PSIKOLOGI PEMBELAJARAN ALIRAN, TEORI, DAN PANDUAN 9786234132168

Di dunia akademik, psikologi pendidikan dan pembelajaran terdapat dua aliran besar psikologi yang amat kuat memberi warn

260 78 2MB

Indonesian Pages 54 [62] Year 2023

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD PDF FILE

Table of contents :
KATA PENGANTAR............................................................. iii
DAFTAR ISI .......................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Psikologi Behaviorisme ....................................................... 1
B. Psikologi Humanisme .......................................................... 3
C. Pendekatan Sinergis Aliran Psikologi ............................. 6
D. Aliran-aliran Psikologi Pembelajaran ............................. 6
BAB II PSIKOLOGI PEMBELAJARAN BEHAVIORISME ................ 7
A. Teori Classical Conditioning .............................................. 7
B. Teori Contiguity & Association.......................................... 8
C. Teori Operant Conditioning .............................................. 9
D. Teori Social Cognition ........................................................ 10
BAB III PSIKOLOGI BELAJAR KOGNITIVISME ............................. 13
A. Teori Belajar Kognitivisme ................................................ 13
B. Teori Belajar Pemrosesan Informasi ................................ 14
C. Teori Belajar Gestalt.......................................................... 16
D. Teori Perkembangan Kognitif .......................................... 17
BAB IV Psikologi Belajar Konstruktivisme ..................................... 20
A. Teori Konstruktivisme Kognitif ........................................... 20
B. Teori Konstruktivisme Sosial .............................................. 21
BAB V PSIKOLOGI BELAJAR HUMANISME .................................. 23
BAB VI ARTIKEL OPINI PENDIDIDIKAN BERNUANSA
PSIKOLOGI PEMBELAJARAN ............................................ 25
A. Ujian Nasional dan Mazhab Psikologi............................ 25
B. Pendidikan dan Bakat Peserta Didik .............................. 27
C. Sekitar Pengajaran Membaca Permulaan ..................... 30
D. Hukuman, Teladan, dan Perilaku Moral ......................... 36
E. Pendidikan Sikap oleh Sekolah........................................ 38
F. Cara Mendidik Versi Behaviorisme................................. 42
G. Cara Mendidik Humanisme Versus Behaviorisme ......... 45
H. Gereja sebagai Lembaga Pendidikan .......................... 48
DAFTAR RUJUKAN ............................................................. 52
PROFIL PENULIS................................................................... 53
Recommend Papers

PSIKOLOGI PEMBELAJARAN ALIRAN, TEORI, DAN PANDUAN
 9786234132168

  • 0 0 0
  • Like this paper and download? You can publish your own PDF file online for free in a few minutes! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PSIKOLOGI PEMBELAJARAN ALIRAN, TEORI, DAN PANDUAN

ANSELMUS JE. TOENLIOE KRISTYANA

Penerbit: AHLIMEDIA PRESS

PSIKOLOGI PEMBELAJARAN ALIRAN, TEORI, DAN PANDUAN Penulis: Anselmus JE. Toenlioe Kristyana Editor: Inda Linggawati Penyunting: Masyrifatul Khairiyyah Desain Cover: Aditya Rendy T. Penerbit: Ahlimedia Press (Anggota IKAPI: 264/JTI/2020) Jl. Ki Ageng Gribig, Gang Kaserin MU No. 36 Kota Malang 65138 Telp: +6285232777747 Telp Penulis: +6281233638488 http://www.ahlimediapress.web.id/2023/01/psikologipembelajaran-aliran-teori-dan.html ISBN: 978-623-413-216-8 Cetakan Pertama, Maret 2023 Hak cipta oleh Penulis dan Dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Pasal 72. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ii | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

KATA PENGANTAR Ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kami panjatkan karena hanya melalui perkenan-Nya buku ini dapat ditulis. Terima kasih Tuhan atas kemampuan yang diberikan kepada kami karena dapat menyelesaikan penulisan buku ini Ilmu pendidikan tergolong ilmu terapan. Sebagai ilmu terapan, ilmu pendidikan mendapatkan suplai teori dari ilmu lain, di antaranya psikologi, sosiologi, antropologi, dan filsafat. Buku Psikologi Pembelajaran ini adalah contoh aplikasi berbagai teori psikologi dalam pendidikan, tentu saja termasuk pembelajaran sebagai bagian dari pendidikan. Buku tentang Psikologi Pembelajaran sudah relatif banyak beredar di pasaran dan dapat ditemui di tempat-tempat yang relevan, seperti perpustakaan dan toko buku. Kami berharap buku ini akan ikut menambah jumlah buku terkait pembelajaran di tempat-tempat yang relevan tersebut. Di dunia akademik, psikologi pendidikan dan pembelajaran terdapat dua aliran besar psikologi yang amat kuat memberi warna. Dua aliran besar psikologi tersebut adalah bahaviorisme yang lahir dan hadir lebih awal, serta humanisme yang lahir dan hadir belakangan. Di antara dua aliran besar tersebut masih terdapat aliran-aliaran yang merupakan kelanjutan dari salah satu aliaran besar, yakni behaviorisme. Aliran-aliran dimaksud adalah aliran kognitivisme dan aliran konstruktivisme. Dengan demikian, buku psikologi pembelajaran ini berisi pembahasan tentang empat aliran psikologi, yakni behaviorisme, kognitivisme, konstruktivisme, dan humanisme dalam pembelajaran. Pembahasan mencakup teori, implikasi, dan aplikasinya dalam pembelajaran. Buku ini hadir atas dorongan dari berbagai pihak. Secara khusus, terdapat dorong amat kuat dari pucuk pimpinan STIPAK Duta Harapan Malang agar para tenaga akademik menulis karya ilmiah, antara lain dalam bentuk buku. Terima kasih tak

Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| iii

terhingga disampaikan kepada pucuk pimpinan STIPAK Duta Harapan Malang yang telah menginspirasi hadirnya buku ini. Tak ada manusia sempurna, termasuk dalam menulis buku. Kami selalu terbuka terhadap berbagai pihak untuk memberikan masukan demi penyempurnaan buku ini. Terima kasih dan selamat membaca. Malang, Oktober 2022

Anselmus JE. Toenlioe Kristyana

iv | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR............................................................. iii DAFTAR ISI .......................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... A. Psikologi Behaviorisme ....................................................... B. Psikologi Humanisme .......................................................... C. Pendekatan Sinergis Aliran Psikologi ............................. D. Aliran-aliran Psikologi Pembelajaran .............................

1 1 3 6 6

BAB II PSIKOLOGI PEMBELAJARAN BEHAVIORISME ................ A. Teori Classical Conditioning .............................................. B. Teori Contiguity & Association.......................................... C. Teori Operant Conditioning .............................................. D. Teori Social Cognition ........................................................

7 7 8 9 10

BAB III PSIKOLOGI BELAJAR KOGNITIVISME ............................. A. Teori Belajar Kognitivisme ................................................ B. Teori Belajar Pemrosesan Informasi ................................ C. Teori Belajar Gestalt.......................................................... D. Teori Perkembangan Kognitif ..........................................

13 13 14 16 17

BAB IV Psikologi Belajar Konstruktivisme ..................................... 20 A. Teori Konstruktivisme Kognitif ........................................... 20 B. Teori Konstruktivisme Sosial .............................................. 21 BAB V PSIKOLOGI BELAJAR HUMANISME .................................. 23 BAB VI ARTIKEL OPINI PENDIDIDIKAN BERNUANSA PSIKOLOGI PEMBELAJARAN ............................................ A. Ujian Nasional dan Mazhab Psikologi............................ B. Pendidikan dan Bakat Peserta Didik .............................. C. Sekitar Pengajaran Membaca Permulaan ..................... D. Hukuman, Teladan, dan Perilaku Moral ......................... E. Pendidikan Sikap oleh Sekolah........................................ Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

25 25 27 30 36 38 | v

F. Cara Mendidik Versi Behaviorisme................................. 42 G. Cara Mendidik Humanisme Versus Behaviorisme ......... 45 H. Gereja sebagai Lembaga Pendidikan .......................... 48 DAFTAR RUJUKAN ............................................................. 52 PROFIL PENULIS................................................................... 53

vi | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

BAB I PENDAHULUAN Bidang ilmu antara lain dapat dibagi menjadi dua jenis. Dua jenis ilmu dimaksud adalah ilmu murni dan ilmu terapan. Ilmu pendidikan tergolong ilmu terapan. Sebagai ilmu terapan, ilmu pendidikan mendapatkan suplai teori dari berbagai disiplin ilmu. Dua di antaranya adalah psikologi dan sosiologi. Di dunia akademik psikologi, paling tidak terdapat dua aliran besar psikologi yang mewarnai pembelajaran. Dua aliran besar psikologi tersebut adalah psikologi behaviorisme dan psikologi humanisme. A. Psikologi Behaviorisme Dalam rentang sejarah pendidikan, paling tidak terdapat dua aliran besar psikologi yang memberikan urunan signifikan. Dua aliran psikologi tersebut adalah behaviorisme dan humanisme. Secara historis psikologi behaviorisme lahir terlebih dahulu dari psikologi humanisme. Oleh karena itu, selama beberapa dasawarsa, pendidikan dan pembelajaran di berbagai penjuru dunia dikelola dengan psikologi behaviorisme. Sumber awal pendorong lahirnya psikologi behaviorisme adalah teori Darwin tentang evolusi manusia. Atas dasar teori evolusi, para psikolog berusaha memahami manusia dengan melakukan percobaan terhadap hewan. Salah satu sumber utama yang melatarbelakangi lahirnya psikologi behaviorisme adalah hasil penelitian terhadap hewan oleh seorang psikolog berbangsa Rusia, Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936). Pavlov melakukan ekpserimen terhadap anjing, dan dari sana ia memperkenalkan sejumlah konsep yang diyakini memiliki keterkaitan dalam menjelaskan tingkah laku manusia. Konsep-konsep tersebut Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 1

adalah stimulus, respons, asosiasi, dan pembiasaan (Atkinson dan Tomley, 2012). Secara garis besar pokok pikiran psikologi behaviorisme tentang pendidikan sebagai berikut. 1. Pendidikan adalah proses perubahan tingkat laku untuk mencapai tujuan sesuai standar tertentu. 2. Proses perubahan tingkah laku dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik pembiasaan berbasis stimulus, respon, dan asosiasi. 3. Teknik-teknik utama pendidikan versi behaviorisme adalah teladan, hadiah, penjelasan, nasihat, peringatan, dan hukuman. 4. Oleh Soetarlinah (1988) dikatakan bahwa teknik-teknik dalam psikologi behavioristik meliputi penguatan positif (positive reinforcement), penguatan negatif (negative reinforcement), penghapusan (extinction), dan pengalihan. (change behavior) 5. Guru adalah pelaksana pembelajaran sesuai ketentuan standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pihakpihak di luar dirinya. 6. Siswa wajib menjalankan tuntutan guru tanpa kompromi sebagai implikasi logis dari adanya ketentuan standar yang harus dicapai guru. 7. Tujuan pembelajaran adalah agar terjadi perubahan tingkah laku berupa bertambahnya pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam diri siswa. 8. Isi pembelajaran bersifat objektif, terstruktur, permanen, dan berstandar tunggal. 9. Dalam hal strategi pembelajaran, metode ceramah dan "drill" merupakan metode utama. 10. Dalam penataan iklim pembelajaran, digunakan teknik motivasi, penguatan positif, penguatan negatif, pengalihan, dan hukuman. 2 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

11. Dalam hal evaluasi pembelajaran, acuan yang tepat adalah kriteria atau patokan, dengan penekanan pada hasil belajar. B. Psikologi Humanisme Psikologi behaviorisme yang mendasarkan pengembangan teorinya pada hasil penelitian terhadap hewan, mendorong sejumlah psikolog untuk meneliti manusia sebagai basis pengembangan teori mereka. Salah satu di antaranya adalah Abraham Harold Maslow (1908-1970). Tentang penelitian terhadap hewan untuk menghasilkan teori psikologi, Maslow menulis sebagai berikut. “Penggunaan binatang mengakibatkan tak terelakan sejak awal pengabaian kapasitas-kapasitas khas manusiawi, seperti sikap rela menjadi martir, pengorbanan diri, rasa malu, kasih sayang, humor, seni, keindahan, suara hati, rasa bersalah, patriotisme, cita-cita, penciptaan puisi, filsafat, musik atau ilmu pengetahuan” (Goble, 1971:37). Untuk mengembangkan teorinya, Maslow meneliti orang-orang yang dipandang baik dan sukses oleh masyarakat, serta kelompok masyarakat yang dipandang sehat secara sosial dalam kajian-kajian antropologi. Dari sana ia membangun teorinya yang dikenal dengan teori hirarkhi kebutuhan manusia. Pada pokoknya Maslow memandang perbuatan manusia sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat hirarkhis. Secara hirarkhis kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan cinta kasih dan rasa memiliki, kebutuhan harga diri dan penghargaan, serta kebutuhan aktualisasi diri, (Atkinson dan Tomley, 2012). Menurut Maslow, ketika kebutuhan fisik terpenuhi minimal, maka akan muncul kebutuhan yang lebih tinggi, yakni kebutuhan rasa aman. Dalam hal makanan misalnhya, Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 3

hanya orang yang kenyanglah yang akan memikirkan rasa aman. Ketika merasa lapar, orang akan berusaha memenuhi kebutuhan makan, dan mengabaikan sementara kebutuhan rasa aman. Demikian selanjutnya, bila kebutuhan rasa aman terpenuhi minimal, orang akan mulai memikirkan pemenuhan kebutuhan lebih tinggi, yakni kebutuhan kasih sayang atau kebutuhan memiliki-dimiliki. Begitu seterusnya sampai pada kebutuhan harga diri atau penghargaan. Bila kebutuhankebutuhan ini terpenuhi minimal, maka manusia akan mulai memikirkan kebutuhan paling tinggi, yakni kebutuhan aktualisasi diri. Para penganut psikologi humanisme Maslow memaknai pendidikan sebagai upaya aktualisasi diri manusia. Selain Maslow, terdapat sejumlah psikolog humanisme yang juga mendasarkan pengembangan teori mereka pada hasil penelitian terhadap manusia. Salah satu di antaranya adalah Carl Rogers (1902 – 1987). Tentang manusia dan tindakannya, Rogers antara lain berpandangan bahwa: ”the subjective human being has an important value…. That no mater how hi may by labeled and evaluated hi is a human person first of all” (Atkinson dan Tomley, 2012: 136). Mengacu pada teori kebutuhan manusia menurut Maslow, serta pandangan Rogers tentang manusia, dapat dikemukakan pokok pikiran tentang pendidikan humanisme sebagai berikut. 1. Pendidikan adalah proses aktualisasi diri melalui pemenuhan kebutuhan hidup 2. Anak yang tidak terpenuhi kebutuhan fisik minimalnya, tidak mungkin akan beraktualisasi diri secara efektif dan efisien. 3. Anak yang tidak terpenuhi kebutuhan rasa amannya secara memadai, akan berkembang menjadi manusia yang cenderung penakut. 4 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

4. Anak yang tidak terpenuhi kebutuhan memiliki-dimiliki secara memadai, akan berkembang menjadi manusia yang cenderung mudah merasa terasing. 5. Anak yang tidak terpenuhi kebutuhan harga dirinya, akan berkembang menjadi manusia yang cenderung mudah sakit hati. 6. Untuk sampai pada upaya aktualisasi diri efektif dan efisien, kebutuhan fisik, rasa aman, memiliki-dimiliki, dan harga diri siswa mesti terpenuhi secara minimal. 7. Guru adalah perancang tujuan, isi, strategi, dan evaluasi pembelajaran berdasarkan hasil analisisnya terhadap kebutuhan siswa. 8. Siswa berhak memilah dan memilih tugas sesuai bakat, minat, dan kebutuhannya. 9. Tujuan pembelajaran adalah agar potensi atau bakat dan minat siswa yang unik berkembang maksimal. 10. Isi pembelajaran bersifat subyektif, tidak terstruktur, temporer, dan multistandar. 11. Dalam hal strategi pembelajaran, metode yang tepat adalah metode yang mendorong penemuan oleh siswa, seperti tanya-jawab, diskusi, dan eksperimen. 12. Dalam penataan iklim pembelajaran, digunakan teknik pemenuhan kebutuhan dasar, mulai dari kebutuhan fisik, rasa aman, kasih sayang, sampai harga diri. 13. Dalam hal evaluasi pembelajaran, acuan yang tepat adalah nilai rata-rata kelompok atau acuan norma, dengan penekanan pada proses pembelajaran. 14. Rumus umum pembelajaran humanistik versi teori kebutuhan manusia menurut Maslow, buatlah siswa merasa kenyang, merasa aman, merasa disayang, merasa berharga, lalu mulailah pembelajaran dari sana sebagai upaya aktualisasi diri siswa (Atkinson dan Tomley, 2012). Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 5

C. Pendekatan Sinergis Aliran Psikologi Psikologi behaviorisme dan humanisme jelas berada pada dua kutub berbeda. Meski demikian, kedua-duanya nyata ada dan berguna bagi pengelolaan pendidikan. Psikologi behaviorisme memang dikembangkan berdasarkan hasil penelitian terhadap hewan. Namun manusia juga memiliki sisi hewani, yang memerlukan pananganan sesuai dengan kondisinya. Oleh karena itu, kedua aliran psikologi ini perlu di sinergikan dalam pengelolaan pembelajaran. Ibarat pria dan wanita, yang walaupun berbeda, perbedaan tersebut disinergikan dalam hidup berumahtangga demi kelestarian manusia. D. Aliran-aliran Psikologi Pembelajaran Meskipun terdapat dua aliran besar psikologi tentang pembelajaran, bahaviorisme dan humanisme, namun di dalam aliran behaviorisme masih terdapat sub aliran dalam pembelajaran. Menurut Hitipeuw (2009), terdapat empat aliran dalam psikologi pembelajaran. Empat aliran tersebut adalah behaviorisme klasik, kognitivisme, konstruktivisme, dan humanisme. Kognitivisme dan konstruktivisme, merupakan bagian dari behaviorisme. Bisa juga disebut behaviorisme plus, karena berangkat dari konsep awal behaviorisme, dengan sejumlah tambahan teori.

6 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

BAB II PSIKOLOGI PEMBELAJARAN BEHAVIORISME Di dalam psikologi pembelajaran behaviorisme, terdapat tiga aliran psikologi pembelajaran dengan teorinya masingmasing. Tiga aliran tersebut adalah Behaviorisme Klasik, Kognitivisme, dan Konstruktivisme. Di dalam behaviorisme klasik terdapat empat teori. Empat teori tersebut adalaah Classical Conditioning, Contiguity & Assocition, Operant Conditioning, dan Social Cognition. A. Teori Classical Conditioning Teori ini disebut teori classical conditioning karena menerapkan apa adanya hasil kajian klasik Pavlov sebagai tokoh psikologi behaviorisme. Dalam teori classical conditioning, manusia, dalam hal ini siswa, dipandang ibarat papan tulis putih dan kosong, yang bisa ditulisi apa saja. Manusia dipandang tidak membawa apa-apa waktu dilahirkan. Alat utama yang digunakan dalam pembelajaran adalah konsep klasik behaviorisme tentang peran stimulus, respon, dan asosiasi, dalam membentuk kebiasaan pada diri manusia (Atkinson dan Tomley, 2012). Menurut Hergenhahn dan Olson, (2014:487), clasical conditioning adalah “Susunan eksperimental di mana satu stimulus dibuat untuk memunculkan suatu respon yang sebelumnya tidak diasosiasikan dengan stimulus itu…” Bagi teori Classical Conditioning, stimulus yang diberikan guru kepada siswa dalam pembelajaran haruslah hangat dan membuat siswa nyaman, sehingga siswa dapat memberikan respon yang positif. Dengan demikian siswa akan mengasosiasikan belajar secara positif pula, sebagai sesuatu yang menyenangkan. Selain itu, latihan secara berulang dipandang penting dalam pembelajaran. Dengan latihan yang dilakukan secara Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 7

berulang, dalam iklim yang positif, akan diasosiasikan siswa secara positif, dan pada gilirannya akan membentuk kebiasaan positif pada diri siswa. B. Teori Contiguity & Association Istilah contiguity & Association mengandung makna kedekatan dan keberlanjutan. Lewat teori contiguity hendak ditekankan bahwa pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memiliki kedekatan antar isi dan waktu, sehingga mudah diasosiasikan oleh siswa, menuju kebiasaan, (Guthrie dalam Hitipeuw, 2009). Sebagai contoh, guru sedang mengajar perkalian angka 1 sampai 10. Ketika guru sedang menjelaskan, ada siswa yang mengganggu temannya. Guru mendatangi siswa pengganggu tersebut dan mencubitnya. Pada kasus ini, terdapat kedekatan antara “kenakalan siswa” dan hukuman yang diterimanya. Dalam pandangan contiguity & association, akan lain dampaknya ketika guru baru mencubit siswa pengganggu tersebut esok harinya. Jika siswa nakal tersebut baru dicubit esok harinya, maka akan sulit membentuk kebiasaan pada siswa agar tidak mengganggu teman saat pembelajaran sedang dilakukan. Mungkin saja siswa telah menerima hukuman lainnya dari orang tuanya saat di rumah, yang jauh lebih keras dan membekas, dibanding cubitan guru di sekolah. Catatan lainnya, jika pelajaran perkalian hari ini selesai, besok pelajaran dilanjutkan dengan perkalian angka belasan, dimulai dari 11. Dengan cara ini akan terdapat kedekatan isi pelajaran, dan ini akan memudahkan proses penguasaan belajar oleh siswa. Tentang association, dalam pembelajaran guru perlu menciptakan kondisi yang menunjukan kedekatan antara apa yang dipelajari dalam tenggang waktu yang berdekatan. Jika hari ini pelajaran perkalian, maka besok dilanjutkan dengan 8 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

pembagian. Dengan demikian, siswa mudah berpersepsi bahwa perkalian dan pembagian memiliki kedekatan operasional dalam pembelajaran. Inilah esensi makna asosiasi dalam teori contiguity & association. Andaikan hari ini pelajaran berhitung penjumlahan misalnya, dan besok dilanjutkan dengan pembagian misalnya, maka akan terdapat kesenjangan amat lebar antar isi pelajaran kemarin dan hari ini. Kesenjangan itu akan terjembatani bila pelajaran hari ini adalah pengurangan, kemudian dilanjutkan dengan perkalian. Hal lain terkait dengan contiguiti & association adalah penggunaan berpikir analogis atau pengibatan dalam pembelajaran. Tentang berpikir analogis, Hargenhahn dan Olson, (2014:485) mengartikannya sebagai berikut: “korespondensi parsial atau kemiripan parsial antar beberapa hal yang berbeda” Dalam penggunaan berpikir analogis, materi analogis dalam pembelajaran hendaknya memiliki kedekatan dengan siswa. Ketika manusia dianalogkan dengan domba misalnya, maka analog itu hendaknya digunakan untuk siswa di dunia peternakan.. Sedangkan ketika manusia dianalogkan dengan tumbuhan, anggur misalnya, maka analog tersebut hendaknya digunakan untuk siswa di dunia pertanian. C. Teori Operant Conditioning Tentang Operant Conditioning, oleh Hargenhahn dan Olson, (2014:505), dikatakan: “peningkatan rata-rata terjadinya respons dengan menata situasi sedemikian rupa sehingga respon diikuti dengan penguatan”. Jika stimulus oleh guru dan respon oleh siswa dipandang penting pada teori-teori pembelajaran behaviorisme sebelumnya, maka pada teori operaant Conditioning, stimulus yang diperoleh siswa di luar pembelajaran pun dipandang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 9

Tentang penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment) khususnya, teori operant conditioning tidak memandangnya sebagaimana pandangan teori-teori behaviorisme sebelumnya. Jika dalam teori behaviorisme sebelumnya, hadiah dipandang mampu membuat siswa mengulang perilaku positifnya, serta hukuman menghentikan perilaku negatifnya, maka tidak demikian dengan teori operant conditioning. Bagi teori operant conditioning, hadiah bagi siswa dapat tidak berdampak apa-apa, karena siswa telah terbiasa mendapatkan hadiah lebih besar dari hadiah oleh guru dalam pembelajaran. Demikian juga hukuman yang diberikan kepada siswa dapat tidak berdampak apa-apa, karena siswa sudah terbiasa mendapatkan hukuman lebih berat dibanding hukuman dari guru. Inti pesan yang mau disampaikan lewat teori operant conditioning adalah guru perlu mempelajari terlebih dahulu bentuk hadiah dan hukuman apa yang sering diterima siswa. Kemudian memberikan hadiah atau hukuman yang nilainya lebih tinggi dibanding apa yang sering diperoleh siswa. Untuk itu, guru perlu membangun komunikasi dengan pihak-pihak yang memiliki komunikasi intensif dengan siswa. Terdapat tiga catatan penting tentang penerapan operant conditioning di kelas menurut Eggen & Kauchack, (Dalam Hitipeuw, 2009). Pertama, utamakan penggunaan penguatan dibanding hukuman. Kedua, jelilah dalam memilih penguatan agar penguatan berdampak merubah perilaku siswa. Ketiga, mintalah siswa membuat perbandingan antara contoh yang dikemukakan guru dan contoh yang diketahui siswa di luar pertemuan dengan guru dalam pembelajaran. D. Teori Social Cognition Istilah kognition dalam teori social cognition memberikan gambaran bahwa teori ini memandang berpikir 10 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

merupakan hal penting dalam pembelajaran, selain stimulus, respon, dan asosiasi. Bagi teori social cognition, stimulus, respon, dan asosiasi tetap diperlukan, namun unsur berpikir perlu diberi tempat yang layak. Menurut Hitipeuw (2009), terdapat tiga prinsip dalam teori belajar social cognition. Pertama, respon negatif akan menghambat belajar. Sebaliknya, respon positif akan memberikan hasil dalam belajar. Karena itu, guru harus berusaha memberikan stimulus yang memunculkan respon positif. Kedua, stimulus yang biasa digunakan tanpa dampak pada perilaku siswa, bila dihadirkan dengan stimulus baru, dapat menyebabkan asosiasi antara stimulus lama dan baru, dan dapat memunculkan perilaku positif tertentu dalam diri siswa. Ketiga, stimulus berulang-ulang dapat menghapus perilaku negatif dalam diri siswa. Siswa yang takut pada pelajaran matematika karena di kelas sebelumnya sering dimarahi guru saat pelajaran matematika, misalnya, akan berani mengerjakan soal-soal matematika bila sering diajak guru mengerjakan latihan soal-soal matematika tanpa dimarahi. Menurut Eggen dan Kauchack, (dalam Hitipeuw, 2009), terdapat tiga prinsip penerapan social cognition di kelas. Pertama, ciptakan kondisi kelas yang hangat dan nyaman agar guru diasosiasikan secara positif. Kedua, gunakanlah pertanyaan sedemikian rupa, sehingga siswa mampu memberikan jawaban. Ketiga, latihlah siswa mengerjakan tugas dalam situasi dengan kadar kecemasan tertentu. Dalam penerapan social cognition di sekolah, hal-hal berikut perlu diperhatiakan. Pertama, teladan tentang nilainilai baik dan benar mesti diberikan oleh seluruh pengelola sekolah kepada siswa. Kedua, apa yang diajarkan guru kepada siswa hendaknya disertai contoh konkrit dari guru Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 11

untuk dijadikan siswa sebagai model yang layak ditiru. Ketiga, berikanlah latihan soal bersama guru dan siswa, sebelum guru memberikan soal untuk dikerjakan secara mandiri oleh siswa. Keempat, berikanlah penguatan di dalam kelas lewat siswa yang menunjukan hasil kerja yang layak diberi penguatan.

12 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

BAB III PSIKOLOGI BELAJAR KOGNITIVISME A. Teori Belajar Kognitivisme Seperti halnya social cognition, teori belajar kognitivisme juga mengandalkan berpikir siswa, di samping stimulus, respon, dan asosiasi sebagai ciri khas teori belajar behaviorisme. Meskipun demikian, teori belajar kognitivisme tidak hanya fokus ke sisi sosial siswa dalam belajar, melainkan juga sisi individual. Individu diposisikan sebagai pihak yang aktif dalam belajar menggunakan logikanya, dan tidak sekadar memberikan respon terhadap stimulus dari guru. Pada titik ini, psikologi behaviorisme sudah mulai menyentuh sisi khas psikologi humanisme. Sila cermati sentuhan humanisme dalan teori social cognition, dengan membaca ulang pembahasan psikologi humanisme di bagianbagian awal buku ini. Menurut Eggen dan Kauchack (dalam Hitipeuw, 2009), terdapat empat prinsip dalam teori belajar kognitivistik. Empat prinsip tersebut, sebagai berikut. Pertama, siswa adalah individu yang aktif. Siswa tak hanya merespon stimulus dari guru, melainkan juga mencari informasi untuk meningkatkan pengetahuannya. Ia juga bisa merubah pemahamannya, sesuai informasi baru yang diperolehnya. Kedua, pemahaman siswa tergantung pada apa yang telah diperoleh sebelumnya. Ketika guru mengajarkan kepada siswa bahwa bumi bulat misalnya, awalnya siswa sulit menerima penjelasan guru, karena dalam pengamatan siswa bumi tidak seperti bulatnya bola. Dalam pemahaman siswa, bumi itu bergunung dan berliku-liku. Tidak bulat sebagaimana kata guru. Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 13

Ketiga, siswa mengkonstruksi pengetahuannya, dan bukan sekadar merekam dalam pikirannya. Siswa berbeda dari alat perekam yang merekam dan menyimpan hasil rekaman. Informasi yang masuk ke otak siswa akan digunakan oleh siswa untuk mengembangkan pengetahuan baru. Keempat, belajar merupakan proses perubahan dalam susunan mental siswa. Belajar adalah proses mengorganisir pengetahuan lama serta informasi yang baru diperoleh, menjadi pengetahuan baru. B. Teori Belajar Pemrosesan Informasi Menurut teori pemrosesan informasi, belajar adalah proses siswa mengelola informasi menggunakan logika. Sebagai sebuah sistem, model pemrosesan informasi memiliki beberapa komponen (Slavin, dalam Hitipeuw, 2009). Komponen sistem pertama adalah komponen penyimpanan informasi. Dalam proses penyimpanan informasi, awalnya informasi yang diperoleh dari respon terhadap stimulus akan diterima oleh bagian yang disebut sensory registers, sebelum diproses menuju ke long term memory. Komponen sistem kedua, adalah long term memory. Sebelum sampai ke long term memory, informasi di sensory registers akan berproses melewati attention, perception, rehearsal, encoding, dan retrieval. Karena kapasitas memori yang terbatas, informasi yang diterima akan diseleksi di working memory. Setelah melewati tahap seleksi, informasi akan disimpan di long term memory. Konponen sistem ketiga adalah metakognisi. Komponen metakognisi adalah pusat pengetahuan dan kesadaran manusia akan semua prose belajar. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa metakognisi merupakan komponen pemimpin yang mengawal seluruh proses belajar siswa. Proses tersebut dimulai dari penerimaan stimulus, penyimpanan sementara, 14 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

seleksi, pengolahan, dan penyimpanan permanen. Seluruh proses ini berada dalam kawalan komponen metakognisi. Untuk mendapatkan gambaran yang relatif utuh tentang teori Pemrosesan Informasi, silakan cermati gambar versi Hitipeuw, berikut ini. Gambar ini diadaptasi dari Eggen dan Kauchak, oleh Hitipeauw (2009:68).

Gambar: Model Pemrosesan Informasi (MPI)

Menurut Hitipeuw (2009), dalam penerapan model pemrosesan informasi perlu diperhatikan hal-hal berikut. Pertama, Setelah informasi diberikan kepada siswa, sediakanlah waktu yang cukup bagi siswa untuk mengolah informasi itu, sebelum berpindah ke informasi yang lain. Jika guru membacakan tugas untuk dicatat siswa, maka berilah waktu yang cukup bagi siswa untuk mencatat setiap tugas. Kedua, kemukakan satu tugas untuk satu tenggang waktu. Dengan kata lain, jangan memberi dua tugas atau lebih, yang berbeda dalam satu kesatuan waktu. Berikanlah Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 15

tugas pertama, kemudian berilah tenggang waktu bagi siswa untuk memahami tugas tersebut, sebelum berpindah ke tugas kedua. Ketiga, hal yang sama juga berlaku bagi pemberian penjelasan kepada siswa tentang tugas. Berikanlah penjelasan tahap demi tahap, dengan tenggang waktu yang cukup. Keempat, karena kapasistas memori yang terbatas, sediakan cukup waktu bagi siswa untuk memproses segala informasi terkait tugas. Makin muda usia siswa, kapasisitas memorinya makin terbatas. Oleh karena itu perhitungkahlah usia siswa dalam kaitan dengan pemberian tugas tersebut. C. Teori Belajar Gestalt Kata Gestalt berasal dari bahasa Jerman, yang mengandung makna bentuk atau pola lengkap, dengan pesan utama, kesatuan bentuk atau pola yang pertama dan utama, dibanding bagian-bagian. Tokoh utamanya adalah Max Wartheimer, seorang warga Jerman, (Hergenhahn dan Olson, 2014). Selain teori belajar Kognitivisme, teori belajar Gestalt pun semakin mendekati pandangan humanisme, meski masih terdapat pandangan behaviorisme yang relatif kuat. Dapat dikatakan, teori Gestal merupakan sinergi tanpa sadar dan tanpa sengaja, antara psikologi behaviorisme dan humanisme. Untuk mendapatkan gambaran lebih mendalam dan menyeluruh tentang sinergi antara dua aliran psikologi ini, silakan dibaca kembali pokok bahasan tentang Pendekatan Sinergis Aliran psikologi, pada bagian awal buku ini. .Menurut Hamalik (dalam Husamah dan kawankawan, 2020), “teori belajar Gestalt adalah teori belajar yang memadang kesatuan obyeklah yang penting diperkenalkan terlebih dahulu dibanding bagian atau usur”. Dengan kata lain, ketika berbicara tentang sistem dan 16 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

komponen sistem, maka yang pertama diperkenalkan adalah sistemnya. Oleh Hergenhahn dan Olson (2014:283), Teori gestalt dan Behaviostik dibandingkan sebagai berikut. Gestalt Holistik Molar Subjektif Nativistik Kognitif, fenomenologis

Behavioristik Atomistik, elemental Molekular Objektif Empiristik Behavioral

Bagi teori gestalt, siswa akan paham terhadap pelajaran bila siswa mampu melihat hubungan antar bagianbagian dengan kesatuan obyek yang dipelajarinya. Oleh karena itu kesatuan obyek harus didahulukan dalam pembelajaran dibanding bagian-bagian obyek itu. Sebagai contoh, ketika pelajaran tentang tubuh manusia, maka pelajaran diawali dengan mendirikan seseorang di depan kelas, dan siswa diminta mengamati orang tersebut. Setelah itu, barulah guru membahas bagian-bagian tubuh manusia, misalnya kaki, tangan, kepala, mulut, hidung, mata, telinga, dan seterusnya. Jadi prinsipnya, keseluruhan diperkenalkan terlebih dahulu, sebelum membahas bagianbagiannya. D. Teori Perkembangan Kognitif Teori lain yang ditempatkan sebagai bagian dari psikologi belajar kognitivisme adalah teori perkembangan kognitif Piaget, yang disebut teori cognitif developmental atau teori perkembangan konitif. Menurut Piaget, (Dalam Hergenhahn dan Olson, 2014), terdapat empat tahap perkembangan kognitif manusia. Tahap pertama disebut sensorimotor stage. Tahap ini dimulai dari saat lahir sampai Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 17

usia 2 tahun. Ciri utama dari tahap ini adalah tahap tanpa bahasa terstruktur. Pada saat usia ini anak-anak melihat segala obyek dengan cara pandangnya sendiri. Pada akhir tahap sensorimotor stage, anak mulai menyadari akan adanya berbagai obyek permanen, misalnya kursi, sendok, piring, dan gelas. Tahap kedua disebut tahap preoperational thinking. Tahap ini berkisar pada usia 2 sampai 4 tahun. Ciri utama tahap ini adalah anak mulai membuat konsep sederhana, misalnya mereka mulai mampu mengelompokkan bendabenda dalam klasifikasi atas dasar kemiripannya. Mereka belum mampu berpikir dari khusus ke umum (induktif), maupun dari umum ke khusus (deduktif). Anak usia 2 sampai 4 tahun juga belum mampu membuat klasifikasi yang tepat. Bagi mereka, setelah mengenal kerbau misalnya, maka semua hewan berkaki empat dan berekor mereka sebut sebagai kerbau. Selain itu mereka belum mampu memahami klasifikasi isi benda, jika wadah benda itu tidak sama (berpikir conservation). Misalnya terdapat dua gelas dengan bentuk berbeda, namun jumlah isinya sama, mereka belum mampu memahami perbedaan isinya. Tahap ketiga disebut tahap concrete operations. Tahap ini berkisar antara 7 sampai 11 atau 12 tahun. Pada tahap ini anak mulai mampu mengelompokkan dan mengurutkan obyek-obyek secara memadai, misalnya dari kecil menuju besar atau sebaliknya. Juga mereka mulai mampu memahami dan mampu menangani konsep angka sederhana. Tahap keempat disebut tahap formal operations. Tahap ini berkisar antara 11 atau 12 tahun sampai 14 atau 15 tahun. Pada tahap ini anak mulai mampu membuat jawaban sementara atau hipotesis. Cara berpikir mereka pun mulai bisa dilepaskan dari obyek langsung dan nyata di depan mata 18 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

mereka. Mereka mulai belajar dan dapat berpikir logis serta sistematis. Inti pesan dari teori perkembangan kognitif bagi guru dalam mengajar adalah perhatikanlah posisi perkembangan kognitif siswa saat memberikan stimulus dalam pembelajaran. Agar dengan demikian, stimulus yang diberikan sesuai dengan tingkat kemampuan merespons siswa. Dengan demikian pembelajaran dapat berlangsung efektif dan efisien.

Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 19

BAB IV PSIKOLOGI BELAJAR KONSTRUKTIVISME Jika psikologi belajar kognitivisme menempatkan proses berpikir sebagai cara merespons stimulus dari guru, maka psikologi konstrukitivisme menambahkan peran siswa dalam mengonstruksi sendiri hasil belajarnya sebagai hal penting. Dalam psikologi konstruktivisme, berpikir tetap dianggp penting, namun peran siswa dalam mengonstruksi capaian belajarnya dipandang tak kalah pentingnya. Di dalam psikologi belajar konstruktivisme terdapat dua teori, yakni teori konstruktivisme kognitif dan teori konstruktivisme sosial. Teori konstruktivisme kognitif dibangun di atas teori Piaget, tentang pengetahuan yang bersifat perseorangan. Sementara Konstruktivisme sosial hadir sebagai respon terhadap masalah para guru dalam menggunakaan konstruktivisme kognitif, (Hitipeuw, 2009). A. Teori Konstruktivisme Kognitif Menurut Hitipeuw (2009), terdapat dua tokoh psikologi yang dipandang memberikan urunan signifikan bagi teori konstruktivisme kognitif. Dua tokoh tersebut adalah Jean Piaget dan Bruner. Tentang Piaget, paling tidak, terdapat tiga teori terkait pembelajaran. Pertama, teori equilibration. Menuru Piaget, manusia sering berada pada kondisi disequilibration. Ketika berada pada kondisi disequilibration manusia akan merasa tidak nyaman. Karena merasa tidak nyaman, manusia akan berusaha menggapai rasa nyaman, dengan melakukan upaya penyeimbangan. Hal tersebut juga terkait dengan rasa ingin tahu, yang identik dengan belajar, (Piaget, dalam Latham Dkk, 2008). Pesan bagi guru dalam pembelajaran, ciptakanlah situasi yang membuat siswa berada pada kondisi 20 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

disequlibirium, agar mendorong siswa untuk belajar mengkonstruksi sendiri hasil belajarnya. Dalam pelajaran IPS misalnya, siswa diberitahu bahwa setiap provinsi pasti memiliki ibu kota. Dari situ, siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri nama-nama ibu kota dari provinsi yang ada di Indonesia. Kedua, teori pengorganisasian dan schemata. Ketika informasi diterima siswa, informasi tersebut akan mengalami proses pengorganisasian dan schemata dalam susunan kognitif siswa. Pesan utamanya dalam pembelajaran hendaknya guru memahami schemata yang dimiliki siswa, dan memulai pelajaran dari sana. Ketiga, teori akomodasi dan asimilasi. Akomodasi adalah proses penyesuaian schemata dengan pengalaman baru. Sementara asimilasi adalah upaya penyesuaian pengetahuan baru dengan schemata yang sudah dimiliki. Pesannya tentang pembelajaran adalah guru perlu menguji pengalaman baru siswa dalam belajar, apakah sudah benar atau masih perlu diperbaiki. B. Teori Konstruktivisme Sosial Jika konstruktivisme kognitif lebih memberikan kebebasan kepada anak untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan dalam kawalan guru, maka konstruktivisme sosial lebih mengedepankan pengawalan guru sejak awal siswa mengkonstruksi pengetahuan. Bagi konstruktivisme sosial, belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai dampak dari hadirnya pemahaman baru yang diperoleh dari kondisi sosial tertentu. Dengan demikian tugas guru adalah menyediakan kondisi sosial yang mendorong siswa untuk dapat belajar. Merujuk ke ide-ide utama Vygotsky sebagai tokoh utama konstruktivisme sosial tentang pembelajaran, paling tidak terdapat empat pandangan utama tentang belajar. Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 21

Pertama, belajar berlangsung dalam konteks sejarah dan budaya. Belajar memiliki kaitan dengan masa lalu dan kebudayaan. Dengan demikian, guru harus menciptakan iklim yang memungkinkan terjadi proses menyejarah dan membudaya sebagai proses dan hasil belajar. Kedua, bahasa memiliki peran kunci dalam belajar. Melalui bahasa, guru membagikan pengetahuan kepada siswa untuk dikonstruksi menjadi milik pribadi. Jadi peran guru penting sebagai inisiator materi pelajaran, sementara siswa mengonstruksi materi pelajaran menjadi milik pribadi. Ketiga, dalam belajar terdapat zona yang disebut zone of proximal Development. Di zona ini ada siswa yang mampu dan ada pula yang tidak mampu mengonstruksi sendiri pengetahuan. Oleh karena itu diperlukan campur tangan guru untuk membuka peluang bagi siswa yang tidak mampu, agar mampu mengonstruksi sendiri pengetahuan. Keempat, pemberian bantuan kepada siswa harus sampai pada tahap siswa mampu mengonstruksi sendiri pengetahuan. Bantuan ini dikenal dengan sebutan scaffolding. Dengan kata lain scaffolding adalah bantuan yang diberikan kepada siswa untuk sampai pada tahap memproses sendiri hasil belajarnya. Untuk memproses sendiri hasil belajarnya, maka strategi dan metode yang digunakan guru mesti tepat. Secara teoritis, strategi yang tepat adalah strategi heuristik, dan bukan ekspository. Demikian juga dalam hal metode pembelajaran. Metode-metode yang relevan misalnya tanya jawab, diskusi, dan eksperimen, (Vygotsky dalam Latham Dkk, 2008).

22 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

BAB V PSIKOLOGI BELAJAR HUMANISME Paling tidak terdapat dua tokoh di balik hadirnya psikologi humanisme. Dua tokoh tersebut adalah Abraham Maslow dan Carl Rogers. Pendidikan humanisme versi Maslow sudah dibahas di awal tulisan ini dengan membandingkan dan menyinergikannya dengan behaviorisme. Juga sudah dibahas dalam artikel opini di buku ini, yang berjudul; Ujian Nasional dan Mazhab Psikologi. Oleh karena itu, secara khusus pembelajaran versi Maslow tidak dibahas lagi. Yang akan dibahas adalah pendidikan humanisme menurut Carl Rogers. Menurut Lefrancois (Dalam Hitipeuw, 2009), terdapat tiga konsep yang dikemukakan Rogers terkait pembelajaran. Konsep pertama adalah fenomenologi. Konsep fenomenologi melihat siswa sebagai makhluk unik dalam memandang dunianya. Keunikan dalam melihaat dunianya itu harus dihargai dalam penyelenggaraan pendidikan. Konsep kedua adalah student centered. Konsep ini menempatkan siswa sebagai pengungkap masalahnya serta bagaimana memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian akan menghasilkan siswa yang sehat secara utuh. Untuk itu siswa mesti difasilitasi yang menemukan sendiri hasil belajarnya (discovery). Kosep ketiga adalah humanisme pendidikan, di mana pembelajaran ditekankan pada pengembangan potensi individu. Sejalan dengan tingkat tertinggi kebutuhan manusia versi Maslow, belajar diposisikan sebagai upaya memenuhi kebutuhan aktualisasi diri siswa. Untuk mendapatkan gambaran tentang posisi Humanisme dalam pembelajaran, sila baca ulang penjelasan tentang Psikologi humanisme pada bagian-bagian awal buku ini. Juga pokok bahasan tentang sinergi antara psikologi Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 23

behaviorisme pembelajaran.

dan

humanisme

dalam

24 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

pelaknasaan

BAB VI ARTIKEL OPINI PENDIDIDIKAN BERNUANSA PSIKOLOGI PEMBELAJARAN Ujian Nasional dan Mazhab Psikologi Kompas, 20 Mei 2009 Secara psikologis pendidikan dapat dikaji menggunakan dua mazhab, yakni mazhab behavioristik dan mazhab humanistik. Bagi behavioristik, pendidikan adalah proses perubahan tingkat laku untuk mencapai tujuan sesuai standar tertentu melalui pembiasaan berbasis stimulus-respon. Bagi humanistik, pendidikan adalah proses aktualisasi diri melalui pemenuhan kebutuhan hidup. Pemaknaan pendidikan yang berbeda oleh dua mazhab ini berimplikasi pada semua unsur pendidikan, baik guru, siswa, tujuan dan isi, strategi, maupun evaluasi. Dalam hal guru, bagi behavioristik, guru adalah pelaksana pembelajaran sesuai ketentuan standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak-pihak di luar dirinya. Sementara bagi humanistik, guru adalah perancang tujuan, isi, strategi, dan evaluasi pembelajaran berdasarkan hasil analisisnya terhadap kebutuhan siswa. Dalam hal siswa, bagi behavioristik, siswa berkewajiban menjalankan tuntutan guru tanpa kompromi sebagai implikasi logis dari adanya ketentuan standar yang harus dicapai guru. Adapun bagi humanistik, siswa berhak memilah dan memilih tugas sesuai bakat, minat, dan kebutuhannya. Dalam hal tujuan dan isi pembelajaran, bagi behavioristik, tujuan pembelajaran adalah agar terjadi perubahan tingkah laku berupa bertambahnya pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam diri siswa. Untuk itu, isi pembelajaran bersifat objektif, terstruktur, permanen, dan berstandar tunggal. Adapun bagi humanistik, tujuan pembelajaran adalah agar potensi atau bakat Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 25

dan minat siswa yang unik berkembang maksimal. Untuk itu, isi pembelajaran bersifat subyektif, tidak terstruktur, temporer, dan multistandar. Dalam hal strategi pembelajaran, bagi behavioristik, metode ceramah dan "drill" merupakan metode utama. Dalam penataan iklim pembelajaran, digunakan teknik motivasi, penguatan positif, pengalihan, dan hukuman. Adapun bagi humanistik, metode yang tepat adalah metode yang mendorong penemuan oleh siswa, seperti tanya-jawab, diskusi, dan eksperimen. Dalam penataan iklim pembelajaran, digunakan teknik pemenuhan kebutuhan dasar, mulai dari kebutuhan fisik, rasa aman, kasih sayang, sampai harga diri. Dalam hal evaluasi pembelajaran, bagi behavioristik acuan yang tepat adalah kriteria, dengan penekanan pada hasil belajar. Adapun bagi humanistik, acuan yang tepat adalah nilai rata-rata kelompok, dengan penekanan pada proses pembelajaran. Mazhab behavioristik dan humanistik adalah dua mazhab dengan keunikannya masing-masing. Diperlukan penataan yang tepat agar penggunaan dua mazhab ini efektif bagi pencapaian tujuan pendidikan. Pada dasarnya, pertama, untuk pendidikan umum dan kawasan kognitif lebih tepat digunakan mazhab humanistik, sementara untuk pendidikan kejuruan dan kawasan psikomotorik dan afektif lebih tepat digunakan mazhab behavioristik. Kedua, terkait dengan pertama, untuk menghantar siswa sampai pada penguasaan keterampilan teknis tertentu, lebih tepat digunakan mazhab behavioristik, sementara untuk mengembangkan kemampuan berinisatif dan berkreativitas dalam diri siswa, lebih tepat digunakan mazhab humanistik. Ketiga, dalam menata iklim pembelajaran, teknik-teknik dalam kedua mazhab ini digunakan secara sinergis, sesuai keunikan dan kebutuhan siswa. Di antara dua mazhab psikologi ini, mazhab behavioristik yang kelahirannya diawali penelitian Pavlov (1849-1936) 26 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

terhadap hewan, lahir terlebih dahulu dan mewarnai praktek pendidikan nasional sejak masa penjajahan sampai saat ini. Dan kita sama-sama tahu, sampai saat ini mutu lulusan pendidikan kita masih tertinggal dibandingkan lulusan negara lain. Pelaksanaan ujian nasional berstandar tunggal, sambil dikawal polisi, adalah contoh paling aktual dan menyedihkan dari puncak gunung es masalah penerapan mazhab behavioristik yang berlebihan dan salah alamat. Dapat dipastikan, mayoritas proses pembelajaran di sekolah-sekolah selama ini amat behavioristik, yang ditandai oleh penyeragaman tujuan, strategi, dan standar evaluasi, dalam kawalan ketat guru, kepala sekolah, dan pihakpihak terkait. Keterlibatan penulis dalam program sertifikasi guru pun menunjukkan, para guru diperlakukan amat behavioristik. Sungguh sayang, anggaran pendidikan nasional yang masih terbatas digunakan secara tidak efektif dan efisien karena ketidaktepatan penerapan mazhab psikologi. Ketidaktepatan yang berakibat peran pendidikan sebagai pengembang inisatif dan kreativitas anak negeri ini tetap berjalan di tempat. Apakah karena para petinggi pendidikan nasional tidak cukup paham bagaimana aplikasi mazhab psikologi pada pendidikan? Entahlah. Pendidikan dan Bakat Peserta Didik Kompas, 19 Maret 2010 Topik Kompas Jatim 17/3/2010, Kenali Bakat Anak yang mengangkat pandangan Evy Tjahyono patut dikaji lebih jauh. Pasalnya, pengenalan terhadap bakat dan minat peserta didik sejak dini amat diabaikan di negeri ini, padahal justru di situlah letak titik berangkat pendidikan yang efektif dan efisien. Filsafat antropologi antara lain memandang setiap manusia sebagai makhluk unik yang tak ada duanya, hanya satu-satunya. Para pemikir pendidikan humanis pun menempatkan pandangan Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 27

tentang keunikan manusia sebagai salah satu landasan penyelenggaraan pendidikan. Singkatnya, karena setiap manusia unik, pengelolaan semua unsur pendidikan mulai dari peserta didik, pendidik, isi pendidikan, strategi pendidikan, sampai evaluasi pendidikan mesti mengakomodir kondisi keunikan tersebut. Dalam hal peserta didik, keunikan peserta didik dihargai dalam wujud aktualisasi potensi-potensi paling menonjol dan dorongan internal paling kuat dalam diri setiap peserta didik untuk mengaktualisasikan potensinya. Dengan kata lain, pendidikan harus disesuaikan dengan bakat dan minat peserta didik. Untuk itu, benar yang dikemukakan Evy Tjahyono bahwa identifikasi terhadap bakat dan minat peserta didik harus dilakukan sedini mungkin, kemudian dijadikan acuan oleh pendidik dalam proses pendidikan. Selain mengingkari hakikat manusia sebagai makhluk unik, pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan minat peserta didik tidak mungkin memberikan hasil maksimal dalam upaya aktualisasi diri peserta didik. Dalam hal pendidik pun demikian. Dalam konteks pendidikan sekolah, seperti halnya peserta didik, rekrutmen guru harus benar-benar mempertimbangkan bakat dan minat mereka yang hendak menjadi guru. Pasalnya, hanya mereka yang berbakat dan berminat memadai menjadi gurulah yang dapat mengaktualisasikan diri secara maksimal dalam menjalani profesi guru. Dalam hal tujuan dan isi pendidikan, pengembangan tujuan dan isi pendidikan harus memungkinkan peserta didik mengaktualisasikan bakat dan minat secara tepat. Konkretnya diperlukan penganekaragaman tujuan dan isi pendidikan secara maksimal sehingga dapat mengakomodir keanekaragaman bakat dan minat peserta didik. Dalam konteks pendidikan sekolah, diperlukan penganekaragaman mata pelajaran dan program 28 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

pendidikan sehingga setiap bakat dan minat siswa dapat dikembangkan melalui tujuan dan isi pelajaran yang tersedia. Kalau mencermati pendidikan kita selama ini harus diakui bahwa keunikan anak negeri ini belum mendapatkan tempat yang memadai. Kasus salah tempat dalam penyelenggaraan pendidikan amat biasa. Selama saya menjadi guru 28 tahun, misalnya, mayoritas mahasiswa dalam kelas perkuliahan saya mengatakan bahwa mereka salah memilih program studi. Ketika ditelusuri, ternyata kesalahan itu sudah terjadi sejak awal mereka mengenal dunia pendidikan sekolah. Amat banyak pemaksaaan untuk mempelajari sesuatu yang tidak diminati di satu pihak dan tak kurang banyaknya pembatasan untuk memperlajari hal lain yang diminati di pihak lain. Singkatnya, dunia pendidikan sekolah menjadi penjara bagi inisiatif dan kreativitas siswa karena bakat dan minat siswa tidak dijadikan basis penyelenggaraan pendidikan. Lalu, bagaimana mungkin pendidikkan kita dapat menghasilkan wiraswastawan tangguh dalam menghadapi persaingan global? Demikian pula dengan guru. Profesi guru tidak luput dari ajang pelarian dari bakat dan minat yang hakiki. Selain karena sejak di hulu pendidikan tidak berbasis pada bakat dan minat anak negeri ini, juga karena terbatasnya lapangan kerja. Dalam kondisi seperti ini, sertifikasi dan peningkatan gaji guru tidak banyak menolong, bahkan sia-sia. Harapan peningkatan mutu guru mustahil tercapai. Dampak negatif dari pengabaian terhadap keunikan manusia dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri ini menjadi sempurna karena pengelolaan tujuan, isi, strategi, dan evaluasi pendidikan yang tidak tepat. Jenis program studi yang terbatas dan itu-itu saja, misalnya, berakibat peserta didik terpaksa masuk ke program studi yang tidak sesuai dengan bakat dan minatnya. Praktik ujian nasional yang berlangsung selama ini pun jelas-jelas telah mereduksi upaya pengembangan bakat dan Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 29

minat siswa negeri ini. Kita kehilangan anak-anak yang berbakat dan berminat besar terhadap seni lukis, sejarah, pertanian, sepak bola, seni musik, antropologi, dan sebagainya karena salah urus keunikan anak negeri ini melalui pendidikan sekolah. Salah urus pendidikan yang dikemukakan di atas barulah salah urus dari aspek keunikan manusia. Belum termasuk salah urus dari aspek sosial, moral, dan religi. Salah urus tersebut jelas berakibat upaya peningkatan mutu pendidikan tetap berjalan di tempat apapun usaha yang kita lakukan. Sekitar Pengajaran Membaca Permulaan Jawa Pos, 9 Desember 1988 Menurut orang-orang bijak, kesan awal tentang suatu objek akan mempengaruhi sikap selanjutnya terhadap objek tersebut. Ini tak terkecuali objek yang namanya pelajaran bahasa Indonesia. Oleh karena itu, salah satu bagian penting pelajaran bahasa Indonesia di SD adalah membaca permulaan (MP). Pemakaian metode MP yang tepat oleh guru akan menyebabkan siswa dapat membaca dalam waktu relatif singkat, serta yang lebih penting dari itu, minat siswa terhadap pelajaran membaca khususnya, dan pelajaran bahasa Indonesia umumnya, dapat tumbuh subur. Untuk keperluan pengajaran MP tersebut, hadir sejumlah metode MP. Masing-masing dengan keunggulan maupun kelemahannya. Kita kenal misalnya metode ejaan, metode kata lembaga, metode struktural, serta sejumlah metode lainnya. Meskipun terdapat sejumlah metode MP, bila ditelusuri lebih jauh, pada dasarnya hanya terdapat dua metode MP, yaitu metode yang mendahulukan penguasaan huruf (selanjutnya disebut metode huruf), serta metode yang mendahulukan penguasaan kalimat (selanjutnya disebut metode kalimat). Bila dikaitkan dengan psikologi, metode huruf sejalan dengan psikologi unsur, sedangkan metode kalimat sejalan dengan 30 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

psikologi global. Kalau mau dikatakan metode ketiga, metode ketiga merupakan kombinasi antara metode huruf dan metode kalimat. Secara sederhana, langkah-langkah mengajar dengan menggunakan kedua metode tersebut sebagai berikut. Pada metode huruf, pelajaran dimulai dengan memperkenalkan beberapa huruf kepada siswa sekaligus dengan bunyinya, sehingga siswa benar-benar hafal. Kemudian, huruf-huruf tersebut dirangkai menjadi kata, dan kata dirangkai menjadi kalimat. Pada metode kalimat, pelajaran dimulai dengan memperkenalkan beberapa kalimat yang mempunyai hubungan arti, dan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Pada tahap ini, siswa dituntut agar benar-benar mengenal kalimat-kalimat tersebut, mengenal dalam arti menghafal bunyi setiap kalimat tersebut. Kemudian, masing-masing kalimat dianalisis menjadi kata, kata dianalisis menjadi suku kata, suku kata dianalisis menjadi huruf. Setelah itu huruf-huruf dirangkai kembali menjadi suku kata, suku kata dirangkai menjadi kata, dan kata dirangkai menjadi kalimat. Seperti telah dikemukakan di atas, tiap-tiap metode mempunyai kelemahan maupun keunggulan. Pada metode huruf, karena yang pertama kali diperkenalkan adalah huruf, pelajaran sebenarnya dimulai dari sesuatu yang asing, yang tidak bermakna bagi siswa. Sebab, bunyi huruf tidak dikenal siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Hal demikian dapat membuat siswa tidak tertarik untuk belajar. Inilah kelemahan utama metode huruf. Siswa yang sudah menguasai beberapa huruf dan mampu merangkai menjadi suku kata dan kata, ia akan paham benar terhadap huruf-huruf tersebut, baik bentuk maupun cara mengucapkannya. Ia pun dengan lebih leluasa dapat membaca bacaan-bacaan di luar bacaan resmi di sekolah sejalan dengan bertambahnya perbendaharaan huruf yang dimilikinya. Dalam Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 31

perkembangan selanjutnya, ia akan menjadi pembaca yang teliti, karena ia sudah dibiasakan mengenal unsur-unsur terkecil dari tulisan. Itulah keunggulan metode ini. Pada metode kalimat, kelemahan maupun keunggulannya merupakan kebalikan metode huruf. Pada awal pelajaran, karena yang diperkenalkan pertama adalah kalimat, siswa sudah terbiasa dengan kalimat sehingga akan menarik baginya. Selanjutnya, dengan menghafal kalimat, siswa akan merasa bahwa ia sudah dapat membaca. Perasaan tersebut akan membuat siswa semakin bergairah untuk belajar. Keunggulan metode kalimat sebenarnya hanya sampai di situ saja. Pada tahap berikutnya, siswa akan segera tahu bahwa membaca ternyata tidak semudah yang dibayangkan semula. Dan, di sinilah letak kelemahan metode ini. Sadar bahwa membaca tidak semudah yang dibayangkan, tanpa penanganan yang hati-hati dari guru, siswa dapat menjadi frustasi, dengan berbagai dampak selanjutnya. Kelemahan lain dari metode kalimat, siswa tidak mengenal baik huruf demi huruf, sehingga dalam membaca, sering kali siswa hanya menerka isi bacaan, ia tidak terlalu teliti dalam membaca. Pada awal-awal pelajaran, ia amat bergantung pada kalimat-kalimat yang diajarkan di sekolah. Ia tidak dapat dengan segera membaca bacaan-bacaan lain di luar bacaan resmi di sekolah. Metode SAS dan I-in A-an Metode membaca (dan menulis) permulaan yang dicantumkan dalam kurikulum adalah metode struktural analitik sinetik (SAS). Sesuai dengan namanya, metode SAS ini mendahulukan penguasaan terhadap kalimat. Meskipun kurikulum mencantumkan metode SAS sebagai metode MP, dalam praktik, ada guru mungkin banyak yang tidak melaksanakannya secara konsisten. Coba datanglah ke sekolahsekolah, dan amatilah cara guru mengajar membaca permulaan. 32 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

Dari sepuluh sekolah yang didatangi misalnya, kemungkinan besar akan ditemukan sepuluh cara mengajar yang berbeda-beda. Dan, jangan kaget bila ditemukan anak kelas tiga, empat, bahkan mungkin lima di sekolah-sekolah tertentu yang belum dapat membaca buku pelajarannya. Jangan heran, tanpa dapat membaca pun dapat naik kelas, karena toh kebanyakan soal THB adalah soal objektif yang jawabannya dapat diterka. Juga, katrolmengatrol nilai di sekolah bukanlah asing. Saya pernah berbincang-bincang dengan sejumlah guru SD kelas satu di Kota Malang. Kebanyakan mereka mengatakan bahwa mereka biasa mengajar membaca permulaan dengan menggunakan kombinasi metode SAS dan metode I-in A-an. Konkretnya, kombinasi metode SAS dan I-in A-an tersebut umumnya sebagai berikut. Pada tahap pertama, guru memperkenalkan sebuah kalimat, perkenalan itu hanya sambil lalu saja. Kemudian kalimat itu dianalisis menjadi huruf. Hurufhuruf itulah yang diperkenalkan secara intensif kepada siswa. Setelah itu huruf-huruf tersebut dirangkai kembali menjadi suku kata, suku kata dirangkai menjadi kata, dan kata dirangkai menjadi kalimat. Setelah itu guru tidak langsung dengan kalimat, melainkan memperkenalkan huruf demi huruf dan huruf-huruf itulah yang dirangkai menjadi suku kata, suku kata dirangkai menjadi kata, dan kata dirangkai menjadi kalimat. Metode I-in A-an sendiri adalah sebuah metode membaca (dan menulis) permulaan yang lahir dari hasil penelitian di sebuah taman kanak-kanak di Malang oleh Prof. Dr. Ny. Pakasi, antara 1967-1968. Karena itu, dapat dimaklumi mengapa metode tersebut cukup terkenal di daerah Malang. Berikut ini contoh sederhana langkah-langkah mengajar dengan metode I-in A-an. Pada tahap pertama, guru memberi gambar seorang gadis kecil yang diberi nama I-in. Pada tahap ke dua gambar I-in ditempelkan di papan tulis dan kata I-in ditulis ulang di bawah atau di samping gambar, kemudian guru membacakan tulisan itu dan siswa mengikutinya. Pada tahap Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 33

ketiga, kata Iin dipisah menjadi i dan in, kemudian i dibacakan beberapa kali oleh guru dan siswa mengikutinya, menyusul in juga dibacakan. Pada saat membacakan in, bunyi n ditahan beberapa saat sehingga bunyinya jelas bagi siswa. Pada tahap keempat, huruf n dipisahkan dari I dan dibacakan oleh guru lalu diikuti oleh siswa. Pada tahap kelima, huruf i dan n disintesiskan kembali. Hasil sintesis itu akan menghasilkan kata i-in dan nini, dan ini. Kata-kata hasil sintesis itu dibacakan oleh guru dan siswa mengikutinya. Pada metode I-in A-an, huruf-huruf yang diajarkan terlebih dahulu adalah huruf hidup dan huruf mati yang bunyinya dapat ditahan. Huruf mati yang bunyinya dapat ditahan adalah n, m, s, r, dan l. Dengan huruf-huruf itu siswa dengan mudah dapat merangkai kata-kata yang bermakna, sekaligus mampu dengan cepat membaca kata-kata atau kalimat-kalimat yang banyak mengandung huruf-huruf tersebut. Dengan metode ini, ternyata anak-anak berusia sekitar lima tahun sudah bisa mulai membaca. Oleh Prof. Dr. Ny. Pakasi, metode ini digolongkan ke dalam metode global sintesis, karena ada struktur kata yang diperkenalkan pada awal pelajaran, kemudian huruf dilepaskan dan diajarkan kepada siswa. Tetapi inti dari metode ini sebenarnya terletak pada kegiatan merangkai huruf menjadi kata dan selanjutnya merangkai kata menjadi kalimat. Penelitian Eksperimental Bila kita kembali kepada psikologi yang mendasari setiap MP, perdebatan tentang metode mana yang paling tepat digunakan mungkin tidak akan pernah selesai. Dalam kenyataannya, kita sebenarnya tidak konsisten dalam memanfaatkan psikologi unsur maupun psikologi global. Contohnya, dalam pengajaran MP kita menggunakan metode SAS yang sejalan dengan psikologi global, sedangkan dalam latihan mengajar para calon guru maupun dalam meningkatkan 34 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

kemampuan profesional para guru, kita menggunakan pengajaran micro yang sejalan dengan psikologi unsur. Tetapi perdebatan tersebut sebenarnya dapat diakhiri bila kita keluar dari perdebatan tentang keunggulan maupun kelemahan pemakaian kedua psikologi tersebut, kemudian berusaha memadu metode huruf dan metode kalimat secara serasi, dan mengaitkannya dengan realitas sosial budaya. Metode huruf sudah digunakan di sekolah-sekolah kita sejak bahasa Indonesia masuk dalam kurikulum sekolah, dan baru mulai ditinggalkan secara formal saat kurikulum SD 1975 berlaku. Para orang tua yang tidak buta huruf pun sudah terbiasa membantu anak-anaknya belajar membaca dengan menggunakan metode huruf. Pada sisi lain, bahasa Indonesia adalah bahasa fonemis. Karena itu, ideal bila pelajaran membaca dimulai dari pengenalan huruf. Dengan demikian, bila kita hendak memadukan metode huruf dan metode kalimat secara serasi, juga bila kita hendak menggunakan metode yang sesuai realitas sosial budaya, maka metode I-in A-an merupakan pilihan yang paling tepat. Apa yang dikemukakan di atas memang baru merupakan hipotesis. Metode SAS memang sudah diujicobakan terlebih dahulu, juga metode I-in A-an merupakan hasil penelitian, namun kedua metode tersebut belum diteliti secara berdampingan melalui suatu penelitian eksperimental. Dengan mengadakan penelitian eksperimental terhadap kedua metode tersebut secara berdampingan, kita dapat memperoleh jawaban yang lebih meyakinkan, sehingga pilihan yang kita lakukan semakin dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 35

Hukuman, Teladan, dan Perilaku Moral Surabaya Post, 26 Agustus 1995 Menurut Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Siswono Yudohusodo, hukum, peraturan, dan perundangundangan mungkin saja tepat untuk menangkal korupsi, kolusi, dan manipulasi, tapi karena soal etika dan moral juga merupakan soal kebiasaan, keteladanan dari atas merupakan cara tunggal untuk membentuk sistem nilai (Kompas, 21/7/1995). Perkembangan moral yang memadai mencakup perkembangan konsep moral dan perkembangan perilaku moral (Elizabeth B. Horlock, 1978). Dalam hal konsep moral, meski proses perolehannya masih sering dipersoalkan, rasanya kita sudah kenyang dengan berbagai konsep moral. Pada jalur pendidikan sekolah misalnya, sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi berbagai konsep moral telah diberikan. Masih ditambah lagi dengan konsep moral yang diberikan oleh keluarga dan lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat. Yang masih sangat memprihatinkan justru perilaku moral kita. Secara psikologis, dalam teori perkembangan perilaku moral yang dikembangkan oleh Kholberg (1969) misalnya, hukuman, penghargaan serta teladan merupakan cara-cara utama dalam tahapan pembentukan perilaku moral. Dalam teori itu dikatakan, pada tahap awal perkembangan perilaku moral, manusia akan berbuat sesuai standar moral karena takut dihukum atau karena keinginan untuk memperoleh penghargaan. Sedangkan pada tahap berikutnya, manusia berbuat sesuai standar moral karena loyal pada (baca: meneladani) tokoh maupun kelompok acuan. Terlambat Pola pendidikan dalam keluarga di negeri ini agaknya makin mengabaikan penerapan hukum secara konsisten. 36 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

Penyebabnya berkisar pada dua hal. Pertama, orang tua tak cukup tahu bagaimana cara membentuk perilaku moral pada anaknya. Ada misalnya orang tua yang tak ingin anaknya mengalami hidup sulit seperti halnya mereka dahulu, dan untuk alasan itu, mereka tak tega menghukum anaknya yang melakukan pelanggaran moral, padahal mereka ingin agar anaknya berperilaku sesuai standar moral. Ada misalnya orang tua yang mengobral hadiah karena anaknya naik kelas, sekalipun anak naik kelas karena nilainya dikatrol oleh guru atas campur tangan orang tua. Padahal, kelonggaran dalam menerapkan hukuman serta pengobralan hadiah akan menyebabkan anak tak memiliki landasan moral yang kuat. Kondisi pengembangan perilaku moral dalam keluarga di negeri ini agaknya terjadi juga dalam pengembangan perilaku moral pada tataran makro hidup berbangsa dan bernegara kita. Dalam bidang pemerintahan terdapat kecenderungan, dalam manipulasi kecil-kecilan terhadap uang proyek pembangunan tertentu misalnya, para atasan biasanya menutup mata dan menganggapnya sebagai hal lumrah. Sedangkan dalam hal penghargaan, terdapat kecenderungan, penghargaan yang diberikan kepada seorang pegawai didasarkan pada lamanya masa kerja dan bukan prestasi kerja. Kecenderungan itu menyebabkan terdapat anggapan di kalangan para pegawai, penghargaan terhadap seorang pegawai sebenarnya hanya soal giliran. Tak konsistennya penerapan hukuman terhadap pegawai yang melakukan pelanggaran moral rupanya karena para atasan tak memiliki cukup keberanian untuk menerapkan hukuman itu. Mungkin karena pelanggaran yang dilakukan sudah terlampau membudaya. Atau, mungkin juga karena atasan tak cukup bersih, sehingga tak berani membersihkan bawahannya yang melakukan pelanggaran. Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 37

Menurut Menteri Pertahanan dan Keamanan, Edi Sudradjat, apa pun keluhan kita tentang tingkat disiplin nasional, sesungguhnya keluhan itu pertama-tama harus ditujukan kepada lapisan elite karena dari mereka itulah diharapkan kesuritauladanan (Suara Pembaruan, 28/6/1995). Pernyataan ini, seperti halnya pernyataan Siswono Yudohusodo, merupakan pernyataan yang melegakan dalam situasi di mana perilaku tak bermoral sudah menjadi lingkaran setan. Mudah-mudahan tak terjadi lagi hal-hal seperti dikemukakan Mohammad Sobary, orang penting tak boleh dipermalukan karena ada sejenis kesetiakawanan sosial di kalangan tertentu hingga bila seorang kawan terpeleset dari kursi, cepat bantuan kawannya datang untuk menempatkannya lagi dalam posisi semula (Surabaya Post, 19/7/1995). Kesediaan untuk menjadi teladan menuntut adanya kesadaran. Tapi kesadaran itu akan muncul bila ada sistem yang memaksanya. Untuk itu, pada tataran makro hidup berbangsa dan bernegara diperlukan badan tertentu di luar sistem pemerintahan yang berfungsi melakukan kontrol secara mandiri. Kita mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan misalnya, tapi membudayanya korupsi, kolusi, dan manipulasi menunjukkan, badan itu praktis tak berfungsi. Selain itu, karena tak setiap orang tua maupun calon orang tua memiliki pemahaman yang memadai tentang proses pendidikan moral, akan ada manfaatnya bila dalam program penataran P4, khususnya untuk mahasiswa dan masyarakat dewasa, diselipkan materi tentang proses pendidikan moral. Pendidikan Sikap oleh Sekolah Kompas, 15 Februari 1993 Perilaku melanggar nilai etik dan moral terasa semakin meningkat belakangan ini. Kenyataan tersebut menuntut kita 38 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

untuk merenungkan kembali, bagaimana pendidikan dalam aspek itu ditangani, terutama oleh sekolah. Kalau sekolah lebih diutamakan di sini, hal itu karena pertimbangan, bahwa sampai kini masyarakat pada umumnya cenderung menyerahkan sepenuhnya tugas mendidik kepada sekolah. Sekolah sendiri sesungguhnya tidak mungkin mengambil alih semua tugas pendidikan etik dan moral bangsa ini. Namun, sebagai lembaga pendidikan yang relatif tertata rapi sistemnya, sekolah diharapkan dapat berperan aktif dalam membina masyarakat, sehingga pada gilirannya masyarakat dapat berperan aktif dalam penyelenggaraan pendidikan melalui berbagai lembaga pendidikan di luar sekolah. Dari segi teori, pendidikan etik dan moral di sekolah terutama dibebankan kepada pelajaran PMP. Tetapi, dari segi praktik, setiap pelajaran di sekolah dituntut untuk ikut memikul tanggung jawab itu. Dengan kata lain, kajian-kajian teoritis tentang nilai-nilai etik dan moral menjadi tanggung jawab utama guru PMP melalui pelajaran PMP, tetapi latihan dalam melaksanakan nilai-nilai tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab semua guru di sekolah, apa pun pelajaran yang diberikan. Salah satu kritik terhadap pendidikan di sekolah-sekolah kita dewasa ini, adalah kurangnya penanganan terhadap aspek sikap. Aspek yang sesungguhnya terkait langsung dengan nilainilai etik dan moral. Bahkan dalam pelajaran PMP, yang seharusnya lebih mengutamakan pembinaan sikap pun, kegiatan belajar mengajar terlampau menekankan aspek penalaran. Kondisi pelajaran PMP seperti itu, dinilai hanya menghasilkan manusia yang mampu berargumentasi untuk mempertahankan kebenaran nilai-nilai etik dan moral yang bersumber dari Pancasila. Tetapi, nilai-nilai tersebut sering dilanggar sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 39

Dampak Pengiring Kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah kita dewasa ini amat diwarnai oleh teori tentang kawasan psikologis, yang dikemukakan oleh Bloom dan dikembangkan lagi oleh pengikutpengikutnya. Oleh Bloom, kawasan psikologis diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kawasan kognitif, kawasan afektif, dan kawasan psikomotorik. Kawasan kognitif berkaitan dengan kemampuan intelektual, kawasan afektif berkaitan dengan sikap dan nilai, sedangkan kawasan psikomotorik berkaitan dengan pengendalian gerak. Setiap kawasan psikologis itu dikembangkan menjadi beberapa bagian secara bertingkat, dari yang paling rendah, mudah, dan sederhana, sampai ke yang paling tinggi, sulit, dan kompleks. Kawasan kognitif terdiri atas ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kawasan afektif terdiri atas menerima, merespons, menghargai, mengorganisasikan, dan bertindak secara konsisten. Sedangkan kawasan psikomotorik terdiri atas persepsi, kesiapan, respons terbimbing, mekanisme, respons terpola, serta penyesuaian dan keaslian. Dalam penerapannya di sekolah, kawasan sikap dipandang hanya sebagai dampak pengiring (nurturant effects) dari kegiatan belajar mengajar (T. Raka Joni, Cara Belajar Siswa Aktif: Implikasinya Terhadap Sistem Penyampaian, 1984). Meskipun kawasan ini secara teoritis dapat dirancang dalam persiapan mengajar untuk pelajaran yang tidak diutamakan untuk pengembangan kawasan kognitif maupun psikomotorik, namun para guru biasanya tidak merancangnya dalam persiapan mengajar. Penyebabnya tentu terkait erat dengan pandangan, bahwa pengembangan kawasan afektif hanya merupakan dampak pengiring kegiatan belajar mengajar. Apalagi perancangan kawasan afektif dalam persiapan mengajar memang lebih sulit dibandingkan perancangan kawasan lainnya, tentu semakin kuat mendorong para guru untuk tidak merancangnya. 40 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

Nampaknya dalam pelajaran PMP yang seharusnya lebih mengutamakan pengembangan kawasan afektif pun, pengembangan kawasan tersebut tetap dipandang sebagai dampak pengiring kegiatan belajar mengajar. Pandangan demikian tentu saja merupakan pengebirian makna hakiki pelajaran PMP itu sendiri. Kendala Bahwa pembentukan sikap sebagai salah satu isi kawasan afektif merupakan suatu proses, memang ya. Tetapi, penempatan sikap hanya sebagai dampak pengiring setiap kegiatan belajarmengajar, tentu tidak dapat dikatakan tepat sepenuhnya. Soalnya, perilaku awal dan menengah dalam pembentukan sikap sebenarnya dapat distimulasi untuk muncul sebagai dampak langsung kegiatan belajar-mengajar (instructional effects). Singkatnya, secara teoritis pengembangan kawasan afektif dapat dirancang, sehingga merupakan dampak langsung setiap kegiatan belajar-mengajar, tidak hanya pada pelajaran PMP yang memang materinya lebih mengutamakan pengembangan kawasan afektif, melainkan pada pelajaran lainnya yang secara khusus tidak dimaksudkan untuk pengembangan kawasan itu. Selain itu, penempatan sikap hanya sebagai dampak pengiring kegiatan belajar-mengajar, dapat menyebabkan sikap dipandang sebagai hal yang tidak begitu penting, yang dapat saja diabaikan. Rancangan kawasan afektif untuk keperluan mengajar relatif lebih kompleks dibanding rancangan kawasan lainnya. Kenyataan tersebut merupakan kendala tersendiri dalam memaksimalkan pengembangan kawasan tersebut melalui pendidikan di sekolah. Kendala lainnya adalah terlampau banyaknya siswa dalam kelas. Di sekolah-sekolah kita pada umumnya, setiap kelas berisi sekitar 40 sampai 50 orang siswa. Karena pengembangan kawasan afektif menuntut perhatian intensif terhadap siswa Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 41

secara individual, maka jumlah siswa yang banyak itu amat menyulitkan guru. Tentu masih terdapat kendala lainnya. Kendala-kendala itu terkait erat dengan beban kerja guru. Kalau pengembangan kawasan afektif akan dilakukan secara besar-besaran melalui pendidikan di sekolah, beban kerja guru akan bertambah berat. Tegakah kita menambah beban kerja guru, tanpa memperhatikan nasibnya? Seimbangkah kenaikan gaji guru yang baru diumumkan pemerintah awal tahun ini dengan besaran beban kerja guru bila kawasan afektif akan dikembangkan secara maksimal? Apa pun jawabnya, yang jelas pengembangan kawasan afektif secara maksimal melalui pendidikan sekolah merupakan kebutuhan nyata sekarang ini. Tanpa ini, pendidikan kita mungkin dapat menghasilkan banyak orang pandai, tetapi miskin nilai etik dan moralnya. Cara Mendidik Versi Behaviorisme Tabloit Gloria, September 2016 Pendidikan yang bertanggungjawab adalah pendidikan yang didasarkan pada teori tertentu. Berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu sosial dan humaniora, menawarkan sejumlah teori yang relevan untuk penyelenggaraan pendidikan. Salah satu di antaranya adalah psikologi. Seperti bidang ilmu lainnya, psikologi pun menghadirkan dua aliran besar, yakni behaviorisme dan humanisme (Goble, 1987). Tulisan ini akan difokuskan pada cara mendidik versi behaviorisme. Salah satu tokoh di balik psikologi behaviorisme adalah Pavlov, melalui penelitiannya terhadap hewan, khususnya anjing. Dari penelitian-penelitian terhadap hewan, para behavioris menghasilkan teori standar bahwa perilaku manusia merupakan produk dari proses stimulus, respons, dan asosiasi. Dengan diberi stimulus, manusia akan merespon, dan dalam 42 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

merespon akan terjadi asosiasi. Stimulus dan respon berulang yang diwarnai asosiasi, akan menghasilkan pola perilaku tertentu yang relatif permanen. Begitu rumus dasarnya. Dalam aplikasinya di dunia pendidikan, cara-cara pendidikan behavioristik mengkristal menjadi langkah-langkah berikut. 1) Berikan teladan, 2) jelaskan secara logis makna dibalik hal yang diteladankan, 3) berikan hadiah bila teladan diikuti, 4) nasehati bila teladan tak diikuti, 5) berikan hadian bila nasehat diikuti, 6) berikan peringatan bila nasehat tak diikuti, 7) berikan hadiah bila peringatan tak dilanggar, 8) berikan hukuman bila peringatan dilanggar.

Realitas Lapangan Psikologi behaviorisme hadir di Indonesia bersamaan dengan keberadaan penjajah di negeri ini. Sejarah mencatat, di mana pun dan siapa pun penjajah, kaum kolonial hanya mengenal satu cara memeliharan eksistensi di daerah jajahan: kekerasan, baik fisik maupun psikis. Dalam konteks pendidikan, andaikan penjajah dianalogkan sebagai pendidik, maka hukuman digunakan sebagai satu-satunya cara mendidik. Di sana tak ada teladan, penjelasan, apalagi hadiah, sebagaimana rumus umum pendidikan versi behavioristik. Terjadilah sinergi antara cara mendidik penjajah dan psikologi versi hewan (baca: behaviorisme) yang direduksi, sehingga sempurnalah ketidaksempurnaan cara mendidik anak negeri ini. Kesalahan mendidik masih tetap berlanjut setelah merdeka. Di tangan Orde Baru sebagai rezim tangan besi, semakin kukuh persepsi masyarakat bahwa kekerasaan fisik dan psikis adalah alat pertama dan utama pendidikan pada semua lini. Ketegasan lalu identik dengan kekerasan. Hukuman sebagai salah satu cara mendidik, memang ya. Sayangnya, karena ratusan tahun kita dijajah dan dijejali Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 43

hukuman, hukuman, dan hukuman, maka cara mendidik itu lah yang ada dalam memori kita. Gaya pendidikan militer versi penjajah dipandang paling tepat dalam mendidik. Tidak hanya pada praktik pendidikan di keluarga dan sekolah, melainkan juga pada kebijakan pendidikan nasional, bahkan dalam semua lini pengelolaan negara. Rumus mendidik menjadi sangat sederhana: takut-takutilah anak dengan hukuman, dan hukumlah semaksimal mungkin ketika ia melakukan kesalahan, lalu tunggulah hasilnya. Dalam konteks pendidikan sekolah belakangan ini, rumusnya menjadi: takut-takutilah siswa dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebagai syarat ujian dan kanaikan kelas, buatlah mereka menjadi cemas, hukumlah mereka ketika tidak serius belajar, dan harapkanlah kenaikan kelas dan kelulusan 100 %. Utuh dan Proporsional Tentu saja apa yang kita tabur di dunia pendidikan, itulah yang kita tuai. Tidak mungkin kita menghasilkan insan penuh welas asih dan empati pada sesama, melalui sitem pendidikan berbasis kekerasan semata. Hasilnya adalah insan-insan yang mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup bersama. Sesungguhnya tak ada yang salah dalam teori pendidikan versi behaviorisme. Teori ini akan bermanfaat bila digunakan secara utuh, dan sesuai konteksnya. Kesalahan terletak pada kita: menggunakannya tak utuh dan tak proporsional. Miskin teladan, miskin penalaran, miskin hadiah, tapi kaya hukuman. Mari kita benahi, dan seimbangkan dengan humanisme. Seperti apa pendidikan versi humanisme? Sampai jumpa di kesempatan lain!

44 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

Cara Mendidik Humanisme Versus Behaviorisme Tabloit Gloria, November 2016 Psikologi behaviorisme dan humanisme adalah dua aliran psikologi yang amat mewarnai dunia pendidikan saat ini. Kalau psikologi behaviorisme dibangun di atas hasil penelitian terhadap hewan, dengan stimulus, respon, dan asosiasi sebagai basisnya, tidak demikian halnya psikologi humanisme. Tulisan ini akan membahas pandangan dan cara mendidik versi humanisme, dan bagaimana sinerginya dengan behaviorisme. Salah satu tokoh utama di balik psikologi humanisme adalah Abraham Maslow. Jika pada masa-masa awal kehadirannya, psikologi behaviorisme dibangun di atas hasil penelitian terhadap hewan, psikologi humanisme justru dibangun di atas hasil penelitian terhadap manusia. Maslow sebagai salah satu tokoh utama humanisme, membangun teorinya dari penelitian terhadap manusia, baik individu, maupun kelompok. Subyek penelitian Maslow adalah orang-orang baik yang bermental sehat versi banyak orang, serta komunitas masyarakat yang sehat secara sosial. Maslow meneliti fenomena di balik hadirnya individu-individu yang dipandang baik dan sehat oleh masyarakat, maupun kelompok-kelompok masyarakat yang sehat dipandang dari kajian sosiologi dan antropologi, (Goble, 1987). Pada pokoknya hasil penelitian Maslow sampai pada kesimpulan bahwa perbuatan manusia merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut bersifat hirarkhis, dari kebutuhan yang disebutnya kebutuhan dasar menuju kebutuhan lanjut. Secara hirarkhis kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, dan kebutuhan penghargaan sebagai kebutuhan dasar, serta kebutuhan aktualisasi diri sebagai kebutuhan lanjut. Menurut Maslow, ketika kebutuhan fisik tepenuhi minimal, maka akan muncul kebutuhan lebih tinggi, yakni Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 45

kebutuhan rasa aman. Dalam hal kebutuhan makan sebagai kebutuhanb fisik misalnhya, hanya orang yang kenyang yang akan memikirkan rasa aman. Ketika lapar, orang akan berusaha memenuhi kebutuhan makan, dan mengabaikan sementara kebutuhan rasa aman. Demikian selanjutnya, bila kebutuhan rasa aman terpenuhi minimal, orang akan mulai memikirkan pemenuhan kebutuhan lebih tinggi, yakni kebutuhan kasih sayang. Orang yang belum terpenuhi kebuthan rasa aman minimal, akan berusaha memenuhi kebutuhan rasa aman, dan mengabaikan kebutuhan kasih sayang. Begitu seterusnya sampai kebutuhan harga diri atau penghargaan. Bila kebutuhan-kebutuhan dasar terpenuhi minimal, maka manusia akan mulai memikirkan kebutuhan lanjut, yakni kebutuhan aktualisasi diri. Para penganut psikologi humanisme memaknai pendidikan sebagai upaya aktualisasi diri manusia. Konkritnya, pendidikan adalah upaya pengembangan bakat dan minat positif dalam diri manusia, berangkat dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Mengacu pada teori kebutuhan manusia menurut Maslow, dapat dikemukakan pokok pikiran tentang pendidikan versi humanisme sebagai berikut. Pertama, pendidikan adalah proses aktualisasi diri melalui pemenuhan kebutuhan hidup. Kedua, anak yang tidak terpenuhi kebutuhan fisik minimalnya, tidak mungkin akan beraktualisasi diri secara efektif dan efisien. Ketiga, anak yang tidak terpenuhi kebutuhan rasa amannya secara memadai, akan berkembang menjadi manusia yang cenderung penakut. Keempat, anak yang tidak terpenuhi kebutuhan kasih sayang secara memadai, akan berkembang menjadi manusia yang cenderung mudah merasa terasing. Kelima, anak yang tidak terpenuhi kebutuhan harga dirinya, akan berkembang menjadi manusia yang cenderung mudah sakit hati. Kelima, pendidikan akan efektif dan efisien, bila didasarkan dan berangkat dari kondisi keunikan dan kebutuhan anak. 46 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

Secara singkat cara pendidikan versi humanisme dapat dirumuskan sebagai berikut. Buatlah anak merasa kenyang, buatlah ia merasa aman, buatlah ia merasa dikasihi, buatlah ia merasa berharga, dan mulailah pendidikan untuk mengembangkan bakat dan minatnya, lalu tunggulah hasilnya. Karena segala sesuatu ada waktunya. Dalam konteks pendidikan sekolah, kesalahan paling umum yang dilakukan sekolah adalah memaksa anak untuk mengenyam pendidikan di luar bakat dan minatnya. Dan ironisnya, tidak jarang, orang tua juga ikut andil di dalamnya, dengan memaksakan kehendaknya kepada anak, bahkan terkadang juga memaksakan kehendaknya kepada sekolah. Jadilah pendidikan tidak didasarkan pada bakat dan minat anak, melainkan pada keinginan sekolah dan orangtua semata. Akibatnya, praktis semua kebutuhan dasar anak tidak terpenuhi, kecuali kebutuhan makan. Anak kehilangan rasa aman, kasih sayang, dan harga diri. Dalam kondisi demikian, hasil pendidikan tidak mungkin akan maksimal. Pendidikan justru menghasilkan manusia-manusia bermasalah di kemudian hari. Lalu, bagaimana dengan cara pendidikan versi bahaviorisme, bila diperhadapkan dengan psikologi humanisme. Bagi humanisme, perbuatan-perbuatan anak yang biasanya dikategortikan sebagai kenakalan, sesungguhnya adalah upaya anak untuk memenuhi salah satu dari kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah berusaha memahami kebutuhan apa yang sedang dikejar anak, memenuhinya secara benar, dan dengan demikian anak akan melakukan hal-hal positif untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Sementara bagi behaviorisme, perbuatan-perbuatan menyimpang anak adalah akibat dari kemungkinankemungkinan minimnya teladan, kurangnya nasehat, hukuman yang kurang tegas, atau hadiah yang tidak sesuai. Singkatnya, stimulus, respon, dan asosiasi yang salah alamat. Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 47

Sesungguhnya tidak ada yang salah pada aliran psikologi behaviorisme dan humanisme. Masing-masing memiliki kebenaran sesuai konteksnya. Ibarat pria dan wanita, tak ada yang salah di sana. Persoalannya terletak pada sinergi yang tidak jalan, ketika menikah. Tentang hukuman dan hadiah yang khas behaviorisme misalnya, kedua cara itu akan bersinergi positif dengan humanisme, bila hukuman dan hadiah diberikan sesuai kesepakatan yang dibangun sejak awal secara bersama, antara anak dan orangtua di keluarga, serta gura dan siswa di sekolah. Selamat mendidik dengan mensinergikan psikologi behaviorisme dan humanisme. Salam sukses mendidik. TUHAN memberkati. Gereja Sebagai Lembaga Pendidikan Majalah Berkat, Desember 2016 Salah satu pertanyaan mendasar yang muncul terkait agama dan pendidikan adalah bagaimana sesungguhnya posisi agama dalam konteks pendidikan. Salah satu jawaban mendasar adalah agama termasuk salah satu lembaga pendidikan. Literatur klasik tentang pendidikan paling tidak menyebut tiga lembaga pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan agama. Keluarga disebut sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama. Disebut pertama, karena dalam keluargalah pendidikan dimulai. Disebut utama, karena praktis fondasi pribadi manusia dibangun di sana. Dasar yang telah dibangun di dalam keluarga, akan amat menentukan perjalalan hidup manusia selanjutnya. Secara teoritis dasar yang salah dapat dibenahi, tapi itu berarti diperlukan waktu lebih lama untuk menghantar manusia menjadi dewasa. Pendidikan menjadi tidak efisien, ketika dasarnya tidak ditata dengan baik sejak dini. Agar ada kesamaan persepsi, perlu dikemukakan di sini bahwa berbicara tentang pendidikan sebagai sistem, berarti berbicara tentang komponen pendidik, peserta didik, tujuan dan 48 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

isi pendidikan, stretegi pendidikan, dan evaluasi pendidikan. Komponen-komponen ini ada dalam lembaga pendidikan manapun, entah keluarga, sekolah, maupun agama. Ketika pendidikan tidak maksimal dalam memainkan perannya, maka yang pertama dan utama perlu dikaji adalah kondisi peran komponen-komponen ini. Pertanyaan mendasar terkait lembaga dan komponen pendidikan dalam konteks agama adalah apakah lembaga agama telah memainkan perannya secara memadai sebagai lembaga pendidikan? Konkritnya, apakah komponen-komponen pendidikan agama telah ditata logis dan sistematis, dalam mengemban perannya sebagai lembaga pendidikan? Agama yang pertama dan utama? Di Indonesia, keluarga menjadi syah oleh agama. Negara hanya mencatat, agamalah yang mensyahkan. Kalau dilihat lebih jauh ke dasar negara, sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa menempati sila pertama. Lalu apakah bisa dikatakan bahwa lembaga agama adalah lembaga pendidikan pertama dan utama? Bagi penulis sebagai akademisi pendidikan, secara yuridisfilosofis, jawabannya adalah ya. Entah secara Theologis. Sebagai guru yang mengampu matakuliah teori dan filsafat pendidikan, pertanyaan yang hampir selalu muncul di ruang kuliah adalah apakah tugas agamawan selesai hanya sampai pada menikahkahkan umat? Bukankah itulah tugas termudah agamawan? Dalam konteks agama sebagai lembaga pendidikan, pertanyaannya adalah apakah tugas gereja selesai ketika telah menikahkan jemaat? Kalau hanya sampai di situ, maka begitu mudahnya tugas gereja sebagai lembaga pendidikan. Jadi, seharusnya jawabannya tidak. Tugas gereja tidak hanya sampai menikahkan jemaat, melainkan mengawal pernikahan itu menuju keluaarga yang berkenan di mata Tuhan, dan tentu saja berguna bagi sesama. Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 49

Pertanyaan berikut yang lebih operasional adalah bagaimana cara gereja mengambil peran sebagai lembaga pendidikan? Jawaban terhadap pertanyaan ini dapat diadopsi maupun diadaptasi dari praktik pendidikan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pertanyaan-pertanyaan praktis yang mesti dijawab dalam konteks pendidikan sebagai sistem adalah siapakah yang disebut sebagai pendidik di gereja, siapakah peserta didiknya, apa tujuan dan isi pendidikan atau kurikulum gereja, bagaimana sebaiknya kurikulum itu ditata, bagaimana strategi pendidikan di gereja, serta bagaimana evaluasi pendidikan di gereja? Rumus Umum Pendidikan Efektif-Efisien Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, semoga para pengelola gereja, khususnya para pendeta, telah mendapatkan ilmunya ketika mengenyam pendidikan teologia. Tentu saja pengelola gereja dapat pula bertanya atau berguru pada para ahli di bidang ini. Secara garis besar, pendidikan akan efektif dan efisien bila memenuhi ketentuan berikut. Pertama, pendidiknya adalah orang yang berbakat dan berminat menjadi guru. Sejumlah indikator dapat diajukan untuk menemukan guru yang berbakat dan berminat menjadi guru. Meminjam teori kecerdasan majemuk Gardner (Frames of mind: The Theory of Multiple Intelligence, 1993), misalnya, seorang pendidik idealnya antara lain adalah seseorang yang memiliki kecerdasan interpersonal yang tinggi. Kedua, peserta didik berlajar berangkat dari bakat dan minatnya. Rumusnya, temukan bakat peserta didik, jadikan bakat itu sebagai minat, dan dari sana pendidikan dimulai. Ketiga, tujuan dan isi pendidikan ditata secara logis dan sistematis. Konkritnya, misalnya dimulai dari dekat ke jauh, dari khusus ke umum, dari yang sudah diketahui ke yang belum belum diketahui, dari konkrit ke abstra, dan sejenisnya. 50 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

Keempat, strategi pendidikan, khususnya metode dan media pendidikan, ditata agar mengakomodir berbagai kondisi terkait pendidikan. Kondisi dimaksud misalnya keunikan karakteristik peserta didik, spesifikasi tujuan dan isi, ketersediaan sarana dan prasarana, serta tren teori pendidikan yang menjanjikan perubahan. Untuk saat ini misalnya, pendidikan yang melibatkan sedang menjadi tren dan diyakini mampu memaksimalkan hasil belajar siswa. Kelima, efisiensi dan efektifitas pendidikan hanya dapat diketahui melalui evalauasi terstandar. Untuk itu, diperlukan alat evaluasi yang memenuhi prinsip valid dan realiabel. Dapatkah gereja sebagai lembaga pendidikan, dikelola berdasarkan rumus umum di atas? Para pengelola gereja tentu lebih paham jawabannya. Tetapi apapun jawabannya, diperlukan sinergi positif antara berbagai lembaga pendidikan kalau kita ingin efektif dan efisien membangan negeri ini melalui pendidikan. Boleh jadi, pada gilirannya, sekolah justru belajar dari gereja tentang bagaimana cara mengelola pendidikan secara efektif dan efisien, jika gereja dapat memainkan perannya secara signifikan sebagai lembaga pendidikan. Semoga!

Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 51

DAFTAR RUJUKAN Atkinson, S. dan Tomley, S.(Editor). 2012. The Psychology Book. Dorling Kindersley Limited.London. Goble, F. 1987. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Yogyakarta: Kanisius. Rogers, C, R.1987. Antara Engkau dan Aku, Jakarta: Gramedia. Soekadji, S. 1983. Modifikasi Perilaku, Yogyakarta: Liberty. Goble, F.G. 1987. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Kanisius. Hergenhahn. B.R. dan Olson M.H. 2014. Theories of Learning, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Hitipeuw I. 2009. Belajar & Pembelajaran.Malang: Universitas Negeri Malang. Husanah dkk. 2016. Belajar dan Pembelajaran. Malang: Universitas Muhammadiyah. Latham dkk, 2008. Learning to teach. New York: Oxford University Press.

52 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

PROFIL PENULIS Anselmus JE. Toenlioe adalah purna tugas tenaga akademik Program Studi Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang, 1 September 2019. Meraih Gelar Sarjana Muda Bimbingan Konseling (1975) dari Universitas Kristen Satyawacana, Sarjana Pendidikan Dasar (1981) dari IKIP Malang, Magister Teknologi Pembelajaran (2000) dari Universitas Negeri Malang, dan Doktor Sosiologi (2008) dari Universitas Brawijaya. Setelah purna tugas penulis diangkat menjadi dosen tetap dan Wakil Ketua 1 di Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Kristen (STIPAK) Duta Harapan Malang. Penulis penyuka menulis artikel opini untuk koran, tabloid, dan majalah. Ratusan artikel opini, sebagian besar tentang Pendidikan telah dimuat koran lokal Malang, regional Jawa Timur, maupun nasional. Buku ini antara lain berisi artikel opini pendidikan terpilih yang dimuat di media massa cetak sejak tahun 1980 sampai tahun 2016. Kristyana, menyelesaikan program Diploma tiga Sekretaris (1994) dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, gelar Sarjana Sosial di peroleh dari Fakultas Ilmu Administrasi, universitas Brawijaya (1997). Selama sepuluh tahun berkarir dalam dunia bisnis property hingga akhirnya terdorong untuk kuliah kembali mengambil Pendidikan Kristen karena ingin menjadi guru agama Kristen. Gelar Sarjana Pendidikan Agama Kristen diperoleh dari Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Kristen (STIPAK) Malang tahun 2007. Tahun 2011 mendapat beasiswa dari Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) dan melanjutkan Pendidikan Pasca Sarjana di Sekolah Tinggi Theologia Baptis Indonesia (STBI) Semarang. Gelar Magister Pendidikan Agama Kristen diperoleh tahun 2013. Dan saat ini sedang menempuh Program Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan

| 53

Doktor Theologi di STT Berita Hidup, Karanganyar Jawa Tengah. Sekarang menjadi dosen tetap dan mengajar di Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Kristen (STIPAK) Malang. Sejak tahun 2018 hingga sekarang menjadi Penyuluh Kristen Non PNS Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia. Dan menjadi Penyuluh Informasi Publik (PIP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia mulai tahun 2018 hingga sekarang. Selain sebagai dosen juga mengabdi menjadi guru agama Kristen di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri, SMKN 8 Malang.

54 | Psikologi Pembelajaran: Aliran, Teori, dan Panduan