153 70 4MB
Indonesian Pages xvi + 144 [159] Year 2023
Dr. M.R. Khairul Muluk, M.Si.
DESENTRALISASI
TATA KELOLA PEMERINTAHAN: PERSPEKTIF KONTEMPORER
DESENTRALISASI TATA KELOLA PEMERINTAHAN: PERSPEKTIF KONTEMPORER Dr. M.R. Khairul Muluk, M.Si. Tata Letak Isi dan Desain Sampul Much. Imam Bisri Penerbit : CPDS (Centre of Policy and Development Studies) Bekerjasama dengan SELARAS MEDIA KREASINDO Anggota IKAPI JTI No 165 Perum Pesona Griya Asri A-11 Malang 65154 e-mail: [email protected]
Cetakan 1, Januari 2023 Jumlah: xvi + 144 Ukuran 15,5 x 23 cm Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN: 978-623-6980-79-8 Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin tertulis dari penerbit.
KATA PENGANTAR Prof. Dr. Luqman Hakim, M.Si. Guru Besar Pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
“Kajian dan teori desentralisasi tidak berkembang dalam ruang hampa. Perkembangan teori desentralisasi mengikuti kebutuhan dan tuntutan zaman. Perubahan paradigma administrasi publik juga berpengaruh terhadap teori desentralisasi dari yang semula berpusat pada decentralized government menjadi decentralized governance.” Buku ini membahas perkembangam teori desentralisasi dari perspektif ilmu administrasi publik (public administration) kontemporer. Kajian ini diawali dengan pernyataan bahwa teori desentralisasi, sebenarnya juga cabang ilmu lain, terus
berkembang atau berubah
dari satu paradigma ke paradigma yang lain. Sejalan dengan perubahan masyarakat, suatu teori itu tidak pernah berada di ruang kosong kepentingan atau melulu merupakan hasil kontemplasi filsafati.
Di
sini peradigma ilmu selalu berada dalam tarik menarik dalam interaksi take and give dengan kepentingan politik, ekonomi, budaya, hukum dan lain-lain. Dalam lingkungan sosial yang terus berubah seperti itu, kiranya dapat difahami jika penekanan teori desentralisasi pun berubah dari decentralized government ke decentralized governance. Dalam paradigma otokrasi, yaitu ketika ilmu administrasi publik masih merupakan bagian dari ilmu politik,
iii
paradigma ilmu
administrasi publik adalah government. Apa yang penting dari praktik administrasi publik oleh karenanya adalah well governed. Pada era ini sentralisasi atau desentralisasi sepenuhnya adalah soal politik, soal exercise of power dan soal distribution of power. Kini, dalam paradigma demokrasi, government atau well governed saja dirasa tidak cukup. Demokrasi menuntut penyebaran kekuasaan. Sejalan dengan perubahan politik itu, paradigma ilmu administrasi pun berkembang ke arah governance, ke arah kolaborasi dalam mewujudkan public interest (NPM) dan kinerja pelayanan publik (NPS). Meskipun penulis tidak mengemukakan pertanyaan ini secara eksplisit, sesuai judulnya, buku ini menjawab pertanyaan mengapa desentralisasi? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis mengemukakan alasan teoretik fundamental secara mendalam yaitu prinsip residuality dan subsidiarity. Lebih lengkap lagi, jawaban
mengapa
desentralisasi diterapkan dalam tata kelola pemerintahan
teori
dikemas
dalam bingkai sejarah asal-usulnya sejak abad 16. Karenanya kajian teori desentralisasi menemukan konteks sosialnya. Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai penyerahan tanggung jawab perencanaan, pelaksanaan, dan pengumpulan serta alokasi sumberdaya dari pemerintah pusat dan badan-badan pemerintah pusat kepada: instansi vertikal, unit pemerintahan wilayah, instansi publik atau badan usaha semi-otonom, pemerintah daerah, dan organisasi swasta atau masyarakat yang bersifat non pemerintah. Desentralisasi dalam pengertiannya yang luas baik sebagai pengejawantahan dari areal division of power (governmental decentralization) maupun non-
iv
governmental division of power (governance decentralization) akan senantiasa dibutuhkan oleh semua negara di dunia ini, dengan tanpa memandang bentuk negara maupun pemerintahannya. Sesungguhnya untuk menjaga integritas suatu negara begitu juga untuk menjamin jalannya tatakelola pemerintahan bukan hanya desentralisasi yang dibutuhkan oleh setiap negara dan pemerintahan, melainkan juga sentralisasi dan dekonsentrasi. Sayang sekali, di era modern ini, kajian tentang asas-asas tata kelola pemerintahan ini surut kalau tidak boleh disebut padam. Khususnya, sebagaimana dikatakan penulis buku ini, dekonsentrasi tidaklah sepopuler desentralisasi, meskipun pada kenyataannya tidak ada satupun negara di dunia yang tidak menjalankan dekonsentrasi. Sungguh, ibarat uang, desentralisasi dan dekonsentrasi adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Gambar dari masing-masing sisi berbeda, tetapi tanpa keduanya uang tidak berlaku. Analog dengan itu, keduanya bukanlah melulu soal pembagian kewenangan administratif dan/atau pembagian teknis dan qua pekerjaan, melainkan sebagai aspek politik yang harus ada dalam tata kelola setiap negara betapapun kecil ukuran luas wilayah yurisdiksinya. Kalaulah ada perubahan dalam unsur yang perlu mendapat penekanan dalam suatu era hal itu, sebagaimana kehidupan sosial lainnya, karena politik berubah Sejalan dengan perubahan politik di atas, UU no 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah harus berubah menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakast saat itu.
UU no 5 tahun
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah menggunakan cara bertingkat dalam membagi kewenangan dan urusan. Istilah yang digunakan saat itu adalah Daerah Tingkat I (sebagai daerah atasan)
v
dan Daerah Tingkat II (sebagai daerah bawahan). Sementara itu, UU no 22 tahun 1999, UU no 32 tahun 2004 dan UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (semuanya di era orde reformasi) menggunakan cara langsung dalam membagi kewenangan dan urusan kepada semua daerah otonom. Sejalan perubahan politik dimaksud, teks kajian desentralisasi lokal akan lebih menemukan konteksnya jika dibingkai dalam ilmu politik. Teori-teori politik klasik seperti Polybius Anacyclosis atau teori-teori politik modern berbasis dikhotomi seperti State-Society dalam tradisi filsafat Weberian-Hintzean mungkin dapat memberi pencerahan yang lebih cemerlang. Terlepas dari saran di atas dan/atau saran dari para pembaca lain, kajian tentang desentralisasi dalam buku ini cukup luas, sistematis dan mendalam. Dalam pembahasannya, buku ini mencakup teori maupun praktik desentralisasi. Dari kajian teoretiknya terlihat bahwa penulis mempunyai wawasan yang mantap dalam bidang teori administrasi publik baik teori-teori dalam paradigma lama maupun paradigma baru. Sejumlah ilmuwan ternama di bidang ini seperti Gusen, Smith, Cheema, Rondineli dan lain-lain dijadikan rujukan. Begitu pula, contoh praktik tata kelola pemerintahan mencakup berbagai negara dan pemerintahan seperti Taiwan, Thailand, Amerika dan lain-lain termasuk Indonesia. Akhirnya, saya salut atas semangat baja dan kerja keras penulis untuk menghasilkan karya monumental ini. Semoga bermanfaat bagi semua. Malang, 16 Desember 2022
vi
KATA PENGANTAR Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, MSi. Chairman Klaster Riset Democracy and Local Governance (DeLOGO), Fakultas ilmu Administrasi-Universitas Indonesia
K
arya Dr. Mujibur Rahman Khairul Muluk, MSi., bertajuk “Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer” benar-benar memukau bagi penikmat kajian
Desentralisasi tanah air. Bak setetes air di padang gurun yang gersang, karya ini mampu mengisi kehausan nuansa kupasan fenomena desentralisasi secara Mondial yang juga mencakup praktik di Indonesia yang sedang tergerus dalam pandangan saya sebagai satu orang yang turut mengkaji desentralisasi di Indonesia. Kini praktik Desentralisasi di Indonesia sedang mengalami proses pelemahan karena kekuatan keseragaman dari Jakarta amat kental walaupun dengan gegap-gempita Pilkada Langsung. Goresan fikiran dalam karya ini di bagian-bagian awal terutama Bab 1, 2 dan 3 adalah perspektif kekinian yang menyeruak pakempakem lama kajian desentralisasi. Tetapi ada yang dirasakan bahwa seperti sebuah bungkus baru, bagi barang lama. Makna “subsidiarity” dikenal bagi kalangan praktisi konvensional tertumbuk pada praktik MEDEBEWIND (tugas pembantuan) dalam khasanah Desentralisaisi di Negeri Belanda hingga kini dan kala zaman Hindia Belanda. Subsidiarity
vii
juga amat masyhur di negeri Jerman, yang memperlihatkan adanya kerjasama antara Pemerintah Negara Bagian dan Daerah otonom di dalamnya. Kini menyambung dengan Decentralized Governance, bukan sekedar Government. Namun nyatanya buku karya Mas Muluk ini mengakui adanya aliran secara material dalam kontur hirarki pemerintahan yang menjadi tempat bagi fenomena subsidiarity yang dimaksud. Yang pasti kupasan ini memperkuat daya terobos fikiran seorang pengkaji dan peneliti pemerintahan daerah di manapun. Di bagian BAB 6 karya ini terkait DEKONSENTRASI, saya kurang sependapat bahwa di Indonesia pada masa reformasi menganut sistem fungsional. Jika dikatakan seperti bagian akhir dari bab tersebut, bahwa wakil pemerintah kurang menonjol saya lebih sepakat. Saya sudah kupas berkali dan berulang di dua buku saya “Riak-riak Otonomi Daerah di Indonesia Kurun 2010-2021” dan Buku “Seluk-Beluk Pemerintahan Daerah di Indonesia: Memperkuat Negara Bangsa”. Indonesia hingga kini menganut integrated prefectural system (IPS). Sebagaimana diungkap Bhenyamin Hoessein bahwa Indonesia tengah mempraktekan Sitem Prefektur Terintegrasi Parsial, sejak wakil pemerintah hanya sampai di Pundak Gubernur, tidak sampai Bupati/ Walikota. Ciri functional system di BC Smith (1985) dan AF Leeman (1970), juga Fried (1965) adalah tidak adanya wakil pemerintah (Prefect). Jadi Indonesia tetap menganut sistem prefektur terintegrasi, kecuali masa UU. No. 1 Tahun 1957 yang menghapus keberadaan sistem wakil pemerintah (Maksum: 2021). Sebagai sebuah karya tetap layak mendapat sambutan prositif untuk memperkuat khasanah kajian pemerintahan daerah di Indo-
viii
nesia. Buku ini sangat kuat pendalaman teoritiknya, sistematis, enak dibaca, lugas dan terang. Cocok menjadi buku pemecut cakrawala mahasiswa, pemerhati, pengkaji dan para pengajar pemerintahan daerah, serta para praktisi di manapun berada. Saya mengucapkan selamat dan turut bahagia, seraya berdoa selalu sehat untuk Dr. M.R. Khairul Muluk, MSi., dan keluarga. Sukses selalu dan berkah. Aamiin YRA.
ix
Daftar Isi
Kata Pengantar Prof. Dr. Luqman Hakim, M.Si. ........................................
iii
Kata Pengantar Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, MSi. ................................
vii
Daftar Isi ...........................................................................
xi
Daftar Gambar ..................................................................
xiii
Bab 1 Pendahuluan ............................................................
1
Bab 2 Subsidiarity Principle ...............................................
9
Bab 3 Dari Decentralized Government Menuju Decentralized Governance .......................................
27
Bab 4 Desentralisasi Asimetrik ..........................................
63
Bab 5 Desa: Desentralisasi Di Dalam Daerah Otonom .......
81
Bab 6 Dekonsentrasi ..........................................................
103
Bab 7 Epilog ......................................................................
127
Daftar Pustaka ..................................................................
135
Biografi Penulis ...................................................................
143
xi
Daftar Gambar
Gambar 1. Tipologi Decentralized Governance ..................
40
Gambar 2. Beragam Cara dalam Decentralized Governance
47
Gambar 3. Tipologi Asimetri ..............................................
69
Gambar 4. Isu Penting Desentralisasi Asimetrik ..................
75
Gambar 5. Level of Paticipation .........................................
88
Gambar 6. Tipologi Dekonsentrasi ....................................
115
Gambar 7. Struktur Desentralisasi di Indonesia ..................
122
xiii
Bab 1
PENDAHULUAN
P
ada dasarnya, desentralisasi memiliki dua pondasi. Pondasi pertama adalah pilihan antara prinsip residuality dan subsidiarity. Residuality principle akan menempatkan daerah
sebagai pelengkap yang dibutuhkan oleh pemerintah pusat ketika tak lagi mampu menangani semua urusan dan tanggung-jawabnya dalam mencapai tujuan bernegara. Urusan atau layanan publik diselenggarakan semuanya oleh pemerintah dan apabila tak mampu diselenggarakan semua maka pemerintah akan mengalihkannya kepada daerah. Sementara itu, subsidiarity principle berkebalikan arah dengan prinsip tersebut. Subsidiarity principle akan menempatkan daerah sebagai pelaku utama dalam upaya mencapai tujuan bernegara karena didahulukan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan
1
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan masyarakat setempat (Endo, 1994; Colombo, 2012; Gussen, 2019). Pemerintah pusat hanya akan menangani urusan yang tak mampu diselenggarakan oleh daerah, sehingga daerahlah yang merupakan perhatian utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Buku ini membahas prinsip subsidiaritas sebagai pondasi awal untuk membahas tentang beragam isu desentralisasi. Prinsip ini yang perlu difahami dengan baik untuk memahami arah perkembangan mutakhir teori desentralisasi. Pondasi kedua adalah berkaitan dengan pembagian kekuasaan (Maas, 1959). Apabila selama ini pondasi ini selalu didominasi oleh diskusi antara capital division of power ataukah areal division of power, maka sudah tiba saatnya kita menggeser pondasi tersebut menuju non-governmental division of power. Pembagian kekuasaan tidak lagi dibahas apakah terjadi di level nasional saja, atau apakah seharusnya ada pembagian antara pusat dan daerah, namun sudah saatnya diperlukan membagi kekuasaan dengan aktor aktor di luar pemerintah. Kebutuhan masyarakat yang berkembang pesat seringkali tidak diikuti dengan perkembangan kapasitas pemerintah untuk memenuhinya. Mengingat hal tersebut tampaknya ada pergeseran dalam pembahasan tentang areal division of power ketika ia harus pula mengakomodasi non-governmental division of power. Kombinasi dalam dua hal tersebutlah yang mendorong pergeseran dari semata pembahasan desentralisasi berkaitan dengan urusan internal pemerintahan saja menuju desentralisasi yang melibatkan aktor di luar pemerintahan pula.
2
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Dalam situasi demikian, maka barulah kita sadari mengapa arah desentralisasi saat ini juga amat dipengaruhi oleh perubahan paradigma dalam administrasi publik tersebut. Saat ini, governance telah menjadi paradigma administrasi publik mutakhir ketika ia menjadi cara berpikir yang diyakini kuat oleh sebagian besar akademisi dan praktisi administrasi publik di seluruh dunia saat ini sebagai cara yang tepat untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh administrasi publik. Dengan perkembangan ini pula maka terjadi pergeseran signifikan dalam teori, kebijakan dan praktek desentralisasi dari semula decentralized government menuju decentralized governance (Cheema & Rondinelli, 2007). Selanjutnya, buku ini juga membahas beberapa isu kontemporer yang senantiasa hangat dibahas dalam diskusi-diskusi akademik, yakni tentang desentralisasi asimetrik dan bagaimana posisi desa dalam teori desentralisasi. Sebenarnya jika kita mengambil kebijakan desentralisasi dengan menyerahkan kewenangan dan urusan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat setempat maka seharusnya kita akan menghasilkan desentralisasi asimetrik jika potensi dan kebutuhan masyarakat setempat tersebut berbeda antar daerah yang satu dengan yang lain (Katorobo, 2007). Otomatis desentralisasi asimetrik akan terjadi dengan sendirinya. Namun demikian, pada kenyataannya pemerintah pusat seringkali lebih nyaman dan lebih mudah untuk menerapkan desentralisasi simetrik daripada asimetrik. Kalaupun ada kebijakan asimetrik yang diterapkan, umumnya karena dipaksa oleh keadaan
3
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
untuk mengambil kebijakan tersebut tentu dengan mempertimbangkan kepentingan nasional. Sebenarnya dengan prinsip subsidiaritas dan decentralized governance maka akan mudah sebenarnya mengambil sikap untuk menjadikan desentralisasi asimetrik diterapkan untuk memelihara dan mengakomodasi keberagaman daerah. Desentralisasi asimetrik tidak lagi dipandang sebagai bentuk perlawanan daerah kepada pemerintah pusat namun seyogyanya dipandang sebagai kebutuhan untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah yang lebih sesuai dengan kapasitas, kebutuhan dan potensi yang beragam dimiliki oleh daerah. Efektivitas pemerintahan ditentukan dari kemampuan pemerintah nasional untuk mengelola keberagaman dengan memanfaatkan kapasitas unik dari setiap daerah (Tarlton, 1965). Selanjutnya adalah berkenaan dengan arti pentingnya desa dalam kajian desentralisasi. Uniknya desa di Indonesia memperoleh perhatian amat besar dari pemerintahan nasional namun ia tetaplah bukan berbentuk daerah otonom karena konstitusi membatasi daerah otonom dalam dua tingkatan saja, yakni provinsi dan kabupaten atau kota. Pada saat yang bersamaan, prinsip subsidiaritas menyampaikan bahwa urusan pemerintahan didorong untuk diselenggarakan pada unit yang paling dekat dengan masyarakat atau batas yurisdiksi dari masalah atau urusan tersebut (Bednar, 2014). Desa adalah pemerintahan tapak dalam sistem pemerintahan di Indonesia, namun tetap ia bukanlah daerah otonom yang paling rendah sekalipun. Untuk menyelesaikan persoalan posisi desa dalam sistem pemerintahan di Indonesia maka
4
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
desa dapat diposisikan dan dianalisis serta dikembangkan lebih lanjut dalam pandangan decentralization within cities (Norton, 1994). Pandangan ini menempatkan dan menghargai daerah otonom paling rendah di Indonesia, yakni kabupaten atau kota, sesuai dengan pijakan konstitusionalnya. Sekaligus pandangan ini memberikan penghargaan bagi desa untuk menjalankan prinsip subsidiaritas. Pandangan ini menempatkan desa sebagai bagian penting bagi kabupaten atau kota, dan mengatur agar kabupaten atau kota juga diselenggarakan dengan cara terdesentralisasi. Desentralisasi di dalam daerah dapat menjadi pijakan kuat dan fundamental bagi keberadaan desa. Pembinaan dan perlindungan kepada desa dapat didasarkan pada pandangan ini. Pembinaan berarti upaya untuk terus menerus meningkatkan kapasitas pemerintahan desa untuk menjalankan urusan desa dalam melayani masyarakat dan membangun desa. Perlindungan berarti ada upaya untuk tidak memberikan beban berlebih kepada desa di luar kemampuan desa untuk menanggungnya. Ada kecenderungan semua program dari hampir semua kementerian dan daerah diletakkan di desa dengan tanpa memandang kemampuan desa untuk menjalankan semuanya. Prinsip subsidiaritas tidak berarti meletakkan semuanya di desa dengan tanpa memperhatikan kemampuan desa dalam menyelenggarakannya. Selanjutnya adalah bahwa penerapan prinsip subsidiaritas dan bergesernya decentralized government menuju decentralized governance sebaiknya tetap dengan tidak mengabaikan kemampuan
5
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
pemerintah itu sendiri. Walau bagaimanapun, desentralisasi tetap berbasis pada kemampuan pemerintah mengelola beragam urusan atau layanan publik yang didesentralisasikan tersebut. Perbedaannya adalah menggeser dari posisi pemerintah sebagai direct service provider menjadi indirect service provider. Apapun posisi pemerintah tetaplah dibutuhkan aransemen yang kokoh agar kemampuan pemerintah menjalankan peran tersebut dapat optimal (Smith, 1985). Selain itu, tidak semua urusan atau layanan publik dapat semuanya diselenggarakan oleh aktor di luar pemerintah baik karena karakteristik public goods yang memang harus diselenggarakan sendiri oleh pemerintah untuk mempertahankan nilai publicness-nya, namun juga karena urusan dan layanan publik tidak dapat diserap semuanya oleh mekanisme pasar maupun altruisme. Untuk tetap memelihara kemampuan pemerintah untuk mengelola negara dan urusan pemerintahan yang kompleks tersebut maka tetaplah kita juga memperhatikan dan mengembangkan bagaimana pemerintah dijalankan. Perhatian terhadap dekonsentrasi tetaplah kita butuhkan dalam rangka hal tersebut. Penerapan asas desentralisasi tidak berarti meniadakan sama sekali dekonsentrasi (Cheema & Rondinelli, 1983, 2007). Keduanyanya dibutuhkan pada saat yang bersamaan. Untuk menghasilkan pelaksanaan desentralisasi yang baik dibutuhkan keselarasan dalam menjalankan dekonsentrasi yang tepat. Kesalahan dalam merekonstruksi dekonsentrasi dapat berakibat pada dominasi desentralisasi terhadap dekonsentrasi maupun sebaliknya.
6
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Dibutuhkan orkestrasi yang pas dalam menyusun dekonsentrasi sebagai pengejawantahan daripada kemampuan pemerintah dalam menyelenggarakan baik pelayanan publik, pembangunan, dan urusan pemerintahan umum. Kurangnya perhatian terhadap dekonsentrasi seakan akan menempatkan pandangan bahwa menghasilkan pemerintahan yang baik hanya dengan membahas desentralisasi saja, padahal sebenarnya kekuatan dan kemampuan pemerintah justeru berada di penerapan dekonsentrasi yan baik. Untuk itulah, maka buku ini juga memberikan perhatian yang memadai terhadap konsep dekonsentrasi. Harapannya adalah dihasilkannya tata kelola pemerintahan yang tidak hanya baik namun juga kokoh dalam menghadapi beragam perubahan yang berlangsung dengan cepat dan dalam skala yang luas.
7
Bab 2
SUBSIDIARITY PRINCIPLE
G
ussen (2019) mengungkapkan bahwa subsidiarity principle semula merupakan prinsip organisasi yang sudah ada sejak zaman Nabi Musa, kemudian dipindahkan menjadi pe-
mikiran sosial politik Yunani kuno, dan selanjutnya dielaborasi oleh Santo Thomas Aquinas di abad pertengahan, hingga pada akhirnya diadaptasi oleh Gereja Katolik Roma di zaman modern ini sebagai doktrin sosial. Penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana doktrin sosial tersebut dibangun dapat ditemukan pula dalam tulisan Follesdal (2014). Awalnya adalah diedarkannya ensiklik 1891 dari Paus Leo XIII’s yang bertajuk Rerum Novarum, yang berisi anjuran bahwa seharusnya negara memberikan dukungan bagi unit sosial yang
9
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
lebih rendah namun dengan tanpa mengambil atau mengakuisisi unit tersebut. Latar belakang keluarnya ensiklik ini adalah perlindungan bagi masyarakat dari eksploitasi kapitalisme dan perlindungan bagi gereja dari menguatnya sosialisme. Pemikiran ini kemudian diperkuat dan diadaptasi lebih lanjut oleh Paus Pius XI dengan mengedarkan ensiklik 1931 yang bertajuk “Quadragesimo Anno” untuk menghadapi fenomena fasisme yang menguat dan dianggap membahayakan masyarakat. Ensiklik ini menambahkan prinsip subsidiarity sebagai menurunkan kewenangan ke level bawah dan sekaligus membolehkan intervensi pemerintah pusat hanya jika organisasi bawahan tidak mampu melaksanakan sendiri kewenangan yang diembannya. Ensiklik awal menekankan subsidiarity sebagai bantuan sementara ensklik berikutnya tersebut mengkaitkan subsidiarity dengan konsep intervensi. Senada dengan keterangan Gussen di atas, Evans & Zimmermann (2014) mengungkapkan bahwa subsidiarity principle lebih berakar pada tradisi dan pemikiran barat yang kemudian berkembang menjadi landasan berpikir tentang bagaimana tata kelola kehidupan bermasyarakat seharusnya dijalankan, termasuk di dalamnya adalah bagaimana tata kelola pemerintahan juga dibangun untuk menghasilkan kehidupan yang menjamin martabat manusia lebih baik dan lebih tinggi. Bagaimana subsidiarity principle ini kemudian berpengaruh pada perikehidupan manusia dan perikemanusiaan semakin diperkuat oleh tulisan Roughneen (2017) tentang humanitarian subsidiarity.
10
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Selanjutnya, kita perlu memahami makna subsidiarity lebih mendasar lagi. Evans & Zimmermann (2014) menyampaikan bahwa konsep subsidiarity berasal dari kata “subsidium” dalam bahasa Latin yang berarti pertolongan atau bantuan (help or assistance). Kemudian, Maldonado (2004) memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa pengertian sederhana tersebut kemudian berkembang seiring dengan penggunaannya dalam konteks organisasi dan pemerintahan yang berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan kewenangan organisasi sehingga seringkali dimaknai sebagai “substitute” atau pengganti. Selanjutnya, Maldonado (2004) menyampaikan: “the point becomes an appeal beyond law to the actions, responsibilities and decisions of organizations in a lower scale as a more rational and efficient way to resolve the demands that the state and large scale organizations in general cannot satisfy: the big organization and the state are hence substituted by the smaller.“ Subsidiarity kemudian dipahami menjadi tindakan, tanggung-jawab, dan keputusan organisasi dapat diserahkan kepada unit organisasi yang lebih rendah jikalau organisasi yang lebih besar atau negara tidak dapat menyelenggarakannya dengan lebih rasional dan efisien. Dalam hal ini organisasi yang lebih rendah menggantikan organisasi yang lebih besar agar dapat menyelenggarakan urusan dan tanggung-jawab dengan lebih memuaskan. Senada dengan definisi tersebut, Bednar (2014) lebih tegas mengungkapkan pengertian subsidiarity sebagai “a systemic predilection for locating authority at the most local level feasible—has long been
11
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
admired for its ability to protect localized, diverse interests from the tyranny of a national majority.” Dalam pengertian ini, subsidiarity dimaknai sebagai kecenderungan system yang menempatkan kewenangan pada unit pemerintahan terendah. Kecenderungan ini diakui memiliki kemampuan untuk melindungi kepentingan lokal yang amat beragam dari tirani mayoritas nasional. Dari definisi ini, tampak betul bahwa subsidiarity berada dalam konteks pluralitas dan perlindungan terhadapnya. Tampak pula dengan jelas bahwa perlindungan tersebut adalah dengan menempatkan kewenangan pada unit pemerintahan yang serendah mungkin di dalam susunan pemerintahan yang berjenjang. Lebih lanjut Bednar menyampaikan bahwa subsidiarity akhirnya lebih mampu mencapai kesejahteraan sosial karena meletakkan dasar pemerintahan yang efisien dalam menyelenggarakan kepentingan publik yang beraneka ragam. Bukan sekedar efisiensi biasa yang dihasilkan namun subsidiarity lebih cenderung mampu menghasilkan apa yang disebut sebagai “adaptive efficiency”. Gussen (2019) juga mengungkapkan bahwa subsidiarity principle menjelaskan keberadaan polycentricity, sebuah konsep yang mengandung tiga kandungan makna. Pertama adalah adanya distributed system, atau yang biasa disebut juga dengan multi decision making centers. Bahwa pengambilan keputusan tidak berpusat di satu tangan, baik berupa satu penguasa maupun satu Lembaga. Kedua adalah system hukum yang menyeluruh. Bahwa tata Kelola pemerintahan berbasis pada hukum (rule of law) ketika adanya banyak Lembaga yang
12
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
menghasilkan peraturan namun dibingkai dalam satu basis hukum yang kuat dan mengikat bagi semuanya. Ketiga adalah terciptanya kondisi yang memaksa adanya kombinasi antara competition dan cooperation (istilah yang saat ini dikenal dengan coopetition). Dengan adanya banyak lembaga yang membuat keputusan maka akan sangat dimungkinkan terjadinya persaingan antara lembaga dan sekaligus menuntut mereka untuk bekerjasama satu sama lain karena sulit satu lembaga menyelesaikan tujuan bersama secara sendiri sendiri. Polycentricity dimaksudkan untuk menghindari terjadinya monopoli kekuasaan yang amat mudah tergelincir menjadi tirani. Dengan demikian, sebenarnya Gussen (2019) menyampaikan bahwa subsidiarity principle kini bergerak dari organisasi pemerintahan (government) menuju tata kelola pemerintahan (governance). Prinsip ini mempertemukan nilai plurastik masyarakat modern dengan sistem pemerintahan baik dalam bentuk negara kesatuan maupun federal sehingga menjamin eksistensi pemerintahan daerah yang mencerminkan aspirasi masyarakat setempat yang tidak dapat dihapus atau diabaikan oleh pemerintah pusat. Prinsip ini kini juga berkembang bukan hanya dalam bentuk federalisme atau hubungan pusat dan daerah saja, namun juga telah berkembang dalam kerangka multi-level governance. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Gussen tersebut, Colombo (2012) memperkuatnya dengan pernyataan sebagai berikut: “a new ‘model’ of governance has been progressively raised and subsidiarity has been increasingly recognized as the theoretical
13
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
paradigm of the model.” Dengan tegas Colombo memberikan posisi yang jelas bahwa kini subsidiarity telah berada dalam jalur paradigma governance dan terus akan berkembang dalam jalur ini. Untuk memahami subsidiarity principle dengan lebih baik dan mendalam, Endo (1994) menyampaikan ada tiga kerangka, yakni: sifat hubungan, bentuk hubungan, dan kriteria intervensi. Endo (1994) mengutarakan adanya dua sudut pandang sifat hubungan dalam memaknai subsidiarity principle: “Basically the negative concept of subsidiarity refers to the limitation of competences of the ‘higher’ organisation in relation to the ‘lower’ entity, whilst its positive concept represents the possibility or even the obligation of interventions from the higher organisation.” Dari sudut pandang negatif, subsidiarity principle mengandung konsekuensi bahwa pemerintah atasan tidak dapat melakukan intervensi jika unit pemerintahan yang lebih rendah mampu menjalankan kewenangannya dengan baik. Konsekuensi alternatif lainnya adalah bahwa pemerintah atasan tidak dapat juga ikut campur jika pemerintahan bawahan mampu menyelenggarakan kewenangannya secara mandiri. Konsekuensi terakhir adalah bahwa pemerintahan atasan tidak dapat memberikan intervensi kepada pemerintahan bawahan jika tidak ada mandat untuk melakukannya. Sementara itu, sudut pandang positif menunjukkan pandangan yang sebaliknya, yakni pemerintah atasan dapat melakukan intervensi kepada unit bawahannya jika dipandang tidak cukup cakap dalam menyelenggarakan kewenangannya, atau jika dipandang pemerintah
14
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
bawahan tidak mampu menyelenggarakannya secara mandiri. Pandangan ini juga beranggapan bahwa pemerintah atasan dapat melakukan intervensi kepada daerah bawahannya karena memang memiliki mandat untuk itu. Selanjutnya Endo (1994) juga mengungkapkan adanya tafsiran kedua berupa bentuk hubungan dalam memahami subsidiarity principle: “A second distinction is made between the territorial concept of subsidiarity and the non-territorial concept. This differentiation is parallel with a distinction known as vertical and horizontal, respectively.” Awalnya prinsip subsidiaritas ini berlangsung dalam kerangka hubungan antara sektor privat dan publik. sektor privat memiliki hubungan yang bersifat “subsidiary” terhadap sektor publik. Sektor privat ini dicerminkan dari adanya beragam kelompok seperti keluarga, kelompok kerja, kelompok keagamaan (awalnya gereja) yang kesemuanya merupakan pelengkap dari sektor publik atau negara dalam menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya. Setiap kelompok tersebut memiliki kewajibannya masing masing dan oleh karena itu dapat diberikan kewenangan untuk menjalankan fungsinya dengan tanpa intervensi dari sektor publik. Subsidiarity principle yang awalnya dikembangkan oleh Gereja Katolik pada dasarnya adalah upaya agar intervensi negara terhadap sektor privat tidak terlalu dominan. Sehingga hubungan antara gereja dan negara dapat saling terjaga independensinya. Demikian pula hubungannya dengan sector swasta maupun sosial seperti keluarga. Hubungan demikian adalah
15
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
bersifat non-teritorial atau yang kemudian biasa disebut pula dengan horisontal. Sementara itu, hubungan yang bersifat territorial kemudian berkembang ketika dalam negara ada hirarki kewilayahan, seperti pemerintah nasional, regional dan lokal. Tentu dalam hal ini, lokal merupakan bawahan dari regional, dan regional merupakan bawahan dari nasional sehingga hubungan teritorial cenderung bersifat vertikal. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa penggunaan subsidiarity principle juga telah mencakup level pemerintahan supra national, yakni international atau global government (Evans & Zimmermann, 2014; Gussen, 2019). Dalam konteks ini, sebelumnya Colombo (2012) telah mengungkapkan bahwa: “Subsidiarity is probably best known as a criterion for assigning competences to different institutional levels of government.” Pernyataan tersebut jelas menegaskan bahwa aspek teritorial juga menunjukkan adanya vertikalitas hubungan antar tingkatan pemerintahan. Subsidiarity principle digunakan untuk mengatur dan mendistribusikan kewenangan, urusan, dan pelayanan antar susunan pemerintahan sebagaiman juga disampaikan oleh Colombo (2012) bahwa: “subsidiarity is considered as a mere a principle regulating the distribution of public powers.” Ada banyak jenis kekuasaan yang dapat didistribusikan oleh pemerintah atasan kepada pemerintah bawahannya. Salah satunya adalah apa yang disampaikan oleh Bednar (2014) sebagai policy subsidiarity yang dapat diartikan sebagai “where policy authority is set at the lowest competent level of
16
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
government, is conventionally justified for two reasons: it provides the opportunity to satisfy locally divergent preferences, and it promotes efficient government.” Subsidiaritas kebijakan ini membawa kemampuan untuk memenuhi aspirasi masyarakat setempat yang amat beragam antar daerah, dan sekaligus mampu menghasilkan pemerintahan yang efisien dibandingkan jika pemerintah pusat memberikan layanan yang beraneka ragam dalam rangka memenuhi aspirasi yang berbeda antar daerah. Umumnya pemerintah pusat dapat memberikan pelayanan yang lebih efisien namun dengan cara menyeragamkan layanan kepada seluruh daerah. Tentu hal tersebut tidak dapat memberikan perlindungan bagi aspirasi yang beragam dalam masyarakat yang plural. Namun demikian, Endo (1994) sebenarnya lebih suka menggunakan hubungan yang bersifat territorial dan non-territorial dibandingkan menggunakan konsep vertikal dan horisontal. Hal ini disebabkan dalam hubungan non-territorial pada dasarnya tetap mengandung konsep vertikal dan tidak semata horisontal ketika pada dasarnya lembaga lembaga privat sebenarnya merupakan “subsidiary” bagi sektor publik. Lembaga privat cenderung inferior, sementara sektor publik lebih tampak superior dalam interaksinya. Hal ini juga tampak dalam konsep public-private partnership yang sebenarnya dibangun dalam kerangka konsep horisontal. Berbeda dari Endo, Maldonado (2004) justeru menyampaikan fenomena subsidiarity yang mengarah pada perbedaan horizontal dan vertical tersebut. Hal ini tampak dalam pernyataannya sebagai berikut: “subsidiarity
17
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
supposes the distinction of two spheres: the private on the one hand, and the state on the other, and the distribution of tasks among those different levels of political power.” Hubungan horisontal merupakan penggunaan prinsip subsidiarity dalam satu level yang sama dari kekuasaan negara dan non negara, sementara hubungan vertikal merupakan pembagian kewenangan dan urusan yang berlangsung dalam level atau susunan pemerintahan yang berbeda. Brunetta & Moroni (2012) cenderung sepakat untuk lebih menggunakan subsidiaritas vertikal dan horisontal tersebut. Bahkan mereka menyampaikan bahwa dalam kerangka vertikal, pemerintahan daerah merupakan level pertama dalam struktur pemerintahan. Konsekuensi dari urutan tersebut adalah bahwa pembagian urusan pemerintahan didahulukan pada kemampuan daerah dalam menjalankannya, untuk kemudian urusan yang tidak mampu diselenggarakan diletakkan kepada unit pemerintahan di atasnya secara berurutan. Kerangka ketiga dalam memahami subsidiarity principle menurut Endo (1994) adalah dengan memahami kriteria apa saja yang dibutuhkan pemerintah atasan agar dapat membagi kewenangan pada unit bawahan yang tepat dan agar dapat melakukan intervensi kepada unit bawahannya. Kriteria inilah yang akan dapat memungkinkan akseptabilitas pembagian kewenangan dan intervensi tersebut. Endo (1994) menyebutkan ada lima kriteria sebagaimana argumentasi berikut: “Those criteria are: the better attainment criterion, the effectiveness criterion, the efficiency criterion, the cross-boundary dimension or
18
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
effects criterion, and the necessity criterion.” Kriteria pertama “the better attainment” adalah kriteria yang menentukan bahwa sebaiknya penyerahan kewenangan diberikan pada unit atau level organisasi yang paling tepat atau mampu dalam menjalankan tugas tersebut, sementara kriteria kedua yakni “the effectiveness criterion” menunjukkan bahwa unit organisasi atau pemerintahan yang diberi kewenangan adalah unit yang mampu mencapai tujuan paling efektif. Kriteria ketiga agak berbeda dari kriteria kedua, karena lebih mementingkan kemampuan menyelenggarakan kewenangan atas urusan tertentu secara efisien. Jika unit bawahan dianggap mampu melaksanakan secara efisien maka sebaiknya diserahkan kepada unit tersebut, namun jika unit yang lebih tinggi justeru mampu menyelenggarakannya secara efisien, maka sebaiknya kewenangan tersebut diserahkan kepada unit yang lebih tinggi tersebut. Kriteria keempat cenderung menetapkan “the effects criterion” yang menempatkan dimensi wilayah dalam berlangsungnya sebuah urusan yang diselenggarakan. Jika sebuah urusan atau layanan tertentu hanya berdampak lokal setempat maka sebaiknya kewenangan tersebut diserahkan kepada unit lokal, dan begitu pula jika dampak kegiatan tersebut bersifat lintas lokal, maka urusan tersebut sebaiknya diberikan kepada unit regional. Demikian pula, jika layanan tertentu bersifat lintas regional atau berdampak strategis nasional maka sebaiknya layanan tersebut menjadi kewenangan pemerintah nasional. Jadi berdasarkan kriteria keempat ini, level organisasi yang tepat berdasarkan pada ruang lingkup wilayah terdampak dari sebuah
19
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
kewenangan, urusan, atau layanan. Kriteria terakhir adalah “the necessity criterion” yang menunjukkan bahwa pembagian kewenangan juga dapat ditentukan dari segi kemendesakan atau arti penting dan nilai strategis sebuah urusan atau layanan bagi suatu unit atau level organisasi atau pemerintahan. Jika sebuah urusan bernilai strategis dalam skala nasional maka urusan tersebut sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintahan nasional, sementara jika sebuah urusan bernilai penting bagi masyarakat setempat, maka urusan tersebut dapat diserahkan penyelenggaraannya kepada unit pemerintahan lokal. Hal ini disadari mengingat nilai strategis dan arti penting setiap urusan seringkali berbeda antara tingkatan pemerintahan. Gussen (2019) mengungkapkan bahwa untuk memahami subsidiarity principle secara ringkas dapat ditelusuri dari tiga subprinciples yang terkandung didalamnya. Pertama adalah positive version yang mensyaratkan adanya “rule of assistance”, yakni bahwa pemerintah atasan berkewajiban untuk membantu unit bawahannya ketika ia tak mampu menjalankan kewenangannya dengan baik. Pelanggaran terhadap sub-prinsip ini terjadi ketika pemerintah atasan menolak memberikan bantuan saat unit bawahan membutuhkan bantuan atau ketika terjadi kegagalan dalam menjalankan fungsinya. Kedua adalah negative version yang mengatur adanya “ban of interference”, yakni adanya larangan bagi pemerintah atasan untuk melakukan intervensi ketika unit bawahannya menyelenggarakan urusan pemerintahannya. Sub-prinsip ini juga dapat dinyatakan dilanggar
20
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
ketika pemerintah atasan melakukan intervensi kepada unit bawahan tanpa ada permintaan dari unit bawahan tersebut atau ketika tidak ada cukup alasan yang memadai untuk melakukan intervensi. Ketiga adalah sub-prinsip yang merupakan kombinasi dari dua sub-prinsip di atas. Pemerintah atasan memberikan dukungan bagi unit bawahan agar mampu membangun kapasitasnya sendiri. Sub-prinsip ini dapat dinyatakan dilanggar apabila pemerintah atasan gagal dalam memberikan bantuan agar unit bawahan menjadi lebih mandiri, dan apabila pemerintah atasan melakukan intervensi yang tidak dibutuhkan oleh unit bawahan. Sub-prinsip ketiga sesuai dengan apa yang dikutip oleh Gussen (2019) sebagai berikut: “The principle places a constitutional responsibility on higher levels of government not only to enable the autonomy of lower levels but also to provide these lower levels with necessary support.” Ketiga sub-prinsip tersebut sebenarnya senada dengan apa yang disampaikan oleh Colombo (2012) bahwa: “The subsidiarity principle states that in all forms of human coexistence, no organization must dominate and replace other weaker or smaller ones in the exercise of the latter’s functions. On the contrary, the moral duty of larger and more powerful social bodies is to bring help (from Latin subsidium afferre) to the smaller ones in the fulfillment of aspirations freely determined at this smaller level, rather than imposed from above.” Pertama tidak ada organisasi yang harus mendominasi dan menggantikan organisasi yang lebih kecil dalam menjalankan tugasnya. Hal ini mirip dengan sub prinsip
21
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
“ban of interference” seperti yang disampaikan oleh Gussen (2019). Kedua adalah berkenaan dengan kwajiban moral organisasi yang lebih besar untuk membantu organisasi yang lebih kecil untuk menjalankan tugasnya dengan lebih baik. Hal ini mirip dengan sub prinsip “rule of assistance” dari Gussen (2019). Dengan demikian, sub prinsip ketiga dari Gussen sebenarnya merupakan kombinasi yang menarik terhadap pelaksanaan subsidiarity principle dewasa ini. Perkembangan dewasa ini yang mengarah pada governance telah menambah kompleks tata kelola pemerintahan seiring dengan meningkatnya intersectoral administration (Henry, 2018) dan horizontal subsidiarity. Apa yang disampaikan Gussen sebagai sub-prinsip yang ketiga ternyata juga telah diutarakan oleh Colombo (2012) sebagai berikut: “In governance terms, subsidiarity implies that political structures, such as the nation-state or regional governments, should only intervene when this is necessary to protect the common good, and to perform those tasks that cannot be effectively carried out at a more immediate, or local, level.” Intervensi pemerintah atasan hanya dapat dilaksanakan dalam kondisi tertentu seperti melindungi kepentingan publik yang terancam apabila tiada intervensi dan meningkatkan kemampuan pemerintah bawahan untuk menyelenggarakan tugasnya dengan lebih efektif atau mengambil alih tugas pemerintah bawahan agar dapat terlaksana secara efektif. Bird & Ebel (2007) menyampaikan bahwa subsidiarity merupakan prinsip yang mendorong terjadinya desentralisasi pengambilan keputusan kepada daerah. Hal ini dipandang penting bagi negara yang
22
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
memiliki keanekaragaman yang saling bersilangan baik dari segi etnis, agama, Bahasa, budaya, dan ekonomi. Dengan adanya desentralisasi maka masyarakat yang minoritas tetap akan memiliki kemampuan menyelenggarakan pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhannya. Terkadang prinsip subsidiarity ini akan bertentangan dengan prinsip solidaritas, namun demikian terkadang pula jika masyarakat yang berbeda memperoleh kesempatan mengaktualisasikan perbedaannya maka hal tersebut justeru akan memperkuat solidaritas nasional. Bird & Ebel (2007) juga mendorong penggunaan instrumen fiskal untuk memperkuat pertemuan antara subsidiarity dan solidarity. Desentralisasi fiskal akan merupakan instrumen penting bagi daerah untuk merealisasikan kemampuannya memecahkan masalah lokal dan menyelenggarakan pelayanan publik yang lebih efektif dan efisien sehingga akan mendorong terjadinya kepuasan yang mampu meningkatkan solidaritas nasional. Solidaritas muncul karena setiap daerah merasa terlindungi keanekaragamannya dalam kerangka kesatuan nasional. Inilah instrumen yang tampaknya kontradiktif namun dapat diselenggarakan untuk mencapai tujuan bernegara yang lebih baik karena dapat menghindari terjadinya ketidak-puasan yang memicu perpecahan. Evans & Zimmermann (2014) menyampaikan bahwa implikasi dari penerapan subsidiarity principle adalah menguatnya partisipasi politik. Partisipasi masyarakat kini merupakan tuntutan masyarakat demokratis sehingga keberadaan prinsip ini telah mendorong ter-
23
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
bentuknya democratic government. Pemerintahan yang demokratis ditunjukkan dengan adanya penempatan kewenangan dan urusan pemerintahan yang memungkinkan pelibatan masyarakat yang efektif bagi masyarakat dalam level pemerintahan yang tepat untuk menyerap, mengartikulasi, dan merealisasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat tersebut. Dengan demikian, legitimasi pemerintahan dapat dicapai karena tata kelola pemerintahan mampu menjamin tercapainya hak dan kewajiban masyarakat, serta metode pemerintahan yang memungkinkan pelibatan masyarakat secara aktif dan bertanggungjawab dalam memperjuangkan nasibnya sendiri. Karakteristik demokratis ini juga mendapatkan tempat yang mendukung dalam karya Colombo (2012) jikalau kita membandingkannya pula dengan New Public Service dari Denhardt & Denhardt (2015). Colombo menggunakan konsep yang lebih sesuai dengan paradigma mutakhir administrasi publik ketika menawarkan teori subsidiarity governance, yang mengkombinasi dengan baik antara horizontal dan vertical subsidiarity. Horizontal subsidiarity dilaksanakan di setiap level pemerintahan (vertical subsidiarity). Ada tujuh Langkah untuk mewujudkan subsidiarity governance (Colombo, 2012). Pertama, Government must view the public and the users of its services as “citizens” and not just “consumers” of services. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya memandang publik dan pengguna layanan publik sebagai citizen dan bukan hanya sekedar dianggap sebagai konsumen layanan semata. Citizen dalam hal ini berposisi sebagai
24
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
“the owner of government” (pemilik pemerintah) dan bukan sekedar pengguna layanan pemerintah. Kedua, Government must view thirdsector organizations as partners, not simply contract service providers. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah seharusnya memandang organisasi sektor ketiga sebagai mitra, bukan hanya sekedar sebagai penyedia layanan yang sedang dikontrak. Organisasi sektor ketiga pada dasarnya adalah representasi masyarakat dan umumnya menggunakan mekanisme altruism dalam aktivitasnya. Ketiga, Government must involve civil society organizations in the design, not merely the delivery, of government-funded programs. Pemerintah seharusnya melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam mendesain beragam program yang didanai oleh pemerintah. Organisasi kemasyarakatan jangan hanya ditempatkan sebagai penyedia layanan publik saja, namun dilibatkan sejak dari hulunya bukan hanya di hilirnya dalam proses penyediaan layanan publik. Keempat, Government must invest in civil society organizations capacity. Pemerintah seharusnya ikut berinvestasi dalam meningkatkan kapasitas organisasi kemasyarakatan, karena kapasitas yang baik pada dasarnya juga akan membantu tugas pemerintah dalam mencapai tujuan tujuan pemerintahan yang terkait dengan pelayanan kepada masyarakat. Kelima, Government should take steps to offset the capital constraint facing civil society organizations. Pemerintah seharusnya mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk menyelesaikan hambatan permodalan yang umumnya dihadapi oleh organisasi kemasyarakatan. Keenam, Government should allow for
25
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
full cost recovery for civil society organizations, including indirect costs and costs for mission-critical functions. Pemerintah seharusnya memberikan pemulihan pembiayaan sepenuhnya yang ditanggung oleh organisasi kemasyarakatan. Termasuk di dalamnya adalah biaya tak langsung dan biaya yang harus dikeluarkan dalam menjalankan urusan penting lainnya. Terakhir, Government should monitor the evolution of the institutional structure. Pemerintah seharusnya memantau perubahan struktur kelembagaan sehingga dapat dijamin pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat dicapai dengan baik bukan hanya untuk memberikan kepuasan bagi masyarakat namun juga menempatkan masyarakat secara bermartabat sebagai citizen.
26
Bab 3
DARI DECENTRALIZED GOVERNMENT MENUJU DECENTRALIZED GOVERNANCE
T
ulisan Cheema dan Rondinelli (2007) dalam sebuah bab yang berjudul “From Government Decentralization to Decentralized Governance” telah mengubah paradigma ber-
pikir tentang desentralisasi selama ini. Jika selama ini, teori desentralisasi telah terfokus semata pada pemerintahan maka dengan tulisan tersebut, ada pengakuan besar bahwa paradigma desentralisasi juga telah berubah. Hal ini sebenarnya juga merupakan turunan dari perubahan besar dalam paradigma administrasi publik sebagaimana juga telah disampaikan oleh Nicholas Henry dalam edisi ke 13 bukunya
27
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
yang sangat terkenal Public Administration and Public Affairs (2018). Paradigma administrasi public saat ini telah berkembang pada paradigma ke enam, yakni Public Administration as Governance. Peluang terjadinya governance dalam studi administrasi publik dan politik sebenarnya sudah disampaikan oleh Arthur Maas (1959) bahwa pembagian kekuasaan sebenarnya tidak hanya berbentuk Capital Division of Power (Cdp) dan Areal Division of Power (Adp) saja, namun juga dapat berbentuk Non-governmental Division of Power (Ndp). Dengan adanya Ndp maka pembagian kekuasaan tidak hanya diserahkan kepada organ pemerintah di tingkat pusat dan subnasional saja, namun juga kepada organ di luar pemerintahan yang memiliki kemampuan untuk turut serta menjalankan fungsi-fungsi yang selama ini dimonopoli oleh organ pemerintah saja. Yang menarik adalah bahwa decentralized governance berarti melakukan pembagian kekuasaan dalam bentuk Ndp sekaligus secara vertical. Ini berarti ada kombinasi antara Ndp dan Adp. Bahwa saat ini Ndp dapat dijalankan dengan memperkuat praktek governance dalam pemerintahan subnasional. Tentu saja, dari sisi administrasi publik akan terjadi pergeseran pula dari teori dan praktek local government menuju local governance. Bahwa local public goods tidak semata dilayani oleh pemerintah daerah saja namun juga dengan melibatkan aktor di luar pemerintah daerah untuk ikut serta memberikan pemenuhan local public goods tersebut.
28
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Secara tradisional, ruang lingkup konsep desentralisasi selalu mencakup organ-organ pemerintah baik yang berada di tingkat pusat maupun lokal. Tulisan Muluk (2009) telah menjelaskan runtutan referensi yang mengacu pada cara berpikir government decentralization. Dimulai dari tulisan Alderfer pada tahun 1964 bahwa desentralisasi arti luas semula hanya mengacu pada dekonsentrasi dan desentralisasi dalam arti sempit yang dapat dipandang sebagai political decentralization ketika ia bermakna penyerahan kewenangan dan urusan kepada daerah otonom. Sementara dekonsentrasi dimaknai sebagai administrative decentralization yang pada dasarnya pemerintah pusat melimpahkan hanya kewenangan menjalankan kebijakan kepada instansi vertikalnya sendiri (field stations atau field administrators) yang berada di tingkat lokal. Senada dengan pendapat tersebut, Conyers (1983; 1986) juga menempatkan desentralisasi dalam arti luas dengan deconcentration dan devolution yang mana sama artinya dengan desentralisasi dalam arti sempit atau political decentralization. Cikal bakal decentralized governance sudah dituangkan oleh Rondinelli, Nellis dan Cheema dalam bukunya pada tahun 1983 yang berjudul “Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience.” Dalam buku tersebut, mereka memberikan definisi yang memberi peluang munculnya Governance yakni dengan menyatakan bahwa “Decentralization can be defined as the transfer of responsibility for planning, management and resource raising and allocation from the central government and its agencies to: (a) field
29
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
units of central government ministries or agencies, (b) subordinate units or levels of government, (c) semiautonomous public authorities or corporations, (d) area wide, regional or functional authorities, or (e) nongovernmental private or voluntary organization.” Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai penyerahan tanggung jawab perencanaan, pelaksanaan, dan pengumpulan serta alokasi sumberdaya dari pemerintah pusat dan badan-badan pemerintah pusat kepada: instansi vertikal, unit pemerintahan wilayah, instansi publik atau badan usaha semi-otonom, pemerintah daerah, dan organisasi swasta atau masyarakat yang bersifat non pemerintah. Selanjutnya mereka menyampaikan bahwa desentralisasi tersebut dapat dibagi dalam empat jenis yakni dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi. Dengan tegas mereka mengatakan: “They can be categorized into four types: deconcentration, delegation, devolution, and privatization.” Jelas dalam hal ini dekonsentrasi, devolusi (atau desentralisasi dalam arti sempit), dan delegasi adalah bagian dari government decentralization karena penyerahan tanggung jawab tetap kepada organ-organ pemerintah. Ketiga cara tersebut disebut oleh Cohen & Peterson (1999) sebagai administrative decentralization. Konsep Cohen & Peterson ini berbeda dari konsepnya Alderfer ataupun Conyers yang mengartikan administrative decentralization secara lebih sempit sebagai padanan dari deconcentration yakni penyerahan tanggung jawab pelaksanaan kebijakan kepada instansi vertikal maupun pemerintahan wilayah. Konsep administrative
30
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
decentralization dari Cohen dan Peterson bermakna lebih luas karena cenderung lebih pada menjumbuhkan kata administration sebagai padanan kata dari government. Hal ini terbukti dari ruang lingkupnya yang mencakup deconcentration, devolution, dan delegation. Konsep yang terakhir tersebut sebenarnya bermakna adanya penyerahan tanggung jawab tertentu dari pemerintah pusat kepada organisasi parastatal atau organisasi semi-otonom atau di Inggris biasanya disebut dengan quasy non-governmental organization (QUANGO), atau seringkali juga dalam pengalaman Indonesia disebut dengan Badan Otorita. Tanggung jawab yang diserahkan oleh pemerintah pusat biasanya mencakup kewenangan untuk membuat kebijakan sekaligus melaksanakan kebijakan tersebut. Dengan demikian, biasanya organisasi tersebut memiliki kadar otonomi yang cukup tinggi namun biasanya dalam ruang lingkup urusan yang terbatas. Seringkali pula delegation disebut dengan istilah functional decentralization. Selain tiga bentuk desentralisasi tersebut, Rondinelli, Nellis & Cheema (1983) juga merujuk pada adanya bentuk desentralisasi berupa privatization yang membagi kekuasaan kepada organisasi sektor swasta ataupun masyarakat. Jelas sekali hal ini menunjukkan arah penyerahan kewenangan dalam menyelenggarakan urusan layanan publik kepada organisasi di luar pemerintah. Dalam hal ini, sebenarnya mekanisme governance sudah dimulai. Usul tiga tokoh ini nampaknya dipengaruhi benar dengan adanya gerakan new public management yang saat itu gencar digalakkan oleh PM Margaret Thatcher dari Inggris. Gerakan
31
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
ini merupakan cikal bakal menguatnya arus governance dalam tata kelola pemerintahan di seluruh dunia. Sebagaimana diketahui, PM Margaret Thatcher amat dikenal dengan upaya merampingkan postur birokrasi pemerintahan dengan dua cara utama yakni Compulsory Competitive Tendering (CCT) dan privatization. Upaya penguatan kualitas layanan publik ini amat berpengaruh ke praktek pemerintahan di berbagai negara di dunia. Dua cara tersebut tidak mempengaruhi Amerika Serikat, namun semangat mengurangi peran pemerintah sembari memperkuat sektor swasta dengan menggunakan mekanisme pasar pada akhirnya juga mempengaruhi Amerika Serikat. Dengan gerakan Reinventing Government dari Osborne & Gaebler, pada akhirnya pemerintahan Bill Clinton juga menggunakan market governance untuk mereformasi sektor publik: merampingkan birokrasi sekaligus menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik (Denhardt & Denhardt, 2007). Saat ini, decentralized governance telah menjadi paradigma baru dalam khazanah pemerintahan daerah. Rodden & Wibbels (2019) mengungkapkan bahwa Decentralized governance merupakan hasil dari gelombang antusiasme untuk menghasilkan desentralisasi yang dapat meningkatkan dua hal yang selama ini dianggap bertentangan bahkan saling meniadakan (trade-off) yakni pemerintahan yang demokratis sekaligus efisien secara ekonomi. Secara eksplisit mereka mengatakan demikian: “wave of enthusiasm for the idea that decentralization would promote both democratic governance and economic efficiency.”
32
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Decentralized governance lebih lanjut oleh Rodden & Wibbels (2019) akan berkutat pula dengan beragam isu seperti kebutuhan dan dampak dari pemilihan umum di tingkat lokal, beragam bentuk akuntabilitas lokal, keragaman sosial yang tentu berkaitan dengan bagaimana tercipta kohesi dan sekaligus konflik sosial, struktur yurisdiksi daerah otonom, dan beragam aspek seperti manajemen keuangan daerah dan pembangunan ekonomi lokal. Pada dasarnya decentralized governance juga akan secara serius mendorong akuntabilitas tata kelola pemerintahan pada aras lokal, meskipun sebenarnya juga tidak dapat dihindari adanya multi-level governance yang mempengaruhi bobot dan bentuk akuntabilitas lokal. Dewasa ini decentralized governance telah berkembang pada beragam isu seperti isu lingkungan yang diungkapkan oleh Aben, et al. (2017). Climate change pada dasarnya adalah persoalan global dan melibatkan multi-level governance. Namun demikian, ada aksi di tingkat lokal yang tidak dapat semata dikerjakan oleh pemerintah daerah. Aben, et al. (2017) kemudian mengungkapkan bahwa: “The decentralized governance of climate change adaptation coupled with the limited financial resources available at the local government level has provided a space for the participation of many formal and informal actors.” Governance yang didesentralisir juga dapat menjadi solusi untuk meningkatkan adaptasi perubahan iklim di tengah keterbatasan sumber daya yang tersedia bagi pemerintah daerah sehingga kemudian dapat membuka ruang partisipasi bagi banyak aktor formal maupun
33
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
informal untuk terlibat. Keterbatasan sumberdaya dapat diatasi dengan pelibatan sektor non pemerintah untuk isu isu penting yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Selanjutnya kita perlu membahas ruang lingkup decentralized governance yang disusun dengan sistematis oleh Cheema & Rondinelli (2007). Referensi ini merupakan acuan pokok dalam memahami teori decentralized governance. Konsep dan praktek desentralisasi mengalami transformasi dari sekedar penyerahan kewenangan di dalam organ pemerintahan menuju pembagian kekuasaan, kewenangan dan urusan di antara lembaga atau aktor governance yang lebih luas. Cheema & Rondinelli (2007) kemudian mendefinisikan governance decentralization dengan penjelasan sebagai berikut: “Decentralization now encompasses not only the transfer of power, authority, and responsibility within government but also the sharing of authority and resources for shaping public policy within society.” Desentralisasi kini tak lagi semata penyerahan kewenangan dan urusan hanya di dalam pemerintahan saja, namun juga berbagi kuasa dan sumberdaya di dalam masyarakat untuk menentukan kebijakan publik. Decentralization within government sebagai pengertian lama desentralisasi tersebut dipertegas dengan pernyataan mereka bahwa: “Decentralization was defined as the transfer of authority, responsibility, and resources— through deconcentration, delegation, or devolution—from the center to lower levels of administration.” Bentuk desentralisasi lama adalah dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Hal ini berbeda dari bentuk
34
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
baru desentralisasi governance yang lebih bercorak bukan lagi “within government” melainkan “within society.” Lebih lanjut apa yang menjadi ruang lingkup “within society” disampaikan oleh Cheema & Rondinelli (2007) bahwa: “Decentralization could allow all three governance institutions— government, the private sector, and civil society organizations—to become more creative and innovative in responding to public needs.” Desentralisasi dalam era baru ini dapat mendorong tiga lembaga governance, yakni pemerintah, sektor swasta, dan organisasi kemasyarakatan, untuk lebih kreatif dan inovatif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, governance decentralization tidak hanya melibatkan semata organ pemerintahan di level lokal saja, namun juga unsur lembaga kemasyarakatan dan pihak swasta baik dalam pelayanan publik maupun pembangunan, serta urusan-urusan publik lainnya. Dengan demikian, mekanisme governance yang dapat diakomodasi tentu tidak hanya dalam bentuk hierarchy saja, namun juga dapat saja berbengtu mekanisme pasar dan altruisme, serta anarchy. Transformasi dari decentralized government menjadi decentralized governance dipicu oleh adanya tekanan globalisasi yang menyebabkan aktivitas ekonomi keluar dari kawasan satu negara. Globalisasi meningkatkan tekanan bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas administrasi dan fiskal dari setiap daerah baik dikawasan perkotaan maupun pedesaan agar dapat memberikan fasilitasi bagi setiap orang
35
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
maupun perusahaan yang akan terlibat dalam pasar global (Cheema & Rondinelli, 2007). Globalisasi juga menekan pemerintah daerah untuk memperkuat kapasitas warganya agar mampu menangguk manfaat dari adanya globalisasi, dan tidak justeru menjadi korban dari globalisasi. Tekanan seperti ini tentu tak hanya dapat diatasi oleh pemerintah daerah sendirian, namun juga harus melibatkan komponen masyarakat lainnya. Peluang globalisasi tetap saja menuntut kekuatan lokal untuk menghadapinya. “Localization for globalization” merupakan konsep yang dibutuhkan dan dibangun melalui governance decentralization. Untuk itu, Cheema dan Rondinelli (2007) menyampaikan beberapa tujuan dari diterapkannya governance decentralization adalah untuk melakukan percepatan pembangunan ekonomi, meningkatkan akuntabilitas politik, memperbaiki partisipasi publik dan tata kelola pemerintahan, serta memecahkan persoalan birokrasi yang hirarkis. Selain itu, tujuan governance decentralization adalah juga untuk membantu pegawai daerah dan pelaku usaha untuk memotong prosedur rumit yang berbelit, selain untuk membantu mempercepat pengambilan keputusan kebijakan dan implementasinya. Tujuan lainnya adalah untuk membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan sumber daya keuangannya serta mendorong fleksibilitas yang lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan decentralized governance juga disampaikan oleh Cheema & Rondinelli (2007). Pertama adalah meningkatnya kemampuan daerah otonom dalam
36
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
memberikan layanan publik kepada khalayak yang lebih luas dan variasi layanan yang lebih baik lagi karena pelayanan publik tidak hanya diberikan langsung oleh pemerintah daerah namun juga telah melibatkan organisasi kemasyarakatan maupun sektor swasta. Kedua adalah adanya peluang untuk memberikan perwakilan politik yang lebih besar lagi bagi daerah otonom yang memiliki variasi kelompok politik, etnis, agama dan budaya yang beragam. Umumnya memberikan ruang perwakilan yang beragam dapat menciptakan ketidakstabilan politik, namun dengan memberikan peluang pada aras lokal dengan mekanisme politik yang didesentralisasikan ke daerah maka hal tersebut memberikan peluang yang lebih besar agar semua kelompok yang berbeda terlibat dan terwakili dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ketiga adalah adanya peluang untuk membantu pemerintah untuk mencapai pembangunan regional yang lebih adil dengan memberdayakan masyarakat dan memobilisasi sumberdaya swasta dalam berinvestasi di bidang infrastrtuktur dan fasilitas publik lainnya. Kemampuan pemerintah untuk menjalankan pembangunan seringkali terbatas dan tertinggal dari kemajuan sector swasta dan masyarakat. Dengan melibatkan masyarakat dan sector swasta maka pemerintah dapat memanfaatkan potensi mereka dalam proses pembangunan. Dalam semangat yang sama, governance decentralization juga dapat digunakan untuk membangun kapasitas kelembagaan lokal untuk mencapai target Millennium Development Goals. Pelibatan potensi masyarakat dan sektor swasta juga dapat
37
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
dimanfaatkan untuk meningkatkan peluang keberhasilan implementasi kebijakan dan program untuk mengurangi kemiskinan. Di samping banyak keuntungan yang akan diperoleh dari penerapan governance decentralization, ada pula beberapa keterbatasan yang mungkin terjadi. Kemungkinan kelemahan dari konsep ini juga disampaikan secara terbuka oleh Cheema & Rondinelli (2007). Pertama adalah adanya potensi dominasi elit terhadap pemerintah daerah. Keterlibatan masyarakat sipil dan para pengusaha dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah memungkinkan terjadinya intervensi oleh mereka kepada pemerintah daerah. Hal demikian amat sangat mungkin terjadi karena kontribusi peran yang mereka mainkan dapat saja memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan daerah. Kedua adalah ketidak-mampuan daerah otonom untuk menyediakan sumber-sumber keuangan yang memadai untuk menyediakan layanan publik secara efisien. Kemampuan menarik pendapatan daerah yang sepadan dengan layanan yang diberikan serta skala ekonomi yang dimiliki dalam batas yurisdiksinya merupakan faktor penting dalam menyediakan sumber-sumber keuangan asli daerah. Ketiga adalah rendahnya kapasitas administrasi pemerintah daerah dan organisasi masyarakat seringkali juga merupakan faktor yang membatasi governance decentralization. dalam desentralisasi baru ini, dituntut bukan hanya kemampuan pemerintah daerah saja, namun kemampuan masyarakat dan pelaku usaha juga. Ada situasi ketika daerah hanya bergantung pada pemerintah daerah saja,
38
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
sementara kemampuan masyarakat dan pengusahanya rendah. Atau mungkin saja ada variasi yang berbeda, misalnya pemerintah daerah dan masyarakat kuat, sementara pelaku usaha lemah. Atau pemerintah dan pelaku usaha yang kuat namun masyarakat lemah. Keberhasilan governance decentralization akan semakin kuat jika semua elemen governance memiliki kapasitas yang sama kuatnya. Keempat adalah peluang terjadinya ketimpangan antar daerah yang semakin lebar. Potensi dan beban setiap daerah seringkali berbeda satu sama lain. Jika mereka diperlakukan sama maka kemungkinan mereka akan memperoleh hasil yang berbeda. Ketiak setiap daerah mempunyai peluang yang sama namun dengan kemampuan yang berbeda maka hasilnya adalah ada daerah yang mampu berkembang pesat dan ada daerah lainnya yang perkembangannya lambat. Dengan demikian, amatlah mungkin ketimpangan akan semakin melebar seiring dengan berjalannya waktu. Kelima adalah kemungkinan besar terjadinya korupsi dan nepotisme di tingkat lokal. Kematangan pemerintahan daerah belumlah sama, selain itu seringkali diikuti pula dengan budaya setempat yang kental dengan semangat kekeluargaan yang dapat saja menjadi pemicu tumbuh suburnya nepotisme. Ikatan kedaerahan yang menguat seringkali tidak memberikan peluang yang sama bagi semua orang untuk tumbuh dan berkembang. Hal demikian tentu akan menjadi faktor yang membatasi berkembangnya governance decentralization yang efektif.
39
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Pada dasarnya ada empat bentuk desentralisasi governance, yakni administrative, political, fiscal, dan economic decentralization dibahas & secara lebih terperinci bagiansetiap sesudah Gambar berikut yang (Cheema Rondinelli, 2007). dalam Selanjutnya bentuk desentralisasi desentralisasi dalam paradigma baru.bagian sesudah termenjelaskan sebut akanbentuk dibahas secara lebih terperinci dalam
Gambar berikut yang menjelaskan bentuk desentralisasi dalam paradigma baru.
Administrative decentralization
Political decentralization
Fiscal decentralization
Economic decentralization
Sumber: Cheema & Rondinelli (2007) Sumber: Cheema & Rondinelli (2007)
Gambar 1. Tipologi Decentralized Gambar 1. Tipologi Decentralized Governance Governance
Pertama adalah administrative decentralization yang berarti Pertama adalah decentralization yang berarti desentralisasi dalam tubuh administrative organ pemerintah sendiri, atau dengan kata desentralisasi dalam tubuhdecentralization organ pemerintahwithin sendiri,governments. atau dengan kata lain lain bisa disebut sebagai Sebabisa disebut sebagai decentralization within governments. Sebagaimana gaimana disampaikan di atas bahwa administrative decentralization disampaikan di atas bahwadua administrative decentralization dapat dijelaskan dalam pengertian. Dalam arti dapat luas dijelaskan berarti dalam dua pengertian. Dalampemerintah arti luas berarti desentralisasi dalam tubuh desen tralisasi dalam tubuh sendiri karena makna kata pemerintah sendiri karena makna kata administration yang dipersamakan dengan kata government. Dalam pengertian ini maka administrative 40 decentralization mencakup deconcentration, delegation, dan decentralized
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
administration yang dipersamakan dengan kata government. Dalam pengertian ini maka administrative decentralization mencakup deconcentration, delegation, dan decentralized cooperation of government agencies. Deconcentration (seringkali diterjemahkan sebagai dekonsentrasi dalam Bahasa Indonesia) merupakan salah satu jenis administrative decentralization dan seringkali pula bahkan disebut sebagai administrative decentralization (namun dalam pengertian yang lebih sempit). Dekonsentrasi berarti adanya pelimpahan kewenangan menjalankan kebijakan (administrasi) saja dari pemerintah pusat kepada unit atau bagiannya sendiri. Dekonsentrasi tidak mencakup penyerahan kewenangan mengatur (pembuatan kebijakan) kepada unit dan bagiannya, jadi hanya sebatas kewenangan mengurus saja. Unit atau bagian dari tubuh pemerintah pusat (kementerian atau badan pemerintah pusat lainnya) ini dapat berupa instansi vertikal (atau biasa dikenal dengan konsep field stations atau field administration), wilayah administrasi, ataupun wakil pemerintah pusat. Sementara itu, jenis yang kedua adalah delegation atau delegasi, yakni jenis administrative decentralization yang menyerahkan kewenangan dan urusan pemerintah pusat kepada badan semi otonom atau badan otorita. Umumnya kewenangan yang diserahkan meliputi kewenangan mengatur dan mengurus sehingga badan otorita ini memiliki otonomi yang memadai untuk menjalankan urusannya. Biasanya urusan yang diselenggarakan tidak bersifat multi-purpose atau multi-function namun bersifat special function atau single-
41
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
purpose. Oleh karena itu, seringkali pula delegasi ini disebut sebagai functional decentralization. Badan semi otonom atau badan otorita ini pada dasarnya adalah bagian dari pemerintah juga, sehingga jenis desentralisasi ini dikategorikan sebagai decentralization within governments. Jenis administrative decentralization yang ketiga adalah decentralized cooperation of government agencies. Jenis ini lebih berupa kerjasama antar instansi pemerintah untuk menjalankan urusan bersama atau memiliki fungsi yang berbeda namun beririsan untuk memberikan layanan bersama yang lebih baik. Kerjasama antar pemerintahan saat ini sudah melebih batas sekedar koordinasi, dan didorong terus untuk membuat kesepatan Kerjasama untuk menjalankan layanan publik yang saling mendukung satu sama lain. Keputusan kerjasama yang didesentralisasikan langsung kepada instansi pemerintah ini memungkinkan terjadinya joined-up dan whole-up government. Kerjasama yang didesentralisasikan ini juga dapat mengurangi kendala silo mentality yang seringkali mendera instansi pemerintah sehingga seringkali mengakibatkan pemborosan dan kerumitan birokrasi pemerintah. Jenis desentralisasi ini juga mencakup kerjasama antar lembaga pemerintah dari negara yang berbeda untuk menghasilkan layanan publik bersama. Era globalisasi menuntut dan membuka peluang Kerjasama antar Lembaga pemerintah lintas negara dalam menghasilkan layanan publik yang lebih memuaskan. Konsep twinning program atau sister city adalah contoh yang menarik bagi desentralisasi
42
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
jenis ini. Tentu Kerjasama ini memiliki gradasi atau derajat yang beragam dilihat dari bobot kolaborasinya. Derajat tersebut dapat dimulai dari networking, coordinating, cooperating dan yang tertinggi adalah collaborating (lihat Roberts, 2004). Bentuk decentralized governance yang kedua adalah political decentralization. Jenis pertama dalam bentuk ini adalah “citizen participation” atau partisipasi masyarakat dalam penentuan siapa yang menjadi Kepala Daerah (mayor) atau Anggota Dewan (councillor), serta dalam penentuan kebijakan publik. Jenis pertama ini dapat diartikan desentralisasi pengambilan keputusan kepada masyarakat untuk menentukan wakil masyarakat dalam pemerintahan daerah dan menentukan sendiri secara langsung dalam mengambil keputusan kebijakan publik. Metode yang digunakan dalam jenis ini adalah bisa berupa local election baik dalam memilih gubernur, bupati atau walikota maupun dalam memilih angoota DPRD. Sementara metode untuk menentukan kebijakan publik (kewenangan mengatur) dapat dilakukan masyarakat baik dalam bentuk elected member, atau partisipasi dalam perumusan kebijakan daerah, atau bahkan dalam bentuk referendum. Jenis yang kedua dalam political decentralization adalah devolution yang berarti desentralisasi dalam bahasa peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah di Indonesia atau seringkali diterjemahkan sebagai desentralisasi politik (dalam arti sempit) yang digunakan beberapa referensi lainnya. Devolution atau
43
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
desentralisasi ini berarti ada penyerahan kewenangan dan urusan pemerintah pusat oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Kewenangan yang diserahkan adalah mencakup dua hal yakni kewenangan mengatur (policy making) dan mengurus (policy executing). Kewenangan mengatur sebenarnya terjemahan dari konsep regelling, sementara kewenangan mengurus adalah terjemahan dari konsep bestuur dalam Bahasa Belanda. Disebut devolution jika ada dua jenis kewenangan tersebut yang diserahkan kepada daerah, bukan hanya satu di antara keduanya. Sementara urusan yang diserahkan biasanya bersifat shared functions or affairs atau dengan kata lain adalah urusan konkuren. Dalam unitary state, daerah otonom tidak memiliki urusan yang bersifat absolut atau exclusive. Jenis yang ketiga dalam political decentralization adalah powersharing institutions within the state, yakni pembagian kekuasaan antar Lembaga Negara dalam bentuk Areal Division of Power. Jenis yang ketiga ini merujuk pada federalism, constitutional federations, atau autonomous regions. Dalam hal ini tampak dengan jelas bahwa jenis ini lebih mendekati bentuk yang biasanya berlaku di negara federal yang membagi kedaulatan antara negara induk (biasanya disebut dengan federal state) dan negara anggota (biasanya disebut dengan state atau component state). Dewasa ini seringkali pula suatu negara tidak berbentuk negara federal murni atau negara kesatuan murni karena adakalanya terjadi percampuran di dalamnya. Sebagai contoh misalnya Rusia yang memiliki pemerintahan sub-nasional yang se-
44
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
bagian berbentuk negara bagian (republics) sementara yang lainnya berbentuk daerah otonom semacam provinsi di negara kesatuan (oblasts). Contoh lainnya adalah Australia yang memiliki beberapa negara bagian (state) dan semacam provinsi di negara kesatuan yakni Northern Territory. Khusus pada jenis autonomus regions dalam hal ini merujuk pada bagian dari suatu negara yang disusun berdasarkan prinsip asymmetric decentralization. Ada suatu daerah yang didesentralisasi secara berbeda dari daerah lainnya. Asimetri ini bisa disebabkan oleh pertimbangan politik maupun administrasi. Pembentukan Daerah Khusus Bangkok dan Pattaya di Thailand merupakan contoh dari pertimbangan administrasi, sementara Daerah Istimewa Aceh, dan Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan merupakan contoh desentralisasi asimetrik yang didasarkan pada pertimbangan politik. Jenis yang keempat dalam political decentralization adalah freedom of association and participation of civil society organizations. Jenis ini memberikan peluang bagi organisasi masyarakat sipil untuk turut serta dalam proses tata kelola pemerintahan. Ada tiga aktor penting dalam governance, yakni pemerintah, sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan. Actor ketiga tersebut akan berkembang dengan baik kemampuan dan kontribusinya dalam tata kelola pemerintahan jika diberikan kebebasan bagi masyarakat untuk berserikat atau untuk membentuk organisasi kemasyarakatan sesuai dengan aspirasi, kepentingan dan kebutuhannya. Tanpa ada kebebasan tersebut
45
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
maka sebenarnya akan mengurangi kapasitas masyarakat untuk berkontribusi dalam proses governance. Membebaskan masyarakat untuk berserikat itu artinya mendesentralisasikan kewenangan pemerintah dalam mengatur masyarakat. Peran organisasi kemasyarakatan saat ini tidak hanya terlibat dalam pembentukan kebijakan namun juga dalam memberikan layanan publik. Keterlibatan masyarakat yang lebih aktif akan memudahkan peran pemerintah untuk mengubah perannya dari direct service provider menjadi indirect service provider. Peran regulasi pemerintah dapat dipermudah tidak hanya dengan melibatkan masyarakat dalam penyusunan regulasi namun juga dengan melibatkan masyarakat dalam penyediaan layanan publik yang tidak semuanya dapat disediakan secara langsung oleh pemerintah. Tuntutan masyarakat yang berkembang lebih cepat daripada kemampuan pemerintah memenuhinya dapat diatasi dengan melibatkan masyarakat untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan publik yang lebih baik. Organisasi kemasyarakatan memiliki mekanisme altruisme yang memungkinkan masyarakat dapat menyelesaikan banyak persoalan yang tidak dapat semuanya diselesaikan oleh pemerintah. Voluntary organization dapat memberikan layanan kepada masyarakat dan menutup lubang layanan publik yang tak dapat sepenuhnya diselesaikan oleh pemerintah. Terlalu banyak harapan yang digantungkan pada pemerintah namun kemampuannya dibatasi oleh sumberdaya yang tersedia. Pelibatan masyarakat menjadi keharusan dalam paradigma governance. Jenis desentralisasi ini dibutuhkan dalam menjalankan paradigma tersebut.
46
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Gambar 2. Beragam Cara dalam Decentralized Governance Sumber: Cheema & Rondinelli (2007)
Selanjutnya adalah bentuk decentralized governance yang ketiga yakni fiscal decentralization. Desentralisasi kewenangan dan urusan seringkali masih dianggap kurang memadai jika tidak disertai dengan desentralisasi fiskal. Braun & Grote (2002) memberikan definisi desentralisasi fiskal yang mencakup kewenangan untuk memperoleh pendapatan atau akses terhadap dana transfer dan pengambilan keputusan terhadap pengeluaran rutin dan investasi. Sementara itu, Tanzi (2002) menyampaikan bahwa ada beberapa tekanan untuk menjalankan desentralisasi fiskal. Pertama adalah bahwa dengan semakin menguatnya demokrasi maka semakin besar pula tuntutan
47
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
untuk memperhatikan aspirasi dan pilihan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat baik berbasis pada pengelompokan tertentu maupun daerah tertentu. Hal tersebut mendorong adanya kebutuhan pengambilan keputusan di tingkat lokal baik tentang penerimaan maupun pengeluaran yang mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Pengambilan keputusan oleh pejabat pemerintah pusat akan dipandang terlalu jauh dari aspirasi masyarakat setempat. Kedua berkaitan dengan menguatnya globalisasi yang membuat ruang lingkup pasar tidak lagi mengikut batas batas fisik nasional. Aktivitas ekonomi semakin mendekat kepada pasarnya, dan seringkali aktivitas ekonomi di suatu daerah akan langsung berhubungan dengan pasar di daerah dari negara lain. Koneksi langsung ini membutuhkan hubungan antar pasar yang tidak lagi mengikuti ruang lingkup pasar nasional ini menyebabkan hubungan antar daerah antar negara menjadi hal yang biasa di era globalisasi. Memaksanya harus melalui jalur nasional terlebih dahulu akan menyebabkan rantai informasi dan hirarki keputusan yang lebih banyak sehingga akan mengurangi daya saing. Untuk itu, dibutuhkan kecepatan pengambilan keputusan fiskal di tingkat daerah untuk mendorong aktivitas ekonomi yang lebih berdaya saing. Ketiga, bagi daerah yang secara ekonomi mampu cenderung akan menuntut desentralisasi fiskal yang lebih tinggi agar mampu mengelola lebih banyak sumber pendapatan dan sekaligus pengeluarannya secara mandiri. Daerah kaya juga berupaya agar sumber daya yang dimilikinya tidak terlalu terserap banyak oleh pemerintah pusat dalam
48
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
rangka redistribusi pendapatan. Hal ini disadari untuk memberikan kesejahteraan optimal bagi masyarakat daerahnya. Ada tiga cara dalam desentralisasi fiskal ini, yakni: fiscal cooperation, fiscal delegation, fiscal autonomy. Pertama adalah fiscal cooperation (Kerjasama fiskal) dalam bagi hasil penerimaan antar susunan pemerintahan. Misalnya antara pemerintah pusat dan daerah atau antara Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Cara ini juga seringkali dikenal dengan konsep intergovernmental fiscal cooperation (IFC) sebagaimana digunakan oleh Ter-Minassian (2020). Selanjutnya disampaikan pula bahwa kerjasama fiskal ini membawa manfaat untuk menghindari terjadinya inefisiensi apabila sumber pendapatan harus ditarik secara mandiri oleh setiap susunan pemerintahan. Selain itu, kerjasama fiskal ini dibutuhkan saat tidak setiap susunan pemerintahan memiliki kapasitas menarik pajak tertentu sehingga dengan cara kerjasama akan meningkatkan efektivitas penarikan pajak tersebut. Dengan kerjasama fiskal maka akan memudahkan terjadinya pertukaran informasi antar susunan pemerintahan, serta mengatasi persoalan eksternalitas negatif sekaligus meningkatkan eksternalitas positif ketika obyek pajak memiliki irisan yang tumpang tindih dalam batas yurisdiksi setiap susunan pemerintahan. Kendaraan bermotor misalnya seringkali berjalan di atas fasilitas jalan lintas kabupaten atau kota dan bahkan provinsi sehingga pajaknya sebaiknya ditarik dalam bentuk kerjasama fiskal antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten atau kota. Nanti dilakukan bagi hasil antar susunan pemerintahan tersebut.
49
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Selanjutnya, ada beberapa bentuk fiscal cooperation sebagaimana disampaikan oleh Ter-Minassian (2020). Pertama kerjasama fiskal dapat berlangsung secara vertikal (antara pemerintah pusat dan daerah) atau horisontal (kerjasama antar susunan pemerintahan yang setara, misalnya antar provinsi atau antar kabupaten atau kota). Kedua, kerjasama dapat berlangsung secara multilateral (beberapa susunan pemerintahan sekaligus dan dalam jumlah banyak daerah) atau bilateral (Kerjasama yang berlangsun antara dua daerah atau antara pemerintah pusat dengan satu provinsi atau satu kabupaten/kota tertentu saja). Ketiga adalah kerjasama dengan ruang lingkup luas (banyak obyek pajak yang dikerjasamakan) atau sempit (satu atau sedikit obyek pajak yang dikerjasamakan). Keempat adalah kerjasama bersifat kaku atau lunak. Kaku apabila kesepakatan Kerjasama mengikat kuat pihak pihak yang bekerjasama dan ada hak veto untuk pengambilan keputusan. Lunak apabila semua kesepakatan yang dicapai masih dapat ditinjau ulang dan selalu ada ruang untuk penyesuaian apabila ada perubahan situasi dan kepentingan dari para pihak yang bekerjasama. Kelima adalah berkaitan dengan pengambilan keputusan kerjasama, apakah diambil oleh pihak legislatif atau dewan, ataukah diambil oleh pemerintah saja, ataukah bersama antara dewan dan pemerintah. Tentu siapa pengambil keputusan ini akan mempengaruhi kekuatan dan efektivitas kerjasama dan perolehan bagi hasilnya. Cara kedua dalam desentralisasi fiskal ini adalah fiscal delegation. Cheema & Rondinelli (2007) sendiri menyebutkan cara ini
50
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
dengan kalimat yang lebih utuh “fiscal delegation in public revenue raising and expenditure allocation” yang berarti adanya pendelegasian oleh pemerintah pusat dalam hal penarikan pendapatan dan alokasi belanja kepada daerah otonom. Tentu hal ini mirip dengan pengertian fiscal decentralization pada umumnya (Braun & Grote, 2002). Dengan demikian, ada dua pengertian fiscal decentralization. Pertama adalah pengertian dalam arti luas yang mencakup fiscal cooperation, fiscal delegation dan fiscal autonomy. Kedua adalah pengertian dalam arti sempit yang sepadan dengan konsep fiscal delegation. Selain itu, ada dua jenis delegasi fiskal ini, yakni simetrik dan asimetrik (Ahmad & Tanzi, 2002). Delegasi simetrik jika pemerintah pusat menyerahkan kewenangan untuk mengelola keuangan daerah (baik untuk mengumpulkan penerimaan maupun melakukan pengeluaran daerah) kepada daerah dengan cara dan besaran kewenangan yang sama. Sementara itu, disebut asimetrik jika kewenangan fiskal pada suatu daerah berbeda dari daerah lainnya. Saat ini ada kecenderungan besar untuk menggunakan metode asimetrik ini baik karena pertimbangan pemenuhan tuntutan politik maupun pertimbangan memperbesar efektivitas administrasi. Asymmetric fiscal decentalization ini dapat mencakup perbedaan antar daerah dalam menerima besaran dan skema dana transfer dari pemerintah pusat, kemudian perbedaan dalam menerima dana bagi hasil antar susunan pemerintahan, serta perbedaan dalam otonomi fiskalnya (Cahyaningsih & Fitrady, 2019).
51
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Cara ketiga dalam desentralisasi fiskal adalah fiscal autonomy yang mencakup pengertian adanya hak untuk menghasilkan pendapatan sendiri untuk digunakan membiayai (pengeluaran) layanan publik yang menjadi urusan dan kewenangannya (Isufaj, 2017). Fiscal autonomy juga dapat dimengerti sebagai kemandirian fiskal yang menghitung kemampuan daerah untuk membiayai sendiri belanja daerahnya (Ter-Minassian, 2020). Hal ini berarti bahwa pendapatan asli daerah benar benar mampu menjadi tulang punggung pengeluaran daerah. Ahmad (1998) bahkan mengungkapkan bahwa seringkali terjadi ketidak-sepadanan (mis-match) antara otonomi politik dan otonomi fiskal. Banyak daerah yang memiliki otonomi politik yang besar yang ditandai dengan adanya kewenangan yang besar untuk mengatur dan mengurus urusan atau layanan publik yang diserahkan oleh pemerintah pusat, sementara hal tersebut tidak diikuti dengan otonomi fiskal yang memadai karena pendapatan daerah justeru bergantung pada pendapatan transfer dari pemerintah pusat dibandingkan pada pendapatan asli daerahnya. Terakhir adalah bentuk decentralized governance yang keempat, yakni economic decentralization. ada empat jenis desentralisasi dalam bentuk ini, yakni: Market liberalization, Deregulation, Privatization of state enterprises, Public-private partnerships. Jenis yang pertama, yakni market liberalization. Jenis ini semakin menguat ketika mekanisme pasar digunakan untuk mengurangi mekanisme hirarki dalam governance. Mekanisme hirarki yang mengandalkan kepatuhan masya-
52
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
rakat kepada pemerintah sehingga kebutuhan masyarakat (berupa public goods) hanya dipenuhi semata oleh pemerintah kini tak lagi memadai ketika menghadapi kebutuhan masyarakat yang semakin besar, beragam, dan berubah. Mekanisme pasar menjadi alternatif ketika pertemuan antara kekuatan penawaran dan permintaan (catallaxy) memberikan pasokan pemenuhan kebutuhan masyarakat secara kreatif dan berkelanjutan. Untuk itu dibutuhkan penguatan dan pembebasan terhadap mekanisme pasar sehingga kekuatan pasar dapat membantu pemerintah memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Donahue & Nye (2001) menyebutkan bahwa saat ini telah berkembang “bigger and better market” dengan mempertimbangkan tiga hal, yakni: scope, sophistication, dan legitimacy. Pertama adalah Ruang lingkup (scope) pasar yang saat ini terus semakin berkembang. Tidak sekedar berjalan di aras lokal yang terbatas, bahkan saat ini pertukaran barang dan bertemunya penjual dan pembeli sudah sulit dibatasi dalam area yang terbatas lagi. Globalisasi telah membuat ruang lingkup pasar dengan mudah menjadi meluas. Penjual dan pembeli bahkan tidak perlu lagi bertemu dalam satu ruang atau tempat yang sama, dan bahkan transaksi bisa berjalan secara asinkron baik dari sudut pandang waktu maupun ruang. Pertemuan pembeli dan penjual saat ini sudah tidak lagi tidak lagi berada dalam suasana tradisional. Ruang lingkup bahkan sudah menjadi unlimited. Mekanisme yang berkembang pesat ini menyebabkan kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan publik dengan fleksibilitas yang tinggi se-
53
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
hingga memudahkan masyarakat untuk tak lagi bergantung pada pemerintah. Kedua adalah sophistication, yakni tingkat kerumitan dan kompleksitas pasar yang semakin meningkat. Semakin banyak penjual yang sulit dibatasi, semakin banyak dan beragam dari tuntutan pembeli, semakin banyak saluran informasi yang dapat digunakan, semakin banyak jenis dan model transaksi yang dapat digunakan, semakin banyak pesaing, komplementer, dan substitusi membuat pasar semakin rumit. Ketiga adalah legitimacy, yakni semakin menguatnya peran pasar dirasakan oleh masyarakat sehingga kekuatan pasar bahkan dapat menentukan arah kebijakan dan proses politik. Administrative lag yang menunjukkan pertumbuhan kebutuhan masyarakat yang mengikuti deret ukur sementara pengembangan kapasitas pemerintah yang mengikuti deret hitung membuat jarak yang semakin melebar antara pertumbuhan kebutuhan masyarakat dengan kemampuan pemerintah dalam memenuhinya. Dalam situasi tersebut tentu mekanisme non hirarki akan semakin dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian mekanisme pasar semakin menemukan arti pentingnya dalam tata kelola pemerintahan. Dalam hal ini, legitimasi terhadap mekanisme pasar menjadi semakin menguat di masa masa yang akan datang. Untuk menjamin mekanisme pasar semakin bermanfaat dalam membantu pemerintah memenuhi kebutuhan publik maka dibutuhkan persaingan yang lebih efektif antar pelaku usaha sehingga dibutuhkan pula pasar yang lebih terbuka.
54
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Jenis economic decentralization yang kedua adalah deregulation, yakni penghapusan atau pengurangan kendali regulasi yang membatasi penyediaan barang dan pelayanan publik oleh pihak swasta yang biasanya dimonopoli oleh pemerintah atau Lembaga yang dikuasai oleh pemerintah (Cohen & Peterson, 1999). Dengan melakukan deregulasi, pemerintah dapat memberdayakan perusahaan swasta dan organisasi kemasyarakatan (sektor non pemerintah) untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Hal ini dapat membantu mengurangi beban pemerintah baik dari sisi kemampuan dan keuangan, sehingga dapat mengurangi ukuran dan kehadiran pemerintah secara langsung dalam memenuhi kebutuhan publik. dengan demikian, deregulasi diharapkan dapat menghadirkan pelayanan publik yang lebih berkualitas dan memuaskan. Sementara itu, Beesley (1997) mengungkapkan: “Deregulation is they key move to create effective competition.” Deregulasi dibutuhkan untuk membentuk persaingan yang efektif. Hal senada juga disampaikan oleh Ramesh & Howlett (2006) bahwa deregulasi dibutuhkan untuk meningkatkan kompetisi yang lebih sehat dengan mengurangi regulasi, yakni kontrol dan komando pemerintah. Regulasi sendiri sebenarnya adalah salah satu instrumen kebijakan (policy instrument) yang bersifat compulsory. Biasanya instrumen ini digunakan untuk mengendalikan pelayanan publik dan membutuhkan kepatuhan bagi kelompok target yang dimaksud oleh suatu kebijakan.
55
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Pada dasarnya deregulasi merupakan arah yang berkebalikan dari regulasi. Ramesh & Howlett (2006) menyampaikan bahwa ada beragam bentuk regulasi sebagaimana pernyataan berikut: “Regulations take various forms and include rules, standards, permits, prohibition, laws and executive orders among others.” Mereka juga menyampaikan beberapa kelemahan regulasi. Pertama, regulasi sering terdistorsi oleh organisasi swasta dan masyarakat sehingga meningkatkan inefisiensi ekonomi. Kedua, regulasi seringkali menghambat inovasi dan kemajuan teknologi karena keamanan pasar membutuhkan stabilitas yang lebih pasti. Ketiga, regulasi seringkali terlalu kaku dan menyebabkan kurang fleksibel dalam memenuhi perbedaan preferensi dan kebutuhan khusus masyarakat. Keempat, secara administrasi, regulasi sama sekali tidak menyukai kondisi kondisi tertentu yang terlalu berbeda dan apalagi yang bersifat “undesired”. Yang terakhir, regulasi menuntut biaya tertentu yang seringkali amat besar dalam penegakannya. Dibutuhkan biaya untuk pengumpulan informasi, penyelidikan, penyidikan, sidang dan pemberian sanksi dalam menegakkan regulasi. Dari seluruh kelemahan regulasi ini, maka untuk mengurangi biaya dan memperkuat mekanisme pasar agar muncul persaingan yang lebih efektif antara sector publik dengan swasta, dan antar pihak swasta sendiri maka dibutuhkan deregulasi. Beragam bentuk deregulasi seperti delegated regulation atau selfregulation. Professional regulation misalnya yang membiarkan lembaga profesi kedokteran mengatur dirinya sendiri sehingga standar profesi
56
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
kedokteran ditegakkan oleh lembaga di luar pemerintah. Selain biaya yang lebih murah bagi pemerintah, standar pencapaian dan pemenuhan etika kedokteran dapat dipenuhi sendiri oleh masyarakat kedokteran secara efektif. Jenis yang ketiga dari economic decentralization adalah privatization of state enterprises yang berarti swastanisasi perusahaan negara atau BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau adanya peralihan kepemilikan suatu BUMN dari semula dimiliki sebagian besar atau sepenuhnya oleh pemerintah menjadi sebagian besar atau sepenuhnya dimiliki pihak swasta. BUMN yang besar dan tidak efisien sangatlah membebani perekonomian negara-negara sedang berkembang, terutama bagi negara miskin. Privatisasi BUMN dianggap dapat memberi beberapa manfaat (World Bank, 1995), yakni: menyediakan kualitas layanan publik yang lebih baik dengan harga yang lebih murah; meningkatkan ketersediaan sumber daya kesehatan, pendidikan, dan belanja sosial lainnya; serta meningkatkan stabilitas fiskal. Semua manfaat ini dapat membantu percepatan pertumbuhan ekonomi. Reformasi BUMN bukanlah pekerjaan mudah karena disertai pula dengan biaya politik. Hambatan politik merupakan penyebab utama bagi lambatnya reformasi BUMN di masa lalu. Privatisasi BUMN tidak dapat dilakukan tanpa dukungan pemerintah, karena ia mengakibatkan adanya pembatasan kerja dan pemotongan subsidi yang telah berlangsung lama. Tidak mengejutkan jika para politisi menimbang secara hatihati setiap perubahan kebijakan BUMN karena akan mempengaruhi kemanfaatan atas konstituennya dan mempengaruhi kekuasaannya.
57
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Keberhasilan reformasi BUMN dalam bentuk privatisasi membutuhkan tiga syarat politik (World Bank, 1995), yaitu: Pertama, adanya kemauan politik (political desirability) dari para pemimpin dan konstituennya. Hal ini dapat terjadi jika manfaat politik lebih besar dari biaya politik yang biasanya disebabkan karena ada pergantian rezim atau perubahan koalisi sehingga status quo kehilangan kekuasaannya. Pemicunya seringkali adalah krisis ekonomi yang menyebabkan subsidi BUMN menjadi terlalu mahal sehingga menuntut reformasi terhadap status quo. Bagi negara yang belum siap mereformasi BUMN, maka terdapat beberapa langkah yang terlebih dahulu harus dilakukan sehingga meningkatkan kesiapannya, yakni: mengurangi defisit fiskal, mengurangi rintangan perdagangan, dan menghilangkan rintangan terhadap pendatang baru di bidang perekonomian, dan memprakarsai reformasi sektor finansial. Kedua, adanya kelayakan politik (political feasibility), yang berarti bahwa para pemimpin harus memiliki cara untuk menerapkan perubahan dan mengatasi oposisi terhadap reformasi. Jika mereka belum memiliki kesiapan ini, maka terlebih dahulu harus mempersiapkannya dengan membatasi halangan terhadap penciptaan lapangan kerja swasta, dan dengan melepaskan kaitan antara pekerjaan-pekerjaan di BUMN dengan mandat pelayanan sosialnya. Ketiga, adanya kredibilitas (credibility). Investor harus percaya bahwa pemerintah tidak akan merenasionalisasi perusahaanperusahaan hasil swastanisasi. Selain itu, karyawan BUMN dan yang lainnya yang takut kehilangan akibat reformasi harus percaya bahwa
58
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
pemerintah akan menyediakan janji kompensasi di masa depan. Jika pemerintah belum memiliki kesiapan dalam faktor ini, maka ia sebaiknya meningkatkan reputasinya dan menetapkan batasan-batasan domestik dan internasional (dengan menjamin hak kepemilikan dan pakta perdagangan serta kesepakatan multilateral). Negara yang telah siap mereformasi BUMNnya adalah negara yang telah memenuhi tiga syarat politik di atas. Mereka menghadapi banyak pilihan dalam melakukan reformasi dan menangani setiap BUMN. Keputusannya akan sangat bergantung pada sifat pasar, perusahaan itu sendiri, dan kemampuan negara tersebut untuk divestasi dan regulasi (berkaitan dengan pasar monopoli). Pemanfaatan pohon keputusan (decision tree) merupakan salah satu cara yang bermanfaat dan sangat membantu dalam pengambilan keputusan tersebut (World Bank, 1995). Pertama, para pengambil kebijakan mengklasifikasi BUMN ke dalam dua jenis, yakni: BUMN yang berjalan dalam pasar kompetitif atau secara potensial kompetitif (biasanya BUMN manufaktur dan jasa), dan BUMN yang bekerja dalam pasar monopoli alamiah ketika regulasi diperlukan untuk melindungi konsumen (biasanya BUMN yang bergerak dalam penyediaan utilitas dan infrastruktur). Kedua jenis ini dapat didivestasi secara transparan dan kompetitif, dan untuk jenis yang kedua juga diperlukan adanya struktur regulasi yang kredibel. Untuk divestasi keduanya, terdapat beberapa pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan oleh para pengambil keputusan
59
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
(World Bank, 1995). Pertanyaan tersebut adalah: pertama, apakah lebih baik dimulai dari BUMN besar atau kecil ? menjual BUMN besar akan menghasilkan perolehan manfaat potensial yang lebih besar. Hal ini juga menunjukkan adanya keseriusan terhadap reformasi, dan jika berhasil dapat menambah konstituen proreformasi. Sebaliknya, jika dimulai dari BUMN kecil maka akan menambah pengalaman sebelum menangani BUMN besar dan memberikan kesadaran bahwa kapasitas birokrasi merupakan faktor yang membatasi. Kedua, apakah pemerintah harus merestrukturisasi keuangan BUMN terlebih dahulu sebelum menjualnya? Meskipun restrukturisasi diperlukan, investasi baru jarang sekali pulih dalam harga penjualan. Meski demikian, asumsi pemerintah tentang hutang BUMN tersebut adalah satu-satunya cara yang layak untuk menjual BUMN yang memiliki hutang melebihi nilai jual asetnya. Ketiga, apakah pemerintah harus memberhentikan para pekerja sebelum menjual suatu BUMN? hal ini terkadang perlu diambil karena investor takkan membeli perusahaan yang sering ditimpa pertikaian perburuhan. Selain itu, pemerintah lebih dapat mengatasi persoalan tersebut ketimbang swasta, terutama yang berkenaan dengan dampak sosialnya. Selain hal di atas, beberapa pertimbangan lain yang layak diperhatikan pemerintah, adalah: kontrak regulasi bekerja lebih baik ketika pemerintah mengurangi manfaat informasi perusahaan melalui kompetisi; regulasi harga akan lebih efektif jika perusahaan tetap memperoleh manfaat dari kinerja yang meningkat saat melayani konsumen tertentu dalam bentuk harga yang lebih murah; kontrak
60
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
regulasi yang kredibel akan mengurangi biaya bagi konsumen. Bagi BUMN yang tak dapat diswastanisasi, para pengambil kebijakan dapat mengembangkannya dengan mengambil beberapa kebijakan khusus (Wolrd Bank, 1995), yang dapat terdiri dari: memperkuat kompetisi sehingga mampu menciptakan insentif bagi kinerja yang meningkat; mengakhiri subsidi dan transfer; memberikan otonomi kepada para manajer guna merespons kompetisi dan meminta akuntabilitas atas hasilnya; serta hanya menggunakan kontrak kinerja ketika mereka berupaya menyelesaikan persoalan-persoalan pokok. Jenis yang keempat dari economic decentralization adalah public-private partnerships atau kemitraan antara sektor pemerintah dan swasta. Jenis ini dapat dimengerti dalam tiga cara (Savas, 2000). Pertama adalah Kerjasama antara sektor pemerintah dan swasta dalam menghasilkan dan menyediakan barang dan layanan publik. Kerjasama tersebut dapat berlangsung dalam skema kontrak maupun hibah. Cara kedua adalah berupa pembangunan infrastruktur yang seringkali dilaksanakan oleh pihak swasta dengan pembiayaan sepenuhnya dari pemerintah. Cara ini merupakan cara yang lazim dilakukan karena keterbatasan pemerintah untuk secara mandiri melaksanakan proyek pembangunan. Sementara itu, cara ketiga adalah kolaborasi antara sektor pemerintah dan swasta dalam penyediaan prasaranan perkotaan. Dalam hal ini bisa saja pemerintah yang melakukan regulasi sementara swasta melaksanakan regulasi tersebut untuk membangun prasarana yang dibutuhkan masyarakat atas biaya sepenuhnya dari
61
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
pihak swasta. Pemanfaatan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk membangun beberapa sarana dan prasarana seperti jalan atau jembatan yang digunakan untuk kepentingan masyarakat merupakan contoh dari cara tersebut. Fasilitas umum yang harus disediakan oleh setiap pengembang juga merupakan contoh dari cara ini. Dewasa ini kemitraan antara sector swasta dan pemerintah ini semakin kuat dan beragam caranya seiring dengan menguatnya paradigma governance dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah.
62
termasuk
pemerintahan
Bab 4
DESENTRALISASI ASIMETRIK
D
ewasa ini di Indonesia, yang jelas merupakan sebuah negara kesatuan, mulai ditemukan banyak kajian desentralisasi asimetrik yang pada dasarnya merujuk pada
banyak literatur yang berkonteks negara federal. Tentu hal ini merupakan fenomena yang menarik diperhatikan umtuk melihat perkembangan pemikiran tentang konsep tersebut. Hal ini perlu dicermati untuk menimbang apakah terjadi pergeseran dari praktek negara kesatuan menuju ke arah negara federal ataukah masih tetap berada dalam koridor negara kesatuan. Selain itu, perlu dicermati perkembangan tentang beragam kajian yang ada tentang berbagai hal
63
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
yang menyangkut asymmetric decentralization. Apakah istilah tersebut benar benar hanya berlaku bagi negara kesatuan atau juga istilah yang digunakan secara silih berganti dengan asymmetric federalism. Di banyak negara, persoalan desentralisasi simetrik atau asimetrik, dan desentralisasi yang dijalankan secara incremental maupun non incremental pada dasarnya merupakan hasil dari tekanan politik dan sejarah pembentukan negara tersebut. Dengan demikian, tentu saja profil desentralisasi antar negara akan berbeda satu sama lain. Republik Indonesia misalnya, sejarah panjang pembentukan negara mengerucut pada kesepakatan founding fathers bahwa bentuk negara adalah negara kesatuan dengan menjalankan desentralisasi serta menghormati daerah tertentu yang diperlakukan berbeda (Daerah Istimewa) sepanjang masih berada dalam koridor negara kesatuan. Desentralisasi juga memiliki pengertian bahwa beberapa urusan pemerintahan tertentu akan lebih baik dikelola oleh pemerintah pusat, sementara urusan lainnya akan lebih efektif ditangani oleh pemerintahan subnasional (daerah). Dari sudut pandang teoritik, gagasan mendesentralisasikan seluruh kewenangan dan urusan pemerintahan kepada unit pemerintahan daerah dapat dipandang sebagai desain desentralisasi yang dianggap kurang tepat mengingat bahwa desentralisasi berarti menyerahkan urusan kepada daerah otonom. Penyerahan tersebut dipandang tepat jika daerah otonom tersebut memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan urusannya secara efektif sesuai dengan kewenangan
64
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
yang dimilikinya. Mengingat bahwa setiap daerah memiliki kemampuan yang berbeda beda, maka menyerahkan urusan yang sama dengan kewenangan yang sama kepada semua daerah maka akan dipandang sebagai suatu hal yang kurang tepat. Hal ini akan memungkinkan daerah untuk tidak menyelenggarakan semua urusannya dengan efektif, atau daerah hanya akan memilih menyelenggarakan urusan yang mampu ditanganinya saja, dan membiarkan urusan yang tak mampu ditanganinya. Pada situasi pembiaran tersebut, seringkali pemerintah pusat atau pemerintahan pada tingkaatan yang berbeda tidak dapat dengan serta merta mengambil alih urusan yang kurang tertangani dengan baik tersebut, sebelum ada penyerahan urusan tersebut. Dengan demikian, akan terdapat urusan atau layanan publik tertentu yang tidak dijalankan dengan baik oleh suatu susunan pemerintahan tertentu. Dalam hal ini masyarakat yang seharusnya memperoleh layanan publik akan menjadi amat dirugikan. Dari sudut pandang desentralisasi layanan publik, dialektika antara Model Tiebout (1956) dan teorema Oates tentang desentralisasi (1972) perlu dipertimbangkan. Model Tiebout menyampaikan bahwa desentralisasi akan menciptakan kompetisi layanan publik antar daerah otonom. Masyarakat dapat memilih menjadi anggota dari daerah otonom tersebut berdasarkan pertimbangan kualitas atau kepuasan atas layanan publik yang diberikan serta besarnya pajak yang dikenakan. Daerah dengan layanan public yang kurang baik dan pajak daerah yang lebih besar akan kurang diminati oleh masyarakat. Dalam
65
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
hal ini, masyarakat dapat diperkenankan memilih daerah otonom yang melayaninya. Dengan demikian akan dimungkinkan terjadinya mobilitas masyarakat dalam menentukan daerah otonomnya yang melayaninya. Perubahan batas daerah otonom dimungkinkan terjadi secara lentur dan dinamis. Kompetisi antar daerah otonom akan membuat desentralisasi pemerintahan menjadi lebih mendorong kualitas layanan publik yang lebih baik secara konsisten. Model Tiebout ini lebih menekankan pendekatan public goods dalam otonomi daerah, dan mementingkan analisis equilibrium antara hukum penawaran (supply) dan permintaan (demand) dalam local public services (Zodrow, 1983). Sementara itu, Teorema Oates tentang desentralisasi menunjukkan bahwa preferensi keaneka-ragaman masyarakat membutuhkan desentralisasi urusan pemerintahan (layanan publik) pada unit organisasi yang paling dekat dengan masyarakat (daerah otonom). Setiap daerah otonom bertanggung jawab terhadap layanan publik yang berada dalam batas yurisdiksinya sepanjang tidak mengalami eksternalitas (atau layanan publik yang diberikan melampaui batas yurisdiksinya). Eksternalitas dianggap mengganggu pencapaian layanan publik yang efisien yang dapat dikelola oleh setiap daerah otonom. Efisiensi akan merupakan hal penting karena mempengaruhi pajak daerah yang harus dibayar oleh setiap anggota masyarakat daerah otonom tersebut. Mobilitas masyarakat seperti yang ada dalam model Tiebout dapat terjadi karena kualitas layanan publik atau besarnya pajak yang harus dibayar oleh penduduk daerah tersebut. Masyarakat cenderung
66
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
akan memilih daerah dengan pajak daerah rendah dengan layanan publik yang memadai dibandingkan pajak daerah yang tinggi dengan kualitas layanan yang sama (Bloch & Zenginobuz, 2012). Dengan mempertimbangkan efisiensi optimum, batas yurisdiksi dan externalitas maka penting sekali untuk menentukan optimasi ukuran daerah otonom. Preferensi heterogenitas merupakan hal yang amat penting untuk mencapai pemerintahan daerah yang optimum tersebut. Untuk membentuk unit pemerintahan sub-nasional yang unik sesuai dengan kondisi, preferensi dan kapasitasnya masing masing semula Tarlton (1965) memperkenalkan konsep asymmetric federalism sebagai pembeda dari konsep symmetric federalism. Sementara itu, Katorobo (2007) menggunakan konsep asymmetric decentralization sebagai konsep yang dianggap lebih tepat untuk negara kesatuan. Konsep asimetri ini ditawarkan untuk melakukan pembedaan dalam hal besaran atau kandungan otonomi yang diterima oleh setiap daerah otonom. Selain itu, konsep asimetri juga diperuntukkan bagi pembedaan pembagian kekuasaan terhadap daerah otonom (areal division of power). Secara konseptual, model asimetri ini seringkali dipertimbangkan untuk memenuhi tuntutan politik (misalnya untuk mengurangi ketegangan politik antara pusat dan daerah) dan untuk memperkuat daya saing ekonomi (misalnya untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan). Variasi lain yang bersifat minor dari sebab munculnya model asimetri ini misalnya faktor kesejarahan atau pertimbangan budaya.
67
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Secara khusus, Cahyaningsih & Fitrady (2019) menyampaikan bahwa ada tiga dimensi untuk memahami desentralisasi asimetrik dengan baik, yakni politik, administrasi, dan fiskal. Desentralisasi asimetrik berarti ada asimmetry antar daerah atau yang diberikan kepada daerah khusus sehingga berbeda dari daerah lainnya. Tentu ada kekhususan tentang apa yang diatur secara asymmetry. Dimensi pertama adalah asimetri politik yang merujuk pada perbedaan kemampuan atau penugasan di antara daerah otonom yang ada. Dimensi kedua yakni asimetri administrasi yang berkaitan tentang pembedaan terhadap daerah otonom untuk mengambil keputusan kebijakan yang menentukan layanan publik. Dimensi yang ketiga adalah asimetri fiskal yang terkait dengan pembedaan yang diberikan kepada daerah otonom dalam hal pendapatan dan belanja daerah. Senada dengan dimensi asimetri tadi, Soko & Zorič (2018) juga mengungkapkan bahwa asymmetric decentralization mencakup desentralisasi politik yang membawa demokrasi dan partisipasi yang lebih baik, desentralisasi administrasi yang mentransfer kewenangan dan urusan yang diserahkan kepada pemerintahan subnational, dan desentralisasi fiskal yang memberikan otonomi kepada sub national government untuk mengelola pendapatan dan pengeluarannya sendiri.
68
memberikan otonomi kepada sub national government untuk mengelola pendapatan dan pengeluarannya sendiri. Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Types of Asymmetry
Vertical Asymmetry
asymmetric federal-state government
Horizontal Asymmetry
asymmetric central-local government relations
asymmetric states
asymmetric regions/provinces
asymmetric municipalities
Gambar 3. Tipologi Asimetri
Pada dasarnya ada dua jenis asimetri, yakni asimetri vertikal dan Gambar 1. Tipologi Asimetri horisontal. Ada beberapa jenis asimetri vertikal. Jenis pertama dalam dasarnya ada dua jenis asimetri, yakni asimetri vertikal hal ini Pada adalah asymmetric federal-state government seperti yangdan juga horisontal. Ada beberapa jenis asimetri vertikal. Jenis pertama dalam hal ini
dicontohkan oleh Tarlton (1965). Hubungan antara pemerintah federal adalah asymmetric federal-state government seperti yang juga dicontohkan
dengan negara-negara bagiannya bisa saja berbeda antara negara oleh Tarlton (1965). Hubungan antara pemerintah federal dengan negara-
bagian yang satu dengan yang lain. Tentu jenis ini khusus menjadi negara bagiannya bisa saja berbeda antara negara bagian yang satu dengan
kajian negara federal, karena tidak akan diperoleh padanannya di yang lain. Tentu jenis ini khusus menjadi kajian negara federal, karena tidak
negara kesatuan. Jenis yang kedua adalah asymmetry between central akan diperoleh padanannya di negara kesatuan. Jenis yang kedua adalah
and local government relations yang dianalisis oleh Cahyaningsih asymmetry between central and local government relations yang dianalisis
& Fitrady (2019); Efriandi, Couwenberg & Holzhacker (2019); Li (2018);Li&Chan(2017);Simpson(2017);Golic&Počuča(2017); 65
Chien & Zhao (2015). Ruang lingkup ini cenderung bersifat vertical asymmetry yang menunjukkan perbedaan pengelolaan kewenangan dan urusan antara pemerintah pusat dan daerah. Menarik sekali bahwa umumnya kajian yang masuk dalam ruang lingkup ini merupakan
69
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
kajian di negara kesatuan dan tak ada satupun yang berasal dari kajian di negara federal. Simpson (2017) mengkaji tentang usulan asymmetry dalam sistem jaminan sosial antara UK Government dengan component region-nya, terutama di Northern Ireland dan Scotland. Untuk menghasilkan asymmetric relations dibutuhkan additional devolved authority kepada region. Golic & Počuča (2017) mengkaji hubungan asimetrik antara pemerintah pusat dan daerah dalam urusan pertanian di Serbia, dan mengkaji secara khusus apa yang terjadi di Autonomous Province of Vojvodina. Daerah otonom dalam hal ini terdiri dari dua tingkatan yakni provinsi dan municipalities. Setiap daerah otonom memiliki original competence dan delegated affairs. Original competence merupakan urusan yang sudah diatur berdasarkan konstitusi sementara delegated affairs are determined by law. Kombinasi dua hal tersebut menyebabkan apa yang dikerjakan oleh setiap jenjang pemerintahan berbeda satu sama lain sesuai dengan kebutuhan yurisdiksi masing masing. Pemerintah pusat membangun sistem dan kebijakan pokok, provinsi menyusun aturan normatif, perencanaan, pengorganisasian, penganggaran dan aspek administratif lainnya, sementara municipality melaksanakan urusan dalam batas yurisdiksinya dan menyesuaikan organisasi dan keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan setempat. Menarik sekali untuk melihat bahwa semua literatur dari China fokus pada central-local government relations. Hal ini terlihat pada
70
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
kajian Li (2018); Li & Chan (2017); Chien & Zhao (2015). Asymmetry cenderung berupa asymmetric economic decentralization dengan membedakan antara daerah maju dan terbelakang. Desentralisasi bertujuan untuk mengangkat daerah terbelakang dengan mentransfer pengetahuan dari daerah maju melalui penempatan pejabat pemerintah daerah dari daerah maju ke daerah terbelakang. Penempatan ini dimungkinkan melalui administrative centralization. Rotasi pejabat pemerintah daerah ini dilakukan untuk promosi karir pejabat sehingga kinerja mereka memajukan daerah terbelakang sangat berpengaruh bagi karirnya (Chien & Zhao, 2015). Kajian Li & Chan (2017) membahas asymmetric decentralization dalam urban development di China yang bercorak liberal secara ekonomi dengan tanpa meliberalisasi politiknya. Pembangunan menjadi agenda utama dengan kebijakan yang bervariasi antara pusat dan daerah. Pembangunan perkotaan melalui kebijakan asymmetric decentralization dalam hal kebijakan pertanahan, perumahan dan pelayanan publik yang berbeda membuat setiap daerah membuat kebijakan yang berbeda sesuai dengan kondisinya masing masing. Akibatnya adalah setiap daerah memiliki jalurnya sendiri dalam merestrukturisasi kawasan perkotaannya. Kajian Li (2018) membahas perbedaan kebijakan fiskal antara pusat dan daerah, baik yang menyangkut desentralisasi pendapatan maupun pengeluaran. Perbedaan ini mengurangi ketimpangan antar daerah dan kompetisi teritorial.
71
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Jenis asimetri berikutnya adalah asimetri horisontal yang berkenaan dengan asymmetric subnational government. Kajian yang ada menunjukkan bahwa asymmetry juga dapat fokus pada ketidaksamaan perlakuan antara sub-national government yang satu dengan yang lainnya. Ruang lingkup ini cenderung bersifat horizontal asymmetry. Ada tiga jenis sub national government yang dapat diberi label asymmetric decentralization. Jenis pertama adalah asymmetric state yang dikaji oleh Schertzer (2015) yang membedakan provinsi Quebec dengan provinsi lainnya di Canada dan Harding (2017) yang membedakan negara bagian Sarawak dengan negara bagian lainnya di Malaysia. Jenis ini hanya relevan untuk negara federal sehingga dapat disebut juga sebagai asymmetric federalism dan masih termasuk dalam ruang lingkup asymmetric federalism dari Tarlton (1965). Jenis kedua adalah asymmetric regions or province yang merupakan otonomi yang berbeda antar upper level local government atau upper level sub-national government. Kajian yang ditulis oleh Isra, Villiers & Arifin (2019) menunjukkan adanya 5 provinsi dengan otonomi khusus (yakni Aceh, Jakarta, Yogyakarta, Papua Barat dan Papua) dari total 34 provinsi di Indonesia. Cahyaningsih & Fitrady (2019) mengkaji salah satu provinsi dengan otonomi khusus tersebut yakni Papua. Di Indonesia, daerah otonom ada dua level, yakni provinsi sebagai upper level local government dan municipality sebagai lower level local government. Kajian Li (2018) dilakukan terhadap 26 dari 33 provinces yang ada di China dan telah mencakup 21 provinces dan 5 autonomous regions. Sementara itu, kajian Simpson (2017)
72
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
di UK (nama resminya adalah United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland) menunjukkan adanya asymmetry dalam otonomi di upper level sub national government yang biasa disebut dengan regions atau countries antara Scotland dan Northern Ireland. Sebenarnya di UK, secara keseluruhan ada empat regions dengan 2 regions lainnya adalah England dan Wales. Podesta (2017) menyampaikan bahwa di Italy asymmetric decentralization diberikan kepada 5 regions dari total 20 regions yang ada, dan mengkaji salah satu special region: FriuliVenezia Giulia. Podesta menungkapkan “This region enjoyed special legislative, administrative and financial authorities in some public affairs that are the central government competences in the 15 ordinary regions.“ Penggunaan istilah legislative ini sebenarnya menunjukkan pada pembuatan kebijakan sendiri di tingkat regions yang tentu tidak sama statusnya dengan pengertian legislative yang berarti pembuatan undang-undang sebagaimana ciri dari state dalam negara federal. Penggunaan istilah demikian dapat dimengerti karena Podesta (2017) menggunakan konsep asymmetric federalism dalam judul artikelnya padahal digunakan untuk Italy yang merupakan unitary state. Hal ini terjadi karena penulis berupaya menjelaskan asymmetry yang terjadi di Italy dapat diperumpamakan dengan asymmetry yang umumnya terjadi di negara federal. Jenis yang ketiga adalah asymmetric municipality yang dikaji oleh Efriandi, Couwenberg & Holzhacker (2019) yang mengkaji penerapan asymmetric decentralization terhadap kualitas layanan pendidikan dasar di Jayapura Regency, Papua special province. Rizzi
73
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
& Zanette (2017) mengungkapkan perbedaan antar muncipalities di Veneto Regions di Italy. Region ini beribu-kota Venice. Fragmetasi municipalities di region ini disebabkan oleh ukurannya yang terlalu kecil, ada 581 municipalities dengan rata rata jumlah penduduk adalah sebanyak 8449 jiwa. Sementara itu, Asymmetric decentralization di Serbia ditandai dari adanya perbedaan penyelenggaraan urusan pertanian antara prinsip desentralisasi dan delegasi pada municipality level (Golic & Počuča, 2017). Penyelenggaraan urusan pertanian umumnya hanya menggunakan prinsip delegasi terhadap seluruh kabupaten dan kota di Serbia, kecuali pada wilayah Provinsi Otonom Vojvodina. Di wilayah tersebut, penyelenggaraan urusan pertanian menggunakan dua prinsip, pertama prinsip desentralisasi yang diselenggarakan oleh Provinsi Vojvodina, dan yang kedua adalah prinsip delegasi yang diselenggarakan oleh Kabupaten dan Kota. Prinsip delegasi dalam hal ini bahwa Kabupaten dan Kota hanya memiliki kewenangan administratif untuk menjalankan seluruh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Dengan demikian pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pertanian dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. AdakajianlainyangmenarikdisampaikanolehSoko&Zorič (2018). Ada pengelolaan yang berbeda terhadap municipalities yang berada di bawah negara bagian Federation of Bosnia & Herzegovina dan negara bagian Republika Sprska. Pengelolaan municipalities yang berbeda satu sama lain bergantung pada kebijakan yang diambil oleh setiap negara bagian. Negara bagian dalam sistem federal pada dasar-
74
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
nya juga memiliki kedaulatan. Hubungan antara negara bagian yang berdaulat dengan municipalities yang otonom pada dasarnya memiliki kemiripan hubungan antara negara dengan sub-national government di unitary state. Ini menunjukkan bahwa asymmetric decentralization within state di negara federal dapat memberikan variasi antar daerah. Menarik sekali untuk menelaah kajian yang terjadi di negara federal. Ternyata ada dua jenis yang merupakan bagian dari horizontal asymmetry. Pertama adalah asymmetric state yang adanya dikaji Kedua adalah asymmetric municipality(component) yang menunjukkan oleh Schertzer (2015) Harding state (2017). Kedua asymmetric asymmetry pada sub dan (component) yang dikajiadalah oleh Soko & Zorič municipality menunjukkan asymmetry pada sub (2018). Kajian yang lebih lanjut tentang haladanya ini menarik untuk dilakukan juga (component)stateyangdikajiolehSoko&Zorič(2018).Kajianlebih dalam penelitian-penelitian berikutnya. lanjut tentang hal ini menarik untuk dilakukan juga dalam penelitianpenelitian berikutnya.
Balancing decentralization and centralization Central government role for guiding policy making and supervising local autonomy Trade off between administrative efficiency and democratic effectiveness
Li (2018); Li & Chan (2017); Chien & Zhao (2015)
Golic & Počuča (2017)
Soko & Zorič (2018)
Gambar 4. Isu Penting Desentralisasi Asimetrik
Gambar 2. Isu Penting Desentralisasi Asimetrik 75 Selain jenis desentralisasi asimetrik, terdapat beragam isu yang
menarik seputar desentralisasi asimetrik yang muncul dalam beberapa
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Selain jenis desentralisasi asimetrik, terdapat beragam isu yang menarik seputar desentralisasi asimetrik yang muncul dalam beberapa kajian dewasa ini. Isu pertama sebagaimana diungkapkan oleh Soko & Zorič (2018) bahwa ada: “trade off between governmental efficiency and democratic effectiveness due to local government size.” Ada hubungan yang saling meniadakan antara efisiensi pemerintahan dengan efektivitas demokrasi yang dipengaruhi oleh ukuran daerah otonom. Jika kita ingin meningkatkan efisiensi pemerintahan maka kita akan mengorbankan efektivitas demokrasi, begitu pula sebaliknya kita dapat meningkatkan efektivitas demokrasi dengan mengorbankan efisiensi pemerintahan. Dengan ukuran daerah otonom yang terlalu kecil, ternyata hasil yang baik dalam hal efektivitas demokrasi tersebut diikuti pula dengan inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan karena skala ekonomi yang tidak memadai. Pemerintahan yang demokratis mampu menghasilkan stabilitas yang baik namun memunculkan persoalan laten berupa kecemburuan dari daerah yang tidak efisien kepada daerah yang memiliki efisiensi ekonomi yang baik. Persoalannya terletak pada perbedaan kesejahteraan karena otonomi juga membawa perbedaan antar daerah yang bergantung pada potensi dan kemampuan setiap daerah. Isu kedua yang muncul adalah bahwa meskipun kebijakan desentralisasi asimetrik telah dijalankan, ada peran pemerintah pusat untuk tetap memberikan kebijakan pokok dan melakukan pengawasan terhadappenyelenggaraanotonomidaerah(Golic&Počuča,2017).
76
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Peran pengendalian ini terjadi juga di China (Li & Chan, 2017). Pada dasarnya China menerapkan kebijakan desentralisasi sehingga daerah dapat mengambil kebijakan sendiri dalam pengembangan ekonomi dan pelayanan publiknya, namun dengan cepat kebijakan tersebut dapat diperbaiki oleh Pemerintah Pusat jika dipandang kebijakan tersebut kurang tepat dalam mencapai misi yang sesuai dengan kepentingan pemerintah pusat. Jadi meskipun desentralisasi asimetrik diterapkan di sebuah negara, pemerintah pusat tetap hadir untuk memastikan desentralisasi tetap berjalan dengan baik dan tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah pusat. Tetap akan menjadi kajian yang menarik tentang isu ini jika dirinci menjadi seberapa besar peran pemerintah pusat tersebut, bagaimana ragam mekanisme pengendalian yang didapat dijalankan dengan tetap menjamin desentralisasi asimetrtik dapat berjalan efektif, serta bagaimana respons daerah otonom terhadap pengendalian pemerintah pusat tersebut. Isu ketiga yang menarik berasal dari tiga kajian di China tentang kesimbangan antara desentralisasi dan sentralisasi. Keseimbangan antara otonomi daerah (terutama yang berkaitan dengan isu ekonomi) dan sentralisasi politik (sistem kader partai dan pejabat politik). Keseimbangan ini mengarah pada gerakan resentralisasi (Li & Chan, 2017) ketika asymmetric economic decentralization diikuti dengan administrative centralization (manajemen pegawai pemerintah, promosi jabatan politik, dan sistem kepartaian terpusat). Kajian Chien
77
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
& Zhao (2015) mengungkapkan bahwa asymmetric economic decentralization yang mampu menghadirkan persaingan antar daerah diseimbangkan dengan rotasi pejabat politik dari dari daerah maju ke daerah yang kurang maju. Ada proses pembelajaran yang membawa kemajuan bagi daerah yang kurang maju sehingga akan membawa keseimbangan regional yang lebih baik. Selanjutnya, Kajian Li (2018) juga menunjukkan bahwa kebijakan fiscal transfer dari pemerintah pusat juga memperlemah efek persaingan antar daerah bagi pelayanan publik dan kemajuan daerah. Dengan demikian, desentralisasi asimetrik yang mendorong adanya territorial competition dapat ditahan lajunya baik melalui administrative centralization maupun fiscal transfer policy untuk mencapai keseimbangan antar daerah. Hal yang menarik lainnya adalah kerangka desentralisasi asimetrik yang disampaikan oleh Muluk (2021). Kerangka ini dihasilkan dari metode systematic literature review. Kerangka ini menyajikan adanya tiga faktor yang menunjukkan hubungan linear antar faktor tersebut. Faktor pertama bersifat anteseden, yakni faktor-faktor yang menentukan keberhasilan desentralisasi asimetrik. Faktor anteseden tersebut ada empat variabel, yakni: kompetensi pemerintah daerah untuk menjalankan pemerintahan daerah, kemudian uniformitas kebijakan pemerintah pusat yang bersifat top-down sebagai pengarah bagi daerah dalam menyelenggarakan otonominya, dan ukuran daerah otonom yang akan menentukan skala ekonomi pemerintahan daerah, serta yang terakhir adalah adanya policy learning yang menun-
78
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
jukkan kemampuan untuk senantiasa tumbuh dan berkembang ketika menghadapi persoalan pelayanan publik dan pembangunan daerah. Faktor anteseden tersebut pada dasarnya akan mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi asimetrik yang efektif. Faktor konten desentralisasi asimetrik merupakan faktor kedua yang tentu saja menunjukkan bobot (magnitude) dari asimetrik yang dimiliki sebuah daerah. Faktor konten desentralisasi asimetrik ini mencakup empat variabel seperti: asimetrik dalam hal kewenangan (otoritas untuk membuat kebijakan dan melaksanakan kebijakan yang dibuat sendiri), dan asimetrik dalam hal urusan atau layanan yang dimiliki (seberapa banyak urusan yang diserahkan kepada daerah), serta asimetrik dalam hal fiskal (bobot dan cara serta jenis pendapatan dan belanja daerah), serta yang terakhir adalah asimetrik dalam hal penentuan kelembagaan daerah otonom (baik dalam penentuan kepala daerah, lembaga perwakilan maupun birokrasi setempat). Selanjutnya faktor konten asimetrik ini akan mempengaruhi dampak dari diterapkannya desentralisasi asimetrik. Faktor dampak ini juga terdiri dari empat variabel, yakni: integrasi nasional, kemudian perdamaian dan stabilitas politik, dan selanjutnya adalah pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, serta variabel terakhir adalah pelayanan publik. Secara keseluruhan ada enambelas variabel yang terkait dengan desentralisasi asimetrik ini dengan rincian empat variabel yang terkait dengan faktor anteseden, empat variabel yang merupakan bagian dari faktor konten, serta empat variabel yang menjelaskan tentang faktor
79
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
dampak dari kebijakan desentralisasi asimetrik. Penelitian lebih lanjut tentang kerangka tersebut masih dibutuhkan untuk memperkuat hubungan antar variabel tersebut.
80
Bab 5
DESA: DESENTRALISASI DI DALAM DAERAH OTONOM
D
esentralisasi pada dasarnya merupakan cara (means) untuk mencapai tujuan (ends). Desentralisasi bukanlah tujuan itu sendiri. Tentu setiap kebijakan desentralisasi memiliki
tujuannya masing masing yang hendak dicapai. Secara umum, tujuan dari diterapkannya desentralisasi berkisar pada pencapaian kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat baik dalam skala nasional maupun skala lokal. Tujuan lainnya adalah memberikan cara penyelenggaraan pemerintahan yang lebih bermartabat bagi masyarakat dengan melibatkan masyarakat dalam pemerintahan. Selain itu, tujuan desentralisasi adalah menyediakan cara pemerintahan yang lebih efektif untuk menjamin pencapaian tujuan dengan lebih baik.
81
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Desentralisasi bermakna dua hal, yakni pembentukan daerah otonom dan selanjutnya adalah penyerahan kewenangan dan urusan kepada daerah otonom yang dibentuk tadi (Smith, 1985). Seringkali pula kebijakan desentralisasi tidak memasukkan makna pembentukan daerah otonom dalam kandungan kebijakannya secara eksplisit namun pada dasarnya secara implisit juga mengandung komponen pembentukan daerah otonom. Situasi tersebut biasanya muncul karena daerah otonom sudah terbentuk saat kebijakan desentralisasi tersebut disahkan dan ada kehendak untuk tidak memberikan dorongan bagi pembentukan daerah otonom baru secara masif. Bagaimana desentralisasi dijalankan (dilihat dari sudut pandang pembentukan daerah otonom), secara umum ada dua cara yang digunakan. Pertama adalah created by law, yakni Pemerintah Pusat yang membentuk daerah otonom dengan pertimbangan dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat itu sendiri. Yang kedua adalah acknowledged by law, yakni inisiatif membentuk daerah dengan segala konsekuensinya disiapkan oleh daerah kemudian diusulkan kepada Pemerintah Pusat untuk diberi pengakuan. Pemerintah Pusat memberikan pengakuan atas terbentuknya daerah otonom. Tentu saja secara umum desentralisasi diputuskan oleh Pemerintah Pusat bukan oleh daerah itu sendiri. Hal ini berlaku baik dalam rezim created by law dan acknowledged by law. Kondisi ini berlaku bagi negara yang berbentuk negara kesatuan. Dalam negara federal, posisi pemerintah pusat tersebut dilaksanakan oleh pemerintah negara bagian. Dalam
82
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
konteks ini, desentralisasi pada dasarnya merupakan kewenangan dan urusan yang menjadi bagian dari kedaulatan negara bagian yang diserahkan ke daerah otonom. Tentu dengan demikian, daerah otonom merupakan domain negara bagian bukan menjadi domain pemerintah federal. Desentralisasi dapat diserahkan kepada daerah otonom dalam berbagai tingkatan. Seperti Taiwan, desentralisasi diserahkan oleh pemerintah pusat kepada satu tingkatan pemerintahan saja yakni kabupaten atau kota. Contoh lain adalah Thailand atau Indonesia, yakni pemerintah pusat menyerahkan kewenangan dan urusan kepada dua tingkatan pemerintahan, yakni provinsi sebagai daerah atasan, dan kabupaten atau kota sebagai daerah bawahan. Bagaimana cara penyerahan kewenangan dan urusan juga dapat digunakan dengan dua metode yakni secara langsung dan secara bertingkat. Secara langsung berarti bahwa Pemerintah Pusat yang menyerahkan kewenangan dan urusan kepada baik Provinsi maupun Kabupaten atau Kota. Sementara cara bertingkat berarti bahwa Pemerintah Pusat yang menyerahkan kewenangan dan urusan Pemerintah Pusat kepada Provinsi sebagai daerah atasan, dan kemudian Provinsi (sebagai daerah atasan) menyerahkan kewenangan dan urusan Provinsi kepada Kabupaten atau Kota (sebagai daerah baawahan) yang berada dalam batas yurisdiksinya. Di Indonesia dua cara tersebut pernah dijalankan. UU no 5 tahun 1974 tentang Pokokpokok Pemerintahan di Daerah menggunakan cara bertingkat dalam membagi kewenangan dan urusan. Istilah yang digunakan saat itu ada-
83
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
lah Daerah Tingkat I (sebagai daerah atasan) dan Daerah Tingkat II (sebagai daerah bawahan). Sementara itu, UU no 22 tahun 1999, UU no 32 tahun 2004 dan UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (semuanya di era orde reformasi) menggunakan cara langsung dalam membagi kewenangan dan urusan kepada semua daerah otonom. Begitu daerah otonom telah resmi dibentuk dan kewenangan beserta urusannya juga telah diserahkan maka berjalanlah apa yang disebut dengan pemerintahan daerah. Jika desentralisasi berkaitan dengan bagaimana membentuk daerah dan menyerahkan kewenangan dan urusan kepada daerah otonom, maka pemerintahan daerah berkenaan dengan bagaimana daerah menjalankan kewenangan dan urusan yang diserahkan kepadanya tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa desentralisasi dan pemerintahan daerah adalah dua hal yang berbeda namun berhubungan erat satu sama lain (Muluk, 2009). Pemerintahan daerah tidak akan terwujud tanpa desentralisasi, dan desentralisasi tidak akan terlaksana dengan baik tanpa pemerintahan daerah. Desentralisasi merupakan domain pemerintah pusat, sementara pemerintahan daerah merupakan domain daerah otonom. Otonomi daerah pada dasarnya mengandung dua hal yakni kewenangan dan urusan daerah. Kewenangan daerah dalam hal ini mencakup dua hal yakni kewenangan mengatur (regelling) dan kewenangan mengurus (bestuur). Kewenangan mengatur adalah kewenangan untuk membuat kebijakan sementara kewenangan mengurus adalah kewenangan untuk melaksanakan sendiri kebijakan
84
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
yang telah dibuat sendiri tadi. Substansi otonomi terletak pada eksistensi dua kewenangan tersebut, jika salah satu dari dua kewenangan tadi tidak dimiliki maka berarti otonomi juga tidak dimiliki. selanjutnya, dua kewenangan tersebut diselenggarakan pada urusan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Kewenangan tadi membutuhkan obyek untuk dijalankan. Kewenangan tentang urusan apa akan menentukan keberlakukan kewenangan tersebut di dalam pelaksanaannya. Urusan inilah yang menjadi salah satu ukuran besar kecilnya otonomi daerah karena pada dasarnya daerah otonom tidak dapat menjalankan kewenangannya pada urusan yang tidak diserahkan kepadanya. Semakin banyak urusan yang ditangani maka semakin besar pula otonomi daerahnya, semakin sedikit urusan yang ditangani maka semakin kecil pula otonomi daerahnya. Pemerintahan daerah pada dasarnya adalah penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintahan daerah adalah bagaimana daerah menyelenggarakan sendiri otonomi yang dimilikinya. Pemerintahan daerah adalah bagaimana kewenangan mengatur dan mengurus dilaksanakan pada urusan yang diterimanya dari pemerintah pusat. Tentu saja ada banyak cara bagaimana pemerintahan daerah diselenggarakan. Paling tidak ada dua model utama tentang bagaimana pemerintahan daerah berjalan. Pertama adalah structural efficiency model yang merujuk pada penekanan nilai efisiensi dan efektivitas dalam pemerintahan daerah. Kedua adalah local democracy model yang merujuk pada penekanan pada nilai nilai demokratis dan pelibatan masyarakat secara efektif dalam pemerintahan daerah. Tentu model mana yang
85
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
dianut oleh sebuah negara bergantung pada konteks yang berkembang di negara tersebut pada kurun waktu tertentu. Ini menunjukkan bahwa bisa saja suatu negara menerapkan satu model tertentu pada kurun waktu tertentu dan menggunakan model yang berbeda pada kurun waktu yang berlainan. Namun demikian, dapat saja terjadi bahwa dua model tersebut digunakan dalam kurun waktu yang bersamaan. Misalnya model tertentu digunakan pada daerah otonom jenis tertentu dan pada saat yang bersamaan model yang lain diterapkan pada jenis daerah otonom yang berbeda. Baik dalam structural efficiency model maupun local democracy model, partisipasi masyarakat dibangun dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi modal pemerintahan daerah. Bedanya terletak pada kadar pelibatan masyarakat. Dalam structural efficiency model, keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan daerah memberikan legitimasi dan dukungan bagi otonomi daerah. Namun eksistensinya tidak setinggi dari apa yang diterapkan dalam local democracy model. Pilihan metode partisipasi dan tingkatan partisipasi masyarakat yang dimiliki oleh local democracy model lebih tinggi daripada apa yang disediakan oleh pemerintahan daerah dalam structural efficiency model. Berikut ini adalah tangga partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah sebagaimana yang ditawarkan oleh Muluk (1997). Tangga partisipasi tersebut merupakan sintesis antara ladder of participation dari Arnstein (1969) dan ladder of empowerment dari Burns, Hambleton & Hogget (1994) serta dengan situasi
86
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
pemerintahan daerah di Indonesia era orde reformasi. Mekanisme partisipasi yang beragam dapat menjadi pilihan yang dapat diambil sebagai mekanisme partisipasi yang disediakan bagi masyarakat untuk terlibat dalam pemerintahan daerah. Pilihan mekanisme dapat juga memberikan indikasi tingkat partisipasi yang dijalankan dalam pemerintahan daerah. Tangga partisipasi tersebut juga dapat menjelaskan tentang keberadaan pilihan partisipasi masyarakat dalam metode partisipasi publik dalam pemerintahan daerah sebagaimana disampaikan oleh Alan Norton (1994). Ada empat metode partisipasi, yakni elected member, consultation and negotiation, referenda, dan decentralization within cities. Elected member merupakan metode partisipasi yang berlaku dalam sistem demokrasi perwakilan. Pada dasarnya demokrasi berjalan secara efektif bergantung pada situasinya. Demokrasi mengandung dua varian utama yakni demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung. Demokrasi langsung dianggap lebih ideal dari sudut pandang keterlibatan langsung masyarakat dalam kebijakan publik. Namun demikian, demokrasi langsung membutuhkan prasyarat tertentu agar berjalan efektif. Dalam situasi daerah dengan jumlah dan akses masyarakat yang begitu besar dan luas wilayah yang tidak memungkinkan demokrasi langsung berjalan secara efektif dalam aktivitas harian pemerintahan maka demokrasi perwakilan menjadi pilihan yang dianggap lebih efektif. Sebagai
pengejawantahan
demokrasi
87
perwakilan,
elected
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
member merupakan anggota masyarakat yang dipilih oleh masyarakat untuk mewakili masyarakat itu sendiri dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Jika masyarakat terlibat dalam penyelenggaraan otonomi daerah maka berarti otonomi daerah bermakna otonomi masyarakat yang nyata. Ada dua bentuk elected member dalam hal ini. Pertama adalah kepala daerah atau yang biasanya disebut sebagai mayor dalam tradisi pemerintahan barat. Di Indonesia kepala daerah bergantung pada jenis daerahnya. Gubernur untuk provinsi, Bupati untuk kabupaten, dan walikota untuk Kota. Kepala daerah yang dipilih oleh masyarakat berarti menunjukkan bahwa anggota masyarakat sendiri dipilih oleh masyarakat sendiri untuk mewakili masyarakat dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Kewenangan kepala daerah dalam mewakili masyarakat bergantung pada sistem kelembagaan pemerintahan daerah yang dianut.
Gambar 5. Level of Paticipation
88
Di Indonesia umumnya kepala daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan sekaligus juga melaksanakan kebijakan yang dibuat.
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Di Indonesia umumnya kepala daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan sekaligus juga melaksanakan kebijakan yang dibuat. Dengan demikian, jika kepala daerah merupakan elected member maka nilai partisipasinya dianggap tinggi karena pada dasarnya keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan daerah menjamin bahwa aspirasi dan kepentingan masyarakat masuk dalam agenda kebijakan. Selain itu, elected member juga tercermin dari adanya dewan daerah yang berisi anggota masyarakat yang dipilih oleh masyarakat untuk mewakili masyarakat dalam pembuatan kebijakan daerah. Berbeda dari kepala daerah yang memiliki dua kewenangan, maka dewan daerah hanya memiliki satu kewenangan utama yakni membuat kebijakan (regelling). Bedanya adalah bahwa kebijakan yang dibuat oleh dewan daerah memiliki hirarki yang lebih tinggi daripada kebijakan yang dibuat kepala daerah, sehingga kebijakan kepala daerah tidak dapat bertentangan dengan kebijakan dewan karena azas hukum lex superior derogat legi inferiori. Dewan daerah ini biasanya di Indonesia di sebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sementara di berbagai negara lain disebut dengan istilah yang berbeda misalnya city council, gementee raad, dan lain sebagainya. Metode partisipasi berikutnya yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari demokrasi langsung adalah referenda. Metode ini berarti adanya pemungutan suara yang dilakukan oleh masyarakat atas usul atau isu kebijakan tertentu. Referenda adalah bersifat jamak, sementara referendum bersifat tunggal. Jika elected member berarti masyarakat
89
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
memilih orang yang akan mewakili mereka dalam pemerintahan, maka referendum adalah penentuan masyarakat terhadap isu atau proposal kebijakan itu sendiri. Referenda berarti masyarakat sendiri yang secara langsung menentukan apakah mereka menerima atau menolak isu kebijakan tertentu. Dari sudut pandang partisipasi, tentu metode ini ditempatkan pada tangga tertinggi dalam tingkatan partisipasi. Namun demikian, penggunaan metode ini tentu mengandung pula kelemahan tertentu jika dilaksanakan terlalu sering di dalam daerah yang memiliki anggota masyarakat yang banyak dan tersebar secara geografis. Penggunaan metode ini dapat dilaksanakan secara efektif dalam daerah dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar dan terdistribusi terbatas secara geografis. Di banyak negara maju, referenda merupakan metode partisipasi yang seringkali digunakan dalam pemerintahan daerah. Konsultasi dan negosiasi adalah metode partisipasi yang seringkali digunakan di banyak daerah di banyak negara. Metode ini juga begitu populer baik dalam sistem demokrasi perwakilan maupun direct democracy. Tanpa kehadiran metode ini, suatu sistem pemerintahan akan dianggap sama sekali tidak mengenal partisipasi. Tentu metode konsultasi dan negosiasi ini diterapkan dengan menggunakan banyak istilah di banyak negara. Prinsipnya adalah bahwa pemerintah daerah mengkomunikasikan agenda kebijakan kepada masyarakat serta meminta masukan kebijakan terlebih dahulu sebuah kebijakan ditetapkan. Negosiasi mengandung makna bahwa pemerintah memberi
90
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
ruang kepada masyarakat untuk mengubah dan menawar kebijakan yang disusun oleh pemerintah daerah. Adanya ruang bagi masyarakat untuk mengubah kebijakan tentu memperoleh tempat yang lebih tinggi dalam tangga partisipasi dibandingkan dengan semata konsultasi. Metode yang terakhir adalah decentralization within cities, yakni sebuah daerah melakukan pendelegasian kewenangan yang dimilikinya kepada bagian dari daerah tersebut dalam menjalankan pelayanan publik dan pembangunan. Bagian dari daerah tersebut berarti adalah organisasi atau masyarakat tertentu yang berada dalam batas yurisdiksi daerah tersebut. Tentu konsep ini akan sedikit membingungkan jika dibandingkan desentralisasi dari pemerintah pusat (di negara kesatuan) atau pemerintah negara bagian (untuk negara federal) yang menyerahkan kewenangan dan urusan kepada daerah otonom. Decentralization within cities adalah berbeda dari decentralization to the cities. Decentralization within cities adalah bagian dari pemerintahan daerah, atau bagian dari bagaimana daerah menyelenggarakan kewenangan dan urusannya agar lebih efektif, lebih efisien atau lebih demokratis. Praktek ini adalah bentuk metode partisipasi yang biasa dilaksanakan oleh banyak negara di dunia. Decentralization within cities ini akan menghasilkan territorial or functional autonomus body, yakni badan atau organisasi yang berada dalam batas yurisdiksi daerah otonom yang memiliki otonomi atau kemandirian tertentu dalam menjalankan urusan tertentu yang diterima dari daerah otonom. Organisasi tersebut dapat bersifat ke-
91
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
wilayahan yang berarti memiliki batas wilayah atau sekelompok masyarakat dalam batas wilayah tertentu yang masih berada dalam batas yurisdiksi daerah otonom. Organisasi bersifat kewilayahan ini umumnya menerima beberapa urusan atau general functions. Hal ini berbeda dari organisasi berbasis fungsi yang menerima pendelegasian urusan tertentu dari daerah otonom. Organisasi berbasis fungsi ini umumnya beroperasi dalam wilayah yang lebih luas atau bahkan di seluruh wilayah daerah otonom namun hanya menyelenggarakan satu urusan saja atau urusan yang terbatas. Organisasi atau badan ini tidak merupakan skema desentralisasi dari pemerintah pusat tapi didasarkan pada pengaturan daerah otonom sendiri. Mereka memiliki otonomi sebagai bagian dari atau derivasi dari otonomi daerah. Tentu pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh pemerintah daerah karena badan tersebut merupakan bentukan dan bagian dari daerah otonom. Dalam konsep yang senada dengan decentralization within cities, teori yang dibangun oleh Burns, Hambleton & Hogget (1994) menggunakan konsep neighbourhood decentralization dan mendefinisikannya sebagai ”decentralization below the level of the local authority.” Ada tiga model organisasi yang berada di bawah pemerintahan daerah. Pertama, model tradisional yang memandang masyarakat sebatas sebagai konsumen yang sebatas menerima layanan publiik. Model ini tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Masyarakat sebatas menerima layanan yang diberikan apapun kualitas layanan tersebut. Mekanisme yang dimiliki
92
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
oleh masyarakat apabila tidak puas terhadap layanan yang diberikan hanyalah sebatas exit, yang berarti masyarakat terima apapun kualitas layanan yang disediakan atau keluar dan tidak lagi menikmati layanan yang ada. Model kedua adalah decentralised management. Orientasi utamanya adalah desentralisasi administrasi kepada organisasi subdaerah (neighbourhood basis). Organisasi atau badan tersebut berjalan dengan dipengaruhi pendekatan new managerialism yang memandang masyarakat sebagai customer atau pelanggan. Tentu cara pandang terhadap masyarakat ini dianggap lebih baik daripada sekedar menganggap masyarakat sebagai konsumen atau pengguna layanan. Pelanggan memiliki posisi yang lebih kuat daripada sekedar pengguna. Dengan pendekatan new managerialism, kepuasan pelanggan menjadi indikator penting bagi keberhasilan organisasi. Model kedua ini sebatas memberikan kewenangan untuk melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh daerah. Organisasi atau badan sub daerah tersebut tidak memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan yang berlaku bagi seluruh warga masyarakat sebagai pelangganya. Orientasi utamanya adalah perbaikan managerial dan mendekatkan administrasi penyediaan layanan publik. Tentu desentralisasi administrasi ini mirip dengan konsep deconcentration di tataran pemerintah pusat. Organisasi atau badan pelaksana di wilayah pada dasarnya adalah bagian integral dari badan atau organisasi pusat, dan field administration (atau instansi vertikal dalam sistem pemerintahan Indonesia) tidak memiliki kewe-
93
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
nangan untuk membuat kebijakan sendiri karena hanya memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh organisasi induknya. Ada empat dimensi yang dibutuhkan untuk menghasilkan decentralised management yang baik, yakni lokalisasi, fleksibilitas, devolved management, dan perubahan budaya organisasi. Lokalisasi berarti mendekatkan akses pelayanan publik kepada masyarakat yang menerima layanan publik tersebut. Fleksibilitas merujuk pada tata kelola yang lebih lentur sesuai dengan kondisi dan kebutuhan layanan. tata kerja ini mencakup proses kerja yang lebih fleksibel dan susunan organisasi yang dapat berubah ubah. Organisasi didasarkan pada tim yang berorientasi pada profesionalisme daripada strukturalisme. Devolved management berarti bahwa administrator atau manager organisasi atau badan sub daerah memiliki kemandirian yang lebih besar dalam menjalankan urusan yang dimandatkan kepadanya. Kemandirian ini mencakup kemampuannya untuk menjalankan administrasinya secara responsive dan flexible sesuai dengan kondisi masyarakat yang dilayaninya. Termasuk di dalamnya adalah kemampuan melakukan kontrol atas sumberdaya yang berada dalam batas tanggung jawabnya. Tentu devolved management mencakup berapa banyak urusan yang harus dijalankannya. Perubahan budaya organisasi juga dibutuhkan dalam decentralised management dibandingkan budaya organisasi yang jalurnya langsung berada di bawah pemerintah daerah seperti Dinas, Badan atau UPT yang berada dalam kendali langsung
94
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
pemerintah daerah dan berada pada level daerah otonom. Organisasi sub daerah akan berhadapan langsung dengan masyarakat sehingga membutuhkan budaya front-line yang sesuai dengan masyarakatnya. Pelayanan yang langsung dan keberanian mengambil resiko untuk segera menyelesaikan persoalan masyarakat merupakan hal penting. Model ketiga adalah decentralised democracy yang memandang masyarakat tidak sekedar konsumen atau pelanggan tetapi justeru sebagai citizen. Konsep citizen ini tentu memberikan penghargaan dan martabat yang lebih tinggi kepada masyarakat. Kini masyarakat dianggap sebagai warga yang merupakan the owner of government. Masyarakatlah yang merupakan pemilik pemerintahan. Masyarakat tidak dianggap sebagai obyek dari pemerintahan namun merupakan subyek dari pemerintahan. Kini masyarakat tidak lagi dipandang sebagai pengguna tetapi pemilik pemerintahan. Hal ini menandai bahwa situasi yang berubah bahwa aparat pemerintah adalah pelayan publik yang seharusnya melayani masyarakat dan bukannya mengarahkan masyarakat. Dalam model ini masyarakat yang harus mengarahkan pelayan publiknya. Masyarakat memiliki mekanisme voice yang merupakan sumber dari eksistensi partisipasi publik dalam penyediaan layanan publik. Dalam kadar tertentu, partisipasi dapat berubah atau meningkat menjadi citizen control jika sepenuhnya skenario kebijakan ditentukan oleh masyarakat dan bukannya oleh aparatur pemerintah. Burns, Hambleton & Hogget (1994) bahkan mengungkapkan bahwa dengan menggabungkan good management dan democratic
95
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
accountability akan menghasilkan sound local government. Pilihan kata yang digunakan oleh para ahli tersebut adalah bukan sekedar good tetapi sound government. Bukan sekedar pemerintahan yang baik, tetapi lebih dari itu yakni pemerintahan yang kokoh. Dalam decentralised democracy, desentralisasi kepada organisasi atau badan subdaerah meliputi kewenangan membuat kebijakan dan kewenangan melaksanakan kebijakan yang dibuat sendiri. Tentu konsep ini mirip dengan pengertian desentralisasi di Indonesia, atau devolusi di Inggris, atau political decentralization di banyak negara. Disebut dengan mirip karena tetap pada dasarnya berbeda mengingat ketiga konsep tersebut merupakan bagian dari desentralisasi yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Sementara neighbourhood decentralization adalah mendelegasikan kewenangan kepada organisasi intra daerah otonom, sehingga ini sebenarnya berada dalam ruang lingkup bagaimana menjalankan rumah tangga daerah otonom. Dengan menggunakan kerangka decentralization within cities (Norton, 1994) dan neighbourhood decentralization (Burns, Hambleton & Hogget, 1994) kita dapat menjelaskan bagaimana posisi desa dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan skema yang diatur oleh Pasal 18 UUD 1945, dapatlah diketahui bahwa desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat hanya diserahkan kepada dua jenjang pemerintahan, yakni provinsi sebagai jenjang pertama dan kemudian kabupaten atau kota sebagai jenjang kedua. Dengan demikian, pemerintahan daerah yang paling bawah adalah
96
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
kabupaten atau kota, dan tidak ada lagi pemerintahan daerah yang berada pada jenjang di bawah kedua jenis daerah otonom tersebut. Dalam sejarahnya, kabupaten merupakan daerah otonom yang mencerminkan sebagian besar masyarakat dan wilayahnya bersifat pedesaan (meskipun dimungkinkan bahwa sebagian kecil daripadanya bercorak perkotaan), sementara kota merupakan daerah otonom yang sebagian besar masyarakat dan wilayahnya bersifat perkotaan (tentu masih juga dimungkinkan bahwa sebagian kecil daripadanya masih bersifat pedesaan). Di dalam praktek bagaimana otonomi daerah diselenggarakan dan bagaimana pemerintah daerah disusun berdasarkan pembedaan perkotaan dan pedesaan saat ini sudah sulit dibedakan, meskipun secara samar dapat dianalisis melalui urusan apa saja yang diselenggarakan oleh daerah akan dapat membedakan corak pedesaan dan perkotaan tersebut. Mengingat bahwa kabupaten dan kota merupakan daerah otonom paling rendah dalam sistem pemerintahan di Indonesia, maka keberadaan berbagai unit organisasi atau unit pemerintahan di bawah kabupaten atau kota akan dapat dikategorikan sebagai bagian daripada daerah itu sendiri. Bagaimana daerah menyelenggarakan otonominya dapat disebut sebagai cara pemerintahan daerah menjalankan kewenangan dan urusannya. Pemerintah daerah dapat menyusun struktur organisasinya dengan berbasis pada fungsi atau teritorinya. Menyusun perangkat daerah dengan berbasis pada fungsi dilakukan dengan membagi berbagai macam fungsi untuk dilaksanakan oleh beragam dinas atau badan.
97
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Dalam hal ini kita dapat menggunakan kerangka teori structure in five dari Mintzberg (1992) untuk memahami beragam tugas perangkat daerah dalam kerangka kesatuan organisasi. Sementara itu, adanya struktur kantor kecamatan, kelurahan dan desa menunjukkan adanya penyusunan organisasi berbasis teritori dalam kerangka pemerintahan daerah. dalam penyusunan organisasi berbasis teritori inilah kemudian diketahui ada perbedaan mendasar antara bentuk kelurahan dan desa. Terlepas bahwa pembedaan tersebut awalnya didasarkan pada upaya memperoleh bentuk organisasi yang lebih tepat dan lebih sesuai dengan karakter masyarakat yang berada di dalamnya. Kelurahan dianggap lebih tepat dan sesuai bagi masyarakat yang bercorak perkotaan, sementara desa dianggap sebagai bentuk organisasi yang tepat dan sesuai bagi masyarakat yang cenderung bersifat pedesaan. Pertimbangan lebih ‘tepat’ dalam hal ini menyangkut efektivitas bagi pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik, sementara lebih ’sesuai’ didasarkan pada keadaan, kemampuan, dan akseptabilitas masyarakat dalam proses pelayanan publik dan pembangunan. ‘Lebih sesuai’ menunjukkan juga bahwa tugas tugas pelayanan dan pemerintahan dapat dijalankan sesuai dengan kebiasaan masyarakat, yang pada akhirnya menunjang efektivitasnya. Dari sudut pandang jenis kewenangan yang diserahkan, ada perbedaan besar antara kelurahan dan desa. Kecamatan dan kelurahan adalah bentuk penyusunan organisasi berbasis teritori yang merupakan kepanjangan tangan langsung daripada pemerintah daerah.
98
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
kecamatan dan kelurahan mencerminkan penyediaan layanan publik dan pelaksanaan tugas tugas pemerintahan yang dijalankan secara profesional dan merupakan bagian dari birokrasi pemerintah daerah. Kecamatan dan kelurahan adalah merupakan perangkat daerah yang pelaksanaan tugasnya hanya bertanggung- jawab kepada struktur birokrasi di atasnya. Kewenangan yang dimiliki oleh kecamatan dan kelurahan adalah bersifat semata bestuur, yakni menjalankan kebijakan dan tidak memiliki kewenangan membuat kebijakan. Jika dipadankan dengan teori desentralisasi dalam arti luas, kecamatan dan kelurahan merupakan implementasi dekonsentrasi di dalam pemerintahan daerah. Pemerintah daerah melakukan cara semacam dekonsentrasi kepada organ-organ teritorialnya. Jadi kecamatan dan kelurahan mirip dengan field administration- nya pemerintah daerah. Sementara itu, desa memiliki bentuk yang berbeda dari kelurahan. Desa jelas bukanlah daerah otonom melainkan bagian dari daerah otonom, karena berdasarkan UUD 1945 jelas bahwa tidak ada daerah di bawah kabupaten atau kota. Tentu hal ini berbeda pengaturan di berbagai negara yang berbeda karena bergantung pada konstitusi masing masing. Amat sangat memungkinkan di berbagai negara lain bahwa pengelompokan masyarakat dalam jumlah dan luas wilayah setara desa di Indonesia memperoleh pengakuan sebagai daerah otonom juga atau dianggap sebagai local government, sehingga kemudian jumlah daerah otonomnya menjadi sangat besar seperti di Perancis atau di Amerika Serikat. Untuk Indonesia jelaslah sudah
99
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
bahwa status daerah otonom berada dalam dua tingkatan yakni provinsi dan kabupaten atau kota. Dengan demikian menjadi jelas pula bahwa desa adalah bagian dari daerah otonom kabupaten atau kota. Desa memiliki kewenangan mencakup pembuatan kebijakan dan sekaligus pelaksanaan atas kebijakan yang dibuatnya sendiri. Selain itu, desa memperoleh pengakuan atas beragam urusan yang dapat dijalankannya dan memperoleh penyerahan urusan dari pemerintah daerah baik karena inisiatif daerah maupun karena adanya mandat dari UU yang mengatur tentang Desa yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Dengan mengacu pada dua indikator tersebut, maka dapatlah disebutkan bahwa desa memiliki otonomi. Konsep otonomi desa ini pada dasarnya telah banyak diatur dalam UU yang mengatur tentang desa, meskipun dalam UU no 6 tahun 2014 tentang Desa tampaknya istilah otonomi desa begitu dihindari dan digantikan dengan konsep kemandirian desa. Namun demikian, dengan adanya 2 indikator di atas jelaslah bahwa secara teoritik desa memiliki otonomi. Penyelenggaraan otonomi tersebut dapat disebut sebagai pemerintahan desa. Kewenangan membuat kebijakan diimplementasikan dalam bentuk peraturan desa yang ditetapkan oleh kepala desa dan badan permusyawaratan desa (BPD). Sementara itu Kepala Desa bersama perangkat desa yang mencerminkan pemerintah desa untuk menjalankan kewenangan melaksanakan kebijakan desa. Baik kepala desa maupun BPD merupakan pengejawantahan dari pemerintahan oleh masyarakat. Kepala desa adalah anggota masyarakat desa yang
100
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
dipilih oleh masyarakat desa untuk mewakili masyarakat desa untuk menjalankan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah anggota masyarakat yang juga diplih sendiri oleh masyarakat untuk mewakili masyarakat dalam membentuk kebijakan desa. Ini merupakan salah satu bentuk demokrasi di desa. Keberadaan kelurahan dan desa dapat dijelaskan dengan menggunakan decentralization within cities atau neighbourhood decentralization. Jika decentralization within cities merupakan bentuk dari partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah maka kelurahan tidak dapat dimasukkan sebagai bagian dari konsep tersebut karena kelurahan adalah bentuk langsung dari keberadaan perangkat daerah dalam melayani masyarakat secara profesional. Kelurahan pada dasarnya bukan bagian dari pemerintahan demokratis oleh masyarakat kelurahan. Demokrasi pada masyarakat kelurahan bukan terletak pada level kelurahan namun pada level daerah dengan adanya otonomi daerah. Hal ini berbeda dengan desa yang pada dasarnya adalah pemerintahan oleh masyarakat sendiri. Keberadaan desa merupakan bentuk demokrasi pada level desa, sehingga masyarakat desa juga mengalami alam demokrasi pada level desa sekaligus pada level daerah. dari sisi neighbourhood decentralization, desa merupakan pengejawantahan dari bentuk decentralized democracy sekaligus decentralized management, sementara kelurahan hanya menikmati decentralized management.
101
Bab 6
DEKONSENTRASI
T
ulisan dan kajian tentang dekonsentrasi tidaklah sepopuler desentralisasi, meskipun pada kenyataannya tidak ada satupun negara di dunia yang tidak menjalankan dekonsentrasi.
Selain karena konsep desentralisasi memiliki dua makna. Pertama dalam arti yang lebih luas sehingga dekonsentrasi merupakan bagian dari padanya, yang kedua desentralisasi dalam arti sempit pun (ini setara dengan dekonsentrasi namun merupakan tipe desentralisasi yang berbeda) tetap dikaji dan ditulis dengan lebih banyak oleh para peneliti dan ilmuwan. Padahal sejak tahun 1970an dekonsentrasi menjadi semakin populer diselenggarakan di berbagai belahan dunia (Cheema & Rondinelli, 1983). Perhatian yang sama tentang kondisi kurangnya perhatian dan kajian tentang dekonsentrasi juga jauh hari
103
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
telah diungkapkan pula oleh Stroink dalam makalahnya pada tahun 1986 (Stroink, 2006). Awalnya, dekonsentrasi ini dipandang sebagai internal decentralization (Baum, 1960). Dekonsentrasi dipandang sebagai perluasan dari ukuran birokrasi. Dekonsentrasi juga dipandang sebagai desentralisasi kewenangan dalam proses administrasi di dalam birokrasi. Desentralisasi kewenangan dan urusan yang mengikutinya merupakan jawaban untuk mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan pegawai yang tersebar di seluruh organ birokrasi tersebut. Istilah desentralisasi yang digunakan dalam hal ini sebenarnya untuk menggambarkan pembagian kewenangan administrasi melalui distribusi kepada pegawai bawahan dalam birokrasi itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan internal decentralization. Dengan demikian tampak jelas sekali bahwa dekonsentrasi ini merupakan bagian dari decentralization within government sebagaimana dijelaskan oleh Cheema & Rondinelli (2007). Sementara itu, Stroink (2006) menyampaikan bahwa dekonsentrasi berarti pelaksanaan kewenangan masih tetap oleh pemerintah pusat karena pelaksana wilayah masih tetap merupakan badan yang masih memiliki hubungan hirarkis dengan Menteri. Hirarkis berarti bahwa pejabat wilayah masih diposisikan sebagai pejabat kementerian dan bawahan dari Menteri. Selanjutnya Mawhood (1983) juga menyampaikan bahwa dekonsentrasi (yang berbeda dari desentralisasi ini) juga memiliki nama lain dengan makna yang serupa, yakni
104
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
bureaucratic decentralization sebagai pembeda dari democratic decentralization,
atau
administrative
decentralization
sebagai
pembeda dari political decentralization. Apa yang disampaikan oleh Stroink dan Mawhood di atas tentang makna dekonsentrasi semakin diperkuat oleh Cheema & Rondinelli (1983) yang mendefinisikannya sebagai berikut: “Deconcentration is the handing over of some amount of administrative authority or responsibility to lower levels within central government ministries and agencies. It is a shifting of the workload from centrally located officials to staff or offices outside of the national capital.” Secara bebas, definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa dekonsentrasi merupakan penyerahan sejumlah kewenangan atau urusan administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah di dalam kementerian dan Lembaga sendiri. Ia hanyalah peralihan beban kerja dari pejabat atau pegawai yang berada kantor pusat kepada staf atau kantor yang terletak di luar ibu kota nasional (atau di luar kantor pusat). Selanjutnya, dekonsentrasi dan desentralisasi dapat dibedakan dalam tiga hal (Smith, 1985). Pertama adalah berkaitan dengan kewenangan yang dilimpahkan oleh pejabat pemerintah pusat kepada instansi vertikal (field administration) lebih bersifat administratif atau birokratis daripada bersifat politis. Kewenangan administratif ini artinya adalah menyangkut pada kewenangan untuk melaksanakan kebijakan, sementara kewenangan politis seringkali menyangkut kewenangan dalam membuat kebijakan dan bahkan mencakup pula kewenangan
105
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
untuk melaksanakan kebijakan yang dibuat sendiri tersebut. Kedua adalah berkenaan dengan pejabat atau pegawai di instansi vertikal (field administrators) pada umumnya adalah Pegawai Negeri atau Aparatur Sipil Negara yang direkrut berdasarkan prosedur seleksi yang normal digunakan oleh Kementerian atau Lembaga yang terkait. Pejabat atau pegawai tersebut kemudian ditempatkan atau ditugaskan di wilayah administrasi (instansi vertikal) dari kementerian atau Lembaga tersebut. Tentu setiap negara memiliki kebijakan tersendiri tentang bagaimana mengatur wilayah administrasi tersebut. Ketiga adalah menyangkut wilayah kerja atau yang kemudian dikenal sebagai wilayah administrasi yang merupakan tempat bekerjanya para pejabat atau pegawai yang ditempatkan di instansi vertikal tersebut. Wilayah administrasi dalam tulisan ini merupakan terjemahan dari field administration suatu istilah yang lazim dalam dekonsentrasi. Padanan kata dari field administration ini juga dapat berupa regional administration atau prefectoral administration (Mawhood, 1983). Wilayah administrasi dibentuk dan disusun berdasarkan pertimbangan administratif, yakni pertimbangan efektivitas dan efisiensi daripada pelaksanaan kewenangan administrasi yang dilimpahkan kepada instansi vertikal tersebut. Pertimbangan administrasi ini lebih dominan dijalankan dalam asas dekonsentrasi dibandingkan asas desentralisasi yang umumnya cenderung menggunakan pertimbangan karakteristik masyarakat setempat dan pertimbangan politik lainnya dalam membentuk daerah dan dalam menyusun batas batas daerah.
106
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Dalam peraturan perundangan di Indonesia, umumnya dekonsentrasi akan melimpahkan kewenangan kepada wilayah administrasi sementara desentralisasi akan menyerahkan kewenangan dan urusan kepada daerah otonom. Dalam pelaksanaan dekonsentrasi, setiap kementerian dan lembaga akan mengutamakan pertimbangan fungsionalnya masing masing dalam menyusun wilayah administrasinya termasuk batas batasnya sehingga amat memungkinkan jika akan terjadi perbedaan batas dan jumlah wilayah administrasi antar kementerian dan lembaga. Dalam hal penataan wilayah administrasi ini, A.F. Leemans (1970) sudah menyampaikan bahwa pada dasarnya wilayah administrasi merupakan central government field administration yang pada dasarnya terdiri dari dua jenis. Pertama adalah fragmented field administration (FFA) dan yang kedua adalah integrated field administration (IFA). Fragmented field administration berarti bahwa pembentukan dan penataan instansi vertikal dijalankan secara fungsional berdasarkan pertimbangan dan kepentingan pada masing masing kementerian. Pertimbangan fungsional ini menyebabkan bahwa pengaturan setiap instansi vertikal akan memungkinkan terjadinya fragmentasi atau perbedaan antar kementerian. Tidak ada keseragaman dalam jumlah, tingkatan dan penentuan batas wilayah administrasi karena semuanya bergantung pada kebutuhan dan kemampuan setiap kementerian. Sementara itu, integrated field administration menunjukkan adanya keseragaman dalam hal penataan wilayah administrasi sehingga ada
107
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
keseragaman dan keterpaduan tentang jumlah, tingkatan dan batas wilayah administrasi. Jenis wilayah administrasi ini memungkinkan terjadinya koordinasi yang efektif antar kementerian serta mudahnya pengendalian oleh kepala pemerintahan. Dalam tipe ini, sangat dimungkinkan dibentuknya general representative of central government atau yang biasa dikenal dengan wakil pemerintah pusat. Biasanya wakil pemerintah ini memiliki sebutan yang berbeda antar negara seperti prefect, governor atau sebutan yang lainnya. di banyak negara, wilayah administrasi yang terintegrasi ini juga memiliki sebutan yang berbeda misalnya prefecture di Jepang, department di Perancis, dan province di Italia. Semua wilayah administrasi tersebut adalah berbeda dari daerah otonom karena ia merupakan bagian dari pemerintahan pusat sebagai penerapan dari asas dekonsentrasi. Sementara daerah otonom merupakan akibat dari diterapkannya asas desentralisasi. Selanjutnya, Smith (1985) juga menyampaikan bahwa dekonsentrasi diterapkan di suatu negara karena memiliki dua peran utama, yakni administrasi dan politik. Peran administrasi meliputi empat peran sebagaimana dijelaskan berikut ini. Pertama adalah bahwa dekonsentrasi akan memperluas akses pelayanan pemerintah pusat kepada masyarakat. Pelaksanaan fungsi pemerintahan sehari-hari seringkali membutuhkan kehadiran langsung apparat pemerintah pusat dalam melayani masyarakat di seluruh wilayah negara. Kedua adalah peran untuk menyelia mesin pemerintahan. Peran ini dibutuhkan untuk menjamin mesin pemerintahan tetap berjalan dalam mencapai tujuan
108
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
tujuan pemerintah pusat. Yang dimaksud sebagai mesin pemerintahan di sini sebenarnya bukan hanya mesin kementerian dan Lembaga yang amat beragam beroperasi di seluruh wilayah suatu negara, namun juga mesin pemerintahan daerah. Asas desentralisasi tidak berarti hilang tanggung jawab pemerintah pusat setelah kewenangan dan urusannya diserahkan kepada daerah. Desentralisasi merupakan salah satu bentuk dari Areal Division of Power yang memiliki konsekuensi berbeda dari federalisme. Desentralisasi tetap menempatkan pemerintah pusat sebagai pemegang kedaulatan, yang pelaksanaannya diserahkan kepada daerah sehingga penanggung jawab utama pemerintahan tetap berada di tangan pemerintah pusat. Oleh karena itu tetap saja ada fungsi pengawasan dari pemerintah pusat kepada daerah. Ketiga adalah peran komunikasi yang menempatkan pejabat wilayah administrasi sebagai “mata dan telinga” pemerintah pusat yang disebar ke seluruh penjuru wilayah. Peran ini dijalankan untuk menangkap dengan cepat aspirasi, reaksi, dan keadaan masyarakat di seluruh pelosok sehingga dengan cepat dapat dideteksi oleh pemerintah pusat. Selain itu, peran ini juga dapat dijalankan untuk memberikan informasi seputar kebijakan pemerintah dalam pelayanan publik, proses pembangunan, dan yang berkaitan dengan beragam agenda pemerintah pusat lainnya. Keempat adalah peran manajemen dari setiap kementerian dan lembaga (departmental management) untuk menjalankan tugas dan target kinerjanya. Peran manajemen seringkali membutuhkan pembagian pekerjaan yang tidak hanya berbasis pada
109
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
fungsi namun juga wilayah sehingga akan dibutuhkan suatu bagian yang bertugas di berbagai wilayah di luar Kantor Pusat kementerian dan Lembaga tersebut. Bagian kewilayahan ini akan mencerminkan birokrasi pemerintah pusat karena terkandung unsur hirarki, rentang kendali, rantai komando, spesialisasi, koordinasi dan lain sebagainya. Bagian kewilayahan ini seringkali mengikuti susunan pemerintahan dari suatu negara, namun juga berbeda dari susunan tersebut sesuai dengan kebutuhan efektivitas dan efisiensi dari pelaksanaan tugas setiap kementerian dan Lembaga. Misalnya Kepolisian Republik Indonesia yang cenderung paralel dengan susunan pemerintahan. Ada Polda yang disusun setara dengan tingkatan Provinsi, dan Polres yang mengikuti susunan Kabupaten atau Kota. Sementara itu, TNI AD memiliki struktur kewilayahan yang sedikit berbeda. Ada Kodam yang wilayah kerjanya beririsan dengan Provinsi dan ada pula yang lebih luas daripada satu Provinsi (terkadang satu Kodam bekerja dalam ruang lingkup beberapa Provinsi). Selain itu, ada pula Korem yang terkadang memiliki wilayah kerja yang beririsan dengan satu provinsi atau bahkan dalam satu wilayah provinsi ada tersedia beberapa Korem. Demikian pula pengaturan wilayah kerja Kodim yang umumnya setingkat dengan Kabupaten atau Kota. Secara umum pembentukan bagian kewilayahan dalam organ pemerintah pusat ini adalah bagian dari manajemen yang dijalankan oleh setiap organ dengan pertimbangannya masing masing.
110
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Sementara itu, Smith (1985) juga menyampaikan bahwa meskipun dekonsentrasi itu pada dasarnya adalah desentralisasi administrasi dan dengan demikian semata berkenaan dengan pelimpahan kewenangan administrasi yang amat sangat kuat didasarkan pada pertimbangan administrasi, dekonsentrasi ternyata juga memiliki peran politik yang dapat diidentifikasi dalam lima jenis peran. Pertama adalah peran untuk menjaga stabilitas politik. Kehadiran apparat pemerintah pusat di seantero wilayah negara dapat bermanfaat untuk menjaga stabilitas politik. Sumber sumber instabilitas politik dapat dideteksi dengan cepat oleh pemerintah pusat. Selain itu, kehadiran apparat pemerintah pusat di seluruh wilayah juga dapat digunakan untuk menanggulangi sumber instabilitas tersebut dengan cepat mengingat apparat pemerintah pusat ini (instansi vertikal) dapat digerakkan dan dikomando secara langsung oleh pemerintah pusat. Kedua adalah bahwa pejabat atau pegawai pemerintah pusat yang tersebar di instansi vertikal dapat digunakan untuk meredam oposisi politik terhadap pemerintah pusat dan pada saat yang bersamaan juga dapat digunakan untuk menghalangi adanya ancaman serius terhadap rezim pemerintah yang berkuasa. Peran politik dari dekonsentrasi yang ketiga adalah policy control. Peran ini dijalankan dengan memanfaatkan pejabat pemerintah pusat yang ditempatkan di instansi vertikal yang tersebar di seluruh wilayah untuk mendukung sepenuhnya kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah. Karena pejabat tersebut bertanggung jawab
111
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
kepada Kantor Pusat-nya maka dapat dipastikan bahwa mereka akan menjalankan kebijakan publik tersebut. Tidak hanya menjalankan kebijakan saja, pejabat yang berfungsi sebagai kepala wilayah (prefect) juga dapat digunakan untuk mempengaruhi instansi dan pegawai pemerintah lainnya yang tersebar di sekitar wilayah kerjanya untuk ikut serta mendukung kebijakan pemerintah. Pada saat yang bersamaan, peran policy control ini juga dapat dimanfaatkan untuk meredam perlawanan baik dari birokrasi pemerintah lainnya (termasuk perangkat daerah) terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah pusat. Keempat adalah bahwa kehadiran aparat pemerintah pusat di berbagai wilayah administrasi dalam suatu negara dapat dimanfaatkan untuk memelihara loyalitas politik kepada pemerintah yang berkuasa. Aparat ini amat bergantung dan bertanggung-jawab kepada Kantor Pusatnya, sehingga dapat dikendalikan loyalitasnya kepada pemerintah saat ini serta dapat didayagunakan juga sebagai instrument untuk memelihara dan menyebraluaskan loyalitas tersebut kepada aparat lainnya. Peran kelima adalah berkenaan dengan kemampuan aparat instansi vertikal untuk dimanfaatkan dalam perubahan politik (political change). Peran ini dijalankan dengan memanfaatkan struktur kewenangan dari setiap instansi pemerintah serta dengan memanfaatkan keterlibatan aparat pemerintah pusat di berbagai wilayah tersebut dalam proses pembuatan kebijakan. Tidak hanya dalam hal perubahan politik, kehadiran field administrator ini dapat dimanfaatkan pula dalam perubahan social dan ekonomi. Pemerintah pusat memiliki kepanjangan tangan untuk tetap
112
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
hadir di berbagai wilayah baik untuk meredam oposisi dan ancaman, sekaligus memiliki agen untuk melakukan perubahan politik maupun non politik. Secara umum ada dua jenis dekonsentrasi sebagaimana disampaikan oleh Smith (1985). Pertama adalah functional system yang berarti bahwa setiap kementerian atau lembaga (baik berupa Lembaga Pemerintah Non Kementerian ataupun Lembaga Non Struktural) memiliki cabang kewilayahannya sendiri dengan pertimbangan manajerial sesuai dengan kebutuhannya masing masing. Instansi vertikal diatur dan disusun sesuai dengan pertimbangan fungsi atau urusannya masing masing. Misalnya kementerian pertanian, kementerian keuangan atau bahkan setiap Direktorat Jenderal di Kementerian Keuangan memiliki pengaturan sesuai fungsinya masing-masing yang berbeda dari Direktorat Jenderal lainnya. Pengaturan wilayah kerja Ditjen Pajak dengan Ditjen Bea Cukai berbeda satu sama lain meskipun berada dalam kementerian yang sama. Setiap pejabat senior di setiap wilayah bertanggung jawab sesuai fungsinya masing masing kepada jalur komandonya masing masing. Koordinasi dirancang secara terpusat sesuai dengan Kantor Pusatnya masing masing. Sistem fungsional ini tidak mengenal adanya wakil pemerintah pusat atau kepala wilayah administrasi yang bersifat umum untuk mengkoordinasikan seluruh instansi vertikal dalam suatu wilayah. Pengendalian pelaksanaan tugas setiap organisasi wilayah (instansi vertikal) hanya dilaksanakan berdasarkan jalur komando setiap organisasi dan tidak ada pengendali
113
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
umum dari pemerintah pusat yang mampu menjangkau semua organisasi pemerintah pusat di suatu wilayah. Hal ini memungkinkan terjadinya penyusunan organisasi wilayah berdasarkan pertimbangan efektivitas dan efisiensinya setiap organisasi yang tentu saja berbeda dari organisasi kementerian dan Lembaga lainnya. Jikalau memang potensi tugas di suatu wilayah tidak besar maka tidak ada keharusan bagi organisasi tersebut membuka cabang di wilayah tersebut. Besaran organisasi di setiap wilayah juga tidak harus sama bergantung pada kompleksitas dan beban tugas yang harus diselesaikan di wilayah tersebut. Dekonsentrasi jenis kedua adalah prefectoral system yang ditandai dengan adanya penunjukan wakil pemerintah pusat di suatu wilayah sub-nasional. Wakil pemerintah pusat ini bersifat umum yang artinya tidak berbasis pada fungsi (atau urusan) tertentu saja. Smith (1985) menyampaikan bahwa “A Prefectoral system of field administration involves the appointment of a general representative of central executive to a subnational territory.” Jelas sekali pula dari definisi tersebut bahwa wakil pemerintah pusat ini merupakan kepala wilayah yang ditempatkan di suatu wilayah administrasi sub-nasional. Wakil pemerintah pusat ini merupakan bagian dari pemerintah yang merupakan cabang eksekutif dalam sistem ketatanegaraan, bukan bagian dari cabang legislatif maupun yudikatif. Wakil pemerintah pusat ini juga seringkali dapat disebut sebagai Kepala Wilayah (Prefect) yang seringkali pula merupakan pejabat paling senior di suatu wilayah administrasi.
114
wilayah administrasi. Gambar 1. Tipologi Dekonsentrasi Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Deconcentration
Functional System
Prefectoral System
Integrated Prefectoral System
Unintegrated Prefectoral System
Gambar 6. Tipologi Dekonsentrasi Sumber: B.C. Smith, 1985
Sumber: B.C. Smith, 1985
Dalam kaitannya antara Kepala Wilayah satu pihak dengan Dalam kaitannya antara Kepala Wilayah di di satu pihak dengan pihak pihak lain seperti Pemerintah Daerah dan pejabat fungsional regional
lain seperti Pemerintah Daerah dan pejabat fungsional regional instansi instansi pemerintah pusat lainnya maka sistem kedua ini juga masih
pemerintah pusat lainnya maka sistem kedua ini juga masih dapat dibagi dapat dibagi lagi dalam dua kategori yakni integrated system atau
lagi dalam dua kategori yakni integrated system atau seringkali pula disebut seringkali pula disebut sebagai integrated prefectoral system dan
sebagai integrated prefectoral system dan unintegrated system atau biasa unintegrated system atau biasa dikenal pula sebagai unintegrated
dikenal pula sebagai unintegrated prefectoral system (Smith, 1985). Dalam prefectoral system (Smith, 1985). Dalam kategori yang pertama,
kategori yang system, pertama, integrated system, Smithbahwa: (1985) menyampaikan integrated Smith (1985) menyampaikan “The prefect is bahwa: “The prefect is the superior officer of tothe whom officialsare of the the superior field officer to whom field the officials otherthe ministries subordinate. The prefect represents the national interest, the state and the government. He embodies the authority of all central ministries.” Dalam hal ini prefect dapat diterjemahkan sebagai kepala wilayah yang merupakan pejabat pemerintah pusat yang ditempatkan di wilayah
115
109
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
tertentu. Semua pejabat kementerian dan Lembaga pemerintah pusat merupakan bawahan dari kepala wilayah ini. Kepala wilayah juga dapat disebut sebagai wakil pemerintah pusat karena ia merupakan representasi yang mewakili semua kepentingan nasional, negara, dan pemerintah pusat di wilayahnya. Kepala wilayah juga melingkupi semua kewenangan yang dijalankan oleh semua kementerian dan lembaga di wilayah yang berada dalam batas yurisdiksinya. Sementara itu, berkaitan hubungan antara kepala wilayah dengan pemerintahan daerah, selanjutnya Smith (1985) juga menyampaikan bahwa: “in relation to local government the prefect is the senior executive officer of higher-tier local authority and exercises control over lower-tier authorities.” Kepala wilayah merupakan pejabat dari susunan pemerintahan yang berada di atas pemerintahan daerah yang memiliki kewenangan untuk menjalankan pengendalian dan pengawasan terhadap susunan daerah otonom atau pemerintah daerah yang berada di bawahnya. Kepala wilayah merupakan pejabat pelaksana senior yang mewakili pemerintah pusat untuk mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Dalam hal ini ada dua tafsiran. Dapat saja seorang wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi merupakan kepala wilayah yang mengawasi jalannya pemerintahan daerah provinsi saja, atau daerah kabupaten atau kota saja, atau daerah provinsi dan kabupaten/kota sekaligus. Tentu hal ini bergantung pada kebijakan yang diterapkan di sebuah negara. Jika ada kepala wilayah di level provinsi yang hanya membawahi daerah provinsi saja, maka
116
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
umumnya akan ada kepala wilayah lain di level kabupaten atau kota yang membawahi daerah kabupaten atau kota. Namun jika ada satu kepala wilayah di level provinsi sementara itu tidak ada kepala wilayah di level kabupaten atau kota maka biasanya kepala wilayah tersebut akan membawahi sekaligus daerah provinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian, dalam integrated prefectoral system tampaknya seorang prefect cenderung menjadi seorang kepala wilayah administrasi. Seorang kepala wilayah juga merupakan wakil pemerintah pusat yang bertugas untuk mengkoordinasikan dan mengawasi jalannya pemerintahan di wilayahnya dengan membawahi baik semua pejabat pemerintah pusat dari kementerian dan Lembaga maupun semua pemerintahan daerah yang berada dalam wilayah yurisdiksinya. Dalam sistem ini, Batas yurisdiksi wilayah administrasi seringkali berhimpitan dengan batas wilayah yurisdiksi daerah otonom, sehingga memungkinkan dalam batas yurisdiksi yang sama akan ada kepala wilayah sekaligus juga kepala daerah. Dalam hal ini, akan sangat mungkin terjadi dua alternatif pejabat. Pertama, bahwa kepala wilayah dijabat oleh orang yang berbeda dari kepala daerah. Kepala wilayah memiliki organ dan dukungan organisasi dan personilnya sendiri yang merupakan aparat pemerintah pusat. Kedua adalah bahwa kepala wilayah dijabat oleh orang yang sama dengan kepala daerah. Dua jabatan yang berbeda namun dipegang oleh orang yang sama. Peran yang dimainkan juga berbeda dengan dukungan administrasi yang berbeda, namun dijalankan oleh orang yang sama. Sehingga akan ada seorang
117
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
pejabat yang memegang kuasa sekaligus sebagai kepala wilayah dan kepala daerah. Jenis yang kedua ini memungkinkan untuk terjadinya koordinasi yang lebih baik antara kebijakan dan program pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, hubungan antar susunan pemerintahan (antara pusat dan daerah) akan jauh lebih mudah diakomodasikan antara kepentingan pusat dan daerah. Aspirasi daerah lebih mudah diserap oleh instansi vertikal di wilayah tersebut, sekaligus pada saat yang bersamaan kebijakan pusat dapat segera diserap oleh daerah. Selanjutnya adalah pembahasan tentang jenis yang kedua yakni unintegrated prefectoral system. Dalam sistem ini, Smith (1985) menunjukkan bahwa “the area under the prefect’s jurisdiction is less likely to be adopted by the field services of functional departments than in the integrated system. The prefect is only one among many channels of communication between the localities and the capital. Each ministerial representative in the field maintains independent links with its own headquarters. They are not subordinate to the authority of the prefect.” Dalam sistem ini, prefect seringkali lebih memainkan peran sebagai wakil pemerintah pusat dalam suatu wilayah dengan batas yurisdiksinya yang lebih bersifat fungsional. Batas wilayah administrasi mengikuti umumnya yang dijalankan oleh kementerian dan lembaga dalam menentukan organisasi kewilayahannya sesuai dengan pertimbangan kebutuhan dan prioritasnya. Wakil pemerintah pusat dalam hal ini adalah salah satu saluran komunikasi antara daerah otonom dengan pemerintah pusat, dan antara pejabat wilayah setiap
118
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
kementerian dengan kepentingan nasional yang lebih luas. Namun demikian, setiap pejabat kementerian di wilayah (instansi vertikal) tetap memiliki hubungan yang mandiri dengan kantor pusatnya. Pejabat wilayah dari setiap kementerian dan Lembaga pemerintah pusat tetap bukanlah bawahan dari wakil pemerintah pusat karena dia secara fungsional tetap merupakan bawahan dari kantor pusatnya sendiri. Dalam hal ini, fungsi koordinasi lebih kuat dimainkan oleh wakil pemerintah pusat daripada fungsi kendali. Dari sudut pandang pemerintahan daerah, sistem ini lebih menunjukkan otonomi daerah yang lebih kuat dibandingkan kendali pemerintah pusat kepada daerah otonom. Sebagaimana disampaikan juga oleh Smith (1985) bahwa: “as regards local government, while the prefect exercises administrative supervision and control, local authorities appoint their own chief executives.” Tipologi ini jelas tampak sekali berusaha menyeimbangkan antara otonomi daerah dengan kontrol pusat terhadap daerah. Pada saat yang bersamaan dengan wakil pemerintah pusat menjalankan pengawasan dan pengendalian terhadap pemerintahan daerah, daerah otonom juga dapat mengangkat kepala pemerintahannya sendiri. Dengan demikian, tampak ada pemisahan secara tegas antara wakil pemerintah pusat dengan kepala daerah. Selain daripada itu, tampak pula bahwa prefect lebih cenderung dimainkan sebagai wakil pemerintah pusat daripada sebagai kepala wilayah meskipun seringkali dalam penyebutan di suatu negara bahwa kedua hal tersebut dipergunakan secara silih berganti.
119
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Indonesia dapat dijadikan sebagai contoh tentang bagaimana dekonsentrasi diterapkan. Bhenyamin Hoessein (2011) menjelaskan bahwa pada awalnya Indonesia dipengaruhi oleh sistem Eropa Kontinental yang dalam hal ini masuk ke Indonesia lewat pengaruh Belanda ketika pada awalnya menyusun desentralisasi di era Hindia Belanda. Di era Orde Baru, kepala daerah juga dijadikan sebagai wakil pemerintah atau. Dengan demikian Gubernur sebagai kepala wilayah provinsi (asas dekonsentrasi) sekaligus juga sebagai Kepala Daerah Tingkat I (asas desentralisasi). Demikian pula dengan Bupati sebagai kepala wilayah kabupaten dan walikotamadya sebagai kepala wilayah kotamadya (asas dekonsentrasi) sekaligus juga sebagai Kepala Daerah Tingkat II (asas desentralisasi). Agak berbeda dari dua susunan pemerintahan tersebut adalah kecamatan. Camat diangkat sebagai kepala wilayah administrasi kecamatan, namun demikian camat bukanlah kepala daerah karena kecamatan bukanlah daerah otonom. Dalam hal ini camat bertanggung-jawab kepada atasan langsungnya yakni bupati, dan tidak bertanggung jawab kepada Kepala Daerah Tingkat II. Kecamatan muncul sebagai wilayah administrasi berdasarkan asas dekonsentrasi dan bukan bagian dari penerapan asas desentralisasi. Situasi kepala daerah ditetapkan sekaligus sebagai kepala wilayah ini jelas mirip dengan integrated prefectoral system yang diterapkan di Indonesia masa Orde Baru. Cara ini membuat garis komando yang tidak terputus (unbroken chain of command) dari pemerintah pusat
120
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
ke daerah, sehingga jalannya pemerintahan dan pembangunan dapat dikondisikan terpadu dari pusat hingga daerah. Untuk itu, syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi kepala daerah sekaligus wakil pemerintah pusat adalah akseptabilitas di tingkat lokal dan kapabilitas dari sudut pandang pemerintah pusat. Dua syarat yang dibutuhkan untuk menjalankan baik kepentingan pusat maupun daerah. Situasi ini disebut oleh Nicole Niessen (1999) sebagai “autonomy alongside deconcentration.” Situasi ini membawa hasil yang berbeda antara apa yang dinyatakan dengan kenyataan. Di atas kertas, dinyatakan bahwa desentralisasi dan dekonsentrasi adalah sama pentingnya dan dijalankan secara berimbang. Kenyataannya adalah dekonsentrasi tampak lebih dominan dibandingkan dengan otonomi daerah (Niessen, 1999). Bahwa dekonsentrasi berposisi lebih tinggi daripada otonomi di masa Orde Baru, tampaknya memperoleh penjelasan yang memadai ketika kita melihat apa saja peran wakil pemerintah. Bhenyamin Hoessein (2011) menyampaikan bahwa wakil pemerintah memiliki sembilan peran. Pertama adalah untuk menegakkan hukum dan menciptakan ketertiban masyarakat. Kedua adalah untuk menciptakan stabilitas politik. Ketiga adalah untuk mengkoordinasikan kegiatan perencanaan dan pelaksanaannya antara instansi vertikal dengan dinas daerah otonom, antara daerah otonom yang lebih tinggi dengan daerah otonom yang lebih rendah. Keempat adalah untuk melakukan pengawasan yuridis terhadap produk hukum daerah otonom yang lebih rendah. Kelima adalah untuk menyeimbangkan beragam kepentingan
121
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
antara daerah otonom dan susunan pemerintahan di atasnya. Keenam adalah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antar daerah otonom. Ketujuh adalah menyelesaikan masalah yang terjadi berupa hambatan, gangguan, dan ancaman dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedelapan adalah untuk mengupayakan terjadinya kesetaraan dalam kualitas layanan publik antar daerah otonom baik secara vertikal maupun horizontal. Yang terakhir adalah untuk memperkecil rentang kendali pemerintah pusat terhadap susunan daerah otonom yang lebih rendah.
Gambar 7. Struktur Desentralisasi di Indonesia
Di Indonesia era reformasi terjadi pergeseran yang signifikan dalam
Indonesia reformasi terjadi pergeseran yang signifikan kaitanya Di dengan relasi era penerapan asas dekonsentrasi dan desentralisasi. dalam kaitanya dengan relasi penerapan asasdan dekonsentrasi dan Otonomi daerah meningkat secara signifikan diikuti dengan desentralisasi. Otonomi daerah meningkat secara signifikan dan berkurangnya kekuatan dekonsentrasi. Posisi kepala wilayah administrasi diikuti berkurangnya kekuatan dekonsentrasi. kepala pada awaldengan reformasi dipangkas secara signifikan dengan Posisi meninggalkan wilayahsaja administrasi pada awal reformasi dipangkasbahkan secaratidak signifigubernur sebagai wakil pemerintah. Di awal reformasi ada pengaturan yang memadai untuk menjelaskan peran gubernur sebagai wakil pemerintah. Reformasi bergulir122 sejak tahun 1998, dengan UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah sebagai tonggak sejarah penguatan desentralisasi di Indonesia. Baru pada tahun 2008 diatur lebih
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
kan dengan meninggalkan gubernur saja sebagai wakil pemerintah. Di awal reformasi bahkan tidak ada pengaturan yang memadai untuk menjelaskan peran gubernur sebagai wakil pemerintah. Reformasi bergulir sejak tahun 1998, dengan UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah sebagai tonggak sejarah penguatan desentralisasi di Indonesia. Baru pada tahun 2008 diatur lebih operasional tentang dekonsentrasi melalui PP No 7 tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Namun demikian, tugas gubernur sebagai wakil pemerintah juga belum tampak jelas. Baru pada tahun 2010 dan 2011 mulai muncul pengaturan yang lebih jelas tentang peran gubernur sebagai wakil pemerintah. Hal ini menjadi lebih kuat lagi ketika UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dengan tegas menyebutkan peran gubernur sebagai pemerintah pusat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa peran gubernur sebagai wakil pemerintah dalam wilayah administrasi tertentu kurang ditampilkan dengan tegas karena peran gubernur sebagai kepala daerah lebih menonjol dan pemerintah pusat lebih cenderung menggunakan functional system serta fragmented field administration dalam menjalankan operasional pemerintah pusat dan memelihara kepentingan nasional. Hal ini amat jauh berbeda dari kondisi di masa Orde Baru. Saat ini, konstruksi peran gubernur dalam sistem pemerintahan di Indonesia mencakup 3 status sebagaimana disampaikan oleh Wirdayanti (2020). Pertama adalah gubernur sebagai kepala daerah. Jelas hal ini merupakan penerapan asas desentralisasi yang menunjukkan
123
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
provinsi sebagai daerah otonom dan gubernur sebagai kepala daerah otonom provinsi. Dalam hal ini pemerintah daerah provinsi diselenggarakan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Gubernur sebagai kepala daerah, serta dibantu oleh perangkat daerah provinsi. Dalam hal ini gubernur merupakan symbol pemimpin masyarakat provinsi yang mengutamakan aspirasi dan pilihan masyarakat setempat serta kepentingan daerah ketika berhadapan dengan kepentingan nasional. Kedua gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Dengan penunjukan ini maka konsekuensinya adalah wilayah administrasi atau wilayah kerja gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berhimpitan dengan daerah provinsi. Sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur memiliki anggaran dan perangkat sendiri yang berasal dari pemerintah pusat dan harusnya berbeda dari anggaran dan perangkat daerah. Pertanggung-jawabannya juga kepada pemerintah pusat. Ruang lingkup tanggung jawabnya adalah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap daerah otonom yang berada dalam batas yurisdiksi wilayah administrasinya. Pembinaan berarti upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja pemerintah daerah untuk menjalankan pemerintahan, pelayanan public dan pembangunan. Sementara pengawasan berarti kegiatan untuk menjamin bahwa regulasi, kebijakan dan pelayanan publik yang diselenggarakan daerah telah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Peran ketiga gubernur saat ini adalah sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum di daerah. Peran ketiga ini menun-
124
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
jukkan posisi baru gubernur yang bertanggung jawab kepada presiden melalui Menteri. Peran ini dijalankan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat karena urusan pemerintahan umum ini adalah bagian dari kewenangan pemerintah pusat. Peran ini juga dijalankan berdasarkan asas dekonsentrasi dengan wilayah kerja yang juga berhimpitan dengan daerah provinsi. Khusus untuk pelaksanaan urusan pemerintahan umum ini, bupati dan walikota juga menerima tugas dari pemerintah pusat di wilayah kerjanya sesuai dengan batas yurisdiksi daerah kabupaten atau kota masing masing. Dengan demikian, dalam hal urusan pemerintahan umum, bupati dan walikota juga merupakan wakil pemerintah pusat, namun dalam asas dekonsentrasi secara umum bupati dan walikota bukanlah merupakan wakil pemerintah pusat. Pada dasarnya urusan pemerintahan umum adalah berkaitan dengan penciptaan ketertiban umum dan penanganan konflik di daerah.
125
Bab 7
EPILOG
D
esentralisasi dalam pengertiannya yang luas baik sebagai pengejawantahan dari areal division of power (governmental decentralization) maupun non-governmental division of
power (governance decentralization) akan senantiasa dibutuhkan oleh semua negara di dunia ini, dengan tanpa memandang jenis negara maupun jenis pemerintahannya. Baik negara kesatuan maupun negara federal tetap membutuhkan desentralisasi. Demikian pula negara dengan sistem pemerintahan presidensial maupun parlementer tetap juga membutuhkan desentralisasi. Negara monarki maupun republik juga tetap membutuhkan desentralisasi. Menguatnya nongovernmental division of power telah menggeser (meskipun tetap berjalan seiring dan merupakan suatu kombinasi yang menantang)
127
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
areal division of power yang sebelumnya telah mendominasi dalam kurun waktu yang lama. Tentu ini semua merupakan konsekuensi logis dari masa paradigma governance saat ini. Cara pandang saat ini yang diyakini mampu mengatasi persoalan administrasi publik saat ini. Dalam situasi yang berkembang dewasa ini tersebut, serta mengorek analisis kecenderungan masa depan, ada beberapa isu yang disarankan untuk dikaji lebih mendalam di era mendatang. Hal ini diperlukan untuk melihat relevansi, arti penting dan pengembangan desentralisasi lebih kuat lagi sehingga kemanfaatannya tetap dapat dipelihara dalam mencapai tujuan bernegara. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pemerintahan di era sekarang dan mendatang. Fenomena globalisasi dan revolusi industri 4.0 membawa perubahan besar tidak hanya dalam ends and means dalam administrasi publik dan tentu hubungan pusat dan daerah. Dua fenomena besar tersebut mempengaruhi kehidupan kita dalam bentuk VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity). Perubahan yang cepat terjadi dan bahkan semakin sulit diperkirakan mengakibatkan munculnya ketidakpastian yang menghantui beragam segi kehidupan. Dua situasi tersebut diperparah dengan kompleksitas hubungan yang semakin rumit dan bergantung satu sama lain. Pada akhirnya muncul ambiguitas yang ditandai dengan sulitnya menilai mana yang benar dan mana yang salah, mana yang sebaiknya didukung dan mana sebaiknya yang ditentang. Semua situasi ini dihadapi oleh hampir semua pemerintahan di dunia ini.
128
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Dengan melihat perkembangan zaman yang semakin sulit diprediksi arahnya, sulit dibatasi ruang lingkupnya, dan sulit dicerna problematikanya tersebut membuat setiap negara mengambil prakarsa untuk menghadapinya. Ada yang berusaha keras meramalkan masa depan dan mengantisipasinya. Ada pula yang tidak sekedar memprediksi masa depan namun justeru berusaha membentuk masa depan karena meyakini bahwa menghadapi perubahan masa depan haruslah dengan membentuknya sesuai dengan arah yang diinginkannya. Ada pula yang mencoba menyelesaikan persoalan masa depan dengan melihat pelajaran yang dipetik dari pengalaman di masa lalu. Adapula yang melihat masa depan dengan masa bodoh saja dan mengikuti kemana arah angin berhembus atau kemana air mengalir. Beberapa isu tersebut antara lain menyangkut rivalitas penggunaan residuality dan subsidiarity dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pilihan atas kedua hal tersebut tentu memberi arah yang berbeda baik bagi pemerintah pusat maupun daerah. Pilihan atas residuality akan menuntun pada pemerintah pusat yang kuat dan dominan, sementara pilihan atas subsidiarity akan mengarah pada daerah otonom yang kuat. Pilihan tentu didasarkan pada relasi hubungan antara pusat dan daerah, sejauhmana daerah puas atas kepemimpinan pusat, atau sejauhmana pusat mampu mengendalikan daerah akan sangat mempengaruhi kebijakan desentralisasi suatu negara pada suatu masa, ataukah menjadi mazhab bagi suatu negara dalam mengelola pemerintahannya. Hal ini menarik untuk dikaji di masa mendatang
129
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
sehingga kita menjadi kenal tentang apa yang akan terjadi tentang bagaimana desentralisasi akan digunakan atau dibentuk dalam satu masa tertentu. Isu kedua adalah berkenan dengan pendulum desentralisasi yang kini cenderung mengarah pada axis sentralisasi. Dengan kata lain, hal ini seringkali disebut juga sebagai “resentralisasi”. Isu semakin mengemuka dengan perkembangan revolusi industry 4.0 yang mendorong banyak negara menerapkan digital governance. Banyak negara saat ini melakukan transformasi digital untuk menghasilkan pelayanan public yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan tuntutan masyarakat akan pelayanan public yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih responsive dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi yang semakin pesat. Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, mau atau tidak mau, peradaban saat ini bergerak pada era digital. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini mendorong semakin mudahnya menetapkan standarisasi secara nasional. Termasuk misalnya standarisasi pelayanan public, standarisasi proses dan prosedur, standarisasi data yang membutuhkan koneksivitas terpadu. Akibatnya adalah tentu diperlukan sentralisasi pengambilan keputusan dan proses. Apakah pengaruh teknologi digital ini juga benar benar mendorong arah resentralisasi, tentu hal ini membutuhkan pengkajian lebih lanjut untuk menjelaskan kompleksitasnya. Isu yang ketiga adanya kecenderungan penerapan kebijakan desentralisasi asimetrik. Keragaman daerah menuntut adanya perlaku-
130
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
an yang berbeda antar daerah. Ada banyak faktor yang mempengaruhi mengapa desentralisasi asimetrik dipilih dan semakin berkembang. Filipina dan Indonesia adalah dua negara di asia tenggara yang dewasa ini memilih menggunakan desentralisasi asimetrik untuk merespons ketegangan di daerah tertentu. Namun pada saat yang bersamaan, Thailand justeru merespon ketegangan daerahnya dengan desentralisasi asimetrik. Thailand justeru menjalankan kebijakan desentralisasi asimetrik untuk pelayanan public dan pembangunan pada daerah khusus yang memberikan pengungkit bagi kemajuan ekonomi nasional. Ada banyak pertimbangan dan tujuan yang hendak dicapai dalam mengambil kebijakan desentralisasi asimetrik. Hal ini juga menuntut penelitian lanjutan untuk benar benar dapat mempertimbangkan optimalisasi penerapan desentralisasi asimetrik bagi pencapaian tujuan bernegara dan kemaslahatan optimal bagi seluruh masyarakat. Isu yang keempat adalah berkaitan dengan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang saat ini di berbagai belahan dunia cenderung mengarah pada terbentuknya multi-level governance. Jikalau semula kajian diberikan semata pada hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, dan kemudian bergeser hubungan yang lebih kompleks seperti inter-governmental relations atau IGR (termasuk didalamnya adalah derivasinya seperti intergovernmental administration (IGA) dan intergovernmental management atau IGM. Kini bahkan ada perkembangan baru yang menggeser IGR, yakni
131
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
menguatnya fenomena MLG atau Multi Level Governance yang dipengaruhi oleh apa yang banyak terjadi di Uni Eropa. Sebagai penutup, dapatlah dirangkai cara berpikir dan hubungan antar bab yang disajikan dalam buku ini. Hal ini dibutuhkan untuk memudahkan pembaca dalam mencerna rangkaian bab dalam buku ini. Memang ada dua pilihan dalam hal ini. Pertama membiarkan pembaca merangkai sendiri hubungan antar bab tersebut, atau yang kedua dengan memberikan synopsis yang menunjukkan hubungan antar bab tersebut. Penulis memilih cara yang kedua yang dapat dibaca dalam Alinea berikut. Kajian dan teori desentralisasi tidak berkembang dalam ruang hampa. Perkembangan teori desentralisasi mengikuti kebutuhan dan tuntutan zaman. Perubahan paradigma administrasi publik juga berpengaruh terhadap teori desentralisasi dari yang semula berpusat pada decentralized government menjadi decentralized governance. Pondasi yang selama ini berpijak pada semata sektor pemerintah kini bergeser pada pijakan yang melibatkan di luar sektor pemerintah untuk menyajikan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Namun demikian, jika desentralisasi adalah pemberian otonomi kepada masyarakat maka seyogyanya pilihan diberikan kepada subsidiarity principle dan oleh karenanya hal tersebut perlu diperkuat. Jikalau desentralisasi berarti demokratisasi dan otonomisasi masyarakat maka seyogyanya desain juga lebih dekat dengan potensi, kapasitas, dan aspirasi masyarakat. Untuk hal ini maka berkembangnya desentralisasi asimetrik bukanlah
132
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
hal tabu untuk dilanjutkan. Selanjutnya, jikalau subsidiarity principle merupakan azas fundamental dalam penguatan teori desentralisasi maka perlu dipertimbangkan apa level pemerintahan terendah yang didesain. Kenyataannya ada struktur kewilayahan terendah yang juga memiliki pemerintahan namun tidak memiliki otonomi daerah karena ia merupakan bagian dari daerah otonom terendah. Untuk itulah maka desa perlu dipertimbangkan desain-nya dalam tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia. Selain itu, meskipun decentralized governance berpusat pada pelibatan aktor di luar pemerintah dalam tata Kelola pemerintahan, sebaiknya kita tidak menghilangkan peran dan kapasitas pemerintah dalam tata kelola tersebut. Faktanya pemerintah tetap menjadi faktor kunci dalam tata kelola tersebut. Untuk itu, kapasitas pemerintah dalam tata kelola pemerintahan tetap harus dikembangkan dan salah satu cara utamanya adalah dekonsentrasi. Pilihan terhadap arsitektur dekonsentrasi akan sangat menentukan peran dan kapasitas pemerintah dalam menjalankan tata kelola pemerintahan (governance) secara umum dan decentralized governance secara khusus.
133
DAFTAR PUSTAKA
Aben, C., Friis-Hansen, E., Agea, J., & Okiror, J.J. (2017) “Local Political Processes and the Management of the Awoja Watershed in Eastern Africa” in Friis-Hansen, E. Decentralized governance of adaptation to climate change in Africa. Boston, MA : CABI. Ahmad, J.K. (1998). “South Africa: An Intergovernmental Fiscal System in Transition” in Bird, R.M. & Vaillancourt, F. (eds). Fiscal Decentralization in Developing Countries. Cambridge: Cambridge University Press. Alderfer, H.F. (1964). Local government in developing countries, NewYork: Mc.Graw-Hill. Arnstein, S.R. (1969). A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners, Vol.35, issue 4, p. 216-224. Baum, B.H. (1960). Decentralization of Authority in A Bureaucracy. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall Inc. Bednar, J. (2014). “Subsidiarity and Robustness: Building The Adaptive Efficiency Of Federal Systems” in Fleming, J.E. & Levy, J.T. (eds) Federalism and Subsidiarity. New York: New York University Press Beesley, M.E. (1997) (2nd Edition). Privatization, Regulation and Deregulation. London: Routledge. Bird, R.M. & Ebel, R.D. (2007). Fiscal Fragmentation in Decentralized Countries: Subsidiarity, Solidarity and Asymmetry. Cheltenham, UK: Edward Elgar. Bloch, F., & Zenginobuz, U. (2012) Oates’ Decentralization Theorem with Household Mobility. https://hal.archives-ouvertes.fr/hal00657823
135
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Braun, J.V. & Grote, U. (2002). “Does Decentralization Serve the Poor?” in Ahmad, E. & Tanzi, V. (eds). Managing Fiscal Decentralization. London: Routledge. Brunetta, G. & Moroni, S. (2012). Contractual Communities in the Self-Organizing City: Freedom, Creativity, Subsidiarity. New York: Springer Burns, D., Hambleton, R. and Hoggett, P. (1994). The Politics of Decentralization : Revitalising Local Democracy. London : The Mac Millan Press. Cahyaningsih, A., & Fitrady, A. (2019). “The impact of asymmetric fiscal decentralization on education and health outcomes: Evidence from Papua Province, Indonesia.” Economics and Sociology, 12(2), 48-63. doi:10.14254/2071- 789X.2019/122/3 Cheema, G.S. & Rondinelli, D.A. (eds.) (2007). Decentralizing governance: emerging concepts and practices. Washington, D.C.: Brookings Institution Press. Cheema, G.S. & Rondinelli, D.A. (eds) (1983). Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. California: Sage Publications Inc. Chien, S.S., & Zhao, L.T. (2015, June) State-Mediated Knowledge Transfer and Resource Mobility: A Case Study of China Local Government Entrepreneurship. Issues & Studies, 51 (2), 39-78.
136
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Cohen, J.M. & Peterson, S.B. (1999). Administrative Decentralization: Strategies for Developing Countries. Connecticut: Kumarian Press. Colombo, A. (ed) (2012). Subsidiarity Governance: Theoretical and Empirical Models. New York: Palgrave Macmillan. Conyers, D. (1983). “Decentralization: the latest fashion in development administration?”, Public Administration and Development, Vol. 3, 97 -109. Conyers, D. (1986). “Decentralization and development: a framework for analysis”, Community Development Joumal, Vol. 2, number 2, April, 88-100. Denhardt, J.V. & Denhardt, R.B. (2015). New Public Service: Serving, Not Steering. 4th edition. New York: Routledge. Denhardt, J.V., & Denhardt, R.B. (2007). The new public service: serving, not steering. Expanded ed. New York: M.E. Sharpe, Inc. Donahue, J.D. & Nye, J.E. Jr. (eds). (2001). Governance amid bigger, better markets. Washington, D.C.: The Brookings Institution Press. Endo, K. (1994). The Principle of Subsidiarity: From Johannes Althusius to Jacques Delors. Hokkaido: HUSCAP. http://hdl. handle.net/2115/15558 Efriandi, T., Couwenberg, O., & Holzhacker, R.L. (2019). Decentralization and Public Service Provision: A Case Study of the Education Sector in Jayawijaya District, Papua, Indonesia. Contemporary Southeast Asia, Vol. 41, No. 3, pp. 364–89. DOI: 10.1355/cs41-3b
137
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Evans, M. & Zimmermann, A. (Eds) (2014). Global Perspectives on Subsidiarity. New York: Springer. Follesdal, A. (2014). “Competing Conceptions of Subsidiarity” in Fleming, J.E. & Levy, J.T. (eds) Federalism and Subsidiarity. New York: New York University Press Golić,D.,&Počuča,S.(2017).DecentralizedandDelegatedAffairs of a State Administration in the Field of Agriculture. Economics of Agriculture, 64 (2), 769-785. Gussen, B. (2019). Axial Shift: City Subsidiarity and the World System in the 21st Century. Singapore: Palgrave Macmillan. Harding, A. (2017). Devolution of Powers in Sarawak: A Dynamic Process of Redesigning Territorial Governance in a Federal System. Asian Journal of Comparative Law, 12, pp. 257–279. doi:10.1017/asjcl.2017.13 Henry, N. (2018). Publik Administration and Public Affairs. 13th edition. New York: Routledge. Hoessein, B. (2011). Perubahan Model, Pola dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi. Depok: DIA FISIP UI. Isra, S., Villiers, B., & Arifin, Z. (2019). Asymmetry in a Decentralized, Unitary State: Lessons from the Special Regions of Indonesia. Journal on Ethnopolitics and Minority Issues in Europe, Vol. 18, No 2, 43-71. This article is Located at: http://www.ecmi. de/fileadmin/downloads/publications/JEMIE/2019/DeVilliers et al.pdf Isufaj, M. (2017). “Fiscal Autonomy of Local Government Governance Flexibility and Responsiveness”. North Economic Review, Volume I, Number 1.
138
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Katorobo, J. (2007) Decentralization and Local Autonomy for Participatory Democracy. 7th Global Forum on Reinventing Government: Building Trust in Government. 26-29 June, Vienna, Austria. United Nations, DESA. Leemans, A.F. (1970). Changing Patterns of Local Government. Netherlands: IUKA. Li, L., & Chan, R.C.K. (2017) Contesting China’s Engagement with Neoliberal Urbanism: An Overview of The Evolving Policy and Mismatches in Urban China. Asian Education and Development Studies, Vol. 6 No. 1, pp. 44-56. DOI 10.1108/AEDS-03-20160021. Li, Y.Y. (2018). Asymmetric Decentralization, Intergovernmental Transfers, and Expenditure Policies of Local Governments. Frontiers of Economics in China, 13(2): 223–248. DOI 10.3868/ s060-007-018-0014-1 Maas, A.A. (1959). “Division of Powers: an Areal Analysis.” dalam Maass, A.A. (ed.) Area and Power: A Theory of Local Government. Glencoe, New York: The Free Press. Maldonado, C.E. (2004). “Human Rights, Solidarity and Subsidiarity: Essays toward a Social Ontology.” Cultural Heritage and Contemporary Change Series V, Latin America, Volume V. http://216.25.45.103/book/Series05/V-5/contents.htm22/7/2004 Mawhood, P. (1983). Local Government in the Third World: The Experience of Tropical Africa. Chichester: John Wiley & Sons. Mintzberg, H. (1992). Structure in Fives: Designing Effective Organizations. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
139
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Muluk, M.R.K. (2021) “Systematic Literature Review on Asymmetric Decentralization,” Bisnis & Birokrasi: Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi: Vol. 28: No. 2, Article 4. DOI: 10.20476/jbb. v28i2.1036 Muluk, M.R.K. (2009). Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Surabaya: ITS Press. Muluk, M.R.K. (2007). Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintahan Daerah. Malang: Bayu Media & LPD FIA UB. Norton, A. (1994). International Handbook of Local and Regional Government : A Comparative Analysis of Advanced Democracies. Cheltenham : Edwar Elgar. Niessen, N. (1999). Municipal Government in Indonesia: Policy, Law, and Practice of Decentralization and Urban Spatial Planning. Leiden: Research School CNWS, Universiteit Leiden. Podestà, F. (2017, Jan). The economic impact of the Friuli-Venezia Giulia autonomy: a synthetic control analysis of asymmetric Italian federalism. The Annals of Regional Science, Heidelberg, Vol. 58, Iss. 1, 21-37. DOI 10.1007/s00168-016-0779-0. Ramesh, M., & Howlett, M. (2006). Deregulation and Its Discontent: Rewriting the Rules in Asia. Cheltenham: Edward Elgar Publishing. Rizzi, D., & Zanette, M. (2017). A Procedure for The Ex-ante Assessment of Compulsory Municipal Amalgamation Policies. Public Finance and Management, Volume 17, Number 2, pp. 170-201. Roberts, J.M. (2004). Alliances, Coalitions and Partnerships: Building Collaborative Organizations. Canada: New Society Publishers. Rodden, J. & Wibbels, E. (Eds) (2019). Decentralized Governance and Accountability: Academic Research and The Future of Donor Programming. USAID.
140
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Rondinelli, D.A., Nellis, & Cheema, G.S. (1983). Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience. Washington D.C.: The World Bank. Roughneen, D. (2017). Humanitarian Subsidiarity: A New Principle? Cambridge Scholars Publishing Savas, E.S. (2000). Privatization and Public-Private Partnerships. New York: Chatham House Publishers. Schertzer, R. (2015, June) Intergovernmental Relations in Canada’s Immigration System: From Bilateralism towards Multilateral Collaboration. Canadian Journal of Political Science, 48:2, 383–412. Doi:10.017/S000842391500027X Shi, S.J. (2017, September). Reviving the Dragon: Social Ideas and Social Policy Development in Modern China. Issues & Studies: A Social Science Quarterly on China, Taiwan, and East Asian Affairs, Vol. 53, No. 3 1750006 (25 pages). DOI: 10.1142/ S1013251117500060. Simpson, M. (2017, Apr). The Social Union after the Coalition: Devolution, Divergence and Convergence. Journal of Social Policy, Cambridge, Vol. 46, Issue 2, pp. 251–268. doi:10.1017/ S0047279416000568 Smith, B.C. (1985). Decentralization: the Territorial Dimension of the State. London: George Alllen & Unwin. Soko, A., & Zorič, J. (2018, October). Municipal Efficiency and Economies of Scale in Bosnia and Herzegovina. Lex Localis Journal of Local Self-Government. Vol. 16, No. 4, pp. 715-734. https://doi.org/10.4335/16.4.715-734(2018) Stroink, F.A.M. (2006). Pemahaman Tentang Dekonsentrasi. Penerjemah: Ateng Syafrudin. Bandung: Refika Aditama.
141
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer
Tanzi, V. (2002). “Pitfalls on the Road to Fiscal Decentralization” in Ahmad, E. & Tanzi, V. (eds). Managing Fiscal Decentralization. London: Routledge. Tarlton, C.D. (Nov., 1965). Symmetry and Asymmetry as Elements of Federalism: A Theoretical Speculation. The Journal of Politics, Vol. 27, No. 4, pp. 861-874. Ter-Minassian, T. (2020). Intergovernmental Fiscal Cooperation and Subnational Revenue Autonomy. Inter-American Development Bank. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 UU nomor 6 tahun (2014) Tentang Desa World Bank. 1995. Bureaucrats in Business: The Economics and Politics of Government Ownership. New York: Oxford University Press. Wirdayanti, A. (2020). Peran Ganda Gubernur Dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia. Depok: LEADER. Zodrow, G.R. (ed.) (1983) Local provision of public services: The Tiebout model after twenty-five years. New York: Academic Press, Inc.
142
BIOGRAFI PENULIS M.R. Khairul Muluk adalah Staf Pengajar di Departemen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya dan saat ini diberi amanah sebagai Kepala Governance Laboratory FIA UB serta Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) sejak tahun 2011. Selain aktif mengajar di Program Sarjana, Magister dan Doktor Administrasi Publik, penulis juga aktif menulis paper baik di jurnal ilmiah bereputasi di dalam dan luar negeri serta presenter di berbagai seminar dan konferensi nasional dan internasional. Beberapa buku yang pernah dihasilkannya antara lain: Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah (2007), Knowledge Management: Kunci Sukses Inovasi dalam Pemerintahan Daerah (2008), Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah (2009), Inovasi dan e-Governance (Modul Buku Ajar Program Doktor Administrasi Publik Universitas Terbuka 2020), Dinamika Pengembangan Pariwisata di Daerah Otonom Baru (2021), Multilevel Governance dalam Kerja Sama Sister City/ Province Indonesia-Korea Selatan (2022). Saat ini, Penulis aktif sebagai Wakil Ketua Indonesian Association for Public Administration (IAPA) yang membidangi Pengembangan Akademik terutama yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum dan penjaminan mutu program studi. DI FIA UB, Penulis juga berpengalaman sebagai Ketua Lembaga Penerbitan dan Dokumentasi (2006-2007), Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan (2007-2009), Ketua Jurusan Administrasi Publik (2009-2013), Wakil Dekan Bidang Akademik (2013-2017), serta Sekretaris Senat (20072017). Penulis juga pernah menerima penghargaan sebagai Ketua Program Studi Berprestasi Peringkat I tingkat Universitas Brawijaya (2012), serta menerima Medal of Honor dari Ministry of National Defence, Republic of China (Taiwan) pada tahun 2008, dan Satya Lencana Karya Satya XX dari Presiden Republik Indonesia pada tahun 2019.
143