274 66 2MB
Indonesian Pages 199 Year 2022
REFLEKSI HISTORIOGRAFI INDONESIA: KUMPULAN ESSAY ILMIAH TENTANG SEJARAH LOKAL DAN SOSIAL
Penulis: Peserta LKTI 2022
Editor: Muhamad Azhari Ramadan
ISBN : 978-623-8230-16-7
i
REFLEKSI HISTORIOGRAFI INDONESIA: KUMPULAN ESSAY ILMIAH TENTANG SEJARAH LOKAL DAN SOSIAL Penulis : Peserta Seminar LKTI 2022 Desain Sampul : Dicky Firmansyah Tata Letak : Silviera Elsa Angelina ISBN : 978-623-8230-16-7 Diterbitkan oleh : PUSTAKA AKSARA, 2022 Redaksi: Surabaya, Jawa Timur, Indonesia Telp. 0858-0746-8047 Laman : www.pustakaaksara.co.id Surel : [email protected] Anggota IKAPI Cetakan Pertama : 2022 All right reserved Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun dan dengan cara apapun, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya tanpa seizin tertulis dari penerbit.
ii
Persembahan untuk Divisi Penelitian dan Pengembangan Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta beserta seluruh Keluarga Besar Ilmu Sejarah UNY
iii
DAFTAR ISI PENGANTAR KETUA HIMPUNAN MAHASISWA ILMU SEJARAH ..................................................................................................... v PENGANTAR EDITOR ............................................................................ viii PENDAHULUAN ...................................................................................... xi BAGIAN I ........................................................................................................... 1 Lokalisasi bongkaran: perkembangan prostitusi kelas teri di tanah abang jakarta pusat (1987-1997) ................................ 1 BAGIAN II.......................................................................................................... 28
Membangun jembatan antara 'sana' dan 'sini': pergerakan indo-eropa nasionalis 1923-1942 ......................................... 28 BAGIAN III ........................................................................................................ 56 Tinjauan historis dan implementasi tradisi saparan bekakak pada masyarakat ambarketawang tahun 1983-1985 ................................................................................... 56 BAGIAN IV .................................................................................................. 88 Kehidupan dan kesejahteraan sosial buruh perkebunan di deli sumatera timur (1883-1898) .................................................... 88 BAGIAN V.................................................................................................... 123
Dua hamengkubowo dan dinamika sosial politik yogyakarta pasca kemerdekaan indonesia ........................... 123 BAGIAN VI ................................................................................................. 145 Tradisi ngaben massal memperkuat modal sosial dan budaya masyarakat di desa ubud, kabupaten gianyar ............ 145 BAGIAN VII ................................................................................................ 163 Tragedi pembantaian penduduk sipil di kampung tulung ........................................................................................................... 163
iv
PENGANTAR KETUA HIMPUNAN MAHASISWA ILMU SEJARAH Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah – yang selanjutnya disingkat HMIS – merupakan suatu perkumpulan mahasiswa pada tingkat jurusan yang berfungsi untuk mengembangkan dan mewadahi segala minat bakat dari seluruh mahasiswa ilmu sejarah dalam bidang kesejarahan maupun non-kesejarahan. Dalam memenuhi fungsi pengembangan minat bakat di bidang kesejarahan, dengan itu HMIS membuat suatu wadah bagi para sejarawan muda untuk menuangkan gagasan dan idenya melalui Festival Historiografi. Festival Historiografi pada tahun ini sendiri merupakan program kerja yang pertama kali diselenggarakan oleh HMIS untuk memfasilitasi pemikiran kesejarahan yang dimiliki oleh setiap mahasiswa sejarah. Saya sebagai ketua HMIS merasa perlunya suatu spektrum bagi mahasiswa ilmu sejarah se-Indonesia untuk saling beradu inovasi dalam pengembangan penelitian sejarah dan historiografi Indonesia. Pada awalnya saya melihat ada kekosongan dalam tanggung jawab sebuah himpunan mahasiswa yang belum memenuhi kewajibannya untuk mengembangkan skill penelitian dan penalaran di bidang sejarah bagi para mahasiswa. Berangkat dari hal tersebut, HMIS pada periode 2022 merancang suatu wadah bagi mereka yang ingin mengembangkan keahliannya di dalam penelitian sejarah. Selain itu, kami pun melihat kecendrungan topik sejarah yang selalu mengangkat tema-tema politik. Maka dengan itu, pada Festival Historiografi pertama ini diangkatlah tema sejarah lokal dan sejarah sosial dalam perspektif alternatif untuk mengisi dan menambal historiografi Indonesia saat ini. Dalam prosesnya, kami menemukan beberapa hal baru terkait informasi dan pengalaman yang tertuang dalam penyelenggaraan Festival Historiografi ini. Pengalaman baru dari para peserta Festival Historiografi ini sangatlah berharga. Kajian yang dikembangkan oleh peserta dalam event ini membuka perspektif alternatif dalam memahami sejarah lokal dan sejarah sosial yang berkembang di Indonesia.
v
Ide untuk membukukan karya-karya dari peserta pun bukan tanpa alasan yang kuat, hal tersebut berguna agar karya-karya ini tidak terlantar begitu saja setelah terselenggaranya program kerja ini. Lebih jauh dari itu, kami menginginkan adanya proses untuk memperkenalkan wacana baru yang diangkat oleh para peserta dan kemudian diabadikan dalam sebuah buku untuk nantinya buku ini dapat menjadi kajian lebih lanjut dalam historiografi di Indonesia. Alhamdulillah semua keinginan tersebut berhasil diciptakan dan diabadikan pada buku yang anda pegang ini. Rasa bangga akan selalu kami pegang karena hal ini menjadi sejarah bagi Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta yang sudah berhasil menyelenggarakan suatu seminar bagi para mahasiswa se-Indonesia yang tertarik dalam bidang kesejarahan untuk pertama kalinya. Terasa lengkap perasaan tersebut karena kajian ilmiah dari para peserta berhasil dibukukan untuk diabadikan. Semoga hal yang sama tetap berlanjut dikemudian hari dan buku ini mampu menjadi pegangan bagi para mahasiswa untuk selalu merasa belum puas terhadap penulisan sejarah yang ada di Indonesia. Akhir kata, tak lupa saya mengucapkan secara pribadi kepada setiap elemen yang telah membantu keberhasilan acara Festival Historiografi ini hingga mampu diabadikan dalam sebuah buku. Terima kasih saya ucapkan kepada seluruh pengurus HMIS yang telah berkerja untuk keberhasilan program kerja ini, terkhusus kepada seluruh staff dari divisi Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) yang menjadi penanggungjawab dalam proker ini. Kemudian, setiap elemen dari program studi Ilmu Sejarah UNY. Pemangku jabatan dari Fakultas Ilmu Sosial UNY yang juga telah membantu dari segi finansial untuk keberlangsungan dari proker ini.
vi
Memang bukan menjadi suatu buku yang terkesan luar biasa, namun saya harapkan buku ini dapat menjadi bahan bantu dan referensi bagi setiap sejarawan yang menekuni sejarah lokal dan sejarah sosial untuk menemukan selalu wacana alternatif di ruang historiografi Indonesia.
Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah
Muhammad Raflisyah
vii
PENGANTAR EDITOR Buku yang hadir dihadapan para pembaca ini adalah sekumpulan essay ilmiah yang dilombakan pada acara Festival Historiografi yang diwujudkan dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diadakan oleh Divisi Penelitian dan Pengembangan Himpinan mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, dalam rangka melaksanakan fungsi penelitian dan pengenbangan serta memperingati Dies Natalis Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta yang ke-57. Essay-Essay ini ditulis oleh para peserta lomba yang merupakan mahasiswa dari berbagai Universitas. Jumlah keseluruhan essay ada 7 buah dengan beragam topik bertemakan sejarah lokal dan sejarah sosial, pada awalnya essay ini adalah hasil-hasil karya para peserta yang dilombakan dalam acara Festifal Historiografi, untuk memaksimalkan hasil-hasil karya dari pada peserta lomba maka diputuskan untuk menerbitkan dalam sebuah buku yang berjudul. Refleksi Historiografi Indonesia: Kumpulan Essay Ilmiah Tentang Sejarah Lokal dan Sosial. Acara Festival Historiografi yang diwujudkan dalam bentuk Lomba Karya Tulis Ilmiah yang berjudul Refleksi Historiografi Indonesia: Sejarah Lokal dan Sejarah Sosial dalam Perjalanan Penulisan Sejarah Indonesia Masa Kini. Merupakan acara Lomba Karya Tulis Ilmiah yang pertama kali diadakan oleh Divisi Penelitian dan Pengembangan Himpinan mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta dalam rangka melaksanakan fungsi penelitian dan pengenbangan serta memperingati Dies Natalis Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta yang ke-57. Fokus tema yang kami angkat dari lomba ini adalah sejarah sosial dan sejarah lokal, hal tersebut dikarenakan kami berfikir bahwa tema-tema sejarah lokal dan sejarah sosial masih jarang sekali diangkat dan ditulis oleh para sejarawan, meskipun telah ada karya-karya bertemakan sejarah lokal dan sosial sebelum diterbitkannya buku ini, namun berharap dengan adanya acara Festival Historiografi yang kami buat serta dengan diterbitkannya buku ini akan memantik lebih banyak lagi karya-karya bertemakan Sejarah Lokal dan Sosial.
viii
Editor buku ini mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada para peserta yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk berkontribusi pada acara Festival Historiografi serta sudah menyumbangkan karya tulisnya untuk mendukung diterbitkannya kumpulan essay tersebut menjadi sebuah buku. Banyaknya peserta yang berkontribusi serta beberapa essay yang dikumpulkan menunjukkan besarnya antusiasme dan komitmen masyarakat akademis dalam hal ini adalah para mahasiswa ilmu sejarah bagi pengembangan ilmu sejarah khususnya tema sejarah lokal dan sosial, sekaligus penghargaan yang tinggi kepada seluruh panitia acara Festival Historiografi yang telah meluangkan waktunya mensukseskan acara tersebut sehingga acara Festival Historiografi dapat berjalan lancar dan kumpulan essay ini dapat diterbitkan menjadi sebuah buku. Dukungan yang besar bagi penerbitan buku ini didapatkan dari Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Bapak Dr. Suhadi Purwadinata, M.Pd., Ketua Jurusan Ilmu Sejarah, Bapak Danar Widiyanta, M.Hum, Pembina Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah UNY, Bapak Kuncoro Hadi, SS, M.A dan Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah UNY Muhammad Raflisyah serta seluruh dosen Ilmu Sejarah UNY yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu Kami Ucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya atas dukungan, saran dan nasehatnya dalam mensukseskan acara Festival Historiografi ini. Tak lupa ucapan terimakasih kepada seluruh staf Divisi Penelitian dan Pengemban serta dukungan yang besar pula dari seluruh keanggotaan Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta dan panitia yang telah meluangkan waktu dan tenaganya yang telah bertugas dengan sangat baik untuk melaksanakan serta mensukseskan acara ini. Dukungan yang besar juga datang dari penerbit Pustaka Aksara yang berkenan menerbitkan kumpulan essay ini menjadi sebuah buku. penerbit Pustaka Aksara telah banyak menerbitkan buku-buku dari hasil-hasil karya para akademisi, untuk itu maka kami memutuska untuk memilih penerbit Pustaka Aksara sebagai penerbit yang akan menerbitkan kumpulan essay tersebut, kami ucapkan terimakasih yang sebesar-
ix
besarnya kepada seluruh staff dan karyawan penerbit Pustaka Aksara yang telah mengedit dan memperbaiki beberapa teknis pengeditan yang dilakukan oleh Divisi Penelitian dan Pengembangan. Semoga dengan hadirnya buku kumpulan essay sejarah lokal dan sosial ini dapat menjadi suatu batu lompatan besar bagi Divisi Penelitian dan Pengembangan Himpunan Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta serta seluruh keluarga besar Ilmu Sejarah UNY untuk menghadirkan lebih banyak karya-karya lain yang lebih baik dari sebelumnya dan dapat memberi manfaat yang berharga bagi upaya penulisan historiografi yang bertemakan sejarah lokal dan sosial serta dalam upaya menggembangkan studI sejarah di Indonesia.
Yogyakarta, 14 Oktober 2022 Kepala Divisi Litbang Hmis UNY Muhamad Azhari Ramadan
x
PENDAHULUAN REFLEKSI HISTORIOGRAFI INDONESIA: KUMPULAN ESSAY ILMIAH TENTANG SEJARAH LOKAL DAN SOSIAL Muhamad Azhari Ramadan Sejarah sebuah ilmu pengetahuan yang membahas tentang masa lalu, tetapi dalam penulisan sejarah tidak sembarang kejadiankejadian masa lalu yang dapat di tulis dalam sejarah, sebab kejadian masa lalu tersebut harus melibatkan manusia sebagai objek kajian sejarah dan kejadian masa lalu tersebut harus memiliki dampak bagi manusia maka dikatakan sebagai sejarah dan berhak untuk di tulis dalam catatan-catatan sejarah. Sejarah sebagai peristiwa memiliki cakupan yang luas sebab aspek sejarah sebagai peristiwa hakikatnya sangat dekat pada aspek kehidupan manusia. Hal tersebut membuat para ahli sejarah membuat sebuah pengelompokan sejarah dengan tema-tema yang berdasarkan pada aspek tersebut seperti, sejarah politik, sejarah budaya, sejarah ekonomi, sejarah sosial, sejarah lokal dan sebagainya. Ilmu sejarah lahir sebagai usaha untuk merekonstruksi sejarah yang dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah. Ilmu sejarah memberikan metode-metode ataupun teori-teori yang dapat dijadikan rujukan untuk merekonstruksi sejarah agar didapat hasil yang mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan mampu juga menekan liarnya subyektifitas demi tingginya nilai obyektifitas suatu karya ilmiah. Dalam kedudukannya sebagai ilmu, sejarah terikat pada prosedur penelitian ilmiah, sejarah juga terikat pada penalaran yang bersandar pada fakta, kebenaran sejarah terletak pada kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber sejarah secara tuntas sehingga diharapkan ia akan mengungkap sejarah obyektif. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan tahapan-tahapan tersebut sebagai mata rantai yang saling berpengaruh dan sebagai urutan yang harus dikaji dan analisis secara mendalam dalam penulisan sejarah. Metode penulisan sejarah yang dipakai dalam kumpulan essay ini adalah metode sejarah kritis yang menempatkan sumber literatur dan juga sumber-sumber non tertulis seperti sejarah lisan memiliki posisi yang penting sebagai
xi
lahan penggalian fakta-fakta sejarah. Historiografi Historiografi adalah tahapan terakhir dari metode sejarah. Setelah sumber terkumpul kemudian dilakukan kritik menjadi data dan kemudian dimaknai menjadi fakta sejarah, langkah terakhir adalah menyusun semuanya menjadi satu tulisan utuh berbentuk narasi kronologis. Pada tahapan ini imajinasi penulis sangat menentukan hasil tulisannya, namun imajinasi yang dimaksud adalah imajinasi yang terbatas pada fakta-fakta sejarah yang ada. Historiografi didefinisikan sebagai proses penulisan atau pembukuan atas data dan fakta sejarah yang sudah mengalami kritik dan interpretasi sehingga dihasilkan suatu realitas baru dalam pandangan kontemporer seorang peneliti atau sejarawan. Historiografi yang merupakan tahap akhir yang merupakan tahap penelitian dan penulisan sejarah dilakukan,Yaitu menyampaikan sintesis yang diperoleh dalam bentuk tulisan atau dengan kata lain penyampaian laporan hasil penelitian sejarah setelah melalui tahapan-tahapan di atas dalam bentuk karya tulis sejarah. Heruistik juga dapat dikatakan kegiatan menuliskan jejak-jejak masa lampau dalam seajarah sesuai sumber-sumber yang telah peneliti dapatkan. Sejarah Lokal Sejarah lokal adalah suatu kajian sejarah yang berisi tentang penceritaan kejadian-kejadian yang bersifat lokal. Sejarah lokal lebih bernuansa lokal. Lokal disini dimaksudkan sebagai suatu wilayah kecil tertentu yang pembatasannya biasanya dengan wilayah teritorial, keseragaman budaya, yang terkadang tidak secara jelas dan berhimpit. Misalnya berbicara tentang lokal banyumas sebagai suatu wilayah teritorial dapat berbeda dengan berbicara tentang banyumas sebagai budaya lokal maka akan terlihat jelas perbedaan pembatasan wilayahnya. Ruang sejarah lokal merupakan lingkup geografis yang dapat dibatasi sendiri oleh sejarawan dengan alasan yang dapat diterima semua orang. Leicester menyatakan bahwa sejarah lokal berkisah tentang kelampauan dari kelompok masyarakat yang diikat oleh kesatuan
xii
etniskultural pada geografis yang terbatas, ataupun dibatasi sendiri oleh penelitinya Makna lokal adalah ciri-ciri lokal atau identitas lokal yang bertahun-tahun telah dianggap sebagai nilai-nilai luhur pada suatu masyarakat tertentu, tidak berlebihan rasanya jika ciri-ciri lokal tersebut Penulisan sejarah lokal mendapat tantangan yang berat ketika berhubungan dengan beberapa sumber yang nantinya akan menjadi data. Dalam penyusunan sejarah lokal pencarian sumber harus banyak berhubungan dengan foklor semisal babad, tambo, hikayat, juga dengan ephemera semisal tiket perjalanan, pamflet, dan juga sumber lisan. Penulisan ini tidak akan menjelaskan tentang kesulitan - kesulitan dalam pencarian sumber data yang akan dihadapi oleh sejarawan Sejarah Sosial Sejarah sosial merupakan sejarah tanpa nuansa politik dalam definisi lainnya lain sejarah sosial diartikan sebagai sejarah dari sebuah kelompok masyarakat yang tanpa mengikutsertakan situasi politiknya. Meskipun definisi tersebut masih belum memadai, lebih lengkapnya sejarah sosial dapat diartikan sebagai sejarah tentang kehidupan sehari-hari anggota masyarakat dari lapisan yang berbeda-beda3 , sejarah sosial ini juga merupakan sejarah mengenai masalah-masalah sosial yang terjadi pada masyarkat di masa lalu Sejarah sosial sendiri memiliki kajian yang luas dan beragam karena banyak tema-tema yang dapat dikategorikan sebagai sejarah sosial, namun sejarah sosial juga memiliki hubungan yang erat dengan sejarah ekonomi, sehingga kajian sejarah ini juga kita dapat sebut sebagai sejarah sosial-ekonomi. Kajian-kajian mengenai sejarah sosial ekonomi ini seperti contoh sejarah petani dalam sejarah ekonomi kita tidak hanya membahas sejarah petani itu sendiri tetapi kita dapat membahas cakupan yang lebih luas mengenai sosial-ekonominya seperti kita membahas mengenai kehidupan sejarah sosial-ekonomi masyarakat desa tempat tinggal para petani tersebut sehingga pembahasan kajian sejarah ini dapat menyeluruh membahas seluruh aspek kemasyarakatan yang ada . Kajian lain dalam sejarah sosial seperti, adat istiadat, budaya,
xiii
gerakan sosial, masyarakat kelas bawah serta kehidupan sehari-hari masyarakat itu sendiri
xiv
BAGIAN I Penelitian Sejarah: dari Sejarah Lokal hingga Sejarah Sosial LOKALISASI BONGKARAN: PERKEMBANGAN PROSTITUSI KELAS TERI DI TANAH ABANG JAKARTAPUSAT (1987-1997) Hafidz Zulmar Razan Tenaya Attallah Rifki Vidy Rakasiwi
1
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Berdasarkan Encyclopedia Britannica (1973-1974), prostitusi merupakan ”praktik hubungan seksual sesaat yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja (promiskuitas) untuk imbalan berupa upah. Sejalan dengan definisi ini, J. H.Gagnon dalam artikelnya yang berjudul Prostitution pada International Encyclopedia of Social Sciences (1968) juga menyebut bahwa prostitusi adalah proses pemberian akses seksual pada basis yang tidak diskriminatif untuk memperoleh imbalan, baik berupa uang, tergantung pada kompleksitas sistem ekonomi lokal. Unsur pembayaran, promiskuitas, dan ketidakacuhan emosional, menjadi tiga karakteristik utama dalam aktivitas ini membedakan prostitusi denganhubungan seksual yang biasanya dilakukan oleh sepasang kekasih atau suami istri.1 Prostitusi menjadi tema sejarah yang telah lama banyak dikaji di Indonesia, kerap kali kajian mengenai prostitusi merepresentasikan jiwa zaman serta kondisi sosial sebuah masyarakat. Hull menyebutkan bahwa asal-usul pelacuran modern sejatinya telah ada sejak masa feodal di Jawa. 2 Khususnya ketika perdagangan perempuan menjadi sebuah pelengkap dari sistem pemerintahan kerajaan pada saat itu. Di masa ini perempuan seakan menjadi sebuah komoditas dagang, mereka seringkali seakan dijual menjadi selir para Raja untuk mempererat hubungan diplomatis, upeti, dan simbolmeningkatkan status sosial.
Thanh-Dam Truong (terj), Seks, Uang, dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di AsiaTenggara, (Jakarta: LP3ES, 1992), hlm. 15. 2 Terence H. Hull, Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Pustaka SinarHarapan, 1997), hlm. 1
2
Meskipun tidak secara utuh memperlihatkan sebuah konteks komersialisasi industri seks layaknya masyarakat modern saat ini, namun masa ini menurut Hull menjadi pembentuk landasan bagi industri seks saat ini, yaitu poin dan nilai-nilai dimana perempuan menjadi sebuah barang dagangan yang diperjualbelikan. Dalam perjalanannya, prostitusi berkembang di berbagai daerah seiring dengan zaman yang melingkupinya. Umumnya perkembangan prostitusi pasca zamanfeodal banyak ditemukan di kota-kota besar yang sejak dahulu telah dikenal ramai sebagai kota pelabuhan seperti Surabaya, Semarang, dan Jakarta ketika masih bernama Batavia. Pada kajian-kajian sebelumnya memperlihatkan bahwa dalam konteks Jakarta, secara tersirat kemunculan prostitusi awalnya menempati ruang-ruang pesisir. Tentunya hal ini dapat dimengerti karena pada saat itu aktivitas perekonomian maupun pemerintahan sangat berorientasi di wilayah-wilayah pesisir. Perkembangan prostitusi di Jakarta untuk pertama kali terjadi pada abad ke-17 di masa Kolonial Belanda.3 Pada saat itu umumnya praktik prostitusi dilakukan secara terkonsentrasi di kawasan Macao Po (Jakarta Kota). Kemudian seiring dengan berkembangnya perekonomian dan aspek fisik kota, juga peran serta posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda saat itu, maka situs-situs prostitusi pun juga mengalami perkembangan.
3
Lamijo, “Prostitusi di Jakarta dalam Tiga Kekuasaan, 1930-1959: Sejarah dan
Perkembangannya”, Artikel yang dimuat 8 April 2009 dalam situs resmi Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Gajah Mada: Diakses pada 20 September 2022.
3
Pada perjalanannya situs-situs yang ada tidak hanya terkonsentrasi, tetapi juga menyebar secara sporadis, contoh dalam hal ini adalah berkembangnya tempat pelacuran kelas rendah di sebelah timur Macao Po (sekarang di sekitar jalan Jayakarta) yang saat itu dikenal sebagai Gang Mangga. Pada perkembangan selanjutnya mulai banyak bermunculan soehian, atau rumah-rumah bordil yang umumnya didirikan oleh orang Cina. Pada awal abad ke20, seiring dengan perkembangan teknologi dan fisik kota, konsep pelacuran ini dengan cepat menyebar ke seluruh Jakarta dan berhasil menyaingi eksistensi Gang Mangga. Meskipun pada masa ini sejatinya telah terdapat beberapa hukum formal yang menangani prostitusi, tetapi pada saat itu tidak dapat menghentikan laju pertumbuhan rumah-rumah bordil yang bermunculan. Diperkirakan jumlah pelacur di Jakarta pada tahun 1917 mencapai 3.000 hingga 4.000 orang.4 Pada periode pendudukan Jepang, meskipun komponen kota tidak banyak berkembang, namun prostitusi justru semakin tumbuh. Masa ini ditandai dengan terjadinya eksploitasi besar para perempuan untuk dijadikan pemuas hawa nafsu para tentara Jepang. Banyak perempuan dewasa dan anak-anak yang tertipu atau dipaksa memasuki dunia pelacuran. Banyak perempuan desa yang berhasil diperdaya dengan tawaran hidup yang sejahtera di Tokyo atau di kota-kota besar, kemudian mereka umumnya ditampung ke daerah-daerah sekitar pelabuhan seperti Semarang, Surabaya dan Jakarta (Tanjung Priok).5
4
Terence H. Hull, Op.Cit, hlm 13 hlm 14.
5 Ibid,
4
Akan tetapi pada kenyataannya kehidupan mereka justru berakhir menyedihkan, karena umumnya ditempatkan di rumah-rumah bordil sebagai budakbudak seks para tentara Jepang. Pasca revolusi kemerdekaan, persoalan yang sedikit banyak berimplikasi terhadap konteks prostitusi di Jakarta berkaitan erat dengan urbanisasi. Memasuki tahun 1950-an kota ini mengalami peningkatan jumlah penduduk yang sangat signifikan, yaitu 1.782.000 jiwa dari yang sebelumnya berjumlah 823.000 di tahun1948. Pertumbuhan ini terus meningkat hingga mencapai angka 3.813.000 jiwa pada tahun 1965.6 Faktor dominan yang melatarbelakangi peningkatan ini adalah alasan ekonomi. Kondisi perekonomian nasional pada akhir masa revolusi Indonesia sangat buruk, hal ini karena tingkat produksi cenderung rendah dan barang yang tersedia sangatlah sedikit. Sebagai simbol legitimasi pemerintah nasionalis yang baru, Jakarta seakan hadir menawarkan harapan bagi para penduduk pedesaan. Banyak dari mereka yang kemudian datang dari wilayah- wilayah sangat padat di Jawa. Terdapat pula masyarakat-masyarakat komuter yang menggunakan kereta dan bis untuk bekerja di Jakarta pada pagi hari. Akan tetapi, hal ini justru membawa persoalan-persoalan baru bagi Jakarta. Karena, tidak semuakaum urban yang datang dapat bertahan dan bersaing di kota ini. Umumnya, merekayang tidak mampu bersaing tinggal di wilayah-wilayah sekitar stasiun kereta seperti Senen, Manggarai, Gambir, Tanah Abang, Kota, dan Tanjung Priok. Seringkali mereka juga menempati lokasi-lokasi kosong di sepanjang jalur rel kereta sebagai tempat tinggal.
Susan Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun, (Jakarta: Masup Jakarta, 2011), hlm 233. 6
5
Untuk mencukupi kebutuhannya banyak dari mereka yang kemudian bekerja di sektor-sektor ekonomi informal secara serabutan.7 Peningkatan arus penduduk yang tidak diiringi dengan kemampuan bersaing diperkotaan inilah yang menjadi unsur substansial bagi terciptanya masalahmasalah baru seperti kriminalitas, kemiskinan, serta semakin merebaknya prostitusi. Tercatat sepanjang tahun 1950-an hingga 1960-an banyak tempat prostitusi yang semakin tumbuh di Jakarta. Tempat-tempat ini tersebar dalam unsur keruangan yang berbeda, yaitu masih tetap ada di wilayah pesisir, sepanjang kanal, dan juga di lokasi sekitar stasiun kereta api. Wilayah pesisir Jakarta Utara di tahun 1960-an menempati peringkat tertinggidalam hal jumlah pekerja seks menurut survei pemerintah.8 Lokasi populer yang menjadi tempat prostitusi pada masa ini diantaranya adalah Kalibaru, Koja Lama, dan Pela-Pela yang berada di dekat rel Stasiun Kereta Api Tanjung Priok. Selain kawasan pesisir pada saat itu juga tumbuh tempat prostitusi di Jalan Halimun, antara Kalimalang hingga Bendungan Banjir Kanal, Kalijodo, Kebon Sereh (belakang stasiun Jatinegara), Planet Senen (dekat Stasiun Senen), serta kawasan yang menjadi fokus pada tulisan ini, yaitu Bongkaran Tanah Abang.9
7 Parsudi
Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi Perkotaan, (Jakarta: SinarHarapan, 1984), hlm. 50. 8 Tercatat pada tahun 1969 terdapat 1.668 orang pekerja seks, jumlah ini adalah himpunan dari 13 lokasi yang berbeda di 9 kelurahan Jakarta Utara. Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO) Jakarta Utara dan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Survei dan penelitian dampak Sosial Lokalisasi/Resosialisasi Wanita Tuna Susila Kramat Tunggak Terhadap Lingkungan Sekitarnya. Jakarta, 1987, hlm 13. 9 Lamijo, Op.Cit, hlm 11.
6
Kawasan Bongkaran Tanah Abang berlokasi di Kelurahan Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lokasi prostitusi ini secara substansial memiliki kesamaan dengan Pela-Pela dan Planet Senen, dimana ketiganya berlokasidekat dengan jalur rel kereta api dan pusat perekonomian. Pada sepanjang periode 1970-an hingga 1980-an, sejatinya prostitusi di Bongkaran tidak terlalu terekspos dibandingkan tempattempat prostitusi lainnya, walaupun praktik-praktiknya tetap berlangsung. Hal ini dapat dimaklumi karena campur tangan pemerintah bagi urusan prostitusi di Jakarta pada saat itu berorientasi di Jakarta Utara, bentuk dari penanganan pemerintah di masa ini direpresentasikan melalui peresmian Lokalisasi Kramat Tunggak pada tahun 1971.10 Pada periode ini, justru pemberitaan surat kabar sezaman mengenai Bongkaran Tanah Abang kental akan nuansa daerah hitam, kriminalitas, dan pemukiman liar. Periode 1980-an hingga sepanjang 1990-an menjadi babak baru dalam perkembangan prostitusi di Bongkaran Tanah Abang. Lokalisasi ilegal ini mulai banyak disorot oleh pemerintah maupun surat kabar sezaman. Menguatnya fenomena premanisme ketika muncul salah satu tokoh bernama Hercules (Rosariode Marshall) di kawasan ini seakan menjadi himpunan yang membungkus citra Bongkaran Tanah Abang sebagai kawasan yang benar-benar rawan. Sarang bagi kriminalitas, pelacuran, dan perjudian.
Fikri, Lokalisasi Kramat Tunggak pada Masa Gubernur Ali Sadikin: 19711977, (Skripsi:Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2011), hlm 33 10
7
Konteks inilah yang membuat prostitusi di Bongkaran Tanah Abang berbeda dengan wilayah lain di Jakarta dan menarik untuk dikaji lebih dalam, karena akan memperlihatkan salah satu rangkaian perkembangan sejarah lokal di Jakarta. Dalam tulisan ini kami mencoba menggambarkan bagaimana dinamika transformasi sosial serta politik lokal mempengaruhi kawasan Bongkaran, serta bagaimana prostitusi tetap eksis di tengah perubahan yang ada. 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode sejarah utamanya melalui studi kepustakaan. Metode sejarah sendiri berisikan langkah-langkah yang merujuk pada Gottschalk (2008) menjelaskan bahwa metode sejarah adalah “proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau”. Di dalamnya termasuk proses menggali sumber (heuristik), memberikan penilaian (kritik), mengartikan serta menafsirkan fakta dari masa lampau (interpretasi) untuk kemudian dapat dianalisis dan ditarik sebuah kesimpulan mengenai peristiwa tersebut (historiografi). Pada konteks ini, pencarian sumber penelitian dilakukan secara daring dengan menelusuri laman daring seperti googlescholar.com, remote-lib.ui.ac.id, lib.ui.ac.id, journals.sagepub.com, jstor.org, taylorfrancis.com, proquest.com, danlink.springer.com. Sedangkan sumber lainnya juga ditunjang secara luring dalambentuk buku fisik, ataupun surat kabar sezaman melalui Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta. Dari laman pencari tersebut didapatkan beberapa artikel/buku yang menjadi rujukan kami. Melalui sumber-sumber tersebut penulis menggabungkan pendekatan sejarah dengan studi perkotaan, antropologis, dan sosiologis. Berdasarkan
8
analisissumber yang telah dilakukan, penulis memilih tahun 1987 sebagai awal pembahasan karena tahun ini citra Bongkaran Tanah Abang dalam pemberitaan mulai semakin terasa sebagai kawasan hitam. Tahun ini juga sekaligus menjadi awal tibanya Hercules di Tanah Abang. Kemudian kami memilih tahun 1997 sebagai akhir pembahasan karena menjadi tahun akhir keruntuhan Hercules dan menjadi tahun redupnya Kawasan Prostitusi Bongkaran Tanah Abang. B. Pembahasan 1. Bongkaran Tanah Abang 1970-an hingga 1980-an: Kawasan Hitam ditengah Surga Niaga Kawasan Bongkaran Tanah Abang sejatinya adalah tempat prostitusi kelas bawah yang telah terkenal sejak tahun 1950-an.11 Nama Bongkaran disinyalir berasal dari aktivitas yang biasanya terjadi di wilayah ini, yaitu bongkar muat barang. Sudah sejak lama kawasan ini memang menjadi tempat membongkar bahan galian, contohnya adalah pasir dari Tangerang dengan kereta. Wilayah ini semacam menjadi transit bongkar muat barang yang kemudian biasanya diangkut melalui truk untuk di bawa ke wilayah-wilayah lain di Jakarta. Secara administratif kawasan ini berada di Jakarta Pusat, dan berlokasi di Kecamatan Tanah Abang yang memiliki luas areal 930,85 Ha. Secara spesifik aktivitas prostitusi di Bongkaran berada di kelurahan Kebon Melati yang luasnya mencapai 71,00 Ha atau sekitar 1,26 km persegi.
11 Lamijo,
Op.Cit, hlm
9
Kelurahan ini berbatasan langsung dengan Jl. KH Wahid Hasyim,Jl. H. Fakhrudin, dan Jl. Kebon Melati di sebelah utara, Kali Cideng di sebelah timur, serta Kali Banjir Kanal di sebelah selatan dan barat. Pada periode 1980 hingga 1990-an kelurahan ini terdiri dari 18 RW, 245 RT, dan ditempati oleh sekitar10.906 kepala keluarga.12 Meskipun tidak mendapatkan banyak eksposur lebih pada tahun 1970-an, tetapi Bongkaran Tanah Abang dapat dikatakan masuk dalam ruang surga niaga, hal inilah yang sedikit banyak berimplikasi terhadap perkembangan prostitusi di lokasi ini. Wilayah Bongkaran berdekatan dengan Pasar Tanah Abang, yang telah terkenal sejak masa Hindia Belanda. Pada tahun 1975 pasar ini mengalami renovasibesar-besaran, dimana banyak dilakukan peremajaan bangunan, sistem pengelolaan pasar, serta sistem pembelian dan penjualan.13 Pada perjalanannya pasar ini menjadisalah satu pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara karena perputaran ekonomi di pasar ini sangat masif. Namun, siapa sangka dibalik capnya sebagai salah satu surga niaga terbesar, Kawasan ini menyimpan Kawasan hitam yang erat kaitannya dengankriminalitas. Reportase sezaman mengenai pelacuran di Bongkaran Tanah Abang pertama kali muncul di tahun 1973. Disinyalir tumbuhnya aktivitas pelacuran di wilayah ini diakibatkan oleh penutupan kawasan prostitusi di Planet Senen.14
Kantor Statistik Jakarta Pusat, Kecamatan Tanah Abang dalam Angka 1990, (Jakarta: KantorStatistik Jakarta Pusat, 1991), hlm 4. 13 Dewi Murni Yuliani, Perubahan Pasar Tanah Abang 1966-1979: Dari Pasar Tradisional ke Modern, (Tugas Akhir: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 2020), hlm 5. 14 Kompas, 24 Januari 1973, “Dari Planit ke Bongkara 12
10
Hal ini diungkapkan oleh Sobana Peryana, Camat Tanah Abang pada masa itu yangmenyebutkan bahwa kurang lebih terdapat 1400 wanita tuna susila yang beroperasidi wilayah ini. Letaknya yang strategis di dekat pusat perekonomian dan Stasiun Kereta Api Tanah Abang telah lama membuat kawasan ini padat penduduk, dimanahal ini secara bersamaan juga menjadi fondasi substansial bagi berkembangnya prostitusi di wilayah ini. Tak mengherankan bahwa reportase sezaman mengenai kawasan Bongkaran pada periode 1970-an hingga 1980-an umumnya juga berkaitan erat dengan penertiban bangunan liar, kriminalitas daerah hitam, dan masalah kependudukan. Sebagai sebuah lokalisasi informal kelas teri, Bongkaran Tanah Abang adalah wilayah yang cukup memprihatinkan. Yuyu A.N Krisna yang melakukan reportase berbagai tempat prostitusi di Jakarta pada tahun 1970-an menggambarkan Bongkaran Tanah Abang sebagai kawasan prostitusi yang kumuh. 15 Para wanita susila di kawasan ini umumnya menyedihkan, seperti misalnya di siang hari merekakerap kali mencari kutu dengan menggunakan pakaian seadanya, dan seringkali memakai pakaian sederhana yang bahkan mereknya masih tertempel. Bongkaran Tanah Abang juga menjadi pilihan putus asa bagi mereka yang kalah dalampertaruhan nasib. Hal ini terlihat dari cerita Sum, perempuan asal Jatibarang yang menjual keperawanannya dan menjadi pelacur di Bongkaran akibat tidak mampu bersaing di tengah kehidupan metropolitan Jakarta.16
Yuyu A.N. Krisna, Menyusuri Remang-Remang Jakarta, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1996), hlm 78. 16 Kompas, 30 Mei 1980, “Sum yang Pasrah Nasib”. 15
11
Berdasarkan penuturan warga setempat, di periode 1980-an Bongkaran TanahAbang adalah wilayah padat penduduk yang sangat multietnis.17 Penghuni wilayah ini umumnya berasal dari luar Jakarta seperti Indramayu, Cirebon, Bogor, Madura, dan lain sebagainya. Argumentasinya ini berkesesuaian dengan survei pemerintah yang dilakukan pada tahun 1990, dimana Kelurahan Kebon Melati menempati posisi teratas sebagai wilayah yang memiliki kepadatan serta jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Tanah Abang hingga mencapai 49.809 jiwa, denganpersentase laki-laki sejumlah 25.299 orang dan perempuan 26.124 orang.18 Kondisi-kondisi inilah yang menjadi substansi pendukung bagi semakin maraknyaprostitusi di wilayah ini. Secara spesifik, lokalisasi informal Bongkaran letaknya berada di Jalan Jati Bunder yang lokasinya berhimpitan dengan rumah penduduk dan dekat dengan Pasar Tanah Abang. Pada periode ini aktivitas prostitusi Bongkaran Tanah Abang beroperasi diantara tatanan perumahan yang sangat rapat, walaupun demikian kawasan ini sangat strategis karena berada di pinggir jalan serta mudah dijangkau semua kalangan, dan dilalui oleh kendaraan umum.19
17 Wawancara
dengan Pak Casudi (64 Tahun), warga RT 14/RW 09, 24 Agustus 2022. 18 Kecamatan Tanah Abang dalam Angka 1990, Op.Cit, hlm 14. 19 Anggara Sahadewa Wiritanaya, Peran Babinkamtibnas terhadap Pelacuran Bongkaran Tanah Abang, (Tesis: Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia,2007), hlm 33.
12
Sebagai bentuk konsekuensi dari aktivitas Prostitusi yang berdekatan dengan pemukiman, terdapat informasi menarik dimana terdapat penduduk setempat yang juga turut mengais keuntungan dengan membuka warung remang-remang di Bongkaran Tanah Abang.20 Walaupun sejatinya informasi ini sulit untuk divalidasi lebih lanjut,tetapi secara tidak langsung merepresentasikan gambaran dari lokasi prostitusi yang telah begitu menyatu dengan pemukiman. 2. Tipe Prostitusi Bongkaran Tanah Abang Jakarta Pelacuran memiliki beragam bentuk yang berkembang sesuai dengan perubahan zaman. ada yang praktiknya di rumah bordil/lokalisasi, kawasan remang-remang, atau di sepanjang jalan di tempat terbuka. Ada pula praktik pelacuran terselubung yang berkedok non-prostitusi sehingga pelakunya sulit untuk dikenali. Surtees (2004) dalam Traditional and emergent sex work in urban Indonesia. Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific, mengklasifikasikan pelacuran menjadi dua kelompok, yakni tradisional dan nontradisional. Yang dikategorikan sebagai pelacuran tradisional adalah pelacuran yang dilakukan di wilayah lokalisasi formal maupun informal dengan hasrat mendapatkan materi berupa uang. Pada konteks inilah Bongkaran Tanah Abang memenuhi tipe tradisional. Berbeda dengan tipe non-tradisional yang umumnya memiliki bentuk bisnis prostitusi yang terstruktur dan masif.
Wawancara dengan Pak Casudi (64 Tahun), 24 Agustus 2022. Beliau menyebutkan bahwa terdapat salah satu penduduk setempat yang juga merangkap sebagai RW turut membuka usahawarung remang-remang. 20
13
Pada buku Pelacuran dan Pemerasan: Studi Sosiologis tentang Eksploitasi Manusia oleh Manusia menjelaskan mengenai tipe prostitusi jalanan. Bentuk prostitusi ini sering ditemukan di pinggir-pinggir jalan tertentu, terutama pada malam hari. Pada kasus ini, tipe prostitusi di Bongkaran tanah Abang termasuk prostitusi jalanan yang masuk golongan prostitusi kelas rendah, hal ini dibuktikan dengan adanya aktivitas prostitusi yang biasanya dilakukan di sepanjang jalan danjalur rel kereta api di Tanah Abang. Ketika para penjaja seks dan konsumen saling sepakat mengenai harga, umumnya mereka langsung menuju bangunan bedeng berukuran 1 x 2 meter yang tersedia di dekat rel kereta yang hanya diterangi dengan lampu minyak. Bedeng-bedeng ini biasanya berbentuk gubuk yang pada saat itu disebut sebagai “gubuk dorong”.21 Disebut demikian karena bila siang hari gubuk-gubuk ini seakan tiba-tiba menghilang, mereka menyimpan dan mengamankan gubuk-gubuk ini ditempat yang aman. Konteks tradisional dalam tipe prostitusi di Bongkaran juga terepresentasi dari tarif para pekerja seks. Di Bongkaran umumnya mereka mendapatkan honor sebesar Rp.10.000,00. Selain bentuk dan tarif, aspek terakhir yang merepresentasikan tipe prostitusi di Bongkaran berkaitan erat dengan aspek keamanan. Berbeda dengan tipe prostitusi nontradisional yang biasanya berlokasi di hotel kelas atas, para penjaja seks di Bongkaran justru kerap kali gelisah dan cemas apabila terdapat razia yang dilakukan oleh petugas suruhan pemerintah.
14
21
Kompas, 4 November 1995, “Gubuk Dorong, Bursa Seks di Bongkaran”.
Melalui tipe klasifikasi prostitusi di Bongkaran Tanah Abang Jakarta ini dapat kita artikan bahwa tiap ragamnya sama-sama merupakan bentuk aktivitas jualbeli yang ilegal keberadaannya. Hal ini yang menyebabkan kawasan Bongkaran penting untuk ditertibkan oleh pemerintah setelah Planet Senen, dan Kramat Tunggak. Wacana penertiban dan upaya-upaya yang coba dilancarkan pemerintah sepanjang 1970 hingga 1980-an awal terekam di media surat kabar secara berkelanjutan, dari sini mengantarkan pada semakin dikenalnya Bongkaran oleh masyarakat luas, sekaligus membangun citra negatif baik dari sisi masyarakat sekitar atau secara luas bahwa Bongkaran salah satu kawasan hitam ibukota. 3. Emas dalam Prostitusi Kelas Teri: Lokalisasi Bongkaran di TanganHercules Memasuki periode 1990-an Bongkaran Tanah Abang memasuki babakdinamika baru, dimana periode tersebut ditandai oleh munculnya struktur politik informal lokal yang mewarnai kondisi wilayah ini. Konteks ini berkaitan erat dengan kemunculan tokoh bernama Hercules (Rozario Marcal) dan kelompoknya yang pada saat itu berhasil mengambil alih kekuasaan di Kawasan Tanah Abang. Hercules dan kelompoknya berasal dari Timor-Timur, mereka dibawa ke Jakarta di akhir tahun 1980-an sebagai bentuk upaya pemerintah membantu masyarakat Timor-Timur yang mendukung integrasi dalam hal pemberian pekerjaan dan tempat naungan. Mulanya Hercules hanya berdagang rokok di Tanah Abang, dan kerap kali menjadi sasaran premanpreman lokal. Namun, pamornya kemudian naik ketika ia secara progresif berhasil melawan balik seluruh
15
preman yang mencoba mengganggu nya di Kawasan ini.22 22
Ian Douglas Wilson, Politik Jatah Preman, (Serpong: Marjin Kiri, 2018), hlm 115.
Pengikutnya meluas seiring dengan namanya yang mulai populer. Pada tahun 1993 jumlah pengikutnya disinyalir menyentuh angka 400, dan ditahun berikutnya Ia dan kelompoknya berhasil kendali atas kelurahan Kebon Melati di Tanah Abang dominasi kelompok-kelompok preman sebelumnya dari etnis Betawidan Madura. Keberhasilannya ini membawa keuntungan bagi kelompoknya, karena secara otomatis juga mendapatkan kendali penuh atas berbagai pungutan liar dan jasa keamanan di kawasan ini, termasuk pedagang-pedagang kaki lima yang beroperasi di sekitar Pasar Tanah Abang. Pada masa ini juga Hercules dan kelompoknya menjadikan tempat prostitusi di Bongkaran Tanah Abang menjadi markas utamanya.23 Menjelaskan hubungan WTS dan Hercules tidak semudah hubungan antaraatasan dan bawahan semata, tetapi ada pertukaran di dalamnya yang terlihat sisi adanya motif perbedaan sosio-ekonomi melatarbelakangi konsensus kedua belah pihak ini. Para WTS menawarkan jasa kepada siapa pun yang sampai di Bongkaran,ancaman yang paling nyata yaitu keamanan mereka ketika jual-beli dan eksekusi berlangsung, di sini lah Hercules melalui statusnya sebagai orang yang memiliki massa, uang, serta akan isyaratnya bahwa mereka menguasai wilayah ini menjanjikan suatu keamanan kepada para WTS, hal ini mengindikasikan kalau Hercules sosok yang lebih tinggi (patron) ketimbang para WTS.
16
23
Ibid, hlm 116.
Di sisi lain para WTS yang jatuhnya memiliki posisi lebih rendah (klien) memberikan upeti dalam beberapa bentuk baik itu uang tunai, menemani anggota Hercules (preman) di warung remang-remang, menari di hadapan preman-preman ketika di disko ilegal yang berada di dalam kawasan Bongkaran.24 Lebih-lebih program penertiban selalumenghantui Bongkaran ini, kehadiran Hercules dinilai dapat membantu antisipasi dan melawan apabila kebetulan dihadapkan langsung petugas berwajib. Hubunganpatron-klien yang tercipta ini tentu semakin melegitimasi kekuasaan Hercules, ia juga memberi angin segar terhadap kelangsungan bisnis ilegal di Bongkaran yang mengantarkan Bongkaran menemui masa jaya nya. Dalam data estimasi paling sedikitnya WTS yang menawarkan jasa secara mandiri di sepanjang jalan Bongkaran di masa kejayaannya menyentuh angka 100 orang, belum dengan mereka yang di bawah naungan muncikari, atau Hercules, sebagai perbandingan saja di masa yang lebih kontemporer diperkirakan jumlah WTS secara keseluruhannya di Bongkaran Tanah Abang pada tahun 2005 yaitutersisa 225 orang.25 Hercules dalam salah satu wawancara di penghujung kekuasaannya mengklaim bahwa ia tidak menaruh kuasa di seluruh Tanah Abang, tetapi spesifik menyebutkan memang memiliki bisnis minuman saja di Bongkaran26.
24 Kompas,
30 November 1997, “Tanahabang, Preman dan Politik Kota”.
17
25 Kompas,
26 April 1993, “Info: WTS di Tanah Abang” Pos Kota, 2 November 1997, “Hercules: Aparat Keamanan Harus Turun Tangan.” 26
Artinya di sini Bongkaran suatu fokus yang Hercules jalankan sebenar-benarnya untuk mencari penghidupan dan wajah yang ia jadikan secara formal untuk disampaikan ke publik menutupi tiap praktik premanisme yang ia atau anggota kelompoknya lancarkan di Tanah Abang. Melalui narasumber wawancara yang kami dapatkan Casudi (64) mengatakan “Hercules punya warung juga itu di dalem (Bongkaran) ya kira-kira ada 2-3 warung, ya ada itu juga wts-wts nye.”. Melalui hal ini menginterpretasikan bahwa Hercules di Bongkaran selain dari sisi bisnis, juga berusaha terus ekspansi pundi-pundi keuangannya hingga memiliki lebih dari satu warung. Yang lebih penting lagi ada sisi pertunjukan kuasa bahwa ia sudah menghimpun sekian tenaga, memiliki warung remangremang sebagai transit para konsumen, dan tentunya dalih tenaga pengaman wilayah tersebut berangkat dari dirinya sebagai seseorang yang juga mengetuai kelompoknya dalam hal ini para preman. 4. Lokalisasi Bongkaran: Ketika Hegemoni Hercules Mulai Runtuh Hercules sebagai penguasa lokal pada masanya dapat dikatakan begitu unik,mengingat ia tiba sebagai pendatang dengan menerapkan nilai dan moral yang begitu berbeda dari apa yang kebanyakan masyarakat asli Tanah Abang dambakan, tetapi di sisi lain manifestasi dari bagaimana ia memimpin dengan caracara yang dapat dikatakan tangan besi berangkat dari pernyataan Casudi (64) Hercules sebagai sosok yang mendapat kuasanya dengan berani bertindak kekerasan pada siapa saja yang menghalanginya, bahkan melalui kesaksiannya ditemui bahwa ia pernah melihat Hercules
18
sedang berjalan di trotoar selalu membawa sebilah golok. Praktik-praktik ini betul adanya berhasil menguatkan posisinya dalam jangka waktu bertahuntahun. Memahami konteks penguasa lokal spesifik dalam kasus ini Hercules preman Tanah Abang apabila kita lihat dalam teori sumber kekuasaan modern oleh French dan Bertram Raven dalam tulisannya The Bases of Social Power (1959) masuk dalam kategori coercive power, mudahnya kekuasaan yang didapatkan dari kekerasan dan pemaksaan. Hercules yang berhasil menggerakan roda ekonomi informal di Tanah Abang tentu jelas menguntungkan berbagai pihak atau pelaku yang ikut di dalamnya, di sisi lain masyarakat yang berseberangan dibuat segan olehnya. Praktikini nyatanya juga memberi dampak yang tidak baik terhadap kekuasaan Hercules seorang, ia dihadapkan pula oleh permasalahan penghianatan dalam internal kelompoknya, maupun praktik pungli pedagang kaki lima mengatasnamakan Hercules, di samping itu kemunculan sosok penentang yang memiliki keberanian dan legitimasi lebih kuat dengan merangkul masyarakat asli, motivasi atas dasar kesamaan keyakinan pada agama islam, dan membakar semangat untuk membawalagi nilai-nilai keislaman di Tanah Abang ialah akrab dikenal dengan nama Ucu Kambing (Muhammad Yusuf).27 Hercules boleh saja begitu kuat, tetapi bagaimanapun tiap-tiap legitimasi kekuasaan bak pisau bermata dua, pasti ada saja kekurangannya, dan dalam kasus ini Hercules gagal menutup lubang-lubang kekurangan untuk menguatkan hegemoni yang telah dibangunnya.
27
Ian Douglas Wilson. Op. Cit., hlm 120-126.
19
Lokalisasi Bongkaran yang begitu subur di tangan Hercules menjadi salah satu alasan Ucu Kambing menguatkan niatnya dan memberikan motivasi kepada orang lain untuk menarik massa. Ucu Kambing layaknya centeng moral yang siap membawa kembali nilai-nilai Islam di Tanah Abang. 28 Meletusnya pertempuran besar pada 1996 antara koalisi Ucu Kambing dan kelompok Hercules yang terpojokdan berakhir pada para anggota melarikan diri ke Bekasi dan Bogor sedangkan Hercules memindahkan kantornya ke daerah rasuna said dan dirinya tinggal sementara di kampung halaman sang istri di Indramayu, momentum ini mengisyaratkan jatuhnya hegemoni kuasa Hercules di Tanah Abang. 29 Dalam momen ini juga diketahui banyak WTS entah itu mencari penghidupan di daerah lain Jakarta atau berakhir pulang kampung. 5. Keadaan Lokalisasi Bongkaran Ketika Kekuasaan Mulai Pindah Tangan Lokalisasi Bongkaran dan kuasa Hercules di Tanah Abang berkembang secara beriringan, hal ini jelas keruntuhan Hercules akan berdampak pada Bongkaran yang mana penguasa barunya bukanlah merupakan lanjutan, melainkan hasil perebutan kuasa dengan perbedaan motivasi yang mencolok di antara keduanya.
Istilah centeng moral membawa arti sosok Ucu Kambing sebagai penjaga yang peka akan penyimpangan terhadap nilai-nilai yang telah dianggap baik secara konsensus oleh mayoritas masyarakat. Ibid., hlm. 130. 29 Ibid., hlm. 128. 28
20
Langkah perebutan kuasa oleh pimpinan Ucu Kambing baik secara organik melalui penguatan keserasian pemikiran di antara pengikutnya atas dasar motif agama yang kemudian secara akumulatif dimanifestasikan pula secara mekanik ketika tumpahnya peperangan antara kelompok Hercules yang memiliki cap pendatang dari Timur dan berseberangan dari praktik-praktik Islam, kemudian Ucu Kambing keluar sebagai pemenang sekaligus mengisyaratkan berpindah tangannya kekuasaan Hercules dalam konteks politik lokal Tanah Abang. Hal ini menjadi penting karena Bongkaran secara langsung menemui pula masa surutnya, ketika prostitusi ilegal yang dipandang negatif dan begitu jauh dari keabsahan konsensus nilai dan moral masyarakat, kini mesti hidup dalam bayang penguasa lokal yang berlandaskan motivasi menegakkan kembali nilai-nilai keislaman dan secara etnosentris menyimbolkan “Orang asli” Artinya mereka berasal dari leluhur dan juga tumbuh kembang sudah di Tanah Abang, berbeda dengan mayoritas orang- orang di Bongkaran yang merupakan pendatang. Akibat dari berbagai tekanan yang dihadapi Bongkaran alhasil situasi dan kondisi laju perdagangan prostitusi dan segala hiburan ilegal di dalamnya menjadi tidak kondusif, mereka kehilangan pengamannya dan harus berhadapan dengan penertiban dalam intensitas tinggi sehingga praktik prostitusi di Bongkaran digambarkan dengan satu pihak mengejar, sedangkan pihak lainnya bersembunyi, yang dalam kasus ini para WTS dan kegiatan lain yang berhubungan dengannya atau biasa dikenal dengan istilah kucing-kucingan.30
30 Kompas,
26 November 1997, “Bongkaran Tanahabang Tinggal Nama”.
21
Praktik saling mengejar dan bersembunyi antara lembaga berwajib dengan kegiatan prostitusi di Bongkaran ini mengindikasikan bahwasannya kegiatan ilegal tersebut sebetulnya masih terus berlanjut, tidak hilang, hanya saja dalam skala yanglebih kecil. Prostitusi kelas rendah Bongkaran Tanah Abang Jakarta di tengah arusperubahan signifikan menyangkut penguasa lokal di kawasan ini nyatanya tetap dapat bertahan, kembali lagi pada bagaimana sistem jual-beli dan pendukungnya di Bongkaran yang terbukti adaptif, bedeng-bedeng berukuran (ukuran) yang dibuat sedemikian rupa dari terpal, balok, dan seng yang dalam sekejap dapat lenyap kemudian berdiri lagi ketika malam tiba, keberadaan warung remang-remang sebatas tenda yang tidak berbentuk bangunan fisik, keberadaan muncikari dan tak kalah penting lagi aspek keruangan yang begitu mendukung adanya mobilitas individu dalam skala yang tetap besar tanpa adanya pengaruh siapa orang yang sedang berkuasa menciptakan pasarnya sendiri sehingga jual-beli antara penyedia dan konsumen akan selalu ada orangnya. Hal-hal yang saling mendukung ini berhasil melestarikan kegiatan prostitusi di Bongkaran. C. Penutup 1. Kesimpulan Kawasan Bongkaran Tanah Abang Jakarta Pusat tidak diperdebatkan lagi sebagai salah satu kawasan hitam di ibukota ini, ragam kasus pembunuhan, bisnis ilegal, prostitusi kelas rendah, dan premanisme adalah sekian dari tindak kriminalitas yang hari-harinya mewarnai Bongkaran. Hal ini kemudian menyebabkan citranya begitu buruk dipandang utamanya masyarakat sekitar dan melalui pemberitaan surat kabar yang bermunculan sepanjang tahun hingga 1980- an akhir, memasuki era 1990-an ketika hadirnya Hercules menjadi
22
sosok penguasalokal baru yang kuat di Tanah Abang, di mana ia menstimulasi dunia prostitusi kelas rendah Bongkaran ini menjadi komoditas utamanya dan merubah angka kriminalitas pembunuhan yang tadinya mendominasi kini sebagai surga nya hiburan malam yang murah. Selain dari adanya faktor lain seperti penertiban di Senen, lokalisasi KramatTunggak, dan kawasan strategis dari aspek ruang di antara bantaran sungai Ciliwung dan Stasiun Tanah Abang sekaligus lokasi bongkar truk yang berkaitan dengan mobilitas tinggi sehingga prostitusi menjadi salah satu pasar yang ramai minat nya, Hercules didapatkan berhasil menjadikan Bongkaran begitu terkenal akan prostitusi murah nya ialah praktik patron-klien yang ia jalankan sebagai basis pengamanan sekaligus pendirian warung remangremang, disko ilegal dalam jumlah yang lebih dari satu gubuk dari penguatan sisi bisnis nya. Peranan Hercules semata-mata menunjukan bahwa Bongkaran pernah mengalami masa kejayaannya, tetapi bukan berarti kegiatan jual-beli jasa seks bertaraf rendah dan segala praktik sampingan di Bongkaran dapat bertahan bukan karena Hercules saja, dapat kita temukan keunikan sistem jual-beli pelacuran di Tanah Abang ini yang menjadi senjata utamanya yaitu satu kesatuan ekosistem bisnis ilegal, keberadaan warung remang-remang yang di dalamnya duduk pula muncikari beserta WTS yang ia tawarkan, tempat ini dapat menjadi transit para konsumen, di luar dari WTS yang menawarkan secara mandiri di sepanjang jalan Bongkaran, sistem sewa bedeng sederhana ukuran paling besar 1x3 meter dengan perjanjian bayaran satu kali ejakulasi, dan ruang-ruang ini memiliki kesamaan yaitu sama-sama berbentuk tenda dari papan, terpal, seng, balok yang sangat mudah disembunyikan kembali, artinya daya tarik bukan hanya harga murah tetapi
23
keseluruhan praktiknya begitu adaptif dan fleksibel mengikuti situasi dan kondisi dan tanpa berpengaruh langsung kepada siapa yang sedang berkuasa baik itu lokal maupun secara formal di tingkat pemerintahan berdaulat. Ketahanan ini juga dapat kita lihat dari hubungan sosial mereka yang kuat atas dasar hidup secara berkelompok dari kesamaan etnis mereka berasal. Aspek teknis bagaimana sistem jual-beli di prostitusi Bongkaran, pernah adanya peranan sosok penguasa lokal, dan hubungan sosial di antara WTS yang kuat mengantarkan dunia prostitusi di Bongkaran Tanah Abang tetap lestari hingga masa kontemporernya di tengah segala perubahan dan wacana penertiban walau berakhirnya pada skala yang lebihkecil dan kejar-kejaran dengan pihak berwajib. Bongkaran di masa akhirnya dapat kita artikan sebagai salah satu lokasi prostitusi yang pernah menuju kawasan lokalisasi, lebih tepatnya secara informal karena diwacanakan dan coba diaplikasikan oleh tokoh di luar pemerintahan berdaulat yakni penguasa lokal baru pasca Hercules yaitu Ucu Kambing, realisasi nyata kebersamaan masyarakat Tanah Abang dengan Pemda DKI Jakarta masa Gubernur Sutiyoso pada tahun 2000 dengan pembangunan Masjid yang dalam perjalanannya upaya lokalisasi sebagaimana mestinya belum pernah tersampaikanbahkan hingga kini. Penelitian ini menemukan bahwa keberadaan praktik prostitusi kelas rendah dan ilegal di kawasan Bongkaran Tanah Abang DKI Jakarta tetap lestari akibat daritrajektori kesejarahan di masa lalu yang nyatanya merupakan kekuatan utama mereka, motif ekonomi dengan segala realisasi dan keunikannya, motif hubungan sosial berkelompok atas dasar kesamaan etnis, dan pentingnya penguasa lokal melihat dari cerminan sosok Hercules justru dapat kita jadikan pembelajaran- pembelajaran inti yang bisa
24
dikembangkan menjadi suatu senjata utama menertibkan dan secara berkala menghilangkan praktik ilegal di Bongkaran. Tiga aspek penting ini yang dapat kita pecah menjadi studi-studi akademis spesifik tersendiri yang kemudian dapat kita jadikan solusi lebih lanjut menyikapiBongkaran Tanah Abang menjadi kawasan lokalisasi yang nyata di kemudian hari.
25
DAFTAR REFERENSI Surat Kabar: Kompas, 24 Januari 1973, “Dari Planit ke Bongkaran”. Kompas, 30 Mei 1980, “Sum yang Pasrah Nasib”. Kompas, 4 November 1995, “Gubuk Dorong, Bursa Seks di Bongkaran”.Kompas, 30 November 1997, “Tanahabang, Preman dan Politik Kota”. Kompas, 26 April 1993, “Info: WTS di Tanah Abang” Pos Kota, 2 November 1997, “Hercules: Aparat Keamanan Harus Turun Tangan.” Kompas, 26 November 1997, “Bongkaran Tanahabang Tinggal Nama”. Sumber Wawancara: Pak Casudi (64 Tahun). Warga RT 14/RW 09, di Jakarta pada 24 Agustus 2022.
Sumber Sekunder Alam, A. (1984). Pelacuran dan Pemerasan:Studi Sosiologis tentang Eksploitasimanusia oleh manusia. Bandung: Penerbit Alumni. Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO) Jakarta Utara dan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. (1987). Survei dan penelitian dampak Sosial Lokalisasi/Resosialisasi Wanita Tuna Susila Kramat Tunggak Terhadap Lingkungan Sekitarnya. Depok: Universitas Indonesia. Blackburn, Susan. (2011). Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup Jakarta. Fikri. (2011). Lokalisasi Kramat Tunggak pada Masa Gubernur Ali Sadikin: 19711977. Skripsi: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Hull, Terence H. (1997). Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan
26
Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Kantor Statistik Jakarta Pusat. (1991). Kecamatan Tanah Abang dalam Angka 1990. Jakarta: Kantor Statistik Jakarta Pusat. Krisna, Yuyu A.N. (1996). Menyusuri Remang-Remang Jakarta, (Jakarta: PustakaSinar Harapan. Lamijo. (2009). “Prostitusi di Jakarta dalam Tiga Kekuasaan, 1930-1959: Sejarah dan Perkembangannya”. Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Gajah Mada: Diakses pada 20 September 2022. Rusyidi, B. &. (2018 ). Penanganan Pekerja Seks Komersial Di Indonesia. Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 5 No. 3, 303 - 313. Suparlan, Parsudi. (1984). Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan. Truong, Thanh-Dam (terj). (1992). Seks, Uang, dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Wiritanaya, Anggara Sahadewa. (2007). Peran Babinkamtibnas terhadap Pelacuran Bongkaran Tanah Abang. Tesis: Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Wilson, Ian Douglas. (2018). Politik Jatah Preman. Serpong: Marjin Kiri. Yuliani, Dewi Murni. (2020). Perubahan Pasar Tanah Abang 1966-1979: Dari Pasar Tradisional ke Modern. Tugas Akhir: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
27
BAGIAN II Refleksi Historiografi Indonesia: Sejarah Lokal dan Sejarah Sosial dalam Perjalanan Penulisan Sejarah Indonesia Masa Kini MEMBANGUN JEMBATAN ANTARA ‘SANA’ DAN ‘SINI’: PERGERAKAN INDO-EROPA NASIONALIS 1923-1942 Interaksi Antar Suku Bangsa dalam Masyarakat Majemuk Disusun oleh: Max Rooyackers
28
A. PENDAHULUAN Pergerakan orang Indo-Eropa memiliki sejarah yang lama. Khususnya Indische Partij yang didirikan pada tahun 1912 menjadi pelopor sebagai organisasi nasionalis. Setelah pimpinannya diasingkan, para tokoh pindah ke Insulinde pada tahun 1913. Insulinde merupakan organisasi orang IndoEropa yang didirikan pada tahun 1908 di Semarang dan memainkan peran penting dalam mempertahankan nasionalisme dan gagasan asosiasi yang berawal dari Indische Partij, yaitu bahwa semua suku dapat bersatu dalam menuju ke suatu negara merdeka bersama. Pada tahun 1908-1919 mereka menjadi sangat berpengaruh di politik lokal, meskipun tidak serevolusioner lagi seperti pada masa Indische Partij. Pada tahun 1919 dengan kembalinya E.F.E. Douwes Dekker Insulinde diubah menjadi Nationaal Indische Partij dengan nama bahasa Melayu Sarekat Hindia (NIP-SH). Organisasi ini berhasil mendapatkan dukungan massa dan melanjutkan program Insulinde dengan semangat dan radikal yang lebih. Namun karena berbagai masalah internal dan eksternal partai NIP-SH dibubarkan pada tahun 1923. Waktu itu pergerakan Indo-Eropa nasionalis di Hindia Belanda mengalami titik terendah. Pembubaran organisasi NIP-SH berarti bahwa bentuk terakhir kerja sama, khususnya secara politik, antara Bumiputra dan Indo-Eropa berakhir. Pergerakan Indo-Eropa Indo-Europeesch Verbond (IEV) memanfaatkan kekosongan ini untuk menetapkan dirinya sebagai organisasi Indo-Eropa utama yang tunggal. Organisasi ini sangat pro Belanda, hingga hubungan dengan organisasi Bumiputra apalagi yang bernuansa politik sangat buruk. Demikian buruk, sehingga para nasionalis menyebut adanya pihak ‘sana’ dan ‘sini’. ‘Sana’ digunakan untuk menyebut pihak pro Belanda, yang berdiri jauh dari pihak ‘sini’, yaitu para pejuang kemerdekaan Indonesia. Dengan cara ini para nasionalis menegaskan betapa jauh berbeda kedua pihak ini secara politik dan bahwa kerja sama tidak mungkin, bahkan dianggap sebagai pengkhianatan. 29
Jadi betul-betul diciptakan semacam jurang antara kedua pihak, yang baru dapat dijembatani lagi pada akhir zaman kolonial. Dasar gagasan asosiasi, yang berarti bahwa semua kelompok bergabung dalam suatu organisasi besar dan pada kemudian hari dalam suatu negara otonom, kehilangan makna dan dukungannya pada tahun 1920-an. Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana organisasi dan beberapa tokoh Indo-Eropa pro kemerdekaan berusaha untuk mengatasi ‘jurang’ antara pihak ‘sana’ dan ‘sini’ dan mengembalikan dasar gagasan asosiasi ke dunia politik pergerakan pada masa kolonial di Hindia Belanda. Kemudian, penelitian ini akan menganalisis sejauh mana dampak pergerakan ini terhadap hubungan antara orang Indo-Eropa dan gerakan nasionalis. Diketahui bahwa dengan dukungan IEV terhadap petisi Soetardjo pada tahun 1936 serta Gerindo dan Parindra yang mengizinkan peranakan Indo-Eropa untuk bergabung sebagai anggota pada tahun 1939 yang menunjukkan bahwa secara bertahap ruang antara kedua kelompok ini sedang dijembatani. Manfaat tulisan ini terletak di pembahasan nasionalisme dan dasar gagasan asosiasi yang masih relevan sampai hari ini. Gagasan menarik ini mengajar untuk berjuang bersama dengan toleransi. Meskipun ada perbedaan antara etnis dan budaya, upaya skala kecil yang berawal dari masyarakat dapat membawa perubahan positif di jangka panjang. Batasan spasial yang digunakan untuk penelitian ini adalah Hindia Belanda, khususnya pulau Jawa yang merupakan pusat pergerakan Indo-Eropa nasionalis. Selain itu, di Jawa polarisasi antara orang Indo-Eropa dan orang nasionalis paling besar di seluruh Hindia Belanda. Batasan temporal yang digunakan adalah tahun 1923 sampai dengan tahun 1942. Batasan tahun ini dipilih karena setelah tahun 1923 dimulai polarisasi besar antara kelompok nasionalis dan Indo-Eropa pro Belanda di Hindia Belanda. Tahun 1942 dipilih sebagai batasan akhir oleh karena waktu itu pemerintahan Hindia Belanda diakhiri oleh penajahan 30
Jepang. Polarisasi ini masih lanjut setelah tahun 1942, namun dalam bentuk berbeda di medan politik yang juga berbeda. Pembagian sub-bab dalam tulisan ini mengikuti periodisasi berdasarkan perubahan bermakna bagi pergerakan IndoEropa nasionalis. B. KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka penelitian ini pada umumnya fokus terhadap tulisan yang membahas tentang orang Indo-Eropa pada masa kolonial secara umum atau tentang pergerakan nasional yang melibatkan orang Indo-Eropa. Itu karena tidak ada sumber sekunder yang memperdalami orang Indo-Eropa pada masa tahun 1923-1942. Topik orang Indo-Eropa nasionalis itu sendiri jarang diangkat dalam historiografi Belanda dan Indonesia, sehingga pustaka ilmiah yang digunakan pada umumnya merupakan biografi tokoh seperti ditulis oleh Paul van der Veur tentang kehidupan E.F.E. Douwes Dekker1. Tulisan ini cukup jauh berbeda dengan tulisan tersebut, oleh karena dibahas tentang pergerakan nasionalis pada periode 1923-1942 ketika Douwes Dekker justru menarik diri dari kehidupan politik. Tulisan yang paling dekat dengan tulisan ini adalah sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh Ulbe Bosma yang membahas tentang orang Indo-Eropa dan perjuangan mereka untuk otonomi2. Meskipun demikian, masa 19231942 sama sekali tidak dibahas. Selebihnya, tulisan ini berakhir pada tahun 1923 ketika NIP-SH dibubarkan. Hanya disebut singkat dalam satu kalimat tentang ketidakpercayaan pergerakan nasionalis terhadap dasar gagasan nasionalis setelahnya. Tulisan ini berbeda dari segi waktu terutama, yaitu setelah tahun 1923 dan lebih fokus terhadap konsep nasionalisme dan dasar gagasan asosiasi sebagai pisau pemisah dan lakban antara sisi orang Indo-Eropa dan Van der Veur, Paul. The lion and the gadfly: Dutch colonialism and the spirit of Douwes Dekker. Brill, 2006. 2 Bosma, U. T. De Indo-Europeaan en de autonomie voor Indie. BGMN-Low Countries Historical Review, 104(1). 1989, 17-38. 1
31
nasionalis. Selain itu ada kajian-kajian lebih umum berkaitan dengan pergerakan nasionalis atau pergerakan Indo-Eropa yang digunakan dalam merancang penelitian ini. Salah satunya adalah kajian Shiraishi tentang pergerakan di Semarang3. Kajian ini menarik karena mengangkat tentang kota Semarang, yang menjadi salah satu pusat utama pergerakan nasionalis Indo-Eropa dan juga membahas tentang Insulinde dan NIP-SH, dua gerakan utama yang menjadi pengaruh besar terhadap pergerakan nasionalis Indo-Eropa pada masa 1923-1942. Sehingga dari pendekatan kedua kajian ada kemiripan, terutama dalam sebagian objek penelitian dan batasan spasial, namun masih cukup jauh berbeda dari batasan temporal dan fokus objek penelitiannya. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini berdasarkan metode penelitian sejarah prof. dr. Kuntowijoyo 4. Proses metode penelitian ini terdiri dari 5 langkah, yaitu pemilihan tema, pengumpulan sumber, heuristik, penafsiran sumber, dan penulisan. Pemilihan tema dilakukan berdasarkan minat dan kedekatan emosional serta intelektual penulis dengan topik ini dengan mempertimbangkan ketersediaannya sumber sejarah. Tahap pengumpulan sumber terdiri dari 2 jenis utama. Yang pertama merupakan surat kabar berbahasa Belanda yang terbit pada masa 1923-1942 di Hindia Belanda yang diakses di arsip digital Delpher. Yang kedua berupa artikel majalah dan buku sumber sekunder dan tertier lain yang membahas tentang orang Indo-Eropa dan pergerakan nasional pada masa tersebut. Hasil pembacaan sumber-sumber tersebut digunakan untuk verifikasi otensitas sumber. Kemudian hasil heuristik sumber digunakan untuk melakukan penafsiran atas data apa saja yang termuat. Akhirnya 3 Shiraishi,
T. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Terj. Hilmar Farid, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997. 4 Kuntowijoyo, D. R. Pengantar ilmu sejarah. Bentang Pustaka, 2005.
32
terlaksana tahap terakhir yaitu penulisan yang berupa hasil penelitian ini. D. HASIL PEMBAHASAN 1923-1933: Polarisasi di tengah tenggelamnya NIP-SH Pergerakan Indo-Eropa yang memperjuangkan kemerdekaan Hindia Belanda melalui dasar asosiasi, artinya bersama-sama dengan ras lain berjuang menuju suatu ideal, dapat dikatakan mati setelah pembubaran NIP-SH. Salah satu alasan NIP-SH gagal yaitu bahwa perbedaan ras ini sudah terlalu besar pada masa ini 5. Dasar asosiasi itu justru semakin membuat orang tidak tertarik dengan gerakan NIPSH. Para tokoh moderat menarik diri ke organisasi yang menggunakan konsep ras sebagai pondasi, khususnya IEV, sedangkan para tokoh revolusioner justru pindah ke organisasi radikal seperti PKI6. Hingga pada akhirnya pada tahun 1923 NIP-SH membubarkan dirinya setelah juga tidak mendapatkan izin dari pemerintah untuk lanjut berorganisasi. Pada tahun-tahun berikut gagasan asosiasi ini menghilang dari dunia pergerakan politik. Pergerakan yang lebih konservatif menonjol seperti IEV di tengah represi pemerintah yang semakin kuat. Di sisi lain pergerakan nasionalis justru semakin keras dalam menghadapi represi pemerintah Hindia Belanda. Ruang antara kedua sisi ini yang sebelumnya masih dapat dijembatani oleh NIP-SH, yang semisal bekerja sama dengan cabang IEV di Semarang dan juga bergaul dengan pergerakan kiri dan nasionalis7. Namun seiring proses permasalahan ras dan hak warga dari segi hukum semakin dipertanyakan, perbedaan antara IEV, yang dianggap sebagai himpunan semua orang Indo-Eropa, dan pergerakan Bumiputra nasionalis ikut semakin besar. Kolonialisme dan anti-kolonialisme menjadi dua konsep Burgers, H. De garoeda en de ooievaar. Brill, 2010. 182-183 Ibid. 7 Bosma, U. T. De Indo-Europeaan en de autonomie voor Indie. 33 5 6
33
berlawanan yang sangat besar. NIP-SH tidak mampu lagi untuk menjembatani ini dan runtuh. Oleh karena dasar gagasan asosiasi dapat dikatakan benar-benar mati dan represinya pemerintah yang begitu besar terhadap para pemimpin NIP-SH, tidak ada upaya lagi oleh tokoh-tokohnya untuk mendirikan organisasi baru. E.F.E. Douwes Dekker, yang dianggap sebagai wajahnya pergerakan nasionalis orang Indo-Eropa, menarik diri dari kehidupan politik dan sama seperti Ki Hadjar Dewantara memutuskan untuk menekun di bidang pendidikan. Pempimpin-pemimpin lain dari NIP-SH antara menghilang dari dunia politik atau memilih untuk bergabung dengan partai yang lain, khususnya IEV8. Pada kenyataan banyak tokoh Indo-Eropa dari NIP-SH pindah ke IEV karena pada awal tahun 1920-an organisasi ini belum terlalu konservatif dan pro Belanda. Mereka yang moderat atau nasionalis tetap dapat bergerak bebas dalam badan IEV. Namun juga ada tokoh yang pindah ke gerakan yang lebih progresif seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, yang terlibat dalam PNI sebelum kemudian diasingkan ke Bangka pada tahun 1927. Ada dua tokoh pemimpin dari NIP-SH yang perlu disoroti karena perannya di kemudian hari di pergerakan Indo-Eropa yang pro kemerdekaan Indonesia. J.J.E. Teeuwen dan P.F. Dahler bersama sempat menjadi wakil Volksraad untuk NIP-SH serta tokoh kuat etnis Indo-Eropa. Teeuwen menekuni kariernya dalam Nederlandsch-Indische Spoorwegen setelah NIP-SH dibubarkan dan baru muncul lagi di dunia pergerakan pada tahun 1938. P.F. Dahler bergabung dengan organisasi sosialis moderat Indische Sociaal-Democratische Partij (ISDP) yang merupakan cabang Sociaal-Democratische Arbeiderspartij di Hindia Belanda. Dahler selain itu berkarier di Balai Pustaka dan juga bergabung di gerakan buruh, yaitu Indische Douanebond, Serikat Bea Cukai Indis. Meskipun Dahler berpengaruh di ISDP, dia tidak dapat mengandalkan Pemberita, 2 Oktober 1926 seperti dikutip Overzicht van de Inlandsche en MaleisischChineesche pers, no.42, 16 Oktober 1926 8
34
dukungan partainya dalam memperjuangkan nasionalisme. Selain itu, pergerakan IEV yang demikian kuat menyebabkan bahwa tidak ada upaya serius untuk mendirikan organisasi lain oleh orang Indo-Eropa. Konsep IEV yang ingin memenuhi kebutuhan kelompok orang IndoEropa dan para blijvers, yaitu orang Belanda totok yang ‘permanen’ bertempat tinggal di Hindia Belanda, menarik banyak tokoh Indo-Eropa ke dalam organisasi ini. Emansipasi tanpa berpolitik menjadi fokus utama. Mereka pada awal sengaja tidak berpolitik, hingga dapat menjaga bahwa orang Indo-Eropa dari sayap kanan sampai kiri tetap berada dalam IEV9. IEV sangat berhasil dalam usaha ini, namun seiring berjalannya waktu para pemimpin organisasi semakin konservatif. IEV kemudian bekerja sama dengan gerakan yang radikal pro Belanda seperti Vaderlandse Club sehingga makin dicurigai oleh gerakan nasionalis dan dianggap mustahil untuk diajak bekerja sama. Sekitar waktu ini istilah ‘sana’ dan ‘sini’ mulai lazim digunakan oleh tokoh pergerakan dan dunia pers untuk menunjukkan rasa enggan dan mustahilnya dalam hal kerja sama. Tahun 1926-1927 menandai perubahan besar dalam pergerakan nasionalis. Pemberontakan PKI gagal dan pemerintah kolonial bertindak keras. Masa represi yang besar mengikutinya. Di tengah represi pergerakan dan pers, pergerakan nasionalis menjadi semakin keras dan menemukan tujuan utama, yaitu Indonesia merdeka sebagai tujuan akhir yang besar10. Ini juga dapat dilihat dari berbagai peristiwa, seperti pendiriannya PNI dan Sumpah Pemuda. Jarak antara organisasi pro Belanda dan pro Indonesia semakin besar. Sebagian besar orang Indo-Eropa bergeser ke IEV, yang mulai semakin konservatif, sedangkan para nasionalis semakin ke kiri dan progresif di bawah sayap pergerakan nasionalis baru. Bosma, U. T. De Indo-Europeaan en de autonomie voor Indie. 33 Damsté , O., Jilderda, B. Nederland-Indonesië in de twintigste eeuw : een beknopte behandeling van de ontwikkeling der staatkundige verhoudingen. Noordhoff-Kolff, 1947. 47-49. 9
10
35
Itu tidak berarti bahwa pada masa ini tidak ada usaha oleh orang Indo-Eropa untuk membangkitkan kembali pergerakannya. Pada tahun 1926 beberapa tokoh bekas NIPSH dan Insulinde berusaha untuk mendirikan kembali organisasi kesayangan mereka di Semarang. Wacana mendirikan Insulinde lagi yang dimulai pada bulan Mei baru direalisasikan pada akir bulan September11. Jeekel, Zeijdel, dan Liefveld, 3 tokoh NIP-SH yang dicap moderat, mendorong pendiriannya Insulinde. Meskipun terkenal moderat, mereka mengajak P.F. Dahler, tokoh Indo-Eropa pro Indonesia garis keras, untuk menjadi ketuanya12. Mereka berusaha untuk merebut kursi dalam pemilihan dewan kota Semarang. Namun, usaha ini gagal karena semua partai lain menolak untuk bekerja sama dengan dan pada akhirnya juga tidak terpilih dalam pemilihan13. Pada akhir tahun 1927 partai Insulinde yang baru sudah tenggelam lagi karena tidak mendapatkan dukungan dari pihak manapun, baik itu warga Semarang, baik pergerakan nasionalis serta tokoh Indo-Eropa nasionalis yang kuat. Organisasi lain seperti IEV masih mengingat betapa kuatnya Insulinde pasa masa lalu, hingga semua langsung menolak bentuk kerja sama apapun. Menarik dari usaha ini, meskipun sangat kecil dan hampir tidak dilirik oleh pers dan organisasi lain, bahwa itu menunjukkan bahwa masih ada semangat nasionalis dari orang Indo-Eropa. Gagasan asosiasi yang mereka propagandakan masih ada dianggap menarik oleh sebagian orang dan tidak benar-benar mati. Juga orang Bumiputra dari Semarang cukup ramai mendukungnya. Daftar calon anggota dewan kota Semarang pada umumnya merupakan orang Bumiputra14. Pers Belanda menghujat Insulinde karena wacana nasionalis dan ‘pribumi’ yang dibawa olehnya15. Juga Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 25 Juni 1926 2 Oktober 1926 seperti dikutip Overzicht van de Inlandsche en MaleisischChineesche pers, no.42, 16 Oktober 1926 13 De Locomotief, 24 Juni 1926 14 Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 14 Juni 1926 15 Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 25 Juni 1926 11
12 Pemberita,
36
serangan terhadap orang Belanda totok disoroti olehnya bersama dengan jiwa revolusioner yang hanya untuk orang bodoh. Selain itu Insulinde juga ingin memperjuangkan hak yang sama, yang khususnya berarti hak milik tanah bagi orang Indo-Eropa dan Bumiputra. Pada tahun 1930 krisis ekonomi mulai berpengaruh kepada Hindia Belanda. Salah satu sektor yang sangat terdampak adalah pejabat pemerintah kolonial. Khususnya orang Bumiputra dan Indo-Eropa mengalami banyak potongan di gajinya16. Ini memicu terdirinya berbagai organisasi pejabat dan buruh, semisal Bond van Administratief Personeel (BAP) pada tahun 193217. Dalam organisasi pekerja seperti ini gagasan asosiasi lanjut digunakan, khususnya karena nasib orang Indo-Eropa dan Bumiputra tidak jauh berbeda di masa krisis ini. Masalah ekonomi juga berpengaruh kepada IEV, yang sebelumnya begitu kuat dalam menyatukan semua orang Indo-Eropa. Pimpinan pusat dituduh tidak berjuang untuk para kleine boeng, para orang Indo-Eropa kecil. Khususnya kelas menengah ke atas yang diperhatikan oleh IEV, sehingga banyak tokoh dan orang kelas menengah ke bawah mulai protes. Ini menyebabkan bahwa pada masa 1933-1938 terdiri banyak organisasi Indo-Eropa kecil. Khususnya ideologi fasis sempat menjadi kuat, di dalam Nationaal-Socialistische Beweging (NSB) dan banyak organisasi fasis kecil yang lain. Pegangan IEV melemah dan oposisi dari dalam semakin kuat. Organisasiorganisasi lain yang bergerak di bidang politik dan ekonomi seperti Politiek-Economische Bond. Organisasi ini berusaha menggunakan dasar gagasan asosiasi serta teori P.F. Dahler dan E.F.E. Douwes Dekker tentang kewarganegaraan untuk bangkit, namun gagalnya lebih parah lagi dibandingkan Insulinde18.
De Sumatra Post, 9 Desember 1938 Bataviaasch Nieuwsblad, 18 Februari 1932 18 Bataviaasch Nieuwsblad, 17 Oktober 1933 16 17
37
1933-1938: Kebangkitan Kembali Pergerakan Indo-Eropa Nasionalis Pada masa tahun 1933-1938 dampak krisis ekonomi benar-benar mulai terasa di Hindia Belanda. Khususnya waktu tahun 1933-1937 ada banyak perubahan besar dalam struktur ekonomi Hindia Belanda 19. Kesejahteraan Hindia Belanda, bagi mereka yang menetap, menjadi garis merah bagi pergerakan pada masa ini. Selain itu pemerintah semakin represif dan ini mencapai puncaknya pada tahun 193520. Ruang bergerak untuk gerakan politik sangat sempit dan aparat kolonial rajin mengikuti semua perkembangan dan rapat, sekecil apapun. Partai-partai baru yang didirikan memiliki latar belakang kuat dalam perkembangan ekonomi dan dampaknya terhadap kelas menengah ke bawah dengan mempertimbangkan kebijakan pemerintah kolonial yang begitu keras. Kemudian pada tahun 1933 Quix mendirikan Indische Staatkundige Partij (ISP). Meskipun demikian, anggota partai ini macam-macam, termasuk orang Indo-Eropa dan Bumiputra, antara lain tokoh seperti F.W. Bisalsky, B. Van Raay, dan Jamin. Tujuan utama yang tertulis dalam AD/ART partai politik ini adalah mencapai kemerdekaan Hindia Belanda21. Namun, meskipun rapat pertama cukup ramai dihadari oleh sekitar 200 orang, terutama berupa orang Bumiputra, perjalanan organisasi ini jauh dari mulus. Walaupun organisasi dengan tegas mengatakan bahwa ingin mencapai kemerdekaan dan mendirikan negara yang demokrasi dengan hak sama bagi semua warga negara, usaha ini dipandang penuh curiga dari sisi pergerakan nasionalis. Di rapat pendirian pertama ini para nasionalis melihat dalam ucapan dewan inti ISP, yang mengatakan bahwa partai ini untuk sementara akan fokus terlebih dahulu terhadap ekonomi Hindia Belanda, karena belum matang 19 Damsté ,
O., Jilderda, B. Nederland-Indonesië in de twintigste eeuw : een beknopte behandeling van de ontwikkeling der staatkundige verhoudingen. 38-47. 20 Burgers, H. De garoeda en de ooievaar. 227. 21 De Locomotief, 16 Oktober 1933
38
untuk kemerdekaan22. Rapatnya cukup ramai dihadiri oleh sekitar 200 orang, sebagian besar orang Bumiputra. Seorang tamu yang bernama Saeroen setelah mendengarkan pernyataan tersebut dengan tegas mengatakan bahwa ISP adalah semacam PEB baru, organisasi yang hanya ingin meningkatkan ekonomi orang-orang tertentu. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa orang Indonesia mustahil akan bergabung dan bahwa ‘kami tidak bersyukur atas pendiriannya organisasi baru ini’23. Dia menutup sesi debatnya dengan perkataan bahwa ‘jurang’ antara orang Belanda dan Indonesia terlalu besar. Tuduhan dan kata-kata ini tidak tanpa dasar diucapkan oleh Saeroen. Quix sendiri merupakan bekas anggota PEB dan secara juga memuji organisasi ini karena berusaha mengejar dasar gagasan asosiasi, meskipun masih kurang. Selama pemerintahan gubernur jendral De Graeff gagasan ini pun sempat mati, namun ISP menghidupkannya kembali24. ISP jadi mencoba mencari imbangan antara memperjuangkan gagasan dasar asosiasi bersama dengan ekonomi yang lebih kokoh dan fokus kepada Hindia Belanda itu sendiri. Jadi meskipun ada pembicaraan panjang lebar tentang itu, antara lain dengan membaca AD/ART dalam bahasa Belanda dan Melayu, aspek ekonomis ini dan latar belakang keanggotaan PEB yang membuat Saeroen curiga dan bahkan kecewa dengan ISP. ISP kemudian seakan ditelan bumi dan tidak ada kabar lagi sampai tahun 1935, ketika Nationaal Indische Beweging (NIB) didirikan pada bulan Maret25. Partai ini juga menggunakan dasar asosiasi dan mengajukan diri sebagai pelawan organisasi fasis, yang tidak memperjuangkan kepentingan umum masyarakat Hindia Belanda. Namun berbeda dengan ISP, NIB sangat menutup diri dan tidak bergerak di depan umum dengan rapat terbuka. Gerakan ini handelsblad, 17 Oktober 1933 Ibid. 24 Bataviaasch nieuwsblad, 17 Oktober 1933 25 Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29 Maret 1935 22 Soerabaijasch 23
39
dari awal sudah dianggap tidak serius oleh surat kabar berbahasa Belanda. Mereka mengejeknya dengan mengatakan bahwa gagasan asosiasi memang adalah fenomena zaman ini lagi dan hanya karena efek krisis ekonomi orang Indo-Eropa ingin bergabung lagi dengan Bumiputra. Padahal justru orang Bumiputra ini yang menekan orang Indo-Eropa di bidang ekonomi26. Proses pendiriannya NIB berjalan lebih buruk lagi dibandingkan dengan ISP. P.F. Dahler, yang hadir antara lain sebagai wartawan surat kabar Bintang Timoer yang dimiliki olehnya, menulis sebuah laporan yang kemudian dikutip oleh surat kabar berbahasa Belanda27. Disitu dia menggambarkan tentang debat tentang peranakan IndoTionghoa dan Indo-Arab yang baru setelah debat selesai diizinkan menjadi anggota NIB. Pada intinya para pemimpin mengatakan bahwa partai mereka sebenarnya tidak jauh berbeda dengan IEV, melainkan ada beberapa perbedaan dasar. Mereka sama-sama fokus terhadap ekonomi. Namun NIB ingin mencapai ini melalui bekerja sama dengan pihak Bumiputra, sedangkan IEV asosiasi dengan pihak Belanda khusus. Cita-cita NIB dengan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan akhir dengan fokus terhadap bidang ekonomi untuk sementara hampir sama dengan ISP. NIB mengadakan satu rapat lagi namun dihadari oleh hanya beberapa orang saja. Berbagai anggota dewan inti dari ISP seperti F.W. Bisalsky dan B. Van Raay juga masuk dalam pengurus inti NIB28. Nasibnya BIN tidak jauh berbeda dengan ISP. Setelah beberapa bulan menghilang, tiba-tiba ada kabar bahwa ketua De Bie mengundurkan diri karena kesibukannya dan Bisalsky menggantikannya 29. Bisalsky mengambil inisiatif untuk menggabungkan NIB dan ISP De Sumatra Post, 1 April 1935 Bintang Timoer, 27 Maret 1935, seperti dikutip: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17 April 1935 28 Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 18 Juni 1935 29 De Indische Courant, 30 Oktober 1935 26 27
40
bersama menjadi Sociaal-Economische Partij (SEP), Partai Sosial-Ekonomi30. Bisalsky menegaskan kembali bahwa IEV dan SEP sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya di keanggotaannya saja. Namun rencana pendirian SEP tidak pernah menjadi kenyataan. Meskipun demikian, namanya saja sudah cukup mencerminkan fokus utama ketiga partai ini, yaitu memperjuangkan kesejahteraan Hindia Belanda secara bersama dengan konsep asosiasi menuju negara Hindia yang bebas dari Belanda. Juga dari keanggotaan ketiga organisasi ini tidak jauh berbeda. Banyak tokoh yang sama berperan dalam ketiga partai ini dan memiliki pengalaman politik yang minim. Ini juga menyebabkan bahwa fokus mereka sebenarnya lebih besar di bidang lain, seperti pergerakan pejabat BAP yang ikut dipimpin oleh Bisalsky juga pada 193231. Ekonomi menjadi fokus utama, yang lebih mudah diperjuangkan dengan cara yang lain diluar pergerakan politik nasionalis. Pers nasionalis ramai diskusikan kedua gerakan ini, khususnya NIB. Surat kabar Pemandangan32 menyambut NIB dengan hangat dan mengucapkan harapan bahwa ini bisa menjadi awal mula kerja sama lagi antara orang IndoEropa dan orang Bumiputra. Inisiatif para pendiri NIB dihargai dan kerja besarnya sedang dinantikan. Namun tidak semua surat kabar demikian positif. Sinar Pasoendan justru sangat curiga dan skeptis terhadap NIB 33. Tanpa basa basi dikatakan bahwa NIB akan mengalami nasib yang sama seperti organisasi yang dimiliki Douwes Dekker dan Quix, yaitu NIP-SH dan ISP. Orang Indo-Eropa memang tidak dapat dipercaya dan karena perbedaan besar budaya kerja sama tidak akan mungkin, meskipun orang Indo-Eropa dalam masa krisis seperti sekarang terpaksa ingin bersatu nieuwsblad, 31 Oktober 1935 18 Februari 1935 32 Pemandangan, 30 Maret 1935, seperti dikutip: Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers. No.14, 6 April 1935. 33 Sinar Pasoendan, 28 Maret 1935, seperti dikutip: Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers. No.14, 6 April 1935. 30 Bataviaasch
31 Bataviaasch nieuwsblad,
41
dengan orang Bumiputra. Suara terakhir ini mewakili mayoritas surat kabar, seperti Soeara Oemoem dan Berdjoeang semisalnya, yang terakhir dimiliki Partindo, yang ironis dan curiga terhadap gerakan terbaru 34. Namun, justru melalui diskusi seperti ini pandangan terhadap orang Indo-Eropa bertahap mulai berubah. Suara massa tetap negatif, namun surat kabar nasionalis juga menyoroti kebaikan orang Indo-Eropa nasionalis yang telah berjasa seperti P.F. Dahler dan E.F.E. Douwes Dekker, yang dikatakan menikmati kepercayaan penuh rakyat Indonesia 35. Itu karena mereka sudah menyebut dirinya sebagai orang Indonesia, bukan orang Hindia, Eropa atau Indo-Eropa, sejak lama36. Tokoh-tokoh baru seperti De Bie dan Bisalsky belum membuktikan diri sebagai orang nasionalis, sehingga mereka dipandang sebagai orang oportunis saja. Curiga terbesar berawal dari pikiran bahwa mereka hanya karena kemiskinan atau karena ingin memperoleh hak milik tanah menyebut dirinya sebagai orang Indo-Eropa37. Satu persoalan yang kembali dipertanyakan dengan bangkitnya pergerakan Indo-Eropa ini adalah nasionalisme itu sendiri. Apakah perlu dipegang nasionalisme Indis, yang ingin mendirikan sebuah negara otonom dengan semua orang yang lahir dan besar di Hindia Belanda sebagai warga negara. Nasionalisme Indonesia sedangkan justru sering dijelaskan sebagai mendirikan negara Indonesia merdeka dengan semua suku asli sebagai warga negara. Perbedaannya jadi bahwa satunya menerima orang Indo-Eropa dan Belanda yang kelahiran Hindia Belanda, sedangkan satunya menolaknya. Juga nama ‘Indis’ dipermasalahkan. Khususnya ISP mengiklankan diri sebagai Indische (Indonesische)
Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers. No.14, 6 April 1935. Makassar, 23 April 1935, seperti dikutip: Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers. No.14, 20 April 1935. 36 Indonesia Raya, Agustus, seperti dikutip: Overzicht van de Inlandsche en MaleisischChineesche pers, No.36, 5 Maret 1929. 37 Pemberita Makassar, 23 April 1935, seperti dikutip: Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers. No.14, 20 April 1935. 34
35 Pemberita
42
Staatkundige Partij mendapatkan kritik atas namanya. Jika yang dimaksudkan memang Indis, maka orang Indonesia tidak akan beragabung, sedangkan yang dimaksudkan Indonesia, maka lebih baik organisasi ini bergabung dengan PPPKI38. Masa tahun 1933-1938, yang merupakan puncaknya krisis ekonomi di Hindia Belanda yang mengalami banyak perubahan struktural ekonomis, melihat berbagai cobaan orang Indo-Eropa untuk mendirikan organisasi, antara lain yang nasionalis dan menggunakan dasar gagasan asosiasi. Namun meskipun menyatakan dirinya pro kemerdekaan, pada intinya mereka ingin mengejar situasi finansial yang lebih menguntungkan bagi Hindia Belanda. Tentu ini dicurigai oleh gerakan nasionalis, yang sebagian hanya melihat usaha orang Indo-Eropa untuk memperbaiki keuangan mereka sendiri. Walaupun demikian, usaha pergerakan Indo-Eropa ‘nasionalis’ dan P.F. Dahler memicu kembalinya diskusi tentang nasionalisme Indonesia dan Indis serta dimana tempatnya orang Indo-Eropa dalam rangka-rangka ini. Diskusi ini semakin serius pada tahun 1938-1942 ketika Insulinde, sebuah organisasi lama yang ditakuti pemerintah dan dibenci organisasi pro Belanda, didirikan untuk kali ketiga. 1938-1942: Menuju Jembatan antara ‘Sana’ dan ‘Sini’ Pada tahun 1938 krisis ekonomi sudah resmi berakhir di Hindia Belanda. Perubahan besar yang terjadi di bidang ekonomi sudah berakhir. Namun, itu tidak berarti bahwa Hindia Belanda sudah menjadi negara maju dan modern pada masa ini. Permasalahan ekonomi, khususnya eksploitasi pendatang totok Belanda yang membawa kekayaan mereka ke Belanda lagi, lanjut diprotes oleh pergerakan nasionalis. Di sisi lain tampaknya bahwa pihak ‘sana’ dan ‘sini’ lebih mendekat dengan dukungan IEV terhadap petisi Soetardjo tahun 1936. Namun betapa besar 38 Soerabaijasch
handelsblad, 17 Oktober 1933
43
jaraknya masa itu antara kedua pihak jelas ketika IEV menarik dukungannya terhadap petisi Soetardjo pada tahun 1938. Tetapi, ada yang tetap lanjut mendukung petisi Soetardjo seiring perkembangannya. Antara lain Bond van Administratief Personeel (BAP) yang dipimpin oleh F.W. Bisalsky, bekas pemimpin ISP dan NIB, lanjut mendukungnya 39. Selain itu juga partai Insulinde, organisasi bersejarah, yang didirikan ulang lagi pada pertengahan tahun 1938 oleh J.J.E. Teeuwen bersama sejumlah besar senior Insulinde lama. Kabar tentang pendiriannya Insulinde, sama seperti pada tahun 1926, sudah lebih lama beredar. Namun, ini tidak pernah dianggap serius dan dikira wacana saja40. Nama Insulinde adalah nama yang membawa makna besar dalam dunia pergerakan politik dan tidak ringan dibicarakan. Insulinde merupakan organisasi pelopor dasar gagasan asosiasi setelah Indische Partij dibubarkan dan berkembang menjadi NIP-SH setelah E.F.E. Douwes Dekker balik dari pengasingan di Belanda. Nama Teeuwen yang dikaitkan dengan Insulinde juga ditakuti. Meskipun dia sejak tahun 1923 tidak aktif dalam kehidupan politik, dia langsung membuktikan bahwa dia masih membawa semangat zaman tersebut. Teeuwen adalah tokoh Indo-Eropa nasionalis yang sudah membuktikan diri dan pintar berbicara. Dia keras mengatakan pendapatnya, namun bersama selera humornya mampu membawa pendengarnya. Awalnya Insulinde hanya memiliki 50 anggota saat didirikan oleh J.J.E. Teeuwen, J.E. Liefveld dan R.U. Volborth41. Teeuwen mengatakan bahwa pendiriannya Insulinde bukan rencana dia sendiri, tetapi bahwa dia diminta oleh anggota lama42. Ini dapat dilihat jelas dari struktur organisasi dengan tokoh seperti Liefveld dan Volborth yang juga terlibat di Insulinde lama dan upaya Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12 Agustus 1939 Soerabaijasch handelsblad, 23 Mei 1938 41 Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 23 Juni 1938 42 De Sumatra Post, 2 Juli 1938 39 40
44
tahun 1926-1927 untuk mendirikan Insulinde lagi. Perbedaan utama adalah situasu yang sudah berubah dan bahwa kali ini mereka berhasil mendapatkan dukungan oleh tokoh lama yang kuat, yaitu Teeuwen. Salah satu faktor Insulinde didirikan setelah sekian lama lagi adalah perubahan sistem pemilihan dewan kota. Dimana sebelumnya partai-partai membagi kursi dewan kota, sekarang akhirnya rakyat dapat memilih wakilnya secara langsung43. Teeuwen menegaskan bahwa yang pasti, organisasi ini bukan hanya untuk orang kecil, tetapi untuk semua44. Salah satu tujuan penting tetap menjadi Indië voor Indië. Itu diartikan oleh Teeuwen bahwa semua orang yang lahir di Hindia Belanda dapat hak menentukan semua hal berkaitan pemerintahan45. Hindia Belanda harus menyejahterakan penduduk tetap Hindia Belanda, bukan orang yang hanya ingin membawa pulang kekayaannya. Faktor ekonomi tetap menjadi poin penting di programnya.
Gambar 1. J.J.E. Teeuwen, pendiri Insulinde, tahun 193846. Orang Belanda dan Indo-Eropa pro Belanda sangat De Indische Courant, 30 Juni 1938 Soerabaijasch handelsblad, 28 Juni 1938 45 De Indische Courant, 30 Juni 1938 46 Soerabaijasch handelsblad, 28 Juni 1938 43 44
45
tidak senang dengan kabar kebangkitan ulang Insulinde. Melalui surat kabar dan surat terkirim mereka membentak Insulinde dan Teeuwen. Program lamanya tidak mungkin akan efektif menurut mereka 47. Sosok Teeuwen itu sendiri juga ditakutkan, meskipun setelah tahun 1923 sama sekali tidak terlibat lagi dalam gerakan politik. Seorang pandai berbicara dan bercanda, dia ahli menarik hati orang, serta tegas menyatakan pandangan politiknya. Dia sebagai perorangan diserang dengan surat anonim di koran. Teeuwen dikatakan hanya dapat menawarkan omongan kosong dan bercanda garing yang memalukan 48. Juga Jeekel, rekan organisasi lama yang juga terlibat di upaya mendirikan ulang Insulinde pada tahun 1926-1927 dan mewakili suara konservatif Insulinde lama, ikut mengangkat penanya. Dia menyebut bahwa cita-cita Teeuwen dan Insulinde, yaitu menyatukan semua kelompok masyarakat, mustahil dapat dicapai karena semua jadi politik sekarang. Insulinde yang sekarang dituduh melakukan apapun secara buta untuk mencapai persatuan tersebut, yang akan menuju ke orang Indo-Eropa yang tenggelam di massa rakyat49. Di balik serangan dan hujatan pers Belanda, Insulinde juga mendapatkan banyak dukungan. Organisasi IndoEuropeesche Kies Organisatie di Malang langsung bergabung sebagai cabang Insulinde di Malang50. Dari Lawang dan Batavia dikirim berbagai surat yang menyatakan dukungan terhadap Insulinde. Dukungan utama datang dari bekas anggota Insulinde yang sudah lebih lama mendorong pendirian ulang Insulinde. Juga P.F. Dahler sempat bergabung dengan studieclub-nya ‘Het Prisma’ sebagai cabang Batavia Insulinde 51. Dalam waktu singkat Insulinde berhasil untuk mendirikan cabang di Lawang dan Surabaya,
Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 25 Mei 1938 Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 3 Agustus 1938 49 Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 23 Juli 1938 50 De Sumatra Post, 2 Juli 1938 51 Soerabaijasch handelsblad, 2 Juli 1938 47 48
46
meskipun sulit karena minimnya anggota5253. Juga tokoh besar dari IEV, W. Marcus, wakil walikota Semarang, keluar organisasinya untuk bergabung di Insulinde 54. Marcus dan Teeuwen bersama pintar berpidato dan berpolitik, sehingga Insulinde mendapatkan simpati dari banyak kalangan berbeda. Pada akhir 1938 W. Marcus mengadakan pidato di Semarang tentang orang Indo-Eropa dan masa depannya55. Dalam pidato dia menguraikan tentang sejarah ekonomi orang Indo-Eropa sejak abad ke-19. Kemiskinan yang mengancam di masa lalu sekarang kembali lagi dan bersama faktor lain menjadi hambatan menuju kewarganegaraan Indis (Indisch burgerschap). Orang Bumiputa dan orang InoEropa sebenarnya sama saja, kecuali status hukumnya, termasuk kewajiban dan hak. Kewarganegaraan Indis dijelaskan oleh Marcus sebagai pengakuan Indonesia sebagai tanah air, bersama dengan hak dan kewajiban yang sama bagi semua56. Konsep ini berkembang dari dasar gagasan asosiasi, yang terutama berbeda dalam pengakuan Indonesia sebagai tanah air dan menuju konsep yang jelas terkait hak dan kewajiban warga negara Indonesia.
Soerabaijasch handelsblad, 12 Juli 1938 De Indische Courant, 21 September 1938 54 Soeara Oemoem, 16 September 1938, seperti dikutip: Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, no.40, 1 Oktober 1938 55 De Sumatra Post, 9 Desember 1938 56 Mata Hari, 11 Maret 1939, seperti dikutip: Overzicht van de Inlandsche en MaleisischChineesche pers, no.11, 18 Maret 1939 52 53
47
Gambar 2. Rapat Insulinde cabang Surabaya bersama J.J.E. Teeuwen, tahun 193857. P.F. Dahler juga adalah tokoh pergerkaan Indo-Eropa yang sangat berpengaruh dan sangat pro Indonesia. Meskipun tampaknya hanya bergabung untuk sementara, dia menjadi wakil Insulinde di kongres pertama Gerindo, dia tidak lama menetap di Insulinde58. Dahler sejak lama terkenal garis keras pro Indonesia dan sudah pada akhir tahun 1920an menyebut dirinya sebagai seorang Indonesia. Pada masa ini pun dia mengambil nama Indonesia, yaitu Amir Dahlan 59. Keterlibatan Dahler menunjukkan bahwa Insulinde memang begitu nasionalis dan pro kemerdekaan hingga dia benarbenar mendukungnya. Begini Insulinde melakukan kampanye agresif dengan mengundang partai nasionalis ke Soerabaijasch Handelsblad, 24 Oktober 1938. Terjemahan teks: pimpinan cabang Surabaya bersama tuan Teeuwen. Duduk dari kiri ke kanan, Ch. A. Wulm, komisaris. J.C. van Slee, sekretaris. L. Emmah, ketua. A.F. van Ligten, wakil ketual. J.J.E. Teeuwen, ketua pimpinan pusat Semarang. Berdiri: E.M. Machmoedin dan J.W.Wiedenhoff, komisaris. 58 Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 25 Juli 1938 59 Daruch, Agus. De Nationalistische beweging onder de Indo-Europeanen. Ministerie van Voorlichting RI. 1957. 57
48
rapatnya dan menghadiri kongres-kongres mereka. Insulinde juga menjadi organisasi nasionalis Indo-Eropa pertama yang menolak penggunaan Hindia dan menegaskan konsep Indonesia merdeka60. Ini ikut memicu perdebatan dan diskusi di kalangan nasionalis Indonesia tentang penerimaan orang Indo-Eropa dalam partai mereka. Parindra mengadakan kongres pada bulan Desember tahun 1938 dimana mereka setelah perdebatan masih menolak keanggotaan untuk orang IndoEropa. Halangan utama menjadi perbedaan hak dan status hukum serta ketakutan bahwa orang Indo-Eropa akan berusaha untuk memanfaatkan organisasi nasionalis untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri61. Meskipun Parindra belum membuka pintunya untuk peranakan nasionalis, perubahan pandangan sudah jelas terlihat. Thamrin dalam Volksraad menyebut bahwa tidak lagi ada persoalan orang Indo-Eropa. Itu karena dia melihat bahwa mereka semakin asimilasi dengan orang Bumiputra. Khususnya Insulinde dipuji karena visioner dan sudah lama bisa melihat proses ini62. Parindra tidak hanya modal wacana saja, melainkan juga dari awal menyatakan dukungan penuh untuk Insulinde63. Mereka saling menghadiri rapat dan juga mengadakan rapat terbuka bersama64. Insulinde pada masa ini lanjut berkembang dengan cepat. Mereka juga mulai mengadakan rapat dalam bahasa Melayu oleh tokoh seperti J.A. Dengah dan M.B. Marsoedi 65. Mereka juga semakin mendekati pergerakan lain. Doeve, anggota Volksraad dan tokoh terkenal dari IEV, menghadiri berbagai rapat Insulinde untuk menguraikan tentang
Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 14 Maret 1939 Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 23 Desember 1938 62 Mata Hari, 11 Maret 1939, seperti dikutip: Overzicht van de Inlandsche en MaleisichChineesche pers, no.11, 18 Maret 1939 63 De Locomotief, 3 Agustus 1938 64 Mata Hari, 2 Desember 1938, seperti dikutip: Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, no.51, 17 Desember 1938 65 Soerabaijasch Handelsblad, 27 Februari 1939 60 61
49
persatuan rakyat Hindia Belanda 66. Doeve waktu itu masih berbicara tentang negara Hindia yang bebas, sedangkan J.J.E. Teeuwen dan W. Marcus dari Insulinde sudah tegas menyatakan diri sebagai orang Indonesia dan bahwa tujuan akhir adalah persatuan semua suku bangsa dalam negara merdeka Indonesia. Ini tidak tanpa akibat bagi Doeve, yang tidak membahas ini bersama dengan IEV sehingga dia dikeluarkan dari IEV67. Pendekatan bersama dengan pergerakan peranakan lain juga dilanjutkan. Kerja sama dengan Partai Arab Indonesia dan Partai Tiong Hoa Indonesia semakin erat. Kerja keras Insulinde tidak sia-sia dalam membuktikan betapa besar semangat nasionalismenya. Pada bulan Agustus 1939 Gerindo memutuskan untuk menerima anggota peranakan, termasuk Indo-Eropa, dalam organisasinya68. Parindra juga ikut Gerindo dalam menerima anggota peranakan Indo-Eropa sekitar waktu ini. Insulinde lanjut mendukung petisi Soetardjo pada tahun 1940 dan konsep kewarganegaraan Indis, namun kegiatannya berkurang pada masa ini berkaitan perang di Eropa 69. Meskipun Insulinde tegas memperjuangkan kemerdekaan Hindia Belanda, mereka waktu itu masih menegaskan bahwa itu harus dilakukan secara hukum, tanpa kekerasan. Tetap saja Insulinde berusaha untuk berinisiatif di masa yang kacau ini. Insulinde berinisiatif untuk mendirikan badan federasi antara semua kelompok peranakan di Semarang, yang termasuk Partai Tiong Hoa Indonesia dan Persatoean India Poetra Indonesia70. Ada pun rumor bahwa Partai Arab Indonesia akan menyusul cepat dalam badan ini yang berjuang untuk kewarganegaraan Indis dan mendukung aksi GAPI ‘Indonesia berparlemen’. Ada pun usul dari Insulinde Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 14 Maret 1939 De Locomotief, 25 Maret 1939 68 De Locomotief, 15 Agustus 1939 69 Bataviaasch nieuwsblad, 6 Juni 1940 70 Soeara Oemoem, 21 Maret 1940, seperti dikutip: Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, no.13, 30 Maret 1940 66 67
50
yang nyata kepada pemerintah kolonial tentang kewarganegaraan Indis, namun tidak ditanggapi oleh pemerintah71. Penjajahan Jepang menjadi akhir dari pergerakan Insulinde. Khususnya setelah Teeuwen ditangkap atas tuduhan sabotase dan dihukum mati, Insulinde tidak ada harapan lagi untuk bangkit kembali. P.F. Dahler lanjut memimpin pergerakan Indo-Eropa nasionalis yang berada secara langsung di bawah naungan pemerintah militer Jepang. Meskipun Insulinde hanya berdiri selama beberapa tahun saja, mereka berhasil untuk mendirikan sebuah organisasi yang berawal dari orang Indo-Eropa dengan gagasan asosiasi yang lancar setelah 15 tahun. Gagasan asosiasi berkembang menjadi konsep kewarganegaraan Indis yang dirancang bersama dengan partai peranakan yang lain. Melalui aksi nyata Insulinde berpengaruh di tingkat nasional terhadap pergerakan nasionalis besar seperti Gerindo dan Parindra, yang semakin melihat orang Indo-Eropa dari perspektif baru yang lebih positif. Juga di tingkat lokal di Semarang Teeuwen bersama Liefveld dari Insulinde membawa banyak perubahan baik 72. Kerja keras Insulinde sangat menjanjikan pada waktunya namun dihentikan oleh penjajahan Jepang. E. PENUTUP Pembubaran NIP-SH, yang disebabkan berbagai alasan antara lain faktor perbedaan suku yang semakin ditegaskan dan dasar gagasan asosiasi yang dianggap kuno, berakibat bahwa pergerakan Indo-Eropa nasionalis untuk sementara waktu dapat dikatakan mati pada masa 19201930an. Sebuah upaya pada tahun 1926 untuk mendirikan kembali Insulinde gagal karena tidak mendapatkan dukungan, baik dari masyarakat dan tokoh besar Indo-Eropa. Timoer, 12 Juli 1940, seperti dikutip: Overzicht van de Inlandsche en MaleisischChineesche pers, no.29, 20 Juli 1940 72 Soerabaijasch Handelsblad, 21 Agustus 1939 71 Tjaja
51
Dengan bubarnya NIP-SH banyak yang pindah partai ke IEV, atau justru gerakan lebih keras seperti PKI dan ISDP, semisal P.F. Dahler. Tokoh lain seperti E.F.E. Douwes Dekker dan J.J.E. Teeuwen menarik diri dari kehidupan politik. Pada masa tahun 1923-1933 jarak antara pihak orang Indo-Eropa dan pihak nasionalis yang sering disebut sebagai ‘sana’ dan ‘sini’ semakin besar. Periode 1933-1938 melihat berbagai upaya untuk menjembatani jurang yang memisahkan kedua kelompok. Beberapa partai kecil didirikan seperti ISP, NIB, dan SEP oleh tokoh baru dalam bidang politik. Faktor ekonomi menjadi dorongan besar bersama kesadaran baru tentang nasionalisme dan konsep asosiasi. Namun karena tidak menikmati kepercayaan umum dan kurang pintar berpolitik ketiga gerakan ini tidak lama bertahan. Represi pemerintah dan perubahan besar di struktur ekonomi Hindia Belanda menjadi pengaruh besar terhadap gerakan-gerakan ini. Meskipun gagal, mereka membantu mempersiapkan medan politik untuk organisasi Indo-Eropa nasionalis Insulinde yang didirikan kembali pada tahun 1938. J.J.E. Teeuwen yang setelah 15 tahun pensiun kembali ke dunia politik bersama dengan berbagai rekan organisasi lama mulai bersuara lagi tentang nasionalisme dan dasar gagasan asosiasi. Teeuwen berhasil untuk menarik berbagai tokoh dari IEV untuk mendukungnya, seperti W. Marcus dan dr. Doeve. Khususnya Marcus berpengaruh dan pintar berpolitik. Juga kerja sama erat dengan pergerakan nasionalis dan partai peranakan lain sangat bermanfaat baginya. Berbeda dengan gerakan nasionalis Indo-Eropa pada masa 1933-1938 memiliki banyak poin ‘negatif’, yaitu mereka anti IEV, anti fasis, dll., Insulinde justru secara aktif dan positif bergerak dalam mengembangkan konsep kewarganegaraan Indis dan menjadi partai pertama Indo-Eropa yang tegas mengakui negara Indonesia sebagai tanah airnya. Keterlibatan P.F. Dahler di awal juga menunjukkan seberapa nasionalis pergerakan ini. Dahler sudah lama menyebut 52
dirinya sebagai orang Indonesia dan bersikap sangat keras dalam hal ini. Pihak ‘sana’ dan ‘sini’, yang begitu jauh, mulai berdekatan sedikit pada akhir zaman kolonial. Dukungan IEV terhadap petisi Soetardjo dapat dilihat sebagai salah satu bentuknya pada tahun 1936, namun penarikan dukungannya pada tahun 1938 menunjukkan bahwa IEV masih cukup menutup diri. Terutama pihak ‘sini’ yang bertahap mulai membuka diri sedikit untuk mereka dari ‘sana’ yang ternyata mendukung ‘sini’, dalam arti membuka keanggotaan untuk orang Indo-Eropa. Jaraknya masih ada, namun tidak sebesar masa tahun 1923-1933 lagi. Insulinde memainkan peran penting dalam membuktikan dengan gagasan dan tindakan mereka bahwa juga ada peranakan Indo-Eropa selain E.F.E. Douwes Dekker yang pro Indonesia.
53
DAFTAR PUSTAKA Buku dan jurnal Burgers, H. (2010). De garoeda en de ooievaar. Brill. Bosma, U. T. (1989). De Indo-Europeaan en de autonomie voor Indië. BMGN-Low Countries Historical Review, 104(1), 17-38. Damsté , O., Jilderda, B. (1947). Nederland-Indonesië in de twintigste eeuw : een beknopte behandeling van de ontwikkeling der staatkundige verhoudingen. Noordhoff-Kolff. Daruch, Agus. (1957) De nationalistische beweging onder de IndoEuropeanen. Ministerie van Voorlichting RI. Kuntowijoyo, D. R. (2005). Pengantar ilmu sejarah. Bentang Pustaka. Shiraishi, T. (1997). Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, terj. Hilmar Farid, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Van den Bijllaardt, A. C. (1933). Ontstaan en ontwikkeling der staatkundige partijen in Nederlandsch-Indië. G. Kolff. Van der Veur, Paul. (2006). The lion and the gadfly: Dutch colonialism and the spirit of EFE Douwes Dekker. Brill. Surat kabar Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië: 25 Juni 1926, 25 Mei 1938, 23 Juni 1938, 23 Juli 1938, 25 Juli 1938, 3 Agustus 1938, 23 Desember 1938, 14 Maret 1939 Bataviaasch nieuwsblad: 18 Februari 1932, 17 Oktober 1933, 31 Oktober 1935 De Indische Courant: 30 Oktober 1935, 21 September 1938 De Locomotief: 24 Juni 1926, 16 Oktober 1933, 3 Agustus 1938, 25 Maret 1939, 15 Agustus 1939 De Sumatra Post: 1 April 1935, 2 Juli 1938, 9 Desember 1938 Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië: 29 Maret 1935, 17 April 1935, 18 Juni 1935, 12 Agustus 1939 Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers: 16 Okober 1926, 5 Maret 1929, 6 April 1935, 20 April 1935, 1 Oktober 1938, 17 Desember 1938, 18 Maret 1939, 30 Maret 1940, 20 Juli 1940 Soerabaijasch handelsblad: 17 Oktober 1933, 23 Mei 1938, 28 Juni 1938, 30 Juni 1938, 2 Juli 1938, 12 Juli 1938, 24 Oktober 1938, 27 54
Februari 1939, 21 Agustus 1939 Arsip Arsip digital Delpher
55
BAGIAN III Penelitian Sejarah: dari Sejarah Lokal hingga Sejarah Sosial TINJAUAN HISTORIS DAN IMPLEMENTASI TRADISI SAPARAN BEKAKAK PADA MASYARAKAT AMBARKETAWANG TAHUN 1983-1985 Peristiwa Sejarah Lokal
Disusun oleh: Joshatito Juliantana Manuayasa Mahendra
56
A. Latar Belakang Kebudayaan merupakan kata gubahan dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan kata jamak dari kata budhi dan daya. Dua kata tersebut mengandung arti “Segala sesuatu yang bertautan dengan akal atau pikiran (buddhi), dan kemampuan mengadakan atau menciptakan (dhaya)”. Seperti yang diketahui manusia memiliki akal atau kecerdasan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, dengan akalnya itu manusia memecahkan setiap permasalahan yang mereka hadapi. Manusia membuat atau mencipta suatu hal maupun alat guna memecahkan permasalahannya. Dapat didefinisikan bahwa budaya merupakan “segala ciptaan manusia dan merupakan hasil usahanya untuk mengubah dan memberi bentuk susunan baru dari segala yang telah ada sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rohaninya”.73 Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman suku bangsa, ras, agama, dan budaya. Setiap daerah di Indonesia memiliki beragam budaya dengan kekhasan dan keunikannya masing-masing. Yogyakarta yang terletak di jantung pulau Jawa, dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang cukup kental akan nilai-nilai kesenian dan kebudayaan. Kraton, sebagai penghageng kebudayaan terus berusaha untuk melestarikan berbagai kebudayaan dan kesenian yang sudah ada sejak dahulu.74 Masyarakat pun turut ambil bagian dalam proses pelestarian kebudayaan dan kesenian Yogyakarta. Masyarakat tidak hanya berperan sebagai pelestari, namun turut mengembangkan kebudayaan dan kesenian yang ada. Kebudayaan yang ada di Yogyakarta sangat beragam, salah satunya adalah Upacara Adat Saparan Bekakak di Desa Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta, yang sudah ada sejak masa Sultan Hamengku Ririn Darini, Sejarah Kebudayaan Indonesia Masa Hindu Buddha, (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2013), hlm.1 74 Amaranggana, “Dinamika Kesenian Ketoprak Mataraman RRI Yogyakarta tahun 1965-2002”, Skripsi, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2022), hlm. 1. 73
57
Buwono I. Upacara Saparan Bekakak merupakan sebuah tradisi penyembelihan dua pasang boneka pengantin yang dibuat dari ketan dan diisi dengan cairan gula jawa kemudian diberi pewarna merah (juruh) agar menyerupai darah.75 Upacara ini dilakukan sekitar tanggal 10-20, pada hari Jumat pada bulan Sapar dalam penanggalan Jawa. Upacara Saparan Bekakak ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah pendirian Kraton Yogyakarta, dimana saat Kraton Yogyakarta sedang dalam tahap pembangunan, Sultan Hamengku Buwono I bertempat tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang, Gamping.76 Upacara ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur dan meminta berkah keselamatan bagi para penambang batu kapur di Gunung Gamping yang kerap dilanda musibah longsor, berlatar belakang kisah Ki dan Nyi Wirosuto yang merupakan sepasang abdi dalem dari Sultan Hamengku Buwono I saat berada di Pesanggrahan Ambarketawang. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, Upacara Adat Saparan Bekakak ini mengalami beberapa perubahan dan penyesuaian dalam pelaksanaannya. Perubahan tersebut bermula pada periode tahun 1983-1985, dimana terdapat perubahan dari segi prosesi pelaksanaan, kelengkapan upacara dan alat pengiring yang ada. Pada sisi lain terdapat penambahan seperti adanya rombongan kirab penggembira pada saat kirab Bekakak ini. Periode tahun tersebut, menjadi awal mula transisi perubahan makna dan fungsi dari Upacara Bekak. Saparan Bekakak yang awalnya berupa upacara adat yang syarat dengan kesakralannya, berkembang menjadi sebuah tradisi yang memiliki potensi bagi masyarakat dari segi sosial, pemajuan potensi wilayah dan perekonomian melalui bidang kebudayaan dan pariwisata. 75 Tashadi,
dkk. Upacara Tradisional Saparan Daerah Gamping dan Wonolelo Yogyakarta. (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), hlm. 42. 76 Ibid. , Tashadi, hlm. 22.
58
B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang mengacu pada metode sejarah antara lain yakni heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. 1. Heuristik Heuristik merupakan langkah kerja sejarawan untuk mengumpulkan sumber-sumber (source) atau buktibukti (evidences) sejarah. Heuristik menjadi tahap awal dari sebuah metode penulisan sejarah. Usaha untuk merekonstruksi sejarah tidak bisa dilakukan tanpa adanya sumber (No record, no history). Maka tahap ini sangat penting dan berpengaruh dalam hasil akhir penulisan sejarah.77 Dalam mengumpulkan sumber-sumber sejarah guna penulisan ini, penulis mengumpulkan berbagai macam sumber yang menyangkut judul, dari berbagai sumber sejarah seperti arsip dan buku yang terdapat di Jogja Library Center dan UPT UNY, Pencarian sumber juga dilakukan melalui web online seperti Delpher.nl yang menyediakan layanan akses dokumen lama. Secara umum, sumber-sumber yang diperoleh dapat dibedakan menjadi dua yaitu, sumber primer dan sekunder. a. Sumber Primer Sumber primer adalah sumber informasi yang dibuat pada waktu sezaman dengan peristiwa yang terjadi. Sumber primer dapat berupa kesaksian langsung dari pelaku sejarah maupun saksi sejarah. Selain itu sumber primer juga dapat berupa dokumen tertulis yang berkaitan secara langsung dengan peristiwa atau tokoh sejarah tersebut. Dalam makalah ini menggunakan beberapa sumber primer, diantaranya seperti: 1) Bekakak Gamping Perintah Sri Sultan Saparan 77 Daliman,
Metode Penelitian Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 51-
52.
59
Ongkowiu, Klaten, Apem Mekah, Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 15 November 1983. 2) Jurrieiri Siti Rumidjah, dkk., Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan Peristiwa Agama dan Kepercayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 1983/1984. 3) Tewasnya Kyai Wirosuto, Surat Kabar Berita Nasional, Yogyakarta, 2 November 1985. b. Sumber Sekunder Sumber sejarah sekunder merupakan sumber yang berisi informasi atau keterangan yang diperoleh dari perantara atau orang yang tidak memiliki hubungan secara langsung maupun terlibat dalam peristiwa sejarah. Sumber ini disebut juga dengan sumber kedua. Sumber sekunder ini seperti bukubuku yang ditulis oleh sejarawan yang telah melakukan penelitian. 78 Pada penelitian ini, sumber sekunder yang digunakan diantaranya yaitu: 1) Tashadi, dkk. (1992). Upacara Tradisional Saparan Daerah Gamping dan Wonolelo Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya. 2) Fiki Trisnawati. W. (2011). “Pergeseran Makna Budaya Bekakak Gamping (Analisis Semiotika Pergeseran Makna Budaya Bekakak di Desa 78 Louis
60
Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2008), hlm. 43.
Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kab. Sleman)”. Skripsi. Yogyakarta: UPN Veteran Yogyakarta. 3) Nova Fajriyatul. H. (2009). “Makna Simbolik Dalam Tradisi Bekakak di Gamping Yogyakarta”. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2. Verifikasi atau Kritik Sumber Tahap selanjutnya adalah kritik sumber atau verifikasi sumber. Dalam prakteknya, banyak sejarawan yang melaksanakan dua tahapan (Heuristik & Kritik Sumber) ini secara bersamaan (simultaneously). Kritik sumber ini dilakukan untuk memastikan sumber sejarah benar-benar asli dan kredibel, sehingga nantinya menghasilkan rekonstruksi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada dasarnya, kritik sumber terbagi menjadi dua, yaitu: a. Kritik eksternal, Kritik eksternal merupakan salah satu cara memverifikasi suatu sumber sejarah. Kritik ini lebih menekankan pada pengujian terhadap aspek fisik sumber. Pada tahap kritik eksternal ini dilakukan pencocokan dokumen atau arsip tersebut asli atau tidak, apakah penulisannya menggunakan ejaan, gaya tulisan dan jenis kertas yang sezaman dengan pembuatan arsip tersebut, dan identitas pengarang sesuai dengan zamannya. Dalam tahap kritik eksternal yang dilakukan ini didapatkan hasil bahwa arsip tersebut benar-benar asli. b. Kritik internal Kritik internal adalah suatu cara yang lebih menekankan kepada aspek isi sumber. 79 Dalam kritik internal lebih dipertanyakan kandungan isinya apakah informasi yang terkandung dalam suatu dokumen 79 Helius
Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 112.
61
atau informasi benar dan dapat dipercaya kredibilitasnya. Informasi yang diperoleh merupakan fakta sejarah. Fakta sejarah sendiri dibagi menjadi dua yaitu fakta sejarah lunak dan fakta sejarah keras. Fakta sejarah lunak merupakan fakta yang sudah teruji kebenarannya. Sedangkan fakta sejarah keras, masih perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kebenarannya. Dalam kritik internal yang dilakukan, dilakukan pencocokan sumber yang ditemukan apakah isinya sesuai menyangkut informasi tentang Upacara Saparan Bekakak Gamping, serta kecocokan pembahasan antara dokumen arsip yang satu dengan dokumen lainnya. Kesamaan yang terdapat dalam beberapa sumber tersebut menunjukkan bahwa sumber tersebut terpercaya dan sesuai. 3. Interpretasi Langkah selanjutnya adalah interpretasi atau penafsiran. Interpretasi merupakan suatu proses yang dijalani oleh seorang sejarawan dalam menganalisis suatu peristiwa sejarah, yakni dengan menggunakan bendabenda peninggalan baik yang tertulis maupun lisan sebagai penghubung antara masa lalu dan masa sekarang.80 Interpretasi ini diperlukan karena pada dasarnya bukti-bukti sejarah sebagai saksi (witness) realitas di masa lampau hanya saksi-saksi bisu belaka. Pada tahap interpretasi terdapat dua hal yang dilakukan yakni proses analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan). Proses analisis adalah usaha sistematik untuk mengkaji masalah dengan melihat unsur-unsur, dan menguraikannya ke dalam berbagai komponen. Proses analisis berbagai sumber ini kemudian digabungkan ke dalam kelompok-kelompok lain, maka terjadilah proses sintesis, yaitu pemecahan masalah 80 Sulasman,
110.
62
Metodologi Penelitian Sejarah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm.
dengan sumber-sumber yang sudah dianalisis.81 Proses interpretasi pada penelitian ini dilakukan dengan menghubungkan fakta-fakta sejarah yang sudah melalui proses kritik sumber, dan kemudian fakta-fakta tersebut diberikan makna. Dalam proses interpretasi ini diusahakan untuk tidak memihak pada satu fakta (bias), dan tetap membuka peluang untuk terus mengeksplor fakta-fakta lainnya. Fakta-fakta sejarah yang sudah diberi makna tersebut, kemudian dirangkai untuk menjadi sebuah penjelasan (eksplanasi) sejarah. Eksplanasi sejarah ini kemudian dituangkan di tahap final dari metode penelitian sejarah, yaitu historiografi, atau penulisan sejarah. 4. Historiografi Historiografi merupakan langkah terakhir dalam sebuah penelitian sejarah. Historiografi adalah usaha untuk menuliskan peristiwa secara kronologis, logis, dan sistematis dengan menerangkan fakta-fakta sejarah yang diperoleh sehingga dihasilkan suatu kisah yang ilmiah. Dalam penulisan sejarah ini, aspek kronologis sangat penting.82 Hal ini dilakukan agar peristiwa sejarah yang direkonstruksi tidak menjadi kacau. Hal tersebut dapat terwujud dengan dukungan sumber yang valid, kredibel, dan cukup, selain itu juga perlu menuliskan dengan usaha penuh untuk seobyektif mungkin dan berimbang. C. Pembahasan 1. Selayang Pandang Ambarketawang dan Peristiwa Bekakak Tempat peristiwa dan pelaksanaan Saparan Bekakak berada di daerah Ambarketawang, Kapanewon (Kecamatan) Gamping, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berada di bagian 81
A Daliman, op.cit., hlm. 91. Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm. 80.
82Kuntowijoyo,
63
tengah-selatan pulau Jawa, Provinsi DIY memiliki satu wilayah Kota dan empat wilayah Kabupaten. Wilayah tersebut antara lain Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Sleman. Mengenai wilayah Kabupaten Sleman, secara geografis terletak di antara 110° 33′ 00″ dan 110° 13′ 00″ Bujur Timur, 7° 34′ 51″ dan 7° 47′ 30″ Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau setara dengan 18% dari luas Provinsi DIY. Secara administratif wilayah ini terdiri dari 17 wilayah Kecamatan, 86 Desa, dan 1.212 Dusun. Salah satu Kecamatan di Kabupaten Sleman yang menjadi area tradisi Saparan Bekakak adalah Kecamatan Gamping dengan jumlah penduduk total 94.240 per 2021 menurut Biro Tata Pemerintahan Setda DIY. Kecamatan Gamping memiliki 5 Kelurahan/Kalurahan/Desa dan 59 Dusun. Desa yang termasuk wilayah Gamping antara lain Balecatur, Banyuraden, Nogotirto, Trihanggo, dan Ambarketawang. Desa Ambarketawang ini yang kemudian menjadi letak peristiwa Bekakak hingga pelaksanaan upacara adat yang berlangsung secara berkelanjutan. Kondisi Geografis dataran rendah dan tanah berbatu kapur di Ambarketawang memunculkan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar, khususnya pada area Gunung Gamping. Penamaan “Gunung Gamping” sendiri sesuai dengan kondisi fisiknya, yaitu bebatuan kapur/gamping yang menggunung. Desa Ambarketawang dalam sejarahnya memiliki hubungan erat dengan Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Desa ini menjadi pesanggrahan Sultan Hamengku Buwono I sebagai raja pertama Yogyakarta sebelum kraton selesai dibangun. Nama Ambarketawang itu sendiri berasal dari kata “ambar” yang berarti harum dan “ka-tawang” yang berarti atas atau tinggi. Rangkaian dua kata ini kemudian membentuk makna sebagai “suatu 64
tempat tinggi yang harum”. Desa Ambarketawang terbentuk setelah pembangunan pesanggrahan sementara yang diperintahkan oleh Pangeran Mangkubumi pada 9 Oktober 1755. Pesanggrahan Ambarketawang menjadi tempat sementara untuk menjalankan pemerintahan, sekaligus sebagai tempat untuk mengambil bahan-bahan pembangunan Kraton Yogyakarta. Pembangunan Kraton Yogyakarta akhirnya selesai pada 7 Oktober 1756. Pangeran Mangkubumi (Sultan HB I) kemudian membawa seluruh keluarganya untuk pindah menuju kraton yang baru. Dengan ini, tanggal 7 Oktober 1756 ditetapkan sebagai hari jadi kota Yogyakarta. Pesanggrahan Ambarketawang yang telah ditinggalkan oleh Sultan kini dipercayakan kepada abdi dalem kraton, yaitu Ki Wirosuto. Ki Wirosuto bersama istrinya Nyi Wirosuto tidak tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang, namun menempati sebuah goa di Gunung Gamping. Pada bulan purnama, tepatnya hari Jumat Kliwon terjadi bencana yaitu longsornya Gunung Gamping. Tersiar kabar bahwa pasangan suami istri abdi dalem Ki dan Nyi Wirosuto menjadi korban bencana tersebut. Ki dan Nyi Wirosuto tidak dapat ditemukan meskipun anak-anak mereka dapat menyelamatkan diri dari musibah tersebut. Mendengar kabar tersebut Sultan HB I yang sangat menyayangi kedua abdinya tersebut ikut bersedih dan memerintahkan prajuritnya untuk melakukan penggalian di reruntuhan Gunung Gamping guna mencari jasad Ki dan Nyi Wirosuto. Dalam usaha pencarian yang dilakukan, kedua jasad abdi dalem itu tidak satupun yang dapat ditemukan. Dengan berat hati, Sultan akhirnya menghentikan pencarian tersebut dan mengikhlaskannya. Namun, kejadian longsor di Gunung Gamping tidak berhenti di situ saja. Pada tahun-tahun selanjutnya di tanggal yang sama, Gunung Gamping selalu longsor dan memakan korban. Kepercayaan masyarakat Jawa 65
akan hal gaib yang masih cukup kental kala itu membuat mereka berkeyakinan bahwa arwah dari Ki dan Nyi Wirosuto masih tinggal di Gunung Gamping dan belum tenang. Atas sabda Sultan kemudian diadakan upacara Saparan guna menolak bala yang ada di Gunung Gamping. Akhirnya tradisi penyembelihan Bekakak atau sepasang boneka pengantin yang terbuat dari tepung ketan dan sirup gula merah ini mulai dilakukan sebagai ganti dari korban yang diminta gunung Gamping. Semenjak diadakan Upacara Saparan tersebut gunung Gamping tidak pernah longsor kembali.83 Terdapat versi lain dari cerita meninggalnya Ki dan Nyi Wirosuto. Ki dan Nyi Wirosuto diceritakan bertarung dengan penunggu Gunung Gamping yang kerap meresahkan warga. Namun dalam pertempurannya itu Ki dan Nyi Wirosuto kalah dan jatuh tertimbun longsoran Gunung Gamping. Tidak berhenti disitu, penunggu Gunung Gamping yang mulai jumawa karena telah mengalahkan Ki dan Nyi Wirosuto justru meminta korban yang mayoritas merupakan penambang batu kapur. Akhirnya untuk mengatasi masalah tersebut Sri Sultan Hamengku Buwono I bertapa di kawasan Gunung Gamping untuk mencari petunjuk supaya masalah dapat teratasi. Dalam pertapaan itu Sultan HB I mendapat petuah dari Nyi Poleng yang merupakan penunggu Gunung Gamping. Nyi Poleng meminta sepasang pengantin untuk dikorbankan di tempat itu sebagai jaminan keamanan para penambang. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, maka para penambang yang akan menjadi tumbal. Akhirnya guna mengelabuhi penunggu Gunung Gamping tersebut dibuatlah dua pasang boneka pengantin yang terbuat dari tepung ketan dan dikorbankan di Gunung Gamping. 84 83Tashadi,op.cit.,
hlm. 37. Pergeseran Makna Budaya Bekakak Gamping (Analisis Semiotika Pergeseran Makna Budaya Bekakak di Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kab.Sleman). Skripsi. (Yogyakarta: UPN Veteran Yogyakarta, 2011). hlm. 41. 84Trisnawati.
66
Dari dua versi cerita tersebut kebanyakan masyarakat Ambarketawang lebih mempercayai cerita dari versi yang kedua, hal ini dapat diidentifikasi pada setiap prosesi kirab Bekakak selalu disiapkan minimal sepasang ogoh-ogoh atau boneka replika raksasa sebagai manifestasi para penunggu Gunung Gamping. 85 Upacara Saparan Bekakak dilaksanakan setahun sekali setiap bulan Sapar pada penanggalan Jawa. Prosesi adat ini menjadi suatu kegiatan sakral yang dilaksanakan oleh Kraton Yogyakarta untuk meminta keselamatan bagi warga Ambarketawang khususnya para penambang batu kapur. Namun seiring berjalannya waktu, pelaksanaan dari tradisi ini kemudian berkembang dari upacara adat sakral milik Kraton Yogyakarta menjadi potensi pariwisata yang besar serta memunculkan suatu identitas tersendiri bagi masyarakat Ambarketawang. 2. Implementasi Budaya Saparan Bekakak a. Tata Cara Berlandaskan Sistem Religi Seperti yang telah diketahui, pelaksanaan Upacara Saparan Bekakak selalu diadakan pada bulan Sapar sesuai dengan perintah dari Sultan HB I sejak dahulu. Terkait bulan Sapar itu sendiri diadaptasi dari bahasa Arab yaitu Syafar, artinya adalah bulan Arab yang kedua. Sementara itu, arti dari Bekakak itu sendiri adalah kurban penyembelihan manusia maupun hewan. Dapat disimpulkan bahwa Saparan Bekakak berarti upacara penyembelihan manusia yang dilakukan setiap bulan Sapar. Namun, penyembelihan manusia dalam tradisi ini dilaksanakan secara simbolik dimana “manusia” yang dikorbankan diganti menjadi boneka sepasang pengantin yang terbuat dari ketan dan diisi juruh.
85Fajriyatul.
Makna Simbolik Dalam Tradisi Bekakak di Gamping Yogyakarta. Skripsi. (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009). hlm. 36.
67
Berbicara mengenai waktu pelaksanaan Saparan Bekakak yang lebih detail, hajat besar masyarakat Ambarketawang ini ditetapkan setiap hari Jumat setiap tanggal 10-20 setiap bulan Sapar. Kirab pengantin Bekakak dilaksanakan pada pukul 14.00 WIB dan penyembelihan dilaksanakan pada pukul 16.00 WIB. Hari pelaksanaan Saparan Bekakak tidak dapat diubah, karena hal ini sudah menjadi kepercayaan masyarakat dan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan. Dalam sejarah perkembangan kepercayaan masyarakat Jawa, mereka percaya bahwa terdapat makhluk-makhluk yang memiliki kekuatan melebihi manusia. Oleh karena itu, mereka melakukan upacara untuk terhindar dari gangguan makhluk tersebut.86 Selaras dengan itu, Saparan Bekakak yang dilaksanakan di Ambarketawang ini dilakukan dengan memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME) supaya terhindar dari malapetaka yang mengancam masyarakat sekitar Gunung Gamping. Untuk itu, melalui Saparan Bekakak ini dimaksudkan untuk persembahan kepada roh penjaga Gunung Gamping agar para penambang dapat selamat ketika memanfaatkan sumber daya yang ada. Rasa syukur juga disampaikan kepada Tuhan atas berkah yang telah dilimpahkan bagi seluruh penduduk desa. Dalam upacara tradisi Saparan Bekakak, terdapat beberapa lokasi yang digunakan sebagai tempat ritual. Tempat-tempat tersebut berdasarkan tahap pelaksanaan dari upacara yaitu midodareni, kirab, nyembeleh Bekakak, dan sugengan ageng. Pada upacara midodareni, tempat pelaksanaannya di Balai Desa Mulyana, “Analisis Aspek Pelestarian Budaya dan Dampak Pergeseran Aqidah (Studi Kasus: Tradisi Saparan Bekakak Ambarketawang Gamping Sleman)”. Jurnal. Khasanah Ilmu, Vol III. 2012. Hlm. 1. 86
68
Ambarketawang. Upacara midodareni dalam prosesi sugengan ageng berlokasi di rumah Ki Juru Permana, dusun Patran, Ambarketawang. Ki Juru Permana merupakan salah satu keturunan dari Ronggo Prawirosentiko, yang merupakan senopati dari Sultan HB I yang memiliki andil dalam pembangunan Pesanggrahan Ambarketawang. Selanjutnya adalah prosesi kirab yang dilaksanakan dari Balai Desa menuju tempat penyembelihan melalui jalan yang sudah ditetapkan. Prosesi ini yang paling banyak menyita perhatian masyarakat karena terdapat arakarakan budaya termasuk ogoh-ogoh genderuwo. Setelah itu adalah penyembelihan pengantin Bekakak yang dilaksanakan di mulut goa Gunung Gamping. Terakhir adalah prosesi Sugengan Ageng yang dilaksanakan di Pesanggrahan Ambarketawang. Simbol kebudayaan yang paling vital pada upacara Saparan Bekakak adalah pengantin atau temanten Bekakak itu sendiri. Proses pembuatannya memiliki aturan maupun tata cara yang sudah dilakukan sejak awal. Hal pertama yang dilakukan adalah perintah Demang kepada petugas bawahannya untuk mempersiapkan Bekakak. Bahan-bahan yang digunakan adalah beras 18 kg, ketan 20 kg, 1 setengah kg gula kelapa yang dicampur pewarna merah. Pembuatan pengantin Bekakak ini kemudian dibentuk sesuai dengan pengantin gaya Yogyakarta dan Surakarta. Sebelum adanya perkembangan kostum pengantin Bekakak pada periode 80-an (termasuk 19831985), pengantin Bekakak dibuat dengan kostum penambang gamping sesuai pakaian para pekerja yang berkaitan dengan peristiwa Bekakak. Selain pengantin Bekakak, genderuwo menjadi magnet tersendiri dalam pelaksanaannya. Pembuatan genderuwo pada awalnya adalah menyusun kerangka tubuh dengan menggunakan sangkar ayam. 69
Genderuwo baik laki-laki maupun perempuan diberi kain berwarna biru tua. Badan dibuat berwarna hitam dengan mata merah dan rambut hitam terbuat dari ijuk. Wajah dari genderuwo dibuat seram sebagai penggambaran penunggu area Gunung Gamping. Tambahan lain adalah aksesoris yang digunakan seperti kalung dari ijuk, bola plastik berwarna warni, senjata gada bagi laki-laki dan hiasan subang besar bagi perempuan. Ketika membahas mengenai upacara adat di Jawa, tidak terlepas dari yang namanya persembahan (sesajen). Terdapat beberapa macam sesajen yang digunakan seperti nasi gurih, nasi liwet, daun dhadhap, daun turi, daun kara, telur mentah, dan sambal gepeng. Termasuk juga bermacam-macam sesajen dengan istilah Jawa seperti tumpeng urubing damar, kolak kenono, pecel pitik, jangan menir, urip-urip lele, pindhang antep, wedang kopi pait, wedang kopi manis, jenewer, cerutu, rujak degan, rujak dheplok, arang-arang kembang, pari, tebu, padupan, impling, sirsat, gecko mentah, ulam mripat, ulam jeroan, gereh mentah. Sesajen bermacam jenis tersebut ditempatkan gelas kemudian diletakkan di atas anyaman bambu persegi yang berbingkai pelepah daun pisang. Selain itu masih ada tambahan sesajen yang diletakkan di dalam jodhang seperti nasi ambeng, tumpeng megono, pisang raja, sirih, jenang, nasi gurih, ingkung ayam, kolak, apem, randha kemul, roti kolbeng, jadah bakar, emping, klepon, tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak, kendhi, telur ayam mentah, tikar baru, ayam hidup, dan kelapa. Dalam banyaknya tata cara maupun paugeran yang dilaksanakan untuk Upacara Saparan Bekakak pada saat itu, sistem religi sangat kental dan melekat pada setiap elemen. Agama Islam sebagai dasar kepercayaan masyarakat Yogyakarta dan mitologi 70
khas peradaban Jawa membentuk sinkretisme yang kemudian dijunjung tinggi masyarakat Ambarketawang. Berbaurnya dua kepercayaan ini sempat menjadi perdebatan antara kaum konservatif dan kejawen dimana pelaksanaan Saparan Bekakak bertepatan dengan kegiatan sholat Jumat. Namun pelaksanaan prosesi tetap diselenggarakan sesuai dengan aturan awal karena sudah menjadi tradisi yang mengakar di tengah masyarakat.87 b. Tahapan Upacara hingga Makna Simbolik Upacara Saparan Bekakak ini dilaksanakan pada hari Jumat antara tanggal 10-20 di bulan Sapar. Ketetapan prosesi Bekakak ini sudah ditetapkan sejak masa pemerintahan Mangkubumi. Adapun tahapantahapan yang dilakukan dalam upacara Saparan Bekakak ini sebagai berikut: 1) Tahap Midodareni Pengantin Bekakak Layaknya sebuah pengantin sungguhan, kedua pasang boneka pengantin Bekakak ini juga mengalami prosesi midodareni. Tahapan upacara midodareni ini berlangsung pada malam hari (kamis malam) dimulai kurang lebih jam 20.00 WIB. Pada saat itu temanten yang sudah disiapkan kemudian dibawa ke Balai Kalurahan Ambarketawang. Pengantin Bekakak, sebuah jodhang (tempat untuk menaruh sesaji yang berisi makanan), beserta sepasang suami istri genderuwo dan wewe diberangkatkan ke Balai Desa Ambarketawang. Pemberangkatan ini disertai oleh para pengiring yang dipimpin seorang panitia. Pada prosesi awal pemberangkatan sudah ditunggu dan dihantar oleh puluhan warga setempat yang ingin turut serta dalam arak-arakan pengantin Bekakak tersebut. Hal ini telah mengalami perubahan karena pada masa 87
Mulyana. op.cit., hlm. 4.
71
lalu arak-arakan ini dipimpin oleh Panewu (Camat) Gamping, atau salah satu juru kunci Gunung Gamping sebagai tokoh yang bertanggung jawab terhadap lokasi pelaksanaan prosesi. Setelah tiba di Balai Desa Ambarketawang, semua unsur upacara dan perlengkapan lainnya diletakkan di pendopo, lalu diadakan penyerahan resmi dari panitia petugas yang memimpin arakan, kepada Bapak Kepala Desa Ambarketawang. Semua hadirin menyaksikan penyerahan tersebut yang diutarakan dengan dialog demikian: -“Nuwun ngemban dhawuh dalem Ingkang Sinuwun Kanjeg Sultan Hamengku Buwono Ingkang lumantar Demang Gamping katiti mangsa Ing tanggal ... Sura tahun ... Jawi, Utawi tanggal, bulan, tahun M. Ing serat parentah, Demang Gamping ngadahi kewajiban : a) Demang Gamping netepaken dinten Saparan Gunung Gamping b) Demang Gamping kewajiban ngrupaka samektane prabot slametan kagungan dalem Gunung Gamping, saben sasi Sapar. Ora kepareng ngakeh-akehi rerenggan liya kang jeneng slametan. c) Demang Gamping kelilan nyuwun tulung pulisi njaga slametan mau. Ingkang punika wilujengan Saparan tahun 198... dhawah dinten Jumuwah Paing, sedaya ubaramping wilujeng Saparan ingkang wujud : Satunggal Joli isi sesaji wilujengan Saparan, Kalih Joli isi Bekakak saha sesajenipun . Satunggal pasang genderuwo mangko uparengganing upacara wilujengan Saparan. Kula ingkang tinanggenah ngaturaken sedaya rerangkening wilujangan Saparan ingkang badhe katindakaken benjing-enjing wanci jam 14.00. Kula ngaturaken dhateng panjenenganipun Bapak Kepala Desa Amabarketawang ingkang minangka dados param paraning wilayah Desa Ambarketawang. Ingkang 72
salajenganipun benjang enjang nindakaken puncaking upacara wilujengan Saparan. Cekap semanten atur kula Nuwun.”88 Begitulah dialog singkat seserahan atau serah terima dari petugas kepada petugas atau Kepala Desa Ambarketawang selaku pengganti dari Demang Gamping. Kemudian unsur-unsur upacara tersebut ditempatkan di pendopo. Jodhang berisi sesaji diletakkan di tengah, disesuaikan dengan boneka pengantin Bekakak. Sepasang kembar mayang masing-masing diletakkan di sebelah kiri dan kanan boneka pengantin serta dua buah payung. Sedangkan sepasanag genderuwo tadi diletakkan tidak jauh dari sepasang pengantin tersebut. Pada malam midodareni ini dilakukan tirakatan layaknya pengantin sungguhan. 2) Kirab Pengantin Bekakak Tahap “kirab” pengantin Bekakak ini merupakan pawai atau arakan yang membawa sepasang pengantin Bekakak ke tempat penyembelihan, atau Gunung Gamping itu sendiri. Biasanya arak-arakan ini mulai berangkat sekitar pukul 14.00 WIB setelah upacara pelepasan dari Ambarketawang. Selain sepasang boneka pengantin dan sepasang genderuwo, dibawa pula pusaka-pusaka dari Kagungan Dalem Gamping untuk ikut diarak. Selain dari wilayah Amabarketawang, arak-arakan juga diikuti oleh beberapa perwakilan dari desa Gamping Tengah, Gamping Kidul, dan Gamping Lor. Semua wilayah tersebut nantinya akan berkumpul di lapangan Desa Ambarketawang sebelum keberangkatan. Acara ini dibuka oleh ketua panitia diikuti 88 Tashadi,
op.cit., hlm.48.
73
laporan pelaksanaan upacara. Dilanjutkan oleh sambutan Bupati Sleman, dan terakhir pembacaan doa oleh Ki Juru Permana. Setelah selesai pembacaan doa maka rombongan siap diberangkatkan menuju Gunung Gamping. Acara pemberangkatan diawali dengan pelepasan sepasang merpati putih sebagai simbol dari salah satu hewan ternak yang selamat dari musibah yang menimpa Ki dan Nyi Wirosuto (Diketahui bahwa musibah juga menimpa hewan-hewan ternak milik Ki Wirosuto). Sepasang merpati ini dipercaya merupakan salah satu hewan ternak yang selamat dari bencana longsor di Gunung Gamping. Rombongan ini berangkat dari Balai Desa menuju ke arah selatan, sampai di Jalan Provinsi (YogyaWates), belok ke kiri arah timur. Kemudian terus menuju arah Gunung Gamping, tempat penyembelihan pertama. Arak-arakan/pawai dilanjutkan ke tempat penyembelihan kedua yaitu di Gunung Kliling. Lokasi penyembelihan kedua ini dulunya berada di sebelah utara bekas Pesanggrahan Ambarketawang, tempat pangeran Mangkubumi dahulu tinggal. Jarak kisaran yang ditempuh rombongan ini sekitar 1,5 km. 3) Penyembelihan Pengantin Bekakak Sesampainya di lokasi pertama yaitu Gunung Ambarketawang, joli (tandu untuk membawa pengantin Bekakak) pertama yang berisi sepasang pengantin Bekakak diusung ke arah mulut Goa. Setelah itu dilakukan pembacaan doa agar upacara penyembelihan berjalan lancar. Setelah pembacaan doa selesai lalu boneka ketan yang berbentuk pengantin tersebut dikeluarkan dari joli. Boneka pengantin laki-laki diserahkan ke Ulama dengan mengucapkan basmalah, lalu pengantin 74
Bekakak tersebut disembelih pada bagian leher hingga putus. Kemudian diikuti penyembelihan pengantin wanita. Setelah selesai dipotong bagian kepala dan badan sepasang pengantin Bekakak tersebut dipotong kecil-kecil lalu dibagikan kepada masyarakat yang sudah memadati tempat prosesi. Menurut kepercayaan masyarakat, memakan bagian dari boneka pengantin Bekakak tersebut mendatangkan berkah tersendiri. Sesudah melaksanakan upacara penyembelihan di Gunung Ambarketawang kemudian dilanjutkan di Gunug Kliling. Prosesi penyembelihan pengantin di Gunung Kliling sama dengan yang ada di Gunung Ambarketawang. Selesai upacara tersebut rombongan membubarkan diri, namun juga ada yang masih lanjut mengikuti upacara Sugengan Ageng. 4) Sugengan Ageng Tahapan terakhir dari prosesi ini adalah Sugengan Ageng, pada tahap ini berupa selametan dengan sesaji lengkap. Tahapan ini merupakan bentuk ikrar kesetiaan masyarakat Ambarketawang terhadap mendiang Sultan Hamengku Buwono I. Acara ini dipimpin langsung oleh Ki Juru Permana. Sesaji yang dibawa langsung dari patran, berwujud jhodang, joli, kembar mayang, kelapa gading, air amerta, bokor tempat sibar-sibar, pusaka-pusaka dan payung agung. Acara ini dimulai dengan pembakaran kemenyan, dan pembacaan ikrar Sugengan Ageng. Dalam ikrar tersebut disebutkan pula penghargaan dari jasa HB I: a) Atas perlawanannya terhadap VOC. b) Melepas penderitaan rakyat dari penjajahan hingga perjanjian Giyanti. 75
c) Medirikan kraton Yogyakarta. d) Sebagai cikal bakal adanya Pesanggrahan Ambarketawang. e) Meminta Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo agar memberikan restunya. f) Memberi keselamatan bagi leluhur Giriganda dan Girilaya. g) Memberikan rahmat untuk keselamatan dan kesejahteraan.89 Setelah upacara selesai, segala alat dan perlengkapan dikembalikan ke Dusun Patran untuk disimpan Juru Kunci untuk digunakan kembali pada tahun depan. Segala rangkaian prosesi Upacara Saparan Bekakak tersebut sarat akan simbol-simbol maupun filosofi yang melekat sebagaimana budaya Jawa yang diterapkan sejak masa lampau. Simbol banyak dipakai dalam proses ritual sebagai penghubung antara komunikasi religi manusia. Hal ini selaras dengan tradisi Saparan Bekakak yang dalam implementasinya terdapat unsur-unsur simbol yang jarang dipahami oleh masyarakat awam. Adapun simbol-simbol tersebut adalah sebagai berikut: a) Pisang raja pulut; mempunyai makna agar masyarakat yang mendapat pisang tersebut akan memperoleh keakraban dalam persahabatan. Pulut memiliki arti “pelekat”. b) Tumpeng langgeng; mempunyai makna kelancaran dalam mencari nafkah. Bagi masyarakat yang mendapat bagian dari tumpeng ini diharapkan mendapat rezeki tanpa halangan apapun.
89 Tashadi,
76
op.cit., hlm. 55.
c) Ketan; mempunyai makna agar arwah para leluhur selalu dekat dengan Tuhan dan diampuni dari dosa-dosanya. d) Kolak; mempunyai makna untuk menghalau perbuatan yang buruk. e) Apem; mempunyai makna yang melambangkan doa untuk arwah leluhur agar diterima oleh Tuhan YME. f) Nasi Golong; mempunyai makna agar masyarakat memiliki tekad yang bulat untuk mencapai segala cita-cita yang diinginkan. g) Jajanan pasar; mempunyai makna bahwa sesaji yang dipersembahkan sudah lengkap. h) Clupak; mempunyai makna ketika sesaji sudah dipersembahkan, kehidupan masyarakat akan kembali tenang dan berjalan seperti biasa. i) Boneka Pengantin Bekakak; mempunyai makna pengorbanan pengantin Bekakak agar tidak ada korban manusia lagi di Gunung Gamping. j) Genderuwo dan Wewegombel; mempunyai makna sebagai perwujudan dayang atau penghuni Gunung Gamping. k) Merpati putih; mempunyai makna bahwa perjalanan hidup berawal dari Tuhan dan akan berakhir pada Tuhan pula. l) Kain bangun tolak; mempunyai makna akan bahaya maupun pantangan yang dapat ditolak. m) Pisang raja; mempunyai makna yang melambangkan pemberian kewenangan raja kepada ulama untuk menangkal aura negatif di sekitar Gunung Gamping. n) Merpati Sawangan; mempunyai makna bahwa apabila terdengar suara sawangan burung merpati milik Ki Wirosuto, maka akan terjadi malapetaka di Gunung Gamping. Tradisi Saparan Bekakak bertujuan agar 77
masyarakat mendapat berkah dan terlindungi dari bahaya apapun, juga dari roh halus yang “menunggu” Gunung Gamping. Konsep keselamatan yang telah dipercaya kemudian berubah seiring dengan perkembangan zaman. Upacara ini berkembang menjadi produk wisata. Pada periode 1983-1985 adalah transisi perubahan makna Saparan Bekakak. Kesakralan Bekakak lambat laun disesuaikan dengan perkembangan zaman melalui gubahan maupun pengurangan bagian dari prosesi itu sendiri. Namun pelestarian dan pembinaan nilai-nilai luhur yang didapat dari tradisi ini tetap dipertahankan karena banyak pesan yang terkandung di dalamnya. c. Orang-orang yang Terlibat Dalam suatu upacara adat besar yang diselenggarakan, dibutuhkan dukungan tenaga dari banyak orang agar prosesi dapat berjalan dengan lancar. Upacara Adat Saparan Bekakak sebagai simbol kebudayaan masyarakat Ambarketawang membutuhkan para pelaksana dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat maupun masyarakat Ambarketawang itu sendiri. Periode tahun 1983-1985 merupakan transisi makna dari tradisi masyarakat yang sakral menjadi kebudayaan dengan potensi ekonomi yang besar. Oleh karena itu, peran dukungan warga dari luar Desa Ambarketawang sudah mulai masuk untuk mendukung jalannya prosesi. Adapun orang-orang yang memiliki andil dalam Saparan Bekakak adalah sebagai berikut: 1) Panitia upacara, memiliki tugas untuk mengatur jalannya acara. 2) Dua orang pemuda yang memiliki kemampuan untuk membuat Bekakak.
78
3) Dua orang warga untuk membantu proses pembuatan Bekakak. 4) Dua orang warga yang bertugas membuat genderuwo. 5) Dua orang warga perempuan untuk menumbuk beras ketan dan beras untuk diolah menjadi tepung. 6) Lima orang perempuan yang bertugas melakukan kothekan (memukul kentongan kayu atau lesung). 7) Sejumlah warga perempuan yang bertugas untuk menyiapkan makanan untuk kelangsungan prosesi. 8) Sejumlah warga perempuan yang menyiapkan macam-macam sesajen. 9) Dua orang ahli agama Islam yang bertugas memanjatkan doa untuk kelancaran prosesi. 10) Sejumlah orang dewasa untuk mengusung joli yang berisi pengantin Bekakak. 11) Beberapa orang warga untuk mengusung jodhang yang berisi sesaji. 12) Para petugas yang membawa benda-beda pusaka untuk prosesi. 13) Para warga dewasa, pemuda dan pemudi sebagai orang-orang yang bertugas untuk mengiringi prosesi Saparan Bekakak dari awal sampai akhir. Selain para petugas dan warga yang memiliki urusan masing-masing dalam pelaksanaan prosesi, terdapat pula perangkat pemerintah yang hadir beserta tamu undangan. Pada Saparan Bekakak tahun 1985, Bupati Sleman (Drs. Samirin) dan bekas Walikota Yogyakarta Mr. KPH Soedarisman dimohon untuk membuka prosesi upacara dengan melepas sepasang burung merpati putih. Kemudian Camat dari seluruh Kecamatan di Kabupaten Sleman diundang untuk hadir, Pamong Desa Ambarketawang, serta tamu undangan yang lain. Terdapat pula undangan untuk 79
para donatur yang memberikan sumbangan dana bagi kelancaran prosesi. Dalam setiap kegiatan Saparan Bekakak, kehadiran para penonton yang berbondongbondong datang untuk menyaksikan upacara merupakan sisi yang menarik. Hal ini dapat menjadi tolok ukur bahwa antusiasme masyarakat terhadap suatu tradisi mengubah prosesi sakral menjadi upacara adat yang menjadi simbol suatu daerah dan meningkatkan perputaran ekonomi di masyarakat. Pada saat itu, mulai muncul bazaar serta pameran hasil bumi dari warga Ambarketawang dan sekitarnya untuk memeriahkan Upacara Saparan Bekakak. 3. Dampak Saparan Bekakak bagi Masyarakat Ambarketawang a. Solidaritas Sosial Masyarakat Lingkungan masyarakat yang menjadi tempat dimana suatu budaya berkembang memunculkan sikap yang saling mempengaruhi. Tradisi Upacara Saparan
Bekakak
merupakan
suatu
hasil
dari
komunitas-komunitas masyarakat yang saling berinteraksi. Melihat dari beberapa pengaruh dan perbedaan yang terjadi, lingkungan dan kelompok akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Pada era ini, beberapa perubahan mulai nampak sebagai respon dari pergerakan dinamis sosial masyarakat. Terdapat beberapa perbedaan yang menandai transisi tersebut antara lain tata cara, makna, dan sistem pelaksanaanya. Hal ini kemudian berdampak pada solidaritas sosial masyarakat yang semakin erat. Adanya pengaruh eksternal mempengaruhi sikap solidaritas mekanik masyarakat Ambarketawang. Antusias masyarakat Ambarketawang maupun dari luar area Ambarketawang tidak hanya nampak melalui pihak 80
penyelenggara, tetapi juga dapat dilihat dari partisipasi massa masyarakat yang bebondongbondong untuk menyaksikannya. Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya minat masyarakat untuk memahami kebudayaan pada suatu daerah tentunya dengan perubahan yang menyesuaikan zaman. Keberadaan Upacara Saparan Bekakak menjadi wadah bagi masyarakat untuk menerapkan solidaritas yang mereka miliki. Masyarakat Ambarketawang menyadari bahwa Saparan Bekakak adalah simbol yang khas bagi mereka, sehingga usaha untuk mempertahankan tradisi ini dilakukan secara gotong royong sebagai implementasi dari interaksi sosial yang terjadi.90 Bentuk interaksi sosial dalam masyarakat sebenarnya dapat terjadi di lingkup mikro. Masyarakat Ambarketawang dalam kegiatan sehari-hari sudah menunjukkan interaksi melalui kelompok kecil seperti keluarga, RT, RW, hingga Dusun. Namun interaksi tersebut terbatas pada lingkup wilayah masingmasing. Saparan Bekakak dalam penyelenggaraanya melibatkan banyak orang. Lahirnya elemen baru seperti terbentuknya panitia menimbulkan suatu koordinasi kerja tersendiri. Tidak hanya pada saat hari pelaksanaan, dalam pra dan pasca pelaksanaan terjadi interaksi yang luas dan membentuk solidaritas sosial masyarakat secara tidak langsung. Berbagai elemen masyarakat berkolaborasi, bahkan silaturahmi terjalin dengan desa-desa lain yang sekedar diundang maupun berpartisipasi dalam prosesi arak-arakan. Dari budaya yang dilakukan secara rutin ini kemudian menjadi sarana untuk memberikan kekuatan persatuan secara internal dari sebuah kelompok Nugroho. Pengaruh Tradisi Upacara Saparan Bekakak terhadap Solidaritas Sosial Masyarakat Ambarketawang, Gamping, Sleman. Skripsi. (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2019), hlm. 74. 90
81
masyarakat. b. Perkembangan Pesat Ekonomi Selepas dari nilai tradisi dan budaya dalam upacara Saparan Bekakak, tradisi ini berkembang menjadi sebuah obyek yang memiliki potensi dalam beberapa bidang salah satunya sektor ekonomi. Dalam sejarahnya sendiri, tujuan pelaksanaan Bekakak dimaksudkan untuk menolak bala dan meminta berkah serta keamanan bagi para penambang batu gamping yang berada di sekitar Gunung Gamping. Dari hal tersebut dapat dilihat secara tersirat bahwa nilai ekonomis juga menjadi salah satu dari dampak pelaksanaan Upacara Saparan Bekakak ini. Seiring berkembangnya waktu, dampak ekonomis dari pelaksanaan Upacara Bekakak ini turut berkembang. Saparan Bekakak mulai dipandang sebagai sebuah simbol rekreatif dan tontonan yang bernilai ekonomis untuk pengembangan daerah khususnya Desa Ambarketawang. Terlihat dari periode tahun 1983-1985 terdapat beberapa instrumen baru dalam pelaksanaan Saparan Bekakak ini. Pada sisi prosesinya sendiri mulai terdapat arak-arakan pendamping yang terdiri dari para warga di sekitar yang ikut tampil dan menunjukkan potensi dari wilayah masing-masing. Dalam arakan-arakan itu juga tergabung beberapa kelompok kesenian lokal di sekitar wilayah Kecamatan Gamping, seperti kelompok kesenian jathilan yang turut serta memeriahkan dan mempromosikan diri. Selain masuknya instrumen baru dalam prosesi Upacara Saparan Bekakak ini, muncul pula sebuah kegiatan bernilai ekonomis baru dengan diadakannya bazaar atau pameran hasil-hasil produksi pertanian di Balai Desa saat Upacara Bekakak berlangsung.91 Bazaar ini
91
82
Op.cit, Tashadi, hlm. 40.
kemudian berkembang menjadi pasar malam dengan berbagai wahana seperti komedi putar dan rumah hantu, dengan banyaknya pedagang sebagai bentuk perputaran ekonomi. Selain itu terdapat pula penampilan dangdut di panggung rakyat. Acara kesenian bagi masyarakat biasanya dilakukan selama seminggu sebelum Saparan Bekakak dilaksanakan. Dampak ekonomi tersebut terus meningkat seiring dengan Upacara Saparan Bekakak ini menjadi sebuah obyek wisata budaya, bahkan saat ini Upacara Saparan Bekakak sudah masuk dalam agenda kegiatan tahunan Dinas Pariwisata Provinsi DI Yogyakarta. D. Kesimpulan Upacara Adat Saparan Bekakak merupakan sebuah upacara adat yang dilakukan warga Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Sleman, Yogyakarta guna meminta berkah dan keselamatan. Upacara adat ini sudah ada sejak zaman Sultan Hamengku Buwono I. Hal yang melatarbelakangi upacara adat ini adalah kisah Ki dan Nyi Wirosuto yang merupakan abdi dari Sultan Hamengku Buwono I yang wafat karena longsoran Gunung Gamping. Sejak saat itu Gunung Gamping selalu mengalami longsor yang menyebabkan banyak penambang kapur di Gunung Gamping menjadi korban. Hal tersebut menjadikan kekhawatiran sendiri bagi Sultan. Akhirnya ia bertapa dan mendapat wangsit untuk mengadakan selametan setiap tahunnya di Gunung Gamping. Berangkat dari wangsit yang diterimanya, Sultan memerintahkan untuk membuat dua pasang boneka temanten yang terbuat dari tepung ketan kemudian diisi dengan air gula jawa yang diberi pewarna merah (juruh) sebagai pengganti darahnya. Begitulah awal mula dari upacara penyembelihan Bekakak atau boneka temanten di Gunung Gamping yang masih lestari dilaksanakan sampai sekarang. Adapun tahapan upacara yang dilakukan adalah 83
Midodareni pengantin Bekakak, kirab pengantin Bekakak, penyembelihan pengantin Bekakak, dan Sugengan Ageng. Periode pelaksanaan tahun 1983-1985 terlihat adanya perkembangan dalam Upacara Saparan Bekakak ini dari segi kelengkapan, prosesi, bahkan fungsi yang lambat laun mengalami perubahan di dalamnya. Pada masa itu upacara adat ini tidak hanya sekedar berfungsi sebagai upacara adat yang sarat akan nilai kesakralan saja. Hal ini memunculkan sebuah dampak sosial bagi masyarakat Kecamatan Gamping yang semula hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Ambarketawang menjadi sebuah agenda yang diikuti oleh seluruh masyarakat Kecamatan Gamping dan membuat tumbuhnya solidaritas di antara masyarakat. Adanya elemen baru seperti munculnya panitia membuat adanya kerja sama yang profesional juga berbudaya. Pelaksanaan yang semakin baik mengundang perhatian masyarakat luas. Banyak orang yang datang menimbulkan interaksi sosial dengan daerah di luar desa sebagai hubungan eksternal. Hal ini kemudian membuat Upacara Saparan Bekakak mulai dimanfaatkan oleh masyarakat guna menunjukkan potensi wilayah dan menunjang perekonomian masyarakat melalui bidang pariwisata. Hal tersebut dilakukan lewat berbagai kegiatan seperti menghadirkan arak-arakan pendamping yang terdiri dari para warga dan grup kesenian di sekitar wilayah Kecamatan Gamping yang ikut tampil dan menunjukan potensi-potensi dari wilayah masing-masing atau sekedar mempromosikan diri. Muncul pula sebuah kegiatan bernilai ekonomis baru dengan diadakannya bazaar atau pameran hasil-hasil produksi pertanian di Balai Desa saat Upacara Bekakak berlangsung. Dalam perkembangannya saat ini bazaar tersebut berkembang menjadi Pasar Malam lengkap dengan wahana permainan dan penampilan dangdut yang biasanya dilaksanakan seminggu penuh di lapangan Kelurahan Ambarketawang, Gamping, sebelum Upacara Saparan Bekakak ini dilaksanakan. Implementasi tradisi tersebut 84
semakin berkembang pada periode ini menjadi sebuah obyek wisata budaya. Suatu masa transisi ini berlanjut hingga pada periode 2000-an Upacara Saparan Bekakak sudah masuk dalam agenda kegiatan tahunan Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
.
85
Daftar Pustaka Arsip Bekakak Gamping Perintah Sri Sultan Saparan Ongkowiu, Klaten, Apem Mekah, Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 15 November 1983. Jurrieiri Siti Rumidjah, dkk., Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan Peristiwa Agama dan Kepercayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 1983/1984. Tewasnya Kyai Wirosuto, Surat Kabar Berita Nasional, Yogyakarta, 2 November 1985. Buku Daliman. (2012). Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Helius Sjamsuddin. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Louis Gottschalk. (2008). Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia. Ririn Darini. (2013). Sejarah Kebudayaan Indonesia Masa Hindu Buddha. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Sulasman. (2014). Metodologi Penelitian Sejarah. Bandung: CV Pustaka Setia. Tashadi, dkk. (1992). Upacara Tradisional Saparan Daerah Gamping dan Wonolelo Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Skripsi Amaranggana R.M. (2022). “Dinamika Kesenian Ketoprak Mataraman RRI Yogyakarta tahun 1965-2002”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Fajriyatul. (2009). “Makna Simbolik Dalam Tradisi Bekakak di Gamping Yogyakarta”. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nugroho. (2019). “Pengaruh Tradisi Upacara Saparan Bekakak 86
terhadap Solidaritas Sosial Masyarakat Ambarketawang, Gamping, Sleman”. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Trisnawati. (2011). “Pergeseran Makna Budaya Bekakak Gamping (Analisis Semiotika Pergeseran Makna Budaya Bekakak di Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kab.Sleman)”. Skripsi. Yogyakarta: UPN Veteran Yogyakarta. Jurnal Mulyana. (2012). “Analisis Aspek Pelestarian Budaya dan Dampak Pergeseran Aqidah (Studi Kasus: Tradisi Saparan Bekakak Ambarketawang Gamping Sleman)”. Jurnal. Khasanah Ilmu, Vol III.
87
BAGIAN IV Refleksi Historiografi Indonesia: Sejarah Lokal dan Sejarah Sosial dalam Perjalanan Penulisan Sejarah Indonesia Masa Kini
KEHIDUPAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BURUH PERKEBUNAN DI DELI SUMATERA TIMUR (1883-1898)
Disusun Oleh: Nabilla Bintang Brilliant
88
A. LATAR BELAKANG Kesejahteraan ialah suatu keadaan dimana seseorang mampu mencukupi kebutuhan pokok baik makanan, pakaian, tempat tinggal, air minum yang bersih maupun kesempatan agar dapat melanjutkan pendidikan serta mempunyai pekerjaan yang dapat mendorong kualitas hidupnya. 1 Kesejahteraan sering dikaitkan dengan banyak hal termasuk buruh. Selama ini, buruh identik sebagai orang yang bekerja di pabrik, pekerja identik dengan orang yang bekerja sebagai kuli, dan karyawan identik sebagai pekerja kantoran dari tamatan perguruan tinggi. Sebenarnya buruh,karyawan, dan pekerja ialah seseorang yang memanfaatkan tenaga dan kemampuandengan tujuan mendapatkan uang atau hal lain dari perusahaan atau atasannya.2 Kesejahteraan buruh penting untuk diperjuangkan. Hal itu bertujuan untuk memanusiakan para buruh. Topik mengenai perburuhan merupakan topik yang sering dibahas baik di lingkup masyarakat maupun pemerintah. Secara tidak langsung buruh berperan sebagai penopang perekonomian nasional. Namun, sayangnya buruh masih sering dipandang sebelah mata. 3 Hal tersebut dapat dinilai dari kehidupan buruh yang tidak mengalami peningkatan dalam bidang ekonomi. Outsorcing Pemutusan hubungan kerja (PHK), Upah minimum regional (UMR), upah yang tak kunjung dibayar, bahkan kemiskinan yang selalu erat dengan para buruh menjadi suatu masalah yang sulit ditemukan jalan keluarnya.
Grendi Hendrastomo, “Menakar kesejahteraan buruh: memperjuangkan kesejahteraan buruhdiantara kepentingan negara dan korporasi”, Jurnal Informasi, Vol.16 No. 2 (2010), 16. 2 M. Rasyid Ridha, Sahrul Fauzul, Bela HAM: Bela Kemanusiaan (Jakarta: Kalabahu38 LBH,2017), hlm. 19. 3 Grendi Hendrastomo. “Menakar Kesejahteraan Buruh: Memperjuangkan kesejahteraan buruhdiantara kepentingan negara dan korporasi”. Jurnal Informasi. Vol, 16 No, 2. (2010). 5. 1
89
Terdapat satu persamaan dalam berbagai masalah, yaitu pada akhirnya tetap buruhlah yang harus menyelesaikan semuanya sendiri. Kesejahteraan menjadi dukungan agar selalu menguatkan perjuangan buruh. Sejarah Indonesia tidak lengkap tanpa adanya sejarah buruh dan masalah mengenai buruh pun seakan-akan tidak pernah habis. Sampai saat ini pun pemberitaan di media massa masih banyak yang memberitakan mengenai perburuhan. Dimulai dari masalah tentang gaji minimum buruh, sistem kerja kontrak dan outsourcing, pemutusan kerja secara sepihak, dan pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kerja serta masih banyak masalah lain. Akan tetapi, sejak lama permasalahan utama yang selalu diperjuangkan oleh buruh adalah permasalahan gaji minimum karena hal itu berhubungan dengan kesejahteraan buruh serta kelangsungan hidup seseorang. Salah satu topik tentang buruh dan kesejahteraan terdapat di Deli, Sumatera Timur. Deli, Sumatera Timur sangat terkenal dengan perkebunannya yang maju. Pada awalnya usaha perkebunan diadakan di Jawa, tetapi menjelang akhir abad ke-19 perkebunan mulai dikembangkan dan meluas sampai ke luar pulau Jawa, khususnya di Deli, Sumatera Timur. 4 Deli menjadi salah satu tempat untuk mengembangkan perkebunan pada saat itu. Hal itu juga terbukti dengan perkembangan perkebunan di Deli yang sangat pesat. Seiring berjalannya waktu, Sumatera Timur menjadi surga bagi para investor terlebih setelah mendapati bahwa tanah dan ekosistem di Deli sangat cocok untuk dijadikan perkebunan.5
Zusneli Zubir, Sejarah Perkebunan Dan Dampaknya Bagi Perkembangan Masyarakat di Onderafdeelinng Banjoeasin En Koeboestrekken, Karesidenan Palembang, 1900-1942, Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol.1 No. 1 (Juni, 2015), 83. 5 Mohammad Abdul Ghani, Jejak Planters di Tanah Deli Dinamika Perkebunan Sumatra Timur1863-1996 (Bogor: IPB Press, 2019, hlm. 36. 4
90
Perkebunan yang maju pastinya akan berpengaruh ke banyaknya buruh serta bagaimana kesejahteraan buruh perkebunan itu sendiri. Sayangnya kehidupan buruh perkebunan berbanding terbalik dengan suksesnya perkebunan di Sumatera Timur. Sebenarnya, telah terdapat berbagai buku dan artikel yang membahas tentang perkebunan di Deli, Sumatera Timur. Namun, dalam berbagai karya tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai keadaan atau kesejahteraan para buruh di perkebunan Deli. Oleh karena itu, artikelini ingin menanyakan mengenai kesejahteraan buruh di Deli pada periode 1883- 1898, yaitu ketika liberalisasi ekonomi mulai terjadi kemudian ekonomi pasar mulaimasuk serta ekploitasi buruh mulai terjadi. Pada tahun 1883 di perkebunan Sumatera Timur terjadi perekrutan buruh secara besar-besaran. Sebelumnya buruh hanya terdiri dari migran India dan Cina, tetapi pada 1883 tenaga migran dari Jawa juga ikut didatangkan dan terhitung terdapat 22.874 buruh. Sementara itu, pada tahun 1898 di perkebunan Sumatera Timur, kehidupan dan kesejahteraan mulai diperhatikan, meskipun ketidakadilan masih kerap terjadi. Hal itu dapat dilihat dari munculnya kebijakan-kebijakan mengenai buruh perkebunan. Tahun 1898 Pemerintah memberlakukan Poenale Sanctie, yaitu ketentuan yang umumnya menyasar pekerja perkebunan, yaitu buruh. Kebijakan tersebut berisi tentang peraturan, kewajiban, dan biaya-biaya terkait hasilpekerjaan mereka. B. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah. Kuntowijoyo, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah menjelaskan bahwa terdapat 5 langkah metode penelitian sejarah, meliputi: 1. pemilihan topik; 2. pengumpulan sumber; 3. verifikasi; 91
4. interpretasi; dan 5. historiografi. 6 Pada tahap pemilihan topik, penulis memilih topik berdasarkan kedekatan emosional dan kedekatan intelektual sehingga dihasilkan topik mengenai perkebunan di Sumatera Timur yang difokuskan pada kehidupan dan kesejahteraanpara buruh pertanian. Hal ini berangkat dari keingintahuan penulis mengenai peran dan beban pada kehidupan para buruh pertanian di Sumatera Timur yang masih minim dibahas dalam historiografi Indonesia. Kebanyakan tulisan sejarah masih berfokus pada "orangorang besar" yang memiliki jabatan atau pengaruh yang mencolok dan pembahasan mengenai buruh masih tergolong sedikit dalam pembahasan sejarah sehingga, topik pembahasan ini menjadi topik yang memiliki ketertarikan khusus, khususnya menunjukkan bagaimana kesuksesan dan kemajuanperkebunan di Sumatera Timur. Tahap kedua, yaitu heuristik atau pengumpulan sumber. Setelah menentukan topik, penulis melanjutkan penelitian dengan mengumpulkan sumber- sumber yang relevan dengan topik penelitian yaitu sumber mengenai perkebunan Sumatera Timur, kondisi buruh, dll. Berdasarkan topik yang penulis pilih, sumber primer yang diperlukan dalam penelitian ini adalah majalah Pewarta Deli. Sedangkan sumber-sumber pendukung yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu buku-buku, jurnal, skripsi, dan karya ilmiah yang berkaitan dengan topik yang telahdipilih yaitu mengenai Buruh Perkebunan Sumatera Timur dimana sumber pendukung tersebut dapat ditemui di Perpustakaan Kota Madiun, Jogja Library Center, serta Perpustakaan UGM.
Kuntowijoyo, 2013, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm. 69. 6
92
Setelah penulis mengumpulkan sumber, tahap berikutnya yaitu melakukankritik sumber (verifikasi) yang nantinya akan menghasilkan sebuah interpretasi penulis dengan didasarkan pada fakta-fakta yang penulis temui. Jika penulis telah berhasil menyelesaikan tahapan-tahapan penelitian diatas, maka tahap terakhir yang harus dilakukan adalah historiografi. C. PEMBAHASAN 1. LIBERALISASI SEKTOR PERKEBUNAN DAN AWAL MULAKORPORASI SWASTA DI SUMATERA TIMUR Terdapat dua hal yang mempengaruhi liberalisasi perkebunan di Sumatera Timur, yaitu mesin uap yang ditemukan James Watt pada tahun 1824 dan pembangunan Terusan Suez mulai April 1859 oleh Ferdinand de Lesseps. Penemuan mesin uap mempengaruhi penemuan-penemuan yang lain, seperti penemuan perkakas dan mesin dalam kegiatan industri yang membuat bidang industri semakin masif. Sementara itu, pembangunan Terusan Suez membuat waktu tempuh kapal laut dariEropa ke Asia Tenggara semakin cepat. Terdapat juga pengaruh internal yang mempengaruhi perkembangan perkebunan di Deli, Sumatera Timur, yaitumasyarakat asli Sumatera Timur dan pemerintah kolonial yang berkuasa pada saat itu. Posisi atau letak daerah di bagian pantai timur Sumatera sampai ke kawasan di daerah kedatangan kolonial Belanda, ditinggali oleh orang-orang etnis Karo, Melayu, dan Simalungun. Untuk semakin memperkuat kekuasaan yang dimiliki kolonial, mereka menduduki dan menguasai kawasan pedalaman, yakni Tanah Karo, Dairi, Simalungun, dan Toba.7
7
Ibid, halaman 38
93
Pemerintah kolonial juga menyatukan kawasankawasan tersebut menjadi satu karesidenan. Pada tahun 1915, pemerintah kolonial menaikkan status kawasankawasan itu menjadi Provinsi Sumatera Timur yang membawahi lima daerah (afdeling), yaitu Deli dan Serdang (ibukota berada diMedan), Asahan (di Tanjung Balai), Simalungun (di Pematang Siantar), Langkat (di Binjai), dan Bengkalis (di Bengkalis). Seiring berjalannya waktu, muncul industri perkebunan di daerah-daerah tersebut. Sejak masa awal perkebunan, masyarakat Sumatera Timur memiliki sifat yang heterogen sehingga mereka berpikir secara dinamis dan progresif serta dapat dengan mudah menerima hal-hal baru. Sejarah korporasi perkebunan di Sumatera Timur tidak dapat dipisahkan dari Said bin Abdullah bin Umar Bilfagih, salah satu keturunan Arab yang berasal dari Surabaya. Suatu hari, ia bercerita kepada rekan bisnisnya mengenai pengalaman selama perjalanannya ke Labuhan di Tanah Deli. Dalam perjalanannya, secara tidak sengaja ia mendapatkan tembakau yang memiliki kualitas sangat baik dan ternyata tembakau tersebut merupakan usaha dari salah satu perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Setelah menceritakan haltersebut, Said mengajak rekan bisnisnya ke Sumatera Timur dengan menggunakan Kapal Josephine milik Firma van Leeuwen Mains & Co. Sesampainya di Deli, mereka ternyata juga sangat tertarik dengan tembakau yang ada di Deli. Bersama dengan wakil perusahaan bisnis JF van Leeuwen Mains & Co, Jacobus Nienhuys, mereka akhirnya sepakat untuk bertemu dengan keluarga Sultan agar dapat mendapatkan izin untuk membuat dan mengembangkan perkebunan tembakau di Deli. Setelah itu, ia membeli semua tembakau yang dipanen oleh masyarakat Deli dan mereka berusaha untuk menanam tembakau seluas 75 hektar.8 94
Dengan cara yang dilakukan oleh Said Abdulah, yaitu mendekati Sultan Deli secara personal akhirnya Jacobus Nienhuys sukses dalam mendapatkan konsesi dalam hal mengerjakan tanah seluas 4.000 bau (1 bau = 0,67 hektare) di tepian Sungai Deli, dengan kurun waktu konsesi 20 tahun. Sayangnya, dalam masa satu tahun penanaman tembakau, Nienhuys mengalami kerugian karena gagal panen yang membuat pecah perusahaan dengan perusahaan utama atau induknya. Setelah itu, ia mencoba menanam kembali dan Nienhuys akhirnya sukses mengirimkan tembakau hasil panennya sendiri ke pasar Rotterdam. Pengiriman tersebut mendapatkan tanggapan yang baik oleh pasar. Pada 01 November 1869, Nienhuys membangun perusahaan yang diberi nama Deli Maatschappij, yakni perseroan terbatas yang terdapat di Hindia Belanda. 9 Perusahaan Nienhuys semakin berkembang dan tahun 1957, tepatnya pada saat nasionalisasi, ia mempunyai sebanyak 17 perkebunan tembakau yang dibawahi oleh perusahaan Deli Maatschappij. Perusahaan lain, yaitu Senembah Maatschappij mempunyai 10 perkebunan tembakau, seperti, Kwala Begumit, Kwala Bingei, Bulu Cina, Tandem,Timbang Langkat, Tanjung Jati, Padang Brahrang, Tandem Hilir, Sampali dan Medan Estate. Perusahaan-perusahaan tersebut telah diberikan konsesi dan hak yang telahditetapkan oleh Sultan Deli dan Pemerintah Hindia Belanda yang dapat menyatakan bahwa perusahaannya adalah industri legal dan dapat digunakan sebagai jaminan kepemilikan tanah.
8 Mahadi,
Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatra Timur(1800-1975) (Bandung: Penerbit Alumni, 1978), hlm. 15. 9 Breman Jan, Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatra Timurpada awal Abad ke 20 (Jakarta: Grafiti, 1997), hlm. 42.
95
Konsesi juga sebagai dasar hak untuk penanaman investasi, mendapatkan sumber pendanaan perbankan dalam bidang perkebunan, dan pengesahan untuk investasi jangka panjang. Konsesi sendiri adalah bentuk persetujuan resmi oleh pemerintah dan dilengkapi dengan persyaratan serta jangka waktu yang telah diputuskan. Undang-undang Agraria atau Agrarische Wet dibuatpada tahun 1870 dan digunakan sebagai dasar kebijakan baru karena melihat bidang perkebunan di Sumatera Timur yang memiliki skala korporasi swasta yang semakin meningkat. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya peluang yang luas untuk para investor swasta dalam hal menyewa lahan milik negara selama 75 tahun yang nantinya akan mereka kembangkan untuk perkebunan.10 Strategi pemerintah dalam memberikan konsesi tanah adalah salah satu ciri dimulai atau munculnya liberalisasi sektor perkebunan di Sumatera Timur. Munculnya Agrarische Wet pada tahun 1870 juga digunakan untuk memperbaiki kegagalan di kebijakan yang sebelumnya, yakni cara eksploitasi tanah dari sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel yang dilakukan pihak Hindia Belanda. Tanam Paksa yang dibuat oleh Van den Bosch secara tidak langsung memaksa para pemiliktanah untuk menanam tumbuhan yang laku di pasar ekspor. Dalam sistem tersebut terdapat sanksi bagi pemilik lahan yang tidak mau melaksanakan kebijakan yang ia perintahkan, yaitu harus bekerja selama 66 hari diinstansi atau perusahaan milik Belanda. Konsesi tanah perkebunan di Sumatera Timur didapatkan pada saat Sultan Deli memberi hak ke para pemodal perkebunan dalam kurun waktu yang telah disepakati.
Mohammad Abdul Ghani, Jejak Planters di Tanah Deli Dinamika Perkebunan Sumatra Timur1863-1996 (Bogor: IPB Press, 2019), hlm. 14. 10
96
Terdapat waktu konsesi, yaitu 12 tahun, 70 tahun, 75 tahun, bahkan terdapat juga yang 99 tahun. Konsesi yang diperoleh oleh Deli Maatschappij adalah tanggal 11 Juni 1870, saat itu Sultan Deli menyerahkan hak untuk mengelola perkebunan Mabar sampai Delitua yang luasnya mencapai 12.000 bau dalam waktu lima tahun. Ketika memasuki kurun waktu kelima tahun, Deli Maatschappij mendapatkan kesempatanuntuk memperpanjang kontrak menjadi 99 tahun. Konsesi lain yang berhasil didapatkan adalah pada tanggal 4 Desember 1869, Sultan Deli menyerahkan hak sama, yaitu untuk mengelola perkebunan Polonia atau lahan yang berada di antara sungai Babura dan Deli. Sejak Agrarische Wet dilaksanakan pada tahun 1870, padasaat itu juga investor swasta mendapatkan konsesi dalam kurun waktu panjang danhal tersebut membuat perkebunan di Sumatera Timur berkembang dengan sangat cepat. Selain itu, perkembangan perkebunan juga didorong dengan Deli Maatschappij yang terus memperbanyak komoditas perkebunan, seperti kopi, karet, kelapa sawit, teh, dan lada. Pengusaha perkebunan di Deli jumlahnya selalu bertambah karena investor melihat peluang perkebunan yang menindakan. Tahun 1891 diketahui terdapat 169 perusahaan, tahun 1916 jumlah tersebut bertambah sebanyak 151 perusahaan sehingga total terdapat 320 perusahaan. Perusahaan- perusahaan tersebut berada di Deli Serdang sebanyak 120 perusahaan, di Simalungun sebanyak 51 perusahaan, di Langkat sebanyak 67 perusahaan, dan di Asahan 82 perusahaan.11
Breman Jan, Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatra Timurpada awal Abad ke 20 (Jakarta: Grafiti, 1997), hlm. 47. 11
97
Ekspansi perkebunan berkembang secara cepat dan hal tersebut menyebabkan ekses ketenagakerjaan, lingkungan, dan sosial. Untuk tetap memperkuat dan menyelesaikan masalah tersebut akhirnya secara terstruktur dan bersama pada abad ke-20 grup perusahaan besar perkebunan memutuskan untuk membuat Deli Planters Vereeniging (DPV). DPV merupakan gabungan delapan perusahaan perkebunan asing yang mempunyai haknya sendiri, yaitu setiap perusahaan memiliki 15 ribu hektar lebih. Terdapat empat perusahaan yang pemiliknya adalah investor Belanda, dua perusahaan mengoperasikan kebun karet, yakni RCMA (Rubber Cultuur Maatschappij Amsterdam) dan untuk komoditi teh yaitu trading firm HVA (Handelsvereeniging ‘Amsterdam’) dan dua perusahaan yang berfokus di kebun tembakau, yakni Deli Maatschappij dan Senembah Maatschappij. Sementara itu, dua perusahaan milik Amerika, yakni US Goodyear dan Rubber atau Uniroyal. Dua perusahaan lainnya adalah perusahaan Inggris, yakni Harrisons & Crosfield dan Perusahaan Belgia yang berfokus di komoditas kelapa sawit, yakni SocFin (SociétéFinancière des Caoutchoucs).12 Menurut catatan dari data negara asal investasi, perkebunan di Indonesia pada tahun 1938 terdapat sebanyak 4.000 juta gulden. Hal tersebut juga dapat menjelaskan bahwa Belanda adalah negara yang berinvestasi paling besar dibandingkan dengan negara lain, yaitu Belanda berinvestasi sejumlah 3.000 juta gulden.
12 J.
Thomas Lindblad, “The Economic Decolonization of Sumatra”, New Zealand Journal of AsianStudies, Vol.11 No.1 (June, 2009), 181.
98
Setelah Belanda, terdapat investasi dari Inggris sebanyak 370 juta, Amerika sebanyak 240 Juta, Perancis sebanyak 120 Juta dan Jerman, Jepang, Italia berinvestasi sebanyak 30 juta gulden. 13 2. KEHIDUPAN SOSIAL BURUH PERKEBUNAN DI SUMATERA TIMUR a. Sistem Kerja dan Pola Perekrutan Buruh Perkebunan Pada awal pembukaan perkebunan di Sumatera Timur, dibutuhkan banyak buruh untuk mengurus perkebunan. Sebelumnya para buruh tersebut berasal dari etnis Cina dan India yang didatangkan dari Semananjung. Daerah itu adalah jajahan Inggris yang biasanya dikenal dengan Straits Settlement.14 Setelah merekrut buruh dari migran Cina dan India, pola perekrutan buruh berubah menjadi menggunakan jasa perantara pencari tenaga kerja yang lebih dikenal dengan werver, werek, dan broker. Selain itu, pekerja atau buruh dari Cina terus didatangkan dan direkrut karena pekerja Cina dianggap orang yang pekerja keras dan ulet sehingga sangat cocok bekerja di perkebunan. Para buruh migran setuju datang ke Sumatera Timur dan bekerja di perkebunan karena mereka terbuai dengan harapan-harapan indah, seperti akan mendapatkan gaji yang tinggi. Akan tetapi, harapanharapan indah tersebut ternyatatidak sesuai dengan fakta di lapangan. Hal itu mempengaruhi para buruh migran melakukan pemberontakan terhadap pihak onderneming karena mereka merasa ditipu. Sarjono Kartodirjo, Joko Suryo,Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosialekonomi (Yogyakarta: Aditiya Media, 1991), hlm, 18. 14 Mohammad Abdul Ghani, Jejak Planters di Tanah Deli Dinamika Perkebunan Sumatra Timur1863-1996 (Bogor: IPB Press, 2019), hlm. 36. 13
99
Meskipun pola perekrutan tetap berjalan, tetapi adanya peristiwa tersebut secara tidak langsung tetap mempengaruhi jumlah orang yang mendaftar menjadi berkurang.15 Agar dapat menyelesaikan masalah, yaitu kurangnya buruh yang bekerja di perkebunan maka pada tahun 1888 dibentuklah asosiasi pengusaha perkebunan Deli Planters Vereeniging (DPV). Asosiasi itu membangun biro imigrasi yang memiliki tugas untuk menangani rekrutmen, pengangkutan serta hal keuangan dalam pengerahan tenaga kerja yang berasal dari luar Sumatera Timur. Dalam bidang pengerahan, pengelolaan dan pengawasan tenaga kerja yang dibentuk oleh pengusaha perkebunan di Sumatera Timur nantinya akan menjadi bagian tugas dari lembaga Algemene Vereeniging van Rubberplanters Oostkust van Sumatra (AVROS). Lembaga tersebut didirikan oleh pengusaha perkebunan karet, contohnya NHM, Harisson and Crosfield yang bergabung tahun 1904, HVA, serta Goodyear Rubber Company yang bergabung pada 1909. 16 Selanjutnya, untuk memaksimalkan lembaga yang menangani masalah perekrutan maka AVROS pada Tahun 1918 mendirikan kantor yang berada di dekat Lapangan Merdeka, Medan. Pada saat ini, kantor tersebut masih ada dan beralih fungsi sebagai kantor Badan Kerja-Sama Perusahaan Perkebunan Sumatra (BKS PPS), atau Sumatera Planters Association.
Nasrul Hamdani, TEMBAKAU DELI ‘Pohon Berdaun Emas’ dari Sumatera (Banda Aceh: BalaiPelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2011), hlm. 12. 16 Hokkop Fritles Nababan, Sejarah Sosial Masyarakat Perkebunan di Deli (1870-1945) (JakartaTimur: Guepedia, 2019), hlm. 45. 15
100
Meskipun terdapat perbedaan nama lembaga, tetapi pada dasarnya kantor tersebut masih menangani masalah yang hampir sama, yaitu bertugas untuk melayani urusanpara anggota mulai dari perkebunan swasta asing, perkebunan negara dan perkebunan swasta domestik. Pada akhir abad-19 terjadi perubahan komposisi perekrutan tenaga kerja yang awalnya adalah migran dari Cina berubah menjadi migran dari Pulau Jawa, yakni dari Surabaya, Semarang, dan Bagelan. 17 Pada dekade selanjutnya, buruh yang berasal dari Jawa akan menjadi mayoritas pekerja di perkebunan Deli, Sumatera Timur. Hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah adanya perubahan para buruh karena pada saat itu sangat sulit untuk merekrut buruh yang berasal dari Straits Settlement dan dari daratan Cina. Selain itu, buruh dari Cina juga banyak yang beralih menjadi pekerja di agen tenaga kerja yang dapat mempekerjakan mereka keperkebunan tebu dari perusahaan Inggris yang berada di Polinesia atau dapat juga dipekerjakan ke kebun karet yang berlokasi di Suriname, Amerika Selatan. Buruh dari Cina banyak yang tidak melanjutkan kontrak atau keluar karena merasa kecewa dengan kenyataan yang ada di perkebunan. Disaat banyak buruh Cina yang tidak lagi bekerja di perkebunan, hal sebaliknya, bahkan terjadi di Jawa dan membuat orang Jawa berbondongbondong agar dapat bekerja di perkebunan Sumatera Timur.
Debi Yusmin Ardiani, Skripsi: “Kehidupan Buruh Perkebunan Deli Maatschsppij (1920-1942)”(Medan: USU, 2009), Hal 69. 17
101
Di Jawa, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengubah peraturan yang akhirnya menyebabkan perusahaan atau perkebunan gula yang adadi Jawa menjadi lebih diutamakan dan lebih maju dibandingkan komoditas lain. Hal tersebut berpengaruh pada area pertanian padi semakin hari semakin berkurang dan membuat harga beras melonjak drastis karena komoditi beras akhirnya didatangkandari Myanmar. Kehidupan di Jawa semakin berat dengan masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi mereka dan hal itu mendorong terjadinya migrasi masyarakat dan berebut untuk mendaftarkan diri mereka menjadi buruh di perkebunan Deli, Sumatera Timur. Dalam rangka memajukan lembaga yang bertugas menangani masalah perekrutan buruh maka AVROS pada tahun 1912, mendirikan Java Immigraten Bureau (JIB) yang mempunyai fungsi khusus, yaitu mendatangkan buruh yang berasal dari Jawa agar didatangkan Sumatera Timur. Setelah itu, AVROS juga membentuk Algemene Delisch Emigratie Kantoor (ADEK) agar membantu mobilisasi buruh migran. Perkebunan di Deli, Sumatera Timur semakin meningkat yang dapat dilihat dari pembukaan perkebunan baru semakin banyak sehingga dalam proses pengolahan, pemeliharaan, dan panen diperlukan tenaga kerja yang jumlahnya lebih banyak. Keadaan itu menyebabkan munculnya hal negatif, yakni adanya pola rekrutmen buruh perkebunan yang tidak resmi atau profesional.18
Mohammad Abdul Ghani, Jejak Planters di Tanah Deli Dinamika Perkebunan Sumatra Timur1863-1996 (Bogor: IPB Press, 2019), hlm. 14. 18
102
Agar dapat mendapatkan hati para calon buruh maka para lembaga melakukan penipuan yang berbentuk intimidasi dan harapan palsu terhadap calon buruh migran yang berasal dari daerahasalnya. Hal-hal yang terjadi sama dengan saat merekrut para buruh Cina sebelumnya, yaitu dengan cara mengatakan bahwa bila bekerja di perkebunan maka akan mendapatkan gaji yang tinggi. Oleh karena kenyataan yang didapati tidak sesuai, banyak terjadi peristiwa dimana buruh berusaha atau telah berhasil melarikan diri. Terdapat juga beberapa buruh yang tidak menepati perjanjian kontrak yang sebelumnya telah disepakati. Dengan adanya berbagai peristiwa tersebut, pihak Hindia Belanda berusaha memperbaiki sistem pengelolaan hubungan industri dan berusaha memberi jaminan agar dapat memenuhi hak-hak buruh yang direalisasikan pada pada tahun 1888 dengan membuat kebijakan mengenai aturan-aturan syarat hubungan kerja buruh kontrak di Deli, Sumatera Timur yang biasa disebut dengan Koelie Ordonantie.19 Kebijakan itu memberikan sisi positif berupa rasa aman para buruh dari buruknya sifat majikan yang sewaktu-waktu dapat melakukan kekerasan pada mereka.
Karl Pelzer, TOEAN KEBOEN DAN PETANI Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria diSumatera Timur 1863-1947 (Jakarta Selatan: Sinar Harapan, 1985), hlm. 175 19
103
Gambar 1. Surat kabar terkait salah satu buruh perkebunan yang melarikan diri
Sumber: Weggeloopen, Tilburgsche Courant baru, 06-12-1902. Diunduh dariwww.delpher.nl Kebijakan itu juga menguntungkan pengusaha perkebunan karena dapat mencegah atau menghindari kejadian buruh yang melarikan diri sebelum waktu kontraknya selesai. Koelie Ordonantie antara lain berisi mengenai peraturan tentang masa kontrak kerja para buruh migran yang berasal dari luar Sumatera Timur agar bekerja maksimal selama tiga tahun dan apabila kontrak habis maka urusan keuangan untuk kembalinya para buruh ke asal mereka akan sepenuhnya ditangani oleh perusahaan yang merekrut. Namun, faktanya para buruh yang sudah seharusnya pulang ke daerah asal mereka menjadi tidak dipulangkan. Hal itu disebabkan karena pada saat buruh mendapatkan uang atau gaji saat terakhir kalinya, mereka lebih memilih agar melanjutkan pekerjaan mereka di perkebunan dengan menambah masa kerja menjadi enam tahun. Pada dasarnya, sistem kerja di kawasan perkebunan Deli, Sumatera Timur cenderung keras. Terlebih lagi karena tempat kerja yang berlokasi di luar ruangan dengan suhu tropis yang panas dan lembab. Umumnya, sistem kerja di 104
perkebunan Deli, Sumatera Timur pada akhirnya akan mengeksploitasi para buruh karena lingkungan yang tidak sehat dan jam kerja yang terlalu dipaksakan. b. Kehidupan Sehari-hari Buruh Perkebunan Sebelum dijelaskan mengenai kehidupan sehari-hari para buruh, perlu diketahui juga bahwa terdapat staf atau asisten perkebunan yang berada satu tingkat di atas buruh. Meskipun hanya berbeda satu tingkat, tetapi kegiatan sehari-hari mereka sangat berbeda dengan para buruh. Kegiatan para staf atau asisten dilaksanakan mulai pagi pukul 05.00 atau pukul 06.00, mereka melakukan persiapan yang biasa disebut dengan lingkaran pagi dari hoofd opzichter.20 Hal tersebut bertujuan agar para staf dapat berdiskusi mengenai laporan kerja di hari sebelumnya dan rencana kerja untuk esok hari. Setelah itu, mereka melanjutkan dengan pergi bersama ke afdeling agar dapat mengerjakan tanggung jawabnya. Untuk para staf atau asisten afdeling, kegiatan kerja mereka berakhir pada pukul 16.00 sampai senja. Setelah selesai bekerja, mereka akan berolahraga, seperti tenis lapangan dan biasanya dilakukan dengan pimpinan yang membuat olahraga tersebut bersifat setengah wajib. Setelah berolahraga barulah mereka makan malam dan kembali kerumah masing-masing. Rangkaian kegiatan dari pagi sampai petang itu mereka lakukan secara rutin, tepatnya mulai hari SeninSabtu.
Hokkop Fritles Nababan, Sejarah Sosial Masyarakat Perkebunan di Deli (1870-1945) (JakartaTimur: Guepedia, 2019), hlm. 68. 20
105
Pada hari Minggu akan digunakan para asisten atau staf untuk bermain mencari hiburan bersama teman mereka dan untuk yang sudah berkeluarga, mereka akan memilih bertemu dengan keluarganya. Sementara itu, kegiatan sehari-hari para buruh sangat berbeda karena waktu mereka hampir sepenuhnya digunakan untuk bekerja. Tidak bisa dipungkiri bahwa di perkebunan Deli, Sumatera Timur terdapat eksploitasi terhadap tenaga para buruh karena setiap hari mereka memiliki jam kerja yang amat panjang. 21 Jam kerja tersebut telah diatur dalam kebijakan Koeli Ordonantie. Para buruh bekerja mulai pukul 05.30 pagi sampai pukul 17.30. Buruh hanya diberikan waktu istirahat selama satu jam, yaitu mulai pukul 11.00 sampai pukul 12.00. Apabila para asisten menikmati libur pada saat hari Minggu, buruh hanya merasakan hari libur pada saat hari penerimaan gaji. Kegiatan sehari-hari para buruh diceritakan dengan baik oleh Lulofs di dalam Novel miliknya. Meskipun karyanya berupa novel yang berarti terdapat bagian yang didramatisasi, tetapi isi novel itu adalah sketsa yang sangat nyata dan didukung oleh bukti-bukti sejarah. Lulofs menuliskan: “Hari berganti hari, berlalu, sambung-menyambung menjadi rangkaian panjang yang terdiri atas mata-mata rantai yang sama panjang dan sama warna. Empat belas hari bekerja, sehari istirahat. Empat belas hari membanting tulang, menguras tenaga. Sehari bermain, merokok, sebuah penyelidikan”. Selain itu, kegiatan sehari-hari para buruh juga dapat dijelaskan darikunjungan Rhemrey.
21
Ibid, halaman 77
106
Ia mengunjungi sebanyak 145 perkebunan, kunjungan itu bisa dilaksanakan karena ia dibantu beberapa orang, yaitu pengawal pemerintah, buruh Cina yang bertugas sebagai penerjemah, dan wakil ketua kebun. Ia mendapatkan fakta bahwa mayoritas buruh tidak memiliki keberanian untuk mengatakan mengenai kondisi mereka yang sebenarnya. Para tuan kebun, bahkan juga mengakuibahwa mereka sering memukul para buruh dan mereka juga melakukan rasisme di perkebunan. Hal ini disebabkan karena pembagian kerja dibedakan menurut warna kulit, suku, dan etnis. Tujuan pembagian itu sebenarnya agar tidak terjadi perkelahian di antara para buruh saat bekerja. Namun, hal itu justru menimbulkan rasisme karena pada saat itu komposisi buruh perkebunan terdiri dari masyarakat yang multirasial. Rasisme yang terjadi di perkebunan semakin diperparah karena hubungan yang tidak baik antara buruh dan orangorang Eropa yang merasa dirinya lebih unggul daripada orang lain. Sebenarnya jumlah para buruh lebih banyak apabila dibandingkan dengan orangorang Eropa, tetapi karena kekuasaan orang Eropa, buruh tetap menjadi lapisan paling rendah di kelompok masyarakat. Para buruh merasa tidak mempunyai kekuatan untuk melawan ketidakadilan yang mereka alami. Oleh karena itu, buruh terpaksa menerima kondisi mereka yang pada saat itu menjadi korban dari plantokrasi atau pola penguasaan perkebunan dengan cara kekerasan. Untuk menghilangkan beban dan rasa jenuh, para buruh akhirnya mencari hiburan dengan para wanita yang ada di perkebunan dan hal itu berpengaruh pada munculnya praktik prostitusi. Pola prostitusi yang ada di perkebunan juga memiliki perbedaan dalam setiap hirarki sosial. Salah satu 107
faktor yang mendukung prostitusi di perkebunan adalah komposisi laki-laki dan perempuan Eropa di Tanah Deli tidak seimbang.22 Pada Tahun 1990, hanya terdapat 450 wanita dari total 2.075 penduduk. Ketidakseimbangan gender juga terjadi puladi para buruh lokal. Pada Tahun 1900, hanya terdapat 5 ribu wanita dari 62 ribu buruh lokal. Berdasarkan tulisan Van Den Brand, dijelaskan bahwa pada saat itu terdapat pemikiran bahwa siapapun perempuan yang masuk ke perkebunan Deli adalah perempuan pelacur. Hal tersebut termasuk suatu pernyataan yang menggambarkan bagaimana perempuan di perkebunan Deli. 23 Perempuan dimanfaatkan sebagai barang yang sangat langka, mereka akan dianggap sebagai pelacur secara keseluruhan atau seluruh perempuan yang ada di perkebunan terpaksa menjadi pelacur. Para asisten atau staf perkebunan dapat secara mudah untuk menyewa perempuan Jawa. Orangorang Eropa juga secara mudah serta murah dapat memuaskan nafsu mereka ke buruh perempuan yang ada di perkebunan. Pekerja kulit putih mendapatkan kesempatan pertama dalam memilih buruhkontrak perempuan, bahkan saat para buruh perempuan baru saja datang di perkebunan. Hubungan tersebut tentunya hanya sebatas hubungan sementara. Berbeda dengan yang lain, para buruh Cina tidak terlalu tertarik dengan perempuansehingga mereka cenderung melakukan homoseksualitas di perkebunan.
Mazdalifah. “Kehidupan Buruh Perempuan Perkebunan di Desa Sukaliwei, Kecamatan BangunPurba, Kabupaten Deli Serdang”. Jurnal Harmoni Sosial. Vol, 2 No, 1. (2007). 19-20. 23 Karl Pelzer, TOEAN KEBOEN DAN PETANI Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria diSumatera Timur 1863-1947 (Jakarta Selatan: Sinar Harapan, 1985), hlm. 173. 22
108
Hal tersebut adalah hal yang biasa di antara sesama buruh Cina karena mereka tinggal di daerah yang sedikit, bahkan tidak ada perempuan sama sekali. Karena dianggap hal biasa, hubungan homoseksualitas itu biasanya dilakukan di depan orang banyak.Terdapat ruangan di dalam barak yang dihias lengkap gorden serta berbagai aksesorisnya, tempat itu digunakan untuk para pelacur laki-laki. Sementara itu, buruh laki-laki yang berasal dari Jawa beranggapan bahwa mustahil apabila hidup tanpa adanya perempuan di perkebunan. Perempuan Jawa yang belum memiliki suami akan perkebunan secara mudah mendapatkan laki-laki yang bersedia hidup bersama, bahkan tanpa ikatan pernikahan. Selain prostitusi, kegiatan sehari-hari para buruh juga dipenuhi oleh perjudian. 24 Perjudian yang dilakukan di perkebunan adalah kegiatan umum yang dilakukan oleh buruh Cina dan buruh Jawa. Para buruh akan melakukan judi pada saat mereka mendapatkan gaji pada setiap bulannya. Dalam Novel Merantau ke Deli dijelaskan bahwa: "Ada pula yang sudah ketagihan berjudi, terus saja menerobos ke tikar yang sedang dibentangkan itu, duduk di sana mempermainkan uang yang baru saja diterimanya. Akhirnya ada yang tegak kembali dengan muka jernih berseri-seri, sebab ia menang, ada pula yang hanya menepuk-nepukkan tangannya kepinggulnya, sebab semua uang yang baru diterimanya musnah". Dijelaskan juga dalam artikel di surat kabarPewartaDeli yang terbit pada 10 Juli 1916 bahwa malam saat gajian di perkebunan Deli merupakan malam yang sangat ramai dipenuhi oleh buruh dan ditambah dengan penampilan tari ronggeng.
Hokkop Fritles Nababan, Sejarah Sosial Masyarakat Perkebunan di Deli (1870-1945) (JakartaTimur: Guepedia, 2019), hlm. 99. 24
109
Permainan judi di Deli hanya ramai pada saat hari gajian, yaitu tanggal 1 ketika gajian besar dan tanggal 15 ketika gajian kecil. Pada saat itu buruh mengalami masa-masa yang sulit karena mereka akan dipersulit apabila ingin keluar dari perkebunan maka judi akhirnya menjadi suatu hiburan untuk para buruh. Orang Cina biasanya akan memborong permainan dan orang Cina yang lebih kaya akan bertransaksi dengan izin pimpinan pengawas di setiap perkebunan yang dihargai 1000 Gulden setiap tahunnya.25 Kegiatan negatif,seperti perjudian dan prostitusi akhirnya juga menjerumuskan para buruh ke hal negatif lainnya, yaitu kriminalitas dan kekerasan. Hal tersebut berawal dari rasa dendam para buruh terhadap perlakuan semena-mena yang menyebabkan timbulnya rasa benci para buruh ke tuan kebun dan mandor. Di perkebunan para mandor dan tuan kebun bersifat sangat keras ke para buruh sehingga buruh sering memberontak dan menyerang. Hal tersebut membuat adanya korban luka, bahkan ada yang sampai meninggal di perkebunan. Tercatat di De Plantet bahwa sekitar tahun 1912, terjadi 311 serangan yang membuat 7 orang yang terdiri dari tuan kebun dan mandor tewas. Setelah itu, pada sekitar tahun 1922-1927 juga terdapat serangan buruh sebanyak 147 yang menyebabkan 8 orang tuan kebun tewas.
Mohammad Abdul Ghani, Jejak Planters di Tanah Deli Dinamika Perkebunan Sumatra Timur1863-1996 (Bogor: IPB Press, 2019), hlm. 55. 25
110
Kegiatan sehari para buruh juga diwarnai dengan adanya pencurian. Hal tersebut dapat terjadi karena buruh merasa gaji yang mereka dapatkan sangat sedikit dan cara hidup buruh yang suka berfoya-foya, seperti melakukan judi dan menyewa pelacur. Pada saat itu peristiwa tentang pencurian yang dilakukan para buruh sering menjadi berita utama dalam surat kabar. Pada surat kabar Pewarta Deli di bagian kolom Pertja Timoer yang diterbitkan tanggal 3 September 1916 termuat salah satu berita mengenai kasus pencurian yang dilakukan oleh salah satu buruh Cina.26 Berita tentang pencurian di perkebunan atau pencurian yang dilakukan oleh buruh perkebunan adalah informasi yang sangat mudah dijumpai dalam berbagai koran yang terbit di Deli saat era kolonial. Selain pencurian yang dilakukan oleh buruh Cina, terdapat juga buruh Jawa yang diketahui mencuri dan masuk dalam surat kabar Pewarta Deli bagian Pertja pada 10 Juli 1916.27 Setelah menjelaskan mengenai kegiatan sehari-hari para buruh, tidak lengkap rasanya jika tidak menceritakan mengenai tempat tinggal para buruh.Tempat tinggal menjadi tempat pulang para buruh setelah menyelesaikan kegiatannya. Para buruh tinggal di dalam barakbarak yang difungsikan sebagai bangsal untuk tempat mereka tidur.
Debi Yusmin Ardiani, Skripsi: “Kehidupan Buruh Perkebunan Deli Maatschsppij (1920-1942)”(Medan: USU, 2009), Hal 11. 27 Hokkop Fritles Nababan, Sejarah Sosial Masyarakat Perkebunan di Deli (1870-1945) (JakartaTimur: Guepedia, 2019), hlm. 99. 26
111
Satu bangsal akan dipenuhi dan dipakai untuk satu sampai dua kelompok, bersama dengan orang yang ditugaskan sebagai pengawas. Orang tersebut tidur terpisah dari para buruh karena ia mempunyai kamar sendiri dalam bangsal. Barak-barak para buruh dibangun dengan rangkaian berjajar atau bujur sangkar berbentuk mengelilingi lapangan dan di bagian tengah lapangan dibangun dapur umum. Tempat itu dibangun memanjang supaya dalam satu rumah dapat diisi oleh banyakburuh. Akan tetapi, keadaan di tempat tinggal para buruh sangatlah buruk. Hal tersebut dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Jan Breman. Dijelaskan bahwa keadaan tempat tinggal para buruh adalah tempat yang sangat kotor ditambah dengan kondisi yang amat memprihatinkan. Tempat tinggalburuh tidak mempunyai sanitasi yang baik, dan banyak genangan air di sekitar tempat tinggal. Tempat tinggal para sebenarnya dapat menjelaskan bahwa adanya hirarki sosial yang sangat jelas. Berbeda dengan tempat tinggal para buruh, tempat tinggal orang Eropa sangatlah luas dan memiliki fasilitas lengkap. Hal yang menjadi pembeda tersebut terlihat dari sisi jenis bangunan, arsitektur, format, dan berbagai kemudahan lainnya. Tempat tinggal orang Eropa dinilai sangat mewah, layak dan sangat sesuai kebutuhan Kesehatan.28 Bangunan tempat tinggal para buruh tidak dibuat supaya buruh merasa nyaman.
28 Sarjono
Kartodirjo, Joko Suryo,Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosialekonomi (Jakarta: Aditiya Media, 1991), hlm, 18.
112
Sementara rumah orang-orang Eropa dibangun dengan ukuran yang cukup besar serta sangat nyaman untuk ditempati. Perbedaan tersebut memicu munculnya konflik dalam kegiatan seharihari para buruh. Terjadi ketegangan terus-menerus dan secaraintens. Di sisi lain, tidak terdapat ikatan solidaritas yang baik antara para buruh sehingga tidak terdapat orang yang bisa menyelesaikan atau melerai apabila sedang terjadi konflik dan pertentangan yang ada. 3. KESEJAHTERAAN BURUH PERKEBUNAN DI SUMATERA TIMUR a. Pendapatan dan Pengeluaran Buruh Perkebunan Perkebunan di Deli diurus oleh AVROS (Algemene Vereeniging van Rubberplanters ter Ousktust van Sumatera) dan DPV (Deli Planter Veregeniging). Kedua lembaga tersebut didirikan dengan tujuan mencegah adanya kompetisi yang tidak adil dan juga untuk bertanggung jawab atas keseragaman gaji di semua perkebunan yang ada di Sumatera timur, termasuk di Deli. Sistem dalam membayar gaji di perkebunan dipisah untuk membedakan antara para buruh perkebunan, mandor perkebunan yang mayoritas adalah pribumi, dan buruh yang berasal dari Cina dan India, serta para staf perkebunan yang biasanya adalah orangorang kulit putih. Salah satu contohnya, yaitu seorang staf baru atau biasa disebut volunteer mendapatkan gaji sebanyak 200 gulden dalam satu bulan lalu naik sebanyak 200 gulden sehingga menjadi 400 gulden. 29
29 Emil
W. Aulia, Berjuta-juta dari Deli: Satoe Hikajat Koeli Contract (Jakarta: Gramedia PustakaUtama, 2006), hlm. 132.
113
Gaji tersebut akan naik lagi apabila ia sudah bekerja lebih dari enam tahun. Gaji untuk mandor Cina atau biasa disebut tandil adalah sebesar 25 gulden dalam satu bulan, untuk mandor besar atau biasa disebut ploeg bass yang berasal dari Jawadigaji sebesar 20 gulden dalam satu bulan, dan untuk mandor regu atau biasa disebutploeg digaji sebesar 11 gulden dalam satu bulan. Sementara itu, gaji yang diperolehburuh perkebunan jumlahnya lebih sedikit lagi. 30 Gaji tunai akan dibayarkan kepada para buruh sebanyak dua kali dalam sebulan, tepatnya pada pertengahan bulan yang dianggap panjar gaji dan sisa gaji rampung akan didapatkan buruh saatawal bulan berikutnya. Biasanya perusahaan perkebunan akan memberikan gaji pada tanggal 15 atau 16. Para buruh yang mendapatkan gaji akan bersama-sama bertemu di bagian depan rumah mandor. Dalam kesempatan tersebut akan diadakan kesenian ronggeng, ronggeng, dan musik Jawa atau biasa disebut gamelan.31 Para buruh tidak hanya digaji dengan uang, tetapi mereka juga mendapatkan gaji melalui kebutuhan pokokyang sering disebut sebagai ransum atau catu. Kebijakan mengenai gaji dalam bentuk ransum terus dilaksanakan sampai awal tahun 1970, lalu kebijakan itu diputuskan untuk tidak dilanjutkan karena akses mendapatkan kebutuhan pokok sudah tidak sulit lagi.
30 Mohammad
Abdul Ghani, Jejak Planters di Tanah Deli Dinamika Perkebunan Sumatra Timur1863-1996 (Bogor: IPB Press, 2019), hlm. 105. 31 Hokkop Fritles Nababan, Sejarah Sosial Masyarakat Perkebunan di Deli (1870-1945) (JakartaTimur: Guepedia, 2019), hlm. 83.
114
Tabel 1.2 Komponen Ransum Perkebunan di SumatraTimur
Catu
Pekerja
Sumber: Testimoni pensiunan administratur perkebunan tahun 1960-an Kebutuhan pokok menjadi mudah didapatkan karena adanya koperasi atau konsumsi bagi orangorang di perkebunan. Selain dalam bentuk uang dan kebutuhan pokok, para buruh perkebunan juga mendapatkan gaji dalam bentuk tiket atau voucher yang penggunaannya terbatas, hanya dapat digunakan di toko atau kedai perkebunan.32 Akan tetapi, gaji yang didapatkan para buruh tersebut masih sangat sedikit dan belum dapat mencukupi dalam kehidupan sehari-hari para buruh. Hal itu disebabkan kebutuhan utama dan kebutuhan lainnya yang dijual di kedai perkebunan memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan kedai yang terdapat di luar perkebunan.
32 Karl
Pelzer, TOEAN KEBOEN DAN PETANI Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria diSumatera Timur 1863-1947 (Jakarta Selatan: Sinar Harapan, 1985), hlm. 189.
115
Berdasarkan tulisan Tan Malaka ketika ia berkunjung ke Deli tahun 1919 menuliskan bahwa: "Laki-laki dan perempuan yang bekerja yang bangun pukul empat pagi, karena kebun tempat mereka bekerja jauh letaknya, pukul tujuh atau delapan barulah mereka tiba di rumah. Gaji menurut kontrak f 0,40 sehari. 33 Makanan biasanya tidak cukup untuk kerja keras mencangkul di tempat yang panas delapan sampai dua belas jam dalam sehari.Pakaian pun lekas rombeng rombeng karena kerja di hutan. Dari para kuli, hanya sedikit yang memiliki kesempatan untuk naik pangkat. Ada yang dijadikan mandor dan lama lama menjadi mandor. Ada yang diterima menjadi pekerja atau pengawal di bengkel mobil, mesin listrik atau rumah sakit. Tetapi gaji tetap terlalu rendah ƒ20 f30 setiap bulannya untuk mandor, dan f60 untuk hopmandor. Gaji yang didapatkan para buruh sudah sangat kecil, hal itu diperburuk dengan diberlakukannya sistem denda yang cukup banyak yang membuat para buruh harus membayar denda setiap mereka melakukan kesalahan dalam pekerjaannya.34 Karena tidak dapat membayar denda tersebut, para buruh sering terpaksa berhutang. Jumlah gaji yang sangat sedikit membuat para buruh terpaksa melakukan tindakan buruk, yaitu mencuri agar dapat mencukupi kebutuhan. Keadaan yang terus menekan para buruh akhirnya menyebabkan mereka berani untuk menyerang perusahaan di perkebunan, mereka berjuang untuk mendapatkan kenaikan gaji.
Grendi Hendrastomo, “Menakar kesejahteraan buruh: memperjuangkan kesejahteraan buruhdiantara kepentingan negara dan korporasi”, Jurnal Informasi, Vol.16 No. 2 (2015), 22. 34 Hokkop Fritles Nababan, Sejarah Sosial Masyarakat Perkebunan di Deli (1870-1945) (JakartaTimur: Guepedia, 2019), hlm. 90. 33
116
Salah satu contoh agar dapat lebih jelas mengetahui pemasukan dan pengeluaran para buruh adalah biaya satu buah sarung pada masa kini adalah sekitar f1, yang artinya gaji mereka dalam satu hari itu sangat sedikit. Gaji tersebut, bahkan tidak cukup apabila digunakan untuk uang makan sehari-hari.35 Contoh peristiwa serangan yang dilakukan para buruh dengan latar belakangingin mendapatkan gaji yang lebih tinggi pernah dimuat dalam surat kabar PewartaDeli tanggal 16 Mei 1902 yang berjudul "Lagi Seorang Assistant di Serang". Kutipan berita tersebut, yaitu: ”Toean Houwing adminsitrateur dari satoe onderneming di Ramboeng (Deli) baroe ini datang di kantoornja, dapat liat ada tida koeli orang tjina doedoek di depan kantor, dan tatkla di tanja apa maoenja initiga kolei soeda tjerita ia tiada dapat bajaran betoel. Di minta tiga kolei ini, pelangdoeloe, tetapi itoe waktoe joega itoe tiga koper soeda kroeboetkan ini toean dan masoek padanja nama piso yang disimpan di bawa badjoenja, beroentoeng leoaknja toean Hpuwing tida bebrapa berat. Ini tiga koeli soeda di tangkep teroes di pendjara, begitoe jahatnya koelikoeli irang tjina di Deli”.36 D. KESIMPULAN Perkebunan di Deli ialah perkebunan yang sangat berkembang, terutama pada saatmodal asing mulai masuk ke Sumatera Timur. Permintaan akan komoditas yang ada di Deli semakin tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan jumlah buruh perkebunan yang banyak pula. Pada awalnya para pemilik perkebunan merekrut orang-orang Cina dan India. Akan tetapi, banyaknya permintaan untuk merekrut atau mendatangkan orang Cina membuat harga buruh Cina menjadi mahal. Mohammad Abdul Ghani, Jejak Planters di Tanah Deli Dinamika Perkebunan Sumatra Timur1863-1996 (Bogor: IPB Press, 2019), hlm. 42. 36 Sarjono Kartodirjo, Joko Suryo,Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosialekonomi (Yogyakarta: Aditiya Media, 1991), hlm, 47. 35
117
Untuk mengatasi permasalahan itu maka didatangkan buruh yang berasal dari Jawa. Para buruh Jawa tersebut upahnya jauh lebih murah daripada buruh Cina. Para migran yang berasal dari Jawa ditipu dengan harapan palsu yang mengatakan bahwa bekerja sebagai buruh perkebunan di Deli akan menghasilkan banyak uang. Para buruh didatangkan dari Jawa disebabkan karena masyarakat Deli tidak mau menjadi buruh perkebunan. Pada dasarnya para buruh yang ada di perkebunan mempunyai norma, interaksi atau kehidupan sosial. Kehidupan sosial tersebut akhirnya berpengaruh terhadap kejesahteraan para buruh perkebunan di Deli, Sumatera Timur. Kehidupansehari-hari para buruh diwarnai dengan berbagai peristiwa. Salah satu contohnya adalah kehidupan buruh tidak dapat lepas dari pencurian, pelacuran atau prostitusi,perjudian, kekerasan, dan masalah lainnya. Hal tersebut muncul akibat dari kehidupan para buruh perkebunan yang sangat liar dan keras. Selain itu, fakta bahwa para buruh perkebunan memperoleh gaji yang tidaksebanding dengan pekerjaan mereka juga tidak dapat diabaikan. Penghasilan mereka dalam satu bulan, bahkan tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Mereka juga sering mendapatkan perlakuan yang sangat kasar, seperti dipukul dan ditendang oleh pemilik perkebunan. Hal tersebut disebabkan karena adanya hirarkiyang tajam di pekebunan. Hirarki yang tajam dapat digambarkan melalui perbedaan fasilitas yang didapatkan oleh para buruh dan mandor. Buruh perkebunan tinggal di di dalam barak-barak yang difungsikan sebagai bangsal untuk tempat mereka tidur. Sementara itu, para mandor dan orang Eropa tinggal di rumah yang sangat luas dan dilengkapi fasilitas yang memadai.
118
Dengan semua permasalahan dan pendapatan yang diperoleh oleh buruh perkebunan di Deli, Sumatera Timur maka dapat dilkatakan bahwa kehidupan paraburuh tidak sejahtera. 37
37 Hokkop
Fritles Nababan, Sejarah Sosial Masyarakat Perkebunan di Deli (18701945) (JakartaTimur: Guepedia, 2019), hlm. 146
119
DAFTAR REFERENSI Buku Aulia, E. W. (2006). Berjuta-juta dari Deli: Satoe Hikajat Koeli Contract. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. Arsip Nasional Republik Indonesia. (2001). Pemberantasan Prostitusi di IndonesiaMasa Kolonial, Jakarta: Arsip Nasional Indonesia. Arsip Nasional Republik Indonesia. (2003). Perbudakan Abad XVII-XIX di Hindia Belanda: Kasus Koeli Kontrak, Jakarta: Arsip Nasional Indonesia. Ghani, D. M. (2019). JEJAK PLANTERS di Tanah Deli Dinamika Perkebunan Sumatra Timur 1863-1996. Bogor: PT IPB Press. Hamdani, N. (2011). TEMBAKAU DELI 'Pohon Berdaun Emas' dari Sumatera. Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh. Hamka. (1977). Merantau ke Deli: Sebuah Novel Karya Klasik. Jakarta: PenerbitBulan Bintang. Husni, Tengku H.M Lah. (1987). Lintasan Sejarah Peradaban Sumatera Timur (1612-1950). Jakarta: Kementerian pendidikan dan kebudayaan. Jan, Breman. (1997). Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial, Tuan Kebun, danKuli di Sumatra Timur pada awal Abad ke 20. Jakarta: Grafiti. Kartodirdjo, S., & Suryo, J. (1991). Sejarah Perkebunan Indonesia: Kajian SosialEkonomi. Yogyakarta: Aditiya Media. Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Lindblad, J. Thomas. (2009). The Economic Decolonization of Sumatra, New Zealand Journal of Asian Studies, 11(1), 179-188. Lulofs, M.H. Szekely. (1936). Kuli: Sebuah Novel Jakarta: PT. 120
Grafitipers. Mahadi. (1978). Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatra Timur (1800-1975). Bandung: Alumni. Nababan, H. F. (2019). Sejarah Sosial Masyarakat Perkebunan di Deli (1870-1945). Jakarta Timur: Guepedia. Pardede, Edwin., dkk. 2017. Bela HAM: Bela Kemanusiaan, Suatu Bunga Rampai. Jakarta. KALABAHU38 LBH. Pelly, Usman dkk. (1984). Sejarah Sosial: Daerah Sumatera Utara Kotamadya Medan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Peltzer, K. J. (1985). Toean Keboen Dan Petani: Politik Kolonial Dan PerjuanganAgraria Di Sumatera Timur 1863-1947. Jakarta Selatan: Sinar Harapan. Said, Mohammad. (1990). Suatu Zaman Gelap di Deli: Koeli Koentrak Tempo Doeloe, Dengan Derita dan Kemarahannya. Medan PT. Harian Waspada Medan. Stoler, Ann Laura. (2005). Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera (18701979). Yogyakarta: Karsa. Yasmis, (2007). Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau DeliSumatera Timur Tahun 18801915. Tesis, Jakarta: Universitas Indonesia. Skripsi Debi Yusmin Ardiani, 2009. “Kehidupan Buruh Perkebunan Deli Maatschsppij(1920-1942)”. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Bernanci Pane, 2017. "Aliensi Kaum Kuli di Sumatera Timur (Deli) Tahun 1858-1942". Skripsi. Medan: Universitas Negeri Medan. Nurul Sakina, 2012. "Kehidupan Kuli Kontrak Orang Cina Di PerkebunanSumatera Timur (1870-1930)". Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.
121
Jurnal Hendrastomo, Grendi. (2010). Menakar kesejahteraan buruh: memperjuangkan kesejahteraan buruh diantara kepentingan negara dan korporasi, JurnalInformasi, 16(2), 1-16. Mazdalifah. (2007). Kehidupan Buruh Perempuan Perkebunan di Desa Sukaliwei, Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Deli Serdang. Jurnal Harmoni Sosial, 2(1), 19-23. Zubir, Zusneli. (2015). Sejarah Perkebunan dan Dampaknya Bagi PerkembanganMasyarakat di Onderafdeelinng Banjoeasin En Koeboestrekken, Karesidenan Palembang, 19001942, Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, 1(1), 79-99. Surat Kabar Pewarta Deli, 1 juli 1916, Perempoen-Perempoean Hina. Pewarta Deli, 10 juli 1916, Djoedi. Pewarta Deli, 23 september 1916.Oendang-Oendang Baroe. Pewarta Deli, 3 September 1916, Pertja Timoer. Pewarta Deli, 16 Mei 1902, Lagi Seorang Assistant di Serang. Tilburgsche Courant baru, 6 Desember 1902, Weggeloopen.
122
BAGIAN V Refleksi Historiografi Indonesia: Sejarah Lokal dan Sejarah Sosial dalam Perjalanan Penulisan Sejarah Indonesia Masa Kini DUA HAMENGKUBUWONO DAN DINAMIKA SOSIAL POLITIK YOGYAKARTA PASCAKEMERDEKAAN INDONESIA Disusun oleh: Imam Mustajab
123
A. Pendahuluan Ada keresahan
dalam
historiografi
Indonesia
mengenai dominasi “big man” atau orang-orang besar, yakni tokoh nasional dalam sejarah Indonesia pascakemerdekaan. Terdapat anggapan tokoh-tokoh nasional terlalu merajai buku-buku sejarah umum atau konvensional di Indonesia. Sehingga terlihat kurang adanya tempat bagi kisah tokoh lokal. Politik historiografi yang demikian telah menjadikan narasi sejarah kepahlawanan Indonesia menjadi kering dan mengendap. Ketokohan Soekarno dan Soeharto menjadi yang paling mendominasi. pengetahuan masyarakat tentang kepahlawanan menjadi dangkal dan sempit menjadi dampak negatif dari narasi yang demikian. Pahlawan hanya dimaknai sebagai kiprah politik seorang tokoh, padahal makna kepahlawanan sendiri cukup luas, bukan saja dari aspek politik. Namun juga dapat melalui aspek, sosial, ekonomi, hukum, dan sebagainya.92 Namun nyatanya, historiografi konvensional Indonesia mencatat nama “Hamengkubuwono” yang notabene-nya tokoh pemimpin tingkat lokal muncul berkalikali yakni Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X padahal merupakan dua orang berbeda masa ketika memimpin Yogyakarta. Faktaneka dan indeks buku Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS) mencatat lebih dari 20 kali nama Hamengkubuwono termuat dalam 9 jilid serial buku tersebut.93 Kemudian buku Sejarah Nasional Indonesia edisi pemutakhiran pada jilid ke-6 nya saja terdapat sebanyak belasan kali nama Hamengkubuwono disebutkan. 94 Bahkan buku mahakarya Indonesianis tersohor M. C. Ricklefs juga puluhan kali menulis nama Hamengkubuwono dalam A
Ganda Febri Kurniawan, W Warto, and Leo Agung Sutimin, “Dominasi OrangOrang Besar Dalam Sejarah Indonesia: Kritik Politik Historiografi Dan Politik Ingatan,” Jurnal Sejarah Citra Lekha 4, no. 1 (2019): 36–52. 93 Taufik Abdullah and A. B. Lapian, Indonesia Dalam Arus Sejarah 9 : Faktaneka Dan Indeks (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012). 94 Nugroho Pusponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Edisi Pemutakhiran), ed. R P Soejono and R Z Leirissa (Jakarta: Balai Pustaka, 2008). 92
124
History of Modern Indonesia since c. 1200 edisi keempat.95 Berdasarkan realita diatas maka penulisan ini mencoba untuk mengangkat permasalahan mengenai bagaimana dinamika sosial politik Yogyakarta dibawah kepemimpinan Hamengkubuwono sebagai tokoh lokal mampu bersanding dengan tokoh nasional dan bahkan dapat membawa Yogyakarta menjadi salah satu daerah yang sering disinggung dalam historiografi Indonesia. Kajian mengenai Hamengkubuwono sebagai pemimpin telah ditulis dalam beberapa pustaka terdahulu, mulai dari John Monfries96 yang dalam disertasinya mengulas biografi kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX dengan framing sebagai seorang bangsawan tradisional dalam negara republik, Atmakusumah97 yang menyunting dengan mendokumentasikan berbagai perspektif tokoh-tokoh mengenai sosok Sultan Hamengkubuwono IX, Kemudian, Pusat Data dan Analisa Tempo98 yang menghimpun hasil wawancara dengan Sultan Hamengkubuwono X, hingga Arwan Tuti Artha99 menuliskan biografi Sultan Hamengkubuwono X. Akan tetapi, mayoritas penulisan mengenai Hamengkubuwono hanya menitikberatkan pada sosok itu sendiri, belum tampak adanya kontribusi besar rakyat sebagai kawula yang tentunya menjadi faktor berhasilnya pemimpin melalui dorongan dan dukungan rakyat. Lebih lanjut lagi, Hamengkubuwono selalu dilihat dalam satu orang, belum ada yang melihat pola kepemimpinan Hamengkubuwono sebagai raja Yogyakarta yang merupakan sebuah pewarisan. Tulisan ini bertujuan
Merle Calvin Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c. 1200, 4th ed. (New York: PALGRAVE MACMILLAN, 2008). 96 John Monfries, A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2015). 97 Atmakusumah, Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011). 98 Pusat Data dan Analisa Tempo, Sultan Hamengku Buwono X Bicara (Jakarta: Tempo Publishing, 2020). 99 Arwan Tuti Artha, Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana (Yogyakarta: Galangpress, 2009). 95
125
untuk menganalisis dengan menyandingkan dinamika sosial politik yang terjadi di Yogyakarta pascakemerdekaan dibawah Sultan Hamengkubuwono IX dan X. B. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang dipilih berkaitan dengan adanya batas waktu antara peneliti dengan peristiwa yang hendak diteliti. Louis Gottschalk menyampaikan bahwa metode penelitian sejarah adalah sebuah proses untuk menguji dan juga menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan dari masa lampau guna menemukan data otentik dalam usaha yang sistematis untuk kemudian menyusun data tersebut menjadi historiografi atau kisah sejarah yang dapat dipercaya.100 Melalui penelitian dengan metode sejarah yang diawali tahap heuristik dengan penggalian sumber sejarah, baik itu primer sebagai sumber utama berupa arsip untuk mendapatkan fakta sejarah maupun sekunder berupa penelitian terdahulu sebagai penguat dan pendukung analisis. Kemudian dilakukan kritik mulai dari ekstern dengan melihat tahun penulisan sumber, ejaan sumber, dan bentuk fisik sumber apabila merupakan sumber yang dapat di sentuh secara langsung. Sedangkan untuk sumber-sumber yang telah diarahkan oleh kantor arsip untuk menilik hasil digitalisasi karena pembatasan pandemi Covid-19 hanya dapat menerapkan kritik ekstern sesuai dengan ketersediaan aspek yang dapat dikritik untuk mendapatkan otentisitas. Dan juga intern untuk mengetahui kredibilitas sumber dilakukan dengan cara membandingkan isi sumber yang satu dengan sumber yang lain untuk mendapatkan validitas data, selanjutnya di analisis melalui intepretasi dengan menekan subjektivitas untuk mendapatkan objektivitas fakta sejarah yang akhirnya dituangkan menjadi sebuah historiografi. Untuk mempertajam analisis maka lebih jauh lagi Louis Gottschalk and Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975), h. 32. 100
126
pendekatan ilmu sosial digunakan untuk membantu eksplorasi fakta sejarah. Penelitian ini mencoba untuk mengaplikasikan kombinasi dari segi sosiologi dan politik. Dari sisi sosiologis diharapkan dapat menghasilkan sosiofact yang berisi fakta-fakta realitas yang ada di masyarakat. Sedangkan dari sisi politis, diharapkan dapat menampilkan realita kekuasaan, struktur, kepemimpinan, otoritas, dan sejenisnya. Sartono Kartodirdjo menyampaikan bahwa perpaduan keduanya tentunya jelas akan memperluas pemahaman tentang perkembangan dan substansi sejarah.101 C. Pembahasan 1. Sultan Hamengkubuwono IX dan Yogyakarta dalam kemelut Revolusi Nasional Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1945, terjadi pergolakan di berbagai daerah yang dikenal sebagai peristiwa Revolusi Nasional Indonesia sebagai upaya untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan sekaligus menolak kembalinya kolonialisme yang hendak menjajah lagi. Pergolakan yang terjadi mengakibatkan instabilitas kondisi sosial dan politik bagi Indonesia. Namun, Yogyakarta sebagai salah satu bagian dari Indonesia dengan status istimewa mampu mencerminkan kondisi sosial politik yang cenderung kondusif dibandingkan dengan berbagai daerah lainnya. Padahal, Yogyakarta merupakan daerah yang menjadi pusat Revolusi Nasional Indonesia.102 Kondisi sosial politik Yogyakarta yang cenderung kondusif tentunya tidak lepas dari peranan dan kerjasama antara pemimpin dan juga masyarakatnya. Ikatan sosial yang terjalin ketika pemimpin Yogyakarta yang bersimpati dan berempati mengeluarkan maklumat dan amanat mengenai integrasi daerahnya dengan 101 Suhartono
Wiryo Pranoto, Teori Dan Metodologi Sejarah, 1st ed. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 40. 102 Sutiyah, “Kehidupan Politik Di Kota Surakarta Dan Yogyakarta Menjelang Pemilihan Umum 1955,” Paramita: Historical Studies Journal 27, no. 2 (2017): h. 196.
127
Republik Indonesia yang baru berdiri dengan segala upaya dan dukungannya kemudian segara di imitasi oleh rakyat Yogyakarta yang serentak mendukung keputusan pemimpinnya. Hal kecil layaknya Ki Hadjar Dewantara yang dengan semangat mengajak murid-murid Taman Siswa untuk melakukan konvoi dengan mengendarai sepeda menyambut tersiarnya kabar kemerdekaan yang telah diproklamasikan sekaligus membantu penyebarluasan kabar kemerdekaan tersebut di Yogyakarta. 103 Kemudian, Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dengan sukarela menyumbang untuk kas negara yang kemudian dikenal sebagai uang Anggaran Pemasukan dan Belanja Negara (APBN) pertama bagi Indonesia. Keputusan Sultan Hamengkubuwono IX untuk mendukung dan bergabung dengan Indonesia tentunya merupakan keputusan yang penuh resiko, sebab apabila Indonesia sebagai negara yang baru seumur jagung tidak mampu mempertahankan kedaulatannya yang diancam oleh bayangbayang kembalinya penjajahan kolonialis Belanda maka posisi Sultan Hamengkubuwono IX sebagai pemimpin daerah swapraja juga akan terancam pula, bahkan sama saja dengan mempertaruhkan kehormatan dan nyawanya. Ketika ibukota Indonesia, yakni Jakarta dianggap tidak aman dan telah dikuasai oleh pihak Belanda, dengan kemurahan hatinya Sultan Hamengkubuwono juga memperbolehkan Yogyakarta menjadi ibukota sementara bagi Indonesia sehingga tensi untuk terjadinya instabilitas dalam kondisi sosial politik akan lebih meningkat. Pemindahan ibukota tersebut berimbas pada meningkatnya pertumbuhan penduduk karena terjadinya perpindahan penduduk secara besar-besaran mengikuti pusat pemerintahan yang sekaligus menjadi pusat revolusi. Tidak kurang hampir setengah juta, dari yang awalnya 170.000 jiwa penduduk dengan cepat Taman Siswa and Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat, Mengenal Taman Wijaya Brata: Makam Pahlawan Pejuang Bangsa (Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 1996), h. 192 103
128
berubah menjadi 600.000 jiwa catatan peningkatan jumlah penduduk Yogyakarta.104 Belanda yang memahami begitu besarnya pengaruh Sultan Hamengkubuwono IX di Yogyakarta karena memang dihormati oleh seluruh rakyatnya tentu saja melakukan berbagai upaya atau manuver untuk menarik simpati Sultan Hamengkubuwono IX agar mau berdiri di pihak Belanda dan tidak mendukung pihak republik. Berbagai tawaran diajukan untuk mendapat hati Sultan Hamengkubuwono IX, tercatat telah tiga kali Belanda mengirimkan utusan untuk membujuk Sultan Hamengkubuwono IX mulai dari pemberian jaminan atas wilayahnya dengan tetap dijadikan dan diberikan kekuasaan layaknya sebelum kemerdekaan Indonesia hingga yang terakhir bahkan Belanda berani memberikan janji menjadikan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Wali Negara dengan wilayah kekuasaan seperti saat Mataram Islam dahulu. Namun, Sultan Hamengkubuwono tetap teguh pada pendiriannya, tidak pernah sekalipun menemui utusan dari Belanda dan selalu meminta saudara-saudaranya untuk mewakilkan pada beberapa pertemuan tersebut.105 Sultan Hamengkubuwono IX memilih untuk mengeluarkan statement atas peletakan dan pengunduran diri sebagai pemimpin Daerah Istimewa Yogyakarta, hal yang demikian ternyata dimaksudkan untuk menghindari anggapan bahwa Sultan Hamengkubuwono IX bersedia untuk bekerjasama dengan Belanda sekaligus mengingatkan bahwasannya apabila terjadi kekacauan maupuun kerusuhan yang melanda Yogyakarta maka Sultan Hamengkubuwono IX tidak lagi bertanggung jawab, karena otomatis seluruh kondisi yang terjadi sudah berada dibawah kendali pemerintahan pendudukan Belanda. Terlebih lagi, saat pasukan Belanda hendak mencoba menerobos masuk ke 104 Djumarwan
and Danar Widiyanta, “Peranan Pasukan Polisi Pelajar Pertempuran Dan Gereja Pugeran Dalam Revolusi Indonesia Tahun 1948-1949 Di Yogyakarta,” MOZAIK: Jurnal Kajian Sejarah 9, no. 1 (2018), h. 3 105 Atmakusumah, Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, h. 185.
129
dalam keraton Yogyakarta maka dengan penuh keteguhan hatinya, Sultan Hamengkubuwono IX menyatir untuk “melangkahi mayatnya” terlebih dahulu sehingga pasukan Belanda menjadi bergeming dan tidak kuasa untuk memasuki keraton. Masyarakat Yogyakarta yang masih kental dengan kultur feodal tentunya dengan segera mengadaptasi dengan nyengkuyung langkah-langkah yang diambil oleh Sultan Hamengkubuwono IX sebagai pemimpinnya. Sebagai daerah yang menjadi pusat revolusi, rakyat yang dimotori oleh para pemuda membentuk laskar-laskar perjuangan yang dimaksudkan untuk membantu perjuangan mengusir Belanda yang hendak kembali menjajah. Sultan Hamengkubuwono IX dengan tanggap merespon inisiatif rakyatnya dengan segera mengkoordinasi menjadi satu komando. Pada 26 Oktober 1945, Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan Maklumat No. 5 tentang pembentukan Lasykar Rakjat.106 Pembentukan satuan tersebut tentunya terutama untuk membantu tentara melindungi Yogyakarta dengan berada di bawah satu komando langsung, yakni Sultan Hamengkubuwono IX sebagai panglimanya sehingga tidak ada unsur sebuah golongan yang mendominasi dalam satuan lasykar yang telah dibentuk. Loyalitas dari lasykarlasykar tersebut terhadap pemimpinnya tentu merupakan sebuah hal yang tidak dapat diragukan lagi. Kemudian, Sultan Hamengkubuwono IX menitipkan pesan kepada Imam Masjid Agung Yogyakarta yang kemudian disampaikan setelah shalat jumat bahwasannya Sultan mendorong rakyat untuk terus berjuang dengan keberanian yang tidak pernah padam untuk mencapai kemerdekaan bagi Indonesia. Selain itu, adapula gerakan perempuan yang turut serta mengiringi revolusi yang dimotori oleh Nyi Kusnah Ruswo Prawiroseno atau yang lebih dikenal sebagai Ibu Ruswo dengan menggerakkan kaum hawa untuk membantu Monfries, A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta. h. 142 106
130
para pejuang revolusi yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta dengan memasak sekaligus menyuplai sediaan makanan. Bahkan, menurut Prof. Moestopo, Sultan Hamengkubuwono IX berhasil memobilisasi sekaligus merubah dengan menaikkan kelas para pelacur, pencopet, dan bekas-bekas penjahat untuk di ajak dan di didik menjadi pejuang kemerdekaan 107. Dibalik itu semua, perjuangan yang harus terus dilakukan tentu saja mengakibatkan roda ekonomi berputar tidak semestinya, maka Sultan Hamengkubuwono IX dengan rendah hatinya membagikan uang kepada masyarakat secara sembunyisembunyi agar tidak ketahuan oleh pihak Belanda melalui Menteri Sosial kala itu Rh. Kusnan108. Sultan Hamengkubuwono IX sebagai seorang pemimpin telah menyatakan adanya jaminan bagi seluruh orang yang memilih untuk tinggal di Yogyakarta selama masa terjadinya gejolak Revolusi Nasional. 109 Kerjasama yang begitu ideal antara rakyat dan pemimpinnya menjadikan Yogyakarta yang notabene-nya merupakan pusat revolusi di Indonesia tidak mengalami apa yang disebut sebagai “revolusi sosial” yang bergejolak sangat membara. Berbeda dengan daerahdaerah lain seperti, Surakarta maupun Sumatera Timur yang secara struktural berubah kondisi sosialnya. Masyarakat Yogyakarta yang patuh terhadap pemimpinnya tentunya memiliki sikap politik yang sejalan dengan pemimpinnya, yakni politik nonkooperatif terhadap pihak Belanda karena memilih untuk suportif terhadap pihak Republik Indonesia. Sistem politik di Yogyakarta pun telah mampu berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Ibukota Republik Indonesia yang berpindah ke Yogyakarta secara diam-diam pada Januari 1946 tentunya bukan merupakan Atmakusumah, Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, h. 215. 108 Ibid, h. 233. 109 John Monfries, “The Sultan and the Revolution,” Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 164, no. 2 (2008), h. 287. 107
131
kebijakan dan tindakan yang diambil spontan tanpa pertimbangan, akan tetapi telah diperimbangkan pula bahwasannya secara politik kedudukan pihak republik lebih kuat dibandingkan dengan pihak Belanda. Ketika Revolusi Nasional Indonesia dengan semangat kebebasan dan demokrasi, Yogyakarta telah dimulai terlebih dahulu daripada daerah-daerah lain di Indonesia. Sultan Hamengkubuwono IX yang telah mendapat pengalaman dengan bangku sekolah saat masa muda di Belanda tentunya juga telah memiliki wawasan mengenai konsep kebebasan dan demokrasi sehingga ketika menjabat sebagai seorang pemimpin beliau dengan tanggap merespon tuntutan tersebut dikala Indonesia bergejolak. Sebuah badan bernama Komite Nasional Daerah Yogyakarta telah dibentuk terlebih dahulu sebelum adanya perintah resmi dari pemerintah pusat mengenai pembentukan Komite Nasional Daerah di seluruh Indonesia pada akhir bulan September 1945. Meskipun anggota-anggota Komite Nasional Daerah Yogyakarta merupakan hasil penunjukkan dari berbagai unsur dan kalangan utamanya ialah perwakilan partai politik sebab belum sempat diadakannya pemilihan umum mengingat kondisi yang masih belum memungkinkan untuk menyelenggarakannya, namun Komite Nasional Daerah Yogyakarta sudah dapat dianggap sebagai perwakilan dari rakyat. 105 orang anggota Komite Nasional Daerah Yogyakarta telah ikut serta dengan secara tidak langsung merupakan pelibatan rakyat dalam pengambilan keputusan terbukti dengan penandatanganan maklumat sebagai garis kebijakan pemerintahan di Yogyakarta sejak Oktober 1945 termuat tanda tangan Ketua Komite Nasional Daerah Yogyakarta bersanding dengan dua pemimpin Yogyakarta. Komite Nasional Daerah Yogyakarta yang sulit untuk mengadakan rapat atau pertemuan untuk membahas dan menampung aspirasi maka terbentuk Badan Pekerja pada akhir Oktober 1945 dengan anggota 19 orang perwakilan Komite Nasional Daerah Yogyakarta untuk mendapat
132
penugasan legislatif. Sehingga otomatis kedudukan Komite Nasional Daerah Yogyakarta yang diwakili oleh Badan Pekerja menunjukkan semakin kuatnya kedudukan dalam roda pemerintahan Daerah Istimewa dengan ikut menjalankan tugas bersama Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualam VIII yang horizontal secara struktural. Perkembangan selanjutnya ketika Komite Nasional Daerah Yogyakarta disebut kurang merepresentasikan seluruh golongan masyarakat yang ada di Yogyakarta dan segera Sultan Hamengkubuwono IX menanggapi isu tersebut dengan mengeluarkan Maklumat di tanggal 18 Mei 1946 yang berisi penghapusan Komite Nasional Daerah Yogyakarta untuk selanjutnya digantikan dengan membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta bahkan lebih jauh lagi turun dalam pola vertikal hingga ketingkat kotapraja dan kabupaten-kabupaten dibawah Daerah Istimewa Yogyakarta. Struktur terkecil dalam hierarki politik bawah mendapat perhatian pula dengan upaya pembentukan Dewan Kalurahan dan Majelis Desa sehingga ada harapan untuk tercakupnya suara rakyat dari berbagai kelas yang ada di Yogyakarta. 110 Oleh sebab itulah, Yogyakarta dianggap sudah lebih maju dalam pelaksanaan demokrasi walaupun memiliki latar belakang feodalisme yang sangat kuat secara politik. 2. Sultan Hamengkubuwono X dan Yogyakarta dalam Gerakan Reformasi 1998 Gerakan Reformasi 1998 merupakan salah satu peristiwa monumental dalam sejarah bangsa Indonesia karena dianggap berhasil meruntuhkan otoritarianisme dan melengerserkan Soeharto untuk berhenti sebagai presiden setelah 32 tahun menduduki jabatan tersebut. Krisis keuangan yang melanda Asia di tahun 1997 dengan
Tri Yuniyanto, Daulat Raja Menuju Daulat Rakyat: Demokratisasi Pemerintahan Di Yogyakarta, ed. Kundharu Saddhono and Yogyo S Yono (Surakarta: CakraBooks, 2010). 110
133
aspek ekonomi sebagai dasarnya turut melanda Indonesia sehingga kemudian memantik gejolak politik serta merembet ke ranah konflik sosial di berbagai wilayah Indonesia. Berbagai kekerasan yang mengakibatkan kerusakan masif terjadi di daerah-daerah seperti Jakarta, Surakarta, Medan, Palembang, dan masih banyak lagi. Namun, Yogyakarta yang merupakan salah satu kota besar di Indonesia cukup kondusif dan tidak bernasib separah daerah lainnya dalam menerima dampak gejolak sosial politik yang cukup tinggi tensinya. Yogyakarta menjadi salah satu contoh yang mengesankan dari Gerakan Reformasi 1998. Masyarakat Yogyakarta saling bekerja sama untuk mencegah kondisi yang penuh kekacauan layaknya daerah-daerah lain. Beberapa pengamat mengaitkan perdamaian etnis ini dengan peran kepemimpinan para pemimpin adat setempat. Keterlibatan masyarakat yang kuat ini merupakan ciri khas Yogyakarta.111 Ratusan ribu orang, menurut beberapa laporan satu juta, turun ke jalan menuntut pengunduran diri Soeharto. Karena simpati dan beberapa dengan motif tersembunyi untuk melindungi toko-toko mereka, penduduk menyediakan makanan ringan dan minuman bagi massa yang berbaris melalui kota.112 Sultan Hamengkubuwono X kala awal Gerakan Reformasi itu belum menduduki jabatan Gubernur daerah Istimewa Yogyakarta dan hanya sebagai raja Kasultanan Yogyakarta sebab pelaksana tugas Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta masih dipegang oleh Paku Alam VIII. Awalnya, Sultan Hamengkubuwono X mengambil sikap yang ambigu terhadap Gerakan Reformasi karena tidak dengan segera mengambil keputusan. Sultan Hamengkubuwono X mengutarakan Jae Bong Park, “MANAGING SOCIO-ECONOMIC CRISIS IN INDONESIA: The Role of Interfaith Civic Organisations in Yogyakarta during the 1998 Economic Crisis,” Indonesia and the Malay World 40, no. 116 (2012), h. 39 112 C Kees van Dijk, A Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000 (Brill, 2021), h. 206. 111
134
bahwasannya ia melakukan puasa satu bulan penuh Dari 19 April sampai 19 Mei 1998 atau disebut sebagai ngebleng untuk mendapatkan isyarat kultural.113 Menurutnya isyarat kultural diperlukan di tengah suasana yang membutuhkan tindakan-tindakan logis yang segera karena usaha untuk nepake awak atau menempatkan diri pada posisi yang tepat. Ketika Sultan ngebleng, yakni puasa tidak makan dan tidak minum, yang dilakukan 19 Mei 1998, pada akhir puasanya ia memperoleh isyarat kultural spiritual. Yen wis ana laron ewon-ewon ngrubung omah tawon kembar, bakal ana panggedhe ditinggal nagane. Dan, Soeharto memang jatuh ketika omah tawon sakembaran dirubung laron sak pirang-pirang. Menurut Sultan, hal ini merupakan isyarat yang akhirnya memang dipahami Soeharto. Apa yang dipahaminya mengenai dua sarang tawon (omah tawon kembar) adalah dua pohon beringin di Alun-alun Utara. Sedang laron yang banyak (laron ewon-ewon) adalah rakyat Yogyakarta yang berkumpul di satu tempat.114 Demonstrasi di Universitas Gadjah Mada berhasil mengumpulkan massa dan tercatat sebagai demonstrasi terbesar yang pernah disaksikan Indonesia selama beberapa dekade. Patung setinggi tiga meter yang mewakili Soeharto diserang massa. Sebelum dibakar, para mahasiswa mencemoohnya, merusak, dan melemparinya dengan bermacam-macam benda yang kebetulan ada di tangan.115 Dalam aksi Gerakan Reformasi di Yogyakarta tersebut terjadi bentrokan antara aparat dengan mahasiswa. Dalam bentrokan tersebut terdapat seorang mahasiswa yang menjadi korban. Kejadian itu membuat kondisi di Yogyakarta menjadi memanas antara massa Tim Divaro and Yugha Erlangga, PETARUNG POLITIK: PROFIL CAPRES & CAWAPRES RI 2014 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), h. 244; Pusat Data dan Analisa Tempo, Sultan Hamengku Buwono X Bicara (Jakarta: Tempo Publishing, 2020) h. 28. 114 Arwan Tuti Artha, Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana (Yogyakarta: Galangpress, 2009), h. 123-124 115 van Dijk, A Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000, h. 163 113
135
dengan aparat. Berbagai cendekiawan sebetulnya telah mendorong dan meminta Sultan Hamengkubuwono X untuk segera merespon dengan mendukung Gerakan Reformasi. Setelah permintaan berulang-ulang, Sultan Hamengkubuwono X mulai terlibat dalam memberi perhatian terhadap krisis yang terjadi. Sultan Hamengkubuwono X hendak memainkan peran penting dalam Gerakan Reformasi 1998 melalui demonstrasi damai dan untuk meniru keterlibatan ayahnya dalam upaya perjuangan kemerdekaan Indonesia.116 14 Mei 1998 Sultan Hamengkubuwono X menyatakan turut serta turun ke jalan ketika gelombang unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa menentang kepemimpinan penguasa Orde Baru, Soeharto. Sultan menyerukan agar Yogyakarta menjadi pelopor gerakan reformasi secara damai.117 Oleh sebab itu sebagai pemimpin Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X melakukan orasi dan menyampaikan himbauan terhadap massa yang melakukan aksi, agar tetap tenang dan tertib dalam melakukan aksi. Hal tersebut dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk menghindari kerusuhankerusuhan seperti yang terjadi di daerah-daerah lain. Pada dini hari tanggal 15 Mei situasi kota Yogyakarta tampak mengancam, namun Sultan Hamengkubuwono berhasil menenangkan massa.118 Sultan Hamengkubuwono X berusaha menenangkan warga Yogyakarta yang marah dan menghasut perusakan tokotoko dan infrastruktur umum di Jalan Solo pada 16 Mei. Selain itu, Sultan Hamengkubuwono X ditemani GKR Hemas memulai dengan mengunjungi korban gerakan reformasi di rumah sakit dengan mengenakan selempang hitam sebagai tanda duka cita yang mendalam.119 Suasana 116 A
H M Zehadul Karim, Traditionalism and Modernity (Singapore: Partridge, 2014), h. 103 117 Artha, Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana, h. 129 118 van Dijk, A Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000, h. 191. 119 Artha, Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana,h. 122.
136
Universitas Gadjah Mada, dipenuhi orang-orang yang ingin Soeharto lengser membubuhkan tanda tangan di spanduk sepanjang 400 meter. Sultan Hamengkubuwono X ikut unjuk rasa sebagai alumni Universitas Gadjah Mada tersebut. Sebelum itu, Sultan Hamengkubuwono X telah mendukung protes mahasiswa dengan menyerang korupsi yang meluas dan mencap sebagian besar pemimpin Indonesia sebagai individu yang angkuh dan arogan, yang tidak menghargai pendapat kaum intelektual.120 Sultan Hamengkubuwono X menjelma menjadi sosok reformis yang tak terbantahkan. Sultan Hamengku Buwono X menyelenggarakan sebuah acara pada 20 Mei 1998 yang dikenal sebagai Pisowanan Agung dengan maksud untuk meredakan situasi Yogyakarta yang sempat memanas sebab akan adanya kekhawatiran terjadi kerusuhan seperti yang terjadi di daerah-daerah lain. Sehari sebelum Soeharto lengser, di Keraton Yogyakarta berlangsung Pisowanan Ageng, 20 Mei 1998. Peristiwa bersejarah ini dimulai pukul 13.30, dan rakyat membacakan sumpahnya. Kami rakyat Indonesia, mengaku bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. Kami rakyat lndonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa yang gandrung keadilan. Kami rakyat Indonesia, mengaku berbahasa satu, bahasa kebenaran. 121 Sultan Hamengku Buwono X membacakan maklumat dalam Pisowanan Ageng mengajak seluruh masyarakat Yogyakarta untuk secara aman dan tertib mendukung Gerakan Reformasi. Pisowanan Agung menjadi acara yang memiliki dampak dalam perjalanan 120 121
van Dijk, A Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000, h. 206. Artha, Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana, h. 125.
137
Gerakan Reformasi di Indonesia, karena turut mendorong untuk segera pengunduran diri Soeharto sebagai presiden. Melalui Piswonan Agung tercatat mulai dari para pedagang-pedagang seperti pedagang toko, warung, ataupun pedagang keliling hingga tukang becak, tukang ojek memiliki bagian tersendiri dalam Gerakan Reformasi 1998 di Yogyakarta.122 Pisowanan Agung ini merupakan yang pertama dilakukan ketika era modern. Sejatinya, Pisowanan Agung adalah tradisi budaya yang bertujuan untuk Sri Sultan Hamengkubuwono X menyampaikan pesan kepada rakyatnya. Dalam pidatonya pada Maklumat 20 Mei 1998, Sultan Hamengkubuwono X mengungkapkan ora ilok diartikan tidak boleh memberi kritik pada penguasa. Sedang mbeguguk ngutha waton dan mbalelo hanya disandangkan bagi rakyat yang menuntut haknya sehingga pantas digebuk dan dilibas, dan bukannya bagi penguasa sendiri yang sudah tidak lagi menangkap aspirasi rakyat karna terlalu asyik dengan permainan kekuasaan. Kemudian, aja dumeh dialamatkan hanya bagi rakyat yang tergusur, bukannya bagi mereka yang menggusur dan makmur di atas beban pundak rakyat banyak. Unggah-ungguh tepa sarira dan ewuh pakewuh hanya boleh dikenal oleh rakyat, bukan pejabat yang korup, main kolusi dan sebagainya. Itulah yang menurut Sultan yang dinamakan krisis moral, yang berlanjut pada krisis kepercayaan rakyat kepada penguasa. Bagi Sultan Hamengkubuwono X, keikutsertaannya pada gerakan reformasi ini karena sebagai tradisi kejuangan yang diwariskan leluhurnya, Sultan harus siap memimpin perjuangan panjang di tengah masyarakat. Nama Sultan Hamengkubuwono X pun banyak dikaitkan dengan perjuangan dari Yogyakarta melawan kekuasaan yang zalim, yang Agung Mustifaris Nugroho and Sumarno, “Makna Pisowanan Agung Di Yogyakarta Tahun 1998-2008,” Avatara 6, no. 3 (2018). 122
138
diwujudkan dengan aksi damai. Berbagai pihak seperti dari kalangan pengamat dan jurnalis, serta rakyat itu sendiri pun merasakan, inilah gambaran nyata manunggaling kawula lan gusti, ketika mahasiswa, rakyat, dan Sultan bersatu.123 Sultan Hamengku Buwono X sebagai tokoh sentral dalam pagelaran Pisowanan Agung memiliki modalitas yang kuat melekat pada dirinya. Mulai dari modal simbolik yakni kehormatan dan reputasi serta gengsi yang merupakan representasi dari kekuasaan Sultan, kemudian modal sosial berupa sumber daya faktual dan non-faktual yang terpusat pada sosok pribadi Sultan sebab memiliki jaringan atau hubungan lintas sektoral baik secara kultural maupun struktural, serta modal budaya di mana menunjukkan selera budaya dan konsumsi pengetahuan Sultan yang terimplementasi pada tutur kata dan atur prilaku sebagai wujud dari persepsi budaya kraton, dan terakhir modal ekonomi berupa properti, uang dan penguasaan aset oleh Sultan yang pasti akan berpengaruh pada relasi dalam sistem pemerintahan dan masyarakat 124.
Pasca Gerakan Reformasi 1998, Sultan Hamengkubuwono X mendapat popularitas karena mendukung gerakan rakyat untuk menggulingkan Presiden Suharto pada Mei 1998.125 Kemudian ada tuntutan agar Sultan Hamengkubuwono X dan Paku Alam IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur tanpa melalui pemilihan. Gerakan sosial tersebut mencerminkan peluang politik yang menciptakan oleh pelaku gerakan untuk memanfaatkan momentum aksi. 26 Agustus 1998, rakyat Yogyakarta mengukuhkan Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubemur secara de facto Artha, Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana, h. 59. Eko Eni Setyaningsih, “Instrumentasi Modalitas Sri Sultan Hamengku Buwono X Dalam Pisowanan Ageng 2008” (Universitas Gadjah Mada, 2014). 125 Gerry Van Klinken, “Return of the Sultans: The Communitarian Turn in Local Politics,” in The Revival of Tradition in Indonesian Politics (Routledge, 2007), h. 151. 123
124
139
melalui adanya rapat akbar. Tak ada satu pun pihak yang berhak menentang. Hingga akhirnya 3 Oktober 1998, Sultan Hamengkubuwono X dilantik menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya pada 10 November 1998, Sultan Hamengkubuwono X bersama dengan tokoh reformasi lain Amien Rais, Megawati, dan Gus Dur mulai melakukan manuver politis dengan adanya Deklarasi Ciganjur. Momentum itu meneguhkan Sultan sebagai tokoh reformasi, yang sejajar dengan tokoh-tokoh reformasi lainnya. Sultan Hamengkubuwono X memainkan peran politis pada 1 Agustus 2000, ketika menjelma menjadi mediator dan fasilitator pertemuan Amien Rais, Megawati, dan Gus Dur sebagai tokoh-tokoh Deklarasi Ciganjur, ditambah Akbar Tandjung. Dari pertemuan ini lahirlah Kesepakatan Yogyakarta. Yogyakarta berhasil lolos sebagai entitas monarki yang sejatinya tidak sesuai dengan konsep pemerintahan Indonesia pasca Gerakan Reformasi 1998.126 Sultan Hamengkubuwono X bersama dengan kerabat keraton, Universitas Gadjah Mada, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan seluruh elemen masyarakat Yogyakarta secara penuh mendukung Gerakan Reformasi yang telah di mulai sejak Februari 1998. Dunia pun mencatat, pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1998, hampir satu juta rakyat berkumpul memenuhi Alun-alun Utara dan jalanjalan sekitarnya, menyerukan reformasi damai, berjalan mulus tanpa kerusuhan.127 Respon masyarakat Yogyakarta terhadap krisis yang timbul akibat Gerakan Reformasi 1998 merupakan contoh positif 128. Oleh sebab itu, rakyat tidak menghendaki keistimewaan Yogyakarta itu hilang. Rakyat Yogyakarta memiliki kebanggaan 126 Ratnawati
and Purwo Santoso, “Gender Politics of Sultan Hamengkubuwono x in the Succession of Yogyakarta Palace,” Cogent Social Sciences 7, no. 1 (2021): h. 3. 127 Artha, Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana, h. 77. 128 Park, “MANAGING SOCIO-ECONOMIC CRISIS IN INDONESIA: The Role of Interfaith Civic Organisations in Yogyakarta during the 1998 Economic Crisis.”
140
tersendiri berada di daerah yang berstatus istimewa. D. Penutup Yogyakarta menjadi daerah yang memiliki respon berbeda dibandingkan daerah lainnya ketika terjadi dua gejolak sosial politik besar dalam catatan sejarah Indonesia pascakemerdekaan, yakni saat terjadi Revolusi Nasional dan Gerakan Reformasi. Kondisi Yogyakarta yang cenderung terkesan lebih kondusif dan stabil saat terjadi dua peristiwa besar pascakemerdekaan Indonesia itu tentunya tidak lepas dari peranan dua pemimpin Yogyakarta pascakemerdekaan yang ternyata mempunyai pola yang hampir sama dengan berhasil menjadi seorang panutan sekaligus komando bagi rakyat. Kondisi sosial Yogyakarta menunjukkan ikatan yang kuat berpadu menjadi satu ketika terjadi Revolusi Kemerdekaan dengan bulat mendukung berdirinya negara Indonesia. Serentak membantu upaya pemertahanan Indonesia dari serbuan Belanda untuk kembali menjajah menjadi indikasi kesepahaman masyarakat Yogyakarta. Kondisi politiknya menunjukkan transformasi bentuk pemerintahan yang sesuai dengan tuntutan zaman namun tetap tidak meninggalkan ciri tradisional sehingga menjadi sebuah sistem baru dan modern. Sultan Hamengkubuwono IX sebagai pemimpin Yogyakarta pascaproklamasi, tampil dan memberi sumbangsih besar saat Indonesia mempertahankan kemerdekaannya di masa Revolusi Nasional sehingga dikenang dengan julukan seorang yang revolusioner. Penerus panjinya, Sultan Hamengkubuwono X ternyata juga mampu hadir menjadi tokoh kunci ketika terjadi Gerakan Reformasi 1998 sehingga dikenal sebagai tokoh yang reformis. Kondisi sosial yang mengarah pada instabilitas mampu diredam dengan dukungan seluruh lapisan masyarakat, sehingga Yogyakarta tidak terdampak efek domino dari kericuhan karena krisis yang disebabkan
141
oleh Gerakan Reformasi. Berbeda dengan daerah lain yang menuntut adanya pemilihan demokratis terhadap pemimpinnya, kondisi politik Yogyakarta cenderung melanjutkan tradisi mengingat kesuksesan pemimpinnya dalam mencitrakan positif. Eksistensi nama “Hamengkubuwono” mampu menjadi representasi tokoh lokal yang memainkan peranan penting dalam sejarah Indonesia, Sultan Hamengkubuwono IX menjadi representasi tokoh lokal yang merupakan golongan raja/bangsawan di saat Republik Indonesia baru berdiri dengan pemimpinnya merupakan tokoh-tokoh golongan kelas baru yang merupakan jebolan dari dampak pelaksanaan politik etis ketika awal abad 20 diterapkan oleh penjajah Belanda. Sultan Hamengkubuwono X menjadi representasi tokoh lokal yang mampu bersanding dengan tokoh-tokoh nasional yang telah terlebih dahulu memainkan percaturan politik nasional sebelumnya dalam mendukung Gerakan Reformasi 1998. Pola yang secara tersirat menunjukkan kesamaan dalam respon pemimpin terhadap gejolak yang terjadi di daerahnya menguatkan argumentasi bahwasannya peristiwa sejarah memang tidak dapat diulangi namun dapat memiliki pola yang sama, meskipun Sultan Hamengkubuwono IX terkesan lebih mendorong, sedangkan Sultan Hamengkubuwono X terkesan didorong masyarakatnya untuk menghadapi gejolak sosial politik. Pada akhirnya, dinamika sosial politik lokal Yogyakarta tentunya tidak bisa dilepaskan dengan masyarakatnya yang turut berperan dalam mendukung dan mendorong pemimpinnya untuk menciptakan stabilitas sehingga dapat sejalan dengan status istimewa yang disandangnya, menjadikan Yogyakarta layak memiliki posisi sentral dalam spektrum penulisan sejarah Indonesia.
142
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik, and A. B. Lapian. Indonesia Dalam Arus Sejarah 9 : Faktaneka Dan Indeks. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012. Arsip BPAD DIY F6.XXIX-507 No. 507 tentang Pemberian Bintang Gerilya Oleh Presiden Sukarno kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX Artha, Arwan Tuti. Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana. Yogyakarta: Galangpress, 2009. Atmakusumah. Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011. van Dijk, C Kees. A Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000. Brill, 2021. Divaro, Tim, and Yugha Erlangga. PETARUNG POLITIK: PROFIL CAPRES & CAWAPRES RI 2014. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013. https://books.google.co.id/books?id=CnC4BAAAQBAJ. Djumarwan, and Danar Widiyanta. “Peranan Pasukan Polisi Pelajar Pertempuran Dan Gereja Pugeran Dalam Revolusi Indonesia Tahun 1948-1949 Di Yogyakarta.” MOZAIK: Jurnal Kajian Sejarah 9, no. 1 (2018). Gottschalk, Louis, and Nugroho Notosusanto. Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975. Karim, A H M Zehadul. Traditionalism and Modernity. Singapore: Partridge, 2014. Kedaulatan Rakyat. 21 Mei 1998. Kedaulatan Rakyat. 20 Mei 1998. Van Klinken, Gerry. “Return of the Sultans: The Communitarian Turn in Local Politics.” In The Revival of Tradition in Indonesian Politics, 169–189. Routledge, 2007. Kurniawan, Ganda Febri, W Warto, and Leo Agung Sutimin. “Dominasi Orang-Orang Besar Dalam Sejarah Indonesia: Kritik Politik Historiografi Dan Politik Ingatan.” Jurnal Sejarah Citra Lekha 4, no. 1 (2019): 36–52. Monfries, John. A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta. Singapore: Institute of Southeast
143
Asian Studies, 2015. ———. “The Sultan and the Revolution.” Bijdragen tot de taal-, landen volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 164, no. 2 (2008): 269–297. Nugroho, Agung Mustifaris, and Sumarno. “Makna Pisowanan Agung Di Yogyakarta Tahun 1998-2008.” Avatara 6, no. 3 (2018). Park, Jae Bong. “MANAGING SOCIO-ECONOMIC CRISIS IN INDONESIA: The Role of Interfaith Civic Organisations in Yogyakarta during the 1998 Economic Crisis.” Indonesia and the Malay World 40, no. 116 (2012): 39–58. Pranoto, Suhartono Wiryo. Teori Dan Metodologi Sejarah. 1st ed. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. Pusponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia VI (Edisi Pemutakhiran). Edited by R P Soejono and R Z Leirissa. Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Ratnawati, and Purwo Santoso. “Gender Politics of Sultan Hamengkubuwono x in the Succession of Yogyakarta Palace.” Cogent Social Sciences 7, no. 1 (2021): 1976966. Ricklefs, Merle Calvin. A History of Modern Indonesia since c. 1200. 4th ed. New York: PALGRAVE MACMILLAN, 2008. Setyaningsih, Eko Eni. “Instrumentasi Modalitas Sri Sultan Hamengku Buwono X Dalam Pisowanan Ageng 2008.” Universitas Gadjah Mada, 2014. Siswa, Taman, and Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat. Mengenal Taman Wijaya Brata: Makam Pahlawan Pejuang Bangsa. Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 1996. https://books.google.co.id/books?id=fz9wAAAAMAAJ. Sutiyah. “Kehidupan Politik Di Kota Surakarta Dan Yogyakarta Menjelang Pemilihan Umum 1955.” Paramita: Historical Studies Journal 27, no. 2 (2017): 195–211. Tempo, Pusat Data dan Analisa. Sultan Hamengku Buwono X Bicara. Jakarta: Tempo Publishing, 2020. Yuniyanto, Tri. Daulat Raja Menuju Daulat Rakyat: Demokratisasi Pemerintahan Di Yogyakarta. Edited by Kundharu Saddhono and Yogyo S Yono. Surakarta: CakraBooks, 2010.
144
BAGIAN VI Refleksi Historiografi Indonesia : Sejarah Lokal dan Sejarah Sosial dalam Perjalanan Penulisan Sejarah Indonesia Masa Kini TRADISI NGABEN MASSAL MEMPERKUAT MODAL SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT DI DESA UBUD, KABUPATEN GIANYAR Dinamika Gerakan Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia
Disusun oleh: Ni Putu Rahayu Mahadewi Ni Luh Wika Kristina
145
Surat Pernyataan Orisinalitas KaryaYang bertanda tangan di bawah ini Nama Ketua Tempat, Tanggal Lahir Asal Perguruan Tinggi Nomor Telepon/HP Nama Anggota
: :
Ni Putu Rahayu Mahadewi Denpasar, 23 Maret 2002
:
:
Universitas PGRI Mahadewa Indonesia 085715161928 / 0881038037737 Ni Luh Wika Kristina
Tempat, Tanggal Lahir Asal Perguruan Tinggi Nomor Telepon/HP
:
Bangli, 10 Mei 2001
:
Universitas PGRI Mahadewa Indonesia 083856079568
:
:
Dengan ini menyatakan bahwa karya tulis ilmiah dengan judul “Tradisi Ngaben Massal Memperkuat Modal Sosial dan Budaya Masyarakat di Desa Ubud, Kabupaten Gianyar” adalah benar-benar hasil karya sendiri dan bukan merupakan plagiat atau duplikat dari karya tulis orang lain serta belum pernah dipublikasikan sebelumnya di media apapun dan belum pernah atau tidak sedang diikutsertakan dalam kompetisi serupa. Apabila di kemudian hari pernyataan ini tidak benar maka saya bersedia menerima sanksi yang telah ditetapkan berupa diskualifikasi dari kompetensi ini.
146
Demikian surat ini dibuat dengan sebenar-benarnya untuk data dipergunakan sebagaimana mestinya
Denpasar, 5 September 2022
Ni Putu Rahayu Mahadewi NIM.202001070002
147
A. LATAR BELAKANG Modal sosial merupakan rangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki oleh kelompok masyarakat yang dapat memungkinkan terjalinnya kerjasama (Ancok, 2003). Niswatin dan Mahdalena (2015) juga mendeskripsikan bahwa modal sosial sebagai hubungan, kepercayaan, dan jaringan antara kelompok anggota organisasi. Dengan demikian, modal sosial adalah sebauh nilai dan norma yang lahir dari hubungan dan kepercayaan yang terjalin di dalam kelompok masyarakat. Selain modal sosial terdapat juga modal budaya. Menurut Santoso (2020) modal budaya meliputi sumbersumber simbolik, dari normanorma dan nilai-nilai yang dibawa atau dijumpai individu dalam interaksi dengan kelompok, sampai pemahaman agama, filsafat, seni dan ilmu yang membingkai dan menafsirkan realitas. Jika dilihat dari hal tersebut modal budaya memiliki keterkaitan dengan modal sosial. Modal sosial dan budaya sangat dibutuhkan oleh masyarakat saat ini. Maka dari sebab itu dibutuhkan sumber yang dapat memberikan pemahaman langsung kepada masyarakat mengenai modal sosial dan budaya. Salah satu sumber modal sosial dan budaya yang ada di masyarakat adalah tradisi. Hal tersebut juga disampaikan oleh Abdullah (2013) yang menyatakan bahwa tradisi menjadi salah satu sumber modal sosial masyarakat. Sikap dan perilaku manusia yang dilakukan secara turun temurun dan telah berproses dalam kurun waktu yang lama disebut sebagai tradisi. Menurut Margahana dan Triyanto (2019) sumber dalam berakhkal dan meningkatkan budi pekerti seseorang telah membudaya dalam diri masyarakat karena tradisi dan adat istiadatnya. Tradisi yang masih ada merupakan salah satu bentuk dari kebiasaan- kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara turun temurun dan berkembang menjadi bagian dari kearifan lokal yang tidak dapat terpisahkan dari
148
kehidupan sosial masyarakat, khusunya di Ubud. Bali terkenal dengan adat istiadat, kebudayaan serta tradisi. Salah satu tradisi yang ada di Bali yaitu Ngaben. Menurut Murtini dan Andi Purnomo (2017) Ngaben berasal dari kata “beya” artinya bekal, yakni berupa jenis upakara yang diperlukan dalam upacara ngaben itu. Kata “beya” yang berarti bekal, kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi biaya atau “prabeya” dalam bahasa Bali. orang yang menyelenggarakan beya dalam bahasa Bali disebut “meyanin”. Kata Ngaben atau meyanin, sudah menjadi bahasa baku, untuk menyebutkan upacara “sawa wedhana”. Jadi ngaben atau meyanin adalah upacara penyelenggaraan sawa (jenasah) bagi orang yang sudah meninggal dan merupakan bagian dari upacara pitra yajna yang dilandasi oleh pitra rna (Hutang jasa kepada leluhur). Upacara ngaben merupakan serangkaian upacara terbilang besar di Bali. Dalam upacara ngaben memerlukan waktu, tenaga serta biaya yang cukup banyak bahkan tidak jarang orang menjual asetnya untuk membiayai upacara ngaben (Saridewi, 2017). Dalam hal ini organisasi warga Pasek yaitu Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) membuat terobosan untuk meringankan beban masyarakat dalam melaksanakan upacara ngaben dengan membangun krematorium, yang disebut Krematorium Santhayana pada tahun 2008. Data menunjukkan bahwa jumlah jenazah yang ada di Krematorium Santhayana setiap tahun selalu meningkat. Pada tahun 2009, tahun pertama beroperasinya Krematorium, hanya ada 39 jenazah yang diaben. Pada tahun 2010 jumlah itu meningkat menjadi 67 jenazah, dan tahun 2019 berjumlah 972 (Pandita, 2020). Dari data diatas, Ngaben di krematorium yang terfokus pada efisiensi dana menjadi solusi untuk pemecahan massalah secara kompromistis. Pada kondisi dan situasi saat ini populernya
149
krematorium sebagai tempat untuk melaksanakan upacara ngaben masih banyak masyarakat yang melaksanakan upacara ngaben di desa. Salahnya adalah masyarakat di desa Ubud, Kecamatan Gianyar. Mayasrakat Ubud telah menjadikan upacara Ngaben sebagai sebuah tradisi. Walaupun upacara ngaben memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang cukup banyak serta sudah adanya tempat kremasi masyarakat Ubud masih tetap melaksanakan ngaben secara massal. Ngaben massal atau ngerit adalah upacara ngaben yang dilakukan bersama- sama dengan banyak orang dengan jangka waktu yang telah disepakati. Hal tersebutlah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Tradisi Ngaben Massal Memperkuat Modal Sosial dan Budaya Masyarakat di Desa Ubud”. Rumusan massalah dalam peneliti ini antara lain: 1) apa yang melatarbelakangi upacara Ngaben Massal di desa Ubud? dan 2) apakah dengan adanya Ngaben Massal dapat memperkuat modal sosial dan budaya masyrakat Ubud?. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi upacara Ngaben Massal di desa Ubud dan untuk mengetahui apakah Ngaben Massal dapat memperkuat modal sosial dan budaya masyarakat Ubud. Terdapat beberapa penelitian yang membahas mengenai Ngaben, modal sosial, dan modal budaya. Pertama, penelitian yang ditulis oleh Puspa dan Saitya dengan judul “Ngaben Sebagai Daya Tarik Pariwisata”. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2019 ini bertujuan untuk mengetahui apakah upacara Ngaben memiliki daya tarik pariwisata. Dalam hasil penelitiannya Puspa dan Saitya (2019) menemukan bahwa Upacara ngaben dapat menjadi daya tarik pariwisata yang termasuk ke dalam Upacara ritual (Ritual ceremonies) sekaligus aktivitas keagamaan (Religion activities). Penelitian yang dilakukan oleh Puspa dan Saitya dengan penelitian yang penulis
150
buat sama-sama membahas mengenai Ngaben akan tetapi penelitian tersebut hanya sebatas membahas mengenai upacara Ngaben dari segi pariwisata saja sedangkan penelitian penulis membahas mengenai Ngaben massal, modal sosial, dan budaya masyarakat. Kedua, penelitian yang ditulis oleh Atmadja dan Maryati pada tahun 2014. Judul penelitian yang ditulis oleh Atmadja dan Maryati adalah “ Geria Pusat Industri Banten Ngaben di Bali Perspektif Sosiologi Komodifikasi Agama”. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa geria sebagai produsen banten menguasai konsumen secara hegemonik. Gejala ini tercermin pada penetapan harga banten, yaitu bergantung pada geria, sedangkan konsumen hanya mengikutinya. Penelitian yang dilakukan oleh Atmadja dan Maryati tersebut lebih membahas mengenai sarana dan prasarana yang digunakan dalam upacara Ngaben di Bali. Penelitian yang penulis tulis membahas mengenai Ngaben massal beserta modal sosial dan budaya yang ditemukan dari kegiatan upacara atau tradisi tersebut. Berdasarkan hal tersebut penelitian yang dilakukan oleh Atmadja dan Maryati dengan peneliti yang penulis buat memiliki perbedaan. Ketiga, penelitian dengan judul “Modal Sosial dan Mekanisme Adaptasi Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan dan Pembangunan Infrastruktur”. Penelitian tersebut ditulis oleh Kusumastuti pada tahun 2015. Dalam penelitiannya Kusumastuti (2015) menyampaikan bahwa pada pembangunan infrastruktur (air, listrik, dan jalan) masyarakat mengembangkan kepercayaan, interaksi yang kuat antar sesama anggota, norma/aturan yang menunjukkan tipe modal sosial bonding. Berdasarkan hal tersebut walaupun sama-sama membahas mengenai modal sosial, penelitian yang ditulis oleh Kusumastuti (2015) dengan penelitian yang penulis tulis memiliki perbedaan. Kusumastuti (2015) lebih membahas mengenai modal sosial dalam pengelolaan dan pembangunan
151
infrastruktur sedangkan penelitian yang penulis tulis membahas mengenai modal sosial dan budaya masyarakat dalam upacara atau tradisi Ngaben massal. Keempat, penelitian yang ditulis oleh Purwanto pada tahun 2013 berjudul “Modal Budaya dan Modal Sosial dalam Industri Seni Kerajinan Keramik”. Dalam penelitian tersebut Purwanto (2013) mengatakan bahwa modal budaya dan sosial memiliki peran penting dalam perkembangan klaster industri seni kerajinan keramik. Hal tersebut karena pengusaha dominan mencoba untuk mempertahankan dominasinya dengan menggunakan modal simbolik dan mengembangkan klaster demi kepentingan dirinya serta para pengusaha secara keseluruhan. Berdasarkan hal tersebut penelitian Purwanto dengan penelitian yang penulis tulis memiliki kesamaan yaitu sama-sama membahas mengenai modal sosial dan budaya masyarakat. Akan tetapi, penelitian yang ditulis oleh Purwanto tersebut membahas mengenai modal sosial dan budaya dalam indsutri seni kerajinan kemarik sedangkan penulis membahas mengenai modal sosial dan budaya dalam upacara atau tradisi Ngaben massal. Berdasarkan keempat penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sudah ada yang menulis mengenai upacara Ngaben, modal sosial, dan budaya masyarakat. Akan tetapi, dari keempat penelitian tersebut belum ada yang membahas mengenai “Tradisi Ngaben Massal Memperkuat Modal Sosial dan Budaya Masyarakat di Desa Ubud”. Maka dari sebeba itu dapat disampaikan bahwa tulisan ini belum ada yang pernah meneliti sebelumnya. B. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berbasis kepustakaan, observasi dan wawancara. Pengumpulan data melalui sumber tertulis
152
dengan penelusuran kepustakaan baik berupa buku, jurnal, maupun hasil penelitian tentang pokok bahasan yang diteliti. Serta sumber lisan melaui wawancara. Data yang diperoleh di lapangan selanjutnya dianalisis sesuai dengan teknik analisis yang dipilih. Ketepatan dalam memilih teknik analisis sangat menentukan hasil. C. PEMBAHASAN 1. Latar Belakang Ngaben Massal Di Ubud Agama Hindu menjadikan upacara Ngaben menjadi salah satu bentuk pelaksanaan dari sistem kepercayaan. Masyarakat Hindu di Bali melaksanakan upacara Ngaben sebagai salah satu bentuk upacara yang berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan dasar manusia kepada roh leluhurnya. Roh leluhur diwujudkan dengan melaksanakan upacara Ngaben tersebut. Selain itu, fungsi dari upacara Ngaben adalah sebagai media yang diterapkan masyarakat Hindu untuk menghormati leluhur dan roh-roh leluhur yang ada di alam lain. Ngaben massal adalah upacara yang dilaksanakan secara bersama-sama dengan banyak orang. Upacara Ngaben massal merupakan proses pengembalian unsur-unsur Panca Maha Bhuta dengan kata lain elemen dasar pembentuk alam semesta maupun tubuh manusia kealam semesta dan mengantrakan roh kealam pitra. Upacara kematian yang dilakukan secara bersama-sama oleh umat Hindu adalah Ngaben Massal yang tergolong kedalam upacara pitra yajna (upacara yang ditunjukkan kepada leluhur). Tahapan ngaben Massal dan Ngaben individu pada umumnya tidak jauh berbeda dalam proses pelaksanaanya yang dapat dibagi menjadi dua tahapan. Pertama adalah tahapan persiapan dan yang kedua, tahapan pelaksanaan. Biasanya setiap desa melaksankan ngaben dalam kurun waktu satu tahun
153
sekali, tiga tahun sekali, bahkan setiap lima tahun sekali. Sesuai dengan aturan atau awig-awig yang disepakati oleh masyarakat desa tersebut. Untuk menyamaratakan masyarakat dan untuk minimaliskan biaya dalam pelaksanaan upacara ngaben, ngaben massal menjadi pilihan yang bijaksana. Biasanya seseorang yang mempunyai keluarga yang meninggal dunia akan dikubur terlebih dahulu di serta atau kuburan dalam istilah Balinya disebut mekinsan digeni. Pada saat ngaben massal inilah, kuburan tempat mayat dikuburkan digali lagi untuk mengumpulkan sesuatu dari mayat tersebut seperti sisa tulang atau yang lain, dan selanjutnya dibakar. Salah satu desa yang menjadikan ngaben massal sebagai tradisi adalah desa Ubud khususnya di Banjar Tanggayuda. Tradisi Ngaben massal di Banjar Tanggayuda, Ubud ini sudah dilaksanakan secara turun temurun. Hal tersebut karena menurut Kelian Bendesa (Kepala Desa) di Banjar Tanggayuda, Ubud dari hasil wawancara penulis terdapat beberapa faktor yang mempengarahui masyarakat di banjar tersebut harus melaksanakan kegiatan Ngaben massal. Berikut ini adalah hasil wawancara yang dilakukan. “Masyarakat di Banjar Tanggayuda sudah menjadikan Ngaben massal ini sebagai sebuah tradisi. Hal tersebut karena ada beberapa faktor yang menjadi cikal bakal Ngaben massal ini menjadi sebuah tradisi di sini”. Kelian Bendesa atau Kepala Desa (2022). Faktor-faktor yang menjadi sumber lahirnya tradisi Ngaben massal ini adalah untuk membantu masyarakat kurang mampu dan untuk melestarikan tradisi Ngaben sebagai daya tarik wisata. Berikut ini adalah hasil wawancara yang telah dilakukan. “Karena banyaknya masyarakat kurang mampu dan tradisi Ngaben dianggap mampu menjadi sebuah daya tarik wisata menjadikan hal tersebut sebagai
154
faktor yang menjadikan Ngaben massal sebagai sebuah tradisi di desa ini”. Kelian Bendesa atau Kepala Desa (2022). Berikut ini adalah penjelasan mengenai kedua faktor tersebut. Faktor pertama yaitu terdapat masyarakat kurang mampu di desa ini. Banyaknya masyarakat yang kurang mampu menjadikan hal tersebut sebagai faktor yang menjadikan Ngaben massal sebagia sebuah tradisi. Hal tersebut karena masyarakat Ubud sebagaian besar berprofesi sebagai seorang petani yang mengandalkan semuanya dari hasil panen pentanian maupun perkebunan. Masyarakat yang bekerjan di sektor pertanian dianggap belum tentu mendapatkan keuntungan. Terlebih lagi upacara Ngaben yang dilakukan secara individu memerlukan biaya yang sangat besar. Berdasarkan hal itulah yang menjadikan upacara Ngaben sebagai sebuah tradisi di desa Ubud. Faktor yang kedua untuk melestarikan tradisi ngaben yang menjadi daya tarik wisatawan yang datang ke Ubud. Adat seni dan budaya dari pelaksanaan upacara ngaben ini dapat memacu daya tarik lokal sebagai tontonan wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Maka dari sebab itu tradisi ngaben massal tetap dilaksanakan oleh masyarakat Ubud. Terlebih lagi terdapat awig-awig atau aturan yang memuat mengenai diwajibkannya masyarakat Ubud untuk melaksanakan tradisi Ngaben massal. Berikut ini adalah awig-awig atau aturan yang membahas mengenai Ngaben massal ini. “Ngaben yang dilakukan secara dadakan boleh dilaksanakan sebelum tiga atau tujuh hari seperti Pamangku Kahyangan Tiga atau Mangku Tempekan yang telah meninggal. Ngaben massal harus dilaksanakan secara bersama-sama”. Dilihat dari aturan yang ada di desa Ngaben
155
massal di Ubud harus dilakukan secara bersama-sama. Ngaben massal boleh tidak dilakukan apabila yang meninggal merupakan orang suci atau Pamangku. 2. NGABEN SEBAGAI PENGUAT MODAL SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKATUBUD Indonesia merupakan negara yang dikenal memiliki karakteristik budaya yang plural dan komplek. Pluralitas budaya yang dimaksud, tercermin melalui keanekaragaman Bahasa, etnik, adat istiadat dan tradisi yang berkembang di Indonesia khususnya di Bali yang dimana dengan keanekaragaman dapat membantu pembangunan masyarakat yang berasaskan kearifan lokal dan penguat modal sosial masyarakat. Menurut pandangan dari Brehmdan Rahn (1997) modal sosial merupakan jaringan kerjasama dalam masyarakat sebagai fasilitas dalam pencarian solusi dari suatu permasalahan yang dihadapi. Pennar (1997) juga berpendapat bahwa modal sosial merupakam jaringan dalam hubungan sosial masyarakat yang dapat mempengaruhi sikap dan prilaku individu dan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat. Maka dapat disimpulkan bahwa modal sosial adalah suatu hubungan yang melibatkan individu majemuk akan semakin kuat apabila difasilitasi melalui sebuah organisasi atau komunitas jaringan hubungan baiik secara hubungan antara komunitas maupun secara internal komunitas. Khususnya di Bali, sistem sosial masyarakat Bali tersebut dapat diketahui pada Ikatan wilayah terwujud dalam bentuk komunitas desa pakraman dengan subsistemnya banjar-banjar. Ikatan agrasis ditandai dengan keberadaan sekaa subak. Kemudian, ikatan kelompok kepentingan khusus mewujudkan diri dalam bentuk sekaasekaa, organisasi-organisasi tradisional. Mengacu pada keempat sistem sosial
156
masyarakat Bali tersebut dapat diketahui bahwa banjar dibentuk berdasarkan ikatan wilayah sebagai subsistem desa pakraman. Desa pakraman merupakan kesatuan wilayah yang otonom dalam mengurus halhal yang berhubungan dengan adat-istiadat dan kegiatan sosial keagamaan (Triguna, 2011:43). Dalam hal ini Banjalah yang menjadi wadah terdepan dalam pelaksanaan upacara keagaramaan salah satunya adalah upacara Ngaben. Dalam era yang modern ini segala bidang dapat berubah mengikuti perkembangan jamannya, bahkan pada suatu tradisi yang berlangsung. Namun dalam hal ini masyarakat Ubud tetap mempertahankan eksistensi Ngaben massal sampai saat ini. Hal tersebut tentunya memiliki alasan dari sudut pandang masyarakat Ubud yaitu dalam pelaksanaan ngaben biasanya menghabiskan biaya yang sangat besar, sehingga masyarakat secara individu yang memiliki kondisi ekonomi rendah tidak berani melaksanakan upacara Ngaben. Dengan adanya pelaksanan Ngaben secara massal, masyarakat merasa sangat terbantu, teringankan baik dari segi ekonomi, maupun tenaga. Masyarakat merupakan kumpulan dari individu yang pada dasarnya memiliki kodrat makhluk sosial dan akan selalu berdampingan dengan saling membantu. Dasar toleransi inilah yang menjadi inti dari masyarakat Ubud untuk senantiasa sampai saat ini masih melestarikan Ngaben massal, yang dimana rasa toleransi, saling memiliki, saling membantu inilah dapat dikenal dengan istilah “Salunglung Sabyantaka”. Dalam pelaksanaan upacara Ngaben, masyarakat akan bergotong-royong (Ngayah) untuk merancang, mempersiapkan hingga sampai pada pelaksanaannya. Ngayah merupakan salah satu dari eksistensi kearifan lokal yang masih sangat dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Bali, masyarakat percaya bahwa dengan
157
Ngayah pula yang menjadi dasar suksesnya acara Ngaben massal. Salunglung Sabyantaka adalah sebuah falsafah yang dianut masyarakat Bali, dimana memiliki arti perasaan kekekuargaan, gotong-royong, dan senasib sepenanggungan. Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan falsafah Salunglung Sabyantaka adalah wujud dari bentuk kepedulian sosial masyarakat Hindu di Bali yang sudah tertanam sejak dulu dan telah menjadi modal sosial masyarakat. Pelaksanaan dari falsafah ini tidaklah memandang tempat dimana, namun senantiasa berlaku di masyarakat. Terlebih pelaksanaanya dapat tercermin pada saat Ngaben, masyarakatakan secara sadar bersama-sama untuk bergotong-royong mempersiapkan upacara Ngaben hingga terlaksananya. Adanya rasa senasib sepenanggungan sangat melekat pada individu masyarakat, inilah yang menjadi faktor pendorong terlaksananya falsafah Salunglung Sabyantaka ini. Melihat antusias masyarakat dalam bergotongroyong mempersiapkan jalannya upacara Ngaben massal, sehingga dalam proses pemembuatan banten akan lebih cepat terselesaikan dan pengeluaran ekonomi juga dapat diatasi bersama dan tidak terdapat tumpang tindih. Sehingga, implementasi dari falsafah Salunglung Sabyantaka inilah melalui pelaksanaan tradisi Ngaben massal dapat memperkuat modal sosial dalam masyarakat, dengan tujuan akhir suatu pekerjaan dapat terlaksana dengan baik. Tidak hanya itu, Salunglung Sabyantaka juga memberikan dampak positif sehingga dapat mempererat rasa solidaritas, rasa sosial, dan rasa kekeluargaan yang erat.
158
Gambar 1.1 Persiapan Masyarakat Ngaben massal (Sumber.Dokumentasi Pribadi)
Gambar 1.2 Prosesi Ngaben Massal Masyarakat Ubud, Bali.(Sumber. Dokumentasi Pribadi) D. KESIMPULAN Upacara ngaben merupakan serangkaian upacara terbilang besar di Bali. Dalam upacara ngaben memerlukan waktu, tenaga serta biaya yang cukup banyak bahkan tidak jarang orang menjual asetnya untuk membiayai upacara ngaben (Saridewi, 2017).Pada kondisi dan situasi saat ini populernya krematorium sebagai tempat untuk melaksanakan upacara ngaben masih banyak masyarakat yang melaksanakan upacara ngaben di desa. Salahnya
159
adalah masyarakat di desa Ubud, Kecamatan Gianyar. Masyarakat di Ubud masyarakat telah menjadikan upacara Ngaben sebagai sebuah tradisi. Walaupun upacara ngaben memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang cukup banyak serta sudah adanya tempat kremasi masyarakat Ubud masih tetap melaksanakan ngaben secara massal. Ngaben massal atau ngerit adalah upacara ngaben yang dilakukan bersama-sama dengan banyak orang dengan jangka waktu yang telah disepakati. Dalam proses persiapan hingga pelaksanaan upacara Ngaben, masyarakat Bali khususnya di Ubud menerapkan sebuah falsafah yang disebut dengan Salunglung Sabyantaka. Pelaksanaan falsafah ini secara tanpa disadari oleh masyarakat sudah melekat dan menjadi modal sosial yang bersifat positif dalam masyarakat. Adapun dampak yang dibawa falsafah ini yaitu eratnya rasa solidaritas, kekeluargaan dan rasa senasib sepenanggungan dalam masyarakat. Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan falsafah Salunglung Sabyantaka adalah wujud dari bentuk kepedulian sosial masyarakat Hindu di Bali. Sehingga dalam tradisi Ngaben massal yang dilaksanakan di Ubud di yakini dapat memperkuat mlodal sosial mayarakat melalui istilah Salunglung Sabyantaka.
160
DAFTAR REFERENSI Atmadja, N. B. (2014). Geria Pusat Industri Banten Ngaben di Bali Perspektif SosiologiKomodifikasi Agama. Jurnal Kawistara, 4(2). Atmadja, N. B. (2016). Ngaben di Krematorium pada Masyarakat Hindu di Bali: PerspektifMcDonaldisasi dan Homo Complexus. Mozaik Humaniora, 16(2), 215-232. Ancok, D. (2003). Modal sosial dan kualitas masyarakat. Psikologika: jurnal pemikiran danpenelitian psikologi, 8(15), 414. H Hermanto Suaib, M. M. Suku Moi: nilai-nilai kearifan lokal dan modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat. An1mage, 2017. https://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2020/08/salu nglung-sabayantaka.html Diakses (20 September 2022, pukul 10.44) Kusumastuti, A. (2015). Modal sosial dan mekanisme adaptasi masyarakat pedesaan dalampengelolaan dan pembangunan infrastruktur. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 81-97. Mulyadi, M., & Adi, I. N. R. (2016). Partisipasi Dan Motivasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Upacara Ngaben Ngerit Serta Dampaknya Pada Kehidupan Masyarakat. Prosiding, 73-87. Puspa, I. A. T. (2019). Ngaben sebagai Daya Tarik Pariwisata. Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Agama Dan Budaya, 4(1), 3745. Sena, I. G. M. W. (2017). Implementasi konsep ngayah dalam meningkatkan toleransi kehidupan umat beragama di Bali. In Makalah disajikan dalam seminar Nasional Fakultas Brahma Widya, IHDN, Denpasar (pp. 25-26). Pitana, I. G. (2020). Modernisasi dan Transformasi Kembali ke Tradisi: Fenomena Ngaben di Krematorium bagi Masyarakat Hindu di Bali. Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali 161
Studies), 10(2), 351-374. Putri, E. K. (2018). PENGARUH UPACARA NGABEN MASSAL PADA MASYARAKAT HINDU BALI TERHADAP INTEGRASI SOSIAL (Studi Kasus di Desa Sidorejo Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur) Skripsi (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung). Saridewi, P. W. R. (2017). Persepsi Umat Hindu Terhadap Keberdaan KrematoriumSantayana Denpasar Bali. Jurnal Penelitian Agama Hindu, 1(2). Sumada, I. K. (2019). DINAMIKA PELAKSANAAN UPACARA PITRA YADNYA DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL PADA UMAT HINDU DI DESA BABAKAN KECAMATAN GERUNG KABUPATEN LOMBOK BARAT. Sophia Dharma: Jurnal Filsafat, Agama Hindu, Dan Masyarakat, 2(2), 20-41. Murniti, N. W., & Purnomo, I. M. B. A. (2022). UPACARA NGABEN: KONTESTASI MASYARAKAT DAN DAYA TARIK WISATA. Maha Widya Duta: Jurnal Penerangan Agama, Pariwisata Budaya, dan Ilmu Komunikasi, 1(1), 70-74.
162
BAGIAN VII Refleksi Historiografi Indonesia: Sejarah Lokal dan Sejarah Sosial dalam Perjalanan Penulisan Sejarah Indonesia TRAGEDI PEMBANTAIAN PENDUDUK SIPIL DI KAMPUNG TULUNG Aksi Genosida Kido Butai terhadap penduduk sipil kampong Tulung.
Disusun oleh : Saesar Wahid Andreatno
163
BAB 1 A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Situasi politik dan nasional pada tahun 1942 dimulai dengan berita berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia. Kabar tersebut disambut dengan suka cita oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan berakhirnya kekuasaan Belanda, membawa harapan besar bagi rakyat Indonesia, dan harapan bahwa rakyat akan terus menjalani kehidupan yang lebih baik tanpa tekanan atau intimidasi dari pemerintah Belanda. Pemerintah militer Jepang telah gagal memenuhi harapan besar rakyat Indonesia dan bahkan menambah penderitaan dan kesengsaraan mereka. Pemerintah militer Jepang lebih buruk daripada pemerintah kolonial Belanda (Sumarmo, 1991: 20-21). Pada tahun 1945, situasi perang antara Jepang dan Sekutu membuat Jepang semakin putus asa. Dengan Deklarasi Potsdam 24 Juli 1945, Sekutu mengajukan permintaanke Jepang untuk menyerah tanpa syarat. Tidak sabar menunggu Amerika di bulan Agustus, Kota Hiroshima di bom pada 6 Agustus dan Kota Nagasaki pada 9 Agustus yang mendapatkan bom atom. Selanjutnya, pengumuman Perang Uni Soviet terhadap Kekaisaran Jepang pada 8 Agustus melaju melalui Korea yang diduduki dan lanjutkan Sakhalin (Sumarmo,1991:72). Jatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki Agustus 1945 mempercepat Jepangmenyerah kepada Sekutu. Tanggalnya 15 Agustus 19945. Karena itu Negara Indonesia terkendali Sekutu, maka Inggris akan mengurusnya Namun, semua yang ada di Indonesia. Mereka terlambat. masalah ini menyebabkan kekosongan pemerintahan di
164
Indonesia. Kesempatan ini adalah Bangsa Indonesia diproklamirkan mandiri. Jadi 17 Agustus Wakil Soekarno dan Moh Hatta pada tahun 1945. Bangsa Indonesia diproklamirkan Indonesia merdeka di Jakarta. Pengumuman yang telah menyebar Segera di seluruh Jakarta Indonesia. Pada pagi hari tanggal 17 Agustus Juga, teks pengumuman telah tiba Waidar, Kepala Seksi Radio, Kantor Domei B. Palewen. Dia menerima surat dari Wartawan Domei, namanya Syahruddin. Panelewen dan sebagian dibawa ke Menteng 31. Akhirnya terciptalah pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK I. Dari situlah berita proklamasi disiarkan. Usaha para pemudadalam penyiaran berita ini tidak terbatas lewatradio, melainkan juga lewat pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus membuat berita proklamasi dan Undang- Undang Negara Republik Indonesia. Demikian berita proklamasi kemerdekaan tersiar ke seluruh pelosok tanah air (Poesponegoro dkk, 1984:95). Adanya berita proklamasi kemerdekaan itu telah menggembirakan masyarakat bawah, mereka memberi sambutan dengan hangat dan bahagia termasuk masyarakat Magelang. Dari Jakarta berita tersebut dengan cepat sampai di Magelang. Berita proklamasi kemerdekaan itu sampai di Magelang tanggal 17 Agustus 1945, tetapi tersebar luas baru tanggal 18 Agustus 1945. Setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan, sikap rakyat Magelang menjadi beringas, terutama para pemudanya. Nampak kalau mereka sudah lama menaruh dendam kepada para penjajah Belanda maupun Jepang, dan saat ini akan mendapat kesempatan untuk membalas dendam. Pada tanggal 3 September 1945 jam 21.00 WIB 165
sejumlah rakyat mengadakan pawai obor menghadap residen RP. Soeroso dan menuntut agar segera diumumkan secara resmi tentang telah diproklamirkannya Indonesia Merdeka di Jakarta oleh SoekarnoHatta, dan bahwa rakyat Kedu menjadi milik Indonesia yang merdeka. Residen memenuhi permintaan rakyat itu dengan tetap penuh hati-hati serta meminta agar rakyat tetap terkendali (Adiwiratmoko dkk,1950:6). Masyarakat mengibarkan bendera Merah Putih dimana-mana sebagai tanda bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka dan Magelang bebas penjajahan. Di daerahMagelang antara kaum tua dan muda berkumpul membicarakan kelangsungan hidup mesyarakat Magelang. Selain itu mulai mengadakan pengambilalihan instansi-instansi yang diduduki oleh Jepang, antara lain markas Kenpeitai, pemancar radio milik Kompetai, dan kantorkantor jawatan pemerintah. Di Magelang berita kemerdekaan ini belum terdengar secara luas. Oleh karena itu keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945, R.P Soeroso langsung berangkat ke Jakarta untuk membuktikan peristiwa penting itu dan untuk mengetahui lebih lanjut kondisi politik nasional. Saat itu Bupati Kabupaten Magelang, R.A.A. Sosrodiprodjo sebagai Kentyo baru mengetahuinya setelah pada tanggal 21 Agustus1945 Syutyokan (Residen Kedu) R.P. Soeroso tiba di Magelang dari Jakarta. Tepatnya tanggal 3 September 1945 pukul 21.00 WIB rakyat Magelang telah berkumpul untuk mendemgar secara resmi pengumuman telah diprokalmirkannya Indonesia merdeka di Jakarta oleh Ir. Soekarno-Hatta dan bahwa karesidenan Kedumenjadi bagian dari negara Indonesia yang telah merdeka (Pemkab Magelang, 1974:62). 166
R.P.Soeroso sebagai pejabat pemerintah sipil yang berkedudukan di Magelang diangkat menjadi Gubernur Jawa Tengah. Ia terus mengadakan konsultasi dan konsulidasi guna mencari jalan mengambil alih kekuasaan sipil dari tangan Jepang. Atas usul tokoh-tokoh Barisan Pelopor agar diandakan pertemuan dengan kepala- kepala kantor dan Jawatan pemerintah Bangsa Indonesia, maka pada tanggal 10 September 1945 dilaksanakan petemuan di rumah Dr. Mardjaban di jalan Sultan Agung No. 09 (Adiwiratmoko dkk, 1950:6). Pada 24 September 1945, sembilan tentara Inggris mendarat di Lapangan Tidar setelah terjun dari pesawat. Pendaratan mereka menarik perhatian warga Magelang,karena tidak ada penerjunan dari pesawat yang dilakukan sejak Jepang menduduki Magelang. Akhirnya warga sekitar Lapangan Tidar mendekat untuk melihat sendirisiapa saja sembilan penerjun payung tersebut. Ternyata kesembilan pasukan terjunpayung itu adalah tentara Inggris dari unit Pemulihan Tawanan Perang dan Tawanan Perang Sekutu (RAPWI). Hal itu terlihat dari seragam yang dikenakan kesembilan orang tersebut. Palang merah dan perlengkapan militer dan medis di lengan kiri. Beruntung, ada Kapolsek Ip.I. Legowo yang cepat tanggap. Warga Magelang yang mencoba mendekat akhirnya ditangkap dan diberikan pengertian sehingga tidak ada tindakan anarkis yang dilakukan terhadap tentara Inggris tersebut. Ia menjelaskan, kesembilan orang tersebut bukanlah orang NICA, melainkan tentara Inggris yang bertanggung jawab untuk melucuti dan memulangkan tentara Jepang ke negara asalnya 1. 1Soehendro,
2008 Hal:4. Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia.
167
Untuk sementara, Tentara Kesembilan Inggris dan penjaga Jepang yang kuat tinggal di Hotel Magelang di ErEagle. Sementara itu, sekelompok anak muda memasang slogan dan coretan merah putih di dinding jalan utama di Magelang. Tujuan dari aksi tersebut adalah sebagai tekadpara pemuda Magelang untuk mempertahankan dan mencapai kemerdekaan. Puncaknya terjadi pada 24 September 1945, ketika sebuah plakat merah putih yangditempel di dinding Hotel Nitaka dirobohkan oleh pasukan Jepang. Sehingga terjadikekerasan verbal, salah satu anak muda ditembak hingga tewas (Dr. Soekimin Adiwiratmoko, 55). Pada akhirnya, Jenderal Nakamura berjanji untuk menyelesaikan insiden di Hotel Nitaka melalui pengadilan militer di markas Kenpeitei di Jalan Tidar, Kota Magelang. Pada tanggal 26 Oktober 1945, pasukan Inggris tiba di Magelang dari Semarang. Kendaraan militer seperti tank, kendaraan lapis baja ringan, truk dan jeep memadati jalan di sepanjang jalan Magelang. Angkatan Darat Inggris dipimpin oleh Letnan Kolonel HG Edward. Tapi yang menarik, tentara Inggris kebanyakan Gurkha (Sikh India). Mereka telah mendirikankantor pusat di Jalan Menowo, Gedung Susteran dan Sociatet. Di setiap markas tentara Inggris dikibarkan Bendera Inggris, yang justru menimbulkan gesekan- gesekan dengan para pemuda Magelang. Tuntutan para pemuda sederhana, supaya bendera Inggris diturunkan dan digantikan dengan bendera merah putih. Sementara itu, orang-orang Belanda yang sering disebut NICA secara diam-diam mulai beraksi di Kota Magelang. Adapun aksinya adalah mengeluarkan para interniran yang dipenjarakan di Markas Keipentei, mengibarkan Bendera Belanda, 168
dan melakukan aksi-aksi memancing kemarahan pemuda Magelang. Berbeda dengan Tentara Inggris yang disibukan dengan pelucutan senjata dan pengembalianTentara Jepang, sehingga aksi orangorang NICA itu tidak bisa dipantau. Melihat situasi yang semakin tidak terkendali, NICA berusaha mempengaruhi pasukan Inggris untuk mendatangkan pasukan Jepang dari Semarang. NICA berpendapat bahwa pasukan Jepang tetap bertanggung jawab untuk menjaga keamanan Indonesia sampai mereka diserahkan kepada negara yang memenangkan perang. Kemudian pada tanggal 27 Oktober 1945, seorang komandan NICA mengirim pesan kepada komandan tentara Kido butai di Semarang. Isi beritanya ternyata adalah fitnah, banyak tentara Jepang yang tidak bersenjata dipenggal kepalanya oleh rakyat Magelang, dan Jenderal Nakamura disiksa sampai mati. Tindakan NICA itu sama saja memanfaatkan emosi Tentara Jepang, yang masih frustasi akibat kalah perang melawan Tentara Sekutu. Praktis komandan Tentara Kido butai (Pasukan Gerak Cepat Jepang) akan membalas tindakan penduduk Magelang. Tidak ada upaya melakukan penyelidikan dahulu mengenai peristiwa sebenarnya. Pada hal kejadian yang sebenarnya adalah bahwa di Kota Magelang sedang terjadi upaya-upaya pelucutan senjata di gudang-gudang senjata milik Tentara Jepang, sedang Jenderal Nakamura justru diselamatkan oleh para pemuda Magelang eks Heiho dan Peta. Sebelum dibawa ke Semarang, Jenderal Nakamura dibawa ke Gombong oleh komandan Heiho Magelang.2
Sumarmo, AJ. 1991. Pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.Semarang: IKIP Semarang Press. 2
169
Pembantaian tersebut diawali dengan datangnya bantuan Jepang yang berangkat dari Semarang sejumlah tujuh truk dan disebut sebagai tentara Kido Butai. Merekadikelompokkan menjadi dua pasukan demi melakukan penyerangan terhadap Magelang dari berbagai arah. Satu kelompok berangkat menyusuri jalur barat, danmenuju kearah selatan sepanjang sungai bening hingga sampai di Kampung Tulungsetelah tiba di mata air Kalibening. Sementara kelompok lainnya memulai dari pertigaan Payaman lantas bergerak terus ke arah Selatan. Diantara dua kelompok tersebut juga ada sebagian tentara yang memotong jalan dengan melewati pemakaman Nglarangan dan deretan persawahan hingga tiba di Kampung Tulung melalui jalur utara. Dengan demikian, Tentara Keamanan Rakyat atau TKR yang tengah berada di Kampung Tulung terpojok karena seluruh jalan keluar telah dikepung. Dalam perjalanan tersebut, tentara Kido Butai juga dengan kejam melakukanpenembakan terhadap penduduk sipil dengan tidak memandang jenis kelaminmaupun usia. Bahkan beberapa siswa yang sedang belajar juga menjadi korban penembakan. Untuk mengenang kematian pelajar yang berjumlah tiga orang tersebut, Monumen Rantai Kencana didirikan di lingkungan tempat mereka bersekolah yakni SMPN 1 Magelang. Ketika tentara Kido Butai telah sampai di belakang dapur umum desa, para pemuda yang ada disana mengira bahwa para pasukan Kido Butai tersebut adalah rekan yang berasal dari TKR sehingga mereka membukakan pintu. Para pemuda dan Tentara Keamanan Rakyat tersebut tidak bisamelawan ketika secara mendadak mendapatkan serangan membabi buta dari tentara Kido Butai. Hal tersebut dikarenakan mereka berada 170
dalam keadaan tidak bersenjata lantaran lokasi tersebut merupakan dapur umum sehingga menanggalkan senjata. Dampak dari penyerangan tersebut memakan banyak korban jiwa dari penduduk kampung dan para pejuang. Dari seluruh jumlah yang ada, korban tewas yang dapat teridentifikasi yakni sejumlah 26 Anggota TKR, 42 orang warga, 16 orang pejuang, dan 42 orang pemuda. Demi menghormati dan mengenang para pejuang yang gugur sebagai pahlawan kusuma bangsa dalam peristiwa kelam tersebut maka dibangunlah sebuah monumen peringatan. 2. Perumusan Masalah a. Bagaimana tragedi itu bisa terjadi? b. Siapa saja korban dari pembantaian tersebut?Apa saja pemicu peristiwa berdarah tersebut? 3. Tujuan Penelitian a. Mengangkat peristiwa diketahui publik.
sejarah
yang
jarang
4. Manfaat Penelitian a. Menambah wawasan peristiwa sejarah yang belum banyak diketahuimasyarakat. B. METODE PENELITIAN Metode dalam penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Secara sistematis dan menilainya secara kritis serta mengajukan sintesis secara tertulis. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa metode sejarah merupakan cara atau teknik dalam merekonstruksi peristiwa masa lampau, melalui empat tahapan kerja, yaitu heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber (eksterrnal/bahan dan internal/isi), interpretasi 171
(penafsiran), dan historiografi (penulisan kisah sejarah).Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian adalah dengan metode sejarah. Langkahlangkah dalam metode ini yaitu; heuristik yang terdiri dari studi pustaka. Studi pustaka dilakukan dengan mencari sumber ke Perpustakaan Wilayah Jawa Tengah, maupun Perpustakaan Kota Magelang. Kritik sumber yang terdiri dari kritik internal dan eksternal; interpretasi, merupakan tahap dimana data yang diperoleh diseleksi, dicari kausalitasnya satu dengan yang lain untuk kemudian dirangkai dan disusun menjadi sebuah deskripsi; dan historiografi, dimana penulis menyajikan hasil penelitian dalam bentuk cerita sejarah yang tersusun secara sistematis dan kronologis berupa sebuah deskriptif analitis. 1. Heuristik Heuristik merupakan kegiatan mengumpulkan sumber informasi atau keterangan lengkap dan menyeluruh menyangkut obyek studi ini. Sumbersumber tersebut berupa naskah atau dokumen tertulis, dalam hal ini penulis mengumpulkan berbagai informasi mengenai perjuangan peristiwa sejarah pembantaian Kido Butai kepada warga sipil di kampong Tulung. 2. Kritik Sumber Tahap kedua adalah kritik sumber yang terdiri dari dua aspek yaitu pengujian otentisitas (keaslian sumber) dan kredibilitas (tingkat kebenaran informasi). Adapun pengujian atas asli dan tidaknya sumber berarti yang diuji adalah aspek eksternal (fisik) sumber sejarah. Penentuan keaslian suatu sumber berkaitan denganbahan yang digunakan dari sumber tersebut, atau biasa disebut kritik eksternal. Sedangkan, penyeleksian informasi yang terkandung dalamsumber sejarah, dapat dipercaya atau tidak, 172
dikenal dengan kritik internal. Setiap sumber sejarah diperlakukan sama, yakni diseleksi bagi segi eksternal maupun internalnya. Tahap penyeleksiannya harus sistematis, yakni diawali dengan kritik eksternal dan kemudian kritik internal. Jika tahap pertama suatu sumber sejarah tidak memenuhi syarat sebuah sumber sejarah (dari segi otentitasnya), tidak perlu dilanjutkanverivikasi tahap berikutnya (Madjid, M. Saleh, dkk. 2008:53-54). 3. Interpretasi Dalam penulisan sejarah, digunakan secara bersamaan tiga bentuk teknis dasar tulis-menulis yaitu deskripsi, narasi dan analisis. Ketika sejarawan menulis sebenarnya merupakan keinginannya untuk menjelaskan (eksplanasi) sejarah, ada dua dorongan utama yang menggerakkannya yakni mencipta ulang (re-create) dan menafsirkan (interpret) (Helius Sjamsuddin,2007: 157-158)Interpretasi merupakan penafsiran terhadap kasus yang diteliti setelah selesai pada tahap kritik.Pada tahap ini penulis mencoba menghubungkan fakta- fakta yang telah diperoleh berdasarkanurutan kronologis peristiwa. Pada tahap ini dituntut kecermatan dan sikap objektif sejarawan terutama dalam hala interpretasi subjektive terhadap fakta sejarah(SalehMadjid,2008: 56). C. PEMBAHASAN 1. Berita Proklamasi Kemerdekaan Sampai di Kota Magelang Kekaisaran Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Pimpinan Sekutu di Amerika Serikat menunjuk Inggris untuk melucuti senjata danmemulangkan pasukan Jepang ke negara asalnya. Namun, Inggris datang terlambat di Indonesia, sehingga para pemuda berusaha keras
173
untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 (Sumarmo, 1991: 85), dan tidak ada berita kemerdekaan yang terdengar di Magelang. Keesokan harinya, 18 Agustus 1945, R.P Soeroso segera berangkat ke Jakarta untuk memastikan berita kemerdekaan. Sosrodiprodjo sebagai Kentyo tidak menemukan Syutyokan (Karesidenan Kedu) R.P. Soeroso tiba di Magelang dari Jakarta sampai tanggal 21 Agustus 1945. Pada pukul 21:00 WIB tanggal 3 September 1945 rakyat Magelang berkumpul untuk secara resmi mendengar pengumuman bahwa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan dan kediaman Kedu menjadi bagian darinya negara Indonesia (PemdaKab.Magelang, 1974: 62). Wilayah Magelang pada saat itu merupakan daerah pendidikan militer bagi tentaraBelanda dan pada masa Jepang wilayah tersebut juga masih menjadi basis daripada kekuatan militer Jepang. Dirobeknya sang saka Merah Putih oleh salah satu prajurit Kenpetei memicu kemarahan Pemuda Pejuang Magelang. Prajurit yang merobek sang saka kemudian dihakimi oleh para Pemuda Pejuang, dipukuli dan disuruh berlari memutari lapangan hingga prajurit tersebut tergopoh-gopoh akan pingsang dan pemuda pejuang baru merasa puas. Semboyan dari pemuda pejuang sendiri adalah “Lebih baik mati daripada terjajah.” Begitu kuatnya semangat kemerdekaan yang dikobarkan oleh Pemuda Pejuang membuat kota Magelang semakin tidak kondusif. Sekali sikap dari tentara Jepang maupun Belanda selalu direspon dengan cara berapi-api dan semangat merdeka (Ricklefs, 1991:26). Alhasil pada awal-awal masa kemerdekaan Magelang juga menjadi salah satu wilayah yang terjerat dalam pusaran Revolusi. Setelah Indonesia Merdeka dan Jepang menyatakan untuk 174
menyerah. Sebagai markas tentara Jepang, Magelang tidak terlepas dari perebutan kekuasaan.Operasi ini dilakukan secara paksa oleh pihak Magelang. Markas Besar Angkatan Darat di Jalan Kartini dan Markas Besar Polisi Militer Jepang di Jalan Tidar masih lengkap. Pemuda-pemuda yang tergabung dalam badan perjuangan itu berkomplotuntuk mengambil senjata dari Jepang. Pada mulanya pelucutan senjata tentara Jepang dan polisinya dilakukan sendirisendiri dan tanpa koordinasi (Kodam VIII/Biro Sejarah Militer Diponegoro, 1977: 213). Pada tanggal 23 September 1945, pemuda yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Barisan Pelopor mengambil alih kekuasaan pemerintahan sipil dengan menduduki kantor dan kantor pemerintahan. Kemudian wakil kepala kantor dan kantor mengambil posisi kepala kantor yang saat itu masih diduduki oleh orang Jepang, oleh orang Indonesia. 2. Upaya-Upaya Melucuti Persenjataan Tentara Jepang Dengan adanya insiden antara masyarakat Magelang dengan tentara Jepang, situasidan kondisi di wilayah Magelang semakin memburuk. Perpindahan kekuasaan dari pemerintah pendudukan Jepang ke pemerintah Indonesia disertai dengan berbagai bentrokan dengan sisa tentara yang masih berkeliaran di Magelang. Hal ini dikarenakan tentara Jepang berubah fungsi sebagai alat Sekutu dan harus mempertahankan status quo sampai pasukan Inggris mendarat di Indonesia. Keadaan kota Magelang yang seperti demikian kemudian disikapi oleh pemerintah pusat dengan menjadikan daerah Magelang sebagai daerah darurat militer. Kemudian ditentukanlah sebuah lokasi untuk menggalang kekuatan bersama dalammelawan NICA 175
dan Tentara sekutunya. Jendral Ahmad Yani sebagai salah satu pemimpin militer pada waktu itu diutus dari pusat untuk menenentukan Kampung Tulung sebagai Lokasi tempat Pemuda Pejuang dan BKR bermukim demi menjaga keamanan rakyat kota Magelang. Kampung Tulung merupakan suatu daerah di sebelah utara Kota Magelang. Lokasinya berdekatan dengan SMP N 1 Magelang. Kampung ini menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Magelang pada masa Revolusi.Abak menerangkan bahwa Kampung Tulung adalah tempat bersejarah, ada peristiwa besar di sini (Informan I wawancara tanggal 17 November 2015 Pukul 11.30 WIB). Peristiwa tersebut adalah peristiwa penyerbuan pemuda pejuang dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dilakukan oleh tentara sekutu. Pimpinan pemerintahan, tentara, badan tempur di R.P. Soeroso (penduduk Kedu dan Gubernur Jawa Tengah) pada tanggal 12 Oktober 1945. Rapat dihadiri para pejuangbangsa ini menghasilkan keputusan sebagai berikut:
a. Pihak Jepang harus menyerahkan senjata pada pihak RI dengan sukarela maupunkekerasan.
b. Perlu dibentuk delegasi di pihak Indonesia untuk berunding dengan Mayor Jenderal Nakamura (Adiwiratmoko, 1998: 24). Rakyat Magelang melucuti persenjataan Jepang secara damai, dan mulai tanggal 13 Oktober 1945 mereka mengirimkan delegasi perundingan ke markas Kido Butai kepada Nakamura selaku pemimpin di Jalan Kartini. Rombongan terdiri dari tiga orang wakil, Kepala Staf Keresidenan BKR Mayor Maryadi, IP I Legowo Polres Magelang dan anggota KNI Tartib Prawiradihardjo. Untuk menyelesaikan masalah pemerintah militer Jepang, mereka berunding dengan Mayor Jenderal 176
Nakamura untuk menyerahkan senjata kepada rakyat Indonesia. Sementara di luar gendung pasukan rakyat yang terdiri dari BKR, Polisi, dan berbagai laskar perjuangan telahmengepung markas. Perundingan gagal mencapai kesepakatan, yang berpuncak pada serangan 14 Oktober 1945. Tujuan penyerangan pertama adalah untuk menjaga tentara Jepang di Homma Butai di Kaderschool. Hasil pelucutan senjata Jepang mencapai 500 buah pucuk senapan laras panjang. Kedua menangkap Jenderal Nakamura dan tentara Jepang, selanjutnya mereka diangkut ke Purworejo, Kebumen dan Gombong untuk diserahkan kepada RAPWI (Recovery Allied Prisoners and War Internees) (Drs.Soekimin Adiwiratmoko, 1998: 61). 3. Fitnah NICA Pada tanggal 28 Oktober 1945, 7 truk tentara bantuan Jepang dari Semarang menurunkan personel di pertigaan Jalan Payaman pada pukul 08.00 WIB. Pasukan Kido Butai menyerang Kota Magelang dalam dua kelompok. Kelompok pertama dari pertigaan Payaman berlanjut ke selatan. Kelompok kedua menuju ke barat menuju Mata Air Kalibening dan kemudian ke selatan melintasi Sungai Benin menuju Kampung Tulung. Dalam perjalanan, rombongan pertama pasukan Kido Butai melewati Payaman, Kedensari, Taman Badaan, dan Desa Dusun di sebelah timur Kampung Tulung. Rombongan dua prajurit Kido Wutai menuju ke selatan, menuju Jalan Windusari, berhenti di Mata Air Kari Benin, dan mengikuti Sungai Benin ke arah timur Desa Tulong. Sebagian Tentara Kido Butai memotong jalan yang kemudian menyelinap melalui Pemakaman Nglarangan dan terus melewati sawah-sawah yang 177
terletak sebelah barat makam menuju selatan selanjutnya masuk melalui utara Kampung Tulung.Dengan demikian dapat dapat disimpulkan, bahwa taktik Jepang untuk melumpuhkan Tentara Keamanan Rakyat di Kampung Tulung dengan mengepung segala arah jalan keluar dari kampung tersebut sehingga penduduk tidak dapat meloloskan diri dari kepungan Tentara Kido Butai. Tentara Kido Butai melakukan perjalanan menuju Kampung Tulung, menembaki setiap orang yang berada dihadapannya, tidak ada belas kasihan sehingga baik laki-laki, perempuan, dan anak kecil pun menjadi korban kekejaman.Demikian pula ketika melalui Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO) Guverment sekarang SMP Negeri 1 Magelang, Tentara Kido Butai juga menambak para pelajar yang sedang mengikutikegiatan Belajar mengajar sehingga menyebabkan terbunuhnya Soemiatdjo, Soesilo, dan Soediro. Untuk mengenang gugurnya ketiga pelajar ini didirikanlah Monumen Rantai Kencana yang berada di lingkungan SMP Negeri 1 Magelang. Setelah sampai di Desa Tulung, pasukan Kido Butai yang langsung menuju barat atau selatan melakukan pembantaian keji terhadap warga Desa Tulung. Tak butuh waktu lama tentara Kido Wutai sampai di belakang Kelurahan.Para pemuda Kelurahan mengira itu adalah teman sendiri dari Badan Keamanan Rakyat (BKR).Mereka sibuk menyiapkan makan siang untuk para prajurit, karena diKelurahan, penyelenggara dapur umum. Pemudapemuda tak bersenjata mendapatserangan balik dari serangan mendadak tentara Kidobutai, dan akibatnya, warga Kampung Tulung dibantai secara brutal di sekitar dan di dalam kantor Kelurahan. Jumlah warga yang meninggal di Desa Tulung sebanyak 42 orang, 42 pemuda, 16 pejuang dan 26 178
anggota TKR dari Desa Magelang.3 4. Strategi Resolusi Konflik dari Pemerintah Republik Bentrokan di desa Tulung memicu pembantaian dan serangan lainnya di kota Magelang, seperti pembunuhan sekelompok tentara Jepang di Alun alun Magelang, karena kemarahan telah mencapai puncaknya (Wawancara Informan I pada 17 November 2015 11:30 WIB). Pasca kejadian tersebut, terjadi kerusuhan di Magelang dan suasana kota sangat mencekam, sedangkan di Kampung Tulung masyarakat masih berduka karena salah satu anggota keluarganya, terutama salah seorang anggota keluarga mereka, terbunuh secara sadis oleh karena tentara Jepang.Situasi memanas berlangsung lama hingga Bung Karno datang sendiri untuk menyelesaikan konflik tersebut. Daya tarik konflik tersebut adalah bahwa Magelang merupakan basis konsentrasi perlawanan rakyat Jawa Tengah, selain daerahnya yang strategis, topografi Magelang yang berbukit menjadi medan gerilya yang disukai oleh para pejuang pro kemerdekaan. Setelah Bung Karno datang ke Kampung Tulung, meja perundinganpun dibuka antara Indonesia, Sekutu, dan Jepang. Ketiga kelompok tersebut sama-sama menaruh kepentingannya sendiri-sendiri. Kepentingan Sekutu adalah untuk mengamankan Indonesia, namun di balik itu ada Belanda yang siap kembali menancapkan koloninya di Indonesia. 4 Kepentingan Indonesia adalahmemerdekaan rakyat dan mengusir penjajah dan segala potensi kolonialisme lainnya. 3Pemerintah
Daerah Magelang. 1974. Naskah Sekitar Pejuangan RakyatKabupaten Daerah Tingkat II Magelang. Magelang: Pemda Magelang. 4Asmiyatun.
2005. Perjuangan Kemerdekaan tahun 1947-1949.
Rakyat
Magelang
Dalam
Mempertahankan
179
Sedangkan kepentingan Jepang adalah kembali ke negara asal mereka dansecara terhormat keluar dari pusaran perang. Kedatangan pemerintah pusat ternyata membuahkan hasil yang baik, Sekutu dan Jepang sepakat pergi dari Magelang dan melakukan gencatan senjata untuk menjaga kondusifitas di wilayah tersebut. Untuk membendung trauma warga, pemerintah menurunkan dokter-dokter psikologi supaya masyarakat yang merasa khawatir atas ancaman perang menjadi tenang. Jepang dan Sekutu serta Belanda yang membonceng mereka kemudian melanjutkan konvoinya ke Utara, dalam perjalanannya nanti diketahui bahwa Peristiwa Ambarawa meletus dengan kronologi yang hampir sama seperti apa yang terjadi di Magelang, namun pertempuran itu dikenal lebih dahsyat lagi dan dicatat sejarah sebagai satu tragedi nasional di sekitar Revolusi Indonesia. D. KESIMPULAN Masa pendudukan Jepang dapat disebut sebagai garis pemisah dalam sejarah Indonesia modern. Sebuah garis yang memecahkan hubungan sosial tradisional pada tingkat lokal, serta menyiapkan kondisi bagi terciptanya latar bleakang revolusi nasional dan sosial tahun1945- 1949. Kampung Tulung walaupun wilayah yang sangat kecil namun spesifik merupakan wilayah yang mengalami langsung gejolak revolusi. Wilayah tersebut pernah menjadi lahan pembantaian bagi tentara Jepang yang frustasi karena tekanan perang. Wilayah tersebut juga merupakan lokasi yang paling strategis sehingga dijadikan sebagai Tangsi bagi Tentara Pelajar dan Pemuda Pejuang. Hiruk pikuk Magelang yang menjadi daerah perlintasan tentara Sekutu maupun Jepang menjadikan tempat tersebut sebagai 180
persembunyian yang aman. Konflik berdarah di Kampung Tulung yang memakan korban jiwa sebanyak 42 orang, pemuda 42 orang, 16 pejuang, dan 26 anggota TKR berasal dari Kelurahan Magelang berhasil diselesaikan dengan jalan perundingan atau kompromi antara pemerintah Republik yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dan pihak Jepang yang diwakili Komandan Kenpetei. Setelah konflik tersebut berakhir, kondisi di Kampung Tulung kembali seperti semula, dan masyarakat mengingat masa lalunya sebagai memori gelap yang menjadi pelajaran berharga. Untuk menghormati para pejuang yang tewas, dibuatlahsebuah Monumen untuk mengenang perjuangan mereka sebagai Pahlawan Kusuma Bangsa
181
DAFTAR PUSTAKA Adiwiratmoko, Soekimin dkk. 1998. Sejarah Perjuangan Masyarakat KotaMagelang di Masa Perjuangan Fisik Tahun 1945-1950. Magelang: DHC Angkatan ’45. Asmiyatun. 2005. Perjuangan Rakyat Magelang Dalam Mempertahankan Kemerdekaan tahun 1947-1949. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Edisi Dua. Yogyakarta: Tiara Wacana. Pemerintah Daerah Magelang. 1974. Naskah Sekitar Pejuangan RakyatKabupaten Daerah Tingkat II Magelang. Magelang: Pemda Magelang. Soehendro, 2008:4. Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan LahirnyaRevolusi Indonesia. Sumarmo, AJ. 1991. Pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.Semarang: IKIP Semarang Press. Suryohadiprojo, Sayidiman. 1981. Suatu Pengantar Dalam Ilmu Perang: MasalahPertahanan Negara. Jakarta: Intermasa Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Edisi Dua. Yogyakarta: Tiara Wacana.Lucas, Anton E. 1989. Peristiwa Tiga Daerah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Nagazumi, Akira. 1988. Pemberontakan Indonesia Pada Masa PendudukanJepang. Terjemahan: Taufik Abdullah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pemerintah Daerah Magelang. 1974. Naskah Sekitar Pejuangan RakyatKabupaten Daerah Tingkat II Magelang. Magelang: Pemda Magelang. Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto. 1984. SejarahNasional Indonesia VI. Jakarta: PN. Balai Pustaka. Ricklefs, A. M. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. Asmiyatun. 2005. Perjuangan Rakyat Magelang Dalam Mempertahankan Kemerdekaan tahun 1947-1949. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Sardiman, A.M. 2000. Panglima Besar Jenderal Sudirman: Kader Muhammadiyah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
182
Budihardjo, Eko. 1997. Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota. Yogyakarta.Gajah Mada University Press. Frederick, William. 1989. Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya RevolusiIndonesia (Surabaya 1926-1946). Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Kartodirdjo, Soejatno. 1982. Revolution in Surakarta 1945-1950: A Case of City and Village in The Indonesian Revolution. Disertasi. Canbera: Australian National University. Sumarmo, AJ. 1991. Pendudukan Jepang dan Proklamasi KemerdekaanIndonesia. Semarang: IKIP Semarang Press Suryohadiprojo, Sayidiman. 1981. Suatu Pengantar Dalam Ilmu Perang: MasalahPertahanan Negara. Jakarta: Intermasa. Suwirta, Andi. 2000. Suara dari Dua Kota: Revolusi Indonesia dalam PandanganSurat Kabar Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) 1945-1947. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka. Wiyono, Dkk. 1991. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikandan Kebudayaan. Hamid, Abd Rahman& Muhammad Saleh Madjid, 2011. Pengantar Ilmu Sejarah ,Cet.1.,Yogyakarta:Ombak Hamid, Abd. Rahman 2016. Nasionalisme Dalam Teror di Mandar Tahun 1947 “Paramita. Idham dan Saprillah, 2015.Sejarah Perjuangan Pembentukan Provinsi SulawesiBarat ,Cet.2.,Solo:Zada Haniva. Junaeda, St, Dkk. 2013:Nasionalisme Masyarakat Mandar Sejarah Kelaskaran Gapri 5.3.1 di Mandar Tahun 19451949,Cet.1.,Makassar:De LaMacca. Kadir, Harun Dkk, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia diSulawesi Selatan19451950, Kerjasama Badan PerencanaanPembangunan Daerah Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan danUniversitas Hasanuddin,1984. Mandra, Abdul Muis. 2002. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Mandar, Pemerintah Daerah Kabupaten Majene. Majene:
183
Pemerintah Daerah KabupatenMajene. Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan :Inventaris Arsip Pribadi H. M. Riri Amin Daud (1945-1985). No 17, 20, 456. Koleksi Badan Arsip Dan Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan : Arsip NegaraIndonesia Timur (NIT). No. 139. Abdurrahman, Dudung.1999 Metode Penelitian Sejarah, Jakarta,Logos Wacana Ilmu. Ahmadin, 2013. Metode Penelitian Sosial. Makassar, Rayhan Intermedia. A.H.Nasution, 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Bandung, Angkasa.Amir, M., 2014. Perjuangan Hammad Saleh menentang Jepang dan Belanda di Mandar 1942-1947. Makassar, Arus Timur.
184
9 786238 230167