257 94 6MB
Indonesian Pages [392]
TERBUNUHNYA
KOTA MANUSIA
VēŚÐďǜĤēŚÐď÷ŕħОÐįÐįðÐįTÐħÐį÷Įé÷éÐŚÐį
+ðēŤĸŕDž
6,
0
3$
5$
David Efendi
1 *1 8 6 $ 1 7
$
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
i
TERBUNUHNYA
KOTA MANUSIA
VēŚÐďǜĤēŚÐď÷ŕħОÐįÐįðÐįTÐħÐį÷Įé÷éÐŚÐį ÷įŪħēŚDž ŕƄÐ"žēƄĸĊÐdž"ÐŽēð+ĉ÷įðēdžéðĸħÐď½÷ðdžðĤĤ +ðēŤĸŕDž"ÐŽēð+ĉ÷įðē "÷ŚÐēįVĸŽ÷ŕDž`ŪďÐĮĮÐðXŪĤĮÐį XÐƄĸŪŤDžĤĮÐħ=ÐďĮē ÷ŤÐĤÐįGdžTŪįēƯƭƮƵ "ēŤ÷ŕéēŤĤÐįĸħ÷ď ŪĮÐďÐêÐVĸĮŪįēŤÐŚ é÷Ĥ÷ŕġÐŚÐĮÐð÷įĊÐį ÷į÷ŕéēŤēĮŒÐįĊaŪŚÐįŤÐŕÐ ƃēēȌưƵƭďħĮǐƮƳƭƃƯƱƭĮĮ GaƶƴƵǜƳƭƯǜƲƮƶƲƵǜƱǜƳ
žžžNjŒ÷į÷ŕéēŤŚēĮŒÐįĊNjêĸĮ
ii
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
“Aku
masih ingat dengan jelas betapa sengsaranya rakyat bila pemimpin secara egois mengejar kepentingan pribadi.” –Dalai Lama ke-14
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
iii
"ÐĉŤÐŕGŚē
Daar Isi / iv Kata Pengantar: Gerakan Membunuh Jogja dan Awal Terbunuhnya KotaKota / vii 1.
Pendahuluan: #GerakanMembunuhJogja Jalan Lain Penyelamatan Kota David Efendi, Arya Dwiyoga, dan Abdulah Zed /1
2.
Pembangunan Beresiko: Refleksi Banalitas dalam Urban Ekologi di Kota Yogyakarta Meredian Alam /7
3.
Transportasi Publik dan Privat di Yogyakarta Nashih Luthfi / 25
4.
Persoalan Transportasi di Yogyakarta: Transportasi [tidak] Berkelanjutan? Siti A’yunis Sa’adah, Rido Argo Mukti, Nurlia Farida, Serli Mutiara, dan Gita Marlusianti / 30
5.
Tindakan-Tindakan Kreatif Perlawanan David Efendi / 51
6.
Demokrasi Digital Vis a Vis Modal Abdullah Zed / 59
7.
‘Jogja Ora Didol’ Bukan Cuma Mencari Haryadi Ferdhi F. Putra / 63
iv
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
8.
Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas pada Pemilu 2014 di Kota Yogyakarta Agus Andika Putra / 68
9.
Ilusi Keistimewaan: Perebutan Hak Hidup di Kota Yogyakarta Rii Sanahdi / 91
10. Perebutan Ruang Publik dan Sampah Visual di Kota Yogyakarta Muhammad Irdi, Sindy Santika Wati, Farnanda, Moch. Decky Arriadi, dan Ia Radiatul Rahmania / 103 11. Perizinan Toko Modern dan Hasrat Keadilan Ekonomi di Perkotaan Relsan Mandela dan Agus Andika Putra / 125 12. Jogja Ora Didol: Mengembalikan Identitas Jogja Melalui Aktivisme Sosial Wahyudi Akmaliah / 151 13. Politik Urbanisme dan Kota Manusia David Efendi / 178 14. Mitigasi Bencana Hotel di Kampung Jogja David Efendi / 187 15. Literasi Jalanan dan Perebutan Ruang Publik Fauzan A. Sandiah dan David Efendi / 194 16. Jogja Independent (JOINT) dan Demokrasi ala Kaum Urban Jogja Alhafiz Atsari / 207 17. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan di Malioboro Muhammad Dwi Nurfaisal, Maya Audina, Fazri Bachrul, Arief Muhammad, dan Arnida Pratiwi / 241 18. Permukiman Kumuh Bantaran Sungai Kali Code, Yogyakarta Apriyansyah, Halip Nur Yanto, Arief Indra Adiyatma, Rizki Azkia, Galuh Anjasmara, dan Ariyanti Agustin / 259
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
v
19. Seberapa Ramah Ruang Publik Yogyakarta bagi Kelompok Rentan Elanto Wijoyono / 275 20. Paradox Kota Muh. Asratillah Senge
/ 284
21. Selamat Ulang Tahun Jogja: Bersama Membangun [Hotel] Lebih Banyak Luthfi Zahwar dan Abdullah Zed / 288 22. Problem Ketimpangan dan Kutukan Rezim Pertumbuhan PDB: Pandangan Wacana Pinggiran yang Belum Selesai David Efendi / 292 23. Selamat Datang Kemacetan Baru: Kasus Transportasi Online di Yogyakarta Aris Munandar, Fandi Eka faith, Muhammad Saddam H, Nanik Andriyani, Syifa Siti Fatimah, Rahmat Kahfi Kurnia, dan Sayid Waliyul Mulki / 309 24. Menolak Apartemen: Kisah Perlawanan Warga Balirejo, Kota Yogyakarta Fraisal DP Titiahy dan David Efendi / 324 25. Gerakan Warga Berdaya: Dari Ecological Habitus Menuju Politik Perlawanan Sosial di Yogyakarta Hanapi / 358 Indexs / 374 Profil Penulis / 378
vi
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
VÐŤÐ÷įĊÐįŤÐŕ
>÷ŕÐĤÐį`÷ĮéŪįŪďTĸĊġÐ ðÐįžÐħ÷ŕéŪįŪďįƄÐVĸŤÐǜVĸŤÐ
“…biar bagaimana pun hastag #gerakanmembunuhjogja telah membuat huru hara di jogja…” --Testimoni Gamatriono
P
ara pembaca yang baik, buku kumpulan tulisan ini diramu dari beragam proses yang sporadis. Wacana warga berdaya di kota jogja mewarnai dinamika tersendiri dari sekian banyak proses. Buku ini diharapkan menjadi monumen pengingat bagi kita semua: bahwa kota tidak selalu dalam keadaan baik-baik saja. Mereka membutuhkan warganya untuk kembali menjadi kota manusiawi. Kota seharunya menjadi rumah manusia dan bukan hanya menjadi ajang praktik darwinisme ekonomi dan politik. Dari sekian banyak cerita urban adalah kisah urban literacy campaign dengan Hastag #gerakanmembunuhjogja awalnya dimaksudkan untuk kalimat satire pengganti bahwa kami tak rela Yogyakarta dibunuh secara mengenaskan oleh brutalnya kapitalisme dalam praktik bussiness as usual yang diamini oleh rezim tekhnokrasi baik pemerintahan kota maupun DI Yogyakarta pada umumnya. Pemerintahan berkelindan lintas level dan juga berkelindan dengan berbagai aktifitas ekonomi dari bussiness society. Jadi hancur leburnya perkotaan dan perdesaan di DIY ini tidak bisa kita alamatkan kepada walikota semata tetapi semua penguasa termasuk dua
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
vii
institusi pengambang budaya dan tradisi yaitu kraton ngayogyakarta dan Pakualaman. Facebook dengan nama aku Gerakan Membunuh Jogja dua kali disuspend yang akhirnya mati selamanya. Beberapa teman mengatakan gerakan ini bagus tetapi orang ‘awam’ bisa salah paham bahwa gerakan ini sulit dimengerti dengan hastag #gerakanmembunuhjogja dikira ini gerakan yang negatif. Saya bisa memahaminya dengan munculnya beberapa pertanyaan di twier dengan meminta penjelasan. Di sisi lain, ada diskusi di group instagram dan facebook yang memperlihatkan pemahaman cukup bagus mengenai gerakan berbasis social media ini. Saya sangat mengapresiasi apa pun responnya karena saya sendiri tidak menduga akan menjadi pembicaraan di dunia maya—sampai dishared sebanyak lebih dari 1400 kali dan 500 kali (dua status yang sama) yang saya posting tanggal 23 Desember 2015 silam. Respon yang sangat baik di twier salah satunya mengatakan #gerakanmembunuhjogja mencegah kota bunuh diri dengan puluhan kali diretwiit. Lalu apa sebenarnya? Beberapa apresiasi di atas tak jauh dari pikiran liar yang tumbuh di sarang kepala saya. Namun demikian, dalam kesempatan ini saya ingin berbagi dengan dinamika gerakan membunuh jogja ini. Pertama, sabotage jenis ini sangat dipengaruhi oleh kehidupan saya yang dekat dengan kota karena saya penduduk kota. Penegasan saya sebagai penduduk kota jogja ini penting ketika beberapa orang inbox di FB saya mengatakan bahwa saya hanyalah pengamat yang hanya bisa sumpah serapa. Beberapa saya balas, saya warga kota jogja secara legal jadi saya pikir saya bukan pengamat. Sejak beberapa tahun silam saya sering memfoto beragam gerakan grafiti di tembok-tembok kota, juga di media online. Selain itu saya juga memperhatikan gelandangan, pengemis, anak jalanan, loper koran difable, dan beragam jenis kekerasan yang dialami perempuan di Yogyakarta. Buruknya sanitasi kota sehingga gampang banjir, juga banalitas jalanan yang menggerus pedestrian side yang sangat mencelakai pejalan kaki terutama kaum difable. Ini adalah bagian kota yang luar biasa penting tetapi diabaikan begitu saja. Tidak banyak yang berteriak lantang. Saya kira banyak status di social media mengutuk kekurangan tata kota di jogja. Hanya kritiknya sangat private, tersembunyi, dan tak teorganisir.
viii
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Jika pemerintah kota sensitif, harusnya banyak complain di media sosial menjadi rujukan untuk memperbaiki keadaan. Zaman sekarang, meminjam Gunawan Muhamad, “…membela yang benar tidak cukup disimpan di dalam hati.” Ini benar menjadi spirit kita semua untuk melakukan apa yang bisa dan mungkin kita lakukan. Untuk meneriakkan kejahatan praktik pengelolaan pemerintah tak perlu menungu sejuta orang. Ini sangat mendesak, karena kerusakan ekologi, banalitas kekuasaan itu selalu nyata. Kedua, kehadiran individu-individu berdaya yang ada di Yogyakarta bener-bener menggembirakan saya. Teman-teman yang aktif di “jogjaasat #wargaberdaya #jogjaoradidol dan peran-peran lainnya yang tak terendus oleh media meanstream. Kreatifitas kelompok-kelompok yang berjuang menahan kota dari tenggelam ke dalam lumpur dengan poster poster yang mewaraskan akal sehat. Kehadiran, untuk menyebut beberepa, Dodok dan Elanto selalu mengingatkan saya pada sepak terjang individu seperti Al Gore yang menentang beragam kebijakan Amerika dalam ekspansi perusahaan yang dianggapnya mengancam kedaulatan ekologi. Di Jogja, kelompok yang saya sebut sebagai warga berdaya (super citizens) ini bukan hanya teriak soal degradasi air akibat rakusnya bisnis perhotelan dan cahar budaya, mereka juga memikiran masa depan kebudayaan dan juga etika jalanan (moge yang dihadang, konvoi pilkada yang dipetisikan). Kesadaran atas persoalan riil dan sikap otonom merupakan ciri khas dari warga berdaya. Dengan demikian, potensi untuk menjadi alat kontrol atas beragam kebijakan yang diterapkan di daerah. Ketiga, untuk menjawab mengapa melalui sosial media? wasapp? mengapa facebook?(pemantik). Kekuatan sosial media sangat luar biasa. Hampir semua orang berurusan dengan minimal satu akun dimiliki dan diupdate secara reguler. Dengan demikian, banyak sekali pembaca yang akan mendapatkan pengetahuan baru tentang apa yang sedang terjadi di kota jogja. Setidaknya mereka akan yakini bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Diam diam terkonsep dalam dirinya tentang apa yang disebut sebagai ‘living within truth’ sehingga dia akan berpotensi menolak kerusakan (bencana, human-made disaster) yang disengaja oleh suprastruktur (modal, atau kuasa politik). Sebagai metode perlawanan, social media yang paling memungkinkan untuk memviralkan ketakutan atau kesadaran bersama-
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
ix
rasa memiliki kota. Selain murah, ini adalah medium yang paling kecil resikonya. Perasaan saya, jauh lebih banyak yang support kepada gerakan menyelamatkan kota ketimbang yang kontra. Kebaikan akan berdampak kebaikan. Ini adalah sebuah keyakinan bukan sekedar jargon kosong: pekerjaan menyuarakan yang bisu dan tak bersuara adalah pekerjaan yang layak diperjuangkan. Terakhir, saya ingin menjawab mengapa diksi pilihannya #gerakanmembunuhjogja? Kenapa tidak yang positif seperti #janganbunuhjogja #savejogja, dan banyak lagi kata yang positif. Tentu ini pertanyaan menarik bagi saya dan saya gembira karena sudah banyak dibicarakan di group wasapp Rumah Baca Komunitas. Diksi membunuhjogja itu adalah kata yang menghentak ketika kita merasa buntuh. Orang baik seolah jauh lebih lambat membangun,s ementara perusak kota itu liar luar biasa akselerasinya. Jadi, bunuh saja kota ini. Orang baik sudah mati, kalah dan menyerah. Nada putus asa ini secara peyoratif dapat membangun kesadaran sebaliknya. Kita harus lawan! Kita banyak dan berlipat. Ini imajinasi yang muncul. Banyak respon dan saya merasa beruntung dengan beragam masukan. Ada yang memberikan saran, setelah akun gerakan membunuh jogja diblokir dan spasca huru-hara tentu ada baiknya dibuat suatu website yang support untuk pemberian pengetahuan berbasis data dan menggalang kekuatan baru untuk menjaring silent majority. Gagasan ini penting sekali. Saya pribadi menyampaikan apresiasi kepada Mas Gama, Mas Adim, Dolah, arya, Cak Abdullah, Mas Iwan, dan teman-teman lainnya yang turut memikirkan upaya penyelamatan kota dari kepunahan yang tak dikehendaki. Berikutnya, tulisan ini adalah remah-remah kehidupan orang kota, pengamat kota, dan para penyintas dunia urban. Semoga ada manfaatnya buku ini. Prinsip gerakan yang saya fikirkan adalah tanpa pengorganisasian yang formal, kecil, lincah, fleksibel, sporadis, tanpa pimpinan. Setiap orang punya cara melawan dan melakukan upaya pembelaan terhadap hidup: tanah dan airnya. Maka, bergeraklah seperti apa yang engkau inginkan bukan karena orang lain yang paksakan. Gerakan no leader just together… mengawal akal sehat karena akal sehatlah yang menjadikan kita berada di posisi yang sama. We are 99%, kira-kira begitu jargon yang pernah kita lihat
x
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
di media online di benua Amerika: occupy wall street!. Juga, selamat ulang tahun kota Jogjakarta ke 261 semoga bukan bersama-sama membunuh jogja, tetapi bersama-sama menyelamatkan jogja untuk anak cucu kelak nanti. Yogyakarta, 8 Juni 2018 David Efendi
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
xi
xii
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Ʈ ÷įðÐďŪħŪÐį
NJ>÷ŕÐĤÐį`÷ĮéŪįŪďTĸĊġÐ TÐħÐįXÐēį÷įƄ÷ħÐĮÐŤÐįVĸŤÐ David Efendi, Arya Dwiyoga, dan Abdulah Zed
D
ari berbagai literatur lama disebutkan bahwa kota adalah tempat tinggal yang penuh keadaban sebagai capaian besar suatu peradaban. Pemahaman ini semakin sulit menemukan relevansinya ketika penetrasi kapitalisme dan karakter egoisme-individualisme akut melekat pada para ‘penghuni’ perkotaan. Lambat tapi pasti, kota berubah menjadi arena pertempuran memperebutkan sumber kesejahteraan. Kota semakin ditinggalkan sebagai tempat hunian bagi kapitalis, tetapi kota menjadi mesin pengeruk keuntungan yang luar biasa. Inilah yang disebut oleh Nancy Kleniewski (2006) sebagai industrial city. Industrial city yang lekat dengan kapitalisme adalah tatanan yang menjadikan segala sesuati yang ada di area perkotaan menjadi komoditas, menjadi barang yang siap dijual kepada ‘pemodal’ atau ‘pembeli’ yang datang. Nalar industrial ini yang lambat laun akan menjadikan praktik dehumanisasi sebagai bussiness as usual—yang akan mengubah citra kota dari kota harapan (city of hopes) menjadi kota ‘kebun binatang’ (city of zoo) yang saling memangsa seperti logika sosial darwinisme. Di Kota-kota di Indonesia situasi ini semakin menggejala sebagai bentuk konglomerasi perkotaan yang ditandai dengan melebarnya gap Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
1
antara yang super kaya dengan yang super miskin (the haves and the haves not). Pertempuran antar pemilik ‘kapital’ bukan hanya urusan para pemodal, situasi perang kapital itu secara langsung membunuh orang-orang baik yang mencoba bertahan hidup di perkotaan. Ironis memang, bahwa pemerintah kota lebih melayani pemodal yang rakus ketimbang memikirkan dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan orang-orang baik yang selama ini merawat kehidupan ‘nyaman’ di perkotaan. Problematisasi perkotaan Tulisan ini mencoba membaca seri proses kematian kota jogja yang sedang berjalan dari beberapa sudut persoalan meliputi ekonomi, politik, kebudayaan, dan keamanan. Keempat aspek ini masing-masing berkontribusi pada kegiatan yang disebut membunuh jogja sekaligus menjadi alasan urgensi kelahiran #gerakanmembunuhjogja. Situasi yang mengakibatkan “gerakan sosial” atau kerusuhan di sosial di media online lahir menurut banyak pakar gerakan sosial adalah karena keadaan unhappy yang kemudian mengalami eskalasi (Doug McAdam, 2010) seperti dengan situasi perkotaan yang ada seperti kemacetan, kekurangan air, cuaca yang memanas dan sebagainya. Pertama, dominasi kekuatan ekonomi oleh segelintir orang yang dinilai sangat meresakan masyarakat. Karakter ekspansif dan eksploitatif para pemodal yang menyebabkan keguncangan sosial. Misalnya, para pengusaha hotel berlomba merebut izin pendirian hotel tanpa mengindahkan proses amdal dan persetujuan masyarakat. Bahkan, banyak informasi ada proses kolutif di dalam proses perizinan. Di sleman ada apartemen belum punya IMB sudah memulai proses pembangunan. Sama halnya dalam hal pasar modern dan pasar tradisional, mereka tak bisa berdampingan karena karakter pasar modern yang sangat ekspansif dan ekploitatif tersebut. Kecurangan dan dominasi swalayan modern di DI Yogyakarta ini juga bagian dari situasi pembunuhan terhadap kemanusiaan. Parahnya, pemerintah tak juga berdiri di pihak pasar rakyat. Keberpihakan hanya dihentikan pada penyediaan regulasi, tetapi miskin upaya dan kerja keras untuk menegakkan serta menjalankan regulasi yang pro-rakyat. Dominannya orientasi pertumbuhan ekonomi di perkotaan mengindikasikan bahwa sebagian besar pemerintah kota lebih mengamalkan 2
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
paradigma urban political-economy ketimbang urban ecology (Kleniewski, 2006). Rezim urban political-economy ini yang menjadikan kekuatan politik birokrasi dan pemodal bersekongkol untuk menjarah sumber kesejahteraan publik atas nama untuk pembangunan sektor ekonomi makro (kadang bicara kontribusi daerah untuk pembangunan ekonomi pusat). Sayangnya, situasi ini tidak memihak kepada kepentingan riil yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal buruk lainnya adalah paradigma ini seringkali menegasikan urusan-urusan ekologi (lingkungan hidup) yang justru dalam waktu jangka panjang akan berkontribusi pada persoalan lingkungan. Situasinya jelas, setiap konglemerasi baik dalam bentuk usaha perhotelan, apartemen, dan toko modern berjejaring akan banyak memakan korban dari rakyat. Kedua, persoalan kebudayaan yang mengalami situasi paradoksal dimana justru di era diberlakukannya UUKY semakin banyak nilai-nilai kebudayaan yang tergerus oleh kekuatan pragmatis seperti penamaan hotel dengan bahasa asing, penggusuran cagar budaya untuk bisnis, dan semakin terpuruknya pasar rakyat (pasar tradisiional) yang ini seharunya menjadi pilar-pilar kebudayaan rakyat. Bagaimana tidak? Swalayan berjejaring melanggar izin dan memvandal perda dengan seenaknya sendiri tanpa sanksi (lihat berita seputar swalayan berjering di koran-koran di Jogja). Maka, jargon tahta untuk kesejahteraan dan kebudayaan rakyat perlu direvitalisasi untuk mencegah kota ini kehilangan identitas, melupakan sangkan paraning dumadi. Terakhir, adalah situasi keamanan yang semakin memburuk 5 tahun terakhir ini di Yogyakarta. Banyak kriminalitas dan penumpasan manusia yang luar biasa (kasus cebongan), daa kekerasan jalanan yang bertransformasi menjadi berbagai wajah buruk yang meluluhlantakkan keistimewaan DI Yogyakarta: begal, pembubaran forum di kampus, jambret, penganiayaan, dan pembunuhan. Ini kemudian menjadikan jogja dilabeli “berhenti nyaman.” Kerusuhan sosial lainnya yang butuh respon tepat dan cepat adalah meluasnya kampanye #JogjaOraDidol dan #JogjaAsat yang semakin hari semakin kuat alasannya mengapa kampanye itu bangkit. #GerakanMembunuhJogja Hastag #gerakanmembunuhjogja awalnya dimaksudkan untuk kalimat satire pengganti bahwa kami tak rela Yogyakarta dibunuh secara mengenaskan oleh brutalnya kapitalisme dalam praktik bussiness as usual yang diamini
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
3
oleh rezim tekhnokrasi baik pemerintahan kota maupun DI Yogyakarta pada umumnya. Pemerintahan berkelindan lintas level dan juga berkelindan dengan berbagai aktifitas ekonomi dari bussiness society. Jadi hancur leburnya perkotaan dan perdesaan di DIY ini tidak bisa kita alamatkan kepada walikota semata tetapi semua penguasa termasuk dua institusi pengambang budaya dan tradisi yaitu kraton ngayogyakarta dan Pakualaman. Beberapa teman mengatakan gerakan ini bagus tetapi orang ‘awam’ bisa salah paham bahwa gerakan ini sulit dimengerti dengan hastag #gerakanmembunuhjogja dikira ini gerakan yang negatif. Saya bisa memahaminya dengan munculnya beberapa pertanyaan di twier dengan meminta penjelasan. Di sisi lain, ada diskusi di group instagram dan facebook yang memperlihatkan pemahaman cukup bagus mengenai gerakan berbasis social media ini. Saya sangat mengapresiasi apa pun responnya karena saya sendiri tidak menduga akan menjadi pembicaraan di dunia maya—sampai dishared sebanyak lebih dari 1400 kali dan 500 kali (dua status yang sama) yang saya posting tanggal 23 Desember 2015 silam. Respon yang sangat baik di twier salah satunya mengatakan #gerakanmembunuhjogja mencegah kota bunuh diri dengan puluhan kali diretwiit. Dalam kesempatan ini saya ingin berbagi dengan dinamika gerakan membunuh jogja ini. Pertama, sabotage jenis ini sangat dipengaruhi oleh kehidupan saya yang dekat dengan kota karena saya penduduk kota. Penegasan saya sebagai penduduk kota jogja ini penting ketika beberapa orang inbox di FB saya mengatakan bahwa saya hanyalah pengamat yang hanya bisa sumpah serapa. Beberapa saya balas, saya warga kota jogja secara legal jadi saya pikir saya bukan pengamat. Sejak beberapa tahun silam saya sering memfoto beragam gerakan grafiti di tembok-tembok kota, juga di media online. Selain itu saya juga memperhatikan gelandangan, pengemis, anak jalanan, loper koran difable, dan beragam jenis kekerasan yang dialami perempuan di Yogyakarta. Buruknya sanitasi kota sehingga gampang banjir, juga banalitas jalanan yang menggerus pedestrian side yang sangat mencelakai pejalan kaki terutama kaum difable. Ini adalah bagian kota yang luar biasa penting tetapi diabaikan begitu saja. Tidak banyak yang berteriak lantang. Saya kira banyak status di social media mengutuk kekurangan tata kota di jogja. Hanya kritiknya sangat private, tersembunyi, dan tak teorganisir. 4
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Jika pemerintah kota sensitif, harusnya banyak complain di media sosial menjadi rujukan untuk memperbaiki keadaan. Zaman sekarang, meminjam Gunawan Muhamad, “…membela yang benar tidak cukup disimpan di dalam hati.” Ini benar menjadi spirit kita semua untuk melakukan apa yang bisa dan mungkin kita lakukan. Untuk meneriakkan kejahatan praktik pengelolaan pemerintah tak perlu menungu sejuta orang. Ini sangat mendesak, karena kerusakan ekologi, banalitas kekuasaan itu selalu nyata. Kedua, kehadiran individu-individu berdaya yang ada di Yogyakarta bener-bener menggembirakan saya. Teman-teman yang aktif di “jogjaasat #wargaberdaya #jogjaoradidol dan peran[peran lainnya yang tak terendus oleh media meanstream. Kreatifitas kelompok-kelompok yang berjuang menahan kota dari tenggelam ke dalam lumpur dengan poster poster yang mewaraskan akal sehat. Kehadiran, untuk menyebut beberepa, Dodok dan Elanto selalu mengingatkan saya pada sepak terjang individu seperti Al Gore yang menentang beragam kebijakan Amerika dalam ekspansi perusahaan yang dianggapnya mengancam kedaulatan ekologi. Di Jogja, kelompok yang saya sebut sebagai warga berdaya (super citizens) ini bukan hanya teriak soal degradasi air akibat rakusnya bisnis perhotelan dan cahar budaya, mereka juga memikiran masa depan kebudayaan dan juga etika jalanan (moge yang dihadang, konvoi pilkada yang dipetisikan). Kesadaran atas persoalan riil dan sikap otonom merupakan ciri khas dari warga berdaya (super citizen). Dengan demikian, potensi untuk menjadi alat kontrol atas beragam kebijakan yang diterapkan di daerah. Ketiga, untuk menjawab mengapa melalui sosial media? whatsapp? mengapa facebook? (pemantik). Kekuatan sosial media sangat luar biasa. Hampir semua orang berurusan dengan minimal satu akun dimiliki dan diupdate secara reguler. Dengan demikian, banyak sekali pembaca yang akan mendapatkan pengetahuan baru tentang apa yang sedang terjadi di kota jogja. Setidaknya mereka akan yakini bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Diam diam terkonsep dalam dirinya tentang apa yang disebut sebagai ‘living within truth’ sehingga dia akan berpotensi menolak kerusakan (bencana, human-made disaster) yang disengaja oleh suprastruktur (modal, atau kuasa politik). Sebagai metode perlawanan, social media yang paling memungkinkan untuk memviralkan ketakutan atau kesadaran bersamarasa memiliki kota. Selain murah, ini adalah medium yang paling kecil Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
5
resikonya. Perasaan saya, jauh lebih banyak yang support kepada gerakan menyelamatkan kota ketimbang yang kontra. Kebaikan akan berdampak kebaikan. Ini adalah keyakinan bukan sekedar jargon kosong. Bagaimana selanjutnya Terakhir, saya ingin menjawab mengapa diksi pilihannya #gerakanmembunuhjogja? Kenapa tidak yang positif seperti #janganbunuhjogja #savejogja, dan banyak lagi kata yang positif. Tentu ini pertanyaan menarik bagi saya dan saya gembira karena sudah banyak dibicarakan di group wasapp Rumah Baca Komunitas. Diksi membunuhjogja itu adalah kata yang menghentak ketika kita merasa buntuh. Orang baik seolah jauh lebih lambat membangun,s ementara perusak kota itu liar luar biasa akselerasinya. Jadi, bunuh saja kota ini. Orang baik sudah mati, kalah dan menyerah. Nada putus asa ini secara peyoratif dapat membangun kesadaran sebaliknya. Kita harus lawan! Kita banyak dan berlipat. Ini imajinasi yang muncul sebagai kekuatan emansipatif. Pendeknya, gerakan ini dapat dikategorikan sebagaimana gagasan Benedict Kerkvliet (2010) sebagai everyday politics yang tak menysaratkan pengorganisasian yang rapi bahkan tak perlu pemimpin karena gerakan ini bisa dilakukan siapa saja dengan cara mempraktikkan sikap otonomi, keberanian, dan ketegaran untuk menyuarakan keadilan, membela haknya dengan mekanisme demokratis dan kearifan lokal. Namun demikian, gerakan ini juga dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk menolak segala bentuk praktik yang merugikan kemaslahatan publik dengan memperkuat kepemimpinan kepala daerah atau walikota, memperbaiki transparansi bahkan menjadi ‘anti-meanstream’ untuk melakukan penyelamatan jogja dari serbuan kapitalisme, konglomerasi dan industrialisasi perkotaan. Tindakan ekspansif dan eksploitatif ini yang akan membunuh jogja dan sekarang kita sudah bisa memilih kita berada dipihak yang mana?.
6
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Ư
÷ĮéÐįĊŪįÐį÷ŕ÷ŚēĤĸDž ÷Ʀ÷ĤŚēÐįÐħēŤÐŚðÐħÐĮŕéÐį+ĤĸħĸĊēðē VĸŤÐµĸĊƄÐĤÐŕŤÐ Meredian Alam
P
embangunan berisiko tidak banyak menyita perhatian para ahli sekaligus ilmuwan sosial di Indonesia. Risiko di sini dapat diterjemahkan secara luas dan menyangkut banyak hal, tapi apapun definisinya risiko selalu melekat dalam kehidupan manusia dimanapun berada, dan pembangunan berpotensi besar sebagai kontributor yang memperparah tingkat risiko tersebut. Bencana alam contohnya, yang dialami oleh semua negara di penjuru dunia selama ini hanya ditelaah dalam ruang akademik melalui logika fisik dan biologis yang melibatkan klimatologi, meteorologi, dan biologi belaka. Namun proses bencana yang disebabkan oleh aktivitas manusia (anthropocentric acts) jarang mendapatkan ruang diskusi yang lebih luas (Diley, 2006; Guha-Sapir, Hoyois & Below, 2013). Padahal inilah yang sesungguhnya mendekam sebagai risiko terburuk dalam pembangunan sebuah negara selama ini. Perlu ditegaskan di sini bahwa risiko juga terlahir akibat produk dari proses sosial, ekonomi dan politik di sebuah negara, karena ketiga aspek inilah yang secara kuat menstrukturisasi kehidupan berbagai kelompok ataupun komunitas di suatu negara (Wisner, 2008). Selanjutnya, masyarakat lokal dalam situasi kebencanaan masih diposisikan sebagai obyek yang harus patuh pada instruksi pemerintah Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
7
daripada subyek yang harus dimampukan, digerakkan, dan dilibatkan dalam pengambilan kebijakan darurat. Wajarlah jika kerentanan sosial di negeri ini tidak kunjung berakhir, kendatipun wacana kebencanaan alam semakin masif masuk ke arena media massa. Kerentanan sosial sampai saat ini masih ditilik dalam tatanan konsep, belum didiseminasikan sebagai ‘praktekpraktek yang ter-embody dalam kehidupan sehari-hari masyarakat’ (Lidskog & Sjödin, 2016). Argumen ini senada dengan konsep social vulnerabilities atau kerentanan sosial. Wisner (2008) menegaskan, ‘social vulnerability’ merupakan kondisi yang sudah mengawali situasi yang terjadi dan berakar pada ketimpangan sosial, dan kemudian mempengaruhi potensi serta kemampuan korban untuk bertahan, bermobilitas atau bermigrasi, dan beradaptasi, serta membentuk kerawanan yang mempengaruhi sendi sosial seperti etnisitas, hierarki sosial, usia, disabilitas, status kesehatan, dan sebagainya. Kemudian kerentanan ini juga selalu berada dalam berbagai tingkat individu, rumah tangga, dan komunitas (Wisner 2008). Diagram 1. Progression of Social Vulnerabiliy
Progression of Vulnerability (sumber: Wisner et al, 2003:51) 8
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Mengamati kerentanan sosial sebagai dimensi inti dalam risiko seperti yang dipaparkan diatas secara singkat, dengan mengambil fokus pada pembangunan berisiko di Kota Yogyakarta tulisan ini dibangun agar masyarakat luas, pemerintah kota dan provinsi, serta Indonesia supaya dapat merasakan betapa modernisasi yang selama ini didengung-dengungkan dan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa dikampanyekan berpotensi nyata sebagai ‘boomerang effect’ bagi negara, khususnya masyarakat. Beck memperingatkan bahwa resiko modernisasi akan menyerang siapapun yang menghasilkan dan meraup profit daripadanya. Lebih lanjut, ia mendetailkan, Risks of modernization sooner or later also strike those who produce or profit from them. ey contain a boomerang effect, which breaks up the paern of class and national society. Ecological disaster and atomic fallout ignore the borders of nations. Even the rich and powerful are not safe from them. ese are hazards not only to health, but also to legitimation, property, and profit (Beck, 1992:32). Secara konseptual, pembangunan merupakan proses dimana produksi baru dari sarana dan prasarana didirikan untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan dalam proses itu modernisasi tertanam untuk menghancurkan tatanan lama dan mereproduksinya dengan yang lebih baru. Kebaruan tersebut disajikan kepada sekelompok individu sebagai sesuatu yang mengagumkan. In the modernization process, more and more destructive processes are also being unleashed, forces before which the human imagination stands in awe. Both sources feed a growing critique of modernization, which loudly and contentiously determines public discussions. (Beck, 1992:20) ‘Boomerang effect’ (Beck, 1992:12) ini dapat dirasakan pemerintah ketika pengeluaran APBN ataupun APBD membengkak untuk pengobatan masyarakat, rekonstruksi infrastruktur, dan kegiatan lain yang muncul akibat pembangunan yang tidak memperhatikan historisasi resiko di masa lalu. Seperti yang terjadi pada gempa bumi 2006 misalnya, pemerintah daerah telah menghabiskan miliaran rupiah untuk memberikan bantuan konstruksi rumah kepada masyarakat. Jika pemerintah sadar bahwa Indonesia berada dalam area geologis gempa dunia dan sejak lama Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
9
menginstitusionalisasikan instruksi kepada masyarakat agar membangun desain rumah yang tahan gempa, maka dampak gempa bumi tidak dapat diminalisir. Catatan Suryomiharjo (2008) menyebutkan, gempa bumi pernah terjadi di Yogyakarta di masa pra-kolonial. Pada tahun 1876 terjadi gempa bumi yang meluluhlantakan Yogyakarta dimana 326 orang mengalami luka parah dan 262 orang meninggal akibat tertimpa reruntuhan (Surjomiharjo, 2008:54). Tidak hanya itu, krisis ekonomi akibat hancurnya pasar-pasar lokal dan pertokoan dirasakan masyarakat sebagai tekanan emosional dan hambatan untuk maju saat itu. Satu hal yang patut digarisbawahi dalam historisasi gempa bumi tersebut adalah kelompok korban. Surjomiharjo (2008) mengamati, masyarakat miskin pribumi yang tinggal di area perkotaan saat itu adalah sebagian besar korban. Mereka menghadapi kelaparan berkepanjangan akibat sulitnya mendapatkan sumber-sumber ekonomi yang hanya dikuasai oleh kelompok priyayi. Pada titik ini dapat dipelajari bahwa kerentanan sosial memang dihadapi oleh hampir seluruh kelompok masyarakat, tetapi kelompok miskinlah yang paling luar biasa parah. Dengan demikian, analisis risiko perlu ditekankan pada kelompok paling rentan dan miskin karena populasi mereka yang besar. Sebagai rasa kecintaan terhadap Kota Yogyakarta, tulisan ini berusaha membuka mata hati masyarakat, segenap pemerintah dan pemangku kebijakan bahwa semua pihak harus memiliki kepekaaan terhadap masalah yang pernah ada dan dapat mengambil tindakan kolektif untuk mencegah terjadinya dampak yang lebih baik. Sebagai pengkaji sosial dengan latar belakang sosiologi dan antropologi, tulisan ini mengadopsi model interdisciplinary approach dalam melihat masalah. Interdisciplinary approach dilakukan dengan mempresentasikan fakta-fakta sains yang dikemudian disandingkan dengan pemahaman tentang aspek-aspek mitigasi risiko yang berpotensi memperpuruk kerentanan sosial. Fokus kerentanan sosial dengan pendekatan semacam ini penting, mempertimbangkan kompleksitas risiko yang dihadapi oleh kelompok-kelompok marjinal di masyarakat (Asgary & Halim, 2011) tidak terelakkan. Kerentanan yang terjadi di Yogyakarta ini secara konseptual dilihat dari konsep Pressure and Release model (Wisner et al, 2003). Model ini memberikan petunjuk tentang proses melihat kerentanan dari tiga dikotomi yang fluid, yakni: root causes, dynamic pressures, dan unsafe condition. Root causes merupakan akar risiko yang mengimplan 10
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
secara historis dan terstrukturisasi melaui keterbatasan akses terhadap ‘power’, struktur, sumberdaya, dan system ideology politik dan kultural. Kedua, dynamic pressure terlihat dari kelemahan institusional dan aspekaspek manusia seperti: urbanisasi, pertumbuhan populasi dan dinamika geografi, korupsi serta ethical standard dalam ruang publik. Sedangkan unsafe conditions terletak pada kerentanan lingkungan fisik, kerentanan ekonomi, dan kerawanan masyarakat dan kurangnya aksi publik. Otonomi daerah menimbulkan keprihatian baru bagi masyarakat tetapi juga dilema etika bagi pemerintah. Komodifikasi lahan di Kota Yogyakarta tanpa diduga telah mempecepat kelahiran kelompok kelas menengah baru dan gentrifikasi sosial. Lingkungan oleh pemerintah dalam hal ini tidak lagi dianggap sebagai aset ekologi yang berkontribusi terhadap kelestarian biodiversitas lokal. Escobar (1999:21) menerjemahkan logika berfikir pemerintah ini sebagai ‘what we perceive in the environment as natural is always cultural and social’. Pernyataan ini mengandung makna, lingkungan alam dipersepsikan berbeda oleh setiap stakeholders, masyarakat, pemerintah, sektor swasta, environmentalist, tergantung tujuan politik yang ingin mereka capai. Di era otonomi daerah, pemerintah memiliki tujuan politik atas lingkungan sebagai sasaran komodifikasi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Dalam kasus Kota Yogyakarta, pendirian izin mall/ pusat perbelanjaan dan hotel merupakan bagian dari logika berfikir ini. Hotel menyumbang pendapatan tertinggi bagi Kota Yogyakarta, sebesar Rp 48.000.000.000 dibandingkan sektor-sektor lainnya (DPPKAD, 2013). Lebih lanjut, jumlah hotel sekaligus kamar juga mengalami kenaikan yang luar biasa drastis. Data dari Dinas Pariwisata menunjukkan, antara tahun 2010 sampai 2013 pertumbuhan hotel di Kota Yogyakarta adalah sebesar 116,2% (dari 37 tahun 2010 menjadi 84 tahun 2013) dengan pertumbuhan kamar 197.88% (Dinas Pariwisata DIY, 2012). Gerakan lingkungan pernah dilancarkan pada tahun 2011 sebagai ‘ekspresi kemarahan masyarakat’ (Alam, 2016) terhadap pembangunan hotel di Kota Yogyakarta. Aksi lingkungan menandai babak baru dalam perkembangan demokratisasi di kota pelajar ini sekaligus memperlihatkan kepada dunia bahwa masyarakat lebih kritis dalam menyerap dan menginvestigasi rencana-rencana pembangunan fisik (Suharko, 2015). Melalui berbagai protes lingkungan ini masyarakat masih mendambakkan Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
11
kualitas lingkungan kota yang lebih baik dan terjaga dari segi tata ruang kota. Salah satu aksi protes yang pernah digadang-gadang di rumah dinas walikota Yogyarta di masa transisi kepemimpinan kota Yogyakarta adalah ‘Festival Mencari Haryadi’. Aksi protes ini menuntut pertanggungjawaban moral Walikota Yogyakarta Haryadi yang terkesan pasif dan kurang responsif terhadap kemarahan kolektif masyarakat akibat pembangunan hotel yang menjamur. Tidak berhenti di situ, para aktivisi bersama masyarakat melampiaskan kemarahan mereka melalui aksi satiris. Dengan melibatkan drama teatrikal dihelat di beberapa titik lalu lintas di kota dan juga melalui pertunjukkan seni puisi serta mobilisasi di sosial media, para aktivis menggelar aksi ‘Jogja Ora Didol’ (Jogja Tidak Dijual). Aksi ini mendesak dengan kritis kritis atas masifnya pembangunan hotel. Tuntutan yang dilancarkan dalam aksi ini, salah satunya supaya pemerintah dapat membatasi perizinan hotel agar tidak menimbulkan preseden buruk terhadap kualitas lingkungan di Kota Yogyakarta, seperti: hilangnya sumber mata air, kemacetan lalu lintas, perubahan iklim, dan komodifikasi fungsi lahan. Aksi protes semacam ini menandai tumbuhnya kritisisme masyarakat dan tuntutan mereka kepada untuk mempertahankan identitas kultural kota ini melalui pemeliharan kualitas lingkungan perkotaan (Alam, 2016; Alam & Nilan, 2015). Pemerintah harus belajar dari pengalamanpengalaman negara berkembang lainnya, seperti yang terjadi di Sub-Sahara Afrika dimana pengalihan fungsi tata guna lahan menjadi area komersial telah menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan, memperburuk dampak perubahan lingkungan, dan hilangnya sumber air (Hannigan, 1995). Interaksi antara Root Causes, Dynamic Pressures, dan Unsafe Conditions Unsafe condition seperti yang dielaborasikan oleh Wisner et al (2008) adalah fenomena fisik dalam kajian tata ruang yang tidak bisa dinegosiasikan. Fenomena ini muncul karena lokasi geologis dari sebuah kota yang diakibatkan karena posisi nya berada dalam area kebencanaan. Dalam konteks ini, kondisi geologis Daerah Istimewa Yogyakarta yang rawan gempa bumi merupakan unsafe condition yang dapat menambah kerentanan sosial bagi masyarakat. Di bagian utara, Gunung Merapi aktif masih terjaga dan siap menerjang dengan lahar panasnya dan keberadaan gunung ini mengontrol
12
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
geodinamika yang terjadi di Kota Yogyakarta. Fenomena geologis di Kota Yogyakarta disamping gunung Merapi telah mempengaruhi kerawanan lingkungan. Pergerakkan kontinyu dari lempeng di lautan Indo-Australia dari arah Selatan ke bawah menuju lempengan semenanjung Eurasia tidak hanya mengaktian gunung Merapi dalam mengelurkan lahar panasnya, tetapi juga menyusun morfologi bebatuan yang terdiri dari komposisi volkanik karbonon. Sementara itu, Kota Yogyakarta berada tepat di tengah lembah morfologi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memanjang dari arah utara ke selatan. Lembah ini sesunggunya adalah semacam parit bawah tanah yang dipenuhi dengan aliran lahar panas. Sayangnya, kompleks hunian di Kota Yogyakarta belum mempertimbangkan kondisi-kondisi geologi semacam ini (Karnawati, Pramumijoyo, & Hendrayana, 2006:2). Lebih lanjut, Karnawati, Pramumijoyo, dan Hendrayana (2006) melaporkan, beberapa kompleks hunian dan infrastruktur bangunan lainnya dibangun di atas zona geologi beresiko seperti berada di area sungai yang rawan banjir dan tanah longsor. Belum lagi frekuensi gempa bumi yang menyerang Yogyakarta akhir-akhir ini. Parahnya, risiko geologi (geohazard risk) belum menjadi pertimbangan kuat dalam penerbitan izin pembangunan di Kota Yogyakarta. Gempa bumi yang berkali-kali mengguncang Yogyakarta nampaknya masih dianggap angin lalu bagi masyarakat dan pemerintah. Artinya, gempa bumi belum ‘terhabitusasi dalam institusi pemerintah’ (Bourdieu, 1984) sebagai kondisi yang perlu dipersiapkan secara hukum, dana, dan melalui pendidikan. Kondisi ini belum juga dianggap sebagai ancaman risiko. Seperti yang tertuang dari hasil penelitian sebelumnya, 84% rumah di Yogyakarta termasuk dalam kategori tidak patuh terhadap aturan teknik dalam pembangunan infrastruktur di area rawan gempa (Winarno, 2011). Kerentanan ini berakibat karena rendahnya kualitas pengetahuan kontraktor atau pembangun, kurangnya kesadaran, dan rendahnya komitmen politik pemerintah dalam menginstitusionalisasikan risiko bencana ke dalam kebijakan dan peraturan mereka. Pasca gempa bumi tahun 2006, sebanyak 6.095 rumah mengalami rusak berat atau hancur, 8.408 rusak sedang, dan 15.384 rusak ringan (PKY, 2006 dalam Winarno 2011. Kasus kerusakan rumah parah akibat gempa bumi harus mendorong pemerintah dan masyarakat untuk menemukan alasan utama mengapa kerentanan tersebut berlangsung. Tanah bergetar ketika gempa terjadi tidak akan menjadi bencana jika masyarakat memahami akar permasalahan dan memiliki langkah-langkah
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
13
tersebut untuk mengurangi risiko terlebih dahulu. Lebih dari itu, Resosudarmo, Sugiyanto, dan Kuncoro (2012) melaporkan gempa yang terjadi 27 Mei 2006 di Yogyakarta sebesar 6,3 pada Skala Richter dan menyebabkan kematian lebih dari 5.700 orang, lebih dari 60 ribu orang terluka, ratusan ribu kehilangan rumah mereka dan 2 juta atau setengah populasi provinsi Yogyakarta yang terkena dampak. Oleh karena itu, ini adalah salah satu bencana alam yang lebih signifikan untuk mempengaruhi dunia. Vegetasi dan ketersediaan lahan terbuka secara internasional telah diratifikasi sebagai kebutuhan primer yang harus disediakan oleh pemerintah dan didukung secara politik oleh parlemen. Secara substansial prasyarat ini melekat sebagai bagian dari pencapaian Sustainable Development Goals 2030 untuk menciptakan kehidupan sosial masyarakat yang sehat berbasis pada prinsip prinsip keberlanjutan alam dan lingkungan hidup seutuhnya. Kota sebagai pusat bisnis, industri, tempat tinggal, dan aktivitas ekonomi sebuah negara tanpa sebuah instruksi pun perlu mendukung tuntutan internasional ini, karena kota menghadapi merupakan space atau ruang fisik yang lebih cepat mengalami dan terekspos terhadap resiko-resiko akibat aktivitas manusia yang menghuninya. Menempatkan prinsip ini pada Kota Yogyakarta, nampaknya kita perlu serius melakukan desakan kepada pemerintah. Hal ini tentu saja beralasan. Penelitian menunjukkan bahwa perhitungan indeks tutupan lahan sesuai model perhitungan luasan vegetasi di Ruang Terbuka Hijau Kota Yogyakarta hanya mencapai indeks 20,20. Ini bermakna, sesuai dengan ketentutan Ruang Hijau Terbuka dengan standard 30 persen dari total wilayah administrasi Kota Yogyakarta seluas 3.250 hektar, Ruang Terbuka Hijau yang ideal dimiliki oleh kota ini adalah 975 hektar. Dan sayangnya Kota Yogyakarta mengalami kekurangan lahan vegetasi sebesar 778 hektar. Sampai saat ini dilema lingkungan ini masih disikapi pemerintah dengan tidak begitu tegas dan terkesan tidak partisipatif. Dengan kata lain pemerintah masih berorientasi pada pembangunan infrastruktur. Laporan dari BPPD luar biasa mengejutkan, Kota Yogyakarta hanya memiliki luas hutan kota sebesar 25 hektar, dan inipun hanya dapat ditemukan di Kawasan Taman Suaka Margasatwa Gembiraloka. Pada Peraturan No.26 tahun 2007, luas minimum harus memiliki 30% ruang hijau dari total luasnya daerah. Citra satelit IKONOS tahun 2009 menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta masih menyisakan 43,36% ruang hijau dari total luas daerah (Brontowijoyo et al, 2011). 14
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Sebagai sumber penghidupan yang telah menyita perhatian internasional, ketersediaan air tidak dapat dipisahkan dari manajemen pembangunan kota yang idealnya diperuntukan kemasalahan masyarakat umum atau publik. Air memiliki peran domino terhadap komponenkomponen lain dalam pembangunan yang mampu menjamin tingkat kesejahteraan sebuah negara, seperti kesehatan, pendidikan, dan pertanian lokal. Apabila air mengalami pencemaran, tentu dalam beberapa tahun ke depan berapa penyakit seperti kolera dan diare, kontaminasi merkuri, dan indikasi klinis degeratif lainnya akan muncul dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Kemudian, penurunan kualitas kesehatan ini akan membebani anggaran pemerintah dalam menyediakan fasilitas dan pelayanan kesehatan publik. Di Kota Yogyakarta, kualitas ini perlu mendapatkan perhatian bagi segala pihak. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa hasil penelitian di ketiga sungai yang mengalir di kota ini menunjukkan nilai sebesar 40,38 atau masuk dalam kategori tercemar ringan. Kendatipun ringan, nilai angka ini tidak dapat disepelekan begitu saja. Nilai yang melebihi 10 dalam perhitungan standar indeks pencemaran air, dimaknai bahwa air tersebut kandungan populasi bakteri dan kuman serta kontamitan lainnya cukup banyak dan perlu mendapatkan investigasi lebih lanjut. Beberapa asumsi kuat yang melatarbelakangi rendahnya kualitas air di kota Yogyakarta antara lain ada pencemaran air sungai yang terinstrusi ke sumur-sumur penduduk lokal atau terdekat dengan sumber aliran airan ini. Kasus berupa tindak pencemaran yang bersifat deliberatif, atau disengaja oleh oknum-oknum yang mencemari sumber air atau sumur dengan substan kimia atau organik pencemar kecil dilakukan, karena keterbatasan teknologi dan pengetahuan tinggi untuk melakukan hal ini. Tetapi, pencemaran yang bersifat industrial seperti tumbuhnya pusat-pusat industri dan pelayanan jasa yang memiliki konsumsi air yang tinggi lebih banyak ditemukan. Alternatif pemanfaatan dan distribusi air idealnya merupakan tanggung jawab negara, tetapi tumbuhnya area pemukiman padat penduduk pun kemudian melahirkan resiko baru dalam kehidupan masyarakat perkotaan seperti di Kota Yogyakarta. Sampai saat ini aksesibilitas terhadap air bersih disumberkan melalui penyediaan layanan air seperti PDAM, sumur-sumur rumah tangga perseorangan dan sumur komunal (dikelola oleh gabungan rumah tangga). Variasi pilihan semacam ini tentu saja menimbulkan tingkat
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
15
resiko yang berbeda. Sumur komunal misalnya, walaupun tidak banyak dipilih masih ditemukan di beberapa wilayah. PDAM pun mengalami nasib yang nyaris sama, karena mulai ditinggalkan masyarakat akibat berbagai temuan pencemaran kimia dan fisik serta menurunnya kualitas layanan kepada masyarakat. Kondisi ini diperkuat dengan hasil penelitian tentang indeks persepsi terhadap ketiga bentuk sumur tersebut. Secara mengejutkan, Salendu (2010) menemukan, persepsi masyarakat terhadap PDAM adalah paling rendah, ranking kedua ditempati oleh sumur komunal dengan indeks 0,878 sedangkan sumur perseorangan menempati ranking terbaik dengan indeks 0,9999. Temuan ini sesungguhnya dapat dimaknai, terkait dengan kebersihan dan higienitas air, masyarakat masih menempatkannya sebagai prioritas untuk peningkatan kualitas kesejahteraan. Lebih lanjut, jarak antar perumahan dan juga antar sumur menyebabkan masyarakat harus semakin waspada. Pada tahun 2010 misalnya, 44.1% kontaminasi bakteri E-Coli pada sumur disebabkan karena sumur dan septitank berada dalam jarak yang terlalu dekat, dan kasus semacam ini ditemukan di kompleks hunian yang saling berdempetan (Salendu, 2010). Belum lagi berbicara tentang air minum. Kewajiban pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan adalah menjamin masyarakat agar dapat menikmati fasilitas air minum. Upaya ini pun telah dilakukan oleh pemerintah Kota Yogyakarta dengan penyediaan fasilitas air minum sebanyak 284 instalasi, walaupun 31 diantaranya belum terpasang dengan sempurna (Widyaningrum et al, 2012). Sebagai sebuah teknologi baru, diskoneksi dan disinkronisasi antara pemangku kebijakan perlu direvitalisasikan agar lebih sustainable. Kendatipun sudah terpasang, pemerintah kota perlu mengevaluasi kembali potensi-potensi resiko agar fasilitas semacam ini dapat lebih luas dimanfaatkan, dan difokuskan pada aspek pemilihan lokasi, segmentation of duty antar manajemen, dan model pemeliharaan berbasis komunitas dengan pemerintah sebagai pengawas. Infrastruktur perumahan dan juga area industri dalam beberapa temuan dituding sebagai penyebab pergeseran air minum. Konstruksi alam cekungan air tanahpun dapat dipengaruhi oleh masifnya pembangunan perumahan yang memanfaatkan sumur. Penelitian yang dilakukan oleh Putra dan Indrawan (2014) secara mengejutkan menemukan, jumlah air sumur pompa meningkat sejak awal 1980 ketika sekolah, kampus, dan hotel mulai didirikan di Kota Yogyakarta dan mencapai puncaknya pada tahun 16
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
2000-an. Parahnya, lapisan air tanah mengalami kerusakan sedalam 0.5 setiap tahunnya di beberapa kecamatan yang dilintasi oleh cekungan air antara Sleman dan Yogyakarta. Selain air dan keterbatasan ruang terbuka hijau, pencemaran udara telah menjadi permasalahan yang krusial di Kota Yogyakarta. Kondisi ini dapat dilihat dari hasil pengukuran Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta. Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menginstruksikan bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap permasalahan lingkungan hidup, utamanya adalah kualitas udara. Densitas udara mencakup luasan yang lebih besar dibandingkan air dan tumbuhan, dan cenderung lebih cepat mengalami penyebaran ke batas geografi antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Dengan demikian, kita dapat bayangkan bila kualitas buruk udara di suatu wilayah, dampak ekstremnya dapat tersebar luas ke daerah lain, selain dirasakan oleh masyarakat lokal. Secara agregatif, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta sangat memprihatinkan. Hasil perhitungan Indeks Pencemaran Udara IPU) dan Indeks Pencemaran Air (IPA) ditambah dengan Indeks Tutupan Hutan (ITH) menunjukkan angka 46,4 secara total. Secara specifik timbal merupakan salah satu logam berat yang berimplikasi pada munculnya penyakit pernapasan. Perlu dicatat bahwa Timbal (Pb) merupakan salah satu logam berat yang umum ditemukan di tanah lingkungan perkotaan (Aye et al, 2015; Budianta, 2012). Efek yang tidak dapat diantisipasi adalah ketika timbal yang dilepaskan melalui partikel-partikel polutan kendaraan bermotor bereaksi dengan besi oksida yang berasal dari polutan lainnya, maka dapat berpotensi tinggi merusak saluran pernafasan manusia sehingga jauh lebih mematikan. Umumnya, pola kontur nilai Pb jelas menunjukkan bahwa nilai tinggi terkonsentrasi di bagian Kota Yogyakarta bagian tengah, terutama di persimpangan PT Sari Husada (1.32 μg/m3) (Pratiwi, 2014). Berdasarkan pemantauan hasil dari penyebaran sepuluh poin atas empat belas distrik di Kota Yogyakarta, penelitian menunjukkan adanya peningkatan polusi udara dari tahun ke tahun. Di persimpangan Pingit dan Wirobrajan ditemukan pencemaran SO2 tertinggi, sedangkan. Konsentrasi karbondioksida, tertinggi ditemukan di daerah Gedongtengen. Konsentrasi ini telah melampaui batas yang diizinkan menurut Nomor SK Gubernur DIY. 153 dari 2002 sebesar 230 ug/m3.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
17
Keempat lokasi tersebut adalah: Rejowinangun (302 ug/m3), persimpangan Giwangan Station (264 ug/m3), persimpangan Galeria (254,48 mg/m3) dan persimpangan PT. Sari Husada (253,53 mg/m3). Parahnya, tingkat kebisingan di semua lokasi acara sudah melebihi ambang batas yang ditetapkan untuk komersial dan kantor pada 65 dBA (Pratiwi, 2014) Resiko di jalan raya di Kota Yogyakarta berakibat fatal pada tingginya angka kematian. Salah satu hal yang patut diperhatikan sampai saat ini adalah semakin meningkatnya angka kepemilikan sepeda motor di kota ini. Menurut Dirgahayani (2013) jumlah kepemilikan kendaraan bermotor meningkat 10.9 persen/tahun, sedangkan mobil sebesar 7,7 persen/ tahun. Perilaku berkendara pun kian memperpuruk tingkat resiko kecelakaan di jalan raya. Tingginya kepemilikan sepeda motor dapat dimaknai sebagai pilihan masyarakat sebagai bentuk penyikapan terhadap buruknya kualitas pelayanan angkutan umum di Kota Yogyakarta. Parikesit dan Asikin (2015) menemukan, dari 591 bis armada yang beroperasi lebih dari 80 persen diantaranya berusia lebih dari 15 tahun. Dari sini, dapat dibayangkan betapa buruknya kualitas armada ini dari segi pembakaran (fuel combustion) dan potensi mereka dalam menambah pencemaran udara di kota Yogyakarta. Pilihan atas kendaraan pribadi ini, juga diperlemah dengan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan jam operasi bagi publik, yang notabene hanya sampai pukul 6 sore hari dan pada akhirnya semakin turunnya animo publik dalam menggunakan angkutan umum (Dirgahayani, 2013: 76). Penurunan jumlah pengguna transportasi umum ini bukan sejarah lama. Pada tahun 2003 sampai 2004, angka penggunaan transportasi publik menurun 3 persen/tahun (Sugiyanto et al, 2011). Pengembangan bis Trans-Jogja sebagai respon kebijakan alternatif pada awal peluncurannya pada tahun 2008 meraih dukungan publik. Sayangnya, minat publik kian menurun karena tingkat keterlambatannya yang cukup tinggi dan jarak antar halte yang jauh (Sugiyanto et al, 2011: 34). Inovasi pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengoptimalkan operasi Trans-Jogja perlu diacungi jempol, walaupun di beberapa lokasi infrastruktur halte masing kurang memadai dan tidak memberikan ruang aksesibilitas bagi pengguna kursi roda, ibu hamil, dan para saudara difabel. Kesemrawutan jalan raya meninggalkan resiko yang muncul tidak hanya peningkatan jumlah kendaraan bermotor, tetapi juga perilaku 18
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
berkendara tidak menghormati keselamatan dan nyawa diri sendiri dan pengendara lain. Pada tahun 2005 misalnya Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) melaporkan terdapat 18.116 kecelakaan lalu lintas yang menewaskan 11.451 orang dan melukai 9.253 orang (Priyanto & Romadhona, 2009: 368). Selain itu, dinamika temperatur dan kelembaban udara di Kota Yogyakarta perlu mendapatkan perhatian khusus. Tungginya tingkat kelembapan antara 80-87% di suatu wilayah akan meningkatkan prevalensi demam berdarah atau kasus DBD (Demam Berdarah Dengue). Di Kota Yogyakarta sendiri, tingkat kematian akibat terkena demam berdarah cukup tinggi. Angka kematian akibat DBD di Kota Yogyakarta di tahun 2007 mencapai 1,01 lebih tinggi dari angka nasional, dengan angka kesakitan tahun 2007 sebesar 74,38/100.000 penduduk. Patut disayangkan, pada periode 2001-2011 misalnya, total kasus DBD di Kota Yogyakarta mencapai 7.631 penderita dengan 51 kasus kematian. Data menunjukkan bahwa jumlah kasus DBD terbanyak terjadi tahun 2017, yaitu 1.517 kasus. Sementara, yang terendah, yaitu 343 di tahun 2005. Di tahun 2004 sendiri, terdapat 12 kasus kematian akibat DBD dan merupakan jumlah tertinggai. Lebih parahnya, Kota Yogyakarta merupakan teritori urban dengan tingkat kematian tertinggi lebih tinggi dari rata-rata nasional tahun 2007. Buruknya tata ruang fisik di Kota Yogyakarta akibat pembangunan infrastruktur fisik, kendaraan bermotor di jalan raya, dan juga kurangnya ruang hijau di sisi yang lain menyebkan kenaikan temperatur di beberapa sudut kota, dan tentu saja keterpurukan ini membuat para pejalan trotoar tidak nyaman. Berdasarkan studi yang melibatkan 256 responden yang merupakan pejalan kaki di area Tugu-Kraton Koridor, dilaporkan bahwa area koridor Tugu-Kraton sudah tidak nyaman lagi bagi pejalanan kaki. Hal ini ditegaskan dari temuan berupa Suhu Fisiologis Ekuivalen atau Physiological Temperature Equivalent (PET) 37,96oC, dimana temperatur ini termasuk dalam kategori tinggi. Penelitian ini mendasarkan bahwa kenyamanan termal di Tugu- Kraton Jalan Koridor sebagian besar dipengaruhi oleh suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin. luar ruangan nyaman cenderung memiliki bangunan berwarna cerah, kemunduran lebar, banyak pohon mahkota lebar, lantai beraspal, banyak jalan furniture, dan tertutup lihat langit faktor. Koridor jalan Tugu-Kraton Jalan yang memiliki 4 bagian (Jalan Marga Utama, Jalan Malioboro, Jalan Marga Mulya, dan Jalan Pangurakan) Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
19
menbuat ruang gerak masyarakat tidak nyaman sehingga kebanyakan orang memilih beraktivitas di dalam ruangan. Parahnya, Bahkan, berdasarkan hasil survey tahun 2010 masih ada daerah yang bertemperatur tinggi (lebih dari 36,5o C) (Brontowijoyo et al 2011:1). Peningkatan temperatur di Kota Yogyakarta ditimbulkan oleh faktor fisik dan non-fisik yang bersifat agregat, seperti kepadatan penduduk, jumlah kendaraan bermotor dan emisi karbon, dan minimnya lahan hijau. Citra satelit Landsat 8 berikut ini memberikan evident visual yang jelas terkait dengan kondisi peningkatan temperature di Kota Yogyakarta. Dari data berikut ini dapat diamati bahwa sebagai besar lokasi memiliki temperatur luar ruangan antara 24-30oC, tetapi area-area bagian tengah menunjukkan temperature lebih tinggi dibandingkan area yang mengelilingnya. Di area bagian tengah yang di dalam kotak tersebut menghadapi panas lebih dari 30oC. Kecamatan Gedongtengen, Danurejan, Ngampilan, Wirobrajan, Pakualaman, dan Gondomanan terletak di dalam enclave temperatur tersebut.
Gambar 1. Distribusi Temperatur Permukaan (Surface Temperature Distribution)
20
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Satelit Landsat 8 OLI/TIRS ini menunjukkan beberapa lokasi di bagian tengah Kota Yogyakarta lebih panas daripada sekitarnya. Lokasi yang teridentifikasi antara lain: Gedontengen, Danurejan, Ngampilan, Wirobrajan, dan Gondomanan. Tingginya temperatur spasial di kelima lokasi ini diakibatkan oleh kepadatan penduduk yang tinggi, kepadatan transportasi, dan keterbatasan lahan hijau. (Sumber: Pertiwi, Iffani, dan Wicaksono, 2016:17)
Berdasarkan pengamatan di lapangan, keenam lokasi tersebut mengalami kepadatan lalu lintas setiap harinya karena berada di jalur besar transportasi yang menghubungkan pusat kantor pemerintahan dan pusat kebudayaan seperti Kraton Yogyakarta, sehingga mobilitas masyarakat cukup tinggi di sepanjang area jalan ini. Selain itu, kompleks hunian penduduk juga terkonsentrasi di keenam area ini. Ketika musim hujan datang sekitar November sampai akhir Januari, area-area tersebut selalu menjadi langganan banjir akibat saluran air yang tersumbat oleh timbunan sampah. Parahnya, konsentrasi perkampungan juga berada di keenam lokasi tersebut, yang juga sebagai pusat hunian para pendatang. Tumbuhnya perkampungan ini juga merupakan imbas dari globalisasi ekonomi yang memfasilitasi mobilitas modal dan investasi yang hanya berpihak pada kelas borjuasi kota (Davis, 2006; Patel, 2009). Dengan pandangan yang lebih kritis Harvey mengamati bahwa hadirnya perkampungan merupakan wujud marjinalisasi terhadap kelompok kelas bawah yang tersingkirkan dari system pasar. Harvey (2005:185) mengelaborasi, For those le or cast outside the market system a vast reservoir of apparently disposable people bere of social protections and supportive social structures there is lile to be expected from neoliberalization except poverty, hunger, disease, and despair. eir only hope is somehow to scramble aboard the market system either as pey commodity producers, as informal vendors (of things or labour power), as pey predators to beg, steal, or violently secure some crumbs from the rich man’s table, or as participants in the vast illegal trade or trafficking in drugs, guns, women, or anything else illegal for which there is a demand. Epilog Melalui artikel ini gagasan pemikiran yang ditawarkan oleh Wisner (2003) seperti yang telah diperkenalkan pada bagian awal membantu kita dalam memahami interaktivitas yang luar biasa kompleks antara root
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
21
causes, dynamic pressures, dan unsafe condition terkait dengan kerentanan dan kerawanan yang muncul sebagai komponen sistemik yang semakin meningkatkan resiko pembangunan di Kota Yogyakarta. Dalam konteks root causes, kerawanan ini utamanya disebabkan oleh keterbatasan akses masyarakat terhadap kekuatan politik serta sumberdaya yang dapat mereka manfaatkan untuk memitigasi resiko yang sudah ada seperti gempa bumi dan fenomena la-nina. Walaupun data geologis dan spasial telah menunjukkan dengan nyata tentang kedua kejadian alam ini, pemerintah belum menyediakan infrastruktur ataupun fasilitas bagi masyarakat untuk mengamati perubahan cuaca dan juga sistem informasi kegempaan yang update agar supaya mereka dapat menyelamatkan diri dan mempersiapkan proses evakuasi lebih cepat sehingga meminimalisir jumlah korban jiwa. Selain itu, sampai saat ini masyarakat secara kognitif belum terhabituasi dan tersadarkan secara kolektif bahwa mereka tinggal di area gempa. Bila struktur kognitif semacam ini dapat dibangun dan terinstitusionalisasikan dengan kuat di berbagai level, maka setidaknya mereka secara mandiri dapat mempersiapkannya. Masifnya pembangunan hotel dan infrastruktur bertingkat di Kota Yogyakarta, di satu sisi kurang memperhatikan existing risk factors, seperti gempa bumi. Di lain pihak, kondisi ini juga belum dimasukkan sebagai pertimbangan dalam izin pendirian bangunan hotel. Saya yakin pemerintah telah mengetahui atau setidaknya mengakui risk factors yang ada di kota ini tetapi mereka masih bertindak gamang dan ragu dalam mengambil keputusan. Ketika kota-kota lain di dunia berlombalomba dalam meningkatkan kualitas kehidupan warganya dengan fasilitas informasi kegempaan, ruang terbuka untuk berkumpul jika gempa terjadi (emergency assembly point), pelatihan penyelamatan gempa di sekolahsekolah, pengetatan izin pendirian bangunan bertingkat (termasuk hotel) dan perkantoran, pemerintah kota justru memperluas kesempatan bagi investor untuk membangun infrastruktur hotel di berbagai titik, yang disaat yang sama bersinggungan dengan dan mempertinggi tingkat kerentanan fisik dan sosial di Kota Yogyakarta. Seperti yang diulas di bagian sebelumnya, kerentanan fisik tersebut mencakup kemacetan lalu lintas, pergeseran saluran dan titik air sumur sehingga penduduk lokal kesulitan mendapatkan air bersih, temperatur luar ruangan yang kian panas, kepadatan lalu lintas diperparah dengan buruknya perilaku berkendara, dan penguasaan ruang 22
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
publik. Sedangkan kerentanan sosial dapat difahami dengan berbagai gejala kultural. Salah satunya adalah hilangnya ‘sense of place’ (Bourdieu, 2002:33) dari warga terhadap kota yang selama ini telah melekat dalam diri mereka sebagai space untuk belajar dan membentuk identitas mereka sebagai warga Jogja, mencari naah, menggelar aktivitas kolektif, dan membangun kualitas hidup. Ideologi neoliberalisme nampaknya kuat merasuk dalam paradigma pembangunan kota ini, terlepas dari dari berbagai tujuan ekonomi seperti peningkatan APBD dan sebagainya. Developmentalism sebagai praktek pembangunan telah nyata dihidupkan kembali melalui masifnya pendirian infrastruktur perhotelan. Hobart (2002) memastikan, Developmentalism ketika ditunggangi neoliberalisme, perlahan tapi pasti, akan menjelma sebagai juggernaut (kendaraan berat berkekuatan tinggi) yang siap melindas keasrian lingkungan, tradisi dan identitas kultural masyarakat, nilai kolektif, dan runtuhnya warisan budaya. Selama 5 tahun terakhir becak yang konon ikon kultural Yogyakarta telah hilang dari pandangan kita. Becak, selain alat transportasi tradisional, juga warisan kultural masa lampau sesungguhnya merupakan artifak budaya yang menunjukkan etos kerja keras dalam pribadi orang Jawa. Tatkala kendaraan bermotor belum membanjiri Kota Yogyakarta di tahun 1970-an, becak masih merupakan pilihan transportasi murah bagi masyarakat untuk berkeliling kota. Dari contoh kecil ini kita dapat mengamati betapa pembangunan ekonomi telah mendevaluasi dan mendepresiasi aset kultural di Yogyakarta. Selanjutnya, root causes dari perspektif sistem politik dapat ditelaah dari ketidakberpihakan wakil rakyat, partai politik, dan pemerintah secara umum terhadap kualitas lingkungan hidup di kota ini. Dengan kata lain, lingkungan hidup belum diarusutamakan dalam wacana politik dan pembuatan kebijakan publik. Seperti yang muncul dalam praktek pembangunan di Yogyakarta ini, ekonomi berbasis pasar lambat laun akan memperpuruk kualitas lingkungan perkotaan (Martokusumo, 2001). Desentralisasi sesungguhnya dapat melahirkan peluang bagi pemerintah dan dipakai untuk membuka ruang partisipasi publik. Dengan memberikan publik kesempatan dan fasilitas untuk menuangkan gagasan, ide, dan pengalaman mereka dalam berkehidupan kota, pemerintah dapat mengambil keputusan yang berbasis pada kebutuhan dan kepentingan Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
23
publik. Mentalitas pemerintahan kita perlu dikhawatirkan saat ini, karena desentralisasi justru semakin menjauh dari mandat utamanya untuk melibatkan publik dalam perencanaan pembangunan (Takeshi, 2006). Dengan kata lain, dynamic pressures dalam konteks pembangunan Kota Yogyakarta semakin rumit dan mempercepat kerentanan yang dialami masyarakat, akibat lemahnya institusi, dan kurangnya kreativitas pemerintah dalam menjaring aspirasi publik. Selain itu urbanisasi yang begitu cepat dan sulit dikendalikan telah mengakibatkan kualitas lingkungan hidup di perkotaa memprihatinkan.
24
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
ư
ŕÐįŚŒĸŕŤÐŚēŪéħēĤðÐįŕēŽÐŤ ðēµĸĊƄÐĤÐŕŤÐ Nashih Luthfi
L
alu lintas dan transportasi di kota-kota besar merefleksikan persoalan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan mobilitasnya, perencanaan kota, dan problem lingkungan. Kesemrawutan, kemacetan dan polusi di jalan raya adalah ekses negatif yang mengindikasikan adanya pengelolaan yang timpang. Secara historis persoalan transportasi berhubungan pula dengan persoalan kebangsaan, yakni organisasi massa, orientasi kemasyarakatan, dan secara umum hubungan antara rakyat dan negara. Sejarawan Australia, John Ingleson, mencatat bahwa kelompok-kelompok radikal dalam pergerakan nasional Indonesia mempunyai basis di seputar persoalan transportasi (pegawai atau buruh) dan di sektor pertanian (pekerja onderneming). Koninlijkke Pakketvaart Maatschappij (KPM) atau perusahaan pengiriman via laut milik pemerintah (Hindia Belanda waktu itu) menjumpai persoalan yang cukup rumit dalam pengelolaannya. Apakah perusahaan itu masih mempertahankan sifat koninlijkke-nya, milik kerajaan, ataukah memberi kesempatan pihak swasta, waktu itu yang berjaya adalah pengusaha pribumi asal Palembang, untuk ikut serta dalam bidang transportasi ini. Transportasi darat juga menemui kendala serupa. Perusahaan-perusahaan kereta api semisal Netherlands Indies Railway Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
25
Companies (NIS), e Semarang – Joana Steamtram Company (SJS), dan Semarang–Cirebon Stemtram Company (SCS) menjadi kantong-kantong pergerakan rakyat. Waktu itu yang paling getol adalah Indies Communis Party melalui organisasi VSTP (Vereeniging Spoorweg en Tram Personen) atau Serikat Pegawai Trem dan KA. Ketidakpuasan mendalam di antara para pekerja yang begitu lama diabaikan kepentingannya oleh pihak perusahaan dan pemerintah akhirnya melahirkan ledakan pemogokan. Pemogokan itu terjadi di Jawa pada tanggal 9 Mei 1923. Merupakan ledakan terbesar dan menyebar rata di koloni Indonesia (John Ingleson, l98l). Pada tahun 1930-an sudah banyak pabrik kendaraan bermotor di Indonesia. Produknya disesuaikan dengan pangsa pasar mengikuti pemilahan masyarakat waktu itu. Oto (mobil) kecil berbentuk sedan banyak digunakan oleh orang Eropa (40.2 % dari 53.273), oto truk dimiliki oleh orang Tionghoa/perseroan (79,9 % dari 13.273) dan otobis banyak dimanfaatkan oleh orang pribumi (46,1 % dari 8.740 buah). Waktu itu sudah ada sekitar 75.000 buah oto yang beroperasi di Indonesia, dengan perbandingan 37365 di Jawa dan 17853 di luar Jawa (Parada Harahap, 1952: 9-10). Angka ini menggambarkan orientasi masing-masing golongan. Orang Eropa menggunakan sedan untuk perjalanan pribadi/keluarga, Tionghoa dan perseroan memakai truk untuk kepentingan perdagangannya, dan rakyat pribumi menggunakan bis untuk angkutan umum. Dari tahun ke tahun persoalan transportasi di Indonesia bukan semakin baik namun terpuruk karena tidak disesuaikan dengan perencanaan kota dan pertumbuhan penduduk. Pada umumnya kota-kota di Indonesia merupakan peninggalan pemerintah kolonial (Belanda) yang tidak semuanya disiapkan untuk pusat perdagangan dan dibentuk sekali jadi (W. F. Wertheim, 1999) Dalam pertumbuhannya seringkali ia tidak didasarkan pada master plan tata kota awal. Selain itu perkembangan organis kota-kota lain sering tidak sesuai dengan planning kota induk. Bahkan banyak kota yang tidak memiliki Rencana Induk Pembangunan. Ia tumbuh seiring dengan pertumbuhan modal/kapital. Merindukan Transportasi Massal yang Ramah Bagaimana dengan persoalan transportasi di Yogyakarta? Gambaran di atas digunakan sebagai acuan untuk mengetahui persoalan transportasi dari 26
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
masa ke masa. Apakah persoalan transportasi untuk konteks Yogyakarta sekarang, tahun 2003, juga mengalami problem yang sama bila melihat persoalan-persoalan transportasi secara umum pada masa lalu itu? Di sini persoalan transportasi di Yogyakarta akan dikaitkan dengan keberadaan Yogyakarta sebagai kota pelajar. Awalnya Yogyakarta hanya memiliki 1 sekolah menengah pertama negeri dan 5 sekolah menengah pertama swasta. Ini terjadi pada masa Belanda hingga Jepang (Selo Soemardjan, 1981: 291-292). Tercatat mulai tahun 1946, dengan didirikannya Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada (akte notaris tertanggal 28 Februari 1946) Yogyakarta mulai dikenal sebagai sentra pendidikan tinggi. Di tengah gejolak revolusi, para tokoh cendekiawan memikirkan masalah pendidikan yang sangat penting bagi generasi muda. Berbondong-bondong para pelajar berdatangan dari berbagai wilayah ingin memasuki “universitas revolusi” ini. Sekarang, tahun 2003, diperkirakan sejumlah 100 perguruan tinggi hadir di tengah-tengah kota Yogyakarta. Salah satu persoalan yang dihadapi para pelajar, utamanya mahasiswa adalah transportasi. Mobilitas mahasiswa yang cukup tinggi ternyata tidak diimbangi dengan adanya fasilitas kendaraan umum yang memadai. Kendaraan bus kota dan mobil angkutan umum hanya beroperasi sampai sekitar jam 18.00 petang. Aktifitas mahasiswa akhirnya tidak optimal dan hanya terbatas pada siang hari. Ini tidak hanya terjadi pada aktifitas organisasi namun juga aktifitas keseharian yang lain. Pada akhirnya untuk mengatasi hal itu mahasiswa lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, yakni motor yang didatangkan dari asal daerahnya masing-masing, guna menunjang mobilitasnya. Kendaraan berplat nomor luar Yogyakarta (nonAB) menjadi fenomena yang jamak. Jumlah kendaraan bermotor dari waktu ke waktu kian membludak. Tidak ada kebijakan membatasi jumlah motor dan menggantinya dengan adanya kendaraan missal yang ramah. Bahkan, tumbuh menjamur dealer-dealer yang menawarkan kredit kendaraan dengan sangat murah. Tidak berimbang antara volume kendaraan dengan volume jalan. Di sisi lain, muncul anekdot-anekdot yang cukup menarik mengenai hadirnya kendaraan motor berplat luar daerah: “berboncengan mahasiswa memacu motornya untuk nyamperin dua gadis yang sedang berboncengan. Setelah dekat bukannya menyapa namun ia buru-buru menarik gas. Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
27
Ia ngacir setelah mengetahui motor sang gadis berplat nomor G, alias Tegal. ‘Wah, ternyata ngapak!’, ucapnya”. Demikian pula plat nomor AB-HD (Gunung Kidul). Anekdot semacam ini lazim dijumpai, merupakan contoh folklor yang berbentuk legenda lokal (tidak bersifat sakral) dengan fungsi peyoratif (James Danandjaja, 2002; 66). Ternyata persoalan kultural masuk dalam kancah ini. Tidak hanya kalangan mahasiswa yang merasakan persoalan transportasi. Para pekerja (utamanya karyawati) yang bekerja malam hari; di toko-toko, counter-counter di mall, dan tempat-tempat kegiatan ekonomi lainnya merasakan kesulitan saat pulang kerja. Mereka menjadi tergantung karena harus mengandalkan jemputan sang pacar, keluarga, atau teman yang bisa dipastikan laki-laki. Pertimbangan keamanan adalah salah satunya. Fenomena ini tentu tidak ditemukan di kota-kota lain yang mempunyai fasilitas kendaraan umum sampai 24 jam. Semisal Bandung, Bogor, Surabaya, dan Jakarta. Alasannya tentu bukan semata-mata karena kota-kota tersebut menjadi pusat industri. Lebih jauh antar-jemput ini menjadi persoalan kultural-kekuasaan; pentas kuasa siapa terhadap siapa (Saya Sasaki Shiraishi, 2001). Ditengarai, persoalan transportasi di Yogyakarta itu lebih menyangkut pertarungan bisnis antara P.O bus dengan perusahaan taksi yang meminta jatah untuk lebih leluasa pada malam hari. Terlebih pengelola taksi masih ada hubungannya dengan pihak keraton. Tentu saja kendaraan taksi tidak tepat sasaran untuk kalangan pelajar dan karyawan yang berekonomi rendah. Dengan begitu, kendaraan bermotor adalah seksis (berkelamin). Secara umum yang memiliki motor adalah pria. Tinjauan gender akan mengatakan bahwa kendaraan (motor) berjenis pria. Perempuan mengendarai motor bisa dibilang suatu fenomena yang masih baru. Bisa dipastikan ia akan membonceng bila partnernya pria. Perspektif ini bisa diterapkan, misalnya, untuk melihat dinamika kehidupan mahasiswa. Bagaimana nuansa organisasi mahasiswa yang mengharuskan aktifitas malam hari? Tanpa keterlibatan mahasiswi yang terkena problem kendaraan itu, apakah mengakibatkan organisasi bernuansa pria? Transportasi adalah persoalan yang sangat populer. Semua kalangan masyarakat tentu berhubungan dengannya. Harusnya ini menjadi bagian
28
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
dari kesadaran bersama, sesuatu yang urgen dan menjadi political will bagi pemerintah untuk membenahi. Kita tentu tidak ingin menunggu Yogyakarta menjadi seperti Jakarta. Kemacetan jalan raya adalah santapan sehari-hari warga. Sehingga muncul kebiasaan baru; pergi ke tempat-tempat hiburan atau café melepas lelah sambil menunggu jalanan sepi. Tidak juga seperti Bangkok dengan tempat parkir terpanjang di dunia, berkilo-kilo deretan motor dan mobil di jalan. Orang menjadi stress di jalan, energi terkuras, dan akhirnya mempengaruhi aktifitas berpikir dan produktifitas kerja. Belum lagi perihal kecelakaan bermotor, kerawanan sosial di jalan raya, kriminalitas, dan psikologi massa di jalanraya. Demikian, bila kondisi jalan tidak kondusif. Otonomi daerah mengamanatkan pemerintah bekerja secara lebih fokus dengan kewenangan yang besar. Bukan berarti malah terjadi disintegrasinya penanganan transportasi, parsial dan kepentingan daerah per daerah sehingga membiarkan jalanan antar-kota/propinsi. Ini tentu pemahaan yang salah. Bila Jakarta sedang mengembangkan busway dan monorail guna mengatasi kemacetan lalu lintas, tidakkah pemerintah Yogyakarta mulai memikirkannya untuk kepentingan ke depan? Berangkat dari persoalan-persoalan di atas, penelitian ini akan mencoba mengkaji tentang manajemen transportasi di Yogyakarta, utamanya kendaraan bermotor roda dua dan kaitannya dengan ketersediaan transportasi publik. Akan dikaji jumlah kendaraan yang ada sampai dengan tahun 2003, data jalan menurut fungsinya, jumlah mahasiswa yang secara rutin masuk ke Yogyakarta dan kepemilikan kendaraannya, pemasukan pemerintah daerah (PAD) yang diperoleh dari sektor transportasi (pajak kendaraan bermotor), penyediaan kebutuhan kendaraan bermotor oleh dealer-dealer Yogyakarta, political will pemerintah dalam membenahi sektor transportasi, problem jalan raya secara umum, dan pertumbuhan jalan, merupakan variabel-variabel penting untuk membaca perihal manajemen transportasi di Yogyakarta ini.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
29
Ʊ
÷ŕŚĸÐħÐįŕÐįŚŒĸŕŤÐŚēðēµĸĊƄÐĤÐŕŤÐDž ŕÐįŚŒĸŕŤÐŚēǖŤēðÐĤǗ÷ŕĤ÷ħÐįġŪŤÐįnj Siti A’yunis Sa’adah, Rido Argo Mukti, Nurlia Farida, Serli Mutiara, dan Gita Marlusianti
P
ertambahan penduduk yang tinggi disebabkan urbanisasi dan kelahiran di kota-kota di Indonesia menyebabkan efek yang besar terhadap pola pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat perkotaan. Infrastruktur publik sebagai salah satu pendukung utama aktivitas hidup masyarakat diharapkan dapat berfungsi dengan baik sehingga mempermudah akses para penggunanya mencapai tujuan guna memenuhi kebutuhannya. Tidak disangkal lagi bahwa permasalahan infrastruktur publik akan menjadi fenomena yang tidak dapat dihindari bagi pemerintah agar segera membentuk rencana pembangunan berkesinambungan dan berorientasi kepada lingkungan. Salah satu infrastruktur publik adalah infrastruktur transportasi. Masalah sarana dan prasarana transportasi kota-kota besar di Indonesia sekarang ini harus menjadi prioritas utama pemerintah dalam meningkatkan kualitas infrastruktur transportasi. Hal ini dikarenakan infrastruktur transportasi merupakan bagian penting dalam berbagai bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, maupun pertahanan dan keamanan. Sehingga, sangat wajib bila pembenahan masalah infrastruktur transportasi menjadi
30
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
perhatian besar bagi para praktisi, akademisi, pemerintah, juga masyarakat secara umum. Dalam mengelola sistem transprotasi, hal yang harus dipertimbangkan adalah pelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Pada UU no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab 1 “Ketentuan Umum” pasal 1 ayat 7, berbunyi “Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup”. Peraturan tersebut secara jelas menegaskan bahwa peningkatan kualitas infrastruktur yang ada harus melindungi kelangsungan ekosistem manusia dan makhluk hidup lainnya. Selanjutnya, pada ayat 10 diterangkan sebagai berikut “Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan /atau kebijakan, rencana, dan atau program. Hal ini menerangkan bahwa prinsip pembangunan infrastruktur transportasi harus dilaksanakan dalam lingkup KLHS. Namun pada kenyataannya, pembangunan infrastruktur transportasi di Indonesia masih berorientasi ekonomi, maksudnya, infrastruktur yang ada hanya menjadi pendukung utama berjalannya perekonomian, sedangkan di negara maju pembangunan infrastruktur telah mengedepankan pembangunan infrastruktur transportasi berkelanjutan yang menghasilkan green construction yaitu infrastruktur bangunan berorientasi lingkungan hidup. Merujuk pada perundangan tersebut di atas, sekarang mari kita lihat penerapan sistem yang ada dalam pembangunan infrastruktur transportasi di kota-kota besar di Indonesia, salah satunya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang selama ini dikenal sebagai Provinsi dan kota yang menawarkan pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata, Kota Yogyakarta tentunya memiliki daya tarik tersendiri untuk para pendatang baik dari dalam negeri maupun luar negeri, hal ini menyebabkan kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta adalah paling tinggi diantara daerah-daerah lain di Provinsi DIY. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik DIY pada tahun 2012, kota Yogyakarta dengan luas area 32,5 km2 memiliki kepadatan 12.123 jiwa/km2, sangat jauh dibandingkan dengan kabupaten-
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
31
kabupaten lainnya di DIY seperti Kulonprogo yaitu sebesar 670 jiwa/km2, Bantul sebesar 1.831 jiwa/km2, Gunung Kidul sebesar 461 jiwa/km2, dan Sleman sebesar 1.939 jiwa/km2. Dengan alasan di atas tentunya kota ini diwajibkan memiliki infrastruktur transportasi yang baik dari segi kualitas dan cukup dalam segi kuantitas (Badan pusat statistik DIY:2012). Keberhasilan pembangunan sangat dipengaruhi oleh peran transportasi sebagai penunjang kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Dimana sistem jaringan transportasi dapat dilihat dari segi efektivitas, aksesibilitas tinggi, terpadu, kapasitas mencukupi, teratur, lancar dan cepat, mudah dicapai hingga kepelosok, tepat waktu, nyaman, tarif terjangkau, tertib, aman, rendah polusi serta dari segi efisiensi dalam arti beban publik rendah dan utilitas tinggi dalam satu kesatuan jaringan sistem transportasi. Oleh karena itu, pengembangan transportasi sangat penting artinya dalam menunjang dan menggerakkan dinamika pembangunan, karena transportasi berfungsi sebagai katalisator dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah. Namun melihat kondisi saat ini, kewajiban tersebut nyatanya masih menjadi PR besar yang harus segera diselesaikan bagi pemerintah Daerah Yogyakarta. Permasalahan infrastruktur transportasi di kota ini sudah menjadi hal yang biasa di tengah pertambahan penduduknya yang signifikan dari tahun ke tahun. Bagaimana bisa tingkat pertumbuhan penduduk di Yogyakarta dapat mempengaruhi perkembangan infrastruktur transportasi kota tersebut? Mudah saja, seperti telah dipaparkan sebelumnya, infrastruktur transportasi merupakan bagian dari infrastruktur publik yang termasuk dalam alat pendukung utama kegiatan masyarakat. Infrastruktur tersebut akan berfungsi dengan baik bila sistem perencanaan dan pengelolaannya benar. Dalam berjalannya waktu kuantitas kebutuhan infrastruktur publik akan selalu berbanding lurus dengan perkembangan aktivitas penggunanya. Sehingga infrastruktur transportasi dapat dikatakan bersifat dinamis di kota Yogyakarta. Melihat Yogyakarta dari segi infrastruktur transportasi daratnya, maka kita akan menemukan berbagai permasalahan yang ada. Berikut beberapa masalahnya yang menyangkut infrastruktur sistem transportasi darat di Yogyakarta. Bila kita memasuki daerah pinggiran kota Yogyakarta seperti Bantul dan sekitarnya atau arah jalan ke kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, di sepanjang jalan Ringroad sangatlah susah untuk menemukan Transportasi umum seperti Trans Jogja. Ketidak terjangkauan Transportasi 32
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
umum ke batas-batas kota membuat para pendatang khususnya Mahasiswa UMY menggunakan kendaraan pribadi. Hal tersebut semakin membuat kemacetan di Yogyakarta menjadi bertambah, dan tidak bisa untuk di pungkiri bahwa kemacetan di Yogyakarta akan naik disetiap tahunnya jika permasalahan infrastruktur transportasi tidak segera diatasi dan diperbaiki. Selain itu, menurut (Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta :2016) Pengelolaan dan pemeliharaan kelengkapan infrastruktur transportasi yang belum efektif dan efisien dalam menerapkan infrastruktur berkelanjutan dan green infrastructure, banyak kita temui juga di jalan-jalan Kota Yogyakarta, seperti pembuatan taman median yang belum sebanding dengan masalah lingkungan yang diakibatkan oleh polusi emisi carbon dari kendaraan yang lewat setiap harinya, kurangnya penanaman vegetasi pada area Terminal Giwangan yang menyumbang limbah padat sebesar 4m2 setiap harinya dan menyumbang polusi udara yang cukup besar, untuk karbon monoksida yaitu sebesar 720,6 μg/Nm3 hanya dalam 1 jam. Pengendalian jumlah kendaraan yang tak terkontrol juga merupakan sumber masalah, dilatarbelakangi kebutuhan mobilitas tiap penduduk di Yogyakarta yang berbagai macam, akan terakumulasi menjadi kebutuhan terhadap kendaraan pribadi, ditambah dengan sistem transportasi umum seperti Trans Jogja yang dirasa belum memadai di Yogyakarta, menyebabkan padatnya lalu lintas di beberapa ruas jalan raya pada jam-jam tertentu. Kepadatan yang bertambah besar tiap periodenya tidak diikuti dengan penambahan infrastruktur transportasi akan menjadi masalah, seperti kemacetan, rusaknya perkerasan jalan akibat beban kendaraan, meningkatnya kasus kecelakaan yang diakibatkan kurangnya infrastruktur pendukung sistem transportasi, dan masih banyak lagi. Merujuk pada masalah-masalah di atas, Langkah efektif yang dapat diambil pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengatasi masalah infrastruktur transportasi adalah peningkatan law enforcement dalam bidang infrastruktur transportasi berkelanjutan. Regulasi harus menjadi ujung tombak untuk mengatasi masalah transportasi, tugas bagi para aparat penegak hukum dan pemerintah Kota Yogyakarta untuk menerapkan hukum dan menetapkan regulasi yang mendukung terciptanya infrastruktur berorientasi lingkungan hidup secara optimal. Bahwasannya transportasi dapat dikatakan efektif jika mampu merealisasikan aksesibilitas yangtinggi, keterpaduan, keselamatan, Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
33
teratur, mudah dicapai, tepat waktu, nyaman, terjangkau, tertib, dan tingkat polusi yang rendah. Sedangkan dapat dikatan efisien apabila situasi dimana transportasi tidak membebani masyarakat namun mampu memberikan pelayanan yang maksimal dalam satu satuan jaringan transportasi nasional. Selain itu, kenyamanan pengguna infrastruktur transportasi harusnya menjadi acuan dalam peningkatan kualitas aset yang ada. Dan yang paling penting, aspirasi masyarakat merupakan sumber inspirasi dalam strategi perancangan sistem infrastruktur transportasi berkelanjutan di masa mendatang. Dari permasalahan latar belakang diatas maka kami tertarik untuk menganalisis terkait dengan permasalahan Transportasi menuju Transportasi kota berkelanjutan di Yogyakarta. Dengan mengajukan pertanyaan penelitian bagaimana ermasalahan Transportasi di Yogyakarta dan Bagaimana Faktor Permasalahan Fishbone Analysis terkait Permasalahan transportasi Kota Yogyakarta Menuju Transportasi Kota Yang Berkelanjutan? Dan mengambil data bagaimana Persepsi Mahasiswa UMY Terhadap Faktor Penyebab Kemacetan Kota Yogyakarta? Kerangkah Teoritik 1. Transportasi Pengertian transportasi menurut (Budi D. Sinulingga, 1999), Transportasi didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari fasilitas tertentu beserta arus dan sistem kontrol yang memungkinkan orang atau barang dapat berpindah dari suatu tempat ketempat lain secara efisien dalam setiap waktu untuk mendukung aktifitas manusia. Transportasi dikatakan baik, apabila perjalanan cukup cepat, tidak mengalami kemacetan, frekuensi pelayanan cukup, aman, bebas dari kemungkinan kecelakaan dan kondisi pelayanan yang nyaman. Untuk mencapai kondisi yang ideal seperti ini, sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang menjadi komponen transportasi ini, yaitu kondisi prasarana (jalan), sistem jaringan jalan, kondisi sarana (kendaraan) dan sikap mental pemakai fasilitas transportasi tersebut. Dalam buku Manajemen perkotaan (Achmad Nurmandi: 2006) Transportasi yang berkelanjutan merupakan bagian dari kota cerdas (Smart City). Terdapat enam variabel dan indikator transportasi
34
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
berkelanjutan,yaitu efisiensi ekonomi,jalan yang nyaman dan lingkungan sekitar,keamanan lingkungan, keadilan dan keterlibatan dalam bidang sosial,keamanan,kontribusi untuk pertumbuhan ekonomi. Transportasi berkelanjutan mempertimbangkan 3 isu, yaitu lingkungan yang berkelanjutan,efisiensi ekonomi, dan keadilan sosial. Selain itu,terdapat 4 komponen penting dalam proses memajukan transportasi perkotaan: (1) pembanguanan struktur atau badan yang efektif untuk penggunaan lahan transportasi terpadu, (2) penciptaan yang adil,efisien,dan mekanisme pendanaan yang stabil, (3) Investasi strategis pada infrstruktur utama, (4) dukungan melalui investasi desain lokal. 2. Lalu lintas Menurut UU No. 22 Tahun 2009 pengertian lalu lintas adalah Gerak kendaraan dan orang di ruang jalan, dimana definisi kendaraan itu sendiri berarti suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Sedangkan menurut Poerwadarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia (1993:55) menyatakan bahwa Lalu lintas adalah berjalan bolak balik, hilir mudik dan perihal perjalanan di jalan dan sebagainya serta berhubungan antara sebuah tempat dengan tempat lainnya. Dengan demikian lalu lintas adalah merupakan gerak lintas manusia dan atau barang dengan menggunakan barang atau ruang di darat, baik dengan alat gerak ataupun kegiatan lalu lintas di jalan yang dapat menimbulkan permasalahan seperti terjadinya kecelakaan dan kemacetan lalu lintas. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan lalu lintas adalah kegiatan kendaraan bermotor dengan menggunakan jalan raya sebagai jalur lintas umum sehari-hari. Lalu lintas identik dengan jalur kendaraan bermotor yang ramai yang menjadi jalur kebiutuhan masyarakat umum. Oleh kerena itu lalu lintas selalu dentik pula dengan penerapan tata tertib bermotor dalam menggunakan jalan raya. 3.
Kemacetan Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) definisi kemacetan ialah tidak dapat bekerja dengan baik, tersendat, serat, terhenti dan tidak lancar. Selain itu (Hoeve : 1990) juga mengatakan bahwa Kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
35
Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar, terutamanya yang tidak mempunyai transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan penduduk. Literatur Review Isu Perkembangan Wilayah dan Transportasi Interaksi perkembangan wilayah dengan sistem transportasi merupakan hubungan yang tak terpisahkan yang mana pengaruhnya terakumulasi. Sejalan dengan waktu. Suatu wilayah dengan segala karakteristiknya menawarkan daya tarik tertentu bagi berlangsungnya suatu aktivitas, sementara sistem transportasi menyediakan aksesibiltas yang sangat diperlukan agar aktivitas-aktivitas yang diinginkan bisa dilaksanakan dan berkembang. Rencana pembangunan Indonesia ke depan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai salah satu bidang prioritas rencana pembangunan sebagaimana dirumuskan dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Berbagai aspek perkembangan wilayah di atas memunculkan permasalahan transportasi yang meliputi aspek-aspek operasional jaringan, finansial, ekonomi, lingkungan, dan keselamatan. Indikasi dari permasalahan yang timbul dalam aspek-aspek tersebut terlihat dari kemacetan lalu-lintas, proporsi penggunaan pribadi yang terus meningkat, tingkat kecelakaan yang tinggi, konsumsi bahan bakar yang tidak efisien, dan sebagainya. Isu-isu perkembangan wilayah ini mengingatkan bahwa permasalahan transportasi memerlukan pemikiran dan penanganan yang komprehensif dengan kesadaran bahwa fokus perlu diberikan terhadap peningkatan efisiensi dan efektivitas infrastruktur yang ada, serta optimalisasi sumber daya yang terbatas untuk pengembangan sistem transportasi dalam mengantisipasi perkembangan wilayah. 1.
Pembangunan Berkelanjutan Brundtland Report (dikutip oleh Newman dan Kenworthy, 1999) mengemukakan empat prinsip yang menjadi dasar pendekatan untuk keberlanjutan global yang harus diterapkan secara simultan, yaitu :(1) Penghapusan kemiskinan, terutama di dunia ketiga, adalah penting tidak hanya atas alasan kemanusiaan melainkan juga sebagai isu lingkungan;(2)
36
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Negara-negara maju mesti mengurangi konsumsi sumber-sumber alamnya dan produksi limbahnya. (3) Kerjasama global dalam hal isu lingkungan tidak lagi merupakan pilihan sukarela (so option). (4) perubahan menuju keberlanjutan dapat terlaksana hanya dengan pendekatan komunitas (community-based) yang melibatkan budaya lokal secara sungguh-sungguh. Newman dan Kenworthy (1999) mengedepankan bahwa konsep keberlanjutan pembangunan pada dasarnya adalah mencoba untuk secara simultan mewujudkan kebutuhan yang paling pokok, yaitu : (1) kebutuhan akan pembangunan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan; (2) kebutuhan akan perlindungan lingkungan bagi udara, air, tanah, dan keragaman hayati; dan (3) kebutuhan akan keadilan sosial dan keragaman budaya untuk memungkinkan masyarakat lokal menyampaikan nilai-nilainya dalam memecahkan isu-isu tersebut. e Centre for Sustainable Transportation (1997), merumuskan suatu definisi bahwa transportasi berkelanjutan adalah suatu sistem yang : (1) Memungkinkan kebutuhan akses yang sangat mendasar dari individu dan masyarakat untuk dipenuhi dengan selamat dan dengan cara yang konsisten dengan kesehatan manusia dan ekosistem, dan dengan kesetaraan di dalam serta di antara generasi; (2) Terjangkau, beroperasi secara efisien, memberikan pilihan moda-moda transportasi, dan mendukung perkembangan ekonomi ; (3) Membatasi emisi dan limbah yang masih dalam kemampuan bumi untuk menyerapnya, meminimasi konsumsi sumber-sumber yang tak terbarukan, menggunakan dan mendaur ulang komponen-komponennya, dan meminimasi penggunaan lahan serta produksi kebisingan. Sistem transportasi sangat diperlukan dalam pembangunan karena transportasi merupakan mekanisme kunci untuk meningkatkan, membangun, dan membentuk perekonomian suatu bangsa. Transportasi tidak hanya sebagai sarana sosial yang menghubungkan manusia di satu tempat dengan manusia di tempat lain, tetapi juga merupakan sarana ekonomi dan politik bagi suatu bangsa untuk membuka wilayahnya dari keterisoliran dan keterbelakangan sehingga proses pembangunan juga terjadi di wilayah tersebut. Untuk itu sangat diperlukan suatu sistem transportasi yang baik, yang dapat menghubungkan antarwilayah dan menjadi prasarana pergerakan manusia dan proses pembangunan.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
37
2.
Temuan Kota Yogyakarta berpotensi menjadi kota pariwisata terbesar di level Nasional maupun Internasional. Problematika yang muncul terkait dengan infrastruktur dan fasilitas pariwisata. Beberapa diantaranya minimnya fasilitas umum di kawasan obyek wisata. Beberapa tour guide yang belum berlisensi dan erupsi merapi. Masalah Jika ini tidak segera diatasi maka akan berdampak buruk bagi citra kota Yogyakarta sebagai kota pariwisata dan budaya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan jenis data kualitatif. Riset ini meneliti tentang image building (membangun citra) pariwisata kota Yogyakarta dengan menggunakan Relat ionship Management eory karena teori ini merefleksikan sebuah hubungan dibangun dengan adanya komunikasi antara organisasi dan MAP (Market, Audiens, Place). Suatu interaksi yang berkelanjutan harus saling menguntungkan satu sama lain. Kedua pihak harus men dapatkan sesuatu dari hubungan tersebut. Ada tiga tipe dari hubungan dalam Relationship Management eory yaitu interpersonal, professional, dan komunitas. Obyek dalam penelitian ini adalah usaha atau strategi yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebud ayaan Kota Yogyakarta dalam image building (membangun citra) pariwisata kota Yogyakarta. Teknik pengambilan data untuk penelitian ini adalah melalui wawancara mendalam dengan staff Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta bidang Promosi dan Kerjasam a Pariwisata dan bidang Obyek Daya tarik Wisata dan melakukan observasi. Triangulasi data dilakukan dengan cara pengamatan serta dokumen atau arsip yang menyangkut pada obyek penelitian yang terdiri dari staff Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakart a, dokumen data, pengelola kampung wisata dan para wisatawan. Dari hasil penelitian, strategi yang digunakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dalam membangun citra (image building) adalah strategi bidang Promosi dan Kerjasama Pariwisata, str ategi bidang Objek dan Daya Tarik Wisata, strategi bidang Pembinaan dan Pengembangan Kepariwisataan, dan strategi bidang Kebudayaan. Masalah kemacetan pada suatu ruas jalan adalah sesuatu yang sering terjadi pada daerah perkotaan. Kemacetan lalu lintas mempunyai akibat yang sangat besar apabila dicermati secara lebih mendalam. Salah satu hal yang sangat dominan adalah adanya pemborosan bahan bakar. Penelitian
38
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar dampak secara ekonomi kerugian yang diakibatkan oleh adanya kemacetan. Kerugian yang dihitung hanya mencakup masalah pemborosan dari nilai operasi kendaraan yang ada. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa hubungan antara jumlah arus (smp/jam) dengan kecepatan yang terjadi (km/jam) adalah kecepatan berbanding terbalik dengan besarnya arus lalu lintas. Kerugian akibat kelambatan arus lalu lintas yang terjadi di jalan Gejayan adalah sebesar Rp. 11.282.482,21 per jam. Kerugian ini berupa bertambahnya biaya operasional kendaraan yang semestinya tidak perlu dikeluarkan apabila kecepatannya bisa mencapai kecepatan desain perencanaan.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Karya tulis ini merupakan jenis penelitian deskriptif analisis, yaitu penelitian yang berusaha menerangkan atau menggambarkan peristiwa yang terjadi pada obyek penelitian pada masa sekarang kemudian dijelaskan, dianalisa, dan disajikan sedemikian rupa sehingga menjadi gambaran yang sistematis (Soeharto, 2004). Ada pun unit analisisnya adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, karena dalam penelitian ini akan mencari pandangan dan presepsi mahasiswa terhadap problem lalu lintas Kota Yogyakarta. Sehingga jenis data yang digunakan Data Primer (kusioner atau angket) dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber kredibel meliputi buku cetak, jurnal dan artikel yang kemudian diidentifikasi, dianalisis, serta diinterpretasikan sehingga menjadi karyatulis yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode analisis data pada penelitian ini menggunakan Fishbone Analysis Diagram dan Metode Kuantitatif. Menurut Scarvada (2004), konsep dasar dari diagram fishbone adalah permasalahan mendasar diletakkan pada bagian kanan dari diagram atau pada bagian kepala dari kerangka tulang ikannya. Diagram fishbone umumnya digunakan pada tahap mengidentifikasi permasalahan dan menentukan penyebab dari munculnya permasalahan tersebut.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
39
Permasalahan Transportasi di Yogyakarta 1. Kemacetan Lalu Lintas Sebagai Ibukota Provinsi DIY, Kota Yogyakarta merupakan kota yang sangat padat dan penuh dengan aktifitas baik pemerintahan DIY maupun aktivitas masyarakat Kota Yogyakarta yang beragam. Selain sebagai tujuan pariwisata, kota Yogyakarta merupakan salah satu kota pendidikan di Indonesia. Tak pelak jika saat ini banyak perguruan tinggi-perguruan tinggi baru yang banyak muncul di Yogyakarta. Kedatangan para mahasiswa dari berbagai daerah biasanya juga menyertakan kendaraan pribadinya dari kota asalnya. Tak pelak keadaan ini semakin menambah padat kendaraan yang ada di jalan-jalan kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta mempunyai 467 jalan, dengan panjang total 441 km (DISHUB DIY, 2005). Jumlah total kendaraan bermotor di DIY sekitar 749.273 unit dan hampir semuanya bergerak ke kota Yogya pada siang hari. Di satu sisi jumlah kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta akan terus meningkat, sementara di sisi lain jumlah jalan relatif konstan. Maka bisa dipastikan bahwa lambat laun daya dukung jalan akan tidak mencukupi untuk mendukung dan menampung mobilitas kendaraan di Kota Yogyakarta. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya kemacetan lalu lintas yang terjadi hampir setiap pagi, siang, sore, dan malam di beberapa ruas jalan besar di Kota Yogyakarta, seperti terlihat di perempatan MM UGM, perempatan Mirota Kampus, perempatan Tugu, perempatan Jalan Magelang, depan Saphir square, bahkan di perempatan Condong Catur Ring Road Utara. Jalan yang ada tidak dapat menampung jumlah kendaraan yang menuju kota pada saat yang bersamaan. Dengan semakin banyaknya jumlah kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta (mencapai 8000 per bulan), bisa dipastikan permasalahan transportasi perkotaan ini (kemacetan dan lain–lain) akan menjadi semakin parah dan sukar diperbaiki. Kondisi jalan yang sudah tidak mendukung lalu lintas transportasi semakin diperparah dengan penggunaan badan jalan sebagai lahan parkir daerah perdagangan dan pedagang kaki lima (sebagaimana tampak di beberapa ruas jalan). Dampak negative yang disebabkan oleh kemacetan adalah pemborosan energi, waktu, dan biaya dari pengguna jalan karena terjebak kemacetan. Selain itu, aktivitas ekonomi masyarakat juga menjadi terganggu, tidak
40
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
efektif dan efisien. Dampak lain berupa semakin menurunnya kualitas dan kuantitas jalan karena dipaksa menampung beban yang tidak dicukupi oleh kapabilitasnya. Kegiatan ekonomi dari masyarakat Kota Yogyakarta akan terganggu. Kegiatan produksi, distribusi, serta konsumsi masyarakat akan sangat terganggu dengan terhambatnya lalulintas di Kota Yogyakarta. Berlangsungnya kegiatan ekonomi warga Yogyakarta tidak terlepas dari peranan lalulintas kota Yogyakarta sendiri. Para karyawan, pedagang, pembeli, produsen dan konsumen semua memanfaatkan transportasi jalan untuk mendukung kegiatan ekonominya. Jika lalulintas jalan di kota Yogyakarta macet, maka bias jadi kegiatan ekonominya juga terhambat. 2. Minimnya Transportasi Publik Trans Jogja merupakan hasil dari upaya pemerintah daerah untuk melakukan pemenuhan kebutuhan akan transportasi umum di Yogyakarta. Program Trans Jogja yang dijalankan oleh pemerintah DIY dengan menunjuk PT Jogja Tugu Trans (JTT) sebagai operator sedikit berbeda, dimana Trans Jogja tidak menggunakan jalur tersendiri yang terpisah dengan jalur kendaraan umum lainnya. Alasan dari tidak digunakannya jalus khusus bagi Trans Jogja adalah karena tidak memungkinkan untuk memperlebar badan jalan yang sudah maksimal. Selain masalah jalur khusus bagi busway, semua prosedur bagi penggunaan layanan angkutan ini relatif sama dengan busway Trans Jakarta. Menurut data yang telah dikumpulkan oleh (Maryatmo & Suryadharma 2011) menunjukkan bahwa terjadi kejenuhan masyarakat terhadap alat transportasi umum (dalam kota) yang ada seperti bus umum, delman, becak dll. Kondisi fisik kendaraan yang sudah tidak memadai ditambah dengan banyak masalah dengan faktor keamanan dan ketidakefisienan penggunaannya menyebabkan transportasi umum tersebut dirasa bukan lagi menjadi pilihan. Sebelum adanya Trans Jogja, load factor alat transportasi umum dalam kota di Yogyakarta hanya sekitar 27,22% saja. Selain Trans Yogya, angkutan umum lainnya seperti Kopata, Aspada, Puskopkar, Damri maupun Kobutri. Namun, keberadaan angkutan umum tersebut tidak dapat menjangkau beberapa titik keramaian di Yogyakarta. Menurut Ridwan (2013) Yogyakarta adalah kota wisata sejuta pesona,
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
41
pesona jogja tidak hanya terlepas dari candi prambanan, malioboro, kraton, maupun gunung merapi, tetepi Jogja juga menarik para pelajar dari berbagai daerah untuk dapat menempuh pendidikan dikota yang kerap disebut kota pelajar ini. Namun keindahan tempat tempat di Jogja tidak didukung oleh akomodasi menuju berbagai tempat tersebut, sulitnya menemukan kendaraan umum kota selain taksi membuat para pelajar, pekerja, dan wisatawan harus menunggu lama untuk bisa menemukan kendaraan umum ke tempat tujuan mereka masing masing, terutama angkutan yang menghubungkan antara desa dengan kota. Apalagi Yogyakarta sebagai kota wisata harusnya memberikan kemudahan bagi wisatawan dan warganya untuk bepergian ke berbagai tempat. 3.
Terbatasnya Rute Transportasi Publik Seiring dengan perkembangan jaman, populasi dan mobilitas manusia semakin mengalami peningkatan. Hal yang demikian sangat terasa perubahannya, terlebih jika kita mengerucutkan perhatian ke kota kota besar. Masalah transportasi di Yogyakarta mungkin secara umum sama dengan masalah transportasi di kota kota besar lainnya. Dapat dirasakan, dalam beberapa tahun terakhir peningkatan volume kendaraan cukup tinggi. Hampir di semua persimpangan di kota Yogyakarta akan selalu mengalami kemacetan, terlebih pada jam masuk atau keluar kantor. Tentunya masalah ini haruslah mendapatkan perhatian yang cukup serius agar diperoleh solusinya. Yogyakarta merupakan salah satu kota yang tidak mempunyai angkutan kota (angkot) tetapi dengan aktivitas warganya yang beragam mulai dari pelajar hingga warga yang berusia renta kendaraan umum sejenis angkot sangatlah dibutuhkan dan karena tarif angkot cukup terjangkau bagi masyarakat golongan menengah kebawah. Hadirnya Trans Jogja seharusnya dapat menjangkau wilayah wilayah strategis lainnya keterbatasan jumlah trayek mengakibatkan banyak titik-titik wilayah yang tidak dapat tersentuh oleh moda transportasi publik tersebut. Contohnya mahasiswa merupakan pangsa pasar yang layak dipertimbangkan sebagai penumpang trans jogja, Sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2002, tentang Uji Coba Rute Bis Perkotaan Daerah Istimewa Yogyakarta, jalur angkutan perkotaan dibagi menjadi 19 jalur, yang dilayani oleh Kopata,
42
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Kobutri, Aspada, DAMRI dan Puskopkar. Trayek angkutan umum yang ada di Yogyakarta berjumlah 16, jalur 1 sampai jalur 19, jalur 1, jalur 8, dan jalur 18 tidak aktif. Panjang trayek bervariasi, mulai dari 25 km sampai 62 km. Sampai awal tahun 2008, jumlah armada yang ada sebanyak 591, yang sebagian besar berupa bis (Haryono, 2010). Namun banyak dari kampus/universitas yang tidak terjangkau oleh trans jogja. Sehingga ketika mahasiswa tidak memiliki kendaraan pribadi, akan sulit menjangkau tempat tujuan. 4. Kurang Disiplinnya Pengemudi Pelanggaran lalu lintas disebabkan oleh banyak faktor, hal ini banyak disebabkan oleh pengemudi yang tidak menaati aturan lalu lintas. Misalnya banyak pengemudi yang tidak memiliki surat izin mengendarai dan banyak pengemudi dijalanan yang tidak mau mengalah satu sama lain. Tidak sekedar oleh pengemudi kendaraan yang buruk, pejalan kaki yang kurang hati-hati, kerusakan kendaraan, rancangan kendaraan cacat pengemudi, rancangan jalan, dan kurang mematuhi nya rambu-rambu lalu lintas” (Suwardjoko : 2005). Banyak sebagian pengendara bis kota atau umumnya angkutan umum seperti Kopata, Aspada, Puskopkar, Damri maupun Kobutri yang terkadang tidak memperdulikan tempat untuk menurunkan penumpang. Bahkan diantara mereka menurunkan penumpang tidak pada tempat yang pas. Sehingga dapat mengakibatkan kemacetan, ketidakteraturan pengendara dan dapat membahayakan pengendara lainnya. Penurunan tingkat isian penumpang pada angkutan umum ini antara lain disebabkan oleh menurunnya kualitas pelayanan. Tingkat pelayanan ini semakin memburuk dengan tidak adanya tempat henti (ngetem) yang tetap dan tidak ada jadwal. Jika dianalisis secara lebih mendalam, akar permasalahan rendahnya kualitas pelayanan bis perkotaan di Yogyakarta ini adalah sistem pengelolaan yang tidak tepat dan berhentinya angkutan umum di sembarang tempat. Dengan pelayanan seperti ini, 74% penumpang mengatakan bahwa tingkat pelayanan angkutan umum perkotaan Yogyakarta buruk dan sebagian besar pengemudi kendaraan pribadi mengatakan bahwa angkutan umum mengganggu lalulintas (Haryono, 2010). 5. Menurunnya Kondisi Fisik dan kinerja Angkutan Umum Seiring berjalannya waktu, moda transportasi kota ini makin kurang diminati. Alasannya sederhana. Meski murah, kondisi fisik bus bisa
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
43
dibilang semakin parah. Rendahnya kualitas kendaraan disebabkan oleh menurunnya kondisi fisik angkutan umum. Tentu hal itu berpengaruh terhadap kenyamanan penumpang, ketika penumpang tidak nyaman maka sebagian dari mereka akan beralih pada angkutan lain atau bahkan lebih memilih kendaraan pribadi untuk menuju tempat tertentu. Seharusnya pemerintah Yogyakarta dapat mengambil alih atau ikut mempertimbangkan keberadaan angkutan umum tersebut. Dengan memberikan alokasi khusus guna memperbaiki atau mengganti kendaraan umum yang sudah tidak layak. Sehingga hal tersebut dapat menjawab permasalahan minimnya transportasi umum Yogyakarta. Sekaligus mempertahankan sumber penghasilan dari para pengendara bus tersebut. Sebagian besar pemilik bis perkotaan hanya memiliki 1 (satu) atau 2 (dua) armada yang dikelola dengan sistem setoran, kecuali bis Damri, yang awak bisnya mendapatkan gaji bulanan. Pendapatan (dari penumpang) sangat menjadi andalan dan merupakan sumber matapencarian bagi pengemudi dan kernet. Pengguna mempertanyakan apakah masih layak Trans Jogja memliki slogan “buy the service”. Kondisi fisik bus mengalami kerusakan dimanamana. Cat terkelupas, pintu tidak membuka/menutup secara otomotis, kursi rusak, dan simbol-simbol penting sudah tidak terpasang dengan baik telah menjadi pemandangan sehari-hari. Kondisi halte mengalami hal yang sama walaupun. Analisis Faktor Permasalahan 1.
Fishbone Diagram Dari bagian-bagian yang telah diuraikan diatas, kemudian dapat dirinci dan ditetapkan permasalahan transportasi Yogyakarta. Penjelasan dapat diuraikan menggunakan Fishbone Diagram pada gambar 4.1 di bawah. Setelah diuraikan berbagai faktor permasalahan dan sebab permasalahan terkait transportasi wilayah Yogyakarta (ke arah kiri), maka langkah selanjutnya yakni merumuskan solusi dan langkah penanggulangan permasalahan yang telah diuraikan (ke arah kanan). Focus group discussion menjadi langkah untuk mengetahui hal tersebut.
44
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Gambar 4.1. Fishbone Diagram Permasalahan Transportasi Yogyakarta Kemacetan L Lintas
Disiplin Pengendara
Kondisi Fisik Kerjasama
Perketat Aturan
F Jalan Menambah J Jalan
A Umum Tua
Berhenti Sembarangan
Volume Kendaran & Homogen
Alokasi
Satu Arah
Tambah Pemberhentian
Tidak Terawat
Pra Transaksi Trans Yogya
Transaksi
Pangsa Pasar
Perbanyak Angkutan Umum Angkutan Umum gaet
Pasca Transaksi
Ketidakterpaduan
Transportasi Yogyakarta menjadi baik
Tambah Rute
Rute Terbatas
Minim Angkutan Umum
Sumber : Analisi Penulis
2.
Presepsi Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Pada kesempatan ini akan membahas Presepsi Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta terhadap permasalahan transportasi kota Yogyakarta. Untuk mengetahui presepsi mahasiswa UMY maka disusun angket dengan responden sebanyak 30 mahasiswa. Presepsi ini merupakan analisis sejauh mana keakuratan Focus Group Discussion yang telah dilakukan penulis dan tim penyusun tentang permasalahan Transportasi Kota Yogyakarta. a.
Kendaraan Untuk Beraktifitas
Berdasarkan jenis kendaraan untuk beraktivitas, menunjukkan 27 responden menggunakan sepeda motor untuk beraktifitas, sedangkan 3 responden menyatakan berjalan kaki dan ikut bersama teman untuk Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
45
beraktifitas dalam sehari-hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa 90% responden menggunakan sepeda motor untuk beraktifitas dan 10% tanpa memiliki kendaraan pribadi. b.
Asal Kendaraan Diagram dibawah menunjukan 21 responden menyatakan membawa kendaraan langsung dari daerah asal dan 9 responden menyatakan membeli kendaraan di Yogyakarta. Hal tersebut menunjukan bahwa 70% responden membawa kendaraan dari daerah asal, dan 30% menyatakan membeli kendaraan di Yogyakarta, berarti lebih dari setengah responden terbukti sebagai aktor dalam meningkatkan jumlah volume kendaraan (sepeda motor) di Yogyakarta tanpa memberikan kontribusi terhadap pendapatan pajak kendaraan Yogyakarta.
c.
Minat Terhadap Transportasi Umum
Bagian ini dimaksudkan untuk mengetahui tanggapan mahasiswa UMY tentang transportasi umum di Kota Yogyakarta yang nyaman, bagus dan tersedia trayek hingga Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, seberapa besar minat beralih menggunakan transportasi umum tersebut untuk beraktifitas. 46
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Berdasarkan diagram diatas menunjukkan bahwa 8 atau 27% responden tidak berminat beralih mengunakan Transportasi Umum. Sedangkan 22 atau 73% responden berminat menggunakan transportasi umum untuk beraktifitas khususnya berpergian ke Kota Yogyakarta dan berjalan-jalan. d.
Penyebab Kemacetan Lalu Lintas Kota Yogyakarta Diagram di bawah menunjukan bahwa 5 atu 17% responden memberikan setuju jika Transportasi Umum salah satu penyebab kemacetan di Kota Yogyakarta dan sisanya yaitu 25 atau 83% responden tidak setuju jika Transportasi Umum salah satu penyebab kemacetan di Kota.
e.
Jenis Transportasi Umum yang Mengakibatkan Macet Kota Yogyakarta.
Diagram diatas menunjukan bahwa 30 responden ada beberapa jenis transportasi umum yang mengakibatkan kemaceta di lalu lintas Kota Yogyakarta, seperti 5 responden mengatakan jenis Bus Kopaja, 1 responden menyatakan Bus Trans Jogja, 1 responden menyatakan Taxi, 2 responden Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
47
menyatakan andong dan becak, 7 responden menyatakan Bis Pariwisata, 2 respnden menyatakan jenis lainnya. Berdasarkan diagram diatas dapat disimpulkan bahwa Bis Pariwisata merupakan jenis Transportasi Umum yang paling menyebabkan kemacetan diruas jalan Kota Yogyakarta.
f.
Alasan Transportasi Umum Sebagai Salah Satu Penyebab Kemacetan di Kota Yogyakarta Diagram diatas menunjukan bahwa 15 responden beranggapan bahwa transportasi umum yang berhenti disembarang tempat menyebabkan kemacetan, 5 responden beranggapan bahwa menyetir seenaknya tanpa memperdulikan keadaan sekitar, 1 responden menerobos lampu merah dan 5 responden menyatakan bahwa ada penyebab lainnya seperti emisi pembuangan asap kendaraan yang berwarna hitam. g.
Permasalahan Yang Paling Dominan Pada Transportasi Kota Yogyakarta
48
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Anggapan 30 responden terhadap permasalahan yang paling dominan dari transportasi Kota Yogyakarta adalah, 12 responden menyatakan bahwa kemacetan lalu lintas, 3 responden menganggap bahwa minimnya angkutan umum & transportasi publik Yogyakarta sebagai permasalahan transportasi kota Yogyakarta dan sedangkan 15 responden menyatakan terbatasnya rute angkutan umum & transportasi publik Yogyakarta sebagai permasalah yang paling dominan. h.
Emisi Asap Hitam pada Kendaraan Umum Mengakibatkan Macet Lalu Lintas dan Mengganggu Pengendara Lainnya.
Ditunjukkan bahwa 24 responden atau 80% menyetujui emisi asap pembuangan berwarna hitam pada kendaraan umum berpengaruh pada kemacetan dan mengganggu pengendara lainnya dan 6 responden atau 20% menyatakan tidak menyetujui.
Kesimpulan Jalan yang ada tidak dapat menampung jumlah kendaraan yang menuju kota pada saat yang bersamaan. Dengan semakin banyaknya jumlah kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta (mencapai 8000 per bulan), bisa dipastikan permasalahan transportasi perkotaan ini (kemacetan dan lain–lain) akan menjadi semakin parah dan sukar diperbaiki. Kondisi jalan yang sudah tidak mendukung lalu lintas transportasi semakin diperparah dengan penggunaan badan jalan sebagai lahan parkir daerah perdagangan dan pedagang kaki lima (sebagaimana tampak di beberapa ruas jalan).
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
49
Kondisi transportasi umum di Yogyakarta sendiri bias dibilang kurang baik. Jika kita tinjau dari segi fisik misalnya, cukup banyak angkutan di Yogyakarta yang rusak dan sebenarnya sudah seharusnya mendapatkan uji kelayakan. Kerangka bus yang rusak, jok yang sobek, dan mesin bus yang menghasilkan asap berlebihan tentunya akan menimbulkan kesan kotor dan semrawut sehingga ini jelas akan menurunkan daya tarik angkutan itu sendiri bagi penumpang. Belum lagi rute trayek angkutan kota yang tidak efisien. Dengan kondisi yang demikian, tentunya orang akan lebih memilih kendaraan pribadi. Hasil persepsi Mahasiswa UMY terhadap permasalahan transportasi yang paling dominan ada di Jogja adalah permasalahan kemacetan lalulintas dan berikutnya di ikuti oleh permasalahan minimnya transportasi publik Yogyakarta. Jenis transportasi umum yang dominan membuat macet kota Yogyakarta adalah Bus pariwisata dan Bus Kopaja.
50
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Ʋ
ēįðÐĤÐįǜēįðÐĤÐį Vŕ÷ÐŤēĉ÷ŕħОÐįÐį David Efendi
P
enting sekali menuliskan satu artikel sederhana untuk menyambut diskusi dan sharing dalam Reboan di RBK beberapa waktu lalu yang bakalan sangat monumental ketika padepokan sunan disinggahi oleh orang merdeka seperti Elanto yang gaungnya ‘pecah’ bergema di media sosial sampai hari ini lantaran ‘aksi gila’ yang dibenarkan akal sehat ketika melihat carut marut banalitas kehidupan post industrialis hari ini. Tulisan ini semacam biografi sosok penyeru perlawanan dari sosok individu. Diskusi ini akan berlangsung besuk tanggal 16 Maret 2016 mulai jam 18.30 WIB. Rencana lama yang tertunda dan tergapai akhirnya. anks berat untuk mas Elanto Wijoyono yang mengilhami tulisan ini semoga berarti bagi pendewasaan warga kota. Banalitas akhir zaman yang terekpresikan secara gampang adalah bagaimana pengendara motor mewah alias moge merasa jagoan di jalanan dan bisa membeli polisi, juga bangunan hotel yang menguras habis sumur warga, swalayan yang mendownload seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Selain itu banalitas proses elektoral politik dalam kampanye tak simpatik yang merusak gendang telingah kebudayaan orang-orang kampung. Seperti Algore yang gigih menentang rakusnya kapitalisme yang merusak masa depan kehidupan di banyak penjuruh dunia, di Yogyakarta ada Elanto, Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
51
Dodok, Mbah Marijan, dan banyak individu lain yang tak disebutkan namanya berada di pihak yang menantang segala praktik kekerasan kebudayaan, kekerasan kapitalisme, dan kekerasan politik. Ada nafas baru yang segar bahwa revolusi fisik tidak lagi menjadi satu-satunya jalan untuk melakukan transformasi sosial. Ada revolusi harapan yang dilahirkan dari gagasan Erich Fromm yang mengajak kita untuk melakukan pemanusiaan atas segala skema pembangunan terencana (yang selama ini sangat teknokratis dan tekhnologis yang secara efektif meminggirkan manusia). Seruan-seruan akan emansipasi terhadap kehidupan manusiawi khususnya kehidupan urban telah sangat keras digaungkan oleh kekuatan otonomi individu baik yang digerakkan oleh Dodok dalam warga berdaya dan jogja ora didol sebagai bentuk perlawanan publik atas ambisisnya kekuatan kapital dalam pembangunan di kawasan perkotaan. Elanto dan Dodo adalah sedikit dari banyak manusia yang layak disebut sebagai para muadzin perlawanan, atau penyeru perlawanan. Dua orang ini punya kesamaan karakter yaitu nguwongke uwong—artinya inklusif saya lihat dari jarak jauh. Tidak segan-segan retweet dan repost seruan-seruan dari Komunitas lain yang mempunyai hasrat kebaikan dalam tindakan-tindakan sosialnya. Beberapa kali saya melihat postingan poster bermerk Urban Literacy Campaign dan #GerakanMembunuhJogja diaretweet dan juga di posting di kanal perlawanan kreatif: Kota untuk Manusia. Mengingat banyak hal menarik sehingga saya mencoba memnca sepak terjang dua individu ini dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Erich Fromm dalam revolusi harapannya, Vacklav Havel yang meberikan kredit pada kekuatan orang-orang biasa yang dianggap tiada daya, dan buku yang terbaru Karl Jackson dan Steve Crawshaw dalam tindakan-tindakan kecil perlawanan (trejemahan), serta model perlawanan sehari-hari yang pernah dikaji oleh Donatella tentang kekuatan online dna offline, Kervliet (2010) tentang perlawanan tanpa pimpinan dan tak terorganisir di Vietnam, dan Andrew walker (2014) di ailand. Konsep Tindakan Kreatif Perlawanan Tindakan kreatif perlawanan adalah gagasan yang sepadan dengan everyday politics of resistance, everydayrebeliion, and regular small act of kindness. Menurut salah satu sumber yang saya lupa kopi paste linknya 52
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
menyebutkan begini: Creative resistance begins when we start to imagine what our world our communities, our friendships, our networks – could be like when we start living by our own rules outside of the logic of progress and profit and learn to construct the ‘goodlife’ together by observing and working with the ecological systems of the natural world. To do this we need to create space, psychological and physical. Creative Resistance always begins in the imagination of another way of being together, but has to continue with an act of resistance in the world itself, when a new idea is thrown in the face of the present. Tindakan perlawanan kreatif (Acts of Creative resistance) seringkali menjadi langkah awal untuk mendekonstruksikan kesadaran (kebudayaan). Aksi teartrikal: mandi pasir, topo pepe, mandi bunga sangat mungkin menjadi misteri sekaligus penjalas kemunculan suatu bentuk solidaritas komunal (identitas kejogjaan). Penjelasan semacam ini tentu saja tak mudah ditemukan dalam pelajaran di kelas mata kuliah. Pada kondisi tertentu misalnya mkapitalisme kehilangan legitimasi termasuk pemerintah daerah yang tak lagi berharga dimata rakyatnya, orang per orang mencari sesuatu yang lain, jalan keluar sendiri, bagaimana cara membangun solidaritas kebersamaan, sharing, memproduksi sesuatu dan belajar sesuatu. Ini adalah kebutuhan bersama. Upaya pemuasan materi yang dibutuhkan sebagai upaya bersama adalah tindakan perlawanan sebagaimana digagas Charles F Keering, direktur General Motors Research Laboratories, jelas ketika ia menuliskan artikel pada saat kekacauan pasar stok tahun 1929 dengan judul ‘Keep the consumer Dissatisfied’. Keering berargumen bahwa kunci kesejahteraan ekonomi adalah penciptaan ketidakpuasan. Logikanya, jika semua orang sudah punya apa yang dia inginkan maka mereka tak akan pernah membeli suatu yang baru. Perlawanan kreatif juga demikian, bahwa perlawanan dapat dimulai dengan kata TIDAK dan membuka ruang lebar untuk mengatakan, “YA, inilah keadaan yang kami mau.” Tindakan kreatif Elanto selain dapat dinilai sebagai tindakan kreatif adalah juga telah memenuhi beragam teori sebagai bentuk perlawanan yang teruji, tegar, dan berdaya tahan. Karakter otonomnya juga penting untuk dikaji dalam konteks super citizen yang dibanyak negara telah berperan sebagai penjaga Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
53
keutuhan kehidupan bermasyarakat-bernegara. Sama dengan kekuatan social capital, bentuk perlawanan dengan jalan budaya kreatif adalah kekuatan yang strategis untuk membangun kekuatan beasosiasi-berjejaring (Putnam dalam Bowling Alone, 2001). Dalam artikel ini, ada beberapa konsepsi yang akan diperlihatkan untuk melihat kekuatan kretaifitas yang ditopang pengetahuan sebagai metode menyerukan perlawanan yaitu pertama, keberanian berjalan sendiri atau bersama-sama; kedua, kretaifitas dalam banyak tindakan baik online maupun offline, baik yang mengarahkan penolakan atau tindakan small act of kindness; ketiga. Ketegaran atau daya tahan dalam menyampaikan gagasan atau keyakinan akan pentingnya sharing ideas.; dan keempat adalah karakter non-violence yang sangat menggerakkan. Keberanian Bertindak Siapa pun tahu bahwa keberanian yang didasari karakter otonom adalah suatu keniscayaan bagi sosok penyeru perlawanan. Dalam konteks kota sebagai arena pertempuran kuasa (politik )dan kapital (ekonomi) maka daerah ini daerah yang syarat dengan kemenangan, pestapora, kejayaan dan di sisi lain akan bergelimpangan nestapa. Kekuatan politik dan uang selalu berdekat erat dengan premanisme dalam segala variasinya. Maka. Menolak pembangunan hotel,eksploitasi, dan brandalisme jalanan bukanlah perbuatan tanpa resiko. Resiko disadari dan jalan taktik ditempuh. Jika mau berhasil, keberanian haruslah dipadukan dengan penalaran yang baik agar tidak mati dalam keadaan konyol. Mati dalam keadaan ide gagasan brilian belum sempat merasuk dalam alam kesadaran netizen & citizen (rakyat). Ya, karena mental berani inilah sosok Dodok Putra Bangsa berhasil menjadikan Hotel Fave ditutup, juga sosok Elanto mengubah brutalnya pengendara moge dan praktik penyuapan polisi semakin tidak sembrono. Ini adalah suatu upaya mulia untuk terus meneriakkan kebaikan. Kreatifitas Perlawanan “A creator is not someone who works for pleasure. A creator only does what he or she absolutely needs to do.” Gilles Deleuze (1925-1995) Seperti tindakan kretaif Elanto, sebenarnya ada banyak kisah inspiratif seputar penggunaan metode perlawanan yang kreatif di muka bumi ini.
54
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Ada buku Jakcson dan Crawshaw, ada website menarik seperti ini hp:// www.everydayrebellion.net/category/creative-resistance/ yang dapat menjadi petunjuk dan pengetahuan akan perlunya kreatif di dalam upaya mengubah suatu keadaan atau menolak suatu keadaan baru yang mengancam. Elanto dan Dodo mirip seolah mereka percaya bahwa gagasan yang diviralkan akan melahirkan kekuatan dukungan sentipetal dan sentrifugal secara simultan dan ini sebuah jalan yang tidak ‘mahal’ untuk memulai suatu agenda aksi. Kisah kekuatan viral juga pernah terjadi di Korea atas tindakan asik seorang mahasiswa bernama Ju Hyun-Woo yang membuat poster bertuliskan “I am not fine” berwarna kuning seperti warna identitas #gerakanmembunuhjogja. Poster dari kampus ini menjadi viral lantaran terlampau banyak kasus yang membuat orang tidak gembira dan tidak baik-baik saja seperti korupsi, pemilu yang tak jujur, pembangunan PLTN, dan sebagainya. Banyak orang mengaimini tindakan Hyun-Woo ini seperti orang mengamini tindakan Dodok dan Elanto. Kedua makhluk tuhan ini sangat kompak untuk mengedukasi publik agarmenjadi warga berdaya— warga yang terus berkarya tak berharap pada negara dalam brandingnya #JogjaOraDidol dan juga kampanye serta advokasi untuk mewujudkan Kota Untuk Manusia (ini juga menjadi nama group facebook). Biar bagaimanapun, perlawanan itu adalah adalah seni kemungkinan. Bagaimana cara membuat suatu yang tak mungkin menjadi mungkin dengan trial and error tanpa merasa stress dan frustasi. Perlawanan yang dapat dibuat asik, dagelan, fresh, dan unik tentu saja akan memberikan nafas lebih panjang. Contohnya, perlawanan yang cukup kompak saat memperjuangkan keistimewaan DIY dalam format legal-formal. Ada sound of revolution-nya dari hip hop. Di Kota Yogyakarta ada lagu Jogja Ora Didol dan gangnam Ramasalah Har, dan sebagainya. Ini pertanda bahwa cara perlawanan kita sudah sampai pada tindakan tindakan kreatif. Kreatifitas juga punya korelasi dengan daya tahan serta ketagaran. Selain itu juga ledakan karya seni bernada perlawanan dalam beragam desain di social media, poster, graffiti jalanan, banner, leaflet, broadcast, dan fotografi. Kekuatan daya tahan Bentuk perlawanan yang paling mematikan adalah perlawanan yang berdaya tahan. Sederhananya, satu orang saja melakukan perlawanan seperti
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
55
tuntutan kamisan di depan istana Negara tentu ini adalah suatu kegoncangan moral dan harga diri luar biasa bagi pelaku kejahatan yang disowani setiap hari. Jenis perlawanan yang tidak bisa dihadang dengan tank karena hanya satu atau tiga orang, bentuk perlawanan yang sulit dilumpuhkan lantaran meraka tak melakukan kekerasan apapun, dan juga tidak bisa ditembak karena semua orang tahu aksi berpayung hitam adalah seperti orang sedang takziah. Begitu juga Elanto menghadang Moge dan meneriakkan beragam kasus kemungkaran di ruang publik seperti mempetisikan perusak Kawasan Cagar Budaya (KCB), konvoi kampanye pemilu, dan teriak melalui fotofoto kekacauan trotoar jalan untuk membela hak “difable” (different ability). Aksi-aksi berdaya tahan dan individual ini selain akan mendatankan simpati, berbiaya murah, dan tak gampang dihantam terlebih karena ‘adzan’nya ditunggu jamaah di sosial media. Apa hal baru postingan di facebook dan tweeter gerakkannya ini selalu ada yang sabar menunggu. Saya pribadi terasa betul, bahwa gerakan Elanto dan Dodok ini memaksa kita melakukan apa yang bisa kita lakukan. Terlebih, setelah menonton film di belakang hotel, semen-samin, kala benoa, dst karya Watcdoc itu rasanya kita adalah bagian dari jamaah yang diadzani setiap saat. Daya tahan itu adalah kekuatan yang dipelihara dengan berjejaring, dengan melakukan tindakan, melanjutkan apa yang sudah berjalan, berteman dengan siapa saja, beriteraksi, menjawab wawancara, mennyatakan pendepat di media, menuliskan cerita pendek, menguatkan diri dengan membaca, belajar hal baru, mau berbagi dan bertanya satu lain hal. Inilah kekuatan yang tak gampang ditumpas. Peluang melakukan seruan dan perlawanan semakin terbuka. Keyakinan inilah yang saya saksikan dari sosok manusia merdeka bernama akun tweer @joeyokarto ini. Jalan non-Kekerasan Dunia kontemporer yang kita dapat jadikan pelajaran adalah bagaimana berminggu-minggu kelompok oposisi di Mesir menduduki (sit-ins) tempat umum di masa transisi mendukung Mohamad Morsi. Mereka mereplikasi taktik para demonstran yang pernah aksi protes kepada komunisme dengan menduduki Tiananmen di China, pendudukan damai di Epifanio de los Santos Avenue untuk membebaskan Presiden Ferdinand Marcos dari tuntutan, aksi pendudukan the United States’ National Mall to memaksa 56
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
menghentikan perang Vietnan, pendudukan gedung DPR-MPR tahun 1998 di Indonesia untuk melengserkan Suharto, dan masih banyak lagi. Praktik perlawanan tanpa kekerasan ini dipraktikkan secara luas di dunia seperti Anna Hazare di India yang melawan korupsi dengan puasa yang membuat solidaritas luar biasa. Jutaan manusia bergabung, turut berpuasa. Jadi, sebenarnya tindakan non-violence resistance (perlawanan tanpa kekerasan) ala mandi pasir, mandi kembang, menghadang moge, menebarkan kesadaran akan pentingnya ruang publik ala Elanto ini dapat membangkitkan kekuatan citizen & netizen untuk menyuarakan kebenaran. Keberhasilan tentu saja debatable ukurannya. Saya sendiri lebih melihat keberhasilan perlawanan kretif ini diukur dari sisi internal (apakah bertahan, solid, nilai yang diperjuangkan semakin mantab dipahami pengikutnya) dan sisi eksternal melihat obyek yang mengalami transformasi seperti penghentian pembangunan hotel, penyegelan. penyitaan, penyerahan diri, kemenangan di persidangan, dan mendapatkan semakin besar dukungan publik terkait isu/kasus yang sedang diperjuangkan. Salah satu kesalahan terbesar dalam melihat perlawanan sipil adalah bahwa demonstrasi jalanan dan aksi pendudukan akan mengubah keadaan secara signifikan (Chenoweth) karena gerakan ini membutuhkan taktik yang tepat (Gene Sharp dalam demokrasi tanpa kekerasan). Sebaliknya, menurut teori setidaknya tiga tahun sebuah gerakan rakyat dapat diidentifikasi perubahannya. Kampanye brutalisme malah butuh banyak tiga kali waktu lebih lama. Sejarah dunia menunjukkan bahwa civil resistance campaigns cenderung berhasil ketika mereka membangun kuantitas dan kualitas pengikut, taktik yang dipilih melalui seleksi, loyalitas, disipilin dalam tindakan non-kekerasan, dan keahlian mengurangi resiko. Semua ini memerlukan waktu, pengorganisasian gagasan, persiapan, dan juga bayangan perubahan di masa yang akan datang. [Bukan] kesimpulan Taktik berbeda dengan strategi. untuk menggaransi keberhasilan tak pernah gampang di dalam misi perlawanan sipil atas kuasa politik atau kuasa pasar. Selalu ada dinamika, pembelajaran, korban, dan kebangkitan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
57
dari perlawanan tersebut. Ini adalah seni melakukan negosiasi (bisa saja), atau seni memaksimalkan tuntutan (dengan kesediaan menerima apa yang mungkin didapatkan). Erica Chenoweth menuliskan: “Effective civil resistance involves a number of skillfully sequenced moves that increase broad-based, diverse participation, allow participants to avoid repression, and lead regime loyalists to defect. Without a broader strategy based around these steps, sit-ins can end in catastrophe.” Katanya, perlawanan efektif itu membutuhkan skill yang hebat untuk menarik dukungan besar, dapat mengindarkan pengikutnya dari tindakan brutal dan menjadikan ‘musuh’ menyerah. Tanpa taktik kreatif upaya pendudukan hanya akan berakhir pada penumpasan atas gerakan. Dalam rezim demokratis, kesalahan startegi sangatlah mungkin akan lebih awal dikalahkan. Dalam beberapa kajian dari tahun 1900 -2006 mengenai gerakan rakyat yang dapat dikategorikan sebagai “popular movement” yang dengan menggunakan satu metode perlawanan dapat berhasil. Saya kira inilah kekuatan baru yang dapat dimengerti bersama tentang betapa sebuah perlawanan yang efektif itu mensyaratkan keberanian, ketegaran, nonkekerasan, kreatifitas, dan ketahanan. Jadi apa yang dilakukan Elanto ini punya kontribusi serius bagaimana cara cara perlawanan: taktik, metode, dan spirit nilai yang dimiliki dapat mengawetkan sebuah perlawanan yang menjadikan para #pembunuhJogja tak nyenyak tidur. Katakanlah wahai warga jogja: I am not Fine!
58
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Ƴ
"÷ĮĸĤŕÐŚē"ēĊēŤÐħ ®ēŚ®ēŚ`ĸðÐħ Abdullah Zed
D
aerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah istimewa menyandang dua gear sekaligus sebagai kota pelajar dan kota budaya tentu saja membuat image Jogja menjadi begitu seksi bagi siapapun. Namun, dibalik itu semua, ternyata konstruksi seksi tersebut juga menimbulkan konsekuensi. Ya, kenyamanan menjadi unsur penting yang harus disajikan Jogja kepada siapapun yang tinggal atau sekedar berlibur didalam nya. Hal inilah yang sekitar 5 tahun terakhir menjadi suatu persoalan serius di kota Jogja dan Sleman yang mengalami arus modernisasi begitu cepat. Jogja kini tak nyaman lagi, macet, panas, warganya menjadi mudah marah, bangunan cagar budaya “tertutup” oleh gemerlap ratusan hotel, mall, apartemen, dan pasar modern berjejaring baru. Itulah setidaknya ungkapan-ungkapan yang seringkali muncul belakangan ini di sosial media dan di banyak forumforum diskusi formal dan informal. Banyak kalangan mencoba memberikan jawaban atas penyebab munculnya gunjingan-gunjingan yang memang dilandasi oleh fakta yang cukup kuat. “Jogja diserbu gempuran modal dari lokal, nasional hingga internasional”, itulah salah satu jawaban yang dilontarkan dan sekiranya diamini banyak kalangan. Data menyebutkan, pada tahun 2009 jumlah hotel bintang lima hanya ada empat saja dan pada tahun 2015 Jogja telah memiliki Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
59
9 hotel berbintang lima dengan total kamar 2.672. Ditambah dengan hotelhotel lainnya yang berbintang 1-4, pada tahun 2015 Jogja telah memiliki 117 hotel berbintang (data dari PHRI). Belum lagi pembangunan apartemenapartemen baru dan mall-mall baru yang rasanya tidak ada hentinya. Kesimpulan kecil yang bisa ditarik dari data di atas adalah bahwa struktur ruang jogja telah banyak berubah dan para ahli tata ruang sosial meyakini perubahan struktur fisik ruang atau biasa disebut spatial change akan secara signifikan merubah kondisi psikologis warganya. Namun, kembali pada jawaban tentang gempuran aliran modal ke Jogja tentu menjadi menarik untuk mengulasnya lebih dalam. Jogja sebagai destinasi wisata telah menjadi suatu wilayah yang karakter pasarnya telah mencapai tahap fundamentalis. Fundamentalisme pasar disini maksudnya adalah Jogja telah menjadi suatu ruang ekonomi-politik yang begitu liberal/bebas dimana para investor bisa mendapatkan izin mendirikan hotel, apartemen, dan pasar modern berjejaring dengan begitu mudahnya meskipun itu seringkali menabrak regulasi-regulasi tentang tata ruang kota, perizinan dan dampak lingkungan. Yang menjadi menarik dalam permasalahan ini sebenarnya bukan semata pada Jogja yang dihantam gempuran modal semata karena banyak kota-kota besar lain di negeri ini yang mengalami persoalan serupa. Hal menariknya adalah tentang respons masyarakat sebagai bagian integral yang dituntut partisipasinya dari suatu kota/kabupaten. Yap, ini tentang demokrasi dalam perpolitikan lokal dalam kerangka pemerintahan otonomi daerah. Demokrasi secara substansial tentu saja tidak semata tentang pemilu rutin lima tahunan. Suatu pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang mampu melibatkan masyarakat dalam segenap urusan yang dijalankannya dan masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang secara aktif ikut mengkontrol jalannya pemerintahan dengan menyuarakan kritik, solusi, dan tuntutan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Masyarakat Jogja—meskipun tidak semua— telah menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat yang demokratis dan menghendaki pemerintah untuk demokratis dalam penyusunan agenda-agenda pembangunan. Hal ini terlihat secara nyata dan kuat bukan dalam demonstrasi-demonstrasi di jalanan yang warga Jogja lakukan namun ini terlihat di sebuah dunia lain yang kita sebut sebagai dunia maya. Di dunia digital ini atau yang biasa 60
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
lebih akrab kita sebut media sosial lah kita dapat jumpai suara-suara kritik terhadap proyek pemerintah, solusi berupa alternatif untuk menyelesaikan masalah, dan bahkan permintaan untuk berpartisipasi dalam menyusun dan mengontrol jalannya pembangunan.
sumber: hp://blog.marylhurst.edu/blog/2013/03/19/drowning-in-digitaldemocracy-part-i/ Kampanye-kampanye seperti Jogja ora di dol, Jogja berhenti nyaman, tolak pembangunan hotel, ajakan belanja ke warung tetangga dan tidak belanja di indomart/alfamart oleh akun kawan-kawan warga berdaya, antitank, dan Urban Literacy Campaign secara massif terdengar di facebook, twier, instagram, dan wadah-wadah lainnya. Youtube pun juga tak ketinggalan sebagai salah satu media terkuat yang menyuarakan bahwa Jogja ora di dol dengan menjadi wadah bagi film dokumenter karya watchdoc yang berjudul “Dibelakang Hotel”. Fenomena inilah yang belakangan disebut sebagai digital demokrasi atau E-demokrasi. E-demokrasi merupakan suatu praktik keterlibatan masyarakat sebagai aktor dalam tatanan sosial, politik dan ekonomi yang berkaitan dengan penentuan pengambilan keputusan dalam wadah dan arena sosial media. Gerakan-gerakan dunia maya ini memberikan efek lanjutan secara real dengan munculnya street art di
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
61
tembok-tembok kota Jogja dan Sleman yang menyuarakan bahwa Jogja akan semakin hilang istimewanya bila pemerintah menghamba pada para pemodal. Maka, tembok-tembok laman facebook maupun tembok-tembok kota semakin dihiasi dengan suara-suara rakyat yang merasa memiliki Jogja sebagai ruang dimana mereka tinggal. Dalam konteks ini, demokrasi digital di Jogja tampil sebagai instrumen perlawanan terhadap aliran modal yang menggempur tiada hentinya. Barangkali, akan seperti inilah potret demokrasi bangsa ini kedepan dimana masyakarat dunia maya secara efektif dapat mengubah keadaan melalui partisipasi mereka dengan media-media sosial mereka dengan gadget mereka masing-masing. Berdemokrasi dilakukan sembari terbaring di tempat tidur melalui status-status facebook, twit-twit, dan foto poster di Instagram yang semuanya berisi kritik, aspirasi, dan solusi bagi pemerintah dalam menjalankan suatu daerah. Panjang umur sosial media, panjang umur demokrasi.
62
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
ƴ
ǥTĸĊġÐjŕÐ"ēðĸħǦ ŪĤÐįŪĮÐ`÷įêÐŕēCÐŕƄÐðē Ferdhi F. Putra
K
eriuhan ulang tahun Jogja sepertinya belum hilang, meski sudah lewat dari dua hari. Bukan karena sangking meriahnya perayaan tersebut, tapi karena ada sebuah peristiwa yang cukup menggegerkan jagat street art Yogyakarta. Rabu dini hari (9/10/2013), seorang seniman, digelandang ke markas Satpol PP karena aksi muralnya. Muhammad Arif ditangkap saat sedang membuat mural bertuliskan ‘Jogja Ora Didol’ (‘Jogja Tidak Dijual).
Sebenarnya, aksi Arif tersebut merupakan yang kedua—atau ketiga— kalinya. Mural itu ada bertepatan dengan hari ulang tahun Yogyakarta pada tujuh Oktober kemarin. Tapi di hari itu, tak sampai dua puluh empat jam, tulisan ‘Jogja Ora Didol’ sudah lenyap diblok dengan cat hitam yang kabarnya dilakukan oleh Satpol PP. Aksi itu kemudian dibalas lagi dengan frasa serupa di atas cat hitam tersebut. Tapi aksi Arif kandas ketika seorang pria paruh baya memaksanya untuk menghentikan aksinya tersebut. Pria itu menyuruh Arif turun dari tembok tempatnya berdiri, namun Arif bergeming. Sampai akhirnya Arif menyerah karena si pria mengacungkan pistol. Arif pun dibawa oleh si pria ke markas Satpol PP untuk kemudian diinterogerasi dan dibuatkan BAP. Apa yang Arif lakukan sebenarnya—bisa jadi—adalah bagian dari gerakan urban Festival Mencari Haryadi, yang digagas oleh para seniman
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
63
dan beberapa komunitas di Kota Yogyakarta. Art Director festival ini, Agung Kurniawan, mengatakan gerakan ini berangkat dari kegelisahan bahwa Haryadi sebagai walikota dianggap telah absen dalam melakukan penataan ruang publik, sampah visual, dan persoalan urban lainnya. Pembangunan hotel yang masif—yang mengakibatkan penggusuran, atau pertumbuhan kendaraan bermotor yang tak terkendali yang berimbas pada kemacetan dan semakin tersingkirnya pejalan kaki dan pesepeda. Di tengah persoalan yang menumpuk itu, Haryadi diketahui malah melakukan perjalanan ke luar negeri—terakhir sang walikota diketahui melancong ke Spanyol dan Amerika Serikat, entah untuk apa. Alhasil, Yogyakarta pun menjadi kian tak nyaman untuk ditinggali. Tapi apa betul kritik itu dialamatkan ke Haryadi? Atau sebenarnya ada aktor lain yang lebih pantas untuk disangkakan. Saya sih ingin membuka kemungkinan itu, bahwa Haryadi bukan satu-satunya tersangka atas kekacauan tata ruang yang terjadi di Yogyakarta. Memang, jika menempatkan Haryadi sebagai kepala administratif Kota Yogyakarta, dia bisa menjadi orang yang wajib dimintai pertanggungjawabannya atas kekacauan tata ruang kota. Haryadi dianggap membiarkan pertumbuhan hotel yang super-cepat bak jamur di musim hujan. Dia juga dianggap telah membiarkan sampahsampah visual—seperti mural iklan-iklan korporat—yang merusak bangunan cagar budaya. Tapi ternyata, kasus-kasus serupa tidak hanya terjadi di Kota Yogyakarta, melainkan juga di daerah lain di Provinsi Yogyakarta. Di Bantul misalnya, pedagang-pedagang Parangkusumo terancam digusur oleh rencana proyek megawisata di kawasan Parangtritis. Di Kulonprogo, petani-petani pesisir hampir kehilangan lahan pertaniannya karena rencana pembangunan tambang pasir besi. Pembangunan hotel-hotel dan infrastruktur pariwisata pun terjadi di Sleman dan Gunungkidul. Tentu saja, kasus yang terjadi di kota tidak bisa dianggap remeh jika dibandingkan dengan kasus-kasus di daerah lainnya. Karena semuanya memiliki satu kesamaan isu, yakni soal pemanfaatan ruang hidup. Jadi, menurut saya permasalahan di Yogyakarta tidak bisa dipersempit hanya sekadar permasalahan di lingkup kota—sebagai wilayah administratif—saja, melainkan juga menjadi isu di daerah-daerah sekitarnya seperti yang sudah disebutkan tadi. Artinya, kita membicarakan Yogyakarta sebagai sebuah entitas yang lebih besar dari sekadar kota. 64
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Apa yang sedang terjadi di Yogyakarta, tidak cukup dilihat sebagai efek dari kinerja buruk walikota. Tak bisa dinafikan bahwa sejauh ini Haryadi gagal menjalankan tugasnya. Tetapi yang tidak boleh dilupakan juga adalah di balik itu ada sebuah sistem mapan yang menjadi pondasi dari setiap kebijakan. Termasuk di dalamnya soal tata ruang, yang tentu saja berkorelasi langsung dengan kebijakan agraria di Yogyakarta. Haryadi hanya bagian kecil dari sebuah sistem besar yang sedang berjalan. Tepat di hari ulang tahun Yogyakarta, tujuh Oktober lalu, Peraturan Daerah Istimewa (Perdais), yang delapan pasal di antaranya tentang pertanahan, disahkan. Perdais pertanahan merupakan aturan turunan tentang agraria dari Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang mempertegas bahwa Sultanaat Grond (SG) dan Pakualamanaat Grond (PAG) kembali diberlakukan. Dengan kata lain, seluruh tanah di wilayah Provinsi Yogyakarta adalah sepenuhnya milik Keraton Yogyakarta, sementara warga yang menempati tanah-tanah tersebut hanya berstatus penyewa. Implikasinya adalah surat hak milik yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional tidak lagi berlaku, meskipun landasan hukum BPN adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) 1960. Sekadar informasi, pada tahun 1984, Sri Sultan Hamengkubuwono IX telah membatalkan SG/PAG melalui Peraturan Daerah Nomor 31, yang artinya mengembalikan sistem kepemilikan dan kemanfaatan tanah di Yogyakarta kepada UU PA 1960. Dengan peraturan itulah Raja bisa melakukan apa saja atas tanah di Yogyakarta. Misalnya, lahan proyek penambangan pasir besi di pesisir selatan Kulonprogo selalu diklaim berada di atas tanah Pakualaman. Padahal lahan tersebut kini merupakan areal pertanian yang sudah digarap petani sejak puluhan tahun lalu. Dengan klaim tanah Pakualaman, petani diminta untuk mengembalikan tanah tersebut meski sudah memiliki sertifikat resmi dari BPN. Mungkin kita juga masih mengingat nama Mbah Manto yang pernah menginap selama beberapa minggu di depan kantor DPRD Provinsi DIY. Dalam aksinya itu, Mbah Manto dkk menuntut agar lahan di Suryowijayan yang sudah digunakannya sejak tahun tujuh puluhan dikembalikan kepadanya. Memang, lahan itu diakuinya sebagai tanah magersari di mana si pemanfaat tempat hanya diperbolehkan menyewa dengan mengantongi surat kekancingan. Tapi yang mengecewakan baginya adalah, meski sudah menempati tanah itu selama puluhan tahun dan berkali-kali mengajukan Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
65
permohonan kekancingan, dia tidak pernah mendapatkan surat tersebut. Yang kemudian diketahui, kekancingan lahan tersebut sudah dimiliki oleh seorang pengusaha yang baru mengajukan hak kekancingan pada medio 2000-an. Mbah Manto dkk adalah korban dari kesewenangan Keraton dengan peraturan pertanahannya. Dua kasus itu adalah sedikit dari sekian banyak kasus penggusuran dan perampasan tanah atas klaim SG/PAG. Contoh lain, adalah kasus perubahan status sepihak oleh Keraton terhadap sekitar seratus lima puluh surat hak milik warga Gunungkidul, menjadi hak sewa. Usut punya usut, sebuah perusahaan minyak milik pemerintah pernah melakukan eksplorasi minyak bumi di daerah tersebut. Sudah bisa menebak arahnya akan ke mana? Ya, dengan status sewa, penduduk daerah itu tidak punya hak apapun atas tanah tersebut. Sehingga, jika eksplorasi berlanjut ke tahap eksploitasi, pemerintah provinsi bisa memaksa warga untuk pergi tanpa uang ganti rugi, kapan pun Raja meminta. Akademisi George Junus Aditjondro (GJA) pernah membuat analisa tentang masa depan SG/PAG ketika UUK Yogyakarta masih berstatus rancangan. Dalam tulisannya, GJA menyatakan bahwa isu keistimewaan yang mencuat pada saat itu bukan sekadar tentang pemilihan atau penetapan. Tetapi ada kepentingan lain yang lebih besar dan bernilai ekonomis, yakni soal pertanahan. GJA menyebut pasal pertanahan sebagai penumpang gelap RUUK DIY. Jadi, benarkah kekacauan tata ruang dan agraria di Yogyakarta semata hanya kesalahan Haryadi? Tentu saja jawabannya tidak. Pertama, kekacauan itu tidak hanya terjadi di Kota Yogyakarta, tetapi juga di Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo dan Bantul, yang tentu saja Haryadi tidak memiliki kekuasaan melampaui batas teritori kota. Kedua, kasus pemidanaan M. Arif juga pernah menimpa dua orang lainnya, yakni Tukijo (petani pesisir Kulonprogo) dan George Junus Aditjondro (akademisi). Kasus serupa yang menimpa ketiga orang tersebut terjadi karena satu alasan: mereka telah mengusik kekuasaan dan kepentingan Keluarga Raja. Tukijo dianggap telah menghambat proyek penambangan pasir besi. GJA, karena tulisannya soal ‘penumpang gelap RUUK DIY’, dituding melakukan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan atas Keraton.
66
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Dan yang terakhir, M.Arif, dengan muralnya ‘Jogja Ora Didol’ dianggap telah menebarkan kebencian. Kasus yang menimpa M.Arief, Tukijo, dan GJA, bisa terjadi pada siapa pun. Tiran memang tidak pernah pandang bulu, siapapun atau apapun dia. Akademisi, petani, seniman, dlsb. jika berani mengusik kekuasaan, mereka bisa dipenjarakan, atau bahkan dihilangkan. Jadi, masihkah (cuma) Mencari Haryadi? *artikel dimuat di INDOPROGRESS, 11 Oktober 2013
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
67
Ƶ
ÐŕŤēŚēŒÐŚēĸħēŤēĤ÷įƄÐįðÐįĊ"ēŚÐéēħēŤÐŚ ŒÐðÐ÷ĮēħŪƯƭƮƱðēVĸŤÐµĸĊƄÐĤÐŕŤÐ Agus Andika Putra
P
emilihan Umum atau Pemilu merupakan manifestasi dari pelaksanaan demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya memberikan pengertian bahwa adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya termasuk dalam menilai kebijakan pemerintah, oleh karena kebijakan tersebut menentukan kehidupannya. Dengan kata lain dalam suatu negara demokrasi terdapat kebebasan-kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi yang diatur dalam perundang-undangan. Pemilu juga merupakan elemen penting untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi, karena Pemilu menjadi sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat dalam hal memilih siapa yang akan menjadi perwakilan mereka di pemerintah. Yang menarik adalah Pemilu yang menjadi barometer demokrasi pada fakta di lapangan ada kecenderungan tingkat partisipasi pemilu dari tahun ketahun mengalami penurunan, tingkat partisipasi pemilih pada pemilu tahun 1999 tercatat sebanyak 93,3 persen dan turun menjadi sekitar 80 persen pada pemilu tahun 2004. (Rusqiyati, 2013) Tingkat partisipasi pemilih pada 2009 kembali turun menjadi sekitar 70,7 persen, tercatat di Pilpres 2014 hanya 70 persen. (Wirastami, 2015) 68
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Partisipasi setiap warga negara dalam pemilu merupakan hak asasi yang harus dijunjung tinggi. Setiap warga negara berhak terlibat dalam mengambil kebijakan politik dan negara wajib melindungi hak-hak tersebut. Ketentuan tentang partisipasi secara aktif dalam kehidupan berpolitik terkandung dalam pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, pasal 28D ayat (3), pasal 28H ayat 2 dan pasal 28I ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen dan pasal 43 ayat (1) dan (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Inti pasal-pasal tersebut antara lain setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, baik kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan berupa dipilih dan memilih dalam pemilu maupun aksesibilitas untuk mendapatkan kesempatan tersebut tanpa diskriminasi. Landasan hukum tersebut berlaku pula bagi penyandang disabilitas dan diperkuat dengan UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat serta mengacu pada Perda No. 4 tahun 2012 tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. (Soeradiredja, 2011) Di kota Yogyakarta pun tak luput dari turunnya partisipasi penyandang disabilitas dalam pemilu, menurut data dari KPU Kota Yogyakarta, Pemilu Legislatif 2014 tingkat partisipasi masyarakat Kota Yogyakarta hanya 75,4 persen. Sedangkan pada Pemilu Presiden kemarin hanya 77,5 persen. Menurut Institute For Research And Empowerment (IRE) Yogyakarta partisipasi penyandang disabilitas kota Yogyakarta terendah dalam hal partisipasi dalam pemilu yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kota Yogyakarta. (IRE, 2015) Berdasarkan hasil riset yang diselenggarakan IRE bekerja sama dengan pihak KPU kota Yogyakarta pada bulan Juli 2015 penyebab rendahnya partisipasi penyandang difabel disebabkan kurangnya sosialisasi terkait dengan partisipasi difabel dalam pemilu, persiapan KPU yang kurang berdampak pada pelaksanaan di lapangan, belum ada metode sosialisasi yang dikhususkan bagi kelompok difabel, akses dan ruang pada saat pemilu belum ramah terhadap penyandang difabel, Permasalahan data jumlah pemilih disabilitas juga belum terdata dengan jelas. Difabel merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki hak, kedudukan, dan peran yang sama, sebagaimana diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari kaum difabel memiliki keterbatasan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
69
dalam mengakses pelayanan publik yang seharusnya masih menjadi hak mereka. Fasilitas-fasilitas di dalam ruang publik tidak aksesibel dan belum ramah bagi kaum difabel. Hal ini mengakibatkan difabel mengalami kesulitan dalam beraktivitas. Kondisi ini dikarenakan kurang sensitifnya dan belum terimplementasi kebijakan publik terhadap keberadaan difabel (Hesty, dkk, 2012) Menurut data di Dinas Sosial DIY pada tahun 2011 sebesar 3.353 artinya jumlah 300 DPT tersebut merupakan angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penyandang Disabilitas yang ada. Melihat permasalahan di atas penelititertarik meneliti dan mengkaji isu isu disabilitas terutama dalam hal partisipasi dalam Politik Penyandang Disabilitas dalam Pemilu Kota Yogyakarta dan meneliti apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi Politik Penyandang Disabilitas dalam Pemilu Kota Yogyakarta. TINJAUAN PUSTAKA 1. Partisipasi Politik Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyakarat dalam kegiatankegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah. partisipasi politik menurut Huntington dan Joan M. Nelson adalah aktivitas pribadi-pribadi warga negara untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah. Menurut Closky dalam buku Meriam Budiarjo, 1982 mengatakan bahwapartisipasi politik ialah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mereka yang mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijaksanaan umum. Partisipasi politik menurut Miriam Budiarjo adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan poliik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy) (Abdulkarim, 2003). 2.
Pemilihan umum Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam
70
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum dilaksanakan sekali dalan lima tahun seperti yang dituliskan dalam pasal 4 UU No 10 Tahun 2008 yang berdasarkan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan umum mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai: sarana memilih pejabat publik (pembentukan pemerintahan), sarana pertanggungjawaban pejabat publik, dan sarana pendidikan politik rakyat. Dalam Pemilihan umum seperti yang dimaksud ada tiga lembaga sekaligus yang akan dipilih oleh rakyat, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR yang berkedudukan di Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD yang berkedudukan di Propinsi dan Kabupaten/Kota dan pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang akan mewakili setiap propinsi yang berkedudukan di Jakarta Dalam pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD, pemilih dapat langsung memilih calon yang dia inginkan. Untuk anggota DPR dan DPRD maka calon yang akan dipilih berasal dari partai politik, sementara untuk calon anggota DPD berasal dari perseorangan yang mendaarkan diri kepada KPU Provinsi tempat dia berasal. Pemilu (Pemilihan Umum) sering disebut sebagai pesta demokrasi yang dilakukan sebuah negara. Dalam sebuah negara yang menganut paham atau sistem demokrasi, pemilu menjadi kunci terciptanya demokrasi. Sistem demokrasi ini dikenal dengan nama Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu di Indonesia dilakukan dengan rentang waktu 5 tahun sekali dan di selenggarakan oleh suatu komisi independen, dikenal dengan nama Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana tercantum dalam pasal 15 (ayat 1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum yang menjelaskan bahwa “Pemilu di selenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Peserta pemilihan umum adalah partai politik yang telah memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu seperti yang dijelaskan dalam pasal 8 UU Nomor 10 Tahun 2008 ayat 1 dan yang dimaksud dengan pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah pernah kawin. (Mu’min, 2012)
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
71
Menurut Austin Ranney, pemilu dikatakan demokratis apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: penyelenggaraan secara periodik (regular election), pilihan yang bermakna (meaningful choices), kebebasan untuk mengusulkan calon (freedom to put forth candidate), hak pilih umum bagi kaum dewasa (universal adult suffrage), kesetaraan bobot suara (equal weighting votes), kebebasan untuk memilih (free registration oh choice), dan kejujuran dalam perhitungan suara dan pelaporan hasil (accurate counting of choices and reporting of results). Pemilihan Umum merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakai oleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik. 3.
Penyandang Disabilitas Disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal. Menurut Undang-undang nomor 4 tahun 1997 tentang disabilitas, Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a) b) c)
penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental. Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus/disabilitas. Ini berarti bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki defenisi masingmasing yang mana kesemuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan
72
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
berkembang secara baik. Jenis-jenis penyandang disabilitas (UU No. 4 Tahun 1997 Pasal 1 ayat (1)): 1. 2.
3.
4. 5.
Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari (Reefani, 2013): Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas. Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/ IQ (Intelligence otient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence otient) antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence otient) di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus. Berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi, Kelainan Tubuh (Tuna Daksa). Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.
METODOE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi dengan didukung oleh kajian pustaka. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis oleh Milles dan Huberman (Sugiono,2009) yang meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Pada penelitian ini yang menjadi lokasi penelitian adalah Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.sedangkan situs penelitian adalah KPU Kota Yogyakarta, SIGAB, dan Masyarakat Penyandang Disabilitas. Fokus dalam penelitian ini adalah: Tingkat Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas Pada Pemilu 2014 Di Kota Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah: Pertama, untuk mengetahui bagaimana tingkat partisipasi politik penyandang disabilitas pada pemilu 2014 di Kota Yogyakarta. Kedua, Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
73
untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas Pada Pemilu 2014 di Kota Yogyakarta. HASIL DAN PEMBAHASAN Partisipasi Penyandang Disabilitas Pada Pemilu 2014 di Kota Yogyakarta Pemilu yang diselenggarakan oleh KPU Kota Yogyakarta secara keseluruhan DPT berjumlah 310.280, dengan sebaran DPT Laki-laki 149.235, DPT Perempuan sejumlah 161.045 sedangkan untuk DPT penyandang disabilitas berjumlah 300 untuk laki-laki 153 dan perempuan 147. Sebaran untuk DPT penyandang disabilitas terdiri dari 4 yaitu Netra/ Buta sejumlah 126, Rungu/Wicara sejumlah 131, Fisik sejumlah 42 dan lainnya sejumlah 1.
Sumber data :data.KPU.go.id Dari diagram diatas terlihat bahwa dari 310.280 DPT yang ada di Kota Yogyakarta 52% merupakan DPT perempuan dan 48% untuk DPT laki-laki.
Sumber data :Daar Pemilih Penyandang Disabilitas pemilu Presiden 2014 Kota Yogyakarta 74
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Dari data di atas terlihat bahwa untuk DPT Difabel sebesar 51% bagi pemilih laki-laki dan 49% bagi pemilih perempuan. Jika dicermati DPT penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta sebesar 300 orang, artinya hanya sebesar 0,09% dari DPT keseluruhan. Apabila dibandingkan dengan jumlah penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta yang dirilis oleh Dinas Sosial DIY pada tahun 2011 sebesar 3.353artinya jumlah 300 DPT tersebut merupakan angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penyandang Disabilitas yang ada. Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyakarat dalam kegiatankegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah. partisipasi politik menurut Huntington dan Joan M. Nelsonadalah “aktivitas pribadi-pribadi warga negara untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah”. Menurut Closky, partisipasi politik ialah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mereka yang mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijaksanaan umum. Untuk menentukan tingkat partisipasi politik penyandang disabilitas dalam pemilihan umum tahun 2014 di Kota Yogyakarta digunakan sampel sebanyak 7 Kecamatan dari 14 Kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta atau sebanyak 50% dari populasi yang ada. Dari 7 Kecamatan yang diambil sampelnya yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kecamatan Danurejan Kecamatan Kota Gede Kecamatan Kraton Kecamatan Ngampilan Kecamatan Wirobrajan Kecamatan Umbulharjo Kecamatan Tegalrejo Dari 7 Kecamatan tersebut, total DPT penyandang disabilitas adalah berjumlah 203 orang. Dimana TPS diseluruh Kecamatan yang menjadi sampel berjumlah 79 TPS dengan rincian sebagai berikut: 1. 2.
Kecamatan Danurejan Kecamatan Kota Gede
: 8 TPS : 8 TPS
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
75
3. 4. 5. 6. 7.
Kecamatan Kraton Kecamatan Ngampilan Kecamatan Wirobrajan Kecamatan Umbulharjo Kecamatan Tegalrejo
: 17 TPS : 6 TPS : 12 TPS : 13 TPS : 17 TPS
Proses pengambilan data tersebut menggunakan teknik purposive sampling dimana sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. (Diktat, Awang Darumurti: 2014). Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.(Diktat, Awang Darumurti: 2014). Pada penelitian ini, merujuk pada quota sampling dimana teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja. (Diktat, Awang Darumurti: 2014). Penyandang disabilitas yang datang untuk menggunakan hak pilihnya yaitu berjumlah 135 orang atau setara dengan 66,5% dari total jumlah DPT 7 Kecamatan yang menjadi sampel. Jumlah Penyandang Disabilitas terbanyak pemilu 2014 berdasarkan sampel yang sudah diambil adalah Kecamatan Tegalrejo dengan jumlah pemilih 50 orang, Kecamatan Kota Gede dengan jumlah 25 orang pemilih, Kecamatan Wirobrajan dengan jumlah 23 orang pemilih, Kecamatan Umbulharjo dengan jumlah 15 orang pemilih, Kecamatan Ngampilan dengan jumlah 8 orang pemilih, Kecamatan Kraton dengan jumlah 8 orang pemilih, dan terakhir Kecama tan Danurajen dengan jumlah 6 orang pemilih. Dari data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi politik penyandang disabilitas pada pemilu tahun 2014 di Kota Yogyakarta adalah tinggi dengan angka partisipasi mencapai angka 66,5%. Hal tersebut dianggap lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat partisipasi diwilayah lain, seperti data yang dirilis oleh Bandung Trust Advisory Group (D-Trust) untuk angka partisipasi penyandang disabilitas di Jawa Barat hanya mencapai 53,7%. Pencapaian angka tersebut tidak terlepas dari kinerja pemerintah baik pemerintah pusat dan daerah yang mulai peka terhadap hak-hak Penyandang Disabilitas di Indonesia. Selain itu,
76
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
partisipasi penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta tidak berhenti hanya dalam proses pencoblosan ketika pemilu, akan tetapi partisipasi tersebut sudah dalam ranah penyusunan kebijakan, petugas KPPS, relawan, bahkan anggota KPU. Strategi dan Inovasi KPU Kota Yogyakarta dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas di Kota Yogyakarta pada Tahun 2014 Daerah Istimewa Yogyakarta telah membuat payung hukum yang jelas untuk memenuhi hak-hak masyarakat penyandang disabilitas, dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 tahun 2012 tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, di dalam pasal 2 menyatakan bahwa prinsip-prinsip dari Perda ini adalah sebagai berikut a.
Penghormatan atas martabat yang melekat otoritas individual termasuk kebebaan untuk menetukan pilihan dan kemandirian orang-orang b. Non-diskriminasi c. Partisipasi dan keterlibatan penuh dan efektif dalam masyarakat d. Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan manusia dan rasa kemanusiaan e. Kesetraan kesempatan f. Aksesibilitas g. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan h. Penghormatan atas kapasitas yang berkembang dari penyandang disabilitas anak dan penghormatan atas hak penyandang disabilitas anak untuk melindungi identitas mereka. Pemerintah Daerah DIY berupaya membuat peraturan daerah sebagai landasan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas bertujuan agar tidak ada diskriminasi sehingga tercapai kesetaraan dimasyarakat. Jika dicermati maka dalam kaitannya dengan penyandang disabilitas DIY telah berupaya membuat payung hukum untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas, terkait dengan politik dalam perda ini mengatur secara jelas dalam pasal 7278 menyatakan bahwa setiap Penyandang Disabilitas mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam menyampaikan pendapat baik secara lisan, tertulis, maupun dengan isyarat. Penyampaian pendapat dapat dilakukan Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
77
secara langsung maupun melalui media cetak atau elektronik. Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban memfasilitasi proses penyampaian pendapat oleh penyandang Disabilitas, pendidikan politik secara berkala, terencana, terarah dan berkesinambungan bagi penyandang disabilitas, mendapatkan sosialisasi tentang pemilihan umum dan mendapatkan informasi, teknis dan/atau asistensi tentang penyelenggaraan pemilihan umum yang sesuai dengan jenis kebutuhan. KPU Kota Yogyakarta merupakan salah satu KPU yang cukup berhasil dalam rangka memfasilitasi penyandang disabilitas dalam pemilu tahun 2014, hal tersebut terbukti dengan diperolehnya penghargaan dari KPU RI terkait fasilitasi penyandang Disabilitas. KPU Kota Yogyakarta mencoba memenuhi semua hak konstitusi warga negara dalam menyalurkan hak-hak politiknya tanpa ada dikriminasi untuk penyandang disabilitas, meskipun KPU Kota Yogyakarta tidak didesain secara khusus menangani Pemilu disabilitas akan tetapi KPU Kota mencoba mengarahkan layanan untuk penyandang disabilitas agar mampu menyalurkan hak-haknya. “KPU kota jogja meskipun tidak di seing menjadi lembaga yang khusus menangani pemilu difabel karena bitu adalah hak konstitusi dari warganegara, termasuk saudara saudara kita yang berkebutuhan khusus, tahub 2014 kita memperoleh penghargaan dari kpu RI sebagai kpu dalam bidang pemilu akses, satu satunya kpu yang memperoleh penghargaan terkait fasilitasi penyandang disabilitas” “Dari tataran fasilitas banyak juga yang sudah melakukan fasilitasi namun yang membedakan bagaimana memperlakukan teman teman difabel tidak hanya sebagai objek tapi dilibatkan sebgai aktornya, ketika kita menyusun kebijakan tentang pola system metode sosialisasi kita libatkan teman-teman untuk menjadi narasumber dan informasi ketika kita mau menyusun kebijakan metode sosialisasi, kita ajak jadi narasumber jadi konseptor jadi perannya lebih signifikan disbanding hanya jadi objek seperti diundang jadi peserta sosialisasi atau petugas pelipat kertas suara, itukan berarti masih menjadikan objek, kita sudah menampiung ide-ide kemudian dituangkan dalam kebijakan pemilu” (Wawancara dengan Ketua KPU Kota Yogyakarta Bapak Wawan tgl 6 april 2016)
78
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
KPU kota Yogyakarta telah melakukan terobosan atau inovasi untuk mengupayakan peningkatan partisipasi penyandang Disabilitas dalam pemilu pada tahun 2014, salah satunya dengan melibatkan masyarakat penyandang Disabilitas tidak hanya sebagai objek tapi sudah dilibatkan sebagai actor maupun mitra kerja dari KPU Kota Yogyakarta. Sejauh ini pelibatan masyarakat penyandang disabilitas sudah pada tahap penyusunan kebijakan yang akan dilakukan KPU Kota seperti penyusunan kebijakan metode sosialisasi sehingga metode yang dibuat akan lebih tepat sasaran. KPU Kota Yogyakarta terus berusaha membenahi diri untuk menaikan tingkat partisipasi politik penyandang disabilitas dalam berpolitik khusunya dalam proses Pemilihan Umum, inovasi dan strategi untuk memaksimalkan difabel mendapakan akses pemilu 2014 mulai dari akses informasi tahapan sampai pada fasilitas yang harus disediakan, KPUKota Yogyakarta melakukan upaya–upaya menuju pemenuhan hak penyandang disabilitas ditengah keterbatasan yang ada, adapun strategi tersebut sebagai berikut: 1.
2. 3. 4.
5.
6. 7. 8.
Melakukan Koordinasi dengan Penyelenggara Pemilu di tinggat kecamatan dan Kelurahan terkait memaksimalkan daar pemilih difabel di Kota Yogyakarta. Melakukan Recruitment Relawan Demokrasi dari organisasi pegiat difabel di Yogyakarta Melakukan pendataan dan identifikasi pemilih difabel di seluruh TPS di Kota Yogyakarta. Melakukan Koordinasi dengan membuat konsep bersama dengan kelompok – kelompok pegiat Difabel Di Kota Yogyakarta untuk memastikan akses bagi difabel untuk bisa berpartisipasi pada pemilu 2014 di Kota Yogyakarta. Bersama dengan Organisasi pegiat Difabel melakukan Bimbingan Teknis Untuk relawan Demokrasi sebagai bahan untuk melakukan sosialisasi bagi difabel kota yogyakarta. Membuat Materi yang sesuai dengan Kebutuhan Difabel Kota Yogyakarta. Membuat Peta Daerah sasaran Sosialisasi bagi kelompok difabel di Kota Yogyakarta. Pembagian tugas di Relawan Demokrasi untuk melakukan sosialisasi di difabel di semua daerah pilihan Kota Yogyakarta. 9. Koordinasi
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
79
9.
dengan badan ad hoc untuk membuat TPS yang ramah difabel ditengah keterbatasan Ruang Publik Kota Yogyakarta Selalu melibatkan Interpreter ketika melakukan sosialisasi di penyandang difabilitas tuna rungu (dokumen yang diajukan KPU Kota Yogyakarta dalam rangka penghargaan bagi KPU Kabupaten/ Kota berprestasi tahun 2014).
KPU Kota Yogyakarta telah melakukan banyak inovasi untuk memenuhi hak-hak penyandang Disabilitas dalam politik, sehingga setiap tahunnya angka keterlibatan penyandang Disabilitas baik dalam proses pencoblosan saat pemilu dan keterlibatan dalam penyusunan kebijakan terus meningkat. KPU Kota Yogyakarta telah melibatkan penyandang disabilitas tidak hanya sebagai objek dari kebijakan tetapi sudah sampai tahap menjadikan penyandang Disabilitas sebagai rekan kerja sehingga menjadikan KPU Kota Yogyakarta sebagai KPU terbaik se Indonesia dalam fasilitasi dan aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas. “Dari tataran fasilitas banyak juga yang sudah melakukan fasilitasi namun yang membedakan bagaimana memperlakukan teman teman difabel tidak hanya sebagai objek tapi dilibatkan sebgai aktornya, ketika kita menyusun kebijakan tentang pola system metode sosia;lisasi kita libatkan teman-teman untuk menjadi narasumber dan informasi ketika kita mau menyusun kebijakan metode sosialisasi, kita ajak jadi narasumber jadi konseptor jadi perannya lebih signifikan disbanding hanya jadi objek seperti diundang jadi peserta sosialisasi atau petugas pelipat kertas suara, itukan berarti masih menjadikan objek, kita sudah menampiung ide-ide kemudian dituangkan dalam kebijakan pemilu” (Wawancara dengan Ketua KPU Kota Yogyakarta Bapak Wawan tgl 6 april 2016) Adapun inovasi yang dilakukan KPU Kota Yogyakarta untuk meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilihan Umum tahun 2014 sebagai berikut : a. b.
Melibatkan penyandang Disabilitas dalam proses Pemilu tahun 2014 Sosialisasi dan simulasi untuk penyandang disabilitas
Sosialisasi merupakan salah satu cara menaikan partisipasi masyarakat dalam pemilu, dalam proses sosialisasi terjadi pemberian informasi yang 80
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
utuh oleh KPU Kota Yogyakarta sehingga masyarakat menerima informasi yang benar. Sosialisasi juga bertujuan untuk wahana pembelajaran bagi masyarakat penyandang disabilitas agar memahami hak-hak mereka dalam politik dan mngetahui proses pemilu. Sosialisasi yang dilakukan KPU Kota Yogyakarta terdapat berbagai rangkaian adapun rangkaian tersebut sebagai berikut : 1.
Pendataan penyandang disabilitas di kota Yogyakarta Proses ini KPU Yogyakarta melibatkan Organisasi Penyandang Disabilitas dalam proses pendataan jumlah penyandang disabilitas yang mempunyai hak pilih.
2.
Pengelompokan jenis difabel Tujuan dari pengelompokan ini agar fasilitas yang disiapkan KPU Kota Yogyakarta tepat sasaran dan mampu mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas
3.
Mendorong penyandang disabilitas agar terlibat dalam relawan demokrasi yang dibentuk KPU Kota Yogyakarta
4.
Melibatkan Pegiat Difabel dalam membuat konsep sosialisasi dan materi bimbingan teknis untuk Relawan Demokrasi. Sebagai sebuah badan ad hoc yang baru Relawandemokrasi mempunyai tugas yang cukup berat yaitumeningkatkan partisipasi masyarakat dengan lebihbanyak masyarakat yang mendapatkan aksesinformasi pemilu dengan segmentasi yang responsifgender. Untuk kebutuhan itu diperlukan satu desainbesar terkait kebutuhan materi dan informasi daripegiat difabel,maka KPU Kota Yogyakarta bersamadenganSIGAB
5.
Melakukan sosialisasi tatap muka sebagai upaya pemberian akses informasi terkait dengan pemilu 2014 kepada kelompok-kelompok difabel Kota Yogyakarta Sebagai upaya untuk memberikan aksesinformasi yang sama bagi semua difabel diKota Yogyakarta KPU Kota Yogyakartabersama dengan Relawan demokrasi segmenDifabel melakukan sosialisasi tatap mukadengan kelompok difabel yang ada di KotaYogyakarta,baik yang dalam organisasidifabalitas maupun sekolah –sekolah yangada pemilihnya ,hal ini membutuhkan kerjasama yang baik dengan pihak
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
81
sekolah yang bersedia memberikan kesempatan dan dataterkait anak didiknya yang sudah mempunyai hak pilih.Kegiata ini dilaksakan di organisasidifabel seperti PERTUNI,PPDI Kota,HWDI,Yakatunis sedangkan untuk sekolah–sekolah luarbisa yang dilakukan seperti di :Sekolah luar biasa N 2 Sayidan, SLB N Pembina,SLB c Darma Rena Putra II dan SLB N Bintaran. Materi yang di berikan terkait pentingnya menggunakanhak pilih,cara menggunkan hak pilih,dengan menonton filmAccessable Elektion Simulateyang dibuat oleh AGENDA. 6.
Bekerja sama dengan Pegiat Difabel menyelenggarakan simulasi Pemilu Dalam proses sosialisasi KPU Kota Yogyakarta bekerja sama dengan Penyandang Disabilitas untuk membuat media simulasi berdaasarkan kebutuhan yang disandang, KPU Kota Yogyakarta juga berkonsultasi dengan SIGAB untuk membuat video dalam sosialisasi untuk penyandang Tuna Rungu, video tutorial tersebut berisi bagaimana cara menggunakan hak pilih dalam Pemilu. (wawancara dengan Ibu Rani pada tanggal 04 juni 2016 dan dokumen yang diajukan KPU Kota Yogyakarta dalam rangka penghargaan bagi KPU Kabupaten/ Kota berprestasi tahun 2014).
c.
Adanya inovasi dalam alat penunjang pencoblosan untuk penyandang Disabilitas. Adapun inovasi tersebut sebagai berikut 1.
DCT (daar calon tetap) braille untuk DPRD Kota Yogyakarta Sebagai salah satu tindak lanjut dari pemetaan kebutuhan difabel dalam hal akses informasidalam tahapan sosialisasi adalah kebutuhan DCT (Daar Calon Tetap) Braille sebagai bahanmereka untuk mengenali calon–calon DPRD,Untuk itu KPU Kota bekerjasama dengan LSM Qikal untuk mencetak DCT Braille untuk calon DPRD KotaYogyakarta yang didistribusikan ke kelompok–kelompok difabilitas tuna netra
2.
Video simulasi pemungutan suara untuk penyandang Tuna Rungu Salah satu metode sosialisasi yangdilakukan dengan nonton film, film yangdipakai merupakan produk AGENDAsebuah film pemilu yangmengambarkan tentag pemilu yangpemilihnya
82
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
adalah difabel danbagaimana petugas KPPS dalammelaksanakan tugasnya membantu danmemperlakukan Difabel 3.
Templete untuk DPRD Kota Yogyakarta Dari 86 TPS yang mempunyai penyandang Disabilitas KPU Kota Yogyakarta membuat Templete untuk DPRD Kota Yogyakarta karena dari KPU RI menyediakan template (alat bantu pencoblosan) Untuk DPD, KPU DIY menyediakan untuk DPRI dapil Yogyakarta, KPU Kota Yogyakarta berinisitaif membuat template untuk DPRD Kota Yogyakarta sehingga TPS se Indonesia hanya Kota Yogyakarta yang ada tiga template.
4.
DPT khusus Penyandang Disabilitas DPT khusus disabilitas merupakan salah satu terobosan yang dilakukan kota Yogyakarta dengan menmbuat dan mengedentifikasi penyandang disabilitas yang telah mempunyai hak pilih di Kota Yogyakarta (wawancara dengan Ibu Rani pada tanggal 04 juni 2016 dan dokumen yang diajukan KPU Kota Yogyakarta dalam rangka penghargaan bagi KPU Kabupaten/ Kota berprestasi tahun 2014).
Faktor-faktor yang mempengaruhi Tingkat Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas di Kota Yogyakarta pada Tahun 2014 KPU Kota Yogyakarta tentu dalam proses menaikan tingkat partisipasi politik Penyandang Disabilitas mengalami hambatan dan kendala. Partisipasi penyandang disabilitas dalam pemilihan umum pada tahun 2014 relatif sedang, dengan jumlah DPT penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta tahun 2014 kurang lebih 300 orang penyandang disabilitas yang tercatat. Hal ini didukung dengan pernyataan dari Ketua KPU, Bapak Wawan Sugianto yaitu: “tentu yang sudah kita lakukan memperoleh aspirasi meskipun kita merasa apa yang dilakukan masih jauh dari harapan dari apa yang dibutuhkan teman-teman difabel belum bisa memfasilitasi cera banyak hal yang belum maksimal.” (Wawancara dengan Ketua KPU Kota Yogyakarta tanggal 6 April 2016)
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
83
Dikuatkan pula dengan pernyataan dari Ketua PPDI (Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia) dan juga LSM SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel) yang menyatakan bahwa tingkat partisipasi penyandang difabel masih relatif rendah. Hal ini tentu dilatar belakangi oleh banyak faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal diantaranya: Faktor Internal 1.
Sikap apatis penyandang disabilitas akibat dampak buruknya kinerja pemerintah Para penyandang disabilitas banyak yang masih apatis terhadap pemilihan umum. Sikap apatais ini muncul karena banyak dari mereka yang menganggap bahwa turut atau tidaknya mereka dalam pemilu presiden 2014 lalu pada akhirnya hasilnya akan sama saja tidak berdampak bagi mereka dan siapapun presiden Indonesia tidak akan mengubah nasib mereka.
2.
Penyandang disabilitas yang buta huruf Penyandang disabilitas yang mempunyai cacat mata atau tuna netra masih cukup banyak yang tidak bisa membaca braille. Akibatnya banyak dari mereka juga yang tidak bisa dan tidak mau untuk memilih pada saat pemilu karena buta huruf. Padahal dari peraturan KPU, pihak panitia KPPS boleh membantu penyandang disabilitas untuk memilih di dalam ruang TPS.
Faktor Eksternal 1.
Petugas KPPS belum paham cara memperlakukan penyandang disabilitas Petugas KPPS menurut Ketua KPU Kota Yogyakarta, banyak yang belum sadar dan mengetahui bagaimana cara memperlakukan penyandang disabilitas yang benar ketika berada di Tempat Pemungutan Suara (TPS). “apalagi badan adhoc kita, penyelenggara kita di kpps perlakuan terhadap pemilih yang berkebutuhan khusus belum sama, belum sadar bagaimana cara memperlakukan mereka, masih ada pemilih tunanetra masih dituntun atau dibantu padahal
84
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
mereka ingin secara mandiri, harusnya perlakuannya dipandu. Problemnya adalah pemahaman melayani pemilih difabel itu belum maksimal dipenyelenggaraan pemilu”. (Wawancara dengan Ketua KPU Kota Yogyakarta tanggal 6 April 2016) Sebenarnya, pihak KPU Kota Yogyakarta sudah berusaha untuk melakukan bimbingan teknis kepada badan adhoc yang ada, seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) terkait dengan pemilih penyandang disabiltas, bahkan KPU juga sudah membuat buku panduan untuk bagaimana memperlakukan penyandang disabilitas. Akan tetapi hal tersebut bukan menjadi masalah yang utama, kadang yang menjadi permasalahan adalah presepsi dan pemahaman petugas bagaimana memandang penyandang disabilitas sebagai standar khusus pelayanan. 2.
Penganggaran belum maksimal Penganggaran dikatakan belum maksimal untuk memenuhi kebutuhan penyandang disablitias yang mana merupakan fasilitas yang harus diberikan oleh penyandang disabilitas, seperti alat untuk mencoblos dan ruangan, karena setiap penyandang disabilitas mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda. Ditambah lagi dengan biaya sosialisasi setiap wilayah kecamatan di Kota Yogyakarta yang bisa memakan cukup banyak anggaran.
3.
4.
Wewenang petugas TPS hanya di dalam TPS (tidak bisa menjemput pemilih atau mengantar surat suara) Sesuai dengan peraturan KPU, petugas TPS hanya dapat membantu penyandang disabilitas pada saat di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yaitu dalam peraturan petugas KPPS, hanya berwenang di dalam TPS saja, dan berkewajiban untuk membantu, memandu, memfasilitasi, bahkan jika diminta untuk membantu untuk mencoblos sesuai dengan pilihan pemilih tentu diperbolehkan. (Wawancara dengan Ketua KPU, 6 April 2016) Tata ruang Kota Yogyakarta terbatas Tata ruang yang ada di Kota Yogyakarta dapat dikatakan semakin sempit lahannya di Kota Yogyakarta membuat petugas KPU semakin Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
85
susah mencari tempat yang tepat yang akan digunakan sebagai TPS dan yang dapat menyediakan fasilitas bagi pemilih penyandang disabilitas. Akibatnya TPS-TPS yang ada di Kota Yogyakarta kebanyakan menumpang di rumah Dukuh, Kelurahan dan sebagainya karena sudah tidak ada tempat yang lapang dan luas di Kota Yogyakarta yang dapat digunakan sebagai TPS pada saat pemilihan umum berlangsung. 5.
Belum terakumulasi dan terdata penyandang disabilitas yang mempunyai hak pilih di Kota Yogyakarta Terkait persoalan ini, sebenarnya persoalan data hak pilih penyandang disabilitas dalam pemilu adalah persoalan setiap kali adanya pemilu, baik pemilu presiden maupun pada saat pemilu daerah. Faktor yang menyebabkan belum terakumulasinya data pemilih penyandang disabilitas adalah dari bawahan KPU, yang mana data calon pemilih tetap untuk pemilu diserahkan kepada Kecamatan, Kelurahan, Peduhukan, dan terahkhir pada RT setempat. Seringkali terjadi, Ketua RT pada wilayah tertentu dengan sengaja tidak mencatat atau mendata orang yang mempunyai keterbatasan. Selain kekurangannya pada ketua RT yang tidak mau mendata, kerabat keluarga juga seringkali tidak mau mendaarkan, karena dirasa tidak penting dan tidak berpengaruh apapun.
6.
Masyarakat belum peka terhadap permasalahan-permasalahan terkait hak-hak penyandang disabilitas Salah satu faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan pemilu sebenarnya adalah masyarakat umum peka terhadap hak-hak penyandang disabilitas, agar nantinya permasalahan-permasalahan seperti tidak tedatanya penyandang disabilitas pada pemilu. Selama ini masyarakat belum terlalu peka terhadap permasalahan hak penyandang disabilitas dalam pemilu, justru yang ada yaitu kecenderungan untuk tidak mengakui para penyandang disabilitas untuk ikut serta dalam pesta demokrasi, yaitu pemilu.
7.
Belum terbukanya orang tua penyandang disabilitas Banyak orang tua yang malu akan keadaan anaknya karena keterbatasan fisik yang diderita. Hal ini juga berdampak pada saat pesta demokrasi Indonesia, yaitu pemilihan umum. Di Kota Yogyakarta
86
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
sendiri, masih banyak orang tua yang malu mendaarkan anaknya yang sudah cukup umur untuk menggunakan hak pilihnya dikarenakan memiliki cacat fisik. Orang tua juga menganggap bahwa memilih atau tidaknya si anak tidak menjadi permasalahan yang serius. Akan tetapi, pada kenyataannya ini justru berdampak besar kepada kepemimpinan Indonesia pada saat pemilihan umum presiden. 8.
Sosialisasi masih rendah belum maksimal Sosialisasi yang dilakukan oleh KPU masih rendah dan belum maksimal. Banyak faktor yang sebetulnya mendasari mengapa KPU belum maksimal menjalankan perannya untuk sosialisasi pemilihan umum yaitu terkait dengan dana yang minim, akibatnya sosialisasi tidak merata disetiap wilayah, dan hanya wilayah-wilayah tertentu yang mendapat sosialisasi dari KPU Kota Yogyakarta. Hanya dibeberapa kelurahan diadakan sosialisasi, dan warga penyandang disabilitas yang bukan dari kelurahan yang mendapatkan sosialisasi boleh turut hadir dalam sosialisasi tersebut.
KESIMPULAN Dari 300 DPT Penyandang disabilitas yang datang untuk menggunakan hak pilihnya yaitu berjumlah 135 orang atau setara dengan 66,5% dari total jumlah DPT 7 Kecamatan yang menjadi sampel. Jumlah Penyandang Disabilitas terbanyak pemilu 2014 berdasarkan sampel yang sudah diambil adalah Kecamatan Tegalrejo dengan jumlah pemilih 50 orang, Kecamatan Kota Gede dengan jumlah 25 orang pemilih, Kecamatan Wirobrajan dengan jumlah 23 orang pemilih, Kecamatan Umbulharjo dengan jumlah 15 orang pemilih, Kecamatan Ngampilan dengan jumlah 8 orang pemilih, Kecamatan Kraton dengan jumlah 8 orang pemilih, dan terakhir Kecama tan Danurajen dengan jumlah 6 orang pemilih. Dari data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi politik penyandang disabilitas pada pemilu tahun 2014 di Kota Yogyakarta adalah tinggi dengan angka partisipasi mencapai angka 66,5%. Hal tersebut dianggap lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat partisipasi diwilayah lain, seperti data yang dirilis oleh Bandung Trust Advisory Group (D-Trust) untuk angka partisipasi penyandang disabilitas di
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
87
Jawa Barat hanya mencapai 53,7%. Pencapaian angka tersebut tidak terlepas dari kinerja pemerintah baik pemerintah pusat dan daerah yang mulai peka terhadap hak-hak Penyandang Disabilitas di Indonesia. Selain itu, partisipasi penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta tidak berhenti hanya dalam proses pencoblosan ketika pemilu, akan tetapi partisipasi tersebut sudah dalam ranah penyusunan kebijakan, petugas KPPS, relawan, bahkan anggota KPU.
DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal Abdulkarim, A. (2003). Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: PT. Grafindo Media Pratama. Budiardjo, Miriam (ed). Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia, 1982. Huntington, S. P., & Nelson, J. M. (1976). No easy choice: Political participation in developing countries (Vol. 3). Cambridge: Harvard University Press. Hersty Pangesti Aji dkk. 2012. Naskah Akademik Rancangan Peraturan Dareah Tentang Penyandang Cacat di Kota Yoyakarta. Yogyakarta, Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik UGM. Mu’min, Z. (2012, Oktober 25). PKM Difabel. Retrieved Oktober Selasa, 2015, from hp://www.slideshare.net:hp://www.slideshare.net/ zakiefikrii/pkm-difabel-revisi-251012-baru Ranney, A. (1976). Parties in state politics. Politics in the American states, 3. Reefani, N. K. (2013). Panduan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Imperium. Rusqiyati, E. A. (2013, Oktober 5). KPU Yogyakarta targetkan partisipasipemilih meningkat. Retrieved Oktober 5, 2015, from antarayogya.com: antarayogya.com/berita/316165/kpu-yogyakarta-targetkanpartisipasi-pemilih-meningkat Soeradiredja, D. M. (2011, Oktober 29). Partisipasi Penyandang Disabilitas Dalam Pemilu Masih Dipandang Sebelah Mata. Retrieved Oktober Selasa,
88
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
2015, from www.kompasiana.com: hp://www.kompasiana.com/diah_ marliati_a_soeradiredja/partisipasi-penyandang-disabilitas-dalampemilu-masih-dipandang-sebelah-mata_5508ff39813311e319b1ee05 Sugiono 2009. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Bandung: Alfabet. Wirastami, P. A. (2015, September 4). jogja.tribunnews.com. Retrieved Oktober Selasa, 2015, from Tingkat Partisipasi Pemilu Masyarakat Kota Yogyakarta Rendah: hp://jogja.tribunnews.com/2015/09/04/ tingkat-partisipasi-pemilu-masyarakat-kota-yogyakarta-rendah? Peraturan Perundang-undangan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 tahun 2012 tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas Perda No. 4 tahun 2012 tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum Dokumen-Dokumen Daar Pemilih Penyandang Disabilitas pemilu Presiden 2014 Kota Yogyakarta, Komisi Pemilihan Umum Kota Yogyakarta Diktat Analisa Kualitatif dan Kuantitaif, Awang Darumurti, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2013) Website data.KPU.go.id hps://www.ireyogya.org/
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
89
Wawancara Aktivis Disabilitas dan Relawan Demokrasi, Ibu Widi Direktur SIGAB Kota Yogyakarta, Bapak Joni Yulianto Ketua KPU Kota Yogyakarta, Bapak Wawan Budiyanto, S.Ag., M.Si Kepala Pusat Pelayanan Informasi Publik (PPID), Ibu Sri Surani, SP Ketua PPDI (Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia) Provinsi Yogyakarta, Dr. Ahmad Sholeh, M.Si Ketua Relawan Demokrasi Kota Yogyakarta Tahun 2014, Prayoga, S.H
90
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
ƶ
GħŪŚēV÷ēŚŤēĮ÷žÐÐįDž ÷ŕ÷éŪŤÐįCÐĤCēðŪŒðēVĸŤÐµĸĊƄÐĤÐŕŤÐNj Rii Sanahdi
K
einginan para pemangku kebijakan dengan masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program terkadang tidak berjalan linier. Perencana pembangunan maupun eksekutor program dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemerintah lebih mengedepankan sudut pandang mereka tanpa berusaha mengupas secara mendalam kondisi komunitas yang direncanakan. Hal tersebut menyebabkan timbulnya regulasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan entitas yang mendiami daerah tersebut. Berbagai protes maupun kritikan mencuat bukan hanya dari para kritikus handal dari kalangan aktivis maupun akadamesi tetapi juga dari masyarakat yang selama ini dianggap objek dalam pembangunan yang mengatasnamakan kesejahteraan sosial. Tulisan ini hadir bukan hendak mengkritik pembuat kebijakan melainkan memaparkan dampak dari pembangunan yang terkesan sembrawut di Kota Yogyakarta. Dengan menggunakan pendekatan etnografi dan ekologi penulis hendak memaparkan model atau konsep pembangunan kota yang lebih humanis dan dinamis. Pendekatan tersebut menyadarkan setiap orang bahwa masih ada harapan untuk memperbaiki ketimpangan pembangunan fisik di Kota Yogyakarta. Kesejahteraan sosial yang termanifestasikan melalui kemakmuran masyarakat adalah tujuan utama sebuah pembangunan baik itu dalam
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
91
sakala regional maupun global. Dengan berbagai konsep dan teknik, setiap stakeholders dalam suatu wilayah berlomba-loma memakmurkan wilayahnya dengan paradigma pembangunanisme berlandaskan kesejahteraan. Mereka menempatkan diri sebagai pihak yang paling mengetahui keinginan dan kebutuhan masyarakat, selain itu mereka juga mengklaim diri sebagai nahkoda yang menentukan bagaimana masyarakat harus hidup. Hal tersebut menyebabkan lahirnya masyarakat yang hanya dianggap objek bukan subjek dari pembangunan itu sendiri. Pemerintah kemudian lebih cenderung mengedepankan pembangunan fisik daripada pembangunan kapasitas manusia atau yang lebih dikenal dengan istilah “capacity building” sehingga lahirlah pembangunan yang memiskinkan dan menggusur masyarakat lemah terutama di daerah perkotaan. Kota merupakan wilayah yang selalu menjadi sorotan setiap individu. Seorang ilmuan perkotaan, Dieter Ever memandang kota sebagai bidang luas yang sudah dibagi-bagi menjadi bidang kecil yang masing-masing sudah diakui oleh pribadi atau kelompok tertentu. Namun seiring berjalannya waktu, struktur perkotaan sedikit demi sedikit mengalami perubahan yang akhirnya melahirkan transpolasi. Transpolasi adalah suatu perluasan mendadak dari masyarakat kota.1 Transpolasi menimbulkan kompetisi antar individu maupun kelompok dalam perebutan hak hidup dan ruang sebagai tempat tinggal. Permasalahan yang jauh lebih kompleks adalah munculnya paradigma yang memandang kota sebagai sebuah komoditas yang dapat menghasilkan keuntungan yang begitu fantastis. Hal tersebut kemudian memicu kelompok-kelompok pemodal menanamkan investasinya di daerah perkotaan berupa pembangunan hotel, mall dan apartement. Sempitnya lahan kota dan padatnya jumlah penduduk tentu membutuhkan pihak yang harus dikorbankan untuk memuaskan hasrat ekploitasi korporasi dalam pembangunan hotel, mall dan apartement. Dalih-dalih untuk memperindah kota selalu didengungkan oleh pemerintah maupun investor dengan menggantikan dan menggusur permukiman warga menjadi bangunanbangunan beton yang dimiliki kaum pemodal. Masyarakat perkotaan adalah masyarakat kompleks dengan sejuta permasalahan yang dihadapi. Permasalahan tersebut mulai dari perkampungan kumuh dan banjir Ʈ CÐįðŚǜ"ē÷Ť÷ŕ +Ž÷ঠdž ŚĸŚēĸħĸĊē Œ÷ŕĤĸŤÐÐįǐ ŪŕéÐįēŚÐŚē ðÐį Ś÷įĊĤ÷ŤÐ ŤÐįÐď ðē Gįðĸį÷ŚēÐ ðÐį `ÐħÐƄŚēÐǘTÐĤÐŕŤÐDžXư+džƮƶƶƲǙNj
92
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
hingga minimnya ruang publik dan kasatnya air sumur warga. Anehnya, pemukiman-pemukiman warga yang terkesan kumuh bukan malah dicari jalan keluarganya malah digantikan dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi korporasi. Kota Yogyakarta sebagai ibu kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki daya tarik yang begitu kuat di mata masyarakat domestik maupun mancanegara. Selain karena banyaknya objek wisata, juga karena letaknya yang begitu strategis sehingga membuat wisatawan dari berbagai daerah maupun negara datang beberbondong-bondong untuk berlibur tiap tahun. Pada tahun 2015 tercatat 3.250.681 wisatawan, yang terdiri dari 2.857.599 wisatawan domestik dan 393.082 wisatawan mancanegara yang berlibur ke Kota Yogyakarta.2 Banyaknya jumlah pengunjung yang berkunjung ke kota Yogyakarta menjadi perdebatan yang begitu kontroversial di tengah para pembuat kebijakan. Pertumbuhan hotel yang begitu pesat sebagai tempat bermalam wisatawan tentu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Namun Pendapatan Asli Daerah yang diiming-imingkan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat menjadi sebuah ilusi belaka bagi masyarakat Kota Yogyakarta. Masyarakat tidak mendapatkan dampak positif dari pembangunan hotel tersebut melainkan udara kota yang semakin panas, air sumur yang semakin mengering, dan kehidupan sosial yang semakin terkikis tergantikan budaya hedonisme dan individualisme. Keadaan tersebut tidak serta merta membuka mata hati para pembuat kebijakan yang sudah tertipu bayangan ilusi kesejahteraan melalui peningkatan PAD dari pembangunan hotel. Pembangunan berbau fisik tersebut terus dilakukan tanpa henti, sepanjang tahun 2012-2014 terdapat 419 hotel di kota Yogyakarta.3 Luas dan kepadatan penduduk Kota Yogyakarta tidak sebanding dengan Jumlah bangunan-bangunan tinggi berbeton yang dibangun. Luas kota yang hanya 3.250 ha dengan jumlah penduduk 428.282 jiwa menjadi lebih padat dengan kedatangan wisatawan yang begitu pesat sehingga harus ada yang menjadi korban perebutan lahan. Policy maker yang seharusnya memikirkan nasib penduduk yang tinggal di kota dengan membuat kebijakan-kebijakan Ư ðŕēÐįÐ "÷žē ÷ŤēОÐį ǣTĸĊġÐǜĤŪðŪį÷ ĸŕÐ ðēðĸħdž ĮÐįŪįĊĊÐħēįĊ Œ÷įĊŪÐŚÐ ðÐį Œ÷įĊŪǜ ŚÐďÐðÐħÐĮĤ÷éēġÐĤÐįŒ÷ĮéÐįĊŪįÐįďĸŤ÷ħðēµĸĊƄÐĤÐŕŤÐǤa+TħNjÐŤÐŪĮēaĸNjƲ ÐįƄŪŕÐð÷įdž>ÐĮŒēįĊdžħ÷ĮÐįdžµĸĊƄÐĤÐŕŤÐƯƭƮƳNj ư VĸŤÐµĸĊƄÐĤÐŕŤÐdž"ÐŤÐĸħÐďÐįŤÐŤēŚŤēĤ"ēįÐŚÐŕēžēŚÐŤÐVĸŤÐµĸĊƄÐĤÐŕŤÐƯƭƮƲNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
93
yang pro terhadap masyarakat malah lebih memihak kepada investor yang ingin menanamkan sahamnya. Akibat hal tersebut, keberadaan hotel dan apartement yang menjamur tak bisa dibendung kekuatannya. Kemudian yang terjadi adalah adanya mitos kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Masyarakat lokal sedikit demi sedikit terpinggirkan dan akhirnya tersingkir dari tanah leluhurnya sendiri. Lalu muncul pertanyaan, sebenarnya kota ini untuk siapa dan dimiliki oleh siapa? Masyarakat lokal merupakan entitas yang sudah lebih dahulu menghuni kota Yogyakarta seharusnya lebih diperhatikan dan dilindungi hak-haknya oleh pemerintah dengan disediakannya ruang-ruang publik yang dapat mereka nikmati tanpa harus mengeluarkan biaya yang mahal. Naasnya, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang merupakan ruang publik juga tidak sesuai jumlahnya dengan luas wilayah di Kota yogyakarta. Kota dengan luas 3.250 ha setidaknya memiliki 975 ha RTH, RTH publik dengan luas 650 ha dan privat seluas 325 ha. Namun pada tahun 2014 jumlah luas RTH di Kota Yogyakarta adalah 585, 45 ha (17,98%) dengan RTH publik seluas 329.63 ha (10,14%) dan RTH privat seluas 254, 82 ha (7, 84).4 Ruang publik yang bisa diakses oleh seluruh kalangan masyarakat kini telah diprivatisasi oleh pemodal dengan merubah pohon-pohon dan rumah-rumah penduduk menjadi istana beton yang hanya bisa dinikmati individu yang berduit. Dalam menghadapi keresahan tersebut, muncul kelompok-kelompok yang mengkritik model pembangunan yang dinilai terlalu kapitalistik dan liberal tersebut. Gerakan membunuh jogja, Urban Literacy Campaign, Jogja Ora didol merupakan gerakan-gerakan yang selama ini begitu genca mengeluarkan ultimatum keras terhadap maraknya pembangunan fisik di kota Yogyakarta yang dinilai tidak memperhatikan keberadaan entitas yang mendiami daerah tersebut baik dari segi lingkungan maupun dari manusianya. Kesejahteraan yang dijanjikan oleh pemerintah daerah terhadap rakyat Kota Yogyakarta nampaknya hanya bualan semata. Peran pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat belum membuahkan hasil yang begitu signifikan terhadap perubahan kehidupan masyarakat menuju kehidupan yang layak. Mirisnya, pemerintah lebih membiarkan proses transaksi pasar Ʊ ÐŤįÐŚÐŕēĮÐħēēŤĸŕŪŚðĤĤðÐħÐĮŕðēÐįÐ"÷žē÷ŚÐįŤēǤ÷ŕ÷įêÐįÐÐįVĸŤÐCēġÐŪµĸĊƄÐĤÐŕǜ ŤÐé÷ŕðÐŚÐŕĤÐįŒ÷įĊĊŪįÐÐįħÐďÐįðÐįĤ÷êŪĤŪŒÐįCǤŒ÷į÷ŕéēŤħÐįĸħĸĊēa"GdžTŪŕįÐħ ÐŤÐXĸĤÐdžŽĸħŪĮ÷ƮƴįĸĮĸŕƱŤÐďŪįƯƭƮƲNj
94
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
bebas terjadi begitu saja, akibatnya yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Seharusnya pemerintah lebih peka membela masyarakat yang mulai tergeruk arus kapitalisme tersebut. Dalam hal ini, penulis ingin memaparkan perbedaan harapan dan keinginan antara masyarakat kota yogyakarta dan pemerintah menggunakan pendekatan etnografi dan ekologi. Tulisan ini hadir sebagai bentuk kritikan sekaligus masukan terhadap metode pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Kota Yogyakarta yang lebih mengedepankan pembangunan fisik daripada pembangunan kapasitas manusia. Penulis juga akan mengupas secara dalam terkait dampak dari pembangunan yang sembrawut tersebut. Kota dan Konradiksi-Kontradiksi Diskursus tentang perkotaan menjadi topik yang selalu hangat sepanjang zaman. Kota adalah sumber penelitian yang selalu menarik mata para peneliti untuk melakukan kajian di dalamnya. Terdapat beberapa tulisan tentang perkotaan dalam berbagai literatur yang berhasil penulis kumpulkan. Pertama, Sebuah buku yang pernah ditulis oleh Purnawan Basundoro dengan judul” merebut ruang kota: Aksi Rakyat Miskin kota Surabaya 1900-1900an”. Dalam bukunya, Puranawan Basundoro menyimpulkan bahwa perbeutan ruang yang dilakukan oleh masyarakat miskin kota menyebabkan terjadinya konflik, konflik tersebut terjadi akibat absennya negara dalam regulasi mengenai pengaturan tanah di perkotaan. Kedua, Adriana Dewi Sesianti juga pernah meulis sebuah buku “berjudul Jogja Kudune Ora Didol”. Dalam tulisan tersebut Adriana memaparkan beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai lebih berpihak kepada para investror sehingga menyebabkan pertumbuhan hotel begitu pesat di Kota Yogyakarta. Ketiga, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Doddy S. Singgih dengan judul” pembangunan kota dan dan keseimbangan ekosistem; kasus pengembangan Surabaya”. Penulis menemukan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian sebagai akibat dari pesatnya pembangunan kota, membawa permasalahan yang sangat kompleks di Kota Surabaya. Keempat, seorang Dosen Fakultas Pertanian Universitas Widya Gama, Malang, Iwan Nugroho melakukan sebuah penelitian dengan judul” modal sosial dan perkembangan kota”.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
95
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin menambah khasanah keilmuan tentang kota. Dalam memahami kota, diperlukan pendekatanpendekatan radikal yang mampu mengupas secara tuntas pengertian maupun permasalahan kota hingga ke akar-akarnya. Purnawan Basundoro memandang kota sebagai bidang kompleks yang menghasilkan sebuah peradaban namun di saat bersamaan melahirkan masyarakat yang dianggap kurang beradab atau tepatnya orang-orang kalah.5 Kota ibarat dua sisi mata uang, kota dianggap sebagai tempat yang paling aman bagi orang-orang yang mampu menaklukkannya sebaliknya kota dianggap sebagai tempat yang kejam bagi orang-orang yang tak bisa menaklukkannya. Dalam menganalisis masyarakat kota, diperlukan pendekatan lebih tepat yang sesuai dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Roland L Warrent,6 menjelaskan enam sudut pandang yang digunakan untuk memahami masyarakat. Pertama, memandang masyarakat sebagai individu yang tersebar secara berkelompok di ruang (space) tertentu. Dalam konteks ini, hubungan keruangan menjadi pusat perhatian untuk dipahami. Hubungan tersebut akan menantukan pola-pola permukiman dan kelembagaannya. Kedua, memandang masyarakat sebagai sekelompok penduduk yang memiliki karakteristik tersendiri. Adanya karakteristik tersebut menarik untuk dipelajari karena akan mempengaruhi gaya kehidupannya. Ketiga, memandang masyarakat sebagai persebaran lembaga dan nilai sosial. Dalam pandangan ini, lembaga dan nilai tidak hanya komponen dasar pembentuk masyarakat, namun juga sebagai komponen penting yang membedakan tipe masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Untuk mengidentifikasi perubahan tipe masyarakat bisa diidentifikasi dari perubahan kelembagaan dan nilai sosialnya. Keempat, memandang masyarakat sebagai sekelompok individu yang saling melakukan interaksi. Interaksi merupakan proses sosial yang terjadi antarindividu atau kelompok sosial yang bisa melahirkan berbagai macam kemungkinan. Misalnya, adanya konflik, kompetisi atau disintegrasi. Kelima, memandang masyarakat sebagai sebuah struktur yang mendistribusikan kekuasaan kepada sekelompok masyarakat. Adanya disribusi kekuasaan Ʋ ŪŕįОÐįÐŚŪįðĸŕĸdž`÷ŕ÷éŪŤŪÐįĊVĸŤÐDžĤŚēÐĤƄÐŤ`ēŚĤēįVĸŤÐŪŕÐéÐƄÐƮƶƭƭǜƮƶƳƭÐįNj ÐįĊ÷ŕÐįĊ÷ħÐŤÐįdž`ÐŕġēįVēŕēƯƭƮưNj Ƴ ĸħÐįð X ¯Ðŕŕ÷įdž Ťď÷ êĸĮĮŪįēŤƄ ēį ÐĮ÷ŕēêÐ ǘďēêÐĊĸDž Ðįð `êaÐħħƄ ĸħħ÷Ċ÷ ŪéħēŚďēįĊ ĸĮŒÐįƄdžƮƶƴƵǙďÐħƯƮǜƲƭNj
96
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai perubahan sosial. Keenam, memandang masyarakat sebagai sistem sosial yang menjalankan empat fungsi utama yaitu fungsi adaptasi, fungsi pencapaian tujuan, fungsi integrasi dan fungsi pemeliharaan pola laten. Pendekatan yang paling cocok untuk menganalisis keadaan masyarakat di kota yogyakarta adalah metode kedua yang lebih melihat masyarakat melalui pendekatan etnografi dan poin keenam yang lebih melihat masyarakat melaui pendekatan ekologis. Penulis meyakini bahwa penggunaan pendekatan etnografis dan ekologis adalah metode paling tepat dalam pembangunanisme. Pendekatan etnografis berdampak pada terciptanya masyarakat mandiri, berkarakter dan memahami akan kebutuhannya. Pendekatan ekologis menciptakan pemukiman atau wilayah yang mampu menopang keseluruh kehidupan masyarakat. Jumlah penduduk dan ukuran lahan di perkotaan yang tidak linier tentu menimbulkan kompetisi antar individu maupun kelompok. Menurut Ramlan Subakti,7 terdapat kategori umum pola perebutan ruamg di perkotaan, yaitu: 1. Pemerintah kota dengan warga yang timbul karena perubahan peruntukan tanah yang tidak transparan; 2. Pemerintah kota dengan perusahaan swasta akibat tindakan swasta menyerobot tanah milik pemerintah kota; 3. Warga dengan investor; 4. Pemerintah kota dengan warga karena pembangunan fasilitas umum; 5. Pemerintah kota dengan legislatif karena pengalihan lahan tanpa persetujuan kedua belah pihak; 6. Warga, investor dan pemerintah kota; 7. Warga dengan pengembang berkaitan dengan pembangunan fasilitas umum di pemukiman; 8. Perebutan ruang karena prosedur administrasi yang salah. Pada kasus perebutan hak hidup di kota yogyakarta, poin keenam adalah poin yang paling sesuai untuk mendeskripsikan keadaan. Perebutan hak hidup yang terjadi menjadi semakin semakin kompleks tatkala pemegang kebijakan saling menyalahkan satu sama lain. Sebuah statement mencengangkan datang dari gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono ke-X yang mengatakan bahwa ia merasa telah “diapusi” ( ditipu oleh pemerintah tingkat kota atas pembangunan fisik yang begitu menjamur tersebut.8 Sultan sudah mengingatkan pemerintah Kota Yogyakarta agar pertumbuhan hotel harus ditekan dalam dua tahun terakhir, namun naasnya pertumbuhan ƴ ÐĮħÐįŪéÐĤŤēdžǣŒ÷ŕ÷éŪŤÐįŪÐįĊðē÷ŕĤĸŤÐÐįðÐį÷Įé÷įÐŕÐįįƄÐdžǣŕēŚĮÐaĸNjƶdžƮƶƶƳNj Ƶ VÐįžēħµĸĊƄÐĤÐŕŤÐdžǣŚĸÐħēƌēįďĸŤ÷ħdžŚŪħŤÐįĮ÷ŕÐŚÐðēŤēŒŪǤðēÐĤŚ÷ŚðÐŕēġĸĊġÐNjV÷Į÷įĤŪĮďÐĮNj ĊĸNjēðǑé÷ŕēŤÐǜĮ÷ðēÐǜĸįħēį÷ǑƯƲƲƴǜŚĸÐħǜēƌēįǜďĸŤ÷ħǜŚŪħŤÐįǜĮ÷ŕÐŚÐǜðēŤēŒŪƮƯ=÷éŕŪÐŕēƯƭƮƴNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
97
hotel tak mampu dibendung oleh mereka. Menanggapi hal tersebut penulis merasa bahwa tindakan seorang Gubernur harus lebih radikal memberantas permaslahan hotel di perkotaan. Bukan malah menyalahkan satu sama lain. Hal tersebut menunjukkan adanya kerapuhan dalam internal pemerintahan daerah. seharusnya sebagai pemegang kekuasaan yang lebih tinggi, Sultan lebih mempriorotaskan permasalahan masyarakat yang sudah direbut hak hidupnya oleh imprealisme korporasi. Pengontrolan kepada pemerintah kota yogyakarta juga harus lebih masif diadakan. permaslahan yang ada di kota jauh lebih kompleks daripada pedesaan. di daerah perkotaan hukum, rimba berlaku, siapa yang kuat dia yang menang. Masyarakat yang termarjinalkan terpaksa harus menyingkir sedikit demi sedikit untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Pembangunan hotel mall dan apartemen yang membabi buta tersebut telah membuat setiap masyarakat berjuang keras untuk mendapatkan hak hidupnya. Masalah yang paling krusial dari pembangunan hotel mall dan apartement ialah terjadinya krisis air di wilayah perkotaan. Pakar hidrologi Universitas Gajah Mada, Prof, Dr, Ig. L Setyawan Purnama, M.Si., menyebutkan setidaknya 50% kawasan Kota Yogyakarta dan Sleman mengalami krisis air. Laju penurunan penggunaan air tanah di kedua daerah tersebut terus meningkat akibat tingginya kebutuhan air, sementara masukan air ke tanah semakin menurun.9 Dalam suatu kesempatan, penulis pernah mewawancarai seorang warga di Kota Yogyakarta terkait tanggapannya terhadap pembangunan Apartement yang menyedot air dalam jumlah tinggi. Narasumber tersebut bercerita panjang lebar terkait kebaikan pihak hotel yang sudah menyantuni mereka uang saku. “kami diundang mas, yang diundang itu penduduk sekitar tempat apartement mau dibangun. Kami dijamu dengan makanan yang enak dan diberikan uang saku” Lalu penulis melanjutkan pertanyaan, apa bapak tidak takut sumur bapak dan penduduk di sini menjadi kering dengan kehadiran apartement ini? “Ooo itu tidak masalah buat saya, kebetulan saya menggunakan air PDAM bukan air sumur mas”. ƶ GĤÐdžǣƲƭ÷ŕŚ÷į¯ēħÐƄÐďµĸĊƄÐĤÐŕŤÐðÐįħ÷ĮÐįVŕēŚēŚēŕǤðēÐĤŚ÷ŚðÐŕēŒǤǑǑžžžNjŪĊĮNj ÐêNjēðǑēðǑé÷ŕēŤÐǑƮƯƱƮƭǜƲƭdžŒ÷ŕŚ÷įNjžēħÐƄÐďNjƄĸĊƄÐĤÐŕŤÐNjðÐįNjŚħ÷ĮÐįNjĤŕēŚēŚNjÐēŕNjƮƯ=÷éŕŪÐŕēƯƭƮƴNj
98
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Dari hasil wawancara singkat tersebut penulis menyimpulkan dua penyakit mendasar yang timbul akibat pembangunan hotel, mall, dan apartement di sekitar pemukiman warga. Pertama, warga kesulitan mendapatkan air. Kedua, warga kesulitan mendapatkan sinar matahari pagi untuk menjemur pakaian ataupun sebagai sumber Vitamin K. Ketiga, Keberadaan Korporasi di sekitar pemukiman warga tidak hanya merusak lingkungan warga tersebut, tetapi juga pola pikirya. Masyarakat didesain menjadi sosok yang tidak empati dan simpati terhadap keadaan sekitar. Budaya sosial yang sebelumnya mengakar kuat kini tergantikan budaya individualisme. Tiga permasalahan tersebut merupakan perampasan hak hidup yang paling mendasar dalam diri manusia. pemerintah seharusnya lebih peka mengahadapi realitas tersebut. Kepekaan itu harus ditunjukkan dengan keberpihakan pemerintah kota Yogyakarta dalam melindungi hak masyarakat dan menjalankan aspirasi masyarakat untuk hidup dengan kebutuhan yang terpenuhi. Harmonisasi pembangunan Pembangunan yang terbaik adalah pembangunan yang memanusiakan manusia. artinya pembangunan yang dilakukan dengan tidak serta merta mengesampingkan nilai-nilai luhur, adat, budaya serta kebutuhan masyarakat setempat. Pembangunan seperti itu bukan hanya mengukuhkan eksistensi masyarakat setempat tetapi juga memicu kreativitas masyarakat untuk berinovasi dalam memajukan diri dan lingkungannya. Pemerintah harusnya menciptakan iklim kehidupan yang sehat, yang di mana masyarakat secara suka rela membangun daerahnya dengan koordinasi dan kerjasama yang baik dengan pemerintah. Kerjasama antara pemerintah dengan pihak investor boleh saja terjadi, tetapi melalui persetujuan masyarakat. Selama ini pemerintah kota Yogyakarta tak pernah melibatkan masyarakat dalam hubungan kerjasama dengan investor. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang merupakan cita-cita luhur bangsa harus pupus lantaran kelakuan pemerintah yang masih tidak percaya terhadap kemampuan rakyat. Harapan masyarakat kota Yogyakarta sebenarnya begitu sederhana, yaitu mereka setidaknya dilibatkan dalam proses pembangunan tersebut. Pemerintah yang bijak adalah pemerintah yang mengetahui kebutuhan masyarakatnya. Pengetahuan tersebut kemudian akan menjadi landasan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
99
berbagai pembuatan program yang akan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sebelum mengeluarkan kebijakan, pemerintah harus melakukan kajian mendalam tentang kehidupan masyarakat yang akan menjadi subjek pembangunan. Pendekatan yang paling sesuai yaitu pendekatan etnografi. Melalui pendekatan etnografi, pemerintah menjadi tahu bagaiamana gaya hidup masyarakat, kehidupan masyarakat, perilaku masyarakat dan budaya masyarakat. sehingga kebijakan dan program yang dibuat pemerintah sesuai dengan kondisi masyarakat tersebut. Jika kita tarik kembali pembahasan mengenai pembangunan hotel di kot Yogyakarta yang begitu pesat, muncul pertanyaan dalam benak setiap orang. Apakah masyarakat butuh hotel? Pendekatan lain yang tak kalah penting dalam proses pembangunan yaitu pendekatan ekologis. Manusia dan alam adalah dua unsur yang tak dapat terpisahkan. Ketika alam rusak, maka akan berdampak tehadap kesejahteraan maupun kenyamanan kehidupan manusia. Dalam kasus pembangunan hotel, aparteman dan mall di kota Yogyakarta penulis menyimpulkan bahwa telah terjadinya suatu “disequiriblium” atau ketidakstabilitas antara kehidupan manusia dengan alam.10 Kondisi disequiriblium terjadinya karena kurangnya penghoramatan manusia terhadap alam dengan mengesampigkan pertimbangan etis terhadap entitas non rasional. Kasus kekurangan air, banjir, pemukiman kumuh, dan munculnya penyakit-penyakit kulit dikarenakan kondisi alam yang sudah tidak mampu menopang kehidupan yang over kapasitas. Penyenan terbesar over kapasitas tersebut disumbangkan oleh kelakuan hotel yang menyedot sumber daya yang ada tanpa mau berbagi dengan masyarakat sekitar. Pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah Yogyakarta harus lebih siaga menanggapi permasalahan lingkungan di wilayah perkotaan. Dalam pembuatan kebijakan harus ada keseimbangan antara pendekatan antroposentrisme dengan pendekatan ekologis. Teori Etika Tanah ( Land Ethic) Aldo Leopold berkontribusi besarmengkritik kebudayaan manusia yang terlampau mengedepankan kepentingannya tanpa mempertimbangkan alam.11 Perhatian terhadap alam akan menciptakankehidupan yang asri. Alam selalu memberikan yang terbaik dan gratis. Untuk itu, upaya Ʈƭ ÐŕÐŚ"÷žēdžǣ÷Ĥĸĉ÷įĸĮ÷įĸħĸĊēdžĮ÷įĊŪŕÐēŕ÷ħÐŚēĮÐįŪŚēÐð÷įĊÐįÐħÐĮǤdžÐįĊ÷ŕÐįĊ÷ħÐŤÐįdž `ÐŕġēįVēŕēƯƭƮƲNj ƮƮ ħðĸ X÷ĸŒĸħð ǘ ðÐħÐĮ ÐŕÐŚ "÷žēǙdž ǣ÷Ĥĸĉ÷įĸĮ÷įĸħĸĊēdž Į÷įĊŪŕÐē ŕ÷ħÐŚē ĮÐįŪŚēÐ ð÷įĊÐį ÐħÐĮǤdžÐįĊ÷ŕÐįĊ÷ħÐŤÐįdž`ÐŕġēįVēŕēƯƭƮƲNj
100
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
pemerintah kota Yogyakarta paling tepat untuk menyejahterakan rakyatnya adalah melalui pembangunan yang ekologis. Metode pembangunan ekologis tentu lebih mengedepankan keseimbangan ekosistem daripada membangun bangunan-bangunan beton untuk kepentingan korporasi. Kesimpulan Pembangunan fisik berupa hotel, mall dan apartement di kota Yogyakarta ternyata tidak menyejahterakan masyarakat. alih-alih peningkatan PAD hanya dijadikan kedok semata oleh pemerintah Kota dalam memuluskan perizinan bangunan. Keberadaan bangunan-bangunan tersebut justru menimbulkan perebutan hak hidup masyarakat. Air sumur kering, minimnya sinar matahari, serta terkikisnya budaya sosial masyarakat merupakan contoh dari perebutan hak hidup tersebut. Penulsi mencoba menwarkan dua pendekatan yang sesuai untuk pembangunan di Kota Yogyakarta. Pendekatan Etnografi dan pendekatan ekologis merupakan dua pendekatan khusus yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam. Dengan menggunakan pendekatan etnografi, pemerintah mdapat mengetahui keinginan masyarakat. sedangkan pendekatan ekologis menjadikan tolak ukur pemerintah untuk menciptakan sebuah kota yang sehat, bersih dan indah.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
101
Daar Pustaka Evers Dieters . 1995. sosiologi perkotaan; urbanisasi dan sengketa tanah di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: LP3ES. Setiawan Dewi . 2016. Jogja-kudune ora didol, manunggaling penguasa dan pengusaha dalam kebijakan pembangunan hotel di Yogyakarta. Jl. Tata Bumi No.5 Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta . STPN PRESS Basundoro Purnawan. 2013. Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an. Tangerang Selatan,:Marjin Kiri . Warren Roland L. 1978. the community in america (Chicago: Rand McNally College Publishing Company,) hal 21-50. Subakti Ramlan. 1996. perebutan Ruang di Perkotaan dan Pembenarannya. Prisma No. 9. Dewi Saras. 2015. ekofenomenologi, mengurai relasi manusia dengan alam. Tangerang Selatan, Marjin Kiri. Kanwil Yogyakarta, “soal izin hotel, sultan merasa ditipu” diakses dari jogja. Kemenkumham.go.id/berita-media-online/2557-soal-izin-hotelsultan-merasa-ditipu 12 Februari 2017. Ika, “ 50 Persen Wilayah Yogyakarta dan Sleman Krisis Air” diakses dari hp”//www.ugm.ac.id/id/berita/12410-50, persen.wilayah. yogyakarta.dan.sleman.krisis.air. 12 Februari 2017. BPS Kota Yogyakarta. 2015. Data olahan Statistik Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta.
102
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Ʈƭ
÷ŕ÷éŪŤÐįŪÐįĊŪéħēĤ ðÐįÐĮŒÐď®ēŚŪÐħðēVĸŤÐµĸĊƄÐĤÐŕŤÐ Muhammad Irdi | Sindy Santika Wati | Farnanda Moch. Decky Arriadi | Ia Radiatul Rahmania
R
uang publik merupakan sebuah arena yang dapat digunakan oleh masyarakat dari berbagai kalangan untuk saling berinteraksi dan melakukan suatu kegiatan. Ada beberapa tempat yang dapat dikatakan sebagai ruang publik dan sering digunakan oleh masyarakat, yaitu trotoar, jalan raya, taman, dan lain-lain. Pemerintah memiliki tugas untuk menyediakan ruang publik yang nyaman untuk digunakan, namun bukan berarti segala macam urusan yang bersangkutan dengan ruang publik adalah tanggung jawab pemerintah, tapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat. Kalau dapat kita perhatikan kondisi ruang-ruang yang ditujukan untuk publik di kota-kota Indonesia masih belum cukup baik. Banyak sekali permasalahan yang terjadi pada ruang publik, seperti penggunaan trotoar untuk berdagang PKL (Pedagang Kaki Lima), kondisi trotoar yang rusak, beralih fungsinya trotoar menjadi tempat parkir, kondisi taman-taman yang tidak terawat, permasahan sampah, dan tidak terkecuali banyaknya reklame atau iklan luar ruang dalam berbagai bentuk yang terpasang di ruang publik sehingga menggangu pemandangan dan menggangu kenyamanan. Walaupun masalah iklan luar ruang bukan masalah baru namun masih
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
103
menarik untuk dibahas mengingat belum adanya cara yang baik untuk mengatasi masalah ini dan masyarakatlah yang akan menjadi korbannya. Dalam peraturan daerah Kota Yogyakarta No 2 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan reklame, bahwa “Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum”. Yogyakarta adalah salah satu daerah yang paling banyak dikunjungi dikarenakan banyaknya tempat-tempat wisata dan budaya, dan terdapat banyak perguruan tinggi sehingga Yogyakarta menjadi salah satu daerah tujuan menuntut ilmu. Oleh karena itu permasalahan persaingan usaha pun terjadi, berbagai perusahaan berlomba-lomba dalam pemasangan iklan luar ruang, namun di kota Yogyakarta pemasanagan iklan atau rekalme diluar ruang (baliho, pster dan spanduk) cendrung kurang mengindahkan keberadaan yang sudah dipasang sebagaimana mestinya, karena sistem dan regulasi pemasangan masih kurang tertata dan masih sangat kurangnya pengawasan sehingga banyak Iklan luar ruang yang dipasang disembarang tempat seperti ditiang listrik, pohon, dan dipertigaan atau perempatan jalan sering kita temui, dan mengganggu ruang publik yang menjadi salah satu tempat untuk berinteraksi, pertemuan dan berkumpul masyarakat. Semakin banyak pemasangan iklan luar ruang menimbulkan dampak negatif yaitu berkurannya keindahan kota, merusak penataan kota dan bahkan merebut hak publik untuk menikmati suatu kota, dari permasalahan tersebut munculah istilah yang di sebut dengan Sampah Visual. Menurut koordinator Jogja Garuk Sampah, Bekti Maulana Sejak tahun 2009, justru mendapati penyumbang sampah visual terbanyak adalah kampus maupun sekolahsekolah. Sangat disayangkan mengingat Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan dan kota pelajar. Menurut Perda No 2 Tahun 2015 dalam Pasal 13 menyatakan bahwa “mendirikan reklame wajib memenuhi estetika, etika, nilai-nilai keistimewaan Yogyakarta dan keselamatan masyarakat. Penyelenggara Reklame bertanggung jawab penuh atas semua resiko yang ditimbulkan akibat penyelenggaraan reklame, semua reklame jenis papan/billboard dan
104
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
videotron/megatron wajib menggunakan ornamen, desain atau naskah reklame yang mengandung nilai-nilai keistimewaan Yogyakarta”. Penyelenggara reklame wajib memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam surat izin. Izin merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundangundangan. Izin reklame merupakan suatu alat kendali agar sesuai dengan rencana tata ruang, rasa keindahan dan ketertiban ruang. Pemerintah Yogyakarta juga memberikan sangsi dan denda terhadap pembisnis yang memasang papan reklame dan videotron, Sangsi untuk yang melanggar yaitu Peringatan tertulis, Penghentian fungsi reklame, Pencabutan izin penyelenggaraan reklame, Pembongkaran reklame, Diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (Perda No 2 Tahun 2015). Wicaksono, Susilo dan Lestari (2008) mengatakan bahwa pentingya masalah sampah visual di kota Yogyakarta karena Yogyakarta dipandang sebagai tempat yang strategis dalam melakukan kegiatan periklanan bagi seorang pengiklan dilihat dari banyak faktor seperti psikografis, geografis, maupun demografisnya. Hal tersebut mengakibatkan banyak sekali iklan dari berbagai produk maupun perusahaan yang ditempatkan di wilayah Yogyakarta khususnya pada media luar ruang. Media ini dianggap efektif untuk menarik perhatian dan memberikan informasi tentang produk yang ditawarkan kepada calon konsumen yang melewati jalan dimana iklan tersebut ditempatkan. Kurangnya pengawasaan Pemerintah Daerah hal ini lah yang menjadi penyebab mengapa di kota yoygyakarta menjadi tempat pemasangan papan rekalame menjadi tidak tertata. Hasil survey yang dilakukan dari 10 responden mengatakan bahwa sering melihat papan reklame di kota Yogyakarta baik ketika berjalan kaki maupun menggunakan kendaraan bermotor dan kebanyakan mengatakan sering melihat di pertigaan dan perempatan jalan dan juga di tembok, tiang listrik dan sebagainya. 8 dari 10 responden tersebut merasa terganggu dan tidak nyaman dengan banyaknya papan reklame karena mengganggu pemandangan, hanya sebagaian kecil yang terpasang sesuai tempatnya namun kebanyakan masih tidak di tata, kemudian 2 dari 10 responden
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
105
mengatakan biasa saja dengan melihat papan reklame dan tidak merasa terganggu. Secara keseluruhan mereka menyadari bahwa papan reklame di kota Yogyakarta setiap tahun semakin bertambah dan untuk mengatasi masalah ini semuanya diserahkan kepada pemerintah. Kalau dilihat bahwa ketika masyarakat mempercayai pemerintah untuk mengatasi masalah ini kemudian jumlah papan reklame semakin meningkat lalu apa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah kota Yogyakarta, sampai saat ini tidak ada tindakan yang berarti dari pemerintah. Dari segi isi muatan reklame memang ada dampak positifnya yaitu mendapatkan informasi, namun informasi yang penting hanya sebatas informsi pariwisata dan selebihya adalah iklan komersial bahkan informasi yang akademik sangat sulit untuk ditemui padahal Yogyakarta yang dikenal juga dengan kota pendidikan malah dikomersialkan. Lalu siapakah yang diuntunkan dari hal ini, tentu saja adalah bisnis, para pengusaha atau biro iklan dan dari survey yang dilakukan hanya 3 orang yang mengtakan pemerintahlah untung karena melihat PAD hasil pajak reklame. Pemerintah Yogyakarta seharusnya lebih mengatur lagi tentang pemasangan papan reklame, videotron, misalnya dengan menambahkan denda dan memberikan sangsi yang lebih berat terhadap yang melanggar aturan, agar kota Yogyakarta menjadi indah dan bersih, tetapi di satu sisi lain dengan adanya pemasangan papan reklame ini menjadi pajak daerah yang cukup tinggi, maka dari itu pemerintah kurang mengawasi pemasangan papan reklame yang berbentuk apapun, karena pemerintah hanya memikirkan pendapatan Daerah. Seharusnya Pemerintah jangan hanya memikirkan pendapatan daerah tetapi harus memikirkan penataan kota dan hak masyarakat untuk menikmati keindahan, kenyamanan, ketertiban kota dan memperhatikan ruang publik. Rumusan Masalah Masyarakat sebagai objek pembangunan seharusnya mendapatkan hak untuk menikmati pembangunan yang ada, ruang publik yang di buat agar masyarakat dapat beraktifitas dengan baik tanpa adanya gangguangangguan yang mengurangi kenyamanan masyarakat. Iklan luar ruang
106
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
yang menghasilkan sampah visual merupakan salah satu yang mengganggu kenyamanan masyarakat. Pemerintah memanfaatkan reklame untuk meningkatkan PAD, pasar melakukan untuk kepentingan komersial sedangkan masyarakat merasa tergganggu dan menginginkan ruang publik menjadi tempat yang netral. Kemudian yang menjadi rumusan masalah adalah Bagaimanakan perebutan ruang publik dan sampah visual di kota Yogyakarta dan siapakah yang akan menjadi pemenang atau yang diuntungkan ? Teori 1. Konsep Livable City Sekarang ini banyak masyarakat kota yang mengeluhkan ketidaknyamanan lingkungan tempat tinggal mereka. Ketidaknyamanan tersebut dapat ditemukan dalam permasalahan mulai dari masalah kemacetan, tidak terawatnya fasilitas umum dan masalah kebersihan lingkungan. Dalam kondisi seperti ini, setiap masyarakat mengiginkan sebuah kota yang nyaman dan memang layak untuk dihuni atau Livable City. Kota layak huni atau Livable City adalah dimana masyarakat dapat hidup dengan nyaman dan tenang dalam suatu kota. Kota yang layak huni adalah kota yang dapat menampung seluruh kegiatan masyarakat kota dan aman bagi seluruh masyarakat. Menurut Evan (2002), konsep Livable City digunakan untuk mewujudkan bahwa gagasan pembangunan sebagai peningkatan dalam kualitas hidup membutuhkan fisik maupun habitat sosial untuk realisasinya. Konsep Livable City sangat berkaitan dengan lingkungan. Livable City harus berkesinambungan dengan sistem ekologi dan kenyamanan hidup bagi masyarakat kota. Pemulihan ekologi dapat memperbaiki lingkungan dalam Livable City dan sustainability. Livable City harus menciptakan dan menjaga lingkungan yang bersih. Pengertian Livable City dari perspektif orang-orang adalah kota yang layak huni dimana masyarakat kota dapat mencari pekerjaan, melayani kebutuhan dasar termasuk air bersih dan sanitasi, memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak, hidup dalam komunitas yang aman dan lingkungan yang bersih. Dapat dikatakan bahwa Livable City merupakan gambaran sebuah
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
107
lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktifitas yang dilihat dari berbagai aspek, baik aspek fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang, dan lain-lain) maupun aspek non-fisik (hubungan sosial, aktivitas ekonomi, dan lain-lain). 2.
Konsep Ruang Publik
Ruang publik menurut Habermas merupakat ruang yang terpisah dari Negara dan pasar. Di ruang publik setiap warga Negara behak untuk berpendapat, berhak untuk membahas apa yang tejadi dan membentuk opini publik. Ruang publik merupakan tempat dimana warganegara dapat berunding membahas masalah hubungan mereka sehingga menjadi tempat institusi dalam berinteraksi dengan permasalahan yang berbeda-beda. Ruang publik sebagai ruang yang dimiliki bersama oleh seluruh elemen masyarakat merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan. Ruang publik memungkinkan setiap elemen masyarakat untuk berinteraksi. Keberadaan ruang publik menjadi bagian dalam membentuk karakter masyarakat, memberikan tempat bagi berubahnya peradaban yang dapat menjadi modal untuk manusia berkembang agar tercipta manusia yang produktif (Harysakti, 2013), sekaligus menjadi cerminan budaya dari suatu wilayah. Karakteristik ruang publik sebagai arena interaksi warga dan masyarakat sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kawasan perkotaan. Oleh karena itu pengelolaan ruang publik menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh para pemangku kebijakan, dan sekarang tidak sedikit pula ruang publik yang dikomersialkan. 3.
Sampah Visual
Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh Jean Baudrillard yang sangat memperhatikan terhadap perilaku konsumsi masyarakat sekarang. Sampah visual merupakan aktivitas yang dilakukan oleh para pemilik usaha yang secara berkelanjutan mempromosikan berbagai produknya melalui berbagai media, seperti banner dan spanduk di sepanjang pinggir jalan dan di televise yang kemudian menyebabkan kelelahan bagi para penglihatnya (Baudrillard dalam Harysakti, 2013). Sumbo tinarbuko juga mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh kaum kapitalis menimbulkan keresahan masyarakat kota karena mengalami ketertindasan karena kemana saja 108
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
masyarakat pergi pastikan dipaksa menyaksikan iklan yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh mereka (Harysakti, 2013). Berarti sampah visual dapat kita gambarkan sebagai reklame dan papan nama yang bertebaran di ruang publik baik itu berizin atau tidak berizin dan ditempatkan pada lokasi yang tidak semestinya. Sumbo tinarbuko seorang aktivis Reresik Sampah Visual dan Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta menuliskan dalam situs resminya penyebab munculnya sampah visual, yaitu pemerintah tidak menyusun rencana pengaturan iklan ruang, biro iklan dan tukang pasang iklan selalu mencari tempat strategis untuk menancapkan iklannya, anggota dewan terlalu lama memutuskan rancangan perda reklame, penegak hukum terkesan hanya membiarkan masalah sampah visual di ruang publik, dan masyarakat mengganggap permasalahan ini sebagai hal yang biasa saja. Sumbo juga menjelaskan mengenai lima sila sampah visual, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Iklan luar ruang tidak boleh dipasang di trotoar Iklan luar ruang tidak boleh dipasang di berbagai macam tiang Iklan luar ruang tidak boleh dilekatkan di tembok Iklan luar ruang tidak boleh dipasang di taman kota atau ruang terbuka hijau Iklan luar ruang tidak boleh dipaku, dikaitkan, atau dipasang di batang pohon.
Literature Review 1.
Penelitian dilakukan oleh Prayanto Widyo Harsanto tentang Yogyakarta Dalam Kepungan Iklan (Sebuah Kajian tentang Estetika Lingkungan) pada tahun 2015. Penelitian ini menjelaskan terhadap fenomena penelitian dengan objek material berupa iklan luar ruang di yogyakarta, maka penelitian menggunakan pendekatan estetika lingkungan-sosial dari berleant dan victor papanek. dimana estetika lingkungan-sosial adalah estetika kontekstual, berangkat dari karya seni yang terwujud dalam penciptaan karya dan diapresiasi, terkait dengan konteks lingkungan-sosial. Dalam penelitian ini melihat mengapa Yogyakarta di kepung oleh iklan-iklan luar ruang dan bagaimana sebenarnya peran pemerintah
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
109
dalam masalah ini. Memang di yogyakarta biro iklan bertumbuh subur, Yogyakarta dengan banyak predikat yaitu kota pendidikan, kota pariwisata, kota budaya, kota gudek dan lain sebagainya menarik perhatian para pengusaha teruama dibidang periklanan dan pemeritah sebagai pembuat regulasi belm mampu secara maksimal mengatasi masalah ini, hasilnya slogan jogja istimewa, jogja berhati nyaman dipertanyakana maknanya. 2.
Penelitian yang Dilakukan Hesti Rahayu tentang Komunitas Reresik Sampah Visual Membangun Kesadaran Baru Tata Visual Iklan Media Luar Griya Di Yogyakarta tahun 2014 Dalam tulisan ini melihat keresahan masyarakat akan banyaknya iklan luar ruang di Yogyakarta dan bagaimana upaya dan tindakan yang dilakukan masyarakat untuk mengembalikan ruang publik menjadi milik publik kmbali. Salah satu upaya yang dilakukan adalah adanya Komunitas Reresik Sampah Visual yang secara rutin berupaya membersihkan/mencabuti\iklan-iklan media luar griya yang tidak sesuai penempatannya dan dianggap merusak lingkungan. Penelitian ini memfokuskan pembahasannya terhadap Komunitas Reresik Sampah Visual dan upaya serta aktivitasnya dalam membangun kesadaran baru mengenai pentingnya penataan visual media luar griya di Yogyakarta. Kesadaran baru akan membentuk budaya baru, budaya yang lebih peduli terhadap lingkungan dan pada akhirnya diharapkan dapat mengembalikan estetika dan tata visual iklan media luar griya yang lebih nyaman bagi publik.
3.
Penelitian yang dilakukan oleh Aniendya Christianna tentang Desain Signage Sebagai Solusi Pencemaran Visual tahun 2011. Penelitian ini membahas representasi budaya bangsa dapat diidentifikasi melalui aspek estetika lingkungan. Salah satu unsur utama lingkungan, pada khususnya desain perkotaan yakni papan petunjuk informasi (Signage). Signage adalah bentuk komunikasi yang kini sangat dibutuhkan sebagai suatu sarana informasi. Tujuan penelitian ini adalah menemukan secara ilmiah solusi pencemaran visual, khususnya pada desain signage dimana terdapat fungsi-fungsi penting signage yang telah terabaikan.
110
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Faktor yang mendukung pencemaran visual adalah signage seperti papan penunjuk jalan, billboard, papan nama kantor/perusahaan, baliho, spanduk serta poster yang mengganggu pemandangan dan keindahan Kawasan kota, dampak yang timbul dari signage ini adalah menurunnya estetika lingkungan kota, hilangnya ke khasan kota dan mengganggu konsentrasi pengendara. Seharusnya, signage dapat menjadi sarana informasi yang melebur dengan lingkungan, tanpa mengabaikan fungsi utamanya sebagai alat komunikasi. Terkait isu pecegahan pemcemaran visual yang semakin merajalela, desainer dapat merancang desain signage dengan menyelaraskan unsur-unsur lainnya, misalkan berkaitan dengan kearifan lokal sebagai titik tolak pembentukan ekologi visual. Dengan demikian, sustainability sebuah media akan tetap terjaga. Tidak berhenti pada proses perancangan secara visual saja, signage harus dikoordinasikan dalam sebuah hierarki yang jelas. Yakni berkolaborasi dengan bidang lain yang terkait secara terkoordinasi, seperti arsitektur, tata kota, maupun interior. Temuan Sasaran penempelan papan reklame ditujukan kepada ruang publik di sepanjang Kota menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dan hal tersebut mengakibatkan adanya banyak “sampah visual” bertebaran di sepanjang taman kota, pagar, jembatan, pohon, atau bahkan ditembok bangunan sekalipun. Hal ini diperparah dengan kelakuan atau perilaku penyimpang dari berbagai pihak yang memasang papan reklame tanpa izin dan tidak bersedia membayar pajak. Pemerintah bertanggung jawab dalam pemanfaatan dan pengelolaan ruang publik serta tempat iklan, sehingga pemerintah daerah berperan dalam melakukan pembatasan-pembatasan periklanan. Identisas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban sehingga warga masyarakat berhak memperoleh pemandangan kota yang memiliki identitas budaya bernuansa tradisional di dalam kehidupan yang modern. Kota Yogyakarta merupakan tempat yang strategis dalam melakukan promosi dan kegiatan periklanan dari seorang pengiklan dilihat dari Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
111
banyaknya faktor seperti geografis dan demografisnya. Kota Yogyakarta adalah wilayah yang menjadi sasaran penempatan reklame dan ini juga berimbas di kabupaten sleman terutama di perbatasan kota Yogyakarta dan kabupaten sleman. Begitu banyaknya papan reklame yang terpasang disepanjang kanan kiri jalan, dengan banyaknya reklame yang terpasang Yogyakarta secara tidak teratur membuat pemandangan menjadi tidak beraturan, dan membuat nilai estetika kota jogja hilang dengan begitu saja. Hasil survey yang dilakukan dari 10 responden mengatakan bahwa sering melihat papan reklame di kota Yogyakarta. 8 dari 10 responden tersebut merasa terganggu dan tidak nyaman dengan banyaknya papan reklame karena mengganggu pemandangan dan kebanyakan tidak di tata dengan baik, kemudian 2 dari 10 responden mengatakan biasa saja dengan melihat papan reklame dan tidak merasa terganggu. Secara keseluruhan mereka menyadari bahwa papan reklame di kota Yogyakarta setiap tahun semakin bertambah dan untuk mengatasi masalah ini semuanya diserahkan kepada pemerintah. Kalau dilihat bahwa ketika masyarakat mempercayai pemerintah untuk mengatasi masalah ini kemudian jumlah papan reklame semakin meningkat lalu apa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah kota Yogyakarta. Dari segi isi muatan reklame memang ada dampak positifnya yaitu mendapatkan informasi, namun informasi yang penting hanya sebatas informsi pariwisata dan selebihya adalah iklan komersial bahkan informasi yang akademik sangat sulit untuk ditemui pada hal Yogyakarta yang dikenal juga dengan kota pendidikan malah dikomersialkan. Lalu siapakah yang diuntunkan dari hal ini, tentu saja adalah bisnis, para pengusaha atau biro iklan dan dari survey yang dilakukan hanya 3 orang yang mengtakan pemerintahlah untung karena melihat PAD hasil pajak reklame dan tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa masyarakat yang diuntungkan. Purwantara dan Khotimah (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa masyarakat memiliki persepsi mengenai keberadaan dari reklame belum menciptakan ketertiban kota sebesar (82%), belum menciptakan keindahan kota sebesar (78%), tidak sesuai dengan kondisi ruang publik (85%), ukuran tidak sesuai (91%), warna menarik (75%), pencahayaan menganggu (87%), intensitasnya tinggi (92%), mengganggu pemandangan
112
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
sekitar (87%), tidak sesuai dipasang di lanskap permukiman (93%), sesuai dipasang di lanskap perdagangan dan jasa (97%), dan sesuai dipasang di lanskap ruang terbuka hijau (58%). Terlebih lagi masih banyaknya reklame yang terpasang tanpa izin, izin pemasangan reklame sudah habis, dan melanggar nilai dan norma kesopanan tetap saja terpasang di sepanjang jalan protokol yang dapat menganggu tata ruang keindahan dan juga ketertiban masyarakat. Beberapa permasalahan lain yang ditemukan adalah: pertama, keberadaan iklan luar atau reklame yang terpasang tidak teratur dan mengganggu ketertiban dan kenyamanan masyrakat. Kedua, banyak pihak yang tidak bersedia membayar pajak papan reklame sesua regulasi atau aturan yang ada. Ketiga, banyak reklame yang terpasang tanpa izin, bahkan izinya sudah sampai habis (tapi masih tetap dalam keadaan terpasang, dan melanggar nilai dan norma kesopanan. Keempat, belum diketahui jelas adanya upaya dari Pemerintahan kota Yogyakarta dalam penanggulangan sampah visual padaha pemerintah kota Yogyakarta telah mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Reklame dengan tujuan untuk mengatasi masalah sampah visual. Reklame dilarang diselenggarakan pada trotoar, pada devider/median jalan, pada taman jalur hijau, pada taman kota kecuali reklame insidentil pada pergola. pada sekolah kecuali reklame insidentil, pada jembatan kecuali jembatan penyeberangan orang, dalam bentuk wall painting berupa portal atau jenis konstruksi lainnya yang memotong badan jalan, yang khusus dimaksudkan untuk penyelenggaraan reklame, dalam bentuk kain kecuali jenis reklame spanduk, umbul-umbul dan bendera, dalam bentuk reklame besar jenis papan/ billboard front light; dan menempel pada pohon, tiang listrik, tiang telepon dan rambu lalu-lintas, namun dalm pengaplikasiannya masih jauh dari harapan. Pembahasan Peran pemerintah Untuk mencapai kehidupan yang demokratis keberadaan ruang publik memang mutlak diperlukan. Ruang publik menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang dapat berupa ruang terbuka hijau publik atau ruang terbuka Non hijau publik yang secara aturan harus disediakan oleh pemerintah di dalam peruntukan lahan di kota-kota di
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
113
Indonesia. Ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi atau wahana diskrusus masyarakat. Ruang publik dapat dikatakan sebagai sebuah ekosistem yang diharapkan dapat menjadi ruang tumbuh, ruang berinteraksi dan berkembangnya masyarakat umum secara sehat, produktif demokratis. Setelah kita cermati ternyata saat ini ruang publik telah beralih fungsi menjadi iklan dan promosi. Tak jarang kita jumpai di berbagai tempat di sudut-sudut kota, ruang publik yang seharusnya menjadi ruang untuk menampung aspirasi dan kepentingan publik justru menjadi rimba raya iklan-iklan (billboard, baliho, spanduk, umbul-umbul dll). Pemerintah kota Yogyakarta sudah seharusnya memperhatikan hal ini, mengingat dari perkembangan zaman begitu meningkatnya pemasangan media luar ruang dari tahun ke tahun. Sebagai pembuat regulasi, pemerintah kota Yogyakarta telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No 2 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Reklame. Walaupun perda ini baru dan mulai penerapannya adalah bulan Mei 2016 namun besar harapan bahwa dengan adanya perda ini dapat meminimalisir dampak negatif dari pemasangan reklame. Perda ini sudah berjalan beberapa bulan dengan aturan-aturan yang ada di dalamnya, namun sejauh ini belum ada langkah pasti yang dilakukan pemerintah bahkan sebelum adanya perda No 2 tahun 2015 ini pemerintah tidak pernah menganggap ini masalah serius. Adanya reklame ini dari segi pemerintah jelas menambah PAD terutama iklan rokok dengan ukuran 4×8 meter mencapai Rp50 juta per tahun akan tetapi dalam penarikan pajak pun terdapat banyak masalah. Ditahun 2013 pendapatan dari pajak reklame di kota Yogyakarta sekitar 5 Milyar yang seharusnya kalau semua reklame bisa di tarik pajaknya, pendaptan yang di dapatkan bisa sampai 9 Milyar. Hal ini dapat dilihat bahwa kota Yogyakarta kehilangan sekitar 4 Milyar. Kepala bidang pajak dinas pajak daerah dan pengelolaan keuangan (DPDPK) mengakaui kewalahan mengatasi banyaknya pemasangan iklan liar dan susah untuk menarik pajaknya (Wicaksono, 2013). Ditahun 2014 pendapatan pajak reklame sekitar Rp5,6 Milyar (Sabadar, 2014). Dari dua tahun ini menunjukan angka yang cukup rendah dalam
114
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
pajak reklame, dan tidak sebanding dengan jumlah papan reklame yang tersebar dikota Yogyakarta. Ruang publik dikomersialkan dengan angka yang rendah dan masyarakan tidak tahu apakan uang itu akan sampai ke mereka atau tidak dan kalau di kaitkan dengan slogan Yogyakarta yaitu jogja istimewa dan jogja berhati nyaman apakah ini sudah sesuai dengan keadaan sekarang. Dilihat dari identitas Yogyakarta dengan sejumlah predikat salah satunya sebagai kota budaya dan kota pendidikan, ini menjadi pertanyaan besar ketika media luar ruang atau reklame lebih banyak digunakan untuk memfasilitasi pihak swasta atau pengusaha tertentu untuk memasangkan iklan atau mempromosikan produknya, dibanding mengangkat nilai-nilai kebudayaan dan pendidikan kota Yogyakarta. Sebenarnya inti permasalahan dari carut marut iklan luar ruangan ini bersumber pada penentuan titik penempatan dan pola pemasangan yang semerawut dan “penuh kebijakan” dengan menerapkan standar ganda. Pada poin ini, pemerintah pusat, provinsi, daerah, dan kota secara tegas harus menertibkan semrawutnya pemasangan dan penempatan iklan media luar ruang. Apalagi sudah jelas di Undang-undang No.13 tahun 2012 tentang keistimewaan Yogyakarta juga menyebutkan hal-hal tentang penataan ruang untuk mewujudkan keistimewaan Yogyakarta. Maka dari itu, sudah dalam penyusunan perda atau perdais, pemerintah Yogyakarta dan DPRD perlu meninjau kembali regulasi mengenai pengelolaan tata ruang hingga ruang publik tetap terjaga keindahanya. Sebetulnya kini hal pertama yang mendesak yang perlu dilakukan, ialah pemerintah bersama instansi terkait berani menurunkan, membongkar, dan melepaskan dan memberikan denda kepada iklan luar ruang yang menyalahi peruntukanya berdasar iklan ruang. Kedua, menerapkan sanksi dan hukuman yang sepadan bagi para pihak yang bertugas memasang reklame luar ruang apabila diketahui kedapatan melanggar aturan pemasangan. Ketiga, memberikan sanksi dan hukuman yang adil bagi biro iklan, event organizer, dan pengusaha media luar ruang. Keempat, ada keseragaman perangkat hukum dan kesamaan persepsi terkait dengan penempatan dan pemasangan reklame media luar ruang politik. Kelima, pemerintah sudah seharusnya menyiapkan tempattempat pemasangan media luar ruang di beberapa titik tertentu yang tidak mengganggu ruang terbuka hijan atau tempat-tempat umum lainya. Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
115
Peran bisnis Bagi dunia bisnis, mencari keuntungan atau profit merupakat tujuan utama dan mereka orang-orang yang cermat dalam melihat celahcelah untuk merauk keuntungan. Kota Yogyakarta sebagai ibu kota DIY dengan potensi yang dimiliki tentu akan dimanfaatkan oleh para pengusaha. Yogyakarta dengan banyaknya tempat pariwisata ini akan menjadi ladang para pengusaha untuk mencari keuntungan dengan penjualan produk yang mereka miliki, mempromosikan produk menjadi hal yang utama baik didunia maya maupun di dunia nyata. Di kehidupan sehari-hari tentu kita melihat papan reklame yang berisikan iklan komersial bertebaran di kota Yogyakarta baik yang memiliki izin maupun yang illegal. Pada pembahasan sebelumnya sudah cukup banyak menyinggung tentang dampak yang ditimbulkan dari maraknya pemasangan papan reklame di kota Yogyakarta, namun dipembahasan ini mencoba melihat dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pemasang iklan. Kalau mengacu pada peraturan yang ada di Undang-undang No.13 tahun 2012 tentang keistimewaan Yogyakarta telah menyebutkan hal-hal tentang penataan ruang untuk mewujudkan keistimewaan Yogyakarta, apakah pemasangan yang semrawut seperti itu mendukung keistimewaan. Menurut Perda No 2 Tahun 2015 dalam Pasal 13 menyatakan bahwa mendirikan reklame wajib memenuhi estetika, etika, nilai-nilai keistimewaan Yogyakarta dan keselamatan masyarakat. Semua reklame jenis papan/billboard dan videotron/megatron wajib menggunakan ornamen, desain atau naskah reklame yang mengandung nilai-nilai keistimewaan Yogyakarta. Kalau di perhatikan dengan baik tidak ada satupun yang sesuai dengan peraturan yang ada, tidak ada iklan yang dipasang mengandung unsur budaya misalnya desain dengan corak batik dan sebagainya, hanya dibeberapa video tron yang memakai desain budaya karena itu memang informasi budaya, tetapi di iklan komersial pun harun menggunakan desain budaya agar nuansa kebudayaan di Yogyakarta tidak hilang dengan sekejap. Hal seperti itu bisa dilaksanakan jika para biro iklan dan lain sebagainya harus sadar dan peduli akan lingkungan yang ada, tidak hanya mementingkan profit tetapi harus sesuai dengan aturan yang ada. Beberapa orang mengatakan bahwa reklame yang ada salah satu bentuk komunikasi, namun jika bentuk komunikasi dengan reklame yang 116
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
begitu banyak maka seperti apa yang dikatakan olehJean Baudrillard dalam rahayu (2014:13) sebagai “overload communication”. Overload communication di ruang publik inilah yang mengakibatkan terjadinya “sampah visual”. Terlebih lagi pemasangan iklan yang illegal yang biasanya di tembok, tiang listrik, di pohon. Mereka samasekali tidak peduli dengan lingkungan, dengan masyarakat yang lain, yang legal pun ketika masa izin telah selesai tidak ada yang sadar untuk langsung membokar papan reklame nya, mereka tetap membiarkan itu berlarut-larut. ini sangat menghawatirkan jika prilaku para biro iklan terus menerus seperti ini, kota Yogyakarta dengan berbagai predikat yang baik di ubah menjadi kota komersial. Peran masyarakat Dari hasil survey yang dilakukan masyarakat menyadari bahwa di kota Yogyakarta setiap tahun semakin banyak papan reklame, masyarakat menyadari dampak negatif dari reklame tersebut dan mereka menyadari bahwa masyarakat tidak diuntungkan dalam hal ini, namun mereka belum bisa melakukan apa-apa dan hanya menyerahkan kepada pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Karena berbagai masalah yang terjadi muncul beberapa komunitas yang peduli dengan berbagai macam masalah di kota Yogyakarta terutama masalah ruang public yang dijadikan sebagai arena perebutan kekuasaan yang kemudian ruang public menjadi ruang privat oleh suatu kelompok. Salah satu komunitas yang peduli dengan ruang public adalah Komunitas Reresik Sampah Visual (RSV) yang selalu membokar iklan luar luar ruang yang tidak sesuai dengan aturan. Komunitas Reresik Sampah Visual digagas dan dimotori oleh Sumbo Tinarbuko. Dosen Desain Komunikasi Visual Institut Seni Yogyakarta ini bersama para relawan yang bergabung bersamanya, mencabuti iklan-iklan yang penempatannya tidak sesuai. Dalam aksinya, Komunitas RSV memiliki prinsip dasar mengenai iklan luar ruang. Prinsip dasar ini oleh Sumbo dinamai sebagai “5 Sila Reresik Sampah Visual” yang dari penyebutannya mengingatkan kita pada “5 sila Pancasila” (Rahayu 2014:36). Isi dari 5 Sila Reresik Sampah Visual adalah sebagai berikut: 1. 2.
Iklan luar ruang tidak boleh dipasang di trotoar. Iklan luar ruang tidak boleh dipasang di taman kota atau Ruang
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
117
3. 4. 5.
Terbuka Hijau (RTH) Iklan luar ruang tidak boleh dipasang di berbagai macam tiang (listrik, telpon, dll). Iklan luar ruang tidak boleh dipasang di tembok atau bangunan heritage. Iklan luar ruang tidak boleh dipasang/diikat/dipaku di batang pohon.
Inilah bentuk kepedulian terhadap ruang public, jika masyarakat Yogyakarta bertindak seperti yang dilakukan oleh komunitas RSV bukan tidak mungkin Yogyakarta akan terbebas dari iklan luar ruang yang menggangu karna melanggar aturan, bukan tidak mungkin kalau Yogyakarta tetap mempertahanlkana sebagai kota budaya dan nilai keistimewaan tetap melekat. Namun harus butuh kekutan yang ekstra untuk menyadarkan semua masyarakat untuk peduli terhadap masalah yang ada. Pertarungan perebutan ruang publik Membahas tentang ruang publik dan sampah visual tentu akan membahas terkait dengan tata ruang dan tata ruang sendiri merupakan masalah politk yang dapat di analisis untuk melihat arah pembangunan kota. Ruang yang tersedia di Yogyakarta untuk kepentingan publik Semakin menyempit dikarenakan semakin besarnya alih fungsi ruang yang semula berfungsi sebagai ruang publik menjadi ruang yang cenderung bersifat komersial salah satunya bagi tujuan pariwisata. Hal yang dilakukan adalah dengan membuat iklan luar ruang yang pasang di berbagai sudut kota, ditempat-tempat strategis yang sering dilihat oleh masyarakat dan ditempattempat berkumpulnya masyarakat. Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata memang mendorong pertumbuhan industri pariwisata lokal termasuk menumbuhkan geliat ekonomi usaha kecil dan menengah. Akan tetapi tujuan pembangunan wisata itu menjadi berlebih-lebihan dan telah menjadikan tata ruang di Kota Yogyakarta berjalan seakan akan tidak sesuai dengan perencanaan kota yang baik khususnya yang mempertimbangkan keberadaan kota Yogyakarta sebagai‘kota budaya’ dan juga sebagai ‘kota pendidikan karena informasi-informasi yang termuat dalam iklan tersebut sangat sedikit yang bernuansa akademis, dan secara keseluruhan adalah iklan-iklan komersih oleh para pelaku bisnis. 118
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Permasalahan ruang publik tentu akan dilibatkan aktor-aktor didalamnya dan dapat dilihat adanya fenomena kontestasi, negosiasi dan konflik di perkotaan dapat dipahami sebagai bentuk hubungan dari aktoraktor penataan ruang yang meliputi pemerintah, masyarakat, dan pasar. Relasi tiga aktor ini memengaruhi praktik tata ruang. Ruang publik adalah tempat yang dapat diakses oleh semua orang oleh sebab itu, konflik dan kontestasi antar aktor dalam praktik tata ruang tidak bisa dihindari, ruang publik menjadi arena perebutan kekuasaan antara pengusaha atau sektor bisnis yang lebih mengarah kapitalis, pemerintah yang memanfaatkan sebagai peningkatan PAD dan masyarakat termaksud LSM yang menginginkan tempat yang nyaman seperti kata habermas bahwa ruang public harus terbebas dari Negara dan pasar. Pemerintah sebagai actor yang membuat regulasi berusaha sebaik mungkin untuk memfasilitasi keinginan masyarakat, PAD kota Yogyakarta dri pajak reklame di tahun 2013 sekitar 5 Milyar dan di tahun 2014 sekitar 5,6 Milyar, pendapan ini dinilai redah sehingga pemerintah menaikkan pajak reklame dengan dikeluarkannya Perda No 2 Tahun 2015 dengan harapan PAD dari pajak reklame meningkat. Namun apakah dengan menaikkan pajak reklame akan berkurannya pemasanagn reklame dan apakah pemerintah akan tegas membatasi reklame atau malah dinaikannya pajak reklame tapi tetap memberikan izin yang mudah kepada pemasang reklame sehingga PAD meningkat dan jumlah reklame tidak berkuarang, jika seperti ini berarti pemerintah menggunakan ruang public hanya untuk kepentingan PAD tanpa menghiraukan kebutuhan masyarakat. Sedangkan pihak swasta yang jelas mencari profit hanya sebagian kecil yang legal dan sesuai prosedur yang jelas dan sebagian besarnya merupakan illegal yang sembarang memasang diberbagai tempat, akhirnya ruang public menjadi ladang mereka untuk menawarkan, mempromosikan produk mereka tanpa memperdulikan aturan yang telah dibuat dan masyarakat sekitar. Kemudian dari segi masyarakat yang menginginkan ruang public benarbenar sebagai ruang yang nyaman bagi masyarakat, tempat untuk saling berinteraksi dan bertemu satu sama lain, tempat untuk membentuk opini public dan tempat benar-benar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat tanpa
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
119
adanya gangguan dari pasar dan pemerintah yang mengkomersialkan tempat mereka. Akhirnya muncul gerakan-gerakan yang menghancurkan papanpapan reklame yang tidak sesuai aturan dan menggangu kenyamanan. Kembali lagi bahwa ruang public adalah tempat umum sehingga siapapun berhak atas itu walaupun habermas mengatakan harus terbebas dari begara dan pasar, kan tetapi pemerintah yang membuat aturan terkadang tidak mendukung masyarakat dan pasarpun berhak untuk masuk dilingkungan tersebut sebab itu adalah tempat umum, dan masyarakat tetap mempertegasakan bahwa ruang ini harus benar-benar sebagai tempatnya masyakat untuk mencari ketenangan, tempat yang nyaman. Perebutan ini terus tejadi dan tidak tahu siapa yang akan menjadi penengah ketiga actor ini atau local strongman. Sebagai contoh ruang jalan yang termaksud ruang public seharusnya tidak boleh terjadi perebutan karena disitu seharusnya mengajdi tempat semua orang tanpa mengurangi hak salah satu pihak. Namun perebutan akan terjadi jika ruang jalan dijadikan barang yang dapat dijual ke siapapun. Akhir dari pertanyaan siapakah yang akan menjadi pemenang atau yang mendominasi rung public ini adalah jelas pengusaha taua dunia bisnis, karena mereka tidak memperdulikan aturan yang dibuat pemerintah dan pemerintah sendiri kwalahan mengurus reklame yang ada, merekapun tidak memperdulikan masyarakat luas satu papan reklame yang bongkar muncul reklame baru baik yang sama dengan reklame yang lam maupun reklame baru, mereka hanya memikirkan profit yang mereka dapatkan. Kemudian yang menduduki peringkat kedua adalah pemerintah dengan dalil meningkatkan PAD dan PAD tersebut dengan nilai yang kecil. Dan masyarakat merasa dirugikan dinsini tempat mereka telah dijual dan masyarakat tidak menerima penggantinya dalam hal ini penambahan ruang public yang benar-benar terbebas dari pasar. Kesimpulan Indonesia merupakan Negara berkembang yang dalam perkembangannya masih ada banyak permasalahan yang berhubungan dengan sistem dan terutama tarik-menarik kepentingan antara politik dan ekonomi. Permasalahan tata visual iklan media luar griya sendiri, berhadapan
120
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
dengan tarik-menarik kepentingan antara tuntutan atas hak warga untuk mendapatkan ruang publik yang nyaman, dengan kepentingan pemerintah daerah untuk mendapatkan pemasukan pajak reklame yang tinggi. Yogyakarta sebagai kota pendidikan, budaya, pariwisata dan predikat lainnya telah mengalami perkembangan yang pesat. Hal tersebut adapt dilihat dari maraknya pembangunan hotel, tingkat kemacetan dan semrawutnya pemasangan papan reklame yang sudah masuk kedalam kehidupan masyarakat dan telah menyerah ruang public yang membawa efek negatif pada masyarakat. Ruang public seharusnya tempat yang terpisah dari tekanan Negara dan pasar, sehingga masyarakat dapat saling bertemu satu sama lain, berinteraksi, berdiskusi dan membentuk opini public, karena ruang public dapat di akses oleh siapa saja sehingga dijadikan arena perebutan kekuasaan. Ketiga actor yang saling beragumen yaitu pemerintah, bisnis dan masyarakat untuk memenangkan perebutan ini. Pemerintah sebagai pembuat regulasi justru digunakan untuk mendapatkan PAD yang tinggi terkadang tidak pro terhadap masyarakat, dan cendrung mengabaikan kepentingan masyarakat. Bisnis sebagai yang mempunyai iklan memasang papan reklame di sembarang tempat dan tidak sesuai dengan aturan, banyaknya reklame yang illegal sehingga merusak pemandangan kota karna hanya memikirkan profit. Sedangkan masyarakat yang seharusnya menikmati ruang public justru tidak mendapatkan apa-apa. Informasi yang diberikan dari reklame hanya informasi komersial, ruang public yang semakin sempit tetap dipaksakan untuk tetap memasang reklame dan masyarakat tidak mendapatkan ruang yang baru. Namun masyarakat yang peduli terhadap lingkungan akan terus melawan demi kepentingan masyarakat seperti komunitas reresik sampah visual yang secara konsisten mengawal pertumbungan reklame di Yogyakarta, yang selalu membongkar papan-papan reklame yang dipasang tidak sesuai aturan, dan hal ini harus dibantu oleh semua elemen masyarakat agar kota Yogyakarta tetap menjadi kota yang istimewa dan berhati nyaman karena masalah ini bukan hanya kesalahan pemerintah tapi harus punya kesadaran seluruh masyarakat untuk memerangi para bisnis, biro iklan yang pernah mengikuti aturan yang seenaknya memasang reklame di sembarang tempat.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
121
"ēŒÐŚÐįĊ"ēŤēÐįĊXēŚŤŕēĤ
"ēŒ÷ŕŤēĊÐÐįġÐħÐįħ÷éēďðÐŕēƲŒÐǜ ŒÐįŕ÷ĤħÐĮ÷ð÷įĊÐįŪĤŪŕÐįé÷ŚÐŕ
"ēŒÐŚÐįĊðēŤ÷ĮŒÐŤďēġÐŪƄÐįĊĮ÷ŕŪǜ ŒÐĤÐįŒ÷ĮÐįðÐįĊÐįƄÐįĊŚ÷ġŪĤ
"ēŒÐŚÐįĊðēŤ÷įĊÐďġÐħÐįðÐįĮ÷įĊďÐǜ ħÐįĊēŒ÷ĮÐįðÐįĊÐįŒĸďĸįƄÐįĊďēġÐŪ
"ēŒ÷ŕ÷ĮŒÐŤÐįġÐħÐįħ÷éēďðÐŕēƲ ŒÐŒÐįŕ÷ĤħÐĮ÷ð÷įĊÐįŪĤŪŕÐįé÷ŚÐŕ
122
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Daar pustaka Baiquni, M. (2014). implementasi kebijakan perijinan penyelenggaraan reklame di kota Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Christianna, A. (2011). Desain Signage Sebagai Solusi Pencemaran Visual. In Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Hidup. Departemen Matakuliah Umum Universitas Kristen Petra. Harysakti, Ave. Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual Guna Menunjang Kesejahteraan Warga Kota Malang (Studi Kasus Kota Malang). Harsanto, P. W. (2015). Yogyakarta Dalam Kepungan Iklan (Sebuah Kajian tentang Estetika Lingkungan). DeKaVe, 7(2). Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia. IAP Indonesian Most Livable City Index. Presentasi IAP pada Seminar Nasional Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional “Mewujudkan Kota Masa Depan Indonesia” di Jakarta, 13 Desember 2012. Mahaswara, H. A. (2016). Menggugat Ruang Publik Melalui Gerakan Masyarakat (Studi Kasus Gerakan Warga Berdaya di Yogyakarta). Jurnal Pemikiran Sosiologi, 3(2), 26-39. Prasetyo, A. G. (2012). Menuju Demokrasi Rasional: Melacak Pemikiran Jurgen Habermas Tentang Ruang Publik. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 16(2), 169-185. Purwantara, S., & Khotimah, N. (2012).Kajian Spasial Keberadaan Reklame Luar Ruang terhadap Etika dan Estetika Ruang Publik di Kota Yogyakarta. Informasi, 2(2). Rahayu, H. (2014). Komunitas Reresik Sampah Visual: Membangun Kesadaran Baru Tata Visual Iklan Media Luar Griya Di Yogyakarta. DeKaVe, 7(1). Sabandar, S. 2015. Atasi Penurunan Pendapatan, Pemkot Naikkan Tarif Pajak. (Online). (hp://m.harianjogja.com/baca/2015/08/22/penataanreklame-atasi-penurunan-pendapatan-pemkot-naikkan-tarif-pajak635236, diakses 20 Desember 2016).
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
123
Wicaksono, P. 2013. Yogya Kehilangan Rp 4 Milyar Akibat Reklame Liar. (Online). (hp://m.tempo.co/read/news/2013/08/23/090506831/yogyakehilangan-rp-4-Milyar-akibat-reklame-liar, diakses 21 Desember 2016) Wicaksono, E, Edy Susilo, M., & Lestari , P. (2008). Iklan Luar Ruang: Antara Kepentingan Ekonomi Dengan Kepentingan Publik. Jurnal Ilmukomunikasi Terakreditasi, 6(2), 131-144.
124
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
ƮƮ
÷ŕēƌēįÐįĸĤĸ`ĸð÷ŕį ðÐįCÐŚŕÐŤV÷ÐðēħÐį+ĤĸįĸĮēðē÷ŕĤĸŤÐÐį Relsan Mandela dan Agus Andika Putra
S
alah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintah adalah memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat. Untuk itulah perumusan tentang peran pemerintah merupakan bagian yang sangat penting, karena dari sinilah bisa dipetakan fungsifungsi penyelenggaraan pemerintahan dalam pelayanan publik. Sejarah membuktikan bahwa seiring berjalannya waktu, dominasi peranan pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan pelayanan mengalami pasang surut. Otonomi daerah adalah suatu hal yang telah lama direkomendasikan oleh para akademisi di dalam forum-forum ilmiah dan didambakan oleh para praktisi dan birokrat di daerah. Otonomi Daerah yang telah lama ditunggutunggu ini, akhirnya terwujud juga dengan dikeluarkan dan diberlakukannya Undang Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah, yang kemudian diperbaharui dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 kecuali kewenangan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter dan fiskal, agama dan hukum dan peradilan. Akan tetapi sampai dengan saat ini, masyarakat sebagai penerima layanan menyimpan banyak kekecewaan yang disebabkan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
125
ternyata otonomi daerah belum dapat menjawab tantangan demokrasi dalam rangka memperbaiki kinerja pemerintah daerah, khususnya di dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pemerintah pusat sebenarnya telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam kaitannya dengan manajemen pelayanan publik. Pemerintah melalui Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara juga telah mendorong daerah untuk megembangkan kebijakan manajemen pelayanan, seperti misalnya Peraturan Daerah tentang pelayanan publik, atau Peraturan Daerah tentang standar Pelayanan Minimal termasuk perihal perizinan unit usaha baik lokal maupun nasional. Berbagai peraturan perundangan tersebut mengindikasikan bahwa Pemerintah memiliki komitmen untuk mewujudkan kinerja pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat. Akan tetapi, sebagaimana telah direview dalam berbagai penelitian dalam sub bab terdahulu, ternyata dalam realita, pelayanan publik yang baik masih sangat sulit untuk diwujudkan. Efek desentralisasi politik dan kewenangan menyebabkan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dalam rangka bertujuan untuk mesejahterakan masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib diselenggarakan oleh negara/pemerintah sebagai wujud dari kewajibannya yaitu meliputi, diantaranya: 1. 2. 3. 4. 5.
Jaminan pelaksanaan kebebasan warga negara yang berkenaan dengan pelaksanaan HAM Jaminan pelayanan keamanan dasar Jaminan kesejahteraan Jaminan meningkatkan kecerdasan Jaminan mobilitas warga negara. (Hesti Puspitosar, Khalikussabir, Luthfi J.Kurniawan, 2011)
Konsep penelitian yang digagas pada penelitian adalah merujuk kepada Jaminan mobiltas warga negara, yang didalamnya memuat Pelayanan Transportasi dan pelayanan Infrastruktur, pelayanan infratruktur adalah berupa pelayanan yang diberikan penyelenggara negara dalam memeuhi kebutuhan warga negara seperti Infratruktur tempat tinggal, pusat perbelajaan, pusat hiburan, tempat beribadah.
126
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Peneltian ini mencoba memfokuskan pada Penyediaan dan pelayanan infrastruktur dibidang Pusat perbelajaan. Pada era globalisasi kebutuhan dan mobilisasi masyarakat indonesia tidak dapat dimungkiri semakin tinggi, terkhusus pada kota-kota besar yang ada di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makasar. Yogyakarta merupakan satu dari sekian banyak daerah yang menyandang gelar sebagai daerah pelajar dan daerah pariwisata. Berdasarkan data yang diliris oleh Kementrian pendidikan Republik Indonesia tahun 2013 jumlah universtias di Yogjakarta 26 universitas yang tersebar diderah Yogyakarta. (BAN-PT, 2015). Ini merupakan satu indikasi bahwa Yogjakarta meupakan kota yang menjadi destinasi kunjungan belajar yang berasal dari seluruh Indonesia maka tidak salah jika Yogjakarta disebut sebagai miniatur Indonesia. Sedangkan menurut data yang dirilis oleh dinas kebudayaan dan pariwisata Yogjakarta jumlah wisatawan yang berkunjung ke Yogjakarta pada tahun 2007 adalah sebanyak 1.260.658 orang, kemudian dalam jangka waktu 4 tahun yakni pada tahun 2011 terjadi lonjakan wisatawan sebesar 112 % yang total wisatawan yang berkunjung adalah sebanyak 2.670.469 orang. Dengan banyaknya arus perpindahan penduduk menuju Yogjakarta maka akan berbanding lurus dengan jumlah infratruktur yang menunjang dalam bidang kebutuhan dan ekonomi. Terkhusus pada kota Yogjakarta yang merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian yang menyebabkan semakin banyak jumlah investasi yang bermunculan, seperti banyaknya usaha-usaha toko modern, swalayan, hotel, apartemen dan perumahan. Mobilisasi yang tinggi menciptakan suasana bahwa harus ada pelayanan publik yang mampu melayani masyarkat kota Yogjakarta selama 24 jam baik dalam bidang pemenuhan kebutuhan. Kemudian ini yang memunculkan suatu peluang investasi berupa pendirian toko modern dan swalayan yang menganut asas pelayanan prima, palayanan tak berbatas waktu, dan pelayanan yang dekat dengan pelanggan. Definisi toko modern dalam Perpres No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, memberikan batasan pasar tradisional dan toko modern dalam pasal 1 sebagai berikut: Toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk Perkulakan. Batasan Toko Modern ini dipertegas di pasal 3, dalam hal luas lantai penjualan Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
127
sebagai berikut: a) Minimarket, kurang dari 400 m2 (empat ratus meter per segi); b) Supermarket, 400 m2 (empat ratusmeter per segi) sampai dengan 5.000 m2 (lima ribu meter per segi); c) Hypermarket, diatas 5.000 m2 (lima ribu meter per segi); d) Department Store, diatas 400 m2 (empat ratus meter per segi); e) Perkulakan, diatas 5.000 m2 (lima ribu meter per segi). Berdasarkan klasifikasinya ada tiga jenis ritel modern: minimarket, supermarket, dan hypermarket, mempunyai karakteristik yang sama dalam model penjualan, yaitu dilakukan secara eceran langsung pada konsumen akhir dengan cara swalayan, artinya pembeli mengambil sendiri barang dari rak-rak dagangan dan membayar di kasir. Dengan sistem demikian akan memunculkan pelayanan yang efisien dan praktis yang ditawarkan oleh toko modern, sifat pelayanan praktis, cepat dan efisien akan sangat baik jika di hadapkan dengan kondisi masyarkat yang meiliki mobilisasi yang tinggi sepeeti masyarkat kota jogjkarta. Berdasarkan paparan diatas , mengenai budaya konsumsi masyarakat perkotaan khususnya kota Yogjakarta dan efisiensi pelayaanan dalam pemenuhan kebutuhan oleh sebab itu pemerintah kota Yogjakarta melalui dinas perizinan kota Yogjakarta melakukan sebuah inovasi dalam memberikan sebuah pelayanan yaitu membentuk unit pelayanan terpadu satu atap (UPTSA) Pada awal tahun 2000 melalui keputusan walikota Yogyakarta NO 01/2000 yang mulai oprasional sejak januari 2000 (mualidin, 2012). Atas inovasi yang dilakukan oleh dinas perizinan kota Yogjakarta telah banyak mendapatkan peghargaan , dianatara adalah 1. 2.
Penghargaan dari ketua “BKPM INVESMENT AWARDS” (pelayanan perijinan yang mendukung investasi) Tahun 2007 Penghargaan dari menteri pendayagunaan aparatur negara “CITRA PELAYANAN PRIMA” (kinerja pelayanan publik) Tahun 2008
Berkat inovasi dari dinas perizinan kota Yogyakarta memberikan dampak pada suburnya pertumbuhan toko modern di kota Yogyakarta Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian (Disprindagkoptan) dan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, sampai dengan tahun 2013 terdapat 75 minimarket (52 diantaranya berbentuk waralaba) dan 14 supermarket. 128
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Seiring berjalannya waktu perkembangan Toko modern tersebut dinilai menimbulkan kritik dan opini tentang dampak negatif dari menjamurnya Toko-toko modern Tersebut. Sehingga untuk menata dan menekan semakin banyaknya pembangunan toko-toko modern baru, Pemerintah Kota Yogjakarta mengeluarkan Peraturan Wali Kota Yogyakarta No 79 tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket merupakan salah satu bentuk kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam menata keberadaan usaha waralaba minimarket. Tujuan utama dari pembatasan usaha waralaba minimarket adalah dalam rangka melindungi Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Kota Yogyakarta. Kebijakan penataan usaha waralaba salah satunya adalah dengan cara membatasi jumlah minimarket berjejaring yang ada di kota Yogyakarta sebagaimana yang dituangkan dalam Peraturan Walikota Yogyakarta No. 79 tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket di Kota Yogyakarta. Peraturan ini merupakan salah satu bentuk regulasi dari Pemerintah Kota Yogyakarta dalam penataan usaha waralaba minimarket. Jika disinkronkan dengan PERWAL yang ada, Kuota Toko modern di Kota Yogyakarta sudah tercukupi pada tahun 2009 yaitu sebanyak 52 Toko Modern, sehingga pemerintah tidak akan memberikan izin bagi minimarket lagi (Natalia, 2015). Akan tetapi fakta dilapangan yang dikutip dari krjogja. com 11/12/2015 masi ditemukan sebanyak 11 toko jejaring yang baru berdiri (Danar, 2015) hal tersebut tentu melanggar moratorium yang telah dibuat oleh pemerintah kota Yogyakarta mengenai izin mendirikan Toko modern. Melihat permasalahan tersebut kelompok kami tertarik melakukan mini riset tentang “Analisa Pelayanan Publik dalam izin Mendirikan Bangunan di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta (Kasus: Izin Usaha Toko Modern). Paper ini akan mengkaji bagaimana pelayanan perizinan di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta tentang izin usaha toko modern (IUTM) dan agaimana implementasi Perwal No 79 tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket di Kota Yogyakarta. Definisi Minimarket dan Pengecer (retail) Di kehidupan modern masyarakat saat ini kebutuhan primer atau pangan semakin dibutuhkan walaupun apa yang ingin dicari tersebut
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
129
hanyalah berupa makanan ringan. Pada era sebelumnya untuk mendapatkan kebutuhan makanan ringan tersebut atau bahkan keperluan sehari-hari masyarakat perlu bepergian ke pasar tradisional atau bahkan ke supermarket yang persebarannya tidak banyak di kota. Dalam definisinya minimarket adalah toko atau swalayan kecil yang menjual sebgaian besar barangbarang kebutuhan sehari-hari yang dibutuhkan oleh konsumen dengan luasan radius sales area antara 100 hingga 1000m2 (Sujana, 2005). Minimarket sebagai perana kebutuhan masyarakat sehari-hari menjadi tempat belanja favorit masyarakat yang ingin belanja ringan tetapi tidak perlu pergi jauh seperti ke supermarket. Pada era modern kini sudah mulai banyak tumbuh minimarket-minimarket modern yang sudah menyediakan fasilitas yang memadai guna memanjakan konsumennya. Minimarket dapat dikatakan merupakan bagian dari pengecer. Definisi dari pengecer tersebut adalah semua kegiatan yang melibatkan penjualan barang dan jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi bukan untuk bisnis (Kotler, 2005). Pengecer menghimpun barang-barang yang dibutuhkan konsumen dari berbagai macam sumber dan tempat, sehingga memungkinkan konsumen untuk membeli beraneka macam barang dalam jumlah kecil dengan harga yang terjangkau. 1.
2.
3.
Menurut Kotler (2005) retailing adalah Penjualan barang secara eceran yang meliputi semua aktivitas penjualan barang ataupun jasa pada konsumen akhir yang bersifat pribadi. Menurut Sujana (2005) retailing adalah penghimpun barang-barang yang dibutuhkan oleh konsumen akhir, sehingga konsumen akan menjadikan toko retail sebagai tempat untuk mendapatkan barang kebutuhannya. Menurut Utami (2010) retailing adalah perangkat dari suatu aktivitas bisnis yang melakukan penjualan barang-barang maupun jasa kepada konsumen akhir untuk penggunaan konsumsi perseorangan maupun keluarga.
Berdasarkan definisi pengecer tersebut terdapat beberapa bentuk dari pengecer diantaranya adalah : 1.
130
Toko khusus ( Speciality Store) Toko yang hanya menjual barangbarang khusus atau satu jenis produk pada dagangannya contoh yang
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
2.
3.
4.
dapat kita lihat di Indonesia adalah clothing store atau toko baju merk tersendiri seperti “Lea jeans”. Toko Serba Ada (Departmen store) Toko yang menjual beberapa produk di dalam usahanya dan barang yang dijual bersifat umum seperti perabotan rumah tangga, kebutuhan rumah sehari-hari. Minimarket Toko yang menjual kebutuhan masyarakat sehari-hari seperti makanan ringan, alat mandi, dan lain-lain namun dalam skala usaha yang kecil serta persebaran toko yang mendekati pemukiman warga. Toko Swalayan (Supermarket) Sama seperti minimarket namun supermarket memiliki skala usaha yang besar dan letaknya berada di keramaian kota, seperti di dalam mall atau mendekati perkantoran. Barang yang dijual di supermarket meliputi kebutuhan masyarakat sehari-hari seperti makanan, perabotan rumah, alat mandi, alat tulis, dan lain-lain. Minimarket mempunyai jenis usaha dalam pengelolaan perusahaannya.
Terdapat 2 jenis usaha yang biasa ada di kalangan masyarkat diantaranya adalah usaha minimarket yang bersifat Waralaba atau Franchising, dan usaha minimarket yang bersifat regular atau milik perusahaan tertentu tidak bekerja sama dengan perseorangan. Waralaba (franchising) adalah suatu pengaturan bisnis dimana sebuah perusahaan pewaralaba (franchisor) memberi hak kepada pihak independent terwaralaba (franchisee) untuk menjual produk atau jasa perusahaan tersebut dengan peraturan yang ditetapkan pewaralaba. Waralaba merupakan cara memperluas jaringan usaha dengan menjual merek disertai konsep yang standar atau baku dalam menjalankan usaha yang sama untuk semua terwaralaba. Dalam waralaba, biasanya disertai kewajiban membayar sejumlah dana kepada pewaralaba yang dinamakan initial franchise fee dan royalti atau bagian keuntungan. Waralaba menggunakan nama, goodwill, produk dan jasa, prosedur pemasaran, keahlian, sistem prosedur operasional dan fasilitas penunjang dari perusahaan pewaralaba. Sebagai imbalan terwaralaba membayar initial fee dan royalty (biaya pelayanan manajemen) kepada perusahaan pewaralaba seperti yang diatur dalam perjanjian waralaba (franchise agreement). Sebuah paket waralaba yang baik mampu membuat seseorang
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
131
yang tepat bisa mengoperasikan sebuah bisnis dengan sukses, bahkan tanpa pengetahuan sebelumnya tentang bisnis tersebut. Menurut pasal 1 Peraturan Menteri Perdagangan RI No.12/MDAG/PER/3/2006 tanggal 29 Maret 2006 memberikan pengertian tentang waralaba sebagai berikut: Waralaba (franchise) adalah perikatan antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dimana penerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh pemberi waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Konsep Pelayanan Publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Dinas Perizinan Kota Yogyakarata Sebagai salah satu instansi yang memberikan pelayanan publik pada masyarakat dalam bentuk pelayanan yang berupa pengeluaran perizinan, yang pada penelitian ini difokuskan pada perizinan usaha toko modern atau disingkat menjadi IUTM menggunakan paradigma pelayanan New public service (NPS). Konsep ini merupakan sebuah jawaban atas kritik dari Old public management dan New public management yang terlalau hierarkis dan meminimalisir peran negara yang digantikan dengan swasta. New public service merupakan paradigma baru yang berjalan atas katerlibatan masyarakat dan pemerintah. NPS sendiri di yakini sebagai sintesis antara tesis OPA anti-tesis NPM dan kemudian NPS sebagai sintesisnya. Dalam paradigma NPS ini, peran atau keterlibatan pihak privat sangat terbatas/sangat di batasi namun tidak dihilangkan. Konsep dasarnya menggunakan teori demokrasi sehingga peran pemerintah lebih kepada melayani warga negara secara adil, transparan, efektif dan efisien. New Public Service Memandang publik sebagai ‘citizen’ atau warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban publik yang sama. Tidak Hanya sebagai customer yang dilihat dari kemampuannya membeli atau membayar produk atau jasa. Citizen adalah penerima dan pengguna pelayanan publik yang disediakan pemerintah dan sekaligus juga subyek dari
132
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
berbagai kewajiban publik seperti mematuhi peraturan perundang-undangan, membayar pajak, membela Negara, dan sebagainya. New Public Service Melihat publik sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban dalam komunitas yang lebih luas. Adanya unsur paksaan dalam mematuhi kewajiban publik menjadikan relasi Negara dan publik tidak bersifat sukarela. Karena itu, abdi negara tidak hanya responsif terhadap ‘customer’, tapi juga fokus pada pemenuhan hak-hak publik serta upaya membangun hubungan kepercayaan (trust) dan kolaborasi dengan warga negara. New public service menggunakan teori organisasi humanis dan administrasi negara baru; administrasi negara harus fokus pada organisasi yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan (human beings) dan respon terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan isu-isu sosial lainnya. New Public Service memunculkan paradigam baru dalam adminstrasi publik menyebabkan pola hubungan antara negara dengan masyarakat, yang lebih menekankan kepada kepentingan masyarakat. Akibatnya negara dituntut untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan lebih baik dan lebih demokratis. Pemahaman yang senada diberikan oleh Denhardt bahwa paradigma baru pelayanan publik (New Public Services Paradigm) lebih diarahkan pada democracy, pride and citizen. Lebih lanjut dikatakan bahwa, ‘public servants do not delever customer service, they delever democracy’. Oleh sebab itu nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan pelayanan untuk kepentingan publik harus dipandang sebagai norma mendasar dalam penyelenggaraan administrasi publik. Gagasan Denhardt & Denhardt tentang Pelayanan Publik Baru (PPB) menegaskan bahwa pemerintah seharusnya tidak dijalankan seperti layaknya sebuah perusahaan tetapi melayani masyarakat secara demokratis, adil, merata, tidak diskriminatif, jujur dan akuntabel. Kemudian NPS menghadirkan suatu paradigama dikalangan aparatur negara bahwa memeberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat adalah hal yang wajib bagi pemerintah atau pemberi layanan. Indikasi diatas jelas mengemukakan bahwa pemerintah dalam hal ini selaku pemberi layanan tidak menempatkan diri pada posisi atasan atau bawahan dan juga tidak menempatkan diri sebagai pihak yang mengedepankan keuntungan dalam pemberian layanan, sehingga paradigma NPS tidak memisahkan antara politik dan administrasi yang memunculkan perumusan Kepentingan Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
133
publik sepenuhnya menjadi monopoli wakil rakyat atau pemimpin politik namun paradigm ini menawarkan konsep bahwa pemerintah sebagai pemeberi layanan ditempatkan sebagai pihak yang memfasilitasi, melayani dan mengartikulasikan keinginan publik dan publik menjadi pihak yang menentukan dan menilai kebutuhan serta kinerja pemberi layanan. Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa NPS tidak serta merta melepaskan pihak swasta atau meniadakan pihak swasta, namun dalam paradigama NPS pihak swasta ditujukan untuk menjadi salah satu faktor penunjang keberhasilan dalam pelayanan, sehingga salah satu ciri dalam NPS adalah kerjasama melalaui jaringan kerja atau networking (saptawan, 2009). Konsep kerjasama ini ditujukan untuk memenuhi krteria dalam pelayanan publik paradigm NPS yakni kemudahan atau accesbility. Berikut ciri paradigam NPS dalam pelayanan publik: =ĸįðÐŚēǜĉĸįðÐŚēŤ÷ĸŕēŕēŤēŚðÐį ÷ĸŕē ð÷ĮĸĤŕÐŚēdž Œ÷įð÷ĤÐŤÐįǜŒ÷įð÷ĤÐŤÐį ƄÐįĊ é÷ŕŽÐŕēÐŚē ÷ŒēŚŤ÷ĮĸħĸĊēŚ Ĥ÷ŒÐðÐŒ÷įĊ÷ŤÐďŪÐįŤ÷ŕĮÐŚŪĤŒĸŚēŤēĉdžēįŤ÷ŕŒŕ÷ŤēŽ÷džðÐįĤŕēŤēŚNj ÷ŕÐįŒ÷Į÷ŕēįŤÐď
`÷ħÐƄÐįē ǘé÷ŕį÷ĊĸŚēÐŚē ðÐį Į÷Į÷ðēÐŚē Ĥ÷Œ÷įŤēįĊÐįǜ Ĥ÷Œ÷įŤēįĊÐį ðēĤÐħÐįĊÐį žÐŕĊÐ į÷ĊÐŕÐ ðÐį Ĥ÷ħĸĮŒĸĤǜ Ĥ÷ħĸĮŒĸĤ ĤĸĮŪįēŤÐŚdž Į÷įêēŒŤÐĤÐį įēħÐēǜįēħÐē ƄÐįĊ ðēÐįŪŤ é÷ŕŚÐĮÐNj
V÷ŒÐðÐŚēЌЌ÷ħÐƄÐįÐį
÷ħŪŕŪďžÐŕĊÐį÷ĊÐŕÐŚ÷êÐŕÐÐðēħ
ŒŪéħēĤðēŤŪġŪĤÐį
`÷ĤÐįēŚĮ÷ǜĮ÷ĤÐįēŚĮ÷ŪįŤŪĤ `÷ĮéÐįĊŪį ĤĸÐħēŚēǜĤĸÐħēŚē ŒŪéħēĤdž įēŕħÐéÐdž ðÐį ħ÷ĮéÐĊÐǜ Į÷įêÐŒÐēŚÐŚÐŕÐįǜŚÐŕÐį ħ÷ĮéÐĊÐŚžÐŚŤÐŪįŤŪĤĮ÷Į÷įŪďēĤ÷éŪŤŪďÐįǜĤ÷éŪŤŪďÐįƄÐįĊ Ĥ÷éēġÐĤÐį
ðēŚ÷ŒÐĤÐŤēé÷ŕŚÐĮÐNj
Sumber: Janet V. denhardt and Robert B. denhardt 2003 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa NPS merupakan paradigma manajemen public yang memprioritaskan pelayanan/service kepada warga negara tanpa diskriminasi apapun dan menempatkan pelayanan sebagai kewajiban bagi peerintah dalam rangka menajmin hak-hak warga negara dalam bernegara. Dari konsep NPS dan ciri-ciri NPS peneliti menyandingkan dengan realitas konsep yang dijalankan oleh dinas perizinan kota Jogjakarta dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik memiliki suatu kesaamaan dan relasi antara paradigm NPS dan konsep pelayanan yang diberikan oleh dinas perizinan kota Jogjakarta. Konsep tersebut berupa pertama keterlibatan 134
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan penilaian kinerja dari aparatur pelayanan yang terdapat di dinas perizinan kota Jogjakarta dengan diadakannya proses penilaian oleh masyarakat atau warga negara yang telah merasakan pelayanan dinas perizinan dalam pembuatan izin. Hal ini dilihat pada dinas perizinan kota Jogjakarta yakni adanya survey berupa kuesioner yang ditujukan kepada warga negara yang membuat dokumen perizinan di dinas perizinan kota Jogjakarta. Survey berupa kuesioner ini mulanya mengunakan cara lama, yakni dengan membagikan pertanyaan survey yang berbentuk selembaran kertas yang didalamnya memuat pertanyaan-pertanyan terkait dengan pelayanan yang diberikan dan indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan. Namun seiring berjalannya teknologi dinas perizinan kota Jogjakarta telah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai alat untuk mengetahui indeks kepuasan masyarakat dan proses keterlibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan , berdasarkan hasil kuesioner ini dinas perizinan kota Jogjakarta menjadikannya sebagai bahan dasar dalam proses evaluasi dan pembuatan kebijakan , bentuk ini merupakan bentuk dari NPS yakni keterlibatan dan keaktifaaktifan warga negara dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu ini menunjukkan bahwa dinas perizinan kota Jogjakarta membuka ruang demokrasi seluas-luasnya bagi warga negara atau masyarakat dalam rangka akuntabilitas, transparasi dan monitoring dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Keterlibatan masyarakat menjadi hal yang dikedepankan oleh dinas perizinan kota Jogjakarta dalam rangak perbaikan dan peningkatan pelayanan publik karena dinas Yogyakarta meyakini bahwa pelayanan publik kepada masyarakat hanya dapat dinilai keberhasilan atau kegagalannya oleh masyarakat itu sendiri bukan oleh penyedia layanan. Seperti hasil wawanacara peneliti dengan kepala bidang regulasi dan pengembangan kinerja dinas perizinan kota Jogjakarta yakni Gatot Sudarmono: “kita dalam memberikan pelayanan kepada masyrakat tidak dapat bersifat statis dan harus dinamis, sehingga menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dengan adayanya keterlibatan masyaraka dari masyarakat itu memudahkan dinas perizinan melakukan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
135
inovasi, oleh karena itu pada setiap pengguna layanan diwajibkan untuk mengisi indeks kepuasan masyakat pada tahap ini masyarakat diperkenankan memeberikan saran, masukan dan kritik terhadap pelayanan yang diberikan sekecil apapun kritik dan saran yang diberikan oleh masyarakat akan diperhatikan dengan harapan untuk memperbaiki kinerja instansi kami” Konsep lain yang diadopsi oleh dinas peizinan kota jogajakarta adalah bentuk kerjasama dengan pihak lain dalam ranga mensukseskan pelayanan publik yang prima terhadap masyarakat. Konsep ini dituangkan dalam pemberian sarana berupa fasilitas foto copy yang berada didalam gedung dinas perizinan dengan bekerja sama dengan pihak koperasi yang bertujuan memudahkan masyarakat ketika masyarakat menbutuhkan fasilitas penggandaan dokumen tidak perlu keluar dari gedung dinas perizinan kemudian terdapatnya salah satu bank dalam gedung dinas perizinan yang ditujakan untuk menghindari resiko masyarakat mendapatkan biayabiaya pungutan liar diluar. Ini menunjukkan bahwa dinas perizinan tidak menghilangkan komponen dan peran pihak lain baik itu swasta ataupun instansi lain dalam rangak menunjang pelayanan publik yang prima, justru dinas perizinan Jogjakarta memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk membantu dinas perizinan jogajakarta dalam mekanisme pelayanan publik. Seperti kutipan hasil waanacara peneliti pada kepala bidang regulasi dan pengembangan kinerja dinas perizinan Kota Yogjakarta : “koperasi itu hanya bentuk kerja sama seperti disini ada fotocopy, bank, itu adalah bentuk kerjasama supaya kebutuhan masyarakat saat mengurus izin jika mau fotocopy tidak perlu pergi keluar. Ini adalah salah satu bentuk pelayanan juga bagi masyarakat. Disini juga ada bank yang berguna untuk kalo masyarakat mau mengurus izin bisa bayar kebank jadi menghindari resiko pungutan pungutan biaya lainnya. Disini juga ada CCTV untuk keamamanan.” Konsep terakhir yang di adopsi oleh Dinas Perizinan adalah berupa keluarnya komitmen penyedia pelayanan dalam memberikan pelayanan yang baik bagi warga negara atau masyarakat yaitu adanya sebuah Maklumat Pelayanan yang di buat oleh Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta dan disepakati oleh seluruh aparatur sipil negara yang berada di dinas perizinan 136
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
yang berisi sebagai berikut: “Dengan ini, kami menyatakan sanggup menyelenggarakan pelayanan sesuai standar pelayanan publik (SPP) penyelenggaraan perizinan pada dinas perizinan kota Yogyakarta yang telah ditetapkan, dan apabila tidak menepati janji ini, kami siap menerima sanksi sesuai pearaturan perundang-undangan yang berlaku. Dan bertekad melayani masyarakat dengan Mudah, Cepat, Pasti, Transparan Adil dan Akuntabel.” Dari isi maklumat peneliti menilai bahwa ada penerapan konsep dan ciriciri dari paradigma New Public Service (NPS) yaitu, pola pikir dari penyedia pelayanan bahwa memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat adalah hal yang wajib bagi pemerintah. Dan akuntabilitas, transparansi mengiringi responsibilitas pemerintah dalam pelayanan publik. Dan dengan adanya sebuah maklumat ini penyedia layanan akan selalu memberikan pelayanan yang terbaik dalam memberikan pelayanan perizinan kepada warga negara atau masyarakat, karena kepuasan masyarakat atau warga negara adalah hal yang sangat penting dalam melihat keberhasilan dari pelayanan yang dijalankan. Inovasi Pelayanan Publik di Dinas Kota Yogyakarta a. Pelayanan Satu pintu Penerapan pelayanan satu pintu adalah amanat dari keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 63 Tahun 2003, dimana di dalam keputusan menteri pendayagunaan apartur sipil tertera untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik memiliki 4 pola yaitu : 1) 2)
3)
Fungsional, yaitu pola pelayanan publik oleh penyelenggara pelayanan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya. Terpusat, yaitu pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggaan pelayanan terkait lainnya yang bersa ngkutan. Terpadu. a. Terpadu Satu Atap, merupakan pola pelayanan yang pelayanannya diselenggarakan dalam satu atap atau satu tempat yang meliputi
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
137
4)
berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu. b. Terpadu Satu Pintu, merupakan pola pelayanan yang pelayanannya diselenggarakan dalam satu atap atau satu tempat, yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu. Gugus Tugas, adalah petugas pelayanan publik secara perorangan atau dalam bentuk gugus tugas yang ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan
Berangkat dari keputusan menteri pendayagunaan aparatur negara tersebut makan pemerintah kota Jogjakarta khususnya Di dinas perizinan kota yogyakarta dalam menyelenggarakan pelayanan publik kepada masyarakat memilih untuk menggunakan pola terpadu satu pintu atau biasa disebut pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) , Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat penyelenggaraan pelayanan, proses pelayanan satu pintu merupakan bentuk penyederhanaan kinerja organisasi, yang selama ini menjadi patologi birokrasi. Miah thoha (2002) dalam bukunya birokrasi pemerintah dan kekuasaan di Indonesia menyatakan bahwa perilaku klasik pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat adalah perilaku arogan pejabat pemerintah, dan kantor pemerintah dijadikan “simbol kekuasaan” yang mengaharuskan rakyat untuk tunduk dan patuh kepada simbol kekuasaan tersebut, rakyat dipaksa untuk menunggu dan menikmati antri panjang serta dipenuhi ketidakpastian dalam mendapatkan haknya untuk mendapatkan pelayanan. Hadirnya pelayanan satu pintu dimaksudkan untuk menjawab apa yang menjadi kritik yang disampaikan oleh miah thoha terhadap pelayanan publik di Indonesia, yang kemudian seiring berjalannya waktu muncul pelayanan online yang memanfaatkan sistem informatika sebagai bentuk pemerintah telah menganut asas e-government. Pelayanan satu pintu ini membuat pelayanan yang di berikan kepada masayarakat lebih mudah, efisien dan efektif. Dalam membuat atau mengurus perizinan masyarakat bisa di selesaikan di satu tempat. Hal ini merupakan 138
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
suatu tuntutan dari zaman yang semakin berkembang, zaman globalisasi memaksa pemerintah kota Jogjakarta melakukan inovasi pelayanan satu pintu dengan maksud dan tujuan untuk mengakomodir kepentingan dan mobilitas yang cukup tinggi dari masyarakat kota Jogjakarta dalam proses pengurusan perizinan. Sebab Organisasi yang efektif adalah organisasi yang mempunyai orientasi dan proyeksi dalam mengimplementasikan seluruh program kerja yang telah ditetapkan. Upaya mengevaluasi jalannya suatu organisasi, dapat dilakukan melalui konsep efektivitas. Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar presentase target yang dicapai makin tinggi efektifitasnya. Sedangkan efektivitas pelayanan publik berarti penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditentukan, artinya pelaksanaan sesuatu tugas dinilai baik atau tidak sangat tergantung pada penyelesaian tugas tersebut dengan waktu yang telah ditetapkan. (Sondang P. Siagian, 1997:151) Inovasi selanjutnya yang dilakukan dinas perizinan kota yogyakarta adalah pembukaan Gerai investasi. Gerai investasi merupakan suatu tempat yang menyediakan data dan potensi investasi di yogyakarta, sekaligus kejelasan dan kepastian mengenai informasi penanaman modal, dan pemberian advis planning, yaitu layanan untuk memberikan informasi dan masukan terkait izin mendirikan bangunan (IMB) yang sesuai dengan dokumen perencanaan kota yogyakarta. Gerai investasi juga menghadirkan petugas penghubung, yaitu karyawan dinas perizinan yang bertugas untuk memberikan informasi kepada pemohon izin berkaitan dengan proses yang telah materi izin yang diajukan oleh pemohon. Pada prosesnya gerai investasi merupkan salah satu bentuk keterbukaan informasi pelayanan, kebutuhan akan informasi pelayanan yang menyebabkan dinas perizinan mengimplementasikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Berdasarkan realita yang ada penulis mendapat suatu keterkaitan antara keterbukaan informasi publik dengan pelayanan publik yang berorientasi pada masyarakat yakni untuk mewujudkan pelayanan yang berorientasi pada kepuasan masyarakat mengacu kepada kepastian layanan dan keterbukaan informasi pelayanan yang dimaksudkan agar masyarakat
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
139
selaku penerima layanan memiliki pengetahuan akan informasi pelayanan yang akan didapat, kemudian dengan pahamnya masyarakat dengan proses pelayanan yang akan diterima maka secara otomatis masyarakat yang menerima layanan tidak dapat dibohongi dengan petugas pelayanan yang tidak jujur, dan pada tujuan akhirnya adalah menciptakan pelayanan publik yang bersifat E-government dengan menempakan asas kepuasan masyarakat merupakan keberhasilan dalam proses penyelenggraan pelayanan publik. Klinik pelayanan perizinan adalah suatu inovasi yang dilakukan oleh dinas perizinan kota yogyakarta untuk menjembatani masyarakat yang akan melakukan pemohonan perizinan, khususnya yang terkait dengan permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) dan Izin Gangguan/ Hinder Ordinate (HO). KLIPPER merupakan lembaga Fungsional yang langsung dikoordinasikan oleh kepala Dinas Perizinan dengan personil pejabat struktural dan staf yang dipandang mampu mengundang instansi/ SKPD lain guna memberikan saran atau masukan terkait materi izin yang di ajukan oleh pemohon. Hadirnya KLIPPER merupakan bentuk komitmen yang di propagandakan oleh dinas perizinan yakni “memberikan pelayanan prima terhadap masyarakat” , salah satu inovasi berupa KLIPPER merupakan suatu bentuk kemudahan dalam proses pengurusan izin untuk konteks IMB dan HO , pengalaman mengajarkan bahwa pengurusan IMB dan HO pada tahun sebelum-sebelumnya memakan waktu yang lama dan panjang serta melelahkan sehingga jawaban untuk menjawab kritikan yang disampaikan kepada dinas perizinan hadirnya KLIPPER yang merupakan satu rangakian dengan PTSP dan gerai investasi.selain itu, Dinas perizinan kota yogyakarta juga membuka perizinan online melalui website. Inovasi ini untuk memudahkan dan membantu para calon pemohon izin untuk memperoleh berbagai informasi seputar layanan perizinan. Di website ini tersedia formulir pendaaran, syarat pembuatan izin, dan prosedurprosedur pelayanan perizinan. Pemanfaatan TI selanjutnya adalah berkutat pada pengukuran indeks kepuasan masyarakat dalam menerima pelayanan, dinas perizinan kota Yogyakarta dalam pengukuran indek kepuasan masyarakat (IKM) tidak lagi berbasis manual dengan menempatkan tim yang khusus untuk melakukan proses monitoring dan evaluasi dengan menyebar kuesioner indeks kepuasan masyarakat kepada masyarakat yang menerima pelayanan di dinas perizinan 140
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
namun untuk mengakomodir bentuk monitoring dan evaluasi yang diberikan masyarakat lewat IKM dinas perizinan memberikan sebuah terobosan pemanfaatan TI dengan pengisian IKM melalui sistem aplikasi yang dimuat dalam layar monitor yang ditempatkan di tempat pengurusan surat-suart perizinan dan pada saat masyarakat telah menerima pelayanan masyarakat diminta untuk mengisi formulir indek kepuasan masyarakat. Terobasan ini memiliki keuntungan lebih dibandingkan dengan pendahulunya yang mengisi IKM dengan cara yang manual, dengan pengisian IKM bersifat online dan terpadu serta terhubung oleh sistem pegawai atau petugas pelayanan tidak memiliki kesempatan untuk memanipulasi data kuesioner. Implementasi pelayanan Izin Toko Modern Dinas perizinan sebagai salah satu SKPD penyelenggara pelayanan publik pada pemerintah kota yogyakarta di bidang perizinan, sehingga dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintah yang baik, dan guna mewujudkan kepastian, kesamaan, keseimbangan hak dan kewajiban berbagai pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan perizinan, maka dinas perizinan melakukan sebuah inovasi dalam melakukan pelayanan perizinan yaitu pelayanan satu pintu dengan pelayanan satu pintu ini maka proses perizinan yang diberikan akan lebih efektif dan efisien. Proses pelayanan izin toko modern di dinas perizinan kota yogyakarta pada umumnya memilki kesamaan dengan jenis-jenis pelayanan perizinan lainnya dimana untuk melakukan atau mengurus perizinan pihak investor ataupun masyarakat harus mengambil syarat-syarat untuk melakukan perizinan syarat-syarat dari semua jenis perizinan yang ada di dinas perizinan bisa di dapatkan melalui website dinas perizinan dan di kantor dinas perizinan kota yogyakarta. Dalam pemberian izin usaha toko modern dinas perizinan berpedoman kepada beberapa peraturan yang mengatur tentang izin usaha toko modern diantaranya adalah sebagai berikut : 1. 2.
Peraturan presiden No 12 Tahun 2007 tentang pembinaan dan pendirian pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern Peraturan menteri perdagangan RI No 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang pedoman penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
141
3.
perbelanjaan dan Toko Modern Keputusan kepala dinas perizinan Kota Yogyakarta Nomor 46/ KEP/DIZIN/2011 tentang penetapan bentuk format dan isi formulir permohonan, keputusan izin, surat izin, dan tanda daar.
Hal diatas peneliti mendapatkan informasi dari wawancara dengan perwakilan dinas perizinan, kutipan wawancara tersebut adalah sebagai berikut : “Kalo yang pertama UTM untuk perizinan kami masih melaksakan pada PEPPRES no 12 tahun 2007, PERMEN Perdagangan no 53 tahun 2008 dan keputusan kepala dinas nomor 46 tahun 2011.” Pelayanan izin toko modern di dinas perizinan kota Yogyakarta mempunyai mekanisme dan prosedur sebagamana bagani berikut ini:
Keterangan bagan : 1. Pemohon datang ke dinas perizinan dan membawa berkas pemohon lengkap dengan persyaratannya 2. Pendaaran permohonandan penyerahan tanda bukti pendaaran kepada pemohon 3. pemeriksaan berkas/dokumen kelengkapan dan kebenarannya 4. Jika berkas/dokumen pemohon tidak lengkap dan benar, maka
142
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
5.
pemohon akan ditolak dengan diterbitkan surat penolakan dan surat dikirim/disampaikan kepada pemohon Jika berkas/dokumen permohonan lengkap dan benar, maka permohonan akan diproses lebih lanjut sampai ditetapkan surat keputusan pemberian izin usaha toko modern (IUTM) oleh kepala dinas dan pemberitahuan kepada pemohon untuk mengambil izin Penyerahan blanko kuisioner IKM untuk diisi oleh pemohon. Selanjutnya petugas diloket pengambilan dan IKM menyerahkan izin kepada pemohon.
Kemudian persyaratan-persyaratan dalam melakukan perizinan izin usaha toko modern (IUTM) di kota yogyakarta memilki beberapa syarat sebagai berikut : 1.
2.
Mengisi formulir permohonan dengan lengkap persyaratannya adalah sebagai berikut: a. Fotocopy KTP pemohon/penenggungjawab yang masih berlaku b. Hasil analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat serta rekomendasi dari SKPD yang berwenang bagi yang akan mendirikan baru/ pindah, kecuali minimarket c. Rencana kemitraan dengan UMKM yang disetujui SKPD berwenang, kecuali minimarket d. Fotocopy izin gangguan e. Fotocopy akta pendirian perusahaan dan pengusahanya, apabila perusahaan berbentuk badan Persyaratan IUTM yang terintegrasi dengan pusat perbelanjaan melampirkan dokumen : a. Fotocopy pemohon/penanggungjawab yang masih berlaku b. Hasil analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat serta rekomendasi dari SKPD yang berwenang bagi yang akan mendirikan baru/ pindah c. Fotocopy IUPP atau bangunan lainnya tempat berdirinya toko modern d. Fotocopy izin gangguan e. Rencana kemitraan dengan UMKM yang disetuji oleh SKPD yang berwenang
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
143
Dalam memberikan izin pendirian usaha toko modern ini dinas perizinan kota yogyakarta hanya membutuhkan waktu Tiga hari dalam menerbitka izin, proses pemberian ini dapat digolongkan sangat cepat hal ini disebabkan adanya pelayanan satu pintu, jadi proses perizinan ini bisa diselesaikan hanya di dinas perizinan. Dan dalam melakukan perizinan pendirian usaha toko modern sesuai dengan keputusan kepala dinas no 49 tahun 2013 pemohon tidak di kenakan biaya atau tarif retribusi. Pemohon diberi jaminan pelayanan, jaminan pelayanan tersebut adalah sebagai berikut : 1.
2. 3.
Diwujudkan dengan adanya kepastian persyaratan, waktu proses, biaya, prosedur, dan didukung oleh SDM yang berkompeten dibidang tugasnya Adanya jaminan bebas dari praktek KKN Apabila izin jadi, pemohon akan dihubungi langsung lewat telpon
Dalam praktiknya banyak sekali mekanisme yang dipangkas dan akhir-akhir ini terbongkar setelah gerakan masyarakat yang peduli ini mulai difasilitasi oleh Lembaga Ombudsman dan juga LHKP PW Muhammadiyah DIY. Selain itu juga akibat keberanian publik melaporkan berbagai praktik menerabas regulasi di Kota Yogyakarta khususnya dan DIY pada umumnya. Impelementasi Perwal No 79 tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket di Kota Yogyakarta Seiring berjalannya waktu perkembangan Toko modern di kota Yogyakarta dinilai menimbulkan kritik dan opini tentang dampak negatif dari menjamurnya Toko-toko modern Tersebut. Sehingga untuk menata dan menekan semakin banyaknya pembangunan toko-toko modern baru, Pemerintah Kota Jogjakarta mengeluarkan Peraturan Wali Kota Yogyakarta No 79 tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket, Perwal ini merupakan salah satu bentuk kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam menata keberadaan usaha waralaba minimarket. Tujuan utama dari pembatasan usaha waralaba minimarket adalah dalam rangka melindungi Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Kota Yogyakarta agar tidak tergerus oleh hegimoni TMB yang semakin tidak dapat dibendung. Kebijakan 144
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
penataan usaha waralaba/ minimarket salah satunya adalah dengan cara membatasi jumlah minimarket berjejaring yang ada di kota Yogyakarta sebagaimana yang dituangkan dalam Peraturan Walikota Yogyakarta No. 79 tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket di Kota Yogyakarta. Peraturan ini merupakan salah satu bentuk regulasi dari Pemerintah Kota Yogyakarta dalam penataan usaha waralaba minimarket. Kuota Toko modern di Kota Yogyakarta sudah tercukupi pada tahun 2009 yaitu sebanyak 52 Toko Modern, sehingga pemerintah tidak akan memberikan izin bagi minimarket lagi (Natalia, 2015). Akan tetapi fakta dilapangan yang dikutip dari krjogja.com 11/12/2015 masih ditemukan sebanyak 11 toko jejaring yang baru berdiri (Danar, 2015) hal tersebut tentu melanggar moratorium yang telah dibuat oleh pemerintah kota yogyakarta. Peraturan walikota no 79 tahun 2010 tentang pembantasan usaha waralaba minimarket di kota yogyakarta di fokuskan untuk memperketat aturan tentang usaha toko modern yang melanggar perbatasan dengan pasar tradisional, kemudian dengan adanya perwal ini toko modern diharapkan tidak mengganggu aktivitas dari pasar tradisional, hal-hal yang di atur dalam perwal ini perwal adalah : 1. 2. 3.
Adanya ketentuan tentang adanya pembatasan jarak antara pasar tradisional dengan toko modern yaitu 400 meter, kemudian adanya ada kuota dari masing-masing wilayah kecamatan. kemudian jika ada pergeseran hal ini masih diperbolehkan jika tempat yang dibuat toko modern bermasalah dan di pindahkan ketempat yang di perbolehkan.
Analisis diatas peneliti bersumber dari wawancara mendalam dengan perwakilan dinas perizinan kutipan wawancara tersebut adalah sebagai berikut: “Kalo regulasi dari perwal ini implementasinya kami konsisten, jadi dengan adanya pembatasan jarak 400 meter dari pasar tradisional, kemudian ada kuota dari masing-masing wilayah kecamatan, kemudian juga disamping kuota ada luas luas pemasarannya dipentingkan, dan disini yang di atur oleh perwal. Pertama untuk kuota sampai saat ini sudah penuh, sehingga dengan sendirinya sudah tidak ada peluang untuk mendirikan UTM yang baru khususnya Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
145
untuk yang mini market, Cuma kalo nanti istilahnya ada pergeseran pergeseran itu masih memungkinkan misalkan dari kemaren tempat yang dilarang pindah ke tempat yang diperbolehkan sepanjang kuotanya tidak membludak.” Perizinan pendirian usaha toko modern di kota yogyakarta di batasi hanya pada toko modern yang bersifat francase, jadi yang dilarang didirikan di kota yogyakarta pada saat ini adalah toko modern frencase muaralaba atau anak cabang dari perusahaan besar, kemudian toko yang bersifat modern tetapi di dirikan oleh masyarakat atau pengusaha lokal di perbolehkan, ini sesuai dengan tujuan dari munculnya perwal no 79 tahun 2010 ini yaitu untuk meningkatkan usaha mikro kecil dan menengah di kota Yogyakarta. Sebagai contoh dari usaha toko yang bersifat modern adalah Pamela, toko pamela ini tidak termasuk muaralaba akan tetapi termasuk kepada usaha lokal. Analisis diatas peneliti bersumber dari wawancara mendalam dengan perwakilan dinas perizinan kutipan wawancara tersebut adalah sebagai berikut: “Jadi mungkin pertama kaitannya dengan dimungkinkannya muncul toko modern, toko modern yang tidak diperkenankan disini adalah yang frencester mas tapi itu ketika masih masyarakat penjenangan biasa katakan mendirikan toko modern kan boleh. Jadi yang dilarang itu yang sifatnya francester muaralaba atau anak cabang perusahaan dari perusahaan yang besar. Justru yang yang digerakkan itu adalah bagaimana masyarakat-masyarakat yang UMKM itu bisa membangun yang hanya toko menjadi modern itu tidak di batasi. Seperti pamela dikatakan itu tidak dibatasi karena mereka bukan muaralaba dan mereka termasuk usaha local.” Dari penjelasan di atas terlihat jelas bagaimana sebenarnya Perwal nomor 79 tahun 2010 bertujuan untuk meningkatkan geliat perekonomian local dengan menekan jumlah toko modern berjejaring di Kota Yogyakarta , di dalam Perwal ini juga mengatur jumlah barang hasil produsen local Yogyakarta agar bisa menjual barangnya di TMB, tetapi msih banyak ditemukan lubang-lubang kecil dalam Perwal no 79 tahun 2010 yang kemudian dimanupulasi oleh pemilk usaha TMB dalam mendapatkan izin, 146
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
seperti halnya mengklamufase toko modern berjejejaring dengan bekerja sama dengan masyarakat local, seakan-akan toko tersebut milik masyarakat tetapi ketika ditilik ke dalam barang-barang yang dijual di dalamnya adalah barang dengan brand francase. Hal tersebut disadari betul oleh Dinas perizinan selaku instansi yang memberikan izin pendirian toko modern di Kota Yogyakarta masih banyak manipulasi yang ditemukan di lapangan seperti melakukan penyuapan kepada masyarakat agar mau menandatangani bentuk kerja sama dengan toko modern, hal-hal yang demikianlah yang membuat masih banyak ditemukannya toko modern berjejaring berkedok toko lokal di kota Yogyakarta. Dinas perizinan tidak dpat menindak lanjuti kasus seperti itu karena sudah mendapat dukungan dari masyrakat yang melakukan kerja sama tersebut. Hal ini kemudian dalam jangka panjang akan memicu gap keadilan ekonomi sebagaimana ungkapan seorang narasumber berikut: Jadi itukan pandainya pengusaha, jadi pengusaha itu akan melihat celah, celah yang di mungkinkan bisa di siasati sehingga mereka bisa melakuakan kegiatan, bisa saja sifatnya frences atau anak cabang tapi izinnya itu diatas namakan penduduk lokal. Kemudian mengkamuflase, izinnya itu sebenernya bukan muaralaba tapi mereka eksennya menjadi muaralaba atau toko modern dalam tanda kutip itu adalah pengusaha itu mengsiasati atau mengambil celah dari regulasi dari dalam bentuk barang. Kalo kaitannya dengan izin ketika itu bener-bener sebagai toko modern yang sifatnya frences itu kita tetep berpedoman dengan perwal 79 tapi kadang kadang tadi pada saat izin itu tertibkan itu tidak termasuk dalam kategori toko modern atau frences tapi kondisi rillnya nanti ketika itu berdiri itu frences bisa saja mengkamoflase, klo frencer itukan klo brand brandnya itu jelas, tapi kadang kdang mereka itu brandnya di hilangkan tapi sistemnya masuk sama itukan kadang kadang ya tadi kita kan dari sisi regulasi tidak ada yang sempurna sehingga dengan adanya celah celah itu dimanfaatkan oleh pengusaha.ini merusak rasa keadilan. Semakin banyaknya toko modern berjejring saat ini temuan kami di lapangan yang mencengangkan adalah bagaimana proses izin pendiriannya tidak mewajibkan pengusaha untuk melakukan kajian dampak sosial
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
147
dengan masyarakat sekitar, sehingga tidak jarang terjadi gesekan-gesekan dengan masyarakat yang kontra, jika dicermati mutlak hukumnya apaila toko modern ini mendirikan usaha baru haruslah melakukan kajian yang mendalam terhadap dampak-dampak yang meugikan masyarakat. Celah ke dua yang dilakukan oleh pengusaha adalah ketika mendirikan perusahaan baru dalam konteks ini adalah TMB mereka memanipulasi nama toko yang baru dengan tidak mengatasnamakan TMB, semisal mengkosongkan nama TMB atau merubah nama TMB menjadi nama lain, yang melatar belakangi kecurangan ini karena dalam perwal no 79 tahun 2010 masih ditemukan makna multi tafsir dalam bebrapa pasal seperti pasal 2 tentang ruang lingkup sebagaimana pasal 2 Ruang lingkup dalam Peraturan Walikota ini mengatur mengenai: a.
b.
usaha waralaba yang berbentuk minimarket dengan sistem pelayanan mandiri, menjual secara eceran berbagai jenis barang kebutuhan seharihari. anak cabang perusahaan yang menjual secara eceran berbagai jenis barang kebutuhan seharihari dengan menggunakan nama atau merk yang sama yang merupakan kerjasama langsung sebagai jejaring usaha dengan perusahaan besar yang berskala nasional. merupakan kerjasama langsung sebagai jejaring usaha dengan perusahaan besar yang berskala nasional.
Dalam pasal tersebut yang dilarang pembangunan toko modern baru setelah tahun 2009 adalah Toko Modern yang berbentuk waralaba yang merupakan anak cabang perusahaan dengan menggunakan merk yang sama yang merupakan kerja sama langsung sebgai jejaring usaha dengan perusahaan besar berskla nasional, sehingga pasal ini masih fleksibel untuk dimanupulasi seperti temuan dilapangan banyak ditemukan toko modern yang kemudian tidak menyertakan nama tokonya atau mengganti nama toko menjadi nama baru, sehingga hal yang seperti ini belum dapat ditindak lanjuti oleh Dinas Perizinan. Kesimpulan Pada bagian terkahir dalam penelitian Analisa pelayanan publik dalam izin mendirikan bangunan di dinas perizinan Kota Yogyakarta (Studi kasus
148
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
: Izin Usaha Toko Modern) penulis dapat memberikan beberapa kesimpulan terkait dengan fokus penelitian kali ini, kesimpulan yang penulis dapat sampaikan adalah dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dinas perizinan kota Yogyakarta mengguakan paradigma pelayanan New public Service (NPS) alasan utama penulis mengkategorikan kedalam golongan NPS karena dinas perizinan kota yogyakarta menempatkan masyarakat selaku penerima layanan sebagai sebagai warga negara yang harus dipenuhi haknya dalam mendapatkan pelayanan. Alasan kedua dalam asas NPS dijelaskan bahwa NPS tidak menempatkan pemerintah atau pemberi layanan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sedangkan masyarakat sebagai bawahan namun konsep NPS menawarkan kesetaraan diantara keduanya yang membedakan adalah tugas dan fungsinya jika pemerintah memliki tugas dan fungsi memberikan pelayanan masyarakat makan tugas dan fungsi masyarakat adalah mengontrol pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Alasan terkahir adalah dalam konsep NPS tidak meninggalkan bentuk kerjasama dengan pihak ketiga, karena dalam paradigma NPS keberhasilan pelayanan melibatkan juga networking dan kerjasama dengan pihak lain. Poin berikutnya adalah mengenai pengimplementasian E-Government dalam proses pelayanan publik, jika dilihat dari pengertian E-government adalah penggunaan Teknologi informasi dalam urusan-urusan pemerintah untuk mewujudkan good governance seperti pada penlitian ini dalam proses pemberian pelayanan publik dinas perizinan kota Yogyakarta menggunakan sistem informasi dalam melakukan pelayanan yang berupa IKM online, perizinan online, dan SMS getaway untuk proses monitoring dan aspirasi masyarakat kepada dinas perizinan kota Yogyakarta. Terkahir, penulis dapat menyimpulkan pada konteks implementasi Peraturan walikota nomor 79 tahun 2010 tentang pembatasan Usaha Waralaba Minimarket di Kota Yogyakarta sudah diimpelemnetsikan dengan baik. Dengan bukti tidak diterbitkannya lagi surat perizinan toko modern berjejaring sejak tahun 2012, namun pada PERWAL 79/2010 tersebut memiliki celah yang dapat dimanfaatkan oleh pengusaha-pengusaha waralaba berjejaring, celah yang dimaksud adalah dengan cara mengkamuflase izin mendirikan toko modern dengan mengatasnamakan warga local kota Yogyakarta. Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
149
Daar Pustaka Hesti Puspitosar, Khalikussabir, Luthfi J.Kurniawan. (2011). Filosofi Pelayanan Publik. Malang: Setara Press. Mualidin, i. (2012). implementasi reformasi organisasi perizinan kota yogyakarta. ilmu sosial dan politik , 246-255. BAN-PT. (2015). BAN-PT Universitas Terbaik Di Yogyakarta by : Universty Rangking’s. Retrieved maret 8, 2016, from www.BAN-PT-Universitas. com: www.BAN-PT-Universitas.com/2015/02/Daar-Universitasterbaik-di-Yogyakarta-Indonesia Danar. (2015, desember 11). Tahun depan regulasi tko modern “berbeda”. Retrieved maret 8, 2016, from krjogja.com: www.krjogja.com/web/ news/read/283978/tahun-depan-regulasi-toko-modern-berbeda Natalia, M. D. (2015, Agustus 29). Mini Market Tak Berizin Bertambah. Retrieved Maret 8, 2016, from www.harianjogja.com: www. harianjogja.com/baca/2015/08/29/toko-modern-jogja-minimarkettak-berizin-bertambah-637498
150
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
ƮƯ
TĸĊġÐjŕÐ"ēðĸħDž `÷įĊ÷ĮéÐħēĤÐįGð÷įŤēŤÐŚTĸĊġÐ `÷ħÐħŪēĤŤēŽēŚĮ÷ĸŚēÐħ Wahyudi Akmaliah
P
erdebatan internet sebagai bagian dari aktivisme dan bagaimana media baru tersebut digunakan secara efektif dalam gerakan politik sudah dilakukan sejak tahun 1990-an (Best and Kellner, 2001; Couldry and Curran, 2003). Salah satu gerakan sosial yang sukses dalam menggunakan internet tersebut adalah gerakan orang-orang asli EZLN Zaptista di Chiapas Meksiko. Selain menguatkan gerakan akar rumput, mereka menggunakan media baru tersebut secara sinergis untuk menarik perhatian dunia (Khan dan Kellner, 2004: 87). Dalam konteks Indonesia, gerakan sosial dalam upaya menjatuhkan rejim Orde Baru juga menggunakan internet, khususnya surat elektronik (e-mail). Melalui surat elektronik ini kelompok aktivis, mahasiswa, dan buruh mendapatkan asupan amunisi dari George Junus Aditjondro (saat itu pengajar Univeristas Newcastle, Australia) untuk menguatkan gerakan perlawanan terhadap rejim Orde Baru. Surat itu berisi dokumen dan analisis korupsi kepresidenan yang dilakukan oleh rejim Orde Baru. Di sini, mereka mendapatkan berita dan informasi melalui kehadiran warnet mulai berkembang sekitar awal tahun 1996 (Lim, 2005 & 2006; Hill & Sen 2005). Namun, kehadiran internet dengan produk ikutannya, yaitu media sosial (facebook, twier, line, path, instagram, youtube, dan blog) dalam
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
151
media baru tersebut mengubah tesis tersebut. Di sini, internet tidak lagi sebagai pendukung dan menjadi bagian dari gerakan sosial, melainkan justru dianggap sebagai faktor utama mengapa perubahan itu bisa terjadi, dengan adanya keterlibatan anggota masyarakat, perdebatan politik, dan pertukaran ide yang memungkinkan terjadinya perubahan dalam institusi demokrasi (Kamarck and Nye 1999; Rheingold 2002; Kahn and Kellner 2004; Shirky 2011). Gerakan sosial dan perubahan masyarakat yang terjadi di Timur Tengah, dikenal dengan Arab Spring, menjadi faktor penguat hal tersebut. Dalam konteks Indonesia, Coin for Prita dan Cicak versus Buaya merupakan dua kasus yang dijadikan contoh mengenai kekuatan utama media sosial (Putut EA, 2010: Priyono, Hamid, Obrigadoz dan Ariane, 2014). Meskipun media baru menjadi pendorong kuat terjadinya revolusi dan perubahan masyarakat, tapi apakah benar dengan membagi status facebook atau cuitan twier (ngetwi) hal itu bisa terjadi? Di sini Gladwell (2010) meragukan hal tersebut. Dalam media media sosial seperti Twier, orang yang mengikuti (follow) dan menjadi pengikut (followers) ataupun teman facebook seringkali orang tidak mengenal satu sama lain secara nyata. Akibatnya, sebagaimana ditegaskan oleh Galdwell (2010) ikatan solidaritas dalam media sosial tidak sekuat persahabatan di dunia nyata. Ketiadaan struktur secara hierarkis dengan implikasi prosedur yang dimiliki layaknya sebuah organisasi, hal itu tidak terjadi di media sosial yang memiliki sifat interaktif dan juga adanya hubungan yang setara (equal). Dampaknya, tidak ada otoritas sentral yang menentukan dan mengkordinasi gerakan. Di satu sisi, di tengah lemahnya solidaritas karena minimnya ikatan persahabatan dan emosi tersebut, aktivisme dengan resiko tinggi (high-risk activism) dalam melakukan gerakan sosial menjadi suatu hal yang dihindari oleh banyak orang untuk menanggung resiko dan mengorbankan diri mereka. Bagi kelompok ini (Morozov 2009; Shulman 2009), partisipasi publik melalui aktivisme online di dalam sistem demokrasi modern dianggap gagal dalam melakukan transformasi dalam masyarakat. Mereka kemudian mengkritik kelompok pertama tersebut sebagai slackactivism (aktivisme pemalas), clickactivism (aktivisme klik), armchairsm activism (aktivisme tempat duduk), dan keyboard activism (aktivisme di depan keyboard) (Liem, 2013: 2). Di tengah dua kubu dalam melihat media baru tersebut, Merlyna Lim mencoba menengahi kedua kubu tersebut di tengah simplikasi argumen 152
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
yang dikemukakan. Lim melihat lebih detail mengenai faktor-faktor apa saja yang memungkinkan gerakan sosial atau perubahan masyarakat bisa terjadi dan kompleksitas ikutan yang muncul dalam faktor tersebut. Menurutnya, interaksi organis antara teknologi, sosial, politik, hubungan struktur turut berpengaruh terhadap tingkat kegagalan ataupun kesuksesan gerakan sosial. Hal ini dijelaskan oleh Lim saat menganalisis 4 kasus yang menggunakan aktivisme online, yaitu kasus Coin for Prita, Cicak Versus Buaya, Dukungan terhadap pengungsi Ahmadiyah, dan Lupur Lapindo. Selain kuatnya politik simbol dan representasi (Prita mewakili kebanyakan ibu-ibu di Indonesia dan KPK mewakili supremasi hukum di Indonesia), ia melihat bahwa kesuksesan Coin for Prita dan Cicak Versus Buaya dalam kasus KPK dengan Kepolisian Indonesia disebabkan oleh minimnya resiko ideologi yang coba diusung dengan narasi populer yang diinisiatian oleh masyarakat (Liem, 2013: 9-11). Sementara mengapa Ahmadiyah dan Lumpur Lapindo gagal disebabkan oleh setidaknya tiga faktor. Pertama, dua isu tersebut bukan bagian dari isu masyarakat urban yang memiliki akses terhadap media sosial, melainkan justru di wilayah pedesaan, di mana banyak terdapat kelompok miskin. Kedua, tidak adanya amplifikasi dari media nasional untuk meliput kedua isu tersebut. Apalagi PT. Lapindo Brantas itu milik Aburizal Bakri yang juga pemilik utama TV One. Ketiga, khusus Ahmadiyah, lebih merepresentasikan kelompok Muslim minoritas ketimbang suara mayoritas Muslim Indonesia bermazhab Sunni. Keraguan teologi Ahmadiyah terkait proses kenabian Ghulam Ahmad membuat solidaritas terhadap kekerasan dan pengusiran kepada mereka membuat solidaritas masyarakat semakin lemah (Liem, 2013: 12-15) . Kendati demikian, Lym tidak menjelaskan dan menganalisis lebih jauh konteks lokal dari aktivisme online tersebut, yang justru mempengaruhi sejauhmana gerakan sosial itu diwacanakan dan kemudian digerakkan secara praksis serta persoalan utama yang dihadapi oleh kelompok-kelompok tersebut. Mengisi kekosongan analisis Liem tersebut, artikel ini melihat bagaimana konteks lokal dalam aktivisme online di tengah oligarki politik dengan mengangkat Jogja Ora Didol (JOD) sebagai studi kasus. JOD sendiri adalah gerakan sosial yang dilakukan oleh pelbagai komunitas dengan beragam latarbelakang untuk menyuarakan kepedulian terkait dengan masuknya investasi ekonomi yang direpresentasikan dengan kemunculan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
153
maraknya hotel, apartemen, dan toko waralaba yang telah mengubah wajah Jogja. Sementara Jogja diandaikan dan dibayangkan tumbuh dan berkembang seiring dengan menjaga tradisi dan kebudayaan sebagai bagian dari warisan Kerajaan Mataram Islam terbesar di nusantara. Sebagai wilayah urban dan salah satu pengguna terbanyak dalam mengakses media sosial di Indonesia, gerakan JOD ini berhasil dalam membangun imajinasi kolektif terkait dengan persoalan Jogja, tetapi tidak mampu mempengaruhi kebijakan publik. Dengan demikian, wilayah urban dan akses internet sebagai salah satu faktor utama keberhasilan gerakan aktivisme online, sebagaimana dikemukakan oleh Liem (2013), tidak cukup untuk menjelaskan tingkat keberhasilan aktivisme online tersebut. Jogja sebagai Magnit Bagi banyak orang, khususnya yang pernah tinggal untuk studi, Jogja bukan sekedar sebuah tempat, melainkan ingatan personal dan kolektif yang kuat. Selain keramahan kota, ikatan persahabatan, kedekatan geograpis, murahnya biaya hidup menjadi faktor utama mengapa Jogja membentuk ingatan tersebut. Di sisi lain, relatif lengkapnya fasilitas memenuhi kebutuhan gaya hidup, kuatnya kebudayaan jawa dengan nuansa Keraton Jogja, dan hidupnya kantong-kantong kebudayaan dan pengetahuan yang diisi oleh pelbagai komunitas dengan ragam hobi serta kepentingan, baik yang berada di kampus, ornop, maupun rumah yang disewa oleh organisasi ekstra kampus memperkuat ikatan tersebut. Meskipun demikian, faktor kenangan terhadap orang yang pernah dicintai, pernah menjalin kasih, dan kemudian menjadi pasangan hidup menjadi faktor utama lain yang membuat orang memiliki ikatan emosional terhadap Jogja. Bahkan, meskipun mereka sudah selesai menjalankan jenjang studinya, ada banyak orang memilih tinggal dan kemudian menetap di Jogja.1 Ʈ VĸįðēŚēēįēðēĊÐĮéÐŕĤÐįêŪĤŪŒéÐēĤĸħ÷ďŕĮÐį"ÐįēǘƯƭƮƱǙƄÐįĊĮ÷ħēďÐŤĤĸŤÐŤ÷ŕŚ÷éŪŤŚ÷ǜ éÐĊÐē ǣTĸĊġÐ ÷ŕďÐŤē `ÐįŤÐįǤNj ÷éÐĊÐēĮÐįÐ ðēŪįĊĤÐŒĤÐįįƄÐdž ǣNjNjNjNjNjNjNjNjNjNjX÷éēď ðÐŕē ēŤŪdž ĤĸŤÐ ēįē ÐðÐħÐď Ť÷ĮŒÐŤ ðē ĮÐįÐ Ś÷ŤēÐŒ Ĥ÷įÐįĊÐį é÷ŕĮŪÐŕÐ ðÐį é÷ŕŪġŪįĊ ďÐŕŪNj÷įŤŪ ŚÐġÐ Ť÷ŕħÐħŪ éÐįƄÐĤďÐħŚ÷įŤēĮ÷įŤēħƄÐįĊéēŚÐĤēŤÐĊÐħēðÐŕēTĸĊġÐNj÷Œ÷ŕŤēĤ÷ďēħÐįĊÐįŤ÷ĮÐįĤÐŕ÷įÐðēŤēǜ ĤŪįĊdžĤ÷ďēħÐįĊÐįĮĸŤĸŕĤÐŕ÷įÐðēŤēŒŪŤ÷ĮÐįĉÐê÷éĸĸĤdžÐŤÐŪéÐďĤÐįĤ÷ďēħÐįĊÐįÐĤÐħŚ÷ďÐŤ ĤÐŕ÷įÐé÷ŕĊÐéŪįĊð÷įĊÐįĸŕĊÐįēŚÐŚēĉÐŚēŚĤ÷ÐĊÐĮÐÐįNjÐŒēƄÐįĊĮ÷ĮéŪÐŤTĸĊġÐġÐðēēŚŤēĮ÷ǜ žÐdžŚ÷ħÐēįďēŒďĸŒðÐįéÐĤĮēĊĸŕ÷įĊdžÐðÐħÐďĮÐįŤÐįNjðÐéÐįƄÐĤÐħÐŚÐįĮ÷įĊÐŒÐĮ÷ŕ÷ĤÐ ƄÐįĊŒ÷ŕįÐďðÐįÐŤÐŪŤēįĊĊÐħðēTĸĊġÐŚŪŚÐďé÷ŕÐħēďÐŤÐžÐĮ÷ħŪŒÐĤÐįĤĸŤÐēįēNjTĸĊġÐŤ÷ŕħÐħŪ éÐįƄÐĤĮ÷ĮēħēĤēŚŪðŪŤǜŚŪðŪŤĮ÷ħÐįĤĸħēŚƄÐįĊĮ÷įġÐðēĤ÷ðēÐĮÐįĤēŚÐďêēįŤÐƄÐįĊĊÐĊÐħNjGįē ŚÐēįŤēƥĤdžēħĮēÐďNjTēĤÐŤÐĤŒ÷ŕêÐƄÐdžêĸéÐŤÐįƄÐĤÐįŤ÷ĮÐįdžŕ÷ĤÐįdžÐŤÐžÐďÐįðÐēŤĸħÐįƄÐįĊŒ÷ŕǜ įÐďŒŪįƄÐďŪéŪįĊÐįŒ÷ŕêēįŤÐÐįðēTĸĊġÐNj`÷ŕ÷ĤÐŒÐŚŤēÐĤÐįé÷ŕĤÐŤÐéÐďžÐŤēÐŒŚŪðŪŤĤĸŤÐ
154
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Apalagi, Jogja sebagai tempat pariwisata membuatnya mendapatkan simpati tersendiri bagi mereka yang pernah mengunjunginya. Sebagai tempat wisata, Jogja cukup representatif, baik dari segi tempat, harga, ataupun jarak dengan menggunakan kendaraan bermesin. Ada gunung merapi yang bisa dikunjungi hanya dalam waktu 1 jam dari pusat kota. Ada pantai Parangtritis dan Parangkusumo yang bisa ditempuh dalam waktu 40 menit. Keindahan kualitas pantai dengan pasir putih bisa ditempuh dalam waktu 2 jam di Gunung Kidul. Sementara itu, apabila ingin mengetahui peradaban tua, kita bisa berkunjung ke Candi Prambanan dengan waktu tempuh 30 menit dan mengunjungi Candi Borobudur yang terletak di Magelang, Jawa Tengah dengan waktu tempuh 2 jam. Merindukan kota tua sentuhan arsitektur kolonial seperti Malaka di Malaysia ataupun Vigan di Filipina, yang terdapat keaslian bangunan lama dengan berbaris rapi, terjaga dan ditempati para penduduk, kita bisa mengunjungi Kotagede sambil mencari perhiasan dan pernak-pernik perak yang harganya variatif dan bisa terjangkau. Perhiasan perak itu ditempa dari olahan tangan-tangan terampil seniman-pengrajin Jogja. Bagi turis asing, menikmati malam di Jogja dengan nuansa cafe dan nigth club bisa datang dan menginap di daerah Prawirotaman. Secara geograpis, Jogja menjadi kota penghubung dengan kota-kota lain di Jawa Tengah, seperti Semarang, Solo, dan Magelang. Bertolak dari penjelasan di atas, irisan kota pelajar, budaya, dan pariwisata inilah yang membuat Jogja tak pernah sepi untuk dikunjungi, baik oleh pendatang dan wisatawan, baik dalam maupun luar negeri. Selain tradisi dan budaya yang sudah terbentuk dan diwariskan secara turun-temurun, kehadiran para pendatang inilah yang turut mengisi dan membentuk wajah Jogja. Diakui, kondisi Jogja sebagai magnit yang menarik orang untuk datang ini menciptakan konsekuensi ganda, khususnya bagi masyarakat Jogja. Konsekuensi pertama, kehadiran wisatawan dan pendatang tersebut berdampak secara positif dengan kenaikan perekonomian masyarakat Jogja dan adanya ekspresi kemanusiaan dalam ruang publik. Hal ini ditandai dengan munculnya indekos-indekos yang dimiliki oleh warga Jogja, revitalisasi pasar-pasar tradisional, penguatan kios-kios rumahan yang didukung oleh pemerintah lokal, keberadaan tempat lapang sebagai bagian dari ekspresi ruang publik dengan munculnya taman-taman kota, dan masih Į÷įēįĊĊÐħĤÐįŕ÷ŚēðŪŒ÷ŕÐŚÐÐįƄÐįĊġÐŪďħ÷éēďĮ÷įĊĊēĊēŤðÐŕēŒÐðÐÐįġēįĊŕÐéē÷ŚǤNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
155
lestarinya praktik-praktik kebudayaan mereka, seperti gotong-royong dan budaya kampung yang saling mempedulikan antara satu dengan yang lainnya. Konsekuensi kedua, kehadiran investor dari luar Jogja, baik nasional maupun internasional yang membaca Jogja sebagai pasar untuk anak-anak muda dan pendatang yang diprediksi dapat menguntungkan secara besarbesaran. Akibatnya, dengan menyampingkan tradisi dan budaya, kota Jogja dibangun dengan semangat komersil dan konsumerisme serta diperuntukkan untuk mereka yang memiliki uang. Kemacetan, ketidakberesan penataan infrastruktur kota, dan ketidakberpihakan ekonomi kepada masyarakat Jogja kebanyakan di antara dampak destruktif tersebut. Di antara dua konsekuensi inilah pemerintah kota sebagai pemegang kebijakan utama memiliki peranan untuk berpihak.2 Di bawah kepemimpinan Haryadi Suyuti, Jogja lebih condong kepada konsekuensi kedua. Hal ini ditandai oleh beberapa hal. Pertama, dikeluarkannya perijinan mendirikan mall, hotel, dan apartemen di tengah pembangunan bangunan komersial tersebut yang sudah marak. Ư ÷ħÐēįĮ÷įĊŪéÐďžÐġÐďTĸĊġÐĮ÷įġÐðēħ÷éēďĮÐįŪŚēОēðÐįé÷ŕŚÐďÐéÐŤƄÐįĊðēŤÐįðÐēð÷įǜ ĊÐįŒ÷ŕéÐēĤÐįŒ÷įÐŤÐÐįĤĸŤÐdžŚ÷Œ÷ŕŤēĤ÷ďÐðēŕÐįŤÐĮÐįēŚÐŚēǘĤ÷ďÐðēŕÐįŤÐĮÐįðÐįŒ÷įĊďēǜ ġÐŪÐįŚ÷ŤēÐŒŚŪðŪŤĤĸŤÐǙðÐįÐðÐįƄÐħÐĮŒŪŒ÷į÷ŕÐįĊðēŚ÷ŤēÐŒġÐħÐįŪŤÐĮÐdžC÷ŕŕƄ½ŪðēÐįŤĸdž žÐħēĤĸŤÐ ƄÐįĊ Ť÷ħÐď Į÷ĮēĮŒēį Ś÷ħÐĮÐ Ư Œ÷ŕēĸð÷ ǘƯƭƭƮǜƯƭƮƯǙdž Į÷ĮēħēĤē Ĥ÷é÷ŕŒēďÐĤÐį Ĥ÷ǜ ŒÐðÐĮÐŚƄÐŕÐĤÐŤNjGįēŤ÷ŕħēďÐŤð÷įĊÐįĤ÷éēġÐĤÐįįƄÐĮ÷ĮéÐįĊŪįÐĮÐįēįŤÐŕǐŕŪÐįĊŒŪéħēĤ ƄÐįĊðēŒ÷ŕŪįŤŪĤĤÐįŪįŤŪĤĮÐŚƄÐŕÐĤÐŤðÐħÐĮðÐįħŪÐŕTĸĊġÐNj÷ħÐēįé÷ŕēŚēĮ÷įĊ÷įÐēÐį÷ĤÐ Œ÷įĊ÷ŤÐďŪÐįÐħÐĮdžðēðÐħÐĮÐĮÐįēįŤÐŕŤ÷ŕðÐŒÐŤŒ÷ŕĮÐēįÐįƄÐįĊðÐŒÐŤĮ÷įĊďēéŪŕĸŕÐįĊ ƄÐįĊé÷ŕĤŪįġŪįĊdžĤďŪŚŪŚįƄÐÐįÐĤǜÐįÐĤNjGÐġŪĊÐĮ÷ĮéÐįĊŪįŚēŚŤ÷ĮéēŕĸĤŕÐŚēé÷ŕéÐŚēŚēįŤ÷ŕǜ į÷ŤŚ÷éÐĊÐēé÷įŤŪĤŒ÷ħÐƄÐįÐįƄÐįĊŤŕÐįŚŒÐŕÐįŚðÐįðÐŒÐŤðēŒ÷ŕŤÐįĊĊŪįĊġОÐéĤÐįNj`÷ħÐħŪē ŚēŚŤ÷Į÷ǜĊĸŽ÷ŕįÐįê÷Ś÷ĮÐêÐĮēŤŪdžĮÐŚƄÐŕÐĤÐŤéēŚÐĮ÷įĊÐĤŚ÷ŚŒ÷ħéÐĊÐēħÐƄÐįÐįðÐįēįĉĸŕǜ ĮÐŚēdžŤ÷ŕĮÐŚŪĤĤ÷ŪÐįĊÐįðÐ÷ŕÐďĮ÷ħÐħŪēŚēŤŪŚžžžNjġĸĊġÐĤĸŤÐNjĊĸNjēðNj÷ħÐēįēŤŪdžŒ÷ŕēďÐħŒ÷ŕǜ ēƌēįÐįéēŚÐðēħÐĤŪĤÐįďÐįƄÐŚÐŤŪÐŤÐŒðÐįħ÷éēďê÷ŒÐŤĮ÷ħÐħŪēŒŕĸĊŕÐĮįēŤ÷ħÐƄÐįÐįÐŤŪ ŤÐŒǘǙƄÐįĊé÷ŕðēŕēŚ÷ġÐĤŤÐďŪįƯƭƭƳNj"÷įĊÐįêÐŕÐŤ÷ŕŚ÷éŪŤdžŚ÷ħÐēįĮ÷įĊŪéÐďĮ÷įŤÐħǜ ēŤÐŚéēŕĸĤŕÐŚēðÐŕēŕÐġÐĮ÷įġÐðēŒ÷ħÐƄÐįĮÐŚƄÐŕÐĤÐŤdžēÐŤ÷ħÐďĮ÷ĮŪŤŪŚĮÐŤÐēŕÐįŤÐēĤĸŕŪŒŚē ðÐį į÷ŒĸŤēŚĮ÷ Į÷ħÐħŪē ĸĤįŪĮǜĸĤįŪĮ Ť÷ŕŤ÷įŤŪNj "ē Ť÷įĊÐď Ċ÷ĮŒŪŕÐį ŒÐŚÐŕǜŒÐŚÐŕ Įĸð÷ŕįdž Ś÷Œ÷ŕŤē ħĉÐŕĮÐŤď ðÐį GįðĸĮÐŕ÷Ťdž ðÐį ēŕêħ÷ǜV Œ÷Į÷ŕēįŤÐď ĤĸŤÐ Į÷įĊ÷ħŪÐŕĤÐį Œ÷ŕÐŤŪŕÐį ¯ÐħēĤĸŤÐaĸNjƴƶŤÐďŪįƯƭƮƮŤ÷įŤÐįĊŒ÷ĮéÐŤÐŚÐįŚÐďЯÐŕÐħÐéÐdžƄÐįĊďÐįƄÐĮ÷į÷ŤÐŒĤÐį éÐŤÐŚĤŪĸŤÐĮÐĤŚēĮÐħƲƯŪįēŤĮēįēĮÐŕĤ÷ŤðēĤĸŤÐµĸĊƄÐĤÐŕŤÐNj÷ħÐēįēŤŪdžC÷ŕŕƄĮ÷ħÐĤŪĤÐį ŕ÷ŽēŤÐħēŚÐŚēŒÐŚÐŕŤŕÐðēŚēĸįÐħð÷įĊÐįŒ÷ŕéÐēĤÐįŚÐŕÐįÐdžŒŕÐŚÐŕÐįÐŒ÷įðŪĤŪįĊŒÐŚÐŕŤŕÐðēŚǜ ēĸįÐħdžŒ÷Įé÷ŕðÐƄÐÐįŒÐŚÐŕdžĤĸĮŪįēŤÐŚdžðÐįŒ÷įĊ÷ĮéÐįĊÐįŚ÷ŕŤÐŒ÷ĮéŪÐŤÐįĮ÷ðēÐŒŕĸĮĸǜ ŚēŒÐŚÐŕÐĊÐŕĮÐŚƄÐŕÐĤÐŤħ÷éēďé÷ŕĮēįÐŤŪįŤŪĤé÷ŕé÷ħÐįġÐĤ÷ŒÐŚÐŕǘ"÷žēðÐį¯ēįÐŕįēdžƯƭƮƭDž ƯǙNj÷Į÷ŕēįŤÐďĤĸŤÐTĸĊġÐġŪĊÐĮ÷ħÐĤŪĤÐįŒ÷įÐŤÐÐįŒ÷ðÐĊÐįĊĤÐĤēħēĮÐǘŤ÷ŕĤ÷įÐħð÷įĊÐį Œ÷ðÐĊÐįĊ ĤħēŤēĤÐįǙ ðē é÷é÷ŕЌРðÐ÷ŕÐď ðē TĸĊġÐ ð÷įĊÐį Į÷ħÐĤŪĤÐį ŕ÷ħĸĤÐŚēdž ƄÐįĊ ðēŤ÷Įǜ ŒÐŤĤÐįðēŒÐŚÐŕĤħēŤēĤÐįÐĤŪįê÷įǘCÐŕðēƄÐįŤēdžƯƭƭƵǙNj÷ħÐēįēŤŪdžŤ÷ŕēħďÐĮēĸħ÷ďĮŪįêŪħįƄÐ ĤĸĮŪįēŤÐŚ Ư¯ ǘēĤ÷ ĸ ¯ĸŕĤǙ ðē TĸĊġÐ ðÐį é÷é÷ŕЌРĤĸŤÐ ħÐēį Ś÷éÐĊÐē ŕ÷ŚŒĸį Ť÷ŕďÐðÐŒ Œ÷ĮÐįÐŚÐįĊħĸéÐħdžC÷ŕŕƄ½ŪðēÐįŤĸĮ÷įĊēįēÐŚēĊ÷ŕÐĤÐį÷Ċĸ÷ĊО÷ǘ÷Œ÷ðÐVÐįĊĊĸ÷Ĥĸǜ ħÐįXÐįaƄÐĮéŪŤ>О÷Ǒ÷Œ÷ðÐįŤŪĤ÷ĤĸħÐďðÐį÷Ĥ÷ŕġÐǙNj>÷ŕÐĤÐįēįēĮ÷įĊÐġÐĤŚ÷ŤēÐŒ ħÐŒēŚÐį ÷ħ÷Į÷į ĮÐŚƄÐŕÐĤÐŤ TĸĊġÐ ŪįŤŪĤ Į÷įĊĊŪįÐĤÐį Ś÷Œ÷ðÐ Ś÷éÐĊÐē ĮĸðÐ ŤŕÐįŚŒĸŕŤÐŚē Ś÷éÐĊÐē ÐĤŤēŽēŤÐŚ ďÐŕēÐį Į÷ŕ÷ĤÐNj GįēŚēÐŚē ēįē Ĥ÷ĮŪðēÐį Į÷įĊŪįðÐįĊ ĤĸĮŪįēŤÐŚǜĤĸĮŪįēŤÐŚ Ś÷Œ÷ðÐðēTĸĊġÐŪįŤŪĤĮ÷ĮéŪÐŤÐĤŤēŽēŤÐŚŚĸŚēÐħƄÐįĊŚ÷ŕŪŒÐǘďĸŕēŔdžƯƭƮƲDžƯƵƳǙNj
156
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Akibatnya, kota Jogja telah penuh sesak dengan bangunan-bangunan tinggi. Sebagaimana dicatat oleh Kompas dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik DIY bahwa jumlah hotel berbintang di kota Jogja hingga awal 2015 mencapai 57 unit, naik sekitar 170 persen dibandingkan pada 2010, berjumlah 21 unit. Di daerah Sleman pada tahun 2015, hotel berbintang sebanyak 25 unit, meningkat 73 persen dibandingkan pada 2010 yang sebanyak 15 unit. Kehadiran hotel dan bangunan komersial ini berdampak terhadap keringnya sumur-sumur warga di sekitaran bangunan tersebut berdiri. Hotel dan bangunan komersial menggunakan air tanah yang sejak lama sudah digunakan oleh masyarakat sekitar. Memang, Haryadi Suyuti sudah mengendalikan pembangunan hotel dengan moratorium penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) hotel mulai 1 Januari 2014 hingga 31 Desember. Namun, moratorium itu dinilai tidak efektif, dikarenakan tahun 2013 sudah ada 104 permohonan IMB hotel baru di Jogja yang masuk sebelum moratorium diberlakukan (Kompas, 6 Oktober 2016). Kedua, terjadinya penggusuran. Karena banyak investor yang datang untuk mendirikan bangunan komersial tersebut, tanah-tanah di kota Jogja menjadi sangat mahal. Hal ini dimanfaatkan oleh pemilik tanah dan makelar untuk menjual tanah tersebut, seringkali dilakukan secara terselubung. Sementara itu, banyak dari masyarakat kampung yang tinggal dan membangun rumah di atas hak pemilik tanah orang lain, di mana mereka sekedar menyewa tanah dengan membangun rumah, akhirnya harus rela untuk digusur karena ketidaktahuan mereka. Hal ini terjadi di Kampung Gondolayu, yang berada di bantaran Kali Code, beberapa keluarga yang sebelumnya bermukim di Gondolayu Lor kini terpaksa harus pindah. Sementara itu, pemilik tanah yang tidak berada di wilayah area tersebut, hanya menerima saja tanahnya dijual ketika makelar atau calo tanah datang. Pemilik rumah yang berada di area yang menjadi target pembangunan komersial ada yang tidak kuasa menolak ketika tanahnya dihargai sangat tinggi. Apalagi, hal ini mengingat ada banyak tetangganya yang sudah banyak digusur (www.harianjogja.com, 10 Mei 2014; www.antitankproject.wordpress.com, 2014). Ketiga, adanya surat edaran nomor 645/57/SE/2012 terkait tentang parkir di Kompleks Balaikota, berisi semua kendaraan pegawai atau tamu diperbolehkan masuk kompleks pemkot. Sebelumnya, di bawah
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
157
kepemimpinan Herry Zuhdianto, melalui surat edaran nomor 551/048/ SE/2009, setiap hari Jumat, lingkungan Pemkot Jogja bersih dari kendaraan bermesin, seperti sepeda motor dan mobil. Kebijakan ini berlaku baik untuk pegawai lingkungan Pemkot maupun tamu yang datang. Kebijakan ini diambil sebagai contoh kongkret pemkot untuk mengajak masyarakat agar gemar menggunakan sepeda, baik untuk sekolah maupun bekerja. Kebijakan terbaru melalui surat edaran tersebut, dengan demikian, menghilangkan semangat sego segawe yang sebelumnya disambut meriah oleh lapisan masyarakat kota Jogja. Ketiga, kemacetan lalu lintas. Akibat pertumbuhan bangunan komersial, tidak ada pembatasan kendaraan bermotor, dan tidak adanya kampanye sepeda sebagai moda transportasi alternatif, kota Jogja mengalami kemacetan, khususnya saat musim liburan sekolah.3 Aktivisme Online dan Offline Pembangunan tersebut memunculkan keresahan masyarakat Jogja yang diartikulasikan melalui kritik sosial melalui ragam ekspresi sesuai dengan latarbelakang, kepentingan, dan ideologi kelompok. Di sini mereka melakukan gerakan langsung (offline) dan aktivisme online untuk membangun imajinasi bersama atas persoalan yang sedang terjadi di Jogja. Dalam bagian ini, saya memetakan kelompok-kelompok yang melakukan aktivisme sosial tersebut. Selain mengurutkan secara waktu, kronologis ini dilakukan untuk melihat kelompok dan juga tujuan dari kritik tersebut terkait dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kota Jogja. ư "÷įĊÐį ð÷ĮēĤēÐįdž Ĥ÷ê÷įð÷ŕŪįĊÐį Ĥ÷ŒÐðÐ ĤĸįŚ÷ĤŪ÷įŚē Ĥ÷ðŪÐ ēįē ġŪŚŤŕŪ Į÷ĮŒ÷ŕĤŪÐŤ Ť÷įǜ ŤÐįĊ ÐŚŪĮŚē Ĥ÷ŒÐðÐ ŚēЌРŒ÷ŕ÷ĤĸįĸĮēÐį TĸĊġÐ ðēŒ÷ŕŪįŤŪĤĤÐįNj VĸįðēŚē ēįē Ś÷ŤēðÐĤįƄÐ éēŚÐ ðēħēďÐŤ ŒÐðÐ ðŪÐ Œ÷įġŪÐħÐį ŒŕĸŒ÷ŕŤēdž ðÐħÐĮ ďÐħ ēįē ÐŒÐŕŤ÷Į÷į ðÐį Œ÷ŕŪĮÐďÐįNj ħēďǜÐħēď ðēŒ÷ŕŪįŤŪĤĤÐį ŪįŤŪĤ žÐŕĊÐ TĸĊġÐdž ŒÐŕÐ Œ÷Įé÷ħē ÐŒÐŕŤ÷Į÷į Ť÷ŕŚ÷éŪŤ ġŪŚŤŕŪ ŒÐŕÐ ēįŽ÷ŚŤĸŕ ƄÐįĊ é÷ŕÐðÐ ðē ħŪÐŕ TĸĊġÐ ÐŤÐŪŒŪį ƄÐįĊ ĸŕÐįĊ ƄÐįĊ Ś÷ðÐįĊ Į÷įƄ÷ĤĸħÐďĤÐį ÐįÐĤįƄÐ ðē TĸĊġÐNj`÷ŕ÷ĤÐĮ÷Įé÷ħēéŪĤÐįŪįŤŪĤðēŤ÷ĮŒÐŤēĮ÷ħÐēįĤÐįġŪŚŤŕŪŪįŤŪĤðēŚ÷žÐĤÐįĤ÷ŒÐðÐ ĮÐďÐŚēŚžÐǜĮÐďÐŚēŚžēħŪÐŕĤĸŤÐðÐįžēŚÐŤÐžÐįǘžžžNjŤ÷ĮŒĸNjêĸdžƮƲTŪħēƯƭƮƳǙNjVÐħÐŪŒŪįÐðÐ ƄÐįĊĮ÷į÷ĮŒÐŤēdžŚ÷ħ÷ŒÐŚÐįÐĤįƄÐŚ÷ħ÷ŚÐēĤŪħēÐďdžéēŚÐĮ÷įġÐðēēįŽ÷ŚŤÐŚēĮ÷įġÐįġēĤÐįġÐįĊĤÐ ŒÐįġÐįĊNj÷Į÷įŤÐŕÐēŤŪdžŪįŤŪĤŒŕĸŒ÷ŕŤēŒ÷ŕŪĮÐďÐįdžĸŕÐįĊéēŚÐĮ÷Įé÷ħēŕŪĮÐďð÷įĊÐįêÐŕÐ Į÷įĊēĤŪŤēVÐŒÐéēħÐŒ÷įðÐŒÐŤÐįįƄÐĮēįēĮÐħŒNjƲǜƵġŪŤÐŕŪŒēÐďNjGįēĤÐŕ÷įÐdžĤ÷éÐįƄÐĤÐį Œ÷ŕŪĮÐďÐįðēTĸĊġÐdžéÐēĤƄÐįĊé÷ŕÐðÐðēðÐħÐĮðÐįħŪÐŕĤĸŤÐēŤŪĤēŚÐŕÐįÐįŤÐŕÐŒNjưƭƭġŪŤÐ ǛŒƮdžư`ēħēÐŕNj÷Į÷įŤÐŕÐé÷ŚÐŕÐįŒÐď`ēįēĮŪĮ÷ĊēĸįÐħǘ`ǙðēĤĸŤÐTĸĊġÐÐðÐħÐďŒNj ƮdžƱġŪŤÐNjGįēħ÷éēďé÷ŚÐŕĤ÷ŤēĮéÐįĊĤÐéŪŒÐŤ÷įħÐēįƄÐįĊÐðÐðēTĸĊġÐdžŚ÷Œ÷ŕŤēħ÷ĮÐįŚ÷é÷ŚÐŕ ŒNjƮdžưġŪŤÐdžÐįŤŪħŒNjƮdžƯġŪŤÐdžVŪħĸįŕĸĊĸðÐį>ŪįŪįĊVēðŪħŒNjƮdžƯġŪŤÐNjħēďǜÐħēďéēŚÐĮ÷Įǜ éÐƄÐŕŪÐįĊĮŪĤÐdžĮ÷ĮéÐƄÐŕêēêēħÐįŒ÷ŕéŪħÐįŒŪįĮ÷įġÐðēŤēðÐĤŚÐįĊĊŪŒNjVÐħÐŪŒŪįŚÐįĊǜ ĊŪŒŪįŤŪĤĮ÷Įé÷ħēŕŪĮÐďŚ÷įēħÐēŒNjưƭƭġŪŤÐdžĮ÷ŕ÷ĤÐéŪŤŪďžÐĤŤŪĮ÷įÐéŪįĊŚ÷ħÐĮÐƯưƭ éŪħÐįdžŚ÷ĤēŤÐŕƮƶŤÐďŪįNjGŤŪŒŪįŚ÷ĮŪÐĊÐġēƄÐįĊðēðÐŒÐŤĤÐįďÐŕŪŚðēÐħĸĤÐŚēĤÐįŚ÷ĮŪÐŪįŤŪĤ Į÷ĮéÐƄÐŕ êēêēħÐį Ĥŕ÷ðēŤ ŕŪĮÐďNj ÷ħÐēį ēŤŪdž ðē Ť÷įĊÐď Œ÷ŕġÐħÐįÐį êēêēħÐį Ť÷ŕŚ÷éŪŤdž Į÷ŕ÷ĤÐ ÐĤÐįĮ÷įĊďÐðÐŒēēįƦÐŚēƄÐįĊé÷ŕðÐĮŒÐĤŤ÷ŕďÐðÐŒĤ÷įÐēĤÐįŚŪĤŪéŪįĊÐǘŤēŕŤĸNjēðdžƱĊŪŚŤŪŚ ƯƭƮƳǙNj
158
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Melalui koalisi PDI-P dan Golkar, Haryadi Suyuti berpasangan dengan Imam Priyono memenangkan Pilkada Jogja pada tahun 2011 setelah menang tipis atas dua pasangan kandidat lain, pasangan Hanafi Rais-Tri Harjun Ismaji, dari koalisi gabungan PAN, Demokrat, PPP, Gerindra dan sembilan partai non parlemen yang tergabung dalam Koalisi Mataram. Haryadi-Imam memiliki perolehan 97.047 suara (48.347 persen) banding 84.122 suara (41,908 persen), terpaut enam persen. Sementara itu, pasangan Zuhrif Hudaya-Aulia Reza Bastian, atas nama Koalisi Jalin Jogja yang terdiri dari 5 partai (Hanura, PKDI, Partai Republik Nusantara dan PKB) menempati posisi terakhir dengan raihan 19.557 suara (9,743 persen). Dalam rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) kota Jogja, mereka berdua di tetapkan sebagai Walikota dan Wakil Wakil Walikota Jogja pada hari Kamis, 29 September 2011. Selain berniat melanjutkan program-program Walikota Jogja sebelumnya, yang kemudian dicantumkan dalam Peraturan Daerah kota Jogja Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Jogja Tahun 2012-2016, visi mereka berdua saat kampanye adalah mewujudkan kota Jogja sebagai kota pendidikan berkualitas dan inklusif, pariwisata berbasis budaya, dan pusat pelayanan jasa yang berwawasan lingkungan, serta ekonomi kerakyatan (Wargaberdaya.wordpress.com, 14 Oktober 2013) Alih-alih langsung menunaikan ucapan politiknya, kepemimpinan tahun pertama Haryadi justru telah merusak janjinya sendiri. Ini terlihat dengan adanya pembiaran praktik pedagang kaki lima yang berada di Jalan Poncowinatan yang merugikan pedagang resmi yang ada di dalam Pasar Kranggan. Pembiaraan ini dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian Haryadi dalam melaksanakan Perda No. 26 Tahun 2002 dan Perwal No.45 Tahun 2007 tentang Pedagang Kaki Lima. Terkait kasus ini, Paguyuban Pedagang pasar Kranggan mengadukan Walikota Jogja kepada Ombudsman RI yang dianggap tidak serius menuntaskan permasalah pedagang Pasar Kranggan. Di sisi lain, tiga ruas jalan di Kota Jogja yang diusulkan sebagai kawasan bebas sampah visual (reklame), meliputi Jl. Urip Sumoharjo, Sudirman, dan Diponegoro, justru tidak ada kebijakan nyata dari pemerintah kota untuk menghilangkannya. Di tengah dua kebijakan tersebut dan beberapa kebijakan lain yang tidak berpihak, ada satu kebijakan yang membuat respon masyarakat Jogja mendorong mereka untuk bergerak, yaitu pencabutan surat edaran nomor 645/57/SE/2012 terkait tentang parkir di Kompleks
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
159
Balaikota, berisi semua kendaraan pegawai atau tamu diperbolehkan masuk kompleks pemkot. Kebijakan ini diputuskan Haryadi untuk memperlancar pelayanan di Pemerintah Kota. Setiap hari Jumat di kompleks pemkot terjadinya kesemrawutan kendaraan bermotor, di mana seluruh kendaraan harus parkir di luar seiring adanya kebijakan Car Free Day. Bagi Haryadi, kebijakan praktis tersebut akan memudahkan pegawai dan tamu yang datang ke balai kota. Kebijakan tersebut memunculkan kritik dari lapisan masyarakat Jogja, khususnya pegiat sepeda yang bergabung dalam ragam komunitas. Selain menghilangkan tradisi bersepeda yang sudah lama ada, bagi mereka, pencabutan surat tersebut juga menghilangkan semangat sego segawe yang sebelumnya disambut meriah oleh masyarakat Jogja yang dipraktekkan melalui kebijakan Herry Zuhdianto, walikota sebelumnya. Respon awal kebijakan tersebut yang dilakukan oleh kelompok bersepeda ini melalui poster bergambar kepalan tangan dengan slogan “Ora Masalah Har: Tanpamu Sepedaku Tetap Melaju”. Slogan ini kemudian muncul di pelbagai media kreatif, baik itu poster, mural, dan grafiti, yang bertebaran di beberapa sudut kota Jogja. Tidak berhenti di sini, di jejaring media sosial seperti Facebook, Twier, dan Blackberry slogan dengan kepalan tangan itu bertebaran (Pradana, 2012). Merespon situasi tersebut, kelompok sepeda Radical Road Riders kemudian membuat video klip Parodi Gangnam Style, di mana konten atau isinya diganti dengan bahasa Indonesia dengan judul Ora Masalah Har. Video ini kemudian dimuat di Youtube dan menjadi perbincangan anak muda dan masyarakat Jogja. Selain membuat parodi Gangnam Style dengan membuat tarian yang mirip seperti menunggang kuda tapi ditambahkan dengan stang sepeda onthel, video tersebut memuat kritik yang tajam. Hal ini terlihat dengan salah satu liriknya, “Ngepit Kuwi wis kulture nggone wong Jogja, Sego Segawe sing nduweni yo mung wong Jogja, kok malah arep dibubrah, diilang, dihapus, piye tho, Walikota Jogja?”4 (Ardithama, 2012). Selain melalui online tersebut, atas nama gerakan Sepeda Merdeka, mereka, dari ragam komunitas sepeda, juga menguatkan gerakan offline dengan turun ke jalan pada hari Sabtu 6 Oktober pukul 19.00, membanjiri Jalan Ipda Ʊ ÷ŕŚ÷Œ÷ðÐēŤŪŚŪðÐďéŪðÐƄÐįƄÐĸŕÐįĊTĸĊġÐdž÷Œ÷ðÐŪįŤŪĤé÷Ĥ÷ŕġÐƄÐįĊĮ÷ĮēħēĤēƄÐĸŕÐįĊ TĸĊġÐdž ġŪŚŤŕŪ ðēéŪéÐŕĤÐįdž ðēēħÐįĊdž ðēďÐŒŪŚdž éÐĊÐēĮÐįÐ Śēď ¯ÐħēĤĸŤÐ TĸĊġÐnj ǘðēŤ÷ŕġ÷ĮÐďĤÐį ĸħ÷ďŒ÷įŪħēŚǙNj
160
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Tut Harsono, tepatnya di sisi Timur Balaikota Jogja (www.kompas.com, 21 Oktober 2012). Di tengah situasi tersebut, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, ada 64 hotel yang mengajukan izin pembangunan melalui Dinas Perizinan Kota Jogja. Sebanyak 48 di antaranya telah memproleh IMBB pada tahun 2012 dan sedang dalam proses pembangunan dan ada pembangunan dua kondotel baru pada akhir 2013. Kondisi tersebut membuat beberapa elemen komunitas dari pelbagai latarbelakang berkumpul. Inisiatif dari pertemuan tersebut kemudian diekspresikannya dengan membuat festival seni, “Mencari Haryadi”, yang dicanangkan berjalan dari 13 Oktober-14 Maret 2014. Sebagai langkah awal, mereka membuat kegiatan pra-festival tersebut dengan mengirimkan kartu pos kepada Walikota Jogja dengan tema Kartu Pos untuk Kota: Mimpi Buruk untuk Haryadi. Kata Mimpi Buruk ini diekspresikan partisipan yang datang dengan kostum-kostum seram sambil melakukan happening art pada Jumat sore, 13 Sptember 2013, bertempat di Nol Kilometer.5 Tujuan dari festival seni ini, “mempertanyakan kembali hilangnya peran negara dalam mengatasi persoalan-persoalan yang ada di masyarakat”. Dengan demikian, “seniman dan masyarakat yang sadar atas situasi ini akan menyatukan gagasan dan kemudian mengangkat persoalan ini ke permukaan untuk merangsang Negara mengambil langkah-langkah kongkret dalam menyelesaikannya”. Di antara persoalan-persoalan kota Jogja yang melatarbelakangi festival ini adalah: “penataan ruang publik yang buruk; akses dan fasilitas bagi para difabel yang tak layak; pembinaan olahraga yang terbengkalai; kawasan tepi sungai yang semakin tak terurus; menjamurnya pembangunan hotel yang membebani lingkungan kota; perusakan cagar budaya yang terbiarkan; hingga banyak aktivitas seni budaya yang dihilangkan” (nationalgeographic. co.id, 15 September, 2013).6 Ʋ "ēÐįŤÐŕÐĮ÷ŕ÷ĤÐƄÐįĊĮ÷ħÐĤŪĤÐįďÐŒŒ÷įēįĊÐ૫÷ŕŚ÷éŪŤÐðÐƄÐįĊé÷ŕÐŚÐħðÐŕēĤĸĮŪįēŤÐŚ VĸŤÐŪįŤŪĤ`ÐįŪŚēÐdžÐŕðŤĸĸŚŤdžŚ÷įēĮÐįTĸĊġÐdžŕŚēŤ÷ĤVĸĮŪįēŤÐŚTĸĊġÐdžŪŒŒĸŕŤ÷ŕĤ÷Ś÷é÷ǜ ħÐŚÐįG`džŕŚēŤ÷ĤVĸĮŪįēŤÐŚTĸĊġÐǘVj`ǙdžVĸĮŪįēŤÐŚðēĉÐé÷ħdžGéŪǜēéŪVÐħēTОēdžŤ÷ŕĮÐŚŪĤ ġŪĊÐĸŕÐįĊǜĸŕÐįĊ ƄÐįĊ Ĥ÷é÷ŤŪħÐį ÐðÐ ðē Ðŕ÷Ð Ť÷ŕŚ÷éŪŤƄÐįĊēĤŪŤēĮ÷įĊēŕēĮĤÐįĤÐŕŤŪŒĸŚŤ Ś÷Ť÷ħÐďéÐįƄÐĤé÷ŕŤÐįƄÐĮ÷įĊ÷įÐēÐĤŤēŽēŤÐŚŤ÷ŕŚ÷éŪŤNj Ƴ `÷įŪŕŪŤĊŪįĊVŪŕįēОÐįdžÐðÐðŪÐÐħÐŚÐįĮ÷įĊÐŒÐĊ÷ŕÐĤÐįŚĸŚēÐħĮ÷įĊĤŕēŤēĤĤ÷éēġÐĤÐį CÐŕƄÐðē ēįē Į÷įĊĊŪįÐĤÐį Į÷ðēÐ Ś÷įēdž Į÷ŚĤēŒŪį ĉ÷ŚŤēŽÐħ Ś÷įē éēÐŚÐįƄÐ ðēŚ÷ħ÷įĊĊÐŕÐĤÐį ðÐħÐĮ ŕÐįĊĤÐ Į÷ŕÐƄÐĤÐį Ś÷ŚŪÐŤŪNj ÷ŕŤÐĮÐdž é÷ŕŚēĉÐŤ Ś÷ĮÐŤÐǜĮÐŤÐ Ĥ÷ēįðÐďÐįNj V÷ðŪÐdž Ĥ÷ǜ ĮÐĮŒŪÐįé÷ŕŚēĉÐŤĤŕēŤēŚNj"ÐħÐĮĤĸįŤ÷ĤŚēįēdžĮ÷ŕ÷ĤÐĮ÷įĊĊŪįÐĤÐįŚ÷įēŚ÷éÐĊÐēĮ÷ðēÐĤŕēŤēŚ Ť÷ŕďÐðÐŒ ЌРƄÐįĊ Ť÷ŕġÐðē ðē ħēįĊĤŪįĊÐį Œ÷ŕĤĸŤÐÐį TĸĊġÐNj ŒÐħÐĊēdž ƄÐįĊ Į÷ŕ÷ĤÐ ŕÐƄÐĤÐį ÐðÐħÐďŒ÷ŕēŚŤēžÐêďÐĸŤēêĮ÷įĊ÷įÐēĤĸŤÐƄÐįĊĮ÷ŕ÷ĤÐŤēįĊĊÐħēǘįÐŤēĸįÐħĊ÷ĸĊŕÐŒďēêNjêĸNjēðdžƮƭ jĤŤĸé÷ŕdžƯƭƮưǙ
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
161
Salah satu karya monumental dan mendapatkan momentum dalam festival tersebut adalah mural dengan menggunakan cat hitam di perempatan pojok Beteng Wetan (Timur) Jogja pada 6 Oktober 2013 oleh Muhammad Arif Yuwono, komunitas Street Art, dengan judul Jogja Ora Didol (Jogja Tidak Dijual). Sebelum digunakan di tembok dan menjadi kalimat kekuatan politik yang mengancam kekuasaan, ungkapan tersebut, sebenarnya, berasal dari temantemannya Arif. Mereka tergabung dalam Street Art, menggunakan media seng yang bertuliskan Jogja Tidak Dijual. Seng tersebut sebagai latarbelakang dalam pementasan teater-nya Jamaluddin Latif di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) ke-25 pada Juni 2013 yang berjudul “Kota Untuk Manusia”, dan Jogja Tidak Dijual dengan plat seng sebagai media muralnya (Ichsan, 26 Juli 2016). Akibat mural tersebut, Arif ditangkap dan disidangkan karena melanggar pasal 1 ayat 1 Perda Nomor 18 tahun 2002 tentang pengelolaan kebersihan. Ia diminta membayar uang perkara sebesar Rp. 1000. Ia sempat diancam oleh petugas Satpol PP saat ingin mempertebal mural tersebut. Berawal dari sini JOD menjadi bahasa perlawanan sekaligus kritik kepada pemerintah Kota Jogja. Dukungan dengan pelbagai kanal terkait dengan ungkapan tersebut bermunculan, baik tagar #JogjaOraDidol di jejaring sosial media hingga kaos bertuliskan kalimat tersebut. Ungkapan ini pun diartikulasikan secara luas oleh grup musik indie Jogja Hip hop Foundation (JHHP) dengan menjadikannya sebagai lagu yang populer di media sosial Youtube. Sama seperti kritik sebelumnya, JHHF mengajak masyarakat Jogja untuk mempedulikan kondisi kota Jogja sekaligus memberikan kritik terhadap situasi Jogja yang semrawut; dipenuhi oleh hotel, dibangunnya mall, sampah visual yang bertebaran di pinggir jalan dan perempatan, dan hilangnya ruang publik hijau yang berpihak kepada masyarakat (Kompas, 3 Oktober 2014). Hal ini tampak dari penggalan lirik lagu tersebut, “Pasar-pasar padha ilang kumandange. Malah kalah karo mall sing padang lampune. Simbok-simbok kepeksa nguculi jarike dha ganti kato gemes macak kaya SPG………….. Lan, lan hotel, hotel bermunculan. Suk-suk pari ambruk karo pemukiman. Lahan hijau makin dihilangkan. Ruwet, macet. Jogja berhenti nyaman”.7 Kondisi ini ditegaskan oleh Marzuki Mohammad,8 salah satu anggota JHHF paling ƴ ÐŚÐŕǜŒÐŚÐŕ ďēħÐįĊ Œ÷ĮÐįðÐįĊÐįįƄÐNj VÐħÐď ð÷įĊÐį `Ðħħ ƄÐįĊ ħÐĮŒŪįƄÐ ŚÐįĊÐŤ Ť÷ŕÐįĊNj GéŪǜēéŪǘŚ÷ŒÐŕŪďéÐƄÐǙŤ÷ŕŒÐĤŚÐĮ÷ħ÷ŒÐŚĤÐįŒÐĤÐēÐįįƄÐNj`÷ŕ÷ĤÐĮ÷įĊĊÐįŤēð÷įĊÐįê÷ħÐįÐ Œ÷įð÷ĤŚ÷Œ÷ŕŤēŒ÷ŕ÷ĮŒŪÐį>ǘÐħ÷ŚŕĸĮĸŤēĸį>ēŕħŚǙNjV÷é÷ŕŚÐĮÐÐįĮ÷ŕ÷ĤÐďÐįêŪŕé÷ŕŚÐǜ ĮÐÐįð÷įĊÐįŒ÷ĮŪĤēĮÐįǘðēŤ÷ŕġ÷ĮÐďĤÐįĸħ÷ďŒ÷įŪħēŚǙNj Ƶ ĸŚēŚē `ÐŕƌŪĤē Ś÷éÐĊÐē ÐŕŤēŽēŚŤ ǘŕŤēŚ ƄÐįĊ Į÷įġÐðē ÐĤŤēŽēŚ ð÷įĊÐį Į÷įƄŪÐŕÐĤÐį ÐðŽĸĤÐŚē
162
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
berpengaruh, dikenal sebagai Kill the DJ saat tampil dalam acara Indonesian Morning Show yang ditayangkan oleh saluran televisi nasional NET TV. Jogja yang terkenal aman asri sekarang banyak dari bangunan yang kita sendiri bingung itu bangunan apa sebagai warga Jogja. Jalanan sudah kayak jakarta sudah mau macet dan macam-macam. Itu sudah kayak kritik untuk kota kita sendiri. Semoga Jogja kita aman nyaman. Pada 6 Agustus 2014, Dodok Putra Bangsa, salah seorang warga Miliran, melakukan aksi demonstrasi seorang diri dengan melakukan aksi happening art mandi pasir di depan hotel Fave. Selain sebagai bentuk kritik, mandi pasir sebagai representasi simbolik atas masyarakat yang tinggal di belakang hotel tersebut, di mana sumur mereka kering setelah hotel itu beroperasi. Aksi teaterikal ini mendapatkan sorotan media massa, baik lokal maupun nasional. Untuk menguatkan gerakannya dengan mengusung tema Jogja Asat (Jogja Kering), bersama warga Miliran, Dodok mengajak Edi Purwanto, Watchdoc Documentary, untuk membuat film Belakang Hotel; menceritakan proses pembangunan hotel Fave dan bagaimana dampak pembangunan tersebut berakibat pada keringnya sumur-sumur warga yang tinggal di belakangnya. Film ini diputar oleh Dodok bersama komunitas Warga Berdaya, di kampungkampung di Jogja untuk mendiskusikan kehadiran hotel-hotel baru yang berdampak terhadap sumur mereka dan juga universitas-universitas untuk membangun kesadaran pelbagai elemen akademisi Jogja (Wawancara dengan Dodok Putra Bangsa, 22 April 2016). Aksi teaterikal Dodok, pemutaran, dan diskusi film tersebut kemudian bermunculan perlawanan serupa di beberapa tempat, salah satunya di Gowongan, wilayah kota Jogja. Di sini, mereka tidak sekedar berhenti mempersoalkan sumur yang kering, tetapi juga mempermasalahkan tingginya bangunan-bangunan ŚĸŚēÐħǙ ð÷įĊÐį Į÷ĮŒĸŒŪħ÷ŕĤÐį Tj" ēįē Į÷įġÐðē Œ÷ŕŚĸÐħÐį ĸħ÷ď ŒŪéħēĤ TĸĊġÐNj GÐ ðēÐįĊĊÐŒ ŒÐŕÐðĸĤŚŤ÷ŕĤÐēŤŒēħēďÐįĤ÷é÷ŕŒēďÐĤÐįįƄÐNj"ēŚÐŤŪŚēŚēēÐĮ÷įðŪĤŪįĊðÐįĮ÷įƄŪÐŕÐĤÐįŚ÷ǜ êÐŕÐħŪÐŚTj"ƄÐįĊðēÐįĊĊÐŒĮ÷ŕŪŚÐĤħēįĊĤŪįĊÐįð÷įĊÐįÐðÐįƄÐŒ÷ĮéÐįĊŪįÐįďĸŤ÷ħðÐį éÐįĊŪįÐįĤĸĮ÷ŕŚēÐħðēTĸĊġÐNjaÐĮŪįdžðēŚēŚēƄÐįĊħÐēįdžēÐĮ÷įġÐðēéēįŤÐįĊēĤħÐįŔŪÐNjÐǜ ðÐďÐħdžŔŪÐƄÐįĊðēĮēħēĤēĸħ÷ď"Ðįĸį÷ēįēé÷ŕĮÐŚÐħÐďð÷įĊÐįžÐŕĊÐVħÐŤ÷įÐĤēéÐŤÐðÐįƄÐ ŒŕēŽÐŤēŚÐŚēÐēŕƄÐįĊĮ÷ĮéŪÐŤĮÐŚƄÐŕÐĤÐŤVħÐŤ÷įŤēðÐĤéēŚÐĮ÷įĊÐĤŚ÷ŚÐēŕŚ÷êÐŕÐĊŕÐŤēŚNjV÷Ťǜ ÷ŕħēéÐŤÐį`ÐŕƌŪĤēŚ÷éÐĊÐēéēįŤÐįĊŤÐĮŪðÐħÐĮƥħĮðÐŒÐ"÷įĊÐįēįŤÐƯð÷įĊÐįĮ÷ǜ ĮÐĤÐēĤÐĸŚŤÐįŒÐħ÷įĊÐįé÷ŕŤŪħēŚĤÐįTj"Ť÷ŕŚ÷éŪŤġŪĊÐðēÐįĊĊÐŒéÐĊēÐįðÐŕē÷ĤŚēŚŤ÷įŚēðēŕē ŚÐġÐĤ÷ŤēĮéÐįĊĮ÷įĊÐðŽĸĤÐŚēTj"ħ÷éēďŚ÷ŕēŪŚNj`÷ŚĤēŒŪįð÷ĮēĤēÐįdžĮ÷įŪŕŪŤŚÐƄÐdžð÷įĊÐį ħÐĊŪƄÐįĊðēêēŒŤÐĤÐįðÐįðēĮÐēįĤÐįĸħ÷ď`ÐŕƌŪĤēēįēēŚŪTj"Į÷įġÐðēġÐŪďħ÷éēďðēĤ÷įÐħðÐį ħ÷éēďŒĸŒŪħ÷ŕŚ÷êÐŕÐįÐŚēĸįÐħNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
163
hotel yang membuat rumah-rumah mereka yang tidak mendapatkan cahaya matahari (Tirto.id, 17 Juni 2016). Melalui dunia maya, Komunitas Rumah Baca (RBK) Jogja, melalui inisiatif David Efendi dan Ari Dwi Yoga sebagai eksekutor gambar mengkampanyekan tagar Gerakan Membunuh Jogja, yang dimulai sejak tahun 25 Desember 2015 dan kemudian meledak 3 hari setelahnya, yaitu menjadi viral di dunia maya, baik di twier, facebook, line, whats up, dan BBM. Selain menghentak kesadaran masyarakat, tagar Gerakan Membunuh Jogja ini untuk mengkampanyekan situasi Jogja yang mengkhawatirkan. Ia mencatat ada sekitar 3500-an orang yang telah membagi gambar tersebut dan kemudian banyak dipotret dan dibagikan dalam pelbagai media sosial. Isi dari postingan tersebut adalah gambar satir berupa foto ikon Tugu Pal Putih dengan latarbelakang cuaca yang mendung menghitam di tengah kepungan dan padatnya bangunan pencakar langit. Dalam membagikan postingan tersebut, David menarasikan isi gambar tersebut terkait dengan kondisi kekinian situasi Jogja dengan nada ironis (Wawancara dengan David Effendi, 29 April 2016).9 Banyaknya netizen dalam merespon postingan tersebut, ia kemudian membuat tagar tersebut dengan profil akun yang bisa disukai (like) dan dibagi (share) banyak orang. Ketidaksukaan sekelompok orang atas gerakan tagar itu, akun tersebut ditutup setelah mendapatkan laporan dari sekelompok akun yang menganggap bahwa akun Gerakan Membunuh Jogja telah menyalahi kaidah yang ditetapkan regulasi penggunaan Facebook. Upaya membuka akun tersebut sudah diusahakan, namun ada banyak hal prosedur yang harus dilewat sebagai bentuk klarifikasi. David mencari jalan lain agar semangat Gerakan Membunuh Jogja tetap Hidup. Bersama Ari Dwi Yoga, ia membuat akun facebook Urban Literacy Campaign untuk mengkampanyekan situasi Jogja terkini. Hampir setiap minggu, akun Urban Literacy Campaign memposting gambar dengan desain menarik mengenai kondisi Jogja yang memprihatinkan dengan refleksi data sebagai penguat ƶ ŪįƄēŤŪħēŚÐįŤ÷ŕŚ÷éŪŤÐðÐħÐďǣŤÐŚįÐĮÐŒ÷ĮéÐįĊŪįÐįðÐįŒ÷ŕŤŪĮéŪďÐį÷ĤĸįĸĮēŒ÷ŕŪǜ ŚÐĤÐį ħēįĊĤŪįĊÐį ðÐį êÐĊÐŕ éŪðÐƄÐ ðēħ÷ĊÐħĤÐį ðē TĸĊġÐNj ÷ŕŚ÷ŤÐį ǘðÐįǙ ¯dž Œ÷ŕŚ÷ŤÐį ŕŪÐįĊŤ÷ŕéŪĤÐďēġÐŪNj+įƄÐďħÐďĤĸŤÐŕÐĮÐďÐįÐĤNjVēŤÐéŪŤŪďŪÐįĊéŪĤÐįƥħĸŚĸƥðÐįįÐŚĤÐď ÐĤÐð÷ĮēĤNjjŕÐįĊÐēĤďÐįƄÐðēÐĮdžĸŕÐįĊŒēįŤÐŕŚēéŪĤĉ÷ŚŤēŽÐħðÐįŒÐŕÐð÷džÐįÐĤǜÐįÐĤĮŪðÐ ÐŚēĤ ð÷įĊÐį ďĸéē ŤŕÐŽ÷ħħēįĊ ðÐį ĤŪħēį÷ŕ ÐŤÐŪ é÷ŕǜŚĸêĮ÷ð ÐħÐƄǜÐħÐƄÐįNj µÐdž ĤĸŤÐ TĸĊġÐ ĮÐŤē ðēŤÐįĊÐįŚ÷ŤÐįŒ÷ĮĸðÐħðÐįŒ÷įĊ÷ĮéÐįĊĮĸð÷ŕįēŤÐŚNjÐÐŤįƄÐŪÐįĊĮ÷įĊÐŤŪŕŚ÷ĊÐħÐįƄÐNj TĸĊġÐēŤŪĮÐŚÐħÐħŪdžŚ÷ĤÐŕÐįĊðÐįĮÐŚÐð÷ŒÐįÐðÐħÐďǥĤĸŤÐéÐŕŪǦNjGįįÐħēħħÐďēTĸĊġÐĤÐŕŤÐŤ÷ħÐď Ś÷ĤÐŕÐŤNj÷ĮĸĊÐďŪŚįŪħĤďĸŤēĮÐďNjĮē÷įǤNj
164
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
kampanye (Wawancara dengan Ari Dwi Yoga, 22 April 2016). Komunitas Rumah Baca bukanlah satu-satunya komunitas yang mengkampanyekan isu mengenai komersialisasi Jogja. Dengan maksud bermain-main tetapi membuat postingan yang membuat orang berpikir, Keluarmain.com mengkampanyekan situasi Jogja dengan gerakan yang lebih halus, baik melalui akun facebook, website, dan twier. Melalui gambar dan permainan bahasa, Keluarmain.com mengajak netizen untuk melihat kondisi Jogja dengan cara yang lebih rileks (Wawancara dengan Gary Yourdan Herlambang, 30 April 2016).10 Berbeda dengan gerakan kritik di atas yang lebih bergerak pada arus bawah dan kultural, pada 20 Maret 2016, sejumlah tokoh dari pelbagai bidang berkumpul di angkringan Code Jetisharjo untuk mendeklarasikan Gerakan Jogja Independent (JOINT). JOINT ini diharapkan menjadi gerakan yang lebih struktural dengan masuk ke dalam struktur pemerintah dengan mencalonkan tokoh yang diinginkan oleh masyarakat melalui jalur independen dalam Pilkada 2017. Di antara penggagas tokoh tersebut adalah budayawan Butet Kartaredjasa, musisi Djaduk Ferianto, Sutradara Garin Nugroho, dan Guru Besar UGM Danang Parikesit, dan Busyro Muqoddas (news.detik.com, 20 Maret 2016). Bagi mereka, JOINT adalah “gerakan kemandirian warga Jogja yang berlandaskan moral, edukasi, dan politik yang bermartabat untuk mewujudkan kota Jogja kembali sebagai wujud handerbeni dan kepedulian kita terhadap kota Jogja tercinta”. Lebih jauh, gerakan ini didasarkan kepada kekecewaan pejabat publik yang dianggap tidak mampu mengelola dan menjaga kota Jogja. Apalagi, hal yang membuat penggagas JOINT ini makin miris adalah “pemangku kebijakan kota saat ini lebih banyak melayani partai pengusung dan pendukung saat Pilkada terdahulu sebagai pemenuhan deal kontrak politik daripada melayani masyarakat banyak” (Jogjaindependent2017.com, 2016).
Ʈƭ Gįē Ť÷ŕħēďÐŤ ðÐŕē ŒĸŚŤēįĊÐį ƄÐįĊ ðēéÐĊē ĸħ÷ď V÷ħŪÐŕĮÐēįNjêĸĮ ŚÐÐŤ Į÷ĮéÐĊē ēįĉĸŕĮÐŚē ðÐį ĊÐĮéÐŕ Į÷įĊ÷įÐē ƴ ħÐŚÐį `÷įĊЌРÐįŤŪħ TÐįĊÐį "ēéÐįĊŪį `Ðħħǐ ƮǙ ÐįŤŪħ ÐĤÐį Ĥ÷ďēǜ ħÐįĊÐįŕĸďéŪðÐƄÐįƄÐƄÐįĊé÷ŕĮÐŕŤÐéÐŤdžƯǙV÷`ÐħħéŪĤÐįéŪðÐƄÐĸŕÐįĊÐįŤŪħdžưǙVÐĮē ēįĊēįĤ÷ðÐĮÐēÐįðÐįéŪĤÐįĤ÷Įĸð÷ŕįÐįdžƱǙēÐŕĤÐįÐįŤŪħŤ÷ŤÐŒé÷ŕŚÐďÐġÐdžƲǙVÐĮēēįĊēį ÐįŤŪħŤ÷ŤÐŒďēġÐŪŤÐįŒÐŒ÷įêÐĤÐŕħÐįĊēŤdžƳǙVÐĮēŤēðÐĤĮÐŪÐįŤŪħŒ÷įŪďŒĸħŪŚēXēĮéÐďðÐį ÐĮŒÐď®ēŚŪÐħdžƳǙÐįŤŪħĤÐįĤ÷ďēħÐįĊÐįĸŕÐįĊǜĸŕÐįĊĮÐįēŚNj"ēÐįŤÐŕÐŤŪġŪďÐħÐŚÐįŤ÷ŕŚ÷ǜ éŪŤdžÐħÐŚÐįŤ÷ŕÐĤďēŕƄÐįĊĮ÷įÐŕēĤdžðēĮÐįÐV÷ħŪÐŕĮÐēįNjêĸĮĮ÷ĮÐŚÐįĊžÐġÐďĸŕÐįĊÐįŤŪħ ð÷įĊÐįĮ÷įĊĊŪįÐĤÐįĤÐêÐĮÐŤÐďēŤÐĮŤ÷ŤÐŒēĮ÷įŪįġŪĤĤÐįĤ÷ŒĸħĸŚÐįįƄÐǘXēďÐŤNjC÷ŕħÐĮǜ éÐįĊdžƯƭƮƳdžĤ÷ħŪÐŕĮÐēįNjêĸĮǑƴǜÐħÐŚÐįǜĤ÷įÐŒÐǜéÐįŤŪħǜġÐįĊÐįǜðēǜéÐįĊŪįǜĮÐħħǙNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
165
Media Sosial, Keterhubungan, dan Efek “Ketakutan” Dari pemaparan tersebut, sejauhmana aktvisme online memberikan pengaruh dan memungkinkan adanya perubahan dalam institusi demokrasi, dalam hal ini kebijakan pemerintah kota Jogja? Di sini, ada ada empat hal yang bisa saya kemukakan terkait dengan pertanyaan itu. Pertama, menguatnya wacana JOD di publik Jogja. Kedua, menghubungkan beberapa komunitas untuk membangun solidaritas bersama. Ketiga, adanya resistensi kecil. Keempat, subyek persoalan. Empat bagian ini adalah bagian dari analisis tidak terpisahkan terkait dengan pembentukan wacana publik JOD yang menjadi imajinasi bersama tetapi tidak ada gerakan besar secara kordinatif untuk melakukan perubahan tersebut. Menguatkan wacana JOD Setidaknya ada dua kali aksi demonstrasi yang dilakukan dua komunitas terkait dengan kebijakan yang dilakukan Haryadi Suyuti sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, Ora Masalah Har yang didukung kampanye video melalui Youtube dan Mencari Haryadi yang dilakukan oleh kelompok seniman Jogja dan komunitas dari beberapa latarbelakang yang tergabung dalam gerakan Warga Berdaya. Dua gerakan tersebut mendapatkan respon dari Haryadi meskipun itu tidak mengubah kebijakannya ataupun kemungkinan visinya dalam membangun Jogja. Gerakan Ora Masalah Har ini membuat Haryadi merasa terusik. Sebagaimana ia tegaskan, “saya cukup terganggu dengan persepsi di video ‘Ora Masalah Har!’. Memang kreatif, tapi kontennya kurang tepat. Saya tidak pernah menyinggung soal pelarangan program Segosegawe (Sepeda Kanggo Sekolah Lan Nyambut Gawe) setiap hari Jumat di Balai Kota Yogyakarta, bahkan saya dulu juga penggagas Segosegawe” (www. jogja.tribunnews.com, 16 Oktober 2012). Sementara itu, ia menanggapi dengan dingin Festival Mencari Haryadi, “saya kan ada di sini. Tidak perlu dicari. Kalaupun kemarin saya pergi (ke Amerika), pamit, izin dan tujuannya sudah jelas (ikuti pelatihan kepemimpinan” (Koran Tempo, 25 Oktober 2013). Respon dingin tersebut bisa ditafsirkan pada tiga hal. Pertama, tidak pekanya Haryadi terhadap dunia seni sehingga kritik yang disampaikan tersebut tidak sampai ke dalam relung kesadarannya. Kedua, media seni sebagai alat kritik sosial untuk menggugah kesadaran belum cukup representatif untuk menggambarkan ketidakberesan terkait dengan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkannya. Ketiga, Haryadi membaca 166
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
dan mengetahui semua kritik melalui medium seni tersebut, tetapi sengaja tidak mau tahu dan tidak mau mendengarkan kritik tersebut. Akibatnya, Festival Mencari Haryadi yang seharusnya diartikan secara kontekstual, di mana Jogja berjalan seperti autopilot tanpa adanya campur tangan pemerintah kota untuk membenahi justru dimaknai secara tekstual. Kendati begitu, dua gerakan tersebut membuat pemerintah Kota setidaknya mengerti bahwa ada kebijakan yang salah yang telah ia lakukan. Terlepas dari dua sikap tersebut, dua aksi tersebut melahirkan satu pernyataan yang dapat merepresentasikan kondisi kekinian yang terjadi di Jogja, Jogja Ora Didol. JOD ini yang kemudian diamplifikasi secara populer di Youtube melalui lagu yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Jogja Hip Hop Foundation sehingga trend dan bagian identitas bagi gerakan sosial yang dilakukan oleh pelbagai komunitas dan kelompok dalam mengkritik kebijakan Haryadi. Dampak ikutan yang muncul dari JOD ini mendorong sekumpulan anak-anak muda melakukan kampanye atas perubahan wajah Jogja yang berwajah konsumerisme. Setidaknya, gerakan anak muda ini bisa kita lihat kepada dua komunitas Jogja Literacy Campaign dan Keluarmain.com di media sosial. Selain memperluas jangkauan advokasi melalui gambar, melalui media sosial mereka membuat JOD bisa dikenal oleh publik luas dan masuk ke ranah yang sangat personal, yaitu telepon genggam yang memiliki aplikasi Whats Up, BBM, Line, Twier, dan Facebook. Dengan menggunakan media sosial sebagai alat advokasi dan konten yang dibuat, hal tersebut bisa menjangkau kalangan anak-anak muda, terutama mahasiswa dan mahasiswi. Meskipun harus diakui, posisi mahasiswa dan mahasiswi yang kebanyakan sebagai pendatang, tuntutan kampus dengan sistem administrasi yang memaksa untuk lekas selesai kuliah, hal ini membuat JOD menjadi semacam trend; bangga menyuarakan bahasa perlawanan, menggunakan kaos dengan bertuliskan JOD, menyuarakan itu di media sosial, tetapi seringkali enggan terlibat dalam gerakan hal yang sepele, yaitu interaksi terhadap warga kampung di mana mereka tinggal. Menghubungkan Komunitas Di sisi lain, advokasi sosial melalui media sosial inilah yang menghubungkan komunitas Jogja Literacy Campaign dengan Jogja Asat dan Warga Berdaya yang diwakilkan oleh Elanto Wijoyo. Keterhubungan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
167
dan kemudian membangun aksi bersama ini terlihat dengan adanya aksi demonstrasi bersama yang mereka lakukan pada hari Minggu 17 April 2016 di pada jam 07.00 di Alun-alun Selatan dengan menyerukan isu ekploitasi tanah, baik di Jogja, Bali melalui reklamasi Teluk Benoa dan kota-kota lainnya. Aksi demonstrasi inilah yang kemudian mereka sebarkan di media sosial. Selain itu, keterhubungan ini juga yang terjadi dalam komunitas seniman yang tergabung dalam Festival Mencari Haryadi dengan beberapa komunitas lain yang kemudian mereka menggabungkan diri dalam akun facebook Kota Untuk Manusia untuk menyebarkan dan mengadvokasi Jogja agar menjadi kota yang lebih manusiawi. Melalui akun tersebut, mereka menyebarkan dan mengadvokasi isu-isu yang terkait dengan persoalan Jogja dan sesekali membicarakan persoalan isu nasional dan lingkungan. Atas nama Warga Berdaya, Jogja Asat dan beberapa komunitas lainnya, melakukan gerakan Merthi Kuto dengan membenahi infrastruktur kota, seperti mengecat kembali tanda marka jalan untuk pesepeda dan difabel dan menghapus iklan-iklan di tembok-tembok jalan yang dianggap sebagai sampah virtual pada 10 Februari 2013. Tidak berhenti di sini, atas nama komunitas Warga Berdaya, di mana tergabung pelbagai komunitas, mereka melakukan aksi dengan nama Serangan Umum Satu Maret pada 1 Maret 2013. Nama Serangan Umum Satu Maret digunakan untuk merepresentasikan bagaimana mereka melakukan perubatan ruang kota di tengah dominasi privatisasi ruang publik yang telah diambil oleh pihak komersil yang mendapatkan izin dari pemerintah kota untuk iklan. Merebut ruang publik ini disimbolkan secara praksis dengan pembersihan sampahsampah visual dan pengecatan kembali dengan warna putih jembatan kewek yang selama ini telah menjadi warisan kultural (cultural heritage) bagi kota Jogja (Dokumentasi IIVA, 4 Maret 2013). Kendati demikian, keterhubungan ini masih skala kecil dan tidak mencakup pelbagai komunitas yang memiliki kepedulian yang sama dalam konteks JOD. Resistensi Kecil Sementara itu, Dodok melalui Jogja Asat tidak hanya melakukan gerakan sosial dengan demonstrasi langsung untuk mengkritik pendirian hotel dan apartemen yang telah membuat kering sumur rumah miliknya dan para tetangganya, melainkan juga menggunakan film dokumenter sebagai alat
168
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
propaganda kepada masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar pembangunan hotel. Melalui film tersebut, dengan mengajak diskusi kepada masyarakat, ia membangunkan kesadaran atas bahaya yang sedang mengancam tanah mereka di tengah pembangunan bangunan komersial yang massif. Film ini tidak hanya membentuk imajinasi masyarakat Jogja terkait tanah dan air yang mereka miliki di tengah bangunan hotel dan apartemen yang merenggut sumber mata air mereka, melainkan menjadi semacam peletup mereka untuk bergerak. Hal ini, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, membuat beberapa kampung di Jogja melakukan perlawanan terhadap pendirian dan pembangunan hotel serta bangunan komersial lainnya, meskipun itu dilakukan secara sporadis. Setidaknya, resistensi-resistensi kecil memaksa pemilik modal untuk mencari cara agar dapat meredakan hal tersebut. Di sisi lain, sebaran film tersebut yang diunggah di Youtube membuat gerakan JOD memiliki amunisi baru terkait dengan upaya mengembalikan identitas Jogja sebagai kota yang dianggap berhati nyaman. Ini karena, selain ditonton oleh anak-anak muda, film tersebut juga dibicarakan oleh kebanyakan aktivis dan akademisi. Aksi langsung ini juga dilakukan oleh JOINT dengan mencoba merebut struktur kota Jogja dengan menggagas calon independen. Secara keterhubungan, komunitas-komunitas yang saya sebutkan pasti mengenal para inisiator JOINT. Namun demikian, meski mereka tampaknya saling terhubung, kendati berdirinya JOINT bagian dari konteks dan memanfaatkan momentum JOD. JOINT ini diharapkan menjadi suara alternatif di tengah cengkeraman partai politik melalui calon-calonnya yang ternyata tidak dapat berbuat banyak dalam membenahi persoalan penataan kota Jogja dan pembangunan infrastruktur yang lebih berpihak kepada masyarakat. Kendati demikian, perjalanan JOINT untuk mendapatkan aspirasi masyarakat, baik secara politik maupun ekonomi akan menghadapi oligarki partai politik yang sudah bertahan lama dalam pertarungan pilkada. Subyek Persoalan Meskipun JOD menjadi imajinasi bersama, mengapa tidak ada kordinasi untuk membangun solidaritas bersama dalam aktivisme sosial tersebut dan hanya bergerak berkelompok dan di ranah online? Hal ini berbeda ketika Susilo Bambang Yudoyono (saat menjabat sebagai presiden) mengkritisi sistem monarki yang melekat pada pemerintahan keistimewaan Jogja sebagai
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
169
suatu hal yang bertentangan pada 2010. Dari tahun 2010 hingga 2012, warga Jogja yang terdiri dari pelbagai elemen mengajukan protes dengan melakukan demonstrasi, aksi panggung, dan teaterikal untuk menuntut disahkannya UU Keistimewaan Jogja. Aktivisme online mendukung hal teresbut juga dilakukan. Di sini, mereka, dari pelbagai latarbelakang profesi dan komunitas, bersepakat bahwa Jogja harus tetap memiliki sistem keistimewaan. Dalam konteks ini, mengapa gaung dan dukungan kepada gerakan JOD tidak sekuat gemanya dibandingkan dengan isu sistem keistimewaan Jogjakarta? Sementara, duaduanya adalah isu yang sama penting. Isu pertama terkait dengan perubahan wajah kota Jogja yang mulai menghilangkan tradisi dan kebudayaannya dengan adanya bangunan komersial. Hal ini menyangkut kepentingan semua warga Jogja. Isu kedua lebih terkait dengan identitas kekhasan Jogja dengan sistem monarki. Ini lebih menyangkut kepentingan elit oligarki Jogja, dalam hal ini ada keluarga Kraton. Gerakan keistimewaan untuk mendukung RUU keistimewaan Jogja lebih didukung oleh hampir semua lapisan masyarakat Jogja karena pihak yang dibela adalah raja mereka, Sri Sultan Hamengkubowono ke-10, di mana keluarganya sebagai pewaris keraton memiliki kontribusi penting dalam pembentukan dan perjalanan Jogja dari kerajaan hingga pemerintahan sekarang. Jogja yang dipimpin oleh Raja juga menjadi bagian dari karakter keistimewaan tersebut. Sementara kerangka pikir yang mereka miliki terkait dengan “musuh yang mengancam” adalah pihak luar, dalam hal ini presiden SBY. Dukungan kepada keistimewaan, dengan demikian, adalah dukungan kepada raja mereka, meskipun Sri Sultan Hamengkubuwono ke-10 adalah Gubernur, eksekutif yang membawahi walikota. Sementara JOD, meskipun musuh bersama yang dianggap merugikan adalah walikota Jogja, Haryadi Suyuti, dampak destruktif bagi mereka yang mengalami adalah “orang-orang kecil” sehingga tidak menganggu investasi para elit oligarki.11 Meskipun dampak destruktif itu mengubah wajah ƮƮ "ÐħÐĮé÷é÷ŕÐŒÐĤ÷Ś÷ĮŒÐŤÐįŕēŪħŤÐįCÐĮ÷įĊĤŪéĸžĸįĸŚ÷éÐĊÐē>Ūé÷ŕįŪŕŚŪðÐďĮ÷ĮēįŤÐ ÐĊÐŕēƌēįŒ÷ĮéÐįĊŪįÐįďĸŤ÷ħðÐįÐŒÐŕŤ÷Į÷įðēď÷įŤēĤÐįNjaÐĮŪįŤ÷ĊŪŕÐįēįēŚ÷ÐĤÐįðēÐéÐēǜ ĤÐįNj÷ŕŤÐįƄÐÐįįƄÐdžÐŒÐĤÐďēŤŪŤ÷ĊŪŕÐįŚ÷êÐŕÐĤ÷ŕÐŚÐŤÐŪŚ÷Ĥ÷ðÐŕĉĸŕĮÐħēŤÐŚnj÷éÐĊÐēĮÐįÐ ðēŤ÷ĊÐŚĤÐįĸħ÷ď>÷ĸŕĊ÷TŪįŪŚðēŤġĸįðŕĸŒ÷į÷Ť÷ŒÐįħ÷ĊēŚħÐŚēĤ÷ēŚŤēĮ÷žÐÐįTĸĊġÐŚ÷ďÐŕŪŚǜ įƄÐŤēðÐĤďÐįƄÐðēħēďÐŤðÐŕēŚēÐŒÐƄÐįĊé÷ŕďÐĤĮ÷įġÐðē>Ūé÷ŕįŪŕðÐį¯ÐĤēħįƄÐNjX÷éēďġÐŪďdž Į÷įŪŕŪŤįƄÐdžĤēŤÐďÐŕŪŚĮ÷ħēďÐŤðÐĮŒÐĤðÐŕēÐðÐįƄÐħ÷ĊēŚħÐŚēŪįðÐįĊǜŪįðÐįĊĤ÷ēŚŤēĮ÷žÐÐį Ť÷ŕĤÐēŤð÷įĊÐįĤ÷é÷ŕÐðÐÐįġŪŤÐÐįď÷ĤŤÐŕŤÐįÐďǜŤÐįÐďĤ÷ŕÐġÐÐįðēŒŕĸŽēįŚēēįēdžƄÐįĊðēĤ÷įÐħ ð÷įĊÐįŚ÷éŪŤÐįŪħŤÐįÐÐŤ>ŕĸįð÷įǘ>ǙðÐįÐĤŪÐħÐĮÐįÐÐŤ>ŕĸįð÷įǘ>ǙNjGįēĤÐŕ÷įÐdžé÷įǜ ŤÐįĊÐį>ðÐį>ðē"GµēŤŪŚÐįĊÐŤħŪÐŚNj÷ŕðÐŚÐŕĤÐįēġĤŚéħÐðVÐŚŪħŤÐįÐįaĸNjƮƳǑƮƶƮƵðÐį ēġĤŚéħÐðVÐðēŒÐŤ÷įaĸNjƮƵǑƮƶƮƵdžŚ÷ĮŪÐŤÐįÐďƄÐįĊŤēðÐĤðÐŒÐŤðēéŪĤŤēĤÐįĮ÷ŕŪŒÐĤÐįďÐĤ ÷ēĊ÷įðĸĮǘďÐĤĮēħēĤǙĸŕÐįĊħÐēįdžĸŤĸĮÐŤēŚĮ÷įġÐðēĮēħēĤĤ÷ŚŪħŤÐįÐįðÐįĤÐðēŒÐŤ÷įNjēéŪÐį
170
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Jogja dan tidak berdampak terhadap identitas keistimewaan Jogja, dukungan terhadap JOD tidak bisa sepenuhnya. Apalagi, tumbuhnya bangunan komersil tersebut seringkali dianggap dapat menaikkan perekonomian kota Jogja secara tidak langsung, di mana warga Jogja bisa turut menikmati hasilnya. Di sini, warga Jogja terbelah dalam menyikapi tersebut. Ada yang menganggap gerakan tersebut dengan sinisme terkait dengan ketidakinginan Jogja untuk lebih maju ada yang menyetujuinya mengingat ini menyangkut ancaman yang sedang mereka hadapi. Di sisi lain, tidak adanya kordinasi di antara mereka ini menunjukkan “sikap saling mengetahui tapi disikapi dengan diam” terkait dengan siapa sebenarnya orang yang memiliki otoritas terhadap Jogja. Keterdiaman para aktivis, intelektual dan pegiat komunitas yang ada di Jogja mengenai kekuataan besar tersebut merupakan bentuk kekhawatiran dan ketakutan akut terkait hilangnya hak-haknya sebagai warga Jogja apabila mereka berani bersuara di tengah dominasi struktural dan kultural atsmospir Jogja di mana Gubernur yang Raja Jogja tersebut memiliki suara absolut yang tidak bisa diganggu, apalagi digugat. Ini karena, siapapun yang dianggap mengancam keluarga keraton akan diintimidasi secara langsung oleh paramiliter yang berada di belakangnya. Pengusiran bagi orang Jogja dan pendatang yang tinggal akibat mengkritik keluarga Keraton menjadi sangat mungkin.12 Dengan demikian, meskipun sudah dikritik berkali-kali ď÷ĤŤÐŕ>ðēŚ÷ħŪŕŪď"Ð÷ŕÐďGŚŤēĮ÷žÐµĸĊƄÐĤÐŕŤÐdžĤēįēŤ÷ŕĤĸįŚ÷įŤŕÐŚēðēµĸĊƄÐĤÐŕŤÐdžÐįŤŪħ ðÐįħ÷ĮÐįNj÷ħÐēįēŤŪdž>ĮÐŚēďħŪÐŚðÐįŤ÷ŕĤĸįŚ÷įŤŕÐŚēðēVŪħĸįŕĸĊĸNjV÷ðŪÐġ÷įēŚŤÐįÐď Ĥ÷ŕÐŤĸįēŤŪĮ÷ŕŪŒÐĤÐįŚŪĮé÷ŕŒ÷įðÐŒÐŤÐįĤ÷ðŪÐĤ÷ŕÐŤĸįēŤŪðÐŕēŚÐďÐĮįƄÐðēCĸŤ÷ħĮǜ éÐŕŪĤĮĸdžĮéÐŕŪĤĮĸħÐƌÐdžÐŒďē÷ŕŔŪÐŕ÷džðÐįŒÐðÐįĊĊĸħĉ`÷ŕÐŒēNj÷įĊ÷ħĸħÐÐįŤÐįÐďǜ ŤÐįÐďĤ÷ŕÐŤĸįēŤŪé÷ŕÐðÐðēéОÐďƄŪŕēŚðēĤŚēĤÐįŤĸŕÐįēŤēVēŚĮĸdžƄÐįĊðēĤ÷ŒÐħÐēĸħ÷ď>C CÐðēžēįĸŤĸdžÐðēĤŪħŤÐįC´džð÷įĊÐįĊ÷ħÐŕ÷įĊďÐĊ÷įĊVО÷ðÐįÐįCÐĊ÷įĊ¯ÐďĸįĸÐŕŤĸ VŕēƄĸNj "ē ŚēŚē ħÐēįdž ĮēŕēŒ Ĥ÷ħŪÐŕĊÐ ŕÐġÐǜŕÐġÐ +ŕĸŒÐdž Œ÷ŕŚēħǜŒ÷ŕŚēħ > ðÐį > Į÷įġÐðē ĮĸðÐħ éēŚįēŚðÐįĤ÷ĊēÐŤÐįŚĸŚēÐħéÐĊēéÐįƄÐĤÐįĊĊĸŤÐĤ÷ħŪÐŕĊÐé÷ŚÐŕŪħŤÐįCÐĮ÷įĊĤŪŪžĸįĸ ´ðÐįÐĤŪħÐĮG´Nj"ēÐįŤÐŕÐÐðēĤǜÐðēĤŪħŤÐįƄÐįĊŒÐħēįĊĮ÷įĸįġĸħŤ÷ŕŚ÷éŪŤÐðÐħÐď>C ŕÐéŪĤŪŚŪĮĸdžðēŕ÷ĤŤŪŕŪŤÐĮÐVÐŕĤÐðēŚÐŤƄÐ`ÐŤÐŕÐĮdžŚÐħÐďŚÐŤŪŒ÷ŕŪŚÐďÐÐįēĤħÐįħŪÐŕ ŕŪÐįĊŤ÷ŕé÷ŚÐŕðēµĸĊƄÐĤÐŕŤÐdžðÐįVĸĮēŚÐŕēŚŤÐĮÐTĸĊġЮNj÷ħÐēįēŤŪdžŪŤ÷ŕēŚŪħŪįĊŕēŪħǜ ŤÐįdž>ŪŚŤēVÐįġ÷įĊÐŤŪǘ>VǙ÷ĮéÐƄŪįdžŒÐħēįĊÐĤŤēĉĮ÷ĮÐįĉÐÐŤĤÐįŤÐįÐďĤ÷ŕÐŤĸįžÐŕēŚÐį ÷ŕġÐįġēÐį>ēƄÐįŤēƮƴƲƲēŤŪNj÷ħÐēįĮ÷ĮēĮŒēįŒÐéŕēĤĊŪħÐ`ÐðŪĤēŚĮĸdžēÐĮ÷įðēŕ÷ĤŤŪŕēŒÐéŕēĤ ŕĸĤĸĤĤŕ÷Ť÷Ĥé÷ŕħÐé÷ħVŕÐŤĸį"Ðħ÷ĮƄÐįĊŒŪįƄÐĤ÷éŪįŤ÷ĮéÐĤÐŪŚ÷įðēŕēðē>ÐįġŪŕÐįdžÐįǜ ŤŪħǐéŪðēðÐƄÐŪħÐŤŚŪŤ÷ŕеÐŕŚēħĤ>ĸŕÐ`ÐďĸŤŤÐĮÐðē"÷ŚÐVÐŕÐįĊŤ÷įĊÐďdžV÷êÐĮÐŤÐįGĮĸǜ ĊēŕēdžÐįŤŪħǐŚ÷ŕŤÐŤÐĮéÐĤŪðÐįĊGįðĸĤĸŕÐįĊŪį"÷ŚÐðēŒÐįŤÐēVŪžÐŕŪdžÐįŤŪħNj"÷įĊÐį ð÷ĮēĤēÐįdžŤ÷ĊŪŕÐįÐĊÐŕĮ÷įĊď÷įŤēĤÐįŒ÷ĮéÐįĊŪįÐįďĸŤ÷ħðÐįÐŒÐŕŤ÷Į÷įŤÐĮŒÐĤįƄÐĮ÷įǜ ġÐðēĉĸŕĮÐħēŤÐŚŚÐġÐĮ÷įĊēįĊÐŤĤ÷Œ÷ĮēħēĤÐįŤÐįÐďƄÐįĊĤ÷éÐįƄÐĤÐįðēĤŪÐŚÐēĸħ÷ďĤ÷ħŪÐŕĊÐ ŪħŤÐįNjXēďÐŤǘ>÷ĸŕĊ÷TŪįŪŚðēŤġĸįðŕĸdžǣ>ðÐį>dž÷įŪĮŒÐįĊ>÷ħÐŒVµĸĊƄÐĤÐŕŤÐǤdž ēįÐŕCÐŕÐŒÐįdžưƮTÐįŪÐŕēƯƭƮƮǙ ƮƯ VÐŚŪŚŒ÷įĊŪŚēŕÐį>÷ĸŕĊ÷TŪįŪŚðēŤġĸįðŕĸŤ÷ŕĤÐēŤð÷įĊÐįĊŪŕÐŪÐįįƄÐðÐħÐĮŚÐŤŪðēŚĤŪŚēŒŪéǜ ħēĤdžĮēŚÐħįƄÐdžēÐħÐįĊŚŪįĊðēħÐŒĸŕĤÐįĸħ÷ď=ĸŕŪĮ`ÐŚƄÐŕÐĤÐŤµĸĊġÐĤÐŕŤÐǘ=`µǙĤ÷ĸħðÐ"Gµ ĤÐŕ÷įÐðēÐįĊĊÐŒŤ÷ħÐďĮ÷ħ÷ê÷ďĤÐįV÷ŕÐŤĸįðÐįĮÐŚƄÐŕÐĤÐŤTĸĊġÐŒÐðÐŤÐďŪįƯƭƮƮNj÷ĊēŤŪ
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
171
melalui aktivisme sosial, pembangunan dan perijinan bangunan komesial masih saja berjalan, penataan kota yang berpihak kepada masyarakat masih saja diabaikan oleh Haryadi Suyuti. Penutup Dari uraian di atas terlihat bahwa aktivisme online menjadi bagian penting dalam menguatkan gerakan JOD tersebut. Aktivisme online inilah yang memungkinkan JOD menjadi imajinasi bersama kebanyakan masyarakat Jogja. Aktivisme online yang dilakukan oleh pelbagai komunitas ini, sebelumnya sudah memiliki solidaritas dan ikatan yang kuat di antara mereka sebagai bagian dari komunitas yang memiliki kepentingan yang sama, seperti komunitas Sepeda Radical Road Riders, Rumah Baca Komunitas (RBK) dengan kehadiran akun facebook Urban Literacy Campaign, dan Warga Berdaya yang menghubungkan para seniman dan aktivis sosial melalui Festival Mencari Haryadi dan akun Kota Untuk Manusia. Di sisi lain, adanya ikatan yang kuat terhadap Jogja sebagai bagian dari rumah mereka membuat gerakan ini menjadi lebih artikulatif. Hal ini direpresentasikan oleh Jogja Hip Hop Foundation dengan menciptakan lagu JOD dan yang terkait dengan dinamika sosial Jogja dari lagu-lagu lainnya. Ikatan yang kuat dalam membangun solidaritas dan juga ikatan emosional di mana Jogja bagian dari rumah mereka juga tercermin oleh gerakan Jogja Asat yang dipelopori oleh Dodok dengan membuat film Belakang Hotel. Bercermin kepada analisis Galdwell (2010), yang menganggap bahwa ikatan solidaritas dalam media sosial tidak sekuat persahabatan di dunia nyata perlu dipertanyakan konteksnya. Ini karena, jika aktivisme online dilakukan dengan basis komunitas justru memiliki solidaritas yang kuat. Apalagi, mereka sudah mengenal sebelumnya di dunia nyata. Kendati demikian, meskipun secara kelompok mereka memiliki solidaritas yang diikat oleh komunitas-komunitas yang saling menguatkan, tetapi gerakan JOD itu tidak ada kordinasi di antara mereka, yang berakibat tidak adanya kelompok yang memiliki dan diberikan otoritas untuk membuat gerakan JOD menjadi lebih besar. Gerakan JOD pun terlihat lebih sporadis ġŪĊÐð÷įĊÐį=ħĸŕ÷įēďĸĮéēįĊƄÐįĊĮ÷įŪĮŒÐďĤÐįĤ÷ĮÐŕÐďÐįįƄÐðēĮ÷ðēÐŚĸŚēÐħÐŤďĤÐŕǜ ÷įÐĮ÷įƄ÷ħÐĤÐįŤŕēÐįðēŚÐħÐďŚÐŤŪTĸĊġÐðÐįēÐŤēðÐĤðēŤ÷ŕēĮÐĤÐŕ÷įÐŚŪðÐďðēŤ÷ĊŪŕĸħ÷ď ŚÐħÐďŚÐŤŪĸŕÐįĊƄÐįĊĮ÷įĊÐįŤŕēŒÐðÐƯƵĊŪŚŤŪŚƯƭƮƱNjĤēéÐŤįƄÐdžēÐðēħÐŒĸŕĤÐįĤ÷ħĸĮŒĸĤ ĮÐŚƄÐŕÐĤÐŤTĸĊġÐÐŤÐŚįÐĮÐ>ŕÐįÐŤ"GµdžVĸĮŪįēŤÐŚjµĸĊƄÐĤÐŕŤÐdž=ĸĤħÐŕ"GµǜTÐŤ÷įĊdž>÷ŕÐǜ ĤÐįēįŤÐGįðĸį÷ŚēÐdžðÐįŕÐĮŪĤÐ"GµNjGÐŒŪįŚ÷ĮŒÐŤðēŤÐďÐįðēĸħðÐ"GµĤÐŕ÷įÐðēÐįĊĊÐŒ Į÷įĊďēįÐðÐįĮ÷įƄÐĤēŤēĮÐŚƄÐŕÐĤÐŤTĸĊġÐðÐįðēÐįĊĊÐŒŤ÷ħÐďĮ÷ħÐĤŪĤÐįŤēįðÐĤÐįŒēðÐįÐNj
172
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
dan mengandalkan momentum semata. Bahkan JOD hanya menjadikan Haryadi sebagai subyek persoalan. Di sini, memahami konteks lokal pun menjadi penting. Komunitas-komunitas tergabung dalam JOD memiliki ketakutan untuk melangkah lebih jauh dengan mencari siapa sebenarnya di balik orang atau institusi yang memiliki kekuasaan lebih kuat. Ketakutan ini mereka sadari mengingat jika mereka bersuara mereka akan mengalami intimidasi langsung dan bahkan pengusiran. Hidup di wilayah urban dengan akses internet yang memadai, dan aktivitas tinggi terhadap media sosial serta iklim demokrasi sebagai proteksi sosial kebebasan masyarakat sipil, sebagaimana disebutkan oleh Merlyna Liem, ternyata tidak cukup bila melihat konteks JOD. JOD dengan aktivisme online dan langsung yang dilakukan oleh pelbagai komunitas ini menghindari apa yang disebut oleh Galdwell (2010), aktivisme yang beresiko tinggi. Dari pembahasan di atas kita juga dapat menyimpulkan bahwa online aktivisme tidak bisa diandalkan sebagai faktor utama untuk melakukan perubahan di masyarakat sebagaimana diasumsikan oleh kelompok pertama, yang sudah saya bahas dalam bagian pendahuluan, apabila tidak dilakukan aktivitas offline. Sebaliknya, mengabaikan media baru yang direpresentasikan oleh media sosial dengan ragam ikutannya sebagai alat yang menguatkan advokasi dan membangun gerakan berjejaring juga bukanlah sesuatu yang tepat, di mana struktur teknologi media baru telah mengubah pola komunikasi masyarakat. Dengan demikian, sinergisitas aktivisme online dan offline menjadi bagian yang saling menguatkan. Meskipun interaksi organis dengan melihat konteks sosial dan politik sebagaimana ditekankan oleh Liem (2013) harus dilihat untuk mengetahui sejauhmana gerakan sosial dianggap berhasil dan tidak, mamun, memahami interaksi organis tersebut tidak cukup hanya mengerti konteks sosial dan politik secara nasional dan perbandingan antar kasus dengan melihatnya secara statistik yang selama ini ditekankan oleh Liem. Melalui JOD ini saya menunjukkan bahwa konteks lokal dengan kehadiran oligarki politik sebagai kekuatan besar dengan sumber ekonomi, legitismasi politik, dan kebudayaan yang dimiliki menjadi faktor utama mengapa sebuah gerakan dengan menyatukan aktivisme online dan offline bisa menjadi imajinasi bersama tetapi tidak bisa menjadi kekuatan besar untuk melakukan perubahan dalam kebijakan publik yang dibuat oleh pemegang kebijakan.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
173
Daar Pustaka Buku, Jurnal, dan Tesis Dewi, Utami dan F. Winarni, 2010. “Pengembangan Pasar Tradisional Menghadapi Gempuran Pasar Modern di Kota Yogyakarta”, Proceeding Simposium Nasional ASIAN, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang. Hardiyanti, Ariyani Dwi. 2008. “Kebijakan Relokasi Pedagang Klithikan: Studi kasus di Pasar Klithikan Pakuncen Kota Yogyakarta”, Tesis Program Studi Magister Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Lim, Merlyna. 2013. “Many Clicks but Lile Sticks: Social Media Activism in Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, pp.1-22. Michele Ford. 2013. Social Activism in Southeast Asia, Routledge: London and New York. oriq, Muhammad Jamal. 2015. “Aksi Kolektif Dalam Bersepeda: Studi Banding Atas Sego Segawe (Sepeda Kanggo Sekolah lan Nyambut Gawe) dan JLFR (Jogja last Friday Ride) di Kota Yogyakarta’, Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol 9 No.2. Wawancara Ari Dwi Yoga, Pegiat Rumah Baca Jogja dan Urban Literacy Campaign, 22 April 2016. David Effendi, Kordinator Pegiat Rumah Baca Jogja dan Pegiat Urban Literacy Campaign, 29 April 2016. Dodok Putra Bangsa, Warga Miliran dan Aktivis Jogja Asat, 22 April 2016. Gary Yourdan Herlambang, Founder Keluarmain.com, 30 April 2016 Media Massa, Media Online, dan Internet Aditjondro, George Junus. 2012. “SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta”, Sinar Harapan, 31 Januari 2011 Anonim 2012. “Kemenangan Para Onthelis Jogja”, Kompas.com, 21 Oktober 2012. Diakses 23 Agustus, 2016: hp://edukasi.kompas.com/
174
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
read/2012/10/21/0403282/contact.html. Anonim. 2012. “Tanggapan Haryadi Suyuti Tentang Video Ora Masalah Har”, Tribunnews.com, 16 November 2012. Diakses 16 September 2016: hp://jogja.tribunnews.com/2012/10/16/tanggapan-haryadisuyuti-tentang-video-ora-masalah-har. Anonim. 2013. “Festival Seni Mencari Haryadi”, Koran Tempo, 25 Oktober. Anonim. 2013. “Upaya Masyarakat Berkontribusi Aspirasi kepada Daerahnya”, Nationalgeographic.co.id.15 September 2013. Diakses 16 Agustus 2016 : hp://nationalgeographic.co.id/berita/2013/09/upayamasyarakat-berkontribusi-aspirasi-kepada-daerahnya. Anonim. 2016. “Anak Muda Yogya Terancam Tunawisma”, Tirto.id, 14 Agustus 2016. Diakses 27 Agustus 2016: hps://tirto.id/20160803-37/ anak-muda-yogya-terancam-tunawisma-285185. Anonim. 2016. “Bisnis Properti Jogja: Banyaknya Pendatang Bikin Harga Tanah Tinggi”, Harian Jogja, 7 Juni 2016. Diakses 25 Agustus 2016: hp://www.harianjogja.com/baca/2016/06/07/bisnis-properti-jogjabanyaknya-pendatang-bikin-harga-tanah-tinggi-726547. Anonim. 2016 “Busyro Dkk Deklarasikan Gerakan Calon Walikota Independen Kota Yogya, news.detik.com, 20 Maret 2016. Diakses 29 Agustus 2016: hp://news.detik.com/berita/3169136/busyro-dkkdeklarasikan-gerakan-calon-walikota-independen-kota-yogya. Anonim. 2016. “Pasar Apartemen di Yogya Didominasi Investor Asing”, Tempo.co, 15 Juli 2016. Diakses 23 Agustus 2016: hps://m.tempo.co/ read/news/2016/07/15/090787957/pasar-apartemen-di-yogyakartadidominasi-investor-pendatang. Anonim. 2016. “Risiko dan Nasib Buruk Pembangunan Hotel di Yogyakarta”, Tirto.id, 17 Juni 2016. Diakses 16 Agustus 2016: hps://tirto. id/20160617-39/risiko-dan-nasib-buruk-pembangunan-hotel-diyogyakarta-242909. Anonim. 2016. “Tentang JOINT: Jogja Independent”, jogjaindependent2017. com. Diakses 29 Agustus 2016: hp://jogjaindependent2017.com/ demo/tentang/.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
175
Anonim. 2016. “Hotel Marak, Air Tanah Turun”, Kompas 6 Oktober 2016. Anonim. 2014. “Marzuki Kill e DJ “Jogja Ora Didol”, Kompas, 3 Oktober 2014. Anti-Tank. 2014. “Gondolayu Ora Didol”, Anti Tank Project. Diakses 20 Agustus 2016: hps://antitankproject.wordpress.com/2014/09/24/ gondolayu-ora-didol/. Arditama, Erisandi. 2012. “Benarkah Mereka Kalah?” Erisandiarditama. Wordpress,com, 28 Desember 2012. Diakses 27 Agustus 2016: hps:// erisandiarditama.wordpress.com/2012/12/28/benarkah-merekakalah/. Dhani, Arman. 2016 “Jogja Berhati Mantan”, Mojok.co. Diakses 27 Agustus 2016: hp://mojok.co/2014/10/jogja/. Herlambang, Yourdan. 2016. “7 Alasan Kenapa Bantul Jangan Dibangun Mall”, keluarmain.com, 18 April 2016. Diakses 28 Agustus 2016: hp:// keluarmain.com/7-alasan-kenapa-bantul-jangan-di-bangun-mall/. Ichsan, Muhammad Jazari. 2016. “Asal Mula Jogja Ora Didol”, Jazariichsan. blogspot.co.id, 26 Juli 2016. Diakses, 23 Agustus 2016: hps:// jazariichsan.blogspot.co.id/2016/07/asal-mula-jogja-ora-didol.html. Official NET News. 2014. “Perfomance Hip Hop Jogja Foundation-Jogja Ora Didol”, 17 November 2014. Diakses 26 Agustus 2016: hps://www. youtube.com/watch?v=xyZY_EIa3hU. Pradana, Andhika Riezky. 2012. “Ora Masalah Har!: Parodi Pesepeda Reaksi Budaya Fasistik”, www.kikipea.com, 15 Oktober 2012. Diakses 20 Agustus 2016: hp://www.kikipea.com/2012/10/ora-masalah-harparodi-pesepeda.html. Utomo, Yunanto Wiji. 2006. “Mengeja Jogja: Yogyakarta, Jogja, Jogjakarta, atau Yogya?”, www.yogyes.com. Diakses 15 Agustus 2016: hps:// www.yogyes.com/id/yogyakarta-travel-guide/jogja-or-yogya/. Wardhani, Sulistya Prima. 2015. “Bagaimana Rasanya Takut”, Etnohistori. org. Diakses 23 Agustus 2016: hp://etnohistori.org/bagaimanarasanya-takut.html. Warga Berdaya. 2013. “Data dan Fakta Program Pemerintahan Kota Yogyakarta”, Wargaberdaya.wordpress.com, 14 Oktober 2013. Diakses
176
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
19 Agustus 2016: dikutip dari hps://wargaberdaya.wordpress. com/2013/10/14/data-dan-fakta-program-pemerintahan-kotayogyakarta-bersama-haryadi-suyuti-2011-2013/. hp://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/1369118X.2014.934388
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
177
Ʈư
ĸħēŤēĤŕéÐįēŚĮ÷ðÐįVĸŤÐ`ÐįŪŚēÐ David Efendi
Pasar-pasar padha ilang kumandange/Malah kalah karo mall sing padang lampune/Simbok-simbok kepeksa nguculi jarike/Dha ganti katok gemes macak kaya SPG Merapi gregetan, blegere ilang/Ketutupan iklan, dadi angel disawang/ Neng duwur dalan, balihone malang/Sampah visual pancen kudu dibuang Lan, lan, hotel, hotel bermunculan/Suk-suk pari ambruk karo pemukiman/Lahan hijau makin dihilangkan/Ruwet, macet, Jogja berhenti nyaman Hoi! Balekno kutaku, kuwi dudu nggonmu/Bukan hanya milik kalangan kapital saja/Rumah bersama untuk kita semua.1
S
hakespeare pernah menulis ”what is city but ist people.” Apalah artinya kota tanpa penduduk (manusia). Kota sangat dekat dengan manusianya sebagaiman asalnya city yang dekat dengan citizen (Budiharja, 2015).2 Manusia kota juga dipengaruhi oleh infrastruktur kebudayaan dan juga suprastruktur politik dalam negara. Rezim politik menentukan seperti apa kota akan dirupakan: menjadi impian manusia Ʈ XēŕēĤħÐĊŪCēŒCĸŒ=ĸŪįðÐŤēĸįƄÐįĊðēĊŪįÐĤÐįŪįŤŪĤĮ÷įĸħÐĤħēé÷ŕÐħēŚÐŚēŒ÷ĮéÐįĊŪįÐįðē VĸŤÐµĸĊƄÐĤÐŕŤÐé÷ŕŚÐĮÐVĸĮŪįēŤÐŚžÐŕĊÐé÷ŕðÐƄÐNj Ư +ĤĸŪðēďÐŕġĸNj÷ĉĸŕĮÐŚē÷ŕĤĸŤÐÐįDž`÷įê÷ĊÐď¯ēħÐƄÐďŕéÐįĮ÷įġÐðēCŪĮÐį½ĸĸNjTÐĤÐŕǜ ŤÐDžVĸĮŒÐŚdžƯƭƮƱNj
178
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
beserta nilai nilai luhurnya, atau menjadi symbol keberadaban yang dipuja barat dengan symbol modernitas. Ini yang disebut karakter dualistik dalam kota. Dalam tulisan yang dirilis Asean Wall Street Journal tahun 2004 dikatakan bahwa Indonesia menyandang gelar sebagai Negara paling demokratis di Asia sejak tahun 2004. Suatu capaian yang menggembirakan setelah 30 tahun berada dalam kekuasaan rezim otoritarian. Tantangan terbesar kemudian adalah membuktikan kepada bangsanya dan dunia bahwa keberhasilan demokratisasi itu punya korelasi positif terhadap pemenuhan kesejahteraan manusia (citizen) dan meningkatnya daya saing atas bangsabangsa lain di dunia. Dengan logika yang sama, capaian pembangunan luar biasa di kota-kota besar harus dibuktikan bahwa kebahagiaan, kesejahteraan, kenyamanan juga demian adanya. Inilah yang disebut sebagai ‘harapan.’ Kota Yogyakarta dalam dasa warsa terakhir ini menghadapi permasalahan yang dilematis dengan maraknya pembangunan hotel berbintang dan pusat perbelanjaan di seuruh penjuru kota. Di satu sisi fenomena tersebut telah mendorong pertumbuhan investasi daerah, namun di sisi lain dinilai telah meruntuhkan indeks kenyamanan hidup manusianya. Ketidajejalasan fondasi yang dianut dalam pembangunan berujung pada kekhawatiran hilangnya keistimewaan Yogyakarta. Walau ajaran tata ruang Mangkubumi I folosifi sangkan paraning dumadi sudah jelas terlihat dalam tata ruang poros Tugu Keraton, Wilayah jeron benteng, dsb faktanya pembangunan kota tidak lagi berlandaskan pada acuan sejarah dan budaya, tapi economy heavy. Dari lirik lagu ‘Jogja ora didol” di atas memperlihatkan pembangunan kota Yogyakarta yang mengalami distorsi besar-besaran yang juga dianggap merusak jati diri kebudayaan yang selama ini dirawat oleh manusia. Dengan kata lain, praktik pembangunan yang terjadi sudah dikendalikan kekuasan capital yang menggeser kekuasaan legal-formal. Otoritas kehilangan dayanya padahal dalam teori ‘negara’ yang sangat monumental karya weber menyebutkan bahwa: “human community that successfully claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory”.3 Negara lahir dengan kekuatan ‘dominasi’ dan ‘monopoli’ dalam ư "Ðįē÷ħ¯Ðŕį÷ŕǘƮƶƶƮǙNjį÷Ťďēêĸĉŕ÷ŚŒĸįŚēéēħēŤƄēįēįŤ÷ŕįÐŤēĸįÐħŕ÷ħÐŤēĸįŚNjXƄįį÷ē÷įį÷ŕŪéǜ ħēŚď÷ŕŚNjŒŒNjƶǛƮƭNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
179
rangkah untuk menjamin kepentingan bersama dalam territorial tertentu. Kekuatan ini sangat efektif dijalani sepanjang sejarah walau juga tak sedikit Negara menjadi binatang buas bagi rakyatnya (state terrorism). Namun, sejatinya kesempatan melakukan proteksi terhadap warganya dari ancaman kekeuatan ‘asing’ dan berbahaya juga mempunyai porsi yang sama. Sayang sekali, lima tahun terakhir ini Negara sering absen ketika rakyat membutuhkan. Hal ini dapat dilihat dari beragam ekspresi: “presiden kemana?”, atau ada juga yang warganya mengajak sesame untuk mencari wali kota yang dianggap hilang dalam ajang festival mencari Haryadi (baca: http://indoprogress.com/2013/10/jogja-ora-didol-bukan-cuma-mencariharyadi/). Ketidakberadayaan otoritas legal-formal dalam praktik pembangunan dan penyelamatan tata ruang khusussnya di Kota Yogyakarta membangun kesadaran bersama (collective consciousness) untuk mengambil bagian dalam beragam show of force warga berdaya menolak hotelisasi dan kampanye #jogjaasat. Beberapa film dokumenter “belakang hotel” terlibat meroketkan kesadaran akan bencana ekologi di kota. Hal ini kurang memungkinkan terjadi apabila kita tidak terlebih dahulu memancangkan ‘demokrasi’ dalam kehidupan sehari-hari. Mencegah Bunuh diri Kota Singapura berawan/Malaysia gerimis/Filipina hujan deras/India gempa bumi/Arab Saudi Hawa Panas/Alaska hawa dingin/Indonesia hawa nafsu.4 Satu karya puisi yang menggambarkan bahwa pembangunan kota di Indonesia lebih dikendalikan nafsu dari pada kebajikan atau kebijakan bersama yang berdasarkan pada general will. Hal ini mengilustrasikan secara jelas bahwa ada dominasi kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya: yang bermodal medominasi yang kurang atau tak bermodal, pasar mendominasi kekuasaan formal-legal, dan citra artifisial mengalahkan subtansi-jati diri. Dapat pula kita sebut juga fenomena ini adalah praktik tersegregasinya kekuasaan (power) dan otoritas dalam diri pemerintahan (baca: pemerintah kota) sehingga who govern the city? Tidak selalu jawbannya adalah wali Ʊ ŒDžǑǑ÷ĤĸéŪðēďÐŕðġĸNjéħĸĊŚŒĸŤNjêĸNjēðǑƯƭƭƶǑƭƯǑĮ÷ĮéÐįĊŪįǜéÐįĊŚÐǜð÷įĊÐįǜêēįŤÐNjďŤĮħ
180
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
kota atau kepala daerah? Tidak sedikit jawabannya kadang memperlihatkan psismisme atau apatisme. Bagaimana upaya mencegah kota dari kematian dininya akibat salah urus? Ada beberapa alternative cara. Pertama, adalah tawaran yang didesiminasi dari World Habibat Forum yang kemudian dilabeli oleh Eko Budiharjo (2014) sebagai e Ten Commandement untuk kota berkelanjutan yang terdiri dari; Employment (lapangan pekerjaan yang berdampak pada ekonomi), Ecology (lingkungan hidup), Engagement (partisipasi), empowerment (pemberdayaan), enforcement (penegakan hukum), enjoyment (kenyamanan), equity (kesetaraan), energy conservation (sustainibility), Etchics of Development (etika pembangunan), Estetic (keindahan), (baca Kota Berkelanjutan, 1999). Penjelasan mengenai unsur ini sangat relatif tergantung kebudayaan masyarakat masing-masing. Artinya, tak bisa hanya mengikuti arus negara-negara di atas angin untuk membangun sebuah kota. Di Kota Yogyakarta, penataan ruang walau diatur dalam UU No 13/2012 dirasa tidak cukup sebagai acuan dalam pengaturan keistimewaan ruang sehingga wajar kalau dinilai tidak jelas. Sering apa yang diyakini diketahui berbeda dengan dengan apa yang dilakukan. Pertimbangan dasar dari keistimewaan Yogyakarta adalah berdasarkan akar sejarah dan budaya. Menurut temuan Ir Suryanto (2014) bahwa “Induk tata ruang keistimewaan adalah teks yang ada di buku negarakertagama,” Dalam kajiannya ditemukan dalam buku tersebut ihwal tata ruang Majapahit sebagai kota tertua. Di DIY, penanda keistimewaan Yogyakarta dalam tataran konsep adalah struktur poros monumental Tugu-KratonPanggung Krapyak dan Struktur Mandala Masjid Pathok Negoro. Kemudian pola ruang kampung-kampung prajurit Kraton. Sedangkan keistimewaan tata ruang dalam praktek diwujudkn dalam kawasan Jeron Beteng.5 Aspek keterlibatan publik dalam pembangunan kota menarik untuk dicermati. Tak bisa dipungkiri, kasus Yogyakarta memperlihatkan active citizen yang luar biasa bahkan potensinya jauh lebih besar dari komunitas Ʋ "ÐħÐĮħēŤ÷ŕÐŤŪŕ÷ĤħÐŚēĤdžŤÐŤÐŕŪÐįĊÐŤÐŪÐŕŚēŤ÷ĤďÐŕŪŚĮ÷ħēŒŪŤēŤēĊÐďÐħƄÐēŤŪÐŚŒ÷ĤŪŤēħēŤÐŚdž ƥŕĮēŤÐŚǑĤĸįŚŤŕŪĤŚēĤ÷ĤĸĤĸďÐįdžðÐįŽ÷įŪŚŤÐŚÐŤÐŪįēħÐē÷ŚŤ÷ŤēĤÐǘ®ēŤŕŪŽēŪŚǙŚ÷ďēįĊĊОÐŕēŚÐį Ĥ÷éŪðÐƄÐÐįēŤŪŤ÷ŕįƄÐŤÐêĸêĸĤð÷įĊÐįĤ÷ŤēĊÐÐŚŒ÷ĤŤ÷ŕŚ÷éŪŤNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
181
kota di Porto Alegre yang membangun sistem participatory building. Pemerintah kota sedikit abai dengan peran ‘warga berdaya’ ini. Namun demikian, kekuatan transformatif individu ini tak bisa dilihat dengan sebelah mata. Beberapa petisi warga terutama mengenai cagar budaya dan etika jalanan mendapatkan dukungan luas di sosial media dan dbincangkan intensif di berbagai level individu.6 Di dalam petisinya Elanto menuliskan: “…Sebagai warga Jogja, saya meminta Gubernur Jogja bisa tegas terhadap mal-administrasi perizinan yang dilakukan Pemkot Jogja. Dan juga kepada Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jogja untuk mengusut tindak pidana perusakan bagunan warisan budaya ini.” Ungkapan yang menunjukkan ‘superioritas seorang warga” untuk mengawal apa yang diyakini ‘baik’. Crawshaw dan Jackson (2015) memberikan prasyarat akan efektifnya gerakan-gerakan kecil sebagai media perubahan sosial yaitu apabila dilakukan dengan penuh keberanian, ketegaran atau daya tahan, dan kecerdikan7. Kadang, maksud sebenarnya itu harus disamarkan. Kedua, adalah peran-peran penyelamatan yang dapat dilakukan semua orang yang punya kepentingan di dalamnya termasuk kelompok agamawan. Pertama, Peran penyelamatan ekologi kota dapat dianalisa dari nalar etika utama yang digunakan oleh para teolog pembebasan dan teolog ekologi yaitu sebuah gerakan yang dipusatkan pada tiga argumentasi kunci yang meliputi (1) keadilan distribusi; (2)keadilan-lingkungan; dan (3) pertanggungjawaban kolektif (Aditjondro, 2003). Metode ini sebenarnya inline dengan nomor 9 dalam the ten comandement tersebut di atas. Dalam planet yang sama, hasrat kapitalis dalam segala dimensi pekerjaanya tak bisa lagi mengikuti logika business as usual karena banyak cost dan korban yang akan diderita oleh manusia di bumi. Sebagai invidu, Al Gore (2006) sangat mengejutkan dunia dengan membangun oposisi terhadap beragam kebijakan Amerika yang merusak kedaulatan ekologi global.8 Ƴ ðÐðŪÐŒ÷ŤēŚēðēďÐįĊ÷NjĸŕĊƄÐįĊðēħÐĤŪĤÐįĸħ÷ďa÷Ťēƌ÷į+ħÐįŤĸŚÐįĊŒ÷įĊďÐðÐįĊ`ĸŤĸŕ >÷ð÷Œ÷ŕŤÐĮÐŒ÷ŤēŚēĤ÷ŒÐðÐ>Ūé÷ŕįŪŕðÐįĤ÷ŒÐħÐŤ÷įŤÐįĊÐĊÐŕéŪðÐƄÐǣġÐįēÐį ēĸįǤĸħ÷ďďĸŤ÷ħĮÐŕēŚƄÐįĊĮ÷įðÐŒÐŤĤÐįħ÷éēďðÐŕēƲƭƭƭŒ÷įÐįðÐŤÐįĊÐįdžðÐįŒ÷ŤēŚēŤ÷ŕǜ ďÐðÐǖ ÐžÐŚħŪ ðÐį VÐŒĸħðÐ Į÷įĊ÷įÐē ĤĸįŽĸē ŒēħĤÐðÐ ƯƭƮƲ ƄÐįĊ Į÷įðÐŒÐŤĤÐį ħ÷éēď ðÐŕē ƯƲƭƭŤÐįðÐŤÐįĊÐįNj ƴ Ť÷Ž÷ ŕОŚďО ðÐį Tĸďį TÐêĤŚĸįNj ēįðÐĤÐįǜŤēįðÐĤÐį Ĥ÷êēħ Œ÷ŕħОÐįÐįDž ÐĊÐēĮÐįÐ V÷ǜ é÷ŕÐįēÐįdžV÷Ť÷ĊÐŕÐįdžðÐįĤ÷ê÷ŕðēĤÐįðÐŒÐŤĮ÷įĊŪéÐďðŪįēÐǘµĸĊƄÐĤÐŕŤÐDžGįŚēŚŤŒŕ÷ŚŚdžƯƭƮƲǙ Ƶ ħ>ĸŕ÷NjįGįêĸįŽ÷įē÷įŤŕŪŤďDžď÷ħÐį÷ŤÐŕƄ+Į÷ŕĊ÷įêƄĸĉ>ħĸéÐħ¯ÐŕĮēįĊÐįð¯ďÐŤ¯÷
182
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Kebijakan ekonomi olitik yang tak ramah manusia (melawan human right) akibat human wrong, dan juga beragam fenomena ecological deficit akibat ulah tangan manusia yang seringkali mengkambinghitamkan ‘bencana alam’. Tindakan Al Gore sejatinya juga dilakukan oleh semua orang yang merasa bagian dari planet bumi—menyuarakan keadilan ekologi secara global. Baik Al Gore dan Elanto adalah dua individu yang memperlihatkan otonomi sebagai warga dunia. Peran kelompok agamawan banyak dikupas oleh Aditjondro dalam trilogy buku pembangunan yang ia tulis. Di belahan dunia lain, di Amerika Ibrahim Abdul-Matin (2008)9 menulis Green Deen tentang bagaimana Komunitas islam berkontribusi untuk merawat bumi agar tetap ramah bagi manusia. Masih ada beberapa buku lainnya bagaimana agamawan merespon perubahan iklim global. Terwujudnya bentuk tanggungjawab kolektif-keummatan ini telah disinggung oleh Jaspers (1986) bahwa: “Di kalangan manusia muncul solidaritas, karena mereka manusia, yang dengan solidaritas itu masingmasing dapat berbagi tanggungjawab atas setiap ketidakadilan dan kesalahan yang dilakukan di dunia”. Karena bumi kita sama, kesadaran bahwa persoalan satu berkaitan dengan persoalan lainnya menjadikan kita merasa penting untuk merawat jagad raya dan menjadikan ummat beragama toleran bagi eksistensi ciptaanNya. Hal ini merupakan kunci untuk menghindarkan kehidupan ummat dari apa yang disebut Garre Hardin (1968) sebagai “tragedy of the common.” Agenda mendesak kita? Radikalisasi Problem Banyak hal membanggakan di Kota Yogyakarta ini. Selain indeks korupsi rendah dan indeks good governance yang tinggi serta indeks demokrasi yang tak pernah buruk. Di sisi lain, rusaknya tata ruang kota yang diakibatkan vandalism perencanaan pembangunan dan sekaligus vandalism terhadap kebudayaan lokal menjadikan manusia di kota ini tak puas—separah parahnya ketidakpuasan itu diekspresikan dalam bentuk ‘vandal’ walau sejatinya itu seni grafiti. Vandal paling biadab sebenarnya Ðį"ĸéĸŪŤGŤǘ+ĮĮÐŪŚdž÷įįŚƄħŽÐįēÐdžēįŤď÷įēŤ÷ðŤÐŤ÷ŚdžĸðÐħ÷ŕ÷ŚŚdžƯƭƭƳǙ ƶ ġŪðŪħįƄÐ >ŕ÷÷"÷÷įDž Cĸž ēŚħÐĮēê Ť÷ÐêďēįĊ ÐéĸŪŤ ŒŕĸŤ÷êŤēįĊ ŒħÐį÷ŤNj "ēéÐďÐŚ ġŪĊÐ ðē Śēįē ŤĸŒēê Ś÷ŕŪŒÐ ðēÐĤŚ÷Ś ư "÷Ś÷Įé÷ŕ ƯƭƮƲ ðÐŕē ŒDžǑǑžžžNjŚďÐŒžĸŕĤēįĊŒÐŕŤƄNjĸŕĊNjŪĤǑġĸŪŕįÐħŚǑ ÐŕŤēêħ÷ŚǒƭƵƭƶǑéÐħħǒħĸįĊNjŒðĉ
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
183
adalah vandalism yang dilegalkan dna dilakukan oleh otoritas legal-formal. Dengan nada kecewa, tahun 2014 kota ini tak lagi mendapat adipura. Tak ada lagi cerita ‘wagiman’ yang fenomenal itu. Kita simak kembali terusan lirik JOGJA ORA DIDOL berikut ini: …Hamemayu, hayuning bawana/Ditata, dititi, ditentrem kerta raharja/ Seiring dengan semangat jamannya/Apakah jogja siap Istimewa Horotoyoh/Kemajuan tak terhindarkan/Nanging jati dirine aja nganti ilang/Kabudayan kudune tetep dadi gaman/Kanthi tansah ngugemi paugeran Jogja Ora Didol‼!/Ini kotaku, kotamu, kota kita/Jogja Ora Didol‼!/ Rumah Bersama untuk kita semua/Jogja Ora Didol‼!/Ini kotaku, kotamu, kota kita/Jogja Ora Didol‼!/Jogja Istimewa, Tetaplah Sederhana Ada dua catatan penting dalam upaya membangun agenda kolektif mengenai masa depan kota. Pertama, adalah mencegah dehumanisasi pembangunan. Terlalu menuhankan teknokrasi dan modernitas yang dibalut dengan pengetahuan akan meminggirkan rasa manusiawi. Pada akhirnya, pembangunan tak manusiawi akan mengantarkan kepada kerusakan peradaban (Fromm, 2008). Jika tak ada upaya emansipasi dan antisipasi gejala dehumanisasi maka sangatlah betul bahwa metropolis berubah menjadi miseropolis, kota akan menjadi kebun binatang yang isinya manusia. Bentuk emansipasi yang dapat ditawarkan, sebagaimana lirik lagu di atas, adalah paradigma “Hamemayu hayuning bawono” sebagai filosofi pembangunan10 yang pas dalam kontesk manusia-kebudayaan Yogyakarta. Operasionalisasinya dapat diolah sedemikian kreatif tanpa kehilangan karakter aslinya. Kelompok yang disebut “new Urbanism” berupaya mengantisipasi pudarnya jati diri manusia kota akibat obesitas dan disntegrasi sosial ke dalam beberapa agenda dalam mengatur pembangunan kota dengan prinsip change without loss antara lain (1) walkability dicontohkan dengan pedestrian friendly; (2) Mixed-Use and diversity atau disebut juga progressive identity; (3) Mixed housing; (4)quality architecture; (5) Tradtional Neighborhood Ʈƭ éŪĤŪµĸĊƄÐĤÐŕŤÐĮ÷įƄĸįĊŚĸįĊŒ÷ŕÐðÐéÐįéÐŕŪDžŽēŚēĮēŚēêÐħĸį>Ūé÷ŕįŪŕƯƭƮƯǜƯƭƮƴdžǘƯƭƮƯǙ
184
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
structure; (6) increased density atau sarana publik; (7) connectivity; (8) Green transportation; (9) sustainability;(10), quality of life.11 Dari point penting ini, dapat disarikan bahwa Kualitas hidup terbaik yang diharapkan adalah tatanan yang dapat mendorong spirit humanisasi. Hal ini senada dengan ungkapan Andres Duany: “Only when humans are again permied to build authentic urbanism — those cities, towns, and villages that nurture us by their comforts and delights — will we cease the despoiling of Nature by escaping to sprawl.” Untuk mewujudkannya, kita bisa meminjam gagasan Hildebrand Frey (1999) bahwa suatu kota dibangun dengan mengacu pada kenyamanan, ekologi yang baik, dan mendukung koloborasi antar stakeholder.12 Dia menuliskan; “Most cities in the past are people-friendly, have a positive environmental impact, and work very well,” sehingga secara implisit pembangunan diarahkan pada pro-Jobs, pro-people, dan pro-nature. Satu hal lain yang dibutuhkan adalah dimensi etika di dalam proses pembangunan. Terakhir, Salah satu hal utama dalam paradigm dan praksis pembangunan kota adalah bahwa pembangunan itu berorientasi pada manusia dan kebudayaanya secara jangka panjang. Slowly but sure. Artinya, aspek kesejahteraan, kenyamanan rakyat jauh lebih penting ketimbang sekedar pertumbuhan ekonomi, yang faktanya tidak terdistribusi secara adil dan merata. Penting untuk memantapkan haluan pembangunan dengan haluan kebudayaan untuk keistimewaan. Memberikan kredit kepada ‘harapan manusia” adalah satu jalan menemukan pembangunan autentik kota. Jika haluannya berubah teknokratis13 dan western polluted, maka bisa jadi selamat tinggal keistimewaan. Tulisan ini tak memberikan resep generic mencegah bunuh diri kotakota besar dan padat namun berupaya membangun kesadaran baru akan ƮƮ ŚÐħÐďŚÐŤŪêĸįŤĸďįƄÐÐðÐħÐďĮĸŕ÷žÐħĤēįĊdžéƄêēŚħēįĊdžLJdžħ÷ŚŚðŕēŽēįĊdžéÐêÐŚŪĮé÷ŕðēŒDžǑǑ žžžNjį÷žŪŕéÐįēŚĮNjĸŕĊǑį÷žŪŕéÐįēŚĮǑŒŕēįêēŒħ÷ŚNjďŤĮħ ƮƯ Cēħð÷éŕÐįð=ŕ÷ƄNj"÷ŚēĊįēįĊŤď÷ēŤƄDžĸžÐŕðŚÐ`ĸŕ÷ŪŚŤÐēįÐéħ÷ŕéÐį=ĸŕĮǘŒĸįdžƮƶƶƶǙNj Ʈư GħŪŚē Ť÷ĤďįĸŕÐŚē ƄÐįĊ ÐĤďēŕƄÐ ĊÐĊÐħ ðēĤŪŒÐŚ ġŪĊÐ ðē éŪĤŪ ĤÐŕƄÐ įðŕ÷ >ĸŚŚdž ǣ÷ħ÷įĊĊŪ Għǜ ĮŪžÐį÷įĊ÷ŤÐďŪÐįǦǘTÐĤÐŕŤÐDžVĸĮŪįēŤÐŚÐĮéŪdžƯƭƮƱǙNj÷Į÷įŤÐŕÐġŪŕįÐħÐħÐēŕŪįĊ÷ðēŚē ŕÐįŚŒĸŕŤÐŚē ðÐį ÐŕŪŚ ēįðŪŚŤŕēÐħēŚÐŚē ÷ðēŚē ƱƶǑÐďŪį ´´®GGGǑƯƭƮư Į÷įŪðŪď ÷ĤŚŒÐįŚē ēįðŪŚǜ ŤŕēĤÐŒēŤÐħðÐįŤ÷ĤįēĤÐħēŚÐŚēŒŕĸéħ÷ĮŒ÷ĮéÐįĊŪįÐįĮ÷įġÐðēĤÐįžÐġÐďŒ÷ĮéÐįĊŪįÐįĤĸŤÐ ŤēðÐĤĮÐįŪŚēОēNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
185
pentingnya keberadaan manusia dan kebudayaan di dalamnya untuk mencegaj expansi apa yang disebut modernitas—yang bisa melumpuhkan segala-galanya. Termasuk, akal sehat warga kota [].
186
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
ƮƱ
`ēŤēĊÐŚē÷įêÐįÐCĸŤ÷ħ ðēVÐĮŒŪįĊTĸĊġÐ David Efendi
“Tampaknya memang ada kesulitan yang tak tertanggulangi untuk mempertahankan sumpah ‘melindungi penduduk pribumi Dari pemerasan Dan tirani.’ Multatuli, Max Havelaar
S
atu upaya kontributif pegiat literasi di Rumah Baca Komunitas adalah turut membangun wacana kesadaran warga untuk mencintai kampong halamannya, mencintai orang-orang baik di sekitarnya, dan tentu saja mendamba masa depan yang tidak diliputi prahara ekologi dan sosial. Lalu ‘project’ ini kita sebut sebagai melek perkotaan atau bahasa ‘keren’nya #urbanLiteracyCampaign untuk turut mengapresiasi berbagai aksi-aksi amal kebaikan oleh warga berdaya yang telah tumbuh sejak para pegiat #gerakanjogjaasat #jogjaoradidol bersuara (voicing the voiceless) yang diawali dengan ditangkapnya aktifis graffiti, Muhammad Arif, lantaran aksi mural Jogja ora didol-nya.1 2Dengan ditangkap artinya gerakan ini akan meluas dan mendapatkan simpati publik secara tak disadari oleh pihak otoritas. Mitigasi dalam Oxford dictionary English diartikan sebagai “the action of reducing the severity, seriousness, or painfulness of something”—kegiatan untuk mengurangi kesusahan, kesakitan, dari keadaan emergensi tertentu. Sebagai contohnya adalah kegiatan mengidentifikasi polusi udara, polusi
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
187
air dan identifikasi kerentanan sosial-ekonomi akibat kejadian bencana tertentu. Sementara FEMA, lembaga penanganan bencana Amerika Serikat, menjelaskan lebih detail definisi mitigasi yang identik dengan kebencanaan sebagai berikut:3 “Mitigation is the effort to reduce loss of life and property by lessening the impact of disasters. In order for mitigation to be effective we need to take action now—before the next disaster—to reduce human and financial consequences later (analyzing risk, reducing risk, and insuring against risk). It is important to know that disasters can happen at anytime and anyplace and if we are not prepared, consequences can be fatal.” FEMA memberikan tahapan penanganan bukan hanya pada saat bencana (live event) terjadi tetapi juga mencegah dampak ikutannya (postdisaster)seperti ancaman properti, harta, kriminal, keuangan masyarakat yang sangat rentan mengikuti krisis akibat bencana. Bencana dalam tulisan ini bukan hanya merujuk pada bencana alam (natural disaster) tetapi juga bencana yang diakibatkan oleh kecerobohan manusia (human-made disaster) atau kegagalan tekhnologi (misalnya: pembangkit nuklir, atau limba semen). Olengnya rezim tekhnokrasi menghadapi siasat jitu para pengembang atau pebisnis hotel, mall, dan swalayan berjejaring juga mengisyaratkan matinya adat istiadat, punahnya ungah ungguh jawa: ngono yo ngono tapi ojo ngono dalam perebuatan sumber kesejahteraan. Dalam konteks Yogyakarta yang ditumbuhi bangunan megah bermerk hotel dan supermall ini oleh beberpa kalangan telah disebut sebagai “bencana” dalam ragam ekpresi misalnya: jogja darurat hotel, Jogja berhenti nyaman, JOgja ilang dalane, sampai ada label yang satire “Sultan HaMALLkubuwuno”, dan juga ditandai dengan beragam kasus hotel vis a vis warga (berdaya). Rezim teknokrasi benar-benar tak berdaya menghentikan sumber kerusakan tatapi hanya terus menggumam ini soal regulasi. Jawaban yang tak pernah menggembirakan publik. Demikian pengakuan beberapa mahasiswa yang melakukan audiensi dengan Bappeda. Kekuatan Individu Sejumlah aktivis, yang selama ini aktif memprotes maraknya pembangunan hotel di Kota Yogyakarta, berencana melakukan kampanye penyadaran ke
188
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
warga di kampung-kampung. Salah satu dari penggagas kampanye itu, Elanto Wijoyono mengatakan aksi itu berupa edukasi ke warga kampungkampung di Kota Yogyakarta dan sekitarnya tentang cara menyikapi rencana pembangunan hotel atau Mall di dekat permukiman mereka. Kerja Elanto dan teman-teman ini mempunyai sasaran kami semua kampung di DIY sebagai bentuk pendidikan mitigasi bencana bagi masyarakat.4 Pilihan kata Mitigasi bencana yang digagas Elanto ini merupakan pilihan kata yang cerdas agar masyarakat gumbregah, bangkit kesadaran, bangkit kebudayaannya untuk bersama-sama menyelamatkan Yogyakarta dari proses bunuh dirinya. Kata mitigasi bencana ini merujuk pada status darurat kota yang mengundang lebih banyak kekuatan orang baik untuk berdiri dan melakukan sesuatu demi ‘kota harapan’ (the city of hopes)yang telah banyak memberikan citra positif dari masa lalu dan tentunya untuk masa depan. Selain Elanto, ada juga Dadok Putera Bangsa, aktifis jogja asat yang sangat popular karena keberhasilannya menutup Fave Hotel di kampungnya. Tindakan perlawanan kecil yang cemerlang dan sukses. Hal ini sangatlah urgent direplika untuk beragam tindakan penolakan atau oposisi rakyat di kampong lainnya. Bagaimana cerita kesuksesannya? Banyak pihak menyadari, munculnya puluhan hotel maupun mall di Yogyakarta lebih banyak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Di kampong Dadok di Miliran ia klaim dengan keras bahwa warga sekitar terdampak kekeringan sejak pendirian Fave Hotel. Kekeringan ini menurutnya tidak pernah terjadi seumur hidupnya. Ia pun dengan gagah berani bersama warga melakukan protes ke manajemen hotel. Ketika tak mendapatkan respon memuasakn, mereka bersama juga mendatangi pemerintah kota Yogyakarta untuk melakukan pengawasan penggunaan sumur dalam hotel yang ada. Awalnya, pemerintah kota melalui BLH malah berargumen membenarkan operasional hotel karena dinilai sudah tepat mengambil sumber air dalam yang tidak akan menggganggu sumber air dangkal masyarakat. Dukungan film dokumenter wacthdoc “belakang hotel” besutan Dendy Laksono, turut berkontribusi suksesnya gerakan ini hingga fave hotel ditutup. Dadok mengajak kepada seluruh masayarakat dan juga kaum muda untuk bersama-sama memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah kehilangan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
189
kebutuhan dasar yakni air. Salah satunya dengan melakukan riset terkait amdal pembangunan hotel dan juga IMB mall di Yogyakarta. suatu ajakan yang sangat penting untuk kita semua, terutama untuk manusia yang punya nyali pemberani. Jogja darurat hotel? Kalau ada pertanyaan, sebenarnya siapa yang ngebet membangun hotel sebegitu banyak hingga tak satu pun orang jogja tahu persis nama dan jumlah hotel serta ketersediaan kamarnya? Hal ini jelas, bukan kebutuhan warga Yogyakarta untuk membabi buta membangun fasilitas untuk keperluan yang tidak jelas dukungannya bagi kesejahteraan warga namun sangat pasti kerusakan yang dihasilkannya. Hotel yang dibangun oleh investor, tentu saja akan hanya menguntungkan investor antah brantah.5 Sangat kuat diduga, ada mafia hotel di balik cerita pahit kerusakan kota kebudayaan ini.6 Seolah warga tak mendapatkan dukungan yang selayaknya dari pihak otoritas atau akademisi. Beberapa sumber memperkuata bukti bahwa kebanyakan usaha pembangunan bangunan-bangunan komersil tetap berjalan karena adanya dukungan dari aparat kepolisian. Bahkan tidak jarang mendapat dukungan ilmiah dari kalangan akademisi yang luput dari fokus pembangunan yang berkeadilan. Kesan buruk sekali bahwa hari ini, pengusaha, negara, dan kaum intelektual bekerjasama menyengsarakan rakyat. Jadi kita ingat kasus Semen di rembang yang mendapat justifikasi ilmiah dari akademisi di UGM. Namun demikian, ada juga beberapa kaum intelektual yang berani berstatemen agak keras mengenai bencana hotel dan mall ini. Francis Wahono, Direktur Center for Integrated Development and Rural Studies menilai maraknya pembangunan hotel dan mall telah merusak keistimewaan Yogyakarta. menurutnya, dengan menjamurnya bangunan-bangunan itu menggusur warga kampung menyebabkan kerusakan lingkungan sekitarnya. Keangkuhan Mall-mall dan superblock menjadi tontonan tak elok di tengah rakyat yang setia mengawal keistimewaan penguasa. Dengan keadaan hari ini, misalnya praktik ekonomi tidak mengidentifikasi keistimewaan apa pun yang dimiliki oleh DI Yogyakarta.
190
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Emha AInun Najib juga mengajarkan nalar kritis kepada kita dan juga pemerintah mengenai kesalahanpahaman memaknai rakyat dan tujuan pembangunan. Cak Nun menuliskan keseleo pikiran penguasa itu dengan nada sedikit jengkel: “…pejabat sering salah sangka terhadap rakyat dan dirinya sendiri. Mereka menyangka bahwa mereka adalah atasan rakyat, sementara rakyat adalah bawahan…mereka merasah sah dan tidak berdosa jika memaksakan kehendak atas rakyat. Mereka merasa berhak untuk mengatur, dan rakyat berkewajiban menaati aturan. Inilah tatanan dunia yang dibolak-balik. Bukankah ha katas segala aturan berada di tangan rakyat? Maka menjadi aneh jika rakyat terus menerus diwajibkan berpartisipasi dalam pembangunan karena rakyatlah pemilik pembangunan.” 7 Kutipan panjang itu juga membangunkan kesadaran kita bahwa kita bukanlah bangsa bebek yang mengekor apa maunya nafsu kekuasaan. Hotel itu bukanlah janji masa depan, adalah neraka yang dihadirkan dalam kehidupan. dalam konsepsi pembangunan manusiawi, apa yang terjadi di kota Jogja dan apa yang diisyaratkan Cak Nun, kondisi hari ini masih jauh dari pembangunan yang memanusiakan manusia. Manusia yang dimanusiakan artinya manusia diakui sebagai subyek yang otonom (Driyarkara, dalam buku HUmanisme karya Y.B Mangunwijaya) Mendidik untuk Melawan Sebagaimana kata Wiji ukul ketika melihat perihnya hidup di bawa tirani, hanya ada satu kata LAWAN. Namun, dalam kampanye literasi untuk warga kota tentu ada cara melawan yang tidak kontraporduktif. Radikalisasi kaum muda tidak hanya dengan kekuatan ‘revolusi fisik’ namun juga dapat dilakukan dengan ‘revolusi harapan’ yaitu dengan membangun kesadaran dan aksi-aksi nyata walau kecil dalam kehidupan sehari-hari misalnya menanam pohon di lahan kosong, mempertahankan ruang publik untuk publik, menjaga situs kebudayaan tertentu. Selain itu, perlu juga melek regulasi dan kemampuan advokasi yang dilandasi dengan pengetahuan yang valid mengenai isu-isu perkotaan seperti RTH, UU, Perda, dan juga kemampuan menggalang sekutu untuk menyuarakan tindakan kebaikan.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
191
Problem kita bukan kekurangan SDM untuk menyediakan jalan alternatif pembangunan, tapi soal upaya sebagaimana ungkapan Multatuli, “Semua orang ingin melakukannya, tapi tak ada yang berani mengupayakannya.”8 Ini tantangan terbesar, agar kita tak berhenti pada level gerakan wacana saja. Kerja-kerja kolaboratif dari beragam latar tentu akan lebih baik untuk meresonansi sebuah itikad emansipatif. Jadi, tak mungkin kekuatan politically correct dan business as usual kita hadapi hanya dengan keinginan untuk mengubah tanpa ada upaya nyata, pengetahuan dan militansi. Bahkan militansi dan pengetahuan itu pun perlu dibarengi dengan daya tahan, ketegaran, kecerdikan untuk menyembunyikan maksud sebenarnya. Ajaran agung perlawanan-perlawanan kecil (small acts of resistance) yang ditulis oleh Steve Crawshaw dan John Jackson (2015) dan kebaikan-kebaikan kecil keseharian (small acts of kindess) itu adalah nafas yang sudah ada dalam infratstruktur ebudayaan yang hidup di masyarakat jawa. Saatnya membuktikan daya ubah dari kebudayaan lokal kita. (Endnotes) 1 Baca juga tulisan di Ferdhi F Putra di hp://indoprogress.com/2013/10/ jogja-ora-didol-bukan-cuma-mencari-haryadi/ 2 3 Diakses dari hps://www.fema.gov/what-mitigation pada 25 Desember 2015 pukul 00.34 WIB 4 diakses dari hp://travel.tempo.co/read/news/2015/01/08/203633449/ yogyakarta-bicara-hotel-dan-kampung-di-belakangnya pada tanggal 25 Desember 1.15 WIB. 5 RM. Aji Kusumo, aktifis lingkungan, menilai pembangunan hotel maupun mall tidak banyak memberikan nilai positif bagai masyarakat sekitar. Namun justru lebih banyak memunculkan dampak negatif . Pembangunan hotel dan mall dengan modal investor tidak menguntungkan warga karena keuntungan hanya masuk ke kantong mereka. Diakses dari hp:// www.rumahbacakomunitas.org/2015/12/pembangunan-hotel-dan-mallrugikan.html 6 kata “mafia: di sini diartikan sebagai jaringan bisnis yang terorganisir dan bekerja dalam logika kepatuhan terhadap regulasi sebagai siasat
192
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
bisnis. Soal karakteristik mafia dan sejarahnya dapat dibaca di link ini hp://haicandra.blogspot.co.id/2015/12/mafia-oh-mafia.html 7 dikutip dari buku Emha Ainun Najib, Gelandangan di Kampung sendiri (Penerbit Bentang, 2015). 8 Multatuli dalam bukunya Max Havelaar yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Qanita (2014).
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
193
ƮƲ
XēŤ÷ŕÐŚēTÐħÐįÐį ðÐį÷ŕ÷éŪŤÐįŪÐįĊŪéħēĤ Fauzan A Sandiah dan David Efendi
“…Kebahagiaan terbesar dari pegiat literasi adalah manakalah dapat mengantarkan buku-buku kepada orang tua asuhnya, pembacanya.” (tagline Perpustakaan Jalanan RBK)
J
angan heran mengapa hasil survei PISA mengenai tingkat literasi anak di Indonesia pada tahun 2009 berada pada urutan ke 62 dari 72 negara. Dan pada tahun 2012, Indonesia urutan 64 dari 65 negara yang diteliti1. Hasil survei tersebut, memang tidak merefleksikan perkembangan kualitas, tetapi cukup untuk membuat kita berpikir tentang paradigma dan berbagai hal yang dianggap sepele selama ini seperti implikasi dari gerakan literasi (Sandiah, 2015). Pemerintah tidak pernah menganggap kebutuhan buku itu setara atau lebih penting dari anggaran belanja untuk perlengkapan perang. Bulan Nopvember lalu Rumah Baca Komunitas bersama Komunitas literasi lainnya mempetisikan Jokowi dan Kemendikbud di laman change. org untuk mewujudkan buku murah untuk rakyat. Selain itu, secara implisit itu juga membela ruang publik untuk dimanfaatkan sebagai ruang literasi. Negara tak mungkin bisa menggerakkan literasi sendirian tanpa kekuatan publik: pembaca, penggiat literasi, Komunitas, dan industri penerbitan. Semua itu harus bersatu berkolaborasi secara tulus.
194
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Buku merupakan sarana informasi dan pengetahuan yang sangat penting. Perkembangan teknologi terbukti tak mampu menggantikan peran buku cetak sebagai sumber informasi. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, peran buku cetak tidak saja sekedar penting, melainkan menjadi indikator bagaimana sulitnya pemenuhan indeks hak literasi negara terhadap masyarakat. Konstitusi mengamanatkan bahwa literasi merupakan bagian dari hak dasar yang wajib dipenuhi negara sebagai bentuk kebebasaan dan kesejahteraan. Hingga akhir tahun 2016, tantangan buku cetak di Indonesia tak banyak bergeser dengan apa yang dialami sejak tahun 1990an, yakni mahalnya harga buku cetak dan ketatnya kontrol terhadap kebebasan literasi. Buku cetak hingga beberapa puluh tahun berikutnya masih penting sebagai hak dasar yang harus dipenuhi. Prolegnas 2016 memberikan sedikit angin segar bagi dunia perbukuan Indonesia dengan RUU Sistem Perbukuan. Namun hingga akhir Oktober 2016, tidak terlihat perkembangan yang signifikan. Ketua IKAPI, Irma Permanasari melihat RUU Sistem Perbukuan tidak akan banyak memberi perubahan bagi literasi Indonesia. Persoalannya terletak pada watak RUU Sistem Perbukuan yang cenderung memprioritaskan buku pendidikan dan kontrol terhadap konten buku pendidikan. Hal ini sama sekali tak cukup sebagai solusi dunia perbukuan Indonesia. RUU juga seharusnya mampu menjamin subsidi bukubuku bagus, dan mendorong penerbit-penerbit supaya semakin bergiat meramaikan khazanah perbukuan dengan menerjemahkan berbagai karya yang terbit setiap tahunnya dari berbagai negara. Banyak negara memberi contoh tentang bagaimana subsidi buku dijalankan dengan mekanisme yang mudah, sehingga mampu menjamin harga buku cetak demikian terjangkau bagi masyarakat. Indonesia sebenarnya bisa melakukan hal tersebut apalagi mengingat bahwa negara tak akan repot sendirian mengusung misi mulia ini, karena sejak tahun 2000an di beberapa kota lahir gerakan literasi dan industri penerbitan kecil yang berdaya-tahan. Hanya saja, dibutuhkan satu kebijakan yang mampu menjamin iklim ini menjadi demikian maksimal. Salah-satunya adalah dengan menjamin subsidi buku cetak. Harga buku yang murah akan menjadi faktor penting bagi perayaan hak-hak literasi.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
195
Adalah suatu kesempatan berharga saya bertemu dengan seorang pegiat literasi Jalanan asal Ternate, namanya Adlun Fikri. Nama ini sudah sangat terkenal lantaran ia dijebloskan ke penjarah akibat memakai kaos yang identik dengan PKI. Padahal PKI itu hanya kependekan dari Pencinta Kopi Indonesia. Dilalah, itu menjadi musibah sekiligus hikmah. Adlun merupakan anak muda yang sangat kreatif bukan hanya dalam menggelar lapak tetapi juga dalam dunia sastra dan musik. Dalam kesempatan pertemuan di Jogja ia mengkisahkan kalau Rumah belajar bersama yang ia dapat pinjaman dari seorang pemilik toko itu dibongkar. ‘betapa sedihnya,’ pikiranku melayang. Situasi itu hanyalah satu dari jutaan peristiwa ‘memalukan’ bangsa akibat dari salah urus ruang publik. Ruang belajar publik sangatlah terbatas, sudah begitu banyak sekali ruang public terlah berubah menjadi arena pertempuran ekonomi keseharian. Banyak alun-alun dan taman kota yang tidak lagi berfungsi sebagai ruang edukatif tetapi menjadi ruang berebut penghasilan. Bukan hanya melibatkan PKL sebagai kambing hitam, ada banyak perusahaan besar bermerk dagang toko modern atau perusahaan yang membuka jualan di jalanan. Ada mobil Box bahkan di alun-alun kidul juga ada truc yang jualan roti. Ini adalah ironisme ruang publik yang semakin tidak dimiliki publik. Apakah ruang publik benar-benar untuk publik? yang menjadi sarana edukasi atau semacam rapat umum (openbare vergaderingen) yang merupakan bagian penting gerakan populer anti-kolonial di Hindia Belanda di tahun 1920 – 1926, sebagai alternatif ruang publik2. Itu adalah salah satu pertanyaan penting mengapa puluhan Komunitas literasi memilih jalanan sebagai pilihan untuk menawarkan bacaan bagi khalayak. Apakah Komunitas literasi jalanan akan mampu bersaing dengan himpitan ruang yang kian sesak yang kemudian perlunya mempraktikkan perlawanan halus nan kreati? Bagaimana daya tahan Komunitas literasi dijaga, dirawat dan diperkuat? Semoga tulisan ini dapat mendiskusikan secara baik. Menegosiasikan stigma Banyak kota tak memiliki ruang publik yang nyata. Banyak declare ruang public tetapi kenyataannya bukan diperuntukkan untuk sebesar-
196
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
besarnya kemanfaatan bagi khalayak luas. Sering kali hanya menjadi area pasar, area pertempuran memperebutkan sumber kemakmuran (capital). Konsep ruang publik menjadi tidak jelas di mata Negara sebagai penyedia sarana publik. Jürgen Habermas menjelaskan konsep ‘ruang publik’ sebagai ruang yang mandiri dan terpisah dari negara (state) dan pasar (market). Ruang publik memastikan bahwa setiap warga negara memilik akses untuk menjadi pengusung opini publik. Opini publik ini berperan untuk memengaruhi, termasuk secara informal, perilaku-perilaku yang ada dalam ‘ruang’ negara dan pasar. Konsep ruang publik diambil dari sejarah ruang publik kaum borjuis di Jerman pada abad delapan belas.3 Walaupun dalam bukunya kemudian Habermas meratapi matinya ruang publik ini karena transisi dari kapitalisme liberal ke kapitalisme monopoli4, dia tetap berargumen bahwa ruang publik tetap bisa dijadikan sebuah ‘tipe (konsep) ideal’5 untuk prospek demokrasi pada masa kini. Buku dan ruang publik menjadi suatu keniscayaan manakalah Negara tidak secara baik memfasilitasi hasrat berpengetahuan masyarakat. Birokratisasi yang kompleks dalam mengakses bahan bacaan di perpustakaan umum/milik pemerintah menjadi kehadiran ruang terbuka untuk membaca dan meminjam buku sebagai kepentingan publik yang layak diapresiasi. Ada puluhan perpustakaan bergerak atau perpustakaan jalanan di republik ini. Ada buku-buku yang diangkut ke pegunungan, ada yang melalui sungai dan lautan. Itu adalah hasanah yang luar biasa untuk mendekonstruksikan bahwa pengetahuan hanya didominasi oleh kaum terdidik di lembaga pendidikan formal (sekolah atau perguruan tinggi). Stigma itu memang harus secepatnya diruntuhkan. Seorang kenalan pernah berkata “gerakan literasi saja tidak cukup!”. Kami yang biasa hidup dalam gerakan literasi sebenarnya tidak kaget ketika mendengar perkataan itu. Daripada kaget dengan komentar itu, yang lebih menarik adalah kami menangkap suatu informasi penting tentang sejauhmana orang memahami gerakan literasi. Apakah gerakan literasi selalu identik dengan TBM?, apakah gerakan literasi identik dengan membaca buku?. Apalagi jika gerakan literasi dikait-kaitkan dengan urgensi transformasi sosial. Masalah itu menjadi pelik karena proses transformasi
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
197
sosial erat dengan tindakan-aksi bukan komentar anarkis. Jadi ketika orang menuntut lebih kepada gerakan literasi, pernahkah mereka sendiri mencoba memainkan peran lain?. Jawabannya tentu saja relatif. Model gerakan yang menuntut transformasi sosial pada masa dewasa ini tidak bergerak dengan cara mengkonsolidasi elit-cendekiawan, atau aktivis-mahasiswa melainkan berbasis pada “siapa-saja”, seperti sebuah mantra dari seorang pegiat literasi Yogyakarta Alm. Dauzan Farok “siapa saja bisa menjadi penggerak literasi”. Kesadaran bahwa “diri-politis” dalam konteks gerakan transformatif dewasa ini di Indonesia sangat penting. Artinya pencapaian transformatif hanya terjadi jika masing-masing orang memulai peran-perannya dalam lingkup paling kecil. Tidak ada cara lain. Begitu juga dengan gerakan literasi. kebanyakan perspektif melihat gerakan literasi sebagai gerakan pemberantasan buta huruf yang identik dengan agenda membentuk spesifikasi pekerjaan dan membentuk formasi sosial kapitalistik. Argumen tersebut terkesan kritikal, tetapi sangat minim dalam kajian-kajian kontemporer mengenai gerakan literasi. Tentu saja, tidak dapat disebut juga bahwa gerakan literasi diidentikkan dengan model taman baca masyarakat, perpustakaan, atau jenis institusi literasi konvensional lainnya sebagai tidak benar. Hanya saja jangan sampai kenyataan itu mereduksi pekerjaan-pekerjaan literasi yang dilakukan oleh pegiat-pegiat literasi berbasis paradigma yang matang untuk menentukan corak emansipatif dalam gerakan literasinya masing-masing. Dalam tataran itu banyak yang lalai melihat penyebab-penyebab baru dari terbentuknya gerakan-gerakan literasi. Hal tersebut berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai variasi portofolio subjek-subjek gerakan sosial (Situmorang, 2007). Dalam konteks gerakan literasi, hal yang sama juga terjadi. Variasi portofolio subjek-subjek gerakan literasi tidak hanya terbatas pada aparat-aparat negara (misalnya perpustakaan daerah), atau dari kalangan swasta (kios sewa buku), melainkan juga merambah hingga ke aktivis yang tinggal di desa, akademisi, guru, mahasiswa, “ibu rumah tangga”, dan lain sebagainya. Penting untuk melihat variasi portofolio subjek-subjek gerakan literasi kontemporer di Indonesia sebagai cara untuk memahami betapa kompleksnya implikasi paradigma, model kerja, strategi, dan tujuan yang dikehendaki oleh masing-masing
198
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
gerakan literasi. Melupakan variasi portofolio subjek gerakan literasi berarti nyaris menegasikan keadaan terkini dari gerakan-gerakan sosial. Belum lagi diperkaya oleh kenyataan bahwa topik-topik diskursus dalam gerakan literasi terus meluas melampaui stigmanya seperti diskursus demokratisasi, ekologi, politik, HAM, perebutan ruang publik, isu perkotaan, kesetaraan jender. Hal ini bisa disebabkan adanya keterbukaan akses masyarakat terhadap informasi. Sampai hari ini, banyak kecenderungan pesimistik terhadapnya. Gerakan literasi seringkali dilekatkan dengan suatu strategi untuk berinteraksi dengan negara. Dalam konteks ini, gerakan literasi konvensional membangun interaksi melalui timbali-balik peran. Negara menyediakan fasilitas (uang bantuan, program sosialisasi), dan masyarakat mengambil peran sebagai pelaksana dengan misalnya mendirikan TBM, atau perpustakaan desa. Dengan melihat gerakan literasi melalui operasi tersebut akan memberikan kesimpulan-kesimpulan yang menjebak. Konsep gerakan sosial sebagai cara berinteraksi dengan negara tidak dapat digunakan serta-merta untuk melihat perkembangan gerakan literasi di Indonesia. Di Yogyakarta misalnya, berdiri beberapa komunitas literasi yang tidak bergerak dengan mekanisme tersebut. Komunitas-komunitas literasi tersebut tidak bermaksud membangun gerakan literasi sebagai cara berinteraksi dengan negara. Lebih daripada itu, komunitas-komunitas itu dibangun atas perjuangan kultural yang tidak menegasikan peran formal temporal negara sebagai sistem —yang dengan demikian cukup rumit menjelaskan posisi diametralnya dengan negara—tetapi mempertimbangkan aspek ketersediaan basis sosiologis sebagai cara untuk menentukan peran literasinya. Ketegaran di jalanan Gerakan literasi bukannya tanpa ujian atau kedap kekerasan. Gerakan literasi kontemporer ternyata menjadi ancaman bagi ‘kekuasaan’. Tuduhan komunis, anarkis, dan illegalitas kerap menjadi konsumsi keseharian pegiat. Di perpustakaan jalanan akan menemukan pemalakan, premanisme, pengusiran, ancaman, terror, penangkapan, dan sebagainya. Resiko itu sudah melekat dan haruslah disadari ketika berniat untuk memihak publik.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
199
Bahkan, barangkali menjadi pegiat literasi adalah menjadi manusia-manusia yang bermusuhan dengan status que. Dan semua dari deretan persoalan ini menuntut pegiat literasi untuk tegar, kuat, dan berdaya tahan. Dengan begitulah, gerakan ini akan awet muda. Kasus-kasus kekerasan yang menimpa pegiat literasi dalam setengah tahun ini sudah terjadi dua kali. Tanggal 10 Mei, dua pegiat asal Maluku dari Literasi Jalanan ditangkap dengan dugaan “menyebarkan” paham komunis. Tuduhan tersebut tentu saja sangat abu-abu. Pembuktian mengenai “paham” berada pada analisis yang dalam, tidak melalui interogasi atau debat. Kasus lainnya terjadi pada tanggal 20 Agustus. Tiga pegiat Perpustakaan Jalanan di Bandung mengalami tindak kekerasan aparat Kodim III Siliwangi. Tiga pegiat Perpustakaan Jalanan yang saat itu tengah membuka lapak baca buku tibatiba didatangi oleh aparat Kodim III Siliwangi dan memukul mereka di kepala dan wajah. Menurut keterangan dari akun FB Perpustakaan Jalanan ini bukan yang pertama kalinya aparat bertindak kasar terhadap masyarakat sipil. “Sehari-hari kami bekerja,sehingga waktu luang yang kami miliki hanya di akhir pekan. Akhir pekan adalah ‘hari raya’ kecil bagi para pekerja. Hari dimana kawan dan sahabat bersua, sekadar melepas rindu dan berbagi cerita penuh kehangatan,” tulis akun FB Perpustakaan Jalanan. Khoirul Huda, pegiat Masyarakat Literasi Bergerak kekerasan adalah tindakan biadab mengungkapkan, “Yg jelas perlakuan kekerasan terhadap pegiat literasi dr aparat adalah tindakan biadab, cita-cita kemerdekaan salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa, sejatinya para pegiat literasi ini membantu tugas negara dgn mencerdaskan masyarakat melalui literasi, negara tidak mensupport gerakan literasi saja itu keterlaluan apalagi melarang.” Negara melalui Kementrian yang berkaitan langsung seharusnya punya perspektif “adil sejak dalam pikiran”—sebuah ungkapan khas yang kerap muncul untuk menolak kekerasan atas dasar pikiran picik terhadap manusia. Menteri Pendidikan dan kebudayaan (mendikbud) harus mengambil bagian dalam mendukung dan memproteksi komunitas literasi yang sepuluh tahun terakhir begitu gencar dilakukan kelompok sipil secara mandiri. Mendikbud harus punya sikap adil sejak dalam pikiran dalam memberikan apresiasi atas
200
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
kerja pegiat Literasi selama ini. Negara tidak hadir itu lebih baik ketimbang hadir untuk menciptakan neraka neraka kecil di berbagai tempat. Tindakan Kreatif Perlawanan Perpustakaan jalanan yang memanfaatkan ruang terbuka/ruang publik untuk membangun nilai-nilai kemajuan (ide progrosi) merupakan manifestasi dari tindakan-tindakan kreatif perlawanan yang cukup damai dan tanpa kekerasan. Perpustakaan jalanan secara umum dirawat setidaknya dengan karekter keberanian, daya tahan & ketegaran, dan kreatifitas tinggi. Tindakan kreatif perlawanan adalah gagasan yang sepadan dengan everyday politics of resistance, everydayrebeliion, and regular small act of kindness. Menurut salah satu sumber yang saya lupa kopi paste linknya menyebutkan begini: Creative resistance begins when we start to imagine what our world – our communities, our friendships, our networks – could be like when we start living by our own rules outside of the logic of progress and profit and learn to construct the ‘goodlife’ together by observing and working with the ecological systems of the natural world. To do this we need to create space, psychological and physical. Creative Resistance always begins in the imagination of another way of being together, but has to continue with an act of resistance in the world itself, when a new idea is thrown in the face of the present. Tindakan perlawanan kreatif (Acts of Creative resistance) seringkali menjadi langkah awal untuk mendekonstruksikan kesadaran (kebudayaan). Aksi teartrikal: mandi pasir, topo pepe, mandi bunga sangat mungkin menjadi misteri sekaligus penjalas kemunculan suatu bentuk solidaritas komunal (identitas kejogjaan). Penjelasan semacam ini tentu saja tak mudah ditemukan dalam pelajaran formal. Pertama, Keberanian individu yang menggelar lapak baca di jalanan bukan sekedar keberanian kehilangan buku tetapi juga mengenai keamanan fisik dan psikis. Di Rumah Baca Komunitas sendiri mempraktikkan secara sempurna kemudahan mengakses pengetahuan kepada pembaca. “Pinjam buku berapa pun dan dikembalikan kapan pun. Gratis dan tanpa syarat.”, itu
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
201
adalah prinsip yang melekat ketika memutuskan membawa buku-buku ke ruang publik. Tindakan berani ini seringkali, secara kelakar, dilabeli sebagai tindakan ‘gila.’ Atau barangkali memang sudah gila. Tindakan kreatif ala perpustakaan jalanan selain dapat dinilai sebagai tindakan kreatif adalah juga telah memenuhi beragam teori sebagai bentuk perlawanan yang teruji, tegar, dan berdaya tahan. Karakter otonomnya juga penting untuk dikaji dalam konteks super citizen yang dibanyak negara telah berperan sebagai penjaga keutuhan kehidupan bermasyarakat-berbangsa. Sama dengan kekuatan social capital, bentuk perlawanan dengan jalan budaya kreatif adalah kekuatan yang strategis untuk membangun kekuatan kolaboratif atau ber-asosiasi-berjejaring (Putnam dalam Bowling Alone, 2001). Siapa pun tahu bahwa keberanian yang didasari karakter otonom adalah suatu keniscayaan bagi sosok penyeru kebaikan. Dalam konteks kota sebagai arena pertempuran kuasa (politik ) dan kapital (ekonomi) maka daerah ini daerah yang syarat dengan kemenangan, pesta pora, kejayaan dan di sisi lain akan bergelimpangan nestapa. Kekuatan politik dan uang selalu berdekat erat dengan premanisme dalam segala variasinya. Maka, menolak pembangunan hotel, eksploitasi, dan brandalisme jalanan bukanlah perbuatan tanpa resiko yang dilakukan oleh pegiat literasi untuk memastikan ruang tersedia untuk publik. Resiko disadari dan jalan taktik ditempuh untuk membangun strategi. Jika mau berhasil, keberanian haruslah dipadukan dengan penalaran yang baik agar tidak mati dalam keadaan konyol. Ini diyakini sebagai tindakan mulia untuk terus meneriakkan kebaikan. Kedua, Gilles Deleuze (1925-1995) mengatakan ‘A creator is not someone who works for pleasure. A creator only does what he or she absolutely needs to do’. Seperti tindakan kretif Adlun Fikri di Ternate dan teman-teman yang menyuarakan soal kejujuran polisi lalu lintas dan ruang bacaan sebagai akses pengetahuan publik, sebenarnya ada banyak kisah inspiratif seputar penggunaan metode perlawanan yang kreatif di muka bumi ini. Ada buku Jakcson dan Crawshaw, ada website menarik seperti ini hp://www.everydayrebellion.net/category/creative-resistance/ yang dapat menjadi petunjuk dan pengetahuan akan perlunya kreatif di dalam upaya mengubah suatu keadaan atau menolak suatu keadaan baru
202
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
yang mengancam. Elanto dan Dodo mirip seolah mereka percaya bahwa gagasan yang diviralkan akan melahirkan kekuatan dukungan sentipetal dan sentrifugal secara simultan dan ini sebuah jalan yang tidak ‘mahal’ untuk memulai suatu agenda aksi. Kisah kekuatan viral juga pernah terjadi di Korea atas tindakan asik seorang mahasiswa bernama Ju Hyun-Woo yang membuat poster bertuliskan “I am not fine” berwarna kuning seperti warna identitas #gerakanmembunuhjogja. Poster dari kampus ini menjadi viral lantaran terlampau banyak kasus yang membuat orang tidak gembira dan tidak baik-baik saja seperti korupsi, pemilu yang tak jujur, pembangunan PLTN, dan sebagainya. Banyak orang mengamini tindakan Hyun-Woo ini seperti halnya orang mengapresasiasi aksi-aksi Dodok dan Elanto di Yogyakarta. Kedua makhluk tuhan ini sangat kompak untuk mengedukasi publik agar menjadi warga berdaya—warga yang terus berkarya tak berharap pada negara dalam brandingnya #JogjaOraDidol dan juga kampanye serta advokasi untuk mewujudkan Kota Untuk Manusia melalui media online dan berbagai forum rembug warga. Biar bagaimanapun, perlawanan itu adalah adalah seni kemungkinan. Bagaimana cara membuat suatu yang tak mungkin menjadi mungkin dengan trial and error tanpa merasa stress dan frustasi. Perlawanan yang dapat dibuat asik, dagelan, fresh, dan unik tentu saja akan memberikan nafas lebih panjang. Ada sound of revolution-nya dari Komunitas literasi lewat music, puisi, teater, bahkan pengajian yang progresif. Ini pertanda bahwa cara perlawanan kita sudah sampai pada tindakan tindakan kreatif. Kreatifitas juga punya korelasi dengan daya tahan serta ketagaran. Selain itu juga ledakan karya seni bernada perlawanan dalam beragam desain di social media, poster, graffiti jalanan, banner, leaflet, broadcast, dan fotografi. Kedua, ketegaran dan daya tahan. Bentuk perlawanan yang paling mematikan adalah perlawanan yang berdaya tahan. Sederhananya, satu orang saja melakukan perlawanan seperti tuntutan kamisan di depan istana Negara tentu ini adalah suatu kegoncangan moral dan harga diri luar biasa bagi pelaku kejahatan yang ‘disowani’ setiap pekan. Jenis perlawanan yang tidak bisa dihadang dengan tank karena hanya satu atau tiga orang, bentuk perlawanan yang sulit dilumpuhkan lantaran meraka tak melakukan kekerasan apapun, dan juga tidak bisa ditembak karena semua orang tahu
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
203
aksi berpayung hitam adalah seperti orang sedang takziah—menuntut ketidakadilan atas kematian yang tak diharapkan. Daya tahan itu adalah kekuatan yang dipelihara dengan berjejaring, dengan melakukan tindakan, melanjutkan apa yang sudah berjalan, berteman dengan siapa saja, beriteraksi, menjawab wawancara, mennyatakan pendepat di media, menuliskan cerita pendek, menguatkan diri dengan membaca, belajar hal baru, mau berbagi dan bertanya satu lain hal. Inilah kekuatan yang tak gampang ditumpas. Peluang melakukan seruan dan perlawanan semakin terbuka. Terakhir, jalan non-Kekerasan. Dunia kontemporer yang kita dapat jadikan pelajaran adalah bagaimana berminggu-minggu kelompok oposisi di Mesir menduduki (sit-ins) tempat umum di masa transisi mendukung Mohamad Morsi. Mereka mereplikasi taktik para demonstran yang pernah aksi protes kepada komunisme dengan menduduki Tiananmen di China, pendudukan damai di Epifanio de los Santos Avenue untuk membebaskan Presiden Ferdinand Marcos dari tuntutan, aksi pendudukan the United States’ National Mall to memaksa menghentikan perang Vietnan, pendudukan gedung DPR-MPR tahun 1998 di Indonesia untuk melengserkan Suharto, dan masih banyak lagi. Praktik perlawanan tanpa kekerasan ini dipraktikkan secara luas di dunia seperti Anna Hazare di India yang melawan korupsi dengan puasa yang membuat solidaritas luar biasa. Jutaan manusia bergabung, turut berpuasa. Jadi, sebenarnya tindakan non-violence resistance (perlawanan tanpa kekerasan) seperti perpustakaan jalanan, mandi pasir, mandi kembang, menghadang moge, menebarkan kesadaran akan pentingnya ruang publik ini dapat membangkitkan kekuatan citizen & netizen untuk menyuarakan kebenaran dan kepentingan public (public interest). Keberhasilan tentu saja debatable ukurannya. Saya sendiri lebih melihat keberhasilan perlawanan kretif ini diukur dari sisi internal (apakah bertahan, solid, nilai yang diperjuangkan semakin mantab dipahami pengikutnya) dan sisi eksternal melihat obyek yang mengalami transformasi seperti penghentian pembangunan hotel, penyegelan. penyitaan, penyerahan diri, kemenangan di persidangan, dan mendapatkan semakin besar dukungan publik terkait isu/kasus yang sedang diperjuangkan.
204
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Apa Yang Kita Simpulkan? Bagaimana kita mempersepsikan gerakan literasi kontemporer? Apa perkembangan terbaru dari gerakan literasi yang semakin populis? Persepsi tersebut berpotensi menghasilkan berbagai spektrum yang berbeda tentang fungsi transformatif gerakan literasi. Pertama, kita harus menyadari bahwa gerakan literasi sudah berkembang jauh jika dilakukan penyelidikan kasuistik pasca era reformasi. Dalam konteksnya yang tidak terlalu jauh misalnya masyarakat tidak lagi sekedar melihat perannya melalui pengembangan kegiatan di sektor ekonomi, melainkan juga pendidikan. Meningkatnya jumlah institusi pendidikan yang dikelola oleh swasta (termasuk masyarakat) dapat menjadi cermin yang cukup baik untuk melihat konteks gerakan sosial kontemporer di Indonesia. Paling tidak berdasarkan aras partisipatif masyarakat dalam mengembangkan pendidikan, meskipun tentu saja kita bisa mempertimbangkan itu sebagai produk umum gejala masyarakat urban dan peningkatan kelas menengah. Tetapi yang lebih penting adalah kesadaran untuk mempertimbangkan kembali alat analisa baru untuk melihat bentukbentuk partisipatif dalam setiap perilaku masyarakat. Kedua, paradigma sebagai rule of game memainkan peran penting dalam cara kita menilai dan mengevaluasi gerakan literasi. Karena paradigma yang menentukan apa yang boleh dianggap penting, apa yang dianggap relevan, dan menentukan “sebagai siapa” orang memandang sesuatu, serta “sebagai apa sesuatu itu hadir”. Fungsi paradigma yang terakhir, contohnya adalah “sebagai apakah gerakan literasi muncul?” atau “gerakan literasi sebagai bentuk dari perlawanan keseharian”, atau “sebagai kumpulan peminat buku?”. Cara kita merefleksikan realitas memperlihatkan paradigma. Jadi tantangan gerakan literasi dan relevansinya dalam konteks transformasi sosial bisa saja sangat bergantung dari kemampuan reflektif kita mengenai gerakan literasi, dan basis data untuk menyimpulkannya. Jadi kalau ada yang berkata bahwa “gerakan literasi saja tidak cukup⁉” darimana basis kesimpulannya berasal?.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
205
Daar Bacaan https://www.change.org/p/joko-widodo-buku-murah-untuk-rakyata065f84c-a93d-4150-a555-b0e781852dde hp://www.rumahbacakomunitas.org/respon-perpustakaan-jalanan-ataskekerasan-tni/
(Endnotes) 1 http://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/PISA-2012-technical-reportfinal.pdf baca juga hasil penelitian Suhendra Yusuf, “Perbedaan Gender dalam Prestasi Literasi Siswa di Indonesia” 2 Rianne Subijanto, dalam hp://indoprogress.com/2014/04/ruang-publikdulu-dan-sekarang/ 3 Habermas, J. ‘e Public Sphere: An Encyclopedia Article (1964)’, New German Critique 3 (Autumn/1974): 49. 4 Eley, G. ‘Nations, Publics, and Political Cultures: Placing Habermas in the Nineteenth Century’, in C. Calhoun (ed.) Habermas and the Public Sphere, (London: e MIT Press, 1992). 293. 5 Habermas, J. ‘Further Reflections on the Public Sphere’, in C. Calhoun (ed.) Habermas and the Public Sphere, (London: e MIT Press, 1992), 422.
206
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
ƮƳ
TĸĊġÐGįð÷Œ÷įð÷įŤǘTjGaǙ ðÐį"÷ĮĸĤŕÐŚēÐħÐVÐŪĮŕéÐįTĸĊġÐ Alhafiz Atsari
P
ada umumnya transisi demokrasi, selain ditandai dengan runtuhnya rezim lama yang otoriter adalah menguatnya harapan optimisme yang tinggi terhadap segera tercapainya hasil akhir perjuangan, yaitu terbentuknya masyarakat madani (civil society) pada arena politik tingkat nasional hingga lokal (Deni, 2006). Istilah civil society sebagaimana dipergunakan Alexis de’ Tocqueville, didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain kesukarelawanan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan normanorma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Dan akhir-akhir ini, pemilihan umum di Indonesia diwarnai dengan munculnya sebuah fenomena gerakan kerelawanan politik. Munculnya relawan tidak bisa dilepaskan dari budaya masyarakat Indonesia yang pada dasarnya senang bergotong royong (Samah & Susanti, 2015). Lahirnya gerakan kerelawanan adalah wujud partisipasi masyarakat dalam sistem demokrasi dan mengutip istilah Sorensen (2003) sebagai demokrasi yang didominasi massa sebagai sebuah sistem dengan aktor massa yang memiliki kekuasaan di atas kelas penguasa tradisional. Mereka mendorong reformasi dari bawah, menyerang kekuasaan dan hak-hak istimewa kaum elit (Sorensen, 2003).
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
207
Gerakan kerelawanan di era reformasi ini bukanlah sebuah gerakan atau fenomena baru. Pada awal abad ke-20, gerakan kerelawanan mewujud dalam kelompok dan organisasi yang mendorong kesadaran kebangsaan dan kemerdekaan nasional (Kompas, 20 Mei 2016). Gerakan kerelawanan sudah muncul sebelum kemerdekaan Republik Indonesia yang ditandai dengan lahirnya Sumpah Pemuda yang diprakarsai oleh sebagian pemuda (Kompas, 19 Mei 2016). Pada era pendudukan Jepang, gerakan kerelawanan juga muncul dan diuntungkan oleh niat propaganda Jepang (Kompas, 19 Mei 2016). Pasca kemerdekaan hingga sebelum tahun 1965, gerakan kerelawanan tumbuh dengan basis perjuangan politik ideologis (Kompas, 20 Mei 2016). Gerakan kerelawanan politik dalam berbagai bentuk terus digerakkan baik di dalam maupun di luar lingkaran kekuasaan sebagai bagian dari upaya mendorong infrastruktur demokrasi (Kompas, 2016). Pada masa reformasi, ribuan mahasiswa di sejumlah daerah terlibat dalam gerakan yang menumbangkan rezim Orde Baru. Suara Ibu Peduli dan Tim Relawan untuk kemanusiaan adalah contoh gerakan kerelawanan pada awal Reformasi (Kompas, 20 Mei 2016). Sedangkan saat ini, gerakan kerelawanan mulai mengambil bentuk dalam dukungan kepada calon pemimpin di tingkat lokal atau nasional seperti Relawan Jokowi-Ahok, dan Teman Ahok serta Jogja Independent (JOINT) adalah beberapa contoh gerakan kerelawanan politik di masa kini. Gerakan-gerakan kerelawanan ini telah menjadi alat pengontrol sosial dalam pencegahan penyalahgunaan kekuasaan oleh negara dan juga pemimpin. Dalam perspektif partai politik, kandidasi menjadi faktor penting suksesnya sebuah partai politik dalam memenangkan calon pemimpin yang diusung dalam pemilihan umum. Kandidasi partai politik akan menunjukkan dimana lokus kekuasaan partai politik, sirkulasi elit, politik representasi, perjuangan kekuasaan di internal partai, wajah partai di ruang publik, dan memperlihatkan tipe kepartaian (Triadi, 2013). Gagalnya kandidasi oleh partai politik akan memuncul beberapa faktor, pertama perlawanan masyarakat akibat ketidakpercayaan terhadap kinerja pemimpin yang terpilih dari partai politik karena melakukan tindak kejahatan seperti korupsi dan penyelewengan-penyelewengan lainnya (Kompas, 11 April 2016) sehingga bisa menyebabkan munculnya gerakan
208
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
kerelawanan. Kedua, gagalnya partai politik dalam menjalankan lima fungsi utama seperti pendidikan politik; persatuan dan kesatuan; penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik; partisipasi politik; dan perekrutan politik yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik (Kompas, 11 April 2016). Ketiga, maraknya praktik suapmenyuap atau biaya politik yang mahal untuk partai politik yang harus diberikan oleh calon pemimpin yang akan maju pada sebuah pemilihan umum (Kompas, 1 Maret 2016). Keempat, tidak berjalan dengan baiknya proses kandidasi calon dari partai politik yang menghasilkan pemimpin dari apa yang disebut Firmanzah sebagai politik “kacang-goreng” yakni politik instan dan tanpa pembekelan asalkan calonnya memiliki popularitas yang tinggi di masyarakat (Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, 2011). Namun, ada sebuah fenomena baru yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang tergabung di dalam sebuah gerakan kerelawanan. Kelompok ini mencoba mengusung, memunculkan calon independen atau perseorangan untuk maju dalam pemilihan umum dengan cara menyeleksi calon-calonnya secara terbuka (anti-patronase). Karena banyak kasus yang terjadi bahwa calon perseorangan yang maju merupakan kandidat dari sebuah partai politik yang kalah bersaing dengan calon lain untuk mendapatkan dukungan partai politik atau yang biasa disebut dengan calon pemimpin tanpa “perahu” politik. Ada dua gerekan kerelawanan politik yang muncul kembali pada pemilihan umum 2017 yaitu Teman Ahok di provinsi DKI Jakarta dan JOINT di Kota Yogyakarta. Kedua gerakan kerelawanan ini juga memperlihatkan perbedaan mendasar. Ada perbedaan proses dan cara kerja yang mencolok antara gerakan kerelawanan politik Teman Ahok dengan gerakan kerelawanan JOINT, gerakan kerelawanan Teman Ahok merupakan gerakan kerelawanan yang bekerja setelah adanya tokoh sentral atau incumbent atau petahana yang akan maju pada pemilihan selanjutnya yakni Basuki Tjahaja Purnama dan Heru Budi Hartono (Kompas, 17 Juni 2016). Sedangkan JOINT terbentuk bukan karena dasar ketokohan yang telah dimiliki, melainkan sebuah gerakan yang berupaya memunculkan calon pemimpin dengan proses konvensi secara terbuka selama dua kali layaknya metode yang
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
209
sering dilakukan partai politik dan diikuti oleh lima belas peserta yang mendaarkan diri sebagai bakal calon wali kota dan wakil walikota dan pada akhirnya memutuskan mengusung Garin Nugroho dan Rommy Heryanto sebagai calon walikota dan wakil walikota (Kompas, 18 April 2016). Berdasarkan penjelasan di atas, pertama, JOINT menjadi satu-satunya gerakan kerelawanan di Indonesia dan pertama kali yang mengusung bakal calon walikota dan wakil walikota dengan melakukan penjaringan, seleksi dalam sebuah proses konvensi dengan dihadiri oleh masyarakat, layaknya proses yang dilakukan oleh partai politik. Kedua, semenjak adanya gerakan kerelawanan seperti JOINT yang menjaring calon pemimpin membuat terjadinya perubahan fenomena, perilaku dan kebiasaan seorang warga yang ingin menjadi calon pemimpin tidak perlu berebut untuk mendapatkan restu dari sebuah partai politik, cukup bertarung dalam konvensi yang disediakan JOINT. Ketiga, kajian mengenai kandidasi pemimpin oleh sebuah gerakan kerelawan politik di Indonesia belum ada sampai saat ini. Pengkajian dan penelaahan masyarakat dalam menyusun konsep kandidasi yang ditawarkan gerakan kerelawan tersebut menjadi sangat penting dan relevan. Mengingat, jumlah calon pemimpin yang menggunakan jalur perseorangan pada pemilihan umum kepala daerah tahun 2015 mencapai 137 pasangan calon dari 827 pasangan calon yang maju yakni sekitar 16,5% dari jumlah tersebut (Kompas, 1 Maret 2016). Namun, tidak ada satu pun pasangan calon perseorangan di Indonesia yang maju karena telah mengikuti mekanisme konvensi seperti yang dilakukan oleh gerakan Jogja Independent (JOINT) sehingga belum dapat dipastikan calon perseorangan yang maju adalah pilihan rakyat dan telah diuji oleh ahli dan juga masyarakat. Oleh sebab itu, penulis ingin meneliti pola, mekanisme, proses kandidasi yang dilakukan JOINT. eoretical Framework 1. Kandidasi Kandidasi adalah bahasa lain dari rekrutmen politik. Kandidasi dalam perspektif partai politik merupakan fungsi yang sangat penting bagi partai politik. Tercapai tidaknya tujuan suatu sistem politik tergantung pada kualitas kandidasi. Fungsi ini sangat penting bagi kelangsungan sistem
210
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
politik karena tanpa elite yang mampu melaksanakan peranannya maka kelangsungan hidup sistem politik akan terancam. Kandidasi pada esensinya adalah penyeleksian individu-individu yang berbakat untuk menduduki jabatan politik atau jabatan pemerintahan (Haryanto, 1982). Kandidasi adalah pemilihan orang-orang untuk mengisi peranan dalam sistem sosial. Kandidasi ditandai dengan terisinya posisi formal dan legal seperti Presiden, pembuat undang-undang, begitu juga peranan yang kurang formal misalnya pembujuk, aktivis partai ataupun propagandis (Plano, 1985). Sedangkan definisi kandidasi yang dipaparkan oleh Ramlan Surbakti adalah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekolompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya, dengan mengkhususkan kepada orang-orang yang mempunyai bakat yang cukup menonjol (Surbakti, 1992). Dengan demikian maka rekrutmen politik sangat berhubungan terhadap karier seseorang. Biasanya prosedur perekrutan yang dilaksanakan dan diterapkan oleh masing-masing partai berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, tetapi terdapat suatu kecenderungan bahwa individu-individu yang berbakat yang dicalonkan untuk menduduki jabatan politik maupun jabatan pemerintahan mempunyai latar belakang yang sama, yaitu bahwa mereka berasal dari kelas menengah atau kelas atas dan kalaupun mereka berasal dari kelas bawah maka mereka merupakan orang-orang yang telah memperoleh pendidikan yang memadai (Haryanto, 1982). Untuk mengetahui sejauhmana demokrasi berjalan dalam proses kandidasi, maka dapat dilihat dari jawaban atas berbagai pertanyaan berikut ini (Scarrow, 2016): Apakah forum yang digunakan untuk menyeleksi?; Siapa yang menentukan kelayakan kandidat?; Siapa yang menentukan kelayakan selektorat?; Apakah pemimpin partai menyeleksi kandidat sebelum proses kandidasi?; Apakah pemimpin partai mengesahkan hasil akhir proses kandidasi?; Apakah pilihan-pilihan dalam proses kandidasi dipandu oleh aturan-aturan partai? Menurut Rahat dan Hazan dalam Katz dan Croy (2013) sebagaimana yang dikutip dalam buku Sigit Pamungkas menyatakan bahwa terdapat empat hal penting yang dapat menunjukkan bagaimana pengorganisasian
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
211
kandidasi di dalam partai politik: Siapa kandidat yang dapat dinominasikan?; Siapa yang menyeleksi?; Dimana kandidat di seleksi?; Bagaimana kandidat diputuskan? Perlakuan terhadap keempat hal tersebut melahirkan model pengelolaan partai antara pola-model inklusif dan ekslusif dalam hal pencalonan, inklusif dan ekslusif terkait selektorat/penyeleksi, sentralistik dan desentralistik, demokratis dan otoriter. Terkait siapa kandidat yang dinominasikan dalam model inklusif adalah setiap pemilih dapat menjadi kandidat partai. Sementara untuk model ekslusif terdapat sejumlah kondisi yang membatasi hak pemilih untuk dapat ikut serta dalam seleksi kandidat. Partai politik memberikan sejumlah persyaratan tambahan diluar yang ditentukan negara misalnya (1) telah menjadi anggota partai, serikat pekerja, koperasi dan asosiasi asuransi selama setidaknya selama lima tahun sebelum pemilu pendahuluan, (2) telah melakukan pembelian minimum tahunan dari koperasi Sosialis, (3) telah menjadi pelanggan reguler surat kabar partai, (4) telah mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah negeri bukan sekolah katolik, dan (5) istri dan anak terdaar dalam organisasi perempuan dan pemuda yang sesuai. Syarat-syarat ini pada dasarnya, mengharuskan calon menjadi anggota dari subkultur aktivis sebelum ia berhak mencalonkan diri ke parlemen (Rahat & Hazan, Seleksi Calon: Metode dan Seleksi, 2013). Regulasi negara biasanya meletakkan persyaratan-persyaratan dasar bagi individu yang boleh menominasikan diri, yaitu persyaratan usia, kewarganegaraan, tempat tinggal, kualifikasi literasi, batas deposit uang, jumlah dukungan dan sebagainya. Model penyeleksi kandidat dapat diklasifikasikan dalam sebuah kontinum, sama seperti kontinum kandisasi, berdasarkan tingkat inklusifitas dan ekslusifitas. Pada titik ekstrim, penyeleksi adalah sangat inklusif adalah pemilih yang memiliki hak memilih pemilu. Dalam ekstrim lainnya, penyeleksi sangat ekslusif dimana kandidasi ditentukan oleh pimpinan partai. Penyeleksi adalah lembaga yang menyeleksi kandidat yaitu dapat berupa satu orang, beberapa atau banyak orang sampai pada pemilih. Sedangkan untuk menjawab dimana kandidat diseleksi ada dua metode yaitu pertama, metode sentralistik adalah kandidat diseleksi secara eksklusif oleh penyeleksi partai pada tingkat nasional tanpa prosedur
212
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
yang mengikutinya, seperti representasi teritorial atau fungsional. Metode kedua adalah kandidat diseleksi secara eksklusif oleh penyeleksi partai lokal atau kelompok sosial intra partai atau kelompok-kelompok seksional. Desentralisasi teritorial adalah penyeleksi lokal menominasikan kandidat partai yang diantaranya dilakukan oleh pimpinan lokal, komite dari cabang sebuah partai, semua anggota atau pemilih di sebuah distrik pemilihan (Rahat & Hazan, Seleksi Calon: Metode dan Seleksi, 2013). Desentralisasi funsgsional adalah memastikan keterwakilan bagi perwakilan kelompok seperti serikat buruh, perempuan, atau minoritas. Memahami seleksi kandidat, bagaimana kandidat dinominasikan, Rahat dan Hazan dalam buku Sigit pamungkas (2012) menyebutkan dua model yang konfrontatif, yaitu pertama model pemilihan dan model penunjukan. Dalam sistem pemilihan, penominasian kandidat adalah melalui pemilihan diantaranya penyeleksi. Pada sistem pemilihan murni, semua kandidat diseleksi melalui prosedur pemungutan suara pemilihan tanpa seorang penyeleksi pun dapat mengubah daar komposisi. Sementara dalam sistem penunjukan, penentuan kandidat tanpa menggunakan pemilihan. Dalam sistem penunjukan murni, kandidat ditunjuk tanpa membutuhkan persetujuan oleh agensi partai yang lain kecuali penominasian oleh partai atau pemimpin partai. Konsep seleksi calon di atas merupakan konsep yang dilaksanakan oleh partai politik. Maka relevansinya dalam konteks kajian permasalahan yang akan diteliti adalah peneliti ingin menggunakan konsep seleksi ini untuk mengkaji dan menelaah kandidasi calon perorangan yang dilakukan JOINT. 2.
Calon Perseorangan
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada undang-undang ini diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam undang-undang ini.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
213
Berdasarkan Undang-undang tersebut mengartikan bahwa peluang bagi calon perseorangan untuk ikut dalam pemilihan kepala daerah semakin terbuka. Pasangan calon perseorangan dapat mendaarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan sebagai berikut: a.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen).
b.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 8,5% (delapan setengah persen).
c.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 7,5% (tujuh setengah persen).
d.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam setengah persen). Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
e.
3. Sentimen Anti-Partai Sentimen anti-partai adalah sikap minor warga negara terhadap partai politik menyangkut eksistensi partai atau perilaku partai (Pamungkas, 2012). Terdapat dua bentuk sentiment anti-partai, yaitu anti-partaisme reaktif dan anti partaisme kultural (Torcal, Gunther, dan Montero, dalam Gunther, Montero, dan Linz, 2002 dalam Pamungkas, 2012). Pertama, antipartaisme reaktif merupakan sebuah sikap kritis dari warga negara dalam merespon ketidakpuasan mereka terhadap kinerja elit dan institusi partai. Anti-partaisme rekatif ini menyebabkan adanya sinisme terhadap partai politik yang tidak dapat menjalankan fungsinya dan rendahnya tingkat partisipasi politik. Namun di sisi lain, anti-partaisme rekatif ini memiliki hasil positif yaitu memobilisasi warga untuk menuntut perbaikan atau perubahan dalam kekuasaan. Anti-partaisme rekatif ini bersifat sementara,
214
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
sehingga cenderung berubah-ubah dari waktu ke waktu, tergantung pada kinerja partai, elit politik, dan demokrasi (Pamungkas, 2012). Kedua, anti-partaisme kultural merupakan ekspresi ketidaksenangan terhadap eksistensi partai politik dalam sebuah negara. Anti-partaisme cultural masih mentoleransi kehadiran partai politik tetapi warga negara kecewa terhadap kinerja partai politik, pada anti-partaisme cultural warga menjadi tidak menyukai hadirnya partai politik itu sendiri. Faktor penyebab munculnya sikap anti-partaisme cultural antara lain keadaan politik suatu negara, adanya pengalaman panjang suatu rezim dictator, adanya pergolakan politik dan dikontinuitas, manipulasi elit politik yang berkuasa seperti praktik demokrasi yang terbatas, hubungan patron-klien, kecurangan sistematis dalam pemilu dan adanya intimidasi yang bertujuan membatasi hak politik warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik (Pamungkas, 2012). 4.
Gerakan Sosial
Secara umum gerakan sosial memiliki definisi yang luas karena beragamnya ruang lingkup yang dimilikinya. Gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama; atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan (Giddens, 2006). Gerakan sosial juga diartikan sebagai satu bentuk perilaku kolektif tertentu dimana motif untuk aksi berasal sebagian besar dari sikap-sikap dan aspirasi-aspirasi dari para anggota, secara khas bereaksi di dalam sebuah kerangka organisasional yang longgar (Heywood, 2013). Beberapa aspek dalam gerakan sosial adalah adanya ide-ide yang luas, pembentukan aksi publik, pengorganisasian sarana, serta penggunaan simbol atau pun slogan (Markoff, 1996). Gerakan sosial baru umumnya melibatkan politik akar rumput, kerap memprakarsai gerakan-mikro kelompok-kelompok kecil, membidik isu-isu lokal dengan sebuah dasar institusi yang dibatasi (Singh, 2010). Perbedaan antara gerakan-gerakan sosial tradisional dan gerakan-gerakan sosial baru adalah bahwa gerakan-gerakan sosial baru cenderung memiliki strukturstruktur organisasional yang menekankan desentralisasi dan pembuatan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
215
keputusan partisipatori dan juga telah mengembangkan bentuk-bentuk aktivisme politik baru (Heywood, 2013). Gerakan sosial baru umumnya mempraktikkan apa yang terkadang disebut ‘politik baru’ yang menjauh dari partai-partai, kelompok-kelompok kepentingan dan proses-proses perwakilan yang telah mapan ke arah satu bentuk politik protes yang lebih inovatif dan teatrikal (Heywood, 2013). 5.
Kerelawanan Politik
Dalam historiografi politik, istilah relawan (volunteer) dikembangkan sejak tahun 1755 oleh seorang Perancis M. Fr Voluntaire ketika memberi pelayanan kepada tentara yang sedang berperang (Arianto, 2014). Tugasnya adalah mengabdi secara ikhlas dalam kegiatan altruistik untuk mendorong, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas kehidupan di bidang sosial, budaya dan ekonomi. Istilah relawan diambil dari bahasa Jerman “aktivismus” yang muncul pada akhir perang dunia pertama. Istilah ini kemudian digunakan untuk menandai prinsip keterlibatan politik secara aktif oleh kaum intelektual. Bukan hanya pemikiran, tetapi juga usaha untuk membela dan mewujudkan pemikiran tersebut disebut relawan (Arianto, 2014). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah relawan diartikan sebagai orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan atau dipaksakan). kegiatan ini merupakan kegiatan kolektif yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama, berkelanjutan dan terorganisir (Schroeder, Penner, Divido, & Piliavin, 1998). Sedangkan definisi politik menurut Hannah Arendt yang dikutip oleh Andrew Heywood (2013) adalah aksi bersama. Jadi, definisi keralawanan politik adalah kegiatan yang dilakukan secara sukarela secara bersama-sama oleh sekelompok individu. Relawan biasanya memiliki daya tarik bagi kalangan muda. Perlawanannya adalah perlawanan terhadap kompromi untuk keuntungan politik, membangkitkan kecurigaaan terhadap segala bentuk struktur dan hierarkis (termasuk tatanan-tatanan pemerintahan dan partai-partai konvensional), dan fakta bahwa ia menawarkan satu bentuk politik yang benar-benar ‘saat itu’ (Heywood, 2013). Menurut Putnam (2015) keanggotaan dalam organisasi atau asosiasi sukarela dan hubungan sosial informal dapat mendorong orang-orang
216
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
untuk saling percaya, untuk membahas isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat, dan bersatu untuk melakukan tindakan kolektif. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif dengan jenis deskriptif. Metode deskriptif akan digunakan dalam pengumpulan data. Penelitian deskriptif biasanya dilakukan peneliti untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek atau subjek amatan secara rinci (Suyanto, 2011). Jenis data meliputi data primer dan sekunder. Data primer adalah semua informasi mengenai konsep penelitian (ataupun yang terkait dengannya) yang kita peroleh secara langsung dari unit analisa yang dijadikan sebagai obyek penelitian (Rahmawati, 2011). Dalam penelitian ini data primer bersumber dari hasil wawancara dengan informan. Sedangkan data sekunder merupakan semua informasi yang kita peroleh secara tidak langsung, melalui dokumen-dokumen yang mencatat keadaan konsep penelitian (ataupun yang terkait dengannya) di dalam unit analisa yang dijadikan obyek penelitian. Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan adalah dokumen peraturan perundang-undangan, literaturliteratur, buku-buku dan dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Teknik Pengumpulan Data Pemahaman tentang proses kandidasi calon perseorangan pada pemilihan umum walikota Yogyakarta akan dilakukan melalui (1) observasi menjadi relawan di JOINT, Kota Yogyakarta, (2) wawancara dengan relawan, inisiator, penyeleksi, dan wakil walikota dari JOINT. Dalam teknik pengumpulan data melalui observasi, peneliti terlibat langsung dengan obyek penelitian menjadi relawan di Jogja Independent guna mendapatkan informasi atau temuan yang spesifik yang dilakukan sehari-hari oleh JOINT terkait dengan proses kandidasi calon perseorangan pada pemilukada kota Yogyakarta tahun 2017. Selain itu juga digunakan teknik (3) dokumentasi yaitu membaca tulisan dan melakukan penelusuran terhadap pustaka dan literatur yang terkait dengan proses kandidasi calon perseorangan yang dilakukan JOINT.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
217
Data deskriptif ini berasal dari berbagai sumber, diantaranya adalah bukubuku, arsip-arsip, agenda, catatan-catatan maupun melalui media online lainnya yang dianggap relevan yang terkait dengan proses kandidasi calon perseorangan yang dilakukan JOINT. Teknik observasi menjadi relawan di JOINT, wawancara, dan dokumentasi dilakukan untuk menjawab objektivitas dan menghindari bias pemahaman dalam penelitian ini dengan mengonfirmasi berbagai informasi yang diperoleh sebelum melakukan studi lapangan. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan proses penafsiran hasil penelitian, penafsirannya meliputi perbandingan antara apa yang diprediksi di awal penelitian dan hasil yang diperoleh sesudah penelitian. Dalam proses penafsiran data biasanya berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, peneliti menafsirkan teks yang disampaikan oleh partisipan. Kedua, peneliti menyusun kembali hasil penelitian tingkat pertama dan mendapatkan tematemanya. Ketiga, menghubungkan tema-tema tersebut sehingga membentuk teori, gagasan dan pemikiran baru. (Raco, 2010). Upaya interpretasi data observasi, wawancara, dan dokumentasi akan dianalisis melalui beberapa tahapan. Pertama, melakukan pengumpulan data yang dihasilkan dari proses studi pustaka, interview (wawancara) dan observasi. Kedua, melakukan penilaian data yang telah didapatkan dan dikaji kemudian dinilai untuk mendalami dan mengetahui keabsahan dan kesesuaian dari data primer dan data skunder. Ketiga, melakukan interpretasi data, data yang sudah dikaji dan dinilai kemudian diinterpretasikan lewat reduksi pada penelitian ini yang disesuaikan dengan teori-teori yang dijadikan landasan penelitian. Keempat, melakukan Penarikan kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dengan cara menghubungkan hasil penelitian yang dihasilkan dari proses penelitian, bertolak dari fenomena yang terjadi dilapangan menuju kesimpulan umum. Dengan harapan dapat menambah wawasan secara teoritis yang sesuai dengan tujuan penelitian. Proses analisis akan dilakukan dengan mengikuti siklus interaktif yang tentunya juga sudah dilakukan sejak awal pengumpulan data.
218
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Setelah dilakukan identifikasi pada data kemudian data dideskripskan dalam bentuk sajian yang diperkuat dengan analisis untuk membuat kesimpulan. Sehingga proses analisis dimulai dengan melakukan strukturisasi data primer dari hasil wawancara dan observasi untuk dianalisis. Penelitian ini dilaksanakan di Jogja Independent (JOINT) yang berada di Kota Yogyakarta, Daeraha Istimewa Yogyakarta. JOINT dipilih karena merupakan satu-satunya gerakan kerelawanan politik di Indonesia yang mencoba melakukan proses kandidasi terhadap calon perseorangan. Kota Yogyakarta dipilih karena merupakan salah satu kota yang merupakan tempat keberadaan gerakan kerelawanan politik di Indonesia. Profil Narasumber Dalam pelaksanaan penggalian data yang dilakukan dengan teknik wawancara selalu diupayakan untuk mendapatkan perserta yang representatif dari berbagai peran relawan, inisiator, penyeleksi, dan juga kandidat. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih obyektif bagaimana praktik kandidasi calon perseorangan pada pemilihan umum Kota Yogyakarta yang dilakukan JOINT. Ada pun identitas responden peserta wawancara yang dilakukan dapat dilihat sebagaimana tabel berikut ini: Tabel 1.1 Peserta Wawancara aĸ
aÐĮÐ
Ʈ
ŪŚƄŕĸ`ŪŔŔĸðÐŚ
Ư ư
T÷įēŚV÷ħÐĮēį
÷ŕÐį
XÐĤēǜħÐĤē
V÷ŤŪÐ÷įƄ÷ħ÷ĤŚē
µŪŚŤēįÐa÷įē
÷ŕ÷ĮŒŪÐį
GįēŚēÐŤĸŕ
C÷ŕĮÐį"ĸðƄ
XÐĤēǜħÐĤē
GįēŚēÐŤĸŕ
Ʊ
êďĮÐðaŪŕĮÐįðē
XÐĤēǜħÐĤē
÷įƄ÷ħ÷ĤŚē
Ʋ
ĸĮĮƄC÷ŕƄÐįŤĸ
XÐĤēǜħÐĤē
ÐħĸįžÐĤēħžÐħēĤĸŤÐ
Ƴ
aĸŽÐ
÷ŕ÷ĮŒŪÐį
÷ħОÐį
ƴ
ÐéÐħēĮ
XÐĤēǜħÐĤē
÷ħОÐį
Pembahasan Jogja Independent (JOINT) merupakan gerakan yang diinisiasi oleh masyarakat Kota Yogyakarta pada bulan Maret 2016 untuk mengawal dan berkontestasi pada pemilihan umum kepala daerah yang akan dilaksanakan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
219
pada awal tahun 2017. Lahirnya JOINT tidak terlepas dari keprihatinan sebagian masyarakat Kota Yogyakarta terhadap buruknya proses rekrutmen partai politik di Indonesia dan kepemimpinan walikota Haryadi Suyuti selama lima tahun ini di Kota Yogyakarta. Proses-proses rekrutmen yang selama ini terjadi adalah maraknya perilaku nepotisme yang terjadi di tubuh partai politik dengan cara mendistribusikan kekuasaan kepada keluarga atau orang-orang tertentu tanpa proses yang terbuka. Masyarakat yang tidak mempunyai kapital atau modal tidak akan bisa mengikuti proses kandidasi yang dilakukan oleh partai politik. Partai politik cenderung memberikan jalan yang mudah kepada calon yang berasal dari kelompoknya, misalnya calon tersebut berasal dari pimpinan partai tersebut dan juga pengurus partai yang mempunyai pengaruh yang kuat. JOINT memberikan alternatif proses pencalonan calon kepala daerah melalui jalur independen, dengan menghilangkan praktik politik uang yang terjadi di tubuh partai politik. Alternatif ini menjadi sebuah fenomena baru karena terbentuknya sebuah wadah baru dan proses edukasi politik yang dalam lingkup sempit ditujukan kepada masyarakat Kota Yogyakarta dan dalam cakupan yang luas kepada masyarakat Indonesia. Fenomena ini menjelaskan apa yang dimaksud oleh Mansour Fakih (2010) sebagai kekuasaan yang merupakan inti dari struktur sosial dan menyebabkan lahirnya perjuangan untuk mendapatkannya. Kegiatan yang dilakukan JOINT dalam bentuk kandidasi calon kepala daerah menghasilkan sebuah proses kandidasi yang tidak hanya menghasilkan beberapa kesamaan pola, dan mekanisme dengan kandidasi yang dilakukan oleh partai politik namun juga memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Nominasi Kandidat Pada awalnya, ada tujuh orang aktor yang merupakan inisiator JOINT. Ketujuh orang tersebut disebut sebagai tim 7 (tujuh). Tugas pertama tim 7 adalah membuka lamaran kepada siapa saja yang ingin berkontestasi dalam pilkada di Kota Yogyakarta sebelum berdirinya JOINT. Kemudian, tim ini bertugas untuk menghubungi dan mengajak berbagai komunitas yang ada di Kota Yogyakarta untuk bergabung menginiasiasi gerakan ini.
220
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Hasilnya adalah tiga puluh orang dari berbagai komunitas bergabung dan mendeklarasikan JOINT sekaligus menjadi calon yang akan diusung. Pendeklarasian ini memunculkan sebuah landasan mengenai kriteriakriteria yang diinginkan oleh JOINT terhadap calon yang ingin berkontestasi di JOINT. Setiap warga negara yang merasa mampu, mempunyai kompetensi, kemauan dan integritas berhak mendaarkan dirinya ke JOINT dengan berbagai syarat-syarat administrasi sesuai ketentuan Komisi Pemilihan Umum seperti lampiran visi dan misi, kesediaan mengikuti proses kandidasi yang dilakukan di JOINT, dan melampirkan curriculum vitae serta Kartu Tanda Penduduk (KTP). JOINT juga mewajibkan kepada setiap perserta yang mendaar harus mempunyai sebuah tim kecil sebagai tanda bahwa calon tersebut mempunyai dukungan dari kalangannya, koleganya, dan juga kerabatnya. Calon yang ingin mendaar di JOINT harus memiliki syarat-syarat moralitas yakni orang yang berani dan bertanggungjawab. JOINT menjaring calon-calon yang bukan hanya populer namun memiliki rasa keberpihakan kepada masyarakat. Istilah “wani lan sembada” merupakan semboyan yang menjadi landasan kriteria kepemimpinan JOINT. Dari semboyan ini, JOINT merumuskan karakter kepemimpinan yang terdiri dari lima elemen yang harus dimiliki seorang pemimpin di Kota Yogyakarta yakni berani jujur dan terbuka, berani melawan korupsi, berani memihak kepentingan rakyat, berani visioner, dan berani kreatif. Artinya seorang pemimpin berani mengambil keputusan dan seorang pemimpin harus bertanggung jawab dengan keputusannya, segala resiko, konsekuensi, dan dedikasi. Itu adalah gaya kepemimpinan yang diharapkan di Kota Yogyakarta oleh JOINT. Secara umum, kualitas tokoh mencakup beberapa dimensi yakni kompetensi, integritas, ketegasan, empati, dan kesukaan (Mujani, Liddle, & Ambardi, 2011). Jadi bukan berarti seorang pemimpin harus berani saja seperti itu kemudian maju, tapi seorang pemimpin juga harus menguasai isu-isu penting yang ada di Kota Yogyakarta. Ada sembilan isu yang menjadi prasyarat yang harus dikuasai bagi calon yang akan berkontestasi di JOINT. Syarat-syarat itu antara lain pemahaman mengenai etika kepemimpinan; tata ruang dan lingkungan; perempuan dan kesehatan masyarakat; keuangan publik; perbaikan birokrasi; anti korupsi dan penegakan hukum; dunia usaha, UMKM, dan pariwisata; budaya, seni dan politik seni; hubungan luar Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
221
negeri dan politik perkotaan. Dari syarat-syarat dasar kepemimpinan yang diajukan oleh JOINT, terlihat bahwa JOINT telah melakukan dengan apa yang disebut Gramsci (2007) sebagai peran intelektual dan moral (intellectual and moral leadership) untuk menciptakan ide-ide dominan. Ide-ide dominan itu mampu menghasilkan kesepakatan bersama di antara para relawan yang tergabung di JOINT sebagai acuan dasar yang harus dikuasai oleh calon yang ingin bertarung di konvensi JOINT. Calon-calon yang mendaarkan diri ke JOINT berasal dari beragam latar belakang profesi dan kompetensi seperti akademisi, praktisi, seniman, dan lembaga swadaya masyarakat. Berikut daar nama bakal calon walikota JOINT sebagaimana pada tabel berikut ini: Tabel 1.2 Daar Nama Bakal Calon Walikota JOINT aĸ
aÐĮÐ
÷Ĥ÷ŕġÐÐį
Ʈ
įðŕē÷ŕēĮ÷ŕÐaŪÐŕƄ
VÐŕƄОÐįéÐįĤŚžÐŚŤÐ
Ư
ĤďƄÐŕēCÐįÐįŤÐ
a>j>a=G
ư
ŕéďÐĤµĸĊЯēðĸðĸ
÷ĊОÐēa÷Ċ÷ŕēēŒēħ
Ʊ
"Ðįē+Ĥĸ¯ēƄĸįĸ
÷įēĮÐį
Ʋ
+ĮĮƄµŪįēÐŕŤēŪŚÐðē
÷į÷ħēŤē
Ƴ
+ŚďÐÐŤƄÐƄÐĮġÐƄÐ
¯ēŕÐŚžÐŚŤÐ
ƴ
=ēŤŕēÐŪħēįÐįðŕēÐįē
÷ĊОÐēa÷Ċ÷ŕēēŒēħ
Ƶ
>ÐŕēįaŪĊŕĸďĸēƄÐįŤĸ
ŪŤŕÐðÐŕÐ
ƶ
`ÐŕŤďÐCÐ÷įŕƄ
÷įĊŪŚÐďÐ
Ʈƭ
CÐĮéÐŕēƄÐðē
"ēŕ÷ĤŤŪŕįÐĤ¯ÐƄÐįĊGįðĸį÷ŚēÐ
ƮƮ
ĸĮĮƄC÷ŕƄÐįŤĸ
ĤĸįŚŪħŤÐįdžŒ÷įðÐĮŒēįĊ`V`
ƮƯ
ēŤēŪďÐēįē"ƌŪďÐƄÐŤēį
"ĸŚ÷į
Ʈư
ēŤĸĤCÐŕēƄÐįŤĸ
÷į÷ħēŤēdžĮÐįŤÐįĤĸĮēŚēĸį÷ŕV"
ƮƱ
ŕÐįŚŤĸŤĸCÐįðÐðďÐŕē
÷įŚēŪįÐįa
ƮƲ
XŪŚƄXÐĤŚēŤÐ
`ÐŚŤ÷ŕĸĉ÷ŕ÷ĮĸįƄdžŒ÷įƄēÐŕdžŤŕÐēį÷ŕ
Terbukanya peluang bagi semua warga negara untuk mendaarkan diri sebagai calon kandidat yang akan diusung oleh JOINT menggambarkan inklusifitas JOINT dalam menominasikan siapa yang berhak mendaarkan diri sebagai calon dan syarat-syarat tambahan guna melakukan edukasi politik yang terhindar dari suasana nepotisme dan praktik-praktik buruk lainnya terkait proses kandidasi yang dilakukan partai politik. Beragamnya tokoh atau masyarakat yang mendaarkan diri di JOINT menunjukkan 222
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
mapannya kehadiran ruang otonomi calon kandidat dalam lingkungan sosial dan politik yang terfragmentasi. Dampak dari kehadiran ini menunjukkan proses demokratisasi yang merupakan proses transformasi sosial atas aspek-aspek kultural, sosial, ekonomi, dan politik maupun aspek kehidupan lainnya (Fakih, 2010). Penyeleksi Berdasarkan teori Rahat dan Hazan yang digunakan penulis, model pemilihan penyeleksi JOINT dilakukan secara ekslusif. JOINT membentuk tim komite konvensi yang terdiri dari lima orang yang berasal dari berbagai latar belakang profesi seperti Busyro Muqoddas (praktisi hukum), Bambang Eka Cahya Widodo (akademisi atau ahli pemilu), Herry Zudianto (mantan walikota Kota Yogyakarta), Yustina Neni (seniman), dan Suparman Marzuki (praktisi hukum). Tim ini disebut sebagai tim 5 (lima). Tim 5 bertugas untuk menyeleksi nama-nama siapa saja yang yang layak dijadikan penyeleksi atau selektorat. Tim ini mencari siapa saja penyeleksi yang mau bergabung di dalam JOINT secara sukarela. Hasilnya adalah terbentuknya anggota panel konvensi yang terdiri dari sembilan orang dari berbagai unsur masyarakat dengan keahlian terhadap isu yang berbeda-beda. Busyro Muqoddas ditunjuk sebagai ketua panel konvensi dan fokus pada isu etika kepemimpinan dan delapan orang panelis atau penyeleksi yang terdiri dari Suparman Marzuki (fokus pada isu penegakan hukum), Zainal Arifin Mochtar (anti korupsi), Bobi Setiawan (tata ruang dan lingkungan), Budi Wahyuni (perempuan dan kesehatan masyarakat), Herry Zudianto (keuangan publik), Achmad Nurmandi (perbaikan birokrasi), Robby Kusumaharta (dunia usaha, UMKM, dan pariwisata), Edy Suandi Hamid (ekonomi makro), ST Sunardi (budaya, seni dan politik seni, hubungan luar negeri dan politik perkotaan). Kesembilan penyeleksi ini disebut sebagai tim 9 (sembilan). Kesembilan penyeleksi tersebut ditetapkan karena kesadaran kritis tim komite konvensi. Tim komite konvensi ini bisa disebut sebagai pemilih terdidik perkotaan (critical citizen) (Mujani, Liddle, & Ambardi, 2011). Pendidikan menjadi penting bagi demokrasi karena pendidikan dipercaya merupakan institusi sosial di mana peserta didik banyak tersosialisasi
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
223
dengan nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan yang merupakan komponen dasar dari demokrasi (Mujani, Liddle, & Ambardi, 2011). Ada berbagai elemen masyarakat yang bergabung untuk menggerakkan proses yang dilaksanakan oleh JOINT. Elemen-elemen ini terdiri dari para inisiator dan juga relawan lainnya. Inisiator merupakan salah satu bagian dari relawan yang tergabung. Namun, ada satu kelompok di dalam relawan yang kewengannya dibatasi dalam menentukan penyeleksi di JOINT. Relawan dalam hal ini adalah mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yang tergabung di JOINT. Mereka tidak memiliki peran untuk terlibat dalam menentukan kelayakan para penyeleksi. Ini menggambarkan sebuah fenomena gerakan sosial yang berbeda dari definisi yang dikembangkan oleh Escobar dan Alvarez (2010) sebagai gerakan yang tidak semata-mata menempatkan diri dalam gelanggang publik – tidak membatasi dirinya dalam kegiatan politik tradisional dan menolak cara yang telah berurat-akar dalam memahami praktik politik dan hubungannya dengan kultur, ekonomi, dan masyarakat. Bahkan, ada seorang tim panelis/penyeleksi yang dipilih hanya karena kedekatan tanpa mempertimbangkan kesediaan penyeleksi tersebut. Dapat disimpulkan bahwa tim komite konvensi juga tidak demokratis dalam menentukan kelayakan penyeleksi. Berikut pernyataan dari salah satu narasumber yang diwawancarai penulis: “saya memang penyeleksi, tapi saya tidak pernah menyeleksi”. Namun, terbatasnya peran mahasiswa-mahasiswa tersebut menimbulkan dilema tersendiri karena faktor waktu juga menjadi salah satu penyebab tertutupnya peran mahasiswa dalam menentukan penyeleksi. JOINT hanya menyediakan waktu empat belas hari kepada semua masyarakat untuk melakukan pendaaran sebagai calon peserta JOINT sejak JOINT dideklarasikan 20 Maret 2016. Kemudian, keterbatasan waktu yang dimiliki oleh para mahasiswa seperti padatnya aktivitas akademik membuat mereka tidak diikutsertakan dalam menentukan penyeleksi. Terbukti dengan jumlah relawan yang cukup banyak sekitar 72 orang, namun yang aktif hanya sekitar 15 orang. Dengan terbatasnya jumlah relawan dan padatnya sejumlah aktivitas 224
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
JOINT pada saat itu, mahasiswa harus diberikan tugas yang berbeda yakni membantu dalam menjaga sekretariat, membantu proses administrasi para calon seperti penyeleksian berkas calon, dan membantu proses aktivitas JOINT. Tidak hanya berperan dalam proses administrasi, mahasiswa juga berperan dalam pendistribusian kartu suara atau surat suara kepada masyarakat yang hadir untuk memberikan suara untuk menilai calon dalam proses konvensi dan melakukan pengumpulan KTP yakni sekitar 27.000. Di sisi lain, keterlibatan masyarakat dalam menentukan penyeleksi JOINT juga tidak ada. Masyarakat hanya diberikan peran dalam proses penentuan calon kandidat yang akan diusung oleh JOINT. Forum Penyeleksian Kandidat Berdasarkan teori Rahat dan Hazan (2013), JOINT menggunakan dan menggabungkan metode penyeleksian kandidat secara ekslusif dan desentralisasi fungsional. Dalam hal ini, JOINT tidak mempunyai struktur seperti partai politik. JOINT tidak mempunyai pimpinan pada tingkat nasional. JOINT merupakan komunitas yang bersifat lokal yang hanya mencakup Kota Yogyakarta. Oleh sebab itu, tidak ada proses penyeleksian yang dilakukan pada tingkat nasional layaknya proses yang dilakukan oleh partai politik. JOINT membuat sebuah elemen dasar mengenai kriteria atau penguasaan keahlian yang harus dimiliki oleh sembilan penyeleksi layaknya desentralisasi fungsional yang dilakukan dalam proses kandidasi partai politik yaitu memastikan keterwakilan bagi perwakilan seperti serikat buruh, perempuan, dan sebagainya. Kelompok-kelompok perwakilan itu adalah tim 9. Kelompok-kelompok ini dibagi menjadi dua tim yang ditempatkan pada dua sesi proses kandidasi yakni pra konvensi dan konvensi. JOINT telah menyusun serangkaian agenda di bulan April 2016. Di mulai pada 3 April 2016 yakni agenda pengenalan bakal calon yang dihadiri oleh 13 calon yakni Andrie Primera Nuary, Akhyari Hananta, Dani Eko Wiyono, Emmy Yuniarti Rusadi, Esha Satya Syamjaya, Fitri Paulina Andriani, Garin Nugroho Riyanto, Martha Haenry A, Hambar Riyadi, Rommy Heryanto, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Titok Hariyanto, Lusy Laksita. Acara ini diberi nama Sarasehan Sinau Bareng
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
225
Demokrasi ala Jogja. Tujuan dari acara ini adalah memberikan pembelajaran demokrasi dan pengenalan bakal calon bagi warga Kota Yogyakarta. Setelah JOINT mengenalkan bakal calon kandidat pada 3 April 2016, JOINT juga melakukan uji publik tahap I selama satu minggu sejak tanggal 3 April sampai 9 April 2016. JOINT memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan secara tertulis tentang pribadi ke lima belas bakal calon kandidat dengan bukti-bukti mengenai perilaku-perilaku menyimpang yang pernah dilakukan oleh bakal calon kandidat, perilakuperilaku yang bertentangan dengan hukum, dan norma-norma sosial kemasyarakatan. Cara menyampaikan bukti-bukti itu bisa dilakukan dengan mengirimkan dokumen-dokumen melalui pos yang dikirim ke sekretariat JOINT, atau dengan menggunakan email. Surat dan bukti harus disertai identitas yang jelas seperti fotokopi KTP. Pada saat pra konvensi yang dilakukan pada 10 April 2016, pra konvensi ini bersifat tertutup dan tidak melibatkan masyarakat, mahasiswa, serta inisiator yang tergabung di JOINT. Penyeleksi hanya berasal dari tim 9. Pra konvensi dilakukan di Gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pada tahap pra konvensi ini, 15 (lima belas) calon diberikan kesempatan untuk menyiapkan materi untuk dipresentasikan. Para bakal calon memaparkan pendalaman visi dan misi, serta program kerja unggulan. Para penyeleksi menggunakan penilaian kuantitatif berdasarkan key performance indicators yang disusun oleh para panelis yang menitikberatkan pada kemampuan dan penguasaan teknis terkait hal-hal yang menjadi landasan dasar atau platform JOINT. Penilaian kuantitatif ini juga tidak terdokumentasikan dengan baik oleh JOINT. Sehingga data mengenai penilaian tersebut tidak bisa dipaparkan dengan baik. Hasil dari proses pra konvensi ini, ditetapkannya 5 (lima) orang bakal calon yang akan mengikuti tahapan selanjutnya atau konvensi pada 13 April 2016. Lima orang bakal calon tersebut adalah Andrie Primera Nuary, Emmy Yuniarti Rusadi, Fitri Paulina Andriani, Garin Nugroho, dan Rommy Heryanto. Kandidat yang lolos pada tahap pra konvensi, akan dilakukan uji publik tahap II selama tiga hari sejak tanggal 13 April sampai 15 April 2016. 226
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Metode uji publik tahap dua juga sama seperti uji publik tahap I. Tahapan terakhir adalah tahapan konvensi, tahap ini dilaksanakan pada 17 April 2016 di Jogja Expo Center. Ini merupakan tahap akhir dimana lima calon kandidat akan diuji kelayakannya oleh tim penyeleksi dan juga masyarakat yang hadir. Partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam menentukan calon yang layak diusung oleh JOINT muncul ketika JOINT sudah memasuki tahap konvensi untuk menyeleksi beberapa peserta menjadi calon walikota dan wakil walikota. Elemen masyarakat yang hadir terdiri dari tokoh masyarakat, ketua RW, organisasi masyarakat, dan anggota partai politik yang mempunyai hak suara dalam pemilihan umum Kota Yogyakarta. Dalam konvensi tersebut, diawali dengan pendaaran ulang kandidat serta sembilan penyeleksi yang memiliki peran sebagai juri utama. Juri yang berasal dari masyarakat atau warga Kota Yogyakarta juga melakukan pendaaran ulang, terkait surat mandat dan kertas penilaian. Dalam proses pendaaran, para kandidat diberikan kesempatan untuk memilih dua pertanyaan pada sesi tanya jawab. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang telah disiapkan secara acak oleh tim penyeleksi dan sudah tersusun urutan pembacaan dalam pertanyaan tersebut. Pada sesi tanya jawab pertama, masing-masing kandidat diberikan waktu lima menit untuk menjawab pertanyaan yang diajukan JOINT dan dibacakan oleh penyeleksi. Kemudian, sesi tanya jawab kedua menjadi sesi bagi masyarakat yang hadir untuk memberikan pertanyaan. Tim penyeleksi atau juri mendapatkan waktu sesi tanya jawab yang mendalam setelah sesi tanya jawab antara bakal calon kandidat dan masyarakat berakhir. Proses ini menggambarkan hubungan antara partisipasi warga dan tim penyeleksi dalam menentukan calon walikota dari jalur perseorangan yang diusung oleh JOINT. Baik pada saat pra konvensi dan juga konvensi, relawan yang dalam hal ini kumpulan mahasiswa tidak mendapatkan kewenangan untuk memberikan argumentasi kepada calon kandidat yang sedang berkontestasi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Tidak semua mahasiswa yang tergabung di dalam JOINT merupakan penduduk yang Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
227
mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kota Yogyakarta. Namun, JOINT juga tidak bisa memastikan bahwa, semua peserta konvensi yang hadir dan memberikan argumentasi serta menguji kemampuan para calon merupakan masyarakat yang mempunyai KTP Kota Yogyakarta. JOINT tidak mendata dan mendokumentasikan dengan baik berapa jumlah mahasiswa-mahasiswa yang berasal dan yang bukan berasal dari Kota Yogyakarta. Penetapan Kandidat JOINT menggunakan dua model dalam menetapkan kandidat, yakni model penunjukan dan model pemilihan. Penggunaan kedua model ini dikarenakan JOINT memiliki dua tahapan konvensi. Pada tahap pra konvensi, JOINT hanya melakukan uji kandidat oleh tim penyeleksi tanpa melibatkan unsur masyarakat. 5 (lima) kandidat yang dihasilkan dari pra konvensi merupakan kandidat yang ditetapkan dengan cara penunjukan oleh tim penyeleksi. Ini sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh Rahat dan Hazan (2013) tentang penentuan kandidat menggunakan sistem penunjukan adalah sebuah proses penentuan kandidat tanpa menggunakan pemilihan yang bersifat demokratis. Tidak adanya hierarki di dalam JOINT menjadikan tim penyeleksi seperti agensi partai partai politik dalam memutuskan calon. Pada tahap konvensi, JOINT menggunakan model pemilihan dalam penetapan kandidat. Menurut Rahat dan Hazan (2013), model pemilihan pada penetapan kandidat merupakan proses penyeleksian semua kandidat melalui prosedur pemungutan suara pemilihan tanpa seorang penyeleksi pun dapat mengubah daar komposisi. Hal tersebut dilakukan dalam proses konvensi yang dilakukan oleh JOINT. JOINT melakukan pemungutan suara masyarakat yang mencapai 105 suara. Dari 105 surat suara yang masuk, satu surat suara dinyatakan tidak sah. Proporsi perolehan suara dibagi menjadi dua bagian. Pertama, suara yang berasal dari ketua RW dan Ormas. Kedua, suara yang berasal dari masyarakat umum. Suara yang berasal dari ketua RW dan ormas memiliki nilai yang lebih tinggi satu tingkat dari pada suara masyarakat umum. Ketua RW dan ormas merupakan para penyeleksi yang diundang secara resmi oleh JOINT.
228
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Dari hasil pemungutan suara dari ketua RW, ormas dan masyarakat umum, menghasilkan 104 (seratus empat) suara sah. 13 (tiga belas) berasal dari suara ketua RW dan ormas, 91 (sembilan puluh satu) merupakan suara sah dari masyarakat umum. Hasil akhir dari pemungutan suara yang dilakukan, jumlah suara ketu RW dan ormas yang masuk yakni 50% (lima puluh persen) memilih Garin Nugroho sebagai kandidat. Dan jumlahnya tersebar merata untuk kategori umum. Kandidat yang akhirnya ditetapkan sebagai calon walikota dan wakil walikota yang diusung oleh JOINT adalah Garin Nugroho dan Rommy Heryanto. Namun, JOINT tidak mendokumentasikan persentase bobot penilaian antara tim penyeleksi, ketua RW, ormas dan masyarakat umum. Hasil penetapan yang dilakukan oleh JOINT mencerminkan sebuah proses demokrasi. Masyarakat atau warga negara, yang miskin dan tidak berpendidikan, bisa menentukan siapa yang akan menjadi calon walikota yang diusung oleh JOINT dengan hadir pada saat konvensi. Masyarakat menjadi hakim politik sebenarnya. Oleh sebab itu, JOINT memperlihatkan bahwa suara rakyat menjadi penting bukan saja dalam menentukan siapa yang berkuasa, tetapi juga apakah proses pemilihan atau pemberian mandat, yakni konvensi JOINT, berlangsung demokratis atau tidak, jujur dan adil atau tidak. Penilaian masyarakat merupakan legitimasi demokratis terhadap JOINT. Ini adalah gerakan dimana rakyat membuat perubahan dan menciptakan sejarah (Gramsci, 2010). Kegagalan JOINT Dalam upaya menganalisis perkembangan JOINT, penting kiranya untuk mempertimbangkan teori proses politik (political process) dan gerakan-gerakan sosial (social movements) (Latif, 2013). Fokus sentral dari teori yang pertama ialah pada relasi antara aktor-aktor politik di JOINT dan tindakannya, serta pada pentingnya struktur peluang politik (political opportunity structure) bagi munculnya aksi bersama. Adapun para ahli teoriteori gerakan sosial berbagi kesepahaman terhadap sekurangnya empat aspek khas dari gerakan-gerakan sosial. Pertama, merupakan jaringan interaksi yang bersifat informal, yang terdiri dari pluralitas individu dan kelompok. Kedua, adanya solidaritas dan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
229
keyakinan bersama. Ketiga, adanya konflik-konflik kultural dan politik serta hubungan oposisional (oppositional relationship) di antara para aktor. Dan yang keempat, adanya proses pertumbuhan dan siklus hidup dari gerakangerakan sosial (Porta & Diani, 2013). Ciri khas dari JOINT yakni menempatkan komunitas ini pada sebuah ruang di antara tradisionalisme kandidasi dengan modernitas gerakan sosial baru. Dalam posisi yang demikian, JOINT menghadirkan, baik sifat peniruan (mimicry) maupun ancaman (manace) terhadap partai-partai politik lain. Kehadiran JOINT menghadirkan potensi ancaman bagi partaipartai politik baik yang berideologi Islam, nasionalisme religius, dan sekuler di Kota Yogyakarta. Namun, dibalik peniruan konsep kandidasi yang demokratis tersebut dan memberikan dampak berupa ancaman kepada partai-partai politik, JOINT malah mati secara perlahan sebelum kandidat yang diusung oleh JOINT mendaarkan diri ke KPUD Kota Yogyakarta. ada beberapa faktor kegagalan JOINT sebagai sebuah gerakan sosial baru. Pertama, ruang demokrasi yang tidak terbuka di antara masing-masing relawan. Tim-tim yang terdapat di JOINT seperti tim 7, tim 5, dan tim 9 tidak memiliki arah koordinasi yang jelas dengan relawan yang terdiri dari banyak mahasiswa. Komunikasi yang tidak baik mengenai pembuatan keputusan yang dikeluarkan tim 7, tim 5, dan tim 9 membuat jurang pemisah yang cukup besar di antara kelompok relawan. Sehingga membuat tidak adanya ikatan emosional antara masing-masing relawan dengan kelompok mahasiswa. Padahal, sifat khas mahasiswa yang penting dalam hubungan sosial adalah bahwa situasi mereka selalu bercorak sementara. Setiap penggolongan mahasiswa selaku kelompok masyarakat mau tidak mau harus mengikutsertakan asal-usul mereka, situasi mereka sendiri serta arah sosial para mahasiswa. Sifat sementara dari mahasiswa serta ketidakpastian mengenai tujuan merekalah yang menyebabkan mahasiswa tidak dapat disederhanakan baik kepada asal-usul mereka maupun arah yang akan mereka inginkan (Budiman, 1984). Membangun kepercayaan antara sesama relawan adalah hal mutlak dan mendasar dari sebuah gerakan sosial. Karena munculnya nilai-nilai kepercayaan disebabkan oleh adanya dengan apa yang disebut James
230
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Coleman yang dikutip Fukuyama sebagai— social capital atau human capital, yakni kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan-tujuan bersama di dalam kelompok dan organisasi (Coleman, 2010). Coleman menambahkan bahwa selain pengetahuan dan keterampilan, porsi lain dari human capital adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain (Coleman, 2010). Menurut Fukuyama, kemampuan berasosiasi ini menjadi modal yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi, tetapi juga bagi aspek eksistensi sosial yang lain (Fukuyama, 2010), seperti kehidupan sosial politik yang dibangun di JOINT. Gagalnya JOINT dalam memahami karakter dan membangun asosiasi dengan relawan yang terdiri dari kelompok mahasiswa, membuat 72 (tujuh puluh dua) relawan/mahasiswa yang tergabung di JOINT tidak bekerja secara maksimal. Hanya 15 (lima belas) relawan yang bekerja secara intens di JOINT. Padahal, JOINT harus bekerja keras untuk mengumpulkan jumlah KTP yang sangat banyak yakni sekitar 27.000 sebagai syarat mendaarkan Garin dan Rommy. Semua gerakan yang berjuang demi perubahan melibatkan suatu wawasan baru, suatu perspektif baru, suatu perluasan atau redefinisi dari sebuah sistem kepercayaan dan nilai yang telah ada yang mungkin berawal dari seorang individu atau sekelompok kecil individu, yang kemudian menyebarluaskan cara bepikir mereka dengan memobilisasi individu-individu yang berpikiran serupa yang nantinya akan memperluas penyebaran-penyebaran persepsi baru, nilai-nilai baru, dan praktik-praktik baru (Gore, 2010). Ini yang tidak dimiliki oleh JOINT, tidak adanya gagasan, ide tentang meraih dukungan masyarakat setelah JOINT mendeklarasikan Garin dan Rommy. Tim-tim yang dimiliki JOINT tidak bekerja secara maksimal untuk meraih dukungan masyrakat. Bahkan 13 (tiga belas) kandidat yang mengikuti pra konvensi dan konvensi menarik diri untuk mensosialisasikan JOINT secara perlahan-lahan. Ini merupakan kegagalan tim di dalam JOINT untuk memikirkan bagaimana strategi merangkul kandidat-kandidat yang kalah dalam proses kandidasi. Gore (2010) mendefinisikan bahwa gerakan sosial terletak dalam kemampuannya untuk mengartikulasikan konsep gerakan sosial yang
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
231
sekaligus menunjuk pada konsep masyarakat. Blueprint mengenai konsep kemasyarakatan dalam menyambut sebuah gerakan sosial baru yang bergerak di ranah politik tidak diciptakan oleh tim-tim yang ada di JOINT. Padahal, banyak akademisi lintas disiplin ilmu yang tergabung di dalam JOINT. Bahkan JOINT sukses dalam merangkul beberapa rektor universitasuniversitas besar di Kota Yogyakarta untuk mendukung gerakan ini. Kedua, kurangnya pendekatan yang efektif terhadap masyarakat membuat JOINT seolah-olah terpisah dari masyarakat dan menimbulkan pikiran di masyarakat bahwa JOINT merupakan gerakan anti partai atau memiliki sentimen terhadap partai dan juga persis seperti partai politik pada umumnya. Ada beberapa tokoh yang bergabung di JOINT dan menjadi tokoh yang sangat anti terhadap partai politik. Peta politik dewasa ini telah berubah dengan masuknya konsep persaingan politik. JOINT yang terlibat dalam politik harus menyadari bahwa JOINT tidak sendirian dan bisa dengan mudah untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat tanpa mengerahkan tenaga dan pikiran. Kondisi masyarakat harus dipahami. Walaupun banyak masyarakat di Indonesia sudah kecewa terhadap partai politik dan pragmatis terhadap semua agenda politik yang ada, bukan berarti JOINT dapat dengan mudah hadir dan meyakinkan masyarakat tanpa pendekatan yang memadai. JOINT juga merupakan salah satu aktor yang terjun ke politik tanpa menggunakan partai politik. Itu tidak menjadi jaminan bahwa masyarakat akan percaya JOINT tidak akan memiliki track record yang buruk seperti kebanyakan partai politik saat ini. Salah satu inisiator JOINT yang menjadi narasumber dalam penelitian ini mengatakan: “…mayoritas masyarakat Jogja (Kota Yogyakarta) pasif. Mayoritas apatis dan pragmatis serta minoritas aktif tapi masih pragmatis juga.” Ini yang tidak dipikirkan dengan baik oleh JOINT. Seolah-olah yang dipikirkan dan dirasakan oleh JOINT juga akan dipikirkan dan dirasakan dengan cara yang sama oleh masyarakat. JOINT juga harus memiliki ideologi yang jelas. Kejelasan ideologi menjadikan keunikan dan diferensiasi antara JOINT dan partai politik sehingga terdapat perbedaan dalam penyelesaian permasalahan. 232
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Pelibatan masyarakat dalam proses konvensi yang dilakukan oleh JOINT tidak menjamin sebuah kedekatan akan terbangun dengan partipasi yang singkat tersebut. Meskipun wujud kebudayaan politik dunia yang sedang bergerak ini nampaknya didominasi oleh/ledakan partisipasi, namun apa yang akan menjadi model bagi partisipasi tersebut masih kurang jelas. Bangsa-bangsa yang sedang berkembang diperkenalkan dengan dua model partisipasi politik modern yang saling berbeda, yaitu yang bersifat demokratis dan totaliter (Verba, 1990). Negara demokratis memberi orang-orang awam suatu kesempatan untuk mengambil bagian dalam proses pembuatan keputusan politik sebagai warga negara yang berpengaruh. Sedangkan negara yang totaliter memberikannya “tugas pokok sebagai partisipan”. (Barghoon, 1990). Kedua model itu mempunyai daya tarik bagi bangsa-bangsa baru, dan mana di antaranya yang akan berhasil jika sesungguhnya perpaduan antara keduanya tidak timbul dan tak dapat dikatakan terlebih dahulu (Verba, 1990). Dapat disimpulkan bahwa jika orang mengikuti berbagai kegiatan politik, dalam beberapa hal, mereka terlibat ke dalam proses pengambilan keputusan. Namun, itu tidak menjamin sebuah proses keikutsertaan yang maksimal. Sangat terbatasnya waktu yang dimiliki oleh JOINT, membuat dialoginteraktif antara JOINT dan masyarakat kurang maksimal dan efektif. Kehadiran JOINT tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. Oleh sebab itu, tugas utama JOINT adalah membangun bagaimana proses komunikasi, interaksi, dan pendekatan antara keduanya. Ketiga, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undangundang menjadi salah satu faktor penghambat JOINT. Undang-undang tersebut menjelaskan ada dua jenis verifikasi yang diatur. Pertama, adalah verifikasi administrasi yang dilakukan KPU tingkat provinsi/kabupaten/kota dibantu oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Kedua, verifikasi faktual dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap calon pendukung yang menyerahkan KTP-nya.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
233
Jika pendukung calon tidak bisa ditemui, maka pasangan calon diberi kesempatan untuk menghadirkan mereka di kantor PPS. Namun, jika pasangan calon tidak bisa menghadirkan pendukung mereka ke kantor PPS, maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat. Artinya bahwa ada tugas yang sangat sulit untuk dilaksanakan oleh JOINT terkait verifikasi KTP pendukungnya. JOINT menargetkan pengumpulan KTP dengan jumlah total sekitar 45.000 KTP. Pertanyaannya adalah bagaimana menghadirkan atau memastikan pemberi KTP yang banyak tersebut untuk disensus oleh petugas? Jika petugas PPK dan PPS tidak bisa menghadirkan setengah dari 45.000. Maka, tim di JOINT harus menghadirkan sekitar 22.000 masyarakat yang menyerahkan KTPnya. Hal ini sangat mustahil untuk dilakukan oleh JOINT sendiri. Dengan jumlah sumber daya relawan yang sangat terbatas, dan tidak semua warga yang memberikan KTPnya sedang berada di Kota Yogyakarta pada saat sensus dilakukan. Hal-hal seperti ini menunjukkan bahwa JOINT bukan saja menghadapi persoalan di internalnya melainkan di eksternal juga. Keempat, persoalan yang menyebabkan JOINT gagal adalah adanya kampanye hitam (black campaign) yang ditujukan kepada Garin Nugroho. Kampanye hitam ini menyebar di masyarakat setelah Garin ditetapkan sebagai calon oleh JOINT. Isu yang menyebar tersebut berupa kedekatan antara Garin dan salah satu keluarga keraton Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini menyebabkan elektabilitas terhadap JOINT menurun. JOINT pun tidak mampu membendung isu yang sudah beradar di masyarakat Kota Yogyakarta. Metode-metode kampanye hitam yang dilakukan terhadap calon yang diusung JOINT adalah menyebarkan isu-isu tersebut melalui media sosial. Ketika isu itu dilontarkan di media sosial, tim-tim JOINT yang sebenarnya mengelola beberapa akun JOINT dan aktif di media sosial tidak mampu mengklarifikasi bahkan membendung arus informasi tersebut. Faktor kegagalan JOINT yang terakhir, kurang efektifnya komunikasi dan pencitraan yang dibangun Garin dan Rommy. Kandidat yang terpilih diharuskan memiliki strategi kampanye. 9 kriteria yang harus dimiliki kandidat JOINT tidak mampu dikampanyekan dengan baik. Padahal
234
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
kesembilan isu tersebut merupakan masalah mendasar yang harus diselesaikan di Kota Yogyakarta. Isu-isu tersebut bisa menjadi kekuatan bagi calon dan juga JOINT dalam menarik simpati dan pilihan masyarakat untuk mendukung mereka. JOINT yang sudah menetapkan calonnya jauh-jauh hari sebelum partai politik sebenarnya memiliki waktu yang cukup panjang untuk mensosialisasikan calonnya. Namun, mesin relawan JOINT tidak bekerja secara maksimal dikarenakan kandidat yang terpilih pun tidak mampu membangun kedekatan dengan relawan. Garin dan Rommy pada akhirnya tidak mempunyai bargaining position di mata masyarakat dan juga relawan yang tergabung di JOINT. Strategi tanpa dana adalah hal yang mustahil dilakukan oleh sebuah kandidat yang ingin memenangkan pemilu. Mahalnya ongkos demokrasi di Indonesia tidak bisa dipungkiri. Hal itu sama persis dengan yang terjadi di Kota Yogyakarta. Tidak ada kontestasi pemilihan kepala daerah yang tidak menggunakan sumber daya keuangan yang minim. Selama ini, JOINT menjalankan seluruh aktivitasnya dari pendeklarasian sampai penetapan kandidat menggunakan dana dari para sukarelawan dengan membuka akun donasi. Namun, calon yang terpilih tidak mau berpartisipasi dalam mendonasikan finansialnya demi keberlangsungan JOINT. Dana bukan hanya digunakan untuk mensosialisasikan seluruh agenda JOINT kepada masyarakat dan memobilisasi para relawan utnuk menjemput KTP. Namun, dana juga dibutuhkan untuk menjalankan aktivitas administrasi di sekretariat JOINT. Dampak dari itu, relawan pun tidak mampu lagi bekerja baik di lapangan maupun di sekretariat JOINT. Kesimpulan Jogja Independent (JOINT) merupakan sebuah gerakan sosial yang pertama kali di Kota Yogyakarta dan di Indonesia yang melakukan sebuah proses kandidasi calon perseorangan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah. Kerelawanan menjadi pondasi gerak komunitas ini. Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut. Kesimpulan penelitian ini adalah; 1. Dalam penominasian calon, setiap warga negara Indonesia berhak
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
235
2.
3.
4.
5.
236
mendaarkan dirinya untuk menjadi calon walikota melalui jalur independen yang dilakukan oleh JOINT. Calon-calon tersebut hanya diminta untuk menyerahkan riwayat kehidupan, visi dan misi tanpa membatasi apa pekerjaan serta tanpa dipungut biaya seperti yang sering terjadi di partai politik. Dalam pemilihan penyeleksi, JOINT memilih beberapa orang yang berkompetensi dan berintegritas serta mau bekerja secara sukarela menjadi tim penyeleksi yang akan melaksanakan tugas uji bakal calon. Namun, pemilihan atau penunjukkan para penyeleksi ini tidak melibatkan seluruh elemen yang bergabung di dalam JOINT. Dalam forum uji, JOINT membagi beberapa tahap forum yang harus dilalui oleh masing-masing bakal calon. Tahap uji publik tahap I, pra kovensi, uji publik tahap II, dan konvensi. Di forum uji ini, masyarakat dan ormas dilibatkan untuk memilih dan melakukan pemungutan suara. Namun, masih ada elemen relawan (kumpulan mahasiswa) yang tidak dilibatkan pada proses penetapan calon. Dalam forum penetapan kandidat, bakal calon yang dipilih atau ditetapkan menjadi kandidat adalah proses hasil penghitungan suara pemilihan yang dilakukan oleh ketua RW, ormas dan masyarakat umum serta tim penyeleksi. Teori kandidasi Rahat dan Hazan (2013) hanya menjelaskan pengklasifikasian proses kandidasi. Teori ini tidak menjelaskan apakah proses kandidasi yang demokratis dan inklusif lebih baik dibandingkan proses kandidasi yang totaliter dan ekslusif. Di JOINT, terdapat praktikpraktik kandidasi yang totaliter dan ekslusif. Namun, praktik tersebut menjadi baik karena keterbatasan sumber daya manusia dan waktu sehingga JOINT mampu melaksanakan proses-proses kandidasi yang terbuka.
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Daar Pustaka Buku: Deni, A. (2006). Konsolidasi Demokrasi: Menuju Keberlanjutan Politik Indonesia Pasca Soeharto. Ternate: Ummu Press. Samah, K., & Susanti, F. R. (2015). Berpolitik Tanpa Partai: Fenomena Relawan dalam Pilpres. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sorensen, G. (2003). Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kompas. (2016). Gerakan Kerelawanan dalam Sejarah. jakarta: kompas. Kompas. (2016). Pilkada DKI Jakarta: Kemanakah Basuki Akan Berlabuh? Jakarta: Kompas. Kompas. (2016). “Jogja Independent” Usung Pasangan Garin-Rommy. Jakarta: Harian Kompas. Kompas. (2016). Mengatasi Pilkada Minus Kontestan. Jakarta: Harian Kompas. Firmanzah. (2011). Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Fakih, M. (2010). Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia. Yogyakarta: INSISTPress. Mujani, S., Liddle, R. W., & Ambardi, K. (2011). Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Mizan Publika. Fashri, F. (2007). Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: JUXTAPOSE THE SUMRADEWI OFFICE HOUSE. Escobar, A., & Alvarez, S. E. (2010). e Making of Social Movements in Latin America. In M. Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia (p. 43). Yogyakarta: INSISTPress. Rahat, G., & Hazan, R. Y. (2013). Seleksi Calon: Metode dan Seleksi. In R. Katz, & W. Croy, Handbook Partai Politik (pp. 182-183). Bandung: Penerbit Nusa Media.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
237
Rahat, G., & Hazan, R. Y. (2013). Seleksi Calon: Metode dan Seleksi. In R. Katz, & W. Croy, Handbook Partai Politik (pp. 182-183). Bandung: Penerbit Nusa Media. Gramsci, A. (2010). Prison Notebooks. In M. Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia (p. 56). Yogyakarta: INSISTPress. Latif, Y. (2013). Genealogi Intelegensia: Pengetahuan dan Kekuasaan Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX. Jakarta: KENCANA. Porta, D. D., & Diani, M. (2013). Social Movements: An Introduction. In Y. Latif, Genealogi Intelegensia: Pengetahuan dan Kekuasaan Intelegensia Muslim Abad XX (p. 142). Jakarta: KENCANA. Budiman, A. (1984). Peranan Mahasiswa sebagai Intelegensia. In A. Mahasin, & I. Natsir, Cendikiawan dan Politik (Cetakan II) (pp. 150-151). Jakarta: LP3ES. Coleman, J. (2010). Social Capital in e Creation of Human Capital. In F. Fukuyama, Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran (Cetakan kedua) (p. 12). Yogyakarta: PENERBIT QALAM. Fukuyama, F. (2010). Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran (Cetakan Kedua). Yogyakarta: PENERBIT QALAM. Gore, M. S. (2010). e Concept of Social Movement. In R. Singh, Gerakan Sosial Baru (p. 184). Yogyakarta: Resist Book. Verba, G. A. (1990). Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara (edisi kedua). Jakarta: Bumi Aksara. Barghoon, F. C. (1990). Soviet Political Culture. In G. A. Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara (edisi kedua) (p. 3). Jakarta: Bumi Aksara. Kompas. (20 Mei 2016). Gerakan Kerelawanan dalam Sejarah. jakarta: kompas. Kompas. (19 Mei 2016). Partisipasi Politik: Media dan Gerakan Kerelawanan. Kompas. (2016). Partisipasi Politik: Kerelawanan Politik Kerja Berkelanjutan. Triadi, E. (2013, Agustus 6). Rumah Suluh. Retrieved juni 22, 2016, from
238
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Rumah Suluh Website: hp://www.rumahsuluh.or.id/signifikansikandidasi-partai-politik/ Kompas. (11 April 2016). Jajak Pendapat Kompas: Menanti Kader Partai Politik Bebas Korupsi. Kompas. (1 Maret 2016). Mengatasi Pilkada Minus Kontestan. Kompas. (17 Juni 2016). Pilkada DKI Jakarta: Kemanakah Basuki Akan Berlabuh? Kompas. (18 April 2016). “Jogja Independent” Usung Pasangan GarinRommy. Kompas. (1 Maret 2016). Mengatasi Pilkada Minus Kontestan. Haryanto. (1982). Sistem Politik: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Plano, J. C. (1985). Kamus Analisa Politik. Jakarta: Rajawali. Surbakti, R. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakatrta: PT. Gramedia. Scarrow, S. (2016). Political Parties and Democracy in eoretical and Practical Perspectives. Implementing Intra-Party Democracy. In M. Sukmajati, Kandidasi dalam Partai Politik di Indonesia. Yogyakarta. Pamungkas, S. (2012). Partai Politik : Teori dan Praktek di Indonesia. Yogyakarta: Institute For Democracy and Welfarism. Giddens, A. (2006). In F. Putra, Gerakan Sosial: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia. Malang: Avveroes Press. Heywood, A. (2013). Politik: Edisi Keempat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Markoff, J. (1996). Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Singh, R. (2010). Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: Resist Book. Arianto, B. (2014). Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 131. Schroeder, D., Penner, L., Divido, J., & Piliavin, J. (1998). e Psychology of Helping and Altruism: Problem and Puzzles. New York. Arendt, H. (2013). e Human Condition. In A. Heywood, Politik: Edisi Keempat (p. 3). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Putnam, R. D. (2015). Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
239
Italy. In R. S. Katz, & W. Croy, Handbook Partai Politik (p. 623). Bandung: Penerbit Nusa Media. Suyanto, B. (2011). Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana. Rahmawati, D. E. (2011). Diktat Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta. Raco, J. (2010). Sosiologi: Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan Keunggulan. Jakarta: PT Grasindo. Kaloh, J. (2009). Kepemimpinan Kepala Daerah: Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Sinar Grafika. Aspinall, E., & Sukmajati, M. (2015). Patronase dan Klientelisme dalam Politik Elektoral di Indonesia. In E. Aspinall, & M. Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014 (p. 6). Yogyakarta: PolGov. Putnam, R., & Goss, K. A. (2011). “Introduction”: Democracies in Flux e Evaluation of Social Capital in Contemporary Society. In S. Mujani, R. W. Liddle, & K. Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru (p. 69). Jakarta: Mizan Publika. Firmanzah. (2010). Persaingan, Legitimasi, Kekuasaan, dan Marketing Politik: Pembelajaran Politik Pemilu 2009. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
240
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Ʈƴ
ŪÐįĊ÷ŕéŪĤÐCēġÐŪ VÐžÐŚÐį÷ŕĤĸŤÐÐįðē`Ðħēĸéĸŕĸ Muhammad Dwi Nurfaisal | Maya Audina | FazriBachrul Arief Muhammad | Arnida Pratiwi
M
asalah tata ruang perkotaan pada saat ini telah menjadi masalah yang cukup menjadi problem untuk diatasi. Perkembangan perkotaan membawa pada konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk aspek lingkungan. Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya, ruang hijau tersebut cenderung mengalami pergeseran guna lahan menjadi kawasan yang menjadi tuntutan pembangunan. Sebagian besar permukaannya, terutama di pusat kota, tertutup oleh jalan, bangunan dan lain-lain dengan karakter yang sangat kompleks dan berbeda dengan karakter ruang terbuka hijau. Hal-hal tersebut diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang kota sehingga menyebabkan munculnya permukiman kumuh di beberapa ruang kota dan menimbulkan masalah kemacetan akibat tingginya hambatan samping di ruas-ruas jalan tertentu. Ruang-ruang kota harus ditata dengan cara saling berkesinambungan dengan tata cara mempunyai berbagai pendekatan dalam perencanaan dan pembangunannya. Tata guna lahan, sistem transportasi, dan sistem jaringan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
241
utilitas merupakan tiga faktor utama dalam menata ruang kota. Dengan tujuan yang paling terpenting yaitu untuk kesejahteraan, kenyamanan, serta kesehatan warga dan kotanya. Tidak hanya itu ruang terbuka hijau wajib dihadirkan pada setiap pusat pusat kota terutama yang mejadi pusat keramaian. Ruang terbuka hijau dapat menjadi simbol sebuah kota, simbol dimana pemerintah kota tersebut dapat memperhatikan kesehatan dan iklim yang baik bagi masyarakat yang beradada di kota tersebut. Kesadaran akan adanya ruang terbuka hijau perlu di timbulkan kembali, mengingat pada saat ini beberapa kota memilih pembangunan yang bersifat komersial sedang hal hal yang menjadi kultural semakin di indahkan, bahkan kesehatan masyarakat di daerah terbut semakin tidak diperhatikan. Banyak kota kota besaryang belum mempunya UU mengenai RTH, bahkan kota yang sudah memiliki UU mengenai RTH pun banyak yang mengabaikan tidak lebih menjadi formalitas belaka. Dari UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, untuk menunjang kehidupan masyarakat yang aman dan nyaman, tentu dibutuhkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Pasal 28 sampai pasal 30 tentang proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota minimal 30% bilamana kecukupan yang harus dipenuhi terhadap ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota minimal 10%. Dinas Pertamanan mengkalasifikasikan ruang terbuka hijau berdasarkan pada kepentingan pengelolaannya adalah sebagai berikut : o
o o o
o
242
Kawasan Hijau Pertamanan Kota, berupa sebidang tanah yang sekelilingnya ditata secara teratur dan artistik, ditanami pohon pelindung, semak/perdu, tanaman penutup tanah serta memiliki fungsi relaksasi. Kawassan Hijau Hutan Kota, yaitu ruang terbuka hijau dengan fungsi utama sebagai hutan raya. Kawasan Hijau Rekreasi Kota, sebagai sarana rekreasi dalam kota yang memanfaatkan ruang terbuka hijau. Kawasan Hijau kegiatan Olahraga, tergolong ruang terbuka hijau area lapangan, yaitu lapangan, lahan datar atau pelataran yang cukup luas. Bentuk dari ruang terbuka ini yaitu lapangan olahraga, stadion, lintasan lari atau lapangan golf. Kawasan Hijau Pemakaman.
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
o
o o
Kawasan Hijau Pertanian, tergolong ruang terbuka hijau areal produktif, yaitu lahan sawah dan tegalan yang masih ada di kota yang menghasilkan padi, sayuran, palawija, tanaman hias dan buah-buahan. Kawasan Jalur Hijau, yang terdiri dari jalur hijau sepanjang jalan, taman di persimpangan jalan, taman pulau jalan dan sejenisnya. Kawasan Hijau Pekarangan, yaitu halaman rumah di kawasan perumahan, perkantoran, perdagangan dan kawasan industri.
Sementara klasifikasi RTH menurut Inmendagri No.14 tahun 1988, yaitu: taman kota, lapangan O.R, kawasan hutan kota, jalur hijau kota, perkuburan, pekarangan, dan RTH produktif. Bentuk RTH yang memiliki fungsi paling penting bagi perkotaan saat ini adalah kawasan hijau taman kota dan kawasan hijau lapangan olah raga. Taman kota dibutuhkan karena memiliki hampir semua fungsi RTH, sedangkan lapangan olah raga hijau memiliki fungsi sebagai sarana untuk menciptakan kesehatan masyarakat selain itu bisa difungsikan sebagian dari fungsi RTH lainnya. UU NO 26 TAHUN 2007 ( PENATAAN RUANG) Peraturan tentang struktur ruang dan prasarana wilayah kabupaten yang untuk melayani kegiatan dalam skala kabupaten. Pemerintah kabupaten memiliki wewenang dalam pengembangan dan pengelolaan kabupaten dan telah disahkan dalam undang – undang. Rencana tata ruang kabupaten memuat rencana Pola ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang provinsi yang terkait dengan wilayah kabupaten yang bersangkutan. Rencana tata ruang wilayah kabupaten merupakan pedoman dasar bagi pemda dalam pengembangan lokasi untuk kegiatan pembangunan di daerahnya terutama pada daerah pedesaan. Peninjauan kembali atau revisi terhadap rencana tata ruang untuk mengevaluasi kesesuaian kebutuhan pembangunan. UU NO 26 TAHUN 2007 TENTANG RTH (RUANG TERBUKA HIJAU) Pada uu no 26 tahun 2007 pasal 17 memuat bahwa proporsi kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) yang
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
243
dimaksudkan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Isi uu no 26 thn 2007 pasal 17 : (1) Muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. (2) Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana. (3) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya. (4) Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. (5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai. (6) Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 1 angka 31 Undang-Undang N0 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang mendefinisikan Ruang Terbuka Hijau ( RTH ) sebagai area memanjang / jalur dan / atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah, maupun yang sengaja ditanam. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat dibagi menjadi 9: 1. 2. 3. 4. 5.
244
Kawasan hijau pertamanan kota Kawasan Hijau hutan kota Kawasan hijau rekreasi kota Kawasan hijau kegiatan olahraga Kawasan hijau pemakaman Tujuan pembentukan RTH di wilayah perkotaan adalah :
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
1. 2.
Meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan dan sebagai sarana pengamanan lingkungan perkotaan. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam Pengelolaan RTH adalah:
1.
2. 3. 4. 5.
Fisik (dasar eksistensi lingkungan), bentuknya bisa memanjang, bulat maupun persegi empat atau panjang atau bentuk-bentuk geografis lain sesuai geo-topografinya. Sosial, RTH merupakan ruang untuk manusia agar bisa bersosialisasi. Ekonomi, RTH merupakan sumber produk yang bisa dijual Budaya, ruang untuk mengekspresikan seni budaya masyarakat Kebutuhan akan terlayaninya hak-hak manusia (penduduk) untuk mendapatkan lingkungan yang aman, nyaman, indah dan lestari
Rumusan Masalah : 1. 2.
Apa yang dimaksud ruang terbuka hijau dan seberapa pentingkah perannya dalam kehidupan khususnya daerah perkotaan? Bagaimana ruang terbuka hijau dapat meminimalisir efek buruk dari gas-gas beracun penemar udara?
Tujuan : Mengetahui bagaimana permasalahan dalam lingkungan di daerah perkotaan dapat terjadi serta betapa pentingnya peran Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam berbagai aspek bagi kelangsungan hidup masyarakat kota. Manfaat : Untuk menanamkan kesadaran masyarakat untuk menjadikan dan memanfaatkan raung terbuka di tempat mereka tinggal menjadi hijau. Selain itu, paper ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana permasalahan dalam lingkungan di kawasan Malioboro, agar dapat mengetahui pentingnya peran Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam berbagai aspek bagi kelangsungan hidup masyarakat kota. Rumusan Masalah Paper ini akan membahas dua rumusan masalah antara lain, pertama, apa yang dimaksud dengan ruang terbuka hijau dan seberapa penting peranan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
245
dalam kehidupan kawasan perkotaan?. Kedua, bagaimana keadaan RTH kawasan malioboro pasca renovasi menjadi pedestrian ways? LANDASAN TEORI Ruang terbuka merupakan komponen berwawasan lingkungan, yang mempunyai arti sebagai suatu lansekap, hardscape, taman atau ruang rekreasi dalam lingkup urban. Peran dan fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) ditetapkan dalam Instruksi Mendagri No. 4 tahun 1988, yang menyatakan Ruang terbuka hijau yang populasinya didominasi oleh penghijauan baik secara alamiah atau budidaya tanaman, dalam pemanfataan danfungsinya adalah sebagai areal berlangsungnya fungsi ekologis dan penyangga kehidupan wilayah perkotaan. Peran dan fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) ditetapkan dalam Instruksi Mendagri No. 4 tahun 1988, yang menyatakan “Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/ jalur dimana didalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 pada Bab 1 pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Menurut Stepen Carr (1992) dan Rubeinstein.H (1992) dalam tipe ruang terbuka hijau terdapat 5 tipologi jalan, seperti : a.
Pedestrian sisi jalan (Sidewalk Trail) Bagian ruang publik kota yang banyak dilalui orang yang sedang berjalan kaki menyusuri jalan yang satu yang berhubungan dengan jalan lain. Letaknya berada di kiri dan kanan jalan.
b.
246
Mal Pedestrian (Pedestrian Mall)
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Suatu jalan yang ditutup bagi kendaraan bermotor dan diperuntuukan khusus bagi pejalan kaki. Fasilitas biasanya dilengkapi dengan aksesori kota seperti pagar, tanaman, dan berlokasi di jalan utama pusat kota. c.
Mal Transit (Transit Mall) Pengembangan pencapaian transit untuk kendaraan umum pada penggal jalan tertentu yang telah dikembangkan sebagai pedestrian kota.
d.
Jalur Lambat (Traffic Restricted Streets) Jalan yang digunakan sebagai ruang terbuka dan diolah dengan desain pedestrian agar lalu lintas kendaraan terpaksa berjalan lamban, disamping dihiasi dengan tanaman sepanjang jalan tersebut atau jalur jalan sepanjang jalan utama yang khusus untuk pejalan kaki dan kendaraan bukan bermotor.
e.
Gang Kecil (Town Trail) Gang-gang kecil merupakan bagian jaringan jalan yang menghubungkan ke berbagai elemen kota satu dengan yang lain yang sangat kompak. Ruang publik ini direncanakan dan dikemas untuk mengenal lingkungan lebih dekat lagi.
Wilayah Perkotaan Yogyakarta mulai dikenal sejak dilakukan studi tentang Pengembangan Perkotaan Yogyakarta yang lebih kenal dengan Yogyakarta Urban Development Project tahun 1990. Wilayahnya mencakup Kota Yogyakarta, sebagian wilayah Kabupaen Sleman dan sebagian lagi dari wilayah Kabupaten Bantul. (Sontosudarmo, 1987). Dikawasan Jalan Malioboro yang termasuk wilayah Kota Yogyakarta sendiri, meliputi ruang publik seperti taman kota dan trotoar bagi pejalan kaki. Namun, terbatasnya ruang publik semakin terasa karena tempat-tempat di sekitar Malioboro susah diakses. Misalnya, monumen Serangan Umum 1 Maret lebih sering ditutup. Padahal, tempat ini menyediakan alternatif ruang dan taman yang dapat dimanfaatkan. Penurunan kualitas Malioboro sebagai ruang publik juga disebabkan minimnya fasilitas pendukung seperti tempat duduk, toilet dan tempat sampah. LITERATURE REVIEW Ruang terbuka hijau (green open spaces) merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
247
aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang Terbuka Hijau (green open spaces), secara umum pengertiannya: Ruang yang didominasi oleh lingkungan alami di luar maupun di dalam kota, dalam bentuk taman, halaman, areal rekreasi kota dan jalur hijau (Trancik,1986;61), dan fasilitas yang memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, sebagi suatu unsur penting dalam kegitan rekreasi (Rooden Van FC dalam Grove dan Gresswell,1983). Sesuai Inmendagri No. 14 Tahun 1988 tersebut, maka pengertian Ruang Terbuka Hijau adalah ruang-ruang terbuka dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal kawasan maupun dalam bentuk areal memanjang atau jalur dimana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam Ruang Terbuka Hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya. Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan merupakan bagian dari penataan ruang kota yang berfungsi sebagai kawasan hijau pertamanan, hutan kota, rekreasi, olah raga pemakaman, pertanian, pekarangan/halaman, green belt dan lainnya (Zoer’aini, 2003). Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, menyebutkan bahwa Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah propinsi dan kabupaten/kota. RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008, Ruang pejalan kaki adalah ruang yang disediakan bagi pejalan kaki pada kiri-kanan jalan atau di dalam taman. Ruang pejalan kaki yang dilengkapi dengan RTH harus memenuhi hal-hal sebagai berikut : 1.
Kenyamanan, adalah cara mengukur kualitas fungsional yang ditawarkan oleh sistem pedestrian yaitu : •
248
Orientasi, berupa tanda visual (landmark, marka jalan) pada lansekap untuk membantu dalam menemukan jalan pada konteks lingkungan yang lebih besar;
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
•
2.
3.
Kemudahan berpindah dari satu arah ke arah lainnya yang dipengaruhi oleh kepadatan pedestrian, kehadiran penghambat fisik, kondisi permukaan jalan dan kondisi iklim. Jalur pejalan kaki harus aksesibel untuk semua orang termasuk penyandang cacat.
Karakter fisik, meliputi : •
Kriteria dimensional, disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya setempat, kebiasaan dan gaya hidup, kepadatan penduduk, warisan dan nilai yang di anut terhadap lingkungan;
•
Kriteria pergerakan, jarak rata-rata orang berjalan di setiap tempat umumnya berbeda dipengaruhi oleh tujuan perjalanan, kondisi cuaca, kebiasaan dan budaya. Pada umumnya orang tidak mau berjalan lebih dari 400 m.
Pedoman teknis lebih rinci untuk jalur pejalan kaki dapat mengacu pada Kepmen PU No. 468/KPTS/1998 tanggal 1 Desember 1998, tentang Persyaratan Teknis Aksesiblitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan dan Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki
PEMBAHASAN • Ruang Terbuka Hijau Menurut Direktorat Jendral Departemen PU Tahun 2006, Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai infrastruktur hijau perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Sedangkan secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga dan kebun bunga. •
Penataan RTH dalam penataan Ruang Perkotaan
Pada dasarnya perencanaan tata ruang perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
249
harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kawasan fungsi lingkungan dan kawasan yang rentan terhadap bencana seperti gempa, banjir dan bencana alam lainnya. Dengan demikian perencanaan tata ruang perkotaan seyogyanya harus dapat mengakomodasi kepentingankepentingan social untuk mewadahi aktivitas masyarakat serta kepentingankepentingan lingkungan untuk menjamin keberlanjutan. •
Tujuan RTH
Menurut Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2008 Tujuan dari penyelenggaraan Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah : a.
Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air
b.
Menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat.
c.
Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.
•
Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kawasan Perkotaan
Ada dua fungsi Ruang Terbuka Hijau pada kawasan perkotaan yaitu antara lain : 1. 2.
Fungsi utama (intrinsik) Fungsi tambahan (ekstrinsik) a. Sosial dan budaya b. Ekonomi c. Estetika
•
Karakteristik Ruang terbuka Hijau (RTH) di Kawasan Perkotaan
Menurut Peraturan Menteri tahun 2008, karakteristik RTH disesuaikan dengan tipologi kawasannya. Berikut ini tabel arahan karakteristik RTH di perkotaan untuk berbagai tipologi kawasan perkotaan : Fungsi dan Penerapan RTH pada beberapa tipologi kawasan perkotaan:
250
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
VÐŕÐĤŤ÷ŕēŚŤēĤC
ēŒĸħĸĊēVÐžÐŚÐį ÷ŕĤĸŤÐÐį
=ŪįĊŚēŤÐĮÐ
÷į÷ŕÐŒÐįV÷éŪŤŪďÐįC
ÐįŤÐē
• ÷įĊÐĮÐįÐįžēħÐƄÐď ŒÐįŤÐē • ĸŚēÐħéŪðÐƄÐ • `ēŤēĊÐŚēé÷įêÐįÐ
• ÷ŕðÐŚÐŕĤÐįħŪÐŚžēħÐƄÐď • ÷ŕðÐŚÐŕĤÐįĉŪįĊŚē Ť÷ŕŤ÷įŤŪ
÷ĊŪįŪįĊÐį
• VĸįŚ÷ŕŽÐŚēŤÐįÐď • VĸįŚ÷ŕŽÐŚēÐēŕ • V÷Ðį÷ĤÐŕÐĊÐĮÐįďÐƄÐŤē
• ÷ŕðÐŚÐŕĤÐįħŪÐŚžēħÐƄÐď • ÷ŕðÐŚÐŕĤÐįħŪÐŚŤ÷ŕŤ÷įŤŪ
ОÐį÷įêÐįÐ
• `ēŤēĊÐŚēǑ÷ŽÐĤŪÐŚēé÷įêÐįÐ • ÷ŕðÐŚÐŕĤÐįĉŪįĊŚē Ť÷ŕŤ÷įŤŪ
÷ŕŒ÷įðŪðŪĤ ġÐŕÐįĊŚǑðŚ÷ðÐĮĊ
• "ÐŚÐŕŒ÷ŕ÷įêÐįÐÐį ĤÐžÐŚÐį • ĸŚēÐħ
÷ŕŒ÷įðŪðŪĤŒÐðÐŤ • +ĤĸħĸĊēŚ • ĸŚēÐħ • CēðŕĸħĸĊēŚ
•
• ÷ŕðÐŚÐŕĤÐįĉŪįĊŚē Ť÷ŕŤ÷įŤŪ • ÷ŕðÐŚÐŕĤÐįġŪĮħÐď Œ÷įðŪðŪĤ • ÷ŕðÐŚÐŕĤÐįĉŪįĊŚē Ť÷ŕŤ÷įŤŪ • ÷ŕðÐŚÐŕĤÐįġŪĮħÐď Œ÷įðŪðŪĤ
Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu 32,5 Km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi DIYdengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT, serta dihuni oleh 428.282 jiwa (sumber data dari SIAK per tanggal 28 Februari 2013) dengan kepadatan rata-rata 13.177 jiwa/Km. Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan pertanian kota setiap tahun mengalami penyusutan. Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan).
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
251
Pertambahan penduduk Kota dari tahun ke tahun cukup tinggi Pertambahan penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun termasuk tinggi, hal ini dapat dilihat dari data statistik kependudukan Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta. Pada tahun 2010 jumlah penduduk Kota Yogyakarta sebesar 388.627, selanjutnya mengalami peningkatan pada tahun 2015, yaitu menjadi 521.762. Begitu besar peningkatan angka jumlah penduduk Kota Yogyakarta dalam jangka waktu 5 tahun sudah mengalami penambahan penduduk sekitar 50%. Hal ini dapat disimpulkan begitu padatnya Kota Yogyakarta, ini dikarenakan luas lahan kota yang tidak bertambah, namun, jumlah penduduk yang terus meningkat tiap tahunnya. •
RTH Kota Yogyakarta
Menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau 9 Ruang Terbangun Wilayah Kota Ruang Tak Terbangun Ruang Sirkulasi Ruang Terbuka mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Menurut Yuni Pujirahayu keberadaan RTH sangat dibutuhkan dalam kawasan perkotaan untuk mengatasi permasalahan lingkungan di kawasan perkotaan, sehingga tingkat ketersediaan RTH sebagai salah satu komponen ruang kota harus selalu diperhitungkan dalam proses perencanaan kota, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Hasil penelitian Subaryono, et al. (2004) menyebutkan bahwa ruang terbangun di Kota Yogyakarta didominasi oleh kawasan permukiman dengan jumlah hampir 50% dari luas wilayah kota. Semakin berkembangnya Kota Yogyakarta memicu terjadinya pemekaran kota ke wilayah pinggiran kota (urban sprawl) berupa permukiman-permukiman baru. Kondisi ruang terbangun di Kota Yogyakarta sangat padat. Kepadatan bangunan ini terutama bangunan perumahan menyebabkan ketidakteraturan tata letak bangunan. •
Permasalahan RTH Kota Yogyakarta
Tidak tersedianya lahan untuk pembangunan RTH, hal ini dikarenakan Kota Yogyakarta merupakan kota yang di dominasi ruang bangunan, dibandingkan dengan runag non-bangunan. Ruang bangunan di Kota Yogyakarta telah mencapai 80% dari keseluruhan lahan yang ada di kota tersebut. 252
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
•
Kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kawasan Jalan Malioboro
Jalan malioboro merupakan jalan yang menjadi landmark dari Kota Yogyakarta. Jalan malioboro yang memiliki panjang kurang lebih 1,2 kilometer ini selalu di penuhi pengunjung yang beraasal dari lokal bahkan luar dari Kota Yogyakarta. Pengunjung yang selalu berdatangan di Jalan malioboro membuat angka kendaraan bermotorpun bertambah. Bertambahnya angka kendaraan bermotor membuat kumuh kawasan malioboro, hal ini dikarenakan tidak teraturnya parkiran kendaraan pengunjung. Keramaian jalan malioboro membuat pemerintah memikirkan sebuah inovasi agar kenyaman pengunjung tetap terjaga. Sebagian besar pengunjung jalan malioboro menyusur jalanan tersebut. Jalan malioboro sendiri merupakan kawasan terbuka, tentunya harus dapat memenuhi kenyamanan pengunjung, mulai dari panas terik matahari, kendaraan yang melintas, hingga tempat beristirahat sekaligus bersantai. Kenyamanan yang ditawarkan baru-baru ini yaitu pemerintah merubah kawasan jalan malioboro menjadi pedestrian ways. Kawasan yang ramah terhadap pengunjung tentunya, namun, dapat kita lihat, pedestrian ways belum tentu dapat memberikan kenyaman bagi pengunjung. Wajah jalan malioboro yang baru memang lebih rapi, namun, semakin terlihat ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin berkurang. RTH sendiri dapat memberikan fungsi kenyamanan sendiri bagi pengunjung, diantaranya: jalan menjadi teduh serta dapat dijadikan sebagai peneduh juga bagi pengunjung. Pada awalnya jalan malioboro memiliki kebijakan tersendiri dalam penyediaan RTH, yaitu: dianjurkan tiap-tiap bangunan yang terdapat di malioboro untuk mengadakan pergola. Ini juga sebagai langkah dalam memenuhi kebutuhan RTH. Kebijakan mengenai pergola tidak dilaksakan dengan konsisten. Beberapa pergola terlihat tidak terawat dan beberapa juga masih kosong belum ditanami dengan tanaman. Kebijakan mengenai pedestrian ways membuat jalan malioboro terlihat lebih panas. Renovasi yang dilakukan membuat pergola hilang, diganti dengan tanaman-tanaman kecil di sepanjang jalan. Pengalih fungsian RTH menjadi pedestrian ways membuat RTH kota Yogyakarta semakin berkurang. Berbagai ketentuan tekhnis yang telah ditetapkan pada Permen
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
253
PU No. 5 tahun 2008 tidak terlaksana. Seharusnya kawasan jalan malioboro menerapkan RTH bagi pejalan kaki yyang telah di muat pada Permen PU No. 5 tahun 2008. RTH bagi pejalan kaki menurut Permen PU No. 5 tahun 2008 Ruang pejalan kaki adalah ruang yang disediakan bagi pejalan kaki pada kiri-kanan jalan atau di dalam taman. Ruang pejalan kaki yang dilengkapi dengan RTH harus memenuhi hal-hal sebagai berikut: Kenyamanan, adalah cara mengukur kualitas fungsional yang ditawarkan oleh sistem pedestrian yaitu: •
Orientasi, berupa tanda visual ( landmark , marka jalan) pada lansekap untuk membantu dalam menemukan jalan pada konteks lingkungan yang lebih besar;
•
Kemudahan berpindah dari satu arah ke arah lainnya yang dipengaruhi oleh kepadatan pedestrian, kehadiran penghambat fisik, kondisi permukaan jalan dan kondisi iklim. Jalur pejalan kaki harus aksesibel untuk semua orang termasuk penyandang cacat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa RTH pada pejalan kaki belum sesuai, dan juga termasuk sulit dalam kemudahan berpindahnya. keberagaman pohon juga belum disesuaikan. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas penulis akan membuat suatu kesimpulan yang di dalam nya berupa kesimpulan tersebut, yang akan di jabarkan melalui pokok-pokok permasalahan tentang Ruang Terbuka Hijau yang terjadi di Kota Yogyakarta khususnya untuk kawasan wilayah di Jalan Malioboro. Maka penulis akan meringkas dan merangkum uraian diatas dalam bentuk kesimpulan, yaitu sebagai berikut: Jadi masalah yang sering terjadi dalam penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) ada tiga (3), Sebagai berikut: 1.
254
Pertama, Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang belum memenuhi ketentuan. Jadi, maksud dari permasalahan pertama masih
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
belum memenuhi ketentuan atau masih terbatasnya dalam penataan lahan yang terdapat di Kawasan Malioboro. 2.
Kedua, Masih belum terdapat produk hukum yang mengatur RTH Kota Yogyakarta. Jadi di Kota Yogyakarta ini, masih belum adanya produk hukum yang mengatur tentang Ruang Terbuka Hijau. Maka ini bisa menjadi masalah dalam penataan RTH.
3.
Ketiga, Pemanfaatan lahan kosong yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Jadi, pemanfaatan lahan kosong ini masih belum sesuai dengan kebutuhan yang ada karena lahan kosong ini sudah dipakai untuk membangun ruang lain hingga pemanfaatan lahan kosong masih belum sesuai kebutuhan.
Rekomendasi 1.
Perlunya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berkriteria ramah lingkungan dengan menyediakan lahan untuk taman.
2.
Pemerintah perlu menegakkan dengan tegas bagi pelanggar UU no. 32/2009 dalam menindaklanjuti segala kegiatan yang menimbulkan perencanaan lingkungan/berdampa buruk terhadap lingkungan hidup.
3.
Pemerintah sebaiknya membebaskan sisa lahan di kawasan perkotaan untuk penghijauan secara maksimal.
4.
Masyarakat perkotaan bias menyediakan sedikit lahan di halaman rumahnya/dalam maupun luar rumah yang dapat dimanfaatkan sebagai area hijau.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
255
Referensi
Buku Reformasi Perkotaan (Prof. Eko Budiharjo) Nurmandi, Achmad. 2004, Manajemen Perkotaan, Jogjakarta:Jusuf Kalla School og Government SNI Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Di Perkotaan, 2004 Direktorat Jendral Departemen PU Tahun 2006, Ruang Terbuka Hijau Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan Yuni Pujirahayu, Identifikasi Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Pada Kota Dataran Rendah Di Indonesia (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, Dan Medan), Universitas Pertanian Bogor, 2010, Bogor. Melihat Wajah Baru Malioboro, Bernilai Rp 13 Milyar (Youtube.com) RTH Malioboro (Youtube.com)
256
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Lampiran
Pergola di depan Mall Malioboro sebelum di renovasi menjadi pedestrian ways
Kawasan jalan malioboro sebelum direnovasi menjadi pedestriian ways
Kawasan jalan malioboro (di Mall Malioboro) sebelum direnovasi menjadi pedestriian ways
Bagian selatan kawasan jalan malioboro sebelum direnovasi menjadi pedestriian ways
Kawasan jalan malioboro (di Mall Malioboro) sesudah direnovasi menjadi pedestriian ways
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
257
Bagian selatan jalan malioboro sesudah direnovasi menjadi pedestriian ways
258
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
ƮƵ
÷ŕĮŪĤēĮÐįVŪĮŪďÐįŤÐŕÐį ŪįĊÐēVÐħēĸð÷džµĸĊƄÐĤÐŕŤÐ Apriyansyah | Halip Nur Yanto | Arief Indra Adiyatma Rizki Azkia | Galuh Anjasmara | Ariyanti Agustin
D
i era yang modern ini, dimana indonesia masih disebut dengan negara berkembang. Negara berkembang adalah negara yang masih memiliki masalah-masalah dalam taraf kehidupannya.Salah satu jenis permasalahan yang kian kerap menakuti setiap negara adalah permukiman kumuh.Permukiman kumuh merupakan permasalahan yang tidak asing lagi kita temui di daerah - daerah maupun di perkotaan yang ada di Indonesia.Kawasan permukiman kumuh perkotaan timbul sebagai salah satu dampak kurang berhasilnya pembangunan permukiman di perkotaan dan keterbatasan lahan perkotaan. Salah satu kota yang tidak terlepas dari permasalahan perkotaan adalah kota Yogyakarta. Permukiman kumuh di Kota Yogyakarta masih menjadi persoalan bagi pemerintah Kota Yogyakarta. Sebab selain merusak tata kota, juga membahayakan bagi para penghuninya karena biasanya berada di lokasi yang tidak aman. Berdasarkan data yang diari kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Kota Yogyakarta yang dikutip dari satuharapan.com, permukiman kumuh di Kota Yogyakartapada tahun 2015 tercatat mencapai 278,7 hektar atau setara dengan 8,17 persen luas wilayah. Lokasi permukiman kumuh tersebut juga merata di 13 kecamatan dan 35
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
259
kelurahan di Kota Yogyakarta. Dari keseluruhan jumlah wilayah kumuh dikota yogyakarta tersebut, 90 persen di antaranya berlokasi di bantaran sungai. Menjamurnya masyarakat yang tinggal di bantaran sungai didorong oleh semakin tingginya jumlah penduduk yang memilih menetap di kota Yogyakarta. Pemukiman yang semakin padat menyebabkan pilihan untuk bertempat tinggal semakin sempit dan salah satu ruang yang dimanfaatkan adalah kawasan bantaran sungai.Keberadaan masyarakat bantaran sungai menjadi sebuah masalah yang menarik untuk dikaji lebih mendalam, dikarenakan lingkungan tersebut identik sebagai pemukiman kumuh yang tidak layak huni, lekat dengan kemiskinan dan dianggap sebagai masalah sosial yang dalam penanganannya masih tambal-sulam. Pemukiman kumuh yang sagat mudah untuk diamati adalah perkampungan Kali Code. Kampung Code terletak di bantaran Kali Code yang merupakan sungai yang berhulu di Gunung Merapi, tepatnya di bawah jembatan Gondolayu, tidak jauh dari ikon penanda identitas kota Yogyakarta, Tugu Jogja. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, yang akrab disapa Romo Mangun, mendedikasikan pemikirannya pada kawasan yang mulanya dianggap kumuh, liar, dengan berbagai persepsi buruk yang lain seperti kebanyakan bantaran sungai di kota-kota besar Indonesia. Pada awalnya Kampung Code adalah pemukiman liar yang kumuh dan suram. Oleh karena status tanah di bantaran kali ini tidak bertuan, banyak orang yang belum memiliki hunian memanfaatkannya sebagai tempat tinggal walau dengan bangunan seadanya.Tidaklah mengherankan bila penampilan Kampung Code sangat kumuh.Bagaimana tidak, barang-barang bekas yang dibawa pemulung ditimbun begitu saja di kampung ini. Namun seiring perkembangannya, Kampung Code sudah mulai banyak berbenah dengan mulai banyaknya para aktivis maupun organisasi-organisasi yang bergerak di bidang lingkungan yang mulai memperhatikan Kampung Code sehingga terlihat lebih rapi dan tertata. Walaupun sudah lebih tertata dan terlihat lebih rapi tetapi masih saja tidak menghilangkan identitas pemukiman yang kumuh pada kampung Codekarena struktur pemukiman masyarakat, lingkunngan serta lokasi perumahan yang tidak terlalu baik untuk sebuah perumahan.
260
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Di sini penulis lebih melihat dari segi aspek kenapa pemukiman kumuh di Yogyakarta semakin tahun belum bisa teratasi dan apa saja yang menyebabkan pemukiman di bantaran kali Code tetap menjadi pilihan oleh masyarakat baik itu masyarakat asli Kota Yogyakarta maupun pendatang dari daerah-daerah yang ada di Indonesia untuk tetap tinggal di sekitar Bantaran sungai Code serta bagaimana peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan pemukiman kumuh. Rumusan Masalah Bagaimana kebijakan pemerintah kota Yogyakarta dalam mengatasi permukiman kumuh di bantaran sungai code? Teori Pada makalah ini kami mengambil beberapa teori yang berkaitan dengan perumahan kumuh seperti teori perumahan perkotaan. 1.
Teori Residential Mobility Jhon Turner (dalam Nurmandi 2014) menjelaskan ada 4 dimensi yang harus diperhatikan dalam memahami dinamika permintaan perumahan pada suatu kota, yaitu: 1) dimensi lokasi, dimensi inimengacu pada tempat tertentu yang dianggap cocok oleh seseorang/ kelompok untuk tempat tinggal. Kondisi ini lebih ditekankan pada penghasilan dan siklus kehidupannya. Lokasi berkaitan erat dengan tempat kerja. 2) Dimensi Perumahan, dimensi ini dikaitkan dengan tipe perumahan dalam arti pada aspek penguasaannya. Mereka yang berpenghasilan rendah misalnya, akan lebih memilih menyewa atau mengontrak daripada memiliki rumah tersebut karena kemampuan itulah yang paling sesuai dengan tingkat penghasilan. 3) Dimensi siklus kehidupan, dimensi ini membahas tahaptahap seseorang mulai menapak dalam kehidupan dalam kehidupan mandirinya, dalam artian semua kebutuhan hidupnya ditanggung oleh dirinya sendiri. 4) Dimensi penghasilan, Dimensi ini lebih melihat pada besar kecilnya pendapatan yang diperoleh persatuan waktu.
2.
Teori Lokasi Harga tanah ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya lokasi. Menurut David Ricardo (dalam Nurmandi 2014) populasi dapat tumbuh Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
261
secara signifikan dan tanah yang tidak subur akan digunakan dalam proses produksi, dimana tanah itu sendiri sudah tidak bermanfaat lagi bagi kebutuhan dasar manusia. Dalam struktur perkotaan menurut Reksohadiproji (dalam Nurmandi 2014) mengatakan bahwa nilai tanah itu tidak dinilai dari tingkat kesuburannya tapi lebih tentang jarak dan posisi tanah dalam struktur perkotaan. Menurut Von unen (1826) tanah yang letaknya lebih jauh dari kota tidak memiliki nilai sewa dan tren yang meningkat secara linier dengan mengurangi jarak ke pusat kota. Dalam teori ini tanah yang mempunyai jarak yang sama ke pusat kota memiliki nilai sewa yang sama juga. Literatur review 1.
Literatur pertama : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terciptanya Kawasan Permukiman Kumuh Di KawasanPusat Kota (Studi Kasus: Kawasan Pancuran, Salatiga) Kawasan Permukiman Pancuran adalah kawasan permukiman yang terletak di pusat Kota Salatiga yang dikelilingi oleh kawasan pertokoan Jend.Sudirman, Pasar Raya I dan II, Pasar Gedhe dan Pasar Blauran.Dalam perkembangannya, kawasan permukiman Pancuran ini dipengaruhi oleh interaksi kawasan perdagangan tersebut. Yang menjadi pertanyaan studi disini adalah: mengapa kawasan ini menjadi kumuh dan faktor apa saja yang mempengaruhinya ?Analisis kajian secara kualitatif menjelaskan ada dua alasan dari pernyataan tersebut yaitu pengaruh dari dalam dan luar kawasan tersebut. Pengaruh dari dalam yaitu: karakteristik hunian, penghuni dan sarana dan prasarana. Karakteristik hunian yaitu kondisi rumah yang tidak sehat baik pencahayaan, udara dan toilet serta bersifat temporer, dimana tidak diperbaiki dengan baik.Hal ini sangat rentan terhadap kebakaran. Karakteristik penghuni: masyarakat kawasan Pancuran ini sebagian besar berpenghasilan rendah dan bekerja di bidang informal sektor. Karakteristik sarana dan prasarana seperti air bersih, sanitasi, jalan lingkungan dan drainase di kawasan ini kondisinya juga minim. Sedangkan pengaruh dari luar kawasan Pancuran antara lain adalah
262
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
regulasi dan urbanisasi yang terjadi. Dari data survei dapat kita lihat banyak sekali kaum urbanis yang tinggal di kawasan ini.Para pendatang ini hanya tinggal sementara di kawasan ini karena kebanyakan mereka adalah pedagang yang mempunyai usaha di kawasan perdagangan di sekitar kawasan permukiman Pancuran.Para pendatang itu menyewa rumah ataupun kamar dengan pembanyaran harian maupun bulanan atau bahkan tahunan. Kebanyakan mereka berasal dari luar pinggiran kota ataupun luar daerah Salatiga. Sedangkan pada analisis kuantitatif dilakukan dengan metode analisis regresi dan diperoleh hasil bahwa faktor yang mempunyai pengaruh kuat penyebab Kawasan Permukiman Pancuran menjadi kumuh adalah tingkat penghasilan, status kepemilikan hunian, dan lama tinggal.Dari hasil analisis studi dapat disimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan kawasan Pancuran menjadi kumuh adalah faktor tingkat penghasilan, status kepemilikan hunian, dan lama tinggal.Dari hasil analisis tersebut, maka dapat direkomendasikan upaya perbaikan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman di kawasan Pancuran ke arah yang lebih baik.Salah satu diantaranya adalah penataan kawasan melalui pembangunan RUSUNWAMA. 2.
Literature yang kedua berjudul “Karakteristik Lingkungan Permukiman KumuhTepian Sungai Kecamatan Kolaka, Sulawesi Tenggara”. Tumbuhnya kawasan perumahan & permukiman yang kurang layak huni di kawasan tepian sungai, berdampak pada kecenderungan berkembangnya lingkungan kumuh yang tidak sesuai dengan standar permukiman yang sehat.Kondisi sosial ekonomi penduduk yang umumnya berpenghasilan sangat rendah, belum tersedianya sarana dan prasarana umum, serta status tanah yang tidak resmi, menyebabkan semakin kumuhnya permukiman. Jika kondisi tersebut tidak dikendalikan pertumbuhannya, maka kualitas lingkungan dan derajat kesehatan masyarakat akan terus menurun.Hasil penelitian menunjukkan secara umum karakteristik perumahan dan permukiman tepian air di Kelurahan Lamokato: (1) kondisi sarana, prasarana & utilitas buruk; (2) tingkat kepadatan bangunan tinggi; (3) kelayakan bangunan rendah. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi penduduk yang umumnya adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR),
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
263
sehingga motivasi untuk memiliki lingkungan dan rumahyang layak sangat rendah. Dengan demikian identifikasi terhadap karakteristik kawasanpermukiman diharapkan dapat menjadi dasar dalam penyusunan rencana tindak dalam proses penyusunan perencanaan dan perumusan pembangunan daerah secara terpadu (komprehensi). Perumahan dan permukiman dalam pengertian luas bukan hanya berarti tempat tinggal, melainkan suatu kesatuan kompleks yang melibatkan berbagai unsur kebudayaan.Unsur-unsur itu tidak hanya menonjolkan kegiatan biologis, tetapi juga berbagai kegiatan sosial, politik, agama dan sebagainya. Suatu proses perubahan perumahan dan permukiman tidak bisa dilihat hanya dari sisi kebendaan atau sebagai sarana hidup, tetapi juga sebagai proses bermukim, tempat kehadiran manusia dalam menciptakan ruang hidup di lingkungan masyarakat dan alam sekitarnya. Salah satu permasalahan menyangkut perumahan adalah banyaknya pertumbuhan permukiman kumuh di kawasan pinggiran kota dan pesisir sungai/laut yang merupakan kantong air perkotaan. Keberadaan perumahan bagi masyarakat merupakan salah satu dari kebutuhan masyarakat dalam kehidupannya.Menurut Alkema dan Bezemer (1927), terdapat 3 tipe perkampungan rakyat berdasarkan karakter fisiknya, yaitu perkampungan air, perkampungan benteng dan perkampungan desa. Temuan dan Pembahasan Pada penulisan paper ini, penulis mendapatkan data dengan melakukan studikepustakaan, wawancara, dan observasi serta meninjau secara langsung lokasi pemukiman di bantaran Sungai Code serta melakukan beberapa wawancara dengan warga masyarakat setempat. Permukiman di Kampung Code Utara yang merupakan bagian dari Kelurahan Kotabaru. Kampung Code memiliki letak yang sangat strategis karena berada di tengah-tengah Kota Yogyakarta. Posisi perkampungan Code sangat dekat dengan berbagai aktivitas masyarakat Kota Yogyakarta seperti pusat jual beli, pusat pariwisata, pendidikan hiburan dan lainnya. Menurut keterangan dari informan bahwa semua tanah yang ada di bantaran kali Code tidak memiliki surat-surat kepemilikan tanah atau
264
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Ilegal. Tanah yang ditempati oleh warga bantaran sungai Code sepenuhnya merupakan kepemilikan Keraton Kesultanan Yogyakarta.Penduduk yang bermukim di bantaran Kali Code sebagian besar berasal dari luar daerah bahkan ada yang berasal dari luar pulau seperti Makassar, NTT, Medan dan daerah-daerah lainnya. Menurut salah satu Informan, para perantau dari luar Kota Yogyakarta datang untuk mencari pekerjaan namun dengan keterbatasan skill dan ekonomi menyebabkan masyarakat mendirikan bangunan- bangunan tempat tinggal ilegal dengan fasilitas seadanya di bantaran kali Code. Penduduk Kali Code memiliki mata pencaharian yang bervariatif mulai dari buruh lepasan, pemulung, pengamen, pedagang kecil dan ada pula sebagian kecil yang menjadi Pegawai Negeri Sipil. Namun lebih di dominasi oleh profesi buruh. Masyarakat kampung Code Utara di tepi Sungai Code menurut hasil penelitian oleh Ayodiya (2014), tetap ingin tinggal di Kampung Code Utara atau tidak bersedia pindah karena kondisi ekonomi mereka lemah. Rata-rata pendapatan masyarakat di sekitar kampung Code utara per bulan adalah Rp 500.000,00 s.d. Rp 1.000.000,00. Mereka tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk membeli lahan di lokasi lain dan membangun rumah yang layak di sana atau bahkan menyewa rumah di tempat lain. Penghasilan tersebut hanya cukup untuk biaya kehidupan sehari-hari. Rendahnya tingkat pendidikan yang ada menurut informan juga merupakan salah satu permasalahan yang terjadi pada masyarakat kampung Code. Masyarakat kampung code rata-rata hanya mampu sekolah hingga tingkat SMP dan SMA. Hal ini yang menyebabkan semakin tingginya tingkat pengangguran yang ada di Kampung Code, terutama para pemuda yang ada di Kampung Code. Mereka tidak mampu bersaing dengan para pesaingnya untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini yang menyebabkan mereka lebih memilih untuk menjadi pemulung maupun buruh lepasan. Permasalahan Kali Code bukan hanya tingkat perekonomian masyarakat serta kualitas pendidikan masyarakat yang masih rendah saja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ayodiya (2014), Kualitas dan kuantitas sarana dan prasaranadi kampung Codejuga masih terbatas. Jalan yang ada di Kampung Code Utara sangat terbatas. Jalan sangat sempit yaitu hanya memiliki lebar kurang dari 0,5 m sehingga tidak dapat dilewati kendaraan.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
265
Selain itu, jalan juga tidak rata atau berundak-undak. Saluran air hujan di Kampung Code Utara hanya ada hanya satu dan berfungsi mengalirkan air hujan di permukiman. Kualitas air Kampung Code Utara yang terletak di tepi Sungai Code sangat dipengaruhi oleh lingkungan sungai. Data dari BBWS Serayu Opak (2011) menunjukkan Nilai BOD dan COD air Sungai Code selama kurun waktu 15 tahun pada tahun 2006 dibandingkan dengan data tahun 1992, 1996 dan 2001 (interval 5 tahun) terjadi peningkatan yang artinya terjadi penurunan kualitas air dari dari tahun 1992 sampai tahun 2006. Berdasarkan data BBWS Serayu Opak (2011), secara umum kandungan bakteri coli dan total coli juga telah jauh diatas ambang batas yang berlaku. Meskipun, sarana dan prasarana di Kampung Code Utara terbatas, terdapat beberapa warga yang tidak mempermasalahkannya. Sebagian warga merasa bahwa sarana prasararana di kampungnya sudah mencukupi sesuai kebutuhan dan kemampuan mereka. Menurut informan, pemerintah Kota Yogyakarta telahmembangun RUSUNAWA untuk warga yang kurang mampu di bantaran kali Code,namun mereka sudah merasa sangat nyaman untuk tinggal di kampung Code dan enggan untuk pindah ke RUSUNAWA karena alasan tempat tinggal mereka di bantaran sungai Code memiliki jarak yang dekat dengan pusat kegiatan masyarakat setempat yang berprofesi menjadi buruh lepasan, pemulung, pengamen, pedagang kecil dan lainnya. Sebagian dari masyarakat kali Code mengungkapkan bahwa ada sebagian warga bantaran Kali Code yang memang telah menyewa RUSUNAWA yang di sediakan namun mereka tidak menempatinya. Masyarakat lebih memilih untuk menyewakan kembali bilik-bilik ruangan yang mereka punya di Rusunawa untuk dikomersilkan. Berdasarkan data dari pip2bdiy.com di daerah Kota Yogyakarta terdapat 3 RUSUNAWA yang dibangun oleh pemerintah, diantaranya Rusunawa Jogoyudon yang memiliki 96 kamar dengan harga sewa sekitar Rp155.000, Rp 185.000/bulan, Rusunawa Cokrodirjan yang memiliki 71 kamar dengan harga sewa Rp. 75.000 serta Rusunawa Juminahan memiliki 68 kamar dengan harga sewa Rp. 150.000, Rp. 155.000, Rp. 165.000, Rp. 175.000, Rp. 185.000 / bulan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas (2010) mengatakan bahwa fasilitas yang ada di rusunawa khususnya rusunawa Cokrodirjan
266
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
yang berlokasi di dekat Kali Code masih belum memadai seperti akses jalan yang sempit, Kualitas air bersih tidak layak konsumsi Saluran Air Limbah Mampat dan Bocor. Pemukiman kumuh merupakan permasalahan yang cukup serius untuk ditangani oleh pemerintah.Pemukiman kumuh di Kota Yogyakarta sebagian besar disebabkan oleh para pendatang yang berasal dari luar daerah seperti dari sekitar pulau Jawa maupun yang berasal dari luar pulau Jawa seperti Makassar, NTT, Medan dan daerah-daerah lainnya. Sebagian besar penduduk bantaran kali Code datang ke Kota Yogyakarta karena tertarik dengan daya tarik kota Yogyakarta itu sendiri seperti pariwisata, perekonomian serta pusat pendidikan. Mereka dengan datang harapan dapat memperbaiki perekonomian mereka. Namun karena kekurangan skill dan kemampuan ekonomi mereka terpaksa membangun pemukiman-pemukiman seadanya dan ilegal di sekitar bantaran Kali Code yang kemudian menimbulkan permasalahan terbentuknya pemukiman yang tergolong kumuh di Kota Yogyakarta. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa dimensi penghasilan menurut Jhon Turner, sangat berpengaruh di dalam terbentuknya permukiman yang sederhana dan tergolong kumuh. Pemerintah Kota Yogyakarta didalam menyelesaikan permasalah pemukiman kumuh, telah melakukan langkah-langkah seperti pembuatan RUSUNAWA. Awal tahun 2015 ini, ada tiga peraturan walikota (Perwal) yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta yang terkait langsung dengan hunian vertikal berupa rumah susun. Paket peraturan itu antara lain Perwal Yogyakarta No. 7 Tahun 2015 tentang Sertifikat Laik Fungsi (SLF) Rumah Susun, Perwal Yogyakarta No. 8 Tahun 2015 tentang Pengesahan Akta Pemisahan Rumah Susun, dan Perwal Yogyakarta No. 9 Tahun 2015 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun. Menurut perwal No. 7 Tahun 2015 yang menjelaskan mengenai Sertifikat Laik Fungsi (SLF) ,SLF ini di terbitkan oleh Walikota atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung baik secara administrasi maupun teknis untuk dapat dimanfaatkan. Secara umum Rumah susun dapat di pahami sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
267
horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan satuan yang masingmasing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Tujuan di bangunnya Rumah susun umum adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Setiap rumah susun wajib memiliki SLF rumah susun. Pelaku pembangunan rumah susun wajib mengajukan SLF rumah susun dengan catatan pembangunan rumuah susun sudah selsai di bangunan dan sudah memenuhi kelaikan fungsi bangunan gedung sehingga SLF ini dapat di terbitkan. Dalam mengajukan permohonan SLF ini pelaku pembangun rumah susun wajib memenuhi persyaratan yang sudah di tetapkan oleh pemerintah melalui perwal No. 7 Tahun 2015 yaitu: 1. 2.
fotocopy KTP yang masih berlaku fotocopy IMB dan lampirannya yang menunjukkan bukti kepemilikan bangunan 3. surat keterangan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung rumah susun dan hasil pemeriksaannya 4. bukti pemenuhan atas kewajiban membangun rumah susun umum sekurang-kurangnya 20 % (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) berupa surat keterangan dari Dinas Kimpraswil Setelah pemohon SLF mengajukan permohonannya ke Dinas Kimpraswil baru akan di tindak lanjuti dengan memeriksa kelengkapan dokumen permohonan, apabila sudah lengkap persyaratannya dinas kimpraswil akan mengeluarkan form bukti pendaaran dan akan di tindak lanjuti dengan pemeriksaan bangunan yang di lakukan tim dari dinas kimpraswil yang melibatkan beberapa dinas terkait sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
268
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; Badan Penanggulangan Bencana Daerah; Badan Lingkungan Hidup; Dinas Perizinan; Dinas Tenaga Kerja; Dinas Kesehatan; Dinas Perhubungan;
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
8. 9.
Dinas Kimpraswil; Bagian Hukum
Berdasarkan data dari pip2bdiy.com di daerah Kota Yogyakarta terdapat 3 RUSUNAWA yang dibangun oleh pemerintah, diantaranya Rusunawa Jogoyudon yang memiliki 96 kamar dengan harga sewa sekitar Rp155.000, Rp 185.000/bulan, Rusunawa Cokrodirjan yang memiliki 71 kamar dengan harga sewa Rp. 75.000 serta Rusunawa Juminahan memiliki 68 kamar dengan harga sewa Rp. 150.000, Rp. 155.000, Rp. 165.000, Rp. 175.000, Rp. 185.000 / bulan. Hendra dalam properti.kompas.com mengatakan, rusunawa bisa menghemat lebih dari 50 persen lahan yang dibutuhkan untuk permukiman dibandingkan dengan rumah horizontal. Rusunawa sejatinya dibangun untuk memberikan tempat tinggal yang layak kepada masyarakat yang memiliki ekonomi rendah. Namun beberapa rusunawa yang ada di Kota Yogyakarta masih terbilang belum memiliki fasilitas yang memadai seperti pada Rusunawa Cokrodirjan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas (2010) mengatakan bahwa fasilitas yang ada di rusunawa khususnya rusunawa Cokrodirjan yang berlokasi di dekat Kali Code masih belum memadai seperti a.
akses jalan yang sempit, Letak bangunan rusunawa yang berada di lingkungan permukiman yang padat menyebabkan sirkulasi jalan di dalam wilayah tersebut (Kampung Cokrodirjan) hanya berupa gang-gang sempit dengan dimensi lebar yang tidak sama dan gang ini sendiripun terbentuk di sela-sela bangunan permukiman yang ada. Jalan setapak atau gang ini yang menghubungkan akses rusunawa ke luar lingkungan rusunawa.
b.
Kualitas air bersih tidak layak konsumsi Kondisi air yang kurang layak konsumsi, karena air menggunakan sumur bor dengan kedalaman 120 meter sehingga banyak mengandung Fero (besi) yg cukup tinggi, endapannya berwarna hitam pekat dan rasanya agak asin. Kondisi air yang demikian menyebabkan para penghuni tidak memanfaatkan untuk kebutuhan memasak dan minum, tetapi masih bisa digunakan untuk MCK (Mandi, Cuci, Kakus). Kebutuhan untuk memasak dan minum, penghuni mencari alternatif sumber air bersih lainnya, misalnya mengambil air sumur dari tetangga di kampung. Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
269
c.
Saluran Air Limbah Mampat dan Bocor Setiap unit rumah di Rusunawa Cokrodirjan telah dilengkapi dengan dapur, kamar mandi, cuci dan saluran pembuangan air limbah yang berasal dari kakus. Fungsi ruang tersebut selalu menghasilkan limbah, baik limbah cair, asap, maupun padat. Sistem pembungan air limbah secara paralel menyebabkan sulitnya melakukan pemantauan terhadap kondisi saluran. Sistem paralel yang dimaksud adalah setiap sambungan air limbah dari 3 unit rumah digabung menjadi satu sambungan untuk diteruskan ke pengolahan limbah yang ada di bawah permukaan tanah. Saat saluran utama mampat maka akan terjadi luapan air limbah ke rumah-rumah yang telah tersambung dengan pipa utama tersebut. Hal ini sangat mengganggu kenyamanan sebuah hunian karena permasalahan limbah tersebut bisa membawa dampak ke semua penghuni yang lain. Pembuatan Rusunawa di Kota Yogyakarta yang bertujuan untuk memberikan fasilitas hunian yang layak untuk masyarakat masih belu terlihat apabila melihat masih adanya permasalahan-permasalahan seperti diatas. Rusunawa juga belum terlalu efektif untuk mampu mengatasi masalah menjamurnya permukiman kumuh di Kota Yogyakarta. Menurut keterangan dari masyarakat selaku informan, mengatakan bahwa ada sebagian dari masyarakat kali Code yang hanya menyewa Rusunawa namun tidak untuk di tempati melainkan disewakan kembali kepada orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan Rusunawa belum memiliki pengaruh yang besar untuk menata daerah pemukiman kumuh yang ada di bantaran kali Code. Masyarakat kali code mengungkapkan bahwa mereka sudah merasa nyaman untuk tinggal di bantaran sungai karena alasan aksesibilitas ke tempat kerja yang mudah serta sudah terbiasa dengan lingkungan di bantaran kali code meskipun Kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana di kampung Code juga masih terbatas. Jalan yang ada di Kampung Code Utara sangat terbatas serta susah di lewati serta kualitas air yang buruk dan tercemar oleh bakteri e-coli. hal ini sesuai dengan yang di kemukakan oleh Jhon Turner (dalam Nurmandi 2014) mengenai dimensi lokasi yang mengatakan dimensi lokasi, dimensi ini mengacu
270
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
pada tempat tertentu yang dianggap cocok oleh seseorang/ kelompok untuk tempat tinggal. Kondisi ini lebih ditekankan pada penghasilan dan siklus kehidupannya. Lokasi berkaitan erat dengan tempat kerja. Penanganan mengenai masalah perumahan kumuh ini juga bukan hanya sebatas pembuatan Rumah Susun untuk masyarakat yang kurang mampu namun pemerintah juga mengeluarkan program KOTAKU (Kota Tanpa Pemukiman Kumuh). Program ini di inisiasi oleh pemerintah pusat kemudian di jalankan oleh pemerintah daerah yang ada di Indonesia, khususnya Kota Yogykarta. Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) adalah program yang dilaksanakan secara nasional di 269 kota/kabupaten di 34 Propinsi yang menjadi “platform” atau basis penanganan kumuh yang mengintegrasikan berbagai sumber daya dan sumber pendanaan, termasuk dari pemerintah pusat, provinsi, kota/kabupaten, pihak donor, swasta, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. KOTAKU bermaksud untuk membangun sistem yang terpadu untuk penanganan kumuh, dimana pemerintah daerah memimpin dan berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan dalam perencanaan maupun implementasinya, serta mengedepankan partisipasi masyarakat. Dalam program KOTAKU, Walikota Yogyakarta pengungkapkan dalam harianbernas.com yang di temui pada 20 desember 2016 di kelurahan Keparaan mengatakan bahwa perencanaan difokuskan pada kawasan prioritas sebagai titik masuk penataan lingkungan permukiman, dengan tidak melepaskan konteks kelurahan dan kota/ kabupaten dalam analisis dan perencanaannya. Program KOTAKU akan menata pinggiran kalicode dengan membuat IPAL sepanjang 150m kurang lebih, hal ini dituangkan dalam program masyarakat dan diajukan kepada program KOTAKU. Permasalahan lain yang dialami masyarakat di permukiman kali Code bukan hanya tentang fasilitas, namun juga mengenai kualitas pendidikan serta ekonomi dari masyarakat yang tinggal di sekitaran bantaran kali Code. Berdasarkan keterangan dari warga masyarakat sekitar, pemerintah masih belum ada tindakan yang nyata di dalam mengatasi permasalahan tentang kualitas pendidikan masyarakat kampung Code. Dalam penanganan pemukiman Kumuh pemerintah
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
271
lebih terfokus mengenai perbaikan infrastruktur dan penataan. Menurut informan, Masyarakat kampung code rata-rata hanya mampu sekolah hingga tingkat SMP dan SMA. Hal ini yang menyebabkan semakin tingginya tingkat pengangguran yang ada di Kampung Code, terutama para pemuda yang ada di Kampung Code. Mereka tidak mampu bersaing dengan para pesaingnya untuk mendapatkan pekerjaan. Rendahnya tingkat pendidikan tentunya berkaitan erat dengan perekonomian masyarakat. Berdasarkan informasi dari masyarakat kampung Code harga tanah di Kota Yogyakarta semakin meningkat dan semakin sedikit sementara itu rata-rata pendapatan masyarakat kampung code hanya berkisar Rp 500.000-Rp 1.000.000. dengan penghasilan itu tidak mungkin untuk mereka dapat membeli sepetak tanah di Kota Yogyakarta. Semakin sulitnya menemukan harga tanah serta mahalnya harga tanah ini tentunya di dukung karena daya tarik Kota Yogyakarta sebagai pusat aktivitas masyarakat DIY. Fonomena itu sesuai dengan teori yang di kemukakan oleh Reksohadiproji (dalam Nurmandi 2014) mengatakan bahwa nilai tanah itu tidak dinilai dari tingkat kesuburannya tapi lebih tentang jarak dan posisi tanah dalam struktur perkotaan. Berdasarkan keterangan dari warga masyarakat sekitar pemerintah masih belum ada tindakan yang nyata di dalam mengatasi permasalahan tentang kualitas pendidikan masyarakat kampung Code. Dalam penanganan pemukiman Kali Code, menurut masyarakat pemerintah hanya melihat dari segi penataan dan pebaikan infrastruktur namun masih minim di dalam menangani masalah kualitas pendidikan dan perekonomian masyarakat. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya pengangguran serta masih rendahnya tingkat pendidikan dari warga masyarakat di bantaran Kali Code. Kesimpulan Dalam permasalahan ini, kesimpulan yang Kami dapat adalah pemerintah Yogyakarta tidak tinggal diam dan sudah membuat kebijakan untuk menangani pemukiman kumuh yang ada dibantaran kali code tetapi tidak menemui hasil maksimal serta belum mengatasi pemukiman kumuh yang ada dibantaran kali code itu sendiri. Sementara itu masyarakat kali
272
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
code sendiri sudah merasa nyaman berada di bantaran kali code karena faktor lokasi dan aksesibilitas yang mudah dengan kerja mereka yang rata-rata berprofesi sebagai buruh, wiraswasta dan pemulung. Masyarakat juga sudah nyaman dari sesi sosial kemasyarakatan dengan sesama warga masyarakat dikali code. pembentukan rusunawa dinilai belum bisa mengatasi permasalahan permukiman kumuh kali Code karena didalam nya masih terdapat kekurangan dari segi fasilitas rusunawa serta penggunaan oleh masyarakat yang tidak sesuai dengan semestinya. Sementara itu kampung Code juga memiliki permasalahan tentang tingkat pendidikan dan perekonomian yang masih menmbayangi masyarakat hingga saat ini karena peran dari pemerintah dalam mengatasi permasalahan kualitas pendidikan dan perekonomian masih kurang maksimal.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
273
Daar Pustaka
Amri, N. (2013). Karakteristik Lingkungan Permukiman Kumuh Tepian Sungai Kecamatan Kolaka, Sulawesi Tenggara. Ayodiya. N. R. P. (2014). Model Kebijakan Permukiman Kampung Code Utara di TepiSungai Codee. journal.undip.ac.id/index.php/pwk/article/ viewFile/7630/6284etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82101/…/ S1-2009-281922-introduction.pdf harmonas.harianbernas.com/berita-22617-Menata-Kembali-KotaYogyakarta-Pemkot-Gelar-KOTAKU.html Nurmandi, Achmad. (2014). Manajemen Perkotaan. Yogyakarta: Jusuf Kalla School Of Governmenrt Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pamungkas. (2010). KRITERIA KEPUASAN TINGGAL BERDASARKAN RESPON PENGHUNI RUSUNAWA COKRODIRJAN KOTA YOGYAKARTA. Masters thesis, UNIVERSITAS DIPONEGORO. Dalam hp://eprints.undip.ac.id/23595/. pip2bdiy.com/data_rusunawa.php satuharapan.com/read-detail/read/dilema-permukiman-kumuh-di-kotayogyakarta Surtiani, Eny Endang (2006) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERCIPTANYA KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI KAWASAN PUSAT KOTA (STUDI KASUS: KAWASAN PANCURAN, SALATIGA). Tesis. UniversitasDiponegoro.
274
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Ʈƶ
÷é÷ŕÐŒÐÐĮÐďŪÐįĊŪéħēĤµĸĊƄÐĤÐŕŤÐ éÐĊēV÷ħĸĮŒĸĤ÷įŤÐį Elanto Wijoyono
H
ampir tiap hari Minggu, beberapa ruas jalan di Kota Yogyakarta ditutup dan riuh rendah dengan warga yang berkumpul. Ada warga yang berolah raga, ada juga yang menampilkan karya seni. Namun, hal itu tidak terbangun secara organis, melainkan dikemas dalam sebuah event berkonsep “Car Free Day“. Balutan sponsor menjadi bagian wajib dalam setiap penyelenggaraannya. Gelimang hadiah disebar ke banyak peserta pada acara di tengah jalan raya. Namun, ketika hari Minggu berlalu, hilang pula ruang berkumpul itu. Warga harus kembali menghadapi fakta carut-marutnya ruang kota, jalan yang berjejal kendaraan bermotor dan trotoar yang tak berguna. Ruang publik itu bukan sekedar menutup jalan raya agar warga memiliki ruang berkegiatan. Yogyakarta bertahun-tahun mendapatkan banyak kritik karena dianggap tidak memiliki ruang publik bagi warganya. Ketika Pemerintah Kota Yogyakarta menggagas ruang publik semu bertajuk “Jogja Toegoe Festival” di Jl. Margo Utama (dulu Jl. Mangkubumi) dan “Jogja Creative” di Jl. Sudirman, hal itu dianggap sebuah capaian prestasi. Hura-hura tiap pekan yang sarat simbol iklan komersial itu dinilai telah berhasil merevitalisasi ruang publik yang selama ini diidamkan. Padahal, ketika ajang berlalu, warga akan mendapati kembali bahwa mereka tak punya ruang publik yang sebenarnya.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
275
Yogyakarta, seperti banyak kota lain di Indonesia, tumbuh dari kota tradisional yang secara sosial budaya tak mengenal “ruang publik” seperti dalam konsepsi kota modern di dunia barat. Namun, ketika kota-kota di Indonesia sudah mulai dikelola dengan manajemen berbasis negara, “ruang publik” modern pun masuk dalam ranah tata kota. Warga kota yang sejatinya adalah warga dari himpunan kampung-kampung ini harus mulai mengenal ruang (terbuka) kota yang diberi status ruang publik. Warga mulai diarahkan menjadi komunitas urban yang kemudian membutuhkan ruang publik yang merupakan ruang bersama pada tingkat komunitas kota. Ruang publik termasuk sebagai benda “konsumsi” kolektif. Artinya, masyarakat harus berbagi dalam pemanfaatannya. Ruang itu pun harus memenuhi kriteria fungsional, aksesial, aman, nyaman, dan efektif. Namun, penerjemahannya tak lantas hanya sekedar dengan menutup jalan raya secara berkala, apalagi dibumbui dengan balutan event komersial. Ruang publik (public space) yang diharapkan muncul dari model event-event Car Free Day komersial itu dipastikan tidak akan bisa menjadi ruang bersama (common space). Pada ruang bersama, ekspresi budaya dan kearifan setempat mengalir lebih lancar dan bebas tanpa ada batas. Sementara, ajang hura-hura di jalan raya itu mensyaratkan atas konsumsi produk tertentu, sehingga tidak semua orang bisa menjangkaunya. Yogyakarta membuktikan bagaimana ketika negara terlalu banyak mengambil alih peran komunitas yang diharapkan bisa menghidupkan ruang publik, dengan cara yang salah. Mungkin sebagian warga akan senang, tetapi sebagian yang lain tidak akan merasa memiliki ruang-ruang publik semu yang diciptakan oleh negara tersebut. Namun, mungkin pamong praja di kota ini tak akan peduli karena filosofi tata kelola pemerintahan kota yang dianut adalah menempatkan pemerintah sebagai sektor bisnis dan masyarakat sebagai pelanggan atau konsumen. Miris, Ruang publik Yogyakarta pun sudah terjual!
Mengupayakan Advokasi Jalan Panjang Advokasi Aksesibilitas bagi Warga Kota Ada 8.335 penyandang disabilitas fisik di Daerah Istimewa Yogyakarta Yogyakarta (BPS DIY, 2015). Sebanyak 556 di antaranya tinggal di Kota
276
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Yogyakarta. Jumlah itu belum termasuk 3.049 tuna netra dan tipe penyandang disabilitas lainnya. Jumlah yang cukup besar, tetapi tidak banyak dari mereka bisa kita jumpai hadir di ruang-ruang publik kota, perkotaan, atau desa. Ketidakhadiran mereka di ruang publik bukan berarti karena mereka tidak ada atau tidak mau bersosialisasi, tetapi karena aksesibilitas ruang publik yang sangat buruk. Akhirnya, banyak dari penyandang disabilitas yang memilih diam di rumah daripada menghadapi kesulitan dalam perjalanan yang sebenarnya mereka idamkan.
Penyandang disabilitas merupakan salah satu bagian dari kelompok rentan. Penduduk lain yang termasuk sebagai kelompok rentan adalah anakanak, penduduk lanjut usia (lansia), dan ibu hamil. Penyadang disabilitas sendiri meliputi tuna netra, bisu, tuli, cacat fisik (physical handicap), cacat mental (mental handicap), penderita sakit kronis, dan penyandang disabilitas ganda. Kelompok rentan pasti ada di semua komunitas di seluruh penjuru dunia, termasuk Yogyakarta. Namun, bedanya, di banyak kota/wilayah di belahan negara lain, kelompok rentan bisa mendapatkan ruang mobilitas yang aman dan nyaman. Sementara, di banyak kota/wilayah di Indonesia, termasuk Yogyakarta, ruang mobilitas bagi kelompok rentan sangat tidak layak dan tidak menjamin keamanan dan keselamatan, khususnya dalam konteks pergerakan berjalan kaki/dengan alat bantu. Situasi ini tidak hanya menerpa kelompok rentan. Penduduk kebanyakan pun tidak terjamin mendapatkan ruang mobilitas yang aman dan nyaman, khususnya saat menggunakan kendaraan non-motor atau
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
277
berjalan kaki. Akibatnya, pengendara kendaraan non-motor, pesepeda, dan pejalan kaki sendiri pada konteks isu mobilitas yang lebih luas bisa termasuk sebagai kelompok rentan pula. Kebutuhan untuk merancang jalan raya dan ruang publik yang ramah bagi kelompok rentan adalah mutlak bagi sebuah kota/wilayah. Yogyakarta dalam perjalanannya sudah mencoba untuk membangun sistem transportasi dan mobilitas yang ramah bagi seluruh penduduk. Trotoar dengan guiding block bagi tuna netra mulai dibangun sejak tahun 1999 di kawasan Malioboro. Jauh setelah itu, sistem transportasi publik dibenahi dengan lahirnya bus Trans Jogja pada tahun 2008 yang diharapkan juga mampu melayani kelompok rentan dengan lebih baik. Trans Jogja hadir hampir bersamaan dengan mulai dibangunnya jaringan jalur sepeda di sejumlah ruas jalan di kota Yogyakarta. Namun, penyediaan beragam fasilitas ini tidak lantas menyelesaikan persoalan.
Trotoar dengan guiding block selama bertahun-tahun hanya ada di Malioboro dan makin sulit diakses karena kalah dengan parkir kendaraan
278
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
bermotor dan pedagang kaki lima. Bus Trans Jogja ternyata tidak mudah diakses kelompok rentan karena menggunakan tipe bus dengan pintu tinggi dan akses ke dalam shelter menyulitkan. Bahkan, shelter Trans Jogja justru banyak memakan ruang trotoar yang merugikan pejalan kaki dan kelompok rentan pengguna trotoar. Mereka tak jarang harus berlalu di badan jalan, mengikuti lajur sepeda yang juga masih sering diserobot untuk ruang parkir kendaraan bermotor. Setelah mendapatkan banyak masukan dari publik, Yogyakarta mencoba berbenah kembali. Pemerintah Kota Yogyakarta sejak 2012 membangun trotoar dengan guiding block di banyak ruas jalan. Panjang trotoar yang dibenahi pada periode 2012 – 2013 oleh Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Kota Yogyakarta mencapai panjang 6.785,6 meter. Upaya perbaikan lainnya dilakukan oleh Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta yang menetapkan wilayah Kotabaru sebagai kawasan percontohan ramah sepeda pada tahun 2014 oleh Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta. Pembuatan marka jalur khusus sepeda dan penambahan rambu dilakukan pada tahun anggaran 2014. Integrasi antara mobilitas berjalan kaki dengan bersepeda dan transportasi publik yang mudah diakses oleh semua kelompok warga menjadi hal akan dituju. Namun, apakah desain yang diterapkan dan pengawasan atas aksesbilitas yang dibangun itu benar-benar ramah bagi orang yang melintasinya, khususnya kelompok rentan? Nyatanya, aksesibilitas yang aman dan nyaman, khususnya bagi kelompok rentan, belum bisa didapatkan di Yogyakarta. Kotabaru sebagai kawasan percontohan sekalipun belum bisa dinilai ideal. Kesalahan desain trotoar dan shelter bus masih tetap terjadi, menyulitkan diaskes kelompok rentan. Akibatnya, desain yang telah terbangun itu hampir pasti banyak yang tidak termanfaatkan. Padahal, tidak sedikit anggaran daerah yang telah digelontorkan untuk pembiayaannya. Belum lagi, persoalan sosial seperti kooptasi ruang trotoar dan jalur sepeda untuk pedagang kaki lima dan parkir juga masih belum tertangani dengan solusi yang utuh. Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah menegaskan kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
279
Hal itu termasuk penyediaan fasilitas pendukung seperti trotoar, lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, dan/atau fasilitas khusus bagi penyandang cacat (disabilitas) dan manusia usia lanjut. Soal aksesibilitas ini kemudian tertuang pula dalam Peraturan Daerah Provinsi DIY No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, menegaskan arah Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas di konteks daerah. Komite Perlindungan Penyandang Disabilitas di Kota Yogyakarta sebagai wujud amanat Peraturan Walikota Yogyakarta No. 8 Tahun 2014 juga sudah dibentuk. Namun, hingga kini, kualitas fasilitas publik yang ramah bagi kelompok rentan (termasuk penyadang disabilitas) masih jauh dari harapan.
Penutup Perlu selalu ada pengawalan oleh warga terhadap implementasi beragam paket aturan yang sudah ada ke wujud nyata. Konsistensi pemerintah untuk menjalankan komitmen pemenuhan hak aksesibilitas bagi seluruh warga, khususnya kelompok rentan, harus selalu diingatkan dan dipastikan layak kualitasnya. Ketiadaan visi inklusivitas dalam pembangunan serta komunikasi dan koordinasi yang lemah antar jajaran pemerintahan daerah
280
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
harus selalu dikritisi. Dalam konteks aksesibilitas ini, kepentingan publik harus berada di atas kepentingan lain. Privatisasi dan komersialisasi ruang publik yang mengganggu aksesibilitas harus bisa ditanggulangi dengan langkah yang utuh. Oleh karena itu, negara harus mampu secara adil, tepat, dan tegas memastikan prinsip itu terpenuhi. Warga akan terus mengawasi dan mengevaluasi. * Catatan sementara dari sebuah proses observasi terhadap kualitas aksesibilitas di ruang publik dilakukan oleh kelompok warga Yogyakarta di wilayah Kotabaru, Yogyakarta selama bulan Desember 2015 – Januari 2016. Aksesibilitas yang diamati fokus pada ruang mobilitas bagi pejalan kaki dan kendaraan non-motor, seperti sepeda, serta transportasi publik, khususnya yang dilakukan oleh kelompok rentan. Proses ini merupakan inisiatif kolektif warga Yogyakarta dalam semangat warga berdaya yang hasilnya akan dibawa sebagai bahan advokasi kebijakan di tingkat kota/kabupaten dan provinsi. Hasil studi ini akan dipublikasikan melalui media-media pegiat gerakan warga berdaya di Yogyakarta.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
281
Bahan Bacaan Arifa Rusqiyati, Eka. 2013. Kotabaru akan Dijadikan Percontohan Ramah Sepeda. AntaraYogya.Com. hp://jogja.antaranews.com/ berita/312666/kotabaru-akan-dijadikan-percontohan-ramah-sepeda Arifa Rusqiyati, Eka. 2014. Dishub Segera Realisasikan Kotabaru Percontohan Ramah Sepeda. AntaraYogya.Com. hp://www.antarayogya.com/ berita/320659/dishub-segera-realisasikan-kotabaru-percontohanramah-sepeda Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2015. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2015. Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta E013. Sultan kritik “guiding block” Malioboro tidak berfungsi AntaraYogya. Com. hp://www.antarayogya.com/print/310260/sultan-kritikguiding-block-malioboro-tidak-berfungsi Esa. 2013. Pemkot Yogya Tambah Guiding Block untuk Tuna Netra. Tribun Jogja. hp://jogja.tribunnews.com/2013/04/11/pemkot-yogyatambah-guiding-block-untuk-tuna-netra Hastuti, Mirna. 2003. e Effectivenes of Guiding Block for the Visuallu Disabled in Malioboro Street, Yogyakarta, Indonesia. esis submied to the School of Graduate Studies, Universiti Putra Malaysia, in Fulfilment of Requirement for the Degree of Master Science. Kartikasari, Utut. 2008. Trans Jogja sebagai Transportasi Penunjang Pariwisata Yogyakarta. Laporan Tugas Akhir diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Ahli Madya pada Program Studi Diploma III Usaha Perjalanan Wisata Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ridarineni, Neni. 2015. Banyak Gedung di Yogyakarya tak Ramah pada Difabel. Republika.co.id. hp://nasional.republika.co.id/ berita/nasional/daerah/15/12/03/nysgmg384-banyak-gedung-diyogyakarya-tak-ramah-pada-difabel SAPDA. Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak
282
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Penyandang Disabilitas. hp://www.sapdajogja.org/index.php/ news/50-suatu-kebutuhan-di-kota-yogyakarta Suhardi, Bambang., dkk. 2013. Redesain Shleter Bus Trans Jogja dengan Pendekatan Anthropometri dan Aksesibilitas. Jurnal Ilmiah Teknik Industri Volume 12 No. 2 Desember 2013. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta Sujatmiko, Tomi. 2013. 2014, Kotabaru Jadi Kawasan ‘Ramah’ Sepeda. Kedaulatan Rakyat. hp://krjogja.com/read/176233/2014-kotabarujadi-kawasan-ramah-sepeda.kr Warga Berdaya. 2016. Jogja Ramah Disabilitas?. hps://wargaberdaya. wordpress.com/2016/01/03/jogja-ramah-disabilitas/ Widiyanto, Danar. 2014. Pemkot Bentuk Komite Perlindungan Penyandang Disabilitas. Kedaulatan Rakyat. hp://krjogja.com/read/219122/ pemkot-bentuk-komite-perlindungan-penyandang-disabilitas.kr
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
283
Ưƭ
ÐŕÐðĸƃVĸŤÐ Muh. Asratillah Senge
“Orang-orang miskin di jalan, Yang tinggal di dalam selokan, Yang kalah dalam pergulatan, Yang diledek oleh impian, Janganlah mereka ditinggalkan” (W.S. Rendra)
P
uisi Rendra di atas, walaupun diwartakan beberapa tahun yang silam, tapi tak sulit bagi kita saat ini untuk memverifikasi dan membenarkannya. Kemiskinan, buangan, kekalahan, ledekan dan ketertinggalan adalah hal-hal yang selalu berjalan seiring dengan janji-janji gemerlap dari kota, ibarat sepasang kekasih yang bergandengan tangan di taman. Di awal kemunculannya, kota lahir dengan niat sebagai pembeda antara ke-adab-an dan ke-biadab-an, antara keterbelakangan dan kemajuan, antara kebodohan dan ketercerahan. Tapi sejarah berkata lain, kota ternyata tidak hanya mempercepat laju kemajuan tapi juga mempercepat kemunculan jenis-jenis keterbelakangan yang tak pernah kita duga sebelumnya. Kota memang telah menjadi pusat keberadaan universitas-universitas di mana kita dapat dengan mudah melihat orang-orang yang menenteng buku ke sana kemari, tapi kita juga bisa melihat begitu banalnya kebodohan di sudut-sudut kota (kekerasan, pelecehan seksual dll.) 284
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Di Eropa selama berjalannya deru Revolusi Industri, kota telah dijadikan sebagai pusat untuk melakukan rekayasa politik, sosial dan ekonomi. Yah kata kunci di sini adalah “rekayasa”, dan dalam kata “rekayasa” terselip mantra “penaklukan”, pertanyaannya apa yang hendak ditaklukkan oleh kota ?, jawabnya adalah “rasa takut akan ketidakpastian”. Kota-kota di bangun untuk menaklukkan bentang alam rawa, hutan liar, padang pasir, sabana ( dan mungkin ke depan “samudera” dan “ruang angkasa” akan ditaklukkan pula oleh kota-kota) yang terpapar luas dan tak berbatas, maka dari itu rentan akan ketidakpastian cuaca, mata pencaharian, pangan dan tentunya nasib. Hari Juliawan mengatakan, cetak biru pembangunan kota di Indonesia mengikuti mantra yang sama, yakni mantra “penaklukan”. Kita ambil contoh saja, serangkaian kebijakan di era Orde Baru, yang telah merubah tekstur ekonomi kita secara mendasar. Pada tahun 1980 sektor pertanian menyumbang 24 persen dari PDB Indonesia, lalu turun terus menerus pada tahun-tahun berikutnya. Hingga pada tahun 1997 industri manufaktur menyumbang 51 persen terhadap produk ekspor, yang pada tahun 1980 yang menyumbang 2 persen. Meningkatnya produktivitas sektor industri ini, memberi daya tarik sendiri bagi kota-kota besar di Indonesia. Tenaga kerja dari pedesaan hijrah besar-besaran ke perkotaan, mungkin karena mereka melihat kota sebagai tempat berkumpulnya jenis-jenis pekerjaan formal yang dianggap mewakili kondisi kerja modern. Kota semacam lentera kemajuan bagi ngengatngengat yang berbondong-bondong. Mereka tertarik akan pekerjaan yang menyediakan semacam jenjang karir, kondisi kerja yang layak, jaminan kesehatan dan pensiun. Kota menjadi wadah yang begitu gemerlap ataupun ruang pemenuhan hasrat untuk menjadi modern dan terjauhkan dari keterbelakangan. Lalu tibalah krisis ekonomi di tahun 1997-1998, gemerlapnya kota tibatiba menjadi suram. Kota-kota besar di Indonesia, berubah dari wadah bagi harapan-harapan, menjadi wadah kecemasan-kecemasan dan keputusasaan. Maka meletuplah penjarahan-penjarahan, kekerasan-kekerasan, keluhankeluhan dan segala bentuk kebodohan. Walaupun setelah masa krisis kotakota kembali menggenjot pertumbuhan ekonomi, tapi ada kecenderungan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
285
pertumbuhan tidak berbanding lurus dengan penciptaan lapangan kerja, pemerataan dan mungkin kebahagiaan. Kota telah menjadi semacam “makhlukh paradoks”, di satu sisi dia menjanjikan bahwa mimpi bisa didongkrak menjadi kenyataan, di satu sisi kota bisa menjadi semacam “crusher machine” yang meremukkan dan menghancurkan mimpi sampai menjadi remah-remah yang tak bisa lagi dikatakan sebagai “mimpi”. Menurut Nirwono Joga dkk. Kota-kota kita saat ini tengah menghadapi 6 persoalan. Pertama, pertumbuhan penduduk di kota-kota Indonesia melaju dengan pesat, dalam empat dekade terakhir (1970-2010) telah meningkat enam kali, dari 14,8 persen (1961), 17,4 persen (1971), 23 persen (1980), 30,9 persen (1990), 42,43 persen (2000), 49,79 persen (2010). Dan diperkirana populasi penduduk perkotaan akan bertambah menjadi 80 % di tahun 2050. Data ini menunjukkan beban kota akan semakin besar dari tahun ke tahun, akan semakin banyak orang yang menggantungkan nasib mimpinya pada kota. Kedua, Soal peluberan kota terjadi hingga ke pinggiran kota sekitarnya. Sebaran kawasan yang terbangun telah menjalar dari kota inti dan bergantung pada infrastuktur yang dibangun oleh pemerintah. Ketiga, soal kualitas lingkungan perkotaan, mulai dari soal kenaikan permukaan air laut 0,73-0,76 sentimeter pertahun, penurunan muka tanah 4-20 sentimeter per tahun (akibat penggunaan air tanah yang tak terkendali) hingga ke peningkatan gas rumah kaca hingga 75 persen. Keempat. 86 persen dari kota-kota Indonesia kita telah memiliki, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tapi hanya 20 persen dari RTRW kota yang memasukkan perubahan iklim sebagai salah satu agendanya. Padahal perubahan iklim selain sebagai hal yang natural juga merupakan resultan dari dari respon kultural kita terhadap lingkungan hidup. Kelima, harus diakui bahwa kota telah memberikan sumbangan sebesar 74 persen terhadap PDRB nasional. Tapi pembangunan infrastruktur yang berfokus pada perkotaan, mengakibatkan bertambah besrnya jurang kesenjangan antara kota dan desa semakin besar. Keenam, pembagunan kota yang cenderung berpihak pada modal telah membuat 6,96 persen penduduk kota tinggal di kawasan kumuh, 7,6 juta backlog perumahan dan baru mampu mencakup 56 persen layanan pengelolaan sampah.
286
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Kota-kota kita membutuhkan lebih banyak asupan tenaga baru, berupa gagasan-gagasan progresif mengenai perubahan yang inklusif dan berkeadilan. “Orang-orang kalah” di perkotaan hendaklah menjadi pertimbangan utama, bukan hanya sebagai sasaran derma dan budi baik, mereka harus terlibat dalam merangkai ulang cita-cita kota. Karena di dalamnya mereka turut “hidup” bersama kita.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
287
ƯƮ
÷ħÐĮÐŤħÐįĊÐďŪįTĸĊġÐDž ÷ŕŚÐĮÐ`÷ĮéÐįĊŪįǖCĸŤ÷ħǗX÷éēďÐįƄÐĤ Luthfi Zahwar dan Abdullah Zed
“…Kota bukan hutan beton, tetapi kebun binatang manusia.” -Desmon Morris-
M
emaknai HUT Jogja ke-259, 260, 261? Apa artinya? Kota semakin rentan? Samakin tua? Daya tahan lemah? Entah! Inilah yang dimaksud kisah-kisah lain terbunuhnya kota.
Kota-kota berulang tahun. Ucapan-ucapan selamat bertebaran di media sosial tak lupa disertai foto-foto romantis keindahan kota yang syahdu. Baru saja Jogja bertambah umur, “sugeng ambal warsa ke 259 Jogjaku tercinta,” begitu tulis seorang sahabatku di akun miliknya. Siapa yang pernah ke Jogja pasti akrab dengan ikon kota budaya itu selain Malioboro, Tugu. Foto Tugu Jogja dengan caption ucapan selamat yang paling banyak diunggah. Dan melalui foto, Tugu selalu lebih romantis daripada kenyataannya. Kota-kota yang berulang tahun selalu penuh dengan perayaan, festival, pawai, dan pesta. Suasana riuh, ramai, gemebyar, dan tak jarang macet selalu mewarnai kota yang merias dirinya di hari ulang tahunnya. Tapi sejauh mana sebetulnya kita bersungguh-sungguh memaknai kota? Seorang teman dalam sambutan ulang tahun komunitas yang dibesarkannya menyampaikan, ulang tahun adalah momen refleksi untuk menengok kembali ke belakang sambil mempersiapkan diri untuk menyusuri masa depan. Lalu sejauh manakah kita bersungguh-sungguh 288
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
dengan sejarah? Enam tahun yang lalu pertama kali menetap di Jogja aku masih ingat, Jogja belum semacet dan sesemrawut sekarang. Kini apa yang tinggal? Jalan-jalan dipenuhi baliho, hotel, dan apartemen di sana-sini mulai berdiri alasannya untuk mendatangkan wisatawan dan menambah pendapatan asli daerah. Pembangunan hotel dan apartemen bukan tanpa masalah, beberapa kali warga mengadakan protes penentangan, protes mereka dianggap angin lalu kalah oleh derap modal yang menderu. Pembaruan seperti biasa, terutama dalam satu dekade terakhir ini, telah mengambil alih arsitektur dan mengubah wajah kota. Mereka yang baru saja memperoleh kekayaan, merebut tampuk kekuasaan, telah merombak dan membongkar apa yang tak lagi memikat dan dianggap tak modern. Mereka mencari lambang kemajuan, meskipun yang di dapat kekacauan, kekisruhan. Mereka mengejar status tak peduli berapapun ongkos sosial yang perlu dibayar. Kita barangkali adalah masyarakat yang latah, bahwa kemajuan dan kesejahteraan sebuah kota, kita hitung dengan berapa jumlah restoran cepat saji, mall, hotel, yang berdiri. Orang-orang kaya baru itu begitu menentukan wajah baru sebuah kota. Di bulan April 1978 di Aiglemont, Gouvieux, Prancis sebuah seminar diadakan oleh Aga Khan untuk membahas arsitektur Islam. Dalam seminar itu banyak pembicaraan menyesali “ciri Islam” yang hilang pada kota dan bangunan baru di Timur Tengah kini. Di situ ikut seorang ahli sejarah arsitektur dari Turki, Dogan Kuban, yang menengahi perdebatan itu dengan mengingatkan, bahwa “arsitektur adalah sebuah profesi yang berorientasi pada klien, pada modal.” Jika klien di Jogja menyenangi hotel, mall, apartemen yang kerap didaku sebagai simbol kemajuan, kowe mau dan bisa apa? Kita pun merasakan hal yg sama saat satu hari full kemarin. Saat kebanyakan orang mengupdate status socmed nya utk mengucapkan selamat HUT Jogja (pendatang atau warga asli). saya sama sekali tdk merasakan getaran apa” yg memicu saya utk ikut mengucapkan itu. Barangkali benar apa yg dikatakan lupet, ini tentang pemaknaan terhadap sebuah satuan wilayah (kota dlm konteks ini). Begitu banyak aspek yang bisa menjadi indikator sebuah kota itu layak tinggal dan lebih jauh lagi dicintai dan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
289
dipuja puja (jogja dlm konteks ini). Jujur saya sempat agak geli saat orang” mengupload foto tokoh” yg berkomentar tentang jogja seperti najwa, sujiwo tedjo, anies baswedan dll. Geli kenapa? Karena komentar itu diupload dan dimaknai sebagai sebuah romantisme yg membuat kita lupa pada apa dan bagaimana sesungguhnya kondisi Jogja sekarang. Provinsi dimana terjadi banyak konflik agraria dan perebuatan ruang kota (baliho/ruang udara dan apartemen hotel/ruang daratan). Ditambah lagi pemimpin provinsi yang sibuk mencari cara mempertahankan kekuasaan nya dgn upaya merubah adat/kesepakatan lama agar anaknya yang perempuan bisa meneruskan kekuasaan nya. Lalu adik dan keluarganya yang menolak dgn dalih itu merusak tatanan budaya dan agama walau disisi lain dgn analisa politik tentu kita tau bahwa setelah sultan yang sekarang selesai maka penerusnya adalah adiknya (karena sultan tak punya anak lelaki). Dimana diskursus dan perdebatan tentang ruang kota dan masalah ground/ tanah jogja? Perdebatan di keraton tentang perebutan kekuasaan di blow up sedemikian rupa hingga melupakan hal-hal yang lebih substansial. Belum lagi perjuangan rakyat jogja (elit dan kelompok masyarakat) untuk membuat Jogja menjadi daerah istimewa yang berujung pada digolontorkan nya Dana Istimewa yang dalam implementasi nya belum berhasil mengangkat kesejahteraan rakyat. Lagi-lagi uang Danais terserap sebagian besar untuk kegiatan-kegiatan kebudayaan (saya masih bingung sebenarnya apa itu budaya) seperti jatilan dll. Pulang melakukan kegiatan kebudayaan tetap saja yang miskin tetap miskin, keluarga berkelahi karena ekonomi, angka kriminalitas tdk turun, yang mencuri juga tetap mencuri. Saya benar-benar muak dgn argumen-argumen “Kita sudah lepas dari akar kebudayaan kita, kita lupa pada budaya kita, kita telah dijejali budaya barat, kita kehilangan identitas kita karena kita meninggalkan budaya kita”. Saya cukup muak menjumpai istilah budaya dipakai untuk hal seperti ini. Apa itu budaya? Apa itu budaya lokal? Apa korelasinya dengan identitas kita? Apa suatu adat lama itu selalu menjamin kebaikan? Apa budaya hanya sekadar tarian, nyanyian, dan lukisan? Yaahh apa mau dikata, prosesi ulang taun sekarang bagi individuindividu atau komunitas/organisasi (jogja dlm konteks ini) telah ter-distorsi menjadi sebuah prosesi pesta pora menghamburkan uang, ajang selfie, ajang
290
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
pengkonfirmasian status sosial dgn hadir ke acara ulang taun dgn style se-hits dan sekece mungkin. Inilah bencana terbesar dari sebuah prosesi ulang taun. Jadi masuk akal kenapa kelompok agama puritan yang menolak merayakan ulang taun. Ternyata ada benarnya juga mereka. Terakhir, untuk menutup catatan ini, apa yang dikatan Goenawan Mohamad terasa sangat relevan, “kekayaan yang sering mendadak, keleluasaan yang tersedia oleh harta itu, belum lagi bagian dari kepribadian. Kedudukan baru, kemegahan kemarin, masih mencoba-coba pelbagai gaya untuk tampil, untuk status. Belum ada koherensi dalam ekspresi keindahan. Bahkan keindahan itupun masih merupakan kerepotan yang datang belakangan. Dan keindahan yang mereka coba utarakan itu tidak ada sangkut pautnya dengan keindahan lama, apa mau dikata? Barangkali mereka masih gagap. Dalam kota bila yang tercermin adalah khaos, kerancuan normanorma, mungkin di atas sana ada kebingungan, kegagapan di tengah kekuasaan dan kekayaan.”
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
291
ƯƯ
ŕĸéħ÷ĮV÷ŤēĮŒÐįĊÐįðÐįVŪŤŪĤÐį÷ƌēĮ ÷ŕŤŪĮéŪďÐį"DžÐįðÐįĊÐį¯ÐêÐįÐ ēįĊĊēŕÐįƄÐįĊé÷ħŪĮŚ÷ħ÷ŚÐē David Efendi, MA
“…kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan merupakan tiga hal yang tidak terpisahkan. Ketiganya secara bersama-sama memberi makna pada kebahagiaan global bruto.”1 —Ban Ki-mon, Sekjend PBB, 2012
K
elompok akademisi di Yogyakarta paling alfa membincang persoalan kesenjangan di DI Yoyakarta. Bahwa ‘situasi ekonomi politik dan sosial di Yogyakarta tidak sedang baik-baik’ saja banyak yang menghindari pengungkapan ini, termasuk bahwa situasi di bawah pemerintahan Jokowi banyak persoalan banyak orang lebih senang berposisi membela ketimbang mengkritik. Di Yogyakarta, kalaupun ada rasan-rasan terasa ‘malu-malu’ karena membicarakan ‘wajah paradok’ kemiskinan dan ketimpangan di DIY ini dianggap akan berhadapan dengan kekuatan besar ‘oligarki’ yang siap kapan saja meminggirkan siapa pun yang kontra rezim. Ketika rilis angka kemiskinan dan ketimpangan di DIY tahun 2017 yang menempatkan DIY paling tinggi indeks gininya justru akademisi dari luar Jogja yang memulai mengusik persoalan ini dengan menuliskan analisis di
Ʈ ǣÐįDžį÷ž+êĸįĸĮēêÐŕÐðēĊĮa÷÷ð÷ðēįêħŪðēįĊŚĸêēÐħÐįð÷įŽēŕĸįĮ÷įŤÐħŒŕĸĊŕ÷ŚŚǤdžaa÷žŚ ÷įŤ÷ŕdžƯŒŕēħƯƭƮƯðēÐĤŚ÷ŚðÐŕēŒDžǑǑžžžNjŪįNjĸŕĊǑÐŒŒŚǑį÷žŚǑŚŤĸŕƄNjÐŚŒnja÷žŚG"ǼƱƮƳƵƲNj
292
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Kedaulatan rakyat yang diberikan judul ketimpangan di balik keistimewaan. Di saat yang sama ada apologi besar-besaran dilakukan pemerintahan daerah dan arus-utama di DIY bahwa indeks kebahagiaan, indeks demokrasi, dan indeks pembangunan manusia sangat tinggi di DIY—biar miskin asal bahagia. Sesuatu yang bisa sangat terdistorsi dalam kehidupan sehari-hari terutama generasi baru. Lebih-lebih menurut perhitungan statistic, angka pertumbuhan ekonomi di DIY sangat positif, mencapai 5,17 % di tahun 2017 ini dengan diiringi angka kemiskinan sampai 13,01 % (488.830 jiwa)—terbesar di propinsi di pulau Jawa (BPS, 2017). Dugaan penulis, jumlahnya lebih dari itu dan belum lagi kualitas kemiskinan yang tak mampu diceritakan dengan angka-angka—karena terlalu mudah angka dipakai memanipulasi.2 Badan Pusat Statistik (BPS) melansir Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai provinsi yang memiliki ketimpangan tertinggi di Indonesia. Tercatat, per September 2016, rasio gini Yogyakarta yang mencerminkan ketimpangan pengeluaran masyarakat mencapai 0,425 dan naik sebesar 0,432 Maret 2017, daerah perkotaan Jogjakarta juga meningkat mencapai 0,435. Indikasi tingginya angka ketimpangan tersebut bisa tercermin dan distribusi pengeluaran penduduknya. Dalam hal ini, kelompok 20 persen penduduk termiskin pengeluarannya hanya 5,66 persen dari total seluruh pengeluaran penduduk Yogyakarta.Sebagai pembanding, Provinsi BangkaBelitung (Babel) yang memiliki rasio gini terendah di Indonesia sebesar 0,288, tercatat kelompok 20 persen terbawah pengeluarannya hampir 9,48 persen dari total pengeluaran. Hal ini memberikan indikasi bahwa pembangunan di Babel lebih merata dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat. Solusi teknokratisnya untuk mengatasi ketimpangan di Yogyakarta bisa dilakukan dengan pemerataan proyek pembangunan infrastruktur yang padat karya. Pengukuran ketimpangan ini sejalan dengan pengukuran PDB, semakin besar pengeluaran semakin baik—mendorong masyarakat berperilaku konsumtif karena konsumtif itu berkemajuan dalam versi rezim pertumbuhan. Tetapi bisa dicari bagaimana kesenjangan antara angka dan realitas dalam beberapa temuan ukuran. Misalnya, tahun 2010 BPS melangsir bahwa pendapatan perkapita di Indonesia sebesar 27 juta dan PDB Indonesia saat itu USD 700 Miliar. Angka yang sangat besar, di saat yang sama ekonomi mengalami kelesuhan setelahnya, dan situasi kemiskinan juga luar biasa. Jadi indeks Ư ÐêÐéŪĤŪ"Ðŕ÷÷ħCŪƤǘƮƶƶưǙdžCĸžŤĸXē÷žēŤďŤÐŤēŚŤēêŚdžŒ÷į÷ŕéēŤDž¯Nj¯NjaĸŕŤĸįșĸĮŒÐįƄ
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
293
(angka) itu menceritakan apa? Bukan pemerintah yang memanipulasi, barangkali, tapi statistik pengukuran PDB dan pendapatan perkapita itu cacat sejak dalam kandungan sehingga menyembunyikan persoalan kemiskinan dan ketimpangan. Indonesia sendiri juga belum mengalami tanda-tanda upaya mengoreksi atas kekeliruan besar kebijakan yang taken for granted dari model Amerika yang memang dapat memperkerjakan PDB untuk pembangunan ekonominya—dengan mengorbankan negara-negara selatan/negara miskin dengan berbagai siasat politik internasionalnya. PDB memang mengukur domestik, tetapi perlu diingat bahwa orang/perusahaan Amerika punya ribuan perusahaaan beroperasi di negara-negara miskin, dan mayoritas mereka sangat agresif menghancurkan tatanan ekologi negara lain demi meraup stabilitas ekonomi di dalam negeri. Sebagai bukti, bahwa Indonesia masih eforia dalam perangkap PDB yaitu dengan kegembiraannya karena PDB tinggi dan diakomodir dalam pergailan internasional bernama G20, WTO, AFTA, APEC, dan sebagainya—gilanya, negara-negara anggota sangat senang memuji kebodohan Indonesia yang membiatkan alam kekayaan dieksploitasi besar-besaran untuk menopang Barat. Terbukti ekonomi PDB dan pertumbuhan di Indonesia sangatlah rentan terhadap goncangan-goncangan ekonomi di luar demostik.3 Indonesia adalah contoh yang paripurna untuk memperlihatkan kebobrokan dictator pertumbuhan. Suharto dianggap berhasil membangun ekonomi dan terguncang dalam hitungan hari—perekonomian nasional seperti mengalami bencana maha mengerikan. Itulah kuasa pasar yang pasang surut. Tabel di bawah (halaman berikut) ini adalah imajinasi pertumbuhan dan kemajuan negara Indonesia (juga, di semua priopinsi, kabupaten, kota secara serentak mencoba mengatrol angka ini karena dengan begitu berarti ư įŤÐŕÐŤÐďŪįƮƶƳƲŚÐĮŒÐēƮƶƶƴŒ÷ŕ÷ĤĸįĸĮēÐįGįðĸį÷ŚēÐŤŪĮéŪďð÷įĊÐįŒ÷ŕŚ÷įŤÐŚ÷ŕÐŤÐǜ ŕÐŤÐŒ÷ŕŤÐďŪįįƄÐďÐĮŒēŕŤŪġŪďŒ÷ŕŚ÷įNj÷įêÐŒÐēÐįēįēĮ÷ĮÐĮŒŪĤÐįŒ÷ŕ÷ĤĸįĸĮēÐįGįðĸǜ į÷ŚēÐ é÷ŕŤŪĮéŪď ðÐŕē Œ÷ŕēįĊĤÐŤ ǥį÷ĊÐŕÐ é÷ŕŒ÷įðÐŒÐŤÐį ŕ÷įðÐďǦ Į÷įġÐðē ǥį÷ĊÐŕÐ é÷ŕŒ÷įǜ ðÐŒÐŤÐį Į÷į÷įĊÐď Ĥ÷ éОÐďǦNjKrisis Finansial Asia ƄÐįĊ Į÷ħ÷ŤŪŚ ŒÐðÐ ÐĤďēŕ ŤÐďŪį ƮƶƶƭǜÐį Į÷įĊÐĤēéÐŤĤÐįðÐĮŒÐĤŚÐįĊÐŤį÷ĊÐŤēĉŪįŤŪĤŒ÷ŕ÷ĤĸįĸĮēÐįGįðĸį÷ŚēÐdžĮ÷įƄ÷éÐéĤÐįŒ÷ǜ įŪŕŪįÐį ŕĸðŪĤ "ĸĮ÷ŚŤēĤ ŕŪŤĸ ǘ"Ǚ Ś÷é÷ŚÐŕ ƮưdžƳȊ ŒÐðÐ ŤÐďŪį ƮƶƶƵ ðÐį Œ÷ŕŤŪĮéŪďÐį Ť÷ŕéÐŤÐŚŒÐðÐƭdžưȊðēƮƶƶƶNjV÷ĮŪðēÐįdžÐįŤÐŕÐŒ÷ŕēĸð÷ƯƭƭƭǜƯƭƭƱdžŒ÷ĮŪħēďÐį÷ĤĸįĸĮēŤ÷ŕǜ ġÐðēð÷įĊÐįŕÐŤÐǜŕÐŤÐŒ÷ŕŤŪĮéŪďÐį"ŒÐðÐƱdžƳȊŒ÷ŕŤÐďŪįNj÷Ť÷ħÐďēŤŪdžŒ÷ŕŤŪĮéŪďÐį" é÷ŕÐĤŚ÷ħ÷ŕÐŚēǘð÷įĊÐįŒ÷įĊ÷êŪÐħēÐįŒÐðÐŤÐďŪįƯƭƭƶǙdžÐĤēéÐŤĊŪįêÐįĊÐįƥįÐįŚēÐħĊħĸéÐħdž Œ÷ŕŤŪĮéŪďÐį"Gįðĸį÷ŚēÐġÐŤŪďĮ÷įġÐðēƱdžƳȊdžÐįĊĤÐĮ÷įĊÐĊŪĮĤÐįðÐįĮ÷ĮŪįêÐĤƳdžƲȊ ðē ƯƭƮƮNj ÐŚêÐ ƯƭƮƮ Œ÷ŕ÷ĤĸįĸĮēÐį Į÷ħÐĮéÐŤdž Į÷ħÐĮéÐŤ êŪĤŪŒ ŤÐġÐĮ ÐįŤÐŕÐ ƯƭƮƮǜƯƭƮƲdž ŚÐĮŒÐē Ś÷ĤÐŕÐįĊ ǘŚŪĮé÷ŕDž ŒŚDžǑǑžžžNjēįðĸį÷ŚēÐǜēįŽ÷ŚŤĮ÷įŤŚNjêĸĮǑēðǑĤ÷ŪÐįĊÐįǑÐįĊĤÐǜ ÷ĤĸįĸĮēǜĮÐĤŕĸǑŒŕĸðŪĤǜðĸĮ÷ŚŤēĤǜéŕŪŤĸǜēįðĸį÷ŚēÐǑēŤ÷ĮƯƲưnjǙNj
294
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
sedang memperjuangkan indicator kesejahteraan yang telah digariskan oleh the Ruler: PDB). Tabel ini juga dikaji beragam lembaga, ahli ekonomi, dan sebagainya yang tersebar di laman-laman website pialang ekonomi, atau akademisi arus utama yang menjadi tukang stempel kebijakan pemerintahan, rezim global—biasanya mereka adalah anak keturunan neoliberalisme, kepanjangan kisah dari barisan PDB yang dinamai “Mafia Berkeley” dan kelompok-kelompok fundementalis pasar.
Sumber: Tabel Proyeksi PDB dan PDB per Kapita di Indonesia pada 2016 – 2025
Di DI Yogyakarta, sedang berlangsung dua manufer yang hight cost untuk nafsu menggenjot pertumbuhan ekonomi daerah. Pertama, pembangunan bandara baru di Kulonprogo (NYIA), kedua, pemberian izin operasi perusahaan tambang yang agresif di Merapi dan Kulonprogo, dan kedua, adalah arus besar gerakan pembangunan infrastruktur besar-besaran yan didanai oleh dana keistimewaan (jalur lintas selatan, infarsturktur pelabuhan, listrik, parkiran, pariwisata, dan sebagainya). Menekankan pada aspek pembangunan infarstruktur juga telah terbukti meminggirkan berbagai macam komunitas lokal dan terutama petani, pekerja sektor informal, dan juga ketahanan serta keamanan ekologi. Pembahasan proses memiskinankan ekonomi informal banyak dikupas dalam buku Surplus
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
295
Pekerja di Kapitalisme Pinggiran karya Muhtar Habibi (2016) diterbitkan marjin kiri. Buku ini mempersoalkan klaim di atas dengan menganalisis dampak penyesuaian neoliberal terhadap melimpahnya surplus populasi relatif, yakni suatu kombinasi antara pengangguran dan proletariat informal di negeri-negeri pinggiran. Berfokus pada lintasan pembangunan Indonesia, buku ini berusaha menunjukkan bahwa alih-alih menjadi pengusaha mikro, mayoritas pekerja informal cenderung menjadi proletariat informal yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya sebagai pekerja. Mereka bekerja di luar sektor inti dari produktivitas kapitalis dalam kondisi rentan, terengah-engah untuk sekadar bertahan hidup. Orientasi pembangunan yang dipimpin pasar global, bertentangan dengan klaim untuk menghapus pekerjaan informal, justru cenderung mengabadikannya. Kerugian berbagai dimensi akan nafsu ‘pembangunanisme’ di tengah dekade kerakusan ini telah mengalami diskursus lokal. Hal ini dapat ditracking dari beragam masukan dari WALHI, LBH, aktifis, dan akademisi. Namun demikian, pemerintah seperti menganggap semua peringatan itu adalah ‘anjing menggongong’ dan proyek harus tetap melaju. Karena arusutama masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat pro-pasar sebagai konsekuensi dari buruknya kinerja ekonomi kreatif dan peminggiran sektor informal, maka sebagai short cut adalah menginflitrasi lokal dengan ekonomi super pasar. Sehingga wajar, mall terus bertambah dan ramai, juga wajar jika Bupati Bantul merindukan super market. Ada tendensi umum, kepala daerah yang tidak punya kapasitas baik dalam pemikiran ekonomi yang tangguh, akan mengorbankan banyak hal untuk melayani pasar dengan imaji konyol lapangan kerja dan perputaran ekonomi. Kalau warganya konsumtif berbagai barang di mall itu bagus untuk peningkatan PDB. Padahal dalam logika pasar ini, tricle down hanyalah mimpi di siang bolong. Bagaimana PDB Menjadi Malapetaka Indonesia dengan jumlah PDB di tahun 2016 sebesar Rp 12.406,8 triliun menjadi negara dengan PDB terbesar ke-16 –sehingga bergabung dengan G20. Untuk mencapai visi Indonesia Emas di tahun 2045, pemerintah bahkan menargetkan Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-4 di dunia. Untuk mencapai itu, PDB digunakan sebagai tolak ukur.
296
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Pemerintahan Jokowi berupaya menggenjot PDB Indonesia agar naik 10 kali lipat dan menembus angka Rp 120.000 triliun di tahun 2045. PDB intinya adalah mengukur nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam rentang waktu tertentu, biasanya setiap tiga bulan. Angka ini mengukur hasil produksi dari sudut pandang harga pasar dan bisa dilihat melalui rumus: PDB = konsumsi + investasi + belanja pemerintah + ekspor – impor. Asumsinya adalah, pertumbuhan ekonomi sama dan sebangun dengan kemajuan dan sehingga naiknya PDB adalah suatu keharusan yang mesti dipaksakan. Pasalnya, menjadikan kehidupan lebih baik dari tinginya PDB menjadi seperti mitos yang sangat dipercayai birokrat, politisi, akademisi, ekonom, dan masyarakat arus-utama. Padahal realita kehidupan yang dialami bangsa tidak sesederhana itu. Pertumbuhan PDB yang melejit tinggi tidak berjalan beriringan dengan meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. PDB menjelma menjadi super power, “angka yang maha kuasa” yang mengarahkan negara-negara Selatan untuk menyembahnya dan menjalankan segala apa yang diinginkan, walaupun hasilnya adalah kemelaratan yang berkesinambungan. PDB menyederhanakan komplekitas sosial menjadi angka-angka yang kering dan menekankan pada ekonomi pasar sembari mengabaikan kepentingan manusia, sosial, dan ekologi. PDB menghantarkan sebuah era kekayaan materi sembari menumbukan ketimpangan, pengurasan sumber daya alam, dan naiknya keresahan sosial (Fioramonti, 2017). PDB, atau pada awalnya disebut sebagai Produk Nasional Bruto (PNB/ PDB), diciptakan pada awal abad ke-20 semasa krisis ekonomi menghantam. Depresi besar 1930-an telah mendesak para ekonom dan pembuat kebijakan di Amerika Serikat membangun sebuah metode yang sistematik untuk menguji kondisi perekonomian nasional dan kinerjanya dalam waktu tertentu (hal. 21). Adalah Simon Kuznets, ekonomi yang direkrut oleh pemerintah AS untuk menemukan metode statistik menghitung ekonomi negara, sehingga dengan itu pemerintah dapat melihat kondisi ekonomi hingga merubah proporsiproporsi yang ada tanpa menciptakan resesi. Pemikiran Kuznets sangat sederhana: hasilkan serangkaian ukuran agregat yang mampu merangkum seluruh produksi ekonomi yang dihasilkan perorangan, perusahaan, dan pemerintah ke dalam angka tunggal (hal. 31). Hasil penghitungan ekonomi
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
297
tersebut, begitu berguna bagi AS saat menghadapi perang Dunia II yang berlangsung pada tahun 1939 – 1945. Kuznets dan Nathan di War Production Board membantu mengidentifikasi keseimbangan antara tujuan mobilisasi militer (membuat dan membeli perlengkapan perang) dengan kebutuhan untuk mempertahankan pertumbuhan konsumsi dalam negeri, sehingga menghasilkan sumber daya jangka panjang untuk menunjang perang (hal. 36). Fioramonti menilai atas indikator PNB itu yang membuat Amerika mampu mengoptimalkan kekuatan ekonomi dalam proses pertempuran bersenjata hingga memenangkan perang Dunia II. Kemudian, agak kurang pasti apakah PDB ini sejak awal diseing untuk menjadi standar global ataukah Amerika punya peluang mendikte dan mengontrol ekonoi negaranegara selatan—agar ada ketergantungan dengan sistem Amerika (IMF, WB, WTO, dll). Lembaga-lembaga pencipta bencana ekonomi ini telah dijelaskan dosa dan dustanya dalam buku John Perkins (2004), Conffession of an Economic Hit Man. PDB jelas hanya menguntungkan negara maju, juga sangat jelas mengawetkan monopoli pasar, juga membuat negara lemah di hadapkan pada urusan-urusan pemenuhan hak dasar rakyat (publics goods). Baik PDB maupun paradigm economy politics dalam pembangunan telah secara meyakinkan melakukan penghancuran terhadap sistem ekologi global, di mulai dari kehancuran-kehancuran sistem ekologi lokal akibat ekspansi industry dan kerakusan bsinis yang mengorbankan alam. Semua ini terjadi secara massif, terstruktur, dan sistematik sehingga jika ada arus lain ingin menghadang pastilah membutuhkan upaya-upaya besar dan energi yang luar biasa. Mencengangkan, di Peranscis dan Inggris hanya sepertiga warga percaya pada statistic resmi pemerintah (Stiglitz, 2011). Karena banyak kekecewaan sebenarnya sudah makin banyak gerakan-gerakan yang melakukan pencarian alternatif pengukuran seperti munculnya komisi pengukuran kinerja ekonomi dan kemajuan sosial yang dipelopori oleh Stiglitz, Sen, dan Fitoussi pada tahun 2008an. Juga, ada pengukuran kesejahteraan secara mandiri di Kanada, Indeks kebahagiaan di Bhutan yang menempatkan kebahagiaan sebagai indikator. Semua ini dilakukan untuk memberikan makna pada situasi kehidupan sebuah bangsa yang tidak seragam prakondisinya. 298
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Lalu, Bencana-bencana di Daerah, di kampong-kampung Kita kini melihat berbagai kerusakan dan bencana terjadi di Indonesia dan di berbagai daerahnya, kampong-kampungnya. Mantra “Washington Consensus” (deregulasi, privatisasi, dan deregulasi ekonomi) yang didesakkan lembaga keuangan internasional, telah menimbulkan ketidakseimbangan ekologis, ketidakseimbangan antropologis, dan ketidakseimbangan global. Pertumbuhan menjadi target satu-satunya dari pembangunan ekonomi sehingga sumber daya alam hanya dilihat dari fungsi produktifnya. Akibatnya, eksploitasi yang melampaui batas terhadap alam dan sesama manusia terjadi dalam tingkatan yang tak terbayangkan. Pembabatan hutan, pembukaan areal tambang, pembangunan pabrik dan pendirian pusatpusat perbelanjaan terjadi dalam skala yang masif. Kearifan dan ekonomi komunitas lokal yang hidup dalam masyarakat selama beradab-abad dalam korelasi mereka dengan lingkungan sosial mereka dihancurkan. Harus ada keberanian bahwa bencana-bencana ini juga diakibatkan oleh kerakusan ekonomi pertumbuhan sebagai rezim global. Ilmuwan dari Amerika Serikat, Fritjof Capra, pernah menuding bahwa manusia-manusia bermental kapitalisme yang bersembunyi di balik kedok globalisasi ekonomilah yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan secara global.4 Kebijakan yang dipaksakana rezim global governance ini telah menuai derita yang teramat besar dan berkepanjangan di negara-negara peri-peri, negara selatan, atau negara di bawah angin. Negara maju memaksakan PDB sebagai ukuran jamak yang menjadikan negara kehilangan peran ekonomi, negara absen dalam mengupayakan kesejahteraan dan pemerataan dan ekonomi pasar menjadi raksasa. Hanya dalam rezim PDB atau pro pertumbuhan penguasaan capital menjadi tidak masuk akal. Kita bisa menyimak ringkasan laporan alternatif masyarakat sipil untuk UN Habitat III setebal 52 halaman: Di tengah mahalnya harga tanah di Jakarta, di koridor barat Jakarta, Sinarmas Land Group menguasai lahan terluas melalui pengembangan Ʊ ÐðÐįaÐŚēĸįÐħ÷įÐįĊĊŪħÐįĊÐį÷įêÐįÐǘaǙĮ÷įêÐŤÐŤƳƲƱé÷įêÐįÐðēŤÐďŪįƯƭƮƴdžŚ÷ǜ éÐįƄÐĤ ƯdžưƱƯ ǘƯƭƮƳǙdž ðÐį Ś÷ġŪĮħÐď Ưƭư é÷įêÐįÐ Ť÷ŕġÐðē ðē TÐįŪÐŕē ƯƭƮƱNj V÷ŕŪĊēÐį ŚÐįĊÐŤ é÷ŚÐŕdžĮēŚÐħįƄÐéÐŕŪðēŤÐďŪįƯƭƮƱÐðÐŚ÷éÐįƄÐĤƮƴƵĸŕÐįĊĮ÷įēįĊĊÐħðÐįƮdžƯġŪŤÐĸŕÐįĊ Į÷įġÐðēŒ÷įĊŪįĊŚēNj"ēTÐĤÐŕŤÐdžéÐįġēŕŤ÷ħÐďĮ÷įƄ÷éÐéĤÐįưƭNjƴƵƱžÐŕĊÐďÐŕŪŚĮ÷įĊŪįĊŚēðē ƮƱƭŤēŤēĤNjǘðēĸħÐďðÐŕēé÷ŕÐĊÐĮŚŪĮé÷ŕdžðēÐįŤÐŕÐįƄÐDžŒDžǑǑžžžNjééêNjêĸĮǑēįðĸį÷ŚēÐǑēįðĸį÷ǜ ŚēÐǜưƵƱƲƳƴƲƶǙNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
299
BSD City seluas 6.000 hektar. Disusul Lippo Karawaci dengan 3.000 hektar melalui gigaproyek Lippo Village, Ciputra Group dengan proyek raksasa andalan CitraRaya Tangerang seluas 2.760 hektar, PT Alam Sutera Tbk 2.300 hektar, PT Summarecon Agung Tbk dan Paramount Enterprise International seluas 2.300 hektar, dan PT Jaya Real Property Tbk seluas 2.300 hektar dengan Bintaro Jaya. Sedangkan di koridor selatan, terdapat PT Sentul City Tbk dengan 3.100 hektar berupa proyek perumahan berkonsep resor Sentul City, PT Bukit Jonggol Asri dengan 3.000 hektar melalui Sentul Nirwana, Sinarmas Land Group dengan 1.050 hektar dalam dua proyek Kota Wisata dan Legenda Wisata, Dwikarya Langgeng Sukses dengan Harvest City seluas 1.050 hektar, PT Bakrieland Development Tbk seluas 1.000 hektar dengan proyek Bogor Nirwana Residences, Sinarmas Duta Makmur dengan 550 hektar untuk mengembangkan Rancamaya Golf and Residences. Penguasaan lahan oleh swasta juga terjadi di Surabaya. Per 30 Juni 2015 misalnya, kelompok bisnis Ciputra menguasai 5.325 hektar. Seluas 1.538 hektar di antaranya dimiliki oleh PT Ciputra Development Tbk (CTRA) dengan nilai Rp 1,636 triliun. Sedangkan sebagian besar lainnya, 3.787 hektar dimiliki secara bersama dengan mitra strategis melalui skema kerja sama operasi (KSO). Situasi ini hampir melanda di semua perkotaan (kkota sedang, kecil, besar) bahkan di sektor pengeloaan hutan dan tambang yang diwilayah non-perkotaan juga sudah dijarah oleh perusahaan raksasa (asing/nasional) yang kemudian menciptakan kelompok marjinal dimana-mana dan menyumbangkan ketimpangan berkelanjutan bukan hanya sosial ekonomi, tetapi juga lingkungan hidup. Situasi timpang bukan hanya soal lapangan kerja dan pendapatan, tetapi penguasaan alat reproduksi jangka panjang yang paling penting dalam hidup orang kebanyakan. Proses itu membawa keuntungan besar bagi para the rulling elite dan khususnya elit ekonomi. Di Indonesia kekayaan 4 orang terkaya setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin (DW, 23/02/17). Sementara 1% orang terkaya dunia menguasai 50,1% kekayaan dunia atau naik 45,5% sejak 2001 (Republika, 15/11/17). omas Pikey dalam bukunya “Capital in the Twenty First Century” (2014) juga menunjukan bahwa kekayaan para konglomerat naik
300
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
cukup tajam paska diterapkan sistem ekonomi neoliberalisme yang turut menopang takdir PDB sejak tahun 1980an hingga saat ini. Dalam konteks D.I Yogyakarta, harga tanah yang luar biasa mahal menjadikan bisnis perumahan ugal-ugalan juga dan mengancam generasi mendatang tidak punya atau tidak mampu membeli harga rumah dan terancam tuna wisma. Di kota Yogyakarta harga tanah di pusat kota juga melambung. Menurut data dari Real Estate Indonesia (REI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada tahun 2012 silam harga tanah di kawasan Jalan Malioboro mencapai Rp 15-20 juta per meter, Jalan Mangkubumi mencapai Rp 10-15 juta per meter dan Jalan Solo Rp 10 - 15 juta per meter dan Jalan Jenderal Sudirman seharga Rp 10-15 juta per meter. Di Kabupaten Sleman, seperti Jalan Laksda Adisucipto harga tanah tembus Rp 10-12 juta per meter, Jalan Kaliurang Rp 7 juta per meter dan di Kawasan Mlati, Ngemplak, Gamping mencapai Rp 1-2 juta per meter. Sedangkan Kawasan Seturan yang paling diminati mencapai Rp 2-3 juta per meter. Di Kabupaten Kulonprogo, terutama di Jalan Wates, kata Remigius, harga tanah Rp 500 ribu per meter. Di Kabupaten Bantul seperti di Ngoto, Sewon dan Jalan Parangtritis Rp 300.000 per meter. Sedangkan di Kabupaten Gunungkidul terutama Jalan Wonosari mencapai Rp 1 juta per meter.5 Perebutan lahan di perkotaan, termasuk di Indonesia, mengilustrasikan secara sempurnah ketegangan antara dua paradigma pembangunan yaitu urban ecology dengan urban political economy (Kleniewski, 2006). Di sisi lain, ada tuntutan teknokratis (pemerintah) untuk mengujicobakan model pembangunan inclusive dan berkelanjutan. Laporan redaksi Tirto.id menunjukkan setidaknya paling murah seharga 464 juta tipe 54/122. Ini pun sudah dikawasan jauh dari perkotaan. Di saat yang sama, Globe Asia melansir 150 daar nama terbaru deretan orang terkaya di Indonesia, Senin (23/3/2017). Di antara sederet nama orang terkaya tersebut, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, ada di dalamnya. Sri Sultan HB X tercatat berada di urutan ke-119 dengan daar kekayaan US$672 juta atau sekitar Rp 9 triliun lebih.6 Keluarga Ʋ ŒDžǑǑĤŕġĸĊġÐNjêĸĮǑħēŒŪŤÐįǜĤďŪŚŪŚǑĤďŪŚŪŚǑƮƲƭƮǑďÐŕĊÐǜŤÐįÐďǜĮ÷ħÐĮéŪįĊǜðēǜĮÐħēĸéĸŕĸǜ Ť÷ĮéŪŚǜŕŒǜƯƭǜġŪŤÐNjĤŕ Ƴ V÷ĤÐƄÐÐįŕēŪħŤÐįC´Ť÷ŕêÐŤÐŤŚ÷é÷ŚÐŕǰƳƴƯġŪŤÐdžÐŤÐŪŚ÷ŤÐŕÐŒƶŤŕēħēŪįħ÷éēďNj÷ŕǜ ðÐŚÐŕĤÐįXÐŒĸŕÐįCÐŕŤÐV÷ĤÐƄÐÐį÷įƄ÷ħ÷įĊĊÐŕÐįa÷ĊÐŕÐǘXCVaǙƄÐįĊðēŚÐĮŒÐēĤÐįĤ÷ VVŒÐðÐƱ÷ŒŤ÷Įé÷ŕƯƭƮƯdžďÐŕŤÐĤ÷ĤÐƄÐÐįŕēŪħŤÐįĮ÷ħēŒŪŤēƮưéēðÐįĊŤÐįÐďðÐįéÐįǜ ĊŪįÐįðēħ÷ĮÐįdžTÐĤÐŕŤÐdžĸĊĸŕðÐįĤĸŤÐǜĤĸŤÐħÐēįNjŚ÷ŤĤ÷ĤÐƄÐÐįŕēŪħŤÐįðēÐįŤÐŕÐįƄÐ ÐðÐħÐďŒŪħŪďÐįĮĸéēħdžĮĸéēħĮ÷žÐďðÐįŚ÷Œ÷ðÐĮĸŤĸŕdžħĸĊÐĮĮŪħēÐðÐįĤĸħ÷ĤŚēŚ÷įēŚ÷ŕŤÐ ŚŪŕÐŤ é÷ŕďÐŕĊÐNj ŪħŤÐį Į÷ĮēħēĤē ŤÐįÐď ðÐį éÐįĊŪįÐį Ś÷ħŪÐŚ ƳƳƲ Į÷Ť÷ŕ Œ÷ŕŚ÷Ċē ðē TÐĤÐŕŤÐ
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
301
pemilik tanah (SG & PAG) dengan jumlah yang besar pernah juga menjadi kontroversi dalam tulisan George Junus Aditcondro yang direpublished di Indoprogress. Ia menyebutkan, ada ribuan hektar tanah keluarga feodal ini, dan juga bisnisnya di saham-saham hotel dan bisnis lainnya: Iklan, jasa parkir, hiburan, kolam renang, grosir, dsb. Ada satu lagi yang muali dilibatkan dalam perdebatan pembangunan kesejahteraan di DIY yaitu dana keistimewaan yang telah diperoleh sejak tahun 2013 sebagai konsesi politik lokal. Melihat besaran dana yang telah dikucurkan ke DIY, jumlahnya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2013, dana istimewa yang dikucurkan hanya sebesar Rp 231 miliar, sementara di tahun 2017 dana yang dikucurkan pemerintah meningkat tiga kali lipat lebih menjadi Rp 853,9 miliar, serta tahun 2018 yang akan mencapai lebih dari 1 Trilyun. Namun demikian, yang menjadi masalah ketika dana yang dikucurkan ke DIY itu sebagian besar hanya dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan dan promosi wisata dan kebudayaan. Maka yang terjadi kemudian kesempatan masyarakat miskin untuk dapat merespons perubahan menjadi terhambat dan juga karena kebijakannya bersifat meritokratis yang abai terhadap sistem ekonomi lokalalternatif. Ketersediaan dana melimpah juga belum membuktikan daya ubah yang signifikan menuju masyarakat yang sejahtera sehingag meminjam istilah David Efendi, at.al (2017), danais ini sebagai fenomena big budget, low impact—bahkan kini muncul ketegangan antara kelompok pro kebudayaan dengan kelompok pembangunan infrastruktur yang sejatinya keduanya secara praksis tidak memberikan keuntungan masyarakat kelas bawah. Kelompok degrowth (penolak rezim pertumbuhan) dan transisi menurut Fioramonti, meyakini bahwa ketika pemerintah berupaya mengerek PDB agar naik tinggi, maka proses kerusakan lingkungan dan rendahnya taraf hidup rakyat dan situasi sosial yang semakin rentan (gampang marah, gampang melakukan kekerasan, dan sensitive) terjadi. Kelompok degrowth berupaya mewujudkan kehidupan yang bersahaja, tidak konsumtif, mewacanakan swakelola, ekopolis, bioregion, demokrasi ekologis, dan ekomunisioalisme. Begitu juga kelompok transisi memiliki keyakinan yang sama untuk memperbaharui sistem ekonomi lokal yang otonom dan berdaya tahan hanya yang membedakan jika kelompok pertumbuhan ŪŚÐŤįēħÐēįƄÐŒƳdžƵĮēħēÐŕǘƯƭƮƯǙNj
302
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
negative atau degrowth tidak memasuki jalan politik struktural, kelompok transisi menganggap politik menjadi instrument cukup penting untuk mengupayakan keadilan, etika dagang, mendemokratisasikan ekonomi dan pemihakan yang lokal. Ini keyakinan yang ditopang oleh argumentasi dan contoh praktik sangat baik—menolak relasi kuasa yang timpang antara negara kaya dan miskin diperparah oleh standarisasi ukuran kemajuan terbukti selama lebih dari empat decade tidak membawa dampak yang adil bagi bangsa-bangsa, negara yang miskin makin miskin dan yang kaya-kuat semakin semena-mena dalam memaksakan agendanya. Sayang sekali, kedua model kelompok ini di Indonesia justru dipinggirkan oleh pemerintahnya sendiri baik di lokal maupun nasional. Bagaimana nalar ini bisa masuk akal? Gini ratio di kota jogjakarta mengalami kenaikan yaitu 0,435 (semakin besar kesenjangan) di saat menjamurnya pembangunan hotel di perkotaan yang entah berapa banyaknya semakin misterius, dan juga toko modern berjaring yang tumbuh sangat liar mencapai 101 buah dari aturan quota sebanyak 52 buah—belum lagi yang menyamar dan sembunyi-sembunyi. Gerai yang tidak menguntungkan ekonomi lokal ini di DIY Total sebanyak 783 buah tersebar di empat kabupaten dan kota (Data diolah oleh mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY, 2017). Artinya apa? Imajinasi pembangunan dengan menggenjot melalui investasi besar di sektor properti dan pasar tidak mampu sedikitpun meruntuhkan ketimpangan, justru mengawetkan dan membesarkan. Inilah barangkali mengapa muncul kelompok perlawanan seperti warga berdaya, urban literacy campaign, jogja ora didol, kelompok seniman graffiti, dan sebagainya. Skema rezim pembangunan pertumbuhan memakan kebobrokannya sendiri. Yogjakarta jelas memiliki problem yang sama dengan kota lainnya. Krisis perkotaan yang meminggirkan warga miskin kota juga terjadi di kota pelajar ini. Tak jarang ancaman penggusuran juga terjadi di Kota Yogyakarta. Arsitek Komunitas (Arkom) Yogyakarta adalah salah satu organisasi masyarakat sipil yang giat melakukan pendampingan terhadap warga miskin kota di Yogyakarta yang cukup memberikan titik temu terhadap pemikiran Fioramonti sebagai sistem alternatif rezim pertumbuhan. Arkom mendampingi warga bantaran kali untuk mengorganisir diri.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
303
Ada dua komunitas warga bantaran kali binaan Arkom yang dikunjungi Our Voice pada tahun 2013, yakni komunitas warga bantaran Kali Gajawong dan Kali Winongo. Arkom membantu menginisiasi warga untuk membentuk Paguyuban Kali Jawi. Adapun fokus kegiatanya adalah pengelolaan dana dengan membentuk kelompok arisan, satu kelompok terdiri dari sepuluh orang. Uang yang didapat digunakan untuk renovasi rumah, agar rumah warga bantaran kali memenuhi standar kesehatan karena jika warga sehat maka uang warga tidak habis untuk pengobatan. Bila salah satu warga mendapat arisan untuk renovasi rumah, maka kesembilan warga yang lain pun gotong-royong membantu merenovasi rumah. Tidak hanya itu, ada bagian dari uang arisan tersebut yang tidak boleh diambil namun dikumpulkan agar warga bisa membeli tanah formal. Kemudian, Paguyuban Kali Jawi mengelola dana dari warga untuk membuat balai komunitas, yang digunakan untuk kegiatan kemasyarakatan misal rapat pertemuan warga. Hasilnya, kini di dua komunitas tersebut telah berdiri dua balai warga yang sangat bermanfaat. Terlihat, bantaran kali Winongo kampung Jatimulyo, lingkungan tertata baik, rumah warga rapi, jalanan sudah conblok. Ini salah satu bukti kecil, bahwa upaya lokal/komunitas dapat menjadi alternative skema pembangunan yang boros dan anti-lingkungan. Dari cerita kecil di Jogjakarta dan juga ratusan cerita menarik sajian Fioramonti dalam bukunya yang menunjukkan kapasitas rakyat mengelola kehidupan di Amerika Latin, Eropa, dan negara lainnya yang sangat baik untuk menolak dan menahan serbuan rezim dictator ekonomi pertumbuhan yang memanfaatkan posisi adi daya dan ‘kemajuan’ yang dicapai kepada negara lain. Hal ini diperparah oleh kolonisasi pengetahuan dan monopoli informasi yang sangat tidak seimbang. Negara miskin hanya mendapatkan informasi secuil atau sedikit mengenai bagaimana pasar bekerja dan siapa yang paling besar mendapatkan keuntungan dari sistem ekonomi pasar bebas. Barangkali sangat tepat situasi yang mengawetkan ketidakadilan dan mendorong keserakahan negara maju sebagai akibat dari informasi asimetrik (Stiglitz, 2006).7 Di dalam konteks lokal, banyak juga pemain pasar ƴ ÷įƄ÷éÐéĤŕēŚēŚƥįÐįŚēÐħðēĮ÷ŕēĤÐðÐįðŪįēÐðēÐĤēéÐŤĤÐįŒÐŕÐŚŒ÷ĤŪħÐįƄÐįĊŚ÷êÐŕÐŕÐĤŪŚ Į÷įĊ÷ĤŚŒħĸēŤÐŚē÷ĤĸįĸĮēNjēÐŒÐĮ÷įðŪĊÐŒ÷ŕŪŚÐďÐÐįƥįÐįŚēÐħŚ÷Ĥ÷ħÐŚX÷ďĮÐįįŕĸŤď÷ঠðÐį`÷ŕŕēħħXƄįêďƄÐįĊĮ÷įġÐðēħ÷Ċ÷įðÐðÐįēĤĸįŤ÷ŕďÐðÐŒŚ÷ĊÐħÐŚ÷ŚŪÐŤŪƄÐįĊé÷ŕĤÐēŤÐį ð÷įĊÐįŪÐįĊĤēįēéÐįĊĤŕŪŤŚ÷êÐŕÐðŕÐĮÐŤēŚǘ`XĮŪįĊĤēįé÷ħŪĮdžŤÐŒēŤÐįðÐǜŤÐįðÐĤ÷éÐįĊǜ ĤŕŪŤÐįįƄÐĤēÐįĮ÷įð÷ĤÐŤēǙNj÷éŪÐďêĸįŤĸďįƄÐŤÐŚ÷ĤÐħēĊŪŚĮ÷įĊ÷ŕēĤÐįðÐŕēĤĸĮéēįÐŚēĤ÷ŕǜ ÐĤŪŚÐįĤĸŕŒĸŕÐŚēdžŚĤÐįðÐħÐĤŪįŤÐįŚēdžďÐŚŪŤÐįŒŪéħēĤdžŒ÷įēŒŪÐįŒ÷ŕéÐįĤÐįdžð÷ŕ÷ĊŪħÐŚēdžðÐį
304
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
lokal nasional memanfaatkan celah ini, seperti sistem distribusi pasar dan penguasaan hulu hilir dalam pasar gerai berjejaring, juga dalam bisnis tanah, properti, perumahan, dsb. Lalu, panen kesenjangan akut melanda di DIY dan kutukan yang diakibatkan skema pembangunan nasional PDB ini pusat tidak campur tangan lagi bagaimana sulitnya mengembalikan kerusakan sosial dan lingkungan yang telah dilegalisir secara idea dan praktik tata kelola teknokratis. Catatan Kaki: Bagaimana melawan PDB? Ya, rezim diktatorship pertumbuhan ala PDB haruslah dikoreksi secara kritis dengan mendorong pemikiran emansipatif berbasis lokalitas. Mendamaikan agresifitas ekonomi pertumbuhan dengan kepentingan ekologi tidak gampang. Namun harus diperjelas bahwa, hidup orang-orang bukan hanya diperlihatkan oleh deretan angka-angka, bukan soal bagaimana cara mengkonsumsi sebesar-besarnya materi, dan bagaimana tampil memukai di grafik, tetapi ada banyak hal yang fundamental seperti ketersediaan lahan dan pangan berkelanjutan, ruang hidup (ekosistem) yang memungkinkan sehingga alternatif pembangunan ekonomi lokal menjadi keniscayaan, pembangunan sosial bruto, dan kebahagiaan serta kebermaknaan hidup bruto menjadi layak diperjuangkan. Dalam konteks ini barangkali penulis ingin mengapresiasi dan sekaligus menebeng beberapa gagasan solutif udan alternatif dari aliansi masyarakat sipil untuk UN Habitat III dalam rangka menangkal ketimpangan yang cukup memungkinkan dilakukan secara kolaboratif antar stakeholder. Pertama, menghilangkan ketimpangan kepemilikan lahan di kota dan di desa. Membatasi kepemilikan lahan korporat dan mengedepankan penguasaan lahan untuk rakyat. Kedua, menghentikan penggusuran permukiman warga miskin kota. Prioritas penataan permukiman informal yang melibatkan warga secara tulus. Ketiga, menghentikan upaya reklamasi pantai di seluruh kota Indonesia untuk dievaluasi manfaatnya bagi publik, bukan semata kepentingan korporasi. Keempat, menghentikan krisis lingkungan hidup di perkotaan dengan cara mengubah model pembangunan kota yang rakus terhadap sumber daya alam menjadi model pembangunan yang mendukung pelestarian lingkungan hidup, dan terakhir, karena tidak ada satu kota di dunia tanpa keberadaan Ĥ÷éŪŚŪĤÐįŒÐŚÐŕé÷éÐŚNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
305
warga, maka pemerintah harus selalu melibatkan warga dalam kebijakan perkotaan. Warga di berbagai kota telah menunjukkan banyak inisiatif yang memberi solusi. Pemerintah harus menjadikan warga sebagai mitra yang sejajar dan terbuka untuk turut andil dalam pembangunan, terutama menentukan hidupnya secara otonom. Penulis tidak hanya sedang mengkontradiksikan antara gini ratio atau indeks ketimpangan dengan PDB saja, tetapi secara faktual di DIY tidak ada satupun elemen yang memprotes akan temuan BPS mengenai ketimpangan yang kian melebar di DIY tersebut menunjukkan masyarakat telah mengkonfirmasi bagaimana rakyat terpapar kualitas kemiskinan. Itu fakta sosial, banyak sektor informal yang makin berat menjalani aktifitas ekonominya, pengangguran, lapangan kerja yang minimalis, dan UMR yang pas-pas-an ada di DIY. Skema pembangunan keistimewaan bisa menjadi peluang, tetapi sampai hari ini optimisme itu dimonopoli kalangan tekhnokrat dan aristokrat saja—masyarakat biasa belum merasa skemaskema pembangunan hari ini menopang dan menyelamatkan hidup mereka dan anak cucunya di tengah kesulitannya. Harus ada gerakan entah kecil atau besar untuk memulai menghimpun kekuatan melawan dogma Pertumbuhan dan atau standarisasi produk domestik bruto ini. Karena apa? Karena tidak ada fakta yang menunjukkan pengukuran itu tidak bobrok—seolah kreatif tetapi kreatif yang menghancurkan sendi-sendi ekonomi lokal, ikatan sosialbudaya, dan mematikan ketahanan ekologi. Inilah fenomena ekonomi dunia yang layak disebut creative disaster.
306
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Daar Bacaan
Aditjondro, GJ. 2011. SG dan PAG Penumpang Gelap RUUK. Artikel pertama dimuat di Sinar Harapan, 31 Januari 2011 di publikasikan ulang di hp://indoprogress.blogspot.co.id/2011/02/sg-dan-pag-penumpanggelap-ruuk.html. Efendi, David et.al. 2017. Big Budget, Low Impact: An Alternative Evaluation on Special Fund of Yogyakarta Special Regions. Available: hps:// www.researchgate.net/publication/319480105_big_budget_law_ impact_an_alternative_evaluation_on_benefit_and_impact_of_ special_fund_in_DI_Yogyakarta Fioramonti, Lorenzo. 2017. Problem Domestik Bruto: sejarah dan realitas politik di balik angka pertumbuhan ekonomi. Jakarta: marjin kiri. Habibi, Muhtar. 2016. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi kelas, akumulasi, dan proletariat informal di Indonesia sejak 1980an. Tanggerang: marjin kiri. Hariyono, Paulus. 2009. Perencanaan Pembangunan Kota dan Perubahan Paradigma. Yogyakarta: pustaka Pelajar. Kleniewski, Nancy. 2006. Cities, Change, and Conflct: A Political Economy of Urban Life. Australiam Brazil, Canada, Singapore,..: omson LOS-DIY & Pustek UGM. Menahan Serbuan Pasar Modern: Strategi Perlindungan dan Pengembangan Pasar Tradisional. Yogyakarta: LOS DIY. Sinaga, Marsen. 2017. Pengorganisasian Rakyat & Hal-Hal yang Belum Selesai: Belajar Bersama ArkomJogja. Yogyakarta: INSISTPress & ArkomJogja. Stiglitz, Joseph E, Sen, Amartya, Fitoussi, Jean-Paul. 2011. Mengukur Kesejahteraan: mengapa Produk Domestik Bruto bukan tolok ukur yang tepat untuk menilai kemajuan? Jakarta: marjin kiri. Stiglitz, Joseph E. 2006. Dekade Keserakahan: Era ‘90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia. Tanggerang: Marjin Kiri. Bacaan online
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
307
hps://yogyakarta.bps.go.id/Brs/view/id/502 hp://mapcorner.wg.ugm.ac.id/pdb-proses-destruksi-dan-bencana-angkayang-maha-kuasa-dan-penundukan-ekonomi-negara/ http://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan/perekonomian/ Documents/LPI_2015_web_final.pdf https://www.oecd.org/eco/surveys/indonesia-2016-OECD-economicsurvey-overview-bahasa.pdf http://jogja.tribunnews.com/2017/03/27/sri-sultan-hb-x-masuk-daftarorang-terkaya-di-indonesia-ini-fakta-seputar-kekayaannya hps://tirto.id/anak-muda-yogya-terancam-tunawisma-bw5N http://krjogja.com/web/news/read/43529/Ketimpangan_Dibalik_ Keistimewaan
308
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Ưư
÷ħÐĮÐŤ"ÐŤÐįĊV÷ĮÐê÷ŤÐįÐŕŪDž VÐŚŪŚŕÐįŚŒĸŕŤÐŚējįħēį÷ðēµĸĊƄÐĤÐŕŤÐ Aris Munandar | Fandi Eka faith | Muhammad Saddam H. | Nanik Andriyani | Syifa Siti Fatimah | Rahmat Kahfi Kurnia | Sayid Waliyul Mulki
S
aat ini Indonesia tengah menghadapi banyak persoalan, mulai dari permasalahan ekonomi, politik, hukum, pengololaan tata ruang kota hingga pada permasalahan paling krusial yaitu permasalahan transportasi. Permasalah trasnportasi bukanlah hal baru, permasalahan seperti lahir pada setiap waktu, tanpa henti dan tanpa solusi efektif. Solusi yang paling banyak diberikan oleh pemerintah adalah perluasan jalan, penambahan ruas jalan, hingga pada pembuatan jalur bebas hambatan. Padahal, paradigma sebagian masyarakat Indonesia, menganggap hal tersebut sebagai ruang untuk menambah kendaraan setiap individunya. Permasalahan perkotaan saat ini sering diperbincangkan karena berkaitan dengan hampir segala aspek kehidupan manusia. Kemajuan suatu kota merupakan salah satu alasan masyarakat untuk berlomba-lomba berebut kesempatan untuk bisa memperoleh penghidupan di kota. Akibtanya terjadi terjadi iklim kompetitif yang tinggi dalam masyarakat. Masyarakat biasanya terbagi kedalam dua kelompok, yaitu (1) kelompok masyarakat yang menang dan berhasil dalam iklim kompetisi ini dan (2) kelompok masyarakat yang kalah dan tersingkir. Dampak lain yang terasa pada kompetisi ini adalah sifat masyarakat yang cenderung berubah menjadi individualis. Perwujudan
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
309
perilaku individualis mencakup kedalam dua aspek, yaitu fisik dan perilaku masyatakat yang tercermin dalam tindakan sehari-hari. Permasalahan yang paling banyak dijumpai pada trasnportasi adalah masalah kemacetan. Masalah ini merupakan masalah yang sangat krusial, sebab volumenya selalu bertambah. Permasalahan kemacetan lalu lintas, sangat biasanya banyak dijumpai pada kota-kota besar di indonesai, dengan penduduk diatas dua juta jiwa, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makasar dan kota-kota metropolitan lainnya. Kekhawatirannya adalah, pada waktu yang akan datang, populasi penduduk di Indonesia akan melonjak dengan pesat, diperkirakan hampir semua daerah akan dihunia dua juta jiwa pada tahun 2020. Dengan kata lain, pada masa itu pemerintah daerah akan dihadapi oleh masalah perkotaan, yaitu masasalah transportasi modern dengan beragam inovasi. Persoalan kemacetan bukan hanya terjadi pada Ibu Kota Jakarta, hal ini juga terjadi di Kota Yogyakarta. Kota yang sering disebut sebagai kota pelajar dan kota budaya ini juga mengalami nasib sama seperti kota metropolitan. Meskipun, kemacetan di Yogyakarta sebenarnya baru dirasakan sekitar 5 tahun terakhir. Kemacetan di kota Yogyakarta memang belum begitu parah, akan tetapi apabila hal ini terus dibiarkan terjadi tanpa adanya perhatian lebih oleh pemerintah kota Yogyakarta, maka kemacetan di kota Yogyakarta semakin lama akan semakin parah, khususnya pada musim liburan tiba dimana saat ini, tempat-tempat wisata di kotaYogyakarta semakin lama semakin bertambah seiring dengan masyarakat kota Yogyakarta yang semakin tertarik dan memunculkan kreativitas untuk menciptakan tempat-tempat wisata baru yang menarik kepuasan wisatawan domestik maupun mancanegara, serta demi memajukan sumber pendapatan dari masyarakat itu sendiri. Penyebab kemacetann tentunya karena pertambahan volume kendaraan yang semakin tinggi disetiap tahunnya. Hal demikian bisa menjadi wajar di Yogyakarta, sebab disinilah seluruh pemuda yang berstatus mahasiswa dari sabang sampai merauke berkumpul untuk menuntut pendidikan. Setiap tahunnya jumlah mahasiswa semakin bertambah, dan kebanyak mahasiswa memiliki kendaraan pribadi. Pertambahan volume kendaraan di Yogyakarta setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup besar, pada tahun 2015 sendiri jumlah
310
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
total kendaraan bermotor di Yogyakarta adalah 558.718 kendaraan, dan setiap tahunnya mengalami peningkatan yang sangat besar.1 Peningkatan ini disebabkan oleh kemudahan masyarakat dalam memperoleh kendaraan bermotor tersebut. Apalagi saat ini, masyarakat tidak perlu begitu ragu ketika mencoba untuk mengkredit sebuah kendaraan apalagai kendaraan roda 4 seperti mobil. Hal ini disebabkan oleh adanya jaminan pendapatan yang diberikan oleh perusahan milik swasta yang bergerak pada sector pelayanan trasnportasi berbasis online. Trasnportasi online ini berfokus pada mobil dan motor. Orang-orang yang ingin bekerja didalamnya harus memiliki kendaraan sendiri. Jika kita melihat lebih dalam lagi, maka bisa jadi pertumbuhan volume kendaraan di Yogyakarta disebabkan oleh kebutuhan pribadi guna memenuhi kebutuhan ekonomi. sebuah siklus yang sangat baik. Namun, jika kita cermati lagi, pertambahan volume kendaraan tersebut berimplikasi pada kemacetan yang ada saat ini. Saat ini ada tiga jenis transportasi online di Indonesia, yaitu GO-JEK, UBER, dan GRAB. Ketiga transportasi online tersebut memiliki kelebihan tersendiri, sehingga masyarakat saat ini cenderung menggunakan jasa tersebut. Misalnya saja pada aplikasi GO-JEK. Masyarakat atau pengguna jasa tersebut bisa dengan mudah memesan makanan melalui GO-FOOD, memasn mobil melalui GO-CAR, memesan pemebersih rumah melalui GO-CLEAN. Semua dipermudah dengan tarif yang sangat terjangkau, sehingga masyarakat tidak perlu merasa ragu untuk penggunaan pelayanan tersebut. Transportasi online yang bergerak dibidang pelayanan jasa dengan memanfaankan masyarakat sebagai objek dan subjek ternyata telah tersebar diberbagai penjuru Indonesia. Seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya. Di Yogyakarta sendiri, jumlah peredaraan transportasi online sudah mencapai angka 20.000 kendaraan sejak tahun 2015 hingga saat ini. Dengan presentasi kurang lebih 15.000 motor dan 5.000 mobil. Tentunya volume kendaraan setiap tahunnya akan semakin bertambah, sebab peradaban membutuhkan hal tersebut. Oleh sebab itu, penelitian ini akan berfokus pada bagaimana membuktikan penyumbang kemacetan baru di Yogyakarta adalah Ʈ ŒŚDžǑǑƄĸĊƄÐĤÐŕŤÐNjéŒŚNjĊĸNjēðǑħēįĤÐé÷ħŤÐŤēŚǑŽē÷žǑēðǑƱƱ ǘÐĤŚ÷Ś ŒÐðÐ ŤÐįĊĊÐħ ƮƯ ĸĤŤĸé÷ŕ ƯƭƮƴNjŪĤŪħƯƮNjƲƯ¯GǙ
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
311
transportasi online dengan Judul “Selamat Datang Kemacetan Baru Yogyakarta”. Penelitian ini akan berfokus pada bagaimana kemunculan transportasi online merupakan salah satu penyumbang kemacetan di Yogyakarta? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa kemunculan transportasi online merupakan penyumbang kemacetan di Yogyakarta. Penelitian merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk mendapatkan jawaban pemecahan masalah terhadap fenomena-fenomena tertentu. Pada penelitian ini, menggunakan metode kualitatif yaitu penelitian yang menekankan pada konsep, gejala, symbol dengan pendekatan secara deskriptif.2 Metode Penelitian Objek penelitian adalah objek yang dijadikan penelitian atau yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian yaitu Munculnya Kemacetan Baru karena adanya Transportasi Online di wilayah Yogyakarta, seperti GO-JEK, GRAB dan UBER. Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah dimana penelitian tersebut akan dilakukan. Dalam penulisan penelitian ini, peneliti melakukan penelitian di wilayah Yogyakarta. Alasan peneliti mengambil penelitian di wilayah Yogyakarta dikarenakan: a) b) c)
Pengguna jasa Transportasi Online di Yogyakarta semakin bertumbuh pesat. Di wilayah Yogyakarta muncul berbagai perusahaan baru angkutan umum tidak dalam trayek. Sesuai dengan Permenhub Nomor 32 tahun 2016 tentang penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek.
Unit analisis data adalah sumber informasi mengenai variabel yang akan diolah pada tahap analisis data. Pada penelitian ini, unit analisa data yang diambil adalah Transportasi angkutan online di wilayah Yogyakarta yang memiliki kaitan dengan kemacetan yang terjadi di Yogyakarta. Data primer adalah data yang diperoleh oleh peneliti sebagai sumber informasi secara langsung pada objek yang diteliti. Dengan cara melakukan Ư Nj`ŪŕēµŪŚŪĉNjƯƭƮƱNj`÷Ťĸð÷÷į÷ħēŤēÐįVŪÐįŤēŤÐŤēĉdžVŪÐħēŤÐŤēĉdžș÷į÷ħēŤēÐį>ÐéŪįĊÐįNjTÐĤÐŕŤÐDž V÷įêÐįÐŕ÷įÐðÐĮ÷ðēÐ>ŕĸŪŒNjCÐħÐĮÐįưƯƶNj
312
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
wawancara dan observasi langsung ke lapangan yaitu di perusahaan angkutan online seperti GRAB, UBER, GOJEK, Dinas Perhubungan Yogyakarta serta kawasan kemacetan di wilayah Yogyakarta. Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung, atau melalui perantara. Cara mendapat sumber dari dokumentasi/kepustakaan seperti buku, media massa (cetak dan elektronik), arsip, dokumen, dan lain-lain yang memiliki kaitannya dengan transportasi konvensional ataupun online. Peneliti menggunakan dua teknik pengumpulan yaitu wawancara dan observasi serta analisis data. Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara memberikan pertanyaan kepada seseorang yang menjadi unit analisas mengenai konsep penelitian. Untuk wawancara ini dilakukan di perusahaan angkutan online seperti GRAB, UBER, GOJEK, Dinas Perhubungan Yogyakarta serta kawasan kemacetan di wilayah Yogyakarta. Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung ke lapangan. Untuk observasi ini dilakukan di Kawasan kemacetan di Yogyakarta serta perusahaan angkutan online seperti UBER, GRAB, GOJEK, dan Dinas Perhubungan Yogyakarta. Literatur Review Pembahasan mengenai kemacetan bukanlah sesuatu yang baru di dunia akademik Indonesia, sebab kemacetan sudah menjadi masalah pokok yang sampai saat ini belum bisa teratasi dengan baik. Banyak penelitian yang bermunculan masalah kemacetan di Indonesia dengan objek kajian kota-kota dengan populasi penduduk yang relative banyak, seperti Jakarta, Makassar, Surabaya, dan beberapa kota lainnya. Salah satu penelitian yang dituangkan dalam bentuk artikerl ilmiah pada studi kasus di kota Surabaya pada tahun 2015, menyebutkan bahwa kemacetan yang terjadi di Kota Surabaya disebabkan oleh semakin bertambahnya volume kendaraan yang sudah tidak seimbang dengan kapasitas jalan, dan masyarakat cenderung lebih memilih menggunakan transportasi pribadi dibandingkann transportasi umum.3 Hal ini sangat relevan dengan penelitian yang kami laksanakan, sebab kemacetan yang terjadi di Yogyakarta dewasa ini sangat dipengaruhi oleh penambahan volume kendaraan. ư aŪŕĮÐŚÐŚĸįĸdž`Nj+NjµŪŚŪĉdžXŪĤĮÐįNj`NjaNjŕðƄNjƯƭƮƳNjŪŕÐéÐƄÐĮÐŕŤŪéžÐƄ"÷Ž÷ħĸŒĮ÷įŤ ÐŚÐįħŤ÷ŕįÐŤēŽ÷`ĸð÷ēįďĮÐðµÐįēĸŕŕēðĸŕŪŕÐéÐƄÐéƄj"ĸįê÷ŒŤŒŒħēêÐŤēĸįNjŕĸǜ ê÷ðēÐǛĸêēÐħÐįð÷ďÐŽēĸŕÐħêē÷įê÷ŚNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
313
Selain itu, ada beberapa hal yang menjadi factor terjadinya kemacetan menurut Imam Basuki dan Amos Setiadi dalam jurnal transportasinya pada tahun 2015 diantaranya adalah: 1.
Peningkatan Volume Kendaraan Pribadi Peningkatan jumlah kendaraan pribadi merupakan kondisi dimana orang-orang beralih menggunakan transportasi sendiri untuk mempermudah akses mereka terhadap suatu tempat. Sayangnya, karena terlalu banyak akhirnya menimbulkan kemacetan, dan peningkatan volume kendaraan ini terjadi setiap tahunnya. Apalagi saat ini kendaraan peribadai bisa beralih fungsi menjadi lahan bisnis transportasi online. Seperti pada apa yang terjadi di Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya, kendaraan pribadi dalam hal ini mobil sudah menjadi suatu objek bisnis yang menjanjikan, sebab kehadiran sebuah aplikasi berbasis transportasi online membuat orang-orang berkompetisi untuk beralih menjadi driver transportasi online tersebut.
2.
Turunnya Fungsi Jalan Raya Penurunan fungsi jalan raya merupakan kondisi dimana jalan tidak berfungsi dengan maksimal disebabkan oleh kerusakan atau penyempitan jalan. Sehingga akses terhadap kendaraan menjadi sangat sulit dan dapat menyebabkan kemacetam. Hal ini biasa terjadi pada daerah wisata, seperti Malioboro.
3.
Buruknya layanan transportasi umum yang ada Dibanyak daerah hal ini seringlah terjadi, pelayanan transportasi umum yang banyak seperti angkot yang tidak tertata dengan baik menyebabkan kemacetan.
Peneltian tersebut menunjukka bahwa kemacetan sangat dipengaruhi oleh penambahan volume kendaraan yang kemudian berdampak pada jalanan yang menjadi semakin sempit. Teori ini menjadi sangat relevan dengan penelitian yang akan kami laksanakan, sebab penumbang kemcetan di Yogyakart adalah volume kendaraan yang semakin bertambah setiap tahunnya, hal ini terlihat dengan jelas pada data yang disajikan oleh BPS, pada tahun 2016 sendiri penambahan kendaraan mencapai 22.000.
314
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Selamat Datang Kemacetan Baru Tingkat pertumbuhan ekonomi di Kota, mendorong terjadinya urbanisasi, sehingga populasi penduduk di Kota semakin bertambah. Pertambahan jumlah penduduk biasanya sejalan dengan pertambahan volume kendaraan. Mereka yang berpindah dari desa ke kota biasanya memiliki kendaraan pribadi, alhasil apa yang disebut kemacetan tidak bisa dihindarkan lagi. Akibatnya, terjadi pemberosan bahan bakar akibat dari inefisiensi, waktu terbuang secara percuma, adanya polusi, serta akan menimbulkan penurunan tingkat kesehatan masyarakat.4 Penyebab kemacetann tentunya karena pertambahan volume kendaraan yang semakin tinggi disetiap tahunnya. Hal demikian bisa menjadi wajar di Yogyakarta, sebab disinilah seluruh pemuda yang berstatus mahasiswa dari sabang sampai merauke berkumpul untuk menuntut pendidikan. Setiap tahunnya jumlah mahasiswa semakin bertambah, dan kebanyak mahasiswa memiliki kendaraan pribadi. Pertambahan volume kendaraan di Yogyakarta setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup besar, pada tahun 2015 sendiri jumlah total kendaraan bermotor di Yogyakarta adalah 558.718 kendaraan, dan setiap tahunnya mengalami peningkatan yang sangat besar.5 Peningkatan ini disebabkan oleh kemudahan masyarakat dalam memperoleh kendaraan bermotor tersebut. Apalagi saat ini, masyarakat tidak perlu begitu ragu ketika mencoba untuk mengkredit sebuah kendaraan apalagai kendaraan roda 4 seperti mobil. Hal ini disebabkan oleh adanya jaminan pendapatan yang diberikan oleh perusahan milik swasta yang bergerak pada sector pelayanan trasnportasi berbasis online. Layanan transportasi berbasis online merupakan layanan transportasi yang sangat baru di Indonesia khususnya diYogyakarta, layanan ini baru ada pada sekitar pertengahan tahun 2015. Jaminan yang diberikan oleh perusahaan tersebut adalah bonus harian jika driver transportasi online tersebut bisa menyelesaikan target yang diberikan. Tidak tangung-tanggun, jika driver bisa mencapai target maka bonus yang diberikan berkisar 500 Ʊ TŪŕįÐħ=Nj`NjaNjŕÐƄŪðƄÐįŤĸNjƯƭƭƳNjVÐġēÐį÷ŕéÐįðēįĊÐį÷į÷ŕÐŒÐįŕÐŽ÷ħ"÷ĮÐįð`Ðįǜ ÐĊ÷Į÷įŤðēēįĊÐŒŪŕÐǜXĸįðĸįNj`ÐħÐįĊNj Ʋ ŒŚDžǑǑƄĸĊƄÐĤÐŕŤÐNjéŒŚNjĊĸNjēðǑħēįĤÐé÷ħŤÐŤēŚǑŽē÷žǑēðǑƱƱ ǘÐĤŚ÷Ś ŒÐðÐ ŤÐįĊĊÐħ ƮƯ jĤŤĸé÷ŕ ƯƭƮƴdžŒŪĤŪħƯƮNjƲƯ¯GǙ
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
315
ribu/hari. Jumlah yang sangat besar dan sangat menggoda. Makanya tak jarang banyak pegawai-pegawai kelas bawah memilih untuk bekerja sebagai driver transportasi online. 1.
Keberadaan Transportasi Online Yogyakarta Transportasi diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ketempat tujuan. Jika demikian, maka terdapat tiga aspek dalam transportasi, yaitu adanya muatan yang diangkut, tersedianya kendaraan sebagai alat angkut, dan terdapatnya jalan yang dapat dilalui. Sementara itu, Soesilo mengungkapkan, Transportasi adalah pergerakan tingkah laku orang dalam ruang baik dalam membawa dirinya sendiri ataupun membawa barang.6 Transportasi memiliki dua peran yang diungkapkan oleh Tamin, yaitu sebagai alat untuk mengarahkan pembangunan pada daerah perkotaan dan sebagai sarana pergerakan manusia dan barang yang timbul akibat kegiatan di daerah perkotaan tersebut. Peran pertama biasanya digunakan oleh para pengembang wilayah perkotaan, sebagai contoh ketika ingin membangun infrastruktur makan diperlukan trasportasi seperti alat berat dan sebagainya, sementara pada peran kedua bisa digunakan oleh seluruh manusia, sebab memang digunakan untuk memindahkan dari tempat satu ketempat lainnya.7 Dewasa ini, transportasi telah bertrasnsformasi menjadi lebih inovatif, bukan hanya bersifat konsvensional saja, melainkan tekah menjelma menjelma dalam perkembangan menjadi transportasi berbasis online, transportasi yang lahir untuk mempermudah kegiatan manusia. Di Indonesia, ada 3 jenis trasnportasi yang diketahui, yaitu pertama transportasi darat seperti mobil, motor, kereta dan sebagainya, kedua transportasi laut seperti kapal penyebrangan dan ketiga transportasi udara contohnya adalah pesawat. Pada dasarnya definisi dari transportasi dengan transportasi online tidaklah jauh berbeda bahkan bisa dikatakan sama, hanya saja letak perbedaannya ada pada cara mengaksesnya saja, tranportasi online relative lebih mudah jika dibandingan dengan trasnportasi pada umumnya. Transportasi online ini bisa dikategorikan
Ƴ ĸ÷ŚēħĸNjƮƶƶƶNj+ĤĸįĸĮē÷ŕ÷įêÐįÐÐįðÐį`ÐįÐġ÷Į÷įVĸŤÐNjTÐĤÐŕŤÐNj`ÐĊēŚŤ÷ŕ÷ŕ÷įêÐįÐÐį ðÐįV÷éēġÐĤÐįŪéħēĤįēŽ÷ŕŚēŤÐŚGįðĸį÷ŚēÐNj ƴ ÐĮēįNjƮƶƶƴNj÷ŕ÷įêÐįÐÐįðÐį÷Įĸð÷ħÐįŕÐįŚŒĸŕŤÐŚēNjÐįðŪįĊNj÷į÷ŕéēŤG
316
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
masuk pada jenis transportasi darat, sebab hingga saat ini belum tranportasi laut dan udara berbasis online secara langsung. Saat ini, ada tiga jenis transportasi online yang cukup popular di Indonesia, termasuk di kota budaya Yogyakarta yaitu GO-JEK, GRAB dan UBER. Ketiga transportasi tersebut memiliki sifat yang sama yaitu diakses secara online melalui aplikasi dan mendatangi konsumen secara langsung ke lokasi dimana konsumen minta dijemput. Ketiganya juga terdapat beberapa pilihan yang bisa diakses, misalnya pada GOJEK, terdapat pilihan Go-Car, Go-Food, Go-Clean, Go.Box dan masih banyak lagi. Begitu juga pada GRAB dab UBER, hanya saja kedua hal tersebut tidak memiliki fitur yang selengkap GO-JEK Permasalahan yang kemudian muncul adalah keberadaan transportasi online yang tidak terkendali setiap tahunnya. Kekhawatirannya, hal ini akan menyebabkan kemacetan yang tidak terkendali. Hasil wawancara dengan beberapa driver transportasi online yang berkerja untuk PT GO-JEK mengatakan bahwa jumlah transportasi online di Yogkarta sudah mencapai angka 15.000 kendaraan, dengan populasi motor skurang lebih 10.000-11.000 kendaraan dan mobil 4.000-5.000 kendaraan. Tentunya angka ini sangat banyak, jika dilihat dari tahun 2015 angka kendaraan trasnportasi online khusunya mobil itu hanya mencapai 2000, dan setiap tahunnya meningkat sebesar 50%. Sementara itu penambahan jumlah kendaraan yang disajikan oleh BPS pada tahun 2015 ke 2016 itu mencapai 21.704 unit, 20% nya merupakan kendaraan beroda 4. Jika kita lihat, maka 20% dari 21.704 adalah 4.341. Jadi jumlah penambahan volume kendaraan beroda 4 pada tahun 2016 adalah 4.341. Sementara jumlah transportasi online yang lahir dari tahun 2015 ke 2016 mencapai 4000 kendaraan. Artinya penambahan volume ini hampir 50% nya di dominasi oleh transportasi berbasis online. Hal ini menjadi sangat wajar bagi beberapa orang, sebab dampak yang ditimbulkan sangat besar, khususnya pada dua aspek, yaitu aspek ekonomi dan aspek sosial masyarakat. Wawancara secara tidak langsung bersama beberapa driver menyebutkan hal tersebut. Menurut driver go-car, menyebutkan bahwa:
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
317
a.
Dampak Ekonomi Secara ekonomi sangat terbantu, sebab bonus yang didapatkan dari perusahaan mencapai angka Rp.500.000/hari jika memenuhin target operasi yaitu 16 kali tarikan, belum lagi biaya yang diberikan oleh penumpang, menjadi milik driver tersebut, jadi driver yang serius dalam mengejar target bisa mendapatkan 600-700 ribu/hari. Jika dikalikan dalam sebulan maka bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp. 18.000.000 – 21.000.000. Penghasilan yang sangat banyak. Maka tak jarang pegawaipegawai biasa memilih beralih menjadi driver transporasti online dibandingkan menjadi karyawan dengan gaji 2-3 juta/ bulan. Seperti yang dilakukan oleh Mas Mahendra, mantan pegawai Zuzuki, yang beralih menjadi driver sejak tahun 2015 dan sampai saat ini sudah memiliki 3 kendaraan yang beroperasi menjadi transportasi online.
b.
Dampak Sosial bagi Masyarakat Kedua adalah dampak dari aspek sosial masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, keberadaan transportasi online ini secara tidak langsung sangat membantu masyarakat sebagai konsumen dalam melalukan aktivitas, apalagi mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi, sebab untuk menggunakan jasa layanan trasnportasi online ini tidak memerlukan biaya yang begitu besar, sangat terjangkau bahkan bagi kantong masyarakat kelas menengah kebawah. Biaya yang ditawarkan oleh GO-CAR setiap 1 km hanya perlu membayar Rp 7.000 dan semakin jauh km yang tempuh biaya juga akan semakin murah setiap km nya, sebagai contoh, jarak tempuh 3,3 KM hanya membayar Rp. 12.000. Belum lagi jika memiliki Go-Pay, konsumen bisa mendapatkan potongan hingga 50%. Belum lagi dengan yang ditawarkan oleh GRAB dan UBER. Ketiga aplikasi tersebut, memberikan harga yang beragam dan masih terjangkau oleh kantong masyarakat, seperti Grab yang menawarkan harga tarif kendaraan setiap KM. Harga yang ditawarkan oleh transportasi online berbasis kendaraan roda empat memang sangat murah jika dibandingkan
318
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
dengan kendaraan konvensional lainnya. Lihta saja, harga yang ditawarkan Grab misalnya pada jarak 3,5 Km hanya Rp. 13.000 dan UBER pada jarak yang sama hanya tepaut 3 ribu diatas GoCar dan GRAB yaitu Rp.16.000/ Oleh sebab itu, masyarakat lebih mau menggunakan transportasi online dibandingakn transportasi pada umumnya. Selain murah juga lebih efisiesn sebab konsumen yang didatangi, bukan mendatangi. Prinsipnya adalah memberikan pelayanan prima kepada konsumen. 2.
Kemacetan Baru Yogyakarta Kemacetan lalu lintas ialah keadaan dimana arus lalu lintas yang berada pada ruas jalan dengan melebihi kapasitas rencana jalan tersebut sehingga berakibat pada kendaraan yang bergerak mendekati 0 km/ jam atau bahkan menjadi 0 km/jam yang berdampak pada terjadinya antrian.8 Kemcetan biasanya dijumpai pada jalan-jalan ibu Kota, dan jalan menuju tempat wisata. Istilah kemacetan baru di Yogyakarta merupakan sebuah istilah yang timbul akibat dari maraknya penyebab kemacetan terbaru di Yogyakarta, seperti lahirnya transportasi online khusunya kendaraan roda 4 seperti Go-car dalam GO-JEK, UBER dan GRAB. Kemunculan ketiga aplikasi tersebut yang secara tiba-tiba popular di Jogja pada tahun 2015 lalu, membuat volume kendaraan menjadi meningkat dengan pesat, khusunya kendaraan roda dua dan roda 4. Keluar dari zona positif yang dihasilkan oleh keberadaan trasnportasi online, ternyata ada dampak yang mungkin saja secara sadar atau bahkan tidak sadar masyarakat merasakannya, yaitu lahirnya kemacetan yang semakin marak dimana-mana. Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa keberadaan transportasi online di Yogyakarta hingga 2016 kemarin sampai saat ini sudah mencapai angka 4000-5000 kendaraan. Populasi yang sangat banyak, padahal jika kita lihat pertambahan jumlah kendaraan bermotor di Yogyakarta pada tahun 2015 ke 2015 khusunya kendaraan beroda 4 ada 4.341 kendaraan. Artinya, masyarakat yang mengeluarkan kendaraan tersebut secara sadar melakukannya karena ada peluang ekonomi yang baik, yaitu
Ƶ VďÐēŕŪįįēŚÐNjǤēÐƄÐV÷ĮÐê÷ŤÐįŪÐŚTÐħÐįðēµĸĊƄÐĤÐŕŤÐǤNjTŪŕįÐħ÷ĤįēĤēŒēħŽĸħNjƶdžµĸĊƄÐǜ ĤÐŕŤÐNjƮĸĤŤĸé÷ŕƯƭƭƲNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
319
melalui jasa trasnportasi online berbasis taxi online. Sadar atau tidak, kemunculan transportasi online tersebut menyumbang kemacetan baru bagi kota Yogyakarta. Hal ini terlihat jelas, dari hasil observasi lapangan yang dilakukan dibeberapa ruas jalan kota Yogyakarta seperti Jl. Malioboro, Jalan Solo menuju Bandara, Jalan Cik Di Tiro terlihat dengan jelas kemacetan yang terjadi pada jam pulang kantor disebabkan oleh kendaraan roda 4. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh salah satu driver online dia mengatakan bahwa “Secara sadar keberadaan kami tentunya menyumbang kemacetan apalagi sudah mencapai angka hampir 5000 kendaraan, tapi apa boleh buat ini dilakukan demi desakan ekonomi, apalagi hasil yang menjanjikan. Di depan sana terlihat dengan jelas, yang memadati ruas jalan ini adalah kendaraan online, coba lihat stiker di kaca belakang mobilnya, itu adalah penanda keberadaan kami.” Penambahan voleme kendaraan memang merupakan salah satu factor kemacetan terbesar saat ini. Setiap harinya kendaraan baru selalu diproduksi dan selalu diperjual belikan dipasaran, jika terus seperti ini maka ruas-ruas jalan tidak akan berfungsi lagi, kendaraan hanya akan menjadi pigura jalan raya yang menghiasi kota-kota besar di Indonesia. Setidaknya ada dua penyebab kemacetan baru diyogyakarta berdasarkan analisis dan observasi lapangan yang dilakukan. (1) kemunculan transportasi online yang kian marak di Yogyakarta, ke (2) Masyarakat sudah merasa nyaman dalam menggunakan transportasi tersebut. Padahal, jika ini terus berlanjut tanpa adanya pembatasan baik dari Pemerintah setempat ataupun dari pihak perusahaan transportasi online tersebut, maka akan timbul beberapa hal. a.
Konflik sosial antara transportasi online vs transportasi konvensional Sudah bukan menjadi sebuah rahasia lagi, keberadaan trasnportasi online saat ini memicu kontroversi yang sangat luar biasa. Adanya kecemburuan yang dirasakan oleh para kendaraan
320
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
konvensional yang merasa haknya diambil alih oleh kendaraan online. Saat ini sudah banyak terjadi konflik tesebut, demonstrasi oleh para supir taxi online hingga pada penghadangan dan pemukulan para driver transportasi online. b.
Konflik internal transportasi online. Kekhawatiran penulis adalah, jika volume ini setiap tahunnya selalu bertambah, maka akan terjadi perebutan penumpang, atau bahkan target operasi dari perusahaan tidak akan tercapai. Tentu saja hal ini bisa terjadi, analoginya serti ini, orang yang ingin menggunakan jasa transportasi online hanya satu orang, sementara yang tersedia ada 3 kendaraan, secara otomatis aka nada dua yang gugur atau tidak mendapatkan penumpang. Hal tesebut tentunya akan terjadi, atau bahkan sudah terjadi. Bapak A (nama dirahasiakan) bekerja pada PT GO-JEK dengan mode Go-Car merasa bahwa hal tersebut sudah dirasakannya, dulu ketika beliau pertama kali bekerja sebagai driver online pada tahun 2015, untuk mencapai target 16, hanya memerlukan waktu dari pagi sampi siang, paling lama sore hari. Namun saat ini, beliau kadang harus lembur hingga pukul 2223 malam. Ini merupakan suatu keresahan, apalagi kendaraan selain plat AB juga bisa beroperasi di wilayah Yogyakarta.
Kemacetan baru di Yogyakatya adalah sebuah keniscayaan, akan terus terjadi sampai waktu menghentikan laju kendaraan, apalagi jika manusia masih pada penasaran, dengan dunia yang penuh kekerasan, pada kota yang menjadi symbol pendidikan, akan musnah termakan peradaban, sampai kita memikirkan, masa depan sudah diujung kepunahan. Kesimpulan Istilah kemacetan baru di Yogyakarta merupakan sebuah istilah yang timbul akibat dari maraknya penyebab kemacetan terbaru di Yogyakarta, seperti lahirnya transportasi online khusunya kendaraan roda 4 seperti Gocar dalam GO-JEK, UBER dan GRAB. Kemunculan ketiga aplikasi tersebut yang secara tiba-tiba popular di Jogja pada tahun 2015 lalu, membuat volume kendaraan menjadi meningkat dengan pesat, khusunya kendaraan roda dua dan roda 4. Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
321
Kemacetan baru Yogyakarta disebabkan oleh Keberadaan Transportasi Online Go-Car dalam GO-JEK, GRAB, dan UBER yang semakin bertambah setiap tahunnya, dan hampir seratus persen penambahan kendaraan roda 4 dijadikan sebagai transportasi online. Pada tahun 2015 ke 2016, jumlah kendaraan bermotor mencapai 21.704 kendaraan 4.341 merupakan mobil, sementara jumlah trasnportasi online hingga pada tahun 2016 sudah mencapai 4000-5000 kendaraan, dari angka 2000 artinya 50% kendaraan baru didominasi oleh transportasi online. Oleh sebab itu, kemacetan baru Yogyakarta disebabkan oleh keberadaan transportasi online. Kemacetan baru di Yogyakatya adalah sebuah keniscayaan, akan terus terjadi sampai waktu menghentikan laju kendaraan, apalagi jika manusia masih pada penasaran, dengan dunia yang penuh kekerasan, pada kota yang menjadi symbol pendidikan, akan musnah termakan peradaban, sampai kita memikirkan, masa depan sudah diujung kepunahan.
322
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
DAFTAR PUSTAKA
Prayudyanto, M. N. 2006. Kajian Perbandingan Penerapan Travel Demand Management di Singapura-London. Jurnal FSTPT. Malang. Nurmas Sasono, M.E. Yusuf, Lukman. M.N. Ardy. 2016. Surabaya Smart Subway Development as an Alternative Mode in Ahmad Yani Corridor Surabaya by TOD Concept Application. Procedia – Social and Behavioral Sciences. Soesilo, I Nining. 1999. Ekonomi Perencanaan dan Manajemen Kota. Jakarta: Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia. Tamib, Z Ofyar. 1997. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Bandung. PenerbitITB Yusuf, A. Muri. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, & Penelitian Gabungan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. hps://yogyakarta.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/44 (akses pada Tanggal 12 Oktober 2017, pukul 21.52 WIB)
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
323
ƯƱ
`÷įĸħÐĤŒÐŕŤ÷Į÷įDž VēŚÐď÷ŕħОÐįÐį¯ÐŕĊÐÐħēŕ÷ġĸdž VĸŤÐµĸĊƄÐĤÐŕŤÐ Fraisal DP Titiahy dan David Efendi
P
erencanaan pembangunan yang menyangkut seluruh sudut pandang kehidupan seperti dari sudut politik, ekonomi, sosial, pertahanan dan keamanan yang berskala nasional, merupakan perencanaan yang direncanakan oleh suatu Negara. Prinsip dasar dari pembangunan yang direncanakan adalah untuk pembangunan manusia sebagaimana adanya. Melihat dari sudut pandang perencanaan untuk membangun suatu Negara, maka harus selaras dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari kemajuan lahiriah, batiniah, dan seluruh aspek keadilan sosial. Pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, ternyata memiliki pengaruh yang besar dalam merencanakan pembangunan. Jumlah penduduk yang tinggal dikota-kota besar semakin padat dan semakin membutuhkan banyak lahan untuk dijadikan tempat tinggal. Ketersediaan lahan yang kurang untuk dijadikan pemukiman membuat adanya pilihan lain dengan membangun perumahan menjulang keatas atau bertingkat, seperti apartemen atau rumah susun. Pembangunan rumah susun membutuhkan tanah jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan pembangunan rumah secara konvensional, sehingga ketersediaan lahan terbuka lebih luas di wilayah kota yang dapat digunakan untuk menata kembali daerah-daerah kumuh. 324
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Keinginan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk menata wilayahnya dilakukan secara terus menerus dengan tujuan terciptanya suatu kota dengan tata ruang yang rapi dan terlihat indah. Penertiban setiap wilayah Kota Yogyakarta selalu diperhatikan agar terciptanya suatu keindahan. Mulai dari penataan wilayah pemukiman, perekonomian, industri, wisata, pendidikan dan perkantoran. Penertiban yang dilakukan pemerintah kota Yogyakarta dilakukan untuk menata daerah pemukiman. Namun sayangnya, banyak kasus pemukiman masyarakat yang digusur untuk dijadikan sentra perekonomian yang hanya dikuasai para pemilik modal. Pembangunan rumah susun dan apartemen berkaitan erat dengan strategi pembangunan wilayah, langkanya lahan kosong, dan mahalnya harga tanah, terutama di daerah perkotaan. Untuk itulah pemerintah memandang perlu mengambil langkah-langkah bijaksana dengan melakukan pembangunan rumah susun. Di beberapa Kota besar yang ada diIndonesia sudah mulai kewalahan dalam mengurus masalah pembangunan hotel dan apartemen yang semakin meningkat. Salah satu daerah seperti Yogyakarta, berdasarkan data BPS Daerah Istimewa Yogyakarta di Tahun 2016,untuk Hotel Bintang dan memiliki setifikat sebanyak 96 hotel. Sedangkan Jumlah Hotel Non Bintang di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2017 sebanyak 589 Hotel. Secara perlahan jumlah ini akan terus bertambah dan semakin sulit untuk diawasi oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Gerakan sosial muncul dari kalangan masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan. Sistem politik yang semakin terbuka dan demokratis, membuka peluang yang besar terhadap lahirnya gerakan sosial. Dalam gerakan masyarakat yang terlihat adalah tentang adanya kepentingan yang mendorong untuk terbentuknya jalinan aktifitas individuindividu sehingga terbentuknya gerakan tersebut. Menurut Smelser (dalam Arbit Sanit, 1985) bahwa terdapat dua gerakan masyarakat dilihat dari orientasinya yaitu gerakan masyarakat yang berorientasi pada norma dan gerakan masyarakat yang berorientasi pada nilai. Kebijakan pemerintah selama ini belum seutuhnya berpihak pada masyarakat. Berbagai gerakan penolakkan menunjukkan bahwa masyarakat kita sudah dewasa. Kesadaran masyarakat untuk ikut mengawasi dan mengontrol
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
325
kebijakan menjadikan tumbuhnya keinginan mayarakat melakukan aksi perlawanan karena banyak kekeliruan yang sering terjadi. Bukan hanya menolak tanpa tahu arah tapi masyarakat memiliki tujuan yang jauh lebih luas dalam menyikapi masalah kebijakan yang ada. Salah satu gerakan yang sampai saat ini masih terus diperjuangkan oleh masyarakat adalah yang terjadi di Dusun Balirejo, Kelurahan Muja-Muju, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Warga Dusun Balirejo, Kelurahan Muja Muju ini menolak keras pembangunan apartemen karena menurut warga pembangunan apartemen akan berdampak buruk bagi warga Dusun Balirejo. Mulai dari dampak lingkungan hingga dampak sosial(www.republika.co.id/ berita/nasional/daerah/17/05/03/opmd47291-warga-desak-pemkot-yogyatindak-tegas-pembangunan-apartemen-ilegal). Munculnya gejolak pertentangan dari warga Dusun Balirejo sejak tahun 2015. Berawal dari salah satu pemodal yang ingin membangun apartemen. Wilayah dusun Balirejo yang berada di pusat perkotaan tentu saja tidak terlepas dari pembangunan apartemen tersebut. Lokasi pembangunan apartemen berada tepat di dekat sungai Gajah wong. Menurut informasi dari salah satu warga, penolakan terhadap pembangunan apartemen tidak terjadi hanya sekali saja. Sudah pernah ada investor yang akan melakukan pembangunan apartemen ditempat yang sama. Pada awalnya, apartemen dengan nama Majestic Grand Bale akan dibangun. Namun karena pihak investor tersebut tidak mendapatkan izin pembangunan dari warga setempat, pihak pengembang Majestic Grand Bale akhirnya gagal melakukan pembangunan apartemen. Tidak hanya itu, ditempat yang sama pembangunan sudah tiga kali berganti developer. Yang pertama, PT Kreasi Pratama Satu tercatat pada tanggal 30 maret 2015 pembangunan apartemen Majestic Grand Bale. Yang kedua, PT Mahardika Daya Inti pada tanggal 2 November 2016 memasukan surat permohonan izin kedua yang mana ditujukan untuk pembangunan apartemen dengan nama Puri Notoprojo Apartmen. Kemudian yang ketiga, surat permohonan izin kembali masuk untuk yang ketiga kalinya masuk pada 2 juni 2017 namun dengan pengembang yang berbeda yaitu PT. Abyudaya Tata Anugrah Mandiri yang mana juga ditujukan untuk pembangunan apartemen yang sama yaitu Puri Notoprojo Apartmen (hps://tirto.id/warga-yogya-menolak-pembangunanapartemen-csjG). Ketiga surat permohonan izin tersebut sudah dibalas 326
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
oleh pihak Dinas Lingkungan Hidup, tetapi sampai sekarang ketiga pihak pengembang tersebut belum juga mengurus administrasi terkait pengurusan surat untuk izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Pihak pengembang yang mana disini adalah PT. Abyudaya Tata Anugrah Mandiri mengaku bahwa sebelumnya sudah pernah melakukan sosialisasi terkait pembangunan apartemen tersebut di dusun Balirejo. Namun pihak warga Balirejo menolak untuk datang karena pihak warga menolak keras terkait pembangunan apartemen tersebut. Kemudian aksi dilakukan warga karena warga risih dengan kabar pembangunan apartemen tersebut. Dari keterangan Dono Susilo “kami khawatir sumur kami dabitnya bisa berkurang”. Tulisan penolakan dalam suatu benner, dan aksi warga Balirejo geruduk kantor Sat Pol PP untuk mengklarifikasi rencana pembangunan aparemen di kawasan itu. Lihat Gambar 1 dan 2 (jogja.tribunnews.com/2017/05/03/tolak-apartemen-wargabalirejo-geruduk-sat-pol-pp-kota-yogya).
Gambar 1: Spanduk Penolakan Warga
Gambar 2: Aksi Warga Geruduk SatPol PP
Dari hasil aksi yang dilakukan warga Dusun Balirejo ternyata mampu untuk menghalangi proses lanjutan dari pembangunan. Fenomena modernisasi sangat cepat dirasakan oleh masyarakat Yogyakarta, khususnya Kota Yogyakarta yang sedang gencar-gencarnya melakukan perencanaan pembangunan infrastuktur. Harapan dari pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat, dengan adanya pembangunan memberikan imbas positif terhadap masyarakat sekitarnya. Tetapi penolakan yang dilakukan warga Dusun Balirejo merupakan pilihan yang berbeda. Gerakan sosial yang dibangun adalah atas kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian daerah dan warisan leluhur untuk masa depan. Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
327
Belakangan ini yang banyak menjadi fokus adalah gerakan masyarakat bawah (grassoot). Melihat dari kasus dan masalah yang terjadi di Kota Yogayarta, khususnya di Dusun Balirejo, Kelurahan Muja Muju, Kecamatan Umbulharjo, sebenarnya dapat dilihat dari akar permasalahannya yaitu perizinan. Bagaimana proses perizinan tersebut dapat memperlancar atau justru malah menghambat pembangunan. Balirejo Sebagai Site Gerakan Sosial Gerakan perlawanan untuk menjaga kualitas lingkungan hidup bangkit dan muncul pada pertengahan abad dua puluh, munculnya gerakan dengan keinginan untuk adanya perubahan secara menyeluruh dan mendasar antara hubungan manusia dan alam dengan mempelajari konsep metafisika, kosmologi dan etika dalam menjaga lingkungan hidup(Situmorang, 2013:67). Dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia dapat dilihat bahwa gerakan sosial sudah sangat berkembang dan terus berlanjut, akibat dari keserekahan manusia yang sadar atau tidak sadar telah merusak alam yang berdampak kembali kepada makhluk yang ada di bumi Indonesia. Mewujudkan cita-cita keberhasilan dalam gerakan sosial merupakan suatu hal yang tidak lepas dari pengalaman kegagalan yang banyak terjadi. Perkembangan gerakan atas dasar lingkungan muncul dan berkembang dengan membawa misi perubahan, salah satu yang utama adalah untuk memberikan kesadaran bahwa manusia dan alam harus memberikan keseimbangan satu sama lain dan satu sama lain memiliki ketergantungan. Ada beberapa hal penting yang ada dalam gerakan ini yaitu keinginan untuk merubah mental dan psikologgi ketikan melihat hubungan antara manusia dan alam semesta, seperti memberikan tempat untuk makhluk hidup lainnya berkembangng dengan kesempatan yang sama dengan manusia. Kemudian, kegunanan ilmu pengetahuan sepeerti teknologi yang digunakan adalah untuk mempermudah dan memberikan kualitas yang baik, bukannya menjadi boomerang dan menghancurkan kualitas makhluk hidup. Dalam bab ini, penulis akan memulai pembahasan mengenai salah satu gerakan sosial yang menjadikan lingkungan sebagai alasan dilakukannya perlawanan masyarakat Balirejo. Penulis akan mengidentifikasi bahwa
328
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
gerakan yang diawali dengan kesamaan prisnsip untuk menjaga lingkungan untuk generasi penerus merupakan suatu gerakan sosial. Digunakan 4 indikator kepada masyarakat balirejo sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat Balirejo sebagai gerakan sosial. Tantangan Kolektif Sesuai dengan teori yang digunakan oleh peneliti, yaitu teori dari Tarrow dalam (Suharko, 2006:5-7) menjelaskan bahwa dalam gerakan sosial terdapat empat indikator yang digunakan yaitu tantangan kolektif, yang merupakan keadaan untuk menghalangi kegiatan golongan lain yang menjadi salah satu tanda dari tantangan kolektif. Keadaan untuk bersamamasama menentang dengan melalui slogan, corak pakaian merupakan bagian yang banyak dilihat dari suatu gerakan sosial. Sebagai gerakan yang terbentuk dari latar belakang oleh keinginan untuk menjaga kerusakan lingkungan. Kampung balirejo menjadi target untuk investor melebarkan sayap sejak tahun 2015 dengan niat mendirikan bangunan apartemen dan toko. Pengembang pertama ingin melakukan pembangunan apartemen, namun karena tidak mendapat izin dari masyarakat. Pengembang kedua ingin membangun dua toko besar dan pengembang ketiga adalah yang sekarang sedang terjadi yaitu pembangunan apartemen Puri Notoprojo. Seperti yang diceritakan sendiri dalam wawancara dengan bapak Dono Susilo selaku Ketua RW 05 Balirejo pada 18 Mei 2019: “iya mas dulu sebelum saya sudah ada penolakan, ini yang ketiga kalinya investor datang, yang pertama dulu niatnya membangun apartemen juga, yang kedua toko besar tetapi kami menolak terus gak jadi dibangun terus yang ketiga apartemen lagi” Dari ungkapan diatas, menceritakan bahwa tantangan kolektif terbentuknya perlawanan dari masyarakat secara bersama, untuk menghadapi pembangunan yang dapat membuat lingkungan menjadi tidak stabil. Masyarakat tetap dengan kebersamaan untuk menolak. Penolakan yang dilakukan bukannya tanpa alasan tetapi warga ingin lingkungannya tidak rusak. Seperti yang diceritakan dalam wawancara dengan bapak Harjono selaku Ketua RT 49 Balirejo pada 27 Mei 2019: Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
329
“inikan jalan kampong, coba mas lewat disitu pas pagi atau sore pasti macet, seumpama jadi dibangun kan sekitar 300an kamar dan minimal ada satu mobil. sudah tidak mungkin itu, jadi kayak apa nanti jalanannya. Terus limbahnya nanti gimana, masa dibuang di kali, wes gak mungkin lah itu.” Kegiatan penolakan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat balirejo ternyata mendapat respon positif dari masyarakat sekitar, meskipun ada beberapa warga yang pro atas pembangunan apartemen seperti yang diceritakan bapak Dono Susilo ketua RW 05 Balirejo wawancara pada 18 Mei 2019: “kalau yang pro itu jelas ada, motifnya mereka diberikan embel-embel dibelakangnya. Tetapi jumlah mereka gak banyak.” Hal tersebut sama dengan yang diceritakan oleh bapak Sudarto Ketua RT 17 wawancara pada 19 Mei 2019: “jadi yang pro dalam setiap rt itu pasti ada satu orang, dengan niatan akan dijadikan ketua rt lah, kemudian jadi satpam lah” Dalam proses perlawanan ternyata terdapat ketidakseimbangan antara pihak kelurahan dan masyarakat. Dikarenakan pengambilan keputusan dari kelurahan dianggap berat sebelah ke pihak pengembang. Selain itu, tanggapan dari pihak kelurahan terhadap pembangunan apartemen ini adalah sutuju selama masyarakat setuju maka dari pihak kelurahan akan memberikan dukungan. Seperti yang diceritakan bapak Jemari lurah Muja Muju wawancara pada 11 Juni 2019: “sikap kelurahan tetap pada posisi netral. Kami tetap memberikan fasilitas dari pengelola dan masyarakat untuk melakukan pertemuan. Yang saya tau selama ini masyarakat tetap menolak kedatangan dari pengembang meskipun ada juga yang setuju” Munculnya masalah antara warga yang setuju dan tidak setuju ternyata kurang diantisipasi dengan baik oleh pihak kelurahan. Sikap pihak kelurahan yang berada diposisi netral ternyata tidak sesuai kenyataan dan ini membuat warga menjadi tidak percaya, karena permasalahan ini menyangkut dengan keberlangsungan hidup banyak orang. Kesadaran mayarakat yang sangat tinggi untuk menjaga kelestarian lingkungan mereka menjadi hal yang 330
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
sangat membantu dalam perjuangan menolak pembangunan apartemen Puri Notoprojo selama ini. Tujuan bersama Sesuai dengan teori yang digunakan oleh peneliti, yaitu teori dari Tarrow dalam (Suharko 2006:5-7) yang menjelaskan bahwa dalam gerakan sosial terdapat empat indikator yang digunakan untuk mengukur yaitu adanya tujuan bersama. Kalau ingin mencari alasan kenapa orang ingin bersama untuk melakukan gerakan adalah untuk melawan atau menentang pihak lain yang dirasa merugikan banyak pihak. Tidak semua konflik yang muncul adalah atas nama kepentingan kelas saja tetapi sesuatu yang berguna untuk kepentingan bersama merupakan basis dari tindakan bersama. Individu-individu yang terlibat dalam penolakan memang terdiri dari berbagai strata sosial, sehingga masyarakat memiliki kekuatan yang berlapis. Meskipun dari struktur sosial banyak yang memilki tingkat kualitas yang baik, tetapi tetap menolak jika akan dibangun apartemen diwilayah mereka. Seperti yang diceritakan oleh bapak Sudarto ketua RT 17 Balirejo wawancara pada 19 Mei 2019: “kalau didaerah kami memang kebanyakan masyarakat yang perekonomian menengah kebawah, tetapi yang dibelakang lokasi pembangunan itu yang tinggal orang-orang besar jendral dan dosendosen semua mas, jadi kita tidak mudah untuk dihasut.” Bahaya akan kerusakan lingkungan menjadi pendorong pribadipribadi masyarakat yang terlibat dalam gerakan menolak pembangunan apartemen. Masyarakat balirejo melakukan pertemuan yang kemudian dituliskan dalam berita acara hasil pertemuan warga Balirejo penolakan pembangunan apartemen, bertempat di balai RT. 52 RW. 05 Muja-Muju Umbulharjo Yogyakarta.” Pertemuan yang diadakan pada Tanggal 17 Juni 2017 yang dihadiri warga balirejo meliputi: RT. 15, RT. 16, RT. 17, RT. 49, RT. 51 dan RT 52. Dalam wilayah RW 05 dan RT. 18, 19, 20, 53 (RW 06) dan Kampung Tangguh Bencana (KTB) Balirejo. Adapun hasil pertemuan menetapkan sebagai berikut: a
Warga Balirejo menolak rencana pembangunan apartemen dikarenakan lebih banyak mudharatnya, dan sama sekali tidak ada manfaatnya bagi
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
331
warga. b
Warga Balirejo melarang keras kepada ketua RT di Wilayah RW. 05 dan ketua RW, untuk menumbuhkan tanda tangan serta cap/stempel terhadap surat-surat dan atau administrasi lainnya berkenaan dengan pengajuan izin rencana pembangunan apartemen.
c
Warga Balirejo menyatakan tidak mengakui jika ada surat yang ditandatangani oleh oknum yang mengatasnamakan pengrurus RT. 50 dikarenakan warga sama sekali tidak tahu menahu hal tersebut.
Tujuan dari penolakan masyarakat adalah agar proses pembangunan dapat dibatalkan dikarenakan banyaknya masalah yang akan terjadi seperti yang sudah diceritakan bahwa lokasi pembangunan sangat tidak memungkinkan. Untuk saat ini gerakan perlawanan masyarakat balirejo dapat dikatakan berhasil karena proses pembangunan telah diberhentikan, meskipun ada masyarakat yang setuju, tetapi masyarakat secara luas tetap menolak pembangunan apartemen sampai kapanpun. Solidaritas Kolektif dan Identitas Kolektif Sesuai dengan teori yang digunakan oleh peneliti, yaitu teori dari Tarrow dalam (Suharko, 2006:5-7) yang menjelaskan bahwa dalam gerakan sosial terdapat empat indikator diantaranya yaitu memiliki Solidaritas dan Identitas Kolektif yang berearti munculnya keinginan untuk bergerak bersama dalam gerakan sosial, yang awalnya hanya kemungkinan untuk melakukan pergerakan berubah menjadi kenyataan. Menjaga identitas kolektif menjadi hal yang sangat mendasar dalam melakukan pergerakan, dengan keadaan yang sama ataupun dengan menyamakan keadaan dengan orang lain. Namun, para pemimpin gerakan sosial dapat melakukan gerakan ketika melihat dan menggugah perasaan solidaritas dan identitas yang bersumber dari nasionalisme, etnisitas atau keyakinan agama. Permasalahan yang menjadi faktor masyarakat Balirejo bergerak adalah permasalahan yang terkait dengan izin pembangunan dan masalah lingkungan. Dono Susilo Ketua RW 05 menceritakan pada wawancara 18 Mei 2019 “kami mulai protes, karena pihak pengembangnya itu belum ada izin dari kami, kemudian IMB nya belum keluar, tapi sudah melakukan 332
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
pembangunan pembatas yang di depan itu.” Melihat apa yang diutarakan diatas bahwa izin yang dimaksudkan adalah mengenai AMDAL yang belum mendapat persetujuan dari masyarakat. Inilah yang membuat masyarakat tidak setuju dan melakukan pergerakan. Sesuai dengan yang diceritakan bapak Sudarto Ketua RT 17 wawancara pada 19 Mei 2019: “kami dari warga itu tidak pernah menandatangani apapun dengan pihak sana, kok ujuk-ujuk sudah membangun aja.” Melihat penjelasan diatas, bahwa sebelum melakukan pembangunan maka harus ada izin yang dikeluarkan dari pemerintah dalam hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh bapak Widjonarko selaku Kepala Seksi Konsultasi dan Informasi Dinas Penanaman Modal dan Perizinan wawancara pada 13 Juni 2019: “IMB itu prosedur utama, kemudian dilihat kembali fungsi dan kegunaannya nanti seperti apa. Terkait gangguan nya nanti kan harus ada rancangannya terlebih dahulu.” Sesuai dengan Peraturan Walikota nomor 85 Tahun 2018. Yang didalamnya telah mengatur mengenai perizinan terkait IMB. Pihak Dinas belum mengeluarkan Izin Mendirikan bangunan dikarenakan AMDAL yang merupakan salah satu syarat dikeluarkannya IMB belum dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Atas dasar ketimpangan yang terjadilah yang membuat masyarakat menjadi bersatu untuk menolak pembangunan apartemen di daerah Balirejo. seperti yang telah dijelaskan diatas, menurut warga balirejo apabila rencanan pembangunan ini berlanjut dan berhasil dioperasikan, maka dampak yang dirasakan masyarakat pasti sangat besar terutama masalah lingkungan seperti kemacetan yang akan sangat sulit untuk diatasi. Kolektivitas aksi masyarakat Balirejo membentuk suatu identitas kolektif berdasarkan atas kepedulian untuk menjaga lingkungan. Aksi yang dilakukan masyarakat balirejo tidak lain adalah menjaga perkampungan tempat mereka hidup agar tidak timbul masalah yang nantinya dirasakan oleh generasi selanjutnya.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
333
Memelihara Politik Perlawanan Sesuai denga teori yang digunakan oleh peneliti, yaitu teori dari Tarrow dalam (Suharko, 2006:5-7) yang menjelaskan dalam gerakan sosial terdpat empat indikator diantaranya yaitu memelihara politik perlawanan, yang dalam kaitannya dengan gerakan sosial adalah menjaga tujuan bersama agar arah dari gerakan tidak berubah menjadi kemarahan dan kebencian yang dapat membuat kerugian bagi pihak yang melakukan perlawanan. Sikap hati-hati dalam memandang dan menyikapi suatu informasi harus terus dipelajari agar propaganda tidak terjadi. Dalam perjalanan menghadapi pembangunan Apartemen Puri Notoprojo, masyarakat balirejo mendapat berbagai tantangan. Seperti adu domba yang menjadi skenario untuk membuat antar warga berkonflik, kemudian sikap dari beberapa kelurahan dan kecamatan yang tidak seimbang dalam melihat masalah ini. Namun, dari pihak masyarakat sendiri tetap konsisten dan bersama-sama menentang adanya pembangunan apartemen. Sesuai dengan yang diceritakan bapak Dono Susilo Ketua RW 05 wawancara pada 18 Mei 2019: “saya sering mendapat tekanan, sering mereka datang untuk membahas dan itu berganti-ganti terus mas. Kalau mereka datangnya rombongan langsung chat di grup wa jadi kami tetap solid.” Hal ini serupa dengan yang dikatakan oleh bapak Sudarto ketua RT 17 wawancara pada 19 Mei 2019: “neng kita tetep kokoh rt tetap gigih ra iso ganti, warga bilang gitu. Jangan ganti kita solid yah, warga sepakat tidak setuju dan menyerahkan pada rt dan rw masing-masing.” Dari ungkapan diatas, dapat dilihat bahwa masyarakat mempercayai bahwa dengan kebersamaan yang dijaga akan membuat kekuatan yang besar untuk terus dapat berjuang menjaga daerah tempat tinggal mereka. Meskipun banyak mendapat tantangan, tetapi masyarakat tetap percaya dengan pemimpin mereka yang disini diwakili oleh RT dan RW untuk berjuang bersama dan memasrahkan semuanya. Suasana dan semangat inilah yang terus dijaga oleh masyarakat untuk tetap konsisten memperjuangkan hak mereka.
334
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Perlawanan Masyarakat Balirejo Terhadap Pembangunan Apartemen Pada bagian ini, penulis akan menarasikan berbagai bentuk perlawanan yang terjadi oleh masyarakat Balirejo terhadap pembangunan apaertemen Puri Notoprojo di Dusun Balirejo. dalam mengkaji perlawanan masyarakat Balirejo penulis menggunakan teori Kelompok Kepentingan Non-Asosiasional. Teori ini digunakan untuk menjelaskan tumbuh dan berkembangnya gerakan perlawanan yang terjadi disana. Dalam perkembangan penolakan terhadap apartemen pergerakan masyarakat balirejo dapat dilihat sebagai kelompok kepentingan NonAsosiasi, yang terbentuk apabila terdapat kepentingan yang sama untuk diperjuangkan. Melihat dari perlawanan yang dilakukan masyarakat balirejo maka dapat dikaitkan bahwa masyarakat balirejo sebagai kelompok kepentingan yang kenggotannya tidak melalui proses pemilihan, kemudian bekerja tidak teratur hanya ketika waktu tertentu saja, kamudian bersifat sukarela dan yang lebih penting adalah memilki kesamaan tujuan yaitu untuk membatalkan rencana pembangunan apartemen Puri Notoprojo. Pergerakan melawan pembangunan apartemen yang sudah memasuki tahun keeampat mengalami peningkatan. Didasarkan oleh lawan yang dihadapi oleh warga semakin meningkat. Pada awal rencana pembangunan apartemen dengan nama pengembang PT. Kreasi Pratana Saat pada tahun 2015, cukup mudah dihadapi oleh masyarakat. Izin yang belum keluar dikarenakan AMDAL yang dibuat oleh pihak pengembang dengan tegas ditolak oleh warga. Kemudian pada saat pergantian pengembang menjadi PT. Mahardika Daya dengan nama apartemen Puri Notoprojo yang diawali pada tahun 2016. Melalui pergantian pengembang inilah yang membuat perkembangan gerakan semakin luas. Dengan memasukkan surat untuk kedua kalinya pihak apartemen lagi-lagi tidak mendapat restu dari masyarakat. Kemudian pergantian pengembang dilakukan sekali lagi pada tahun 2017 dengan nama pengembang PT. Abyudaya Tata Anugrah Mandiri. Yang sampai saat ini masih terus mencoba untuk bisa membangun apartemen tersebut. Bermula dari inilah perlawanan masyarakat semakin bertambah, dikarenakan lawan yang dihadapi masyarakat adalah dari
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
335
pihak pemerintah, pengembang, dan warga dikampung balirejo itu sendiri. Pemerintah mulai condong ke pihak pengambang dan tidak berada di posisi netral lagi. Segala upaya dilakukan pihak pemngembang untuk mendapat persetujuan dari warga, dengan menggunakan pendekatan melalui sogok dan janji-janji kepada setiap RT/RW. Masyarakat semakin tidak percaya dengan pengembang karena pihak pengembang melakukan cara-cara yang tidak baik. Perkembangan penolakan juga semakin meningkat dikarenakan pihak pengembang memanfaatkan warga yang setuju untuk dijadikan perwakilan dalam mempermudah pengurusan Izin Mendirikan Bangunan. Perkembangan inilah yang sampai saat ini masih terjadi. Pertumbuhan penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta yang sangat tinggi dan berkaitan dengan pendidikan pariwisata. Mahasiswa luar daerah yang setiap tahunnya banyak berdatangan untuk menuntut ilmu menjadi penyumbang kepadatan penduduk. Kondisi inilah yang digunakan untuk mendirikan kos-kosan yang bertingkat, dan berkembang menjadi pembangunan apartemen degan model yang lebih eksklusif dan menawarkan kenyamanan. Tercatat bahwa pertumbuhan pembangunan apartemen di DIY sangat pesat dan tidak semua mengalami perlawanan dari masyarakat sekitaran lokasi pembangunan. Begitu pula yang terjadi di Dusun Balirejo, ada banyak perlawanan yang dilakukan dari aktifitas pembangunan apartemen Puri Notoprojo. Masalah yang terjadi hampir disemua titik fokus pembangunan seperti, antara masyarakat dan pengembang, pihak pemerintah dan masyarakat. Awal mula rencana apartemen Puri Notoprojo oleh PT. Abyudaya Tata Anugrah Mandiri melalui penanggung jawab utamanya Bapak Taufik., SE yang akan membangun di daerah Balirejo. Rencana pembangunan apartemen dengan jumlah 9 lantai dan 1 basemant dengan luas bangunan 16.338.37 m2 dengan luas tanah 3.725 m2 . Lokasi rencana pembangunan barbatasan langsung dengan lokasi tempat tinggal warga. Alasan Penolakan Terhadap Apartemen Pembangunan identik dengan pembangunan dengan skala nasional dengan fokus untuk pembangunan perekonomian. Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan lahan, kota, bisnis, masyarakat,
336
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
dsb, dengan prinsip utama untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi di masa depan (hps:// id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_berkelanjutan). Pergerakan masyarakat balirejo dilakukan diantaranya adalah kekhawatiran akan lingkungan yang rusak dan tidak dapat dirasakan untuk anak cucu. Berikut ada beberapa alasan penolakan masyarakat Balirejo dalam menolak pembangunan Apartemen Puri Notoprojo: a.
Berdampak kepada Akses Sosial Menurut Fardani (2012:6) mengatakan bahwa dampak sosial adalah sebuah bentuk akibat atau pengaruh yang terjadi karena adanya sesuatu hal. Pengaruh yang dimaksud adalah akibat yang terjadi pada masyarakat, baik karena suatu kejadian mempengaruhi masyarakat atau hal lainnya didalam masyarakat. berikut ada beberapa dampak sosial yang menjadi alasan warga balirejo menolak pembangunan apartemen. a)
Kesenjangan Sosial Menurut Badruzaman (2009;284) dalam penemuannya mengatakan bahwa kesenjangan sosial adalah suatu pola ketidakseimbangan sosial yang ada di masyarakat dengan perbedaan yang sangat mencolok. Atau bisa diartikan bahwa orang kaya mempunya kedudukan yang lebih tinggi dan lebih berkuasa dari pada orang miskin. Ketakutan masyarakat balirejo akan munculnya masalah sosial adalah dengan melihat bahwa sifat individual akan sangat tinggi. Hunian yang akan ditempati adalah hunian yang memiliki desain yang seperti perhotelan, maka masyarakat sangat khawatir akan munculnya batasan antara para penghuni apartemen dan masyarakat sekitar. Masyarakat merasa akan berkurangnya rasa simpati, toleransi, keakraban jika yang menghuni adalah masyarakat yang dari kalangan eksklusif. Kekhawatiran ini juga yang disampaikan oleh bapak Sudarto ketua RT 17 Balirejo wawancara pada 19 Mei 2019: “…orang-orang yang tinggal di apartemen apa nantinya mereka mau ikut dengan kegiatan warga disini, gak Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
337
mungkin lawong sugeh kok.” Sesuai dengan yang ditegaskan oleh Bapak Dono Susilo Ketua RW 05 Balirejo pada 18 Mei 2019: “apa bedanya dengan hotel, kalau apartemen nanti dibangun, keterbatasan dengan warga nantinya pasti terjadi. Walaupun mengatas namakan apartemen.” Menurut penulis Warga balirejo sangat mencemaskan dampak sosial yang akan terjadi seperti yang banyak terjadi di berbagai apartemen, seperti seringnya terjadi pergesekan antara penghuni apartemen dengan warga sekitar, atau minimalnya tidak adanya interaksi sosial penghuni apartemen dengan warga sekitar, yang mengakibatkan tidak terjalin suasana guyub rukun dan damai. b)
Keamanan Keamanan juga menjadi salah satu masalah sosial, sehingga menjadi alasan warga menolak pembangunan apartemen, sesuai denga surat yang dibuat oleh warga balirejo melalui perwakilan setiap ketua RT yang diberikan kepada Dinas Lingkungan Hidup pada tanggal 10 September 2018 yang didalamnya mengatakan bahwa warga asli Balirejo dan pengampu wilayah (RT dan RW) tidak dapat mengawasi langsung aktivitas para penghuni Apartemen yang barangkali potensial terjadi penyalahgunaan narkoba, minuman keras, free sex, perdagangan senjata illegal, juga pembuatan bahan-bahan narkotik. Di samping kemungkinan disusupi teroris. Seperti yang dikatakan oleh bapak Nuryana tokoh masyarakat RT 52 wawancara pada 26 Mei 2019: “..kami disini masih hidup dengan kearifan lokal, kami tidak ingin ada yang dilanggar. Apalagi jaman sekarang, miras sama obat obatan kan berbahaya.” Menurut penulis, Hal inilah yang dikhawatirkan masyarakat Balirejo karena masyarakat tidak bisa sepenuhnya mengontrol keadaan yang ada di apartemen dan juga bertentangan dengan ruh keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang didasari pola hidup masyarakat berbudaya dan bermartabat.
338
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
b.
Berdampak Kepada Akses Fisik Menurut penemuan dari Supardi (2003:183) mengatakan bahwa lingkungan hidup merupakan salah satu sumber daya alam yang memilki peran strategis terhadap keberadaan makhluk ciptaan tuhan termasuk manusia. Ketergantungan manusia terhadap lingkungan membuat manusia harus menjaga lingkungan mereka dari bahaya perbuatan manusia itu sendiri. Menurut peneliti, Berdasarkan teori diatas udara dan air merupakan isu sensitif yang menjadi acuan masyarakat balirejo melakukan gerakan menolak agar mereka tidak kehilangan sumber daya untuk menunjang kehidupan mereka. Terdapat dua dampak akses fisik yang sangat membahayakan lingkungan jika apartemen berhasil dibangun, yaitu: a)
Kualitas Air Berkurang Menurut Lestari (2012) menjelaskan bahwa air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Air juga memiliki sifat yang penting sebagai sumber kehidupan. Pembangunan apartemen dengan ketinggian lebih dari 5 lantai akan berdampak buruk bagi masyarakat. Dampak yang dikhawatirkan oleh masyarakat adalah masalah kapasitas air yang akan sangat terkuras oleh apartemen. Melihat kenyataan bahwa rencana pembangunan akan menggunakan air dari PDAM, namun warga tetap tidak setuju dan khawatir jikalau apartemen sampai didirikan. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh bapak Dono Susilo Ketua RW 05 Wawancara pada 18 Mei 2019: “iya masalah volume air menjadi salah satu masalah nantinya. Kalau alasannya mau pakai PDAM, wong PDAM saja airnya sudah seret-seret kok. Lima tahun terakhir ini sumur di areal balirejo sudah menurun drastis debitnya, Apalagi nanti dibagi dengan apartemen.” Hal ini ditegaskan oleh Bapak Nur tokoh masyarakat RT 52 wawancara pada 26 Mei 2019: “…masalah air nanti jadi masalah mas, kita lihat aja dari pengalaman yang lain-lain.” Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
339
Menurut peneliti, apa yang resahkan oleh masyarakat balirejo terkait sumber air yang berkurang sangat masuk akal dikarenakan telah banyak terjadi di berbagai tempat di Kota Yogyakarta contoh kasus yang dapat diambil sebagai pelajaran. Isu yang diangkat oleh warga sangat baik, dikarenakan sudah pernah terjadi kasus kekeringan yang melanda beberapa daerah di Yogyakarta akibat pembangunan apartemen maupun hotel. Kita ambil salah satu contoh kasus yang tidak jauh dari kampung balirejo yaitu Hotel Fave yang cukup viral terkait kasus kekeringan yang dirasakan warga sekitaran. Isu ini juga dapat membuat pihak pemerintah lebih tegas lagi dalam melihat fenomena kekeringan air yang sering terjadi. b)
Polusi Udara Menurut Chambers dalam (Mukono, 2006) mengatakan pencemaran udara adalah bahan atau kimia yang bertambah ke dalam lingkungan udara normal yang dapat dideteksi oleh manusia serta dapat memberikan efek kepada manusia. Melihat profil monografi dari kelurahan Muja-Muju halaman 9, kampung Balirejo termasuk daerah kawasan tanah kering 153.00 Ha dengan jumlah lokasi pencemaran 1. Dengan berdirinya apartemen maka, efek negatif polusi akan tinggi, artinya jika setiap yang menghuni di apartemen mempunya satu mobil maka polusinya sangat berbahaya. Proses pembangunan juga nantinya akan sangat menggangu masyarakat sekitar seperti yang dikatakan oleh bapak Agus Sukarjo selaku ketua RT 16 Balirejo, yang rumahnya berada tepat didepan lokasi.wawancara pada 21 Mei 2019: “kemacetan sama polusi ne nanti akan menggangu warga sini mas, kalau proses pembangunan yang dateng kan mobilmobil gede, terus suara dan debunya pasti menggangu.” Menurut peneliti, polusi udara merupakan salah satu masalah yang banyak terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia. Apalagi di Daerah perkotaan, hal ini dikarenakan membludaknya kendaraan yang ada dan membuat sulitnya mendapatkan udara segar. isu
340
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
terkait polusi udara yang akan membahayakan masyarakat sangat masuk akal untuk dijadikan alasan penolakan. c.
Berdampak kepada Akses Lalu Lintas Menurut penemuan dari Ey Soesilowat (2008) mengatakan bahwa secara ekonomis, kemacetan lalu lintas akan berdampak ke biaya operasional yang tinggi, hilangnya waktu, polusi udara, tingginya angka kecelakaan, dan juga menimbulkan ketidaknyamanan bagi pejalanan kaki. Melihat dari kenyataan bahwa nantinya yang akan tinggal adalah mereka yang perekonomiannya menengah keatas. Dengan fasilitas yang pastinya dimiliki oleh setiap yang tinggal di apartemen akan membuat kemacetan, dikarenakan oleh jalan yang berada pas didepan apatemen adalah jalan kampung yang kecil dan ketika pagi dan sore sering terjadi kemacetan. Hal ini yang telah dijelaskan oleh bapak Sudarato diatas. Dan dipertegas oleh bapak Dono Susilo ketua RW 05 Balirejo wawancara pada 18 Mei 2019: “..iya kalau kemacetan sekarang sudah sering terjadi, dan itu sangat mengganggu aktifitas warga. Apalagi jalanannya kan kecil.” Menurut peneliti, apabila apartemen didirikan maka akses lalu lintas masyarakat Balirejo akan semakin sulit dan berdampak kepada kualitas udara dan stress sesama pengguna jalan yang dapat memicu sengketa di antara pengguna jalan. Hal tersebut berdasarkan fakta yang ada dilapangan, lokasi tempat rencana pembangunan memiliki badan jalan yang sempit, tingkat kepadatan lalu lintas yang tinggi yang padat, dan ditambah dengan aktivitas apartemen baik dari tahap pembangunan maupun tahap operasional nantinya.
Bentuk-Bentuk Perlawanan Masyarakat Balirejo Apartemen Puri Notoprojo yang nantinya akan dibangun di sekitaran RW 05 sampai saat ini terus diawasi dan diupayakan oleh masyarakat agar tidak terjadi. Masyarakat tidak menerima jika nantinya akan dibangun apartemen dikawasan mereka dengan alasan yang telah disampaikan diatas. Berikut adalah beberapa bentuk perlawanan yang diupayakan oleh warga Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
341
balirejo khususnya RW 05 dan 06 dalam menolak pembangunan apartemen puri Notoprojo sebagai berikut: a
Warga Balirejo RW 05 dan RW 06 Membuat Petisi Penolakan Berpartisipasi guna melakukan sebuah perubahan merupakan hak untuk setiap orang. Petisi adalah pernyataan yang disampaikan kepada pemerintah untuk meminta agar pemerintah mengambil langkah tegas terhadap suatu hal. Hak petisi berada pada warga Negara dan juga badan-badan pemerintahan, seperti kotapraja, kabupaten dan provinsi agar pemerintah pusat membela atau memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan daerahnya (hps://id.wikipedia.org/wiki/ Petisi#cite_note-ensiklopedi-1). Dalam memperjuangkan hak mereka atas daerahnya. Warga balirejo melalui pengurus RW 05 dan RW 06 menyusun strategi dengan melakukan petisi yang ditandatangani oleh kedua pengurus RT dan RW. Sesuai yang telah dijelaskan diatas apa isi dari petisi yang dituangkan dalam berita acara yang ditujukan kepada Walikota Yogyakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pusat Jakarta, Dinas Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta, Camat Umbulharjo, dan Lurah Mujamuju, Umbulharjo, Yogyakarta. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Bapak Dono Susilo ketua RW 05 Balirejo wawancara pada 16 Juni 2019: “..iya saat itu kami memberikan ke semua instansi mas, isinya lengkap alasan dan tanda tangan dan stempel dari setiap RT.” Menuru peneliti, Dengan petisi yang dibuat dan dilengkapi dengan tanda tangan serta cap resmi dari setiap RT dan RW 05 dan 06 agar pembangunan dapat dibatalkan cukup berhasil membuat pihak pengembang kesulitan. Dikarenakan orang-orang yang bertanda tangan dalam petisi penolakan adalah mereka yang dipercaya sebagai perwakilan suara warga Balirejo. Disini juga terlihat bagaimana solidaritas yang dijaga oleh setiap pemimpin dari setiap RT maupun RW sebagai perwakilan suara rakyat untuk satu suara menolak pembangunan. Perkembangan era teknologi sekarang memang sangat mempengaruhi, petisi pada era perkembangan teknologi dapat lebih mudah dan lebih cepat serte efektif. Namun untuk kasus yang ada di balirejo, petisi yang dibuat tersampaikan ke semua elemen yang
342
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
terkait dan terbukti menjadi salah satu pengaruh apartemen berhenti pembangunannya. Ternyata langkah membuat petisi untuk menyuarakan hak-hak pernah terjadi, salah satu contoh adalah pembangunan apartemen Uara e Icon yang pada saat peringatan HUT RI ke 71 di Karangwuni, petisi dibacakan dalam acara malam tirakatan. Ternyata apa yang dilakukan masyarakat karangwuni waktu itu tidak mendapatkan jalan keluar atas keluhan mereka, terbukti bahwa pembangunan masih terus berjalan dan sekarang sudah beroperasi (hps://nusantaranews.co/ petisi-warga-tolak-pembangunan-warnai-peringatan-hut-ri-ke-71-dikarangwuni-yogyakarta/).
Gambar 3 : Petisi Penolakan Pembangunan
Sumber: Dokumentasi Mas Andi Tidak sampai disitu saja, warga kemudian membuat baliho dari hasil petisi yang dibuat yang telah ditandatangani dan distempel oleh perwakilan RT dan RW yang kemudian di pasang dipinggir jalan. Lihat gambar.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
343
Gambar 4 : Pemasangan Petisi Oleh Warga Balirejo
Sumber: Dokumentasi Mas Andi b
Warga Balirejo Membuat Baliho Keinginan masyarakat untuk terus berjuang menolak pembangunan apartemen tidak berhenti hanya melalui petisi saja. Selain bentuk perlawanan diatas, membuat dan memasang baliho disepanjang jalan dikampung dan di depan lokasi pembangunan merupakan suatu bentuk perlawanan yang dilakukan masyarakat. adapun biaya pembuatan baliho adalah dari iuran para relawan atau ketua RW dan para ketua RT. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan bapak Sukarjo Ketua RT 16 Balirejo wawancara pada 21 Mei 2019: “kalau spanduk kami pasang di jalan-jalan, didepan lokasi pembangunan juga ada kami pasang.” Hal tersebut sesuai dengn apa yang disampaikan oleh Bapak Sudarto ketua RT 17 wawancara pada 19 Mei 2019: “baliho yang kami pasang itu baru terus mas, ya pokoknya setiap rusak atau robek langsung ganti baru. Dana dari sumbangan
344
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
orang yang diperumahan belakang sana.” Meskipun pemasangan baliho yang dilakukan warga ternyata mendapat perlawanan, dengan sering adanya baliho yang tiba tiba robek dan hilang akibat dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Warga tetap rutin untuk memasang dan mengganti dengan yang baru. Baliho yang dipasang masyarakat bukan hanya asal-asalan. Menurut peneliti, membuat dan memasang baliho yang dilakukan warga Balirejo cukup berguna. Baliho disini digunakan oleh masyarakat untuk mengkampanyekan dan mensosialisasikan kepada masyarakat luas terkait penolakan apartemen. Baliho yang dipasang sangat menggambarkan tujuan bersama yang ingin dicapai. Dengan adanya baliho terpasang warga berharap kalau pemerintah bisa mengambil tindakan yang tegas dan mendengarkan aspirasi rakyatnya. Ketika begitu banyak baliho yang terpasang, terlihat bahwa masyarakat memang serius dalam mengahadapi pembangunan apartemen yang dapat membuat lingkungan balirejo tidak baik lagi.
Gambar 5 : Proses Pemasangan Baliho Oleh Warga
Sumber: Dokumentasi Mas Andi
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
345
c
Warga Balirejo RW 05 dan RW 06 Melakukan Audiensi Kepada Satpol PP kota Yogyakarta, Kelurahan, DLH, FORPI, dan WALHI Audiensi menurut (KBBI) adalah kunjungan kehormatan. Yang biasanya dilakukan antara masyarakat dan pemerintah. Setelah membuat petisi dan baliho, ternyata bentuk perlawanan yang dilakukan masyarakat semakin meluas. Warga yang menolak, melakukan Audiensi dengan pihak Satpol PP terkait pembangunan apartemen sesuai yang dikatakan bapak Dono Susilo Ketua RW 05 wawancara pada 18 Mei 2019: “..semua intansi kami tembusi seperti DLH, camat, ombudsman. Waktu itu kami mengirim surat penolakan ke kelurahan terus FORPI juga. Kami juga melakukan pertemuan dengan Satpo PP jogja.”
Gambar 6 : Bukti Pengaduan Kepada Pemerintah
Sumber: Dokumentasi Mas Andi
Gambar 7 : Proses Audiensi Warga dengan Forpi dan Satpol PP
Sumber: Dokumentasi Mas Andi
346
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Setelah melakukan audiensi dengan pihak Satpol PP, warga mendapat angin segar dengan tindakan yang dilakukan oleh pihak Satpol PP menutup proses pembangunan apartemen. Kemudian warga memberikan karangan bunga atas tindakan yang dilakukan oleh Satpol PP. sesuai yang dikatakan oleh Bapak Dono Susilo Ketua RW 05 wawancara pada 18 Mei 2019: “…iya kami memberikan karangan bunga, kami mengapresiasi tindakan tegas yang mereka ambil .”
Gambar 8: Apartemen di Segel
Sumber: Dokumentasi Mas Andi Selain melakukan audiensi dengan pihak diatas, salah satu strategi yang digunakan warga balirejo adalah dengan melakukan komunikasi dengan pihak WALHI. Warga datang untuk menanyakan sikap WALHI dan menanyakan undang-undang lingkungan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh bapak Dono Susilo Ketua RW 05 Balirejo wawancara pada 16 Juni 2019: “pihak walhi kami datangi untuk menanyakan sikap WALHI terkait masalah AMDAL.” WALHI sendiri berada pada posisi Anggota Komisi Penilaian AMDAL dalam rencana pembangunan apartemen. Bapak Adi dari pihak WALHI membenarkan adanya pengaduan. Namun, sampai saat
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
347
ini pihak WALHI belum mengetahui bentuk yang akan dilakukan namun mereka tetap mengacu pada UU lingkungan. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Bapak Adi selaku Ketua bidang Advokasi WALHI, wawancara pada tanggal 21 Juni 2019: “sampai saat ini kami masih sebatas komunikasi biasa, karena belum ada tindak lanjut mengenai yang akan dilakukan kedepan. Warga datang ke WALHI setelah ada undangan untuk sidang AMDAL, tapi warga nolak untuk hadir di siding. Sampai saat ini hanya sebatas komunikasi biasa dan belum ada arah mau kemana. Kami saat itu hanya membantu melalui kampanye karena disana ada ruang terbuka hijau disebelah jembatan. Jadi kami harus ketemu dulu dengan warga.” Menurut Peneliti, langkah untuk melakukan audiensi yang dilakukan warga Balirejo sangat efektif dan bermanfaat. Terbukti bahwa beberapa hari setelah melakukan audiensi, proyek pembangunan apartemen disegel oleh Satpol PP sampai saat ini. Messkipun terdapat beberapa pihak instansi pemerintah yang masih terlalu berat sebelah ke pengembang, tetapi dalam audiensi ini keluhan dan fakta yang dibawa dan dinyatakan oleh masyarakat belirejo berhasil diterima dan ditindak dengan tegas. Terbukti warga yang menolak apartemen bukan warga yang mudah untuk dihasut. Selama hampir empat tahun perjalanan penolakan warga masih tetap kokoh untuk kapanpun turun ke jalan jikalau ada yang dirasa ganjal dan merugikan banyak pihak. d.
Warga Kembalikan Surat Keputusan Pengangkatan Pengurus RT dan RW Kepada Kelurahan Bentuk perlawanan yang terahir dilakukan oleh Warga balirejo adalah mengembalikan SK sebagai pengurus RT dan RW ke kelurahan pada tanggal 15 Januari 2019, dikarenakan pengurus resmi yang mewakili masyarakat tidak dilibatkan dalam siding AMDAL yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta. Sesuai yang diceritakan oleh bapak Dono Susilo Ketua RW 05 Balirejo wawancara pada 16 Juni 2019: “iya saat itu kami datang untuk menyerahkan SK pengangkatan kami, karena kami sebagai perwakilan dari masyarakat tidak satupun yang diikutkan dalam sidang AMDAL.”
348
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Melihat hal yang dilakukan oleh warga yang mengembalikan SK kepengurusan di tanggapi oleh lurah Mujamuju. Sesuai yang dikatakan oleh Bapak Jemari, wawancara pada 11 Juni 2019: “iya saat itu warga datang untuk mengembalikan SK, kita tindak lanjuti beberapa hari setelah itu. Kami pertemukan semua disini. Kalau untuk sekarang saya rasa sudah selesai semua.” Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Bapak Sudarto Ketua RT 17 wawancara 19 Mei 2019: “..kami kumpul di kelurahan, sudah selesai kalau itu mas, pihak dari kelurahan sama camat sudah meminta maaf atas tindakannya.” Menurut peneliti, dari beberapa bentuk perlawanan yang dilakukan, pengembalian SK yang dilakukan oleh setiap RT/RW yang sangat efektif. Terlihat bahwa pengembalian SK yang dilakukan akan berdampak terhadap pihak kelurahan yang nantinya akan terjadi kekosongan jabatan, sedangkan RT/RW merupakan perpanjangan tangan dari pihak kelurahan kepada masyarakat. Dari beberapa perlawanan yang pernah ada, bentuk perlawanan inilah yang peneliti anggap paling unik dan menarik. Warga berhasil membuat pihak pemerintah dan pengembang tidak bisa berbuat apa-apa selain meminta maaf atas tindakan yang telah dilakukan. Kalau dilihat dari teori yang peneliti gunakan, menurut Tarrow dalam (Suharko 2006:5-7) salah satu indikator untuk mengukur gerakan sosial adalah Tujuan Bersama. Keinginan untuk bersama-sama melakukan gerakan melawan pihak yang merugikan sangat jelas dalam bentuk perlawanan ini.
Gambar 9: Pengembalian SK Oleh RT dan RW
Sumber: Dokumentasi Oleh Mas Andi
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
349
Dampak Perlawanan Masyarakat Balirejo Bentuk penolakan yang dilakukan oleh warga Balirejo dalam menolak pembangunan apartemen Puri Notoprojo sangat berfariasi dan terus berkembang. Setiap kejadian yang dialakukan pasti akan memberikan dampak, baik dampak yang positif maupun memberikan dampak negatif. Perlawanan warga Balirejo RW 05 dan 06 dalam menolak pembangunan apartemen berdampak bahwa sampai pada saat ini proses pembangunan apartemen secara fisik telah berhenti dan berdampak pada masalah sosial. Peneliti pada bagian ini melihat dari kejadian yang ada di lapangan dan berdasarkan dari pengamatan. Sesuai yang dikatakan oleh Karim (1999:40) bahwa sebuah penolakan terhadap suatu pembangunan akan menimbulkan konflik sosial yakni perubahan dalam rana sosial. Daiantaranya perubahan sosial yang terjadi di Balirejo yaitu: a)
b)
350
Informasi Satu Arah Terjadinya penolakan apartemen yang dilakukan warga Balirejo ternyata memiliki dampak dari segi informasi. Masyarakat banyak yang lebih berhati-hati dan bungkam terhadap informasi. Informasi mengenai penolakan apartemen sesuai dengan yang telah dijelaskan diatas bahwa masyarakat menyerahkan semua ke RT/ RW sebagai perwakilan dari meraka. Dalam melakukan penelitian penulis merasakan bahwa masyarakat ketika disinggung mengenai pembangunan apartemen memilihi untuk diam. Warga memilih diam karena warga memiliki alasan, yaitu takut dengan kesalahan informasi yang diberikan, dikarenakan isu penolakan sangat sensitif. Perubahan Kondisi Sosial Terbaginya dua kubu antara setuju dan tidak setuju terkait penolakan apartemen yang terjadi di kampung Balirejo membuat kondisi sosial yang ada di masyarakat berubah. Terdapat permainanpermainan halus yang dimainkan diantara kedua pihak yang mengakibatkan kesenjangan sosial terjadi. Melihat dari penolakan yang dilakukan sampai saat ini terjadi gesekan antar warga, saling curiga, saling menghina, kemudian adanya permaian sogok-menyogok yang dilakukan tanpa diketahui oleh RT/RW sebagai pengurus. Hal ini sangat berbahaya bagi masyarakat.
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Tentunya yang harus digaris bawahi disini adalah apa yang dilakukan oleh pihak pengembang sehingga terjadi perpecahan diantara masyarakat, meskipun dari pihak yang setuju hanya sedikit jumlahnya. Namun berefek untuk kelangsungan hidup diantara masyarakat. Warga balirejo menerapkan hidup dengan budaya dan kearifan lokal sebagai landasan untuk bersatu. Tentuny adanya kondisi demikian adalah sesuatu yang tidak diharapkan. Sesuai dengan teori dari Karim (1999) yakni perubahan sosial terjadi akibat adanya pergerakan untuk menolak suatu pembangunan yang dapat menimbulkan konflik dan dampak sosial yaitu perubahan sosial. Kerukunan antar warga merupakan salah satu norma yang ada dalam masyarakat. Kerukunan harus dijaga untuk pemersatu keberlangsungan hidup di daerah tersebut. Melihat perubahan sosial yang terjadi penulis lebih setuju dengan yang dikemukakan oleh MacIver dalam (Soekanto, 2009:263) mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial merupakan sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan sosial. Dalam menyesuaikan dengan yang ada pada perubahan di masyarakat Balirejo. Dapat dilihat bahwa pembangunan apartemen yang memunculkan penolakan apartemen berdampak ke perubahan yang terjadi dengan melihat kenyataan bahwa keseimbangan hubungan antara masyarakat tidak terjalin dengan baik. Dengan melihat fakta yang ada dilapangan munculnya rasa curiga, intimidasi, berita bohong dan yang paling parah adalah ujaran kebencian. Hal inilah yang menjadi pengaruh terhadap keseimbangan pola perilaku yang ada pada masyarakat kampung Balirejo. Munculnya respon dari masyarakat balirejo ternyata bertentangan antara pengembang, masyarakat dan pemangku kekuasaan. Melihat pergerakan penolakan yang dilakukan oleh masyarakat bukannya tanpa alasan yang jelas. Maka pemerintah sebagai pihak yang berwenag harus melihat, menimbang, dan merasakan dengan jelas dan cermat untuk mengambil tindakan yang nantinya tidak memberikan dampak yang buruk untuk masyarakat.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
351
Kesimpulan Penelitian ini menarasikan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Warga Balirejo, khususnya warga RW 05 dan 06 dalam melakukan perlawanan terhadap pembangunan apartemen di Dusun Balirejo, Kelurahan Muja Muju, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Dalam penelitian ini, penulis memulai dengan mengidentifikasi terlebih dahulu perihal aksi yang dilakukan Warga Balirejo merupakan gerakan sosial. Kemudian, penulis melanjutkan dengan menceritakan alasan penolakan terhadap apartemen. Kemudian, bentuk-bentuk perlawanan yang digunakan oleh Masyarakat Balirejo. Kemudian, dampak dari perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Balirejo terhadap pembangunan apartemen di Dusun Balirejo. Terdapat empat indikator yang penulis gunakan sebagai bahan dasar untuk menjelaskan aksi bersama yang dilakukan dapat dikatakan gerakan sosial. Tantangan Kolektif bagi masyarakat Balirejo untuk menghadapi kerusakan lingkungan yang mengancam kelangsungan hidup dan kesempatan untuk anak cucu dimasa akan datang; Tujuan Bersama masyarakat balirejo adalah membatalkan rencana pembangunan apartemen Puri Notoprojo. Solidaritas dan Identitas Kolektif adalah kecintaan terhadap lingkungan; terakhir yang menjadi faktor utama dari Memelihara Politik Perlawanan adalah gerakan yang bersifat kerelawanan dan persaudaraan yang kuat dari setiap individu yang ikut berpartisipasi. Dalam gerakan perlawanan yang dilakukan oleh warga Balirejo, Solidaritas dan Identitas Kolektif dirasa lebih dominan dalam gerakan sosial. Solidaritas warga Balirejo sangat terlihat disetiap pergerakan yang dilakukan. Selain itu jargon “Harga Mati, Warga Balirejo Tolak Apartemen” menjadi bumbu-bumbu semangat bagi masyarakat Balirejo untuk menjaga lingkungan agar dapat dinikmati bukan hanya saat ini tapi untuk masa depan. Penolakan terhadap apartemen bukannya tanpa alasan. Warga Balirejo memilki alasan yaitu akan berdampak kepada akses sosial, berdampak kepada akses fisik, berdampak kepada akses lalu lintas. Alasan kuat inilah yang membuat masyarakat terus berjuang sampai saat ini untuk menolak pembangunan apartemen. Beberapa bentuk perlawann masyarakat Balirejo adalah Pertama, warga mengadakan pertemuan dan membuat petisi penolakan yang
352
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
diberikan kepada Walikota Yogyakarta, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pusat Jakarta, Camat Umbulharjo, dan Lurah Mujamuju. Kedua, warga membuat dan memasang baliho disepanjang jalan kampung tempat lokasi pembangunan apartemen sebagai tanda keseriusan dalam menolak pembangunan apartemen. Ketiga, warga Balirejo RW 05 dan 06 melakukan audiensi kepada Satpol PP Kota Yogyakarta, Kelurahan, FORPI, dan DLH. Keempat, warga mengembalikan Surat Keputusan pengurus RT dan RW kepada Kelurahan sebagai tanda kekecewaan dari para ketua dan wakil masyarakat yang tdak dilibatkan dalam siding komisi AMDAL sebagai salah satu syarat izin untuk mendirikan bangunan. Perlawanan yang dilakukan oleh warga Balirejo terhadap pembangunan apartemen selama ini ternyata memilki dampak negatif dan positif. Dampak negatif yang terjadi adalah terjadinya perubahan dalam rana sosial seperti: informasi satu arah, yatitu warga memilki kecemasan ketika ditanya dan membicarakan mengenai penolakan apartemen. Warga lebih memilih untuk memberikan kepada ketua RT dan RW sebagai perwakilan mereka. Kemudian, terjadinya Perubahan Kondisi Sosial dengan munculnya ketidakharmonisan dengan saling menuduh satu sama lain yang berakibat terjadinya pergeseran nilai-nilai hubungan sosial dan saling tidak percaya antara masyarakat dengan pemerintah kemudian masyarakat dengan masyarakat. Kemudian dampak positif yang terjadi adalah samapai saat ini proses pembangunan apartemen masih disegel dan telah berhenti proses pembangunan secara fisik.
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
353
Daar pustaka Badruzaman. 2009. Dari Teologi Menuju Aksi Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Fadhillah, Putra, dkk,. 2006. Gerakan Sosial, Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia, Malang : PlaCID`s dan Averroes Press. Gaffar, A. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Imam Supardi. 2003. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya, Alumni, Bandung. Margono, S. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Mukono HJ. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan Surabaya: Airlangga University Press. Razak, Yusron. 2008. Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam. Jakarta: Mitra Sejahtera. Sanit, Ardit. 1985. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali. Situmorang. 2013. Gerakan Sosial: Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suharko. 2006. Gerakan Sosial, Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan, dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia. Malang. Averros, PLaCID’s & Simpul Demokrasi Sukmana, Oman. 2016. Konsep dan Teori Gerakan Sosial. Malang: Intrans Publishing. Sumber Skripsi dan Tesis Huda, F. 2017. Konflik Air Antara Warga dan Hotel Fave di Kampung Miliran Kelurahan Muja-Muju Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri sunan Kalijaga Yogyakarta.
354
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Ifada, Y, T. 2017. Tinjauan Tentang Perizinan Pembangunan Apartemen (Studi Kasus Pembangunan Apartemen Uara e Icon Oleh PT. Bukit Alam Permata). Tesis. Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Mahligai, A. 2007. Gerakan Penolakan Pembangunan Pasar Induk Keputran Baru Oleh Warga Kebraon Surabaya. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga Surabaya. Pamungkas, D. 2017. Perizinan Pendirian Apartemen di Kabupaten Sleman. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Refdi. 2016. RESPONSIVITAS PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA DALAM MENANGANI KASUS KEKERINGAN AIR DI KOTA YOGYAKARTA (Studi kasus : Kekeringan Air yang disebabkan oleh Hotel Fave Kusumanegaran). Skripsi. Fakultas Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada. Sanjaya, I. 2017. GERAKAN ANTI-TAMBANG LUMAJANG (Studi Kasus: Repertoar Perlawanan Laskar Hijau TerhadapPertambangan Pasir Besi di Desa Wotgalih Kecamatan YosowilangunKabupaten Lumajang). Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Satria, G., P. 2017. Gerakan Perlawanan Masyarakat Pegunungan Kendeng Rembang Terhadap Pembangunan Pabrik Semen Indonesia Tahun 2014-2017. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro. Sumber Jurnal Anonim. 2008. Monograph on Politics and Government. Vol. 2. No.1. 2008:1122 Hussey, Laura S. 2013. Political Action Versus Personal Action: Understanding Social Movements’ Pursuit of Change rough Nongovernmental Channels. American Politics Research. Vol 42. Page 409-440. Sage Publication. Rosid. 2014. Dinamika Gerakan Sosial: Studi Peran Intelektual dalam Melakukan Gerakan Sosial dengan Masyarakat Sipil untuk
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
355
Mendapatkan Pelayanan Listrik di Desa Mulyorejo Kecamatan Silo Kabupaten Jember. Studentjournal. Vol 3, No 1. Suharko. 2006. Gerakan Sosial Baru di Indonesia : Repertoar Gerakan Petani. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 10, No1 : Yogyakarta. Sumber Internet Ellantoto. 2016. Kasus Apartemen Uara Warga Tak Pernah Tinggal Diam di hps://Ellantoto.Wordpres.Com/2016/01/12/Kasus-ApartemenUara-Warga-Tak-Pernah-Tinggal-Diam (akses 20 Mei 2019). Ismiyanto, 2017. Tolak Apartemen, Warga Balirejo Geruduk Sat Pol PP Kota Yogya di jogja.tribunnews.com/2017/05/03/tolak-apartemen-wargabalirejo-geruduk-sat-pol-pp-kota-yogya (akses 20 juli 2018). Kurniyatul. 2018. Warga Pertanyakan Amdal dan IMB Apartemen Dhika Universe yang Dikeluarkan Pemkot Yogya di htpps://www.jogja. tribunnews.com/2018/09/17/warga-pertanyakan-amdal-dan-imbapartemen-dhika-universe-yang-dikeluarkan-pemkot-yogya(akses 20 Mei 2019). Pertiwi. 2015. Pisowanan Ageng wuju Keiatimewaan Buadya Yogyakarta di hps://travel.kompas.com/read/2015/03/09/081100327/Pisowanan. Ageng.Wujud.Keistimewaan.Budaya.Yogyakarta (akses 18 Mei 2019). Purnama. 2015. Warga Gadingan Tolak Apartemen di hps://jogja. tribunnews.com/2015/02/06/warga-gadingan-tolak-apartemen (akses 20 Mei 2019). Putsanra. 2017. Warga Yogya Menolak Pembangunan Hotel dan Apartemen di hps://tirto.id/warga-yogya-menolak-pembangunan-apartemencsjG(akses 1 Agustus 2018). Sunartono. 2015. Apertemen Sleman: Tetap Menolak, Warga Pasang Portal di hps://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2015/04/14/512/594607/a partemen-sleman-tetap-menolak-warga-pasang-portal (Akses 20 Mei 2019). Sutriyati. 2018. Bertemu Pihak Pengembang, Warga Terban Yogya tetap Tolak Pembangunan Apartemen di hps://kabarkota.com/bertemupihak-pengembang-warga-terban-yogya-tetap-tolak-pembangunan-
356
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
apartemen/(akses 21 Mei 2019). Wardhani, 2019. Tolak Pembangunan Apartemen, Warga Balerejo Geruduk Kelurahan Muja Muju di jogja.tribunnews.com/2019/01/15/tolakpembangunan-apartemen-warga-balerejo-geruduk-kelurahan-mujamuju (akses 19 Januari 2019). Yulianingsih. 2017. Warga Desak Pemkot Yogya Tindak Tegas Pembangunan Apartemen Ilegal di hps://www.republika.co.id /berita/nasional/ daerah/17/ 05/03/opmd47291-warga-desak-pemkot-yogya-tindaktegas-pembangunan-apartemen-ilegal (akses 20 Juli 2018).
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
357
ƯƲ
>÷ŕÐĤÐį¯ÐŕĊÐ÷ŕðÐƄÐDž "Ðŕē+êĸħĸĊēêÐħCÐéēŤŪŚ`÷įŪġŪ ĸħēŤēĤ÷ŕħОÐįÐįĸŚēÐħðēµĸĊƄÐĤÐŕŤÐ Hanapi
“Aku lebih bangga hidup berdaya sendiri walaupun kebutuhan saya kurang, saya masih bertanggungjawab terhadap diri sendiri. Saya malu kalau jadi seperti Budiman Sujadmiko mereka disubsidi negara kenapa harus bangga. Saya selalu pakai pertamak dan tidak pernah beli preminium karena saya merasa mampu dan tidak perlu disubsidi negara” (Dodo, Aktivis Warga Berdaya).
G
erakan sosial kewargaaan muncul dengan format gerakan yang anti-mainstream dalam teori-teori gerakan sosial selama ini dimana gerakan sosial lama yang sangat kaku dan memiliki aliansi yang terbatas. Begitupun sebaliknya dengan gerakan sosial baru yang lintas kelas namun lebih menekankan pada isu yang luas dari pada aspek kewargaan. Hadirnya model gerakan warga berdaya di Yogyakarta berusaha menjawab lemahnya inisiatif kewargaan dalam melakukan perlawanan sosial di kota pendidikan ini khsusnya pembangunan hotel, pengawasan kebijakan, kekeringan air dan advokasi politik yang anti mainstream. Berangkat dari kesadaran kritis dan praktik-praktik ekologis yang telah mengakar dalam diri aktivisnya yang selalu berjuang dengan tindakantindakan kecil untuk melawan sistem yg menopang kehidupan ekploitatif di perkotaan. Para warga ini bergerak tanpa struktur formal, basis massa 358
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
besar dan organisasi mapan. Namun mereka membangun model partisipasi kewarganegaraan yang aktif atau berdaya dimana setiap ada tindakan yang melanggar konstitusi bangsa maka warga ini melakukan perlawanan mereka secara terencana, terorganisir maupun responsif. Misalnya, aksi Elanto dalam menghentikan aksi motor gede yang sering melanggar peraturan lalu lintas telah menghebohkan publik dimana seorang warga melakukan perlawanan dengan sepedanya terus direkam oleh temannya. Elanto mengatakan aksi yang dia lakukan sebagai tindakannya atas pelanggaran lalu lintas yang dimana polisi cenderung membiarkan konvoi seperti ini padahal bagi saya ini salah atau ketidakwajaran (Kompas, 16/08/15).1 Aksi yang dilakukan oleh Elanto bukan hanya satu atau dua kali tetapi lebih terorganisir dimana dia berkumpul bersama aktivis Yogyakarta yang memiliki nalar keberpihakan sosial untuk melakukan kerja-kerja advokasi politik terhadap pembangunan yang merugikan masyarakat. Di dalam gerakan warga berdaya ini tidak ada peran tokoh utama namun semua tokoh atau aktivis memainkan peran utama, sesuai dengan isu atau kapasitas mereka. Pada isu air maka kita bisa menemukan bagaimana perlawanan Dodok (aktivis warga berdaya) membangun perlawanan dengan aksi yang penuh teatrikal sekaligus terdokumentasikan dengan bantuan Watch Dog yang membuat dokumentasi menjadi model perlawanan yang bernafas panjang terhadap aktor neoliberal di Yogyakarta.2 Perlawanan individu-individu ini memainkan peran fundamental untuk membangun kesadaran kolektif dan gerakan untuk melawan rezim korporatis yang merugikan masyarakat, apa yang diinsiasi oleh warga berdaya ini adalah tindakan-tindakan politis yang memiliki daya ubah terutama pada basis kesadaran warga akan pentingnya peran aktif warga negara dengan mengontrol kekuasaan yang dijalankan oleh negara atau pemerintah daerah. Gerakan ini tidak berfokus pada satu isu pembangunan melainkan hampir di setiap isu sosial, mereka melakukan advokasi politik kreatif. Hamada Adzani (2016:27-36) mengatakan warga berdaya berjuang untuk Ʈ https://regional.kompas.com/read/2015/08/16/16134261/Ini.Alasan.Elanto.Hentikan.Konvoi. Moge.di.YogyaNj"ēĤŚ÷ŚÐðÐÐįĊĊÐħƮƮǑƮƯǑƮƶNjTÐĮƮƴDžưƵNj Ư XēďÐŤ=ēħĮ"ĸĤŪĮ÷įŤ÷ŕµĸĊƄÐ"ēé÷ħ÷ĤÐįĊCĸŤ÷ħ"ĸĤŪĮ÷įŤÐŚē¯ÐêŤď"ĸĊðēµĸŪŤŪé÷Njhps:// www.youtube.com/watch?v=mGwS78pMPmUNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
359
mengembalikkan agar ruang-ruang publik menjadi milik publik bukan dikuasai oleh pedagang atau pembisnis dimana pembangunan di kota ini telah memberikan kemudahan bagi pertumbuhan hotel, apartemen dan lainnya yang menciderai hak-hak warga negara.3 Ruang publik ini menyangkut seluruh aspek pembangunan yang merusak, misalnya, meningkatnya pedagang kaki lima di trotoar telah membuat pejalan kaki kehilangan haknya dan pembangunan hotel khususnya Fave Hotel telah membuat warga sekitar melakukan protes dimana keberadaan Fave Hotel telah menjadi musibah bagi warga Yogyakarta karena mengalami kekeringan air. Sebelum kehadiran hotel ini warga tidak pernah mengalami kekeringan. Isu-isu yang diadvokasi oleh warga berdaya sangat luas. Ini tidak hanya berkaitan dengan izin, proses kebijakan dan pembangunan tetapi setiap persoalan yang mendesak khususnya krisis ekologis dan perusakan budaya, warga melakukan advokasi secara massif untuk melawan pemerintah yang bersekongkol bersama korporasi.4 Usaha-usaha berbasis kewargaan yang lakukan oleh warga berdaya ini setidaknya telah mengubah model gerakan di Yogyakarta dimana warga selama ini selalu tersubordinasi dalam proses kontestasi politik dan pembangunan dikarenakan oleh sistem monarki yang hidup di alam demokrasi, apa yang diperjuangkan oleh warga berdaya telah membentuk indentitas dan format gerakan ekologis diluar model gerakan sosial lama ataupun baru yang mana kewargaan menjadi basis kuat dalam gerakannya. Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan dua bagian penting yaitu, pertama, tentang bagaimana ekological habitus yang terbentuk pada diri aktivisinya telah mendorong perlawanan invidual menuju advokasi sosial yang memiliki dampak perubahan signifikan dalam membangun kesadaran bersama bahwa kerusakan lingkungan di Yogyakarta disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada warga negara; Kedua, melihat dinamika advokasi politik yang dilakukan warga berdaya terhadap pembangunan hotel di Yogyakarta; Ketiga, menjelaskan bagaimana pembentukkan ecological habitus itu telah membentuk politik ekologi yang ư `ÐďÐŚžÐŕÐdžCÐĮÐðÐðƌÐįēNj`÷įĊĊŪĊÐŤŪÐįĊŪéħēĤ`÷ħÐħŪē>÷ŕÐĤÐį`ÐŚƄÐŕÐĤÐŤǘŤŪðē VÐŚŪŚ>÷ŕÐĤÐį¯ÐŕĊÐ÷ŕðÐƄÐðēµĸĊƄÐĤÐŕŤÐǙNjTŪŕįÐħ÷ĮēĤēŕÐįĸŚēĸħĸĊēNj®ĸħNjưNjaĸNjƯĊŪŚǜ ŤŪŚƯƭƮƳNj Ʊ GéēðNjdžďÐħdžNjƯƳǜưƵ
360
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
berbasis kewargaan (ecological citizenship) yang menjadi model baru dalam gerakan politik lingkungan di Indonesia. Melacak Pembentukkan Ekological Habitus Warga Berdaya Ecological habitus adalah konsep yang dipakai oleh sosiolog untuk menjelaskan bagaimana proses pembentukkan kesadaran hijau individu di dalam struktur sosial kapitalis, pembentukkan ini sebagai perlawanan sekaligus gaya hidup yang ramah lingkungan untuk mendorong perubahan sosial. Randolph Haluza Delay mengatakan terbentuknya ecological habitus disebabkan oleh keterlibatan individu di dalam gerakan sosial atau organisasi sosial.5 Proses pembentukkan ini bisa dilacak dari mana individu pertama kali mendapatkan pengetahuan akan lingkungan, yang kemudian mendorong seseorang untuk peduli pada kondisi alam dan membangun identitas hijaunya.6 Terbentuknya identitas ini di dalam masyarakat barat didorong oleh sistem sosial yang telah menopang kehidupannya seperti transfortasi yang ramah lingkungan, tersedianya makanan organik untuk vegetarian dan lainnya. Kondisi sosial ini sangat berbeda dalam masyarakat timur dimana praktek-praktek ecological habitus itu cenderung inkonsisten dikarenakan kebijakan dan sistem sosial tidak mendukung masyarakat untuk menjadi hijau secara ‘aksologis-praksis’.7 Namun, ekological habitus itu berusaha diwujudkan oleh warga berdaya di dalam aktivisme kesehariannya melalui aktor-aktornya. Khususnya dua aktor warga berdaya Elanto dan Dodo. Berbicara dua aktor ini untuk melacak secara detail bagaimana mereka membangun kesadaran ekologis yang memiliki keberpihakan advokatif untuk kepentingan masyarakat. Dodo dalam hal ini sangat dibentuk oleh lingkungan sosialnya dimana ia bergaul dengan masyarakat kelas bawah sehingga solidaritas sosial dan penderitaan masyarakat akibat dari kerusakan lingkungan ia bisa rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun internalisasi nilai-nilai ekologis di dalam dirinya juga disebabkan oleh pemahanan teks-teks agama secara progressif melalui ajaran perumpamaan. Secara lebih detailnya, Dodo mengatakan, Ʋ "÷ħÐƄdžÐįðĸħŒCÐħŪƌÐNjď÷ŕÐêŤēê÷ĸĉ+įŽēŕĸĮ÷įŤÐħēŚĮDžŕ÷ÐŤēįĊ+êĸħĸĊēêÐħCÐéēŤŪŚNjďÐħNjdž Ʈǜƴ Ƴ `÷ŕ÷ðēÐįdžħÐĮNj"ēŚĤŪŚēðēŪĮÐďÐêÐVĸĮŪįēŤÐŚŤ÷įŤÐįĊ+êĸħĸĊēêÐħCÐéēŤŪŚNjďÐħNjdžƮ ƴ GéēðNjdžďÐħNjdžƮ
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
361
“Kalau berbicara ekologis saya baru mendapat julukan aktivis lingkungan baru empat tahun, nyemir masih dapat lima rupiah kalau kelaparan malam ada nasi bekas wisata gini lauknya masih ada separuh, ada kotoran saya bersihkan terus makan. Masih mengalami begitu. Penjaga bola teknis tiga jam 500 untuk beli okana 300 rupiah, supaya tidak bekisik. Kalau ngomong lingkungan saya baru belajar 4 tahun ini, saya belajar berimajinasi, belajarnya dengan perumpaan karena yesus mengajarnya dengan perumpaan. Dulu kan saya domba yesus sekarang ya domba yang hilang. Dulu saya sempat kristen protestan tapi sekarang saya tidak tahu pro apa. Nya di alkitab itu sudah saya ganti, menjadi rakyat. Kalau kita berbuat baik kepada rakyat maka kita berbuat baik kepada Tuhan. Karena saya belum siap belajar surga, neraka dan tuhan. Jadi saya belajar menjadi manusia dulu. Ateis protestan juga bisa, kristen Nu juga bisa”.8 Pengalaman hidupnya bersama masyarakat kelas tertindas dan belajar lingkungan melalui perumpaan teologis ini sangat unik dimana Dodo lahir menjadi aktivisme yang mewakili kepentingan kaum tertindas maupun mengambarkan bentuk pemahamaan keagamaan yang melawan arus mainstream terhadap teks-teks agama. Meskipun, ia tidak menyebut teologi tertentu tetapi apa yang ia katakan sangat dekat dengan teks-teks keagamaan progessif, liberatif dan trasedensi dimana pemahaman teologis bukan hanya pada wilayah ukrowiyah atau persoalan surga dan negara melainkan agama yang membumi sebagaimana spirit pembebasan yang dilakukan oleh para nabi. Dodo sebagai aktivis telah dilatih untuk menghadapi segala rintangan dalam melawan kebiadaban rezim di Yogyakarta, aksi-aksinya yang terekam di dalam film dokumenter Yogya dibelakang hotel membuktikan bagaimana ekological habitus itu tidak hanya berapada pada level invidual melainkan sosial. Kebiasaan-kebiasaan ekologisnya hadir di dalam praktek-praktek keseharian misalnya, menolak membeli minuman kemasan dari perusahaan air, menolak menghadiri acara yang mengundang pihak-pihak yang telah merusak lingkungan, bersepeda dan lainnya. Ƶ "ĸðĸðÐį+ħÐįŤĸNj"ēŚĤŪŚēðēŪĮÐďÐêÐVĸĮŪįēŤÐŚ÷įŤÐįĊ>÷ŕÐĤÐįĸħēŤēĤ+ĤĸħĸĊēV÷žÐŕǜ ĊÐÐįNj`ēįĊĊŪƮƮaĸŽ÷Įé÷ŕƯƭƮƵ"ŪŚŪįVÐįĸĮÐįŤNjƭưNjÐįƄŪŕÐð÷įNjTÐĮƮƳDžƭƭǜƯƮDžƭƭNj"ē `ĸð÷ŕÐŤĸŕēĸħ÷ďŒ÷įŪħēŚNj
362
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Walaupun pada level tertentu, Dodo masih mengkonsumsi rokok namun menyesuaikan kondisi sosial dimana ia menghargai orang-orang yang tidak merokok. Pembentukkan jati diri hijau inilah yang membuat ia gigih melakukan perlawanan terhadap pembangunan hotel di Yogyakarta yang mana kekeringan air ini disebabkan oleh pembangunan hotel di tahun 2013-2014 fenomena ini melanda Yogyakarta secara dasyat. Apa yang menjadi epistimologi Dodo ini akan berbeda dengan Elanto yang memiliki pengalaman aktivisme agak panjang di dunia LSM yang membuat ia bisa belajar beragam pengetahuan sehingga memungkinannya untuk memiliki basis epistimologis lingkungan yang kuat namun kerja-kerja lapangannya juga terus dilakukan. Praktik-praktik kecintaan lingkungan Elanto terbentuk melalui pembacaan akan literatur kritis ini terlihat dari caranya mengurai persoalan lingkungan, yang berangkat dari level teoritik menuju level praksis sosial. Lebih terangnya Elanto mengatakan, “Karena justru menjalankan konsep sampai level praktek itu yang paling susah, ada banyak teori yang diperdebatkan dan diperbaharui tetapi sampai ke level praktek itu tantangan. Salah satu yang ingin aku bawa kesini, mungkin teman teman pernah baca dan belajar tragedy of the common meskipun kritiknya banyak tapi konsepnya masih relevan. Common disini diistilahkan dengan padang gembalaan yang bebas sehingga siapapun yang punya ternak bisa menghadirkan ternaknya ke padang gembalaan. Analoginya ini soal daya dukung lingkungan, pemilik ternak dan ternaknya yang berkumpul dari waktu ke waktu. Tidak ada perubahan lingkungan ke arah negatif, perubahan ke ara ketidakseimbangan ini terjadi bertahap. Misalnya disitu ada 10 pemilik ternak yang mempunyai sepuluh domba, selama beberapa tahun jumlah domba masih stabil. Ketika ada seorang anggota pengembala menambah satu kambing. Ceritanya seperti kita bicara deret hitung dan diukur. Peternak yang jumlah kambing tetap itu terugikan karena hak sumber daya itu berkurang kalau disadari. Peternak yang menambah kambing itu dia telah menjadi penyebab kerusakan lingkungan termasuk air, udara dan lahan. Beberapa sumber daya bisa dibatasi seperti lahan melalui pagar. Tetapi air itu analoginya seperti padang gembalaan yang tidak bisa
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
363
dipagari, sumber daya yang seharusnya bisa dimiliki bareng-bareng tetapi kemudian. Air menjadi sumber daya yang kedepan akan semakin kritis jumlahnya karena kita tahu jumlah populasi ini terus bertambah. Kuasa individu untuk mengkonsumsi air disuatu ruangruang ternyata poernya berbeda-berbeda. Contoh di kampung mas elanto di film dokumenter itu warga yang jumlahnya ratusan bisa kalah dengan satu hotel misalnya. Sama-sama mengkonsumsi air dengan power dan teknologi yang berbeda”. Literasi Elanto yang kuat inilah membuat ecological habitus itu hadir menjadi perlawanan sehari-sehari yang diwujudkan bersepeda meskipun jaraknya jauh. Ini dipraktekkan oleh Elanto secara terus menerus, tidak membeli minuman kemasan, tidak merokok dan praktek-praktek lingkungan lainnya. Aksi-aksi individu ini memiliki daya ubah untuk memberikan teladan hijau dalam kehidupan masyarakat dimana sikap dan prilaku cinta lingkungan itu tidak melulu harus dihadirkan dalam perlawanan sosial yang besar namun faktanya masih sukak mengkonsumsi air kemasan bole terus menerus, tidak sukak menanam dan lainnya. Ini akan menimbulkan kontradiksi yang membuat level identitas hijau seseorang aktivis lingkungan tidak paripurna. Kalau istilah mas Mere ekologinya belum sampai pada kesadaran ekologi merah yang mana totalitas hijau itu diwujudkan secara penuh. Namun, warga berdaya memiliki identitas hijau yang mendekati ekologi merah itu melalui praktek keseharian maupun advokasi politik yang mereka lakakukan sehingga warga berdaya ini membentuk identitas kewarganegaraan hijau dimana partisipasi aktif di dalam melawan kerusakan bukan hanya diwujudkan melalui aktivitas lingkungan sehari-hari tetapi perlawanan sosial yang konsisten untuk mewujudkan pembangunan yang ramah lingkungan dan tidak meminggirkan masyarakat lokal. Buket dan Oktay (2018:767) mengatakan komitmen invividu untuk mengubah prilaku lingkungannya sangat diperlukan dalam membentuk komunitas yang sadar bahwa kecintaan individu terhadap lingkungan itu sebagai kewajiban semua orang untuk melindungi alam dari kerusakan.9 ƶ ŚēħŚĸƄdžŪĤ÷ŤÐįðjĤŤÐƄdž"÷ŕƄÐNj+ƃŒħĸŕēįĊ+įŽēŕĸĮ÷įŤÐħ÷ďÐŽēĸŪŕÐŚŤď÷`Ðġĸŕ"÷Ť÷ŕĮēįÐŤ ĸĉ+êĸħĸĊēêÐħēŤēƌ÷įŚďēŒNjƯư=÷éŕŪÐŕƄƯƭƮƵNj+ħŚ÷Žē÷ŕTĸŪŕįÐħNjďÐħNjdžƴƳƴ
364
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Kewarganegaraan Ekologis, Advokasi Politik dan Pembangunan Neoliberal di Yogyakarta Konsep ‘ecological citizenship’ memiliki makna yang berbeda dengan kewarganegaraan tradisional dimana kewarganegaraan tradisional baik republikan maupun liberal mempunyai alasan yang berbeda tentang pentingnya warga negara dalam melindungi lingkungan. Bagi kaum republikan, warga negara harus melindungi sumber daya alam dari kerusakan karena adanya hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan. Sedangkan bagi kaum liberal, warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan manfaaat dan hak untuk akses akan lingkungan hidup yang berkualitas. Namun di dalam teori kewarganegaraan ekologis, warga negara mempunyai tanggung jawab untuk mengurangi dampak lingkungan melalui peran yang mereka lakukan.10 Andrew Dobson mengatakan krisis lingkungan yang dihadapi oleh semua warga global telah membuat pembaharuan dalam peran warga negara untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan persoalan lingkungan. Kejadian ini telah mengubah bentuk kewarganegaraan dari konvensional menuju kewarganegaraan yang radikal. Ini saya sebut sebagai ‘ecological citizenship’ yang berkarakter ‘post cosmopolitan’. Artinya, tugas dan kewajiban warga negara untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan adalah tanggungjawab bersama. Namun, ada perbedaan penting secara subtansial, istilah terkait dengan ‘enviromental citizenship’ dengan ‘ecological citizenship’.11 ‘Enviromental citizenship’ dapat didefinisikan sebagai model kewargaan tradisional dimana warga negara memiliki hak akan akses lingkungan yang bersih. Namun dua jenis ini saling melengkapi satu sama lain dalam rangka mewujudkan masyarakat berkelanjutan.12 Pendefinisan Dobson tentang kewarganegaraan ekologis mempunyai kesamaan dengan Jager yang memaknai ecological citizenship secara ‘nonterritorial’ dan ‘post-cosmopolitan’. Jager mengatakan, “ecological citizenship is an inter-personal relationship among strangers (like all citizenship) founded on responsibility, compassion and social Ʈƭ TÐĊ÷ŕŚdžNjŽ÷ŕĤ÷ŕŚNjGį÷Ðŕêďĸĉ+êĸħĸĊēêÐħēŤēƌ÷įNjTĸŪŕįÐħĸĉĸŪŤħ÷ðĊ÷ƄħĸŕÐįð=ŕÐįêēŚ >ŕĸŪŒdž+įŽēŕĸĮ÷įŤÐħĸħēŤēêŚNj®ĸħNjƮƵNjaĸNjƮNjƯƭƭƶNjďÐħNjdžƯƭ ƮƮ "ĸéŚĸįdžįðŕ÷žNjƯƭƭưNjēŤēƌ÷įŚďēŒÐįð+įŽēŕĸįĮ÷įŤNja÷žµĸŕĤNjjƃĉĸŕðįēŽ÷ŕŚēŤƄNjďÐħNjdžƵƶǜ ƶƭ ƮƯ GéēðNjdžďÐħNjdžƵƶ
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
365
justice, and most importantly captured in the principle: When I live my life I affect others, and to these others I have obligations (regardless of whether or not I know them)”.13 Apa yang dikatakan oleh Jager ini membuat tiga hal penting yaitu: pertama, adanya hubungan interpersonal antar warga negara yang memiliki tanggungjawab untuk melindungi alam demi keadilan sosial; Kedua, tindakan indvidu akan mempengaruhi kehidupan individu lainnya; Ketiga, adanya kewajiban bagi setiap individu untuk mengambil peran dalam mencegah kerusakan akibat perbuatan mereka. Di dalam mencegah kerusakan dan melindungi bumi, warga negara harus memainkan peran aktif dalam melakukan gerakan konservasi alam baik secara invidual maupun sosial. Namun kewarganegaraan ekologis ini membutuhkan proses yang dialektis dalam pembentukkannya yang tidak mudah untuk diwujudkan dikarenakan serbuan ekonomi pasar yang begitu kuat ke dalam jantung kehidupan masyarakat. Situasi ini terjadi di negara-negara selatan khususnya Indonesia dimana pembentukkan kewargaan ekologis itu tidak bisa dilakukan secara radikal. Kalaupun telah diusahakan oleh pemerintah melalui kebijakan pendidikan lingkungan untuk generasi muda ini akan menghadapi kendala pada basis proses dan materi yang diajarkan dimana cenderung bersifat proyek yang memberikan penghargaan kepada sekolah dibanding membangun kesadaran kritis yang bersifat praksis-aksiologis. Namun, bukan berarti kewarganegaraan ekologis itu tidak ada dalam gerakan politik di Indonesia dikarenakan tidak adanya kebijakan terintegrasi dalam mewujudkan warga negara yang ekologis. Kewargaan ekologi ini muncul di salah satu wilayah Indonesia yakni, Yogyakarta yang hadir melalui gerakan warga berdaya dimana gerakan ini berusaha melakukan advokasi politik terhadap kebijakan pembangunan yang menyimpang dari aspirasi, kehendak dan konstitusi bangsa. Ini hanya salah satu bentuk gerakan kewargaan ekologis yang hadir. Sebenarnya gerakan kewargaan ekologis itu muncul di berbagai wilayah Indonesia dalam format protes sosial terhadap pengelolaan sumber daya alam yang exploitatif, koruptif dan advokasi agraria yang dinisiasi masyarakat lokal bersama aktivis sosial dapat Ʈư jŒNjēŤNjďÐħNjdžƯƭ
366
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
pula dikatakan sebagai gerakan ekologi berbasis kewargaan tetapi wacana yang dibangun oleh banyak gerakan lingkungan tidak menggunakan basis kewargaan sebagai narasi perlawanan terhadap pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat. Ini berbeda dengan gerakan warga berdaya yang menggunakan narasi kewargaan untuk mengadvokasi pembangunan yang merusak lingkungan. Gerakan ekologi kewargaan ini bisa diukur melalui prilaku ekologis lingkungan individunya yang dalam istilah Andrew Dobson disebut ‘ecological footfrint’. Prilaku lingkungan ini dapat diukur dengan enam indikator yaitu: (1). Selamatkan energi dengan cara mengurangi penggunaan pemanas, mematikan lampu ketika tidak digunakan, dan lainnya; (2). Konservasi air, yang bisa dilakukan dengan cara menghemat penggunaan air ketika mandi, mematikan kran ketika bak mandi penuh, menggunakan tanaman yang memerlukan sedikit air dan lainnya; (3). Managemen sampah yang bisa diwujudkan dengan pengelolaan sederhana seperti menaruk sampah pada tempat yang sesuai kategorinya, menggunakan paper bekas yang masih bisa dipakai, recyling botol plastik, mendonasikan baju bekas ke tempat amal; (4) partisipasi publik yang dapat diukur melalui keterlibatan individu di dalam proses keputusan kebijakan mengenai lingkungan, ikut kampanye lingkungan, menjadi aktivis lingkungan dan lainnya; (5). Menggunakan Transportasi yang ramah lingkungan seperti transportasi publik, memakai sepeda dan lainnya: (6). Green consumption yang bisa dimulai dengan memakai tas sendiri ketika belanja untuk mengurangi penggunaan sampah plastik, membeli makanan produk lokal, belanja di warung lokal dan lainnya.14 Kalau menggunakan indikator ini untuk mengukur identitas gerakan maka warga berdaya dapat dikatakan sebagai gerakan ekologi kewargaan dikarenakan praktek-praktek individunya dalam kehidupan sehari-hari sangat ramah lingkungan yang sampai membentuk ‘ecological habitus’. Misalnya, mas dodo dan elanto suka menggunakan sepeda, menjadi aktivis lingkungan dan terlibat dalam advokasi kebijakan tetapi gerakan warga berdaya ini hadir dalam wujud gerakan ekologi kewargaan yang sangat radikal dimana aksi-aksinya dilakukan secara terorganisir dengan membangun kesadaran warga melalui bedah film dokumenter di Yogyakarta ƮƱ ŪĤ÷ŤðÐįjĤŤÐƄNjjŒNjēŤNjďÐħNjdžƴƳƴ
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
367
tentang akibat pembangunan hotel yang merampas sumber daya air warga sehingga warga mengalami kekeringan. Pengorganisiran ini juga dilakukan dengan mengawasi setiap izin hotel yang masuk ke dinas perizinan kota Yogyakarta, aktivis warga berdaya masuk ke kampung-kampung untuk mengajak warga yogya agar sadar akan dampak dari pembangunan telah mulai menghancurkan yogya sebagai kota pendidikan beralih menjadi kota seribu hotel demi memenuhi hasrat pembangunan yang kapitalistik dan neolib tetapi gerakan warga berdaya ini mengalami kesulitan dalam membangun warga negara yang kritis di Yogyakarta. Hal ini disebabkan oleh sistem monarki konstitusional yang bertahan ratusan tahun di dalam kehidupan masyarakat Yogya. Dodo mengatakan, “Yogya itu dibandingkan kota lain di Indonesia, relative terorganisir. Ada pertemuan bapak-bapak bulanan membahas masalah kampung, ada simpan pinjam, pertemuan muda mudi, ditingkat rw relatif terorganisir. Walaupun tanpa kesadaran penuh. Sosialnya juga masih tinggi disini. Disini relatif terorganisir tetapi tidak adanya partisipasi, adanya top down. Warga yogya sangat mematuhi perintah dari atas, kenapa hanya top down, tidak ada partisipatif karena monarki bro. Kalau menolak hanya dalam diam. Ada warga tanah nya yang diminta Sultan maka warga mengikhlaskan tanahnya, ini berbeda dalam kasus di tempat lain, warganya akan teriak, akan melakukan perlawanan sehingga pluralist disini sangat susah diserang. Untuk bergerak secara kritis kalau belum berdampak warga itu tidak mau akti”.15 Lemahnya daya kritis warga ini membuat kebijakan pembangunan sangat memenuhi tuntutan bisnis seperti biasa, apa yang dilakukan warga berdaya belum mampu menggerakkan basis warga secara besar namun hanya pada tempat-tempat warga yang telah terkena dampak langsung dari pembangunan hotel. Kuatnya kekuasaan monarki yang membuat warga kebanyakan tidak berani melakukan protes langsung ini membuat kemenangan aktor-aktor bisnis untuk memenangkan pertarungan ekonomi politik di Yogya dengan cara mendirikan hotel, membangun apartemen, ƮƲ "ĸðĸdžĤŤēŽēŚ¯ÐŕĊÐ÷ŕðÐƄÐNj"ēŚĤŪŚē÷ŕŚÐĮÐ÷įŪħēŚðēŪĮÐďÐêÐVĸĮŪįēŤÐŚNj
368
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
kos-kossan dan lainnya, yang secara keuntungan belum tentu untuk warga yogya karena bangunan ini menyedot air secara berlimpah. Namun, secara politik banyaknya aktor ekonomi politik yang mempunyai bisnis di kota ini juga akan menggerus kekuasaan Sultan Yogya karena yogya menjadi kota yang semakin macet, padat, bangunan hotel yang banyak, keramahan dijalanan mulai menurun dan lainnya. Ini hanya untuk mengakumulasi kapital sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan implikasi besar terhadap kehidupan masyarakat sebagaimana logika kapitalisme bekerja dalam agenda pembangunan. Logic bisnis yang kapitalistik ini bisa dikatakan model bisnis seperti biasa yang memiliki dampak buruk bagi lingkungan. Model bisnis ini adalah jalan menuju kehancuran, yang membuat kehidupan masyarakat semakin terpinggirkan dari sisi ekologinya dan mendatangkan bencana lingkungan.16 Hal ini nyata terjadi pada tahun 2013, bencana ekologi dirasakan oleh masyarakat yogya dimana sumur mereka mengalami kekeringan. Ini terjadi semenjak ada bangunan hotel di dekat perumahan warga, sebelum itu warga tidak mengalami krisis air. Para warga yogya melakukan protes terhadap pembangunan hotel, apartemen dan mall yang dalam proses perizinannya dilakukan dengan cara menipu warga. Contohnya, warga diundang untuk ikut sosialisasi dari perusahaan, yang mana warga mendatangi daar kehadiran tetapi daar ini digunakan sebagai persetujuan warga untuk mendirikan izin bangunan.17 Kecurangan yang menimpa beberapa warga telah membangun kesadaran warga Yogya bagaimana metode perusahaan pengembang dalam mengekpansikan bisnisnya, para warga di Yogya banyak menjadi bagian gerakan perlawanan yang menggunakan keberdayaannya untuk melawan pembangunan yang menghancurkan kehidupannya secara menyeluruh walaupun ini terjadi hanya di beberapa titik dengan perlawanan yang belum belum terorganisir namun gerakan warga berdaya cukup berhasil mendorong keberanian warga untuk melawan rencana pembangunan hotel di yogya dimana gerakan warga berdaya ini memberikan pendidikan lingkungan sekaligus soal perizinan yang diadakan di dalam agenda bedah ƮƳ `ÐĊðĸƤdž=ŕ÷ððÐįTĸďį÷ħħÐĮƄ=ĸŚŤ÷ŕNjƯƭƮƵNjXēįĊĤŪįĊÐįCēðŪŒðÐįVÐŒēŤÐħēŚĮ÷Dž÷éŪÐď ÷įĊÐįŤÐŕNjÐįĊ÷ŕÐįĊ÷ħÐŤÐįNj`ÐŕġēįVēŕēNjďÐħNjdžƯƲǜưƳ Ʈƴ ÐêÐVÐŚŪŚðŪÐÐŒÐŕŤ÷Į÷įðēµĸĊƄÐĤÐŕŤÐƄÐįĊĮ÷ħÐĤŪĤÐįĤ÷êŪŕÐįĊÐįðÐħÐĮŒŕĸŚ÷ŚŒ÷ŕēƌǜ ēįÐįįƄÐNjhps://rto.id/warga-yogya-menolak-pembangunan-hotel-dan-apartemen-csjGNj
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
369
film dibelakang hotel di kampung-kampung.18 Inisiatif warga berdaya ini sampai pada para pemangku kebijakan bahkan Sultan menonton film Yogya dibelakang hotel hingga Sultan merasa sadar bahwa pembangunan hotel ini merusak lingkungan hidup di yogya tetapi menurut Sultan ini bukan tanggungjawab pemerintah provinsi, kewenangan pembangunan hotel itu ada di pemerintah kota dan kabupaten di DIY yang tidak mempunyai recana tata ruang yang detail sehingga ini membuat pembangunan hotel tidak terkendalikan. Sultan telah mendesak pemerintah kota/kabupaten untuk membatasi pendirian perizinan hotel.19 Posisi sultan yang seperti ini mengambarkan tidak adanya political will untuk membatasi pembangunan hotel dengan kekuatan politik yang ia miliki sebagai kepala pemerintahan dan raja yogya yang secara politik mempunyai kedudukan istimewa dalam masyarakat Yogya. Sikap Sultan ini kalau memakai istilah elanto cuci tangan. Elanto mengatakan pemerintah mudah sekali melakukan cuci tangan terkait pembangunan yang merugikan masyarakat dengan menyatakan bahwa ini tanggungjawabnya kabupaten atau kota bahkan ini proyek pemerintah pusat.20 Warga berdaya berusaha mengambil peran untuk mendorong agar elit politik hingga sultan mengambil sikap politik yang tegas terhadap pembangunan hotel yang merebak. Gerakan ini mendorong keberdayaan warga demi meningkatkan daya kritis warga sekaligus partisipasi warga dalam pembangunan yang dilakukan melalui tiga peran yaitu:21 pertama, advokasi regulasi yang diwujudkan dengan mengawal setiap proses perencanaan regulasi dan advokasi aturan yang merugikan warga. Misalnya, audiensi dengan pemerintah, memberikan masukkan atau rekomendasi dan lainnya; Kedua, penegakkan regulasi, kalau regulasinya sudah ada tinggal penegakkannya yang harus dikawal, dulu warga berdaya mengawal bagaimana agar trotoar di yogya itu digunakan oleh pejalan kaki namun pelaksanaan aturan ini sulit karena trotoar bagi pejalan kaki digunakan untuk berdagang di beberapa tempat; Ketiga, perubahan pada level habitus atau kebiasaan ekologis warga, yang mempraktekkan kehidupan ramah ƮƵ ÐêÐNjhps://wargaberdaya.wordpress.com/2015/01/08/yogyakarta-bicara-hotel-dan-kampung-dibelakangnya/Nj Ʈƶ ÐêÐNjhps://seleb.tempo.co/read/1155998/film-tusuk-jelangkung-di-lubang-buaya-dianggap-berbau-isu-pkiNj Ưƭ +ħÐįŤĸdž"ēŚĤŪŚē÷ŕŚÐĮÐ÷įŪħēŚðēŪĮÐďÐêÐVĸĮŪįēŤÐŚNj ƯƮ GéēðNjdžďÐħNjdžưǜƲ
370
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
lingkungan. Misalnya, dulu kita menginisiasi gerakan back to walk atau menggunakan transpotasi umum. Tiga peran yang dilakukan oleh warga berdaya ini sangatlah fundamental dalam membangun demokrasi yang ramah lingkungan (green democracy) di dalam proses politik yang monarkis dan oligarkis agar setiap keputusan politik tidak mencinderai nilai-nilai green democracy yang secara normatif telah termuat di dalam konstitusi hijau bangsa Indonesia. Namun, nilai-nilai agung dalam konstitusi itu hanya ada dalam teks bukan mengkristal di dalam agenda-agenda kebijakan pemerintah. Kerja-kerja advokatif warga berdaya ini telah memasukkan visi ekologis dalam agenda perubahan yang berdasarkan inisatif warga yang dimana tidak ada bentuk organisasi yang rapi namun warga berdaya itu dimaknai sebagai prinsip yang setiap orang bisa menjadi warga berdaya22 yang mampu mendorong agar politik demokrasi kita semakin ekologis dimana setiap keputusan politik benar-benar bernafaskan semangat untuk menjaga alam dari kerusakan. Kesimpulan Gerakan advokasi politik berbasis kewargaan telah mendorong proses demokrasi di level lokal semakin baik khususnya di Yogyakarta, dengan hadirnya gerakan warga berdaya maka proses kebijakan pembangunan bisa dikritisi secara berkelanjutan agar setiap agenda pembangunan pemerintah sesuai dengan aspirasi warga sekaligus mempertimbangkan aspek lingkungan dimana proses keputusan politik dalam sistem demokrasi yang bercorak monarki tidak mempunyai keistimewaan untuk mempertahankan ruang demokrasi yang ramah lingkungan. Gerakan keberdayaan warga yang diinisiasi oleh aktivis sosial di Yogyakarta bukanlah model perlawanan yang bersifat reaksioner maupun responsif tetapi sebuah perlawanan sosial yang hadir dengan ekological habitus yang mengakar di dalam diri aktivisnya. Artinya, perlawanan individu menuju perlawanan sosial. Ini hanya salah satu bentuk model ekologi politik kewargaan. Model gerakan kewargaan ini sangatlah lentur untuk menyesuaikan beragam tantangan dalam mendorong transformasi sosial. Basis kewargaan ƯƯ GéēðNjďÐħNjdž
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
371
ini menjadi arena yang penuh kontestasi, claim dan wacana dimana hak sebagai warga Yogya telah digunakan oleh warga berdaya untuk membangun basis perjuangan politiknya, baik melalui aksi individu maupun sosial dalam membangun demokrasi yang ramah lingkungan.
372
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
DAFTAR PUSTAKA Asilsoy, Buket and Oktay, Derya. Exploring Enviromental Behaviour as the Major Determinat of Ecological Citizenship. 23 February 2018. Elsevier Journal Dobson, Andrew. 2003. Citizenship and Environment. New York. Oxford University Mahaswara, Hamada Adzani. Menggugat Ruang Publik Melalui Gerakan Masyarakat (Studi Kasus Gerakan Warga Berdaya di Yogyakarta). Jurnal Pemikiran Sosiologi. Vol. 3. No. 2 Agustus 2016. Magdoff, Fred dan John Bellamy Foster. 2018. Lingkungan Hidup dan Kapitalisme: Sebuah Pengantar. Tangerang Selatan. Marjin Kiri Jagers, C. Sverkers. In Search of Ecological Citizen. Journal of Routledge Tylor and Francis Group, Enviromental Politics. Vol. 18. No. 1. 2009
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
373
Gįð÷ĤŚ
A agraria 65, 66, 291, 367 akademisi 31, 66, 125, 164, 169, 191, 199, 223, 224, 232, 293, 294, 296, 297, 298 amdal 2, 191, 357 aparatur 128, 133, 135, 136, 138 apartemen 2, 3, 59, 60, 98, 127, 153, 157, 158, 169, 171, 176, 290, 291, 325, 326, 327, 328, 330, 331, 332, 333, 334, 335, 336, 337, 338, 339, 340, 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, 348, 349, 351, 352, 353, 354, 357, 358, 361, 369, 370
193, 231, 260, 271, 295, 297, 304, 318, 319, 320, 327, 334, 338, 339, 340, 351, 352, 353, 354, 361, 366, 369, 370 demokrasi 57, 60, 61, 62, 68, 70, 71, 72, 75, 81, 86, 126, 132, 133, 134, 135, 152, 166, 173, 181, 184, 198, 208, 209, 212, 215, 216, 224, 226, 230, 231, 236, 294, 304, 361, 372, 373 destruktif 156, 171 difable viii, 4, 56 Digital iv, 59 DLH 334, 347, 354 dodo 368
B bahan bakar 36, 39, 316 banalitas viii, ix, 4, 5, 51 Bantaran v, 260, 262 bonus 316, 319
E ekologi ix, 3, 5, 11, 91, 95, 107, 111, 181, 183, 184, 186, 188, 200, 247, 249, 295, 297, 298, 299, 306, 307, 361, 365, 367, 368, 370, 372 ekonomi vii, 2, 3, 4, 7, 9, 10, 11, 14, 21, 23, 25, 28, 30, 31, 32, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 51, 53, 54, 60, 61, 108, 118, 120, 127, 143, 147, 153, 156, 159, 164, 170, 174,
D dampak 10, 12, 14, 17, 39, 60, 84, 91, 93, 95, 104, 106, 111, 112, 114, 116, 117, 128, 129, 144, 147, 148, 156, 164, 171, 189, 190,
374
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
182, 184, 186, 189, 191, 197, 203, 206, 217, 223, 224, 225, 232, 245, 247, 249, 264, 266, 268, 270, 272, 286, 291, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 309, 310, 312, 316, 318, 319, 321, 325, 367, 369, 370 ekosistem 31, 37, 95, 101, 114, 306 Elanto vi, ix, 5, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 168, 183, 184, 190, 204, 276, 360, 362, 363, 364, 365, 371 F facebook viii, ix, 4, 5, 55, 56, 61, 62, 151, 152, 154, 164, 165, 168, 173 Fave 54, 163, 164, 190, 341, 355, 356, 361 festival 64, 161, 162, 164, 181, 289 G gerakan viii, x, 2, 4, 6, 56, 57, 58, 61, 63, 64, 94, 120, 144, 151, 152, 153, 154, 156, 159, 161, 162, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 172, 173, 174, 176, 183, 188, 190, 193, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 206, 208, 209, 210, 211, 216, 220, 221, 225, 230, 231, 232, 233, 236, 282, 296, 299, 307, 326, 327, 329, 330, 332, 333, 335, 336, 340, 350, 353, 359, 360, 361, 362,
367, 368, 369, 370, 372 gerakan sosial 2, 151, 152, 153, 162, 167, 169, 174, 199, 200, 206, 216, 225, 230, 231, 232, 236, 326, 329, 330, 332, 333, 335, 350, 353, 359, 361, 362 Global Warming 184 graffiti 55, 188, 204, 304 H haryadi 176, 178, 181, 193 hijau 14, 17, 19, 20, 21, 109, 113, 122, 124, 163, 164, 165, 179, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 253, 256, 349, 362, 364, 365, 372 hotel 2, 3, 11, 12, 16, 22, 51, 54, 56, 57, 59, 60, 61, 64, 92, 93, 94, 95, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 121, 127, 153, 157, 161, 162, 163, 164, 169, 171, 176, 179, 180, 181, 183, 189, 190, 191, 193, 203, 205, 290, 291, 303, 304, 326, 339, 341, 359, 361, 363, 364, 365, 369, 370, 371 I informal 21, 59, 198, 217, 230, 263, 297, 306, 307, 308 inklusif 52, 159, 213, 237, 288 investor 22, 60, 92, 94, 97, 99, 141, 156, 157, 158, 176, 191, 193, 327, 330 J Jogja Independent v, 165, 176, 208, 209, 211, 218, 220, 236, 238, 240
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
375
Jogja ora didol 180, 188 JOINT v, 165, 166, 169, 170, 176, 208, 209, 210, 211, 214, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237 K Kali Code v, 157, 260, 261, 266, 267, 268, 270, 273 kandidasi 209, 210, 211, 212, 213, 214, 218, 220, 221, 222, 223, 226, 230, 231, 232, 236, 237, 240 Kaum Urban v, 208 keistimewaan 3, 55, 66, 104, 105, 115, 116, 118, 170, 171, 180, 182, 186, 187, 191, 294, 296, 303, 307, 339, 372 Ketimpangan vi, 293, 309 Kraton 19, 21, 75, 76, 87, 171, 182 L liberal 60, 94, 198, 366 lingkungan hidup 3, 14, 17, 23, 24, 31, 33, 182, 245, 256, 287, 301, 307, 329, 340, 366, 371 Literasi v, 195, 201, 202, 207, 365 M marjinal 10, 301 masif 8, 64, 98, 300 media sosial ix, 5, 51, 61, 62, 151, 152, 153, 154, 160, 162, 164, 167, 168, 172, 173, 174, 235, 289 Membunuh Jogja iv, vii, viii, 164, 165 376
|
N nasional 19, 25, 34, 59, 71, 126, 148, 153, 156, 163, 168, 174, 208, 209, 213, 226, 250, 272, 283, 287, 295, 298, 301, 304, 306, 325, 327, 337, 358 neoliberal 297, 360 nepotisme 156, 220, 223 O organisasi 25, 26, 27, 28, 38, 79, 133, 138, 139, 150, 152, 154, 209, 213, 217, 228, 231, 261, 291, 305, 360, 362, 372 otonomi 6, 11, 52, 60, 126, 184, 223 P pajak 29, 46, 106, 111, 112, 113, 114, 115, 119, 121, 123, 133 pemanasan 156 perizinan 2, 12, 60, 101, 126, 128, 129, 132, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 156, 183, 329, 334, 369, 370, 371 perkotaan vii, 1, 2, 4, 6, 10, 12, 15, 17, 23, 30, 34, 35, 38, 40, 42, 43, 44, 49, 52, 92, 95, 97, 98, 100, 101, 108, 110, 119, 128, 162, 188, 192, 200, 222, 224, 242, 244, 245, 246, 247, 249, 250, 251, 253, 256, 260, 262, 263, 265, 273, 278, 286, 287, 288, 294, 301, 302, 304, 307, 310, 311, 317, 326, 327, 341, 359
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
perlawanan ix, 5, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 62, 151, 162, 164, 168, 169, 183, 190, 193, 197, 202, 203, 204, 205, 206, 209, 217, 304, 326, 327, 329, 330, 331, 333, 335, 336, 337, 342, 345, 346, 347, 349, 350, 353, 359, 360, 361, 362, 364, 365, 368, 369, 370, 372 perubahan iklim 12, 184, 287 poster ix, 5, 52, 55, 62, 111, 160, 204 protes 11, 12, 56, 91, 170, 190, 205, 217, 290, 333, 361, 367, 369, 370
urbanisasi 11, 24, 30, 92, 101, 264, 316 W wakil rakyat 23, 134 warga berdaya vii, ix, 5, 52, 55, 61, 179, 181, 183, 188, 204, 282, 304, 359, 360, 361, 362, 365, 367, 368, 369, 370, 371, 372, 373
R Rentan vi, 276 RTH 94, 118, 192, 243, 244, 245, 246, 247, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257 S sepeda 18, 45, 46, 157, 158, 160, 161, 279, 280, 282, 283, 284, 303, 368 sultan 97, 102, 283, 291, 309, 371 T toko modern 3, 127, 128, 129, 132, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 197, 304 transformasi 52, 57, 152, 198, 199, 205, 206, 223, 372 transparan 97, 132 U universitas 27, 43, 127, 164, 232, 233, 285 Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
377
ŕĸƥħ÷įŪħēŚ
Agus Andika Putra. Mahasiswa pasca sarjana Ilmu Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia adalah pendiri dan pegiat Jong Sardiman dan pernah bercita-cita sebagai polisi. Email: [email protected] Abdullah Zed. Mahasiswa Ilmu Politik di SciencePo Parancis, dan merupakan pegiatan di Rumah Baca Komunitas yang memiliki konsentrasi pada persoalan perkotaan di dunia. Email: [email protected] Alhafiz Atsari. Alumni jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang merupakan aktifis HMI Dipo dan juga bergiat di Rumah Baca Komunitas. Akhir-akhir ini selain menghabiskan waktu untuk membaca juga bekerja sebagai translater bahasa inggris Email: alhafi[email protected] Asratillah. Pegiat Perkotaan dan Penulis isu-isu sosial progresif. Tinggal di Makasar, Sulawesi Selatan Arya Dwiyoga. Mahasiswa aktif jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang merupakan aktifis Urban Lireracy Campaign yang memasok beragam poster yang dahsyat menggugah dan menggugat publik perkotaan. Email: [email protected] Aris Munandar, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UM Yogyakarta dan Pegiat literasi di Rumah Baca Komunitas (RBK) Yogyakarta. David Efendi. Salah satu pendiri Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Pegiat Urban Literacy Campaign untuk komunitas. Belum lama ini membuat “huru hara” di Yogja dengan hastag #gerakanmembunuhjogja. Selain itu, ia adalah dosen Ilmu Pemerintahan, Fisipol UMY, peminat kajian ekologi manusia, antropologi politik, dan desentralisasi. Menulis tesis MA tentang keistimewaan DIY di University of Hawaii at Manoa, USA.
378
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
Elanto Wijoyono, Aktifis Warga Berdaya Yogyakarta dan Jogja Ora Didol Fauzan Anwar Sandiah. Mahasiswa Doktoral UIN Sunankalijaga. Peminat buku segala macam genre dan begiat di Rumah Baca Komunitas sebagai kurator kelas dewa. Email: [email protected] Ferdhi F Putra; Pegiat Solidaritas Tolak Tambang Besi Kulonprogo Fraisal DP Titiahy, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UM Yogyakarta Meredian Alam: pemuda yang lahir dan besar di Yogyakarta ini saat ini sedang menyelesaian PhD esis di School of Humanities and Social Sciences, University of Newcastle NSW Australia tentang Gerakan Lingkungan Radikal Pemuda di Indonesia di bawah bimbingan Professor Pamela Nilan dan Dr Terrence Leahy. Email: [email protected]/ [email protected]. Hanapi; Ketua Lapsi PP IPM dan Pegiat RBK, pegiat literasi rbk yang menekuni isu ekologis, politik indonesia dan sedang menempuh pendidikan magister di DPP UGM Luthfi Z. Kurniawan. Alumni UII ini lama bergiat literasi di berbagai komunitas dan sempat singgah di Rumah Baca Komunitas ebagai pegiat super militan. Tertarik pada bamboo dan sedang berproses menjadikan bambo sebagai konstruksi pro ekologi atau apa yang disebut sebagai critical managament studies. Beliau sangat suka buah talok. Email: luthfulupet@ gmail.com Rini Yuniar. Mahasiswa Ilmu pemerintahan UMY dan aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Email: [email protected] Rifki Sanahdi. Pegiat ekoliterasi dan Rumah Baca Komunitas. Alumni mahasiswa Ilmu pemerintahan UMY. Lahir di Sumbawa dan korespondensi dapat dilakukan dengan Email: ri[email protected] Relsan Mandela. Alumni mahasiswa Ilmu pemerintahan UMY dan aktifis Himpuna Mahasiswa Islam. Email: [email protected] Rido Argo Mukti. Mahasiswa Ilmu pemerintahan UMY dan aktif di berbagai forum ilmiah tingkat nasional atau regional. Email: ridhoargo8@ gmail.com
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan
|
379
Siti A’yunis Sa’adah, Nurlia Farida, Serli Mutiara & Gita Marlusianti. Kelompok mahasiswa Ilmu pemerintahan UMY yang mengikuti supercare project tahun 2016. Email: [email protected] Wahyudi Akmaliah. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK) LIPI. Email: [email protected]
380
|
Terbunuhnya Kota Manusia: Kisah-kisah Perlawanan dan Jalan Pembebasan