Folklor Jawa: Macam, Bentuk, dan Nilainya
 978979185326

  • 0 0 0
  • Like this paper and download? You can publish your own PDF file online for free in a few minutes! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Suwardi Endraswara

FOLKLOR JAWA Macam, Bentuk, dan Nilainya

FOLKLOR JAWA Bentuk, Macam, dan Nilainya

Sanksi Pelanggaran Pasal 44:

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tenung Perubahan Aus Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 Tenung Hak Cipu sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987

I. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan auu memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) uhun dan/atau denda

paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juu rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, auu menjual kepada umum suatu cipuan auu barang hasil pelanggaran Hak Cipu sebagaimana dimaksud dalam ayat (I),

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) uhun dan/auu denda paling banyak Rp

50.000.000,00 (limapuluh juu rupiah).

Folklor Jawa. Bentuk, Macam, dan Nilainya Oleh Suwardi Endraswara

penaku 10 01.08 Diterbitkan pertama kali oleh penaku Jakarta, Mei 2010

Perwajahan dan rancangan sampul oleh Nanok K Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Katalog dalam Terbitan (KTD) Endraswara, Suwardi

Folklor Jawa. Bentuk, Macam, dan Nilainya/Suwardi Endraswara

Jakarta: penaku. Cetakan pertama Mei 2010 16 x 24 cm lx + 226 hlm

Bibliografi

ISBN 978-979-18532-6-2

MENGINTIP DUNIA

Tiap Perguruan Tinggi di Indonesia, yang membuka program budaya, politik, seni, dan sosial, biasanya mencantumkan mata kuliah folklor. Di luar negeri, folklor ada yang telah menjadi program studi, namun di Indonesia masih

sebatas mata kuliah. Tak hanya perguruan tinggi yang mengajarkan folklor, di sekolah menengah dan sekolah dasar pun ada folklor. Hanya saja untuk seko­ lah di bawah perguruan tinggi, proporsi foklor tentu berbeda.

Di sekolah, folklor menjadi bagian pembelajaran sastra, yaitu sastra lisan.

Ada juga yang memasukkan folklor pada mata kuliah kajian budaya. Kalau sekolah mengajar mata pelajaran Sosioantropologi, jelas sulit lepas dari ba­ hasan folklor. Begitu pula mata pelajaran humanis lainnya, sengaja atau tidak

akan menyajikan folklor. Buku ini bermaksud memberikan gambaran, khususnya kepada pemerhati folklor (Jawa) di berbagai tingkat pendidikan. Folklor merupakan sebuah jendela dunia. Kita dapat mengintip dari bilik-bilik kecil: folklor! Di dalamnya kaya

kacabenggala. Kaca rasa pun ada di dalamnya, tak perlu khawatir. Menikmati folklor Jawa sama halnya kita sedang keliling dunia. Biarpun bernama folklor Jawa, sesungguhnya tetap berwajah dunia. Coba saja kalau kurang yakin.

Folklor Jawa justru akan menerangi dunia. Orang yang gelap mata pada dunia dapat membaca folklor Jawa. Sebenarnya angin segar yang ditawarkan dalam folklor Jawa, meskipun ada yang masih sering menyanggah: kan itu

budaya kuno Ada pula yang menyatakan folklor merupakan refleksi jiwa tak bertanggung jawab, sebab selalu menyembunyikan penciptanya. Silakan.

Bagi penulis, dengan penyembunyian pencipta itu nilai-nilai folklor justru lebih humanis. Nuansa politik dan kekuasaan yang sering memberangus

v

r

pencipta akan teratasi. Pencipta justru sering lebih kreatif dan penuh dengan

inovatif, mengutak-atik folklor, hingga mewujudkan karya yang estetis. Bagi sebagian orang, folklor itu menjadi darah daging. Selain mudah

diingat, sebagai butir-butir pengisi waktu luang, iseng-iseng, sering bertemakan folklor. Jadi, dari yang ringan-ringan hingga folklor yang membutuhkan penafsiran jelas membutuhkan perhatian. Folklor bukan sebuah barang yang

“turun dari langit", melainkan hanya sebuah kaca bening saja. Lewat folklor

orang dapat mengaca dunia. Folklor pula yang menawarkan keindahan pan­ dangan dunia dari aneka sisi. Kurang yakin, coba saja cermati folklor dalam

buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi siapa saja yang hendak meneropong

keindahan dunia. Mari kita lihat bersama lewat jendela yang satu ini.

Yogyakarta, September 2009

Penulis

DAFTAR ISI

Mengintip Dunia

.....................................................................................

Bagian I Hakikat Folklor Jawa

v

.............................................................

1

A.

Folklor Jawa sebagai Fosil

..................................................

1

B.

Kisah dari Mulut ke Mulut

....................................................

3

C.

Ciri Pengenal Folklor Jawa

.................................................

5

D.

Genre Folklor Jawa

................................................................

7

E.

Folklor Jawa dan Antropologi

Bagian II Sejarah Folklor Jawa

..............................................

9

............................................................

11

....................................................

11

A.

Pemunculan Folklor Jawa

B.

Dari Folkloris Dunia sampai Folkloris Jawa

C.

Migrasi Folklor Jawa

D.

Sinkretisme dalam Folklor Jawa

E.

Folklor Jawa Tertua

.....................

13

...............................................................

19

.........................................

20

.................................................................

21

............................................................

25

Bagian III Bentuk Folklor Jawa

A.

Folklor Jawa Esoterik dan Eksoterik

B.

Folklor Jawa Populer dan Sakral

C.

Foklor sebagai Media Komunikaksi Budaya

D.

Metamorfosis: Folklor Jawa Palsu

E.

Folklor Jawa Politik

Bagian IV Bahasa Rakyat

..................................

25

.........................................

27

...................

30

......................................

33

..................................................................

37

......................................................................

39

...................................................................

39

A.

Bahasa Jawa Unik

B.

Unggah-ungguh dan Dialek

C.

Rengga Basa

D.

Lelewaning Basa

...................................................

47

............................................................................

49

.....................................................................

51

........................................................................

53

........................................................................

53

.....................................................................................

54

Bagian V Ilmu Rakyat

A.

Ilmu Pagunon

B.

Petung

C.

Puji dan Mantra

D.

Pasemon

...................................................................

63

...............................................................................

65

............................................................................

71

Bagian VI Takhayul A.

Eksklusivitas Takhayul

B.

Ragam Takhayul

........................................................

71

..................................................................

75

Bagian VII Pendidikan, Mitos, dan Legenda

..................................

87

A.

Mengapresiasi Folklor dalam Pendidikan

87

B.

Mitos dan Pendidikan

........................................................

89

C.

Legenda dan Pendidikan

...................................................

91

.......................................................

99

Bagian VIII Pertunjukan Rakyat A.

Karakteristik Pertunjukan Rakyat

B.

Ragam Pertunjukan Lisan

...................................

99

................................................

100

.......................................

111

.........................................

111

..................................................

117

..............................................................

133

............................................................

133

Bagian IX Permainan dan Tarian Rakyat

A.

Permainan Rakyat Tradisional

B.

Ragam Tarian Tradisional

Bagian X Puisi Lisan Rakyat A.

Bentuk Puisi Rakyat

B.

Tembang Gedhe: Mengolah Suasana Kejawen

C.

Tembang Macapat

D.

Uran-Uran Lambang Praja

Bagian XI Lagu Dolanan

...........

134

..............................................................

138

................................................

150

....................................................................

153

.............................................................

153

A.

Lagu Dolanan Anak

B.

Lagu Nina Bobok (lullaby)

C.

Lagu Dolanan: Hiburan dan Sindiran

.................................................

157

..............................

158

.............................................................

163

...................................................................

163

.....................................................................................

166

Bagian XII Folklor Non-Lisan A.

MakananRakyat

B.

Rumah

C.

Busana Rakyat

D.

Gamelan

.....................................................................

170

.....................................................................................

172

Folklor Jawa. Bentuk, Macam, dan Nilainya

Bagian I HAKIKAT FOLKLOR JAWA A. Folklor sebagai Fosil Istilah folklor Jawa tampaknya masih asing di telinga orang Jawa, padahal orang Jawa sangat kaya folklor. Sebaliknya, bila mendengar kata budaya Jawa, orang langsung paham. Antara folklor dan budaya memang sulit dipisahkan.

Jika budaya merupakan hasil karya manusia, baik yang konkret maupun yang

abstrak, folklor tak jauh dari asumsi ini. Hal ini sekaligus meneguhkan bahwa orang Jawa kadang-kadang tak sadar terhadap miliknya yang luhur. Sebagian orang Jawa seringkah juga tak begitu peduli terhadap miliknya. Sebagian yang lain justru amat peduli dengan istilah budaya dan folklor. Para ahli folklor tampak kurang bangga dengan apa yang dimiliknya; umumnya mereka lebih suka dise­

but ahli budaya.

Orang Jawa hanya mendapat kabar angin (sriwing-sriwing) tentang folklor Jawa. Sebagian malah tak mengenal sama sekali terhadap seluk beluk folklor.

Mungkin hanya akademisi tertentu yang mengenal folklor. Jadi, orang Jawa lebih apatis terhadap folklor. Hal ini patut direnungkan karena perkembangan folklor di Jawa memang belum begitu pesat dibanding negara lain, Amerika

misalnya. Hampir pasti bahwa orang Jawa hanya mengenal folklor di bagian kulit-kulit saja, kendati hampir tiap hari menggunakannya. Itulah sebabnya tak

mustahil jika sebagian orang Jawa masih menganggap asing terhadap folklor, bahkan ada juga yang berasumsi bahwa folklor itu sekadar kabar burung (riear-

say), rumor, atau celoteh yang sulit dipertanggungjawabkan. Meskipun belum

banyak orang yang mengenal lebih jauh tentang folklor Jawa, namun folklor

Jawa tetap survive asalkan orang Jawa masih memelihara dan mendukungnya. Folklor tergolong ilmu atau sebuah disiplin budaya. Folklor merupakan

Suwardi Endraswara

ilmu yang luas. Apa saja masuk di dalamnya. Boleh dinyatakan folklor meru­ pakan "ilmu keranjang sampah”. Semua hal yang berbau tradisi hampir dapat

masuk ke keranjang itu. Meski begitu, tak berarti folklor merupakan ilmu mu-

rahan. Ilmu tersebut tetap bergengsi, meski amat jarang orang yang mencebur­ kan ke dalamnya. Keistimewaan folklor justru ibarat sebuah mutiara yang kaya

makna. Sayangnya, seakan-akan folklor berada pada sebuah "museum kuno" yang penuh fosil-fosil. Folklor sering dianggap sebagai fosil budaya Jawa yang

terlupakan. Akibatnya pemahaman orang awam terhadap folklor masih belum memadai. *

Dalam kaitan itu Potter (Leach, 1949: 401) menyatakan bahwa folklor

merupakan "a lively fossil which refuses to die". Dari pendapat ini tampak bahwa folklor memang banyak menampilkan hal-hal kuno. Begitu pula kehidupan

folklor Jawa: hampir selalu memaparkan persoalan-persoalan kuno. Seluk beluk kehidupan “masa lalu" sering terkategorikan sebagai folklor. Namun, persoalan

kuno itu akan tetap lestari, enggan mati, karena masih didukung oleh pengikut­ nya. Hal-hal yang arkais itu tetap menunjukkan daya juangnya dan bermakna

bagi kehidupan pemiliknya. Jadi, di samping rentang waktu amat menentukan apakah sebuah fenomena termasuk folklor atau bukan, aspek kegunaan pun

merupakan faktor penting. Folklor yang masih memiliki makna dan manfaat

akan selalu survive- sedangkan yang kurang berguna, lama-kelamaan akan

ditinggalkan dan akhirnya musnah. Hal ini merupakan tantangan berat bagi pemerhati folklor.

Sadar atau tidak, kehadiran folklor memperkaya khasanah budaya ber­ sangkutan. Folklor Jawa, misalnya, akan menjadi ciri atau identitas kejawaan

yang membedakan dengan etnik lain. Jati diri orang Jawa akan memupuk jiwa

kolektif kejawaan. Kebanggaan kolektif atas folklor mungkin akan menciptakan kerukunan. Paling tidak di antara pendukungnya akan tercipta kebersamaan

yang luar biasa, sehingga jiwa individualis orang Jawa terminimalisir.

Biarpun folklor merupakan sebuah fosil, namun di dalamnya ada mutiara yang terlupakan. Andaikata ada orang yang terpaksa benci atau tak mau meng­

gubris pada folklor sebenarnya tergolong rugi, karena tiap folklor memuat ra­ tusan dan bahkan ribuan keunikan hidup. Hidup yang bernuansa folklor tidak berarti kuno. Folklor adalah karya yang patut dihargai oleh penggunanya. Folklor yang telah memfosil pun tetap ada gunanya. Guna folklor tidak

sekadar untuk “cagar budaya”, melainkan memberikan ajaran humanis, agar manusia lebih manusiawi. Unsur kuno (fosil) dalam folklor tetap saja membe­

Folklor Jawa. Bentuk, Macam, dan Nilainya

rikan gagasan kebaruan. Oleh karena itu, belajar fosil-fosil yang hampir ditelan­ tarkan banyak orang ini sungguh membutuhkan ketelatenan.

B. Kisah dari Mulut ke Mulut Kekhasan folklor terletak pada aspek penyebarannya. Persebaran folklor hampir selalu terjadi secara lisan sehingga sering terjadi penambahan dan pengurangan. Dalam pandangan Archer Taylor (Danandjaya, 2003: 31) folklor

adalah bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari

mulut ke mulut maupun dari praktik adat istiadat. Tegasnya, folklor merupakan

bagian dari kebudayaan yang bersifat tradisional, tidak resmi (unofficiaf), dan noninstitusional. Kendati terlekat sifat tradisional, tidak berarti bahwa folklor

modern tidak ada. Jadi, ketradisionalan hanyalah salah satu ciri khas folklor.

Tradisional tidak selalu sama dengan kuno. Hal ikhwal kehidupan modern pun jika telah mentradisi, kemungkinan tercakup dalam folklor.

Pada dasarnya, folklor merupakan wujud budaya vang diturunkan dan/ atau diwariskan secara turun-temurun secara lisan (oral). Dalam pandangan

Sweeney (1987: 278) folklor memang kadang-kadang berasal dari ungkapan “orang bodoh”. Apalagi folklor yang merupakan bentuk tradisi lisan sering ber­ asal dari ucapan yang kadang-kadang disalahartikan. Ucapan yang keliru, tak

terduga, terpeleset, dan terkesan ngawur bisa menjadi folklor. Jadi, folklor termasuk “cerita-cerita mulut” (tale by word of mouth). Ucapan mulut yang tersilap mungkin sekali menjadi folklor yang menarik.

Perkembangan pewarisan folklor selanjutnya telah meluas; tidak hanya secara lisan saja, tetapi juga secara tertulis. Munculnya tradisi cetak-mencetak

telah mengubah budaya lisan ke budaya tulis. Akibatnya, penyebaran folklor dari satu daerah ke daerah lain dapat berlangsung cepat. Melalui tulisan yang diperoleh dari lisan, dan hanya sepotong-sepotong, justru memperkaya variasi folklor itu sendiri. Itulah sebabnya pembauran lisan-tulis dalam folklor akhir-

akhir ini amat mungkin terjadi. Folklor meliputi berbagai hal, seperti pengetahuan, asumsi, tingkah laku,

etika, perasaan, kepercayaan, dan segala praktik-praktik kehidupan tradisional;

serta memiliki fungsi tertentu bagi pemiliknya. Pemilik folklor kadang-kadang sadar mengenai apa yang dimilikinya itu, namun kadang-kadang juga tidak menyadari. Folklor bukan milik seorang individu, melainkan sebuah kolektif. Oleh karena kolektif tersebut tidak terbatas ruang dan waktu, maka folklor

kadang-kadang berkurang dan sebaliknya juga berkembang.

Sebagai sebuah "karya”, folklor tidak jelas penciptanya. Justru ketidakje­ lasan inilah yang membuat folklor semakin unik dan menarik bagi pendukung­ nya. Semakin tidak jelas siapa penciptanya, folklor tersebut dipandang semakin "bergengsi”. Dengan kata lain, folklor pun memiliki tingkatan-tingkatan tertentu;

bahkan setiap folklor memiliki pengaruh yang berbeda-beda satu dengan yang lain terhadap pemiliknya. Di Indonesia, suatu folklor mungkin berasal dari suatu tempat tertentu.

Karena memiliki makna luas, folklor tersebut menyebar merata di Indonesia,

sehingga kemudian menjadi milik bangsa Indonesia. Kolektif Indonesia jauh lebih besar dan kompleks jika dibandingkan dengan folklor lokal; Jawa, misal­ nya. Ada juga yang menyebut folklor Indonesia dengan folklor Nusantara; arti­ nya, folklor yang menjadi bagian dari kebudayaan Nusantara. Batasan sema­

cam ini didasarkan pada kondisi geografis, sedangkan penamaan folklor In­ donesia lebih ke aspek politis. Penamaan folklor yang lazim adalah menurut kondisi geografis. Setiap tempat dapat memiliki folklor tersendiri yang berbeda dengan tempat yang

lain. Perbedaan antarfolklor di sebuah wilayah kadang-kadang amat tipis; bah­ kan di sana-sini sering ada persamaan folklor antarwilayah. Persamaan dan perbedaan folklor di suatu wilayah justru akan memperkaya budaya bangsa

itu sendiri. Folklor Jawa pada dasarnya merupakan bagian dari kebudayaan Jawa

yang tersebar secara turun-temurun. Sejalan dengan eksistensi budaya Jawa yang "adiluhung", folklor Jawa pun ada yang adiluhung, namun sebaliknya ada juga yang profan. Keduanya saling mendukung membentuk komunitas

folklor. Oleh karena budaya Jawa juga ada yang bernama budaya priyayi (wong gedhe) dan budaya wong cilik, folklor pun secara tidak langsung menggam­ barkan segmen masyarakat tersebut.

Dengan kata lain, folklor Jawa memang amat kaya. Folklor Jawa berkem­ bang luas sejalan dengan perkembangan orang Jawa. Untuk itu, Danandjaya (1971: 29) pernah menyarankan agar folklor Jawa digali lebih jauh, terutama

yang telah dikumpulkan dalam buku rakyat (chapbook), seperti primbon. Dalam kaitan ini boleh dinyatakan bahwa primbon merupakan dokumentasi folklor

Jawa yang memuat aneka ragam permasalahan.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan, folklor Jawa adalah segala karya tradisi yang telah diwariskan dan berguna bagi pendukungnya. Folklor Jawa pun memiliki variasi antardaerah satu dengan yang lain. Sebagai.karya, folklor

Jawa menjadi milik kolektif besar orang Jawa. Orang Jawa mengakui secara sadar dan atau tidak bahwa dirinya memiliki folklor. Hal ini ditunjukkan oleh

sikap memiliki (handarbeni) dan ingin memelihara folklor tersebut. Orang Jawa yang sadar diri atas folklornya akan berupaya mati-matian menjaga kelestarian

folklor itu.

C. Ciri Pengenal Folklor Jawa Sampai saat ini masih perlu dilacak sebenarnya apa saja yang menjadi ciri khas folklor Jawa; paling tidak untuk memudahkan pengkaji folklor atau untuk mendalami sebuah fenomena dapat dimasukkan sebagai folklor atau tidak. Dalam kaitan ini, kita dapat berkiblat pada pendapat Brunvand (Hutomo,

1991: 7) yang memberikan ciri folklor: bersifat lisan (oral), bersifat tradisional, keberadaannya sering memiliki varian atau versi, selalu anonim, dan cenderung memiliki formula atau rumus yang jelas.

Ciri-ciri tersebut menandakan bahwa folklor merupakan sebuah budaya asli. Naluri klise selalu melekat pada folklor. Begitu pula folklor Jawa: keaslian

dan nada klise merupakan ciri kehadirannya. Sikap dan tindakan orang Jawa yang berlandaskan naluri-naluri kuno melahirkan folklor yang unik. Pewarisan­

nya sebagian besar dilisankan. Penyebaran folklor Jawa umumnya mengandal­ kan budaya lisan yang kemungkinan besar kurang terstruktur. Folklor juga

sering anonim, tidak jelas pencipta dan perancangnya. Penerima warisan folklor tinggal menyatakan ujare (katanya) orang dahulu. Ada lagi yang menyatakan

jarene mbah buyut (kata nenek moyang terdahulu). Sebenarnya, masih ada ciri folklor Jawa lain yang lebih melengkapi lima

ciri di atas, antara lain (1) mempunyai kegunaan bagi pendukungnya atau kolektiva, (2) bersifat pralogis, (3) menjadi milik bersama dan tanggung jawab bersama, serta (4) mempunyai sifat polos dan spontan. Ciri (1) menekankan aspek pragmatis folklor. Sekecil apa pun, folklor akan ada manfaatnya bagi

yang percaya. Ciri (2) memuat logika folklor kadang-kadang masih pada taraf

prapemikiran. Hal ini tak berarti folklor kurang beralasan, melainkan tetap ada alasan yang jelas di balik karya tersebut. Ciri (3) merujuk pada aspek pelestarian

dan upaya perlindungan folklor. Karena menjadi milik kolektif, kalau ada apa-

apa yang menyangkut folklor bersangkutan, pemiliknya rela berkorban. Ciri (4) menggambarkan proses pemunculan folklor itu sendiri. Folklor dapat hadir

serta merta, tak disengaja, dan kurang disadari.

Atas dasar ciri tersebut, tak mengherankan jika penampilan folklor Jawa

amat khas. Ada di antara folklor yang ditampilkan dalam bentuk humor; bahkan tidak jarang yang berbau erotis. Kombinasi antara erotik dan humor pun sering

terjadi dalam folklor. Yang penting di dalamnya memuat makna yang berkesan bagi pendukungnya. Dengan demikian, secara sederhana, kita dapat memilahkan mana karya folklor dan mana yang bukan. Jika karya budaya memenuhi

sebagian ciri di atas tentu dapat dimasukkan ke dalam kategori folklor. Berdasarkan ciri di atas,!folklor Jawa dapat diberi ciri khas Sebagai berikut (1) Disebarkan secara lisan, artinya dari mulut ke mulut, dari orang satu ke orang lain, dan secara alamiah tanpa paksaan.

(2) Nilai-nilai tradisi Jawa amat menonjol dalam folklor. Tradisi ditandai dengan keberulangan atau yang telah menjadi kebiasaan. (3) Dapat bervariasi antara satu wilayah, namun hakikatnya sama. Variasi

disebabkan keragaman bahasa, bentuk, dan keinginan masing-masing wilayah.

(4) Pencipta dan perancang folklor tidak jelas siapa dan dari mana asalnya. Meskipun demikian, ada folklor Jawa yang telah dibukukan, sehingga bagi yang kurang paham seolah-olah pengumpulnya adalah penciptanya.

(5) Cenderung memiliki formula atau rumus yang tetap dan ada yang lentur;

maksudnya, ada rumus yang tak berubah-ubah sebagai patokan dan ada yang berubah-ubah tergantung kepentingan.

(6) Mempunyai kegunaan bagi pendukung atau kolektiva Jawa. Sekecil apa pun, folklor Jawa tetap ada manfaat bagi pendukungnya. Pendukung folklor

Jawa dapat hanya beberapa individu yang merupakan anggota kolektif. Pendukung juga dapat berkurang dan bertambah dari waktu ke waktu.

Begitu pula aspek kegunaan, dapat berubah-ubah seiring dengan perkem­ bangan zaman. (7) Kadang-kadang mencerminkan hal-hal yang bersifat pralogis. Hal-hal yang

kurang rasional dapat muncul dalam folklor. Rasionalitas amat tergantung pola pikir masing-masing pemilik. Oleh karena itu, yang berkembang dalam

benak orang Jawa lebih banyak pada unsur keyakinan.

(8) Menjadi milik bersama dan tanggung jawab bersama. Masyarakat Jawa secara tak langsung merasa memiliki, sehingga mau berkorban demi peles­

tarian dan perkembangan folklor. (9) Mempunyai sifat polos dan spontan. Maksudnya, kadang-kadang folklor

Jawa hanya berasal dari orang main-main bahasa, silap dengar, dan

wacana tak sadar. Ada kalanya pula merupakan ekspresi orang tolol.

6

(10)Ada yang memiliki unsur humor dan wejangan.

Ciri-ciri demikian bukanlah harga mati, melainkan masih bisa berkembang.

Sebaliknya, juga belum tentu seluruh folklor Jawa memuat sepuluh ciri tersebut. Setiap folklor boleh hanya memuat beberapa ciri khas saja. Jika di luar sepuluh

ciri itu tak ada, tentu masih perlu dipertanyakan apakah sebuah fenomena

merupakam folklor atau bukan. Mengenal ciri folklor Jawa secara detail akan memudahkan ketika meng­ kajinya. Unsur yang termasuk dalam ciri folklor itulah yang perlu dipegang

untuk menandai apakah sebuah fenomena tergolong folklor atau bukan. Dari

ciri-ciri itu, pengkaji akan menemukan keunikan tertentu dalam folklor. Yang

paling penting, pengkaji melakukan eksplorasi sebanyak-banyaknya, kemudian

tinggal memilah-milah: ini folklor sedang itu bukan.

D. Genre Folklor Jawa Yang dimaksud genre folklor adalah keragaman folklor. Genre folklor memuat aneka macam bentuk folklor. Setiap genre memiliki subgenre lagi

yang lebih kecil. Jadi, genre merupakan wadah yang memuat bermacammacam isi folklor. Genre folklor Jawa amat beragam. Dari sekian genre, dapat digolongkan ke dalam lingkup yang lebih besar yang disebut bentuk folklor.

Untuk mempermudah pengelompokan folklor Jawa, kiranya cukup relevan jika berkiblat pada pendapat Brunvand (Hutomo, 1991: 8) bahwa secara garis

besar folklor dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni foklor lisan (verbal folk­

lore), folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), dan folklor bukan lisan (non verbal folklore). Ketiga kelompok folklor ini dapat menampakkan dirinya ke

dalam tiga wujud, yakni dalam bentuk oral dan verbal (mentifacts), kinesiologik (berupa kebiasaan dan sosiofacts), dan material (artefacts). Pengelompokan folklor demikian hampir seluruhnya bertumpuk-tumpuk dalam sastra Jawa.

Kekayaan folklor Jawa meliputi aneka bentuk, dari yang sederhana sampai

yang rumit. Biarpun berbagai macam pengertian folklor berkiblat pada teori asing,

sebenarnya folklor Jawa tak jauh berbeda. Bentuk-bentuk folklor Jawa juga mirip dengan folklor asing. Hal ini menandakan bahwa di seluruh dunia sebe­ narnya memiliki bentuk-bentuk folklor yang bervariasi. Pada bagian lain,

Brunvand menggolongkan folklor ke dalam tiga golongan, yaitu (1) folklor lisan,

yang banyak diteliti orang. Bentuk folklor lisan dari yang sederhana, yaitu ujaran

rakyat (folk speech), yang bisa dirinci dalam bentuk julukan, dialek, ungkapan

dan kalimat tradisional, pertanyaan rakyat, mite, legenda, nyanyian rakyat, dan sebagainya; (2) folklor adat kebiasaan, yang mencakup jenis folklor lisan

dan nonlisan, misalnya kepercayaan rakyat, adat-istiadat, pesta, permainan rakyat; serta (3) folklor material, seperti seni kriya, arsitektur, busana, makanan, dan lain-lain.

Dundes (1984: 28) menyajikan daftar hal-hal yang termasuk folklor, yakni

mite (myths), legenda (legends), dongeng (folktales), lelucon (jokes), periba­ hasa (provebs), teka-teki (riddles), nyanyian doa (chants), jimat/guna-guna

(charms), doa seperti doa sebelum makan (blessings), hinaan (insults), jawaban dengan kata-kata (retorts), celaan/ejekan (taunts), godaan (teases), minum untuk keselamatan (toasts), serangkaian kata/kalimat yang sulit diucapkan

(tongue-twisters), salam (greeting), dan ungkapan berpisah (leave-teakingformulas).

Di samping hal-hal di atas, dia juga memasukkan unsur folklor yang lain,

yaitu pakaian rakyat (folk costume), tarian rakyat (folk dance), drama rakyat

(folks drama), kesenian rakyat (folk art), kepercayaan rakyat (folk belief), obatobatan rakyat (folk medicine), musik instrumen rakyat (folk instrumental music), nyanyian rakyat (folk songs), seperti nyanyian nina bobo, kelonan (lulla-

bies) atau balada (ballads), ungkapan rakyat (folk speech) seperti slang, tamsilan rakyat (folk simile), folk metaphor, dan nama (names) seperti julukan atau pun gelar. Lebih lanjut, juga diterakan yang tergolong folklor, yaitu puisi rakyat yang

berupa epik oral sampai autograph-book verse, epitaphs (tulisan dalam nisan), corat-coret dalam kamar mandi (latrinalia), pantun jenaka (limericks), sajak

dalam permaian anak (dling rhymes counting-out rhysmes), dan sajak anak-

anak (nurseryrhymes). Dari sejumlah bentuk folklor itu, sebenarnya menantang bagi pengkaji folklor untuk melakukan eksplorasi. Dengan menggolongkan

folklor Jawa atas dasar teori demikian, mungkin saja akan menemukan ke­ khususan. Bisa jadi folklor Jawa ada yang belum terwadahi melalui teori ter­

sebut, hingga dapat disendirikan. Folklor Jawa seperti wangsalan mungkin tidak terdapat pada folklor lain di dunia.

Daftar yang disuguhkan demikian seringkah berubah-ubah, sebab pada prinsipnya folklor itu berupa tradisi lisan, sehingga perubahan, baik secara alamiah maupun disengaja, sulit terhindarkan. Berbagai perubahan dalam

folklor sebenarnya dapat dipandang sebagai sebuah perkembangan. Kalau

ada sinden yang melagukan tembang Jawa hanya hafalan, tanpa belajar teks

tertulis yang asli, sering kali juga akan mengubah folklor. Misalnya, bapang den simpangi, sering diucapkan bathang den simpangi dan atau jurang den

simpangi Banyak faktor yang dapat menyebabkan folklor Jawa berubah setiap

saat, antara lain karena adanya beberapa faktor: (1) seringkali pencerita hanya

menerima dari mulut ke mulut, sehingga suara kurang jelas Peristiwa kesalahan dengar ini justru akan memperkaya teks yang disampaikan, sehingga terjadi

kemiripan, (2) pencerita juga sering menggunakan bahasa lokal atau dialek dan bahkan idiolek khas, sehingga perubahan dari teks asli amat mungkin

terjadi. (3) pencerita kadang-kadang memunculkan kata serapan dan juga

kondisi jaman, sehingga teks lisannya menjadi kaya; (4) folklor yang dipentaskan seringkali ada penyesuaian dengan dunia panggung dan iringan, sehingga perubahan di sana sini harus dilakukan.

E. Folklor Jawa dan Antropologi Sebagian antropolog menyebut dirinya sebagai ahli budaya Jawa, bukan

ahli folklor Jawa. Para peneliti budaya di bidang antropologi sebenarnya banyak mengkaji sumber-sumber folklor. Sadar atau tidak, mereka telah terjebak pada

konsep folklor dan antropologi yang sulit terpisahkan. Antropolog dan ahli folklor sebenarnya satu, artinya saling terkait. Antara folklor dan antropologi batasnya amat tipis. Bagitu pula antara

folklor Jawa dengan antropologi budaya, jelas bagaikan selembar mata uang,

hanya berbeda wajah saja. Berbagai ritual etnografi dalam antropologi sering

memuat berbagai kisah lisan yang menjadi bagian folklor. Ritual Pisungsung

Jaladri di Parangtritis, misalnya, jelas terkait pula dengan legenda-legenda lisan yang berada di sekitar Parangkusuma. Kehadiran De Jong yang mencoba menggali aliran kepercayaan di Jawa adalah bukti ada keterkaitan antara folklor dan antropologi. Tokoh ini berupaya

menangkap sikap hidup orang Jawa, khususnya yang bergerak di Aliran

Kebatinan Pangestu. Pelacakan aktivitas ini sebenarnya juga merupakan studi folklor sebagian lisan. Begitu pula munculnya pengkaji budaya Jawa asing, seperti Niels Mulder, Anton Bekker, Clifford Geertz, Mark R. Woodward, Paul

Sting, Robert Hefner, dan FranzMagnis Suseno, merupakan wujud kaitan folklor

dan antropologi. Terlebih lagi dengan hadirnya para antropolog seperti Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan, James Danandjaya, Heddy Shri Ahimsa

Putra, Suripan Sadi Hutomo, Ayu Sutarto, dan Setya Yuwana Sudikan jelas

bahwa mereka selalu memanfaatkan studi folklor. Metode kajian antropologi juga banyak dimanfaatkan oleh dunia folklor

Jawa, begitu pun sebaliknya. Disiplin teoritik seperti evolusi, difusi, fungsi­ onalisme, dan strukturalisme Levi-Strauss sering dipakai dalam studi folklor

dan antropologi. Namun demikian, di Jawa memang belum ada program khusus yang membidangi folklor Jawa di perguruan tinggi. Oleh karena itu, boleh di­ nyatakan bahwa folklor Jawa masih tergolong disiplin yang menjadi “bola pingpong", yang sampai saat ini belum tegas eksistensinya. Disiplin folklor

masih sering "sembunyi" di balik bidang antropologi. Seperti halnya antropologi, folklor Jawa juga memperhatikan aset budaya

lisan. Kajian-kajian antropologi yang ke arah budaya primitif Jawa sebenarnya juga merupakan studi folklor. Interpretasi-interpretasi antropologi yang banyak melakukan interdisiplin dengan sastra dan psikologi juga sering dilakukan oleh

pemerhati folklor. Kajian antropologi mitos, antropologi politik, antropologi hu­ kum, antropologi kesehatan, dan lain-lain juga sering menjadi wilayah folklor.

Pendek kata, antropologi adalah studi tentang manusia secara komprehensif dan folklor pun demikian. Folklor merupakan representasi nilai-nilai kehidupan

yang meyakinkan, kepercayaan yang survival, yang dapat dipegang oleh

kolektif. Pandangan hidup Jawa yang ke arah manunggaling-kawula Gusti, misal­

nya, sering menarik minat antropologi dan folklor. Kedua cabang ini sering berbenturan dan sekaligus melengkapi satu sama lain. Watak-watak orang

Jawa yang gemar angka ganjil dan petungan, sering menjadi fokus studi kedua disiplin tersebut. Hanya saja, antropologi dan folklor sering memiliki tekanan

yang berbeda. Folklor mengandalkan studi lisan, sedangkan antropologi bisa lisan dan tulis. Jika antropologi cenderung memanfafatkan studi etnografi, folklor

pun tampak tak mau ketinggalan.

Sadar atau tidak sesungguhnya para antropolog yang gemar melakukan

penyisiran ke celah-celah hidup tidak lain juga berkaitan dengan folklor Jawa. Ketika Geertz berupaya mengungkap mistik di Mojokuto, sebenarnya ada ribuan folklor Jawa. Kisah-kisah lisan yang sebenarnya ada di Mojokuto memang

belum seluruhnya tertangkap oleh antropolog tersebut. Begitu pula antropolog

lain, seperti Niels Mulder, yang sekadar lalu lalang ke Indonesia, nanti sudah menghasilkan buku budaya. Sebagian karya dia juga sering membicarakan

folklor, namun belum mendalam.

Bagian II SEJARAH FOLKLOR JAWA A. Pemunculan Folklor Jawa Perkembangan folklor Jawa telah berusia panjang. Rentetan folklor dari suatu wilayah ke wilayah lain terjadi melalui proses migrasi folklor. Migrasi folklor

dibawa oleh kaum migran, yang ada kalanya oleh kaum «\olonial. Ada pula yang dibawa oleh para pedagang dan para misionaris yang menyebarkan agama. Mereka itu secara tidak langsung menjadi perantara terjadinya migrasi folklor.

Orang yang pertama kali memperkenalkan istilah folklor adalah William

John Toms, seorang ahli kebudayaan antik (antiquarian) Inggris. Istilah ini diper­ kenalkan pertama kali pada waktu dia menerbitkan artikelnya dalam bentuk surat terbuka dalam majalah The Athenacum No. 982,22 Agustus 1846, dengan mempergunakan nama samaran Ambrose Merton. Dalam tulisan tersebut, Toms

mengakui bahwa dialah yang menciptakan istilah folklore pertama kali. Waktu itu, yang dimaksud folklor adalah mengungkapkan masalah sopan santun,

takhayul, balada, dan sebagainya dari masa lampau, yang sebelumnya disebut dengan istilah antiquities, popular antiquities, atau popular literature. Pada waktu diciptakan istilah folklore di Inggris memang belum ada istilah

untuk kebudayaan pada umumnya, sehingga istilah baru folklore kemungkinan juga dipakai sebagai sebuah ekspresi kebudayaan. Baru pada 1865, E.B. Taylor

memperkenlkan istilah culture dalam bahasa Inggris. Istilah ini pertama kali

diajukan ke dalam karangannya berjudul Research in to Early History ofMan-

kind and the Development ofCivilization. Istilah ini kemudian dia uraikan lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture (1871). Culture, menurut­ nya, adalah sebuah kesatuan menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan semua kemampuan

11

serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Danandjaya, 1989: 6).

Yang patut dicatat, kendati istilah kebudayaan muncul lebih kemudian dibanding istilah folklor, ternyata perkembangan selanjutnya istilah kebudayaan

lebih dikenal oleh masyarakat umum. Istilah folklor hanya diperuntukkan bagi

kebudayan khusus, yaitu yang diwariskan secara turun-temurun. Dengan kata

lain, folklor dipandang lebih sempit daripada kebudayaan.

Dalam dunia pengetahuan sekarang, folklor mencakup dua pengertian. Pertama, segala hal yang berhubungan dengan adat istiadat, dunia gaib, fantasi

umum, dan lain-lain yang merupakan kerja budaya rakyat. Kedua, merupakan

aktivitas penggalian data, pengumpulan, penggolongan, perbandingan, dan

penginterpretasian. Pengertian pertama merujuk pada aspek-aspek yang terca­ kup dalam folklor, sedangkan pengertian kedua merupakan wilayah dan tata kerja pengkajian folklor.

Pada dasarnya, ahli folklor dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan. Pertama, ahli folklor humanistis (humanistic folklorist), yang berlatar belakang

ilmu bahasa dan sastra. Mereka biasanya tertarik pada ekspresi linguistik yang unik dan juga sastra lisan. Kedua, ahli folklor antropologis, biasanya tertarik pada adat istiadat dan sejumlah kehidupan kolektif yang dipandang khas.

Kajian-kajian yang ditampilkan lebih banyak secara holistik. Ketiga, ahli folklor modern, yang biasa mengikuti paham interdisipliner. Umumnya, para ahli folklor

modern akan memandang fenomena dari aneka segi. Tentu saja aspek budaya tetap sebagai sentral pembahasan. Para ahli folklor, seperti Philip Frick Mckean, seorang penganut electicisme,

banyak meneliti folklor Jawa. Menurut dia, tokoh Kancil di Jawa, ketika diteliti menggunakan metode difusionisme dan strukturalis memiliki dimensi nilai pen­ ting bagi bangsa Indonesia. Dimensi ini kurang dipahami dan diabaikan dalam

pandangan taradisional. Dalam kajiannya, disimpulkan bahwa melalui tokoh Kancil diketahui orang Jawa selalu mendambakan keselarasan keadaan dan

menghargai sifat cerdik yang tenang (cool intelligence). Hal ini tampak pada

diri Kancil saat menghadapi masalah besar dan bahkan mengancam kesela­ matan dirinya. Dongeng Kancil yang termuat dalam Serat Kancil Kridhamartaya dan Serat

Kancil Tanpa Sekaradalah contoh ke arah itu. Bahkan, di era sekarang dongeng ini telah diwujudkan ke dalam berbagai video dan pentas wayang kancil. Hal ini

menunjukkan adanya resepsi masyarakat terhadap folklor yang indah dan se-

kaligus berguna. Dongeng Kancil memang telah dibukukan, namun tidak berarti folklor lisan ini tidak berkembang secara oral. Di pedesaan Jawa masih banyak orang tua yang melisankan dongeng Kancil sebagai pengantar tidur.

Selanjutnya, para pemerhati folklor Jawa telah bermunculan. Tak sedikit para pengamat yang tertarik pada cerita-cerita populer Jawa, nyanyian rakyat,

dolanan Jawa, dan lain-lain. Umumnya, mereka tertarik untuk mengungkap aneka makna di balik folklor tersebut. Lebih dari itu, para dokumentator folklor

Jawa dari waktu ke waktu juga semakin banyak. Ketertarikan mereka pada

aspek-aspek tradisi dan aneka hal yang bernuansa lisan mulai bermunculan di beberapa tempat. Jika semula pemerhati folklor kurang dihargai, dibanding

kritikus-kritikus sastra modern, kini telah berbeda. Sejak James Danandjaya,

Achadiati Ikram, Pudentia M.P.S.S., Suripan Sadi Hutomo, dan Setya Yuwana Sudikan banyak menggali folklor lisan, folklor Jawa semakin terangkat posi­

sinya.

Aneka ragam folklor yang semula kurang mendapat perhatian, melalui kajian para ilmuwan humanis di atas, folklor Jawa semakin mendapat tempat

semestinya. Di berbagai perguruan tinggi di Jawa banyak diteliti folklor Jawa yang tergolong antik. Penggalian aspek-aspek kelisanan kentrung, dongeng,

wayang krucil, wayang jemblung, dan lain-lain menunjukkan eksistensi folklor Jawa yang semakin penting di masyarakat. Tentu saja masih banyak lagi folklor

Jawa di berbagai pelosok yang sekadar dinikmati oleh sebagian kecil pendu­ kungnya. Hal ini tentu saja memerlukan perhatian para pemerhati yang sanggup mengenalkan folklor Jawa ke khalayak ramai.

Dari Folkloris Dunia sampai Folkloris Jawa

B.

Istilah folkloris merujuk pada seorang ahli folklor. Folkloris dunia yang

telah menggerakkan ilmu folklor ke Nusantara berasal dari Amerika. Meskipun di Eropa, khususnya Belanda, juga ada, tetapi kurang berkembang luas.

Folkloris Amerika telah banyak mewarnai kajian folklor di Asia dan Nusantara, termasuk Jawa. Sampai saat ini, buku yang memuat para folkloris dunia telah

dikumpulkan oleh Danandjaya ke dalam bukunya berjudul Folklor Indonesia (1989), Folklor Jepang (1997), Folklor Amerika (2003), dan Folklor Tionghoa

(2007). Buku-buku itu memang banyak berbau Amerika, di mana tempat penulis

buku tersebut “menimba folklor". Dari situ tampak bahwa folkloris dunia lebih didominasi Amerika. Untuk itu, memang tak terlalu keliru kalau folkloris tersebut

dikatakan sebagai folkloris dunia. Karena, karyanya telah lebih dulu ada dan

banyak mewarnai perkembangan folklor di dunia secara eksplisit. Sebenarnya, yang masih implisit, di Inggris telah ada gerakan sosiologi dan antropologi yang mirip dengan studi folklor. Sejak zaman Spencer dan E.B. Taylor telah ada perhatian ke arah folklor. Kajian mitologi kuno bersifat evolutif telah dilakukan.

Kajian tentang religi juga banyak dilakukan waktu itu. Penyembahan ani­ misme yang mengarah pada ritual, sebagai bagian folklor sebagian lisan, telah

banyak menarik minat mereka. Intinya bahwa religi waktu itu berproses evolutif,

artinya bahwa unsur budaya ada yang survivaldari sebelumnya. Perkembangan

selanjutnya diteruskan oleh pemerhati fungsionalisme, yaitu Malinowski, yang mengkaji kehidupan orang Tribriand, sebelah tenggara Papua Nugini. Pangkal kajian dia adalah kehidupan sosial budaya berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia, seperti sandang, pangan, keamanan, perumahan, dan sebagai-

nya. Niat baik Malinowski dilanjutkan oleh Radcliff-Brown, sesama bangsa Inggris. Tokoh terakhir ini masih memperhatikan aspek budaya masyarakat,

dapat lestari sebagai sebuah organisme yang berhubungan di antara institusi yang ada. Kajiannya semi sosio-antropologi, meskipun ada aspek folklornya. Yang lebih mengerucut lagi adalah Levi-Strauss dan Victor Turner. Keduanya

berbasis antropologi, dan akan menjadi embrio kajian folklor yang amat penting. Jika Levi-Strauss lebih banyak memberikan pijaran ke arah kajian dongeng

mitos dari aspek struktural, Tumer justru ke arah ritual dan tradisi lisan. Turner pernah mengkaji budaya dan folklor masyarakat Ndembu, sampai ke aspek-

aspek simboliknya. Pada awalnya, peneliti folklor Jawa hampir dilakukan oleh orang-orang

asing dari Eropa. Para kolonialis ternyata tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk ambil bagian dalam penelitian folklor. Hal ini dimaksudkan untuk meneliti

lebih jauh budaya setempat (Jawa). Dengan memahami budaya setempat,

secara otomatis kaum kolonial mudah masuk ke wilayah Jawa. Pengkajian

folklor semacam ini lebih ke arah “dalam rangka" dan amat tendensius. Atas dasar itu, para peneliti asing dari luar negeri sering lebih dikenal. Orang Jawa sendiri seperti sering merasa kehilangan “kekayaan" folklor yang

amat berharga. Oleh karena beberapa dokumen folklor dibawa ke negara kolonial tersebut, terutama ke Belanda. Dengan kata lain, motivasi para kolonial

meneliti folklor Jawa tidak lain bersifat politis. Mereka ingin menguasai budaya

Jawa, agar mampu "menjajah" dunia Jawa secara keseluruhan.

Para peneliti asing yang mencoba menekankan khusus folklor Jawa me­ mang amat jarang. Namun, umumnya mereka membandingkan berbagai aspek

folklor di Nusantara, termasuk Jawa, sebagai bahan bandingan. Hal ini amat dipengaruhi oleh niat mereka datang ke Nusantara memang tidak hanya ke

pulau Jawa, melainkan juga ke wilayah lain yang strategis sebagai ladang dagang, penyebaran agama, dan lain-lain.

W. Schmidt, seorang peneliti dongeng di wilayah Austronesia, akhirnya mempunyai penafsiran tersendiri terhadap folklor. Menurutnya, masyarakat

memiliki dongeng yang berpusat pada bulan dan matahari. Bulan dan matahari

adalah sentral dongeng masyarakat. Dalam dongeng bulan, kehidupan bu­ kanlah hasil keturunan antara perkawinan dewa dan dewi. Dalam dongeng

matahari, kehidupan berasal dari perkawinan matahari dan bumi atau bumi dan langit.

Hal senada juga sering berkembang menjadi mitologi Jawa, sehingga muncul konsep bapa afcasa dan ibu pertiwi. Kisah semacam ini dalam dongengdongeng Jawa sering mewarnai kehidupan masyarakat yang bersifat mistis.

Perkembangan selanjutnya, dongeng semacam ini sering manjadi sebuah kos­ mologi Jawa. Dongeng-dongeng kejadian alam, termasuk terjadinya pulau Ja­ wa, semakin gencar dalam benak orang Jawa. Dalam dongeng lisan ini, sering

diyakini bahwa nenek moyang orang Jawa adalah Semar.

Tokoh lain yaitu W.H. Rassers, banyak meneliti dongeng Panji. Kesamaan

tema dasar dan struktur cerita Panji menurutnya memang ada di antara wilayah satu dengan yang lain. Dalam karyanya, dimungkinkan bahwa dongeng Panji

memang pernah hidup di wilayah Jawa Timur. Dongeng Panji ini pada gilirannya telah melebar dan terpecah-pecah ke dalam berbagai versi, seperti Kethek

Ogleng, Andhe-Andhe Lumut, Jaka Lodang, dan sebagainya. Berbagai variasi dongeng tersebut selanjutnya digarap ulang oleh para penulis sastra majalah Jawa. Akibatnya, berbaur antara sastra lisan sebagai folklor dan sastra tulis.

Atas dasar itu, H.B. Sarkar telah mempergunakan teori solar mythology

untuk menganalisis legenda Jawa Timur. Menurutnya, dongeng Panji sebenar­ nya melambangkan matahari menunggang kuda, yang senantiasa memburu

kecintaannya, sang bulan, yang selalu menghilang. Dan, menurut Sarkar, cerita Panji adalah mite alam dan tidak ada hubungannya dengan totemisme dan

eksogami. Dari pendapat demikian merepresentasikan bahwa folklor lisan merupakan perwujudan ide-ide tertentu orang Jawa. Orang Jawa mendam-

bakan kehidupan hero seperti Panji sebagai tokoh yang dianggap perkasa. Para penyiar agama (Nasrani, Islam) juga tak kalah penting dalam pene­

litian folklor. Secara langsung maupun tidak, mereka telah meneliti folklor Jawa untuk kepentingan pengembangan agama. Dengan memahami khasanah folklor masing-masing wilayah di pulau Jawa, para penyebar agama akan lebih

mudah memasuki wilayah tersebut. Dengan kata lain, budaya Jawa pada awal­ nya dijadikan "jembatan licin" untuk menyiarkan agama. Melalui pemahaman folklor

Jawa, agama yang disiarkan lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa. C. Poensen (Hulomo, 1991: 33), seorang guru agama Nasrani, banyak

menulis kebudayaan Jawa. Uraian dia tentang wayang kulit menyebabkan

karyanya diikuti oleh orang lain. Melalui wayang pula agama dapat ditebarkan.

Media wayang kulit dipandang lebih efektif dalam penyebaran agama. Hal yang sama juga digunakan oleh para wali dalam penyiaran agama Islam. Ber­ bagai unsur wayang kulit, lagu dolanan, dan sejumlah permainan rakyat banyak dimanfaatkan oleh penyiar agama Islam. Lagu-lagu seperti llir-ilir, Cublak-cublak

Suweng, E Dhayohe Teka, dan lain-lain selalu menjadi bahan perbincangan

religus di tengah para pendakwah. T.S. Raffles menulis buku The History of Java, yang di dalamnya juga memuat aspek-aspek folklor Jawa. Dia menganggap terjadinya Pulau Jawa

atas keturunan raksasa. Kisah-kisah semacam ini tentu memiliki implikasi politis

yang luas. Penulisan folklor dikemas melalui sejarah, juga diperlukan untuk

menarik garis perjalanan waktu kehidupan orang Jawa. Dari buku ini dapat diketahui seberapa perkembangan kebudayaan Jawa, mulai kaum Mahomet

Jawa sampai zaman kolonial. Religi Jawa dia gambarkan sebagai aspek folklor historis yang amat menarik direnungkan. Dari sini terlihat bahwa religi Jawa asli telah berbaur pula dengan keyakinan lain di belahan dunia. Para peneliti agama Jawa juga telah membuka wawasan terhadap dunia

folklor Jawa. De Jong, yang menulis Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa,

telah membuka mata kita betapa banyak aliran kepercayaan yang masih hidup di Jawa. Hal sama juga diikuti oleh Geertz dalam Abangan Santri Priyayi dan

Niels Mulder dalam Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa—serta masih banyak lagi. Para pengkaji religi Jawa tersebut banyak mengungkap aspek-

aspek folklor dari sisi antropologi.

Tinjauan folklor dari sisi antropologi ini telah mewarnai ragam penelitian folklor tersendiri. Para peneliti dari bidang budaya dan nilai tradisi umumnya

berkiblat pada pandangan budaya Barat yang dilontarkan Koentjaraningrat.

Dalam bukunya tentang Kebudayaan Jawa (1984), secara tidak langsung, dia telah mengkaji banyak folklor Jawa yang masih hidup di masyarakat. Kiblat

kajian folklor dari bidang antropologi ini selanjutnya tidak hanya berkembang pada folklor tradisional, melainkan juga pada folklor modern. Di era pascakemerdekaan, J. J. Ras juga mengkaji folklor Jawa, meskipun selintas. Dalam bukunya Javanese Since Independence (1979), dia mengum­

pulkan beberapa folklor Jawa, seperti lagu dolanan, pantun kentrung, dan parikan. Pengumpulan bahan folklor ini tampaknya lebih banyak sebagai doku­ mentasi saja dan belum ada pembahasan sama sekali. Ahli-ahli folklor Jawa

yang lain tampaknya belum banyak yang memfokuskan diri pada suatu fenome­

na. Sebagian besar orang Jawa masih memperhatikan folklor Jawa sebagai objek sambilan. Orang Jawa yang berinisiatif menelusuri folklor dengan mene­ rapkan metodologi secara optimal juga masih amat jarang.

Yang paling banyak dilakukan ahli folklor Jawa dari orang Jawa sendiri baru berupa potongan-potongan pendapat dan dokumentasi berupa skripsi

dan beberapa tesis. Karya yang berupa disertasi folklor Jawa amat jarang

muncul. Hal ini mengakibatkan perhatian orang Jawa sendiri terhadap miliknya

kurang begitu serius. Padahal, sebagaimana diketahui bersama bahwa orang Jawa hampir seluruhnya berjiwa paternalistik, sehingga kalau ada gagasan dari para doktor folklor akan mendapat tempat tersendiri. Apalagi kalau karya

doktor tadi sempat dibukukan, jelas akan tersebar luas dan lebih bermanfaat.

Pada awalnya, Dananjaya seorang pemerhati folklor "pertama” di Nusan­ tara, telah mengamati aneka folklor. Dia justru banyak meneliti folklor Jawa dari sumber-sumber tertulis, sehingga hanya mengungkap pendapat orang

asing tentang Jawa. Seiring dengan dia, Koentjaraningrat, meskipun tak langsung memanfaatkan metode kajian folklor, juga banyak mengungkap Jawa.

Dia lebih banyak mengungkap budaya Jawa dari sisi antropologi sosial. Baru tahun-tahun belakangan ini muncul pengikut Dananjaya, yaitu Suripan Sadi

Hutomo, Ayu Sutarto, dan Setya Yuwana Sudikan. Ketiganya secara khusus memang menerapkan kajian folklor. Masing-masing secara berturutan tertarik pada kentrung, folklor Tengger, dan wayang krucil.

Sebenarnya, Heddy Shri Ahimsa Putra memiliki kapasitas ke arah kajian

folklor, khususnya mitologi Jawa, lewat teori Levi-Strauss. Namun, studi dia belum terfokus ke arah folklor Jawa. Yang ke arah folklor Jawa justru masih berupa studi awal. Seperti halnya sinkretisme Islam Jawa yang dilihat dari

teori Levi-Strauss. Dia mencoba mensejajarkan mitos prabu Yudistira dengan

Sunan Kalijaga yang memiliki relasi historis, antara Ratu Kidul dan Raja Mata­ ram sebagai relasi profesis (peramalan), relasi Bima dengan Sunan Kalijaga

serta Dewa Ruci dengan Nabi Khidir sebagai relasi analogis, dan sebagainya.

Khusus mitos Ratu Kidul pernah ditelusuri oleh Y. Argo Twikromo, namun kajiannya juga belum memanfaatkan metode folklor. Dia lebih menitikberatkan pada aspek historis, khususnya bagaimana hubungan Ratu Kidul dengan Mata*

ram. Hal senada juga diungkap oleh Wisnu Minsarwati, yang mengkaji mitos Merapi dari sisi filsafat. Kajian filosofi ini sedikit banyak juga memanfaatkan

sumber folklor Jawa. Kajian terakhir ini sebenarnya semi folklor antropologi,

yang Menitikberatkan aspek tradisi.

Yang lebih khusus berbicara folklor ritual sebenarnya adalah Soehardi, dalam disertasinya yang berjudul Mystical Practices and Religious Belief in Contemporary Central Java (1993). Sayangnya, karya yang mengupas folklorfolklor mistik di Jawa ini belum dipublikasikan. Padahal, di dalamnya sedikit

banyak memaparkan aspek asketisme Jawa, ginostik, dan lain-lain. Basis-

basis ritual seperti ruwatan, gerebeg, dan sejumlah slametan dalam ritual juga dikemukakan. Kendati lebih ke arah folklor antropologi, ini merupakan dokumen­ tasi folklor penting, khususnya yang menyangkut budaya spiritual Jawa. Ide

besar ini kemudian saya ikuti dalam tesis berjudul Mistik Kejawen (2003). Kajian

folklor mistik ini, ketika dipublikasikan oleh penerbit Narasi mendapat sambutan hangat. Telah cetak dua kali selama satu tahun, dan lebih dari 40 penelepon yang mengusulkan berbagai penambahan dalam buku itu. Ini berarti masyara­

kat penggemar folklor mistik kejawen memang cukup antusias.

Selanjutnya, folklor Jawa memang banyak diminati oleh para pengkaji nilai tradisi dari lembaga Jarahnitra (Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional).

Lembaga ini berkali-kali mengumpulkan dan mengkaji folklor Jawa, namun karya mereka masih berserakan. Karya folklor yang sebenarnya amat berharga

itu lebih didorong oleh laporan proyek, sehingga publikasinya kurang optimal. Akibatnya, tak semua masyarakat dapat mengakses karya-karya folklor terse­ but. Lebih dari itu, kajian mereka pun masih semi folklor dan cenderung ke

bidang folklor antropologi. Sementara, Suyamni mencoba membandingkan mitos dewi Sri dari aspek filologi. Memang ada keterkaitan antara folklor dan filologi, namun karya dia tak sampai pada filologi lisan, melainkan naskah-

naskah yang tercetak dan carik. Akhirnya, folklor Jawa telah digemari oleh para mahasiswa, khususnya disiplin antropologi dan budaya. Folklor Jawa banyak dikaji dari berbagai aspek

oleh beberapa mahasiswa, seperti di FBS Unesa, banyak membahas folklor

yang berkaitan dengan sastra lisan di wilayah Ponorogo, Jember, Malang, Jombang, dan lain-lain. Di FBS UNY banyak pula mahasiswa yang tersedot pada aspek folklor Jawa, terutama folklor yang berhubungan dengan ritual Jawa. Beberapa tradisi dan seni folklor telah mereka garap, seperti folklor

Bersih Sendang di Klaten, Tarian Embleg di Wonosobo, Rambut Gimbal di

Wonosobo, Suran di Wonosobo, Sedekah Timang di Dlingo-Gunung Kidul, Cingcinggoling di Karangmaja-Gunung Kidul, Ki Ageng Wanalela di Sleman, dan lain-lain. Meluruh kajian folklor yang bervariasi itu masih berserakan dan belum dipetakan.

C.

Migrasi Folklor Jawa Migrasi folklor adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Per­

pindahan berarti penyebaran, perubahan, dan pengembangan folklor, yang

semula sederhana ke kompleks, dan sebaliknya. Migrasi juga dapat terjadi secara mulus, tanpa ada perubahan apa-apa dalam folklor. Migrasi semacam ini kemungkinan besar tanpa ada penyesuaian, tetapi begitu penting folklor

tersebut, karenanya dipindahkan secara langsung.

Migrasi akan menyebabkan folklor semakin dikenal di berbagai wilayah. Dengan cara ini folklor akan semakin populer. Berarti, migrasi dapat dinyatakan

sebagai wahana strategis pengenalan folklor ke tempat lain. Migrasi folklor

dapat terjadi melalui perpindahan seseorang dari tempat satu ke tempat lain. Orang tersebut sengaja membawa folklor yang dipertahankan dan dikembang­

kan di wilayahnya yang baru. Migrasi semacam ini berlangsung cepat dan secara alamiah folklor menjadi tersebar luas. Perpindahan seseorang dapat

sementara ataupun berlangsung lama (menetap). Hal ini akan mempengaruhi keintensivan migrasi folklor. Logikanya, semakin lama terjadinya migrasi

seseorang, folklor yang dibawa pun semakin intensif berpindah.

Orang-orang yang berpotensi memindahkan folklor dari sebuah tempat,

antara lain: pemburu, nelayan, transmigran, pelacur, peziarah, misionaris, tugas belajar, dan perkawinan campur. Perpindahan folklor dari orang-orang tersebut

ada yang secara halus dan ada yang dipaksakan. Ada perubahan yang disenga­ ja dan ada yang tidak sengaja, keduanya memiliki peran yang tidak jauh

berbeda. Banyaknya orang yang tugas belajar ke luar negeri dan sebaliknya menye­

babkan folklor Jawa akan mengalami perpindahan. Orang Jawa yang ke luar

negeri, sedikit demi sedikit, akan menularkan folklor miliknya. Orang tersebut juga akan membawa pulang folklor lain ke Jawa. Atas dasar ini, tentu persen­

tuhan antarfolklor sebagai akibat migrasi amat mungkin terjadi. Pada saat ini

terjadi d/fus/ (sebaran) folklor yang sulit dibendung. Maka, orang Jawa yang lama di luar negeri menjadi “kebarat-baratan”, sebaliknya banyak orang asing

di Jawa tampak lebih njawani.

D.

Sinkretisme dalam Folklor Jawa Ada tiga macam pemaknaan terhadap (teks puitis abjad) ha-na-ca-ra-ka

yang menghasilkan makna fiktif, makna simbolik, dan makna filosofis.

Re­

aktualisasi dan revitalisasi makna ha-na-ca-ra-ka dapat dilakukan dengan cara

menggali dan mengolahnya secara berkesinambungan sehingga menghasilkan

bentuk pemaknaan yang selalu segar di hadapan khalayak. Dalam kaitannya

dengan makna fiktif, misalnya, selama ini abjad ha-na-ca-ra-ka selalu (dan hanya) dihubungkan dengan legenda Ajisaka yang menampilkan tiga tokoh

penting, Ajisaka, Dora, dan Sembada, padahal dalam naskah lain terdapat tokoh penting lain yang belum pernah diungkap selain ketiga tokoh itu. Dalam

(kumpulan) naskah koleksi Perpustakaan Nasional Daerah Istimewa Yogya­

karta, misalnya, terdapat teks Ajisaka dalam versi lain. Dalam teks itu, antara lain, dikisahkan bahwa Ajisaka—anak tunggal mendiang Bambang Dursila—

berguru kepada Nabi Muhammad di Mekah. Setelah tamat, Ajisaka diminta untuk menciptakan aksara sebagai imbangan aksara Arab. Permintaan itu di­ sanggupi Ajisaka dengan menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Selain Ajisaka

sebagai murid, ada empat orang yang mengabdi kepada Nabi Muhammad,

yaitu Alip, Hana, Dora, dan Sembada. Menjelang keberangkatannya ke negeri Ngajam, permohonan Ajisaka untuk membawa Dora dan Sembada dikabulkan

Nabi Muhammad, seperti tercermin dalam bait Dhandanggula berikut. Rare kalih tinantun mring Gusti, pan Sembada lan sira pun Dora, Sira arsa sun paringke, mring Ajisaka iku, Sira bakal kinarya kanthi, yen mulih angejawa, ram dwl umatur, Sumangga sakarsa Tuwan, wus tinampi mring Ajisaka rare dwi, anut sakreh tuminah.

Setelah melakukan perjalanan selama dua jam, Ajisaka berhenti karena pangot "pisau"-nya tertinggal. Dora dan Sembada diperintahkan untuk

mengambil pisau itu. Di lain pihak, Nabi Muhammad mengutus Alip dan Hana

untuk menyusulkan pisau Ajisaka sesaat setelah melihat benda itu tertinggal. Di tengah jalan, kedua (kelompok) utusan itu bertemu. Oleh karena kedua

belah pihak saling mempertahankan pesan tuannya, bahwa Alip dan Hana tidak diizinkan untuk meyerahkan pisau bawaannya kepada siapa pun, kecuali

kepada Ajisaka, sedangkan Dora dan Sembada harus dapat membawa pisau itu dengan risiko apapun yang dihadapi, maka terjadilah perkelahian. Sehubung­

an dengan kekuatan kedua belah pihak yang seimbang, perkelahian itu berakhir dengan kematian mereka, mati sampyuh 'mati bersama’, seperti tampak dalam

bait Durma berikut.

Ramening prang pra samya jambak jinambak, keket denira jurit, lan sampyuh kang yuda, Alip lawan Sembada, sareng pejah nibeng siti, Hana lan Dora, sampyuh samya ngemasi. Tembang tersebut melukiskan bagaimana proses terjadinya peperangan antara Dora dan Sembada. Keduanya meninggal sampyuh, sehingga Ajisaka

harus menciptakan aksara Jawa. Reaktualisasi dan revitalisasi makna simbolik

ha-na-ca-ra-ka dapat dilakukan pula, antara lain, dengan munculnya makna

fiktif yang baru tersebut di atas. Bertolak dari makna fiktif baru itu, bergurunya Ajisaka (yang berasal dari Jawa dan telah mendapatkan wejangan segala ilmu

dari Hyang Nagaraja, sebagai simbol penyerapan budaya Hindu) kepada Nabi Muhammad merupakan simbol terjadinya asimilasi dan adaptasi antara budaya

Jawa, Hindu, dan Islam. Asimilasi dan adaptasi antarbudaya Jawa, Hindu, dan islam. Asimilasi dan adaptasi antarbudaya itu menyebabkan terjadinya budaya perbauran yang disebut “kejawen".

E.

Folklor Jawa Tertua Tanah Jawa memang penuh misteri. Berbagai kisah kosmogoni Jawa se­

ring mewarnai asal-usul tanah Jawa. Terjadinya alam semesta Jawa merupakan bentuk folklor tertua. Hal ini merupakan obsensi penting dalam peta pemikiran

orang Jawa ketika harus menghubungkan dirinya dengan kekuatan di balik

dirinya.

Asal-usul tanah Jawa sampai saat ini masih beraneka ragam. Sementara, ada pendapat orang Jawa memang berasal dari dewa. Leluhur Jawa adalah dewa-dewa linuwih. Ada lagi kisah yang cukup lekat di hati orang Jawa tentang

mitos kejawen. Seluruh kisah itu menandakan bahwa bumi Jawa sesungguhnya penuh folklor. Bumi Jawa subur folklor di mana-mana. Kekayaan tersebut mem­ buat orang Jawa semakin aneh.

Mitologi Jawa yang cukup hebat dan sampai saat ini masih memfolklor

adalah kisah leluhur kejawen. Raffles (1978:67-69) mengisahkan bahwa orang Jawa justru keturunan wayang. Kisah Pandawa dan Astina, yang bersumber

dari Mahabarata, hingga menurunkan raja Parikesit merupakan tonggak adanya orang Jawa. Raja ini sempat mengunjungi beberapa wilayah hingga ke kawasan Jawa. Jawa masih dihuni seorang raksasa. Pada mulanya Jawa bernama Nusa

Kendhang, pada tahun dengan candrasengkala nirabu tanpa jalar (0001). Di tempat itu sang raja menemukan tumbuhan sebangsa rumput bernama

jawa-wut. Sejak saat itu nama Nusa Kendhang diubah menjadi Nusa Jawa.

Sayangnya, penghuni pulau ini adalah seorang raksasa menakutkan bernama Dewata Cengkar. Raja ini akhirnya akan terkalahkan oleh Ajisaka, seorang

pendatang dari negara Atas Angin. Kehadiran Ajisaka disambut baik oleh orang Jawa asli, karena dapat menaklukkan raja kanibal. Tentu saja, kisah ini ber­ makna simbolis. Namun, orang Jawa meyakini bahwa kisah Ajisaka dan Dewata Cengkar memang awal dari peradaban orang Jawa. Kisah Ajisaka-Dewata Cengkar melukiskan pengalaman religi orang Jawa.

Dewata Cengkar berasal dari kata dewata (dewa), yaitu religi theis (ketuhanan),

dan cengkarberati ingkar. Cengkarjuga bermakna kering, tandus, sepi. Dewata

Cengkarartinya lambang eksistensi religi orang Jawa yang masih kering, buta, belum kenal, dan bodoh terhadap ketuhanan. Hal ini patut direnungkan karena

pada awalnya orang Jawa menganut paham animisme dan dinamisme, yang gemar menyembah roh dan benda sakti. Paham kebendaan ini sering dinama­ kan paganisme. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, dengan kehadiran Ajisaka yang ber­

asal dari kata aji (raja, kekuasaan ketuhanan) dan saka (tiang), orang Jawa

mulai bangkit peradabannya. Orang Jawa mulai mengenal tiang hidup, yaitu

ilmu Ketuhanan (tauhid), meskipun masih samar-samar. Karenanya, abdi ter­ cinta Ajisaka bernama Dora-Sembada, artinya orang Jawa masih berada pada

posisi ragu antara dora (keburukan) dan sembada (kebenaran). Kata dora

juga sering berubah menjadi doran, dari jarwodhosok maido marang Pangeran,

artinya tak percaya kepada Tuhan. Kata sembada, sering berubah menjadi

sembadra, artinya kehalusan, kelembutan, kecantikan, dan kebenaran. Agak sedikit berbeda dengan sumber-sumber folklor lain yang telah

merebak di kalangan orang Jawa bahwa nenek moyang orang Jawa bukan raksasa, melainkan Semar. Kendati masih berkisar pada wayang, anggapan ini tampak banyak yang menyetujui. Apalagi orang Jawa memang penggemar

wayang, sehingga bukan mustahil kalau memuja salah satu tokohnya. Dalam

Serat Tumuruning Wahyu Maya, telah dibeberkan dengan tegas bahwa wayang adalah budaya Jawa asli, bukan dari India. Karena, di beberapa sumber naskah

lama dan beberapa folklor lama telah beredar asumsi bahwa di masa itu telah

ada pertunjukan wayang kulit.

Cerita wayang kulit itu berkembang menjadi aneka cerita. Inti masing-masing cerita bisa menunjukkan bahwa orang Jawa adalah keturunan dewa, Semar khususnya. Hal ini semakin diyakini oleh orang Jawa, ketika muncul dokumentasi

folklor tentang asal-usul terjadinya tanah Jawa. Yakni, kisah pada saat pulau

Jawa masih kosong, Sanghyang Wenang mempunyai seorang anak tunggal bernama Sanghyang Tunggal, yang dikawinkan dengan cucu Jin bernama dewi

Rekatawati. Perkawinan keduanya melahirkan sebutir telur. Suatu keanehan

terjadi, telur itu meloncat ke angkasa dan menghadap Sanghyang Wenang. Maka, seketika itu juga telur diletakkan di telapak tangan Sanghyang Wenang

dan berubah menjadi tiga bagian. Bagian kuning telur menjadi Manikmaya, putih telur menjadi Ismaya (Semar), dan kerongkongan menjadi Togog.

Ketiganya saling berebut kekuasaan di Kahyangan, hingga akhirnya diadakan lomba menelan gunung. Togog yang mendapat giliran pertama gagal

menelannya. Semar juga mampu menelan, tetapi tak bisa keluar. Dan akhirnya Manikmaya yang berhasil, sehingga berhak menjadi raja. Maka, Togog dan

Semar harus turun ke bumi menjadi pamomong. Togog menjadi pamomong non-Jawa (sabarang) dan Semar menjadi pamomong di Jawa.

Dalam Serat Pustakarajapurwa karya R. Ng. Ranggawarsita juga diki­ sahkan asal-usul terjadinya tanah Jawa. Karya besar ini memuat Serat Maha-

parwa, yang melukiskan bahwa pulau Jawa awalnya tak bernama Jawa. Ke­ adaan Jawa masih sepi dan menjadi satu dengan pulau Sumatra. Oleh karena

itu, para dewa segera turun dari gunung Himalaya, datang ke pulau Jawa. Pada waktu menempati tanah Jawa di sebelah barat, sebelah timur terlalu ringan, hingga pulau Jawa pun bergoyang. Itulah sebabnya Hyang Guru segera

memerintahkan agar Wisnu memenggal gunung di sebelah barat, diletakkan

ke arah timur, agar Pulau Jawa tenang. Dari waktu ke waktu tanah Jawa pernah terkena pageblug, penyakit yang

menyebabkan kematian. Sore hari orang menderita sakit, pagi harinya mati; begitu pula sebaliknya. Maka, para dewa segera membuat tumbal berupa sesaji

yang diletakkan pada keblat papat lima pancer. Sejak itu pula tanah Jawa tenang kembali dan semakin subur. Agar orang Jawa cerdas, para dewa juga

mengajarkan berbagai petung (perhitungan) khas Jawa, dengan menggunakan

nama hari dan pasaran. Masing-masing hari dan pasaran ditengarai dengan

angka khusus. Untuk keperluan tempat tinggal, orang Jawa juga diajari membuat rumah

Jawa. Mula-mula hanya berupa rumah sederhana, yaitu kampung dan gedhang

selirang, hingga bentuk limasan dan joglo. Berbagai cara membuat senjata

dan alat pertanian juga diajarkan oleh para dewa. Akhirnya, orang Jawa mampu hidup bertani, membangun dhusun (kabuyutan), dan belajar apa saja; termasuk belajar berburu (mbebedhag), mengunyah sirih (nginang), dan tulisan Jawa

yang sederhana. Atas bekal semacam itu, orang Jawa bisa menguasai berbagai

upacara, bersih desa, sembah, dan sejumlah tata cara semadi. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Jawa juga memiliki agama, yakni agama Jawa yang bernuansa mistik kejawen. Ada 11 hal yang patut dianut

dalam menjalankan religi, yaitu (1) pengulu, ada panutan atau teladan, seorang pimpinan, (2) tetenger, religi itu ada ciri yang jelas, yang membedakan dengan religi lain, (3) panembah, jelas arah yang disembah, (4) laku, tata cara me­

nyembah, (5) tapane, cara mencegah hawa nafsu, (6) ariraya, hari besar religi yang diperingati, (7) larangan, larangan bertindak dalam religi, (8) pepali, ada sesuatu yang wajib diingat dan diperhatikan, (9) panglayon, upacara untuk

orang meninggal, (10) paliyasan, cara penguburan jenazah, (11) pamulian, cara memuliakan orang yang meninggal.

Namun demikian, dari 11 bidang kehidupan itu, pada gilirannya juga ber­ ubah sesuai dengan keadaan. Dalam setiap praktik religi, ada lagi yang disebut

sebagai guru, empu, dan juru. Orang Jawa yang tergolong tua menaati segala sesuatu yang telah digariskan oleh leluhur dalam segala bentuk religi. Jadi,

agama asli orang Jawa itu kini telah terpengaruh agama lain. Pengaruh itu

ada yang diterima dan disaring secara halus.

Bagian III BENTUK FOLKLOR JAWA A. Folklor Jawa Esoterik dan Eksoterik Berdasarkan klasifikasinya, folklor dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) folklor esoterik, artinya sesuatu yang memiliki sifat yang hanya dapat dime­

ngerti oleh sejumlah besar orang saja; (2) folklor eksoterin adalah sesuatu yang dapat dimengerti oleh umum, tidak terbatas oleh kolektif tertentu. Jadi, folklor esoterik lebih sempit jangkauannya, karena hanya milik wilayah terbatas. Mung­

kin pula, folklor jenis ini dipandang lebih sakral, sehingga pihak lain sengaja

dilarang memahaminya. Atau, bisa dinyatakan bahwa folklor ini hanya muncul untuk kepentingan kelompok, bukan untuk umum. Sedangkan folkloreksoterik sifatnya lebih umum. Setiap orang dapat memahami dan masuk di dalamnya.

Bahasa folklor semacam ini juga dipandang lebih populer dan akrab, tidak terlalu kuno.

Pengkajian folklor esoterik memang memerlukan kejelian dan keterlibatan yang mendalam. Pengkaji akan lebih bagus jika menjadi “orang dalam" folklor itu sendiri. Berbeda dengan folklor eksoterik, yang tidak begitu memerlukan

rapport intim (Danandjaya, 1986:477). Hal ini mengisyaratkan bahwa pengkaji

folklor esoterik membutuhkan kedekatan, hubungan personal, dan partisipasi

pengkaji. Sedangkan folklor eksoterik dapat dijangkau seperti penelitian folklor pada umumnya. Folklor esoterik biasanya juga ada kepentingan rahasia'

misalnya bahasa-bahasa jargon copet, bahasa gaul, dan sebagainya. Dalam kaitan ini, sering ada permainan isyarat yang amat rahasia. Karenanya, bagi yang belum paham sering kebingungan jika mendengar ataupun melihat folklor

jenis ini. Berbeda dengan folklor eksoterik, bahasa dan bentuknya lebih komu­

nikatif. Folklor esoterik juga sering berhubungan dengan hal-hal yang dianggap

rahasia dan istimewa. Berbagai hal yang berhubungan dengan mantra, misal­

nya mantra pengasihan, sering tak semua orang boleh tahu. Termasuk di dalam­ nya aji-aji, seperti aji lembu sekilan, aji welut putih, dan aji manuk ijo. Sejumlah folklor semacam ini sifatnya subjektif dan hanya diketahui oleh orang yang mendalaminya.

Ada lagi folklor esoterik Jawa yang berkaitan dengan kekuatan gaib;

misalkan saja, orang Jawa yang dapat membuat luk keris yang panas bukan main hanya dengan memijit-pijit pakai jari. Begitu pula orang yang mampu

mendirikan keris di ujungnya pada permukaan meja, sering sulit diduga

menggunakan nalar. Termasuk di dalamnya adalah klenik dan ilmu-ilmu hitam, sering hanya boleh diketahui oleh “orang dalam". Peristiwa "nikah batin" dalam

mistik Jawa pun memiliki karakteristik esoterik. Akibatnya, hanya orang Jawa yang tekun dan benar-benar meyakini yang akan berhasil mengikuti folklor

tersebut.

Berbeda dengan folklor eksoterik, yang biasanya lebih familiar dan banyak dikenalkan ke publik. Folklor semacam ini boleh diketahui oleh siapa saja,

yang sekadar ingin meneliti atau menikmati sementara, dipersilakan. Dalam

kaitan ini, amat banyak folklor Jawa yang tergolong eksoterik, sehingga mudah dikenal publik. Lagu-lagu Jawa yang dipandang sebagai hiburan, permainanpermainan rakyat yang tak sakral, tergolong dalam folklor ini.

Kondisi yang menyebabkan kolektif memiliki folklor esoterik dan eksoterik ada tiga hal (Yadnya, 1984: 31). Pertama, terjadinya keterpisahan atau keunikan. Jika suatu kolektif amat berbeda dengan kelompok lain, misalnya

karena beda keyakinan, seragam, dan geografis, sering menyebabkan folklor yang berbeda. Semakin orang tersebut menutup diri, kurang bergaul, dan terisolasi, berarti semakin memunculkan folklor esoterik, begitu pula sebaliknya.

Kedua, terjadinya kekhususan pengalaman dan tingkat pendidikan. Adanya spesifikasi ilmu dan ataupun ngelmu, sering menciptakan folklor yang

khas. Ahli-ahli santet, tenung, klenik, serta tenaga dalam sering membuat folklor esoterik yang amat sukar dipelajari orang lain. Folklor demikian sering hanya

bisa dinikmati secara lahiriah, namun jika diikuti agak sulit, bagi orang yang

tidak masuk, suntuk di dalamnya. Ketiga, terjadinya faktor khusus, seperti pujian, harapan, kesukaan ter­

hadap seseorang, sering memunculkan folklor khas pula. Ada seseorang yang

sangat memuji profesor, doktor, dan penemu-penemu teknologi lain sehingga membuat kolektif tertegun. Rasa hormat yang berlebihan terhadap figur tertentu

ini akan menyebabkan lahirnya folklor khas. Pendek kata, folklor esoterik dan eksoterik di atas dapat berubah-ubah kondisinya. Folklor esoterik dapat berubah ke eksoterik dan sebaliknya. Folklor yang awalnya hanya berupa ucapan seperti sugeng enjang (selamat pagi),

bisa berubah pula menjadi ucapan khas. Ucapan terima kasih (aturpanuwun)

yang lugas, dapat berubah menjadi sebuah thank giving (panuwunan) yang sakral. Bahkan, di lokal lain, ucapan itu menjadi matur nuwun saageng-

agengipun (terima kasih sebesar-besarnya) dan atau matur nuwun salebet-

lebetipun (terima kasih sedalam-dalamnya). Kedalaman makna ini akan me­ nyebabkan perubahan folklor dari esoterik ke eksoterik dan sebaliknya.

B. Folklor Jawa Populer dan Sakral Kata populer memang mengesankan folklor yang sederhana. Populer juga dapat diterjemahkan sebagai karya folklor yang digemari. Kesukaan yang ber­

lebihan dengan alasan tertentu akan menyebabkan folklor menjadi pop. Budaya populer (pop culture) adalah seni yang menarik minat masa, dan untuk dapat

menikmatinya tak memerlukan rasa intelektual tinggi. Analog dengan budaya pop, sesungguhnya folklor Jawa pun ada yang berbentuk populer. Folklor Jawa

populer artinya folklor yang sederhana, tetapi banyak diminati orang. Folklor semacam ini mudah dihafal dan melekat di hati masyarakat Jawa.

Salah satu ciri folklor Jawa pop: biasanya hanya berusia pendek. Kehidup­

an folklor pop hanya selintas, terkenal, lalu tidak ada gaungnya lagi. Kata usia pendek memang relatif, sehingga sulit dibatasi bulan atau tahun. Namun de­

mikian, folklor pop tidak selamanya bernilai rendah. Folklor pop tetap memiliki pendukung dan makna yang kurang lebih sama dengan folklor biasa. Bahkan kadang-kadang, animo masyarakat terhadap folklor pop jauh lebih banyak di­

banding folklor serius. Karena, pemahaman folklor pop tak harus bermodalkan kerut dahi dan tak membutuhkan waktu lama. Folklor pop biasanya amat spontan. Kemunculan folklor pop belum tentu

melalui perenungan mendalam, melainkan merupakan tanggapan situasi

tertentu. Pengaruh budaya ekonomi dan politik, bahkan religi, juga amat mem­ pengaruhi munculnya folklor pop. Karenanya, folklor pop bersifat tentatif. Ke­

hadirannya sering terdorong oleh kepentingan sesaat. Nilai seni dan rasa folklor pop kadang-kadang memang tidak begitu kental. Namun demikian, folklor pop

cenderung banyak penggemarnya. Dalam hal tertentu, folklor pop justru lebih

menarik dibanding folklor yang lain. Kadang-kadang, folklor pop muncul melalui

dunia panggung atau pentas. Ada kalanya juga muncul dalam media massa. Akibatnya, folklor pop tidak selalu berupa karya lisan (verba/) semata. Folklor

pop dapat berupa karya verbal yang ditulis.

Sebaliknya, folklor serius banyak membutuhkan waktu dan pemaknaan

mendalam. Makna dan fungsinya pun sering bertahan lama. Dengan demikian, banyak orang yang menyatakan bahwa folklor serius justru menyimpan estetika

tinggi. Sebenarnya, baik folklor pop maupun folklor serius tak menjadi persoalan bagi pencipta folklor. Karena, umumnya, folklor itu bersifat anonim, tentu tak

berpengaruh terhadap penciptanya. Hanya saja, dalam masyarakat Jawa

tampak jelas bahwa folklor serius biasanya memiliki makna dan fungsi yang tahan lama. Tak hanya terbatas pada bulan, tahun, melainkan juga sampai

berabad-abad folklor yang bernilai tinggi itu akan bertahan. Folklor bukan barang mati. Sebagai karya budaya, folklor mudah bergeser.

Sejauh manusia yang memanfaatkan folklor Jawa itu bergerak, folklor pun

demikian. Oleh sebab itu, folklor yang pada awalnya populer bisa tiba-tiba berubah menjadi serius dan sakral, begitu pula sebaliknya. Memang ada folklor yang tahan zaman, menjadi sebuah entity yang statis, tidak berubah-ubah.

Namun, jumlah folklor yang tak goyah relatif sedikit. Kegoyahan folklor bukan berarti nilainya otomatis rendah. Folklor Jawa yang berubah nama, bentuk, dan warna justru dipandang sebagai karya dinamis.

Folklor Jawa yang dinamis sering memunculkan folklor baru yang bersifat

populer. Folklor populer justru lebih mengasyikkan. Meskipun munculnya

spontan, dan kadang-kadang timbul tenggelam, justru sering menarik banyak

orang. Folklor ini tak lain yang disukai dan berguna bagi pemiliknya secara langsung. Berarti, folklor juga merupakan buah dari praktik dan proses budaya yang panjang.

Amold dan Leavi (Tilaar, 2003:6-10) pernah mengkhawatirkan timbulnya budaya pop sebagai ancaman terhadap otoritas budaya tinggi, namun Frankfurt melihat budaya pop sebagai penyesuaian diri (conformity). Mereka '

mengemukakan mengenai pengertian “industri-budaya" untuk menyebut produk dan proses budaya populer. Di samping kekuatan-kekuatan yang dilahirkan

oleh budaya pop, mashab Frankfurt memperingatkan, seperti Herbert Marcuse

dalam buku One Dimensional Man, bahwa ada kecenderungan manusia mod­ em menjadi budak dari budaya pop. Industri-budaya merupakan penciptaan budaya yang ditandai dengan standardisasi, kemiripan, dusta, manipulasi kon­ sumsi barang-barang, yang telah menyebabkan kelas buruh dibatasi wawasan

politik dan ekonominya menjadi manusia konsumtif sebagai objek eksploitatif

masyarakat kapitalis. Demikianlah sekilas pandangan dari beberapa teori

mengenai budaya populer. Betapa pun pandangan teoritis mengenai budaya populer semuanya me­

nunjukkan bahwa kebudayaan adalah suatu proses komunikasi. Maka, tidak mengherankan apabila John Storey di dalam bukunya, Inventing Popular Cul­

ture (2003), mengatakan bahwa popularculture perlu ditemukan kembali karena

bentuk budaya tersebut telah ada selama manusia berada di permukaan bumi. Budaya populer adalah temuan dari para intelektual. Dengan kata lain, budaya

populer telah ada jauh sebelum masalahnya diangkat ke permukaan dan perlu ditemukan kembali serta diartikan kembali dalam wacana teori kebudayaan.

Lowenthal mencatat bahwa keberadaan budaya populer boleh jadi sama umur­

nya dengan keberadaan peradaban manusia. Budaya populer merupakan bagi­

an dari tradisi atau kelanjutan hidup kebudayaan suatu komunitas. Seperti yang telah dijelaskan, tidak ada kebudayaan yang statis, tapi merupakan suatu

proses perubahan, ada yang cepat, ada yang lambat-lambat, ada yang relatif beku. Masyarakat yang mengalami pembekuan kebudayaannya berarti telah

mendekati kepunahan atau kematian budaya dan kematian masyarakatnya, seperti yang dialami oleh beberapa masyarakat di dunia.

Budaya populer adalah budaya yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat. Budaya populer adalah budaya yang demokratis. Di sini penting­ nya peranan kepemimpinan dalam masyarakat yang menjadi panutan dari para

anggotanya. Tanpa kepemimpinan atau mengambil istilah Antonio Gramsci, tanpa kelompok intelektual organis, yaitu pemimpin-pemimpin yang merupakan local genius, tidak mungkin suatu budaya baru dapat diterima oleh suatu komu­

nitas. Di sinilah pentingnya peranan pemimpin-pemimpin nonformal di dalam masyarakat tradisi yang mengadopsi suatu budaya baru yang kemudian dima­ syarakatkan.

Para pemimpin intelektual tersebut adalah pemimpin-pemimpin informal,

para pandai keris, para ahli pertanian (pertanian sawah atau pertanian kering), juru obat tradisional, ahli tari, semuanya merupakan kelompok intelektual yang bisa mengubah budaya suatu komunitas. Kita lihat, misalnya, dalam penye­ baran cerita Panji serta tarian topeng yang dahulu berasal dari istana kemudian

dibawa oleh pemuka-pemuka tari yang melebur di masyarakat biasa ketika

kerajaan Hindu-Budha dikalahkan dan berimigrasi ke Bali. Di tempat asalnya di Pulau Jawa, tarian topeng Panji mengalami perubahan-perubahan berbagai

versi yang ditentukan oleh para pemimpin atau para ahli seni tari dari istana.

Seni istana kemudian menjadi seni populer yang dimiliki oleh rakyat banyak. Dalam pemasyarakatan seni rakyat, seperti tari topeng, tentunya berlaku hu­

kum-hukum promosi. Sudah tentu promosi dalam proses ini bukanlah promosi

dalam arti industri-budaya dalam dunia modern, tetapi merupakan promosi /ace-to-face. Artinya, rakyat melihat dengan komunikasi personal akan unsur-

unsur budaya yang dibawakan para pemimpinnya.

Pemimpin mempunyai kemampuan yang lebih sehingga menjadi panutan rakyat dan apa yang diajarkannya dimiliki oleh rakyat banyak. Dengan demikian, seni rakyat atau budaya populer bukanlah budaya yang inferior atau yang kampungan, tetapi justru merupakan eksistensi yang sangat alamiah akan

nilai-nilai budaya yang dihayati oleh rakyat banyak. Apabila to promote berarti to encourage the existence orprogress, maka di sini kita lihat adanya hubungan

interaktif antara pemimpin yang mendorong kemajuan dari sesuatu yang diingin­

kan. Di sini kita lihat pula peranan kekuasaan yang ada di belakang proses

promosi. Kekuasaan di sini merupakan kekuasaan yang riil, yaitu kekuasaan kebudayaan yang diterima oleh semua pihak.

C. Foklor sebagai Media Komunikasi Budaya Dalam kenyataannya, menurut Tilaar (2003: 1) kebudayaan merupakan suatu arena terjadinya berbagai cara artikulasi dunia yang bukan tidak mungkin

saling bertentangan, saling sejalan, dan searah. Oleh karena itu, arti (mean-

ing) bukanlah sesuatu yang menetap (fixecf) dan dijamin oleh alam, tetapi sesu­ atu cara mewakili ekspresi alam di dalam budaya. Hal ini berarti bahwa arti

dari sesuatu tidak akan pernah menetap atau final atau benar, tetapi selalu dalam konteks yang terikat dengan waktu dan tempat. Oleh sebab itu, terbuka untuk perubahan dalam hubungannya dengan kekuasaan yang berlaku dalam

suatu komunitas.

Folklor merupakan wahana komunikasi budaya. Sebagai suatu wahana komunikasi, folklor merupakan suatu bidang budaya yang ditandai oleh suatu

pergumulan dalam hal pemberian arti pengertian-pengertian yang telah diang­

gap baku dengan penciptaan baru. Arti merupakan suatu produk sosial budaya. Pemberian arti folklor dengan sendirinya merupakan arena pergulatan dari

berbagai jenis kekuasaan. Folklor yang secara genealogis merupakan akar dari kebudayaan menempati tempat yang sangat penting dalam kelangsungan hidup suatu kebudayaan. Folklor Jawa populer pun akan menjadi penyangga

kebudayaan Jawa. Folklor sebagal budaya kerakyatan ternyata memainkan peranan yang

sangat menentukan dalam kelanjutan dan pengembangan suatu kebudayaan. Folklor sebagai wahana komunikasi tentunya memerlukan sarana-sarana pengembangan dan promosi. Promosi dalam folklor tidak terlepas dari proses pengembangan suatu budaya, antara lain dalam pengertian hegemoni yang

hidup di suatu komunitas yang dapat menerima, menolak, memberikan arti yang baru terhadap unsur-unsur kebudayaan baru yang memasuki suatu pola

kebudayaan lama yang telah ada. Raymond Williams dalam bukunya yang sangat terkenal, 77?e Long Revo-

lution (1991) dan Culture and Society (1958), mengemukakan tiga teori besar

mengenai kebudayaan (Tilaar, 2003:3). Pertama, budaya mengacu pada suatu proses perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis. Kedua, budaya sebagai pandangan hidup tertentu dari suatu masyarakat dalam periode atau kelompok

tertentu. Ketiga, budaya merujuk pada karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas artistik. Apabila kita simak mengenai budaya populer, maka

pengertiannya berkaitan dengan definisi kedua dan ketiga. Selanjutnya, John Storey, salah seorang pakar budaya populer serta penganut pandangan studi

kultural, membahas adanya enam teori budaya yang berkaitan dengan budaya populer.

Pertama, teori kulturalisme yang melihat budaya populer sebagai budaya rakyat yang termarginalisasi, yang rendah dan kampungan, dibedakan dengan budaya tinggi, seperti yang terlihat dalam masyarakat Inggris. Konsep kultur­

alisme ini antara lain dianut Matthew Amold serta penganutnya yang berpe­ ngaruh besar dalam masyarakat Inggris, F.R. Leavis. Teori kulturalisme ini meng­ anggap adanya budaya yang tinggi yang dianut dan dipelihara suatu kelas tertentu dalam masyarakat, di samping budaya yang lain, “yang dianut rakyat

jelata". Kedua, teori strukturalisme, yang kemudian berlanjut pada poststrukturalisme, berawal dari teori bahasa Ferdinand de Saussure yang mengatakan bahwa

makna adalah hasil dari proses kombinasi dan seleksi. Strukturalisme meng­ ambil ide dasar Saussure yang memperhatikan hubungan yang mendukung

teks dan praktik budaya. Selanjutnya, makna selalu merupakan hasil dari hu­ bungan seleksi dan kombinasi yang dimungkinkan terjadi dalam struktur yang

mendukungnya. Pandangan strukturalisme diterapkan Claude L6vi-Strauss dalam antropologi. Dalam hal mitos, L6vi-Strauss mengatakan bahwa mitos

mempunyai struktur yang sama. Tujuannya ialah membuat dunia menjadi jelas,

yang secara magis menjelaskan permasalahan serta kontradiksinya. Mitos merupakan suatu model logika untuk mengatasi kontradiksi. Dengan kata lain,

mitos berusaha untuk mendamaikan manusia dengan keberadaannya. Ketiga, poststrukturalisme diwakili Jacques Derrida yang mengemukakan

mengenai pengertian yang terpecah, different. Sesuatu yang ada bukan berarti

keberadaan yang penuh, tetapi yang terpenting, artinya maknanya belum leng­ kap. Jacques Lacan mengembangkan teori ini dalam psikoanalisa dengan

teori struktural dan pluralismenya. Sangat menarik teori Lacan mengenai per­

jalanan dalam tiga tahap perkembangan manusia, yaitu tahap cermin, tahap

permainan, dan tahap oidipus kompleks. Pada tahap pertama belum ada batas­ an antara figure dan objek karena kesatuan manusia dengan tubuhnya lengkap dan sempurna. Pada tahap kedua disebutnya sebagai perkembangan simbolik. Di sini merupakan pengenalan anak terhadap budaya. Dia mulai memperoleh

subjektivitas kemanusiaannya. Bahasa memungkinkan kita berkomunikasi dengan sesama, tetapi juga memperkuat pengalaman kita yang pada dasarnya

lemah. Pada tahap perkembangan oidipus kompleks, kita berhadapan dengan perbedaan jenis kelamin. Dalam tahap ini sangat menonjol dorongan keinginan sebagai suatu yang tidak mungkin untuk menutup jarak antara diri dan yang lain

dalam memperbaiki kelemahan kita. Pandangan poststrukturalisme ini antara

lain terlihat dalam pemikiran Michel Foucault yang melihat tidak ada kebenaran yang objektif. Semua pengetahuan merupakan suatu rekonstruksi dari yang

nyata. Pengetahuan adalah hasil dari suatu struktur kekuasaan dalam masya­

rakat. Pandangan ini juga dianut Edward Said yang mengupas mengenai waca­ na-wacana Barat tentang Timur atau orientalisme sebagai suatu konstruksi

pengetahuan Barat untuk kepentingan imperalisme Barat.

Keempat, teori Mandsme. Mandsme mengatakan bahwa budaya meru­ pakan super struktur dari kehidupan ekonomi. Ajaran Mandsme ortodoks ini banyak mendapat kritik, antara lain dari Williams, yang merupakan salah se­ orang pemimpin The New Left di Inggris. Kelima, teori materialisme budaya. Teori ini awalnya menentang Mandsme. Maksudnya, kebudayaan bersifat tidak material, sedangkan Mandsme mere-

duksikan budaya sebagai super struktural dari dasar ekonomi. Demikian pula Williams mengkritik Leavis mengenai teori kebudayaan immaterial, yang meng-

idealisasikan budaya sebagai antitesa dari budaya material. Pandangan yang berseberangan dengan Mandsme materialistik dikemukakan seorang mands

Italia, Antonio Gramsei. Menurut Gramsei, hegemoni itu bukan hanya ada pada suatu kelas, yaitu kelas proletar, tetapi juga pada semua lapisan masyarakat.

Revolusi bukan hanya terjadi dari kelas buruh, tetapi juga dapat terjadi pada kelas yang berkuasa, seperti kelas kapitalis. Dalam hal ini berperan apa yang

disebutnya kaum intelektual organik yang hidup di setiap kelas dalam masya­ rakat. Mereka adalah golongan intelektual organik yang dapat menjadi pelopor dari suatu perubahan sosial tanpa revolusi.

Keenam, teori feminisme. Gerakan ini merupakan suatu protes terhadap

hegemoni kaum laki-laki yang tidak mengakui kesamaan derajat serta peranan kaum perempuan. Dari enam teori di atas, pengkaji folklor Jawa dapat memasuki celah-

celah budaya yang amat rumit. Folklor Jawa populer maupun serius (sekret) dapat dipandang menggunakan teori tersebut, agar tak ada anggapan bahwa

folklor pop selalu lebih miring dibanding folklor Jawa serius. Melalui teori terse­

but, baik folklor Jawa pop maupun serius akan diletakkan pada proporsinya masing-masing. Keyakinan bahwa folklor apa pun merupakan wujud komunikasi

budaya akan terjawab.

D. Metamorfosis Folklor Jawa Palsu Folklor juga dapat bermetamorfosis. Perubahan bentuk folklor akan menye­

babkan folklor semakin kompleks. Metamorfosis ini dapat terjadi karena adanya migrasi. Terutama yang ditimbulkan oleh kesengajaan dari seseorang untuk

mengabadikan dan atau mendokumentasikan folklor. Proses dokumentasi itu biasanya dilakukan melalui tulisan maupun media. Dengan cara semacam ini,

folklor menjadi semakin rumit dan adakalanya juga lebih menarik.

Memang bukan pekerjaan ringan untuk mengatakan sebuah fenomena folklor asli atau palsu. Untuk mengatakan folklor saja amat sulit, jika kurang

paham ciri-cirinya, apalagi harus menyatakan orisinalitasnya. Para ahli memang masih bertanya-tanya, apakah karya folklor yang disampaikan lewat media

massa, baik cetak maupun elektronik, masih tepat disebut folklor? Tak sedikit folklor Jawa yang telah digarap ke media, seperti radio dan

televisi. Bahkan, dengan merebaknya kaset VCD, telah banyak dijual folklor

Jawa lewat rekaman, khususnya folklor lisan dan sebagian lisan. Tersohornya tembang-tembang campursari, juga besar kemungkinannya telah mengambil

folklor lisan sebagai syair. Jika demikian, ada yang menyebut folklor modern, folklor campuran, dan folklor palsu atau fekelore. Istilah “palsu" dan “asli" dalam

folklor Jawa masih boleh diperdebatkan. Karena, seiring kemajuan teknologi

dan komunikasi, apa pun bisa terjadi dalam folklor. Yang penting, tujuan dan

manfaat pemalsuan itu jelas, kiranya sah-sah saja, misalkan untuk popularitas dan pemeliharaan. Oleh karena ada folklor Jawa “palsu", pemain folklor pun semakin banyak.

Mungkin ada yang merasa elite dengan masuknya folklor "palsu”, lalu mereka tak menyebut dirinya pemain folklor. Mereka lupa bahwa yang sedang diucap­ kan atau dimainkan adalah folklor. Misalkan saja, penyanyi campursari yang

melantunkan lagu llir-ilir. Musik Padang Bulan dan Kyai Kanjeng yang dikemu­

dikan Cak Nun pun gemar lagu ini. Namun, para pemain lebih suka disebut

sebagai pemusik dan atau dai (penceramah agama) dibanding pelantun folklor. Dengan bergulirnya ketoprak humor, yang dikemas dalam aneka wujud,

orang Jawa semakin canggih mengotak-atik folklor. Hal ini sampai sulit teriden­

tifikasi bahwa yang sedang disaksikan atau dilakukan adalah kombinasi folklor

Jawa. Adanya ketoprak plesetan, ketoprak jampi stres, ketoprak ngakak, dan

lain-lain sebenarnya merupakan format inovasi folklor. Ujaran-ujaran folklor sering muncul dalam format ketoprak tersebut, hingga muncul neofolklor Jawa, namun para pelaku enggan disebut pemain folklor. Pelaku lebih suka dina­ makan aktor, pelawak, pendagel, dan bintang tamu.

Belum lagi perkembangan folklor Jawa humanistik di beberapa kampus,

cukup problematis. Tak sedikit tarik-menarik kepentingan di antara para ahli yang bersentuhan dengan folklor Jawa. Di Jawa amat jarang sebuah kampus

terkenal yang membuka departemen (jurusan) folklor Jawa. Umumnya hanya

jurusan sastra Jawa, Pendidikan Bahasa Jawa, Sastra Daerah, dan Sastra

Nusantara yang digelar. Bagi jurusan yang unsur folklornya dominan saja eng­

gan mengkhususkan diri pada program studi folklor. Mereka lebih suka bermain dalam folklor “palsu", yang bergerak di tengah, tetapi tanggung, antara pengem­

bangan folk dan lore. Bagi yang gemar mengembangkan folk, biasanya ke arah antropologi

budaya Jawa. Sedangkan yang tertarik aspek lore, merasa hebat dalam bidang sastra. Itulah sebabnya, folklor Jawa cenderung menjadi sebuah disiplin yang

pecah-pecah. Kalau di Amerika, ada usulan agar istilah folklor diganti menjadi

hominology dan folklife, meskipun tak banyak disetujui. Di Jawa, folklor menjadi

aneka cabang ilmu, seperti arkeologi, javanologi, etnomusikologi, dan antro­ pologi.

E. Folklor Jawa Politik Kehidupan politik di Jawa sering mempengaruhi folklor Jawa. Banyak karya folklor yang muncul sebagai reaksi politik. Politik identik dengan budaya keku­ asaan Jawa. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan folk sering menjadi bahan perbincangan dalam politik. Begitu pula sebaliknya, ungkapan politik sering

memfolklor dengan sendirinya. Folklor Jawa politik memang merupakan wahana ekspresi. Pencipta folklor sengaja memasukkan gairah politik agar mendapat perhatian berbagai pihak. Model-model folklor okupasional (occupational) dan protes rakyat (folk pro­ tesi) sering muncul dalam folklor. Sebagian besar folklor jenis ini adalah upaya

penyeimbang kekuasaan. Aneka ragam protes sering diwujudkan ke dalam anekdot, sindiran, ramalan, dan kisah-kisah lain yang mewujudkan gagasan

folklor politik. Folklor politik Jawa amat banyak ragamnya. Folklor tersebut pada awalnya

bergerak di era kerajaan sampai rakyat kecil. Kepercayaan masyarakat terha­

dap kekuasaan itu emas, super, status quo, dan isu-isu keadilan sering muncul

dalam folklor Jawa. Seluruh folklor Jawa politik tadi akan membentuk folk ideology, artinya ideologi rakyat. Biasanya dalam wacana folklor politik akan muncul beberapa premis, penekan (oppressor) dan yang ditekan (oppressed), yang memberikan tekanan pada pihak lain (yang ditekan) agar melakukan sesuatu demi kepentingan kekuasaan. Misalkan, munculnya folklor tarian rakyat Dha-

dhungawuk, yang mengisahkan peperangan Dhadhungawuk dengan Jaka

Tingkir—ini penuh simbol erotik dan politik. Begitu pula dengan nyanyian rakyat Sigra Milir, yang melukiskan kehebatan Jaka Tingkir. Termasuk di dalamnya

folklor KiAgeng Mangir Wanabaya, yang meninggal (dengan leher dipenggal)

saat melakukan sembah. Begitu pula pada kisah TumbakBaru Klinthing, yang bernuansa erotik dan politik. Di era kerajaan Demak dan Pajang memang bermunculan aneka folklor

politik religius. Penaklukan kekuasaan berdalih agama sulit terhindarkan. Apa­ lagi setelah walisanga menerapkan strategi dakwahnya. Folklor politik Jawa

manjing ajur-ajer (pintu terbuka) segera diterapkan untuk mengakomodir ber­ bagai kepentingan. Dengan cara begitu, politisasi religius semakin mengena.

Rakyat semakin taat dengan pemanfaatan folklor, seperti wayang Puntadewa, yang dianggap sebagai pemilik darah putih dan pusaka Jamus Kalimasada

(simbol rukun Islam), Payung Tunggul Naga (simbol perlindungan hakiki), serta Tumbak Karawelang (simbol kekuasaan yang sosialis).

Dengan cara demikian, politik kerajaan untuk menjadi panjang punjung pasir wukir tata titi tentrem kerta rahaija, seperti folklor jantura dalang, akan

terwujud. Penguasa raja menaati prinsip tersebut hingga rakyat tak merasa dipaksa dikuasai, baik secara politis maupun religius. Keyakinan waktu itu sekadar abon-aboning ngaurip (kelengkapan hidup). Secara tak langsung, rak­

yat menjalankan agama, tunduk pada penguasa, tetapi juga masih melaksana­ kan cara-cara lama, seperti sesaji, semadi, dan membakar kemenyan. Sejak kerajaan Mataram banyak terjadi politisasi kebatinan. Kebatinan sebagai karya folklor Jawa telah dimanfaatkan dalam kehidupan kekuasaan.

Mistikisasi politik pada waktu itu sulit terelakkan. Niat penguasa sejak Sultan

Agung Hanyakrakusuma yang gemar melakukan teki-teki—artinya mencegah hawa nafsu dengan bertapa—adalah bukti pemanfaatan foklor dalam segmen

politik. Raja besar ini juga memiliki prasapa luhur yang dikenal dengan ucapan

mangasah mingising budi, memasuh malaning bumi. Artinya, sejalan dengan

amar makruf nahi munkar. Dia mengajak berbuat baik atas dasar nalar dan logika serta meninggalkan kebatilan. Prinsip inilah yang menjadi motor pengge­ rak keinginan raja memayu hayuning bawana (raf), artinya mensejahterakan dan melindungi rakyat.

, Gagasan folklor politik semacam ini juga dikembangkan lagi oleh Panem­ bahan Senapati, hingga melahirkan mitos Ratu Kidul. Kendati ada anggapan pertemuan mistis kedua tokoh ini lebih ke arah legitimasi kekuasaan, tetap

menarik dikaji dalam kaitannya dengan folklor politik. Apalagi sampai sekarang

folklor ini telah meluas menjadi ritual gerebeg dan tabuhan. Begitu pula dengan

ritual siraman pusaka dan mubeng beteng, telah menciptakan folklor politik yang luar biasa.

Era kraton selalu berpegang pada folklor politik ideologis. Yakni, melalui ungkapan tradisi yang cukup kental dan dipahami rakyat. Melalui unen-unen

yang sering dikumandangkan dalang wayang kulit, raja Jawa selalu mengede­ pankan hambeg adilparamarta, sabda pandhita ratu tan kena wola-wali, berbudi

bawa leksana. Adilparimarmeng dasih, anggeganjarsaben dina. Maksudnya,

seorang pemimpin jabatan politik hendaknya berwatak adil tanpa pamrih, taat janji, apa yang dinyatakan menyatu dalam perbuatan. Setiap saat akan bersifat

dermawan demi kesejahteraan rakyat. Unen-unen demikian berjiwa mengikat pimpinan dan bawahan, sehingga hubungan keduanya benar-benar sampai pada titik manunggaling kawula-Gusti.

Prinsip-prinsip politik yang dipegang adalah kekuatan batin. Pemimpin

berdasarkan wahyu. Pada tingkatan semacam ini, orang Jawa enggan nggege

mangsa dalam tapuk perubahan kepemimpinan. Karenanya, setiap ada pergan­ tian pemimpin selalu disikapi sebagai pulung. Pimpinan bukan diminta, melain­

kan atas kehendak Tuhan dan rakyat. Tuhan akan memancarkan restu dan rakyat menghendakinya, sehingga pertemuan keduanya mengkristal pada diri

pimpinan. Itulah sebabnya dalam segala geraknya seorang pimpinan politik berpegang teguh pada folklor sebagai berikut. Sugih tanpa bandha Menang tanpa ngasorake Nglurug tanpa bala Digdaya tanpa aji

Maksud dari pegangan hidup politik demikian adalah pimpinan harus menguasai ngelmu lahir dan batin. Ngelmu itu ibaratnya orang kaya tanpa harta yang nampak. Melalui ngelmu, ketika memerintah akan bijaksana. Inilah bentuk kawicaksanan Jawa yang dalam folklor disebut folk wisdom (kebijak­

sanaan rakyat). Melalui kebijaksanaan ini, yang diperintah tak merasa dika­

lahkan. Yang dipimpin akan bersikap ndherek ngarsa dalem, sendika dhawuh, artinya mengikuti perintah dan menjalankan dengan ikhlas lahir batin. Dia dapat

menaklukkan meskipun hanya sendirian, karena penuh strategi. Dia pimpinan yang sebenarnya sakti, karena ngelmunya. Atas dasar ngelmu itu, pemimpin

memiliki kasekten atau kedigdayaan.

Di era kolonial, banyak muncul pula folklor-folklor Jawa politik, misalnya

kisah Baron Sekender. Tokoh ini dikisahkan terbang dan jatuh ketika tepat berada di atas keraton Yogyakarta. Hal ini sebagai simbol adanya kekuatan

sentral keraton jauh lebih sakti dibanding penjajah. Begitu pula riwayat fiktif

tentang terjadinya Kota Gudeg, sebenarnya merupakan folklor politik era kolo­ nial. Dari cerita ini, identitas lokal gudeg sebagai nama besar Yogyakarta di

mata Belanda amat ditonjolkan. Kisah-kisah folklor politik di era baru dan modern pun menarik diperhatikan. Sebagai contoh ketika gambar Soeharto digunakan sebagai simbol uang pecah­ an Rp 50.000,00 secara diam-diam menggambarkan identitas tokoh politik ini,

yakni ketika dia meninjau wilayah miskin harus menjatuhkan uang tersebut bagi orang miskin. Ternyata uang tersebut ketika diterima langsung dimasukkan

di “saku tradisional" (kutang). Uang itu ternyata tak laku untuk jual beli, sehingga

dikembalikan kepada Soeharto. Pada saat dikembalikan, Bu Tien melihat ter­ nyata gambar di uang itu berubah menjadi tersenyum ria.

Perubahan-perubahan yang bernuansa anekdot juga merupakan bentuk

folklor Jawa yang berbau politik. Ada anekdot yang berupa untaian tembang macapat sebagai berikut.

Semut ireng ngendhog jroning geni Manuk merak memitran lan baya Keyong sakenong matane Tikuse padha ngidung Kucing gering ingkang nunggoni Kodhok nawu segara Antuk bantheng sewu Si precii kang padha njaga Tembang di atas melukiskan simbol-simbol politik di era kolonial. Semut hitam dapat ditafsirkan masa revolusi fisik, rakyat berseragam hitam-hitam,

terjadi perang dahsyat, sehingga bertelur dalam api (keadaan bahaya). Burung merak bergandengan dengan buaya adalah tokoh feodal yang gedheg anthuk dengan Belanda, lalu mengambil keuntungan dalam kesempitan. Keyong

adalah simbol rakyat yang merasa tak rela, maka matanya sakenong (mendelo) atau melotot. Apalagi waktu itu banyak koruptor berdendang ria, yang dilam­

bangkan tikus bernyanyi. Orang-orang banyak yang nawu segara, artinya menguras harta rakyat demi kepentingan pribadi dan golongan. Seluruh upaya

korupsi tertata rapi, ibaratnya di jaga precii (rakyat kekcil) yang mendapat ku­

curan dana. Mereka itu akan memuji bahwa pemimpinnya sangat adil dan dermawan.

Sebagai contoh pada waktu Edi Tansil lolos dari penjara, ternyata namanya spontan diubah oleh kolektif tertentu menjadi Edi Kancil. Hubungan antara suara Kancil dan Tansil seakan-akan relevan sesuai sifat-sifat tokoh ini, bahkan

kadang-kadang berubah lagi menjadi Tansil Nyolong Triliun, bukan Kancil

Nyolong Timun. Begitu pula ketika suara PAN menurun di Pemilu 1998 ke 2004, mendadak nama pimpinannya bisa berubah menjadi Amin Nangis. Nama dai Sejuta Umat, K.H. Zainudin M.Z., ketika hasil pemilu menunjukkan suara

berkisar dua juta, nama diubah menjadi Dai Dua Juta Umat. Yang cukup unik

lagi adalah anekdot yang sering diucapkan Cak Nun pada beberapa pertemuan, bahwa presiden Indonesia itu hampir selalu “kekanak-kanakan”. Pasalnya,

presiden pertama banyak anak, kedua harus anak polah bapa kepradhah, ketiga seperti kanak-kanak, keempat harus dituntun anak, kelima bisa manak (beranak).

Bagian IV BAHASA RAKYAT A. Bahasa Jawa Unik 1. Slang: Bahasa Rahasia Bahasa rakyat Jawa tergolong folklor lisan yang khas. Orang Jawa selalu menyatakan bahwa basa iku busananing bangsa. Artinya, bahasa itu menjadi

identitas bangsa. Pemakaian bahasa Jawa menjadi ciri khas orang Jawa. Dalam tindak berbahasa, orang Jawa selalu membungkus pesan dengan semu (sim­ bol). Lalu dikenal wong Jawa nggone semu, artinya orang Jawa banyak meng­

gunakan bahasa tersamar dalam komunikasi. Dari sini akan muncul aneka

ragam bahasa Jawa yang unik dan mempesona.

Bahasa rakyat muncul secara spontan. Tanpa memperhatikan struktur dan kamus baku. Atas dasar kreativitas itulah bahasa Jawa menjadi tradisi

lisan. Dalam kaitan studi folklor, ada beberapa hal yang patut diamati dalam kaitannya dengan konteks sosiokultural tradisi lisan, antara lain (a) pan-traditional, yaitu celaan atau cercaan tradisional, berupa logat-logat pisuhan, seperti

di Jawa ada kata asu-asem, bajingan-bajigur, cangkemu-cangkirmu, (b) dialectal, yaitu bahasa dialek masing-masing wilayah, seperti inyong, nyok, gue, sun\ (c) idiolectal, yaitu gaya individu dalam bicara, menyanyi, dan lain-lain yang berupa saradan (kebiasaan) yang sulit dihindari, misalkan mbul, ndhul, su, dan lain-lain.

Bentuk bahasa rakyat Jawa yang tergolong unik adalah slang. Slang berasal dari kosakata dan idiom para penjahat atau kolektif khusus. Maksud

penggunaan bahasa ini untuk menyamarkan makna. Pada awalnya hanya

diketahui oleh kolektif tertentu. Namun, perkembangan selanjutnya slang telah banyak digunakan oleh siapa saja. Slang tergolong alat komunikasi khusus di

wilayah pemakaianya.

Dalam slang termuat konteks budaya tertentu. Tak jarang para pengguna slang bermaksud memperdaya orang lain. Dengan kata lain, slang adalah bahasa rahasia. Karena memiliki arti khusus, slang juga disebut cant. Seorang pencopet atau penjambret sering menggunakan kata jengkol, suket, lombok

ijo, dan lalerijo. Jengkol sebagai kata isyarat kacamata, karena bentuk jengkol besar bulat, mirip kacamata seseorang. Hal ini merupakan sandi rahasia agar

pencopet menyambar kacamata milik seseorang, apabila copet yang lain mem­ beri aba-aba: jengkol. Kata suket beranalog dengan bentuk lancip seperti senjata. Warna suket

biasanya hijau. Berarti, baik warna maupun bentuk sebagai petunjuk bahwa ada polisi. Namun, konteks ini polisi era lalu, sekarang sudah berubah berwarna cokelat. Karenanya, para penjahat mengubah slang menjadi permen coklat. Kata lombok ijo dan lalerijojuga analog dengan polisi dan atau tentara masa

lalu yang ditakuti penjahat. Namun, di era sekarang, slang demikian sudah tidak kontekstual lagi. Apalagi sekarang antara penjahat dan polisi reserse sudah sulit dibedakan. Seluruhnya hanya dibedakan dengan yang memiliki

kartu dan yang tidak. Slang juga sering digunakan anak-anak muda. Slang semacam ini selanjut­

nya dikenal dengan bahasa gaul. Akhir-akhir ini bahasa gaul mencuat ke permukaan, seiring dengan munculnya produk-produk pakaian yang mengambil momentum ini. Misalkan saja kata dagadu, yang sesungguhnya berakar pada

tulisan Jawa. Dalam tulisan Jawa, dagadu bermakna matamu, maka simbol

salah satu pabrik kaos di Yogyakarta yang terkenal berupa gambar mata (men-

delo). Proses pembalikan demikian sebenarnya sering dilakukan masyarakat

Jawa dalam menyamarkan nama maupun kalimat yang dipandang rahasia. Nama-nama yang sebenarnya bernilai rendah dalam asumsi orang Jawa mod­

ern, ketika dibalik, menjadi naik gengsinya. Misalkan, nama Pariyem, dibalik menjadi Meyirap, nama Tugiyem dibalik menjadi Meyigut, dan sebagainya. Begitu pula untuk menyebut jabatan yang dianggap menakutkan di masyarakat,

seperti polisi dibalik menjadi isilop. Pembalikan kata ini setelah dirangkai ke dalam kalimat menjadi agak aneh dan lucu. Bagi yang kurang memahami kunci-

kunci pembalikan, akan sulit memahami bahasa demikian.

Ada lagi proses pembalikan suku kata yang unik. Bagi yang mendengar

kata-kata yang dibalik ini juga akan terasa aneh. Misalnya, aku mangan sega

menjadi uka nganma gase. Kalimat awas ana maling menjadi wasa naa lingma. Pembalikan suku kata semacam ini, jika dalam dialog panjang, memang agak

sulit dipahami. Namun, bagi yang telah terbiasa, panjang pendek kalimat tak jadi soal. Di samping pembalikan kata, ada pula penyingkatan kata yang khas di

Jawa yang bernuansa slang. Penyingkatan ada yang menyebut akronimisasi. Yang berupa penyingkatan akronim, misalnya jan ngantiPCDS (pecah endhase),

bocah enom saiki dha ora PD (percaya diri), penyakit BAKMI (bosenan, aras-

arasen, keset, micekan, isinan), saiki dadi wong TOP (tuwa ompong perof), nuwun sewu lagi lara KANKER (kanthong kering), dan lain-lain.

Bahasa rakyat yang berupa slang sering juga mewarnai dunia transportasi. Biasanya, para kernet atau kondektur dan sopir sering menggunakan katakata serapan. Kata-kata yang diserap itu dipandang lebih bergengsi dan sebagai

penyamaran makna. Misalkan, kata najing, sejing, nggapek, dan pekngga. Kata-kata ini biasa dipergunakan untuk menyebut jumlah satuan uang. Orang

Jawa di pedesaan pun sering menggunakan kata yang merefer ukuran tertentu: sakendhilpicek, karobelah, oragableg, karotengah ewu, sepikul sagendhong-

an, sadedeg sapengawe, sak deg sak nyeg, dan badan sepata. Kata-kata ini digunakan untuk mengekspresikan berbagai hal yang dipandang lebih komunikatif.

2. Bahasa Jawa Gaul Bahasa gaul di sekolah dan kampus juga merupakan penyimpangan dari konvensi. Bentuk bahasa semacam ini dinamakan colloquial. Misalnya, seorang pelajar mengatakan kepada temannya dengan model singkatan: gense (genit),

sombong (somse), cari muka (caper), dan blak-blakan (curhaf). Panggilan ter­ hadap teman akrab ada yang terkesan kasar, padahal sesungguhnya menya­

takan tingkat hubungan yang erat, misalnya muncul kata-kata: Dab, untuk menyebut teman lain yang mempunyai hubungan dekat sekali. Komunikasi dengan kata dab dipandang lebih akrab dan semakin mempererat persahabatan. Lalu muncul kalimat sederhana: “Arep nyangngendi dab?"(mau

ke mana kau?). Bos, untuk menyebut teman lain yang dipandang lebih tinggi statusnya. Sebagai penghormatan kepada status teman lain dinyatakan sebagai bos, artinya orang yang besar, suka berjiwa besar, suka menanggung risiko, dan

mentraktir makan. Orang yang disebut bos amat bangga, tidak merasa ada beban. Senada dengan ini, seringkali ada penyebutan kepada orang berstatus

sosial tinggi menjadi: rama, kanjeng, kakaprabu, ki ageng, pakdhe. Kata-kata ini diterapkan dalam pengertian lawan bicara sebagai bos. Kata-kata yang

sebenarnya berasal dari idiom kratonik tersebut diucapkan sebagai bahasa

gaul dan tampak lebih mewakili kejiwaan. Ndhul, mbul, paija, su (asu), nyuk (munyuk), cil (kancil), dan lain-lain digu­

nakan untuk menyebut teman lain yang dekat. Jarak sosial hampir tidak ada ketika kata-kata yang terkesan misuh (memaki) itu muncul. Padahal, kalau dirasakan sebenarnya bahasa semacam itu tergolong kasar. Namun, bagi yang menggunakan dalam konteks gaul, justru akan mempererat tali persaudaraan.

Pemakaian bahasa semacam ini lama-kelamaan menyebar dan menjadi sebuah kebiasaan bagi penuturnya. Semakin akrab mereka mempergunakan

bahasa tersebut, semakin intim pula hubungan sosialnya. Meskipun di telinga

orang lain bahasa tersebut terasa kasar dan kurang sopan, di kolektif pendu­ kungnya justru lebih bagus.

Bahasa circumlocution yaitu pernyataan tak langsung untuk menyebut sesuatu yang dianggap membahayakan. Misalnya, ketika orang Jawa pergi

ke hutan melihat seekor harimau, akan mengatakan ratune. Saat harimau itu

berkeliaran ke desa-desa di malam hari, mereka menyebut kyaine. Begitu pula kalau ada tikus yang memangsa padi milik petani, dinyatakan den baguse. Untuk mengucapkan ular yang berkeliaran di sekeliling rumah, dinyatakan ana

kolor atau ana sabuke bapak. Ketiga ungkapan ini sebagai upaya penghargaan pada hewan tertentu yang dianggap berbahaya, agar tak mengganggu.

3. Onomastik dan Onomatopik Jawa Onomastik Jawa adalah pemberian nama diri dan tempat yang khas di

Jawa. Pemberian nama khas di Jawa, yang disesuaikan dengan hari, bulan,

dan peristiwa penting lain merupakan bahasa rakyat. Pemberian nama ada dua macam, yaitu nama kecil dan nama besar (dewasa). Nama kecil sering

menjadi telahan (julukan). Pemberian nama tersebut sering diselamati dengan jenang abang. Di Jawa, ada yang bernama Tupon (lahir hari Sabtu Pon), Tu-

giyem (Sabtu Legi biar ayem), Tupar (lahir bulan Sapar), Dalut (medal atau lahir bulan Maulud), dan sebagainya. Nama-nama semacam ini memang di­

anggap ndesit (berbau desa sekali). Ada juga yang menyatakan nama kluthuk,

kurang bergengsi. Untuk menambah gengsi, maka panggilan nama-nama yang dipandang rendah tadi dinyatakan dengan bentuk lain. Misalkan, orang bernama Poniyem menjadi Veni, Wakinah (dipanggil In), Turinah (dipanggil Rin), Sugana

(dipanggil Gogon), Sutono (dipanggil Ton), dan seterusnya.

Panggilan nama ada yang disesuaikan dengan bentuk fisik ataupun tugas

atau pekerjaan seseorang. Misalkan, Yati Pesek, karena memiliki hidung pesek (kecil). Panggilan Slamet Wedhus, karena setiap hari menjadi blantik (makelar) kambing. Parno Uwuh, berkaitan dengan tugasnya mengumpulkan sampah.

Bakso Pak Jenggot, karena penjualnya memiliki jenggot panjang. Bengkel mobil

Gondrong, karena pemiliknya berambut panjang. Pemakaian nama juga sering ada gelar khusus, misalnya raden ayu, raden

ajeng, kanjeng raden tumenggung, gusti bendara, panji anom, mas guru, mas bei, den bei, dan sebagainya. Gelar ini berhubungan dengan status sosial di masyarakat. Menurut Soepanto (1986:424), pemakaian nama Jawa memang

memiliki arti tersendiri. Nama boleh dikatakan akan menjadi lambang status

sosial. Sebagai contoh, pemakaian nama Kusuma seakan-akan hanya mono­ poli keturunan raja. Akibatnya, rakyat kecil sering takut menggunakan nama

yang berbau sentris. Nama-nama yang berbuntut ningrat (Prabuningrat,

Yudaningrat, Cakraningrat, Suryaningrat, Puspaningrat, dan sebagainya) tidak semua orang mau memakai, kecuali keturunan kraton. Pemakaian onomastik nama-nama tempat, seperti salon, penjual gudeg,

penjual jamu/obat, dan sebagainya di Jawa juga memiliki kesan khusus. Bia­

sanya, nama salon berhubungan dengan nama yang modem, seperti Salon Ayu, Salon Pantes, Salon Pas, Salon Nges, dan seterusnya. Nama pengusaha

gudeg atau makanan khas, biasanya dibuat yang terkesan desa. Misalkan, Gudeg Yu Siyem, Gudeg Yu Giyok, Ayam Goreng Mbok Sabar, Ayam Goreng Mbok Berek, dan sebagainya. Tempat jual jamu/obat biasanya bernama Sumber

Waras, Cepet Pulih, Enggal Mari, Waras-Wiris, dan sebagainya.

Nama-nama paguyuban yang terkesan ada nuansa seni dan budaya, secara otomatis akan menggunakan kata-kata yang senada. Misalkan, ada

kelompok macapat yang menamakan dirinya Mulya Laras, Laras Madya, Laras Sumekar, Mekar Arum, dan lain-lain. Nama-nama paguyuban ketoprak atau

kebudayaan juga menggunakan nama seperti Wahyu Budaya, PS Bayu, Wahyu Manunggal Jati, Siswo Budaya, dan lain-lain. Ada lagi payuban kebatinan atau

penghayat kepercayaan yang menggunakan nama Susbud (Susila Budi Dar­

ma), Das (nol/suwung), Pangestu, Puser Bumi, Sasangka Jati, dan lain-lain. Nama-nama tersebut disesuaikan dengan kiprah dan nuansa yang ada di

dalamnya. Hal ini sekaligus ada permainan analog-analog yang cukup tinggi.

Penamaan berdasarkan onomatopik sering dipergunakan juga oleh orang

Jawa. Yakni, penamaan apa saja menurut bunyi sesuatu. Pada saat menyebut lembu menjadi hemoh, kuda menjadi ieh-ieh, kucing menjadi meong, dan anjing disebut huk-huk. Karena suaranya cek-cek lalu dinamakan cecak, bersuara

tekek dinamakan tekek, dan seterusnya. Atas dasar ini muncul beberapa kata Jawa yang berbau onomatope, misalnya kedhomprang (mirip piring pecah),

jedher (mirip suara mercon), thar (mirip suara cemeti), thut (suara kentut),

ngung (suara kumbang), ngeng (suara motor), dan sebagainya. Awalnya ono­ matope hanya iseng, untuk memudahkan penyebutan saja. Namun, lamakelamaan menyebar dan menjadi budaya tersendiri.

Ada lagi penamaan dengan sengaja menambah kata ting (pating). Hal ini

dimaksudkan untuk memberikan kesan sesuai dengan kondisi barang atau

aktivitas. Misalkan, ada kata ting klumbruk (untuk menyebut banyak pakaian di lantai, yang tidak dilipat), ting pethuthuk (berbagai barang kecil-kecil di tanah

menyerupai gunung), ting pecothot (barang yang pecah memuntahkan isi

basah), ting krembyah (banyak unsur seperti daun lebar yang tidak teratur), dan sebagainya. Pemakaian kata ting tersebut untuk menyatakan menambah suasana yang dekat dengan aktivitas dan fenomena yang ada.

4. Rura Basa, Jarwadhosok, dan Blenderan Bahasa rakyat juga berhubungan dengan salah kaprah (mra basa). Rura artinya rusak. Rura basa berarti bahasa rusak. Ungkapan ini oleh masyarakat

dianggap telah wajar. Namun, jika dipikirkan, kadang-kadang kurang logis. Mi­

salkan, nguleg sambel, artinya yang diuleg adalah bermacam-macam unsur sambal. Mikuldhawet, artinya yang dipikul wadahnya. Mbunteli tempe, artinya yang dibungkus adalah kedelai. Menek krambil, artinya yang dipanjat pohon kelapa. Namun, ungkapan demikian tak terasa di benak pemakaiannya. Meski­

pun ada yang menganggap itu bahasa rusak, tetapi telah menjadi pengertian umum. Rura basa lebih diperuntukkan sebagai komunikasi antarpersonal.

Penyebutan rura basa biasanya hanya terdiri dari dua kata. Kata pertama merujuk pada tindakan, kata kedua merujuk pada objek yang sedang dikerjakan.

Yang semata-mata menjadi tanda nira basa sebenarnya pada kata kedua. Kata kedua disebutkan wujud benda yang diharapkan dari hasil tindakan. Tanpa

didahului proses, nira basa mencoba menyingkat pengertian. Rura basa tak harus dirasakan benar tidaknya dari aspek proses. Yang

penting pesan tersampaikan. Karena itu, jika ada kata-kata seperti negor

gedhang, mbathik iket, nulis layang, ngenam klasa, njait klambi, ndheplok

gethuk, dan lain-lain dianggap benar. Masyarakat Jawa tak akan protes dengan

kata-kata yang salah itu. Kata yang sesungguhnya keliru itu, jika dibetulkan malah lucu. Kesalahan yang telah telanjur itu menyebabkan masakan kata

dan pengertian tetap menyatu. Bahasa rakyat ada pula yang berbentuk jarwadhosok (pemendekan suku kata) dan disebut juga kerata basa. Kerata basa juga dinamakan etimologi

rakyat. Etimologi ini diupayakan sekomunikatif mungkin. Kadang-kadang

terkesan mencari-cari, namun masyarakat Jawa dapat menerimanya. Kerata berarti pemaknaan kata dengan mencari hal-hal yang mirip dengan bunyi suku katanya. Dalam kaitan ini memang ada kesan othak-athik gathuk, tetapi itulah yang menjadi ciri penerjemahan kata menurut orang Jawa.

Beberapa contoh kerata basa dalam hidup sehari-hari amat banyak. Di antaranya ada yang terungkap melalui tembang pangkur berikut.

Tan mungkur kerata basa Wahane krikil keri neng sikil Tandurnata kano mundur Kotang sikut den diutang Garwa iku sigaraning nyawa tuhu Wanita wani mranata Siti isi bulu bekti ‘Tak membelakangi kerata basa sesungguhnya kerikil itu nyeri di kaki menanam padi sambil ke belakang kotang itu sikutnya dihutang isteri itu belahan nyawa wanita berani menata tanah itu berisi sandang pangan’ Tembang di atas memaparkan kerata basa bermacam-macam objek. Penerjemahan semacam itu menurut hemat saya justru menunjukkan seni

kata. Di dalamnya banyak bermain logika yang tinggi. Karena itu, bagi yang diajak bicara pun ketika mendengar maknanya akan mengangguk-angguk setuju. Contoh penyingkatan jarwadhosok: cangkir (nyancang pikir), wedang

(ngawe kadang), batur (pangembating tutur), krikil (keri aneng sikil), garwa (sigaraning nyawa), tarup (ditata amrih murup), guru (digugu lan ditiru), kaji

(tekade sawiji), prawan (prayoga pepara awan-awan), tepas (titip napas), wanita

(wani ing tata), gedhang (digeged lebar madhang), tayub (ditata supaya katon

guyub), tuwa (ngenteni metune nyawa), kupluk (kaku tur nyempluk), sruwal (saru y*en diuwaf), Gusti (bagusing ati), saru (kesasar lan kliru), denawa

(ngedenke hawa), bocah (mangan kaya kebo, gaweyane ora kecacah), kodhok (teka-teka ndhondhok), bapak (bab apa-apa pepak), kursi (yen diungkurake

dadi isi), dan sebagainya. Yang dipentingkan dalam kerata basa adalah permainan logika Jawa yang

khas. Tak jelas apakah penerjemahan semacam itu disengaja atau tidak, tetapi

dapat menciptakan anggukan pihak lain. Biasanya, kerata basa hanya digu­ nakan dalam forum terbatas. Maksudnya, sering dipakai oleh pelawak atau dalang yang menghendaki humor dalam pementasan. Untuk memberi aroma

dialog dalam dagelan pun kerata basa cukup bagus, sedangkan dalam dialog

sehari-hari, jarang dilakukan penerjemahan kata melalui kerata basa. Andaikata ada, hanya sekadar bumbu pembicaraan dengan cara memberikan pertanyaan kepada teman lain. Tentu hal ini akan menambah keakraban di antara mereka.

Ada lagi sejenis kerata basa yang lazim dinamakan camboran. Kata-kata

camboran yang biasa digunakan orang Jawa, antara lain: lampu abang ijo

(bangjo), tanaman yang mulai merah diujungnya disebut bangcuk (abang

pucuke), kakkongwongen (tungkak bokong kiwa tengen), klabang (kelap-kelap abang), dan lain-lain. Kerata basa biasanya lazim terdengar dan bukan meru­

pakan upaya pemendekan kata, sedangkan camboran biasanya berusaha me­ mendekkan kata untuk mempermudah komunikasi.

Blenderan adalah bahasa Jawa yang dipelesetkan. Bahasa ini juga disebut bahasa plesetan. Ada kesan main-main dan ngeyel dalam ragam ini. Namun,

orang Jawa gemar menggunakannya dalam berkomunikasi. Melalui bahasa plesetan dapat diterka bahwa di antara mereka telah memiliki hubungan akrab. Plesetan sebagai bumbu orang bicara agar tak terlalu kaku. Plesetan juga sering digunakan pelawak atau dhagelan dalam mengembangkan dialog.

Plesetan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan unsur humor. Memang bahasa blenderan lebih menekankan humorologi. Humor menjadi

target awal dalam bahasa plesetan. Dalam bahasa blenderan ternyata juga memainkan logika bahasa yang cukup tinggi. Jika peserta dialog saling menguasai bahasa plesetan, maka pembicaraan tak akan putus-putus. Plesetan setidaknya ada dua macam, yaitu plesetan dengan mengubah bunyi yang mirip ke bunyi lain dan plesetan dengan permainan logika bahasa.

Contoh plesetan yang mengubah bunyi:

"Awakku lagiora kepenak, rada ngelu.”

“Arep ngelu menyang pasar?" “Pasar apa alus?" “Iwak alus apa gabus?" “Gabus tur nggantheng."

'Badanku sedang tak enak, agak pusing.’ 'Mau pusing pergi ke pasar?’ 'Pasar atau halus?’ 'Ikan halus atau gabus?’ Gabus serta tampan.' Dialog semacam itu, asal si pembicara masih bisa mengubah kata ke

bunyi lain, tak akan pernah berhenti. Hal ini tergantung kecerdasan masingmasing pembicara. Ucapan yang mengubah bunyi demikian lama-lama menjadi pola. Akibatnya, bila didengar pihak lain tampak aneh. Pihak lain mungkin

kurang mengenal konteks, namun bagi yang masuk dalam wacana tersebut tampak asyik.

B. Unggah-ungguh dan Dialek Jawa Bahasa rakyat juga terkait dengan unggah-ungguh bahasa Jawa. Ada

kata-kata yang di-A/ama-kan: sayekti-sayektos\ wigati-wigatos; bekti-bektos, piranti-pirantos, ngati-ati-ngatos-atos. Namun, tidak secara otomatis bahwa setiap kata yang berakhir dengan ti menjadi menjadi tos, misalnya jati-jatos,

mati-matos, titi-titos, surti-surtos, permati-permatos, cutis-cutos, bukti-buktos, gemati-gematos. Unggah-ungguh bahasa Jawa yang tepat dapat dilihat pada terjemahan lagu berikut.

Tangan kula kalih, Kalih kuping kula,

Sirah kula setunggal, Setunggal gulu kula. 'Tangan saya dua

Dua telinga saya Kepala saya satu Satu leher saya'

Untuk menyebut diri sendiri dalam tembang itu tidak menggunakan asta kula, tetapi tangan kula. Untuk menyebut kepala sendiri tidak menggunakan

mustaka kula tetapi sirah kula. Bagian-bagian tubuh sendiri tidak dibenarkan

kalau dikramakan pada saat untuk diri sendiri. Etika semacam ini menunjukkan betapa sikap anoraga ‘rendah hati’ orang Jawa tampak dari perilaku bahasanya. Adapun kata-kata kerja yang tepat penerapannya dalam unggah-ungguh adalah:

Adhik ndherek ibu tindak menyang pasar Mengko ibu mesthi mundhut oleh-oleh Kacang karo roti adhik diparingi

'adik ikut ibu pergi ke pasar nanti ibu pasti membeli oleh-oleh kacang dan roti adik diberi'

Ada lagi kata-kata yang khusus digunakan dalam bahasa keraton (kedhatori). Bahasa semacam ini dinamakan bahasa bagongan. Misalnya, untuk

menyebut lawan bicara yang lebih tinggi harus menggunakan kata jengandika (engkau), sampeyan dalem, nandalem, dan seterusnya. Sebaliknya, orang

desa juga sering menggunakan bentuk krama desa. Yakni, ragam krama yang

salah kaprah, dan oleh mereka dipandang lebih bergengsi. Misalkan, untuk menyebut nama tempat saja harus diucapkan dalam ragam krama: griya sakit,

bajul kesupen (Bayalali), wangkit (Wates), redikidul (Gunung Kidul), kilenpragi

(Kulon Progo), dan lain-lain. Ada juga kata yang mestinya tidak diubah ke

bentuk krama diucapkan dalam ragam krama desa, antara lain ketiga-ketigen,

sepuh-sepah, wedi-wedos, ajrih-ajros, dhele-dhangsul, dan lain-lain. Bahasa rakyat yang berupa dialek merupakan folklor khas geografis. Di

Jawa terdapat dialek yang bermacam-macam. Yang amat membedakan dialek

satu dengan yang lain, yaitu dialek Surabaya, Banyumas, Yogyakarta, dan Pesisiran (Blora, misalnya). Variasi dialek itu sebenarnya sekadar formulasi bahasa yang memiliki makna kurang lebih sama. Misalkan, kata pumpung, di

tempat lain dikatakan pompong, ngidul-ngedul, pitik-petek, inggih-enggeh, sijisithuk, kari-gari, dan sebagainya.

Menurut Hutomo (1986: 354), Surabaya memiliki dialek khas, antara lain koen (kamu), nglakekna (mengawinkan), mbojok (menipu), kopok (tuli), dan

kontholan (induk kunci). Kata-kata lain yang khas di Banyumas dan wilayah

Kedu juga ada, misalkan inyong (saya), sira (kamu), dan mak (ibu). Di Yogya­ karta, biasanya amat kentara pada ucapan konsonan /b/, dengan menambah

sengau /m/ di depannya, misalkan kata Borobudur menjadi Mborobudur,

Mbantul, Mbandung, dan sebagainya. Dialek yang menjadi logat tersebut

seringkali mengakar dan menjadi ciri wilayah tertentu. Di wilayah Tegal, Jepara, Pati, yang dekat pesisiran, menurut Cokrowinoto (1986: 506), memiliki logat yang khas dibanding wilayah lain. Misalkan, ada

kalimat yang diucapkan (1) Kon arep maring ngendi, adhimu ngorong kepengin

nginung 'Kamu hendak ke mana, adikmu haus ingin minum', (2) Nyong arep maring gili, primen bisa apa belih, sekiki gentenan karo koen ‘aku akan ke

jalan, bagaimana boleh tidak, besuk pagi gantian kau’. Dialek semacam ini

biasanya hanya ada dalam komunikasi antarkolektif. Dialek ini tergolong bahasa

komunikatif. Bahasa dialek sering dinamakan nggon-nggonan, artinya hanya tempat-tempat tertentu yang mempergunakan.

Di wilayah Kebumen dan Banyumas terdapat dialek bahasa Jawa yang unik. Dialek itu akan membedakan bahasa Jawa secara geografis, namun

dalam hal makna sama. Kata-kata yang banyak muncul dalam dialog sebagai

penyangat makna, misalkan kecut cibleng 'masam sekali’, paitlekek, paitleta, pait leder 'pahit sekali’, sakesukjeput 'sepanjang pagi’, sewengi dheg 'sepan­

jang malam’, nggencret gendang 'terang sekali’, ireng thuweg, ireng gandeng

'hitam sekali', dan putih mleas 'putih sekali’. Ada lagi kalimat yang hanya dimiliki oleh wilayah ini, karena pemakaian kata dialek, misalnya bocah kok ngorong-

ngorong baen 'anak kok meraung-raung terus’, jarit bathik kiye ulihku tuku neng Yoja 'kain batik ini saya beli di Yogya'. Pemakaian bahasa dialek tersebut sifatnya lokatif (nggon-nggonari). Tiap

wilayah sering berbeda-beda cara penerapan bahasa. Dalam pemahaman

bahasa, dialek memang membutuhkan kejelian, bahkan kalau perlu ada

penerjemah bahasa lokal. Penutur asli dialek Jawa tergolong pure language. Munculnya kata-kata dialek tersebut secara spontan, untuk mewakili ide atau

ekspresi. Oleh karena orang Jawa terdiri dari beberapa wilayah, tentu dialek

menjadi semakin banyak variasinya.

C. Rengga Basa Rengga basa adalah penggunaan bahasa yang dipoles. Rengga basa

tergolong kata-kata yang telah diarsir menjadi sebuah bingkisan enak. Hal ini dimaksudkan untuk menghiasi pembicaraan atau tulisan. Hiasan-hiasan ini

spontan diciptakan untuk memperindah penggunaan bahasa. Banyak cara yang digunakan sebagai ekspresi rengga basa. Beberapa

bentuk rengga basa yang biasa digunakan orang Jawa adalah entar (kiasan),

sanepa, dan saroja. Kata-kata ini sering hanya diucapkan patah-patah, jarang

dimasukkan ke dalam kalimat. Orang Jawa sering memakai rengga basa ter­ sebut secara tak sadar dalam berbagai keperluan.

Enterberarti rangga basa yang bermakna kias (konotatif). Maksudnya, orang Jawa hendak mengucapkan apa saja dengan berbagai ungkapan. Ungkapan itu

untuk melukiskan keadaan yang dipoles. Misalkan saja, kata-kata yang tergolong

kias (entar) yaitu: (a) adus kringet, untuk menyatakan pekerjaan yang berat, (b)

adus luh, untuk menyatakan keadaan yang amat sedih, menyayat, penuh tangisan, sehingga airmata keluar terus-menerus, (c) dawa ususe, lobok atine, jembar segarane, untuk menyebut orang Jawa yang bersikap sabar, (d) nggedhekake puluk, untuk menyatakan keadaan orang yang selalu berusaha atau bekeija demi

isi perut saja, yang dipikirkan hanya material atau makan belaka, (e) tipislambene, untuk menyatakan orang yang gemar membicarakan orang lain, baik kebaikan maupun kejelekan, (f) cupet pikire, untuk menyatakan orang yang mudah putus

asa dalam menangani berbagai persoalan, dan masih banyak lagi.

Rengga basa yang berujud enfartampak merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang baik maupun jelek. Sikap dan perilaku itu dilukiskan menggunakan keadaan fisik manusia, seperti mulut, bibir, usus, mata, dan

lain-lain. Seluruh sikap dan perilaku akan muncul pada bentuk fisik seseorang.

Berarti memang bleger (tubuh) manusia itu merupakan gambaran apa saja

yang ada dalam hatinya. Penggambaran melalui kata kias tersebut dimaksud­ kan agar tidak menyakitkan pihak lain.

Kata-kata kias yang khas oleh orang Jawa juga diungkap melalui sanepa. Sanepa merupakan bentuk ungkapan khusus. Sebenarnya, sanepa merupakan bentuk penyampaian bahasa yang menyangatkan pada sebuah fenomena. Namun, penyangatan itu ditempuh melalui ungkapan yang bermakna kosok balen (kebalikan) dengan keadaan sesungguhnya. Biasanya, sanepa untuk

mengungkapkan keadaan tentang fisik manusia, keadaan persaudaraan, dan

sejumlah yang melingkupi hidup manusia. Sebagai contoh: (a) pada saat orang Jawa hendak menyatakan hal yang kurang berkenan

tentang bau busuk, diungkapkan melalui sanepa: ambune arum jamban, artinya baunya seharum jamban. Ini bermakna bau sekali, melebihi bau

jamban; (b) untuk menyatakan bekas panah atau tembakan pada diri seseorang yang amat banyak dinyatakan menjadi tatune arang kranjang, artinya bekas

luka itu sangat banyak, seperti lubang keranjang. Hal ini pernah terjadi pada Perang Baratayuda, waktu Abimanyu terkena ranjapan senjata oleh

Kurawa juga dikemukakan menggunakan ungkapan tatune arang kranjang.

(c) untuk menyatakan kepada orang lain bahwa pikirannya bodoh dinyatakan

menjadi pikiriane landhep dhengkul. Dhengkul adalah bagian tubuh yang tumpul, sehingga kalau dikatakan tajam tentu kurang tepat.

(d) untuk menyatakan orang berpengalaman dangkal, dinyatakan kawruhejero tapak meri. Maksudnya, pengalaman orang tersebut belum seberapa, sebab

bekas kaki meri (anak seekor angsa) itu hampir tak kelihatan kedalamannya.

Sebenarnya masih banyak lagi sanepa dalam bahasa Jawa, seperti eseme

pait madu, dedege dhuwur kencur, utange arang wulu kucing, polahe anteng kitiran, dan sebagainya. Seluruh aktivitas hidup manusia dapat disanepa

menjadi bumbu orang berbicara, sehingga akan meningkatkan derajat sosial. Orang yang banyak menggunakan sanepa, baik dalam pembicaraan maupun

tulisan, berarti status sosialnya dianggap lebih hebat. Paling tidak, ada

penghargaan dari orang sekitarnya bahwa orang tersebut menguasai selukbeluk hiasan bahasa Jawa. Ada lagi ungkapan yang yang menggabungkan dua kata yang mirip. Kedua kata itu membentuk makna yang menyangatkan. Ungkapan ini dinamakan

saroja, yaitu dua kata yang digabung menimbulkan makna menyangatkan dan bunyinya bagus. Ungkapan semacam ini dipergunakan untuk memperindah bahasa, agar si pendengar lebih tertarik. Kepandaian merangkai rengga basa

ini juga membutuhkan kecerdikan tersendiri. Yang tergolong kata-kata saroja

adalah bagas kuwarasan (sehat walafiat), babak bundhas (banyak luka di sekujur tubuhnya), japa mantra (berbagai doa-doa dan mantra), welas asih (amat belas kasihan), mukti wibawa (hidupnya mulia sekali), dan lain-lain.

D. Lelewaning Basa Lelewaning basa Jawa adalah pemakaian bahasa indah. Lelewaning basa

juga disebut gaya bahasa (style). Ada juga yang menyebut lelewaning basa

sebagai stilistika Jawa. Stilistika ini amat banyak ragamnya. Penggunaan stilistika akan mewarnai dalam bidang apa saja. Lelewaning basa tergolong karya

folklor yang cukup menggelitik dalam pembicaraan. Jika di antara orang Jawa berbicara menggunakan lelewaning basa, akan tampak indah dalam berkomu­

nikasi. Keindahan bahasa ini akan menyebabkan naiknya status sosial dan

intelektual pula. Semakin banyak memanfaatkan ragam stiliska, dianggap lebih bagus dalam proses komunikasi.

Beberapa lelewaning basa yang banyak digunakan orang Jawa, antara

lain:

(1) Metafora, yaitu perumpamaan terhadap orang ataupun benda, namun yang diumpamakan tidak disebutkan lagi secara eksplisit. Misalkan, endhoge digondhol tikus endhase ireng, artinya telurnya dibawa atau dimakan oleh

manusia. Manusia diasumsikan sebagai tikus yang mencuri telur. Manusia jelas memiliki kepala hitam, bagi orang Jawa yang berambut hitam;

(2) Personifikasi, adalah gaya bahasa yang menghidupkan barang-barang yang tak bernyawa. Barang-barang itu seakan-akan memiliki kekuatan dan

kemampuan seperti manusia. Misalkan, bumi kang asung buktijagad kang

asung berkat, artinya bumi yang memberikan sandang pangan dan dunia yang memberikan berkah. Contoh lain lagi: mawarmlathingasih-asih minta kapethika minangka sesumping sang retna, artinya bunga mawar dan

melati belas kasihan mohon dipetik sebagai sumping wanita. (3) Litotes, adalah gaya bahasa untuk menyatakan kerendahan diri. Orang Jawa akan bersikap anoraga, agar menyenangkan pihak lain. Pada saat anoraga, ungkapan yang dipilih adalah litotes. Sebagai contoh, kula aturi pinarak,

menika gubug kula, artinya silakan singgah, ini rumah saya. Kata gubug

memberikan konotasi amat sederhana, padahal bisa jadi rumahnya tingkat. (4) Ironi dan sinisme, adalah gaya bahasa sindiran. Sindiran sebenarnya ungkapan yang berkebalikan dengan keadaan sesungguhnya. Sindiran

yang berbau mengejek, merendahkan, disebut ironi lanjut (sinisme). Contoh ironi: bijimu apik banget entuk gambar kursi, timbang entuk endhog, kena digoreng. Maksudnya, nilaimu amat bagus mendapat nilai 4, dibanding

mendapat nol (0). Yang tergolong sinisme yaitu muga-muga tumpukan bandhamu ora njalari awakmu tapa ingpakunjaran. Artinya, semoga harta kekayaanmu tidak menyebabkan kau masuk penjara.

Lelewaning basa di atas merupakan bentuk ungkapan komunikasi bahasa.

Komunikasi yang dipandang indah dan tidak menyakitkan pihak lain dikemas menggunakan gaya bahasa. Berarti, gaya bahasa merupakan bingkisan dan bungkusan makna untuk memperindah dan menyenangkan pihak lain. Gaya

bahasa semacam itu sebagai bentuk penyamaran (semu) dalam tindak komu­

nikasi orang Jawa. Orang Jawa akan memperhatikan sungguh-sungguh lawan bicara, sehingga dalam berbagai bentuk bahasa harus diuntai lebih manis.

Bagian V IILMU RAKYAT A. Ilmu Paguron Ilmu rakyat adalah semacam kawruh (pengetahuan) lokal. Ilmu rakyat

sering dinamakan juga ngelmu sepuh atau ilmu tua. Ada juga yang menyebut

ilmu rakyat sebagai wedha atau widya. Ilmu semacam ini tak didapat di sekolah, melainkan melalui sebuah paguron. Pola guru-murid dengan model nyantrik.

Ilmu rakyat akan diturunkan kepada generasi berikutnya. Model pewarisannya

tidak seperti di sekolah, tetapi secara lisan, bahkan melalui sebuah laku. Laku dalam ilmu rakyat menjadi sebuah rukun dan kewajiban. Murid yang

ingin mendapatkan ilmu rakyat pun harus bersih lahir batin. Dia harus benarbenar niat dan siap menerima ilmu tersebut. Dalam istilah spiritual, ilmu tersebut

sering disebut sebagai banyu bening. Artinya, air jernih yang berasal dari guru

sejati. Orang yang menjadi guru sejati pun tidak sembarangan. Figur guru sejati

tergolong orang yang suka pada proses ngamituwa, gemar pada ilmu-ilmu tua. Penyampaian ilmu rakyat juga tidak bisa di sembarang waktu dan tempat. Waktu yang dipilih adalah malam hari, yaitu Malem Selasa Kliwon dan Malem

Jemuwah Kliwon. Saat itu dipandang lebih hening, sehingga ilmu rakyat yang disampaikan secara lisan mudah dicerna. Tempat yang paling pantas untuk mene­ rima ilmu itu antara lain di senthong, karena lebih sepi dan jauh dari suara kutu-

kutu walang ataga, artinya binatang kecil-kecil yang akan mengganggu. Oleh

karena penyampaian ilmu rakyat tadi dipandang sebagai sebuah wejangan sakral, maka konsep Jawa sampai menyatakan suket godhong ora kena krungu (siapa

saja (rumput dan daun, ibaratnya) di larang mendengarkan).

Dengan demikian, ilmu rakyat merupakan jenis ilmu sinengker (rahasia). Hanya orang yang benar-benar telah siap yang bisa menerima warisan ilmu

tersebut. Ilmu itu diberikan melalui proses penggemblengan. Ibaratnya seperti masuk ke dalam kawah candradimuka, interaksi guru-murid selalu dalam kon­

teks spiritualitas. Seorang guru sejati pada saat mewariskan ilmu perlu medhar

piwulang. Setelah jalan beberapa saat, seorang guru sejati akan membaca

apakah muridnya kuat atau siap menerima atau belum. Seluruhnya akan tampak

pada diri murid atas pandangan gaib seorang guru sejati. Cakupan ilmu rakyat yang banyak disampikan para guru sejati, antara lain petung (perhitungan) keselamatan, puji (puji-pujian), japa, mantra dan aji-

aji, jangka, ngelmu wetah, donga (doa), jamu (tapel, cekok, pilis, suwuk), kadigdayan (gendam, ngraga suksma, dan sebagainya), terawangan, ngalamat, pawukon, dan sebagainya. Ilmu rakyat semacam ini sebagian telah diwadhahi

dalam kitab kejawen yang disebut primbon. Seluruh ngelmu rakyat merupkan cerminan kemampuan orang Jawa dalam menelaah manusia, makhluk, dan

alam semesta dalam hubungannya dengan Sang Pencipta. Pada waktu mempelajari ngelmu rakyat memang tidak hanya seperti orang belajar di sekolah. Orang yang hendak belajar ngelmu rakyat sungguh-sungguh

membutuhkan laku lahir dan batin. Dengan cara sesirik, manusia akan siap

wadhah (tempat) ngelmu rakyat dalam hatinya. Berarti, laku batiniah amat dibu­ tuhkan agar wadhah itu bersih (hening), mudah menerima, peka, dan dapat menerapkan dalam hidup sehari-hari. Orang Jawa pun memiliki keyakinan, jika wadhhah masih kotor dalam dirinya, akan sia-sia dan kuwalat mempelajari ngelmu

rakyat. Karenanya, kesiapan diri amat dibutuhkan dalam kiprah ngelmu rakyat.

B. Petung 1. Petung Keselamatan Hidup Orang Jawa memang memiliki konsep etung dan petung (Prijotomo, 2000:

213). Etung terfokus pada bidang matematik/aritmatik, yang sepenuhnya kuan­ titatif. Petung adalah kejelasan yang selalu disertai pertimbangan ke arah peng­

hematan dan kejelasan atas yang diperhitungkan, memiliki aspek kualitatif. Etung memang seakan-akan sekadar memanfaatkan akal, adapun petung tak

demikian. Aspek emotif dan atau dunia batin akan masuk dalam petung. Jika etung sekadar membuahkan hasil kalkulatif, petung justru lebih dari

itu. Petung memuat aspek-aspek kalkulatif, penafsiran, pertimbangan, dan laku batin. Petung lebih menyentuh ke dunia batin, dibanding pikiran luar saja. Jadi,

petung memiliki implikasi yang luas dibanding etung. Petung membutuhkan etung, tetapi etung tak membutuhkan petung. Petung adalah ciri khas folklor Jawa.

Petung Jawa biasanya disebut nujum. Ada juga yang menyebut nujum palintangan, karena memuat ramalan yang mendasarkan rasi planet atau bin­

tang-bintang. Namun, dalam perkembangan lebih lanjut, nujum tidak jauh berbe­

da dengan ilmu ramalan (pethek) terhadap apa saja, termasuk nasib manusia. Dasar pethek memang ada yang berdasarkan horoskop (perbintangan), selain

itu ada yang berdasarkan perubahan titik waktu. Ilmu petung di Jawa semacam itu tidak jauh berbeda dengan bidang astrologi dan astronomi di Barat. Namun, di Jawa, petung lebih mendasarkan pada laku-laku khusus yang berupa wang­ sit. Laku-laku tadi didasarkan pada gejala alam sekitar dan kosmologi secara keseluruhan.

Yang termasuk dalam petung cukup banyak jenisnya. Petung tergolong

ilmu keselamatan yang praktis. Berbagai hal yang sifatnya tradisi dapat dilaku­ kan melalui petung, misalnya pranata mangsa, naga dina, pujangga sanga,

ngalamat, dan lain-lain. Petung tergolong ilmu ramalan yang bersifat spekulatif. Bagi penganutnya, petung merupakan strategi mendapat kabegjan. Karenanya, orang Jawa akan merasa khawatir jika dalam melangkah meninggalkan petung. Petung merupakan refleksi ilmu titen. Upaya meramal terhadap apa saja

yang dilandasi sikap kritis dan weca banyak manfaatnya bagi kolektif. Weca

adalah predikais terhadap keadaan yang mungkin terjadi. IVeca merupakan ilmu rakyat untuk membaca tanda-tanda zaman, sekaligus pepesthen (takdir). Takdir

kehidupan dapat dibaca dari tanda-tanda, baik kasatmata maupun gaib. Hal ini

merupakan sebuah kecerdasan nalar yang bersifat adi duniawi. Pijaran penga­

laman menembus batas (kelir) kehidupan selalu hadir dalam dunia weca ini. Weca adalah bagian dari daya kekuatan pikir orang Jawa. Ini merupakan

perwujudan wiradat. Artinya, upaya-upaya lahir batin untuk memprediksi fenomena yang penuh cangkriman (misteri). Melalui prinsip cocok, ketepatan mengolah nalar yang benar-benar mulur-mungkret, pemilik folklor justru lebih tertantang. Prinsip

ini tidak berarti orang Jawa bersikap nggege mangsa atau menolak takdir. Namun, dengan adanya petung atau sebut saja matematika rakyat Jawa, justru akan

menciptakan ritme hidup yang lebih siap menghadapi apa saja. Konsep utama dunia petung menuju pada titik landheping nalar (kecerdas­ an rasa). Nalar yang mungkin ting saluwir(tak karuan) ketika ditata, disinergi-

kan, diendapkan, dan dimasak akan membuat jalma Umpat seprapat tamat (manusia yang sedikit tahu, bukan tahu sedikit, atas apa saja yang dihadapi).

Para leluhur menyatakan orang yang telah menguasai petung njlimet disebut

ngerti sadurunge winarah (tahu sebelum ada kejadian sesungguhnya).

Petung yang sampai sekarang masih banyak ditaati orang Jawa adalah tentang perjodohan. Petung semacam ini khusus dianut mereka yang masih back to basic pada foklor. Mereka sering memanfaatkan istilah pasatowan

salaki rabi. Artinya, perkawinan dalam hidup orang Jawa merupakan bentuk

penyatuan dua belahan dunia yang berbeda. Kedua dunia itu harus manunggal,

maka garwa (bojo) dinamakan sigaraning nyawa. Dalam kaitan ini ada banyak

petung tentang perjodohan. Yang paling penting, orang Jawa meyakini bahwa ada larangan-larangan tertentu dalam perjodohan. Yakni, orang Jawa melarang: (a) perjodohan dengan sedulur misan, (b) perjodohan pring sedhapur, mak­

sudnya hari dan pasaran calon sama, (c) Ge-ing (Wage Paing), artinya mem­ pelai memiliki kelahiran pasaran Wage dan Paing.

Rasionalisasi larangan itu memang sulit dijelaskan secara rinci. Namun, dalam kehidupan orang Jawa hanya sedikit yang berani melanggar larangan

itu. Untuk mendapat keselamatan, orang Jawa juga menggunakan petung pen­

jumlahan weton (hari dan pasaran), dikurang tujuh-tujuh, jika sisa: (1) sisa 1 dinamakan pisang pinunggel, artinya bila pasangan mempunyai anak lelaki, ayah yang meninggal lebih dulu. Kalau punya anak perempuan yang meninggal lebih dulu ibu; (2) sisa 2 disebut sanggar waringin, artinya pasangan akan

mendapat keteduhan, tenteram, dan bahagia; (3) sisa 3, dinamakan gedhong rembulan, artinya cepat kaya tetapi sering tertipu; (4) sisa 4 disebut bale ke-

dhawang, menakutkan, selalu gelisah; (5) sisa 5 disebut liman plasungan, bila anak sudah besar sering meninggal; (6) sisa 6 disebut warakpangrumngruman, pandai mencari simpati, mudah mencari rezeki, tetapi tidak pandai menyimpan­

nya; (7) sisa 7 disebut garangan macan, pandai mencari uang tetapi mudah

tertipu. Perhitungan demikian didasarkan pada fenomena tumbuhan dan binatang. Hal ini berarti pencipta petung mencoba membandingkan fenomena makhluk

lain dengan manusia. Makhluk lain sebagai refleksi keinginan-keinginan dan

atau sebaliknya, ketakutan-ketakutan. Dunia hewan dan binatang disejajarkan

dengan kemungkinan nasib yang dialami manusia dalam perjodohan. Fokus

petung serupa adalah untuk mendapat keselamatan hidup di kemudian hari. Melalui petung dimungkinkan untuk memperkecil probabilitas kekecewaan hidup.

2. Pawukon: Rasa dan Kala Keramat Pawukon berasal dari kata wuku. Wuku artinya rahsa yang dimiliki tiap manusia. Tiap orang memiliki wuku, memiliki rasa. Rasa dalam dirinya dibagi

menjadi tiga, yaitu rasa n/aba (rasa luar) yang bersifat fisik, rasa njero (rasa

dalam) yang bersifat batin, dan rasa sejati (rasa untuk menerima hal-hal gaib). Rasa yang melingkupi wuku adalah rasa dalam yang bergabung dengan daya cipta dan keinginan. Peristiwa makarti (proses) petung dalam wuku pun akan

dipengaruhi rasa sejati.

Rasa dalam dan rasa sejati akan bekerja hingga mampu melakukan perhi­ tungan atas solah bawaning manungsa (solah tingkah seseorang dalam kehi­ dupannya). Maka, pawukon dapat dinyatakan sebagai petung yang mendalami

lelakon (perjalanan hidup manusia menurut kodrat masing-masing). Pawukon

tergolong ngelmu rakyat Jawa asli. Ngelmu ini telah tua umurnya, dianggap sebagai paradigma berpikir Jawa atas perputaran waktu (kala). Proses terjadi pawukon yang berjumlah 30 tiap perhitungan kalender berasal dari kisah lisan Prabu Watu Gunung. Kisah legendaris yang mirip kisah

Sangkuriang di Sunda ini telah mewarnai kalender Jawa asli. Kisah ini telah

dimuat dalam Babad Tanah Jawa dan Serat Pustaka Rajapurwa jilid II. Kedua

sumber ini hanya ada sedikit varian, tetapi tetap menceritakan terjadinya wuku. Ini merupakan aktualisasi dari dongeng purba seorang raja Giling Wesi pada

saat kerajaan tertimpa musibah yang menewaskan kawula alit. Dalam suasana sedih, sang raja pergi ke pembaringan ditemani istrinya, bernama Dewi Sinta.

Dewi Sinta lalu mencabuti ubannya, sehingga tiba-tiba melihat bekas luka di kepala sang raja. Lalu, dia bertanya mengapa sampai terjadi luka. Prabu Watu Gunung mengisahkan riwayatnya, bahwa pada masa kecil pernah merengek

minta nasi kepada ibunya. Ibu itu hilang kesabarannya lalu memukul dengan

enthong. Dewi Sinta amat terperanjat ketika mendengar cerita itu. Karena tahu bahwa suaminya itu tak lain anaknya sendiri yang telah lama berpisah. Dewi Sinta lalu memohon kepada sang raja agar mempersunting bidadari

dari kahyangan. Sebagai wujud cinta kasihnya, Dewi Sinta mau dimadu dan sang raja pun segera menurutinya. Akibatnya terjadi peperangan antara sang raja dengan para dewa. Para dewa pun sulit mengalahkan sang raja. Itulah

sebabnya Batara Wisnu segera berembug dengan puteranya Raden Srigati. Hasil musyawarah diperoleh jalan untuk memanggil raksasa Wil Awuk. Raksasa

ini diharapkan berubah menjadi ular kecil, untuk menyelidiki kesaktian Prabu Watu Gunung. Ulartersebut lalu masuk ke istana lewat lubang kecil, dan berhasil mendengarkan pembicaraan kesaktian Prabu Watu Gunung dengan isterinya.

Prabu Watu Gunung menceriterakan kepada istrinya, Dewi Sinta, akan bisa mati apabila badannya disempal-sempal tepat pada hari Anggara Kasih

(Selasa Kliwon), bertepatan dengan hari kelahiran anaknya yang ke-11, Galungan. Wil Awuk segera kembali ke kahyangan dan melaporkan hasilnya.

Akibatnya, tepat di hari yang ditentukan, jam duabelas siang, Prabu Watu

Gunung diserang dewa hingga tewas, termasuk 27 anaknya. Dewi Sinta merasa sedih melihat keadaan itu. Tangisan Dewi Sinta membuat para dewa bingung, sehingga mengutus Batara Narada mendatangi sang dewi. Sang dewi diberi

petuah, boleh meminta apa saja sebagai obat luka, asalkan tak minta suaminya dihidupkan kembali. Dewi Sinta hanya minta suami dan 27 anaknya serta istri sang raja masuk surga.

Permohonan itu dikabulkan. Maka, tepat pada hari Ngahad (Minggu)

Pahing, Dewi Sinta, istri raja (Dewi Landep), 27 anaknya, dan Prabu Watu Gunung masuk surga. Atas dasar ini, orang Jawa menggunakan petung

pawukon berjumlah 30, yang dimulai pada Ngahad Pahing. Untuk memudahkan perhitungan, permulaan wuku ini disandikan dengan perkataan: singa tuku

caping si(Sinta), nga (Ngahad), dan ping (paing). Untuk memudahkan hafalan, 30 wuku itu dapat ditulis dalam tembang kinanthi berikut.

Si-la wukir kuran-tolu Breg lit-gung wangi sungsangi Lung kuning-kir-sya pasujudan Pang kuru keh bir-dangkungi Tal wuye manah prang bala Gu-yang kul dukut selardi

Dari tembang itu dapat disebutkan nama-nama wuku 30 macam: Sinta,

Landep, Wukir, Kuranthil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi,

Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujud, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madhangkungan, Maktal, Wuye, Manail,

Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut, Watu Gunung. Namanama wuku ini telah menyebar dalam perhitungan kalender Jawa.

Dalam perhitungan pawukon tidak berdiri sendiri, tapi juga menggunakan nama hari dan pasaran, bahkan nama tahun Jawa akan melingkupinya. Dalam

perhitungan pawukon, akan dioplos dengan unsur lain sebagai berikut.

Nama Hari

Nama Tahun

Nama Pasaran

Nama Windu

Dite (Ahad)

Tahun Alip

Pon

Kunthara

Wage

Sangara

Kliwon

Sancaya

Legi

Adi

1 Sura jatuh pada

hari Selasa Pon Soma (Senin)

Tahun Ehe

1 Sura jatuh pada hari Setu Paing Anggara (Selasa) Tahun Jimawal 1 Sura jatuh pada hari Kemis Paing

Budha (Rabu)

Tahun Je 1 Sura jatuh pada

hari Senin Legi Respati (Kamis)

Tahun Dai

Paing

1 Sura jatuh pada

hari Sabtu Legi Sukra (Jumat)

Tahun Be

1 Sura jatuh pada hari Rebo Kliwon

Tumpak (Sabtu)

Tahun Wawu

1 Sura jatuh pada

hari Rebo Kliwon Tahun Jimakir 1 Sura jatuh pada

hari Kemis Pon

Nama tujuh hari (sapta wara), tahun, pasaran lima (pancawara), dan windu di atas biasanya digunakan bersama-sama dalam perhitungan wuku. Perhi­

tungan wuku akan berganti setiap tujuh hari sekali (dari Ahad ke Ahad) sampai berjumlah 30. Awal perhitungan wuku per tahun yaitu Ahad Paing Wuku Sinta dan berakhir pada Ahad Kliwon Wuku Watu Gunung. Tiap awal dan akhir wuku

biasanya menjadi hari khusus dalam perhitungan keselamatan orang Jawa.

Awal dan akhir wuku menjadi hari larangan untuk ritual tertentu, seperti manten. Kedua hari tersebut dijadikan a secred time, kala keramat.

Pemakaian perhitungan wuku tak lain merupakan sebuah upaya pencarian keselamatan manusia dari korban waktu. Waktu ada yang dipandang baik dan

naas. Tiap wuku sering diaktualisasikan dalam bentuk fisik wayang. Imajinasi

gambar ini dilandasi pada legenda Prabu Watu Gunung. Tiap pawukon memiliki karakter hari yang berhubungan dengan nasib manusia. Perkembangan per­

hitungan pawukon ini dikemas dalam bentuk horoskop atau astrologi (ilmu per­ bintangan). Bahkan, di beberapa majalah mingguan maupun bulanan sering

muncul bintang yang berhubungan dengan suasana hari dan keberuntungannya.

3. Nostradamus Jawa Nostradamus sering dinamakan jangka. Nostradamus adalah dunia ra­

malan terhadatySituasi zaman dan keadaan apa saja. Ramalan ini merupakan kelantipan atau kepekaan rasa orang Jawa dalam menanggapi aneka feno­

mena. Lahan garap nostradamus adalah ramalan terhadap kejadian. Jangka ini hampir dipercayai oleh sebagian besar orang Jawa, hingga mereka amat memujinya. Jangka yang sampai sekarang masih sering menjadi bahan pem­ bicaraan dalam masyarakat Jawa antara lain

Kali Uang kedhunge pasar Uang kemandhange wong wadon Uang wirang wong lanang Uang prawirane wong wadon nunggang jaran wong lanang numpak plangki besuk tanah Jawa bakal kalungan wesi kreta tanpa jaran prau mlaku Ing awang-awang Ramalan satu bait tersebut akan melukiskan keadaan zaman di pulau Jawa.

Sampai sekarang sungai di Jawa memang telah kehilangan kedung, karena banyak yang terkena lahar dan batu-batuan. Makna lebih lanjut, kali Uang kedhunge juga

berarti kali (hidup) ini akan kehilangan makna. Berkah dari perjalanan waktu telah mempersulit hidup manusia. Hal ini cukup bisa dipahami karena adanya demorali­

sasi, sehingga berkah dari rezeki (kedhung) semakin tipis. Peristiwa kehilangan karakter dan jati diri Jawa juga sulit terelakkan. Dengan ungkapan wanita kehilangan kemaluannya, berarti merupakan bentuk degradasi

moral. Dengan merebaknya prostitusi, baik resmi maupun di gubug liar, merupakan potret wanita masa kini yang kehilangan jati dirinya. Pasar hilang pantulan suaranya juga telah menjadi kenyataan karena seluruh keadaan terhalang gedung-gedung

tinggi. Penghalang aneka gedung ini akan menciptakan suasana pasar tak sampai ke mana-mana. Tafsiran lain adalah orang Jawa akan kehilangan kekuasaannya.

Suara (kekuasaan) juga identik. Terbukti, tempo dulu hingga sekarang orang Jawa

masih dijajah orang lain dalam hal apa saja. Kata-kata wanita naik kuda sebenarnya merupakan bentuk perubahan

adat istiiadat Jawa. Jika di masa lalu wanita Jawa sekadar kanca wingking,

sekarang telah lain kedudukannya. Wanita telah gigih memperjuangkan emansi­ pasi, sehingga menyamai derajat pria. Keadaan ini akan terwujud saat tanah

Jawa kalungan besi, yaitu ada rel kereta api, ada kereta tanpa kuda (mobil), dan perahu di angkasa (kapal terbang). Keadaan semacam ini akan menandai

suasana Pulau Jawa sebagai berikut.

bumi Jawa bakal diirat-irat bumi saya suwe saya mengkeret wong kaya gabah diinteri bocah cilik ngerti dhuwit bayi jebrol melek mripate pitik angrem jroning pikulan wong tani ditaleni wong dora ura-ura wong bener thenger-thenger wong salah bungah-bungah serong nggendhong lugu keblenggu Maksud dari nostradamus Jawa di atas adalah pulau Jawa akan semakin

sempit, karena dibagi-bagi pada anak cucu. Pada saat ini orang Jawa akan

kesulitan mencari rezeki dan penguasa. Mereka seperti gabah yang diayak pada sebuah tampah, berputar, memusingkan. Ke mana saja mencari tempat

perlindungan semakin sulit. Hal ini ditandai manakala anak kecil mulai tahu

uang. Anak kecil telah pandai berhitung, tetapi belum pandai menyimpan uang.

Pada saat itu ada seorang bayi lahir telah mampu melihat. Maksudnya, bisa jadi karena bayi itu banyak gizi sehingga kemampuan fisik sudah meyakinkan.

Namun, tafsiran lain dapat berarti bahwa banyak bayi lahir sebelum waktunya. Bayi lahir normalnya 9 bulan 10 hari sejak jadi manten, namun ada bayi lahir

dua bulan dari jadi manten. Berarti, bayi ini telah tua umurnya. Saat yang serba sulit semakin melilit kehidupan orang Jawa. Hal ini ditandai dengan adanya ayam bertelur di pikulan. Artinya, ada abdi akan berani kepada

majikan. Para petani semakin tertekan, hasil pertanian kurang laku, sementara orang yang jahat semakin enak. Sekarang telah banyak penjahat negara (baca:

KKN) yang bebas, sementara yang salah kecil-kecil menjadi korban. Para penjahat semakin sorak-sorai, bahkan menganggap dirinya benar. Sebaliknya,

orang yang benar justru harus menerima nasib pahit. Orang yang selingkuh dibiarkan merajalela, sebaliknya yang jujur semakin hancur. banyu luru cidhuk guru luru murid wong wadon nglamarbojo

murah kembang larang wong lanang cerak disepak adoh digayuh apik tinampik ala diuja sing keduman ora duwe eman sing eman ora keduman

ela-elo wong Jawa kari separo

Ketahuilah bahwa pada suatu saat (yen ana rejaning jaman) akan terjadi

situasi wolak-walikan (berkebalikan). Di Jawa akan ada air mencari wadhah

dan guru mencari murid, karena banyak sumber energi dibiarkan dan murid

semakin sedikit. Yang lebih hebat lagi, kelak akan terjadi justru berkebalikan dengan tradisi, bahwa wanita yang akan melamar laki-laki. Kisah Kleting Kuning

ngunggah-unggahi Andhe-Andhe Lumut akan terjadi berulang-ulaang di Jawa.

Inilah akibat murah wanita tetapi jarang laki-laki. Wanita lalu banyak yang me­ lacurkan diri. Wanita yang baik ditolak suami, sebaliknya justru suami mencari wanita pelacur. Semua hal ini terjadi sebagai titik puncak terjadinya zaman

edan. Hampir seluruh orang ingin berbuat memuaskan nafsu. Jika sudah de­ mikian, jangan heran kalau orang Jawa tinggal separo. Ungkapan ini menan­ dakan bahwa orang Jawa yang baik tinggal sebagian saja. Ramalan di atas sekilas seperti hanya permainan kata-kata saja. Namun

demikian, dari sekian banyak ramalan tersebut, sampai sekarang juga ada yang menjadi kenyataan. Ramalan semacam itu merupakan wujud simbolisasi fenomena

zaman. Simbol zaman dibungkus melalui kata-kata estetis yang tak lapuk termakan

zaman. Ada kalanya ramalan juga merupakan bentuk kekesalan masyarakat ter­ hadap situasi yang kurang menentu. Ramalan semacam ini lebih merupakan wujud protes, sindiran, dan harapan-harapan. Harapan fantastis sering memunculkan

jangka yang sulit diterka sebelumnya. Misalkan jangka berikut. Besuk ing tembe, pungkasane ratu kang ngaku-aku

makutha kuluk kethu lumut kendhil agemane agodhong pring enom negarane ambane saprowolon

sejatine mangertenana: pungkasane jengkare ratu mau bakal nemoni kahanan kang giris

perang, bencana, lan sapanunggalane kabeh tedhak ing negara iki

kang sapa tan nduweni ati suci tanpa peduli dadi tumbaling pati Makna jangka demikian, paling tidak akan menggambarkan sebuah evolusi suatu kepemimpinan. Pergantian suasana kepemimpinan amat diharapkan si

peramal. Hal ini penting, karena saat ini masih bertakhta pimpinan yang sekadar ngaku-aku (mengaku pimpinan), padahal bukan. Pimpinan tersebut sekadar mengenakan topi baja, berbaju hijau seperti daun bambu muda. Kekayaan raja itu hampir seperdelapan negara. Sayangnya, akhir pemerintahan dia justru

akan menimbulkan gara-gara yang menakutkan. Pada situasi semacam ini, jika ada, orang tak berhati suci akan menjadi tumbal.

C. Puji dan Mantra Manusia Jawa juga melakukan beberapa puji. Puji adalah bentuk ekspresi keinginan manusia. Puji menjadi wahana keselamatan juga. Yang menjadi objek

puji adalah bagian-bagian organ manusia dan apa saja yang terkait dengan

petung. Hakikat puji adalah membeberkan eksistensi fenomena. Barulah di­ wujudkan dalam kata-kata khas yang memuat pujian. Sebagai contoh, orang

Jawa melakukan puji pada empat jenis napas yang mengitari tubuh manusia, yaitu (1) napas, iku tetalining urip, iya tetalining roh, rupane ireng, plawangane af’ngalullah, dununge ing lesan, pujine la ilaha Hallah, iku sampumaning kulit

daging; (2) tanapas, iku pamyarsane roh, rupane kuning, plawangane

asmaullah, dununge ing kuping, pujine allahu allahu, iku sampumane otot lan

balung; (3) anpas, iku panggonaning roh, rupane ijo, plawangane sifatullah, dununge ing gigir, pujine Allah, Allah, iya iku sampumaning getih lan sungsum; (4) nupus, iku paningaling roh, rupane putih, plwangane dzatullah, pujine ja-

hu, ja-hu, iku sampumaning panguwasa lan nepsu. Puji dapat berkaitan dengan benih kelahiran manusia, yang berupa empat

unsur penting, yaitu (1) wadi, berwarna merah, berasal dari darah manusia, puji

yang diucapkan layakrifu Hallah', (2) madi, berwarna kuning, berasal dari air suci, puji yang diucapkan lamakbuda Hallah’, (3) mani, berwarna hijau, berasal dari kekuasaan sejati manusia, bunyi puji lamujuda Hallah’, (4) manikem,

berwarna putih, berasal dari cahaya manusia, bunyi puji layatkuru Hallah. Dalam diri manusia juga terdapat hati yang identik dengan rasa. Hati tersebut memerlukan puji pemiliknya. Puji hati (ati) ada empat macam, yakni: (1) ati sanubari, yang menguasai rasa, berwarna hitam, ini pintu kaharullah, berada dalam alam sulpil, bunyi puji Allahu-AHahu, itu kesempurnaan ucapan;

(2) atimaknawi, penguasa rasa, berwarna kuning, berada di pintu kamahullah, berada pada alam sulbi, bunyi puji Allah-Allah sebagai kesempurnaan

pendengaran; (3) ati siri, kesempurnaan rasa, berwarna hijau, berada pada

pintu jalahullah, berada pada alam topek, puji yang diucapkan Hu-Hu-Hu,

kesempurnan penciuman; (4) atipuat, kematian rasa, berwarna putih, berada di pintu jamalullah, di alam sabit, puji yang diucapkan annalkaka annalkaka, ini kesempurnaan penglihatan.

Mantra yaitu ucapan khas yang telah dimasak menggunakan kekuatan batin. Tak hanya ucapan lisan yang bermain menyertai mantra, tetapi juga

keteguhan batin. Maksudnya, sama-sama lafal mantra, jika diucapkan oleh

orang yang berbeda, tentu akan berbeda pula khasiatnya. Kekuatan mantra

termasuk jenis kesaktian khusus. Pada awalnya, mantra adalah doa. Mantra juga mirip dengan aji. Keduanya

berisi doa sakral. Doa untuk apa saja ada mantra dan aji yang perlu diucapkan. Namun, mantra baru akan mencapai sasaran apabila yang mengucapkan (matek) memang penuh keyakinan. Mantra juga tergolong kata-kata atau

kalimat bertuah. Hal ini menuntut adanya pengucapan yang khusyuk, tidak serampangan dan sembarangan. Orang yang tak bersih batinnya, jelas sulit

menerapkan mantra.

Banyak aspek kehidupan yang memerlukan penerapan mantra atau aji. Berbagai aspek kehidupan itu antara lain (1) Membuka rasa wanita, bunyinya: sor temlosor ing kasur sari, kaya gam­

paran gadhing maju karya suci, sucine si anu, ambyuk menyang badan sariraku kabeh, rasa mani tiba manikem dadi asih, asih saka karsaning

Allah. Mantra ini diucapkan ketika sang suami telah tidur bersama istrinya.

Ucapan harus khidmat, penuh keyakinan. (2) Menolak pencuri: aku turu tengahing segara, aturu ing banyu putih abantal

naga pratala, akasur singa barong rep-sirep sabuwana kabeh. (3) Pelarisan: Semar dhahar, Gareng meneng, Petruk celuk-celuk, Srikandi

kang ndodoli, Janaka kang nukoni, laris-laris daganganku. (4) Mantra ruwatan. Mantra ruwat amat banyak, yaitu aksara bathuk, sastra

telak, sastra gigir, santi kukus, balasrewu, banyak dalang, dan lain-lain. Bahkan, di setiap wilayah dan dalang sering berbeda wujud mantranya. Seluruh mantra ruwat sebenarnya merupakan bentuk penaklukan Batara

Kala, sebagai lambang pengganggu hidup manusia (sukerta). Di antara mantra tersebut ada yang dinamakan sastra bathuk (caraka balik}, yaitu:

nga ta ba ga ma nya ya ja da pa la wa sa ta da ka ra ca na ha. (5)

Mantra rajah kalacakra, digunakan untuk penolak bala. Sebaiknya ditulis dan diletakkan di atas pintu masuk. Bunyinya: ya malikhu (zat yang berku­ asa), ya maraja jaramaya (hai yang merencanakan kejelekan), kembalilah, maksalna (jenenge wong tapa), ya marani niramaya (yang datang hilang­

kanlah kelebihannya), massalina (orang laki-laki), ya silapa palasiya (yang memberikan lapar semoga memberikan kekenyangan), Marnus (nama lelaki), ya midosa sadomiya (yang membuat kecelakaan, sembuhkanlah),

sadanus (laki-laki), ya dayuda dayudaya (yang menyerang, hilanglah kekuatannya), khamastozyunus, ya siyaca cayasiya (hai yang ingkar, belas kasihanlah), Quitmir, ya sihama mahasiya (yang menjadi hama, belas

kasihanlah). (6) Mantra mendalang, ketika duduk di bawah blencong sambil menjebol gu­ nungan lalu mengucap mantra: matak ajiku semar kuning, alungguha

angigela, dewa-dewa asih, wong sabuwana asih marang badan sariraku,

asih saking karsaning Allah.

Orang Jawa juga memiliki folklor yang berupa jangka (rama/). Jangka

merupakan wujud pemikiran orang yang luar biasa. Dia pandai meramalkan hal-hal yang mungkin terjadi atas dasar ciri-ciri fenomena. Kehebatan jangka kadang-kadang di luar dugaan orang biasa, karena kecerdasan lokal itu mampu

menembus batas. Tentu saja dunia folklor ramal ini membutuhkan laku-laku tertentu. Orang Jawa yang gemar bertapa ngliga, ngidang, ngalong, mbisu,

dan sebagainya akan mempengaruhi kekuatan batin dalam meramal kejadian.

D. Pasemon 1. Pasemon Raja Jawa Di antara pralambang ada yang dinamakan pasemon. Pralambang berarti tanda-tanda bersifat kias. Pasemon berasal dari kata semu (tersamar).

Pasemon adalah tanda-tanda tersamar, berupa rangkaian kata-kata kias. Ke­ hadiran pasemon dalam folklor Jawa dimaksudkan untuk mengekspresikan

sesuatu yang dianggap rahasia. Hal-hal yang sifatnya menyinggung perasaan

orang lain sering disampaikan melalui pasemon. Dengan kata lain, pasemon merupakan wacana tanda yang halus, tersembunyi, dan ada unsur sindiran.

Pasemon dapat diwujudkan dalam aneka folklor, yaitu: (1) ideomatik Jawa, yaitu unen-unen yang memuat mutiara kata simbolik. Idiom-idiom ini biasanya menggunakan fenomena alam, hewan, dan lain-lain; (2) puisi atau syair, yaitu

karya-karya folklor yang estetis, disampaikan kepada khalayak untuk menghibur sekaligus sebagai ironi; (3) kisah atau cerita, yaitu folklor prosa pendek-pendek

yang memuat sejumlah pesan. Hampir semua pasemon merupakan bungkusan makna untuk melukiskan sebuah peristiwa penting. Hal ini banyak terjadi di era kerajaan dan kolonialis­

me. Para pencipta pasemon juga tak jelas. Masyarakat hanya menerima dari mulut ke mulut, bahkan kadang-kadang tak tahu maknanya sama sekali. Pase­ mon termaksud antara lain

(1) Catur rana semune segara asat. Artinya, empat gerbang seperti lautan

kering, melambangkan empat kerajaan (Kediri, Jenggala, Singasari, dan

Ngurawan) yang selalu bertikai akhirnya sama-sama rusak dan tak ada

kemakmuran. (2) Damarwulan semune asmara kingkin. Artinya, Damarwulan agaknya gemar pada tindakan yang baik. Tokoh ini pendukung darma, yang bermusuhan

dengan Minakjingga. (3) Ganda kentirsemune liman pepeka. Artinya, bau-bauan yang hanyut dikira

seekor gajah yang bijaksana. Ini melambangkan prabu Gandakusuma di

Pejajaran yang tega menghanyutan putranya bernama Siung Wanara di

Sungai Kerawang. Akhirnya Siung Wanara membalas dengan perlakuan serupa dan tewas di sungai itu juga. (4) Gunung Kendheng semune kenya nyusoni. Artinya, gunung kendheng seperti gadis sedang menyusui. Ini melambangkan Pakubuwana I (raja

Kartasura) yang berusia panjang, tetapi tak melakukan gerakan penting bagi kemajuan kerajaan malahan seperti anak kecil. (5) Kalpika semune kenaka putung. Artinya, cicin agaknya kukunya putus. Melambangkan Sultan Tegal Arum (putra Sultan Agung yang menjadi raja

Mataram) yang amat keras akhirnya lolos dari keraton karena pemberontak­ an Raden Trunjaya. (6) Kembang sempol semune lebe tanpa kethu. Bunga teratai agaknya modin

tanpa kopyah. Melambangkan Panembahan Seda Krapyak dan Sultan Agung dari Mataram sebagai seorang raja berwatak prajurit perang yang tangguh sekaligus ulama yang taat beragama. (7) Kembang tepus semune Arjuna kelor. Kembang tepus agaknya seperti

Arjuna hidung belang, melambangkan Sunan Amangkurat Mas yang amat keras seperti bunga tepus yang berbau dan seperti Arjuna yang tertarik

pada gadis.

Ada juga pasemon ideomatik Jawa yang melukiskan keberadaan tanah Jawa. Pasemon semacam ini berupa harapan dan sedikit bernuansa ramalan. Pasemon termaksud antara lain

(1) Tunjung putih semune pudhak kasungsang. Teratai putih agaknya bunga

pandan dalam posisi terbalik. Maksudnya, di tanah Jawa kelak akan ada orang suci bersih, ibarat bunga teratai putih, indahnya bagaikan bunga pandan wangi, sayangnya masih tersembunyi. Ini merupakan pasemon

harapan akan datangnya ratu adil, yaitu satria piningit yang diharapkan menyejukkan suasana.

(2) Tunjung putih semune pudhak sinumpet. Teratai putih tampak mewangi

seperti bunga pandan tersembunyi. Maksudnya, sejajar dengan nomor (1) bahwa orang Jawa mengharapkan seorang figur pimpinan. Mereka menyebut dengan istilah ratu adil, yaitu pimpinan yang dapat membawa

aroma tanah Jawa harum mewangi. (3) Gandrung-gandrung ing lelurung, andulu gelung kekendhon; keris parung

tanpa karya, edolen tukokna uleng-uleng campur bawur. Artinya, di suatu masa tanah Jawa akan sampai pada situasi yang menyenangkan. Kelak akan banyak orang bercinta blak-blakan di sepanjang jalan. Banyak wanita

telah kendor kainnya. Pada saat itu pusaka tak lagi berkuasa, tak lagi

harus mendewakan sebangsa keris. Inilah zaman yang aman tenteram. Folklor ini muncul di era Jawa dalam keadaan pailit dan dijajah, sehingga suasana bebas amat didambakan. Namun, jika diterapkan di era reformasi ini justru terjungkir balik. Keadaan demikian justru menjadi bumerang bagi

orang Jawa.

Pada waktu ada rapat di kerajaan, kalau sang raja menyatakan kepada anaknya: “Keris iki golekna sarunrf (Keris ini carikan sarung/wadah), jelas

ada maksud rahasia. Ketika Pangeran Tejaningrat diutus ayahnya agar mem­

bunuh Rara Hoyi, hanya dinyatakan semacam itu. Ini menunjukkan pasemon yang memang berlaku di era keraton, sehingga harus dipahami bersama. Akhirnya, keris tadi harus digunakan untuk membunuh Rara Hoyi, meskipun biasanya lalu direbut oleh wanita itu untuk bunuh diri.

Begitu pula bila seorang raja menerima tamu bawahan dan menyuguh

beberapa barang, tentu hanya pasemon. Misalkan, saat Ajar Subrata datang kepada Prabu Jayabaya disuguhkan: (1) Kunir, maksudnya agar negara ditarik

pajak emas, jika tidak, negara rusak hanya karena saudara sendiri; (2) jadah, negara harus ditarik pajak slaka, jika tidak, akan rusak oleh anaknya sendiri; (3) kajar, kawula harus ditarik pajak hasil bumi, jika tidak, negara akan hancur oleh

anak angkat sendiri; (4) bawang putih, rakyat harus ditarik pajak uang, jika tidak, negara akan hancur karena putra mahkota bersekongkol dengan musuh.

2. Sasmita Lungit Sasmita lungit adalah sejenis pralambang yang rahasia. Pralambang ini

berupa sasmita yang harus dicari maknanya secara njllmet (cermat). Hanya

orang yang memiliki pengalaman tua dan panjang yang dapat membaca

pralambang ini. Biasanya, sasmita ini digunakan seorang dukun atau pendeta dan juga pinisepuh lain. Inti sasmita sinengker adalah ingin menggambarkan

suasana dengan menggunakan simbol-simbol rahasia. Di antara sasmita

sinengker yang banyak digunakan dalam folklor Jawa sebagai berikut. (1) Yen lara wedhakana godhong adas pula waras. Ini melambangkan bahwa

si sakit masih bisa diharapkan sembuhnya. Kata pula waras sebenarnya sasmita yang berisi harapan sembuh. (2) Yen lara panas coba wedhakana godhong dhadhap srep. Maksudnya,

agar si sakit segera dingin badannya. Kata srep berasal dari kata asrep (dingin). Dengan daun dadap srep, penderita akan segera sembuh.

(3) Yen lara coba olehe turu lemekana pupus gedhang. Kata pupus yang

biasanya menunjukkan bentuk daun yang masih tergulung pertanda bahwa yang sakit akan sulit diobati. Karena itu harus bersikap mupus (menerima

kenyataan), karena sebentar lagi akan segera digulung (dibungkus) seperti daun pisang muda. Orang tersebut akan dibungkus mori putih.

(4) Yen lara coba wedhakana pipisan bayem. Maksudnya agar sanak saudara si sakit merasa ayem (tak khawatir). Hal ini berarti masih ada harapan

sembuh. (5) Yen lara coba lintingan rokok iki bakaren, kebule kepul-kepulna ing ce-

dhake. Ini melambangkan bahwa si sakit sebentar lagi akan segera di­ bungkus mori putih seperti rokok, akan segera mati.

(6) Yen lara ombenana banyu bening, olehe njupuk mungkur, mbisu. Mak­

sudnya, orang yang sakit akan segera dimandikan air oleh sanak sauda­ ranya, akan mati. Karenanya harus ambil air dengan mungkur (si sakit akan segera mungkur, akan meninggalkan kita). Apalagi ada kata-kata

mbisu, artinya si sakit tak akan bisa bicara lagi, mati. (7) Yen lara goleka wedhak godhong jati, ngalor apa ngidul parane. Ini me­

nandakan bahwa si sakit akan segera kembali ke kesejatian (mati). Sebentar lagi si sakit akan segera dibujurkan ke utara-selatan atau mati.

Sasmita lungit tersebut lebih banyak bersifat psikologis bagi sanak

saudaranya yang sakit. Bagi orang yang memberi pesan, biasanya tak sampai hati bila harus menyatakan bahwa si sakit sebenarnya sudah koma atau gawat.

Lain halnya dengan seorang dokter, yang menggunakan prediksi ilmiah folklor Jawa demikian hanya mendasarkan tanda-tanda tertentu. Kecuali itu, pemberi pesan juga tak ingin mendahului kehendak Tuhan, sehingga yang disampaikan

hanya sasmita saja. Risiko dari sasmita ini lebih ringan dibanding harus berkata

terus terang. Dengan sasmita demikian diharapkan sanak saudaranya lebih siap menghadapi kenyataan. Segala sesuatunya harus dikembalikan kepada

Tuhan. Ini menunjukkan adanya spiritualitas tinggi orang Jawa. Termasuk dalam sasmita lungit adalah ngalamat (tanda-tanda). Ngalamat

adalah pertanda akan terjadinya peristiwa dalam diri manusia. Ngalamat bisa

berupa kedher atau getering hati, yaitu perasaan dhag-dhig-dhug. Rasa semacam ini akan menandakan berbagai hal, tergantung waktu. Ngalamat dapat berupa juga telinga berbunyi nging, kedut (gerakan berkali-kali di mata,

pelipis, atau telinga). Bahkan, ada juga sasmita lungit yang berupa mimpi.

Mimpi pun tetap terkait dengan kala. Ngalamat dan mimpi merupakan tanda gaib yang amat halus. Hanya orang yang yakin terhadap tanda yang bisa memahaminya.

Bagian VI TAKHAYUL A. Ekslusivitas Takhayul 1. Asal-Usul Takhayul Takhayul menurut Danandjaya (1985:20) tergolong aset folklor sebagian lisan. Sebagai karya folklor, penyebaran takhayul dilakukan secara lisan, dari

mulut ke mulut. Usia takhayul tertentu menjadi sangat sulit dilacak, karena

hanya diwariskan secara turun-temurun. Umumnya takhayul berupa cerita atau legenda yang memuat pesan, pantangan, dan peringatan (Kamajaya, 1992: 43). Menurut Purwaka dkk. (1990: 33) takhayul adalah wewatakan kang

gampang ngguyu lan mituhu marang gunem utawa dedongengan kang pancene mono ora perlu diguyu utawa pinotuhu. Takhayul iku dening wong sing takha-

yulan dianggep nduweni daya, menawa nganti ora diguyu lan ora ditindakake, wong-wong sing ora ngguyu lan ora nindakake iku bakal nandhang ora kepenak

uripe. Pengertian itu menandakan takhayul memiliki daya spiritual bagi pendu­ kungnya. Takhayul lebih ke arah kepercayaan rakyat dan tidak bersifat tempo­ ral, melainkan menurun dari waktu ke waktu. Hadiatmaja dkk. (1995:7-8) mene­

gaskan, takhayul itu bermakna: ngandel marang prakara sing dianggep duwe

kadayan ngungkuli kodrat, mangka sanyatane ora ana. Kapercayan kang mangkono iku isih akeh kang nuhoni.

Hal senada juga dikemukakan Dundes (Danandjaya, 1989:155), takhayul adalah ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat dan satu atau lebih

akibat. Tampaknya, takhayul memang bersifat eksklusif dan hanya berlaku bagi sebagian kolektif, bahkan tidak menutup kemungkinan bernada subjektif. Atau, setidaknya adanya anggapan miring terhadap takhayul itu karena hanya

khayal belaka atau sesuatu yang hanya angan-angan saja (sebenarnya tak

ada) serta kepercayaan kepada sesuatu yang dianggap ada, sebenarnya tak

ada atau dianggap sakti dan sebagainya, tetapi sebenarnya tidak (Poerwadar-

minta, 1976: 996-997). Pendapat ini juga seperti pernyataan Prawiroatmojo (1981:156), takhayul merupakan kepercayaan pada apa-apa yang dianggap

lebih sakti. Ada empat kriteria tentang asal-usul terjadinya takhayul menurut

R.Ng. Kartohasmoro dalam Serat Saloka Dewa (Herusatoto, 1991:11-12), yaitu (1) Sebutan takhayul bermula dari ejekan orang yang mempermasalahkan tingkah laku orang lain yang tidak disetujuinya, sebab (a) dianggap tidak berpikiran

rasional karena mempercayai hal-hal yang tidak dapat ditangkap dengan indra

manusia, kegunaan serta manfaatnya juga tidak ada, karena tidak ada yang

menjelaskan, bahkan sebagai hal yang begitu saja dipercaya, padahal itu

sesuatu yang niskala belaka; (b) sebagian orang masih menganggap begitu saja pada kebenaran yang tidak ada kenyataannya; (c) sebagian lagi yang terperosok pada perbuatan dan anggapan keliru, menerima begitu saja

pelajaran dan pengetahuan yang salah terhadap adanya atau penggunaan bahasa tersamar (pasemon/bahasa plewadan) serta pelajaran yang keliru

atau bohong karena belum dicek kebenaran sesungguhnya. (2) Adanya kurang pengertian dan pengartian yang salah terhadap kisah atau

cerita yang kemudian dianggap takhayul itu, karena orang yang bersang­ kutan merasa serba tahu, padahal sebenarnya tidak tahu apa-apa. Sifat serba tahu ini merupakan kesombongan manusia yang hakiki demi gengsi

terhadap orang lain. Kesombongan inilah yang akhirnya semakin membuat manusia lupa daratan, demi mempertahankan martabat atau kepercayaan semu yang telah didapat/diperolehnya dari kebohongan yang telah disebar­

kan sebelumnya. (3) Mereka yang mudah percaya terhadap perkataan dan perbuatan orang lain yang disebabkan kurang kepercayaan terhadap budi pekertinya sendiri

atau kemampuan dirinya sendiri. Yang termasuk kelompok ini adalah me­ reka yang lemah imannya, sehingga mudah digoda hatinya sendiri, yang

selalu ragu-ragu dan khawatir karena tidak percaya kepada kekuasaan Allah Yang Mahakuasa. Kelompok ini akhirnya terjebak pada perbuatannya

sendiri dan kemudian lebih mempercayai pada hal-hal yang niscaya atau tidak boleh tidak menjadi percaya pada hal yang menyekutukan Allah,

yang sangat terlarang dalam ajaran agama Islam. (4) Besarnya pengaruh kepercayaan terhadap cerita dan kisah fiksi yang sudah

berabad-abad melekat di masyarakat, sehingga banyak yang sudah ber­

ubah ujud menjadi adat-istiadat masyarakat Jawa tradisional, yakni terha­ dap kepercayaan kebudayaan Hindu dan Budha, tentang adanya ceritera/

kisah kehidupan para dewa. Padahal, cerita tentang dewa tersebut merupa­ kan wewara/? atau ajaran tentang adanya moral yang disamunkan (disamar­

kan) dengan menggunakan bahasa Jawa yang beraneka jenis bentuknya, dengan perlambang, perumpamaan, bahasa semu, seloka, dasanamajapa mantra, dan sejenisnya; seperti uraian pada awal tulisan ini, yang terdapat dalam Kesusastraan Jawa. Isi sastra Jawa adalah hal-hal yang mendiskrip-

sikan tentang kodrat kehidupan manusia di dunia serta contoh perumpa­

maan bagi jalan kehidupan manusia untuk menjadi manusia berbudi baik.

Para pemerhati takhayul telah membagi jenis takhayul yang umumnya masih perlu ditinjau kembali. Padmosoekoco (1953:110-118) dan Purwaka dkk. (1990:

33-36) membagi takhayul menjadi tiga, yaitu (1) takhayul kang salugu, yaitu orang yang menjadi pepinta (suguhan) Bathara Kala atau anak sukreta, seperti ontang-anting dan gedana-gedhini, serta orang yang diancam Bathara Kala, seperti laki-laki yang membuat rumah jenis keong kepompong (tak ada tutup

keong) dan wanita adang ngrubokake dandang-, (2) takhayul kang isi wasita sinandi, biasanya dengan kata ora ilok (ora apik), misal aja kudhung kukusan,

dongeng Nyi Rara Kidul, bila ada tundhan (suara gemuruh); (3) takhayul kang

kalebu pepali (wewaler), misal wong-wong Kendhal ora kena gawe gedhong.

Jenis lain, yakni khusus takhayul berupa “larangan", telah dikumpulkan Prawirawinarsa (1912) sebanyak 148 buah, termuat dalam Serat Gugon Tuhon. Penjenisan semacam ini juga dikemukakan Hadiatmaja dkk. (1995: 7) dalam istilah yang sedikit berbeda, bahkan dia membedakannya menjadi empat ma­

cam, yaitu bocah sukerto, tindake manungsa kang dadi muringe Bathara Kala, takhayul kang isipitutur, dan takhayul kang kalebu wewaler. Ternyata, menurut

Herusatoto (1991:13), penggolongan di atas belum lengkap, sehingga ia me­ nambahkan dua jenis takhayul lagi, yakni takhayul berdasarkan legenda/cerita leluhur dan takhayul yang melecehkan karya pikir atau karya ilmiah asli Jawa.

Contohnya serat babad dan primbon. Jenis ini, menurut penulis, masih perlu

ditambah lagi, yaitu takhayul yang berkaitan dengan upacara tradisional daur

hidup, seperti upacara kehamilan. Dari berbagai jenis takhayul tersebut masih ada kekurangkonsistenan, terutama jenis takhayul yang terkait dengan tindakan, takhayul berupa nasihat,

dan takhayul berupa wewaler/larangan/pepali— masih rancu satu sama lain.

Belum lagi ditambah jenis takhayul yang berdasarkan legenda dan takhayul

yang melecehkan pola pikir Jawa.

2. Penggolongan Takhayul Orang Barat sering mengatakan takhayul itu pandir, irasional, dan tak

logis, secara ilmiah kurang dapat dipertanggungjawabkan. Karena takhayul

bernilai rendah dan sering dipandang negatif, maka dalam dunia folklor disebut sebagai kepercayaan rakyat (folk belief). Takhayul kadang-kadang berupa kha­

yalan belaka dan bersifat fantastis. Diakui atau tidak, takhayul tidak hanya memuat ihwal kepercayaan, dan kebatinan. Dalam takhayul justru memuat tingkah laku, pengalaman-pengalaman

hidup, dan sejumlah ungkapan menarik. Takhayul menggambarkan sebuah tradisi yang panjang. Biasanya, takhayul disebarkan dari mulut ke mulut. Karena itu, bagi pendukungnya hanya percaya begitu saja, tidak harus tahu logikanya.

Logika menjadi nomor dua, yang penting baginya adalah sikap dan tingkah laku. Takhayul dapat dibedakan menjadi beberapa golongan, yaitu (1) Takhayul asosiatif bunyi. Takhayul jenis ini, bisa terjadi karena adanya

persamaan watak dengan benda atau makhluk lain, persamaan bunyi,

dan penyebutan benda yang mirip. Misalkan, orang Jawa percaya terhadap suara burung prenjak sebagai tanda akan datang tamu, ada suara burung culik dan tuwu berarti akan ada pencuri, dan burung gagak artinya akan

ada orang meninggal dunia. Orang Jawa juga melarang menanam pohon kelengkeng di depan rumah, karena penghuninya akan menangis (susah). Orang Jawa juga melarang menanam buah anggur di dekat rumah, karena akan menjadi penganggur. Sebaliknya, di depan rumah sebaiknya ditanami

pohon gayam, agar peghuninya ayem tenteram. (2) Takhayul asosiatif wujud, sebagai perbuatan manusia yang disengaja untuk

mendapatkan keselamatan. Contoh: larangan bagi wanita makan pisang

dempet, karena akan melahirkan anak dempet. Wanita hamil juga dilarang makan buah kepel agar posisi bayi di perut tidak melintang seperti kepel. (3) Takhayul kekuatan magis dan gaib, misalkan seorang dukun dapat mence­

lakan orang lain hanya dengan sebuah paku, jarum, dan rambut. (4) Takhayul larangan sugestif (ora ilok). Contoh: jika sedang masak menjatuh­

kan dandang tidak boleh (ora ilok) sebab akan gila, untuk itu harus ditebus dengan lari mengitari dandang tersebut sebanyak tiga kali sambil menari telanjang bulat; tidak boleh berjalan siang hari ketika matahari tegak lurus

karena akan menjadi mangsa Batara Kala, untuk itu harus bersiul; jika engkau melihat bintang jatuh, harus menepuk-nepuk kantung atau saku

sembari berkata "penuh-penuh", karena akan mendapat uang dan tidak sebaliknya, kehilangan uang; jika ada gempa bumi, tidak boleh tidur telen­

tang, harus segera menggigit tanah tiga kali sambil berkata “kukuh-kukuh".

Disadari atau tidak, keberadaan takhayul dalam masyarakat Jawa masih ditaati komunitas pendukungnya. Bahkan, di antara mereka sulit meninggalkan

takhayul dalam segala aspek kehidupan. Karena itu, komunitas pendukung takhayul biasanya merasa takut jika harus meninggalkannya. Hal menarik dari

fenomena takhayul tersebut adalah tidak hanya diyakini sebagian kaum cende­ kiawan, tidak hanya golongan tua saja yang masih mendukung, sebagian gene­

rasi muda juga ada yang masih mempercayainya. Padahal, kaum terpelajar biasanya lebih berpikir ke arah hal-hal yang rasional. Sedangkan ihwal takhayul seringkali ada hal-hal yang irasional.

Namun demikian, kehadiran takhayul memang masih sering menimbulkan pro dan kontra, khususnya antara generasi muda dan generasi tua. Tak jarang

generasi muda mencemooh, mengecam, dan meremehkan kehadiran takhayul

karena dianggap kurang logis. Akibatnya, generasi muda sering menganggap

penganut takhayul itu kolot atau primitif.

Sulit dipungkiri, dengan kemajuan pendidikan serta pemikiran dan nilainilai religius, kini takhayul semakin terdesak, sering berseberangan dengan

kemajuan zaman dan teknologi, bahkan dengan agama. Kendati demikian, cibiran terhadap takhayul bagi pendukungnnya sering tidak dihiraukan. Itulah sebabnya hingga kini takhayul masih tetap ada dan sulit ditinggalkan penganut­

nya. Akhirnya, tak diragukan lagi, jika dikatakan sebagian besar masyarakat

Jawa masih melaksanakan takhayul. Kondisi ini tentu dipengaruhi oleh keber­ manfaatan dan makna takhayul bagi pendukungnya.

B. Ragam Takhayul 1. Keyakinan pada Tanda Gaib Pelaku takhayul dalam masyarakat Jawa kota Yogyakarta tidak hanya

terbatas pada generasi tua saja. Takhayul sebagai salah satu aset budaya Jawa tradisi ternyata juga masih dilaksanakan sebagian generasi muda. Hal

ini berarti bahwa takhayul di kota belum ditinggalkan pendukungnya. Yang dimaksud pelaku takhayul dalam masyarakat Jawa kota Yogyakarta

adalah mereka yang berdomisili di wilayah perkotaan. Umumnya para pelaku takhayul tersebut telah memiliki pendidikan yang memadai, bahkan sebagian

ada yang berkedudukan sebagai mahasiswa. Yang menarik lagi, para pelaku takhayul juga sekaligus pemeluk salah satu agama yang taat.

Pelaku takhayul secara sadar melakukannya dalam berbagai aspek kehi­

dupan. Mereka tidak merasa ada paksaan dari pihak lain untuk melakukan takhayul, muncul dari kesadaran alamiah masing-masing, seperti dinyatakan

salah seorang pendukung takhayul, seorang pegawai Departemen Agama berikut ini. "Tak ada yang nyuruh. Pokoknya hal-hal tertentu saya masih setuju dengan takhayul. Kalau memang logis, tak salah. Toh, sebagian juga tak berten­ tangan dengan agama yang saya anut, Islam. Nyatanya, saya sendiri merasa tenteram dengan menjalankan takhayul itu. Misalkan, ketika nyupitkan anak saya, ya, saya hitung-hitung pakai primbon. Nyatanya, bisa selamat. Kalau tak saya hitung, andai kata ada apa-apa, biasanya tetangga kanan kiri nutuh (mencela)."

Dari penjelasan informan yang tergolong pemeluk agama taat tersebut

terbukti bahwa takhayul memang sulit hilang dalam hidupnya. Maksudnya, ketika dia telah melakukan takhayul, kalau suatu saat ada apa-apa dalam hidup­

nya, sudah tidak ada yang menyalahkan. Dengan kata lain, pelaku takhayul masih enggan meninggalkannya, karena ada perasaan yang tidak enak dalam hidupnya. Justru sebaliknya, ketika telah menjalankan takhayul, hati akan me­ rasa tenteram.

Namun demikian, pelaku takhayul telah berpikir ke arah logika. Manakala takhayul tersebut telah bertentangan dengan agama yang dianut dan tidak logis,

pelaku berani meninggalkan. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam masyarakat kota Yogyakarta telah terjadi pergeseran pelaksanaan takhayul. Ada beberapa

takhayul yang benar-benar masih diyakini dan ada juga yang hampir ditinggalkan. Masyarakat kota juga masih percaya pada tanda-tanda gaib yang terjadi di sekitarnya. Tanda-tanda gaib tersebut merupakan wisik yang perlu dianti­

sipasi, terutama kalau ada gelagat akan terjadi sesuatu yang tidak menyenang­

kan. Kepandaian pelaku takhayul membaca tanda-tanda gaib tersebut telah mentradisi secara turun-temurun. Karena itu, mereka semakin hati-hati manaka­

la ada sinyal yang akan mengganggu keselamatan hidupnya. Tanda-tanda gaib yang masih dipercaya komunitas kota Yogyakarta, seper­ ti dikemukakan G. Susanto, antara lain, bila ada lindu, maka harus segera

menempelkan gigi ke tanah dan berdoa: bakoh, kukuh sebanyak tiga kali,

agar tak ada apa-apa. Ungkapan demikian memberikan gambaran bahwa komunitas pendukung

takhayul juga menggunakan doa-doa singkat agar hidupnya selamat. Doadoa tersebut tampaknya hanya kata-kata spontan, namun di dalamnya terkan­ dung maksud agar gangguan alam semesta tidak menimpa komunitasnya.

Pendukung takhayul juga mencoba berpikir asosiatif, agar gangguan alam berupa lindu (gempa bumi) tidak mencelakakan. Asosiasi bahaya yang akan

menimpa berasal dari "kemarahan" bumi, karena itu dia berusaha menggigit

bumi dengan ucapan bakuh dan kukuh. Ucapan ini mengandung makna agar bumi yang bergoyang segera berhenti dan tidak meruntuhkan bangunan apa

pun di sekelilingnya, sedangkan hitungan tiga kali pada waktu menggigit bumi sebenarnya refleksi berpikir mistik masyarakat Jawa. Karena, masyarakat Jawa percaya bahwa manusia akan mengalami perjalanan tiga dunia, yaitu jana

loka (tempat bumi manusia), endra loka (tempat para raja, orang terhormat), dan loka baka (alam akhirat). Jika manusia telah selamat mengarungi tiga

alam itu, kemungkinan besar akan selamat pula hidupnya.

Tanda-tanda gaib lain yang telah dijadikan takhayul oleh komunitas pendukungnya adalah terjadinya isyarat gaib. Isyarat tersebut berhubungan

dengan tanda-tanda akan terjadi kematian orang terdekat atau setidaknya

saudara terdekat. Hal ini seperti dituturkan T. Indiyani berikut. “Tentang kematian ayah saya. Waktu itu jelas sekali, ketika belanja, istri saya kejatuhan cicak di pundaknya. Nah, ternyata selang tiga hari orangtua

saya meninggal. Pernah juga dulu ketika eyang akan meninggal, saya

mimpi giginya yang atas lepas. Ternyata selang dua hari eyang meningal. Jadi, mau percaya mangga, tidak silakan, tapi kejadian itu jelas menimpa saya sendiri."

Isyarat gaib yang terjadi demikian sebenarnya termasuk hal-hal yang ka­ dang-kadang tidak masuk akal. Namun, menurut pendukungnya, tanda-tanda tersebut tidak bisa diremehkan, agar batin segera siap menghadapi kenyataan. Takhayul semacam ini juga tergolong dalam logika asosiatif, yakni ketika ada

seekor cicak jatuh, akan terjadi kematian saudara terdekat. Cicak adalah simbol kehidupan manusia, yang sangat pandai merayap di tembok atau eternit, kalau

dia jatuh, jelas merujuk pada suatu halangan. Cicak yang pandai pun pada suatu saat gawai juga. Hal ini berhubungan dengan pesfri/Tuhan, bahwa manu­

sia pada saaatnya akan “jatuh" (mati).

Taraf berpikir takhayul asosiatif demikian memang tergolong pralogis, ka­

rena bersikap spekulatif. Artinya, meski telah ada tanda-tanda, dapat saja tidak terjadi peristiwa kematian. Namun demikian, bagi pendukungnya telah diperca­

ya turun-temurun, jika ada cicak jatuh mengenai tubuhnya, kemungkinan besar akan ada berita duka di antara saudara terdekat.

Hal senada juga dialami Sumadi, salah seorang penganut takhayul dan kejawen taat. Sebelum meninggal dunia, dia pernah menuturkan kepada te­

tangga bahwa dirinya pernah mimpi jadi manten, yakni isyarat akan segera mati. Hal ini seperti diungkapkan informan bernama T. Indriyani berikut ini. "Tetangga saya Jawa tulen, sekarang sudah almarhum. Dulu, sebelum meninggal, dia mimpi jadi manten. Katanya akan dekat kematiannya. Nah,

dia lalu mengadakan selamatan. Tapi, akhirnya juga tak tertolong."

Pengungkapan demikian melukiskan pemikiran simbolik asosiatif masyara­ kat pendukung takhayul. Nasib Pak Sumadi yang diceritakan tersebut juga

telah diupayakan preventif dengan cara mengadakan selamatan kenduri. Se­ lamatan ini kiranya juga tak jauh berbeda dengan yang dilakukan orang Mojo-

kuto dalam riset Geertz (1989: 14) dan Woodward (1999: 77), yakni untuk

memohon keselamatan, tolak bala. Namun demikian, pesthitelah tiba, sehingga ajal pun harus terjadi, menimpa Pak Sumadi.

Pemikiran asosiatif Pak Sumadi yang membandingkan antara orang men­ jadi manten lazimnya diarak banyak orang seperti orang meninggal harus men­ jadi kenyataan. Malaikat penyabut nyawa akan segera mengetuk pintu, meng-

akiri hidupnya. Jenazah Pak Sumadi segera diarak seperti halnya manten yang

diiring berbondong-bondong. Kisah mimpi demikian sangat metaforis, yang tidak sekadar mengandung konteks semiotik, namun juga semantik. Begitulah ala pemikiran Jawa yang mampu berasosiasi, mengaitkan peristiwa demi peristiwa budaya. Daya batin

Pak Sumadi yang dibumbui takhayul ternyata menjadi kenyataan. Pendek kata, Pak Sumadi dan komunitas Jawa lainnya adalah pelaku budaya yang mampu membaca tanda gaib dan mencoba memaknakan. Pemaknaan mimpi yang

semula mungkin terkesan asal-asalan, entah karena berpedoman pada primbon Betal Jemur dan Adam Makna, jelas cukup valid relevansinya. Kendati pun Pak Sumadi belum mengenal tafsir mimpi Freud (Sarup, 1993:

43) bahwa mimpi mungkin kondensasi (sebuah proses pengentalan kejadian), displanasi (penggantian memori), penampilan ulang peristiwa (representability),

dan revisi sekunder, namun dia sudah tergolong tanggap sasmita gaib. Dia ter­

masuk jalma Umpat, mampu membaca tanda-tanda (semiotik), meski sebagian

orang akan mengatakan pola pikirnya masih irasional, gugon tuhon (takhayul).

2. Kepercayaan terhadap Kekuatan Benda Bagi penganut takhayul, benda-benda tertentu sering dianggap memiliki

kekuatan magis. Benda-benda tersebut dapat memberikan tuah dan keten­ teraman manakala dipelihara dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, jika benda-

benda tersebut dibiarkan begitu saja seringkali menimbulkan malapetaka, bahkan ada juga benda yang dapat digunakan sebagai wahana penyembuhan penyakit. Hal ini seperti dijelaskan informan W. Widayati berikut ini. "Ya, sebagian masih, asal ada faktanya. Misalnya, adik saya dulu pernah dientub lebah, menangis, tapi setelah dipinjamkan akik milik tetangga, sembuh. Tak sakit. Akik tadi dapat berdiri di tempat yang dientub, kayaknya

menyedot bisa lebah."

Penjelasan itu memberikan gambaran, akik termasuk benda antik yang memiliki kekuatan sakti. Kesaktian akik ternyata dapat “menolong" pemiliknya

ataupun orang lain yang membutuhkan. Akik dapat digunakan untuk menyedot

bisa lebah, sehingga penderitanya segera sembuh. Tentu saja hal ini juga dapat digunakan untuk menyembuhkan gigitan binatang berbisa lain, seperti

ular. Konsekuensi dari kekuatan sakti akik tersebut, setiap Malem Selasa Kliwon pemiliknya harus memberikan kutukan dengan membakar kemenyan. Akik

tersebut juga dibungkus dengan mori putih sehingga terpelihara kesakralannya. Yang penting lagi, akik tersebut lebih dihormati penggunanya. Pengguna akik

tidak akan berani meletakkan akik secara sembarangan.

Kecuali akik, penganut takhayul juga percaya pada kekuatan sakti sebuah

keris. Keris masih dianggap benda yang paling sakral. Karena itu, peletakan keris juga tidak boleh sembarangan. Keris harus dipelihara menggunakan tradisi Jawa,

seperti dituturkan H. Priyo Prabowo, seorang penganut kejawen yang taat. “Masih banyak, seperti setiap Malem Jemuwah Kliwon, orangtua saya

masih njamasi keris. Keris tersebut bertuah, kok. Dulu pernah dijual, tapi

yang beli selalu digoda suara-suara tangis. Lalu, ada suara seperti mercon meletus, kan, jadi kaget. Lalu dikembalikan pada orangtua saya. Waktu itu kami sekeluarga juga susah sekali, karena dilanda sakit demam, sampai mengigau ndak karuan." Tuturan di atas memberi gambaran betapa besar kekuatan magis sebuah

keris. Pemilik keris juga bukan orang sembarangan, melainkan harus cocok dengan kerisnya. Jika pemilik keris tidak dikehendaki oleh keris, akan ada akibat yang kurang menyenangkan. Sebaliknya, jika ada kecocokan antara

pemilik dan keris, benda magis tersebut akan mendatangkan ketenteraman.

Keris memang bisa ditaklukkan dengan cara memberi sesaji dan jamasan seperlunya. Jamasan dan sesaji pun harus menggunakan hari sakral, yaitu

Malem Jemuwah Kliwon.

Kekuatan magis demikian menunjukkan bahwa sistem religi, kepercayaan, dan agama di dunia ini memang akan berpusat pada hal gaib yang dianggap mahadahsyat dan keramat oleh manusia. Karena itu, bukan mustahil, jika dalam

ritus budaya masyarakat tersebut sering mengadakan berbagai upacara ritual, seperti khitanan, kehamilan, dan pernikahan.

Menurut Frazer (Koentjaraningrat, 1985:27), dalam memecahkan persoalan hidupnya, manusia menggunakan akal dan sistem pengetahuan, namun akal dan pengetahuan itu terbatas. Makin terbelakang kebudayaan manusia, makin sempit batas akalnya. Persoalan hidup yang tak dapat dipecahkan dengan akal

dipecahkannya dengan magis, ilmu gaib. Magis adalah semua tindakan manusia untuk mencapai maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada dalam alam serta

seluruh kompleks anggapan yang ada di belakangnya. Konsep magis tersebut sejalan dengan pandangan Baal (1987:129) yang

mengistilahkan kekuatan magis dengan sebutan mana, yaitu sesuatu yang mempengaruhi semua hal, yang melampaui kekuasaan manusia, dan yang berada di luar jalur normal dan wajar. Mana ini masih ada dalam kehidupan orang Jawa, terutama yang masih menjalankan budaya primitif.

Manifestasi konsep mana dalam kehidupan bermacam-macam, antara lain terkait upaya keselamatan seseorang. Seperti diijelaskan Fosterdan Anderson

(Pelly, 1992:2), dalam menghadapi penyakit, manusia sering mengembangkan pengetahuan yang luas dan kompleks, mencakup kepercayaan, teknik, peranan, norma, nilai, ideologi, sikap, kebiasaan, ritus, dan berbagai lambang (simbol)

yang satu sama lain bertalian erat dan membentuk suatu kekuatan.

3. Pemujaan terhadap Roh Ritus dan kepercayaan dalam kehidupan dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu ritus magis dan ritus religi. Keduanya akan mewarnai sistem kepercayaan manusia, termasuk orang Jawa. Dalam ritus kehidupan masyarakat Jawa yang percaya adanya roh-roh halus nenek moyang masih sering tampak dalam upa­

cara sesajen yang ditujukan kepada arwah para leluhur. Pemujaan ini di­

maksudkan untuk meminta dan memperoleh berkah sebelum menjalankan pekerjaan yang penting. Ritus semacam ini merupakan penghormatan kepada para leluhur, terutama orangtuanya sendiri. Ini menunjukkan ada keterkaitan

hidup antara alam manusia di dunia dan di akhirat.

Bentuk pemujaan ritus bermacam-macam. Pemujaan yang diarahkan untuk

permintaan dengan roh halus leluhur sebagai perantara disebut kaul, yakni upaya menyampaikan permohonan dan restu sebelum mengadakan suatu usaha,

diharapkan hajat yang dilaksanakan mendapat keselamatan. Itulah sebabnya sering diadakan ritus selamatan, yang berhubungan dengan upacara kelahiran,

memasuki rumah, tumbuh gigi pertama, orang meninggal, dan sebagainya. Pemujaan terhadap roh tersebut tidak lain sebagai bukti ketergantungan

masyarakat Jawa terhadap roh. Mungkin juga mereka ingin menjunjung tinggi roh leluhur, dan di dalam batinnya dimungkinkan adanya "ketakutan", yang

secara psikologis dapat mengganggu ketenangan jiwa. Umumnya, jika mereka

telah melaksanakan pemujaan, harapan akan hidup tenang semakin besar.

Pemujaan terhadap roh itu menjadikan orang Jawa masih taat menganut “sistem kepercayaan". Orang Jawa sering mengadakan sedekah, seperti

nyadran. Maksudnya, upaya menghubungkan diri dengan arwah leluhur dan orangtua yang telah wafat. Umumnya, mereka memohon diri untuk melakukan pekerjaan, mohon berkat perlindungan agar selamat, kebahagiaan, agar

terhindar dari marabahaya.

Bahkan, di Jawa ada yang percaya akan makhluk halus yang dapat mem­ berikan kekayaan. Karenanya, mereka mengadakan tata cara untuk permintaan

kekayaan dengan cara munjung (memuja). Tempat seperti Gunung Lanang Kulon Progo, Gunung Srandil, Gunung Tengger, dan lain-lain adalah tempat

yang biasa digunakan munjung. Upacara munjung disebut juga nyuguh. Hal

ini terjadi karena di Jawa masih ada kaum abangan yang percaya terhadap local place spritis, segala sesuatu memiliki kekuatan gaib. Ada lagi makhluk halus yang menginginkan wadal, yakni untuk mendirikan

rumah jika telah selesai. Wadal juga berupa anak. Oleh karena itu, orang Jawa mempunyai teknik dalam mendirikan rumah, yakni jangan diselesaikan dahulu

meski rumah itu sudah megah. Mereka harus selalu membuat bagian-bagian rumah tertentu yang dianggap belum selesai.

Dalam kaitan hal tersebut, orang berpendapat bahwa alam semesta ini ada

yang “menghidupi”, yakni roh. Jika alam semesta ditinggalkan roh, keadaan akan

mati. Roh tersebut menghidupkan makhluk-makhluk di alam semesta, seperti manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Makhluk tersebut sangat berhubungan

dengan alam semesta. Itulah sebabnya, jika makhluk lain itu mati, manusia masih percaya bahwa roh yang menghidupi itu "ada" di alam lain. Roh itu membentuk

komunitas tersendiri, seperti halnya manusia. Dari sini, maka manusia sulit meninggalkan roh tersebut. Artinya, masih ingin selalu berhubungan. Adanya keterkaitan manusia dengan roh itu akan membentuk sistem

kepercayaan. Sistem inilah yang akan dimanifestasikan ke dalam bentuk ritus

sebagai salah satu cara kontak antara manusia dengan roh. Ritus yang di­

maksud adalah upacara-upacara untuk mendekatkan diri manusia dengan roh. Penganut takhayul juga masih melakukan pemujaan terhadap roh halus.

Roh seseorang yang telah mati dipercaya masih berada di sekeliling mereka.

Karena itu, roh tersebut harus dihormati dan diperlakukan tidak jauh berbeda

dengan makhluk hidup. Penghormatan terhadap roh dimasudkan untuk menjaga

keselarasan hubungan adikodrati, agar roh halus tidak mengganggu hidupnya. Kepercayaan terhadap roh sering juga mengakibatkan penganut takhayul harus merasa takut kepada roh yang kebetulan belum sempurna, apalagi roh yang ketika meninggal tidak secara wajar. Oleh penganut takhayul dianggap akan menggoda dan mengganggu ketenteraman. Karena itu, roh tersebut harus

dijaga, tidak boleh diganggu, dan harus dihormati sedemikian rupa, seperti

dinyatakan W. Widayati, seorang mahasiswi.

"Masih banyak takhayul di sekitar saya, termasuk peristiwa kematian tak wajar di sini pernah terjadi. Percaya atau tidak, mangga, kalau saya jelas percaya, habis mengalami sendiri. Dulu, kan, pernah ada wanita meninggal

karena menggantung diri di kantor, akibat ditinggal pacarnya. Nah, wanita

tadi rohnya masih sering hadir, terutama malam hari. Kalau ada latihan menari, seringkali kalau penarinya tiga bisa bertambah jadi empat. Tentu teman-teman sering takut." Pernyataan demikian memberikan ilustrasi bahwa roh yang meninggalnya tidak sempurna cenderung akan mengganggu hidup manusia. Roh tersebut

dipercaya akan mambahayakan hidup apabila tidak disikapi secara arif. Karena

itu, dengan bukti sebuah pengalaman melihat roh yang berkeliaran (genta­

yangan), para penganut takhayul menjadi semakin hati-hati. Roh yang berasal dari seseorang yang kecewa, besar kemungkinan akan menunggui suatu tempat. Dia akan mbaureksa (menjaga) tempat di mana dia

menggantung diri. Bahkan, menurut informan di atas, roh tersebut bertekad

bulat sampai kapan pun tidak mau dipindahkan ke mana-mana. Karenanya,

penganut takhayul hanya mengambil sikap hati-hati, agar tidak menyakiti roh tersebut.

Untuk menjaga roh tersebut tidak bersikap ganas, penganut takhayul ber­ upaya menjinakkan dengan cara mengadakan selamatan. Selamatan berupa sesaji pada tempat tertentu, yakni di dekat gedung yang diduga sebagai tempat

roh wanita tadi menggantung diri. Sesaji tersebut dimaksudkan agar dimakan roh tadi, sehingga tidak akan mengganggu para penganutnya.

Penganut takhayul juga meyakini adanya roh leluhur yang mampu mem­

berikan tuah tertentu. Karena itu, mereka tak segan-segan memberi sesaji sebagai upaya pemujaan terhadap roh, seperti dituturkan W. Widayati. "Ya, kadang-kadang diadakan selamatan. Seperti belum lama ini, di pabrik gula dekat saya, setiap akan giling diadakan selamatan. Pihak pabrik rela mengeluarkan dana untuk selamatan berupa kepala kerbau. Ya, untuk persembahan kepada yang mbaureksa. Hakikatnya, ya, kepada Tuhan. Kepala kerbau tadi sering dibawa ke mesin gilingan gula.”

Tuturan tersebut menunjukkan bahwa penganut takhayul masih percaya terhadap keistimewaan roh leluhur. Jika roh leluhur diberi penghormatan dengan saji-sajian, sebaliknya juga akan memberikan balasan kepada manusia. Hal ini berarti diperlukan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara

dunia roh dan dunia manusia. Manakala hubungan antara roh dan manusia

berjalan serasi, kedua belah pihak akan merasa hidup tenang dalam dunia masing-masing.

Hal senada juga dikemukakan Wulansari, roh leluhur dipercaya masih ada yang menunggu tempat-tempat tertentu. Roh tersebut, jika dipelihara baik-baik, akan memberikan tuah dan keselamatan bagi penganutnya. Sebagai bukti, di kota Wonosari ada sumber mata air yang masih ditunggu roh. Roh penunggu tersebut pada Malem Selasa Kliwon harus diberi sesaji bunga-bunga dan

pembakaran kemenyan. Dengan cara semacam ini, roh penunggu mata air akan memberikan balasan berupa mata air yang mengalir terus. Sebaliknya, jika tidak diberi sesaji, penganut takhayul takut kalau mata air tersebut akan kering.

Hal terakhir ini muncul karena orang Jawa masih percaya terhadap roh-

roh halus yang menempati tempat-tempat tertentu. Roh-roh semacam ini di­ anggap sering menganggu manusia, terutama anak-anak, gadis, dan perempuan

hamil. Roh-roh tersebut, jika sampai terganggu, akan berakibat pada kesela­ matan mereka. Oleh karena itu, mereka sering "dilarang" pergi ke mata air, ke

tempat-tempat seperti kuburan, ke tempat yang ada batu besar atau pohon besar pada waktu tengah hari, dengan tujuan agar tidak diganggu makhluk

halus penghuni tempat tersebut. Ada kalanya mereka juga dilarang bermainmain di waktu senja, karena waktu semacam ini dianggap mulainya makhluk

halus itu berkeliaran. Adanya roh semacam itu membuat orang Jawa selalu berhati-hati dalam

bertindak, terutama bagi mereka yang tergolong masyarakat primitif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kruyt (Kontjaraningrat, 1985: 20), manusia primitif

itu umumnya yakin adanya zat halus yang memberi kekuatan hidup dan gerak pada banyak hal di alam semesta ini. Zat halus itu terutama ada dalam tubuh

manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi seringkah juga ada dalam benda. Zat halus itu disebut zielestof. Keyakinan semacam ini disebut animisme. Masyarakat Jawa, seperti halnya manusia lain, juga yakin bahwa ada zat

halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Makhluk halus tersebut dapat menempati berbagai tempat. Kepercayaan semacam ini disebut

spiritisme. Makhluk-makhluk tersebut ada yang membantu hidup manusia dan ada juga yang mengganggu ketenangan hidup manusia.

Di Jawa masih banyak orang percaya adanya makhluk halus yang dapat mengganggu manusia, antara lain menyebabkan sakit, juga masih terdapat

"hantu". Makhluk-makhluk tersebut, bagi orang Jawa, sering ditakuti. Bentuk makhluk halus di Jawa itu antara lain: (a) dhemit. sebangsa makhluk halus yang menempati tempat khusus, seperti

mata air, batu besar, pohon besar, dan suka mengganggu serta memasuki badan manusia, lalu manusia tadi disebut kesurupan, termasuk juga

sebangsa roh nenek moyong, yang jika ditelantarkan, tidak diberi saji-

sajian pada saat mendirikan rumah, misalnya, akan merasuk manusia dan

mengganggu; (b) gendruwo, wewe, dan wedhon: roh makhluk halus dari orang meninggal,

akibat kurang sempurna dalam penguburannya. Roh ini akan mengganggu manusia dengan cara mengetuk-ketuk pintu yang berdekatan dengan kuburan atau menggoyang-goyangkan pepohonan apabila ada orang lewat. Perbuatan makhluk halus semacam itu disebut ngaririwaan atau ngjurigan. Bila ini terjadi, biasanya di atas kuburan dibacakan Alquran agar tidak

terjadi lagi dan sekaligus untuk menyempurnakan roh tadi. Orang-orang mati yang sering menjadi ririwa, antara lain, orang mati bunuh diri;

(c) kuntilanak: roh halus berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia

atau orang mati karena melahirkan anak dan anak itu belum sempat lahir. Agar tidak menjadi kuntilanak, jari-jari, lutut, dan siku perempuan itu ditusuk

dengan jarum. Konsekuensinya, perempuan yang sedang hamil, jika pergi ke tempat-tempat mandi, buang air, sungai, dan sebagainya harus mem­

bawa benda tajam, seperti paku, pisau, atau tusuk konde, agar tidak di­ ganggu kuntilanak.

Sejalan dengan kepercayaan makhluk halus tersebut, orang Jawa mem­ percayai adanya masyarakat makhluk halus yang disebut siluman. Siluman

hidup bermasyarakat dan mempunyai kebutuhan seperti manusia. Itulah

sebabnya, orang Jawa juga harus menyikapi seperti halnya manusia.

4. Takhayul kepada Tokoh dan Cerita Suci Takhayul adalah bagian dari kepercayaan suatu komunitas. Masyarakat kota ternyata masih percaya terhadap tokoh dewa atau figur tertentu yang

dianggap keramat dan mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan. Tokoh

tersebut harus dihormati, jika pendukungnya ingin selamat. Dalam kaitan itu, penganut takhayul juga masih percaya pada tokoh Kanjeng Ratu Kidul, seperti

dikemukakan Indriyani berikut ini. "Antara lain seperti pertemuan Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan

Senapati. Panembahan Senapati, katanya, bisa berjalan di atas air, ke tengah samudra, kan, tak masuk akal, tapi saya masih meyakini hal itu

ada. Begitu pula dengan kisah Ki Ageng Sela memegang petir." Kedua takhayul yang dikemukakan tersebut telah mendarah daging dalam

batin pennganut takhayul. Mereka meyakini bahwa cerita itu sakral dan benarbenar terjadi. Cerita takhayul Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senapati sampai sekarang telah memunculkan ritual Siji Sura di Cepuri

Parangkusuma. Ritual yang berbau mistik religius tersebut merupakan legitimasi seorang raja, karena itu masyarakat kota masih sangat percaya. Begitu pula takhayul Ki Ageng Sela bisa menangkap petir, telah

memberikan sugesti tersendiri bagi penganutnya. Karena itu, kalau

penganutnya mendengar suara petir yang sangat keras, lalu menyebut nama: Gandrik putune KiAgeng Sela. Dengan cara menyebut semacam ini, penganut takhayul akan selamat dari sambaran petir maut tersebut.

Ternyata keramaian kota Yogyakarta juga menyimpan takhayul yang unik.

Takhayul ini telah menjadi kepercayaan penganut takhayul yang erat kaitannya

dengan adanya ritual di Hotel Natour Garuda. Terjadinya takhayul adalah akibat letak hotel yang memang berada di lini antara Tugu dan Keraton Yogyakarta,

bahkan kalau ditarik garis yang lebih jauh atau panjang lagi terletak pada lini Gunung Merapi dengan Samudra Kidul, seperti diceriterakan K.R.T. Surya

Puspaadinegara, seorang anggota paguyuban Darma Sri Winahya. Awal mulanya Hotel Natour Garuda pada zaman perang berada di Jalan Margatama yang sekarang diganti nama Jalan Malioboro. Jalan besar ini

merupakan urat nadi kota Yogyakarta, yang menghubungkan antara Tugu Kota dengan Keraton Yogyakarta. Pada saat Tugu belum berdiri, diceri­

terakan bahwa di sekitarnya pernah terjadi perang besar antara dua tokoh

yang bernama Raden Candraka dengan Raden Wikalpa. Raden Candraka berasal dari sebelah timur Jalan Margatama dan Raden Wikalpa dari se­ belah baratnya. Keduanya saling bertengkar karena berebut kekuasaan wilayah kota Yogyakarta. Dalam peperangan sengit, keduanya meninggal bersamaan (sampyuh) karena sama-sama sakti. Rohnya juga saling berpisah, yang satu pergi ke selatan menyusuri Jalan Margatama (jafan

keutamaan) sedangkan yang satunya lagi pergi ke utara menuju Kali Putih. Namun demikian, kedua roh tersebut seringkali masih bertemu dan bertengkar sehingga membuat suasana kota sangat panas. Agar kedua tokoh yang saling berebut kekuasaan itu tidak bertengkar terus-menerus, maka atas inisiatif Sri Sultan Hamengkubuwana I, kedua wilayah yang diperebutkan itu dibagi menjadi dua. Pembagian wilayah ditandai dan dibatasi dengan berdirinya Tugu Yogyakarta tepat di tengah-tengah Jalan Margatama. Akhirnya, roh Raden Candraka diperbolehkan mbaureksa (menempati dan menjaga) sebelah timur Jalan Margatama dan sementara bertempat tinggal di Gandalayu. Nama kampung ini merupakan lambang

nafsu yang tidak baik, yakni berasal dari kata ganda (bau) dan layu (mati atau bangkai).

Takhayul yang berhubungan dengan tokoh dan orang suci tersebut lebih memiliki kekuatan spiritual. Masyarakat kota lebih mengenal dari waktu ke

waktu. Bahkan, orang tua di perkotaan sering menularkan takhayul tersebut kepada anak cucunya secara lisan. Akibatnya, takhayul tersebut seakan-akan

benar-benar terjadi pada waktu dahulu. Takhayul semacam ini bahkan sering mengilhami aneka ritual di perkotaan.

Bagian VII PENDIDIKAN, MITOS, DAN LEGENDA A. Mengapresiasi Folklor dalam Pendidikan Dalam dunia pengetahuan dan pendidikan sekarang folklor mempunyai

dua arti. Pertama, mencakup segala macam karya tradisional rakyat, baik yang merupakan hasil fantasi umum, adat-istiadat, kepercayaan rakyat, maupun

segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuatan gaib, legenda, ritus, dan lain-lain. Kedua, folklor sebagai nama ilmu yang menyelidiki hal-hal tersebut, dari kegiatan ilmiah pengumpulan data, membandingkannya, menggolonggolongkan, dan interprestasi. Hakikat dari dua pengertian folklor itu menandai

adanya upaya serius di jagad pendidikan untuk selalu menelusuri folklor. Folklor dalam pengertian pertama terlalu banyak mencakup ma-cam karya. Tak kurang dari 20 sarjana telah mengeluarkan pendapatnya tentang macam karya apa saja yang masuk dalam pengertian folklor. Marius Barbeau, misalnya,

berpendapat bahwa bilamana seorang ibu atau seorang pengasuh anak meninabobokkan anak dengan nyanyian, bilamana seorang pengasuh anak atau

seorang guru mengajarkan nyanyian rakyat populer, teka-teki, suatu permainan

kata atau suatu sajak, bilamana seorang mengatakan kembali kata-kata mutiara, pepatah, dongeng binatang, dongeng-dongeng lucu, cerita rakyat atau

menceritakan kenang-kenangan lama yang indah, bilamana dalam suatu kesempatan rakyat bersuka-ria dengan bernyanyi-nyanyi ataupun menari-nari, misalnya pada pesta ulang tahun atau kegembiraan lain yang biasa terjadi,

bilamana seorang ibu mengajar anaknya cara menjahit, merenda, menenun, memasak tradisional, bilama-na seorang petani mengajar anaknya bagaimana

mengetahui waktu yang tepat untuk bercocok tanam atau menuai dengan cara

melihat kedu-dukan bintang atau arah angin berembus, bilamana seorang

tukang di desa, baik tukang kayu, batu, besi, sepatu, atau tukang yang lain

mengajar pembantunya cara memakai perkakas, cara memasang sepatu kuda,

cara membuat roda pedati, dan tentang ilmu pertukangan lain, bilamana generasi tua mengajarkan generasi mudanya pengetahuan kuno, ke-bijaksanaan, kebia­

saan atan praktik-praktik masa lalu, baik dengan memberi contoh atau kata,

tanpa memakai buku atau seorang guru.

Dari pendapat tersebut menunjukkan bahwa folklor itu amat luas. Folklor memiliki daya tampung apa saja, yang hampir mengitari seluruh hidup manusia.

Yang paling penting, dalam folklor itu ada kepolosan. Biarpun ada transmisi

pendidikan dalam folklor, namun perpindahan itu berlangsung secara alamiah. Kelisanan menjadi ciri utama sebuah folklor. Maka, penelitian folklor menjadi amat terbuka, menyangkut apa saja, yang mungkin dilakukan manusia.

Dalam kaitan itu. dunia pendidikan memiliki tradisi ilmiah dalam penelitian folklor. Hal ini dapat dipahami melalui gagasan R.D. Jameson bahwa metode penyelidikan folklor meliputi hal-hal (1) pengumpulan data yang betul-betul

mumi, dalam tingkat ini folkloris sudah harus mulai membuang susupansusupan yang mungkin ada; (2) membandingkan data-data untuk menentukan

persamaan perbedaan fenomena itu dengan kelompok etnis yang lain; (3) pemeriksaan unsur-unsur kepercayaan yang ada dalam folklor terkumpulkan;

(4) pemeriksaan kecenderungan sosial dan psikologis yang menghasilkan

folklor itu; dan (5) fungsi folklor terhadap kelompok sosial dan individu. Lima langkah pengkajian folklor demikian dapat disederhanakan, sesuai

dengan kebutuhan dalam dunia pendidikan. Tiap jenjang pendidikan juga sering memiliki tingkat kedalaman kajian yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, kita

dapat mengikuti pandangan siapa pun tentang folklor. Archer Taylor agak ber­ beda metodenya, la hanya menyarankan tiga tingkat kerja, yaitu pengumpulan data, klasifikasi, dan interpretasi. Dalam tingkat klasifikasi, sedikit banyak juga telah memasuki tingkat interpretasi, sedang dalam tingkat interpretasi, folklor-

folklor itu harus ditentukan asal-usulnya, arti, guna, juga sejarahnya, kemudian ditentukan juga penyebarannya dan menguraikan kekhususan gaya folklor itu.

Bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa, yang satu dengan yang lain berbeda adat istiadat, kepercayaan, dan lingkungan. Menurut sejarah,

mereka itu berasal dari satu tanah, tetapi karena tempat tinggal mereka yang baru berbeda kondisinya dengan yang lain, maka kebudayaan yang mereka

bawa dari tanah yang pada mulanya sama itu mengalami perkembangan yang berbeda-beda. Mereka yang mendapatkan tempat tinggal baru yang “baik’

dan mengembangkan kebudayaan mereka dengan baik pula dibanding dengan

saudara mereka yang menemukan tempat tinggal baru.

B. Mitos dan Pendidikan Folklor sebenarnya merupakan bahan yang mengasyikkan bagi dunia pen­ didikan. Mitos sebagai bagian folklor adalah cerita yang cukup menarik perhati­

an banyak orang. Kisah-kisah mitologis yang berupa sastra lisan sering digu­ nakan dalam pembelajaran. Hal ini mengingat bahwa dalam folklor ada aspek

hiburan sekaligus ajaran unik. Estetika dalam folklor cukup menyegarkan. Maka, bukan hal yang mengherankan, bila istilah folklor yang telah diperkenalkan

pada 1846 sebagai pengganti istilah popular antiquities telah merambah ke jagad pendidikan. Dunia pendidikan kita seakan tak sadar kalau telah berke­ cimpung dengan folklor. Pengu-sul istilah baru itu ialah seorang antiquarian

berbangsa Inggris ber-nama William John Toms, yang hingga sekarang banyak dikenal di jagad pendidikan. Sejak itu folkor dipakai semua bahasa di Eropa

dan kemudian merata sampai Asia dan Indonesia. Konteks pendidikan Indonesia, setahu saya, baru James Danandjaya yang gencar mengenalkan folklor. Penerus folklor pun tidak berusia panyang, yaitu

Suripan Sadi Hutomo. Akibatnya, pemerhati yang tak sepenuhnya menggeliat di jagad folklor, seperti Yuwana Sudikan dan Ayu Sutarto, tetap menjadi pionir

pengembangan folklor di jagad pendidikan. Melalui tangan mereka, aneka kisah legenda diangkat. Para guru pun sulit diabaikan dalam kerangka pengembangan

folklor di dunia pendidikan. Kekayaan kisah-kisah seperti legenda, mitos, do­ ngeng dari para guru akan mempengaruhi ketahanan folklor dalam pendidikan. Waktu-waktu yang lalu dalam mata pelajaran sekolah dasar terdapat mata

pelajaran berceritera, mendongeng, berpantun, yang diberikan sekali setiap

minggu. Di samping itu, tersedia pula buku bacaan yang penuh dengan cerita dan pada setiap akhir cerita diberikan kesimpulan (liding) dan maksud cerita itu.

Cerita itu bermacam-macam isinya, ada yang berisi tentang kejujuran, hukuman bagi orang yang bersifat tamak, pembohong, pendusta, ada pula cerita tentang

perbuat-an terpuji, sifat kesetiaan berkawan, siap menolong sesama makhluk, dan cerita lainnya yang semuanya pasti menghasilkan pendengarnya.

Dalam hidup sehari-hari, cerita-cerita itu besar juga pengaruhnya pada jiwa anak-anak. Tak jarang mereka mengatakan tak mau se-perti si Anu atau

si Badu, tokoh-tokoh yang tak baik dari ceri-ta yang mereka dengar. Misalkan saja kisah Bubuksah lan Gagang Aking, yang tampak melukiskan kekayaan

dan kemiskinan. Hal ini sering mempengaruhi sikap anak didik dalam bertindak. Sebaliknya, anak-anak itu ingin berbuat seperti si Amin atau si Saleh, tokoh-

tokoh dalam cerita yang diangkat menjadi pujaan mereka karena kebaikannya. Besarnya perhatian anak-anak terhadap cerita dapat dilihat, meski bagaimana­

pun gaduhnya kelas, bila guru berkata hendak bercerita, kelas itu tiba-tiba menjadi tenang. Keadaan semacam itu tidak hanya terdapat pada anak-anak

saja, tetapi juga pada orang tua. Pada waktu pertemuan di kampung, entah pertemuan itu dalam rangka pengajian, saresehan, ataukah pertemuan kam­ pung yang lain, sering ter-jadi mereka itu ramai kurang memperhatikan orang yang berbicara. Tetapi, bila dalam keadaan semacam itu pembicara menyelip­

kan cerita Kancil dalam pembicaraannya, orang-orang menjadi tenang dan

mengarahkan perhatiannya kepada pembicara. Demikianlah besarnya pengaruh cerita pada mereka. Keadaan semacam itu terang tidak boleh dilewat-kan para pendidik, baik guru sebagai pendidik di sekolah, orang tua sehagai pendidik di rumah, maupun kaum pendidik masyarakat lainnya. Untuk keperluan itu, folklor siap menyediakan bahan-bahan yang diper­

lukan. Belum lagi pentingnya puisi-puisi rakyat yang dapat merangsang dunia anak untuk belajar hidup lebih baik, berbudi pekerti luhur, atau berakhlak mulia.

Sejak anak mulai belajar berkata-kata, orangtuanya mengajar nyanyian pula kepadanya. Nyanyian-nyanyian pengantar tidur, lagu pengantar makan

seperti “hak-hak”, itu ternyata selain untuk melatih alat-alat bicara anak-anak juga melatih rasa kehalusan dan keindahan. Dalam taraf permulaan itu, nya­

nyian yang diberikan kebanyakan nyanyian berupa permainan kata penuh ira­

ma, sehingga sambil menyanyi anak-anak berlenggang-lenggok menari-nari

kecil. Kiranya menari dan menyanyi merupakan kodrat alamiah setiap orang. Cerita-cerita juga mulai diberikan para ibu kepada anak sejak mereka

masih kecil, khususnya pada waktu mereka akan tidur. Selain untuk memperlengah anak juga memberi pendidikan serta menambah perbendaharaan kata mereka. Setelah mereka masuk taman kanak-kanak dan melanjutkan ke se­

kolah dasar, mereka ingin terus menerima nyanyian-nyanyian dan cerita dari guru mereka. Cerita itu ada yang berupa cerita binatang, cerita lucu, cerita

fantansi, cerita hidup kekeluargaan, cerita dewata atau mythe, legenda, dan sebagainya. Cerita binatang merupakan cerita yang paling digemari, bahkan

digemari pula oleh berbagai tingkat umur. Sedang jenis cerita yang lain tergantung jenis kelamin dan tingkat umur mereka. Bagaimana pun cerita merupakan hal yang digemari mereka dan dapat digunakan untuk keperluan

pendidikan dengan anjuran agar dalam memilih cerita tidak meninggalkan unsur pendengarnya, baik jenis kelamin, umur, maupun nilai ceritanya.

Mythe, yang sepintas lalu penuh dengan takhayul, dapat pula memberikan

ketebalan iman. Keyakinan seseorang semakin erat kepada Sang Khalik de­ ngan hadirnya kisah mitos. Misalnya, mythe tentang grahana rembulan, setelah

diceritakan kejadiannya, segera diterangkan kejadian gerhana berdasarkan pengetahuan alam. Dengan demikian, selain memberikan kesan takhayul yang

oleh banyak orang dianggap ngayawara, sekaligus memberi pengetahuan alam kepada anak-anak. Hal semacam ini amat beralasan, sebab mythe salah satu materi folklor yang paling populer dalam kehidupan masyarakat Jawa. Orang

Jawa boleh dikatakan hidup dalam dunia mitos yang penuh daya tarik khusus. Keuntungan mengajarkan ilmu obat-obatan rakyat yang bernuansa mitos, dibalut dengan kisah-kisah, tentu akan menyedot perhatian anak di sekolah.

Biarlah anak ikut berpikir kritis atas dasar logika mereka sendiri, setelah menerima kisah-kisah mistis. Hal ini tidak berarti bahwa folklor itu racun bagi

pemeluk agama tertentu, melainkan justru hendak mempertebal keyakinan

mereka. Yang dipelajari dalam folklor Jawa adalah kisah mitos yang penuh dengan nilai budi luhur.

C. Legenda dan Pendidikan 1. Bermacam-macam Legenda Jawa Legenda termasuk kejadian alam yang banyak menarik para pemerhati folklor. Legenda dapat meningkatkan daya imajinasi seseorang. Seorang ahli

folklor Indonesia dari Universitas Indonesia, James Dananjaya, menjelaskan bahwa legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap mempunyai cerita

sebagai suatu kejadian yang sung-guh-sungguh terjadi. Kisah legenda itu memang tidak lepas dari dunia mistis. Legenda ini bersifat pralogis yang

berkembang dari waktu ke waktu di dalam masyarakat secara tidak tertulis. Isi legenda ini seringkali mengalami distorsi, baik penambahan atau pengurangan, oleh anggota masyarakat. Tiap wilayah selalu memiliki legenda yang layak

dijadikan bahan pendidikan budi pekerti. Legenda yang merupakan cerita rakyat mempunyai isi yang luas sekali, seperti cerita makhluk kahyangan, kisah raja-raja, cerita para nabi, cerita cikal

bakal, cerita ksatria, cerita manusia biasa, cerita jenaka, cerita binatang, cerita

tumbuhan, cerita mahluk halus, dan sebagainya. Legenda juga sering dina­ makan cerita rakyat. Cerita rakyat ini ada sebagian yang telah didokumentasi-

kan, berupa teks-teks legenda, baik yang masih berupa cerita lisan maupun

cerita rakyat yang telah didokumentasikan, biasanya telah mengalami distorsi.

Dalam folklor, distorsi justru menarik dikaji. Dalam kajian Kuntowijoyo (1986), gejala distorsi ini karena setiap zaman sering menyumbangkan suatu varian baru dari legenda lama. Legenda sering­

kah dipandang sebagai sejarah kolektif (folk history). Apabila diuji dengan ilmu sejarah, sudah barang tentu sejarah kolektif berupa legenda ini tidak semua

bagian isinya mengandung kebenaran. Unsur-unsur pralogis dan legendaris tidak melukiskan sesuatu yang sesungguhnya terjadi, tetapi masyarakat mem­

punyai anggapan bahwa unsur-unsur pralogis dan legendaris dalam legenda atau cerita rakyat itu ada di dalam masyarakat. Anggota- masyarakat yang

memiliki legenda Itu percaya akan adanya unsur-unsur itu di masa lampau,

meski sebenarnya sukar dibuktikan oleh kebenaran ilmu sejarah. Jan Vansina, seorang ahli tradisi lisan, dalam bukunya yang berjudul Oral

Tradition (1965), menjelaskan tentang luasnya isi cerita rakyat dengan tipetipe yang berbeda. Dengan menggunakan sistem klasifikasi, Jan Vansina ini maka legenda sebagai suatu kategori cerita mempunyai tipe-tipe cerita yang

mengandung unsur sejarah umum, sejarah lokal, sejarah keluarga, mite, dan

cerita yang mengandung faedah suatu seni. Sejarah lokal dalam pandangan ahli tersebut amat penting diajarkan. Hal ini untuk memperkuat atau legitimasi terhadap kisah-kisah legendaris bangsa ini. Menurut Jan Vansina, legenda yang mengandung isi cerita tentang gejala

alam tidak dipandang sebagai legenda yang mengandung sejarah. Legenda yang berhubungan dengan gejala alam ini, me-nurut klasifikasi legenda yang diajukan Jon Harold Brunvand, termasuk legenda setempat (local legends).

Seorang ahli tradisi lisan dalam masyarakat Melanesia, Prof. Donald Denoon,

dalam bukunya Oral Tradition in Melanesia (1981), menjelaskan penger-tian legenda sebagai suatu cerita tentang leluhur (nenek moyang) yang saat hidup

berhubungan dengan kekuatan supernatural. Mengenai penggolongan legenda, seperti telah dikemukakan James Da-

nanjaya, belum ada kesatuan pendapat di antara para ahli. Agaknya penggo­ longan legenda yang cukup mudah dipahami untuk kla-sifikasi aneka ragam legenda di Indonesia adalah penggolongan legenda yang diajukan Jon Harold

Brunvand. Empat kelompok legenda pembagian Brunvand adalah legenda keagamaan (religious legends), legenda alam gaib (supernatural legends),

legenda perseorangan (personal legends), dan legenda setempat (local leg-

ends). Penggolongan legenda yang diajukan Jon Harold Brunvand ini merupa­

kan acuan yang digunakan dalam penelitian tradisi lisan kasus Laweyan. Dari penggolongan demikian sebenarnya masih dapat diperluas lagi, tergantung realitas data legenda di lapangan. Biasanya, legenda-legenda itu memiliki tema

dasar yang berbeda-beda.

Legenda keagamaan sebagai cerita prosa rakyat memang dapat ditemu­ kan di kelompok masyarakat di daerah-daerah di Indonesia. Legenda keagama­

an ini biasanya berisi tentang legenda orang suci atau soleh. Di Jawa, misalnya, ada legenda keagamaan orang soleh yang me-nyebarkan agama Islam, mereka dikenal dengan nama Wali Songo atau sembilan wali. Di Surakarta, seperti di

Laweyan, kita temukan legenda keagamaan ini. Ternyata, masyarakat Laweyan mempunyai cerita prosa rakyat mengenai orang soleh ini.

Dalam penelitian tentang legenda orang soleh di Laweyan, penulis mem­ bedakan dalam dua golongan utama. Pertama, jenis legenda orang soleh lokal

yang erat hubungannya dengan cikal bakal atau pendiri Laweyan. Kedua, jenis legenda orang soleh yang terdapat di luar daerah Laweyan, tetapi legenda itu

dikenal oleh penutur tradisi lisan di Laweyan. Legenda orang soleh yang kedua ini merupakan migratoris, yaitu legenda yang berasal dari daerah lain yang

dikenal baik suatu kelompok masyarakat di luar daerah asalnya.

2. Legenda Keagamaan a. Ki Ageng Selo Legenda orang soleh lokal yang erat hubungannya dengan cikal bakal daerah Laweyan. Dahulu, salah seorang putra mahkota raja Majapahit Brawijaya terakhir yang bernama Bondan Kejawan mengembara ke arah barat. Bondan Kejawan sangat sedih karena kerajaan Majapahit telah runtuh. Selama me­ ngembara Bondan Kejawan bertemu dengan seorang gadis bernama Nawang

Sih, putra Ki Ageng Tarub. Nama kecil Ki Ageng Tarub adalah Joko Tarub, yang beristri seorang bidadari dari kahyangan, Nawang Wulan.

Joko Tarub adalah putra Maulana. Pada suatu ketika Maulana sedang bertapa ngalong (bergantung di pohon dengan kepala di bawah) sebagai syarat memperistri seorang gadis bernama Sri Wulan. Gadis ini juga diharapkan bertapa ngidang (tidur telentang tanpa pakaian) di bawah Maulana bertapa.

Ketika Maulana melihat paha Sri Wulan, timbul berahinya hingga menetes air

maninya, jatuh tepat pada paha Wulan, dan hamillah Sri Wulan, yang kemudian lahir seorang laki-laki bernama Joko Tarub.

Perkawinan Bondan Kejawan dan Nawang Sih ini melahirkan seorang putra laki-laki bernama Getas Pandowo, yang kemudian bernama Ki Ageng Getas Pandowo. Ki Ageng Pandowo mempunyai seorang putra laki-laki yang

dikenal sebagai Ki Ageng Selo, dan menjadi murid Sunan Kalijogo yang sangat

pandai ilmu agama Islam. Ki Ageng mempunyai keajaiban, yaitu dapat menang­ kap petir, bertapa, dan rajin mengaji.

Ki Ageng Selo mempunyai tujuh anak, hanya satu dari ketujuh anaknya yang laki-laki. Enam anaknya yang lain perempuan. Putranya yang laki-laki itu bernama Kyai Ageng Henis. Pada masa mudanya, Kyai Ageng Henis suka

bertapa dan mengaji, la mengabdi di Kasultanan Pajang dan dijadikan pra-jurit kerajaan oleh Sultan Hadiwijoyo. Dengan kedudukannya sebagai seorang

prajurit, ia mendapat suatu daerah perdikan di Laweyan, yang kemudian dikenal sebagai Kyai Ageng Laweyan.

Kyai Ageng Laweyan dengan istrinya, Putri Pangeran Pandan yang per­ tama, berputra dua orang laki-laki. Putra yang pertama bernama Bagus Kacung, yang mengabdi di Kasultanan Pajang, kemudian bernama Kyai Ageng Pema­

nahan. Kyai Ageng berputra laki-laki bernama Mas Ngabehi Sutowijoyo, yang dinama-kan putra Mas Ngabehi Lare Pasar, karena ia menempati rumah ka­ keknya, Kyai Ageng Laweyan, setelah Kyai Ageng meninggal du-nia.

Kyai Ageng Laweyan hidup bersama keluarganya di perdikan daerah

Laweyan yang diberikan Sultan Hadiwijoyo, karena jasa-nya terhadap kerajaan Pajang. Di perdikan Laweyan ini, Kyai Ageng mengembangkan agama Islam,

seperti kakeknya, Kyai Ageng Selo, di perdikan Selo. Apabila legenda Kyai Ageng Henis tersebut dianalisa, maka le-genda tersebut mempunyai unsur-

unsur utama, yaitu (a) geneologi yang mengandung aspek legendaris dan aspek sejarah; (b) legenda tersebut mencerminkan suatu jenis sejarah keluarga

(family history)’, (c) legenda mempunyai isi yang berhubungan dengan silsilah

raja atau keluarga raja, sehingga mencerminkan suatu tradisi lisan yang resmi. Jadi, isi legenda semacam ini mengandung aspek sejarah kelompok sosial penguasa. Dalam legenda Kyai Ageng Henis ini cukup jelas adanya unsur

silsilah raja, seperti misalnya Kyai Ageng Henis masih keturunan raja Majapahit dan sete-rusnya, Kyai Ageng Henis menurunkan raja-raja Mataram; (d) unsur yang terakhir adalah unsur moral. Legenda Kyai Ageng Henis yang tergolong

suatu legenda orang soleh mengandung ajaran moral. Legenda yang mengan­

dung unsur moral ini memang cukup populer di lingkungan masyarakat Jawa, seperti legenda Wali Songo yang dianggap masyarakat Jawa sebagai penyebar

agama Islam di Pulau Jawa. Dilihat dari segi moral memang legenda Kyai Ageng Henis dan Wali Songo ini banyak mempunyai persamaan isi cerita.

Legenda Kyai Ageng Selo mengisahkan, pada zaman dahulu ada seorang pemuda dan pemudi yang saling mencintai. Kedua insan ini dapat menjadi

suami istri apabila sudah bertapa. Si pemuda bergantung (ngalong) dan si pemudi tapa tidur telentang di bawah tanah (ngidang). Ketika si pemuda melihat paha si pemudi menjelang senja, tiba-tiba nafsu berahi si pemuda timbul. Ke­

mudian meneteslah air mani si pemuda itu tepat mengenai paha si pemudi yang bernama Sri Wulan. Dan, hamillah Sri Wulan, ia melahirkan seorang

bayi laki-laki yang kemudian dibuang ke sungai. Bayi tersebut ditemukan

seorang petani bernama Ki Ageng Kasreman. Bayi laki-laki itu diberi nama Joko Tarub. Joko Tarub setelah dewasa kawin dengan seorang bidadari

bernama Nawangwulan. Pada waktu Nawangwulan sedang mandi di telaga bersama bidadari yang lain, Joko Tarub menyembunyikan pakaian Nawangwulan sehingga ia tidak dapat terbang ke kahyangan. Dan, ia kemudian menjadi istri

Joko Tarub. Dari perkawinannya ini, Joko Tarub mempunyai seorang anak perempuan yang dinamakan Nawangsih. Nawangsih ini kemudian kawin

dengan seorang pemuda bernama Bondan Kejawan, seorang putra Raja Majapahit yang terakhir.

Perkawinan Bondan Kejawan dan Nawangsih ini melahirkan seorang anak

laki-laki yang dinamakan Getos Pandawa, yang kemudian setelah menjadi orang tua bernama Kyai Ageng Getos Pandawa. Kemudian, Kyai Ageng mem­

punyai putra laki-laki yang dikenal dengan Kyai Ageng Selo. Diceriterakan

bahwa Kyai Ageng Selo senang bertapa dan mempunyai pengetahuan agama Islam yang luas, la termasuk murid Sunan Kalijogo yang pandai dan sakti. Konon katanya, Kyai Ageng Selo dapat memegang petir. Kyai Ageng Selo

hidup bertani di daerah Selo yang hasilnya selalu dibagikan kepada tetangga­ nya yang miskin.

Konon, menurut cerita, Kyai Ageng Selo menurunkan raja-raja Mataram. Dua orang cucunya bernama Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Jurumertani

diramalkan Sunan Kalijogo menjadi raja. Ki Ageng Pemanahan mempunyai

anak bernama Sutowijoyo, yang kemudian menjadi raja Mataram pertama dan

mengganti namanya menjadi Panembahan Senopati. Dalam cerita pada waktu Ki Ageng Pemanahan dan Sutowijoyo sedang bertapa di Laut Selatan (Segoro Kidul) kejatuhan sinar dan mendengar suara bahwa Sutowijoyo akan menjadi raja di Jawa. Demikianlah raja-raja Mataram adalah keturunan Ageng Selo.

Legenda migratoris Kyai Ageng Selo dikenal masyarakat Laweyan karena Kyai Ageng Selo yang berputra Kyai Ageng Henis adalah cikal bakal daerah

Laweyan. Legenda Kyai Ageng Selo mengandung legendaris yang mempunyai unsur-unsur keluarga, silsilah, dan genealogi. Apabila dilihat dari sudut pandang

kerajaan Mataram, maka legenda Kyai Ageng Selo ini tergolong dalam official history (sejarah resmi) yang dimasukkan dalam silsilah raja-raja Mataram.

b. Ki Ageng Gribig Legenda Kyai Ageng Gribig ini tidak dapat dilepaskan dari tradisi upacara

Saparan di Jatinom, Kabupaten Klaten. Upacara Saparan di masjid Jatinom

yang masih hidup dewasa ini sebenarnya merupakan tradisi sejak masa lalu yang menurut tradisi lisan berhubungan erat dengan ziarah Kyai Ageng Gribig ke Mekkah. Konon diberitakan bahwa setelah Kyai Ageng Gribig kembali ke

Jatinom, ia membawa apem (kue yang dibuat dari tepung beras). Apem yang

berjumlah tiga buah itu lalu dibagikan kepada seluruh keluarganya. Oleh karena tetangganya tidak mendapat bagian kue tersebut, maka Kyai Ageng Gribig memerintahkan istrinya untuk membuat kue apem dan dibagikan kepada te­

tangganya. Tradisi semacam ini telah berlangsung hingga kini, dalam setiap

upacara Saparan selalu disajikan kue apem yang dinamakan Apem Yoqowiyu

(Yoqowiyu berarti semoga Tuhan memberikan kekuatan). Adapun ringkasan

legenda Kyai Ageng Gribig sebagai berikut Konon Kyai Ageng Gribig adalah keturunan Prabu Brawijaya, raja Maja­

pahit. Prabu Brawijaya, dengan salah seorang istrinya yang berasal dari (putri) Cempa, mempunyai nama Raden Mas Guntur. Kemudian, Raden

Mas Gribig meninggalkan istana dan bermukim di Ujung Awar atau pesisir Tuban, dan ia menjadi pendeta dengan nama Wasi Jolodoro. Setelah ia bertemu dengan Sunan Bonang (salah seorang penyiar agama Islam,

seorang di antara Walisongo), Wasi Jolodoro masuk agama Islam dan mengganti namanya dengan sebutan Syeh Wasibagno. Putranya yang ke-tiga, Syeh Panganti, mengganti kedudukan ayah-nya. Syeh Panganti

mempunyai putra bernama Kyai Pakir-miskin dan ia mempunyai dua orang

putra, yang pertama bernama Kyai Ageng Gribig yang kawin dengan Raden Ayu Lendah, putra Sunan Giri. Putra yang kedua bernama Batho-ro Katong, berdiam di Ponorogo. Kyai Ageng Gribig mem-punyai seorang

putra bernama Syeh Wasibagno Timur. Ke-mudian, ia berganti nama menjadi Kyai Ageng Gribig, seperti nama ayahnya, dan mengembara hingga sampai di sua-tu tempat yang bernama Jatinom, yang sekarang

menjadi wi-layah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Konon, nama Gribig dimaksudkan untuk menghormati keluarga Sunan Giri yang berdiam di

Ngibig, Jawa Timur (Giri-Ngibig menjadi Giribig atau Gribig). Syeh Wasibagno Timur, yang berganti nama Kyai Ageng Gribig, pernah bertapa di hutan, di kaki gunung Merapi, dan ia bertapa di bawah pohon jati, yang

sebatang tua dan sebatang lagi masih muda. Pada waktu ia sedang ber-tapa datanglah raja Mataram yang bernama Sultan Agung, yang minta tolong pada Kyai Ageng Gribig untuk dapat mengembalikan musuhnya, raja dari Palembang. Jasa Kyai Ageng Gribig ini dibalas dengan pemberian daerah perdikan di tempat Kyai Ageng Gribig bertapa. Daerah perdikan ini kemudian dinamakan Jatinom dan di sinilah Kyai Ageng Gribig me­ ngembangkan agama Islam dengan membangun masjid. Setelah masjid selesai dibangun, dijadikan tempat ibadah penduduk di perdikan Jatinom. Setiap bulan Puasa, pada malam hari masjid Jatinom digunakan sebagai tempat salat Tarawih. Konon, menurut legenda, Kyai Ageng Gribig sendiri selalu tidak mengikuti salat tarawih di masjid Jatinom, sebab Kyai Ageng pergi ke Mekah untuk salat tarawih di tanah suci, dan kembali pulang malam hari itu juga. Kyai Ageng Gribig melakukan salat lagi di masjid Jatinom.

Dari legenda Kyai Ageng Gribig ini dapatlah dianalisis bahwa Kyai Ageng Gribig merupakan tokoh yang menyebarkan agama.

c. Joko Tingkir Legenda Joko Tingkir ini dikenal masyarakat Laweyan karena menurut

tradisi lisan, ada kampung Pajang di daerah Laweyan yang mempunyai nama tempat yang biasa digunakan dalam struktur administratif pemerintahan keraton. Nama tempat di kampung Pajang yang ada hingga saat ini, antara

lain, Keputren, Kadipaten, Sanggrahan, dan lainnya. Nama-nama ini, menurut tradisi lisan setempat, erat dengan pusat keraton Pajang abad ke-16.

Joko Tingkir yang kemudian bernama Sultan Hadiwijaya adalah pendiri dinasti Pajang atau sultan pertama dari kerajaan Pajang. Agaknya penjelasan

di atas merupakan indikator mengapa legenda Joko Tingkir itu dikenal oleh sementara kelompok masyarakat Laweyan. Berikut ini legenda Joko Tingkir.

Konon di masa lampau ada desa bernama Pengging, terletak di lereng Gunung Merapi. Desa ini di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Desa Pengging dihuni Kyai Ageng Pengging atau biasa disebut pula Ki Kebo Kenongo. Kyai Ageng mempunyai putra bernama Mas Karebet. Meskipun daerah Pengging itu wilayah Demak, namun Kyai Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke kerajaan Demak. Kejadian ini menimbulkan

kemarahan Sultan Demak dan perselisihan yang mengakibatkan tewasnya

Kyai Ageng Pengging. Setelah Nyai Ageng Pengging juga meninggal dunia, Mas Karebet

mengembara dan diangkat anak oleh Nyi Ageng Tingkir. Sejak Mas Karebet di situ, ia berganti nama menjadi Joko Tingkir. Nyi Ageng Tingkir memerintahkan Joko Tingkir mengabdi dan berguru pada Kyai Ageng Selo. Selama di tempat Kyai Ageng Selo, Joko Tingkir pernah bermimpi kejatuhan bulan. Setelah ditanyakan kepada Kyai Ageng Selo, ternyata Joko Tingkir diramalkan akan menjadi raja. Atas perintah Kyai Ageng Selo, Joko Tingkir mengabdi ke kerajaan Demak. Di Demak, ia dijadikan pemimpin prajurit dan pernah membunuh seorang calon prajurit bernama Dadungawuk. Tindakan Joko Tingkir ini membuat marah Sultan Demak dan Joko Tingkir pun diusir. Akhirnya Joko Tingkir mengembara dan berta­ pa di Gunung Kendeng. Di sana ia bertemu Kyai Ageng Butuh dan diangkat anak oleh Kyai Ageng. Pada suatu hari Joko Tingkir bertapa di tempat makam ayah di Pengging. Ketika ia mengurungkan niatnya pergi ke Demak atas saran Kyai Ageng Butuh, Joko Tingkir mendapat ilham agar berguru pada Ki Buyut Banyubiru dan pergi ke Demak. Sebelum tiba di Demak, ia tinggal dahulu di Gunung Prawata. Di sini ia melihat Sultan Trenggana sedang beristirahat di pasanggrahan Gunung Prawata. Tiba-tiba ada kerbau gila mengamuk, ber­ lari-lari di alun-alun kerajaan Demak. Joko Tingkir, atas perintah Sultan Trenggono, berhasil membunuh kerbau tersebut. Joko Tingkir diberi hadiah tanah Pajang dan diangkat menjadi Bupati Pajang, yang kemudian berkembang hingga menjadi kerajaan. Joko Tingkir sebagai rajanya bernama Sultan Hadiwijaya. Di Pajang, Sultan Hadiwijaya mendapat dukungan politik Ki Ageng Pema­ nahan (cucu Kyai Ageng Selo), Juru Mertani, dan Ki Jawi, yang semuanya murid Sunan Kalijogo. Sultan Hadiwijaya mengambil anak angkat bernama Sutowijaya, yang juga dinamakan Raden Bagus, putra sulung Ki Pemanah­ an. Sultan Hadiwijaya mempunyai musuh bernama Aryo Penangsang, seorang adipati Jipang yang beranggapan Sultan Hadiwijaya tidak berhak atas takhta kerajaan di Pajang. Keduanya menjadi murid Sunan Kudus. Sunan Prawata, sebagai penguasa Kerajaan Demak, juga murid Sunan Kudus. Aryo Penangsang ingin membunuh Sultan Hadiwijaya dan Sunan Prawata, yang keduanya dianggap tidak berhak atas takhta kerajaan. Sunan Prawata dan istrinya berhasil dibunuh, tapi Sultan Hadiwijaya, karena kesaktiannya, gagal dibunuh para prajurit Jipang. Bahkan, Aryo Penangsang dapat dibunuh Ki Pemanahan dan Ki Penjawi, setelah di­ umumkan sayembara oleh Sultan Hadiwijaya mengenai siapa yang dapat membunuh Aryo Penangsang akan mendapat ganjaran bumi Mataram dan bumi Pati. Demikianlah Ki Pemanahan dan Sutowijaya menempati bumi Mataram, sedang Ki Penjawi menempati bumi Pati.

Bagian VIII PERTUNJUKAN RAKYAT A. Karakteristik Pertunjukan Rakyat Ciri utama pertunjukan rakyat adalah sebuah perfomance yang berpola. Keberulangan pola pertunjukan bersifat lokal. Ekspresi pertunjukan muncul atas dasar ide rakyat. Hal ini juga ditegaskan Lord (1981) bahwa seluruh pertun­

jukan rakyat memang memiliki formula. Pertunjukan rakyat juga memiliki sebuah komposisi, performance, dan transmisi. Menurut Finnegan (1992: 117-121),

komposisi dimaksudkan sebagai cara atau proses penciptaan folklor lisan disusun dan dihidupkan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang proses penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu atau kolektif, pertunjukan (performance), memorisasi, atau teks-pasti (fixed texf) dan teks-bebas (free text).

Performance adalah suatu tipe peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi

proses komunikasi bermuatan sosial, budaya, dan estetik. Pertunjukan memiliki mode tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan

komunikasi dapat dipahami. Performance dapat dibedakan menjadi dua model,

yakni performance yang ditampilkan di hadapan audiens dan performance yang ditampilkan tidak di hadapan audiens (dengan waktu dan tempat yang dikon­ disikan). Model pertama dimanfaatkan untuk tujuan hiburan (estetis), sedang­

kan model kedua untuk tujuan sakral. Transmisi adalah penyebaran atau penurunan folklor lisan. Transmisi tidak dapat dilepaskan dari konsep memori, dari memori berkembang menjadi trans­ misi. Model awal memori sering bersifat pasif sehingga memori seseorang

dalam keadaan atau kondisi masyarakat “tribal" harus secara alami lebih baik

daripada masyarakat “keberaksaraan". Model berikutnya cenderung bersifat

aktif, yakni berkembang dari gagasan mengenai penyimpanan memori secara kata per kata menjadi rekonstruksi dan reorganisasi dari pengetahuan sebe­

lumnya. Melalui tiga konsep tersebut, pertunjukan rakyat cenderung akan berubah-

ubah. Komposisi pertunjukan rakyat ada yang memuat konsep falsafah hidup,

namun ada pula yang kurang begitu jelas. Komposisi tari srimpi, misalnya, cukup menawarkan nilai-nilai filosofi. Hal ini mengisyaratkan bahwa komposisi

ini ditata sebagai sebuah struktur bermakna. Sedangkan performance merupa­ kan wajah pertunjukan. Sebagai wajah, performance rakyat memang memiliki

pola, tetapi suatu saat juga bisa berubah. Formula pertunjukan akan berganti saat ada kreasi dari masing-masing seniman rakyat. Seniman rakyat yang kreatif dan sekaligus produktif akan menciptakan inovasi.

Pertunjukan rakyat ada yang sekadar hiburan, namun ada pula yang me­

mang disiapkan untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan. Ada nilai kejujuran, sportivitas, kesungguhan, dan sebagainya dalam pertunjukan. Pertunjukan rakyat

Jawa juga ada yang bernuansa permainan. Maksudnya, pertunjukan ditampil­ kan untuk mencari sebuah kemenangan. Jadi, pertunjukan rakyat Jawa memang

memiliki aneka segi, baik dilihat dari performance maupun isinya. Dari waktu ke waktu juga sering terjadi pembauran pertunjukan satu sama

lain. Ada pengaruh-pengaruh religi tertentu dalam sebuah pertunjukan rakyat Jawa. Mungkin sekali adanya pengaruh budaya Barat, seperti Persia, Arab,

dan Cina. Ada pertunjukan rakyat yang bernada religius Islam-Jawa. Hal ini sebagai upaya penghabluran budaya. Seni pertunjukan rakyat adalah sebuah

fenomena yang lentur, sehingga membuka kemungkinan sebuah perubahan.

B. Ragam Pertunjukan Lisan 1. Tradisi Mendongeng Awalnya mendongeng hanya sebuah tradisi keluarga. Mendongeng lebih

banyak dilakukan orangtua untuk pengantar tidur. Meskipun gaya dongeng mereka juga tergolong pertunjukan, tetapi masih dalam kategori sederhana. Tradisi mendongeng semacam ini dibudayakan di tingkat formal oleh guru-

guru TK dan SD (kelas l-ll). Pada waktu itu mendongeng sebagai ragam hiburan anak-anak untuk menanamkan pesan budi pekerti. Perkembangan selanjutnya,

mendongeng telah menjadi sebuah sajian pertunjukan.

Seni mendongeng adalah terobosan baru dalam seni pertunjukan. Di sam­

ping sebagai tontonan, mendongeng juga berfungsi untuk melestarikan dan

mengembangkan sastra lisan. Mendongeng sebenarnya hanya sebuah istilah dari storytelling (menceritakan kembali). Jadi, yang diceritakan kembali tak

harus berupa dongeng, melainkan prosa fiksi lisan yang dipandang menarik. Kekuatan mendongeng ada pada olah vokal dan peragaan dari pendongeng. Kemampuan pendongeng melukiskan fiksi lisan secara akurat akan semakin

menghidupkan karya tersebut. Pada dasarnya, mendongeng atau menceritakan ulang dapat dipilah men­ jadi dua, yaitu contemporary storytelling dan traditional storytelling. Istilah per­

tama sebenarnya merupakan bentuk transformasi mendongeng dan telah banyak modifikasi di dalamnya. Mendongeng kontemporer memang tak lagi bisa di­

katakan sebagai yang asli, melainkan banyak memainkan tiruan-tiruan. Berba­ gai ragam seni sering dikolaborasikan dalam seni mendongeng kontemporer. Sebaliknya, mendongeng tradisional dapat dipandang lebih pure (nuansa mumi).

Sebagai contoh, ketika orangtua mendongengkan anaknya, tentu jarang yang disertai kolaborasi dan peragaan-peragaan. Mereka mendongeng dengan ke­

kuatan vokal dan lukisan seadanya. Bahan yang akan didongengkan antara yang kontemporer dan tradisional

bisa sama. Keduanya bisa bersumber dari sastra lisan, khususnya yang ber-

bentuk prosa rakyat, seperti Dongeng Kucing Sethiwelan, Dongeng Kathok Buntung, Pak Sura, dan Jaka Tarub. Dongeng Kancil Kepengin Mabur, jika

didongengkan seorang guru TK, ibu rumah tangga, dalang kentrung, atau Pak

Raden, tentu tampilannya bisa berbeda. Model Pak Raden yang sering mendongeng dengan memainkan sebuah lukisan tentu lebih menarik. Begitu pula ketika Mas Wes mendongeng dengan permainan alat musik kontemporer.

Tegasnya, sama-sama mendongeng, tetapi setiap cara tentu ada dampak positif dan negatifnya. Sesungguhnya hampir seluruh kegiatan mendongeng merupakan tradisi oral yang mengakar pada tradisi Jawa. Mendongeng kontem­ porer pun tak akan lepas dari tradisi-tradisi yang pernah ada. Sebagaimana

halnya dalam seni mendongeng tradisional, di mana para pendongeng juga menggunakan berbagai alat (misalnya, para dalang menggunakan wayang kulit, wayang golek, wayang beber, dan sebagainya), dalam seni mendongeng

kontemporer berbagai alat juga dapat dipakai, misal menggunakan wayang yang dibuat dari kertas transparan, tali, sapu tangan, kertas, kertas origami,

pasir lembut di atas proyektor, dan sebagainya. Bahkan, akhir-akhir ini ada yang mendongeng menggunakan seni sulap. Yang terakhir ini tampaknya akan

lebih memukau penonton.

Ditinjau dari strategi mendongeng, ada beberapa cara yang bisa diterapkan

pendongeng, yaitu: (1) mendongeng dengan peragaan tangan dan mimik, se­ hingga kekuatan vokal yang paling diandalkan, (2) mendongeng sambil

bermain—anak-anak yang mendengarkan dongeng diajak menjadi peran-peran tertentu, (3) mendongeng sambil bermusik—kombinasi vokal dan alat, misalnya terbang, kendang, dan lain-lain, (4) mendongeng dengan peragaan, seperti

boneka, wayang, dan lain-lain yang sejenis, (5) mendongeng bergaya teatrikal.

Dari berbagai cara mendongeng tersebut, sebenarnya model pendongeng yang paling utama adalah aspek dramatis. Penguasaan unsur-unsur drama

akan mendukung pendongeng dalam mengarahkan pertunjukannya. Yang lebih penting, pendongeng adalah pembawa misi sastra lisan. Pendongeng yang

baik tentu akan memperhatikan aspek-aspek budi pekerti dalam dongengannya. Boleh saja seorang pendongeng mengubah beberapa bagian dongeng atau cerita, asalkan tak terlalu berseberangan dengan sumbernya. Pendek kata, pendongeng akan tetap memperhatikan psikologi penonton, jika tampilannya

ingin sukses. Dongeng-dongeng yang bernada erotik tentu belum sepantasnya disajikan untuk anak-anak. Bagi anak-anak, dongeng yang penuh jiwa petualangan,

humor, dan kepahlawananlah yang cocok dengan dunia mereka. Misalkan,

dongeng Suwidak Loro, Senggutru, Kancil lan Baya, dan lain-lain.

2. Kentrung Kentrung adalah pertunjukan lisan. Yang bertugas menyampaikan lirik-lirik parikan adalah dalang kentrung. Kendati dinamakan dalang, dia tak memainkan wayang. Dia sekadar pencerita yang diiringi rebana dan kendang. Pertunjukan

kentrung tanpa peragaan apa pun, apalagi tarian. Jadi, kekuatan performance art terletak pada kehebatan dalang mengisahkan lakon dengan humor yang menarik. Lakon atau cerita diambil dari babad atau sejarah lokal, kisah nabi,

dan cerita lain.

Biasanya, kentrung digunakan/ditanggap saat tradisi sunatan, tingkeban (mitoni), ruwatan, dan pesta perkawinan. Seluruh lakon tergantung permintaan

dan kesepakatan antara penanggap dan dalang. Kedudukan dalang tidak jauh berbeda dengan wayang kulit. Artinya, penanggap boleh menentukan lakon apa saja yang dikehendaki. Lakon pun berupa pasemon, sehingga bila ada

tradisi mitoni, biasanya penanggap akan meminta lakon seperti Laire Nabi Yusuf atau Laire Jaka Tarub.

Instrumen kentrung berupa rebana besar dan rebana kecil yang terdiri dari kethunthung tengahan dan kethunthung cilik. Alat ini mirip iringan laras

madya, yaitu rerepen atau macapatan, bernuansa religius di beberapa desa di Jawa. Di samping itu juga menggunakan kendang yang biasanya dipegang ki

dalang. Dengan memegang kendang, dalang akan leluasa menggerakkan ce­ rita. Dalang kentrung ada yang laki-laki dan perempuan. Dalam membawakan

cerita, ada juga yang menggunakan suluk atau pathetan seperti dalang wayang,

yang berguna untuk membatasi dialog antara tokoh satu dengan yang lain.

Bentuk pertunjukan kentrung menggunakan komposisi pendahuluan, isi, dan penutup (Hutomo, 1998:10). Konsep pertunjukan ini sejalan pula dengan

bentuk cerita, ada awal, puncak, dan akhir. Pendahuluan biasanya mengguna­

kan idiom khas, seperti halnya janturan pada adegan wayang kulit. Misalkan,

pada lakon Jaka Tarub menggunakan awal kata: lho la lata ingsun amiwiti amemuji, nebukate namane suksma, ingkang murah ing donya mangke, pinuju

datan pegat, ingkang asih ing akherat, klawan sakulawargane, sing ngganjar wong kawelas ayun, sing suka k ngapura sing nglakoni.

Tampaknya kata-kata pendahuluan itu merupakan langkah doa atau permohonan izin spiritual dalang. Pembuka lakon semacam itu akan membuat

ki dalang lebih percaya diri. Dengan cara demikian dalang segera melantunkan isi cerita. Isi cerita amat beragam, tergantung lakon yang digelar. Lakon-lakon kentrung dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan, yaitu (1) kisah

dari Arab: Laire Nabi Ibrahim, Tumuruning Wahyu Sejati, Laire Nabi Yusuf, Laire Nabi Musa, Dewi Patimah; (2) kisah Timur Tengah: Lukman Hakim, Menak

Lare, Rengganis, Menak Jowinambar, Prabu Rara, Lokayanti, MenakAyapan, Umarmaya-Umarmahdi, Jaka Kaprah, Kyai Dullah Juwahir, Joharmanik, Sarahwulan, Jaka Mursada, Jaka Kusuma; (3) kisah Jawa: Ajisaka, Gendrayana, Jaka Tarub, Jaka Sahid, Baru Klinthing, Ki Ageng Mangir, Surya Kembar, Sung­ ging Prabangkara, Bondhan Kajawen, Arya Penangsang, Dewi Sri, Damar-

wulan, Empu Supa, Bathara Kala, dan Anglingdarma.

Isi pergelaran kentrung sebagian besar didominasi pemakaian parikan.

Di samping itu juga sering memanfaatkan wejangan (ajaran). Wejangan ter­ gantung lakon yang digelar. Misalkan pada lakon Sunan Bonang Kembar, ada wejangan Sunan Bonang kepada Brajakngilo yang mengambil figuratif aksara

Jawa. Ha Na

hong ilaheng hananingsun nata dadi carakaningsun

Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha

Ja Ya Nya Ma Ga Ba Tha Nga

carane lambang rasa rasa lan karep kudu saeka karep kang nedya utama dadi tataran tataran murih sawiji sawiji kuwayanganingsun waayanganingsun katon ngalela langgeng murih sapadha-padha padhane rasa kadhadha dhedhasare karya prasaja jaya sajagat raya ya karya mrih wilujeng ing alam donya nyata eling lan sama-sama maratah sajat pribadi gegaran mung hyang murba bathara kang wajib amisesa tharithisan lali lamun ing ngarsa ngawuningani samobah musike manungsa

Gaya penyampaian kentrung berupa lirik parikan dan atau pantun. Bahasa yang digunakan sebagian besar bahasa Jawa dan campuran bahasa Indone­

sia. Ketika dalang menggelar cerita, seringkali ada selingan atau senggakan

dari panjak. Hal ini akan menyemarakkan pertunjukan kentrung, semakin luwes. Sebagai contoh, parikan kentrung Banaran Trenggalek yang telah dikumpulkan

Hutomo (1993:64-71) berikut. Wak Ta, yu Ti sandhalan Ketok mata atl gronjalan

Kayune kopi kayune kopi Nek adang ketan berase kretek Ijik cilik bocah saiki Enek wong lanang gak bisa ngadeg

Sandhal karo koseke Sumendhal nyawang areke

Rokok sitok mota-mati Nggursitok sing dadi ati Tukokna lele tukokna lele Iwak oleng kali jenangan Nek njaluk mulih tema mulih Besuk eling kirim pangan

Awan-awan e Iha mega mendhung Gulali lo enak iwake Aku ra tega nundhung Sing tak pecaki nggur anake Golekan Cina rut-urut Rokok klobot taline lawe Ayo elingana lamun manut Kadhung nyakot rak melok duwe

Lorek-lorek sing kapale mabur Kapal barang ya nganggo kitiran Ya ra gedhe dhuwur Awake mlarat dadi pikiran

Dimek-mek tebu Supaya ben ndang mlaku

Dimek-mek tempe Ben ndang gelis gedhe

Sore munggah gunung esuk sore atine bingung Nek angine turut sor ori Nek tangan kiwa nyekel arit Pengine setengah mati Kuciwa ra duwe dhuwit

Kowe turu Iha ngimpi apa Kipasan Iha lungguh kursi Aku ruh kambi sapa Kambi gendhak ra jantung hati Suwir-suwir dadi selawe liang papat kari selikur Rabi karo mikir ana sing duwe Rabi papat dadi sedulur

Suling-suling pabrik bangsal Mojoroto ketok lemahe Esuk nyandhing gak tega ninggal Ketok mata adoh omahe

Kangkung godhong ketela Boten langkung lepat kawula

Sawunggaling wayange kuna Lamun digawe kayune jati Le ayo nunggal sebangsa Ganjarane ketemu mburi Ketok mancing neng ngisorebuk Mangan kangkung boten bosen

Kula mangke permisi mantuk Boten langkung sing ngadhep lakon

Sore-sore muter radhio

Kari siji lampune mati Esuk sore nglencer wong loro Numpak dhokarmedhun Kediri

Sepinten panjange bolah Kula ulur mangsa pedhota Pintene kathahe salah Kajeng purun nyuwun apura Pada dasarnya isi parikan kentrung akan menggambarkan hal-hal yang

manusiawi. Sikap permohonan maaf ki dalang, kritik sosial terhadap hidup

keluarga, kritik bagi generasi muda, dan erotika Jawa tampak pada parikan kentrung. Sampiran-sampiran parikan selalu berkonteks lokal, sehingga mudah dipahami penonton. Parikan serupa merupakan kreativitas estetika yang ber­ muatan makna.

Ada lagi parikan dalang kentrung yang memang berbau erotik. Erotisme

dalam kentrung ini mungkin digunakan untuk menyedot hati penonton, contohnya:

Tanjung perak mas kapale kobong Mangga pinarak mas kamare kosong Jarik kawung diwiru siji Atine bingung ditinggal bali Rek gambar kucing Ndherek mung trima ngithing

Kembang suket brambang mentul Atine karep gak isa kumpul

Timun diiris-iris Wong ngalamun gak uwis-uwis

Abang meneh ora luntura Wong sing ijo malihe putih Bujang meneh ora ngluyura Sing duwe bojo gak tau mulih

Sore-sore muter radhio Pacitane tela gorengan Sore-sore nglencer wong loro Nyandhak sepedhah gawe boncengan Banyu mili kena dibendung Tak jajaki cumak sedhadha Pedhote tali kena disambung Pedhote tresna ketok neng mata Isa nggambang Mas gak isa nyuling Isa nyawang Mas gak isa nyandhing

Dalang kentrung akan menutup cerita dengan berbagai variasi, yang inti­

nya memuat doa dan permohonan maaf, contoh: (1) Kembang tela, Mas, kembang tela, dereng dugi dongeng kawula. Cekap semanten atur kawula, menawi lepat nyuwun pangapura.

(2) Wong crita kedawa-dawa, lek diwaca sewengi kemput, crita mengko mangsa tekaa. Andekna Ki Ageng Tarub wis cukup anggone duwe gawe. Kanca aja sembrana kanggo putuse wong kandha jajal sing tengah mbengoka.

(3) Negara Arab wekdal dinten semangkin lajeng jawah, tentrem ayem kawon-

tenan balak-balak menika sami kabebasaken. Tetep menapa ingkang di-

puntuju. Merdeka tetap merdeka. Sekali merdeka tetap merdeka.

Penutup pertama sekadar permohonan maaf biasa. Sinyal ki dalang cukup jelas dengan kata cekap semanten. Model semacam ini juga sering digunakan pada pertunjukan lain. Kesadaran ki dalang terhadap pertunjukannya yang

mungkin kurang memuaskan penonton tampak sekali. Sedikit berbeda dengan penutup kedua yang mengindikasikan kisah yang sedang dibawakan. Dalang

lebih mengutamakan estetika cerita, meski kata akhir tetap selalu minta maaf. Kalimat putuse wong kandha merupakan tanda pergelaran akan berakhir. Yang

agak unik penutup ketiga, di samping permohonan maaf juga ada semacam

sesanti sekali merdeka tetap merdeka. Sesanti demikian tampak seperti orang

mengakhir sebuah obrolan. Nuansa nasionalis tampak sekali pada penutup terakhir tersebut.

3. Wayang Kancil Wayang kancil bersumber dari dongeng kancil. Di Jawa, kancil dianggap

figur yang cerdik. Kendati ada yang menyatakan kancil sebagai tokoh “pem­ bohong”, namun orang Jawa justru berpikir sebaliknya. Tokoh ini dianggap memiliki kecerdasan. Memang ada kemungkinan kancil adalah gambaran pri­

badi Jawa. Pada saat orang Jawa dijajah, kecerdasan telah muncul. Banyak

akal yang diterapkan orang Jawa, yang diekspresikan lewat dongeng. Untuk menggairahkan dongeng kancil, orang Jawa juga mewujudkan ke dalam

wayang. Pertunjukan wayang kancil mirip sekali dengan wayang kulit. Bedanya,

cerita wayang kulit diambil dari siklus Mahabarata dan Ramayana, wayang kancil diambil dari dongeng kancil. Wayang kancil juga belum memiliki pakem

baku, sehingga ki dalang bebas melakukan sanggit dan inovasi sesuai dengan kompetensi yang hendak ditanamkan pada siswa. Wayang kancil memang

telah ada sejak zaman Sunan Giri (Sastroatmojo, 1985) sehingga amat cocok

sebagai media ajaran.

Sebenarnya pertunjukan wayang kancil telah populer sejak 1958 (Pursu-

baryanto, 1996:12). Namun demikian, dari aspek historis, wayang kancil kurang begitu terkenal seperti wayang kulit. Universalitas wayang kancil sementara

ini masih di bawah wayang kulit. Wayang kancil masih tergolong sebagai do­ kumen dan klangenan saja, belum menjadi sebuah komoditi hebat. Fenomena ini rupanya belum digarap intensif oleh para pemerhati seni pertunjukan; pada­

hal wayang kancil memiliki potensi yang bagus jika dikemas sebagai pertun­ jukan.

Wayang kancil akhir-akhir ini justru lebih dimanfaatkan masyarakat Jawa sebagai media. Wayang ini dapat digunakan sebagai media apa saja, terutama untuk penyemaian budi pekerti luhur. Misalkan, pemakaian media wayang kancil

di sekolah sekaligus untuk melestarikan kembali pertunjukan semacam ini. Di samping itu, wayang kancil juga merupakan media yang komunikatif dan sejalan dengan dunia anak. Wayang kancil merupakan gambaran hidup manusia yang

diwujudkan melalui tokoh binatang, kancil, sebagai tokoh utama. Tegasnya, wayang kancil merupakan bentuk pertunjukan unik dan menarik. Tidak saja

bangsa Indonesia yang gemar pada wayang kancil, tetapi pada 1981 di Belanda pun pernah dipentaskan wayang kancil.

Pentas wayang kancil oleh dalang Ki Pursubaryanto (2000) memang per­ nah dilakukan di dunia sekolah, yakni pada 1991 di TK Negeri I Depok, Sleman.

Waktu itu wayang kancil sempat memukau perhatian anak-anak. Karenanya, pada 13 Nopember2000, FBS Universitas Negeri Yogyakarta pernah memen­

taskan wayang kancil dan diteruskan sarasehan. Ki Kasidi Timbul Hadiprayitno dan Ki Suwama mengusulkan agar wayang kancil diprogramkan sebagai media

pembelajaran di sekolah, khususnya di TK dan SD. Usulan tersebut juga ditang­ gapi positif beberapa guru yang hadir, bahkan mereka amat gembira kalau

wayang kancil bisa masuk sekolah secara periodik dan terprogram. Karena, melalui pertunjukan wayang kancil, seorang siswa dapat menyerap nilai-nilai budi pekerti sekaligus dengan suka ria sambil menikmati pementasan.

Dengan demikian, cukup jelas bahwa pembelajaran sastra Jawa di SD memiliki kompetensi tertentu yang hendak diraih. Kompetensi tersebut dicapai

melalui media wayang kancil yang lebih menggairahkan. Siswa SD tidak akan

dituntut menjadi dalang wayang kancil, melainkan perlu memiliki kompetensi: (1) dapat menyerap nilai-nilai cerita kancil dengan mudah, (2) merasa gembira

belajar sastra Jawa, (3) ada perubahan sikap dan perilaku setelah mengikuti wayang kancil, dan (4) dapat mengapresiasi, menilai baik-buruk kisah tersebut.

Kompetensi demikian merupakan salah satu bentuk pembelajaran sastra

Jawa berbasis kompetensi. Tentu saja kompetensi yang harus dicapai tiap-

tiap jenjang pendidikan itu berbeda-beda, meskipun bermediakan wayang kancil. Di TK dan di SD, boleh jadi, berbeda kompetensi. Jika di TK belum

sampai pada apresiasi mendalam, di SD bisa saja apresiasinya sampai pada tingkat produksi. Misalkan, setelah mengikuti wayang kancil, siswa SD diminta

membuat sinopsis dan menciptakan dongeng kancil yang lain, dan seterusnya?

Bagian IX PERMAINAN DAN TARIAN RAKYAT A. Permainan Rakyat Tradisional Permainan rakyat adalah aktivitas rakyat yang menyenangkan. Perasaan senang itu akan mengalahkan segalanya. Karena itu, meskipun ada yang kalah

dalam permainan dan terlalu lelah, tetapi tetap merasa puas. Kepuasan dalam bermain menjadi tolok ukur keberhasilan dalam permainan.

Pada awalnya, permainan rakyat hanya sekadar media ekspresi di waktu

sunyi saja. Oleh karena masyarakat waktu itu masih minim hiburan, maka permainan menjadi alternatif. Permainan dijadikan arena bertukar pikiran atau

sosialisasi apa saja dalam kelompok kecil. Secara tidak langsung, anak-anak

yang bermain juga belajar melalui sebuah permainan. Apalagi dalam permainan rakyat Jawa banyak memuat nilai-nilai yang penting diserap anak.

Pada giliran selanjutnya, permainan rakyat tidak hanya milik anak saja. Kaum remaja dan dewasa juga banyak yang tertarik terhadap keindahan per­

mainan rakyat. Bahkan, tak sedikit orang dewasa yang tertarik pada permainan rakyat. Akhirnya permainan rakyat sering menjadi komoditi penting bagi pengembangan wisata atau bidang-bidang lain. Segmen wisata atau seni-seni lain seringkah' berkolaborasi dengan permainan rakyat agar memiliki daya tarik.

Ciri permainan rakyat, antara lain (1) suasana selalu riang gembira, tanpa

ketegangan, tidak ada campur tangan orang lain, tidak ada tekanan satu sama

lain, meski ada kalah dan menang, (2) harapan setelah bermain bukanlah pada menang-kalah, melainkan pada kepuasan batin, (3) seringkah memanfaat­

kan lirik atau lagu dan iringan. Atas dasar ciri-ciri tersebut memang banyak nilai yang tersimpan dalam permainan rakyat. Nilai-nilai budi pekerti akan terangkum dalam permainan,

baik lewat aktivitas bermain maupun lewat kekentalan syair. Irama atau lantunan vokal dalam bermain sedikit banyak akan membawa pesan positif yang berguna

bagi pendukungnya. Permaian rakyat merupakan wahana pemenuhan kebu­

tuhan dasar manusia, yaitu keinginan bersosialisasi dengan orang lain. Do­ rongan sosial itu akan terpantul dalam sendi-sendi bermain yang penuh gelak

tawa, canda ria, dan ada kalanya juga serius. Pada dasarnya permainan rakyat Jawa adalah sebuah aktivitas kelompok,

bukan individual. Permainan kelompok akan membuka wawasan bahwa ma­ nusia perlu berhubungan satu sama lain. Ada permainan Jawa yang disertai vokal, ada yang tanpa lirik, dan ada pula yang dilakukan secara bebas dan

tertib. Aturan dalam permainan biasanya disepakati bersama oleh yang hendak bermain. Ada lagi permainan rakyat yang disertai tarian atau gerakan lain.

Seluruh penyerta dalam permainan dimaksudkan untuk mempermudah per­ mainan dan hiburan.

Tegasnya, permainan rakyat Jawa hampir dapat dipastikan selalu meman­ faatkan pola-pola yang unik. Di dalamnya selalu ada romantika, seperti kejar-

kejaran, lompatan, sembunyi-sembunyi, atau hitung-menghitung. Cara-cara bermain yang bersifat tradisional tersebut seringkali hanya dipahami pelakunya. Orang lain yang menyaksikan, meski ada yang terhibur, sering kurang mema­ hami.

Nama-nama permainan Jawa yang memanfaatkan gerakan, tarian, dan lagu, antara lain Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Cungkup Milang Kondhe,

Gula Ganthi, Man Dhoplang, dan Nini Thowong. Permainan semacam ini umum­

nya telah dikemas dalam kaset rekaman tape recorder maupun video. Bahkan juga ada yang dilombakan di tingkat kecamatan atau lebih luas lagi. Perkem­

bangan pemanfaatan permainan tradisional serupa sebenarnya wajar-wajar saja. Hanya saja dominasi tarian dan vokal menjadi semakin menonjol diban­

ding aspek permainannnya. Akibatnya, yang dikedepankan dalam permainan telah berubah bentuk, dari bermain ke aspek lain.

Permainan rakyat Jawa yang tidak memanfaatkan vokal, antara lain dhakon, macanan, dham-dhaman, benthik, egrang, engklek, pasaran, omah-omahan, gobag sodor, uthut, adu wayang, lowok, kasti, dan dhelikan. Permainan jenis ini biasanya diawali dengan hompimpah atau pingjring, untuk menentukan

siapa yang akan bermain terlebih dulu. Bertolak dari uraian di atas, dapat dikemukakan, permainan rakyat Jawa memang ada yang bertujuan untuk mencari kemenangan dan ada yang hanya

sekadar hiburan. Ada pula permainan rakyat yang mencakup kedua tujuan tersebut. Dari sini tampak, di samping sebagai pembinaan mental, permainan

rakyat juga untuk membangun jasmani para pemain. Permainan hiburan biasanya sekadar untuk mengisi waktu luang. Sedangkan permainan rakyat perlombaan sengaja dilakukan untuk kemenangan. Dengan kata lain, memang tidak keliru jika Soelarto (1980: 90-92) me­

ngemukakan bahwa permainan rakyat Jawa ada yang berupa kegiatan olah

raga, permainan kecerdasan, permainan sosial, permainan bimbingan, dan sebagainya. Bahkan, ada lagi permainan yang ke arah dunia gaib, misalkan

permainan rakyat sintren. Menurut Bericke dan Roorda, sintren merupakan bentuk permainan rakyat Jawa yang luar biasa, karena seorang pemain dapat

menjadi terlena, tidak sadar, seperti orang ndadi. Permainan sintren menggunakan peralatan antara lain musik, tikar, ku­

rungan ayam, tali, dan pakaian adat. Pemain ada yang bertindak sebagai can­ trik, penyanyi, dan prewangan. Pemain sintren diutamakan perempuan. Berikut iringan vokal sintren.

Ari-ari ringin ' Tak tandur tengah segara Sintrene molai main Widadari sing bisa nata Dunung mari ketan Sawah gathak pinggir ratan Den ayune lagek dandan Sari Laes terapena sinjangira Iku Sari Laes Wuni digawe pilis Pager kepang dak pakoni

Samini sing dadi Laes Isin wirang dak lakoni

Permainan sintren di atas sebenarnya mirip dengan permainan rakyat laes. Keduanya memiliki tipe permainan yang sama, bahkan syairnya pun di­

kacaukan satu sama lain. Unsur utama dalam permainan sintren sesungguhnya berupa seni pertunjukan. Aktivitas seni tidak jauh berbeda dengan pertunjukan

reogjathilan, incling, dan sejenisnya. Jika dalam jathilan ada yang dinamakan empu, dalam sintren ada dhukun. Dhukun bertugas mengepul-epulkan asap ke tubuh sintren agar cepat kerasukan ruh.

Para pelaku sintren terdiri dari (V^prewangan, pemimpin dan penanggung jawab permainan, biasanya perempuan dewasa atau lanjut usia, dan menjadi

dhukun', (2) cantrik, pembantu prewangan, melayani sintren dan prewangan, biasanya terdiri dari dua orang, bisa laki-laki atau perempuan; (3) sintren, pelaku

utama gadis berusia 9-12 tahun, dia akan kerasukan ruh halus; (4) badut,

penghias sintren, menunjukkan aneka ulah yang lucu, dan (4) penyanyi, ber­ tugas menyanyikan lagu rakyat.

Awal permainan sintren melalui pemanggilan ruh, menggunakan lagu So/asi berikut. Solasi solasana Menyan putih pak ngundang dewa Ana dewa manjing ring raja Widadari sing tumurun

Lagu itu dinyanyikan beberapa kali sampai sangkar ayam di tengah ber­ gerak sebagai pertanda telah datang ruh. Selanjutnya, sintren berganti pakaian,

menandakan telah kerasukan ruh. Saat itu prewangan mengisyaratkan agar penyanyi mendendangkan lagu Dunung berikut.

Dunung mari ketan Dunung mari ketan Sawah gathak piggir ratan Sari Laes terapena sinjangira Iku Sari Laes Jika sangkar ayam semakin bergerak, sintren segera memerintahkan

cantrik, seraya meminta lagu. Cantrik segera menghubungi penyanyi sambil membuka sangkar ayam. Saat itu sintren keluar dari sangkar ayam, masih dalam keadaan tangan terbelenggu. Para penyanyi segera mendendangkan

lagu sebagai berikut.

Ari-ari ringin Tak tandur tengah segara Sintrene molai main

Widadari sing bisa nata

Pada saatnya, sintren segera melepas belenggu di punggungnya, lalu dimasukkan ke sangkar ayam lagi oleh cantrik. Prewangan segera memerin­ tahkan agar penyanyi melagukan Dharena. Dharena berasal dari bahasa Jawa

udharana (lepaskanlah) atau padha rena (semua senang).

Dharena luwarana Tok banda dosane apa Ring sawah sangune sega

Ora salah aja dibanda Lagu itu dinyanyikan berkali-kali sampai sangkar ayam bergerak, kemudian

cantrik membuka tutupnya. Pada saat ini belenggu di tangan sintren telah

lepas. Lalu sintren berdiri, menari diiringi lagu berikut.

Nuwun-nuwun para kanca Kawula nuwun Gusti kula Mbok inggiha pareng kawula Menawi Ikepat nyuwun apura Ngliwet ketan kendhile panci Tak bumboni mrica pala Wong nonton aja moyoki Ora ngerti panjake ala Bersamaan lagu tersebut badut-badut ikut menari dengan sintren. Panjang

pendek tarian tergantung perintah prewangan. Jika prewangan memerintahkan

lagu lagi, berarti permainan masih tetap berjalan terus. Nyanyian tari yang

sering digunakan berupa lirik-lirik pantun Jawa antara lain Kinjeng tak kinjeng putih Pencokane neng godhong kluwih

Para nonton ja tolah-tolih Badhute wegah mulih Kinjeng tak kinjeng abang Pencokane neng papah gedhang

Para nonton ja sangu lendhang Badhute pak luru magang

Keyong tak keyong lurik Keyonge pak lurah carik Jarik kawung dicancutake Sintren tanggung kok mencutake

Kembang tak kembang manggis Kotang abang klambine paris Nora wedi disusduk keris

Janji kumpul sing ireng manis

Ra-rama Perkutute njaluk ngombe Moh banyu kendhi Njaluk bojo kaya priyayi

Nandur kopi ra kembang-kembang Kembang siji dithotholi pitik Pak rabi rak kambang-kambang Ngenteni bojo sing dhisik Lagu penutup:

Burung-burung gelathik Burung gelatik burung kutilang Habis permainan Den ayu permisi pulang Dari jalannya permainan dan syair sintren, tampak bahwa permainan ini

lebih banyak ke arah hiburan. Permainan ini juga tidak untuk menentukan kemenangan. Unsur utama yang nampak adalah adanya tarian disertai lagu.

Lagu-lagu di samping sebagai iringan juga sekaligus memuat nilai-nilai sosial. Erotika pun nampak pada lagu sintren di atas. Dengan demikian, permainan

sintren boleh dikatakan lebih dominan unsur seninya dibanding permainannya. Dalam kaitan itu, Roberts, Arth, dan Bush (Danandjaya, 1989: 171) me­ ngemukakan lima sifat permainan, yaitu: terorganisasi, perlombaan, dimainkan

paling sedikit dua peserta, ada kriteria menang-kalah, dan memiliki aturan yang disepakati bersama. Dari sifat-sifat ini, permainan sintren hanya tidak

memuat sifat perlombaan (competitive). Hal ini merepresentasikan bahwa permainan rakyat Jawa memang ada yang sekadar memuat play (bermain) dan game (bertanding). Sintren cenderung hanya memuat unsur play yang ke

arah performance art.

Permainan rakyat Jawa yang bersifat game kadang-kadang menyentuh ke arah judi kecil-kecilan, karena di dalamnya seringkali ada totohan (upah) bagi pemenang. Sistem imbalan bagi pemenang permainan ini, jika kurang

terkontrol, akan memunculkan perjudian. Misalkan, di Jawa muncul permainan

cliwik (menebak warna dalam kotak tertutup), dhadhu (sistem memutar benda bermata 1-6), ceken (kartu cina 8 orang), jling (kartu cina dengan model

tersendiri), labasan (kartu cina dengan model kartu 8), dan sebagainya. Permainan semacam itu lebih banyak ke arah perjudian, meski ada aspek permainannya.

Dari sekian banyak permainan rakyat Jawa tersebut tampak bahwa folklor permainan memang ada yang sekadar berupa gerakan. Permainan yang be­

rupa gerakan digunakan untuk kesehatan fisik. Ada pula permainan yang

dilakukan untuk kepentingan finansial. Permainan semacam ini sampai

sekarang masih ada di pelosok desa. Jika ada tontonan wayang kulit atau ketoprak, seringkali ada permainan kartu yang awalnya sekadar untuk cegah

lek (mencegah mata mengantuk) sambil menyaksikan pertunjukan. Namun,

niat itu sering berubah menjadi sebuah totohan (judi). Berbagai bentuk permainan semacam ini sering disebut main Gudi), karena ada pertaruhan

uang.

Selanjutnya, ada pula permainan rakyat Jawa yang sekadar untuk hiburan dan keuntungan prestasi. Permainan semacam ini sadar atau tidak akan menjadi embrio sebuah pertunjukan, terutama bentuk tari-tarian rakyat. Banyak

tarian rakyat yang dikembangkan atas prototipe permainan tradisional. Bahkan, akhir-akhir ini permainan yang dikemas dalam bentuk tarian telah dipelajari

beberapa sekolah seni di Jawa. Sekolah Menengah Kesenian Indonesia

(SMKI), STSI, ISI, dan sejenisnya banyak mempelajari permainan tradisi sebagai aset yang patut dilestarikan dan dikembangkan.

B. Ragam Tarian Tradisional 1. Andhe-Andhe Lumut dan Kethek Ogleng Andhe-Andhe Lumut adalah tarian rakyat yang berbentuk drama tari. Komposisi tari dan drama dibangun secara estetis. Lakon yang mengambil kisah panji ini biasanya dilakukan semalam suntuk atau tergantung kepenting­

an. Di Jawa, drama tari rakyat ini amat banyak versinya. Oleh karena itu, di satu tempat dengan tempat lain tentu ada perbedaan kecil-kecil. Tontonan rakyat ini biasanya digunakan untuk acara peringatan hari besar, sunatan, manten, dan sebagainya. Namun, di dalamnya jarang dilakukan ritual

yang sakral. Jadi, tarian lebih ke arah hiburan. Maka, penonton pun sukarela,

tanpa dipungut bayaran, bisa hadir ke arena. Pertunjukan menggunakan iringan gamelan slendro dan pelog. Penarinya berjumlah kurang lebih 20 orang atau

tergantung kepentingan.

Pertunjukan tersebut hampir menyerupai wayang wong, sehingga ada posisi tangan ngruji, nyempurit, ngithing, dan ngepel. Ragam tari yang banyak

digunakan adalah atrap jamang, miwir rikma, usap rawis, songket sondhe, keplok asta, menjangan ranggah, dan juga sekar suwun.

Seluruh penari akan membawakan tokoh-tokoh cerita seperti Panji Asma-

rabangun yang menyamar menjadi Suksma Nglembara, Sinom Pradapa men­ jadi Suksma Sejati, atau Panji Inokertopati menyamar menjadi Andhe-Andhe

S

Lumut. Di samping itu, masih ada tokoh putri bernama Kleting Kuning sebagai samaran Dewi Sekartaji, Rara Maniking Banyu samaran Dewi Onengan, adik

Panji, atau sering disebut Ragil Kuning. Tokoh-tokoh pamomong atau puna­

kawan adalah Bancak, Doyok, Jumput, dan Kleput, yang bertugas menghibur. Ciri khas dari tarian di atas adalah mengenakan topeng. Para penari akan

menyampaikan dialog dalam bentuk prosa dan puisi (tembang), dibantu seorang dalang yang ikut membawakan cerita, seperti dalang wayang wong. Biasanya iringan vokal juga dibantu seorang waranggana atau sindhen. Pertunjukan berlangsung mulai pukul 21.00-05.00 pagi. Sebelum tarian dimuli

seringkali juga dilakukan tontonan awal berupa panembrama atau gendhing patalon (pembukaan) seperti wayang kulit. Seluruh pertunjukan dapat dibagi menjadi lima babak dan beberapa

adegan kecil-kecil, seperti berikut ini. Babak 1, berisi adegan Kerajaan Jenggala Manik. Sang Prabu Lembuamiluhur dihadap para putra panji dan Patih Amijaya. Isi rembug membicarakan kepergian Panji Putra yang tak diketahui kerabat keraton. Sang Prabu memerintahkan agar adik-adiknya mencari hingga ketemu, lalu Panji Sinam Pradapa dan Panji Asmarabangun pun berangkat mencari. Babak 2, berisi adegan jejer putren. Waktu itu Panji Putra telah menyamar sebagai Andhe-Andhe Lumut dan tinggal di Desa Kasihan bersama punakawan Jodeh dan Prasanta. Ketampanan Andhe-Andhe Lumut membuat gadis di sekitar tertarik untuk menemani (ngunggah-unggahi), jika diwujudkan dalam bahasa Jawa sandhung jekluk tiba krungkeb sambate nyang Andhe-Andhe Lumut. Babak 3, berisi adegan jejeran di Bantar Angin. Prabu Klana Sewantaka

(Sewandaka) dihadap Patih Jayakendra dan putra mahkota R. Suryantaka.

isi adegan membicarakan agar Suryantaka mau segera dikawinkan dengan memilih putri cantik. Karena menolak dikawinkan, sang ayah

marah, dan putranya disabda menjadi binatang bernama Yuyu Kangkang,

kemudian diperintahkan (ditundhung) meninggalkan keraton. Babak 4, di Desa Waringin Putih, Mbok Randha Sambega sedang duduk

di hadapan putri-putrinya (Kleting Ungu, Kleting Kuning, dan Klelting Abang). Mereka sedang asyik membincangkan ketampanan perjaka Andhe-Andhe Lumut. Mbok Randa menginginkan agar ketiganya pergi ngunggah-unggahi, dan pergilah mereka bersamaan. Babak 5, di pertapaan Gunung Krawang, berdiam seorang pendeta sakti berujud raksasa bernama Kala Raseksa atau Gembung Tanpa Sirah.

Seorang pertapa mempunyai putri cantik bernama Dewi Memaniking Banyu. Pada suatu malam putri itu bermimpi berjumpa dengan ksatria bernama Suksmasejati dengan dua orang punakawan bernama Jumput dan Kleput. Sang putri meminta agar sang pertapa menghadirkan ksatria itu. Dengan kesaktian sang pertapa, akhirnya ksatria yang diinginkan beserta punakawannya datang juga di pertapaan itu. Dan, Rara Maniking Banyu pun disunting ksatria itu. Babak 6, adegan Yuyu Kangkang sedang menari-nari, lalu datang Kletingkleting yang ingin menyeberang. Terjadilah tawar-menawar di antara mereka. Di sini dapat terjadi adegan lucu sekaligus erotik. Kleting-kleting dan Yuyu Kangkang berdialog melalui lagu berikut. Sun sabrangke wong ayu saka ing kene krupyuk-krupyuk opahe kinang lan jambe mung begjane lung tinampan nganggo lambe

Adegan tersebut dapat memukau penonton. Ketiga Kleting telah diseberangkan, kemudian datang Kleting Kuning yang berpakaian serba jelek. Karena mukanya yang buruk, Yuyu Kangkang menolak menyeberangkan. Kleting Kuning marah dan mengeluarkan pusakanya yang berupa lidi (Sada Lanang) untuk memukul air bengawan, dan seketika air bengawan kering, sehingga Yuyu Kangkang berubah menjadi Suryantaka, lalu kembali ke Bantar Angin. Babak 7, di Desa Kasihan, Mbok Randha sedang duduk bercakap-cakap dengan Jodeh dan Prasanta tentang Andhe-Andhe Lumut yang sampai saat ini belum mau kawin. Lalu datang para Kleting ingin ngunggahunggahi, namun seluruhnya ditolak. Mbok Randha dan Andhe-Andhe Lumut berdialog dengan lagu: Putraku si Andhe-Andhe Lumut,

tumuruna ana putri angunggah-unggahi. Putrane sing ayu rupane, Kleting (Abang, Ungu, Biru, Kuning) iku kang dadi asmane.

Dhuh ibu kula boten purun (2X) najan ayu sisane si Yuyu Kangkang.

Yang terakhir, Kleting Kuning, diterima Andhe-Andhe Lumut. Keduanya lalu berubah wujud menjadi Panji dan Sekartaji. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Mbok Randha, keduanya beserta dua punakawan segera pamit kembali ke Jenggala Manik. Di tengah perjalanan Panji bertemu dengan Suksmasejati yang ingin meminta istrinya. Peperangan pun tak terelakkan dan Suksmasejati berubah menjadi adik Panji bernama Sinom Pradapa. Tak lama kemudian Kerajaan Jenggala kedatangan

musuh dari Bantar Angin yang ingin meminang Sekartaji, terjadilah perang, dan Bantar Angin kalah. Pertunjukan rakyat Kethek Ogleng mirip Andhe-Andhe Lumut. Keduanya

mengambil lakon kisah Panji. Kethek Ogleng juga sering digunakan sebagai

pertunjukan bersih desa dan nadar. Iringannya pun menggunakan gamelan

dan lama pertunjukan kurang lebih lima jam. Jika dilihat dari nama-nama tokoh, antara Andhe-Andhe Lumut dan Kethek Ogleng, dapat dilihat pada tabel berikut.

Nama Tokoh

No.

1

Andhe-Andhe Lumut

Kethek Ogleng

Panji Inokertopati

Panji Putra (Gunasamun)

(Andhe-Andhe Lumut) 2

Sewantaka

Sewandana

3

Jodeh

Sebui

4

Mbok Randha Kasihan

Mbok Randha Dhadhapan

5

Kleting Ungu, Abang, Biru, Kuning Kleting Ungu, Abang, Biru, Kuning

Putih 6

Sekartaji (Kleting Kuning)

Sekartaji (Endang Loro Tompe)

7

Yuyu Kangkang

Kethek Ogleng

Dari tabel tersebut tampak bahwa tradisi lisan amat mewarnai pertunjukan

keduanya. Karenanya nama-nama tokoh pun satu sama lain hampir mirip. Keduanya hanya berbeda dalam formulasi. Keduanya tetap berintikan

perjalanan Panji. Memang dalam perjalaan kisah sedikit berbeda, dalam Kethek

Ogleng justru terjadi upaya tokoh untuk mencari titisan Dewi Widawati. Kethek

Ogleng telah mendengar bahwa titisan sang dewi berada di Desa Dadaptulis atau Dadapan.

Kisah selanjutnya justru Endang Loro Tompe yang berasal dari Dadapan mencari suaminya bernama Panji. Tiba-tiba datang Kethek Ogleng yang jelek,

tentu ditolak sang dewi. Namun, dalam adegan ini sering terjadi kudangan,

menggunakan tembang seperti gandrung dalam ketoprak. Sang dewi segera lari dan menemui tokoh Gunasamun. Karena Kethek Ogleng selalu menge­ jarnya, maka terjadi peperangan dengan Gunasamun. Kethek Ogleng kalah

dan hilang dalam pandangan Panji.

2. Srandhul Srandhul adalah pertunjukan rakyat Jawa yang banyak menggunakan sastra lisan. Instrumen utama pertunjukan ini adalah satu terbang, satu ken­

dang, dan tiga angklung, dilaksanakan kurang lebih selama enam jam. Jumlah

penari 15 orang. Kostum penari sebagian besar mengenakan pakaian Jawa. Penari menggunakan tembang dan parikan dalam dialog, dibantu wiraswara

yang disebut dandhang. Srandhul tak menggunakan dalang seperti wayang orang.

Tradisi lisan srandhul diambil dari cerita-cerita berlatar pedesaan. Latar belakang cerita adalah problem keluarga. Problem keluarga itu dikemas dalam adegan estetis, dramatis, dan ada tarian yang memikat. Tentu saja pertunjukan

ini membutuhkan koreografer. Yang penting, para pemain harus hafal betul

dialog-dialog khas. Berikut ini cerita ringkas dan adegannya. Adegan Padepokan Puser Bumi: Gotong royong nyambut gawe Sayuk rukun karo kancane, lo elo Munggah Patuk Wonosari Dhadhungawuk Puser Bumi Nandurpari neng bulak amba Dhasar sekti tur digdaya Witing uwi mrambat mendhuwur Ati kang suci budi kang luhur

Blimbing wuluh dipangan wereng Mundhi dhawuh seka pengageng Nandur bayem neng pinggir kulon

Kepengin tentrem supaya ngayom Mbulak amba tandure bayem Mlebu warga atine tentrem

Adegan itu melukiskan Demang Ki Cokroyudo pergi meninggalkan istrinya (Biyang Ganyong) yang sedang hamil tua. Sepeninggal Demang, Biyang Ga-

nyong melahirkan anak laki-laki. Setelah enam bulan suaminya belum kembali

juga, Biyang Ganyong memanggil Truno Kalet agar menghadirkan Dhadhung­

awuk, pemuda dari Puser Bumi, adiknya sendiri. Dhadhungawuk diajak Biyang Ganyong mencari suaminya. Namun, Dhadhungawuk minta agar anaknya

dibesarkan lebih dahulu, untuk diajari kesaktian.

Adegan seterusnya melukiskan tokoh Jaka Sayun, anak Ki Demang. Jaka

Sayun merasa sedih karena ketika lahir ayahnya tak ada di rumah. Dia bermak­ sud mencari ayahnya, entah di mana. Dengan bekal tekad, dia mengelana sampai ke desa-desa. Kendati merasa bingung, Jaka Sayun tetap berjalan terus sampai menemukan ayahnya.

Adegan Padukuhan Karang Samun A/a ya mas Jaka Sayun pedukuhan Karang Samun Ela-elo-elo, ya la elo-elo-yake Ela, sayun... Saikine kembang apa? Ela sayun Jawab: Umpamakna kembang nangka, ela sayun Ala ya mas kembang nagka... Jaka Sayun, ngulandara, ela-elo-ela-elo ya la elo-elo yake, sayun Saikine kembang apa? Ela sayun? Jawab: Umpamane kembang kecubung, ela sayun Ala ya mas mbang kecubung Sayuntara atine bingung elo-elo-elo ya la Sayun lunga/budhal: Kembang cipir abang biru Rasane pikir mara mertelu Kembang terong abang Mandheg mayong nggone lumaku Papan ayem tandurbayem Sing seneng ngayom atine tentrem

Setelah anaknya besar, Biyang Ganyong segera mencari suaminya. Ter­ nyata suaminya bermukim di Desa Madurangin, dekat Semarang. Demang ini

ternyata kawin lagi dengan Biyang Manis. Setelah terjadi perebutan suami, akhirnya Dhadhungawuk yang mendamaikan. Cerita demikian digelar menggunakan parikan-parikan pada setiap adegan. Adegan seperti halnya permainan ketoprak, namun dialog menggunakan permainan parikan.

Adegan Kademangan Karangwetan Nandur kacang neng bulak amba Karang Wetan Ki Cakrajaya

Roning turi dinggo wit-witan Ngarep mburi sarimbitan Nganggo klambi ijo sawitan Prawan sunthi bojo kawitan Ngombe jamu dhong sambirata Wiwit ketemu dhek jaka lara Sarung jagung temumpang meja Bot abote wis kadhung tresna Mbokya nyebar godhong kara Mbokya sabar sawetara

Kuning diputung-putung Kelingan ning ati bingung Kaya limun saparesa Ngalamun sing ora-ora Tunggak jati lung kemadhoh Sing mlebu ati omahe adoh Parikan tersebut melukiskan kondisi batin Ki Cokroyudo yang sedang

dalam perjalanan jauh. Di tengah perjalanan, ia ingat pada istri yang sedang hamil tua. Dia ingat betapa cintanya sang istri, sayang jaraknya jauh. Maka, Ki

Demang hanya duduk melamun terus di perjalanan. Perjalanan tanpa tujuan itu sampai ke desa-desa. Akhirnya sampailah di wilayah Semarang, seperti

adegan berikut.

Adegan Pondok Semarang

Ki Cokroyuda: Mak greget lawange menga Aja kaget aku sing teka Jarik luwik panti aso Sing dilirik ora rumangsa Prawan Manis:

Jarik lurik ikete wulung Anggone nglirik kepengin tepung Andheng-andheng irenge etir Bareng dipandeng nggoyangake pikir

Ki Cokroyuda: Abang biru kembange cipir

Nggone mlaku ja minggir-minggir

Ngombe dhawet banyune degan Lowung mandheg padha rembugan Nandur kacang neng bulak amba

Karang Wetan Ki Cakrajaya Roning turi dinggo wit-witan Ngarep mburi sarimbitan

Nganggo klambi ijo sawitan Prawan sunthi bojo kawitan

Ngombe jamu dhong sambirata Wiwit ketemu dhek jaka lara Sarung jagung temumpang meja Bot abote wis kadhung tresna

Mbokya nyebar godhong kara Mbokya sabar sawetara

Kuning diputung-putung Kelingan ning ati bingung Kaya limun saparesa Ngalamun sing ora-ora Tunggak jati lung kemadhoh Sing mlebu ati omahe adoh

Adegan tersebut menggambarkan saat Ki Cokroyuda berjumpa dengan gadis pujaan (Biyang Manis). Adegan ini mirip gandrung dalam ketoprak. Ka­

renanya Ki Demang yang memiliki hasrat kepada wanita desa itu seakan-

akan mengejarnya. Ternyata gadis desa itu juga ada rasa kepada Ki Demang. Akhirnya keduanya saling jatuh cinta dan menikah.

3. Jinggoan Jinggoan adalah pertunjukan rakyat berupa drama tari. Kisah dalam pertunjukan ini diambil dari cerita rakyat, yakni kisah Damarwulan-Menakjinggo,

yang juga sering dipentaskan dalam ketoprak. Menurut cerita klasik Jawa, Menakjinggo adalah Bre Wirabumi yang memberontak saat Majapahit dipe­

rintah Sri Jayanegara pada abad ke-13. Pemberontakan Menakjinggo mendapat

terminologi yang sama dengan perang antara Bang Wetan dengan Bang Kulon untuk menunjukkan garis demarkasi yang dibuat pendiri Majapahit Raden Wijaya dan Aria Wiraraja. Interpretasi lain menyebutkan bahwa kisah Damar­

wulan-Menakjinggo adalah rekaan penjajah Belanda untuk menjelek-jelekkan

penguasa Tanah Semenanjung Banyuwangi, Wong Agung Wilis, yang melaku­

kan perlawanan, dikenal dengan Perang Puputan Bayu (Anoegrajekti, 2003: 1).

Pertunjukan Jinggoan dimulai sekitar pukul 21.00 hingga menjelang subuh.

Pembukaan diawali dengan pembacaan om swasti astu, hong wila heng, atau bismillahirahmanirahim, tergantung dalang ingin mengucapkan salam dengan cara yang diyakini, diiringi gendhing musik gamelan sampai layar terbuka.

Dilanjutkan dengan tari Jejer Gandrung atau Legong Margapati, diiringi gendhing sebagai bentuk penghormatan kepada para tamu. Kemudian, sang su­ tradara membuka prolog dengan sekilas menceritakan tema lakon dan para

pelakunya. Lakon dipentaskan di panggung pertunjukan berukuran 4x6 meter

dengan layar berjumlah lima lapis, disesuaikan dengan jumlah babak dalam satu lakon.

Pola sajian terstruktur dengan berbagai adegan yang meliputi (1) jejeran, adegan yang melukiskan pertemuan di kedaton atau istana yang melibatkan

raja, permaisuri, patih, kerabat kerajaan, dan para parajurit, di keputren atau tamansari, di pertapaan, dan rumah gubug; (2) bodolan, adegan persiapan

untuk melakukan suatu perjalanan sebagaimana dibicarakan dalam adegan jejer, misalnya perjalanan raja atau mahapatih; (3) tempukan, adegan per­

temuan antartokoh dalam rangka menuju konflik; (4) strat, (5) gandrungan, adegan percintaan antartokoh; (6) dagelan', dan (7) perang, pada saat ini

Damarwulan sering izin kepada kekasihnya untuk melawan Minakjingga, dengan lagu sebagai berikut. Anjasmara ari mami

Mas mirah kulaka warta Dasihmu tan wurung layon Aneng kutha Prabalingga Prang tandhing Hurubisma

Karia mukti sira wong ayu Pun kakang pamit palastra

'Anjasmara adikku Adikku carilah berita Kekasihmu tak urung mati Di kota Prabalingga Ketika perang tanding melawan Hurubisma (Minakjingga)

Semoga mulia wanita cantik Izinkanlah kakakmu meninggal’

Pertunjukan ditutup dengan permintaan maaf sutradara, diiringi gendhing.

Beberapa grup Jinggoan di Banyuwangi kerap mementaskan lakon Damarwulan-Menakjinggo dengan versi yang berbeda, tergantung daerahnya. Berbagai versi Jinggoan tersebut selalu menokohkan Minakjinggo, karenanya dinamakan

seni Jinggoan. Minakjingga dianggap tokoh kontroversial yang menjadi musuh Damarwulan. Berikut versi-versi yang sering digelar di wilayah Banyuwangi,

menurut Anoegrajekti (2003: 3):

Versi I Alkisah lahirlah anak laki-laki tampan yang dinamai Damarwulan. la dididik hidup bersahaja dan prihatin. Setelah dewasa, sang kakek menyuruhnya untuk mengabdikan diri ke Kerajaan Majapahit. Maka, berangkatlah Damarwulan diiringi dua punakawan, Nayagenggong dan Sabdopalon. Sesampai di Majapahit, ia mengabdikan diri di Kepatihan Patih Logender, pamannya sendiri. Patih Logender memiliki tiga anak, Layangseta, Layangkumitir, dan Dewi Anjasmara. Damarwulan dibebani tugas merawat 12 kuda milik sang Patih. Dalam kesehariannya, ia diperlakukan seperti layaknya seorang budak, terutama oleh dua saudara laki-lakinya. Sebaliknya, secara diam-diam, Dewi Anjasmara jatuh hati pada Damarwulan. la sering mengirim makanan untuk Damarwulan. Sampai pada suatu ketika hubungan keduanya tercium oleh dua kakaknya. Peristiwa itu membuat Damarwulan dipenjarakan. Anjasmara meminta kepada ayahnya agar ia juga dipenjarakan. Melihat realita ini, akhirnya Patih Logender mengawinkan Dewi Anjasmara dengan Damarwulan. Sementara Kerajaan Majapahit sedang genting. Adipati Blambangan, Menakjinggo (Prabu Urubisma), memberontak. Daerah Probolinggo dan Lumajang sudah ditaklukkan. Kematian Ranggalawe sangat memukul

Majapahit. Merasa di atas angin, Menakjinggo yang angkara murka haus mangsa, yang candranya andebok bosok, mukanya seperti anjing, perutnya buncit, punggungnya bengkok, kakinya pincang, sesumbar akan mengakhiri perang asal dengan syarat Ratu Kencanawungu, Raja Majapahit yang ayu, akan diboyong ke Blambangan. Ratu Kencanawungu merasa gentar menghadapi Menakjinggo. Akhirnya dia bersemadi. Dalam semadinya, ia menerima wangsit bahwa yang dapat mengalahkan Menakjinggo adalah pria bernama Damarwulan. Maka, dipanggillah Damaewulan ke istana. Sang Ratu sangat terpesona akan ketampanan Damarwulan. Maka, berangkatlah Damarwulan diiringi Layangseta dan Layangkumitir, yang diangkat sebagai pendamping atas usul Patih Logender. Menyadari kekuatan yang tak seimbang, Damarwulan tidak langsung berani duel dengan Menakjinggo. la mendekati dua permaisuri Menak-

jinggo, Dewi Wahita dan Dewi Puyengan, yang jatuh hati padanya. Dengan senjata berupa Gada Wesi Kuning milik Menakjinggo yang dicuri dua istri Menakjinggo, akhirnya Damarwulan dapat mengalahkan sekaligus me­ menggal kepala Menakjinggo. Di tengah perjalanan, Damarwulan diperdaya Layangseta dan Layangkumitir. Damarwulan dibunuh, kepala Menakjinggo direbut dan dibawa ke Majapahit untuk dipersembahkan kepada Ratu Kencanawungu. Syahdan, ketika Damarwulan terkapar di hutan, datanglah pendeta yang tak lain adalah ayahnya sendiri, la datang dengan wujud Bagawan Tunggulmanik untuk menghidupkan Damarwulan. la pun menyuruh Damar­ wulan untuk sementara kembali ke Blambangan guna merawat pusaka Wesi Kuning. Sementara itu, Layangseta dan Layangkumitir telah menghadap Ratu Kencanawungu. Sang Ratu sangat sedih mendengar laporan gugurnya Damarwulan. Mengapa berbeda dengan wangsit yang diterimanya. Tak berapa lama, Damarwulan disertai pengiringnya tiba di pendapa Majapahit. Maka, terbongkarlah kejahatan yang dilakukan Layangseta dan Layang­ kumitir. Untuk menentukan siapa yang benar, akhirnya Ratu memutuskan untuk perang tanding antara Damarwulan dengan kedua putra pamannya. Damarwulan memenangkan pertarungan dan menikah dengan Ratu Kencanawungu sekaligus dinobatkan menjadi Prabu Majapahit bergelar Brawijaya. Anjasmara tetap menjadi permaisuri, Dewi Wahita dan Dewi Puyengan juga dikawininya. Tak ketinggalan dua punakawan yang setia, Nayagenggong dan Sabdopalon, diangkat menjadi pamong Majapahit.

Vers/ II Jaka Macuet, Adipati Blambangan, bertemu dengan Tunjung Sari, putri raja Majapahit, di makam ayahnya, Mas Pancoran, di Bali. Mereka kemudian menikah. Jaka Macuet terkenal sakti dan memiliki perilaku aneh, yakni setiap beristri, istrinya selalu dibunuh. Menurut wangsit yang diterima Tunjung Sari, yang dapat membunuh Jaka Macuet adalah anaknya sendiri. Oleh sebab itu, begitu Tanjung Sari hamil, ia pergi meninggalkan keraton. Di tengah hutan Gunung Plipis Kalibaru, ia ditolong Ki Hajar Pamengger. Tak beberapa lama, lahirlah anak Tunjung Sari yang diberi nama Bambang Menak. Setelah dewasa, Bambang Menak bertanya siapa bapaknya. Ki Hajar Pamengger tidak menjawab, hanya berkata, uSira mlakuo ngetan nyang Blambangan. Mengko ana sayembara, sapa kang bisa mateni Macuet, iku kang bisa ngganteni." Bambang Menak mengikuti sayembara. Dasar masih pupuk lempuyang, ia kalah dan pingsan. Untung tidak dibunuh. “Ngkesuk baen mpateni” kata Macuet. Ki Hajar Pamengger dan Tunjung Sari datang dan mensabda Bambang Menak hidup kembali. Kata Ki Hajar Pamengger, uSira wani temen tah nyang Macuet. Kadhung wani nduduhi pengapesane. Sira bui njumbul iku duduten, iku pengapesane. Mari iku kemplagna neng

pelengane kang kina" Maka, bertarunglah Bambang Menak dengan Macuet. Ketika Bambang

mau membunuh Macuet, ibunya menjerit, mencegah. “Iku bapak ira dhewek” kata ibunya. Macuet kemudian menyusup ke raganya Bambang Menak. Patih Maudara dari Majapahit (saudaranya Tunjung Sari) menyak­ sikan peristiwa itu. Kemudian, ia melantik Bambang Menak menjadi Adipati Blambangan dengan gelar Urubisma (Menakjinggo), sekaligus ditu-

nangkan dengan Kencanawungu. “Tanah sigarsemangka wisnong Blam­ bangan, kadhung wis dewasa sun ulihaen Kencanawungu” ucap Maudara. Patih Logendertak setuju Menakjinggo menikahi Kencanawungu. la ingin Setokumitir menikahi Kencanawungu. Demi membunuh Menakjinggo,

Logender memfitnah Ronggolawe untuk menyerbu Blambangan. Ronggo-

lawe terbunuh, demikian juga patih-patih yang lain. Maka, diadakanlah sayembara, siapa saja yang bisa membunuh Menakjinggo, akan dijodoh­ kan dengan Kencanawungu.

Damarwulan ikut sayembara. Sesampai di Blambangan, di pertamanan, ia bertemu Wahita dan Puyengan. “Arep paren Rika?” Damarwulan men­

jawab, “Isun arep mateni Menakjinggo” “Iku wong sakti, kebeneran isun

sing demen nyang Menakjinggo, isun arep dimadu ambi Kencanawungu. Sira nduduhipengapesane, yaiku Wesi Kuning ” Keesokan harinya Wesi Kuning telah di tangan Damarwulan. Menakjinggo berkata, “Dak gediku isun wis wancine mati. Isun wekas nyang sira, kang apik nata Majapahit, aja keneng pengaruh Logender. Ronggolawe mati, Sindhuro mati, iku dipitnah. Isun titip Kencanawungu, Wahita, lan Puyengan, rumaten kang apik. Wis patenana isun.” Versi III Tersebutlah seorang raja Blambangan sakti mandraguna. Suatu ketika dia berjalan-jalan hingga di taman Majapahit. Dengan kesaktiannya, ia mengubah dirinya menjadi tampan dan bertemu dengan putri Majapahit,

Tunjung Sari. Akhirnya sang putri hamil. Raja Brawijaya IV murka, menge­

tahui kehamilan sang putri. Kepada Menteri Sindhura, ia memerintahkan supaya membunuh sang putri. Sang putri dibawa ke hutan. Sampai di hutan ternyata sang patih tak sampai hati melaksanakan tugasnya. Sang

putri pasrah. “Ya sudah, kamu di sini saja. Saya sampaikan kepada ayahmu bahwa kamu sudah meninggal." Setelah berkata, Sindhura membunuh seekor kijang danjaritnya sang putri diolesi darah kijang. Maka, dibawalah jarit sang putri ke Majapahit sebagai bukti kematian sang putri. Melihat jarit yang banyak bulunya, raja berkata, “kok iki akeh wulune, pantes wong elek.” Di hutan, sang putri melahirkan dan meninggal dalam posisi

menyusui. Datanglah seorang pertapa, Ki Pamengger. la merawat jabang bayi dan dinamai Bambang Menak. Setelah dewasa, Bambang Menak menanyakan ayahnya. Ki Pamengger berkata, "Kamu jangan bertanya siapa ibu-bapakmu. Kamu sekarang mengabdilah ke Majapahit. Di sana

terjadi huru-hara oleh Kebo Macuet. Raja mengadakan sayembara siapa yang bisa membunuh Kebo Macuet akan dijadikan Adipati Blambangan,”

kata Ki Pamengger. Berangkatlah Bambang Menak mengikuti sayembara melawan Kebo Macuet. Bambang Menak dedelduwel. Sedina mati ping pitu. Kebo Macuet sangat sakti, bertanduk. Akhirnya, dengan dijangkungi Ki Pamengger dan

dinasihati supaya memotong tanduk Kebo Macuet, Bambang Menak ber­ hasil memenangkan pertarungan. Saat memotong tanduk Kebo Macuet,

wajah Bambang Menak tersemprot darah muncrat yang menyebabkan

berubah wajah dan sifatnya. Semula ganteng menjadi jelek. Semula lemah lembut menjadi beringas dan kasar. Saat melapor ke Majapahit, ia tidak dipercaya raja. "Yang saya utus memang Menak, tampan. Kamu jelek." Ternyata semua itu hanya upaya Raja Majapahit untuk mengingkari janji,

maka terjadilah perang antara Bambang Menak dengan Raja Majapahit. Ronggolawe dan banyak prajurit mati. Setelah memenangkan pertarungan, Bambang Menak pergi ke Blambangan dan bergelar Menakjinggo.

Dari tiga versi itu nampak bahwa tokoh utama Jinggoan adalah Minakjinggo

dan Damarwulan. Keduanya selalu bermusuhan, simbol kejahatan melawan kebaikan. Pola pertunjukan kejahatan selalu kalah dengan kebaikan tetap

nampak dalam ketiga versi itu. Perbedaannya hanya pada nama-nama tokoh,

sedangkan esensinya sama. Kemungkinan besar munculnya aneka versi itu terjadi akibat tangkapan masing-masing pencerita yang berbeda terhadap

sumber lama.

Teks lakon Menakjinggo dan seluruh latar belakangnya memperlihatkan sebuah konstruk dominan dihadapi konstruk yang dibangun sebuah komunitas yang “dirugikan” oleh adanya konstruk dominan itu sendiri. Sebuah pertarungan

konstruk yang mesti di level mikro diartikan sebagai wacana kekuasaan. Ada

versi yang melukiskan Menakjinggo tokoh yang baik, tidak merebut Kencana­ wungu, dan tidak menyerang Majapahit, la juga tidak mati secara nista, melainkan secara ksatria. Dan versi yang lain justru sebaliknya, lakon pro dan kontra masih berlangsung hingga kini.

4. Emprak Seni pertunjukan emprak di Jawa sebenarnya juga dinamakan slawatan. Ada juga yang menyebut seni ini sebagai terbangan. Folklor lisan ini bernuansa religius (Islam). Biasanya sering dimanfaatkan untuk pertunjukan ritual, terutama

pada ritual khitan (supit). Lama pertunjukan tergantung kepentingan, yang

sering terjadi, emprak dimulai pukul 21.00-01.00, ada kalanya juga lebih larut

lagi. Emprak merupakan seni pertunjukan membaca kisah Nabi Muhammad

SAW yang diambil dari Serat Ambiya. Karya ini memuat pupuh-pupuh tembang macapat. Yang unik dari seni emprak ini, kendati bernapaskan agama Islam, masih menggunakan sajen. Sajen berupa dua sisir pisang raja, sejumlah buahbuahan, jajan pasar, serta sebungkus bunga kantil, mawar, dan kenanga. Sajen

ini diletakkan di dekat terbang besar. Bahkan, ada juga emprak yang masih

mengutuki sajen dengan pembakaran kemenyan. Aroma kemenyan dan bunga

dalam emprak menunjukkan adanya sinkretisme Islam Kejawen yang kental.

Kelengkapan kostum para penabuh (pemusik) juga gaya Yogyakarta, yaitu surjan, bebed, dan blangkon. Masing-masing pemeran mengenakan kostum

yang berbeda, yaitu: Nabi memakai kostum putih dengan lengan panjang berdasi, rompi berwarna hitam, celana motif batik sepanjang lutut (joglang), kaos kaki warna lorek kuning hijau sampai kelutut dan bersepatu, sampur, dan

topi berwarna merah. Sedangkan para pemeran malaikat yang berjumlah empat orang masing-masing memakai pakaian yang berbeda. Bentuk seni emprak dimulai dengan pembukaan, ki dalang mengucapkan

kata-kata yang dipetik dari Serat Ambiya. Adegan berupa nyanyian dan tarian sampai 12 tahap, yakni (1) empat malaikat menghaturkan salam, (2) sembilan Nabi menghaturkan salam, (3) jejer negeri Mekah, (4) jejer negeri Sayidina, (5) dialog Raja Walidu dengan Patimah, (6) dialog Raja Mutalib dengan Abdullah

dan Emban, (7) dialog lewat surat antara Abdulah dengan Patimah, (8) Patimah

menerima wangsit dari Nabi, (9) Raja Mutalib memerintah untuk belanja, (10) Abdullah sakit, dilanjutkan banjutan oleh malaikat, (11) laporan Raja Mutalib,

Aminah, dan prajurit, (12) Aminah membawa wangsit dari Nabi Dawud dan Nabi Ngisa serta kelahiran Nabi Muhammad dan kudangan.

Seni emprak banyak memanfaatkan folklor lisan sebagai bahan komu­ nikasi antartokoh, misalnya

Juru nujum apa wus pepak sadarum Nggonmu padha seba Nggih Gusti sampun sumiwi Wadya tuwan sagung para panujum Yen wus pepak sakabehing para nujum Mulane sira sun timbali aneng ngarsi.... 'tukang peramal apakah telah lengkap semua pada saat menghadap ini

sudah Gusti telah menghadap abdi tuan para peramal jika telah lengkap seluruh nujum maka kau kuminta menghadap...’ Tembang macapat yang digunakan yaitu pupuh kinanthi, mijil, durma,

asmaradana, sinom pangrawit, pangkur, dhandhanggula, megatruh, gambuh, dan lain-lain. Tembang-tembang ini digunakan sebagai penghias emprak. Yang

melagukan adalah para pelaku, masing-masing menghafalkan tembang ter­

sebut. Sebagai contoh adalah tembang kinanthiyang dihafalkan tokoh Patimah pada waktu dialog dengan Mastuti berikut.

Dhuh Patimah ingsun rawuh Aja kaget sira yayi Sun prapta tutur mring sira Aja sira krami-krami Yen ora entuk lan ingwang Ya mung iku tutur mami ‘duh Patimah aku datang jangan terperanjat kau kudatang hendak memberi saran padamu janganlah kau berkeluarga jika tak denganku hanya itu pesanku’

Ya mung iku tutur ingsun Mituruta wekas mami Yen sira arsa sun gawa Menyanga Mekah nagari Wis nini kariya mulya Kula dherekken basuki 'hanya itu pesanku ikutilah pesanku jika kau hendak kubawa ke negeri Mekah sudah nini akan hidup mulia kuharapkan selamat’ Dalam seni emprak juga menggunakan syair yang dinamakan erang-

erang. Erang-erang ada\ah sejenis pantun atau parikan Jawa, tetapi tidak begitu memperhatikan guru lagu, contoh:

Kang majes mring laku bagus Ja kuwatir panca baya llangana karo mlaku Wong kerat kancaning setan

‘sebaiknya bertindak kebagusan jangan khawatir terhadap marabahaya singkirkan sambil jalan orang yang suka main menjadi teman setan' Poma padha lakonana Neng donya rukuning Islam

Saku jekat lawan pitrah Sujud lan pasa ramelan ‘sebaiknya kau indahkan

bahwa di dunia menjalankan rukun islam

memberikan zakat dan fitrah bersujud dan puasa Ramadan’

Syair erang-erang demikian tergolong pesan-pesan atau disebut juga wasiat. Seni emprak memberikan wasiat kepada para penonton agar menja­

lankan agama dengan sungguh-sungguh. Selanjutnya, emprak banyak mema­ inkan syair-syair berupa lagu. Lagu yang memberikan hiburan sekaligus we­

jangan cukup memukau penonton. Lagu yang dikemas dengan gendhing, an­ tara lain lagu borong, lagugenjung, gendhing gegat, lagu kapuranta, lagu lara-

lara, lagu dendang, gendhing pangkur lamba, lagu andang manis, dan seba­ gainya. Seluruh lagu itu dilantunkan seorang pelaku dan juga wiraswara.

Bagian X PUISI LISAN RAKYAT A. Bentuk Puisi Rakyat Dalam buku saya berjudul Tradisi Lisan Jawa (2005), Bab IV-VIII, telah saya bahas panjang lebar bahwa puisi rakyat antara lain ada yang berujud

parikan, tembang gedhe, tembang macapat, lagu dolanan, dan lagu-lagu lain yang belum jelas arahnya. Seluruh puisi rakyat tersebut memiliki fungsi dan

makna tertentu, yang unik bagi kehidupan masyarakat Jawa. Folklor-folklor

tersebut semakin kabur siapa pencipta dan kapan diciptakan. Puisi atau sajak rakyat merupakan bentuk ekspresi khusus. Dalam budaya

Jawa, puisi rakyat amat beragam. Puisi rakyat ada yang sederhana dan ada pula yang kompleks. Kompleksitas puisi tergantung muatan makna dan cam­ puran unsur bentukannya. Pada awalnya puisi hanya untuk menghibur (enter-

tainmenf), baik menghibur diri sendiri maupun orang lain. Namun perkembang­

an selanjutnya, puisi rakyat juga memiliki pesan lain. Dalam masyarakat Jawa, ada beraneka ragam puisi rakyat. Ragam puisi ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek bentuk dan pesan atau kegunaan.

Dari aspek bentuk (form) muncul tiga bentuk puisi rakyat, yaitu (1) puisi tembang yasan, puisi yang menerapkan aturan (metrum) baku, tidak berubah-ubah, biasanya menggunakan bahasa Jawa Kuno dan tradisional; (2) puisi tembang

para, puisi Jawa yang memiliki aturan, tetapi relatif longgar; (3) puisi Jawa bebas, puisi yang tidak memiliki aturan jelas, sehingga ada kebebasan krea­

tivitas. Puisi ini sering memasukkan unsur lama dan modern, bercampur aduk, menjadi manis. Umumnya puisi ini berawal dari tradisi tulis, baru dilisankan.

Karena itu, aspek folklornya relatif kecil. Hanya karya orang terkenal dan pen­ dahulu saja biasanya yang telah memfolklor, sampai dihafal oleh beberapa

kolektif.

Secara garis besar, tembang yasan terbagi menjadi lima macam, yakni

kekawin, kidung, tembang gedhe, tembang tengahan, dan macapat. Dari lima macam ini, yang muncul dalam bentuk folklor adalah tembang gedhe dan maca­ pat Tembang gedhe biasa digunakan sebagai bawa (mengawali) gendhing,

suluk dalang, dan mengawali lagu (tembang para). Tembang macapat yang relatif mirip tembang tengahan biasanya dimanfaatkan dalam aneka kepentingan.

Frekuensi pemunculan folklor yang paling banyak adalah tembang macapat.

Dari bentuk puisi rakyat di atas, yang paling populer adalah macapat.

Macapat tergolong puisi yang paling banyak digemari masyarakat Jawa. Ma­ capat merupakan tradisi yang amat fleksibel dalam penggunaannya. Dalam aneka aktivitas, macapat dapat masuk. Karenanya, memang bukan mustahil

jika bentuk puisi rakyat ini lebih memfolklor dibanding yang lain. Berbagai ragam

folklor Jawa yang lain sering memanfaatkan macapat sebagai wahana ekspresi.

Aktivitas seni rakyat seperti jathilan, kethoprak, wayang, langendriyan, atau langen mandrawanaran sering menggunakan macapat sebagai penghias pertunjukan.

Dalam perkembangan selanjutnya, macapat juga sering digunakan ber­

sama-sama dengan tembang gedhe. Hal ini untuk mempertajam kegunaan puisi rakyat di masyarakat dalam berbagai kepentingan. Tembang gedhe lebih banyak dikolaborasikan dengan gendhing-gendhing Jawa, khususnya untuk

bawa dan buka gendhing. Jarang sekali tembang gedhe yang berdiri sendiri sebagai seni vokal. Berbeda dengan macapat yang banyak memunculkan

tradisi-tradisi baca macapat di berbagai paguyuban.

B. Tembang Gedhe: Mengolah Suasana Kejawen Tembang gedhe tergolong folklor yang semakin langka. Di dalamnya banyak mengolah suasana kehidupan kejawen. Variasi hidup masa lalu mereka lontarkan lewat percikan tembang gedhe. Tembang tersebut hingga kini masih

menggema. Banyak anak-anak muda yang kurang begitu mengenal pupuhpupuh tembang gedhe. Yang sampai sekarang masih lestari adalah tembang gedhe yang banyak dilantunkan dalam suluk ki dalang. Hampir seluruh suluk

wayang kulit diambil dari tembang gedhe. Suluk tersebut kadang-kadang berubah, karena hanya disampaikan dari mulut ke mulut. Ada beberapa tembang gedhe yang hingga kini frekuensi pemanfaatannya

masih tinggi. Berbagai segmen kehidupan masih sering menggunakan tembang gedhe sebagai wahana estetika. Penggunaan tembang gedhe sebagai suluk

biasanya merupakan lukisan berbagai suasana, antara lain

Suasana sedih: Surem-surem diwangkara kingkin Lir manguswa kang layon, oooo denya Uang memanise wadananira layu kumel kucem rahnya maratani, oooo oooo marang sariranipun males dening ludira kawangwang gagana kang sumirat oooo 'tampak sedikit gelap ketika bulan dilanda asmara seperti tercium bau bangkai, oooo karena kehilangan wajah manis wajahnya gelap gulita pucat pasi penuh darah di sekujur tubuhnya ingin membalas darah namun ragu-ragu karena angkasa telah kemerah-merahan, oooo’

Suluk tersebut menggambarkan betapa sedihnya seorang prajurit ketika teman seperjuangannya ada yang gugur, padahal akan membalas dan strategi telah diatur. Akan membalas pada musuh, ternyata suasana alam telanjur lain,

yaitu matahari telah nampak kemerah-merahan. Kesedihan dilukiskan melalui wajah bulan yang gelap dan seperti mencium bau bangkai.

Suasana Takjub: Tebu Kasol

Anjrah ingkang puspita arum Katiyup ing samirana mrik Sekar gadhung kongas gandanya Maweh raras renaning driya 'berjatuhan bunga-bunga harum

terkena tiupan angin bunga gadung yang harum baunya

tampak menyenangkan hati’ Suluk tersebut, sebenarnya merupakan sebuah deskripsi biasa. Deskripsi

yang dirangkai menggunakan unsur alam, amat menakjubkan. Keistimewaan

suluk ini seperti memiliki kekuatan estetika alamiah. Alam seakan-akan menjadi pembentuk iklim dalam diri manusia. Alam membingkai suasana yang menyenangkan, penuh makna. Hal senada juga terdapat dalam suluk berikut.

Suasana Cakramanggilingan:

Suluk Plencung Sri tinon langening pamyat Busana maneka warna Renggang kencana retna bra Bandera layu kumitir Sinrang panderesing wiyat Mantyan kumlebeting dwaja Syuh brastha kayu kaprapal Puspita anjrah ing siti Ron sumawur katyup ing angin Kukila ambyar sumebar ‘tampak asri enak dipandang aneka busana yang dipakai disertai emas bersinar tampak bendera kematian bergerak-gerak terkena angin dari angkasa bendera selalu berkibar

pepohonan tampak patah bunga berjatuhan di tanah ,daun bertebaran tertiup angin burung terbang berhamburan’

Suluk tersebut melukiskan keadaan hutan yang menjadi titik sentral penting. Hutan adalah gambaran makrokosmos manusia. Hal itu sebenarnya merupakan gambaran suasana nyakramanggilingan, yakni perputaran waktu, yang semula suasana hidup menyenangkan tiba-tiba berubah menjadi tak

menyenangkan. Hal ini disebabkan perubahan musim dan datangnya “kema-

tian”. Saat itu ditandai munculnya gara-gara sehingga dedaunan berguguran

dan burung-burung berterbangan. Sebagai pertanda akan datangnya kegembi­ raan lagi, ketika ada suluk yang menjelang pagi hari, berbunyi: Sekar Wisarjita

Meh rahina semu bang hyang aruna

Kadi netra ning ogha rapuh (angga rapuh) Sabdani kokila ring kanigara saketer ni kidung ning akung Lwir wuwusing winipanca papetak ing ayam wana ring pagagan Mrah anguhuh bhra marangrabhasa kusuma ring parahasyan arum 'hampir fajar tampak merah matahari seperti mata yang sakit kemerah-merahan burung berkicau pada pohon kanigara bagaikan orang dilanda asmara bagaikan suara suling, ayam yang berkotek di pagagan burung merak seperti memanggil kumbang sedang hinggap di bunga seperti orang sedang asyik di kamar tidur terasa harum semerbak’

Pada saat seperti itu, pertunjukan wayang kulit hampir berakhir. Keadaan serba enak dan asri, karena matahari akan muncul, kicauan burung menghiasi suasana, dan sejumlah hewan lain mulai beraktivitas. Pada saat seperti ini,

manusia akan memulai pada hal-hal baru. Manusia akan dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang menantang.

Suasana Penuh Hikmah:

Bramarawilasita

Yahni yahning talaga kadi langit Mambang tang pas wulan upama nika Wintang tulyang kusuma ya sumawur Lumra pwekang sari kadi jalada ‘Air telaga bening seperti langit lebarnya Seekor bulus berenang, terapung seperti bulan badannya Bagaikan bintang-bintang bertaburan

Seperti bunga bertebaran Sari-sari bunga semerbak bagaikan mega’

Myat langening kalangyan, aglarpandam muncar Tinon lir kekonang, surem sorote tan padhang Kasor lan pajaring pumameng gegana Dhasaring mangsa ketiga, oooo Ima anaweng ing ujung ancala Asenen karya wigena, miwah srining wana Wreksagung tinunu, oooo 'pandangan tampak senang, sorot lampu terang tampak bagaikan seekor kunang, sinarnya tak begitu jelas

karena kalah oleh sinar bulan di angkasa

apalagi musim kemarau, oooo mega tampak kehitaman di pucuk gunung membuat hati suka serta menambah keindahan hutan

pohon besar pun tampak memantulkan sinar’ Ini gambaran suasana malam hari. Malam hari adalah waktu datangnya

wahyu. Wahyu adalah hikmah yang harus dipetik manusia. Pada saat seperti itu, ki dalang akan melukiskan gambaran angkasa yang mempesona.

Keindahan malam semakin menjadi-jadi. Seorang pendeta pada waktu yang tepat akan memberikan wangsit bagi satria. Satria harus berupaya memetik hikmah dari wangsit itu. Hal ini dapat dilihat pada hadirnya suluk berikut. Sangsaya da/u araras

Abyor lintang kumedhap Titi sonya madya ratri

Lumran gandaningpuspita, oooo... Karengwan pudyanira

Sang dwijawara mbrengengeng

Lir swaraning madubranta Oooo....

‘semakin larut malam tampak indah sinar bintang berkerlipan tampak sunyi di tengah malam

bunga harum baunya, oooo...

terdengar puji-pujian sang pendeta sedang memberi wejangan

seperti suara kumbang oooo....’ Dari gambaran di atas tampak bahwa puisi rakyat yang berbentuk tembang

gedhe sesungguhnya merupakan deskripsi suasana makrokosmos (jagad gedhe). Secara tak langsung, tembang gedhe kebetulan juga menjadi wahana

ekspresi jagad gedhe. Alam semesta menjadi tumpuan adanya perubahan diri manusia. Alam adalah ayat-ayat nyata yang harus dibaca. Melalui lantunan suluk kiranya akan mempermudah penikmat memahami alam semesta. Alam semesta adalah jagad makrokosmos yang tidak lepas dengan mikrokosmos.

C. Tembang Macapat Tembang adalah puisi rakyat yang khas. Bentuk dan aturan tembang amat ketat. Di antara jenis tembang yang paling populer dan merakyat adalah

tembang macapat. Tembang macapat tergolong paling digemari pendukungnya.

Sebagai karya sastra, memang ada macapat biasa dan macapat yang telah berbentuk folklor. Macapat yang telah menjadi folklor biasanya lebih populer.

Yang unik, ada sebagian tembang macapat karya pujangga, namun penye­ barannya secara lisan. Tembang tersebut biasanya hanya satu sampai dua

saja yang menjadi folklor. Karenanya, ada beberapa perubahan guru lagu di sana-sini, tergantung resepsi masing-masing pendukungnya. Melalui seni

pertunjukan.rakyat, seperti ketoprak dan kuda lumping, tembang macapat

seringkali berubah, karena pembelajarannya hanya turun-temurun. Mereka kurang memahami sumber yang jelas, akibat tradisi lisan yang terjadi dalam kehidupannya.

Sampai saat ini tradisi pelestarian macapat masih hidup di kalangan masyarakat Jawa. Masyarakat banyak menyelenggarakan kegiatan macapatan,

yaitu tradisi membaca tembang macapat. Tradisi ini disampaikan secara lisan

dalam sebuah forum kejawen. Macapatan adalah lantunan tembang macapat yang biasanya membaca teks-teks klasik. Karya-karya pujangga yang tertulis, banyak menyimpan makna ajaran moral, dilantunkan dalam macapatan. Ke­

giatan ini kadang-kadang lebih menekankan performance olah vokal. Yang dipentingkan adalah lantunan suara, sehingga muncul pula aneka cengkok

macapat. Menurut pengamatan saya, banyak ragam macapat yang secara lisan

telah berkembang sebagai dokumen zaman dan tempat tertentu. Coba saja

diperhatikan macapat pocung di bawah ini. Bapak pocung pasar mlathi kidul denggung Kricak lor negara Pasar gedhe loring loji Menggak ngetan kesasar neng gandamanan

'Bapak pocung pasar Mlati sebelah selatan Denggung Kricak sebelah utara negara Pasar Gedhe sebelah utara Loji Belok ke timur tersesat ke Gandamanan' Macapat ini tergolong dokumen zaman. Ini memiliki nilai historis dan lokatif.

Yang paling mampu memahami folklor ini adalah mereka yang tahu tentang kondisi tata letak kota Yogyakarta dan sekitarnya. Tampaknya, macapat ini sekadar cerita tentang tempat Kecamatan Mlati, Desa Denggung, Desa Kricak,

Pasar Gedhe, dan Gandamanan. Namun, sebenarnya ini merupakan gambaran

peta kehidupan pada masanya. Pada saat macapat di atas diciptakan, kiranya Yogyakarta masih sepi.

Kemungkinan besar kereta api dari Magelang ke Yogyakarta yang melewati wilayah tersebut masih beroperasi. Yang jelas, pencipta folklor ini ingin menga­ badikan tempat penting di Yogyakarta, terutama yang menjadi basis ekonomi.

Pencipta tembang ini juga tak jelas, siapa dan di mana domisilinya. Tembang

tersebut telah menjadi hafalan anak-anak SD di wilayah Yogyakarta.

jam pitu mangkat sekolah kaya ngene rasane wong dadi murid wira-wiri saben esuk angudi kapinteran durung uwis lamun durung antuk kursus kursus saking pamulangan iku tansah kula udi ‘jam tujuh berangkat ke sekolah begini rasanya jadi murid ke sana kemari setiap pagi mengejar kepandaian belum usai sebelum mendapat tanda lulus lulus dari pelajaran itu selalu diupayakan’

Tembang di atas sebenarnya merupakan ekspresi diri seorang murid pada

masa lalu. Perjalanan jauh mereka rasakan, berjalan kaki, dan tidak mengenal

lelah. Meskipun harus masuk jam tujuh pagi, dianggap biasa. Murid-murid

dahulu hanya kepandaian yang selalu dicita-citakan. Umumnya harus belajar terus sampai mendapatkan “kursus” (ijasah). Konteks lagu rakyat semacam ini sebagai pernyataan semangat zaman, yakni usaha menuntut ilmu sebaiknya

dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Ada lagi tembang macapat yang telah merakyat. Tembang ini juga anonim dan sering menjadi bahan petuah dalam kehidupan keluarga. Puisi rakyat ini

bermetrum pocung. Enthik-enthik patenana si panunggul gek dosane apa dosane ngungkul-ungkuli dhi aja dhi malati sedulur tuwa ‘jari-jari bunuhlah jari panunggul lalu dosanya apa

dosanya mengunggul-ungguli adikku janganlah saudara tua akan menyengsarakan’ Folklor ini sering diucapkan orangtua ketika memberikan petuah kepada

anaknya. Suatu keluarga besar yang terdiri dari lima orang anak biasanya diibaratkan jempol, telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking. Jari tengah sering digunakan untuk mengibaratkan anak yang selalu dimanjakan, melebihi saudara tua (panjangnya), karena itu adiknya akan membunuh. Namun de­

mikian, itu tidak dibenarkan, karena akan ada wa/af (kutuk), jika dilakukan.

Tegasnya lagi, tembang ini sebenarnya mengajari nilai-nilai kerukunan dalam keluarga. Keluarga adalah fondasi berdirinya apa saja. Jika manusia dapat

memulai dari keluarga sendiri secara rukun dan damai, mampu menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah, tentu hidupnya akan semakin

tenteram.

Selain itu, ada lagi tembang macapat yang banyak diorbitkan seorang sinden. Posisi seorang sinden memang rentan mengubah puisi rakyat. Hal ini dapat disaksikan pada puisi macapat berikut.

Semar iku pamonge satriya tuhu Trahing witaradya Tut wuri pan handayani Datan kewran salwiring kang saniskara ‘Semar itu menjadi pamomong satria sejati Keturunan seorang raja Berjiwa tut wuri handayani Selalu paham terhadap berbagai aral rintangan hidup’

Semar iku luwih yen kadulu Yen jalua Semar Jaja mungal lir pawestri Yen estria lurah Semar kekuncungan 'Semar itu amat sulit jika dipandang Andaikan Semar itu laki-laki Dada besar seperti wanita Jika wanita mengapa dia memakai kuncung’

Dua bait tembang yang mengisahkan Semar itu tak jelas siapa penciptanya. Keduanya biasa dilagukan sinden ketika gara-gara wayang kulit. Dengan

pelantunan kedua tembang itu, menandai apa dan siapa Semar dalam konteks

budaya Jawa. Ketidakjelasan siapa Semar menandai bahwa dia sebenarnya

simbol estetika tingkat tinggi, eskpresi hidup kejawen. Ada lagi tembangpocung

yang memuat tata krama berlatar dunia karawitan, yang tergolong puisi rakyat pula, siapa pengarangnya juga sulit diketahui.

Lamun nabuh aja dhemen nyambi udut Sebab mangro rasa Upayanen kang sawiji Lestarekna unggah-ungguh tata krama

Tembang itu mengisahkan tata krama menabuh gamelan. Secara gam­ blang, menabuh itu membutuhkan konsentrasi. Menabuh gamelan memerlukan

olah rasa. Lebih dari itu, ungkapan tembang itu juga memiliki inti filosofi, agar dalam menjalankan apa saja harus terfokus. Kata mangro, bagi orang Jawa,

dianggap tidak baik. Macapat lain yang sampai detik ini selalu menjadi primadona pembawa acara manten adalah:

Gegarane wong akrami Dudu bandha dudu rupa Amung ati pawitane Luput pisan kena pisan Yen gampang luwih gampang Yen angel angel kelangkung Tan kena tinambak arta

‘bekal orang akan menikah bukan harta benda dan wajah melainkan berbekal hati jika keliru sekali akan salah seterusnya sebaliknya kalau mudah akan enak seterusnya jika sulit akan sulit terus-menerus dan tak bisa diganti dengan harta* Tembang tersebut sering muncul dalam pesta perkawinan Jawa. Siapa

saja yang memberikan ular-ular (petuah) banyak memetik tembang tersebut. Satu persatu lalu mereka ekspresikan dan terangkan kepada hadirin. Inti tem­ bang itu menghendaki pernikahan di Jawa berdasarkan kejernihan hati, bukan

atas dasar harta dan wajah. Harta dan wajah dapat hilang seketika, sedangkan hati akan langgeng. Jika perjodohan hanya mengandalkan harta benda, akan berbahaya. Jika pernikahan telah terlaksana, tembang berikut menjadi pedo­ man hidup.

Pamintaku nimas sida asih Atut runtut tansah reruntungan Ing sarina lan wengine Datan ginggang sarambut Lamun adoh caket ing ati Yen caket tansah mulat sida asih tuhu pindha mimi lan mintuna ayo nimas bareng anetepi wajib sida asih bebrayan

‘dambaanku nimas menjadi belas kasihan selalu rukun selalu bersamaan dalam waktu siang dan malam tak boleh pisah serambut pun jika jauh harus dekat dalam hati jika dekat selalu melihat menjadi semakin belas kasih seperti ikan mimi dan mintuna mari bersama-sama menjalankan kewajiban hidup bersama penuh cinta’

Meskipun tembang tersebut sekilas tampak monopoli laki-laki, sebenarnya tak demikian. Tembang itu menghendaki agar perkawinan di Jawa benar-benar

sukses. Dengan berbekal hati tadi, diharapkan menumbuhkan rasa belas

kasihan, rasa kasih sayang yang bernuansa cinta. Dengan cara ini, hidup berkeluarga akan seperti ikan mimi dan mintuna di tepi laut yang selalu rukun.

Keduanya merupakan lambang kebersamaan dalam menjalankan kewajiban hidup.

Macapat juga ada yang memuat mantra tolak bala. Macapat mantra ini memiliki daya magis tertentu. Apalagi jika cara membaca pada waktu tertentu,

yang sakral dan khidmat. Lagu berikut bisa menciptakan suasana merinding. ana kidung rumeksa ing wengi bebaratan duk amrem winaca sanghyang Guru pangadege lumaku Sanghyang Bayu alambeyan asmara hening ngadeg pengawak teja kang angidung iku yen kinarya angawula myang lelungan Gusti gething dadi asih sato galak sumimpang

'ada kidung yang menjaga malam pada waktu dibaca tampak ada angin batara Guru yang berdiri tegak disertai Batara Bayu begalan dengan nuansa keheningan cinta berdirilah tubuh bersinar yang berkidung itu jika sebagai pengabdian dan bekal berpergian Gusti akan menjadi mengasihi hewan yang galak akan menyingkir’

ana kidung rumeksa ing wengi

teguh ayu luputa ing lara luputa ing bilahi kabeh

jim setan datan purun

paneluhan tan ana wani miwah panggawe ala

gunaning wong luput geni atemahan tirta

maling adoh tan wani perak mring mami tuju guna pan sirna

‘ada kidung yang menjaga malam keteguhan dan keselamatan bebas dari penyakit

bebas dari godaan apa saja

jin setan tak mau paneluhan tak ada yang berani

serta perbuatan jahat guna-guna dari orang yang salah

api pun akan menjadi air pencuri dari jauh pun tak berani mendekatiku

yang akan mengguna-guna akan mati' Dua bait tembang di atas sering dinamakan kidung jatimulya. Kidung

tersebut dapat dijadikan mantra penolak bala. Apalagi jika kidung tersebut diucapkan malam hari, seluruh perbuatan jelek akan ditolaknya. Ini berdasarkan asumsi bahwa hampir seluruh guna-guna dilayangkan pada malam hari.

Dengan membaca kidung tersebut, akan menjadi bekal penawar apa saja. Jangankan hewan yang galak, teluh dan guna-guna pun akan kembali dengan

sendirinya. Agar orang Jawa selamat dari laku sandi dom sumurup banyu (gunaguna dan kejahatan jin/setan), tak boleh tidur sore. Dalam tembang berikut

diketengahkan, untuk menolak bala harus disertai /aku.

Aja turu sore kaki Ana dewa nganglang jagad Nyangking bokor kiwa tengen Isine mantra tetulak Sandhang kalayan pangan Yaiku bageyanipun Wong melek sabar narima ‘jangan tidur sore hari anakku sebab sering ada dewa berputar dunia membawa bokor kanan kiri yang isinya doa tolak bala serta sandang dan makanan itulah jatah dari orang yang mau menjalankan sabar dan nrima’ sapa weruh kembang tepus kaki sasat weruh reke artadaya tunggal pancer sesantine

sapa wruh ing panuju sasat weruh pagere wesi rineksa wong sajagad kang angidung iku lamun dipun apalena kidung iku den tutugpadha sawengi adoh panggawe ala

'siapa yang mampu melihat bunga tepus anakku ibarat menyaksikan letak kekuatan harta benda satu arah keinginannya siapa yang mampu melihat itu ibarat berpagar besi

terjaga dari orang sedunia orang yang berkidung itu jika sampai hafal

sampai semalam suntuk akan jauh dari perbuatan jahat’ Yang menarik dari dua bait tembang di atas diyakini bahwa orang yang tidur terlalu sore tak akan mendapatkan keberuntungan, karena di malam he­

ning itu akan datang dewa yang membawa mantra penolak bala dan menyam­

paikan rezeki. Keduanya hanya dapat diterima orang yang sabar dan nrima.

Untuk itu diharapkan setiap malam cegah guling, banyak menjalankan wirid.

Orang yang mampu berbuat semacam itu, jika sampai mampu melihat hakikat bunga tepus, akan selamat. Bunga tepus adalah bunga yang istimewa. Tepus dari kata mantep angapus (mantap mengikat hati/niat). Jika malam itu orang manther panuwune, melakukan wirid, maka keinginannya akan tetap,

yaitu mendapatkan keselamatan. Orang demikian akan selamat, terjaga dari

gangguan dunia. Padahal, syaratnya hanya berkidung sepenuh hati. Dengan

berbekal bunga tepus itu, suasana akan menjadi seperti tembang di bawah ini.

singgah-singgah kala singgah pan suminggah durga kala sumingkir singa ala sing awulu sing suku sing ngasirah sing ategak lawan kala sing abuntut padha sira suminggaha muliha asal ireki 'menyingkirkan kejahatan agar tersingkir segala perbuatan jelek singa galak yang berbulu yang memiliki kaki dan kepala yang berdiri tegak dan berekor semua menyingkirlah pulanglah ke asalmu’ Tembang tolak bala terakhir ini biasanya digunakan ketika ada orang Jawa jagong bayen, namun digunakan pada apa saja juga boleh, yang penting

diterapkan secara khusyuk. Jika dilakukan dengan khusyuk, gangguan binatang buas pun akan tersingkir dengan sendirinya. Folklor ini muncul ketika keberada­ an tanah Jawa masih berupa hutan belantara, binatang buas pun masih sering berkeliaran ke rumah-rumah. Diharapkan, dengan tolak bala demikian semua binatang buas takut.

Tembang macapat yang mengisahkan kehidupan mistik juga ada, bahkan

persentasenya amat banyak. Hal ini menandai bahwa orang Jawa memang gemar hidup dalam suasana mistis.

urip iku neng donya tan lami upamane jebeng menyang pasar tan langgeng neng pasar wae tan wurung nuli mantuk mring wismane sangkane uni ing mengko aja samar

sangkan paranipun ing mengko padha weruha yen asale sangkan paran duk ing nguni aja nganti kesasar 'hidup di dunia tak akan lama ibaratnya jebeng hanya orang pergi ke pasar saja tak lama juga di pasar tak akan urung segera pulang ke rumahnya sendiri (asalnya) maka jangan sampai suram terhadap sangkan paraning dumadi nanti lihatlah dengan tajam bahwa asal sangkan paran dulu jangan sampai tersesat'

Tembang di atas merupakan gambaran perjalanan mistik orang Jawa. Ungkapan sugestif yang terangkum dalam tembang itu adalah konsep urip

mung mampir ngombe (hidup di dunia tak lama). Gambaran yang disampaikan

hanya seperti orang ke pasar saja, dan akan segera kembali ke asal (rumah) masing-masing. Ini menunjukkan hidup kita juga tak lama, meskipun relatif, tetapi hidup yang langgeng adalah di akhirat. Karena itu, hikmat mistik tentang

sangkan paraning dumadi (asal-usul) dan tujuan hidup harus dipegang teguh. Jika hidup tak paham akan hal ini, akan tersesat di dunia. Yang berbahaya

lagi, manusia akan mengalami peristiwa sebagaimana tertera dalam tembang berikut. kongsiha sasarjroning pati dadya tiwas uripe kesasar tanpa pencokan sukmane separan-paran nglangut kadya mega katut ing angin

wekasan dadi udan mulih marang banyu dadi bali marang wadhag ing wajibe suksma tan kena ing pati langgeng donya akherat ‘jika sampai tersesat dalam kematian berarti hidupnya juga tersesat sukma tak ada tempat hanya pergi ke mana-mana seperti mega yang terseret angin

akhirnya menjadi hujan kembali menjadi air kembali ke badan jasmani padahal kewajiban sukma itu tak boleh mati langgeng di dunia dan akhirat' Tampak jelas bagaimana orang yang hidupnya tersesat. Orang yang tak

paham asal-usul hidup akan menyengsarakan sukma. Sukma akan berjalan ke mana-mana, tak jelas arahnya. Bahkan, dia hanya seperti mega terseret

angin, menjadi hujan, dan kembali menjadi air. Hal ini mengibaratkan bahwa

sukma yang langgeng (tak bisa mati) itu akan selalu menderita di dunia. Karena itu, penguasaan ilmu sangkan paraning dumadi dalam hidup menjadi penting.

Untuk itu, di bawah ini diterakan paham sangkan paraning dumadi yang

lengkap.

Ana kidung akadang mar marti Among tuwuh ing kuwasanira Nganakaken saciptane Kakang kawah puniku

Ingkang rumeksa ing awak mami Anekakaken sedya

Pan kuwasanipun Adhi ari-ari ika Kang mayungi ing laku kuwasaneki

Anekakaken pengaruh 'ada kidung bagi saudara kita mar mati (muring)

melindungi makhluk kekuasaannya menciptakan keinginannya kakang kawah itu yang bertugas menjaga tubuhmu yang mendatangkan cita-cita adapun kekuasaan adhi ari-ari

yang melindungi tindakan kekuasaan kita yang mendatangkan pengaruh' Ponang getih ing rahina wengi

Angrowangi Allah kang kuwasa

Andadekaken karsane

Puser kuwasanipun Nguyu-uyu sembawa mami Nuruti ing panedha

Kuwasanireku

Jangkep kadang ingsun papat Kalimane pancer wus dadi sawiji Nunggal sawujuding wang ‘adapun darah itu siang dan malam membantu Tuhan Maha Kuasa untuk mencapai kehendak puser (placenta) kekuasaannya menjadi abdi kewibawaanku memberikan makanan kekuasaan dia itu lengkap saudaraku empat macam yang kelima telah manunggal menyatu dalam diriku'

Yeku kadang ingsun kang umijil Saking marga ina sareng samya Sadina awor enggone Sakawan kadang ingsun Ingkang ora mijil saking marga-ina punika Kumpule lan ingsun Dadya makdum sarpin sira Wewayangan ing dzat reke dadya kanthi Saparan datan pisah 'itulah saudaraku ketika lahir dari jalan hina bersamaan dalam waktu sehari jadi satu tempat empat saudaraku yang tidak lahir melalui jalan yang hina (kelamin) berkumpul dengan saya menjadi makdum sarpin dia sebagai bayangan zat yang selalu mengiringiku ke mana saja tak bisa pisah' Tiga bait tembang tersebut melukiskan asal-usul hidup manusia secara

mistis. Hidup manusia ditemani empat saudara (kadang papat), yang terdiri dari kakang kawah, darah, puser, dan adhi ari-ari. Keempat saudara itu keluar

dari guwa garba (pertapaan) dalam satu jalan (lubang hina) dan satu hari. Keempat saudara itu akan menjadi pamomong dan menjaga hidup kita di mana saja. Masing-masing saudara memiliki tugas yang berbeda-beda. Kawah

bertugas menumbuhkan keinginan dan melindungi tubuh manusia. Adhi ariari bertugas melindungi tindakan dan mendatangkan daya pengaruh pada diri

kita. Darah membantu kekuasaan Tuhan dalam mencapai kehendak. Adapun

puser bertugas menjaga kewibawaan. Keempat saudara itu menjajdi makdum sarpin, bayangan zat yang selalu mengiringi hidup manusia ke mana berada. Adapun saudara yang kelima dinamakan pancar, telah menyatu dalam diri

manusia. Pancar yang akan mengomando empat saudara tadi, membantu hidup manusia agar mencapai kesempurnaan.

D. Uran-Uran Lambang Praja Ada lagi sebuah pralambang yang diwujudkan dalam uran-uran (tembang).

Uran-uran ini merupakan lambang praja, terutama untuk membungkus pesan

yang dianggap sedikit rahasia. Agar mudah diingat pemiliknya, lambang praja banyak memanfaatkan unsur hewan dan tumbuhan di sekitarnya. Uran-uran termaksud sering disebut syair Semut Ireng.

semut ireng anak-anak sapi kebo bongkang nyabrang kali bengawan keyong gondhang jarak sungute timun wuku godhong wolu Surabaya geger kepati ana wong ngoyak macan den wadhahi bumbung alun-alun Kartasura gajah meta cinancang kayu sidaguri patine cineker ngayam Semut ireng lambang Dewi Sapudi, putri Wandan, istri Prabu Brawijaya,

berkulit hitam manis. Anak-anak sapi berarti Dewi Sapudi beranak Lembupeteng atau Bondankejawan. istilah lembupeteng dalam tradisi Jawa memang

berkonotasi kurang baik, yakni seorang wanita yang beranak namun tak jelas siapa ayahnya. Di era kerajaan, istilah ini memang amat populer, karena waktu

itu kekuasaan akan menjadi senjata untuk menguasai wanita. Lembupeteng tadi diambil menantu oleh Ki Gede Tarub, dinikahkan dengan

Dewi Nawangsih atau Rara Kasihan. Dalam kisah Babad Tanah Jawa, Jaka Tarub, sebelum menjadi sesepuh desa, menikah dengan bidadari bernama

Nawangwulan. Pernikahan itu dikaruniai anak bernama Nawangsih.

Kebo bongkang menggambarkan Kyai Kebokenanga dan Kebo Kanigara,

keduanya anak Prabu Brawijaya, yang tidak mau masuk agama Islam. Ke­

duanya lalu pergi hingga menyeberang sungai (nyabrang kali bengawan). Akhir­

nya Kyai Kebokenanga meninggal terbunuh oleh Sunan Kudus dan Kebo

Kanigara muksa di Gunung Merapi. Timun wuku godhong wolu melambangkan Panembahan Senapati ketika

menjadi raja, didukung delapan pinisepuh: Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Mertani, Ki Penjawi, Ki Jurukiting, Ki Buyut Wirasaba, Tumenggung Mayang, Pangeran Madhe Pandhan, dan Adipati Batang. Atas dukungan ini Raja

Mataram menjadi kokoh dan termashur di Nusantara. Surabaya geger kepati menggambarkan bedahnya keraton Surabaya.

Orang Surabaya bingung atau geger. Pada waktu itu yang menjadi raja bernama

Pangeran Ratu Agung dan yang menyerang Tumenggung Mangun Oneng dan Tumenggung Sepanjang. Dua orang ini utusan Raja Mataram. Berarti, Surabaya

kalah dengan Kerajaan Mataram.

Ana wong ngoyak macan den wadhahi bumbung, artinya Tumenggung Urawan (utusan Mangkurat dari Kartasura) menyerang musuh dengan mudah. Yang menjadi pimpinan perang adalah Pangeran Puger. Sedangkan kalimat

alun-alun Kartasura gajah meta cinancang kayu sidaguri patine cinekerngayam melukiskan peperangan di Kartasura. Waktu itu ada serangan dari Dirana (anak lurah bernama Buyut Dirada) dan ditangkap oleh Pangeran Pringgalaya (utusan

Kartasura). Setelah tertangkap, Dirana diikat di pohon beringin di tengah alunalun Kartasura, lalu dicocok jarum sampai meninggal. Itulah sebabnya

dinyatakan seperti dicakar ayam. Uran-uran lain yang telah populer di kalangan orang Jawa adalah bermetrum megatruh. Uran-uran ini sering dinamakan Sigra Milir.

Sigra milir sang gethek sinangga baju! Kawandasa kang njageni Ing ngarsa miwah pungkur Tanapi ing kanan kering Sang gethek lampahnya alon Orang Jawa akan menyebut tembang di atas Sigra Milir, karena ada kata demikian dalam syairnya. Tembang mijiltersebut memang masih problematis, artinya masuk folklor lisan atau bukan. Karena, ada yang berpendapat bahwa

di Babad Mataram dan Babad Demak telah tertera. Sebenarnya, model bolakbalik lisan-tulis dalam folklor adalah hal biasa. Karena itu, boleh saja menggo­

longkan tembang tersebut sebagai folklor lisan yang telah ditulis.

Tembang macapat di atas kemungkinan awalnya memang ditulis pujangga besar. Namun, orang Jawa hanya menghafalkan saja dan tak pernah mendapat

sumber tertulis. Kalaupun ada yang tertulis, belum tentu mereka bisa membaca

secara lancar. Karenanya, amat mungkin karya-karya yang sebenarnya ditulis dalam bentuk sastra babad tak dikenal lagi penulisnya. Penyebaran tembang pun hanya dari mulut ke mulut, sehingga ada beberapa suku kata yang bergantiganti.

Sigra milir sang gethek sinangga bajul melambangkan tokoh epik Jaka

Tingkir yang kelak menjadi Sultan Hadiwijaya. Ketika akan melamar menjadi prajurit, saat menyeberangi Kedhung Srengenge, dia naik kapal dari bambu (gethek). Perahu tersebut dalam perjalanannya dijaga 40 prajurit, baik di depan,

belakang, kanan, maupun kiri (kawandasa kang njageni, ing ngarsa miwah pungkur, tanapi ing kanan kering). Ini menunjukkan kesaktian Jaka Tingkir yang telah mengalahkan 40 prajurit, sehingga dia dianggap tamtama (prajurit)

sakti. Perahu itu berjalan dengan tenang (sang gethek tampahnya alon).

Pasemon di atas menggambarkan aneka keadaan kerajaan di tanah Jawa.

Pasemon demikian sering menjadi teka-teki yang tersiar ke seluruh penjuru

Jawa. Tujuan pasemon lebih ke arah pemberian dokumentasi zaman sekaligus sindiran. Eksistensi kerajaan yang dipandang kurang baik dibungkus melalui

estetika pasemon. Pasemon semacam itu ada yang menyebut lambang praja. Artinya, ungkapan yang melukiskan keadaan kerajaan dalam pemerintahan

tertentu. Pasemon seperti di atas merupakan bentuk folklor yang sekaligus

memberikan kritik sosial politik secara halus. Dalam dunia kekuasaan Jawa, biasanya ada kecenderungan kritik halus, bukan fulgar. Dengan wujud tembang, diharapkan, yang dikritik tidak marah. Sasaran kritik melalui folklor lisan

dipandang sering lebih mengena. Dalam konteks ini ada semacam estetika

parikena. Folklor semacam ini biasanya mudah tersebar, sebab terkait dengan orang besar sekaligus memuat nilai didaktis tingkat tinggi.

Bagian XI LAGU DOLANAN A. Lagu Dolanan Anak Lagu dolanan rakyat Jawa dinamakan juga nyanyian rakyat, biasanya berupa puisi sederhana. Lagunya pun tidak sulit. Karena itu banyak orang yang hafal dengan lagu rakyat. Lagu ini biasanya tidak hanya digemari anak-anak,

tetapi juga disukai remaja dan orang dewasa. Dominasi lagu dolanan memang

mewarnai kehidupan anak-anak, karena lagu tersebut amat fleksibel, tanpa harus menggunakan iringan, dan dapat dilagukan dalam suasana apa pun. Di Jawa, ada beberapa jenis nyanyian rakyat sederhana yang banyak

dilagukan untuk usia anak-anak. Kemungkinan sekadar menirukan bunyi-bunyi

peralatan musik. Mungkin pula berupa bunyi bel, bahkan sering hanya berupa siulan, yang menirukan nyanyian sesungguhnya. Yang diperlukan hanya seba­

gai hiburan, bukan maknanya. Itulah sebabnya, kadang-kadang nyanyian se­ macam ini sulit dimaknai, karena yang dibutuhkan adalah ngeng saja, contoh:

Plok Ame-Ame Keplok ame-ame belalang kupukupu Siang makan nasi kalo malam minum susu Kata keplok dalam nyanyian itu sebenarnya konteks Jawa. Keplok ame-

ame, kemungkinan besar, ajakan tepuk ramai-ramai. Ada kemungkinan ketika

beramai-ramai disertai mengejar belalang dan kupu-kupu. Ini tentu konteks di pedesaan yang masih banyak memiliki serangga tersebut. Yang dipentingkan adalah kata siang makan nasi sebagai kewajiban anak memperhatikan tubuh

dan malam minum susu. Minum susu sebenarnya konteks hidup modern.

Swvandi &*dMActwia,

Karena itu, lagu tersebut mungkin ada akulturasi antara tradisi dan modem.

Yang dipentingkan dalam lagu semacam itu adalah unsur vokal dan ge­ rakan ramai-ramai. Namun demikian, realitanya, lagu itu justru dinyanyikan orang

tua di Jawa untuk mengajar tepuk tangan. Pengenalan tepuk tangan ini sekali­ gus untuk melatih ingatan anak pada fenomena folklor yang dimilikinya. Orang

tua dan anak Jawa juga sering melagukan prototipe yang sekadar memenuhi

permainan bunyi saja. Lagu di bawah ini mungkin tak jelas maknanya. nemu dhuwit selawe ayo we wedang kopi ayo pi pipa ledheng ayo dheng dhengkul jaran ayo ran rande dhuwit ayo wit

witan kana ayo na nagasari ayo ri rina wengi ayo ngi ngidul ngetan ayo tan tandang gawe ayo we wedang asem ayo sem

semar mendem ayo dem demok kirik gudhigen ayo gen gendhing Jawi ayo wi witing tresna ayo na nata buku ayo ku kulon kali ayo li limang ewu ayo wu

wudel bodong ayo dong donga mandi ayo ndi

ndilat upil sak kepel ayo pel... Lagu demikian hanya sebuah permainan bunyi, tentu ada maknanya pula.

Namun, kalau harus dimaknai atau diterjemahkan menjadi kaku, karena yang

dipentingkan adalah ritmis. Permainan bunyi dipentingkan untuk membentuk kata yang berlanjut. Ini sebuah latihan bersajak, sehingga tiap akhir baris (bunyi) harus diikuti bunyi lain yang senada. Dalam kajian folklor biasanya bunyi de­

mikian dinamakan purwakanthi lumaksita (persamaan bunyi yang berjalan terus). Lagu itu juga tak akan ada habisnya jika diteruskan.

Tampaknya, di samping permainan olah bunyi, yang dibutuhkan lagu tadi juga ada unsur cemooh, bahkan sesekali ada unsur “jorok"nya. Jika kata kirik pada baris terakhir diganti dengan nama teman sebaya, tentu akan menjadi

ramai. Sajak berlanjut demikian sebenarnya cukup mengasyikkan andaikata

digunakan untuk menguji kemampuan mencari persamaan bunyi. Berbagai

kata dapat dikemukakan, asalkan memiliki persamaan ucapan sehingga membentuk bunyi yang indah dan sedap dirasakan. Perkembangan folksong selanjutnya memang semakin rumit. Lagu rakyat

di bawah ini telah berupaya menyampaikan makna tertentu, paling tidak ada unsur sindiran dan juga aspek kejujuran. Mari kita nikmati prototipe lagu yang sedikit bernuansa “jorok” ini. ndhang-dhang (bang-bang) tut cendhela ewa-ewa

sapa mentas (brani, brai) ngentut tak tumbak raja tuwa tuwa-tuwa kaji sing tuwa ra mbejaji

shkandhi bukak topi menyang kali ngiseni kendhi jeruk purut wadhah entut

thung-dhang thung-tut sapa ngendhang sapa ngentut nek ngentut ketiban jembut serakup kukup bol meyol-meyol, kacep konthol pung irung tadhah taher blegeneg tiba ambleg ser delewerjrot tai moncrot tiba cocot sang sing song jrot iwak kothot balung corot wek-ewek godhong senthe sing ngentut bosok silite

Lagu prototipe demikian tampaknya sekadar bermain-main bunyi. Namun,

di dalamnya ada kecenderungan untuk mengetes kejujuran, siapa orang yang sedang kentut. Kentut biasanya menimbulkan bunyi dan sekaligus bau busuk, sehingga kurang disukai banyak orang. Pemakaian baris tuwa-tuwa kaji sing tuwa ra mbejaji, tampak ingin menyindir generasi tua yang sekaligus religius

namun kurang becus.

Baris yang berbunyi shkandhi bukak topi menyang kali ngiseni kendhi

jeruk purut wadhah entut dapat ditafsirkan apa saja. Penafsiran tergantung

kepentingan. Dalam kaitannya dengan folklor anak, tentu susunan kata demikian dapat diarahkan pada yang akan mengambil air wudlu. Orang yang akan wudlu harus membuka kopiah (topi) agar muka bisa dibersihkan. Namun, bagi yang wudlunya tak bersih, akan seperti jeruk purut, sekadar wadah kentut, dan harus wudlu lagi karena batal.

Yang lebih seru lagi adalah kata-kata bait kedua, karena menyebut bagian

rambut kemaluan, yaitu jembut. Bahkan selanjutnya juga menyebut alat kelamin laki-laki, yaitu konthol. Kata-kata ini muncul sebagai ekspresi rasa kesal pada

orang yang dianggap kentut. Kekesalan muncul lebih kasar lagi, meskipun sedikit dipelesetkan. Yakni, kata sing ngentut bosok silite. Jadi, perbuatan kentut

dianggap tak sopan, yang berbunyi pung irung tadhah taher. Kata tafiermustinya tahi (tai). Munculnya kata-kata “jorok” memang sejalan dengan ciri folklor Jawa

yang polos dan kadang-kadang kurang senonoh. Begitu pula kata-kata jrot dan corot pada bait terakhir, tak lain sebagai

ungkapan rasa anyel. Kedua kata itu sekadar menuding pada perbuatan kentut,

dianggap tak sopan jika sampai berbunyi. Kata-kata ini memberikan ilustrasi pada bunyi kentut yang amat keras. Sedangkan wek-ewek godhong sethe sebagai sampiran, untuk memunculkan sing ngentut bosok ususe. Larik semacam ini juga

sebagai ungkapan tuduhan, siapa yang kentut sampai berbunyi ususnya akan membusuk. Kata busuk sebenarnya sekadar ingin mengamati siapa yang kentut

tak mau berterus terang dianggap jelek. Jadi lagu ini merupakan persemaian

kejujuran, meskipun kentut itu tak baik, bagi yang melakukan harus berterus terang agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sebab, biasanya, sesaat setelah kentut ada

orang lain yang membaui dan segera mencari personal yang kentut.

Prototipe lagu yang sekadar bermain-main bunyi muncul kembali dalam lagu Dhakon. Namun, lagu ini telah mengarah ke permainan Dhakon. Seluruh syair lagu antik yang semi erotik ini berbunyi:

Yo dha dadi dhakon (kon) Cacahe pitu (tu) Yo dha dadi dhakon (kon) Cacahe pitulikur (kur)

Kurma pak setra adol suket ket ketan ketane enak banget nget ngentut didudut bole katut

Lagu tersebut sering dipakai anak-anak untuk bermain dhakon. Dhakon adalah permainan Jawa yang menggunakan kerikil atau butir-butir apa saja.

Kerikil dalam jumlah tertentu diletakkan pada beberapa lubang, kemudian

dipindahkan satu demi satu ke lubang lain. Permainan dilakukan oleh dua orang. Dua orang harus berbeda warna kerikilnya. Permainan ini ada menang dan kalah. Yang menang akan memiliki sawah (tabungan) yang banyak.

Sambil bermain dhakon, pelaku bernyanyi untuk menghibur. Hanya saja,

lagu itu bernuansa erotik, khususnya jika dipelesetkan ke arah alat kelamin laki-laki (kata kon) dan kelamin perempuan (kata pitu). Suku kata kon dan

pitu, merupakan penyebutan alat kelamin. Karenanya, jika pemain dakon tadi memang berjiwa “jorok”, akan meneruskan suku kata berikutnya sesuai ke­ inginan. Nafas jorok juga muncul pada baris berikutnya, dengan kata bole katut. Padahal, kata ini sebenarnya untuk menyindir orang yang sering kentut

berbunyi agak keras. Orang yang kentutnya keras dianggap tidak sopan dan

bertentangan dengan etika Jawa.

B. Lagu Nina Bobok (Zw/ / «bt/ ) Lagu nina bobok biasanya digunakan orang tua yang ingin menidurkan

anak. Pelantun lagu bukanlah anak-anak, melainkan hanya ditujukan kepada anak. Apalagi kalau anak tadi dalam keadaan menangis, lagu ini amat cocok untuk menenangkan jiwa anak. Berikut ini lagu selengkapnya.

Lela Ledhung

Tak /e/a lela-lela ledhung Cup meneng aja pijernangis Yen nangis mundhak Uang ayune

Tak gadhang bisa urip mulya Dadiya wanita utama Ngluhurke asmane wong tuwa Dadiya pendhekaring bangsa

VWs cep menenga anakku Kae rembulan ndhadhari Kaya ndhas buta nggilani Lagi nggoleki carane Tak lela lela lela ledhung Enggal menenga ya cah ayu Tak emban slendhang bathik klawu yen nangis mundhak gawe bingung

‘Tak lela lela-lela ledhung diamlah oh anakku anak cantik kuemban selendang batik kelawu cuk diamlah jangan menangis terus jika menangis akan hilang cantikmu

kuharapkan kelak bisa hidup mulia jadi wanita utama meluhurkan nama orangtuamu jadi pendekar bangsa sudahlah cup diamlah anakku itu rembulan tampak muncul

seperti kepala raksasa menakutkan baru mencari siasat

Tak lela lela lela ledhung Diamlah ya cah ayu diamlah oh anakku anak cantik kuemban selendang batik kelawu jika menangis akan membuat bingung' Pencipta lirik lagu tersebut memang tampak ingin menyampaikan pesan

khusus. Dengan lagu itu, anak wanita yang digendong dengan selendang sambil didendarigkan lagu tak akan menangis. Tentu saja ini khusus bagi anak* anak yang sedang menangis (rewel), agar tak menangis terus. Tangisan anak

itu oleh orangtua ditakut-takuti, bahwa ada rembulan di angkasa seperti raksasa yang akan memangsa.

Lagu demikian memang cocok dinyanyikan pada malam hari. Dengan cara mengenalkan alam semesta, anak yang menangis bisa diam. Paling tidak,

mereka akan menyaksikan keindahan malam, sehingga lupa akan kesedihannya. Siasat itulah yang dinamakan nina bobok (lagu penidur). Logika

yang diberikan pencipta lagu, antara lain, orang yang menangis akan hilang (pudar) kecantikannya dan akan membuat bingung orangtua.

Perkembangan selanjutnya, lagu nina bobok tak hanya dinyanyikan secara natural untuk meninabobokkan anak. Suatu ketika lagu itu juga dipakai dalam

pentas ketoprak yang memuat adegan dagelan. Peragaan nina bobok dengan boneka juga sering terjadi dalam ketoprak. Begitu pula dalam tarian-tarian

Jawa, lagu demikian sering dikemas dalam tampilan memikat.

C. Lagu Dolanan: Hiburan dan Sindiran Lagu dolanan yang sekadar untuk entertainment juga bermakna hiburan.

Lagu dolanan rakyat ini lebih menekankan aspek hiburan. Biarpun demikian, ada kalanya lagu termaksud juga digunakan dalam berbagai event penting. Entah yang disebut lomba atau festival, sering menggunakan lagu dolanan

hiburan. Lagu dolanan hiburan biasanya kurang mengedepankan makna, meski tetap bermakna.

Ca Bawa

Ca Bawa ayo eling Milang-miling nggoleki sing lencir kuning

'Ca Bawa ayo ingat Ke sana kemari mencari yang tinggi semampai’

Lagu dolanan tersebut sekilas seperti hanya bermain-main. Namun, jika

direnungkan, sebenarnya memiliki makna yang dalam, yaitu menumbuhkan daya ingat. Ingat yang dimaksud tidak sekadar kepada sesama, melainkan

juga kepada Tuhan. Konsep /encir kuning menunjukkan orang tampaknya,

namun sebenarnya juga dapat dimaknai sebagai keagungan. Di bawah ini juga ada lagu yang sepintas hanya berkisah tentang air di sendang beserta keindahannya. Jika diresapi, lagu ini sebenarnya juga mengi­

sahkan agar seseorang ingat kepada Tuhan. Kecerdasan seorang pencipta, biarpun anonim, tetap mengarah pada sendi-sendi religiusitas.

Banyu Sendhang Adhuh enake banyune ing sendhang Adhuh apike banyune tak sawang Banyune bening nggo nyenyeneng ati Muga ra tali mring Gusti kang suci

'Aduh enaknya air sendang ini Aduh indahnya air itu kupandang Airnya jernih untuk menghibur hati Semoga tak lupa kepada Tuhan' Konsepsi air sendang sebenarnya sebagai ekspresi keagungan Tuhan.

Gemericik air sendang menjadi pertanda betapa besar keluhuran Tuhan. Ada pun kejernihan air identik dengan kesucian hati. Kejernihan hati akan menuntun

pada sikap eling kepada Tuhan. Pengenalan terhadap siapa Tuhan juga dikenalkan lewat lagu dolanan berikut. Lagu ini sebenarnya berkisah tentang

hewan-hewan di suatu tempat. Wingi Dolan Nyang Endi

Wingi dolan nyang ndi mas Neng Gembira Loka

Tontonane apa

Apa-apa ana

Untane ana gajahe ana Munyukmunyuk ana Kabeh kewan apa-apa ana

'Kemarin bermain ke mana Ke Gembira Loka Apa yang ditonton Apa-apa ada, gajah, unta, dan monyet Serta semua hewan pun ada'

Terong

Terong bunder-bunder Bocah snegep mundhak pinter Teronge ijcfajo

Bocah bodho kaya kebo 'Terongnya bulat-bulat Anak rajin jadi pandai Terongnya hijau-hijau Anak bodoh seperti kerbau’ Lagu tersebut, selain mengenalkan hewan, yaitu kerbau, sebagai metafor orang bodoh, juga mengenalkan sayuran. Yang dipentingkan dalam sebuah

lagu rakyat sebenarnya isinya, bukan sekadar sampiran. Lagu rakyat dapat pula berisi sindiran, di samping ajaran kritis tentang budi pekerti. Biasanya lagu rakyat memuat tata krama orang Jawa.

Politik kadang juga memberi warna dalam penciptaan lagu rakyat. Sebagai refleksi zaman, lagu rakyat kadang-kadang digarap sesuai dengan kebutuhan

masyarakatnya. Sekitar tahun 1971, saat gencar-gencarnya masa kam-panye, masa adu kekuatan antarpartai dan golongan, kita sering mendengar yel-yel

yang khas, seperti:

Pring tumpuk-tumpuk Bumbung wadhah legen Cilik diipuk-ipuk Nek wis gedhe dadi manten Untuk era sekarang, mungkin lagu demikian sering diubah, disesuaikan

dengan kepentingan yang ikut kampanye. Lagu tersebut amat luwes, sehingga dapat diubah apa saja. Yang jelas, sindiran itu untuk menaklukkan lawan politik. Yel-yel tersebut ternyata mendapat tempat di hati orang-orang yang berjubel di sepanjang tepi jalan yang menonton iring-iringan pawai kampanye, sehingga

para penonton pun secara serta-merta meneriakkan yel-yel tersebut. Bahkan,

di era teroris, kata manten menjadi sensitif, karena diidentikkan bagi orang

yang rela bunuh diri menggunakan bom. Mengapa yel-yel semacam itu mudah sekali menyebar dan populer di kalangan masyarakat? Salah satu penyebabnya

ialah yel tersebut dipungut dari nyanyian atau puisi rakyat, nyanyian yang sudah

menjadi milik rakyat banyak, nyanyian yang sudah mendarah-daging dalam

kehidupan rakyat, yang diwarisi secara turun-menurun dari generasi ke generasi sejak nenek moyang mereka. Nyanyian rakyat yang dijiplak menjadi yel tersebut

aslinya berbunyi sebagai berikut. Pring tumpuk-tumpuk Bumbung wadhah legen prawan ginuk-ginuk Nek sore dienggo kendhuren (Overbeck, 1938: 224)

Informasi yang terkandung di dalam bait yel tersebut jelas berupa keman­

tapan tekad untuk mengagungkan kejayaan dan keunggulan par-tainya. Sedang informasi yang terkandung di dalam nyanyian rakyat yang dijiplak itu ialah sindiran terhadap gadis-gadis yang bentuk tubuh nya gendut. Pada masa

pertumbuhan bait nyanyian rakyat Pring tumpuk-tumpuk itu kecantikan yang ideal bagi seorang gadis terletak pada kelangsingan, bukan kegendutannya.

Hal ini berbeda dengan ukuran kecantikan gadis pada kehidupan budaya ma­

syarakat Afrika Tengah, di mana kecantikan wanita dinilai berdasarkan ke­ gemukannya, makin gemuk tubuhnya, makin cantiklah dia. Dalam kehidupan

budaya masyarakat tersebut, para gadis yang masih dalam masa puber kadangkadang sampai bertahun-tahun dilokalisasikan di tempat tertentu. Khusus untuk para gadis di sana, mereka itu diberi makanan yang banyak

mengandung gula dan lemak. Selama dalam pengasingan mereka hampir tidak boleh bergerak terlampau banyak, seluruh tubuhnya digosok-gosok dengan

minyak agar licin. Pada akhir masa pengasingan, diselenggarakanlah kontes

kecantikan, disusul dengan masa perkawinan antara seorang gadis dengan jejaka yang memilih dia karena kegemukan tubuhnya. Kecuali mengandung sindiran terhadap bentuk tubuh yang tidak ideal

bagi zaman dan norma masyarakatnya, nyanyian rakyat Pring tumpuk-tumpuk

itu juga berisi bimbingan atau penyuluhan agar para gadis merawat tubuhnya. Jangan membiarkan diri menjadi terlampau gemuk hingga menjadi bahan atau sasaran sindiran, agar nek sore ora dienggo kendhuren. Pada akhir-akhir ini

penyuluhan sejenis itu dapat diambil alih oleh kelompok PKK dan sebagainya.

Bait nyanyian puisi rakyat yang lain, yang isinya mirip dengan nyanyian

Pring tumpuk-tumpuk, yang juga dijiplak menjadi yel-yel, ber-bunyi:

Pring reketeg gunung gamping gempal, Susu mentheg-mentheg bokong gedhe ngajak royal Lagu rakyat memang rentan perubahan. Apalagi lagu tersebut semakin kabur penciptanya, hingga orang lain dapat menambah atau mengurangi

sepuasnya. Perubahan lagu rakyat saya pandang sebagai sebuah kreativitas

yang kontekstualistik. Dari nyanyian (puisi) rakyat tersebut lalu terbentuk menjadi yel yang berbunyi: Pring reketeg gunung gamping gempal, Dhasar ati mantep dadi marhen menang

Ada lagi bait nyanyian (puisi) rakyat yang isinya juga mengandung infor­ masi tentang penilaian bentuk tubuh para gadis. Hal ini sekaligus sebagai

sindiran terhadap seorang gadis. Idealisme seorang pria sebagai pencipta folklor kadang-kadang amat tajam, maka akan muncul berbagai folklor sindiran terhadap wanita, terutama tentang kekurangserasian bentuk anatomi. Ris-irisan pandhan, dherandhan andhendhempo, manggleng Kidul kono ana jago wareng Sega golong lawuhe sambel goreng Bokong methok susune bunder gepeng (Overbeck, 1938: 174) Kecuali yang mengandung informasi tentang penilaian atau sindiran terha­

dap bentuk anatomi tubuh gadis, nyanyian (puisi) rakyat tersebut juga memuat ajaran tentang nilai etika, isinya mengecam sikap yang tercela menurut tata

kesopanan umum. Sampai saat ini lagu rakyat masih sering dipakai oleh siapa

saja, bahkan seorang dalang, pelawak, dan aneka aktivitas budaya meman­

faatkan lagu rakyat. Dengan demikian, lagu rakyat semakin populer dan mudah diingat pendukungnya.

Bagian XII FOLKLOR NON-LISAN A. Makanan Rakyat Makanan rakyat tergolong folklor bukan lisan. Seluruh bentuk makanan

rakyat, meskipun ada aspek asal-usulnya, bentuknya tetap bukan lisan. Makanan tradisional Jawa termasuk di dalamnya. Karena, tak jelas siapa pencipta resep-resep makanan rakyat tersebut. Masyarakat Jawa dengan

sendirinya telah memiliki makanan rakyat secara kolektif. Aneka ragam makanan rakyat Jawa memang sering sama dengan

makanan di tempat (geografi) lain. Namun, hal ini tidak berarti bahwa ada

peniruan satu sama lain. Persamaan jenis makanan rakyat di wilayah tertentu adalah sebuah kebetulan. Sebagai makanan rakyat, memiliki ciri khusus, yaitu

telah dikonsumsi pemiliknya bertahun-tahun secara turun-temurun. Ditinjau dari aspek budaya, makanan rakyat memang memiliki kekhasan.

Tidak hanya bentuk, nama, dan warna-wami makanan, melainkan juga dari konsep pemanfaatannya. Memang harus diakui, seluruh makanan rakyat Jawa ada yang telah dikemas secara modern, bahkan tak jarang sudah dijual di

beberapa mall dan supermarket. Hal ini menunjukkan bahwa makanan rakyat memang memiliki nilai jual yang cukup menjanjikan.

Menurut Levi-Strauss (1964), dalam buku Mythologigue, ada tiga jenis' makanan rakyat, yaitu ditinjau dari proses pemasakan, peragian, dan makanan mentah. Ada lagi makanan yang diproses melalui perendaman, seperti telur

asin. Atas dasar ini sebenarnya tidak sedikit jenis makanan rakyat Jawa yang sampai detik ini masih dikonsumsi pemiliknya. Rata-rata berbagai jenis

makanan itu menyimpan budaya paling tinggi, yaitu makanan yang melalui proses pengolahan.

Dalam kaitannya dengan budaya, makanan rakyat dapat dilihat dari dua segi, yaitu aspek makna dan fungsi. Aspek makna amat beragam, tergantung

namanya. Biasanya, penamaan makanan tradisional amat fenomenal dan

topografis. Makanan-makanan itu diberi nama secara khas dan kadang-kadang

ada yang bernuansa "jorok". Namun demikian, sesungguhnya penamaan ma­ kanan itu sekadar memberi ciri dan daya pengingat bagi pemiliknya.

Aspek makna makanan tradisional Jawa dapat dikelompokkan menurut

ragamnya. Misalkan, ada makanan rakyat yang berupa makanan nyamikan (makanan ringan). Makanan semacam ini tergolong sederhana, tetapi tetap

menarik. Contoh makanan yang bernuansa "jorok” adalah turukbentul, konthol kejepit, dan awug-awug. Nama-nama makanan semacam ini maknanya dapat dilihat dari aspek bentuk. Berarti, ada keterkaitan antara penamaan makanan

dengan bentuk makanan dan bentuk asli benda yang ditiru. Makanan rakyat juga ada yang merepresentasikan tempat. Geografi ter­

tentu akan terangkat oleh nama makanan yang diproduksi. Yang termasuk di dalamnya, antara lain, makanan berat atau sering disebut lauk, misalkan gudeg.

Makanan yang terbuat dari bahan baku buah nangka ini lebih dikenal di Yog­ yakarta hingga menyebabkan kota Yogyakarta juga disebut Kota Gudeg. Di

Bantul juga dikenal makanan rakyat yang disebut geplak, sehingga menye­ babkan Bantul dinamakan Kota Geplak. Kulon Progo dikenal dengan makanan

growol, sehingga dikenal dengan Kota Growol. Gunung Kidul dikenal sebagai

produksi tiwul, yang berasal dari gaplek, maka dinamakan Kota Gaplek. Banyumas banyak memproduksi kripik tempe, sehingga dikenal sebagai Kota

Kripik. Purworejo banyak memproduksi lanthing, sehingga dikenal sebagai Kota Lanthing. Sukaraja dikenal sebagai pembuat gethuk, sehingga dikenal

sebagai Kota Gethuk. Ditinjau dari aspek fungsi, makanan rakyat memiliki aneka kegunaan,

antara lain: (1) sebagai ikatan sosial: makanan yang disuguhkan kepada orang lain, baik

tamu biasa maupun dalam perhelatan. Hal ini didorong filosofi kehidupan

orang Jawa yang mengedepankan prinsip wanuh (kenal), gambuh (paham), rengkuh (mengaku saudara), gupuh (menyegerakan untuk tamu), lungguh (mempersilakan duduk), dan suguh (menyajikan makanan). Konsep ini sering menghendaki penataan makanan tradisional secara khas. Ada di antara makanan tradisi yang disajikan dengan berbagai model agar menarik

tamu.

(b) sebagai fungsi ritual: makanan yang banyak digunakan dalam tradisi ter­

tentu. Makanan rakyat ini cenderung mewujudkan sebuah rangkaian ma­ kanan yang terstruktur rapi. Di dalamnya juga memiliki makna simbolik

yang terkait dengan Ketuhanan, contoh: tumpeng, ingkung, ambeng, golong, kupat, lepet, Jajan pasar, jenang baro-baro, dan sebagainya.

Aneka ragam makanan rakyat Jawa lain yang masih perlu mendapat per­ hatian cukup banyak. Di antaranya yang termasuk makanan kue, yaitu nagasari,

semar mendem, klepon, cucur, sagon, timus, wajik, lemper, randha royal, gebleg, dan sebagainya. Ada pula makanan rakyat yang langsung dapat disajikan,

tanpa pengolahan njlimet, misalkan: gedhang godhog, tela godhog, kacang godhog, dan segala makanan yang digoreng. Semua jenis makanan itu amat

menarik dikaji dari aspek budaya. Ada lagi makanan di Jawa yang memang terkait dengan berbagai ritual. Makanan yang disebut bubur sungsum sering digunakan untuk ritual manten.

Bubur sungsum juga disebut jenang sungsum. Makanan ini biasanya dimasak saat pembubaran panitia manten. Pembubaran panitia dibersamakan dengan

sepasaran manten. Pada saat itu tuan rumah memasak jenang sungsum, yang terbuat dari bahan pokok beras yang ditumbuk halus, diberi santan, dan gula

Jawa. Makanan ini mengandung makna agar panitia yang telah lelah bekerja menjadi pulih kembali tenaganya. Panitia diharapkan menjadi kuat lagi tulang

dan ototnya, sehingga disimbolkan dalam bentuk sungsum.

Di Jawa, ada makanan khas yang dinamakan gudeg. Gudeg Yogya, misalnya, tergolong makanan rakyat yang tersohor hingga mancanegara. Bahan pokok gudeg adalah nangka, gula Jawa, dan santan. Campuran gudeg

yang paling utama adalah areh, daun ketela pohon, ayam, telur, manggar, dan tahu. Di pasar-pasar Yogyakarta hampir selalu dijajakan gudeg. Yang lebih

menarik lagi, kemasan gudeg sekarang semakin dibuat lebih khusus. Ada

gudeg yang dimasukkan dalam periuk kecil (kendhil), lalu dinamakan gudheg kendhil. Makanan gudeg termasuk jenis lauk pauk, yang cocok untuk segala

umur dan tingkatan sosial. Adapun nasi yang khas Jawa adalah nasi rames. Nasi rames adalah sajian

yang lauk pauknya lengkap, bermacam-macam warna. Nasi rames dilengkapi dengan aneka sayuran khas Jawa, yaitu gudhangan, sayur asem-asem, sayur brongkos, sayur bobor, sayur brambang salam, sayur lodeh, tahu guling, dan

trancam. Aneka sayur ini memiliki rasa tersendiri, yang tidak sama satu sama

lain. Penamaan sayur ini juga didasarkan atas nama bahan-bahan pokok.

Dari sekian banyak jenis makanan tradisional di atas dapat diketahui bahwa

makanan tradisional orang Jawa memang beragam. Makanan tradisional tersebut ada yang tergolong nyamikan, makanan besar (berat) yang membuat

kenyang, dan makanan yang berupa sayur dan lauk. Aneka golongan makanan ini seringkali disajikan dalam sebuah event, terutama makanan yang berhu­

bungan dengan ritual. Pemakaian makanan tradisional dalam berbagai acara

tampak disesuaikan dengan kondisi masing-masing pemiliknya.

B. Rumah Rumah dalam bahasa Jawa disebut omah. Kata ini memiliki implikasi folk-

loristik yang bermacam-macam. Implikasi tersebut berkaitan dengan ihwal: (1) rumah sebagai dalem. Dalem berarti juga aku, milik. Rumah artinya milikku

dan tempatku berteduh; (2) omah-omah, artinya orang yang telah menikah biasanya akan mentas (hidup mandiri), dalam arti memiliki rumah sendiri; (3)

semah, dari kata s/(isi) omah yaitu istri. Istri menjadi penghias isi rumah. Karena itu, orang Jawa selalu mendambakan semah (bojo) yang menjadi penghias

rumah. Rumah Jawa tergolong folklor bukan lisan. Rumah merupakan bentuk folklor material yang dapat dilihat. Bentuk rumah Jawa melukiskan susunan

tubuh manusia, di dalamnya ada bagian: kepala (memolo, brunjung, wuwung),

leher (ander, ganja), bahu kanan kiri (blandar, pengeret), dada (dhadhag wesi),

kelamin (kolong-sindik), kaki (tiang, saka guru, saka rawa)—tiang rumah yang di tengah biasanya 4 dan pinggir 4, sehingga berjumlah 8, lambang asthabrata

(kisma, tirta, samudra, samirana, candra, surya, dahana, kartika), dan sepatu/ selop (umpak). Seluruh rumah juga memiliki baju sebagaimana penutup tubuh

manusia, yakni ada pintu, jendela, genting, tutup keyong, dan lain-lain. Aspek-aspek folklor rumah Jawa tidak hanya ditunjukkan melalui arsitektur

yang khas, melainkan juga dari aspek di balik pendirian rumah Jawa. Pendirian rumah Jawa biasanya tidak asal-asalan dalam memilih hari, tempat, dan arah

rumah didirikan. Seluruh hal ini tadi biasanya diwujudkan dalam petung (per­ hitungan) mendirikan rumah.

Rumah dalam bahasa Jawa disebut omah. Implikasi dari kata omah amat kultural. Artinya, jika orang Jawa hendak menikahkan anaknya, sering dinama­

kan ngomah-omahake. Artinya, pernikahan sebagai proses awal anak akan menempati “rumah baru”. Ini menunjukkan bahwa rumah memang kebutuhan

pokok bagi orang Jawa, hingga orang Jawa sering beranggapan bahwa hidup dipandang lengkap apabila telah memiliki wan/fa, wisma (rumah), turangga

(kuda), dan kukila (burung). Hal ini berarti rumah merupakan perlengkapan

penting dalam membentuk jati diri orang Jawa. Kunci pokok dari petung pendirian rumah agar enak ditempati, nyaman dihuni, dan mendapatkan keselamatan. Atas dasar ini, tak jarang, masyarakat

Jawa memitoskan arah pendirian rumah. Misalkan, sebagian besar orang Jawa

ingin mendirikan rumah menghadap ke selatan. Hal ini dimaksudkan untuk menghadap Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan. Umumnya orang

Jawa meyakini, jika mendirikan rumah membelakangi Laut Selatan atau meng­ hadap ke utara, kemungkinan besar rumah itu kurang enak dihuni. Bentuk rumah Jawa bermacam-macam, yaitu kampung, limasan, joglo, tajug, panggang pe, dan gedhang selirang. Bangunan rumah Jawa semacam ini berkembang dari waktu ke waktu, seiring perkembangan pola pikir orang

Jawa. Pada awalnya rumah Jawa memang amat sederhana, baru ke bentuk

kompleks. Namun, ada asumsi bahwa rumah kampung dianggap yang paling

tua. Karenanya jarang orang Jawa yang berani merehab rumah kampung ke bentuk lain. Hal ini dipercaya akan mendatangkan musibah karena mengubah

rumah yang paling tua. Rumah kampung pun bermacam-macam, antara lain kampung pacul gowang, kampung srotongan, kampung teploksemartinandhu, kampung cere ganjet, kampung semar pinondhong, dan lain-lain. Penamaan

jenis rumah kampung ini juga berdasarkan konteks pengamatan benda-benda lain di sekitar pemiliknya.

Perkembangan selanjutnya, rumah juga dijadikan lambang status sosial.

Umumnya, orang Jawa amat bangga dan merasa harga dirinya tinggi apabila

memiliki jenis rumah joglo. Rumah joglo dianggap paling kompleks dan paling

luas. Bentuk arsitekturnya pun lebih rumit dan unik, sehingga dianggap sebagai lambang status sosial tinggi.

Pada dasarnya konstruksi bangunan rumah Jawa selalu memperhatikan keblat papat lima pancer. Keblat papat ditunjukkan dengan konstruksi tiang

empat yang disebut saka guru, sedangkan tiang lain dinamakan saka rawa

(tiang kecil) dan saka emper (tiang pinggir). Di tengah saka guru dinamakan pancer. Biasanya di titik pancer itu sering dibuat lubang sedalam satu meter

atau lebih untuk menanam sesaji. Bahan sesaji yang paling utama adalah kelapa hijau, yang kelak tumbuh menjadi cikal (benih) kelapa, bila ditanam

akan mendapat banyak rezeki.

Dalam kehidupan orang Jawa, ada beberapa ragam tanah pekarangan

yang baik untuk mendirikan rumah. Pekarangan tersebut berujud: gasik (tidak

banyak air menggenang di sekitarnya), mangku dalan (tanah di dekat jalan

besar atau kecil sehingga memudahkan keluar rumah), lempar (tidak berbukitbukit, melainkan lebar), ayem (tanah yang tidak tandus, biasanya enak dan teduh jika didirikan rumah).

Jika dipandang dari jenis-jenis tanahnya, ada bermacam-macam pula yang

akan berpengaruh terhadap penghuni rumah, yakni (1) sitimanikmaya: tanah halaman miring ke selatan, penghuninya akan hidup

bahagia. (2) siti dhandhang kekalangan: tanah pekarangan yang menjadi bekas kuburan

dan masih dikelilingi kuburan. Jika dihuni tidak akan ada kedamaian, banyak

menderita penyakit, ketakutan, dan sering berhubungan dengan polisi (3) siti werit: tanah yang sakral, angker, dan gawat. Penyebab terjadinya tanah

werit kemungkinan besar bekas orang menggantung diri, ada tabrakan

maut di dekatnya, dan ada hal-hal lain yang tidak wajar. Tanah ini jika dihuni akan menyebabkan penghuninya tidak nyaman. Hidup mereka akan

selalu diganggu makhluk gaib. (4) siti sunduk sate: tanah tepat di pertigaan jalan. Jika tanah ini dihuni, bia­

sanya kurang enak. Penghuni akan mudah sakit-sakitan.

Atas dasar jenis-jenis tanah tersebut, orang Jawa yang hendak mendirikan

rumah masih sangat mempertimbangkan sing mbaureksa sebelum mendirikan

rumah agar kelak hidupnya selamat. Dalam kajian folklor, rumah Jawa termasuk folklor bukan lisan atau folklor

material. Tata ruang rumah Jawa amat menarik jika ditinjau dari aspek kosmologi dan fungsi sosialnya. Betapa pun sederhana rumah Jawa tergolong hasil budaya adiluhung. Arsitektur rumah menurut Rappaport (1985: 15) adalah pencerminan sistem budaya, yaitu perancangan bangunan. Karya arsitektur

tidak sekadar memuat keindahan, melainkan memuat sistem budaya masyarakat pemiliknya.

Masyarakat Jawa biasanya membuat rumah dalam posisi yang unik, menarik. Letak gandhok, sumur, dapur, lumbung, dan kandang selalu berada di sebelah wetan (timur). Kata wetan atau witan (wiwitan) adalah awal yang

menjadi sumber rezeki. Pendapa dan pringgitan biasanya digunakan untuk pertunjukan wayang atau seni lain. Pendapa dibuat lebih lebar dan agak naik

sedikit dibanding lantai yang lain. Di tempat ini pula hajatan apa saja sering

dilangsungkan. Di depan rumah sering diberi teras kecil yang dinamakan kuncung. Kuncung adalah tempat untuk beristirahat dan melihat pemandangan

alam sekitar. Bagian-bagian rumah yang pokok adalah senthong kiwa, senthongtengen,

longkangan, pedaringanipatilaman, pawon, dan pakiwan. Senthong kiwa biasanya untuk menyimpan bahan makanan dan senthong tengen untuk

menyimpan senjata dan alat-alat pertanian. Di senthong tengah biasanya diletakkan patung loro blonyo sebagai simbol Dewi Sri dan Sadana, seorang

dewa rezeki. Namun, pembagian ruangan ini sekarang telah berubah bentuknya, karena pengaruh arsitektur mancanegara. Berdirinya perumahan

berbagai tipe seringkali telah menghilangkan model Jawa asli. Namun, di desa-

desa Jawa masih cukup banyak yang menggunakan ruang-ruang rumah tradisi.

C. Busana Rakyat Busana (pakaian) dalam masyarakat Jawa dinamakan ageman. Ageman

dari kata agem (mengenakan atau memakai). Ageman berarti hal ihwal yang dikenakan pada badan. Busana tidak sekadar penutup aurat, namun juga

melambangkan status sosial. Yang menarik dalam kajian folklor adalah masalah

motif busana. Motif adalah corak atau ragam batik. Motif akan melukiskan aneka ragam makna pula. Dan, setiap motif akan dipakai dalam suasana yang

berbeda. Pada dasarnya orang Jawa mengenal busana dalam kaitannya dengan permainan warna. Warna akan mempengaruhi makna. Warna akan terkait dengan empan papan atau etika Jawa. Itulah sebabnya berbusana dalam

kehidupan orang Jawa terbingkai oleh situasi dan kondisi. Orang Jawa selalu berprinsip ajining raga ana ing busana, artinya badan manusia akan berubah

setelah mengenakan pakaian yang sesuai. Pakaian boleh dikatakan akan meningkatkan derajat seseorang. Jika seseorang berpakaian rapi dan sesuai

empan papan akan dihargai orang lain. Sebaliknya, apabila seseorang

berpakaian tak memperhatikan situasi dan kondisi, akan dicemooh orang lain.

Segmen kehidupan akan menentukan corak pakaian. Orang desa akan berbeda dalam mengenakan pakaian dibanding orang kota. Berarti pakaian akan menjadi identitas seseorang. Pakaian dapat meningkatkan penghargaan

dirinya dan atau sebaliknya, merendahkan dirinya. Jika ada petani akan ke

sawah memakai dasi, tentu akan dicemooh orang lain. Petani laki-laki yang

akan ke sawah cukup mengenakan kaos oblong, celana kolor, dan caping. Pada saat akan jagong (kondangan), orang Jawa memakai pakaian kejawen

lengkap. Namun perkembangan selanjutnya, istilah lengkap ini semakin lentur. Yang penting sopan dan tak meninggalkan identitas Jawa, dianggap bagus.

Asalkan wanita telah mengenakan jarit, selendang, dan kebaya cukup untuk acara sumbang-menyumbang jika ada orang ewuh (mempunyai hajat). Lakilaki juga cukup surjan, beskap, jarit, dan blangkon, tanpa keris dianggap cukup.

Busana akan membentuk sebuah tradisi dan sebaliknya. Setiap tradisi akan memiliki ragam pakaian yang berbeda-beda. Pada saat orang Jawa me­ layat, secara otomatis akan mengenakan pakaian berwarna hitam, sebagai

gambaran rasa ikut berduka cita. Ketika laki-laki Jawa kenduri di tetangga, sekarang sudah cukup mengenakan baju batik, sarung, dan peci. Seiring kema­

juan di bidang modiste, modifikasi busana rakyat pun selalu ada.

Pakaian rakyat yang khas dan masih bertahan terus adalah saat pesta pernikahan, yang dinamakan busana adat. Sebagai karya folklor, setiap unsur

busana selalu memuat makna tertentu. Seperti halnya busana iket (mengikat kepala dengan artistik tradisional). Iket juga disebut udheng (mudheng, jernih

nalarnya). Orang yang mengenakan udheng adalah orang yang benar-benar tahu dan paham Jawa. Ada kalanya orang Jawa juga mengenakan blangkon (blangko, kosong). Ketika mengenakan blangkon, orang akan sepi/kosong dari

bahaya (godaan). Pakaian lain adalah surjan (nlusurkabegjari). Surjan adalah

lambang orang Jawa yang akan mendapatkan keberuntungan. Jika tak memakai surjan, orang laki-laki mengenakan beskap, dari kata

kebes (basah) dan sumingkap (tersingkap). Beskap merupakan motivasi agar berusaha menyingkap tempat-tempat basah (nggon teles), yaitu keberun­ tungan. Keberuntungan tak akan datang dengan sendirinya, jika tanpa usaha

gigih. Karenanya, beskap itu menggunakan benik di sebelah kiri dan kanan. Benik dari kata saben-saben dienik-enik, artinya dalam menyingkap kebe­

runtungan tadi harus dengan perhitungan cermat. Agar tampak bagus juga mengenakan epek, artinya ngepek pengetahuan hidup yang berguna. Begitu

pula timang, artinya atimu aja mamang. Jika bekerja hendaknya jangan ragu-

ragu, tetap niat. Bagian busana rakyat bawah adalah jarik, artinya aja serik. Orang Jawa sebaiknya jangan mudah iri hati terhadap keberuntungan orang lain. Untuk

memperindah, jarik tadi harus diwiru (dilipat) dalam jumlah ganjil. Wiru artinya wiwirana aja nganti kleru, pikir dan rasakan apa yang akan dilakukan agar tak

salah arah. Untuk itu harus selalu ganjil, yaitu sifat Ketuhanan. Segalanya

harus dikembalikan pada Tuhan. Karenanya, wiru tadi harus diletakkan pada posisi tengah vertikal ke tubuh. Hiasan bunga dan batik dilarang sampai terbalik dalam mewiru jarik. Cara mengenakan jarik dinamakan bebed, artinya orang

Jawa harus ubed. Orang Jawa harus ulet dalam bekerja. Di bagian tubuh tengah dikenakan sabuk, dari jarwodhosok sasab dan

buk. Sasab artinya menang dan buk berarti tak ada keuntungan. Sabuk berarti filosofi folklor agar orang Jawa berusaha mendapatkan keuntungan, dan jangan

hanya buk saja. Konsep ekonomis semacam ini tak hanya dalam perdagangan, yang mengenal konsep tuna satak bathi sanak, melainkan juga dalam bidang

lain. Kedudukan dalam kehidupan orang Jawa pun dianggap sebagai keber­ untungan. Segala kabegjan sering dinamakan keberuntungan, meskipun sulit dikerta aji (ditimbang) dengan harta benda.

Pada bagian sabuk diselipkan keris sebagai pusaka. Keris terdiri dari ligan (curiga) dan warangka. Keduanya harus menyatu, sehingga disebut curiga manjing rangka, rangka manjing curiga. Konsep ini menuju pada penyembahan

kepada Tuhan. Antara kawula-Gusti harus manunggal, seperti halnya curiga

dengan warangka. Keris dari kata ngeker amrih aris, artinya mencegah ke­

duniawian agar dapat bertindak pelan-pelan, tenang, dan tak tergesa-gesa (grusa-sagrusu). Keris diselipkan pada bagian belakang (mungkur), karena

pada waktu menyembah Tuhan manusia harus ngungkurake (meninggalkan) keduniawian. Pada bagian kaki memakai selop atau canela, artinya canthelna jroning nala. Setiap menjalankan apa saja harus selalu ingat kepada Tuhan.

Di Jawa juga memiliki busana khas yang dinamakan batik. Kata batik berasal dari bahasa Jawa mbat (ngembaf) dan tik. Ngembat artinya melembar

berkali-kali dan tik artinya titik. Batik adalah melembar, artinya melukis, menghias beberapa titik sehingga mewujudkan seni yang indah. Seni batik sebagai bagian dari seni lukis. Dengan modal bahan tradisional, seperti canting, kain, dan malam, orang Jawa dapat melukis batik. Lukisan batik diambil dari

gambaran lingkungan hidup dan benda alam semesta, seperti hewan,

tumbuhan, matahari, dan lain-lain. Batik tergolong seni pakaian khas Jawa. Ada berbagai motif batik yang

berkembang dalam kehidupan orang Jawa. Nama-nama perusahaan dan toko

batik pun amat beragam yang menggunakan nama khas Jawa, seperti batik

Keris, batik Danar Hadi, batik Semar, dan sebagainya. Nama-nama batik di Jawa terdapat pada berbagai pusat kota di Jawa, antara lain di Pekalongan,

Solo, Yogyakarta, dan Cirebon. Masing-masing wilayah ada yang telah mem­ bentuk koperasi batik sehingga mampu membentuk kampung batik.

Pakaian batik tak hanya menjadi kebanggaan orang Jawa, melainkan

juga kebanggaan bangsa Indonesia. Seni pakaian batik dapat dipakai siapa saja dalam berbagai strata sosial. Hal ini berarti batik merupakan bentuk seni

busana yang egaliter. Aneka motif batik di Jawa juga sering terkait dengan berbagai aktivitas hidup. Masing-masing motif memiliki makna simbolis yang

luhur.

Berbagai motif batik, seperti parang rusak, parang barong, parang kusuma, yang biasa digunakan pada kalangan ningrat (kusuma), kini telah digunakan

siapa saja. Dalam pesta perkawinan Jawa juga sering digunakan motif-motif

tersebut, khususnya yang bernuansa kehidupan mulia, gembira, dan menye­ nangkan. Batik dapat digunakan dalam berbagai kepentingan. Seni batik dapat dite­

rapkan pada berbagai jenis pakaian, seperti surjan, blangkon, iket, sinjang, baju, celana, atau sarung. Seluruh motif batik memiliki tipologi tersendiri. Ma­

sing-masing tipe akan cocok untuk jenis pakaian tertentu. Setiap tipe dan motif ada peminat dan pendukungnya masing-masing. Kegemaran orang Jawa

terhadap motif burung, punakawan, bunga teratai, misalnya, tentu ada tujuan tersendiri.

Seni batik tergolong folklor material berupa lukisan abadi. Pewarisan seni

batik yang khas Jawa juga dilakukan secara turun-temurun. Bagi orang Jawa yang akan membuat batik pesanan khusus, misalnya dari pihak pembesar,

tentu akan dilaksanakan secara lahir dan batin. Secara lahir pembatik akan

berhati-hati menorehkan kuas kecil pada kain. Secara batin, pembatik juga akan melakukan laku tertentu, biasanya dengan ngengurangi (bertapa). Ada

lagi yang sebelum membatik juga menggunakan mantra-mantra, agar karyanya benar-benar bagus dan bermanfaat.

D. Gamelan • Gamelan dalam masyarakat Jawa disebut gangsa. Orang yang sedang menabuh gamelan, disebut nggangsa. Nggansa berarti memasak irama gamelan agar enak didengar. Seperangkat gamelan disebut sepangkon. Ada­

pun yang hanya sebagian saja tetapi telah membentuk irama manis disebut

gadhon. Baik gamelan sepangkon maupun gadhon sama-sama mendukung

nuansa seni.

Pada dasarnya gamelan Jawa ada beberapa kelompok, yaitu balungan

(tabuh siji)—demung, saron, dan peking. Ada pula yang termasuk ricikan, yaitu gambang, barung dengan teknik pukulan gembyangan, pipilan dan wiletan, biasanya menggunakan dua tabuh. Kendhang berfungsi sebagai yasa wirama, artinya mengatur seluruh komponen gamelan. Kempul, kenong, dan gong

sebagai ngreksa irama, artinya menyeimbangkan dan menjaga kestabilan

suara.

Seni musik Jawa yang cukup pesat dan mudah dikenal ke seluruh dunia adalah gamelan. Gamelan Jawa awalnya hanya sebuah kothekan, yaitu pe­ rangkat musik. Dari kothekan berkembang menjadi instrumen gendang, baru

ke gamelan. Gamelan saja awalnya juga belum lengkap. Selanjutnya, orang Jawa mengenal pula raras dan lagu beserta tangga nada (titi laras). Dengan perangkat gamelan serta wahananya, orang Jawa mulai mampu menabuh

gamelan dengan merdu. Hingga sekarang gamelan telah berkembang semakin luas dan jauh, termasuk melahirkan aneka lagu dan gendhing-gendhing.

Dalam Serat Pustakarajapurwa karya R.Ng. Ranggawarsita, dijelaskan aspek-aspek historis gamelan Jawa. Kendati sisi historis ini semifiktif, namun

dapat dipahami bahwa usia gamelan Jawa memang telah lama ada di Jawa. Dalam karya tersebut dinyatakan bahwa gamelan Jawa diciptakan oleh Sang Hyang Guru, ketika menjadi raja di Medangkamolan, letaknya di Gunung

Mahendra (sekarang Gunung Lawu). Gamelan dibuat tahun 167 dengan sengkalan (candrasengkala) Swara KarengengJagad. Waktu itu gamelan diberi nama lokananta, yang terdiri dari gending (kemanak), pematut (kethuk), sauran

(kenong), teteg (kendhang besar), dan maguru (gong). Di zaman itu gamelan Jawa disertai olah vokal (wira swara), yang era sekarang sering dinamakan santi swaran. Gamelan semacam ini disebut

gamelan lokananta. Gamelan lokananta tidak sama dengan gamelan Kodhok

Ngorek. Gamelan Kodhok Ngorek adalah ciptaan Prabu Suryawisesa di Jenggala pada 1145. Pada tahun 187 dengan sengkalan Swara Metengeng Kama, Sang Hyang Indra menciptakan gamelan Surendra atau gemelan

slendro, yang terdiri dari gending (rebab), kala (kendhang), sangka (gong), pematut (kethuk), dan sauran (kenong). Lagunya berupa sekar ageng yang

diikuti rebab laras slendro. Atas dasar ini, ada yang menyatakan bahwa laras slendro dipandang lebih dahulu (tua) dibanding pelog, karena laras slendro diciptakan oleh dewa, kira-kira telah ada di zaman Hindu.

Gamelan Jawa telah memitos di hati orang Jawa. Legitimasi gamelan

biasanya mengacu pada dunia keraton. Keraton dianggap sebagai sumber munculnya instrumen gamelan. Bahkan, tiap-tiap keraton sering memitoskan gamelan. Maksudnya, gamelan ada yang dijadikan sebuah pusaka yang sakral.

Termasuk di dalamnya ciptaan gendhing-gendhing dan tarian yang menggu­

nakan gamelan menjadi monopoli keraton. Tak jauh berbeda dengan karya

sastra, gamelan dan gendhing pun kadang-kadang dianggap sebagai ciptaan

seorang raja. Misalkan, Prabu Jayabaya di Mamemang, yang bertahta tahun 1135-1157 mempunyai pusaka gamelan Munggang yang berasal dari dewa,

bernada slendro. Paham laras slendro lebih tua dibanding pelog sering simpang siur. Sebab,

ada lagi yang berpendapat bahwa pelog justru lebih tua. Pada awalnya pelog

digunakan untuk mengiringi ritual keagamaan. Isi laras pelog biasanya sakral, menyayat, syahdu, sehingga cocok untuk ritual-ritual di kerajaan, sedangkan

laras slendro lebih segar, bernuansa kegembiraan. Situasi semacam ini membuat pemerhati gamelan Jawa berasumsi bahwa pelog lebih dahulu ada.

Karena pada awalnya orang Jawa mengenal ritual terlebih dahulu sebagai pemujaan pada leluhur, barulah bersenang-senang. Kesimpulan ini memang masih meraba-raba dan terkesan gegabah, meskipun dari logika juga dapat

diterima. Pendapat lain akan menyatakan bahwa laras pelog berarti indah, merdu,

penuh kasih sayang. Pendapat ini belum tentu benar, karena pada laras slendro

pun ada lagu yang demikian halnya. Sebenarnya orang lebih mudah mengenal

laras slendro dibanding pelog. Karena itu, bisa jadi, laras slendro ada lebih dahulu dibanding pelog. Berdasarkan ketidakpastian ini memang tak salah

jika gamelan Jawa termasuk dalam unsur folklor material. Karena di dalamnya tak jelas siapa pencipta dan sejak kapan diciptakan. Andaikata di atas tadi ada

siapa pencipta dan angka tahun, sebenarnya belum merupakan sumber otentik.

Bahkan, di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa laras slendro dan laras

pelog muncul bersamaan. Laras slendro sebagai simbol laki-laki (beroktaf rendah) dan pelog (beroktaf tinggi) sebagai simbol perempuan. Perbedaan laras slendro dan pelog terletak pada jumlah nada dalam satu

gembyang (oktaf) dan sruti (interval). Tiap satu gembyang laras slendro terdiri dari nada (titi laras) 1-2-3-5-6 (barang-gulu-dada-lima-nem) dengan sruti 240240-240-240-240. Laras pelog terdiri dari nada 1-2-3-4-5-6-7 (barang alit-gulu-

dada-pelog-lima-nem-barang), dengan sruti 150-150-225-150-150-150-225. Munculnya gamelan Jawa juga telah menciptakan wilayah folklor yang

disebut karawitan. Karawitan berasal dari kata rawit (susunan yang indah).

Dalam bahasa Jawa ada kata sinome ngrawit, artinya rambut di rumah muka

kecil-kecil indah mempesona. Jadi, karawitan merupakan rangkaian seni gamelan dan suara Jawa yang dipadukan sehingga mewujudkan kemanung­

galan bunyi yang enak. Konon, di Jawa telah muncul aneka ragam suara ga­ melan dan suara vokal. Karena suara itu bisa beraneka warna, maka di zaman Jenggala, oleh raja Inukertapati, dibuatkan patokan yang dinamakan patet

(pathet). Pathet adalah batas tinggi rendah, jarak suara gamelan maupun vokal,

pada setiap \agulgendhing. Pathet akan menentukan seberapa tinggi-rendah sebuah gendhing harus dilagukan. Tiap laras memiliki tiga pathet. Laras slendro terdiri dari: slendro pathet sanga (9), slendro pathet manyura, dan slendro pathet nem. Laras pelog terdiri dari pelog pathet barang, pelog pathet lima,

dan pelog pathet nem. Berbagai macam pathet ini, dalam pertunjukan wayang kulit, memiliki arti mistik filosofi tersendiri.

Instrumen gamelan Jawa sekarang semakin lengkap. Ada 21 unsur

perangkat gamelan, yaitu rebab, kendhang, gender barung, gender penerus, bonang barung, bonang penerus, slenthem, saron demung, saron barung,

saron penerus, kethuk-kenong, kempul, gong, kempyang, siter (celempung), siter penerus, peking, gambang, seruling, waranggana, dan wiraswara. Dari 21 unsur itu tak ada yang lebih penting, seluruhnya saling mendukung menjadi

sebuah harmoni. Bunyi gamelan yang rampak dan kompak akan membentuk sebuah harmoni suara merdu.

Bagian XIII PENGOBATAN TRADISONAL A. Etiologi Etiologi adalah ilmu yang menyelidiki asal-usul penyakit dan penyebabnya.

Jika seorang dokter banyak memanfaatkan terapi medis, orang Jawa dalam mencari sumber-sumber penyakit dan pengobatannya menggunakan petung

(perhitungan) khusus. Perhitungan ini dikenal dengan sebutan etiologi Jawa, yakni sebuah paradigma menemukan fenomena penyakit berdasarkan tandatanda.

Orang Jawa tergolong jeli ketika menghadapi dirinya atau keluarganya

sakit. Dalam pengobatan tak akan gegabah, asal-asalan. Tak hanya obat yang

dihitung, tetapi juga proses menemukan obatnya. Pencarian obat menjadi

bagian kosmis keberhasilan mengobati penyakit. Di samping naga dina, orang Jawa akan menghitung amat jeli tentang penyebab datangnya penyakit. Sebab-

sebab datangnya penyakit akan terkait dengan jenis obat yang harus disiapkan. Perhitungan yang lazim digunakan orang Jawa dalam etiologi adalah menyatukan neptu dina untuk menentukan sumber penyakit. Neptu dina

dihitung dari awal terasa sakit. Jumlah neptu hari itu selanjutnya dihitung

menggunakan hitungan catur prahara. Perhitungan ini jika dihitung empat-

empat, jika

(1) sisa satu, disebut ujar, sebab penyakit yang datang dari kata-kata sendiri;

Jika dirinya pernah menyatakan ingin sakit atau mengejek orang sakit, sering berpengaruh terhadap dirinya. Kondisi ini sebenarnya lebih banyak

pada aspek psikologis;

(2) sisa dua, disebut wanteya: penyakit yang berasal dari lingkungan rumah sendiri; orang Jawa sering menyatakan sak njerone wangon (dalam ling-

kungan bangunan rumah); jika seseorang sakit karena kurang menghargai,

lupa kepada adhi ari-ari yang diletakkan di sebelah kanan-kiri pintu, bisa jadi akan muncul penyakit;

(3) sisa tiga, disebut ula bandhotan: penyakit akibat terkena api dan halangan

di perjalanan; biasanya penyakit ini datangnya tiba-tiba, sulit diduga, dan ada kalanya juga sebagai akibat kurang waspada; (4) sisa empat, disebut purba: penyakit yang memang sebagai ganjaran dari

Tuhan; orang Jawa meyakini penyakit ini merupakan cobaan hidup, manusia diuji berdasarkan kekuatan dirinya; ada pula yang menyikapi

penyakit ini sebagai keadaan sedang dielingke (diingatkan) dan didhangir (dibangun).

Ada lagi perhitungan penyabab penyakit yang disebut caturbrahala, yang

meliputi penyatuan neptu dina kemudian dibagi empat-empat. Dari perhitungan

itu, jika (1) sisa satu, disebut sabda: penyakit yang disebabkan kata-kata sendiri. Orang

Jawa sering melarang tak boleh berkata sembarangan (clap-clup), sebab akan ada akibatnya. Ada juga yang menyatakan kalau clap-clup nanti akan diamini setan, berarti apa yang dikatakan akan menjadi kenyataan. Jika

yang dikatakan berkaitan dengan penyakit, jelas berbahaya. (2) sisa dua, disebut guna: penyakit akibat perbuatan orang lain. Dalam kaitan

ini sering terjadi dom sumuruping banyu (proses pengiriman penyakit dari

pihak lain, seperti tenung, jengges, atau santet). Orang Jawa menyatakan sebab penyakit semacam itu karena dipenggawe (disakiti) orang lain meng­

gunakan guna-guna. (3) sisa tiga, disebut wana: penyakit akibat gangguan setan. Berbagai demit

atau gegremet di hutan kadang menempeli manusia hingga menyebabkan sakit, sebagai perwujudan balas dendam setan pada manusia. Jika ma­

nusia ke hutan secara semena-mena, misalnya kencing di tempat angker

yang dihuni setan, akan menyebabkan penyakit. Orang itu akan ketempelan demit, mungkin mengigau, panas sekali, dan lain-lain gejala. Gejala pe­

nyakit dari setan ini, bila belum diobati secara halus, sulit sembuh. Pena­ nganan pun harus sesegera mungkin, agar setan tadi tak marah, hingga mengakibatkan orang itu meninggal.

(4) sisa empat, disebut pralaya: penyakit yang kurang jelas penyebabnya. Ini

lebih berbahaya dan mengakibatkan orang akan meninggal. Mungkin beberapa

saat dapat sembuh, tetapi hanya relatif singkat, dan segera meninggal

Melalui perhitungan cafur prahara dan catur brahala itu, orang Jawa

mencoba mencari usada (obat). Pada dasarnya, ada dua usada yang digunakan ketika orang sakit, yakni obat yang berupa barang (material) dan obat spiritual (non-barang). Kedua obat ini kadang digunakan bersamaan, agar

si pasien segera sembuh. Obat yang berupa bahan-bahan dinamakan jamu tradisional. Semua jamu diramu berdasarkan pengalaman praktis turun-

temurun. Sedangkan obat spiritual biasanya berupa mantra (doa-doa khusus). Obat tradisional yang berupa barang biasanya memanfaatkan aneka daun, benda keramat, jimat, dan sebagainya. Resep yang dimiliki hanya jarene

simbah (kata simbah). Beberapa jenis tanaman obat yang khas dalam

pengobatan tradisional Jawa adalah tebu wulung, daun sirih, bratawali, degan kelapa hijau, adas pula waras, dan lain-lain. Tebu wulung digunakan untuk

obat mual. Daun sirih untuk mengobati sakit mimisan. Bratawali untuk meng­ obati sakit perut. Adas pula waras untuk obat sakit panas. Degan kelapa hijau untuk obat sakit perut.

Obat yang berupa spiritual amat banyak ragamnya, antara lain berupa mantra (jopa-japu). Mantra harus diucapkan orang yang telah benar-benar

suci (mungkur kadonyan). Jika diucapkan sembarang orang, khasiatnya akan berbeda. Karena itu, hanya orang yang waskitha yang dapat mandi (mujarab)

mantranya. Di antara mantra yang sering diucapkan yaitu mantra mengobati

sakit gila (edan), berbunyi: sang hyang padhanyangan, kang mbaureksa banjar prekarangan kene. Si... (nama pasien) njaluk padhanging ati, damar jati

templekna pucuking ati, byarpadhang kluwung tluntang eling mengko eling mbesok, sirilah dzatullah teguh timbul rahayu slamet (sang hyang padha­

nyangan, yang menjaga pekarangan sini. Si...mohon penerangan hati, lampu sejati tempelkan di pucuk hati, terang benderang, ada pelangi, ingatlah nanti

ingat besuk, jalan Tuhan, ke arah Tuhan, teguh selamat). Ucapan ini masih

didukung dengan obat berupa: degan kelapa hijau, dilubangi, dimasuki gula Jawa (gula aren), lalu dipanaskan. Air degan itu diminumkan pada pasien.

B. Jamu 1. Wedhak, Pilis, dan Singgul Jamu tradisional Jawa telah tua umurnya. Entah sejak kapan orang Jawa mulai meramu dan menggunakan jamu tradisional, sulit dilacak. Namun

demikian, bisa diduga, sejak orang Jawa mengenal dunia lingkungan, mereka mulai mencoba jamu tradisional. Coba-coba itu dilakukan terus-menerus, untuk

menolong keluarga yang sakit. Awalnya sekadar coba-coba belaka, tanpa didahului hal-hal yang masuk akal atau tidak, orang Jawa segera menerapkan jamu tradisional. Jamu Jawa diterapkan berdasarkan pengalaman empiris. Pengalaman

berdasarkan ngelmu tften menjadi cara utama jamu tradisional. Peracikan jamu tradisional hanya didasari perkiraan semata. Para peracik menguasai resep

turun-temurun, yang selalu diikuti trahnya. Saat menerapkan jamu hanya

berprinsip waras-wiris, tamba teka memala lunga (semoga cepat sembuh, obat datang penyakit hilang). Jamu Jawa yang paling sedeRhana yaitu wedhak. Biasanya menggunakan daun dadap srep. Kata srep mungkin berasal dari kata asrep (dingin). Wedhak

berarti jamu atau obat yang dioleskan. Terutama bagi pasien yang panas, dengan wedhak akan menjadi dingin. Penerapan wedhak ada yang disebut blonyo (diolesi wedhak ke seluruh tubuh). Wedhak untuk menyembuhkan sakit

panas diramu dari daun dadap, air dingin, dan kunyit. Obat Jawa yang dioleskan juga ada yang disebut pilis. Rilis juga untuk

mengobati penyakit panas, biasanya terbuat dari jamu mentah yang dipipis,

lalu diletakkan di muka atau pilingan. Pilis akan menyegarkan tubuh. Ramuan pilis bebas, ada yang berupa jahe, kencur, kunyit, dan lain-lain. Esensi pilis ini

ada yang sering diganti dengan potongan bawang putih. Pilis bawang putih ini dapat untuk menyembuhkan sakit gigi. Banyak sedikitnya pilis disesuaikan

kebutuhan. Jika wedhak dan pilis merupakan jamu kuratif (pengobatan), singgul tergolong jamu preventif. Orang Jawa mencoba mengantisipasi agar tak terjangkiti penyakit atau nasib sial biasanya mengenakan singgul. Singgul

khusus diterapkan bagi orang Jawa yang habis melayat (belasungkawa). Se­ telah pulang dari pemakaman jenazah, sesampainya di rumah segera mencuci

kaki dan tangan, dan ada lagi yang mandi besar. Selain itu, ada yang membuat

singgul, berupa jamu dlingo-bengkle yang dipipis, lalu dipiliskan pada pilingan (depan telinga). Hal ini diyakini agar hilang sarap sawan (gangguan penyakit

yang mungkin muncul dari godaan roh halus).

Pada waktu mencari bahan-bahan wedhak, pilis, dan singgul orang Jawa

juga menggunakan petung. Petung yang diyakini adalah munculnya saat naas dan naga dina. Jangan sampai pada waktu memetik bahan jamu tersebut

menentang naga d/na. Jika sampai menentang naga d/na, orang Jawa takut si

sakit malah segera meninggal.

Pada waktu memasang weddak, p/7/s, dan singgul orang Jawa akan mengucapkan mantra sederhana. Mantra ini merupakan bentuk mantra sapu

kawat, dapat diterapkan bagi segala penyakit agar cepat sembuh, berbunyi: Tracak-tracak kebo, kebone kebo kenanga, ewang-ewangana. Anak kebo-kebo dhungkul, si dhungkul enggal warasa, waras seka kersaning Allah (Telapak kaki kerbau, kerbaunya kerbau kenanga, dukunglah. Anak-anak kerbau dhung­

kul, semoga si dhungkul segera sembuh, sembuh atas kehendak Tuhan).

2. Jamu Gendhong Dalam inventarisasi yang saya lakukan bersama dua teman, Mulyana dan Afendy Widayat (2003), ternyata di Jawa ini amat banyak ragam jamu

tradisional. Jamu Jawa dapat ditinjau dari berbagai segi. Jika ditinjau dari cara

menyajikan atau menjual, ada yang dinamakan jamu gendhong. Jamu ge­

ndhong merupakan istilah budaya untuk menyebut kebiasaan sebagian masyarakat Jawa yang berprofesi sebagai penjual jamu yang digendong (dibawa di belakang punggung dengan cara diikat kain panjang/selendang).

Umumnya, penjual atau bakul jamu gendhong dilakukan perempuan. Namun, pada kenyataannya penjual jamu jenis ini banyak juga yang dilakukan laki-

laki. Hanya saja, mereka tidak menggendong dagangannya, tetapi diletakkan di hamparan kios atau warung. Keahlian membuat racikan jamu ini biasanya

diajarkan secara turun-temurun. Oleh karena itu, penjual jamu gendong umum­ nya adalah penerus profesi keluarga.

Para penjual jamu gendhong biasanya meracik sendiri jamu yang akan

dijualnya. Racikan jamu gendhong dinamakan resep. Resep ini diterima secara

turun-temurun. Mereka membeli bahan baku di pasar terdekat, sesampai di rumah diramu sendiri. Hampir semua pasar tradisional di Yogyakarta menyediakan bahan baku yang diperlukan para penjual jamu gendhong.

Misalnya, Pasar Cebongan, Pasar Demangan, Pasar Sleman, Pasar Bantul, Pasar Wates Kulon Progo, dan sebagainya. Beberapa bakul jamu mengatakan, untuk mendapatkan bahan baku jamu yang lengkap biasanya mereka memilih

langsung ke Pasar Beringharjo. Pasar ini tergolong pasar induk (pasargedhe) yang lengkap dan lebih murah menyediakan bahan baku jamu. Para penjual jamu gendhong mengaku keluar untuk menjajakan/berdagang jamu setelah

sore hari atau pagi hari.

Racikan jamu gendhong umumnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu jamu untuk menjaga stamina dan jamu untuk mengobati penyakit (menahun).

Ramuan jamu untuk menjaga stamina selalu tersedia untuk mencegah kemung­

kinan timbulnya gangguan penyakit atau kelelahan, seperti pusing, masuk angin, kembung, capai, pegal, kurang semangat, batuk, menambah tenaga,

atau hanya untuk konsumsi minum biasa Ramuannya antara lain kunir, kunir asem, beras kencur, daun pepaya (paitan), dan temu ireng. Sementara untuk pengobatan penyakit menahun (lama tidak sembuh),

konsumsi ramuan jamu gendhong harus diminum secara teratur dan terusmenerus. Seorang bakul jamu yang cukup terkenal di Cebongan, Mlati, Sleman, bernama Tugirah (Yu Tug) dan Bu Marbiyem, mengaku sering melayani pesan­

an ramuan jamu tradisional untuk pengobatan penyakit menahun, misalnya

batuk rejan, asma, rematik, keputihan, darah tinggi, maag/lambung, ginjal,

kencing manis, kencing batu, lemah syahwat, dan penyakit dalam lainnya.

Beberapa contoh ramuan untuk penyakit tersebut antara lain (a) penyakit asma, bahan: jahe (dibakar tidak sampai hangus) 1,5 jari tangan,

bawang putih tua 3 biji, kayu cendana % jari tangan. Cara membuat: jahe

dibakar, lalu dikupas dan dimemarkan, bawang putih dikupas dan diiris

tipis, lalu direbus bersama kayu cendana dengan air sebanyak 3 gelas hingga airnya tinggal 1% gelas (separonya). Angkat, saring, lalu diminum. (b) penyakit kenang manis, bahan: kulit pohon pule 3 jari tangan, daun kumis kucing 30 lembar, pohon meniran 3 pohon, dan daun duwet 7 lembar.

Cara membuat: bahan dicuci dan direbus dengan 4 gelas air hingga tinggal 3 gelas. Angkat, saring, lalu diminum.

(c) penyakit maag, bahan: daun jambu biji 5 lembar, daun pegagan 10 lembar, kencur 5 biji, ketumbar 11 biji, kayu manis % jari tangan. Cara membuat: bahan dicuci, direbus dengan air sebanyak 4 gelas hingga tinggal 3 gelas.

Angkat, saring, dan diminum.

Ramuan jamu gendhong umumnya tak memiliki efek samping kimiawi. Konsumsi atau pengobatan yang dilakukan secara rutin ditambah keyakinan

(sugesti) yang tinggi dari konsumen akan cukup membantu penyembuhan suatu

penyakit. Dengan kata lain, jamu gendhong merupakan terapi natural yang penting bagi keseimbangan tubuh.

Prospek jamu gendhong memang cukup praktis dibanding jamu yang dipasarkan di pasar. Karena, seorang bakul jamu bisa menelusup ke desa-

desa, ke gang-gang kota, untuk menjajakan jamunya. Dengan demikian, para

pembeli yang kurang berminat menjadi berniat membelinya. Anehnya, di beberapa wilayah Yogyakarta ada beberapa penjual jamu gendhong yang sengaja mengubah tradisi menggendong menjadi bersepeda,

untuk menghindari kelelahan jika telah berjalan jauh ternyata kurang begitu

laku. Namun, kenyataannya, penjual jamu yang menggunakan transportasi sepeda justru harus menghadapi kendala teknis. Mereka sering kesulitan bila harus masuk ke gang-gang kecil, ke losmen-losmen yang berhimpitan, dan

desa-desa yang turun naik. Karenanya, sampai kapan pun, jamu gendhong tetap digemari dan bertahan, meski berubah teknis transportasinya.

C. Pijat Gurah Gurah adalah bentuk terapi kesehatan tradisional Jawa asli. Di Yogyakarta, gurah telah populer. Terapi ini bersentralkan di wilayah Girilaya, Imogiri, Bantul.

Karena itu, di sepanjang jalan dari kota Yogyakarta ke selatan menuju Imogiri, hampir setiap lima kilometer di pinggir-pinggir jalan terdapat pijat gurah.

Pijat gurah sebenarnya merupakan tradisi folklor kesehatan. Tradisi ini

sulit dipelajari melalui bangku sekolah. Hanya orang yang ingin dan berniat

sungguh-sungguh yang dapat menjadi ahli gurah. Karena, dalam gurah ada aspek-aspek tertentu, jika tidak tahan, akan sakit sendiri. Mungkin sekali ada

orang yang merasa jijik dengan gurah. Namun, bagi sebagain orang di Yog­

yakarta, gurah telah menjadi kebutuhan preventif bagi kesehatan. Pasien yang gurah akan dibantu tukang gurah dengan cara dipijat. Pemi­ jatan dilakukan ke seluruh bagian tubuh, tanpa ramuan apa pun. Pijat dimak­

sudkan untuk memudahkan cairan dalam tubuh keluar. Jika telah berhasil keluar cairan melalui hidung, mulut, dan mata, pasien gurah akan merasa lega. Mereka

harus berpuasa, tidak berbicara dan makan apapun. Karena, pasien akan me­

rasa lunglai. Tubuh seakan-akan kehilangan daya apa pun.

Pada dasarnya, gurah bermanfaat bagi pasien dalam hal penyegaran, kelelahan, penenangan, rileksasi, kelapangan nafas, kenyamanan tidur, loyo, gairah seks kurang, dan sebagainya. Gurah juga akan mempengaruhi rongga suara semakin terbuka lebar. Karena itu, para penyanyi, dalang, pesinden,

dan orang yang mengeluarkan jasa suara lebih baik melakukan gurah secara

rutin. Pada gilirannya, gurah telah melebar ke beberapa kabupaten Yogyakarta, seperti di Kodya dan Sleman. Namun, yang paling banyak menjalankan pijat

gurah sebagian besar orang Imogiri, Bantul. Bahkan, di Kodya pun tukangtukang gurah selalu menuliskan keturunan Girilaya-lmogiri. Hal ini sebagai

upaya pemasaran tradisi gurah. Terapi pijat gurah asli tidak lagi menggunakan kapsul. Ramuan gurah

berasal dari tanaman (pohon) gurah (srigunggu), yang dimanfaatkan akarnya.

Akar pohon gurah yang banyak dibudidayakan di wilayah Girilaya dijemur sampai kering sekali. Selanjutnya, akar tadi ditumbuk dan dilumatkan. Hasilnya

dikemas menjadi ramuan, yang akan dicampur dengan madu lebah. Orang yang akan menjalankan gurah harus berpuasa dahulu. Jika akan

melakukan gurah sore hari, dari siang harus berpuasa. Paling tidak selama

lima jam sebelumnya jangan makan nasi atau makanan yang lain. Hal ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan pada waktu gurah.

Pada waktu gurah dilakukan, pasien akan tidur telentang selama kurang

lebih dua jam. Pasien yang menderita sakit jantung tidak diperbolehkan gurah, karena akan sangat terganggu dan kemungkinan besar kaget. Pelaksanaan gurah akan ditetesi cairan pada lubang hidungnya. Setelah beberapa lama,

pasien akan merasa panas dan hidungnya pengar (sulit bernafas), maka pernafasan dipindahkan melalui mulut. Menurut pengakuan tukang gurah, Ki Meneng Jiwa, yang beralamatkan di Jl. Cendana No. 18, Yogyakarta, gurah juga dapat menggairahkan hubungan suami-istri. Karena itu, bagi pasangan yang telah lama tidak dikaruniai anak

juga dapat melakukan gurah seperlunya. Atas bimbingan tukang gurah yang asli, mereka biasanya akan segera memiliki keturunan.

Gurah hanya dipelajari secara turun-temurun, karena mengandung ilmu

khas. Tidak semua orang tegel (sampai hati) melakukannya. Itulah sebabnya,

tukang gurah selalu berasal dari keturunan tertentu. Tukang gurah akan mengajarkan tata cara gurah kepada anaknya yang memiliki bakat. Tanpa bakat,

mereka umumnya merasa jijik.

D. Pengobatan Akupunktur Awalnya akupunktur diterapkan di negeri Ttirai Bambu (Cina), namun lama-

kelamaan menyebar ke seluruh Indonesia, termasuk Yogyakarta. Oleh karena pengobatan ini banyak gunanya, para pemerhati medis pun segera meneliti

lebih jauh dan lama-kalamaan akupunktur dipadu dengan ilmu kedokteran.

Namun, khusus di Yogyakarta, akupunktur memiliki ciri khas tersendiri. Jika di tempat lain akupunktur semata-mata diterapkan sebagai wajah ilmu kedokteran,

di Yogyakarta justru telah diramu dengan pengobatan alternatif. Maksudnya, akupunktur juga sering digabungkan dengan model pengobatan tradisional, menggunakan ramuan obat, bahkan ada yang memanfaatkan tabib.

Di Yogyakarta terdapat banyak pengobatan akupunktur. Umumnya para

pasien sering takut terhadap pengobatan akupunktur. Namun, ketika para pa­ sien mengetahui manfaat dan deteksi dini dari akupunktur, mereka menjadi tidak takut lagi. Hal semacam ini pernah dialami almarhum Presiden Soekarno. Tim dokter kepresidenan pernah menyarankan agar beliau operasi. Namun,

operasi tidak pernah dilaksanakan, karena tim akupunktur dari RRC dapat menyembuhkannya. Begitulah yang diungkapkan ahli akupunktur, Wahyudi, dari Yogyakarta. Akhirnya, Presiden Soekarno memerintahkan kepada Menteri Kesehatan, Prof. Dr. Satrio, agar akupunktur dikembangkan dan dipelajari di

Indonesia.

Akupunktur dapat disebut juga pengobatan tradisional yang menggunakan kekuatan jarum. Maka, ada yang menyebut juga tusuk jarum. Namun, jarum

yang digunakan adalah jarum khusus yang kadang-kadang ditambah dengan kauterisasi moxawool yang dibakar, terbuat dari sebuah Artemisia vulgaris

yang dikeringkan dan dihaluskan. Jarum yang digunakan berbahan stainless

Steel. Lokasi yang harus ditusuk jarum bergantung pada jenis penyakitnya,

dideteksi menggunakan peralatan sejenis kabel, jarum jam, dan kumparan besi. Besi tersebut ditempelkan pada bagian tubuh pasien. Jika ada getaran

dan suara, ahli tusuk jarum telah mampu meramalkan berbagai jenis penyakit yang diderita. Dari situ pula akan ditentukan bagian mana yang harus dikenai

tusuk jarum. Dari berbagai lokasi tubuh yang banyak dikenai tusukan jarum, antara lain telinga, bagian belakang telinga, bagian pelipis, perut, kepala, dan sebagainya. Masing-masing bagian ada hubungannya dengan penyakit yang

diderita pasien. Tusukan tersebut dimaksudkan untuk memberikan rangsangan terhadap sistem neurovegetatif, sistem endoktrin, dan sistem kardiovaskuler. Fungsi tusuk jarum adalah menyeimbangkan sistem ini, karena ketidakseim­

bangan sistem biologis-fungsional sistem ini dapat menyebabkan aneka pe­

nyakit.

Menurut Waras Wahyudi, Demangan, Yogyakarta, semua jenis penyakit

dapat disembuhkan dengan terapi akupunktur, seperti penyakit kencing manis, darah tinggi, nyeri pinggang, kaku leher, urat terjepit, pusing migrain, sulit tidur,

nyeri lambung, anemia, atau nyeri haid. Sebagai contoh, seorang pasien bernama Heri Santosa pernah jari tangannya ngancing berhari-hari. Dia segera

ke dokter, namun tidak kunjung sembuh. Akhirnya memutuskan untuk aku­

punktur dan akhirnya sembuh. Endraswara juga pasien yang pernah keluar masuk rumah sakit. Terakhir masuk di Rumah Sakit Sarjito, Yogyakarta, karena didiagnosa menderita lever

dan anemia. Namun, setelah sebulan rawat inap di rumah sakit tersebut, tidak ada tanda-tanda kesembuhan. Akhirnya, keluarga memutuskan agar pasien

dibawa pulang, dengan seizin dokter. Di rumah, pasien juga menjalani tusuk

jarum di wilayah Kricak, Jalan Magelang Km 5, sebelah barat Borobudur Plaza.

Tusuk jarum dilakukan sebanyak dua kali. Bagian yang disusuk yaitu di bela­

kang telinga dan telinganya. Setelah selesai, diberi petunjuk agar minum ra­ muan tradisional. Ramuan dibuat sendiri oleh ahli akupunktur, berupa wortel dan lobak yang diiris dan dijemur sampai kering. Lobak dan wortel yang telah

kering harus direbus dalam periuk yang terbuat dari tanah menggunakan air 3

gelas. Jika telah mendidih, air disisakan menjadi kurang lebih 1 gelas. Tanpa ditambah gula, air 1 gelas tersebut diminum sekali habis. Terbukti, dari terapi

dan ramuan obat tradisional ini, sedikit demi sedikit, penyakitnya hilang dan

sehat. Di samping itu, akupunktur juga memiliki manfaat bagi seorang wanita

yang menderita obesitas (kegemukan). Wanita yang telah mbedhah (terlalu gemuk), dapat disembuhkan menggunakan terapi akupunktur secara rutin. Hal ini memang beralasan, karena timbunan lemak bagi wanita dapat ke beberapa bagian tubuh, seperti perut, pantat, lengan, atau pinggul. Dengan

cara semacam ini, wanita tadi akan semakin percaya diri.

• Dalam kaitan itu, akupunktur menjadi wahana pencairan lemak. Lemak

akan diatur melalui organ limpa secara sistemik. Bahkan, jika akupunktur dilakukan rutin, akan memudahkan perawatan wajah, melangsingkan tubuh, memudahkan perawatan payudara, mengurangi flek di sekitar mata, mencegah rambut rontok, dan menaikkan stamina tubuh.

E. Pijat Refleksi 1. Manfaat Pijat Refleksi Pengobatan melalui pijat refleksi dilakukan para ahli pijat dengan cara memijat bagian otot pada telapak tangan atau telapak kaki secara teratur. Re­

fleksi sendiri berarti gerakan pada otot. Dasar pemikiran pengobatan pijat

refleksi ialah kelancaran aliran darah pada otot akan membantu menghilangkan gangguan atau keluhan yang menyebabkan timbulnya penyakit. Itulah se­ babnya titik-titik aliran darah yang berpusat di telapak tangan dan kaki perlu

ditekan dan dipijat agar aliran darah yang terganggu dapat kembali pulih dan

lancar.

Pijat refleksi pada dasarnya juga mengaktifkan syaraf. Seperti yang dila­ kukan pemijat Wahyuni, beralamatkan di Gancahan 6, Sidomulyo, Godean,

Sleman, Yogyakarta. Pemijatan dilakukan setiap saat. Bagian yang dipijat bia­

sanya di telapak tangan dan kaki, untuk mendeteksi simpul-simpul syaraf. Be­ berapa penyakit yang dapat disembuhkan dengan pemijatan ini adalah pegal,

darah rendah, darah tinggi, migrain, sesak nafas, jantung, alergi dingin, gula, asam urat, prostat, ginjal, ambeien, lever, kanker payudara, dan rambut rontok.

Dengan kata lain, pijat refleksi adalah terapi pengobatan alternatif yang

menggunakan keterampilan khusus. Para pemijat biasanya telah terlatih untuk mengetahui simpul-simpul syaraf. Dari titik-titik syaraf itu akan disembuhkan

aneka penyakit. Tukang pijat refleksi ada yang membuka praktik di rumah sendiri dan ada yang di hotel-hotel. Khusus yang dilakukan tukang pijat refleksi Panduwinoto, beralamat di Hotel Lokawisata, Jl. Retnodumilah No. 38, Yogya­

karta, terapi pijat diawali dengan lari-lari/senam di atas karpet 15-30 menit. Hal ini untuk mengaktifkan dan menyegarkan syaraf-syaraf pasien.

2. Metode Pijat Refleksi Para pemijat refleksi umumnya melakukan deteksi awal pada pasien yang

berobat kepadanya. Deteksi ini diperlukan untuk mengetahui titik-titik simpul di mana kira-kira aliran darah yang kurang lancar atau terganggu. Setelah

ditemukan barulah dilakukan pemijatan. Metode lain pijat refleksi adalah seperti yang diterapkan Sudiman, ber­

alamat di Desa Ngaran, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Seorang pegawai PT Kereta Api ini dapat menyembuhkan aneka penyakit, seperti reumatik, kanker, lemah syahwat, atau sulit punya anak. Dia menggunakan

terapi khusus yang disebut tusuk jari, terapi pasir elektrik, pijat refleksi, dan

ramuan obat tradisional dari nenek moyang. Berbagai ramuan telah disiapkan, tergantung hasil deteksi penyakit melalui pemijatan.

Ahli pijat refleksi tidak terlalu banyak membuat ramuan jamu atau obat untuk pasiennya. Mereka hanya meramu jika pengobatan dengan pemijatan

dirasa kurang lengkap tanpa minum jamu. Di samping dianjurkan minum air

putih sesering mungkin, pasien akan diberi ramuan atau disuruh membuat

ramuan sendiri di rumah untuk pengobatan sendiri secara teratur. Seorang

ahli pijat refleksi bernama Bu Mardiyanti, tinggal di Sapen Gondokusuman,

Yogyakarta, menceritakan beberapa jenis penyakit dapat diobati dengan pijat refleksi dan ramuan obat tradisonal, misalnya: (1) penyakit kurang darah: lempuyang sebesar 3 ibu jari, diparut, direbus

dengan 3 gelas air, ditambah gula jawa secukupnya, setelah air tinggal 1 gelas, lalu diminum (ramuan 1), atau daun bayam 1 genggam, ditumbuk,

diperas untuk diambil airnya, diberi kuningan telur ayam 1 butir, dikocok dengan madu secukupnya, lalu diminum (ramuan 2). (2) penyakit hipertensi: buah mengkudu (pace) yang sudah masak diparut,

diperas untuk diambil airnya, lalu diminum. (3) penyakit kuning (hepatitis): temulawak 10 cm potong, meniran 7 pohon,

kayu manis sebesar 1 jari, cengkeh 5 biji, semua direbus dengan 1% gelas air, setelah air tinggal 1 gelas, dibagi 3 untuk diminum 3 kali sehari.

Pemijat refleksi juga memanfaatkan kekuatan batin dalam mendeteksi penyakit. Bila pasien sakit di bagian leher, dia akan menyuruh pasien duduk

membelakangi pemijat, selanjutnya dideteksi menggunakan jarinya. Jari telunjuk didigoyang-goyangkan di bagian tubuh pasien, barulah dapat ditemu­

kan penyakitnya. Hal ini akan mempermudah cara pemijatan selanjutnya.

Bagian XIV PENGOBATAN ALTERNATIF A. Terapi Supranatural 1. Juru Sembuh Ketika saya bersama Mulyana dan Afendy Widayat memasuki wilayah

pengobatan (2003), ternyata di Jawa banyak sekali pusat-pusat pengobatan

supranatural. Pengobatan supranatural adalah model atau cara pengobatan

yang menggunakan kemampuan supranatural dengan aktivitas atau mediamedia tertentu yang sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah, namun keberadaannya mendapatkan kredibilitas atau pengakuan dari

masyarakat secara signifikan. Pengobatan supranatural memiliki daya sugestif dan subjektif yang luar biasa bagi para pasien yang memanfaatkannya.

Pengobatan supranatural sering disebut juga pengobatan spiritual, karena di dalamnya terdapat terapi spiritual (batin). Pengobatan spiritual dapat

diklasifikasikan menjadi beberapa macam menurut jenis kemampuan yang

dimiliki juru sembuhnya, menurut kegiatannya, menurut alat atau media yang

dipergunakannya, dan menurut asal jenis obat yang didapatkannya. Menurut jenis kemampuan yang dimiliki juru sembuh, setidak-tidaknya ada tiga jenis, yakni kemampuan getaran prana, kemampuan getaran magnetik

listrik dalam tubuh, dan kemampuan supranatural yang dimiliki sebagai anu­ gerah langsung dari Tuhan Yang Maha Esa. Pada jenis pertama dan kedua

tersebut, masing-masing jenisnya, dapat dibedakan lagi menjadi dua, yakni

pengobatan yang dipadukan dengan amalan dari keimanan tertentu atau tanpa

dengan amalan tertentu. Amalan dari keimanan tertentu merupakan penggalan baris-baris atau kalimat atau kata-kata tertentu, di samping diambil dari ayat-

ayat suci Alguran juga diambil dari amalan aliran penghayat kepercayaan

tertentu atau bahkan dari mantra-mantra tertentu, yang dikategorikan sebagai

mantra kejawen. Kemampuan getaran prana adalah kemampuan yang diperoleh melalui aktivitas latihan gerakan fisik disertai pengolahan pernafasan. Orang yang

secara rutin berlatih hingga mencapai tataran tertentu akan timbul kepekaan terhadap berbagai getaran prana, baik yang datang dari dalam dirinya sendiri, dari alam, maupun dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Latihan tersebut sekaligus

juga menimbulkan kemampuan untuk mengatur getaran prana yang ada pada dirinya, baik untuk ditahan dalam diri maupun untuk disalurkan pada orang lain atau benda-benda lain. Kemampuan getaran magnetik listrik dalam tubuh adalah kemampuan

yang diperoleh melalui latihan fisik disertai pengolahan pernafasan dipadukan

dengan arus listrik alam. Orang yang berlatih pada taraf tertentu dapat membuat dirinya mampu menahan getaran kekuatan arus listrik tertentu pula. Semakin sering ia berlatih, semakin tinggi kemampuannya menahan arus listrik, hingga akhirnya mencapai titik tertinggi. Namun demikian, setiap orang akan menda­

patkan titik akhir kekuatan yang berbeda-beda, tergantung dasar yang dimiliki

tubuhnya. Latihan jenis listrik ini juga dapat meningkatkan kemampuan untuk

mengendalikan dan mengalirkan arus listrik, baik di tubuhnya sendiri maupun disalurkan kepada orang lain. Penyaluran arus listrik dalam tubuh inilah yang salah satunya dapat digunakan sebagai cara-cara penyembuhan.

Yang dimaksud dengan kemampuan supranatural yang didapatkan secara langsung dari Tuhan Yang Maha Kuasa adalah suatu kemampuan yang diper­ oleh melalui puasa atau bertapa atau diperoleh secara tiba-tiba tanpa melaku­

kan suatu apa pun. Mungkin juga kemampuan supranatural yang dimiliki sese­ orang itu diperoleh dari warisan atau pemberian dari orangtuanya. Suatu ke­

mampuan dianggap berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa, bila setidak-tidaknya orang yang mendapatkan kemampuan itu memiliki keyakinan bahwa kemam­ puannya memang diperoleh dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dalam budaya Jawa ada ungkapan ngelmu iku kelakone kanthi laku, arti­ nya ilmu (dalam hal ini kemampuan supranatural) itu dapat diperoleh bila disertai dengan tindakan (tertentu). Oleh karena itu, banyak orang Jawa melakukan

sesuatu, yakni berpuasa dan atau bertapa, untuk memperoleh kemampuan

supranatural tertentu, yang sebagiannya dapat digunakan untuk menolong orang lain, seperti menyembuhkan penyakit. Kemampuan juru sembuh sema­

cam ini dikenal dengan kemampuan metafisika Jawa.



2.

Terapi Gaib dan Benda Keramat Menurut kegiatan yang dilakukan dalam menyembuhkan penyakit, setidak-

tidaknya dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh penyembuhan supranatural,

yakni: pijat, sentuh, pemusatan kekuatan tanpa menyentuh, penyembuhan jarak jauh, pemberian air putih, mentransfer penyakit, membedah (operasi),

mengajarkan gerakan kepada pasien, berdoa atau mengucapkan mantra, dan menggunakan benda-benda pusaka.

Beberapa juru sembuh melakukan penyembuhan dengan pemijatan di bagian tubuh tertentu pasien. Pemijatannya tak sekadar pemijatan secara fisik,

yang bagi masyarakat di Yogyakarta dikenal dengan pijet kesel (pijat untuk orang capai), namun pijat dengan kekuatan supranatural. Masyarakat Yogyakar­

ta membedakan antara dhukun pijet, tukang pijet, dan pijet nggone wong tuwa. Dhukun pijet adalah profesi yang dimiliki juru pijat khusus untuk bayi dan anak-anak atau orang tua dalam hubungannya dengan kandungan. Tukang

pijet adalah profesi pemijat yang dilakukan untuk orang dewasa yang kecapaian

atau mengalami keseleo atau salah urat atau sejenisnya yang bersifat fisik. Sedang pijet nggone wong tuwa adalah pijat di tempat ahli supranatural. Bagi

pasien yang dipijat akan dapat merasakan perbedaan antara pijat pada tukang pijet karena kecapaian dengan pijat pada wong tuwa untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Pijat karena sakit biasanya urut di bagian tubuh yang dipijat. Sedang pijat

supranatural hanya dipijat pada bagian-bagian tertentu saja menurut jenis penyakit yang diderita pasien. Cara pijat ini, di samping sebagai sarana penyem­

buhan, juga dipakai sebagai cara mendeteksi penyakit. Berbeda dengan pijat, sentuh merupakan cara tersendiri untuk menyem­

buhkan berbagai penyakit bagi sebagian ahli supranatural. Dalam hal ini juru

sembuh cukup menempelkan telapak tangannya pada bagian tubuh pasien,

tanpa harus memijatnya. Ada dua macam letak bagian tubuh yang disentuh, yakni bagian tubuh di sekitar bagian yang dirasa sakit dan tidak harus di sekitar bagian yang dirasa sakit. Pada sebagian paranormal, cara sentuh juga dipakai

sebagai sarana mendeteksi penyakit. Sebagian paranormal juga melakukan penyembuhan dengan cara memu­ satkan kekuatan dan menyalurkan ke tubuh pasien tanpa harus menyentuh. Umumnya pemusatan kekuatan tersebut diarahkan dulu ke telapak tangan

atau ke mulut juru sembuh. Bila kekuatan dirasa telah cukup, lalu telapak tangan juru sembuh diarahkan ke tubuh pasien tanpa harus disentuh. Bagi sebagian

paranormal, hal yang sama dilakukan dengan memusatkan pada mulut, lalu

meniupkan atau menyemburkan sedikit air ludahnya pada bagian tubuh pasien. Sebagian paranormal lagi ada yang mampu melakukan penyembuhan

jarak jauh, yakni dengan cara mengirimkan kekuatan supranaturalnya kepada pasien. Terapi semacam ini tergolong memanfaatkan kemampuan gaib. Pada sebagian paranormal, pasien diberitahu sebelumnya bahwa harus siap pada

waktu-waktu tertentu untuk bersikap tertentu dalam menerima kiriman kekuatan supranatural dari juru sembuh. Pada umumnya sikap yang dimaksud adalah

berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kemudian dengan hati pasrah dalam posisi telentang santai atau posisi duduk bersila. Sebagian paranormal

lainnya tidak perlu memberitahukan kepada pasien tentang kapan ia menyalur­ kan tenaganya. Pasien tidak harus mempersiapkan sikap-sikap tertentu kecuali

senantiasa berdoa dan pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua cara tersebut mengharuskan pasien atau keluarganya untuk datang kepada juru

sembuh dalam periode tertentu dengan maksud untuk mengecek perkembang­ an kesehatan pasien. Ada lagi paranormal yang memberikan air putih kepada pasien untuk dimi­

num atau dibasuhkan pada bagian tubuh tertentu atau untuk dicampurkan

pada air mandi pasien. Air tersebut termasuk benda sakral atau keramat. Kare­

nanya, sebelum diminum dilarang diletakkan di bawah ketiak atau kelangkahan (di bawah selangkangan). Bila diklasifikan, ada tiga macam air putih, yakni air putih saja tanpa tambahan apa pun, air putih dengan tambahan benda-benda tertentu, dan air putih yang berbau wangi. Pada dasarnya air putih tersebut

merupakan media yang dipakai sebagai alat transfer kekuatan juru sembuh,

baik yang dilakukan dengan doa, mantra, atau dengan kekuatan getaran prana

atau listrik. Air putih tadi ada yang diambil dari tukpitu (tujuh mata air) dan ada pula yang diambil dari jamban, dengan cara membelakangi jamban.

Air putih yang diberikan paranormal ada yang dibawa pasien lalu diberi doa atau kekuatan lainnya, namun juga ada yang sudah disediakan paranor­ mal bersangkutan. Ketika pasien membawa air putih, ada yang harus membisu

sampai di rumah dan ada yang harus diminum langsung di depan paranormal. Dalam hubungannya dengan benda-benda tambahan, ada beberapa jenis benda yang sering dipakai sebagai tambahan yang harus dimasukkan ke dalam

air putih yang diberikan paranormal, yakni bunga dan atau garam dan atau adas dan pulowaras dan atau kertas putih yang berisi tulisan doa atau mantra, yang dikenal dengan istilah Rajah. Sebagian paranormal lainnya menggunakan

tambahan benda lain lagi yang berbeda-beda tergantung siapa juru sembuhnya dan sakit yang diderita pasien.

Dalam hubungannya dengan air putih yang berbau wangi, sejumlah par­

anormal menggunakan minyak wangi sejenis minyak Arab, Japaron, Misik, dan sebagainya. Namun demikian, seorang ibu yang bernama Sulis pernah menceritakan panjang lebar tentang pengalamannya berobat ke paranormal.

Ketika anaknya sakit kuning dibawa ke paranormal yang bernama K.H. Asnuri di Pandak, Bantul, Yogyakarta. Oleh paranormal tersebut Bu Sulis diberi air putih yang wangi yang dikeluarkan dari kelima ujung jari kanan paranormal

tersebut. Air wangi tersebut dipakai untuk membasuh muka anaknya yang sakit. Dengan cara ini, si penderita akan berkurang sedikit demi sedikit penya­ kitnya. Pasien akan merasa dingin dan seolah-olah ada pancaran zat yang

merasuki tubuhnya.

3. Memindahkan Penyakit dan Operasi Tubuh Yang dimaksud memindahkan penyakit adalah cara-cara yang dilakukan

paranormal dalam menyembuhkan pasien dengan cara sedemikian rupa se­ hingga penyakit si pasien bisa pindah ke benda lain atau binatang. Sebagian

paranormal menggunakan benda lain berupa telur ayam Jawa atau ayam kam­ pung yang pertama kali (telur pertama dari ayam yang bertelur pertama kalinya) atau dalam istilah Jawanya endhog tembeyan. Sebagian paranormal lainnya

tidak mengharuskan dengan endhog tembeyan, namun asal telur Jawa yang

masih baik dan bersih (belun dierami dan belum rusak atau istilah Jawanya abor).

Adapun binatang yang sering digunakan sebagai objek transfer penyakit antara lain ayam Jawa (ayam kampung), kelinci, anjing, atau kambing. Yang perlu diperhatikan adalah jenis kelamin binatang tersebut harus sesuai dengan jenis kelamin pasien. Namun demikian, ada juga paranormal yang tidak harus

menyamakan jenis kelamin tersebut. Pak Yasin, seorang guru tari di Wates menceritakan, ketika istrinya sakit

lever kronis lalu dibawa ke Yayasan Tri Tunggal di daerah Tambak Bayan, Yogyakarta. Oleh Pak Santo, ketua yayasan tersebut, penyakit yang diderita istri Pak Yasin kemudian dipindahkan ke binatang anjing. Dengan cara seakanakan jari dan tangan Pak Santo memindahkan sesuatu dari dalam perut Bu

Yasin ke dalam perut anjing. Setelah itu, anjingnya disembelih dan dilihat bagian hatinya. Ternyata hati anjing tersebut berwarna hitam dan berbusa, tampak

seperti terserang penyakit. Pak Dayat dari Gamping Sleman menceritakan ketika tubuhnya terasa sakit dan persendiannya pegal-pegal, dirinya pergi kepada seorang paranor­

mal bernama Pak Taksis, di daerah Kuncen, Wirabrajan, Yogyakarta. Oleh paranormal itu, ia disuruh mencari telur ayam Jawa yang baik untuk mentransfer

penyakit yang dideritanya. Paranormal tersebut lalu mentransfer penyakitnya dengan cara mengoles-oleskan telur tersebut ke telapak tangan, leher, dan

kepalanya. Akhirnya telur tersebut disuruh membuang ke sungai atau laut. Ada lagi beberapa paranormal di Yogyakarta yang menyembuhkan pe­

nyakit pasiennya dengan cara membedah atau mengoperasi bagian tertentu yang dirasa sakit. Dalam mengoperasi, ada paranormal yang menggunakan

pisau tajam seperti pisau bedah, namun ada juga yang hanya menggunakan silet, atau bahkan ada yang menggunakan kulit bambu atau dalam bahasa

Jawa disebut weladan. Dalam proses operasi, umumnya tidak digunakan bius dan sejenisnya, namun pasien tidak merasa sakit. Bahkan, setelah penyakitnya

diambil, kulit bekas operasi tersebut diusap dengan telapak tangan paranor­ mal hingga pulih kembali dalam sekejab.

Di wilayah Kartasura, Surakarta, ada pengobatan supranatural juga yang

dapat mengoperasi segala penyakit tanpa membedah tubuh. Juru operasi adalah

seorang wanita yang menggunakan perewangan. Perewangan berasal dari seorang bayi yang tiba-tiba menghilang dari gendongan juru sembuh itu. Bayi itu

akan hadir saat diminta menyembuhkan. Proses penyembuhan dan operasi

berlangsung di ruang khusus. Setelah berdandan dengan busana putih sambil memegang cemeti kecil, juru sembuh akan bersuara seperti anak kecil sebagai

pertanda kerasukan. Pada saat itu dimulailah pengobatan pasien satu demi satu.

Penyakit dari tubuh pasien juga dapat dipindahkan ke benda lain. Benda yang diminta untuk pemindahan penyakit biasanya berupa degan hijau, pisang raja, dan kunyit. Benda itu harus dilarung (dibuang) di sungai yang mengalir, saat pasien pulang. Terapi supranatural ini juga menggunakan berbagai obat

tradisional berupa ramuan. Obat tak disediakan juru sembuh, melainkan akan

ditunjukkan secara lisan. Juru sembuh pun akan langsung memberikan pantangan-pantangan pada pasien bilamana perlu.

4. Mengajarkan Gerakan Tertentu Ada beberapa paranormal.berpedoman bahwa orang yang sakit akan

lebih cepat sembuh bila ia mampu menyembuhkannya sendiri. Oleh karena

itu, paranormal yang bersangkutan sering mengajarkan gerakan-gerakan tubuh

untuk mengobati dirinya sendiri, terutama pada paranormal yang mengusaha­

kan kesehatan masyarakat dengan jalan kekuatan prana atau listrik, sehingga metode geraknya memang harus teratur dan rutin. Misalnya, senam dan me­

ditasi “Anugerah Agung” yang berpusat di Jalan Parangtritis, Yogyakarta.

Hampir semua paranormal di Yogyakarta mendasari penyembuhannya dengan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kiranya bentuk doanya tidak

perlu disebutkan di sini, karena pada umumnya paranormal menyerahkan cara doa sebagaimana yang diajarkan pada keimanan masing-masing pasien.

Namun demikian, paranormal lainnya juga menggunakan mantra sebagai pembuka kekuatan supranaturalnya. Ada yang menarik dalam hal mantra yang

diucapkan sebagian besar paranormal. Mereka menyebut-nyebut semacam

roh halus yang menguasai diri pasien, makhluk halus yang menguasai tanah di sekitar tempat tinggal pasien, dan makhluk halus yang menguasai tempat tinggal paranormal yang bersangkutan. Sebagai contoh seorang paranormal

di Tegal Reja, Yogyakarta, tempat Pangeran Diponegoro pernah tinggal, mengucapkan mantranya sebagai berikut.

Myaf ingsun anyebut panjenengane gusti Pangeran Diponegoro kang

rumeksa ing padesan kene...Niyat ingsun anyebut kaki among lan nini among, kakang kawah adhi ari-ari, ya sedulur papat lima pancer, kang ngreksa jiwa ragane s/... (nama pasiennya)....Niyat ingsun anyebut sakabehing kang rumeksa desa...(tempat tinggal pasien), sanjabaning

wangon sajeroning wangon.... ‘Saya berniat menyebut beliau gusti Pangeran Diponegoro yang menguasai desa di sini...Saya berniat menyebut kakek pemelihara dan nenek pemelihara, kakak ketuban dan adik pusar, ya saudara berempat

yang kelima pusat, yang menguasai jiwa raga si...Saya berniat menyebut

semua yang menguasai desa..., baik di luar batas maupun di dalam batas....’

Pada sebagian paranormal yang menggunakan mantra, mereka juga tampak membakar dupa atau hio atau kemenyan serta bunga dan sesajian sederhana. Kemenyan termasuk jenis harum-haruman yang disukai makhluk

halus. Karenanya, tak mustahil, kalau paranormal juga menyebut nama-nama roh leluhur, sebagai perantara penyembuhan. Sejumlah paranormal tampak menggunakan benda-benda pusaka sebagai

salah satu alat atau media dalam penyembuhannya. Pusaka-pusaka tersebut

berupa keris, batu akik, patung batu kecil, wayang dari logam kecil, dan lain-

lain. Sebagian paranormal menggunakannya secara langsung, yakni dengan menempelkan di atas tubuh pasien, sebagian lainnya hanya mengaku meng­

gunakan benda-benda pusaka yang dimilikinya tanpa pernah memperlihatkan­

nya. Paranormal yang mengaku bernama Ibu Darma, tinggal di Minomartani, Sleman, mengaku dibantu para roh halus penjaga pusakanya yang berujud

keris, golek kencana, cumpet, dan batu akik.

B. Paranormal dan Gendam Dari semua paranormal yang melengkapi penyembuhannya dengan jamu atau obat tradisional, sebagiannya menyatakan bahwa obat atau jamu tradi­

sional yang diberikan kepada pasiennya didapatkan melalui meditasi. Bila hal

ini yang terjadi, maka bisa dipastikan bahwa ramuan yang diberikan sangat beragam, tidak sama antara pasien yang satu dengan yang lain, meskipun penyakitnya sama.

Paranormal yang mengaku bernama Pak Untung, tinggal di Nalagaten, Yogyakarta, memberitahukan kepada setiap pasiennya daun atau pohon apa saja yang harus diambil sebagai jamu. Beliau mengaku bahwa bisa berjam-

jam untuk melakukan meditasi hingga mendapatkan jamu tersebut. Oleh karena

itu, setiap pasien hanya dicatat keluhan-keluhannya dulu, baru setelah dua

tiga hari disuruh datang untuk menanyakan obat atau jamunya. Seorang bapak yang berasal dari Kricak Kidul yang anaknya sakit sering kejang-kejang karena

diserang virus toxoplasmosis disuruh merebus daun kapuk randu lima lembar untuk menurunkan panasnya. Di samping itu, ia harus mencari daun tapak (iman dan pohon ciplukan untuk direbus sebagai jamu rutin setiap hari dan

diminum pagi dan sore.

Seorang paranormal dari Giripeni, Wates, Kulonprogo, bernama Pak Ma-

ngun Sabdapramana mengaku harus semalaman bermeditasi untuk mendapat­ kan obat atau jamu bagi pasiennya. Seorang yang bernama Sunarja dari Brebah, Sleman, Yogyakarta, menceritakan ketika anaknya sakit sering panas

pada malam hari hingga kejang-kejang, akhirnya sembuh setelah disuruh Pak

Mangun mencari ubi ketela pohong yang masih terpendam di tanah, tetapi batang pohonnya telah dicabut (bahasa Jawanya: tela paya). Ubi ketela pohong

tersebut direbus dan airnya diminum. Sejumlah paranormal mengaku melengkapi proses penyembuhannya dengan jamu atau obat atau bedak. Jamu tersebut merupakan warisan

pengetahuan dari orangtuanya. Paranormal yang beralamat di Perumahan Minamartani, Sleman, Yogyakarta, yang mengaku bernama Ibu Sampurnawati,

mengaku mendapat pengetahuan tentang bedak yang dibuatnya dari ibunya.

Namun kemudian, ia mendapat tambahan pengetahuannya dari meditasi untuk

bertemu dengan penunggu pusakanya, sehingga bahan ramuan bedaknya menjadi bertambah. Bahan ramuan tersebut ialah minyak wangi-wangian, air putih (khusus dari sumber tertentu dari meditasi), kencur, daun wora-wari, kunir, daun randha semaya, dlingo, pandan wangi, bengle, remujung, ampo, daun otot-otot, asam, rumput teki, garam, puyang, bunga-bunga wangi yang berwarna

putih, dan minyak kayu putih.

Paranormal lain yang bernama Mbah Bandi, beralamat di Pripih Kokap, Kulonprogo, Yogyakarta menyembuhkan pasiennya dengan cara yang berbeda,

menurut suara gaib yang ia terima dalam meditasi, la juga melengkapi dengan membuat bedak serbaguna, yang sebagaian bahannya didapat dari pengetahuan orangtua ditambah bahan-bahan hasil rrrditasi. Bahan-bahan

bedak tersebut ialah kencur, sunthi, jahe, adas, pulowaras, puyang, daun kelor, daun sirih, bawang merah, bawang putih, garam, dan kemenyan.

Bahan kemenyan dipilih kemenyan wangi yang kemudian diberi mantra lalu dibakar sebentar sehingga belum sampai habis. Sisa kemenyan bakar

itulah yang kemudian ditumbuk bersama-sama dengan bahan lainnya untuk dijadikan bedak. Bedak ini digunakan untuk mengolesi bagian-bagian yang

sakit atau yang dekat dengan penyakit pasien. Gendam juga dapat dilakukan dengan cara nggedrug tanah tiga kali. Pada

saat gendam dilaksanakan, pasien diharapkan tidur telentang. Juru gendam akan menggunakan sirih kuning, dioles-oleskan dengan air dingin ke tubuh pasien, baru digendam. Penggendaman dilaksanakan dengan menginjak tanah

atau lantai, kemudian tangan juru sembuh dilayangkan di atas pasien. Pada

saat itu, sirih yang dipegang juru sembuh digunakan untuk mengambil penyakit, digoyang-goyangkan pada tubuh pasien. Sirih itu harus dilarung di sungai yang mengalir.

C. Supranatural Menggunakan Prana 1. Penyembuhan Model Prana Pengobatan dengan tenaga dalam pada hakikatnya memanggil dan

menyalurkan hawa mumi sendiri ke bagian-bagian yang dirasa sakit. Tujuannya memberi hawa sejuk dan bersifat membersihkan sesuatu yang mungkin

mengotori bagian-bagian badan tersebut. Setiap orang memiliki hawa mumi. Persoalannya, tidak semua orang mam­

pu memanfaatkan hawa murni tersebut untuk pengobatan dan mengobati. Ke­ ahlian ini memerlukan latihan dan bimbingan dari ahli tenaga dalam lainnya.

Berdasarkan hal tersebut, pengobatan tenaga dalam hanya dapat dilakukan

oleh orang yang mampu memanfaatkan prana (hawa murni) tersebut. Cara yang dapat dilakukan ialah dengan melatih kepekaan dan meditasi.

Salah satu perguruan tenaga dalam di Yogyakarta yang mulai berkembang pesat adalah kelompok Trisakti Jogja, yang berpusat di Banguntapan, Bantul,

Yogyakarta. Kelompok ini secara periodik melakukan latihan kenaikan tingkat keahlian anggotanya, sambil melakukan bakti sosial dengan membuka peng­ obatan bagi masyarakat secara gratis. Untuk penyakit ringan, seorang pasien ditangani satu ahli prana (penyembuh). Namun, untuk penyakit yang sudah

dirasa berat/lama, perlu ditangani beberapa ahli prana secara bersamaan. Metode yang digunakan para ahli prana ada dua macam, yaitu (1) menyalur­

kan hawa mumi dan sekaligus mengambil “sesuatu” yang dirasa menjadi pe­ nyebab adanya gangguan penyakit, cara ini sama sekali tidak melakukan pe-

nyentuhan (kontak langsung) antara penyembuh dengan badan pasien, dan (2) dengan pijat badan untuk menyalurkan hawa mumi yang berkekuatan prana.

Cara pertama, sebagaimana ditunjukkan perguruan tenaga dalam Trisakti Jogja, melakukan proses pengobatan dengan menyalurkan prana mumi ke

dalam badan pasien, terutama bagian-bagian yang dideteksi menjadi sarang penyakit. Pada proses ini dilakukan juga pembersihan segala sesuatu yang

juga memiliki tenaga dalam, misalnya cincin batu akik, tenaga elektromagnetik

pada senjata yang sering digunakan (keris), jam tangan, atau kalung. Barangbarang tersebut perlu dilepas atau dinetralkan energinya sebelum dilakukan

proses penyembuhan dengan tenaga prana. Ramuan untuk membantu percepatan penyembuhan pasca-penyembuhan

dengan tenaga prana hanya disuruh minum air putih sesering mungkin. Untuk itu, air putih yang disediakan perguruan ini sudah “diisi” terlebih dahulu dengan

tenaga prana. Dianjurkan juga agar pasien banyak memanjatkan doa kesem­

buhan dan menyandarkan keadaannya kepada Sang Pencipta.

Pengobatan tenaga dalam jenis kedua ialah dengan kontak langsung an­ tara penyembuh dan pasien. Caranya dengan pemijatan. Proses ini diperlukan

untuk membangkitkan dan menyalurkan tenaga dalam murni ke dalam badan pasien. Cara ini ditempuh Bu Darmo, seorang ahli pijat tenaga dalam, beralamat

di Jalan Lele III, Perumahan Minomartani, Sleman, Yogyakarta. Menurut peng­

akuannya, tenaga dalam diperoleh setelah melakukan /aku prihatin sejak kecil dan nasib baik karena dipilih Sang Pencipta untuk menjadi penyembuh. Dalam proses pengobatannya, Bu Darmo membuat sejumlah ramuan pijat

yang dicampur dan kemudian digunakan untuk memijat pasien. Pada proses

pemijatan itulah ia menyalurkan hawa murni (prana) yang bersifat elektrik ke

bagian-bagian badan pasien yang tengah dipijatnya. Proses pemijatan biasanya memerlukan waktu selama 1-2 jam.

Andalan tenaga dalam adalah mengolah prana. Prana berarti nafas. Karena itu, penyembuhan tenaga dalam juga disebut olah prana atau olah

pernafasan. Di Yogyakarta, sangat banyak pengobatan model prana. Mereka

telah membentuk paguyuban, nama organisasi informal yang digunakan

sebagai ajang pelatihan pengobatan. Praktik pengobatan prana, sebenarnya tergolong self health care pro­

gram, artinya bimbingan untuk mengatasi segala problem kesehatan secara mandiri. Menurut mereka, yang dapat menyembuhkan penyakit adalah diri sendiri, melalui olah prana. Misalkan saja Paguyuban Anugerah Agung, di Jalan

Parangtritis Km 6,5 (barat Kampus ISI Yogyakarta), penyembuhan prana ditempuh melalui senam pernafasan, pembangkitan bioenergi, penyerapan energi alam-meditasi, dan pengobatan prana. Hal yang sama juga dilakukan Paguyuban Tri Tunggal, Tambak Bayan,

Yogyakarta. Paguyuban ini menerapkan penyembuhan melalui tenaga dalam dan bisa jarak jauh, bahkan melalui televisi pun seorang pasien dapat diobati. Yang unik, paguyuban ini juga sering menjalankan ruwatan rutin. Menurut me­ reka, orang yang sakit tergolong sukekrto (kotor), karena itu harus dibersihkan

(diruwat). Jika penyakit telah tergolong kritis, penyembuhan dilakukan dengan

memindahkan penyakit ke hewan. Hewan yang biasa digunakan adalah

kambing. Melalui pemindahan penyakit ke seekor kambing, akan kelihatan bagian mana yang sakit. Kambing yang digunakan untuk memindahkan penyakit tadi

disembelih dan dilihat bagian mana yang ada tanda-tanda bintik hitam, di situlah

bagian yang diserang bibit penyakit dan perlu diobati. Dari hewan itu pula akan terlihat apakah pasien menderita penyakit kronis atau tidak. Namun de­

mikian, para penyembuh selalu menyatakan bahwa dirinya hanya nglantarake (menjadi pengantar) Tuhan. Kendati penyakit telah dipindahkan ke tubuh

hewan, kesembuhan juga tergantung kepada anugerah Tuhan.

Yang unik, penyebuhan prana juga menggunakan ramuan obat tradisional.

Menurut penjelasan mereka, di samping meditasi dan atau pernafasan, demi percepatan kesembuhan penyakit perlu ditunjang dengan ramuan obat. Kon­

sumsi ramuan obat diambil dari ramuan sehat Suhamu, beralamat di Puri Sewon Asri E1, Bantul. Ramuan terdiri dari daun-daun obat tradisional, yaitu sambilata, sembung, benalu, tapak liman, dan keji beling. Dari pengobatan meditasi dan ramuan ini ternyata ada seorang pasien luar negeri bernama Longle (Jerman)

yang semula kalau kencing terasa panas, setelah diobati bisa sembuh. Pro­ sesnya melakukan meditasi dan minum ramuan % bulan secara rutin, akhirnya batu-batu yang ada di kantong kemih dapat dicairkan dan menjadi sembuh.

Bahkan, sebelum mengonsumsi jamu tradisional ini tubuhnya terasa lemah

dan semangat bekerja rendah, sebaliknya sekarang memiliki vitalitas tinggi. Begitu pula pengalaman Suryo Silvester dari Rungkut, Surabaya, dan Prof. Enoki dari Osaka, Jepang. Penyakit kencing manis (diabetes militus)

dan lever yang mereka derita menjadi sembuh setelah rajin minum ramuan

tersebut. Begitu pula seorang pasien bernama Suhamo (67 tahun) yang semula tidak memiliki gairah hidup, setelah minum ramuan dan melakukan meditasi menjadi prima. Dia juga memiliki nafsu syahwat yang handal kembali.

2. Kunci Penyembuhan Prana Hal senanda juga dilakukan Healing Energy Studio, Jalan Arteri (Ring Road Utara) Km 1,5/08, RT/RW 05/50, Gondangan, Maguwaharjo, Depok, Sleman Yogyakarta. Kelompok ini telah memiliki sejenis pertapaan atau

sanggar. Di tempat ini, mereka sebut sebagai penyembuhan tenaga prana. Karenanya, aktivitas penyembuhan ditempuh melalui ritual-ritual batin. Ritual

batin harus dilakukan dengan kesungguhan hati seorang pasien.

Pertapaan ini bersimbulkan bejana kendil Jawa. Di bejana ini ditanami sebuah pohon yang dapat bermanfaat bagi penyembuhan penyakit apa saja. Tumbuhan yang ditanam berasal dari Inggris. Bentuknya menyerupai cocor bebek. Mereka bersemboyan, tidak ada penyakit yang tidak dapat disembuh­

kan, kecuali kalau si penderita malas berobat. Kunci utama penyembuhan alternatif di sini adalah berani untuk mencoba, bersemangat, pantang menye­

rah, berani berjuang melawan penyakit, dan percaya bahwa Tuhan selalu mem­ berikan yang terbaik bagi manusia. Itulah sebabnya aneka penyakit berat dapat disembuhkan, seperti stroke, hepatitis, kanker, kencing manis, jantung, beri-

beri, tipus, radang lambung, tumor, dan batu ginjal.

Dalam penyembuhan, akan berusaha mengaktifkan energi dasar melalui ritual. Setelah energi dasar terbangkitkan, barulah aura tujuh lapis, cakra braja,

cakra bawana, cakra sendang, dan cakra pamungkas. Berbagai cakra ini di­

bangkitkan untuk mendapatkan kejernihan batin. Dari situ akan terkumpul energi alam sejati dari suprametastatiska. Ritual dilakukan khusus pada Malam Jumat di lereng Gunung Merapi, tepatnya di wilayah Alas Subali, Cangkringan.

Alas Subali merupakan gerbang pegunungan berdimensi empat yang menghu­

bungkan dimensi manusia dengan dimensi alam jin. Bentuk ritual yang dila­ kukan adalah hening dan penyatuan dengan siklus kekuatan alam melalui energi resonansi indra pendengar serta fokus pemecahan suhu homogin di

alam.

Untuk menjadi tukang terapi pengobatan prana memang tidak mudah.

Persyaratan utama adalah telah berumur akhil balig (18 tahun) dan memiliki niat bersih. Artinya, setelah menguasai prana yang digabung dengan kekuatan

benda-benda gaib, harus semata-mata bertujuan luhur untuk menolong pihak lain. Kekuatan gaib dari diri maupun benda tidak boleh untuk berbuat congkak,

apalagi memperdaya pihak lain. Media terapi supranatural berupa benda-benda gaib, yaitu sabuk berenergi

yang dibuat dari mori putih yang sudah tersimpul atau terkunci rapat oleh mistika energi. Ukuran sabuk gaib ini 1x3 meter, dikenakan di pinggang. Di samping

itu juga diberi gelang dari galih timoho berenergi tinggi yang sudah diprogram dengan sensorik metafisika. Satu lagi benda gaib yang juga diberikan pada

calon supranaturalis adalah cincin metal berenergi cakra flekhsus merah.

Berbagai media supranatural tersebut dikenakan peserta lalu melakukan prana dan kejawen dengan jalan meditasi. Dengan cara ini, mereka akan dapat menyembuhkan aneka penyakit, baik yang ada dalam dirinya sendiri mapun

orang lain. Penyembuhan tenaga dalam (prana) memang bermacam-macam. Yang

sangat lazim, prana menerapkan sistem pernafasan atau meditasi. Pernafasan adalah terapi yang masih mumi secara alamiah menyatukan energi, sedangkan meditasi biasanya berupa penyembuhan prana yang telah diramu dengan mistik

atau sufisme. Keduanya tetap menjadi andalan bagi penyembuhan tenaga

prana. Melalui pernafasan dan meditasi, penyembuh akan menstransfer energi

bioelektrik dan tenaga asma. aura. Dari sini, aneka penyakit, seperti SARS,

tumor, atau jantung koroner, dapat disembuhkan. Dengan transfer tenaga aura.

memungkinkan manusia melihat alam gaib. Setelah aura dibuka, diberi tenaga bioelektro magnetik, dunia gaib yang sensitif dapat terlihat. Maka, secara tak

langsung, seseorang dapat memagari diri dari gangguan makhluk supranatural. Penyembuhan serupa, menurut Zainal Arifin, seorang penyembuh yang

beralamat di Ledok Tukangan Dn II 229, Yogyakarta, tetap tidak menyimpang

dari akidah agama. Bahkan, jika hal itu dilakukan dengan kesungguhan hati,

semua gangguan makhluk halus dan gangguan dukun-dukun palsu akan ter­ patahkan. Hal ini berarti melalui penyembuhan tenaga dalam akan mampu mencegah dan sekaligus membersihkan diri dari gangguan roh halus.

D. Klinik Pengobatan Alternatif Yogyakarta sebagai basis budaya tradisi memang amat kaya bidang

pengobatan alternatif. Para pelaku yang bergerak di bidang pengobatan alter­ natif umumnya berlandaskan pengetahuan spiritual Jawa yang matang. Mi­ salkan saja, Nur Rohmah, beralamat di Jalan Sidomukti No. 5, Ngasem, Ke­

camatan Keraton Yogyakarta, tepatnya Pasar Burung Ngasem ke utara sedikit, ada jalan pertigaan pertama belok ke kiri kurang lebih 30 meter, depan Toko Dagadu, sebelah selatan jalan. Di klinik tersebut berbagai macam penyakit,

seperti asam urat, ayan, asma, diabetes, darah rendah, darah tinggi, kencing batu, ginjal, lever, kencing nanah, lemah jantung, maag, syphilis, dan rematik, dapat disembuhkan.

Klinik pengobatan alternatif juga dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan gangguan non-medis. Di antara penyakit gangguan non-medis yang dapat disembuhkan yaitu terkena teluh (sanffief), terkena guna-guna (pelet),

kesurupan jin, buah pelir hilang karena gangguan jin, dan bisu mendadak. Semua

gangguan penyakit ini diterapi menggunakan mantra-mantra sakti.

Terapi pengobatan alternatif boleh dikatakan serba bisa. Begitu pula

mengatasi segala gangguan dari makhluk halus yang akan mengancam hidup

manusia. Berbagai gangguan makhluk halus dapat diterjang oleh pengobatan alternatif, seperti memindahkan jin (gendruwo) yang mengganggu rumah, mengembalikan wujud asli gendruwo yang suka menyerupai manusia, menghentikan niat jelek gendruwo yang suka mengoleksi celana dalam wanita, dan mengatasi anak yang rewel atau menangis terus-menerus.

Di samping itu, pengobatan alternatif juga dapat menyembuhkan berbagai penyakit yang disebabkan oleh racun maupun gigitan hewan. Racun ular kobra,

sengatan lebah, sengatan kelabang, dan lain-lain dapat disembuhkan. Caranya,

disedot menggunakan cincin ajaib penyedot racun. Yakni, cincin dioleskan pada tempat yang digigit atau disengat hewan. Cincin tersebut akan berdiri

selama 3-5 menit dan menyedot racun. Akibatnya, orang yang terkena racun akan tertolong, dan racun tidak akan sampai menyerang otak.

Hal semacam itu pernah dialami informan bernama Uun Mostofa, seorang muslim taat di wilayah Pendowoharjo, Bantul. Dia pernah digigit ular sawah

ketika memancing belut di persawahan. Pertolongan yang dilakukan teman hanya dengan melokalisir racun dengan mengikat tangan dengan sangat erat dan kuat agar racun tidak merambat ke otak. Namun, pertolongan semacam itu tetap tidak berhasil, sehingga cepat dilarikan ke pengobatan alternatif. Kemudian, bekas gigitan ular tadi segera disedot dengan menggunakan cincin ajaib dan akhirnya sembuh, tanpa bengkak sedikit pun.

Ada lagi terapi pengobatan alternatif yang dilakukan M.W. Yitno Basuki

Langgeng, Bangunrejo RT 53/RW 12, Kricak. Cara pengobatan penyakit menggunakan terapi air suci yang diramu dengan energi metafisika, intisari, doa kepada Tuhan. Pengobatan penyakit seperti TBC, baiuk, mengguk, kencing

manis, rematik, kasus ketagihan miras serta obat-obat terlarang dapat diberikan minuman air suci dan ramuan obat tradisional. Obat-obat tradisional tersebut

berjumlah 42-an macam. Yang menarik lagi, dia juga melayani pengobatan jarak jauh. Hal ini khusus

bagi pasien yang sudah sulit diantar ke tempat praktiknya, fotonya dibawa ke dia dan segera disembuhkan. Penyembuhan dengan cara melihat foto dan

diberi ramuan serta air suci. Air tersebut harus diminum sekali habis. Tentu

saja ketika pasien berobat kepadanya harus bersabar dan sekurang-kurangnya tiga kali penyembuhan. Jika tiga kali pengobatan telah ada perubahan, tentu akan ditambah ramuan lagi, begitu pula sebaliknya. Jika sekali datang telah sembuh pun, pasien harus kontrol lagi, untuk penyembuhan total berikutnya.

Bagian XV DUKUN, KLENIK, DAN MAGI A. Petilasan: Sentral Dukun, Magi, dan Gaib Petilasan berasal dari kata tilas (bekas). Petilasan berarti bekas tempat

keramat. Bekas tersebut berupa tempat khusus yang dianggap wingit dan bertuah. Petilasan dapat berujud kuburan atau peninggalan lain. Tempat itu

dianggap memiliki berkah dari para leluhur. Apalagi kalau leluhur yang mening­ gal di situ seorang yang sakti, berwibawa, dan berpengaruh di masyarakat, maka akan dianggap ada tuahnya.

Dunia perdukunan, magi, dan gaib amat erat hubungannya dengan petilas­

an di Jawa. Setiap Malem Selasa Kliwon atau Jemuwah Kliwon para dukun sering pergi ke petilasan yang mereka anggap dapat memberikan sesuatu. Di tempat itu para pelaku dunia aneh ini sebagian besar melakukan ritual menurut

tradisi masing-masing. Ada di antara mereka yang memulai ritul sejak sore hari hingga larut malam, ada pula yang sengaja mulai jam 12 malam sampai

gagatrahina (pagi). Masing-masing memiliki tata cara berbeda satu sama lain,

bahkan di antara mereka ada yang melaksanakan ritual menurut petunjuk sang guru. Apa yang dicari di petilasan juga amat beragam. Para penggemar perdu­

kunan, dunia magi, dan gaib memiliki tujuan yang berbeda-beda. Ada pelaku

yang memiliki tujuan politis, misalkan agar menang dalam mencalonkan presi­ den RI, mereka ke makam leluhur yang pernah berjasa kepada negara. Ada

juga yang sengaja untuk kemenangan dalam pencalonan lurah atau perangkat desa yang kecil-kecil, lalu ke petilasan eyangnya. Ada lagi yang memang pergi

ke petilasan untuk tujuan kesaktian tubuh, untuk tujuan pelarisan, prewangan, dan sebagainya. Tujuan-tujuan ke petilasan itu amat subjektif dan masing-

masing juga tak ada yang keliru dan benar. Semua yang pergi ke petilasan

memiliki hak asasi.

Umumnya, orang yang mendatangi petilasan bermaksud tirakat. Tirakat adalah laku mistik orang Jawa melalui sesirik. Sesirik artinya ngengurangi (mengurangi) atau mencegah makan dan minum serta mengekang hawa nafsu.

Pada waktu sesirik di petilasan yang dilakukan adalah nenepi (semadi). Inti

semadi di tempat itu adalah nyenyadhong (nyenyuwun berkah). Berkah bisa berupa wahyu, pulung, dan ndaru. Seluruh kabegjan (keberuntungan) misterius ini hanya bisa diraih oleh orang yang mampu berkomunikaksi dengan hal-hal gaib. Karena itu, pada saat hadir di tempat keramat (makam) leluhur benar-

benar harus melalui petung memet (perhitungan Jawa yang jeli). Di wilayah Jawa, ada ribuan petilasan yang sering dijadikan sentral para

pelaku kejawen. Di daerah Jawa Tengah, para dukun, pelaku magi, dan gaib sering menuju petilasan Kadilangu Demak. Di situ ada yang sekadar ziarah

dan ada pula yang memohon kepada Sunan Kalijaga agar terkabul cita-citanya. Di wilayah Gunung Srandil Cilacap dan Jambe Pitu, khusus yang ingin kaya

dan naik jabatan sering menuju ke sana. Di wilayah Kecamatan Kertek, Wono­

sobo, ada tradisi suran yang berhubungan dengan petilasan Sunan Puger,

Kyai Jaka Sura, dan Tuk Suradilogo. Di berbagai petilasan ternyata telah me­ miliki hari-hari khusus dan ritual tertentu.

Di Yogyakarta juga amat banyak petilasan yang menjadi titik sentral para pelaku kejawen. Setiap bulan Sura, biasanya orang Jawa berduyun-duyun

melakukan tirakat di wilayah Parangkusuma, Parangtritis, Bantul. Mereka

seakan napak tilas Kanjeng Panembahan Senapati dengan Ratu Kidul yang pernah berjumpa secara mistis di cepuri Parangkusuma. Di makam Imogiri,

Bantul, hampir setiap Malem Jemuwah Kliwon penuh orang yang melakukan tirakat. Mereka memohon pada leluhur, khususnya Kanjeng Sultan Agung

Hanyakrakusuma. Di kompleks petilasan ini ada yang disebut pajimatan, yaitu tempat mendapatkan jimat (pusaka). Puncak desa Pajimatan yaitu makam Imogiri, berasal dari kata ima (puncak, awan yang di atas bukit) dan giri (gunung). Imogiri berarti puncak bukit, juga puncak mendapatkan berkah. Di Yogyakarta sebelah timur juga ada makam Wot Galih, yang sering dipenuhi para pelaku kejawen. Di sini dimakamkan Panembahan Purubaya I,

II, III, Gusti Timur, Ki Ageng Wirasaba, dan lain-lain. Di tempat ini sering dilakukan ritual semadi dan nyekar memohon berkah. Tempat ini juga sejajar

dengan petilasan di Playen, Gunung Kidul. Di tempat ini disemayamkan para

pembesar Kerajaan Mataram, antara lain Ki Sureksa Puspito. Di petilasan ini

juga disemayamkan makutha Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Giring, sehingga

diyakini ada wahyu gagak emprit (wahyu yang dapat menerangi hati para

pelakunya).

B.Dunia Perdukunan 1. Dukun Suwuk dan Pupuk Di Yogyakarta, hampir setiap kecamatan, ada seorang dukun bayi. Dukundukun tersebut biasanya belajar secara tradisional. Mereka menurunkan profesinya, memijat ibu dan bayi, secara turun-temurun. Karenanya, mereka menganggap dukun bayi adalah sebuah pulung (takdir). Dengan pulung itu,

sebagian dukun bayi di Yogyakarta lebih mengandalkan kemampuan batin. Mereka umumnya banyak laku prihatin dan memiliki pusaka tertentu. Hal ini

sekaligus sebagai wahana mengundang pasien (bayi). Tanpa ada backing

spiritual, seorang dukun bayi akan kalah bersaing dengan tenaga medis dan dukun pijat yang lain.

Kendati sebuah pulung, namun sebagian juga ada yang diberi pendidikan khusus dari puskesmas. Bekal medis sering diberikan petugas puskesmas

melalui pelatihan. Namun demikian, bagi seorang dukun bayi, yang penting berani menjalankannya. Karena itu, sistem pendidikan turunan dengan cara

magang lebih banyak mereka tempuh. Sistem magang ditempuh dengan cara

mengikuti dukun bayi yang senior ketika diundang ke mana-mana. Pada saat itu dukun yunior harus membantu dan mempratikkan berbagai hal, mulai dari ' menangani sang ibu sampai merawat bayi. Menurut Yu Muhadi, seorang dukun

bayi di wilayah Ngrukem Rt 18, Krandohan Pendowoharjo, Bantul, belajar dukun

bayi harus bermodalkan cekatan (terampil). Yang pertama kali harus dilakukan ketika menangani dukun bayi adalah

menolong ibu agar cepat melahirkan. Kedua, mempercepat melahirkan, dengan cara memijat sang ibu pelan-pelan, menggunakan perasaan, dan mantra-man­

tra. Ketiga, harus menolong kelahiran bayi. Pertolongan yang diberikan antara lain mencabut bayi dari rahim, jika memang telah memungkinkan dikeluarkan.

Biasanya, setelah bayi kurang lebih telah keluar dua pertiga dari rahim harus

segera dikeluarkan agar mampu menghirup udara (weruh padhange hawa).

Setelah bayi keluar, dukun bayi harus memotong tali pusat (puser). Pemotongan menggunakan welat (bambu wulung). Bambu yang diambil harus masih hidup (berdiri), diseset (diirat) sedemikian rupa, sehingga ada bagian

tajam. Welat diiriskan pada tali pusat, caranya didasari dengan kunyit kuning

dan daun dadap. Pemotongan harus secepat kilat agar tidak banyak darah yang keluar di tali pusat tersebut. Hasil potongan tali pusat biasanya dibungkus dengan kapuk kapas, di­ simpan baik-baik, dijadikan satu dengan ari-ari (adik bayi). Karena itu, tugas

dukun bayi sesudah merawat bayi dengan sempurna, segera membersihkan

ari-ari. Ari-ari dimasukkan ke dalam periuk tanah, diberi ubarampe seperti pensil, kertas, tulisan Arab (bagi yang Islam), dan nama bayi itu. Setelah dimasukkan

ke periuk segera dikubur di sebelah pintu rumah. Jika laki-laki di sebelah kanan pintu, jika perempuan di sebelah kiri. Karena, memang secara mistik, ketika

bayi ada dalam kandungan, bayi laki-laki berada pada kandungan sebelah kanan dan perempuan di sebelah kiri. Maka, fungsi penguburan semacam itu

secara kosmologis akan mengembalikan posisi bayi pada tempat yang se­ benarnya.

Dukun bayi termasuk dalam kategori pengobatan tradisional. Pijat bayi biasanya ada yang rutin dan tidak rutin. Yang rutin, pijat berfungsi sebagai

preventif kesehatan. Kemungkinan besar, bayi tersebut amat lelah, sehingga

menangis terus, harus dipijatkan ke dukun bayi. Sedangkan yang tidak rutin biasanya pijat sebagai kuratif, memulihkan otot-otot dan tenaga bayi tersebut.

Pemijatan bayi memang amat perlu, kata Mbak Pintarsih, istri seorang bos toko besi di pinggir Jalan Bantul, Yogyakarta. Informan ini hampir setiap bulan sekali memijatkan anaknya ke Yu Muhadi. Alasannya, dengan dipijat,

bayinya akan tidur nyenyak, tidak menangis (rewef), merasa nyaman, dan pertumbuhannya cepat. Itulah sebabnya, sejak dia melahirkan pun setelah dari dokter juga harus ke dukun bayi.

Jadi, yang perlu mendapatkan dukun bayi tidak hanya seorang bayi,

melainkan juga ibu bayi tersebut. Ibu bayi biasanya ketika melahirkan harus menguras tenaga yang luar biasa. Dia sangat lunglai, karena tenaga melahirkan

memang ekstra keras. Untuk menuju melahirkan mudah (uwat), di samping

pemeriksaan medis, ibu bayi juga ada yang dibantu dukun bayi. Dukun bayi

akan membantu memijat perut (mrenahke) posisi bayi agar cepat keluar.

Karena, jika posisi bayi tersebut belum semestinya (kepalanya dahulu), akan berakibat fatal bagi sang ibu dan bayi.

Dalam tradisi dukun bayi di Yogyakarta, seorang ibu yang baru melahirkan biasanya dibakarkan merang (tangkai padi), lalu melompat sebanyak tiga kali

di atas api. Maksudnya, agar dalan bayi (vagina) segera pulih, kering, darah

tidak keluar, dan kesehatan ibu sembuh seperti sediakala. Ibu yang melahirkan juga diberi ramuan jamu empon-empon, yang ditempelkan pada bagian muka

(bathuk), agar kepala dan aliran darahnya segera seimbang. Pijat ibu dan bayi setelah melahirkan biasanya dilakukan tiga hari setelah

melahirkan. Sebelum bayi tadi potholpuser, pijat lebih difokuskan pada ibunya.

Pothol puser biasanya setelah bayi berumur 5-7 hari, maka sering diselamati dengan sepasaran. Pada saat ini dukun bayi akan datang dan memijat ibu

dan bayi yang disebut walik dadah. Pijat semacam ini bertujuan untuk

memulihkan tenaga sang ibu dan memberi tenaga atau melancarkan darah sang bayi. Karenanya, meskipun sang bayi menangis, tetap dipijat. Pemijatan

ibu dan bayi tentunya memiliki daya tekan 1 banding 5. Jika pijat pada sang

ibu lebih keras, pada bayi semacam dielus-elus (dilumat halus) saja. Ramuan yang biasa digunakan dukun bayi yaitu bobok. Bobok langsung beli di toko-toko jamu, tanpa meramu sendiri. Dukun bayi hanya mencairkan

bobok, tergantung kepentingan. Namun, bagi dukun bayi Yu Muhadi agak

memiliki spesifikasi bobok. Dia menggunakan bobok berwarna putih untuk

mlonyo (memijat halus) sang ibu. Sedangkan bayi dan anak-anak yang balita

lebih banyak bobok ekasari yang berwarna coklat. Maksudnya, bagi bayi dan anak-anak kalau sehabis pijat bobok di kulit berwarna putih, malah sering takut, karena wujudnya seperti mayit. Berbeda bobok yang berwarna coklat, rata-

rata sama dengan warna kulit sehingga tidak menimbulkan rasa takut.

Di samping bobok, dukun bayi juga menggunakan pupuk. Pupuk berasal

dari empon-empon, yaitu lempuyang yang dipipis (dilumatkan). Obat tersebut

dioleskan pada ubun-ubun bayi. Maksudnya, agar ubun-ubun yang bergerak seperti gerakan nafas dada itu segera kuat. Dengan pupuk semacam itu, kesehatan bayi akan terlindungi. Karena, lapisan ubun-ubun bayi itu sangat

rentan, harus dipupuk dengan ramuan. Pupuk dimaksudkan pula sebagai pelindung otak bayi. Itulah sebabnya, pupuk tersebut akan dibiarkan hilang

dengan sendirinya, tanpa harus dipaksa (dibersihkan).

Di tempat pupuk itu pula, seorang dukun bayi memberi doa atau mantra. Maksudnya, agar bayi terhindar dari godaan makhluk halus. Itulah sebabnya, setiap hari Idul Fitri bayi tadi selalu diajak ke dukun bayi untuk mengucapkan

terima kasih. Tentu saja, orang tua bayi tersebut akan memberikan sekadar uang wajib seikhlasnya, berkisar Rp 20.000-Rp 50.000 per kepala bayi. Pada waktu itu juga sering dipijat lagi dan di ubun-ubun diberi suwuk.

Suwuk adalah tradisi supranatural seorang dukun bayi Jawa, berupa

mantra-mantra yang bertujuan memberi rasa aman, kebal, dan jauh dari godaan

makhluk halus. Bagian yang disuwuk harus di atas ubun-ubun. Caranya, cukup memberi mantra dengan cara umak-umik, lalu diludahi tiga kali. Tentu saja

ludah kecil-kecil saja, agar bayi tersebut mendapat sawab (anugerah) dari

mantra tadi. Ada lagi suwukdukun bayi yang hanya sebagai ila-ila (basa-basi), berupa tiupan di atas ubun-ubun. Melalui suwuk, diharapkan bayi akan selamat.

2. Dukun Ilmu Hitam: Dendam Dukun ilmu hitam tetap bagian dari folklor Jawa. Ilmu hitam (black knowl-

edge) tergolong cabang (carangan) perdukunan Jawa. Ilmu ini merupakan pengembangan dari kesaktian (kedigdayaan) yang salah arah. Orang Jawa

yang awalnya gemar laku melalui tarak brata (bertapa) memang tak tertutup kemungkinan memiliki daya linuwih (kasaktian yang hebat). Namun, daya

linuwih yang semestinya wingit itu sering diselewengkan oknum dukun. Dunia ilmu hitam di Jawa dapat terjadi karena adanya sifat ego orang Jawa. Sifat ingin menang, ingin sukses sendiri, lalu ngidak (menginjak) yang

lain, sering lari ke ilmu hitam. Sifat ego itu didorong rasa drengki-srei, jail

methakil, yang jika dibiarkan merajai hati akan berbahaya. Akibatnya, orang Jawa ada yang tega melihat teman lain menderita. Bahkan, ada juga sifat jelek orang Jawa, ketika ada teman lain celaka, apalagi musuhnya, akan “tepuk

tangan”. “Tepuk tangan” sebagai luapan emosi (syukur yang keliru) sering dibarengi dengan ucapan psikologis: "Kapokmu kapan” (tobatmu kapan). Ungkapan ini sebenarnya perwujudan "syukur” yang super aneh.

Mungkin para pembaca kurang setuju, kalau saya katakan di antara orang

Jawa ada yang bersikap pendendam. Silakan! Tapi, semua itu ada dan bisa terjadi, hingga orang Jawa tega terjun ke ilmu hitam untuk mencelakakan orang lain. Jika orang Jawa telah terhinggapi sifat brahala (jelek) sebagai manifestasi

watak Durga, apa pun yang terjadi ditempuh. Jika kurang yakin, bisa dibuktikan ketika ada perselisihan, pernyataan yang terungkap adalah titenana atau yah eyah, ini sebuah ancaman negatif. Ucapan ini memuat implikasi bahwa akan ada pembalasan yang berat. Bahkan, ada ungkapan utang lara nyaur lara

utang pati nyaur pati (utang nyawa harus dibayar nyawa, utang mati harus dibayar mati). Kejengkelan dan kedongkolan puncak orang Jawa sering muncul pada

proses ipat-ipat atau naas tali pati. Maksudnya, kata-kata yang sulit rujuk kembali ketika hati telah terluka. Luka hati lebih sulit diobati. Maka, kalau luka

itu telah parah, muncul ucapan sosiokultural yang negatif: dadiya godhong emoh nyuwek, dadiya banyu emoh nyawuk (jika saudaraku jadi daun tak mau

menyobek, jadi air tak mau mengibas). Ini berarti telah putus hubungan.

Padahal, dalam berbagai kajian orang asing, seperti Niels Mulder dalam buku Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (1983) dan Franz Magnis Suseno

dalam buku Etika Jawa (1984), selalu dinyatakan bahwa orang Jawa memiliki prinsip hidup rukun. Mengapa sikap non-rukun juga ada dalam hati orang Jawa? Atas dasar itu, bukan bermaksud meruntuhkan tesis Mulder dan Magnis

Suseno, tapi harus diingat juga bahwa penelitian kedua ahli ini terhadap orang Jawa masih sepenggal-sepenggal. Penggalan kajian yang hanya terfokus pada

suatu wilayah kejawaan mengakibatkan pemahaman terhadap Jawa kurang

seimbang. Mungkin sekali, ketika dikaji, orang Jawa pandai menutupi dirinya. Mungkin pula, yang diungkapkan memang yang baik-baik saja. Untuk itu, kita harus jujur, tak seluruh orang Jawa itu baik. Dalam bagian buku saya berjudul

Falsafah Hidup Jawa, Bagian III, telah saya utarakan sebagian kejelekan orang Jawa (Endraswara, 2003: 29-36).

Di antara kebiasaan jelek itu ternyata ada yang amat berbahaya, yaitu ketika orang Jawa mendendam dengan cara nglimpe (mencari waktu orang

terlena) ataupun laku sandi (dengan cara yang non-kasatmata). Keduanya sering muncul dalam perilaku nabok nyilih 'tangan (membalas dengan minta

tolong orang lain). Jika hati runtik (sakit), ada orang yang minta tolong kepada orang lain agar mencelakakan musuhnya. Cara minta tolong ini ada yang datang

ke dukun sakti Dukun ini pada awalnya bisa saja baik, namun ketika ada permintaan tolong dengan imbalan sepantasnya, bisa juga berubah pendirian.

Karenanya, akan muncul ilmu hitam yang bermain.

Watak pendendam di atas memang cukup tragis dalam kehidupan orang

Jawa. Oleh karena prosesnya amat halus, tak jelas, tak dapat dilihat mata kepala secara material, maka hukum tentang ini pun masih lemah. Meskipun ada dua keluarga yang berselisih dan dendam, sulit ditentukan asal-usul

datangnya sebuah dendam yang berakibat sakit pada diri seseorang. Jika ada keluarga yang sakit keras, karena atas jasa seorang dukun ilmu hitam,

yang berhasil mengeluarkan benda-benda seperti paku, jarum, pecahan kaca, rambut dan lain-lain dari dalam tubuh si penderita, sulit dipercaya dari mana

asalnya. Meskipun dukun tadi menyatakan bahwa barang itu berasal dari penggawe (perbuatan) orang yang pernah berselisih, tetap sulit dibuktikan.

Kesulitan membuktikan itulah yang sering menimbulkan tragedi berat.

Tragedi ini muncul sebagai balada (kisah sedih) dalam hidup orang Jawa.

Karena, pihak yang terkena musibah ilmu hitam hanya bisa menduga atas dasar perkiraan dukun, yang belum tentu benar, maka sering terjadi perselisihan

berkepanjangan. Bahkan, sering terjadi pula “perang” antardukun ilmu hitam. Jika yang terakhir ini terjadi, lebih berbahaya, akan mengancam keselamatan jiwa. Tinggal siapa yang kuat atau lebih tua ilmu hitamnya yang menang. Menang dan kalah sebenarnya sama-sama “kalah" atau salah, jika ditinjau

dari kehidupan hakiki. Namun, itulah warna kehidupan yang menjadi bagian dari folklor irasional.

C. Dunia Gaib Manusia Jawa yang telah dipengaruhi hal-hal modem tetap masih percaya akan adanya alam lain selain alam yang dihuni saat ini, yaitu alam gaib atau dunia gaib. Dunia gaib ini sifatnya tan kasat mata (tidak dapat dilihat dengan

mata telanjang). Dunia gaib atau alam gaib hanya dapat dilihat dengan mata batin. Hal itu terjadi karena pada dasarnya manusia memecahkan persoalan

hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuan ada batasnya. Persoalan hidup

yang tidak dapat dipecahkan akal dipecahkan oleh magic atau ilmu gaib. Manusia tidak bisa lepas dari hal-hal di sekelilingnya, baik yang berwujud dan yang tidak berwujud. Benda-benda yang berwujud itu adalah benda-benda

yang dikenali dan diraba panca indra atau disebut juga hal-hal yang kodrati, sedangkan yang tidak berwujud adalah hal-hal yang di luar kemampuan manusia untuk menggapainya atau disebut juga adikodrati. Kepercayaan

manusia Jawa akan hal-hal yang tidak berwujud atau adikodrati ini sangat kental mewarnai kehidupannya. Meskipun dalam kenyataannya manusia Jawa

sering mengaku menganut salah satu dari agama-agama besar yang ada di Indonesia, misalnya Islam, Katolik, Kristen, Hindu, maupun Budha, namun

manusia Jawa masih tetap memegang kepercayaan asli nenek moyangnya.

Kepercayaan seperti ini banyak yang menyebut sebagai Kejawen. Karena pada dasarnya di bawah kulit agama impor, kepercayaan akan roh-roh halus,

pemujaan arwah nenek moyang, ketakutan kepada yang angker, kuwalat, dan lain-lain masih berlangsung terus. Manusia Jawa biasanya mencantumkan pada surat-surat resmi, seperti

KTP, surat keterangan, atau surat-surat yang lain, bahwa dirinya adalah penganut salah satu agama besar di Indonesia, dalam hal ini agama yang

banyak dianut orang Jawa adalah Islam. Namun, karena dalam menganut

agama Islam mereka masih dipengaruhi nilai-nilai tradisional Kejawen, maka

muncullah istilah agama Islam Jawi. Koentjaraningrat (1984:312) mengatakan, bentuk agama Islam Jawi yang sering juga disebut agama Jawi atau Kejawen

adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama

Islam. Sistem keagamaan lazimnya terdiri dari suatu integrasi yang berimbang

antara unsur-unsur animisme, Hindu, dan Islam. Suatu sinkretisme utama orang Jawa yang merupakan tradisi rakyat yang sebenarnya. Sinkretisme sendiri

dalam Kamus Antropologi mempunyai arti kombinasi segala unsur dari berbagai agama dan kepercayaan yang berbeda, kemudian terpadu menjadi satu yang

kemudian merupakan agama atau kepercayaan versi baru. Pada perkembangannya keagamaan orang Kejawen selanjutnya ditentukan oleh

kepercayaan pada berbagai macam roh yang tidak kelihatan, yang

menimbulkan kecelakaan dan penyakit apabila mereda dibuat marah atau kurang hati-hati.

Dalam pemahaman tentang segala macam yang berbau takhayul, rohroh halus, arwah leluhur, dan lain sebagainya, manusia Jawa masih tetap

mengakui dan mengimani bahwa di atas segala-galanya ada yang paling tinggi yang mengatasi segala sesuatu, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Ada berbagai

macam sebutan, antara lain Gusti Kang Maha AgungiGusti Kang Maha Luhur, Gusti Kang Murbeng Dumadi, Hyang Wenang, dan Hyang Tunggal. Manusia

Jawa juga mengakui adanya nabi-nabi yang diutus Tuhan ke dunia ini. Pemahaman dari dua hal ini, yaitu roh-roh dan Tuhan, manusia Jawa tetaplah

bisa menyelaraskan keduanya. Magnis-Suseno (1996:82) menegaskan bahwa yang khas dari pandangan dunia Jawa ialah realitas tidak dibagi dalam berbagai

bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan realitas dilihat sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh. Kepercayaan terhadap dunia gaib bagi orang Jawa seperti yang

diungkapkan dalam alenia di atas sering dihubungkan dengan tempat-tempat yang dipercaya memiliki kekuatan linuwih. Tempat-tempat itu misalnya pohonpohon besar, air terjun, gua, pantai, batu-batu besar, makam, dan lain

sebagainya. Sampai saat ini masih banyak manusia Jawa yang percaya bahwa

di tempat-tempat seperti itu ada roh-roh yang tidak kelihatan yang harus diperlakukan dengan baik, dengan tidak berbuat yang kurang sopan atau

berlaku seenaknya di tempat-tempat tersebut. Tidak sopan dalam hal ini misalnya meludah

di sembarang tempat, buang air kecil seenaknya, atau

berkata-kata yang tidak pantas di tempat-tempat tersebut. Orang Jawa sangat

peka akan perasaan bahwa ia tidak hidup sendiri di dunia ini, bahwa di samping yang kasat mata (dapat dilihat dengan panca indra), masih luas sekali dunia

yang datan kasat mata (tidak terlihat). Oleh karena itu, kebiasaan uluk salam, jika orang datang di tempat asing atau yang diperkirakan ada yang menunggui,

dipelihara dan diperhatikan dengan cermat. Kekeramatan tempat-tempat tersebut selain dipercayai adanya makhluk halus yang menungguinya ada juga yang disebabkan karena dahulu ada tokoh

sakti yang pernah singgah atau bertempat tinggal di situ, sehingga muncul

anggapan bahwa tempat itu masih menyimpan kesaktian tokoh yang terpancar melalui aura yang melingkupi tempat tersebut. Tempat-tempat peninggalan

tokoh sakti ini bisa berupa candi, pundhen, petilasan, dan makam.

D. Dunia Magi Dunia magi adalah dunia superkodrati. Dunia yang satu ini termasuk wilayah yang amat aneh. Orang biasa akan sulit menangkap dan memahami

dunia magi. Hanya orang Jawa yang memang menekuni dan tahan dalam laku, yang bisa melakukannya. Magi berarti kekuatan yang luar biasa dalam diri manusia. Kekuatan itu ada yang disalurkan ke arah positif dan negatif. Kekuatan yang ke arah posiitif biasanya dipakai untuk menolong orang lain,

misalnya untuk penyembuhan penyakit. Sedangkan magi ke arah negatif,

apabila menuju pada hal-hal yang merugikan orang lain. Magi negatif biasanya tak kenal kompromi. Yang terpenting, dalam magi negatif ada pesanan atau penawaran material. Berarti, magi terkalahkan oleh

nafsu buruk manusia, yaitu ingin menguasai materi. Magi negatif biasanya berupa gendam, santet, pelet, dan sihir. Arah dari magi ini seringkah pada

penawaran uang jutaan. Hal ini terjadi karena laku magi ini memang cukup berat dan akibatnya pun cukup berat, sehingga si pemesan (yang minta tolong)

akan rela membayar mahal.

Pada dasarnya magi dalam kehidupan orang Jawa ada empat macam, yaitu magi hitam, merah, kuning, dan putih. Magi-magi ini memiliki arah dan

sasaran yang berbeda. Masing-masing magi tak lepas dari mantra, sebagai

perantara atau wahana menghubungkan diri manusia dengan kekuatan

adikodrati. Yang tergolong magi hitam (black magic) adalah beberapa sihir,

santet, tenung, dan teluh untuk menyakiti dan membunuh orang lain. Magi semacam ini agaknya diboncengi nafsu angkara manusia yang dikemudikan setan. Magi ini diterapkan apabila segala usaha yang biasa sulit diterima pihak

lain, lalu muncul kekecewaan. Rasa kecewa yang mendalam diekspresikan

melalui naluri ingin mencelakakan orang lain. Persoalan warisan, selingkuh, dan dendam kesumat lain akan berakibat pada magi hitam ini.

Magi hitam juga sering diterapkan dalam kehidupan para penjahat. Mantramantra yang digunakan pencuri, misalnya panyirepan, palimunan, lebur sekethi,

welut putih, dan panglereman, yang membuat orang lain tertidur sehingga mudah diambil kekayaannya ini amat berbahaya. Termasuk di dalamnya dunia pelet dan gendam. Contohnya, ketika orang bertemu di pasar, badannya

disablek atau diajak salaman, tiba-tiba orang itu bersedia memberikan barangbarang miliknya. Magi merah sebenarnya tergolong semi positif. Magi ini tidak dimaksudkan

untuk mencelakakan pihak lain, meskipun ada sedikit memperdaya orang lain.

Niat pemakaian magi merah adalah menyambung persaudaraan. Biasanya memang didasari rasa kecewa dan dendam. Misalkan, ketika seorang cewek menolak seorang jejaka, pasti jejaka itu sedikit dongkol. Jejaka yang sakit hati lalu menerapkan magi merah untuk memikat gadis tadi sampai mau dipinang.

Langkah magi ini tak ada niat untuk mencederai, melainkan justru ingin penyatuan hati. Begitu pula jika ada seorang jejaka yang jatuh cinta kepada

gadis, padahal gadis itu lelewa (mau tapi manja, malu-malu, sedikit menolak), lalu diterapkan mantra pengasihan. Mantra ini bernafas cinta, antara lain semar

mesem, jaran guyang, dan pangedepan. Mantra semacam itu masih sering dilengkapi lagi dengan susuk. Artinya,

memasukkan benda tertentu ke dalam bagian tubuh yang diinginkan. Susuk dapat berupa emas, bunga kantil, bunga kenanga, telur, dan sebagainya. Susuk

akan memperindah dan meningkatkan pamor seseorang. Cahaya susuk akan

merasuk ke dalam bagian tubuh seseorang, hingga orang lain tertarik padanya. Tradisi susuk ini memang sering memunculkan beberapa pantangan. Misalkan saja, susuk emas di roman muka (bathuk) biasanya lalu dilarang makan pisang

emas. Jika makan pisang emas, khasiat susuk akan hilang. Magi kuning biasanya lebih banyak untuk berkasih-kasihan bagi pasangan

suami-istri yang telah layak memadu cinta. Mantra ini cenderung untuk

merapatkan hubungan cinta. Hal ini penting, karena tempo dulu, banyak

perjodohan model kawin paksa, sehingga pemakaian magi kuning berupa

mantra amat perlu. Mantra-mantra itu antara lain panitisan wiji, asmaragama, pengasihan sukmaningrat sejati, cahya mulya, semar kuning, dan lain-lain. Melalui mantra semacam ini hubungan cinta akan semakin mempesona. Karena

secara sadar atau tidak laki-laki dan perempuan telah tersugesti oleh kekuatan

magi.

Magi putih adalah folklor yang biasa dipakai untuk menolong sesama. Pertolongan dapat terjadi karena sakit maupun musibah yang lain. Orang yang sakit sering minta obat kepada dukun, lalu diberi rajah atau air jernih (air putih).

Rajah itu telah diberi kekuatan magi, yaitu mantra penyembuh. Ada pula magi

putih yang dimanfaatkan orang Jawa ketika kehilangan barang berharga. Pada saat ada barang jatuh atau dicuri orang lain, orang yang kehilangan akan

nyarawidekake (minta petunjuk) dukun, apakah barang itu masih dan siapa yang mengambil atau menemukan. Pada saat ini seseorang akan diajak untuk

melihat sendiri lewat layar kaca (di sebuah kuku) sang dukun. Biasanya, yang boleh melihat adalah orang yang belum baliq. Cara semacam ini akan

membantu orang lain, asalkan tak salah menindaklanjuti. Berdasarkan jenis magi di atas, tampak ada perbedaan misi. Perbedaan

magi merah dan kuning terletak pada “misi” yang menjiwainya. Magi merah dan hitam didasari rasa dendam/nafsu, sedangkan magi kuning didasari

ketulusan hati. Adapun magi putih didasari misi membantu orang lain. Empat macam jenis magi tesebut tampaknya berkaitan dengan kepercayaan

masyarakat terhadap anasir mistis hidup manusia yang disebut sedulur papat lima pancer. Sedulur papat merupakan refleksi empat saudara spiritual yang

melingkupi tubuh manusia, yakni nafsu aluamah, amarah, supiyah, dan mutmainah. Nafsu aluamah merupakan refleksi dari tanah atau bumi, yang

dapat dimaknai sebagai pemilikan dan berorientasi pada sikap serakah (ditandai dengan warna hitam). Nafsu amarah merupakan refleksi dari api, yang dapat

dimaknai sebagai penguasaan dan berorientasi pada sikap temperamen tinggi (ditandai dengan warna merah). Nafsu supiyah merupakan refleksi dari angin, yang dapat dimaknai sebagai keindahan dan berorientasi pada pola hedonisme

(ditandai dengan warna kuning). Nafsu mutmainah merupakan refleksi dari

air, yang dapat dimaknai sebagai pengetahuan dan berorientasi pada religiusitas (ditandai dengan warna putih). Sementara itu, lima badan merupakan unsur

kelima dari konfigurasi numerologis papat-lima yang terefleksi pada diri/badan/

tubuh/pancer yang menjadi pusat kosmis dari keempat unsur lainnya (yang

ditandai dengan percampuran keempat warna tersebut).

Berdasarkan kekuatan magi dapat dimanfaatkan dengan cara homeopathic magic (magi homeopatik) yang disebut juga imitative magic (magi meniru)

dan contagions magic (magi yang menular) yang disebut juga magic oftouch

(magi sentuhan). Cara pertama dilandasi pengandaian bahwa segala sesuatu yang memiliki kemiripan dapat dimanfaatkan untuk menyalurkan kekuatan magis, sedangkan yang kedua dilandasi pengandaian bahwa segala sesuatu

yang pernah bersentuhan tetap memiliki hubungan magis. Efektivitas kekuatan magi tersebut setidak-tidaknya memerlukan tiga unsur, yakni subjek, objek, dan bidang gravitasi. Subjek diwakili dukun, objek diwakili orang yang menjadi

sasaran (objek penderita), dan bidang gravitasi atau perantara dapat berupa

sarana yang digunakan atau situasi kelompok masyarakat yang kondusif. Menurut Saputra (2003:12) dalam magi terdapat laku mistik. Laku mistik

dapat dilakukan dengan berbagai mekanisme, antara lain melalui sat-tus. Terminologi sat-tus mengacu pada frase disat dan ditus (keduanya berarti

dikuras); disat terkait dengan isi perut, sedangkan ditus terkait dengan mata.

Jadi, inti laku mistik adalah wetenge disat matane ditus (perut dan mata dikuras). Perut dikuras dengan cara pasa (berpuasa), mata dikuras dengan cara leklekan (selalu terjaga/tidak tidur). Berarti, magi menghendaki sebuah proses untuk ngngurangi (mencegah makan dan tidur). Dengan cara semacam ini

akan muncul kekuatan gaib pada diri seseorang.

Salah satu terapan magi Jawa yang telah populer adalah santet. Santet merupakan bentuk magi yang digunakan dalam berbagai keperluan. Santet

biasanya menerapkan mantra-mantra tertentu untuk memperdaya, menjinakkan, dan atau sebaliknya, melawan. Dalam bidang perjodohan, santet

dapat berfungsi ganda. Pertama, berfungsi mempererat hubungan, terutama jika perjodohan belum begitu cocok. Kedua, berfungsi merenggangkan

manakala ada ketidakcocokan. Pemakaian santet yang destruktif memang

kurang begitu dikehendaki orang Jawa, karena akan merusak hubungan sosial budaya. Santet sebagai wahana kultural pemecahan problema masyarakat memang telah berusia lama. Pranata budaya ini mungkin sulit dihilangkan

dalam kehidupan orang Jawa. Yang paling penting adalah kita perlu mewaspadai sasaran penggunaan santet. Jika sasaran pada hal-hal yang

merugikan, memang seyogianya ditinggalkan. Apalagi dalam kehidupan orang Jawa masih ada asumsi bahwa perilaku santet memang kurang bagus. Santet masih dianggap budaya negatif yang menghancurkan sendi-sendi kultur

masyarakat. Dari sini sesungguhnya banyak pelanggaran norma budaya dan

sosial yang melingkupi santet. Bahkan, suatu saat nanti bisa saja terjadi santet merupakan tindakan gaib, pengecut, dan kurang perwira (berani).

DAFTAR PUSTAKA

Anoegrajekti, Novi. 2003. “Menakjinggo versus Damarwulan: Dialog Seni

Pertunjukan Jinggoan”. Makalah Pilnas HISKI, Hotel Santika, Sura­ baya, 26-28 Agustus. Cokrowinoto, Sardanto. 1986. "Manfaat Folklor bagi Pembangunan Masya­

rakat” dalam Soedarsono (ed.). Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa. Yogyakarta: Javanologi. Danandjaya, James. 1985. Penelitian Folklor Jawa sampai Tahun 1971.

Yogyakarta: Javanologi.

----------- 1986. “Kegunaan Folklor sebagai Sumber Sejarah Lokal Desa-desa

di Indonesia”. Artikel Mengenang Puma Tugas Prof. Dr. Zoetmulder, S.J. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

----------- 1989. Folklor Indonesia: Hmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:

Grafiti. ----------- 1990. “Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Folklor” dalam

Aminudin (ed.). Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: YA3. ----------- 1993. “Folklor Masa Lalu, Kebudayaan Pop Masa Kini, Suatu Kecen­ derungan Pembentukan Kebudayaan Nasional”. Makalah Seminar

Tradisi Lisan Nusantara, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 9-11 Desem­

ber. —--------- 1994. “Metode Mempergunakan Folklor sebagai Bahan Penelitian Antropologi Psikologi" dalam Antropologi Psikologi: Teori, Metode,

dan Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Press. —------- 1997. Folklor Jepang: Dilihat dari Kacamata Indonesia. Jakarta: Grafiti.

----------- 1998. “Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-bahan Tradisi

Lisan" dalam Pudentia M.P.S.S. (ed.). Metodologi Kajian Tradisi Lisan.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. *-----------2003. Folklor Amerika: Cermin Multikulturalyang Manunggal. Jakarta:

Grafiti. Dundes, Alan (ed.). 1965. The Study of Folklore. Englewood Cliff: Prentice

Hall Inc. ------------ 1980. Interpreting Folklor. Bloomington: Indina University Press. Dellistone, F.W. 2002. The Power of Symbols. Yogyakarta: Kanisius. Endraswara, Suwardi. 2005. Tradisi Lisan Jawa. Yogyakarta: Narasi.

Finnegan, Ruth. 1986. Oral Poetry: /ts Nature, Significance and Socia/ Con-

text. London: University of Missouri Press.

Geertz, Cliford. 1979. Abangan Sastra Priyayi. Jakarta: Pustaka Jaya. Hutomo, Suripan Sadi. 1986. “Linguistik Folklore: Bahasa Jawa Dialek Surabaya” dalam Soedarsono (ed.). Kesenian, Bahasa, dan Folklor

Jawa. Yogyakarta: Javanologi. ------------ 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI.

------------ 1993. Pantun Kentrung. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ------------ 1997. “Sastra Lisan Jawa". Suara Merdeka, 6 Maret. ------------ 1998. Kentrung: Warisan Tradisi Lisan Jawa. Surabaya: Yayasan Mitra Alam Sejati.

------------ 1999. “Pejajaran Menurut Folklor dan Naskah Jawa Timur” dalam

Filologi Lisan: Telaah Teks Kentrung. Surabaya: CV Lautan Rejeki. Herusatoto, Budiono. 1991. ‘Takhayul Karya Sastra Jawa yang Disalahar­ tikan”. Makalah Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradi sional, Yogya­

karta. Kamajaya, Karkono dkk. 1992. Ruwatan Murwakala Suatu Pedoman.

Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Kartodirjo, Sartono. “Suatu Tinjauan Fenomenologis tentang Folklor Jawa" dalam Soedarsono (ed.). Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa.

Yogyakarta: Javanologi. King, Penny and Clare Roundhill. 1997. Myths andLegends. London: A & C Black.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

------------ 1990. Sejarah Teori Antropologi Jilid H. Jakarta: Universitas Indone­

sia Press. Leach, Maria (ed.). 1949. Dictionary ofFolklore Mythoiogy andLegend. New York: Funk & Wagnalls Company.

Levi-Strauss. 1964. Structural Anthropo/ogy. New York: Basic Book.

Masinambow, E.K.M. 2000. "Semiotik dalam Kajian Kebudayaan" dalam Semiotik: Kumpulan Makalah. Jakarta: Lembaga Penelitian UL Noor, Redyanto. 1989. "Membangkitkan Dominasi Nilai-nilai Folklor sebagai Orientasi Sikap Masyarakat Modern”. Makalah PIBSI, Tegal, 16-17 Oktober.

Overbeck, H. 1938. Javaansche Meisjesspelen en Kinderliedjes. Jogjakarta:

Java Instituut.

Padmosoekoco. 1953. Ngengrengan Kasusastran Jawa Jilid /. Yogyakarta:

Hien Hoo Sing. Pelly, Usman. 1992. "Pengukuran Intensitas Potensi Konflik dalam Masyarakat

Majemuk” dalam majalah Analisis Edisi Potensi Konflik. Jakarta: CSIS. Prawirawinarsa. 1912. Serat Gugon Tuhon. Jakarta: Batavia. Prijotomo, Josef. 2000. "Model Semiologis Petungan di Primbon Jawa dan

Signifikansi Arsitekturnya" dalam Semiotik: Kumpulan Makalah. Ja­ karta: Lembaga Penelitian UI. Propp, Vladimir. 1975. Morphology of the Folktale. Austin, London: Univer-

sity of Texas Press.

Pursubaryanto, Eddy. 1996. “Seni Pertunjukan Wayang Kancil dan Kemungkinan Pengembangannya di Indonesia". Humaniora, No. III.

Purwaka, dkk. 1990. Sekar Rinonce, Kawruh Basa Jawa. Jaya Wijaya Skh. Raffles, Thomas Stamfors. 1978. TherHistoryofJava. Kuala Lumpur: Oxford

University Press.

Rappaport, Amos. 1985. The Meaning ofthe Built Environment:A Nonverbal Communication Approach. London: Sage Publications. Samino, T utus. 1992. Genre Puisi Folklor sebagai Bahan Pengajaran Sastra.

Tegal: Universitas Pancasari. Saputra, Heru S.P. 2003. “Tradisi Santet sebagai Pranata Budaya Lokal: Kajian

Kelisanan Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang”. Makalah PILNAS

XIII HISKI, Universitas Airlangga, Surabaya, 26-28 Agustus. Sedyawati, Edi. 1998. “Sastra dalam Kata, Suara, Gerak, dan Rupa” dalam

Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Soepanto. 1986. “Folklor sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah”

dalam Soedarsono (ed.). Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa. Yogyakarta: Javanologi.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.

Sularto, B. 1980. Sejarah dan Budaya: Seri Folklor. Yogyakarta: Jarahnitra. Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.

Suwardi dkk. 2003. Inventarisasi Tanaman Obat Tradisional. Jakarta:

Kementerian Ristek BPPT. Strinati, Dominic. 2003. Popular Cultur: Pengantar Teori Budaya Populer.

Yogyakarta: Bentang. Sweeney, Amin. 1987. Full Hearing: Orality andLiteracy in the Malay World.

London: University of California Press.

Tol, Rogerdan Pudentia M.P.S.S. 1995. 'Tradisi Lisan Nusantara: Oral Traditions from the Indonesian Archipelago, A Three-Directional Aproach” dalam Warta ATL Edisi Pertama, 1-01 Maret, hlm. 12-16.

Tilaar. 2003. “Promosi sebagai Sarana Sosialisasi dan Pengembangnnan Tradisi: Suatu Pendekatan Studi Kultural". Makalah Seminar ATL,

Hotel Indonesia, Jakarta, 2-5 Oktober.

Vansina, Jan. 1985. Ora! Tradition as History. Leiden: The University of Wisconsin Press.

Woordward, Mark, R. 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan.

Alih Bahasa oleh Hairus Salim H.S. Yogyakarta: LKIS. Yadnya, Ida Bagus Putra. 1984. “Folklor Esoterik dan Eksoterik” dalam Widya

Pustaka, Tahun II, No. 1, Agustus.

INDEKS A

dongeng 15

adikodrati 202

animisme 84

E

antiquities 11

empon-empon 209

asem 39

emprak 129.130.131,132

asu 39

endhog tembeyan 193

entertainment 158 B

entity 28

Baal 80

erang-erang 132

bahasa gaul 40

erotis 6

bahasa rahasia 39

etimologi rakyat 45

bapang 9 Brunvand 5,7

F

buku rakyat 4

feminisme 33

finnegan 99 C

fixed 30

cant 40

folk history 92

catur brahala 179

folk ideology 35

catur Prahara 177,179

folk speech 8

cegah lek 117

folklor Amerika 13

chants 8

folklor eksoterik 25

charms 8

folklor esoterik 25,27

cool inteligance 12

folklor Indonesia 13

conformity 28

folklor Jawa 13,16,18.28 folklor Jawa palsu 3

folklor Jawa politik 35

D Danandjaya 4,12,25,71, 89.116

folklor Jepang 13

den baguse 42

folklor lisan 14

dhakon 156

folklor politik 36

difusi 20

folklor pop 28

folklor serius 28

L

folklor Tionghoa 13

lagu dolanan 158,159

fosil 1

laras 174

leach 2 G

legend 8

gandrung 120

legenda 87,92,93

gedheg anthuk 38

lelewaning basa 51,52

Geertz 10,16, 78

lencir kuning 159

genre 7

limasan 24

guwa garba 149

linuwih 22 local genius 29

H

luk keris 26

humanistic folklorist 12 Hutomo 5,7,16,48,89,103,104

M

magic212 I

main 117

iket 170

mantra 63,64

ilmu rakyat 54

manunggaling kawula-gusti 10

maodsme 323 J

mati sampyuh 21

jamu gendhong 181,182

mbedhah 186

jarwodhosok 44,171

mendongeng 100,102

jeneng telahan 42

mentifacts 7

jinggoan 124,126,129

metrum 133

joglo 24

migrasi 11

jokes 8

mistik kejawen 18

Joko Tingkir 97,98

mitos 87 mythe 90,91

K

kabuyutan 24

N

kawruh 53

ngelmu 26,37

keblat papat lima pancer 24,167

nina bobok 157

kejawen 21,22,202,203

nostradamus 60

kentrung 13,17,102

nursery rhyme 8

kerata basa 46

nyakramangiglingan 136

kidung jatimulya 144

nyamikan 166

Koentjaraningrat 80

kolektif 10

O

kosmogoni 21

occupational 35

kulturalisme 31

onomatopik jawa 42 oral 3

Overbeck 162

sangkan paraning dumadi 147,148

santhet 202,212

P

saradan 39

pamomong 23,118

sasmita 67,69

paranormal 193,196

sinengker 53

parikan 106,122,123,133

singgul 180

pasemon 65,66,67,152

sinkretisme 20

pathet 175

sintren 113,114,115,116

pating 44

slang 40

pawukon 56

slendro 43

palet 202

sociofacts 7

pelog 117

soepanto 43

performance 99,100,139

solar mythology 15

performance art 116

srandhul 121

permainan rakyat 111

srigunggu 184

petilasan 205,206,214

sriwing-sriwing 2

petung 54,55,56,57,167,177

strukturalisme 31

pijet kesel 191

suket 41

pilis 180

suluk 134,135

popular literature 11

supranatural 190,197

postmodernisme 32

Sweeney 3

posstrukturalisme 32 pralogis 5

T

prana 198,199,200,201

takhayul 74,75,85,86

prewangan 114,194

thank giving 27

primbon 4

teases 8

pulung 206,207

tembang gedhe 134,138

pulung 37

tembang macapat 138,139,140,146

pure 102

tradisi lisan jawa 133

purwakanthi lumaksita 154

tuk pitu 192 tusuk jarum 185

R rappaport 168

U

Ratu Kidul 18

udheng 170

rengga basa 44

ujare 5

riddles 8

ular-ular 142

rumor 1

unen-unen 36,65

rusa basa 44

unofficial 3

uran-uran 150 S

sada lanang 119

V

W

varian 5

wayang krucil 13

verbal 28

wayang jemblung 13

verbal folklore 7

wedhak 180

SUWARDI ENDRASWARA,

lahir di Kulon Progo, 3 April 1964. Belajar Sastra

dan Budaya Jawa di IKIP Yogyakarta tahun 1989. Sejak itu dipercaya menjadi staf pengajar di almamaternya, yang sekarang menjadi Program Studi

Pen-didikan Bahasa Jawa FBS UNY. Kini sedang menyelesaikan S3 di UGM,

dengan memperdalam teks-teks mistik kejawen. Pernah bekerja sebagai guru

SPG 17III Bantul selama tiga tahun, re-daksi majalah Mekar Sari selama dua tahun, juga pernah menjadi ketua penyun-ting majalah sastra Jawa Pagagan,

redaksi pelaksana majalah Sempulur Dinas Kebudayaan DIY, Seksi Publikasi HISKI Komda DIY, Koordinator Pembinaan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta,

anggota dewan presidium MTB. Ketua Kesawa (Keluarga Alumni Bahasa Jawa), Ketua ATL Komda DIY, Ketua Rumpun Sastra FBS UNY, Pembina SSJU.

Profesi lainnya adalah sebagai pranatacara manten gaya “nyastra” serta pengarang cerkak, cerbung, geguritan, novel, dongeng, dan esai berbahasa Indonesia dan Jawa. Buku-bukunya yang pernah diterbitkan yaitu: Jangka: Antologi Crita Cekak

Pilihan (Yayasan Pustaka Nusatama), Kristal Emas: Antologi Geguritan

(Yayasan Pustaka Nusatama), Mutiara Segegem: Antologi Crita Cekak (ed., Yayasan Swadana), Kembang Ing Mangsa Ketiga: Antologi Esai (Yayasan

Swadana), Mutiara Wicara Jawa (Gajah Mada University Press), Seksologi

Jawa (WWS), Metode Pengajaran Apresiasi Sastra (Radhita Buana), Budi Pekerti dalam Budaya Jawa (Hanindita), Mistik Kejawen (Media Pressindo),

Metodologi Penelitian Sastra (Pustaka Widyatama), dan Metodo-logi Penelitian

Kebudayaan (Gajah Mada University Press), Membaca, Menu-lis, dan Mengajarkan Sastra: Sastra Berbasis Kompetensi (Kota Kembang), Teori dan

Metode Mengajarkan Sastra (Gelombang Pasang), Rasa Sejati: Misteri Seks Dunia Kejawen (Narasi), Buku PinterBudaya Jawa (Gelombang Pasang), Budi

Pekerti Jawa (Gelombang Pasang), Sampyuh: Seks Jawa Agung (Kuntul Press), Dunia Hantu Orang Jawa (Narasi), Tradisi Lisan Jawa (Narasi), Psikologi

Sastra (Medpress), Petis Manis: Wulang Basa lan Sastra Jawa (Sewon Press), Laras Manis: Tuntunan Kerawitan Jawa (Kuntul Press), Tuntunan Pembelajaran

Sanggar Sastra (Kuntul Press), dan segera akan muncul Metodologi Penelitian Folklor (Media Presindo), 30 Metode Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa (Kuntul Press), Tuntunan Tembang Jawa (Kuntul Press), Etika Jawa

(Gelombang Pasang). Kini sedang menyiapkan naskah buku Ilmu Jiwa Jawa,

Agama Jawa, Teori Sastra Jawa, serta Metode dan Teori Sastra Bandingan.

Prestasi yang pemah diraih, juara II menulis novel Yayasan Citra Pari-wara Jateng berjudul Suket Teki, juara II Lomba Menulis Cagar Budaya, Juara

Harapan I Lomba Menulis Esai Sastra Yogyakarta, Juara Harapan I Menulis Artikel Budaya Jarahnitra, Juara I lomba Artikel Koran Pusat Bahasa Jakarta,

Dosen Berprestasi tingkat nasional (2005), penerima hadiah sastra Rancage 2006. Penghargaan pemah diterima dari Gubernur DIY sebagai pemerhati

dan peduli budaya. Sekarang dia beralamatkan di (1) rumah: Ngrukem, RT 18, Krandohan, Pendowoharjo, Sewon, Bantul, HP. 08156805293, (2) kantor:

Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, FBS UNY, 55281. Telp. 550843, psw. 12.

Email: [email protected].