi manajemen, seperti yang dimuat dalam salah satu jurnal bidang public relations, Profesi Humas yang diterbitkan oleh Fikom Universitas Padjajaran sejak tahun 2015. Salah satu peneliti produktif dalam bidang public relations di Indonesia (Kriyantoro, 2018, 2020) tampaknya masih berfokus meneliti humas sebagai bagian dari manajemen strategis seperti yang digagas oleh Grunig. Walaupun, dalam beberapa risetnya, terutama yang bertema komunikasi krisis mulai tampak penggunaan paradigma simbolis (Kriyantoro, 2019). Saat ini juga sudah mulai muncul riset-riset dengan pendekatan interpretif dalam melihat public relations seperti yang dilakukan oleh Yudarwati (2011) dan cenderung menggunakan pendekatan kritis seperti yang dilakukan oleh Dhani (2018). Yudarwati (2011) misalnya meneliti bagaimana persepsi praktisi public relations terhadap Corporate Social Responsibility untuk memahami pelaksanaan program CSR yang akan dijalankan perusahaan. Sementara Dhani (2018) melihat public relations dalam kerangka proses pertukaran informasi yang bahkan dalam bentuk propaganda pun bisa dikategorikan sebagai kegiatan public relations. Untuk memperluas perspektif dalam mengembangkan public relations sebagai sebuah disiplin keilmuan, artikel ini mendukung gagasan MacKey (2011) dalam melihat public relations sebagai “both in the sense of an extensive, specific industry, as well as in the sense of the general processes increasingly being used by all sorts of groups and organisations to get their voices heard, their effects felt, their interests defended and their aims achieved.” Public relations sebagai proses-proses (komunikasi) yang digunakan oleh tidak hanya organisasi bisnis tetapi juga oleh berbagai jenis kelompok dan organisasi agar suara mereka didengar, kehadiran mereka dirasakan, kepentingan-kepentingan mereka bisa mereka perjuangkan [ 92 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
dan pertahankan dan tujuan kehadiran mereka dapat dicapai. Perubahan teknologi komunikasi, termasuk dengan munculnya teknologi komunikasi digital membuka ruang baru bagi kajian public relations dengan berubahnya karakter utama teknologi yang semakin membuka ruang-ruang dialog atau interaksi (lihat misalnya Grunig, 2009; Putra, 2020). Dengan demikian setiap usaha kelompok untuk memperjuangkan kepentingannya di tengah-tengah masyarakat atau di ruang publik layak untuk dikaji sebagai praktik public relations. Ini akan menambah arena kajian dan sekaligus dapat mengurangi kecenderungan riset yang corporate centris dalam bidang public relations. Di samping, terbuka juga peluang untuk meriset praktik-praktik dominasi yang dilakukan kelompokkelompok dominan dengan menggunakan public relations.
Penutup Perkembangan kajian public relations saat ini tidak saja begitu pesat di Amerika Serikat, tetapi juga di beberapa negara Eropa seperti Inggris, Jerman, Belanda, negara-negara Skandinavia, dan beberapa negara lain seperti Australia, Korea. Perkembangan kajian antara lain ditunjukkan dengan kekayaan perspektif yang dipakai dan pengembangan publikasi kajian melalui jurnal dalam bidang public relations. Jika sampai akhir tahun 1980-an hanya ada beberapa jurnal akademik seperti Public Relations Review di Amerika Serikat, saat ini, terutama sejak tahun pertengahan 1990-an mulai muncul jurnal-jurnal akademik untuk bidang public relations di berbagai kawasan, seperti Asia Pacific Public Relations Journal (mulai terbit tahun 1996 kerja sama Deakin University dan University of Canberra), Prism (jurnal elektronik yang diterbitkan Massey University di Selandia Baru), Journal of Public Relations Research, Public Relations Inquiry dan beberapa jurnal lainnya. Di Indonesia walau Perhumas sudah merintis penerbitan jurnal akademik, sampai saat ini belum bisa terbit secara teratur dan isinya belum banyak yang merupakan hasil kajian yang bisa digunakan untuk memperkaya pemahaman dan kajian public relations. Tulisan ini mengusulkan pentingnya untuk memperkaya perspektif dalam kajian public relations dengan mengacu pada berbagai perspektif yang sudah Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 93 ]
berkembang di berbagai negara. Para sarjana komunikasi di bidang public relations juga bisa menawarkan perspektif baru yang mungkin muncul di Indonesia. Budaya Indonesia yang cenderung mengutamakan kehidupan yang harmonis mungkin dapat menjadi titik tolak penting dalam mengkaji dan mengembangkan public relations di Indonesia. Di samping perluasan perspektif, kajian-kajian public relations sebenarnya juga telah diperkaya dengan adanya pengaruh teknologi komunikasi digital yang mengubah cara dan teknik komunikasi yang digunakan berbagai kelompok masyarakat dalam memperjuangkan kepentingan. Ada banyak perubahan penting yang terjadi dengan kehadiran teknologi komunikasi digital ini, seperti misalnya berubahnya pola hubungan dengan media yang dilakukan perusahaan, semakin sulitnya perusahaan melalui bagian public relations-nya melakukan pengendalian terhadap informasi yang beredar. Publik yang pada media konvensional mengandalkan informasi pada media massa, saat ini bisa memperoleh informasi dari berbagai platform media dan pada saat yang sama mereka juga dapat memproduksi informasi yang belum tentu menyenangkan organisasi.
[ 94 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
DAFTAR PUSTAKA Agee, W. K., Ault, P.H. & Emery, E. (1991). Introduction to Mass Communication. Edisi kesepuluh. New York: HarperCollins. Broom, Glen M. dan Sha, Bey-Ling (2013). Cutlip and Center’s Effective Public Relations. Edisi kesebelas. Boston: Pearson Education. Cassinger, C. & Thelander, A. (2020). “Voicing the Organization on Instagram: Towards a Performative understanding of Employee Voice”. Public Relations Inquiry, Vol. 9(2), 195-212. Cutlip, S.M & Center, A.H. (1982). Effective Public Relations. Edisi ketujuh. New Jersey: Prentice Hall. Coombs, W.T. & Holladay, S.J. (2014). It’s not Just PR: Public Relations in Society. West Sussex: Wiley Blackwell. DeFleur, M.L. & Dennis, E.E. (1985). Understanding Mass Communication. Boston: Houghton Mifflin Company. Dhani, R. (2018). “Political Public Relations in Indonesia Under Yudhoyono Presidency: Past Development and New Formations”. Disertasi Doktor, Perth, Murdoch University. Dhani, R., Lee, T. & Fitch, K (2018). “Political Public Relations in Indonesia: A History of Propaganda and Democracy”. Asia Pacific Public Relations Journal | Vol. 16, No. 1, pp. 22-36. Edward, L. & Hodge, C.E. ed (2011). Public Relations, Society and Culture: Theoretical and Empirical Explorations. London & New York: Routlegde. Fitch, K. (2016). Professionalizing Public Relations: History, Gender and Education. London: Palgrave Macmillan. Gandhy, Jr. O. J. (1992). Public relations and public policy: The structuration of dominance in the information age. Dalam L. Toth & R. L. Heath (editor), Rhetorical and Critical Approaches to Public Relations, hal. 131-163. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Gregory, A. (2010). Planning and Managing Public Relations: A Strategic Approach. London: Kogan Page. Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 95 ]
Grunig, J.E (1992). “Communication, Public Relations, Effective Organizations: An Overview of the Book”. Dalam J. E. Grunig (penyunting), Excellence in Public Relations and Communication Management . Hillsdale, NJ: Lawrence Earlbaum Associates. Hal. 285-325. Grunig, J.E dan Larissa Grunig (2000). “Public Relations in Strategic Management an Strategic Management of Public Relations: theory and evidence from the IABC Excellence project”. Journalism Studies, Volume 1, Number 2, 2000, pp. 303–321 Grunig. J.E (2006). “Furnishing the Edifice: Ongoing Research on Public Relations As a Strategic Management”. Journal of Public Relations Research, Vol. 18:2, 151-176. Grunig, J.E (2009). “Paradigm of Global Public Relations in an Age of Digitalisation”. Prims Vol. 6, No. 2. terarsip dalam http://praxis. massey.ac.nz/prism_online_journ.html. Grunig, JE. (2018). “Strategic Behavioral Paradigm”. Dalam Robert L.Heath and Winni Johansen (Editors-in-Chief), The International Encyclopedia of Strategic Communication. New York & London: JohnWiley & Sons, Inc. Heath, R. L. (1992). “The wrangle in the marketplace: A rhetorical perspective of public relations”. Dalam E. L. Toth & R. L. Heath (editor), Rhetorical and Critical Approaches to Public Relations, hal. 17-63. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Heath, R.L. (2009). “The Rhetorical Tradition: Wrangle in the Marketplace”. Dalam Heath, R. L. & Elizabeth Toth dan Damion Waymer (editor). (2009) Rhetorical and Critical Approaches to Public Relations II. New York & London: Routlegde Heath, R. L. & Elizabeth Toth dan Damion Waymer (editor). (2009) Rhetorical and Critical Approaches to Public Relations II. New York & London: Routlegde. Ihlen, O., van Ruler, B., & Fredriksson, M. (2009). Public Relations and Social Theory: Key Figures and Concepts. New York: Routledge.
[ 96 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Kriyantoro, R. (2018). Meneropong Praktik Public Relations di Indonesia dengan Teori dan Riset: Disertasi Contoh-contoh Riset Kontemporer. Malang: Brawijaya University Press. Kriyantoro, R. (2019). “Apologia Strategies and Ethical Aspect of Government Public Relations in Crisis Situation”. Jurnal Representamen Vol 5 No. 02, 32-41. Kriyantoro, R. (2020). “Analisis Isi Skripsi Kehumasan di Perguruan Tinggi”. Jurnal Aristo (Social, Politic, Humaniora) Vol. 08, No.1 (2020): January, pp. 111-128 L'etang, J. 2011. "Imagining public relations anthropology". Dalam L. Edwards & C.E.M. Hodges. eds. Public Relations, Society & Culture: Theoretical and Empirical Explorations. London & New York: Routlegde. Mackey, S. (2011). Public Relations and Contemporary Theory. Disertasi doktor pada Swinburne University, Australia. Putra, IGN. (1997). “Perkembangan Teori Public Relations dan Implikasinya terhadap Penelitian dan Pendidikan Public Relations di Indonesia”. Trend Komunikasi: Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia. Vol 1, pp. 120-132. Putra, IGN. (2008). “Konteks historis praktek humas di Indonesia”. Jurnal Ilmu Komunikasi, 6(3), hal. 178-190. Putra, IGN. (2020). “Media Sosial dan Interaktivitas dalam Dunia Public Relations”. Jurnal Bisnis Terapan, Vol 4, No1, hal. 1-11 Rakow, L.F. (1989). “Information and power: Toward a critical theory of information campaigns”. Dalam C.T. Salmon (editor), Information Campaigns: Balancing Social Values and Social Change., hal. 164184. Newbury Park, Cal: Sage. Romli, R. & Romli, N.A. (2020). “Implementasi strategi komunikasi “Bandung Juara” sebagai bagian dari city branding Kota Bandung”. PRofesi Humas, Volume 4, No. 2, hlm. 263-289. Schramm, W. & Roberts, D. F. (1971) The Process and Effect of Mass Communication. Urbana: University of Illinois Press.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 97 ]
Seitel, F.P. (2017). The Practice of Public Relations. Edisi ketigabelas. Boston: Perason. Tania, S. (2020). “Mediated relationship: menakar hubungan organisasipublik dalam akun Instagram resmi perusahaan telekomunikasi”. PRofesi Humas, Volume 5, No. 1, hlm. 121-142 Tench, R. & Yeomans, L (2017). Exploring Public Relations: Global Strategic Communication. Edisi keempat. London: Pearson. Toth, E. L. (1992). “The case for pluralistic studies of public relations: Rhetorical, critical and systems perspectives”. Dalam E. L. Toth & R. L. Heath (editor), Rhetorical and Critical Approaches to Public Relations, hal. 17-63. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Toth, E. (2009). “The Case for Pluralistic Studies of Public Relations: Rhetorical, Critical and Excellent Perspectives”. Dalam R.L. Heath, E. L. Toth dan D. Waymer (ed). Rhetorical dan Critical Approaches to Public Relations II. New York: Routlegde. Wilcox, D.L., Cameron, G.T. dan Reber, B.H. (2015). Public Relations Strategies and Tactics. Boston: Pearson. Yudarwati, G.A. (2011). The Enactment of Corporate Social Responsibility and Public Relations Practices: Case Studies from the Indonesian Mining Industry. Disertasi Doktor, RMIT University, Melbourne.
[ 98 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
BAB 7 Menyegarkan Kembali Kajian Komunikasi Politik di Indonesia: Visualisasi, Ideasi, dan Mediatisasi Politik Sebagai Domain Kajian dan Paradigma Riset Alternatif Nyarwi Ahmad Pengantar
K
omunikasi politik merupakan sebuah fenomena multidimensi dan sekaligus sebagai bidang kajian yang bersifat multi/lintas disipliner (Ahmad, 2012). Sejak tahun 1935-an, bidang kajian ini terus bermetamorfosis, dari yang semula hanya fokus pada kajian propaganda dan pesan-pesan politik dan efeknya pada audiens (Laswell, 1936; Chaffe, 1975; Roger, 1994), berkembang ke arah kajian mengenai ragam aktor, bentuk-bentuk dan konteks komunikasi politik (McNair, 2004), dinamika opini publik, agenda media dan agenda publik, model-model kampanye politik (Seib, 2008), hingga berkembang ke arah model-model politik komunikasi (politics of communication) (Chaffe, 2001; Gazali, 2004). Metamorfosis bidang kajian komunikasi politik ini tak terhindarkan. Penyebabnya adalah adanya beragam jenis tren yang terjadi di setiap perubahan zaman. Artikel ini ditulis dengan latar belakang perkembangan berikut. Selama beberapa dasawarsa terakhir, tiga tren berikut mewarnai proses komunikasi politik di berbagai belahan dunia. Pertama, menguatnya kebiasaan baru di kalangan politisi untuk mengekpresikan dirinya secara visual dan menyebarkan pemikirannya melalui berbagai jenis media massa dan media sosial. Hal tersebut dengan mudah dapat kita jumpai dalam kehidupan keseharian kita, ketika kita menonton berita di media massa, melihat baliho, spanduk, dan poster mereka di jalan raya dan tempat[ 99 ]
tempat umum dan menyimak berbagai jenis platform komunikasi yang ada di sekeliling kita. Kecenderungan ini berlangsung seiring meningkatnya kebiasaan masyarakat untuk menvisualisasikan ekspresi dan sikap politiknya melalui berbagai medium komunikasi massa dan interaktif, khususnya sosial media. Kedua, menguatnya intensitas persebaran dan pertarungan ideide pemikiran politik yang bersumber dari kalangan elite atau yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang terlibat dalam perdebatan ide-ide tersebut. Tren ini mudah kita jumpai dalam kehidupan keseharian ketika kita menyimak program talk show yang disiarkan oleh televisi dan juga radio. Beragam perdebatan di media tersebut tidak hanya bersumber dari kalangan elit, namun juga dari isu-isu aktual yang dihadapi oleh masyarakat. Ada kalanya perdebatan tersebut cukup berbobot, cukup objektif/tidak partisan, mengakomodasi banyak perspektif dan melibatkan para narasumber yang cukup atau bahkan sangat kredibel, seperti yang dihadirkan dalam program-program talkshow yang ada di TV One (seperti Apa Kabar Indonesia dan Indonesia Lawyer Club), Kompas TV (Sapa Indonesia) dan juga CNN (CNN Prime News). Namun banyak juga perdebatan yang dihadirkan oleh media-media tersebut kurang berbobot, cenderung partisan, hanya bertumpu pada salah satu perspektif dan mengundang para narasumber yang tidak kredibel. Perdebatan ini seringkali berlanjut dalam berbagai platform media sosial dan melibatkan beragam jenis kelompok masyarakat. Di platform tersebut, isu-isu yang diperdebatkan acapkali disertai dengan beragam ujaran kebencian dan bahkan pencemaran nama baik orang ataupun institusi, hingga berujung pada gugatan pengadilan. Ketiga, munculnya beragam inovasi model komunikasi politik yang dilakukan oleh para aktor politik. Inovasi tersebut dilakukan dengan mengadaptasi logika-logika media massa dan media sosial. Para politisi tampak kian akrab dengan istilah “gak layak berita/gak nendang” dan “gak bisa viral”. Trending topik dan viralitas menjadi parameter yang makin akrab di telinga mereka. Keinginan untuk menjadi sumber berita dan/atau pusat topik pemberitaan dan menjadi trending topik dan pusat percakapan yang viral menjadi ajang perlombaan baru di kalangan mereka. Perlombaan inovasi tersebut mereka lakukan untuk menghindari frame negatif di media [ 100 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
massa dan merespons sentimen negatif yang berkembang di berbagai jenis media sosial. Meskipun ketiga tren di atas semakin nyata dalam kehidupan kita, kajian yang dilakukan oleh para peneliti/akademisi di bidang komunikasi politik terhadap tren tersebut masih cukup terbatas. Berdasarkan kondisi ini, penulis, dalam artikel ini, hendak mendiskusikan sejumlah pertanyaan berikut. Sejauh mana fenomena visualisasi, ideasi dan mediatisasi politik dapat menjadi domain kajian dalam studi komunikasi politik? Sejauh mana visualisasi, ideasi, dan mediatisasi politik dapat kita pertimbangkan sebagai paradigma alternatif dalam studi komunikasi politik di Indonesia? Kedua pertanyaan tersebut, akan didiskusikan dalam poin-poin berikut.
Aktor Politik dan Visualisasi Politik Visualisasi politik merupakan proses pengekspresian pikiran dan perasaan yang dilakukan oleh para aktor politik melalui simbol-simbol visual (Schill, 2012). Visualisasi politik pada dasarnya bukan lah hal baru yang dilakukan oleh para aktor politik. Tren ini sudah muncul sejak ribuan tahun lalu. Namun, sejak berkembangnya media massa, kita dengan mudah melihat beragam jenis ekspresi visual politisi di berbagai jenis media massa. Di era media sosial, intensitas dan kuantitas ekspresi visual tersebut meningkat luar biasa. Ekspresi visual tersebut dapat dengan mudah kita jumpai materi liputan media yang disajikan oleh jurnalis, baliho, spanduk, poster dan meme yang bertebaran di sejumlah media sosial. Ekspresi visual tersebut bisa muncul dalam berbagai konteks politik, seperti fase kampanye pemilu, kampanye permanen para aktor politik ketika sudah berkuasa. Ekspresi visual yang dilakukan oleh para politisi ini membawa konsekuensi luar biasa dalam kehidupan politik. Pertama, ekspresi tersebut dapat membantu para pemilih, khususnya mereka yang malas berpikir, untuk dengan cepat menilai personalitas aktor politik maupun kebijakankebijakan publik yang ditawarkannya. Kedua, ekspresi visual tersebut juga dapat menstimulasi pemilih/warga negara untuk memiliki ketertarikan dan bahkan ikut memperbincangkan aspek personal dari para aktor tersebut maupun berbagai jenis kebijakan publik yang mereka tawarkan. Kendati Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 101 ]
demikian, ekspresi visual juga dapat digunakan oleh para aktor politik sebagai instrumen taktis untuk memanipulasi para pemilih/warga negara agar sejalan dengan apa yang mereka harapkan (Lilleker, 2019: 37–38). Visualisasi politik sebagai sebuah paradigma kajian dalam studi komunikasi politik berpijak pada proposisi-proposisi berikut. Pertama, kebudayaan manusia, sejak masa prasejarah hingga saat ini pada dasarnya adalah berpijak pada budaya visual (Lilleker et al., 2019: 1). Manusia cenderung mengekspresikan ide dan perasaannya tidak hanya melalui kata-kata saja, namun juga melalui image visual. Manusia juga tidak hanya berpikir dengan image visual, namun juga cara berpikirnya juga dipengaruhi oleh kekuatan image visual tersebut (Lilleker et al., 2019: 2). Kedua, komunikasi visual merupakan bagian penting dari kehidupan manusia. Manusia mengelola kesadaran dirinya dan cara pandangnya terhadap lingkungan sekitar melalui visual image yang dia tangkap melalui panca indranya. Citra visual tidak hanya memengaruhi perilaku dan strategi komunikasi setiap manusia, namun juga menentukan cara manusia dalam memahami dan mengelola perkembangan apa saja yang terjadi di sekelilingnya (Lilleker, 2019: 48). Ketiga, ekspresi visual merupakan salah satu dimensi dalam dunia politik. Ekspresi visual ini dapat memiliki dampak emosional dan rasional pada diri aktor politik (Lilleker et al., 2019: 3). Para pemimpin politik tidak hanya cenderung mengekspresikan apa yang dipikirkan dan dirasakannya melalui medium visual, namun juga menggunakan instrumen visual untuk memanipulasi sikap dan perilaku politik pemilih/warga negara untuk mencapai tujuan politiknya melalui berbagai jenis media, termasuk media sosial (Lilleker et al., 2019: 4). Keempat, bahasa visual yang dibuat/diekspresikan oleh para politisi memiliki kemampuan argumentatif dan persuasif. Pilihan bahasa visual yang digunakan oleh politisi tertentu bahkan memiliki kekuatan retorik yang bisa memengaruhi pemikiran maupun perilaku elite politik lainnya maupun masyarakat/audiens yang terekspos dengan bahasa visual tersebut (Schill, 2012: 122–123). Kelima, bahasa visual yang diekspresikan oleh para politisi juga memiliki fungsi agenda setting. Bahasa tersebut dapat digunakan untuk [ 102 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
mencitrakan sosok politisi sebagai sosok yang baik, jujur, tegas dan kredibel dan juga sebaliknya. Meski para politisi tidak bisa mengontrol agenda setting media dan kecenderungan persepsi masyarakat yang mengonsumsi tayangan media dan pengguna internet atau media sosial, namun dia bisa mengonstruksi citra visualnya untuk memengaruhi cara pandang mereka terhadap dirinya (Schill, 2012: 124–125). Visualisasi politik merupakan fenomena global. Tren ini juga semakin berkembang di Indonesia seiring dengan perkembangan selebritisasi politik di negeri ini. Fenomena yang terakhir ini kian menguat terlihat sejak Pilkada digelar di negeri ini. Dalam Pilkada tersebut para artis kian tertarik untuk terlibat dalam dunia politik. Bahkan di antaranya terpilih dalam pemilu lokal/Pilkada di Indonesia (Ahmad, 2020c).
Aktor Politik dan Ideasi Politik Ideasi politik sebagai frame analisis dikembangkan dengan asumsi berikut. Pertama, manusia pada pada dasarnya adalah makhluk yang kreatif. Mereka dituntut untuk terus-menerus mengembangkan kreativitasnya untuk tetap survived di tengah tantangan persoalan dan perubahan lingkungan yang mereka hadapi. Kreativitas tersebut, antara lain meliputi creative imagery, creative story generation, creative convergent, dan divergent thinking (Fink et al., 2007; Barbot, 2018). Kedua, dibandingkan dengan kebanyakan jenis manusia lainnya, politisi pada umumnya adalah kumpulan individu-individu yang lekat dengan beragam jenis kreativitas. Kreativitas adalah kemampuan kognitif yang dimiliki oleh seseorang untuk menciptakan sesuatu yang inovatif/baru. Kemampuan ini dimulai dari proses berpikir kreatif (creative thinking), mengonseptualisasikan pemikirannya secara kreatif dan menuangkannya dalam pilihan kata dan bahasa, sudut pandang dan ekspresi verbal dan visual yang bersifat kreatif (Abraham & Windmann, 2007: 38). Proses melahirkan ide-ide orisinal secara kreatif dalam merespons berbagai persoalan ini seringkali dilabeli sebagai ‘creative ideation’ (Barbot, 2018: 1). Proses ini terjadi melalui tahap eksplorasi, produksi/kreasi dan verifikasi (Barbot, 2018: 4-5).
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 103 ]
Creative ideation ini tidak hanya berlangsung dalam dunia kultural dan komersial saja, namun juga terjadi di dunia politik. Fenomena ini kian menarik perhatian para akademisi yang mengkaji dunia politik, khususnya mereka yang fokus pada ide-ide dan pemikiran politik dan menganggap pertarungan ide-ide adalah aspek utama dalam memahami dunia politik, dibandingkan dengan model dan perubahan perilaku-perilaku politik (Coxall et al., 2003: 50). Studi tentang ide-ide politik ini dilakukan tidak hanya untuk mengkaji ragam ideologi politik yang dianut oleh para politisi. Studi ini juga dilakukan untuk mengkaji sejarah pemikiran politik para politisi, perubahan ide-ide yang mereka yang mereka kembangkan yang berdampak pada kehidupan politik dan bagaimana mereka memperoleh dan menggunakan kekuasaan (ekonomi dan) politik dengan dasar kerangka ideologi politik tertentu (Blyth, 1997; Carstensen, 2011; Harrison & Boy, 2018). Para politisi pada umumnya juga mencari cara-cara kreatif untuk menuangkan dan menyampaikan ide-ide yang diyakininya atau ideologi politik yang dianutnya melalui sejumlah kata dan kalimat yang diucapkan maupun dituliskannya melalui berbagai jenis media. Ideasi politik merupakan proses penyampaian ide/pemikiran politik dengan cara-cara yang kreatif yang dilakukan oleh aktor politik. Di dalamnya berlangsung, tindakan-tindakan kreatif yang dilakukan oleh aktor politik tersebut. Hal ini antara lain mereka lakukan dengan cara mengeksploitasi ide-ide tertentu dan menyampaikan dengan pilihan kata-kata dan kalimat tertentu ketika mereka menjalankan proses dan strategi komunikasi politik. Salah satu contohnya di sini adalah ideasi politik yang terkait dengan ideologi populism. Dalam konteks Indonesia, para kandidat yang maju dalam Pilgub 2018 mengadaptasi pemikiran-pemikiran yang anti pada kelompok-kelompok mapan (anti-establishment views), mengedepankan pentingnya kedaulatan masyarakat sebagai aktor utama dalam politik (people sovereignty), sentralitas masyarakat sebagai stakeholder dan subjek politik (people-centrism) dan kecenderungan eksklusif pada siapa saja yang dianggap bukan kelompoknya (exclusion of the other) (Ahmad, 2020a: 4). Hal yang sama juga terjadi dalam Pilpres 2019 kemarin yang ditandai dengan ideasi politik yang dilakukan oleh para capres dan pendukungnya, baik dari kalangan penganut ideologi nasionalis sekuler [ 104 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
maupun Islam. Tren ini bahkan disinyalir telah menjadi ancaman baru terhadap kebebasan media dan wartawan di Indonesia (Ahmad, 2020b).
Adaptasi Logika (Pemberitaan) Media oleh Aktor Politik Sebagai Salah Satu Elemen Mediatisasi Politik Selain menguatnya visualisasi dan ideasi politik, proses interaksi antar aktor dalam arena politik juga kian dipengaruhi oleh berkembangnya fenomena mediatisasi politik. Mediatisasi politik terjadi ketika posisi dan peran media dalam dunia politik makin berkembang sangat pesat dan bahkan disinyalir ikut menggeser peran dan fungsi dan selama ini dimiliki oleh berbagai institusi politik. Fenomena ini pada umumnya berkembang di negara-negara demokrasi liberal di mana keberadaan media makin powerful dan institusi media diposisikan sebagai pilar keempat demokrasi (Mazzoleni dan Schulz, 1999). Mediatisasi politik ini berkembang sering dengan menguatnya tren di mana para aktor politik kian tertarik untuk mengadaptasi logika media dan logika pemberitaan yang dikembangkan oleh media (Mazzoleni, 1987; Mazzoleni dan Schulz, 1999). Proses ini berkembang ditandai dengan kecenderungan berikut. Pertama, masyarakat/publik kian memiliki ketergantungan besar pada media dalam memperoleh akses informasi politik, demikian juga para politisi (Mazzoleni dan Schulz, 1999: 250). Kedua, partisanship media dan jurnalis kian melemah, krisis dalam struktur organisasi parpol dan pada saat bersamaan media menikmati kebebasan dari penguatan sistem demokrasi liberal (Mazzoleni, 1987: 82– 83; Mazzoleni, 1999: 251). Ketiga, kuasa yang dimiliki oleh media kian menguat bahkan kian sulit dikendalikan oleh para politisi dan dibatasi oleh Negara/Pemerintah (Mazzoleni dan Schulz, 1999: 247–248). Keempat, media kian memiliki kuasa yang tidak hanya menghadirkan peristiwa dan mengemas isu-isu politik semata, namun juga mendistorsi peristiwa dan isu-isu politik yang disajikannya (Mazzoleni dan Schulz, 1999: 248). Proses mediatisasi politik ini, menurut Stromback (2008) dapat dipahami melalui kerangka analisis pada empat dimensi berikut. Pertama, sejauh mana masyarakat dan aktor politik menilai media sebagai sumber informasi politik yang sangat penting. Kedua, sejauh mana institusi media Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 105 ]
independen dari institusi-institusi politik. Ketiga, sejauh mana isi media di-drive oleh logika politik (political logic) maupun logika media (media logic). Keempat, sejauh mana sikap dan perilaku aktor-aktor politik dipengaruhi oleh logika politik (political logic) maupun logika media (media logic) (Stromback, 2008: 235–241). Mediatisasi politik—secara umum—maupun adaptasi logika pemberitaan media (news media logic) dan media sosial (sosial media logic) terjadi di berbagai belahan dunia. Dalam konteks Indonesia misalnya, para selebritas yang bertransformasi menjadi politisi, cukup intens memanfaatkan media dan beradaptasi dengan logika-logika tersebut untuk menjaga popularitasnya dan meng-generate popularitas tersebut menjadi modal politik dalam arena Pilpres dan Pileg 2014 (Ahmad, 2021a, 2021) dan Pilkada 2018 (Ahmad, 2020c). Dalam arena Pilpres 2019, tidak hanya para politisi, komentator politik dalam Pilpres 2019 juga mengadaptasi logika-logika tersebut (Ahmad, 2019).
Penutup Penulis berargumen bahwa visualisasi, ideasi, dan mediatisasi politik tidak hanya menjadi domain kajian penting dalam studi komunikasi politik. Lebih dari itu, ketiganya juga bisa menjadi paradigma alternatif untuk menyegarkan kembali studi komunikasi politik di Indonesia. Bagaimana kita menggunakan ketiganya sebagai paradigma alternatif dalam kajian komunikasi politik secara ringkas akan diuraikan dalam poin berikut. Kita dapat menggunakan visualisasi politik sebagai paradigma dalam kajian komunikasi politik untuk mengkaji hal-hal berikut. Pertama, identitas politik yang ditampilkan oleh para aktor politik. Kedua, pemikiran politik mereka yang disampaikannya melalui ekspresi visual. Ketiga, perasaan dan emosi politik mereka yang diekspresikan melalui ekspresi visual (Barnhurst and Quinn, 2012; Lilleker et al., 2019). Keempat, modelmodel penggunaan bahasa visual yang dikembangkan oleh para politisi untuk menarik perhatian media dan publik (image bite) baik melalui produksi gambar dan audiovisual yang mereka siarkan melalui media massa maupun internet (Schill, 2012). Selain itu, kita juga bisa menggunakan ideasi politik sebagai paradigma dalam studi komunikasi politik. Paradigma ini dapat kita pakai untuk [ 106 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
menganalisis antara lain, pertama, seperti apa para politisi mengembangkan creative imagery, creative story generation, creative convergent dan divergent thinking (Fink et al., 2007; Barbot, 2018) ketika mereka berupa menuangkan ide-ide politiknya untuk memengaruhi aktor-aktor politik di berbagai jenis arena politik. Kedua, seperti apa mereka mengembangkan proses berpikir kreatif (creative thinking), melahirkan ide-ide kreatif dan original (Barbot, 2018), mengonseptualisasikan pemikirannya dan menuangkannya dalam ekspresi verbal dan visual (Abraham & Windmann, 2007: 38) baik dalam konteks pemilu dan nonpemilu. Ketiga, seperti apa mereka menkonstruksi dan mengemas ide-ide tersebut untuk kekuasaan (ekonomi dan politik) dengan basis kerangka ideologi politik tertentu (Blyth, 1997; Carstensen, 2011; Harrison & Boy, 2018). Keempat, seperti apa mereka memilih dan menggunakan ide-ide populis untuk memengaruhi pemilih ketika pemilu berlangsung (Ahmad, 2020a: 4) dan meningkatkan visibilitas dan image positifnya di tengah kuasa media dan jurnalis yang mengonstruksikan diri mereka melalui produk berita (Ahmad, 2020b). Kita juga dapat menggunakan mediatisasi politik sebagai paradigma alternatif untuk menganalisis meningkatnya ketergantungan aktor-aktor politik pada media dan konsekuensi menguatnya kuasa media dan sosial media terhadap sikap-sikap dan perilaku aktor-aktor dan institusi-institusi politik. Salah satu teori yang dapat kita adaptasi untuk mengeksplorasi hal tersebut, antara lain teori mediatisasi politik yang dikembangkan oleh Stromback tahun 2008 (Ahmad, 2017). Dengan teori ini, kita tidak hanya berpeluang untuk mengidentifikasi perubahan struktural dan sistematis yang mendorong berkembangnya mediatisasi politik, sebagaimana yang disampaikan oleh Mazzoleni dan Schulz (1999). Lebih dari itu, kita juga bisa menganalisis faktor-faktor struktural dan kultural apa saja yang memengaruhi empat hal berikut. Pertama, sejauh mana masyarakat dan aktor politik menilai media sebagai sumber informasi politik yang sangat penting. Kedua, sejauh mana institusi media independen dari institusiinstitusi politik. Ketiga, sejauh mana isi media di-drive oleh logika politik (political logic) maupun logika media (media logic). Keempat, sejauh mana sikap dan perilaku aktor-aktor politik dipengaruhi oleh logika politik (political logic) maupun logika media (media logic) (Strombak, 2008: 235–241) dan pemberitaan media (news media logic) serta logika media sosial (sosial media logic).
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 107 ]
DAFTAR PUSTAKA Abraham, A., and Windmann, S. (2007). “Creative cognition: The diverse operations and the prospect of applying a cognitive neuroscience perspective”. Methods: 38-48. Ahmad, N. (2021a). “What Drive Marketization and Professionalization of Campaigning of Political Parties in the Emerging Democracy? Evidence from Indonesia in the Post-Soeharto New Order”. Journal of Political Marketing. DOI: 10.1080/15377857.2021.1910610 Ahmad, N. (2021b). “Political markets, the party-related factors and political party’s market-orientation in Indonesia’s democracy: evidence from Indonesia’s 2014 parliamentary election”. Quality & Quantity. DOI: https://doi.org/10.1007/s11135-021-01111-z Ahmad, N. (2020a). “Populist political ideation and communication of gubernatorial candidates in Indonesia’s 2018 gubernatorial elections: Anti-establishment views, secular nationalism and Islamism as ideational-populist elements”. Asian Journal of Comparative Politics, 1-22. https://doi.org/10.1177/2057891120931932 Ahmad, N. (2020b). “The Rise of Secular Nationalist and Islamic-Based Populist Communication Strategies: New Threats to Indonesian Media and Journalists’ Freedom.” in Jamil, Sadia (eds), Handbook of Research on Combating Threats to Media Freedom and Journalist Safety (pp. 124-146). Hershey PA: IGI Global Ahmad, N. (2020c). “Celebrification of Politics: Understanding Migration of Celebrities into Politics Celebrification of Celebrity Politicians in the Emerging Democracy of Indonesia”. East Asia, 37:63–79 Ahmad, N. (2019). “Indonesian News TV Channels and Polarized Political Issues”. Asian Politics & Policy, 11(3): 505-5-19. Ahmad, N. (2017). “Mediatisation of Politics as An Emanating Research Paradigm: Assessment and Reflection on the Weaknesses and Potential Contributions of Strömbäck” (2008) Theory of Mediatisation of Politics”. Jurnal Komunikasi Indonesia, 6(2): 84-98.
[ 108 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Ahmad, N. (2012). Manajemen Komunikasi Politik dan Marketing Politik: Sejarah, Perspektif, dan Perkembangan Riset. Yogyakarta: Pustaka Zaman. Barbot, Baptiste. (2018). “The Dynamics of Creative Ideation: Introducing a New Assessment Paradigm”. Perspective, 9: 1-8. https://doi. org/10.3389/fpsyg.2018.02529 Barnhurst, K.G., and Quinn, K. (2012). “Political Visions’: Visual Studies in Political Communication”, in Semetko, Holli A. and Scammell, Margaret (eds), the Sage Handbook of political Communication (276291). London: Sage Publication. Blyth, M. M. (1997). Any more bright ideas? The ideational turn of comparative political economy. Comparative Politics, 29(2): 229-50 Carstensen, M. B. (2011). “Ideas are Not as Stable as Political Scientists Want Them to Be: A Theory of Incremental Ideational Change”. Political Studies, 59: 596-615. Chaffee, S. H. (2001). “Studying the new communication of politics”. Political Communication, 18(2): 237-244. Chaffee, S. H. (1975). Political Communication: Issues and Strategies for Research. London: Sage Publication Coxall, B., Robins, L., and Leach, R. (2003). Political ideologies: the battle of ideas. In: Contemporary British Politics. Palgrave, London. https://doi.org/10.1007/978-1-349-14821-9_4 Fink, A., Benedek, M., Grabner, R. H., Staudt, B., and Neubauer, A. (2007). “Creativity meets neuroscience: Experimental tasks for the neuroscientific study of creative thinking”. Methods, 42:68-76. Gazali, E. (2004). Communication of Politics and Politics of Communication in Indonesia: A Study on Media Performance, Responsibility and Accountability. Doctoral Thesis pada Radboud University Nijmegen. Harrison, K., and Boyd, T. (2018). Understanding Political ideas and Movement. Manchester: Manchester University Press. Laswell, Harold. D. (1936). Politics: Who Gets What, When, How. Whittlesey House: McGraw-Hill book Company, Incorporated.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 109 ]
Lilleker, D. G. (2019). “The power of visual political communication: pictorial politics through the lens of communication psychology”, in Veneti, A., Jackson, D., and Lilleker, D.G. (eds), Visual Political Communication (37-51). Cham, Swistzerland: Palgrave MacMillan. Lilleker, D. G., Veneti, A., dan Jackson, D. (2019). “Introduction: Visual Political Communication”. Veneti, A., Jackson, D., and Lilleker, D.G. (eds), Visual Political Communication (1-13). Cham, Swistzerland: Palgrave MacMillan. Mazzoleni, G. (1987). “Media Logic and Party Logic in Campaign Coverage: The Italian General Election of 1983”. European Journal of Communication, 2: 81-103. Mazzoleni, G., and Schulz, W. (1999). “Mediatization of Politics: A Challenge for Democracy?”. Political Communication, 16(3): 247261 McNair, B (2004). An Introduction to Political Communication. London: Routledge. Third Edition. Rogers, E.M. (1994). A History of Communication Study: A Biographical Approach. Oxfird: The Free Press. Seib, P. (2008). Political Communication. London : Sage Publication. Schill, D. (2012). “The Visual Image and the Political Image: A Review of Visual Communication Research in the Field of Political Communication”. Review of Communication, 12(2): 118-142 Strömbäck, J. (2008). "Four Phases of Mediatization: An Analysis of the Mediatization of Politics". The International Journal of Press/Politics, 13 (3): 228-246.
[ 110 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
ADVERTISING: DARI PETA PEMODELAN MENUJU ASAS KEBERGUNAAN Bidang yang paling terkoneksi dengan revolusi teknologi komunikasi adalah periklanan (advertising). Sebagai bidang unik dengan energi persuasif, dunia periklanan sangat diuntungkan dengan datangnya kemudahan dan efisiensi era digital. Proses digitalisasi dalam komunikasi pemasaran telah menciptakan pergeseran signifikan atas konsep persuasi, namun tetap mempertahankan aspek mendasar yang berlaku abadi dalam dunia periklanan: volume dan biaya. Dua tulisan di bagian ini mengurai relasi antara teknologi di satu sisi dengan dinamika dunia periklanan di sisi lain, berikut implikasinya.
BAB 8 Transformasi Model Periklanan: Dari Era Pre-industrial Hingga Era Interaktif Global Widodo Agus Setianto Pengantar
S
etiap hari kita “dipaksa” menyaksikan iklan dari berbagai jenis produk dan merek yang ditampilkan di berbagai ragam media, baik media televisi, radio, surat kabar, majalah, media online, spanduk, poster, baliho dan sebagainya. Pesan-pesan penawaran juga kita dapatkan di berbagai tempat seperti di dinding-dinding kota, stadion olahraga, bis kota, tamantaman kota, halte pemberhentian bus, stasiun kereta api, bandar udara dan pelabuhan. Tanpa kita sadari, ruang kehidupan kita telah disesaki oleh pesan-pesan penawaran. Ribuan pesan menerpa kita setiap hari. Ada yang menarik perhatian kita, ada yang berlalu begitu saja. Sekejap mata memandang, selentingan telinga mendengar, sepelintasan pikiran menangkap, cukup bagi sebuah pesan iklan untuk masuk dan merembes ke alam bawah sadar pikiran kita. Kalau pesan-pesan iklan itu terus datang menerpa dengan berulang-ulang, pesan iklan itu akhirnya lekat dalam ingatan kita, sehingga manakala kita membutuhkan sebuah produk dengan merek tertentu, maka merek produk tertentu itulah yang muncul dalam benak kita dan menjadi preferensi kita untuk memilihnya. Iklan sudah sedemikian melekatnya dalam kehidupan kita. Disadari atau tidak disadari, tiada hari tiada waktu yang berlalu tanpa iklan. Iklan adalah sebuah fenomena dalam masyarakat yang memunculkan fenomena lainnya. Sebagai sebuah fenomena, iklan sangat menarik untuk dikaji mengingat daya persuasinya yang demikian tinggi dalam memengaruhi pikiran dan perilaku masyarakat. Sebaliknya masyarakat yang menjadi sasaran pesan-pesan iklan juga memunculkan fenomena yang tidak kalah
[ 112 ]
menariknya untuk dikaji. Budaya pop, gaya hidup, konsumerisme adalah sebagian dari fenomena dalam masyarakat dalam kaitannya dengan iklan. Dengan demikian iklan sebagai sebuah fenomena kemasyarakatan tidak hanya menjadi bagian dari masyarakat, akan tetapi sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Mengingat relasinya yang sangat kuat, tidaklah mengherankan kalau iklan terus tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika pertumbuhan masyarakat, khususnya yang menyangkut aspek-aspek kehidupan sosial dan ekonomi dan standar kehidupan material masyarakat.
Pondasi Periklanan Iklan pada dasarnya adalah fenomena kehidupan masyarakat modern. Iklan hadir seiring dengan industrialisasi yang menghadirkan barang-barang konsumsi hasil pabrikan. Produk-produk hasil pabrikan memerlukan media komunikasi untuk menginformasikan produknya kepada konsumen. Tapi sebagai sebuah bentuk pesan penawaran, keberadaan “iklan” (kalaupun bisa disebutkan demikian) sebenarnya jauh lebih lampau masanya dari masa industrialisasi. Dapat dikatakan sejarah bentuk pesan penawaran “iklan”, sama tuanya dengan sejarah perdagangan yang pernah dilakukan manusia. Fondasi periklanan dapat dilihat dari artefak-artefak pesan penawaran peninggalan peradaban kuno pada masa Babilonia Kuno, Mesir Kuno, Yunani Kuno, dan Romawi Kuno. Sebagai media penyampai informasi, keberadaan iklan dapat dilihat jejaknya pada artefak sejarah peradaban Mesir Kuno (3500 SM). Di reruntuhan kota Thebes (Tibe) ditemukan lembaran-lembaran lontar dan lembaran papyrus berisi pengumuman tentang pemberian hadiah bagi yang dapat mengembalikan budak-budak yang melarikan diri. Hal ini menunjukkan bahwa orang Mesir pada masa itu memiliki medium yang lebih baik untuk menuliskan pesan-pesan mereka. Selain lontar dan papyrus medium lain yang biasa digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang menarik dan barang-barang yang dijual adalah dengan memasang lempengan-lempengan batu yang disebut dengan stelae (stone billboard). Stelae ini dipasang di jalan-jalan utama atau pada tempat-tempat strategis
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 113 ]
(King, 1983). Stelae inilah yang di kemudian hari berkembang menjadi media luar ruang (billboard atau out-door advertising). Di era Babilonia Kuno (3000 SM), di reruntuhan Menara Babil juga ditemukan jejak-jejak pesan penawaran yang sekarang kita namakan sebagai iklan. Jejak-jejak tersebut terdapat pada lembaran tanah liat (terra-cotta) berisi informasi tentang penyalur obat (salep), penulis dan tukang sepatu (Rusell & Lane, 1990). Untuk memberikan informasi barang dagangannya, para pedagang pada masa itu menggunakan tanda-tanda yang dipasang di depan pintu yang menunjukkan tempat penjualan barang tertentu, seperti tempat penjualan minuman anggur, toko roti, toko sepatu dan sebagainya (King, 1983). Pada peradaban Yunani Kuno (1100 SM), informasi tentang produk dilakukan oleh orang-orang yang dijuluki sebagai tukang teriak kota (town-criers). Tukang teriak kota ini didampingi oleh seorang pemusik yang mengiringinya dalam menyanyikan (menginformasikan) kedatangan kapal-kapal yang bermuatan anggur, rempah-rempah dan logam. Tukang teriak kota kemudian menjadi medium paling awal untuk pengumumanpengumuman masyarakat di banyak negara Eropa, dan dipakai selama berabad-abad (Rusell & Lane, 1990). Di Romawi, jejak-jejak peninggalan sejarah tentang iklan didapatkan di reruntuhan kota Pompei. Kota Pompei luluh lantak akibat letusan gunung Vesuvius Tahun 79 M. Reruntuhan kota ini ditemukan kembali secara tidak sengaja tahun 1748 setelah hilang selama 1600 tahun. Orangorang Pompei menginformasikan produknya pada konsumen dengan menuliskan atau mengguratkan tanda-tanda di atas batu atau terra-cotta. Toko-toko yang dapat diidentifikasi dari iklan yang ada adalah toko daging yang menginformasikan tentang daging babi asap, gambar sapi yang menunjukkan toko penjual susu sapi, gambar sepatu bot yang menunjukkan tukan sepatu. Selain itu orang Pompei juga menggunakan tanda-tanda di dinding yang dicat untuk menceritakan kisah mereka kepada publik. Periklanan modern sebagaimana dikenal sekarang ini merupakan kelanjutan dari pesan-pesan penawaran yang sebelumnya pernah ada. Model penyampaian informasi yang sangat sederhana pada masa-masa awal periklanan menjadi fondasi bagi perkembangan periklanan modern [ 114 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
sekarang ini. Periklanan modern dimulai ketika tahun 1841 di kota Philadelphia Amerika Serikat berdiri agensi periklanan pertama di dunia yang didirikan oleh Volney B. Palmer (Applegate, 2012). Akhir abad 19 Amerika Serikat tumbuh menjadi negara industri maju. Pertumbuhan industri di Amerika Serikat ditopang selain oleh ketersediaan sumber daya alam yang melimpah, juga ketersediaan teknologi, sumber daya manusia, modal, transportasi, juga keberhasilan tokoh-tokoh yang menggerakkan industri tersebut (Fite, 1970). Implikasi dari perkembangan industri adalah melimpahnya ketersediaan barang-barang hasil industri. Produsen barang-barang hasil produksi memerlukan media untuk mempromosikan produknya. Volney B. Palmer melihat peluang akan kebutuhan ini. Inilah yang mendorong Volney B. Palmer mendirikan agensi iklan pertama untuk merespons tuntutan kebutuhan dunia industri. Seiring dengan perkembangan industri, kegiatan periklanan pun berkembang menjadi sedemikian kompleks. “Iklan” yang pada masa awal dikenal hanya sebagai media pengumuman yang menginformasikan kepada publik tentang penjualan produk, kemudian berkembang menjadi bentuk komunikasi yang bersifat persuasif dengan melibatkan banyak simbol dan teknik komunikasi yang rumit dan canggih. Teknik-teknik periklanan pun berkembang sesuai dengan setiap tantangan yang dihadapi. Iklan kemudian berevolusi dan bertransformasi dari bentuk yang paling sederhana sebagai media informasi menjadi bentuknya yang lebih canggih dan rumit sebagai media pembentuk citra dan alat persuasi publik sebagaimana kita kenal sekarang ini.
Transformasi Model Periklanan Memasuki era industrial, iklan mengalami akselerasi dalam evolusi dan transformasi model-model penyampaian pesannya. Selain karena dinamika yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi media memberikan kontribusi yang besar dalam evolusi dan transformasi model periklanan. Evolusi dan transformasi model periklanan setidaknya dapat diadaptasi dari pembagian era periklanan yang dilakukan oleh William F Arens. Arens membagi era periklanan ke dalam lima era yakni: 1) Era Sebelum Industri Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 115 ]
(The Pre-industrial Age), 2) Era Industrialisasi (The Industrializing Age), 3) Era Industri (The Industrial Age), 4) Era Pasca-Industri (The PostIndustrial Age), dan 5) Era Interaktif Global (The Global Interactive Age) (Arens, 1999). 1. Era Sebelum Industri (The Pre-Industrial Age) Era sebelum industri adalah era menjelang hadirnya Revolusi Industri di abad ke-18. Penandanya dimulai ketika ditemukannya mesin cetak di Jerman oleh Johan Gutenberg pada sekitar tahun 1450 (Malik, 2013). Gutenberg tidak hanya menemukan mesin cetak, namun juga menciptakan tinta khusus untuk percetakannya dan juga cetakan huruf (Hakim, 2010). Melalui temuannya ini, Indulgensi (surat pengampunan dosa), Bible (kitab suci), buku-buku pengetahuan, kalender yang sebelumnya ditulis tangan dengan jumlah yang sangat terbatas, dapat dicetak dan didistribusikan secara masif. Akibatnya akses terhadap pengetahuan menjadi sangat terbuka. Masyarakat menjadi tercerahkan dengan ilmu pengetahuan yang tersebar luas. Penemuan Gutenberg menjadi inspirasi banyak orang untuk membuat mesin cetak sejenis, bukan hanya di Jerman tempat asal Gutenberg, akan tetapi meluas ke belahan Eropa lainnya. Asa Briggs dan Peter Burke mencatat, tahun 1500 di Eropa telah didirikan sekitar 250 percetakan, terdapat 80 di Italia, 52 di Jerman, dan 43 di Prancis. Di Basel dimulai tahun 1466, Roma tahun 1467, Paris dan Pilsen tahun 1468, Venesia tahun 1469, Leuven, Valencia, Krakow dan Buda tahun 1477. Percetakan yang tersebar di berbagai negara Eropa telah menghasilkan sekitar 27 ribu judul buku, dengan perkiraan rata-rata hasil cetak 500 eksemplar buku setiap judulnya, sehingga ada sekitar 13 juta buku yang beredar pada kurun waktu tersebut di Eropa yang berpenduduk sekitar 100 juta jiwa (Briggs & Burke, 2009). Melalui teknologi cetak, pembuatan peta yang semula ditulis tangan diganti dengan peta hasil cetakan yang memberikan detail dan akurasi yang lebih baik. Literasi yang berkembang karena tersebarnya pengetahuan lewat media tercetak menumbuhkan budaya korespondensi ketika orang-orang mulai saling berkirim surat dan mendistribusikannya ke berbagai tempat yang jauh sehingga memunculkan jaringan pos yang luas. Koran-koran [ 116 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
juga mulai bermunculan (Vivian, 2008). Prototype surat kabar pertama muncul di Jerman tahun 1609 di Bremen, Starborgg. Bentuk surat kabar sesungguhnya terbit tahun 1620 di Frankfurt, Berlin, Humberg, Vienna, Amsterdam dan Antwerp. Tahun 1621 terbit surat kabar di Inggris. Oxford Gazette merupakan surat kabar pertama yang terbit secara teratur di Oxford tahun 1665. Penerbitan surat kabar terus meluas di berbagai tempat lain di Eropa dan Amerika. Sementara untuk majalah baru bermunculan sekitar tahun 1700-an seperti Review yang terbit di Inggris tahun 1704, The Tatler dan The Spectato tahun 1790 (Elvinaro, 2009). Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg telah mengubah model format penyampaian iklan yang telah berlangsung selama 4.500 tahun. Iklan tidak lagi disampaikan melalui media tunggal seperti lontar, papyrus, stelae, tablet cuenivorm, terra cotta, maupun gambar-gambar di pintu rumah yang cenderung statis dan terbatas. Melalui teknologi cetak, iklan disampaikan melalui poster, surat-surat edaran, selebaran-selebaran yang didistribusikan dan disebarkan dengan cakupan yang luas. Adanya informasi umum yang diterbitkan secara berkala dalam bentuk surat kabar menjadikan iklan semakin tersebar luas karena didukung oleh jaringan kantor pos yang tersebar di seluruh Eropa. Pengiklan pertama pada era ini yang diketahui adalah apa yang dilaporkan dan dimuat dalam sebuah penerbitan surat kabar Jerman pada awal tahun 1600-an yang mengiklankan suatu obat untuk dijual kepada masyarakat (King, 1983). Digunakannya surat kabar sebagai media iklan telah mengubah pola komunikasi iklan ke dalam bentuk komunikasi massa dan menjadi tonggak sejarah bagi cikal bakal berkembangnya periklanan modern sekarang ini. 2. Era Industrialisasi (The Industrializing Age) Era ini dimulai sejak ditemukannya mesin uap di Inggris oleh James Watt pada tahun 1769 yang kemudian melahirkan Revolusi Industri (Hart, 2009). Meski banyak penemuan-penemuan lain yang memegang peranan penting yang mendorong berkembangnya Revolusi Industri, namun penemuan mesin uap oleh James Watt merupakan kunci yang memainkan peranan penting dalam Revolusi Industri. Tenaga mesin uap tidak hanya digunakan untuk kincir angin atau putaran air, penggerak kapal atau Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 117 ]
lokomotif, tetapi juga untuk menggerakkan pabrik-pabrik. Dengan menggunakan mesin-mesin yang digerakkan oleh tenaga uap, pabrik-pabrik dapat memproduksi barang-barang industri secara masif dan bertahan lama. Persoalan yang muncul bukan pada produksi, tetapi pada distribusi agar tidak terjadi penumpukan barang-barang yang telah dihasilkan. Produksi barang secara masif tentu membutuhkan konsumsi yang bersifat masif pula. Iklan menjadi pilihan utama dalam upaya mengomunikasikan produk dan menstimulus konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan. Selama masa-masa awal berlangsungnya Revolusi Industri, Inggris merupakan negara terkemuka yang memimpin dunia periklanan. Kegiatan periklanan di Inggris mengalami kemunduran sangat drastis ketika pemerintah mengenakan pajak yang sangat tinggi untuk setiap kegiatan periklanan. Akhirnya banyak orang Inggris meninggalkan Inggris eksodus ke Amerika dengan membawa semua keahliannya. Revolusi yang terjadi di Amerika pada tahun 1776 telah memunculkan Amerika menjadi kekuatan ekonomi baru dengan nilai-nilai kebebasan yang diusungnya. Banyaknya perusahaan yang menginginkan menjual produknya sebanyak mungkin telah memberikan peluang yang sangat besar bagi kemajuan periklanan di Amerika. Pada masa itu Amerika menjadi negara terkemuka yang memimpin dunia periklanan menggantikan posisi Inggris. Tingginya aktivitas penawaran produk di masyarakat melalui periklanan mendorong munculnya penyedia jasa di bidang periklanan. Pada tahun 1841 di Philadelpia munculah biro iklan pertama yang dipelopori oleh Volney B. Palmer (Applegate, 2012). Munculnya agensi periklanan sebagai layanan jasa pemuatan iklan di media menjadi penanda bagi transformasi model iklan menjadi lebih terkoordinasi sekaligus sebagai penanda munculnya iklan modern yang terlembaga dan terorganisasi. Pada era industrialisasi media komunikasi massa berkembang dengan kehadiran radio dan film. Melalui dua medium baru ini dunia periklanan menjadi semakin berkembang. Pada masa terjadi Perang Dunia I, iklan tidak hanya digunakan untuk kepentingan menstimulasi masyarakat agar menggunakan produk yang diiklankan, akan tetapi juga digunakan sebagai alat untuk membujuk masyarakat agar mendukung pemerintah dalam peperangan dan ikut berpartisipasi dalam wajib militer. Selain itu iklan juga digunakan untuk tujuan-tujuan nonkomersial lainnya. [ 118 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
3. Era Industri (The Industrial Age) Era ini ditandai dengan perkembangan besar dan kedewasaan dari negara-negara berbasis industri. Di Amerika misalnya, pasar komoditas menjadi semakin luas, pasar-pasar baru banyak dikembangkan, barangbarang mewah bermerek dengan harga terjangkau mulai bermunculan. Pabrik-pabrik mulai mengubah fokusnya dari orientasi produksi ke orientasi penjualan. Mereka mencurahkan perhatian pada perkembangan produk baru, penguatan kekuatan penjualan, pengemasan dan pelabelan barang serta terlibat dalam periklanan berskala nasional. Era ini juga ditandai dengan hadirnya televisi pada tahun 1941. Televisi merupakan media komunikasi yang bersifat audio-visual. Kehadiran televisi menjadi ekspansi media yang paling besar dan menjadi sarana komunikasi massa dan media periklanan baru yang kuat dan berkecepatan tinggi. Setelah Perang Dunia II, iklan di media televisi semakin berkembang dengan cepat dan terus memantapkan diri sebagai media periklanan terbesar. Pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an konsumen berusaha menaikan status sosialnya melalui konsumsi barang-barang modern. Di sinilah iklan memasuki era keemasannya. Aspek kreatif iklan berkembang pesat mengalami revolusi dengan memberikan fokus pada keistimewaan produk, yang secara implisit menunjukkan penerimaaan sosial, gaya, kemewahan dan kesuksesan. Ketika pasar mulai menerapkan strategi segmentasi, yakni sebuah proses di mana para pelaku pemasaran mencari sekelompok orang yang kebutuhannya bisa diarahkan melalui produk yang semakin spesifik, iklan pun mulai mengalami pergeseran penekanan dari keistimewaan produk menjadi citra atau personalitas merek. Produk-produk ditempeli citra-citra yang kemudian menjadi simbol kesuksesan dan juga kemewahan. The image era of advertising ini menjadi titik kulminasi dari revolusi kreatif iklan. 4. Era Pasca-Industri (The Post-industrial Age) Kegiatan pemasaran besar-besaran yang dilakukan di era industri berhasil meningkatkan konsumsi masyarakat akan barang-barang produksi. Akan tetapi di sisi lain juga menyebabkan terjadinya mis Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 119 ]
alokasi sumber daya yang terkonsentrasi hanya untuk kegiatan konsumsi. Pemasaran telah menyebabkan terabaikannya hal-hal yang lebih asasi, seperti pendidikan, lingkungan kumuh, limbah industri, dan polusi yang pada dasarnya mengabaikan kesejahteraan lingkungan fisik dan lingkungan sosial masyarakat. Masalah ini terus berkembang hingga dekade tahun 1980-an ketika dunia bisnis dan pemasaran menghadapi tantangannya. Pada dekade ini telah terjadi begitu banyak perubahan dalam masyarakat yang menyangkut perubahan sosial ekonomi yang berbeda dengan waktuwaktu sebelumnya. Perubahan yang paling mencolok adalah biaya energi yang tinggi dan nilai-nilai yang berubah yang menuntut kualitas hidup yang lebih baik, dan tumbuhnya kesadaran akan kelestarian lingkungan fisik dan sosial (Kotler & Keller, 2009). Inilah perubahan besar di mana untuk pertama kalinya orang menjadi betul-betul sadar akan lingkungan yang sensitif di mana mereka tinggal dan mulai ketakutan pada ketergantungan terhadap sumber daya alam khususnya di bidang energi. Tahun 1970-an hingga tahun 1980-an terjadi kekurangan energi yang sangat akut. Hal ini menyebabkan terjadi perlambatan dalam proses produksi, biaya produksi menjadi tinggi dan harga jual produk menjadi mahal. Para produsen mulai mengerem upaya pemasaran yang dilakukan dengan istilah pemasaran baru yang disebut dengan demarketing. Istilah demarketing mengacu pada strategi yang bertujuan untuk mengatur tingkat dan bentuk permintaan aktual dan masa depan oleh organisasi (laba dan nirlaba serta pemerintah). Dengan kata lain, demarketing adalah jawaban strategis atau pemetaan jalan, yang dirancang oleh organisasi, untuk mengelola permintaan barang, jasa, pengalaman, dan produk lain yang berlebihan, oleh pasar aktual atau masa depan (Cintron et al., 2017). Para produsen energi dan produsen barang-barang yang membutuhkan energi mulai menggunakan iklan untuk memperlambat permintaan barang. Seperti ketika energi listrik mengalami penurunan, iklan menyarankan orang untuk memakai ulang mesin pencuci dan pengering mereka yang masih bisa untuk digunakan. Dalam merespons tuntutan masyarakat akan kualitas kehidupan fisik dan sosial yang lebih baik, produsen mulai memunculkan iklan-iklan yang [ 120 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
mengklaim bahwa produk mereka aman bagi lingkungan. Perusahaanperusahaan multinasional juga mulai membuat iklan-iklan korporat untuk menunjukkan kesadaran sosial mereka terhadap lingkungan. Upaya demarketing dengan menggunakan iklan, lambat laun menjadi alat strategis yang semakin agresif bagi pengiklan untuk menghadapi kompetitorkompetitor dan masalah-masalah sosial lainnya. 5. Era Interaktif Global (The Global Interactive Age) Perkembangan teknologi baru di awal abad ke-21 membawa pengaruh yang besar bagi dunia periklanan. Pertama adalah hadirnya televisi kabel, dan kedua adalah hadirnya internet. Kehadiran dua teknologi komunikasi baru tersebut memberikan pengaruh pada perubahan lanskap dunia periklanan. Televisi kabel dan satelit-satelit penerima memungkinkan orang untuk menonton saluran televisi yang memiliki program spesifik seperti berita, film, olahraga, komedi, dan sebagainya. Pergeseran ini mengubah televisi dari media massa yang memiliki jangkauan paling luas menjadi media khusus. Pergeseran ini membuat perusahaan kecil dan pemasaran produk yang hanya memiliki sedikit pelanggan bisa beriklan dengan menggunakan televisi secara terbatas untuk menjangkau khalayaknya. Televisi kabel dalam hal ini telah memberi peluang dan ruang bagi pengiklan dari produsen-produsen kecil dan menengah untuk dapat menjangkau konsumennya secara lebih spesifik. Pada saat yang sama teknologi komputer dan internet juga memberikan pengaruh yang besar pada dunia periklanan. Internet menjadi media baru bagi pengiklan untuk menjangkau konsumen potensialnya secara lebih spesifik. Internet merupakan medium komunikasi digital berbasis sinyal elektronik yang penggunaannya secara revolusioner melahirkan era masyarakat digital. Era masyarakat digital adalah sebuah era yang merefleksikan kehidupan masyarakat dengan berbagai kemudahan melalui teknologi komunikasi yang terkoneksi dalam jaringan sehingga terjadi interkoneksitas di antara pengguna. Interkoneksitas ini mencakup seluruh jaringan di seluruh dunia yang menciptakan interaksi global. Melalui teknologi komunikasi digital ini dunia didatarkan dan terkoneksi satu sama lainnya sehingga dunia menjadi menyempit dan sangat kecil (Friedman, 2006). Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 121 ]
Internet telah mengubah produksi dan konsumsi media dan mengubah perilaku masyarakat dalam penggunaan media. Masyarakat mulai terbiasa membaurkan konsumsi media konvensional dan media sosial, seperti menonton siaran langsung televisi sambil meng update status (Aryanto, 2019). Sifat interaktif internet memungkinkan konsumen secara proaktif mencari sendiri berbagai informasi tentang produk yang mereka inginkan. Ini merupakan cara revolusioner dalam berkomunikasi secara interaktif yang dilakukan para pengiklan untuk menjangkau konsumennya dan yang dilakukan konsumen untuk mendapatkan informasi. Dengan demikian internet menjadi media baru yang berkembang paling cepat sejak era televisi. Era interaktif global memberi tantangan baru terhadap fragmentasi media periklanan dengan beralihnya konsumen ke media digital. Media digital melahirkan profesi-profesi baru seperti content creator, content writer dan copywriter, media social specialist, digital media strategist, search engine optimization (SEO) specialist, cyber security, digital public relations, marketing digital manager, digital marketing, search engine marketing, software developer, dan web developer (Aisyah, 2018). Munculnya sejumlah aplikasi dan media sosial yang lebih efektif dan efisien dengan profesi-profesi baru yang mengiringi memberikan arah baru pada model periklanan melalui sejumlah inovasi di bidang kreatif, pengukuran dan platform, serta teknologi dan media kreatif untuk membentuk kembali rantai nilai iklan (Harjanto, 2019). Model periklanan di era interaktif global sepenuhnya akan bertumpu pada berbagai platform yang ada pada media online. Kecenderungan penggunaan iklan berbasis online semakin meningkat meninggalkan iklan media konvensional lainnya. Hasil riset Pricewaterhouse Coopers (PwC) tentang Global Entertainment and Media Outlook 2017–2021 memberikan gambaran prediksi total belanja iklan di Indonesia tahun 2021 sebesar US$ 13,7 miliar atau naik 63,1% dari total belanja iklan tahun 2016 senilai US$ 8,4 miliar. Meski belanja iklan masih didominasi oleh video entertainment (TV, web video, dan sinema), namun pertumbuhan terbesar belanja iklan berada di internet 21,5%. Kemudian diikuti oleh video games 19,1%, dan video entertainment (TV, web video dan cinema) 10,4% (Nabila, 2017). [ 122 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Televisi masih tetap mendominasi dalam menyerap belanja iklan. Tapi tren pertumbuhan belanja iklan secara konsisten terlihat di segmen internet. Masih dominannya media televisi sebagai media utama iklan disebabkan karena masih belum meratanya kesiapan infrastruktur Indonesia khususnya penetrasi internet berbasis kabel. Belanja iklan di internet akan terus meningkat seiring dengan kesiapan perbaikan infrastruktur konektivitas internet di Indonesia. Di Amerika dengan infrastruktur internet yang baik, belanja iklan di internet mencapai US$60 miliar dibandingkan media televisi US$24 miliar. Google dan Facebook menjadi pemain utama yang meraup keuntungan terbesar yang menyedot pendapatan iklan tertinggi dalam internet advertising. Media sosial menjadi platform yang sangat efektif dalam mengembangkan kampanye iklan di internet. Snapchat merupakan aplikasi pesan mobile yang sukses dalam mengembangkan 3V advertising, yakni konten dengan rotasi vertikal yang dilihat melalui telepon pintar, video, dan viewing atau konten yang dilihat dengan layar penuh. Iklan dengan menggunakan 3V Snapchat dengan durasi 10 detik mampu menarik penonton sejumlah 26 juta untuk kasus iklan Spotify, dan 14 juta untuk kasus iklan Furious 7. Instagram merupakan media sosial yang paling banyak digunakan untuk networking. Model pengiklanan produk di Instagram selain dengan kekuatan tampilan visual juga dengan menggunakan selebgram. Beragam produk diiklankan oleh selebgram, mulai produk kecantikan, kesehatan, pakaian, makanan, minuman, produk consumer goods seperti Johnson’s Baby dan sebagainya. Produk-produk ini semula menggunakan iklan konvensional melalui agensi periklanan. Tapi karena terjadi perubahan dengan munculnya teknologi digital, produk-produk tersebut kemudian memanfaatkan selebgram untuk menyampaikan pesan yang lebih personal dan dekat dengan konsumen. Tingginya penggunaan media sosial yang menggunakan fitur chat seperti WhatsApp, Facebook Messenger, dan Wechat akan menjadi model penggunaan iklan berbasis chat untuk dunia pemasaran digital (Sutarini, 2019).
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 123 ]
Penutup Model iklan bertransformasi seiring dengan perkembangan teknologi media komunikasi. Selama lebih kurang 4.500 iklan berjalan dengan model yang sangat sederhana berupa informasi produk yang disampaikan melalui media tradisional dalam lembaran lontar, papyrus, lempeng batu bertulis (stelae), terracotta (cuneiform tablet), dan peneriak kota (towncriers). Memasuki Era Pre-Industri model iklan mengalami transformasi dalam hal media penyampaian dan distribusinya. Media penyampaiannya sudah menggunakan lembaran kertas yang dicetak dengan mesin cetak dan didistribusikan secara luas. Pada Era Industrialisasi transformasi model iklan berkembang pada iklan yang lebih terkoordinir dengan munculnya agensi periklanan yang melayani pembuatan dan pemasangan iklan di media surat kabar dan media lainnya, termasuk hadirnya medium iklan baru, yakni radio dan televisi, dan penggunaan iklan untuk tujuan persuasi di luar kepentingan industri. Di era industri penggunaan televisi sebagai media iklan menjadi semakin masif. Model iklan berkembang semakin kreatif dengan berkembangnya aspek kreatif dalam pembuatan iklan, penerapan strategi segmentasi, dan pergeseran penekanan dari keistimewaan produk kepada citra dan personalitas merek. Di era pasca industri model iklan bertransformasi pada iklan yang lebih menekankan pada kualitas kehidupan fisik dan sosial yang lebih baik. Muncul iklaniklan yang ramah pada lingkungan dan iklan-iklan yang menunjukkan kesadaran dan kepedulian produsen pada lingkungan. Di era interaktif global model iklan bertransformasi dengan penggunaan teknologi internet yang bersifat interaktif. Iklan menggunakan berbagai platform yang ada di internet. Media sosial menjadi platform yang sangat prospektif selain media berbasis chat sebagai media iklan. Adanya pihak ketiga seperti pendengung (buzzer), pengulas penggunaan produk (product reviewer), layanan jasa promosi berbayar (paid promote), endorse, influencer, dan selebgram merupakan fenomena khas dalam transformasi model iklan di era interaktif global.
[ 124 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
DAFTAR PUSTAKA Applegate, E. (2012). The Rise of Advertising in the United States: A History of Innovation to 1960. Toronto: The Scarecrow Press, Inc. Arens, W. F.(1999). Contemporary Advertising, 7th Edition. Pennsylvania: Irwin-McGraw Hill Briggs, A. & Burke, P. (2009). A Social History of Media: From Gutenberg to the Internet. 3th edition. Cambridge: Polity Press. Cintron, V. Q. et.all (2017). “The Evolution of Demarketing Literature. FORUM EMPRESARIAL Vol 22. Nomor 1. Summer 2017. P 77-108. Elvinaro, A. dkk (2009). Komunikasi Massa suatu Pengantar (Edisi Revisi). Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Fite, G. W. (1970). A History of the American People. New York: Mc Graw Hill Book Company. Friedman, T. L .(2006). The World is Flat: A Brief History of The Twentyfirst Century. New York: Farrar, Straus and Giroux. Hart, M. H. (2009). Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Edisi Terjemahan. Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika). Hakim, N. (2010). “Book of Hours Geofroy Tory, Spirit Renaisans dalam Kontinuitas Ide Desain Fitro”. Journal Speed-Sentra Penelitian Engineering dan Edukasi. Volume 2 Nomor 2, 2010. King, F. S. (1983). Advertising Practices. Canada: Delmar Publisher Inc. Kotler, P. & Keller, K. L. (2009). Marketing Management. 13th edition. Pearson Education, Inc. Rusell, J. T. & Lane, W. R. (1990). Kleepner’s Advertising Procedures, 2nd Edition., New Jersey: Englewood Cliffs, Prentice Hall. Malik, A. (2013). “Revolusi Gutenberg. Jurnal Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, Mei – Agustus 2013”. Hal 1-5. Vivian, J. (2008). Teori Komunikasi Massa (Edisi Terjemahan, Penerjemah Tri Wibowo). Jakarta: Kencana Prenada Media.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 125 ]
Laman Internet Aryanto, A. (2019). FPG Indonesia Beberkan Tantangan Dunia Periklanan di Era Disrupsi. Dalam https://www.wartaekonomi.co.id/read258728/ fpg-indonesia-beberkan-tantangan-dunia-periklanan-di-era-disrupsi/0 Rabu 27 November 2019. Aisyah, F. (2018). Profesi-profesi yang Muncul di Era Revolusi Industri 4.0. Dalam https://rencanamu.id/post/karier/profesi-profesi-baru-apaaja-yang-muncul-di-era-revolusi-industri-40-bagian-1 Harjanto, R. (2019). Fakultas Ilmu Komunikasi Gelar Kuliah Tamu Bahas Dunia Periklanan Indonesia di Era Disrupsi Digital dan Industri 4.0. Kuliah Tamu di Universitas Esa Unggul Jakarta. Dalam https://fikom. esaunggul.ac.id/fakultas-ilmu-komunikasi-gelar-kuliah Nabila, M. (2017). PwC: Media Internet Diprediksi Kuasai 20 % Porsi Iklan Indonesia Tahun 2021. 8 Agustus 2017 dalam https://www.pwc. com/id/en/media -centre/pwc-in-news/2017/indonesian/pwc--mediainternet-diprediksi-kuasai-20--porsi-iklan-indonesia-.html Sutarini, I. A (2019). “Evolusi Industri Periklanan di Era Disrupsi”. Proceeding Seminar Nasional Sandyakala 2019. Dalam file:///C:/Users/ ASUS/Downloads/40-Article%20Text-140-1-10-20190904%20(3). pdf
[ 126 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
BAB 9 Personalisasi dalam Periklanan Digital Syaifa Tania Pengantar
D
igitalisasi teknologi telah mengubah cara kita melakukan produksi, distribusi, dan konsumsi informasi. Konsep audiens yang mulanya kerap dilekatkan hanya pada proses konsumsi, kini bergeser menjadi “prosumer” yang aktif mengonsumsi sekaligus memproduksi informasi. Kondisi ini tentunya memberikan dampak paradigmatis yang besar terhadap praktik komunikasi pemasaran secara makro. Praktik komunikasi pemasaran yang mulanya cenderung berorientasi pada target audiens yang masif kini bergeser menjadi segmen-segmen spesifik. Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa pengaruh teknologi digital telah menggeser paradigma masifikasi menjadi personalisasi dalam praktik komunikasi pemasaran. Sebagai bagian dari komunikasi pemasaran, perkembangan periklanan dari media tradisional menjadi digital pada praktiknya turut mengalami perubahan drastis. Meskipun demikian, baik periklanan tradisional maupun digital prinsip dasar keduanya tetap berakar pada konsep yang sama yaitu, volume dan biaya (Nesamoney, 2015). Iklan-iklan yang ditampilkan di media konvensional selalu berupaya untuk mencapai volume setinggi-tingginya dengan biaya serendah-rendahnya. Tingginya volume diidentifikasi dari jumlah frekuensi tayangan, banyaknya jenis media yang digunakan, serta besar jangkauan (reach) target audiens yang disasar. Dalam praktik kerja periklanan, divisi kreatif menjadi titik tumpu yang dituntut untuk dapat menghasilkan creative output yang menarik, sehingga dapat dilihat dan didengarkan oleh audiens sebanyak mungkin. Pada tataran bentuk, perkembangan teknologi digital saat ini menghadirkan ragam tools dan bentuk periklanan yang variatif. Sebut [ 127 ]
saja, banner ads yang bisa dianggap sebagai versi digital dari print ad atau billboard, endorsement di media sosial, webisodes yang menjadi bentuk digital dari TVC, serta bentuk-bentuk lain. Tidak hanya berbeda secara bentuk, seluruh tools periklanan digital ini juga memiliki keunggulan dalam hal evaluasi efektivitas media iklan yang digunakan. Dengan menggunakan perhitungan click, engagement rate, followers, dan basis digital media metrics lainnya, performa setiap media iklan dapat dikuantifikasi. Peluang yang ditawarkan ragam media iklan di media digital tidak hanya bersifat lebih fungsional, namun juga lebih pintar (Nesamoney, 2015). Praktik mengakses media digital yang dilakukan oleh pengguna media menjadi basis bagi pemasar untuk melakukan profiling terhadap setiap pengguna media tersebut. Dengan melakukan profiling terhadap aktivitas mengakses media digital tersebut, pemasar dapat memahami minat pengguna dan merancang pesan iklan yang spesifik sesuai dengan minat mereka. Pada tataran ini, periklanan di media digital bergerak menjadi lebih personal dan relevan bagi para penggunanya. Akan tetapi, di sisi lain kondisi ini tentu tidak lepas pula dari perdebatan tentang isu privasi di media digital.
Personalized Digital Advertising: Perangkat Mobile dan Profil Personal Secara historis, konsep komunikasi pemasaran digital (digital marketing communications) sesungguhnya telah muncul pada tahun 1990an. Akan tetapi, pada perkembangannya konsep ini baru cukup dikenal pada tahun 2000-an seiring dengan perkembangan teknologi mobile seperti ponsel dan laptop (Bahera et al., 2020). Popularitas konsep komunikasi pemasaran digital sendiri baru benar-benar terjadi sekitar tahun 2010 seiring dengan meningkatnya penggunaan smartphone, ragam paket data mobile yang terjangkau, serta popularitas media sosial di masyarakat. Secara khusus, meningkatnya tingkat penggunaan perangkat mobile, khususnya smartphone saat ini mendorong para penggunanya untuk terus terhubung dalam jaringan digital selama hampir 24 jam penuh. Dapat dikatakan, akses terhadap teknologi digital kini menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat urban. Agaknya tidak berlebihan pula bila dikatakan [ 128 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
bahwa kepraktisan dan multifungsionalitas yang menjadi karakteristik smartphone membuatnya menjadi constant companion yang hadir dalam keseharian penggunanya (Ward et al., 2017: 149). Constant companionship ini melatari sifat multifungsionalitas smartphone tidak hanya pada fungsi teknologi saja, melainkan juga fungsi psikologis. Smartphone diyakini mampu memenuhi kebutuhan psikologis penggunanya meski kerap kali proses pemenuhan kebutuhan tersebut terjadi secara tidak sadar (Diefenbach dan Borrman, 2019). Argumen ini dapat ditelaah melalui sejumlah kajian yang menyebutkan bahwa praktik menggunakan smartphone dalam keseharian merupakan tindakan spontan (Lee, Lim, Lee, 2016) dan kompulsif misalnya dengan terus menerus mengecek smartphone tanpa alasan jelas (Lee et al,. 2014). Dalam studinya, Aranda dan Baig (2014) menjelaskan adiksi terhadap smartphone diindikasikan pula melalui perasaan stres dan tidak nyaman yang disebutkan partisipan studi dalam imaji apabila hidup tanpa smartphone. Gagasan ini diperkuat pula oleh studi yang dilakukan Perrin (2017) bahwa partisipan mengaku tidak bisa hidup tanpa akses terhadap smartphone. Mengacu pada studi-studi tersebut, terlepas dari fungsi teknologinya, smartphone telah menjadi sumber kenyamanan psikologis bagi penggunanya. Tidak berlebihan pula rasanya untuk kemudian menyebut smartphone sebagai sebuah “adult pacifier” (Melumad dan Pham, 2020). Kebiasaan mengakses smartphone dalam intensitas tinggi membuat proses mengakses informasi menjadi lebih personal. Kondisi ini tentu berbeda dibandingkan setidaknya satu setengah dekade lalu di mana informasi cenderung didominasi oleh media penyiaran. Kala itu, proses mengakses informasi cenderung bersifat komunal. Sebagai ilustrasi, satu dekade lalu mungkin seluruh anggota keluarga akan berkumpul di ruang tengah dan mengakses konten dari satu program televisi yang sama. Tidak jarang pula proses menonton televisi tersebut diwarnai dengan aksi berebut saluran televisi di antara anggota keluarga. Akan tetapi, kehadiran smartphone memungkinkan setiap anggota keluarga saat ini memiliki “televisi personal” masing-masing. Setiap anggota keluarga dapat memilih mengakses konten digital sesuai dengan minat masing-masing tanpa harus saling berebut. Secara sosiologis, kondisi ini turut melahirkan fenomena phubbing atau mengacuhkan orang lain yang secara fisik hadir di sekitar Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 129 ]
kita dengan terus-menerus mengakses smartphone (Ellicott, 2013). Akibatnya, proses mengakses informasi yang dulunya cenderung bersifat komunal kini bergeser menjadi individual. Praktik mengakses informasi yang cenderung bersifat individual mendorong setiap pengguna media digital untuk merasakan personalized experience. Informasi yang diakses oleh setiap pengguna tentunya akan sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing individu. Hal ini memosisikan perangkat digital mobile (mobile device) tidak hanya menjadi perangkat media personal (personal media device), melainkan sebuah perangkat berbagi (sharing device). Sebagai contoh, dengan mengakses media sosial, mobile device kita mampu menjadi medium yang menyediakan berbagai informasi seperti lokasi, preferensi, jejaring pertemanan, dan data informasi lain yang dilakukan secara sukarela oleh penggunanya. Bagi pemasar, hal ini menjadi “harta karun” yang memungkinkan mereka melakukan personalisasi pesan komersial kepada setiap individu. Personalized advertising kemudian menjadi tools komunikasi pemasaran yang marak digunakan pemasar. Personalized advertising didefinisikan sebagai pesan komersial berisi penawaran produk atau jasa yang telah didesain secara spesifik untuk setiap target konsumen (Estrada-Jimenez et al., 2016). Personalisasi dimaknai sebagai kustomisasi pesan yang dikirimkan kepada setiap pengguna media digital sesuai dengan preferensinya masing-masing. Salah satu bentuk personalized advertising yang cukup banyak ditemui adalah retargeting. Retargeting merupakan praktik periklanan yang bertujuan menyasar pengguna media digital yang sebelumnya mengakses informasi tentang sebuah produk di website atau e-commerce namun tidak diakhiri dengan pembelian (Yang et al., dikutip oleh Dahlgren dan Tabell, 2017:7). Melalui praktik retargeting, pengguna akan kembali menerima paparan iklan untuk produk tersebut saat mengakses website lain. Di satu sisi, kondisi ini memungkinkan pengguna tersebut menerima pesan komersial yang memang relevan dengan preferensinya. Akan tetapi, di sisi lain pengetahuan pemasar tentang preferensi pengguna tidak akan diperoleh tanpa adanya perilaku berbagi informasi (sharing information) yang terjadi melalui media digital. [ 130 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Catatan penting tentang dampak teknologi mobile terhadap perubahan perilaku penggunanya adalah kesediaan mereka untuk berbagi informasi personal (Nesamoney, 2015). Praktik berbagi informasi personal di media digital kian jamak dijumpai seiring dengan meningkatnya tingkat adopsi penggunaan media sosial di masyarakat. Sifat (nature) media sosial yang berakar pada prinsip jejaring pertemanan, ruang sosialisasi, sekaligus ruang berbagi mengondisikan para penggunanya untuk berbagi informasi personal. Akibatnya, proses berbagi informasi diri dianggap sebagai hal yang wajar. Sebagai contoh, pendidikan, preferensi, perspektif terhadap isu tertentu, produk yang disukai, lokasi keberadaan, lokasi yang pernah dikunjungi, hingga lingkar pertemanan setiap pengguna. Lebih lanjut, selain media sosial terdapat pula sejumlah aplikasi mobile (mobile apps) yang meminta persetujuan pengguna untuk memberikan akses data diri misalnya berkaitan dengan lokasi, akses terhadap kontak telepon, akses terhadap media sosial, dan lainnya sebagai prasyarat agar aplikasi tersebut dapat digunakan. Kondisi ini kemudian menghadirkan perhatian terhadap isu privasi (privacy concern) khususnya berkaitan dengan keamanan data personal pengguna media digital. Isu privacy concerns secara konseptual diasosiasikan dengan praktik mengumpulkan, mengakses, menggunakan, dan mengontrol data sensitif dan privat milik pengguna media digital (Chang et al., 2017). Sebagai sebuah diskusi akademik, isu privacy concern di media digital sangat menarik mengingat di satu sisi pengguna memiliki kekhawatiran atas isu privasi dan penyalahgunaan data diri, namun di sisi lain pengguna media digital juga secara sukarela membagikan informasi personal tersebut di media sosial. Kondisi dua sisi ini mengantarkan diskusi kita selanjutnya tentang konsep privacy paradox.
The Privacy Paradox: Kontestasi antara Privasi dan Keuntungan di Media Sosial Personalisasi yang dilakukan pemasar dalam konteks komunikasi pemasaran menghadirkan tantangan serius tentang isu privasi di media digital. Di satu sisi, pemasar dapat menciptakan nilai (value creation) dengan menawarkan iklan produk yang memang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pengguna media digital (Mosteller dan Poddar, 2017). Akan Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 131 ]
tetapi, kondisi ini sesungguhnya berpotensi pula menciptakan destruksi nilai (value co-destruction) karena kepedulian pengguna tersebut terhadap privasi mereka (Jung, 2017). Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, personalisasi hanya dapat terjadi apabila pemasar melakukan personal profiling terhadap pengguna media digital. Dengan kata lain, pengguna tersebut menyadari bahwa pemasar secara sengaja terus mengamati, mengakses, dan mengolah data privat mereka di media digital untuk disusun menjadi profil behavioral dan “psikografis” yang memungkinkan mereka melakukan personalisasi dalam praktik periklanan digital. Kesadaran pengguna media digital terhadap kemampuan pemasar untuk melakukan personal profiling menghadirkan diskusi tentang privacy paradox. Konsep privacy paradox menjelaskan adanya gap antara perilaku berbagi informasi di media digital dan kesadaran tentang privasi informasi diri pengguna dalam konteks proses pengumpulan dan penggunaan data konsumen (Norberg et al., 2007). Lebih lanjut, sering dengan tren personalisasi dalam praktik periklanan digital, tantangan akan privacy paradox turut berkembang menjadi personalization-privacy paradox (Dahlgren dan Tabell, 2017). Secara khusus, personalizationprivacy paradox sebagaimana disampaikan Awad dan Krishnan (2006) dideskripsikan sebagai gap yang muncul antara kepedulian terhadap privasi dan proses berbagi informasi privat yang berfokus pada nilai penawaran personal (personal offerings). Dari sudut pandang pengguna media digital hal ini justru memosisikan mereka pada posisi dilematis. Di satu sisi personalisasi dapat menciptakan nilai (value), namun di sisi lain juga menghadirkan tantangan terhadap keamanan privasi sebagai buah dari proses sadar pengguna tersebut dalam berbagi informasi di media digital. Dilema yang dialami pengguna dalam menggunakan media digital tidak lepas pula dari kontestasi antara kebutuhan mengakses informasi digital dan kesediaan berbagi informasi. Culnan dan Armstrong (1999) secara tegas bahkan menjelaskan bahwa bagi pengguna media digital, paradoks tersebut selalu berkaitan dengan pertukaran (trade-off) antara akses terhadap layanan gratis di media digital dan risiko privasi. Seperti yang banyak dijumpai, sebelum seorang pengguna layanan digital dapat mengakses aplikasi atau media sosial mereka akan diminta untuk menyetujui syarat dan ketentuan tertentu. Syarat dan ketentuan ini tidak [ 132 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
pula dapat dipahami dengan mudah karena secara kuantitas cenderung sangat panjang, sehingga jarang sekali pengguna tersebut membaca seluruh klausul persyaratan hingga akhir. Selain itu, setelah pengguna layanan menyetujui seluruh persyaratan, tidak jarang pula untuk dapat menggunakan fitur-fitur tertentu mereka diminta untuk memberikan izin otorisasi. Sebagai contoh, untuk dapat menggunakan fitur filter foto di platform aplikasi media sosial, aplikasi tersebut akan meminta otorisasi akses terhadap kamera dan galeri album foto di ponsel milik pengguna. Sayangnya, permintaan otorisasi ini tidak memberikan ruang negosiasi yang cukup. Opsi yang diberikan kepada pengguna media sosial hanya dua yaitu, memberikan otorisasi atau tidak dapat menggunakan fitur yang diinginkan. Fenomena privacy paradox dalam konteks komunikasi pemasaran dapat dikaji melalui tiga teori. Pertama, privacy calculus theory (Aguirre et al., 2016) yang berorientasi pada perhitungan risiko dan keuntungan yang diterima. Secara khusus, teori ini menganggap bahwa pengguna media digital secara aktif menimbang risiko antara kehilangan privasi dan keuntungan (benefit) yang diterima dari personalisasi penawaran (personalized offering) yang diterima pengguna dari pemasar. Contoh di atas tentang permintaan otorisasi terhadap kamera di ponsel pengguna sebagai prasyarat penggunaan fitur dapat menjadi ilustrasi teori ini. Umumnya, apabila pengguna menilai bahwa risiko keuntungan yang diterima lebih besar dibandingkan potensi risiko yang dihadapi maka pengguna akan memberikan otorisasi atau tetap melanjutkan menggunakan aplikasi digital tersebut. Kedua, context-based perspective (Aguirre et al., 2016) yang menganggap bahwa kepedulian pengguna media digital terhadap isu privasi cenderung bersifat situasional. Latar situasional yang dimaksud cukup beragam. Sebagai contoh, pengguna media digital akan cenderung menyetujui untuk memberikan akses kepada aplikasi terhadap informasi personal dirinya apabila pengguna tersebut meyakini bahwa banyak pengguna lain yang melakukan hal serupa. Selain itu, pengguna juga cenderung akan lebih terbuka untuk bersedia menerima prasyarat terhadap akses data pribadi apabila aplikasi digital tersebut sudah terkenal atau banyak digunakan oleh masyarakat. Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 133 ]
Ketiga, construal level theory (Hallam dan Zanella, 2017) yang menjelaskan bahwa pengguna media digital cenderung lebih mementingkan intensi jangka pendeknya (near-future intentions) dibandingkan potensi dampak di masa depan (distant-future events). Dalam konteks studi ini, pengguna media digital sebagai konsumen cenderung menitikberatkan pada keuntungan yang diperoleh saat ini, namun tidak mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin terjadi di kemudian hari. Ilustrasi lebih jelas tentang bagaimana teori ini digunakan untuk memahami isu personalization-privacy paradox dapat dilakukan dengan mengulas kembali contoh sebelumnya tentang permintaan aplikasi kepada pengguna untuk memberikan otorisasi penggunaan kamera. Pada ilustrasi contoh sebelumnya, aplikasi meminta penggunanya untuk mengizinkan akses penggunaan kamera dan galeri album foto di ponsel sebagai prasyarat agar pengguna dapat menggunakan fitur filter foto. Mengacu pada gagasan construal level theory, pengguna aplikasi akan memberikan izin akses terhadap kamera dan galeri karena hal tersebut dapat memenuhi intensi jangka pendeknya yaitu menggunakan fitur filter foto. Akan tetapi, pengguna aplikasi tersebut belum memikirkan secara saksama tentang potensi bahaya penyalahgunaan data privat atas akses yang diberikan. Diskusi tentang kontestasi antara kebutuhan pengguna menggunakan aplikasi media digital dan risiko penyalahgunaan data privat sedikit banyak berkaitan pula dengan isu relasi kuasa. Pemasar dan penyedia layanan aplikasi mobile dianggap memiliki kuasa yang lebih besar dibandingkan pengguna media digital. Oleh karena itu, perlu diambil langkah yang dianggap mampu memberikan ruang kuasa lebih besar kepada pengguna media digital (Dahlgren dan Tabell, 2017). Salah satu tawaran langkah yang dapat ditempuh untuk mengurangi persoalan privacy paradox adalah permission marketing (Krafft et al., 2017). Konsep permission marketing didasarkan pada pertimbangan bahwa pengguna media digital memiliki kewenangan untuk memilih iklan apa saja yang bersedia dia terima, serta data diri apa saja yang bersedia dibagikan kepada pemasar dan penyedia layanan aplikasi mobile. Secara transaksional, konsep ini memungkinkan pengguna media digital memberikan informasi yang sesuai dengan consent-nya kepada pemasar dan penyedia layanan digital, sebaliknya pemasar hanya akan mengirimkan iklan yang sesuai dengan minat dan [ 134 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
kesediaan pengguna tersebut. Lebih lanjut, permission marketing juga memungkinkan pengguna untuk benar-benar mengetahui informasi diri apa saja yang akan digunakan serta bagaimana informasi tersebut akan digunakan oleh pemasar. Terakhir, permission marketing idealnya juga memberikan ruang bagi pengguna media digital untuk berhenti menerima iklan dan membagikan informasi dirinya kepada pemasar serta penyedia layanan digital.
Penutup Tidak dimungkiri, teknologi digital telah menjadi akselerator bagi praktik komunikasi pemasaran yang lebih personal. Personalized advertising menjadi salah satu bentuk periklanan yang sangat marak dan “lumrah” dilakukan oleh para pemasar melalui media digital. Andai meskipun dua orang pengguna media digital mengakses laman situs yang sama pada saat bersamaan, boleh jadi keduanya akan menerima terpaan iklan yang berbeda sesuai dengan rekam jejak riwayat akses digital masing-masing. Dengan kata lain, dalam latar komunikasi pemasaran digital, terpaan iklan yang diterima oleh setiap pengguna akan bersifat sangat personal. Personalisasi dalam layanan komunikasi digital seolah menjadi konsep dilematis bagi para pengguna media digital. Di satu sisi, personalisasi mampu memberikan optimalisasi akses layanan digital bagi para penggunanya, sekaligus membantu pemasar dan penyedia layanan digital untuk menciptakan nilai (value creation). Akan tetapi, di sisi lain keresahan tentang penyalahgunaan data pribadi pengguna masih menjadi tantangan serius. Langkah untuk mengurai persoalan ini sejatinya bermuara pada solusi yang berorientasi pada upaya penyetaraan kuasa antara penyedia dan pengguna layanan digital. Selain itu, kemampuan literasi digital pengguna untuk mampu memilah informasi privat dan publik menjadi langkah kunci yang diyakini mampu mereduksi potensi ancaman penyalahgunaan penggunaan data pribadi di media digital.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 135 ]
DAFTAR PUSTAKA Aguirre, E., Roggeveen, A., Grewal, D., dan Wetzels, M. (2016). “The personalization-privacy paradox: Implications for new media”. Journal of Consumer Marketing, 33(2), hal. 98-110. Aranda, J.H., dan Baig, S. (2018). “Toward ‘JOMO: the joy of missing out and the freedom of disconnecting”. Dalam Proceedings of the 20th International Conference on Human-Computer Interaction with Mobile Devices and Services (MobileHCI ’18). ACM, New York. Awad, N.F., dan Krishnan, M.S. (2006). “The personalization privacy paradox: An empirical evaluation of information transparency and the willingness to be profiled online for personalization.” MIS Quarterly, 30(1), hal. 13-28. Bahera, R.K., Gunasekaran, A., Gupta, S., S. Kamboj, dan P.K. Bala. (2020). “Personalized digital marketing recommender engine”. Journal of Retailing and Consumer Services, 53, Hal. 1-24. Chang, S.E., Liu, A.Y., dan Shen, W.C. (2017). “User trust in social networking services: A comparison of Facebook and LinkedIn.” Computers in Human Behavior, 69, hal. 207-217. Culnan, M., dan Armstrong, P. (1999). “Information privacy concerns, procedural fairness, and impersonal trust: An empirical investigation”. Organization Science, 10 (1), hal. 104-115. Dahlgren, S., Tabell, B. (2017). Personalized Advertising Online and its Difficulties with Customer Privacy. Sweden: Karlstad Business School. Master Thesis. Diefenbach, S., Borrman, K. (2019). “The smartphone as a pacifier and its consequences: Young adults’ smartphone usage in moments of solitude and correlations to self-reflection”. CHI 2019, 4-9 Mei 2019, Glasgow, Scotland, UK. Ellicott, C. (2013). “Are you a phubber? Campaign launched to stop smartphone addicts snubbing others by checking their mobiles”. Dailymail. Diakses pada 14 November 2020. Terarsip di: < https://
[ 136 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
www.dailymail.co.uk/news/article-2384397/Are-phubber-Campaignlaunched-stop-smartphone-addicts-snubbing-checking-mobiles.html >. Estrada-Jimenez, J., Parra-Arnau, J., Rodriguez-Hoyos, A., dan Fornec, J. (2017). “Online advertising: Analysis of privacy threats and protection approaches”. Computer Communications, 100, hal. 32-51. Hallam, C., dan Zanella, G. (2017). “Online self-disclosure: The privacy paradox explained as a temporally discounted balance between concerns and rewards”. Computers in Human Behavior, 68, hal. 217227. Jung, A-R. (2017). “The influence of perceived ad relevance on social media advertising: An empirical examination of a mediating role of privacy concern”. Computers in Human Behavior, 70, hal. 303-309. Krafft, M., Arden, C., dan Verhoef, P. (2017). “Permission marketing and privacy concerns: Why do customers (not) grant permissions?”. Journal of Interactive Marketing, 39, hal. 39-54. Lee, Y., Lim, Y., Lee, K. (2016). “Timelessness: User experience of unplanned smartphone use”. Dalam Proceedings of the 2016 ACM Conference on Designing Interactive Systems (DIS ’16). ACM, New York. Hal. 73-88. Lee, Y., Chang, C., Lin, Y., dan Z. Cheng. (2014). “The darkside of smartphone usage: Psychological traits, compulsive behavior and technostress”. Computers in Human Behavior, 31, Hal. 373-383. Melumad, S., Pham, M.T. (2020). Journal of Consumer Research. Forthcoming. Terarsip di: < https://www.researchgate.net/ publication/338986342_The_Smartphone_as_a_Pacifying_ Technology >. DOI: 10.1093/jcr/ucaa005 Mosteller, J., dan Poddar, A. (2017). “To share and protect: Using regulatory focus theory to examine the privacy paradox of consumers’ social media engagement and online privacy protection behaviors”. Journal of Interactive Marketing, 39, hal. 27-38.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 137 ]
Nesamoney, D. (2015). Personalized Digital Advertising: How Data and Technology Are Transforming How We Market. New Jersey: Pearson Education, Inc. Norberg, P.A., Horne, D.R., dan Horne, D.A. (2007). “The privacy paradox: Personal information disclosure intentions versus behaviors”. Journal of Consumer Affairs, 41(1), hal. 100-126. Perrin, A. (2017). 10 Facts About Smartphones. Diakses pada 14 November 2020. Terarsip di: . Ward, A.F., Duke, K., Gneezy, A., dan M.W. Bos. (2017). “Brain drain: The mere presence of one’s own smartphone reduces available cognitive capacity”. Journal of the Association for Consumer Research, 2(2), Hal. 140-154.
[ 138 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
MEDIA ENTERTAINMENT: DARI “BIASA” MENJADI “LUAR BIASA” Teknologi informasi dan komunikasi memberi sebuah ruang tak terbayangkan terkait media hiburan (media entertainment). Praktik komunikasi manusia yang termediasi melalui internet of things (IoT) membuat dinamika hiburan mengalami lompatan revolusioner. Empat bab dalam bagian Media Entertainment ini membahas aspek-aspek menarik dari fenomena terkini yang muncul seiring dengan kegilaan audiens, dan netizen. Semuanya dibungkus dengan energi dunia industri media sebagai fenomena baru abad-21. Garis imajinasi linear geseran cara pandang dari “biasa” menjadi “luar biasa” seolah menjadi penegasan bahwa fenomena dunia hiburan telah secara langsung berkelindan dengan realitas sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat informasi. Kompleksitas para pelaku komunikasi secara komplementer baik sebagai netizen maupun kreator isi dan narasi media (content creator), menghadirkan realitas yang benar-benar baru. Ini tantangan menarik bagi studi ilmu komunikasi.
BAB 10 Melampaui yang “Remeh-Temeh”: Media Hiburan Sebagai Bidang Kajian Ilmu Komunikasi Budi Irawanto The real voyage of discovery consists of not finding the new lands, but of seeing the territory with new eyes. Marcel Proust
Pengantar
D
alam sebuah percakapan ringan, seorang mahasiswa ilmu komunikasi tempat saya mengajar mengeluhkan sikap temannya yang meremehkan peminatan yang dipilihnya. Saat mahasiswa itu menyatakan media hiburan sebagai peminatannya, sontak temannya menunjukkan keheranannya seraya mengatakan apa yang bisa distudi dari media yang hanya berisi gosip atau hal-hal yang remeh-temeh. Boleh jadi pandangan teman mahasiswa itu mewakili pandangan umum selama ini terhadap media hiburan. Anekdot itu menunjukkan betapa terbatasnya pengetahuan tentang media hiburan, sehingga melahirkan prasangka yang miring. Abad ini kerap disebut-sebut oleh sejumlah kalangan sebagai entertainment economy (Wolf, 2003). Sebagaimana disitir situs WARC, pada 2019 Motion Picture Association (MPA) membakukan keuntungan sebesar 101 miliar dolar Amerika; sementara, perusahaan riset PWC memperkirakan pendapatan media dan hiburan sebesar 2,2 triliun dolar Amerika hingga 2021. Meski demikian, perhatian akademis, terutama di Indonesia, terhadap media hiburan belumlah memadai. Ini barangkali karena masih kuatnya pandangan bahwa media hiburan hanya layak
[ 140 ]
sebagai objek liputan media berita hiburan (infotainment); bukan sebagai objek kajian ilmiah. Masih langkanya kajian dan riset terhadap media hiburan di Indonesia boleh jadi disebabkan oleh keengganan mengeksplorasi bidang kajian di luar yang selama ini telah lama dikenal seperti jurnalisme, periklanan, hubungan masyarakat dan seterusnya. Dengan kata lain, ada semacam paradoks tatkala ekonomi media hiburan bertumbuh pesat di Indonesia, justru kajian teoretis maupun empiris terhadap media hiburan terkesan masih tertinggal. Oleh karena itu, bab ini mengupas pentingnya memosisikan media hiburan sebagai bidang kajian sebagaimana bidang kajian lain yang selama ini dikenal dalam studi ilmu komunikasi. Lewat kajian media hiburan diharapkan tidak hanya memperkaya khazanah studi dan riset ilmu komunikasi, tapi yang lebih penting juga membantu memahami dinamika masyarakat kontemporer yang kian termediatisasi.
Memaknai Hiburan Setiap ikhtiar mendefinisikan “hiburan” senantiasa sulit mengelak dari konotasi “sosial” maupun konstruksi yang “bebas-nilai” (Gray, 2008: 4). Ini karena istilah hiburan melahirkan polarisasi pendapat antara mereka yang mengagungkan dan mereka yang mencibirnya. Bagi mereka yang mengagungkannya, hiburan bersifat transendental dan menyenangkan. Sebaliknya, bagi mereka yang mencibirnya, hiburan bersifat keduniawian serta mengorupsi nilai-nilai keutamaan. Dengan demikian, pendefinisian hiburan perlu melacak akarnya pada konseptualisasi dalam sistem kapitalis antara “kerja” (work) dan “kesenangan” (leisure). Inilah yang melahirkan pandangan hierarkis bahwa kerja berkaitan dengan “sesuatu yang harus dilakukan”, sedangkan hiburan bertautan dengan “sesuatu yang ingin dilakukan”. Dengan kata lain, hiburan dianggap mengganggu atau mendistraksi keseriusan kerja. Selain itu, upaya memaknai hiburan kerapkali mengundang sikap meremehkan bobot ideologis yang melekat dalam hiburan itu sendiri, sehingga cenderung mengabaikan signifikansinya dalam masyarakat kontemporer. Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 141 ]
Jonathan Gray (2008) merangkum serangan para pengkritik terhadap hiburan itu ke dalam tiga hal. Pertama, tingginya kecemasan pada kekuatan dari televisi sebagai media hiburan. Hiburan ditempatkan sebagai penyakit gawat atau sesuatu yang mampu menyembunyikan penyakit yang sepenuhnya jauh dari konten, makna dan nilai-nilai serta hanya membuang-buang waktu dan menyia-nyiakan bakat manusia. Kedua, secara tajam hiburan dikontraskan dengan informasi dan edukasi. Tatkala sejumlah penulis berbicara hiburan tengah “merasuki” informasi, mereka menggunakan kias seperti invasi, tentara musuh, atau pendudukan ilegal. Ketiga, jika metafora narkosis digunakan, para penonton (penikmat) media hiburan kerapkali dilihat sebagai mereka yang tak bisa diandalkan tatkala dihadapkan pada stimulus dan menjadi budak dari yang mereka dicandui. Karenanya, hiburan plus manusia adalah kombinasi yang hanya mengundang perkara. Sebaliknya, mereka yang membela televisi itu mengingatkan para pengkritiknya dengan menyatakan “itu hanya hiburan” (only entertainment). Dalam bukunya Only Entertainment (2002), Richard Dyer menyatakan, “Hiburan, yang didahului kata ‘hanya,’ kadangkala digunakan untuk mengabaikan sesuatu yang estetis dan ideologis.” Di sini seakan-akan hal-hal yang bermakna, estetis dan ideologis bakal mencederai seluruh pengalaman menikmati hiburan. Pembelaan ini terasa aneh karena menunjuk pada banalitas hiburan itu sendiri, alih-alih informasi atau edukasi sebagaimana pandangan para pengkritik hiburan. Akibatnya, para pembela hiburan gagal memberi penjelasan mengapa hiburan bisa begitu populer serta banyak dikonsumsi. Oleh karena itu, hiburan semestinya tidak dimaknai secara sederhana sebagai aktivitas yang tak produktif dan banal sebagai lawan dari kerja. Alih-alih hiburan juga merupakan aktivitas yang memiliki elemen informasi dan edukasi. Berbeda dengan pandangan psikologi, hiburan tidak hanya memberikan kepuasaan dan kenikmatan belaka melainkan memiliki jalinan dengan ideologi dan estetika (seni). Hiburan juga memiliki pertautan dengan bekerjanya kekuasaan politik yang memperalatnya demi melangengkan rezim kekuasaan.
[ 142 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Memahami Media Hiburan Hiburan memang memiliki sejarah yang cukup tua, namun hiburan yang “termediasi” (mediated entertainment) agaknya baru berkembang seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi. Studi yang dilakukan oleh Gerben Bakker (2008) tentang munculnya industri film global dari 1890 hingga 1940 menunjukkan bagaimana sinema merupakan evolusi dari pertunjukan hiburan langsung (lived entertainment) yang terindustrialisasi. Menurut Bakker, sinema mengindustrialisasi pertunjukan hiburan itu dengan melakukan otomatisasi, standardisasi, dan membuatnya gampang diperdagangkan. Film yang gampang diperdagangkan itu menjadikan pasar hiburan nasional terintegrasi ke dalam pasar internasional (Gringe, 2008; Hupert, 2006; Mirrless, 2013). Bahkan, dalam perkembangannya Hollywood mencerap sains ke dalam memproduksi kontennya yang menghibur (Nelson, Grazier, Paglia & Perkowitz, 2013). Menarik dicatat, proses industrialisasi hiburan (film) itu sesungguhnya merupakan isyarat industrialisasi sektor jasa yang mengiringinya. Apalagi teknik riset pasar yang dikembangkan oleh George Gallup memungkinkan selera penonton untuk diindustrialisasi lebih lanjut. Begitu pula, sejarawan film, Douglas Gomery (1984) berargumen produksi massal lewat teknik assembly line dan distribusi massal menjadikan Hollywood sebagai industri. Kendatipun pertunjukan hiburan langsung tetap marak, bentuk hiburan yang termediasi kian menjadi bagian keseharian masyarakat modern. Salah satu media hiburan termediasi yang populer itu adalah televisi. Ien Ang (seperti disitir oleh Gray, 2008: 8) menyatakan, “Berlawanan dengan institusi sosial yang lain seperti sekolah atau keluarga, televisi … tidak memiliki sarana untuk memaksa orang menjadi audiensnya.” Ini karena televisi (hiburan) bisa menginspirasi kita, menenangkan kita, membuat kita tertawa, mengubah kita, menginformasikan kita, merangkul kita, memberdayakan kita, menyentuh kita mengejutkan kita, mengajak kita bertindak, berpolitik serta memiliki kepedulian (Gray, 2008). Di samping itu, media hiburan tak bisa dilepaskan dari kepentingan politik mengingat elemen ideologis muskil diceraikan dari media hiburan. Media hiburan senantiasa membangun fantasi (fantasy), menyentuh emosi (affect) dan membentuk makna (meaning) pada audiensnya, sehingga Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 143 ]
sedikit banyak membentuk cara mereka mendefinisikan dan memahami realitas atau dunia yang mengitarinya (Shrum, 2004). Tak mengherankan, jika Lisa Parks (seperti disitir Gray, 2008: 9) menyatakan, “Pendeknya kita tak bisa membinasakan televisi. Alih-alih kita perlu menghidupkannya, masuk ke dalam pendar birunya, dan berbicara lebih banyak mengenai apa yang ingin kita lihat. Dengan kata lain, kita mesti kian peduli untuk bisa memeranginya.” Media hiburan lantas berkembang menjadi industri dan bahkan skalanya semakin mengglobal. Sebagai bagian dari ekonomi kreatif, media hiburan mengombinasikan kreativitas, inovasi dan prinsip-prinsip dalam industri media demi mempertahankan kelangsungannya. Berbeda dengan industri lainnya, media hiburan menuntut kemampuan mengelola bakat dan kreativitas menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomisnya. Dalam perkembangannya, media hiburan telah berubah menjadi fan economy atau gift economy (Liang & Sen, 2016) yang bertumpu pada (super) fans sebagai ko-kreator sebelum sebuah produk dirilis.
Digitalisasi Media Hiburan Digitalisasi kini menjadi gerak yang tak bisa dibendung oleh industri media, termasuk media hiburan. Teknologi digital kian mudah diakses memberi kemudahan bagi distribusi konten media hiburan. Pada saat yang sama, di tataran global, semakin meningkatnya pertautan ekonomi politik antarnegara serta perkembangan teknologi digital telah memandu fase baru dalam aliran global konten media hiburan. Teknologi digital ini mengubah model bisnis dan praktik yang telah berlangsung puluhan tahun agar mampu menghasilkan, menyampaikan dan menangkap nilai-nilai dalam industri media hiburan yang senantiasa berubah (Sigismondi, 2008). Dalam dua dekade belakangan Amerika Serikat telah mendominasi lanskap media hiburan daring (online) di tataran global dengan memiliki dan mengoperasikan portal televisi terbesar di dunia (HBO Now, Netflix, dan Amazon) dan platform media sosial (YouTube, Facebook, dan Twitter). Pada 2016, diperkirakan Netflix memiliki 80 juta pelanggan yang tersebar di 190 negara yang menandai lahirnya layanan baru terbesar TV internet. Jika dibandingkan jumlah pengguna platform media sosial [ 144 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
tentu tidaklah seberapa. Misalnya, YouTube memiliki lebih dari 1 miliar pelanggan di 88 negara dengan 76 bahasa, sedangkan Facebook memiliki 1,7 miliar pengguna atau separuh lebih populasi pengguna Internet. Dengan dominasinya itu, barangkali hanya Cina yang perlu ditaklukkan perusahaan media Amerika mengingat regulasi negara di Cina telah berhasil menginkubasi, memproteksi, dan menyensor media digital dan sosial. Dengan demikian, sekadar beradaptasi dengan teknologi digital tidaklah memadai, tanpa mengubah secara mendasar perspektif dalam memandang teknologi digital. Misalnya, media sosial yang semula merupakan platform untuk membangun pertemanan (jejaring sosial), kini telah berubah menjadi media hiburan atau yang disebut dengan commutainmen’ (Cunningham & Craig, 2016). Inilah media hiburan yang kontennya berwatak komunikatif serta mengusung etos komunitas dengan memanfaatkan jejaring teknologi komunikasi. Dengan kata lain, media sosial hiburan ini dibangun di atas landasan teknologi, jejaring, harga yang terjangkau, pemekaran yang cepat, dan nyaris berjalan mulus (near-frictionless). Media sosial hiburan (social media entertainment) tersebut, menurut Cunningham dan Craig (2016), bisa dianggap sebagai “roto-industri media” karena merepresentasikan model kepemilikan media yang nontradisional, platform yang disruptif, inovasi konten yang unik sehingga menantang konsepsi kita tentang globalisasi media, termasuk rezim regulasi nasional. Tidak seperti sistem penyiaran nasional, film, rilis DVD yang memiliki konten dengan hak cipta yang ketat, platform media sosial seperti YouTube melakukan fasilitasi ketimbang mengontrol konten sehingga mendorong lebih banyak kreator, beragam konten, perusahaan jasa, keragaman budaya dan bahasa ketimbang media global yang hegemonik itu. Jika semula media sosial hiburan itu bersifat amatir, maka kini semakin profesional dengan melakukan monetisasi para kreator konten dari seluruh dunia yang berwatak multikultural. Mereka memperkuat platform media sosial itu untuk menginkubasi brand media mereka sendiri, berinovasi, membangun fan yang masif, transnasional, dan multikultural. Sementara itu, industri games komputer merupakan buah dari perkembangan internet yang melahirkan media interaktif. Industri ini Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 145 ]
merupakan sektor yang cukup matang dilihat dari sisi pasar sisi pasar (Marcovitz, 2012), desain dan praktik produksinya yang ditandai oleh inovasi terus-menerus dalam perangkat keras dan lunak yang berkaitan dengan image (gambar) dan sound (suara). Pengembangan games didorong oleh pasar serta sejak awal berwatak sebagai media hiburan. Oleh karena itu, menurut Stéphane Natkin (2006), para pemain games tidaklah memecahkan soal yang trivial, namun tidak terlampau kompleks, yang mengarah pada tujuan tertentu dalam waktu yang tersedia. Pemain mesti merasakan mereka ada dalam situasi interaktif, tapi terdorong untuk menemukan solusi. Perasaan “imersif” (tenggelam dalam permainan) lantas menjadi tujuan games yang naratif. Ini dilakukan oleh industri games dengan meminjam game theory (teori permainan) dan object-oriented programming (pemrograman berorientasi objek). Harus diakui, teknologi digital memiliki implikasi yang luas terhadap watak medium hiburan, industri, regulasi dan audiensnya. Dengan kata lain, perkembangan teknologi digital tak hanya sebatas pada perkara teknis belaka, melainkan melahirkan dampak ekonomi, politik dan estetik yang mendalam terhadap media hiburan. Misalnya, semakin menguatnya televisi transnasional dengan difasilitasi teknologi digital menunjukkan perubahan bentuk ekspansi sebagaimana kepemilikan, produksi, program, format, dan gaya yang melampaui batas-batas negara. Karena itu, menurut Jonathan Gray (2008), televisi kini tak lagi sepenuhnya nasional karena perkembangan teknologi, restrukturisas bisnis, merger, dan pengambilalihan perusahaan.
Ranah Kajian Media Hiburan Studi tentang media hiburan sejatinya menawarkan ranah kajian dan riset yang terbuka untuk dieksplorasi lebih jauh lebih jauh (Modleski, 1986; Walmsley, 2011). Karena itu, penting memetakan sejumlah ranah kajian media hiburan yang terus bertumbuh seraya menilik sejumlah kasus di Indonesia yang relevan. Ini agar bisa dilihat bahwa Indonesia kaya akan fenomena yang berkaitan dengan media hiburan. Selain itu, di Indonesia, media hiburan sesungguhnya telah menjadi keseharian masyarakat.
[ 146 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Ada sejumlah ranah kajian dan riset dalam media hiburan, antara lain: (1) sejarah media hiburan dan lahirnya modernitas; (2) media hiburan, representasi dan ideologi; (3) ekonomi politik industri media hiburan; (4) audiens media hiburan (5) media hiburan dan kekerasan; (6) regulasi dan etika media hiburan; (7) media hiburan sebagai “soft power” dalam percaturan global; (8) perkembangan “infotainment”; (9) fandom dalam media hiburan; (10) pekerja kreatif dalam media hiburan; dan seterusnya. Ranah kajian media hiburan tersebut bisa dipilah menjadi yang bersifat makro (struktural) seperti media hiburan sebagai soft power (Fattor, 2012) dalam percaturan global yang tak hanya berfokus pada satu negara tapi relasinya dengan negara lain. Selain itu, kajian yang berfokus pada relasi antara perkembangan media hiburan dan modernitas merupakan kajian yang bersifat makro dan historis. Ranah riset yang lebih mikro misalnya melihat aspek tekstual dari media hiburan dan relasinya dengan audiens atau penggemar. Dengan meriset sejarah media hiburan di suatu negara sesungguhnya bisa dilacak munculnya gagasan tentang modernitas. Di Indonesia, kemunculan bioskop yang memutar film hiburan di era kolonial itu berbarengan dengan proses urbanisasi dan makin menurunnya popularitas seni pertunjukan tradisional. Beberapa pemain seni pertunjukan tradisional itu lantas berpindah ke industri film. Tentu ini, bukan fenomena yang khas Indonesia, melainkan juga bisa ditemukan di negara Asia Tenggara lainnya. Akan tetapi, “trajektori” modernitas maupun konten media hiburan bisa sangat bervariasi antara satu negara dengan negara yang lain. Barangkali ranah media hiburan yang mulai banyak dieksplorasi di Indonesia adalah representasi dan ideologi media hiburan. Mengingat masih cukup mengakarnya sistem patriarki, sejumlah riset media hiburan selama ini lebih banyak berfokus pada representasi gender (terutama perempuan) (terutama perempuan) (Brode, 2005). Sementara itu, secara gamblang pertautan antara media hiburan dengan ideologi ditemukan terutama dalam rezim politik yang otoritarian maupun militeristik (De Derian, 2009; Holmes & Smith, 2000). Di era Orde Baru, misalnya, rezim politik menjadikan film sebagai alat propaganda untuk melegitimasi kekuasaannya dengan mencari-cari pendasaran historisnya. Menarik Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 147 ]
menyimak temuan studi Mary-Elizabeth O’Brien (2004) tentang media hiburan di bawah rezim Nazi (1933–1945) pimpinan Adolf Hitler. Filmfilm hiburan sebagai alat propaganda partai Nazi banyak menyodorkan fantasi sosial yang positif, realitas sosial yang memukau dan tempat yang menggoda untuk didiami. Alih-alih sekadar meneror penonton agar patuh, rezim Nazi justru menggunakan seduksi dan menyodorkan hal-hal yang diinginkan penonton: stabilitas, sistem nilai tradisional, rasa memiliki dan standar hidup yang lebih baik. Kita tahu, selama ini ada pemisahan yang ketat antara “jurnalisme” yang menyampaikan informasi faktual dan hiburan yang lebih menyajikan fiksi dan berbasis imajinasi (Thussu, 2007). Akan tetapi, kini dua genre telah melebur ke dalam program infotainment yakni jurnalisme yang dikemas dengan hiburan. Hampir sebagian besar atasiun TV di Indonesia banyak menyiarkan program infotainment itu, bahkan ada yang menempatkannya pada jam tayang utama (prime time). Harus diakui, program infotainment itu lebih banyak mengangkat kehidupan para selebritas ketimbang persoalan yang memiliki pertautan dengan kepentingan publik. Tentu, infotainment bukanlah genre satu-satunya di TV yang bisa diriset lebih jauh. Program “reality TV” tak kalah menariknya untuk diriset, terutama karena menggunakan pendekatan ala film dokumenter namun tetap dikemas sebagai hiburan bagi penontonnya. Persoalan kekerasan kerapkali dinisbatkan pada konten media hiburan. Kekerasan dalam media hiburan itu tak hanya menjadi objek kajian para peneliti komunikasi, tapi juga objek bagi regulasi (Rushman, 2010). Sebagaimana di tempat lain, kekerasan media hiburan itu di Indonesia menjadi keprihatian para orang tua, pendidik, pengambil kebijakan serta lembaga yang peduli dengan anak-anak dan kualitas konten media (misalnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Komisi Penyiaran Indonesia). Apalagi anak-anak juga terlibat dalam industri media hiburan (Arrighi & Emeljanow, 2012). Meski demikian, sebagaimana diingatkan oleh Karen E. Dill-Sackleford (2016: 97), kekerasan media bukanlah satusatunya penyebab kekerasan. Eksposur pada kekerasan media merupakan bagian dari skema besar dalam kehidupan seseorang. Kekerasan media memang cenderung mengajarkan kekerasan sebagai sesuatu yang bisa diterima dan dibenarkan secara sosial sebagai cara mengatasi konflik. [ 148 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Inilah yang lantas melahirkan kecenderungan pikiran dan perilaku agresif. Penting dicatat, kekerasan hanya melahirkan kekerasan. Internet dan media sosial kini mengalami transformasi menjadi media hiburan yang menciptakan tantangan baru bagi regulasi dan hukum (Smartt, 2014). Persoalan hak cipta (IPR) menjadi kian kompleks tatkala muncul konten digital yang amat mudah untuk disalin, dibagi, dan diarsipkan. Begitu pula, persoalan hak-hak privasi kerapkali berbenturan dengan kebebasan berekspresi ketika dihadapkan dengan media hiburan. Dampak kehadiran internet senantiasa menjadi pemikiran para pembuat regulasi tentang materi yang disebarkan secara daring (Smartt, 2014). Bahkan, timbul persoalan baru institusi yang memiliki otoritas untuk melakukan regulasi yang berkaitan dengan materi digital mengingat media baru yang telah mengalami konvergensi. Kini telah banyak riset yang memberi perhatian pada fandom media hiburan. Dari media hiburan lahir audiens yang tak hanya aktif, tapi juga kreatif yang membangun keintiman atau hubungan semu (para social relationship) dengan selebritas, penyanyi atau bintang film. Inilah yang disebut dengan fan (berakar kata fanaticus) yang ikut menjadi ko-kreator dari teks media seperti dalam fan fiction (fanfic) dan ‘fan art.’ Studi yang dilakukan Liang dan Sen (2016) di Cina mengindikasikan bagaimana superfan telah ikut membentuk industri media hiburan. Dengan kata lain, fan berbeda dengan audiens media biasa karena memiliki keterlibatan emosional dengan selebritas, penyanyi dan bintang film itu. Jika kekaguman pada ojek yang diidolakan itu bersifat internal dan berpusat pada pikiran, perasaan dan tindakan privat, maka itu disebut personhood fan. Ini berbeda dengan participatory fan yang kurang banyak melakukan sesuatu terhadap objek yang dikagumi. Penting dicatat, mengkaji media hiburan tentu melibatkan disiplin lain dalam ilmu sosial dan humaniora. Ilmu politik sangat membantu ketika melakukan kajian media hiburan sebagai soft power dalam percaturan politik global. Untuk mengkaji industri media hiburan, disiplin ilmu ekonomi akan membantu mengenali karakteristiknya yang khas dan persamaannya dengan industri yang lain. Disiplin psikologi dan sosiologi jelas sangat membantu mengkaji audiens dan fan media hiburan. Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 149 ]
Penutup Berangkat dari pemaparan di atas, penting menelaah media hiburan secara serius yang berbeda dengan pandangan awam selama ini yang cenderung “meremehkan”. Pandangan yang cenderung meremehkan ini sesungguhnya disebabkan oleh ketidaktahuan dimensi penting dari media hiburan, seperti kekuatan ekonominya, ideologi yang diusungnya, daya simbolis atau representasionalnya, audiens yang menjadi pendukung loyalnya, dan seterusnya. Pendeknya, lewat kajian akademis bisa dikuak dimensi-dimensi penting media hiburan yang selama ini luput dari pandangan awam. Selain itu, dengan menjadikan media hiburan sebagai ranah kajian, para sarjana dan peneliti komunikasi di Indonesia bisa mengeksplorasi lokus kajian maupun riset yang yang lebih inovatif serta beragam, sehingga memperkaya studi komunikasi. Ini agar studi komunikasi tak hanya berkutat di hal-hal yang sama atau cenderung repetitif serta kurang ada keberanian menjelajah ranah baru yang sejatinya terbuka luas. Media hiburan sesungguhnya tak hanya cermin untuk menguak kondisi masyarakat kontemporer, melainkan juga elemen yang esensial bagi ruang publik.
[ 150 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
DAFTAR PUSTAKA Arrighi, G. & Emeljanow, V. (eds.). (2014). Entertaining Children: The Participation of Youth in the Entertainment Industry. New York: Palgrave MacMillan. Bakker, G.. (2008). Entertainment Industrialised: The Emergence of the International Film Industry, 1890-1940. Cambridge: Cambridge University Press. Brode, D. (2005). Multiculturalism and the Mouse: Race and Sex in Disney Entertainment. Austin: University of Texas Press. Cunningham, D. & Craig, D. (2016). “Online Entertainment: A New Wave of Media Globalization”. International Journal of Communication (10), pp. 5409-25. Dill-Sackleford, K. E. (2016). How Fantasy Becomes Reality: Information and Entertainment Media in Everyday Life. Oxford & New York: Oxford University Press. Der Derian, J. (2009). Virtuous War: Mapping the Military-IndustrialMedia-Entertainment Complex. Edisi Kedua. London & New York: Routledge. Dyer, R. (2002). Only Entertainment. Edisi Kedua. London & New York: Routledge. Fattor, E. M. (2012). American Empire and the Arsenal of Entertainment: Soft Power and Cultural Weaponization. New York: Palgrave MacMillan. Gomery, D. (1984). “Film and Business History: The Development of an American Mass Entertainment Industry”. Journal of Contemporary History (18), pp.89-103. Gray, J. (2008). Television Entertainment. London & New York: Routledge. Gringe, P. (2008). Brand Hollywood: Selling Entertainment in a Global Media Age. London & New York: Routledge. Haupert, M. J. (2006). Entertainment Industry. London: Greenwood Press.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 151 ]
Holmes, D. & Smit, A. (eds). (2000). 100 Years of European Cinema: Entertainment or Ideology. Manchester & New York: Manchester University Press. Liang, Y. & Shen, W. (2016). “Fan Economy in the Chinese Media and Entertainment Industry: How Feedback from Super Fans Can Propel Creative Industries’ Revenue”. Global Media and China 1(4), pp.331349. Marcovitz, H. (2012). Online Gaming and Entertainment. San Diego, CA: ReferencePoint Press. Mirrlees, T. (2013). Global Entertainment Media: Between Cultural Imperialism and Cultural Globalization. London & New York: Routledge. Modleski, T. (ed.). (1986). Studies in Entertainment: Critical Approaches to Mass Culture. Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press. Natkins, S. (2006). Video Games and Interactive Media: A Glimpse of New Media Entertainment. Massachusetts: AK Peters. Nelson, D. J.; Grazier, K. R.; Paglia, J.; Perkowitz, S. (eds.). (2013). Hollywood Chemistry: When Science Met Entertainment. ACS Symposium Series 1139. Washington, DC: American Chemical Association. O’Brien, M. (2004). Nazi Cinema as Enchantment: The Politics of Entertainment in the Third Reich. New York: Camden House. Rushman, P. (2010). Regulating Violence in Entertainment. New York: Chelsea House Publishers. Shrum, L.J. (ed.). (2004). The Psychology of Media Entertainment: Blurring the Line Between Entertainment and Persuasion. New Jersey & London: Lawrence Erlabaum Associates (LEA) Publishers. Sigismondi, P. (2008). The Digital Glocalization of Entertainment: New Paradigms in the 21st Century Global Mediascape. New York: Springer. Smartt, U. (2014). Media & Entertainment Law. London & New York: Routledge. [ 152 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Thussu, D. K. (2007). News as Entertainment: The Rise of Global Infotainment. Los Angeles & London: Sage Publications. Walmsley, B. (2011). Key Issues in the Arts and Entertainment Industry. Oxford: Goodfellow Publishers. Wolf, M. (2003). The Entertainment Economy: How Mega-Media Are Transforming Our Life. New York: Three Rivers Press.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 153 ]
BAB 11 Jurnalisme Game: Merangkai Jurnalisme dan Media Hiburan Wisnu Martha Adiputra Pengantar
J
urnalisme game berkembang seiring dengan perkembangan game yang fenomenal sebagai media dan industri. Perkembangan game sebagai media belakangan ini bisa dikategorikan fenomenal. Game, yang juga seringkali menjadi sebuah nama yang meliputi video game, game digital, online game, dan game konsol, adalah bidang yang menarik banyak perhatian dan minat secara akademis maupun populer. Game kini menjadi area yang berkembang dengan sangat cepat dan akan terus berkembang di tahun-tahun mendatang. Perkembangan yang mungkin melampaui ekspektasi dan perkiraan sebelumnya seperti yang terjadi pada perkembangan media sosial dan beragam teknologi partisipatif. Seiring dengan perkembangan game tersebut, potensi jurnalisme game bagi masyarakat luas dan juga dunia akademis juga semakin terbuka. Jurnalisme game diperlukan untuk menjelaskan game sebagai fenomena sosial sehari-hari. Masyarakat memerlukan informasi mengenai game karena mereka mengamati dan sebagian dari masyarakat tersebut memainkannya. Para orang tua misalnya, memerlukan informasi dan berita terkini mengenai game karena anak-anak mereka memainkannya, yang terkadang bermain game secara berlebihan dan kecanduan game. Para pengambil kebijakan juga perlu memahami game agar dapat merumuskan peraturan yang tepat untuk mendorong industri game dan sekaligus melindungi warga masyarakat.
[ 154 ]
Jurnalisme game sebagai bidang kajian ilmu juga berkembang karena dunia pendidikan perlu memahami realitas dimana game berkembang dalam kehidupan sosial dan sedikit banyak mengubah kehidupan masyarakat. Jurnalisme game sebenarnya menjadi bagian dari kajian media yang berkaitan dengan dinamika produksi konten faktual atau jurnalisme. Namun sebenarnya jurnalisme game menjadi jembatan kajian jurnalisme dan media hiburan. Prinsip-prinsip dalam jurnalisme game menunjukkan terjadi proses pembauran konten, yaitu memadukan dua sisi ekstrim konten faktual dan fiksional, yaitu menjelaskan realitas dengan sebaik-baiknya sekaligus menjadi sarana menghibur. Tulisan ini berupaya menjelaskan perkembangan jurnalisme game yang menjadi penghubung antara jurnalisme dan media hiburan pada masa sekarang. Agar pemaparan jurnalisme game dapat lebih runtut, pembahasan tulisan ini akan terdiri dari dua hal utama, yaitu akan menjelaskan perkembangan industri game dari berbagai aspek dan perspektif, diikuti dengan eksplanasi mengenai dinamika dan tantangan perkembangan jurnalisme game. Tulisan ini akan diakhiri dengan penutup yang akan menjelaskan potensi perkembangan jurnalisme game selanjutnya, dan potensi jurnalisme game bagi masyarakat, terutama dalam memperkuat literasi digital yang saat ini sangat diperlukan dalam kehidupan bersama.
Perkembangan Industri Game Pertumbuhan dan perkembangan industri game dari sudut pandang bisnis dapat dikatakan luar biasa. Melalui game Fortnite dan Call of Duty, game menjadi sektor paling mendatangkan profit dalam industri hiburan. Tahun lalu Fortnite menghasilkan 1,8 miliar dolar Amerika. Sementara itu, game Modern Warfare, rilis terakhir dari franchise Call of Duty, menghasilkan uang yang menyamai penghasilan film terlaris sepanjang masa, Avengers: Endgame. Masa pandemi juga semakin memperkuat industri game. Sebelum pandemi COVID-19, Twitch, layanan streaming yang populer dalam dunia game, memiliki penonton harian sebesar 15 juta orang. Pada bulan Maret tahun 2020 ini, angka tersebut bertumbuh menjadi 22,7 juta viewer harian (Cole, 2020).
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 155 ]
Game adalah bagian dari industri hiburan yang merupakan cabang dari produksi media yang berkaitan dengan tujuan untuk menghibur, yang biasanya diwakili oleh konten fiksional. Namun industri hiburan tidak hanya hadir pada konten fiksi, tetapi juga dapat berkaitan dengan berita dan iklan, serta konten pendidikan. Seringkali konten informasi dikombinasi dengan tujuan untuk menghibur, yang kita kenal dengan infotainment (McQuail, 2010: 556). Industri hiburan secara lebih luas dikenal juga dengan nama industri budaya yang terdiri dari banyak bidang di bawahnya. Perdebatan yang terus hadir sampai sekarang adalah mengenai jurnalisme dunia hiburan dengan infotainment di mana keduanya berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar dari jurnalisme. Berikut ini ragam bidang yang termasuk industri budaya yang secara umum berkaitan dengan pendekatan industri pada produksi dan sirkulasi konten (Hesmondhalgh, 2013: 17), yaitu: pertama, bidang penyiaran yang terdiri dari industri radio dan televisi, dalam berbagai format: kabel, satelit, dan digital. Bidang berikutnya adalah industri film, yang kategorinya meliputi beragam diseminasi film melalui perangkat analog maupun digital. Ketiga, industri musik, yang sebenarnya meliputi juga rekaman suara selain musik, melalui konten yang analog maupun digital, serta penampilan langsung. Bidang selanjutnya adalah industri penerbitan cetak dan elektronik, yang meliputi buku, database online, layanan informasi, majalah, dan surat kabar. Kelima, industri periklanan, pemasaran, dan kehumasan, industri ini cenderung berpusat pada promosi atas suatu produk dan berupaya untuk memperkuat melalui simbol dan konten kultural secara luas. Industri desain situs adalah industri selanjutnya. Situs adalah wajah dari dunia internet yang secara teknis dipahami oleh masyarakat awam. Situs sebagai pintu masuk memahami informasi yang ada di internet memerlukan pemahaman desain yang baik agar beragam fungsi tiap industri kultural bersinergi dan dapat dipahami oleh masyarakat. Industri yang ketujuh atau yang terakhir adalah industri game, yang berkembang secara cepat menjadi industri terkemuka dibandingkan dengan cabang-cabang industri kultural yang lain.
[ 156 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Berdasarkan perkembangan game dari sudut pandang ekonomi tersebut, secara sosiokultural juga menjadikan game semakin berpengaruh di masyarakat. Para orang tua resah dengan anak-anaknya yang kecanduan game, bidang-bidang tertentu di kampus-kampus terbantu proses pembelajarannya dengan simulasi yang dibawa oleh game, dan pemerintah yang resah karena dana yang mengalir ke luar negeri sangat besar karena gamer Indonesia membeli game digital dari developer game luar negeri. Tiga kasus tersebut adalah fenomena yang menunjukkan bahwa game semakin berpengaruh dalam kehidupan bersama sekarang ini. Karakter game yang berbeda dengan jenis media lainnya juga menjadikan game sangat unik. Terdapat beberapa karakter dalam game yang unik dibandingkan dengan media yang lain, yaitu: algoritma, aktivitas game, interface, dan grafis (Wolf & Perron, 2003: 14). Grafis dapat dipahami sebagai elemen visual dari game. Grafis menjadi bagian penting karena melalui imaji, video, ikon, dan informasi tertulis ini game dan konten dapat berinteraksi. Interface adalah kombinasi antara perangkat keras dan perangkat lunak dari game yang membuat gamer menginput keputusannya, misalnya saja melalui keyboard, mouse, atau joysticks, termasuk juga berbagai tombol pada layar. Aktivitas gamer adalah elemen yang menjadikan game berkarakter interaktif. Secara khusus, aktivitas gamer menjelaskan tujuan yang ingin dicapai dalam memainkan game. Sementara itu algoritma adalah istilah yang digunakan di dalam matematika, teknik komputer, linguistik, dan beberapa disiplin lainnya, yang merujuk pada daftar terbatas dari instruksi yang jelas untuk menyelesaikan misi di dalam game. Di dalam game algoritma berkaitan dengan representasi, respons, aturan, dan keacakan dalam game. Keempat istilah tersebut dapat dijelaskan lebih mendetail sebagai berikut (Creeber & Martin, 2009: 82–83): representasi adalah pengelompokan kembali semua output varian algoritma yang terdiri dari visual pada layar, audio (musik, efek, dan ucapan) pada speaker atau headphones, demikian juga pengalaman indrawi yang ditambahkan melalui perangkat kontrol dan perangkat tambahan lainnya. Respons adalah reaksi yang di-input oleh
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 157 ]
gamer yang meliputi tindakan dari avatar yang mewakili gamer di dalam game dan juga interaksi lingkungan di luar karakter. Sementara itu aturan adalah struktur panduan di belakang algoritma yang mendefinisikan kemungkinan gamer melakukan tindakan di dalam game. Aturan ini turut menentukan gameplay (pengalaman bermain) di dalam game. Keacakan adalah hal terakhir yang juga penting. Keacakan memunculkan karakter yang unik di dalam game. Dengan demikian, dua gamer yang memainkan game yang sama akan memiliki pengalaman yang berbeda. Di dalam game analog keacakan ini dicontohkan oleh dadu yang memberikan efek tak dapat diramalkan dan menjadi inti dari suatu permainan. Inilah yang menyebabkan game menjadi sangat menarik, mengakses game memberikan pengalaman berbeda dengan mengakses konten media yang lain. Karakter game sebagai media tersebut bahkan berpengaruh secara luas pada ekonomi politik global karena ketika game online dimainkan, para gamer tidak hanya memainkannya tetapi juga saling berkomunikasi dalam skala global yang mirip dengan percakapan antar pengguna melalui platform media sosial. Seringkali interaksi melalui jaringan game tersebut hadir dalam dunia sosial yang secara langsung mempertemukan gamer. Seperti halnya bidang teknologi informasi dan komunikasi yang lain, game juga merupakan pertarungan antara perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan Tiongkok. Kedua negara ini memang dominan dalam berbagai kompetisi digital. Apabila di media sosial, perusahaan-perusahaan besar dari Amerika Serikat mendominasi, untuk game perusahaan-perusahaan raksasa dari Tiongkok yang menguasai dunia. Jurnalisme game mestinya dapat mengisahkan juga kompetisi di level global tersebut. Hal ini antara lain ditunjukkan melalui jumlah gamer yang luar biasa di seluruh dunia yang berjumlah sekitar 2,5 miliar, yang seperempat di antaranya merupakan gamer dari Tiongkok (Cole, 2020). Gamer yang berjumlah sangat besar tersebut juga dapat ditinjau dari berbagai perseptif. Ketika berinteraksi dengan konten game sesungguhnya gamer mirip dengan audiens konten fiksional, baik konten yang berformat tulisan, visual, dan video. Ketika berkaitan dengan konten fiksi, seseorang gamer dalam mengolah konten dengan berbagai cara. Hal ini menjadi lebih mudah [ 158 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
dilakukan dengan perkembangan media sosial dan teknologi informasi dan komunikasi secara luas. Kemampuan gamer untuk memproduksi konten baru tersebut juga membuat industri game semakin menarik. Gamer dapat melakukan rekontekstualisasi atas karakter dan konten secara keseluruhan, menyampaikan perspektif mereka yang unik melalui saluran lain, misalnya media sosial, bahkan mengubah genre dari narasi game yang mereka mainkan (Sullivan, 2013: 205).
Dinamika dan Tantangan Jurnalisme Game Perkembangan jurnalisme game kongruen dengan perkembangan jurnalisme secara umum. Bila dikembalikan pada prinsip awal jurnalisme, kita dapat mengamati harapan masyarakat atas jurnalisme sebagai berikut (McQuail, 2013: 22): mensirkulasi informasi yang berkaitan dengan publik, menghubungkan warga dengan pemerintah dan sebaliknya, mendukung rutinitas institusi utama dan masyarakat, menghormati nilai dan norma yang ada di masyarakat, melayani kepentingan nasional, dan menyediakan bantuan ketika terjadi krisis atau hal yang bersifat darurat. Harapan ini sebenarnya melekat pada fungsi awal dari jurnalisme, yaitu menjelaskan realitas yang terjadi berkaitan dengan game di masyarakat. Harapan tersebut juga berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Secara umum sebagai hasil dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, banyak masyarakat di berbagai negara telah berubah menjadi masyarakat jaringan. Masyarakat jaringan didefinisikan sebagai tipe modern dari masyarakat dengan infrastruktur sosial dan jaringan media yang berkaitan dengan kehidupan pada tiap level: individual, kelompok, organisasi, dan masyarakat secara luas. Jaringan tersebut menghubungkan setiap level secara erat (Van Dijk, 2012: 24). Prinsip jurnalisme juga lebih ketat bila dibandingkan dengan media hiburan atau industri kultural secara umum. Secara umum berita yang dihasilkan berdasarkan prinsip jurnalistik yang ketat dan tidak dicampuri oleh urusan iklan dan pendapatan bagi perusahaan. Pada kenyataannya, prinsip tersebut tidak sepenuhnya bisa berjalan dikarenakan berbagai hal. Hal ini dapat diamati dari berbagai kasus yang hadir, antara lain hadirnya konsep jurnalisme warga dan jurnalisme publik yang menginginkan berita Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 159 ]
yang lebih berpihak pada masyarakat, kasus lain adalah akses berita yang terus menurun dan salah satu alasan utamanya adalah tuntutan untuk menghadirkan berita yang lebih banyak mengenai masyarakat awam, bukannya pihak yang itu-itu saja, termasuk para pejabat dan selebriti (Willis, 2010: 58). Selain prinsip yang utama jurnalisme game juga dapat diamati melalui tiga aspek, yaitu konten, jurnalis, dan institusi media. Berdasarkan konten berita, jurnalisme game sama dengan jurnalisme umum, yaitu kualitasnya ditentukan oleh dua dimensi, yaitu dimensi informasi dan dimensi evaluatif dari berita. Dimensi informasi adalah hal yang menentukan kualitas suatu berita dan dapat diamati secara empiris pada konten yang ada. Dimensi ini terdiri dari faktualitas, akurasi, kelengkapan, dan relevansi. Faktualitas adalah hal yang paling penting dalam jurnalisme karena berkaitan pada seberapa baik fakta diangkat dalam berita. Dimensi berikutnya adalah dimensi evaluatif di mana dimensi ini menilai berita secara mendalam berkaitan dengan keseimbangan dan netralitas (McQuail, 1992). Faktualitas dalam jurnalisme game juga berkaitan dengan akurasi, kelengkapan, dan relevansi. Fakta yang diangkat harus memenuhi akurasi artinya sumber informasi dan proses mendapatkannya mesti akurat, elemen yang lengkap seperti lima pertanyaan utama 5W1H, apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana. Selain itu berita mesti relevan bagi audiens. Pemberitaan game seperti halnya jurnalisme yang umum, juga meliputi berita singkat dan padat, berita yang relatif mendalam dengan berbagai nilai berita, dan berita yang memuat analisis dan opini. Jurnalisme game juga memiliki otoritas yang unik menyangkut event game yang diselenggarakan oleh developer game besar, yang seringkali menentukan kualitas berita. Game event ini mirip dengan event media yang telah dikenal pada era sebelumnya (Couldry, 2003: 67–68). Keunikan jurnalisme game yang lain adalah minat pembaca yang tinggi pada laporan orang pertama. Laporan jurnalis yang juga merupakan gamer adalah yang paling ditunggu oleh audiens karena keunikannya (Fernando, 2018). Kini jurnalisme game berubah drastis dalam dua dekade terakhir. Perkembangan internet dan hadirnya media sosial menjadikan jurnalis game tidak lagi diperlukan untuk memberitahu gamer tentang judul game [ 160 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
yang akan rilis, kapan game tersebut dirilis, bahkan juga kualitas game tersebut. Jurnalis dituntut tidak hanya sekadar menyampaikan tentang game tetapi juga memainkannya untuk dikisahkan kepada audiens. Pengalaman langsung semacam inilah yang menjadikan jurnalisme game berbeda dengan jurnalisme di bidang media hiburan yang lain (Wallace, 2021). Dimensi informasi, terutama aspek faktualitas, tentu saja perlu diperbarui di dalam jurnalisme game, termasuk keterkaitan dengan media yang lain seperti Twictch dan Youtube sebagai sarana memberitakan game. Sementara itu dimensi evaluatif terdiri dari keseimbangan dan netralitas. Keseimbangan dalam pemberitaan adalah elemen standar dalam pemberitaan karena melalui elemen ini posisi organisasi media yang independen ditegaskan. Selain itu, juga terdapat pendapat yang menganggap keseimbangan sebagai ketidakberpihakan atau non-partisanship dalam penyajian sebuah berita. Menurut Dennis McQuail (1992: 223), balance berkaitan erat dengan proses seleksi dan substansi sebuah berita. Karena jurnalisme game adalah jurnalisme khusus, yang juga termasuk adalah jurnalisme perang dan jurnalisme kuliner (Turner & Orange (ed), 2013). Contoh laporan yang menarik di mana jurnalis harus bersikap netral dan tidak berpihak adalah pada kisah pertarungan antara dua perusahaan game terbesar, Sega dan Nintendo, yang turut mendefinisikan generasi selanjutnya (Harris, 2014). Walau demikian, jurnalisme online yang menjadi format utama jurnalisme game dalam mendistribusikan konten dinilai memiliki beberapa problem mendasar, antara lain tidak dapat menghasilkan dana yang cukup untuk menghasilkan berita berkualitas dan dianggap mengeksploitasi warganet untuk mencari berita padahal secara profesional belum memenuhi (Jones & Salter, 2012: 29). Problem mendasar tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal yang berlaku secara umum, yang meliputi: akses yang lebih luas pada sumber berita, seringkali tanpa biaya pada audiens, akses tersebut berlaku juga pada narasumber internasional, kemampuan warganet sendiri untuk memproduksi berita dan opini, kemampuan untuk mendapatkan sudut pandang yang berbeda dan menjadi alternatif dari perspektif umum yang dibawa oleh media, dan kemampuan untuk mendistribusikan kembali informasi serta melakukan laporan secara langsung dengan relatif mudah (Flew, 2014: 108). Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 161 ]
Sebagai akibatnya pelaku jurnalisme online tidak hanya jurnalis profesional, tetapi juga warga biasa yang aktif sebagai blogger, vlogger, dan aktivis media sosial yang produktif merilis berita melalui beragam platform. Walau demikian, seringkali gamer yang berprofesi sebagai blogger atau vlogger yang me-review game dianggap tidak profesional dan mendapat stigma sebagai individu yang tak peduli pada komunitas game (Tassi, 2014). Perkembangan industri game pada akhirnya memunculkan beberapa jurnalis game ternama, antara lain Dean Takahashi, Jeff Gerstmann, Geoff Keighley, Naomi Kyle, dan Anita Sarkeesian. Semuanya adalah jurnalis independen yang memproduksi konten secara mandiri atau dimuat dalam media-media game terkemuka, misalnya IGN, Kotaku, Polygon, Destructoid, Eurogamer, Reddit. Media-media terkemuka inilah yang menjadi mitra dari para pelaku bidang game yang memberikan informasi, berita, tips, opini, dan analisis yang diperlukan oleh para gamer. Institusi media jurnalisme game tidak sama dengan institusi media sebelumnya. Terjadi reinstitusionalisasi karena perbedaan lingkungan media yang berubah drastis. Institusi media pada era sebelum jurnalisme game biasanya memiliki karakter sebagai berikut: secara informal memiliki batasan dan menyediakan identitas dalam praksis jurnalisme, bertindak sebagai agensi profesional, sangat lekat dengan saluran media “arus utama”, dan memiliki privilese untuk mendapatkan informasi dan dilindungi oleh aturan etik dan hukum (McQuail, 2013: 18). Contoh yang bisa disampaikan untuk kasus Indonesia adalah kelahiran institusi jurnalisme game The Lazy Media yang awalnya berasal dari kecintaan personal pada game namun kemudian muncul keinginan kuat untuk membentuk institusi media yang lebih rutin memproduksi konten dan memiliki target audiens yang jelas (Santosa, 2018). Institusi media untuk jurnalisme game yang lain juga hadir karena kecintaan pada game yang mendalam, yaitu PlayVerse yang awalnya merupakan distributor resmi salah satu perusahaan game terkenal (Tanuwidjaya, 2018) Dalam perkembangannya institusi media juga mengalami konsekuensi dari konglomerasi dan integrasi kepemilikan yang memunculkan promosi diri sendiri pada beberapa media dengan pemilik yang sama, memiliki kekuatan politik yang besar karena memegang kendali atas sumber daya lain, dan juga keberagaman konten yang menurun drastis (Croteau, Hoynes [ 162 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
& Milan, 2012: 42–49). Walau demikian, juga karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, memungkinkan pula hadirnya jurnalisme alternatif. Jurnalisme alternatif meliputi blog, media sosial, pamflet, poster, fanzines, dan zines, bahkan juga grafiti dan teater jalanan, penerbit buku dan produksi rekaman independen. Hal yang terpenting adalah jurnalisme alternatif menyediakan berita, informasi, opini, dan analisis yang berbeda dari jurnalisme arus utama. Tujuan dari jurnalisme alternatif adalah menantang, mereformasi, dan mengganggu jurnalisme dominan atau arus utama (Atton & Hamilton, 2008: 63).
Penutup Prospek jurnalisme game dapat dikategorikan sangat terbuka. Game tidak lagi merupakan industri dengan ceruk kecil, melainkan sudah sangat besar (Bycer, 2018). Jurnalisme game berada pada area kajian media baru yang memiliki karakter komunikasi digital terkini, terutama karakter transaksi elektronik. Jurnalisme game juga berada pada masyarakat jaringan yang ditentukan oleh teknologi di mana produsen dan konsumen membaur. Dengan demikian, jurnalisme dapat menjadi panduan bagi para pelaku di jaringan industri game yang luas tersebut. Berbeda dengan era media lama di mana audiens dapat merupakan audiens aktif, namun tidak difasilitasi untuk aktif memproduksi konten seperti halnya sekarang, jurnalisme game sangat mungkin dilakukan bukan oleh jurnalis profesional berdasarkan pada pengalamannya secara langsung. Jurnalisme game dapat berbasis pada pengalaman pengguna yang kaya dibandingkan dengan hanya audiens yang menginterpretasi pada era sebelumnya. Jurnalisme game juga mengutamakan “peleburan” dengan konten, tidak hanya sebagai pihak yang melihat dari kejauhan. Isu yang penting di dalam jurnalisme game adalah juga berkaitan dengan simulasi dan bermain dibandingkan dengan representasi dan bekerja pada masa media lama (Dovey & Kennedy, 2006: 3). Karakter inilah yang membuat jurnalisme game menarik karena melibatkan secara langsung para pelakunya, baik jurnalis maupun audiens, dan juga pengamat. Jurnalisme game yang berjalan dengan baik juga akan mendorong hadirnya kualitas game secara umum yang semakin baik. Industri game Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 163 ]
akan melihat bahwa aktivitasnya diamati oleh jurnalisme yang secara natural berbasis pada fakta dan kepentingan publik. Jurnalisme game yang berkualitas secara langsung dan tidak langsung menjadikan para pelaku industri game memiliki forum untuk saling bertukar pandangan dan nilainilai yang dianggap baik. Hal ini sudah terjadi ketika pada setiap game event, developer game tidak menyeleksi media yang hadir berdasarkan kepemilikan perusahaan yang sama. Akhirnya, jurnalisme game juga dapat dilihat sebagai upaya memperkuat literasi digital. Terdapat asumsi yang cenderung keliru bahwa game membawa efek negatif pada kelompok masyarakat berusia muda padahal game juga sangat mungkin memberikan efek positif. Jurnalisme dapat mengubah asumsi keliru tersebut. Jurnalisme game dapat lebih banyak mengisahkan gamer berusia muda yang berhasil atau bahkan menjadi gamer profesional. Masyarakat luas juga selalu berseteru karena efek dan makna dari game, terutama pada efek kekerasan (Jenkins, 2006: 219). Padahal sejatinya, kekerasan pada game bisa jadi merupakan pelepasan. Dengan memahami kekerasan dalam konten game, individu akan berusaha mewujudkan sesuatu yang lebih baik daripada kekerasan tersebut dalam kehidupan sosial. Intinya, jurnalisme game akan membuka peluang untuk memperkaya kualitas analisis dan kajian atas informasi faktual yang menjadi basis dari jurnalisme dan informasi fiksional yang menjadi fondasi bagi media hiburan.
[ 164 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
DAFTAR PUSTAKA Atton, Chris & Hamilton, J. F. (2008). Alternative Journalism. London: Sage. Bycer, J. (2018). “Putting the ‘Game’ Back in Video Game Journalism”. Gamasutra.com. Diakses dari https://www.gamasutra.com/blogs/ JoshBycer/20180314/315502/Putting_the_quotGamequot_Back_ in_Video_Game_Journalism.php, pada tanggal 20 November 2020, pukul 13.25 WIB. Cole, S. (2020). “How large is the global video game industry?”. cgtn. com. Diakses dari https://newseu.cgtn.com/news/2020-10-05/Howlarge-is-the-global-video-game-industry--UjZkgf8APC/index.html, pada tanggal 20 November 2020, pukul 10.10 WIB. Couldry, N. (2003). Media Rituals: A Critical Approach. London: Routledge. Creeber, G. & Martin, R. (ed) (2009). Digital Cultures. Berkshire: Open University Press. Croteau, D., Hoynes, W. & Milan, S. (2012). Media/Society: Industries, Images, and Audiences. Fourth Edition. London: Sage. Dovey, J. & Kennedy, H. W. (2006). Game Cultures: Computer Games as New Media. Berkshire: Open University Press. Fernando, R. (salah satu pendiri Gamebrott), wawancara di Yogyakarta, 30 April 2018. Flew, T. (2014). New Media. Fourth Edition. Oxford: Oxford University Press. Harris, B. J. (2014). Console Wars: Sega, Nintendo, and the Battle that Defined a Generation. New York: Harper Collins. Hesmondhalgh, D. (2013). The Cultural Industries. Third Edition. London: Sage. Jenkins, H. (2006). Fans, Bloggers, and Gamers: Exploring Participatory Culture. New York: New York University Press. Jones, J. & Salter, L. (2012). Digital Journalism. London: Sage. Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 165 ]
McQuail, D. 1992. Media Performance: Mass Communication and the Public Interest. London: Sage. McQuail, D. (2010). Mass Communication Theory. Sixth Edition. London: Sage. McQuail, D. (2013). Journalism and Society. London: Sage. Santosa, R. (salah satu pendiri The Lazy Media), wawancara di Jakarta, 5 Juli 2018. Sullivan, J. L. (2013). Media Audiences: Effects, Users, Institutions, and Power. London: Sage. Tanuwidjaya, H. (pemilik dan pendiri PlayVerse), wawancara di Jakarta, 5 Juli 2018. Tassi, P. (2014). “The Truth About Video Game Journalism”. Forbes.com. Diakses dari https://www.forbes.com/sites/insertcoin/2014/08/22/thetruth-about-video-game-journalism/?sh=450f53eb793b pada tanggal 20 November 2020, pukul 13.20 WIB. Turner, B. & Orange, R. (ed) (2013). Specialist Journalism. London: Routledge. Van Dijk, J. (2012). The Network Society. Third Edition. London: Sage. Wallace, C. (2021). “Press Alert: Games journalists speak on the past, present and future of games journalism”. Mcvuk.com. Diakses dari https:// www.mcvuk.com/business-news/press-alert-games-journalistsspeak-on-the-past-present-and-future-of-games-journalism, pada tanggal 24 Februari 2021, pukul 14.35 WIB. Willis, J. (2010). The Mind of A Journalist: How Reporters View Themselves, Their World, and Their Craft. London: Sage. Wolf, M. J. P. & Perron, B. (ed) (2003). The Video Game: Theory Reader. London: Routledge.
[ 166 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
BAB 12 Produksi dan Monetisasi Kanal YouTube Irham Nur Anshari Pengantar
A
da satu peristiwa penting bagi beberapa YouTuber (produsen konten/ kanal Youtube) Indonesia pada tahun 2016 lalu. Beberapa YouTuber diundang secara khusus ke Istana Negara untuk makan siang bersama Presiden Jokowi. Dalam pemberitaan di Kompas.com, salah seorang YouTuber, Arief Muhammad, mengungkapkan dalam acara tersebut selain meminta masukan mengenai konten yang menarik penonton, Jokowi juga bertanya mengenai aspek ekonomi dari YouTube sebagai industri kreatif. Hal ini terkait putra Jokowi yang juga merupakan salah satu pengelola kanal YouTube, Kaesang, yang dianggap Jokowi mendapatkan banyak penghasilan semenjak menjadi YouTuber (Kompas.com, 2016). Peristiwa di atas memberikan gambaran apa yang telah dipikirkan oleh Burgess & Green (2009) bahwa tidak seperti media sosial lain, YouTube telah melahirkan beberapa perdebatan baru yang penting terkait industri kreatif, media baru dan ekonomi baru, inovasi para pengguna, produksi amatir, serta pertanyaan tentang “pekerja” (labour) dalam dinamika media online. YouTube telah menjadi platform di mana berbagai bentuk nilai budaya, sosial, dan ekonomi diproduksi oleh pengguna yang masif melalui konsumsi, evaluasi, dan aktivitas kewirausahaan. Sebagai platform online berbasis video (audio-visual), YouTube telah memberikan tantangan besar pada industri media berbasis audio-visual lain seperti televisi dan sinema. Berkembang dengan slogan “Broadcast Yourself” (2005–2011), YouTube memberikan platform kepada pengguna internet untuk meramu kanalnya sendiri, mengisi dengan konten-konten kreasi sendiri, dan melakukan monetisasi. Monetisasi dalam konteks ini [ 167 ]
merujuk pada bagaimana para YouTuber bisa memperoleh pendapatan dari iklan yang muncul di kanalnya. Salah satu sistem monetisasi YouTube yang paling utama berbasis pada Google AdSense dengan sebuah standar yang disebut CPM (cost per mille) atau kalkulasi penghasilan per seribu iklan (Vonderau, 2016). Aspek monetisasi dalam media sosial online menjadi aspek yang penting untuk dipahami ketika membicarakan konten dalam media sosial. Dalam penelitian mengenai monetisasi blog berbasis advertorial misalnya, Hunter (2016) menemukan bagaimana praktik monetisasi membuat para blogger kehilangan otentisitasnya dengan cenderung membuat konten “pesanan” sponsor maupun konten aspirasional yang lebih menarik pembaca. Logika ini menarik untuk melihat bahwa praktik produksi dan monetisasi tidak berlangsung bertahap, para produsen di media sosial tidak memproduksi konten terlebih dahulu baru kemudian memikirkan cara monetisasinya. Sebaliknya, praktik produksi dan monetisasi berlangsung secara dialektis dan menuntut produsen untuk berstrategi atau menegosiasikan kepentingan ekspresi personalnya. Dalam konteks YouTube, praktik monetisasi menjadi lebih kompleks karena kehadiran beberapa agen lain. Lobato (2016) dan Vonderau (2016) telah menelusuri secara mendalam peran institusi yang mereka sebut sebagai MCN (Multichannel Network). MCN adalah agen yang memediasi YouTuber dan perusahaan yang menjual iklan, mempromosikan produsenprodusen kanal YouTube, serta mengembangkan brand sebuah kanal. Sejak 2006, MCN telah menjadi salah satu agen yang membuat standar produksi konten YouTube, mereorganisasi monetisasi, dan meredefinisikan nilai video selaras pasar. Peristiwa diundangnya para YouTuber Indonesia ke Istana Negara di atas menunjukkan bagaimana banyak pihak telah berhasil mengelola kanal YouTube sebagai industri kreatif. Jika kita memeriksa daftar kanal YouTube dengan pelanggan (subscriber) terbanyak di Indonesia, sebagian besar kanal dikelola oleh individu ataupun kelompok nonindustri media besar. Beberapa kanal “industri rumahan” ini menawarkan konten hiburan sebagai nilai jual utama, baik dalam bentuk tutorial game, vlog, sketsa komedi, hingga video musik. Mempertimbangkan praktik monetisasi yang [ 168 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
ditawarkan YouTube, tentu menjadi penting untuk memahami bagaimana produksi kanal YouTube di Indonesia tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Sebaliknya, produsen dituntut untuk menegosiasikan tawaran kebebasan berekspresi di media online serta berstrategi terhadap logika monetisasi dalam memproduksi konten video dan mengelola kanal.
Produksi dan Monetisasi Konten Online Media sosial ataupun media online lain secara umum seringkali dianggap menginisiasi demokratisasi media. Potensi progresif dari media sosial memungkinkan masyarakat secara masif dapat memproduksi pesan kepada masyarakat lain, memungkinkan para penggunanya untuk berperan serta dalam memproduksi budaya (Bruns, 2008). Media sosial dalam hal ini menyempurnakan karakter media massa sebagai proses komunikasi “one to many” menjadi “many to many” (Jensen, 2015). Jenkins (2008) menggunakan konsep budaya partisipatoris untuk menggambarkan secara optimis bagaimana media sosial mempromosikan keberagaman budaya sehingga mampu menandingi perspektif dominan melalui kreativitas para pengguna. Di sisi lain, telah berkembang pemikiran lain yang melihat bagaimana demokratisasi massa sebagai efek langsung dari perubahan teknologi, sebagaimana Majalah Time memutuskan ‘Person of the Year’ pada 2006 adalah ‘You”, adalah mitos belaka (Grossman, 2006). Pandangan Jenkins mengenai budaya partisipatoris tidak memikirkan kepemilikan dan model bisnis media sosial (seperti YouTube), serta tidak memperhatikan kultur media sosial sebagai industri budaya yang erat dengan ekonomi politik (Pietrobruno, 2016). Fuchs (2014) misalnya menawarkan pandangan yang lebih pesimistis dengan berfokus pada interkoneksi serta relasi kuasa antara pemilik media sosial, pekerja, konsumen, dan pengiklan. Fuchs memperhatikan bagaimana media sosial mengeksploitasi para pengguna sebagai pekerja untuk mengalirkan keuntungan finansial kepada para pemilik perusahaan melalui mekanisme monetisasi. Monetisasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai praktik mengkonversi aktivitas (khususnya di media online) menjadi keuntungan finansial. Clemons (2009) mengungkapkan ada beberapa tipe mekanisme Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 169 ]
monetisasi di media sosial: memperoleh penghasilan dari biaya langganan para pengguna (misalnya dalam beberapa media sosial berbasis game online), memperoleh penghasilan dari aktivitas jual-beli online (toko online), atau memperoleh penghasilan dari spot iklan yang ditawarkan. Mekanisme monetisasi yang terakhir ini dapat menjadi lebih kompleks misalnya sebagaimana Facebook mengomodifikasi penggunanya sebagai pasar yang dapat dijual kepada pengiklan di mana Facebook memperoleh penghasilan setiap saat para penggunanya mengklik iklan (Jin & Feenberg, 2015). Google adalah salah satu perusahaan yang banyak memainkan peran dalam praktik monetisasi di internet. Melalui program pengiklanan global AdSense misalnya, para pemilik website/blog dapat memberikan spot untuk iklan teks dari Google berlabel “Ads by Google” sesuai dengan tema konten dalam website yang berimplikasi pada penghasilan finansial setiap kali iklan diklik (Lee, 2011; Kang & McAllister, 2011). Penghasilan bagi mereka yang berpartisipasi dalam program AdSense berdasarkan sistem keyword-bidding di mana pengiklan dapat memilih kata kunci yang ingin mereka link ke iklan dan menawarkan sejumlah uang yang akan mereka bayarkan setiap klik (cost-per-click/CPC). Semakin besar jumlah uang yang ditawarkan, semakin besar kemungkinan iklan muncul di halaman utama sebuah website/blog (Kang & McAllister, 2011).
Gambar 12.1 Mekanisme monetisasi dalam program Google AdSense. (Sumber: Kang & McAllister, 2011: 147)
[ 170 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Untuk memahami bagaimana kompleksitas relasi penggunaan/ produksi konten di media sosial dan praktik monetisasi, penelitian ini memilih cenderung meminjam perspektif van Dijck (2013) bahwa terlalu sempit untuk menggunakan pendekatan budaya partisipatoris Jenkins (2008) ataupun pendekatan ekonomi politik Fuchs (2014) dalam meninjau praktik produksi di media sosial. Jika pendekatan Jenkins terbatas dalam memahami strategi bisnis dan kepemilikan media sosial, pendekatan Fuchs terlalu memandang lebih pada pengaruh teknologi dan mengunderestimate peran pengguna, konten, dan bentuk-bentuk budaya (van Dijck, 2013). Berdasar pada argumen van Dijck, penelitian ini memandang relasi penggunaan/produksi konten di media sosial dan praktik monetisasi sebagai relasi yang dialektis dan ambivalen. Di satu sisi pengguna media sosial menikmati media sosial sebagai platform partisipatoris yang memungkinkan memberikan penghasilan finansial. Di sisi lain pengguna media perlu menegosiasikan kepentingannya atau berstrategi terhadap logika monetisasi yang mungkin mendominasi konten yang mereka produksi.
YouTube sebagai Industri Kreatif Sejak diperkenalkan oleh YouTube Inc. pada tahun 2005, YouTube telah menarik perhatian banyak peneliti. YouTube telah dikaji dari berbagai aspek mulai dari YouTube sebagai budaya populer, jejaring sosial, arsip budaya, hingga industri kreatif (lihat Snickars & Vonderau, 2009). Karakteristik utama YouTube adalah tawarannya kepada pengguna untuk mengunggah video apapun atau menikmati video yang diunggah oleh pengguna lain. Pengguna YouTube terdiri dari berbagai kelompok: produser media besar profesional seperti stasiun televisi, perusahaan musik, agensi iklan, hingga produser amatir yang menggunakan YouTube sebagai platform distribusi alternatif seperti seniman, aktivis, dan masyarakat umum. Kemungkinan YouTube untuk memberikan ruang partisipasi kepada berbagai kelompok membuatnya dipandang sebagai agen penting dalam melahirkan budaya yang dinamis: YouTube sebagai situs budaya partisipatif (Burgess & Green, 2009).
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 171 ]
Sebagai situs budaya partisipatif, YouTube telah menjadi alternatif dari sistem penyiaran tradisional yang terpusat. Beberapa tulisan telah menunjukkan bagaimana YouTube telah digunakan oleh berbagai kelompok dengan tujuannya masing-masing. Jurnalis menggunakan YouTube untuk cerita-cerita yang memiliki nilai berita (Powers, 2007). Korporasi besar tidak hanya menggunakan YouTube untuk beriklan namun memanfaatkannya dengan membuat kanal edukasi publik (Singletary, 2007). Universitas-universitas besar telah memanfaatkan YouTube sebagai kanal di mana perkuliahan bisa diakses secara global dengan mahasiswa yang dapat mencapai 100.000 orang (Young, 2008). Berbeda dari platform online lain (toko online, game online, forum online), YouTube dapat dipahami sebagai mekanisme koordinasi antara kreativitas individu dan kolektif, sebagai mediator antara berbagai wacana/ ideologi yang berorientasi pada pasar dan berorientasi pada kepentingan audiens/pengguna. YouTube diimajinasikan sebagai ruang di mana dua orientasi ini dapat eksis berdampingan namun tidak terkonvergensi. Konten dalam YouTube menggambarkan kondisi ini di mana tayangan media massa dapat diakses bergantian dengan tayangan amatir, di mana televisi, sinema, video musik, dan iklan, muncul di antara video hasil produksi kamar dan halaman belakang. Terdapat dikotomi pengguna YouTube dalam hal ini, antara media tradisional dan pengguna amatir (Burgess & Green, 2009). Sejak Oktober 2006, YouTube diakuisisi oleh Google. Momen ini seringkali dianggap sebagai transisi penting YouTube dari UGC (User Generated Content) ke PGC (Professionally Generated Content) (Kim, 2012). Di bawah manajemen Google, YouTube mengadopsi model e-commerce baru, YouTube memasang iklan banner di video ataupun di halaman. Ide dasar dari iklan banner adalah untuk menayangkan iklan selama video ditonton (Sorkin, 2006). Berdasarkan jumlah praktik menonton video, keuntungan dari iklan dibagi antara YouTube dan pembuat konten atau pemilik hak cipta (Stelter, 2008). Dalam perkembangannya muncul juga iklan berbasis video yang dapat dilewati (skippable ad) setelah beberapa detik. YouTube dalam hal ini mengimitasi aturan media tradisional dengan mengatur distribusi konten yang legal serta peleburan konten dan kepentingan komersial. [ 172 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Pemahaman tentang kanal YouTube umumnya mengasumsikan bahwa seorang yang mengunggah video, mengelola kanal, memproduksi konten-konten dalam kanal, serta menjadi tokoh utama dalam video adalah satu orang yang sama. Vonderau (2016; 369) menolak asumsi ini dengan menyatakan bahwa sebagian besar inventaris YouTube justru berisi video-video yang tidak menyatakan kredit divisi pekerja di baliknya. Salah satu agen penting di balik kanal-kanal populer di YouTube adalah Multichannel network (MCN) (Lobato, 2016). MCN adalah perusahaan intermediasi yang menjual iklan, mempromosikan silang kanal YouTube, serta mengembangkan brand video/kanal. Sejak 2006, MCN telah menstandarisasi produksi dan mereorganisasi penjualan iklan berbasis CPM (cost per mille). Beberapa MCN di Eropa dapat berafiliasi dengan ribuan kanal YouTube, seperti Mediakraft (lebih dari 2.500 partner kanal) atau British Righster (lebih dari 3.500 kanal) (Vonderau, 2016: 369). Strategi monetisasi YouTube menunjukkan adanya kesalingtergantungan antara media dan iklan sembari merefleksikan ketidakefisienan iklan dalam media tradisional di tengah atmosfer online (Cunningham dkk., 2016). Dalam hal ini, YouTube berbeda dengan industri media tradisional seperti stasiun televisi yang memperoleh keuntungan penuh dari spot iklan. YouTube juga berbeda dari platform video online lain seperti Netflix (https://www.netflix.com/) dan Hulu (https://www.hulu. com/) yang memiliki hak cipta konten-konten di dalamnya dan memperoleh keuntungan dari biaya berlangganan audiensnya. Dengan bermodal platform, YouTube juga tidak menjual ruang kanal-kanalnya dengan membiarkan setiap pengguna bisa memproduksi konten dan mengunggah video tanpa biaya. Memahami industri kreatif yang ditawarkan YouTube adalah memahami bentuk industri kreatif berbasis kesepakatan partnership antara YouTube dan kreator konten dengan berbagi penghasilan dari iklan. Dalam tarik menarik kepentingan akan kreativitas dan monetisasi, audiens dapat dilihat sebagai aspek penting yang dipertimbangkan oleh YouTuber. Relasi antara YouTuber dapat dilihat melalui fitur-fitur di YouTube seperti jumlah view setiap video, jumlah like ataupun dislike, comment, serta subscriber atau pelanggan. Di luar fitur yang ditawarkan YouTube, interaksi antara YouTuber dengan audiens dapat juga melalui saluran lain misalnya email mengingat sebagian besar YouTuber juga Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 173 ]
mencantumkan alamat email mereka di dalam kanal. Tatap muka antara YouTuber dengan audiens atau fans juga umumnya muncul dalam acara khusus jumpa fans ataupun acara-acara lain yang menghadirkan YouTuber sebagai pengisi acara, acara YouTube Fanfest misalnya. Dalam media sosial, jumlah angka penonton seringkali menjadi sumber untuk menentukan sejauh mana produsen konten layak mendapatkan iklan endorsement. Dalam kasus YouTube, tingkat ketertontonan ini menjadi poin penting pada tingkat monetisasi, lebih spesifiknya lagi, menentukan CPM sebuah kanal.
Kanal YouTube di Indonesia Sebagai platform online, YouTube menciptakan ruang cyber global yang memungkinkan pertukaran informasi lintas batas negara. Namun demikian, meneliti YouTube dalam konteks negara tetap menjadi penting dengan beberapa alasan. Alasan pertama mengingat video dalam YouTube tetap dibuat dengan bahasa-bahasa lokal. Meski YouTube berusaha meminimalisir masalah ini dengan menghadirkan fitur “subtitle” yang memungkinkan audio dalam video diterjemahkan sebagai subtitle, teknologi dalam fitur ini belum berhasil sepenuhnya mengkonversi audio dari banyak bahasa dan dialek tertentu. Alasan lain mengingat beberapa kanal YouTube masih dikhususkan pada audiens dengan bahasa yang sama sehingga diproduksi dan direspons sesuai konteks sosial politik khusus di sebuah negara/wilayah. Bagaimana sebuah kanal YouTube Indonesia bisa mendapatkan jangkauan global bisa dilihat contohnya dari kanal Brian Imanuel. Video Brian berjudul “Rich Chigga - Dat $tick (Official Video)” yang berupa video musik berbahasa Inggris mendapatkan lebih dari 41 juta views, lebih dari 500 ribu likes, serta mendapatkan respons video YouTube dari musisimusisi skala internasional (Jenkins, 2016). Sementara bagaimana sebuah kanal YouTube bisa bersitegang dengan konteks lokal bisa ditemukan melalui reaksi publik Indonesia terhadap kanal Reza Oktovian, Karin Novilda, ataupun Anya Geraldine. Sementara Reza mendapatkan respons berupa petisi online yang memprotes penggunaan bahasa “jorok” dalam konten-kontennya (Lim, 2016), Karin dan Anya harus berhadapan dengan [ 174 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
KPAI lantaran konten-kontennya dianggap memberikan pengaruh buruk kepada anak di bawah umur (Prihantoro, 2016). Meski tiga YouTuber yang disebut terakhir mengelola kanal YouTube yang mendapatkan banyak pelanggan dan ketertontonan, ketiganya tidak menjadi bagian YouTuber yang diundang oleh Presiden Jokowi untuk membincangkan perihal YouTube sebagai industri kreatif di Indonesia (lihat Kompas.com, 2016). Meski YouTube memungkinkan berbagai jenis konten video (berita, dokumentasi acara formal, konten religius, dan konten pengetahuan), daftar kanal YouTube di Indonesia dengan pelanggan terbanyak masih dipenuhi oleh kanal-kanal yang berorientasi pada hiburan sebagai nilai jual utama. Hiburan dalam hal ini mengambil berbagai bentuk mulai dari vlog, tutorial game, sketsa komedi, video musik, hingga konten infotainment. Sementara beberapa kanal mencoba berfokus pada satu tipe konten hiburan, beberapa kanal populer di Indonesia mencoba mengkombinasikan berbagai tipe konten. Raditya Dika yang mengelola kanal dengan pelanggan terbanyak di Indonesia misalnya memproduksi konten berupa sketsa komedi, vlog, maupun tutorial game. Meski banyak kanal YouTube di Indonesia yang dikonsumsi secara masif, pembahasan yang mendalam mengenai praktik monetisasi ataupun bagaimana cara para YouTuber memperoleh penghasilan belum menjadi perhatian umum. Informasi mengenai praktik monetisasi hanya muncul selintas dalam beberapa forum online (lihat Soccerdev, 2013) ataupun video edukatif di YouTube (lihat Kok Bisa?, 2016). Siapa saja agen-agen dan bagaimana peranannya dalam membentuk YouTube di Indonesia sebagai industri kreatif juga masih menjadi pemahaman yang eksklusif. Tidak banyak pengguna YouTube memahami agen-agen seperti MCN di Indonesia yang mampu mendampingi pengelola kanal dalam berpartisipasi sebagai industri kreatif. Dalam blog FYI (Forum YouTube Indonesia) misalnya, dapat diketahui berbagai MCN telah memainkan peranan di balik kanal-kanal populer (FYI, 2016). Dalam kasus di Indonesia, perkembangan YouTube sebagai industri kreatif berkembang pesat pasca YouTube memungkinkan adanya sistem monetisasi berbasis kerja sama YouTuber sebagai YouTube partner. Meskipun sistem ini tidak seutuhnya berhasil memberikan penghasilan Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 175 ]
yang besar, setidaknya sistem ini telah menginisiasi pertumbuhan industri yang diikuti adanya sistem monetisasi lain seperti endorsement. Audiens menjadi aspek penting yang dipertimbangkan dalam relasi produksi konten kreatif dan praktik monetisasi. Fitur-fitur YouTube seperti like, comment, view, dan subscribe menjadi panduan YouTuber untuk mengukur ke mana arah konten mereka akan berlanjut. Kolaborasi antara YouTuber banyak dilakukan untuk memperluas jangkauan penonton ini. Kreativitas hiburan audio-visual dalam YouTube meski berada dalam platform media sosial yang partisipatif, tetap tidak bisa bebas nilai. Industri kreatif dalam YouTube ini cenderung terlihat sama seperti halnya industri hiburan di televisi dan bioskop. Produsen konten dalam hal ini menegosiasikan aspek kreativitas dengan kepentingan monetisasi dan ketertontonan audiens.
[ 176 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
DAFTAR PUSTAKA Burgess, J. and Green, J. (2009). YouTube: Online Video and Participatory Culture. Cambridge: Polity. Bruns, A. (2008). Blogs, Wikipedia, Second Life and Beyond: From Production to Produsage. New York: PeterLang. Clemons, E. K. (2009). “The complex problem of monetizing virtual electronic social networks”. Decision Support Systems 48: 46-56. Cunningham, S., Craig, D., Silver, J. (2016). “YouTube, multichannel networks and the accelerated evolution of the new screen ecology”. Convergence 22(4): 376-391. Fuchs, C. (2014). Social Media: A Critical Introduction. London: Sage. FYI Forum YouTube Indonesia. (2016). “Daftar 10 MCN Terbaik untuk Channel YouTube”. Terarsip dalam http://forumyoutubeindonesia. blogspot.co.id/2016/01/daftar-10-mcn-terbaik-untuk-channel.html diakses pada Maret 2017. Grossman. (2006). “Time’s person of the year: you”.TIME. Terarsip dalam http://time.com/time/magazine/article/0,9171,1569514,00.html diakses pada Maret 2017. Hunter, A. (2016). “Monetizing the mommy: mommy blogs and the audience commodity”. Information, Communication & Society, 19:9, 1306-1320. Jenkins, H. (2008). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York UniversityPress. Jenkins, N. (2016). “Meet Brian Imanuel, alias Rich Chigga, the 17-yearold Indonesian rapper who hacked the world”. TIME.com. Terarsip dalam http://time.com/4532948/brian-imanuel-rich-chigga-jakartaindonesia-rap-hiphop/ diakses pada Maret 2017. Jensen, Klaus B. (2015). “What’s social about social media?". Social Media + Society 1:1. https://doi.org/10.1177/2056305115578874
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 177 ]
Jin, D. Y. & Feenberg A. (2015). “Commodity and community in social networking: marx and the monetization of user-generated content. The Information Society 31:52–60. Kang, H. & McAllister, M. P. (2011). “Selling you and your clicks: examining the audience commodification of google”. tripleC 9(2): 141–153. Kok Bisa? (2016). Bagaimana YouTubers mendapatkan penghasilan? Terarsip dalam https://www.youtube.com/watch?v=PEiuHenDyEc diakses pada Maret 2017. Kompas.com (2016). Saat Jokowi minta masukan “YouTubers” agar lebih eksis di “YouTube”. Terarsip dalam http://nasional.kompas.com/ read/2016/08/10/07285811/ saat.jokowi.minta.masukan.youtubers. agar.lebih.eksis.di.youtube. diakses pada Maret 2017. Kim, J. (2012). “The institutionalization of YouTube: from user-generated content to professionally generated content”. Media Culture & Society 34(1): 53–67. Lee, M. (2011). “Google ads and the blindspot debate”. Media, Culture & Society 33 (3) 433-447. Lim, D. (2016). Mempetisi Reza Oktovian: Tingkatkan Kualitas Bahasa Anda. Change.org. Terarsip dalam https://www.change.org/p/rezaoktovian-tingkatkan-kualitas-bahasa-anda diakses pada Maret 2017. Lobato, R. (2016). “The cultural logic of digital intermediaries: YouTube multichannel networks”. Convergence 22(4): 348–360. Pietrobruno, S. (2016). “YouTube flow and the transmissiion of heritage: The interplay of users, content, and algorithms”. Convergence I-15. Powers, W. (2007). “This is YouTube material. National Journal, p. 94. Prihantoro, A. (2016). “KPAI: Anya-Awkarin dapat dipidana”. Antaranews. com. Terarsip dalam http://www.antaranews.com/berita/585882/kpaianya-awkarin-dapat-dipidana diakses pada Maret 2017. Singletary, M. (2007). “Anti-scam message hits YouTube”. Washington Post, p. F1. Snickars, P. & Vonderau, P. (eds). (2009). The YouTube Reader. Stockholm: National Library of Sweden. [ 178 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Soccerdev. (2013). “Cara mendapatkan penghasilan lewatYouTube”.Terarsip dalam https://www.kaskus.co.id/thread/57847652902cfee7748b4567 diakses pada Maret 2017. Sorkin, AR. (2006). “Dot-com boom echoed in deal to buy YouTube”. New York Times, 10 October. Stelter, B. (2008). “YouTube videos pull in real money”. New York Times, 11 December. van Dijck, J. (2013). The Culture of Connectivity: A Critical History of Social Media. New York: Oxford University Press. Vonderau, P. (2016). “The video bubble: Multichannel networks and the transformation of Youtube”. Convergence 22(4): 361-375. Young, J.R. (2008). “YouTube professors: Scholars as online video stars”. Chronicle of Higher Education, 54(20), A19.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 179 ]
BAB 13 Aktualisasi Diri dan Media Hiburan: Menyoal Kaum Muda dalam Ruang Media Sosial Mashita Fandia Pengantar
K
aum muda sebagai subjek sosio-kultural selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sebagai subjek akademik, khususnya di Indonesia, keberadaannya seringkali terpinggirkan (Azca & Sutopo, 2012). Kaum muda, secara umum dianggap sebagai objek yang tidak signifikan agensinya, atau bahkan dianggap tidak memiliki agensi sama sekali. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, studi mengenai kaum muda, utamanya dalam kajian budaya, mulai marak berkembang dengan banyaknya akademisi yang mulai melihat posisi kaum muda sebagai agen yang signifikan di masyarakat. Dalam konteks kajian komunikasi, posisi kaum muda tidak lagi dilihat hanya sebagai komunikan, melainkan juga komunikator yang memiliki agensi dalam konstruksi pesan.
Dalam konteks kajian media, pada era digital saat ini, posisi kaum muda mengalami pergeseran; tidak lagi sekadar objek yang pasif dalam menerima paparan pesan media, melainkan menjadi subjek yang aktif dalam konstruksi pesan dan makna. Medialitas media digital yang memungkinkan audiensnya dalam menjadi pengguna aktif, membuat kajian tentang kaum muda menjadi subjek yang ramai diperbincangkan, dengan posisi kaum muda sebagai digital native atau generasi yang akrab dengan media digital (Prensky, 2001, 2012). Pada tataran ini, definisi kaum muda tidak lagi terikat pada rentang usia, sebagaimana konsep yang banyak diterapkan oleh perspektif kajian yang cenderung deterministik. Konsep “kaum muda” kini merujuk pada generasi tertentu, yang sangat kontekstual pada lokus riset tertentu. [ 180 ]
Perkembangan kajian dan riset terkait kaum muda pada era digital ini sebagian besar berfokus pada relasinya dengan media baru, termasuk kanal media sosial. Tercatat hingga Januari 2021, pengguna media sosial di Indonesia didominasi oleh kaum muda dengan rentang usia 18 hingga 30 tahun, sebagaimana dikategorikan dalam Undang-Undang Kepemudaan RI (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, 2009; We Are Social & Hootsuite, 2021). Namun, perkembangan kajian budaya kaum muda menunjukkan bahwa konsep “kaum muda” bukan sekadar konsep empiris, melainkan juga konsep kultural. Setiap generasi pernah mengalami “menjadi muda”, karenanya, budaya kaum muda dipahami sebagai praktik kultural yang tidak terbatas pada usia tertentu, melainkan lebih menyorot pada fenomena generasi yang terjadi. Dalam kaitannya dengan generasi millennials dan generasi Z yang secara empiris pada konteks saat ini merupakan kaum muda, media digital merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, serta bagaimana mereka mempersepsi realitas dan membangun makna (Dimock, 2019; Shatto & Erwin, 2016; Subrahmanyam & Smahel, 2011) Kaum muda dalam kajian media hiburan dapat dilihat melalui berbagai perspektif. Tulisan ini akan berfokus kepada posisi kaum muda sebagai audiens yang aktif dalam konteks penggunaan media digital di Indonesia, khususnya kanal media sosial. Tiga subbab dalam bab ini merupakan paparan hasil riset terkait agensi kaum muda di ruang media sosial. Tidak sekadar membahas mengenai bagaimana media sosial memberi pengaruh pada kaum muda, melainkan bagaimana kaum muda mengelola pesan-pesan untuk aktualisasi dirinya di ruang siber. Tidak sekadar bicara mengenai bagaimana kaum muda mencari hiburan dan bersenang-senang melalui media sosial, melainkan bagaimana aktivitas tersebut membentuk kultur bermedia sosial pada khususnya dan kultur kaum muda pada umumnya.
Konstruksi Diri dalam Ruang Media Sosial Kaum muda adalah “tulang punggung” dan target pasar dari perkembangan media baru. Kanal media sosial didesain untuk generasi yang merupakan digital native. Meskipun konsep “kaum muda” memiliki perdebatan tersendiri, di mana tidak ada rentang usia khusus yang dapat Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 181 ]
mendeskripsikan secara tepat konsep tersebut, dalam konteks penggunaan media sosial, kaum muda dapat diartikan sebagai pengguna aktif yang memiliki tingkat eksposur tinggi atas kebiasaan bermedia sosial. Lebih lanjut, “kaum muda” (youth) sebagai agen subkultur, dengan media sebagai point of reference bagi mereka (Bennett & Robards, 2014; McRobbie, 2012). Secara demografis, kaum muda yang digambarkan oleh McRobbie memang tidak memiliki penjelasan definitif. Namun, melalui paparannya dapat disimpulkan bahwa kaum muda adalah “orang-orang muda” (young people) yang memperoleh terpaan media dalam berbagai bentuknya, yang pada konteks masa kini, termasuk media sosial. Dalam konteks Indonesia, kaum muda merupakan generasi yang mengikuti setiap perkembangan media sosial yang ada. Lebih dari itu, media sosial telah merasuk menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu karakter kaum muda dinyatakan dengan konsep “emerging adulthood” yang mana ditandai dengan adanya eksplorasi identitas (Bennett & Robards, 2014; Subrahmanyam & Smahel, 2011; Zemmels, 2012). Eksplorasi identitas tersebut terjadi utamanya dalam tiga ranah, yaitu asmara atau kehidupan percintaan, pendidikan atau pekerjaan atau kehidupan karier, dan cara pandang mereka terhadap dunia. Eksplorasi identitas menjadi salah satu aspek fundamental yang mendasari perilaku bermedia sosial kaum muda. Kaum muda berada pada titik dalam hidup mereka di mana mereka paling termotivasi untuk mengonstruksikan identitas, untuk membentuk kelompok sosial, dan untuk menegosiasikan alternatif atas makna-makna kultural yang telah ada dan diberikan kepada mereka secara serta-merta (taken for granted); dan dalam hal ini, media memainkan peran sentral (Livingstone et al., 2011; Osgerby, 2004). Kaum muda menjadikan “akses terhadap media sosial” sebagai aktivitas yang tidak dapat mereka tinggalkan setiap harinya. Dalam kaitannya dengan presentasi diri di ruang media sosial, tercatat adanya paradoks atas privasi atas informasi yang mereka bagi; bahwa di satu sisi para pengguna media sosial menyatakan mereka menaruh perhatian pada isu privasi, namun di sisi lain mereka secara sukarela membagikan data dan informasi personal (Barnes, 2006; Purwaningtyas, 2019). Oleh karena itu, tidak hanya bahwa praktik bermedia sosial telah menjadi bagian hidup yang lekat dengan kaum muda dan memengaruhi [ 182 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
pola mereka dalam berelasi dengan sosialnya, melainkan bahwa tarikan antara kebutuhan untuk berkomunikasi, berbagi, dan membuka diri, dan kebutuhan atas ruang personal individu selalu menjadi hal yang problematis dalam praktik tersebut. Sehingga dalam prosesnya, isu privasi menjadi proses tarik-menarik yang dinamis antara pengungkapandiri (self- disclosure) dan pembatasan-diri (self-boundary) yang seorang individu ciptakan dalam penggunaan media sosial, baik dalam aspek sikap maupun perilaku (Margulis, 2011; Purwaningtyas, 2019). Pada tataran ini, konstruksi identitas diri kaum muda di ruang media sosial menyeruak dalam presentasi diri yang telah melalui proses negosiasi antara “diri yang diungkapkan” dan “diri yang ditutupi”. Riset yang telah dilakukan terkait konstruksi diri kaum muda dalam ruang media sosial menunjukkan bahwa diri telah mengalami fragmentasi, yaitu proses di mana diri seseorang “terbagi-bagi” ke dalam kanal-kanal media sosial (Purwaningtyas, 2020). Proses fragmentasi diri ini telah menghadirkan beberapa karakter diri kaum muda yang dipresentasikan dalam ruang media sosial, yaitu: (1) diri yang ambivalen, (2) diri yang menghasratkan pengakuan, dan (3) diri yang mencari kebebasan (Purwaningtyas, 2019). Konstruksi diri tersebut mewujud dalam upaya kaum muda untuk menjalin relasi yang resiprokal melalui kanal media sosial. “Diri yang ambivalen” merupakan praktik di mana identitas kaum muda dikonstruksi dalam kelindan privasi dan publisitas yang dinegosiasikan dalam ruang media sosial. Pada tataran ini, kaum muda merasa memiliki kebutuhan untuk menjaga privasi dengan memilih informasi personal mana yang mereka bagikan, serta kepada siapa mereka membaginya. Di sisi lain, medialitas kanal media sosial mendorong pengguna untuk melakukan publisitas yang seluas-luasnya kepada audiens, meskipun ia juga menyediakan fitur seperti “akun privat” (private account) dan “teman dekat” (close friends) dalam Instagram. Publisitas atas informasi personal tetap dilakukan kaum muda, pada titik tertentu hingga taraf tertentu, dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dari audiens atau peer group-nya dalam media sosial. Hal ini mengarahkan pada karakter konstruksi diri yang kedua, yaitu “diri yang menghasratkan pengakuan”.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 183 ]
Dengan membagi informasi personal mereka, termasuk kegiatan sehari-hari, kegemaran, sudut pandang, hingga apa yang mereka pikirkan, kaum muda mengharapkan reaksi timbal-balik atau rekognisi dari “temanteman” mereka di media sosial. Ada yang mengunggah hasil masakannya karena ingin diakui sebagai orang yang bisa memasak, ada yang mengunggah musik atau lagu tertentu karena ingin diakui selera musiknya, serta berbagai ilustrasi lain. Pada tataran ini, terjadi kontestasi antara “diri yang otentik” dan “diri yang ingin dilihat oleh orang lain”. Beberapa kaum muda menjembatani kontestasi ini dengan membuat akun sekunder, atau dengan kata lain, memiliki dua akun dalam satu kanal media sosial. Terakhir, dalam ruang media sosial, kaum muda membangun konstruksi diri yang didasarkan pada sensasi atas kebebasan untuk mengekspresikan diri mereka; hal ini merujuk pada karakter “diri yang mencari kebebasan”. Pada kanal media sosial, banyak kaum muda tidak “berteman” dengan orangtua atau anggota keluarga yang lebih tua. Kalaupun berteman, mereka cenderung mengeksklusikan orangtua dari lingkaran dekat mereka di media sosial. Mereka cenderung melepaskan relasi kekeluargaan (kinship) dan membangun relasi berdasarkan hubungan pertemanan (friendship), dengan tujuan untuk menghindari upaya kontrol dan pengawasan dari orangtua dan keluarga. Namun, “diri yang mencari kebebasan” tidak sepenuhnya bebas, karena kontrol dan pengawasan bergeser pada standar sosial tertentu yang terbangun dalam media sosial oleh relasi pertemanan; seperti misalnya standar atas “unggahan Instagram yang berfaedah” atau “cuitan Twitter yang menarik”.
Gerakan Sosial dan Aktivisme Daring Aktivitas kaum muda bermedia sosial tidak terlepas dari gerakan sosial dan aktivisme daring. Dalam peta perkembangan gerakan sosial, munculnya media baru dan digital telah menambah sarana dan menggeser pola diseminasi informasi dan proses komunikasi yang berlangsung dalam gerakan sosial (Jenkins, 2014). Pada tataran ini, format konten media yang bersifat dan dikemas dalam bentuk “pendidikan sekaligus hiburan” (edutainment – education and entertainment) salah satunya mewujud dalam akun-akun informasional yang marak beredar dalam kanal media sosial. [ 184 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Akun-akun informasional ini pada umumnya dikelola secara kolektif oleh sekelompok kaum muda, dengan menggunakan nama akun yang mewakili kelompok, komunitas, atau organisasi mereka secara sukarela (Dewantara & Widhyharto, 2015). Namun, tidak jarang juga akun informasional yang dikelola oleh individu, baik dengan menggunakan nama asli mereka sebagai nama akun maupun nama samaran (pseudonym). Akun-akun informasional mulai marak bermunculan pada kanal media sosial Twitter sekitar tahun 2010-an. Di Yogyakarta, misalnya, bermunculan akun-akun seperti @JogjaUpdate dan @KulinerJogja yang menyajikan informasi-informasi seputar kota Yogyakarta dan kuliner melalui cuitan di Twitter. Dua akun ini merupakan contoh akun yang dikelola oleh individu. Contoh akun informasional yang dikelola oleh kelompok dapat terlihat pada akun Instagram @jogja24jam dan @ jogjafoodhunter. Kedua akun tersebut juga menampilkan konten informasi terkait kota Yogyakarta dan kulinernya. Di samping itu, dapat ditemukan juga akun-akun informasional yang dikelola oleh organisasi atau institusi, seperti akun @tirtoid dan @mojokdotco. Terkait hal ini, kanal media sosial dimanfaatkan sebagai perpanjangan tangan dari organisasi atau institusi untuk melakukan diseminasi informasi. Akun informasional pada kanal media sosial dalam beberapa kasus mengalami transformasi menjadi akun aktivisme. Pada tataran ini, media sosial tidak sekadar menjadi kanal diseminasi informasi, melainkan juga sebagai kanal pembentukan wacana dan pendorong bagi gerakan sosial yang lebih besar (Fandia, 2021). Baik individu maupun kelompok/ organisasi/institusi dapat membuat akun yang didedikasikan untuk gerakan sosial. Akun-akun ini akan membawa tema atau topik yang spesifik dalam gerakan mereka; seperti akun Instagram @indonesiafeminis, @ lawanpatriarki, @perempuanbergerak, serta akun lainnya yang mengusung gerakan sosial untuk kesetaraan gender di Indonesia, atau contoh lainnya adalah akun Instagram @jogjadaruratagraria dan @gejayanmemanggil yang membawa isu lingkungan hidup, politik, dan kemanusiaan dengan basis kota Yogyakarta. Akun-akun aktivisme ini memiliki kekuatan dalam membentuk opini kaum muda dan mendorong mereka untuk berkontribusi dalam gerakan yang lebih besar.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 185 ]
Aktivisme dalam ruang media sosial juga digalakkan dengan menggunakan fitur tagar (tanda pagar atau hashtag). Medialitas media sosial yang membuat fitur tagar memungkinkan sebuah isu untuk secara mudah menjadi viral dan berada di permukaan topik yang tren di kalangan pengguna media sosial. Dengan menggunakan fitur tagar, para pengguna dapat melihat informasi yang beredar dalam ruang media sosial terkait topik tertentu. Tagar yang populer menjelang akhir tahun 2020 seperti #MosiTidakPercaya dan #TolakOmnibusLaw bahkan sempat menjadi trending topic di Twitter dan membuat pengguna Twitter yang tidak berasal dari Indonesia bertanya-tanya mengenai isu tersebut. Pada tataran ini, kekuatan algoritma dan fitur tagar sebagai bagian dari medialitas media sosial memberi kesempatan bagi gerakan sosial dan aktivisme untuk tumbuh subur. Beberapa gerakan sosial dalam kanal media sosial melalui tagar tidak hanya diinisiasi oleh akun-akun aktivisme, melainkan juga oleh akun-akun personal individu, seperti gerakan #koinuntukPrita, #savekomodo, dan lain sebagainya. Lebih jauh, peran media sosial dalam gerakan sosial dan aktivisme dapat dirangkum ke dalam tiga peran utama, yaitu: (1) sarana untuk diseminasi informasi dan pengetahuan, (2) ruang untuk bersuara, dan (3) ekstensi atas gerakan-gerakan yang diinisiasi secara luring (Fandia, 2021). Pada praktiknya, kanal media sosial sebagai sarana untuk diseminasi informasi dan pengetahuan akun-akun aktivisme adalah fungsi yang paling dominan terlihat. Dalam kanal media sosial, medialitasnya memungkinkan bagi sebuah isu untuk menjadi viral dan diperbincangkan oleh orang banyak. Dengan demikian, semangat yang dibawa oleh gerakan sosial tersebut akan lebih cepat dan mudah untuk mencapai khalayak yang lebih luas. Seperti pada kasus akun aktivisme gerakan perempuan, paling tidak warganet Indonesia menjadi lebih sadar (atau setidaknya tahu) mengenai isu patriarki serta konsekuensi sosio-kultural yang disebabkan oleh budaya patriarki tersebut di Indonesia. Kanal media sosial menjadi alat untuk mengedukasi warganet mengenai persoalan kesetaraan gender. Di samping itu, isu-isu lain seperti lingkungan hidup dan hak asasi manusia juga memiliki tempatnya di kanal media sosial. Kanal media sosial sebagai ruang untuk bersuara bagi gerakan sosial dan aktivisme terbukti dengan banyaknya perbincangan atas isu-isu yang [ 186 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
dianggap tabu di masyarakat dan selama ini cenderung dipinggirkan oleh kanal media konvensional (Lim, 2014). Isu-isu mengenai kesetaraan gender, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia menjadi tiga contoh atas isu-isu yang jarang diangkat oleh media massa konvensional, karena seringnya dianggap tabu atau subversif terhadap kepentingan penguasa. Sebelum adanya media sosial, media massa konvensional menguasai ruang wacana masyarakat. Ketika media ini cenderung berpihak pada penguasa, maka suara-suara yang berlawanan dengan itu akan dibungkam dan tidak diberi ruang untuk bersuara. Kanal media sosial telah memberikan ruang bagi mereka yang selama ini direpresi oleh kuasa tersebut. Terakhir, kanal media sosial digunakan sebagai perpanjangan tangan atau ekstensi dari gerakan sosial yang telah diinisiasi sebelumnya secara luring. Praktik ini, secara sederhana dapat dilihat melalui kelompok/ organisasi/institusi yang membuat akun resmi pada kanal media sosial. Pada tataran ini, kanal media sosial tidak sekadar menjadi sarana diseminasi informasi dan pengetahuan, melainkan juga sarana koordinasi bagi para anggota lama serta sarana rekrutmen bagi para calon anggota baru. Secara umum, ruang media sosial memberikan ruang pembelajaran bagi kaum muda untuk sadar, terlibat, berpartisipasi secara aktif, atau bahkan menginisiasi gerakan sosial dan aktivisme. Ruang media sosial adalah ruang di mana mereka sanggup mencari informasi sebanyakbanyaknya, turut bersuara atas ketimpangan yang ada dalam masyarakat, serta berpartisipasi dalam melawan opresi penguasa.
Budaya Penggemar dan Fandom Isu terakhir terkait kaum muda dalam ruang media sosial yang dipilih untuk dibahas adalah budaya penggemar dan fandom. Mengapa? Dalam praktik penggunaan media sosial oleh kaum muda, fenomena yang berkaitan dengan budaya penggemar dan fandom telah banyak ditemukan dan menjadi sorotan dalam dunia akademis setidaknya dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Di samping itu, fenomena ini berkaitan dengan budaya populer, di mana kaum muda menjadi kelompok audiens terbesar; agen utama dalam budaya populer. Terkait kajian terhadap fandom, pertama-tama perlu dipahami pergeseran paradigma yang terjadi dalam Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 187 ]
melihat fenomena ini. Pergeseran ini menjadi kunci dalam menempatkan kaum muda pada kajian terhadap budaya penggemar dan fandom. Sebelum memasuki era 1990-an, kajian terhadap fandom cenderung melihat aktivitas penggemar sebagai sesuatu yang patologis. Kaum muda yang terlibat secara aktif dalam menggemari idolanya cenderung dinilai sebagai kelompok yang irasional dan memiliki kenikmatan konyol. Pada tataran ini, kaum muda yang menjadi seorang penggemar diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yaitu obsessive loner dan hysterical crowd (de Kloet & van Zoonen, 2007; Jenson, 1992). “Individu yang obsesif” (obsessive loner/ individual) digunakan untuk menyebut kaum muda yang menjalankan ritual penggemar seorang diri, secara diam-diam, namun mendedikasikan dirinya secara penuh dalam aktivitas menjadi seorang penggemar; contohnya ketika seseorang di dalam kamarnya memenuhi dinding dengan poster idolanya. Di samping itu, “kelompok yang ramai” (hysterical/frenzied crowd) merupakan aktivitas penggemar yang dilakukan secara kolektif, beramai-ramai, sampai pada taraf heboh yang mengganggu ketertiban umum; julukan ini sering disematkan kepada penggemar sepakbola yang rusuh di jalanan. Aktivitas penggemar yang dipandang sebagai sesuatu yang patologis ini didukung dengan beberapa kejadian yang mendapat sorotan penuh atau eksposur dari media, seperti pembunuhan John Lennon dan pembobolan rumah Madonna oleh salah seorang penggemar. Namun, seiring dengan kajian media yang mulai marak ditinjau melalui kajian budaya (cultural studies), pendekatan yang sama pun mulai digunakan untuk melihat fenomena penggemar, tidak lagi melalui pendekatan patologis, melainkan melalui pendekatan kultural. Pada tataran ini, fandom ditelaah sebagai praktik kultural (de Kloet & van Zoonen, 2007; Duffett, 2013; Hills, 2002). Dengan menempatkan aktivitas penggemar sebagai praktik kultural, kajian penggemar tidak lagi menempatkan kaum muda sebagai objek industri hiburan yang secara pasif mengalami efek patologis atas terpaan selebritas dan budaya populer, melainkan sebagai subjek yang secara aktif melakukan produksi dan reproduksi budaya itu sendiri. Dalam perkembangannya, kajian terhadap budaya penggemar sebagai praktik kultural menitikberatkan pada tiga dimensi, yaitu dimensi kultural, [ 188 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
dimensi performativitas, dan dimensi lokal (de Kloet & van Zoonen, 2007). Dimensi kultural melihat aktivitas penggemar sebagai produksi budaya atau upaya resistensi. Sementara itu, dimensi performativitas menggeser fokus dari wacana ideologis mengenai kuasa dan resistensi ke praktikpraktik kultural dalam fandom. Dalam dimensi ini, aksi performativitas harus ditinjau melalui konjungsi perbedaan yang signifikan, seperti gender, umur, seksualitas, kelas, dan etnisitas. Kemudian, dimensi lokal menyeruak dalam konteks perdebatan atas globalisasi, serta menjadi upaya dalam membongkar bias-bias yang ada dalam kajian penggemar, yang cenderung didominasi oleh barat. Dimensi ini menekankan pentingnya melihat konteks sosio-kultural yang spesifik dalam mengkaji budaya penggemar. Riset yang dilakukan terhadap budaya penggemar kaum muda di Indonesia menunjukkan bahwa aktivitas “menggemari” jauh dari anggapan patologis yang kerap disematkan oleh para pengkaji fenomena fandom dengan tradisi sosio-psikologis. Riset yang berfokus terhadap penggemar “hallyu” (Korean wave atau gelombang budaya populer Korea Selatan, yang terdiri dari K-pop, K-drama, K-movie, dan lain sebagainya) ini menunjukkan bahwa karakter penggemar yang muncul tidak hanya sebatas “individu yang obsesif” atau “kumpulan yang ramai” saja, melainkan jauh lebih bervariasi dari itu. Pada tataran ini, konsumsi media yang dilakukan oleh penggemar kaum muda tidak semata didasarkan pada keputusan impulsif yang irasional, melainkan keputusan yang dilakukan secara sadar dan sukarela, serta telah melalui pertimbangan tertentu. Terkait identitas diri, ada proses identifikasi yang dilakukan oleh kaum muda dalam praktik fandom K-pop. Mereka melakukan rekonstruksi terhadap sikap, nilai, atau perilaku sebagai respons terhadap citra yang ditampilkan oleh idola yang mereka puja, baik yang nyata maupun yang diimajinasikan, baik melalui relasi yang personal maupun yang termediasi. Sebagai contoh, penggunaan istilah-istilah dalam bahasa Korea yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, seperti “oppa”, “hyung”, “annyeong”, “aigoo”, dan masih banyak lagi. Di samping itu, gaya hidup dan tren fesyen pun kini didominasi dengan tren yang dikiblatkan dari para idola Korea Selatan, mulai dari penggunaan produk kecantikan kulit (skincare) hingga makanan-makanan khas Korea Selatan.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 189 ]
Relasi yang dibangun oleh penggemar dengan idolanya, meskipun merupakan relasi parasosial, telah membawa sensasi kebahagiaan bagi para penggemar. Melalui aktivitas “menggemari”, mereka melakukan pemaknaan atas hidup dan hal-hal yang berarti dalam kehidupan mereka. Beberapa penggemar K-pop di Indonesia menyatakan bahwa lagu-lagu yang dibawakan oleh idola mereka telah menemani mereka melalui masamasa penting dan memberi mereka semangat dalam hidup, seperti ujian sekolah atau permasalahan keluarga. Menjadi seorang penggemar, bagi beberapa fans K-pop lainnya, dinilai merupakan proses penyembuhan (healing) dan penyegaran (refreshing) dari tekanan-tekanan hidup yang menghambat. Dalam aspek yang lebih kolektif, budaya penggemar di Indonesia menunjukkan bahwa fandom dapat mendorong gerakan sosial dan aktivisme. Contoh yang terbaru memperlihatkan ketika para fans K-pop berkontribusi dalam mencegah penyebaran video seks (yang diduga memuat salah satu selebriti perempuan Indonesia) dengan cara memboikot tagar-tagar dan mengganti video seks tersebut dengan video idola mereka. Contoh ini bukan merupakan pertama kalinya fans K-pop berkontribusi dalam gerakan sosial. Dalam fenomena lain seperti aktivisme protes atas pengesahan UU Cipta Kerja dan desakan untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, fans K-pop terlihat berada dalam garda depan pergerakan. Pada tataran ini, kemelekatan penggemar terhadap idolanya tidak lagi menjadi sesuatu yang melambangkan keputusasaan, melainkan keterpikatan. Penggemar tidak lagi menjadi korban atas komodifikasi, melainkan kontributor yang bahagia dalam proses tersebut.
Penutup Berdasarkan kajian yang telah dilakukan atas kaum muda dalam aspek-aspek media hiburan yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan kaum muda, utamanya sebagai audiens, merupakan aktivitas kultural yang melekat dalam kehidupan seharihari. Kaum muda tidak lagi dapat dipandang sebagai objek yang lemah tanpa agensi, melainkan sebagai subjek yang memiliki kuasa, pada titik tertentu hingga taraf tertentu, untuk menjalankan agensinya dalam sirkuit [ 190 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
kebudayaan yang ada di masyarakat. Karakterisasi khusus yang menjadi distingsi kaum muda dari generasi lainnya, serta konteks sosio-kultural dalam melihat fenomena terkait kaum muda, menjadi kekuatan tersendiri dalam kajian-kajian terhadap kaum muda, utamanya dalam praktik bermedia. Potensi studi kaum muda dalam konteks kajian media hiburan masih sangat banyak dan beragam, terlepas dari apa yang telah dipaparkan dalam tulisan ini. Isu pornografi menjadi satu hal yang menarik, di tengah kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia yang masih secara umum menabukan persoalan seks dan seksualitas, serta rendahnya kualitas pendidikan seks di Indonesia, sementara di sisi lain kaum muda secara hukum dan regulasi telah cukup umur untuk menonton konten pornografi. Praktik penggunaan aplikasi kencan daring juga menjadi fenomena menarik di kalangan kaum muda. Masih terkait dengan praktik menabukan seks dan seksualitas, kajian terkait penggunaan aplikasi kencan daring oleh kaum muda cenderung menghakimi aktivitas tersebut sebagai aktivitas yang negatif, karena dianggap mendorong praktik “pergaulan bebas”. Kajian semacam ini masih menempatkan dikotomi kaum muda sebagai generasi yang naif dan tidak bijak, bertolak belakang dengan kaum dewasa yang dianggap bijak dan harus mengajarkan nilai-nilai luhur kepada kaum muda. Agenda kajian ke depan, di samping menelaah isu pornografi dan kaum muda secara khusus, secara umum perlu menyorot bagaimana perkembangan teknologi media dan komunikasi menimbulkan kesenjangan pada kaum muda Indonesia. Akses terhadap media digital saat ini masih menjadi privilese, karena belum semua kaum muda di seluruh lapisan masyarakat memiliki akses tersebut. Tentunya signifikan untuk melihat bagaimana kesenjangan ini berimplikasi pada kehidupan kaum muda Indonesia secara holistik. Di samping itu, bagaimana kaum muda mengelola media baru sebagai sumber daya yang mereka miliki juga patut ditelaah lebih lanjut. Masih banyaknya penelitian di Indonesia yang membahas kaum muda sebagai objek yang tidak berdaya, tertindas, atau banal, menjadi dorongan tersendiri bagi peneliti yang memiliki minat terhadap kajian budaya kaum muda, khususnya dalam kebiasaan bermedia dan budaya komunikasi. Hal Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 191 ]
ini sekaligus menjadi tantangan bagi kajian media dan budaya kaum muda. Kita memerlukan lebih banyak penelitian yang mampu melihat secara kritis posisi kaum muda dalam praktik kultural di masyarakat Indonesia. Pada dasarnya, kita semua pernah, sedang, atau akan menjadi kaum muda. Oleh karena itu, menelaah kaum muda adalah menelaah persoalan kemanusiaan; dan dalam melihat persoalan kemanusiaan, selayaknya kita berusaha memahami, bukan menghakimi.
[ 192 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
DAFTAR PUSTAKA Azca, M. N., & Sutopo, O. R. (2012). “Mengapa Menerbitkan Jurnal Studi Pemuda?”. Jurnal Studi Pemuda, I(1), 46–49. Barnes, S. B. (2006). “A privacy paradox: Social networking in the United States”. First Monday, 11(9). https://doi.org/10.5210/fm.v11i9.1394 Bennett, A., & Robards, B. (2014). “Mediated youth cultures: The internet, belonging and new cultural configurations”. In Mediated Youth Cultures: The Internet, Belonging and New Cultural Configurations. https://doi.org/10.1057/9781137287021 de Kloet, J., & van Zoonen, L. (2007). “Fan Culture - Performing Difference”. In E. Devereux (Ed.), Media Studies: Key Issues and Debates (hal. 322–341). London: SAGE Publications. Dewantara, R. W., & Widhyharto, D. S. (2015). “Aktivisme dan kesukarelawanan dalam media sosial komunitas Kaum Muda Yogyakarta”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 19(1), 40–52. Dimock, M. (2019). Defining generations: Where Millennials end and Generation Z begins. https://www.pewresearch.org/facttank/2019/01/17/where-millennials-end-and-generation-z-begins/ Duffett, M. (2013). Understanding Fandom: An introduction to the study of media fan culture. Bloomsbury. Fandia, M. (2021). “Memaknai Feminisme: Studi Etnografi terhadap Gerakan Perempuan di Media Sosial”. In Rahayu (Ed.), Perempuan dan Literasi Digital: Antara Problem, Hambatan, dan Arah Pemberdayaan (hal. 243–262). Sleman: Gadjah Mada University Press. Hills, M. (2002). Fan Cultures. London: Routledge. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, 25 (2009). Jenkins, H. (2014). “Participatory Culture: From Co-Creating Brand Meaning to Changing the World. GfK Marketing Intelligence Review, 6. https://doi.org/10.2478/gfkmir-2014-0096 Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 193 ]
Jenson, J. (1992). “Fandom as Pathology: The Consequences of Characterization”. In L. A. Lewis (Ed.), The Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media (hal. 9–29). London: Routledge. Lim, M. (2014). “Klik yang tak memantik: aktivisme media sosial di Indonesia”. Jurnal Komunikasi Indonesia, III(1), 35–49. http://www. ijil.ui.ac.id/index.php/jkmi/article/viewFile/7846/3912 Livingstone, S., Haddon, L., Görzig, A., & Ólafsson, K. (2011). Risks and safety on the internet: the perspective of European children: full findings and policy implications from the EU Kids Online survey of 9-16 year olds and their parents in 25 countries. http://eprints.lse. ac.uk/33731/ Margulis, S. T. (2011). “Three Theories of Privacy: An Overview”. In S. Trepte & L. Reinecke (Ed.), Privacy Online: Perspective on Privacy and Self-Disclosure in the Social Web (hal. 9–18). London: Springer. McRobbie, A. (2012). “Feminism, Postmodernism and the ‘Real Me’”. In M. G. Durham & D. M. Kellner (Ed.), Media and Cultural Studies: KeyWorks. London: Wiley-Blackwell. Osgerby, B. (2004). Youth Media. London: Routledge. Prensky, M. (2001). “Digital natives, digital immigrants”. On the horizon, 9(5). Prensky, M. (2012). From Digital Natives to Digital Wisdom: Hopeful Essays for 21st Century Learning. Thousand Oaks: Corwin Press. Purwaningtyas, M. P. F. (2019). “Privacy and Social Media: Defining Privacy in the Usage of Path”. KnE Social Sciences, 217–235. https:// doi.org/10.18502/kss.v3i20.4938 Purwaningtyas, M. P. F. (2020). “The Fragmented Self: Having Multiple Accounts in Instagram Usage Practice among Indonesian Youth”. Jurnal Media dan Komunikasi Indonesia, 1(September), 171–182. Shatto, B., & Erwin, K. (2016). “Moving on From Millennials: Preparing for Generation Z”. J Contin Educ Nurs, 47(6), 253–254. https://doi. org/10.3928/00220124-20160518-05 Subrahmanyam, K., & Smahel, D. (2011). Digital Youth: The Role of Media in Development. London: Springer. [ 194 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
We Are Social, & Hootsuite. (2021). Indonesia Digital 2021. https:// datareportal.com/reports/digital-2021-indonesia Zemmels, D. (2012). “Youth and New Media”. Communication Research, 31, 4–22.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 195 ]
BAB 14 Penutup: Agenda Pembelajaran, Riset, dan Advokasi Lidwina Mutia Sadasri Pengantar
B
uku ini digagas sebagai kumpulan tulisan yang merespons pesatnya perkembangan ilmu komunikasi, terlebih dalam era disrupsi. Bombardir fenomena komunikasi yang perubahannya terjadi dalam situasi yang makin masif perlu diimbangi dengan kemampuan penjelasan dan eksplorasi keilmuan. Terlebih lagi, secara faktual yang terjadi di Indonesia, fenomena komunikasi tampaknya mengalami lompatan era teknologi. Belum usai literasi dicapai di era media massa dan penyiaran, pengguna media saat ini harus dihadapkan dengan media digital.
Aspek digital inilah yang digarisbawahi dalam tiap tulisan yang menyusun buku ini. Ranah, riset, dan realitas yang tersaji membawa serta dinamika dan tantangan komunikasi yang perlu terus menerus diulas dan didialogkan. Pada pendalaman kajian media dan komunikasi strategis yang menjadi ruh dalam akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, tampak empat bagian utama seperti yang telah terpapar juga pada bagian pengantar. Pertama, dinamika jurnalisme dari basis fakta dan idealisme nilai di era digital. Kedua, Public Relations dari sisi praktis dan akademis dalam konteks mediatisasi. Ketiga, pemetaan model periklanan menuju asas kebermanfaatan yang mengalami transformasi ke arah digital. Terakhir, ulasan media entertainment yang perlu dicermati secara serius karena kerap dipandang sebelah mata, meski secara faktual, kajian dan konten media entertainment makin riuh pada platform digital. Empat bagian yang merepresentasikan ranah komunikasi tersebut masing-masing memberi deskripsi di tiap perkembangan, baik ditilik dari sejarahnya,
[ 196 ]
maupun pada skala wilayahnya. Kasus spesifik yang terjadi di Indonesia memperlihatkan sisi kontemporer yang ditekankan di sini.
Internet of Things (IoT) dan Agenda ke Depan Mayoritas penulis dalam buku ini menekankan aspek internet pada tiap wilayah kajian, termasuk visi pembelajaran dan peluang risetnya. Hal yang berbau media digital serta yang lekat disandingkan dengan perkembangan komunikasi terkini seringkali dikaitkan dengan istilah Internet of Things (IoT). Meski demikian, tumpukan definisi IoT yang digagas oleh para ahli pun masih seringkali disalahpahami (Maple, 2017). Salah satu konsep IoT yang seringkali dikutip adalah yang pertama disampaikan oleh Kevin Ashton di tahun 1999 yang mendeskripsikannya sebagai arsitektur layanan informasi berbasis internet dan bersifat dikembangkan secara global (Roussos, 2008 dalam Zhang et al., 2017). Secara faktual, perkembangan IoT dapat dilihat dari beragam gawai elektronik yang saat ini umum digunakan, seperti smartphone, komputer, sampai kendaraan otomatis yang saat ini makin gencar untuk dikembangkan. IoT diaplikasikan baik oleh industri maupun akademisi, seperti yang dipaparkan oleh Maple (2017). Dalam ranah jurnalisme, disebutkan bahwa terdapat urgensi representasi keberagaman yang telah mengalami distorsi pada jurnalisme Indonesia. Hal ini menjadi paradoks karena media baru hadir dengan karakteristik user-generated content yang memungkinkan pengguna untuk mempublikasikan gagasannya (Leung, 2009). Asumsinya, esensi “kebebasan” pada akses unggah dan unduh konten di internet mustinya membuka sekat yang selama ini terjadi di media massa konvensional menjadi batasan dan berpotensi menyajikan diversifikasi. Meski demikian, adanya digital divide yang terjadi di Indonesia juga memungkinkan terjadinya ketimpangan kuasa atau akses terhadap internet sehingga dominasi kuasa atas konten juga masih mungkin terjadi. Selain itu, penyedia konten dalam media baru dituntut untuk mengedepankan kecepatan dalam penyajian, sehingga tak jarang kualitas laporan berita menjadi hal yang dikesampingkan.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 197 ]
Dengan demikian, pada Jurnalisme, rancangan ke depan perlu menggarisbawahi erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, baik sebagai aktor maupun konsumen konten media, literasi menjadi makin signifikan untuk didorong dan dikuatkan, tak terkecuali kaum minoritas, baik sebagai pihak yang aktif memproduksi konten, maupun sebagai pengguna atau audiens secara umum. Teknologi digital yang diterapkan dalam perkembangan kajian kehumasan, selain diarahkan pada eksplorasi perspektif, juga diwarnai dengan pemosisian komunikasi digital dalam perubahan cara dan teknik komunikasi yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat yang menjadi stakeholder, tak hanya di sisi praktisi humas di korporat saja. Perkembangan humas pun sudah sampai aplikasi PR 3.0 yang awalnya hanya bersifat transaksional menjadi mengarah pada customer lifetime value dan visi relasi jangka panjang. Pada kajian yang dilakukan Ki et al. (2019), riset kehumasan mengalami lompatan riset kuantitatif dan kualitatif dengan area studi excellence theory, manajemen hubungan, dan krisis komunikasi yang paling banyak dikaji. Komunikasi korporat dan pemangku kepentingan juga menjadi wilayah kajian utama yang terpampang dalam jurnal internasional. Selain itu, kajian mengenai teknologi baru, seperti platform media sosial juga mewarnai kajian PR yang membuat peneliti mengembangkan teori PR di ranah internet. Agenda kajian periklanan mengarahkan pada titik tekan teknologi digital yang sangat mengarah pada hal yang makin personal. Riset dalam bidang periklanan saat ini menunjukkan gambaran umum komunikasi pemasaran, yang pada konsep pemasarannya saja sudah sampai tahap 5.0 sebagai salah satu kajian yang berkembang dalam kacamata komunikasi strategis, yakni yang berfokus pada teknologi untuk humanity yang memosisikan pemasar untuk berintegrasi dengan evolusi teknologi dan model bisnis (Kotler et al. 2021). Sejalan dengan pernyataan tersebut, kajian online advertising pun secara signifikan mengalami perkembangan. Riset yang dilakukan Liu-Thompkins (2018) menyatakan bahwa kajian periklanan terus mengeksplorasi dampak online advertising dan prosesnya. Ia juga mengidentifikasi kebutuhan pengembangan teori, eksplorasi metodologis yang lebih eksperimental, serta kedalaman pada aspek [ 198 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
organisasional dan isu strategis dalam online advertising yang temuannya dapat dimanfaatkan oleh pengiklan dan agensi iklan. Sedangkan pada media entertainment, yang awalnya dilihat sebagai hal yang sangat biasa karena sangat terkait dengan keseharian yang dipandang sesuatu yang “hanya” mendasarkan leisure, pada perkembangan kajiannya makin hari makin mendapatkan banyak peminat yang mampu mengkaji secara serius. Kajian media entertainment perlu digarap dengan cermat dan dilihat dari sisi kekuatan ekonomi, ideologi, representasi, serta audiensnya. Jika dipetakan, mulai dari proses produksi, distribusi, konsumsi, sampai pengembangannya yang melibatkan peran audiens aktif yang berpartisipasi dalam proses interpretasi konten. Hal ini sejalan dengan agenda kajian Livingstone (2013, 2019) yang menekankan audiens tak berhenti pada pembedaan pasif dan aktif, namun lebih interaktif dengan paradigma partisipasi dan datafication.
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 199 ]
DAFTAR PUSTAKA Ki, E., Pasadeos, Y., & Ertem-Eray, T. (2019). “Growth of Public Relations Research Networks: a Bibliometric Analysis”. Journal of Public Relations Research, 31:1-2, 5-31. DOI: 10.1080/1062726X.2019.1577739. Kotler, P., Kartajaya, H., & Setiawan, I. (2021). Marketing 5.0: Technology for Humanity. Wiley. Leung, L. (2009). “User-generated Content on The Internet: An Examination of Gratifications, Civic Engagement, and Psychological Empowerment”. New Media & Society, Vol 11(8): 1327-1347. Doi:10.1177/1461444809341264. Liu-Thompkins, Y. (2019). “A Decade of Online Advertising Research: What We Learned and What We Need to Know”. Journal of Advertising, 48:1, 1-13. DOI: 10.1080/00913367.1556138. Livingstone, S. (2013). “The participation paradigm in audience research”. The Communication Review. Vol. 16 No. 1-2 Hal. 21-30. https://doi.org/10.1080/10714421.2013.757174 Livingstone, S. (2019). “Audiences in an Age of Datafication: Critical Questions for Media Research”. Television & New Media. 2019 Vol. 20(2) 170-183. Maple, C. (2017). “Security and Privacy in The Internet of Things”. Journal of Cyber Policy, Volume 2, 2017 – Issue 2. https://doi.10.108 0/23738871.2017.1366536. Zhang, Lizong, Alharbe, N.R., & Atkins, A.S.(2017). “A Self- adaptive Distributed Decision Support Model for Internet of Things Applications”. Transactions of The Institute of Measurement and Control. Vol. 39 Issue 4, 2017. https://doi.10.1177/0142331216682709.
[ 200 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
INDEKS A AdSense, xii, 168, 170 aktivisme, 77, 184-187, 190, 193194 algoritma, 3, 14, 31-33, 157-158, 186 analog, v, 156, 158 B billboard, 113-114, 128 blogger, 162, 168 budaya partisipatoris, 169, 171 C close friends, 183 constant companion, 129 Cultural Studies, 39, 188, 194 D Datafication, 199-200 demarketing, 120-121, 125 digital, v, vi, ix, x, 3, 5-6, 8, 12, 14, 16-20, 24-25, 31, 33-37, 40, 42, 44-49, 51, 53-55, 61, 66, 68, 75-77, 81, 93-94, 111, 121-123, 126-136, 138, 144-146, 149, 152, 154-158, 163-165, 178, 180-181, 184, 191, 193-198, 201, 203-208 digital divide, 197
digital marketing communications, 128 digital media metrics, 128 digital native, 180-181 E edutainment, 184 emerging adulthood, 182 endorsement, 128, 174, 176 engagement rate, 128 Entertainment Economy, 140, 153 F fandom, 147, 149, 187-190, 193194 Fan Economy, 144, 152 fan fiction, 149 friendship, 184 G game event, 160, 164 gift economy, 144 H hallyu, 189 hashtag, 186 hysterical crowd, 188 I Industrial Age, 116, 119
[ 201 ]
P para social relationship, 149 participatory fan, 149 partnership, 173 periklanan, vi, viii, x, 11, 14-15, 17, J 88, 111-115, 117-119, 121-124, jurnalisme, v, viii, ix, x, 11-13, 126-128, 130, 132, 135, 141, 15-17, 23, 25, 30-31, 40, 42-45, 156, 196, 198, 205 47-48, 50-52, 56, 60-61, 64, Personalized advertising, 15, 130, 67-68, 75-77, 87-88, 141, 148, 135-136 154-156, 158-164, 196-198, personalized experience, 130 201, 204, 207 personhood fan, 149 K point of reference, 182 kaum muda, x, 16-17, 180-185, PR 3.0, 198 187-193, 203 privacy concern, 131, 137 kinship, 184 privasi, 45, 77, 128, 131-133, 149, 182-183, 203 L private account, 183 labour, 66, 167 profiling, 128, 132 lived entertainment, 143 prosumer, 42, 127 M pseudonym, 185 media entertainment, v, vi, x, 11, Public Relations, v, vi, x, xiii, 11, 15, 17, 139, 145, 152, 196, 199 13-14, 17, 37, 83-98, 122, 196, mediated entertainment, 143 200 medium, 9, 100, 102, 113-114, 118, R 121, 124, 130, 146 Ruang Siber, 181, 207 mobile device, 130 monetisasi, x, xii, 16, 145, 167-171, S 173-176 self-boundary, 183 infotainment, 141, 147-148, 153, 156, 175 Internet of Things, vi, xiii, 3-4, 8, 139, 197, 200
N non-partisanship, 161 O obsessive loner, 188 online advertising, 137, 198-200 Only Entertainment, 142, 151 [ 202 ]
Self-Disclosure, 137, 194 smartphone, 128-130, 136-138, 197 social media entertainment, 145 soft power, 147, 149, 151 subscriber, 168, 173 subversif, 187
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
T teknologi, v, vi, 1-6, 8, 10, 12, 14, 18, 33, 47, 68, 75-77, 93-94, 111, 115-117, 121-124, 127129, 131, 135, 139, 143-146, 154, 158-159, 163, 169, 171, 174, 191, 196, 198
V value creation, 131, 135 viewer, 155 vlogger, 162 Y YouTuber, 167-168, 173-176
U user-generated content, 178, 197, 200
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 203 ]
Biodata Penulis Budi Irawanto adalah pengajar pada Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Ia juga menjabat sebagai ketua Program Studi Doktor Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana di universitas yang sama. Menulis buku Film, Ideologi dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia (Warning Books, Jalan Baru & Insist Press, 2017), ia menyumbang bab dalam sejumlah buku, antara lain Politics and the Media in Twenty-First Century Indonesia: Decade of Democracy (Routledge, 2011) dan Southeast Asia on Screen: From Independence to Financial Crisis (1945-1998) (Amsterdam University Press, 2020). Sejak 2017, ia berkhidmat sebagai presiden JogjaNETPAC Asian Film Festival (JAFF) serta beberapa kali ditunjuk sebagai presiden juri dan anggota juri di sejumlah festival film internasional di Jerman, India, Korea Selatan dan Filipina. Gilang Desti Parahita, pengajar S1 untuk jurnalisme, Komunikasi Publik, serta Komunikasi Internasional, maupun pengajar S2 untuk mata kuliah Tradisi Riset Komunikasi serta Komunikasi dan Isu-isu Terkini. Karya-karya jurnalistik peserta mata kuliah yang diampunya dapat diakses di http://wargajogja.net. Minat riset Gilang mencakup jurnalisme digital, sosiologi jurnalisme, literasi digital, media dan kelompok minoritas, serta komunikasi untuk pembangunan berkelanjutan. Saat ini ia tercatat sebagai anggota editor untuk Jurnal Komunikasi yang diterbitkan oleh Universitas Islam Indonesia. Sejak 2014, ia menjadi country representative untuk Asian Media and Communication Congress yang berpusat di Filipina. Email: [email protected]
[ 204 ]
I Gusti Ngurah Putra, staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi, FISIPOL Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Indonesia sejak 1988 dengan spesialisasi pengajaran pada bidang hubungan masyarakat, komunikasi massa, komunikasi krisis dan manajemen komunikasi pemerintah. Menyelesaikan kesarjanaan di UGM dan pascasarjana di University of Canberra, Australia. Ia telah menulis buku, bab buku, artikel jurnal dan artikel media cetak tentang komunikasi dan media di Indonesia. Bukunya Manajemen Hubungan Masyarakat (1999) yang diterbitkan oleh Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta direvisi menjadi modul Manajemen Hubungan Masyarakat yang diterbitkan oleh Universitas Terbuka Jakarta. Ia juga menulis modul Teknik-Teknik Hubungan Masyarakat dan Sistem Komunikasi Indonesia yang diterbitkan oleh Universitas Terbuka. Ia berpengalaman sebagai reviewer jurnal dan juga pernah menjadi Pengelola Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang diterbitkan FISIPOL UGM. IGN. Putra juga menjadi anggota ICA (International Communication Association) dan ISKI (Ikatan Komunikasi Indonesia) serta pernah menjadi Ketua Perhimpunan Humas Indonesia (Perhumas) Yogyakarta. Di samping itu, ia pernah menjadi komisioner pada KPID Daerah Istimewa Yogyakarta. Irham Nur Anshari, merupakan staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada. Ia menempuh studi sarjana di Prodi S1 Ilmu Komunikasi UGM dan master di Prodi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM. Minat kajiannya seputar budaya dan media, seperti: film, video, sosial media, dan seni kontemporer. Tulisannya dimuat di beberapa jurnal, antara lain: Power Conflict Democracy (PCD) Journal, Jurnal Media & Komunikasi Indonesia (JMKI), dan Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP). Tulisan-tulisan terbarunya dapat dibaca dalam buku Tata Kelola Pengelolaan COVID -19 di Indonesia (2020) & Kolaborasi Lawan (Hoaks) Covid-19 (2020). Saat ini menjabat sebagai sekretaris prodi S1 Ilmu Komunikasi UGM dan mengampu beberapa mata kuliah, antara lain: Kajian Film, Entertainment Media, dan Cyberculture. Dapat dikontak melalui surel di [email protected].
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 205 ]
Lidwina Mutia Sadasri, staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi di FISIPOL UGM. Ia memperoleh gelar master di Prodi Magister Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM. Lidwina memiliki minat kajian di bidang kajian selebritas, manajemen media dan brand, media baru, serta kaitannya dengan kaum muda dan perempuan. Beberapa karya yang telah dipublikasikan antara lain: “Melawan Information Disorder Ala Aktivis Perempuan” dalam Buku Perempuan dan Literasi Digital: Antara Problem, Hambatan, dan Arah Pemberdayaan (2021, UGM Press), “Micro-Celebrity Participation and Risk Communication in Indonesia” (Pacific Journalism Review, 2020), “Saving Indonesia’s Golden Generation: Preventing Teenage Marriage in Rembang, Central Java (A Case Study)” (Jurnal IKAT, 2020), “Audiens Milenial dan Iklan Viral: Kajian Daya Tarik Iklan #KerenLahirBatin terhadap Brand Image Ramayana Department Store” (Jurnal Media dan Komunikasi Indonesia, 2020), serta “Selebritas Politik dan Gaya Komunikasi Joko Widodo di Media Baru” (Jurnal Pekommas, 2019). Lidwina juga merupakan seorang peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara, Universitas Gadjah Mada. Mashita Phitaloka Fandia Purwaningtyas, atau akrab disapa Mashita Fandia, adalah dosen di Departemen Ilmu Komunikasi UGM. Mashita memperoleh gelar S1 di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM pada tahun 2013 dan gelar S2 di Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM pada tahun 2018. Mashita mendalami bidang kajian budaya digital, psikologi media, dan media hiburan. Tulisan book chapter yang telah dipublikasikan meliputi: “Adaptasi, Translasi, dan Interpretasi: Membaca Film Adaptasi Novel di Indonesia” (dalam buku Satu Dekade Sinema Indonesia, Fisipol UGM, 2014), “Memaknai Feminisme: Studi Etnografi terhadap Gerakan Perempuan di Media Sosial” (dalam buku Perempuan dan Literasi Digital, UGM Press, 2021), dan “Mencari Privasi: Ruang Personal dalam Media Sosial” (dalam buku “Politik Ruang”, PT Kanisius, 2021). Artikel-artikel jurnal yang telah dipublikasikan dapat diakses melalui laman Google Scholar. Selain berkegiatan sebagai dosen, Mashita saat ini aktif mengelola forum diskusi daring Kantin (Kajian Rutin, IG: @k.a.n.t.i.n). Mashita dapat dihubungi melalui alamat surel [email protected] [ 206 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Muhamad Sulhan, dosen di Departemen Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM. Menulis Dayak Menang, Indonesia yang Malang (2009), Sejarah Sukamara (2015), dan Dramaturgi Politik Indonesia: Membaca Talk Show Membaca Wajah Politisi (2020). Bertindak sebagai editor dan kontributor di beberapa buku seperti Teori dalam Riset Media Baru & Media Digital’ (2017), ‘Dinamika Fenomena Komunikasi (2017), Selayang Pandang Metode Digital dalam Penelitian Komunikasi (2017). Tertarik pada kajian media, dan aspek sosiologis dalam fenomena politik, marketing, dan kompleksitas netizen. Sulhan menyelesaikan Doktoral di bidang Sosiologi Media pada program S3 Sosiologi FISIPOL UGM pada 2014 dengan disertasi berjudul Homo Ludens sebagai Komunikasi Politik dalam Talk Show Televisi. Dia aktif sebagai direktur Digital Media & Communication Research Center (DECODE), sebuah pusat kajian di bawah naungan Departemen Ilmu Komunikasi UGM untuk melakukan beragam penelitian dan pengabdian bidang komunikasi. Pada tahun 2019–2022 menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM). Bisa dihubungi di [email protected] Novi Kurnia adalah staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi dan dewan redaksi JSP (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) di FISIPOL UGM. Mendapatkan gelar doktor dari Flinders University tahun 2014, ia menekuni kajian film, literasi digital, serta gender dan media. Ia adalah salah satu pendiri dan koordinator Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) serta salah satu dewan pengawas Pengkaji Film Indonesia (Kafein). Publikasi terbarunya antara lain: Big Data untuk Ilmu Sosial: Antara Metode Riset dan Realitas Sosial (2021, UGM Press), Kolaborasi Lawan (Hoaks) COVID-19: Kampanye, Riset dan Pengalaman Japelidi di Tengah Pandemi (2020, Program Magister Ilmu Komunikasi UGM), Literasi Digital Keluarga (2019, UGM Press), Jurnalisme, “Berita Palsu”, & Disinformasi: Konteks Indonesia (2019, Unesco Indonesia & Departemen Ilmu Komunikasi UGM), dan “Young, creative, and independent: Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga and its strategies to enliven independent film making in Indonesia” dalam Routledge Handbook of Cultural and Creative Industries in Asia (2018, Routledge).
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 207 ]
Nyarwi Ahmad, salah satu pengajar di program studi Sarjana dan Pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL dan juga Magister Manajemen (MM) FEB UGM Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan Doktoral (S3) di Faculty of the Media and Communication, Bournemouth University, UK dengan spesialisasi Komunikasi Politik dan Marketing Politik. Sejak tahun 2005 menulis sejumlah artikel yang diterbitkan di media massa nasional, seperti Jawa Pos, Kompas, dan Media Indonesia. Hasil-hasil riset dan pemikirannya dipublikasikan dalam sejumlah jurnal internasional seperti Journal of Political Marketing, Asian Politics and Policy, Asian Journal of Comparative Politics, East Asia, Global Media and Communication dan Quality & Quantity: International Journal of Methodology. Ia juga menjadi reviewer lebih dari 25 jurnal internasional bereputasi dan berdampak faktor. Sejak tahun 2018, Ia juga sering diminta menjadi komentator komunikasi (dan) politik oleh sejumlah televisi berita nasional, seperti CNN Indonesia, TV One dan Kompas TV. Syaifa Tania merupakan staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM. Fokus kajian yang diminatinya berkaitan dengan media digital dan komunikasi pemasaran, khususnya bidang kehumasan serta periklanan. Ia mendapatkan gelar sarjananya dari Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM dengan peminatan studi komunikasi strategis, serta gelar masternya dari institusi yang sama dengan peminatan manajemen komunikasi. Beberapa publikasi artikel jurnal dan book chapter yang pernah disusun antara lain “Corporate Social Responsibility di Indonesia: Prinsip dan Aplikasi” (2012), “Agenda Setting: Jejak Terap Teoritik” (2014), “Formulasi City Branding Kabupaten Pekalongan” (2018), “Pemuda, Diaspora, dan Penggunaan Media Baru dalam Gerakan SabangMerauke” (2019), “Preferensi Informasi dan Perilaku Bermedia Warganet di Akun Informasi Instagram Selebritas” (2019), “Menakar Hubungan Organisasi dan Publik di Media Baru” (2020), “Mediated Relationship: Menakar Hubungan Organisasi-Publik dalam Akun Instagram Resmi Perusahaan Telekomunikasi” (2020), serta “Women Social Media Influencer: Literasi Periklanan dalam Praktik Periklanan Digital” (2021). Syaifa Tania dapat dihubungi melalui e-mail [email protected]. [ 208 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
Widodo A Setianto, pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Menempuh program Pendidikan Sarjana Ilmu Komunikasi, Pascasarjana Sosiologi dan Doktor Ilmu Politik di almamaternya, Fisipol Universitas Gadjah Mada. Selain menekuni bidang kajian komunikasi strategis, bidang keilmuan lainnya yang menjadi minatnya adalah bidang komunikasi politik, komunikasi sosial, komunikasi seni dan budaya. Wisnu Martha Adiputra, Pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Tertarik dan menekuni kajian media baru, kebijakan komunikasi, dan literasi digital. Terlibat aktif dalam aktivitas dua kelompok masyarakat sipil, PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media) dan Japelidi (Jaringan Penggiat Literasi Digital. Menjadi salah satu penulis dan peneliti pada buku: Perempuan dan Literasi Digital: Antara Problem, Hambatan, dan Arah Pemberdayaan (2021), Kolaborasi Lawan (Hoaks) COVID-19: Kampanye, Riset dan Pengalaman Japelidi di Tengah Pandemi (2020), WhatsApp and Digital Literacy Among Indonesian Women (2020), dan Literasi Digital Keluarga: Teori dan Praktik Pendampingan Orangtua Terhadap Anak dalam Berinternet (2019), Sistem Informasi Desa dan Akses Informasi (2017), dan Membangun Sistem Komunikasi Indonesia: Terintegrasi, Adaptif, dan Demokratis (2016). Penulis dapat dihubungi di alamat email [email protected] dan [email protected] Wisnu Prasetya Utomo adalah staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM. Menulis buku Suara Pers, Suara Siapa? (2017) dan Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan (2013). Ia juga menerjemahkan buku Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital (2017), Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian (2020) dan menjadi editor buku Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca Orde Baru (2015) dan
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
[ 209 ]
Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan (2018). Berminat di kajian mengenai jurnalisme, komunikasi politik, dan ekonomi politik media serta menulis mengenai isu-isu tersebut di media seperti The Conversation, Kompas, Tempo, Tirto, Jawa Pos, dan lainnya. Zainuddin Muda Z. Monggilo, dosen di Departemen Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM. Gelar Master of Arts (M.A.) diperoleh di departemen yang sama. Minat kajian dan risetnya meliputi media, jurnalisme, serta literasi media dan informasi (digital). Publikasi terbarunya antara lain Memahami Bencana Alam di Indonesia: Peran Media dan Cara Melawan Hoaks Bencana (book chapter, 2021), Cakap Bermedia Digital (Modul, 2021); Muda, Kreatif, dan Tangguh di Ruang Siber (buku, 2020), Perempuan Indonesia dalam Pusaran Hoaks dan Ujaran Kebencian (book chapter, 2020); Sistem Informasi Publik COVID-19: Telaah Konten Chatbot dalam Melawan Gangguan Informasi Masa Pandemi (book chapter, 2020), Jurnalis Indonesia di Masa Pandemi Covid-19: Kisah Profesi dan Catatan Harapan (book chapter, 2020). Ia juga merupakan trainer cek fakta tersertifikasi Google News Initiative, fasilitator Tular Nalar, serta anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi). Informasi lainnya dapat mengunjungi https://acadstaff.ugm.ac.id/zainuddinmuda atau kontak surel [email protected]
[ 210 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas
DIGITAL MEDIA & COMMUNICATION RESEARCH CENTER (DECODE) DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FISIPOL UGM
Profile Digital Media & Communication Research Center (Decode) DIKOM FISIPOL UGM merupakan badan otonom perencanaan, dan pengembangan manajemen pengetahuan (knowledge management) berbasis pada penelitian, dan pengkajian bidang komunikasi, konsultasi, pelatihan, dan publikasi. Visi Mengembangkan riset unggulan di bidang komunikasi dan media sebagai basis pendidikan dan pengabdian masyarakat untuk mewujudkan masyarakat informasi modern yang cerdas, literate, maju dan mandiri. Misi 1. Membangun ruang belajar yang mendorong inovasi, kreatifitas dan daya kritis seluruh civitas akademika komunikasi. 2. Membangun laboratorium riset yang secara komprehensif mampu menumbuhkembangkan sikap peduli, apresiatif, dan kritis terhadap fenomena, dinamika, dan problematika komunikasi. [ 211 ]
3. Mengembangkan & melaksanakan riset, pelatihan, dan innovasi praktik komunikasi yang berkualitas untuk mendukung kegiatan pengajaran, penguatan kompetensi, dan pengabdian masyarakat. 4. Menciptakan relasi strategis antara Departemen Ilmu Komunikasi dengan seluruh stakeholder guna menindaklanjuti hasil riset sebagai acuan pengambilan kebijakan. Fokus Program Konsentrasi program DECODE di tahun 2021 adalah pada dua bidang utama: menegaskan ranah konsentrasi bidang penelitian dari seluruh dosen DIKOM, dan menciptakan formulasi bentuk bidang pengabdian yang sesuai dengan karakteristik dan kontribusi ilmu komunikasi ke berbagai sektor kehidupan stakeholder. Alamat Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Jl. Sosio Yustisia, Lantai 5, Gedung BA, Bulaksumur, Yogyakarta Email: [email protected] (0274) 563362 – 0811 2644 586 (Upik)
[ 212 ]
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas