Tinjauan Studi Manajemen dan Kebijakan Publik di Indonesia: Menegaskan Identitas dan Meneguhkan Relevansi 9786233590204

https://digitalpress.ugm.ac.id/book/384 Buku yang berjudul Tinjauan Studi Manajemen dan Kebijakan Publik di Indonesia:

704 112 18MB

Indonesian Pages [388] Year 2021

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD PDF FILE

Table of contents :
Tabel 1.1. Variasi Ontologi, Epistemologi, dan Metodologi
Tabel 5.1. Pendekatan-Pendekatan Manajemen Publik
Tabel 6.1. Tiga Pilar Institusi
Tabel 6.2. Perbandingan Empat Varian Utama New Institutionalism
Tabel 6.3. Metode Analisis Institusional
Tabel 9.1. Perkembangan Peringkat Doing Business Indonesia (Dari 190 Negara)
Tabel 12.1. Pertumbuhan Aparatur Sipil Negara di Indonesia Tahun 1950–2020
Tabel 13.1. Indikator Website Berbasis DSD
Tabel 13.2. Detail Contoh Indikator Website Berbasis DSD
Tabel 14.1. Delapan (8) Area dalam Kecerdasan Digital (DQ)
PRAKATA
Kata Pengantar
Daftar Singkatan
PENGANTAR
BAB I
Critical Engagement: Pluralisme Ontologis, Variasi Epistemologis serta Terobosan Metodologis dan Aksiologis dalam Studi Manajemen dan Kebijakan Publik
Gabriel Lele
BAGIAN PERTAMA: ONTOLOGI
BAB II
Ilmu Administrasi Modern dan Kekuasaan: Dari Administrasi Negara ke Manajemen dan Kebijakan Publik
Erwan Agus Purwanto dan Arif Novianto
BAB III
Memahami Manajemen Publik Indonesia: Refleksi Ontologis
Yeremias T. Keban
BAB IV
Tentang Pakar dan Kepakaran di dalam Kebijakan Publik: Perjalanan Menelusuri Jejak Pemikiran dan Praktika
Ario Wicaksono
BAGIAN KEDUA: EPISTEMOLOGI
BAB V
Public Value dalam Administrasi Publik dan Governance
Ambar Widaningrum
BAB VI
Analisis Institusional dalam Studi Kebijakan Publik
I Made Krisnajaya
BAB VII
Revitalisasi dan Reorientasi Studi Organisasi di Manajemen dan Kebijakan Publik
Puguh Prasetya Utomo
BAB VIII
Behavioral Public Administration: Pembelajaran dari Bidang Kajian Perilaku Organisasional
Ely Susanto
BAB IX
Menciptakan Pemerintahan yang Lincah, Kolaboratif, dan Akuntabel: Tantangan Manajemen Publik di Indonesia
Wahyudi Kumorotomo
BAGIAN KETIGA: METODOLOGI
BAB X
Metode Ekonometrika dan Evaluasi Kebijakan
Media Wahyudi Askar
BAB XI
Big Data dalam Studi Kebijakan Publik: Metode dan Pendekatan dalam Pengambilan Keputusan
Bevaola Kusumasari
BAGIAN KEEMPAT: AKSIOLOGI
BAB XII
Civil Service Reform di Indonesia:Kemajuan dan Tantangan
Agus Pramusinto
BAB XIII
Electronic Government (e-Gov), Artificial Intelligence (AI), dan Kesenjangan Digital (Digital Divide)
Yuyun Purbokusumo dan Bima Katangga
BAB XIV
Generasi Z dan Reaktualisasi Kecerdasan Digital dalam Studi Manajemen dan Kebijakan Publik
M. Prayoga Permana
BAB XV
Menjaga Relevansi Ilmu Manajemen dan Kebijakan Publik di Indonesia
Wahyudi Kumorotomo
Daftar Istilah
Biodata Singkat Penulis
Recommend Papers

Tinjauan Studi Manajemen dan Kebijakan Publik di Indonesia: Menegaskan Identitas dan Meneguhkan Relevansi
 9786233590204

  • Commentary
  • decrypted from BE484C939E0BAE53C5E35913642C75DB source file; open access book
  • 0 0 0
  • Like this paper and download? You can publish your own PDF file online for free in a few minutes! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TINJAUAN STUDI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA: Menegaskan Identitas dan Meneguhkan Relevansi Penulis: Agus Pramusinto Ambar Widaningrum Arif Novianto Ario Wicaksono Bevaola Kusumasari Bima Katangga Ely Susanto Erwan Agus Purwanto

Gabriel Lele I Made Krisnajaya Media Wahyudi Askar M. Prayoga Permana Puguh Prasetya Utomo Wahyudi Kumorotomo Yeremias T. Keban Yuyun Purbokusumo

Editor: Gabriel Lele Wahyudi Kumorotomo Penyunting bahasa: Yuni Kartika Desain Sampul: Dimas Aryo Wijanarko Tata letak isi: Wahyu Penerbit: Gadjah Mada University Press Anggota IKAPI dan APPTI Ukuran: 15,5 x 23 cm; xviii + 370 hlm ISBN: 978-623-359-020-4 2108196-B2E Redaksi: Jl. Sendok, Karanggayam CT VIII, Caturtunggal Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta 55281 Telp. /Fax.: (0274) 561037 ugmpress.ugm.ac.id | [email protected] Cetakan pertama: September 2021 3309.153.08.21 Hak penerbitan ©2021 Gadjah Mada University Press Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, photoprint, microfilm, dan sebagainya.

PRAKATA

Perkembangan kajian dan publikasi, serta pengajaran bidang ilmu administrasi negara dan manajemen kebijakan publik di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) FISIPOL UGM mengalami pergeseran dan perkembangan dari waktu ke waktu. Jika di awal, fokus terletak pada kajian atas aspek-aspek pengadministrasian negara yang bersifat formal, perkembangan terbaru menunjukkan urusan administrasi publik jauh lebih kompleks dan dinamis, melibatkan aktor-aktor dan kepentingan yang beragam. Batasan antara yang publik dan private, serta antara negara dan non-negara semakin kabur dan cenderung tumpang tindih. Hal ini membutuhkan pendekatan yang berbeda untuk memahami dan menjelaskannya, tidak semata-mata bisa dengan pendekatan organisasi dan sistem administrasi, serta modal kebijakan publik yang berbasis pada formalisme dan institusionalisme klasik. Pilar-pilar keilmuan dalam bidang studi manajemen publik yang mencakup ontologi, epistemologi, metodologi, dan aksiologi membutuhkan peninjauan yang bersifat terusmenerus. Buku yang berjudul Tinjauan Studi Manajemen dan Kebijakan Publik di Indonesia: Menegaskan Identitas dan Meneguhkan Relevansi ini memotret perkembangan kajian, publikasi, dan pengajaran yang dilakukan di Departemen MKP FISIPOL UGM. Premis dasar yang dikembangkan dalam buku ini adalah pentingnya untuk menggugat penunggalan perspektif dan cara pandang keilmuan manajemen dan administrasi publik, sebagai akibat dari dominasi perspektif Barat yang terlebih dahulu mengembangkan kajian bidang ini. Kecenderungan homogenisasi ini direspons oleh para dosen dan peneliti Departemen MKP yang menjadi penulis buku ini dengan mengembangkan analisis kritis v

aspek perkembangan ontologi, epistemologi, metodologi, dan aksiologi, sebagaimana terlihat dalam susunan bab. Salah satu karakteristik analisis yang dikembangkan untuk mengimbangi homogenisasi keilmuan adalah muatan pengalaman kontekstual dan karakter keaslian lokal (indigeneity) dari dinamika pengelolaan administrasi dan manajemen kebijakan publik yang berkembang di Indonesia. Aspek khas lainnya yang kuat muncul dalam buku ini adalah dampak perkembangan teknologi digital dan bonus demografi yang mengharuskan adanya kecepatan adaptasi, serta transformasi dalam tata kelola kebijakan publik di Indonesia. Hadirnya buku ini merupakan bagian dari upaya FISIPOL UGM untuk melakukan publikasi state of the art (atau state of the discipline) enam departemen yang ada. State of the art ini menghadirkan telaah kritis atas perkembangan kontemporer berbagai bidang keilmuan yang menjadi fokus perhatian masing-masing departemen, yang tergambar dalam berbagai aktivitas penelitian, publikasi, pengajaran, dan advokasi sosial. Publikasi state of the art merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan FISIPOL UGM dan departemen-departemen di dalamnya terhadap komunitas akademik, sekaligus sebagai upaya untuk menjaga posisi academic leadership, baik di Indonesia maupun lebih luas. Terbitnya buku ini diharapkan akan menjadi sumber inspirasi dan pemantik perdebatan dalam memahami perkembangan dan dinamika masyarakat digital. Atas terbitnya buku ini, saya sampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Poppy S. Winanti (Wakil Dekan yang membidangi Penelitian dan Publikasi) serta tim UP3M FISIPOL UGM yang tidak kenal lelah mengawal proses penulisan dan penerbitan serial state of the art ini. Apresiasi yang tinggi juga saya sampaikan kepada tim editor dan para penulis yang telah mendedikasikan waktunya untuk menyusun hasil penelitian dan analisisnya dalam bentuk artikel bab yang bernas dan kuat. Kepada BPP UGM, khususnya Gadjah Mada University Press, yang telah memfasilitasi penerbitan buku ini, ucapan terima kasih juga saya sampaikan. Selamat membaca, semoga buku ini memberikan kontribusi, serta memicu perdebatan dan dialektika dalam bidang keilmuan manajemen dan kebijakan publik . Yogyakarta, 22 Mei 2021 Dekan Wawan Mas’udi vi

KATA PENGANTAR

Sejalan dengan berbagai arus perubahan besar yang ditandai oleh VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) menuntut transformasi pengelolaan sektor publik secara mendasar. Sebagai institusi yang memiliki pertautan besar dengan dan memiliki peran signifikan terkait dinamika tersebut, Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL Universitas Gadjah Mada secara konsisten berupaya melakukan penataan diri. Penataan itu dilakukan terutama dengan meninjau kembali perkembangan keilmuan, mengembangkannya, untuk selanjutnya diterapkan dalam keseluruhan proses pembelajaran. Semuanya diletakkan sebagai bagian dari upaya menegaskan diri sebagai institusi penghasil pengetahuan (factory of knowledge), sekaligus sebagai lembaga yang menjembatani proses transformasi pengetahuan tersebut menjadi sebuah inovasi yang berdampak (leading innovators). Salah satu wujud penataan tersebut adalah penulisan buku rujukan yang sebagian berisi refleksi kritis dan sebagian lagi berisi preskripsi praktis. Dengan memberi perhatian pada dimensi ontologi, epistemologi, metodologi, dan aksiologi. Buku ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para mahasiswa, praktisi, dan stakeholders lain yang terlibat dalam upaya pengelolaan dan transformasi sektor publik. Critical engagement adalah spirit dasar yang digunakan dalam buku ini di mana para penulis melibatkan diri secara reflektif dengan berbagai paradigma, pendekatan, teori, konsep, dan metode kajian manajemen dan kebijakan publik. Pada saat yang sama menawarkan beberapa jalan keluar, walaupun itu masih sangat awal. Penyusunan buku rujukan ini bisa diselesaikan berkat kontribusi dari para penulis serta para reviewer internal dan eksternal yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dan untuk semuanya diucapkan vii

terima kasih. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pimpinan FISIPOL UGM yang telah memfasilitasi penerbitan buku ini. Penghargaan kami berikan kepada rekan-rekan publishing editor: Lutfi U. A. Laksana, Idin Virgi Sabilah, dan Rizki Ardinanta yang telah membantu secara intensif terselesaikannya buku ini. Demikian juga, kami mengucapkan apresiasi untuk Tim Unit Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat (UP3M) Fisipol UGM yang memfasilitasi penerbitan buku ini. Semoga buku rujukan “State of the Art” Manajemen dan Kebijakan Publik ini dapat menjadi media efektif sebagai landasan dan pedoman bagi peningkatan kualitas sektor publik, serta ikhtiar transformasi sosial lainnya sekaligus menegaskan relevansi perguruan tinggi untuk menjadi agen perubahan. Yogyakarta, 13 April 2021 Tim Editor

viii

DAFTAR ISI

PRAKATA........................................................................................... v Kata Pengantar................................................................................ vii Daftar Isi............................................................................................ ix Daftar Tabel...................................................................................... xi Daftar Gambar................................................................................ xiii Daftar Singkatan.............................................................................. xv

PENGANTAR—1

BAB I

Critical Engagement: Pluralisme Ontologis, Variasi Epistemologis serta Terobosan Metodologis dan Aksiologis dalam Studi Manajemen dan Kebijakan Publik ................................................................................ 3 Gabriel Lele

BAB II

Ilmu Administrasi Modern dan Kekuasaan: Dari Administrasi Negara ke Manajemen dan Kebijakan Publik................................................................................. 37 Erwan Agus Purwanto dan Arif Novianto 37

BAB III

Memahami Manajemen Publik Indonesia: Refleksi Ontologis........................................................................... 59 Yeremias T. Keban

BAB IV

Tentang Pakar dan Kepakaran di dalam Kebijakan Publik: Perjalanan Menelusuri Jejak Pemikiran dan Praktika............................................................................. 87 Ario Wicaksono

BAB V

Public Value dalam Administrasi Publik dan Governance..................................................................... 117 Ambar Widaningrum

BAGIAN PERTAMA: ONTOLOGI—35

BAGIAN KEDUA: EPISTEMOLOGI—115

ix

BAB VI

Analisis Institusional dalam Studi Kebijakan Publik....... 133 I Made Krisnajaya

BAB VII Revitalisasi dan Reorientasi Studi Organisasi di Manajemen dan Kebijakan Publik................................ 157 Puguh Prasetya Utomo BAB VIII Behavioral Public Administration: Pembelajaran dari Bidang Kajian Perilaku Organisasional.......................... 191 Ely Susanto BAB IX

Menciptakan Pemerintahan yang Lincah, Kolaboratif, dan Akuntabel: Tantangan Manajemen Publik di Indonesia........................................................... 217 Wahyudi Kumorotomo

BAB X

Metode Ekonometrika dan Evaluasi Kebijakan........... 245 Media Wahyudi Askar

BAB XI

Big Data dalam Studi Kebijakan Publik: Metode dan Pendekatan dalam Pengambilan Keputusan............. 263 Bevaola Kusumasari

BAB XII

Civil Service Reform di Indonesia: Kemajuan dan Tantangan........................................................................ 295 Agus Pramusinto

BAGIAN KETIGA: METODOLOGI—243

BAGIAN KEEMPAT: AKSIOLOGI—293

BAB XIII Electronic Government (e-Gov), Artificial Intelligence (AI), dan Kesenjangan Digital (Digital Divide)............. 317 Yuyun Purbokusumo dan Bima Katangga 317 BAB XIV Generasi Z dan Reaktualisasi Kecerdasan Digital dalam Studi Manajemen dan Kebijakan Publik.......... 337 M. Prayoga Permana

PENUTUP ~ 351

BAB XV Menjaga Relevansi Ilmu Manajemen dan Kebijakan Publik di Indonesia........................................................... 353 Wahyudi Kumorotomo Daftar Istilah...................................................................................... 361 Biodata Singkat Penulis................................................................... 367

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Tabel 5.1. Tabel 6.1. Tabel 6.2.

Variasi Ontologi, Epistemologi, dan Metodologi..... 18 Pendekatan-Pendekatan Manajemen Publik......... 122 Tiga Pilar Institusi........................................................... 137 Perbandingan Empat Varian Utama New Institutionalism.............................................................. 142 Tabel 6.3. Metode Analisis Institusional....................................... 148 Tabel 9.1. Perkembangan Peringkat Doing Business Indonesia (Dari 190 Negara)........................................................ 220 Tabel 12.1. Pertumbuhan Aparatur Sipil Negara di Indonesia Tahun 1950–2020.......................................................... 300 Tabel 13.1. Indikator Website Berbasis DSD.................................. 319 Tabel 13.2. Detail Contoh Indikator Website Berbasis DSD........ 321 Tabel 14.1. Delapan (8) Area dalam Kecerdasan Digital (DQ). 344

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Rasionalitas birokrasi untuk menciptakan birokrat layaknya mesin ........................................ 42 Gambar 3.1. Model manajemen publik generik....................... 72 Gambar 3.2. Model manajemen publik Indonesia................... 76 Gambar 5.1. The strategic triangle of public value ................. 126 Gambar 7.1. Kluster penelitian di administrasi publik dan studi organisasi........................................................ 162 Gambar 7.2. Kompleksitas institusi dan respons organisasi...... 171 Gambar 9.1. Hubungan antara pola-pikir, teknologi, proses, dan manusia........................................................... 222 Gambar 9.2. Transparansi data dan informasi sebagai prasyarat partisipasi............................................... 228 Gambar 9.3. Paradoks dalam manajemen kolaboratif........... 232 Gambar 10.1. Estimasi Difference-in-differences........................ 254 Gambar 14.1. Enam Belas (16) Keterampilan Abad ke-21........ 342

xiii

DAFTAR SINGKATAN

AAEs

: Academic Administrative Entrepreneurs

AI

: Artificial Intelligence

AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan AN

: Administrasi Negara

AP

: Administrasi Publik

ASEAN

: Association of Southeast Asian Nations

ASN

: Aparatur Sipil Negara

ASPA

: American Society for Public Administration

ASQ

: Administrative Science Quarterly

Balitbang : Badan Penelitian dan Pengembangan Baperjakat : Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan BDA

: Big Data Analytics

BKN

: Badan Kepegawaian Negara

BKPM

: Badan Koordinasi Penanaman Modal

BPA

: Behavioral Public Administration

BRIN

: Badan Riset dan Inovasi Nasional

CAD

: Computer-Aided Diagnosis.

CADS

: Corpus-Assisted Discourse Studies

CAT

: Computer-Assisted Test

CDA

: Critical Discourse Analysis

CDE

: Call Detail Records

CL

: Corpus Linguistic

COINS

: Community of Interest Network xv

COVID-19 : Corona Virus Disease 2019 CSIS

: Center for Strategic and International Studies

DDT

: Dichloro Diphenyl Trichlorethane

DED

: Digital Engineering Design

DEG

: Digital-era Governance

Diklat

: Pendidikan dan Pelatihan

DIKLATPIM : Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan DMKP

: Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik

DPR

: Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD

: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DQ

: Digital Intelligence

DSD

: Digital Social Design

EBPM

: Evidence Based Policy Making

e-Gov

: Electronic Government

EIA

: Environmental Impact Assessment

ETL

: Extracting, Transforming and Loading

FDI

: Foreign Direct Investment

GSM

: Global System for Mobile Communication

HAM

: Hak Asasi Manusia

IAD

: Institutional Analysis and Development

IAPA

: Indonesian Association for Public Administration

ICT

: Information and Communication Technology

IGPA

: Institute of Governance and Public Affairs

IMF

: International Monetary Fund

IoT

: Internet of Things

KASN

: Komisi Aparatur Sipil Negara

KPK

: Komisi Pemberantasan Korupsi

KTP

: Kartu Tanda Penduduk

LAKIP

: Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah

LPPD

: Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

xvi

LSM

: Lembaga Swadaya Masyarakat

MENPAN : Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara MKP

: Manajemen dan Kebijakan Publik

MNO

: Multi National Organization

NGO

: Non-Government Organization

NIC

: Newly Industrialized Country

NPM

: New Public Management

NPS

: New Public Service

OCR

: Optical Character Recognition

OECD

: Organization for Economic Cooperation and Development

OMT

: Organization and Management Theory

OTT

: Operasi Tangkap Tangan

P2P

: Peer-to-Peer

PAFHRIER : Policy Analysis, Financial, Human Resources, Information, External Relations PAP

: People’s Action Party

PISA

: Programme for International Student Assessment

PKH

: Program Keluarga Harapan

PNS

: Pegawai Negeri Sipil

PO

: Perilaku Organisasional

POSDCORB : Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgeting PPK

: Pejabat Pembina Kepegawaian

PPP

: Public-Private Partnership

PPPK

: Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja

PSM

: Public Service Motivation

RAPBD

: Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

RAPBN

: Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

RB

: Reformasi Birokrasi

RCT

: Randomized Controlled Trial xvii

REDD+ : Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation RENSTRA : Rencana Strategis RKP

: Rencana Kerja Pemerintah

RKPD

: Rencana Kerja Pemerintah Daerah

RPJMD

: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

RPJMN

: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

SAKIP

: Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah

SDM

: Sumber Daya Manusia

SKD

: Seleksi Kompetensi Dasar

SNA

: Social Network Analysis

SPDP

: Surat Perintah Dimulainya Penyidikan

TAPD

: Tim Anggaran Pemerintah Daerah

TIU

: Tes Intelegensia Umum

TKB

: Tes Kemampuan Bidang

TKD

: Test Kemampuan Dasar

TKP

: Tes Karakteristik Pribadi

TWK

: Tes Wawasan Kebangsaan

VUCA

: Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity

WEF

: World Economic Forum

WNI

: Warga Negara Indonesia

xviii

PENGANTAR

BAB I

CRITICAL ENGAGEMENT: PLURALISME ONTOLOGIS, VARIASI EPISTEMOLOGIS SERTA TEROBOSAN METODOLOGIS DAN AKSIOLOGIS DALAM STUDI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Gabriel Lele

Pendahuluan Melihat dan mempertanyakan kembali perjalanan sebuah disiplin ilmu selalu menjadi bagian penting dari perkembangan ilmu itu sendiri. Hal itu sejalan dengan watak sebuah disiplin yang senantiasa dinamis, bergerak mengikuti perkembangan zaman dengan segala dinamikanya. Demikian halnya dengan apa yang secara rutin dilakukan oleh Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (DMKP), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Sejak berubah nama dari Jurusan Administrasi Negara pada tahun 2010, DMKP terus melakukan review keilmuan secara periodik yang diikuti dengan sejumlah langkah pembenahan pada kurikulumnya. Tegasnya, critical engagement dan critical reflexivity (Cunliffe & Jun, 2005) menjadi bagian integral dalam politik pengetahuan untuk memastikan sebuah displin tidak saja relevan secara praktis, tetapi juga membebaskan secara hakiki. Melalui keduanya, seseorang mendapatkan insights atas komitmen ontologis dan epistemologisnya, serta mampu mengatasi atau menetralisasi sisi terburuk darinya.

3

Dalam konteks yang lebih luas, critical reflexivity semakin mendesak ketika dihadapkan pada dua arus besar pada tingkat global, yakni ‘homogenisasi’ dan ‘saintifikasi’ keilmuan dalam cara Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) didekati. Kecenderungan homogenisasi ditandai oleh kuatnya pengaruh perkembangan keilmuan di Amerika dan Eropa yang lalu dijadikan rujukan studi MKP di berbagai belahan dunia lain termasuk Indonesia. Homogenisasi tersebut dimulai dengan pilihan diksi keilmuan yang untuk konteks Indonesia diterjemahkan menjadi Ilmu Administrasi Negara (AN) sebagai pakem utama atau Administrasi Publik (AP) untuk sebagian kecil lainnya. Desain kurikulum pun relatif tidak banyak berbeda di tengah gempuran rezim homogenisasi atas nama ‘standar’ yang terkadang disponsori sendiri oleh institusi penaungnya semacam asosiasi program studi. Sejumlah ahli sudah mengingatkan betapa berbahayanya tren kolonisasi epistemik ini dan merekomendasikan penyikapan kritis melalui, misalnya, asimilasi kritis (Candler, 2014). Kuatnya kecenderungan homogenisasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya saintifikasi: sebuah proses mencari dan membentuk identitas diri untuk menjadikan kajian-kajian MKP layak dilabeli saintifik. Dahl (1947) sudah mengingatkan sulitnya administrasi publik berkembang menjadi sains dan hal itu terkait dengan tiga pemasalahan yang saling terkait, yakni nilai, perilaku, dan budaya (lihat juga Wright, 2015). Selain itu, sebagai displin eklektik yang mencoba belajar dari dan menggabungkan berbagai disiplin lainnya, ilmu MKP sering kali mengalami kesulitan untuk menegaskan kekhasannya. Sayangnya, upaya untuk menjawab tantangan di atas dengan memperkuat elemen-elemen penopang sains yang sudah terlanjur dikuasai oleh rezim positivis sering kali bermuara pada penguatan positivisme itu sendiri. Kedua kecenderungan ini sudah lama digugat dan belakangan coba diganggu kemapanannya oleh beberapa tradisi berpikir kritis. Gerakan transformatif ini sebagian masih berkutat pada pakem klasik seperti administrasi publik atau manajemen dan kebijakan publik, tetapi diberi adjektif sebagai penanda ontologis-epistemologisnya. Muncul berbagai variasi seperti “non-western public administration” (Drechsler, 2013; Yanow, 2005), alternative public administration, “traditional” public administration, eclectic public administration, authentic public 4

administration (Amoah, 2012), local public administration, particular public administration (Candler, 2002), unique PA, multicultural or contextual public administration (Drechsler, 2015), indigenous public administration (Henderson, 2005), atau bahkan sekadar “comparative public administration” (Farazmand, 1996). Penanda ontologis lain adalah Asian public administration (Cheung, 2013), African public administration (Ibeto, 2019), dan adjektif geografis lainnya yang sebenarnya merefleksikan pencarian akar ontologis yang sebelumnya terlanjur diabaikan. Pada saat yang sama, muncul oposisi ontologis yang bertujuan menguliti fokus kajian yang sudah dianggap mapan dengan beralih dari, misalnya, ‘public administration’ menjadi ’public affairs’ atau governance. Intinya, pada tataran ontologis dan epistemologis, muncul tekanan yang cukup kuat untuk meninggalkan, atau minimal merevisi, kecenderungan homogenisasi dengan membuka keran bagi terjadinya pluralisasi pada aspek ontologi dan epistemologi yang selanjutnya akan melahirkan variasi metodologis dan penegasan aksiologis. Pada level yang lebih kritis, upaya untuk melawan berbagai kedua kecenderungan di atas dengan coba meninggalkan atau sekadar merevisi berbagai paradigma klasik dianggap tidak cukup. Paradigma baru dalam kajian MKP hanya akan dianggap baru ketika mampu membongkar watak politik pengetahuan di baliknya yang tidak lain bertumpu pada kekuasaan itu sendiri (Blesset, Gaynor, Witt & Alkadry, 2016). Oleh karena itu, sebagian ilmuwan MKP menginisiasi beberapa paradigma kritis seperti postmodernism (Miller & Fox, 2007), post-traditionality (Eikenberry, 2009) atau Gramscian school of public administration (Davies, 2011). Pada tingkatan yang lebih mikro, tekanan untuk melawan homogenisasi yang melahirkan pluralisasi tersebut mewujud dalam kecenderungan yang kedua: munculnya berbagai upaya mandiri dari berbagai universitas, departemen atau program studi untuk melihat kembali studinya. Hal ini juga berlaku bagi universitas-universitas ternama yang sering menjadi referensi bagi studi-studi MKP atau AP. Proses tersebut membawa berbagai implikasi seperti perubahan kurikulum, perubahan nama institusi, hingga penghapusannya. Kecenderungan ketiga yang juga tidak sedikit dilakukan adalah gencarnya berbagai asosiasi keilmuan untuk juga terus melakukan 5

peninjauan terhadap studi MKP atau AP. Misalnya, American Society for Public Administration (ASPA) berusaha menempatkan studi dan praktik AP dalam konteks critical democracy yang menjadi pijakan ontologisnya yang sebelumnya ditundukkan oleh kecenderungan saintifikasi AP (Eikenberry, 2009). Raadschelders (2011) mencatat bahwa kecenderungan untuk mengejar kadar saintifik telah menjadikan studi AP lebih memberikan perhatian pada aspek metodologis yang pada gilirannya justru mendikte pilihan epistemologis. Ia menyarankan agar kajian-kajian AP dan MKP kembali memberikan perhatian pada aspek ontologi dan epistemologi sebagai dasar pilihan metodologis, bukan sebaliknya. Bagian berikut akan mendiskusikan sebagian dari pergumulan akademik tersebut yang sederhananya dibagi atas lima bagian, yaitu krisis identitas, ontologi, epistemologi, metodologi, dan aksiologi.

Menegaskan Identitas Mengacu pada sejarah perkembangannya, ilmu Administrasi Negara (AN), Administrasi Publik (AP) atau Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) mengalami dinamika yang luar biasa dan sebagian dari dinamika itu lahir sebagai upaya penegasan identitas sebagai disiplin distinktif sekaligus hasil dari refleksi dan kritik terhadapnya (Heidelberg, 2018; Zalmanovitch, 2014). Perdebatan awal seputar dikotomi administrasi dan politik adalah sebagian dari dinamika tersebut. Pertanyaan yang cukup perenial hingga ini adalah apakah MKP atau AP adalah seni (art) atau ilmu (science) dengan obsesi yang sangat besar untuk menegaskan yang kedua (Riccucci, 2010). Dahl (1947) menegaskan kritik atas krisis identitas studi administrasi publik sebagai sains yang dirangkumnya dalam tiga tema besar, yaitu nilai, perilaku, dan budaya. Kritik Dahl berpangkal pada pertanyaan apakah AP memenuhi kualifikasi sebagai sains yang berdiri sendiri? Prinsip-prinsip saintifik apa saja yang mendefinisikan disiplin ini? Di mana posisi AP sebagai sains di antara sains-sains yang lain? Dahl tidak sedang sekadar meragukan kadar saintifik dari studi AP pada saat itu, tetapi lebih menempatkan kritiknya sebagai bagian dari upaya mendefinisikan dan mendorong pengembangan AP sebagai sebuah kajian saintifik. Robert Dahl tidak sendirian, Simon (1946) dan Waldo (1948) yang juga mengajak para ahli pada saat itu untuk memperjelas identitas AP 6

pada fase-fase formatif ini sebagai sebuah fokus kajian yang memenuhi kualifikasi saintifik, walaupun kualifikasi tersebut secara terbatas dipahami sebagai keberpihakan pada validitas universal tanpa perlu peduli pada persoalan-persoalan politik dan moral, perbedaan antarindividu serta pengaruh-pengaruh sosial-budaya. Pada akhirnya, mereka bersepakat bahwa administrasi publik sebagai sains yang dibangun di atas dasar klaim value-free dapat terus dikembangkan dengan tetap memberi perhatian pada aspek-aspek ’non-saintifik’ atau beyond science seperti nilai, perilaku, dan budaya tersebut. Dalam bahasa yang lebih lugas, pada akhirnya objek kajian MKP atau AP akhirnya tidak hanya melulu berkutat dengan Logos, tetapi juga menyentuh aspek-aspek Pathos dan Ethos (Gottweis, 2007). Jika Logos mendewakan cara berpikir dan cara kerja serba rasional berbasis akala sehat, Pathos sebaliknya menegaskan pentingnya aspekaspek emosional yang melekat pada setiap individu. Selebihnya, Ethos membuka ruang bagi semakin pentingnya etika dan moral dalam kajian manapun termasuk MKP atau AP. Kombinasi ketiganya akan melahirkan komprehensivitas pendekatan sebuah kajian termasuk AP dan MKP sejalan dengan watak mutidimensionalitas manusia. Perkembangan beberapa paradigma berikutnya seperti new public management, new public service hingga public governance juga merefleksikan upaya menegaskan identitas MKP atau AP. Hal ini merefleksikan karakter kajian MKP atau AP yang selalu dinamis, berkembang bersama peradaban, dan oleh karenanya berusaha untuk selalu relevan. Pada saat yang bersamaan, dinamika tersebut dapat dimaknai sebagai kegundahan terdalam untuk menemukan jati dirinya dan penemuan jati diri yang sejati harus dimulai dari upaya pengungkapan paling hakiki dari kajian MKP sebagai being yang boleh jadi statis bagi sebagian orang, tetapi dinamis bagi sebagian yang lain. Itulah sebabnya, mencari dan menegaskan identitas sebuah disiplin termasuk MKP harus dimulai dengan mengurai akar ontologisnya untuk diteruskan dengan menelusuri basis epistemologis yang menjadi referensi bagi invensi metodologis sekaligus penegasan aksiologisnya. Terdapat kompleksitas yang cukup tinggi untuk menjawab tantangan tersebut, tetapi jawaban atasnya akan sangat menentukan harkat MKP sebagai sebuah area kajian yang jelas identitasnya. 7

Kompleksitas studi MKP yang ikut menjadi energi pendorong perkembangannya ditegaskan juga oleh Rosenbloom (1983). Dalam pandangannya, kajian MKP atau AP senantiasa akan terus mengalami ketegangan internal. Ketegangan tersebut muncul karena melekatnya perbedaan nilai yang membingkai bagaimana MKP dipelajari dan seharusnya dipraktikkan yang dikategorikannya menjadi tiga nilai, yakni manajerial, politik, dan hukum. Itulah sebabnya, di banyak universitas di dunia termasuk di Indonesia, studi-studi MKP dapat diletakkan pada fakultas sosial-politik, fakultas hukum, atau fakultas ekonomi. Kajian de Graaf, Huberts & Smulders (2016) juga menegaskan bagaimana perbedaan, bahkan konflik, nilai akan senantiasa ditemukan di dalam aspek mana pun dalam kajian dan praktik MKP. Oleh karena itu, di tengah upaya sejumlah ilmuwan yang berupaya menegaskan identitas studi MKP dengan mengklaim bahwa ia seharusnya dituntun oleh salah satu nilai saja, semakin banyak ilmuwan yang justru sepakat bahwa sesuai wataknya, MKP harus mampu merangkum berbagai nilai atau aspek yang berbeda bahkan bertentangan tersebut. Satu nilai tertentu tidak boleh dibiarkan mendominasi nilai yang lain (Riccucci, 2010). Oleh karenanya, salah satu ciri paling kritis dari studi MKP adalah diversitas atau heterogenitas. Dengan kata lain, jika ada pertanyaan atau bahkan gugatan terhadap identitas MKP, maka salah satu jawaban pendeknya adalah bahwa kajian MKP selalu dan akan senantiasa diwarnai oleh diversitas atau heterogenitas tersebut. Tegasnya, diversitas atau heterogenitas akan senantiasa menjadi identitas MKP sebagai sebuah disiplin. Bagian berikut akan mencoba membuka kembali sebagian diskursus dalam studi MKP, yang dimulai dengan tinjauan ontologis, epistemologis, metodologis, hingga akhirnya implikasi-implikasi aksiologisnya. Sebagaimana ditekankan oleh Raadschelders (2019), berbagai pertanyaan besar dalam kajian MKP harus dimulai dan merujuk pada diskursus ontologi dan epistemologi yang akan sangat mempengaruhi metodologi dan aksiologi.

Pluralisme Ontologis Upaya hakiki untuk menegaskan identitas sebuah disiplin harus pertama dan utama dimulai dengan melacak akar filsafatnya. Walaupun 8

MKP merupakan displin yang bersifat praktikal, tetapi praktikalitas tersebut menuntut panduan filosofis yang jelas dan kuat. Ongaro (2019) menegaskan bahwa kajian AP dan MKP membutuhkan filsafat, tidak sebagai disiplin, tetapi lebih sebagai fondasi yang menuntun displin lain ketika mendekatinya seperti ilmu politik, sosiologi, ekonomi, hingga hukum. Salah satu cabang filsafat penting adalah ontologi dalam kajian AP dan MKP sejauh ini masih sangat jarang dibahas. Ontologi pada intinya adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat sebuah objek, peristiwa atau realitas (the nature of existence or being or reality). Ia menjadi salah satu area kajian tertua, sekaligus paling pelik dan kritis, yang menentukan legitimasi sebuah disiplin ilmu. Kajian ini awalnya tidak menjadi materi yang menarik bagi ilmuwan MKP atau AP yang lebih asyik berkutat dengan karya-karya konsultatif praktis ketimbang meleburkan diri dalam upaya-upaya reflektif. Pada saat yang sama disadari betul bahwa ontologi meletakkan dasar paling fundamental bagi sebuah displin dan ketidakjelasan – apalagi pengabaian – atasnya akan menjerumuskan sebuah disiplin ke arah yang salah dengan sejumlah implikasinya. Sebagaimana ditegaskan beberapa ahli, ontologi sangat mempengaruhi dan menentukan arah sebuah teori dan bahkan melampauinya (Stout & Hartman, 2012). Ontologi akan membentuk sejumlah presuposisi tentang hubungan manusia dengan objek tertentu seperti diri (self), dunia dan hal lainnya (Howe, 2006). Dalam konteks MKP, misalnya, ontologi membentuk bagaimana cara para ahli dan praktisi melihat atau memaknai sebuah realitas yang pada akhirnya membentuk kebijakan publik dan/ atau manajemen publik. Dengan kata lain, ontologi sangat mempengaruhi bagaimana MKP sebagai pengetahuan didapatkan dan dikembangkan, cara mendekatinya, serta berbagai implikasi etis dan praktis yang mengikutinya. Terman (2011:242) secara tegas mencatat bahwa implikasi epistemologis dan metodologis dari sebuah pilihan ontologis: “The ontological perspective that a researcher chooses to use informs the epistemology of his or her research. If the researcher is looking to explain the constructions given to social phenomena or how these social phenomena have become facticities for a social group, inference-generating, probability seeking research is inappropriately applied because the social construction of ideas often cannot be readily observed and, thus, is difficult to quantify empirically.”

9

Berangkat dari latar belakang tersebut, sejak beberapa dekade terakhir, ontologi MKP atau AP mulai mendapatkan perhatian dengan ragam pendekatan yang ditawarkan. Keragaman tersebut sebagian dipicu oleh pluralitas area kajian dalam dispilin ini, mulai dari yang berfokus pada kajian negara, pemerintah, publik, administrasi, organisasi, manajemen, kebijakan, hingga governance. Jika terdapat satu keseragaman di antara berbagai keragaman tersebut, maka itu adalah dominasi ontologi barat yang ditandai oleh kuatnya orientasi objektivisme. Pada saat yang bersamaan, upaya untuk menggugat kenyamanan ontologi barat tersebut harus dihadapkan pada minimnya eksplorasi akademik terhadap berbagai varian ontologi non-barat yang pada akhirnya justru membantu memperkuat hegemoni, jika bukan dominasi, ontologi barat. Muncul kesadaran sekaligus ajakan yang semakin luas dan penting untuk mengembangkan pluralisme ontologis yang diwarnai oleh berkembangnya berbagai cara berpikir alternatif terhadap realitas mapan yang pada akhirnya melahirkan wajah baru – atau bahkan wajah lain – dari realitas tersebut. Terman (2011) kembali menegaskan bahwa pemahaman dan penggunaan berbagai varian ontologi (yang diikuti oleh epistemologi) akan mampu menguak aspekaspek partikular yang sering kali luput dari perhatian dan menjadi fondasi penting untuk mendefinisikan elemen-elemen MKP secara lebih akurat. Salah satu contoh pluralisme ontologis digambarkan oleh Mendie (2020). Mendie memetakan pandangan para ahli terhadap manajemen dan administrasi sebagai Being. Dari pelacakannya terhadap perkembangan studi manajemen dan administrasi itu, ia menemukan beberapa persamaan sekaligus perbedaan ontologis penting dan hal itu bermula dari cara individu (man) dan organisasi berinteraksi. Ahli seperti Frederick W. Taylor memiliki pandangan bahwa sebuah organisasi pada hakikatnya dijalankan oleh para pekerja seperti mesin yang bekerja secara otomatis. Taylor menggunakan empirisisme sebagai pijakan ontologisnya dan menawarkan cara pandang yang bersifat induktif sekaligus pragmatis. Ini mirip dengan pandangan Henri Fayol yang percaya bahwa organisasi adalah mekanisme yang dapat direkayasa dan administrasi adalah pelaku utama rekayasa tersebut. Fayol menggunakan pendekatan rasionalisme yang sangat mekanistik dan lebih mengandalkan cara berpikir deduktif, analitik, dan taksonomis sebagaimana dirangkumnya dalam prinsip 10

POSDCORB. Pandangan tersebut berbeda dengan beberapa ahli yang tergabung dalam aliran humanisme di antara tahun 1920 hingga 1930 sebagaimana direpresentasikan oleh Abraham Maslow dan Mary Parker Follett. Ini berbeda lagi dengan cara pandang ahli pada periode berikutnya seperti Herbet A. Simon yang menganjurkan positivisme dan T. Greenfield yang menginisiasi pendekatan fenomenologi. Contoh lain yang dapat digunakan untuk menunjukkan pluralisme ontologis adalah kajian tentang pemerintah. Terdapat beberapa pertanyaan yang perlu dijawab untuk menjelaskan keberadaan pemerintah sebagai Being yang distinktif. Misalnya, aspek-aspek apa yang perlu dibicarakan ketika kita merujuk pada pemerintah? Proses, kekuatan, mekanisme, struktur, dan aktivitas apa saja yang membentuk pemerintah? Jika pemerintah terdiri dari sekumpulan aktor – individu-individu yang menjalankan peran tertentu, memiliki sejumlah nilai, preferensi, kepentingan bawaan, serta terlibat dalam berbagai interaksi dan jaringan dengan individu lain di dalam maupun di luar pemerintah – bagaimana para aktor tersebut diikat dan terikat pada nilai atau institusi tertentu? Format relasi sosial seperti apa yang pada akhirnya membentuk unit organisasi pemerintah? Demikian juga sederetan pertanyaan sejenisnya yang bermuara pada pengungkapan eksistensi paling hakiki dari pemerintah. Pandangan-pandangan hakiki semacam inilah yang pada akhirnya menentukan bagaimana pemerintah diposisikan (Little, 2020). Sejauh ini, jamak diakui bahwa pandangan ontologis terhadap MKP sangat didominasi oleh positivisme yang diinspirasi dari ilmu pasti (Raadschelders, 2011). Refleksi yang dalam dan kritis menunjukkan bahwa pandangan seperti itu, kendati penting, sudah tidak memadai lagi dan oleh karenanya harus direvisi untuk tidak mengatakan diganti. Ilmu sosial seperti MKP berurusan dengan realitas dan entitas sosial yang memiliki watak yang berbeda dengan objek ilmu pasti. Jika dunia sosial terutama berurusan dengan individu-individu dan budaya menjadi bagian integral yang melekat dengannya, maka realitas sosial hanya bisa didekati dengan membuka pemahaman terhadap individu dan konteks kulturalnya tersebut. Oleh karenanya, positivisme perlu didukung atau diperkuat – dan jika bisa digeser – dengan pandangan ontologis lain. Pandangan alternatif tersebut haruslah bersifat actor-centered yang meniscayakan pluralitas. Cara 11

berpikir semacam ini mensyaratkan ontological disclosure ala Wamsley (1996) di mana seseorang dapat membuat klaim normatif apa pun terhadap sebuah objek atau realitas sejauh proses konstruksinya dinyatakan secara terbuka. Komitmen semacam ini mensyaratkan kongruensi logika mulai dari norma atau keyakinan hingga praktiknya. Sebaliknya, jika hakikat sebuah realitas bertolak belakang dengan cara kita menangkap atau bahkan mengkonstruksikannya, maka realitas tersebut jelas problematis. Fenomena yang dikenal dengan ontological angst (Evans dan Wamsley, 1999:119) semacam ini jelas harus dicegah. Uraian pendek ini hendak menegaskan dua hal. Pertama, disiplin MKP atau AP perlu memberikan perhatian yang semakin besar pada aspek ontologisnya. Aspek inilah yang memberikan pijakan paling hakiki tentang bagaimana sebuah “realitas” didekati yang pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu dibentuk atau diubah. Tegasnya, ontologi menjadi pijakan bagi epistemologi, metodologi, dan akhirnya aksiologi. Kedua, mengingat sifat eklektik MKP, maka tidak ada pilihan lain secara ontologis kecuali membuka keran bagi lahirnya pluralisme ontologis. Pada tingkat yang paling minimal, disiplin MKP perlu menggeser hegemoni ontologi barat yang bersifat positivistik dengan membuka ruang bagi lahirnya ontologi alternatif non-barat. Lalu bagaimana praktiknya di Indonesia? Tepatnya, sejauh mana gugatan ontologis itu sudah direspons oleh ilmuwan MKP atau AP di Indonesia? Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, bahwa kajian MKP atau AP di Indonesia sejauh ini mengalami kebekuan jika bukan kebuntuan. Kenyataan bahwa masih banyak universitas yang menggunakan istilah “Administrasi Negara” semakin memperkuat sinyalemen tersebut. Secara implisit, penggunaan nama tersebut merefleksikan watak kunonya yang tidak bisa dilepaskan dari warisan kolonial dan dilanjutkan secara sempurna oleh rezim orde Baru. Watak kuno ini tercermin dalam paling tidak dua hal. Pertama, secara ontologis, kajian-kajian tersebut secara tidak sadar meletakkan negara atau pemerintah sebagai fokus kajiannya. Kedua, dominasi negara sebagai fokus kajian ini kemudian melahirkan implikasi epistemologis yang dikuasai oleh nalar-nalar positivistik dengan mengedepankan sistem komando dan kontrol. Implikasi keduanya dapat dilihat dari cara negara memposisikan dirinya serta bagaimana rakyat 12

ditempatkan yang dalam praktiknya menunjukkan persis kebalikan dari prinsip hubungan principal-agent dalam teori demokrasi. Berbagai upaya pembenahan seperti reformasi birokrasi pada akhirnya tidak lebih dari jargon karena akar fundamentalnya tidak pernah disentuh, apalagi diubah. Jika kedua fenomena tersebut diperluas, maka refleksi ontologis sangat diperlukan tidak hanya berkaitan dengan penegasan identitas tersebut, tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai wujud pengawalan yang hakiki dari bagaimana MKP dipelajari dan dipraktikkan. Penting untuk disadari bahwa fenomena apa pun yang dikaji dalam berbagai ilmu sosial termasuk MKP atau AP cenderung memiliki makna yang berbeda-beda, maka dibentuk melalui proses definisi dan redefinisi iteratif melalui interaksi sosial. Intinya, tidak ada makna tunggal. Dalam konteks ini, perspektif ontologis yang dianut akan memberikan tuntunan bagi seorang ahli atau peneliti dalam melakukan kajiannya, terutama terkait cara sebuah objek kajian diidentifikasi dan diberi identitas tertentu. Sayangnya, ajakan ini lebih dimaknai sebagai kebutuhan metodologis ketimbang sebuah keharusan ontologis.

Liberasi Epistemologis Diskusi pada bagian sebelumnya menegaskan bahwa pilihan ontologi akan sangat mempengaruhi pilihan epistemologis, sebuah cabang filsafat yang mempelajari asal-usul pengetahuan. Jika ontologi berkaitan dengan cara pandang seseorang tentang objek tertentu, epistemologi menuntut orang untuk membangun pengetahuan tentang objek tersebut. Selanjutnya, jika pengetahuan dimaknai sebagai “justified true belief” (Audi, 2010), maka pada akhirnya epistemologi harus menguak sumber keyakinan tersebut. Dalam area kajian ilmu-ilmu sosial, para ahli menawarkan sejumlah pilihan epistemologis untuk memahami sebuah realitas atau objek yang lalu membentuk keyakinan, dan ketika keyakinan tersebut sudah terjustifikasi, maka keyakinan tersebut akan menjadi pengetahuan. Beberapa pertanyaan dasar yang harus dijawab adalah apa itu pengetahuan? Bagaimana pengetahuan itu diperoleh? Kondisi-kondisi apa saja yang dapat dianggap necessary dan sufficient untuk membentuk pengetahuan? Struktur pengetahuan dan limitasinya bagaimana? Apa yang membuat keyakinan yang terjustifikasi benar-benar terjustifikasi? Bagaimana justifikasi 13

dilakukan? Apakah justifikasi bersifat internal atau eksternal? Jawaban akan pertanyaan-pertanyaan tersebut akan sangat menentukan status sebuah disiplin sekaligus menjadi jembatan penting yang menerjemahkan ontologi sekaligus memberikan pijakan bagi metodologi. Dalam konteks ini, terdapat beberapa pijakan epistemologis awal yang dapat digunakan untuk mengkritisi studi MKP atau AP. Mengutip Robert Audi (2010), justifikasi sebuah realitas menjadi pengetahuan mensyaratkan minimal dua hal, yakni property dan proses. Property berkaitan dengan sumber pengetahuan yang dalam bahasa umum dikenal dengan ’bukti’. Tidak (akan) ada pengetahuan tanpa bukti, walaupun bukti dapat dimaknai secara berbeda dengan derajat yang berbeda pula, baik hard evidence maupun soft evidence. Sementara itu, proses berkaitan dengan reliabilitas, yaitu bahwa justifikasi harus melalui sejumlah protokol untuk mentransformasi property tadi menjadi pengetahuan. Terkait dengan proses, para ahli juga menawarkan dua cara utama, yakni melalui cara deontologis dan non-deontologis. Cara yang pertama dilakukan dengan menyandarkan diri pada data atau informasi untuk menghasilkan informational belief. Sementara itu, cara kedua lebih mengandalkan pada proses kognitif. Kedua cara ini dituntun dan menuntun pilihan epistemologis yang berkutat pada pertanyaan, yaitu apakah sumber suatu pengetahuan bersifat internal atau eksternal? Jawaban atas pertanyaan inilah yang melahirkan dua kubu utama dalam epistemologi, yakni positivisme dan post-positivisme. Jika dikembangkan lagi berbasis sumber pengetahuan – persepsi, memori, introspeksi, nalar, dan testimoni – maka akan lahir sejumlah aliran epistemologis dengan segala persamaan dan perbedaannya. Positivisme adalah aliran yang sangat percaya pada objektivitas. Realitas sosial adalah konstruk eskternal dengan segala makna yang melekat padanya. Oleh karenanya, realitas eksternal atau fakta tersebut harus dipisahkan dari nilai dan studi atau analisis apapun harus bersifat bebas nilai (Meier, 2005). Pandangan ini menegasikan peran aktor yang berhadapan dengan realitas tersebut. Proses transmisi realitas tersebut menjadi pengetahuan – dengan kata lain, proses justifikasi – tidak tergantung atau dipengaruhi oleh aktor yang berhadapan dengannya.

14

Dari cara pandang pokok ini, lahir sejumlah cabang atau aliran epistemologi berdasarkan sumber pengetahuan yang menjadi sandarannya. Misalnya, jika bersandar pada perspesi, muncul aliran ‘realisme naif’ – objek berada di luar sana dan tidak tergantung pada pengalaman sensorik seseorang dan kesimpulan tersebut lahir dari persepsi sederhana – atau ‘realisme langsung’ – kesadaran kita tentang objek eksternal tidak tergantung pada kesadaran kita akan mental images atau apa pun yang bersifat nonekternal (Audi, 2010). Demikian halnya jika kita menyandarkan diri pada memori sebagai sumber pengetahuan. Realisme langsung berargumen bahwa memori seseorang dibentuk oleh peristiwa atau pengalaman masa lalu atau objek eskternal melalui rantai kausal yang tidak terputus. Berbeda dengan positivisme, post-positivisme memiliki argumen yang berbeda tentang asal-usul pengetahuan. Post-positivisme menaruh perhatian besar pada pentingnya subjektivitas yang belakangan dimoderasi menjadi intersubjektivitas. Realitas sosial tidak pernah bisa berdiri sendiri; sebagian lahir dari dan dipengaruhi oleh mental images dan sebagian lagi diproduksi melalui konstruksi sosial. Pandangan ini menginspirasi lahirnya teori-teori kritis termasuk interpretivisme atau fenomenologi. Berangkat dari cara pandang tersebut, post-positivisme melahirkan sejumlah aliran atau pandangan epistemologis turunan yang juga sangat dipengaruhi oleh sumber pengetahuan yang dirujuk. Misalnya, jika merujuk pada persepsi sebagai sumber pengetahuan, muncul beberapa pandangan turunan seperti ‘representativisme’ yang berargumen bahwa pancaindra manusia ‘membentuk’ objek eskternal. Dengan kata lain, kesadaran kita tentang realitas atau objek eksternal tergantung pada kesadaran kita tentang mental images atau hal-hal non-eksternal lainnya yang ada pada diri kita. Pandangan lain, yakni ‘idealisme’ percaya bahwa sama sekali tidak ada realitas eksternal; semua realitas adalah internal atau melekat pada individu. Juga ada ‘skeptisisme’ yang berargumen bahwa memang terdapat objek eksternal, tetapi kita tidak tahu secara pasti. Selain itu, jika berangkat dari memori sebagai sumber pengetahuan, terdapat beberapa pandangan turunan post-positivisme. Misalnya, representativisme yang berargumen bahwa ingatan akan masa lalu dibentuk melalui mental images. Aktivitas mengingat (remembering) dimediasi oleh imaji-imaji memorial. Demikian juga dengan pandangan fenomenologi 15

yang menganggap bahwa aktivitas mengingat untuk menghasilkan memori sebenarnya tidak melulu berkaitan dengan masa lalu, tetapi berkaitan dengan pembentukan konten imajinasional terhadap pengalaman masa kini. Pandangan-pandangan tersebut juga sangat mempengaruhi kajian MKP atau AP. Sejauh ini, harus diakui bahwa aliran positivistik masih mendominasi kajian tersebut. Dengan kecenderungan deterministik yang sangat kuat, positivisme terikat pada ambisi melakukan generalisasi dan mengisolasi diri dari pertimbangan etis atau kewajiban moral yang sebenarnya menjadi bagian penting di mana MKP ada dan dipraktikkan (Meier, 2005). Aspek-aspek non-rasional seperti emosi, etika, moralitas, perasaan, empati, atau keberpihakan atau Ethos dan Pathos dianggap tidak relevan. Obsesi untuk terus melakukan generalisasi secara tidak langsung telah menjadikan MKP yang positivistik sebagai alat rekayasa dan kontrol. Pada saat yang sama, kajian-kajian positivistik menjerumuskan studi MKP ke arah reduksionisme akut sekaligus dehumanisasi peradaban manusia yang mengangkangi misi terpenting disiplin ini, yakni pembebasan. Jauh sebelumnya, Farmer (1995:78) mengingatkan bahwa: “Public Administration Theory should be concerned primarily with a liberation ethic, rather than merely with a production or efficiency ethic. It should focus on interpretations and understandings that aim at liberation…. Liberation should be sought, for one thing, from all the conceptual constraints, prejudices, stereotypes and cobwebs that Public Administration Theory has inherited from the hierarchical view of bureaucracy.”

Dengan cara pandang positivistik yang masih sangat dominan, preskripsi-preskripsi MKP sering kali mendapat perlawanan yang pada level praktis dapat dilihat dari oposisi terhadap berbagai kebijakan pemerintah, perlawanan terhadap meritokrasi dalam penyelenggaraan manajemen, gugatan terhadap good governance, bahkan ketika dia semakin populer dan dipraktikkan secara luas, dan lain sebagainya. Secara epistemologis, hal ini merefleksikan patologi dalam cara berpikir yang pada akhirnya menuntun pada preskripsi yang keliru. Merespons gejala tersebut, beberapa ahli sudah berusaha menawarkan jalan keluar. Jalan keluar yang paling moderat adalah merevisi atau

16

melengkapi cara kerja positivisme dengan meminjam dari atau mengombinasikannya dengan resep-resep post-positivisme. Tradisi interpretivisme, misalnya, berusaha menantang kemapanan positivisme dalam memahami perilaku sosial dan manusia dengan menegaskan bahwa keduanya hanya dapat dipahami dengan mempelajarai gagasan, pikiran, atau pandangan orang yang dikaji. Lebih dari itu, interpretasi terhadap gagasan atau pandangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari nilai atau pengalaman dari sang peneliti. Oleh karenanya, proses konstruksi pengetahuan sangat dipengaruhi oleh kebenaran atau realitas sebagaimana dimaksudkan oleh peneliti. Tentu saja, perbedaan-perbedaan pandangan semacam ini sering kali menimbulkan ketegangan. Namun, mengingat tujuan akhir dari studi MKP adalah terwujudnya bonum commune yang adalah agregasi individu warga negara dalam segala keutuhannya, maka tidak bisa tidak, epistemologi studi MKP adalah kombinasi berbagai pendekatan dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dalam bahasa Riccucci (2010:117), “The different approaches to studying public administration have served to strengthen the field, ensuring that research is carried out in all traditions”. Oleh Riccucci, beberapa tradisi epistemologis tersebut dirangkum dalam tabel berikut ini.

17

18

Relativisme: Pengetahuan dan makna adalah hasil interpretasi; peneliti dan realitas tidak terpisahkan

Pengetahuan bersifat relatif; tidak ada objektivitas; kebenaran adalah konstruksi sosial dan terikat budaya

Hermeneutika; grounded theory; fenomenologi; interpretivisme; ideografi,

Ontologi

Epistemologi

Metodologi

Interpretivisme

Induktif; spekulasi; penalaran logis, matematis dan kritis

Pikiran adalah sumber pengetahuan; induksi; pengetahuan apriori

Pikiran peneliti membentuk realitas

Rasionalisme

Observasi; uji hipotesis; triangulasi; metode campuran

Realitas objektif muncul dari kesadaran introspektif, pancaindra dan pengalaman masa lalu; pengetahuan aposteriori

Peneliti dan realitas terpisah

Empirisme

Nomotetik; uji hipotesis; verifikasi;

Realitas objektif ada di luar pikiran; deduksi; netralitas nilai

Peneliti dan realitas terpisah; ada kebenaran universal yang nyata

Positivisme

Triangulasi; metode campuran; eksperimen yang termodifikasi

Objektivitas bersyarat; falsifikasi empiris; ada realitas namun terlalu kompleks untuk dimengerti atau dijelaskan

Realisme kritis; peneliti dan realitas adalah hal yang sama

Postpositivisme

Tabel 1.1. Variasi Ontologi, Epistemologi, dan Metodologi

Marxisme; teori kritis; perspektif radikal; dekonstruksi; semiotika; feminisme kritis

Pengetahuan dipengaruhi oleh bias ideologis; pengetahuan universal tidak mungkin dibangun; pengetahuan adalah hasil konstruksi sosialbudaya

Relativisme; antirealisme; skeptisisme; kolektivisme; egalitarianisme; pragmatisme

Postmodernism/ Teori Kritis

19

Kualitatif: etnografi, action research, studi kasus deskriptif, analisis isi, analisis naratif

Metode

Sumber: Riccucci (2010: 47, 118).

Interpretasi atas berbagai teks atau dokumen untuk mencari makna; analisis isi; etnografi

Contoh

Interpretivisme

Kualitatif: Analisis konseptual, diskursus normatif atau kajian metaetika

Diskurus normatif, misalnya tentang peran konstitusi dalam MKP; analisis konseptual; meta analisis etik atas konstitusi atau pemerintah

Rasionalisme

Kuantitatif dan kualitatif: Studi kasus, riset lapangan, storytelling, analisis naratif, atau kajian best practices

Studi deskriptif tentang pejabat perempuan; storytelling tentang perilaku pegawai; kajian best practices

Empirisme

Kualitatif: studi lapangan, eksperimen atau survei

Kajian eksperimental; analisis regresi; atau structural equation modelling tentang hubungan kausalitas antara 2 variabel atau lebih

Positivisme

Kuatitatif dan kualitatif: etnografi, storytelling, studi kasus untuk analisis kebijakan partisipatif, metode-Q

Penggunaan mixed methods atau metode-Q untuk mendalami sebuah fenomena atau menganalisis kausalitas antara dua variabel atau lebih

Postpositivisme

Tabel 1.1. Variasi Ontologi, Epistemologi, dan Metodologi (lanjutan)

Kualitatif: analisis wacana, kritisisme literer, analisis dialektis, studi kasus, studi lapangan

Analisis kritis, dekonstruksi, atau feminisme dalam kebijakan publik

Postmodernism/ Teori Kritis

Dengan memaparkan variasi tersebut, tulisan ini hendak menunjukkan bahwa sejalan dengan sifat eklektiknya yang sudah disadari sejak lama, pluralisme ontologis sekaligus variasi epistemologis dalam studi MKP bukan saja harus diterima, tetapi perlu terus-menerus dipupuk. Keteganganketegangan tersebut merupakan resonansi positif yang akan terus menggerakkan studi MKP untuk selalu sadar akan kontradiksi internalnya ketika berusaha menegaskan diri sebagai disiplin distinktif dalam ilmuilmu sosial. Sangat mungkin, kontradiksi ini akan menjadi watak perenial dari kajian MKP, sama perenialnya dengan kompleksitas publik yang menjadi adjektif dari kajian manajemen dan kebijakan.

Variasi Metodologis Pluralisme ontologis dan variasi epistemologis pada akhirnya sangat mempengaruhi metodologi dalam kajian MKP yang secara sederhana dapat dibedakan atas pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Mengingat langgengnya dominasi epistemologi positivistik, maka tidak mengherankan jika kajian-kajian MKP sangat kuat diwarnai oleh pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif sangat terobsesi untuk mengejar objektivitas di satu sisi dan generalisasi di sisi yang lain. Di antara kedua isu tersebut dapat dimasukkan juga kausalitas. Oleh karenanya, isu validitas dan reliabilitas yang menjadi fondasi generalisasi dijawab secara sederhana dengan memperbanyak n. Hal ini dilandasi oleh kesadaran bahwa ketika kajian MKP diturunkan ke level praktis, maka ia akan berhadapan dengan yang umum, bukan yang khusus. The knowledge of the general itu diproduksi dengan melibatkan sebanyak mungkin unit yang berada dalam satuan populasi tertentu. Namun, pendekatan kuantitatif tentu saja lebih dari sekadar memperbanyak n. Pendekatan ini dicirikan oleh rigiditas berpikir yang diwujudkan dalam sejumlah protokol riset yang ketat dan bila perlu dilakukan melalui model formal, serta otomasi semacam big data analytics. Dengan mengutip kembali apa yang dibahas secara mendalam oleh Frederich Riggs (1962), pendekatan kuantitatif menyandarkan dirinya pada konsep nomotetik.

20

Sebaliknya, dengan derajat yang berbeda, pendekatan kualitatif mencoba menantang atau menggeser pendekatan kualitatif dengan menawarkan the knowledge of the particular. Pendekatan ini berangkat dari gagasan idiografis yang menekankan pada keunikan dan kedalaman sebuah realitas atau objek. Fenomena tertentu harus dipahami dalam konteks tertentu pula di mana fenomena itu ditemukan atau terjadi. Kalaupun seorang peneliti berkepentingan untuk membangun kausalitas, maka kausalitas tersebut terjadi dalam fenomena itu sendiri. Dengan demikian, pendekatan kualitatif menolak narasi-narasi besar seperti generalisasi atau minimal komparabilitas (Terman, 2011). Perbedaan yang terus-menerus ditemukan dalam kedua pendekatan tersebut coba dimoderasi dengan argumen bahwa kedua pendekatan tersebut membantu para peneliti untuk memproduksi pengetahuan dan upaya produksi pengetahuan seharusnya diikat oleh prinsip-prinsip dasar yang sama. King, Keohane, & Verba (1994) mempertegas kebutuhan tersebut dengan mengatakan bahwa kedua pendekatan tersebut hanya berbeda dalam cara, tetapi diikat oleh kesamaan dalam hal inferensi. Selain itu, sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah ahli, sebuah konsensus awal telah muncul tentang pentingnya pluralisme metodologis dalam riset-riset MKP dan hal itu adalah hal yang tak terhindarkan bagi sebuah area kajian yang bersifat multidisiplin, berorientasi praktis, dan pada saat yang bersamaan berupaya terus-menerus untuk mengembangkan teori (Raadschelders, 2005; Schwartz-Shea, 2019). Tantangannya adalah memperjelas instrumentasi dan aplikasinya. Tantangan lainnya adalah mencegah terjadinya balkanisasi metodologis atas nama pluralisme tersebut (Jordan, 2005).

Aksiologi: Pluralisme Nilai Studi ilmu sosial tidak akan lengkap tanpa memperbincangkan aksilogi, cabang filsafat yang memperbincangkan hakikat, tipe, dan kriteria nilai yang umumnya berkaitan dengan etika seperti kebenaran, integritas, kepatutan, akuntabilitas, dan nilai-nilai yang umum lainnya. Para ahli MKP sudah lama berusaha memberi perhatian pada sentralitas nilai, baik secara afirmatif maupun negatif. Walaupun terdapat beberapa ahli yang mencoba membuat pemilahan yang tegas antara fakta dan nilai, cukup banyak ahli 21

lain yang justru berpandangan sebaliknya. Kelompok yang kedua ini berargumen bahwa nilai tidak bisa diabaikan dalam studi MKP karena studi ini berawal dan berakhir dengan individu dan setiap individu memiliki dan bersinggungan dengan nilai. Nilai dan nilai publik membantu memberikan pemahaman yang berbeda terhadap studi MKP termasuk menghindari fokus berlebihan pada fakta (Rutgers, 2015). Wagenaar (2011) dan Spicer (2010), misalnya, memberi perhatian pada nilai publik sebagai salah satu pendekatan etika dalam studi AP serta pendekatan interpretif terhadap analisis kebijakan sekaligus mengadaptasi MKP terhadap kondisi-kondisi postmodern sambil mengadvokasi keterlibatan politik dari para pelaku. Walaupun nilai dan nilai publik mendapatkan posisi yang sentral, di antara para ahli sendiri relatif belum ada kesepakatan tentang apa itu nilai dan nilai publik. Rutgers (2015) lebih lanjut berargumen bahwa nilai dan nilai publik adalah “fussy concept” dan karena ketidakjelasan definisinya, maka nilai publik lebih diperlakukan sebagai pendekatan dalam studi MKP ketimbang sebagai konsep yang terdefinisikan secara jelas. Dalam bahasa Meynhardt (2009), nilai publik merupakan konsep ambigu dengan sejumlah janji pencerahan, tetapi tidak disertai konsensus atas makna sejatinya. Ketidakjelasan tersebut mendorong para ahli untuk mengadvokasi pluralisme nilai dalam kajian MKP. Pluralisme nilai dibangun di atas paling tidak lima klaim pokok: (a) terdapat beragam nilai dalam arena publik, (b) nilai-nilai tersebut bersifat objektif dalam dirinya, (c) terdapat konflik antara berbagai nilai tersebut, (d) konflik tersebut sering kali bersifat incommensurable, dan (e) muncul trade-off atau pilihan radikal atas berbagai nilai yang berbeda atau bertentangan tersebut (Overeem & Verhoef, 2014; lihat juga de Graaf, Huberts, & Smulders, 2016). Dari kelima klaim tersebut, klaim ketiga dan kelima menjadi klaim terpelik yang harus dihadapi oleh studi MKP. Untuk alasan itu pula, maka muncul sejumlah ahli yang menjadikan konflik nilai sebagai minat kajian tersendiri. De Graaf, Huberts, & Smulders (2016), misalnya mengkaji secara mendalam isu ini dengan menjadikan governance sebagai contohnya. Kajian mereka menyimpulkan bahwa hampir selalu ada konflik di antara nilai-nilai governance yang digunakan secara serampangan – partisipasi dan efisiensi, keadilan dan pemerataan, akuntabilitas dan 22

efektivitas, pemerataan dan efisiensi atau antara performing governance dengan proper governance. Temuan mereka mempertegas beberapa kajian konflik nilai terdahulu dengan perdebatan klasik antara liberty dan equality sebagai contohnya. Studi dan praktik MKP di Indonesia juga mengalami ketegangan yang sama. Di satu sisi terdapat kebutuhan untuk menanamkan serta merevitalisasi nilai-nilai publik yang dianggap universal seperti meritokrasi, profesionalisme, integritas, akuntabilitas, pemerataan, keadilan, efisiensi atau efektivitas. Namun di sisi lain, muncul kesadaran bahwa universalitas nilai tersebut sering kali problematis ketika diterapkan pada konteks yang berbeda di mana Indonesia memiliki sejumlah nilai yang sangat mungkin tidak kompatibel dengan dengan nilai-nilai tersebut. Misalnya, mungkinkah netralitas birokrasi diterapkan dalam kultur masyarakat yang mengedepan nilai saling membantu? Pada saat yang bersamaan, Indonesia juga mengalami dilema terkait pilihan nilai apa yang harus diutamakan ketika nilai-nilai tersebut tidak kompatibel satu sama lain. Kegamangan ini bermuara pada diinkorporasinya berbagai nilai pada proses atau produk manajemen publik dan atau kebijakan publik dengan instrumentasi yang tidak jelas. Dalam berbagai produk kebijakan seperti UU atau Perda, kita sering menyaksikan bagaimana sejumlah asas atau prinsip dijadikan dasar namun instrumentasinya menguap begitu saja. Dengan mengangkat poin ini, sama sekali tidak ada maksud penulis untuk mengabaikan pentingnya nilai. Sebaliknya, nilai dan nilai publik harus terus dikembangkan dan dipertegas. Tantangannya semata-mata terletak pada bagaimana menentukan nilai mana yang harus diperhatikan oleh siapa dan dalam konteks mana. Kecuali terdapat formula yang pasti dengan derajat kompatibilitas yang tinggi, baik antara nilai-nilai universal dengan nilai-nilai lokal atau budaya setempat maupun antar nilai tersebut, maka selamanya MKP akan senantiasa dihadapkan tidak saja dengan dilemma, tetapi juga konflik nilai.

Sekilas Isi Buku Sebagai sebuah bunga rampai, buku ini adalah kontribusi sejumlah penulis yang adalah para staf pengajar dan peneliti pada Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL Universitas Gadjah Mada. 23

Secara sengaja, buku ini didedikasikan untuk meninjau kembali 4 (empat) pilar penting studi MKP sebagaimana diuraikan sebelumnya: ontologi, epistemologi, metodologi, dan aksiologi. Urutan babnya juga disusun sedemikian rupa sehingga merefleksikan urutan berpikir. Sebagai fondasi dari semuanya, bagian berikut akan diawali dengan tinjauan ontologis, lalu berturut-turut diikuti oleh diskusi epistemologis, metodologis, dan aksiologis. Bagian pertama buku ini akan diisi dengan tiga bab tentang pergumulan ontologis. Tulisan pertama oleh Erwan Agus Purwanto menyajikan dinamika perkembangan ilmu MKP dengan menggunakan pendekatan post-positivisme. Penulis menyajikan beberapa gelombang dinamika yang diwarnai oleh dialektika keilmuan, kepentingan kekuasaan, dan gerakan akar rumput. Setiap gelombang tersebut merepresentasikan pertarungan hegemoni – dan kontra hegemoni – dalam mendefinisikan MKP dan proses inilah yang menjadikan kajian MKP terus mengalami perubahan. Tulisan ini juga menegaskan pentingnya variabel ekologi sebagai pendobrak perubahan dan keharusan studi-studi MKP untuk melakukan penyesuaian atasnya. Di atas semuanya, penulis menegaskan pentingnya variabel kekuasaan dalam mendorong perubahan tersebut dan sumber kekuasaan itu tidak lagi secara monolitik didominasi oleh negara, tetapi bisa muncul dari mana saja. Itulah sebabnya terma AP, apalagi AN, dianggap usang, dan oleh karenanya diganti dengan MKP. Pemetaan besar perkembangan MKP di atas dilanjutkan oleh tulisan Yeremias T. Keban tentang manajemen publik di Indonesia berusaha melihat kembali bagaimana studi – dan praktik – manajemen publik di Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh paradigma atau budaya barat. Dengan memasukkan faktor lingkungan internal dan eksternal, serta kombinasi antara keduanya sebagai variabel penting di dalam studi manajemen publik, tulisan ini hendak mengingatkan betapa pentingnya variabel ekologi dalam berbagai kajian MKP. Implikasinya tentu saja adalah kebutuhan model manajemen yang berbeda ketika ekologinya berbeda dan itu menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah organisasi. Penulis menggunakan beberapa contoh perubahan, termasuk reformasi kebijakan dan kelembagaan, yang awalnya sangat dipengaruhi oleh paradigma barat,

24

tetapi sudah coba dilakukan adaptasi terhadap konteks lokal dengan segala keterbatasannya. Bagian pertama diakhiri oleh tulisan Ario Wicaksono tentang peran pakar dan kepakaran di dalam kebijakan publik. Penulis berusaha melakukan evaluasi dan kajian teoritik tentang kedua konsep tersebut untuk memberikan fondasi lanjutan bagi kajian yang terkait dengannya. Tulisan ini juga hendak mengangkat praktik-praktik indigenous terkait keterlibatan atau penggunaan pakar dan kepakaran dalam kebijakan publik untuk diletakkan dalam konteks diskursus yang lebih luas. Penulis juga mengajak pembaca untuk melihat kembali praktik-praktik teknokrasi di Indonesia dan mendorong transformasi menuju teknokratisme baru (new technocratism) sebagai respons atas perkembangan populisme di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Bagian kedua buku ini berisi beberapa tulisan yang secara tematik mencoba mendekati perkembangan kajian MKP secara epistemologis. Tulisan pertama oleh Ambar Widaningrum memperdebatkan nilainilai kepublikan dalam administrasi publik dan governance. Penulis mengingatkan kembali akan pentingnya pertimbangan-pertimbangan normatif dalam menentukan tujuan dan kinerja kebijakan. Tulisan ini sekaligus memberikan landasan aksiologis terkait bagaimana MKP dikaji dan dipraktikkan yang sejauh ini terkesan monolitik. Kehadiran epistemologi positivis yang secara (tidak) sengaja mengarahkan MKP pada kecenderungan komando, kontrol, rekayasa, dan hierarki dapat dikoreksi dengan pertama dan terutama memasukkan pertimbangan nilai-nilai publik. Dalam kacamata yang relatif diskursif, oleh karenanya, nilai-nilai publik yang tadinya kental dipengaruhi tradisi positivis sudah saatnya diimbangi, jika bukan diganti, dengan nilai-nilai lain yang lebih membebaskan. Nilainilai publik baru atau alternatif inilah yang menjadi pedoman filosofis terhadap penentuan tujuan yang tepat pada tata kelola sektor publik. Secara implisit pula, penulis menegaskan bahwa pendefinisian nilai publik dalam konteks yang sudah semakin terbuka tidak melulu berkaitan dengan pemerintah, tetapi publik secara lebih holistik. Perhatian yang lebih besar dan serius pada sentralitas nilai publik seperti inilah yang nantinya diharapkan dapat merubah cara MKP dipelajari dan dipraktikkan dan ini

25

selaras dengan undangan epistemologi post-positivis yang memberikan perhatian pada aspek-aspek non-rasional. Kemudian, analisis kelembagaan juga mendapat perhatian khusus dalam buku ini. I Made Krisnajaya mengupas secara tuntas dinamika perkembangan studi kelembagaan dari institusionalisme lama hingga baru. Institusionalisme baru dengan 4 (empat) variannya mendapat perhatian yang serius karena dianggap sebagai pendekatan yang paling berhasil dalam studi politik dan kebijakan publik. Secara epistemologis, tulisan ini ingin menguak kembali sumber pengetahuan sebagai basis sebuah “realitas” terkait bagaimana relasi antara aktor dengan struktur makronya. Argumen pokoknya adalah aktor tidak bisa sepenuhnya independen, tetapi dipengaruhi oleh struktur makro di sekitarnya, baik yang bersifat formal maupun informal. Relasi antara keduanya, dengan kadar yang berbeda, akan mempengaruhi bagaimana dinamika sektor publik. Kajian MKP perlu memberi perhatian serius pada aspek ini, termasuk pentingnya institusionalisme diskursif yang belakangan berkembang sangat pesat. Penulis juga mendiskusikan dasar penalaran yang menginspirasi berbagai varian pendekatan kelembagaan, baik yang berangkat dari determinisme historis atau kultural, idealisme maupun relativisme. Kajian kelembagaan dan organisasi – yang harus dimaknai secara berbeda, walaupun sering dipertukarkan pemahamannya – diperkuat oleh naskah berikutnya yang kembali menekankan pentingnya studi organisasi sebagai salah dimensi kunci MKP. Puguh Prasetya Utomo dalam naskahnya menegaskan pentingnya studi organisasi direvitalisasi dan direorientasi di tengah berbagai perkembangan yang sudah terjadi sejauh ini. Hal ini dilakukan dengan memasukkan pendekatan organizational institutionalism yang dianggap mampu memberikan pengkayaan teori sekaligus penajaman praktik MKP. Penulis menutup ulasan historis dan konseptualnya dengan mengajukan beberapa pertanyaan praktis bagi para ahli MKP di Indonesia yang sekaligus dapat dijadikan panduan awal untuk studi-studi lanjutan yang lebih sistematis. Kajian kelembagaan dilengkapi tulisan berikutnya yang menguraikan pengaruh behavioralisme dalam kajian-kajian MKP. Ely Susanto menguraikan secara lugas menunjukkan kontribusi pendekatan keperilakukan dalam studi-studi organisasi terutama untuk menjawab 26

beberapa pertanyaan yang sekilas terkesan praktikal, tetapi sesungguhnya memiliki basis epistemologis yang kuat. Misalnya, mengapa terdapat perilaku aktor yang berbeda dalam organisasi yang sama? Apa implikasi perilaku tersebut bagi publik? Substansi jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan pada masalah perilaku, dan oleh karenanya, studi MKP perlu memperkaya pendekatan-pendekatan yang ada dengan mengkombinasikan pendekatan psikologi dan ekonomi keperilakuan. Tulisan ini melengkapi variasi pendekatan kelembagaan dengan segala variannya tanpa bermaksud menarik kembali kajian MKP ke belakang, tetapi justru menegaskan relevansi dan urgensi kontemporernya. Bagian kedua ditutup oleh tulisan Wahyudi Kumorotomo yang mendiskusikan tentang kebutuhan untuk menciptakan model pemerintahan baru yang lincah, kolaboratif, dan akuntabel di Indonesia. Penulis menekankan pentingnya melakukan perubahan secara holistik yang dimulai dari konsep tentang misi organisasi publik, tata kelola, hingga evaluasi kinerja organisasi publik. Penulis memberi perhatian khusus pada tiga prinsip adjektif pengelolaan organisasi publik, yakni lincah, kolaboratif, dan akuntabel dengan terutama meletakkannya dalam konteks kebutuhan kontemporer Indonesia. Beranjak dari pijakan ontologis dan epistemologis tersebut, bagian ketiga buku ini mendiskusikan sejumlah pilihan metodologis dan metode alternatif dalam studi MKP. Media Wahyudi Askar memulainya dengan memperkenalkan (kembali) metode ekonometri dalam studi kebijakan di Indonesia. Metode ini lazim digunakan dalam kajian kebijakan publik di banyak negara barat, tetapi masih membutuhkan pengembangan di Indonesia, kecuali untuk studi kebijakan publik yang menginduk pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Pendekatan ekonometri perlu digunakan untuk mengatasi keterbatasan dan ketidakpastian dalam sektor publik sehingga kebijakan yang dipilih dan dijalankan bisa lebih “rasional” atau berkualitas. Penulis menegaskan kembali beberapa prinsip metodologis yang berlaku umum seperti kausalitas, kovariasi, kontrafaktual, dan robustness yang dalam kajian MKP di Indonesia belum ditegakkan secara memadai. Terlepas dari perbedaan pilihan metode, prinsip-prinsip ini harus menjadi pegangan dalam berbagai kajian MKP sebagai diingatkan oleh King, Keohane & Verba (1994). 27

Pentingnya memperbaiki kualitas kebijakan juga menjadi perhatian bab berikutnya. Bevaola Kusumasari memaparkan penggunaan big data dalam studi kebijakan publik. Data memiliki peranan yang sangat krusial dalam proses pembuatan kebijakan. Pada saat yang sama, sektor publik justru sering dihadapkan pada fenomena kelangkaan atau keterbatasan data, baik dari sisi ketersediaan, kebaruan maupun validitasnya. Berbagai kekurangan tersebut dapat relatif diatasi dengan menggunakan berbagai sumber data baru berbasis digital yang diproduksi secara luas, cepat, dan masif. Para ahli sudah mengembangkan pendekatan big data analytics sebagai metode dan instrumen dalam menyelesaikan berbagai permasalahan publik. Penulis juga memperkenalkan secara singkat beberapa metode dalam penggunaan big data seperti Corpus-Assisted Discourse Studies, Social Network Analysis, Story Completion, dan Pilot Study. Bagian terakhir dari buku ini menguraikan beberapa aspek aksiologis yang ‘memagari’ praktik MKP, dan oleh karenanya, perlu mendapat perhatian serius. Tulisan pertama oleh Agus Pramusinto mendiskusikan tentang reformasi ASN di Indonesia dengan berpegang pada prinsip (merit)okrasi yang sering kali harus dihadapkan pada maraknya praktik patronase. Penulis juga memberi perhatian pada pentingnya netralitas ASN dalam menjalankan tugasnya dan tuntutan ini harus berhadapan dengan ekologi sosial-politik yang kadang menuntut sebaliknya. Kesenjangan ini mengharuskan para ilmuwan MKP untuk merefleksikan kembali dan menemukan pola relasi baru yang lebih kompatibel dengan konteks sosial politik Indonesia, kecuali terdapat sebuah kekuatan pendobrak besar untuk memaksakannya. Tulisan berikut oleh Yuyun Purbokusumo menguraikan perkembangan perkembangan electronic government serta artificial intelligence. Kedua hal itu sudah menjadi tonggak perubahan penting yang mentransformasi total kehidupan dan perekonomian global termasuk cara sektor publik dikelola. Keduanya bahkan telah menjadi ‘standar moral’ untuk menilai kinerja sebuah institusi. Walaupun menawarkan berbagai kemudahan serta dampak sistematis positif bagi kehidupan kolektif, keduanya membutuhkan pengelolaan yang serius dan hati-hati. Sejumlah peneliti mengingatkan masih lebarnya kesenjangan digital yang juga disertai dengan dilema etika dan privasi. Untuk konteks Indonesia, hal ini menjadi sangat relevan di 28

tengah kuatnya demam digital dan digitalisasi pada hampir semua sektor kehidupan. Tulisan terakhir oleh M. Prayoga Permana melanjutkan diskusi tentang digitalisasi dengan secara khusus mendiskusikan tantangan baru yang dihadapi MKP dengan kehadiran generasi Z. Perubahan ini tentu mengharuskan transformasi sektor publik yang oleh penulis diterjemahkan melalui – salah satunya – reaktualisasi kecerdasan digital dalam studi MKP. Hal itu harus dimulai dari top leadership institusi publik yang sayangnya memiliki sejumlah kesulitan dan keterbatasan dalam beradaptasi. Kesenjangan ini tentu akan melahirkan ketegangan, bahkan konflik, kecuali terjadi transformasi mendasar pada sektor publik yang diawali dengan memahami karakter dan preferensi generasi Z dan menerjemahkannya dalam keseluruhan praktik MKP. Kajian-kajian MKP sangat diperlukan untuk membantu proses transisi ini, misalnya, dengan memberikan perhatian pada isu-isu kecerdasan digital dalam bangun kurikulumnya. Hal itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari upaya menjadi studi MKP tetap relevan.

29

Daftar Pustaka Amoah, L.G.A. 2012. “Constructing a New Public Administration in Africa: Reflections on Philosophical Clarity and the Process-Orientation Turn.” Administrative Theory & Praxis, 34(3), 385–406. Audi, R. 2010. Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge. New York: Routledge. Blesset, B., T.S. Gaynor, M. Witt, & M.A. Alkadry. 2016. “Counternarratives as Critical Perspectives in Public Administration Curricula.” Administrative Theory & Praxis, 38, 267–284. Candler, G.G. 2002. “Articularism versus Universalism in the Brazilian Public Administration Literature.” Public Administration Review, 62(3), 298–306. Candler, G.G. 2014. “The Study of Public Administration in India, the Philippines, Canada and Australia: The Universal Struggle against Epistemic Colonization, And Toward Critical Assimilation.” Revista de Administracao Publica, 48(5), 1073–1093 Cheung, A.B.L. 2013. “Can There Be An Asian Model Of Public Administration?.” Public Administration and Development, 33, 249–261. Cunliffe, A.L. & J.S. Jun. 2005. “The Need for Reflexivity in Public Administration.” Administration & Society, 37(2), 225–242. Dahl, R. A. 1947. “The Science of Public Administration: Three Problems.” Public Administration Review, 7(1), 1–11. Davies, J.S. 2011. “The Limits of Post-Traditional Public Administration: Towards A Gramscian Perspective.” Critical Policy Studies, 5(1), 47–62. de Graaf, G., L. Huberts, & R. Smulders. 2016. “Coping With Public Value Conflicts.” Administration & Society, 48 (9), 1101–1127. Drechsler, W. 2013. “Three Paradigms of Governance and Administration: Chinese, Western and Islamic.” Society and Economy, 35(3), 319–342. Drechsler, W. 2015. “Paradigms of Non-Western Public Administration and Governance.” Dalam A. Massey and K.J. Miller (Ed). The International Handbook of Public Administration and Governance, (104–131). Cheltenham-Northampton, Mass.: Edward Elgar. 30

Eikenberry, A.M. 2009. “The Present and (normative) Future of Public Administration and Implications for ASPA.” Public Administration Review, 69(6), 1060–1067. Evans, K.G. & G.L. Wamsley. 1999. “Where’s the Institution? Neoinstitutionalism and Public Management.” Dalam H.G. Frederickson & J.M. Johnston (Ed). Public Management Reform and Innovation: Research, Theory, and Application, (117-144). Tuscaloosa: University of Alabama Press. Farazmand, A. 1996. “Development and Comparative Public Administration: Past, Present, and Future.” Public Administration Quarterly, 20(3), 343–364. Farmer, D.J. 1995. “Kill The King: Foucault And Public Administration Theory.” Administrative Theory & Praxis, 17(2), 78–83. Gottweis, H. 2007. “Rhetoric in Policy Making: Between Logos, Ethos, and Athos”. Dalam F. Fischer, G.J. Miller, & M.S. Sidney (Eds), Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics and Methods (h. 237-250). New York: CRC Press. Henderson, K.M. 2005. “The Quest for Indigenous Administration: Asian Communist, Islamic Revivalist, and Other Models”. Public Organization Review: A Global Journal, 5, 55–67. Heidelberg, R.L. 2018. “Getting It Right: Public Administration Undergoing Epistemology.” Administrative Theory & Praxis, 40(1), 23–42. Howe, L.E. 2006. “Enchantment, Weak Ontologies, and Administrative Ethics.” Administration and Society, 38(4), 422–446. Ibeto, C.J.I. 2019. “African Bureaucracy and Public Administration: Analysing the Normative Impediments and Prospects.” Africa’s Public Service Delivery and Performance Review, 7(1), a323. https://apsdpr.org/index.php/apsdpr/article/view/323/497. Diakses pada 10 Mei 2021. Jordan, S.R. 2005. “Methodological Balkanization, Language Games and The Persistence of the Identity Crisis in Public Administration: A Student’s Perspective.” Administrative Theory & Practice, 27(4):689–706.

31

King, G., R.O. Keohane, & S. Verba. 1994. Designing Social Inquiry: Scientific Inference in Qualitative Research. Princeton, NJ: Princeton University Press. Little, D. 2020. A New Social Ontology of Government: Consent, Coordination, and Authority. Cham, Switzerland: Palgrave. Meier, K.J. 2005. “Public Administration and the Myth of Positivism: The Antichrist’s View.” Administrative Theory & Praxis, 27(4), 650–668. Mendie, J.G. 2020. “The Importance of Ontology to Public Administration.” Pinisi Discretion Review, 3(2), 207–216. Miller, H.T. & C.J. Fox. 2007. Postmodern public administration. New York: M E Sharpe Ongaro, E. 2019. “The Teaching of Philosophy in Public Administration Programmes.” Teaching Public Administration, 37(2), 135–146. Overeem, P. & J. Verhoef. 2014. “Moral Dilemmas, Theoretical Confusion: Value Pluralism and Its Supposed Implications for Public Administration.” Administration & Society, 46(8), 986–1009. Raadschelders, J.C.N. 2011. “The Future of the Study of Public Administration: Embedding Research Object and Methodology in Epistemology and Ontology.” Public Administration Review, 71(6), 916–924. Raadschelders, J.C.N. 2019. “The State Of Theory in the Study of Public Administration in the United States: Balancing Evidence-Based, Usable Knowledge, and Conceptual Understanding.” Administrative Theory & Praxis, 41(1), 79–98. Raadschelders, J.C.N. 2005. “Symposium: Approaches To The Study of Public Administration: Unified Knowledge—Competing Approaches—Methodological Pluralism: Introduction to the Symposium.” Administrative Theory & Praxis, 27(4), 595–601. Riccucci, N.M. 2010. Public administration: Traditions of Inquiry and Philosophies of Knowledge. Washington: Georgetown University Press. Riggs, F.W. 1962. “Trends in the Comparative Study of Public Administration.” International Review of Administrative Sciences, 28(1), 9–15.

32

Rosenbloom, D.H. 1983. “Public Administrative Theory and the Separation of Powers.” Public Administration Review, 43(3), 219–227.  Rutgers, M.R. 2015. “As good As it gets? On The Meaning of Public Value in the Study of Policy and Management.” American Review of Public Administration, 45(1), 29–45. Rutgers, M.R. 2008. “Sorting Out Public Values? On The Contingency of Value Classifications in Public Administration.” Administrative Theory & Praxis, 30(1), 92–113. Simon, H.A. 1946. “The Proverbs of Administration.” Public Administration Review, 6(1), 53–67. Stout, M. & E. Hartman. 2012. “Competing Ontologies: A Primer for Public Administration [With Commentary].” Public Administration Review, 72(3), 388–400. Schwartz-Shea, P. 2019. “Under Threat? Methodological Pluralism in Public Administration.” Public Performance & Management Review, dari https://doi.org/10.1080/15309576.2019.1694547. Diakses pada 10 Mei 2021. Terman, J. 2011. “Comparative Administration: Ontology and Epistemology in Cross-Cultural Research.” Administrative Theory & Praxis, 33(2): 235–257. Wagenaar, H. C. 2011. Meaning in Action: Interpretation and Dialogue in Policy Analysis. Armonk, NY: M.E. Sharpe. Waldo, D. 1948. The Administrative State: A Study of the Political Theory of American Public Administration. New York: Ronald Press Company. Wamsley, G.L. 1996. “A Public Philosophy and Ontological Disclosure as the Basis for Normatively Grounded Theorizing In Public Administration.” Dalam G.L. Wamsley & J.F. Wolf (Ed). Refounding Democratic Public Administration: Modern Paradoxes and Postmodern Challenges, (361–401). Thousand Oak, CA: Sage Publications. Wright, B.E. 2015. “The Science of Public Administration: Problems, Presumptions, Progress, and Possibilities.” Public Administration Review, 75(6), 795–805.

33

Yanow, D. 2005. “Symposium – Public Administration in “Transition”: Non-Western and Other Administrative Practices.” Administrative Theory & Praxis, 27(1), 81–85. Zalmanovitch, Y. 2014. “Don’t Reinvent The Wheel: The Search for an Identity for Public Administration.” International Review of Administrative Sciences, 80(4), 808–826.

34

BAGIAN PERTAMA: ONTOLOGI

BAB II

ILMU ADMINISTRASI MODERN DAN KEKUASAAN: DARI ADMINISTRASI NEGARA KE MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK1

Erwan Agus Purwanto dan Arif Novianto

Pendahuluan Pada abad ke-21, permasalahan yang harus dihadapi oleh pemerintah semakin kompleks dengan aktor yang semakin beragam sehingga mendorong terjadinya berbagai perubahan, termasuk dalam perkembangan paradigma ilmu administrasi publik modern. Paradigma ilmu sosial tidaklah statis dan stagnan sebagaimana yang banyak orang bayangkan, tetapi terus bergerak karena didorong oleh berbagai realitas sosial yang terus berkembang dan dinamika kekuasaan (Hadiz & Dhakidae, 2005). Saat ini, perkembangan untuk memenuhi kebutuhan publik tidak lagi dapat ditopang dengan model administrasi publik lama, yang proses pengambilan keputusannya bersifat top-down, hirarkis, dan kaku sehingga 1. Tulisan ini merupakan pengembangan Naskah Akademik perubahan nama Jurusan Administrasi Negara (AN) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL-UGM) menjadi Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) yang berjudul: “Dari Administrasi Negara ke Manajemen dan Kebijakan Publik: Redefinisi Wadah Ilmuwan dan Praktisi Administrasi Negara dalam Merespon Perubahan Zaman” yang mana penulis pertama menjadi Ketua Tim penulisan naskah akademik tersebut. Pengembangan naskah akademik dalam buku ini dimaksudkan agar para mahasiswa dan akademisi mengetahui sejarah perubahan nama Jurusan AN menjadi MKP dengan konteks perkembangan ilmu MKP yang lebih up to date sehingga menginspirasi ide-ide riset yang lebih relevan.

37

muncul desakan dari bawah untuk menyusun ulang cara pemerintah memenuhi kebutuhan publik. Di sisi lain, terjadi restorasi kekuasaan sehingga muncul upaya untuk membentuk bangunan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu administrasi modern (Farazmand, 2001). Kita dapat melihat dalam munculnya paradigma New Public Management (NPM) dan good governance pada tahun 1980-an. Dua konsep ini tidak hadir begitu saja, ada proses pascakrisis ekonomi di pertengahan tahun 1970-an yang menjadi katalisator bagi hadirnya bentuk ekonomi baru, yang saat ini akrab disebut sebagai neoliberalisme, yang berperan membangun konsep NPM dan good governance (Taylor, 2003:129). Kedua hal tersebut kemudian disebarluaskan oleh lembaga keuangan internasional ke berbagai negara (Babb & Kentikelenis, 2018; Peet, 2009) dan akhirnya mendominasi paradigma ilmu administrasi publik modern. Pada perkembangannya, baik NPM dan good governance dinilai tidak mampu memenuhi perkembangan kehendak publik sehingga pada akhir abad ke-20 muncul paradigma baru, yaitu New Public Service (NPS). Perkembangan kehendak dan kebutuhan publik serta dinamika kekuasaan, telah membentuk perkembangan ilmu pengetahuan serta memaksa pemerintahan di berbagai negara untuk beradaptasi dengan tuntutan yang ada. Kondisi itu juga turut mengubah paradigma keilmuan yang berfokus pada tata kelola pemerintahan dan pelayanan yang selama ini telah dipelajari di berbagai universitas (lihat Farazmand, 2001), yaitu dari ilmu administrasi negara menuju ke ilmu manajemen dan kebijakan publik (MKP). Di tengah era digital saat ini dan masifnya tuntutan masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan hidup (isu perubahan iklim), turut mendorong paradigma keilmuan MKP untuk memasukan konteks digital sebagai mekanisme pemenuhan kebutuhan publik, dan hadirnya aktor non-manusia, yaitu lingkungan hidup, yang turut memiliki suara untuk dipertimbangkan/diakomodir dalam setiap pengambilan keputusan publik. Tulisan ini berupaya menyajikan perkembangan keilmuan dalam paradigma ilmu Manajemen dan Kebijakan Publik secara ontologi dan epistemologi dengan pendekatan post-positivisme. Penulis membagi perkembangan keilmuan administrasi modern dalam empat gelombang, yang masing-masing gelombang mewakili masa tertentu terjadinya polemik 38

dan perdebatan seputar ilmu administrasi modern. Dalam setiap gelombang, penulis menyajikan dialektika keilmuan administrasi publik, kepentingan kekuasaan, dan gerakan dari akar rumput. Ketiganya mengalir secara bergelombang hingga memunculkan, dalam kacamata gramscian disebut sebagai, pola hegemoni dan kontra hegemoni dalam mendefinisikan ilmu administrasi modern. Pembabakan empat gelombang ini penulis lakukan berdasarkan perubahan lokus dan fokus kajian ilmu administrasi modern di setiap masanya, yang mana hal tersebut dipengaruhi oleh kepentingan ideologis dari kekuasaan, perdebatan dan polemik yang mengemuka di ruang publik, dan dalam publikasi ilmiah.

Gelombang Pertama: Asal-Usul dan Fondasi Dasar Ilmu Administrasi Negara Administrasi negara sebagai ilmu dan praktik pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan publik telah ada sejak lama, jauh sebelum Woodrow Wilson dalam artikel yang berjudul The Study of Administration (1887) menekankan pentingnya memisahkan ilmu administrasi negara dengan ilmu politik. Setiap peradaban dan berkembangnya hubungan kekuasaan selalu menghadirkan ilmu dan praktik administrasi bernegara/ bermasyarakat dengan berbagai kekhasan masing-masing. Kondisi itu yang membuat bahkan sejak 500 tahun sebelum masehi telah terdapat tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik di Kerajaan Persia (Farazmand, 2002). Teori dan praktik administrasi juga terjadi di Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Tidore, ataupun Mataram. Berbeda dengan ilmu administrasi negara lama di era kerajaan feodal, di negara modern kekuasaan negara telah menyebar luas ke berbagai sendi kehidupan masyarakat, menekankan pada pendisiplinan dibanding paksaan, dan hadirnya sistem demokrasi sebagai universalisme global. Pada masa kerajaan feodal, administrasi negara sepenuhnya menjadi kewenangan absolut dari penguasa dan digunakan sebagai alat politik sesuai kepentingan mereka (lihat Anderson, 2013). Domain administrasi negara adalah domain penguasa, sementara masyarakat tidak memiliki ruang untuk bersuara atau memberikan kritik, oleh karena kekuatan ekstra-ekonomi (hukum, paksaan, dan kekuatan militer) menjadi piranti utama guna mempertahankan kekuasaan. Foucault (1978) menyebut 39

hal itu sebagai kekuasaan berdasarkan kedaulatan (sovereign power) di mana represi dan dominasi menjadi piranti utama untuk membuat rakyat patuh, berbeda dengan dengan kekuasaan di negara modern, di mana piranti utamanya adalah pendisiplinan (disiplinary power). Bagi Foucault, kekuasaan di negara tradisional yang berdasarkan paksaan adalah kekuasaan yang diketahui dan bersifat negatif, karena membuat warga dihantui ketakutan sehingga tidak produktif. Sementara itu, kekuasaan di negara modern yang menggunakan pendisiplinan (secara luas kemudian disebut governmentality atau kepengaturan) adalah kekuasaan yang tidak diketahui/disadari, sehingga mampu menormalisasi kehendak warga menjadi produktif dan sesuai kehendak penguasa. Kekuasaan berdasarkan kedaulatan, berarti menempatkan domain administrasi negara sepenuhnya menjadi milik penguasa, gagasan Woodrow Wilson yang hidup di negara modern salah satunya untuk mengkritik turunan dari hal tersebut, yaitu spoil system (perkoncoan). Sistem perkoncoan ini menurut Wilson telah menciptakan inefektivitas dan inefisiensi dalam tata kelola pemerintahan. Wilson yang kemudian menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, menilai ilmu politik yang berkembang pada saat itu tidak mampu menjawab persoalan mendasar dalam tata kelola pemerintahan, oleh karena fokus kajian ilmu politik adalah tentang bagaimana pertarungan politik terjadi dan keputusan dibuat, bukan bagaimana mengelola pemerintahan secara profesional dalam menjalankan setiap keputusan politik. Ilmu administrasi negara dalam perspektif Woodrow Wilson adalah bentuk pemisahan dari ilmu politik, dengan menekankan pada tata kelola pemerintahan yang dihasilkan oleh keputusan politik. Dengan memisahkan domain pelaksanaan keputusan pemerintah dari ilmu politik, maka akan menghindarkan keputusan tersebut dari oportunisme “binatang politik” (Wilson, 1889). Pandangan Wilson tersebut tidak terlepas dari penolakannya tehadap konsep negara sebagai representasi keluarga, karena dinilai akan membuat negara tersandera oleh kepentingan praktis dari anggota keluarga dan menjadi bertindak tidak profesional. Oportunisme politik baginya bisa membawa negara modern terjerat pada hubungan keluarga untuk mengangkat aparatur negara berdasarkan anggota kerabat atau konconya,

40

serta pengambilan keputusan yang tidak untuk berpihak pada rakyat, tetapi cenderung untuk menguntungkan kerabat dan kroni mereka. Sebagai jalan keluar dari sistem kekeluargaan dan perkoncoan, ilmu administrasi modern menekankan pada penerapan sistem merit dan perlunya efektivitas dalam mengelola negara. Untuk dapat mencapai hal itu, Wilson beragumen bahwa cara kerja organisasi pemerintahan perlu mengadopsi prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh organisasi bisnis. Gelombang pertama dari ilmu administrasi di negara modern oleh karenanya ditandai adanya upaya untuk memisahkan administrasi negara dari cengkeram hubungan kekeluargaan dan perkoncoan yang merupakan peninggalan dari sistem administrasi feodal. Upaya memberi pondasi dasar dalam ilmu administrasi ini juga melibatkan polemik dan berbagai pendiskusian dari para ilmuan sosial. Setelah Woodrow Wilson, di tengah hasrat positivisme yang berkembang di Bumi Utara, Frank J. Goodnow dalam buku Politics and Administration (1900) menekankan secara lebih detail tentang pemisahan ilmu administrasi dari ilmu politik. Upaya memurnikan ilmu administrasi juga turut dipengaruhi oleh ilmu manajemen, salah satunya dari karya Frederick Taylor (1912) berjudul Scientific Management, Henry Fayol (1916) berjudul General and Industrial Management, hingga karya W. F. Willougby (1918) berjudul The Movement for Budgetary Reform in the State. Karya-karya mereka mempengaruhi upaya pembentukan prinsip-prinsip dasar bagi cabang ilmu baru, yaitu ilmu administrasi dan menekankan tentang perlunya organisasi pemerintahan mengikuti tata kelola dalam organisasi bisnis. Pada perkembangannya, berbagai kritik muncul sebagai bagian dari dialektika perkembangan ilmu. Paul Appleby dalam tulisannya Government is Different (1945) memberi kritik pada upaya pengabdosian logika organisasi bisnis ke organisasi pemerintahan. Bagi Paul Appleby, pengabdosian tersebut adalah hal yang keliru karena institusi negara sangatlah berbeda dengan institusi swasta. Hal yang sama disampaikan oleh Herbert Simon dalam The Proverbs of Administration (1946) yang mengulas tentang lemahnya prinsip-prinsip administrasi dan banyaknya kekeliruan dalam asumsi dasar dari ilmu administrasi negara yang pada saat itu diyakini oleh banyak orang. Kritik Herbert Simon menjadi pemicu penting bagi tradisi polemik dalam perkembangan ilmu administrasi. 41

Pada tahun yang sama saat Herbert Simon menuliskan kritik kerasnya, Max Weber menerbitkan bukunya berjudul Bureaucracy (1946). Dalam karya tersebut, Weber tidak menekankan pada prinsip-prinsip administrasi, tetapi ia berupaya mengisi ruang keilmuan pada cara kerja birokrasi agar menghasilkan efisiensi dan efektivitas dalam menjalankan pelayanan publik. Untuk mencapai tujuan itu, Weber menekankan bahwa organisasi negara harus mengadopsi konsep hierarki dan menjalankan meritokrasi. Jika Wilson dan pemikir awal ilmu administrasi menekankan bahwa organisasi negara perlu mengadopsi organisasi bisnis, maka Weber menilai yang diperlukan justru dengan mengikuti cara kerja mesin. Dengan langkah itu, bagi Weber, akan menyingkirkan sistem administrasi dari benalu patrimonial, patronase, dan favoritisme. Weber menyadari bahwa manusia pasti memiliki hasrat dan oportunisme, sehingga untuk menyingkirkan sikap tersebut, maka birokrat harus bekerja layaknya mesin, dan untuk menopang mesin-mesin bekerja dengan benar dan sesuai tupoksinya, maka perlu hierarki birokrasi yang ketat yang bersifat top-down dengan formalisasi, instrumentalisasi, dan otoritas legal-rasional.

Gambar 2.1. Rasionalitas birokrasi untuk menciptakan birokrat layaknya mesin Sumber : Weber, 1947

Gagasan ilmu administrasi modern dari Wilson dan birokrasi ala Weber, pada paruh pertama abad ke-20 diadopsi oleh banyak negara. Pada gelombang pertama ilmu administrasi negara modern ini, hasrat untuk memurnikan ilmu administrasi terlihat sangat kental, dengan cara memisahkannya dari ilmu politik dan ilmu manajemen. Walaupun pada kenyataannya, bidang keilmuan tersebut saling beririsan, bahwa proses administrasi berjalan karena keputusan politik dan dikelola dengan langkah

42

manajemen, bahkan Weber sendiri menulis bahwa sistem administrasi dan birokrasi berkaitan erat dengan kepentingan politik penguasa (1947). Hasrat pemurnian tersebut bisa kita lihat dari tengah berkembangnya budaya positivisme yang pada awalnya didorong oleh Auguste Comte, untuk menjadikan ilmu sosial layaknya ilmu alam: dapat diukur secara pasti dan terspesialisasi. Pandangan itu tentu kurang tepat karena pada kenyataannya realitas sosial teruslah berubah dan bergerak, berbeda dengan realitas alam yang cenderung tetap. Mengukur budaya birokrasi dalam administrasi negara, sangatlah berbeda dengan mengukur pola kebiasaan dari singa atau buaya di alam bebas.

Gelombang Kedua: Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik Pada perkembangannya, terjadi pergeseran dalam fokus dan lokus kajian ilmu administrasi negara. Hal itu terjadi pascakrisis ekonomi pada pertengahan tahun 1970-an, yang mana memunculkan bentuk ekonomi baru, yaitu neoliberalisme yang dipromosikan oleh Ronald Raegan di Amerika Serikat dan Margaret Thatcher di Inggris (Harvey, 2006; King & Wood, 1999). Neoliberalisme adalah bentuk ekonomi pengembangan dari liberalisme yang sama-sama menekankan pada “pasar” sebagai cara utama memenuhi berbagai kebutuhan manusia, yang membedakannya, jika liberalisme menempatkan negara hanya sebagai “anjing penjaga” (pengawas), dalam neoliberalisme negara berperan aktif untuk memfasilitasi dunia bisnis (Harvey, 2007). Salah satu program yang didorong oleh neoliberalisme hingga turut mempengaruhi fokus dan lokus dari administrasi modern adalah konsensus Washington (Farazmand, 2001). Dalam konsensus ini, mendorong setiap negara di dunia jika ingin menjadi negara maju untuk melakukan liberalisasi ekonomi, privatisasi badan usaha negara, dan deregulasi berbagai peraturan yang dinilai menghambat gerak pasar (Peet, 2009:14–16; Williamson, 2000). Proses liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi memiliki keselarasan dengan model New Public Management (NPM) dan ditopang oleh konsep good governance yang disebarluaskan oleh World Bank dan IMF agar dijalankan di berbagai negara (Angelis, 2005: 237). NPM muncul sebagai tanggapan atas keterbatasan model administrasi sebelumnya yang tidak bisa 43

menyelaraskan diri dengan tuntutan ekonomi pasar yang kompetitif. Model NPM memasukkan prinsip persaingan, kepemimpinan kewirausahaan, dan manajemen organisasi bisnis dalam cara kerja administrasi negara (Osborne, 2006). Sementara dalam konsep good governance, peran negara tidak lagi sebagai penentu utama dalam setiap pengambilan keputusan. Negara dalam good governance posisinya dikurangi hingga setara dengan aktor swasta dan masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan dalam versi good governance yang lebih ekstrem, negara hanya sekadar menjadi wasit untuk mencari win-win solution dari perdebatan aktor swasta dengan aktor masyarakat (Angelis, 2005). Berjalannya NPM sebagai model tata kelola manajemen publik kemudian ditopang oleh konsep good governance, yang mana hal tersebut telah mendorong perubahan lokus dan fokus dari ilmu administrasi negara. Jika sebelumnya ilmu administrasi berlokus pada pemerintahan, dalam gelombang baru lokusnya menjadi lebih luas, yaitu menjadi publik. Hal ini terjadi, karena otoritas negara telah banyak berkurang dan digantikan oleh organisasi bisnis akibat dari proses liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi. Oleh karena itu, jika hanya berlokus pada lembaga pemerintahan, kajian dalam ilmu administrasi menjadi sangat sempit (Dwiyanto, 2007). Domain publik yang begitu luas yang sebelumnya dimonopoli oleh lembaga pemerintahan, sejak era neoliberalisme banyak menyusut. Banyak wilayah yang sebelumnya menjadi domain pemerintah, misalnya sektor keuangan, pendidikan, pangan, transportasi, air bersih, listrik, dan yang lain, kini banyak yang juga dikelola oleh lembaga non-pemerintah. Dengan konsensus Washington, maka saat ini negara mendapatkan banyak pesaing dalam menjalankan pelayanan publik dengan lebih efektif, yaitu dari dunia bisnis. Hal itu didukung oleh Grindle (1997: 04) bahwa banyak negara sebelum tahun 1980-an yang terlalu memonopoli banyak hal sehingga kondisi itu, menurutnya, telah membuat negara tersebut banyak yang terjerat utang, mengalami krisis fiskal, dan cenderung bertindak sentralistik serta otoriter. Pergeseran lokus kajian ilmu administrasi juga ditunjukkan oleh Thoha (2007), yang menyebut bahwa terjadi perubahan paradigma: “[…] dari orientasi manajemen pemerintahan yang sarwa negara menjadi berorientasi ke pasar”.

44

Pergeseran lokus kajian ilmu administrasi dari institusi pemerintahan ke institusi publik, turut menggeser fokus kajian dari bidang keilmuan ini. Fokus ilmu administrasi kemudian tidak lagi terbatas pada tata kelola pemerintahan dan birokrasi, tetapi juga mencakup persoalan pelayanan publik (baik yang dijalankan pemerintah maupun swasta), pembangunan ekonomi, hingga hubungan antara swasta dengan pemerintah. Konsekuensi dari pergeseran lokus dan fokus ini, membuat penyebutan “ilmu administrasi negara” pun tidak lagi relevan, karena menjadi sempit. Cabang ilmu ini kemudian disebut sebagai “ilmu administrasi publik”. Gelombang kedua dari ilmu administrasi modern ini terjadi akibat dorongan dari neoliberalisme untuk melakukan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi berbagai hal yang sebelumnya menjadi domain negara. Kehendak untuk melibatkan dunia bisnis dalam urusan publik, dalam konteks ilmu pengetahuan, ditopang oleh NPM dan good governance. Jika pada gelombang pertama ilmu administrasi berkutat pada upaya mengeliminasi sistem kekeluargaan dan perkoncoan serta mendorong efektivitas birokrasi, pada gelombang kedua, ilmu administrasi berupaya mengeliminasi sentralisme negara dalam urusan publik dan mendorong ide tentang transparansi serta pembangunan ala negara maju yang berbasis pasar.

Gelombang Ketiga: Kemunculan Manajemen dan Kebijakan Publik serta Aktor Masyarakat Sipil Pada perkembangannya, model NPM dan konsep good governance mendapat berbagai kritik karena dinilai gagal untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu menciptakan pemerintahan yang profesional dalam memberikan pelayanan terbaik bagi publik. Keduanya dikritik karena penekanannya pada prinsip-prinsip manajemen ala sektor swasta, berkontribusi pada melemahnya akuntabilitas demokrasi, dan ketidakmampuannya untuk mengedepankan kebutuhan warga negara sebagai fokus utama dalam setiap upaya reformasi sektor publik (Hulme, D., Minogue, M., & Polidano, C. 1998). Kritik utama terhadap NPM adalah karena model ini melucuti upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan warga dan mengedepankan setiap agenda perbaikan kepada pasar. Sementara good governance, dinilai melemahkan suara publik 45

karena menghadapkan masyarakat dengan perusahaan yang memiliki kekuatan ekonomi besar. Ketimpangan kekuatan di antara kedua aktor, cenderung membuat kekuatan bisnis memenangkan pertarungan. Sementara itu, negara yang pada gelombang pertama ilmu administrasi ditekankan untuk melindungi kepentingan warga, dalam good governance hanya ditempatkan sebagai wasit yang tidak memihak. Konsekuensi dari kondisi itu adalah semakin tergerusnya kepentingan publik secara luas dan semakin dominannya kekuatan bisnis yang didorong oleh institusi swasta. Walaupun pada awal abad ke-21, hegemoni NPM dan good governance masihlah sangat kuat dalam kajian ilmu administrasi, tetapi muncul gagasan alternatif, yaitu New Public Services (NPS). Gagasan dan konsep NPS didorong sebagai kritik terhadap ketidakmampuan NPM dan good governance dalam memberikan pelayanan publik secara optimal, karena menempatkan warga sebagai konsumen sementara birokrat sebagai produsen yang berinteraksi dalam prinsip-prinsip pasar (Bourgon, 2007). Secara teoritis, model NPM juga menempatkan warga sebagai penerima pasif (objek) dari keputusan top-down yang dilakukan oleh pemerintah sehingga tidak memberi ruang bagi adanya usulan secara demokratis. Berbeda dengan NPM, NPS menekankan bahwa administrator publik harus mendedikasikan kerja mereka untuk kepentingan publik secara luas dan pelibatan warga negara dalam apa yang disebut “manajemen publik” dan “kebijakan publik”. Administrator publik dalam konsep ini ditekankan sebagai pelayan bagi setiap kehendak publik, sedangkan dalam pengambilan keputusan, dengan penekanan pada konsep demokrasi, maka kebijakan publik yang diambil memerlukan pelibatan dari sasaran utama kebijakan, yaitu masyarakat. Dengan demikian, peran utama dari Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah membantu mengartikulasikan kepentingan dan memenuhi kehendak masyarakat (bottom-up), tidak seperti NPM yang mengontrol serta mengarahkan masyarakat (top-down) (lihat Denhardt dan Denhardt, 2000). Seiring dengan berkembangnya ilmu administrasi pada awal abad ke21, hadir satu aktor lagi yang suaranya dipertimbangkan dalam manajemen dan kebijakan publik, yaitu masyarakat sipil (organisasi masyarakat dan NGO). Kehadiran masyarakat sipil menjadi aktor baru selain aktor masyarakat, swasta, dan pemerintah. Masyarakat sipil dimasukan sebagai 46

aktor baru dalam pengambilan keputusan karena kekuatan besar yang mereka tunjukkan pada akhir tahun 1980-an. Pada saat itu, muncul gerakan yang begitu besar hingga lintas nasional dari Non-Government Organization (NGO) dan masyarakat sipil dalam menentang ketidakadilan akibat proses bisnis yang tidak mengedepankan aspek kemanusiaan dan kepedulian lingkungan. Protes keras dilancarkan oleh masyarakat sipil terutama kepada perusahaan-perusahaan multinasional seperti Nike, Shell, hingga Nestle yang beroperasi di negara Dunia Ketiga. Seperti kampanye perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat sipil terhadap Shell karena keterlibatan perusahaan minyak tersebut dalam merusak lingkungan hidup dan terlibat dalam penyingkiran penduduk lokal serta bersekutu dengan pemerintahan Nigeria dalam mengeksekusi Ken Saro-Wiwa, aktivis HAM (Hak Asasi Manusia) di sana. Tekanan yang besar terhadap pemerintah Nigeria dan Shell, membuatnya memberikan komitmen kepada publik untuk peduli terhadap HAM dan bertanggung jawab terhadap dampak sosial dan lingkungan dari proses produksi perusahaan (Angelis, 2005: 252–253). Kampanye kepedulian terhadap kemanusiaan dan lingkungan hidup juga terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia, ketika pada tahuntahun yang sama banyak organisasi masyarakat sipil lokal yang dibentuk. Hadirnya organisasi masyarakat sipil ini selain untuk memberikan kritik dan masukan terhadap pemerintah, juga berupaya mengisi kekosongan pelayanan publik yang telah ditinggalkan negara pada saat neoliberalisme, sementara bidang tersebut dinilai pihak swasta tidak terlalu menguntungkan bagi bisnis mereka. Masuknya aktor masyarakat sipil ini, ditempatkan sebagai aktor yang dapat membantu aktor warga negara dalam mengimbangi kekuatan dari aktor swasta dan mengontrol aktor pemerintah. Kehadiran masyarakat sipil yang dinamis dinilai sebagai prasyarat untuk mendorong demokrasi sejati (melampaui demokrasi formal) untuk menghalangi naiknya pemimpin dan elite yang tidak demokratis dan mendorong keberhasilan pembangunan untuk masyarakat luas (Paffenholz & Spurk, 2006). Oleh karenanya, peran aktor masyarakat sipil ini ditempatkan untuk menjadi penyambung lidah masyarakat umum yang tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk bersuara dan mengontrol jalannya pemerintahan. Kehadiran aktor masyarakat sipil ini dinilai dapat meningkatkan akuntabilitas tata 47

kelola pemerintahan dan menghasilkan kebijakan publik yang adil, serta menyeimbangkan kekuatan warga negara di hadapan institusi bisnis. Hadirnya alternatif model tata kelola pemerintahan berupa NPS dan upaya menambal dampak yang diakibatkan good governance melalui kehadiran aktor masyarakat sipil, menandai gelombang ketiga ilmu administrasi modern dan telah menggeser lokus dan fokus kajiannya ilmu tersebut. Dari yang sebelumnya berlokus pada hubungan administratif dari lembaga publik dan hubungan antara pemerintah dengan swasta dalam pelayanan publik, kemudian berlokus lebih luas pada manajemen dan kebijakan publik. Manajemen publik dan kebijakan publik membalik logika dalam ilmu administrasi di gelombang pertama dan kedua yang menempatkan pemerintah sebagai aktor sentral pengambil keputusan yang dinilai mengetahui kehendak warga (top-down), di gelombang ketiga proses pengambilan keputusan didesain bersifat bottom-up dengan membuka keran partisipasi publik dan melibatkan aktor baru, yaitu masyarakat sipil. Di gelombang ini, lokus ilmu administrasi modern telah berkembang, membuat fokusnya meluas tidak hanya tentang urusan teknis dalam mengelola institusi pemerintah dan nonpemerintah, tetapi juga urusan substansi untuk melayani kehendak publik dalam manajemen dan kebijakan publik.

Gelombang Keempat: Manajemen dan Kebijakan Publik dalam Era Digital dan Kepedulian Lingkungan Hadirnya aktor masyarakat sipil dalam gelombang ketiga ilmu administrasi, menunjukkan bahwa dinamika kekuasaan dan ilmu pengetahuan tidaklah tetap atau permanen. Hal yang sama tidak hanya terjadi di ilmu administrasi modern, tetapi di semua cabang ilmu—terutama ilmu sosial—oleh karena realitas kehidupan manusia terus bergerak dan hal itu sering kali turut mempengaruhi realitas alam. Di era digital, ilmu administrasi modern dihadapkan dengan perubahan yang serba cepat. Isu tentang keamanan data publik, pengawasan digital (West, 2017; Zuboff, 2015), hingga pemanfaatan teknologi untuk menunjang pelayanan dan proses demokrasi serta untuk mengambil keputusan publik yang tepat, telah menjadi hal penting yang perlu diadopsi. Tentang keamanan data publik misalnya, muncul pertanyaan 48

penting tentang apakah data dari warga adalah sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah layaknya sumber daya alam, atau data tersebut adalah barang bebas yang bisa diakses dan dimanfaatkan siapa saja (Segura & Waisbord, 2019). Sementara tentang pengawasan digital, muncul tuntutan dari publik agar ruang privat mereka terjaga, dan tidak diawasi hingga dikomersialisasi. Dua isu penting tersebut saat ini yang menjadi perhatian utama publik sehingga memaksa pemerintah setiap negara hingga ilmuan administrasi modern perlu melakukan penelitian mendalam guna memberi kebijakan alternatif dan menjelaskan secara keilmuan tentang adanya perkembangan realitas dan perlindungan bagi publik di era digital. Perkembangan teknologi pada kenyataannya tidak hanya memberi ancaman, tetapi juga memberi peluang dan kebermanfaatan dalam praktik administrasi modern. Dengan teknologi digital, maka proses manajemen dan kebijakan publik dapat berjalan lebih cepat dan memungkinkan partisipasi publik secara penuh. Adanya teknologi, membuat proses pelayanan tidak lagi berjalan secara tradisional, sebagaimana yang sering kita temui, yaitu ketika warga datang ke kantor pemerintahan untuk mengakses pelayanan publik. Pelayanan publik kemudian dapat diakses secara digital, misalnya dengan adanya proses perizinan dan surat menyurat secara online. Hal ini tentu mendorong semakin efektif dan efisiensinya proses pelayanan publik. Dengan demikian, fungsi administrator publik sebagai pelayan menjadi semakin mungkin terlaksana karena perkembangan teknologi yang memudahkan kerja mereka. Walaupun di negara Dunia Ketiga, isu tentang pemerataan pembangunan teknologi, kemauan birokrat untuk berubah, hingga kehendak kelas penguasa untuk menerapkan teknologi secara luas, masihlah menjadi permasalahan yang kompleks dalam pemanfaatan teknologi untuk manajemen publik. Perkembangan teknologi juga turut memungkinkan bagi berjalannya demokrasi secara luas dan mendalam. Dengan piranti teknologi, warga dan masyarakat sipil dapat memberikan pengawasan dan pelaporan secara cepat ketika ditemukan tindakan melenceng yang bertentangan dengan hukum dalam praktik pemerintahan atau beroperasinya bisnis. Transparansi dan akuntabilitas dalam manajemen dan proses kebijakan publik menjadi sangat mungkin dijalankan dengan bantuan teknologi.

49

Kegiatan musyawarah dalam pengambilan kebijakan publik atau untuk menampung aspirasi warga, juga dapat dilakukan secara daring. Teknologi dalam Artificial Intelegent (AI) dan Big Data yang berkembang pada awal abad ke-21 ini, turut membawa relevansi tentang pentingnya data dalam setiap kebijakan publik (Pencheva dkk., 2020). Jika sebelumnya muncul pendekatan pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence based policy), kehadiran AI mengejawantahkan pendekatan pengambilan keputusan berbasis data (data driven policy). Peran penting data dalam memahami realitas dan keinginan individu, diyakini akan membantu menghasilkan kebijakan yang efektif, akurat, dan tepat sasaran. Selain dinilai sebagai ancaman karena masih belum adanya payung kebijakan untuk memberikan keamanan dan perlindungan data publik, teknologi memberi banyak kemudahan dalam menjalankan cita-cita gelombang ketiga administrasi modern, yaitu menyediakan pelayanan terbaik bagi warga, memperluas demokratisasi, dan mendorong kebijakan publik yang tepat sasaran. Walaupun dalam praktik di banyak tempat, perkembangan teknologi tidak secara otomatis membawa cita-cita tersebut dengan cepat tercapai, tetapi ada dinamika kekuasaan yang begitu kompleks yang sering kali menghambat hal tersebut. Farazmand (2014) justru menyebut administrasi modern di abad ke-21 telah mengalami krisis, salah satunya karena teknologi bukannya digunakan untuk menciptakan kemakmuran masyarakat, tetapi justru untuk memaksakan pengambilan sumber daya publik. Kondisi itu berkontribusi pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap proses manajemen dan kebijakan publik.

Alam Sebagai Aktor Baru dalam Kebijakan Publik Pada awal abad ke-21, menambahkan masyarakat sipil sebagai aktor dalam pengambilan kebijakan publik; selain warga, swasta, dan pemerintah, dinilai tidaklah cukup. Ancaman bencana iklim akibat kerusakan metabolisme alam, menjadi tema besar yang diangkat oleh publik dan beberapa kali berupaya diratifikasi oleh pemerintah di berbagai negara untuk mengedepankan upaya perlindungan ekologi. Salah satunya ada kesepakatan protokol Kyoto pada tahun 1997 yang memutuskan agar setiap negara berkontribusi untuk menurunkan emisi karbon. Kesepakatan internasional itu, seperti kesepakatan anti-nuklir, adalah 50

upaya kewargaan internasional yang menyadari bahwa efek rumah kaca dapat menjadi bencana iklim yang mengakibatkan kepunahan massal hingga kehancuran bumi. Kewargaan global mulai menekankan tentang pentingnya melindungi ekologi sebagai prinsip dalam setiap kebijakan karena masa depan alam semesta bergantung terhadap upaya tersebut. Walaupun, kehendak itu masih terhalang oleh adanya pertentangan antara upaya menjaga lingkungan hidup dengan kepentingan akumulasi modal dari perusahan yang mensyaratkan perusakan ekologi sebagai bagian dari hukum umum bagi eksistensinya (Magdoff & Foster, 2010). Upaya melindungi ekologi sendiri hadir melalui polemik yang panjang. Salah satunya pada pertengahan abad ke-20, isu lingkungan hidup akibat penggunaan DDT dalam pertanian yang merusak lingkungan dan menyebabkan jenis penyakit baru mendorong terjadi protes besar oleh gerakan lingkungan hingga melahirkan environmental impact assessment (EIA) atau yang di Indonesia diratifikasi dalam bentuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pada tahun 1980-an. Melalui AMDAL, setiap kebijakan publik yang berhubungan dengan eksplorasi lingkungan diteliti, tentang apakah dampaknya akan membahayakan lingkungan sekitar termasuk warga atau tidak. Jika upaya bisnis untuk berproduksi ditetapkan sebagai tidak layak oleh penelitian AMDAL, maka upaya bisnis tersebut tidak akan memperoleh izin. Dalam praktiknya, upaya menjaga ekologi melalui piranti AMDAL, terutama di negara Dunia Ketiga, tidak berjalan secara lancar karena praktik penelitian yang dijalankan ditempatkan sekadar sebagai proses prosedural agar institusi bisnis mendapatkan izin lingkungan dibanding tujuan substansial untuk menjaga keseimbangan alam. Jika AMDAL menempatkan alam sebagai objek untuk diteliti, gagasan ekologi radikal muncul untuk menempatkan alam sebagai subjek yang suaranya setara dengan manusia. Salah satu pendorong gagasan ini adalah Christopher D. Stone dalam bukunya Should Trees Have Standing? (2010) yang memberikan narasi hukum bahwa “pohon” harusnya memiliki hak yang sama di persidangan untuk membela diri. Oleh karena alam tidak bisa berbicara secara langsung layaknya warga negara, suara alam dapat diketahui melalui menganalisis hukum metabolismenya dan dampak yang

51

terjadi ketika ada kekuatan dari eksternal yang mengubah bentuk alam tersebut. Di tengah terus menguatnya gerakan lingkungan hidup, alam mulai dimasukan sebagai aktor (subjek) dalam setiap pengambilan keputusan publik. Di negara adidaya, yaitu Amerika Serikat, desakan untuk menerapkan Green New Deal terus bergulir di parlemen, untuk mulai secara bertahap menurunkan emisi karbon yang dilakukan oleh perusahaan Amerika Serikat dan menerapkan pajak karbon yang hasilnya digunakan untuk memperbarui kelestarian lingkungan hidup (lihat Klein, 2019). Desakan serupa meluas dari Eropa hingga Australia, untuk menuntut agar pemerintah membuat kebijakan yang berkomitmen untuk menjaga lingkungan. Walaupun di negara Bumi Selatan seperti Indonesia, isu tentang perubahan iklim masihlah belum menjadi fokus tuntutan utama warga, tetapi di Bumi Utara etika lingkungan telah menjadi prinsip yang berupaya dimenangkan sampai ke kebijakan pemerintah. Fenomena baru ini kemudian menekankan bahwa pemerintah tidak boleh netral, tetapi perlu berprinsip untuk memihak pada kelestarian alam dan keadilan bagi publik. Dalam gelombang keempat, paradigma ilmu manajemen dan kebijakan publik mendapatkan tuntutan untuk menyesuaikan diri di tengah era digital. Hal ini menekankan pada prinsip tata kelola pemerintahan dengan pemanfaatan teknologi, penjagaan terhadap keamanan data publik, partisipasi publik dengan teknologi digital, hingga penggunaan AI sebagai sarana pengambilan keputusan. Selain itu, gelombang keempat ini juga didorong oleh tekanan yang meluas dari warga (terutama di negara Bumi Utara) untuk memasukan aspek lingkungan hidup sebagai prinsip dasar dalam setiap pengambilan kebijakan publik. Desakan itu terus meluas seiring dengan meningkatnya pemanasan global dan bencana iklim, sehingga ada kebutuhan untuk memasukan aktor non-manusia (Latour menyebutnya aktan), yaitu alam sebagai bagian dari setiap keputusan publik.

52

Penutup Perkembangan ilmu administrasi tradisional menjadi modern yang kemudian bergerak sampai empat gelombang, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kekuasaan. Dalam konteks ilmu sosial di Indonesia, hal tersebut diulas oleh para akademisi dalam buku Social Science and Power in Indonesia yang dieditori oleh Vedi Hadiz dan Dhaniel Dhakidae (2005). Peran kekuasaan ini menjadi penting dalam menggeser hingga mengubah fokus serta lokus kajian ilmu karena kekuasaan memiliki kekuatan untuk itu. Kekuasaan di sini tidak terbatas pada kuasa yang dimiliki oleh pemerintah atau kekuatan bisnis, tetapi juga kuasa dari masyarakat atau publik secara luas. Kemunculan aktor masyarakat sipil, hingga upaya dimasukannya alam sebagai aktor dalam pengambilan keputusan, tidak terlepas dari gerakan sosial dalam skala luas yang dilakukan oleh masyarakat untuk berupaya membangun kehidupan yang lebih baik dan menjauhkan bumi dari kerusakan parah. Aksi kolektif yang dijalankan, bisa menjadi kekuatan penyeimbang bagi dunia bisnis, bahkan dalam banyak kasus, bisa melampauinya. Pertarungan kekuasaan adalah pendorong perkembangan ilmu dan praktik administrasi modern. Kenyataan ini membuat, ilmu administrasi modern sangatlah mungkin untuk berkembang hingga mencapai gelombang kelima, keenam, hingga keseratus. Beberapa ide alternatif bahkan baru-baru ini disampaikan oleh para akademisi dengan tujuan agar ilmu administrasi modern tidak terjatuh pada krisis. Salah satunya adalah gagasan “birokrasi perwakilan” di mana ada proses administrasi secara partisipatif dengan melibatkan warga. Melalui proses ini, maka tidak dibutuhkan adanya birokrat yang bekerja secara tetap dalam jangka waktu lama, tetapi ada pelibatan warga untuk mengelolanya sebagai upaya mendemokratisasi birokrasi dan pemerintahan publik. Perkembangan ilmu dan praktik administrasi modern sangatlah dialektis, ia dapat bergerak ke arah perubahan secara progresif, stagnan, atau justru ke arah regresif. Hal itu sangat ditentukan oleh siapa pemenang dalam setiap pertarungan kekuasaan di setiap tempat dan waktu tertentu.

53

Daftar Pustaka Anderson, Perry. 2013. Lineages of the Absolutist State. Verso. Angelis, Massimo De. 2005. “The Political Economy of Global Neoliberal Governance”. Review (Fernand Braudel Center), 28(3), 229–257. Applebey, P. 1945. “Government is Different”, dalam J. M. Shafritz dan A. C. Hyde. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Babb, Sarah & Alexander Kentikelenis. 2018. “International Financial Institutions as Agents of Neoliberalism”, dalam Cahil, D., M. Cooper, M. Konings, & D. Primrose (Eds.). The SAGE Handbook of Neoliberalism. SAGE Publishing. Bourgon, J. 2007. “Responsive, Responsible and Respected Government: Towards a New Public Administration Theory”. International Review of Administrative Sciences, 73(1), 7–26. Denhardt, R. B. dan J. V. Denhardt. 2000. “The New Public Service: Serving Rather Than Steering”. Public Administration Review, 60(6), 549–559. Dwiyanto, A. 2007. “Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: Dari Government ke Governance”. Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Univ. Gadjah Mada (ed.) Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Farazmand, Ali. 2001. “Comparative and Development Public Administration: Past, Present, and Future”, dalam Farazmand, Ali (ed.). Handbook of Comparative and Development Public Administration. Marcel Dekker. Farazmand, A. 2002. “Administrative Legacies of the Persian World-State Empire: Implications for Modern Public Administration, Part 1”. Public Administration Quarterly, 26(3/4), 280–316. Farazmand, A. 2014. “Global Crisis in Public Service and Administration”, dalam Farazmand, A (Ed.). Crisis and Emergency Management: Theory and Practice. CRC Press. Fayol, H. 1916. General and Industrial Management. London: Pitman and Sons, Ltd.

54

Foucault, Michel. 1978. “Governmentality”, dalam The Essential Foucault. The New Press. Goodnow, F.J. 1900. “Politics and Administration”, dalam J. M. Shafritz dan A. C. Hyde. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Grindle, M.S. 1997. “The Good Government Imperative”, dalam M. S. Grindle (Eds.). Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries. Harvard University Press. Hadiz, V. R. & D. Dhakidae. 2005. Social Science and Power in Indonesia. Equinox Publishing. Harvey, David. 2006. “Neo-liberalism as Creative Destruction”. Geografiska Annaler: Series B, Human Geography, 88(2), 145–158. Harvey, David. 2007. A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press. Hulme, D., M. Minogue, & C. Polidano. 1998. Beyond the New Public Management: Changing Ideas and Practices in Governance. Edward Elgar Publishing Ltd. King, Desmond & Steward Wood. 1999. “The Political Economy of Neoliberalism: Britain and The United States in the 1980s”, dalam Kitschelt, H., Peter Lange, G. Marks, & Stephens, (Eds.). Continuity and Change in Contemporary Capitalism. Cambridge University Press. Klein, Naomi. 2019. On Fire: The (Burning) Case for a Green New Deal. Simon & Schuster. Magdoff, F. & J. B. Foster. 2011. What Every Environmentalist Needs to Know about Capitalism: A Citizen’s Guide to Capitalism and the Environment. Monthly Review Press. Osborne, S. P. 2006. “The New Public Governance?.” Public Management Review, 8(3), 377–388. Pencheva, I., M.Esteve, & Mikhaylov. 2020. “Big Data and AI – A Transformational Shift for Government: So, What Next For Research?”. Public Policy and Administration, 35(1), 24–44. Paffenholz, T. & C. Spurk. 2006. “Civil Society, Civic Engagement, and Peacebuilding”. Conflict Prevention & Reconstruction, Paper No. 36/Oktober 2006.

Peet, Richard. 2009. Unholy Trinity: the IMF, World Bank and WTO. Zed Books. Segura, M. S., & S. Waisbord. 2019. “Between Data Capitalism and Data Citizenship”. Television & New Media, Vol. 20 (4), hal. 1–8. Simon, H. 1946. “Proverbs of Administration”, dalam J. M. Shafritz dan A. C. Hyde. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Stone, C. D. 2010. Should Trees Have Standing?. New York: Oxford University Press. Taylor, F. W. 1912. “Scientific Management”, dalam J. M. Shafritz dan A. C. Hyde. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Taylor, Ian. 2003. “Hegemony, Neoliberal ‘Good Governance” and the International Monetary Fund: A Gramscian Perspective”, dalam Bøås, Morten & Desmond McNeill (ed.). Global Institutions and Development: Framing the World?. Routledge. Thoha. M. 2007. “Demokrasi dalam Birokrasi Pemerintah Peran Kontrol Rakyat dan Netralitas Birokrasi”, Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Univ. Gadjah Mada (Ed.). Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Weber, M. 1947. The Theory of Social and Economic Organizations. New York: Free Press. Weber, M. 1968. Economy and Society. In 3 Volumes. NY: Bedminster Press. West, S. M. 2017. “Data Capitalism: Redefining the Logics of Surveillance and Privacy”. Business & Society, Vol. 58 (1), hal. 1–22. Willougby, W. 1918. “The Movement for Budgetary Reform in the States”, dalam J. M. Shafritz dan A. C. Hyde. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Wilson, W. 1887. “The Study of Administration”. Political Science Quarterly, 2(2), 197–220. Wilson, Woodrow. 1889. The state. Elements Historical and Practical Politics. A Sketch of Institutional History and Administration. D. C. Heath & Co.

56

Zuboff, S. 2015. “Big Other: Surveillance Capitalism and the Prospects of an Information Civilization”. Journal of Information Technology, vol. 30, hal. 75–89.

57

BAB III

MEMAHAMI MANAJEMEN PUBLIK INDONESIA: REFLEKSI ONTOLOGIS

Yeremias T. Keban

Pendahuluan Hakikat manajemen publik di tanah air menarik untuk dipahami secara akademik. Apakah manajemen publik yang dipraktikan di Indonesia adalah murni manajemen publik barat yang didasarkan pada realitas barat, ataukah manajemen publik barat yang sudah diadaptasi dengan realitas Indonesia sehingga menjelma menjadi manajemen publik Indonesia. Pertanyaan ini terkait dengan status ontologi manajemen publik yang dipraktikan di Indonesia. Ontologi dimaknai sebagai the nature of existence atau problems of existence menjadi isu yang penting dalam Administrasi Publik (Mendie, 2020). Dalam administrasi publik, semakin banyak ahli tertarik untuk mempertanyakan masalah ontologi dan mencoba mengoreksi untuk meninggalkan ontologi yang didasarkan pada budaya barat yang dilandasi oleh karakteristik ‘static state’ ke model alternatif yang lebih diwarnai oleh ‘dynamic state’ (Stout & Staton, 2011). Ontologi berperan dalam menguji sistem keyakinan kita tentang keberadaan suatu realitas dan bagaimana hakikat dari realitas tersebut – apakah sifatnya objektif, ataukah hanya merupakan hasil konstruksi pemikiran manusia (Kivunja & Kuyini, 2017). Administrasi publik yang telah lama berkembang dan dipraktikan di berbagai negara, harus diakui, dibangun di atas realitas yang berkembang 59

di dunia barat, karenanya ketika diterapkan di negara lain seperti di Afrika justru menimbulkan masalah (Amoah, 2012). Boukaert & Jann (2020:31) menyatakan bahwa salah satu pilar administrasi publik yang penting adalah bahwa kita perlu keeping an eye around us, yaitu secara serius memperhitungkan variasi budaya agar menghindar pendekatan ‘one-sizefits-all’ sembari terus belajar satu sama yang lain. Tulisan ini mencoba menelusuri pengabaian atau pengakuan terhadap realitas terkait lingkungan internal dan eksternal pada model-model manajemen yang diarahkan untuk meningkatkan efektivitas organisasi sebagaimana disampaikan oleh Quinn & Cameron (1983), yang penerapan dalam konteks manajemen publik dilakukan oleh Tompkins (2005), yaitu Rational Goal Model, Internal Process Model, Human Relations Model dan Open Systems Model. Model-model ini pada awalnya diwarnai paradigma Administrasi Publik Klasik (Weber, 2017; Taylor, 2017; Fayol, 2001), kemudian dipengaruhi oleh Administrasi Publik Neoklasik, Administrasi Publik Baru (Frederickson, 2017), New Public Management (Hood, 1991; Osborne & Gaebler, 1992), New Public Service (Denhardt & Denhardt, 2003), dan New Public Governance (Osborne, 2010). Pembahasan akan terbagi dalam empat fase, yaitu (1) Pengabaian eksistensi pengaruh lingkungan internal dan eksternal sebagaimana terjadi dalam era manajemen klasik; (2) Pengakuan eksistensi pengaruh lingkungan internal; (3) Pengakuan eksistensi pengaruh lingkungan eksternal; dan (4) Pengakuan eksistensi pengaruh kombinasi lingkungan internal dan eksternal. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan pengenalan terhadap sosok manajemen publik di Indonesia, dan ditutup dengan refleksi onotologis Manajemen Publik Indonesia.

Pengabaian Eksistensi Pengaruh Lingkungan Internal dan Eksternal Pengabaian eksistensi lingkungan internal dan eksternal dapat dilihat dalam model Rational-Goal dan Internal Process. Dalam Rational-Goal Model, tujuan yang hendak dicapai suatu organisasi adalan efisiensi dan produktivitas yang dicapai melalui perencanaan, penetapan, dan evaluasi (Quinn & Cameron, 1983; Tompkins, 2005). Model ini bermula dari upaya Taylor (2017), termasuk juga Weber (2017) dan Fayol (2001). Perhatian 60

dan upaya Taylor diberikan pada pengembangan cara terbaik melalui metode ilmiah untuk meningkatkan produktivitas atau mencapai tujuan. Hal ini patut mendapat apresiasi karena telah terbukti juga meningkatkan produktivitas kerja di banyak organisasi pada masa itu. Sistem pembagian tugas dan kerja yang sangat ilmiah, metode studi gerak-waktu (time and motion studies). Taylor membuktikan dan menjelaskan ‘prinsip-prinsip manajemen’ yang kalau selalu dijalankan dengan efektif akan memberikan hasil yang lebih besar dan lebih baik untuk pihak atasan maupun pihak bawahan/pegawai, dibandingkan dengan cara alamiah di mana manajemen dijalankan berdasarkan ‘inisiative and incentive’ semata sehingga bawahan akan termotivasi bekerja sekuat tenaga untuk memenuhi keinginan atasannya. Scientific management yang diusulkan Taylor diyakini jauh lebih baik dibandingkan dengan cara lama/alamiah. Di bawah scientific management, inisiatif para pekerja seperti kerja keras, kemauan baik dan kepandaian mereka akan lebih pasti dan secara teratur memberikan hasil. Meskipun demikian, Taylor lupa bahwa lingkungan struktural yang mengatur manusia dalam menerapkan manajemen ilmiah dan inovasi pada tingkat operasional, dapat menjadi faktor penghambat. Hal ini pernah disampaikan oleh Thompson (1965). Internal Process Model adalah model yang mengandalkan stabilitas dan kontrol melalui cara penyediaan informasi, pengelolaan dan komunikasi, dan menjalankan fungsi koordinasi dan kontrol semua kegiatan (Quinn & Cameron, 1983; Tompkins, 2005). Model ini dapat dilihat pada doktrin birokrasi Weber (2017) dan Fayol (2001). Max Weber (2017) yang terkenal dengan prinsip-prinsip birokrasi sangat yakin bahwa dengan prinsip itu ada jaminan suatu organisasi berskala besar dapat berhasil mencapai tujuannya. Memang prinsip-prinsip birokrasi ala Weber ini diadopsi secara meluas di seluruh penjuru dunia karena cocok untuk dijalankan dalam organisasi berskala besar, termasuk negara. Weber melihat birokrasinya seperti mesin yang dapat bekerja atau diterapkan di lingkungan mana saja. Asumsi ini bertentangan dengan mempersepsikan organisasi sebagai suatu yang bersifat organik, yang akan bertumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif. Fayol (2001) mengungkapkan 14 prinsip administrasi/manajemen – salah satu dari 6 bidang kerja (teknis, komersial, finansial, keamanan, 61

akuntansi, manajerial). Prinsip-prinsip tersebut meliputi pembagian kerja, hak untuk memberi perintah, aturan-aturan yang dipatuhi, kesatuan perintah, kesatuan arah/pimpinan, kepentingan organisasi lebih diutamakan dari kepentingan pribadi, adanya sistem kompensasi yang adil, sistem sentralisasi, garis kewenangan, penempatan pada posisi dan waktu yang tepat, perlakuan yang ramah dan adil terhadap bawahan, kestabilan dari para staf, bawahan diberi kebebasan berinisiatif, dan dorongan semangat kerja tim. Ada lima aktivitas utama dalam manajemen yang harus selalu dilaksanakan, yaitu (1) Planning: merencanakan apa yang ingin dicapai oleh organisasi dengan tepat; (2) Organizing: memobillisasikan sumberdaya manusia dan material organisasi; (3) Commanding: mengarahkan dan memotivasi para anggota organisasi; (4) Coordinating: menyelaraskan kegiatan berbagai unit agar tidak terjadi duplikasi, dan saling negasi; dan (5) Controlling: mengawasi jalannya rencana agar selalu sesuai dengan apa yang direncanakan. Prinsip-prinsip dan kegiatan manajemen tersebut ternyata tidak berkaitan dengan lingkungan. Mungkin faktor lingkungan dianggap stabil. Manajemen ala Fayol kemudian dikembangkan oleh Gullick (2017), melalui perencanaan, pengorganisasian, staffing, pengarahan, koordinasi, penganggaran dan pengontrolan (POSDCORB) telah diterima dan dipraktikan serta dirasakan manfaatnya. Tokoh-tokoh ini melihat bahwa hanya melalui aplikasi prinsip-prinsip mereka, maka keberhasilan organisasi dan manajemen tercapai. Organisasi diciptakan untuk mencapai tujuan yang bersifat ekonomi semata, yaitu peningkatan produktivitas, dan hanya ada satu cara terbaik (one best way) yang digunakan untuk meraih produksi yang lebih tinggi. Dan itu dapat dicapai melalui cara-cara keilmuan yang bersifat sistematis. Orang hanya dilihat sebagai pihak yang bekerja karena dilatarbelakangi oleh motif ekonomi, maka prinsip ekonomi yang rasional saja yang dipakai. Orang juga dilihat sebagai ‘mesin’ yang digunakan industri dalam proses produksi. Penekanan prinsip manajemen dan organisasi yang terpisahkan dari lingkungan dapat dilihat pada paradigma Administrasi Publik Klasik utamanya berasal dari karya beberapa tokoh. W. Wilson (2017) menginginkan suatu administrasi dan manajemen publik yang profesional harus bersih dari ‘hiruk-pikuk’ lingkungan politik. Sebagai tokoh terkemuka 62

dalam manajemen dan administrasi publik, Wilson justru meminta untuk memisahkan administrasi dari politik (dikotomi administrasi-politik). Administrasi publik harus didasarkan pada ‘management science’. Perlu dikembangkan suatu ‘administrative science’ yang mengutamakan nilai efisiensi dan keekonomian (produktivitas). Agar benar-benar profesional, maka administrasi harus bebas dari politik. Wilson sebenarnya menyadari kuatnya pengaruh lingkungan politik terhadap administrasi seperti pengaruh opini publik, tetapi berpendapat untuk dipisahkan dari administrasi agar administrasi dapat berhasil mencapai tujuan. L. White (2017) melihat administrasi publik sebagai proses tunggal yang secara seragam dapat diterapkan di lingkungan mana saja seperti di pemerintahan kota, pemerintahan kabupaten, pemerintahan negara bagian, dsb. Dasar dari disiplin administrasi adalah manajemen bukan hukum. Administrasi adalah seni, dan harus ditransformasikan ke dalam bentuk ilmu. Administrasi publik dalam benak White adalah the management of man and materials in the accomplishment of the purposes of the state. Dalam hal ini, posisi White lebih cenderung melihat keberhasilan organisasi sangat tergantung kepada proses manajemennya, sebagaimana didoktrinkan oleh Fayol, dan tidak melihat pentingnya pengaruh yang datang dari lingkungan yang mungkin menghambat organisasi mencapai tujuannya. Dari uraian di atas dapat dikatakan tokoh-tokoh aliran klasik seperti Taylor, Fayol, Weber, Wilson, dan White termasuk juga Gullick sebagai pengikut Fayol, telah mengabaikan peran dan pengaruh lingkungan terhadap keberhasilan manajemen dan organisasi, baik dalam konteks lingkungan internal maupun eksternal. Para tokoh aliran klasik tersebut sangat mengandalkan sistem dan prosedur kerja dengan standar dan aturan yang telah dibuat sebagai one best way untuk menjamin keberhasilan kerja, dan menganggap organisasi sebagai sistem mekanik semata.

Pengakuan Eksistensi Pengaruh Lingkungan Internal Pengakuan adanya pengaruh lingkungan internal dapat diamati pada Model Human Relations. Model ini berkenaan dengan pengembangan SDM demi menjaga kohesi dan semangat kerja para pegawai melalui upaya menjaga atau mempertahankan agar para pegawai tetap profesional, 63

terintegrasi, dan berdedikasi pada organisasi (Quinn & Cameron, 1983). Setelah mendalami pendapat Follet, Mayo, Fritz dan Roethlisberger, Tompkins (2005) mengakui eksistensi pengaruh manusia dalam menentukan efektivitas organisasi. Lingkungan internal berkenaan dengan situasi dan kondisi di dalam organisasi dan manajemen yang diwarnai oleh perbedaan dan kesamaan karakter, kepribadian, sikap, kondisi kejiwaan, motif, kebutuhan, kepentingan, relasi sosial, budaya, dan ideologi. Aspekaspek ini dalam manajemen klasik tidak dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan organisasi dan manajemen, padahal sangat mewarnai situasi dan kondisi dalam bekerja. Kalau tidak diperhatikan, maka faktor-faktor tersebut akan menghambat fungsi-fungsi manajemen dan pada gilirannya akan menggagalkan tujuan organisasi. Isu lingkungan internal, khususnya terkait peran SDM dalam organisasi ini awalnya diangkat oleh M. P. Follet (2017) yang melihat bahwa unsur manusia dapat mendorong pencapaian tujuan asalkan diperlakukan secara manusiawi, diberdayakan kelompok kerjanya, dan kekuasaan, otoritas serta kontrol diterapkan sesuai situasi dan kondisi. Kemudian isu tersebut diangkat oleh E. Mayo dan F. J. Roethlisberger (Roethlisberger, 2017) yang menunjukkan bahwa hubungan informal organisasi antara anggota organisasi ternyata ada bahkan dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Pentingnya unsur manusia sebagai lingkungan internal dalam organisasi ini selanjutnya diangkat dalam paradigma Administrasi Publik Neo-Klasik. Chester I. Barnard (1997) sebagai tokoh neoklasik melihat organisasi sebagai suatu sistem, di mana ia menguji aspek informal dan formal organisasi, khususnya posisi eksekutif. Ia melihat perbedaan antara kepentingan organisasi dan tujuan individu dalam organisasi yang tidak selamanya sejalan dan saling melengkapi/memenuhi. Isu lingkungan internal juga dapat diamati dari karya R. Merton (1997). Merton melihat keyakinan Weber tentang keandalan struktur birokrasinya bisa meleset, membuat birokrasi tidak berfungsi karena Weber tidak melihat apa yang bakal terjadi dalam organisasi yang membentuk lingkungan internal yang khas. Menurut Merton, untuk dapat berhasil, suatu birokrasi sangat juga tergantung kepada perilaku, sikap, dan suasana hati (personality) para birokrat itu sendiri. Merton menyatakan mungkin saja peraturan yang dibuat untuk mengendalikan birokrasi bisa 64

menjelma menjadi tujuan itu sendiri oleh birokrat (instrumental value becomes a terminal value). Birokrat yang berkuasa, kata Merton, akan membentuk semacam solidaritas kelompok sehingga sangat mungkin tetap melanggengkan kedudukannya dan menolak berbagai usulan perubahan, dan akhirnya bisa sebagai tembok yang tebal yang sulit. Suasana lingkungan internal organisasi juga diwarnai oleh terpenuhi tidaknya kebutuhan manusia pekerja dalam organisasi. Sebagai ahli psikologi dan Human Relations, Maslow (1996) menemukan apa yang disebut sebagai Hierarki Kebutuhan (needs hierarchy) mulai dari paling rendah ke yang lebih tinggi. Isu lingkungan internal juga pernah diungkapkan oleh D. Waldo (1997). Waldo berpendapat bahwa dalam kenyataan, banyak hal yang tidak rasional dihadapi oleh administrasi publik, baik yang berasal dari suasana batin (faktor psikologis) SDM dalam organisasi maupun dari lingkungan sosial budaya (faktor sosiologis dan antropologis). Setiap individu datang ke lembaga pemerintah membawa serta karakternya dan latar belakangnya yang akibatnya akan mewarnai dinamika kerja dan kinerja organisasi. Organisasi tidak hanya menghadapi situasi non-rasional dari dalam, tetapi juga dari luar organisasi. Faktor non-rasional inilah yang seharusnya juga dipahami dan diambil sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari studi administrasi publik. Isu lingkungan internal juga dapat ditelusuri dari karya A. Wildavsky (1997), Wildavsky membeberkan kenyataan bahwa dalam birokrasi, betapa sulitnya para birokrat melakukan evaluasi secara objektif karena ada kecenderungan untuk membeberkan yang baik-baik, dan menyembunyikan kesalahan atau kegagalan. Evaluasi bisa membawa dampak negatif bagi penilaian status dan jabatan para birokrat, karenanya evaluasi seakan menjadi kegiatan politik dalam birokrasi untuk mempertahankan kedudukan dan jabatan. Pendapat C. Weis (1997) juga sejalan dengan kecenderungan yang dilakukan birokrat dan sangat mewarnai kondisi internal organisasi. Memang secara ilmiah, menurut Weis, evaluasi dapat dilakukan secara objektif dan independen, melalui penerapan metode dan teknik evaluasi yang baik. Dari uraian diatas, nampak situasi dan kondisi yang tercipta dalam organisasi karena faktor leadership, variasi karakter dan motivasi kerja 65

pegawai/pekerja, perbedaan dalam kondisi psikologis dan kebutuhan, aspek sosiologis dan antropologis serta kepentingan politis dan birokrasi dari para anggota organisasi, sangat menentukan keberhasilan organisasi dan manajemen. Manajemen harus memiliki strategi khusus untuk mengendalikan semua faktor internal itu karena dalam realitas kehidupan berorganisasi, peran manusia sangat vital.

Pengakuan Eksistensi Pengaruh Lingkungan Eksternal Pengakuan akan eksistensi pengaruh lingkungan eksternal dapat dilihat dalam Model Open System. Model ini berkenaan dengan bagaimana organisasi berusaha untuk tetap bertumbuh/berkembang dan didukung oleh sumber daya yang dibutuhkan, dengan bertindak secara fleksibel serta senantiasa melakukan penyesuaian dan adaptasi terhadap lingkungan yang tidak menentu (Quinn & Cameron, 1983). Berdasarkan teori yang disampaikan Katz dan Kahn, Thompson, Woodward, Emery dan Trist, Burns dan Stalkers, Lawrence dan Lorsch, maka Tompkins (2005) melihat eksistensi dan potensi pengaruh lingkungan luar organisasi terhadap kinerja organisasi publik. Pengaruh lingkungan eksternal pernah diungkapkan dalam karya F. Goodnow (1997), khususnya berkaitan dengan lingkungan politik dan hukum. Goodnow mengemukakan pendapatnya bahwa apabila menganalisis suatu organisasi pemerintah, terdapat tiga jenis otoritas yang berkenaan dengan bagaimana mewujudkan kehendak negara. Pertama adalah mengaplikasi hukum, dan ini berkenaan dengan otoritas yudikatif. Kedua, berkenaan dengan otoritas supervisi terhadap eksekutif (legislatif). Dan, ketiga adalah otoritas yang berkenaan dengan administrasi (eksekutif). Ketika suatu pemerintahan menjadi semakin kompleks, ketiga otoritas di atas menjadi semakin terdiferensiasi, di mana otoritas yudikatif sangat spesifik, berbeda dengan kedua otoritas yang lain (otoritas politik dan otoritas administrasi). Otoritas politik berkenaan dengan kebijakan atau ekspresi kehendak rakyat, sementara otoritas administrsi berkenaan dengan eksekusi dari kehendak tersebut. Harus ada keharmonisan antara otoritas yang mengekspresikan kebijakan dengan otoritas yang mengeksekusi kebijakan. Untuk itu, independensi masing-masing otoritas memang perlu dijaga, tetapi dalam pemerintahan yang demokratis, mau tidak mau otoritas 66

eksekutif menjadi subordinasi dari ekspresi kebijakan sebagai representasi suara rakyat. Dengan kata lain, politik harus melakukan kontrol terhadap administrasi. Dalam administrasi modern selalu dialami dilema ketika berkaitan dengan politik. Dibutuhkan kontrol tambahan secara legal melalui sistem partai politik. Isu lingkungan eksternal diungkapkan juga oleh P. Appleby (1997) khususnya berkenaan dengan lingkungan politik. Appleby melihat bahwa pemisahan administrasi dari politik merupakan suatu yang tidak tepat atau dianggap mitos semata, karena pemerintahan itu berbeda dengan bisnis. Justru bagus masuknya politik itu kedalam administrasi, karena keterlibatan politik dalam administrasi akan menjadi kontrol yang baik terhadap penyalahgunaan kewenangan birokrasi oleh eksekutif. Dengan demikian, menurut Appleby, dikotomi administrasi-politik tidak dapat dipertahankan, dan ini karena ‘Government is different because government is politics’. Pendapat ini mengubah persepsi yang selama ini telah ditanamkan oleh Wilson, Goodnow, dan Gullick. Dalam tulisan yang berjudul Policy and Administration, Appleby secara tegas menyatakan bahwa administrasi juga politik karena berkenaan dengan membuat pilihan-pilihan kebijakan, yang tentunya akan menguntungkan atau merugikan kalangan tertentu. Pentingnya lingkungan eksternal dalam kaitannya dengan administrasi publik diungkapkan oleh R. Dahl (1997), selain lingkungan internal. Ia mengkritik bahwa prinsip-prinsip administrasi publik sering dipandang sebagai suatu yang valid secara universal, dan bebas dari tujuan moral dan politik, juga dari pengaruh kepribadian individu yang berada dalam administrasi. Menurut Dahl, administrasi publik perlu melihat kembali aspek-aspek normatifnya karena nampaknya terlalu sempit, karenanya, manusia dalam administrasi publik tidak bisa lagi dilihat seperti mesin. Dahl menyatakan bahwa ilmu administrasi itu tidak bakal terbentuk kecuali mampu menjawab masalah-masalah tersebut. Nilai-nilai normatif itu harus dibuat jelas, apakah benar bebas nilai? Apakah hakikat manusia dalam bidang administrasi itu dipahami secara utuh? Apakah prinsipprinsip itu dapat diberlakukan di lingkungan negara yang lain (universal generalization) melalui studi banding? Isu keterkaitan dengan lingkungan eksternal dapat diamati dari karya Katz dan Kahn (1997). Mereka memperkenalkan organisasi yang 67

berkarakter ‘open system’ (sebelumnya organisasi hanya dilihat semata sebagai ‘closed-system’. Kedua ahli ini memandang bahwa organisasi pemerintah menghadapi lingkungan yang selalu dinamis dan terus berubah dari waktu ke waktu, sulit diprediksi, dan tentu organisasi harus siap melakukan adaptasi terhadap lingkungan itu. Keduanya menyatakan bahwa pandangan tradisional yang melihat organisasi sebagai suatu ‘closed system’ harus ditinggalkan karena dalam kenyataannya organisasi sulit berkembang dan gagal dalam berkinerja karena memisahkan diri dari lingkungannya. Dinamika lingkungan eksternal yang dapat mempengaruhi organisasi publik atau birokrasi diungkapkan oleh W. Bennis (1997). Bennis melihat bahwa format organisasi berdasarkan manajemen dan organisasi klasik (ajaran Weber), akan menjadi tidak tepat di masa mendatang, dan bakal menuntut perubahan organisasi dan teknologi yang cepat, manajemen bakal bersifat partisipatoris, dan peningkatan tenaga kerja/pekerja akan semakin jauh lebih profesional. Oleh karena itu, menurut Warren Bennis, organisasi seharusnya lebih responsif dan fleksibel terhadap kebutuhan dan kondisi tersebut, dan harus mengurangi karakternya yang cenderung birokratis, terstruktur dan kaku. Pandangan ini menekankan pentingnya interaksi antara organisasi dan lingkungan yang begitu dinamis, atau mengalihkan pandangan dari ‘closed system’ ke ‘open system’. Dia juga melihat bahwa organisasi yang berkarakter open system ini akan memberikan pengaruh yang bersar pada masyarakat. A. Wildavsky dan L. Pressman (1997) mempopulerkan konsep “implementasi” dalam administrasi publik, sebagai suatu fokus baru administrasi publik yang penting untuk diperhatikan, karena betapa pun suatu kebijakan dan program dirancang secara profesional, tetapi akhirnya tergantung kepada implementasi atau pelaksanaan di lapangan. Keduanya menggambarkan betapa sulitnya mendekatkan antara policy dan implementation, karena dalam kenyataanya berbagai kesulitaan dalam pelaksanaan atau implementasi, kurang diperhitungkan secara matang dalam kebijakan. Kedua ahli ini menyadarkan kepada para administrator untuk selalu memperhitungkan implementasi dalam mendesain kebijakan publik atau program-program untuk kepentingan publik, karena banyak

68

kegagalan justru terjadi pada tingkat implementasi. Di sini lingkungan internal dan eksternal sangat mewarnai keberhasilan. George Frederickson (2017) dalam paper-nya “Toward a New Public Administration” mengatakan bahwa sudah saatnya Administrasi publik memasukan indikator penting, yaitu keadilan sosial (social equity), baik dalam kinerja maupun dalam pemberian pelayanan publik, dan inilah yang disebut gerakkan Administrasi Publik Baru. Dalam administrasi klasik, sering dipersoalkan tentang efisiensi, yaitu (1) how can we offer better services atau dikenal dengan “efisiensi”; (2) how can we maintain our level of services while spending less money atau dikenal dengan ‘economy’, tetapi yang diperjuangkan dalam New Public Administration adalah (3) does this service enhance “social equity” atau keadilan sosial. Aspek keadilan sosial ini menjadi penting karena suatu negara memiliki begitu banyak kelompok dalam masyarakat (pluralisme), yang semuanya menuntut diperlakukan secara adil, tanpa diskriminasi. Di dalam Administrasi Publilk Baru, etika, kejujuran dan tanggung jawab dalam pemerintahan menjadi aspek sangat penting dalam administrasi publik. Para pegawai birokrasi tidak lagi dilihat semata sebagai implementor, tetapi juga sebagai pihak yang menjaga kepercayaan publik untuk memberikan pelayanan terbaik. Keadilan sosial harus menjadi justifikasi penilaian baru yang disandingkan dengan nilai efisiensi dan keekonomian (economy). Masalah-masalah kebijaan publik diperlakukan sama dengan masalah manajemen publik. Model rasionalitas dan penggunaan konsep hierarki yang kaku semakin serius tertantang. Pemerintah harus responsif terhadap kebutuhan publik. Organisasi dan program yang tidak diperlukan dan tidak efektif harus dihentikan. Administrasi publik dinilai efektif ketika warga negara yang dilayani aktif dan partisipatif. Krislow dan Rosenbloom (1997) pernah menulis tentang ‘Representative Bureaucracy’ di mana mereka mengangkat isu penerapan sistem merit, sistem seleksi pegawai, dan keadilan. Krislow mempertanyakan bagaimana birokrasi mendapatkan legitimasi dan kepercayaan publik kalau birokrasi tidak merepresentasikan penduduk pada semua bidang pekerjaannya? Apakah penduduk suatu negara telah memiliki wakil untuk menduduki posisi-posisi/jabatan di birokrasi? Ide tulisan Krislow ini kemudian dikembangkan lagi bersama Rosenbloom 69

dengan mengangkat isu yang sama, dan meminta perhatian untuk menelaah secara lebih mendalam hak konstitusi penduduk dalam berpartisipasi dan menduduki jabatan pada birokrasi pemeritah, mendorong diberlakukan kebijakan ‘equal employment oppportunity’ dan kebijakan ‘affirmative action’. Ide ini diterapkan dalam bentuk ‘representation by personnel’, ‘representation by administrative organization’, dan ‘representation through citizen participation’. Semua pendapat dalam ‘open system’ memberi pesan penting bahwa suatu organisasi termasuk organisasi publik, sangat dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Interdependensi antara organisasi dan lingkungan merupakan sifat hubungan yang baru, yang kurang diperhatikan dalam fase-fase sebelumnya. Organisasi tidak lagi dilihat sebagai suatu yang bersifat mekanistik, tetapi sebagai suatu yang bersifat organik yang tumbuh dan berkembang ketika mampu beradaptasi dengan lingkungan eksternal.

Pengakuan Eksistensi Pengaruh Kombinasi Lingkungan Internal dan Eksternal Berbeda dengan POSDCORB yang diusulkan oleh Gulick (2017), Garson dan Overman (1997) sebagai ahli manajemen publik menyatakan pendapatnya bahwa dalam sektor publik para manajer publik melakukan fungsi yang dikenal dengan akronim: PAFHRIER: PA, yaitu Policy Analysis (melakukan analisis kebijakan publik dan menentukan program yang harus diimplementasikan); F, yaitu Financial (melakukan perencanaan, implementasi dan monitoring, serta evaluasi bidang keuangan); HR, yaitu Human Resources (melakukan perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi bidang sumber daya manusia); I, yaitu Information (melakukan pengelolaan data dan informasi untuk mendukung kegiatan organisasi); dan ER, yaitu External Relations (mengelola hubungan dengan pihak luar organisasi). Pemikiran Garson dan Overman di atas sudah memperhitungkan dalam doktrinnya unsur external relations yang berarti bahwa untuk menuju kesuksesan dibutuhkan fungsi-fungsi internal dan eksternal organisasi. Sejak munculnya gerakan New Public Management (Hood, 1991; Pollit, 1990), Reinventing Government (Osborne & Gaebler, 1992), dan 70

New Public Service (Denhardt & Denhardt, 2003), lingkungan tidak lagi dilihat sebagai suatu yang terpisahkan dari instansi pemerintah. Munculnya gerakan Governance menegaskan hubungan ketiga pihak, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat, baik dalam pelayanan publik maupun pembangunan. Dewasa ini, pentingnya pengaruh lingkungan terhadap organisasi telah disadari karena selalu menghadapi ketidakpastian. Hal ini telah banyak dibahas dalam berbagai literatur manajemen strategis dan perencanaam strategis (Allison & Kaye, 2015; Bryson & Edwards, 2017; David, 2011, Wheelen & Hunger, 2012; Wheelen dkk., 2018; Witcher, 2020). Apabila suatu organisasi tidak melakukan kiat-kiat tertentu dalam menghadapi lingkungan, maka organisasi tersebut akan “gulung tikar”. Dan, apabila suatu organisasi publik tidak melakukan hal yang sama, maka organisasi tersebut tidak saja sulit mencapai tujuan, tetapi juga sulit mendapat kepercayaan publik. Suatu organisasi harus menyadari akan keterbatasan dan kelemahannya dalam menghadapi dinamika dan kompleksitas lingkungan. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi organisasi tersebut selain menilai posisi strategisnya, juga harus mencari dan menetapkan “strategi” yang tepat untuk diimplementasikan, dimonitor, dan dievaluasi hasilnya. Kuat atau lemahnya, bertumbuh atau berkembangnya, dan jatuh atau bangunnya suatu organisasi publik sangat tergantung dari kapasitasnya dalam menata dirinya dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Bryson, 2004). Pengetahuan tentang dinamika hubungan antara oganisasi dengan lingkungan ini dituangkan dalam model yang dikenal dengan Strategic Management yang terdiri atas strategic planning, strategic implementation, dan strategic evaluation (David, 2011). Menurut David, lingkungan eksternal dapat menjadi peluang dan dapat pula menjadi ancaman, yang meliputi faktor ekonomi, sosial, budaya, demografis, keadaan alam fisik, politik, pemerintahan, dan hukum, serta teknologi dan pesaing. Organisasi harus menyiapkan strategi yang tepat untuk menghadapi lingkungan terebut. Akan tetapi, Wheelen & Hunger (2012) menambah dua jenis environment, yaitu task environment seperti antara lain suppliers, stockholders, union, customers, communities, dsb., dan internal environment yang meliputi structure, resources, dan culture. 71

Sementara itu, Witcher (2020) menambah lingkungan global sebagai bagian dari lingkungan eksternal.

Integrasi Model Manajemen Publik Berbagai aspek yang semula diabaikan telah diperhitungkan dalam perjalanan manajemen publik. Realitas tentang pengaruh lingkungan internal dan eksternal yang semula diabaikan akhirnya diakui keberadaannya. Ini dapat diamati dari model rational goal, internal process. Human relations, dan open systems sebagaimana diungkapkan dalam karya Quinn & Cameron (1983) dan Tompkins (2005). Dengan hadirnya model strategic management, maka manajemen publik dirajut atau diintegrasikan dalam model yang lebih komprehensif dan holistik, di mana secara keseluruhan diwarnai oleh Administrasi Publik Klasik, Administrasi Publik Neoklasik (Follet, 2017), Administrasi Publik Baru (Frederickson, 2017), New Public Management (Hood,1991; Osborne & Gaebler, 1992), New Public Service (Denhardt & Denhardt, 2003), dan New Public Governance (Osborne, 2010).

Gambar 3.1. Model manajemen publik generik

Sumber: Diadaptasi dari Model Denhardt & Denhardt (2003), Frederickson (2017), Hood (1991), Osborne (2010), Osborne & Gaebler (1992), dan Quinn & Cameron (1983)

Administrasi publik klasik mewarnai manajemen publik dengan menekankan nilai efisiensi, ekonomis, dan efektivitas melalui struktur hirarkis, aturan, dan prosedur yang dirancang secara mekanik, sedangkan 72

administrasi publik neoklasik mewarnai manajemen publik dengan menekankan manusia dalam organisasi, yaitu manusia yang sikap dan perilakunya tidak hanya ditentukan oleh motif ekonomi, tetapi juga oleh lingkungan nilai, norma budaya, sosiologis, psikologis, bahkan politis. Administrasi publik baru mewarnai manajemen publik dengan menekankan nilai keadilan untuk melengkapi nilai efisiensi, ekonomis, dan efektivitas. New public management mewarnai manajemen publik dengan mendorong pola kerja manajemen bisnis yang menekankan semangat wirausaha, desentralisasi, dan pengukuran kinerja, sedangkan new public service mewarnai manajemen publik dengan menekankan pelayanan publik, memberdayakan, dan mendorong partisipasi masyarakat. Terakhir, new public governance mewarnai manajemen publik melalui tata kelola pelayanan publik dan barang publik dengan melibatkan kolaborasi tiga pihak, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Memahami Manajemen Publik di Indonesia Dua kata yang harus didalami ketika berbicara tentang manajemen publik, yaitu “manajemen” dan “publik”. Manajemen awalnya dimaknai dalam konteks bisnis yang meliputi fungsi planning, organizing, commanding, coordinating, dan controlling (Fayol 2001), kemudian menjadi POSDCORB yang mencakup fungsi planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting (Gullick, 2017), ketika disarankan untuk diterapkan di sektor publik, tetapi dikritik karena mengabaikan makna lingkungan eksternal. Kemudian, manajemen dimaknai sebagai menjadi PAFHRIER (Garson & Overman, 1997), ketika unsur lingkungan eksternal dimasukkan sebagai bagian dari manajemen publik. Sementara itu, makna “publik” dalam paradigma administrasi publik dikaitkan dengan kepentingan publik (public interests) dan masalah publik (public affairs), di mana di Indonesia disebut sebagai “urusan publik”. Dengan demikian, “manajemen publik Indonesia” adalah manajemen untuk memecahkan masalah dan kepentingan publik di Indonesia, atau manajemen urusan publik di Indonesia. Eksistensi pengaruh lingkungan internal dan eksternal telah diakomodasikan dalam perjalanan manajemen publik Indonesia sebagaimana terdapat dalam model rational goal, internal process, 73

human relations, open systems, dan diintegrasikan dalam model strategic management. Model manajemen strategis sebagai wujud nyata dari manajemen publik diadopsi di Indonesia sejak diterapkan Strategic Planning atau Rencana Strategis (RENSTRA) untuk dipraktikan di instansi pemerintah yang dimulai dari merancang visi, misi, tujuan, strategi, program, dan kegiatan sebagai hasil interaksi dan kesepakatan dengan publik, kemudian merancang struktur dan hierarki, sumber daya manusia dan non-manusia, proses internal organisasi untuk mengimplementasi, memonitori, dan mengevaluasi program serta kegiatan terkait urusan publik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Model-model manajemen publik itu telah dipraktikan di Indonesia, bahkan sudah mengalami reformasi sesuai tuntutan zaman. Model-model ini digunakan untuk menangani urusan pemerintahan yang dibagi atas urusan absolut ditangani pemerintah pusat dan urusan konkuren yang ditangani bersama pemerintah pusat dan daerah. Manajemen urusan-urusan ini sangat kompleks karena dilaksanakan oleh tidak hanya oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah yang jumlahnya 34 provinsi, tetapi juga oleh lebih kurang 500 kabupaten/kota dengan memiliki kapasitas yang tidak sama, dan memiliki hambatan fisik atau geografis sebagai negara kepulauan dengan variasi sosial, budaya, ekonomi, teknologi, komunikasi, sarana dan prasarana yang berbeda. Semasa orde Baru, manajemen publik lebih diwarnai oleh model rational goal dan internal process dan diwarnai oleh paradigma Administrasi Publik Klasik yang selalu mengutamakan compliance terhadap struktur, proses, dan aturan yang telah ditetapkan, termasuk juga pengaruh paradigma Administrasi Publik Baru yang menekankan keadilan atau memerataan yang dapat dilihat dari Inpres tentang Delapan Jalur Pemerataan. Di era reformasi, manajemen publik diwarnai oleh serangkaian refomasi sesuai paradigma new public management seperti sistem desentralisasi, akuntabilitas, dan penilaian kinerja. Kemudian, diikuti dengan paradigma new public service seperti orientasi birokrasi ke pelayanan publik, perbaikan sistim pelayanan publik, dan menyusul new public governance yang menekankan pelibatan dan kerjasama pemerintah,

74

swasta dan masyarakat dalam penyusunan rencana program dan kegiatan lima tahunan dan rencana tahunan. Reformasi terkait model internal proses dapat dipahami dari peraturan perundangan yang mengatur pembentukan struktur organisasi dan tata kerja di tingkat kementerian melalui Peraturan Menteri sementara di tingkat provinsi, kabupaten/kota diatur melalui UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Daerah. Contoh lain adalah reformasi birokrasi yang dituangkan dalam Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi tahun 2010–2025, Permenpan RB No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010– 2014. Permenpan RB No. 38 Tahun 2017 tentang Standard Kompetensi Jabatan. Pengaturan ini dipengaruhi atau mengikuti paradigma new public management. Reformasi terkait model Human Relations dapat dipahami dari UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan peraturan pelaksanaanya seperti PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara, mengikuti paradigma New Public Management dan New Public Governance. Reformasi terkait model open systems dapat dilihat dari UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan peraturan pelaksanaanya, termasuk regulasi terkait e-governance, mengikuti paradigma new public governance. Sementara reformasi model strategic management mulai dipraktikan secara formal sejak diberlakukan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan dilanjutkan dalam peraturan pelaksanaannya seperti Permendari No. 54 Tahun 2010 dan Permendagri 86 Tahun 2017. Reformasi dalam model rational goal dapat diamati dalam proses perencanaan pembangunan di tingkat nasional (RPJMN, RKP, RAPBN), dan tingkat provinsi, kabupaten/kota (RPJMD, RKPD, RAPBD). Meski demikian, reformasi terkait model tersebut lebih bias pada strategic planning dan kurang memperhatikan dua fungsi strategic management yang lain, yaitu implementation dan evaluation. Realitas yang dihadapi adalah bahwa manajemen publik dalam menangani berbagai urusan ini, harus diakui, membawa hasil yang masih kurang memadai, bahkan sering menimbulkan banyak masalah seperti kegagalan organisasi publik yang diserahkan wewenang untuk 75

menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu. Masalah-masalah ini timbul karena pengabaian terhadap lingkungan manajemen publik seperti pengaruh kebijakan publik yang menjadi rujukan organisasi pemerintah, pengaruh kondisi politik, sosial, budaya, kondisi geografis, ekonomi, pengaruh iptek, dan globalisasi. Secara keseluruhan, manajemen publik Indonesia digambarkan sebagai berikut.

Gambar 3.2. Model manajemen publik Indonesia

Sumber: Diadaptasi dari Model Manajemen Publik Generik dan Konteks Indonesia

Manajemen publik diselenggarakan di lingkungan yang beragam. Boukaert & Jann (2020:31) mengingatkan bahwa dalam dunia administrasi publik, kita perlu keeping an eye around us, yaitu secara serius memperhitungkan variasi budaya dan menghindar pendekatan “one-sizefits-all” sembari terus belajar satu sama yang lain. Pendapat ini membawa implikasi terhadap realitas dari dimensi lokus dan fokus manajemen publik. Dimensi fokus terkait prinsip-prinsip, model, dan teori manajemen yang harus dipegang teguh atau sebagai tuntutan dalam memecahkan suatu masalah, sedangkan dimensi lokus berkenaan dengan medan atau area yang mana prinsip, teori atau model manajemen diterapkan. 1. Ontologi dalam dimensi lokus Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kebinekaan dalam berbagai aspek seperti aspek geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, 76

dan tingkat kemajuan, menuntut adanya manajemen publik yang responsif terhadap variasi lokal. Hal itu dimungkinkan apabila kebijakan publik yang menjadi rujukan manajemen publik bersifat evidence-based yang lebih memberi ruang bagi keberagaman dari pada keseragaman. Kebijakan desentralisasi telah memberi ruang tersebut dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan menuju keberagaman. Lingkungan budaya sangat berpengaruh dalam perilaku politik dan birokrasi di Indonesia. Hubungan primordial, kesamaan ideologi, dan kepentingan keluarga atau pribadi masih sangat berpengaruh dalam kehidupan organisasi publik, meskipun pejabat dan pegawai dituntut harus netral dalam penyelenggarakan semua urusan pemerintahan, baik bersifat absolut maupun konkuren. Budaya birokrasi yang mempromosi netralitas, bekerja secara profesional, akuntabel, mengutamakan hasil atau outcome, mengutamakan kepentingan publik, dsb., ternyata kalah dengan budaya masyarakat yang dibawa masuk ke dalam organisasi publik oleh para pegawai atau pejabat. Ini realitas yang harus diakui keberadaannya dalam manajemen publik, utamanya dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi program, dalam rekrutmen, seleksi, dan penempatan personel dalam posisi atau jabatan. Lingkungan politik sangat berpengaruh dalam kinerja manajemen publik, utamanya UU Politik tentang Pilkada. Para calon kepala daerah yang diusung partai politik jarang dilakukan fit and proper test terkait kemampuan menduduki jabatan sebagai kepala daerah atau pemimpin daerah. Penilaian subjektif masyarakat karena latar belakang sosial budaya, dukungan politik dari partai, dan barangkali ada juga money politics dan dukungan birokrasi (tim sukses), menghasilkan calon kepala daerah yang harus memikirkan balas jasa, sementara ia mungkin tidak “right man in the right place” ketika harus menjalankan fungsi memimpin daerah dalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang cukup kompleks. Kasus-kasus di beberapa daerah terkait relasi-relasi khusus yang bersifat informal seperti hubungan kekeluargaan, hubungan pertemanan, hubungan primordial, dsb., yang disampaikan di berbagai media, sangat berpengaruh dalam menentukan berhasil-tidaknya organisasi publik dari pada hubungan formal yang telah diatur dalam struktur dan hierarki yang ada. Kasus dinasti, korupsi, suap, kolusi, dan nepotisme, jual beli jabatan 77

masih sering terjadi di beberapa daerah dan organisasi pemerintah, dan tidak jarang melibatkan kepala daerah, pejabat eksekutif daerah yang bekerja sama dengan DPRD dan pihak luar. Hal yang sama juga terjadi di pemerintah pusat, yang sering melibatkan oknum menteri, DPR, aparat penegak hukum, dan pihak luar. Hampir semua kasus ini terjadi pada pelaksanaan fungsi manajemen, yaitu perencanaan, anggaran, implementasi, monitoring dan evaluasi, termasuk juga pada manajemen SDM, seperti pada kasus rekrutmen dan seleksi pegawai, penempatan dalam jabatan, promosi, rotasi, dsb. Realitas seperti ini menunjukkan bahwa manajemen publik Indonesia yang dijalankan dalam lingkungan politik dan sosial-budaya yang kompleks ini lebih diwarnai relasi aktor-aktor yang berkepentingan yang cenderung melakukan berbagai bentuk manipulasi untuk melayani diri sendiri, keluarga, kerabat, atau kelompoknya, dari pada diwarnai oleh reformasi manajemen publik. Reformasi birokrasi yang dipraktikan selama ini justru kurang memberi hasil yang memadai. Hubungan internal lembaga dan antarlembaga, baik di pusat maupun daerah termasuk dengan pihak luar, masih diwarnai dengan KKN dalam relasi-relasi aktor antarpejabat, antarpegawai, antaratasan dan bawahan, dan berkembangnya kelompok informal dan klik-klik tertentu untuk kepentingan penguasa. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi birokrasi yang dipraktikan selama ini justru belum memberi hasil yang memadai. Lingkungan geografis Indonesia harus mendapat perhatian khusus. Realitas menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya memiliki potensi alam yang besar, di sisi lain sering diterpa oleh bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gempa, sunami, ancaman gunung berapi, angin puting beliung, cuaca ekstrim, yang mengancam banyak daerah. Di masa sekarang, muncul pandemi Covid-19 yang membawa dampak luar biasa bagi masyarakat dan tidak tahu kapan berakhir. Perkembangan ekonomi dalam negeri tidak hanya ditentukan oleh hubungan ekonomi pasar dalam negeri, tetapi juga dengan luar negeri. Krisis ekonomi di negara lain sering membawa dampak bagi perekonomian dalam negeri, dan masalah-masalah publik yang nampak adalah kemiskinan, pengangguran, dsb. Terkait realitas tentang bencana yang sering terjadi, Indonesia memang membutuhkan sosok manajemen publik yang selalu mengantisipasi krisis 78

(crises-ridden management). Pemerintah tidak boleh memiliki mental “itcant happen-to-us (Mitroff & Aganos, 2001), yaitu mental yang selalu beranggapan bawah krisis pasti tidak ada sehingga tidak perlu melakukan persiapan dalam perencanaan. Oleh karena itu, manajemen publik harus juga mempraktikan manajemen krisis untuk mengantisipasi datangnya bencana. Lingkungan teknologi juga sangat mempengaruhi keberhasilan manajemen publik di Indonesia. Dengan kondisi geografis yang kompleks seperti Indonesia, maka manajemen publik membutuhkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mempermudah jangkauan terhadap seluruh wilayah, khususnya wilayah-wilayah terpencil dan yang sulit terjangkau. 2. Ontologi dalam dimensi fokus Perlu didalami juga hakikat manajemen publik itu sendiri yang ilmunya berasal dari luar negeri. Eksistensi manajemen publik untuk memecahkan masalah publik dan kepentingan masyarakat (public interest and public affairs) harus selalu mengikuti perubahan waktu dan konteks. Untuk memecahkan masalah dan melayani kepentingan publik secara efektif, efisien, ekonomis dan adil, digunakan tuntunan teori organisasi, teori manajemen, teori kebijakan publik, termasuk etika administrasi atau birokrasi, yang awalnya diwarnai oleh paradigma yang berasal dari lingkungan internasional seperti administrasi publik klasik dan neoklasik, administrasi publilk baru, new public management, new public service, dan new public governance dalam berbagai bentuk reformasi selama ini. Manajemen publik dilihat dari sisi ontologi tidak lagi menjadi disiplin yang berdiri sendiri dengan teori dan metode tersendiri, tetapi harus bersifat interdisipliner atau terbuka terhadap disiplin yang lain. Karakter interdisipliner ini dapat dilihat dari “core object” administrasi publik di mana ada yang dilihat secara berbeda antarpara ahli, yaitu ada yang meihatnya sebagai urusan pembuatan keputusan, asosiasi, ekonomi politik, penanganan masalah publik, urusan negara, dan kepublikan (Raadschelders, 2011). Apa yang dialami di Indonesia selama ini memang menuntut suatu sosok manajemen publik yang interdisipliner yang juga memahami sosiologi, antropologi, politik, psikologi, dan hubungan kemasyarakatan. 79

Pejabat organisasi publik yang diberi tanggung jawab untuk membangun dan melayani masyarakat harus memiliki pengetahuan tentang disiplin lain yang terkait. Oleh karena itu, dibutuhkan intediciplinary public management. Kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan pejabat eksekutif, legislative, serta penegak hukum juga menunjukkan realitas bahwa paradigma management of the public dan management for the public masih mendominasi dalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan di Indonesia. Banyak urusan konkuren, misalnya, direncanakan, diimplementasikan, dimonitori, dan dievaluasi oleh aparat pemerintah sebagai pihak yang berkuasa atau memiliki otoritas, tanpa memahami kebutuhan publik yang sebenarnya dan kurang memperdulikan apakah kebutuhan dan kepuasan publik terpenuhi atau tidak. Hal ini adalah sosok management of the public yang harus dihindari dalam manajemen publik. Ada juga urusan konkuren yang semua fungsi manajemen itu tetap dilakukan oleh penguasa, tetapi memperhatikan kebutuhan publik dan menjamin bahwa kebutuhan dan kepuasan publik telah terpenuhi. Ini adalah sosok management for public. Kasus-kasus yang mencuat selama ini yang melibatkan pimpinan organisasi menuntut adalah sosok kepemimpinan yang memberi teladan yang baik atau good leadership. Sosok manajemen publik yang lain adalah management by the public, yaitu fungsi managemen dilakukan oleh publik untuk kepentingan publik melalui proses pemberdayaan masyarakat. Sosok manajemen ini cukup ideal, tetapi tidak semua urusan dapat dilakukan oleh publik sendiri tanpa diintervensi pemerintah, bahkan dalam kondisi tertentu sering menimbullan konflik sosial. Sosok yang paling ideal adalah management by collaboration yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat melalui pembagian peran dalam proses co-management dan co-production. Bentuk ini sering disebut sebagai collaborative governance. Paradigma yang terakhir ini sudah hampir dua dekade dilaksanakan di Indonesia, tetapi hasilnya masih belum memadai, bahkan hubungan kolaborasi justru menjelma menjadi hubungan yang bersifat kolutif. Kolusi dalam manajemen urusan pemerintahan masih bertumbuh subur. Realitas ini menunjukkan bahwa manajemen publik harus mengelola hubungan dengan masyarakat dan swasta secara benar dan baik atau good collaborative governance. 80

Praktik manajemen publik selama ini lebih memberikan perhatian terhadap fungsi perencanaan dan kurang memperhatikan fungi implementasi, monitoring, dan evaluasi. Padahal semua fungsi itu sama perannya dalam mencapai tujuan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Realitas seperti ini harus diakui sudah lama berlangsung. Padahal perencanaan dan evaluasi sebenarnya saling terkait secara siklus, di mana umpan balik dari evaluasi akan memperbaiki kualitas perencanaan dan pada gilirannya akan meningkatkan pencapaian tujuan organisasi. Indikator yang digunakan dalam evaluasi kinerja seperti yang dikemukakan Pollit & Bouckaert (2017:15) dalam manajemen publik perlu diterapkan untuk mengukur manajemen urusan pemerintahan. Indikator seperti relevansi (sampai seberapa jauh tingkat relevansi antara kebutuhan dan tujuan), ekonomi (sampai seberapa jauh tingkat penghematan input dalam mencapai tujuan), efisiensi (perbandingan biaya antara input dan output), efektivitas biaya (sampai seberapa jauh biaya input dibandingkan dengan outcome), kegunaan dan keberlanjutan (sampai seberapa kebutuhan terpenuhi dengan outcome yang dicapai dan apakah langgeng), dan efektivitas (apakah output yang dicapai memenuhi harapan outcome), sangat bermanfaat untuk memperbaiki semua unsur dalam organisasi. Akan tetapi dalam kenyataannya, harus diakui, penilaian sering kali tidak dilakukan secara serius, dan kalau dilakukan, hasilnya juga tidak banyak digunakan untuk pembenahan kinerja selanjutnya, pembenahan struktur, sumber daya, dan budaya organisasi terkait. Struktur organisasi yang dibuat secara permanen sering kali tidak responsif terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungan. Ketika RPJMN dan RPJMD berubah setiap lima tahun, maka struktur yang ada perlu dievaluasi dan disesuaikan dengan perubahan strategi dan program prioritas. Demikian pula halnya dengan sumber daya dan budaya organisasi, yang harus selalu reponsif terhadap perubahan yang terjadi. Dalam praktik manajemen publik, fungsi evaluasi kurang diminati karena terkait pengungkapan kesalahan atau kegagalan yang membawa implikasi dengan sangsi tertentu.

Refleksi dan Penutup Manajemen publik di Indonesia tidak boleh mengabaikan pengaruh lingkungan internal dan eksternal, meskipun telah menerapkan model81

model manajemen publik Barat mengikuti paradigma Administrasi Publik Klasik dan Neoklasik, Administrasi Publik Baru, New Public Management, New Public Service, dan New Public Governance. Memberi perhatian khusus pada kondisi lingkungan internal sangat penting sebagai upaya untuk mengungkapkan apa saja yang terjadi dalam organisasi publik Indonesia yang menghambat pencapaian tujuan seperti perbaikan hubungan kerja antarpegawai, penyesuaian struktur, sumber daya dan budaya organisasi, kepemimpinan yang baik dan berwawasan interdisipliner, kolaborasi yang baik, sistem kendali melalui evaluasi, dan perbaikan yang berkesinambungan. Demikian pula, sangat berisiko apabila mengabaikan hubungan organisasi dengan lingkungan eksternal utamanya terkait faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpastian dan kompleksitas di masa mendatang seperti faktor lingkungan fisik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan politik serta globalisme. Dibutuhkan kebijakan publik sebagai rujukan manajamen publik yang lebih evidence based dan responsif terhadap keberagaman, sensitif dan responsif terhadap faktor politik, sosial budaya, dan berbagai keterbatasan pada tingkat lokal. Manajemen publik di Indonesia harus memperhatikan kombinasi pengaruh lingkungan internal dan lingkungan eksternal, dan melihat apa yang terjadi sebagai akibat dari interaksi lingkungan internal dan eksternal. Nilai dan norma sosiologis, antropologis, ekonomis, dan politis yang ada di masyarakat dan yang dibawa dari luar oleh pegawai dan atasan mereka akan mempengaruhi kinerja organisasi. Oleh karena itu, organisasi publik harus sensitif dan responsif terhadap nilai dan norma tersebut. Pendalaman terhadap realitas dari lokus manajemen publik, yaitu terkait kepentingan dan masalah publik yang dihadapi, dan pemahaman terhadap fokus manajemen publik yang berorientasi pada perkembangan paradigma Barat, merupakan refleksi ontologis yang sangat penting karena telah membantu memberi kerangka makro manajemen publik yang generik, dan kerangka mikro yang spesifik untuk Indonesia. Realitas terkait fokus dan lokus ini tidak boleh ditutup-tutupi, bahkan harus dihadapi dan diintervensi secara berkesinambungan. Kombinasi kerangka manajemen publik yang generik dan yang spesifik ini mewarnai perkembangan Manajemen Publik Indonesia.

82

Daftar Pustaka Allison , G. T. 2017. “Public and Private Management: Are They Fundamentally Alike In All Unimportant Aspects?”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. Eight Edition. Boston, MA: Cengage Learning. Alllison, M. dan J. Kaye. 2015. Strategic Planning for Nonprofit Organization: A Practical Guide for Dynamic Times. Third Edition. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc. Amoah, L.G. A. 2012. “Constructing a New Public Administration in Africa”. Administrative Theory and Praxis, 34(3), hal. 385–406. Appleby P. 1997. “Government is Different”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. Barnard, C. I. 1997. “Informal Organization and Their Relation to Formal Organization”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. Bennis, W. 1997. “Organization of the Future”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers Bouckaert, G. dan W. Jann. 2020. “The EPPA Project”, dalam European Perspectives for Public Administration. Leuven: Leuven University Press. Bryson, J. M. 2004. Strategic Planning for NonProfit Organizations: A Guide to Strengthening and Sustaining Organizational Achievement. San Fransisco, CA: John Wiley & Sons. Bryson, J. dan L. H. Edwards. 2017. Strategic Planning in the Public Sector. USA: Oxford University Press. Dahl, R. A. 1997. “The science of Public Administration: Three Problems”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. David, F. R. 2011. Strategic Management: Concept and Cases. Thirteenth Edition. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall.

83

Denhardt, R. B., & J. V. Denhardt. 2003. “The New Public Service: An Approach to Reform”. International Review of Public Administration, 8(1), hal. 3–10. Fayol, Henri. 2001. “General Principles of Management”, dalam Shafritz, J. M. dan J. Steve Ott. Classics of Organization Theory. Fith Edition. New York, NY: Harcourt College Publishers. Frederickson, H.C. 2017. “Toward a New Public Administration”. Dalam Shafritz, J.M., & A.C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. Eight Edition. Boston, MA: Cengage Learning. Garson, G. D. dan E. S. Overman. 1997. “Public Management Research in the United States”. New York: Praeger Publishers, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. Goodnow, F. J. 2017. “Politics and Administration”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (editor). Classics of Public Administration. Eight Edition. Boston, MA: Cengage Learning. Gullick, L. 2017. “Notes on the Theory of Organization”. Dalam Shafritz, J.M., & A.C. Hyde (editor). Classics of Public Administration. Eight Edition, Boston, MA: Cengage Learning. Hood, C. 1991. “A Public Administration for All Seasons”. Public Administration, 69(1), hal. 3–19. Katz, D. dan R. L. Kahn. 1997. “Organization and the System Concept”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. Kivunja, Charles dan Kuyini. 2017. “Understanding and Applying Research Paradigms in Educational Contexts”. International Journal of Higher Education, 6(5), hal. 26–41. DOI: 10.5430/ijhe.v6n5p26 Krislow, S. dan D. H. Rosenbloom. 1997. “Representative Bureaucracy and the American Political System”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. Maslow, A. H. 1997. “A Theory of Human Motivation”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers.

Mendie, J.G. 2020. “The important of Ontology to Public Administration”. Pinisi Discretion Review, 3(2), hal. 207–216. Merton, R. K. 1997. “Bureaucratic Structure and Personality”, dalam Shafritz, J.M., & A.C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. Mitroff, I. I. dan G. Anagos. 2001. “Managing Crises Before They Happen: What Every Executive Needs To Know About Crises Management.” Journal of Product Innovaion Management, 19(1), hal. 103–105. Osborne, D. dan T. Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. Reading, MA: Harvard University Press. Osborne, S. (ed.). 2010. The New Public Governance: Emerrging Perspective On The Theory and Practice of Public Governance. London and New York: Routledge/Taylor and Francis. Pollit, C. 1990. Managerialism and the Public Services: The Anglo American Experience. Oxford: Basil Blackwell. Pollitt, C. dan G.Bouckaert. 2017. Public Management Reform: A Comparative Analysis – Into the Age of Austerity. Fourth Edition. UK: Oxford University Press. Quinn, R.E. & Cameron, K. 1983. “Organizational Life Cycles and Shifting Criteria of Effectiveness: Some Preleminary Evidence”. Management Science, 29(1), hal. 33–51. Raadschelders, J.C.N. 2011. “The Future of the Study of Public Administration: Embedding Research Object and Methodology in Epistemology and Ontology”. Public Administration Review, November/December, 71(6), hal. 916–924. Roethllisberger, F. J. 2001. “The Hawthorne Experiments. Dalam Classics of Organization Theory”. Edited by Shafritz, J.M. and J.Steve Ott. Fith Edition. New York, NY: Harcourt College Publishers. Stout, M. dan C. M. Staton. 2011. “The Ontology of Process Philosophy in Follett’s Administrative Theory”. Administrative Theory & Praxis, 33(2), hal. 268–292. Taylor, F. W. 2017. “Scientific Management”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde. (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. 85

Thompson, V. 1965. “Bureaucracy and Innovation”. Administrative Science Quarterly, 10(1), hal. 1–20. Tompkins, Jonathan R. 2005. Organization Theory and Public Management. Belmmont, CA: Thomson Wadsworth. Waldo, D. 1997. “What is Public Administration?”, dalam Shafritz, J.M., & A.C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. Weber, M. 2017. “Bureaucracy”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. Weiss, C. H. 1997. “Purpose of Evaluation”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. Wheelen, T. L dan J. D. Hunger. 2012. Strategic Management and Business Policy. Upper Saddle River: New Jersey: Pearson Education Inc. Wheelen, T. J., J. D. Hunger, Alan H. Hotman, dan Charles E. Bamford. 2018. Strategic Management and Business Policy: Globalization, Innovation and Sustainability. UK: Pearson Education Limited. White, L. D. 2017. “Introduction to the Study of Public Administration”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. Wildavsky, A. 1997. “The Self-Evaluation Organization”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. Wildavsky, A. dan J. L. Pressman. 1997. “Implementation”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. Wilson, W. 2017. “The Study of Administration”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers. Witcher, B. J. 2020. Absolute Essentials of Strategic Management. New York, NY: Routledge. Wright, D.W. 1997. “Intergovernmental Relations in the 1980s: A New Face of IGR”, dalam Shafritz, J. M. & A. C. Hyde (Editor). Classics of Public Administration. New York: Harcourt Brace College Publishers.

BAB IV

TENTANG PAKAR DAN KEPAKARAN DI DALAM KEBIJAKAN PUBLIK: PERJALANAN MENELUSURI JEJAK PEMIKIRAN DAN PRAKTIKA

Ario Wicaksono

Pendahuluan Studi Administrasi Publik dan Kebijakan Publik mengklaim dirinya sebagai disiplin yang memadu padankan kuasa pengetahuan dan inspirasi politik sebagai identitas keilmuannya. Dimensi teknokratisme pada disiplin ini awalnya terwujud ketika gagasan manajerialisme yang dianggap sebagai respons penyeimbang atas praktika spoil system ala Thomas Jefferson, mulai dipromosikan oleh Frederick Taylor melalui karyanya Scientific Management (1912). Konsep birokrasi Weberian sendiri merepresentasikan keinginan untuk menghadirkan cara yang sistematis dan berorientasi keahlian dalam menjalankan negara. Gagasan-gagasan ini kemudian menempatkan kekuatan ide sebagai variabel yang sama krusialnya dengan aktor kebijakan dan konteks kebijakan dalam sebuah sistem kebijakan (Howlett dkk., 2009). Kombinasi antara ide dan aktor belakangan termanifestasi dalam konsep pakar dan kepakaran (expert and expertise) di berbagai literatur. Dalam perkembangannya, dua konsep yang saling terkait dengan proses pembuatan kebijakan tersebut belum memiliki pijakan konseptual atau teoretikal yang solid (Christensen, 2020). Pembahasan mengenai pakar dan kepakaran tersebar di berbagai konsep seperti komunitas epistemik 87

(Haas, 1990; 2008), ide dan kebijakan publik (Howlett dkk., 2009), agen pengetahuan (Stone, 2013), evidence-based/informed policymaking (Head, 2013), utilisasi pengetahuan, manajemen pengetahuan, teknokratisme (Fischer, 1990), dan policy entrepreneurship (Kingdon, 1984/2011; Mintrom, 1997). Beberapa konsep tersebut juga berada di luar garis batas disiplin kebijakan publik sehingga tidak dapat merepresentasikan pakar dan kepakaran di dalam praktika kebijakan. Ketiadaan basis gagasan yang solid juga menjadikan ide tentang pakar dan kepakaran, serta aktualisasinya di dalam kebijakan publik menjadi rawan tergelincir ke dalam orbit aspirasi ─ bukan inspirasi ─ politik. Tulisan ini kemudian memiliki dua tujuan, yaitu akademik dan praktis. Pertama, melakukan evaluasi dan kajian teoritik terkait konsep pakar dan kepakaran yang berkembang pada studi kebijakan publik. Hal ini tidak semata-mata untuk mengisi diskusi yang terkait dengan ketiadaan konsep monolitik terhadap isu tersebut, tetapi juga memberikan fondasi percakapan lebih lanjut mengenai peran kepakaran dan intelektual pada proses kebijakan (Christensen, 2020). Kedua, dalam konteks Indonesia, tulisan ini bertujuan untuk membawa praktik-praktik indigenous yang berkaitan dengan utilisasi pakar/kepakaran pada sektor publik ke ranah diskursus kebijakan publik yang lebih general. Evaluasi terhadap beberapa praktik teknokratisme ala Indonesia dapat digunakan sebagai bentuk kontribusi terhadap format/model terbaik kebijakan publik Indonesia. Evaluasi juga dilakukan untuk melihat sejauh mana tautan antara teknokrasi serta kepakaran dengan praktik riil politik dan birokrasi di Indonesia. Pada akhirnya, tulisan ini walaupun memiliki dimensi ontologis serta kental dengan pemikiran konseptual, tetapi tetap memiliki dimensi kepraktisan/ empirikal karena hakikatnya isu pakar dan kepakaran adalah soal menjembatani pengetahuan (konseptual) dengan kebijakan (praktikal).

Mencari Pakar dan Kepakaran dalam Studi dan Praktik Kebijakan: Telaah Konseptual Diskursus terkait pakar dan kepakaran tersebar dalam berbagai konsep seperti komunitas epistemik (Haas, 1990; 2008), ide dan kebijakan publik (Howlett dkk., 2009), agen pengetahuan (Stone, 2013), evidence-based/ informed policymaking (Head, 2013), utilisasi pengetahuan, manajemen 88

pengetahuan, teknokratisme (Fischer, 1990), dan policy entrepreneurship (Kingdon, 1984/2011; Mintrom, 1997). Beberapa konsep tersebut bahkan berada di luar garis batas disiplin kebijakan publik, sebagai contoh adalah konsep manajemen pengetahuan di literatur bisnis dan manajemen. Studistudi terdahulu tentang peran pakar/intelektual di dalam kehidupan publik di Indonesia juga cenderung menggunakan perspektif dan konteks lain seperti ekonomi politik di era otoritarian (Mallarangeng, 2000), ekonomi politik dan sosiologi politik di dalam politik lokal (Kusman, 2015), reformasi tata kelola dalam isu antikorupsi (Juwono, 2016), dan sosiologi publik dalam politik elektoral (McRae & Robet, 2019). Pada studi kebijakan, topik mengenai pakar juga tersembunyi di dalam konsep lain. Bennett & Howlett (1992) misalnya, tulisan mereka tentang pembelajaran kebijakan (policy learning) mengidentifikasi lima kategori subjek/pelaku pembelajar, yaitu kekuatan-kekuatan sosial, institusi formal dari negara, jaringan koalisi advokasi kebijakan, komunitas epistemik transnasional, dan para pakar. Selain itu, keberadaan pakar juga tenggelam di dalam konsep-konsep lain seperti wirausahawan kebijakan (policy entrepreneurs), think tanks, dan konsultan. Pertama, wirausahawan kebijakan (policy entrepreneurs). Aktor ini berperan penting dalam memperkenalkan perubahan kebijakan melalui berbagai inisiatif yang inovatif. Para profesor dari Harvard Business School yang berkeliling dunia untuk menjual gagasan tentang New Public Management (NPM) adalah contohnya (Cairney, 2013). Wirausahawan kebijakan sendiri dapat berasal atau berada di luar pemerintahan dan saling berinteraksi di dalam proses pertukaran ide-ide perubahan. Sering kali mereka juga menjadi bagian dari komunitas epistemik1. Kedua, think tanks. Think tanks adalah aktor yang berpartisipasi dalam proses kebijakan atas undangan pemerintah karena kepakarannya dalam satu bidang tertentu. Stone (2000) menyebutkan peran penting think tanks adalah (1) pusat pengumpulan dan pertukaran informasi; (2) terlibat aktif dalam proses advokasi ide-ide; (3) memiliki jejaring yang luas dan mapan, baik secara domestik (partai politik, birokrasi, media, dan universitas) 1.

Komunitas epistemik adalah “a knowledge-based network of individuals with a claim to policy-relevant knowledge based upon the common professional beliefs and standards of judgment, and common policy concerns” (Haas, 1990).

89

maupun international (think tanks lainnya, LSM, dan organisasi-organisasi internasional); dan (4) latar belakang intelektual dan kesarjanaan mereka melandasi kepakaran mereka dalam isu kebijakan yang spesifik. Kepakaran adalah fitur kunci think tanks, tetapi mereka bukanlah aktor yang sepenuhnya independen. Think tanks memiliki preferensi terhadap ide-ide kebijakan tertentu, yang kemudian akan memengaruhi gagasan yang ditawarkan. Riset Tickell & Clark (2001) misalnya menggarisbawahi peran Group of Thirty dalam membentuk dan mengarahkan (framing) debat serta perubahan perilaku terkait regulasi keuangan dan ekonomi global melalui seri seminar, simposium, serta seri publikasi yang mereka kerjakan. Keberadaan Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Indonesia selama beberapa masa di periode orde Baru juga cukup signifikan dalam memperkenalkan ide-ide liberalisme ekonomi. CSIS adalah think tank yang diprakarsai oleh dua jenderal militer dan dibentuk antaranya untuk membantu pemerintah tidak hanya di dalam membuat kebijakan ekonomi dan politik, tetapi juga memelihara keamanan negara. Beberapa peneliti CSIS juga terafiliasi dengan perguruan tinggi tertentu. Kehadiran mereka bersamaan dengan kemunculan kelompok teknokrat yang dikenal dengan Mafia Berkeley. Ketiga, konsultan. Semakin maraknya peran konsultan akan diulas lebih banyak di tulisan ini. Dalam literatur kebijakan publik, interaksi antara akademisi dan jabatan publik lazimnya difasilitasi dalam bentuk aktivitas konsultansi kebijakan (Pollitt, 2006). Jenis aktivitas konsultansi ini dapat dikategorikan sebagai ikhtiar untuk menjembatani riset dengan kebijakan atau menjadikan ilmu pengetahuan (sosial) sebagai dasar untuk memengaruhi kekuasaan. Pada studi kebijakan, praktik ini melekat dengan terminologi kebijakan berbasis bukti (evidence-based policymaking atau EBPM). Akademisi dan/cum konsultan menawarkan nilai tambah mereka ke para pembuat kebijakan melalui aktivitas yang umumnya terdiri dari 1) melakukan agenda-setting dan re-framing; 2) memoderatori diskusidiskusi antarpihak/institusi sesuai dengan kepakarannya; 3) melakukan klarifikasi konseptual termasuk mempertanyakan asumsi-asumsi yang salah dalam kebijakan; 4) membimbing tentang bagaimana cara membuat keputusan yang terstruktur; 5) memberikan nasihat mengenai tata cara 90

pengumpulan data dan informasi yang baik; 6) memberikan nasihat berbasis generalisasi dan kontekstualisasi situasi; dan 7) memberikan tips berdasarkan pengalaman-pengalaman dari kasus/konteks yang serupa (Pollitt, 2006: 261). Pollitt menggarisbawahi bahwa adalah penting bagi akademisi yang menjadi konsultan untuk menjamin apa yang (akan) dilakukan untuk memecahkan persoalan-persoalan administratif adalah koheren secara konseptual dan efisien secara teknis. Konsultan berperan untuk mencari praktik-praktik baik (best practices) yang kemudian dijadikan basis untuk menyusun saran-saran kepada pembuat kebijakan. Firma-firma konsultan internasional memiliki infrastruktur yang luas berupa cabang-cabang lokal di berbagai negara, yang memungkinkan mereka untuk tidak hanya mengumpulkan dan mendiseminasi ide dan model-model inovasi internasional, melainkan juga memungkinkan mereka memiliki koneksi yang kuat kepada para pembuat kebijakan di level nasional maupun sub-nasional (Oliveira & Pal, 2018). McKinsey, Ernst and Young, dan KPMG adalah beberapa firma konsultansi internasional terbesar. Kekuatan mereka tidak hanya terkait struktur organisasi dan jejaring yang luas, tetapi juga reputasi solid yang telah lama terbangun. Tersebarnya inisiatif Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD+) di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, tidak lepas dari peran konsultan internasional (Morgan, Sturdy, & Frenkel, 2019). McKinsey Consulting juga berperan cukup penting dalam proses transformasi kelembagaan Kementerian Keuangan (LaForge, 2016). Para akademisi di Indonesia terkoneksi dengan para konsultan karena sering diundang atau bergabung menjadi konsultan lokal mereka. Walaupun konsultan berperan penting, riset Hamilton-Hart (2006) menunjukkan bahwa peran intermediari kebijakan dan pendekatanpendekatan teknokratis yang ditawarkan oleh para konsultan akan sangat tergantung pada konteks kepentingan politik yang mengelilinginya. Ia menemukan bahwa sering kali pekerjaan-pekerjaan konsultansi dilakukan dengan basis logika jual-beli, karena konsultan pada hakikatnya adalah kontraktor swasta yang lebih tertarik untuk melayani kepentingan personal, politik, dan material dari kedua belah pihak (konsultan dan pembuat kebijakan yang menyewa jasa mereka). Tidak heran jika alih-alih digerakkan oleh misi teknokratis seperti semangat untuk melakukan efisiensi organisasi 91

atau menciptakan kebijakan yang efektif, para konsultan hanya diminta untuk menciptakan penampilan seolah-olah telah terjadi perubahan, memberikan saran sesuai pesanan klien atau malah memberikan justifikasi atas tindakan-tindakan klien. Akan tetapi, argumen ini perlu dikaji ulang pula dalam konteks pasca-otoritarianisme karena tuntutan akuntabilitas dan transparansi publik yang kini lebih tinggi. Namun, satu hal yang selalu diingatkan oleh para pemikir kebijakan publik: “as academics, rather than commercial consultants, our prime duty is that of ‘speaking truth to power’ (Wildavsky, 1979)” (Pollitt, 2006: 262). Melihat berbagai paparan konseptual di atas, terlihat bahwa eksistensi dan pemahaman pakar dan kepakaran tidak secara solid terkumpul di bawah satu konsep. Terdapat satu entitas lagi, yaitu para akademisi dan sarjana yang terafiliasi dengan universitas yang dapat dikategorikan sebagai pakar kebijakan (policy experts) karena kapasitas intelektual dan kepakaran mereka serta aksesnya terhadap sumber daya pengetahuan yang terkait isu kebijakan tertentu. Melalui kegiatan penelitian, pengajaran, publikasi, dan pengabdian masyarakat, para akademisi dapat berperan untuk memengaruhi pembentukan kebijakan. Mereka dapat bekerja secara independen atau terinkorporasi ke dalam think tanks, lembaga konsultan atau (jejaring) institusi berbasis pengetahuan lainnya. Secara khusus, partisipasi akademisi di dalam proses formal kebijakan juga telah menjadi tradisi di budaya politik Indonesia. Hal ini dapat dilihat ketika mereka direkrut untuk menduduki berbagai jabatan publik di pemerintahan, sesuatu yang akan lebih lanjut dikupas di subbab berikutnya. Tradisi merekrut akademisi di pemerintahan di Indonesia, terutama di era orde Baru, kemudian melekat dengan satu terminologi lagi, yaitu teknokrat dan teknokrasi. Alexiadou and Gunaydin (2019: 847) mendefinisikan teknokrat sebagai “professionals who have policy expertise within their department’s policy jurisdiction and have never held elective office, whether at the national, subnational or local levels, both before and after their ministerial appointment”. McDonnell menggarisbawahi teknokrat sebagai orang yang tidak pernah terafiliasi ke partai politik dan memiliki kepakaran yang relevan dengan peran tertentu yang dipegangnya di pemerintahan (McDonnell & Valbruzzi, 2014: 657–658).

92

Tulisan ini selanjutnya akan menggunakan istilah yang dapat dipergunakan secara bergantian seperti pakar, intelektual, sarjana, akademisi, dan teknokrat untuk merujuk kepada orang-orang yang memiliki kapasitas keahlian, kepakaran, dan kompetensi akademik dalam bidang tertentu yang relevan dengan isu, proses, dan sistem kebijakan yang digelutinya, dan secara default adalah aktor non-negara. Namun, untuk kepentingan konsistensi, istilah pakar dan kepakaran akan lebih banyak digunakan karena bersifat lebih general.

Praktik Empirik, Kontribusi dan Tantangan Kepakaran dalam Proses Kebijakan Indonesia sendiri sebenarnya tidak asing dengan pemanfaatan pakar dan kepakaran dalam proses kebijakan publik. Sebagai contoh, istilah zaken cabinet telah dikenal sejak zaman orde Lama dan semakin termanifestasi di era orde Baru. Rezim Soeharto yang menjadikan pembangunan ekonomi sebagai panglima, sangat menyukai gagasan menginkorporasi teknorat dalam struktur dan proses kebijakan-kebijakannya. Tradisi ini bermula dari kesadaran dan keinginan untuk menutup kesenjangan kepakaran (gap of expertise) yang diidap oleh birokrasi di lembaga-lembaga pemerintahan yang membutuhkan keahlian khusus. Selain itu, praktik ini bertujuan untuk memperkenalkan ragam inovasi birokrasi serta pembaruan kebijakan melalui kehadiran ide-ide segar para akademisi di pemerintahan. Praktik ‘outsourcing’ akademisi ini berlanjut hingga saat ini sehingga beberapa portofolio kabinet lekat dengan identitas sebagai ‘jatah teknorat’, seperti Kementerian Keuangan (Shiraishi, 2014). Sejak kabinet pertama Indonesia merdeka hingga yang saat ini, sejumlah 13.9% anggota kabinet memiliki latar belakang akademisi. Khusus sejak orde Baru hingga kini, rata-rata 40% anggota kabinet adalah akademisi. Walaupun demikian, angka tersebut turun menjadi 26% di lima kabinet pertama di era Reformasi karena kursi politik kini lebih banyak dialokasikan untuk politisi mengingat konteks perubahan sistem politik yang harus lebih mengakomodasi kekuatan politik. Akan tetapi, angka rerata satu perempat dari total anggota kabinet tetap mencerminkan proporsi yang tinggi dari keterlibatan akademisi di pemerintahan. Bahkan, di kabinet periode 2009–2014, terdapat 10 dari 17 wakil menteri yang 93

berlatar belakang akademisi. Posisi wakil presiden di periode itu juga diisi akademisi. Statistik tersebut belum termasuk akademisi yang menduduki jabatan eselon 1 dan 2 di kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian (Wicaksono, 2017). Rekrutmen akademisi di jabatan publik pada era Reformasi tetap tinggi dikarenakan Presiden Habibie (1998–1999) adalah seorang teknokrat dan Presiden Yudhoyono (2004–2014) adalah jenderal intelektual yang tertarik dengan gagasan untuk menyeimbangkan pembangunan politik negara transisi dengan pertumbuhan ekonomi. Normalisasi keterlibatan akademisi di pemerintahan utamanya terjadi sejak orde Baru (1966–1998). Pada masa itu, kaum teknokrat menjadi elite baru disebabkan kepakaran mereka yang terfokus di restrukturisasi ekonomi sangat dibutuhkan untuk memperbaiki standar kehidupan masyarakat (Shiraishi, 2014). Merekrut akademisi di jabatan publik bukan hanya untuk menutup kesenjangan kompetensi dan memperkenalkan reformasi kebijakan, tetapi juga karena mereka dianggap memiliki solusi-solusi yang lebih teknokratis untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan. Pada periode orde Baru, dikenal istilah Mafia Berkeley yang merupakan kelompok ekonom Universitas Indonesia lulusan University of California, Berkeley. Kelompok ini direkrut untuk mengisi portofolio kabinet di bidang ekonomi. Kelompok ini dituduh berada di balik adopsi salah satu versi liberalisme yang bersifat sangat teknikal, pragmatis, dan instrumental tanpa dilengkapi dengan pemahaman yang komprehesif terkait filosofi dan semangat yang sesungguhnya dari liberalisme (Heryanto, 2005). Walaupun dianggap berpengaruh, analisis Irwan (2005) menyebutkan bahwa mereka cenderung tidak leluasa untuk mengimplementasikan kebijakan yang teknokratis dan liberal karena tidak sepenuhnya sesuai dengan kepentingan penguasa. Kehadiran ‘mafia’ ini serupa dengan fenomena ‘Chicago Boys’ di Chili (para profesor ekonomi lulusan University of Chicago) yang direkrut selama masa kediktatoran Jenderal Augusto Pinochet selama 1974–1990 (Biglaiser, 2002; Brender, 2010; Juwono, 2017; Letelier, 1976; Ransom, 1970; Silva, 1991. Pada akhirnya, kaum teknokrat, terutama di era orde Baru, muncul menjadi sekutu utama rezim karena mereka hadir untuk membantu penguasa menunaikan janji politiknya dalam memperbaiki standar hidup masyarakat melalui kebijakan publik yang berorientasi pertumbuhan 94

ekonomi (Shiraishi, 2014). Rezim yang berfokus pada pembangunan ekonomi membutuhkan akses ke jejaring sumber daya internasional yang hanya dimiliki oleh para teknokrat. Dengan memanfaatkan riwayat pendidikan dan jejaring profesional mereka, kelompok Berkeley dapat dengan mudah mencari dukungan dari komunitas internasional seperti lembaga-lembaga donor multilateral (IMF dan Bank Dunia) serta negaranegara industri maju yang dikoordinasi oleh AS. Para teknokrat juga dapat menyediakan rezim represif orde Baru: “a civilian image and initiated their military patrons into the mysteries of their science” (MacDougall, 1976: 1166). Artinya, cara kerja mereka yang ‘ilmiah dan objektif’ dapat memberikan kesan bahwa kebijakan rezim sudah baik dan absah secara teknokratis (Hadiz dan Dhakidae, 2005; Heryanto, 2005). Terdapat perbedaan pendapat terkait apakah Mafia Berkeley bertanggung jawab dalam mempromosikan agenda pasar liberal. Beberapa sarjana meyakini bahwa ini adalah konsekuensi tak terelakkan karena sejak awal liberalisme ekonomi telah menjadi kepentingan rezim dan juga karena kelompok tersebut hanya mempraktikkan apa yang mereka pelajari di Berkeley. Namun, terdapat kelompok lain yang berpendapat bahwa para alumni Berkeley hanyalah sekadar bersikap pragmatis di dalam melihat konteks politik dan ekonomi. Siapapun yang berada di posisi pengambil kebijakan ekonomi pada saat itu, hanya memiliki pilihan yang terbatas kecuali memilih kebijakan neo-liberal. Apalagi Berkeley bukanlah universitas yang dapat dianggap sebagai benteng neo-liberalisme, karena pada kenyataannya di masa itu universitas tersebut justru memiliki wajah yang ‘kiri’ di dalam lanskap perguruan tinggi di AS. Melihat situasi objektif, Juwono (2017:30) mendeskripsikan kehadiran Mafia Berkeley sebagai respons segera dari Soeharto ketika melihat Indonesia di ambang kolapsnya ekonomi, seperti angka inflasi tahunan yang menembus 1.000% dan hutang pemerintah yang menyentuh angka kritis US$2 miliar. Pada akhirnya, Mafia Berkeley cukup efektif dalam membantu Soeharto pada pemulihan ekonomi, bahkan mampu membawa angka pertumbuhan ekonomi lebih dari 5% di akhir 1960-an sampai awal 1990-an yang belum pernah terjadi sebelumnya. Puncak pengaruh dari Mafia Berkeley adalah 20 tahun pertama masa orde Baru ketika Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana ─ generasi pertama kelompok Berkeley dan 95

kemudian dianggap sebagai bapak teknokrasi Indonesia ─ yang memegang berbagai posisi/portofolio ekonomi secara bersama-sama. Namun, kisah sukses mereka tentu saja hanya dapat terjadi pada saat mereka menikmati patronase politik dari rezim. Tanpa dukungan politik, mereka hanya akan memiliki pengaruh atau kontrol yang kecil terhadap proses politik dan birokrasi (Milne, 1982; Shiraishi, 2014). Pada saat yang bersamaan, seperti yang disinyalir melalui informasi Wikileaks, dukungan kepada para teknokrat tidak hanya datang dari rezim, tetapi juga dari komunitas internasional. Juwono (2017) mengatakan bahwa Kedutaan Besar AS dan beberapa negara donor barat ─ yang mengetahui bahwa para teknokrat tidak memiliki posisi tawar di pemerintahan ─ memperingatkan Indonesia bahwa mereka tidak akan memberikan bantuan kecuali proposalproposal Indonesia tersebut telah disetujui oleh para teknokrat. Eksistensi para teknokrat di pemerintahan menghadapi tantangan yang lebih kompleks di era 1990-an ketika menghadapi para rival baru dalam perjalanannya mereformasi tata kelola ekonomi. Rival-rival itu meliputi jenderal-jenderal militer, birokrat politik, konglomerasi keturunan Tionghoa, keluarga dan kroni Soeharto, dan generasi teknokrat baru yang dipimpin oleh B. J. Habibie (Juwono, 2017). Pensiunnya Widjojo pada periode ini serta naiknya karir politik Habibie dengan slogan pembangunan berorientasi teknologinya telah membuka jalan menurunnya pengaruh Mafia Berkeley dan tim ekonomi penerusnya. Sementara itu, membicarakan peran para pakar di dalam proses kebijakan dan institusi pemerintahan tidaklah lengkap tanpa menyinggung eksistensi para pakar yang berasal dari internal birokrasi itu sendiri, seperti para staf ahli dan peneliti di badan-badan penelitian pemerintah (Balitbang). Hanya saja berbagai studi menemukan bahwa eksistensi staf ahli, pengajar unit pendidikan dan pelatihan (diklat), serta para peneliti Balitbang tidak lebih dari sekadar aksesoris belaka (Cislowski & Purwadi, 2011). Hal ini telah menjadi pengetahuan umum bahwa portofolio staf ahli dan pengajar diklat misalnya lebih berfungsi sebagai tempat penampungan SDM yang tidak lagi diinginkan. Peneliti balitbang seperti sekadar berfungsi untuk memberikan legitimasi teknokratis terhadap kebijakan politis yang sudah lebih dulu ditentukan (pre-determined). Tidak mengherankan jika inefektivitas dan inefisiensi berbagai balitbang kemudian mendorong 96

pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dijanjikan lebih integratif dan efektif. Tentu saja BRIN masih perlu dicermati secara seksama karena inisiatif tersebut tidak akan bermakna tanpa perubahan sistem yang lebih besar. Sayangnya, suprasistem yang kooptatif dan manipulatif juga bertemu dengan kepentingan subjektif dari para pakar yang berusaha mengambil keuntungan material dari sistem tersebut. Fenomena yang terakhir banyak menjerat para pakar yang berkarir di perguruan tinggi. Para dosen lebih sering diminta kepakarannya dalam berbagai proyek-proyek pemerintahan ketimbang peneliti internal dari Balitbang karena terkait kredensial akademiknya yang dianggap lebih baik. Keterlibatan mereka dimulai dari aktivitas yang benar-benar terkait dengan upaya memberikan expert judgment atau hanya untuk dipinjam “stempel” kesarjanaannya saja. Gayung bersambut karena akademisi juga membutuhkan medan aktualisasi empirik sekaligus menjadi sumber tambahan dukungan finansial pribadi (Rakhmani & Siregar, 2016). Dosen kemudian juga secara proaktif mencari tawaran di luar karena ekosistem pendidikan tinggi dianggap terlalu menjerat mereka dengan beban mengajar dan tanggung jawab administratif yang tidak seimbang dengan kompensasi finansial (Clark & Gardiner, 1991). Sebagai akibat dari model contracting out, para akademisi hanya menjadi kontraktor pragmatis yang minim kerja-kerja kesarjanaan yang membutuhkan proses berpikir yang mendalam dan orisinil (deep thinking). Pada akhirnya para pakar akan terdistorsi dari kewajiban utamanya untuk “speaking truth to power” (Wildavsky, 1987) karena hanya disibukkan untuk melayani permintaan klien pemerintahnya. Hasil penelitian Wicaksono (2021) juga menemukan bahwa keterlibatan akademisi di jabatan-jabatan publik merepresentasikan ‘ekonomi tanda’, yaitu di mana indikator kesuksesan adalah ‘menjadi apa’. Motif ini mengindikasikan bahwa keterlibatan mereka tidaklah sepenuhnya didorong oleh keterbatasan finansial, tetapi juga sebagai bentuk dari kegiatan aktualisasi non-akademik, seperti mencari status sosial ekonomi. Oleh karena itu, supaya menjadi independen dari pengaruh kekuasaan dan keinginan konsumtif mereka, para akademisi perlu untuk memiliki alat produksi sendiri. Hasil riset yang sama juga menyebutkan bahwa beberapa akademisi melamar jabatan-jabatan publik sering kali sebagai bentuk 97

mencari kompensasi sosial karena mereka bukanlah akademisi yang cemerlang secara akademik di institusi asalnya. Hal terakhir ini selaras dengan temuan McRae dan Robet (2019) yang menyebutkan bahwa akademisi yang secara spesifik terlibat di dunia politik elektoral adalah memang bukan tipe akademisi yang prolifik dalam arti produktif membuat publikasi ilmiah atau aktif mengajar di kampus (h. 15). Hal menarik lainnya adalah memperhatikan sinyalemen Edward Said (1996) yang menyebutkan bahwa seorang intelektual kadang mendeklarasikan dirinya sebagai ‘apolitis’ untuk menyembunyikan motif sebenarnya, yaitu memperoleh keuntungan personal melalui akses kepada kekuasaan dan sumber daya. “You do not want to appear too political; you are afraid of seeming controversial; you need the approval of a boss or an authority figure; you want to keep a reputation for being balanced, objective, moderate; your hope is to be asked back, to consult, to be on a board or prestigious committee, and so to remain within the responsible mainstream; someday you hope to get an honorary degree, a big prize, perhaps even an ambassadorships. For an intellectual, these habits of mind are corrupting par excellence.” (Said, 1996: 100–101).

Ekses dari keberadaaan praktik-praktik seperti outsourcing and contracting out, akademisi sebenarnya dapat diantisipasi melalui inisiatif seperti memperkenalkan profesi analis kebijakan di birokrasi pemerintahan. Pemangkasan jabatan-jabatan struktural dan pengalihannya ke berbagai jenis jabatan fungsional, termasuk analis kebijakan, memberikan nuansa optimisme dalam menghadirkan kebijakan yang berbasis bukti. Tentu saja kerja-kerja untuk menyiapkan kompetensi analis kebijakan membutuhkan waktu lama dan bersifat kerja kultural. Selain kerja kultural, perlu juga kerja struktural, karena sangat sulit untuk mengharapkan birokrasi berinovasi atau mengadopsi ide-ide perubahan jika model birokrasi Indonesia masih berupa kombinasi antara budaya paternalisme lokal dengan prinsip-prinsip birokrasi Weberian yang kaku (Hoadley, 2006). Apabila keberadaan akademisi atau pakar eksternal di pemerintahan adalah tidak dapat terhindarkan sebagai bagian dari strategi transisi dan kerja kultural untuk mempersiapkan tradisi teknokratisme di internal birokrasi, maka memperhatikan konteks waktu dalam penempatan akademisi di dalam jabatan publik menjadi sangat penting. Sebagaimana 98

layaknya peristiwa politik lainnya, menyesuaikan dengan momentum yang tepat menjadi sangat penting karena terkait dengan pemanfaatan jendela kesempatan (windows of opportunity; meminjam istilah John Kingdon, 2011) untuk melakukan perubahan kebijakan via kehadiran pakar. Kesesuaian antara momen politik dengan idealisme akademik juga harus berasal dari sisi si pakar. Level kesesuaian itu akan menentukan apakah seorang pakar memutuskan untuk bergabung di pemerintahan atau tidak. Kesesuaian itu bisa terkait dengan agenda politik pemerintah yang selaras dengan visi akademik yang bersangkutan, atau kesesuaian itu terkait dengan person atau orang yang akan bekerja sama dengan mereka di pemerintahan. Kesesuaian berikutnya adalah terkait dengan kondisi objektif di sekitar momen tersebut. Situasi yang menantang, seperti krisis ekonomi, akan mengundang pakar untuk mencoba berkontribusi dan menerapkan gagasan-gagasannya secara empirik. Pada saat yang bersamaan, situasi krisis akan menyebabkan aktor politik akan lebih bergantung kepada teknokrat untuk merancang kebijakan yang baik. Mafia Berkeley adalah contoh dari praktik ‘simbiosis mutualis’ ini. Pendapat ini sesuai dengan riset McRae dan Robet (2019) yang menyatakan bahwa akademisi utamanya termotivasi untuk terlibat dalam aktivitas politik dan pemerintahan karena adanya kesempatan untuk membentuk arah dan mempengaruhi kebijakan publik dan politik nasional. Hal ini adalah kesempatan atau momen terbaik untuk melatih dan mengimplementasikan kepakaran mereka. Walaupun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono (2021) menunjukkan bahwa argumen menempatkan ‘the right man in the right place’ yang sering digunakan untuk menjustifikasi kehadiran pakar di dalam posisi-posisi publik tidak mudah diterapkan karena konteks spesifik yang dialami oleh negara berkembang. Di negara berkembang, terdapat ketidakjelasan posisi akademisi, pakar dan intelektual dibanding dengan situasi di negara maju. Di negara maju, para sarjana memiliki peran yang jelas (clear cut) termasuk terkait relasinya dengan pemerintah ketika mereka diminta untuk berkontribusi di dalam pemerintahan. Para pakar di negara berkembang berada di posisi yang lebih kabur karena sering kali penunjukan mereka di posisi-posisi pemerintahan juga dalam rangka mengakomodasi kepentingan politik atau mengakomodasi identitas lain 99

yang dimiliki oleh pakar yang bersangkutan, seperti identitas primordial maupun afiliasi kelembagaan (politik dan masyarakat) si pakar. Akomodasi yang berlebihan terhadap kepentingan politik, baik internal dan eksternal, akan menimbulkan kerawanan tersendiri yang mengancam nilai serta praktika kepakaran. Fenomena tersebut semakin menggejala di era pasca-otoritarianisme dan praktik multipartai, di mana pakar dan birokrasi berada di pusaran tarik-menarik aktor politik yang berusaha mempraktikkan patronase (Berenschot, 2018). Sementara itu, ketika berbicara tentang tantangan eksternal, di mana selain maraknya fenomena post-truth, gejala populisme juga telah menjadi ‘ideologi’ baru. Contoh mutakhir terkait tantangan-tantangan ini ditemukan di dalam kasus penanganan pandemi COVID-19. Aneka kebijakan terkait penanganan pandemi, baik di negara berkembang maupun maju, dianggap menjauh dari prinsip-prinsip keilmiahan yang berbasis bukti. Suara pakar tidak lagi dilibatkan atau hanya digunakan untuk melegitimasi agenda lain di balik penanganan pandemi. Indikasinya, aktor politik lebih tertarik dan mengkapitalisasi slogan dan jargon populis, misalkan dengan lebih mengutamakan ketahanan ekonomi daripada memprioritaskan kesehatan masyarakat. Terdapat dugaan adanya pilihan orientasi untuk lebih memuaskan selera klien-klien kekuatan oligarki yang menopang kekuasaannya. Selera populisme juga muncul akibat adanya erosi kepercayaan terhadap pakar, ilmu pengetahuan dan jargon-jargon teknokrasinya karena dianggap bias elite dan political establishment tertentu. Tom Nichols (2017) merekam ini dengan sangat baik dalam karyanya The Death of Expertise. Gagasan Esmark (2020) tentang new technocratism yang berusaha mencari kompromi dengan memadukan kepakaran dan ‘populisme’ dapat dijadikan referensi awal bagi para peminat untuk berdiskusi lebih lanjut.

Menerka Arah Perjalanan Pakar dan Kepakaran dalam Proses dan Studi Kebijakan Edward Said (1996) mengadvokasi pentingnya peran intelektual sebagai ‘orang luar, amatir, dan pengganggu status quo’ yang kerjakerjanya tidak dilekati oleh slogan, afiliasi, dan dogma tertentu. Termasuk di dalam hal ini adalah berarti tidak terlibat secara langsung sebagai pelaku aktif dari proses kebijakan. 100

“Thus, in my view, the principal intellectual duty is to search for relative independence from such pressures. Hence my characterisations of the intellectual as exile and marginal, as amateur, and as the author of a language that tries to speak the truth to power”. (Said, 1996: xvi)

Menjadi ‘amatir’, menurut Said, berarti mendorong kaum intelektual untuk tidak berperilaku atau menjadikan diri sendiri sebagai orang yang secara ‘profesional’ dipekerjakan oleh pemegang kekuasaan. Menjadi amatir berarti menjalankan tugas utama berupa mempertanyakan pemegang otoritas secara kritis dan independen. Namun dalam konteks Indonesia, Cornelis Lay (2019) berargumen bahwa tidak diperlukan adanya dikotomi antara pengetahuan dan kekuasaan karena keduanya bersifat komplementer. Pengetahuan dan kekuasaan menurutnya melayani nilai-nilai yang sama, yaitu kebebasan dan martabat kemanusiaan. “Science must exist within power, and power requires science” (Lay, 2019: 20). Lay kemudian memperkenalkan konsep ‘intelektual jalan ketiga’. Ia menekankan pentingnya intelektual yang terjun ke dunia jabatan publik untuk memiliki dan berpegang pada kedewasaan, kepekaan, dan juga kapasitas politik. Lay berpendapat bahwa keharusan intelektual untuk menjaga jarak (dan bahkan bersikap oposan) terhadap kekuasaan seolah menuduh kaum intelektual sebagai orang-orang yang manipulatif dan tidak dapat dipercaya. Jargon-jargon seperti intelektual harus ‘netral dan profesional’ dianggap merupakan refleksi sikap anti-politik, di mana kolaborasi antara kaum intelektual dan pemegang kekuasaan dianggap sebagai bentuk pengkhianatan. Sikap-sikap seperti itu justru akan membuat kaum intelektual semakin rentan dan mudah dimanipulasi oleh penguasa. Oleh karena itu, konsep ‘intelektual jalan ketiga’ perlu dipahami sebagai upaya agar antara kaum intelektual dan penguasa/kekuasaan dapat berdiri berdampingan (co-exist) dan menghindari para intelektual gagal memahami agensi mereka. “Ipsa scientia potestas est. Knowledge itself is power” (Lay, 2019: 6). Franz (2007) mengatakan bahwa sering kali seorang ‘pahlawan’ adalah bukan orang-orang yang dikenal karena posisinya yang radikal memperjuangkan ‘kebenaran’, tetapi orang-orang yang mampu membuat 101

keputusan yang baik di antara pilihan-pilihan yang ekstrem. Bagi mereka, debat-debat yang bersifat paradigmatik hanya relevan bila situasinya mendukung, karena itu perilaku moderat lebih disukai, yaitu perilaku yang cenderung pragmatis dan condong ke praktika perubahan yang bersifat inkremental. Apalagi menurut Stone (2013), kuasa pengetahuan sering kali terpinggirkan oleh ketidakpedulian politisi atau birokrasi yang terlalu dominan. Situasi ini menjadi momentum bagi para advokat ‘jalan ketiga’ untuk mendorong lebih banyak pakar yang terlibat di posisi-posisi pemerintahan. Walaupun demikian, Lay (2019) mengingatkan bahwa ada kebenaran sederhana dan universal yang juga dapat menjangkiti intelektual, yaitu ‘kekuasaan mengubah orang’. Lay mengakui bahwa di era postautoritarianism, juga terdapat kecenderungan bahwa kaum intelektual mengalami kekurangan kapasitas untuk melepaskan diri dari politik elektoral atau untuk menjaga posisi kritis mereka terhadap kekuasaan. Penelitian Kusman (2015) menyebutkan di tingkat lokal, kaum intelektual juga terlibat sebagai partisipan aktif pada pertarungan kekuasaan, baik dalam kapasitas sebagai anggota tim kampanye dalam pemilihan kepala daerah maupun sebagai penasihat pemerintah lokal. Hal ini merupakan hasil dari politik desentralisasi yang memindahkan kekuasaan dan sumber daya di level nasional ke tingkat lokal. Ketika kaum intelektual tidak memiliki cukup kapasitas politik, maka mereka akan terkooptasi oleh kepentingan predatori dari aliansi elite politik dan bisnis. Pada akhirnya, inisiasi-inisiasi perubahan yang diciptakan tidak akan berdampak. Dampak dari kepentingan predatori ini juga terlihat di level nasional sebagaimana ditunjukkan oleh Shiraishi (2014) dan Turner dkk. (2019) yang merujuk pada pengunduran diri Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan di era Presiden Yudhoyono. Sri Mulyani mengundurkan diri sebagai akibat dari penolakannya untuk mengakomodasi kepentingan salah satu partai politik koalisi di dalam skema keuangan negara (porkbarrel funding). Para penulis berargumen bahwa kaum teknokrat tidak hanya dapat bergantung dari kinerja professional, tetapi juga kemampuan untuk menangani proses politik yang kompleks. Selain itu, Hadiz dan Dhakidae (2005) memperingatkan bahwa melekatkan akademisi di birokrasi telah terbukti berkontribusi pula pada 102

fenomena birokratisasi praktika dan orientasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Artinya, jenjang karir para akademisi dan juga pengaruh mereka di bidang keilmuannya adalah tidak mesti karena kualitas penelitian dan publikasi mereka, tetapi lebih merupakan hasil dari loyalitas dan kedekatan mereka terhadap rezim. Clark dan Oey-Gardiner (1991) , Said (1996), dan Hadiz dan Dhakidae (2005) secara umum mengajak kita untuk memahami bahwa pergeseran posisi ilmu(an) (sosial di Indonesia) tergantung pada konteks sekitar. Di era post-otoritarianism, ilmu sosial di Indonesia bisa jadi telah terbebas dari tirani rezim penguasa, tetapi kemudian terjebak oleh pengaruh neoliberalisme institusi pendidikan tinggi dan riset Indonesia. Situasi terakhir ini telah memaksa institusi-institusi tersebut untuk mencari sumber dayanya sendiri, salah satunya dengan mengembangkan layanan pendidikan dan riset yang ramah pasar. Situasi ini juga dialami oleh negara-negara maju, tetapi dampak buruknya lebih terasa di Indonesia karena kita mewarisi tradisi budaya dan praktika ilmu sosial yang lemah karena terlalu lama dihegemoni rezim terdahulu. Apalagi, lemahnya sistem akademik juga merupakan dampak dari aliansi kekuatan politik, uang, serta akademisi, yang secara historis memang sengaja dijalin untuk melindungi kepentingan tertentu. Akibatnya, menurut Hadiz dan Dhakidae (2005), kombinasi dari tirani pasar dan warisan otoritarianisme menyebabkan sulitnya ilmu sosial tumbuh dan berpengaruh, kuat secara teoritis dan relevan secara sosial politik. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya kebebasan berekspresi di masa kini juga cukup berkontribusi kepada terbentuknya komunitas ilmu sosial yang lebih dinamis, kurang politis, dan tidak birokratis. Kehadiran pakar di jabatan-jabatan publik di masa depan, sebenarnya perlu dilihat sebagai fenomena yang berbasis konteks, partikular dan perlu dibatasi di lembaga-lembaga yang relatif membutuhkan kepakaran teknoratis yang tinggi. Contohnya adalah Kementerian Keuangan atau lembaga-lembaga/komisi independen negara yang memang mengurusi area kebijakan yang membutuhkan keahlian tertentu, seperti komisi penyiaran atau komisi persaingan usaha. Kebijakan ‘pintu putar’ atau revolving door policy juga menjadi salah satu strategi alternatif untuk mengakomodasi kehadiran pakar dan kepakaran 103

dalam organisasi publik. Kebijakan pintu putar artinya merekrut akademisi hanya untuk sementara waktu untuk mengisi jabatan-jabatan publik tertentu sampai sumber daya internal birokrasi siap memenuhi kebutuhan kepakarannya sendiri. Kebijakan ini juga akan menguntungkan akademisi karena memberikan kesempatan mereka untuk tetap dapat memperkaya pengalaman empiriknya dalam mengelola kebijakan dan organisasi publik tanpa harus tercabut dari akar dan institusi asalnya2. Pendekatan pintu berputar bukan hanya mengandaikan keberadaan para pejabat publik yang berlatar belakang pakar/akademisi sebagai bersifat transisional, tetapi para pakar di jabatan publik sendiri pun perlu membatasi keberadaan mereka di posisi tersebut hanya sepanjang misi akademik mereka masih sejalan dengan visi politik dari pemerintah. Walaupun praktika pintu berputar ini lazim ditemui di Indonesia melalui konsep teknokrat maupun Academic Administrative Entrepreneurs (AAEs) yang diperkenalkan oleh Wicaksono (2018;2019;2021), kita masih membutuhkan investigasi yang lebih sistemik mengenai peluang keberlanjutan praktika ini di masa depan. Hal tersebut dikarenakan secara esensial akan terkait dengan debat tak berkesudahan mengenai posisi ideal akademisi di sektor publik. Pada akhirnya Said (1996) mengakui bahwa dalam menjalankan tugasnya untuk ‘menyampaikan kebenaran terhadap kekuasaan’, kaum 2

104

Lihat Etzion and Davis (2008)contrasting the staffing patterns at higher rungs of the executive branch during the Clinton and G. W. Bush administrations. We find that the Bush administration recruited far more heavily from among corporate officers and directors than did the Clinton administration, particularly when staffing ambassadorships. We also find that both administrations served as springboards for subsequent corporate board appointments. There were relatively few patterns with respect to industry or geography, with the exception of the military: All but one of the Joint Chiefs of Staff at the turn of the millennium ended up serving on the board of a mil- itary contractor after completing their government service.”,”author”:[{“dropping-particle ”:””,”family”:”Etzion”,”given”:”Dror”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:fa lse,”suffix”:””},{“dropping-particle”:””,”family”:”Davis”,”given”:”Gerald F.”,”nondropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”container-title”:”Journal of Management Inquiry”,”id”:”ITEM-1”,”issue”:”3”,”issued”:{“date-parts”:[[“2008” ,”9”,”22”]]},”page”:”157-161”,”title”:”Revolving Doors?”,”type”:”article-journal” ,”volume”:”17”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=5d371cd7f933-4a69-b7ae-197d41b95652”]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”(Etzion & Davis, 2008 untuk analogi dan ilustrasi lebih lanjut terkait praktik ‘revolving door’ dengan mengambil kasus pertukaran SDM antara pegawai korporasi dengan pejabat pemerintah dalam konteks pemerintahan Bush dan Clinton di AS.

intelektual perlu secara cermat mempertimbangkan dan memilih cara yang dianggap paling dapat membawa dampak terhadap perubahan dari berbagai alternatif yang tersedia. Namun, mendiskusikan peran ‘menyampaikan kebenaran kepada kekuasaan’ akan membawa kita pada pertanyaan berikutnya: apa itu kebenaran, dan berlaku untuk siapa dan di mana? Said mengakui bahwa tidak ada sistem atau metode yang pasti untuk membantu para intelektual mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan ini, di mana pun ia berkiprah. Menurut perspektif posmodernisme, karakter dari kebenaran tidak hanya ditentukan oleh waktu, ruang, dan konteks historis, tetapi juga tergantung dari person atau agensi si pembuat pengetahuan (Stone, 2013). Pada intinya, kebenaran ilmiah sekalipun tidak dapat serta-merta dianggap sebagai kebenaran. Ia hanyalah sebuah klaim pengetahuan yang bersifat sementara dan dapat diperdebatkan. Jacobson (2007) menegaskan bahwa ketimbang mengusung slogan ‘kebenaran berbicara kepada kekuasaan’, adalah lebih penting bagi kita untuk terlebih dahulu mengidentifikasi dan memahami pergulatan yang terjadi antara berbagai model ‘pengetahuan’, ‘diskursus’, ‘cara pandang’, dan ‘rezim kebenaran’ itu sendiri. Pertanyaan tentang ‘kebenaran’ juga muncul dalam diskursus seputar konsep kebijakan berbasis bukti (EBPM). Konsep dan praktika yang menyertai EBPM sering kali diasosiasikan sebagai aktivitas mencari praktik-praktik baik yang sudah teruji di konteks lain sebagai basis merumuskan dan memilih kebijakan yang inovatif. Akan tetapi, EBPM sering dikritik karena dianggap terlalu bias terhadap bukti-bukti yang bersifat positivis, yang bertentangan dengan hakikat bukti yang sering kali dikonstruksi secara sosial (Sayer, 2019). Sayer menyarankan pendekatan epistemologis baru yang disebut ‘reliabilitas proses’, di mana alih-alih (EBPM untuk) ‘mencari kebenaran’, yang lebih tepat adalah (untuk) ‘menghindari kesalahan’. Ketimbang mencari bukti atau kebenaran apa yang akan diadopsi, yang lebih baik adalah memeriksa kualitas bukti dan klaim tersebut. Head (2013) menyarankan menggunakan istilah ‘evidenceinformed’ ketimbang ‘evidence-based’ sebagai basis pembuatan kebijakan. Artinya, pembuatan keputusan perlu dilengkapi dengan argumen rasional, yang juga didapat dari rumusan pendapat-pendapat profesional, kepentingan-kepentingan stakeholders’, dan konteks politik sekitar. 105

Penutup: Meniti Kerja Kultural dan Struktural Tulisan ini memiliki dua tujuan awal. Pertama, melakukan evaluasi dan kajian teoritik terkait konsep pakar dan kepakaran yang berkembang di dalam studi kebijakan publik. Kedua, tulisan ini berusaha merefleksikan bagaimana konsep-konsep tersebut selama ini diaktualisasikan secara empiris di dalam konteks Indonesia. Pada akhirnya, kedua tujuan tersebut bermuara kepada keinginan untuk berkontribusi dalam diskusi peran pakar dan intelektual dalam proses dan sistem kebijakan di masa depan. Sebelum sampai ke masa depan, kita perlu mengawali diskusi dengan kesepahaman bahwa secara konseptual, terminologi pakar dan kepakaran akan selalu memiliki variasi pemaknaan, walaupun variasi itu lebih bersifat nuansa dan bukan esensi. Varian nuansa itu muncul karena aktualisasi pakar dan kepakaran adalah berbeda di setiap konteks kebijakan. Namun secara umum, Frank Fischer di dalam bukunya Technocracy and the Politics of Expertise (1990) mengamati bahwa peran teknokrat dan teknokrasi akan semakin tak terhindarkan sebagai konsekuensi perkembangan masyarakat industri. Dia berargumen bahwa para teknokrat akan semakin mencoba untuk menghubungkan antara teori dan praktik dalam bentuk analisis kebijakan terapan. Sebagai usaha untuk mencapai tersebut, kerja-kerja teknokrasi yang selama ini berbasis rasionalitas teknis perlu dilengkapi dengan rasionalitas normatif. Artinya adalah melibatkan praktik/aktivitas reflektif. Pakar dan teknokrat perlu bergerak melampaui diskursus teknis ke arah rasionalitas yang lebih komprehensif. Kemampuan melakukan praktik reflektif dalam kerja-kerja kepakaran di sektor publik berarti mengandaikan bahwa para pakar memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap dinamika kultural, konteks struktural (situasi sosial dan politik), dan desain institusional dari sebuah proses kebijakan. Kemampuan melakukan praktik reflektif ini nampaknya akan lebih esensial daripada melibatkan diri dalam diskursus tentang perlu tidaknya seorang pakar terlibat dalam posisi-posisi atau kegiatan-kegiatan pemerintahan. Seorang pakar perlu memiliki agensi terhadap apa pun pilihan strateginya. Ann Tickner (2006) mengingatkan bahwa ketika kaum intelektual dihadapkan pada pilihan apakah untuk terlibat langsung di dalam dunia kebijakan atau mengambil jarak kritis terhadapnya, yang paling penting 106

adalah tetap menjaga peran utama mereka untuk menyampaikan kebenaran kepada kekuasaan dan tetap menjunjung tanggung jawab untuk bersikap reflektif dan kritis. Sekiranya, mereka menetapkan diri untuk berpartisipasi di dalam pemerintahan atau menjadi bagian dari proses formal kebijakan, maka yang perlu dilakukan adalah menyiapkan mindset temporer dan transisi, serta memahami bahwa mereka hanya akan melewati ‘pintu putar’. Hadiz dan Dhakidae (2005) lebih lanjut mengingatkan tugas utama di masa depan yang lebih penting adalah memastikan para pakar untuk lebih tertarik berpartisipasi dalam mempromosikan situasi sosial, politik, dan ekonomi yang kondusif, yang dapat memfasilitasi mereka untuk memiliki otonomi dan independensi, baik terhadap negara maupun pasar. Pada akhirnya, tulisan ini memiliki banyak keterbatasan, tetapi setidaknya penyelidikan terhadap hubungan antara pakar/intelektual/ akademisi dan kekuasaan dengan menggunakan lensa yang berfokus pada studi kebijakan ini dapat melengkapi analisis-analisis lainnya yang lebih banyak menggunakan lensa ilmu politik, ekonomi politik, maupun sosiologi.

Acknowledgement Penulis mengucapkan terima kasih kepada para reviewer eksternal serta rekan-rekan penulis (utamanya Satria Aji Imawan, Aryan Morita, dan Agung Tri Nugraha) yang telah memberikan saran untuk perbaikan, baik substansi maupun teknis penulisan karya ini.

107

Daftar Pustaka Alexiadou, D. & H. Gunaydin. 2019. “Commitment or Expertise? Technocratic Appointments as Political Responses to Economic Crises”. European Journal of Political Research, 58(3), hal. 845–865. https://doi.org/10.1111/1475-6765.12338. Ann Tickner, J. 2006. “On The Frontlines or Sidelines of Knowledge and Power? Feminist Practices of Responsible Scholarship”. International Studies Review, 8(3), hal. 383–395. https://doi. org/10.1111/j.1468-2486.2006.00599.x. Basri, M. C. 2017. “Reform in an Imperfect World: the Case of Indonesia”. Asian-Pacific Economic Literature, 31(2), hal. 3–18. https://doi. org/10.1111/apel.12195. Bennett, C. J., & Howlett, M. (1992). The Lessons of Learning: Reconciling Theories of Policy Learning and Policy Change. Policy Sciences, 25(3), 275–294. https://doi.org/10.1007/BF00138786. Berenschot, W. 2018. “Incumbent Bureaucrats: Why Elections Undermine Civil Service Reform in Indonesia. Public Administration and Development, 38(4), 135–143. https://doi.org/10.1002/pad.1838. Biglaiser, G. 2002. “The Internationalization of Chicago’s Economics in Latin America”. Economic Development and Cultural Change, 50(2), hal. 269–286. https://doi.org/10.1086/322875. Brender, V. 2010. “Economic Transformations in Chile: The Formation of the Chicago Boys”. The American Economist, 55(1), hal. 111–122. https://doi.org/10.1177/056943451005500112. Cairney, P. 2013. “Policy Concepts in 1000 Words: Policy Transfer and Learning”. Retrieved September 19, 2019, from https://paulcairney. wordpress.com/2013/11/11/policy-concepts-in-1000-words-policytransfer-and-learning/. Christensen, J. 2020. “Expert Knowledge and Policymaking: a Multidisciplinary Research Agenda”. Policy & Politics, vol xx, no xx, hal. 1–17. Cislowski, H. & A. Purwadi. 2011. Study of the Role of Indonesian Government Research Units (‘Balitbang’) in Bridging Research and Development Policy. Jakarta.

108

Clark, D. H. & M. Oey-Gardiner. 1991. “How Indonesian Lecturers Have Adjusted to Civil Service Compensation”. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 27(3), hal. 129–141. https://doi.org/10.1080/00 074919112331336098. Esmark, A. 2020. The New Technocracy. Bristol University Press. Etzion, D. & G. F. Davis. 2008. “Revolving Doors?”. Journal of Management Inquiry, 17(3), hal. 157–161. https://doi. org/10.1177/1056492608316918. Fischer, F. 1990. Technocracy and the Politics of Expertise. Thousand Oaks: SAGE Publications, Inc. Franz, D. 2007. “Intellectuals and Public Responsibility”. The Hedgehog Review, 9(1), hal. 98–104. Retrieved from https://go.galegroup. com/ps/anonymous?id=GALE%7CA163336848&sid=googleScholar&v=2.1&it=r&linkaccess=abs&issn=15279677&p=AONE&sw=w. Diakses pada 7 Januari 2021. Haas, P. M. 1990. Saving the Mediterranean: The Politics of International Environmental Cooperation. New York: Columbia University Press. Hadiz, V. R. & D. Dhakidae. 2005. “Introduction”. In V. R. Hadiz & D. Dhakidae (Eds.). Social Science and Power in Indonesia (pp. 1–29). Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd. Hamilton-Hart, N. 2006. “Consultants in the Indonesian State: Modes of Influence and Institutional Implications”. New Political Economy, 11(2), hal. 251–270. https://doi.org/10.1080/13563460600655631. Head, B. W. 2013. “Evidence-Based Policymaking - Speaking Truth to Power?”. Australian Journal of Public Administration, 72(4), hal. 397–403. https://doi.org/10.1111/1467-8500.12037. Heryanto, A. 2005. “Ideological Baggage and Orientations of the Social Science in Indonesia”. In V. R. Hadiz & D. Dhakidae (Eds.). Social Science and Power in Indonesia (pp. 57–89). Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd. Hoadley, M. C. 2006. Quo Vadis Administrasi Negara Indonesia, Antara Kultur Lokal dan Struktur Barat. Yogyakarta: Graha Ilmu. Howlett, M. dkk. 2009. Studying Public Policy, Policy Cycles and Policy Subsystems 3rd Ed. Oxford.

109

Irwan, A. 2005. “Institutions, Discourses, and Conflicts in Economic Thought”. In V. R. Hadiz & D. Dhakidae (Eds.). Social Science and Power in Indonesia (pp. 31–56). Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd. Jacobson, N. 2007. “Social Epistemology: Theory for the “Fourth Wave” of Knowledge Transfer and Exchange Research”. Science Communication, 29(1), hal. 116–127. https://doi. org/10.1177/1075547007305166 Juwono, V. 2016. “Berantas Korupsi: A Political History of Governance Reform and Anti-Corruption Initiatives in Indonesia”. Dissertation. The London School of Economics and Political Science. Retrieved from http://etheses.lse.ac.uk/3381/1/Juwono_Berantas_Korupsi. pdf. Diakses pada 7 Januari 2021. Juwono, V. 2017. “The Perils and Challenges of Advancing Economic Governance Reform in Indonesia: An Endeavor by the Technocrats in the New Order Era”. In Proceedings of the International Conference on Administrative Science, Policy and Governance Studies (ICAS-PGS 2017) and the International Conference on Business Administration and Policy (ICBAP 2017) (Vol. 167, hal. 128–134). Paris, France: Atlantis Press. https://doi.org/10.2991/ icaspgs-icbap-17.2017.26 Kingdon, J. W. 2011. Agenda, Alternatives, and Public Policies (Updated SE). Harlow: Longman. Kusman, A. P. 2015. “The Politics of Good Governance in Post-Authoritarian East Java: Intellectuals and Local Power in Indonesia”. Dissertation. Murdoch University. LaForge, G. 2016. Changing a Civil Service Culture : Reforming Indonesia’s Ministry of Finance , 2006 – 2010. Innovations for Successful Societies. Princeton, New Jersey: Princeton University’s. Lay, C. 2019. “The Third Road of The Intellectual: A Convergence of Power and Humanity”. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Letelier, O. 1976. “Economic “Freedom’s” Awful Toll; The “Chicago Boys” in Chile”. Review of Radical Political Economics, 8(3), hal. 44–52. https://doi.org/10.1177/048661347600800304

110

MacDougall, J. J. 1976. “The Technocratic Model of Modernization: The Case of Indonesia’s New Order”. Asian Survey, 16(12), hal. 1166–1183. https://doi.org/10.2307/2643453 Mallarangeng, R. 2000. “Liberalizing New Order Indonesia: Ideas, Epistemic Community, and Economic Policy Change, 1986-1992”. Dissertation. The Ohio State University. https://doi.org/10.16953/ deusbed.74839 McDonnell, D. & M. Valbruzzi. 2014. “Defining and Classifying Technocratled and Technocratic Governments”. European Journal of Political Research, 53(4), hal. 654–671. https://doi.org/10.1111/14756765.12054 McRae, D. & R. Robet. 2019. “Don’t Ask, Don’t Tell: Academics and Electoral Politics in Indonesia”. Contemporary Politics, 0(0), hal. 1–22. https://doi.org/10.1080/13569775.2019.1627736 Milne, R. S. 1982. “Technocrats and Politics in the ASEAN Countries”. Pacific Affairs, 55(3), hal. 403. https://doi.org/10.2307/2757118 Mintrom, M. 1997. “Policy Entrepreneurs and the Diffusion of Innovation”. American Journal of Political Science, 41(3), hal. 738. https://doi. org/10.2307/2111674 Morgan, G., A. Sturdy, & M. Frenkel. 2019. “The Role of Large Management Consultancy Firms in Global Public Policy”. In D. Stone & K. Moloney (Eds.). The Oxford Handbook of Global Policy and Transnational Administration (pp. 582–598). Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780198758648.013.39 Nichols, T. 2017. The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters. Oxford University Press. Oliveira, O. P. de, & L. A. Pal. 2018. “New Frontiers and Directions in Policy Transfer, Diffusion and Circulation Research: Agents, Spaces, Resistance, and Translations”. Revista de Administração Pública, 52(2), hal. 199–220. https://doi.org/10.1590/0034-761220180078 Pollitt, C. 2006. “Academic Advice to Practitioners—What is its Nature, Place and Value Within Academia?”. Public Money and Management, 26(4), hal. 257–264. https://doi.org/10.1111/j.14679302.2006.00534.x

111

Rakhmani, I. & F. Siregar. 2016. Reforming Research in Indonesia: Policies and Practice. Retrieved from http://cipg.or.id/gdn/. Diakses pada 7 Januari 2021. Ransom, D. 1970. “The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre”. Ramparts, 9(4), hal. 26–49. Said, E. E. 1996. Representations of the Intellectual : The 1993 Reith Lectures. New York: Random House USA Inc. Sayer, P. 2019. “A New Epistemology of Evidence-based Policy”. Policy & Politics, XX(Xx), hal. 1–18. https://doi.org/10.1332/03055731 9X15657389008311 Shiraishi, T. 2014. “Indonesian Technocracy in Transition: A Preliminary Analysis”. Southeast Asian Studies, 3(2), hal. 255–281. Silva, P. 1991. “Technocrats and Politics in Chile : from the Chicago Boys to the CIEPLAN Monks”. Journal of Latin American Studies, 23(2), hal. 385–410. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/157030. Diakses pada 7 Januari 2021. Stone, D. 2000. “Non-Governmental Policy Transfer: The Strategies of Independent Policy Institutes”. Governance, 13(1), hal. 45–70. https://doi.org/10.1111/0952-1895.00123 Stone, D. 2013. “Agents of Knowledge”. In D. Levi-Faur (Ed.), Oxford Handbook of Governance (pp. 339–352). Oxford: Oxford University Press. https://doi.org/978-0-19-956053-0 Tickell, A. & G. Clark. 2001. New Architectures or Liberal Logics? Interpreting Global Financial Reform. (ESRC Future Governance Programme). Turner, M., E. Prasojo, & R. Sumarwono. 2019. “The Challenge of Reforming Big Bureaucracy in Indonesia”. Policy Studies, 0(0), hal. 1–19. https://doi.org/10.1080/01442872.2019.1708301 Wicaksono, A. 2017. “Academic Administrative Entrepreneurs (AAEs) and Policy Transfer: Its Theoretical Discussion and the Indonesian Experience”. Paper presented at 3rd International Conference on Public Policy, Singapore, 28-30 July 2017. MergedFile (ippapublicpolicy.org). Wicaksono, A. 2018. “The Role of Policy Transfer in Indonesian Governance: the Case of Academic Administrative Entrepreneurs”. 112

Policy Studies, 39(6), hal. 622–637. https://doi.org/10.1080/01442 872.2018.1530335 Wicaksono, A. 2019. “Academics in Public Office as Policy Entrepreneurs: Their Important Role in Indonesia’s Administrative Reform”. Journal of Asian Public Policy, hal. 1–19. https://doi.org/10.1080 /17516234.2019.1663338 Wicaksono, A. 2021. “Academics in Public Office: A Study of Academic Administrative Entrepreneurs as Agents of Policy Transfer in Indonesia’s Administrative Reform”. Dissertation. University of Canberra. Wildavsky, A. 1987. Speaking Truth to Power, Art and Craft of Policy Analysis (2nd ed.). New York: Routledge.

113

BAGIAN KEDUA: EPISTEMOLOGI

BAB V

PUBLIC VALUE DALAM ADMINISTRASI PUBLIK DAN GOVERNANCE

Ambar Widaningrum

Pendahuluan Pandangan warga negara tentang public value (nilai-nilai publik) masuk ke inti teori tentang peran, tata kelola, dan nature (sifat) dari governance. Para ahli teori administrasi publik kontemporer seperti Vigoda (2002), Moulton (2012), Crosby & Bryson (2017) menekankan bahwa governance berasal dari nilai-nilai warga negara. Dengan demikian, ada pengakuan luas tentang sentralitas pandangan warga negara tentang nilai-nilai publik, yang saat ini menjadi aspek yang menonjol dan kuat dalam administrasi publik. Bozeman (2018), Nabatchi (2012), dan Van der Wal, Nabatchi & De Graaf (2015) secara tegas menyatakan bahwa konsep public value memberikan kontribusi cara pandang pentingnya nilai dalam mempertimbangkan suatu tujuan dan kinerja kebijakan publik. Sebagai sebuah konsep, public value merupakan pedoman normatif yang dapat digunakan untuk mengukur dan memandu kinerja pemerintah, yang menanyakan ‘nilai’ apa yang perlu ditambahkan pada kebijakan, program, institusi, serta pedoman filosofis tentang tujuan yang tepat pada tata kelola sektor publik. Public value juga memberikan tolok ukur untuk menilai kegiatan sektor publik yang diinisiasi, baik oleh pemerintah maupun aktivitas yang didukung oleh pemerintah (termasuk aktivitas yang bersumber dari dana pemerintah,

117

tetapi disediakan oleh badan lain seperti perusahaan swasta dan organisasi nirlaba). Sudah dua dekade sejak konsep public value muncul, dan telah menarik banyak perhatian beberapa tahun terakhir ini, ketika prinsippinsip keterbukaan, akuntabilitas, kepercayaan, dan kepuasan publik menjadi bagian sentral dari setiap kebijakan, program atau keputusan yang berimplikasi pada publik. Ide dan konsep tentang public value menjadi fokus perhatian dalam pembuatan dan praktik kebijakan publik, bahkan menjadi bagian dari wacana yang lebih luas tentang reformasi dan peningkatan layanan publik (Benington, 2009). Konsep public value awalnya dipublikasikan oleh Mark Moore, dengan bukunya yang monumental berjudul Creating Public Value: Strategic Management in Government (1995). Public value menjadi konsep baru dalam pengelolaan sektor publik. Terminologi kerangka public value selanjutnya digunakan secara luas dalam wacana manajemen dan kebijakan publik. Konsep dan teori tentang nilai-nilai publik (public value theory), bertujuan untuk menjustifikasi peran nilai-nilai yang terbentuk secara publik dalam studi dan praktik administrasi publik.

Konsep dan Praktik Public Value pada Sektor Publik Salah satu perhatian yang tak terhindarkan dalam analisis public value adalah konseptualisasinya. Akar dari konsep nilai-nilai publik dikembangkan dari aspek kepentingan publik atau kepentingan umum. Meynhardt (2009) memberikan definisi tentang nilai (value). Secara umum, ‘nilai’ mengacu pada sesuatu yang penting, yang ditekankan dan diinginkan dalam realitas, baik oleh individu, kelompok masyarakat atau lembaga yang mewakili individu atau kelompok. Nilai adalah sebuah konsepsi, eksplisit atau implisit, khas dari individu atau karakteristik suatu kelompok, yang diinginkan yang mempengaruhi pemilihan dari sarana yang tersedia dan tujuan dari sebuah tindakan atau aktivitas. Bozeman (2007) mendefinisikan public value sebagai “those values providing normative consensus about (a) the rights, benefits, and prerogatives to which citizens should (and should not) be entitled; (b) the obligations of citizens to society, the state, and one another; and (c) the principles on which governments and policies should be based”. 118

Selanjutnya, secara substansial, konsep public value mencoba untuk menggabungkan efisiensi ekonomi, praktik organisasi, rasionalitas dan kemandirian administrasi publik, serta mencakup pembentukan nilainilai kepublikan untuk kepentingan publik (Bozeman, 2007; Meynhardt, 2009; Nabatchi, 2012). Konsep dan teori nilai-nilai publik secara umum berusaha merumuskan kembali aspek-aspek inti manajemen publik tradisional dan manajemen publik baru (New Public Management/NPM), sebagai argumen pentingnya nilai-nilai politik dan ekonomi dalam tata kelola pemerintahan yang menuntut legitimasi demokratis. Teori public value menghidupkan kembali peran nilai-nilai yang dibentuk secara publik melalui definisi, batasan, dan implikasinya melalui pengembangan teori dan penelitian administrasi publik. Hal ini mencoba untuk mendamaikan antagonisme konseptual antara administrasi publik tradisional yang berusaha untuk membatasi korupsi dengan membentuk organisasi rasional hukum yang lebih otonom. Selanjutnya, manajemen publik baru (NPM) berfokus pada penguatan peran birokrasi publik melalui tindakan dan praktik organisasi berdasarkan ekonomi efisiensi. NPM kemudian banyak dikritik karena mengandung beberapara kelemahan, seperti 1) fokus pada peningkatan layanan yang didefinisikan secara fungsional daripada memenuhi keseluruhan kebutuhan pengguna layanan yang berbeda; dan 2) kurangnya perhatian pada keterlibatan demokratis dari warga dan pemangku kepentingan. Teori public value mencoba menggabungkan efisiensi ekonomi, praktik organisasi, rasionalitas dan kemandirian dalam administrasi publik, dan sekaligus mencakup pembentukan nilai-nilai dan kepentingan publik. Teori ini kemudian mewarnai gagasan alternatif, yakni New Public Services (NPS) (Denhardt & Denhardt, 2000), di mana NPS menekankan pentingnya aspek demokratis yang berbasis pada public value. Konsep public value mulai digunakan secara luas dalam wacana manajemen dan kebijakan publik. Teori public value selanjutnya menjadi hasil dari wacana dan kajian akademis dalam studi administrasi publik. Dalam teori New Public Management (NPM), substansinya banyak meminjam praktik bisnis yang memusatkan perhatian pada pentingnya customer, bukan citizen. Menurut Moore (1995; 2013) menggunakan nilainilai dalam sektor bisnis dalam sektor publik tidak sepenuhnya tepat. Hal 119

ini dikarenakan sektor bisnis tidak dapat menjelaskan harapan warga, nilai-nilai aktual yang diciptakan melalui administrasi publik dan kurang mampu memberikan pemahaman yang memadai pada pelaku adminsitrasi publik dan aktivitasnya. Nilai-nilai publik memberikan ukuran yang lebih luas dari sekadar mencapai tujuan efisiensi dan efektivitas, tetapi juga mempertimbangkan tentang cara pelayanannya (delivery), kepercayaan publik, legitimasi, prinsip ekuitas, etika, dan akuntabilitasnya. Praktik manajemen publik saat ini terkadang gagal untuk mempertimbangkan, memahami, atau mengelola berbagai faktor ini. Ketika masa krisis keuangan global yang monumental sekitar tahun 2007–2008 yang diikuti oleh resesi ekonomi dunia mulai pulih, konsep public value mulai digunakan, yang intinya adalah menggabungkan aktivitas pemerintah dengan sumber daya bisnis dan organisasi nirlaba. Pemerintah secara khusus mengelola masalah publik dengan memanfaatkan sumber dayanya sendiri, tetapi juga melalui pengumpulan sumber daya dari sektor bisnis dan nirlaba. Dengan demikian, teori public value mengedepankan teori administrasi publik yang tidak sepenuhnya birokratis dan/atau berbasis pasar, melainkan juga mengedepankan aspek kolaborasi, demokrasi, dan berfokus pada tata kelola pemerintahan yang baik. Konsep dan teori public value meyakini bahwa dimensi penting dari administrasi publik adalah kepublikan (publicness). Tulisan ini menempatkan teori nilai-nilai publik sebagai pendekatan teoritis untuk administrasi publik, sekaligus memberikan argumen kritis dalam teori administrasi publik tradisional. Menurut Bryson (2014), konsep public value diidentifikasi melalui 3 (tiga) aspek utama, yakni (1) public value, (2) creating public value yang didefinisikan sebagai menciptakan atau memproduksi hal-hal yang memiliki nilai untuk publik, bermanfaat untuk publik, dan (3) public sphere atau public realm di mana nilai-nilai dan kepublikan dikembangkan dan diimplementasikan. Bozeman (2007) mendefinikan public values sebagai nilai yang menyediakan konsensus normatif tentang (a) hak, manfaat, dan hak prerogratif yang seharusnya (dan tidak seharusnya) menjadi hak warga negara, (b) kewajiban warga negara kepada masyarakat, negara, dan satu sama lain, dan (c) prinsipprinsip yang menjadi dasar pemerintahan dan kebijakan. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh O’Flynn (2007), public value 120

merupakan konstruksi multidimensional yang merupakan cerminan dari beberapa preferensi yang diekspresikan secara kolektif, yang dimediasi secara politik dan dikonsumsi oleh warga negara, yang diciptakan tidak hanya melalui ‘hasil’, tetapi juga melalui proses yang dapat menghasilkan kepercayaan atau keadilan. Kemudian, siapakah yang memutuskan tentang hal-hal atau aspekaspek yang berharga dan bermakna bagi publik? Dalam masyarakat demokratis, penentu nilai adalah rakyat atau warga negara. Struktur, proses, dan aktivitas yang mengubah kepentingan dan pandangan warga menjadi ‘public’ (Alford & O’Flynn, 2009). Public value dibangun secara kolektif melalui musyawarah yang melibatkan para pemangku kepentingan dan pejabat pemerintah yang telah dipilih dan ditunjuk (Stoker, 2006). Ketika suatu nilai dipegang erat oleh masyarakat, maka sektor publik memiliki peran spesifik di dalamnya, yang kontribusinya juga dilakukan, baik sektor privat maupun nirlaba (Meynhardt, 2009). Dengan demikian, para pemimpin publik dan pengambil keputusan bekerja untuk membangun legitimasi dan dukungan yang diperlukan untuk menopang keberlangsungan dan kemanfaatan kebijakan atau program publik dari waktu ke waktu. Secara garis besar, perbandingan antara pendekatan teori manajemen tradisonal, NPM dan pendekatan public value adalah sebagai berikut.

121

Tabel 5.1. Pendekatan-Pendekatan Manajemen Publik Traditional Public Management

New Public Management

Public Value

Kepentingan publik (public interest)

Didefinisikan oleh politisi/ahli

Agregasi preferensi individu, ditunjukkan oleh pilihan pelanggan

Individu dan preferensi publik

Kinerja (performance)

Mengelola input (masukan)

Mengelola input & output (masukan & keluaran)

Memiliki berbagai tujuan: output layanan; kepuasan; hasil; kepercayaan/ legitimasi

Model akuntabilitas

Ke atas melalui birokrasi ke lembaga perwakilan

Ke atas melalui kontrak kinerja; atau melalui mekanisme pasar

Ke: warga negara sebagai pengawas pemerintah; pelanggan sebagai pengguna; pembayar pajak sebagai pemberi dana.

Sistem delivery pelayanan

Hierarkis

Badan publik atau swasta yang sudah ditetapkan

Beberapa alternatif bisa dipilih (sektor publik, perusahaan swasta, komunitas; kelompok masyarakat serta meningkatkan peran untuk pilihan pengguna)

Pendekatan dalam etika pelayanan

Sektor publik memiliki monopoli dalam etika layanan.

Skeptis terhadap etika pelayanan publik, dan lebih mengarah pada preferensi pelanggan

Tidak ada satu sektor pun yang memiliki monopoli pada etika pelayanan.

Peran partisipasi publik

Terbatas

Terbatas (pada pelanggan, misal melalui survei kepuasan)

Krusial (dari pelanggan, warga, pemangku kepentingan)

Tujuan dari pimpinan atau manajer publik

Tergantung pada keputusan politik

Kesepakatan pada target kinerja

Responsif terhadap preferensi warga, memperbaharui mandat dan kepercayaan melalui penjaminan kualitas pelayanan.

Sumber: diolah dari Moore (1995; 2013; 2018), Stoker (2006), Alford & O’Flynn (2009), Benington (2009); Bryson (2014), Bozeman (2007; 2018)

122

Mengelola Public Value & Kepublikan (Publicness) Kepublikan dimaknai sebagai pengelolaan nilai-nilai publik. Konsep kepublikan, nilai-nilai publik, kepentingan publik, dan pemetaan nilainilai publik harus ditentukan secara jelas. Nilai-nilai publik memberikan konsensus normatif tentang 1) hak, manfaat, dan hak prerogatif yang seharusnya menjadi hak warga negara; 2) kewajiban warga negara kepada masyarakat, negara, dan sebaliknya; dan 3) prinsip-prinsip yang menjadi dasar ke-pemerintah-an dan kebijakan (Bozeman, 2007). Dengan demikian, mengelola kepublikan membutuhkan pernyataan tentang nilai publik sebagai titik awal, bukan sebagai sesuatu yang bisa dinegosiasikan secara sembarangan. Mengelola kepublikan tidak berarti mengelola versi tertentu dari kepentingan publik, melainkan mengelola warga negara dalam prinsip-prinsip kewargaan yang jelas. Mengelola kepublikan bersifat netral, yang tidak memihak apakah sektor publik atau swasta lebih unggul dalam memproduksi barang dan jasa atau sebaliknya. Selanjutnya, bagian ini menetapkan konsep public value, yang mengeksplorasi bagaimana public value terkait dengan hubungan warga negara dengan pemerintah, preferensi publik dan gagasan nilai-nilai yang tercakup pada sektor publik, bisnis, dan organisasi nirlaba (Alford & O’Flynn, 2009; Bozeman, 2018; Moore, 2018). 1. Public value mengacu pada nilai yang diupayakan (public value creation) oleh pemerintah melalui pelayanan publik, regulasi, dan aktivitas lainnya. Nilai-nilai tersebut untuk kebaikan bersama, yang menguntungkan semua pihak. Nilai-nilai tersebut bukan sekadar aspek ekonomi, tetapi juga emosional, motivasi yang tertanam dalam kesadaran masyarakat. Nilai tersebut mencakup: kepuasan publik; nilai ekonomi, misalkan menghasilkan kegiatan ekonomi/ lapangan kerja; nilai sosial dan budaya - modal/kohesi sosial; nilai politik - dialog demokratis, partisipasi publik; nilai ekologis - pembangunan berkelanjutan, pemanasan global; nilai dalam pemberian layanan - kepuasan, keadilan, kualitas; kepercayaan dan legitimasi; perlindungan hak warga negara. 2. Preferensi publik adalah inti dari public value. Nilai publik ini utamanya ditentukan oleh publik itu sendiri. Nilai tersebut

123

ditentukan oleh preferensi warga, diekspresikan melalui berbagai cara, dan dilegitimasi melalui keputusan yang demokratis. 3. Konsep nilai publik memberikan tolak ukur kasar untuk mengukur kinerja kebijakan dan lembaga publik, membuat keputusan tentang alokasi sumber daya dan memilih sistem pelayanan yang sesuai, misalnya dengan alat seperti public value scorecard atau public value atlas. Dengan demikian, public value berfokus pada makna nilai yang lebih luas dari sekadar makna sebagai barang publik (public goods), tidak sekadar mengupayakan output (keluaran), tetapi lebih kepada penguatan barang atau jasa publik memiliki makna dan kemanfaatan dalam perspektif masyarakat atau warga negara, dan bukan yang menjadi preferensi pembuat keputusan. Masalah penting lainnya yang belum dikelola secara efektif dalam teori dan praktik yang ada adalah hubungan nilai-nilai publik dengan partisipasi warga negara dan, terutama, hubungan antara publik menghargai stabilitas dan mengubah bentuk keterlibatan publik. Salah satu alasan terpenting untuk mempelajari nilai-nilai publik dari warga negara adalah hubungan timbal balik antara, di satu sisi, nilai-nilai publik dan proses nilai-nilai publik dan, di sisi lain, aktivitas keterlibatan warga negara. Moore (2013) merumuskan bagaimana seorang pimpinan atau manajer publik harus menganalisis nilai-nilai yang harus diupayakan oleh organisasi sektor publik dan implikasi timbal balik antara nilai publik, proses, dan keterlibatan atau partisipasi warga negara. Ada dua aspek penting, yaitu nilai berakar pada keinginan dan persepsi individu, dan sektor publik memenuhi dua preferensi umum dan individu, melalui penyediaan barang dan jasa yang tidak dapat disediakan melalui pasar, dan memastikan hak individu dan tanggung jawabnya. Menurut Moore, tugas utama dalam mengelola publik adalah menciptakan nilai publik. Dikatakan bahwa publik adalah penentu dari nilai publik. Masyarakat bisa mengevaluasi apa yang dihasilkan oleh administrator atau manajer publik dalam kaitannya dengan tujuan yang diartikulasikan untuk kepentingan publik dan direalisasikan melalui proses politik yang demokratis. Public value berakar pada hubungan timbal balik antara manajer publik dengan warga negara. Nilai diciptakan dengan

124

memuaskan keinginan atau kebutuhan warga yang diekspresikan secara politik. Untuk menciptakan dan mencapai public value yang diinginkan, selanjutnya Moore menyebutkan bahwa ada tiga elemen utama. Pertama, public value adalah nilai-nilai publik tersebut merupakan sesuatu yang mampu memberikan manfaat dan diterima oleh publik: pengguna atau kelompok sasaran, baik dari nilai ekonomi, nilai politik, dan nilai-nilai sosial lainnya, serta tujuan dan hasil yang ingin dicapai dari sebuah kegiatan atau program. Kedua, operational capacity adalah kemampuan suatu organisasi untuk mencapai tujuannya seperti sistem apa yang akan digunakan, proses, dan sumber daya yang harus dikembangkan sehingga organisasi mampu melaksanakan kegiatannya. Ketiga, the authorizing environment adalah harapan berbagai pihak yang terlibat & bagaimana suatu organisasi atau program dijalankan sehingga lingkungan politik di sekitarnya dapat dikelola, dapat memastikan sumber daya dari pihak lainnya bisa mengalir dan akhirnya memiliki kewenangan dalam menjalankan kegiatannya. Secara sederhana, legitimasi dan dukungan diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan membentuk koalisi dari publik. Model segitiga strategis Moore ini dapat digunakan pemimpin atau manajer publik untuk mengarahkan tujuan kepemimpinan mereka. Tujuan harus memenuhi tiga kriteria, yaitu bernilai secara substansial, berkelanjutan secara politik, dan layak secara administratif. Manajer publik yang dipandu oleh segitiga strategis ini perlu bertanya apakah yang akan mereka hasilkan benar-benar berharga secara publik dan bukan sekadar memiliki dukungan politik (apa yang dapat mereka berikan, dari posisi mereka, dalam situasi tertentu). Ini memusatkan perhatian mereka pada tiga masalah yang harus diselesaikan: (1) Apa nilai publik yang dapat dihasilkan?, (2) Apa legitimasi dan dukungan yang dapat dimanfaatkan?, dan (3) Kapasitas operasional apa yang dapat diterapkan untuk menghasilkan hasil yang diinginkan? Dengan demikian, manajer publik perlu menempatkan kepentingan yang bernilai secara substansial, berkelanjutan secara politik dan layak secara administratif secara bersamaan. Ketiga elemen tersebut disebut sebagai The Strategic Triangle sebagai berikut.

125

Gambar 5.1. The strategic triangle of public value Sumber: Moore (2013)

Tantangan analitis dan praktisnya adalah memastikan bahwa ketiga kata dalam segi empat the strategic triangle tersebut sejajar dan saling menguatkan. Public value dapat diciptakan atau dihasilkan ketika tujuan yang akan dicari dapat didukung oleh argumen normatif dan empiris, yakni ketika tujuan tersebut mampu menarik dukungan, baik secara sumber daya (finansial dan non-finansial), hukum dan sosial dari mereka yang berada dalam posisi untuk memberi wewenang dan mendukung tindakan yang direncanakan, sekaligus paham bagaimana menggunakan sumber daya yang tersedia untuk mencapai hasil yang diinginkan. Dengan kata lain, ada kejelasan tentang: apa yang ingin dicapai, dukungan untuk mencapainya (lingkungan yang legitimatif), dan cara mewujudkannya (dengan kemampuan dan sumber daya yang memadai).

Implikasi: Dinamika Praktik dan Riset ke Depan Selanjutnya, bagaimana manajer publik dapat menggunakan wawasan tentang inovasi sektor publik dan tata kelola nilai publik untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat yang paling mendesak dan memerlukan adaptasi 126

yang cepat? Contoh-contoh perubahan tersebut misalnya perubahan iklim, kerawanan pangan, kemiskinan, dan wabah penyakit atau pandemi, yang meluas melintasi batas negara dan berdampak global. Warga negara semakin menginginkan pemerintahnya transparan, partisipatif, dan kolaboratif. Oleh karena itu, konsekuensi dari pendekatan public value ini bukanlah tentang reinventing government, tetapi mengembangkan metode inovatif untuk mengidentifikasi, menilai, memprioritaskan, mengkomunikasikan, dan sekaligus mengendalikan nilai publik. Tata kelola public value yang dibangun dari konsepnya Moore (1995) menawarkan aspek inovasi publik sebagai cara untuk menerobos hambatan birokrasi dan bekerja lintas sektor dan batas yurisdiksi untuk mencapai tujuan publik. Teori public value menawarkan cara inovatif untuk merencanakan, merancang, dan mengimplementasikan inisiatif pemerintah digital. Teori ini menarik perhatian para akademisi dan peneliti karena proposisinya yang kuat yang menggeser fokus manajemen sektor publik dari efisiensi internal ke proses penciptaan nilai yang terjadi di luar organisasi. Sementara itu, public value creation telah menjadi harapan yang harus dipenuhi oleh inisiatif pemerintah dalam era serba digital saat ini. Seperti yang dinyatakan oleh Valle-Cruz, D. (2009) bahwa strategi dan teknologi cerdas harus dipandu oleh penciptaan nilai publik melalui strategi antikorupsi, data terbuka, akses ke informasi, dan privasi data. Upaya pemerintah harus fokus pada pencegahan korupsi, transparansi pemerintah, pembukaan data, dan penanganan privasi informasi yang benar. Teknologi merupakan mekanisme penting untuk meningkatkan penciptaan nilai publik. Pertanyaannya adalah tentang bagaimana teknologi digital dapat berkontribusi pada pemenuhan atau public value creation. Panagiotopolus, Kleivink & Cordela (2019) menjelaskan bahwa berdasarkan kontribusinya, pemenuhan dan penciptaan public value utamanya pada sifatnya yang terintegrasi sehingga memungkinkan kebutuhan dan pemenuhan public value dapat dilaksanakan. Secara analitis, proses inovasi sering digambarkan sebagai siklus definisi masalah, generasi ide, pengujian, pemilihan, implementasi, dan difusi. Hal ini berbeda dari pembuatan kebijakan konvensional dalam penekanannya pada 1) reframing, menyusun ulang definisi masalah yang ada (termasuk berfokus pada peluang daripada kendala); 2) searching, 127

mencari, membuat, dan menilai ide dan intervensi baru, belum dicoba, dan kreatif; 3) discovering, menemukan apa yang berhasil melalui logika eksperimentasi, yang didorong oleh putaran umpan balik yang cepat, yang memfasilitasi pembelajaran cepat; dan 4) iretative, proses berulang dari desain sampai dengan evaluasinya (Crosby, Hart & Torfing, 2017). Inovasi telah dilihat sebagai pendorong utama daya saing dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun krisis ekonomi, peperangan, dan lembaga penelitian yang didanai publik telah mendorong inovasi yang signifikan seperti perawatan kesehatan masyarakat, drone, sel surya, dan internet, pemahaman umum adalah logika kelembagaan birokrasi publik belum atau tidak kondusif untuk inovasi. Birokrasi sektor publik umumnya berkomitmen pada aturan yang teratur, struktur yang stabil, pengambilan keputusan yang dapat diprediksi, rasionalitas prosedural, dan keadilan. Namun, masalah-masalah publik yang tidak teratur, kompleks dan disertai perubahan yang sulit diprediksi, menuntut pemerintah harus bergerak secara lincah. Mendorong proses digitalitasi administrasi publik, terutama yang terkait dengan pelayanan sektor publik menjadi tidak terelakkan. Layanan digitalisasi membantu pemerintah memenuhi ekspektasi publik dan menjadi lebih efisien dan tangguh, bergerak lebih cepat meskipun dengan sumber daya yang terbatas. Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa konsep public value memusatkan perhatian pada kepentingan kolektif dan sosial yang dilayani dengan aksi atau program pemerintah dan dalam pengaturan kelembagaan tertentu. Mengingat sifat dari banyaknya teori dan studi tentang public value, yang penting untuk terus dikembangkan adalah bagaimana pendekatan public value ini memiliki implikasi untuk pembuatan dan praktik kebijakan publik di era digitalitasi dan pengelolaan sektor publik secara agile? Peran digitalisasi dan konsep pemerintahan yang lincah (agile government) telah menjadi prinsip utama dalam praktik tata kelola pemerintahan (Schou & Hjelholt, 2018). Agile adalah pola pikir yang memulai perubahan budaya dalam organisasi komando dan kontrol birokrasi. Pada intinya, agile membutuhkan perubahan dalam budaya birokrasi yang kaku. Agile menekankan pentingnya kerja bersama (team), ada aspek kunci, yaitu kolaboratif. Ini membutuhkan diskresi yang bertanggung jawab dan fleksibilitas yang tinggi dalam prosedur dan prinsip organisasi. Banyak

pengaturan organisasi telah mengalami transformasi yang luar biasa melalui penerapan prinsip-prinsip lincah. Administrasi publik yang agile bersifat terbuka untuk reformasi, adaptasi terhadap lingkungan yang berubah, yaitu nilai-nilai publik, dan kebutuhan publik (Mergel, Ganapati & Whitford, 2020). Implikasinya adalah nilai-nilai publik dan pembentukan nilai publik akan terpengaruh dengan cepat, baik pada cara, metode, maupun jenisnya. Dinamika partisipasi publik turut berubah, terutama yang dimediasi oleh dinamika sosial yang timbul dari dunia digital dan media sosial. Dengan pemanfaatan teknologi informasi secara inovatif, pemerintah dapat meningkatkan penyampaian layanan dan interaksi dengan pemangku kepentingan. Aspek transparansi dan akuntabilitas sebagai prasyarat governance yang baik, menjadi sangat mungkin dikelola dengan bantuan teknologi. Kegiatan musyawarah, diskusi dan pengambilan keputusan publik secara deliberatif lebih mudah dilakukan. Data terbuka adalah cara untuk membantu organisasi publik menjadi lebih terbuka dan meningkatkan interaksi dengan pemangku kepentingan. Perspektif publik atau warga negara tentang nilai-nilai publik dalam konteks agile tetap menjadi inti dari konsep dan teori public value, tetapi perlu dieksplorasi lebih jauh, baik melalui kajian riset maupun praktik-praktik tata kelola inovatif yang merespons dinamika nilai-nilai publik yang terus berkembang.

129

Daftar Pustaka Alford, John & Janine O’Flynn. 2009. “Making Sense of Public Value: Concepts, Critiques and Emergent Meanings”. Int’l Journal of Public Administration, 32, hal. 171–191. https://doi. org/10.1080/01900690902732731 Benington, John. 2009. “Creating the Public in Order to Create Public Value?”. Int’l Journal of Public Administration, 32(3–4), hal. 232–249. https://doi.org/10.1080/01900690902749578 Bozeman, B. 2007. Public Value and Public Interest. Counterbalancing Economic Individualism. Washington, DC: Georgetown University Press. Bozeman, B. 2018. “Public Values: Citizens’ Perspective”. Public Management Review, 21(1), hal. 1–22. https://doi.org/10.1080/14 719037.2018.1529878 Bryson, J. M., B. C. Crosby, dan L. Bloomberg. 2014. “Public Value Governance: Moving beyond Traditional Public Administration and the New Public Management”. Public Administration Review, 74(4), hal. 445–456. https://doi.org/10.1111/puar.12238. Bryson, J. M., B. C. Crosby, dan L. Bloomberg (Eds.). 2015. Public Value and Public Administration. Goergetown University Press. Crosby, B. C. dan J. M. Bryson. 2017. “Why Leadership of Public Leadership Research Matters: And What to Do about It”. Public Management Review, 20(9), hal. 1265–1286. https://doi.org/10.1080/14719037 .2017.1348731 Crosby, B. C., P. Hart, dan J. Torfing. 2017. “Public Value Creation through Collaborative Innovation”. Public Management Review, 19(5), hal. 655–669. http://doi.org/10.1080/14719037.2016.1192165 Denhardt, R. B. dan J. V. Denhardt. 2000. “The New Public Service: Serving Rather Than Steering”. Public Administration Review, 60(6), hal. 549–559. https://doi.org/10.1111/0033-3352.00117 Mergel, I., Ganapati, Sukamar & Andrew B. Whitford. 2020. “Agile: A New Way of Governing”.  Public Administration Review, 81(Iss1), hal. 161–65. https://doi.org/epdf/10.1111/puar.13202

130

Meynhardt, T. 2009. “Public Value Inside: What Is Public Value Creation?”. Intl. Journal of Public Administration, 32(3–4), hal. 192–219. https://doi.org/10.1080/01900690902732632 Moore, M. H. 1995. Creating Public Value. Strategic Management in Government. Cambridge, MA: Harvard University Press. Moore, M.H. 2013. Recognizing Public Value. Harvard University Press, Cambridge, MA: Harvard University Press. Moulton, S. 2012. “The Authority to Do Good: Publicly Responsible Behaviour among Private Mortgage Lenders”. Public Administration Review, 72(3), hal. 430–439. https://doi.org/10.1111/j.15406210.2011.02546.x. Nabatchi, T. 2012. “Putting the “Public” Back in Public Values Research: Designing Participation to Identify and Respond to Values”. Public Administration Review, https://doi.org/10.111/j.15406210.2012.02544.x. O’Flynn, J. 2007. “From New Public Management to Public Value: Paradigmatic Change and Managerial Implications”. The Australian Journal of Public Administration, 66(3), hal. 353–366. https://doi. org/10.1111/j.1467-8500.2007.00545.x Panagiotopoulos, P., B. Klievink, dan A. Cordella. 2019. “Public Value Creation in Digital Government”. Government Information Quarterly. 36(4). https://doi.org/10.1016/j.giq.2019.101421 Schou, Jannick & Morten Hjelholt. 2018. Digitalization and Public Sector Transformations. Switzerland: Palgrave Publ. https://doi. org/10.1007/978-3-319-76291-3 Stoker, Gerry. 2006. “Public Value Management: A New Narrative for Networked Governance?”. The American Review of Public Administration 36(1), hal. 41–57. https://doi. org/10.1177/0275074005282583 Valle-Cruz, D. 2009. “Public Value of E-Government Services through Emerging Technologies”. International Journal of Public Sector Management, 32(5), hal. 530–545. http://doi.org/10.1108/ IJPSM-03-2018-0072 Van der Wal, Z., T. Nabatchi, dan G. De Graaf. 2015. “From Galaxies to Universe: A Cross Disciplinary Review and Analysis of 131

Public Values Publications from 1969 to 2012”. The American Review of Public Administration, 45(1), hal. 13–28. https://doi. org/10.1177/0275074013488822 Vigoda, E. 2002. “From Responsiveness to Collaboration: Governance, Citizens, and the Next Generation of Public Administration.” Public Administration Review, 62(5), hal. 527–540. https://doi. org/10.1111/puar.2002.62.issue-5.

132

BAB VI

ANALISIS INSTITUSIONAL DALAM STUDI KEBIJAKAN PUBLIK

I Made Krisnajaya

“The study of public policy would be incomplete without an understanding of policymaking institutions. The study of political science would also be incomplete without turning our understanding of terms such as ‘institutions’ upside down.” (Cairney, 2012:69)

Pendahuluan Tulisan ini membahas perkembangan analisis institusional (institutional analysis) dalam studi kebijakan publik. Analisis institusional dalam studi kebijakan publik menjadi penting untuk menghasilkan pengetahuan tentang hal ihwal yang berhubungan dengan institusi dalam kaitannya dengan proses pembuatan kebijakan dan analisis kebijakan (Helgetun, 2020). Pada domain akademik, analisis institusional telah menjadi bagian dari intellectual inquiries yang digunakan untuk memproduksi pengetahuan tentang bagaimana institusi mempengaruhi proses pembuatan dan implementasi kebijakan. Analisis institusional jamak digunakan oleh akademisi dan peneliti yang menekuni bidang manajemen dan kebijakan untuk mengkaji pembuatan dan implementasi kebijakan dalam konteks governance (Baldwin, Chen, & Cole, 2019). Demikian pula pada domain pemerintahan, analisis institusional dilakukan oleh para pembuat kebijakan bekerja sama dengan akademisi sebagai bagian dari upaya pragmatis untuk meningkatkan kualitas kebijakan dan implementasinya (Voß, 2014). Pada

133

akhirnya, analisis institusional diharapkan dapat membantu mengatasi kesenjangan pengetahuan dan kesenjangan empiris yang terdapat dalam studi-studi kebijakan publik. Menarik untuk dicatat, new institutionalism diklaim sebagai paradigma paling sukses dalam ilmu politik dan studi kebijakan publik (Radaelli, Dente, & Dossi, 2012:537). Melalui varian-variannya, new institutionalism bertujuan menjelaskan relasi antara aktor dan institusi dalam suatu subsistem kebijakan, yang merupakan salah satu fokus kajian utama dalam studi kebijakan publik (Howlett & Ramesh, 2003). Terlepas dari sejumlah keterbatasan pada aspek konseptual, teoretis, dan metodologisnya, new institutionalism telah memberikan kontribusi yang sangat penting dalam memperkaya perspektif dalam studi kebijakan publik terutama melalui varian rasional, historis, organisasional, dan diskursif. Oleh karena itu, diskursus mengenai perkembangan analisis institusional dalam studi kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang new institutionalism sebagai paradigma yang paling menonjol. Berdasarkan relevansi dan urgensi sebagaimana disinggung di atas, maka bab ini difokuskan pada pembahasan tentang perkembangan analisis institusional sebagai salah satu tool of empirical research dalam studi kebijakan publik. Tulisan dibagi menjadi empat, yaitu bagian pertama diawali dengan pembahasan definisi dan substansi institusi. Bagian kedua membahas secara singkat tentang perkembangan teori institusi, mulai dari masa awal kemunculan institusionalisme hingga prevalensi new institutionalism. Bagian ketiga menjelaskan beberapa pendekatan dan fokus analisis institusional dalam studi kebijakan publik. Tulisan ditutup dengan pembahasan tentang prospek analisis institusional dalam studi kebijakan publik dan pengidentifikasian agenda-agenda riset ke depan. Namun, sebelum masuk ke bagian selanjutnya, perlu dijelaskan tentang alasan pemakaian dua konsep inti dalam tulisan ini. Pertama, ada situasi problematis yang dihadapi dalam hal penerjemahan kata ‘institution’. Pada satu sisi, buku teks dan artikel jurnal internasional menggunakan kata institution, sedangkan di Indonesia kata institution pada umumnya diterjemahkan sebagai ‘lembaga’. Sesungguhnya ada tiga padanan untuk kata institution yang terdapat dalam kamus besar bahasa Indonesia, yaitu pranata, lembaga, dan institusi. Namun, kata ‘lembaga’ menjadi konsep dan 134

sekaligus ‘alat komunikasi’ yang lebih populer digunakan di sektor publik, terutama pada domain pemerintahan sebagaimana terlihat dari jamaknya pemakaian terma ini dalam konten peraturan perundang-undangan dan konten berita pada situs-situs resmi pemerintah. Persoalannya, konsep lembaga sering kali dipakai secara silih berganti dengan konsep ‘organisasi’ seakan-akan kedua konsep ini bersifat identik dan merujuk pada suatu entitas tunggal yang sama. Hal ini terlihat dari pemakaian istilah lembaga yang sering kali dipertukarkan dengan istilah organisasi sehingga berimplikasi cukup serius terhadap fokus dan lingkup ‘analisis kelembagaan’ yang dilakukan dalam studi-studi di Indonesia. Oleh karena itulah, penulis memilih menggunakan kata ‘institusi’ sebagai padanan kata ‘institution’ untuk menghindari terjadinya kebingungan dalam pemaknaan. Kedua, apakah konsep ‘institutional analysis’ sebaiknya diterjemahkan sebagai ‘analisis kelembagaan’ atau ‘analisis institusional’? Selama ini “analisis kelembagaan” memang cukup banyak digunakan dalam studistudi di tanah air, tetapi sering kali apa yang diklaim sebagai analisis kelembagaan itu ternyata lebih mendekati kajian organisasi yang tidak menyentuh esensi institusi. Judulnya analisis kelembagaan, tetapi yang dibahas adalah manajemen internal organisasi. Demikian halnya dengan organizatonal development yang dipersamakan dengan institutional development. Namun, berdasarkan penjelasan tentang pemakaian konsep institusi sebagaimana disinggung sebelumnya, maka pemakaian konsep analisis institusional menjadi lebih konsisten ketimbang menggunakan analisis kelembagaan. Perlu digarisbawahi bahwa dalam hal ini penulis tidak bermaksud melakukan pembedahan dari sisi semantik sebagai salah satu cabang linguistik, melainkan untuk menegaskan bahwa penggunaan terma institusi sebagai terjemahan konsep institution dan analisis institusional sebagai padanan dari institutional analysis adalah upaya untuk menjaga konsistensi dalam pemakaian konsep dan sekaligus meminimalkan potensi distorsi pemahaman dalam tulisan ini.

Definisi dan Substansi Institusi Apabila institusi sebagai sebuah konsep tidak didefinisikan secara jelas dan spesifik, maka institusi berpotensi mengalami distorsi dalam pemaknaan, dan bahkan kehilangan maknanya sama sekali; if ‘institution’ 135

means everything then it means nothing. Namun, perlu digarisbawahi bahwa terlepas dari bervariasinya definisi yang disematkan, institusi tidak cukup diposisikan semata-mata sebagai sebuah konsep yang bersifat abstrak. Konsep institusi membutuhkan reifikasi, yaitu upaya mengkonkretkan sifat abstrak dari institusi ke dalam bentuk-bentuk yang dapat diamati sehingga mampu menghasilkan manfaat yang lebih praktis (Krucken dkk., 2017:410). Terkait analisis institusional, reifikasi konsep institusi tidak hanya penting untuk memberikan kejelasan epistemologis dan ontologis, tetapi juga membantu merumuskan definisi operasional yang sangat penting pada aspek metodologis. Berikut adalah beberapa definisi yang jamak dirujuk dalam studi-studi mengenai institusi. North (1990:3) mendefinisikan institusi sebagai “…the rules of the game in a society or, more formally, are the humanly devised constraints that shape human interaction”. Pengertian ini memposisikan institusi sebagai aturan main yang melibatkan aturan-aturan formal berupa hukum dan regulasi serta konstrain informal yang mencakup antara lain norma, konvensi, dan praktik-praktik yang tidak hanya mempengaruhi proses interaksi sosial, tetapi juga membatasi pilihan-pilihan tindakan individu dalam kehidupan organisasi. Dalam konteks pembuatan kebijakan, misalnya, perilaku aktor-aktor tidak hanya dipengaruhi oleh kepentingan, insentif, dan ekspektasinya, tetapi juga dipengaruhi dan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan dan konvensi yang berlaku dalam sebuah subsistem kebijakan. Institusi juga dapat dipahami dengan melihat relasi antara aturan (rules) dan peran (roles). March dan Olsen (dalam Summers, Woodward, & Parkin, 2002:365) melihat institusi sebagai “collection of interrelated rules and routines that define appropriate actions in terms of relations between roles and situations”. Kemudian, Wiens (2012:47) mendefinisikan institusi sebagai “… sets of (formal or informal) rules that establish roles and stabilize behavioral norms and expectations for occupants of those roles”. Kedua pengertian ini memberikan penekanan bahwa institusi sebagai aturan sedikit banyak membentuk peran tertentu—katakanlah peran sebagai birokrat atau politisi dalam konteks pembuatan kebijakan—dan institusi selanjutnya mempengaruhi dan membatasi perilaku orang-orang dalam memenuhi ekspektasi yang melekat pada peran yang dijalankan itu. 136

Relasi antara institusi dan peran inilah yang memungkinkan terjadinya kesenjangan antara apa yang dilakukan oleh aktor-aktor kebijakan dan apa yang diharapkan oleh pemangku kepentingan kebijakan yang lain. Scott (2014:56) mencoba menawarkan sebuah definisi yang bersifat omnibus conception dan sekaligus melakukan reifikasi terhadap konsep institusi. Menurut Scott, institusi terdiri dari elemen-elemen regulatif, normatif, dan kognitif-kultural yang menyediakan stabilitas dan makna tentang kehidupan sosial. Berdasarkan pengertian ini, institusi tersusun dari tiga elemen penting—Scott menyebut elemen-elemen ini sebagai pilar-pilar institusi—yaitu pilar regulatif, normatif, dan kognitif-kultural. Masing-masing pilar dibedakan berdasarkan basis kepatuhan (basis of compliance), basis pengaturan (basis of order), mekanisme, logika, indikator, dan basis legitimasi (lihat Tabel 6.1). Tabel 6.1. Tiga Pilar Institusi Framework

Regulative

Normative

Cultural-cognitive

Basis of compliance

Expedience

Social obligation

Taken-forgrantedness, shared understanding

Basis of order

Regulative rules

Binding expectations

Constitutive schema

Mechanisms

Coercive

Normative

Mimetic

Logic

Instrumentality

Appropriateness

Orthodoxy

Indicators

Rules, laws, sanctions

Certification, accreditation

Shared logics of action, isomorphism

Affect

Fear guilt/innocence

Shame/honor

Certainty/confusion

Basis of legitimacy

Legally sanctioned

Morally governed

Comprehensible, recognizable, culturally supported

Sumber: Scott (2014:60)

Sebagaimana tersaji pada Tabel 6.1, pilar regulatif melibatkan proses yang mencakup aktivitas-aktivitas pengaturan atau rule-setting, monitoring, dan pemberian sanksi dengan instrumen utama berupa aturan dan regulasi. Proses institusionalisasi dari aspek regulatif menggunakan logika instrumental, yaitu penekanan pada konsekuensi dari suatu tindakan ketimbang proses bagaimana tindakan dilakukan. Legitimasi 137

institusi pada pilar regulatif didasarkan pada legalitas. Kemudian, pilar normatif menekankan pada norma-norma yang mencakup dimensidimensi preskriptif, evaluatif, dan obligatif dalam kehidupan sosial dengan instrumen utama berupa norma dan nilai. Indikator yang digunakan adalah sertifikasi dan akreditasi. Tindakan pada umumnya didasarkan pada logika kepatutan (logic of appropriateness) sehingga tindakan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan moral. Oleh karena itu, basis legitimasi institusi pada pilar normatif adalah moralitas. Selanjutnya, pilar kognitif-kultural menekankan pada shared understanding dan taken-forgrantedness dengan instrumen utama berupa constitutive schema. Logika yang digunakan adalah logika aksi dan legitimasi institusi didasarkan pada koherensi institusi dengan setting kultural yang melingkupinya. Pemahaman mengenai ketiga pilar ini menjadi penting dalam analisis institusional, terutama untuk menjelaskan relasi dialektis antara aktoraktor kebijakan dan institusi dalam proses pembuatan kebijakan. Cara lain yang dapat dilakukan untuk lebih memahami institusi adalah dengan mengenali ciri-cirinya. Peters (1999:18) mengidentifikasi tiga ciri yang melekat pada institusi. Ciri yang pertama terkait dengan substansi institusi; institusi mencerminkan struktur formal dan informal yang terdapat dalam suatu masyarakat. Contoh konkret dari struktur formal ini antara lain peraturan perundang-undangan, birokrasi, dan parlemen. Sementara itu, struktur informal lazimnya berupa norma, konvensi, dan nilai budaya yang menjadi pedoman bertindak bagi aktor-aktor yang terdapat pada birokrasi dan parlemen tadi. Ciri kedua berkenaan dengan fisibilitas perubahan institusi; institusi terdiri dari serangkaian aturan, norma dan prosedur yang relatif stabil dan stabilitas inilah yang memungkinkan institusi untuk eksis dan mapan dalam jangka waktu yang relatif lama. Sementara itu, ciri yang ketiga mengungkap sifat dan fungsi institusi; institusi membatasi pilihanpilihan individu untuk bertindak karena institusi melibatkan mekanisme insentif dan disinsentif yang mempengaruhi perilaku individu, baik dalam kehidupan organisasi maupun dalam setting sosial politik yang lebih luas. Pemahaman mengenai ketiga ciri ini menjadi penting untuk menyediakan landasan konseptual bagi perkembangan teori institusi.

138

Perkembangan Teori Institusi Sejarah perkembangan teori institusi dapat ditarik agak jauh ke tahun 1940-an dan masih berkembang hingga saat ini; mulai dari pendekatan old institutionalism hingga new institutionalism. Fase awal perkembangan institusionalisme dimulai ketika sejumlah scholar mulai mengaitkan studi organisasi dengan argumen-argumen institusional. Max Weber dianggap sebagai peletak fondasi awal bagi studi mengenai institusi dalam kaitannya dengan organisasi melalui karya besarnya The Theory of Social and Economic Organization yang terbit pada tahun 1924. Dalam bahasannya mengenai birokrasi dikatakan bahwa organisasi membutuhkan aturan formal yang menjadi pedoman bagi anggota organisasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sejak tahun 1940-an, mulai bermunculan tokoh-tokoh terkemuka yang menghasilkan karya-karya ilmiah yang menghubungkan antara organisasi dan argumen-argumen institusional seperti antara lain Phillip Selznick, Talcott Parson, dan Herbert Simon. Gelombang pertama institutionalisme pada tahun 1950-an yang dicetuskan oleh Selznick membedakan secara tegas antara institusi dan organisasi. Selznick memandang organisasi sebagai entitas yang berada dalam lingkup institusional yang lebih luas (Scott, 2014:24). Berdasarkan pandangan ini, institusionalisme merupakan sebuah ‘middle-range theory’ yang memandang bahwa institusi berdiri di atas aktor-aktor (individu), tetapi berada dibawah struktur yang lebih luas. Dengan demikian, teori institusi dapat dibedakan dengan teori organisasi. Teori institusi berusaha menjelaskan bagaimana norma dan nilai mempengaruhi sistem tindakan, sedangkan teori organisasi lebih menekankan pada elemen-elemen yang lebih ‘kasat mata’ seperti struktur dan teknologi (Daft, 2010:193). Institusionalisme mendapatkan signifikansinya ketika ilmuwan-ilmuwan politik berupaya menjelaskan bagaimana perilaku politik individu dipengaruhi, dibentuk, dan dibatasi oleh konteks institusional yang melingkupi ruang sosial politiknya. Institusionalisme bermanfaat untuk, misalnya, menjelaskan bagaimana perilaku politik individu dapat dikelola agar mencapai konvergensi antara kepentingan individu dan tujuan kolektif organisasi. Institutionalisme kemudian mengalami pasang surut karena terpinggirkan oleh pendekatan rational choice dan behavioralisme yang 139

berkembang pesat pada tahun 1960-an (Diermeier, 2015). Behavioralisme mengasumsikan bahwa satu-satunya aktor dalam setting politik adalah individu-individu. Oleh karena itu, fokus kajian dalam ilmu politik adalah individu beserta perilakunya, seperti perilaku memilih dalam pemilihan umum dan perilaku elite partai politik dalam menjalankan fungsinya di parlemen. Senada dengan behavioralisme yang menggunakan asumsiasumsi yang bersifat individualistik, rational choice melihat individu sebagai utility-maximising individual yang bertindak secara rasional untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan pribadinya (Fischer, Miller & Sidney, 2007:174). Seseorang akan menentukan dan membuat pilihannya sendiri secara rasional—dengan menggunakan logic of instrumentalism— dan tidak dibatasi oleh institusi. Kajian mengenai organizational politics sangat dipengaruhi oleh asumsi dari pendekatan rational choice ini. Keberpihakan pada individu sebagai unit analisis dalam menjelaskan peristiwa politik kemudian dikenal sebagai individualisme metodologis. Persaingan antara institusionalisme dengan kedua pendekatan ini— behavioralisme dan rational choice—kemudian dikenal sebagai perseteruan antara individualisme vs institusionalisme. Selanjutnya, terjadilah gelombang kedua institutionalisme pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an yang ditandai oleh munculnya paradigma new institutionalism yang dikembangkan oleh DiMaggio & Powell, dan tokoh-tokoh lain yang berasal dari latar belakang sosiologi (Krucken dkk, 2017:305). Perlu ditekankan bahwa sebagai sebuah paradigma, respons terhadap kemunculan new institutionalism tidak didasarkan pada nilai baik-buruk, melainkan berdasarkan seberapa bermanfaat new institutionalism dalam menjelaskan fenomena sosialpolitik melalui perspektif institusional. Pada perkembangannya, new institutionalism ini melahirkan sejumlah varian, termasuk varian pertama yang dipopulerkan oleh March dan Olsen, yaitu normative institutionalism (Peters, Jordan, & Tosun, 2017:614). Beberapa varian lain dalam paradigma new institutionalism yang paling menonjol, yaitu rational choice institutionalism, historical institutionalism, sociological institutionalism, dan discursive institutionalsim. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pengidentifikasian varian-varian dalam new institutionalism ternyata cukup beragam. Beberapa varian lain yang teridentifikasi, yaitu empirical dan 140

international institutionalism (Peters, 1999), constructivist institutionalism (Lowndes, 2010; Cairney, 2012), dan organizational institutionalism (Radaelli, Dente, & Dossi, 2012). Secara khusus, Schmidt (dalam Landman & Robinson, 2009:138) menjelaskan karakteristik dari rational-choice, historical, sociological, dan discursive institutionalism melalui empat indikator, yaitu objek yang dijelaskan (object of explanation), logika yang digunakan untuk menjelaskan (logic of explanation), kemampuan untuk menjelaskan perubahan, dan kelemahan dalam penjelasan (lihat Tabel 6.2). Sebagaimana terlihat pada Tabel 6.2, masing-masing varian mempunyai kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Discursive institutionalism memiliki kelebihan dalam menjelaskan tentang proses perubahan institusi melalui dinamika pertarungan ide dan wacana yang terjadi. Varian rationalchoice institutionalism menjadi pilihan yang sesuai untuk menjelaskan perubahan institusi dalam perspektif ekonomi dan menjelaskan bagaimana institusi mempengaruhi kalkulasi yang dilakukan oleh aktor-aktor ketika memperjuangkan kepentingannya dan membentuk preferensi kebijakan dalam proses pembuatan keputusan. Sementara itu, kelemahan umum yang terdapat pada semua varian adalah gejala determinisme, yaitu terjadinya bias terhadap perspektif tertentu ketika menjelaskan tentang perubahan institusi. Historical institutionalism cenderung melihat perubahan institusi sebagai sesuatu yang sulit dilakukan karena faktor kesejarahan atau ketergantungan pada warisan institusi masa lalu (path dependence) dan menjadikannya sebagai satu-satunya faktor penjelas.

141

Tabel 6.2. Perbandingan Empat Varian Utama New Institutionalism Framework

Rational choice institutionalism

Historical institutionalism

Sociological Institutionalism

Discursive Institutionalism

Object of explanation

Rational behavior and interests

Historical rules and regularities,

Cultural norms and frames

Ideas and discourse

Logic of explanation

Calculation

Path-dependency

Appropriateness

Communication

Ability to explain change

Static continuity through fixed preferences, stable institutions

Static continuity through path dependence (except where incremental change)

Static continuity through cultural norms, ideational frames

Dynamic change and continuity through ideas and discursive Interaction

Problems of explanation

Economic determinism

Historical determinism

Cultural determinism or relativism

Ideational determinism or relativism

Sumber: Schmidt dalam Landman & Robinson (2009:138)

Mengenai perkembangan teori institusi, Scott merangkum dengan baik tentang masa-masa ketika teori institusi mengalami apa yang dia sebut sebagai “undeveloped state of theoretical development” melalui artikelnya yang berjudul “The Adolescence of Institutional Theory” (Scott, 1987). Kemudian, sejak tahun 1990-an, teori institusi yang didominasi oleh paradigma new institutionalism mengalami perkembangan yang cukup substansial dan mengalami proses pematangan dalam beberapa aspek berikut: (1) konseptualisasi dan reifikasi institusi menjadi semakin jelas; (2) argumen-argumen yang ditawarkan bersifat lebih interaktif ketimbang deterministik; (3) lebih berorientasi pada eviden; (4) mengalami pergeseran dari pendekatan “organization-centric” ke pendekatan “field-level”; (5) memfokuskan pada perubahan institusi ketimbang aspek stabilitas; dan (6) menekankan pada institusi sebagai kerangka tindakan yang lebih rasional (Scott, 2014:266–268). Perkembangan terkini juga menunjukkan terjadinya pergerakan teori institusi menuju teori-teori yang lebih bersifat kritis (Lok, 2019).

142

Pendekatan dan Fokus Analisis Institusional dalam Studi Kebijakan Publik Perbincangan tentang studi kebijakan tidak bisa dilepaskan dari sosok Harold Laswell yang menggabungkan perspektif keilmuan (scientism) dan pendekatan teknokratik dalam kajian-kajiannya (Zittoun, 2019:211). Berangkat dari pengaruh Laswell ini, studi kebijakan kemudian dapat dibagi ke dalam dua domain utama, yaitu domain akademik yang berorientasi pada intellectual inquiries dan domain pemerintahan yang lebih berorientasi pada pendekatan teknis-pragmatis. Hal ini selanjutnya berimplikasi pada pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan pokok-pokok bahasan utama dalam studi kebijakan publik, yaitu pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam studi kebijakan publik pada kedua domain tadi adalah analisis institusional, yang pada dasarnya memfokuskan pada penjelasan tentang relasi antara institusi, aktor, dan struktur kekuasaan yang terdapat dalam suatu sistem kebijakan. Cakupan pembahasan mengenai fokus analisis institusional dalam studi kebijakan publik juga tergantung pada bagaimana kebijakan publik didefinisikan. Definisi kebijakan publik dalam tulisan ini merujuk pada pendapat Jenkins (dalam Howlett & Ramesh, 2003:6), yaitu “a set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where those decisions should, in principle, be within the power of those actors to achieve”. Berdasarkan definisi ini, kebijakan publik dilihat sebagai output dari sebuah proses politik yang melibatkan sejumlah aktor yang berinteraksi secara dinamis untuk menghasilkan serangkaian keputusan. Pengertian semacam ini menyediakan landasan konseptual yang sesuai untuk menjelaskan kompleksitas relasi antara struktur kekuasaan, aktor-aktor kebijakan, ide, kepentingan, dan institusi yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan (Peters & Pierre, 2006:6). Terdapat paling tidak dua pendekatan yang dapat digunakan untuk melakukan analisis institusional, yaitu pendekatan varians (variance) dan pendekatan proses (Scott & Meyer, 1994:83). Pendekatan varians memposisikan institusi sebagai properti, yaitu sebuah entitas yang mempunyai substansi dan karakteristik tertentu sebagaimana telah 143

dijelaskan sebelumnya. Institusi mencakup aturan, norma, dan nilai yang relatif mapan dan membentuk sistem tindakan. Pendekatan varians memfokuskan pada penjelasan tentang mengapa suatu fenomena terjadi; analisis terhadap fenomena dilakukan dengan menjelaskan hubungan sebab-akibat atau hubungan kausal. Scharpf (2000:763) menyebutkan bahwa analisis institusional pada dasarnya mencakup dua perspektif utama, yaitu perspektif pertama memfokuskan pada pengaruh atau dampak institusi terhadap perilaku aktor-aktor dalam suatu subsistem kebijakan, dan perspektif kedua bertujuan menjelaskan proses pembentukan dan perubahan institusi. Dengan demikian, institusi dapat diperlakukan sebagai variabel dependen maupun variabel independen. Positioning institusi semacam ini selanjutnya berimplikasi pada fokus dan pendekatan dalam analisis institusional. Pada satu sisi, analisis institusional memposisikan institusi sebagai variabel yang mempengaruhi persepsi dan preferensi kebijakan dari aktor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan. Pada sisi lain, analisis institusional juga bertujuan menjelaskan faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya pembentukan dan perubahan institusi yang terdapat dalam sistem pembuatan kebijakan. Pendekatan proses memfokuskan pada penjelasan tentang bagaimana terjadinya suatu fenomena. Berbeda dengan pendekatan varians, pendekatan proses memandang sekuensi kejadian adalah lebih penting daripada penjelasan tentang hubungan sebab-akibat atau bagaimana variabel yang satu mempengaruhi variabel yang lain. Artinya, terjadinya sebuah fenomena dijelaskan secara naratif dengan penekanan pada sisi sekuensi dan kronologi peristiwa. Analisis institusional dalam pendekatan ini bertujuan menjelaskan, misalnya, bagaimana terjadinya proses deinstitutionalisasi atau krisis legitimasi institusi pada sebuah sektor kebijakan (Mol, 2009). Metode yang lazim digunakan dalam pendekatan proses adalah generalisme induktif, yaitu logika berpikir yang berawal dari sesuatu yang khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat umum. Terlepas dari perbedaan penekanannya, pendekatan varians dan proses sebagaimana dijelaskan di atas tentu saja dapat digunakan secara bersamaan untuk menghasilkan kajian yang lebih komprehensif. Metode event history mengombinasikan pendekatan varians dan pendekatan proses dengan menjelaskan mengapa variabel tertentu mempengaruhi terjadinya 144

perubahan institusi, dan sekaligus mendeskripsikan sekuensi dan dinamika yang terjadi dalam hubungan antar variabel tadi. Fokus analisis institusional sesungguhnya cukup beragam, tetapi mengingat keterbatasan ruang. Tulisan ini memfokuskan pada tiga fokus amatan utama, yaitu pembentukan institusi, perubahan institusi, dan institusionalisasi. Beberapa pokok bahasan dalam analisis mengenai pembentukan institusi antara lain (1) dari mana institusi berasal; (2) bagaimana institusi terbentuk atau dibentuk; (3) siapa yang terlibat dalam pembentukan institusi; dan (4) faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan institusi (Scott, 2014:113). Analisis mengenai pembentukan institusi dapat dilakukan berdasarkan beberapa asumsi dan cara pandang. Pertama, institusi tidak berasal dari ruang hampa; institusi dibentuk dengan sengaja untuk mencapai suatu tujuan. Kedua, pembentukan institusi didorong oleh adanya kebutuhan akan pembentukan aturan-aturan baru beserta praktik-praktik terkait untuk menggantikan aturan-aturan lama yang kehilangan relevansi atau legitimasinya. Ketiga, pembentukan institusi juga didorong oleh munculnya kesadaran bahwa belum ada institusi yang mampu merespons atau memecahkan suatu masalah secara memadai sehingga perlu dibentuk sebuah institusi baru untuk memecahkan masalah tersebut. Penting untuk dicatat bahwa pembentukan institusi dapat terjadi melalui dua cara, yaitu terbentuk secara alamiah dan dibentuk secara sengaja berdasarkan desain tertentu. Perbincangan mengenai upaya terencana untuk membentuk institusi selanjutnya terkait erat dengan konsep desain institusi dan peran perancang institusi. Konsep ‘desain’ sendiri mengacu pada “the creation of an actionable form to promote valued outcomes in a particular context” (Goodin, 1998:31). Konsep desain menyiratkan tiga hal, yaitu (1) desain merupakan proses yang melibatkan tindakan yang disengaja dan berorientasi pada tujuan tertentu; (2) desain institusi dihasilkan oleh perancang institusi; dan (3) perancang institusi memiliki kebebasan ruang dan pilihan dalam mendesain institusi. Goodin selanjutnya mengidealkan desain institusi yang baik sebagai institusi yang konsisten secara internal dan harmonis secara eksternal dengan tatanan sosial yang melingkupinya. Dalam konteks kebijakan publik, institusi yang baik adalah institusi yang dapat memfasilitasi proses pembuatan kebijakan sehingga menghasilkan output 145

kebijakan yang mampu merespons secara memadai masalah-masalah publik yang ingin diatasi. Demikian pula pada konteks governance, institusi yang baik adalah institusi yang dapat memfasilitasi proses internalisasi dan reproduksi prinsip-prinsip yang melekat pada gagasan governance. Selain game theory, salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan desain institusi adalah model rational design. Model yang dipengaruhi oleh perspektif rational-choice ini, menekankan bahwa pilihan-pilihan desain institusi diseleksi dengan menggunakan logika konsekuensi, bukan logika kepatutan (Wendt, 2001:1023). Logika konsekuensi lebih mengedepankan rasionalitas ketimbang pertimbangan moral sehingga mendorong terjadinya perilaku instrumental-pragmatis oleh para perancang institusi yang selanjutnya berimplikasi pada corak dan karakteristik desain institusi yang dihasilkan. Selanjutnya, fokus analisis institutional adalah mengenai perubahan institusi yang selama ini masih menjadi bahan perdebatan para institutionalist, terutama mengenai dua pokok bahasan utama, yaitu mengapa institusi berubah dan bagaimana terjadinya proses perubahan institusi (Beunen & Patterson, 2019). Oleh karena itu, analisis mengenai perubahan institusi dapat dilakukan, baik melalui pendekatan varians maupun pendekatan proses. Analisis mencakup penjelasan tentang faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya perubahan institusi dan deskripsi tentang proses terjadinya perubahan institusi. Dalam konteks semacam ini, institusi dapat diposisikan sebagai sebuah variabel dependen yang dipengaruhi oleh sejumlah variabel independen. Berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan, terdapat paling tidak tiga faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan institusi, yaitu (1) internalisasi ide-ide baru yang relatif sulit ditolak dan berimplikasi pada perubahan institusi terkait; (2) faktor eksternal berupa krisis ekonomi-politik yang berimbas pada kebutuhan untuk melakukan penyesuaian aturan, norma, dan nilai dalam sistem kebijakan; dan (3) strategi dan tindakan yang diambil oleh elite pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang biasanya dilakukan melalui reformasi institusi (Gorges, 2001). Analisis mengenai hubungan kausal antara perubahan institusi dan ketiga faktor ini memunculkan paling tidak dua tantangan, yaitu bagaimana menjelaskan mekanisme terjadinya hubungan kausal tersebut dan bagaimana menjelaskan bahwa ide-ide 146

atau gagasan baru itulah yang mendorong terjadinya perubahan institusi (Campbell, 2004). Terkait dengan kemungkinan atau peluang terjadinya perubahan institusi, terdapat paling tidak dua cara pandang yang lazim digunakan. Pertama, institusi dipandang sebagai sebuah entitas yang cenderung resisten terhadap perubahan karena aturan, norma, dan praktik-praktik dalam institusi tertanam relatif kuat dan mapan sehingga upaya untuk melakukan perubahan menjadi sulit dilakukan. Kedua, institusi dipandang tidak selalu dalam situasi inertia; institusi dapat dirubah dan didesain kembali untuk memperkuat relevansi dan legitimasinya. Jikalau pun perubahan institusi terjadi, maka persoalan berikutnya adalah mengenai tempo terjadinya perubahan, apakah secara cepat atau perlahan (Gerschewski, 2021). Pada satu sisi, ada yang berpendapat bahwa perubahan institusi cenderung terjadi secara gradual karena institusi mengalami “path dependency” (Bell dalam Summers, Woodward & Parkin, 2002:376). Perubahan institusi bahkan cenderung terjadi secara evolusioner karena upaya untuk memaksakan reformasi institusi secara radikal justru dapat menimbulkan masalah baru yang lebih buruk (unintended consequences) daripada masalah yang sedianya ingin diatasi. Pada sisi lain, perubahan institusi dapat berlangsung secara cepat dan terjadi dalam skala besar sebagaimana ditunjukkan oleh dampak institusionalisasi nilai-nilai new public management di sektor publik. Fokus analisis institusional berikutnya adalah institusionalisasi yang dilihat melalui pendekatan proses. Institusionalisasi yang dimaksud di sini adalah serangkaian proses yang mencakup tahapan “instituting” berupa proses pembentukan institusi dan “instituted” berapa tahapan ketika institusi sudah terbentuk dan relatif mapan (Bouilloud dkk., 2020:153). Pada konteks institusionalisasi norma dan nilai dalam organisasi, institusionalisasi dapat dilihat sebagai kondisi akhir yang tercapai setelah melalui tiga tahapan, yaitu internalisasi, sosialisasi, dan habituasi. Scott (2014:16) mendefinisikan kondisi akhir ini sebagai tahapan “institutionalized”, yaitu sebuah situasi dimana tindakan aktor-aktor telah mengacu dan berorientasi pada standar norma dan nilai yang sudah mapan dalam organisasi atau pada setting yang lebih luas. Kajian mengenai institusionalisasi dapat

147

dilakukan untuk menjelaskan proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai good policy governance dalam suatu sistem kebijakan. Menarik untuk dicatat, sebagian scholar berpendapat bahwa institusionalisme lebih sesuai diperlakukan sebagai metode ketimbang sebagai karya substansial (Diermeier & Krehbiel, 2003). Hal ini bisa dipahami karena pada praktiknya analisis institusional dalam studi kebijakan publik memang melibatkan penerapan sejumlah metode atau kerangka kerja tertentu, seperti antara lain institutional analysis and development (selanjutnya disebut IAD), institutional collective action, multiple governance, dan ecology of games (Baldwin, Chen & Cole, 2019:899). Setiap metode tentu memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing sehingga salah satu kriteria pemilihannya adalah kesesuaian dengan tujuan studi. Berikut adalah perbandingan keempat metode tersebut dengan menggunakan tiga indikator, yaitu pendekatan dasar, konsep-konsep kunci yang digunakan, dan kompatibilitas metode terhadap fokus studi (lihat Tabel 6.3). Tabel 6.3. Metode Analisis Institusional Framework

Basic approach

Key concepts

Best suited for

IAD framework

Provide a framework for analysing actors’ behaviors in policy situations

Institutions combine with contextual factors to shape actors’ incentives

Fine-grained study of institutions and their effects on behaviour

Institutional Collective action

Synthesize IAD framework with theories that apply to public policy organizations

Municipalities use governance mechanisms to overcome institutional collective action dilemmas

Study of collective action dilemmas among multiple jurisdictions

Multiple governance framework

Synthesize IAD framework with theories of policy implementation

Policy implementation occurs at multiple levels within or between organizations

Study of policy implementation

Ecology of games framework

Extend IAD to examine actors’ behavior within multiple, overlapping policy institutions

In complex policy settings, actors participate strategically in multiple policy institutions simultaneously.

Study of complex governance arrangements

Sumber: Baldwin, Chen, & Cole, 2019:899

148

Sebagaimana terlihat pada Tabel 6.3, metode yang jamak digunakan untuk melakukan analisis institusional dalam studi kebijakan adalah metode IAD yang diperkenalkan oleh Elinor Ostrom. Metode IAD bahkan diklaim sebagai “one of the most distinguished and tested frameworks for policy analysis” (Grossman, 2019:5). Sebagai sebuah tool of analysis, IAD dapat membantu melacak proses pembuatan kebijakan secara keseluruhan melalui pengidentifikasian aktor-aktor yang terlibat, penyajian sekuensi kejadian, dan pendeskripsian tindakan para aktor dalam proses pembuatan kebijakan (Ostrom, 2011). Ketika melakukan analisis institusional mengenai kebijakan dalam situasi krisis atau crisis-driven policy, misalnya, IAD berfungsi untuk mengetahui pola tindakan kebijakan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor institusional tertentu, menganalisis dampak regulasi dan peraturan terhadap pilihan-pilihan kebijakan dan luaran kebijakan, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dan luaran kebijakan (Grossman, 2019:5). Demikian pula ketika digunakan untuk menganalisis tentang desain kebijakan, IAD bermanfaat untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan peraturanperaturan yang relevan dengan desain kebijakan, mengaitkan antara target kebijakan dan situasi tindakan yang dialami oleh aktor-aktor kebijakan, dan menentukan level pengambilan keputusannya (Carter, Weible, Siddiki & Basurto, 2016). Menarik untuk digarisbawahi, metode-metode analisis institusional yang lain lebih merupakan hasil sintesis dan pengembangan dari metode IAD dalam rangka mencapai tujuan studi yang lebih spesifik. Metode multiple governance framework, misalnya, mensintesiskan metode IAD dengan teori-teori implementasi kebijakan untuk menjelaskan pengaruh institusi terhadap proses implementasi kebijakan dalam konteks governance. Perlu dicatat bahwa salah satu keterbatasan analisis institusional dalam studi kebijakan publik adalah pada aspek fisibilitasnya; analisis institusional sesungguhnya cukup menarik secara konseptual, tetapi dalam konteks tertentu agak sulit dilakukan pada level praksis. Keterbatasan ini lebih disebabkan oleh sulitnya mengoperasionalkan variabel-variabel institusi yang akan digunakan dalam studi. Keterbatasan ini sebetulnya dapat dimaklumi karena sebagian karakteristik institusi bersifat intangible sehingga tidak selalu mudah untuk menentukan indikator-indikator 149

yang lebih operasional. Khusus dalam kaitannya dengan penggunaan ‘New Institutionalism’ dalam studi kebijakan publik, terdapat sejumlah kelemahan umum yang mencakup kesalahan konseptual, kekeliruan logika, dan kelemahan argumen (Radaelli, Dente, & Dossi, 2012:538). Salah satu kelemahan tersebut adalah terjadinya institutional determinism yang menganggap bahwa keberhasilan atau kegagalan kebijakan pasti disebabkan oleh variabel institusi; jika terjadi kegagalan kebijakan, maka yang harus dilakukan pertama kali adalah mengubah atau mengintervensi variabel-variabel institusinya. Namun, terlepas dari kelemahannya, new institutionalism telah memberikan kontribusi penting bagi perkembangan analisis institusional dalam studi kebijakan publik.

Penutup Kajian mengenai institusi telah menjadi salah satu focal point yang sangat penting dalam studi kebijakan publik. New institutionalism sebagai paradigma yang paling menonjol dalam analisis institusional telah menyediakan berbagai perspektif dan kerangka kerja yang memperkaya kajian-kajian teoretis dan empiris mengenai pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan. Melalui pendekatan varians dan pendekatan proses, analisis institusional telah memberikan sejumlah kontribusi yang sangat penting, yaitu (1) mengidentifikasi faktor-faktor institusional yang mempengaruhi perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan; (2) menjelaskan bagaimana perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan dipengaruhi, dibentuk, dan dibatasi oleh institusi; (3) membantu menjelaskan mengapa dan bagaimana institusi pembuatan kebijakan mengalami perubahan; dan (4) menjelaskan bagaimana proses terjadinya institusionalisasi dalam suatu sistem kebijakan. Namun, perlu diingat bahwa new institutionalism juga memiliki sejumlah kelemahan pada konsep, logika, dan aspek metodologis yang perlu dipertimbangkan ketika melakukan analisis institusional. Prospek analisis institusional dalam studi kebijakan publik pada derajat tertentu dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, fisibilitas analisis institusional dalam studi kebijakan publik yang belakangan ini lebih berorientasi pada analisis diskursif dan critical institutional theory; (2) kematangan konseptual dan metodologis dari analisis institusional sebagai 150

tool for empirical research; dan (3) efektivitas utilisasi dan pemanfaatan hasil analisis institusional, baik pada domain akademik maupun domain pemerintahan. Sementara itu, beberapa agenda riset yang dapat dilakukan ke depan terutama terkait dengan perubahan institusi sebagai salah satu fokus utama dalam studi mengenai institusi, yaitu bagaimana menjelaskan mekanisme terjadinya hubungan kausal tentang perubahan institusi dan bagaimana menjelaskan bahwa ide-ide atau gagasan baru dapat mendorong terjadinya perubahan institusi. Agenda lain yang tidak kalah penting adalah melakukan analisis institusional yang bersifat preskriptif, kritis, dan berorientasi problem solving dalam skema riset kolaboratif antara akademisi dan pembuat kebijakan untuk memproduksi pengetahuan mengenai pembuatan dan implementasi kebijakan.

151

Daftar Pustaka Baldwin, E., T. Chen, dan D. Cole. 2019. “Institutional Analysis for New Public Governance Scholars”. Public Management Review, Vol. 21(6), hal. 890–917. Beunen, R. dan Patterson. 2019. “Analysing Institutional Change in Environmental Governance: Exploring the Concept of ‘Institutional Work’”. Journal of Environmental Planning and Management, Vol. 62(1), hal. 12–29. Bouilloud, J. P., M. Peretz, T. Viale, dan V. Schaepelynck. 2020. “Beyond The Stable Image Of Institutions: Using Institutional Analysis To Tackle Classic Questions In Institutional Theory”. Organization Studies, Vol. 41(2), hal. 153–174. Cairney, P. 2012. Understanding Public Policy: Theories and Issues. New York: Palgrave MacMillan. Campbell, J. L. 2004. Institutional change and globalization. New Jersey: Princeton University Press. Carter, D. P., C. M. Weible, S. N. Siddiki, dan X. Basurto. 2016. “Integrating Core Concepts from the Institutional Analysis and Development Framework for the Systematic Analysis of Policy Designs: An Illustration from the US National Organic Program Regulation”. Journal of Theoretical Politics, Vol. 28(1), hal. 159–185. Christensen, T., P. Lagreid, P. G. Roness, dan Rovik. 2007. Organization Theory and the Public Sector: Instrument, Culture and Myth. New York: Routledge. Daft, R. L. 2010. Organization Theory and Design, 10th Edition. Ohio: South-Western Cengage Learning. Diermeier, D. 2015. “Institutionalism and The Normative Study Of Politics: From Rational Choice to Behavioralism”. The Good Society, Vol. 24(1), hal. 15–29. Diermeier, D. dan K. Krehbiel. 2003. “Institutionalism as a Methodology”. Journal of Theoretical Politics, Vol. 15(2), hal. 123–144.

Gerschewski, J. 2021. “Explanations of Institutional Change: Reflecting On a “Missing Diagonal””. American Political Science Review, Vol. 115(1), hal. 218–233. Goodin, R. E. 1998. The Theory of Institutional Design. Cambridge: Cambridge University Press. Gorges, M. J. 2001. “New Institutionalist Explanations for Institutional Change: A Note of Caution”. Politics, Vol. 21(2), hal. 137–145. Grossman, P. J. 2019. “Utilizing Ostrom’s Institutional Analysis and Development Framework toward an Understanding of Crisis‑Driven Policy. Policy Sciences, Vol. 52(3), hal. 1–20. Fischer, F., G. J. Miller, dan M. S. Sidney. 2007. Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics, and Methods. Boca Raton: CRC Press. Helgetun, J. B. 2020. “Maintaining and Changing Institutionalized Environments: Teacher Education Policy in England and France Compared”. Phd Thesis. Howlett, M dan M. Ramesh. 2003. Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystems, 2nd Edition. Oxford: Oxford University Press. Krucken, G. dkk. 2017. New Themes in Institutional Analysis: Topics and Issues from European Research. Cheltenham: Edward Elgar Publishing. Landman, T dan N. Robinson. 2009. The SAGE Handbook of Comparative Politics. London: SAGE Publications, hal. 125–143. Lok, J. 2019. “Why (And How) Institutional Theory Can Be Critical: Addressing the Challenge to Institutional Theory’s Critical Turn”. Journal of Management Inquiry, Vol. 28(3), hal. 335–349. Lowndes, V. 2010. “The institutional Approach”, dalam D. Marsh & G. Stoker (Eds). Theories and Methods in Political Science. Basingstoke: Palgrave MacMillan. Mol, A. P. J. 2009. “Environmental Deinstitutionalization in Russia”. Journal of Environmental Policy & Planning, Vol. 11(3), hal. 223–241. 153

North, D. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge: Cambridge University Press. Ostrom, E. 2011. “Background on the Institutional Analysis and Development Framework”. Policy Studies Journal, Vol. 39(1), hal. 7–27. Peters, B. G. 1999. Institutional Theory in Political Science: The ‘New Institutionalism’. New York: Pinter. Peters, B. G. dan J. Pierre. 2006. Handbook of Public Policy. London: Sage Publishing. Peters, B. G., A. Jordan, dan J. Tosun. 2017. “Over-Reaction and UnderReaction in Climate Policy: An Institutional Analysis”. Journal of Environmental Policy & Planning, Vol. 19(6), hal. 612–624. Radaelli, C. M., B. Dente, & S. Dossi. 2012. “Recasting Institutionalism: Institutional Analysis and Public Policy”. European Political Science, Vol. 11(4), hal. 537–550. Scharpf, F. W. 2000. “Institutions in Comparative Policy Research”. Comparative Political Studies, Vol. 33 (6/7), hal. 762–790. Scott, W. R. 2014. Institutions and Organizations: Ideas, Interests, and Identities, 4thd Edition. Los Angeles: Sage Publications. Scott, W. R. 1987. “The Adolescence of Institutional Theory”. Administrative Science Quarterly, Vol. 32, hal. 493–511. Scott, W. R. & Meyer. 1994. Institutional Environments and Organizations: Structural Complexity and Individualism. Thousand Oaks: Sage Publications. Shafritz, J. M., J. S. Ott, dan Jung. 2016. Classics of Organization Theory. Boston: Cengage Learning. Summers, J., D. Woodward, dan A. Parkin. 2002. Government, Politics, Power and Policy in Australia, 7th Edition. Frenchs Forest: Pearson Education Australia. Voß, Jan-Peter. 2014. “Performative Policy Studies: Realizing “Transition Management””. Innovation: The European Journal of Social Science Research, Vol. 27(4), hal. 317–343. 154

Wendt, A. 2001. “Driving With The Rearview Mirror: On The Rational Science Of Institutional Design”. International Organization, Vol. 55(4), hal. 1019–1049. Wiens, D. 2012. “Prescribing Institutions without Ideal Theory”. The Journal of Political Philosophy, Vol. 20(1), hal. 45–70. Zittoun, P. 2019. “The Two Lasswells: Implications for Critical Policy Studies”. Critical Policy Studies, Vol. 13(2), hal. 211–215.

155

BAB VII

REVITALISASI DAN REORIENTASI STUDI ORGANISASI DI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Puguh Prasetya Utomo

Pendahuluan Studi organisasi telah lama dan saat ini masih dipelajari oleh mahasiswa Administrasi Publik. Ketika Jurusan Ilmu Administrasi Negara di Universitas Gadjah Mada (UGM), yang merupakan barometer pengembangan keilmuan administrasi publik di Indonesia, bertransformasi menjadi Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (DMKP), sejumlah mata kuliah terkait dengan studi organisasi masih dipertahankan untuk diajarkan kepada mahasiswa. Mata kuliah tersebut meliputi teori organisasi dan perilaku organisasi. Penekanan organisasi sebagai dimensi penting manajemen dan kebijakan publik (yang merupakan state of the art dari public administration) juga terlihat dari sejumlah buku yang ditulis oleh Indonesian Public Administrationists, seperti Ilmu Administrasi Publik Kontemporer oleh Miftah Thoha (2017) dan Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik; Konsep, Teori, dan Isu oleh Yeremias T. Keban (2014), yang keduanya merupakan profesor senior di DMKP-UGM. Ini menegaskan bahwa studi organisasi tetap dianggap relevan dan memiliki nilai strategis di tengah berkelanjutannya transformasi fokus keilmuan public administration di Indonesia, yang tercermin dari perubahan nama institusi pembelajaran administrasi publik tertua di negara ini, yaitu dari

157

Ketatausahaan Negara, Administrasi Negara, hingga saat ini menjadi Kebijakan dan Manajemen Publik. Pengakuan dan penegasan tentang strategisnya studi organisasi ini sayangnya tidak diikuti dengan berkembangnya penelitian-penelitian kontemporer yang relevan. Bahkan, dimensi-dimensi keorganisasian tidak menjadi fokus perhatian utama dalam penelitian-penelitian yang dilakukan, baik oleh dosen maupun mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik. Meskipun birokrasi pemerintahan dan organisasi-organisasi publik nonpemerintah masih menjadi lokus favorit dan tidak tertinggalkan dalam penelitian mereka, penggunaan dan kontribusi akademik terhadap pengembangan konsep dan teori keorganisasian sangat terbatas atau bahkan nihil. Dalam mengkaji public sector reforms, misalnya, selama ini scholars pada bidang administrasi publik, atau pada kebijakan dan manajemen publik sekalipun, cenderung melakukannya secara pragmatis, seperti mengidentifikasi good and bad practices penyelenggaraan pemerintahan. Kajian semacam ini lebih banyak menekankan practical implications, seperti rekomendasi perbaikan kebijakan atau replikasi praktik-praktik yang dianggap baik, memang penting, dan dibutuhkan untuk mendorong perubahan pada dunia praktik. Namun, kekurangannya adalah pada terbatasnya theoretical contributions yang diberikan. Mengintegrasikan studi organisasi pada kajian public sector reforms, atau bidang kajian manajemen dan kebijakan publik kontemporer lainnya, adalah alternatif yang ditawarkan dalam bab ini agar orientasi dan kontribusi pragmatis sekaligus pengembangan keilmuan dapat diperkuat. Studi organisasi yang dimaksudkan di sini tentu bukan lagi terbatas pada kajian sempit dan mekanistik, yang hanya melihat efisiensi pencapaian tujuan organisasi, desain struktur, beban kerja, pembagian tugas antar bagian, atau relasi dan pemenuhan kebutuhan orang-orang di dalam organisasi, sebagaimana cakupan kajian studi organisasi pada masa lalu. Dengan bersandar pada organizational institutionalism (Greenwood, Oliver, Lawrence, & Meyer, 2017b; Reid & Yang, 2018), yang saat ini merupakan salah satu perspektif mainstream pada studi organisasi yang menekankan keterkaitan antara level makro (institutional orders), meso (organizational fields), dan mikro (organizations and organizational actors), maka bidangbidang kajian kontemporer yang digemari oleh public administrationists, 158

seperti public sector reforms, collaborative governance, innovation and entrepreneurship, politics and policy implementation, dan performancebased management, dapat memiliki spektrum analisis yang multilevel dan multidimensional. Hal ini dapat menjadi kekuatan sekaligus peluang besar bagi public policy and management scholars dalam menghasilkan kontribusi, baik yang bersifat theoretical (pengembangan ilmu) maupun practical (rekomendasi perbaikan kebijakan dan manajemen). Bab ini secara khusus mengadvokasi kebutuhan untuk merevitalisasi dan mereorientasi studi organisasi sehingga dapat memperkuat kajian manajemen dan kebijakan publik kontemporer. Bab ini terdiri dari empat bagian. Pada bagian berikutnya dipaparkan review singkat tentang perkembangan studi organisasi, yang pada awalnya menjadi salah satu domain kajian administrasi publik, tetapi kemudian keduanya berkembang secara terpisah, hingga pada 3 dekade terakhir studi organisasi lebih didominasi oleh management scholars dari business schools. Bagian selanjutnya memberikan overview perkembangan terkini dari institutional theories of organization, atau sering disebut organizational institutionalism. Pada akhirnya, prospek studi organisasi di MKP ditunjukkan melalui sejumlah gagasan penelitian yang mengombinasikan antara kajian manajemen dan kebijakan publik kontemporer, dan organizational institutionalism.

Studi Organisasi: Dari Administrasi Publik Bermigrasi ke Business School Layunya studi organisasi sebagai bagian dari bidang kajian administrasi publik bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan telah menjadi kecenderungan global. Padahal apabila dirunut dari sejarah perkembangannya, kajian administrasi publik dan studi organisasi memiliki kedekatan yang sangat erat. Hal ini terlihat dari banyaknya pandangan dan kajian klasik tentang birokrasi publik yang berpengaruh besar, di antaranya yang disampaikan atau dilakukan oleh Max Weber (1921/1978), Gulick dan Urwick (1937), Phillip Selznick (1948, 1953), Herbert A. Simon (1947), Robert K. Merton (1952), dan Peter M. Blau (1955). Pada masa itu, studi organisasi didominasi oleh kajian birokrasi publik (bureaucratic organizations) yang merupakan lokus dari kajian 159

administrasi publik klasik. Bahkan pada era 1950-an, kajian administrasi publik (baca: birokrasi publik) secara mencolok mendominasi ilmu politik dan manajemen, yang sekaligus mengindikasikan peran minor dari para peneliti dari business schools dalam studi-studi organisasi pada saat itu (Kelman, 2008). Namun, kedekatan historis tersebut tidak berlanjut dan perkembangan studi organsisasi dan administrasi publik pada beberapa dekade terakhir berlangsung secara lebih terpisah (Kelman, 2008; Vogel, 2014). Dinamika keterkaitan keduanya tampaknya tidak dapat dilepaskan dari dogma bahwa ‘administrasi publik dan bisnis lebih memiliki banyak kesamaan daripada perbedaan’ yang digaungkan oleh para pelopor administrasi publik pada masanya (Gulick & Urwick, 1937; Wilson, 1887). Adanya dogma tersebut berimplikasi pada dua hal. Pertama, mahasiswa administrasi publik dan administrasi bisnis memiliki literatur klasik yang sama tentang akar sejarah dari bidang studi masing-masing, yaitu sama-sama memaparkan studi organisasi yang secara historis didominasi oleh kajian tentang birokrasi publik. Kedua, studi organisasi sama-sama diminati, baik oleh public administration scholars maupun management scholars dari business schools, yang dapat ditelusuri dari artikel-artikel yang terbit di jurnal-jurnal yang menjadi media publikasi bagi penelitianpenelitian tentang organisasi. Dinamika relasi antara administrasi publik dan studi organisasi juga terefleksi dari tulisan-tulisan yang terdapat pada jurnal-jurnal seperti itu. Dinamika ini terlihat dari adanya pergeseran proporsi studi organisasi, yang pada awalnya didominasi oleh kajian terhadap organisasi pemerintahan menjadi didominasi oleh penelitian empiris tentang organisasi perusahaan. Sejak itu birokrasi publik tidak lagi banyak dijadikan sebagai case dan lokus studi organisasi1. Hingga saat 1.

160

Meskipun birokrasi publik ataupun kolaborasi antara organisasi pemerintahan dan nonpemerintahan menjadi lokus kajian para peneliti administrasi publik hingga saat ini, dimensi-dimensi yang diobservasi lebih banyak terkait proses, output, dan outcome dari kebijakan atau pelayanan publik yang dikelola oleh organisasiorganisasi tersebut (lihat Klijn, 2008; Sandfort & Milward, 2008). Penelitian yang demikian lebih merupakan studi ‘yang dilakukan di’ organisasi, yang tidak selalu merupakan studi ‘tentang’ organisasi. Eksplorasi terhadap peran organisasi, seperti keterkaitan antara institutional demands/logics, organizational attributes/dynamics, dan organizational actors serta pengaruh simultan dari ketiga level tersebut terhadap output dan outcome organisasi (lihat Greenwood dkk.., 2011), tidak mendapatkan perhatian yang memadai.

ini, perkembangan studi organisasi lebih banyak diwarnai oleh kontribusi dari para profesor dan peneliti dari business schools, yang tidak banyak berminat dan tidak memiliki perhatian besar terhadap birokrasi publik sebagai organisasi ataupun terhadap pengelolaan permasalahan publik oleh organisasi pemerintahan ataupun nonpemerintahan. Pergeseran tersebut ditunjukkan oleh Kelman (2008) yang mengamati sebuah international journal, yaitu Administrative Science Quarterly (ASQ), yang sejak 1956 telah menjadi media publikasi bagi para peneliti studi organisasi yang berasal dari beragam disiplin ilmu, seperti ilmu politik (terutama administrasi publik), sosiologi, psikologi sosial, dan tentunya manajemen. Sejak awal berdirinya, ASQ diwarnai oleh penelitian-penelitian empiris tentang organisasi, baik yang menjadikan organisasi-organisasi pemerintahan, perusahaan atau organisasi bisnis, maupun organisasi nonprofit, sebagai studi kasus. Hingga awal 1960-an, kajian birokrasi publik mendominasi kajian terhadap dua jenis organisasi lainnya. Namun, mulai akhir 1960-an hingga awal 1980-an, jumlah kajian tentang perusahaan sebagai organisasi mulai mengimbangi. Perubahan yang lebih mencolok terjadi setelah masa itu hingga awal 2000-an yang ditandai dengan sangat dominannya jumlah kajian tentang perusahaan sebagai organisasi yang berorientasi profit dan merosotnya jumlah kajian tentang organisasi pemerintahan. Relatif terpisahnya bidang kajian administrasi publik dan studi organisasi yang kontemporer juga terpetakan oleh Vogel (2014) melalui bibliometric analysis yang dilakukannya terhadap 16 top journal di bidang administrasi publik dan studi organisasi yang berbasis di Eropa dan Amerika. Hasil kajian pustaka tersebut memperlihatkan bahwa pada periode 2000 hingga 2010, administrasi publik dan studi organisasi masing-masing memiliki kluster-kluster penelitian yang terpisah dan relatif eksklusif. Terdapat sembilan kluster penelitian yang didominasi oleh bidang administrasi publik, yang meliputi local government, political control, public choice, public sector motivation, public management, public private partnership, governance networks, administrative reforms, dan performance management. Sementara itu, terdapat delapan kluster penelitian lainnya yang menjadi domain utama dari studi organisasi, yaitu new institutionalism, organizational networks, critical management 161

studies, competence perspective, organizational symbolism, organizational identity, organizational demography, dan practice theory. Bidang administrasi publik memiliki sangat sedikit ‘perwakilan’ dalam klusterkluster penelitian yang didominasi oleh studi organisasi, dan sebaliknya.

Gambar 7.1. Kluster penelitian di administrasi publik dan studi organisasi Sumber: Vogel (2014: 395)

Pergeseran ini mengklarifikasi setidaknya dua hal. Pertama, studi organisasi sampai saat ini tetap eksis2, yang kajian-kajian mainstream 2.

162

Eksistensi yang luar biasa dari studi organisasi di Eropa dan Amerika dapat dikenali pada level kawasan maupun lembaga penyelenggara pendidikan tinggi. Pada kawasan Eropa, misalnya, eksistensi studi organisasi tidak terlepas dari keberadaan komunitas akademik yang mewadahi para organizational study scholars, yaitu European Group for Organization Studies (EGOS) yang telah sangat mapan dalam mengelola media artikulasi gagasan akademik mereka, baik yang berupa international conferences yang sangat ketat dalam menyeleksi paper untuk dipresentasikan maupun berupa outlet publikasi, yaitu Organization Studies dan Organization Theory. Selain EGOS, New Institutionalism Workshops (NIW) yang dikelola oleh para institutionalists terkemuka, seperti Renate Meyer dan Georg Krücken, juga menjadi ajang tahunan bagi para peneliti organizational institutionalism untuk memaparkan dan mendiskusikan kontribusi terbaru mereka. Pada kawasan Skandinavia, organization scholars dari universitas-universitas terkemuka di Nordic Countries (Norway, Swedia, Finlandia, dan Denmark) tergabung dalam The Scandinavian Consortium for Organizational Research (SCANCOR). Berafiliasi dengan Stanford dan Harvard University di USA, SCANCOR selama ini juga telah menjadi motor pengembangan studi organisasi, khususnya organizational institutionalism. Eksistensi studi organisasi di negara-negara tersebut bahkan melekat dan terlihat dari nama departemen,

terkininya didominasi oleh management scholars dari business schools. Dominannya para ilmuwan dan peneliti manajemen dan organisasi dari business schools ini dengan mudah terlihat dari academic background para penulis literatur studi organisasi. Sebagai gambaran adalah sebuah buku yang saat ini menjadi salah satu rujukan utama dan bacaan ‘wajib’ bagi peneliti studi organisasi, yaitu edisi kedua dari The Sage Handbook of Organizational Institutionalism, yang sebagian besar editor dan penulisnya berasal dari management, economics, dan business schools. Dari 70 orang penulis dan editor, 58 orang atau lebih dari 80% di antaranya merupakan ilmuwan atau peneliti dari field(s) tersebut, 12 orang lainnya dari sosiologi. Dominasi yang serupa juga terlihat pada jurnal-jurnal internasional di bidang kajian organisasi, seperti Organizations, Organization Science, Organization Studies, Strategic Organizations, Administrative Science Quarterly, dan Organization Theory. Kajian literature yang dilakukan oleh Arellano-Gault, Demortain, Rouillard, dan Thoenig (2013) terhadap Organization Studies, Organization Science, dan Administrative Science Quarterly, sebagai contoh, menunjukkan bahwa dalam rentang tahun 2001– 2011, rata-rata jumlah penelitian empiris yang menggunakan organisasi publik sebagai case hanya sebesar 7–13%. Hasil kajian yang dilakukan Arellano-Gault dkk. ini juga memperlihatkan sebagian besar penulis pada ketiga jurnal tersebut berafiliasi dengan Business atau Management Schools, yaitu rata-rata 61%–82% dalam rentang waktu tersebut. Kedua, persepsi bahwa studi organisasi adalah kajian yang usang merupakan anggapan yang sangat tidak tepat. Persepsi yang tidak tepat ini cenderung dimiliki oleh ilmuwan atau mahasiswa administrasi publik di Indonesia, yang kebanyakan masih memahami studi organisasi sebagai kajian yang kuno dan mekanistik. Pemahaman seperti ini lebih banyak menjadikan studi organisasi di masa silam sebagai rujukan, yaitu pada saat ilmuwan administrasi publik mendominasi studi organisasi klasik. Pemahaman yang statis ini merupakan implikasi dari sangat seperti Department of Organization di Copenhagen Business School, Denmark dan Department of Administration and Organization Theory di University of Bergen, Norway. Di kawasan Amerika, Alberta School of Business, Kanada juga menjadi pusat perkembangan organizational institutionalism dan merupakan home base para institutionalists ternama seperti Royston Greenwood, Michael Lounsbury, David Deephouse, Trish Reay, dan Emily Block.

163

terbatasnya perhatian dan keterlibatan ilmuwan administrasi publik dalam perkembangan studi organisasi kontemporer. Salah satunya dilatarbelakangi oleh adanya pergeseran fokus keilmuan administrasi publik sendiri, yaitu tidak lagi mengkaji administrasi pemerintahan, melainkan telah bergeser pada policy studies yang dimulai pada era 1970-an (Arellano-Gault dkk., 2013), ataupun yang berikutnya menjadi governance studies dan public management (Frederickson, Smith, Larimer, & Licari, 2012). Dengan adanya pergeseran fokus keilmuan ini, sebenarnya bukan berarti menjadikan studi organisasi tidak lagi relevan bagi ilmuwan dan mahasiswa administrasi publik. Perhatian mereka lebih diutamakan pada isu dan permasalahan yang dihadapi masyarakat beserta dimensi proses, output, dan outcome dari kebijakan dan manajemen publik dalam merespons permasalahan-permasalahan tersebut. Bentuk-bentuk pengorganisasian, termasuk yang berupa public-private partnership, collaboration, dan network governance, selama ini memang mendapatkan perhatian dari peneliti administrasi publik, terutama terkait aspek-aspek inter-organizational relations seperti network structures, relationship management, trust, commitment, dan power-dependence balance (Cropper, Ebers, Huxham, & Ring, 2008; Johnsen, Lamming, & Harland, 2008). Namun, implikasi yang terkait dengan dimensi nilai-nilai atau logics yang dianut dalam pengelolaan permasalahan publik, belum mendapatkan perhatian yang memadai dari ilmuwan administrasi publik. Nilai-nilai dan logics ini cenderung bersifat kompleks dan bahkan kontradiktif, sebagai implikasi dari beragamnya tuntutan eksternal dan pengelolaan permasalahan publik yang dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan banyak aktor dan organisasi. Meskipun tidak mendapatkan perhatian besar di kalangan peneliti administrasi publik, topik bahasan tentang multiple and contradicting institutional logics ini menjadi salah satu fokus utama dari para peneliti studi organisasi kontemporer (Kraatz & Block, 2017). Selain karena perbedaan fokus perhatian dalam melakukan kajian (penelitian di organisasi versus penelitian tentang organisasi), kecenderungan pendekatan analisis dan frameworks yang digunakan oleh public administration scholars menjadikan kontribusi mereka sangat terbatas dalam theoretical developments pada studi organisasi. Sejumlah otokritik telah disampaikan, yaitu peneliti administrasi publik dianggap 164

lebih menekankan relevansi studinya dengan konteks empiris daripada pengkayaan teori (Kelman, 2008), mengedepankan identifikasi best practices dari kasus-kasus yang dikaji (Vogel, 2014), atau lebih banyak memproduksi “ordinary knowledge” daripada “analytical knowledge” (Bozeman, 1993). Lebih banyaknya riset terapan dan orientasi analisis yang lebih mengutamakan practical contribution inilah yang menjadikan minimnya peran dari para peneliti administrasi publik dalam pengembangan teori-teori organisasi dan perilaku organisasi pada beberapa dekade terakhir. Sebagai contoh, Reid dan Yang (2018) menyebutkan terbatasnya kontribusi dari public administration scholars dalam pengembangan organizational institutionalism yang merupakan pendekatan dan perspektif yang dominan dalam studi organisasi saat ini.

Studi Organisasi dalam Bingkai Teori Kelembagaan Meskipun banyak bukti yang menunjukkan bahwa administrasi publik dan studi organisasi telah berkembang secara terpisah dalam dua hingga tiga dekade terakhir, peluang untuk mendekatkan kembali keduanya masih terbuka lebar. Menurut Vogel (2014) terdapat dua teori yang memiliki peran sebagai ‘brokerage’ di antara kedua bidang kajian ini, yaitu institutional theory of organization dan network analysis. Keduanya dapat menjadi titik masuk untuk ‘mengintegrasikan’ atau sekadar ‘mengombinasikan’ antara studi organisasi dan administrasi publik. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tulisan ini secara khusus mengulas institutional theory of organization atau organizational institutionalism, yang merupakan salah satu dari tiga schools of thought terkait teori-teori kelembagaan, selain rational choice institutionalism dan historical (comparative) institutionalism (Hall & Taylor, 1996). Organizational institutionalism atau sociological institutionalism, sebagaimana disebutkan oleh Greenwood, Oliver, Sahlin, dan Suddaby (2008) adalah pemahaman mengenai perilaku organisasi yang dipengaruhi atau terbentuk oleh pranata tertentu (institutional orders, demands, atau logics). Gagasan-gagasan terkini dari organizational institutionalism dalam dua dekade terakhir merupakan kritik sekaligus pengembangan dari new institutionalism yang muncul terlebih dahulu pada akhir 1970an hingga awal 1990-an. Bagian berikut ini memaparkan secara singkat 165

perkembangan penting dan terkini dari instiutional theories of organization. Sejumlah konsep, perspektif, dan pendekatan yang berkembang secara dominan pada era ‘keemasan’ new institutionalism (baca: masa lampau) dan pergeserannya yang terkini diulas secara singkat. 1. Dari isomorphism ke institutional pluralism Salah satu gagasan klasik dari new institutionalism adalah kecenderungan terjadinya isomorphism atau homogenitas organisasiorganisasi yang berada pada bidang atau organizational field yang sama (seperti sekolah, rumah sakit, media massa, birokrasi pemerintahan, dan sebagainya) baik pada aspek struktur, identitas, praktik, ataupun strategi dalam merespons masalah (DiMaggio & Powell, 1983; J. W. Meyer & Rowan, 1977; Tolbert & Zucker, 1983). Para institutionalists3 pada masa itu memberikan penjelasan tentang sejumlah mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya homogenitas tersebut. DiMaggio dan Powell (1983) mengenalkan tiga mekanisme, yaitu organisasi-organisasi menjadi cenderung serupa karena dipaksa mengikuti ketentuan regulasi (coercive isomorphism); karena organisasi mengikuti standar akreditasi yang sama, serta aktor-aktor organisasi menjalani proses pendidikan yang sama atau tergabung dalam asosiasi profesi yang menanamkan nilainilai yang ‘seragam’, seperti pendidikan dan ikatan profesi bagi dokter, perawat, guru, wartawan, dan sebagaimana (normative isomorphism); atau karena organisasi meniru organisasi lainnya yang dianggap ideal, terutama ketika mereka dihadapkan pada situasi yang tidak menentu (mimetic isomorphism). Dengan menekankan keberadaan tiga elemen pokok dari institusi yang disebutnya sebagai institutional pillars, yang mencakup regulative, normative, dan cognitive-cultural pillars, Scott (2014) memperkuat penjelasan tentang mekanisme pelembagaan yang disampaikan oleh DiMaggio dan Powell (1983) sekaligus memberikan argumentasi yang lebih memadai dan adaptif tehadap perkembangan teori institusi sehingga gagasan tentang isomorphism dan mekanismemekanisme yang membuatnya terjadi masih dianggap relevan. 3

166

Institutionalist adalah istilah yang digunakan untuk menyebut pengguna dan kontributor dalam pengembangan institutional theory. Institutionalist yang dimaksudkan pada tulisan ini merupakan sociological institutionalists, yaitu para pengguna institutional theories dalam studi organisasi.

Pada perkembangannya, gagasan dari new institutionalism banyak dikritik karena dianggap tidak mampu menjelaskan mengapa organisasiorganisasi yang berada di organizational field yang sama dan menghadapi institutional demands atau pressures yang sama, untuk mengikuti norma, nilai-nilai, model, standar, atau bahkan regulasi tertentu, meresponsnya secara berbeda sehingga homogenitas tidak terjadi. Fenomena heterogenitas organisasi seperti ini semakin banyak dijumpai seiring dengan semakin banyaknya organisasi yang menghadapi institutional complexity (Greenwood, Raynard, Kodeih, Micelotta, & Lounsbury, 2011) atau institutional pluralism (Kraatz & Block, 2008; Kraatz & Block, 2017; Yu, 2015), yaitu situasi pada saat organisasi-organisasi mendapatkan tekanan dan tuntutan institusional yang beragam, tidak selalu bersifat komplementer, dan bahkan sering kali kontradiktif (conflicting institutional demands). Sebuah contoh tentang institutional complexity berasal dari dunia pendidikan. Sekolah-sekolah negeri ketika dievaluasi dari kualitas outputnya (prestasi akademik dari siswa dan lulusannya) cenderung menjadi selektif dalam menerima siswa karena menerima sebanyak-banyaknya siswa dengan prestasi akademik tinggi merupakan cara paling instan untuk memenangkan kompetisi antarsekolah, yaitu setidaknya agar dianggap oleh masyarakat sebagai sekolah favorit. Oleh karena itu, sangat mudah dipahami apabila terjadi resistensi pada saat sekolah dituntut untuk menjadi inklusif, yaitu menerima siswa dengan kondisi yang beragam termasuk siswa difabel atau siswa-siswa rentan lainnya yang selama ini dianggap sebagai academically at-risk students. Menerima siswa dengan kemampuan akademik yang lebih beragam dianggap tidak menguntungkan, khususnya bagi sekolah-sekolah negeri favorit. Kompleksitas dan ambiguitas lebih dirasakan oleh sekolah-sekolah negeri ketika pemerintah sebagai institutional actor berupaya mengkombinasikan kedua institutional demands atau logics yang saling bertentangan terkait penerimaan siswa baru tersebut (the mainstream demand for selectivity/competition vs the emerging demand for inclusivity). Dihadapkan pada situasi seperti ini, sekolah-sekolah negeri (similar organizations) merespons dengan strategi yang sangat bervariasi untuk memenuhi preferensinya, tetapi sekaligus

167

mengamankan legitimasinya di hadapan institutional actors (Utomo, 2018). Banyak contoh lainnya tentang institutional complexity, di antaranya seperti BUMN pada saat yang sama dituntut untuk memberikan pelayanan berkualitas dan terjangkau oleh warga, tetapi sekaligus menghasilkan keuntungan yang besar bagi negara; atau perguruan tinggi yang dihadapkan pada pertentangan institutional demands yang bersumber dari state, market, professional, dan community. Ke depannya kompleksitas semacam ini cenderung semakin banyak seiring dengan semakin jamaknya situasi yang penuh dengan ketidakpastian, dinamis, dan sering kali ambigu. Contohnya, kementerian dan pemerintah daerah pada saat pandemi dituntut untuk menekan masifnya persebaran COVID-19, tetapi di saat yang sama juga harus berkontribusi aktif menyelamatkan perekonomian negara. Pada situasi yang sama, perguruan tinggi dituntut untuk berperan mengatasi pandemi melalui aktivitas penelitian ilmiah secara seksama untuk menghasilkan obat, vaksin, atau alat tes (science atau professional logic). Namun, perguruan tinggi juga harus melakukannya secara cepat sebagai bagian dari upaya menanggulangi pandemi (health care logic) dengan mempertimbangkan keseimbangan antara pengalokasian sumber daya dan timbal balik yang diperoleh (market dan corporation logics). Boxembaum dan Jonsson (2017) menyebutkan bahwa kajian empiris tentang isomorphism telah meredup, sedangkan penelitian yang mengkaji institutional pluralism atau institutional complexity semakin banyak dilakukan. Bahkan, Boxenbaum dan Jonsson (2017: 92) melontarkan pertanyaan provokatif: ‘…whether institutional isomorphism still has a place as a distinct theoretical and empirical concept under conditions of field heterogeneity’. Dengan mendasarkan pada penelitian empiris yang dilakukannya, Utomo (2018) merespons keraguan tersebut dengan berargumen dan menunjukkan bukti empiris bahwa isomorphism masih bisa terjadi pada saat organisasi-organisasi menghadapi institutional contradiction. Utomo (2018) mengidentifikasi kedua fitur dari isomorphism, yang terdiri dari compliance dan convergence (Ashworth, Boyne, & Delbridge, 2009), yaitu dengan menempatkan strategi-strategi dari setiap organisasi dalam merespons tuntutan-tuntutan institutional yang kontradiktif sebagai sebuah paket (bundles of responses). Dengan 168

menggunakan pendekatan adaptif ini dalam kajian empiris yang dilakukannya, Utomo (2018) menunjukkan bahwa fitur convergence atau keseragaman pola respons organisasi teridentifikasi dari paket-paket respons yang homogen dari organisasi-organisasi di populasinya, yaitu yang terdiri dari kepatuhan (compliance) terhadap sebuah tuntutan eksternal yang sesuai dengan praktik yang telah lama melembaga dan resistensi terhadap tuntutan lainnya yang dianggap kontroversial atau yang tidak sesuai dengan kebiasaan yang telah lama dipraktikkan dan melembaga. Hasil kajian ini memberikan signal bahwa institutional isomorphism masih relevan di tengah semakin lazimnya situasi yang merepresentasikan institutional complexity. 2. Dari dominannya pengaruh struktural level makro ke proses institusionalisasi yang multilevel Masih terkait dengan semakin lazimnya keberadaan tuntutan institusional yang cenderung bersifat jamak dan kompleks, perhatian institutionalists terhadap mekanisme kelembagaan dalam mempengaruhi organisasi dan orang-orang di dalamnya telah bergeser, yaitu dari yang semula berupa pengaruh struktural yang dominan (dari aktor-aktor institusi atau eksternal ke internal organisasi) menjadi lebih bersifat multilevel, termasuk melibatkan pengaruh yang berasal dari dalam organisasi sendiri. Di sini, organisasi dan aktor-aktor di dalamnya berperan sebagai agen institusi yang merupakan manifestasi dari gagasan embedded agency (Johansen & Waldorff, 2017; Ocasio, Thornton, & Lounsbury, 2017; Thornton & Ocasio, 2008). Dalam hal ini, aktor-aktor internal organisasi memiliki logics tertentu yang selaras dengan logics yang berkembang di lingkungan eksternal organisasi. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya perubahan atau penyesuaian keorganisasian karena aktoraktor organisasi mengikuti tatanan eksternal tertentu yang bersifat baru dan dianggap lebih baik dari tatanan yang telah ada selama ini. Ataupun sebaliknya, mereka resisten terhadap tuntutan perubahan karena lebih mengikuti tatanan eksternal tertentu yang telah lama mereka jalankan dan enggan untuk menerima pengaturan alternatif atau tatanan yang baru muncul di lingkungan eksternal, baik yang dipromosikan oleh aktor-aktor institusi yang berbeda maupun sama dengan yang sebelumnya. 169

Embedded agency ini merupakan salah satu gagasan utama dari institutional logics perspective (Ocasio dkk., 2017), yaitu sebuah pendekatan analisis kelembagaan yang relatif baru, tetapi dominan di dalam perkembangan terkini dari institutional organizationalism. Logikalogika kelembagaan atau institutional logics sendiri dapat didefinisikan sebagai ‘the socially constructed, historical patterns of material practices, assumptions, values, beliefs, and rules by which individuals produce and reproduce their material subsistence, organize time and space, and provide meaning to their social reality’ (Thornton & Ocasio, 1999: 804). Perspektif baru ini menawarkan alternatif bentuk sekaligus makna dari institusi, yaitu berupa sistem kepercayaan, nilai-nilai, dan pemikiran tentang tatanan kelembagaan yang dikonstruksi secara sosial. Penekanan yang diberikan oleh perspektif ini berbeda dengan pemahaman dominan yang sebelumnya tentang institusi, yang lebih banyak dimaknai atau dilihat sebagai regulasi dan norma. Tanpa menegasikan regulasi dan norma sebagai elemen penting institusi, institutional logics perspective lebih melihat dimensi regulative (coercive), normative, dan cognitive sebagai dimensi-dimensi kelembagaan yang bersifat komplementer dan terintegrasi, daripada terpisah-pisah seperti yang dipahami oleh DiMaggio dan Powell (1983). Pada edisi terbaru bukunya, Scott (2014) mengakui pentingnya untuk menganalisis relasi di antara ketiga elemen dan mekanisme kelembagaan serta merekomendasikan bagi institutionalists untuk melihat pengaruh dari ketiganya secara kombinatif. Perspektif institutional logics yang dikembangkan oleh Thornton, Ocasio, dan Lounsbury (2012) mengombinasikan gagasan-gagasan dari pendahulunya, yaitu gagasan dari Friedland dan Alford (1991), yang menekankan pengaruh institusi yang berdimensi simbolik dan struktural pada level makro (yaitu kontradiksi antar tatatan kelembagaan dari sistem yang berbeda--state, market, family, profession, dan corporation-yang dihadapi organisasi), dan konsepsi dari Jackall (1988) yang lebih menekankan pengaruh institusi yang berdimensi normatif dan struktural dari level mikro (yaitu kontradiksi yang berasal dari sebuah tatanan kelembagan yang dialami oleh organisasi). Kombinasi pemikiran yang menekankan bentuk dan dimensi institusi yang berbeda ini membuat perspektif institutional logics dari Thornton dkk. (2012) memiliki 170

pendekatan analisis yang interaktif dengan melibatkan proses-proses pada multilevel, yaitu antara institusi, organizational field, serta organisasi dan individu-individu yang ada di dalamnya, dan multidimensi, yaitu struktural, normatif, dan kognitif. 3. Respons organisasi terhadap multiple institutional pressures Pada dua dekade terakhir, perhatian organizational institutionalism scholars terhadap pengaruh dari pluralitas dan kompleksitas institusi semakin besar. Hal ini ditandai dengan semakin maraknya penelitianpenelitian tentang bagaimana organisasi-organisasi meresponsnya beserta determinan pada tingkat institusi, organizational field, dan organisasi yang mempengaruhi pemilihan strategi, atau perilaku organisasi, sebagai bentuk respons terhadap pluralitas dan kompleksitas institusi yang dihadapinya (Greenwood, Oliver, Lawrence, & Meyer, 2017a; Greenwood dkk., 2011). Dengan memperhatikan perspektif institutional logics, Greenwood dkk. (2011) menawarkan framework yang cukup komprehensif, sebagaimana diulas secara singkat di bawah ini.

Gambar 7.2. Kompleksitas institusi dan respons organisasi Sumber: Greenwood dkk., (2011: 324)

Pertama, tingkat kompleksitas institusional yang dihadapi oleh organisasi ditentukan oleh karakteristik dari institutional pluralism. Kompleksitas institusi tergantung pada jumlah institutional logics atau 171

demands yang terlibat serta tingkat ketidakcocokan antar logics atau demands tersebut. Semakin banyak institutional demands dengan logics yang berbeda, dan saling kontradiktif, semakin kompleks tantangan institutional yang dihadapi organisasi. Jumlah institutional demands atau logics tidak serta-merta menunjukkan kompleksitas karena sejumlah penelitian menunjukkan tidak semua demands atau logics yang berbeda selalu incompatible, bahkan sangat mungkin memiliki kecocokan sehingga dapat dikombinasikan dan menghasilkan organisasi hibrid, praktik campuran, atau identitas kombinatif. Kompleksitas hanya terjadi ketika institutional demands atau logics saling kontradiktif atau conflicting sebagaimana dicontohkan sebelumnya. Greenwood dkk. (2011) menyebutkan bahwa terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai ketidakcocokan antar institutional demands atau logics. Pendekatan yang pertama adalah dengan mengidentifikasi apakah perbedaan yang ada lebih terkait dengan tujuan (goals) atau cara mencapai tujuan (means); perbedaan pada level tujuan (yaitu kontradiksi antara tujuan organisasi dan institutional expectations) memiliki implikasi pertentangan yang lebih tinggi (Pache & Santos, 2010). Pendekatan yang kedua adalah dengan melihat tingkat spesifisitas dari institutional demands; yaitu ketika tatanan kelembagaan hanya menentukan tujuan organisasi, tetapi tidak ketat dalam mengatur cara mencapai tujuan tersebut sehingga intensitas penggunaan diskresi oleh aktor-aktor organisasi cenderung lebih tinggi (Goodrick & Salancik, 1996). Dalam konteks menghadapi multiple demands, ketika institutional demands sama-sama bersifat ketat sehingga tidak ada ruang diskresi bagi aktor-aktor organisasi, maka pertentangan yang dihadapi semakin tinggi. Sebaliknya, ketika salah satu atau lebih dari satu tuntutan bersifat longgar atau ambigu maka tingkat pertentangannya lebih rendah. Kedua, karakteristik dan tingkat kompleksitas kelembagaan yang dihadapi organisasi juga ditentukan oleh karakteristik struktur organizational field, yaitu komunitas organisasi yang menjalankan mekanisme tertentu untuk menghasilkan produk atau bidang layanan tertentu. Karakteristik ini mencakup sejumlah hal. Karakteristik yang pertama terkait dengan tingkat ‘kematangannya’ (mature versus emerging field). Organizational field yang telah ‘matang’ biasanya ditandai oleh adanya sebuah institutional 172

logic yang dominan, atau beberapa logics yang konfigurasinya telah terpetakan dengan baik oleh aktor-aktor internal organisasi sehingga kecenderungan terjadinya conflicting demands atau logics dan respons organisasi terhadapnya relatif stabil dan telah terprediksi. Hal ini berbeda dengan field baru yang cenderung tidak stabil, sering diwarnai ketidakpastian, dan memiliki ambiguitas yang tinggi sehingga organisasi menghadapi kompleksitas yang lebih tinggi. Karakteristik organizational field berikutnya dapat dilihat dari tingkat fragmentasinya, yaitu sedikit atau banyaknya jumlah kelompok di luar organisasi yang memberikan tuntutan terhadap organisasi, contohnya rumah sakit sering kali merepresentasikan benturan kepentingan antara komunitas dokter, asosiasi perawat, badan pengelola asuransi, konsorsium perusahaan obat, dinas kesehatan, lembaga konsumen, dan sebagainya. Semakin tinggi fragmentasi pada tingkat field, semakin tinggi kompleksitas yang dihadapi organisasi. Organizational fields juga dapat dibedakan menurut tingkat formalitas dari institutional demands (formal atau informal). Tekanan yang bersifat formal, yaitu secara jelas dan resmi disampaikan oleh aktor-aktor institusi yang bersifat formal seperti pemerintah, cenderung bersifat lebih membatasi dan terdapat sistem pengawasannya. Sementara itu, tuntutan yang bersifat informal atau kurang formal lebih memberikan keleluasan bagi aktor-aktor organisasi dalam meresponsnya. Karakteristik dari organizational field yang terakhir terkait struktur kekuasaan dari aktoraktor institusional, yaitu apakah lebih atau kurang tersentralisasi. Pada field yang lebih tersentralisasi ditandai oleh adanya sejumlah aktor institusional yang berperan (atau berbagi peran) untuk mengatur secara dominan, terstandardisasi, dan terintegrasi sehingga kompleksitas pada field level dapat diminimalisasi. Sebaliknya, pada field yang kurang tersentralisasi ditandai oleh tidak adanya pengaturan yang bersifat terintegrasi sehingga contradicting institutional demands lebih sering muncul. Ketiga, karakteristik organisasi berperan menentukan bagaimana organisasi mengalami, memaknai, dan merespons institutional demands. Menurut Greenwood dkk. (2011), terdapat empat atribut organisasi yang relevan untuk menjadi filter, yaitu (1) posisi atau status organisasi di organizational field (sebagai central atau peripheral organization; contoh sekolah favorit versus sekolah non-favorit, universitas yang memiliki 173

reputasi nasional versus lokal, dan semacamnya); (2) struktur kekuasan di dalam organisasi, yaitu keseimbangan atau ketidakseimbangan kekuatan dari para pendukung dan penolak institutional demands yang ada di dalam organisasi (Pache & Santos, 2010; 2013); (3) status kepemilikan dan governance (milik pemerintah versus swasta, serta model pengelolaannya); serta (4) organizational identity, yaitu identitas organisasi yang merepresentasikan keberadaannya sebagai bagian dari komunitas organisasi tertentu (King, Felin, & Whetten, 2010) sekaligus membedakannya dengan organisasi-organisasi lain yang berada di komunitas atau bidang yang sama (Gioia, Patvardhan, Hamilton, & Corley, 2013). Greenwood dkk. (2011) secara lengkap me-review peran dari masingmasing karakteristik organisasi tersebut dalam mempengaruhi anggota organisasi dalam memaknai institutional demands atau logics serta memilah dan menentukan bentuk respons organisasi terhadap externally imposed demands tersebut. Terkait posisi atau status organisasi, misalnya, organisasi elite yang menikmati keuntungan dari adanya pengaturan kelembagaan yang berlaku cenderung lebih resisten terhadap perubahan dibandingkan organisasi non-elite yang tidak diuntungkan dari existing (institutionalized) practices (Greenwood & Suddaby, 2006; Marquis, Yin, & Yang, 2017). Terkait dengan organizational identity, keselarasan identitas organisasi dengan institutional demands (identity alignment) menjadi pertimbangan penting bagi pemimpin dan anggota organisasi untuk menolak, menerima, atau bahkan menginisiasi perubahan (Anthony & Tripsas, 2016; Besharov & Brickson, 2016; Raffaelli & Glynn, 2014). Berbeda dengan kebanyakan penelitian empiris yang mengkaji peran karakteristik-karakteristik organisasi sebagai faktor tunggal dan terpisah, penelitian yang dilakukan oleh Utomo (2017) mengkaji sejumlah karakteristik organisasi, khususnya yang terkait dengan empat karakteristik organisasi yang diidentifikasi oleh Greenwood dkk. (2011), sebagai sebuah kombinasi atau konfigurasi yang menentukan respon organisasi terhadap tuntutan eksternal. Dengan menggunakan teknik analisis csQCA (Rihoux & Mour, 2009), Utomo (2017) menunjukkan bahwa tingkat resistensi yang tinggi, atau rendah, terhadap sebuah institutional demand yang dianggap kontroversial ditunjukkan oleh organisasi-organisasi yang memiliki 174

konfigurasi karakteristik tertentu. Hal ini menegaskan bahwa karakteristik organisasi berperan sebagai determinan dalam bentuk konfigurasi, bukan separated attributes seperti yang ditunjukkan oleh sebagian besar penelitian tentang ini. Dalam hal ini, Utomo (2017) menekankan peran penting dari identity-based resistor yang merupakan sebuah composite conditions yang merepresentasikan dua dimensi identitas organisasi, yaitu identity alignment (keselarasan antara identitas organisasi dan tuntutan institusional) dan identity strength (kohesivitas atau fragmentasi persepsi aktor-aktor internal organisasi tentang identitas organisasi). Organisasi yang memiliki strong identity resistor cenderung memiliki tingkat resistensi yang tinggi terhadap tuntutan institusional yang mendorong sebuah perubahan, sedangkan organisasi dengan weak identity resistor cenderung menunjukkan resistensi yang rendah. Bentuk respons organisasi terhadap institutional demands dapat berbentuk strategi ataupun stuktur organisasi. Oliver (1991) memaparkan lima kategori strategi berdasarkan tingkat resistensinya, mulai dari compliance (non-resistance), compromise (low-level resistance), avoidance (moderate level), defiance (high level), hingga manipulation (very high level). Kraatz dan Block (2008) juga membuat kategori strategi yang memungkinkan untuk dilakukan oleh organisasi ketika menghadapi multiple demands yang sering kali kontradiktif, yaitu (1) mengurangi kompleksitas pertentangan yang ada dengan menolak atau meminggirkan salah satu tuntutan yang tidak diharapkan; (2) menyeimbangkan berbagai tuntutan yang kontradiktif dengan lebih memperhatikan keterkaitan di antara aspek-aspek yang dianggap masih selaras; (3) membebaskan diri dari tuntutan institutional yang kontradiktif, dan bahkan membangun sebuah identitas organisasi yang berbeda dari tuntutan-tuntutan institusional yang ada; serta (4) mengadopsi secara selektif sejumlah aspek dari setiap tuntutan institutional kemudian ‘menempatkan’ aspek-aspek tersebut pada ‘kompartemen’ atau bagian-bagian organisasi yang berbeda. Contoh dari penggunaan strategi compartmentalization adalah adanya dua bagian dari perusahaan yang menjalankan misi yang saling kontradiktif. Sebuah bagian organisasi menjalankan misi yang selaras dengan sebuah institutional logic, misalnya divisi khusus untuk memperluas area pertambangan dalam rangka meningkatkan profit. Pada saat yang 175

sama bagian lainnya juga dibentuk sebagai representasi dari kepatuhan organisasi terhadap tuntutan kelembagaan lainnya yang sebetulnya tidak cocok dengan misi yang diemban oleh bagian yang pertama tadi, misalnya divisi yang mengelola program-program CSR yang salah satunya bertugas menunjukkan komitmen perusahaan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, banyak yang mengidentikkan strategi keempat yang disampaikan oleh Kraat dan Block (2008) tersebut dengan strategi decoupling, yaitu secara simbolis atau ceremonial menunjukkan kepatuhan terhadap sebuah tuntutan kelembagaan (misalnya, yang mewajibkan perusahaan untuk melestarikan lingkungan) tanpa menjalankannya secara serius dan konsisten (Boxenbaum & Jonsson, 2017; Bromley & Powell, 2012). Cukup banyak penelitian terkini yang ditujukan untuk mengidentifikasi strategi-strategi lain yang diadopsi oleh organisasi ketika menghadapi kompleksitas dan kontradiksi kelembagaan (Bertels & Lawrence, 2016; R. E. Meyer & Höllerer, 2016; Misangyi, 2016). Utomo (2019) memberikan contoh empiris dari penggunaan perception management sebagai strategi yang diadopsi oleh organisasi untuk merespon intra-institutional contradiction, khususnya untuk menolak institutional demand yang dianggap kontroversial. Inti dari strategi ini adalah pada organizational identity expression yang ditujukan untuk menarik minat outsiders, seperti calon siswa atau calon pekerja yang memiliki kesesuaian dengan identitas organisasi untuk bergabung dengan organisasi sehingga dapat memperkuat identitas organisasi tersebut. Namun, pada saat yang sama, ekspresi identitas tersebut juga secara sengaja ditujukan untuk menciptakan keengganan bagi outsiders yang tidak diharapkan oleh organisasi untuk bergabung, yaitu orang-orang yang dianggap tidak sesuai dengan identitas organsiasi atau yang dapat ‘membahayakan’ identitas organisasi. Berbeda dengan strategi membangun identitas organisasi yang terbebas dari tuntutan kelembagaan yang ada sebagaimana disebutkan oleh Kraatz dan Block (2008), strategi mengelola persepsi publik ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa identitas organisasi selaras dengan salah satu tuntutan institusional (one side of conflicting institutional demands). Meskipun organisasi tidak mengeliminasi kompleksitas dengan mengabaikan tuntutan institusional yang dianggap kontroversial (Kraatz 176

dan Block, 2008), menurut Utomo (2019) strategi mengelola persepsi dapat ditambahkan sebagai taktik alternatif pada strategi resistensi tingkat tinggi yang disebutkan oleh Oliver (1991). Alasan utama yang mendasarinya adalah karena penggunaannya yang secara tidak langsung, tetapi sengaja ditujukan untuk menolak tuntutan institusi yang dianggap kontroversial. Selain mengkaji strategi organisasi sebagai bentuk respons, sebagian penelitian lainnya tentang organizational responses to institutional complexity lebih memperhatikan penyesuaian struktur organisasi sebagai reaksi juga terhadap tuntutan institusional yang dianggap ambigu, kompleks, dan sering kali kontradiktif. Penelitian tentang struktur organisasi ini terutama untuk mengetahui bagaimana multiple institutional demands bahkan yang saling kontradiktif mempengaruhi struktur dan praktik organisasi. Dalam hal ini, hybrid organizations merupakan bentuk organisasi yang semakin lazim ditemukan sebagai organisasi yang memiliki struktur dan praktik yang yang merepresentasikan tuntutan atau logika institutisional yang beragam dan kontradiktif (Battilana, Besharov, & Mitzinneck, 2017; Battilana & Lee, 2014). Variasi bentuk organisasi hibrida ini mencakup ‘blended’ hybrids, yaitu transformasi organisasi sebagai hasil dari percampuran atau kombinasi praktik-praktik yang merupakan manifestasi dari institutional demands atau logics yang beragam, dan ‘structurally differentiated’ hybrids, yaitu pemisahan atau compartmentalizing subunit-subunit di dalam organisasi yang merepresentasikan tuntutan atau logika institusional yang berbeda sehingga menganut norma-norma dan menjalankan praktikpraktik yang berbeda (Greenwood dkk., 2011). Peran dan hubungan timbal balik antara aktor-aktor internal organisasi dan eksternal (organizational field level), dinamika, dan konsekuensi dari organisasi hibrida ini menjadi fokus perhatian terkini dari para peneliti organisasi yang menggunakan perspektif institutional theory. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, berbeda dengan pandangan new institutionalism yang lebih banyak melihat pengaruh makro struktural (bagaimana institutional expectations mempengaruhi perilaku organisasi dan orang-orang di dalamnya), perspektif yang lebih baru dari organizational institutionalism memberikan kerangka analisis yang bersifat multilevel, yaitu keterkaitan antara level makro, meso, dan mikro. Pendekatan ini memungkinkan untuk melihat pengaruh timbal balik antarlevel tersebut, 177

termasuk bagaimana efek dari respons organisasi terhadap perubahan pada level organizational population atau field dan juga terhadap institutional pluralism. Misalnya, pengkajian terhadap kasus-kasus yang relevan, seperti perubahan nama departemen di perguruan tinggi yang mengikuti perubahan fokus keilmuan (seperti yang dilakukan oleh DMKP-UGM), penting untuk dilakukan terutama untuk mengetahui pengaruhnya terhadap komunitas penyelenggara pendidikan tinggi di bidang administrasi publik di Indonesia dan sistem akreditasi yang dijalankan oleh pemerintah. Dalam hal ini, peran karakteristik organisasi, seperti status (organisasi elite atau non-elite) dan identitas (identity strenght), menarik untuk dilihat dalam mengkaji efek balik dari organisasi terhadap lingkungan eksternalnya.

Peluang Pengembangan Organizational Institutionalism di MKP Ilmuwan dan mahasiswa administrasi publik, termasuk yang memiliki keyakinan bahwa manajemen dan kebijakan publik merupakan fokus terkini dari studi administrasi publik, memiliki peluang besar untuk berkontribusi dalam pengembangan studi organisasi, tanpa harus berpaling dari kajian administrasi publik kontemporer. Perspektif organizational institutionalism relevan dengan kebutuhan public administrationists untuk mengkaji isu-isu kontemporer seperti reformasi di sektor publik dan collaborative governance, yang merupakan fenomena multidimensi yang perlu dikaji dengan pendekatan analisis yang multilevel. Perspektif organizational institutionalism dapat digunakan untuk mempertajam theoretical contributions dari ilmuwan administrasi publik yang selama ini memiliki perhatian besar terhadap praktik reformasi di sektor publik. Desain perubahan yang dianggap ideal untuk diberlakukan pada organisasi-organisasi di sektor publik di banyak negara, termasuk Indonesia, merupakan manifestasi dari sebuah institutional logic yang terbungkus dalam gagasan new public management (NPM) dan reinventing government (Osborne & Gaebler, 1992; Osborne & Plastrik, 1997). Esensi dari logic ini adalah organisasi publik dapat menjadi lebih baik dalam menjalankan perannya ketika mengadopsi nilai-nilai yang dianut dan praktik-praktik yang diterapkan oleh organisasi bisnis, seperti pengurangan peran pemerintah sebagai penyedia layanan, memperbaiki 178

pelayanan melalui kompetisi antar penyedia layanan, memperhatikan kepentingan pengguna layanan, berorientasi pada hasil, misi sebagai penggerak organisasi, serta pelayanan yang menghasilkan daripada menghabiskan sumber daya (enterprising government). NPM-inspired reforms telah menjadi agenda formal pemerintah di banyak negara (Ferlie & Steane, 2002; Pollitt & Bouckaert, 2017; Sarker, 2006). Di tengah berjalannya agenda reformasi, yang diwarnai dengan sejumlah perubahan yang masih lebih banyak bersifat seremonial, gagasan new public service (NPS) yang merupakan kritik terhadap NPM hadir dengan memberikan alternatif desain perubahan yang diklaim lebih sesuai untuk sektor publik (J. V. Denhardt & Denhardt, 2015; R. B. Denhardt & Denhardt, 2000; 2003). Keduanya kemudian menjadi semacam contradicting institutional logics dalam agenda reformasi di sektor publik, meskipun NPM cenderung lebih dominan. Keberadaan dari existing practices, nilai-nilai traditional bureaucracy, maupun gagasan-gagasan yang diklaim sebagai indigenous public administrations menambah kompleksitas dan kontradiksi dari multiple logics yang mewarnai jalannya reformasi di sektor publik. Dengan situasi dan kondisi yang demikian, dan mempertimbangkan aspek-aspek penting yang selama ini menjadi fokus dari organizational institutionalism, maka sejumlah pertanyaan berikut ini dapat menjadi arah kajian yang mengkombinasikan perhatian dari kedua research streams. a.

Bagaimana organisasi-organisasi penyelenggara pemerintahan (kementerian atau pemerintah daerah) merespons conflicting institutional logics (state vs market logics) yang termanifestasi dalam agenda reformasi birokrasi yang didorong oleh pemerintah (NPM-inspired reform)? Bagaimana kepatuhan (compliance) dan resistensi dengan berbagai strategi dan tingkatannya diperlihatkan oleh organisasi-organisasi tersebut dalam merespons dorongan untuk melakukan perubahan? b. Mengapa tingkat keberhasilan antarkementerian atau antarpemerintah daerah dalam melakukan reformasi birokrasi, atau dalam menerapkan inovasi penyelenggaraan pemerintahan, sangat bervariasi? Mengapa restrukturisasi dan pemangkasan birokrasi yang telah banyak dilakukan tidak selalu diikuti oleh perbaikan kualitas pelayanan? Apakah restrukturisasi dan sejumlah perubahan 179

yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai strategi decoupling atau symbolic compliance? c. Bagaimana (atau sejauh mana) karakteristik organizational fields atau dalam hal ini bisa diartikan sebagai bidang-bidang pelayanan atau penugasan (pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, hukum, keuangan, keamanan, keagamaan, dan sebagainya) menentukan perbedaan proses dan hasil reformasi? d. Bagaimana atribut dan dinamika internal organisasi (seperti besaran organisasi dan kewenangan, status, struktur, organizational identity, power balance, dan peta konflik internal) mempengaruhi keberhasilan ataupun kegagalan organisasi-organisasi penyelenggara pemerintahan dalam melakukan perubahan? Bagaimana peran organizational perceptions (identity, image, dan reputation) dari setiap organisasi penyelenggara pemerintahan dalam melakukan, atau menghindari, perubahan yang diharapkan dalam reformasi birokrasi? e. Sejauh mana keberadaan contoh-contoh keberhasilan dari sejumlah organisasi penyelenggara pemerintahan dalam melakukan perubahan (best practices) mendorong terjadinya penyebaran inovasi atau perubahan serupa pada organisasi-organisasi yang memiliki bidang penugasan yang sama? Bagaimana pengaruh dari best practices tersebut terhadap penyesuaian agenda reformasi di tingkat nasional (institution) dan perubahan yang berlangsung di organisasi-organisasi yang memiliki bidang penugasan serupa (organizational population/field)? Apabila difusi atau penyebaran inovasi dan perubahan tidak terjadi, atau keberadaan best practices tidak berpengaruh, apa yang menjadi penyebabnya? Topik penelitian mainstream lainnya di administrasi publik adalah collaborative governance dengan berbagai variasinya, seperti network governance, public-private partnership, dan sebagainya (Emerson & Nabatchi, 2015; Forrer, Kee, & Boyer, 2014; Klijn & Koppenjan, 2015). Pada intinya, manifestasi dari model tata kelola ini berupa pengorganisasian yang melibatkan banyak aktor dari (tipe) organisasi yang berbeda dan yang sering kali memiliki nilai-nilai dan norma yang tidak selaras, bahkan 180

berasal dari institutional orders yang berlainan. Karena merepresentasikan institutional pluralism dan complexity, model pengorganisasian seperti ini sangat relevan untuk dieksplorasi dengan menggunakan perspektif organizational institutionalism. Sejumlah pertanyaan dapat menjadi panduan dalam penelitian, misalnya: a. Bagaimana aktor-aktor dari unsur yang berbeda dan memiliki logics yang berlainan berkolaborasi dan mengelola conflicting institutional logics selama bekerja sama dalam mengembangkan inovasi pelayanan publik (misalnya, antara aktor dari perguruan tinggi, perusahaan, dan pemerintah dalam melakukan kerja sama triple helix untuk pengembangan inovasi pelayanan publik)? Bagaimana pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam pengembangan, sekaligus keberlanjutan, dari inovasi pelayanan yang dikelolanya? b. Bagaimana hybrid organizations terbangun dari kolaborasi penanganan krisis dan bencana (misalnya, dalam kasus penanggulangan pandemi COVID-19 yang melibatkan upaya-upaya pengendalian wabah penyakit di satu sisi, tetapi juga penyelamatan kondisi perekonomian di sisi lain)? Bagaimana contradicting logics mempengaruhi dinamika proses penentuan dan substansi kebijakan nasional penanggulangan pandemi COVID-19, serta dalam implementasinya di tingkat daerah yang melibatkan aktor-aktor dari sektor yang berbeda (kesehatan, keamanan, dan ekonomi)? c. Apa kesamaan dan perbedaan (convergence and divergence) yang terjadi dalam praktik-praktik collaborative governance, misalnya dalam kasus penanggulangan bencana, pengembangan inovasi pelayanan, ataupun kasus-kasus kerjasama lainnya? Bagaimana karakteristik institutional demands (institution-level determinants), karakteristik tujuan kolaborasi atau kompleksitas permasalahan yang ditangani (field-level determinants), dan atribut organisasi (organization-level determinants) berpengaruh terhadap terjadinya kesamaan dan perbedaan tersebut? d. Bagaimana penggunaan diskresi dalam praktik-praktik collaborative governance? Apakah karakteristik aktor-aktor yang berkolaborasi (organisasi ataupun personel) menentukan perbedaan dalam

181

penggunaan diskresi, dan bagaimana pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan kolaborasi? Secara umum, dua contoh di atas menunjukkan bahwa aspek-aspek yang menjadi perhatian institutionalists dalam studi organisasi sangat relevan dengan kajian manajemen dan kebijakan publik. Pendekatan analisis yang bersifat multilevel dan multidimensi dalam mengkaji pengaruh timbal balik antara institusi dan organisasi juga sangat cocok dengan kebutuhan ilmuwan dan mahasiswa administrasi publik untuk mengkaji pengelolaan masalah-masalah publik yang semakin kompleks.

Penutup Bab ini me-review perkembangan studi organisasi, yang pada awalnya sangat dekat dengan studi administrasi publik, tetapi pada akhirnya berkembang secara terpisah dan publikasinya saat ini didominasi oleh management scholars dari business schools dan sociology researchers. Organizational institutionalism, yang saat ini menjadi teori dan pendekatan yang dominan dalam studi organisasi, sangat strategis untuk dimanfaatkan dalam membangun kembali relevansi studi organisasi dalam kajian manajemen dan kebijakan publik, yang merupakan state of the art dari ilmu administrasi publik. Hal ini dapat dilakukan oleh ilmuwan dan mahasiswa administrasi publik, kebijakan publik, atau manajemen publik dengan cara mengkombinasikan fokus studi administrasi publik dan studi organisasi. Dalam meneliti isu-isu kontemporer administrasi publik, mereka dapat mengkaji aspek-aspek yang selama ini menjadi perhatian institutionalists dalam studi organisasi. Selain untuk merevitalisasi studi organisasi dalam manajemen dan kebijakan publik, keterlibatan ilmuwan dan mahasiswa administrasi publik di dalam arena diskusi dan perdebatan organizational institutionalism dapat menstimulus mereka untuk memperkuat orientasi ‘pengkayaan teori’ (theoretical contributions) dengan memanfaatkan keunggulan atau ‘tradisi’ studi manajemen dan kebijakan publik yang selama ini lebih menekankan practical contributions.

182

Daftar Pustaka Anthony, C., dan M. Tripsas. 2016. “Organizational Identity and Innovation. In M. G. Pratt, M. Schultz, B. E. Ashforth, & D. Ravasi (Eds.), The Oxford Handbook of Organizational Identity (hal. 417–435). Oxford: Oxford University Press. Arellano-Gault, D., D. Demortain, C. Rouillard, & J. C.Thoenig. 2013. “Bringing Public Organization and Organizing Back In”. Organization Studies, 34(2), hal. 145–167. Ashworth, R., G.Boyne, & R. Delbridge. 2009. “Escape from the Iron Cage? Organizational Change and Isomorphic Pressures in the Public Sector”. Journal of Public Administration Research and Theory, 19(1), hal. 165–187. Battilana, J., M. Besharov, & B. Mitzinneck. 2017. “On Hybrids and Hybrid Organizing: A Review and Roadmap for Future Research”. In R. Greenwood, C. Oliver, T. B. Lawrence, & R. E. Meyer (Eds.), The SAGE Handbook of Organizational Institutionalism (2nd Edition) (hal. 133–169). London: Sage Publication. Battilana, J., & M. Lee. 2014. “Advancing Research On Hybrid Organizing– Insights From The Study Of Social Enterprises”. The Academy of Management Annals, 8(1), hal. 397–441. Bertels, S., & T. B. Lawrence. 2016. “Organizational Responses To Institutional Complexity Stemming From Emerging Logics: The Role Of Individuals”. Strategic Organization, 14(4), hal. 336–372. Besharov, M. L., & S. L. Brickson. 2016. “Organizational Identity And Institutional Forces: Toward An Integrative Framework”. In M. G. Pratt, M. Schultz, B. E. Ashforth, & D. Ravasi (Eds.), The Oxford Handbook of Organizational Identity (hal. 396–414). Oxford: Oxford University Press. Blau, P. M. 1955. The Dynamics of Bureaucracy: A Study of Interpersonal Relations in Two Government Agencies. Chicago: Chicago University Press. Boxenbaum, E., & S. Jonsson. 2017. “Isomorphism, Diffusion and Decoupling: Concept Evolutions and Theoretical Challenges”. In R. Greenwood, C. Oliver, T. B. Lawrence, & R. E. Meyer (Eds.). The

183

SAGE Handbook of Organizational Institutionalism (2nd Edition). (hal. 79–104). London: Sage Publication. Bozeman, B. 1993. “Theory, “Wisdom,” and the Character of Knowledge in Public Management: A Critical View of the Theory-Practice Linkage”. In B. Bozeman (Ed.). Public Management: The State of the Art (hal. 27–39). San Francisco: Jossey-Bass. Bromley, P., & W. W. Powell. 2012. “From Smoke and Mirrors to Walking the Talk: Decoupling in the Contemporary World”. The Academy of Management Annals, 6(1), hal. 483–530. Cropper, S., M. Ebers, C.Huxham, & P. S. Ring. 2008. “Introducing InterOrganizational Relations”. In S. Cropper, M. Ebers, C. Huxham, & P. S. Ring (Eds.). The Oxford Handbook of Inter-Organizational Relations (hal. 3–30). Oxford: Oxford University Press. Denhardt, J. V., & R. B. Denhardt. 2015. “The New Public Service Revisited”. Public Administration Review, 75(5), hal. 664–672. Denhardt, R. B., & J. V. Denhardt. 2000. “The New Public Service: Serving Rather Than Steering”. Public Administration Review, 60(6), hal. 549–559. Denhardt, R. B., & Denhardt. 2003. “The New Public Service: An Approach To Reform”. International Review of Public Administration, 8(1), hal. 3–10. DiMaggio, P. J., & W. W. Powell. 1983. “The Iron Cage Revisited: Institutional Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields”. American Sociological Review, 48(2), hal. 147–160. Emerson, K., & T. Nabatchi. 2015. Collaborative Governance Regimes. Washington: Georgetown University Press. Ferlie, E., & P. Steane. 2002. “Changing Developments in NPM”. International Journal of Public Administration, 25(12), hal. 1459–1469. Forrer, J., J. J. Kee, & E. Boyer. 2014. Governing Cross-sector Collaboration. San Francisco: John Wiley & Sons. Frederickson, H. G., K. B. Smith, C. W. Larimer, & M. J. Licari. 2012. The Public Administration Theory Primer. Boulder, Colorado: Westview Press.

184

Friedland, R., & R. Alford. 1991. “Bringing Society Back In: Symbols, Practices and Institutional Contradictions”. In W. Powell & P. Dimaggio (Eds.). The New Institutionalism in Organizational Analysis (hal. 232–263). Chicago and London: University of Chicago Press. Gioia, D. A., S. D. Patvardhan, A. L.Hamilton, & K. G. Corley. 2013. “Organizational Identity Formation and Change”. The Academy of Management Annals, 7(1), hal. 123–193. Goodrick, E., & G. R. Salancik. 1996. “Organizational Discretion in Responding to Institutional Practices: Hospitals and Cesarean Births”. Administrative Science Quarterly, 41(1), hal. 1–28. Greenwood, R., C. Oliver, T. B. Lawrence, & Meyer. 2017a. “Introduction: Into the Fourth Decade”. In R. Greenwood, C. Oliver, T. B. Lawrence, & R. E. Meyer (Eds.). The SAGE Handbook of Organizational Institutionalism. (2nd Edition). London: Sage Publication. Greenwood, R., C. Oliver, T. B. Lawrence, & Meyer. 2017b. The SAGE Handbook of Organizational Institutionalism. (2nd Edition). London: Sage Publication. Greenwood, R., C. Oliver, K. Sahlin, & R. Suddaby. 2008. “Introduction”. In R. Greenwood, C. Oliver, K. Sahlin, & R. Suddaby. (Eds.). The Sage Handbook of Organizational Institutionalism (hal. 1–46). Los Angeles, London, New Delhi, Singapore: Sage Publications. Greenwood, R., M. Raynard, F.Kodeih, E. R. Micelotta, & M. Lounsbury. 2011. “Institutional Complexity and Organizational Responses”. Academy of Management Annals, 5(1), hal. 317–371. Greenwood, R., & R. Suddaby. 2006. “Institutional Entrepreneurship in Mature Fields: The Big Five Accounting Firms”. The Academy of Management Journal, 49(1), hal. 27–48. Gulick, L. H., & L. Urwick. 1937. Papers on the Science of Administration. New York: Institute of Public Administration. Hall, P. A., & R. C. R. Taylor. 1996. “Political Science and The Three New Institutionalisms”. Political Studies, 44(5), hal. 936–957.

185

Jackall, R. 1988. “Moral Mazes: The World of Corporate Managers”. International Journal of Politics, Culture, and Society, 1(4), hal. 598–614. Johansen, C. B., & S. B.Waldorff. 2017. “What are Institutional Logics–and Where is the Perspective Taking Us?”. In G. Krücken, C. Mazza, R. E. Meyer, & P. Walgenbach. New Themes in Institutional Analysis; Topics and Issues from European Research (hal. 51–76). Cheltenham: Edward Elgar Publishing. Johnsen, T. E., R. C. Lamming, & C. M. Harland. 2008. “Inter‐Organizational Relationships, Chains, and Networks: a Supply Perspective”. In S. Cropper, M. Ebers, C. Huxham, & P. S. Ring (Eds.). The Oxford Handbook of Inter-Organizational Relations (hal. 61–89). Oxford: Oxford University Press. Keban, Y. T. 2014. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik; Konsep, Teori, dan IsuI. (Edisi Ketiga). Yogyakarta: Gava Media. Kelman, S. 2008. “Public Administration and Organization Studies”. In A. P. Brief & J. P. Walsh (Eds.). The Academy of Management Annals (Volume 1) (hal. 225–267). New York: Lawrence Erlbaum Associates. King, B. G., T. Felin, & D. A. Whetten. 2010. “Finding The Organization In Organizational Theory: A Meta-Theory Of The Organization As A Social Actor”. Organization Science, 21(1), hal. 290–305. Klijn, E.-H. 2008. “Policy and Implementation Networks: Managing Complex Interactions”. In S. Cropper, M. Ebers, C. Huxham, & P. S. Ring (Eds.). The Oxford Handbook of Inter-Organizational Relations (hal. 118–146). Oxford: Oxford University Press. Klijn, E.-H., & J. Koppenjan. 2015. Governance Networks in the Public Sector. London: Routledge. Kraatz, M. S., & Block. 2008. “Organizational Implications of Institutional Pluralism”. In R. Greenwood, C. Oliver, K. Sahlin, & R. Suddaby (Eds.). The Sage handbook of organizational institutionalism. Los Angeles: Sage. Kraatz, M. S., & Block. 2017. “Institutional Pluralism Revisited”. In R. Greenwood, C. Oliver, T. B. Lawrence, & R. E. Meyer (Eds.). The

186

Sage Handbook of Organizational Institutionalism. (2nd Edition) (hal. 532–557). London: Sage Publication. Marquis, C., J. Yin, & D. Yang. 2017. “State-Mediated Globalization Processes and The Adoption of Corporate Social Responsibility Reporting in China”. Management and Organization Review, 13(1), hal. 167–191. Merton, R. K. 1952. Reader in Bureaucracy. Glencoe, IL: Free Press. Meyer, J. W., & B. Rowan. 1977. “Institutionalized Organizations: Formal Structure as Myth and Ceremony”. American Journal of Sociology, 83(2), hal. 340–363. Meyer, R. E., & Höllerer. 2016. “Laying a Smoke Screen: Ambiguity And Neutralization As Strategic Responses To Intra-Institutional Complexity”. Strategic Organization, 14(4), hal. 373 –406. Misangyi, V. F. 2016. “Institutional Complexity And The Meaning Of Loose Coupling: Connecting Institutional Sayings And (Not) Doings”. Strategic Organization, 14(4), hal. 407–440. Ocasio, W., P. H. Thornton, & M. Lounsbury. 2017. “Advances to the Institutional Logics Perspective”. In R. Greenwood, C. Oliver, T. B. Lawrence, & R. E. Meyer (Eds.). The Sage Handbook of Organizational Institutionalism. (2nd Edition) (hal. 509–531). London: SAGE Publications. Oliver, C. 1991. “Strategic Responses to Institutional Processes”. The Academy of Management Review, 16(1), hal. 145–179. Osborne, D., & T. Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Reading, MA: Addison-Wesley. Osborne, D., & P. Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government. Reading, MA: AddisonWesley. Pache, A.-C., & F. Santos. 2010. “When Worlds Collide: The Internal Dynamics Of Organizational Responses To Conflicting Institutional Demands”. Academy of Management Review, 35(3), hal. 455–476. Pache, A.-C., & F. Santos. 2013. “Embedded in Hybrid Contexts: How Individuals in Organizations respond to Competing Institutional Logics”. In M. Lounsbury & E. Boxenbaum (Eds.). 187

Institutional Logics in Action, Part B; Research in the Sociology of Organizations, Volume 39 (hal. 3–35). Bingley: Emerald Group Publishing Limited. Pollitt, C., & G. Bouckaert. 2017. Public Management Reform: A Comparative Analysis-into the Age of Austerity. Oxford: Oxford University Press. Raffaelli, R., & M. A. Glynn. 2014. “Turnkey or Tailored? Relational Pluralism, Institutional Complexity, And The Organizational Adoption Of More Or Less Customized Practices”. Academy of Management Journal, 57(2), hal. 541–562. Reid, M. F., & S. Yang. 2018. “Organizational Institutionalism”. In A. Farazmand (Ed.). Global Encyclopedia of Public Administration, Public Policy, and Governance (pp. 4361–4368). Cham, Switzerland: Springer International Publishing. Rihoux, B., & G. D. Mour. 2009. “Crisp-Set Qualitative Comparative Analysis (CS-QCA)”. In B. Rihoux & C. C. Ragin (Eds.). Configurational Comparative Methods: Comparative Qualitative Analysis and Related Techniques (hal. 33–68). Thousand Oaks, CA: Sage. Sandfort, J., & Milward. 2008. “Collaborative Service Provision in the Public Sector”. In S. Cropper, M. Ebers, C. Huxham, & P. S. Ring (Eds.). The Oxford Handbook of Inter-Organizational Relations (hal. 147–174). Oxford: Oxford University Press. Sarker, A. E. 2006. “New Public Management In Developing Countries: An Analysis Of Success And Failure With Particular Reference to Singapore and Bangladesh”. International Journal of Public Sector Management, 19(2), hal. 180–203. Scott, W. R. 2014. Institutions and Organizations: Ideas, Interests, and Identities. (Fourth Edition). London: Sage Publication. Selznick, P. 1948. “Foundations of the Theory of Organization”. American Sociological Review, 13(1), hal. 25–35. Selznick, P. 1953. TVA and the Grass Roots: A Study in the Sociology of Formal Organization. Berkeley: University of California Press. Simon, H. A. 1947. Administrative Behavior: A Study of Decision-making Processes in Administrative Organization. New York: Macmillan. 188

Thoha, M. 2017. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: Prenada Media Group. Thornton, P. H., & W. Ocasio. 1999. “Institutional Logics And The Historical Contingency Of Power In Organizations: Executive Succession In The Higher Education Publishing Industry, 1958– 1990”. American Journal of Sociology, 105(3), hal. 801–843. Thornton, P. H., & W. Ocasio. 2008. “Institutional Logics”. In R. Greenwood, C. Oliver, K. Sahlin, & R. Suddaby (Eds.). The Sage handbook of organizational institutionalism (hal. 99–129). Los Angeles, London, New Delhi, Singapore: Sage Publications. Thornton, P. H., W. Ocasio, & M. Lounsbury. 2012. The Institutional Logics Perspective: A New Approach to Culture, Structure, and Process. Oxford: Oxford University Press. Tolbert, P. S., & L. G. Zucker. 1983. “Institutional Sources of Change in the Formal Structure of Organizations: The Diffusion of Civil Service Reform, 1880-1935”. Administrative Science Quarterly, 28(1), hal. 22–39. Utomo, P. P. 2017. “More Or Less Resistance? Assessing The Role Of Organizational Attributes In The Adoption Of Controversial Institutional Demand”. Paper Presented at the Annual Conference of European Group for Public Administration (EGPA), School of Management, Politecnico, Milan, Italy. Utomo, P. P. 2018. “Convergence And Divergence Of Resistance Strategies: The Role Of Stereotypical Isomorphism”. Paper Presented at the Annual Conference of European Group for Organization Studies (EGOS), Estonian Business School, Tallin, Estonia. Utomo, P. P. 2019. “Attracting But Blocking As Well: Identity-Based Response To Institutional Complexity”. Paper presented at the 15th New Institutionalism Workshop, Department of Business Studies, Uppsala University, Swedia. Vogel, R. 2014. “What Happened To The Public Organization? A Bibliometric Analysis Of Public Administration And Organization Studies”. The American Review of Public Administration, 44(4), hal. 383–408.

189

Weber, M. 1921/1978. Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Berkeley: University of California Press. Wilson, W. 1887. “The Study of Administration”. Political Science Quarterly, 2(2), hal. 197–222. Yu, K.-H. 2015. “Institutional Pluralism, Organizations, And Actors: A Review”. Sociology Compass, 9(6), hal. 464–476.

190

BAB VIII

BEHAVIORAL PUBLIC ADMINISTRATION: PEMBELAJARAN DARI BIDANG KAJIAN PERILAKU ORGANISASIONAL

Ely Susanto

Pendahuluan Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak fenomena di organisasi sektor publik yang menarik, tetapi terkadang sulit dipahami. Salah satunya adalah memahami perilaku pemimpin dan pegawai. Kita mungkin pernah mendengar dan atau menjumpai pemimpin yang sangat reaktif dalam mengambil keputusan sementara pemimpin lain sangat proaktif dalam mengambil keputusan, meskipun mereka pernah mengikuti DIKLATPIM yang sama. Kita mungkin juga pernah mendengar dan atau menjumpai pemimpin yang sangat jujur dan memiliki integritas bagus, tetapi ada juga pemimpin yang tidak memiliki keduanya atau hanya memiliki satu saja, meskipun mereka tumbuh dan besar di organisasi yang sama. Di level pegawai, kita mungkin pernah bertemu dengan pegawai yang sangat ramah, tetapi ada juga pegawai yang kurang ramah meski tes masuk PNS-nya sama dan mereka berasal dari universitas yang sama. Di tempat lain, mungkin kita pernah bertemu dengan pegawai yang penuh semangat dan memiliki kinerja pelayanan yang bagus, tetapi ada pegawai yang

191

selalu murung dan kurang semangat dalam bekerja, meskipun mereka mendapatkan tunjangan kinerja yang sama. Fenomena-fenomena tersebut kemudian mengerucut pada pertanyaan mengapa perilaku mereka bisa berbeda, meskipun mereka berada dalam organisasi yang sama, berasal dari universitas yang sama atau mendapatkan insentif yang sama? Apa implikasi dari perilaku tersebut terhadap kualitas kebijakan dan kualitas layanan kepada masyarakat jika fenomena tersebut tidak diintervensi dan dikelola? Bagaimana cara agar perilaku mereka bisa sesuai dengan apa yang diinginkan oleh organisasi birokrasi? Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah menggunakan pendekatan-pendekatan yang dikembangkan di bidang keperilakuan (psikologi) (Grimmelikhuijsen dkk., 2017). Sayangnya, kajian keperilakuan di bidang administrasi publik belum berkembang secara baik, meskipun ide ini sudah lama disampaikan oleh Herbert Simon dan Dwight Waldo (Grimmelikhuijsen dkk., 2017). Pendekatan ini mulai menarik minat peneliti di bidang administrasi publik setelah Grimmelikhuijsen dkk. (2017) mempublikasikan karya yang cukup provokatif, yang dimuat di Public Administration Review, dengan judul “Behavioral Public Administration: Combining insight from Public Administration dan Psychology”. Dalam artikel tersebut, Grimmelikhuijsen dkk. (2017) menawarkan konsep yang kemudian dikenal dengan Behavioral Public Administration atau disingkat BPA. Tulisan tersebut kemudian menggugah ahli lain untuk mendalami kajian BPA sekaligus memunculkan beberapa aktivitas forum ilmiah misalnya, simposium yang membahas BPA yang disponsori Public Aministration Review (Battaglio dan Hall, 2019) dan jurnal internasional Journal of Behavioral Public Administraton (https://journal-bpa.org/ index.php/jbpa). Contoh lain, dalam editorialnya, Public Administration Review sebagai salah satu jurnal terkemuka di administrasi publik, juga mendorong penguatan penggunaan pendekatan keperilakuan untuk memahami proses pengambilan keputusan termasuk di dalamnya adalah penggunaan metode eksperimen (Battaglio dan Hall, 2020). Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Battaglio dkk. (2019) yang menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan di sektor publik tidak mudah dan membutuhkan pendekatan keperilakuan untuk mengurai dan 192

memahami proses tersebut. Masih di tahun 2020, George (2020) menulis makalah konseptual yang menjelaskan peran ilmu keperilakuan dalam memahami bagaimana pengambil kebijakan membuat keputusan strategis yang bisa meningkatkan kinerja organisasi. Secara konseptual, esensi BPA adalah penggunaan pendekatan behavioural sciences yang didasarkan pada kajian psikologi dan behavioural economic ke dalam kajian bidang administrasi publik (Carrigan dkk., 2020; Grimmelikhuijsen dkk., 2017;). Secara lebih rinci Sunstein (2020) menjelaskan bahwa behavioural sciences merupakan kombinasi dari cognitive psychology, social psychology, dan behavioural economic. BPA berusaha memahami fenomena administrasi publik dari kacamata mikro, yaitu individu atau tim dalam lingkungan birokrasi maupun masyarakat (Grimmelikhuijsen dkk., 2017). Pendekatan ini setidaknya bisa memberikan warna terhadap perkembangan administrasi publik, khususnya dalam mehamami aspek mikro dari fenomena administrasi publik dan praktikalitas seperti yang dijelaskan oleh Tummers (2020). Sebagai bidang kajian baru, BPA memiliki ruang terbuka bagi siapapun untuk mendiskusikan dan memberikan masukan agar BPA semakin kokoh sebagai subbidang kajian administrasi publik, sejajar dengan subbidang kajian lain yang sudah lama ada. Artikel Bertelli & Riccucci (2020), misalnya memberikan catatan dan masukan terkait dengan adopsi metode eksperimen ke dalam kajian BPA, sedangkan Moynihan (2018) memberikan catatatan terkait dengan peluang pengabaian topik makro yang sudah menjadi tradisi di kajian bidang administrasi publik (AP) oleh BPA, seperti dalam pernyataan berikut: “as a field, public administration has always studied people, organizations, and institutions, and of late we have expanded our remit to incorporate networks. The implicit criticism of the “big questions” adherents is that by focusing only on individuals, BPA is augmenting a trend in the field to neglect these other units of analysis and related variables, such as political power” (h. 3). Bab ini berusaha memperluas dan memperkaya diskusi BPA dengan menggunakan sudut pandang dari bidang manajemen, yaitu perilaku organisasional. Tujuannya adalah untuk memperkaya diskusi dan alternatif pendekatan sehingga pilihan-pilihan pendekatan konsep, teori dan metodologi semakin bervariasi dan solutif terhadap permasalahan. 193

Pendekatan ini menarik untuk diadopsi dalam kajian administrasi publik karena pertama, perilaku organisasional merupakan bidang kajian yang fokusnya adalah memahami perilaku individual dalam organisasi sebagai dampak dari pengaruh dirinya sendiri, kelompok, dan organisasi (Robbins & Judge, 2011). Kedua, perilaku organisasional (PO) merupakan bidang kajian interdisiplin yang menggunakan pendekatan tidak hanya dari psikologi namun juga dari sosiologi dan antropologi. Ketiga, ada kemiripan bidang kajian perilaku organisasional dan BPA, yaitu keduanya merupakan bidang kajian interdisiplin yang menggabungkan pendekatan dari bidang kajian lain, yang fokusnya adalah mengkaji perilaku manusia. Oleh karena PO muncul lebih awal, dinamika perkembangan PO bisa menjadi pembelajaran bagi perkembangan kajian BPA. Meskipun lingkup kajian PO terbatas pada lingkup organisasi, tetapi hal ini tidak akan mengurangi kontribusi tulisan ini karena apa yang terjadi di ruang organisasi birokrasi akan berimplikasi pada kinerja birokrasi yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat. Dengan kata lain, pendekatan ini mencoba mendiskusikan aspek hulu, yaitu penyedia layanan publik dan pembuat kebijakan agar kita paham mengapa fenomena layanan publik atau kebijakan publik bisa demikian. Keempat, mata kuliah perilaku organisasional sudah ada dan diajarkan di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM namun peminatan terhadap kajian-kajian keperilakuan belum berkembang secara baik. Penelitian mahasiswa dan dosen didominasi pendekatan-pendekatan non keperilakuan. Melalui tulisan ini, penulis berharap bahwa kajiankajian yang menggunakan pendekatan keperilakuan ke depan jauh lebih berkembang tidak hanya di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM, tetapi juga di jurusan administrasi publik di Indonesia. Bab ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama mendiskusikan BPA termasuk di dalamnya adalah definisi dan perkembangan singkat kajian keperilakuan di bidang administrasi publik. Bagian kedua adalah bagian yang mendiskusikan perkembangan bidang kajian perilaku organisasional, mulai definisi, topik kajian, teori, dan metode penelitian di bidang perilaku organisasional. Bagian ketiga mendiskusikan hal-hal apa yang bisa dipelajari BPA dari bidang kajian perilaku organisasional termasuk penutup. 194

Behavioral Public Administration Secara konseptual, BPA diartikan sebagai “The interdisciplinary analysis of public administration from the micro-level perspective of individual behavior and attitudes by drawing on recent advances in our understanding of the underlying psychology and behavior of individuals and groups” (Grimmelikhuijsen dkk., 2017:46). Definisi tersebut menjelaskan bahwa BPA merupakan bidang kajian interdisiplin yang berusaha memahami administrasi publik dari sudut pandang perilaku individu atau sudut pandang mikro dengan menggunakan pendekatan konsep, teori, dan metode dari bidang kajian psikologi dan ilmu keperilakuan. Grimmelikhuijsen dkk. (2017) lebih lanjut menjelaskan tentang komponen yang terkandung dalam definisi tersebut termasuk di dalamnya adalah komponen unit analisis, yaitu individu atau kelompok dalam organisasi dan masyarakat, fokus kajiannya adalah pada sikap dan perilaku serta pendekatan yang digunakan dipinjam dari ilmu psikologi. Jika menilik ke belakang, pendekatan ini sebetulnya bukan hal yang baru. Pada tahun 1950-an ahli seperti Herbert Simon dan Dwight Waldo dalam beberapa karyanya, seperti yang dikutip oleh Grimmelikhuijsen dkk. (2017), sudah menyuarakan pendapat tersebut. Herbert Simon, misalnya, berpendapat bahwa “[f]or the man who wishes to explore the pure science of administration, it will dictate at least a thorough grounding in social psychology” (1947b:202, dalam Grimmelikhuijsen dkk. (2017). Dalam bukunya yang berjudul Administrative Behavior: A Study of DecisionMaking Processes in Administrative (1997), di bagian awal bukunya, Simon menyebutkan dua kata penting, yaitu deciding and doing. Simon berpendapat bahwa “a general theory of administration must include principles of organization that will insure correct decision-making, just as it must include principles that will insure effective action” (Simon, 1997:2). Artinya bahwa dalam konteks administrasi publik, proses pengambilan keputusan sama pentingnya dengan proses pelaksanaan dari keputusan tersebut. Kedua aktivitas tersebut harus betul-betul bisa berfungsi secara baik dalam organisasi. Selain itu, dalam buku tersebut, Simon juga menjelaskan tentang choice and behaviour serta ada satu bab yang membahas tentang psychology and administrative decisions yang di dalamnya menjelaskan kompleksitas 195

pengambilan keputusan dari lensa individu pengambil keputusan. Individu memiliki keterbatasan kognitif dalam proses pengambilan keputusan yang kemudian dikenal dengan istilah bounded rationality (Simon, 1997). Oleh karena itu, Simon (1997) menawarkan konsep satisfying (… the administrator, satisfices-looks for a course of action that is satisfactory or “good enough”, h. 119) dibanding konsep maximizing (selects the best from among all those available to him, h. 119) (konsep dari ilmu ekonomi) dalam proses pengambilan keputusan. Tulisan Simon tersebut kemudian menjadi rujukan peneliti administrasi publik dalam memahami proses pengambilan keputusan di bidang administrasi publik (Battaglio dkk., 2019), yang kemudian juga mengilhami munculnya konsep BPA (Grimmelikhuijsen dkk., 2017). Dalam kajiannya, Battaglio dkk. (2019) me-review 109 artikel yang dipublikasikan oleh para peneliti di bidang administrasi publik, manajemen, dan policy studies. Mereka meneliti proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada bounded rationality oleh Herbert Simon, cognitive bias oleh Daniel Kahneman, dan nudging dan choice architecture oleh Richard Thaler, yang mana ketiga penerima Nobel tersebut mengadopsi pendekatan behavioural sciences. Salah satu kesimpulan penting dari kajian Battaglio dkk. (2019) tersebut adalah bahwa BPA merupakan bidang kajian yang menjanjikan, yang bisa memberikan kontribusi pada perkembangan kajian bidang administrasi publik, tidak saja dari sudut pandang teoritis namun juga praktik. Jauh sebelum konsep BPA muncul, peneliti di bidang administrasi publik sebenarnya sudah mulai mengadopsi pendekatan behavioural sciences, yang fokus pada perilaku individu (Bertelli dan Riccucci, 2020; Grimmelikhuijsen dkk., 2017; Monihan, 2018). Salah satu konsep yang mendapatkan perhatian luas adalah Public Service Motivation (PSM). Sejak konsep tersebut dimunculkan oleh Rainey (1982) kemudian dilanjutkan oleh Perry dan Wise (1990) dan Perry (1996), konsep ini mulai menarik minat peneliti di bidang administrasi publik (Susanto, 2021; Vandenabeele dkk., 2014; Vogel & Kroll, 2016;). Secara konseptual, PSM didefinisikan sebagai “‘an individual predisposition to respond to motives grounded primarily or uniquely in public institutions” (Perry & Wise, 1990:368). Definisi lain disampaikan 196

oleh Vandenabeele (2007:547) sebagai “the belief, values and attitudes that go beyond self-interest and organizational interest, that concern the interest of a larger political entity and that motivate individuals to act accordingly whenever appropriate”. Meskipun berbeda, konsep PSM bisa dimaknai sebagai perilaku individu (pegawai) dalam organisasi sektor publik yang mengutamakan kepentingan masyarakat dibanding kepentingan pribadi (Susanto, 2021). Beberapa contoh kajian lain terkait PSM adalah Ugaddan dan Park (2017) yang meneliti tentang keinginan menjadi peniup peluit (whistleblowing) dalam organisasi sektor publik dan menempatkan PSM sebagai mediator. Kim (2018) meneliti tentang keterkaitan PSM dengan sharing pengetahuan, sedangkan Corduneanu dkk. (2020) menguji hubungan antara reward moneter dan PSM dengan menggunakan self determination theory. Ritz dkk. (2021) meneliti PSM dengan mencoba menguji apakah konsep ini berbeda dengan perilaku prosocial motivation. Mereka menemukan bahwa kedua konsep tersebut berbeda. Namhon Ki (2021) meneliti hubungan PSM dengan keinginan belajar dari pegawai pemerintah (government official’s willingness to learn), sedangkan Susanto (2021) meneliti hubungan antara PSM, Love of money dan perilaku inovasi pegawai di konteks Indonesia. Selain PSM, topik lainnya adalah kecerdasan emosional, manajemen konflik dan kinerja (Shih & Susanto, 2010), empowerment, kepuasan kerja, keinovasioan (innovativeness) dan kinerja pegawai (Fernandez & Moldogaziev, 2013); perilaku tidak etis (unethical behaviour) (Belle & Cantarelli, 2017); Kepemimpinan (Ospina, 2017); kecerdasan emosional dan public sector engagement (Levitats dkk., 2019); employee engagement; dan kinerja pegawai (Hameduddin & Fernandez, 2019). Semua kajian tersebut dipublikasikan di jurnal Public Administration Review, kecuali artikelnya Shih & Susanto (2010). Di luar jurnal tersebut, masih banyak kajian yang menggunakan pendekatan behavioural sciences, yang belum dideskripsikan di tulisan ini. Selain topik-topik penelitian, secara metodologis, kajian-kajian yang menggunakan pendekatan eksperimen juga semakin meningkat (Hansen & Tummers, 2020). Dalam kajiannya, Hansen & Tummers (2020) me-review 42 artikel yang menggunakan pendekatan eksperimen lapangan. Kajian 197

tersebut menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan oleh peneliti bidang administrasi publik ketika akan mengadopsi pendekatan eksperimen lapangan. Beberapa di antaranya adalah masalah biaya, pelaksanaan, etika, dan validitas. Ide yang sama juga disampaikan oleh Bertteli & Riccucci (2020). Mereka menyampaikan kritik penggunaan metode eksperimen dalam kajian administrasi publik. Beberapa poin penting yang disampaikan oleh Bertteli & Riccuci (2020) adalah “Too few of the limitations of experiments in the context of public administration, as both a scholarly field and a context of practice, are considered in contemporary BPA scholarship. Experiments can enhance our exploration of what works in practice but cannot inform management without an integrated program that includes nonexperimental research and theory building” (h. 1). Kedua kajian tersebut memiliki makna penting agar peneliti di bidang administrasi publik yang fokus pada BPA bisa menggunakan metode eksperimen secara proporsional yang bisa memberikan kontribusi pada perkembangan konsep, teori, dan praktik di bidang administrasi publik.

Perilaku Organisasional: Telaah Singkat Perkembangan Konsep, Teori, dan Metodologi Secara konseptual, perilaku organisasional (PO) didefinisikan sebagai “The confluence of individual, group, and organizational studies flowing from industrial-organizational psychology and organization and management theory (OMT) with headwaters in psychology (social, psychometrics), sociology (organizational, work, and occupational), and management (scientific, human relations)“ (Schneider, 1985:574). Ahli lain, Staw (1984) mendefisinikan PO sebagai “an interdisciplinary field that examines the behaviour of individuals within organizational settings as well as the structure and behavior of organizations themselves” (h. 628). Dalam artikel tersebut Staw (1984) juga menjelaskan tentang makro PO yang mengadopsi pendekatan dari ilmu sosiologi, politik, dan ekonomi sedang mikro PO mengadopsi pendekatan dari psikologi. Salah satu dari definisi tersebut kemudian digunakan sebagai dasar oleh Heath dan Sitkin (2001) untuk mendefinisikan PO sebagai “studying behavior of individuals and groups within organizations” (h. 44).

198

Berdasarkan definisi tersebut, PO bisa dimaknai sebagai sebagai bidang kajian yang fokus pada perilaku individu dan kelompok dalam organisasi dengan menggunakan pendekatan dari disiplin lain, yaitu sosiologi, antropogi, politik, ekonomi, dan psikologi. Lebih rinci lagi, Robbins & Judge (2011) menjelaskan bahwa PO sebagai bidang kajian fokus pada dampak atau pengaruh individu, kelompok dan stuktur organisasi terhadap perilaku individu (pegawai) dalam organisasi. Kajian ini penting dilakukan agar organisasi bisa mengoptimalkan potensi pegawainya untuk peningkatan kinerja organisasi (Robbins & Judge, 2011). Berdasarkan penjelasan definisi tersebut, ada satu proposisi penting yang bisa diungkapkan bahwa memahami perilaku individu dalam organisasi bukan merupakan sesuatu yang mudah karena melibatkan berbagai macam pendekatan. Individu pegawai dalam organisasi bertindak tidak semata-mata digerakkan oleh pengaruh orang lain dalam organisasi namun juga digerakan oleh apa yang ada di dalam dirinya sendiri atau sebaliknya individu pegawai dalam organisasi tidak hanya digerakkan oleh dirinya sendiri, tetapi bisa juga digerakkan oleh kelompok atau organisasi dimana individu tersebut bekerja. Oleh karena itu, PO mendiskusikan isu atau topik yang berkaitan dengan kepribadian, emosi dan kognisi, sikap, nilai, motivasi dan persepsi, kelompok dan tim serta struktur dan budaya organisasi (Robbins & Judge, 2011). Perkembangan konsep, topik, dan teori PO bisa dilacak dari kajiankajian oleh Cummings (1978, 1982); Staw (1984); Schneider (1985); House & Singh (1987); Ilgen dan Klein (1988), O’Reilly (1991), Mowday & Sutton (1993); Heath & Sitkin (2001); Brief & Weiss (2002); Peterson & Thomas (2007); dan Gelfand & Aycan (2007). Cumming (1978), misalnya, mendiskusikan konsep PO termasuk di dalamnya adalah definisi PO dan perbedaan PO dengan disiplin psikologi organisasi dan teori organisasi. Staw (1984) mendiskusikan konsep PO sebagai bidang kajian terapan dan sekaligus mendiskusikan beberapa topik kajian termasuk kepuasan kerja, ketidakhadiran pegawai, perpindahan pegawai, motivasi, dan kinerja pegawai. Berbeda dengan Staw (1984), Schneider (1985) mulai memasukkan diskusi level kelompok dan level organisasi selain topik level individu. Topik-topik tersebut adalah struktur kelompok, kinerja

199

kelompok, kultur, dan iklim organisasi. Salah satu ide dasar yang menarik dari Schneider (1985) adalah pengintegrasian makro dan mikro PO. House & Singh (1987) melanjutkan kajian sebelumnya dengan menambah beberapa topik yang merepresentasikan pengintegrasian level makro dan mikro dengan menggunakan konsep “cross-level effect”. Topik yang dibahas dalam kajian ini adalah power, kepemimpinan, pengambilan keputusan di organisasi, dan executive succession. Ilgen & Klein (1988) mulai mendiskusikan perspektif kognisi dan implikasinya pada kajian PO seperti kepemimpinan, motivasi, persepsi, karier dan peran, perpindahan, ketidakhadiran, efikasi diri, emosi, dan gender. O’Reilly (1991) mendiskusikan kajian-kajian makro, mikro PO dan interseksi dari keduanya. Beberapa topik dalam kajian mikro PO yang dibahas adalah motivasi, sikap kerja, disain pekerjaan (job design), perpindahan dan ketidakhadiran, dan kepemimpinan. Berbeda dengan kajian sebelumnya yang secara mendalam menyoroti kajian mikro PO, meski ada beberapa ahli yang mulai menyinggung makro PO dan interseksi mikro dan makro PO, Mowday & Sutton (1993) mulai fokus pada dampak konteks organisasi terhadap perilaku individu dan kelompok dalam organisasi. Dalam kajian tersebut Mowday & Sutton (1993) menjelaskan tentang konteks organisasi yang bisa menjadi “opportunity dan constraint” terhadap perilaku individu dan kelompok dan sekaligus kemungkinan individu dan kelompok memengaruhi konteks organisasi. Rousseau (1997) menawarkan topik-topik baru dalam kajian PO. Topik-topik tersebut muncul dari pilihan dalam mendefinisikan organisasi. Menurut Rousseau (1997) ada dua definisi organisasi, yaitu (1) “The act or process of organizing” (h.517) dan (2) “a body of persons organized for some end or work,” (h. 517). Dari kedua definisi tersebut, Rousseau (1997) berpendapat bahwa peneliti PO memilih menggunakan definisi yang pertama, yaitu organizing yang kemudian berimplikasi pada beberapa topik kajian baru misalnya new employees relationship, self management, organizaitonal learning, dan organizational change. Heath & Sitkin (2001) secara komprehensif memetakan topiktopik kajian PO yang sudah dikaji dan yang belum atau kurang dikaji. Berdasarkan survei, Heath & Sitkin (2001) berhasil mengindentifikasi 48 200

topik kajian PO. Beberapa contoh topik tersebut adalah norma, komunikasi, kinerja, perubahan organisasi, keluarga, risiko, cross-culture, kepercayaan, ketergantungan, kerja sama, pembelajaran, jejaring (networking), emosi, politik, turnover, burnout, partisipasi, tim atau kelompok, feedback, konflik, kontrak psikologi, reward, kepribadian, legitimasi, stress, dan organizational citizenship. Heath & Sitkin (2001) juga mendiskusikan definsi PO dan menawarkan tiga definisi PO, yaitu Big-B definition, Contextualized-B definition, dan Big O definition. Terakhir, Heath & Sitkin (2001) menjelaskan dua konsep yaitu relabelling dan peripheral topics ketika mendiskusikan Contextualized-B definition dan menempatkan kedua konsep tersebut sebagai masalah. Relabelling, misalnya, menghambat perkembangan kajian PO karena peneliti hanya mengimpor konsep, teori, dan metodologi dari disiplin ilmu lain dan tidak punya waktu untuk mengekspor hal-hal baru. Berdasarkan pendapat Ilgen & Klein (1989), Heath & Sitkin (2001) mengatakan “When researchers borrow or incorporate perspectives from other disciplines, they need to demonstrate that constructs and concepts from the one discipline are indeed appropriate to the other“ (h. 52). Di halaman yang sama, Heath & Sitkin (2001) juga mengatakan “Borrowing takes time and forces us to follow (e.g. apply), rather than lead, in the production of knowledge“, sedangkan peripheral dimaknai sebagai konsep yang menjelaskan tentang “Phenomena that are not central to understanding how organizations accomplish their task of organizing” (h. 53). Terakhir, Brief & Weiss (2002) mendiskusikan kajian emosi dan mood dalam PO, sedang Peterson dan Thomas (2007) mendiskusikan PO dalam konteks MNO (multinational organization). Topik lain yang sedang berkembang dalam PO adalah positive organizational behaviour (Bakker & Schaufeli, 2008), neuroscience (Ashkanasy, Becker & Waldman (2014), greening organizational behaviour (Anderson, Jackson & Russell, 2013), sustainability dan organizational behaviour (Cooper, Stokes, Liu dan Tarba, 2017), dan humanitarian organizational behaviour (Meyer, Carr & Foster, 2018). Selain definisi dan konsep PO, teori-teori yang digunakan juga mengalami perkembangan, mengikuti perkembangan topik kajian. Mitchell (1979) misalnya menjelaskan expectancy theory yang dikembangkan 201

oleh Vroom (1964), goal setting theory oleh Locke (1968), equity theory oleh Adam (1965), dan operant conditioning model oleh Skinner (1938). Kajian yang dilakukan oleh Staw (1984) mendiskusikan need fulfilment theory of motivation oleh Maslow (1954), job design theory oleh Hackman & Oldham (1976; 1980). Brief & Weiss (2002) mendiskusikan teori yang banyak digunakan dikajian emosi dan mood. Teori tersebut adalah affective-event theory (Weiss & Cropanzano, 1996). Ahli lain, Ilgen & Klein (1988) mendiskusikan beberapa teori yang digunakan di kajiankajian kognisi yaitu social cognition theory (Wyer & Srull, 1986), social information processing theory oleh Salancik & Pfeffer (1977, 1978), dan control theory oleh Campion & Lord (1982). Schnider (1985) menjelaskan salah teori yang digunakan dalam kajian kelompok, yaitu intergroup theory oleh Alderfer (1983) dan Brown (1983). Dalam buku yang berjudul Theories of Group Behaviour, editor Brian Mullen dan George R. Goethals (1987), ada setidaknya 8 teori yang dijelaskan dan bisa digunakan untuk menjelaskan tim atau kelompok. Teori-teori tersebut adalah social comparison theory (Goethals dan Darley); cognitive dissonance theory (Sande dan Zanna); self-presentation theory (Baumeister dan Hutton); drive theory (Geen dan Bushman); social impact theory (Jackson); self-attention theory (Mullen); social cognition theory of group process (Pryor dan Ostrom), dan transactive memory theory (Wegner). Teori-teori tersebut sifatnya pengembangan dari ide dan teori yang dikembangkan sebelumnya dan berada dalam bidang kajian psikologi sosial. Teori-teori lainnya adalah self-determination theory (Decy & Ryan, 1985) dan conversative of resource theory (Hobfoll, 1998). Metode penelitian di bidang PO juga mengalami perkembangan, menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di dalam organisasisi. Lingkungan yang berubah secara cepat, secara otomatis mendorong organisasi merespons melalui berbagai macam pendekatan khususnya perubahan perilaku individu-individu yang ada di dalamnya. Meskipun demikian, evolusi metode penelitian di PO tidak bisa dilepaskan dari perkembangan metode penelitian di disiplin keilmuan yang mendasari terbentuknya PO terutama psikologi. Dalam Handbook of Research Methods in Industrial and Organizational Psychology, yang terbit tahun 2002, dua metode penelitian dibahas yaitu metode penelitian kuantitatif dan 202

kualitatif. Austin dkk. (2002) misalnya, mengulas sejarah perkembangan metode penelitian di bidang psikologi industri dan organisasi. Austin dkk. (2002) mengulas perkembangan metode penelitian yang digunakan mulai dari tahun 1904 sampai 2000 yang terbagi dalam tiga fase. Dari analisis tersebut, dominasi metode penelitian kuantitatif sangat jelas. Diksidiksi yang digunakan merepresentasikan metode penelitian kuantitatif, contohnya adalah pengukuran, eksperimen, analisis regresi berganda, disain multilevel, dan teori. Kondisi ini tidak aneh karena ahli-ahli yang berkontribusi dalam kajian Psikologi Industri dan Organisasi berlatar belakang insinyur misal Fredrick W. Taylor dan psikologi eksperimen seperti Hugo Munsterberg, (1913); Walter Dill Scott (1908) (detail lihat Ehigie dan Ehigie, 2005). Berbeda dengan Austin dkk. (2002), Locke & Golden-Biddle (2002) mengulas tentang metode penelitian kualitatif. Locke & Golden-Biddle (2002) mendiskusikan peluang penggunaan metode penelitian kualitatif untuk mengkaji perilaku di tempat kerja. Meskipun metode ini belum berkembang seperti metode penelitian kuantitatif, tetapi Locke & GoldenBiddle (2002) meyakini bahwa metode penelitian kualitatif memberikan manfaat untuk mengkaji dan memahami perilaku di tempat kerja. Beberapa pendekatan yang bisa digunakan adalah penelitian terapan, studi kasus, etnografi, dan grounded theory. Ide yang relatif sama pernah disampaikan oleh Das (1983). Dalam artikelnya, Das (1983) mendiskusikan tentang penerapan metode penelitian kualitatif dalam kajian-kajian PO. Menurut Das (1983) meskipun metode penelitian kuantitatif masih dominan dalam kajian PO, tetapi metode penelitian kualitatif mulai digunakan oleh peneliti di bidang PO. Das (1983) memberikan bukti dengan mengatakan “The December I 979 issue of Administratiue Science Quarterly was totally devoted to qualitative methodology” (hal. 302) dan sekaligus beberapa artikel yang menggunakan pendekatan metode kualitatif. Selain kedua metode tersebut, dalam perkembangannya, kombinasi kedua metode tersebut atau yang dikenal mix methods mulai banyak digunakan dalam kajian PO (Azorin & Cameron, 2010). Dari hasil kajian di Journal of Organizaitonal Behaviour mulai tahun 2003–2009, Azorin & Cameron (2010) menemukan bahwa penggunaan mixed-methods lebih 203

banyak dibanding peneliti yang menggunakan metode penelitian kualitatif, meskipun lebih rendah dibanding peneliti yang menggunakan metode penelitian kuantitatif. Hal ini berarti bahwa kajian-kajian di bidang PO masih didominasi penelitian yang menggunakan metode penelitian kuantitatif, diikuti mixed-methods dan metode penelitian kualitatif. Dominasi metode penelitian kuantitatif tidak bisa dilepaskan dari mekanisme pasar yang lebih memberikan ruang yang besar pada kajian yang menggunakan metode penelitian kuantitatif dibanding kedua metode penelitian tersebut (alasan detail lihat artikel Das, 1983). Salah satu disain penelitian di metode penelitian kuantitatif yang relatif baru dan banyak digunakan oleh peneliti PO adalah multilevel design (Austin dkk., 2002). Buku yang berjudul Multilevel theory, research and methods in organizations, editor Katherine J. Klein & Steve W.J. Kozlowski, terbit tahun 2000 meramu berbagai tulisan-tulisan dari para ahli yang memfokuskan pada pendekatan multilevel dan sekaligus memperkenalkan teori multilevel. Ide dasar dari pendekatan ini adalah “organizations are multilevel systems” (Kozlowski & Klein, 2000: 3). Pendekatan teoretis ini, jika dirunut ke belakang, menjawab ide yang digagas oleh House & Singh (1987), O’Reilly (1991), dan Mowday dan Sutton (1993) yang sudah diuraikan sebelumnya. Teori multilevel ini berusaha memperbaiki kelemahan kajian sebelumnya yang hanya fokus pada satu level. Misal, peneliti yang fokus pada aspek mikro PO hanya fokus pada level individu sedang peneliti yang fokus pada makro PO fokus pada level organisasi. Melalui teori dan pendekatan multilevel, peneliti bisa memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang perilaku organisaisonal seperti yang disampaikan oleh Klein & Kozlowski (2000), “Neither single-level perspective can adequately account for organizational behaviour” (hal. 7).

Pengembangan Kajian BPA: Apa yang Bisa Dipelajari dari Bidang Perilaku Organisasional? Sebagai sebuah subbidang kajian di administrasi publik yang baru berkembang, BPA memiliki ruang perbaikan. Hal tersebut tidak terlepas dari karakteristik BPA sebagai bidang kajian interdisiplin, yang tidak memiliki dasar keilmuan tunggal. Pondasi BPA sangat ditentukan oleh kekuatan pondasi disiplin ilmu lain yang dipinjam dan diadopsi oleh 204

BPA. Tantangannya adalah peminjaman dan pengadopsian konsep, teori, dan metodologi dari disiplin lain membutuhkan waktu agar hal-hal yang dipinjam dan diadopsi relevan dengan permasalahan dan tujuan dari munculnya BPA, seperti yang pernah disampaikan oleh Heath & Sitkin (2001) ketika mendiskusikan tantangan dalam kajian PO. Jika ini terjadi dan tidak ada intervensi, maka BPA akan mengalami apa yang disebut sebagai “lag the discipline” (Heath & Sitkin, 2001). Artinya, BPA akan mengalami ketertinggalan dalam pengembangan pengetahuan. Peminjaman dan pengadopsian akan membuat BPA hanya berkutat pada memilih dan memilah hal-hal yang relevan dan mengabaikan pengembangan topiktopik strategis BPA, seperti yang pernah disampaikan oleh Carrigan dkk. (2020). Carrigan dkk. (2002) berpendapat bahwa BPA bisa memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap perkembangan kajian PA jika mengaitkan pendekatan ini dengan tema inti administrasi publik. Sebagai bidang kajian yang mirip dengan BPA, PO lahir dan berkembang lebih dahulu dibanding BPA. Dinamika perkembangan PO, seperti yang sudah diuraikan di atas, setidaknya memberikan gambaran bagaimana dan ke mana BPA harus berkembang. Meskipun ada perbedaan fokus antara BPA dan PO di mana PO hanya fokus pada domain organisasi, yaitu organisasi swasta, sedangkan BPA lebih luas lagi cakupannya, yaitu masyarakat di luar organisasi birokrasi. Namun, BPA bisa mengambil pembelajaran dari PO untuk memperkuat kajian individu dalam organisasi birokrasi. Hal ini penting karena semangat dan esensi PO adalah bagaimana individu atau pegawai dalam organisasi bisa membantu meningkatkan keefektifan dan kinerja organisasi, seperti yang dijelaskan oleh Robbins & Judge (2011). Mengapa hal ini penting? Prinsip yang digunakan sederhana, yaitu jika organisasi berkinerja baik, maka hal tersebut akan berdampak baik pada masyarakat. Kim (2010) menunjukkan dukungan tersebut. Negara dengan kinerja birokrasi yang baik bisa menghasilkan tingkat kemakmuran yang baik. Beberapa hal yang bisa dipelajari dari PO adalah, pertama, PO mendedikasikan dirinya sebagai bidang kajian yang menggunakan pendekatan dari berbagai disiplin misalnya psikologi, sosiologi, politik, dan ekonomi, bahkan antroplogi untuk memahami inidividu dalam organisasi. PO kemudian didefinisikan sebagai bidang kajian yang fokus pada 205

dampak atau pengaruh individu, kelompok dan stuktur organisasi terhadap perilaku individu (pegawai) dalam organisasi. BPA bisa mengadopsi apa yang dilakukan oleh PO, yaitu BPA tidak hanya meminjam pendekatan dari psikologi, tetapi bisa meminjam dari disiplin lain misal sosiologi, antropologi, dan politik. Dengan cara tersebut, ahli dan praktisi BPA bisa meningkatkan pemahaman terhadap perilaku individu pegawai dalam organisasi birokrasi. Kedua, dalam kajian PO, ada peneliti yang fokus pada aspek makro PO, ada aspek mikro PO dan meso PO. Banyak topik mikro, meso dan makro PO yang sudah dikaji dan didalami oleh peneliti di PO yang kemudian bisa dipinjam dan diteliti dalam konteks organisasi birokrasi. Hal ini tidak hanya membantu perkembangan BPA, tetapi juga bisa membantu memperkuat generalisasi konsep, teori, dan metodologi yang sudah dikaji di PO. Hasil dari proses ini akan semakin meyakinkan para praktisi untuk mengadopsi konsep dan teori untuk memecahkan permasalahan, baik di sektor swasta maupun sektor publik. Topik-topik yang ditelah dikaji di PO seperti norma, komunikasi, kinerja, perubahan organisasi, keluarga, risiko, cross-culture, kepercayaan, ketergantungan, kerja sama, pembelajaran, jejaring (networking), emosi, politik, turnover, burnout, partisipasi, tim atau kelompok, feedback, konflik, kontrak psikologi, reward, kepribadian, legitimasi, stres, dan organizational citizenship bisa dikaji di BPA. Demikian juga teori-teori yang sudah matang dan banyak diuji di PO bisa diuji di kajian-kajian BPA. Teori-teori yang fokus pada level individu, tim, dan organisasi layak dipertimbangkan untuk memperkuat kajian BPA. Ketiga, dari aspek metodologi, BPA perlu memperbanyak kajian-kajian yang menggunakan metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan mixedmethods. Meskipun dominasi pendekatan metode penelitian kuantitatif masih tinggi. Namun, dua metode lain, metode penelitian kualitatif dan mixed-methods, harus diperkuat agar kajian di BPA lebih bervariasi dan relevan dengan dinamika masalah di organisasi. Khusus untuk metode penelitian kuantitatif, peneliti di subbidang BPA perlu mengadopsi pendekatan dan teori multilevel. Pendekatan dan teori ini tidak saja membantu menjawab dinamika perilaku individu pegawai, tetapi juga bisa membantu peneliti dan praktisi BPA untuk memahami bagaimana interaksi individu, kelompok, dan organisasi dalam meningkatkan keefektifan organisasi. 206

Keempat, para peneliti BPA perlu mempertimbangkan kerisauan Heath & Sitkin (2001), yaitu ketertinggalan dalam pengembangan bidang kajian jika fokusnya hanya meminjam atau mengimpor dari disiplin lain dan kajian yang tidak fokus pada bidang strategis sehingga kontribusinya tidak maksimal. Para peneliti dan praktisi BPA perlu membagi fokus, tidak hanya mengindentifikasi konsep, teori, dan pendekatan dari disiplin ilmu lain yang relevan dengan bidang kajian BPA, tetapi juga perlu memikirkan proses pengembangan BPA dari dalam BPA sendiri. Selain itu, para peneliti dan praktisi perlu fokus pada tema-tema strategis yang bisa menjelaskan proses pengorganisasian birokrasi, seperti saran Heath & Witkins (2001).

Penutup BPA merupakan subbidang kajian di bidang administrasi publik yang mulai menarik minat peneliti dan praktisi administrasi publik. BPA yang memfokuskan pada kajian perilaku individu, baik dalam lingkup organisasi maupun masyarakat memberikan harapan positif bagi perkembangan bidang administrasi publik. Meskipun demikian, sebagai bidang kajian baru BPA masih membutuhkan banyak masukan agar kontribusi BPA dalam bidang administrasi publik lebih optimal. Proses pembelajaran yang berkesinambungan akan membuat BPA semakin matang dan mendapatkan tempat yang kuat di bidang administrasi publik. Salah satu bidang kajian yang bisa digunakan BPA untuk belajar adalah bidang kajian perilaku organisasional di manajemen. Meski awalnya PO hanya fokus pada organisasi swasta, tetapi ada kesamaan antara PO dan BPA, yaitu sama-sama mengadopsi pendekatan interdisiplin. PO dan BPA sama-sama tidak memiliki pondasi tunggal untuk membangun dasar keilmuannya. Oleh karena PO lahir dan berkembang lebih dahulu dibanding BPA, maka tidak ada salahnya jika BPA belajar dari dinamika perkembangan PO termasuk konsep, teori, dan metode penelitian yang sudah digunakan di PO. Harapannya, BPA bisa mengantisipasi hal-hal yang bisa menghambat perkembangan kajian-kajian BPA dan sekaligus memperkokoh posisinya sebagai subbidang kajian administrasi publik, sejajar dengan subbidang kajian lain yang sudah lama ada.

207

Daftar Pustaka Adams, J. S. 1965. “Inequity In Social Exchange”. Advances in Experimental Social Psychology, 2(C). https://doi.org/10.1016/ S0065-2601(08)60108-2 Alderfer, C. P. 1983. An Intergroup Perspective On Group Dynamics. Yale Univ New Haven CT School of Organization and Management. Andersson, L., Jackson, & Russell. 2013. “Greening Organizational Behavior: An Introduction To The Special Issue. Journal of Organizational Behavior, 34(2). https://doi.org/10.1002/job.1854 Ashkanasy, N. M., W. J. Becker, & D. A. Waldman. 2014. “Neuroscience and Organizational Behavior: Avoiding Both Neuro-Euphoria And Neuro-Phobia”. Journal of Organizational Behavior, 35(7). https:// doi.org/10.1002/job.1952 Austin, J. T., C. A. Scherbaum, & R. A. Mahlman. 2002. “History of Research Methods in Industrial and Organizational Psychology: Measurement, Design, Analysis”. In S. G. Rogelberg (Ed.). Blackwell Handbooks of Research Methods in Psychology. Handbook of Research Methods in Industrial and Organizational Psychology (hal. 3–33). Blackwell Publishing.Azorín, J. M & Cameron, R. 2010. “The Application of Mixed Methods in Organisational Research: A Literature Review”. The Electronic Journal of Business Research Methods, 82, hal. 95–105, available online at www.ejbrm.com Bakker, A. B., & Schaufeli. 2008. “Positive Organizational Behavior: Engaged Employees In Flourishing Organizations”. In Journal of Organizational Behavior, Vol. 29, Issue 2. https://doi.org/10.1002/ job.515 Battaglio, R. P., P. Belardinelli, N. Bellé, & P. Cantarelli. 2019. “Behavioral Public Administration ad fontes: A Synthesis of Research on Bounded Rationality, Cognitive Biases, and Nudging in Public Organizations”. Public Administration Review, 79(3), hal. 304–320. https://doi.org/10.1111/puar.12994 Battaglio, R. P., & J. L. Hall. 2020. “Exploring the Frontiers of Administrative Behavior”. In Public Administration Review, Vol. 80, Issue 1. https://doi.org/10.1111/puar.13148

208

Belle, N., & P. Cantarelli. 2017. “What Causes Unethical Behavior? A MetaAnalysis to Set an Agenda for Public Administration Research”. Public Administration Review, 77(3). https://doi.org/10.1111/ puar.12714 Bertelli, A. M., & N. M. Riccucci. 2020. “What Is Behavioral Public Administration Good for?”. Public Administration Review. https:// doi.org/10.1111/puar.13283 Bhanot, S. P., & E. Linos. 2020. “Behavioral Public Administration: Past, Present, and Future”. Public Administration Review, 80(1). https:// doi.org/10.1111/puar.13129 Brief, A. P., & H. M.Weiss. 2002. “Organizational Behavior: Affect In The Workplace”. Annual Review of Psychology, 53. https://doi. org/10.1146/annurev.psych.53.100901.135156 Campion, M. A., & R. G. Lord. 1982. “A Control Systems Conceptualization Of The Goal-Setting And Changing Process”. Organizational Behavior and Human Performance, 30(2), 265–287. https://doi. org/10.1016/0030-5073(82)90221-5 Carrigan, C., S. K. Pandey, & G. G. Van Ryzin. 2020. Pursuing Consilience: Using Behavioral Public Administration to Connect Research on Bureaucratic Red Tape, Administrative Burden, and Regulation. 80(February), 46–52. https://doi.org/10.1111/puar.13143 Cooper, S. C. L., P. Stokes, Y. Liu, & S. Y. Tarba. 2017. “Sustainability and Organizational Behavior: A Micro-Foundational Perspective”. In Journal of Organizational Behavior, Vol. 38, Issue 9. https://doi. org/10.1002/job.2242 Corduneanu, R., A. Dudau, & G. Kominis. 2020. “Crowding-In Or Crowding-Out: The Contribution Of Self-Determination Theory To Public Service Motivation”. Public Management Review, 22(7). https://doi.org/10.1080/14719037.2020.1740303 Cummings, L. 1982. “Organizational Behavior”. Annual Review of Psychology, 33, hal. 541–579. Palo Alto, CA: Annual Reviews. Cummings, L. L. 1978. “Toward Organizational Behavior”. Academy of Management Review, 3(1). https://doi.org/10.5465/ amr.1978.4296377

209

Das,T. H. 1983. “Qualitative research in Organisational Behaviour”. Journal of Management Studies, 20(30), hal. 301–314.doi: 10.1111/j.14676486.1983.tb00209.x Deci, E. L., & Ryan. 1985. “The General Causality Orientations Scale: SelfDetermination In Personality”. Journal of Research in Personality, 19(2). https://doi.org/10.1016/0092-6566(85)90023-6 Deschamps, J. ‐C, & R. Brown. 1983. “Superordinate Goals And Intergroup Conflict”. British Journal of Social Psychology, 22(3). https://doi. org/10.1111/j.2044-8309.1983.tb00583.x Ehigie, B. O., & R. I. Ehigie. 2005. “Applying Qualitative Methods in Organizations: A Note for Industrial/Organizational Psychologists”. The Qualitative Report, 10(3), hal. 621–638. https:// doi.org/10.46743/2160-3715/2005.1844 Fernandez, S., & T. Moldogaziev. 2013. “Using Employee Empowerment To Encourage Innovative Behavior In The Public Sector”. Journal of Public Administration Research and Theory, 23(1), hal. 155–187. https://doi.org/10.1093/jopart/mus008 Gelfand, M. J., M. Erez, & Z. Aycan. 2007. “Cross-Cultural Organizational Behavior”. In Annual Review of Psychology, Vol. 58. https://doi. org/10.1146/annurev.psych.58.110405.085559 George, B. 2020. “Behavioral Public Strategy”. Behavioural Public Policy. https://doi.org/10.1017/bpp.2020.30 Goethals, G. R., & J. M. Darley. 1987. “Social Comparison Theory: SelfEvaluation and Group Life”. In Theories of Group Behavior. https:// doi.org/10.1007/978-1-4612-4634-3_2 Grimmelikhuijsen, S., S. Jilke, A. L. Olsen, & L. Tummers. 2017. Behavioral Public Administration: Combining Insights from Public Administration and Psychology. hal. 1–12. https://doi.org/10.1111/ puar.12609.This Hackman, J. R. 1980. “Work Redesign And Motivation”. Professional Psychology: Research and Practice, 11(3). https://doi. org/10.1037/0735-7028.11.3.445 Hackman, J. R., & G. R. Oldham. 1976.” Motivation Through The Design Of Work: Test Of A Theory”. Organizational Behavior and Human Performance, 16(2). https://doi.org/10.1016/0030-5073(76)90016-7 210

Hameduddin, T., & S. Fernandez. 2019. “Employee Engagement as Administrative Reform: Testing the Efficacy of the OPM’s Employee Engagement Initiative”. Public Administration Review, 79(3). https://doi.org/10.1111/puar.13033 Hansen, J. A., & L. Tummers. 2020. “A Systematic Review of Field Experiments in Public Administration”. Public Administration Review, 80(6). https://doi.org/10.1111/puar.13181. Heath, C., & S. B. Sitkin. 2001. “Big-B versus Big-O: What Is Organizational About Organizational Behavior?”. Journal of Organizational Behavior, 22(1), hal. 43–58. https://doi.org/10.1002/job.77. Hobfoll, S. E. 2001. “The Influence Of Culture, Community, And The Nested-Self In The Stress Process: Advancing Conservation Of Resources Theory”. Applied Psychology, 50(3). https://doi. org/10.1111/1464-0597.00062 House, R. J., & J. V. Singh. 1987. “Organizational Behavior: Some New Directions for I/O Psychology”. Annual Review of Psychology, 38(1). https://doi.org/10.1146/annurev.ps.38.020187.003321. Ilgen, D. R., & H. J. Klein. 1988. “Individual Motivation And Performance: Cognitive Influences On Effort And Choice”, dalam Productivity In Organizations: New Perspectives From Industrial And Organizational Psychology. Ki, N. 2020. “Public Service Motivation And Government Officials’ Willingness To Learn In Public Sector Benchmarking Process”. Public Management Review. https://doi.org/10.1080/14719037.2 019.1708437. Kim, J. 2010. “Strategic Human Resource Practices: Introducing Alternatives For Organizational Performance Improvement In The Public Sector”. Public Administration Review, 70(1). https://doi.or g/10.1111/j.1540-6210.2009.02109.Kim, S. 2018. “Public Service Motivation, Organizational Social Capital, and Knowledge Sharing in the Korean Public Sector”. Public Performance and Management Review, 41(1). https://doi.org/10.1080/15309576.2017.1358188. Kozlowski, S. W. J., & K. J. Klein. 2000. “A Multilevel Approach To Theory And Research In Organizations: Contextual, Temporal, And Emergent Processes”. Multilevel Theory, Research and Methods 211

in Organizations: Foundations, Extensions, and New Directions, October 2012. Levitats, Z., E. Vigoda-Gadot, & Vashdi. 2019. “Engage Them through Emotions: Exploring the Role of Emotional Intelligence in Public Sector Engagement”. Public Administration Review, 79(6). https:// doi.org/10.1111/puar.13113. Locke, E. A. 1968. “Toward a Theory Of Task Motivation And Incentives”. Organizational Behavior and Human Performance, 3(2). https:// doi.org/10.1016/0030-5073(68)90004-4 Locke, K., & K. Golden-Biddle. 2002. “An Introduction To Qualitative Research: Its Potential For Industrial And Organizational Psychology”, dalam S. G. Rogelberg (Ed.). Blackwell Handbooks of Research Methods in Psychology. Handbook of Research Methods in Industrial and Organizational Psychology  (hal. 99–118). Blackwell Publishing. Maslow, A. 1954. “Motivation and personality. - PsycNET”. In Motivation and personality. Meyer, I., S. C. Carr, & L. Foster. 2018. “Humanitarian Organizational Behavior”. Journal of Organizational Behavior (Vol. 39, Issue 5). https://doi.org/10.1002/job.2292. Millett, J. D., & Simon. 1947. “Administrative Behavior: A Study of Decision-Making Processes in Administrative Organization”. Political Science Quarterly, 62(4). https://doi.org/10.2307/2144907. Mitchell, A. A. 1979. “Involvement- Potentially Important Mediator Of Consumer Behavior”. Advances in Consumer Research, 6. Mowday, R. T., & R. I. Sutton. 1993. “Organizational Behavior: Linking Individuals And Groups To Organizational Contexts”. Annual Review of Psychology, 44(1). https://doi.org/10.1146/annurev. ps.44.020193.001211. Moynihan, D. 2018. “A Great Schism Approaching? Towards A Micro And Macro Public Administration”. Journal of Behavioral Public Administration, 1(1). https://doi.org/10.30636/jbpa.11.15. Mullen, B., & G. R. Goethals, (Eds. ). (2012). Theories Of Group Behavior. Springer Science & Business Media.

212

O’Reilly, C. A. 1991. “Organizational Behavior: Where We’ve Been, Where We’re Going”. Annual Review of Psychology, 42(1). https://doi. org/10.1146/annurev.ps.42.020191.002235 Ospina, S. M. 2017. “Collective Leadership and Context in Public Administration: Bridging Public Leadership Research and Leadership Studies”. Public Administration Review, 77(2). https:// doi.org/10.1111/puar.12706. Perry, J. L. 1996. “Measuring Public Service Motivation: An Assessment Of Construct Reliability And Validity”. Journal of Public Administration Research and Theory, 6(1). https://doi.org/10.1093/ oxfordjournals.jpart.a024303. Perry, J. L., & Wise. 1990. “The Motivational Bases of Public Service”. Public Administration Review, 50(3). https://doi.org/10.2307/976618. Peterson, M. F., & D. C. Thomas. 2007. “Introduction Organizational Behavior In Multinational Organizations”. Journal of Organizational Behavior, 28(3). https://doi.org/10.1002/job.442. Pfeffer, J., & G. Salancik. 1978. “A Social Information Processing Approach To Job Attitudes And Task Design”. Administrative Science Quarterly, 23(2). Rainey, H. G. 1982. “Reward Preferences Among Public and Private Managers: In Search of the Service Ethic”. The American R e v i e w o f P u b l i c A d m i n i s t r a t i o n, 1 6 ( 4 ) . h t t p s : / / d o i . org/10.1177/027507408201600402. Ritz, A., C. Schott, C. Nitzl, & K. Alfes. 2020. “Public Service Motivation And Prosocial Motivation: Two Sides Of The Same Coin?”. Public Management Review, 22(7). https://doi.org/10.1080/14719037.20 20.1740305. Robbins, S. P., & T. A. Judge. 2011. “Organizational Behavior Fifteenth Edition”. In Pearson. Rousseau, D. 1997. “Organizational Behavior in the New Organization Era”. Annual Review of Psychology, 48, hal. 515–546). Palo Alto, CA: Annual Reviews. Schneider, B. 1985. “Organizational Behaviour”. Annual Review of Psychology, Palo Alto, CA: Annual Reviews Psychology, 36, hal. 573–611. 213

Shih, H. A., & E. Susanto. 2010. “Conflict Management Styles, Emotional Intelligence, And Job Performance In Public Organizations”. International Journal of Conflict Management, 21(2). https://doi. org/10.1108/10444061011037387. Simon, H. A. 1982. “Models of Bounded Rationality: Economic Analysis and Public Policy”. Models of Bounded Rationality (Vol. 1). Skinner, B. F. 1963. “Operant Behavior”. American Psychologist, 18(8). https://doi.org/10.1037/h0045185. Staw, B. 1984. “Organizational Behavior: A Review and Reformulation of the Field’s Outcome Variables”. Annual Review of Psychology, 35(1). https://doi.org/10.1146/annurev.psych.35.1.627. Sunstein, C. R. 2020. “Sludge Audits”. Behavioural Public Policy. https:// doi.org/10.1017/bpp.2019.32. Susanto, E. 2021. “Does Love Of Money Matter For Innovative Work Behavior In Public Sector Organizations? Evidence from Indonesia”. International Journal of Public Sector Management, 34(1), hal. 71–85. https://doi.org/10.1108/IJPSM-01-2020-0028. Tummers, L., & L. Tummers. 2020. “Behavioral Public Administration”. Oxford Research Encyclopedia of Politics. https://doi.org/10.1093/ acrefore/9780190228637.013.1443 Ugaddan, R. G., & S. M. Park. 2017. “Quality of Leadership And Public Service Motivation: A Social Exchange Perspective On Employee Engagement”. International Journal of Public Sector Management, 30(3), hal. 270–285. https://doi.org/10.1108/IJPSM-08-2016-0133. Vandenabeele, W. 2007. “Toward a Public Administration Theory Of Public Service Motivation: An Institutional Approach”. Public Management Review, 9(4), hal. 545–556. https://doi. org/10.1080/14719030701726697. Vandenabeele, W., G. A. Brewer, & A. Ritz. 2014. “Past, Present, And Future Of Public Service Motivation Research”. Public Administration, 92(4). https://doi.org/10.1111/padm.12136. Vogel, D., & A. Kroll. 2016. “The Stability and Change of PSM-Related Values Across Time: Testing Theoretical Expectations Against Panel Data”. International Public Management Journal, 19(1). https:// doi.org/10.1080/10967494.2015.1047544. 214

Vroom, V. H. 1964. “Work and Motivation”, dalam Work and Motivation. Wiley. Weiss, H. M., & R. Cropanzano. 1996. “Affective Events Theory: A Theoretical Discussion Of The Structure, Causes And Consequences Of Affective Experiences At Work. Research in Organizational Behavior (Vol. 18, Issue 1). https://doi.org/1-55938-938-9. Wyer, R. S., & T. K. Srull. 1986. “Human Cognition in Its Social Context”. Psychological Review, 93(3). https://doi.org/10.1037/0033295X.93.3.322.

215

BAB IX

MENCIPTAKAN PEMERINTAHAN YANG LINCAH, KOLABORATIF, DAN AKUNTABEL: TANTANGAN MANAJEMEN PUBLIK DI INDONESIA

Wahyudi Kumorotomo

Pendahuluan Pandemi global yang terjadi sepanjang tahun 2020 memberi pelajaran penting bahwa sebuah bangsa mustahil bisa menghadapi krisis jika tidak mengubah pola pikir secara mendasar. Kegagalan para perumus kebijakan dan masyarakat pada umumnya untuk mengidentifikasi dan mengakui adanya situasi krisis dengan adanya pandemi Covid-19 mengakibatkan terlambatnya respons pemerintah dalam mengambil langkah-langkah strategis yang diperlukan, kecenderungan untuk tetap memberlakukan sistem manajemen dengan cara-cara biasa (business as usual), sementara masyarakat cenderung mengabaikan pentingnya disiplin dan perubahan kepada kebiasaan baru. Kecuali krisis yang terjadi secara global akibat pandemi Covid-19, Indonesia sebenarnya juga sedang menghadapi krisis terkait dengan lemahnya daya-saing di kawasan Asia. Ketika negaranegara di Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan sudah terlebih dahulu melesat ekonomi dan daya-saingnya, negara-negara Asia Tengah seperti China dan India mulai bangkit menjadi kekuatan ekonomi baru di tingkat global, pada tahun 2019 daya-saing Indonesia masih di peringkat 73 dari 190 negara (www.doingbusiness.org) dan tampaknya turun lagi dengan adanya pandemi. Penyebab dari semua itu adalah karena tata kelola 217

pemerintahan Indonesia tidak banyak berubah sejak tiga dasawarsa terakhir. Reformasi memang telah berhasil mengubah sistem politik, keterbukaan terhadap informasi, dan sikap egalitarian bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Akan tetapi, sistem pemerintahan dan birokrasi publik rupanya tidak banyak berubah. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan tentang kebutuhan untuk mengubah secara mendasar sistem manajemen dalam organisasi publik atau birokrasi pemerintah pada umumnya. Perubahan-perubahan tersebut harus dilakukan secara holistik, mulai dari konsep tentang misi organisasi publik, penerapan prinsip-prinsip tata kelola di dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, pengerahan segenap sumber daya yang diperlukan, hingga sistem pertanggungjawaban atau evaluasi terhadap kinerja organisasi publik yang harus diberlakukan. Uraian akan diawali dengan latar-belakang pentingnya perubahan, terutama menyangkut misi organisasi publik untuk meningkatkan daya saing dan kekuatan ekonomi yang produktif dari bangsa Indonesia. Selanjutnya, bagian-bagian berikutnya akan membahas tentang sistem pemerintahan yang ideal saat ini dan di masa mendatang, yaitu dengan terciptanya organisasi publik yang lincah, kolaboratif dan akuntabel. Tiga prinsip ini barangkali sudah banyak dibahas dalam literatur terbaru mengenai governansi publik yang cocok untuk negaranegara industri baru di masa mendatang. Akan tetapi, pembahasan akan diupayakan untuk menemukan relevansinya bagi kebutuhan perubahan di dalam sistem manajemen pemerintahan di Indonesia.

Relevansi Kinerja Birokrasi dengan Daya Saing Bangsa Reformasi birokrasi sudah menjadi wacana yang berkembang sejak cukup lama, bahkan secara implisit sudah terdapat dalam gagasan pembentukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) pada masa orde Baru. Sejak tahun 2004, misi reformasi birokrasi juga melekat pada Kemenpan di bawah presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan berlanjut pada masa presiden Joko Widodo. Akan tetapi, mengapa reformasi birokrasi tetap tidak mampu menaikkan kinerja pemerintah dan mendongkrak daya saing bangsa? Jawaban atas pertanyaan ini barangkali bisa sangat panjang, tetapi sebenarnya dapat diringkas dengan kesimpulan bahwa segenap kebijakan reformasi birokrasi selama ini belum mampu 218

mendekatkan relevansinya dengan daya saing bangsa. Semua indikator reformasi birokrasi yang digagas dan dikembangkan oleh pemerintah selama ini belum mengarah kepada misi pokok membangun daya saing. Sebagai contoh, daya saing nasional dalam menarik investasi langsung (Foreign Direct Investment) belakangan ini semakin turun, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN. Data BKPM pada tahun 2018 menunjukkan bahwa proporsi FDI Indonesia hanya sebesar 22,1 persen dari PDB, kalah jika dibandingkan dengan Filipina (25,1 persen), Thailand (45,7 persen), dan bahkan Vietnam (60,1 persen). Buruknya dayasaing nasional itu juga bisa dilihat dari kecenderungan de-industrialisasi dan memburuknya defisit transaksi transaksi berjalan dalam dua dasawarsa terakhir. Proporsi ekspor yang berasal dari produk manufaktur terus menurun dan mengakibatkan semakin tingginya ketergantungan ekspor Indonesia kepada produk-produk ekstraktif seperti batu bara, LPG, dan produk-produk komoditas lainnya. Sementara itu, defisit transaksi berjalan jelas menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia semakin banyak ditopang oleh sektor konsumtif dengan ketergantungan kepada produk-produk impor yang semakin tinggi. Data pada Tabel 9.1. juga menunjukkan bahwa kinerja birokrasi publik yang langsung terkait dengan daya saing bangsa masih kurang menggembirakan. Dari sembilan unsur indikator yang dipakai oleh lembaga pemeringkat doing-business, secara keseluruhan peringkat Indonesia terletak pada posisi 73 dari 190 negara. Posisi ini jelas masih lebih rendah jika dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan apalagi Singapura. Pada sebagian besar indikator, angka peringkat Indonesia masih lebih dari 100, atau lebih rendah dari banyak negara di ASEAN. Pada tahun 2020, misalnya, peringkat Indonesia relatif baik pada indikator seperti infrastruktur sambungan listrik, perlindungan bagi investor, penanganan kepailitan, kemudahan memperoleh kredit, dan urusan pembayaran pajak. Akan tetapi, pada indikator perdagangan lintasnegara, pendaftaran properti, penegakan kontrak, izin konstruksi, dan kemudahan untuk memulai usaha, peringkatnya masih relatif buruk.

219

Tabel 9.1. Perkembangan Peringkat Doing Business Indonesia (Dari 190 Negara) Unsur

2014

2015

Memulai usaha

161

163

173

151

144

134

140

Izin konstruksi

72

110

107

116

108

112

110

Mendapatkan sambungan listrik

158

45

46

49

38

33

33

Pendaftaran hakmilik (property)

99

131

131

118

106

100

106

Memperoleh kredit

127

71

70

62

55

44

48

Perlindungan bagi investor

46

87

88

70

43

51

37

Pembayaran pajak

129

160

148

104

114

112

81

Perdagangan lintas-negara

40

104

105

108

112

116

116

Penegakan kontrak

145

170

170

166

145

146

139

Urusan kepailitan

149

73

77

76

38

36

38

2016

2017

2018

2019

2020

Sumber: www.doingbusines.org

Pangkal dari memburuknya daya-saing tersebut di samping karena pembatasan investasi asing yang berlebihan ternyata juga karena memang Indonesia tidak lagi berada dalam radar FDI sebagai akibat dari buruknya kinerja birokrasi publik. Berbelit-belitnya prosedur bagi calon investor asing, peraturan ketenagakerjaan yang rumit, kurangnya insentif pajak bagi PMA, dan sebagainya. Begitu banyak indikator yang bisa menunjukkan buruknya kinerja birokrasi pemerintahan dalam hal ini. Misalnya, jika prosedur untuk memulai usaha di negara-negara OECD rata-rata adalah 4,7 dan di negara-negara Asia-Pasifik adalah 7,0 ternyata di Jakarta terdapat rata-rata 13 prosedur. Jika di Singapura proses ijin investasi dapat diselesaikan dalam waktu 7 hari kerja, di Indonesia prosesnya bisa memakan waktu hingga 3 bulan atau 90 hari kerja. Maka sangat penting bagi konsep reformasi birokrasi apa pun untuk benar-benar memastikan relevansinya dengan indikator kinerja yang objektif dan jelas, bukan sekadar wacana yang sifatnya formalistis.

220

Pemerintah yang Lincah (Agile Government) Sejak menduduki jabatan pada periode pertama, Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah berulang kali menekankan pentingnya kecepatan, efisiensi, dan responsivitas bagi jajaran birokrasi publik. Pada saat yang sama, literatur tentang manajemen publik banyak menyebut tentang pentingnya upaya untuk menciptakan pemerintahan yang lincah atau gesit (agile government). Dalam perkembangan bisnis global yang semakin kompetitif, kalangan bisnis sebagian besar sudah berusaha menyesuaikan diri dengan banyak kemungkinan adanya disrupsi di dalam jenis bisnis apa pun. Untuk itu, sebagian berusaha terus mengikuti perkembangan dan pemanfaatan TIK, menggunakan AI (artificial intelligence), serta semakin peka terhadap kebutuhan pasar. Namun, sayangnya. itu belum banyak terjadi di jajaran birokrasi pemerintah. Kebutuhan untuk menciptakan sistem manajemen yang cerdas, cepat dan responsif masih sekadar sebagai sarana pencitraan figur politik dan bukan dimaksudkan untuk menjadi solusi bagi persoalan pelayanan publik dalam jangka panjang. Semangat untuk menerapkan sistem manajemen dalam organisasi swasta yang lebih lincah sudah muncul pada awal tahun 2000-an dengan terbitnya banyak buku dan penerapan metode reinventing government (mewirausahakan birokrasi). Namun demikian, lagi-lagi semangat itu hanya sekadar menjadi wacana formalitas yang tidak mengakar betul pada budaya dan struktur dasar birokrasi pemerintahan di Indonesia. Perbedan antara konsep agile government dengan konsep-konsep manajemen publik sebelumnya adalah bahwa birokrasi pemerintah harus lebih profesional, lincah, dan responsif dengan struktur yang sangat adaptif, tetapi juga harus mampu beradaptasi dengan tantangan Industri 4.0 yang menuntut penggunaan TIK secara lengkap dan masuk ke dalam inti dari sistem manajemen. Di dalamnya, selain terdapat otomasi sistem dalam organisasi internal, juga ada keharusan untuk melengkapi birokrasi pemerintah dengan analisis data jumbo (big data analytics), IoT (Internet of Things), AI (artificial intelligence, kecerdasan buatan) guna menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sifatnya disruptif. Pokok persoalan yang dihadapi Indonesia ialah bahwa penggunaan TIK masih sekadar sebagai pelengkap atau sebagai pencitraan bagi perumus kebijakan yang memulai inisiatifnya. Bagi sistem manajemen 221

di perusahaan swasta, sudah banyak literatur yang menguraikan bahwa pemanfaatan TIK secara intensif bukan lagi sebagai pelengkap, tetapi justru menjadi penentu bagi keberlangsungan hidup perusahaan itu sendiri. Oleh sebab itu, untuk menjamin keberlangsungan (survival) perusahaan swasta, penciptaan organisasi yang lincah dengan bantuan TIK bukan lagi menjadi pelengkap melainkan sudah menjadi syarat fundamental (Leybourn, 2013). Inilah sebuah prinsip yang benar-benar harus disadari oleh para perumus kebijakan dalam organisasi publik di Indonesia. Literatur terkini mengenai kebutuhan penciptaan pemerintahan yang lincah menguraikan tentang pentingnya kemampuan organisasi publik untuk mengolah data yang begitu besar (data jumbo, big data). Lowman (2017), misalnya, menjelaskan bahwa ada sekian banyak tugas-tugas manajemen pemerintahan atau pelayanan publik yang dapat dikelola dengan baik jika organisasi publik memiliki kemampuan yang optimal untuk mengolah data jumbo, mulai dari perawatan balita, pendidikan, kesehatan, pencegahan penyalahgunaan narkoba, keamanan dan pencegahan kejahatan, penciptaan layanan kota terpadu, transportasi, hingga pengolahan limbah. Di banyak negara maju juga sudah didirikan pusat-pusat analisis data (Center of Data Analytics) yang khusus mengolah data dalam kapasitas yang besar dan di masa mendatang akan menjadi penentu kualitas pelayanan publik di negara-negara tersebut.

Gambar 9.1. Hubungan antara pola-pikir, teknologi, proses, dan manusia Sumber: Lowman (2017: 184)

222

Dari pola hubungan yang lebih produktif antara manusia, proses bisnis, teknologi, dan pola pikir manajemen organisasi publik seperti tergambar pada Gambar 9.1, dapat dilihat bahwa kelincahan organisasi publik akan ditentukan oleh kualitas dan volume data yang begitu besar, serta sistem manajemen yang menghubungkan berbagai komponen dengan efisiensi tinggi. Pola pikir yang dipakai dalam sistem manajemen publik harus mampu berubah dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan tatakelola dan tuntutan efisiensi sistem layanan yang makin kompleks dengan kualitas yang tidak dapat dikompromikan lagi. Sistem manajemen yang mengutamakan kinerja sangat tinggi (hyper-performing management) itu tentunya harus dilengkapi dengan sumberdaya manusia yang juga berkualitas tinggi, yang mampu menerjemahkan tujuan pokok organisasi ke dalam serangkaian kegiatan strategis, operasional maupun teknis dengan baik. Proses bisnis dalam tatakelola pemerintahan harus siap untuk berubah setiap saat sesuai dengan kondisi dan tuntutan masyarakat yang sangat dinamis. Dan, tentu saja model pemerintahan yang lincah ini harus didukung dengan penggunaan teknologi yang cocok dengan lingkup layanan publik yang diberikan sekaligus mendukung kapasitas sistem pengolahan data yang super besar dan super cepat. Gambaran tentang pemanfaatan teknologi informasi yang mempercepat banyak pekerjaan manual yang sampai saat ini masih tergantung oleh manusia hendaknya mendorong inovasi yang memungkinkan kombinasi antara pekerjaan terotomasi dan pekerjaan manual operasional oleh manusia. Teknologi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence, AI), misalnya, sudah mampu menjangkau banyak pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh orang-orang profesional di bidang tertentu. Sebagai contoh, Lawgeex, sebuah perangkat kecerdasan buatan untuk membaca kontrakkontrak hukum sudah bisa secara telak mengalahkan manusia, baik dari segi kecepatan maupun akurasi. Seorang asisten pengacara terbaik hanya mampu membaca dokumen kontrak dengan akurasi 85 persen dalam waktu 92 menit. Sebaliknya, Lawgeex ternyata mampu membaca dokumen kontrak yang sama dengan akurasi 95 persen dalam waktu hanya 26 detik. Bisa dibayangkan selanjutnya jika perangkat ini sudah dimanfaatkan oleh banyak kantor pengacara atau kantor-kantor pemerintah yang membutuhkan pembacaan dokumen, akan begitu banyak waktu yang 223

bisa dihemat dan akan semakin efektif pekerjaan-pekerjaan yang selama ini dikerjakan secara manual. Banyak pihak yang melihat bahwa perkembangan kecerdasan buatan itu akan mengakibatkan dampak negatif bagi kehidupan manusia, salah satunya yang paling jelas adalah kemungkinan masifnya pengangguran karena tergesernya tenaga kerja manusia oleh mesin, robot, dan programprogram kecerdasan buatan lainnya. Akan tetapi, tampaknya lebih banyak pakar yang memandang bahwa penggunaan teknologi informasi itu akan lebih memudahkan dan menguntungkan umat manusia. Diamandis dan Kotler (2014) melihat bahwa melimpahnya data, informasi dan perangkat mesin pengolah data itu akan mengakibatkan tiga kecenderungan secara serentak, yaitu dematerialisasi, demonetisasi, dan demokrasi. Dematerialisasi merupakan materi untuk memenuhi pelbagai kebutuhan manusia dalam melaksanakan pekerjaan, berkomunikasi satu dengan lainnya, serta memperoleh sarana hiburan akan semakin sedikit. Perangkat untuk mengolah data yang di tahun 1980-an dulu dilakukan dengan komputer meja (desk-top), perangkat faksimile, pesawat, telepon, pemutar kaset, dan kamera jinjing, sekarang ini semuanya dapat dilakukan dengan sebuah telepon seluler cerdas (smartphone) dalam satu genggaman. Sementara itu, demonetisasi adalah bahwa biaya untuk membangun berbagai macam fasilitas yang dibutuhkan oleh manusia semakin murah. Sejumlah perpustakaan sekarang ini dapat dikelola oleh Amazon, panggilan langsung jarak-jauh yang dulu mahal dan rumit sekarang tergantikan oleh Skype, pemesanan akomodasi oleh hotel-hotel yang berbiaya operasional mahal sudah bisa digantikan oleh Airbnb, pertemuan rapat yang membutuhkan biaya banyak sekarang tergantikan oleh Zoom, dan masih banyak lagi halhal yang sudah berubah dengan perangkat aplikasi baru. Sementara itu, yang dimaksud demokratisasi tentu saja kita bisa pahami dengan semakin terhubungnya banyak negara yang sistem politiknya tertutup dan warganya teralienasi, sekarang ini TIK memungkinkan orang tetap bisa memperoleh informasi yang akurat dan faktual sehingga mustahil sistem otoritarian akan bertahan. Karena berbagai keterbatasan, situasi di Indonesia belum akan sampai kepada ketersediaan infrastruktur serta teknologi informasi yang melimpah sebagaimana di negara-negara maju. Namun, dengan komitmen yang kuat 224

dari para perumus kebijakan publik, penyempurnaan sistem pemerintahan dan manajemen pelayanan seperti di negara-negara itu bisa terwujud. Perkembangan infrastruktur dengan satelit dan Cincin Palapa yang mampu mendorong penggunaan internet oleh warga dari sebelumnya kurang dari separuh penduduk menjadi lebih dari 56 persen (268,2 juta) penduduk telah mengakibatkan ekspansi penggunaan media sosial, e-commerce, dan kegiatan-kegiatan daring lainnya (Data Books, 08/02/2019). Dengan berkembangnya e-commerce, Tekfin (Teknologi Finansial) dan analisis Big Data, McKinsey (2016) memprediksi bahwa ekonomi digital Indonesia akan mencapai lebih dari 150 miliar dolar AS pada tahun 2025. Namun demikian, tetap harus dibuktikan apakah fenomena tersebut akan dapat dimanfaatkan oleh bisnis untuk menjadi produsen-produsen baru yang lebih efisien, atau bangsa Indonesia hanya akan menjadi konsumen bagi barang-barang yang dipasarkan melalui Internet. Banyak negara yang sekuat tenaga berusaha menciptakan sistem pelayanan publik yang semakin efisien, murah, cepat, dan sekaligus manusiawi dan responsif. Jepang, misalnya, sejak beberapa tahun bahkan sudah ingin melompat bukan saja ke dalam Industry 4.0, tetapi bermaksud menciptakan Society 5.0. Tujuannya adalah terciptanya supersmart public services, sistem layanan publik yang super-cerdas dengan penggunaan unsur-unsur yang selain semua yang sudah tersedia dengan TIK juga menggunakan teknologi robotik yang mengedepankan teknologi yang berpusat pada layanan manusia (human-centered technology). Barangkali masih terlalu jauh bagi jajaran birokrasi publik di Indonesia untuk mengarah kepada super-smart public services. Namun setidaknya jika gagasan tentang agile government dapat dilaksanakan secara serius bagi merealisasikan upaya reformasi birokrasi, maka birokrasi publik tidak akan menjadi beban tambahan bagi daya-saing nasional yang masih buruk sekarang ini.

Kolaborasi: Semangat Governansi dan Karya Bersama (Co-Creation) Salah satu kegagalan pemahaman yang masih terjadi di antara pejabat adalah bahwa satu-satunya yang bisa menyelenggarakan layanan publik adalah lembaga pemerintah. Keyakinan seperti ini selain keliru secara 225

mendasar juga menjadi semakin tidak realistis karena di masa mendatang tuntutan atas kualitas layanan publik akan begitu kompleks dan semakin cepat berubah. Pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, telekomunikasi, dan kesejahteraan sosial sekarang ini pun sudah menunjukkan bahwa yang terlibat bukan hanya lembaga pemerintah, tetapi juga perusahaan swasta, organisasi kemasyarakatan, yayasan kemanusiaan, dan berbagai jenis organisasi yang oleh para pakar politik sering disebut sebagai kelompok kepentingan (interest groups) atau kelompok penekan (pressure groups). Kerja sama di antara organisasi pemerintah, perusahaan swasta, dan unsur-unsur kemasyarakatan secara luas sejalan dengan prinsip governansi yang baik (good governance) inilah yang di masa mendatang akan menentukan kualitas layanan publik. Prinsip kolaboratif ini sudah banyak diterapkan di negara-negara maju, tetapi harus lebih banyak didorong di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Perubahan paradigma yang harus ditanamkan dalam birokrasi publik dengan demikian adalah penciptaan sistem manajemen yang dinamis, berjejaring, dan berkolaborasi. Lembaga-lembaga pemerintah hendaknya mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan lingkungan strategis, perubahan tuntutan dan harapan masyarakat, dan kebutuhan untuk mendukung pasar yang sehat dan produktif, yang kesemuanya akan berlangsung begitu cepat. Birokrasi harus bersedia dan mampu berkolaborasi dan berjejaring bukan saja di antara setiap satuan di jajaran pemerintahan, tetapi juga dengan sejumlah pemangku kepentingan yang kemungkinan berbeda-beda dalam hal visi, kapasitas, dan karakter organisasinya. Konsep-konsep kerja sama yang sekarang sudah mulai dikenal seperti yang terkandung dalam gagasan triple-helix (pemerintah, swasta, masyarakat) atau penta-helix (pemerintah, perusahaan, masyarakat, perguruan tinggi, media) di masa depan akan semakin terbuka. Kemampuan untuk menjalin kolaborasi bagi penciptaan sistem manajemen layanan yang murah, efisien, cepat, dan sekaligus bertanggung jawab akan sangat menentukan. Setiap produk layanan akan menjadi milik bersama dan menjamin kepuasan semua pihak karena pada dasarnya merupakan produksi bersama (co-production) atau penciptaan bersama (co-creation). Barangkali, salah satu paradigma sistem manajemen publik yang kini berkembang setelah memudarnya paradigma NPM (New Public 226

Management) maupun NPS (New Public Service) adalah tata kelola atau governansi kolaboratif (collaborative governance). Dengan mengambil pengalaman dari 137 kasus kerja sama dalam tata kelola pemerintahan, Ansell dan Gash (2008:544) membuat sebuah rumusan yang padat tentang apa yang dimaksud dengan tata kelola kolaboratif sebagai berikut.“A governing arrangement where one or more public agencies directly engage non-state stakeholders in a collective decision-making process that is formal, consensus-oriented, and deliberative and that aims to make or implement public policy or manage public programs or assets.” Implikasi paling jelas dari penggunaan paradigma atau konsep tata kelola kolaboratif adalah bahwa batas-batas antara sektor publik, sektor swasta, dan sektor komunitas semakin pudar. Saat ini dan di masa mendatang, kolaborasi di antara berbagai macam sektor inilah yang akan menentukan wujud dan kualitas layanan publik di banyak negara. Implikasi konseptual yang antara lain dikemukakan oleh Amsler (2016:709) adalah bahwa tata kelola kolaboratif membiutuhkan sintetis antara manajemen, politik, dan hukum. Untuk menciptakan sistem manajemen layanan publik yang efisien, efektif dan sekaligus responsif, sekat-sekat asumsi yang berasal dari sebuah disiplin ilmu tertentu harus dihapuskan. Utamanya adalah pendekatan integratif di dalam penyelenggaraan kebijakan maupun penerapan sistem layanan bagi segenap warga. Ada beberapa kriteria tata kelola kolaboratif yang harus dipertimbangkan, yaitu 1) bahwa forum kerja sama biasanya diinisasi oleh lembaga publik, tetapi sebenarnya inisiatif bisa datang dari mana saja, 2) partisipan yang mengaktifkan forum melibatkan banyak pelaku di luar negara, 3) peserta terlibat langsung dalam perumusannya, dan bukan sekadar “diajak terlibat” oleh pejabat lembaga publik, 4) forum secara fundamental memang diciptakan untuk mengakomodasi kepentingan kolektif, 5) forum bertujuan untuk membuat keputusan melalui konsensus, sekalipun konsensus itu di dalam praktiknya sulit dicapai, dan 6) fokus dari kerjasama memang bidang-bidang yang terkait dengan kebijakan dan manajemen publik. Berbagai prasyarat dan kriteria telah dikemukakan oleh para pakar bagi terciptanya sistem tatakelola yang kolaboratif. Namun, salah satu prinsip yang senantiasa menjadi tujuan dari penerapan prasyarat dan kriteria itu adalah terciptanya partisipasi yang optimal dari berbagai unsur organisasi, 227

baik pemerintah, swasta maupun komunitas, sehingga produk kebijakan maupun sistem layanan publik yang dihasilkan akan memenuhi standar efisiensi, efektivitas, serta kemanfaatan yang luas bagi khalayak. Tahapan paling awal dari proses pembaruan tata kelola itu adalah keterbukaan data dan informasi yang menciptakan transparansi bagi semua pihak. Dengan ditunjang oleh teknologi informasi terkini, keterbukaan ini menjadi relatif mudah dilaksanakan sepanjang semua pihak punya komitmen untuk mendukung integritas dan transparansi. Selanjutnya, transparansi metode dan prosedur dalam layanan publik akan menciptakan tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi terhadap lembaga pelayanan. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, bertambahnya prosedur dalam organisasi pemerintah acap kali bukan merupakan tuntutan dari proses bisnis yang ideal, tetapi sebaliknya hanya merupakan wujud dari berbagai kepentingan aparat pelayanan publik sendiri. Lalu, pada titik akhir peningkatan kepercayaan di dalam proses politik dan peneguhan komitmen di antara para perumus kebijakan akan menambah tingkat partisipasi semua unsur tata kelola di dalam sistem manajemen publik. Gambar 9.2 menunjukkan rangkaian arah tindakan dan pengaruhnya terhadap peningkatan partisipasi di dalam sistem manajemen publik tersebut.

Gambar 9.2. Transparansi data dan informasi sebagai prasyarat partisipasi Sumber: Edelmann dkk. dalam Charalabidis dan Koussouris (2012: 34)

Kepemimpinan di setiap jenis organisasi yang mampu untuk berkomunikasi secara efektif dengan pihak lain serta mampu mengoptimalkan kolaborasi secara luas di masa mendatang akan

228

menentukan kualitas layanan publik di setiap lini. Dalam hal ini, ada dua hal yang harus diantisipasi oleh para calon pemimpin untuk menghadapi tantangan ini di Indonesia. Pertama, calon pemimpin dalam organisasi atau birokrasi publik harus mampu merangkul semua unsur sumber daya manusia dengan karakter yang berbeda-beda. Hendaknya disadari bahwa saat ini jajaran pemerintahan tidak lagi didominasi oleh generasi X atau generasi baby boomers, tetapi sebagian besar justru dipimpin oleh generasi Y yang terlahir tahun 1990-an dan bahkan generasi Z atau generasi milenial yang terlahir tahun 2000-an. Karakter generasi-generasi baru ini pada dasarnya menghendaki sistem kerja yang fleksibel, mengandalkan teknologi informasi, dan menghendaki keluaran yang serba cepat dan instan. Jika semangat kolaboratif dapat dibudayakan di antara sumber daya manusia yang menjadi motor penggerak birokrasi publik ini, akan banyak hal yang dapat disediakan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Kedua, perubahan paradigma ke arah kolaboratif akan mengakibatkan rasa tidak nyaman bagi model-model kepemimpinan lama yang otoritatif dan hierarkis. Akan tetapi, dengan belajar dari situasi pandemi bahwa krisis harus dihadapi dengan perubahan yang radikal, krisis dalam paradigma birokrasi publik juga harus disikapi dengan pemaksaan untuk berubah. Dengan tersedianya teknologi digital di banyak aspek kehidupan manusia, barangkali sebagian beranggapan bahwa orang dapat bekerja secara lebih efisien dan efektif tanpa harus bekerjasama dan membangun jejaring dengan orang lain. Anggapan dan asumsi semacam ini ternyata keliru besar. Justru sebaliknya, agar supaya tujuan individual maupun organisasi dapat dicapai secara optimal, tersedianya teknologi digital mengharuskan orang untuk terbiasa bekerja kolaboratif, menjalin jejaring yang efektif dan memanfaatkan begitu banyak kecerdasan kolektif (multitalent) secara lebih intensif. Tanpa disadari, teknologi digital sudah menghubungkan banyak orang. Suka atau tidak suka, aktivitas individual juga sudah terekam dalam banyak fasilitas digital tersebut. Seandainya saya menceritakan apa yang saya lakukan hari ini kepada ibu saya atau kepada anak-anak saya di rumah, bahasa yang saya pergunakan mungkin berbeda dengan ketika saya menceritakannya kepada sesama teman sembari ngobrol di kafe, di tempat karaoke, atau yang lainnya. Saya mungkin diharuskan, atau masih bisa, menyembunyikan hal-hal yang tidak 229

perlu diketahui oleh ibu saya ketika saya bercerita kepada sesama teman sejawat. Namun demikian, situasi pada zaman sekarang ini semakin sulit untuk menyembunyikan atau merahasiakan hal-hal semacam itu. Penyedia teknologi digital seperti Twitter, Facebook, atau MySpace membuat batasbatas informasi semakin kabur. Semakin sulit orang menyembunyikan atau merahasiakan hal-hal yang semestinya hanya menjadi wilayah pribadi karena banyak hal tanpa disadari sudah terekam di dalam jejakjejak digital yang disediakan oleh banyak platform. Oleh sebab itu, yang diperlukan oleh sebuah organisasi untuk tetap mampu bertahan dengan efektif sekarang ini bukan dengan sepenuhnya bekerja secara individual, melainkan bekerja secara kolaboratif dan kolektif agar tujuan organisasi dapat tercapai secara optimal. Agar organisasi mampu berkolaborasi dengan efisien serta mampu mencapai tujuannya dengan efektif, saat ini sudah tersedia banyak perangkat lunak analisis semantik yang disebut sebagai SNA (Social Network Analysis). Aplikasi SNA akan mampu membaca data individual dan menghubungkannya dengan banyak aktivitas dalam organisasi publik maupun organisasi swasta, dan dengan demikian dapat mengidentifikasi kebutuhan kolaborasi yang produktif bagi sebuah organisasi. Berbagai informasi menyangkut sumber daya manusia yang bekerja dalam lingkup organisasi yang berlain-lainan dapat diperoleh secara lengkap, dan selanjutnya dapat dianalisis dengan lebih cermat. Sebagai contoh, bukan rahasia lagi bahwa SNA mampu mengungkap siapa saja individu yang berpengaruh di dalam komunitas tertentu, siapa saja yang mereka dengar, siapa saja pihak-pihak yang diajak kerja sama, dan faktor apa saja yang kemungkinan mempengaruhi cara mereka membuat keputusan (Waters, 2010:166). Dengan melakukan analisis terhadap catatan semantik di Twitter, Facebook, MySpace, atau platform media sosial lainnya, organisasi publik juga akan lebih akurat untuk memperhitungkan cara mencapai tujuan taktis, operasional, maupun strategis. Di masa mendatang, kebutuhan untuk melakukan kolaborasi di antara lembaga-lembaga publik akan semakin banyak dan beragam. Batasbatas antara lembaga pemerintah, organisasi perusahaan swasta, dan komunitas masyarakat diharapkan tidak lagi kaku agar masalah-masalah publik dapat diatasi dengan lebih baik. Sebagai contoh, dalam upaya 230

untuk mengefektifkan kebijakan pemberantasan korupsi, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga penegak hukum yang selama ini kita kenal seperti Polri, Kejaksaan, Mahkamah Agung, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun, di masa mendatang kebutuhan dan cakupan kolaborasi bisa semakin intensif dan luas. Untuk melaksanakan penyidikan dan OTT (Operasi Tangkap Tangan), KPK harus bekerja sama dengan Polri, dan Kejaksaan Agung dalam pembuatan SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan). Meskipun di antara lembaga-lembaga tersebut sering kali masih terjadi miskomunikasi dan kesalahpahaman dalam penerbitan SPDP karena setiap lembaga seringkali menggunakan acuan hukum dan perundangan yang berbeda-beda, tetapi setidaknya kerja sama ini menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan OTT sangat tergantung kepada kesediaan setiap lembaga untuk bekerjasama secara sinergis. Dalam fungsi pencegahan korupsi, kerja sama dengan lembaga yang memiliki otoritas langsung terkait dengan pembinaan ASN (Aparatur Sipil Negara) seperti Kemenpan-RB, Kemendagri, dan Bappenas juga semakin penting (Abubakar dkk., 2017). Untuk memastikan bahwa kolaborasi antar lembaga berjalan sinergis dan produktif, setiap lembaga hendaknya memiliki sikap dan perilaku positif yang mendukung setiap bentuk kerja sama. Pada dasarnya setiap upaya kolaboratif akan berlangsung baik dan berkelanjutan jika terjadi pertukaran relasional (relational exchange). Mooi (2007) mengatakan bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah terjadinya pertukaran ekspektasi menyangkut perilaku, pertukaran informasi, solidaritas, dan fleksibilitas dalam hubungan antar lembaga. Informasi harus dapat dipertukarkan secara bebas diantara semua lembaga yang terlibat meskipun informasi tidak memberi keuntungan langsung kepada penyedia. Solidaritas akan menjamin solusi yang menyeluruh terhadap masalah-masalah publik. Sementara itu, fleksibilitas menyangkut ekspektasi bahwa semua pihak bersedia untuk menyesuaikan diri dengan kemungkinan adanya perubahan kondisi. Dalam hal kolaborasi antara KPK dengan Kejaksaan dan Polri, misalnya, mustahil penindakan korupsi melalui OTT berjalan dengan baik jika terjadi pertukaran relasional diantara lembaga-lembaga tersebut. Pertukaran informasi, kerjasama dalam penyediaan penyidik dan sumber 231

daya manusia lainnya, serta kelengkapan dokumen yang digunakan sebagai bukti awal hanya merupakan sebagian dari masalah teknis yang harus disepakati. Namun, yang paling mendasar adalah komitmen positif dari semua lembaga untuk mendukung pemberantasan dan pencegahan korupsi secara sistematis. Para pemimpin organisasi publik harus mampu mengatasi kepentingan dan kebutuhan individual guna menciptakan kolaborasi antar lembaga yang sinergis dan produktif. Masalahnya adalah bahwa para pemimpin itu juga harus mengatasi berbagai paradoks dalam setiap bentuk kolaborasi. Di mana pun kolaborasi diantara lembaga-lembaga publik yang berjejaring acap kali menghasilkan ironi atau paradoks. Ketika para pemimpin lembaga itu berusaha mendukung setiap upaya dalam organisasi untuk mewujudkan tujuan tertentu, dan mereka mendukung cara kerja yang akan mencapai target, mereka akan menghadapi tuntutan-tuntutan kontradiktif yang inheren di dalam setiap manajemen kolaboratif yang akan mengancam komitmen dan kemampuannya untuk bekerja sama. Gambaran mengenai paradoks dalam manajemen kolaboratif itu seperti tampak pada Gambar 9.3. Tampak bahwa tuntutan terhadap pemimpin di setiap lembaga adalah bagaimana mengatasi setiap paradoks dan pada saat yang sama mengatasi hambatan bagi kolaborasi.

Gambar 9.3. Paradoks dalam manajemen kolaboratif Sumber: Ospina & Saz-Carranza (2010: 425)

232

Berdasarkan penelitian dari Ospina dan Saz-Carranza (2010), para pemimpin yang berhasil dalam melaksanakan manajemen publik secara kolaboratif menggunakan enam cara guna mengatasi paradoks, baik secara ke dalam (inward) maupun ke luar (outward). Untuk mengatasi paradoks yang membutuhkan kesatuan dan sekaligus diversitas di dalam jejaring, para pemimpin akan memfasilitasi interaksi, menumbuhkan relasi antarpersonal, dan mempromosikan keterbukaan diantara para partisipan dalam jejaring. Sementara itu, untuk mengatasi paradoks adanya konfrontasi dan sekaligus dialog, para pemimpin akan mengelola kredibilitas jejaring, bekerja dalam berbagai tingkatan organisasi (multi-level), serta menumbuhkan relasi eksternal yang sifatnya jamak. Pada sebagian besar kasus, orientasi kerja ke dalam dan keluar ini dilaksanakan secara serentak, dan bukan berurutan atau bertahap. Dengan demikian, untuk terciptanya sistem manajemen publik yang kolaboratif, diperlukan pemimpin yang benar-benar memiliki komitmen kuat terhadap hasil akhir proses kolaboratif yang produktif, dan sekaligus paham tentang prinsip-prinsip pokok di dalam kerja sama. Mereka harus mampu meyakinkan bahwa kepentingan internal lembaga yang tetap terakomodasi dan bawahan mereka tetap merasa terlindungi oleh pimpinan. Sementara itu, mereka harus juga mampu melakukan negosiasi dan meyakinkan para pemimpin lembaga lain, baik lembaga pemerintah, organisasi swasta, maupun komunitas kemasyarakatan, bahwa kinerja optimal hanya akan dapat diperoleh jika mereka bekerja sama dan kepentingan publik akan lebih terakomodasi melalui manajemen yang kolaboratif.

Prinsip Akuntabilitas dalam Manajemen Layanan Selain kebutuhan akan sistem yang kolaboratif, prinsip dasar yang harus dikembangkan dalam situasi krisis paradigma layanan publik di Indonesia adalah akuntabilitas. Wacana tentang profesionalisme, budaya melayani dan mengayomi, serta kaidah layanan prima sudah banyak disampaikan dalam berbagai forum. Akan tetapi, masalah pokok dalam peningkatan kinerja layanan publik sesungguhnya terkait dengan akuntabilitas lembaga publik yang masih rendah. Penilaian kinerja organisasi pemerintah memang mengandung tiga paradoks, yaitu 1) penilaian kinerja hanya sekadar 233

proses formal, 2) kriteria hasil (outcomes) sebagai sesuatu yang ideal sulit disepakati karena banyaknya unsur subjektif, dan 3) profesionalisme dan spesialisasi sering bertentangan dengan gagasan tentang akuntabilitas (Radin, 2006). Kita bisa melihat paradoks ini dari penggunaan sistem LAKIP (Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah) yang digagas oleh kantor MENPAN dan RB. Laporan ini masih cenderung formalistik dan belum mengukur kinerja yang sesungguhnya dari satuan-satuan kerja dalam lembaga pemerintah. Dan, sistem ini pun belum bisa dijadikan sebagai materi evaluasi kinerja. Oleh sebab itu, akuntabilitas diantara organisasi publik hendaknya dikembalikan pada gagasan awal sebagai “kinerja yang dipertanggungjawabkan kepada publik”. Akuntabilitas harus dipahami sebagai sebuah cara untuk menyediakan bagi rakyat sarana untuk mengendalikan perilaku aktor kebijakan, semisal politisi atau pejabat pemerintah, yang telah memperoleh delegasi kekuasaan dari rakyat baik melalui pemilihan umum, seleksi profesional, atau cara-cara modern lainnya. Untuk memahami tentang pentingnya akuntabilitas di dalam sistem administrasi publik di masa mendatang, yang sering kali menjadi kendala adalah persepsi tentang dilema antara demokrasi dan sistem birokrasi modern. Nilai-nilai dalam demokrasi (persamaan, partisipasi, kebebasan, keadilan sosial) sering kali dipandang bertentangan dengan nilai-nilai dalam birokrasi modern (hierarki, spesialisasi, impersonalitas). Sesungguhnya pertentangan nilai itu lebih disebabkan oleh kesalahan persepsi mengenai misi pokok birokrasi di dalam layanan publik. Demokrasi hendaknya tidak lagi dimaknai sekadar sebagai proses politik yang bersifat prosedural, tetapi harus benar-benar menyentuh sasaran-sasaran yang substansial. Dengan demikian, demokrasi bukan hanya dilaksanakan berdasarkan proses elektoral dan prosedur-prosedur politik untuk menjamin asas persetujuan rakyat (principle of consent), tetapi juga harus disertai dengan asas-asas substansial yang tidak kalah pentingnya, yaitu asas persamaan hukum (equality before the law), perbaikan bagi semua (betterment of all), dan keadilan sosial (social justice), yang selama ini terabaikan di Indonesia. Upaya untuk mewujudkan itu semua harus dimulai dari aspek yang benarbenar dirasakan oleh seluruh rakyat, yaitu pelayanan publik.

234

Dengan demikian, akuntabilitas aparat pemerintah bukan hanya untuk memenuhi kehendak lembaga legislatif, media massa, atau para pegiat masyarakat yang kritis terhadap kegiatan pemerintah, tetapi memang karena prinsip inilah yang akan menentukan legitimasi dan keberadaan dari organisasi publik itu sendiri. Seorang pakar mengatakan: “(it will)... enhance organizational survival, increase agency legitimacy, and heighten public satisfaction with government” (Koven, 1999). Jadi, tujuan akuntabilitas anggaran publik selain untuk kemaslahatan rakyat pada akhirnya juga untuk keberlanjutan dan legitimasi lembaga pemerintah. Penguatan akuntabilitas publik dapat dilakukan pada dua tataran, yaitu tataran normatif dan tataran prosedural. Pada tataran normatif, harus dilakukan pergeseran sikap mengenai tolok ukur, nilai-nilai serta tujuan dari tindakan birokrasi publik yang bertanggung jawab. Standar dari praktik penggunaan otoritas oleh pejabat publik harus diukur oleh seberapa besar sumbangan mereka terhadap kesejahteraan umum, bukan sekadar efisiensi atau kesesuaiannya dengan peraturan. Pada tataran prosedural, harus diupayakan perbaikan terhadap akses dan aspirasi dari orang miskin dan kelompok-kelompok yang tidak beruntung. Dalam hal ini, birokrasi publik tetap harus memiliki keberpihakan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini banyak ditelantarkan oleh berbagai macam program dan proyek pemerintah. Sebagai contoh, pelembagaan akuntabilitas terhadap anggaran publik (baik APBN maupun APBD) hendaknya didasari oleh kelengkapan daur akuntabilitas yang meliputi empat tahapan, yaitu 1) ketersediaan informasi, 2) analisis hasil dan usulan kebijakan, 3) keterlibatan warga dalam penentuan prioritas, dan 4) advokasi publik. Ketika para pejabat pemerintah dituntut untuk bersikap terbuka dan responsif, unsur-unsur masyarakat madani hendaknya juga melakukan analisis dengan objektif. Tindakan koreksi terhadap kebijakan anggaran bukan dengan maksud sekadar mencari-cari kesalahan, tetapi untuk menjamin bahwa sumber dana yang terkumpul dalam APBN dan APBD benar-benar diperuntukkan bagi kemaslahatan seluruh rakyat. Pemenuhan prasyarat akuntabilitas tersebut sangat penting untuk memastikan bahwa kekuasaan pejabat tidak disalahgunakan. Sebuah hasil survai menunjukkan bahwa, di antara 66 negara berkembang, Indonesia 235

sebenarnya termasuk negara yang memiliki kapasitas birokrasi relatif tinggi. Namun, dalam hal sistem kawal dan imbang (checks and balances), Indonesia masih termasuk dalam kategori rendah (Levy, 2007:82). Oleh sebab itu, akuntabilitas merupakan salah satu faktor yang akan bermanfaat untuk meningkatkan sistem kawal dan imbang tersebut. Kembali kepada contoh tentang akuntabilitas anggaran publik, pengalaman dari negara-negara maju OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) menunjukkan bahwa dari belanja pemerintah, pada dasarnya ada tiga unsur yang perlu diketahui oleh publik, yakni prioritization (penentuan prioritas alokasi dana), execution (pelaksanaan atau pencairan dana yang mendukung kegiatan), dan evaluation (mengkaji hasil-hasil dari pendanaan oleh pemerintah) (Griffin dkk., 2010:67). Unsur-unsur anggaran belanja di negara OECD itu begitu sederhana. Ini berbeda dengan yang diterapkan di banyak negara berkembang termasuk Indonesia yang siklus anggarannya berlangsung sepanjang tahun dan unsur-unsurnya begitu kompleks. Siklus di Indonesia itu lebih banyak melibatkan hal-hal formal atau prosedural sedangkan yang substantif diabaikan. Kerangka hukum dan peraturan yang menyangkut akuntabilitas di Indonesia sebenarnya sudah cukup lengkap. Selain Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur tentang akuntabilitas keuangan, terdapat pula Perpres No. 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKIP). Namun, masih banyak substansi peraturan yang harus dipertajam dengan mengedepankan akuntabilitas eksternal, bukan sekadar akuntabilitas internal yang formalistik. Sebagai contoh, PP No. 3/2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) telah mengakomodasi konsep triple accountability (akuntabilitas kepada tiga pihak). Akuntabilitas ke atas mengharuskan pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab kepada pemerintah provinsi, dan selanjutnya kepada Kementerian Dalam Negeri. Akuntabilitas ke samping mengharuskan Pemda bertanggung jawab kepada DPRD sebagai lembaga legislatif. Dan akuntabilitas ke luar mengharuskan Pemda bertanggung jawab kepada masyarakat luas. Sayangnya, sistem LPPD itu masih mengandung dua kelemahan. Pertama, format informasi LPPD yang wajib diterbitkan di surat kabar 236

lokal itu sangat formal dengan bahasa yang sama dengan laporan yang dibuat untuk keperluan internal atau laporan kepada DPRD. Kedua, materi informasi LPPD masih memuat hal-hal yang terlalu umum dan hanya dimengerti oleh para pejabat pemerintah seperti 26 urusan wajib, 8 urusan pilihan dan beberapa urusan desentralisasi. Sementara itu, informasi tentang program atau proyek khusus yang dilaksanakan dalam satu tahun fiskal, alasan yang mendasari program tersebut, komitmen dana yang dialokasikan, berapa dana yang tidak terserap, serta apa saja hasil capaian yang diperoleh dari program tersebut justru tidak banyak diuraikan. Kurang efektifnya sistem akuntabilitas mengakibatkan begitu banyak penyimpangan oleh pejabat, di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Bahkan, dalam masa pandemi pada tahun 2020, tertangkapnya dua orang menteri (Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Sosial) menunjukkan betapa lemahnya sistem akuntabilitas sehingga penyimpangan dan korupsi terus berlangsung. Di tingkat daerah, meskipun banyak kasus hukum yang melibatkan para politisi di DPRD dalam penggunaan APBD, tetapi belum banyak upaya untuk mencegah agar kejadian serupa tidak terjadi, dan terlalu sedikit masyarakat yang perduli tentang bagaimana proses negosiasi yang terjadi di dalam TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah). Para akademisi, peneliti dan LSM belum benar-benar perduli kepada upaya aktif partisipasi publik terkait anggaran. Seperti dikemukakan oleh Ott (2006), keterlibatan aktif warga (active citizenry) acap kali masih menjadi persoalan yang menyebabkan lemahnya akuntabilitas anggaran. Pada tingkat operasional, berikut ini adalah sebagian dari upaya memperkuat akuntabilitas organisasi publik yang harus diperhatikan. 1. Keberpihakan kebijakan yang lebih kuat kepada kepentingan publik; Kebijakan publik harus punya keterkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat luas. Dalam hal akuntabilitas mengenai pelayanan publik, harus dipastikan bahwa sistem pelayanan yang dikembangka benar-benar sesuai dengan aspirasi masyarakat. Dalam hal akuntabilitas mengenai penggunaan keuangan negara, prinsip-prinsip seperti money follows function (uang mengikuti fungsi) atau values for money (uang harus menghasilkan manfaat riil) hendaknya bukan sekadar wacana, tetapi harus terwujud dalam semua kebijakan pemerintah. 237

2.

Prediktabilitas dan kontrol atas kualitas pelayanan publik; Masyarakat harus dapat mengetahui dan mengontrol proses pelayanan publik dengan ketersediaan informasi mengenai jalannya pemerintahan secara lengkap. Kecenderungan pelayanan publik yang membuka peluang lobi politik dan kerjasama terselubung harus dikurangi. Mekanisme kurang transparan yang terjadi dalam penyusunan SOP (Standar Operasional dan Prosedur) harus benarbenar ditekan sehingga masyarakat akan semakin antusias dan semakin aktif dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. 3. Audit eksternal yang objektif dan transparan; Lembaga pemeriksaan dan pengawasan harus diperkuat dengan para pegawai yang punya kemampuan profesional tinggi. Dengan bantuan teknologi informasi sekarang ini, semestinya transparansi tidak menjadi masalah dalam membuat laporan kepada publik. Yang harus dicegah ialah audit yang mengutamakan kepentingan politik dan cenderung berpihak pada kepentingan kelompok tertentu. Sudah barang tentu, penciptaan sistem akuntabilitas yang optimal dalam penyelenggaraan pemerintahan bukan terbatas hanya dalam hal pelayanan publik di tingkat operasional, tetapi juga harus menyangkut semua tahapan dan lingkup perumusan kebijakan publik. Mekanisme perencanaan harus dipastikan terbuka dan transparan sehingga dapat diikuti logikanya oleh sebagian besar khalayak. Pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah harus diletakkan di bawah pengawasan publik secara wajar sehingga berbagai kemungkinan penyalahgunaan dan penyimpangan dapat diketahui sejak dini. Selanjutnya, sistem monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan perlu diciptakan supaya terjadi perbaikan yang terus-menerus terhadap sistem pemerintahan dan layanan publik pada umumnya.

Penutup Uraian pada bab ini menegaskan bahwa sistem manajemen pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah membutuhkan perubahan yang mendasar jika dikehendaki untuk tetap relevan dan mengabdi kepada kepentingan bangsa secara nyata. Visi dan misi pelayanan publik yang 238

diselenggarakan oleh pemerintah tidak mungkin lagi hanya didasarkan pada kaidah-kaidah formal dan legalistik tanpa merujuk kepada upaya besar untuk meningkatkan daya-saing bangsa. Untuk itu, sistem manajemen pelayanan harus diciptakan agar berorientasi kepada hasil nyata (outcomeoriented), bukan sekadar luaran (output-oriented), apalagi kalau sekadar menggugurkan kewajiban (target-oriented). Telah diuraikan, misalnya, betapa besarnya energi para pejabat dan para pegawai ASN selama ini sudah dihabiskan untuk hal-hal formalistik seperti membuat laporan kegiatan dan laporan keuangan triwulanan, menyiapkan dokumen evaluasi kerja, menyiapkan dokumen LAKIP, dan hal-hal formal lainnya, sedangkan misi untuk meningkatkan kualitas pelayanan seperti tercatat dalam peringkat doing-business, atau evaluasi terhadap efisiensi setiap satuan kerja justru dilupakan. Tantangan yang perlu dijawab bagi pengembangan sistem manajemen publik di Indonesia adalah perlunya perubahan radikal di sektor publik agar setiap unsur manajemen, mulai dari sistem perencanaan, penyediaan sumber daya manusia, penganggaran, tata kelola, hingga evaluasi kinerja harus diarahkan kepada upaya besar untuk meningkatkan efektivitas pelayanan oleh sektor publik sehingga sektor ini benar-benar menjadi pendorong bagi daya-saing bangsa. Dalam periode antara 2019–2030, Indonesia memiliki peluang emas melalui bonus demografi (demographic dividend) sebab struktur tenaga-kerja yang berusia antara 15–64 tahun sedang berada pada proporsi yang paling tinggi. Pengalaman menunjukkan bahwa sebagian besar negara bisa melompat menjadi negara industri dengan pendapatan nasional yang relatif tinggi jika bisa memanfaatkan periode bonus demografi ini. Namun sebaliknya, jika bangsa ini gagal memanfaatkannya untuk meningkatkan produktivitas, jumlah penduduk Indonesia yang besar justru hanya akan menjadi beban yang berat. Maka, semua organisasi di sektor publik hendaknya dapat menjadikan momentum reformasi birokrasi untuk meningkatkan daya saing bangsa sekaligus menangkap seluruh peluang pada masa bonus demografi. Untuk itu, tiga prinsip yang diuraikan dalam bab ini kiranya dapat menjadi acuan bagi upaya menjawab tantangan bagi pengembangan sistem manajemen publik dalam beberapa dasawarsa ke depan, yaitu kelincahan, kolaborasi, dan akuntabilitas. Relevansinya bagi kebutuhan perubahan di 239

dalam sistem manajemen pemerintahan di Indonesia sangat nyata, dan kiranya ini akan menjadi objek kajian yang perlu terus dikembangkan oleh para akademisi, intelektual, dan mahasiwa dalam disiplin ilmu kebijakan dan manajemen publik. Kelincahan (agility) di sektor publik sangat diperlukan untuk menghadapi perubahan yang begitu cepat dalam banyak aspek pelayanan publik karena disrupsi, ketersediaan teknologi, serta perubahan pola-pikir masyarakat yang menuntut responsivitas pemerintah yang sangat tinggi. Kecerdasan buatan, analisis data jumbo (big data analytics), dan ekspansi media sosial adalah sebagian dari aspek perubahan yang menuntut pemerintah yang lincah di masa mendatang. Kolaborasi juga merupakan prinsip yang akan mewarnai kinerja sektor publik mengingat bahwa tidak mungkin lagi pemerintah bekerja sendiri untuk memenuhi tuntutan pelayanan yang semakin kompleks dan semuanya harus serba cepat dan responsif. Sistem kelembagaan baru yang tercipta melalui konsep kemitraan dengan swasta (Public-Private Partnership), kerja sama PentaHelix (pemerintah, perusahaan, masyarakat, perguruan tinggi, media), dan semua bentuk kerja bersama (co-creation) akan mewarnai perkembangan teori maupun praktik kebijakan dan manajemen publik selanjutnya. Selanjutnya, prinsip ketiga yang akan menentukan kualitas pelayanan publik adalah akuntabilitas. Unsur-unsur akuntabilitas yang meliputi keberpihakan yang lebih tinggi kepada kepentingan publik, prediktabilitas dan kontrol masyarakat atas kualitas sistem layanan publik, serta sistem audit kinerja maupun audit keuangan yang sistematis merupakan prasyarat pengembangan sistem manajemen pelayanan publik yang akan sangat penting di masa mendatang.

240

Daftar Pustaka Abubakar, A., E. Prasojo, & L. M. Jannah. 2017. “Collaborative Governance in Eradicating Corruption in Indonesia: Challenges and Opportunities”. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, Vol. 167, hal. 95–101. Amsler, L.B. 2016. “Collaborative Governance: Integrating Management, Politics, and Law”. Public Administration Review, Vol. 76 (5), hal. 700–711. Anonim. 2021. “The World Bank”. https://www.doingbusiness.org/en/data/ exploreeconomies/ indonesia. Diakses tanggal 22 Juli 2021. Anonim. 2016. “McKinsey and Company”. Unlocking Indonesia’s Digital Opportunity. Authored by Das, K, dkk. Tersedia di www.mckinsey. com. Diakses tanggal 22 Juli 2021. Ansell, C. & A. Gash. 2008. “Collaborative Governance in Theory and Practice”. Journal of Public Administration Research and Theory: J-PART, Oct., 2008, 18(4), 543-571. Charalabidis, Y. & S. Koussouris. 2012. Empowering Open and Collaborative Governance: Technologies and Methods for Online Citizen Engagement in Public Policy Making. Berlin: Springer. Cooke, J. L. 2012. Everything you want to know about Agile: How to get Agile results in a Less-than-agile Organization. Clive: IT Governance Pub. Diamandis, P.H. & S. Kotler. 2014. Abundance: The Future is Better Than You Think. New York: Free Press. Fukuyama, F. 2004. State-Building: Governance and World Order in the 21st Century. Ithaca: Cornell University Press. Goetz, A.M. & R. Jenkins. 2005. Reinventing Accountability: Making Democracy Work for Human Development. New York: PalgraveMacMillan. Griffin, C.C. dkk. 2010. Lives in the Balance: Improving Accountability for Public Spending in Developing Countries. Washington D.C.: Brookings Institution Press. Levy, B. 2007. Governance Reform: Bridging Monitoring and Action. Washington D.C.: IBRD, World Bank.

241

Lowman, M. 2017. A Practical Guide to Analytics for Governments: Using Big Data for Good. New Jersey: Wiley and Sons. Leybourn, E. 2013. Directing The Agile Organization: A Lean Approach To Business Management. New York: It Governance Publishing. Maravall, J. M. & I. Sanchez-Cuenca. 2008. Controlling Governments: Voters, Institutions, and Accountability. New York: Cambridge University Press. Mergel, I. 2016. “Agile Innovation Management In Government: A Research Agenda”. Government Information Quarterly, 33(3), hal. 516– 523. Mooi, E. A. 2007. Inter-organizational Cooperation, Conflict, and Change. Amsterdam: Tinbergen Institute. Ospina, S.M. & A. Saz-Carranza. 2010. “Paradox and Collaboration in Network Management”. Administration and Society, 42(4), 404–440. Ott, K. 2006. Making Public Finance Public: Subnational Budget Watch in Croatia, Macedonia, and Ukraine. Budapest: Open Society Institute. Radin, B. A. 2006. “Challenging Performance Movement: Accountability, Complexity and Democratic Values”. Washington D.C: Georgetown University Press. Shah, S., & A. Stephens. 2005. “IT and the Agile Government: The Role of Information Technology in Improving the Efficiency of Government Functions”. In N. Pal & D. Pantaleo (Eds.). The Agile Enterprise (Pal, Nirma, hal. 295–308). Verlag US: Springer. Waters, T. J. 2010. Hyperformance: Using Intelligence for Better Strategy and Execution. San Francisco: Josey-Bass. Wernham B. 2012. Agile Project Management for Government: Leadership Skills For Implementation Of Large-Scale Public Sector Projects In Months, Not Years. New York: Maitland and Strong.

242

BAGIAN KETIGA: METODOLOGI

BAB X

METODE EKONOMETRIKA DAN EVALUASI KEBIJAKAN

Media Wahyudi Askar

Pendahuluan Pengembangan ilmu statistik selalu dilakukan atas dasar adanya ketidakpastian. Kebijakan seringkali harus diambil ditengah keterbatasan informasi serta risiko ketidakpastian yang sangat tinggi. Dalam konteks ini, pendekatan statistik dapat membantu proses perumusan kebijakan ditengah risiko ketidakpatian tersebut. Tulisan ini merupakan rangkuman berbagai instrumen dalam ekonomi statistik, atau disebut juga dengan ekonometrika, yang dapat digunakan untuk membantu proses evaluasi dampak kebijakan. Tulisan ini juga mengulas tentang metodologi evaluasi kebijakan yang saat ini sering dilakukan serta potensi penggunaan pendekatan ekonometrika dalam mengevaluasi kebijakan-kebijakan terbaru di sektor publik. Pengambilan kebijakan selalu mempertimbangkan berbagai aspek di antaranya konfigurasi stakeholder yang terlibat, kemampuan institusional organisasi, dinamika sosial dan ekonomi politik serta masalah sumber daya. Namun demikian, salah satu yang paling krusial yang harus diperhitungkan adalah hasil evaluasi terhadap kebijakan sebelumnya. Idealnya, pengambilan kebijakan yang mampu mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan pada kebijakan sebelumnya jauh lebih efektif dalam meningkatkan kinerja sektor publik. Akan tetapi, melakukan evaluasi kebijakan publik selalu memiliki tantangan tersendiri. Sebagai contoh, Program Keluarga Harapan (PKH) berupa cash transfer dan pendampingan bagi masyarakat memiliki 245

potensi meningkatkan skill masyarakat dan meningkatkan kemampuan penerima program dalam pendapatkan pekerjaan. Menghitung dampak PKH terhadap peningkatan jumlah angkatan kerja memang sekilas tampak mudah, tetapi dalam praktiknya hal ini sangat sulit dilakukan. Apakah kelompok penerima PKH benar-benar meningkat kemampuannya dalam mendapatkan pekerjaan dibandingkan dengan yang bukan penerima PKH? Apakah dampak hanya dirasakan oleh penerima PKH dengan karakteristik tertentu saja? Apa saja langkah yang diharuskan untuk meningkatkan efektifitas program PKH? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab hanya dengan mengandalkan pendekatan konvensional. Metode evaluasi berbasis konterfaktual dapat membantu menjelaskan bagaimana dampak kebijakan berdasarkan kondisi dan syarat-syarat tertentu. Penggunaan pendekatan ekonometrika menjadi sangat penting dalam proses evaluasi kebijakan terutama untuk mendeteksi adanya gap antara ekspektasi sebelum program diluncurkan dengan kondisi yang terjadi pasca kebijakan. Tidak hanya itu, pendekatan ekonometrika juga dapat membantu dalam menentukan causal effect dari sebuah kebijakan. Apa yang terjadi pada suatu individu atau kelompok apabila kebijakan itu dilakukan dan apa yang akan terjadi ketika program itu tidak dilaksanakan. Selama ini, pendekatan evaluasi kebijakan sering kali dilakukan bukan berdasarkan pendekatan rasional objektif. Dalam kondisi yang lebih parah, evaluasi kebijakan sama sekali tidak dilakukan terutama karena (i) keterbatasan sumber daya, (ii) tidak menganggap evaluasi kebijakan sebagai sebuah proses yang harus dilakukan, atau (iii) tidak tahu cara melakukannya. Kondisi ini juga dipersulit dengan minimnya literatur yang dapat dipahami dengan mudah terkait bagaimana menggunakan pendekatan statistik dalam melakukan evaluasi kebijakan.

Optimalisasi Pendekatan Ekonometrika dalam Peningkatan Kualitas Kebijakan Pembuatan kebijakan idealnya didesain untuk menciptakan perubahan, baik itu berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat, maupun peningkatan dalam aspek efisiensi waktu, biaya dan sumber daya organisasi. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, sering kali tujuan akhir dari pembuatan kebijakan itu diabaikan. Alih-alih mengestimasi 246

dampak dari sebuah kebijakan, pembuat kebijakan lebih sibuk menghitung berapa jumlah penerima program, berapa biaya yang telah dikeluarkan, sejauh mana program tersebut direspons oleh pimpinan organisasi. Selama satu dekade terakhir, perhatian dari para pakar kebijakan sudah mulai tertuju pada evaluasi dampak kebijakan sebagai bagian dari upaya menciptakan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Upaya ini kemudian mendorong terciptanya shifting cara berpikir pembuat kebijakan dari yang sebelumnya hanya fokus pada “proses” – seperti penyerapan anggaran, hingga estimasi sumber daya yang dikeluarkan – dan sekarang lebih menaruh perhatian pada “dampak” dari sebuah kebijakan. Dalam jangka panjang, studi evaluasi kebijakan yang menekankan pada estimasi dampak sangat berkaitan erat dengan upaya peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan inovasi berbagai layanan pemerintahan. Apabila pengambil kebijakan mempu meningkatkan kualitas kebijakan dan dapat menarasikannya dengan baik kepada masyarakat, maka tingkat keterlibatan masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan akan semakin meningkat. Sedehananya, mengidentifikasi dampak dari sebuah kebijakan adalah nyawa dari sebuah kebijakan, apakah kebijakan itu selanjutnya perlu dihapus, dipertahankan, atau perlu dilakukan penyesuaian ulang. Dalam skala yang lebih luas, evaluasi dampak kebijakan juga turut mendorong inovasi kebijakan dengan melakukan eksperimen berbagai alternatif kebijakan. Sebagai contoh, kebijakan terkait kurikulum pendidikan telah digagas oleh pemerintah dari waktu ke waktu. Namun demikian, penerapan kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan ini sering kali dilakukan tanpa adanya data dan bukti tentang seberapa jauh kebijakan sebelumnya berdampak bagi para siswa. Akibatnya, kita tidak pernah benar-benar tahu apa saja program yang telah berdampak positif dan apa saja program yang seharusnya dihilangkan. Apabila pendekatan evaluasi dampak kebijakan dilakukan dengan baik, maka pemerintah dapat melakukan inovasi dengan lebih terukur, jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, salah satu penyebab adanya gap antara pengambil kebijakan dengan akademisi adalah tidak adanya jembatan antara kondisi real di lapangan dengan perkembangan teori dan metodologi 247

ilmiah. Begitu juga dengan penggunaan pendekatan ekonometrika dalam evaluasi kebijakan, di mana banyak pengambil kebijakan tidak memahami pentingnya logika konterfaktual dalam proses evaluasi kebijakan. Sering kali, dalam mengevaluasi kebijakan, para pengambil kebijakan dan akademisi sudah memiliki ide di dalam pikirannya masing-masing tentang bagaimana seharusnya kebijakan itu diimplementasikan. Dalam kondisi lainnya, mereka bisa jadi tidak memiliki ide sama sekali tentang bagaimana seharusnya program itu dilakukan. Ketika kita menggunakan logika konterfaktual dalam perumusan kebijakan, maka kita akan memiliki gambaran yang lebih utuh tentang bagaimana seharusnya kebijakan dilakukan sekaligus meningkatkan kemampuan kita dalam memprediksi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan memastikan bahwa kita telah dan akan bergerak ke arah yang benar. Box 1. Studi evaluasi dampak intervensi terhadap perilaku merokok di kalangan pelajar Audrey dkk. (2006) melakukan Randomized Controlled Trial dalam mengestimasi dampak program advokasi untuk mengurangi kebiasaan merokok pada siswa berumur 12–13 tahun. Sekelompok siswa dilakukan intervensi dengan menjadikan mereka sebagai siswa pendukung gerakan anti merokok. Siswa tersebut mendapatkan informasi dan dibekali dengan kemampuan untuk mempengaruhi siswa lain agar berhenti merokok. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa sekolah yang sebagian muridnya mendapatkan intervensi cenderung memiliki kebiasaan merokok lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol atau sekolah yang tidak dilakukan intervensi

Konsep Dasar Penggunaan Ekonometrika dalam Evaluasi Kebijakan 1. Kausalitas Tujuan utama dari studi dampak kebijakan adalah untuk melihat adanya kausalitas, atau hubungan sebab-akibat antara dua faktor. Sebagai contoh, apakah pelatihan peningkatan kemampuan literasi digital berpengaruh pada produktifitas kerja pegawai pemerintah? Jawaban dari

248

pertanyaan ini dapat dilihat dari perbedaan produktivitas antara mereka yang mendapatkan pelatihan dengan yang tidak mendapatkan pelatihan. Pendekatan standar dalam mengukur kasualitas adalah dengan menggunakan Randomized Controlled Trial (RCT). Lewat pendekatan ini, dengan menggunakan contoh di atas, pegawai pemerintah dipilih secara random sehingga setiap orang memiliki peluang yang sama untuk mengikuti pelatihan dan kemudian dilakukan penghitungan dampak dari intervensi yang dilakukan. Namun demikian, teknik ini sering kali sulit untuk dilakukan karena memakan waktu, biaya dan sering kali tidak memungkinan untuk dilaksanakan. Sebagai contoh, pemilihan kelompok treatment secara random tidak mungkin untuk dilakukan karena setiap pegawai pemerintah pasti menginginkan untuk dimasukkan kedalam kelompok treatment, yang kemudian asumsi ini bisa mempengaruhi hasil penelitian. Ketika desain Randomized Controlled Trial tidak dimungkinkan, maka bisa dilakukan pendekatan Quasi Experimental, yaitu dengan membandingkan kelompok penerima program dan pada saat bersamaan peneliti memilih (nonrandomly assigned) kelompok kontrol yang tidak menerima program, untuk kemudian diestimasi perbedaan dari kedua kelompok tersebut (Shadish dkk., 2002). 2. Pendekatan konterfaktual dan selection bias Langkah awal dalam mengoptimalkan pendekatan ekonometrika dalam studi evaluasi kebijakan adalah membangun model statistik yang dapat menjawab pertanyaan “bagaimana jika” dalam pelaksanaan kebijakan. Pengambil kebijakan, misalnya, selalu mempertanyakan “Apa yang akan terjadi pada seseorang atau Y (penerima kebijakan) dibandingkan apabila Y tidak menerima kebijakan tersebut” Kendala dalam melakukan evaluasi kebijakan adalah kita tidak bisa mengobservasi suatu unit (individu atau grup) dengan dua skenario yang berbeda. Sebagai contoh, kita ingin membandingkan apa dampak PKH terhadap kelompok X dengan membandingkan skenario outcome apabila kelompok tersebut menerima PKH dengan skenario outcome tidak menerima PKH. Namun demikian, kita tidak bisa mengevaluasi dampak PKH berdasarkan pengalaman kelompok X tersebut. Hal ini dikarenakan 249

kelompok X tersebut hanya dapat masuk dalam kategori penerima atau tidak menerima, konterfaktual (lihat Hujer dan Caliendo, 2000) Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan dengan mengestimasi kelompok kontrol di mana kelompok kontrol tersebut harus memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok yang menerima manfaat kebijakan. Dengan demikian, dengan membandingkan kelompok penerima program dengan kelompok kontrol yang tidak menerima program, kita bisa menghitung dampak atau efektivitas dari sebuah kebijakan. Pendekatan ini biasa disebut dengan pendekatan konterfaktual, atau juga disebut dengan Roy-Rubin Model. Pendekatan konterfaktual adalah estimasi dampak atau potential outcome, terhadap seorang individual atau kelompojk apabila kebijakan tersebut tidak dilakukan. Jadi, untuk setiap kelompok treatment, maka counterfactual-nya adalah potential outcome ketika kebijakan itu tidak dilakukan, dan sebaliknya, untuk setiap kelompok kontrol, counterfactual-nya adalah apabila kebijakan tersebut dilakukan Akan tetapi, menemukan kelompok kontrol terutama kelompok yang memiliki karakteristik yang sama dengan penerima program bukanlah perkara mudah. Ketika dilakukan komparasi antara kelompok penerima dan kelompok kontrol, sangat mungkin perubahan yang terjadi justru diakibatkan oleh faktor lainnya, selain dari kebijakan tersebut. Potensi bias lainnya juga bisa saja terjadi karena faktor waktu di mana perubahan yang terjadi tidak bersifat terus-menerus atau kondisi di mana proses seleksi penerima program tidak bersifat random, atau dipilih berdasarkan karakteristik tertentu (selection bias). Dalam kondisi ini, kelompok treatment dan kontrol memiliki perbedaan yang signifikan secara karakteristik sehingga berpengaruh langsung pada dua hal, yaitu 1) peluang pemilihan mereka sebagai treatment, serta 2) outcome dari kebijakan yang dilakukan.

250

Box 2. Contoh Selection Bias Pemerintah menerapkan kebijakan Kartu Prakerja berupa bantuan tunai terhadap para pekerja yang menjadi pengangguran pada saat pandemi Covid-19. Strategi standar untuk mengestimasi dampak kebijakan tersebut adalah dengan mengestimasi pebedaan dampak kebijakan antara penerima program (Ti = 1) dengan yang tidak menerima program (Ti = 0). Persoalan utama dalam pendekatan ini adalah fakta bahwa keputusan untuk ikut dalam program Kartu Prakerja bersifat exogenous. Pada dasarnya, banyak faktor yang menyebabkan orang tergabung dalam program tersebut, mulai dari ketersediaan akses internet, literasi digital, hingga ketiadaan informasi. Oleh karena itu, pendekatan ekonometrika yang dilakukan harus mampu mengantisipasi selection bias ini untuk mendapatkan hasil yang objektif Pendekatan ekonometrika memungkinkan kita untuk meminimalisasi potensi bias tersebut. Lebih penting lagi, penggunaan pendekatan ekonometrika sebagai sebuah metodologi dalam proses evaluasi kebijakan memungkinkan kita untuk mengevaluasi dampak kebijakan secara objektif, rasional, serta mendalam dengan memanfaatkan data yang ada. Hasil evaluasi tersebut dapat dimanfaatkan dalam memprediksi kondisi di masa depan sehingga kita dapat mempersiapkan berbagai alternatif kebijakan dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi. Poin penting lainnya dalam mengoptimalkan pendekatan ekonometrika dalam proses evaluasi kebijakan adalah dengan memasukkan lebih banyak variabel, data, dan skenario di dalam proses analisis. Dengan strategi ini, kita berasumsi bahwa berbagai skenario mungkin saja terjadi baik secara bersamaan, terpisah ataupun bertahap. Hal ini akan mengubah cara pandang kita tentang makna sebuah kebijakan. Bahwa kebijakan yang baik bukan berarti kebijakan yang menghasilkan outcome kuantitatif tertentu (seperti jumlah penerima program, jumlah dana yang disalurkan), melainkan program yang mampu mereplikasi kesuksesan program terdahulu, menghindari masalah yang ada, dan memprediksi berbagai kemungkinan yang terjadi sehingga tercipta efisiensi dan dampak yang nyata.

251

3. Robustness dan sensitivitas Proses evaluasi dampak kebijakan mengisyaratkan model ekonometrika yang adaptif dan sebisa mungkin menghindari bias, baik karena peneliti itu sendiri, maupun karena ketersediaan data dan pemilihan metodologi. Dahulu, peneliti yang menggunakan teknik ekonometrika cukup membahas estimasi statistik dengan menampilkan p-value dan standard error. Namun demikian, dengan berkembangnya metodologi penelitian saat ini, dan mulai tersedianya data-data longitudinal yang kredibel, pemilihan metode penelitian tidak bisa lagi bergantung pada satu pendekatan saja. Secara prinsip, setiap metodologi selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, seorang peneliti dalam melakukan estimasi kebijakan harus mengestimasi berbagai macam model, spesifikasi, teknik, dan pengujian statistik sebelum mengambil kesimpulan. Upaya penghitungan berbagai alternatif model dan spesifikasi tersebut, sudah menjadi standar baku dalam penelitian kebijakan saat ini dalam rangka meningkatkan kualitas dari hasil penelitian. Sebagai contoh, suatu pendekatan bergantung pada propensity score, sedangkan metode yang lain menjadikan conditional mean sebagai dasar estimasi. Oleh karena itu, peneliti dampak kebijakan dapat menggunakan kedua teknik tersebut secara bersamaan untuk menguji sensitifitas dari hasil penelitian.

Perkembangan Teknik Ekonometrika dalam Evaluasi Kebijakan Literatur ekonometrika juga terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Donald Rubin menjadi penggagas menculnya istilah Rubin Causal Model atau pendekatan potential outcome pada tahun 1990an. Pendekatan ini kemudian menjadi mekanisme standar evaluasi dampak kebijakan untuk mendeteksi kausalitas di mana setiap unit i and setiap level dari treatment t, dan potential outcome yang berarti nilai dari setiap outcome pada setiat treatment t untuk unit tersebut. Pendekatan lainnya adalah dengan mengestimasi dampak dari kelompok treatment yang bersifat binary. Pola ini memungkinkan peneliti untuk mengatasi asumsi unconfoundedness atau adanya prasyarat bahwa 252

kita harus memiliki sekelompok variabel yang cukup untuk memastikan bahwa kelompok treatment bersifat independen dari variabel lain yang berpartisipasi dalam uji coba Rosenbaum dan Rubin (1983) kemudian menggunakan istilah yang sangat populer yaitu, the treatment is as good as randomly assigned yang mana setiap faktor confounding bisa diobservasi, yaitu kondisi faktor tersebut berkorelasi dengan potential outcomes dan pemilihan treatment sehingga pemilihan treatment tetap bersifat random bergantung dari confounders yang diobservasi. Dalam melakukan evaluasi terhadap kebijakan dengan menggunakan pendekatan ekonometrika, terdapat berbagai teknik yang dapat digunakan oleh peneliti atau pengambil kebijakan diantaranya differences in differences, instrumental variables, regression discontinuity design, serta propensity score matching. 1. Difference-in-differences Pendekatan differences-in-differences mengeksplorasi konterfaktual dengan menganalisis perbedaan waktu dari data yang ada. Pendekatan ini mengisyaratkan adanya data sebelum dan setelah dilaksanakannya sebuah kebijakan untuk setiap kelompok treatment dan kontrol. Pendekatan difference-in-differences fokus pada perbedaan dampak antara kelompok treatment dan kontrol pada periode waktu tertentu setelah dilaksanakannya kebijakan. Penghitungan dengan basis data longitudinal sering digunakan pada pendekatan ini karena memungkinkan peneliti untuk mengestimasi data individu atau kelompok yang sama dalam periode waktu yang berbeda. Sebagai contoh, pemerintah ingin mengestimasi dampak pembangunan pasar tradisional di kabupaten A. Pemerintah sudah melakukan renovasi pasar tradisional pada 5 tahun yang lalu dan ingin melihat apakah perekonomian masyarakat mengalami peningkatan. Apabila peneliti mengestimasi perubahan yang terjadi pada kabupaten A saja, maka peneliti tidak bisa menentukan seberapa besar perubahan yang terjadi. Hal ini dikarenakan, banyak sekali faktor lain yang mempengaruhi perekonomian masyarakat di wilayah tersebut. Di samping itu, membandingkan pembangunan antara kabupaten A dan kabupaten lain yang tidak menerima 253

bantuan pembangunan pasar tradsisional juga sangat problematis karena ada banyak sekali faktor yang mempengaruhi apakah sebuah kabupaten layak mendapatkan insentif tersebut atau tidak. Akan tetapi, peneliti bisa mengatasi hal tersebut dengan pendekatan difference-in-differences, yaitu dengan menggabungkan unsur waktu dan melakukan komparasi perbedaan antara kelompok treatment dan kontrol pada saat sebelum dan setelah kebijakan dilakukan. Jadi, tidak hanya dengan membandingkan perbedaan antara kelompok treatment dan kelompok kontrol, differences-in-differences juga membandingkan tren dari kedua kelompok tersebut dalam peridode waktu tertentu. Dengan mengestimasinya berdasarkan waktu, peneliti bisa menghilangkan potensi bias seperti anggapan bahwa kebijakan hanya dapat dirasakan dampaknya dalam jangka waktu tertentu.

Gambar 10.1. Estimasi Difference-in-differences Sumber: Angrist dan Pischke, 2008

Sebagaimana dijelaskan oleh Gertler dkk. (2011), pendekatan difference-in-differences pada dasarnya melewati tiga tahapan sebagai berikut.Menghitung perbedaan potential outcome (Y) antara kondisi sebelum dan setelah program untuk kelompok treatment (B - A). a) Menghitung perbedaan potential outcome (Y) antara kondisi sebelum dan setelah program untuk kelompok kontrol (D - C). 254

b)

Menghitung perbedaan antara perbedaan dampak untuk kelompok treatment (B - A) dan perbedaan untuk kelompok kontrol (D - C), atau differences-in-differences (DD) = (B - A) - (D - C). Differencesin-differences ini kemudian diasumsikan sebagai dampak dari sebuah kebijakan.

Box 3. Studi evaluasi dampak kebijakan Program Keluarga Harapan Pada tahun 2007, Pemerintah Indonesia mencanangkan Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dalam jangka pendek lewat bantuan langsung tunai yang disertai dengan program pendampingan. Program ini diprioritaskan bagi keluarga miskin yang memiliki tanggungan anak dan biaya pendidikan, serta menyasar kaum perempuan yang memiliki beban biaya kesehatan seperti hamil, nifas, dan menyusui. Sebagai penyelenggara program, Pemerintah Indonesia telah melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program. Kusuma dkk. (2017) mengestimasi dampak PKH terhadap konsumsi makanan pada anak-anak di Indonesia dengan menggunakan pendekatan difference-in-differences. Untuk mengestimasi tersebut kelompok treatment adalah kelompok masyarakat yang wilayahnya mendapatkan program PKH dan kelompok kontrol adalah wilayah yang tidak mendapatkan program PKH. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa program tersebut meningkatkan jumlah konsumsi untuk makanan, khususnya makanan yang syarat dengan protein, seperti susu dan ikan. 2. Propensity Score Matching Teknik propensity score matching diperkenalkan oleh Rosenbaum and Rubin (1983). Lewat pendekatan ini, kita tidak lagi bergantung pada asumsi bahwa setiap kelompok treatment dan kontrol harus memiliki karakteristik yang sama, tetapi melakukan estimasi dengan menghitung probabilitas setiap unit dimasukan kedalam program kebijakan (atau disebut dengan propensity score). Propensity score berkisar antara 0 dan 1, dan merepresentasikan pengaruh dari setiap karakteristik suatu

255

individual atau kelompok dan peluangnya untuk tergabung dalam program (Rosenbaum & Rubin, 1983; 1985). Setelah propensity score diestimasi untuk semua unit, maka unit didalam kelompok treatment dilakukan matching dengan unit yang ada dalam kelompok kontrol yang memiliki nilai propensity score yang lebih dekat. Unit dengan nilai propensity score terdekat ini kemudian menjadi kelompok kontrol untuk mengestimasi konterfaktual. Jadi, ratarata perbedaan atara kelompok treatment dan kelompok kontrol dengan mengacu pada kesesuaian karakteristik kedua kelompok, diijadikan dasar penghitungan dampak sebuah kebijakan. Dalam prosesnya, sangat mungkin terjadi di mana setiap kelompok treatment tidak memiliki nilai propensity score yang dekat dengan kelompok kontrol atau disebut dengan common support problem. Untuk mengantisipasi ini diperlukan data survei yang representatif sehingga bisa mengidentifikasi karakteristik kelompok penerima program dan yang tidak menerima program (Jalan dkk., 2003) Box 4. Studi evaluasi dampak penerapan teknologi pertanian pada kesejahteraan petani Becerril & Abdulai (2010) menggunakan teknik propensity score matching untuk mengestimasi dampak kebijakan peningkatan variasi tanaman jagung pada masyarakat di Meksiko dengan menggunakan data sebanyak 325 petani pada dua buah desa. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa proses adopsi berbagai varietas jagung lewat pendekatan teknologi berkontribusi pada kemampuan masyarakat untuk keluar dari garius kemiskinan. Kemungkinan untuk jatuh dalam jurang kemiskinan pada petani kecil menurun hingga 29 persen dan 33 persen pada petani besar. 3. Instrumental Variables Sebagaimana dibahas oleh Angrist dkk. (1996) dan Abadie dkk. (2002), pendekatan instrumental variables digunakan untuk mengantisipasi endogeneity akibat adanya selection bias. Untuk mengatasi ini diperlukan variabel yang disebut dengan instrument, atau variabel yang memiliki dampak terhadap program, tetapi tidak memiliki dampak langsung terhadap potential outcome. Di samping itu, instrumen tersebut harus

256

bersifat exogenous dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang pada saat bersamaan mempengaruhi potential outcome. Pemilihan instrument yang tepat menjadi kunci utama dalam pendekatan Instrumental Variables ini. Sebagai ilustrasi, studi dampak kebijakan dapat divealuasi dengan model regresi linear, yaitu

γ parameter

yang merepresentasikan dampak sebuah kebijakan,

Yi = α + γ .Policyi + β X i + ∈it

dengan mengacu pada variabel kontrol, X yang bersifat konstan. Dalam praktiknya, sering kali terdapat banyak faktor yang mempengaruhi secara bersamaan: 1) partisipasi seseorang tehadap sebuah program, dan 2) faktor yang mempengaruhi langsung outcome sebuah kebijakan. Apabila faktor tersebut tidak dimasukkan kedalam model, maka hasil estimasi dampak kebijakan akan menjadi bias. Untuk mengantisipasi itu digunakan variabel Z atau disebut dengan instrument yang harus mengikuti kaidah sebagai berikut. a) Harus berdampak langsung pada peluang untuk mengikuti program Cov( Z , D) ≠ 0 . b) Tidak memiliki dampak langsung terhadap potential outcome Cov( Z , u ) = 0 serta tidak memiliki dampak tidak langsung terhadap potential outcome via variabel lainnya atau disebut juga dengan exclusion restriction. Box 5. Studi evaluasi dampak kebijakan pro-gender Cabeza-García dkk. (2019) mengestimasi dampak ketimpangan gender terhadap pembangunan inklusif. Dengan menggunakan data dari Global Findex (2015) yang terdiri dari 91 negara di seluruh dunia, mereka menggunakan pendekatan Instrumental Variable untuk mengatasi selection bias. Peneliti menemukan bahwa adanya program pemerintah yang menjamin keberpihakan pada kaum perempuan, yang diukur dengan akses terhadap akun perbankan dan kartu kredit, memiliki dampak positif bagi pembangunan. 4. Regression Discontinuity Design 257

Teknik regression discontinuity design merupakan bagian dari quasi experimental design, yaitu dengan memanfaatkan informasi atas karakteristik target populasi sebagai cara untuk menentukan probabilitas menjadi kelompok treatment. Desain ini sangat bergantung pada kemampuan peneliti menganalisis kelompok observasi. Sebagai contoh, peneliti membagi kelompok observasi menjadi dua kelompok berdasarkan kriteria tertentu atau disebut juga dengan threshold. Kelompok yang berada pada batas bawah kriteria tersebut akan dimasukan ke dalam kelompok treatment dan sebaliknya mereka yang berada di atas tidak akan dimasukkan. Dengan skema ini, peneliti bisa mengkomparasi dampak kebijakan dengan melakukan komparasi rata-rata perbedaan antara kelompok treatment yang berada di bawah threshold dengan kelompok kontrol yang berada diatas threshold. Jadi asumsinya, threshold tersebut dianggap dilakukan secara random. Oleh karena itu, dalam teknik ini, kemampuan untuk mengategorikan kelompok observasi dan menentukan threshold secara objektif adalah kunci utama untuk mendapatkan hasil penelitian yang tepat. Box 6. Studi evaluasi dampak kebijakan pelatihan kewirausahaan Al-Awlaqi dkk. (2018) melakukan studi dampak program pelatihan kewirausahaan pada usaha mikro dengan menggunakan Teknik Regression Discontinuaty Design. Mereka menggunakan data 1330 usaha mikro dan kemudian dengan Teknik Regression Discontinuity Design, peneliti membagi usaha mikro tersebut menjadi kelompok treatment sebanyak 342 dan kelompok kontrol sebanyak 382 usaha mikro. Dalam menentukan cut off antara kelompok treatment dan kontrol, peneliti mengadakan pre test, di mana kelompok yang bisa menjawab lebih dari 5 soal dari 10 soal akan dikategorikan sebagai kelompok treatment. Mereka menemukan bahwa program tersebut memiliki dampak positif pada keberlanjutan bisnis, di antaranya dari segi inovasi, kemampuan mengidentifikasi risiko, dan sifat proaktif. Secara umum, pendekatan ekonometrika dapat membantu pengambil kebijakan untuk melakukan evaluasi kebijakan berdasarkan studi empiris. 258

Dengan pendekatan ini, pembuat kebijakan dapat terus memberikan penjelasan kepada stakeholders terkait tentang seberapa efektif kebijakan tersebut, dan apa saja aspek yang harus ditingkatkan. Lebih penting lagi, argumen yang disampaikan bukan lagi berdasarkan pertimbangan subjektif, melainkan dari pendekatan ilmiah yang objektif dan rasional. Dengan pola ini, inovasi kebijakan juga dapat terus dilakukan terutama dengan menguji coba berbagai skenario kebijakan dengan melandaskan perhitungan empiris.

259

Daftar Pustaka Abadie, A., J. Angrist, & Imbens. 2002. “Instrumental Variables Estimates Of The Effect Of Subsidized Training On The Quantiles Of Trainee Earnings”. 70, hal. 91–117. Al-awlaqi, M. A., A. M. Aamer, & N. J. T. I. J. O. M. E. HabtooR. 2018. “The Effect Of Entrepreneurship Training On Entrepreneurial Orientation: Evidence From A Regression Discontinuity Design On Micro-Sized Businesses”. 100267. Angrist, J. D., Imbens, & D. B. J. J. O. T. A. S. A. Rubin. 1996. “Identification of Causal Effects Using Instrumental Variables”. 91, hal. 444–455. Angrist, Joshua D., dan Jörn-Steffen Pischke. 2008. “Mostly Harmless Econometrics: An Empiricist’s Companion”. Princeton University Press. Audrey, S., J. Holliday, N. Parry-langdon, & R. J. H. E. R.Campbell. 2006. “Meeting the Challenges Of Implementing Process Evaluation Within Randomized Controlled Trials: The Example of ASSIST (A Stop Smoking in Schools Trial)”. 21, hal. 366–377. Becerril, J. & Abdulai. 2010. “The Impact Of Improved Maize Varieties On Poverty In Mexico: A Propensity Score-Matching Approach”. 38, 1024–1035. Cabeza-García, L., E. B. Del brio, & Oscanoa-victorio. 2019. “Female Financial Inclusion And Its Impacts On Inclusive Economic Development”. Women’s Studies International Forum, 2019. Elsevier, 102300. Gertler, P. J., S. Martinez, P. Premand, L. B. Rawlings, & C. M. Vermeersch. 2011. Impact Evaluation In Practice. World Bank Publications. Hujer, R. & Caliendo. 2000. “Evaluation Of Active Labour Market Policy: Methodological Concepts And Empirical Estimates”. Jalan, J., M. J. J. O. B. Ravallion, & E. Statistics. 2003. “Estimating The Benefit Incidence Of An Antipoverty Program By Propensity-Score Matching”. 21, hal. 19–30. Kusuma, D., M. McConnell, P. BErman, & J. J. P. M. Cohen. 2017. “The Impact Of Household And Community Cash Transfers On Children’s Food Consumption In Indonesia”. 100, hal. 152–158.

260

Rosenbaum, P. R. & Rubin. 1983. “The central Role Of The Propensity Score In Observational Studies For Causal Effects”. 70, hal. 41–55. Rosenbaum, P. R. & D. B. J. T. A. S. Rubin. 1985. “Constructing a Control Group Using Multivariate Matched Sampling Methods That Incorporate The Propensity Score”. 39, hal. 33–38. Shadish, W. R., T. D. Cook, & Campbell. 2002. Experimental and QuasiExperimental Designs For Generalized Causal Inference. Boston: Houghton Mifflin. World Bank. 2015. Global Findex Database, The World Bank, Washington, DC.

261

BAB XI

BIG DATA DALAM STUDI KEBIJAKAN PUBLIK: METODE DAN PENDEKATAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Bevaola Kusumasari

Pendahuluan Kebijakan merupakan sebuah science of action yang membutuhkan kontribusi dari berbagai ilmu untuk diterjemahkan dalam proses pengambilan keputusan (Almeida & Báscolo, 2006). Formulasi kebijakan memiliki aktivitas yang cukup berbeda dibandingkan dengan siklus kebijakan lainnya karena di dalamnya mencakup proses penting untuk menghasilkan beberapa alternatif dalam menyelesaikan persoalanpersoalan publik (Doern, 2013; Jordan dkk., 2015; Mitchell, 2011). Dalam konteks ini, penggunaan metode, alat dan instrumen memiliki peran yang vital dalam formulasi kebijakan publik, khususnya pada proses pengambilan keputusan (Gowen, 2015; Subirats, 2001). Penggunaan hasil penelitian sebagai instrumen dalam pengambilan keputusan pemerintah kemudian menjadi hal yang sering dilakukan para pengambil keputusan (Almeida & Báscolo, 2006; Hardy dkk., 2015; Jordan dkk., 2015). Pada tahapan yang lain dalam siklus kebijakan, setelah formulasi kebijakan dilakukan, bukti (evidence) menjadi basis utama untuk menunjukkan apakah kebijakan yang dihasilkan akan efektif atau tidak dalam implementasi kebijakan. Bukti atau yang dikenal dalam kajian kebijakan publik sebagai evidence-based policy, biasanya diperoleh dari hasil survei atau berbagai sensus tentang data-data kesehatan, pendidikan, 263

transportasi, dan administrasi kependudukan. Namun demikian, karena adanya keterbatasan infrastruktur data, maka kualitas data yang dihasilkan menjadi tidak maksimal, khususnya di negara-negara berkembang (Devarajan, 2013; Jerven, 2013). Seiring dengan meningkatnya digitalisasi dunia, sumber data baru kemudian muncul untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur data ini. Data baru ini muncul dari berbagai sumber digital yang kemudian membentuk data yang besar untuk dapat digunakan untuk analisis kebijakan berbasis bukti. Big data dapat berasal dari berbagai sumber seperti social network sites, cloud application, software, media sosial, data warehouse appliances, jejaring teknologi, dokumen hukum, website bisnis online, data meteorology, serta data sensor (Jeble, Kumari, & Patil, 2018). Big data sebagai sebuah fenomena sosial dapat digunakan sebagai instrumen dan metode analisis dalam menyelesaikan masalah-masalah publik (Giest, 2017; Kurnia & Savirani, 2020). Sebagian besar literatur tentang kebijakan berbasis bukti (evidencebased policy) dan pengambilan keputusan relevan dengan model pengambilan keputusan rasional dari proses kebijakan (Sanderson, 2002). Rasionalitas muncul dengan mendasarkan semua keputusan bukti dan memanfaatkan penggunaan ICT untuk mendukung prinsip utama governance yang mendorong perubahan dalam pemerintahan, yaitu dari orientasi proses menuju orientasi pelayanan. Kehadiran big data kemudian melahirkan terminologi dalam kebijakan yang disebut dengan policy informatics and policymaking 2.0. Kedua terminologi ini melihat pentingnya big data yang memasukkan peranan sosial media dalam pemerintahan dan berbagai platform e-government yang kesemuanya digunakan untuk basis pengambilan keputusan (Ferro, Loukis, Charalabidis, & Osella, 2013; Misuraca, Mureddu, & Osimo, 2014). Meskipun proses formulasi kebijakan masih bertumpu pada aspek proses politik, tetapi dengan kehadiran analisis big data ini, waktu yang digunakan untuk mendapatkan sebuah informasi (policy informatics) untuk pengambilan keputusan dapat dipersingkat. Informasi ini dapat berupa opini publik yang diperoleh dari analisis media sosial, data sensus dan penggunaan algoritma untuk melihat efek atau hubungan antara sebuah kebijakan dengan kebijakan lainnya. Semua ini, pada akhirnya dapat mengubah cara pengambilan keputusan 264

di tingkat pemerintah (Höchtl, Parycek, & Schöllhammer, 2016). Secara epistemologi, kontribusi tulisan ini adalah pada pengembangan analisis kebijakan (policy analytics) dan informasi kebijakan (policy informatics) yang mengidentifikasi dan menggambarkan metode-metode yang dapat digunakan dengan memanfaatkan big data guna mendukung pengambilan keputusan pada kebijakan publik dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lincah (agile government).

Perkembangan Pengambilan Keputusan pada Sektor Publik Pengambilan keputusan dalam formulasi kebijakan publik tentunya harus memperhatikan good elements of good public policy, yaitu validity, importance, usefulness, originality, dan feasibility (Eneanya, 2010). Validity dalam konteks analisis kebijakan publik adalah penggambaran kesimpulan secara logis yang mengarah pada pemecahan masalah dan melihat hubungan antara kebijakan dan tujuan. Importance pada konteks good public policy mengarah pada relasi antara kepentingan teoritik dan kepentingan kebijakan. Usefulness adalah elemen yang melihat manfaat dari suatu rencana kebijakan, serta sejauh mana kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dan diadaptasi oleh lingkungan organisasi lainnya. Originality mengedepankan pada kebaruan dari kebijakan-kebijakan yang sudah ada sebelumnya dan feasibility menjelaskan sejauh mana kebijakan tersebut dapat beradaptasi dengan perkembangan waktu, masalah, dan kebutuhan publik (Juma & Onkware, 2015). Kelima elemen tersebut penting dalam proses pengambilan keputusan pada tahapan formulasi kebijakan. Oleh karena itu, metode pengambilan keputusan juga terus berkembang, agar dapat memenuhi setiap elemen dalam good public policy. Pada awalnya, metode yang sangat tradisional dalam pengambilan keputusan adalah inkremental. Metode inkremental adalah metode pengambilan keputusan yang mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang sudah ada, serta cenderung tidak memiliki perubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya (Lindblom, 1958). Lindblom (1958) menganggap bahwa pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah publik akan menghadirkan masalah lainnya apabila tidak memperhatikan kebijakan yang sudah ada sebelumnya. 265

Oleh sebab itu, metode inkremental digunakan untuk menghindari permasalahan-permasalahan baru dengan mengambil keputusan yang tidak memiliki perbedaan signifikan dengan kebijakan-kebijakan yang sudah ada (Qi & Altinakar, 2011). Akan tetapi, muncul berbagai pendapat yang mengatakan bahwa pendekatan inkremental tidak dapat beradaptasi dengan perkembangan masalah publik yang ada akibat masalah dan lingkungan yang akan terus berkembang dengan cepat. Contohnya, ketika kebijakan kesehatan (healthcare) di Inggris yang secara gradual diterapkan oleh warganya sambil menunggu terbentuknya institusi National Health Service (Hayes, 2017). Metode lainnya yang biasanya digunakan dalam proses pengambilan keputusan adalah metode participatory. Participatory berbeda dengan tools atau metode lainnya karena mengedepankan tercapainya tujuan secara keseluruhan. Metode ini menekankan keterlibatan berbagai individu atau kelompok dalam merumuskan suatu kebijakan dengan mengedepankan akuntabilitas, transparansi, dan keaktifan masyarakat (Rietbergen-McCraken, 2010). Metode participatory ini juga bisa diinisiasi oleh pemerintah (top-down) ataupun diawali oleh gerakan masyarakat (bottom-up). Keterlibatan organisasi eksternal juga dimungkinkan dalam metode ini, selama tujuan dari organisasi eksternal tersebut tersebut sesuai dengan permasalahan yang ingin diselesaikan (Rietbergen-McCraken, 2010). Metode participatory biasanya juga dikenal sebagai pendekatan deliberatif demokrasi dalam perumusan kebijakan (Abdullah & Abdul Rahman, 2017; Floridia, 2013; Papadopoulos & Warin, 2007; Patten, 2001). Contoh pengambilan keputusan dengan metode participatory ini tampak pada tahap pemulihan pascabencana di Bantul yang menerapkan prinsip bagi adil pada setiap korban bencana. Pemerintah dan masyarakat sepakat bahwa pemberian bantuan pada korban bencana lebih didasarkan pada kemampuan sumber daya yang dimilikinya oleh korban ketimbang atas dasar jenis kerusakan yang dideritanya (Kusumasari & Alam, 2012). Seiring dengan berkembangnya pendekatan deliberatif dalam proses pengambilan keputusan, terdapat beberapa kritik yang dikemukakan oleh ahli tentang kelemahan dari penerapan pendekatan tersebut. Pendekatan deliberatif dianggap memiliki berbagai keterbatasan, terutama tingginya external intervention dan political interest dalam proses formulasi kebijakan 266

publik (Kim, Kim, & Öberg, 2018). Kim dkk. (2018) menjelaskan bahwa proses deliberatif akan menghadirkan berbagai kelompok dengan berbagai macam kepentingan, sehingga dapat mengintrupsi proses pengambilan keputusan. Selain menghambat proses pengambilan keputusan, hadirnya berbagai kelompok tersebut akan menyebabkan polarisasi kelompok dan meningkatnya potensi konflik (Hong & Kim, 2012). Pendekatan deliberatif juga membutuhkan banyak sumber daya dalam pelaksanaannya, mulai dari manusia sampai dengan biaya yang cukup besar (Abdullah & Abdul Rahman, 2017; Kim dkk., 2018; Papadopoulos & Warin, 2007). Dengan beberapa limitasi yang dimiliki tersebut, sektor publik kemudian mulai mencari metode lainnya untuk meningkatkan efisiensi dalam proses pengambilan keputusan. Penggunaan penelitian dalam pengambilan keputusan kemudian mulai dikembangkan menjadi sebuah alternatif yang dipilih karena menghadirkan berbagai keuntungan bagi sektor publik (Lugo-Gil, Jean-Baptiste, & Jaramillo, 2019; Yost dkk., 2014). Penggunaan penelitian juga menjadi salah satu metode dalam pengambilan keputusan dan semakin berkembang sampai saat ini. Pengambilan keputusan dalam kebijakan publik yang mempertimbangkan hasil penelitian dianggap metode yang paling dekat dengan istilah good elements of good public policy (Juma & Onkware, 2015). Pengambilan keputusan yang berlandaskan penelitian akan memiliki validitas yang kuat serta relasi kepentingan teoritik dan kebijakan yang baik karena didukung dengan uji teoritik dalam analisisnya. Pengambilan keputusan dengan menggunakan penelitian juga akan membantu mengembangkan alternatif pemecahan masalah karena sifat penelitian yang terus berkembang (Eneanya, 2010). Oleh karena itu, pendekatan penelitian masih sering kali digunakan sampai saat ini. Adaptasi penelitian dalam proses pengambilan keputusan juga semakin beragam. Metode yang paling sering digunakan sektor publik adalah survei. Metode survei menjadi metode yang paling umum dalam sektor publik untuk menganalisis opini, presepsi, dan perilaku dari setiap masyarakat yang menjadi target dari sektor publik (Lee, Benoit-Bryan, & Johnson, 2012). Metode survei juga banyak digunakan dalam penelitian dan dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan dalam kebijakan publik (Hastak, Mazis, & Morris, 2001). Metode survei dilakukan untuk menguji 267

atau mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang sudah ada sebelumnya seperti yang dilakukan untuk menguji efektivitas kebijakan kesehatan di beberapa negara (Baumrucker dkk., 2020; Clelland dkk., 2020). Survei juga mengedepankan pengambilan keputusan melalui pendekatan evidencebased policy, dengan mengutamakan keakuratan kebijakan berdasarkan kondisi sesungguhnya yang ada di lapangan (Clelland dkk., 2020). Contoh dari pengambilan keputusan berdasarkan survei dapat dilihat pada studi yang dilakukan oleh Hastak dkk. (2001) yang menjelaskan dengan detail bagaimana peran survei pelanggan dapat mempengaruhi proses kebijakan kesehatan di Amerika mulai dari identifikasi masalah, membangun mandat kebijakan, mengeksplorasi pilihan-pilihan kebijakan, formulasi kebijakan sampai dengan evaluasi kebijakan. Namun, metode survei ini membutuhkan sumber daya yang besar dan waktu yang panjang, padahal formulasi kebijakan membutuhkan bukti yang kuat dan urgensi yang mendesak untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang dinamis. Berangkat dari kondisi ini, berbagai institusi kemudian mulai mencari metode pengambilan keputusan yang cepat dan tepat dengan memperhatikan efisiensi bagi sektor publik. Metode pengambilan keputusan yang efisien, tetapi tepat sasaran kemudian semakin dikembangkan. Big data pada akhirnya hadir dengan menawarkan efisiensi dan analisis permasalahan publik yang akurat (Giest, 2017; Heitmueller dkk., 2014; Klievink, Romijn, Cunningham, & de Bruijn, 2017; Rempel, 2018). Big data memiliki berbagai keunggulan di era digitalisasi saat ini dengan menawarkan hasil yang akurat dan sumber daya yang lebih efisien. Pendekatan tersebut juga dapat memberikan kemudahan pada penggunanya untuk mengolah informasi dalam jumlah yang besar dan beragam. Oleh karena itu, big data akhirnya semakin dimanfaatkan, baik di sektor publik maupun privat untuk mengambil keputusan. Pemanfaatan big data juga dianggap sebagai wujud nyata dari data driven policy. Kehadiran big data telah menyempurnakan pendekatan dalam pengambilan keputusan dari evidence-based policy menjadi data driven policy dengan menawarkan pembuatan kebijakan yang efektif dan terukur (Cary, 2000; De Mauro, Greco, & Grimaldi, 2016; Powner, 2020; Rempel, 2018; Rice, Stalling, & Monasterio, 2019). Powner (2020) dalam tulisannya mengatakan bahwa data driven policy dapat memproduksi kebijakan 268

yang berfokus pada data-centric dengan menciptakan pendekatan yang mengintegrasikan data dan bukti dalam satu pandangan yang menyeluruh. Data driven policy menawarkan input, output, produktivitas, dan proses data yang dapat disimpan dan diambil kembali secara lebih komprehensif dan detail dibandingkan pendekatan-pendekatan sebelumnya (Höchtl dkk., 2016). Data akan diintegrasikan ke dalam suatu sistem yang nantinya dapat menggunakan proses resharing and reuse sehingga seluruh data tersebut dapat dimanfaatkan oleh sistem lainnya (Höchtl dkk., 2016; Powner, 2020; Rice dkk., 2019). Data driven policy kemudian dianggap menjadi pendekatan yang menjanjikan karena dapat menawarkan akurasi validitas yang tinggi, di mana hal tersebut dianggap belum banyak ditawarkan oleh pendekatan-pendekatan sebelumnya (Höchtl dkk., 2016; Rice dkk., 2019). Beberapa institusi sudah mulai menggunakan pendekatan data driven policy untuk membuat kebijakan yang lebih baik berdasarkan data dan bukti, mulai dari organisasi internasional seperti Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) sampai dengan pemerintahan dalam suatu negara seperti Perdana Menteri dan Kabinet di New Zealand (Powner, 2020).

Big Data dan Manfaat Penggunaannya Seiring dengan perkembangan zaman, pemanfaatan big data semakin berkembang diberbagai industri dan kalangan akademisi (De Mauro, Greco, & Grimaldi, 2015). Kemajuan teknologi yang sangat cepat mendorong pemanfaatan big data sebagai tools untuk mengembangkan berbagai disiplin ilmu seperti sosiologi, kesehatan, biologi, manajemen, sampai dengan ilmu-ilmu sosial (De Mauro dkk., 2016). Beberapa ahli sampai saat ini memiliki definisi yang beragam tentang big data, tetapi definisi yang paling umum merujuk pada karakteristik data yang bersifat besar, beragam, dan dinamis (Heitmueller dkk., 2014; Pence, 2014; Rempel, 2018). Secara sederhana, big data dimaknai sebagai sekumpulan data yang berisi berbagai informasi dalam skala besar yang menjadi samudera informasi. Penggunaan istilah big data juga merujuk pada fenomena budaya, teknologi dan keilmuan (Boyd & Crawford, 2012; Fan, Han, & Liu, 2014). Ilmuwan big data lainnya yang sangat terkenal, yaitu Kitchin (2014) dalam artikel yang berjudul “New Epistemologies and Paradigm Shifts” 269

menjelaskan big data sebagai sebuah volume besar data terstruktur dan tidak terstruktur. Big data memiliki karakteristik 5V, yaitu volume (besar), velocity (cepat dan real time), variety (heterogen), value (bernilai), dan veracity (akurat dan valid) (Jeble dkk., 2018). Namun, sesungguhnya yang penting bukanlah jumlah datanya, tetapi apa yang bisa dilakukan dengan data tersebut. Big data dapat dianalisis untuk mendapatkan wawasan yang mengarah pada keputusan yang lebih baik dan langkah sebuah institusi yang strategis. Melihat karakteristik big data tersebut, penggunaan big data kemudian dianggap sebagai metode yang sangat efektif saat ini karena kemampuannya untuk menghimpun informasi dengan cepat dan kemudahan mendapatkan akses terlebih jika data tersebut bersifat publik dan terbuka (De Mauro dkk., 2015; Pence, 2014). De Mauro dkk. (2016) dalam tulisannya menjelaskan bahwa penyebab utama berkembangnya big data adalah tingginya tingkat kebutuhan akan pengumpulan, penggunaan, dan pembagian data di era digitalisasi. Digitalisasi (transformasi dari analog ke digital) juga semakin digemari oleh berbagai sektor karena memudahkan segala urusan organisasi maupun penelitian, mulai dari perencanaan, analisis, sampai dengan evaluasi. Meningkatnya kebutuhan tersebut kemudian mengharuskan adanya kemampuan pengelolaan data dalam jumlah besar. Oleh karena itu, metode penggunaan big data menjadi terus berkembang dan dimanfaatkan oleh berbagai sektor untuk memenuhi segala kebutuhan dalam pengambilan keputusan. Dalam perkembangannya, big data berpotensi untuk mempengaruhi logika dan struktur birokrasi dalam melakukan tata kelolanya (Cordella & Tempini, 2015). Analisis big data juga berkontribusi pada pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan birokrasi pemerintah karena adanya penggabungan antara data dalam skala besar dan pengetahuan yang kemudian bermuara pada sebuah kebijakan yang inovatif, informatif, dan terstruktur. Dalam administrasi publik, analisis big data memberikan manfaat pada aspek seperti reformasi administrasi, keamanan, infrastruktur publik, ekonomi dan ketenagakerjaan, modernisasi kebijakan, dan pelayanan publik (Chen, Mao, & Liu, 2014). Namun demikian, penggunaan analisis big data juga harus tetap memperhatikan konteks dan unit data yang lain agar keputusan yang dihasilkan menjadi lebih akuntabel (Lyon, 270

2014). Selain itu, peraturan mengenai privasi dan perlindungan data harus dihormati. Keseimbangan antara penggunaan big data yang bermanfaat secara sosial dan potensi bahaya terhadap privasi dan nilai-nilai lainnya menjadi isu yang sangat krusial dalam administrasi publik. Big data memiliki banyak potensi, tetapi di lain sisi big data juga dapat menempatkan kebebasan masyarakat di bawah tekanan (Höchtl dkk., 2016). Tools untuk pengelolaan data dalam jumlah besar sendiri sebenarnya sudah mulai dikembangkan sejak awal tahun 1990-an. Optical Character Recognition (OCR) sebagai tools pengelolaan data dalam skala besar pada saat itu sudah mulai dikembangkan dan menjadi “mass digitalization” karena alat tersebut dapat mengkonversi buku di beberapa perpustakaan tradisional menjadi satu file yang dapat dibaca oleh mesin (Coyle, 2006). Setelah kemunculan pertama OCR tersebut, akhirnya mass digitalization juga terus dikembangkan sampai pada tahun 2004 oleh Google yang berhasil membuat Google Books Library Project dengan menghimpun data dari 15 juta buku cetak yang diterbitkan oleh berbagai universitas ternama seperti Harvard, Stanford, dan Oxford (De Mauro dkk., 2016). Pengembangan mass digitalization menjadi salah satu bentuk nyata pengaplikasian big data dalam memberikan kemudahan di era digitalisasi. Saat data fisik dapat dikonversi ke dalam format digital, data tersebut kemudian dapat diorganisir menjadi dataset yang terstruktur, atau dikenal dengan istilah datafication (De Mauro dkk., 2015; Mayer-Schönberger & Cukier, 2013). Mayer-Schönberger & Cukier (2013) menjelaskan bahwa datafication memiliki kapasitas pemanfaatan data yang unik dan analisis dalam skala besar dengan model beragam, di mana analisis tersebut tidak mungkin dapat diolah dengan format analog (data fisik). Karakteristik datafication dalam pemanfaatan big data kemudian dapat memudahkan berbagai sektor untuk memberikan kemudahan, sampai dengan melakukan evaluasi dan menentukan strategi. Selain contoh pemanfaatannya dalam pengembangan mass digitalization, terdapat contoh-contoh positif lainnya dalam penggunaan big data diberbagai sektor. Bidang kesehatan misalnya, pemanfaatan big data digunakan untuk melakukan diagnosis pasien menggunakan sistem yang dinamakan computer-aided diagnosis. Algoritma dari computer-aided diagnosis telah dikembangkan cukup lama dengan menggunakan teknik dan teori pattern recognition fields, dimana 271

computer-aided diagnosis merupakan bagian dalam pattern recognition fields (Arimura, Magome, Yamashita, & Yamamoto, 2009). Teknik yang digunakan pada computer-aided diagnosis melibatkan beberapa proses, yaitu pengolahan data awal, ekstraksi fitur, dan klasifikasi data (Siuly & Zhang, 2016). Sistem computer-aided diagnosis dianggap sebagai sebuah metode yang dapat menghemat biaya dan meningkatkan efisiensi, selain itu dapat digunakan oleh para ahli sebagai sistem pendukung dalam pengambilan keputusan (Arimura dkk., 2009; Dekhtiar dkk., 2018). Sistem computer-aided diagnosis dapat membantu para ahli di bidang kesehatan untuk menginterpretasi data kesehatan dalam jumlah besar (Belle dkk., 2015). Sistem computer-aided diagnosis dikembangkan untuk menganalisis gambar medis dan data kesehatan lainnya sehingga meningkatkan akurasi dan konsistensi dalam melakukan diagnosis, serta tentu saja mengurangi waktu analisis menjadi lebih efisien (Siuly & Zhang, 2016). Contoh pemanfaatan sistem computer-aided diagnosis adalah penggunaannya dalam menentukan diagnosis dan pengobatan dari penyakit kelainan saraf, pemanfaatan tersebut sudah dilakukan oleh beberapa ahli di bidang kesehatan sampai saat ini dan dianggap efektif dalam menyelesaikan beberapa kasus kelainan saraf (Belle dkk., 2015; Roski, Bo-Linn, & Andrews, 2014; Siuly & Zhang, 2016). Selain itu pada sektor marketing, big data dapat digunakan untuk melihat perilaku konsumen melalui aktivitas digital. Sektor privat saat ini dapat mengamati perilaku konsumen dengan melihat riwayat pembelanjaan seseorang. Pengumpulan dan pengelolaan big data secara real-time dapat memberikan pandangan kepada perusahaan tentang apa saja yang dibicarakan, diunduh, dan dibeli oleh setiap orang (Barutçu, 2017). Berbagai hasil penelitian marketing dengan pendekatan big data juga sudah dihasilkan oleh berbagai ahli. Hasil penelitian dari Liu dkk. (2021) melihat ketertarikan konsumen terhadap produk mewah melalui sosial media. Penelitian tersebut melihat kehadiran media sosial telah mengubah cara setiap produk untuk berinteraksi dengan calon pembelinya, termasuk didalamnya produk mewah. Liu dkk. (2021) mengumpulkan datanya dengan menggunakan platform media sosial Twitter karena dapat menampilkan percakapan antara konsumen dan perusahaan secara realtime. Selain itu, brand mewah biasanya memang memiliki komunikasi 272

yang cukup aktif di Twitter. Hasilnya, penelitian ini menemukan bahwa upaya perusahaan untuk meningkatkan ketertarikan konsumen melalui komunikasi dalam sosial media memiliki dampak yang positif. Selain itu, beberapa rekomendasi juga diberikan terkait pola komunikasi perusahaan di sosial media, sampai dengan konten dari setiap percakapan yang dilakukan (Liu dkk., 2021). Pemanfaatan big data oleh sektor privat dalam melakukan analisis pasar yang komprehensif menjadi hal yang esensial untuk dilakukan khususnya dalam pengembangan pelayanannya. Namun demikian, sektor publik pada saat ini juga sudah mulai memiliki ketertarikan yang sama terhadap pemanfaatan big data. Sistem pemerintahan diberbagai negara saat ini sudah mulai melibatkan big data dalam proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi kebijakan (Amado, Cortez, Rita, & Moro, 2018; Barutçu, 2017).

Penggunaan Big Data dalam Proses Pengambilan Keputusan Pemerintahan di berbagai negara saat ini mulai memanfaatkan pengelolaan big data untuk menyelesaikan berbagai masalah publik (Giest, 2017; Rempel, 2018). Hasil dari pengelolaan data tersebut dalam implementasinya diwujudkan dalam kebijakan publik. Konsep baru pemanfaatan big data tersebut mulai mengubah cara kerja sektor publik dengan inisiasi dari pendekatan Data Readiness Concept dan Digital-Era Governance (Klievink dkk., 2017). Dua pendekatan tersebut berasumsi bahwa data dan teknologi dapat membantu pemerintah menciptakan kebijakan publik yang responsif dan agile (Jetzek, 2016). Pada pendekatan Digital-era Governance (DEG), pemanfaatan teknologi dalam setiap kegiatan di sektor pemerintahan harus ditingkatkan, mengingat pada saat itu pemerintah terkesan tertutup terhadap teknologi dan memiliki pengalaman yang lemah terhadap literasi maupun inovasi pemanfaatan data dan teknologi, terlebih jika dibandingkan dengan sektor privat. Sementara itu, Data Readiness Concept menilai kapasitas sektor publik dengan menganalisis kemampuan organisasi dalam membaca dan mengintegrasikan data (Giest, 2017). Dengan adanya dua pendekatan tersebut, pemanfaatan big data pada sektor publik kemudian mulai diterapkan sampai saat ini. 273

Seiring dengan pemanfaatan big data, budaya komunikasi data di dalam instansi pemerintah kemudian berevolusi dan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan (Giest, 2017). Giest menjelaskan bahwa secara tidak langsung pemerintah menjadi produsen dan konsumen data, dengan penyediaan berbagai domain disetiap tingkatan pemerintah. Data seperti sistem pajak, program sosial, sampai dengan catatan kesehatan yang dibuat oleh pemerintah akhirnya akan diolah kembali untuk pengambilan keputusan pemerintah diberbagai bidang (Einav & Levin, 2014; Giest, 2017). Pada sektor kesehatan, misalnya catatan medis personal seperti diagnosis dan perawatan disimpan menjadi sebuah data yang terstruktur. Berdasarkan data tersebut kemudian pemerintah dapat melihat kecenderungan penyakit yang diderita oleh masyarakatnya, kemudian dapat membuat kebijakan untuk menghadapi penyakit tersebut (Roski dkk., 2014). Tidak bisa dimungkiri bahwa terdapat beberapa sistem pemerintahan yang cukup bergantung pada analisis big data (big data analysis/BDA) dalam setiap pengambilan keputusannya. Pemerintahan Amerika Serikat (AS) contohnya, memanfaatkan analisis big data untuk membuat keputusan dalam penerimaan tentara keamanan nasional (US Army). Pemerintah Amerika melakukan analisis terhadap setiap data pemerintah, komersial, dan sosial media untuk membuka setiap pola/informasi yang berhubungan dengan pelamar tentara Amerika. Hasilnya menunjukkan bahwa 21,7% pelamar memiliki permasalahan keuangan serius, kejahatan domestik, sampai dengan penggunaan narkoba (Höchtl dkk., 2016). Selain itu, Pemerintah New Zealand juga memanfaatkan analisis big data dalam setiap pengambilan keputusan dengan tujuan tercapainya high-performing policy system (Powner, 2020). Pemerintah New Zealand memiliki agensi untuk menganalisis kualitas dari setiap rencana kebijakan yang akan disahkan. Analisis tersebut dilakukan menggunakan alat pengukur kebijakan yang memanfaatkan berbagai data dari berbagai platform. Agensi tersebut akan terlibat dalam setiap proses formulasi kebijakan di New Zealand dan menguji efektivitas dari setiap rencana kebijakan yang akan disahkan. Alat penguji kebijakan tersebut meliputi kerangka kapasitas dan kapabilitas kebijakan, kerangka kemampuan, dan kerangka kualitas (Powner, 2020). Contoh terakhir adalah pemanfaatan big data yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris, di mana pemanfaatan big data tidak hanya sebatas 274

pada siklus formulasi kebijakan saja, tetapi juga pada setiap siklus dalam kebijakan publik (Höchtl dkk., 2016). Analisis big data dimanfaatkan oleh Pemerintah Inggris untuk menampilkan visualisasi terhadap evaluasi pembuatan kebijakan mereka diberbagai bidang dan tingkatan. Akan tetapi, pada penerapannya memang masih terdapat beberapa masalah yang dianggap perlu diperbaiki untuk mencapai pembuatan kebijakan yang optimal. Meskipun demikian, pemanfaatan big data dalam evaluasi setiap kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris menjadi contoh pelayanan efektif dan efisien (Höchtl dkk., 2016). Contoh lain lagi adalah pengumpulan data terkait infrastruktur melalui partisipasi warga dari aplikasi Boston’s Street Bump yang dilakukan untuk mengukur kelancaran perjalanan mobil berdasarkan pergerakan ponsel individu. Dari data yang diperoleh, membantu pemerintah mencari informasi awal mengenai implementasi kebijakan yang tepat, khususnya yang berkaitan dengan identifikasi wilayah yang mendapat prioritas perbaikan infrastruktur (Simon, 2014). Informasi tersebut kemudian dapat digunakan dalam diskusi kebijakan terbuka, membantu pencarian titik awal implementasi yang paling efisien (Höchtl dkk., 2016). Kehadiran big data terbukti mampu mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sebuah pemerintah, termasuk di dalamnya mengubah instrumen kebijakan secara prosedural dan substantif (Giest, 2017). Jika dilihat secara prosedural, pemanfaatan big data yang dilakukan oleh berbagai pemerintah di dunia dapat memunculkan potensi peningkatan ekonomi dan perumusan kebijakan yang menguntungkan pelayanan publik dari sisi pemerintah (Bertot, Gorham, Jaeger, Sarin, & Choi, 2014). Alasannya adalah sharing data yang dilakukan pemerintah dapat memberikan kesempatan pada masyarakat, swasta, dan organisasi nonprofit untuk merespons data yang tersedia. Reaksi dari masyarakat dan organisasi nonprofit dapat memperlihatkan masalah secara real-time kepada pemerintah sehinga pemerintah dapat merespons permasalahan tersebut dengan kebijakan yang tepat (Bertot dkk., 2014; Giest, 2017). Sementara itu, reaksi dari pihak swasta dapat memberikan output berupa produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan publik (Bertot dkk., 2014).

275

Metode Analisis Big Data Metode analisis yang digunakan dalam pemanfaatan big data amat beragam. Beberapa contoh metode tersebut antara lain CorpusAssisted Discourse Studies (CADS), Social Network Analysis (SNA), Story Completion, dan Pilot Study. Corpus-Assisted Discourse Studies merupakan metode yang cukup umum digunakan untuk menganalisis data (cenderung berupa teks) dalam jumlah besar. CADS dikenal sebagai metode yang menggabungkan dua pendekatan, yaitu analisis wacana kritis (critical discourse analysis – CDA) dan corpus linguistic (Baker, 2010). Corpus linguistic (CL) merupakan metode yang biasanya digunakan untuk menganalisis data yang bersifat tekstual, sedangkan analisis wacana kritis adalah alat untuk melakukan in-depth analysis dan menginterpretasi sekumpulan teks yang kemudian dikelompokan berdasarkan kecenderungan dari kumpulan teks tersebut (Baker, 2010; Jaworska, 2016). Pengelompokan tersebut juga biasanya didasarkan pada situasi dari sekumpulan teks yang ada, baik pada konteks socio cultural, historis, maupun politik (Altoaimy, 2018). Secara sederhana, fokus analisis dari CADS adalah pemanfaatan alat dan teknik corpus yang dikombinasikan dengan teknik membaca secara rinci pada teks yang terpilih/sesuai dengan fokus penelitian (Brookes, 2014). Metode CADS dianggap sebagai pendekatan yang sangat memudahkan peneliti untuk menganalisis data dalam jumlah besar, khususnya data yang ada di media sosial seperti Twitter (Altoaimy, 2018; Ferri-Miralles, 2019; Jaworska, 2016). Penelitian Altoaimy (2018) menjadi contoh penelitian yang memanfaatkan metode CADS untuk menganalisis data yang ada di Twitter. Penelitian tersebut menganalisis 5876 tweets (percakapan yang ada di Twitter) selama 3 bulan. Penelitian dari Altoaimy bertujuan untuk melihat dukungan dan argumentasi masyarakat tentang hak asasi perempuan melalui percakapan Twitter. Beberapa kata digunakan menjadi keyword dalam penelitian tersebut, seperti rights, women rights, dan women. Setelah itu, penelitian ini menemukan beberapa kata yang sering kali dipasangkan dengan kata-kata tersebut, seperti widows, violated, have the right to choose, sampai dengan decision makers (Altoaimy, 2018). Metode CADS membantu peneliti untuk melihat respons seseorang/ kelompok terhadap suatu isu melalui komentar atau kalimat yang mereka 276

tuliskan disuatu media, seperti contoh sebelumnya, yaitu Twitter. Peneliti hanya perlu memahami keyword yang sangat berdekatan dengan isu tersebut kemudian menghubungkannya dengan teks lainnya. Pengelompokan teks yang sudah dilakukan dapat merepresentasikan respons dari isu yang sedang diteliti karena apa yang dituliskan adalah bagian dari keresahan mereka (objek penelitian) dalam menghadapi suatu masalah (Altoaimy, 2018; Baker, 2010; Brookes, 2014; De Mauro dkk., 2016; Ferri-Miralles, 2019). Pengelompokan teks dalam jumlah besar kenyataanya dapat memberikan gambaran kepada peneliti bagaimana respons dari sasaran penelitian mereka terhadap suatu isu, pendekatan ini juga dianggap lebih efisien dan akurat dibandingkan metode tradisional (Ferri-Miralles, 2019). Oleh karena itu, penggunaan metode CADS dalam analisis big data semakin berkembang sampai saat ini karena menawarkan output yang lebih akurat dan efisien. Kusumasari (2021) pada penelitiannya juga menggunakan metode CADS untuk memetakan wacana kebencanaan di platform media sosial, yaitu Twitter. Penelitian tersebut menganalisis percakapan yang terjadi pada saat gempa dan tsunami di Palu tahun 2018, erupsi gunung berapi di Bali tahun 2017, serta gempa di Lombok tahun 2018. Beberapa kata/ hashtag terkait tiga kejadian tersebut muncul dalam setiap percakapan di Twitter, seperti aktivitas keagamaan, sembahyang, ibadah, pariwisata, dan donasi. Kata/hashtag yang muncul dari setiap percakapan tentang tiga bencana tersebut merepresentasikan pesan dan ideologi yang ada dari sebuah peristiwa kebencanaan. Selain CADS, metode Social Network Analysis (SNA) juga digunakan oleh beberapa ahli untuk menaganalisis data dalam jumlah yang besar. SNA biasanya digunakan untuk menganalisis hubungan antara beberapa aktor individu/kelompok yang saling berinteraksi (Al-Molhem, Rahal, & Dakkak, 2019; S. P. Borgatti, M. G. Everett, & J. C. Johnson, 2018). SNA menjadi salah satu metode utama dalam analisis big data, dengan menyediakan alat, metode, dan teori dalam penelitian social networks di dunia digital (Olshannikova, Olsson, Huhtamäki, & Kärkkäinen, 2017). Metode ini menjadi alat yang sangat kuat untuk melihat social networks diberbagai sektor, seperti perbankan, telekomunikasi, ilmu sosial, sampai dengan aplikasi internet (Al-Molhem dkk., 2019). Hubungan dalam 277

network di sini bisa berupa hubungan langsung dan tidak langsung (directional dan non-directional). Pada hubungan langsung, seseorang akan menjadi inisiator (source of relationship), sedangkan yang lainnya akan menjadi penerima (destination of the relationship). Sementara itu, hubungan tidak langsung adalah hubungan antarsetiap orang yang setara (sebagai penerima). Pada dunia telekomunikasi, salah satu contoh penerapan hubungan ini (directional) dapat dilihat melalui pemanfaatan call detail records (CDR) yang digunakan operator sebagai sumber produksi data dari hasil penggunaan telefon (Al-Molhem dkk., 2019; Mishra dkk., 2018). CDR dapat menyimpan data transaksi telekomunikasi secara detail (telefon, akses internet, chat) yang didapatkan melalui perangkat elektronik penggunanya. Pada pemanfaatan CDR ini, SNA digunakan untuk melihat sumber data lainnya seperti data pelanggan untuk menemukan hubungan sosial berdasarkan riwayat pembelian dari setiap orang (Al-Molhem dkk., 2019) Mengintegrasikan informasi menggunakan SNA dapat memberikan pandangan yang lebih luas dan bernilai dalam melihat suatu masalah (Pinheiro, 2011). Pada penelitian Al-Molhem dkk. (2019) contohnya, di mana penelitian ini memanfaatkan CDR dan mengintegrasikannya dengan data pengguna untuk mengimplementasikan data ETL (extracting, transforming, and loading) dan ringkasan data untuk membentuk social network. Pelanggan nomor GSM akan merepresentasikan nodes dan interaksi antar setiap pelanggan (seperti histori telefon) akan menjadi edges (Al-Molhem dkk., 2019). Metode SNA sangat bermanfaat untuk menganalisis data dalam jumlah besar untuk menemukan relasi antar aktor individu/kelompok dalam suatu isu (Pinheiro, 2011; Mishra dkk., 2018). Metode SNA juga pernah dimanfaatkan dalam riset yang dilakukan oleh Khairiza & Kusumasari (2020) untuk melihat hubungan sosial (social networks) yang terbentuk dalam kampanye digital, khususnya pada kasus kelapa sawit di Indonesia. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi aktor kunci dan pesan yang disampaikan dalam marketing politik (political marketing). Metode SNA pada penelitian ini digunakan untuk melihat peran aktor dan memetakan pola networking pada platform Twitter yang menggunakan hashtag #SawitBaik. Hasil penelitian 278

menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat justru melakukan kritik terhadap pemerintah, adanya perdebatan tentang dampak kelapa sawit serta keterlibatan/pemberdayaan masyarakat. Riset yang menggunakan metode SNA juga dapat dilihat pada kasus gerakan sosial digital yang menolak sebuah rancangan undang-undang permusikan di Indonesia (Alifiarry & Kusumasari, 2021). Metode lainnya yang digunakan untuk menganalisis data dalam jumlah yang besar adalah story completion. Story completion dianggap sebagai metode menarik, inovatif, dan fleksibel yang belum sering diadopsi oleh berbagai penelitian (Clarke, Braun, Frith, & Moller, 2019; Gravett, 2019). Metode ini memiliki latar belakang pengembangan pada studi psikologi dan psikoterapi, biasanya digunakan untuk mencari pemahaman secara jelas tentang suatu cerita/histori (Clarke dkk., 2019). Seiring dengan perkembangannya, story completion kemudian mulai digunakan oleh beberapa penelitian, khususnya penelitian dengan kerangka pikir sosial (Gravett, 2019; Hayfield & Wood, 2019; Shah-Beckley, Clarke, & Thomas, 2018). Akan tetapi, metode ini memang belum sering digunakan dalam berbagai penelitian (Gravett, 2019), terlebih jika dibandingkan dengan metode-metode yang sudah dijelaskan sebelumnya (CADS dan SNA). Salah satu penelitian yang menarik adalah penelitian dari Hayfield & Wood (2019) yang menggunakan metode story completion dan mengombinasikannya dengan pemanfaatan aplikasi Bitstrips. Harley & Wood ingin mengeksplor pemahaman tentang seksualitas dan penampilan dari beberapa orang melalui pemanfaatan aplikasi tersebut, dengan cara melihat kecenderungan seseorang dalam membuat avatar pada aplikasi Bitstrips. Penelitian ini mengambil beberapa sample pengguna dengan tiga kelompok ketertarikan seksual (biseksual, heteroseksual, dan lesbian). Hasil Penelitian ini kemudian menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara biseksual, heteroseksual dan lesbian apabila dilihat melalui karakter mereka didalam aplikasi, baik secara data tekstual maupun visual. Penelitian ini juga menemukan bahwa pada kenyataannya seseorang dengan kecenderungan heteroseksual akan mengalami kesulitan untuk memahami kecenderungan lainnya (biseksual dan lesbian) melalui karakter dalam aplikasi karena sebagian besar menunjukan karakter yang feminis. Akan tetapi, terdapat beberapa kelompok lesbian yang 279

menunjukkan simbol-simbol tertentu dalam data visualnya, seperti rambut pendek, sepatu sneakers, dan “penampilan yang kurang sopan” (Hayfield & Wood, 2019). Metode terakhir yang biasa digunakan dalam analisis big data adalah pilot study. Pilot study dianggap dapat mengarahkan desain dan implementasi penelitian pada suatu pendekatan dengan menguji kelayakan beberapa kasus dari pendekatan tersebut. Hasil penelitian dari pilot study kemudian dapat digunakan untuk mengembangkan suatu teori/pendekatan dalam skala besar (Leon, Davis, & Kraemer, 2011). Leon dkk. (2011) menjelaskan pada dasarnya pilot study tidak digunakan untuk menguji suatu hipotesis, melainkan untuk mengembangkan hipotesis dengan melihat segala kemungkinan dari hipotesis tersebut. Salah satu penelitian yang menggunakan metode pilot study dan big data adalah penelitian dari von Hippel & Cann (2020) yang bertujuan untuk melihat inovasi dalam teknik dan pelayanan sektor rumah tangga. Penelitian dari von Hippel & Cann (2020) bertujuan untuk menguji pendekatan inovasi perilaku melalui analisis pada salah satu contoh kasus di sektor rumah tangga. Secara mengejutkan, tahap pertama yang biasa dilakukan oleh penelitian pilot study, yaitu melakukan screening terhadap setiap forum yang ada di laman internet justru dihilangkan pada penelitian ini. Penelitian ini melakukan identifikasi melalui laman Reddit yang dianggap memunculkan beragam referensi dan menampilkan berbagai komunitas online yang tentunya memiliki fokus terhadap konten penelitian. Reddit merupakan laman yang menyediakan perkembangan berita-berita sosial dan ruang diskusi yang telah diakui sebagai enam website yang sering dikunjungi pada tahun 2019. Pengguna Reddit biasanya akan berlangganan pada satu forum yang spesifik, di mana mereka bisa memberikan tema tambahan pada forum tersebut (dikenal sebagai subreddit) dan bisa mengunggah foto, link, maupun konten secara tekstual (von Hippel & Cann, 2020). Pengumpulan data pada penelitian von Hippel & Cann pada awalnya mengumpulkan data menggunakan Python, kemudian melakukan analisis awal melalui pembagian pengguna Reddit berdasarkan gender. Setelah itu, penelitian ini melakukan beberapa kali filter sesuai dengan topik penelitian sampai mendapatkan jawaban penelitian. Penelitian ini 280

kemudian menemukan bahwa berdasarkan contoh kasus yang digunakan (inovasi dalam teknik dan pelayanan sektor rumah tangga), pemahaman terkait inovasi perilaku, produk, maupun gabungan dari keduanya dapat dipahami dan diterapkan oleh sebagian besar pria dan wanita. Pemahaman tersebut dapat dilihat dari teknik, pelayanan, dan berbagai inovasi lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai komunitas dalam laman Reddit (von Hippel & Cann, 2020). Contoh lain pemanfaatan metode pilot study adalah dari penelitian Kusumasari & Prabowo (2020) yang bertujuan untuk melihat pola komunikasi media sosial dalam merespons bencana. Percakapan di platform Twitter, kemudian digunakan sebagai representasi (pilot) dari media sosial tentang percakapan mengenai peristiwa bencana alam yang terjadi di Asia Pasifik pada tahun 2014 dan 2015. Dalam penelitian tersebut tampak bahwa media sosial seperti Twitter sering digunakan oleh berbagai organisasi untuk menyebarkan informasi dan penggalangan donasi di saat bencana. Twitter kemudian dianggap sebagai platform media sosial yang sangat penting digunakan oleh berbagai organisasi karena memberikan kemudahan untuk melakukan interaksi dengan pihak di luar negara atau wilayah yang terdampak bencana alam. Pilot study yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan lebih dari 44.500 percakapan (tweets) selama kurun waktu 2014–2015. Dari hasil pilot study ini menunjukkan bahwa Twitter mampu memegang peranan positif dalam perubahan pola komunikasi tradisional pada saat menghadapi situasi krisis seperti bencana. Selain itu, Twitter juga dapat meningkatkan perhatian seseorang dalam menghadapi bencana, walaupun individu tersebut bukan pihak yang terdampak langsung. Berbagai metode dalam analisis big data memang sudah digunakan diberbagai penelitian. Setiap metode tersebut juga memiliki keunggulan maupun kekurangan masing-masing. Pada pemanfaatan big data dalam proses formulasi kebijakan publik juga perlu mempertimbangkan penggunaan metode-metode yang ada. Sebagai contoh, metode SNA dapat digunakan untuk memperkirakan respons dari setiap stakeholders terhadap suatu rencana kebijakan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya SNA biasanya digunakan untuk menganalisis hubungan antara beberapa aktor individu/kelompok yang saling berinteraksi (Al-Molhem dkk., 2019; 281

S P Borgatti dkk., 2018) sehingga metode ini akan cocok digunakan untuk melihat hubungan dari setiap stakeholders dalam merespons suatu kebijakan. Contoh lainnya, jika suatu sistem pemerintah ingin menerapkan kebijakan yang sebelumnya sudah digunakan oleh daerah atau negara lain dapat menggunakan metode pilot study untuk melihat output kebijakan tersebut di daerah yang sudah pernah menerapkannya. Pada proses formulasi kebijakan publik, pemerintah dapat melihat bagaimana rencana kebijakan tersebut diterapkan di wilayah atau daerah lainnya menggunakan metode pilot study. Pemerintah juga dapat melihat respons dari warga negara atau daerah yang sudah menerapkan kebijakan tersebut melalui tanggapan dari warga itu sendiri di berbagai media sosial/ aplikasi. Oleh karena itu, penggunaan big data tidak dimungkiri dapat bermanfaat bagi sektor publik pada saat ini, dengan menawarkan hasil yang terukur dan effort yang minimal dibandingkan dengan pendekatan langsung seperti kualitatif tradisional (wawancara) ataupun survei. Beragam metode juga sudah dikembangkan untuk membantu analisis big data dalam proses pengambilan keputusan atau formulasi kebijakan publik, tergantung pada kebutuhan sektor publik.

Penutup Formulasi kebijakan publik merupakan bagian yang sangat penting dalam siklus kebijakan karena hasilnya yang akan menentukan dalam penyelesaian masalah publik. Berbagai pendekatan dalam formulasi kebijakan publik kemudian terus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan sektor publik yang dinamis. Pendekatan data driven policy dengan memanfaatkan analisis big data juga kemudian terus berkembang dengan menawarkan pengintegrasian antara data dan bukti dalam satu pandangan yang menyeluruh. Berbagai institusi di berbagai negara juga sampai saat ini sudah mulai memanfaatkan analisis big data untuk menentukan strategi dalam pengambilan keputusan ataupun membuat suatu kebijakan. Berbagai alternatif metode juga terus ditawarkan untuk melakukan analisis big data, seperti Corpus-Assisted Discourse Studies, Social Network Analysis, Story Completion, dan Pilot Study. Pemanfaatan setiap metode tersebut juga beragam sesuai dengan

282

kebutuhan yang ingin dilihat oleh sektor publik dalam merumuskan suatu kebijakan. Kehadiran big data memang tidak bisa dimungkiri menawarkan pendekatan yang menarik dalam sektor publik, khususnya pada siklus formulasi kebijakan publik. Selain menawarkan efisiensi pada sektor publik (baik dari segi anggaran maupun sumber daya), analisis big data dalam formulasi kebijakan publik juga memberikan sudut pandang baru berupa keterbukaan dari sektor publik yang sebelumnya lebih terkesan tertutup. Setelah era big data seperti saat ini, pertukaran informasi antara pemerintah dengan masyarakat maupun pemerintah dengan instansi lainnya berjalan lebih dinamis. Sektor publik juga sudah mulai memberikan akses yang lebih luas terhadap setiap masyarakat untuk melihat kinerja atau aktivitas apa saja yang sedang mereka lakukan. Perkembangan administrasi publik ke depan yang menghadapi tantangan VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) menuntut penggunaan berbagai metode analisis big data untuk menemukan pola dan korelasi tersembunyi dari data-data yang ada untuk kemudian mampu menjadi analisis prediktif yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan pembuatan kebijakan yang berbasis bukti. Melalui analisis big data dan berbagai metodenya dapat mengintegrasikan data menjadi lebih baik sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memberikan pelayanan publik menjadi lebih proaktif selain juga menjadi mekanisme mitigasi apabila kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tidak tepat sasaran.

283

Daftar Pustaka Abdullah, N. N., & M. F. Abdul Rahman. 2017. “The Use of Deliberative Democracy in Public Policy Making Process”. SSRN Electronic Journal, 5(3), hal. 221–230. https://doi.org/10.2139/ssrn.2769105. Al-Molhem, N. R., Y. Rahal, & M. Dakkak. 2019. “Social Network Analysis in Telecom Data. Journal of Big Data, 6(1). https://doi.org/10.1186/ s40537-019-0264-6. Alifiarry, M. A., & B. Kusumasari. 2021. “The Application of Social Movement as a Form of Digital Advocacy: Case of #TolakRUUPermusikan”. Journal of Government and Civil Society, 5(1), hal. 1–30. Almeida, C., & E. Báscolo. 2006. “Use of Research Results In Policy Decision-Making, Formulation, And Implementation: A Review Of The Literature”. Cadernos de Saude Publica, Vol. 22, hal. S7–S19. https://doi.org/10.1590/s0102-311x2006001300002. Altoaimy, L. 2018. “Driving Change On Twitter: A Corpus-Assisted Discourse Analysis Of The Twitter Debates On The Saudi Ban On Women Driving”. Social Sciences, 7(5). https://doi.org/10.3390/ SOCSCI7050081. Amado, A., P. Cortez, P. Rita, & S. Moro. 2018. “Research Trends On Big Data In Marketing: A Text Mining And Topic Modeling Based Literature Analysis”. European Research on Management and Business Economics, 24(1), hal. 1–7. https://doi.org/10.1016/j. iedeen.2017.06.002. Arimura, H., T. Magome, Y. Yamashita, & D. Yamamoto. 2009. “ComputerAided Diagnosis Systems for Brain Diseases in Magnetic Resonance Images”. Algorithms, 2(3), hal. 925–952. https://doi. org/10.3390/a2030925. Baker, P. 2010. “Sociolinguistics and Corpus Linguistics”. Edinburgh University Press. https://doi.org/10.1017/S0047404511000947 Barutçu, M. T. 2017. “Big Data Analytics for Marketing Revolution”. Journal of Media Critiques, 3(11), hal. 163–171. https://doi. org/10.17349/jmc117314. Baumrucker, S. J., G. Carter, R. W. Adkins, C. Perkins, M. Stolick, & G. VandeKieft. 2020. “Ethics Roundtable: Distribution of Critical Care Resources in the Setting of a COVID-19 Surge”. American Journal 284

of Hospice and Palliative Medicine, 37(12), hal. 1096–1101. https:// doi.org/10.1177/1049909120951084. Belle, A., R. Thiagarajan, S. M. R. Soroushmehr, F. Navidi, D. A. Beard, & K. Najarian. 2015. Big Data Analytics in Healthcare. https://doi. org/10.1155/2015/370194. Bertot, J. C., U. Gorham, P. T. Jaeger, L. C. Sarin, & H. Choi. 2014. “Big Data, Open Government And E-Government: Issues, Policies And Recommendations”. Information Polity, 19(1–2), hal. 5–16. https:// doi.org/10.3233/IP-140328. Borgatti,S. P., M. G. Everett, & J. C. Johnson. 2018. Analyzing Social Networks. Thousands Oaks: Sage. Boyd, D., & K. Crawford. 2012. “Critical Questions For Big Data: Provocations For A Cultural, Technological, And Scholarly Phenomenon”. Information Communication and Society, 15(5), hal. 662–679. https://doi.org/10.1080/1369118X.2012.678878. Brookes, G. 2014. “Review of Partington”, Duguid & Taylor. 2013. Patterns and Meanings in Discourse: Theory and Practice in Corpusassisted Discourse Studies (CADS), dalam International Journal of Corpus Linguistics, 19(2), hal. 292–300. https://doi.org/10.1075/ ijcl.19.2.07bro. Carlos, Andre Reis Pinheiro. 2011. Social Network Analysis in Telecommunications (Business &). Wiley. Cary, A. H. 2000. “Data Driven Policy: The Case for Certification Research”. Policy, Politics, & Nursing Practice, 1(3), hal. 165–171. https://doi. org/10.1177/152715440000100302. Chen, M., S. Mao, & Y. Liu. 2014. “Big Data: A Survey”. Mobile Networks and Applications, 9(2), hal. 171–209. https://doi.org/10.1007/ s11036-013-0489-0. Clarke, V., V. Braun, H. Frith, & N. Moller. 2019. “Editorial Intro Duction To The Special Issue: Using Story Completion Methods In Qualitative Research”. Qualitative Research in Psychology, 16, hal. 1–20. Clelland, D., D. van Steijn, S. Whitelaw, S. Connor, C. Centeno, & D. Clark. 2020. “Palliative Care in Public Policy: Results from a Global Survey”. Palliative Medicine Reports, 1(1), hal. 183–190. https:// doi.org/10.1089/pmr.2020.0062.

Cordella, A., & N. Tempini. 2015. “E-Government And Organizational Change: Reappraising The Role of ICT and Bureaucracy In Public Service Delivery”. Government Information Quarterly, 32, hal. 279–286. https://doi.org/10.1016/j.giq.2015.03.005. Coyle, K. 2006. “Mass Digitization of Books”. Journal of Academic Librarianship, 32(6), hal. 641–645. De Mauro, A., M. Greco, & M. Grimaldi. 2015. “What is Big Data? A Consensual Definition And A Review Of Key Research Topics”. AIP Conference Proceedings, 1644(25), hal. 97–104. https://doi. org/10.1063/1.4907823. Doern, G. B, dkk. 2013. Canadian Public Budgeting in the Age of Crises: Shifting Budgetary Domains and Temporal Budgeting. Montreal, Quebec: McGill-Queen’s University Press. De Mauro, A., M. Greco, & M. Grimaldi. 2016. “A Formal Definition Of Big Data Based On Its Essential Features”. Library Review, 65(3), hal. 122–135. https://doi.org/10.1108/LR-06-2015-0061. Dekhtiar, J., A. Durupt, M. Bricogne, B. Eynard, H. Rowson, & D. Kiritsis. 2018. “Deep Learning For Big Data Applications in CAD and PLM – Research Review, Opportunities And Case Study”. Computers in Industry, 100(March), hal. 227–243. https://doi.org/10.1016/j. compind.2018.04.005. Devarajan, 2013. “Africa’s Statistical Tragedy”. The Review of Income and Wealth. https://doi.org/10.1111/roiw.12013 Einav, L., & J. Levin. 2014. “Economics in the Age Of Big Data”. Science, 346(6210). https://doi.org/10.1126/science.1243089. Eneanya, A. N. 2010. Public Policy Analysis: National Open University of Nigeria. Lagos: Concept Publications Ltd. Fan, J., F. Han, & H. Liu. 2014. “Challenges of Big Data analysis”. National Science Review, 1(2), hal. 293–314. https://doi.org/10.1093/nsr/ nwt032. Ferri-Miralles, D. I. 2019. “A Corpus-based Discourse and Lexical Analysis of WhatsApp Conversations”. Conference: XI Congreso Internacional de Lingüística de Corpus (CILC).

Ferro, E., E. N. Loukis, Y. Charalabidis, & M. Osella. 2013. “Policy Making 2.0: From Theory To Practice”. Government Information Quarterly, 30(4), hal. 359–368. https://doi.org/10.1016/j.giq.2013.05.018. Floridia, Antonio. 2013. Participatory Democracy versus Deliberative Democracy: Elements for a Possible Theoretical Genealogy. Two Histories, Some Intersections. Giest, S. 2017. Big Data For Policymaking: Fad Or Fasttrack?”. Policy Sciences, 50(3), hal. 367–382. https://doi.org/10.1007/s11077017-9293-1. Gowen, J. B. 2015. Methods Used in Public Policy Decision Making by County Managers in North Carolina This is to certify that the doctoral dissertation by. Gravett, K. 2019. “Story Completion: Storying as a Method of MeaningMaking and Discursive Discovery”. International Journal of Qualitative Methods, 18, 160940691989315. https://doi. org/10.1177/1609406919893155. Hardy, A., C. Nevin-Woods, … S. P.-P. Chronic, & 2015, undefined. 2015. “Peer Reviewed: Promoting Evidence-Based Decision Making in a Local Health Department, Pueblo City–County, Colorado”. Ncbi. Nlm.Nih.Gov, 1–10. Hastak, M., M. B. Mazis, & Morris. 2001. “The Role of Consumer Surveys in Public Policy Decision Making”. Journal of Public Policy & Marketing, 20(2), hal. 170–185. Hayes, M. 2017. “Incrementalism and Public Policy-Making”. Oxford Research Encyclopedia of Politics. https://doi.org/10.1093/ acrefore/9780190228637.013.133. Hayfield, N., & M. Wood. 2019. “Looking Heteronormatively Good! Combining Story Completion With Bitstrips To Explore Understandings Of Sexuality And Appearance”. Qualitative Research in Psychology, 16(1), hal. 115–135. https://doi.org/10.1 080/14780887.2018.1536390. Heitmueller, A., S. Henderson, W. Warburton, A. Elmagarmid, A. Pentland, & A. Darzi. 2014. “Developing Public Policy To Advance The Use Of Big Data In Health Care”. Health Affairs, 33(9), hal. 1523–1530. https://doi.org/10.1377/hlthaff.2014.0771. 287

Höchtl, J., P. Parycek, & R. Schöllhammer. 2016. “Big Data In The Policy Cycle: Policy Decision Making In The Digital Era”. Journal of Organizational Computing and Electronic Commerce, 26(1–2), hal. 147–169. https://doi.org/10.1080/10919392.2015.1125187. Hong, S. M., & K. K. Kim. 2012. “A Case Study on the Failure of Deliberative Governance”. Journal of the Korean Association for Governance, 19(3), hal. 199–219. Jaworska, S. 2016. “Using a Corpus-Assisted Discourse Studies (CADS) Approach to Investigate Constructions of Identities in Media Reporting Surrounding Mega Sports Events: The Case of the London Olympics 2012”, dalam Critical Event Studies (hal. 149– 174). https://doi.org/10.1057/978-1-137-52386-0_8. Jeble, S., S. Kumari, & Y. Patil. 2018. “Role of Big Data In Decision Making”. Operations and Supply Chain Management, 11(1), hal. 36–44. https://doi.org/10.31387/oscm0300198. Jetzek, T. 2016. “Managing Complexity Across Multiple Dimensions Of Liquid Open Data: The Case of the Danish Basic Data Program”. Government Information Quarterly, 33(1), hal. 89–104. https://doi. org/10.1016/j.giq.2015.11.003. Jerven, M. 2013. Poor Numbers: How We Are Misled by African Development Statistics and What to Do about It. Ithaca; London: Cornell University Press Jordan, A. J., J. R. Turnpenny, D. Benson, & T. Rayner. 2015. “The Tools Of Policy Formulation: An introduction”. The Tools of Policy Formulation: Actors, Capacities, Venues and Effects, (May),hal. 3–29. https://doi.org/10.4337/9781783477043.00011. Juma, T., & K. Onkware. 2015. “The Challenges of Public Policy Formulation and Evaluation Through the Questions “What, Who, How, and When?”. International Journal of Economics, III(11), hal. 830–841. Khairiza, F., & B. Kusumasari. 2020. “Analyzing Political Marketing in Indonesia: A Palm Oil Digital Campaign Case Study”. Forest and Society, 4(2), hal. 294. https://doi.org/10.24259/fs.v4i2.9576. Kim, D. K., P. S. Kim, & P. O. Öberg. 2018. “Deliberative Policy-Making And Its Limitations: The Case of the Charter of Human Rights for 288

Seoul Citizens in South Korea”. Policy Studies, 39(1), hal. 54–69. https://doi.org/10.1080/01442872.2017.1410880. Kitchin, R. 2014. “Big Data, New Epistemologies And Paradigm Shifts”. Big Data and Society, 1(1). https://doi.org/10.1177/2053951714528481. Klievink, B., B. J. Romijn, S. Cunningham, & H. de Bruijn. 2017. “Big Data In The Public Sector: Uncertainties And Readiness”. Information Systems Frontiers, 19(2), hal. 267–283. https://doi.org/10.1007/ s10796-016-9686-2. Kurnia, N., & A. Savirani. 2020. Big Data Untuk Ilmu Sosial: Antara Metode Riset Dan Realitas Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kusumasari, B., & Q. Alam. 2012. “Local Wisdom-Based Disaster Recovery Model in Indonesia. Disaster Prevention and Management: An International Journal, 21(3). https://doi. org/10.1108/09653561211234525. Kusumasari, Bevaola. 2021. “Framing Wacana Kebencanaan dalam Twitter Melalui Analisis Corpus-Assisted Discourse Study (CADS)”, dalam N. Kurnia & A. Savirani (Eds.). 2021. Big Data untuk Ilmu Sosial: Antara Metode Riset dan Realitas Sosial (hal. 176–198). Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press. Kusumasari, Bevaola, & Prabowo. 2020. “Scraping Social Media Data For Disaster Communication: How The Pattern Of Twitter Users Affects Disasters in Asia and the Pacific. Natural Hazards, 103(3), hal. 3415–3435. https://doi.org/10.1007/s11069-020-04136-z. Lee, G., J. Benoit-Bryan, & Johnson. 2012. “Survey Research in Public Administration: Assessing Mainstream Journals with a Total Survey Error Framework”. Public Administration Review, 72(1), hal. 87–97. Leon, A. C., L. L. Davis, & H. C. Kraemer. 2011. “The Role And Interpretation Of Pilot Studies In Clinical Research”. Journal of Psychiatric Research, 45(5), hal. 626–629. https://doi.org/10.1016/j. jpsychires.2010.10.008. Lindblom, C. E. 1958. “Policy Analysis”. American Economic Review, 48(3), hal. 298–312.

289

Liu, X., H. Shin, & Burns. 2021. “Examining the Impact Of Luxury Brand’s Social Media Marketing On Customer Engagement​: Using Big Data Analytics And Natural Language Processing”. Journal of Business Research, 125, hal. 815–826. https://doi.org/10.1016/j. jbusres.2019.04.042. Lugo-Gil, J., D. Jean-Baptiste, & L. F. Jaramillo. 2019. “01.Use of Evidence to Drive Decision-Making in Government”. Mathematica Policy Research Published Reports. Lyon, D. 2014. “Surveillance, Snowden, and Big Data: Capacities, Consequences, Critique”. Big Data and Society, Juli-Decem, hal. 1–13. https://doi.org/10.1177/2053951714541861. Mayer-Schönberger, V., & K. Cukier. 2013. Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think. London: John Murray. Mishra, S., B. K. Mishra, H. K. Tripathy, M. Mishra, & B. Panda. 2018. “Use of Social Network Analysis In Telecommunication Domain”, dalam Modern Technologies For Big Data Classification And Clustering (hal. 152–178). IGI Global. Misuraca, G., F. Mureddu, & D. Osimo. 2014. “Policy-Making 2.0: Unleashing The Power Of Big Data For Public Governance”. In Public Administration and Information Technology. https://doi. org/10.1007/978-1-4614-9563-5_11. Mitchell, S. 2011. “Designing Public Policies: Principles and Instruments By Michael Howlett”. Canadian Public Administration, 54(3), hal. 458–460. https://doi.org/10.1111/j.1754-7121.2011.00186.x. Mitchell, C. dkk. 2011. Policy, Financing and Implementation. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. Olshannikova, E., T. Olsson, J. Huhtamäki, & H. Kärkkäinen. 2017. “Cenceptualizing Big Social Data”. Journal of Big Data, 4(1). https://doi.org/10.1186/s40537-017-0063-x. Papadopoulos, Y., & P. Warin. 2007. “Are Innovative, Participatory And Deliberative Procedures In Policy Making Democratic And Effective?”. European Journal of Political Research, 46(4), hal. 445–472. https://doi.org/10.1111/j.1475-6765.2007.00696.x. Patten, S. 2001. “Democratizing the Institutions of Policy-making: Democratic Consultation and Participatory Administration”. 290

Journal of Canadian Studies, 35(4), hal. 221–239. https://doi. org/10.3138/jcs.35.4.221. Pence, H. E. 2014. “What is Big Data and Why is it Important?”. Journal of Educational Technology Systems, 43(2), hal. 159–171. https:// doi.org/10.2190/et.43.2.d. Powner, D. 2020. Framework for Developing And Implementing Data Driven Actional Equitable Policy. Mitre. Qi, H., & Altinakar. 2011. “A GIS-Based Decision Support System For Integrated Flood Management Under Uncertainty With Two Dimensional Numerical Simulations”. Environmental Modelling and Software, 26(6), hal. 817–821. https://doi.org/10.1016/j. envsoft.2010.11.006. Rempel, E. 2018. Public Engagement And Policy-Making In The Era Of Big Data Alternative Formats If You Require This Document In An Alternative Format , Please Contact : Public Engagement And Policy-Making In The Era Of Big Data. University of Bath. Rice, M. J., J. Stalling, & A. Monasterio. 2019. “Psychiatric-Mental Health Nursing: Data-Driven Policy Platform for a Psychiatric Mental Health Care Workforce”. Journal of the American Psychiatric Nurses Association, 25(1), hal. 27–37. https://doi. org/10.1177/1078390318808368. Rietbergen-McCraken, J. 2010. “Participatory Policy Making”. Policy and Planning, 6(2), hal. 207–218. Roski, J., G. W. Bo-Linn, & T. A. Andrews. 2014. “Creating Value In Health Care Through Big Data: Opportunities And Policy Implications”. Health Affairs, 33(7), hal. 1115–1122. https://doi.org/10.1377/ hlthaff.2014.0147. Sanderson, I. 2002. “Evaluation, Policy Learning And Evidence-Based Policy Making”. Public Administration, 80(1), hal. 1–22. https:// doi.org/10.1111/1467-9299.00292. Shah-Beckley, I., V. Clarke, & Z. Thomas. 2018. “Therapists’ and NonTherapists’ Constructions Of Heterosex: A Qualitative Story Completion Study”. Psychology and Psychotherapy: Theory, Research and Practice, 93(2), hal. 189–206. https://doi.org/10.1111/ papt.12203. 291

Siuly, S., & Y. Zhang. 2016. “Medical Big Data: Neurological Diseases Diagnosis Through Medical Data Analysis”. Data Science and Engineering, 1(2), hal. 54–64. https://doi.org/10.1007/s41019016-0011-3. Subirats, J. 2001. “Analysis of Public Policies”. Gac Sanit, 15(3), 259–64. von Hippel, C. D., & A. B. Cann. 2020. “Behavioral Innovation: Pilot Study And New Big Data Analysis Approach In Household Sector User Innovation”. Research Policy, 103992. https://doi.org/10.1016/j. respol.2020.103992. Yost, J., M. Dobbins, R. Traynor, K. Decorby, S. Workentine, & L. Greco. 2014. “Tools to Support Evidence-Informed Public Health Decision Making. BMC Public Health, 14(1), hal. 1–13. https:// doi.org/10.1186/1471-2458-14-728.

292

BAGIAN KEEMPAT: AKSIOLOGI

BAB XII

CIVIL SERVICE REFORM DI INDONESIA: KEMAJUAN DAN TANTANGAN

Agus Pramusinto

Pendahuluan Tulisan ini mendiskusikan perkembangan pengelolaan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia. Secara khusus, tulisan ini menganalisis seberapa jauh manajemen ASN yang berdasarkan merit systems berjalan di Indonesia. Isu merit system ini penting dibahas mengingat pentingnya peran ASN dalam pembangunan nasional yang ditujukan untuk menyejahterakan rakyat, baik menyangkut pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, pembangunan politik, pembangunan budaya dan pembangunan teknologi (Kim, 2000; Quah, 2010 & Quah, 2016 ). Mereka yang bekerja di dalam birokrasi harus yang memiliki kompetensi atau kemampuan (merit) sehingga rekrutmen dan penempatannya tidak boleh berdasarkan spoils system (sistem perusak) atau patronage system (sistem patronase). Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa politisi sering kali menempatkan para pengikut kepercayaannya untuk menduduki posisi penting dalam birokrasi. Tuntutan untuk merit system merupakan sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Ada perubahan kondisi sosial politik yang harus direspon oleh birokrasi dengan baik. Pertama, globalisasi telah menuntut adanya kompetisi antar negara yang semakin ketat. Kedua, bersamaan dengan itu, demokratisasi telah menjadi pendorong yang kuat bagi birokrasi untuk bisa memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan berkeadilan. 295

Ketiga, perkembangan teknologi yang sangat cepat telah menjadi pemicu perubahan terhadap pengelolaan pemerintahan. Semua itu, menutut adanya kualitas aparatur sipil negara yang mampu merespons perubahan secara cepat (speed), lincah (agile), dan cepat menyesuaikan (adaptive). Isu yang dibahas dalam penerapan merit system ini bisa dilihat dalam dua aspek, yakni proses rekrutmen ASN dan proses promosi jabatan. Kedua isu ini penting untuk dikaji karena akan menentukan bekerjanya birokrasi dalam membuat kebijakan publik dan pemberian layanan kepada warga (Grindle, 2012). Apabila proses rekrutmen ASN sudah keliru sejak awal, hal tersebut akan menjadi masalah selama yang bersangkutan bekerja dalam birokrasi. Mengingat aturan main birokrasi publik di Indonesia berbeda dengan birokrasi dunia bisnis, ASN yang tidak bisa menunjukkan kinerja dengan baik tidak bisa serta-merta dihentikan dari birokrasi. Dalam hal promosi jabatan, apabila dilakukan secara tidak profesional, kualitas pimpinan birokrasi yang dihasilkan kemungkinan besar menjadi buruk. Implikasinya, birokrasi menjadi tidak sehat, hubungan atasan-bawahan tidak harmonis, dan produk kebijakan yang dihasilkan tidak baik. Studi-studi tentang peran ASN dalam pembangunan sudah banyak dilakukan, baik di negara maju maupun negara berkembang. Di Singapore, ASN menjadi faktor penentu keberhasilan pembangunan setelah People’s Action Party (PAP) memperoleh mandat untuk menjalankan pemerintahan (Quah, 2010). Sebagai negara kecil yang tidak memiliki sumber daya alam yang memadai, peran ASN menjadi alternatif penting untuk membangun negeri tersebut. Di Indonesia, ASN menjadi kunci sukses (success key) dalam manajemen pemerintahan dan implementasi program-program pembangunan yang dilakukan oleh birokrasi (Prasojo, 2010). Di Malaysia, ASN memainkan peranan penting dalam pembangunan sosial-ekonomi. Lebih dari itu, ASN menjadi instrumen penting untuk mengawali usahausaha transformasi negara untuk menuju bangsa yang memiliki pendapatan tinggi (Abdullah, 2016:171). Sementara itu, di negara-negara industri baru (Newly Industrialized Countries, NICs), terbukti bahwa ASN yang efektif berhasil menciptakan good governance (Keuleers, 2001). Negara dan aparaturnya menjadi pendorong utama keberhasilan industrialisasi dan kesejahteraan warganya.

296

Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, diharapkan akan terjadi transformasi dalam pengelolaan ASN. Akan tetapi, munculnya UU ASN tersebut tidak serta-merta membawa perubahan di dalam birokrasi. Ada banyak kendala yang muncul, baik tantangan politik yang muncul dari DPR yang masih ingin melakukan revisi terhadap UU tersebut, maupun kendala teknis implementasinya. Gagasan untuk menciptakan merit system di dalam birokrasi tidak selalu sejalan dengan kepentingan politik yang berkembang dalam gedung parlemen. Dengan adanya UU tersebut, ada berbagai pihak yang tertutup akses kekuasaannya untuk menempatkan orang-orangnya dalam struktur birokrasi. Untuk membahas lebih dalam, tulisan ini dirancang sebagai berikut. Bagian berikut ini mendiskusikan mengenai peran civil services dalam pembuatan kebijakan publik dan pelayanan kepada warga negara. Setelah itu, diskusi difokuskan pada perubahan pengelolaan yang dihadirkan oleh UU ASN. Terakhir, pembahasan diarahkan pada praktik dan permasalahan dalam proses rekrutmen ASN dan promosi jabatan ASN yang terjadi selama ini.

Civil Service dan Sistem Merit Pyper (1995:1) mendefinisikan civil service sebagai orang yang “work for civil as opposed to the military, ministerial or judicial arms of the state”. Dengan demikian, orang yang bekerja sebagai civil service tidak termasuk militer, menteri, dan mereka yang bekerja di peradilan. Akan tetapi, dalam praktiknya cakupan dari civil service berbeda-beda antar negara. Di Malaysia, misalnya, civil service meliputi “teachers, doctors, nurses, police, military officers, and administrators at the federal, state, and local governments” (Quah, 2016:33). Di Indonesia, civil service tidak mencakup aparat polisi maupun militer. Gagasan tentang merit system bisa dilacak dari model civil service yang ada di China. Mereka sudah menerapkan ujian secara kompetitif (competitive examination) yang membuat Kekaisaran China bertahan lebih dari 2.000 tahun. Siapapun yang akan bekerja di pemerintah kekaisaran China harus lolos tes yang sangat sulit. Hal ini untuk menjamin bahwa pejabat pemerintah yang melayani kekaisaran adalah orang yang cerdas, 297

dan bukan sekadar pendukung politik kaisar yang sedang berkuasan atau keluarga dari pejabat sebelumnya. Peserta dimasukkan dalam ruang yang terkunci selama 24–72 jam dan harus membuat 6–8 esai tentang gagasan klasik dan bagaimana untuk memecahkan masalah-masalah pemerintahan (Szczepanski, 2018). Model ini telah menjadi sarana mobilitas sosial dalam masyarakat mereka. Model ini yang kemudian ditiru oleh banyak negara di Asia maupun negara-negara barat. Misalnya, The Pendleton Civil Service Reform Act di Amerika Serikat yang dijalankan pada 1883 menetapkan bahwa posisi dalam pemerintah federal seharusnya diberikan berdasarkan pada “the basis of merit instead of political affiliation” (berbasis kompetensi dan bukan afiliasi politik) (Hoogenboom, 1959; Theriault, 2003). Sebelum ada Pendleton Act ini, pola penempatan posisi dalam kantorkantor publik (public offices) cenderung menggunakan spoils system. Isu spoils system ini digunakan secara umum pada zaman Presiden Andrew Jackson (1829–1837), walaupun sebenarnya sudah terjadi lama sebelumnya pada saat Presiden Thomas Jefferson (1801–1809) yang cenderung mengeluarkan lawan politiknya keluar dari kantor pemerintah. Isu spoils system menguat dan menjadikan Presiden James A. Garfield menjadi korban penembakan oleh Charles Guiteau pada tahun 1881 yang tidak puas dengan sistem koneksi politik dalam jabatan. Momentum pembunuhan tersebut telah mendorong pengadposian gagasan merit system yang diusulkan oleh Senator George H. Pendleton dari Ohio. Perdebatan tentang sistem merit mengacu pada profesionalisme birokrat yang bekerja di pemerintahan. Birokrat yang professional yang dihasilkan oleh sistem merit akan menghasilkan public goods seperti pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan keamanan yang akan memberi manfaat kepada mayoritas warga, terlepas siapapun yang berkuasa di dalam pemerintahan (Gerber dan Gibson, 2009; Krause, Lewis dan Douglas, 2006; Rauch dan Evans, 2000). Sebaliknya, birokrat yang patronase yang lahir karena spoil system hanya akan memberikan manfaat kepada partai yang sedang berkuasa (Hirano dan Snyder, 2011). Di banyak negara, gagasan tentang civil service reform tersebut sudah banyak diadopsi. Di Newly Industrialized Countries (NICs), civil service reform dilakukan dalam rangka menciptakan nilai-nilai berikut: (1) efficient and effective in delivery of services; (2) highly professional and 298

capable; (3) operating according to merit-based principles, combined with sensitive management practice; (4) loyal in the execution of the policies of the government; (5) strongly committed to public interest; and disciplined and intolerant of unproductive or unethical behavior; dan (7) annual merit based incremental programme (Keuleers, 2001). Di Korea Selatan, civil service reform menyangkut antara lain open and competitive recruitment; open job posting system with positions open to all applicants; systematic and mandatory senior civil service development programmes and certification. Korea selatan melakukan serangkaian administrative reform dan menempatkan civil service reform sebagai bagian yang sangat penting untuk memperkuat pelaksanaan kebijakan nasional. Reformasi administrasi (administrative reform) yang dilakukan di Korea di akhir tahun 1990-an sangat didorong oleh motivasi ekonomi (economically motivated) (Kim, 2000).

Civil Service di Indonesia dan Perubahannya Sejarah ASN dapat dilacak jauh sejak pendudukan Belanda. Pada tahun 1932, Pemerintah Belanda memiliki kontrol penuh terhadap ASN yang jumlahnya 103.619 orang, yang terdiri atas 85.705 warga negara Indonesia (WNI) dan 17.034 warga Eropa (Bachtiar, 1972:431). Pada saat Indonesia merdeka sampai dengan Pemerintah Soeharto, jumlah ASN meningkat menjadi 415.627 pada tahun 1957 dan 1.674.871 pada tahun 1974. Dalam waktu sepuluh tahun kemudian, jumlah aparatur sipil negara meningkat tajam menjadi 2.785.646 pada tahun 1984 (Logsdon, 1992:228). Saat ini, jumlah ASN di Indonesia mencapai 4.375.009 orang. Mereka bekerja di Pemerintah Pusat (Kementrian dan Non-Kementrian), Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pada tahun 2020, rasio ASN per 1.000 penduduk adalah 15:18. Dibandingkan dengan tahuntahun awal kemerdekaan, rasio jumlah ASN per 1000 penduduk sudah jauh lebih baik. Tahun 1950 rasionya 3:7 dan sampai dengan tahun 1970 rasio tersebut hanya naik sedikit.

299

Tabel 12.1. Pertumbuhan Aparatur Sipil Negara di Indonesia Tahun 1950–2020 Year

Number of Civil Servants

Civil Servants per 1,000 population

1950

303,500

3.7

1960

393,000

4.1

1970

515,000

4.4

1980

2,047,000

13.9

1992

4,009,000

21.8

2011

4,646,351

19.4

2014

4,375,009

17.5

2019

4,189,121

15.44

2020

4,121,176

15.18

Sumber: BKN (2012); BKN (2014); BKN (2020); Rohdewold (1995: 94)

Menuju ASN yang Netral dan Profesional Di Indonesia, pengelolaan civil service telah berubah beberapa kali. Hal tersebut bisa dilacak sejak periode Pemerintahan orde Baru di bawah Suharto ke era Pemerintah Reformasi di bawah Presiden Habibie dan era pemerintahan pasca-Reformasi yang berada di bawah, baik Presiden Susilo Bambang Yudoyono maupun Presiden Jokowi. Awal Pemerintahan Suharto yang berorientasi pada pembangunan ekonomi mensyaratkan perlunya stabilitas politik. Oleh karena itu, dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional, pemerintah telah membangun sistem kepegawaian yang sentralistis dan menekankan loyalitas pada pemerintah. Kepegawaian yang tersentralistis yang mengatur seluruh kepagawaian yang ada di daerah mampu memperkuat misi pembangunan yang dicanangkan oleh Pemerintah (Santoso, 2010; Thoha, 2007). Praktik buruk saat itu, ASN telah dipergunakan sebagai sarana politik oleh partai politik yang mendukung pemerintah. Golkar selalu memanfaatkan ASN untuk mendulang suara dan memenangkan pemilu. Pada tahun 1999, Pemerintah mengeluarkan UU No. 43/1999 yang merupakan respons terhadap reformasi yang berlangsung setahun sebelumnya. Ada beberapa fenomena yang menandai perubahan dalam reformasi politik. Pertama, adanya perubahan sistem politik dari sistem

300

otoriter ke demokratis. Kedua, adanya perubahan sistem kepartaian dari tiga partai dengan satu partai yang sangat hegemonik ke sistem multipartai. Konsekuensi dari perubahan tersebut adalah bahwa perubahan yang signifikan di mana civil service tidak boleh lagi memihak kepada the ruling party. Bentuk perubahan tersebut telah mendorong perlunya reformasi yang berhubungan dengan civil service. Jumlah partai politik peserta election meningkat dari hanya 3 partai menjadi 48 partai politik. Jumlah partai yang duduk di DPR juga bertambah menjadi 7 partai politik. Pada tahun 2014, Pemerintah kembali mengeluarkan UU No. 5/2014 tentang ASN. Pada awal 2011, Komisi II DPRI berinisiatif merancang RUU Kepegawaian. Dengan dibantu 4 pakar di bidang ini (2 Guru Besar dari UGM, dan 2 Guru Besar dari UI) dibantu tim ahli dan asistensi DPR berhasil merumuskan rancangan UU tersebut. Undang-undang itu dinamakan UU Aparatur Sipil Negara yang menekankan pula pada netralitas, profesionalisme, dan bebas dari campur tangan politik. UU ini juga melahirkan institusi yang mengatur profesionalitas ASN dengan dibentuknya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Kehadiran KASN mulai terealisasi pada tanggal 30 September 2014, menindaklanjuti amanat UU No. 5/2014 yang disahkan pada tanggal 15 Januari 2014. Sebenarnya, UU No. 43/1999 sudah mengamanatkan terbentuknya Komisi Kepegawaian Negara, tetapi realisasi pembentukan tidak dilaksanakan oleh pemerintah. KASN sebagai lembaga pengawas nonstruktural yang independen sangat diperlukan di tengah sistem politik yang bersifat multipartai. Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) adalah menteri, gubernur, bupati dan walikota yang berasal dari berbagai partai politik yang berbeda. Oleh karena itu, independensi lembaga KASN dari campur tangan partai politik menjadi sangat penting.

Tenaga Honorer: Ganjalan Meritokrasi Dengan keluarnya UU No. 5/2014, manajemen aparatur sipil negara mengalami perubahan sangat signifikan. Perubahan tersebut diharapkan akan meningkatkan kualitas Aparatur Sipil Negara di Indonesia. Pertama, jenis Aparatur Sipil Negara; dalam UU ASN dijelaskan bahwa Aparatur Sipil Negara terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS) and Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). PNS adalah pegawai 301

tetap seperti yang sekarang ini kita jumpai. PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan integritas, kualifikasi, kompetensi, dan lainnya dan diangkat oleh pejabat yang berwenang sebagai Pegawai ASN pada suatu jabatan tertentu. Pegawai diangkat berdasarkan perjanjian kerja dalam waktu tertentu pada instansi pemerintah. Pemerintah tidak lagi membuka rekrutmen melalui tenaga honorer yang dianggap tidak berbasis pada merit system. Tenaga honorer biasanya direkrut oleh pejabat didasarkan kekerabatan atau membayar sejumlah uang tertentu kepada pejabat birokrasi. Mereka berharap bahwa dengan direkrut menjadi tenaga honorer, mereka akan diprioritaskan untuk mendaftar PNS. Dengan demikian, para tenaga honorer biasanya bersedia membayar karena merasa ada jaminan masa depan mereka. Beberapa kasus di Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi menunjukkan adanya dugaan KKN dalam rekrutmen Tenaga Honorer tersebut. Dari enam kabupaten yang ditemukan ICW, ada sebanyak 1.226 nama honorer K2 siluman yang masuk CPNS (GresNews. Com, 2014). Di Aceh jumlah tenaga honorer dihitung mencapai sebanyak 8.000 orang, sedangkan banyak PNS yang beban kerjanya sangat rendah. Diduga kuat bahwa mereka juga hasil dari adanya KKN SerambiNews. com (2016). Tenaga honorer ini selalu menjadi isu politik, baik di DPR maupun di daerah. Para politisi yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR maupun sebagai gubernur, bupati atau wali kota juga memanfaatkan isu pengangkatan tenaga honorer agar mampu mendulang suara. Di sisi yang lain, kemampuan pemerintah yang terbatas untuk merekrut CPNS untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru atau kesehatan menjadi peluang bagi daerah untuk memanfaatkan pembukaan tenaga honorer. Model rekrutmen tenaga honorer yang tidak berbasis pada seleksi yang kompetitif menjadikan problem besar ketika ada tuntutan mereka untuk diangkat sebagai PNS.

Kompetisi Terbuka: Antara Kualitas dan Biaya Tradisi promosi yang berlaku sebelumnya dilakukan tanpa melalui kompetisi terbuka. Untuk menduduki jabatan, memang sudah ada Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) yang diisi oleh pejabat birokrasi yang pasti tunduk kepada Bupati/Gubernur. Kalau seorang Bupati/Gubernur menginginkan si A menduduki posisi, biasanya 302

Baperjakat yang akan mengatur. Dengan sistem promosi melalui kompetisi terbuka, panitia seleksi memiliki anggota yang berasal dari birokrasi, tokoh masyarakat dan akademisi. Panitia seleksi harus independen dari pengaruh pejabat sehingga komponen yang berasal dari tokoh masyarakat dan perguruan tinggi biasanya tidak bisa diintervensi. Keanggotaan panitia seleksi harus mendapat persetujuan dari Komisi Aparatur Sipil Negara karena berkaitan dengan kompetensi dan independensi seseorang. Seorang bupati/gubernur, misalnya, tidak bisa menentukan sendiri siapa yang akan menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum atau Kepala Bappeda. Seleksi harus dilakukan secara terbuka dengan berbagai kriteria seperti tingkat dan jenis pendidikan formal yang dimiliki, pangkat minimal, pengalaman manajerial, dan training yang pernah diikuti. Apabila ada 7 calon, maka akan dipilih 3 calon terbaik yang dilakukan melalui tes psikologi, tes kompetensi manajerial, kompetensi bidang, kompetensi sosial, dan visi misi. Untuk memilih 3 orang, peserta harus mengikuti tes selama 2 hari yang dilakukan oleh panitia seleksi. Seorang bupati/gubernur hanya diberi kewenangan memilih calon dari 3 yang disodorkan oleh panitia seleksi. Dengan model seleksi terbuka yang dilakukan secara independen oleh panitia seleksi telah mengurangi kemungkinan seorang pejabat untuk berbagi jabatan hanya untuk para tim sukses yang membantu pemenangannya dalam pemilu. Promosi jabatan yang harus diawasi oleh KASN eselon 1 dan 2 di 34 kementrian, 39 non-kementrian, 78 lembaga nonstruktural; eselon 1 dan 2 di 34 pemerintah provinsi, serta eselon 2 di 514 pemerintah kabupaten dan kota. Dari dari yang ada, hampir semua instansi pemerintah sudah mematuhi proses seleksi terbuka di dalam promosi jabatan pimpinan tinggi, baik pratama, madya, dan utama. Menurut Eko Prasojo, keberadaan seleksi terbuka yang dikawal oleh KASN sangat positif. “Mereka (KASN) akan mengawal promosi jabatan, sistem pengisian jabatan yang tidak berbasis kompetensi, pencopotan jabatan semenamena yang banyak terjadi di daerah, misalnya memberhentikan pegawai karena alasan tidak ikut pilkada,” kata dia di Jakarta, Jumat (2/5/2014). Eko mencontohkan kasus tindakan sewenang-wenang dari para pimpinan daerah terhadap bawahannya dalam persoalan promosi dan pengisan jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Misalnya di Madura ada seorang

303

kepala dinas diturunkan jabatannya jadi staf di kelurahan. Juga seorang Bupati yang baru terpilih tiba-tiba mengganti kepala dinas secara serentak,” ujarnya (Ariyanti, Liputan6.com, 2014).

Dari pengamatan selama ini, rekrutmen terbuka sering dipandang sebagai proses yang mahal dan memerlukan waktu yang lama. Instansi Pemerintah harus membiayai untuk proses, baik untuk panitia seleksi maupun assessment centre. Tidak jarang bahwa proses yang sudah menghabiskan biaya, hasilnya tidak diterima oleh kepala daerah atau pimpinan kementrian dan lembaga sebagai pejabat pembina kepegawaian. Dalam proses promosi terbuka di berbagai instansi di pusat dan daerah, ada sejumlah isu yang muncul yang kemudian melahirkan berbagai masalah yang memerlukan pengaturan dan penataan yang lebih jelas. Pertama, belum adanya payung hukum di daerah yang memberi keleluasaan staf untuk bisa mendaftarkan diri untuk promosi jabatan di kabupaten lain. Di tingkat Pusat, ada aturan UU ASN yang membuka peluang secara terbuka, tetapi daerah banyak yang cenderung menutup diri dari calon kabupaten lain dengan membuat Peraturan Bupati/ Walikota untuk kepentingan daerah masing-masing. Hal ini tentu menghambat mereka yang ingin promosi di tempat lain. Di sisi lain, pemda juga tidak mampu memanfaatkan sumber daya manusia dari daerah lain. Kedua, terkait dengan kepanitiaan seleksi promosi terbuka. Untuk melakukan seleksi promosi terbuka, struktur kepanitiaan yang dibentuk sering kali sangat gemuk. Misalnya, di sebuah kabupaten, untuk mengisi 2 jabatan yang lowong saja dibentuk panitia yang jumlahnya mencapai 20 orang. Ada yang melibatkan tidak hanya 1 universitas, tetapi sampai 3 universitas. Selain itu, dalam kepanitiaan ini strukturnya bervariasi. Misalnya, ada daerah yang sekretaris daerahnya berani mengambil posisi sebagai ketua tim, dan ada daerah yang menyerahkan kepada pihak lain sebagai ketua tim untuk menghindari protes dari peserta. Ketiga, proses penggantian nama anggota panitia seleksi yang memerlukan persetujuan KASN. Memang, untuk menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas proses seleksi, semua proses harus dikonsultasikan dengan KASN. Akan tetapi, proses tersebut bisa menghambat ketika proses konsultasi tidak berjalan dengan lancar. Di sebuah kabupaten di luar Jawa, proses seleksi promosi jabatan terpaksa 304

ditunda karena ada pergantian nama dan belum dikonsultasikan dengan KASN. Panitia seleksi yang melibatkan sebuah universitas besar di Jawa terpaksa tidak bisa melanjutkan tugas karena belum ada persetujuan dari KASN. Ketertundaan seperti ini mungkin saja terjadi mengingat koordinasi Instansi Pemerintah di daerah dengan KASN tidak berjalan dengan lancar.

Rekrutmen ASN: Transparansi versus Substansi Sebuah perkembangan yang positif dalam rekrutmen ASN adalah diterapkannya Computer-Assisted Test (CAT). Proses ini dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas rekrutmen ASN. Proses ini dilakukan di Pusat dan Daerah dengan sistem yang bisa terawasi dengan baik. Yang bersangkutan akan langsung bisa mengetahui berapa skornya dan apakah lulus untuk tahap test lanjutannya. Calon pelamar juga bisa belajar bahan yang akan diujikan yang bisa diakses lewat internet. Sistem CAT Badan Kepegawian Negara yang dikembangkan sejak tahun 2007 mendapatkan penilaian 10 terbaik layanan publik untuk seleksi CPNS versi Bank Dunia. Dalam laporan World Bank Global Report on Public Sector Perfomance, Bank Dunia menilai CAT BKN memiliki kontribusi terutama dalam peningkatan transparansi dan akuntabilitasi sistem rekrutmen CPNS (Latif, Dream.co.id, 2018). Bahan Test Kemampuan Dasar (TKD) untuk CAT ini meliputi Tes Karakteristik Pribadi (TKP), Tes Intelegensia Umum (TIU), dan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Setelah dinyatakan lulus TKD, peserta akan mengikuti Tes Kemampuan Bidang yang substansinya tergantung dari kementrian atau dinas masing-masing. TKB Kementrian Kesehatan akan berbeda dengan TKB Kementrian Pendidikan atau TKB Kementrian Pekerjaan Umum. Porsi penilaian terdiri atas 40% untuk TKD dan 60% untuk TKB. Terkait dengan penerapan Computer-Assisted Test (CAT), pelaksanaanya sudah transparan dan akuntabel. Persoalan yang dihadapi justru pada kriteria penilaian yang sering tidak mencerminkan kondisi di lapangan. Pertama, terkait dengan substansi wawasan kebangsaan yang dimaksudkan untuk menilai nasionalisme. Penilaian yang berjalan sejauh ini masih sekadar mengukur kognitif tentang wawasan kebangsaan. Dalam banyak kasus, tidak semua yang hapal terhadap wawasan kebangsaan 305

memiliki nasionalisme yang tinggi. Untuk masalah ini, yang banyak menggugurkan orang memiliki kompetensi tinggi, tetapi gagal di Tes Kemampuan Dasar (TKD). Masalah yang kedua, terkait dengan proporsi TKD yang besarannya mencapai 40%. Dalam banyak kasus, mereka yang memiliki TKD tinggi walaupun nilai Tes Kemampuan Bidang (TKB) rendah, tetap saja diterima. Dari wawancara dengan beberapa pihak, tingkat kelulusan TKD ternyata sangat rendah. Bahkan di banyak daerah, yang lulus TKD hanya 10%–20%. Model eliminasi ini memiliki kelemahan karena mereka yang lolos TKD belum tentu kualitas kemampuan bidangnya baik. Sebaliknya, mereka yang tidak lolos TKD kemungkinan besar memiliki ketrampilan bidang yang lebih baik. Dengan demikian, sistem gugur ini mengeliminasi orang yang potensial di TKB dan sudah tidak punya kesempatan untuk ikut tes berikutnya. Pertanyaan mendasarnya adalah seberapa penting kemampuan bidang dibandingkan kemampuan dasar bagi mereka yang nanti akan menjadi aparatur sipil negara. Misalnya, ada calon widyaiswara/ dosen yang sudah lolos SKD ternyata yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan mengajar, meneliti, dan menulis. Kasus seperti ini banyak ditemui dalam proses seleksi di berbagai perguruan tinggi. Ada peserta yang melamar sebagai penata komputer, tetapi ketika praktik komputer mereka tidak bisa mengoperasikan. Padahal, mereka yang sudah lolos SKD, walaupun tidak memiliki kemampuan bidang terpaksa harus diterima karena sistemnya memaksa bahwa satu dari 3 calon harus diterima. Masalah lain terkait dengan eliminasi pendaftar dengan tes kepribadian yang dianggap kurang pas. Beberapa psikolog mengatakan bahwa tes kepribadian mestinya tidak diberi nilai yang menunjukkan ranking seseorang. Tes kepribadian sifatnya untuk mengukur kecocokan seseorang dengan bidang pekerjaan yang akan ditekuni. Misalnya, mereka yang introvert tidak cocok untuk bekerja di bagian humas, tetapi mungkin sesuai sebagai peneliti. Mereka yang extrovert lebih baik ditempatkan di bagian komunikasi publik. Beberapa instansi pemerintah melakukan tes psikologi lagi sebelum melakukan penempatan sehingga terjadi double test yang menghabiskan anggaran. Untuk kelemahan TKD tersebut, mestinya bisa dikaji kembali sehingga lebih tepat dalam menyeleksi calon. Misalnya, wawasan kebangsaan 306

sebaiknya tidak terlalu dominan sehingga mengalahkan substansi. Orang yang sudah lolos TKD berapapun nilainya sebaiknya tidak diakumulasi dengan TKB. Mereka yang sudah lolos TKD berarti memenuhi syarat untuk test berikutnya. Untuk tes berikutnya, perhitungannya tidak lagi menggunakan porsi TKD, melainkan tinggal menghitung skor TKB.

Netralitas ASN: Dilematis? Salah satu isu penting dalam sistem merit adalah perlunya sikap imparsial dan netralitas ASN. Sikap netral dan imparsial ini akan menentukan profesionalisme ASN dalam memberikan pelayanan publik. Sejauh ini, ASN diharapkan tidak ikut bermain politik praktis sebagaimana yang pernah terjadi di era orde Baru. Hak politik hanya boleh dipergunakan oleh ASN saat berada di bilik suara untuk menentukan siapa pemimpin yang akan dipilih. Di luar itu, ASN tidak diperbolehkan untuk dukungmendukung pencalonan seseorang maupun dalam kampanye politik. Perdebatan yang muncul kemudian adalah bahwa ASN dianggap berada dalam situasi dilematis. Mereka boleh menggunakan hak pilih, tetapi tidak boleh ikut dukung-mendukung. Sebagian orang berpendapat bahwa sebaiknya ASN dicabut hak pilihnya seperti anggota TNI dan Polri. ASN juga dianggap dalam posisi sulit ketika ada perintah atasan yang kebetulan sebagai incumbent yang mencalonkan lagi. Pada gilirannya, kalau ASN netral maka karir akan berhenti dan jabatan-jabatan birokrasi akan diisi oleh para pendukung. Tentu saja pendapat untuk mencabut hak politik tidak tepat. Pertama, pencabutan hak politik ASN justru akan menurunkan kualitas pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Kualitas demokrasi secara teoritis tergantung pada kualitas pemilih. ASN merupakan segelintir elite yang memiliki pendidikan dan kompetensi lebih baik dibandingkan masyarakat awam lainnya. Apabila ASN tidak ikut memilih maka pemilu dan pilkada akan diisi oleh mereka yang memiliki kualitas rendah. Kedua, pencabutan hak politik tidak menyelesaikan masalah. Para ASN yang dimobilisasi oleh incumbent atau calon lain bukan semata-mata untuk menambah suara di saat yang bersangkutan mencoblos. Para ASN dimobilisasi karena mereka memegang risorsis baik program maupun pengaruh. Walaupun seorang Kepala Dinas Pekerjaan Umum tidak punya hak pilih, tetapi incumbent 307

akan berusaha untuk meminta yang bersangkutan untuk menggelontorkan program-programnya di daerah yang menjadi kantung suara seorang calon. Bagi seorang kepala daerah, memilih ASN untuk menduduki jabatan dalam birokrasi hanya berdasarkan dukung-mendukung politik sebenarnya juga problematis. Mereka yang terlibat dukung-mendukung pada umumnya ASN yang kompetensinya tanggung yang tidak percaya diri untuk berkompetisi secara terbuka. Apabila kelompok ASN seperti ini yang justru diangkat, para pemimpin yang terpilih dikhawatir justru tidak mampu memenuhi janji-janji politik karena pejabat yang seharusnya menjalankan program tidak memiliki kompetensi yang memadai. Pada periode Pilkada 9 Desember 2020, ada 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada. Berdasarkan data yang masuk sampai dengan 9 Desember 2020, terdapat 1.399 aduan pelanggaran netralitas ASN yang masuk ke KASN. Pascapilkada masih ada tambahan aduan pelanggaran netralitas ASN yang menjadikan jumlah aduan lebih dari 1.600 kasus. Pelanggarannya bervariasi dari hal yang sederhana seperti memberikan komentar dukungan di media sosial, ikut memasang baliho, sampai ada yang ikut memberikan dukungan program bagi incumbent.

Pengisian Jabatan: dari Seleksi Terbuka ke Talent Pool Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang selama ini dilakukan menggunakan mekanisme seleksi terbuka memang dirasa mahal biayanya dan lama prosesnya. Untuk itu, proses seleksi terbuka sebagaimana yang berjalan selama ini adalah transisi dari model Baperjakat yang didominasi oleh PPK. Perkembangan yang sudah berjalan di mana kompetensi, kualifikasi, dan kinerja menjadi kriteria utama adalah sebuah hal yang positif. Ke depan, mekanisme yang dibangun adalah memperbaiki sistem di tiap-tiap instansi pemerintah. Ada delapan area yang harus diperbaiki, yakni (1) perencanaan kebutuhan; (2) pengadaan pegawai; (3) pengembangan karir; (4) promosi dan mutasi; (5) manajemen kinerja; (6) penggajian, penghargaan dan disiplin; (7) perlindungan dan pelayanan; dan (8) sistem informasi. Dengan memperbaiki delapan area tersebut, akan dihasilkan talent pool yang menggambarkan kombinasi kualifikasi, kompetensi dan

308

kinerja tiap-tiap pegawai. Selanjutnya, di masing-masing jabatan akan diperoleh urutan pegawai yang akan merupakan rencana suksesi. Dengan demikian, seleksi terbuka bisa digantikan dengan rencana suksesi yang sifatnya terbuka. Siapapun akan tahu siapa posisi tertinggi yang akan menggantikan apabila pejabat yang sedang menduduki akan pension atau akan promosi lagi. Dalam hal ini, pimpinan tinggal mengambil data dalam sistem dan menempatkannya pada posisi yang kosong. Pimpinan dibantu oleh sistem dan tidak perlu berpikir untuk memilih siapa yang terbaik. Para pimpinan bisa lebih konsentrasi pada pelaksanaan programprogramnya.

Berbagai Tantangan Implementasi Ada berbagai tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan sistem merit selama ini. Pertama, kondisi daerah sangat bervariasi sehingga pelaksanaan penerapan sistem merit juga berbeda-beda. Untuk mengembangkan seleksi terbuka, ketersediaan ASN di daerah sangat terbatas sehingga mengharapkan adanya calon yang mendaftar untuk sebuah jabatan dalam jumlah yang cukup dirasakan sangat sulit. Dalam sistem yang dibangun, diharapkan ada 6–8 kandidat yang nantinya dipilih 3 terbaik yang akhirnya akan dipilih 1 oleh PPK. Akan tetapi, dalam realitasnya untuk mendapatkan 3 calon saja sulit sehingga proses seleksi terbuka tidak kompetitif. Kedua, pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di kementrian dan lembaga terganggu oleh masuknya anggota TNI dan Polri ke dalam birokrasi tanpa proses seleksi. Secara aturan, TNI dan Polri boleh masuk menjadi ASN tetapi harus non-aktif dan mengikuti proses kompetisi seperti ASN yang lain. Kehadiran TNI dan Polri yang masuk dengan mekanisme penugasan tentu mengganggu karir para ASN. Fenomena ini nampaknya akan berkembang terus mengingat saat ini terjadi inflasi pangkat yang ada di TNI dan Polri, sementara posisi di kedua lembaga tersebut terbatas. Oleh karena itu, jabatan birokrasi menjadi sasaran yang akan terus dikejar. Tantangan yang lain berkaitan dengan tekanan dari politisi di DPR. Pada awal tahun 2017, ada gejolak serius berkaitan dengan masa depan civil service reform di Indonesia. DPR sedang berupaya melakukan revisi terhadap UU ASN yang menunjukkan adanya gejala kemunduran dari merit system. Ada tiga isu yang diangkat oleh DPR. Pertama, mereka akan 309

menerapkan kembali rekrutmen tenaga honorer yang sudah mulai dihentikan beberapa waktu. Di banyak daerah sudah banyak yang menjanjikan akan mengangkat honorer apabila terpilih sebagai politisi atau bupati. Kedua, DPR juga akan membubarkan KASN yang dianggap menghalangi mereka untuk melakukan intervensi ke dalam birokrasi. Ketiga, DPR juga akan menghapus sistem seleksi terbuka dengan alasan memperlambat pengisian jabatan yang pada gilirannya mengakibatkan kelambatan kerja birokrasi. Pada tahun 2020, isu revisi muncul lagi dengan mengangkat kembali beberapa isu penting. Yakni, pengangkatan tenaga honorer, pegawai tidak tetap, pegawai tetap non-PNS, tenaga kontrak yang bekerja terus-menerus, dan diangkat berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan sampai dengan tanggal 15 Januari 2014 menjadi PNS secara langsung. Berkaitan dengan pengkatan tenaga honor menjadi PNS tanpa seleksi tentu saja akan merusak bangunan sistem merit yang sudah ditata selama ini. Hal itu juga akan mengakibatkan hilangnya kesempatan bagi putra-putri bangsa yang lain untuk berkompetisi berkarir sebagai PNS. Isu yang kedua adalah pengalihan tugas, fungsi dan kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara ke Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Penghapusan KASN menguat kembali yang dimunculkan oleh salah satu anggota Komisi 2 DPR. Sementara di pihak Pemerintah, respons terhadap tuntutan penghapusan KASN juga terpecah. Kemendagri ikut mendukung penghapusan dengan anggapan bahwa KASN hanya memperpanjang birokrasi. Isu ini sebenarnya kembali ke era sebelumnya di mana Kementrian ini tidak menghendaki keberadaan KASN karena akan memangkas kewenangan yang dimiliki. Keinginan untuk mempertahankan agar pengawasan ASN di daerah masih menguat di antara para pejabat di kementrian tersebut. Penghapusan KASN telah menimbulkan berbagai respons di luar pemerintahan. Para pengamat melihat bahwa penghapusan KASN akan sangat berisiko menguatnya kembali transaksi dalam pengisian jabatan. Kepala Daerah bisa melakukan mutasi dan rotasi sesuai dengan keinginannya, yang juga sering ada muatan imbalan ratusan juta untuk tiap jabatan. Saat ini ketika masih dalam pengawasan KASN saja jual-beli jabatan belum bisa dibersihkan, apalagi ketika pengawasan itu dihapuskan. Kalau saat ini ada lebih dari 20 ribu Jabatan Pimpinan Tinggi, maka potensi 310

transaksi ketika tidak ada pengawasan akan bernilai triliunan rupiah. Kalau setiap jabatan bernilai 100 juta, maka sekali merotasi bisa bernilai 2 triliun rupiah.

Penutup Pengalaman Indonesia melakukan reformasi di bidang civil service management telah berjalan secara beriringan dengan dinamika politik yang terjadi. Perubahan sistem politik membawa konsekuensi bagaimana civil service harus diatur. Ada banyak perubahan positif yang telah berjalan dalam penataan ASN di dalam birokrasi. Namun demikian, dalam implementasinya banyak sekali kendala dan tantangan yang dihadapi. Persoalan bukan saja dalam hal teknis pelaksanaan dari pembenahan sistem yang ada, melainkan juga banyaknya tekanan politik dari para politisi, baik di daerah maupun di DPR. Oleh karena itu, perlu sekali pengawalan reformasi manajemen ASN yang sudah berjalan selama ini. Akademisi, masyarakat sipil dan para ASN harus menunjukkan kepedulian tentang perlunya manajemen ASN yang berbasis merit. Kompetisi global memerlukan birokrasi kuat yang diisi oleh orang-orang yang kompeten dan berkinerja. Oleh karena itu, civil service reform hanya akan berjalan baik apabila berbagai kekuatan yang ada harus melakukan tekanan yang kuat kepada pemerintah untuk tidak mengikuti arus politik yang didorong oleh DPR. Kecenderungan politisi yang hanya ingin mendapatkan suara cenderung hanya berpikir jangka pendek, sementara civil service reform yang diharapkan akan menghasilkan perubahan positif di dalam birokrasi justru akan dirusak. Selain tantangan politik tersebut, tantangan teknis yang berjalan di lapangan harus bisa diselesaikan. Apabila kedua tantangan tersebut tidak mampu diselesaikan, maka reformasi yang sudah berjalan empat tahun ini tidak akan menghasilkan perubahan yang signifikan.

311

Daftar Pustaka Abdullah, N.R., 2016. “Public Bureaucracy’s Role in Policy Implementation in Malaysia” dalam Jon S.T. Quah (ed.). The Role of the Public Bureaucracy in Policy Implementation in Five ASEAN Countries. Cambridge: Cambridge University Press, 171–232. Ariyanti, F. (2014). “Bupati Pecat PNS Seenaknya, KASN Bakal Bertindak”. Liputan6.com. https://www.liputan6.com/bisnis/read/2044788/ bupati-pecat-pns-seenaknya-kasn-bakal-bertindak. Diakses tanggal 6 Mei 2021. Bachtiar, H. W. 1972. “Bureaucracy and Nation Formation in Indonesia”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde,128(4), hal. 430–49. BKN. 2012. Statistik Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. BKN. 2014. Statistik Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. BKN. 2020. Statistik Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. BPS. 2000. Statistik Indonesia. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.  BPS. 2005. Statistik Indonesia. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. BPS. 2010. Statistik Indonesia. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. BPS. 2011. Statistik Indonesia. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. BPS. 2012. Statistik Indonesia. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. BPS. 2013. Statistik Indonesia. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. BPS. 2014. Statistik Indonesia. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Gerber, E.R., dan C.C. Gibson. 2009. “Balancing Regionalism and Localism: Regional Governance in American Transportation”. American Journal of Political Science, 53(3), 633–648. Golden, Miriam A. 2003. “Electoral Connections: The Effects of the Personal Vote on Political Patronage, Bureaucracy and Legislation in Postwar Italy.” British Journal of Political Science, 33, hal. 189–212. GresNews.com. 2014. “Penerimaan PNS Honorer Masih Sarat KKN”. https://www.gresnews.com/berita/politik/84855-penerimaan-pnshonorer-masih-sarat-kkn/. Diakses tanggal 6 Mei 2021.

312

Grindle, Merilee S. 2012. Jobs for the Boys: Patronage and the State in Comparative Perspective. Cambridge, MA: Harvard University Press. Grzymala-Busse, Anna. 2003. “Political Competition and the Politicization of the State in East Central Europe.” Comparative Political Studies, 36(10), hal. 1123–1147. Hollyer, James R. 2011. “Patronage or Merit?: Civil Service Boards in US Cities.” Unpublished Manuscript. University of Minnesota. Hoogenboom, A. 1959. “The Pendleton Act and the Civil Service”. The American Historical Review, Vol. 64, No. 2 (Jan., 1959), hal. 301–318. Huber, J. D. & Michael M. Ting. 2016. “Civil Service and Patronage in Bureaucracies”. The Journal of Politics. DOI: https://doi. org/10.1086/711057. Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KPP). (2002). Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak (The Decision of the Government of Indonesia No. 88/2002 on the National Action Plan on Elimination on Women and Children Trafficking). Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Kim, P. S. (ed.). 2010. Civil Service System and Civil Service Reform in ASEAN Member Countries and Korea. Seoul: Daeyoung Moonhwasa. Kim, P. S. 2000. “Administrative Reform in the Korean Central Government: A Case Study of the Dae Jung Kim’s Administration”. Asian Review of Public Administration, XII, hal. 81–95. King, D. 1982. “Indonesia’s New Order as a Bureaucratic Polity, a Neo Patrimonial Regime or a Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?”, dalam B. Anderson dan A. Kahin. (eds.). 1982. Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate. Ithaca, NY: Cornell Southeast Asia Program Publications.Krause, George A., David E. Lewis, dan James W. Douglas. 2006. “Political Appointments, Civil Service Systems, and Bureaucratic Competence: Organizational Balancing

313

and Executive Branch Revenue Forecasts in the American States.” American Journal of Political Science, 50(3), hal. 770–787. Keuleers, P. 2001. Key Issues for Consideration When Assisting Civil Service Personnel Management Reforms in Developing Countries. Bangkok: UNDP. La Porta, Rafael, Florencio Lopez-de-Silanes, Andrei Shleifer, dan Robert W. Vishny. 1999. “The Quality of Government.” Journal of Law, Economics, and Organization, 15(1), hal. 222–279. Latif, S. 2018. “Sistem Seleksi CPNS Indonesia Masuk 10 Terbaik Dunia”. Dream.co.id. 6 Mei 2021. Diakses di https://www.dream. co.id/dinar/sistem-seleksi-cpns-indonesia-masuk-10-terbaikdunia-1802056.html. Lavertu, St ́ephane. 2013. “Issue-specific Political Uncertainty and Policy Insulation in Federal Agencies.” Journal of Law, Economics, and Organization, 29, hal. 145–177. Lewis, David E. 2008. The Politics of Presidential Appointments: Political Control and Bureaucratic Performance. Princeton: Princeton University Press. Logsdon, M. G. 1992. “Indonesia’s Civil Service in the New Order: Consolidation, Growth, and Change”. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, 7(2), hal. 223–47. Moe, Terry. 1989. “The Politics of Bureaucratic Structure”, dalam John E. Chubb dan Paul E. Peterson. 1989. Can the Government Govern?. Washington, DC: Brookings Institution. Montalvo, Jos ́e G., dan Marta Reynal-Querol. 2005. “Ethnic Polarization, Potential Conflict and Civil War.” American Economic Review, 95(3), hal. 796–816. Mueller, Hannes. 2015. “Insulation or Patronage: Political Institutions and Bureaucratic Efficiency.” B.E. Journal of Economic Analysis & Policy, 15(3), hal. 961–996. Nath, Anusha. 2015. “Bureaucrats and Politicians: How Does Electoral Competition Affect Bureaucratic Performance?”. Unpublished Manuscript. Boston University. Pollock, James K. 1937. “The Cost of the Patronage System.” Annals of the American Academy of Political and Social Science, 189, hal. 29–34. 314

Pramusinto, A. 2009. “Birokrasi Pemerintahan Indonesia Pasca Soeharto”, dalam M. A. Yussof dan L. Agustino. 2009. Politik dan Perubahan: Antara Reformasi di Indonesia dan Politik Baru di Malaysia. Yogyakarta: Gava Media. Prasojo, E. 2010. “A Review of Civil Service System and Civil Service Reform in Indonesia”, dalam Kim (ed.). 2010. Civil Service System and Civil Service Reform in ASEAN Member Countries and Korea. Seoul: Daeyoung Moonhwasa.Prasojo, E. 2009. Reformasi Dua: Melanjutkan Estafet Reformasi. Jakarta: Salemba Humanika. Quah, Jon S.T. 2010. “Civil Service System and Reform in Singapore”, dalam Kim (ed.). 2010. Civil Service System and Civil Service Reform in ASEAN Member Countries and Korea. Seoul: Daeyoung Moonhwasa.Rauch, James E. 1995. “Bureaucracy, Infrastructure, and Economic Growth: Evidence from U.S. Cities during the Progressive Era.” American Economic Review, 85(4), hal. 968–979. Quah J.S.T., (ed.). 2016. The Role of the Public Bureaucracy in Policy Implementation in Five ASEAN Countries. Cambridge: Cambridge University Press. Rauch, James, dan Peter B. Evans. 2000. “Bureaucratic Structure and Bureaucratic Performance in Less Developed Countries.” Journal of Public Economics, 75(1), hal. 49–71. Rohdewold, R. 1995. Public Administration in Indonesia. Melbourne: Montech. Santoso, R. 2010. “Menggagas Perubahan Menyeluruh UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Menjadi UndangUndang tentang Aparatur Sipil Negara”. Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2010, hal. 37–45.SerambiNews.com. 2016. “Honorer 8.000 Orang, Mungkin Ini Hasil KKN”. 23 Maret 2016. Diakses via https://aceh.tribunnews.com/2016/03/23/honorer-8000-orangmungkin-ini-hasil-kkn. SerambiNews.com. 2016. “Honorer 8.000 Orang, Mungkin Ini Hasil KKN”. Diakses pada 6 Mei 2021. Diakses via https://aceh.tribunnews. com/2016/03/23/honorer-8000-orangmungkin-ini-hasil-kkn. Suryadinata, L. 2002. Elections and Politics in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 315

Suryadinata, L. 2007. “The Decline of the Hegemonic Party System in Indonesia: Golkar after the fall of Soeharto”. Contemporary Southeast Asia, 29(2), hal. 333–58. Szczepanski, K. 2018. “What Was Imperial China’s Civil Service Exam System?.” thoughtco.com. Diakses pada 6 Mei 2021. Diakses via https://www.thoughtco.com/imperial-chinas-civil-serviceexam-195112. Theriault, S. M. 2003. “Patronage, the Pendleton Act, and the Power of the People”. The Journal of Politics, Vol. 65, No. 1 (Feb., 2003), hal. 50–68. Thoha, M. 2005. Politik dan Birokrasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

316

BAB XIII

ELECTRONIC GOVERNMENT (E-GOV), ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI), DAN KESENJANGAN DIGITAL (DIGITAL DIVIDE)

Yuyun Purbokusumo dan Bima Katangga

Pendahuluan Bagian pertama dari tulisan ini mencoba membahas awal mula ide pengunaan electronic government (e-Gov), perkembangannya, serta beberapa contoh indikator website sebagai puncak perwujudan e-Gov. Bagian kedua menjelaskan mengenai artificial intelligence (AI) yang mulai berkembang pesat di berbagai bidang seperti mendesain otomastisasi layanan pemerintah yang cerdas dan menghilangkan beban manusia yang terkait dengan aktivitas pencarian informasi dan pemecahan masalah (Mir & Quadri, 2009), serta awal pengadopsian AI di beberapa negara. Sementara penerapan e-Gov dan AI sering sulit dilakukan karena kendala kesenjangan digital. Oleh karena itu, identifikasi terhadap persoalan ini menjadi topik selanjutnya.

E-Government (e-Gov) E-government (e-Gov) berkembang secara potensial dalam meningkatkan akses masyarakat pada sumber daya pemerintah, meningkatkan efisiensi administrasi pemerintahan, khususnya dalam pelayanan publik. Di samping itu, e-Gov juga lebih “customized” serta membuat warga dapat berhubungan dengan pemerintah secara demokratis 317

(Edmiston, 2003) dan objektif (Korosec, 2003). E-Gov juga merubah cara warga berkomunikasi, bekerja, dan berhubungan dengan pemerintah (Premkumar dkk., 2006). Peran komputer dan teknologi informasi serta komunikasi, termasuk di dalamnya wired dan wireles, juga telah menarik perhatian peneliti dan praktisi untuk lebih mencermati e-Gov. Bagi sebagian peneliti dan praktisi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membuat e-Gov semakin efisien dan efektif menyediakan “saluran” terutama bagi pemerintah dalam meningkatkan pelayanan terhadap warga negara (Siau dan Long, 2006). Studi lain yang dilakukan oleh Teo (2008) dan Abie dkk. (2004) membuktikan bahwa kepercayaan warga (trust) terhadap pemerintah meningkat, kualitas pelayanan meningkat (Vassilakis dkk., 2004), partisipasi masyarakat dalam aktivitas pelayanan publik juga meningkat (Lytras, 2006) ketika e-Gov sukses diterapkan. Di samping itu, penelitian yang dilakukan oleh Wagner dkk. (2006) juga menunjukan bahwa e-Gov mampu memangkas sejumlah dokumen (web documents worldwide) dalam tata kelola pemerintahan serta pelayanan publik menjadi semakin cepat. E-Gov sendiri mulai gencar dilakukan di era 1990-an. Jenkins (1998) menuliskannya penggunaan internet di bidang pendidikan, sementara beberapa ahli lain seperti N`Orr (2000) menyebutnya sebagai Community of Interest Network Services (COINS) yang akan mengubah hubungan antar organisasi di pemerintahan dan antara pemerintah dan warga. Hoenig (2001) menyebut e-Gov akan menjadi “building the next generation of public services”. Bentuk konkrit e-Gov sebenarnya adalah website yang terintegrasi dengan database manajemen dan merupakan perangkat komunikasi antara pemerintah dengan warga via penggunaan komputer atau menurut istilah Evans & Yen (2005) dikonsepkan sebagai “Web Enable Presence”. Penggunaan website dalam pelayanan publik membuat warga merasa nyaman ketika warga harus berbagi informasi maupun berinteraksi dengan pemerintah. Penggunaan website dalam pelayanan menjadikan penghantaran layanan menjadi lebih tepat, akurat, dan efisien secara biaya. Akibatnya perkembangan website sebagai bentuk dari e-Gov meningkat dari tahun ke tahun. Penelitian Wagner (2006) menunjukkan hal itu. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa desain website juga akhirnya 318

semakin berkembang ketika dukungan meta data, sebagai perkembangan lain perangkat tehnologi, menjadi semakin baik. Desain website semakin menarik ketika informasi ter-update dan pertukaran informasi dalam website berjalan baik. Tetapi desain website yang berjalan baik di negara negara maju cenderung berjalan sebaliknya di negara berkembang. Penerapan website di negara berkembang cenderung mengalami penolakan, ada beberapa hambatan dan ketidaksiapan (Yoon & Chae, 2009). Ada indikasi bahwa persoalan tersebut muncul karena rasionalitas pembuat website selalu mengedepankan “architecture embedded” dan aspek sosial terabaikan. Logika pembuatan website cenderung menggunakan logika Digital Engineering Design (DED). Aspek sosial dalam logika DED di pembuatan website hanya berdasar pada “keinginan pemesan’ tanpa ada perhatian khusus bahwa aspek sosial dalam pembuatan website perlu diperhatikan secara akademis. Tabel 13.1. Indikator Website Berbasis DSD (Garcia dkk., 2005)

(Smith, 2001)

(Holzer & Kim, 2004)

Content







Navigation











*

Public outreach











**

Accessibility













Privacy and security























Online services Citizen participation

(Henriksson dkk., 2007)

(Darrell M West, 2007)

(Purbokusumo dkk., 2021)





 

Keterangan: *usability; **content.

Sumber: diadopsi dari Panopoulou dkk. (2008) dan Purbokusumo dkk. (2021)

Ide mengenai pendekatan DSD dalam pembuatan website diawali oleh tulisan Tonn (2004) ketika dia melontarkan ide pembuatan situs MyEmpowerNet.Gov bagi pemerintah Amerika Serikat. Tujuan dari pembuatan website tersebut adalah agar warga dapat terlibat berpartisipasi aktif dalam proses pembuatan keputusan. Oleh karena itu, desain website 319

setidaknya harus merupakan gabungan internet dan sosial media. Dalam usulannya, pembuatan website sangat dianjurkan menggunakan pendekatan DSD. Salah satu indikator penting dalam pembuatan website dengan pendekatan DSD adalah partisipasi warga. Website yang baik harus mampu menampung keterlibatan warga. Warga harus mampu berargumen secara rasional dalam berinteraksi di website. Artinya, pendesain website harus menyediakan data yang dibutuhkan warga agar warga dapat dengan mudah memperoleh data ketika warga ingin berargumen dalam keterlibatannya di proses pengambilan keputusan via website. Dengan demikian, salah satu indikator desain website adalah ketersediaan data dan akses warga pada data tersebut. Dalam beberapa literatur, ada banyak indikator DSD dalam pembuatan website. Beberapa di antara indikator dalam DSD di pembuatan website adalah usability (kegunaan). Indikator ini diungkap oleh Eyob (2004). Holzer dan Kim (2004) menambahkan indikator DSD dengan istilah “content”, sedangkan Schedler dan Summermatter (2007) menambahkan dengan “customer needs”. Sementara itu, Liu (2004), Wescott (2005), dan West (2005) menambahkan indikator DSD dengan istilah “kemudahan akses” untuk membayar pelayanan yang dilakukan pemerintah tanpa melakukan kontak dengan pegawai pemerintah. Penelitian mengenai desain sosial (DSD) dalam website bagi manula juga pernah dilakukan oleh Sokoler (2007) di Swedia. Hasil studi menunjukkan bahwa manula bisa ditolong interaksinya oleh website yang didesain dengan konsep DSD ketika pola hubungan antar keluarga berubah apalagi ketika mereka kehilangan pasangan di usia tua. Mereka bisa menjadi lebih mudah berinteraksi antar sesama manula dengan website. Indikator DSD yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah kemudahan dan simplifikasi simbol serta kemudahan akses. Tabel 13.2 adalah contoh beberapa indikator website berdasar DSD. Sementara itu, detail contoh indikator website berbasis DSD adalah sebagai berikut.

320

Tabel 13.2. Detail Contoh Indikator Website Berbasis DSD Usability (9 items)

Service (13 items)

Citizen participation (8 items)

Content (24 items)

Navigation bars

Economic information

Comment-feedback

Locations

Font colours

Codes and regulations

FAQ

Natural conditions

Update of websites

Webmaster responses

Newsletters

Economy charters

External links

Request information

Online discussions

Economic achievement

Homepage length

Downloadable forms

Scheduled meetings

Tourism objects

Search tools

Advertising, bidding

Online polls

Cultural characteristics

Site maps

Technical assistance

Performance measures

Economic structure information

Access to more than one language

Bulletin board about civil applications

Satisfaction survey

Geographical names

Personalisation features

E-procurement

Minutes of meetings

Complaints

Mission statements

License applications

Climate

Permission applications

Documents, reports, books

Public payment utilities (taxes, fines)

Function and contact information Annual reports Tourism policies Human resource information Audio, video clips Budget information Organisational structures Educational policies Cultural policies Economic relations Event calendars

Sumber: Purbokusumo dkk. (2021)

321

Artificial Intelligence (AI) AI dimulai ketika era komputer mulai ditemukan diawal tahun 1980-an melalui pemrosesan informasi persepsi pola yang dibangun dan diterapkan pada pengenalan komputer atas angka tulisan tangan. (Ascott, 1990; Han-fei, 1989; Nakatani, 1980; Stafylopatis & Likas, 1992; Summers dkk., 1993). AI dapat membantu menciptakan lapangan kerja, juga akan menyebabkan beberapa individu kehilangan pekerjaan. Dalam perkembangannya, sampai dengan tahun 2018, AI setidaknya telah merubah pelbagai macam pekerjaan melalui otomatisasi seperti menyelesaikan pekerjaan harian melalui telepon, memprediksi penyakit hanya dengan melihat mata, membangun terjemahan bahasa melalui suara, memprediksi pelbagai kejadian dimasa depan dengan akurasi tinggi, menciptakan system pembelajaran mesin menangani pengenalan ucapan dan objek, sekaligus, pembaca berita otomatis di TV. Mesin identifikai wajah dan konten berita hingga pengenalan terhadap hoak dikenali lebih cepat dan masih banyak lagi. Dalam perkembangannya, AI telah menyebabkan pengadaan logistik menjadi lebih efisien, transfer pengetahuan dan pekerjaan teknis bisa lebih berkembang pesat dengan mesin pembelajaran otomatis. Konten pemberitaan bisa menjadi lebih produktif dan positif. Hadirnya, AI merupakan bagian dari revolusi industri yang memberikan keunggulan kompetitif bagi mereka yang mau memanfaatkan teknologi internet secara luas, serta bersedia mengambil risiko dengan menyesuaikan produk/ layanan mereka secara inovatif menggunakan teknologi AI yang tersedia (Makridakis, 2017). Baru-baru ini, muncul kecenderungan di antara instansi pemerintah daerah untuk mengadopsi AI untuk mengelola masalah perkotaan yang rutin, kompleks, dan rumit (Yigitcanlar dkk., 2021). Penerapan AI di pemerintahan tidak cukup hanya mengandalkan data berkualitas tinggi, tetapi difasilitasi oleh banyak hal seperti a) lingkungan, b) organisasi, c) tingkat inovasi, dan d) pertimbangan individu (van Noordt & Misuraca, 2020). AI didefinisikan sebagai sebuah mesin atau komputer yang meniru fungsi kognitif yang dimiliki manusia berkaitan dengan pikiran manusia, seperti halnya berlajar dan pemecahan permasalahan (Schalkoff, 1990). AI mengacu pada kemampuan sistem komputer untuk menunjukkan perilaku 322

cerdas seperti manusia yang dicirikan oleh kompetensi inti tertentu, termasuk persepsi, pemahaman, tindakan, dan pembelajaran (Wirtz dkk., 2019). Secara sederhana, AI merupakan sebuah perangkat lunak yang mampu untuk melakukan tugas-tugas cerdas (Sousa dkk., 2019). AI bekerja melalui dua cara, yaitu supervisied dan unsupervised (Desouza dkk., 2020). Pertama, dalam skema supervised learning, dataset diberi tag dengan klasifikasi yang benar sehingga mesin mempelajari atribut apa yang ada dan tidak ada dalam kelompok klasifikasi tersebut. Mesin juga akan mencari tahu atribut lain yang berbuhubungan dengan klasifikasi. Misalnya, mesin dapat mengetahui lulusan kampus mana yang paling banyak melakukan pelanggaran wewenang dalam dataset. Kedua, dalam skema unsupervised learning, sistem menemukan pola atau pengelompokan yang sebelumnya tidak diketahui dalam data. Misalnya, mesin dapat membagi data warga negara kedalam beberapa kelompok. Di sini mesin dapat menemukan empat jenis warga negara bersama dengan prevalensinya (misalnya, memiliki sedikit dana pensiunan dan memiliki banyak keluarga dengan anak kecil). Hasil ini kemudian membutuhkan penafsiran yang tepat untuk pengambilakn keputusan sebelum akhirnya negara memutuskan apakah akan mendanai lebih banyak pada pendidikan anak atau lebih banyak pada layanan untuk para manula. Setidaknya ada beberapa jenis penggunaan AI yang paling umum pada lembaga pemerintah, yaitu (a) perangkat lunak manajemen pengetahuan berbasis AI; (b) sistem otomasi proses AI; (c) chatbots/agen virtual; (d) analitik prediktif dan visualisasi data; (e) analisis identitas; (f) robotika kognitif dan sistem otonom; (g) sistem rekomendasi; (h) asisten digital cerdas; (i) analitik ucapan; dan (j) analitik keamanan kognitif dan kecerdasan ancaman (Wirtz dkk., 2019). Pertama, perangkat lunak manajemen pengetahuan berbasis AI digunakan untuk melakukan sistematisasi pengetahuan dengan mengumpulkan, menyortir, mentransformasi, mencatat, dan berbagi pengetahuan. Diungkapkan oleh Lin dkk. (2018), AI dapat mentransformasi dokumentasi klinis dan mencegah waktu yang terbuang percuma untuk peninjauan dan dokumentasi untuk membawa implikasi ekonomi yang sangat besar. AI berpotensi mengurangi 34% hingga 55% kerja fisik dalam me-review dokumen kesehatan di Amerika Serikat. Kedua, sistem otomatisasi proses dimanfaatkan untuk otomatisasi 323

tugas standar dengan kualitas yang konsisten. Layanan AI mendukung agen imigrasi global untuk melakukan penilaian otomatis dari berbagai jenis aplikasi yang dikirimkan (Hon & Chun, 2007). Otomatisasi proses AI memberikan layanan imigrasi yang lebih cepat dan berkualitas lebih tinggi kepada jutaan warga dan pengunjung dalam memproses permintaan mereka. Ketiga, chatbot/agen virtual merupakan program yang dirancang untuk berinteraksi dengan manusia. Chatbot telah dimanfaatkan beberapa pemerintah lokal di Jepang dalam beberapa bidang seperti panduan memilah sampah di Kota Yokohama, konsultasi pajak di Biro Perpajakan Tokyo, dukungan orang tua dalam merawat anak di kota Kawasaki, dan meja informasi umum di setidaknya sepuluh prefektur di Jepang (Aoki, 2020). Keempat, AI dapat membatu pemerintah dalam analitik prediktif dan visualisasi data. Analisis ini didasarkan pada analisis data kuantitatif dan statistik melalui pemrosesan big data untuk pelaporan, analisis preskriptif, dan analisis prediktif. Serta, memanfaatkan machine learning untuk mempelajari data. Misalnya, AI dapat membantu dalam memprediksi ketinggian air tanah yang dapat menjadi sangat berharga bagi administrator publik dan pemangku kepentingan mana sumber daya air di Pennsylvania, Amerika Serikat (Kouziokas dkk., 2017). Kelima, analisis identitas menggabungkan big data dengan alat analitik canggih untuk mengidentifikasi identitas. Proyek percobaan di Frisco California, Amerika serikat memanfaatkan sistem identifikasi wajah untuk membantu polisi memverifikasi atau mengidentifikasi kriminal pada area publik (Power, 2016). Keenam, robotika kognitif dan sistem otonom memungkinkan fungsi kognitif tingkat tinggi untuk melakukan representasi pengetahuan, dan mampu belajar serta memberikan merespons. Sistem ini memungkinkan layanan transportasi kendaraan otonom untuk diimplementasikan. Kota Las Vegas, Amerika Serikat menguji coba shuttle bus otonom yang beroperasi bercampur dengan kendaraan tradisional di jalan publik (Dennis dkk., 2021). Ketujuh, sistem rekomendasi berbasis AI merupakan sistem penyaringan informasi yang dipersonalisasi untuk memprediksi preferensi individu. Misalnya di valensia spanyol, rekomendasi layanan pemerintah dalam portal web warga dapat disajikan dengan memanfaatkan layanan

324

yang paling banyak digunakan dalam kluster tertentu (Martín-Guerrero dkk., 2006). Kedelapan, asisten digital cerdas berbeda dengan agen virual yang hanya memberikan arahan kepada pengguna. Asisten digital cerdas menyediakan antarmuka yang intuitif antara pengguna dan sistem/ perangkat untuk mencari informasi atau menyelesaikan tugas-tugas sederhana. Meskipun saat ini belum ada bukti penggunaan asissten digital cerdas di pemerintahan, Akkaya dan Krcmar (2019) membahas potensi penerapannya untuk citizen services di Jerman. Kesembilan, analitik ucapan mencakup pengenalan cerdas dan pemprosesan bahasa, memahami dan menanggapi bahasa, dan menerjemahkan bahasa lisan ke tulisan atau sebaliknya. Provinsi Gelderland di Belanda mengadopsi alat transkripsi otomatis untuk menyediakan subtitle untuk rekaman video pertemuan dewan politik dengan AI tool AmberScript (van Noordt & Misuraca, 2020). Sebelumnya, petugas organisasi membutuhkan waktu untuk transkripsi atau ringkasan rapat yang dapat memakan waktu hingga tiga bulan. Kesepuluh, analitik keamanan kognitif dan kecerdasan ancaman memanfaatkan teknologi kognitif untuk menganalisis informasi keamanan melalui pemprosesan bahasa alami dan machine learning untuk menafsirkan, mengatur informasi, dan memberikan alasan. Di Hong Kong, sistem lampu lalu lintas baru menggunakan machine learning dengan deteksi objek dan analisis dengan algoritma evolusioner melakukan pengaturan peralihan sinyal strategis secara real-time ke lampu lalu lintas di persimpangan berhasil mengurangi waktu tunggu pejalan kaki dan kendaraan, dan memberikan pengalaman bepergian yang lebih baik bagi pengguna jalan (Ng & Kwok, 2020). Meskipun demikian, penerapan AI dalam layanan pemerintah masih dalam tahap adopsi awal dan membutuhkan komitmen dari berbagai pihak. Untuk dapat memperoleh manfaat dari AI, pemerintah setidaknya harus mengatasi beberapa hambatan. Setidaknya ada empat tantangan yang harus dihadapi untuk menerapkan AI di sektor publik, yaitu 1) tantangan dalam implementasi termasuk memastikan integrasi sistem dan kualitas data, pengelolaan effisiensi anggaran, dan memastikan ketersediaan tenaga ahli yang masih langka; 2) membuat regulasi AI yang mencakup banyak bidang, dan memastikan penggunaan AI yang bertanggungjawab 325

dan memiliki akuntabilitas, termasuk keamaan dan privasi; 3) dalam menerapkan pengambilan keputusan berbasis AI, pemerintah harus memastikan keputusan sesuai dengan nilai kemanusiaan dan etika, serta norma yang ada dimasyarakat; serta 4) pemerintah harus memastikan penggunaan AI dapat diterima masyarakt, dan mengantisipasi konflik yang mungkin terjadi karena pergantian tenaga manusia dengan AI (Agarwal, 2018; Wirtz dkk., 2019).

Kesenjangan Digital (Digital Divide) Banyak dari struktur dan proses pemerintahan yang ada yang telah berkembang selama beberapa abad terakhir kemungkinan besar akan menjadi tidak relevan dalam waktu dekat, dan pemerintaha harus menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang selalu baru (Agarwal, 2018). Namun, perlu kehati-hatian dalam adopsi teknologi agar tidak hanya menjangkau mereka yang memiliki sumber daya dan menciptakan kesenjangan digital antara mereka yang memiliki akses dan mereka yang tidak. Dan, administrator publik tampaknya tidak siap menghadapi tantangan yang harus mereka hadapi untuk mengatasi perubahan non-inkremental dan eksponensial ini. Hadirnya AI dapat berpotensi memperluas kesenjangan digital di antara masyarakat. Penggunaan informasi digital di bidang pertanian dimulai di tahun 1960-an (FCC, 1969). Pada saat itu, pengolahan lahan pertanian bisa dipantau melalui satelit. Kemudian, di awal tahun 2000-an di US mulai diadakan studi mengenai kesenjangan digital antara generasi muda dan tua (DeMaria, 2008; Loges & Jung, 2001), anak-anak dan orang dewasa di bidang kesehatan (Brodie, 2000), di sebagian besar negara antara mereka yang memiliki akses siap ke alat teknologi informasi dan komunikasi, serta pengetahuan yang mereka berikan dengan mereka yang tidak memiliki akses atau keterampilan tersebut (Cullen, 2001). Selanjutnya, Yu (2006) menyebut hadirnya internet menandai era baru digital divide yang membedakan mereka yang kaya informasi dan miskin informasi (Yu, 2006). Menurut Sparks (2013), ada tiga tradisi utama penelitian tentang masalah kesenjangan digital, yaitu (a) akses fisik, (b) keterampilan dan kompetensi budaya untuk memanfaatkan teknologi informasi, dan (c) 326

penggunaan internet dan reproduksi sosial. Pertama, akses fisik berkaitan dengan kemampuan untuk mengakses teknologi atau internet dalam bentuk koneksi fisikal dan penggunaan fasilitas. Aliran kedua berkaitan dengan kompleksitas kesenjangan digital dengan memeriksa ketersediaan modal sosial dan potensi yang dimiliki pengguna. Penelitian sebelumnya di negara berkembang lebih banyak berkaitan dengan kriteria pertama dan kedua. Penelitian Wijetunga (2014) menunjukan bahwa menyediakan akses ke ponsel genggam murah masih belum cukup untuk menjadikan pengguna mendapatkan manfaat dari komunikasi seluler yang lebih luas. Meskipun penetrasi ponsel genggam mencapai 98% dari populasi di Srilanka, ada perbedaan penggunaan fitur ponsel genggam oleh anak muda dari mereka yang miskin dan kaya. Studi menunjukkan bahwa meskipun penduduk kurang mampu telah mengadopsi telepon seluler, sebagian besar fasilitas komunikasi berbasis komputer yang tersedia di telepon ‘tidak dapat diakses’ oleh pengguna tersebut karena objektifikasi ketidaksetaraan sosial yang lebih luas di desain ponsel. Misalnya, hadirnya buku manual ponsel yang hanya berbahasa Inggris menghalangi pengguna untuk memahami fitur unggulan ponsel Ketiga, berkaitan dengan bagaimana teknologi digunakan untuk mendapatkan informasi untuk keunggulan kompetitifnya. Tradisi ketiga banyak ditemukan pada penelitian sebelumnya di negara maju, di mana akses dan skill bukan mejadi perhatian utama lagi. Penelitian di negara maju menunjukan bahwa, meskipun akses terhadap teknologi telah terpenuhi, ketidaksetaraan kapasitas pengguna dalam mengeksploitasi teknologi informasi juga secara serius dapat menambahkan kompleksitas lapisan menjadi “digital outcome divide” di mana stastus sosial ekonomi ditemukan berhubungan erat dengan penggunaan informasi (Wei & Hindman, 2011). Studi Wei & Hindman (2011) membandingkan akses internet dan penggunaan informasi internet terkait hubungannya dengan status sosial-ekonomi pengguna di Amerika Serikat menemukan bahwa meskpiun akses internet di negara maju telah tersedia untuk seluruh warga, pendidikan menjadi prediktor yang mempengaruhi penggunaan internet untuk aktivitas informasional. Sejalan dengan itu, Dixon dkk. (2014) menemukan bahwa kesenjangan digital telah muncul seiring dengan kesenjangan sosial yang ada sebelumnya. Teknologi baru telah memberi 327

manfaat bagi mereka yang sudah memiliki akses ke sumber daya lain pada tingkat yang lebih tinggi daripada orang yang memiliki lebih sedikit sumber daya. Peneliti lain menekankan pada mitigasi disparitas horizontal dalam akses Internet dalam skala global. Huang dan Chen (2010) melakukan analisis data pada 48 negara menemukan bahwa ada transformasi definisi kesenjangan digital dari akses ke keterampilan dan penggunaan dalam konteks beberapa negara maju, tetapi tidak untuk banyak negara berkembang yang tertinggal dalam hal infrastruktur teknologi informasi. Huang dan Chen mengamati bahwa kesenjangan akses digital masih menjadi masalah serius dalam skala global karena kesenjangan digital di negara-negara maju tampak semakin menyempit, padahal di banyak negara berkembang semakin lebar. Meskipun negara maju telah mengalihkan fokus mereka pada keterampilan dan penggunaan internet, kesenjangan akses internet antara negara berkembang dan negara maju akan dalam dan lebar dalam jangka panjang karena faktor sosio-ekonomi. Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis ingin menyampaikan catatan penting terkait dengan integrasi beberapa macam penerapan teknologi informasi, baik dalam e-Gov, AI, maupun kesenjangan digital. Karena ada beberapa isu yang perlu didiskusikan lebih lanjut ketika ingin menerapkan AI dalam tata kelola urusan publik untuk mendapatkan manfaat teknologi dalam kehidupan masyarakat, misalnya berkaitan dengan etika, privasi, dan dialog pergantian lapangan kerja yang digantikan oleh AI.

328

Daftar Pustaka Abie, H., B. Foyn, J. Bing, B. Blobel, P. Pharow, J. Delgado, S. Karnouskos, O. Pitkaänen, & D. Tzovaras. 2004. “The Need For A Digital Rights Management Framework For The Next Generation Of E-Government Services”. Electronic Government, 1(1), hal. 8–28. https://doi.org/10.1504/EG.2004.004134. Agarwal, P. K. 2018. “Public Administration Challenges in the World of AI and Bots”. Public Administration Review, 78(6), hal. 917–921. https://doi.org/10.1111/puar.12979. Akkaya, C., & H. Krcmar. 2019. “Potential Use Of Digital Assistants By Governments For Citizen Services: The Case of Germany”. ACM International Conference Proceeding Series, hal. 81–90. https:// doi.org/10.1145/3325112.3325241. Aoki, N. 2020. “An Experimental Study Of Public Trust In AI Chatbots In The Public Sector”. Government Information Quarterly, 37(4). https://doi.org/10.1016/j.giq.2020.101490. Ascott, R. 1990. “Is There Love in the Telematic Embrace?”. Art Journal, 49(3), hal. 241–247. https://doi.org/10.1080/00043249.1990.107 92697. Brodie, M., R. E. Flournoy, D.E. Altman, R. J. Blendon, J.M. Benson, & M. D. Rosenbaum. 2000. “Health Information, The Internet, And The Digital Divide”. Health Affairs, 19(6), 255–265. https://doi. org/10.1377/hlthaff.19.6.255. Cullen, R. 2001. “Addressing the Digital Divide”. Online Information Review, 25(5), hal. 311–320. https://doi.org/10.1108/14684520110410517. De Maria, A. N. 2008. “The Digital Divide”. Journal of the American College of Cardiology (Vol. 51, Issue 7, hal. 771–772). https://doi. org/10.1016/j.jacc.2008.01.009 Dennis, S., A. Paz, & T. Yigitcanlar. 2021. “Perceptions and Attitudes Towards the Deployment of Autonomous and Connected Vehicles: Insights from Las Vegas, Nevada”. Journal of Urban Technology. https://doi.org/10.1080/10630732.2021.1879606. Desouza, K. C., G. S. Dawson, & D. Chenok. 2020. “Designing, Developing, And Deploying Artificial Intelligence Systems: Lessons From And

329

For The Public Sector”. Business Horizons, 63(2), hal. 205–213. https://doi.org/10.1016/j.bushor.2019.11.004. Dixon, L. J., T. Correa, J. Straubhaar, L. Covarrubias, D. Graber, J. Spence, & V. Rojas. 2014. “Gendered Space: The Digital Divide Between Male And Female Users In Internet Public Access Sites”. Journal of Computer-Mediated Communication, 19(4), hal. 991–1009. https:// doi.org/10.1111/jcc4.12088. Edmiston, K. D. 2003. “State and Local E-government Prospects and Challenges”. American Review of Public Administration, 33(1), hal. 20–45. https://doi.org/10.1177/0275074002250255 Evans, D., & D. C. Yen. 2005. “E-Government: An Analysis For Implementation: Framework For Understanding Cultural And Social Impact”. Government Information Quarterly, 22(3), hal. 354–373. https://doi.org/10.1016/j.giq.2005.05.007. Eyob, E. 2004. “E-Government: Breaking The Frontiers Of Inefficiencies In The Public Sector”. Electronic Government, 1(1), hal. 107–114. https://doi.org/10.1504/EG.2004.004140. FCC. 1969. “FCC Commissioner Brendan Carr on Satellite-Powered Precision Farming”. Satellite Today. Garcia, A. C. B., C. Maciel, & Pinto. 2005. “A Quality Inspection Method To Evaluate E-Government Sites”. Lecture Notes in Computer Science, 3591, hal. 198–209. https://doi.org/10.1007/11545156_19. Han-fei, B. 1989. “Stucture Characteristics of QMSOC and the Relevant Operators”. Journal of Tongji Medical University, 9(4), hal. 235– 238. https://doi.org/10.1007/BF02909090. Henriksson, A., Y. Yi, B. Frost, & M. Middleton. 2007. “Evaluation Instrument For E-Government Websites”. Electronic Government, 4(2), hal. 204–226. https://doi.org/10.1504/EG.2007.013984. Hoenig, C. 2001. “Beyond E-Government”. Government Executive, 33(14). Holzer, M., & S.-T. Kim. 2004. Digital Governance in Municipalities Worldwide (2005) ~ A Longitudinal Assessment of Municipal Websites Throughout the World. http://edoc.vifapol.de/opus/ volltexte/2009/1151/.

330

Hon, A., & W. Chun. 2007. “Using AI for e-Government Automatic Assessment of Immigration Application Forms”. In aaai.org. www. aaai.org Huang, C. Y., & H. N. Chen. 2010. “Global Digital Divide: A Dynamic Analysis Based On The Bass Model”. Journal of Public Policy and Marketing, 29(2), hal. 248–264. https://doi.org/10.1509/ jppm.29.2.248. Jenkins, I., & M. Turpin. 1998. “Super History Teaching On The Superhighway: The Internet For Beginners”. Teaching History (London). Korosec, R. 2003. “Assessing the Feasibility of Supply Chain Management Within Purchasing and Procurement: Results from U.S. Cities”. Public Performance & Management Review, 27(2), hal. 92–109. https://doi.org/10.1080/15309576.2003.11051792. Kouziokas, G. N., A. Chatzigeorgiou, & K. Perakis. 2017. “Artificial Intelligence And Regression Analysis In Predicting Ground Water Levels In Public Administration”. European Water (Vol. 57). https:// www.ewra.net/ew/pdf/EW_2017_57_50.pdf. Lin, S. Y., T. D. Shanafelt, & Asch. 2018. “Reimagining Clinical Documentation With Artificial Intelligence”. In Mayo Clinic Proceedings (Vol. 93, Issue 5, hal. 563–565). Elsevier Ltd. https:// doi.org/10.1016/j.mayocp.2018.02.016. Liu, H. yuh, & P. Lai. 2004. “Managing Process-Centred E-Government In Taiwan: A Customer Relationship Management Approach”. Electronic Government, 1(4), hal. 398–419. https://doi.org/10.1504/ EG.2004.005918. Loges, W. E., & Jung. 2001. “Exploring the Digital Divide: Internet Connectedness And Age”. Communication Research, 28(4), hal. 536–562. https://doi.org/10.1177/009365001028004007. Lytras, M. D. 2006. “The Semantic Electronic Government: Knowledge Management For Citizen Relationship And New Assessment Scenarios”. Electronic Government, 3(1), hal. 5–17. https://doi. org/10.1504/EG.2006.008489.

331

Makridakis, S. 2017. “The Forthcoming Artificial Intelligence (AI) Revolution: Its Impact On Society And Firms”. Futures (Vol. 90, hal. 46–60). Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/j.futures.2017.03.006. Martín-Guerrero, J. D., A. Palomares, E. Balaguer-Ballester, E. SoriaOlivas, J. Gómez-Sanchis, & A. Soriano-Asensi. 2006. “Studying the Feasibility Of A Recommender In A Citizen Web Portal Based On User Modeling And Clustering Algorithms”. Expert Systems with Applications, 30, hal. 299–312. https://doi.org/10.1016/j. eswa.2005.07.025. Mir, S. A., & S. M. K. Quadri. 2009. “Decision Support Systems: Concepts, Progress and Issues – A Review”, dalam Climate Change, Intercropping, Pest Control and Beneficial Microorganisms (hal. 373–399). Springer Netherlands. https://doi.org/10.1007/978-90481-2716-0_13. Nakatani, K. 1980. “A Model of Pattern Recognition by Binary Orthogonal Transformation”. Behaviormetrika, 7(7), hal. 47–59. https://doi. org/10.2333/bhmk.7.7_47. Ng, S.-C., & C.-P. Kwok. 2020. “An Intelligent Traffic Light System Using Object Detection And Evolutionary Algorithm For Alleviating Traffic Congestion In Hong Kong”. International Journal of Computational Intelligence Systems, 13(1), hal. 802–809. https:// doi.org/https://doi.org/10.2991/ijcis.d.200522.001. O r r, N. 2000. “C OINS - E-Govern ment B ecomes R eality”. BT Technology Journal, 18(2), hal. 100–106. https://doi. org/10.1023/A:1026701123127. Panopoulou, E., E. Tambouris, & K. Tarabanis. 2008. “A Framework For Evaluating Web Sites Of Public Authorities”. Aslib Proceedings: New Information Perspectives, 60(5), hal. 517–546. https://doi. org/10.1108/00012530810908229. Power, D. J. 2016. ‘“Big Brother” Can Watch Us”. Journal of Decision Systems, 25, hal. 578–588. https://doi.org/10.1080/12460125.20 16.1187420. Premkumar, G., A. T. Ho, & P. Chakraborty. 2006. “E-Government Evolution: An Evaluation Of Local Online Services”. International Journal

332

of Electronic Business, 4(2), hal. 177. https://doi.org/10.1504/ ijeb.2006.009789. Purbokusumo, Y., W. H. Tsai, R. Sulisdana, H. C. Chen, & Santoso. 2021. “Website Performance: Evaluation In Ngawi District Government Websites”. Electronic Government, 17(1), hal. 105–127. https://doi. org/10.1504/EG.2021.112937. Schalkoff, R. J. 1990. Artificial Intelligence: An Engineering Approach. McGraw-Hill. https://pdfs.semanticscholar. org/384a/21590d209d774c578d8fc351534c063f225b.pdf. Schedler, K., & L. Summermatter. 2007. “Customer Orientation In Electronic Government: Motives And Effects”. Government Information Quarterly, 24(2), hal. 291–311. https://doi.org/10.1016/j. giq.2006.05.005. Siau, K. and Y. Long. 2005. “Synthesizing E-Government Stage Models – A Meta-Synthesis based on Meta-Ethnography Approach”. Industrial Management & Data Systems, Vol. 105, No. 4, 443–458. Smith, A. G. 2001. “Applying Evaluation Criteria To New Zealand Government Websites”. International Journal of Information Management, 21(2), hal. 137–149. https://doi.org/10.1016/S02684012(01)00006-8. Sokoler, T., & M. S. Svensson. 2007. “Embracing Ambiguity In The Design Of Non-Stigmatizing Digital Technology For Social Interaction Among Senior Citizens”. Behaviour and Information Technology, 26(4), hal. 297–307. https://doi.org/10.1080/01449290601173549. Sousa, W. G. de, Melo, Bermejo, Farias, & A. O. Gomes. 2019. “How and Where Is Artificial Intelligence In The Public Sector Going? A Literature Review And Research Agenda”. Government Information Quarterly, 36(4). https://doi.org/10.1016/j.giq.2019.07.004. Sparks, C. 2013. “What is the “Digital Divide” And Why Is It Important?”. Javnost, 20(2), hal. 27–46. https://doi.org/10.1080/13183222.201 3.11009113. Stafylopatis, A., & A. Likas. 1992. “Pictorial Information Retrieval Using The Random Neural Network”. IEEE Transactions on Software Engineering, 18(7), hal. 590–600. https://doi. org/10.1109/32.148477. 333

Summers, R., F. R. Carson, & D. G. Cramp. 1993. “Ventilator Management”. IEEE Engineering in Medicine and Biology Magazine, 12(4), hal. 50–58. https://doi.org/10.1109/51.248167. Teo, T. S. H., S. C. Srivastava, & L. Jiang. 2008. “Trust and Electronic Government Success: An Empirical Study”. Journal of Management Information Systems, 25(3), hal. 99–132. https://doi.org/10.2753/ MIS0742-1222250303. Tonn, B. 2004. “My Empower Net.gov: A Proposal To Enhance Policy E-Participation”. Social Science Computer Review (Vol. 22, Issue 3, hal. 335–346). https://doi.org/10.1177/0894439304265248. van Noordt, C., & G. Misuraca. 2020. “Exploratory Insights on Artificial Intelligence for Government in Europe”. Social Science Computer Review. https://doi.org/10.1177/0894439320980449. Vassilakis, C., G. Lepouras, S. Rouvas, & P. Georgiadis. 2004. “Integrating E-Government Public Transactional Services Into Public Authority Workflows”. Electronic Government, 1(1), hal. 49–60. https://doi. org/10.1504/EG.2004.004136. Wagner, C., Cheung, Ip, & S. Böttcher. 2006. “Building Semantic Webs for E-Government With Wiki Technology”. Electronic Government, 3(1), hal. 36–55. https://doi.org/10.1504/EG.2006.008491. Wei, L., & D. B. Hindman. 2011. “Does the Digital Divide Matter More? Comparing The Effects Of New Media And Old Media Use On The Education-Based Knowledge Gap”. Mass Communication and Society, 14(2), hal. 216–235. https://doi. org/10.1080/15205431003642707. Wescott, C. G. 2005. E-Government And The Applications Of Technology To Government Services. West, D. M. 2005. Digital Government: Technology and Public Sector Performance. West, Darrell M. 2007. Global E-Government, 2007. www.InsidePolitics. org. Wijetunga, D. 2014. “The Digital Divide Objectified In The Design: Use Of The Mobile Telephone By Underprivileged Youth in Sri Lanka”. Journal of Computer-Mediated Communication, 19(3), hal. 712– 726. https://doi.org/10.1111/jcc4.12071. 334

Wirtz, B. W., J. C. Weyerer, & C. Geyer. 2019. “Artificial Intelligence and the Public Sector—Applications and Challenges”. International Journal of Public Administration, 42(7), hal. 596–615. https://doi. org/10.1080/01900692.2018.1498103. Yigitcanlar, T., J. M. Corchado, R. Mehmood, R. Yi, M. Li, K. Mossberger, & K. Desouza. 2021. “Responsible Urban Innovation with Local Government Artificial Intelligence (AI): A Conceptual Framework and Research Agenda”. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 7, hal. 71. https://doi.org/10.3390/ joitmc7010071. Yoon, J., & M. Chae. 2009. “Varying Criticality Of Key Success Factors Of National E-Strategy Along The Status Of Economic Development Of Nations”. Government Information Quarterly, 26(1), hal. 25–34. https://doi.org/10.1016/j.giq.2008.08.006. Yu, L. 2006. “Understanding Information Inequality: Making Sense Of The Literature Of The Information And Digital Divides”. Journal of Librarianship and Information Science, 38(4),hal. 229–252. https:// doi.org/10.1177/0961000606070600.

335

BAB XIV

GENERASI Z DAN REAKTUALISASI KECERDASAN DIGITAL DALAM STUDI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

M. Prayoga Permana

“Bayangkan bila kalian punya playlist, tapi lagu-lagu dalam playlist kalian ditentukan oleh generasi sebelumnya”. Dalam podcast oleh komika Pandji Pragiwaksono dan co-founder Total Politik Indonesia Ari Putra menyitir kalimat mantan Presiden AS Barack Obama (2020). Analogi ini sangat tepat digunakan dalam konteks pengembangan kurikulum Manajemen dan Kebijakan Publik, jika kita terlambat menjawab kebutuhan generasi Z dalam 5 hingga 10 tahun mendatang.

Pendahuluan Kepemimpinan publik masa depan adalah kepemimpinan berorientasi dan berliterasi data dengan kapasitas kecerdasan digital yang mumpuni. Kepemimpinan ini mengandalkan kombinasi antara kecerdasan digital dan emosional. Lingkungan kerja menjadi lebih fleksibel, kolaboratif, egalitarian, lebih ramah lingkungan, dan mampu mengapresiasi pemikiran kritis sebagai implikasi praktis dari generasi yang data-oriented. World Economic Forum (WEF) dalam the Future of Jobs pada tahun 2016 mencatat 65% anak usia sekolah (SD) akan bekerja di jenis pekerjaan yang tidak pernah terbayangkan akan ada sebelumnya sebagai dampak revolusi digital. Keterampilan dan kecerdasan digital menjadi esensial, keduanya tidak lagi merupakan kompetensi aksesoris, melainkan kompetensi inti

337

yang harus dimiliki oleh setiap individu di segala sektor termasuk sektor publik. Kini, revolusi digital mendisrupsi segala aspek sosial-politik, tidak terkecuali ranah kebijakan publik. Dunia menyaksikan kemunculan politisi-politisi muda progresif di barat seperti Alexandra Ocasio-Cortez, Jon Ossoff, Ilhan Omar (Amerika Serikat), Jesse Klaver (Belanda), atau Sana Marin (Finlandia). Politisi generasi baru menyuarakan isu kebijakan publik yang menyentuh generasi Z dan milenial seperti perubahan iklim, ketimpangan, keadilan gender, perumahan hingga jaminan kesehatan (fisik dan mental) menyeluruh dengan pendekatan media sosial yang dikelola dengan apik menyasar segmen demografi tersebut. Mereka lihai memaparkan data yang kompleks dengan visualisasi menarik dan mensintesiskan pesannya dengan kebutuhan riil di masyarakat. Dalam budaya pop digital, isu kebijakan publik juga tidak lagi digarap dengan kemasan yang resmi dan kaku dalam diskusi panel atau seminar. Platform hiburan digital seperti Netflix menampilkan Hasan Minhaj dalam Patriot Act sebagai kritikus ulung kebijakan publik dalam kemasan komedi politik berbasis visualisasi data. Andérs dan Doménech (2020) juga memaparkan, bersamaan dengan pengaruh multifaktor seperti pandemi Covid-19, arus globalisasi, transformasi struktur demografi, dan perubahan iklim, teknologi telah merubah kondisi ekonomi global; tak terkecuali bagi pasar tenaga kerja. Dengan tergerusnya dominasi pekerjaan klerikal, jenis pekerjaan baru makin mensyaratkan kapasitas berpikir secara kritis dan rasional, kreativitas, orisinalitas, kemampuan berartikulasi dan berbahasa, kecerdasan emosional, kepemimpinan sosial, hingga keterampilan berkolaborasi. Refleksi mendalam diperlukan dalam merancang kapasitas keilmuan Manajemen dan Kebijakan Publik agar tetap relevan. Dalam konteks Indonesia, kerja besar diperlukan untuk merespons disrupsi digital, khususnya dalam ranah Manajemen dan Kebijakan Publik. Dalam skala mikro, tak jarang kita menganggap praktIk serah-terima fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik untuk berbagai kebutuhan pelayanan publik sebagai sebuah kelaziman. Dengan semakin tumbuhnya kesadaran mengenai pentingnya real-time data dan data yang terintegrasi dalam pelayanan publik, tentunya publik mempertanyakan praktik-praktik 338

lama tersebut dalam pembicaraan di media sosial Twitter pada awal Maret 2021. Indonesia juga sangat terlambat mengembangkan open data terpadu nasional yang terstandar epidemiologis dalam penanganan Covid-19 sehingga menyulitkan pihak lain untuk berkontribusi menyelesaikan problem pandemi (Agahari, 2020). Sungguh ironis ketika pemerintah yang tak henti-hentinya menyuarakan Revolusi Industri 4.0 dan birokrasi yang luwes merespons VUCA (volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity) dalam berbagai kesempatan, tetapi secara praktik di lapangan kondisinya masih jauh api dari arang. Kondisi ini dipersulit dengan postur demografi birokrasi kita yang sudah terlanjur menua sehingga sulit untuk menjawab kebutuhan zaman. Dari top eksekutif, rerata usia menteri Kabinet Indonesia Maju saat dilantik adalah 57,91 tahun dari yang sebelumnya 52,38 tahun pada kabinet Kerja (Gusman, 2019). Dalam birokrasi, peremajaan menjadi urgen ketika kaum muda menjadi minoritas. Data BKN per Juni 2018 menunjukkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berusia 51–55 tahun mendominasi dengan 21,32%, sedangkan yang berusia 26–30 tahun hanya mencapai 3,47% dari keseluruhan ASN (Juwari, 2019). Lebih dari itu, 40% aparatur kita adalah pegawai administrasi. Dengan komposisi seperti ini tentu akan sulit bagi birokrasi untuk bekerja dengan tangkas mengikuti derasnya perkembangan zaman, khususnya bila ekspektasi publik adalah birokrasi yang memiliki kompetensi dan kecerdasan digital. Padahal sejatinya, tujuan mewujudkan negara yang memiliki kapasitas digital dan melayani (dilan), memiliki satu data dan peta, mampu membentuk kebijakan yang berbasis bukti, dan data (evidence-based policy) merupakan janji pemerintah yang harus diimplementasikan untuk mewujudkan birokrasi yang luwes dan handal (Nugroho, 2020). Tulisan ini merupakan refleksi pentingnya mereaktualisasi kembali studi Manajemen dan Kebijakan Publik dengan keterampilan abad ke-21 (the 21st century skills) seperti kecerdasan digital, khususnya bagi Generasi Z. Tulisan diawali dengan memperkenalkan karakteristik Generasi Z dalam ruang sosial-politik di lingkup global maupun lokal di Indonesia sebagai generasi yang dilahirkan akrab dengan dunia digital atau digital native. Kemudian, elemen-elemen kecerdasan digital akan dijelaskan dalam bingkai aktualisasi praktis keilmuan Manajemen dan Kebijakan Publik. 339

Tulisan ini bermuara pada identifikasi aspek kecerdasan digital yang perlu diintegrasikan dalam pengembangan studi Manajemen dan Kebijakan Publik, khususnya bagi generasi Z untuk merespons kebutuhan di masa mendatang.

Karakteristik Generasi Z dalam Ruang Publik Indonesia pada tahun 2020 didominasi oleh usia produktif yang terdiri dari generasi milenial dan Generasi Z (Gen-Z). Hasil sensus penduduk 2020 menunjukkan Indonesia memiliki generasi milenial dan Gen-Z dengan proporsi masing-masing 27,94% dan 25,87% sehingga kedua generasi tersebut merepresentasi lebih dari 50% populasi (Shalilah, 2021). Gen-Z berbeda dengan generasi sebelumnya (milenial). Mereka lahir setelah generasi milenial dengan cakupan tahun kelahiran antara tahun 1995–2010 (Francis & Hoefel, 2020). Generasi ini dikenal sebagai digital native karena terekspos dengan internet jejaring sosial dan perangkat seluler sejak dini. Mereka adalah generasi yang mengenyam jenjang pendidikan tinggi saat ini. Di negara maju seperti Amerika Serikat, Gen-Z diproyeksikan menjadi generasi paling terdidik (Parker & Igielnik, 2020). Di Indonesia, mereka identik dengan generasi kritis yang vokal turun ke jalan menentang revisi undang-undang KPK hingga Omnibus Law. Berbeda dengan generasi sebelumnya, kita mudah mengingat gaya penyampaian aspirasi politik di ruang publik dengan cara menggelitik dan kerap ditampilkan dalam berbagai platform media sosial. Keakraban mereka dengan internet menghasilkan generasi dengan kemampuan hiper kognisi, yakni ketangkasan dalam mengumpulkan dan mengecek informasi dari berbagai sumber digital dengan mengintegrasikan antara pengalaman nyata dan virtual (Francis & Hoefel, 2020). Di Asia, Gen-Z menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial ketimbang generasi sebelumnya (milenial). Dalam jajaran negara AsiaPasifik, Gen-Z Indonesia menghabiskan 8,5 jam per hari berinteraksi melalui telepon genggam. Jauh di atas rerata Asia-Pasifik yang hanya 6 jam per hari. Namun, generasi ini memiliki kesadaran tinggi untuk menggunakan perangkat digital dalam kaitannya dengan relasi sosial. Mereka menyadari banyak orang menghabiskan waktu dalam media sosial 340

dan percaya interaksi digital ini dapat mengganggu relasi antar manusia dalam dunia nyata (Kim dkk., 2020). Selain berkarakteristik sebagai digital native, generasi ini cenderung memiliki karakteristik lain seperti generasi dengan identitas beragam dengan bentuk kepribadian dalam dunia nyata dan digital untuk mengekspresikan dirinya. Mereka tumbuh sebagai generasi yang penuh kegelisahan (a worried generation) karena trauma terhadap ketidakpastian selama masa pandemi dan efeknya terhadap lapangan kerja maupun pendidikan. Namun, di balik kegelisahan tersebut, Gen-Z identik dengan generasi kreatif yang mengandalkan media sosial untuk kewirausahaan dan penciptaan kreasi baru, baik dalam pengembangan produk maupun jasa. Dalam mengkonsumsi barang, Gen-Z terekspos dengan identitas brand tertentu yang menjual pengalaman ketimbang sekadar produk. Mereka juga generasi pertama yang paling aktif terlibat dalam P2P (peer to peer economy) dan sharing economy secara digital. Relasi ekonomi digital ini memotong perantara intermediary sehingga memungkinkan penjual dan pelanggan berinteraksi secara langsung, melakukan jual beli produk yang sifatnya dirancang secara customized (secara khusus mengikuti preferensi konsumen). Dalam ruang publik, Gen-Z melihat jauh ke depan (generation looking forward). Mereka menyadari kerusakan lingkungan akan mengancam masa depan mereka sehingga isu-isu lingkungan kerap dibicarakan. Selain itu, akses terhadap pendidikan yang merata dianggap menjadi hal krusial yang ikut menentukan masa depan mereka (Gentina, 2020).

Kecerdasan Digital Sebagai Keterampilan Abad ke-21 Dalam kajian the World Economic Forum (WEF) dan Boston Consulting Group (2016), agar dapat beradaptasi dalam derasnya disrupsi dan perkembangan ekonomi digital di abad ke-21 individu perlu menguasai enam literasi dasar (foundational literacy), yakni literasi, numerasi, literasi ilmiah, literasi digital (ICT), literasi finansial, dan literasi budaya/ kemasyarakatan. Kemampuan literasi dasar tadi perlu dapat diaplikasikan dalam kegiatan sehari-hari. Untuk menghadapi tantangan yang lebih kompleks, diperlukan kompetensi untuk berpikir kritis (critical thinking), kreativitas, kemampuan berkomunikasi, dan berkolaborasi. Kemudian 341

untuk menghadapi lingkungan yang selalu berubah, Individu memerlukan karakter rasa ingin tahu (curiosity), memiliki inisiatif, kegigihan (grit), mampu beradaptasi, kepemimpinan, dan memiliki kesadaran sosiokultural yang baik. Tiga aspek tersebut yakni literasi dasar, kompetensi, dan karakter terbentuk dalam proses belajar yang panjang (lifelong learning).

Gambar 14.1. Enam Belas (16) Keterampilan Abad ke-21

Sumber: New Vision for Education: Fostering Social and Emotional Learning Through Education. WEF & Boston Consulting Group, Maret 2016.

Sayangnya, apabila dilihat dari beberapa indikator dalam skor PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018, kemampuan siswa kita di Indonesia dalam mengejar keterampilan abad ke21 masih cukup tertinggal dibandingkan dengan negara lain di Asia. Hal ini disebabkan oleh kemampuan rata-rata siswa di Indonesia masih berada dalam posisi terbawah dalam taksonomi Bloom, yakni dengan kemampuan menghafal. Padahal untuk naik level, siswa harus mampu menunjukkan daya analisis yang kritis (critical thinking), mampu memecahkan masalah (problem solving), hingga melakukan evaluasi (Putri, 2019). Dari sisi literasi digital, Kurnia dan Astuti (2017) juga menemukan di sembilan kota di Indonesia, kegiatan meningkatkan literasi digital masih bersifat sporadis, insidental, dan sukarela tanpa adanya kemitraan yang bersifat jangka

342

panjang. Pada Februari 2021, Microsoft menunjukkan tren kemunduran keberadaban digital (digital civility) di Indonesia. Index keberadaban digital Indonesia menapaki titik terendahnya sejak tahun 2016, sekaligus menjadi yang terburuk di kawasan Asia Tenggara. Hal ini menunjukkan perilaku berselancar warga Indonesia di dunia maya masih erat dengan risiko tindakan diskriminatif, bullying, penyebarluasan berita bohong, hingga penipuan. Sesaat setelah index tersebut dirilis, akun Microsoft diserbu oleh warganet asal Indonesia. Kejadian ini menjadi sebuah momen yang justru menjustifikasi hasil studi Microsoft. Kondisi ini cukup memprihatinkan mengingat kecerdasan digital (digital intelligence) memerlukan kemampuan yang lebih dari sekadar menghafal. Siswa diharapkan tidak hanya memiliki kemampuan kognisi dasar, tetapi mereka dituntut untuk memiliki kreativitas dalam merealisasikan ide menjadi kenyataan sembari membangun kecerdasan emosional. Digital Intelligence adalah serangkaian kompetensi teknis, kognitif, metakognitif, dan kecerdasan sosio-kultural yang mendasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Dengan kecerdasan digital, individu diharapkan menjadi bijak, kompeten, dan siap menghadapi masa depan (future ready) sebagai warga dunia digital yang mampu menggunakan, mengontrol, dan mengkreasikan teknologi untuk tujuantujuan kemanusiaan (DQ, 2019). Digital Intelligence (DQ) memiliki 8 area kehidupan digital (lihat Tabel 14.1)

343

Tabel 14.1. Delapan (8) Area dalam Kecerdasan Digital (DQ) No

Area Kecerdasan Digital (DQ)

Penjelasan

1

Identitas digital

Kemampuan membentuk identitas diri yang sehat baik dalam dunia maya maupun dunia nyata

2

Penggunaan tools digital

Kemampuan menggunakan teknologi dengan seimbang, sehat, dan bijak

3

Keamanan digital

Kemampuan untuk memahami, mencegah, dan mengelola segala ancaman siber melalui pemanfaatan teknologi yang etis dan bertanggung jawab

4

Keamanan data dan perangkat digital

Kemampuan untuk mendeteksi, mencegah berbagai ancaman siber untuk melindungi data, perangkat, jaringan, dan sistem

5

Kecerdasan emosional digital

Kemampuan untuk mengenal, menavigasi, dan mengekspresikan diri secara bijak dan sehat dalam interaksi digital

6

Komunikasi digital

Kemampuan untuk berkolaborasi dengan menggunakan teknologi

7

Literasi digital

Kemampuan untuk mencari informasi, membaca, mensintesiskan, mengadaptasi dan berbagi informasi dalam media maupun teknologi

8

Hak-hak digital

Kemampuan untuk memahami hak-hak asasi manusia dan hak di depan hukum saat menggunakan teknologi.

Sumber: DQ Global Standards Report 2019: Common Framework for Digital Literacy, Skills and Readiness. DQ Institute, 2019.

Reaktualisasi Kecerdasan Digital dalam Manajemen & Kebijakan Publik Frankiewicz & Chamorro-Premuzic (2020) dalam Harvard Business Review berargumen bahwa transformasi digital bukan tentang teknologi, tetapi lebih kepada sumber daya manusianya. Bila kita membayangkan aplikasi Manajemen dan Kebijakan Publik ke depan dan relasinya dengan kecerdasan digital, sulit dibayangkan bahwa ini menyangkut hal-hal sesederhana keterampilan menggunakan teknologi, penerapan e-government, dan pengadaan alat-alat berbasis teknologi informasi dalam 344

institusi pemerintahan. Kecerdasan digital merupakan pola pikir atau mindset yang dibangun dalam diri manajer atau pimpinan institusi publik, politisi, maupun individu yang bekerja untuk menjalankan fungsi-fungsi nilai kepublikan. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan generasi Z dan kedekatan generasi ini dengan kultur digital, maka agenda ke depan adalah mendorong bertumbuhnya kepemimpinan publik yang berorientasi data dengan kompetensi karakter dan kecerdasan emosional yang mumpuni. Sejak akhir 2010, praktik kebijakan publik telah bergeser dari aplikasi evidence-based policy atau kebijakan publik berbasis bukti menjadi datadriven policy. Prof. van Den Berg (2020) dari University of Groningen dalam paparannya di European Commission pernah menyampaikan bahwa pergeseran ini mengakibatkan banyak perubahan signifikan dalam proses formulasi kebijakan. Perencanaan kebijakan untuk masa depan akan berganti paradigma menjadi real-time policy adaptation. Dengan data yang lebih akurat, skalabilitas kebijakan publik tidak harus berskala nasional, tetapi dapat disinkronisasikan dalam level supranasional (seperti dalam praktek di Uni Eropa atau mengharmonisasi kebijakan di level ASEAN). Perbedaan antara aktor publik dan private dalam penyelenggaraan layanan publik akan semakin menyempit. Kedua aktor dapat mengakses pusat data bersama yang disebut hybrid data center. Kebijakan publik pada akhirnya tidak hanya menjadi domain politisi, tetapi menjadi kerja bersama antara pakar substantif, pakar data sains, dan pakar politik maupun hukum (van Den Berg, 2020). Sementara itu, menurut Alan Turing Institute (2020), programprogram kebijakan di masa kini memiliki beberapa tantangan utama. Pertama, penggunaan data sains dan artificial intelligence (AI) sebagai basis formulasi kebijakan. Dengan dua basis tersebut, pembuat kebijakan memiliki dasar argumentasi berbasis data (data driven policy) yang mampu menjelaskan kejadian di masa lampau dan pola di masa depan untuk kemudian menghasilkan intervensi kebijakan yang lebih efektif. Kedua, dengan data dan AI kualitas layanan publik dapat ditingkatkan dengan alokasi sumber daya yang lebih adil dan transparan. Desain layanan publik juga dapat dibuat menyesuaikan kebutuhan target layanan (personalized public service). Ketiga, membangun fondasi etika penggunaan sains data

345

dan AI dalam formulasi kebijakan publik. Hal ini mencakup proses dalam memastikan manfaat dan memitigasi risiko penggunaan teknologi. Mereaktualisasi kebutuhan di atas bagi bibit-bibit manajer dan perumus kebijakan publik generasi Z tidaklah mudah. Artikel ini terlalu singkat untuk menjabarkannya. Namun, beberapa tantangan ke depan sudah terpampang jelas mulai dari data-driven policy making atau pengambilan kebijakan berdasarkan data yang real-time, pemanfaatan dan pengintegrasian data real-time untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, hingga kepemimpinan yang tangkas dan mampu menavigasi kolaborasi digital tanpa ruang kerja fisik. Kebutuhan yang paling mendasar dalam mereaktualisasi kecerdasan digital bagi generasi ini adalah dengan membuka seluas-luasnya peluang untuk berpikir kritis dimulai sejak jenjang pendidikan. Kurikulum manajemen dan kebijakan publik harus bergerak cepat dari sekadar urgensi untuk menghafal, memahami teori menjadi urgensi untuk merelevansikan dan mengkritisi. Mempertanyakan tradisi hingga grand theory, perlu diterima menjadi sebuah kelaziman. Memerdekakan ruang pemikiran satu generasi ini penting karena mereka adalah generasi yang bergumul dengan data. Data harus dapat diverifikasi, data harus dapat dikritisi, dan data harus dapat didiskusikan dengan rasionalitas dan logika yang terstruktur. Kultur kerja bagi generasi ini perlu dibangun secara non-hierarkis karena struktur yang kaku dan hierarki yang ketat hanya akan memberangus proses diskusi yang seimbang. Kecerdasan digital bagi para pemimpin masa depan dimulai dari membangun pikiran yang bebas dan adil dalam ruang dialektika yang berkualitas, bukan dengan ambisi membangun versi lain Silicon Valley.

346

Daftar Pustaka Agahari, 2020. “Korban Covid-19 di Indonesia Makin Banyak: Kenapa Tak Ada Open Data Terpadu Nasional Untuk Memudahkan Pemantauan?”. The Conversation, 20 Maret 2020. Diakses melalui https://theconversation.com/korban-covid-19-di-indonesiamakin-banyak-kenapa-tak-ada-open-data-terpadu-nasional-untukmudahkan-pemantauan-134145. Andérs, A. & R. Doménech. 2020. “Public Policies in the Age of Digital Disruption”. MIT Technology Review, 19 Mei 2020. Diakses melalui https://www.technologyreview.com/2020/05/19/1001745/publicpolicies-in-the-age-of-digital-disruption/. Anonim. 2020. “The Future of Jobs: Employment, Skills, and Workforce Strategy for the Fourth Industrial Revolution”. World Economic Forum (WEF) Global Challenge Insight Report, Januari 2016. Diakses melalui http://www3.weforum.org/docs/WEF_Future_of_ Jobs.pdfhttp://www3.weforum.org/docs/WEF_Future_of_Jobs.pdf. Anonim. 2019. “DQ Global Standards Report 2019: Common Framework for Digital Literacy, Skills and Readiness”. DQ Institute, 2019. Diakses melalui https://www.dqinstitute.org/wp-content/uploads/2019/11/ DQGlobalStandardsReport2019.pdf. Anonim. 2016. “New Vision for Education: Fostering Social and Emotional Learning through Education”. WEF & Boston Consulting Group, March 2016. Diakses melalui http://www3.weforum.org/docs/ WEF_New_Vision_for_Education.pdf. Anonim. 2020. “Public Policy: Working with Policy Makers on Data Driven Public Services and Innovation”. Diakses melalui https://www. turing.ac.uk/research/research-programmes/public-policy. Francis, T. & F. Hoefel. 2018. “‘True Gen’: Generation Z and Its Implications for Companies”. McKinsey & Company, 12 November 2018. Diakses melalui https://www.mckinsey.com/industries/consumerpackaged-goods/our-insights/true-gen-generation-z-and-itsimplications-for-companies. Frankiewicz, B & T. Chamorro-Premuzic. 2020. “Digital Transformation is About Talent, Not Technology”. Harvard Business Review,

347

6 Mei 2020. Diakses melalui https://hbr.org/2020/05/digitaltransformation-is-about-talent-not-technology. Gentina, E. 2020. “Generation Z in Asia: A Research Agenda”, dalam E. Gentina & E. Parry. 2020. “The New Generation Z in Asia: Dynamics, Differences, Digitalization”. Emerald Group Publishing. Gusman. H. 2019. “Kabinet Indonesia Maju: Ketika Menteri-Menteri Jokowi Semakin Tua”. Tirto.id, 24 Oktober 2019. Diakses melalui https:// tirto.id/kabinet-indonesia-maju-ketika-menteri-menteri-jokowisemakin-tua-ekhg. Juwari. A. 2019. “Meremajakan Wajah Birokrasi Kita”. Detik.com, 27 Februari 2019 diakses melalui https://news.detik.com/ kolom/d-4445935/meremajakan-wajah-birokrasi-kitahttps://news. detik.com/kolom/d-4445935/meremajakan-wajah-birokrasi-kita. Kim. A. dkk. 2020. “What Makes Asia Pacific’s Generation-Z Different?”. McKinsey & Company, 29 Juni 2020. Diakses melalui https:// www.mckinsey.com/business-functions/marketing-and-sales/ourinsights/what-makes-asia-pacifics-generation-z-different. Kurnia, N & .Astuti. 2017. “Researchers Find Indonesia Needs More Digital Literacy Education”. The Conversation, 25 September 2017. Diakses melalui https://theconversation.com/researchersfind-indonesia-needs-more-digital-literacy-education-84570. Mazrieva, E. 2021. “Indeks Keberadaban Digital: Indonesia Terburuk seAsia Tenggara”. VOA Indonesia, 26 Februari 2021 diakses melalui https://www.voaindonesia.com/a/indeks-keberadaban-digitalindonesia-terburuk-se-asia-tenggara/5794123.html. Parker, K & R. Igielnik. 2020. “On the Cusp of Adulthood and Facing an Uncertain Future: What we know about Gen-Z So Far?”. Pew Research Center, 14 Mei 2020. Diakses melalui https:// www.pewresearch.org/social-trends/2020/05/14/on-the-cusp-ofadulthood-and-facing-an-uncertain-future-what-we-know-aboutgen-z-so-far-2/. Putri, A. W. 2019. “Alasan Mengapa Kualitas PISA Siswa Indonesia Buruk”. Tirto.id, 12 Desember 2019. Diakses melalui https://tirto.id/alasanmengapa-kualitas-pisa-siswa-indonesia-buruk-enfy.

348

Shalilah, N. F. 2021. “Indonesia Didominasi Generasi Milenial dan Gen-Z. Apa Plus-Minusnya?”. Kompas.com, 23 Januari 2021. Diakses melalui https://www.kompas.com/tren/read/2021/01/23/163200065/ indonesia-didominasi-generasi-milenial-dan-generasi-z-apa-plusminusnya-?page=all. Nugroho, 2020. “Meremajakan Birokrasi Kita”. Kompas, 17 Januari 2020. Diakses melalui https://www.kompas.id/baca/opini/2020/01/17/ meremajakan-birokrasi-kita/. van den Berg, Gerard J. (2020). Policy discontinuity and duration outcomes. Journal of the Econometric Society, 11(3), 871-916. DOI: 10.3982/ QE639.

349

PENUTUP

BAB XV

MENJAGA RELEVANSI ILMU MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA

Wahyudi Kumorotomo

Dari segi kesejarahan, Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) diuntungkan karena merupakan institusi pendidikan yang paling awal merintis pengembangan ilmu public administration di Indonesia, yang pada tahun 1949 bernama Jurusan Usaha Negara di bawah Fakultas HESP (Hukum, Ekonomi dan Sosial Politik) Universitas Gadjah Mada. Akan tetapi, situasi yang sekarang dihadapi sudah sangat berubah dan perubahan yang akan terus terjadi tampaknya akan lebih cepat dan terkadang sulit diperkirakan. “The future is faster than you think”, demikian kata Diamandis (2020) untuk menggambarkan begitu cepatnya perubahan yang terjadi karena penggunaan teknologi maupun kompleksitas kebutuhan manusia. Tentunya, institusi perguruan tinggi harus mampu mengantisipasi perubahan tersebut dan mengembangkan pemikiran yang memang relevan dengan sistem sosial dan gambaran organisasi publik di masa mendatang. Pada bagian pendahuluan, telah dijelaskan bahwa untuk menjamin bahwa ilmu MKP masih tetap relevan dan sesuai dengan konteks di Indonesia di masa mendatang, diperlukan keberanian untuk menantang kecenderungan homogenisasi keilmuan, baik secara ontologi, epistemologi, metodologi, maupun aksiologi. Setidaknya, para pengajar dari Departemen MKP telah mencoba untuk terus mengikuti perkembangan ontologi public administration dengan melengkapi pengetahuan di bidang urusan publik 353

(public affairs), menjelajah lingkup tata-kelola pemerintahan melalui khazanah governance, serta menambah muatan pengalaman kontekstual dengan karakter keaslian lokal (indigeneity) dari sistem yang berkembang di Indonesia. Respons terhadap kecenderungan homogenisasi keilmuan juga ditunjukkan dengan keberanian untuk mengubah nama menjadi Departemen MKP pada tahun 2012. Upaya untuk mewadahi berbagai macam pembaruan dan gagasan baru ke dalam nama Manajemen dan Kebijakan Publik pada awalnya penuh dengan tantangan dan skeptisisme dari banyak kolega, bukan hanya dari perguruan tinggi lain, tetapi juga dari para sejawat, mahasiswa, alumni, dan para pengguna lulusan MKP. Namun, dengan kerja keras dan komitmen yang sangat kuat dari para dosen di Departemen MKP serta upaya berkelanjutan untuk menjaga kualitas sistem pengajaran melalui keikutsertaan dalam program akreditasi nasional maupuan internasional, pada akhirnya nomenklatur MKP dapat diterima oleh publik di Indonesia. Tantangan yang masih harus dihadapi adalah menjaga agar ilmu dan bekal pengetahuan maupun keterampilan yang ditawarkan oleh Departemen MKP akan tetap terus relevan di Indonesia dan dikenal secara internasional. Komitmen dari para dosen dan staff pengajar di Departemen MKP untuk memastikan bahwa wacana keilmuan tetap relevan dan terus dikomunikasikan dengan para sejawat yang menekuni bidang ilmu yang sama juga diwujudkan dengan tetap berperan aktif dalam asosiasi keilmuan, yang di Indonesia terdapat dalam wadah IAPA (Indonesian Association for Public Administration). Selain ikut membidani lahirnya asosiasi keilmuan ini pada tahun 2010, para dosen MKP juga senantiasa aktif dalam kepengurusan dan kegiatan pengembangan ilmu dalam IAPA. Bahkan, pada masa pandemi di sepanjang tahun 2020, kegiatan seminar, lokakarya, penerbitan, dan komunikasi ilmiah yang sebagian besar dilaksanakan secara online tetap diikuti oleh para dosen MKP secara aktif. Para mahasiswa yang mengikuti kegiatan pengajaran di Departemen MKP tetap penting untuk memahami awal perkembangan ilmu yang dimulai dari pemikiran Woodrow Wilson (1887) dalam tulisan yang berjudul “The Study of Administration”. Namun demikian, sangat penting bagi para mahasiswa untuk memahami perubahan paradigma hingga 354

tantangan paradigma terkini yang sedang bersama-sama kita hadapi pada era digital sekarang ini. Pemikiran awal Wilson mempengaruhi perkembangan literatur pada awal tahun 1900-an yang menjadi pionir dari administrative science di Amerika Serikat, Eropa dan banyak negara maju lainnya. Selanjutnya, pada tahun 1980-an muncul gelombang perubahan paradigma yang mempertanyakan relevansi fokus dan lokus kajian administrasi negara di tengah adanya perubahan kehendak dan kebutuhan publik. Cara kerja birokrasi dibuat layaknya mesin yang kaku dengan prosedur yang ketat seperti diungkapkan dalam paradigma administrative science dinilai tidak selaras lagi dengan apa yang dibutuhkan publik. Lalu, seperti telah disinggung di awal, gelombang perubahan paradigma ketiga muncul dengan melalui konsep New Public Management dan New Public Service pada awal tahun 2000-an. Ketika pada tahun 1990-an muncul paradigma New Public Management dan selanjutnya pada tahun 2000-an digantikan oleh paradigma New Public Service, mungkin telah berkembang asumsi bahwa banyak hal yang telah berubah dari ilmu administrasi negara untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tuntutan masyarakat tentang kualitas layanan publik yang efisien, efektif, responsif dan akuntabel, segala macam indikator untuk mengukur kualitas layanan publik yang sempurna. Di Jurusan Administrasi Negara, perubahan paradigma itu yang juga ikut mengubah perubahan nama ke Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) pada tahun 2012. Di bagian Pendahuluan juga telah dijelaskan bahwa arah perubahan yang akan mewarnai perkembangan ilmu MKP di masa mendatang mensyaratkan adanya pluralisme ontologis, variasi epistemologis serta keberanian untuk melakukan terobosan di bidang metodologis dan menjamin relevansi di bidang aksiologi. Secara metodologis, misalnya, penggunaan metodologi dalam penelitian MKP menuntut kelengkapan metodologi yang didasarkan pada interpretisme, rasionalisme, empirisme, positivisme, post-positivisme, dan post-modernisme atau teori kritis (Riccucci, 2010). Kelengkapan ini tentu menuntut para dosen dan mahasiswa MKP untuk berani menjelajahi metode-metode yang lebih relevan dan lebih mampu menjelaskan fenomena di bidang public administration secara tepat. Masalah yang harus dihadapi oleh pemerintah pada abad ke-21 ini semakin kompleks dengan aktor yang semakin beragam sehingga 355

mendorong terjadinya berbagai perubahan, termasuk dalam perkembangan paradigma ilmu administrasi negara ke manajemen dan kebijakan publik. Paradigma ilmu tidaklah statis dan stagnan sebagaimana yang banyak orang bayangkan, tetapi terus bergerak karena didorong oleh berbagai realitas sosial yang terus berkembang. Saat ini, perkembangan untuk memenuhi kebutuhan publik tidak lagi dapat ditopang dengan model administrasi negara lama, yang proses pengambilan keputusannya bersifat top-down, hierarkis, dan kaku sehingga muncul desakan dari bawah untuk menyusun ulang cara pemerintah memenuhi kebutuhan publik. Dengan demikian, tantangan relevansi yang harus dijawab oleh para ilmuwan MKP adalah bagaimana memastikan agar kontribusi para ilmuwan untuk mendorong tersedianya sumberdaya manusia di sektor publik yang tidak menghambat bagi kemajuan dan terobosan kebijakan, tetapi menjadi bagian dari upaya memecahkan masalah bangsa yang semakin kompleks. Tantangan besar yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana memanfaatkan bonus demografi yang sekarang sedang terjadi hingga kira-kira tahun 2030. Pada periode bonus demografi ini, terjadi perubahan struktur umum penduduk yang ditandai oleh peningkatan proporsi penduduk usia kerja/produktif (15–64 tahun) yang mengurangi beban ekonomi penduduk lansia, sehingga terbuka peluang bagi perbaikan kondisi sosial-ekonomi suatu negara (Pace dan Ham-Chande, 2016; NavaBolaños dan Ham-Chande, 2016; Hayes & Setyonaluri, 2015). Karena penduduk usia kerja produktif lebih dominan, maka rasio ketergantungan berkurang secara signifikan yang memberi peluang untuk menggerakkan kegiatan ekonomi yang memberikan suplus pendapatan. Namun, pengalaman memanfaatkan bonus demografi itu ternyata berbeda-beda. Negara-negara di Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan berhasil memanfaatkannya tingkat pendapatan mereka melejit sehingga statusnya melompat menjadi negara maju. Akan tetapi, di beberapa negara di Afrika seperti Nigeria dan Afrika Selatan, dan di kawasan Amerika Latin seperti Brazil dan Argentina, bonus demografi ternyata justru menjadi beban tersendiri. Asumsi tentang pemanfaatan SDM pada masa bonus demografi tersebut sebagian besar terbukti di negara-negara yang sekarang sudah maju, tetapi menjadi pertanyaan besar untuk sebagian negara berkembang (Mason, 2006) karena kemampuan 356

memenuhi syarat-syarat yang diperlukan berbeda antara satu dengan lain negara. Dengan demikian, bonus demografi dapat diibaratkan padang bermata dua; ia memberikan efek ‘tonik’ atau menguntungkan jika tersedia iklim atau ekosistem yang mendukung, tetapi ia juga dapat menjadi ‘toksik’ bagi suatu negara jika ke dalam masalah ekonomi, sosial, dan politik yang kompleks (Damanik, 2021). Sementara itu, dalam era digital saat ini kita menyaksikan bahwa kebutuhan untuk berubah itu masih dan akan terus terjadi. Kebutuhan untuk berubah itu menjadi sebuah keniscayaan, dan bahkan harus dilakukan dengan cara lebih cepat dan lebih lincah. Di tengah era digital saat ini, masifnya tuntutan masyarakat untuk memperoleh layanan yang responsif dengan kualitas tinggi juga disertai dengan kepedulian terhadap berbagai masalah global yang semakin meningkat. Isu-isu terhadap lingkungan hidup seperti yang sering terungkap dalam keprihatinan mengenai perubahan iklim, misalnya sudah pasti akan turut mendorong perubahan paradigma keilmuan MKP. Upaya untuk memasukan konteks digital dan disrupsi teknologi sebagai mekanisme pemenuhan kebutuhan publik dan hadirnya aktor nonmanusia, yaitu lingkungan hidup, yang turut memiliki suara agar diakomodasi dalam setiap rumusan kebijakan publik dengan pelaksanaan sistem manajemen yang benar-benar tepat. Dalam jangka panjang, disrupsi teknologi tidak otomatis menciptakan pengangguran besar-besaran (Sima dkk., 2020), tetapi karakter jenis pekerjaan yang dihasilkan terbukti berbeda sama sekali dan menciptakan pasar kerja yang terdisrupsi pula. Digitalisasi yang menciptakan transaksi bisnis secara virtual menurunkan fungsi pasar, mulai dari pasar tradisional hingga mal. Sebagai contoh, bisnis retail yang selama ini banyak mempekerjakan karyawan berpendidikan menengah akan dipaksa untuk mengubah sistem penjualan secara online yang dengan sendirinya harus mengurangi jumlah pekerja secara besar-besaran. Di sisi lain, digitalisasi ekonomi juga membuka peluang bagi orang-orang yang berkreativitas tinggi dan mampu beradaptasi dengan lingkungan yang mengandalkan economic platform, yang bahkan membentuk diri sebagai kelompok wirausahawan baru. Di Indonesia, fenomena ini dapat disaksikan pada kehadiran start-up business yang banyak dimotori oleh penduduk usia produktif. 357

Kemampuan untuk bersaing dalam era digital dan disrupsi teknolgi adalah kombinasi antara kecerdasan yang meningkat dan teknologi informasi baru dengan informasi itu sendiri dan inovasi. Ketrampilan baru ini ditandai oleh kapasitas orang dalam mengorganisasi diri secara menonjol, bekerja secara tim bukan individual, berkomunikasi secara kritis dan efektif. Pengetahuan atas suatu pekerjaan tidak diukur sekadar kemampuan melakukan pekerjaan tersebut dengan apa adanya, tetapi bergerak cepat ke arah kapasitas mengevaluasi dan mencari celah inovasi. Jelas, kecerdasan intelektual dan kreativitas memainkan peran penting dalam hal ini. Untuk itu, kemampuan para ilmuwan manajemen dan kebijakan publik untuk merumuskan teori-teori baru dengan konteks yang sama-sekali berbeda ini akan sangat menentukan relevansi MKP. Era electronic governance bukan saja sudah dimulai, tetapi sudah menjadi penentu bagi relevansi keilmuan dan hidup matinya disiplin ilmu kebijakan publik dan manajemen publik di banyak negara, tidak terkecuali di Indonesia. Manajemen dan kebijakan publik dalam era digital dan dan kesadaran baru tentang upaya untuk melestarikan lingkungan secara global adalah tantangan paradigmatis nyata yang harus dijawab oleh para pakar dan pada saat sama diakomodasi di dalam pembentukan kurikulum Departemen MKP Fisipol UGM. Prinsip tata kelola pemerintahan dengan pemanfaatan teknologi, keamanan data publik, hingga partisipasi publik dengan teknologi digital bukan lagi menjadi wacana, tetapi sudah menjadi tuntutan bagi kompetensi para mahasiswa yang akan bekerja di sektor publik. Pada saat yang sama, isu-isu yang membutuhkan kerjasama global seperti isu bencana iklim, global supply-chain, serta perubahan geopolitik internasional juga harus dipertimbangkan dalam mengembangkan kurikulum yang tepat. Inilah antara lain hal-hal fundamental yang akan dipertimbangkan bagi wacana pengembangan ilmu MKP seperti telah diuraikan oleh para penulis. Selanjutnya, para kolega dan para mahasiswa juga diharapkan dapat mencermati sistem pengajaran yang dikembangkan seperti diuraikan di dalam kurikulum Departemen MKP.

Daftar Pustaka Damanik, J. 2021. “Masalah Sosial Indonesia Setelah Bonus Demografi”, dalam Anonim. Tantangan Indonesia Maju. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Dewan Guru Besar UGM. Diamandis, P.H. & S. Kotler. 2014. Abundance: The Future is better than You Think. New York: Free Press. Diamandis, Peter H. (2020, September 9). The Future Is Faster Than You Think. Youtube. 10 Mei 2021. Retrieved from https://www.youtube. com/watch?v=72T3h_BlhOo. Hayes, A., dan D. Setyonaluri. 2015. Taking Advantage of the Demographic Dividend in Indonesia: A Brief Introduction to Theory and Practice. Jakarta: UNFPA. Little, D. 2020. A New Social Ontology of Government: Consent, Coordination, and Authority. Switzerland: Palgrave Pivot Macmillan. Mason, A. 2006. “Demographic Transition and Demographic Dividends in Developed and Developing Countries”. Department of Economics, University of Hawaii at Manoa and Population and Health Studies, East-West Center. https://www.un.org/ Nava-Bolaños, I., dan R. Ham-Chande. 2016. “Demographic Dividends and Households Saving in Mexico”, dalam R. Pace dan R. Ham-Chande (eds.). Demographic Dividends: Emerging Challenges and Policy Implications. Switzerland: Springer International Publishing, hlm. 45–60. Ongaro, E. 2019. “The Teaching of Philosophy in Public Administration Programme”. Teaching Public Administration, 37(2), hal. 135–146. Pace, R., dan R. Ham-Chande. 2016. “Introduction”, dalam R. Pace dan R. Ham-Chande (eds.). Demographic Dividends: Emerging Challenges and Policy Implications. Switzerland: Springer International Publishing. Riccucci, N. M. 2010. Public Administration: Traditions of Inquiry and Philosophies of Knowledge. Washington DC: Georgetown University Press.

359

Sima, V., Gheorghe, J. Subic, dan D. Nancu. 2020. “Influences of the Industry 4.0 Revolution on the Human Capital Development and Consumer Behavior: A Systematic Review”. Sustainability, 12, 4035; doi:10.3390/su12104035.

360

DAFTAR ISTILAH

Agile Government

:

Aksiologi

:

Analisis big data

:

Analisis regresi berganda Artificial intelligence

:

Big data

:

Bonus demografi

:

Collaborative governance

:

:

Computer-Assisted : Test

Kemampuan pemerintah untuk merespons secara cepat perubahan yang tak terduga dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia dalam tataran praktik. Analisis menggunakan konten dari media sosial yang dipilih sesuai dengan pertanyaan penelitian. Model regresi atau prediksi yang melibatkan lebih dari satu variabel bebas atau prediktor. Kecerdasan buatan yang dibenamkan ke dalam komputer atau robot untuk dapat melakukan tugas-tugas yang dilakukan oleh manusia. Karakteristik data yang bersifat besar, beragam, dan dinamis. Fenomena ketika jumlah masyarakat usia produktif lebih banyak daripada nonproduktif. Penyelenggaraan pemerintahan yang kolaboratif dengan melibatkan secara langsung pemangku kepentingan non-negara di dalam proses pembuatan ataupun implementasi kebijakan. Metode seleksi dengan alat bantu komputer yang digunakan untuk mendapatkan standar minimal kompetensi dasar yang digunakan dalam seleksi CPNS.

361

Datafication

:

Demokrasi deliberatif

:

Digital divide

:

Diskresi

:

Electronic government

:

Epistemologi Era disrupsi

: :

Evidence-based policy Generasi X (baby bust)

:

Generasi Z (milenial)

: Generasi yang lahir sekitar tahun 1997 hingga tahun 2000-an.

Good governance

: Tata kelola pemerintahan yang profesionalisme, akutabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hokum, dan dapat diterima oleh selurruh masyarakat (PP No.101/2000). : Urutan tingkatan atau jenjang jabatan (pangkat kedudukan).

Hierarki

362

:

Data fisik yang dapat dikonversi ke dalam format digital, data tersebut kemudian dapat diorganisir menjadi dataset yang terstruktur. Model demokrasi yang legitimitasi hukumnya diperoleh dari diskursus yang terjadi dalam dinamika masyarakat sipil. Ketidakmampuan untuk mengakses teknologi informasi dan komunikasi. Kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi. Sistem pemerintahan berbasis digital dengan memanfaatkan teknologi, informasi, dan komunikasi. Dasar-dasar dan batas-batas keilmuan. Sebuah era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran yang secara fundamental yang mengubah semua sistem, tatanan, dan landscape yang ada ke cara-cara baru. Proses pengambilan Kebijakan berbasis bukti/ fakta. Generasi yang lahir sekitar tahun 1965 hingga tahun 1980.

Hyper-performing management

:

Sistem manajemen yang mengutamakan kinerja sangat tinggi.

: Elemen-elemen regulatif, normatif, dan kognitif-kultural yang menyediakan stabilitas dan makna tentang kehidupan sosial. : Pendekatan dengan berbagai sudut pandang Interdisiplin ilmu untuk pemecahan suatu masalah secara terpadu. : Kemampuan seseorang untuk menerima, Kecerdasan emosional menilai, mengelola, serta mengendalikan emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. : Kondisi yang terjadi saat ini/dewasa ini. Kontemporer : Pertentangan antara dua hal yang sangat Kontradiktif berlawanan atau bertentangan. : Keterangan Legitimasi yang mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang keterangan adalah betul-betul orang yang dimaksud. : Aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang Liberalisme menghendaki demokrasi dan kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga (pemerintah tidak boleh turut campur). Manajemen konflik : Seni untuk mengelola sebuah konflik yang terjadi agar menjadi bermanfaat bagi peningkatan dan prestasi individu/ kelompok/ organisasi yang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan eksternal dan internal. : Manajemen ASN yang berdasarkan pada Merit systems kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, yang diberlakukan secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi. : Pendekatan anggaran yang lebih fokus pada Money follows program atau kegiatan yang terkait langsung function dengan prioritas nasional serta memberikan dampak langsung bagi masyarakat. Institusi

363

: Berpegang teguh pada norma; menurut norma atau kaidah yang berlaku : Pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa Oligarki orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu : Filosifi terkait hakikat keilmuan, realitas dari Ontologi sebuah bidang keilmuan. : Wabah penyakit yang terjadi secara global di Pandemi seluruh dunia. : Pendekatan Ilmu yang mencakup teori ekonomi, ekonometrika matematika, dan statistika dalam satu kesatuan sistem yang bulat, menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri dan berlainan dengan ilmu ekonomi; matematika; maupun statistika. : Kolaborasi yang dilakukan oleh pemerintah, Penta-helix perusahaan, masyarakat, perguruan tinggi, media untuk mencapai tujuan tertentu : Keadaan Pluralisme masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya). Political marketing : Serangkaian aktivitas terencana, strategis dan taktis dalam menyebarkan makna politik kepada pemilih untuk mensukseskan kandidat atau partai politik : Paham yang mengakui dan menjunjung tinggi Populisme hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil : Sesuatu yang seolah-olah benar, tetapi pada Post-truth kenyataannya sering tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya : Kesukaan berlebihan dengan suku dan Primordial bangsanya sendiri Normatif

364

Public value

Public-Private Partnership Reinventing government

Restrukturisasi Revitalisasi Social Network Analysis Talent Pool

Teknokrat

Triple-helix

Values for money

: Nilai yang diupayakan (public value creation) oleh pemerintah melalui pelayanan publik, regulasi, dan aktivitas lainnya. Nilai-nilai tersebut untuk kebaikan bersama, yang menguntungkan semua pihak. : Kerjasama antara pemerintah dengan swasta yang akan menghasilkan penyediaan infrastruktur publik : Suatu konsep di mana pemerintahan dapat diwirausahakan sehingga dapat memenuhi kebutuhan birokrasi yang resposif, inovatif, professional, entrepreneur, dan berorientasi kepada masyarakat. : Penataan kembali supaya struktur atau tatanannya baik : Proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali : Proses pemetaan, pengukuran, dan mempelajari pola interaksi pada manusia yang tidak terlihat secara eksplisit dengan menggunakan aplikasi. : Sekumpulan kandidat yang dikelompokkan sebagai kelompok kandidat yang berkualitas dan bertalenta. : Orang yang tidak pernah terafiliasi ke partai politik dan memiliki kepakaran yang relevan dengan peran tertentu yang dipegangnya di pemerintahan : Kolaborasi yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu : Konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang mendasarkan pada tiga elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas

365

Whistleblowing

366

: Pengungkapan perbuatan atau tindakan yang melanggar dan melawan hukum. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia (Confidential).

BIODATA SINGKAT PENULIS

AGUS PRAMUSINTO. Guru Besar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISPOL UGM. Lulus program Doktor di Australian National University. Minat studi pada isu pemerintahan daerah, desentralisasi, dan reformasi sektor publik. Menjabat sebagai Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara. E-mail: [email protected]. AMBAR WIDANINGRUM. Pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISPOL UGM. Menyelesaikan studi program Master jurusan Health Social science di Mahidol University, Thailand dan program Doktor pada jurusan Administrasi Publik di Universitas Gadjah Mada. Minat studi pada isu-isu pelayan publik, kesetaraan gender, dan kebijakan sosial maupun politik. E-mail: [email protected]. ARIF NOVIANTO. Menyelesaikan studi strata satu (S-1) di Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM. Saat ini, bekerja menjadi junior researcher di Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) Magister Administrasi Publik (MAP) FISIPOL UGM. Minat penelitiannya meliputi gerakan sosial, ekonomi politik kebijakan publik, transformasi agraria, dan masalah perburuhan. E-mail: [email protected]. ARIO WICAKSONO. Pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISPOL UGM. Menyelesaikan studi program Doktor pada Institute for Governance and Policy Analysis (IGPA), Faculty of Business, Government and Law, The University of Canberra, Australia. Menjabat sebagai sekretaris Departemen MKP periode 2021–2024. Minat penelitian pada isu transfer kebijakan, studi organisasional di sektor publik, peran kepakaran dalam proses kebijakan, dan kebijakan pendidikan tinggi. E-mail: [email protected].

367

BEVAOLA KUSUMASARI. Pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISPOL UGM. Menyelesaikan studi program Doktor di Department of Management, Faculty of Business and Economics, Monash University, Australia. Minat studi terkait isu manajemen kebencanaan, manajemen publik, analisis big data, dan kebijakan publik. Sekarang menjabat sebagai sekretaris jenderal di Indonesian Association for Public Administration. E-mail: [email protected]. BIMA KATANGGA Menyelesaikan studi master di Manajemen dan Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada tahun 2021. Tertarik pada riset tata kelola pemerintahan. ELY SUSANTO Pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM. Menyelesaikan studi program Doktor di College of Management, National Cheng Kung University, Taiwan. Minat studi pada isu perilaku organisasional dan manajemen sumber daya manusia sektor publik. Menjabat sebagai ketua program studi S-2 Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Fisipol UGM periode 2016–2021 dan Program Studi Magister Administrasi Publik (MAP) FISIPOL UGM periode 2021–2026. Email: [email protected]. ERWAN AGUS PURWANTO. Guru Besar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISPOL UGM. Menyelesaikan studi program Doktor pada jurusan Social Science di University of Amsterdam, Belanda. Menjabat sebagai Dekan FISIPOL UGM selama dua periode, 2012–2016 dan 2016–2021. Sekarang menjabat sebagai Deputi bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kementerian PANRB Republik Indonesia. Email: [email protected] dan [email protected]. GABRIEL LELE. Pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM. Menyelesaikan studi program Doktor pada Policy and Governance Program Crawford School of Economics and Government, The Australian National University, Australia. Minat studi pada isu manajemen konflik, korupsi dan anti-korupsi, proses kebijakan publik. E-mail: [email protected]. I MADE KRISNAJAYA. Pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISPOL UGM. 368

Memperoleh gelar Master of Policy and Administration (M.Pol.Admin) di Flinders University of South Australia, dan sedang menjalani studi Doktoral di Program Studi S-3 Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Minat studi mencakup kebijakan pariwisata, politik dalam organisasi, dan pembangunan kelembagaan. E-mail: [email protected]. MEDIA WAHYUDI ASKAR. Pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISPOL UGM. Menyelesaikan studi program Doktor pada Development Policy and Management, The University of Manchester, United Kingdom. Minat studi pada isu Analisis Big Data, Ekonometrika terapan, ekonomi pembangunan. Menjabat sebagai direktur Institute for Policy Development FISIPOL UGM. E-mail: [email protected]. M. PRAYOGA PERMANA. Pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISPOL UGM. Menyelesaikan studi program Doktor pada jurusan International Political Economy di University of Groningen, Belanda. Minat studi pada isu ekonomi politik internasional, governance, dan manajemen publik. E-mail: [email protected]. PUGUH PRASETYA UTOMO. Pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISPOL UGM. Menyelesaikan studi program Master di Magister Administrasi Publik FISIPOL UGM dan sedang menjalani studi Doktor pada program Public Administration, University of Agder, Norway. Minat studi pada isu organizational institutionalism, kebijakan pendidikan, evaluasi kebijakan publik, dan perencanaan strategis. E-mail: [email protected]. WAHYUDI KUMOROTOMO. Guru Besar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISPOL UGM. Menyelesaikan studi program master di LKY School of Public Policy, Singapura dan program Doktor pada jurusan Sains Politik di Universiti Sains, Malaysia. Minat studi pada isu keuangan sektor publik, anggaran publik, dan kebijakan publik. Menjabat sebagai Ketua Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik periode 2021–2024. E-mail: [email protected]. YEREMIAS T. KEBAN. Guru Besar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISPOL UGM. Menyelesaikan studi program Doktor pada 369

jurusan Urban & Regional Planning di Florida State University. Minat studi pada isu-isu teori organisasi, manajemen sumber daya manusia, ataupun manajemen strategis institusi. E-mail: [email protected]. YUYUN PURBOKUSUMO. Pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISPOL UGM. Menyelesaikan studi program Doktor di Departement of Business Administration, National Central University, Chungli, Taiwan. Minat studi pada isu E-government, reformasi administrasi, dan kebijakan publik. Menjabat sebagai ketua program studi S-3 Ilmu Administrasi Publik FISIPOL UGM periode 2021–2025 dan pernah menjabat sebagai Direktur Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) Magister Administrasi Publik (MAP) FISIPOL UGM. E-mail: yuyun@ ugm.ac.id.

370