205 82 4MB
Indonesian Pages 244 [254] Year 2021
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
ANSELMUS JE TOENLIOE
Penerbit: AHLIMEDIA PRESS
JEJAK ARTIKEL OPINI PENDIDIKAN TERPILIH Penulis: Anselmus JE Toenlioe Editor: Luluk Lailatul Mabruroh Penyunting: Masyrifatul Khairiyyah Desain Cover: Aditya Rendy T.
Penerbit: Ahlimedia Press (Anggota IKAPI: 264/JTI/2020) Jl. Ki Ageng Gribig, Gang Kaserin MU No. 36 Kota Malang 65138 Telp: +6285232777747 www.ahlimediapress.com ISBN: 978-623-6749-97-5 Cetakan Pertama, Januari 2021
Hak cipta oleh Penulis dan Dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Pasal 72. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ii | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
KATA PENGANTAR Buku Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih ini merupakan kumpalan dari artikel opini yang dibuat penulis sejak awal menjadi dosen PNS di IKIP Malang (Universitas Negeri Malang) tahun 1981 sampai menjelang purna tugas pada tahun 2019. Sepanjang masa dinas tersebut, sekitar 500 artikel opini penulis dimuat di media massa, sebagian besar di koran, dari lokal sampai nasional. Beberapa artikel dimuat di majalah dan tabloid. Artikel-artikel yang dibukukan adalah artikel-artikel terpilih yang membahas masalah-masalah pendidikan sepanjang masa dinas penulis sebagai PNS. Artikel yang dipilih adalah artikel yang waktu lalu merupakan masalah aktual pendidikan dan sampai saat ini masih menjadi persoalan atau sudah ditangani, tetapi masih berproses karena belum tuntas penyelesaiannya. Masalah-masalah tersebut misalnya ujian nasional dengan berbagai versi dan sebutan, otonomi pendidikan, pilihan aliran pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, fungsi pendidikan sekolah sebagai lembaga pendidikan, serta berbagai kondisi terkait fungsi-fungsi tersebut. Sejumlah sejawat dan kenalan telah ikut menginspirasi penerbitan buku ini. Konkretnya, inspirasi berwujud saran agar artikel-artikel penulis yang dimuat di media massa diterbitkan sebagai buku kumpulan artikel opini. Terima kasih kepada para sejawat dan kenalan yang telah menginspirasi penerbitan buku ini. Secara khusus, ucapan terima kasih disampaikan kepada sejawat Profesor Dr. Djoko Saryono yang telah menjadi teman diskusi tentang kemungkinan-kemungkinan cara menerbitkan ulang kumpulan artikel opini penulis. Selain itu, juga kepada Ananda Maria Santoso yang memberikan argumetasi meyakinkan tentang perlunya penerbitan ulang artikel-artikel opini penulis dalam bentuk buku. Tak lupa kepada Ananda
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| iii
Swari Anggri Suburian yang telah mengetik ulang naskah artikel opini menjadi naskah untuk buku. Tidak setiap penerbit bersedia menerbitkan buku Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih. Terima kasih tak terhingga kepada manajemen penerbit Ahlimedia Press yang bersedia menerbitkan buku kumpulan artikel ini. Tak ada manusia sempurna. Demikian juga tak ada buku yang sempurna. Tak terkecuali buku kumpulan artikel ini. Masukkan dari pembaca bagi perbaikan buku ini tetap dinanti. Selamat membaca. Semoga menginspirasi. Penulis
iv | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
DAFTAR ISI Kata Pengantar ............................................................................... iii Daftar Isi ........................................................................................... iv 1. Mempersiapkan Tenaga Kerja Terampil Melalui Pendidikan Sekolah: Surabaya Post, 27 Februari 1981 ... 1 2. Sisi Lain Perkembangan Ilmu Sosial: Suara Indonesia, 27 Agustus 1984 ...................................................................... 7 3. Guru dalam Perubahan Kurikulum: Sinar Harapan, 24 Februari 1984 .................................................................... 11 4. Mereka Enggan Bekerja di Desa: Komunikasi, Maret 1984 ........................................................................................... 16 5. Muatan Lokal Pendidikan Keterampilan: Suara Indonesia 6 April 1987 ............................................................................. 22 6. Pembina Guru, Kunci Keberhasilan Guru: Surabaya Post, 27 November 1987 ................................................................. 27 7. Pendidikan Terminal di SMP: Kompas, 7 Maret 1988 ..... 32 8. Sekitar Pengajaran Membaca Permulaan: Jawa Pos, 9 Desember 1988 .................................................................... 36 9. Anak-anak di Desa Tidak Akrab dengan Pekerjaan Pertanian: Suara Pembaruan, 13 Januari 1989 ........................................................................................... 43 10. Pasca Sarjana Jarak jauh, Mengapa Tidak: Suara Indonesia, 8 Maret 1989 ...................................................... 48 11. Kurikulum Pendidikan Guru SD: Jawa Pos 21 Juli 1989 ........................................................................................... 53 12. Tantangan Budaya di Sekolah Dasar: Kompas, 18 Maret 1991 ........................................................................ 59 13. Mutu Guru yang Tidak Ditawar-tawar: Jawa Pos, 28 Agustus 1991 ...................................................................... 64
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| v
14. Sekitar Pendidikan Dasar 9 Tahun: Kompas, 14 Februari 1992 ................................................................... 69 15. Pendidikan yang Berorientasi Pasar: Kompas 10 Maret 1992 .............................................................................. 75 16. Sekitar Dualisme Pengelolaan SD: Kompas, 14 April 1992 ........................................................................................... 79 17. Pendidikan Sikap oleh Sekolah: Kompas, 15 Februari 1993 ........................................................................................... 83 18. Pembaruan Pendidikan yang Adaptatif: Surya, 19 Maret 1994 ........................................................................ 87 19. Perlukah Membuat Skripsi: Kompas, 28 Juli 1994 .......... 91 20. Dibutuhkan Sarjana Sesuai Kondisi Lapangan Kerja: Surabaya Post, 8 Juli 1995 ....................................... 95 21. Cooperative Learning dan Budaya Kita: Surabaya Post, 31 Juli 1995 ............................................................................. 98 22. Hukuman, Teladan, dan Perilaku Moral: Surabaya Post, 26 Agustus 1995 ...................................................................... 101 23. Mencari Model Pendidikan Guru: Surabaya Post, 15 Februari 1996 .................................................................... 105 24. Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan: Surabaya Post, 23 Mei 1996 ............................................................................ 109 25. Perbaikan Pendidikan Moral di Sekolah: Suara Pembaruan, 13 September 1996 ....................................... 112 26. Menyoal Kemungkinan Penghapusan Ebtanas: Surabaya Post, 8 Desember 1997 .......................................................... 116 27. Reformasi Bidang Pendidikan: Surabaya Post, 3 Juni 1998 ............................................................................... 119 28. Reformasi Pendidikan Moral di Sekolah: Surabaya Post, 17 Juni 1998 ............................................................................ 123
vi | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
29. Pemborosan Akademik di Sekolah: Surabaya Post, 4 Juli 1998 ................................................................................ 127 30. Menghargai Pluralitas Melalui Sekolah: Surabaya Post, 29 Juli 1998 .............................................................................. 131 31. Otonomi Pendidikan Seluasnya bagi Daerah: Surabaya Post, 9 Oktober 1998 ............................................................. 136 32. Pendidikan Moral di Sekolah Pasca-Orba: Surya, 11 Juni 1999 ............................................................................. 140 33. Mengakui Kesalahan Sebelum Memberantas KKN: Suara Pembaruan, 25 januari 2002 .................................... 145 34. Manajemen Pendidikan Berbasis Kemanusiaan: Suara Pembaruan, 5 April 2002 .......................................... 149 35. Apa Kabar Reformasi Pendidikan: Suara Pembaruan, 8 Juni 2002 ............................................................................... 153 36. Guru, Kunci yang Tidak Berdaya: Suara Pembaruan, 5 Juli 2002 ................................................................................ 157 37. Menyoal Fakultas Ilmu Pendidikan: Suara Pembaruan, 26 Juli 2002 .............................................................................. 162 38. Sekolah dan Kesenjangan Ekonomi: Suara Pembaruan, September 2002 ............................................... 167 39. Desentralisasi Kurikulum dan Evaluasi Belajar: Kompas, 8 Desember 2003 ..................................................................... 172 40. Ujian Nasional dan Petani Malas: Suara Pembaruan, 14 Mei 2004 ............................................................................. 176 41. Sekolah dan Nasib Siswa Miskin: Surabaya News, 3 Juli 2004 ................................................................................. 180 42. Mengurangi Komersialisasi Pendidikan Guru: Suara Pembaruan, 16 Juli 2004 ...................................................... 184 43. Sekolah dan Mobilitas Sosial: Kompas, 6 Agustus 2004 ............................................................................................ 189 44. Otonomi Guru: Kompas, 14 Februari 2005 ....................... 194 Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| vii
45. UAN dan Post Power Sydrome Sentralisasi Pendidikan: Suara Pembaruan, 18 Juni 2005 ................... 200 46. Ketidaklogisan di Balik Ujian Nasional; Kompas, 23 Mei 2006 ............................................................................ 204 47. KTSP, Kurikulum yang Tidak Sistematis: Kompas, 13 November 2006 ................................................................ 207 48. Kekacauan Paradigma Pendidikan Nasional: Kompas, 7 November 2007 ................................................................... 211 49. Ujian Nasional dan Mazhab Psikologi: Kompas, 22 Mei 2009.............................................................................. 215 50. UN, Sistem Evaluasi yang Tidak Pedagogis: Kompas, 11 Februari 2010 .................................................................... 218 51. Pendidikan dan Bakat Peserta Didik: Kompas, 19 Maret 2010 ........................................................................ 222 52. Fungsionalisasi Sistem Persekolahan: Kompas, 19 Juli 2011 ............................................................................... 225 53. Kurikulum Muatan Lokal dan Potensi Daerah: Pos Kupang, 20 Juli 2016 ............................................................................. 230 54. Cara Mendidik Versi Behaviorisme: Tabloit Gloria, September 2016 ......................................................... 233 55. Cara Mendidik Humanisme Versus Behaviorisme: Tabloit Gloria, Oktober 2016 .............................................. 236 56. Gereja sebagai Lembaga Pendidikan: Majalah Berkat, Desember 2016 ......................................................... 240 Profil Penulis ..................................................................................... 244
viii | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Mempersiapkan Tenaga Kerja Terampil Melalui Pendidikan Sekolah Surabaya Post, 27 Februari 1981 Cukup menggembirakan bahwa daya tampung sekolah kita semakin besar sehingga semakin banyak orang dapat mengenyam pendidikan, dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, bahkan sampai ke Perguruan Tinggi, serta mencakup semua lapisan masyarakat dari kota sampai ke desa. Walaupun tidak semua orang yang akan bersekolah dapat ditampung, kita masih dapat berlapang dada, karena daya tampung sekolah kita kian hari kian bertambah, dan usaha-usaha tentunya tidak akan dihentikan untuk semakin memperluas daya tampung sekolah tersebut. Hal lain yang patut disyukuri, adalah usaha-usaha yang terus dilakukan untuk semakin meningkatkan mutu pendidikan kita. Penataran-penataran terhadap guru-guru, pengadaan fasilitas untuk meningkatkan mutu interaksi belajar mengajar, serta penataan kembali Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan merupakan bukti dari usaha keras yang telah dan sedang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di negara Indonesia tercinta ini. Harus diakui bahwa banyak usaha telah dilakukan dalam pendidikan kita, dan banyak kemajuan telah dicapai, tetapi perlu disadari pula bahwa tak kurang banyaknya kekurangan dan kejanggalan yang masih perlu dipersoalkan untuk dibenahi. Sebuah Persoalan Hasil sementara dari sensus penduduk yang dilakukan beberapa waktu yang lalu menunjukkan bahwa angkatan kerja yang ada di Indonesia pada tahun 1978 berjumlah 54,4 juta Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 1
orang, dan diperkirakan pada tahun 1981 akan mencapai 59,5 juta orang. Suatu jumlah yang cukup besar, yang oleh berbagai kalangan dinilai sebagai sebuah sumber kerawanan yang pada suatu waktu dapat menganggu stabilitas nasional. Untuk mempekerjakan angkatan kerja tersebut pemerintah telah melakukan berbagai usaha, antara lain dengan membuka tempat-tempat latihan tenaga kerja dengan maksud untuk melatih tenaga-tenaga kerja agar menjadi trampil, agar kemudian mereka dapat mencari pekerjaan atau membuka lapangan pekerjaan sendiri, baik di dalam maupun di luar negeri. Hal yang menggelitik pikiran adalah bahwa angkatan kerja tersebut pada umumnya tidak buta huruf dan pernah mengenyam pendidikan di sekolah, walaupun mungkin hanya mencapai tingkat yang rendah. Yang menjadi persoalan: bagaimana menghasilkan tenaga kerja trampil melalui pendidikan di sekolah, agar tidak terjadi, bahwa setelah tamat mereka menjadi penganggur karena tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk bekerja. Keadaan Kurikulum Dalam kurikulum sekolah dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas pada pokoknya terdapat tiga program pendidikan, yaitu Program Pendidikan Umum, Program Pendidikan Akademis, dan Program Pendidikan Keterampilan. Program pendidikan yang terakhir ini dimaksudkan untuk mempersiapkan anak dengan keterampilan khusus untuk bekerja seandainya anak tidak melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Di antara ketiga program pendidikan di atas, Program Pendidikan Keterampilan yang pada umumnya kurang atau tidak dilaksanakan. Alasannya cukup klasik, karena tak ada tenaga pengajar serta sarana dan prasarana. Alasan tersebut
2 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
kemudian dikaitkan dengan prinsip fleksibilitas dalam kurikulum yang memperbolehkan peniadaan salah satu program pendidikan dalam kurikulum seandainya kondisi sekolah tidak memungkinkan. Dengan demikian makin kuatlah alasan tersebut, dan makin bertambah sempurnalah ketidaksempurnaan pelaksanaan kurikulum. Akibat Peniadaan Peniadaan atau pembatasan Program Pendidikan Keterampilan dalam kurikulum sekolah pada dasarnya akan menghilangkan nilai fungsional dari pendidikan di sekolah itu sendiri. Sifat pendidikan di sekolah akan menjadi sangat intelek, di mana sekolah akan menghasilkan lulusan yang tahu banyak tetapi hanya dapat berbuat sedikit. Keadaan sekolah seperti ini akan mengakibatkan dua kenyataan sebagai berikut. Pertama, pendidikan di sekolah akan diorientasikan dan diarahkan pada suatu titik tujuan, yakni pendidikan di Perguruan Tinggi. Setiap orang yang bersekolah akan berusaha untuk mencapai pendidikan di Perguruan Tinggi, karena dalam kenyataannya keluaran Perguruan Tinggi relatif lebih mudah mendapatkan pekerjaan dengan imbalan gaji yang lebih besar dibanding keluaran Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sampai Sekolah Dasar, walaupun sering terjadi bahwa pekerjaan yang diperoleh tidak sesuai dengan keahlian yang diperoleh di bangku kuliah. Padahal tidak semua orang dapat masuk ke Perguruan Tinggi, entah karena kemampuan akademisnya rendah, entah karena keadaan ekonominya lemah, atau mungkin karena daya tampung Perguruan Tinggi sendiri yang terbatas. Kedua, urbanisasi akan semakin menjadi-jadi. Anak-anak dari desa yang telah mengenyam pendidikan sampai pada tingkat tertentu akan menjadi segan untuk kembali bekerja di desa
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 3
sebagaimana keadaan sebelum mereka bersekolah, karena merasa telah bersekolah. Kalaupun mereka kembali bekerja di desa, pengetahuan yang telah mereka peroleh di sekolah tidak banyak berarti bagi mereka. Mereka bahkan mungkin harus belajar untuk menguasai pekerjaan-pekerjaan yang telah mereka tinggalkan selama bersekolah. Menguntungkan bagi anak-anak yang tidak bersekolah, karena mereka tetap menguasai dan dapat mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam pekerjaan mereka. Sebagian besar dari mereka yang pernah bersekolah akan berpindah ke kota-kota dan bekerja apa saja sekedar untuk dapat hidup, baik yang halal tetapi tidak jarang yang haram pun dikerjakan. Mereka-mereka yang tidak sampai masuk ke Perguruan Tinggi dan mereka-mereka yang meninggalkan desanya untuk bekerja di kota inilah yang antara lain tercatat sebagai angkatan kerja, yang notabene belum memiliki keterampilan khusus yang cukup untuk menjalankan sesuatu pekerjaan. Saran Nampaknya sudah agak terlambat, karena sekolah-sekolah kita telah terlanjur menelorkan sejumlah besar lulusan yang tidak memiliki keterampilan khusus untuk bekerja. Namun, pemerintah tentunya sudah mempunyai program untuk mengatasi masalah tersebut. Agar keadaan seperti itu tidak berulang kembali, maka usaha-usaha perlu dilakukan untuk mendorong pelaksanaan Program Pendidikan Keterampilan yang ada dalam kurikulum, dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Dalam pusat-pusat latihan tenaga kerja, jenis latihan keterampilan yang disajikan biasanya sudah dikhususkan, dan waktu yang diPerlukan oleh para peserta untuk meyelesaikan
4 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
latihannya berkisar antara 2 sampai 6 bulan, tergantung dari jenis keterampilan yang dipilih oleh peserta. Mekanisme kerja seperti ini mungkin cocok untuk diterapkan di sekolah dalam rangka pelaksanaan Program Pendidikan Keterampilan. Mereka yang perlu mendapatkan latihan keterampilan terutama adalah mereka yang segera akan menamatkan pendidikannya atau mereka yang dapat dipastikan akan putus sekolah dan tidak dapat menamatkan pendidikannya. Dengan demikian setelah mereka keluar dari sekolah, diharapkan mereka dapat mencari pekerjaan atau menciptakan lapangan kerja sendiri sesuai dengan modal keterampilan khusus yang diperolehnya dari sekolah. Seperti telah dikatakan di atas, Program Pendidikan Keterampilan dalam kurikulum sekolah pada umumnya kurang atau tidak dilaksanakan karena tidak tersedianya tenaga guru serta sarana dan prasarana, yang sebenarnya berpangkal pada kurangnya biaya, hal mana memang ada benarnya. Seorang tenaga yang ahli dalam bidang keterampilan, akan memilih menjadi guru pada kursus-kursus keterampilan yang tersebar luas di mana-mana dengan imbalan gaji yang aduhai, daripada menjadi guru di sekolah dengan imbalan gaji yang biasanya jauh lebih kecil. Demikian halnya dengan sarana dan prasarana, pengadaan sarana dan prasarana untuk pendidikan keterampilan memerlukan biaya yang tidak sedikit, yang selalu sulit dijangkau oleh sekolah. Kalau memang dapat diterima bahwa kurangnya biaya merupakan sebab utama tidak dilaksanakannya Program Pendidikan Keterampilan dalam kurikulum, maka pemerintah perlu menyediakan biaya tersebut. Dalam Rancangan Anggaran Belanja Negara periode ini, sektor pendidikan mendapat bagian yang cukup besar. Sudah seyogyanya dari anggaran tersebut
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 5
disisihkan pula untuk mewujudkan pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah. Untuk melaksanakan Program Pendidikan Keterampilan dalam kurikulum memang diperlukan biaya. Namun, sambil menunggu biaya yang mungkin disediakan oleh pemerintah, bila sekolah mau sedikit berusaha dan bersusah-susah mungkin masalah biaya dapat diatasi. Caranya ialah dengan mengadakan kerja sama dengan pusat-pusat latihan tenaga kerja serta pusatpusat penghasil barang-barang keterampilan. Dengan yang pertama, kerja sama dilakukan dengan mengirim anak-anak untuk belajar di sana sesuai dengan kurikulum yang berlaku di sana. Syukur kalau cuma-cuma, tetapi kalaupun perlu membayar, perlu diusahakan untuk membayar semurahmurahnya sesuai dengan kemampuan sekolah. Dengan yang kedua, sekolah mengirimkan anak-anaknya untuk membantu pekerjaan-pekerjaan di sana, dengan imbalan kepada anak-anak diajarkan cara kerja untuk menghasilkan barang-barang keterampilan tersebut. Kerja sama seperti ini menuntut hubungan baik antara sekolah dengan pusat-pusat latihan tenaga kerja serta pusat-pusat penghasil barang-barang keterampilan, di samping kesadaran yang tinggi dari pusat-pusat latihan tenaga kerja serta pusat-pusat penghasil barang-barang keterampilan untuk bekerja sama dengan sekolah. Kalau hanya dipikirkan nampaknya sulit untuk dilaksanakan, tetapi mungkin tidak sesulit yang dibayangkan bila mulai diusahakan. Mungkin saja!
6 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Sisi Lain Perkembangan Ilmu Sosial Suara Indonesia, 27 Agustus 1984 Seminar Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIS) IV sudah berlalu. Sejumlah fakta, data, komentar, dan harapan terungkap atau diungkapkan kembali, baik secara langsung pada saat seminar berlangsung maupun melalui tulisan-tulisan pada media massa. Ada fakta yang dinilai sebagai gejala yang menggembirakan yaitu menculnya ilmuwanilmuwan sosial muda, karena terdapat data bahwa ilmuwan sosial di Indonesia yang dapat diandalkan untuk mengembangkan ilmu sosial jumlahnya hanya sekitar 133 orang. Ada pula komentar tentang hal-hal yang meresahkan dalam hal perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia yaitu bahwa ilmuwan-ilmuwan masih banyak bergulat dengan persoalan bagaimana agar teori-teori dari barat dapat diterapkan di Indonesia, bahwa masih terdapat kesemrawutan konsep tentang ilmu sosial, bahwa terdapat keserampangan pemakaian metode kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial, dsb. Banyak aspek memang yang diungkapkan mengenai keadaan ilmu-ilmu sosial di Indonesia, tetapi salah satu hal yang tidak kedengaran adalah tentang keadaan pengajaran IPS di sekolah-sekolah. Entah karena tidak ada hubungan langsung dengan tema seminar, atau karena hal tersebut dianggap sebagai urusan para pengelola pendidikan, atau mungkin juga karena pengajaran IPS di sekolah-sekolah dinilai tidak ada persoalan. Karena sekolah merupakan lembaga pendidikan yang efektif dan efisien atau paling tidak lebih mudah diefektifkan dan efisienkan untuk mencapai tujuan-tujuan kemanusiaan, juga karena sekolah adalah lembaga yang secara formal disediakan untuk mencapai tujuan-tujuan kemanusiaan, apa pun alasannya, Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 7
perkembangan ilmu-ilmu sosial tidak dapat dipisahkan dari pengajaran IPS di sekolah. Kaitan antara perkembangan ilmuilmu sosial dengan pengajaran IPS di sekolah ibarat air dan hutan. Hafalan Bila keadaan ilmu-ilmu sosial di Indonesia meresahkan sekaligus juga mengandung gejala-gejala positif, maka kurang lebih demikian pula keadaan pengajaran IPS di sekolah-sekolah. Hal yang meresahkan misalnya hingga kini pengajaran IPS di sekolah-sekolah hanya bersifat hafalan. Para guru umumnya mengolah bahan pengajaran sedemikian rupa sehingga siswa tinggal menelannya saja. Pengajaran IPS dengan demikian tidak mengandung unsur menantang, akibatnya menjadi membosankan bagi siswa. Minat siswa terhadap IPS menjadi hilang, bahkan siswa dapat membenci IPS. Bila kita perhatikan lomba lomba-lomba karya ilmiah tingkat SMA akan kita temukan bahwa bidang IPA-lah yang selalu muncul, bidang IPS dapat dikatakan tak pernah tampil. Kalau jumlah peminat terhadap jurusan-jurusan yang ada di SMA boleh dijadikan ukuran, betapa meresahkannya minat para siswa terhadap IPS. Bila dewasa ini muncul ilmuwan sosial muda, boleh jadi mereka adalah ilmuwan-ilmuwan sosial "alam" mengingat pengajaran IPS di sekolah-sekolah kita selama ini. Sebenarnya para pengelola pendidikan, khususnya para penyusun kurikulum telah menggariskan rambu-rambu pelaksanaan pengajaran IPS yang bila dilaksanakan dengan baik akan sangat menunjang perkembangan ilmu-ilmu sosial. Namun, karena berbagai keterbatasan, rambu-rambu tersebut tidak dapat diikuti. Pada buku pedoman untuk guru bidang studi IPS SD misalnya, dianjurkan agar pengajaran IPS dilaksanakan dengan
8 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
mengikuti langkah-langkah: orientasi, perencanaan, kegiatan, evaluasi kegiatan, kulminasi, dan evaluasi umum; langkahlangkah mana dimaksudkan untuk mendorong murid menggali sendiri kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat. Prinsip mendorong murid untuk menemukan sendiri kenyataan-kenyataan sosial yang ada di masyarakat pada dasarnya sama dengan prinsip dasar dalam metode penelitian "Grounded", di mana penelitian dilakukan dengan berangkat dari kenyataan sosial dalam masyarakat. Suatu metode sosial yang konon banyak digunakan di negara-negara berkembang dan digunakan pula oleh LIPI pada Proyek Studi Kebudayaannya. Sedangkan salah satu gejala yang dapat dikatakan positif adalah pengadaan berbagai Program Khusus Paket A di SMA, dimana setiap program khusus secara khusus mempersiapkan siswa untuk masuk ke fakultas yang khusus pula di perguruan tinggi. Dengan sistem penjurusan semacam itu kemungkinan lebih baik untuk menjaring siswa dengan bakat dan minat besar pada bidang IPS sebagai kader ilmuwan sosial. Jangka Panjang Pengajaran IPS di sekolah hanyalah salah satu faktor yang ikut mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu sosial, bahwa masih terdapat banyak faktor di luar sekolah yang ikut mempengaruhi perkembangannya. Bahwa usia ilmu sosial di Indonesia masih muda adalah benar. Bahwa ilmu sosial di Indonesia masih selalu dikaitkan dengan politik juga benar. Bahwa birokrasi masih menghambat perkembangan ilmu sosial di Indonesia adalah tidak salah. Bahwa sebagian besar masyarakat kita tidak rasional memang demikianlah keadaannya. Tetapi, bukankah untuk jangka panjang, pengajaran IPS di sekolah akan sangat menentukan perkembangan ilmu-ilmu
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 9
sosial? Bukankah sekolah merupakan agen perubahan sosial? Bukankah melalui sekolah, minat terhadap ilmu-ilmu sosial dapat dikembangkan? Bukankah para ilmuwan sosial dapat berpartisipasi secara nyata dalam mengembangkan pengajaran IPS di sekolah. Partisipasi nyata dari para ilmuwan sosial dalam pengembangan pengajaran IPS di sekolah tidak berarti bahwa para ilmuwan sosial harus terjun untuk mengajar di sekolahsekolah, melainkan mereka dapat berpartisipasi melalui penelitian terhadap hal-hal yang berhubungan langsung dengan pengajaran IPS di sekolah. Tak ada salahnya bila para ilmuwan sosial menawarkan diri untuk mengadakan penelitian pesanan, apalagi bila penelitian pesanan itu adalah dalam rangka memperbaiki pengajaran IPS di sekolah. Tak ada salahnya bila para ilmuwan sosial menawarkan diri untuk mengadakan penelitian terhadap kemungkinan pengembangan pengajaran IPS di sekolah. Tak ada salahnya bila para ilmuwan sosial menawarkan diri untuk meneliti sebab-sebab para guru belum dapat melaksanakan langkah-langkah mengajar IPS sebagaimana yang telah digariskan dalam kurikulum. Juga tak ada salahnya bila para ilmuwan sosial mengemukakan saran-saran untuk perbaikan pengajaran IPS di sekolah. Dengan cara-cara demikian barangkali pada masa-masa mendatang ilmu-ilmu sosial dapat banyak berperan dalam pembangunan.
10 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Guru dalam Perubahan Kurikulum Sinar Harapan, 24 Februari 1984 Betapa pun baiknya kurikulum, betapa lengkapnya prasarana dan sarana pendidikan, semuanya tidak akan berarti bila guru belum siap menggunakannya. Ibarat prajurit yang berada di garis depan, gurulah yang paling akhir menentukan apakah pendidikan akan berhasil atau tidak. Perubahan kurikulum adalah sesuatu yang wajar, karena ilmu dan teknologi selalu mengalami perkembangan. Kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik selalu muncul, karena itu kurikulum pun harus selalu terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan perubahan tersebut. Bila perubahan kurikulum dipersoalkan, maka persoalan pokoknya buka soal baru sekian tahun berlaku kurikulum sudah dirubah atau sudah sekian tahun berlaku kurikulum belum berubah, melainkan apakah perubahan itu bermanfaat serta apakah kondisi lingkungan sudah siap atau paling tidak segera dapat disiapkan untuk menerima perubahan itu. Dalam kaitannya dengan guru sebagai kunci keberhasilan pendidikan, persoalan pokoknya adalah bagaimana agar para para guru dapat menerima perubahan tersebut, bagaimana agar para guru dapat melaksanakan perubahan tersebut, serta fasilitas apa saja yang perlu diadakan agar perubahan tersebut dapat dilaksanakan. Peranan Penyalur Barangkali tugas yang paling sulit bila kurikulum dirubah ialah membuat para guru mau menerima perubahan itu. Para guru yang sudah terbiasa dan telah merasakan manfaat dari apa yang selama ini dijalankannya biasanya tidak dengan begitu Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 11
saja mau menerima dan melaksanakan suatu perubahan. C.E. Beeby dalam bukunya Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan Pedoman Perencanaan, LP3ES, 1981, mengatakan, “Menghadapi kurikulum baru yang tidak sepenuhnya dimengerti para guru umumnya memperlihatkan kemampuan yang mengagumkan untuk melanjutkan saja yang lama juga dengan merek baru”, (Halaman 144). Karena alasan-alasan tersebut di atas, maka kunci dari bagaimana membuat para guru agar mau menerima dan melaksanakan perubahan tersebut adalah para penyalur ide-ide perubahan itu. Para petugas penyalur ide-ide perubahan harus paham benar-benar akan latar belakang dari perubahan yang terjadi dan bagaimana pelaksanaannya, agar tidak terjadi bahwa pertanyaan-pertanyaan yang datang dari pihak guru hanya dijawab dengan, “Ini adalah instruksi”. Para guru pun sudah tahu bahwa perubahan tersebut secara formal memang merupakan instruksi, tetapi sebagai makhluk berakal mereka pun ingin tahu apa latar belakang dari instruksi tersebut. Bagaimana mungkin para guru dapat melakukan sesuatu dengan baik sementara mereka tidak tahu persis apa yang akan mereka lakukan. Keluhan yang sering muncul dari para guru sehubungan dengan perubahan-perubahan pendidikan, adalah bahwa para penatar dan para supervisor (pengawas) yang biasanya berhubungan langsung dengan para guru seringkali tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan tentang perubahanperubahan tersebut. Kedatangan para supervisor ke sekolah lebih sering untuk keperluan administratif, misalnya menyampaikan pesan dari atas, mendrop soal THB, atau mencek secara kuantitatif pelaksanaan ide-ide pembaharuan, sedangkan tukar pikiran dengan para guru tentang soal kegiatan belajar mengajar nyaris tidak pernah dilakukan. Alasannya yang biasanya
12 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
dikemukakan oleh para supervisor adalah bahwa mereka sangat disibukkan oleh aspek administratif dari tugasnya sebagai supervisor sehingga tak ada waktu yang tersisa untuk menggarap aspek edukatif. Bila alasan itu benar, maka rupanya ada asumsi bahwa aspek administratif dari kegiatan supervisi perlu didahulukan daripada aspek edukatif. Dan bila demikian asumsinya, maka asumsi itu perlu ditinjau kembali karena aspek edukatif pun termasuk penting, kalau tidak hendak dikatakan lebih penting dan perlu didahulukan. Bukankah administrasi adalah merupakan pelengkap dari kegiatan pendidikan itu sendiri? Atau barangkali diperlukan dia macam supervisor di sekolah, satunya supervisor administratif, satunya lagi supervisor edukatif. Patut disayangkan tentang supervisi yang timpang tersebut adalah bahwa perubahan dalam bidang pendidikan menjadi terhambat pelaksanaanya karena komunikasi yang tidak lancar. Sayang sekali bila para guru menjadi apatis terhadap pembaharuan pendidikan karena mereka tidak pernah memahami sepenuhnya ide-ide pembaharuan pendidikan tersebut sementara pembaharuan itu terus saja berlangsung. Mendasar Umumnya telah disepakati bahwa komponen-komponen utama dalam kurikulum adalah tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Karena pendekatan yang dianut dalam menyusun kurikulum yang dipakai sekarang ini adalah pendekatan baru yang berorientasi pada tujuan, maka bila kita mau konsekwen dengan pendekatan tersebut, dalam merubah kurikulum, pertama-tama yang perlu dirubah adalah komponen tujuan. Atau kalau diadakan perubahan pada komponen materi, metode, dan evaluasi tanpa merubah komponen tujuan, perubahan itu
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 13
hendaknya dalam rangka meningkatkan relevansi materi, metode, dam evaluasi dengan tujuan. Selanjutnya karena komponen pokok dalam kurikulum adalah tujuan, metode, dan evaluasi maka pembinaan terhadap kemampuan edukatif para guru adalah pembinaan terhadap kemampuan merumuskan tujuan, memilih materi yang sesuai dengan tujuan, memilih dan menggunakan metode yang tepat, serta mengadakan evaluasi. Sebenarnya bila pembinaan terhadap kemampuan edukatif para guru dilakukan secara mendasar, para guru akan selalu dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan kurikulum dengan mudah. Karena, bagaimana pun perubahan itu, perubahan tersebut hanya berkisar pada perubahan tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Apalagi bila kurikulumnya seperti kurikulum-kurikulum yang berlaku sekarang ini di mana telah dibuat Garis-Garis Besar Program Pengajaran, sebenarnya sudah cukup memudahkan bagi guru. Pembinaan yang mendasar hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang profesional, yang tidak hanya mampu secara administratif, tetapi juga mampu secara edukatif dalam membina para guru. Agar para guru dapat tetap siap menyesuaikan diri secara lebih mandiri terhadap perubahan-perubahan kurikulum, kepada mereka perlu diberikan pancing dan bukan ikan. Kepada mereka perlu pula diterapkan cara belajar siswa aktif, atau tepatnya cara belajar guru aktif. Berbeda Oleh berbagai pihak lancarnya pelaksanaan pembaharuan kurikulum dikaitkan pula dengan masalah kesejahteraan guru. Dari segi jumlah gaji, jelas tak ada perbedaan antara guru dengan pegawai negeri pada umumnya. Yang berbeda adalah bahwa gaji guru sering kali terlambat dibayar, terutama guru-
14 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
guru di daerah-daerah pedesaan. Juga tidak jarang urusan-urusan kenaikan pangkat tidak selancar yang semestinya. Karena itu berbicara soal kesejahteraan guru sebenarnya bukan soal cukup tidaknya kebutuhan guru. Kalau soal cukup tidaknya kebutuhan guru, adalah lebih tepatnya dibicarakan dalam konteks yang lebih luas yang menyangkut kebutuhan pegawai negeri pada umumnya. Yang jelas bila diinginkan agar para guru dapat bekerja dengan baik, maka kelancaran urusan yang menyangkut kesejahteraan hidupnya pun perlu diperhatikan. Penjelasan yang tuntas bagi para guru tentang latar belakang perubahan kurikulum, pembinaan yang mendasar terhadap kemampuan edukatif para guru, dan lancarnya urusan yang menyangkut kesejahteraan guru tidak dengan sendirinya akan menyebabkan lancarnya pelaksanaan suatu kurikulum baru. Namun, paling tidak hal-hal tersebut akan dapat menghindarkan berakarnya sikap apatis terhadap perubahan-perubahan kurikulum. Bukankah keterbukaan terhadap perubahan kurikulum adalah suatu awal yang baik bagi suksesnya pelaksanaan kurikulum itu sendiri?
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 15
Mereka Enggan Bekerja di Desa Komunikasi, Maret 1984 Desa, sebuah objek yang makin populer di negara kita belakangan ini. Program ABRI masuk desa cukup menarik perhatian. Program dokter masuk desa juga tak kalah menariknya. Program masuk desa lainnya yang juga tak kalah menariknya ialah program jaksa masuk desa, dan sudah tentu tak akan ketinggalan program hakim masuk desa, serta dengan sendirinya perlu ada program pembela masuk desa. Kalau yang sudah berjalan lebih dahulu secara terprogram ialah mahasiswa masuk desa alias Kuliah Kerja Nyata (KKN). Semua program masuk desa tersebut antara lain dimaksudkan untuk mendorong kaum terpelajar agar mau bekerja membangun desa dan tidak meremehkan atau menyepelekan pekerjaan-pekerjaan di desa, agar kaum terpelajar sadar bahwa desa juga memerlukan kaum terpelajar seperti halnya di kota. Program masuk desa tersebut memang pantas dilakukan dan perlu ditanggapi secara positif, karena negara kita 80% terdiri dari daerah pedesaan. Kalau ingin mengetahui sampai sejauh mana kemajuan bangsa dan negara kita, lebih tepat berpaling ke desa, karena kotanya hanya 20% sehingga tidak representatif untuk suatu kesimpulan yang bertaraf nasional. Banyak yang Enggan Walaupun berbagai usaha telah dilakukan untuk mendorong kaum terpelajar mencintai pekerjaan di desa, toh masih banyak terdengar keluhan tentang keengganan kaum terpelajar untuk terjun menjadi pahlawan pembangunan desa. Kaum terpelajar umumnya tetap berkeliaran di kota-kota, 16 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
walaupun mungkin tanpa kepastian tentang pekerjaan apa yang akan dilakukan di kota. Konon banyak kaum terpelajar yang bekerja apa saja di kota untuk mempertahankan hidup, meskipun pekerjaan yang dijalankan kebanyakan tidak cocok dengan keahlian yang diperoleh di bangku sekolah. Padahal bila ditelusuri kembali, sebenarnya usaha untuk mendorong kaum terpelajar terjun bekerja di desa sudah berlangsung cukup lama. Perguruan Tinggi sebagai pusat penghasil tenaga kerja terpelajar sudah sejak dahulu mengembangkan program mahasiswa masuk desa. Dalam tahun 1951 telah ada program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) yang dapat dikatakan sebagai cikal bakalnya KKN yang sedang giatnya dilaksanakan sekarang ini. Ini bukan berarti bahwa program masuk desa tersebut gagal total. Program tersebut pada segi-segi tertentu juga membawa hasil, seperti halnya bertumbuhnya kesadaran masyarakat desa tentang potensi-potensi yang ada di desanya, serta kesadaran tentang perlunya cara-cara kerja modern agar dapat memanfaatkan secara maksimal potensi-potensi tersebut. Namun, sayangnya program masuk desa tersebut tidak sampai memikat para mahasiswa sehingga setelah tamat mau kembali menggumuli kehidupan di desa. Ibarat gadis manis yang ditinggal pergi oleh kekasihnya dan tak mau kembali lagi, begitulah nasibnya daerah pedesaan yang dijadikan objek program mahasiswa masuk desa. Entah si gadis manis yang mempunyai cacat, atau si lelakilah yang bermental play-boy, nampaknya perlu dikaji lagi. Siapa yang Bertanggung Jawab? Bila dipersoalkan apa sebabnya para mahasiswa enggan bekerja di desa setelah tamat, maka jawabannya sudah tentu
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 17
akan beraneka ragam. Ada pihak yang mempersoalkan berbagai keterbatasan yang ada di desa, misalnya keterbatasan kemungkinan berusaha, atau terbatasnya kebutuhan-kebutuhan hidup. Seorang dokter yang bekerja di desa misalnya, kemungkinan besar penghasilannya sangat terbatas, karena masyarakat desa di samping belum dokter minded juga daya bayar mereka relatif masih rendah. Berlainan dengan pendapat di atas, ada pula yang mempersoalkan mental para lulusan Perguruan Tinggi itu sendiri. Para lulusan Perguruan Tinggi dinilai tidak memiliki kesadaran yang tinggi untuk membangun desa, lebih mementingkan diri sendiri dan tidak tahan menderita. Sebenarnya bukan hanya kaum terpelajar yang enggan bekerja di desa, tetapi orang desa pun banyak yang tidak betah tinggal di desanya. Banyak orang desa yang pergi ke kota-kota untuk bekerja di perusahaan-perusahaan yang memang kian hari kian bertambah hingga memperluas daerah kota, atau untuk bekerja apa saja, walaupun hasil yang diperoleh mungkin hanya cukup untuk mengisi periuk nasi hari lepas hari. Dengan demikian isu tentang situasi dan kondisi desa yang tidak menarik untuk dijadikan tempat tinggal dan tempat kerja memang dapat diterima. Namun, demikian lalu muncul pertanyaan: siapakah yang berkompeten menyulap desa menjadi surga tempat tinggal dan tempat kerja? Bukankah itu merupakan tugas dan tanggung jawab kaum terpelajar, terutama lulusan Perguruan Tinggi? Kalau mau dicari kambing hitamnya sebenarnya mudah saja. Anggap saja Perguruan Tinggi gagal menempa mental para masukannya agar setelah tamat mau terjun menjadi penggerak pembangunan desa. Namun, pengambinghitaman seperti ini jelas tidak akan menyelesaikan persoalan. Perguruan Tinggi yang sudah syarat dengan persoalan akan semakin syarat saja jadinya
18 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
dan mungkin akan sulit merespons secara cepat dan tepat. Dan memang persoalan di atas bukan hanya merupakan tanggung jawab Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan formal, tetapi keluarga dan masyarakat pun ikut andil di dalamnya. Dalam kehidupan keluarga, tidak sedikit orang tua yang mengharapkan agar anaknya kemudian akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaan orang tua, terutama bila orang tua merasa bahwa pekerjaan yang dijalankan hasilnya minim dan membuat status sosial keluarga menjadi rendah. Banyak keluarga petani di desa misalnya yang anak-anaknya sejak kecil sudah dipesan agar menghindarkan sedapat-dapatnya pekerjaan sebagai petani. Demikian pula keluarga peternak, keluarga pandai besi, dan keluarga lainnya. Akibatnya si anak merasa bahwa hampir semua pekerjaan yang ada di desa adalah pekerjaan rendah yang hasilnya sedikit dan tidak dapat mengangkat status sosial keluarga. Anak kemudian mencitacitakan suatu kehidupan yang hanya bisa dicapai di kota-kota, dan tidak jarang cita-cita tersebut begitu ideal sehingga kemungkinan untuk mencapainya hanyalah soal untunguntungan saja. Bila kita mencoba bertanya pada anak-anak desa tentang apa cita-cita mereka, sulit kita temukan anak-anak desa yang bercita-cita menjadi petani, peternak, tukang, dan lainlainnya seperti halnya orang tua mereka. Mereka umumnya bercita-cita menjadi dokter, insinyur, hakim, pilot, dll yang memang status sosialnya tinggi di mata masyarakat. Namun, bila suatu saat seorang anak desa dapat mencapai cita-cita seperti di atas, untuk kembali bekerja di desa ia akan berpikir seribu kali, karena dengan pulang ke desa kemungkinan imbalan yang diperolehnya melalui pekerjaannya di desa tidak memadai dan mungkin tidak berimbang dengan pengeluaran di bangku sekolah.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 19
Faktor lainnya yang dapat pula menyebabkan kaum terpelajar enggan pergi bekerja pergi bekerja di desa, ialah karena mereka telah terbiasa dengan kehidupan di kota. Sebagian besar sekolah di Indonesia terutama dari tingkat SMTP ke atas berada di daerah perkotaan sehingga lulusan SD yang mau melanjutkan pendidikannya mau tak mau akan pergi ke kota. Padahal secara sosio-psikologis masyarakat kota umumnya mempunyai kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan dirinya sendiri tanpa menggubris urusan orang lain, suatu kecenderungan yang tak boleh dicontoh bila mau bekerja sebagai penggerak pembangunan desa, karena pekerjaan semacam itu menuntut sikap penuh pengabdian dan mau bergotong royong. Anak dari desa yang pergi bersekolah ke kota, meskipun dalam kadar yang berbeda, jelas akan terkena pengaruh gaya hidup kota seperti di atas, apalagi bila anak dilahirkan dan dibesarkan di kota. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal barangkali lebih diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam menempa masukannya agar kemudian mau bekerja di desa. Namun, sayangnya dalam hal-hal tertentu situasi dan kondisi sekolah pun kurang menunjang misi tersebut. Dalam kegiatan Karya Wisata misalnya, biasanya wisatanya yang diutamakan, sedangkan karyanya lebih sering dilupakan. Demikian juga dengan metodemetode mengajar yang bersifat community oriented lainnya yang mempunyai nilai dalam membentuk kesadaran untuk mengabdikan pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat, seperti metode Proyek Pengabdian Masyarakat dan metode Kerja Pengalaman nyaris tidak pernah digunakan oleh guru. Baru pada tingkat Perguruan Tinggi secara nyata metode-metode tersebut digunakan lewat KKN dan kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat lainnya. Tapi apakah pembinaan yang
20 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
baru diintensifkan pada tingkat Perguruan Tinggi tersebut dapat menyaingi pengaruh-pengaruh tidak menguntungkan yang diperoleh sebelumnya? Rasanya cukup sulit! Bila dapat diterima bahwa hal-hal tersebut di atas dapat menyebabkan lulusan Perguruan Tinggi enggan bekerja di desa, maka hal-hal tersebut perlu dibenahi. Pembenahan tersebut jelas memerlukan uluran tangan lulusan lulusan Perguruan Tinggi, tetapi kunci keberhasilannya berada pada tangan pembuat kebijaksanaan, karena dari sanalah berbagai kebijaksanaan dikeluarkan, misalnya kebijaksanaan tentang pemberian sekadar kemudahan sebagai pendorong bagi kaum terpelajar untuk bekerja di desa, yang memang sudah dilaksanakan. Yang jelas bila keluarga masih mempunyai anggapan yang keliru tentang nilai berbagai pekerjaan, bila anak selalu hidup dalam lingkungan masyarakat yang individualismenya lebih menonjol , bila sekolah tidak menggunakan secara tepat metodemetode mengajar yang community oriented, maka kemungkinan besar jumlah lulusan Perguruan Tinggi yang mau bekerja di desa akan tetap dapat dihitung dengan mudah.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 21
Muatan Lokal Pendidikan Keterampilan Suara Indonesia, 6 April 1987 Mendikbud Fuad Hassan dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa dalam Pelita V nanti akan dirintis kurikulum yang memberikan peluang muatan lokal, yakni kurikulum yang bagian tertentu disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah. Sebagai contoh dikemukakan, bila suatu daerah menonjol dalam bidang perikanan akan dikembangkan sebagai muatan lokal. Dari contoh muatan lokal sebagaimana dikemukakan di atas, nampak bahwa salah satu kemungkinan wujud muatan lokal kurikulum adalah pendidikan keterampilan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah. Sudah Ada Mungkin tidak persis sama dengan rencana muatan lokal kurikulum yang akan dimunculkan nanti, tetapi dalam kurikulum sekolah umum periode 1975/1976, wadah untuk muatan lokal pendidikan keterampilan sudah tersedia. Dalam kurikulum SD 1975 misalnya, salah satu program pendidikan yang terdapat di dalamnya adalah Program Pendidikan Keterampilan (PPK) dan program pendidikan ini dapat dijadikan wadah untuk muatan lokal pendidikan keterampilan. Artinya isi pendidikan keterampilan disesuaikan dengan kondisi setempat. Tetapi ternyata PPK tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan memadai. Bila tidak ditiadakan sama sekali, biasanya sekolah hanya menyelenggarakan pendidikan keterampilan yang mudah pengadaannya, seperti anyam menganyam atau elektronik sederhana, yang relevansinya dengan kondisi setempat masih perlu dipersoalkan. Oleh sebab itu, demi 22 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
suksesnya kurikulum dengan muatan lokal yang akan dimunculkan nanti, kegagalan-kegagalan PPK seperti yang dikemukakan di atas perlu dikaji. Faktor utama yang dirasakan sebagai penghambat pelaksanaan PPK adalah terbatasnya tenaga guru serta sarana dan prasarana pendidikan keterampilan. Dan rasanya dalam waktu yang relatif panjang kita masih akan sulit secara khusus menyiapkan tenaga guru maupun sarana dan prasarana pendidikan keterampilan. Karena itu, yang perlu dipikirkan sekarang adalah kemungkinan melaksanakan pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah umum tanpa terlalu tergantung pada pengadaan secara khusus tenaga guru maupun sarana dan prasarana pendidikan keterampilan. Orientasi ke Desa Salah satu jalan keluar yang sering disarankan untuk mengatasi masalah tidak tersedianya tenaga guru serta sarana dan prasarana pendidikan keterampilan, ialah dengan menciptakan kerja sama langsung antara sekolah dengan instansi-instansi pemerintah maupun badan swasta yang relevan, misalnya dengan Departemen Pertanian, atau dengan perusahaan-perusahaan swasta. Namun, rupanya karena masalahnya sangat kompleks sehingga sampai kini saran tersebut sulit dilaksanakan. Memang tidak mudah bagi sekolah untuk menjalin kerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka melaksanakan pendidikan keterampilan. Instansi-instansi pemerintah tentu mempunyai berbagai persoalan yang menyulitkan mereka menjalin kerja sama dengan sekolah, sementara itu pemilik usaha-usaha swasta pun karena pertimbangan efisiensi dan efektivitas kerja tentunya akan berpikir seribu kali untuk
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 23
menjalin kerja sama dengan sekolah. Boleh jadi tawaran kerja sama dari sekolah malah dilihat sebagai beban yang akan mengganggu mekanisme kerja yang sudah mapan. Tetapi kesulitan kerja sama sebagaimana dikemukakan di atas sebenarnya lebih terasa di kota mengingat kompleksnya kehidupan di kota. Lain halnya di desa, di desa kehidupan masyarakat masih sederhana, usaha-usaha umumnya masih bersifat perorangan dan tradisional, karena itu kerja sama dengan sekolah lebih mungkin terjadi. Sebagai ilustrasi, ada sebuah sekolah kejuruan di kota Malang yang berhasil menjalin kerja sama dengan masyarakat sebuah desa yang bertani sayur dan beternak sapi perah. Kerja sama dilakukan dengan cara siswa pergi dan tinggal di rumah keluarga di desa tersebut dan di sana mereka hidup dan bekerja seperti layaknya anak-anak di desa itu. Mereka ikut mengolah tanah, menyemaikan bibit, menanam, memelihara, memanen, bahkan juga ikut memasarkan hasil pertanian dari keluarga yang ditempati. Demikian juga mereka ikut mencarikan makanan untuk sapi, menanam dan memelihara rumput gajah untuk makanan sapi, merawat sapi yang sakit, serta ikut memasarkan susu sapi. Kerja sama antarsekolah dan masyarakat sebagaimana dicontohkan di atas dapat dijadikan semacam model untuk pelaksanaan pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah umum. Melalui kerja sama tersebut siswa dapat hanya mengamati untuk mengetahui bagaimana sesuatu dihasilkan, tetapi tentu akan lebih baik bila siswa ikut terjun bekerja mengikuti setiap tahap kerja dari sesuatu yang dihasilkan. Melalui kerja sama seperti itu kita pun tidak perlu secara khusus menyiapkan tenaga guru serta sarana dan prasarana pendidikan keterampilan di sekolahsekolah umum.
24 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Tetapi bila di daerah sekitar sekolah tidak terdapat usaha masyarakat yang dapat diandalkan sebagai bentuk pendidikan keterampilan, sekolah dapat merintisnya dengan mempelajari potensi daerah yang dapat dikembangkan menjadi suatu usaha, kemudian mengusahakannya. Sedangkan tentang tenaga guru, sekolah dapat menunjuk salah seorang staf guru untuk menyiapkan diri menjadi guru keterampilan. Kalau para petani di desa yang pada umumnya berpendidikan rendah tidak terlalu sulit mempelajari berbagai jenis usaha pertanian untuk mengusahakannya, tentunya para guru pun tidak akan sulit mempelajarinya. Apalagi sekarang ini buku-buku petunjuk praktis tentang bagaimana mengusahakan berbagai usaha pertanian dan peternakan tidak terlalu sulit ditemukan di toko buku, tentu akan lebih memudahkan bagi seorang guru dalam menyiapkan diri menjadi guru keterampilan. Bisa juga bukubuku demikian di drop oleh pemerintah melalui Depdikbud. Singkatnya, bila salah satu wujud dari muatan lokal kurikulum adalah pendidikan keterampilan, maka kondisi hidup di desa sangat mungkin menunjangnya. Memang tidak semua daerah siap melaksanakannya, tetapi jelas ada yang siap. Kita toh tidak terlalu sulit menemukan berbagai usaha kecil dan menengah di desa-desa, seperti pemeliharaan ikan, pembuatan batu bata, peternakan kelinci, peternakan bebek, peternakan ayam, kerajinan logam, dan sebagainya, yang dapat dijadikan objek belajar para siswa. Mungkin uji coba di beberapa tempat sudah bisa dimulai sekarang. Menyelenggarakan pendidikan keterampilan sebagai salah satu wujud muatan lokal sebagaimana dikemukakan di atas tidaklah menjamin bahwa setelah tamat siswa akan dapat langsung bekerja. Namun, minimal akan dapat menyadarkan siswa akan pekerjaan-pekerjaan yang pantas dikerjakan dan
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 25
secara formal diakui keberadaannya dalam kurikulum. Dengan kesadaran tersebut diharapkan akan dapat membantu mendorong timbulnya minat siswa terhadap pekerjaan-pekerjaan yang ada di desa sehingga setelah tamat mereka tidak berbondong-bondong masuk ke kota tanpa kepastian tentang apa yang akan dikerjakan di sana.
26 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Pembina Guru, Kunci Keberhasilan Guru Surabaya Post, 27 November 1987 Beberapa waktu yang lalu 13 orang guru sebuah SMP swasta di Jember dikabarkan mengundurkan diri karena merasa bahwa kepala sekolah sangat otoriter. Beberapa hari kemudian diberitakan sekitar 6.000 orang guru SD di Kodya Semarang menolak untuk membeli pakaian seragam yang disiapkan oleh Dinas P dan K karena merasa sangat memberatkan. Dua kasus tersebut kelihatan berbeda, tetapi hakikat penyebabnya sebenarnya sama, yakni karena para guru merasa tidak puas dengan cara paksaan yang diterapkan oleh atasannya. Kalau mau jujur, sebenarnya peristiwa-peristiwa semacam itu tidak jarang terjadi dalam dunia pendidikan kita Namun, tidak sempat terungkap ke permukaan. Saya pernah tahu, ada seorang koordinator yang sangat otoriter yang menangani sebuah yayasan yang memiliki sekolah dari TK hingga SMA. Kehadirannya di sekolah hanya untuk memerintah atau memarahi para guru, tanpa memberikan kesempatan kepada guru untuk mengeluarkan pendapat. Bila ada guru yang berani mengusulkan sesuatu dan ngotot mempertahankan usulan tersebut, dapat dipastikan ia akan dikeluarkan dengan seribu satu macam alasan. Sedihnya koordinator tersebut berpendidikan cukup tinggi, ia adalah lulusan S2 sebuah perguruan tinggi negeri. Kenyataan-kenyataan dalam dunia pendidikan kita sebagaimana dikemukakan di atas, secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan mutu pendidikan kita. Kalau kita ingin menciptakan iklim yang memungkinkan mutu pendidikan kita meningkat dengan cepat, hal-hal semacam itu perlu diatasi. Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 27
Teladan Para ahli pendidikan kita sudah sangat menyadari bahwa kegiatan belajar mengajar yang bermutu adalah kegiatan belajar mengajar yang mengaktifkan siswa, yang menciptakan iklim bagi siswa untuk memproses sendiri perolehannya. Karena itu kurikulum-kurikulum sekolah yang berlaku sekarang adalah kurikulum yang menggunakan Pendekatan Keterampilan Proses, suatu pendekatan yang mengaktifkan siswa, yang memberi kesempatan kepada siswa untuk memproses sendiri perolehannya. Dalam pendekatan tersebut peranan guru tidak lagi sebagai orang yang menggurui, melainkan sebagai pencipta iklim yang memungkinkan siswa memanfaatkan potensinya untuk menjadikan berbagai sumber belajar sebagai gurunya. Kegiatan belajar mengajar pun bebas dari paksaan sepihak oleh guru, apalagi ancaman; kegiatan belajar mengajar yang memungkinkan siswa memaksa, bahkan mengancam dirinya sendiri untuk meraih prestasi. Pekerjaan membina guru agar tidak selalu menggurui siswa bukanlah pekerjaan yang mudah. Para guru yang sudah terbiasa menggurui, juga sudah selalu digurui, tidak akan mudah diajak untuk mendudukkan siswa setara dengannya. Dalam buku Pedoman Pembinaan Guru pada kurikulum yang berlaku sekarang antara lain disebutkan bahwa teknik-teknik yang dapat digunakan untuk membina para guru meliputi kunjungan kelas oleh supervisi (Kepala Sekolah dan Penilik Sekolah), pertemuan pribadi antara guru dan supervisor, selain kunjungan antarguru dalam satu sekolah, saling kunjung guru antarsekolah, rapat dewan guru, kelompok kerja guru, penerbitan media tulis, serta penataran.
28 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Kemudian salah satu hal yang melandasi pelaksanaan pembinaan tersebut adalah kepercayaan bahwa guru memiliki potensi untuk mengembangkan diri. Landasan yang demikian mengandung makna, bahwa dalam membina para guru, lebih ditekankan pada upaya mendorong guru untuk memanfaatkan potensinya guna mengembangkan kemampuan profesionalnya. Pembinaan yang demikian jelas sejalan dengan prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar yang mengaktifkan siswa. Kesejalanan itu penting, karena bukankah keteladanan adalah salah satu cara yang efektif dan efisien dalam membina manusia? Bukankah para guru membutuhkan teladan tentang bagaimana menghargai proses? Subjektif Pedoman yang baik belum menjamin bahwa pelaksanaannya akan baik pula. Kelemahan kita sering justru terletak pada ketidakbecusan kita untuk melaksanakan suatu pedoman yang telah disusun dengan susah payah. Bahkan jangankan pedoman, petunjuk yang sudah mendetial pun sering tidak terlaksana dengan baik. Tragisnya, sering terjadi, tidak terlaksananya suatu pedoman bukanlah karena kita tidak mampu, melainkan karena kita tidak mau. Dan ketidakmauan itu biasanya bersifat subjektif serta mungkin lebih banyak dipengaruhi perasaan. Seorang kepala sekolah atau seorang pemilik sekolah sebagai pembina guru misalnya, melalui penataran atau bentuk pembinaan lainnya memperoleh pengetahuan tentang bagaimana bentuk pembinaan yang mengaktifkan guru, tetapi karena bentuk pembinaan yang demikian dapat menyebabkan kelemahan pembina terungkap, bentuk tersebut tidak digunakan. Atau bisa juga bentuk pembinaan demikian tidak digunakan karena dengan
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 29
bentuk tersebut akan ada sejumlah guru yang jadi menonjol, dan hal demikian tidak diinginkan oleh pembina. Kepala sekolah dan pemilik sekolah memang mempunyai sejumlah wewenang dalam membina para guru. Namun, dalam hal-hal tertentu kepala sekolah dan pemilik sekolah hanya menjadi perantara bagi pembinaan langsung dari atas, misalnya dari Kantor Depdikbud. Pembinaan langsung dari atas barangkali tidak selalu berkaitan langsung dengan keperluan kegiatan belajar mengajar, tetapi terlepas dari masalah keterkaitan tersebut, seperti halnya yang diharapkan dari pembinaan oleh kepala sekolah maupun pemilik sekolah, sedapat mungkin dihindarkan hal-hal yang bersifat paksaan. Hal ini perlu dikemukakan, karena secara psikologi, hubungan tidak langsung lebih mudah mendorong orang melakukan paksaan-paksaan. Boleh jadi, kepala sekolah atau penilik sekolah tidak setuju dengan pembinaan yang dinilai bersifat paksaan dari atas, tetapi karena hal itu sudah merupakan instruksi, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Membina guru agar mengaktifkan siswa dalam kegiatan belajar mengajar tidak cukup hanya dengan penataran atau imbauan-imbauan sambil lalu. Yang lebih mendasar untuk dilakukan adalah penciptaan iklim yang mengaktifkan guru, agar guru merasa diakui dan dihargai, dan pada gilirannya, guru pun merasa perlu melakukan hal serupa terhadap siswanya. Memang ada guru yang meskipun merasa tidak dibina dengan cara yang sehat, ia masih mampu mengajar dengan tidak mengorbankan prinsip mengajar yang mengaktifkan siswa. Namun, kita toh tidak dapat hanya menggantungkan diri pada usaha-usaha perseorangan seperti itu. Paksaan sepihak dan sejenisnya memang merupakan cara membina yang paling gampang digunakan, tetapi sulit dijamin
30 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
hasilnya, bahkan dapat melahirkan kemunafikan dan sikap-sikap tidak sehat lainnya. Mampukah kita meninggalkan cara-cara tersebut? Kalau guru dikatakan sebagai kunci keberhasilan pendidikan, maka sebenarnya para pembina guru adalah kunci keberhasilan guru. Mampukah para pembina guru meninggalkan cara-cara membina yang tidak mendukung guru dalam menggunakan cara belajar yang mengaktifkan siswa?
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 31
Pendidikan Terminal di SMP Kompas, 7 Maret 1988 Mendikbud Fuad Hassan dalam menanggapi RAPBN 1988/1999 antara lain mengatakan, bawa penambahan daya tampung SMTP merupakan prioritas anggaran pendidikan tahun 1988/1999. Keterangan Mendikbud tersebut menunjukkan niat pemerintah untuk membuka peluang yang luas bagi lulusan SD untuk melanjutkan pendidikan ke SMTP. Tindakan memperluas kesempatan melanjutkan pendidikan ke SMTP bagi lulusan SD, merupakan tindakan yang konsekuen. Konsekuen karena nyatanya pendidikan di SD hingga kini secara praktis memang tidak menyiapkan masukannya dengan kemampuan untuk dapat bekerja setelah tamat. Di SD memang ada Program Pendidikan Keterampilan yang pengadaannya dimaksudkan untuk menyiapkan para siswa dengan kemampuan untuk bekerja setelah tamat, tetapi program pendidikan tersebut praktis tidak dilaksanakan. Di SMP juga ada Program Pendidikan Keterampilan, tetapi nasibnya juga tidak berbeda dari program pendidikan yang sama di SD. Persoalannya sekarang adalah, apakah para masukan SMP akan tetap dibiarkan tamat tanpa cukup bekal untuk bekerja, lalu beberapa tahun kemudian kita harus memperluas daya tampung SMA secara besar-besaran untuk menampung mereka? Pendidikan Terminal Ada sementara pengamat pendidikan yang menyarankan, agar diadakan semacam program terminal di SD bagi mereka yang tidak melanjutkan ke SMTP. Saran tersebut boleh jadi dilatarbelakangi oleh asumsi, bahwa daya tampung SMPT tidak 32 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
akan cukup untuk menampung lulusan SD. Namun, bila ternyata pemerintah berniat membuka kesempatan seluas-luasnya kepada lulusan SD untuk melanjutkan ke SMTP, ide tentang pendidikan terminal di SD menjadi kurang relevan. Barangkali pengadaan pendidikan terminal di SMP lebih relevan untuk dipertimbangkan. Ada alasan lain tentang mengapa pendidikan terminal di SMP lebih relevan dipertimbangkan. Pertama, rasanya terlalu pagi bila kita berharap, agar lulusan SD yang rata-rata berusia antara 12 sampai 13 tahun sudah harus bekerja secara mandiri. Dalam keadaan sangat terpaksa, harapan demikian bisa jadi realistis. Namun, dapat dikatakan, bahwa kita sekarang sudah melewati tahap sangat terpaksa seperti itu. Bahkan barangkali kita sudah dapat bermimpi tentang wajib pendidikan di tingkat SMP sekarang ini. Kedua, rasanya tidak realistis, bila kita berharap, bahwa semua lulusan SMP nantinya akan melanjutkan pendidikannya ke SMTA; lalu di sana barulah mereka disiapkan untuk mampu bekerja secara mandiri setelah tamat. Sebab keterbatasan ekonomi maupun keterbatasan kemampuan akademis akan menyebabkan banyak lulusan SMP tidak dapat melanjutkan ke SMTA, dan secara moral terdapat tanggung jawab untuk menyiapkan mereka dengan kemampuan, agar dapat bekerja secara mandiri. Idealnya, program pendidikan terminal yang diadakan benar-benar menjamin, bahwa setelah siswa tamat, ia akan bisa bekerja secara mandiri. Namun, kenyataan yang ada masih jauh dari harapan untuk memberikan jaminan seperti itu. Kondisi ekonomi yang tidak menentu, menyebabkan keadaan lapangan kerja sulit diperkirakan. Meskipun demikian, apakah lalu pendidikan terminal di SMP tidak perlu? Ibarat petani, apakah
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 33
mereka tidak tahu dengan pasti, bagaimana keadaan hujan, lalu ladang tidak dipersiapkan untuk ditanami? Tentu saja tidak demikian. Kerja sama Sudah sangat disadari oleh semua pihak, bahwa pendidikan semacam pendidikan terminal memerlukan banyak biaya dan tidak mungkin dipikul sendiri oleh pemerintah. Demikian juga, sudah terlalu sering disarankan oleh berbagai pihak, agar berbagai perusahaan dilibatkan dalam rangka menyelenggarakan pendidikan seperti itu. Namun, entah mengapa, hingga kini kesadaran tersebut hanya tetap sebagai kesadaran, dan saran yang dikemukakan tetap sebagai saran tanpa pelaksanaan. Teman saya yang suka usil mengatakan, bahwa kerja sama antara sekolah dengan pihak-pihak di luar sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan terminal sulit dilaksanakan, karena kerja sama demikian tidak potensial sebagai objek yang dapat dikembangkan menjadi proyek dengan biaya besar. Tak ada yang berniat mengajukan proposal untuk menggarapnya. Kalau ada kemauan besar sebenarnya pendidikan terminal SMP sudah bisa dilaksanakan. Caranya, ya seperti yang sudah amat sering disarankan, yakni melalui kerja sama antara sekolah dengan perusahaan-perusahaan swasta yang relevan. Bila itu dilaksanakan secara serempak di setiap SMP, memang masih sulit, tetapi sudah sangat mungkin dilaksanakan secara terbatas. Katakanlah, misalnya di setiap Kabupaten atau Kotamadya ditetapkan satu sekolah sebagai sekolah perintis, kemudian setelah memperoleh model yang dapat diandalkan, berangsurangsur dilaksanakan di sekolah-sekolah lainnya.
34 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Jenis pendidikan terminal yang disajikan pun tidak perlu muluk-muluk, cukup disesuaikan saja dengan potensi sumber belajar yang ada di daerah sekitar sekolah. Bengkel kendaraan, usaha servis elektronika, salon kecantikan, kursus mengemudi, kursus mengetik, kursus elektronik, perusahaan tahu atau tempe, serta seribu satu macam usaha serupa yang terdapat di kota-kota, dapat diajak untuk ikut mensukseskan pendidikan terminal tersebut. Demikian juga usaha peternakan sapi atau ayam, tambak ikan atau udang, pertanian sayur-mayur atau buahbuahan, dan sejenisnya di desa-desa, dapat pula diajak untuk maksud yang sama. Katakanlah, misalnya setiap perusahaan menerima satu atau dua siswa untuk belajar atau magang di sana. Rasanya para pemilik usaha sebagaimana disebutkan di atas, tidak akan terlalu keberatan untuk bekerja sama dengan sekolah. Sebuah surat pengantar resmi dari pejabat teras Kabupaten atau Kotamadya sudah dapat memotivasi mereka untuk membantu sekolah. Apalagi bila pihak-pihak yang akan diajak bekerja sama oleh sekolah tersebut merasakan, bahwa usaha mereka berkembang karena kerja sama positif dengan pihak pemerintah, sangat mungkin kerja sama dengan sekolah bisa lebih lancar. Barangkali akan ada baiknya, bila perencanaan pendidikan terminal tersebut diserahkan kepada masing-masing daerah, misalnya kepada tiap daerah provinsi, tentu saja dengan pedoman umum dari pusat. Pendidikan terminal di SMP seperti dikemukakan di atas, sebagaimana yang dikemukakan oleh teman saya, memang tidak bisa dijadikan proyek dengan anggaran besar, mengingat terbatasnya dana. Namun, itu merupakan usaha kemanusiaan untuk kepentingan bangsa di masa yang akan datang. Bukankah pendidikan adalah juga suatu accumulation of human capital?
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 35
Sekitar Pengajaran Membaca Permulaan Jawa Pos, 9 Desember 1988 Menurut orang-orang bijak, kesan awal tentang suatu objek akan mempengaruhi sikap selanjutnya terhadap objek tersebut. Ini tak terkecuali objek yang namanya pelajaran bahasa Indonesia. Oleh karena itu, salah satu bagian penting pelajaran bahasa Indonesia di SD adalah membaca permulaan (MP). Pemakaian metode MP yang tepat oleh guru akan menyebabkan siswa dapat membaca dalam waktu relatif singkat, serta yang lebih penting dari itu, minat siswa terhadap pelajaran membaca khususnya, dan pelajaran bahasa Indonesia umumnya, dapat tumbuh subur. Untuk keperluan pengajaran MP tersebut, hadir sejumlah metode MP. Masing-masing dengan keunggulan maupun kelemahannya. Kita kenal misalnya metode ejaan, metode kata lembaga, metode struktural, serta sejumlah metode lainnya. Meskipun terdapat sejumlah metode MP, bila ditelusuri lebih jauh, pada dasarnya hanya terdapat dua metode MP, yaitu metode yang mendahulukan penguasaan huruf (selanjutnya disebut metode huruf), serta metode yang mendahulukan penguasaan kalimat (selanjutnya disebut metode kalimat). Bila dikaitkan dengan psikologi, metode huruf sejalan dengan psikologi unsur, sedangkan metode kalimat sejalan dengan psikologi global. Kalau mau dikatakan metode ketiga, metode ketiga merupakan kombinasi antara metode huruf dan metode kalimat. Secara sederhana, langkah-langkah mengajar dengan menggunakan kedua metode tersebut sebagai berikut. Pada metode huruf, pelajaran dimulai dengan memperkenalkan beberapa huruf kepada siswa sekaligus dengan bunyinya, 36 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
sehingga siswa benar-benar hafal. Kemudian, huruf-huruf tersebut dirangkai menjadi kata, dan kata dirangkai menjadi kalimat. Pada metode kalimat, pelajaran dimulai dengan memperkenalkan beberapa kalimat yang mempunyai hubungan arti, dan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Pada tahap ini, siswa dituntut agar benar-benar mengenal kalimat-kalimat tersebut, mengenal dalam arti menghafal bunyi setiap kalimat tersebut. Kemudian, masing-masing kalimat dianalisis menjadi kata, kata dinalisis menjadi suku kata, suku kata dianalisis menjadi huruf. Setelah itu huruf-huruf dirangkai kembali menjadi suku kata, suku kata dirangkai menjadi kata, dan kata dirangkai menjadi kalimat. Seperti telah dikemukakan di atas, tiap-tiap metode mempunyai kelemahan maupun keunggulan. Pada metode huruf, karena yang pertama kali diperkenalkan adalah huruf, pelajaran sebenarnya dimulai dari sesuatu yang asing, yang tidak bermakna bagi siswa. Sebab, bunyi huruf tidak dikenal siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Hal demikian dapat membuat siswa tidak tertarik untuk belajar. Inilah kelemahan utama metode huruf. Siswa yang sudah menguasai beberapa huruf dan mampu merangkai menjadi suku kata dan kata, ia akan paham benar terhadap huruf-huruf tersebut, baik bentuk maupun cara mengucapkannya. Ia pun dengan lebih leluasa dapat membaca bacaan-bacaan di luar bacaan resmi di sekolah sejalan dengan bertambahnya perbendaharaan huruf yang dimilikinya. Dalam perkembangan selanjutnya, ia akan menjadi pembaca yang teliti, karena ia sudah dibiasakan mengenal unsur-unsur terkecil dari tulisan. Itulah keunggulan metode ini.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 37
Pada metode kalimat, kelemahan maupun keunggulannya merupakan kebalikan metode huruf. Pada awal pelajaran, karena yang diperkenalkan pertama adalah kalimat, siswa sudah terbiasa dengan kalimat sehingga akan menarik baginya. Selanjutnya, dengan menghafal kalimat, siswa akan merasa bahwa ia sudah dapat membaca. Perasaan tersebut akan membuat siswa semakin bergairah untuk belajar. Keunggulan metode kalimat sebenarnya hanya sampai di situ saja. Pada tahap berikutnya, siswa akan segera tahu bahwa membaca ternyata tidak semudah yang dibayangkan semula. Dan, di sinilah letak kelemahan metode ini. Sadar bahwa membaca tidak semudah yang dibayangkan, tanpa penanganan yang hati-hati dari guru, siswa dapat menjadi frustasi, dengan berbagai dampak selanjutnya. Kelemahan lain dari metode kalimat, siswa tidak mengenal baik huruf demi huruf, sehingga dalam membaca, sering kali siswa hanya menerka isi bacaan, ia tidak terlalu teliti dalam membaca. Pada awal-awal pelajaran, ia amat bergantung pada kalimat-kalimat yang diajarkan di sekolah. Ia tidak dapat dengan segera membaca bacaan-bacaan lain di luar bacaan resmi di sekolah. Metode SAS dan I-in A-an Metode membaca (dan menulis) permulaan yang dicantumkan dalam kurikulum adalah metode struktural analitik sinetik (SAS). Sesuai dengan namanya, metode SAS ini mendahulukan penguasaan terhadap kalimat. Meskipun kurikulum mencantumkan metode SAS sebagai metode MP, dalam praktek, ada guru mungkin banyak yang tidak melaksanakannya secara konsisten. Coba datanglah ke sekolah-sekolah, dan amatilah cara guru mengajar membaca
38 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
permulaan. Dari sepuluh sekolah yang didatangi misalnya, kemungkinan besar akan ditemukan sepuluh cara mengajar yang berbeda-beda. Dan, jangan kaget bila ditemukan anak kelas tiga, empat, bahkan mungkin lima di sekolah-sekolah tertentu yang belum dapat membaca buku pelajarannya. Jangan heran, tanpa dapat membaca pun dapat naik kelas, karena toh kebanyakan soal THB adalah soal objektif yang jawabannya dapat diterka. Juga, katrol-mengatrol nilai di sekolah bukanlah asing. Saya pernah berbincang-bincang dengan sejumlah guru SD kelas satu di Kota Malang. Kebanyakan mereka mengatakan bahwa mereka biasa mengajar membaca permulaan dengan menggunakan kombinasi metode SAS dan metode I-in A-an. Konkretnya, kombinasi metode SAS dan I-in A-an tersebut umumnya sebagai berikut. Pada tahap pertama, guru memperkenalkan sebuah kalimat, perkenalan itu hanya sambil lalu saja. Kemudian kalimat itu dianalisis menjadi huruf. Hurufhuruf itulah yang diperkenalkan secara intensif kepada siswa. Setelah itu huruf-huruf tersebut dirangkai kembali menjadi suku kata, suku kata dirangkai menjadi kata, dan kata dirangkai menjadi kalimat. Setelah itu guru tidak langsung dengan kalimat, melainkan memperkenalkan huruf demi huruf dan huruf-huruf itulah yang dirangkai menjadi suku kata, suku kata dirangkai menjadi kata, dan kata dirangkai menjadi kalimat. Metode I-in A-an sendiri adalah sebuah metode membaca (dan menulis) permulaan yang lahir dari hasil penelitian di sebuah taman kanak-kanak di Malang oleh Prof. Dr. Ny. Pakasi, antara 1967-1968. Karena itu, dapat dimaklumi, mengapa metode tersebut cukup terkenal di daerah Malang. Berikut ini contoh sederhana langkah-langkah mengajar dengan metode I-in A-an. Pada tahap pertama, guru memberi gambar seorang gadis kecil yang diberi nama I-in. Pada tahap ke
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 39
dua, gambar I-in ditempelkan di papan tulis dan kata I-in ditulis ulang di bawah atau di samping gambar, kemudian guru membacakan tulisan itu dan siswa mengikutinya. Pada tahap ketiga, kata Iin dipisah menjadi i dan in, kemudian i dibacakan beberapa kali oleh guru dan siswa mengikutinya, menyusul in juga dibacakan. Pada saat membacakan in, bunyi n ditahan beberapa saat sehingga bunyinya jelas bagi siswa. Pada tahap keempat, huruf n dipisahkan dari I dan dibacakan oleh guru lalu diikuti oleh siswa. Pada tahap kelima, huruf i dan n disintesiskan kembali. Hasil sintesis itu akan menghasilkan kata i-in dan nini, dan ini. Kata-kata hasil sintesis itu dibacakan oleh guru dan siswa mengikutinya. Pada metode I-in A-an, huruf-huruf yang diajarkan terlebih dahulu adalah huruf hidup dan huruf mati yang bunyinya dapat ditahan. Huruf mati yang bunyinya dapat ditahan adalah n, m, s, r, dan l. Dengan huruf-huruf itu siswa dengan mudah dapat merangkai kata-kata yang bermakna, sekaligus mampu dengan cepat membaca kata-kata atau kalimat-kalimat yang banyak mengandung huruf-huruf tersebut. Dengan metode ini, ternyata anak-anak berusia sekitar lima tahun sudah bisa mulai membaca. Oleh Prof. Dr. Ny. Pakasi, metode ini digolongkan ke dalam metode global sintesis, karena ada struktur kata yang diperkenalkan pada awal pelajaran, kemudian huruf dilepaskan dan diajarkan kepada siswa. Namun, inti dari metode ini sebenarnya terletak pada kegiatan merangkai huruf menjadi kata dan selanjutnya merangkai kata menjadi kalimat. Penelitian Eksperimental Bila kita kembali kepada psikologi yang mendasari setiap MP, perdebatan tentang metode mana yang paling tepat
40 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
digunakan mungkin tidak akan pernah selesai. Dalam kenyataannya, kita sebenarnya tidak konsisten dalam memanfaatkan psikologi unsur maupun psikologi global. Contohnya, dalam pengajaran MP kita menggunakan metode SAS yang sejalan dengan psikologi global , sedangkan dalam latihan mengajar para calon guru maupun dalam meningkatkan kemampuan profesional para guru, kita menggunakan pengajaran micro yang sejalan dengan psikologi unsur. Namun, perdebatan tersebut sebenarnya dapat diakhiri bila kita keluar dari perdebatan tentang keunggulan maupun kelemahan pemakaian kedua psikologi tersebut, kemudian berusaha memadu metode huruf dan metode kalimat secara serasi, dan mengaitkannya dengan realitas sosial budaya. Metode huruf sudah digunakan di sekolah-sekolah kita sejak bahasa Indonesia masuk dalam kurikulum sekolah, dan baru mulai ditinggalkan secara formal saat kurikulum SD 1975 berlaku. Para orang tua yang tidak buta huruf pun sudah terbiasa membantu anak-anaknya belajar membaca dengan menggunakan metode huruf. Pada sisi lain, bahasa Indonesia adalah bahasa fonemis. Karena itu, ideal bila pelajaran membaca dimulai dari pengenalan huruf. Dengan demikian, bila kita hendak memadukan metode huruf dan metode kalimat secara serasi, juga bila kita hendak menggunakan metode yang sesuai realitas sosial budaya, maka metode I-in A-an merupakan pilihan yang paling tepat. Apa yang dikemukakan di atas memang baru merupakan hipotesis. Metode SAS memang sudah diujicobakan terlebih dahulu, juga metode I-in A-an merupakan hasil penelitian, tetapi kedua metode tersebut belum diteliti secara berdampingan melalui suatu penelitian eksperimental. Dengan mengadakan
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 41
penelitian eksperimental terhadap kedua metode tersebut secara berdampingan, kita dapat memperoleh jawaban yang lebih meyakinkan, sehingga pilihan yang kita lakukan semakin dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
42 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Anak-anak Sekolah di Desa Tidak Akrab dengan Pekerjaan Pertanian Suara Pembaruan, 13 Januari 1989 Negara kita memiliki sekitar 9 juta hektar lahan yang dapat ditanami, sebagian besar berada di daerah pedesaan. Dari sekitar 9 juta hektar lahan yang dapat ditanami tersebut, baru sekitar 1,6 juta hektar yang ditanami secara efisien dengan program supra insus. Karena itu, memang tepat bila sebagaimana yang dikemukakan oleh sementara ahli, untuk masa sekarang sektor pertanian diandalkan sebagai tulang punggung perekonomian sekaligus sebagai penyerap tenaga kerja terbesar. Namun, di balik harapan yang besar terhadap potensi pertanian tersebut, kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa kebanyakan anak desa yang telah bersekolah enggan bekerja di desa, khususnya sebagai petani. Banyak hal tentunya yang menyebabkan anak-anak desa yang telah bersekolah enggan bekerja sebagai petani di desa. Namun, tak dapat disangkal, salah satu penyebab utama adalah sistem pendidikan di sekolah. Mari kita tengok pendidikan di SD misalnya. Di SD, para siswa sejak hari Senin hingga Sabtu sibuk mempelajari berbagai pengetahuan dari berbagai bidang studi, kebanyakan bersifat kognitif, amat teoretis. Dalam kurikulum memang terdapat 2 jam pelajaran untuk Program Pendidikan Keterampilan yang diharapkan dapat menjembatani sekolah dan dunia kerja. Namun, dalam praktek, walau waktu tersebut dimanfaatkan secara efektif, rasanya 2 jam pelajaran amat sedikit untuk mendekatkan siswa dengan dunia kerja. Tidak hanya di sekolah siswa bergelut dengan berbagai pengetahuan teoretis. Di rumah pun sering kali para siswa masih harus menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan tugas-tugas Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 43
yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Jadilah waktu sekitar 6 tahun di SD dihabiskan oleh siswa untuk bergaul dengan berbagai pengetahuan teoretis yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan keperluan hidup sehari-hari. Hal yang sama berulang kembali bila siswa melanjutkan pendidikannya ke SMTP, SMTA, bahkan juga saat berada di perguruan tinggi. Di sekolah kejuruan yang mestinya paling dekat dengan dunia kerja pun, kegiatan belajar kebanyakan hanya berlangsung di bengkel atau laboratorium, dengan fasilitas yang minim dan ketinggalan zaman. Karena asyik dengan berbagai pengetahuan teoretis saat bersekolah, para lulusan sekolah akan segera merasa asing saat berhadapan dengan dunia kerja yang kompleks, dinamis, dan sulit diperkirakan prospeknya. Di mata para lulusan sekolah, dunia kerja yang paling nyata adalah pegawai negeri. Dan itulah yang dikejar mati-matian. Oleh sebab itu, amat bisa dimaklumi, lowongan kerja sebagai pegawai negeri yang amat terbatas itu peminatnya meluber. Tentang anak-anak desa, setelah menyelesaikan pendidikan di SD, terdapat kecenderungan untuk meneruskan pendidikan SMTP di kota. Kecenderungan itu antara lain didorong oleh kenyataan bahwa SMTP maupun SMTA yang bermutu umumnya terletak di daerah-daerah perkotaan. Akibatnya, anak-anak desa semakin jauh saja dari desanya. Muatan Lokal Pelajaran di sekolah serta lingkungan sekolah ternyata tidak membuat anak-anak desa akrab dengan dunia kerja yang ada di desa. Pendidikan di sekolah ternyata tidak membuat anakanak desa akrab dengan pekerjaan pertanian, peternakan, kerajinan rumah tangga, serta berjualan kecil-kecilan yang
44 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
banyak mewarnai kehidupan pedesaan kita. Mereka yang sudah bersekolah malah dapat kalah bersaing dengan mereka yang tidak bersekolah dalam menggarap pekerjaan-pekerjaan demikian. Persoalannya sekarang adalah: bagaimana mendekatkan sekolah dengan dunia kerja di desa, khususnya dengan dunia kerja pertanian yang amat potensial itu. Tidak realistis bila kita hendak menciptakan sistem pendidikan sekolah yang dapat mendorong anak-anak kota untuk bekerja sebagai petani di desa. Barangkali hanya keajaiban sajalah yang dapat mendorong anak-anak kota tertarik untuk menjadi petani di desa. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah menciptakan sistem pendidikan sekolah yang dapat mendorong anak-anak desa tetap bekerja di desa setelah tamat. Dan untuk itu, kita perlu memulainya sejak SD. Sejak SD, anak-anak desa sudah mesti diperkenalkan kepada potensi desanya, sekaligus juga dibina agar mau dan mulai belajar memanfaatkannya. Melalui Program Pendidikan Keterampilan, anak-anak desa dapat dibina agar nantinya mau dan mampu bekerja sebagai petani di desa. Namun, seperti telah dikemukakan di atas, jatah waktu 2 jam pelajaran untuk Program Pendidikan Keterampilan tidak memadai untuk maksud tersebut. Karena itu, jumlah waktu tersebut perlu ditambah. Sejak tahun 1987, kepala sekolah diberi peluang untuk memasukkan muatan lokal ke dalam kurikulum sebanyak 25% dari keseluruhan kurikulum. Barangkali untuk daerah-daerah yang potensi pertaniannya tinggi jatah 25% dikhususkan untuk Program Keterampilan Pertanian. Bila itu yang dilakukan, lebih kurang satu hari pelajaran dalam setiap minggu dapat digunakan untuk pendidikan keterampilan pertanian.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 45
Kebun Sekolah Waktu saya masih bersekolah di SD, SMP, dan SPG di sebuah daerah di pulau Timor, sekolah-sekolah di daerah tersebut umumnya mempunyai kebun sekolah, kebanyakan adalah kebun pinjaman. Kebun itu digarap, biasanya pada hari Sabtu. Hasilnya kadang-kadang dibagikan kepada siswa atau guru, tetapi lebih sering dijual dan uangnya digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan sekolah. Tidak jarang, sekolah pun menawarkan diri atau diminta untuk menggarap kebun penduduk dengan imbalan tertentu. Guru-guru yang memiliki lahan pertanian pun sering membawa para siswa untuk menggarap lahan itu. Susahnya, biasanya tanpa imbalan apa-apa. Kegiatan bertani di sekolah sebagaimana dikemukakan di atas mungkin dapat dikembangkan menjadi suatu model sistem pendidikan keterampilan pertanian di sekolah. Para ahli pertanian tentu dilibatkan dalam mendisain sistem pendidikan keterampilan tersebut sehingga dapat diperoleh model yang benar-benar dapat diandalkan. Adanya tenaga khusus pertanian seperti lulusan SPMA untuk menjadi guru pendidikan keterampilan pertanian di sekolah relevan untuk dipertimbangkan. Namun, bila hal itu dinilai tidak realistis, seorang guru biasa dapat ditugaskan untuk mempersiapkan diri menjadi guru keterampilan. Kalau para petani yang kebanyakan berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan tidak terlalu sulit mempelajari berbagai berbagai jenis usaha pertanian, tentu para guru tidak akan sulit mempelajarinya untuk mengajarkannya kepada anak didiknya. Seperti yang sering dikemukakan oleh para ahli, sekolah memang sulit menghasilkan lulusan siap pakai, baik sekolah kejuruan, apalagi sekolah umum. Dunia kerja menyangkut berbagai segi kehidupan yang kompleks, seperti sosial budaya,
46 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
ekonomi, politik; tidak hanya nasional melainkan juga internasional. Karena itu, penyelenggaraan pendidikan keterampilan pertanian di sekolah tidaklah menjamin bahwa setelah siswa tamat ia akan langsung dapat bekerja sebagai petani yang handal. Namun, minimal akan dapat menyadarkan mereka bahwa pekerjaan sebagai petani adalah pekerjaan yang layak, yang diakui keberadaannya dalam kurikulum, yang merupakan bagian integral dari pendidikan di sekolah. Dengan kesadaran tersebut, diharapkan minat mereka terhadap pekerjaan sebagai petani dapat tumbuh subur.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 47
Pascasarjana Jarak Jauh, Mengapa Tidak? Suara Indonesia, 8 Maret 1989 Menjadi dosen teladan mestinya membuat orang bahagia. Namun, yang terjadi pada seorang kenalan saya malah sebaliknya. Predikat dosen teladan III yang diperolehnya dari perguruan tingginya ternyata membuat ketenangannya terusik. Pasalnya, dosen teladan I adalah lulusan S3, dosen teladan 2 adalah lulusan S2, sedangkan ia sendiri hanya lulusan S1. Kalau hanya itu saja, sebenarnya bukan merupakan masalah baginya. Namun, dalam pemberian kata sambutan di depan umum saat akan menyerahkan piagam penghargaan, atasannya mengatakan bahwa komposisi dosen teladan tersebut membuktikan bahwa terdapat korelasi positif antara tingkat pendidikan dan kemampuan memberikan teladan. Dan pernyataan atasannya itulah yang selalu mengganggu pikirannya. Namun, teman dosen lain yang suka usil, pada suatu saat mengatakan pada saya bahwa predikat dosen teladan bagi dosen sebenarnya hanya soal giliran dan kesediaan mengisi formulir. Menurut teman tersebut, mereka yang belum lama menjadi dosen biasanya tidak disodori formulir pendaftaran dosen teladan, sementara di pihak lain, mereka yang sudah cukup lama bekerja sebagai dosen tidak selalu bersedia mengisi formulir pendaftaran tersebut. Apakah memang benar, dosen yang tinggi pendidikan formalnya lebih mampu memberikan teladan dibanding mereka yang berpendidikan pas-pasan? Juga, apakah memang benar bahwa predikat teladan bagi dosen hanya soal waktu dan kesediaan mengisi formulir? Tentu perlu dikaji lagi. Tetapi terlepas dari benar tidaknya hal-hal tersebut, yang barangkali lebih penting untuk dipersoalkan di sini adalah, 48 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
bagaimana sikap kita bila berhadapan dengan kenyataan bahwa dosen yang pendidikan formalnya tinggi, lebih berprestasi dibanding dosen yang tingkat pendidikan formalnya pas-pasan. Kita memang patut bersyukur bila dosen S2 atau S3 lebih berprestasi dibanding saat mereka masih sarjana S1. Kita patut bersyukur karena biaya besar dan tenaga yang dikeluarkan untuk pendidikan S2 dan S3 tidak hilang dengan sia-sia. Namun, bila lulusan S2 dan S3 lebih berprestasi dibanding lulusan S1, apakah kitapun perlu bersyukur? Pendidikan Seumur Hidup Sebagai seorang tenaga pengajar di IKIP yang setiap semester bertugas mengajar mata kuliah Dasar-dasar Kependidikan, salah satu topik yang akan saya bahas dalam setiap perkuliahan tersebut adalah pendidikan seumur hidup (PSH). Melalui topik ini, diharapkan mahasiswa antara lain akan paham bahwa PSH adalah pendidikan yang membekali peserta didik dengan kemauan dan kemampuan untuk belajar terusmenerus tanpa tergantung pada tempat dan waktu, khususnya tanpa tergantung pada sekolah. Bahwa dengan kamauan dan kemampuan yang demikian, kecenderungan negatif sekolah sebagai pengekal ketidakadilan dapat ditekan, perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat dapat diikuti, biaya pendidikan dapat ditekan, dan sederet manfaat lainnya. Dengan pemahaman tersebut, disertai strategi belajar mengajar yang tepat, diharapkan setelah meninggalkan bangku kuliah dan bekerja sebagai pendidik, mereka mau dan mampu belajar terus menerus untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya secara mandiri, serta mau dan mampu menciptakan iklim belajar mengajar yang memungkinkan
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 49
peserta didiknya memiliki kemauan dan kemampuan untuk belajar terus menerus. Bertolak dari gambaran tentang PSH sebagaimana dikemukakan di atas, kita mestinya prihatin bila ternyata dosen lulusan S2 dan S3 lebih berprestasi dibanding lulusan S1. Kita mestinya prihatin, bukan hanya karena belum semua dosen berpendidikan S2 atau S3, melainkan terutama karena ketergantungan para dosen pada pendidikan formal masih tinggi. Kita mesti prihatin karena kemauan dan kemampuan para dosen yang adalah guru pada jenjang pendidikan formal lebih tinggiuntuk belajar secara mandiri masih rendah. Sungguh ironis sebenarnya, bila di sekolah-sekolah sedang giat-giatnya digalakkan upaya untuk membina kemauan dan kemampuan untuk belajar secara mandiri, sementara di pihak lain, para dosen masih tergantung pada pendidikan formal yang namanya S2 dan S3. Kalau benar bahwa para dosen masih sangat tergantung pada pendidikan pascasarjana dalam meningkatkan kemampuan profesionalnya, sebenarnya dapat dimaklumi. Hingga kini patokan utama mutu dosen adalah tingkat pendidikannya. Kualitas suatu perguruan tinggi pun sering lebih banyak dilihat dari kacamata banyaknya dosen lulusan pascasarjana yang dimiliki. Di kampus, kesempatan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan akademik non kuliah rutin cenderung lebih banyak dimiliki oleh dosen keluaran pascasarjana dibanding dosen lulusan S1. Akibatnya, upaya dosen S1 untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya tanpa melewati jalur pendidikan formal pascasarjana ibarat upaya melawan arus. Mau tidak mau, kalau ingin hidup layak sebagai dosen, pendidikan pascasarjana merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar.
50 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Tetapi sebenarnya tidak realistis bila upaya peningkatan dosen dewasa ini hanya mengandalkan kuliah formal pada pascasarjana. Besarnya jumlah dosen yang hanya lulusan S1, hanya 10 perguruan tinggi di negeri ini yang menyelenggarakan pendidikan pascasarjana, serta terbatasnya dana untuk pendidikan pascasarjana merupakan kenyataan objektif yang menyebabkan tidak mungkin peningkatan mutu dosen hanya mengandalkan kuliah formal pada pascasarjana. Lebih jauh lagi dari sekadar pertimbangan objektif tersebut, mengharapkan para dosen untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya hanya melalui satu cara–apa pun alasannya–merupakan pengingkaran terhadap kemampuan manusia untuk belajar melalui berbagai cara dan sarana, sekaligus juga berarti menghambat pelaksanaan ide PSH. Karena itu, perlu diciptakan kondisi yang memungkinkan para dosen juga dapat belajar lebih leluasa, tanpa terlalu tergantung pada tempat, waktu, dan biaya. Dan untuk maksud tersebut, pendidikan pascasarjana jarak jauh–semacam Universitas Terbuka (UT)–merupakan pilihan yang dapat diandalkan. Kalau mau, bahkan peluang bagi dosen untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dapat dibuat lebih luwes dari UT. Kalau di UT ada tutor, monitor, buku kerja, dan ujian semester, kepada dosen dapat diberi keleluasaan untuk belajar tanpa hal-hal tersebut. Kepada mereka hanya disediakan sarana dalam bentuk buku pedoman yang berisi daftar mata kuliah jurusan, silabus mata kuliah, daftar buku utama dan penunjang, serta persyaratan-persyaratan akademis maupun persyaratan-persyaratan administratif. Tentu akan sangat membantu bila buku-buku utama maupun penunjang juga disiapkan. Sarana belajar tersebut dapat ditempatkan di beberapa perguruan tinggi yang letaknya
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 51
strategis. Atau bila biaya memungkinkan, di setiap perguruan tinggi disediakan sarana tersebut. Kemudian secara berkala diadakan ujian, katakanlah semacam ujian persamaan. Ujian persamaan tersebut dapat dipusatkan di perguruan tinggiperguruan tinggi tertentu, atau dapat juga para penguji yang mendatangi setiap perguruan tinggi untuk mengadakan ujian. Ke 10 perguruan tinggi yang sekarang ini sedang menyelenggarakan pendidikan pascasarjana dapat diserahi tanggung jawab untuk mengkoordinir penyelenggaraan pendidikan pascasarjana jarak jauh tersebut. Ujian sebagai Kunci Sudah sering dikemukakan oleh berbagai pihak, hambatan utama dalam pendidikan jarak jauh adalah rendahnya disiplin peserta untuk belajar secara mandiri. Rendahnya disiplin tersebut dapat menyebabkan peserta putus kuliah di tengah jalan, atau dapat juga menyebabkan peserta mencari jalan pintas yang bertentangan dengan prosedur yang berlaku untuk menyelesaikan pendidikan. Tetapi kuatnya tuntutan terhadap pendidikan pascasarjana bagi dosen, langsung atau tidak langsung, akan menekan jumlah yang putus kuliah. Demikian juga dengan ujian persamaan yang ketat, berdasarkan standar yang berlaku pada jalur formal, kencederungan untuk mencari jalan pintas dapat terantisipasi. Dengan demikian dapat dihasilkan lulusan yang mutunya tidak kalah dari mereka yang mengikuti pendidikan di jalur formal.
52 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Kurikulum Pendidikan Guru SD Jawa Pos, 21 Juli 1989 Rupanya hingga kini kurikulum SPG/SGO yang sedang dialihfungsikan ini masih terus digodok. Sudah pasti, guru SD nantinya adalah keluaran perguruan tinggi. Karena itu, mungkin akan muncul kesan bahwa penyusunan kurikulum pengganti kurikulum SPG/SGO tersebut adalah suatu pekerjaan yang asing karena kita belum pernah melakukannya. Namun, sebenarnya tidaklah demikian. FIP IKIP Malang, misalnya hingga kini masih mempunyai sebuah program pendidikan yang disebut Program Pendidikan Dasar. Program ini dimaksudkan untuk menghasilkan tenaga ahli kependidikan dasar, yang juga diharapkan dengan sendirinya dapat menjadi guru SD. Di FIP IKIP Surabaya pun ada Jurusan Fondasi Pendidikan yang maksudnya barangkali tidak jauh berbeda dengan Program Kependidikan Dasar yang ada di FIP IKIP Malang. Boleh jadi, di IKIP lainnya, juga di FKIP maupun STKIP tertentu terdapat jurusan atau program yang mempunyai maksud yang sama. Beberapa waktu yang lalu juga pernah ada kerja sama antara IKIP Malang dengan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah untuk menghasilkan tenaga ahli kependidikan dasar siap pakai dalam jumlah yang relatif banyak. Kurikulum dari jurusan maupun program untuk menghasilkan tenaga ahli kependidikan dasar maupun kurikulum kerja sama antara IKIP Malang dengan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah sebagaimana dikemukakan di atas tentu tidak dapat diadopsi apa adanya untuk dijadikan kurikulum pengganti kurikulum SPG/SGO. Namun, paling tidak, hal itu dapat dijadikan salah
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 53
satu bahan masukkan utama dalam penyusunan kurikulum pengganti kurikulum SPG/SGO tersebut. Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang sedang berlaku sekarang ini adalah kurikulum yang disusun berdasarkan pendekatan kompetensi, yakni suatu pendekatan dalam penyusunan kurikulum yang mengikuti tahaptahap: analisis tugas, penentuan kompetensi, penentuan pengalaman belajar, penyusunan garis besar program pengajaran, serta penyusunan silabus. Dengan pendekatan kompetensi tersebut mata kuliah di IKIP, misalnya, dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu mata kuliah dasar umum (MKDU), mata kuliah dasar kependidikan (MKDK), mata kuliah bidang studi (MKBS), dan mata kuliah proses belajar mengajar (MKPBM). Menurut mereka yang pernah ikut menyusun kurikulum dengan pendekatan kompetensi, tahap paling sulit dalam penyusunan kurikulum dengan pendekatan ini adalah tahap analisis tugas dan tahap penentuan kompetensi. Secara teoretis, pendekatan kompetensi adalah pendekatan yang potensial yang menjanjikan harapan. Hingga kini belum ada alasan yang kuat yang menuntut kita untuk meninggalkan pendekatan tersebut dalam penyusunan kurikulum. Karena itu, sudah seyogyanya pendekatan kompetensi tetap digunakan dalam penyusunan kurikulum pengganti kurikulum SPG/SGO. Antara Guru Kelas dan Guru Bidang Studi Seperti telah disinggung di atas, langkah pertama dalam penyusunan kurikulum dengan pendekatan kompetensi adalah analisis tugas. Hal yang berkaitan dengan analisis tugas yang masih menjadi bahan pembicaraan yang hangat adalah apakah seorang guru SD akan bertugas sebagai guru kelas ataukah guru
54 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
bidang studi. Soalnya, sistem guru kelas maupun sistem guru bidang studi mempunyai keunggulan maupun kelemahan masing-masing yang relatif berimbang sehingga sulit diputuskan yang mana yang paling tepat digunakan. Pada sistem guru kelas keunggulan utamanya adalah guru dapat mengenal siswa secara mendalam karena ia selalu mendampingi siswa setiap hari di sekolah, di samping juga murah karena di setiap sekolah hanya terdapat enam orang guru ditambah guru agama dan kepala sekolah. Sedangkan kelemahannya antara lain adalah penguasaan materi maupun metode bidang studi tidak mendalam karena guru harus memahami semua bidang studi, juga dalam mengajar guru dapat kehilangan pemahaman yang utuh tentang urutan materi pelajaran karena ia hanya mengajar di satu kelas saja. Sebaliknya, pada sistem guru bidang studi keunggulan yang utama adalah penguasaan materi dan metode bidang studi akan mendalam dan utuh karena hanya satu bidang studi yang perlu dikuasai. Sedangkan kelemahannya antara lain terlalu mahal karena setiap sekolah memerlukan lebih banyak guru bidang studi yang ada di SD, juga akan terjadi ketidakadilan dalam hal beban mengajar; karena di satu pihak ada bidang studi yang jumlah jam pelajaran delapan jam setiap minggu, sementara di pihak lain ada yang hanya dua jam setiap minggu. Di SD kita sekarang ini pada umumnya di kelas satu dan kelas dua digunakan sistem guru kelas, sedangkan di kelas tiga ke atas digunakan sistem guru bidang studi. Penggunaan sistem guru kelas di kelas satu dan kelas dua didasari oleh pertimbangan bahwa pada usia tersebut anak masih sulit beradaptasi terhadap guru yang berganti-ganti. Sedangkan penggunaan guru bidang studi di kelas tiga ke atas selain karena siswa dinilai sudah dapat beradaptasi terhadap guru yang
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 55
berganti-ganti, juga cara tersebut akan memberikan hasil yang lebih baik karena guru menguasai dengan baik apa yang diajarkan; walaupun dalam praktek ternyata tidak dilaksanakan secara murni karena ada guru yang merangkap mengajar lebih dari satu bidang studi. Tampaknya apa yang dilakukan di SD kita sekarang ini merupakan kompromi ideal antara sistem guru kelas dan sistem guru bidang studi. Dan dari kompromi itu dapat disimpulkan bahwa dalam analisis tugas guru SD, sistem guru kelas merupakan acuan yang paling tepat. Dikatakan paling tepat karena calon guru SD yang disiapkan untuk menjadi guru kelas yang dengan demikian harus mempelajari semua bidang studi yang diajarkan di SD akan lebih mudah diarahkan untuk menjadi guru bidang studi setelah bekerja nanti. Sebaliknya, calon guru yang disiapkan untuk menjadi guru bidang studi yang hanya mempelajari satu bidang studi yang akan diajarkan di SD akan lebih sulit diarahkan untuk menjadi guru kelas setelah bekerja nanti. Antara Materi dan Metode Mengenai penentuan kompetensi, hal yang paling hangat dibicarakan adalah perbandingan antara penguasaan terhadap materi pelajaran dan cara mengajarkan. Di satu pihak ada yang mengatakan, penguasaan terhadap materi pelajaran lebih penting dari cara mengajarkan, tapi ada pula yang mengatakan penguasaan terhadap cara mengajar jauh lebih penting dari penguasaan terhadap materi pelajaran. Kalau cara mengajar mau diajarkan, pokok-pokoknya saja yang diajarkan, porsi waktunya tidak perlu sebanyak porsi waktu yang digunakan untuk mengajarkan materi pelajaran, karena cara mengajar lebih bersifat seni. Sementara di pihak lain ada yang mengatakan
56 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
bahwa mengajar lebih banyak mengandung unsur teknologi, karena itu penguasaan terhadap materi pelajaran dan cara mengajarkannya perlu dibina secara berimbang. Mereka yang mengatakan bahwa penguasaan terhadap materi pelajaran lebih penting dari mengajarkannya antara lain memberikan contoh bahwa dosen di universitas pada umumnya tidak memperoleh pendidikan khusus tentang cara mengajar tetapi mereka dapat mengajar dengan baik. Sedangkan pihak yang mengatakan bahwa mengajar lebih banyak mengandung unsur teknologi mengatakan bahwa mereka yang tidak secara khusus mempelajari cara-cara mengajar dapat saja mengajar dengan baik, tetapi mereka akan dapat mengajar jauh lebih baik bila mempelajari secara khusus cara-cara mengajar. Namun, sebenarnya ada hal yang dilupakan oleh mereka yang mengatakan mengajar lebih bersifat seni, yang kemudian menguatkan pendapatnya dengan memberikan contoh tentang keberhasilan mengajar dosen di universitas. Hal yang dilupakan tersebut adalah bahwa para mahasiswa pada umumnya telah berada pada tahap merasa butuh mengikuti kuliah. Karena itu hasil belajarnya tidak banyak bergantung lagi pada cara mengajar dosennya. Tidak seperti halnya pendidikan pada jenjang di bawah perguruan tinggi, apa lagi di SD, yang siswanya masih jauh merasa butuh untuk bersekolah, yang oleh karena itu hasil belajarnya amat bergantung pada cara mengajar gurunya. Dalam kondisi bahwa keberhasilan dalam belajar amat bergantung pada cara mengajar, kita tidak dapat hanya berspekulasi untuk menggantungkan keberhasilan mengajar semata-mata pada seni mengajar. Karena itu, untuk calon guru SD nantinya, pembinaan terhadap penguasaan terhadap materi pelajaran dan cara mengajar perlu dilakukan secara proporsional.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 57
Dalam kurikulum IKIP/FKIP/STKIP yang berlaku sekarang ini, jumlah beban kredit untuk MKBS (materi pelajaran) sekitar dua kali lipat jumlah beban kredit untuk MKPBM (cara mengajar). Untuk pendidikan guru SD, barangkali perbandingan jumlah kredit untuk kedua mata kuliah tersebut perlu dipikirkan kembali. Soalnya, karena masukan LPTK pengganti SPG/SPO nantinya adalah lulusan SMTA, jelas mereka telah menguasai sebagian besar materi bidang studi yang ada di SD. Kalaupun ada materi yang belum dikuasai, mereka akan dapat mempelajarinya sendiri dengan mudah, karena toh materi pelajaran di SD memang masih sederhana. Karena sebagian besar materi pelajaran telah dikuasai, seyogyanya penyajian materi pelajaran untuk calon guru SD nantinya hanyalah pokok-pokok saja, sekedar menyegarkan kembali ingatan terhadap materi tersebut. Dengan demikian, waktu yang tersisa dapat digunakan untuk hal lain, terutama untuk menambah jatah waktu untuk membahas cara mengajar. Dan itu berarti jumlah jam untuk membahas materi pelajaran dan cara mengajarkannya dapat lebih berimbang. Menjelang akhir kurikulum pengganti kurikulum SPG/SGO akan muncul berbagai urunan pikiran. Berbagai urunan pikiran tersebut dapat dikatakan masih merupakan hipotesis yang perlu diuji kebenarannya. Akan ideal bila terlebih dahulu diadakan penelitian yang mendalam serta uji coba sebelum dimunculkan kurikulum pengganti kurikulum SPG/SGO yang sesungguhnya. Namun, bila hal itu dinilai tidak realistis, akan ada manfaatnya bila diadakan semacam studi eksplorasi tentang pengalaman guru SD lulusan IKIP/FKIP/STKIP dari jurusan atau program spesialisasi pendidikan dasar. Hasil studi itu akan merupakan masukan berharga.
58 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Tantangan Budaya di Sekolah Dasar Kompas, 18 Maret 1991 Saat berbicara pada seminar tentang manajemen pendidikan dasar, yang diadakan IKIP Jakarta tanggal 2 Maret yang lalu, Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Depdikbud, Dr. Anwar Jasin, antara lain mengatakan bahwa tingkat kemampuan profesional guru SD saat ini masih pada taraf tukang. Mereka kurang berani menyimpang dari petunjuk atasan, kendati pun situasi yang dihadapi di kelas mengharuskan mereka melakukan improvisasi terhadap petunjuk atasan. Selanjutnya Dr. Anwar Jasin juga menyatakan keraguannya tentang kemampuan IKIP dalam menghasilkan guru SD, yang memiliki kemampuan profesional yang memadai, karena IKIP belum berpengalaman dalam mendidik guru kelas (Kompas, 4 Maret 1991). Keraguan terhadap kemampuan IKIP dalam menghasilkan guru SD yang memiliki kemampuan profesional yang memadai, barangkali cukup beralasan. Tetapi, di pihak lain terdapat sementara pengamat pendidikan dari IKIP, yang justru lebih merisaukan kondisi budaya di lingkungan pendidikan SD, sebagai miniatur dari budaya nasional yang tidak menunjang peningkatan kemampuan profesional para guru SD. Sementara pengamat pendidikan dari IKIP khawatir, bahwa daya kritis, daya kreatif, daya dinamis, serta daya inovatif yang berusaha dibina pada diri peserta program pendidikan guru SD (PGSD), justru digerogoti oleh kondisi budaya lingkungan pendidikan SD tempat para lulusan PGSD bekerja nanti. Kerisauan sementara pengamat pendidikan dari IKIP, sebagaimana dikemukakan di atas, bukan tanpa alasan. Dalam kenyataannya, iklim kerja di SD memang tidak mendorong para Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 59
guru untuk berprestasi dalam profesinya. Sikap menggurui, sikap kaku pada aturan, bahwa sikap otoriter masih terlampau sering dipraktikkan oleh atasan guru terhadap para guru tersebut, baik atasan langsung maupun atasan tidak langsung. Di luar bidang pendidikan, dalam rangka efisiensi dan keefektifan kerja, sikap-sikap atasan sebagaimana dikemukakan di atas, barangkali memang diperlukan. Tetapi, dalam bidang pendidikan, sikap-sikap demikian sebaliknya akan menghambat laju peningkatan mutu pendidikan. Soalnya, guru yang menjadi kunci keberhasilan pendidikan, langsung atau tidak langsung akan mempraktikkan sikap serupa terhadap anak didiknya. Bukankah masyarakat kita adalah masyarakat yang menjadikan atasan sebagai acuan dalam bertingkah laku? Lalu, bila guru bersikap menggurui, kaku pada aturan, serta otoriter, bagaimana mungkin cara belajar siswa aktif (CBSA) dapat terwujud? Demikian pula, demi loyalitas, demi masa depan yang lebih terjamin, demi ketenangan batin, para guru akan menunjukkan ketaatannya pada atasan, meski mungkin tidak ikhlas. Keadaan demikian, bila berlangsung terus-menerus, pada gilirannya akan menyebabkan para guru tidak lebih dari sekedar tukang, yang tidak kritis, tidak kreatif, tidak dinamis, serta tidak inovatif dalam profesinya. Sentralisasi Dalam banyak hal, pendidikan kita masih terlampau sentralistis. Akibat dari sistem sentralistis tersebut, bagi para penanggung jawab pendidikan di daerah sebenarnya sama saja, dengan akibat dari sikap menggurui, sikap kaku pada aturan, serta sikap otoriter pada atasan guru terhadap guru. Sebagai akibat dari sentralisasi itu, para penanggung jawab pendidikan di
60 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
daerah pun menjadi tidak kritis, tidak kreatif, tidak dinamis, serta tidak inovatif. Sentralisasi uji coba pelaksanaan CBSA di waktu lalu barangkali merupakan contoh yang baik tentang akibat negatif dari sistem sentralistis. Uji coba CBSA di waktu lalu diadakan di sejumlah SD di daerah Cianjur. Mungkin karena kondisi guru, siswa, serta masyarakat di Cianjur, metode kerja kelompok menjadi metode yang amat dominan digunakan dalam pelaksanaan CBSA di daerah tersebut. Setelah hasil uji coba disebarluaskan ke berbagai daerah, para guru di daerah penyebaran menganggap CBSA sama dengan kerja kelompok; suatu anggapan yang tentu saja tidak benar. Padahal, sebelum sampai ke tangan para guru di daerah penyebaran, hasil uji coba itu tentu telah dipelajari oleh para penanggung jawab pendidikan di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kecamatan. Mungkin akan lain ceritanya, jika misalnya uji coba terhadap CBSA tidak hanya dilakukan di daerah Cianjur, melainkan diadakan pula di daerah-daerah tertentu di setiap provinsi. Melalui uji coba yang demikian, boleh jadi akan diperoleh puluhan model pelaksanaan CBSA, karena setiap provinsi di negeri ini menemukan sejumlah model khas daerahnya. Desentralisasi Kiranya cukup jelas, bahwa perubahan sikap atasan guru terhadap para guru dari sikap menggurui ke sikap mendampingi, dari sikap kaku ke sikap luwes, dari sikap otoriter ke sikap demokratis, merupakan salah satu kebutuhan mendesak dalam dunia pendidikan SD kita. Upaya peningkatan kualitas SD memang dihadapkan pada sejumlah masalah, tetapi tantangan paling sulit adalah tantangan budaya, yakni sikap menggurui,
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 61
sikap kaku terhadap aturan, dan sikap otoriter itu. Tantangan itu semakin sulit diatasi, karena sikap-sikap yang sudah membudaya tersebut, oleh sementara penanggung jawab pendidikan justru dianggap penting bagi kelangsungan birokrasi pendidikan. Peningkatan pendidikan guru SD dari lulusan SMTA ke lulusan diploma 2 (D2), sudah merupakan suatu langkah maju. Tetapi, langkah maju itu tidak akan banyak berarti, bila tantangan budaya dalam penyelenggaraan SD tidak ditanggulangi secara mendasar. Bila kita benar-benar sepakat, bahwa guru adalah kunci keberhasilan pendidikan, demikian pula bila kita sepakat, bahwa peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia harus dimulai dari peningkatan kualitas pendidikan di SD, maka upaya mengatasi tantangan itu tidak dapat hanya dipasrahkan kepada perjalanan waktu. Betapa pun sulitnya, diperlukan tindakan strategis nyata untuk mengatasinya. Salah satu tindakan strategis yang barangkali cukup mendasar, adalah penciptaan kondisi yang memungkinkan para penanggung jawab pendidikan di SD, mulai dari tingkat provinsi sampai tingkat kecamatan, lebih leluasa berimprovisasi dan bereksplorasi dalam mengembangkan pendidikan di daerah masing-masing. Dengan cara demikian, pada gilirannya hal itu akan bermuara pada munculnya keberanian dan kemampuan guru SD, untuk melakukan hal yang sama dalam kegiatan belajar mengajar. Bila ada peraturan tertentu yang harus dilaksanakan secara nasional misalnya, sebaiknya prinsip-prinsipnya saja yang dikeluarkan oleh pusat, sedangkan petunjuk pelaksanaannya dan petunjuk teknisnya diserahkan sepenuhnya kepada daerah untuk mengembangkannya.
62 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Sebagaimana sudah sering disarankan oleh sementara pengamat pendidikan, sudah saatnya penyelenggaraan pendidikan lebih didesentralisasikan, dari pusat kepada provinsi, dari provinsi kepada kabupaten, dan dari kabupaten kepada kecamatan. Dalam upaya perluasan desentralisasi pendidikan, sudah seharusnya daerah di tingkat atas memperhitungkan benar-benar kemampuan daerah di bawahnya; demikian pula daerah di bawah memperhitungkan benar-benar kemampuannya sendiri dalam menerima tanggung jawab dari daerah atasnya. Tetapi, kita perlu berhati-hati, agar tidak terjebak dalam budaya merasa serba mampu karena berada di atas, atau serba tidak mampu karena berada di bawah. Kalau kita terjebak dalam budaya demikian, guru-guru kita akan tetap saja seperti tukang. Semoga tidak.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 63
Mutu Guru yang Tidak Ditawar-tawar Jawa Pos, 28 Agustus 1991 Sebagaimana diberitakan di koran-koran belum lama ini, pemerintah sedang mengupayakan penyempurnaan kurikulum IKIP dan FKIP. Penyempurnaan ini dilakukan terutama karena kurikulum IKIP dan FKIP yang sedang berlaku sekarang dinilai terlampau sempit, sehingga lulusan IKIP dan FKIP hanya bisa mengajar satu bidang studi di sekolah. Padahal, sekarang ini tidak setiap program studi di sekolah membutuhkan lulusan IKIP dan FKIP, karena lulusan IKIP dan FKIP dalam bidang studibidang studi tertentu sudah tumpah ruah. Dalam kurikulum IKIP dan FKIP yang baru nanti, para lulusan IKIP dan FKIP diarahkan untuk bisa mengajar lebih dari satu bidang studi. Dengan demikian, bila satu bidang studi sudah penuh, mereka dapat memilih bidang studi yang lain. Pada sisi lain, dalam Rakernas DPP Golongan Karya Bidang Pendidikan pada 14 Juni 1991 yang lalu, Mendikbud antara lain mengatakan, dalam peningkatan mutu guru, pilihan kita hitam atau putih, ya atau tidak. Sebab pembangunan jangka panjang tahap kedua sudah di ambang pintu. Kalau sekarang masih tawar-menawar, pada saatnya nanti kita belum siap. Belum Nyata Wujud nyata dari upaya peningkatan mutu guru yang tidak bisa ditawar-tawar tersebut tentu masih harus didiskusikan lagi. Pada tempatnya, rencana perubahan kurikulum IKIP dan FKIP dibahas dalam rangka mewujudnyatakan upaya peningkatan mutu guru yang tidak bisa ditawar-tawar itu. Sampai sekarang, pada sementara IKIP dan FKIP terdapat program mayor dan minor, sehingga sebenarnya penyiapan 64 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
masukan IKIP dan FKIP dengan kemampuan lebih dari satu spesialisasi bidang studi bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Meskipun demikian, pada dasarnya perubahan kurikulum IKIP dan FKIP yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengambil lebih dari satu program studi spesialisasi, belum mewujudnyatakan ide peningkatan mutu guru yang tidak ditawar-tawar tersebut. Pasalnya, kalau nyatanya hanya dengan satu spesialisasi program studi saja lulusan IKIP dan FKIP sering dinilai tidak bermutu, bagaimana mungkin lulusan IKIP dan FKIP akan lebih bermutu bila dituntut untuk menguasai lebih dari satu spesialisasi program studi. Memang ada orang memiliki spesialisasi utama dan spesialisasi tambahan dalam bidang tertentu, dan dalam perkembangan kariernya menjadi lebih berminat dan lebih menguasai spesialisasi tambahan dibanding spesialisasi utama, tetapi kenyataannya itu langka, dan karena itu tidak pada tempatnya dijadikan dasar pengembangan pendidikan guru. Bila harus menguasai lebih dari satu spesialisasi program studi, boleh jadi akan menyebabkan lulusan IKIP dan FKIP yang selama ini sering dinilai tidak bermutu semakin tidak bermutu saja. Pembatasan Pendidikan guru barangkali merupakan pendidikan yang paling sempit lapangan kerjanya. Para lulusan sekolah guru dengan latar belakang pendidikan keguruannya, hanya bisa bekerja sebagai guru. Tidak seperti halnya para sarjana hukum atau sarjana ekonomi, misalnya, yang dengan latar belakang pendidikannya, mempunyai sejumlah pilihan pekerjaan. Karena kekhususannya itu, dan dalam rangka peningkatan mutu guru, seyogyanya
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 65
pendidikan guru memperoleh perlakukan khusus dibanding pendidikan-pendidikan lainnya, Salah satu perlakukan khusus yang sangat mungkin membantu meningkatkan mutu guru, sekaligus juga meningkatkan harkat dan martabat guru, adalah pembatasan secara ketat jumlah masukan sekolah guru. Dalam kenyataannya, pendidikan kita hingga kini masih lebih menekankan kuantitas dibanding kualitas. Pada tingkat perguruan tinggi, misalnya, perguruan tinggi swasta tumbuh subur bagai jamur di musim hujan, dengan sistem kendali mutu yang masih harus dipertanyakan. Kelas-kelas perkuliahan, misalnya, penuh dijejali oleh mahasiswa. Sementara pada tingkat sekolah dasar, pada setiap akhir tahun ajaran, nyaris tidak ada murid sekolah dasar yang tahan kelas atau tidak lulus Ebtanas. Dalam kondisi sekarang saat daya tampung sekolah kita masih terbatas, kecenderungan untuk lebih mengutamakan kuantitas dibanding kualitas barangkali bisa dimaklumi. Namun, dalam rangka peningkatan mutu guru yang tidak ditawar-tawar, seharusnya IKIP dan FKIP tidak dilibatkan dalam kecenderungan yang demikian. Seharusnya, IKIP dan FKIP dibebaskan dari target kuantitas masukan maupun keluaran pendidikan tinggi secara nasional, agar IKIP dan FKIP bisa menerima mahasiswa dan menghasilkan lulusan lebih sedikit dari target kuantitas yang dicanangkan untuk dicapai oleh perguruan tinggi lainnya. Tanpa membatasi secara ketat masukan IKIP dan FKIP dan karena itu sebagai kompensasinya mahasiswa dipersilakan mengambil lebih dari satu spesialisasi program studi, masalahnya akan tetap sama saja. Sekolah tentu saja tidak akan menggunakan spesialisasi tambahan yang dimiliki lulusan IKIP dan FKIP kalau spesialisasi utamanya melimpah ruah. Atau
66 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
kalaupun tidak dibuat klasifikasi spesialisasi program studi menjadi spesialisasi utama dan spesialisasi tambahan, jumlah lulusan akan tetap sama saja, dan itu berarti tetap saja banyak lulusan yang tidak akan memperoleh pekerjaan sebagai guru. Singkatnya, menyajikan kepada mahasiswa IKIP dan FKIP lebih dari satu spesialisasi program studi dalam rangka mengantisipasi menumpuknya lulusan IKIP dan FKIP tanpa pekerjaan, sama saja dengan tutup lubang gali lubang. Selain secara langsung akan mengurangi menumpuknya lulusan yang tidak memperoleh pekerjaan, pembatasan jumlah masukan IKIP dan FKIP mempunyai sejumlah manfaat yang lebih mendasar. Pertama, mereka yang masuk IKIP dan FKIP akan lebih terseleksi, baik bakat, minat maupun kecerdasannya. Kedua, jumlah masukan IKIP dan FKIP yang sedikit akan menyebabkan masa depan mereka sebagai guru lebih pasti; kepastian itu akan memacu gairah belajar mereka. Ketiga, jumlah mahasiswa yang sedikit akan menyebabkan dosen lebih leluasa mengembangkan strategi belajar mengajar yang bermutu. Keempat, pembatasan terhadap masukan IKIP dan FKIP secara ketat pada gilirannya akan menyebabkan jumlah guru menjadi pas-pasan; jumlah guru yang pas-pasan akan menyebabkan harga guru menjadi mahal, suka tidak suka orang akan belajar menghargai guru. Sejumlah masalah administratif akan muncul bila masukan IKIP dan FKIP dibatasi secara ketat. Salah satu masalah, misalnya jam mengajar dosen IKIP dan FKIP menjadi berkurang dan berada di bawah minimal yang diperlukan untuk urusan kenaikan pangkat, Atau yang lebih berat lagi, sejumlah IKIP dan FKIP harus ditutup atau dialihfungsikan. Dapatkan kita menanggung
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 67
konsekuensi seperti itu dalam rangka peningkatan mutu guru yang tidak ditawar-tawar tersebut?
68 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Sekitar Pendidikan Dasar 9 Tahun Kompas, 14 Februari 1992 Direncanakan pada Repelita VI nanti, wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mulai dilaksanakan. Sebagai sesuatu yang relatif baru, berbagai masalah akan siap menghadang pelaksanaannya. Agar pelaksanaannya nanti tidak menemui banyak masalah, berbagai kemungkinan masalah tersebut sudah harus mulai diantisipasi sekarang ini. Salah satu tantangan berat dalam pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, adalah rendahnya jumlah lulusan SD yang melanjutkan pendidikan ke SMP. Pada awal tahun ajaran 1991/1992 yang lalu misalnya, di Jawa Timur dan Jawa Barat puluhan SMP swasta ditutup karena kekurangan murid. Padahal dibandingkan besarnya jumlah lulusan SD, sebenarnya jumlah SMP masih jauh dari cukup. Paling tidak terdapat dua hal yang dinilai oleh berbagai pihak sebagai penyebab rendahnya jumlah lulusan SD yang melanjutkan ke SMP. Kedua hal tersebut adalah rendahnya kemampuan ekonomi orang tua, serta rendahnya kesadaran orang tua tentang pentingnya pendidikan SMP bagi anaknya. Bertolak dari penilaian tersebut, upaya penanggulangan yang disarankan, adalah pengadaan orang tua asuh atau pengadaan beasiswa bagi anak-anak kurang mampu, serta pemberian penyuluhan kepada para orang tua tentang perlunya pendidikan SMP bagi anaknya. Penilaian bahwa rendahnya jumlah lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP, disebabkan oleh rendahnya kemampuan ekonomi orang tua serta rendahnya kesadaran orang tua tentang pentingnya pendidikan SMP, sesungguhnya baru merupakan
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 69
penilaian sepihak. Akibat dari penilaian yang sepihak itu, upaya penanggulangannya pun akan cenderung sepihak. Padahal para orang tua pun mempunyai penilaian sendiri tentang sekolah, dan penilaian itu ada pula benarnya. Pengalaman saya dalam berkomunikasi dengan para orang tua di desa dalam beberapa kali menjadi pembimbing KKN, para orang tua mengatakan bahwa setelah anak menyelesaikan pendidikannya di SMP, ternyata mereka tidak menunjukkan kemampuan lain, selain kemampuan baca, tulis, berhitung, dan pengetahuan umum lainnya, seperti halnya ketika mereka tamat SD. Malahan ada sementara anak yang telah tamat SMP, justru semakin menjadi beban bagi orang tuanya. Mereka yang sebelumnya rajin membantu orang tua di sawah atau ladang misalnya, ada yang tidak mau lagi membantu orang tuanya, karena mereka sudah bersekolah dan tidak pantas melaksanakan pekerjaan seperti itu. Barangkali belum ada penelitian yang mendasar dan menyeluruh tentang penyebab para orang tua tidak berminat menyekolahkan anaknya ke SMP. Tetapi, sulit dibantah, bahwa salah satu penyebab yang boleh jadi merupakan penyebab utama, adalah rendahnya manfaat praktis pendidikan di SMP, sebagaimana tersirat dalam ungkapan para orang tua di desa, seperti telah dikemukakan di atas. Andaikan para orang tua dapat melihat sendiri, bahwa pendidikan di SMP mempunyai manfaat praktis yang dapat diandalkan, katakanlah misalnya manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, tanpa perlu didorong-dorong pun orang tua akan berusaha menyekolahkan anaknya ke sana, meski mungkin kondisi ekonominya senin-kemis. Kiranya cukup jelas, bahwa salah satu hal penting yang patut dilaksanakan untuk mendorong minat bersekolah, dalam rangka pelaksanaan wajib belajar 9 tahun, adalah pembenahan
70 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
kurikulum SD maupun SMP, sehingga lulusan SD maupun SMP -terutama SMP- memiliki seperangkat kemampuan praktis untuk bekerja. Saya sering membayangkan, terutama untuk sekolahsekolah di desa, anak-anak kelas 5 atau 6 SD sudah ditugaskan untuk memelihara hewan yang bernilai ekonomis, seperti ayam dan kelinci, atau menanam tanaman bernilai ekonomis, seperti jagung dan sayuran di rumahnya masing-masing. Kegiatan tersebut dilaksanakan di bawah bimbingan guru, sebagai bagian integral dari kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Tentang kemampuan guru, bila para petani dan peternak di desa, yang kebanyakan berpendidikan rendah saja, mampu mengembangkan usahanya, tentu pada guru dapat membantu para murid untuk mempelajari hal-hal seperti itu, tanpa perlu memperoleh pendidikan khusus untuk menjadi guru dalam hal-hal tersebut. Apa yang dikemukakan di atas rasanya cukup realistis. Dibalik itu, sejumlah manfaat dapat diperoleh. Paling tidak, para orang tua akan sadar, bahwa pendidikan di sekolah mempunyai manfaat praktis, dan karena itu mereka tetap terdorong untuk menyekolahkan anaknya setelah menyelesaikan SD. Persoalannya tinggal mau atau tidak. Yang jelas, tanpa upaya nyata untuk membuat pendidikan di SD maupun SMP memiliki cukup manfaat praktis, kita belum bisa terlalu berharap tentang suksesnya wajib belajar 9 tahun. Salah satu pertanyaan yang dianggap penting dalam rangka penyelenggaraan pendidikan dasar 9 tahun adalah, apakah perlu ada ujian antara dalam masa 9 tahun itu? Jawaban atas pertanyaan tersebut sebenarnya amat tergantung dari upaya membuat pendidikan di SD dan SMP memiliki cukup manfaat praktis. Bila pendidikan di SD dan SMP memiliki cukup manfaat praktis, ujian antara itu tidak perlu, karena para orang tua
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 71
umumnya akan tetap menyekolahkan anaknya hingga tamat SMP. Sebaliknya, bila tidak, ujian itu diperlukan sebagai pintu keluar di tengah jalan bagi mereka yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar secara utuh. Sertifikat atau apa pun namanya, yang diperoleh dari pintu keluar itu barangkali kelak dapat bermanfaat untuk mencari pekerjaan. Tetapi, bila disediakan pintu keluar, apakah kita masih dapat menyebut pendidikan seperti itu sebagai wajib pendidikan dasar? Masalah lain yang tak kalah pentingnya, adalah pengadaan tenaga guru yang relevan. Selama ini pengadaan guru khusus untuk SMP dapat dikatakan terabaikan. Dikatakan terabaikan, karena pada umumnya kurikulum LPTK mengacu ke kurikulum SMTA, sedangkan kurikulum SMP tidak memperoleh kajian khusus. Pertimbangannya, materi pelajaran di SMTA, tepatnya SMA, merupakan lanjutan dari pelajaran di SMP, sehingga dengan mengacu ke kurikulum SMA, dengan sendirinya kurikulum SMP juga terjamah. Dari kaca mata materi pelajaran, pertimbangan sebagaimana dikemukakan di atas, barangkali ada benarnya. Tetapi, dari kacamata perkembangan psikologis siswa, pertimbangan demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimanapun juga, kondisi psikologis anak usia SMP tidak sama dengan anak usia SMA. Dan karena itu, perlakukan terhadap mereka tak bisa disamakan, termasuk perlakukan dalam kegiatan belajar-mengajar. Karena pendidikan di SMP akan terintegrasi dengan pendidikan di SD dalam rangka pendidikan dasar 9 tahun, seharusnya pendidikan guru untuk SMP tidak diintegrasikan ke pendidikan guru untuk SMTA, melainkan diintegrasikan ke pendidikan guru untuk SD. Konkretnya, misalnya pendidikan D2-PGSD tidak hanya untuk menghasilkan guru SD, melainkan
72 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
sekaligus juga guru SMP. Atau, kalau karena di SD digunakan guru kelas dan SMP tidak, sehingga tidak mungkin diintegrasikan, maka paling tidak pendidikan guru untuk SMP disendirikan dan tidak diintegrasikan ke dalam pendidikan guru untuk SMTA. Persoalan lain, dibandingkan pendidikan di SMTA, penelitian terhadap pendidikan di SD dan SMP dapat dikatakan amat minim. Para dosen LPTK misalnya, umumnya hanya melakukan penelitian di SMTA sedangkan SD dan SMP nyaris tak terjamah. Apakah karena anggapan, bahwa hasil penelitian terhadap SMTA dengan sendirinya dapat diterapkan pada jenjang pendidikan di bawahnya? Terkait erat dengan persoalan penelitian tersebut, dalam hal tenaga ahli pun nampaknya kita masih kekurangan tenaga ahli pendidikan dasar. Kita misalnya, memiliki sejumlah doktor pendidikan dalam berbagai spesialisasi, tetapi barangkali tidak ada satu pun doktor spesialisasi pendidikan dasar. Masih terkait pula dengan penelitian yang dapat diandalkan bagi upaya pengembangan pendidikan secara mendasar dan menyeluruh, lebih mungkin diperoleh melalui sekolah laboratorium. Almarhum Prof. Dr. Ny. Pakasi misalnya, melalui sekolah laboratorium berhasil memunculkan metode membaca dan menulis i-in a-an yang hingga kini digunakan secara luas, meski sembunyi-sembunyi, karena dirasakan lebih mantap dibandingkan metode SAS. Memang ada kekhawatiran, bahwa kehadiran sekolah laboratorium dapat menyebabkan anak dijadikan kelinci percobaan, dengan sejumlah kemungkinan kerugian. Tetapi, dalam iklim laboratorium yang profesional, sesuatu kekeliruan dapat dideteksi secara dini, kemudian dikompensasi dengan
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 73
perbaikan yang intensif, sehingga amat kecil kemungkinan terjadinya hal-hal yang merugikan anak. Sekarang ini, sementara pihak menyesalkan pengajaran matematika di SD dan SMP. Karena dinilai menyebabkan satu generasi bangsa ini tidak mampu berhitung dengan baik. Andaikan pelajaran matematika itu diteliti terlebih dahulu secara terbatas dan intensif melalui sekolah laboratorium, barangkali kita tidak akan menyesal seperti sekarang ini. Mampukan kita mengadakan sekolah laboratorium yang profesional?
74 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Pendidikan yang Berorientasi Pasar Kompas, 10 Maret 1992 Entah, sudah berapa kali Menristek B.J. Habibie menekankan pentingnya pendidikan yang berorientasi pasar. Karena kita telah memiliki Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN), pada tempatnya apa yang ditekankan oleh Menristek tersebut ditelaah, bertolak dari USPN. Dalam USPN antara lain tersirat ketentuan, bahwa pada jenjang pendidikan dasar (baca SD dan SMP), pendidikan tidak diorientasikan ke dunia kerja. Baru pada jenjang pendidikan menengah, pendidikan mulai diorientasikan ke sana. Itu pun hanya pada pendidikan menengah kejuruan, tidak untuk pendidikan menengah umum. Pada jenjang pendidikan tinggi, orientasi pada dunia kerja diemban oleh pendidikan akademik dan politeknik, sedangkan sekolah tinggi, institut, dan universitas selain berorientasi pada dunia kerja, juga berorientasi pada pengembangan dan penciptaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Bertolak dari ketentuan dalam USPN tersebut, pemikiran tentang pendidikan yang berorientasi pasar lebih tepat dibahas dalam kaitannya dengan pendidikan tinggi, dan bukan pendidikan dasar maupun pendidikan menengah umum. Kalau ada pemikiran tentang penyiapan memasukkan pendidikan dasar maupun pendidikan menengah umum dengan kemampuan untuk langsung masuk ke dunia kerja, pemikiran itu mestinya merupakan pemikiran darurat karena pertimbangan praktis tertentu, misalnya karena ada anggapan dalam masyarakat bahwa pendidikan kejuruan lebih rendah dari pendidikan umum. Tetapi, pada pendidikan yang berorientasi dunia kerja pun, sulit bahkan tidak mungkin untuk menghasilkan lulusan yang Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 75
siap pakai di dunia kerja. Dari kacamata kurikulum misalnya, penyusunan kurikulum sekolah yang berorientasi langsung ke dunia kerja, sungguh sulit dan tidak realistis. Perkembangan ilmu dan teknologi yang amat pesat serta globalisasi dunia dengan berbagai kejadian yang sulit diramalkan, merupakan penyumbang utama kesulitan itu. Jangankan kita, negara maju seperti Inggris dan Amerika pun ternyata sulit mengantisipasi secara tepat kecenderungan pasar kerjanya sendiri, sehingga angka pengangguran di sana pun kian hari kian membengkak. Dalam kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, sungguh tidak mungkin kurikulum sekolah harus selalu diubah dan diubah lagi untuk disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi. Justru dalam kondisi demikian, status quo kurikulum sekolah harus dipertahankan agar tidak diombang-ambingkan oleh perubahan yang terjadi. Tanpa mempertahankan status quo kurikulum dalam tenggang waktu tertentu, hanya karena keinginan untuk selalu berorientasi pasar, kurikulum justru akan kehilangan segala kekuatannya untuk membina manusia secara utuh. Ibarat dalam dunia perdagangan, dalam hal kacang kedelai misalnya, orang bisa hanya secara langsung menjual kacang kedelai, bisa juga mengolahnya terlebih dahulu menjadi tempe atau tahu, lalu dijual, bisa juga mengolahnya menjadi lauk-pauk siap makan, lalu dijual. Nampaknya, dalam kondisi seperti sekarang, pendidikan yang berorientasi pasar di negeri ini hanya bisa menghasilkan tempe atau tahu, bukan lauk-pauk yang siap dimakan. Kalau suatu saat selera pasar beralih ke singkong misalnya, kurikulum sekolah yang berorientasi pasar hanya bisa menghasilkan gaplek atau tapioka, buka kue bolu dari singkong yang siap disantap.
76 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Pertanyaan tentang siapa yang akan mengolah tempe, tahu, gaplek, dan tapioka itu agar lebih siap disantap, seharusnya tidak dijawab sendiri oleh sekolah (baca:Depdikbud), melainkan dijawab bersama dengan berbagai pihak relevan, seperti Departemen Tenaga Kerja, Departemen Perindustrian, dan sebagainya. Memang bisa saja sekolah diminta dan diberi fasilitas untuk menanggung sepenuhnya tugas itu, tetapi pelimpahan tugas demikian dapat menggiring sekolah hingga akhirnya hanya melaksanakan tugas-tugas yang terlampau spesifik, dengan kemungkinan risiko, sekolah meninggalkan tugas utamanya sebagai pembina pribadi manusia seutuhnya. Kiranya cukup jelas, bahwa bila konsep tentang pendidikan yang berorientasi pasar diterima, pendidikan yang berorientasi pasar itu tidak berarti pendidikan yang menghasilkan lulusan siap pakai, melainkan lulusan yang siap bekerja. Siap bekerja dalam arti, setelah berada di pasaran kerja, dengan sedikit polesan saja mereka sudah siap untuk bekerja. Salah satu masalah yang terkait erat dengan pemikiran tentang pendidikan yang berorientasi pasar, ialah terbatasnya biaya penyelenggaraan pendidikan tersebut. Pada umumnya penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pasar, biayanya beberapa kali lipat dari pendidikan yang bersifat umum. Akibat dari terbatasnya biaya tersebut, jumlah sekolah menengah kejuruan serta akademi dan politeknik yang kita miliki amat sedikit, bila dibandingkan dengan jumlah lembaga pendidikan yang bersifat umum. Dalam kondisi terbatasnya dana untuk penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pasar, sungguh tidak logis bila kita berharap, agar sekolah lebih berorientasi pasar, tanpa mengalokasikan dana yang memadai untuk itu. Pada sekolah tinggi, institut, dan universitas yang diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang berorientasi pasar
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 77
maupun lulusan ilmuwan, terdapat sementara pendidikan tinggi tersebut yang terlampau mengambang, sehingga lulusan yang dihasilkan dikatakan berorientasi pasar ya tidak, dikatakan ilmuwan pemula pun tidak. Terhadap pendidikan tinggi yang mengambang -boleh jadi jumlahnya banyak- kita tidak dapat berharap agar lebih berorientasi pasar, mengingat tingginya biaya penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pasar. Yang bisa kita harapkan adalah, agar perguruan tinggi tersebut lebih berorientasi pada upaya menghasilkan ilmuwan, paling tidak ilmuwan pemula. Untuk itu, sistem kendali mutu perlu ditingkatkan, baik pada PTN maupun terutama pada PTS. Kalau PTS lebih diutamakan di sini, itu karena jumlah PTS di negeri ini sekitar 1.000 buah, sementara PTN hanya sekitar 40 buah. Dalam kenyataannya, kondisi PTS memang sangat rawan dalam hal manipulasi yang menyangkut aspek akademis dari pendidikan di PTS itu sendiri. Di Jawa Timur misalnya, pernah ada PTS yang ketahuan memanipulasi tahun mulai kuliah para mahasiswanya, sehingga ada mahasiswa yang sudah bisa menjadi sarjana hanya dalam waktu sekitar 5 semester. Susahnya lagi, tidak sedikit PTS yang pengelolaannya adalah para dosen PTN, yang justru bertugas membina PTS. Dalam kondisi persaingan yang ketat antarPTS untuk menarik minat calon mahasiswa masuk ke sana, terdapat kecenderungan pada para dosen PTN tersebut untuk bertindak ibarat pagar makan tanaman. Kalau pagar sudah makan tanaman, entah, apa yang bisa dilakukan?
78 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Sekitar Dualisme Pengelolaan SD Kompas, 14 April 1992 Ketika Jepang menduduki negeri ini, pengelolaan sekolah menjadi tanggung jawab Kantor Pengajaran (Bunkyo Kyoku) sebagai bagian dari Kantor Pamongpraja (Naimubu). Dalam keadaan perang, dan para siswa dipandang sebagai potensi besar untuk memenangkan perang, dualisme pengelolaan pendidikan tersebut boleh jadi merupakan strategi jitu. Apakah dualisme pengelolaan SD sekarang ini, yaitu oleh Depdikbud dan Depdagri, merupakan sisa-sisa peninggalan pendidikan zaman pendudukan Jepang? Entahlah! Tetapi bila ya, jelas sistem ini sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang. Sekarang ini, dicari bagaimanapun, sulit bagi kita untuk menemukan manfaat dari dualisme tersebut. Justru sebaliknya, semakin dicari manfaatnya, akan semakin nampak, bahwa dualisme pengelolaan SD itu memiliki segudang kelemahan. Dualisme pengelolaan sesuatu, dalam bidang apa pun, amat rawan terhadap pelemparan tanggung jawab maupun persaingan merebut hak. Ibarat dua pihak yang memiliki bersama sebuah lahan pertanian, bila tidak diatur pengelolaannya dengan baik, kedua belah pihak itu akan terus bertikai, terangterangan maupun terselubung, sehingga lahan itu sendiri tidak tergarap dengan baik. Bahkan, meskipun mungkin terdapat peraturan pengelolaan bersama yang ditata dengan baik, masih mungkin terdapat penafsiran yang berbeda terhadap peraturan itu. Penafsiran yang berbeda tersebut dapat terjadi karena memang disengaja, agar lebih menguntungkan pihak penafsir.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 79
Kemampuan Profesional Dalam pengelolaan SD, hal-hal di bawah tanggung jawab Depdagri merupakan hal-hal yang rawan terhadap masalah. Halhal dimaksud adalah kenaikan pangkat, promosi jabatan, serta mutasi tempat. Dalam hal kenaikan pangkat dan promosi jabatan, seharusnya kedua hal tersebut dilaksanakan berdasarkan kriteria-kriteria yang objektif. Tetapi, menurut sementara guru, kepala sekolah maupun penilik sekolah, kedua hal itu sulit ditangani secara objektif. Pasalnya, pihak Dinas P dan K (baca: Depdagri) tidak mempunyai wewenang untuk menilai kemampuan profesional guru, padahal justru kemampuan profesional itu seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam urusan kenaikan pangkat maupun promosi jabatan. Konon, kenyataan itulah antara lain menyebabkan, sampai sekarang ini kita masih diombang-ambingkan oleh pilihan antara kenaikan pangkat langsung (KPL) dan kenaikan pangkat berdasarkan perhitungan credit point. Susahnya, dalam suasana seperti itu, ada saja oknum yang konon, suka memancing di air keruh. Konon, urusan-urusan kenaikan pangkat, promosi jabatan, bahkan juga mutasi tempat kerja, menjadi lahan praktik feodalisme, khususnya dalam hal memberi dan menerima upeti. Karena kondisi seperti itu, pegawai Dinas P dan K menjadi pihak yang paling ditakuti oleh para guru, kepala sekolah maupun penilik sekolah. Sementara itu, para kepala sekolah maupun penilik sekolah kehilangan giginya dalam mengontrol kualitas profesional para guru. Kita bisa saja mengatakan bahwa masalah-masalah yang timbul dalam kerja sama antara Depdikbud dan Depdagri, sebagaimana dikemukakan di atas hanyalah karena koordinasi yang tidak lancar. Namun, bila dalam diri masing-masing instansi itu saja, koordinasi masih merupakan masalah yang
80 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
rawan, bagaimana mungkin kita dapat berharap akan adanya koordinasi lintas instansi yang baik. Lagi pula, kalau suatu lahan garapan sebenarnya dapat digarap dengan baik, tanpa perlu melibatkan secara langsung dua pihak, apalagi dengan amat besar risiko kesulitan koordinasi, mengapa lahan itu harus digarap oleh dua pihak? Tetapi, barangkali hal yang lebih mendasar, yang menjadi pertimbangan mengapa dualisme pengelolaan SD harus dipertanyakan, adalah perbedaan iklim kerja antara Depdikbud dan Depdagri. Di Depdagri, dalam rangka efisiensi dan keefektifan kerja, birokrasi merupakan suatu yang harus dijalankan secara ketat. Tidak seperti halnya Depdikbud, yang dalam banyak hal justru menuntut iklim yang luwes. Tak ada yang bisa menjamin, bahwa dalam kerja sama itu tidak terjadi pengimbasan iklim kerja Depdagri yang birokratis itu ke Depdikbud yang seharusnya luwes. Dalam kerangka berpikir seperti itu, dapat dipahami keheranan sementara guru tentang teman sejawatnya, yang berubah menjadi kaku dan tidak pedagogis, ketika beralih menjadi petugas Dinas P dan K. Bukan Mitra Kerja yang Tepat Sampai sekarang, sisa-sisa feodalisme zaman kerajaan yang sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan modern masih mewarnai kehidupan kita, termasuk kehidupan berbagai instansi pemerintahan. Bila sekolah (baca: Depdikbud) sebagai lembaga yang diharapkan dapat secara mendasar menghapus sisa-sisa feodalisme tersebut, apakah mungkin ia dapat memainkan peranannya itu, bila jenjang pendidikan paling dasar di negeri ini ikut ditangani pula secara langsung oleh Depdagri? Ketika diadakan sebuah rapat koordinasi dalam rangka persiapan praktik mengajar mahasiswa IKIP, terjadi tawar-
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 81
menawar yang ketat antara pihak Depdikbud tentang sampai sejauh mana mahasiswa praktik boleh melakukan sesuatu yang relatif baru di sekolah tempat praktik. Ternyata dalam hal persiapan mengajar saja, pihak Depdikbud sudah amat keberatan, bila mahasiswa mengembangkan model persiapan mengajar lain dari yang berlaku di sekolah, yang konon sudah ditetapkan secara nasional. Di pihak lain, konon pernah terjadi, seorang bupati membatalkan niatnya untuk menempatkan seorang Penghulu Naib di sebuah kota kecamatan, yang memang sangat membutuhkan Penghulu Naib itu, hanya karena Wedana dari kecamatan tersebut terlebih dahulu mengusulkan usul yang sama dengan niat bupati, dan dinilai oleh bupati sebagai perbuatan lancang (Slametmuljana, 1968). Barangkali terlampau berlebihan bila keberatan pihak Depdikbud terhadap upaya pembaharuan yang dilakukan oleh mahasiswa, maupun tindakan bupati terhadap bawahannya yang sebenarnya bertanggung jawab itu, secara makro dikatakan memiliki kaitan sebab akibat. Tetapi, paling tidak, kedua hal itu menunjukkan kepada kita bahwa Depdikbud dan Depdagri bukanlah merupakan partner (mitra) kerja yang tepat dalam pengelolaan SD. Kerja sama antara keduanya dalam mengelola SD ibarat dua jenis obat yang diberikan secara bersama-sama kepada seorang pasien, dan karena diberikan bersama-sama, justru menyebabkan khasiat masing-masing obat itu berkurang. Mudah-mudahan kita semakin yakin, bahwa dualisme pengelolaan SD itu sudah seharusnya diakhiri.
82 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Pendidikan Sikap oleh Sekolah Kompas, 15 Februari 1993 Perilaku melanggar nilai etik dan moral terasa semakin meningkat belakangan ini. Kenyataan tersebut menuntut kita untuk merenungkan kembali, bagaimana pendidikan dalam aspek itu ditangani, terutama oleh sekolah. Kalau sekolah lebih diutamakan di sini, hal itu karena pertimbangan, bahwa sampai kini masyarakat pada umumnya cenderung menyerahkan sepenuhnya tugas mendidik kepada sekolah. Sekolah sendiri sesungguhnya tidak mungkin mengambil alih semua tugas pendidikan etik dan moral bangsa ini. Namun, sebagai lembaga pendidikan yang relatif tertata rapi sistemnya, sekolah diharapkan dapat berperan aktif dalam membina masyarakat, sehingga pada gilirannya masyarakat dapat berperan aktif dalam penyelenggaraan pendidikan melalui berbagai lembaga pendidikan di luar sekolah. Dari segi teori, pendidikan etik dan moral di sekolah terutama dibebankan kepada pelajaran PMP. Tetapi, dari segi praktik, setiap pelajaran di sekolah dituntut untuk ikut memikul tanggung jawab itu. Dengan kata lain, kajian-kajian teoretis tentang nilai-nilai etik dan moral menjadi tanggung jawab utama guru PMP melalui pelajaran PMP, tetapi latihan dalam melaksanakan nilai-nilai tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab semua guru di sekolah, apa pun pelajaran yang diberikan. Salah satu kritik terhadap pendidikan di sekolah-sekolah kita dewasa ini, adalah kurangnya penanganan terhadap aspek sikap. Aspek yang sesungguhnya terkait langsung dengan nilainilai etik dan moral. Bahkan dalam pelajaran PMP, yang seharusnya lebih mengutamakan pembinaan sikap pun, kegiatan belajar mengajar terlampau menekankan aspek penalaran.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 83
Kondisi pelajaran PMP seperti itu, dinilai hanya menghasilkan manusia yang mampu berargumentasi untuk mempertahankan kebenaran nilai-nilai etik dan moral yang bersumber dari Pancasila. Tetapi, nilai-nilai tersebut sering dilanggar sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Dampak Pengiring Kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah kita dewasa ini amat diwarnai oleh teori tentang kawasan psikologis, yang dikemukakan oleh Bloom dan dikembangkan lagi oleh pengikutpengikutnya. Oleh Bloom, kawasan psikologis diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kawasan kognitif, kawasan efektif, dan kawasan psikomotorik. Kawasan kognitif berkaitan dengan kemampuan intelektual, kawasan afektif berkaitan dengan sikap dan nilai, sedangkan kawasan psikomotorik berkaitan dengan pengendalian gerak. Setiap kawasan psikologis itu dikembangkan menjadi beberapa bagian secara bertingkat, dari yang paling rendah, mudah, dan sederhana, sampai ke yang paling tinggi, sulit, dan kompleks. Kawasan kognitif terdiri atas ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kawasan afektif terdiri atas menerima, merespons, menghargai, mengorganisasikan, dan bertindak secara konsisten. Sedangkan kawasan psikomotorik terdiri atas persepsi, kesiapan, respons terbimbing, mekasisme, respons terpola, serta penyesuaian dan keaslian. Dalam penerapannya di sekolah, kawasan sikap dipandang hanya sebagai dampak pengiring (nurturant effects) dari kegiatan belajar mengajar (T. Raka Joni, Cara Belajar Siswa Aktif: Implikasinya Terhadap Sistem Penyampaian, 1984). Meskipun kawasan ini secara teoretis dapat dirancang dalam
84 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
persiapan mengajar untuk pelajaran yang tidak diutamakan untuk pengembangan kawasan kognitif maupun psikomotorik, tetapi para guru biasanya tidak merancangnya dalam persiapan mengajar. Penyebabnya tentu terkait erat dengan pandangan, bahwa pengembangan kawasan afektif hanya merupakan dampak pengiring kegiatan belajar mengajar. Apalagi perancangan kawasan afektif dalam persiapan mengajar memang lebih sulit dibandingkan perancangan kawasan lainnya, tentu semakin kuat mendorong para guru untuk tidak merancangnya. Nampaknya, dalam pelajaran PMP yang seharusnya lebih mengutamakan pengembangan kawasan afektif pun, pengembangan kawasan tersebut tetap dipandang sebagai dampak pengiring kegiatan belajar mengajar. Pandangan demikian tentu saja merupakan pengebirian makna hakiki pelajaran PMP itu sendiri. Kendala Bahwa pembentukan sikap sebagai salah satu isi kawasan afektif merupakan suatu proses, memang ya. Tetapi, penempatan sikap hanya sebagai dampak pengiring setiap kegiatan belajarmengajar, tentu tidak dapat dikatakan tepat sepenuhnya. Soalnya, perilaku awal dan menengah dalam pembentukan sikap sebenarnya dapat distimulasi untuk muncul sebagai dampak langsung kegiatan belajar-mengajar (instructional effects). Singkatnya, secara teoretis pengembangan kawasan afektif dapat dirancang, sehingga merupakan dampak langsung setiap kegiatan belajar-mengajar, tidak hanya pada pelajaran PMP yang memang materinya lebih mengutamakan pengembangan kawasan afektif, melainkan pada pelajaran lainnya yang secara khusus tidak dimaksudkan untuk pengembangan kawasan itu. Selain itu, penempatan sikap hanya sebagai dampak pengiring
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 85
kegiatan belajar-mengajar, dapat menyebabkan sikap dipandang sebagai hal yang tidak begitu penting, yang dapat saja diabaikan. Rancangan kawasan afektif untuk keperluan mengajar relatif lebih kompleks dibanding rancangan kawasan lainnya. Kenyataan tersebut merupakan kendala tersendiri dalam memaksimalkan pengembangan kawasan tersebut melalui pendidikan di sekolah. Kendala lainnya adalah terlampau banyaknya siswa dalam kelas. Di sekolah-sekolah kita pada umumnya, setiap kelas berisi sekitar 40 sampai 50 orang siswa. Karena pengembangan kawasan afektif menuntut perhatian intensif terhadap siswa secara individual, maka jumlah siswa yang banyak itu amat menyulitkan guru. Tentu masih terdapat kendala lainnya. Kendala-kendala itu terkait erat dengan beban kerja guru. Kalau pengembangan kawasan afektif akan dilakukan secara besar-besaran melalui pendidikan di sekolah, beban kerja guru akan bertambah berat. Tegakah kita menambah beban kerja guru, tanpa memperhatikan nasibnya? Seimbangkah kenaikan gaji guru yang baru diumumkan pemerintah awal tahun ini, dengan besaran beban kerja guru bila kawasan afektif akan dikembangkan secara maksimal? Apa pun jawabnya, yang jelas pengembangan kawasan afektif secara maksimal melalui pendidikan sekolah merupakan kebutuhan nyata sekarang ini. Tanpa ini, pendidikan kita mungkin dapat menghasilkan banyak orang pandai, tetapi miskin nilai etik dan moralnya.
86 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Pembaruan Pendidikan yang Adaptatif Surya, 19 Maret 1994 Ketika para ahli pendidikan negeri seberang melontarkan gagasan tentang kegiatan belajar mengajar yang mengaktifkan siswa, gemanya menggelitik naluri inovatif kita sehingga kita tertarik untuk ikut memanfaatkan gagasan itu. Para ahli dan birokrat pendidikan pun dikirim ke negeri yang dipandang pioneer dalam mengembangkan dan mengaplikasikan gagasan tersebut, untuk mencari masukan bagi pengembangannya di negeri ini. Kemudian, diadakanlah pilot project percobaan pelaksanaan cara belajar siswa aktif (CBSA) pada sejumlah SD di daerah Cianjur, Jawa Barat. Selain itu, diadakan pula berbagai bentuk pelatihan untuk para guru dan dosen tentang pelaksanaan gagasan tersebut. Ketika para ahli negeri seberang melontarkan gagasan tentang pendekatan kompetensi dalam pengembangan kurikulum, kembali naluri inovatif kita tergugah untuk memanfaatkannya. Para ahli dan birokrat pendidikan kembali dikirim lagi ke negeri pioneer untuk mempelajarinya. Kali ini, tanpa uji coba, gagasan tersebut langsung diterapkan di LPTK. Dua hal di atas sekadar contoh dari sejumlah pembaruan pendidikan, yang gagasannya kita adaptasikan dari negeri maju. Lalu bagaimana dengan hasil pembaruan itu? Jawaban yang menyeluruh dan tuntas tidak ada. Karena memang tidak dirancang perangkat penelitian terhadap pelaksanaannya. Kalau sekadar penelitian sporadis, kebanyakan hasil penelitian memang menunjukkan bahwa pelaksanaan kedua hal itu belum memberikan banyak manfaat. Kebenaran hasil penelitian sporadis itu barangkali bisa diterima. Namun, melalui penelitian-penelitian sporadis, tidak Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 87
banyak hal mendasar dapat direkomendasikan untuk perbaikan pendidikan. Dan dalam konteks ini, saran tentang perlunya perangkat penelitian pendidikan, khususnya untuk kurikulum 1994, sebagai hasil perbandingan dengan penyelenggaraan pendidikan di Inggris (Suyatno, Kompas, 25 Januari 1994) amat layak dipertimbangkan. Tetapi, sesungguhnya akar persoalan pembaruan pendidikan di negeri ini tidak hanya terletak pada tiadanya perangkat penelitian terhadap pelaksanaan suatu gagasan pembaruan. Persoalan lebih mendasar terletak pada tiadanya adaptasi yang lebih tuntas terhadap gagasan-gagasan pembaruan pendidikan yang didatangkan dari luar negeri, serta–sebagai akibat lanjutannya–tiadanya pelaksanaan bertahap dan kontinu dari gagasan-gagasan itu. Dapat dikatakan, kita terlampau mengabaikan pemahaman terhadap latar belakang sosial budaya di mana gagasan pembaruan pendidikan itu berhasil dilaksanakan dengan baik. Padahal, keberhasilan itu lahir dari akumulasi pengalaman puluhan hingga ratusan tahun. Sementara di pihak lain, kita pun tidak mempelajari secara mendalam kondisi sosial budaya kita dalam kaitannya dengan penerapan gagasan-gagasan pembaruan pendidikan yang kita datangkan dari luar negeri itu. Akibatnya, gagasan demi gagasan pembaruan pendidikan kita datangkan dan kita terapkan, tetapi kita tidak pernah memperoleh hasil memadai dari pembaruan tersebut. Lalu, bukankah hal demikian merupakan pemborosan uang negara, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo belum lama ini?
88 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Sistem Inggris Katakanlah kita ingin mengembangkan perangkat penelitian pelaksanaan Kurikulum 1994, dan untuk itu kita ingin belajar dari sistem yang digunakan di Inggris. Tentu saja kita harus sadar, bahwa Inggris telah memiliki tradisi penelitian ratusan tahun, sejalan dengan usia perguruan tinggi di sana. Mereka pun memiliki sistem nilai, sistem hubungan sekolah dan masyarakat, sistem hubungan sekolah dan perguruan tinggi, sistem administrasi sekolah, sistem penggajian guru, dan sebagainya yang khas, yang memungkinkan mereka melaksanakan sistem penelitian kurikulum. Selain itu, harus dipahami secara mendalam pula kondisi sosial budaya dunia pendidikan kita, dalam kaitannya dengan kemungkinan penerapan suatu sistem penelitian kurikulum. Halhal seperti ketersediaan tenaga peneliti, tradisi penelitian, keterbukaan guru, pola hubungan guru dengan kepala sekolah maupun penilik sekolah, sistem administrasi pendidikan, variasi sekolah, dukungan dana, dan sebagainya patut dipelajari secara cermat. Hanya melalui pemahaman yang mendalam terhadap dua kondisi sosial budaya itu dalam kaitannya dengan penelitian kurikulum, kita dapat menghasilkan perangkat penelitian kurikulum yang adaptatif, efektif, dan efisien. Singkatnya, pengadaan suatu perangkat penelitian kurikulum 1994 akan bermanfaat bila didahului oleh penelitian mendalam tentang kondisi sosial budaya yang menghambat maupun mendukung penggunaan perangkat penelitian itu sendiri. Jalannya memang jadi panjang, tetapi itulah yang harus dilakukan bila ingin diperoleh hasil yang memadai. Dalam konteks uraian di atas, bila diinginkan agar pelaksanaan kurikulum 1994 disertai perangkat penelitian, maka
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 89
saran dari sementara pengamat pendidikan agar kurikulum 1994 ditangguhkan pelaksanaannya merupakan saran yang realistis. Tidak mungkin dalam waktu singkat dapat dirancang suatu perangkat penelitian kurikulum yang memadai untuk meneliti pelaksanaan kurikulum 1994. Padahal tanpa perangkat penelitian kurikulum 1994, sejarah lama sangat mungkin berulang kembali tanpa kita pernah dapat belajar darinya. Dapat dipastikan, dalam waktu tidak terlalu lama, akan muncul keinginan untuk mengubah kurikulum 1994 lagi, padahal belum banyak manfaat diperoleh dari sana. Saat ini sedang berlangsung paling tidak dua studi banding ke luar negeri dalam rangka pembaruan pendidikan. Pertama, studi banding dalam rangka pelaksanaan SLTP Keterampilan, kedua, studi banding dalam rangka pengembangan pendidikan guru SD. Yang pertama difokuskan di Jerman, yang kedua dilaksanakan di beberapa negara. Kita berharap, studi banding itu menjamah sampai ke akar kesuksesan pendidikan di sana, demikian pula setelah itu, diadakan studi kelayakan secara mendalam di sini, agar dapat diperoleh model yang benar-benar bermanfaat. Semoga!
90 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Perlukah Membuat Skripsi Kompas, 28 Juli 1994 Sampai saat ini rasanya belum ada penelitian menyeluruh terhadap andil skripsi bagi seorang sarjana dalam mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, bila kita mau berbicara tentang andil skripsi dalam mendapatkan pekerjaan, maka yang dapat dijadikan acuan hanyalah gejala-gejala umum yang tentu saja masih harus diteliti lebih jauh. Di lingkungan pendidikan sekolah misalnya, terdapat kecenderungan yang kuat bahwa pemakai lulusan S1 LPTK lebih mengutamakan lulusan jalur skripsi dibanding lulusan tanpa skripsi. Indikatornya dapat dilihat pada pengumuman penerimaan tenaga kependidikan yang disebarkan LPTK. Pemakai lulusan LPTK tentu mempunyai pertimbangan mendasar sehingga lebih mengutamakan lulusan jalur skripsi. Tetapi, kalaupun penggunaan sarjana jalur skripsi itu tanpa alasan mendasar dan hanya sekadar untuk gagah-gagahan saja misalnya, hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapus pembuatan skripsi, sebagaimana disarankan oleh Ali Khomsan melalui tulisannya pada harian Kompas, 13 Juli 1994. Kenyataannya bahwa sebagian besar lulusan S1 akan memasuki lapangan kerja di sektor swasta atau di departemen teknis yang tidak bersangkut paut dengan masalah penelitian, adalah salah satu alasan yang dikemukakan untuk menghapus skripsi. Kalau penelitian dipandang secara sempit sebagai suatu paket kegiatan yang secara formal melewati tahap-tahap pengajuan proposal lengkap dengan asumsi, hipotesis dan metode penelitiannya, pelaksanaan penelitian, serta publikasi hasil penelitian, mungkin penghapusan skripsi dapat diterima.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 91
Tetapi, bila penelitian dipandang sebagai upaya menemukan kebenaran melalui cara ilmiah guna melandasi perilaku sehari-hari, maka peniadaan skripsi justru tidak menguntungkan. Seorang sarjana, di manapun bekerja, dituntut untuk berpikir dan bertindak atas dasar kaidah-kaidah ilmiah. Kaidah-kaidah ilmiah itu akan semakin mengkristal pada diri seseorang bila orang itu memiliki pengalaman penelitian yang memadai. Dan karena pembuatan skripsi merupakan pemadatan dari kegiatan penelitian, maka pengerjaannya secara tepat tentu akan memberikan andil yang besar bagi kristalisasi kaidah ilmiah pada diri seorang sarjana. Hal lain yang juga dikemukakan sebagai alasan peniadaan skripsi adalah kenyataan bahwa di satu pihak waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan skripsi relatif panjang, sedangkan di pihak lain mutu pendidikan sulit dipertanggungjawabkan. Tentang alasan ini, bila dapat diterima pandangan bahwa skripsi merupakan sarana penting dalam rangka kristalisasi kaidah-kaidah ilmiah, maka mestinya yang diusahakan adalah iklim yang memungkinkan skripsi dapat diselesaikan dalam waktu singkat Namun, dengan mutu terjaga, dan bukan meniadakan skripsi sama sekali. Peniadaan skripsi karana alasan tersebut terkesan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan masalah, tetapi masalahnya sendiri sebenarnya tidak terselesaikan. Hal-hal memprihatinkan sekitar pembuatan skripsi memang masih terjadi. Ada misalnya skripsi yang dibuat hanya dalam waktu seminggu, ada skripsi hasil plagiat, ada pula skripsi yang dipesan dari “biro jasa pembuatan skripsi”. Sebagaimana telah dikemukakan di atas karena skripsi yang dikerjakan dengan baik akan memberikan sejumlah manfaat, maka persoalan-
92 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
persoalan sekitar pembuatan skripsi itulah yang perlu dibenahi dan buka meniadakan skripsi sama sekali. Tentang mahasiswa program S1 di Amerika yang tidak wajib melakukan penelitian akhir, kenyataan itu bisa dimaklumi bila dikaitkan dengan sistem kegiatan belajar mengajar di sana. Di sana, sejak pendidikan dasar anak-anak telah diperkenalkan dengan tradisi penelitian melalui strategi discovery dan inquiry. Sedangkan kita di sini, sampai PT pun para mahasiswa lebih banyak menghafal isi diktat yang dibuat dosen. Pernah pada waktu lalu skripsi wajib dibuat oleh setiap mahasiswa, tidak hanya untuk memperoleh gelar sarjana, melainkan juga sarjana muda. Tradisi itu mulai berubah sejak diberlakukannya sistem strata di PT. Khusus di PTN, ada PTN yang mewajibkan semua mahasiswanya membuat skripsi, ada pula yang menjadikan skripsi hanya sebagai pilihan. Dan terdapat kecenderungan, bila skripsi hanya pilihan, sangat sedikit mahasiswa yang mengerjakannya. Boleh jadi, karena pertimbangan praktis, biar cepat meninggalkan kampus. Sedangkan di PTS, nampaknya kebanyakan PTS mewajibkan mahasiswanya membuat skripsi. Selain (mungkin) karena pertimbangan akademis, juga dalam rangka menjaga gengsi agar diminati banyak calon mahasiswa, serta tak kalah pentingnya karena skripsi memiliki nilai komersial tersendiri bagi pengelolaan PTS. Dalam keadaan wajib skripsi seperti ini, jiplak-menjiplak skripsi, skripsi seminggu jadi, serta skripsi pesanan dari “biro jasa pembuatan skripsi” menjadi hal lumrah. Tentu saja, kita perlu mengangkat jempol untuk sedikit dari sekitar 1.000 PTS di negeri ini yang benar-benar menjadikan skripsi sebagai ajang latihan bagi mahasiswanya.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 93
Susahnya, dalam keadaan demikian, para pemakai lulusan PT, khususnya sementara instansi pemerintah, nampaknya menutup mata terhadap kenyataan adanya kepincangankepincangan dalam pembuatan skripsi. Ada instansi pemerintah yang dalam menerima pegawai baru, antara lain menggunakan syarat sarjana jalur skripsi tanpa mengantisipasi kemungkinan kepincangan di balik skripsi itu. Kenyataannya demikian dengan sendirinya akan terhindar bila semua mahasiswa program sarjana diwajibkan membuat skripsi, sehingga skripsi tidak lagi dijadikan salah satu syarat penerimaan tenaga kerja. Tetapi, lebih dari sekadar pertimbangan manfaat di atas, seyogyanya semua mahasiswa program sarjana diwajibkan membuat skripsi mengingat potensi skripsi dalam membina sikap ilmiah.
94 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Dibutuhkan Sarjana Sesuai Kondisi Lapangan Kerja Surabaya Post, 8 Juli 1995 Menurut Rektor Universitas Katolik Darma Cendekia, Prof Maramis DSJ, asumsi yang menyatakan, sarjana kita terlalu banyak tidaklah betul. Dikatakan, idealnya minimal 10% dari keseluruhan angkatan kerja berijazah S1. Sedangkan kita di sini baru 4% (Surabaya Post, 25/6). Benar, kita masih kekurangan sarjana, tetapi bukan sembarang sarjana. Kita kekurangan sarjana yang sesuai kondisi lapangan kerja di negeri ini, Apakah sistem pendidikan di perguruan tinggi (PT) kita sudah mengarah pada upaya menghasilkan lulusan yang sesuai kondisi lapangan kerja? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami dulu kondisi lapangan kerja. Spesifik Paling tidak, terdapat dua kenyataan dalam dunia kerja yang patut diantisipasi oleh PT. Pertama, dunia kerja saat ini cukup spesifik dan akan semakin spesifik. Kedua, di satu pihak lapangan kerja terbatas, sementara di pihak lain jumlah angkatan kerja kian hari kian bertambah jumlahnya. Kondisi dunia kerja yang demikian menuntut PT agar menghasilkan lulusan dengan dua ciri. Pertama, lulusan dengan kemampuan spesifik. Kedua, lulusan dengan motivasi yang kuat dan kemampuan yang memadai untuk berwiraswasta. Tahun kuliah 1995/1996 ini, antara lain, ditandai penataan program studi di PT. Menurut Direktur Pembinaan Sarana Akademis Depdikbud, Harsono Taroeprajeka (1995), penataan program studi di PT kali ini dilatarbelakangi, antara lain, oleh Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 95
kenyataan terlampau spesifiknya program studi di PT, sehingga fleksibilitas lulusannya dalam mencari kerja amat terbatas. Bertolak dari latar belakang ini, penataan studi di PT dilakukan dengan menggabungkan sejumlah program studi, dengan harapan akan menghasilkan lulusan berkemampuan yang tak terlampau spesifik, sehingga lebih luwes dalam mencari kerja. Dijelaskan pula, meski dilakukan penggabungan sejumlah program studi, sebenarnya tak ada kurikulum program studi yang dihilangkan. Yang terjadi hanyalah penggabungan program studi-program studi tertentu ke dalam sekitar 100 SKS kurikulum inti, tetapi keberadaan setiap program studi yang digabungkan itu masih bisa dipertahankan sepesifikasinya melalui sekitar 50 SKS program spesifikasi. Dalam kondisi lapangan kerja yang makin spesifik, upaya membuat kemampuan lulusan PT menjadi lebih umum agar lebih luwes dalam mencari kerja, sesungguhnya sama saja dengan tak memecahkan masalah. Dari segi tertentu, malah semakin menambah masalah. Bila dikaitkan dengan perdagangan bebas tahun 2020 misalnya, lulusan PT yang kemampuannya terlampau umum akan menyebabkan mereka kalah bersaing dengan lulusan PT luar negeri yang kemampuannya lebih spesifik. Memang, pendidikan yang terlampau spesifik pun tak sepenuhnya positif. Pendidikan yang terlampau spesifik cenderung menghasilkan manusia robot, yang hanya bisa bekerja secara mekanis dalam lingkungan yang relatif terbatas. Meski bila dikaitkan dengan 100 SKS kurikulum inti, dan 50 SKS kurikulum program spesifikasi yang ditawarkan dalam penataan program studi di PT, agaknya komposisi itu terlalu mengabaikan spesifikasi pendidikan. Mungkin 75 SKS
96 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
kurikulum inti dan 75 SKS kurikulum program spesifikasi adalah komposisi ideal. Dibanding upaya menciptakan keluwesan mencari kerja bagi lulusan PT melalui penciptaan program studi yang lebih umum, sebenarnya lebih positif bila upaya itu dalam bentuk pemberian kesempatan kepada mahasiswa untuk mengambil lebih dari satu program spesifikasi. Dengan memiliki lebih dari satu keahlian spesifik, jelas peluang untuk memperoleh pekerjaan akan lebih besar. Masa kuliah memang akan lebih panjang, tetapi tak ada salahnya kalau lebih membuka peluang untuk memperoleh pekerjaan. Selain itu, akan ada manfaatnya bila kurikulum dan administrasi PT ditata sedemikian rupa, sehingga mereka yang telah menyelesaikan pendidikan dapat mudah kembali mengikuti program spesifikasi tertentu sesuai tuntutan dunia kerja. Tentang terbatasnya lapangan kerja dibanding jumlah pencari kerja, masalah ini sesungguhnya bukan monopoli negeri ini. Di negara maju seperti Amerika Serikat misalnya, jumlah pengangguran karena terbatasnya lapangan kerja pun kian bertambah. Dalam keadaan demikian, amat diperlukan adanya motivasi dan kemampuan pada diri lulusan PT untuk berwiraswasta. Dalam konteks ini, kita perlu angkat topi untuk amat sedikit PT yang telah memasukkan mata kuliah kewirausahaan dalam kurikulumnya. Seyogyanya, setiap PT menyediakan sejumlah SKS untuk mata kuliah kewiraswastaan itu.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 97
Cooperative Learning dan Budaya Kita Surabaya Post, 31 Juli 1995 Sejak awalnya, ratusan tahun lalu, masyarakat Amerika Serikat (AS) yang multirasial itu merupakan masyarakat pendatang. Mereka datang dari negeri asalnya untuk mencari kebebasan hakiki, sekaligus untuk mempertahankan hidup. Karena itu, bisa dimaklumi, mereka cenderung bersikap individualistis, serta dalam penyelenggaraan pendidikannya pun mereka pada nilainya mengutamakan metode yang menekankan pengembangan kemampuan individual, sebagaimana dikatakan Anita Lie dalam acara Tutorial Cooperative Learning di Universitas Kristen Petra (Surabaya Post, 7/7/1995). Kecenderungan bersikap individual serta penyelenggaraan pendidikan yang menekankan pengembangan kemampuan individual yang telah berlangsung lama, menyebabkan kesadaran untuk mengembangkan potensi diri telah menjadi bagian dari budaya setiap warga AS. Dalam keadaan demikian, penggunaan metode cooperative learning yang lebih intensif dalam pendidikan guna meningkatkan kemampuan mereka dalam bekerja sama tak akan menyebabkan mereka kehilangan budaya mengembangkan kemampuan diri sebagai individu. Penggunaan metode itu justru akan membuat mereka makin mengukuhkan diri di papan atas dalam berbagai bidang kehidupan. Kita di sini, memiliki latar belakang sejarah yang tak hanya berbeda, melainkan bertolak belakang dibanding masyarakat AS. Sekitar 350 tahun ketentraman kita diusik dan digerogoti oleh berbagai bangsa yang ingin menguasai negeri ini, menyebabkan kita begitu lekat dengan semboyan “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, lengkap dengan berbagai 98 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
kecenderungan sikap negatif yang menyertainya. Kita, misalnya, begitu mudah mencari kambing hitam dan melempar kesalahan kepada orang lain. Mengakui kesalahan pun nyaris menjadi hal tabu. Kecenderungan untuk membonceng pada keberhasilan orang lain juga amat kuat. Proporsional Metode kooperatif memang dapat menempa kemampuan bekerja sama. Namun, apa yang dikemukakan ini memberi pesan, penggunaan metode tersebut harus dilakukan secara proporsional sesuai kondisi masyarakat tempat metode itu digunakan. Bagi masyarakat AS mungkin benar saat ini penggunaan metode tersebut patut lebih ditekankan dibanding metode individual. Namun, tidak bagi kita di sini. Bagi kita, barangkali penggunaan kedua metode itu patut dilakukan secara berimbang. Pasalnya, kita masih perlu mengembangkan kesadaran masyarakat kita akan pentingnya pengembangan kemampuan individual, sedangkan untuk saat ini, metode kooperatif tidak cukup efektif untuk maksud itu. Seperti halnya metode mengajar pada umumnya, metode kooperatif pun memiliki kecenderungan kelemahan di samping keunggulan yang dijanjikannya. Pengembangan potensi individual yang kurang maksimal, terbentuknya rasa fanatik terhadap kelompok, serta hanya anak-anak pandai yang memperoleh kesempatan maksimal dalam mengembangkan diri, adalah contoh dari kemungkinan kelemahan metode tersebut. Melalui penataan yang baik, mungkin kecenderungan kelemahan metode kooperatif dapat diantisipasi, sehingga penggunaan metode ini memberikan hasil maksimal. Namun, kondisi masyarakat kita yang tidak mendukung penggunaanya, khususnya sikap-sikap negatif yang menyertai semboyan
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 99
“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, akan menyebabkan penggunaan metode ini tidak efektif. Penggunaannya akan menjadi lebih efektif bila sifat-sifat negatif masyarakat itu telah dibenahi, tetapi pembenahan itu tidak mungkin dilakukan dengan metode kooperatif. Justru metode individual dan kompetitif yang menjanjikan harapan dalam pembenahan sikap negatif. Bagi guru-guru di negeri ini, metode kooperatif sesungguhnya tidak terlampau asing, meski mereka lebih mengenalnya sebagai metode kerja kelompok. Bahkan karena kesalahan pemahaman tentang Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), metode ini pernah populer dan digunakan secara luas di SD sebagai satu-satunya metode yang sesuai CBSA. Karena saat ini di AS metode kooperatif dianggap sebagai metode penting, kajian terhadap metode tersebut tentu telah dilakukan secara intensif sehingga telah jauh berkembang dibanding yang dipahami guru-guru kita. Namun, bila metode tersebut hendak diintensifkan pemakaiannya di sini, selain pemakaiannya harus dilakukan secara proporsional, juga perlu berpijak pada apa yang telah diketahui para guru. Perlunya pijakan pada apa yang telah diketahui para guru patut ditekankan di sini, karena terdapat kecenderungan, suatu ide pembaruan pendidikan yang disebarkan kepada para guru diperlakukan sebagai hal yang sama sekali baru, sekalipun hal itu merupakan pengembangan dari apa yang telah diketahui para guru. Kecenderungan ini selain dapat mengacaukan cara berpikir guru, juga merupakan pemborosan yang tak perlu, serta mengesankan kurangnya penghargaan terhadap apa yang telah dimiliki guru.
100 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Hukuman, Teladan, dan Perilaku Moral Surabaya Post, 26 Agustus 1995 Menurut Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Siswono Yudohusodo, hukum, peraturan, dan perundangundangan mungkin saja tepat untuk menangkal korupsi, kolusi, dan manipulasi, tapi karena soal etika dan moral juga merupakan soal kebiasaan, keteladanan dari atas merupakan cara tunggal untuk membentuk sistem nilai (Kompas, 21/7/1995). Perkembangan moral yang memadai mencakup perkembangan konsep moral dan perkembangan perilaku moral (Elizabeth B. Horlock, 1978). Dalam hal konsep moral, meski proses perolehannya masih sering dipersoalkan, rasanya kita sudah kenyang dengan berbagai konsep moral. Pada jalur pendidikan sekolah misalnya, sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi berbagai konsep moral telah diberikan. Masih ditambah lagi dengan konsep moral yang diberikan oleh keluarga dan lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat. Yang masih sangat memprihatinkan justru perilaku moral kita. Secara psikologis, dalam teori perkembangan perilaku moral yang dikembangkan oleh Kholberg (1969) misalnya, hukuman, penghargaan serta teladan merupakan cara-cara utama dalam tahapan pembentukan perilaku moral. Dalam teori itu dikatakan, pada tahap awal perkembangan perilaku moral, manusia akan berbuat sesuai standar moral karena takut dihukum atau karena keinginan untuk memperoleh penghargaan. Sedangkan pada tahap berikutnya, manusia berbuat sesuai standar moral karena loyal pada (baca:meneladani) tokoh maupun kelompok acuan.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 101
Terlambat Pola pendidikan dalam keluarga di negeri ini agaknya makin mengabaikan penerapan hukum secara konsisten. Penyebabnya berkisar pada dua hal. Pertama, orang tua tak cukup tahu bagaimana cara membentuk perilaku moral pada anaknya. Ada misalnya orang tua yang tak ingin anaknya mengalami hidup sulit seperti halnya mereka dahulu, dan untuk alasan itu, mereka tak tega menghukum anaknya yang melakukan pelanggaran moral, padahal mereka ingin agar anaknya berperilaku sesuai standar moral. Ada misalnya orang tua yang mengobral hadiah karena anaknya naik kelas, sekalipun anak naik kelas karena nilainya dikatrol oleh guru atas campur tangan orang tua. Padahal, kelonggaran dalam menerapkan hukuman serta pengobralan hadiah akan menyebabkan anak tak memiliki landasan moral yang kuat. Kondisi pengembangan perilaku moral dalam keluarga di negeri ini agaknya terjadi juga dalam pengembangan perilaku moral pada tataran makro hidup berbangsa dan bernegara kita. Dalam bidang pemerintahan terdapat kecenderungan, dalam manipulasi kecil-kecilan terhadap uang proyek pembangunan tertentu misalnya, para atasan biasanya menutup mata dan menganggapnya sebagai hal lumrah. Sedangkan dalam hal penghargaan, terdapat kecenderungan, penghargaan yang diberikan kepada seorang pegawai didasarkan pada lamanya masa kerja dan bukan prestasi kerja. Kecenderungan itu menyebabkan terdapat anggapan di kalangan para pegawai, penghargaan terhadap seorang pegawai sebenarnya hanya soal giliran. Tak konsistennya penerapan hukuman terhadap pegawai yang melakukan pelanggaran moral rupanya karena para atasan
102 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
tak memiliki cukup keberanian untuk menerapkan hukuman itu. Mungkin karena pelanggaran yang dilakukan sudah terlampau membudaya. Atau, mungkin juga karena atasan tak cukup bersih, sehingga tak berani membersihkan bawahannya yang melakukan pelanggaran. Menurut Menteri Pertahanan dan Keamanan, Edi Sudradjat, apa pun keluhan kita tentang tingkat disiplin nasional, sesungguhnya keluhan itu pertama-tama harus ditujukan kepada lapisan elite karena dari mereka itulah diharapkan kesuriteladanan (Suara Pembaruan, 28/6/1995). Pernyataan ini, seperti halnya pernyataan Siswono Yudohusodo, merupakan pernyataan yang melegakan dalam situasi dimana perilaku tak bermoral sudah menjadi lingkaran setan. Mudah-mudahan tak terjadi lagi hal-hal seperti dikemukakan Mohammad Sobary, orang penting tak boleh dipermalukan karena ada sejenis kesetiakawanan sosial di kalangan tertentu hingga bila seorang kawan terpeleset dari kursi, cepat bantuan kawannya datang untuk menempatkannya lagi dalam posisi semula (Surabaya Post, 19/7/1995). Kesediaan untuk menjadi teladan menuntut adanya kesadaran. Tapi kesadaran itu akan muncul bila ada sistem yang memaksanya. Untuk itu, pada tataran makro hidup berbangsa dan bernegara diperlukan badan tertentu di luar sistem pemerintahan yang berfungsi melakukan kontrol secara mandiri. Kita mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan misalnya, tapi membudayanya korupsi, kolusi, dan manipulasi menunjukkan, badan itu praktis tak berfungsi. Selain itu, karena tak setiap orang tua maupun calon orang tua memiliki pemahaman yang memadai tentang proses pendidikan moral, akan ada manfaatnya bila dalam program penataran P4,
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 103
khususnya untuk mahasiswa dan masyarakat dewasa, diselipkan materi tentang proses pendidikan moral.
104 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Mencari Model Pendidikan Guru Surabaya Post, 15 Februari 1996 Secara teoretis, perubahan IKIP menjadi universitas menjanjikan sejumlah manfaat melebihi manfaat bila IKIP tak berubah, tapi bukan tanpa masalah dan tantangan. Sakban Rosidi misalnya, mempersoalkan nasib ilmu pendidikan bila IKIP menjadi universitas, terutama dalam kaitannya dengan kenyataan adanya larangan LPTK merekrut tenaga akademik dari lulusannya sendiri (Surabaya Post, 7/2). Bila dikaji, kekhawatiran Sakban sebenarnya tak cukup beralasan. Kebijakan rekrutmen tenaga akademik IKIP bukan dari lulusannya, sesungguhnya untuk mempercepat pemberdayaan IKIP agar setara universitas dalam penguasaan bidang ilmu. Pasalnya, di satu pihak penguasaan bidang ilmu oleh lulusan IKIP berada di bawah lulusan universitas, sementara di pihak lain mayoritas tenaga akademik IKIP saat ini merupakan lulusan IKIP sendiri. Ilmu Bantu Karena secara teoretis tak ada fakultas di luar FIP yang menguasai ilmu pendidikan lebih baik dibanding lulusan FIP, dengan sendirinya FIP tak memerlukan lulusan di luar dirinya untuk menyetarakan diri dalam hal penguasaan bidang studi, sebagaimana fakultas lainnya di IKIP. Kalaupun FIP merekrut tenaga akademik di luar lulusannya, hendaknya dipahami sebagai upaya FIP untuk mengembangkan ilmu pendidikan dengan memanfaatkan berbagai disiplin ilmu sebagai ilmu bantu, seperti halnya fakultas pertanian memerlukan ilmu ekonomi sebagai ilmu bantu.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 105
Berubahnya IKIP menjadi universitas sebenarnya justru membuka peluang lebih besar bagi FIP untuk mengembangkan ilmu pendidikan. Selama ini FIP ikut tenggelam dalam ketidakberdayaan IKIP, tetapi dengan berubahnya IKIP menjadi universitas, FIP akan berdiri sejajar dengan fakultas lainnya dalam mengembangkan ilmu yang menjadi bidang garapannya, yakni ilmu pendidikan. Benar yang dikemukakan Sakban, penyelenggaraan pendidikan di negeri ini terlampau cenderung ke filsafat pragmatisme dan utilitarianisme. Namun, tak relevan bila dikhawatirkan perubahan IKIP menjadi universitas akan mengokohkan kecenderungan itu. Apa yang telah dikemukakan tadi, justru mengisyaratkan, masalah-masalah semacam itu akan lebih intensif dikaji bila IKIP menjadi universitas. Paling tidak terdapat dua model pendidikan guru bila IKIP berubah menjadi universitas. Pertama, ditawarkan oleh Suyanto (1996), masukan universitas yang hendak menjadi guru sejak permulaan kuliah sudah harus mengambil mata kuliah keguruan bersama kuliah nonkeguruan. Dengan demikian diharapkan mereka yang akan menjadi guru adalah mereka yang sejak awal kuliah sudah berniat menjadi guru, dan bukan karena terpaksa lalu menjadi guru. Kedua, lulusan perguruan tinggi (PT) yang hendak menjadi guru diberi paket pendidikan keguruan. Menurut Darmaningtyas (1996), model ini lebih tepat karena memberikan kesempatan yang sama kepada setiap lulusan PT untuk menjadi guru. Bila model pertama yang dipilih, cerita lama akan berulang. Mereka yang memilih menjadi guru sangat mungkin akan merasa sebagai warga kelas dua, dengan berbagai akibat lanjutan yang merugikan profesi guru. Di pihak lain, lulusan PT
106 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
yang berubah pikiran dan terpanggil menjadi guru kehilangan peluang menjadi guru. Sedangkan bila model kedua yang dipilih, terbuka luas kemungkinan, mereka yang telah menjadi guru meninggalkan begitu saja pekerjaan sebagai guru, karena memperoleh pekerjaan lebih sesuai keinginannya. Tapi, tak ada yang bisa menjamin, mereka yang sejak awal masuk PT segera memutuskan untuk menjadi guru misalnya, benar-benar berniat jadi guru. Pada sisi lain, kemungkinan meninggalkan profesi guru pun dapat terjadi pada mereka yang sejak semula sudah memilih profesi guru. Bukankah mereka yang sejak semula sudah berniat menjadi guru memiliki bekal nonkeguruan setara dengan mereka yang tidak ingin menjadi guru? Secara teoretis, model kedua merupakan pilihan paling tepat. Meski ada baiknya kedua model itu diuji coba terlebih dulu sebelum sampai pada putusan model yang digunakan. Mungkin saja pengalaman lapangan akan berbicara lain. Model pendidikan guru yang dikemukakan ini menyangkut guru SLTP dan SLTA. Untuk SD, masalahnya jadi lain karena ada peraturan pemerintah yang mengatakan, calon tenaga pendidik di SD dididik sebagai guru kelas. Demikian pula dalam kenyataannya kebanyakan SD menggunakan sistem guru kelas. Untuk pengadaan guru SD, paling tidak terdapat dua model pendidikan. Pertama, sebagaimana yang berlangsung sekarang ini, guru SD dididik sebagai guru kelas, dan penyelenggaraanya adalah FIP. Kedua, lulusan PT diberi paket pendidikan guru untuk menjadi guru bidang studi atau semi-bidang studi. Untuk semibidang studi, misalnya menjadi bidang studi sosial dan
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 107
humaniora, bahasa, serta matematika dan ilmu pengetahuan alam. Bila model kedua yang dipilih, perlu dilakukan revisi terhadap peraturan pendidikan guru SD. Karena kita telah memiliki pengalaman praktis menggunakan model pertama, ada baiknya model kedua dilaksanakan, kemudian dibandingkan, lalu dipilih model terbaik. Masih banyak hal yang perlu dipersoalkan bila IKIP berubah menjadi universitas, tetapi apa yang telah dipersoalkan ini tergolong mendasar yang membutuhkan jawaban segera.
108 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan Surabaya Post, 23 Mei 1996 Metode penelitian antara lain dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, metode kuantitatif yang bertumpu pada pengujian hipotesis memakai statistik. Kedua, metode kualitatif yang bertumpu pada analisis fenomena memakai logika. Secara historis metode kuantitatif lebih tua dibanding metode kualitatif. Mula-mula metode kuantitatif digunakan dalam penelitian ilmu alam, tetapi dalam perkembangannya, digunakan pula dalam penelitian ilmu sosial dan humaniora, termasuk pendidikan. Memasuki abad XX, para ahli ilmu sosial dan humaniora makin menyadari pentingnya metode penelitian yang khas dalam bidangnya, selain karena watak yang berbeda antara ilmu alam dengan ilmu sosial dan humaniora, juga karena terbukti hasil penelitian dalam ilmu sosial dan humaniora memakai metode kuantitatif tak selalu dapat menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan. Ini mendorong munculnya metode penelitian kualitatif. Dominasi Hingga kini, penelitian pendidikan di negeri ini masih didominasi metode kuantitatif. Mayoritas penelitian yang dilakukan warga LPTK misalnya, menggunakan metode ini. Demikian pula penelitian-penelitian yang melahirkan perubahan dan pengembangan pendidikan, seperti metode SAS (struktural, analisis, dan sintesis) dalam membaca permulaan di SD, SD Pamong, SMP Terbuka, dan CBSA. Karena penelitian pendidikan di sini didominasi metode kuantitatif, kecenderungan kelemahan metode itu dalam bidang Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 109
sosial dan humaniora pun amat mewarnai pendidikan kita. Penggunaan metode SAS merupakan contoh paling gamblang. Metode SAS berlandaskan psikologi Gestalt, dengan asumsi, keseluruhan struktur lebih berarti dari bagian-bagian. Berdasarkan asumsi ini, dikembangkanlah metode SAS dan diujicobakan di sejumlah sekolah di sekitar Jakarta sebagai sampel. Hasil uji coba kemudian disebarkan ke seluruh tanah air untuk digunakan. Paling tidak, terdapat dua kecenderungan kelemahan penggunaan metode kualitatif dalam bidang sosial dan humaniora, yang dapat diidentifikasi dari proses pengembangan metode SAS. Pertama, selalu mendasarkan penelitian pada teori utama (grand theory), padahal tak tiap gejala sosial dan humaniora mempunyai acuan teori yang relevan. Akibatnya, ada grand theory yang dipaksakan pemakaiannya dalam menjelaskan gejala serta memecahkan masalah sosial dan humaniora. Tentu saja, hasilnya tak akan memuaskan. Pemakaian teori Gestalt dalam metode SAS merupakan contoh paling gamblang. Setelah penggunaan metode SAS berlangsung hampir 20 tahun barulah disadari, teori Gestalt lebih tepat digunakan dalam pelajaran membaca permulaan bahasa Inggris dan bukan bahasa Indonesia. Karena landasan teorinya tak sesuai, apa pun usaha yang dilakukan, hasilnya tak maksimal. Kedua, penggunaan sampel yang memudahkan pelaksanaan penelitian. Dalam penelitian ilmu alam, sampel relatif mudah ditetapkan dengan risiko tak representatif kecil. Karena itu, penggunaan metode kuantitatif dalam bidang sosial dan humaniora pun cenderung menyebabkan adanya reduksi sasaran penelitian agar mudah diteliti.
110 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Dalam pengumpulan data pun sering hanya sebatas data lahiriah (manifes), sementara data terselubung (laten) tak dikejar. Padahal, manusia sering menggunakan topeng dalam berbagai penampilannya. Akibat dari semua itu, sasaran penelitian tak diteliti secara utuh. Kenyataan-kenyataan seputar metode SAS itu lebih kurang sama dengan kenyataan-kenyataan seputar pengembangan berbagai sistem dalam pendidikan, termasuk SD Pamong, SMP Terbuka, dan CBSA. Karena itu, pada tempatnya diadakan peninjauan kembali terhadap berbagai sistem yang diterapkan dalam pendidikan. Mungkin saja ada sistem yang didasarkan pada grand theory yang tak cocok, atau ada yang tak mengakomodasi secara maksimal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaannya, karena ketika masih diuji coba terdapat banyak hal penting yang direduksi. Metode penelitian kualitatif sangat menjanjikan harapan bagi perbaikan pendidikan secara mendasar. Pada tempatnya metode ini disajikan sebagai bagian mata kuliah penelitian di LPTK. Juga pada tempatnya bila para mahasiswa dan dosen LPTK didorong agar lebih banyak menggunakan metode ini dalam mengadakan penelitian. Dalam pengembangan pendidikan pun diharapkan para pengembang makin mendasarkan pengembangan pada hasil penelitian kualitatif.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 111
Perbaikan Pendidikan Moral di Sekolah Suara Pembaruan, 13 September 1996 Perilaku negatif remaja yang meningkat belakangan ini, oleh sementara orang dinilai antara lain sebagai akibat belum memadainya pendidikan moral di sekolah. Pendidikan moral di sekolah dinilai hanya menjamah aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif. Padahal, aspek afektiflah muara dari pendidikan moral. Penilaian bahwa pendidikan moral di sekolah mengabaikan aspek efektif sulit dibantah. Nyatanya, sampai saat ini dalam pelaksanaan pendidikan moral Pancasila (PMP) sebagai salah satu cara utama pendidikan moral di sekolah, siswa umumnya hanya menghafal materi pelajaran dan hasilnya diukur dengan tes objektif. Cara ini, selain hanya menjamah aspek kognitif, juga terbatas pada aspek kognitif tingkat rendah. Kebijakan nasional dalam hal evaluasi menetapkan nilai 6 untuk PMP merupakan nilai minimal agar naik kelas atau lulus ujian. Karena kebijakan ini, konon ada sekolah yang mengatrol nilai siswanya agar bisa naik kelas atau lulus ujian. Kalau pengatrolan ini benar terjadi, selain hanya menjamah aspek kognitif tingkat rendah, terkesan pendidikan moral di sekolah hanya formalitas belaka. Perilaku Negatif Saat ini jumlah pelajar berperilaku negatif relatif sedikit dibanding keseluruhan populasi pelajar negeri ini. Selain ini, mereka berada di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Meskipun demikian, masalahnya tidak dapat dipandang enteng. Jumlah yang sedikit itu akan menjadi banyak bila tidak ditangani serius saat ini. Apalagi sejumlah kota besar di negeri ini akan 112 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
berkembang menjadi kota metropolitan seperti Jakarta. Apa yang terjadi di Jakarta tersebut menyebar ke kota-kota metropolitan baru bila tidak diantisipasi sejak dini. Lebih dari sekedar pertimbangan kemungkinan penyebaran tersebut, pelajar adalah peserta didik yang berhak mendapatkan pendidikan yang utuh. Mereka tidak dapat disamakan dengan barang produksi pabrik misalnya, yang dianggap lumrah bila ada yang apkir. Para wakil rakyat sebenarnya telah mencanangkan dengan gamblang pelaksanaan pendidikan moral secara utuh. Dalam ketetapan MPR No II/MPR/1993, tentang GBHN, antara lain digariskan, pendidikan nasional harus mampu meningkatkan, memperluas dan memantapkan usaha penghayatan dan pengalaman Pancasila serta membudayakan nilai-nilai Pancasila agar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di segenap lapisan masyarakat. Penggarisan ini masih ditekankan lagi dalam penggarisan haluan setiap jenjang pendidikan, dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Sayangnya, apa yang digariskan dalam GBHN tersebut sampai saat ini belum tergarap, bahkan terkesan diabaikan sama sekali. Nyatanya, penyelenggaraan PMP di sekolah-sekolah saat ini tidak memiliki perbedaan berarti dibanding lima tahun lalu. Tidak tergarapnya pendidikan moral di sekolah saat ini amat terasa bila dibandingkan dengan berbagai macam upaya serius yang kita lakukan dalam merealisasikan kebijakan link and match. Karena praktis tidak tergarap, pada tempatnya pendidikan moral yang telah digariskan dalam GBHN 1993 digariskan kembali dan diberi tekanan khusus pada pengembangan aspek afektif dalam GBHN 1998.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 113
Penanganan Aspek Afektif Penanganan aspek afektif pendidikan moral memang lebih sulit dibanding aspek kognitif. Boleh jadi karena sulit, teori tentang pendidikan moral dalam aspek tersebut lebih sedikit dibanding aspek kognitif. Meskipun lebih sulit dibanding aspek kognitif, keberhasilan penanganan aspek ini justru merupakan penyelesaian mendasar terhadap berbagai masalah moral saat ini. Jumlah penderita AIDS dan pemakai obat terlarang yang makin meningkat belakangan ini misalnya, menyebabkan sementara pihak mengusulkan agar materi tentang kedua hal tersebut dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Dapat dibayangkan bagaimana padatnya kurikulum bila setiap masalah yang ada kaitan dengan moral di kalangan pelajar ditanggapi dengan cara memasukkan objek materi masalah tersebut dalam kurikulum. Bukankah lebih efektif dan efisien bila pendidikan moral di sekolah yang dilaksanakan secara utuh, sehingga menjangkau aspek afektif dan bukan menanggapi secara sporadis setiap masalah moral yang muncul. Ketika masih menangani Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) di Surabaya, IKIP Surabaya pernah mencoba menangani secara intensif aspek afektif pendidikan moral. Penanganannya dilakukan secara kolektif oleh guru dan orang tua, kemudian nilainya dimasukkan dalam buku laporan hasil belajar siswa. Cara yang dicobakan ternyata dapat mengurangi kenakalan siswa, serta mengaktifkan orang tua dalam ikut membina pribadi anak-anaknya (Made Pidarta, 1993). Tentu masih terdapat lembaga pendidikan lain di negeri ini yang memiliki pengalaman sukses menangani aspek afektif pendidikan moral, sebagaimana pengalaman IKIP Surabaya. Pengalaman–pengalaman praktis tersebut, serta teori-teori yang
114 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
diperoleh melalui penelitian para ahli mencanegara, dapat kita olah kembali untuk menghasilkan suatu sistem pendidikan moral yang efektif dan efisien bagi insan negeri ini. Kalau mau, kita dapat menangani pendidikan moral di sekolah habis-habisan sebagaimana realisasi kebijakan link and match. Untuk itu, kita mesti memulainya dari pengembangan suatu sistem pendidikan moral yang utuh, yang mencakup aspek kognitif dan afektif dan secara empiris terbukti efektif dan efisien. Kita, misalnya, dapat memulainya dengan membentuk kelompok kerja yang ditugaskan mengembangkan sistem tersebut, kemudian hasil kerjanya disebarkan ke seluruh penjuru tanah air. Hambatan-hambatan pendidikan moral yang dikemukakan di atas merupakan hambatan internal. Selain itu, terdapat hambatan eksternal yang berada di luar jangkauan pendidikan sekolah, Sekolah dapat melakukan berbagai upaya untuk membenahi pendidikan moral, tetapi keefektifan dan efisiensi upaya tersebut dipengaruhi pula oleh kondisi moral dalam masyarakat. Mungkin guru yang paling menderita dalam hal kesulitan mengajar adalah guru PMP. Mereka setiap hari mengajarkan kepada siswa tentang kebaikan-kebaikan yang justru semakin sulit ditemukan contoh konkretnya dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, tanpa diberi tahu guru pun, siswa dengan mudah dapat mengetahui contoh buruk yang ditunjukkan oleh orangorang, yang karena kedudukannya seharusnya meneladankan kebaikan. Kalau sudah begini, kita hanya bisa pasrah akan nasib pendidikan moral insan negeri kepada perjalanan waktu, atau entah kepada apa?
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 115
Menyoal Kemungkinan Penghapusan Ebtanas Surabaya Post, 8 Desember 1997 Dalam suatu seminar di IKIP Malang beberapa waktu lalu, bertema “Pembelajaran Unggul Menyongsong Abda XXI”, yang dihadiri guru, pengelola sekolah, pejabat Depdikbud, serta pengamat pendidikan, muncul saran dari sementara guru, pengelola sekolah dan pengamat pendidikan, agar Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) dihapus. Pasalnya, Ebtanas menyebabkan para guru mesti menyesuaikan pembelajaran dengan tuntutan agar siswa memperoleh nilai memadai. Padahal, selain menyita banyak waktu, pembelajaran untuk maksud itu pun tak tergolong pembelajar unggul. Selain itu, Ebtanas dinilai tak realistis, karena menyeragamkan evaluasi untuk berbagai daerah yang kondisinya amat bervariasi. Ketidakrealistisan ini dinilai menjadi biang berbagai praktik tak sehat seputar Ebtanas selama ini, seperti pemalsuan Daftar Nilai Ebtanas Murni (Danem), manipulasi Nilai Ebtanas Murni (NEM), serta pembocoran soal Ebtanas. Balum lagi validitas soal Ebtanas yang masih harus dipertanyakan. Konon sebuah penelitian menunjukkan, hanya sekitar 30% soal Ebtanas IPS SD yang valid. Tiga Alasan Pihak Depdikbud sebagai penanggung jawab formal pendidikan negeri ini ternyata mengemukakan tiga alasan utama mengapa Ebtanas tetap dipertahankan. Pertama, karena kurikulum merupakan kurikulum nasional, pada tempatnya evaluasi pun dilakukan dengan standar nasional. Kedua, terbatasnya daya tampung sekolah penerimaan siswa baru, dan untuk itu, nilai Ebtanas merupakan salah satu 116 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
alat seleksi yang dapat digunakan secara nasional. Ketiga, Ebtanas merupakan salah satu alat kontrol mutu pendidikan nasional. Meski berbagai fenomena tak sehat seputar Ebtanas dimunculkan oleh berbagai pihak dalam seminar, tetapi terdapat cara pandang berbeda antara guru, pengelola sekolah, dan pengamat pendidikan dengan pejabat Depdikbud. Pihak pertama memandang fenomena tak sehat itu sebagai akibat Ebtanas dan karena itu mengusulkan agar Ebtanas dihapus, sedangkan pihak kedua melihat fenomena itu sebagai indikator akan makin merosotnya mutu pendidikan bila Ebtanas dihapus. Sayangnya, waktu seminar terbatas sehingga perbedaan cara pandang terhadap Ebtanas itu tak dibahas agar sampai pada sintesis yang dapat dipertanggungjawabkan. Meski demikian, dapat dikemukakan kemungkinan-kemungkinan titik temu. Mesti diakui, standardisasi mutu pendidikan nasional melalui suatu evaluasi secara nasional merupakan kebutuhan urgen. Namun, mesti disadari pula, penggunaan suatu sistem evaluasi pendidikan nasional yang tak tepat serta penyikapan yang salah terhadap sistem evaluasi yang digunakan dapat merusak proses pendidikan, sebagaimana sedang terjadi saat ini. Tapi, karena masih sangat kuatnya iklim sentralisasi dan budaya peternalistik dalam dunia pendidikan kita, sesungguhnya ketidaktepatan sistem evaluasi pendidikan nasional saat ini merupakan pemicu utama rusaknya proses pendidikan kita. Mungkin akan lebih positif bila evaluasi pendidikan secara nasional tak dikaitkan dengan persyaratan mengakhiri jenjang pendidikan tertentu seperti halnya Ebtanas. Pertimbangannya, dalam situasi di mana iklim sentralisasi dan budaya paternalistik masih sangat kuat, tiap lapisan bawah birokrasi pendidikan akan menyikapi pengaitan itu sebagai
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 117
tagihan terhadap hasil pembelajaran. Akibatnya, berbagai cara, termasuk cara tak akademis, akan digunakan untuk memenuhi tagihan tersebut. Guru misalnya, akan berusaha dengan cara positif maupun negatif untuk memenuhi tagihan kepala sekolah, kepala sekolah berusaha memenuhi tagihan pejabat berwenang di kecamatan, begitu seterusnya hingga lapisan atas birokrasi pendidikan. Sejalan rencana pengembangan otonomi daerah dengan segala aspek positif yang dijanjikannya, pada tempatnya evaluasi belajar tahap akhir diadakan di tingkat kabupaten. Tentang kemampuan kabupaten dalam mengadakan evaluasi, karena evaluasi merupakan bagian integral tiap kegiatan pembelajaran, mestinya tiap kabupaten mampu melaksanakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Kabupaten (Ebtakab) itu. Tentang cara evaluasi pendidikan nasional sebagai pengganti Ebtanas dalam rangka mengontrol mutu pendidikan nasional maupun untuk keperluan-keperluan lainnya, sesungguhnya tak terlampau sulit ditemukan cara evaluasi untuk maksud itu. Apalagi bila para birokrat, praktisi, dan pengamat pendidikan mau duduk semeja untuk membahasnya, tentu akan diperoleh cara yang efektif dan efisien serta minim dampak negatifnya. Maukah kita melakukannya?
118 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Reformasi Bidang Pendidikan Surabaya Post, 3 Juni 1998 Kalau kita amati tuntutan reformasi yang digemakan berbagai pihak, pada mulanya bidang ekonomi, politik, dan hukumlah yang menjadi fokus utama tuntutan reformasi. Namun, saat-saat seputar peringatan Hari Pendidikan Nasional, muncul pula tuntutan agar dilakukan reformasi dalam bidang pendidikan. Sadar atau tidak, selama ini telah terjadi proses pengekalan ketidakberdayaan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Pengekalan ketidakberdayaan itu dilakukan melalui sentralisasi berbagai komponen dan suplemen pendidikan. Pengekalan ketidakberdayaan tersebut menghasilkan birokrat pendidikan dan guru yang minim kreativitas dan daya inovatifnya, sekalipun berbagai upaya peningkatan kemampuan profesional telah dilakukan. Karena kreativitas dan daya inovatif para birokrat pendidikan dan guru masih minim, dengan sendirinya pendidikan kita pun menghasilkan lulusan-lulusan yang minim kreativitas dan daya inovatifnya. Amat terpuruk dan tak berdayanya kita dalam krisis ekonomi saat ini merupakan bukti sangat gamblang tentang betapa minimnya kreativitas dan daya inovatif kita sebagai bangsa. Apa yang dikemukakan itu menyiratkan pesan, pemaksimalan otonomi pendidikan merupakan cara utama untuk memberdayakan para birokrat pendidikan dan para guru. Bagi para guru, pemaksimalan ini tak memberikan manfaat langsung bagi pemberdayaan mereka, seperti halnya para birokrat pendidikan, tetapi pada gilirannya para guru akan memperoleh manfaat pemberdayaan dari para birokrat pendidikan. Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 119
Otonomi Pendidikan Usulan perluasan otonomi pendidikan sudah relatif lama dikemukakan berbagai pihak, dan pemerintah pun telah merintisnya. Sejak 1995 misalnya, pemerintah mengadakan proyek percontohan otonomi daerah (dengan sendirinya termasuk otonomi pendidikan) di 27 kabupaten di negeri ini. Dan menurut Mendagri R Hartono (1998) waktu itu, pada 1999 nanti hasil percontohan itu akan dilaksanakan secara nasional. Sedangkan dalam hal kurikulum, perguruan tinggi (PT) telah diberi jatah muatan lokal kurikulum sekitar 40% dari keseluruhan isi kurikulum, sementara jenjang pendidikan di bawahnya memperoleh jatah sekitar 20%. Sayangnya, peluang otonomi pendidikan yang telah disediakan belum memadai sebagai sarana untuk memberdayakan birokrat dan praktisi pendidikan di berbagai daerah. Dalam hal percontohan otonomi daerah di bidang pendidikan, ternyata yang dicontohkan hanya aspek administratif pendidikan, padahal inti pendidikan justru terletak pada aspek akademik. Sedangkan dalam hal kurikulum, selain porsi muatan lokal sangat sedikit, adanya evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas) pada jenjang pendidikan di bawah PT memaksa para birokrat dan guru lebih memperhatikan kurikulum nasional, sementara muatan lokal dinomorduakan. Kiranya jelas, pemberdayaan terhadap birokrat pendidikan dan para guru menuntut adanya otonomi lebih besar dalam aspek akademik dan bukan hanya administratif. Bahkan untuk kondisi saat ini, seharusnya aspek administratif (khususnya anggaran), lebih disentralisasikan, sedangkan aspek akademik diberi porsi otonomi lebih besar.
120 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Selain karena inti pendidikan sekolah terletak pada aspek akademik dan bukan administratif, perlunya pemberian otonomi lebih besar pada aspek akademik didasarkan pada pertimbangan, bila daerah belum dapat menata sendiri aspek tersebut, daerah masih dapat memanfaatkan apa yang selama ini digunakan secara nasional. Dalam hal kurikulum misalnya, bila daerah belum mampu mengembangkan kurikulum sendiri, daerah masih dapat menggunakan kurikulum nasional yang digunakan selama ini. Dalam hal administratif, khususnya anggaran, karena potensi ekonomi dan jumlah uang yang beredar di tiap daerah amat bervariasi saat ini, pemerintah pusatlah yang bertanggung jawab menghimpun dana pendidikan dan mengalokasikannya secara adil ke tiap daerah. Bila pengadaan anggaran pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada daerah, dapat dipastikan ketidakadilan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana sedang terjadi saat ini akan makin menjadi, sebagai akibat dari potensi ekonomi dan peredaran jumlah uang yang sangat bervariasi itu. Otonomi Kurikulum Sesungguhnya, kurikulum merupakan acuan utama pendidikan sekolah. Dikatakan sebagai acuan utama, karena dalam kurikulum tersurat hal-hal seperti beban belajar siswa dan beban mengajar guru, cara belajar siswa dan cara mengajar guru, sistem evaluasi pelajaran, serta struktur isi buku pelajaran. Karena kurikulum merupakan acuan utama pendidikan sekolah, maka pembahasan otonomi akademik akan berkisar pada besarnya porsi pengembangan kurikulum yang diberikan kepada daerah. Isi kurikulum antara lain dapat diklasifikasikan menjadi program pendidikan akademik dan program pendidikan umum.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 121
Program pendidikan akademik dimaksudkan untuk menyiapkan peserta pendidikan dengan kemampuan dalam bidang ilmu dan teknologi, sedangkan program pendidikan umum dimaksudkan untuk menyiapkan peserta pendidikan dengan kesadaran nasional dan kesadaran moral. Mengacu pada klasifikasi itu, pemberian otonomi kurikulum yang maksimal akan berwujud pemberian wewenang sepenuhnya kepada daerah untuk mengembangkan sendiri program pendidikan akademik, sedangkan program pendidikan umum tetap menjadi wewenang pemerintah pusat. Untuk kepentingan kesatuan nasional, pengembangan program pendidikan umum oleh pemerintah pusat tak boleh ditawartawar, sekalipun otonomi kurikulum dimaksimalkan, karena pada program itulah terkandung sumbangan minimal bidang pendidikan bagi kesatuan nasional. Untuk saat ini, tak ada alasan yang cukup kuat untuk tak memaksimalkan pemberian otonomi kurikulum kepada daerah. Kalaupun ada daerah yang belum mampu mengembangkan sendiri kurikulum yang sesuai dengan kondisi daerahnya, kurikulum nasional yang digunakan selama ini masih dapat digunakan, entah seluruh maupun sebagian, dan berangsurangsur dikurangi sejalan dengan makin mampunya daerah mengembangkan kurikulum. Agar pemaksimalan otonomi pendidikan memenuhi ketentuan yuridis formal, undang-undang sistem pendidikan nasional mesti direvisi. Bagaimanapun baiknya undang-undang pendidikan saat ini, undang-undang itu sudah tak memadai, karena disusun dalam iklim yang amat kental dengan sentralisasi.
122 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Reformasi Pendidikan Moral di Sekolah Surabaya Post, 17 Juni 1998 Di antara berbagai tuntutan reformasi, sesungguhnya tuntutan agar diadakan reformasi moral merupakan tuntutan amat mendasar. Sebab bila ditelusuri hingga ke akarnya, amat terpuruknya kita dalam krisis ekonomi saat ini sebenarnya bersumber dari masih rendahnya kesadaran moral kita, termasuk para elite penyelenggara negara. Pada tataran elite penyelenggara negara, rendahnya kesadaran moral berakibat berbagai kebijakan dimanipulasi sehingga lebih menguntungkan diri maupun kelompok sendiri, sedangkan kepentingan orang banyak diabaikan, bahkan dikorbankan. Pada lapis-lapis penyelenggaraan negara di bawahnya, apa yang dilakukan pada lapis atas diteladani dengan amat baik, sehingga terjadilah manipulasi kebijakan berlapislapis, dengan akibat negatif berlipat ganda pada masyarakat luas. Masih Relevan Sedemikian parahnya manipulasi kebijakan negara, sehingga muncul pandangan, penataran P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengalaman Pancasila) sebagai salah satu wujud pendidikan moral selama ini pun merupakan manipulasi pendidikan moral untuk kepentingan segelintir orang. Sungguh ironis, peniadaan penataran P4 bagi mahasiswa baru tahun ini dinilai positif oleh berbagai pihak, antara lain karena P4 dipandang sebagai alat pengekal perilaku tak bermoral para penyelenggara negara. Harus diakui, ada bagian-bagian tertentu dari isi penataran P4 khususnya dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) umumnya yang tak sesuai dengan semangat reformasi. Namun, tak dapat
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 123
dipungkiri, ada bagian-bagian yang sangat relevan sebagai landasan moral dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di negeri ini, bahkan dalam pergaulan internasional. Sangat disayangkan, penataran P4 bagi mahasiswa baru tahun ini ditiadakan. Padahal, sebenarnya penataran P4 tahun ini sangat ideal dijadikan sarana untuk menyeleksi inti isi PMP. Masukan-masukan tersebut akan sangat bermanfaat bagi upaya merevisi isi PMP yang selama ini diajarkan di sekolah. Tapi, terlepas dari peluang emas yang terbuang itu, revisi terhadap isi PMP tak boleh ditunda-tunda, karena pendidikan di sekolah harus tetap berjalan. Para guru dapat saja diminta agar tetap mengajarkan isi PMP sebagaimana selama ini diajarkan. Namun, tak banyak manfaat dapat diperoleh dari kegiatan belajar mengajar (KBM) tersebut, bila para guru sudah tidak yakin akan kebenaran dari apa yang diajarkan. Kalau KBM PMP selama ini yang berlangsung dengan keyakinan akan kebenarannya relatif mantap saja ternyata hasilnya mengecewakan, apalagi bila tidak mantap. Menuntut Keseriusan Meski revisi terhadap isi PMP segera dilakukan, pelaksanaannya menuntut keseriusan yang tinggi dan keterlibatan berbagai pihak, karena ini menyangkut kelangsungan hidup bangsa di kemudian hari. Mereka yang terlihat di dalamnya hendaknya mewakili secara proporsional berbagai kelompok masyarakat negeri ini, agar apa yang dihasilkan terhindar dari pementingan kelompok tertentu saja, serta agar kelak sosialisasi dan pelaksanaannya dapat diterima secara luas.
124 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Setelah isi PMP direvisi, selanjutnya dilakukan revisi terhadap kurikulum PMP dengan mengacu pada hasil revisi isi PMP tersebut. Dalam revisi kurikulum ini, mereka yang melakukan revisi mesti merupakan wakil yang representatif dari berbagai pihak yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah, entah birokrat, maupun praktis pendidikan. Pelibatan berbagai pihak secara representatif patut diperhatikan, karena selama ini hampir semua hal dalam penyelenggaraan pendidikan ditetapkan sangat sepihak oleh para birokrat pendidikan di pusat. Selain itu, perlu pula dilakukan koordinasi vertikal lebih serius antarpenyelenggara pendidikan dari berbagai jenjang pendidikan, sehingga terdapat keterkaitan logis-hierarkis antara kurikulum PMP berbagai jenjang pendidikan. Ini penting, agar tak terjadi tumpang tindih maupun kesenjangan terlampau lebar dalam KBM antarjenjang pendidikan, sebagaimana sering dipersoalkan selama ini. Strategi dan Teladan Kelemahan utama pendidikan moral di sekolah kita selama ini terletak pada strategi mengajar guru dan tokoh pemberi teladan. Dalam hal strategi mengajar guru, hasil penelitian Sjarkawi (1996) menunjukkan, tingkat pertimbangan moral siswa yang belajar melalui metode diskusi dilema moral lebih unggul dibanding yang belajar dengan metode ceramah dan tanya jawab. Hasil penelitian ini makin mengukuhkan kebenaran teori dikemukakan para ahli mancanegara jauh sebelumnya. Namun, dalam kenyataannya, karena berbagai hal yang sesungguhnya dapat diatasi, bila ada kemauan, diskusi tak ada dalam KBM PMP di sekolah-sekolah kita.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 125
Sedangkan dalam hal keteladanan, krisis moral merambah masuk ke dalam berbagai kelompok dan lapisan sosial (termasuk sekolah) menyebabkan siswa tidak memperoleh acuan teladan yang memadai. Padahal, secara psikologis teladan merupakan salah satu unsur tak terpisahkan dari pendidikan moral. Mudahmudahan, gerakan reformasi yang terus berlangsung saat ini dapat menghadirkan banyak tokoh yang mampu memberikan teladan kepada siswa. Tentu masih terdapat hal lain yang perlu dilakukan dalam rangka membenahi pendidikan moral di sekolah. Namun, revisi kurikulum, perubahan strategi mengajar guru, serta hadirnya tokoh panutan moral di sekolah dalam jumlah yang memadai merupakan tuntutan mendasar dalam rangka pembenahan yang efektif dan efisien. Kalau kita hendak melakukan reformasi pendidikan moral di sekolah, inilah hal-hal mendasar yang mesti dipenuhi.
126 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Pemborosan Akademik di Sekolah Surabaya Post, 4 Juli 1998 Dipandang memuat isi yang tak sesuai dengan semangat reformasi, penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang berlangsung belasan tahun dibekukan tahun ini. Menarik dan perlu diteliti, berapa besar kerugian yang kita derita sebagai akibat dari waktu, tenaga, dan dana untuk penataran tersebut, khususnya bagian isi penataran yang tak sesuai semangat reformasi. Tapi, tanpa mesti menunggu diadakan penelitian, seharusnya kenyataan ini mengingatkan kita akan kemungkinan adanya pemborosan aspek akademik lainnya yang tak kita sadari bertahun-tahun. Kemungkinan pemborosan itu patut diidentifikasi, dikaji dan dibenahi, agar kita terhindar dari kerugian berikutnya. Apalagi, saat ini kita berada dalam kondisi krisis ekonomi amat parah. Janganlah dunia pendidikan ikut melakukan hal-hal yang sesungguhnya hanya pemborosan. Aspek akademik pendidikan menyangkut dua hal pokok, yakni apa yang diajarkan dan bagaimana cara mengajarkan. Pemborosan akademik dapat terjadi pada dua hal itu sekaligus. Namun, sumber utama terletak pada apa yang diajarkan. Bila apa yang diajarkan memang tak bermanfaat, maka cara apa pun yang digunakan dalam mengajarkan, tak akan menyebabkan hal tak bermanfaat itu menjadi manfaat. Sebaliknya, sekalipun apa yang diajarkan bermanfaat, tak akan ada manfaatnya bila cara mengajarkannya tak tepat. Di SD misalnya, pelajaran bahasa daerah perlu dipertanyakan manfaatnya. Dalam suatu perbincangan dengan seorang kakek yang menjemput cucunya di sebuah SD, sang kakek antara lain mengatakan, pelajaran bahasa Jawa yang
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 127
diperoleh cucunya tak ada bedanya dengan pelajaran bahasa Jawa yang ia peroleh di sekolah puluhan tahun lalu. Dikatakan pula, pelajaran tersebut merupakan pemborosan, karena tak terpakai dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hal mesti dihafal siswa bila ingin memperoleh nilai memadai, tetapi apa yang dihafal itu berlalu begitu saja setelah penilaian lewat. Informasi Faktual Sejauh pengamatan penulis, apa yang dikatakan kakek tersebut banyak benarnya. Dalam hal isi pelajaran, mayoritas isi pelajaran bahasa Jawa bersifat informasi faktual. Karena itu, tak diperlukan cara kompleks, yang mendorong siswa mengolah pikir dan mengembangkan berbagai potensi diri dalam mempelajarinya. Tak ada cara lain yang efektif dan efisien untuk mengajarkan informasi faktual itu selain menyediakan informasi dan siswa didorong untuk menghafalnya. Tapi, ada hal lebih mendasar yang perlu dipertanyakan sehubungan pelajaran bahasa daerah di SD. Misalnya, tepatkah diadakan pelajaran tersebut, sementara di pihak lain siswa baru mulai belajar menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar? Bukankah membaca, menulis, dan berhitung dalam bahasa Indonesia-lah yang menjadi pelajaran utama di SD? Juga, bukankah lebih bermanfaat bila bahasa daerah diajarkan dalam rangka apresiasi sastra dan budaya daerah, maupun untuk keperluan ilmu pengetahuan, dan karena itu, lebih tepat diajarkan di jenjang di atas SD? Selain bahasa daerah di SD perlu pula dipertanyakan efisiensi pelajaran ilmu sosial di semua jenjang pendidikan. Dalam pelajaran ilmu sosial, diharapkan siswa akan mengolah
128 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
fakta menjadi konsep, kemudian konsep diolah lagi menjadi generalisasi. Patut dipertanyakan, banyaknya fakta serta relevansinya untuk membangun konsep dan generalisasi. Pemborosan akan terjadi bila terlampau banyak fakta yang digunakan untuk membangun konsep dan generalisasi, serta terdapat fakta yang tak relevan dengan konsep dan generalisasi yang akan dibangun. Pemborosan akan berlipat ganda bila fakta, konsep dan generalisasi tak dimanfaatkan secara tepat dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Misalnya, fakta tak digunakan untuk membangun konsep dan generalisasi, tapi ketiga hal itu diajarkan sebagai hal terpisah-pisah. Bila diajarkan secara terpisah, sebenarnya konsep dan generalisasi yang diajarkan tak tepat lagi disebut sebagai konsep dan generalisasi, tapi hanya merupakan fakta. Dan sebagaimana dikemukakan sebelumnya, tak ada cara lain yang efektif dan efisien untuk mengajarkan fakta, selain menyediakan fakta dan siswa didorong untuk menghafalnya. Tak Terkait Bila buku pelajaran dijadikan acuan kajian, pengamatan penulis menunjukkan, sebagian besar buku IPS SD tak memiliki keterkaitan logis antara fakta, konsep dan generalisasi. Dan karena buku menjadi salah satu acuan utama guru dalam mengajar, dapat dikatakan, konsep dan generalisasi dalam buku, diajarkan oleh guru sebagaimana guru mengajarkan fakta. Selanjutnya, karena sistem penulisan buku pelajaran untuk jenjang pendidikan di atas SD relatif sama dengan SMP, dapat dikatakan, apa yang terjadi di SD terjadi pula pada jenjang di atasnya.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 129
Dapat dibayangkan, berapa besar kerugian kita selama ini, karena tak efisiennya pelajaran ilmu sosial di berbagai jenjang pendidikan, baik sebagai akibat isi pelajaran yang tak sesuai, maupun karena cara mengajarkan tak tepat. Sungguh ironis, selama puluhan tahun di sekolah-sekolah kita diajarkan sesuatu yang berlalu begitu saja, tanpa memberikan manfaat nyata bagi siswa. Secara teoretis perancangan pelajaran ilmu sosial dilakukan dengan menetapkan terlebih dahulu generalisasi yang akan diajarkan, kemudian dikembangkan konsep dan fakta yang akan digunakan untuk membangun generalisasi tersebut. Sedangkan dalam mengajarkannya, dimulai dari generalisasi (lihat Teaching Strategies for Social Studies oleh Banks, 1977). Mengacu pada pandangan teoretis di atas, upaya mengefisienkan aspek akademik ilmu sosial mesti dilakukan melalui pembenahan kurikulum. Salah satu cara, misalnya dalam kurikulum IPS tampak secara gamblang urutan antara generalisasi, konsep dan fakta yang akan diajarkan. Bisa juga, kurikulum hanya berisi generalisasi dan konsep, sedangkan fakta dikembangkan sendiri oleh guru maupun penulis buku IPS. Kondisi pelajaran bahasa daerah di SD dan pelajaran ilmu sosial di berbagai jenjang pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas sekedar contoh pemborosan aspek akademik pendidikan yang terjadi selama ini. Tentu masih terdapat pemborosanpemborosan lainnya yang mesti diidentifikasi, dikaji, dan dibenahi, guna meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan.
130 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Menghargai Pluralitas Melalui Sekolah Surabaya Post, 29 Juli 1998 Sejarah mencatat, perbedaan agama dan etnis kadang jadi biang disintegrasi nasional. Nyatanya, ada negara yang terceraiberai, entah karena pertentangan agama, etnis, maupun keduanya sekaligus. Dalam hal agama dan etnis, negeri kita tergolong amat plural. Dan nyatanya, kadang perbedaan agama dan etnis ini dimanfaatkan sementara orang untuk kepentingan pribadi maupun golongan, sehingga menimbulkan peristiwa tragis yang tampak di permukaan sebagai peristiwa anti agama maupun anti etnis. Perusakan tempat ibadah beberapa waktu lalu, maupun perlakuan tak bermoral terhadap warga keturunan Cina dalam peristiwa kelabu pertengahan Mei lalu misalnya, merupakan contoh gamblang pemanfaatan perbedaan agama dan etnis tersebut. Memang, beberapa peristiwa tragis itu tak sepenuhnya terjadi karena sikap anti agama maupun etnis, tetapi adanya peristiwa itu merupakan indikator masih rapuhnya kerukunan agama dan etnis di negara ini, sehingga mudah dimuati kepentingan tertentu. Kerapuhan inilah yang seharusnya dibenahi, termasuk melalui sekolah, agar tak mudah dimanfaatkan pihak-pihak tak bertanggung jawab guna mencapai tujuannya. Secara teoretis, pengembangan sikap menghargai perbedaan agama dan etnis dapat dimulai sejak dini dalam keluarga, saat manusia mulai dapat merasa tak enak karena dihukum dan satu pihak, dan merasa senang bila dihargai di pihak lain. Teguran terhadap anak setiap ia melecehkan agama Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 131
dan etnis lain, serta respons menghargai setiap ia ingin mengetahui soal keanekaragaman agama dan etnis merupakan awal positif bagi berkembangnya sikap menghargai keanekaragaman agama dan etnis. Meneladani Sebaliknya, membiarkan anak melecehkan agama maupun etnis lain, serta merespons rasa ingin tahu anak tentang keanekaragaman agama dan etnis dengan melecehkan agama dan etnis lain, sesungguhnya sama dengan membangun landasan kukuh bagi berkembangnya sikap anti agama dan etnis lain. Selanjutnya, sejalan bertumbuhnya kebutuhan anak akan teladan dari orang lain, ia akan mulai meneladani perilaku orang-orang yang dekat dengannya, termasuk dalam menyikapi orang berbeda agama maupun etnis. Bila pada tahap hukuman dan penghargaan anak memperoleh pembinaan yang tepat dalam hal sikap menghargai keanekaragaman agama dan etnis, dan bersamaan itu ia memperoleh teladan sesuai pembinaan awal yang diperolehnya, maka akan terbentuk landasan kuat bagi berkembangnya sikap menghargai keanekaragaman agama dan etnis pada anak tersebut. Namun, bila sikap pelecehan terhadap agama maupun etnis lain yang dikembangkan pada diri anak melalui hukuman, penghargaan, dan teladan, pada diri anak akan terbentuk pandangan dasar, agama, maupun etnis lain tak pantas dihargai. Bila pandangan dasar ini telah terbentuk, sulit diharapkan akan muncul perilaku positif dan konstruktif dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda agama maupun etnis. Mengacu pada kerangka teori pengembangan sikap menghargai keanekaragaman agama dan etnis seperti telah
132 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
disebutkan, diharapkan pada mereka yang menempati posisi sebagai pembina, misalnya sebagai orang tua terhadap anak, sebagai guru terhadap murid, sebagai pengusaha terhadap karyawan, sebagai tokoh agama terhadap umat, dan sebagainya, mau menciptakan iklim yang memungkinkan orang-orang yang dibina mengembangkan sikap menghargai keanekaragaman agama dan etnis. Tentang pengembangan sikap tersebut oleh guru pada diri murid di sekolah, sesungguhnya dalam kurikulum sekolah telah dicanangkan maksud tersebut. Dalam kurikulum SD 1994, pada pelajaran Pancasila misalnya, antara lain dikatakan, pendidikan Pancasila dimaksudkan untuk membiasakan siswa berperilaku menghormati dan menghargai pandangan, kepercayaan, dan kebiasaan yang berbeda dengan pandangannya sendiri. Pertanyaannya, bagaimana kondisi pelaksanaan pendidikan untuk maksud itu di sekolah-sekolah kita? Seperti halnya pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM) pada berbagai pelajaran di sekolah-sekolah kita, selama ini KBM dalam kaitan membina sikap menghargai keanekaragaman agama maupun etnis pun umumnya hanya bersifat hafalan. Tentu saja tak banyak manfaat dari KBM demikian. Sangat Peka Harus diakui, masalah perbedaan agama maupun etnis tergolong sangat peka, apalagi dalam masyarakat kita yang selalu menghindarkan terjadinya diskusi intensif untuk mencapai titik temu dari hal-hal yang mudah memicu pertikaian. Pengalaman penulis saat mengikuti sejumlah seminar tentang nasionalisme misalnya, ternyata mereka yang tergolong pakar sekalipun, cenderung menghindar dari diskusi intensif bila
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 133
pembicaraan mengarah ke hal sensitif yang menyangkut masalah agama maupun etnis. Kalau para pakar dalam forum ilmiah pun tak berani berdiskusi secara intensif dan mendalam tentang hal-hal berkaitan dengan konflik antara agama maupun etnis, tentu tak realistis bila kita berharap, diskusi itu akan terjadi dalam KBM di sekolah. Ini andaikan para guru mampu menyelenggarakan KBM bermutu. Jadi bila kita ingin agar masalah hubungan antaragama maupun etnis dibahas lebih intensif di sekolah guna mengembangkan sikap menghargai keanekaragaman agama dan etnis pada diri siswa, para ahli kedua bidang itu mesti terlebih dahulu merancang isi KBM untuk maksud tersebut. Rancangan itu harus mengungkapkan apa adanya tentang masalah yang paling sensitif sekalipun, sehingga terbuka luas jalan ke arah diskusi intensif untuk sampai pada sikap menghargai yang hakiki. Dalam hal agama, selain informasi faktual yang netral, seperti macam-macam agama dan pandangan setiap agama terhadap agama lainnya, juga mesti ditampilkan informasi faktual bermasalah, misalnya penyiaran agama selama ini yang menyimpang dari rambu-rambu yang telah disepakati bersama. Demikian juga soal etnis, selain informasi faktual yang netral, seperti anak etnis di negeri ini dan pola perilakunya, juga mesti ditampilkan informasi faktual bermasalah, seperti pola perilaku negatif etnis tertentu, serta pandangan negatif etnis satu terhadap etnis lainnya. Selama ini peristiwa tragis dalam hubungan antaretnis paling sering terjadi antara etnis Cina dan etnis lainnya di negeri ini. Karena itu, pada tempatnyalah bila masalah tersebut diberi porsi bahasan khusus.
134 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Selain informasi faktual yang netral tentang etnis Cina, seperti sejarah kehadiran, cara berintegrasi, maupun pola perilakunya, juga mesti disajikan informasi faktual bermasalah berkaitan dengan etnis tersebut. Misalnya, bagaimana pandangan negatif etnis lain terhadap etnis Cina, pandangan negatif etnis Cina terhadap etnis lain, perlakuan diskriminasi terhadap etnis Cina, serta perlakukan diskriminatif etnis Cina terhadap etnis lain. Demikian juga, karena selama ini peristiwa tragis yang menyentuh hubungan antaragama paling sering terjadi pada agama Islam dan Kristen, pada tempatnyalah untuk saat ini masalah tersebut dibahas secara khusus. Setelah isi KBM dalam rangka pengembangan sikap menghargai keanekaragaman agama dan etnis dirancang oleh para pakar dalam masing-masing bidang itu, selanjutnya para pakar kurikulum dan praktisi pendidikan bertugas menuangkannya ke kurikulum sekolah berdasarkan sistem penjenjangan sekolah. Dan karena pendidikan ini menyangkut kepentingan integrasi nasional, seyogyanya dijadikan bagian dari kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Mengacu pada kurikulum inilah, para guru dibina agar mampu melaksanakan KBM yang benarbenar efektif dan efisien dalam mengembangkan sikap menghargai keanekaragaman agama dan etnis.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 135
Otonomi Pendidikan Seluasnya bagi Daerah Surabaya Post, 9 Oktober 1998 Menurut Ramlan Surbakti, otonomi politik seluas-luasnya dan pluralisme pemerintahan daerah justru akan mendorong integrasi nasional, bukan sebaliknya (Surabaya Post, 22/9). Pernyataan ini semakin mengukuhkan pandangan yang mulai mengkristal dalam masyarakat tentang pentingnya perluasan otonomi daerah bagi kemajuan negeri ini dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah wujud konkret otonomi yang luas dalam bidang pendidikan, serta pada tingkat mana otonomi luas itu diberikan? Sebagai suatu negara, bagaimanapun luasnya otonomi pendidikan yang akan diberikan pada daerah, pemberian otonomi itu mesti didasarkan pada suatu undang-undang (UU) pendidikan nasional. Meskipun demikian, perlu ditegaskan pula, otonomi seluas-luasnya bisa terwujud bila UU pendidikan nasional hanya berisi hal-hal pokok dan mendasar saja. Tentang wujud yang hanya berisi hal-hal pokok dan mendasar, kita dapat belajar dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) 1989, peraturan, serta keputusan pemerintah sebagai pelengkap dari USPN tersebut. Dalam USPN 1989, tentang kurikulum misalnya, untuk pendidikan dasar ditetapkan tiga belas mata pelajaran yang mesti diajarkan. Tepatnya dalam pasal 39 ayat 3 terdapat ketentuan sebagai berikut: “Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran tentang pendidikan Pancasila, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, membaca dan menulis, matematika (termasuk berhitung), pengantar sains dan teknologi, 136 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
ilmu bumi, sejarah nasional dan sejarah umum, kerajinan tangan dan kesenian, pendidikan jasmani dan kesehatan, menggambar, serta bahasa Inggris. Ketentuan tentang kurikulum dalam USPN ini kemudian dikembangkan menjadi kurikulum SD dan SMP yang sangat rinci, dan ditetapkan penggunaannya secara nasional melalui keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) 1994. Dalam rangka pemberian otonomi pendidikan seluasluasnya kepada daerah, bagian USPN dan pengembangannya menjadi kurikulum nasional sebagaimana dikemukakan di atas jelas tak mendukung. Dikatakan tak mendukung, karena di satu pihak daerah memperoleh ruang gerak amat kecil dalam mengembangkan kurikulum, sementara di pihak lain, sampai saat ini porsi kurikulum yang tepat untuk pendidikan dasar masih menjadi bahan perdebatan berbagai pihak di negeri ini. Bahkan konon, kurikulum SD kita paling “padat” dibandingkan negara mana pun. Hingga kini tak tergoyahkan pandangan tentang fungsi utama SD sebagai pengembang kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung dalam diri siswa. Mestinya pandangan dengan tingkat kesepakatan tinggi inilah yang dijadikan acuan utama penetapan ketentuan tentang kurikulum SD dalam USPN. Dengan demikian USPN hanya berisi ketentuan pokok dan mendasar saja tentang isi kurikulum yang relevan untuk pengembangan tiga kemampuan tersebut. Penguasaan Isi Selain dalam rangka pemberian otonomi pendidikan seluas-luasnya kepada daerah, ketentuan yang demikian juga
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 137
diperlukan untuk menghindarkan daerah dari penyelenggaraan pendidikan SD yang lebih menekankan penguasaan isi pelajaran dibandingkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, sebagaimana terjadi secara nasional selama ini. Pengaturan yang terlampau mendetail oleh pusat terjadi pula pada jenjang sekolah menengah (SM). Memang, dalam USPN pengaturan terhadap SM masih bersifat umum, tetapi setelah ketentuan dalam USPN dikembangkan menjadi peraturan pemerintah dan keputusan menteri, pengaturan oleh pusat menjadi amat mendetail. Di sekolah menengah umum (SMU) misalnya, kurikulum dan penjurusan ditetapkan amat mendetail sehingga daerah praktis tak memiliki ruang gerak untuk melakukan pengembangan. Menurut para penyelenggara SMU, tuntutan terhadap penyelenggaraan SMU berdasar USPN dan peraturan maupun keputusan menteri yang menyertainya sudah melampaui batas kemampuan siswa. Apa yang dikemukakan di atas sekadar contoh pengaturan pendidikan yang terlampau rinci dalam USPN serta pengaturan dan keputusan pemerintah, yang bertentangan dengan ide pemberian otonomi pendidikan seluas-luasnya kepada daerah. Contoh yang dikemukakan di atas juga menyiratkan pesan, dalam rangka pemberian otonomi pendidikan seluas-luasnya kepada daerah, pada tempatnya pemerintah pusat hanya mengeluarkan USPN, sedangkan pengembangan peraturan pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing daerah. Terlampau sentralistiknya pengaturan pendidikan di negeri ini selama puluhan tahun berakibat kemandirian birokrat pendidikan di daerah dalam menyelenggarakan pendidikan amat rendah. Karena itu, dari segi kemampuan birokrat pendidikan,
138 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
otonomi pendidikan seluas-luasnya lebih tepat diberikan di tingkat provinsi sebagai pihak yang selama ini menjadi penerus langsung kebijakan pusat ke daerah-daerah. Makin Positif Tapi, secara teoretis, sampai batas minimal tertentu, makin sempit suatu wilayah dan makin sedikit jumlah penduduk, justru makin positif dalam rangka pemberian otonomi seluas-luasnya. Karena itu, seyogyanya otonomi seluas-luasnya diberikan di tingkat kabupaten, sedangkan minimnya kemampuan aparat kabupaten dalam mengelola pendidikan dapat diimbangi pemberian keleluasaan untuk tetap menggunakan berbagai hal yang selama ini digunakan secara nasional, sambil berusaha mengembangkan yang lebih sesuai dengan kondisi daerah. Sesungguhnya kesuksesan penyelenggaraan pendidikan nasional melalui pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah amat tergantung pada kepercayaan aparat pusat terhadap aparat daerah di satu pihak, dan kepercayaan aparat daerah akan kemampuannya sendiri di pihak lain. Kepercayaan timbal balik inilah yang mesti ditumbuhkan sejalan dengan proses pemberian otonomi seluas-luasnya itu.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 139
Pendidikan Moral di Sekolah Pasca-Orba Surya, 11 Juni 1999. Pada masa Orde Baru (Orba), pendidikan moral di sekolah dilaksanakan melalui penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Setelah rezim Orba tumbang, P4 dihapus, sedangkan PPKN tetap diajarkan. Sesungguhnya sebagian besar isi PPKN sama dengan butir-butir P4. Selain itu, ada pula bagian yang kebenarannya dipertanyakan berbagai pihak, khususnya yang menyangkut lahirnya Orba dan peran mantan Presiden Soeharto dalam sejarah negeri ini. Karena itu, sebenarnya tidak konsisten bila P4 ditiadakan, sementara PPKN tetap diberlakukan. Ketidakkonsistenan ini agaknya menjadi penyebab utama rendahnya nilai evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas) PPKN (Kompas, 28/5/`99). Tidak lama lagi tahun ajaran 1999/2000 akan dimulai. Agar pendidikan moral melalui sekolah tidak sia-sia, masalahnya perlu dikaji dan diantisipasi sejak dini. Antara Isi dan Cara Bila kita cermati secara mendalam, sesungguhnya tak ada satu butir pun di antara 45 butir P4 yang tidak dapat diterima sebagai nilai mendasar. Memang terdapat komponen tertentu dalam sistem P4 yang layak dibuang, tetapi tak ada alasan mendasar apa pun untuk membuang satu pun butir-butir yang menjadi isinya. Demikian pula PPKN, memang terdapat isi yang patut dipertanyakan kebenarannya, tetapi tak ada alasan mendasar untuk membuang isi yang sama atau setara dengan butir-butir P4. 140 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Jadi, sebenarnya persoalan pendidikan moral di negeri ini bukan sekadar persoalan isi pendidikan, melainkan juga persoalan cara. Bahkan mungkin persoalan utamanya terletak pada cara dan bukan isi. Andaikan dirancang isi pendidikan moral untuk mengganti isi pendidikan moral produk Orba pun, pada akhirnya akan dihasilkan isi pendidikan moral yang sebagian besar sama dengan isi pendidikan moral produk Orba. Karena memang itulah isi pendidikan moral. Pada pokoknya, cara pendidikan moral terdiri atas tiga unsur utama, yakni teladan, hukuman, dan pemahaman. Proses pendidikan moral akan efektif dan efisien, bila ketiga unsur utama ini memainkan perannya masing-masing secara proporsional. Melalui pengetahuan, manusia mengenal apa yang dikatakan baik dan buruk, serta mengapa dikatakan baik dan buruk. Dengan teladan, manusia memperoleh gambaran konkret tentang perbuatan baik. Sedangkan dengan hukuman, manusia dilatih untuk berbuat baik. Sayangnya, selama pemerintahan Orba, hanya pemahaman yang dipacu dalam pendidikan moral. Sementara, teladan dan hukuman tidak ditegakkan. Di sekolah, para siswa mesti menghafal dan memahami butir-butir P4. Demikian pula, para mahasiswa mesti mendiskusikannya. Namun, di luar sekolah, mereka dihadapkan pada tindakan-tindakan tak bermoral dan melanggar hukum di mana-mana, yang dilakukan oleh orangorang yang seharusnya memberikan teladan. Ironisnya, keadaan di luar sekolah ini tidak semakin membaik, melainkan terus memburuk dari tahun ke tahun, dan ini berlangsung 32 tahun. Kondisi lingkungan yang tidak mendukung pendidikan moral ini, menghasilkan paling tidak tiga kelompok manusia. Pertama, orang-orang yang fasih berargumentasi tentang nilainilai moral, tetapi perbuatannya tidak sesuai dengan kebenaran
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 141
yang dipahaminya dari argumentasi tersebut. Kedua, orangorang yang merasa muak bila diajak berbicara tentang nilai-nilai moral. Ketiga, orang-orang yang tidak ingin tahu tentang nilainilai moral, dan bertindak amat pragmatis, sekali pun mungkin tindakan tersebut tidak bermoral. Kemandirian Pranata Sekolah Selama satu tahun bergulirnya reformasi di negeri ini, telah muncul calon-calon tokoh teladan. Kita berharap, para calon tokoh teladan tersebut akan terus mengembangkan kepribadiannya, sehingga dapat menjadi tokoh teladan sejati. Sayangnya, pada sisi hukum, pelecehan terhadap hukum justru semakin menjadi. Dalam kurun waktu satu tahun ini, begitu banyak manusia negeri ini yang disusahkan hidupnya, bahkan tidak sedikit yang menemui ajalnya, tetapi hukum tidak berdaya menanganinya. Selain itu, penanganan terhadap dugaan pelanggaran hukum oleh mantan pejabat maupun pejabat negara, amat gamblang menunjukkan pelecehan serius terhadap hukum. Dalam konteks pendidikan moral, inilah tantangan nyata para calon tokoh teladan untuk membuktikan diri bahwa mereka pantas diteladani. Entah sampai kapan vakumnya tokoh teladan dan rendahnya penegakan hukum di negeri ini akan berlangsung? Kita berharap, ini tidak akan berlangsung lama. Namun, sampai kapan pun kondisi ini berlangsung, kondisi tersebut bukan merupakan alasan mendasar bagi pengelola sekolah di negeri ini, untuk mengendorkan upaya serius dalam menyelenggarakan pendidikan moral. Bagaimana pun kondisi di luar sekolah, para pengelola sekolah dituntut untuk menampilkan kemandirian pranata sekolah, sebagai salah satu pranata sosial yang memiliki fungsi khas bagi kemajuan masyarakat.
142 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Kemandirian para pengelola sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan moral perlu ditekankan di sini, karena selama ini terdapat kecenderungan, pranata pendidikan hanya ditempatkan sebagai pelengkap pranata lainnya, khususnya pranata politik dan ekonomi. Padahal sekali pun dipengaruhi, mempengaruhi, dan saling tergantung dengan pranata lain, pranata pendidikan memiliki fungsi khas bagi masyarakat. Sebagai pengelola pranata pendidikan yang memiliki kemandirian dalam menyelenggarakan pendidikan moral, para pengelola sekolah–dari lapisan atas hingga guru di kelas– dituntut untuk memaksimalkan diri sebagai tokoh teladan dan penegak hukum di sekolah. Sementara itu, tindakan-tindakan tak bermoral dan melanggar hukum yang dilakukan oleh tokohtokoh di luar sekolah patut dikaji apa adanya di sekolah, tanpa ditutup-tutupi. Tak terkecuali tindakan tak bermoral dan melanggar hukum yang dilakukan oleh para mantan pejabat, serta dugaan tindakan tak bermoral dan melanggar hukum yang dilakukan oleh pejabat dan mantan pejabat Negara. Dalam hal mantan Presiden Soeharto, misalnya, selain pengetahuan yang telah dibakukan tentang perannya dalam sejarah negeri ini, berbagai informasi aktual tentang dugaan ketidakbenaran pengetahuan tersebut serta dugaan pelanggaran hukum yang dilakukannya, mesti disampaikan apa adanya kepada siswa dan dijadikan bahan kajian. Tak terkecuali, informasi aktual yang dikemukakan oleh majalah TIME. Dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah, sebagai bagian dari upaya sekolah dalam menegakkan hukum, berbagai informasi aktual tersebut ditampilkan apa adanya dan dikaji sebagai bagian integral dari pengetahuan yang telah dibakukan selama ini.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 143
Dengan cara demikian, sekali pun tokoh teladan dan penegakan hukum di luar sekolah belum memadai, pendidikan di sekolah akan lebih menarik dan tidak memuakkan. Lebih dari itu, nilai kebenaran yang ditabur akan mendapatkan lahan subur untuk bertumbuh dan berbuah.
144 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Mengakui Kesalahan Sebelum Memberantas KKN Suara Pembaruan, 25 Januari 2002. Suatu saat, seorang tokoh spiritual didatangi sejumlah orang sambil membawa seorang wanita yang tertangkap basah berzinah. Mereka bertanya kepada sang tokoh tentang hukuman apa yang harus dijatuhkan kepada wanita tersebut. Setelah berdiam sejenak, sang tokoh meminta agar mereka yang merasa tidak berdosalah yang menghukum wanita itu dengan lemparan batu karena berdasarkan undang-undang di daerah tersebut, orang yang berzinah harus dihukum dengan lemparan batu. Ternyata tak ada satu orang pun yang melempar wanita itu. Satu per satu mereka meninggalkan sang tokoh dan si wanita pezinah. Ketika semua orang telah pergi, sang tokoh berkata kepada si wanita. “Karena tidak ada yang menghukum kamu, aku pun tidak menghukum kamu. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi.” Kisah klasik di atas agaknya dapat membantu kita untuk memahami sulitnya mengatasi masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di negeri ini. Masalah KKN dan perzinahan memang berbeda wujud, tetapi substansi masalahnya sama, yakni sama-sama melanggar hukum dan moral. KKN Berkembang Selama lebih 30 tahun pemerintahan Orde Baru (Orba) , praktek KKN berkembang, menjalar, merambah, dan menghujam ke seluruh institusi pemerintah di negeri ini. Pengangkatan pegawai dan pejabat pemerintahan selama masa Orba hingga kini, misalnya, sungguh sangat kental dengan kolusi dan nepotisme.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 145
Di daerah-daerah relatif terbelakang di mana ikatan kekerabatan masih kuat, nepotisme dan sejenisnya amat mewarnai pengangkatan pegawai dan pejabat pemerintahan. Biasanya bila seseorang dari komunitas tertentu, misalnya komunitas keluarga, daerah, partai politik, dan agama menempati posisi penting, kebanyakan yang direkrut menjadi pegawai dan pejabat adalah orang-orang sekomunitas. Sedangkan di daerah-daerah relatif maju di mana individualisme mulai semakin kuat, kolusi saling menguntungkan secara ekonomilah yang paling menonjol meski masih terdapat pula unsur nepotisme. Tetapi, baik nepotisme maupun kolusi yang mendasari pengangkatan pegawai dan pejabat, pasti kedua-duanya mengorbankan prinsip kejujuran dan keadilan. Lalu, bagaimana mungkin kita berharap para pegawai dan pejabat bersikap jujur dan adil, termasuk tidak menoleransi korupsi, bila pekerjaan dan jabatannya diperoleh melalui cara tidak adil dan tidak jujur? Juga, bagaimana mungkin para atasan akan menindak bawahannya yang tidak jujur dan tidak adil, termasuk melakukan korupsi, bila mereka sendiri merekrut bawahannya melalui caracara tidak jujur dan tidak adil? Di era reformasi ini, telah terungkap kebocoran uang negara triliunan rupiah, bahkan dunia internasional pun tahu bahwa negeri ini menempati papan atas dalam hal korupsi, tetapi nyatanya institusi-institusi hukum tidak dapat menghukum orang yang paling bertanggung jawab terhadap kebocoran itu. Pihakpihak yang diduga paling bertanggung jawab dan didakwa melalui pengadilan akhirnya dibebaskan entah karena tidak ditemukan kesalahannya maupun karena bukti-bukti tidak cukup kuat. Biasanya penegak hukum yang membebaskan akan mengatakan bahwa keputusan pembebasan tersebut sesuai
146 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
dengan hati nuraninya. Lalu, seperti mur bertemu baut, begitulah kesesuaian hati nurani penegak hukum dan orang yang diduga serta didakwa bersalah. Ibarat wanita yang tertangkap basah berzinah, tetapi tak ada orang yang merasa cukup bersih dan berani menghukumnya, demikianlah yang terjadi seputar masalah KKN di negeri ini. Teriakan untuk memberantas KKN ibarat maling teriak maling. Dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin KKN ditanggulangi secara efektif dan efisien melalui penegakan hukum secara langsung. Kalau tetap dipaksakan, segala upaya penegakan hukum terhadap kasus KKN akhirnya hanya merupakan pemborosan tenaga, uang, dan waktu sia-sia. Tentu ada orang dalam institusi-institusi tertentu yang bersih dari KKN. Orang-orang itu patut diberi acungan jempol, tetapi tidak banyak hal dapat diharapkan dari mereka dalam upaya penanggulangan KKN karena keberadaan mereka hanya seperti sekrup kecil dalam mesin institusi yang kental dengan KKN. Mengakui dan Memaafkan Inilah lingkaran persoalan KKN di negeri ini. Lingkaran persoalan ini tidak memiliki titik awal penanggulangannya bila hanya mengandalkan penegakan hukum. Entah masih terdapat cara lain untuk memutus lingkaran persoalan tersebut, tetapi salah satu cara yang menjanjikan harapan adalah melalui kebesaran hati dan keberanian semua pihak untuk mengakui bahwa masalah KKN di negeri ini merupakan kesalahan kolektif semua institusi pemerintah dan komunitas sosial, disertai kesediaan saling memaafkan. Melalui pengakuan kesalahan bersama, disertai kesediaan saling memaafkan, terbuka peluang bagi munculnya keberanian
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 147
untuk menanggulangi KKN secara mendasar. Tentu akan terdapat orang-orang tak tahu diri dan sangat egoistis yang tidak jera melakukan KKN sekalipun telah dimaafkan, tetapi mereka akan berhadapan dengan pihak lain yang menyesali KKN yang telah dilakukannya dan bertekad memberantas KKN. Bila cara ini yang ditempuh, sebagai penguasa, pemerintahlah yang mesti berinisiatif menggalang pengakuan bersama terhadap kesalahan, ikut andil dalam KKN yang terjadi selama ini, menggalang tekad bersama untuk memulai hidup baru yang bersih dari KKN, serta menciptakan kondisi yang mendukung terealisasinya tekad tersebut. Sebagai contoh, pemerintah membentuk badan lintas instansi dan komunitas sosial yang ditugaskan untuk merancang wujud pengakuan bersama tersebut dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan berbagai implikasi dan konsekuensinya. Termasuk di dalamnya bagaimana perlakuan terhadap mereka yang sedang menjalani proses hukum maupun sedang menjalani hukuman karena kasus KKN. Kemudian ditetapkan hari tertentu sebagai hari pertobatan nasional KKN, dan setiap tahun diperingati sebagai momentum untuk mengevaluasi kemajuan kita dalam menanggulangi KKN.
148 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Manajemen Pendidikan Berbasis Kemanusiaan Suara Pembaruan, 5 April 2002 Saat ini model manajemen pendidikan berbasis sekolah (MBPS) tidak hanya sedang giat-giatnya diujicobakan di beberapa daerah, melainkan juga disosialisasikan konsepnya ke komunitas pengelola sekolah. Bantuan dana dari luar negeri pun berdatangan untuk mendukung pengembangan dan pelaksanaan model tersebut. Tanpa harus mengurangi semangat pembaruan pendidikan melalui model tersebut, kita perlu belajar dari pengalaman pembaruan pendidikan selama ini. Sebut saja Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), misalnya. Nyatanya, CBSA yang dulu ketika diujicobakan dan disosialisasikan amat disanjungsanjung, bahkan juga didukung oleh dana dan tenaga dari luar negeri, kini dikritik habis-habisan. Ironisnya, tak ada manfaat nyata yang kita peroleh dari pelaksanaan model CBSA tersebut. Padahal, dana, tenaga dan waktu yang digunakan untuk pelaksanaan model ini luar biasa besarnya. Kalau dikaji secara mendalam, sesungguhnya rendahnya efisiensi dan efektivitas pembaruan pendidikan di negeri ini bersumber dari tiadanya landasan berpijak yang kuat dari pembaruan itu sendiri. Karena tidak ada landasan berpijak yang kuat, ketika muncul masalah dalam pelaksanaan pembaruan, tak ada pedoman yang jelas untuk mengatasinya. Nilai Kemanusiaan Sampai saat ini kita belum memiliki filsafat dan ilmu pendidikan nasional yang memenuhi kaidah-kaidah filosofis dan keilmuan, sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan nasional. Tetapi, sesungguhnya terdapat nilai-nilai universal
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 149
yang dapat dijadikan landasan sementara penyelenggara pendidikan nasional. Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai kemanusiaan. Dalam teori pendidikan terdapat empat pandangan tentang hakikat manusia, yang dipandang patut dijadikan landasan penyelenggaraan pendidikan. Empat pandangan tersebut adalah manusia sebagai makhluk individual, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk religius. Di lembaga pendidikan guru, melalui mata kuliah Ilmu Pendidikan dan sejenisnya, empat pandangan tentang hakikat manusia tersebut dikaji makna dan implikasinya dalam penyelenggaraan pendidikan. Melalui kajian tersebut, mahasiswa diharapkan menyadari empat hal. Pertama, mahasiswa menyadari adanya keunikan setiap individu maupun kelompok dan dapat menghargai keunikan tersebut dalam pembelajaran. Kedua, mahasiswa menyadari saling ketergantungan antara individu maupun kelompok, dan menggalang kebersamaan serta saling bekerja sama secara konstruktif. Ketiga, mahasiswa menyadari adanya potensi kesadaran moral pada manusia dan berusaha mengembangkan maupun memanfaatkannya dalam pembelajaran. Keempat, mahasiswa menyadari adanya potensi kesadaran religius pada manusia dan berusaha mengembangkan maupun memanfaatkannya dalam pembelajaran. Andaikan nilai-nilai kemanusiaan yang dikemukakan di atas dilaksanakan secara konsisten oleh setiap insan pengelola pendidikan, dengan sendirinya asas, prinsip maupun teknik yang terkandung dalam berbagai model pembaruan pendidikan akan terterapkan, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan itu. Demikian pula unsur-unsur kelemahan yang mungkin terdapat di dalamnya, dengan sendirinya akan teridentifikasi dan terbuang. Tentang CBSA misalnya,
150 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
pemahaman keliru bahwa dalam CBSA kerja kelompok merupakan satu-satunya metode utama sebagaimana dipraktikkan para guru selama ini akan terkoreksi dengan sendirinya, bila guru paham benar serta konsisten melaksanakan pemahamannya tentang hakikat manusia sebagai makhluk individual dan implikasinya pada pembelajaran. Pada tataran makro pun para pengambil kebijakan pendidikan nasional tidak akan memaksakan kebijakan manajemen pendidikan sentralistis misalnya, andaikan mereka paham benar serta konsisten menerapkan pemahamannya tentang keunikan setiap komunitas sekolah. Bahkan ide manajemen pendidikan berbasis kelas sekalipun, akan diterima dengan tangan terbuka oleh setiap aparat pendidikan, konsisten mengembangkan konsep dan pemahamannya, serta konsisten menerapkan pemahamannya itu. Andaikan para penanggung jawab pendidikan nasional paham benar akan hakikat-hakikat manusia tersebut serta konsisten melaksanakan pemahamannya itu, tidak akan ada Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) yang menimbulkan polemik berkepanjangan, kurikulum tidak akan sepadat sekarang ini, pembelajaran tidak akan menyiksa siswa seperti saat ini, pendidikan moral dan agama pun akan diberi tempat yang proporsional dalam kebijakan pendidikan. Langkah Konkret Sekalipun pandangan tentang hakikat manusia dan implikasinya bagi penyelenggaraan pendidikan sudah sejak dahulu dikaji secara akademik di lembaga pendidikan guru, ternyata penerapannya di lapangan masih jauh dari harapan. Sebagai bangsa, khususnya sebagai pengelola pranata pendidikan, agaknya kita baru sampai pada tahap menyadari dan
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 151
membenarkan sesuatu yang dipandang benar, tetapi tidak memiliki cukup kemauan untuk melaksanakan kebenaran itu. Kita menerima pandangan bahwa manusia adalah makhluk individual, makhluk sosial, makhluk susila dan makhluk religius, serta implikasinya dalam penyelenggaraan pendidikan, tetapi kita tidak berdaya untuk melaksanakannya dalam penyelenggaraan pendidikan. Kemauan untuk menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dalam penyelenggaraan pendidikan tidak mungkin akan datang dengan sendirinya. Kemauan itu akan tumbuh bila kita sendiri yang berusaha menumbuhkannya. Untuk itu, sudah saatnya dicanangkan tekad untuk menempatkan nilai kemanusiaan sebagai landasan pembaruan pendidikan di negeri ini sepanjang masa. Sudah saatnya kita canangkan pengembangan manajemen pendidikan berbasis kemanusiaan, sebagai dasar pembaruan pendidikan, kapan saja dan di mana saja, termasuk pembaruan pendidikan dengan model MBPS yang saat ini sedang berlangsung. Sebagai langkah konkret saat ini, dalam setiap kegiatan sosialisasi model MBPS kepada para pengelola pendidikan, hendaknya selalu disertai kajian tentang hakikat manusia dan implikasinya dalam penerapan model MBPS tersebut. Dengan demikian, selain membiasakan para pengelola pendidikan untuk berpikir dan bertindak di atas nilai-nilai kemanusiaan, juga akan memungkinkan teridentifikasinya kelemahan-kelemahan dari model MBPS itu sendiri. Bukankah tidak akan pernah ada satu pun model dalam pembaruan pendidikan yang benar-benar sempurna?
152 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Apa Kabar Reformasi Pendidikan Suara Pembaruan, 8 Juni 2002 Pada awal reformasi empat tahun lalu, antara lain dicanangkan dua agenda utama reformasi, yakni pelaksanaan otonomi daerah (otoda) dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dua agenda utama reformasi itu tentu saja menyangkut pula bidang pendidikan. Oleh karena itu, dalam menilai kemajuan reformasi pendidikan, kedua agenda utama itu patut dinilai pula. Sejak otonomi daerah dicanangkan, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah melakukan sejumlah hal sebagai wujud pelaksanaan otonomi pendidikan. Misalnya penghapusan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional Sekolah Dasar (Ebtanas SD) dan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Meskipun demikian, mengingat sistem dan sikap sentralistis dalam penyelenggaraan pendidikan sangat mengakar di negeri ini, setiap kebijakan pendidikan dalam rangka otonomi pendidikan mesti dikritik secara serius, agar jangan sampai kebijakan otonomi pendidikan hanya menghasilkan perubahan nama, tetapi substansinya masih tetap sentralistis. Kurikulum? Salah satu hal yang perlu dikritik adalah kurikulum yang saat ini masih dalam tahap uji coba. Kurikulum yang diujicobakan saat ini menggunakan pendekatan kompetensi, yang dengan pendekatan tersebut diidentifikasikan dan ditetapkan sejumlah kompetensi umum yang akan dimiliki siswa setelah belajar.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 153
Sepintas lalu kurikulum itu tampak sesuai dengan prinsip otonomi pendidikan, karena hanya berwujud pernyataanpernyataan umum tentang kompetensi siswa, sedangkan pembelajaran diserahkan sepenuhnya kepada daerah dan sekolah. Tetapi, adakah jaminan tidak akan terjadi reduksi prinsip otonomi pendidikan, bila kurikulum berbasis kompetensi itu dilaksanakan? Andaikan pendekatan kompetensi merupakan pendekatan yang komprehensif, sehingga mampu mengakomodasi keunikan setiap daerah dan sekolah seperti halnya MBS, sebenarnya tidak menjadi persoalan. Namun, pendekatan itu hanyalah sebuah pendekatan yang lebih sesuai dengan pendidikan kejuruan. Bahkan untuk pendidikan kejuruan yang dipandang lebih sesuai menggunakan pendekatan ini pun, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dulu agar penggunaannya efektif dan efisien (Lihat John D. McNeil, Curriculum, A Comprehensive Intriduction; 1990). Karena pendekatan kompetensi dalam pengembangan kurikulum mengacu pada pendidikan kejuruan, salah satu ciri utamanya adalah adanya standar baku hasil belajar. Dalam pendekatan kompetensi untuk pendidikan kejuruan, tingkat keakuratan dalam mengerjakan sesuatu harus dapat diukur dan memiliki standar tertentu yang tidak bisa ditawar-tawar. Dengan demikian, metode drill dan evaluasi acuan patokan menjadi ciri utama pendekatan ini. Ciri utama pendekatan kompetensi sebagaimana dikemukakan di atas hanya tepat untuk pendidikan kejuruan, dan tidak untuk pendidikan umum. Dalam pembelajaran matematika di SD misalnya, tidak mungkin guru menuntut semua siswa dalam kelas agar menunjukkan kemampuan yang sama setelah mengikuti pembelajaran, karena kemampuan siswa berbeda.
154 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Kalau ciri utama pendidikan kejuruan itu diterapkan pada pendidikan umum, maka akan terjadinya penyeragaman dalam pembelajaran, kapan pun dan di mana pun. Dan itu berarti kita kembali ke sistem sentralisasi pendidikan yang justru hendak dihapus sebagai salah satu agenda utama reformasi pendidikan. Bila kurikulum dengan pendekatan kompetensi yang sedang diujicobakan itu tetap digunakan, perlu dilakukan adaptasi dan antisipasi maksimal terhadap kelemahan-kelemahan penggunaannya, khususnya penggunaannya untuk pendidikan umum. Salah satu wujud adaptasi dan antisipasi adalah dengan mengingatkan daerah dan sekolah untuk menggunakan metode dan evaluasi pembelajaran di luar pendekatan kompetensi. Konkretnya, agar pada lembaga pendidikan umum tidak digunakan metode drill dan evaluasi acuan patokan dengan porsi sebagaimana penggunaannya pada pendidikan kejuruan. Pengingatan itu amat penting, karena penerapan kedua cara itu pada pendidikan umum sebagaimana penerapannya pada pendidikan kejuruan merupakan pengingkaran terhadap keunikan potensi dan cara belajar siswa. Padahal, salah satu target penting dari otonomi pendidikan adalah pemberian perhatian yang proporsional kepada keunikan setiap siswa. KKN Pendidikan Sejauh reformasi bergulir sampai saat ini, ternyata terdapat indikasi adanya upaya serius untuk mengatasi KKN di bidang pendidikan. Dalam kenyataannya, kolusi dan korupsi di bidang pendidikan terus berjalan. Kalau ingin tahu kentalnya KKN di bidang pendidikan, cobalah bertanya kepada pengelola sekolah swasta tentang biaya yang harus mereka keluarkan untuk berbagai urusan sekolah, misalnya urusan akreditasi yang dilakukan aparat pendidikan. Kegiatan itu ternyata padat dengan
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 155
permainan uang dan manipulasi siluman yang sulit dibuktikan melalui prosedur hukum. Atau, cobalah bertanya pula kepada para guru negeri yang mengurus kenaikan pangkat atau promosi jabatan. Urusanurusan yang menyangkut kesejahteraan pegawai negeri di bidang pendidikan pun tak kalah kentalnya dengan permainan uang dan manipulasi. Bahkan di era reformasi ini keadaannya semakin parah karena, terlibatnya birokrat pemerintah nonpendidikan dalam pengelolaan pendidikan di daerah. Di perguruan tinggi (PT) pun tak ada bedanya. Cobalah bertanya kepada warga PT yang mengelola uang proyek tertentu. Dapat dipastikan, uang proyek yang sampai ke tangan pengelola proyek terpotong sekian persen, tanpa bisa dijelaskan secara transparan di mana dan untuk apa uang itu dipotong. Daftar KKN di bidang pendidikan pasti panjang bila terus diidentifikasi. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana memulai penanggulangan KKN di bidang pendidikan. Penanggulangan KKN di bidang pendidikan sungguh sangat penting, bahkan jauh lebih penting dibandingkan pelaksanaan otonomi pendidikan, karena tanpa penanggulangan KKN secara serius, otonomi pendidikan sama saja dengan otonomi KKN. Dalam konteks fungsi sekolah sebagai agen pendidikan moral, bagaimana mungkin sekolah dapat mewujudkan fungsinya itu, kalau sistem pendidikan sendiri dililit praktek KKN yang jelas-jelas tidak bermoral? Oleh karena itu, sudah saatnya penanggulangan KKN dijadikan salah satu agenda konkret reformasi pendidikan. Dapatkan pejabat pendidikan di pusat dan daerah segera mencanangkan agenda konkret penanggulangan KKN di bidang pendidikan? Semoga dapat?
156 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Guru, Kunci yang Tidak Berdaya Suara Pembaruan, 5 Juli 2002 Dalil yang mengatakan bahwa guru adalah kunci keberhasilan pendidikan tidak terbantahkan sampai saat ini. Karena itu, kalau kita mau membenahi pendidikan secara mendasar, pembenahan harus dimulai dari guru. Secara sederhana, pembenahan terhadap guru dapat diklasifikasikan menjadi pembenahan sebelum menjadi guru dan pembenahan setelah menjadi guru. Pembenahan sebelum menjadi guru adalah pembenahan terhadap sistem pendidikan calon guru, sedangkan pembenahan setelah menjadi guru adalah pembenahan terhadap kemampuan profesional guru dan jaminan kesejahteraan hidup mereka. Dalam hal pendidikan calon guru, mengingat peran guru sebagai kunci tersebut, penerimaan calon peserta pendidikan guru harus benar-benar selektif, khususnya dalam hal bakat dan minat. Untuk itu, penerimaan calon peserta pendidikan guru mesti didasarkan pada hasil tes bakat dan minat. Dalam kenyataannya, selama ini tes bakat dan minat tidak digunakan sebagai salah satu alat seleksi penerimaan pendidikan calon guru. Memang mereka yang memilih mengikuti pendidikan calon guru tentu memiliki minat menjadi guru, tetapi patut dipertanyakan besar-kecilnya minat itu, mengingat profesi guru merupakan profesi kelas dua di negeri ini. Selain masukan, proses pendidikan calon guru pun perlu dikaji. Setelah semua Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dijadikan universitas, pendidikan guru dilaksanakan melalui dua cara, yakni cara serempak dan cara berlapis. Yang menjadi persoalan, idealnya pendidikan guru dilaksanakan oleh Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), karena ilmu keguruan Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 157
merupakan bagian integral dari ilmu pendidikan. Apakah idealisme itu sudah berjalan? Tidak Maksimal Dalam kenyataannya, berbagai pihak di universitas jelmaan IKIP itu ikut menyelenggarakan pendidikan guru, termasuk fakultas-fakultas di luar FIP. Ini berakibat, penanganan pendidikan guru menjadi tidak maksimal karena perhatian para penyelenggara terbagi untuk pendidikan guru, pendidikan non guru, maupun untuk urusan lainnya. Sungguh tidak realistis, bahkan terkesan menganggap remeh setiap disiplin ilmu, bila ada fakultas yang menangani dua ilmu sekaligus, yakni ilmu keguruan dan ilmu nonkeguruan. Hal lain dalam proses pendidikan calon guru yang memprihatinkan berkaitan dengan besarnya porsi praktik mengajar. Idealnya setiap kompetensi keguruan dipraktikkan di sekolah latihan hingga calon guru benar-benar menguasainya. Namun, dalam kenyataannya, para calon guru berlatih mengajar hanya beberapa kali di sekolah latihan. Kecilnya frekuensi praktik mengajar ini sesuai dengan bobot mata kuliah praktik mengajar yang hanya berjumlah 4-6 kredit. Karena itu, agar frekuensi praktik mengajar lebih besar, maka bobot kreditnya mesti ditambah. Dalam hal keseimbangan antara teori dan praktik, agaknya para pengelola lembaga pendidikan guru perlu belajar dari sistem pengelolaan pendidikan kedokteran, khususnya yang terkait dengan kerja sama antara Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit. Seharusnya setiap lembaga pendidikan guru memiliki semacam sekolah laboratorium, di mana di sekolah tersebut para calon guru berlatih mengajar secara intensif,
158 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
sebagaimana para calon dokter belajar berpraktik secara intensif di rumah sakit. Kebutuhan Guru Dalam konteks teori kebutuhan manusia, misalnya teori kebutuhan manusia yang dikemukakan oleh Maslow (Lihat Goble, Mazhab Ketiga, Psikologi Humanistik, Abraham Maslow, 1987), idealnya para guru menjalankan profesinya sebagai kegiatan pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri mereka. Dengan demikian, ketika profesi itu dijalankan, seharusnya para guru telah memperoleh pemenuhan minimal kebutuhan dasar mereka, mulai dari kebutuhan fisik, rasa aman, memiliki dan dimiliki, sampai kebutuhan penghargaan. Apakah kebutuhan dasar para guru tersebut telah terpenuhi minimal? Dalam hal kebutuhan fisik minimal, mungkin sudah tidak menjadi persoalan. Dibandingkan mayoritas masyarakat negeri ini, agaknya kebutuhan fisik guru negeri ini telah terpenuhi relatif lebih baik. Persoalannya justru terletak pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di atas kebutuhan fisik. Dalam hal kebutuhan rasa aman, apakah para guru telah memiliki cukup rasa aman berkaitan dengan masa depan karier mereka maupun masa depan keluarganya? Dalam hal kebutuhan memiliki dan dimiliki, apakah para guru telah memiliki cukup rasa dimiliki dan perasaan sebagai bagian integral dari komunitas pranata pendidikan? Dalam hal kebutuhan harga diri, apakah para guru telah merasa cukup berharga dan dihargai? Suatu saat, seorang guru Sekolah Dasar (SD) di Malang bercerita pada penulis tentang pengalamannya yang menyedihkan sebagai guru SD. Diceritakan, Kepala Sekolah (KS) tempat ia mengajar menjadi pengurus salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Sebagai pengurus PTS, sang KS selalu
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 159
mempromosikan PTS-nya kepada para guru, sambil memberikan ancaman terselubung bahwa dalam waktu dekat semua guru SD wajib berkualifikasi Strata 1 (S1). Agar dapat mengikuti kuliah di PTS tersebut, para guru diberi kemudahan meminjam uang dari koperasi. Prosesnya mudah, karena kepada koperasi adalah pejabat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), yang sekaligus juga menjadi pengurus PTS tersebut. Jadi, para guru tinggal menandatangani kuitansi peminjaman uang dari koperasi, sedangkan uangnya tidak diambil oleh para guru, melainkan konon diserahkan langsung ke PTS tanpa penjelasan transparan tentang perincian peruntukan uang tersebut. Sepintas lalu, perlakukan terhadap guru SD sebagaimana dikemukakan di atas seolah-olah membantu para guru, tetapi sesungguhnya perlakukan tersebut justru amat mengganggu terpenuhinya kebutuhan dasar para guru, entah kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan memiliki dan dimiliki, maupun kebutuhan penghargaan. Ini hanya sekedar contoh dari segudang perlakukan tidak pada tempatnya terhadap para guru. Lalu, bagaimana mungkin para guru dapat mengaktualisasikan dirinya melalui profesinya, bila kebutuhan-kebutuhan yang mendasari aktualisasi diri itu tidak terpenuhi secara minimal? Untuk memenuhi kebutuhan guru, pemerintah merencanakan pengangkatan guru kontrak. Dalam konteks teori kebutuhan manusia, pengangkatan guru kontrak ini sebaiknya dipikirkan kembali. Pasalnya, mereka yang memilih pekerjaan sebagai guru sesungguhnya adalah mereka yang mengharapkan ketenangan dan kestabilan dalam bekerja. Mereka bukan tipe petualang yang gemar berganti-ganti pekerjaan. Sistem guru kontrak jelas akan sangat mengganggu rasa aman mereka dalam bekerja. Kiranya jelas, proses pendidikan dan pembinaan terhadap kemampuan profesional guru tidak memadai dalam
160 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
memberdayakan guru. Rencana pengadaan guru melalui sistem guru kontrak pun akan menghadirkan guru-guru yang tidak berdaya. Kalau kita mengharapkan guru benar-benar memainkan perannya sebagai kunci, maka inilah persoalan yang harus diselesaikan. Dapatkan para elite pendidikan menanggulangi persoalan ini?
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 161
Menyoal Fakultas Ilmu Pendidikan Suara Pembaruan, 26 Juli 2002 Paling tidak, sudah tiga kali penulis mengikuti seminar pendidikan yang menghadirkan dua pembicara yang sama. Kedua pembicara tersebut adalah doktor pendidikan dan menjadi dosen Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) di perguruan tingginya masing-masing. Masing-masing mereka menganut secara ekstrem satu paradigma pendidikan, satunya menganut secara ekstrem paradigma behavioristik, lainnya penganut ekstrem paradigma konstruktivistik. Dalam setiap seminar, keduanya berusaha mati-matian membela paradigma yang dianutnya, seolah-olah paradigma yang dianutnyalah yang paling benar. Diskusi dalam setiap seminar memang menjadi hangat karena perdebatan seru antara keduanya, tetapi sekaligus juga terasa ironis karena keduanya memperdebatkan dua paradigma pendidikan yang sebenarnya juga sedang diperdebatkan di belahan dunia lain, yang jelas-jelas kondisinya amat berbeda dari kondisi negeri ini. Perbedaan pandangan antara dua tokoh pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas sesungguhnya merupakan cerminan dari kondisi umum para pemuka pendidikan di negeri ini. Para pemuka pendidikan negeri ini umumnya merupakan orang-orang yang menganut pandangan pendidikan tertentu dari negara lain, atau tidak menganut secara relatif tetap pandangan tertentu, melainkan selalu berubah pandangan sesuai dengan pandangan yang sedang menjadi trend di luar negeri. Cobalah cermati cara pandang para pemuka pendidikan entah dalam kegiatan-kegiatan diskusi semacam seminar, maupun melalui tulisan-tulisan di media masa, akan sangat kelihatan kalau sang pemuka pendidikan menganut pandangan 162 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
tertentu yang ada di luar negeri. Bahkan tidak jarang ada pemuka pendidikan yang langsung merujuk pada praktik pendidikan di negara lain tanpa mengenal lebih jauh pandangan yang melatarbelakangi praktik pendidikan tersebut. Tanpa Adaptasi Sesungguhnya bukan tanpa sengaja penulis menggunakan istilah pemuka pendidikan dalam tulisan ini. Penulis menggunakan istilah pemuka pendidikan dan bukan ilmuwan pendidikan, misalnya, karena para pemuka pendidikan negeri ini lebih berperan sebagai adaptor pandangan, teori, bahkan praktik pendidikan dari luar negeri dan bukan sebagai pengembang ilmu pendidikan yang membumi di negeri ini. Dalam konteks pembaruan pendidikan di negeri ini, ilmuwan pendidikan kita, kalau boleh disebut sebagai ilmuwan pendidikan, adalah ilmuwan dari proyek ke proyek. Maksudnya ilmuwan yang hanya mengadopsi sistem pendidikan dari negara tertentu dan dijadikan proyek pembaruan pendidikan di negeri ini, kemudian proyek dengan sistem itu ditinggalkan begitu saja dan diganti dengan proyek lain ketika muncul sistem baru lagi di luar negeri. Sementara itu, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) sebagai fakultas yang bertugas mengembangkan ilmu pendidikan di negeri ini pun ternyata sama saja dengan para pemuka pendidikan. Dalam kenyataannya, FIP lebih berfungsi sebagai fakultas penghimpun dan penyebar pandangan dan teori pendidikan yang didatangkan dari luar negeri, dan bukan sebagai lembaga pengembang dan pengadaptasi ilmu pendidikan. Pandangan dan teori yang terkandung dalam setiap disiplin ilmu yang didatangkan dari luar negeri, termasuk ilmu pendidikan, tentu memiliki unsur universal. Namun, efisiensi
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 163
dan keefektifan penerapan pandangan dan teori-teori tersebut di negeri ini menuntut adaptasi maksimal dengan kondisi negeri ini. Kita dapat saja mengadopsi pandangan dan teori-teori pendidikan yang dikembangkan oleh ilmu pendidikan di negara lain, tetapi tidak untuk sistem aplikasinya, karena perbedaan kondisi sosial budaya daerah asal pandangan dan teori tersebut. Di sinilah sebenarnya letak kelemahan utama pembaruanpembaruan pendidikan di negeri ini, yakni minimnya adaptasi terhadap setiap sistem pembaruan pendidikan yang kita datangkan dari luar negeri. Akibatnya, kita tidak pernah mendapatkan manfaat memadai dari pembaruan tersebut. Tetapi sesungguhnya jauh lebih baik kalau kita mulai mengembangkan pandangan dan teori pendidikan sendiri. Dengan memiliki pandangan dan teori pendidikan sendiri, pembaruan pendidikan yang kita lakukan akan lebih efektif, efisien, dan mendasar. Kondisi FIP Secara politik pemerintah paling bertanggung jawab terhadap berbagai persoalan pendidikan di negeri ini. Namun, secara akademis, warga FIP, termasuk lulusannya, memikul tanggung jawab paling besar. Sebagai warga negara yang mengenyam puncak pendidikan formal, warga FIP secara moral paling bertanggung jawab terhadap berbagai persoalan pendidikan di negeri ini, termasuk persoalan mandeknya perkembangan ilmu pendidikan serta tidak teradaptasikannya berbagai ide pembaruan pendidikan dari luar negeri secara memadai. Kalau dicermati kondisi FIP, sebenarnya amat gamblang nampak kalau FIP tidak cukup peduli terhadap perkembangan ilmu yang menjadi lahan garapannya, yakni ilmu pendidikan.
164 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Seperti halnya fakultas-fakultas lainnya di PT, FIP memiliki sejumlah jurusan. Seharusnya, jurusan-jurusan di FIP memiliki kompetensi bersama yang relevan dengan pengembangan ilmu pendidikan, di samping kompetensi khas setiap jurusan. Namun, dalam kenyataannya, setiap jurusan di FIP berjalan sendiri-sendiri dan mengabaikan kompetensikompetensi yang seharusnya menjadi dasar ilmu pendidikan. Ibarat cabang dan ranting pohon yang terlepas dari batangnya, begitulah keberadaan jurusan-jurusan di FIP. Kondisi FIP yang demikian jelas membuat FIP jauh dari tugas utamanya sebagai pemelihara, pengembang, dan pengadaptasi ilmu pendidikan. Karena itu, sungguh wajar kalau ada yang mengatakan bahwa ilmu pendidikan di negeri ini sedang pingsan. Bahkan tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa ilmu pendidikan sudah mati. Yang jelas, ibarat sebuah organisme kehidupan, ilmu pendidikan di negeri ini tidak dapat mengolah sendiri makanannya, dan hidup hanya karena infus makanan dari luar. Lalu, bagaimana mungkin ilmu pendidikan dapat memberikan urunan berharga bagi pembangunan pendidikan negeri ini, kalau untuk menghidupi dirinya sendiri pun ia tidak mampu? Kiranya jelas, kalau FIP hendak memainkan perannya dalam bidang pendidikan secara memadai, struktur kompetensinya perlu ditata kembali. Konkretnya, semua jurusan di FIP mesti menyediakan kompetensi yang relevan dengan pemeliharaan, pengembangan, dan pengadaptasian ilmu pendidikan, di samping kompetensi-kompetensi khas masingmasing jurusan. Misalnya kompetensi di bidang filsafat ilmu, filsafat pendidikan, ilmu pendidikan, sosiologi pendidikan, antropologi pendidikan, psikologi pendidikan dan penelitian pendidikan.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 165
Oleh sementara warga FIP, kompetensi-kompetensi yang disebutkan di atas dipandang tidak diperlukan manfaat praktis bagi lulusan FIP untuk memasuki dunia kerja. Tentu saja pandangan demikian merupakan reduksi terhadap keutuhan ilmu pendidikan, ibarat cabang pohon yang berusaha melepaskan diri dari batang pohon. Agaknya inilah yang menjadi penyebab utama merananya ilmu pendidikan di negeri ini. Pohon ilmu pendidikan merana karena cabang-cabangnya berusaha melepaskan dirinya, sementara cabang-cabang itu sendiri menjadi tidak bermakna bagi pengembangan pendidikan karena kehilangan jati dirinya sebagai cabang ilmu pendidikan. Lalu jadilah ilmu pendidikan sebagai ilmu yang tidak bermakna bagi perkembangan pendidikan di negeri ini. Dapatkah para pengelola FIP mengembalikan visi dan misi FIP pada jalur yang sebenarnya?
166 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Sekolah dan Kesenjangan Ekonomi Suara Pembaruan, September 2002 Kesenjangan ekonomi di negeri ini masih sangat lebar. Di satu pihak terdapat sementara warga yang untuk makan seharihari saja masih sangat sulit, sementara di pihak lain terdapat warga negara yang bergelimang harta, sehingga untuk memuaskan hobinya pun mereka bingung mau berbuat apa. Dalam konteks persoalan pendidikan, di satu pihak terdapat banyak bangunan sekolah yang minim fasilitas dan nyaris rubuh, sementara di pihak lain terdapat sementara warga yang amat mudah bolak-balik mengganti mobil berharga ratusan juta hingga miliaran rupiah. Padahal biaya perbaikan puluhan sekolah tidak seberapa bila dibandingkan dengan harga sebuah mobil mewah. Memang kekayaan sementara warga negeri ini adalah kekayaan semu, karena secara makro Indonesia ini memiliki hutang luar negeri luar biasa besarnya. Meskipun demikian, tetap saja tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral, kalau hutang yang besar ini dinikmati secara tidak adil hanya oleh sebagian warga. Bukankah setiap warga negara ikut memikul hutang itu? Pranata ekonomi jelas memiliki andil paling besar terhadap adanya kesenjangan ekonomi amat parah, tetapi pranata lain pun ikut andil di dalamnya. Tak terkecuali pranata pendidikan, karena kebijakan pendidikan yang masih diskriminatif. Andil pendidikan dalam menciptakan ketidakadilan ekonomi di Indonesia adalah karena mutu sekolah yang masih amat bervariasi. Dan sekolah-sekolah bermutu hanya dapat dimasuki oleh mereka dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Bahkan untuk mengejar pendidikan bermutu, kalangan ekonomi Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 167
atas tidak segan-segan mengirimkan anaknya untuk mengikuti pendidikan sejak dini di luar negeri. Singkatnya, dari kacamata pendidikan, kelompok ekonomi lemah sulit mempersempit kesenjangan ekonominya dari kelompok ekonomi menengah ke atas, karena kelompok ekonomi lemah sulit memperoleh pendidikan bermutu. Telaah Historis Kesenjangan pendidikan dan ekonomi di Indonesia sesungguhnya merupakan warisan kolonial. Pada masa penjajahan Belanda, demi kepentingan penjajah, warga diadu domba dan dibodohi melalui berbagai bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi pendidikan dan ekonomi. Dalam hal pendidikan dasar misalnya, bagi golongan bangsawan dan Timur Asing disediakan sekolah istimewa dengan lama pendidikan tujuh tahun, sedangkan untuk rakyat biasa disediakan sekolah seadanya dengan lama pendidikan dua tahun. Diskriminasi ini menjadi sempurna dalam menciptakan kesenjangan ekonomi, karena pemerintah kolonial juga menjadikan kaum Timur Asing sebagai tangan kanan bidang ekonomi. Setelah merdeka, secara formal diskriminasi tersebut memang dihapus, sebagaimana dapat dibaca pada pembukaan dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945. Namun, dalam kenyataannya, perpaduan antara telah mengakarnya sistem dikembangkan pemerintah kolonial di satu pihak, serta ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan sistem yang lebih adil di pihak lain, membuat praktik pendidikan dan ekonomi yang diskriminatif tersebut tetap langgeng. Kenyataan historis dan dampaknya hingga kini sebagaimana dikemukakan di atas mesti disadari benar oleh
168 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
setiap orang. Sekolah merupakan lembaga yang dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk maksud penyadaran tersebut. Melalui pelajaran sejarah misalnya, sekolah mengajarkan apa adanya kenyataan pahit diskriminasi sosial masa kolonial, agar setiap warga Negara menyadari posisinya dalam konteks sejarah, dan dengan demikian lebih bijak dalam menempatkan diri. Agar mereka yang sedang berjaya saat ini karena diuntungkan oleh diskriminasi sosial waktu lalu, tidak lupa diri dan menikmati sendiri sepuas-puasnya kejayaannya sekarang, tanpa menghiraukan sesama saudaranya sebangsa yang kurang beruntung. Di pihak lain, agar mereka yang kurang beruntung karena diskriminasi sosial waktu lalu, tidak hanya menyesali diri dan menerima ketidakberuntungannya secara negatif, melainkan termotivasi untuk bangkit dari ketertinggalannya dengan memanfaatkan secara maksimal setiap peluang yang telah ada dan mungkin diadakan pemerintah. Peluang Upaya nyata untuk memberikan kesempatan kepada mereka dari kalangan ekonomi lemah untuk menikmati pendidikan bermutu bukan tidak ada sama sekali. Sebut saja misalnya pemberian beasiswa dan pengadaan orang tua asuh bagi anak-anak berprestasi dari kalangan ekonomi lemah. Namun, upaya-upaya tersebut belum menyentuh sepenuhnya akar persoalan. Pasalnya, pertama, yang menjadi sasaran bantuan adalah mereka yang berprestasi. Padahal agar bisa berprestasi diperlukan dukungan lingkungan. Lalu, bagaimana mungkin mereka dari kalangan ekonomi lemah dapat berprestasi agar mendapatkan beasiswa misalnya, bila kondisi keluarganya tidak memungkinkan mereka untuk berprestasi?
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 169
Kedua,anak-anak dari kalangan ekonomi lemah tidak hanya membutuhkan biaya pendidikan, melainkan juga iklim belajar yang khas dibandingkan mereka dari kalangan ekonomi menengah ke atas, terutama pada jenjang dan kelas-kelas awal. Bila disatukan, kemungkinan besar anak-anak dari golongan ekonomi lemah akan putus sekolah, dengan berbagai kemungkinan dampak negatif yang menyertainya (lihat Kneler, 1965). Apa yang dikemukakan di atas menyiratkan paling tidak dua jalan keluar dalam rangka menjembatani kesenjangan ekonomi melalui sekolah. Pertama, pemerintah hendaknya menyediakan kemudahan maksimal bersekolah di sekolah negeri bagi mereka dari kalangan ekonomi lemah. Hendaknya mereka dari kalangan ekonomi lemah bersekolah bukan karena bantuan orang tua asuh maupun beasiswa, melainkan karena sistem pendidikan memang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk mendapatkan haknya dalam mengenyam pendidikan. Kedua, sebagaimana pihak swasta menyelenggarakan sekolah yang khusus dimasuki oleh anak-anak cerdas dan berbakat dari kalangan ekonomi menengah ke atas, pada tempatnya pemerintah juga menyelenggarakan sekolah khusus bagi anak-anak cerdas dan berbakat dari kalangan ekonomi lemah. Secara teoretis, otonomi daerah yang juga berarti otonomi pendidikan memberikan peluang lebih besar bagi terjadinya pemerataan pendidikan bermutu dalam rangka pemerataan ekonomi. Namun, realisasi peluang besar itu memerlukan kejujuran dan kemauan dari penguasa daerah dalam memberikan perhatian proporsional kepada mereka yang kurang beruntung secara ekonomi.
170 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Dalam kenyataannya, di sejumlah daerah, anggaran belanja untuk aparat pemerintah dan DPR jauh melebihi anggaran pendidikan. Bahkan di daerah-daerah tertentu terdapat indikasi adanya kerja sama saling menguntungkan antara eksekutif dan legislatif untuk mempertahankan kekuasaan dan jabatan, dengan mempermainkan anggaran belanja daerah. Kenyataan ini merupakan indikator gamblang bahwa sampai saat ini otonomi daerah belum disikapi oleh elite penguasa daerah sebagai peluang untuk memajukan daerah. Lalu, bagaimana mungkin kesenjangan mutu pendidikan dapat dijembatani?
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 171
Desentralisasi Kurikulum dan Evaluasi Belajar Kompas, 8 Desember 2003 Saat ini para pengelola sekolah dan guru di berbagai daerah di seluruh penjuru tanah air sedang disibukkan oleh kegiatan mempersiapkan diri untuk menyongsong pelaksanaan kurikulum baru, yang konon akan dimulai pada tahun ajaran baru yang akan datang. Kesibukan tersebut juga amat kental dengan kebingungan karena para pengelola sekolah dan guru sulit memahami secara mantap apa yang dimaksud dengan kurikulum berbasis kompetensi, yang menjadi ciri utama kurikulum baru itu. Dalam konteks otonomi pendidikan, kesibukan dan kebingungan nasional ini sungguh memprihatinkan. Bayangkan, di negeri amat luas, dengan 33 provinsi/daerah istimewa dan lebih dari 300 kabupaten/pemerintahan kota, serta jumlah penduduk sekitar 200 juta orang, mayoritas pengelola pendidikan dan guru-gurunya sibuk dan bingung mempelajari kurikulum baru yang disebut kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Seolah-olah, KBK adalah jimat yang mampu menyapu bersih berbagai persoalan pendidikan di negeri ini. Padahal, pendekatan kompetensi hanyalah salah satu dari sekian banyak pendekatan dalam pengembangan kurikulum. Dan, tidak ada jaminan bahwa pendekatan tersebut merupakan pendekatan paling jitu dalam mengatasi berbagai persoalan pendidikan, apalagi untuk negeri amat luas dan amat plural ini. Sesungguhnya, kesibukan dan kebingungan nasional dalam menyongsong pelaksanaan KBK merupakan indikator gamblang tentang masih sangat sentralistisnya pengelolaan pendidikan di negeri ini. Kegamblangan ini semakin sempurna bila dikaitkan dengan adanya kebijakan ujian akhir nasional 172 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
(UAN), yang secara substansial merupakan wujud dari sentralisasi evaluasi hasil belajar. Selama ini pendidikan nasional dikelola dengan sangat sentralistis. Dan, kita sama-sama tahu, sampai saat ini pendidikan kita seolah-olah tetap berjalan di tempat. Tentu terdapat sejumlah penyebabnya, tetapi sulit dibantah bahwa salah satu penyebab utamanya adalah adanya praktik desentralisasi pengelolaan pendidikan yang berlebihan. Dalam konteks sosiologi, sentralisasi pengelolaan pendidikan di negeri ini lebih kurang sejalan dengan paradigma struktur sosial, di mana sekolah merupakan unit pendidikan yang keberadaannya dipandang dan diperlakukan hanya sebagai pelaksana ketentuan dari kekuatan atau struktur di luar dirinya. Paradigma ini memang pernah populer dan digunakan sebagai acuan pembangunan berbasis industri di berbagai negara, tetapi kini mulai ditinggalkan karena terbukti tidak memberikan hasil memuaskan, bahkan menimbulkan berbagai dampak negatif.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 173
Sekolah Alternatif Di tengah hiruk pikuk kesibukan dan kebingungan mayoritas pengelola sekolah dan guru dalam upaya memahami KBK, ternyata terdapat sejumlah kecil sekolah alternatif yang tidak ikut hanyut dalam hiruk pikuk kebingungan itu. Pengelola sekolah ini mendefinisikan sendiri peran dan tindakannya dalam penyelenggaraan sekolah sehingga-dalam hal kurikulum- mereka mengembangkan sendiri kurikulum yang diyakini tidak keluar dari koridor kebijakan dasar pendidikan nasional, tetapi lebih mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Ternyata, sekolah-sekolah tersebut dapat berkiprah dan mengalami kemajuan secara signifikan, sehingga semakin hari semakin menjadi rebutan para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya di sana. Kehadiran sekolah alternatif ini memberikan bukti signifikan bahwa komunitas-komunitas masyarakat yang terpanggil untuk menyelenggarakan sekolah mampu mendefinisikan sendiri secara bijak perannya dalam menyelenggarakan sekolah. Ini sekaligus juga menunjukkan bahwa para pengelola sekolah konvensional, jika diberi kesempatan, sesungguhnya mampu mendefinisikan sendiri secara bijak perannya dalam menyelenggarakan sekolah sebagaimana sekolah-sekolah alternatif. Pengalaman di negeri ini maupun pengalaman di negara lain membuktikan, pengelolaan sekolah yang terlampau diatur dari pusat ternyata tidak efektif dan efisien dalam memajukan pendidikan. Pengalaman di negeri ini juga membuktikan bahwa sejumlah sekolah dapat menunjukkan kemajuan signifikan bila diberi kesempatan untuk mendefinisikan sendiri perannya. Pengalaman-pengalaman tersebut seharusnya membuat kita lebih berani mendesentralisasikan pendidikan, termasuk
174 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
kurikulum dan evaluasi hasil belajar. Dalam hal kurikulum, desentralisasi dikatakan memadai bila pemerintah pusat hanya menetapkan mata pelajaran atau bidang studi beserta pokok bahasannya, sedangkan pengembangannya menjadi lebih siap dilaksanakan dalam pembelajaran diserahkan sepenuhnya kepada daerah dan sekolah. Demikian juga dalam hal evaluasi, pemerintah pusat memang berhak menetapkan standar mutu pendidikan nasional dalam rangka pengendalian mutu pendidikan nasional. Namun, biarkanlah setiap daerah dan sekolah menilai sendiri tingkat pencapaian dirinya terhadap standar nasional tersebut. Pertimbangannya sederhana saja. Daerah dan sekolah mana pun tentu tidak ingin tertinggal dari standar mutu pendidikan nasional. Selain itu, masih terdapat berbagai kemungkinan cara yang dapat digunakan untuk mengendalikan pendidikan nasional, tanpa harus menggunakan UAN yang amat sentralistik dan memiliki segudang kemungkinan dampak negatif itu. Pada awalnya, penerapan desentralisasi kurikulum dan evaluasi hasil belajar sebagaimana dikemukakan di atas akan membuat aparat dan praktisi pendidikan sibuk dan bingung. Meskipun demikian, kesibukan dan kebingungan tersebut adalah kesibukan dan kebingungan terhadap sesuatu yang lebih menjanjikan perbaikan pendidikan, dibandingkan kesibukan dan kebingungan memahami apa maunya KBK. Membiarkan aparat dan praktisi pendidikan di seluruh tanah air sibuk dan bingung dalam memahami KBK, demikian juga membiarkan mereka selalu khawatir karena selalu dikejar target standar pendidikan nasional, sama saja dengan tidak yakin bahwa sentralisasi pendidikan sungguh merugikan. Lalu, apakah kita perlu jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kesekian kalinya? Semoga tidak!
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 175
Ujian Akhir Nasional dan Petani Malas Suara Pembaruan, 14 Mei 2004 Meski dikritik banyak pihak berkaitan dengan pengadaan Ujian Akhir Nasional (UAN), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tetap tidak goyah. Pada akhirnya UAS tetap dilaksanakan karena diyakini UAN merupakan bagian integral pendidikan, dan bermanfaat untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan nasional. Bahwa evaluasi merupakan bagian integral dari pendidikan, memang benar. Bahwa UAN dapat mendorong peningkatan mutu pendidikan nasional, juga tidak salah. Namun, perlu diingat bahwa ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi agar evaluasi hasil belajar dalam bentuk UAN benarbenar berfungsi sebagaimana diharapkan. Dalam konteks sistem pembelajaran, UAN dapat diibaratkan petani yang memanen hasil pertaniannya. Tentu saja hasil yang akan diperoleh petani amat tergantung pada proses yang ditempuhnya selama bertani, mulai dari pengolahan lahan, seleksi bibit, pengaturan jarak tanam, pemupukan, pengaturan air, perlindungan terhadap gangguan hama, dan sebagainya. Tidak mungkin petani akan mendapatkan hasil maksimal bila proses bertaninya dilakukan secara serampangan, misalnya bibitnya tidak terseleksi, air dan pupuk kurang, jarak tanamnya terlampau dekat, dan sebagainya. Persyaratan Kembali ke masalah UAN, pertanyaannya adalah sudahkah proses pendidikan memenuhi persyaratan bagi diperolehnya hasil memuaskan? Kalau kita mau jujur, jawabannya pasti belum. Prasarana dan sarana sekolah yang 176 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
terbatas, mutu guru yang rendah, seleksi dan penempatan siswa yang tidak terstandar, sekedar contoh dari belum terpenuhinya persyaratan bagi perolehan hasil pendidikan yang memuaskan. Lalu, kalau demikian, apakah masih bisa dikatakan bahwa pengeluaran dana besar-besaran untuk UAN bukan merupakan pemborosan sia-sia? Bukankah UAN ibarat petani yang malas bekerja, tetapi tetap mengeluarkan dana besar untuk memanen hasilnya, dengan harapan kelak lebih rajin bekerja? Suatu cara berpikir yang tidak logis dan sungguh konyol. Sebagaimana dikemukakan petinggi pendidikan untuk membenarkan pengadaan UAN, di negara-negara maju seperti Singapura dan Amerika Serikat memang ada evaluasi nasional semacam UAN dalam rangka standardisasi kualitas pendidikan. Dan tidak ada salahnya kita belajar dari pengalaman negaranegara maju tersebut. Namun, perlu diingat bahwa kondisi sosial budaya Indonesia berbeda dari negara manapun di muka bumi ini. Bila dibandingkan dengan Singapura misalnya, luas wilayah dan jumlah penduduknya tidak ada bandingnya dengan Indonesia. Barangkali Amerika Serikat bisa dijadikan objek belajar karena kedekatan ukuran luas wilayah dan jumlah penduduk. Meskipun demikian, kita perlu jeli dan kritis dalam belajar dari negara Paman Sam itu. Pendidikan di negara tersebut sejak semula sudah terdesentralisasikan sehingga evaluasi nasional terhadap pendidikan di sana semacam UAN justru berbasis pada desentralisasi pendidikan yang kuat. Sementara kita di sini, otonomi pendidikan baru mulai dirintis, tiba-tiba kita mau memacu mutu pendidikan dengan UAN.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 177
Otonomi Pendidikan Kalau kita mau belajar dari negeri Paman Sam, maka pelaksanaan otonomi pendidikan harus dimaksimalkan terlebih dahulu sebelum UAN digunakan untuk memacu kualitas pendidikan nasional. Bahkan mengingat kondisi sosial budaya yang amat berbeda, kita memastikan menciptakan sistem yang lebih sesuai dengan kondisi kita di sini. Sebagai contoh, standardisasi mutu pendidikan melalui evaluasi belajar dilakukan secara bertahap, misalnya dimulai dari tingkat kabupaten. Katakanlah misalnya selama sekian tahun, setiap provinsi memfasilitasi standardisasi mutu pendidikan kabupaten melalui pengadaan Ujian Akhir Kabupaten (UAK). Kemudian, setelah diproses cukup indikator bahwa telah terjadi pemerataan mutu pendidikan di tingkat kabupaten, maka diadakanlah Ujian Akhir Provinsi (UAP)dalam rangka standardisasi mutu pendidikan provinsi. Kemudian, pada gilirannya diadakanlah standardisasi mutu pendidikan nasional melalui UAN. Penahapan standardisasi mutu pendidikan nasional melalui evaluasi sebagaimana dikemukakan di atas sekedar sebuah contoh kemungkinan cara yang dapat digunakan. Tentu saja masih terdapat kemungkinan cara lain yang bisa saja jauh lebih baik. Namun, yang penting adalah kesadaran dan kemauan para petinggi pendidikan di pusat dalam berusaha serius menemukan model yang paling sesuai dengan kondisi negeri ini. Begitu gigihnya petinggi pendidikan di pusat mengemukakan argumentasi pembenaran terhadap UAN menunjukkan tidak adanya niat untuk meniadakan maupun mencari alternatif lain dari UAN. Ini berarti, tahun depan pun UAN akan kembali digelar, bila sejak saat ini tidak terdapat dorongan eksternal yang lebih kuat untuk meniadakan atau merevisinya. Ironisnya, para pengkritis UAN baru mulai bicara
178 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
keras pada masa-masa menjelang pelaksanaan UAN. Sebuah penyingkapan terhadap UAN yang sangat terlambat, yang merefleksikan sikap mencari jalan pintas dalam mengatasi persoalan. Sikap itu juga sama saja dengan sikap para petinggi pendidikan yang mencari jalan pintas dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui UAN. Sungguh merupakan hal bijak kalau mulai saat ini, sejak amat dini, para pengkritis UAN mulai mengkritisi kemungkinan berulangnya UAN tahun depan. Tetapi, lebih bijak lagi kalau para petinggi pendidikan berjanji bahwa UAN tahun ini merupakan UAN terakhir, dan tahun depan sampai tenggang waktu tertentu tidak akan ada UAN maupun pengganti UAN yang substansinya sama saja dengan UAN. Semoga!
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 179
Sekolah dan Nasib Siswa Miskin Surabaya News, 3 Juli 2004 Dalam interaksi saya dengan para guru dalam rangka peningkatan kemampuan profesional mereka, sering muncul pertanyaan tentang bagaimana cara menghadapi siswa dari latar belakang ekonomi lemah. Menurut para guru, salah satu hambatan utama yang mereka hadapi dalam melaksanakan pembelajaran adalah sulitnya menangani para siswa dari keluarga miskin. Semangat belajar siswa dari keluarga miskin umumnya amat rendah, mereka pun sering melakukan tindakantindakan yang mengganggu kelancaran pembelajaran. Larangan, teguran, peringatan, bahkan hukuman dari guru ternyata tidak dapat merubah tingkah laku mereka. Krisis ekonomi berkepanjangan di negara ini telah menambah jumlah keluarga miskin. Dan ini berarti, jumlah siswa yang sulit ditangani oleh guru di sekolah akan semakin bertambah. Karena itu, para guru perlu mendapatkan berbagai masukkan mendasar dan praktis tentang bagaimana sebaiknya menghadapi siswa-siswa tersebut tanpa terlampau mengorbankan masa depan para siswa itu. Larangan, teguran, peringatan dan hukuman agaknya paling sering digunakan oleh guru dalam menghadapi siswa yang mengganggu jalannya pembelajaran. Dan secara teoretis, teknik-teknik ini memang dapat digunakan mengelola perilaku siswa. Meskipun demikian, teknik-teknik ini tidak dengan sendirinya efektif dan efisien untuk mengatasi masalah-masalah yang bersumber dari kemiskinan siswa. Anak-anak miskin biasanya akan membantu orang tuanya dalam mencari nafkah. Mereka akan tidur larut malam dan bangun amat pagi karena tugas-tugas membantu orang tua 180 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
tersebut. Ketika berangkat ke sekolah pun mungkin mereka tidak sarapan. Atau kalaupun sarapan, nilai gizinya tidak cukup untuk memberikan kekuatan fisik memadai kepada mereka dalam mengikuti pembelajaran. Dalam pembelajaran pun mereka akan sulit berkonsentrasi. Dalam keadaan demikian, jelas larangan, teguran, peringatan, bahkan hukuman sekalipun tidak akan berdampak positif. Sebaliknya, penggunaan teknik-teknik tersebut lebih cenderung memperkeruh keadaan. Siswa miskin yang semula tingkah lakunya selama pembelajaran wajar-wajar saja, justru dapat berubah dan mengganggu jalannya pembelajaran, setelah guru menghukumnya, karena tertidur di kelas, misalnya. Seorang siswa yang tidur larut malam dan bangun terlampau pagi, kemudian berangkat ke sekolah tanpa sarapan bergizi, mungkin akan tertidur di kelas saat pembelajaran berlangsung. Tertidurnya siswa di kelas karena kondisi fisik yang demikian sungguh sangat manusiawi. Secara alamiah tubuhnya membutuhkan istirahat, dan itu terjadi tanpa disengaja. Lalu, apa yang akan terjadi bila guru marah karena merasa tidak diperhatikan, kemudian memanggil siswa tersebut ke depan kelas dan memarahinya? Dapat dipastikan, si siswa akan kehilangan rasa kantuknya untuk beberapa saat. Namun, ada kepastian lain sebagai dampak negatif dari cara guru menangani siswa tersebut, yakni siswa akan kehilangan rasa aman, rasa memiliki dan dimiliki oleh komunitas kelas, serta rasa harga diri. Padahal, terpenuhinya perasaan-perasaan tersebut secara minimal. Justru merupakan prasyarat pembelajaran yang efektif dan efisien (Lihat Goble: 1987). Selain itu, cara tersebut pun akan menumbuhkan benihbenih dendam dalam diri siswa. Semula siswa hanya akan
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 181
dendam kepada guru, tetapi dendam itu akan tersimpan dan cepat atau lambat akan terefleksi ke objek-objek lainnya. Sulit dibayangkan bagaimana masa depan bangsa ini, kalau sekolah ikut membentuk manusia-manusia pendendam. Suatu saat, ketika para guru bertanya tentang bagaimana cara menghadapi siswa yang tertidur di kelas karena kelelahan fisik luar biasa, saya katakan pada mereka bahwa bila saya yang menjadi guru, saya akan membiarkan si siswa menikmati tidurnya. Pertimbangannya, si siswa memang akan kehilangan sesaat kesempatan mengikuti pembelajaran, tetapi terbuka peluang baginya untuk mengikuti pembelajaran berikutnya dengan kondisi lebih baik. Jawaban saya ternyata menimbulkan diskusi berkepanjangan antara saya dan para guru, maupun antara para guru sendiri. Para guru umumnya keberatan dengan cara yang saya kemukakan, karena khawatir siswa lainnya akan memanfaatkan peluang tersebut untuk ikut tidur di kelas saat pembelajaran berlangsung. Sementara itu, sesuai pengalamannya, ada guru yang mengusulkan agar siswa yang mengantuk disuruh membasuh muka dengan air dan bukan dibiarkan tidur di kelas. Saya tidak yakin bahwa bila seorang siswa dibiarkan tertidur saat pembelajaran berlangsung akan berakibat siswa lainnya ikut tertidur. Saya pun tidak yakin bahwa membasuh muka dengan air akan lebih berdampak positif dibanding siswa dibiarkan tertidur. Tetapi, terlepas dari cara apa pun yang digunakan oleh guru dalam menghadapi persoalan yang ditimbulkan oleh siswa dari keluarga miskin, bahkan juga oleh siswa pada umumnya, cara tersebut hendaknya tidak membuat siswa kehilangan hal-hal mendasar tersebut, yang tidak hanya
182 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
berakibat pembelajaran tidak efektif dan efisien, melainkan juga akan berdampak negatif terhadap pembentukan pribadi siswa. Lalu, bagaimana sebaiknya guru bersikap? Mengacu pada pandangan Dreikurs dan Cassel (1986), guru hendaknya menggunakan motivasi dan bukan tekanan, menawarkan usulan dan bukan memaksakan kehendak, membangun keberanian dan bukan mencela, mengakui prestasi dan bukan mencari kesalahan. Bila cara-cara ini yang digunakan guru, siswa akan merasa aman, dikasihi, dan dihargai.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 183
Mengurangi Komersialisasi Pendidikan Guru Suara Pembaruan, 16 Juli 2004 Suatu saat, menjelang pendaftaran mahasiswa baru, di Malang terpampang sebuah spanduk yang antara lain berisi pesan bahwa di Indonesia masih diperlukan 450.000 guru. Spanduk itu dipasang oleh sebuah perguruan tinggi yang memiliki program pendidikan guru. Pemasangan spanduk itu tentu saja dimaksudkan untuk menarik sebanyak-banyaknya calon mahasiswa masuk ke sana. Bila dibaca tanpa berpikir panjang, orang dapat terkecoh dengan isi spanduk tersebut. Dalam kondisi lapangan kerja yang amat terbatas saat ini, bila tidak dibaca secara kritis, isi spanduk itu dapat sangat efektif menarik peminat untuk mengikuti pendidikan guru. Orang akan segera mendaftar untuk kuliah di lembaga pendidikan guru karena ingin cepat bekerja sebagai guru. Padahal, bila dikaji secara kritis, isi spanduk tersebut sebenarnya menyesatkan. Dalam hal jumlah 450.000 orang guru yang masih diperlukan, misalnya, angka itu masih harus dipertanyakan keakuratannya, mengingat betapa kacaunya sistem sensus di negeri ini. Belum lagi bila dikaitkan dengan masih banyaknya jumlah lulusan pendidikan guru yang belum tertampung sebagai guru. Kemampuan keuangan pemerintah dalam mengangkat dan menggaji tenaga guru juga masih terbatas. Selain itu masih ada sistem pendidikan guru melalui Program Akta Mengajar. Hal-hal itu akan membuat makin tidak akurat prediksi jumlah kebutuhan guru itu. Cara menarik minat masuk ke perguruan tinggi sebagaimana dikemukakan di atas merupakan sebuah contoh dari komersialisasi pendidikan, khususnya pendidikan guru. 184 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Akibat promosi pendidikan guru yang menyesatkan itu, lembaga pendidikan guru saat ini sedang panen mahasiswa. Dan di sana komersialisasi berlanjut. Banyak perguruan tinggi penyelenggara pendidikan guru yang membuka kelas jauh, dengan memanfaatkan gedung sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA) sebagai tempat kuliah. Untuk menghemat biaya, mahasiswa dijejalkan di ruang kelas. Rata-rata jumlah mahasiswa dalam setiap kelas berkisar antara 60-80 orang. Ini jelas dilakukan untuk menghemat biaya agar lebih besar dana dapat dinikmati para pengelola. Selain itu, kemudahan menyelesaikan pendidikan pun dijadikan salah satu pemikat mahasiswa. Misalnya, jumlah jam pelajaran dibuat singkat, kuliah hanya diadakan pada hari Sabtu dan Minggu, dan setiap mata kuliah hanya berlangsung 5-6 kali pertemuan dalam satu semester. Prinsip yang tersirat adalah “Nilai bisa diatur yang penting bayar dulu”. Dan karena masyarakat negeri ini masih lebih mengutamakan perolehan ijazah dibanding substansi kemampuan yang disimbolkan oleh tingkat ijazahnya yang dimiliki, maka sempurnalah ketidaksempurnaan pelaksanaan pendidikan guru. Komersialisasi pendidikan guru dengan berbagai cara sebagaimana dikemukakan di atas tidak hanya terjadi pada “sistem pendidikan guru serempak”, di mana penguasaan disiplin ilmu dan ilmu keguruan menyatu. Pada “sistem pendidikan guru berlapis”, yakni pendidikan keguruan bagi lulusan program pendidikan nonkeguruan, yang dikenal dengan pendidikan akta mengajar, juga terjadi hal yang sama. Selain mempraktikkan cara-cara tidak bertanggung jawab yang dipraktikkan “sistem pendidikan guru serempak”, ada
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 185
perguruan tinggi penyelenggara akta mengajar yang tidak memprogram mata kuliah Praktik Mengajar. Ini tentu dalam rangka menghemat waktu pendidikan dan memberikan kemudahan semu kepada mahasiswa. Padahal, seperti halnya pendidikan profesional umumnya, praktik justru merupakan salah satu mata kuliah amat penting. Bagaimana mungkin seorang calon guru dapat terampil dan profesional dalam mengajar kelak kalau selama di bangku kuliah ia tidak pernah belajar mengajar. Oknum Depdiknas Pengelolaan pendidikan guru secara tidak bertanggung jawab sebagaimana dikemukakan di atas biasanya melibatkan oknum Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Oknum Depdiknas itu biasanya ditugasi untuk membuat janji-janji kepada calon mahasiswa tentang peluang kerja menjadi guru. Pelibatan oknum Depdiknas itu ibarat wasit olahraga yang ikut bermain, di mana aparat pendidikan yang seharusnya mengawasi kiprah perguruan tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan guru, justru ikut hanyut secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan pendidikan guru yang tidak dapat dipertanggungjawabkan itu. Jadi, praktis tidak ada pihak yang bertugas untuk mengawasi kiprah perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan guru. Singkatnya, saat ini pendidikan guru menjamur tanpa kendali, dan dijadikan objek komersialisasi luar biasa oleh berbagai pihak. Komersialisasi pendidikan tinggi di negeri ini saat ini memang sungguh luar biasa. Sedemikian komersialnya, sehingga ada perguruan tinggi yang tidak lebih dari sekedar tempat formal
186 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
penjualan ijazah pendidikan tinggi. Dan ironisnya, hal itu juga terjadi pada lembaga pendidikan yang dimaksudkan untuk menghasilkan guru, yang justru merupakan kunci keberhasilan pendidikan. Mengingat rendahnya mutu pendidikan selama ini, seleksi dalam rekrutmen guru harus dilakukan secara ketat agar diperoleh guru-guru bermutu. Namun, yang lebih mendasar adalah membenahi mutu pendidikan guru itu sendiri. Secara teoretis profesi guru adalah profesi yang spesifik dan memiliki pangsa pasar yang jelas. Karena itu, seharusnya pendekatan supply and demand digunakan secara ketat dalam pengadaannya. Ini artinya, lembaga pendidikan guru harus dibatasi dan dikendalikan oleh pemerintah, Secara nasional mungkin penerapan pendekatan supply and demand dalam penyelenggaraan pendidikan guru sulit dilakukan, terutama karena luasnya wilayah Indonesia. Namun, penggunaan pendekatan itu sangat realistis dalam konteks otonomi daerah. Dalam konteks otonomi daerah, setiap daerah provinsi tidak terlampau sulit menghitung dan memprediksi kebutuhan guru di daerahnya masing-masing. Jadi, atas dasar penghitungan itulah pendidikan guru dikelola. Bila pendekatan itu diterapkan dengan sungguh-sungguh, dengan sendirinya komersialisasi pendidikan akan berkurang. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) tahun 2003, terdapat ketentuan bahwa sertifikasi pendidikan diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi (Bab XI, Pasal 43, Ayat 2). Bila dikaitkan dengan otonomi pendidikan guru, akreditasi sebaiknya dilakukan berdasarkan daerah. Jadi, di setiap daerah,
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 187
misalnya daerah provinsi, terdapat sejumlah perguruan tinggi yang diakreditasi khusus untuk keperluan pendidikan guru. Persoalannya, maukah pemerintah pusat melakukan akreditasi perguruan tinggi penyelenggara pendidikan guru berdasarkan perwilayahan? Juga, maukah pemerintah daerah menghitung dan memprediksi kebutuhan guru di daerahnya masing-masing, kemudian mengawasi secara ketat pelaksanaan pendidikannya?
188 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Sekolah dan Mobilitas Sosial Kompas, 6 Agustus 2004 Ketika penjajah Belanda masuk ke Indonesia sekitar 400 tahun lalu, di negeri ini, antara lain, ada tiga komunitas masyarakat: masyarakat keraton, rakyat biasa, dan masyarakat Timur Asing. Masyarakat Timur Asing saat itu terdiri atas masyarakat India, China, dan Arab. Oleh penjajah Belanda,ketiga komunitas masyarakat itu diberi peran diskriminatif. Masyarakat keraton dijadikan tangan kanan dalam bidang pemerintahan, warga Timur Asing dijadikan tangan kanan di bidang perekonomian, sedangkan mayoritas rakyat biasa dijadikan tenaga kerja paksa untuk kepentingan ekonomi Belanda. Diskriminasi sosial pada masa penjajahan Belanda juga terjadi di bidang pendidikan. Untuk kalangan Belanda tersedia sekolah terbaik, menyusul sekolah untuk kalangan bangsawan dan Timur Asing, sedangkan untuk rakyat biasa hanya tersedia sekolah seadanya. Pada jenjang pendidikan dasar, misalnya, lama pendidikan pada sekolah untuk anak Belanda sekitar tujuh tahun, untuk golongan bangsawan dan Timur Asing sekitar lima tahun, sedangkan untuk rakyat biasa hanya dua tahun. Karena lama pendidikan berbeda, dengan sendirinya keluasan dan kedalaman pendidikan yang diperoleh pun berbeda. Akumulasi dari diskriminasi sosial yang diterapkan penjajah Belanda berakibat tertutupnya stratifikasi sosial dalam masyarakat Indonesia. Sekolah, yang seharusnya berfungsi sebagai pendorong berkembangnya masyarakat berstratifikasi terbuka, karena bersifat diskriminatif, justru berfungsi sebagai pembentuk dan pengukuh masyarakat berstratifikasi tertutup. Karena bersifat diskriminatif, sekolah kehilangan fungsi sebagai
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 189
sarana mobilitas sosial vertikal naik bagi warga masyarakat. Praktis tidak ada peluang bagi warga kelas bawah yang ditempati rakyat pekerja kasar untuk meningkatkan status sosialnya melalui sekolah. Setelah merdeka, secara formal diskriminasi sosial zaman penjajahan dihapus. Meskipun demikian, penghapusan tersebut tidak serta-merta menciptakan masyarakat berstratifikasi terbuka. Ratusan tahun penerapan sistem diskriminasi sosial telah menghasilkan masyarakat berstratifikasi tertutup amat kukuh sehingga tidak mudah dikembangkan menjadi masyarakat berstratifikasi terbuka. Dan ironisnya, kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan pun jauh dari memadai untuk menghilangkan dampak negatif dari diskriminasi sosial tersebut. Saat ini relatif sama seperti masa penjajahan dahulu, masyarakat kelas bawah, seperti petani, nelayan, pekerja sektor informal, serta buruh perusahaan, yang merupakan mayoritas warga, praktis tidak memiliki peluang untuk meningkatkan status sosialnya melalui pendidikan. Anak-anak mereka sulit mengenyam pendidikan bermutu karena impitan ekonomi dan biaya pendidikan yang terlampau mahal. Kalaupun mereka dapat mengenyam pendidikan, mutu sekolah yang dimasuki jauh di bawah sekolah-sekolah yang dimasuki anak-anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Mereka umumnya sulit mencapai jenjang pendidikan menengah, apalagi pendidikan tinggi. Akibatnya, mereka tidak memiliki cukup bekal akademis untuk bersaing secara adil dengan anak-anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas dalam memanfaatkan peluang usaha yang tersedia. Dirancang atau tidak dirancang kehadirannya, stratifikasi sosial merupakan realitas sosial yang akan ada di masyarakat. Akan tetapi, bila kita mau membangun negeri ini secara efektif
190 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
dan efisien, stratifikasi sosial harus dirancang, sebagaimana stratifikasi sosial hasil rancangan penjajah yang efektif dan efisien untuk keperluan ekonomi mereka saat itu. Dengan kata lain, peluang yang adil untuk meningkatkan status sosial patut diciptakan. Dan sekolah seharusnya dapat memainkan peran untuk maksud itu. Di negara-negara maju, keadilan dalam kesempatan mendapat pendidikan dan berusaha amat diperhatikan. Siapa pun dan dari latar belakang mana pun diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat dan minat melalui sekolah, lalu memasuki dunia kerja melalui persaingan yang adil. Inilah salah satu kunci keberhasilan mereka dalam mempertahankan maupun meningkatkan kemajuan negerinya. Sebagaimana dikemukakan di atas, sudah hampir 60 tahun kita merdeka, tetapi belum dapat memanfaatkan kemerdekaan untuk menghapus diskriminasi sosial peninggalan penjajah. Sekolah yang seharusnya berfungsi sebagai sarana mobilitas sosial yang adil ternyata tetap berfungsi sebagai pengekal ketidakadilan peninggalan penjajah. Padahal, ketidakadilan itulah yang sebenarnya merupakan penyebab utama terjadinya konflik sosial di negeri ini. Bila dicari akar persoalannya, sebenarnya konflik sosial di Papua, Maluku, Poso, Sampit, Aceh, bahkan peristiwa Mei kelabu di Jakarta, adalah ketidakadilan sosial. Jelas, salah satu agenda utama di bidang pendidikan yang harus dicanangkan pemerintah adalah penghapusan diskriminasi sosial dalam mengenyam pendidikan, dan mendorong terjadinya persaingan yang adil dalam mengejar mobilitas sosial vertikal naik di masyarakat. Untuk itu, kebijakan-kebijakan berikut perlu diambil pemerintah.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 191
Pertama, kesadaran kelas perlu ditanamkan dalam diri setiap warga negeri ini. Setiap warga perlu disadarkan, kelas sosial merupakan sebuah realitas sosial, dan bila dikelola dengan baik akan bermanfaat dalam memajukan kehidupan bersama. Melalui pengembangan kesadaran kelas, diharapkan tiap warga negara menyadari posisinya dalam stratifikasi sosial negeri ini, proses dirinya menempati posisi stratifikasi itu, hak dan kewajibannya dalam posisi strata yang ditempatinya, serta peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan status sosial baru. Dalam konteks pendidikan sekolah, kurikulum sekolah, khususnya kurikulum ilmu sosial, hendaknya berisi kajian tentang stratifikasi sosial untuk maksud itu. Kedua, perlu dibuat kebijakan kompensasi untuk mengembalikan haknya akibat diskriminasi sosial yang pernah terjadi. Dengan kata lain, komunitas masyarakat yang pada masa penjajahan diperlakukan secara diskriminatif perlu mendapat kompensasi sosial, agar mereka dapat mengejar ketertinggalan dari kelompok masyarakat yang pernah mendapat hak istimewa. Konkretnya, dalam konteks pendidikan sekolah, seperti dikemukakan Darmaningtyas (Kompas, 19/7/2004), pemerintah perlu menyediakan sekolah negeri bermutu yang murah untuk masyarakat kelas bawah, seperti masyarakat petani, nelayan, buruh, serta pekerja sektor informal di perkotaan. Sedangkan masyarakat kelas menengah ke atas diarahkan untuk masuk sekolah swasta. Biarlah sekolah swasta bersaing secara bebas untuk memperebutkan siswa dari kalangan menengah ke atas, sedangkan sekolah negeri diproteksi oleh pemerintah untuk kepentingan pemberdayaan anak-anak kelas bawah. Ketiga, pemerintah perlu mendirikan lebih banyak sekolah menengah kejuruan (SMK) guna menampung anak-anak dari kelas ekonomi lemah yang merupakan mayoritas warga negeri
192 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
ini. Pasalnya, secara teoretis mayoritas siswa dari kalangan ekonomi lemah hanya akan menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Keempat, pemerintah perlu menyediakan beasiswa bagi lulusan sekolah negeri yang memiliki kemampuan memadai untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Dengan demikian, anakanak dari kalangan ekonomi lemah yang memiliki kemampuan untuk kuliah mendapat peluang kuliah seluas-luasnya. Kelima, setiap daerah diberi wewenang untuk mengidentifikasi potensi daerahnya, peluang dan tantangan pengembangan potensi itu, lalu menyelenggarakan pendidikan sesuai hasil identifikasi itu. Dengan cara ini, pendidikan diharapkan akan relevan dengan kebutuhan setempat, dan lulusan sekolah lebih mungkin terserap dunia kerja, atau dapat membuka lapangan kerja sendiri. Keenam, lima hal yang dikemukakan itu dapat diwujudkan bila anggaran pendidikan memungkinkan. Dan untuk itu, ketentuan 20 persen anggaran belanja negara dialokasikan untuk pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, tidak bisa ditawar-tawar. Barangkali inilah tantangan terberat dalam mengembangkan masyarakat berstratifikasi sosial terbuka untuk mendorong terjadinya mobilitas sosial vertikal secara adil di negeri ini melalui pendidikan sekolah. Dapatkah pemerintah menemukan jalan keluar dari tantangan terberat ini?
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 193
Otonomi Guru Kompas, 14 Februari 2005 Seorang kenalan saya, sarjana program studi bahasa Inggris, bekerja sebagai guru SD di sebuah SD swasta dwibahasa. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan utama, di sekolah ini juga digunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar kedua. Di sekolah ini para guru diberi kebebasan mengelaborasi sendiri isi kurikulum, tanpa ketentuan harus menggunakan buku pelajaran tertentu. Merekapun bebas menentukan sendiri strategi pembelajaran, media pembelajaran, maupun cara mengevaluasi belajar siswa. Kebebasan ini ternyata menyebabkan kenalan tersebut amat sibuk. Paling banyak waktunya di luar pembelajaran habis untuk mengelaborasi isi kurikulum agar siap dibahas dalam pembelajaran. Jarang ia menggunakan buku teks. Kebanyakan isi pelajaran diambilnya dari sumber terstandar, seperti ensiklopedia dan buku seri ilmu pengetahuan. Ia juga sering menggunakan majalah anak-anak dan internet sebagai sumber pengembangan bahan pelajaran. Saat pelajaran IPA misalnya, dalam rangka aktualisasi dan kontekstualisasi pembelajaran, ia memilih tema tsunami dan mengelaborasinya dari sebuah majalah anak-anak yang membahas tema tersebut relatif lengkap. Ia memang cukup sibuk. Sekolah tempat ia mengajar masuk pukul 08.00 dan pulang pukul 15.00. Meskipun demikian, tidak jarang ia baru pulang ke rumah pukul 17.00 karena masih mempersiapkan pembelajaran hari berikut. Di rumah pun tidak jarang ia masih harus melanjutkan kegiatan mempersiapkan pembelajaran.
194 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Dalam hal strategi pembelajaran, selalu ada cara unik yang ia terapkan untuk mendorong siswa-siswanya giat belajar. Tentang evaluasi pun ia memiliki catatan rinci tentang posisi setiap siswa di kelasnya, tidak hanya posisi akademis, melainkan juga posisi sikap. Catatan tersebut akan menjadi bahan kajian utama dalam rapat penentuan kenaikan kelas, pada akhir tahun ajaran. Di sekolah ni diterapkan lima hari kerja. Dua hari sisanya merupakan hari libur. Dua hari ini ia gunakan benar-benar untuk beristirahat. Pekerjaannya memang berat, tetapi ia sangat menikmatinya. Gajinya pun lumayan besar dibandingkan dengan gaji pegawai negeri. Setelah dua tahun mengajar, gajinya sekitar 80 persen dari gaji saya sebagai dosen negeri yang telah berdinas 24 tahun. Sekolah tempat ia bekerja tidak steril dari persoalan. Persoalan human relation di kalangan personalia sekolah maupun antara personalia sekolah dan orang tua siswa, misalnya, terkadang muncul di sekolah ini. Namun, persoalan-persoalan tersebut tidak ada artinya dibandingkan dengan kenikmatan yang ia rasakan dalam menjalankan profesinya sebagai guru. Apa yang dikemukakan di atas merupakan contoh konkret kasus otonomi guru. Kasus ini memang tak dapat digeneralisasi sebagaimana generalisasi dalam penelitian statistik-kuantitatif. Meskipun demikian, di dalamnya terkandung sejumlah pesan substansial seputar otonomi guru. Pesan pertama, guru perlu diberi kepercayaan memadai untuk mengelaborasi kurikulum, menetapkan strategi pembelajaran, dan melaksanakan evaluasi terhadap berbagai aspek pembelajaran, sebagai wujud otonomi guru, sebagaimana digariskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 195
(Bab XI, Pasal 39, Ayat 2). Ketiga kegiatan ini merupakan satu kesatuan dalam pembelajaran. Oleh karena itu, tidak mungkin otonomi hanya diberikan untuk satu aspek saja. Jika elaborasi terhadap kurikulum dilakukan oleh pihak lain, dan guru hanya mengembangkan strategi maupun evaluasi pembelajaran secara konsisten sesuai hasil elaborasi pihak lain, umpamanya, otomatis guru akan kehilangan otonominya dalam menyelenggarakan pembelajaran. Pasalnya, tidak mungkin guru mengembangkan strategi maupun evaluasi pembelajaran yang menyimpang dari hasil elaborasi pihak lain tersebut, sekalipun hasil elaborasi itu bermasalah. Hal yang sama juga akan terjadi jika strategi dan evaluasi pembelajaran dikembangkan oleh pihak lain. Pesan kedua, otonomi guru akan efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pendidikan jika guru memiliki bakat dan minat memadai sebagai guru, serta memiliki kualifikasi pendidikan memadai. Keseriusan, ketekunan, dan ketepatan dalam mengelaborasi kurikulum, merancang, dan melaksanakan strategi pembelajaran, maupun mengevaluasi pembelajaran tidak mungkin dilaksanakan secara memadai oleh orang yang tidak memenuhi persyaratan di atas. Pesan ketiga, otonomi guru memprasyaratkan tersedianya fasilitas memadai di sekolah. Terutama sumber belajar terstandar, seperti ensiklopedia, buku seri ilmu pengetahuan, handbook, dan buku teks. Sumber belajar ini penting bagi guru dalam mengelaborasi kurikulum, juga penting bagi siswa dalam merespons strategi peembelajaran yang digunakan guru. Selain itu, perlu pula disediakan sumber belajar bagi guru dalam meningkatkan kemampuan profesionalnya. Misalnya majalahmajalah pendidikan terakreditasi dan buku-buku keguruan.
196 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Pesan keempat, otonomi guru menuntut terpenuhinya secara minimal kebutuhan dasar guru, seperti kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, dan kebutuhan harga diri. Dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuan dasar tersebut secara minimal, kegiatan guru dalam menjalankan profesinya lebih dimotivasi oleh pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri. Di antara persyaratan-persyaratan otonomi guru yang dikemukakan di atas, hanya pemberian keleluasaan memadai kepada guru untuk mengelaborasi kurikulum, merancang strategi pembelajaran, serta melakukan evaluasi pembelajaran yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab bidang pendidikan, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Persyaratan lainnya terkait erat dengan bidang lainnya, khususnya bidang ekonomi. Sayangnya bagian yang menjadi tanggung jawab penuh bidang pendidikan ini pun tidak dimanfaatkan sepenuhnya oleh Depdiknas sebagai penanggung jawab bidang ini. Adanya ujian nasional yang dilaksanakan rutin tiap tahun, serta penetapan masa pakai buku pelajaran selama lima tahun, adalah dua kebijakan bidang pendidikan yang menyebabkan otonomi guru tetap berada pada titik nadir. Dan anehnya, Depdiknas tetap menganggap dua kebijakan ini sebagai kebijakan yang mampu memperbaiki mutu pendidikan. Andaikan diadakan penelitian dengan pendekatan statistikkuantitatif terhadap pendapat guru, siswa, maupun para orang tua tentang kebijakan ujian nasional dan buku teks, kemungkinan besar tiga pihak tersebut akan menyetujui dua kebijakan itu. Mereka sangat mungkin setuju karena praktik sistem pendidikan kita memang menggiring logika mereka sehingga kedua kebijakan tersebut nampak sangat logis dalam konteks sistem itu. Respons ketiga pihak tersebut akan menjadi
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 197
lain jika mereka memahami terlebih dahulu filosofi di balik otonomi guru sebagaimana tergambar dalam contoh kasus di atas. Dari penjelasan di atas, semoga jelas keterkaitan antara otonomi guru dan peningkatan mutu pendidikan. Juga semoga jelas kebijakan ujian nasional dan pembatasan masa pakai buku teks tidak mungkin meningkatkan mutu pendidikan. Kedua kebijakan itu ibarat mengobati sakit kronis dengan obat gosok. Tentu saja penyakitnya tidak akan pernah sembuh. Akan tetapi, kalau tetap saja belum jelas, penggunaan analog yang dikemukakan Wakil Presiden Jusuf Kala tentang penjahit pakaian ketika diwawancarai harian Kompas (4 Februari 2005), semoga dapat memberikan penjelasan. Benar, seorang pembeli baju tidak perlu tahu bagaimana susahnya penjahit membuat baju. Namun, jangan lupa, penjahit baju pun memerlukan kebebasan (baca; otonomi) dalam berinisiatif dan berkreativitas agar menghasilkan baju bermutu. Tanpa itu, ia tidak mungkin akan menghasilkan baju bermutu, dan sampai kapan pun pembeli tidak akan pernah mendapatkan baju bermutu. Lebih mendasar lagi, siswa bukanlah benda mati seperti baju. Dalam setiap kelas saja guru akan berhadapan dengan puluhan siswa dengan keunikannya masing-masing. Lalu, bagaimana mungkin kita mengibaratkan pendidikan terhadap siswa dengan pakaian yang polanya sudah pasti dapat dibuat seragam dari Sabang sampai Merauke? Dalam wawancara dengan Kompas disebutkan pula negeri tetangga Malaysia sebagai contoh. Benar Malaysia sudah jauh lebih maju dari kita. Namun, jangan lupa, negeri tetangga dekat tersebut, yang luasnya tidak sampai seperempat negeri ini
198 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
menggunakan sistem negara bagian. Dengan sistem ini, otonomi dalam pengelolaan pendidikan dengan sendirinya terjadi di sana. Sesungguhnya penyebab utama ketertinggalan kita dari negara lain dalam berbagai bidang kehidupan, entah ekonomi, hukum, pendidikan, dan sebagainya, adalah sentralisasi pengelolaan negara yang berlebihan. Selama enam puluh tahun negara ini dikelola secara sangat sentralistis tanpa hasil, seharusnya cukup menyadarkan kita bahwa sentralisasi pengelolaan negara−termasuk evaluasi pendidikan−adalah sampah. Semoga kita tidak jatuh ke lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Karena kalau itu yang terjadi, lalu apa bedanya kita dengan …. (maaf) keledai!
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 199
UAN dan Post Power Syndrome Sentralisasi Pendidikan Suara Pembaruan, 18 Juni 2005 Ketika Departeman Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengumumkan angka 4,1 sebagai standar kelulusan Ujian Akhir Nasional (UAN), paling tidak muncul dua kekhawatiran. Pertama, akan terdapat banyak siswa yang tidak lulus. Kedua, akan terjadi sebagai manipulasi untuk mengejar pencapaian standar 4,1 tersebut. Dalam kenyataannya, kekhawatiran pertama tidak terbukti. Ternyata presentasi jumlah siswa yang tidak lulus relatif sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan masih terbuka kemungkinan presentasi jumlah siswa yang tidak lulus lebih kecil, karena masih terdapat kesempatan mengulang bagi yang tidak lulus. Yang menjadi nyata adalah kekhawatiran kedua. Di daerah tertentu banyak terjadi pembocoran soal UAN. Namun, yang lebih ironis adalah konversi nilai itu, Depdiknas justru melakukan suatu yang pada hakekatnya sama saja dengan memanipulasi nilai. Hubungan antara Depdiknas dan pengelola sekolah di daerah dapat diibaratkan sebagai hubungan antara pendidik dan peserta didik, dimana pendidik bertugas mengantar peserta didik ke arah kemandirian yang bertanggung jawab. Untuk mencapai kemandirian yang bertanggungjawab, dipersyaratkan saling percaya antara kedua pihak. Ibarat pendidik, Depdiknas bertanggung jawab untuk mengantar para pengelola sekolah di daerah ke arah kemandirian hakiki dalam mengelola sekolah. Para pengelola sekolah di daerah dikatakan telah mandiri secara hakiki dalam mengelola 200 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
sekolah, bila mereka mampu mengelola sekolah secara baik dan benar atas kesadaran sendiri, bukan karena tekanan eksternal. Dan untuk itu, mereka membutuhkan kepercayaan dari pemerintah pusat. Kembali ke persoalan UAN, apakah pelaksanaan UAN bermanfaat bagi upaya kemandirian pengelola sekolah di daerah? Berdasarkan kenyataan, pelaksanaan UAN tahun ini sangat gamblang terbukti UAN tidak memberikan manfaat apaapa bagi kemandirian pengelola sekolah di daerah. Sebaliknya, justru UAN mendorong terjadinya praktikpraktik tidak jujur. Dan ironisnya, Depdiknas seolah-olah ikut membenarkan praktik ketidakjujuran itu melalui konversi nilai kelulusan. Kemandirian dalam mengelola sekolah secara bertanggung jawab merupakan sebuah proses berdasarkan saling percaya. Tidak ada jalan pintas untuk sampai pada kemandirian hakiki dalam mengelola sekolah. Apalagi bila jalan pintas tersebut masih diwarnai prasangka buruk. Penggunaan jalan pintas yang diwarnai prasangka buruk hanya akan mendorong munculnya tindakan-tindakan manipulatif, yang justru memperlambat upaya pencapaian kemandirian hakiki itu. Jalan Pintas Penggunaan UAN untuk maksud mendorong meningkatkan mutu pendidikan pun adalah sebuah upaya jalan pintas yang diwarnai prasangka buruk. Dikatakan jalan pintas karena UAN dilaksanakan tanpa didahului perbaikan mutu pembelajaran secara mendasar, sedangkan prasangka buruk itu sendiri merupakan produk dari keinginan pemerintah pusat untuk mendapatkan hasil memuaskan tanpa disertai upaya perbaikan proses pembelajaran.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 201
Dan jalan pintas ini terbukti telah mendorong munculnya perilaku manipulatif, tidak hanya oleh pengelola sekolah, melainkan juga Depdiknas sebagai penanggung jawab pendidikan sekolah. Beberapa waktu lalu, Mendiknas Abdul Malik Fadjar mengatakan bahwa pemerintah berencana tahun depan akan menaikkan standar kelulusan UAN dari 4,01 menjadi 7. Belajar dari pengalaman tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya, kenaikan standar kelulusan UAN menjadi angka berapa pun tidak akan ada manfaatnya. Bila dipatok angka 7 pun dapat dipastikan akan terdapat banyak siswa yang lulus, karena pasti akan terjadi berbagai manipulasi untuk mencapai standar tersebut. Para pengelola sekolah sudah sangat berpengalaman dalam menggunakan jalan pintas untuk mencapai target standar yang ditetapkan pemerintah pusat. Apalagi tahun ini Depdiknas telah memberikan contoh jelek dengan mengonversi nilai UAN, tentu akan menyebabkan para pengelola sekolah lebih berani melakukan berbagai manipulasi untuk mencapai standar kelulusan, berapa pun nilainya. Kalau mau, seribu satu macam cara dapat ditempuh pemerintah pusat untuk memandirikan pengelola sekolah di daerah dengan menggunakan UAN, berdasarkan saling percaya. Salah satu cara di antaranya adalah dengan menetapkan lebih dari satu standar kelulusan UAN. Misalnya ditetapkan standar minimal, menengah, dan tinggi. Kemudian setiap daerah diminta memutuskan sendiri standar mana yang akan digunakan dalam pelaksanaan UAN di daerahnya. Tugas pemerintah pusat hanyalah memonitor pelaksanaan UAN di daerah-daerah, serta memotivasi daerah untuk terus berusaha secara jujur sehingga dalam waktu singkat dapat
202 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
menggunakan standar tinggi. Tetapi, menggunakan UAN ini akan bermanfaat dalam memacu mutu pendidikan, bila mutu proses pembelajaran ditingkatkan terlebih dahulu. Kiranya jelas, untuk saat ini tidak ada satu pun argumentasi yang tersisa untuk membenarkan pelaksanaan UAN sebagaimana UAN tahun ini. Sebaiknya sederet argumentasi tentang kelemahan UAN tersebut masih dapat dikemukakan. Oleh karena itu, kalau Depdiknas masih tetap berkeras untuk tetap melakukan UAN model ini pada tahun depan, tak ada kata lain untuk mengatakan bahwa para petinggi pendidikan di pusat sedang mengalami post power syndrome sentralisasi pendidikan. Padahal, salah satu agenda reformasi adalah desentralisasi, termasuk desentralisasi pendidikan. Lalu, apakah reformasi pendidikan akan mandek, hanya karena para petinggi di pusat sedang mengalami ketidakstabilan psikologis? Semoga tidak!
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 203
Ketidaklogisan di Balik Ujian Nasional Kompas, 23 Mei 2006 Saat memberikan kata sambutan pada peringatan Hari pendidikan Nasional 2006, Wapres Yusuf Kala antara lain mengatakan, ujian nasional diadakan untuk mendorong siswa bekerja keras karena bangsa ini tidak akan maju jika tidak disertai kerja keras, (Kompas, 5/5). Kita sepakat, kerja keras penting dikembangkan untuk mencapai kehidupan lebih baik. Mentalitas santai dan jalan pintas tak mungkin membuat kehidupan lebih baik. Namun, dalam konteks pendidikan sebagai sistem, harapan agar ujian nasional (UN) dapat mengembangkan mentalitas kerja keras seperti dikatakan Wapres sungguh tidak logis. Dalam sistem pendidikan, UN merupakan salah satu wujud komponen evaluasi pendidikan. Komponen ini menempati posisi terakhir dalam urutan komponen sistem pendidikan, sebelum mengeluarkan produk pendidikan. Yang dievaluasi adalah hasil proses pendidikan. Karena itu, menjadi tidak logis bila evaluasi atas pencapaian proses pendidikan diharapkan ikut menyelesaikan mentalitas santai dan jalan pintas masyarakat negeri ini. Bagaimana mungkin mentalitas negatif itu hanya dititipkan penyelesaiannya melalui UN? Dengan cara demikian, pemerintah tidak mencontohkan kerja keras. Tidak Logis Kini pengadaan UN tidak logis dalam konteks pendidikan sebagai sistem karena UN sebagai komponen pada urutan terakhir sistem pendidikan hanya akan bermakna bila keberadaannya dirancang sebagai suatu kesatuan dengan komponen sebelumnya. 204 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Sebagai post test, UN baru bermakna bila kehadirannya merupakan hasil perencanaan sistematis yang melibatkan hasil kajian raw input, seperti identifikasi bakat dan minat siswa maupun guru, pre test, serta proses yang menjembatani kesenjangan antara pre dan post test. Bila dikaitkan dengan standar kelulusan yang dipatok pemerintah untuk UN tahun ini, penetapan standar kelulusan 4,5 tidak bermakna apa-apa karena tidak didasarkan pada kondisi awal tertentu yang jelas serta proses logis dan sistematis guna mencapai standar 4,5. Ibarat bepergian, kita tidak menetapkan dari mana, kapan, dengan kendaraan apa, tetapi kita menuntut semua pihak agar sampai tujuan yang sama pada waktu yang sama. Singkatnya, UN adalah kegiatan yang tidak direncanakan secara sistematis dan holistik sebagai bagian pendidikan sebagai sebuah sistem. Karena itu, keberadaannya tidak akan efektif dan efisien bagi mekanisme sistem pendidikan. Mutu Pendidikan Ketidaklogisan lain terkait dengan keragaman mutu pendidikan. Mutu pendidikan negeri ini amat bervariasi, tetapi kita memaksa diri menyeragamkan evaluasi atas hasilnya. Konyol, sesuatu yang sudah jelas dibuat seolah tidak jelas, untuk kemudian diperjelas melalui UN. Inikah cara menghabiskan tenaga, dana, dan waktu secara sia-sia? Atas ketidaklogisan pada UN, maka respons logis pihakpihak yang terkait dengannya otomatis tidak logis pula. Contoh, jauh hari sebelum masa UN, sekolah-sekolah memacu anak-anak dengan latihan soal ujian, pelajaran-pelajaran yang akan diujikan dalam UN mendapat porsi waktu paling banyak dibandingkan pelajaran non-UN. Praktik ini jelas mereduksi makna pendidikan.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 205
Evaluasi merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan. Ujian secara nasional dapat saja dilakukan. Namun, diperlukan UN yang lebih logis, yang tidak mereduksi tujuan mulia pendidikan. Salah satu kemungkinannya, misalnya dengan menganekaragamkan standar kelulusan, dan diterapkan berdasarkan hasil akreditasi sekolah. Jadi sekolah dengan nilai akreditasi tertinggi menggunakan standar tertinggi, demikian pula sebaliknya. Penganekaragaman standar UN sebagaimana dikemukakan di atas maupun pencarian dan penggunaan cara evaluasi yang lebih logis, dengan sendirinya akan menambah beban kerja elite pendidikan pusat. Para elite pendidikan pusat harus bekerja keras untuk maksud tersebut. Dapatkah elite pendidikan di pusat dan pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, menunjukkan kerja keras terlebih dahulu sebelum menuntut masyarakat untuk bekerja keras?
206 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
KTSP, Kurikulum yang Tidak Sistematis Kompas, 13 November 2006 Sebagai sistem, kurikulum memiliki komponen tujuan atau kompetensi, isi, strategi, dan evaluasi. Dalam suatu kurikulum, komponen-komponen sistem ini seharusnya memiliki keterkaitan logis, tetapi dapat terjadi-entah karena ketidaktahuan atau ketidakmauan-prinsip keterkaitan logis tersebut bisa terabaikan. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan contoh aktual terabaikannya prinsip keterkaitan logis tersebut. Sebagaimana sudah sering dikemukakan berbagai pihak, ketidaklogisan KTSP terjadi karena sekolah diberi kebebasan untuk mengelaborasi kurikulum inti yang dibuat pemerintah, tetapi evaluasi nasional oleh pemerintah melalui ujian nasional (UN) justru paling menentukan kelulusan siswa. Berpikir logis dan sistematis dalam kurikulum adalah berpikir bertahap yang dimulai dari tujuan atau kompetensi ke arah evaluasi. Setelah ditetapkan tujuan atau kompetensi, ditetapkanlah isi untuk mencapai tujuan atau untuk membentuk kompetensi. Hubungan logis antara tujuan atau kompetensi dan isi akan terpelihara dengan sendirinya karena substansi pernyataan tujuan atau kompetensi dan isi akan sama. Yang berbeda hanya pilihan kata, di mana tujuan atau kompetensi menggunakan kata kerja, sedangkan isi menggunakan kata benda. Setelah tujuan atau kompetensi dan isi ditetapkan, selanjutnya ditetapkan strategi penyajian isi untuk mencapai tujuan atau untuk membentuk kompetensi. Prinsipnya, untuk tujuan atau atau kompetensi dan isi yang lebih bersifat kognitif, lebih tepat digunakan strategi penemuan (heuristic), sedangkan Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 207
yang lebih bersifat psikomotorik lebih tepat digunakan strategi pemberitahuan dan pelatihan (expositori). Bila dikaitkan dengan jenis pendidikan, maka pada jenis pendidikan umum lebih tepat digunakan strategi heuristic, sedangkan pada jenis pendidikan kejuruan lebih tepat digunakan strategi expositori. Penggunaan strategi expositori berlebihan pada pendidikan umum akan berakibat keunikan siswa terabaikan, sedangkan penggunaan strategi heurustic berlebihan pada pendidikan kejuruan akan berakibat penguasaan siswa terhadap keterampilan teknis tidak maksimal. Dalam hal evaluasi, untuk tujuan atau kompetensi dan isi yang bersifat kognitif-yang juga berarti digunakan strategi heuristic-lebih tepat digunakan evaluasi norma. Adapun untuk tujuan atau konpetensi dan isi yang lebih bersifat psikomotorikyang juga berarti digunakan strategi expositori-lebih tepat digunakan evaluasi kriteria. Bila dikaitkan dengan jenis pendidikan, maka untuk pendidikan umum lebih tepat digunakan evaluasi norma, sedangkan untuk pendidikan kejuruan lebih tepat digunakan evaluasi kriteria. Penggunaan evaluasi kriteria yang berlebihan pada pendidikan umum akan berakibat terabaikannya hakikat siswa sebagai makhluk unik, sedangkan penggunaan evaluasi norma yang berlebihan pada pendidikan kejuruan akan berakibat tingkat ketercapaian keterampilan siswa tidak teridentifikasi. Tidak Fungsional Kembali ke KTSP. Kurikulum ini menjadi tidak logis, karena tidak proporsionalnya pembagian tugas pengembangan antara pemerintah dan sekolah. Seharusnya pemerintah hanya menetapkan kerangka umum dari tujuan atau kompetensi, isi,
208 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
strategi, dan evaluasi, sedangkan pengembangannya secara rinci menjadi siap pakai diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Namun, melalui ujian nasional, langsung atau tidak, pemerintah mengambil alih pengembangan evaluasi menjadi rinci untuk siap pakai. Pengembangan komponen evaluasi menjadi siap pakai oleh dua pihak yang berbeda menyebabkan kekacauan pada seluruh proses elaborasi kurikulum menjadi siap pakai. Dalam kondisi kacau, kurikulum tidak akan fungsional. Aturan apa pun yang dibuat dan digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan kurikulum tak mungkin membuat kurikulum fungsional. Celakanya, selain pembagian tugas pengembangan kurikulum tidak proporsional, penanganan komponen evaluasi pada sistem kurikulum oleh pemerintah pun tidak sepenuhnya tepat. Untuk jenis pendidikan umum (baca SMP dan SMA), yang seharusnya menggunakan jenis evaluasi norma, ternyata menggunakan evaluasi kriteria. Ketidaktepatan ini akan membuat komponen lainnya menyesuaikan diri sehingga akan sempurnalah disfungsional kurikulum. Pada tataran makro sistem pendidikan nasional, kurikulum hanyalah sebuah komponen atau sebuah subsistem. Oleh karena itu, dengan sendirinya disfungsionalnya kurikulum akan menyebabkan disfungsionalnya mekanisme sistem pendidikan nasional. Disfungsionalnya sistem pendidikan nasional akan semakin sempurna bila komponen lainnya disfungsional karena tidak ditata dengan benar. Ibarat kendaraan untuk bepergian, sebenarnya KTSP sudah berada di jalur yang benar untuk mencapai tujuan. Sayang, dengan adanya UN yang sesungguhnya adalah kesalahan teknis
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 209
yang disengaja, kendaraan yang sudah berada di jalur yang benar itu tidak akan fungsional. Dan, ironisnya, tidak fungsionalnya kurikulum tersebut dengan sendirinya akan membuat seluruh komponen sistem pendidikan nasional tidak fungsional pula. Kurikulum tidak sistematis memang berakibat parah. Sungguh menyedihkan!.
210 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Kekacauan Paradigma Pendidikan Nasional Kompas, 7 November 2007. Secara sosiologis pendidikan dapat dikaji menggunakan dua kemungkinan paradigma, yakni paradigma objektivisme dan paradigma subjektivisme, (lihat Burrel dan Morgan, Sociological Paradigms and Organisational Analysis, 1994). Pada paradigma objektivisme, manusia dipandang hanya sebagai komponen sistem sosial yang tidak bermakna bila berada di luar sistem sosial. Diasumsikan, disfungsionalnya salah satu komponen akan menyebabkan disfungsionalnya keseluruhan sistem sosial. Karena itu, setiap komponen harus mengabdi tanpa kompromi pada sistem sosial. Dalam konteks pendidikan, manusia dipandang sebagai objek general yang bebas nilai dan tunduk pada mekanisme sistem pendidikan demi mempertahankan status quo sistem sosial. Tidak fungsionalnya sistem pendidikan dipandang sebagai akibat dari kesalahan manusia, seperti malas, tidak kreatif, tidak terampil, dan tidak cerdas. Pada paradigma subjektivisme, manusia dipandang sebagai aktor unik yang mengonstruksi realitas sosial. Diasumsikan, manusia bertindak berdasarkan hasil pendefinisiannya terhadap fenomena sosial serta hanya dapat dipahami keberadaannya secara subjektif. Dalam konteks pendidikan, manusia diposisikan sebagai subjek atau aktor yang melakukan refleksi kritis terhadap realitas sosial, mendekonstruksi sistem sosial, serta melakukan transformasi sosial. Walaupun bertolak belakang, dua paradigma di atas dapat dipadukan. Oleh Giddens (1995), misalnya, dua paradigma yang dipertentangkan ini dipadu menjadi teori yang disebut strukturasi. Ada dua konsep dalam teori strukturasi yang
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 211
diibaratkan sebagai dua sisi dari satu mata uang, yakni struktur dan agen, di mana struktur adalah aturan-aturan dalam masyarakat yang sejalan dengan paradigma objektivisme, sedangkan agen adalah aktor yang bertindak secara bebas dalam struktur, yang sejalan dengan paradigma subjektivisme. Singkatnya, kebebasan aktor adalah kebebasan dalam struktur, sedangkan keteraturan struktur adalah keteraturan yang menyediakan ruang inisiatif dan kreativitas memadai bagi kebebasan aktor. Dalam konteks pendidikan, pemaduan paradigma objektivisme dan subjektivisme akan berwujud hadirnya perundang-undangan dan kebijakan yang memberikan keleluasaan memadai bagi pelaku pendidikan untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitasnya. Tidak mungkin pendidikan dikelola tanpa peraturan yang mengikat, tetapi peraturan itu mesti mengikat pelaku pendidikan untuk berinisiatif dan berkreativitas. Tanpa peraturan yang mengikat, sama saja dengan menghancurkan kebersamaan, tetapi tanpa cukup ruang inisiatif dan kreativitas, sama saja dengan mempertahankan status quo dan membuat pendidikan tak menghasilkan perubahan signifikan. Kalau dicermati, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) telah menyediakan ruang memadai bagi inisiatif dan kreativitas pelaku pendidikan. Ketentuan-ketentuan dalam USPN memang mengikat pelaku pendidikan negeri ini dalam bingkai kesatuan nasional, tetapi ikatan itu sekaligus juga ikatan yang menuntut pelaku pendidikan berinisiatif dan berkreativitas sebagai aktor. Ketentuan tentang pengertian pendidikan (Pasal 1 ayat 1), basis pendidikan (Pasal 1 ayat 16), kurikulum (Pasal 36 Ayat 2), dan tugas pendidik (Pasal 39 Ayat
212 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
2), misalnya, menyediakan ruang memadai untuk inisiatif dan kreativitas pelaku pendidikan. Sayangnya, ruang inisiatif dan kreativitas yang tersedia menjadi tidak berarti karena ketidaktepatan pengembangan ketentuan-ketentuan tersebut menjadi peraturan dan kebijakan pemerintah. Dalam konteks sosiologis, telah terjadi kekacauan paradigma karena ketidaktepatan pengembangan USPN menjadi peraturan dan kebijakan pemerintah. Ketidaktepatan itu bukan hanya dalam hal cara, melainkan juga dalam hal substansi. Untuk menjaga konsistensi penafsiran terhadap USPN menjadi peraturan dan kebijakan pemerintah, teori tentang pembangunan partisipatif yang dikembangkan Chambers (1992) layak dijadikan acuan. Dalam pembangunan partisipatif, pelaku pembangunan dilibatkan dalam seluruh proses pembangunan, mulai dari identifikasi kebutuhan dan analisis masalah, perencanaan, pelaksanaan, monitoring, sampai evaluasi. Singkatnya, makin besar dan komprehensif partisipasi pelaku pembangunan dalam proses pembangunan, akan makin signifikan terjadi perubahan sosial. Pertanyaannya, memadaikah partisipasi pelaku pendidikan di negeri ini terhadap pembuatan peraturan dan kebijakan pendidikan? Bukankah peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dibuat sepihak oleh segelintir orang di pusat, sedangkan pelaku pendidikan di daerah dan sekolah hanya menjadi pelaksananya? Hal-hal yang sedang menjadi polemik saat ini, seperti ujian nasional, badan hukum pendidikan, dan sertifikasi guru, bukankah merupakan produk sepihak yang amat minim partisipasi sosialnya? Lalu, bagaimana mungkin negeri dengan wilayah amat luas dan kondisi sosial-budaya amat plural ini
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 213
dapat dikelola secara efektif dan efisien hanya berdasarkan peraturan dan kebijakan sepihak yang amat sentralistis? Tanpa memaksimalkan partisipasi pelaku pendidikan dalam menghasilkan peraturan dan kebijakan pendidikan, tidak mungkin pendidikan dapat menghasilkan subjek atau aktor sosial sebagai kunci perubahan sosial. Sampai kapan pun pendidikan hanya akan menjadi pemelihara status quo masyarakat, perubahan sosial tidak mungkin terjadi secara signifikan, keadilan sosial yang menjadi cita-cita nasional pun tetap berada di dunia mimpi.
214 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Ujian Nasional dan Mazhab Psikologi Kompas, 20 Mei 2009. Secara psikologis pendidikan dapat dikaji menggunakan dua mazhab, yakni mazhab behavioristik dan mazhab humanistik. Bagi behavioristik, pendidikan adalah proses perubahan tingkat laku untuk mencapai tujuan sesuai standar tertentu melalui pembiasaan berbasis stimulus-respons. Bagi humanistik, pendidikan adalah proses aktualisasi diri melalui pemenuhan kebutuhan hidup. Pemaknaan pendidikan yang berbeda oleh dua mazhab ini berimplikasi pada semua unsur pendidikan, baik guru, siswa, tujuan dan isi, strategi, maupun evaluasi. Dalam hal guru, bagi behavioristik, guru adalah pelaksana pembelajaran sesuai ketentuan standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak-pihak di luar dirinya. Sementara bagi humanistik, guru adalah perancang tujuan, isi, strategi, dan evaluasi pembelajaran berdasarkan hasil analisisnya terhadap kebutuhan siswa. Dalam hal siswa, bagi behavioristik, siswa berkewajiban menjalankan tuntutan guru tanpa kompromi sebagai implikasi logis dari adanya ketentuan standar yang harus dicapai guru. Adapun bagi humanistik, siswa berhak memilah dan memilih tugas sesuai bakat, minat, dan kebutuhannya. Dalam hal tujuan dan isi pembelajaran, bagi behavioristik, tujuan pembelajaran adalah agar terjadi perubahan tingkah laku berupa bertambahnya pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam diri siswa. Untuk itu, isi pembelajaran bersifat objektif, terstruktur, permanen, dan berstandar tunggal. Adapun bagi humanistik, tujuan pembelajaran adalah agar potensi atau bakat dan minat siswa yang unik berkembang maksimal. Untuk itu, isi
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 215
pembelajaran bersifat subjektif, tidak terstruktur, temporer, dan multistandar. Dalam hal strategi pembelajaran, bagi behavioristik, metode ceramah dan "drill" merupakan metode utama. Dalam penataan iklim pembelajaran, digunakan teknik motivasi, penguatan positif, pengalihan, dan hukuman. Adapun bagi humanistik, metode yang tepat adalah metode yang mendorong penemuan oleh siswa, seperti tanya-jawab, diskusi, dan eksperimen. Dalam penataan iklim pembelajaran, digunakan teknik pemenuhan kebutuhan dasar, mulai dari kebutuhan fisik, rasa aman, kasih sayang, sampai harga diri. Dalam hal evaluasi pembelajaran, bagi behavioristik acuan yang tepat adalah kriteria, dengan penekanan pada hasil belajar. Adapun bagi humanistik, acuan yang tepat adalah nilai rata-rata kelompok, dengan penekanan pada proses pembelajaran. Mazhab behavioristik dan humanistik adalah dua mazhab dengan keunikannya masing-masing. Diperlukan penataan yang tepat agar penggunaan dua mazhab ini efektif bagi pencapaian tujuan pendidikan. Pada dasarnya, pertama, untuk pendidikan umum dan kawasan kognitif lebih tepat digunakan mazhab humanistik, sementara untuk pendidikan kejuruan dan kawasan psikomotorik dan afektif lebih tepat digunakan mazhab behavioristik. Kedua, terkait dengan pertama, untuk menghantar siswa sampai pada penguasaan keterampilan teknis tertentu, lebih tepat digunakan mazhab behavioristik, sementara untuk mengembangkan kemampuan berinisiatif dan berkreativitas dalam diri siswa, lebih tepat digunakan mazhab humanistik. Ketiga, dalam menata iklim pembelajaran, teknik-teknik dalam kedua mazhab ini digunakan secara sinergis, sesuai keunikan dan kebutuhan siswa.
216 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Di antara dua mazhab psikologi ini, mazhab behavioristik yang kelahirannya diawali penelitian Pavlov (1849-1936) terhadap hewan, lahir terlebih dahulu dan mewarnai praktek pendidikan nasional sejak masa penjajahan sampai saat ini. Dan kita sama-sama tahu, sampai saat ini mutu lulusan pendidikan kita masih tertinggal dibandingkan lulusan negara lain. Pelaksanaan ujian nasional berstandar tunggal, sambil dikawal polisi, adalah contoh paling aktual dan menyedihkan dari puncak gunung es masalah penerapan mazhab behavioristik yang berlebihan dan salah alamat. Dapat dipastikan, mayoritas proses pembelajaran di sekolah-sekolah selama ini amat behavioristik, yang ditandai oleh penyeragaman tujuan, strategi, dan standar evaluasi, dalam kawalan ketat guru, kepala sekolah, dan pihakpihak terkait. Keterlibatan penulis dalam program sertifikasi guru pun menunjukkan, para guru diperlakukan amat behavioristik. Sungguh sayang, anggaran pendidikan nasional yang masih terbatas digunakan secara tidak efektif dan efisien karena ketidaktepatan penerapan mazhab psikologi. Ketidaktepatan yang berakibat peran pendidikan sebagai pengembang inisiatif dan kreativitas anak negeri ini tetap berjalan di tempat. Apakah karena para petinggi pendidikan nasional tidak cukup paham bagaimana aplikasi mazhab psikologi pada pendidikan? Entahlah.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 217
UN, Sistem Ealuasi yang Tidak Pedagogis Kompas, 11 Februari 2010 Tulisan Fathurrofiq di Kompas Jawa Timur berjudul Komodifikasi Bimbingan Belajar (4/2/2010) patut direspons serius agar dihasilkan sistem evaluasi pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan secara pedagogis. Kalau ditelusuri ke akar persoalan, sesungguhnya kehadiran bimbingan belajar dengan model drill dan uji coba hanyalah dampak pengiring dari sistem evaluasi pendidikan nasional yang digunakan saat ini. Dengan kata lain, sistem UN itu sendiri tidak pedagogis sehingga berdampak munculnya berbagai praktik yang tidak pedagogis pula. Sesungguhnya kehidupan manusia selalu diwarnai oleh dua kutub realitas dengan fungsinya masing-masing. Ada siang, ada malam, ada pria, ada wanita, begitu seterusnya. Agar mempunyai anak, misalnya, pria dan wanita mesti bekerja sama sinergis sesuai fungsinya masing-masing. Pria tidak mungkin menyusui, sementara wanita tidak mungkin memiliki anak tanpa pria. Dua kutub realitas tersebut bisa didikotomikan, bisa juga disinergikan. Di dunia pendidikan, pernah ada kutub empirisme yang memandang manusia ibarat tanah liat yang bisa dibentuk menjadi apa saja sesuka hati. Selain itu, juga pernah ada kutub nativisme yang memandang manusia telah membawa kediriannya sejak lahir. Perdebatan kedua kutub ini berakhir dengan lahirnya teori konvergensi yang memandang terbentuknya pribadi manusia sebagai hasil perpaduan antara pembawaan dan pengaruh lingkungan. Di luar disiplin ilmu pendidikan, terdapat pula berbagai kutub akademik. Dalam disiplin ilmu sosial, terdapat kutub 218 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
struktur sosial dan definisi sosial, dalam disiplin psikologi terdapat kutub behaviorisme dan humanisme, dalam bidang penelitian terdapat metode kuantitatif dan metode kualitatif, begitu seterusnya. Di negara-negara maju perdebatan dikotomis antara kutub akademik ini telah relatif selesai secara sinergis sehingga mereka lebih fokus membangun negerinya tanpa diganggu perdebatan yang menghambat laju pembangunan tersebut. Kalau dicermati, pembangunan, khususnya pembangunan pendidikan di negeri ini masih dikelola dengan hanya bertumpu pada satu kutub pandangan. Dari kaca mata teori pendidikan, pendidikan dikelola dengan porsi empirisme yang berlebihan, yang sejalan dengan paradigma struktur sosial di bidang sosial, behavioristik di bidang psikologi, dan kuantitatif di bidang penelitian. UN adalah contoh paling konkret dan aktual dari puncak gunung es penerapan berlebihan salah satu kutub teori atau pandangan dalam mengelola pendidikan, yakni teori empirisme, yang sejalan dengan psikologi behaviorisme. Oleh karena UN adalah wujud evaluasi pendidikan sebagai komponen terakhir proses pendidikan, maka UN akan memengaruhi seluruh komponen sistem pendidikan, bahkan seluruh komponen sistem pendidikan akan mengabdi tanpa kompromi Namun, penuh pamrih pada komponen ini. Pendekatan Terpadu Memang lebih mudah menganut dan menerapkan secara ekstrim salah satu kutub pandangan atau teori dalam pengelolaan pendidikan. Mudah dalam arti tidak perlu bersusah payah berpikir dan bertindak untuk menggunakan secara sinergis dua kutub yang bertolak belakang. Namun, hasilnya pasti pas-pasan.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 219
Kesannya seolah-olah kebijakan dan rencana kebijakan pendidikan saat ini, seperti UN dan penggunaan UN untuk seleksi masuk PTN, mengedepankan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam peningkatan mutu pendidikan, tetapi sesungguhnya merefleksikan mentalitas malas dan mencari jalan pintas. Lalu, bagaimana contoh pemaduan itu? Secara teoretis untuk pendidikan keterampilan-kejuruan, UN berstandar tunggal layak digunakan. Namun, tidak untuk pendidikan umum-kognitif. Dengan kata lain, sistem UN yang digunakan saat ini tidak tepat untuk SD, SMP, dan SMA. Sistem tersebut lebih tepat untuk SMK. Adapun untuk SD, SMP, dan SMA, minimal UN menggunakan multi standar, misalnya disesuaikan dengan klasifikasi hasil akreditasi sekolah. Setiap daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, diberi wewenang menetapkan sendiri standar daerah, sementara pemerintah pusat menetapkan standar nasional sebagai acuan tertinggi. Akan muncul pertanyaan, bagaimana dengan kemungkinan kesenjangan bekal akademik siswa ketika akan masuk ke jenjang lebih tinggi? Misalnya, bila standar ujian SMA berbeda, apakah hal itu tidak menyulitkan lulusan SMA dalam memilih PT di satu pihak, dan menyulitkan PT dalam mengelola keanekaragaman kemampuan akademik mahasiswa baru di pihak lain. Sesungguhnya di sinilah letak peran kecerdasan, kemauan, dan mentalitas kerja keras di dalam mengelola pendidikan nasional. Sekedar contoh, saya lulus dari sebuah sekolah pendidikan guru (SPG) dengan kondisi amat terbatas di pelosok pulau Timor 37 tahun lalu, kemudian melanjutkan pendidikan di pulau Jawa. Beruntung ada sebuah PTS yang mau bekerja keras dengan memberikan kesempatan mengikuti pendidikan pra-universitas kepada calon mahasiswa kurang beruntung seperti saya.
220 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Andaikan kesempatan itu tidak saya dapatkan, tulisan ini tidak akan sampai di tangan pembaca. Mudah-mudahan jelas apa yang dimaksudkan dengan bekerja keras dalam memadukan secara sinergis berbagai pandangan atau teori dalam mengelola pendidikan nasional. Kalau masih tetap tidak jelas, barangkali baru seperti itulah kemampuan akademik kita dalam mengelola pendidikan negeri ini. Menyedihkan!
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 221
Pendidikan dan Bakat Peserta Didik Kompas, 19 Maret 2010 Topik Kompas Jatim 17/3/2010, Kenali Bakat Anak yang mengangkat pandangan Evy Tjahyono patut dikaji lebih jauh. Pasalnya, pengenalan terhadap bakat dan minat peserta didik sejak dini amat diabaikan di negeri ini, padahal justru di situlah letak titik berangkat pendidikan yang efektif dan efisien. Filsafat antropologi antara lain memandang setiap manusia sebagai makhluk unik yang tak ada duanya, hanya satusatunya. Para pemikir pendidikan humanis pun menempatkan pandangan tentang keunikan manusia sebagai salah satu landasan penyelenggaraan pendidikan. Singkatnya, karena setiap manusia unik, pengelolaan semua unsur pendidikan mulai dari peserta didik, pendidik, isi pendidikan, strategi pendidikan, sampai evaluasi pendidikan mesti mengakomodir kondisi keunikan tersebut. Dalam hal peserta didik, keunikan peserta didik dihargai dalam wujud aktualisasi potensi-potensi paling menonjol dan dorongan internal paling kuat dalam diri setiap peserta didik untuk mengaktualisasikan potensinya. Dengan kata lain, pendidikan harus disesuaikan dengan bakat dan minat peserta didik. Untuk itu, benar yang dikemukakan Evy Tjahyono bahwa identifikasi terhadap bakat dan minat peserta didik harus dilakukan sedini mungkin, kemudian dijadikan acuan oleh pendidik dalam proses pendidikan. Selain mengingkari hakikat manusia sebagai makhluk unik, pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan minat peserta didik tidak mungkin memberikan hasil maksimal dalam upaya aktualisasi diri peserta didik. 222 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Dalam hal pendidik pun demikian. Dalam konteks pendidikan sekolah, seperti halnya peserta didik, rekrutmen guru harus benar-benar mempertimbangkan bakat dan minat mereka yang hendak menjadi guru. Pasalnya, hanya mereka yang berbakat dan berminat memadai menjadi gurulah yang dapat mengaktualisasikan diri secara maksimal dalam menjalani profesi guru. Dalam hal tujuan dan isi pendidikan, pengembangan tujuan dan isi pendidikan harus memungkinkan peserta didik mengaktualisasikan bakat dan minat secara tepat. Konkretnya diperlukan pengenekaragaman tujuan dan isi pendidikan secara maksimal sehingga dapat mengakomodir keanekaragaman bakat dan minat peserta didik. Dalam konteks pendidikan sekolah, diperlukan penganekaragaman mata pelajaran dan program pendidikan sehingga setiap bakat dan minat siswa dapat dikembangkan melalui tujuan dan isi pelajaran yang tersedia. Kalau mencermati pendidikan kita selama ini harus diakui bahwa keunikan anak negeri ini belum mendapatkan tempat yang memadai. Kasus salah tempat dalam penyelenggaraan pendidikan amat biasa. Selama saya menjadi guru 28 tahun, misalnya, mayoritas mahasiswa dalam kelas perkuliahan saya mengatakan bahwa mereka salah memilih program studi. Ketika ditelusuri, ternyata kesalahan itu sudah terjadi sejak awal mereka mengenal dunia pendidikan sekolah. Amat banyak pemaksaan untuk mempelajari sesuatu yang tidak diminati di satu pihak dan tak kurang banyaknya pembatasan untuk mempelajari hal lain yang diminati di pihak lain. Singkatnya, dunia pendidikan sekolah menjadi penjara bagi inisiatif dan kreativitas siswa karena bakat dan minat siswa tidak dijadikan basis penyelenggaraan pendidikan. Lalu, bagaimana
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 223
mungkin pendidikan kita dapat menghasilkan wiraswastawan tangguh dalam menghadapi persaingan global? Demikian pula dengan guru. Profesi guru tidak luput dari ajang pelarian dari bakat dan minat yang hakiki. Selain karena sejak di hulu pendidikan tidak berbasis pada bakat dan minat anak negeri ini, juga karena terbatasnya lapangan kerja. Dalam kondisi seperti ini, sertifikasi dan peningkatan gaji guru tidak banyak menolong, bahkan sia-sia. Harapan peningkatan mutu guru mustahil tercapai. Dampak negatif dari pengabaian terhadap keunikan manusia dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri ini menjadi sempurna karena pengelolaan tujuan, isi, strategi, dan evaluasi pendidikan yang tidak tepat. Jenis program studi yang terbatas dan itu-itu saja, misalnya, berakibat peserta didik terpaksa masuk ke program studi yang tidak sesuai dengan bakat dan minatnya. Praktik ujian nasional yang berlangsung selama ini pun jelas-jelas telah mereduksi upaya pengembangan bakat dan minat siswa negeri ini. Kita kehilangan anak-anak yang berbakat dan berminat besar terhadap seni lukis, sejarah, pertanian, sepak bola, seni musik, antropologi, dan sebagainya karena salah urus keunikan anak negeri ini melalui pendidikan sekolah. Salah urus pendidikan yang dikemukakan di atas barulah salah urus dari aspek keunikan manusia. Belum termasuk salah urus dari aspek sosial, moral, dan religi. Salah urus tersebut jelas berakibat upaya peningkatan mutu pendidikan tetap berjalan di tempat apa pun usaha yang kita lakukan.
224 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Fungsionalisasi Sistem Persekolahan Kompas, 19 Juli 2011 Satu SD alternatif yang cukup saya kenal tahun ini meluluskan semua siswanya. Namun, bukan kelulusan 100 persen itu yang menarik, melainkan bagaimana SD itu mengelola setiap komponen pendidikannya. Di sekolah itu, setiap lamaran menjadi guru, kapanpun diajukan dan dibutuhkan, akan diproses. Pada tahap pertama, pelamar akan mengikuti tes tertulis. Jika lulus tes tertulis, calon guru diwawancarai. Jika lolos, calon memasuki masa percobaan selama tiga bulan. Pada masa percobaan, calon guru ditempatkan sebagai guru bantu guru senior, dan diikutkan berbagai pelatihan pembelajaran yang diadakan sekolah. Biasanya lebih dari satu guru utama senior yang dibantu, dan pelatihan dilakukan pada hari-hari libur sekolah. Setelah tiga bulan, dilakukan evaluasi oleh sekolah berdasarkan masukan para guru senior ataupun masukan dari keikutsertaannya dalam pelatihan pembelajaran. Hal yang dievaluasi pun holistik, tidak hanya penguasaan materi pelajaran dan strategi pembelajaran, tetapi juga karakter yang diperlukan sebagai guru profesional. Jika lolos pada tahap percobaan, ia akan diangkat menjadi guru kontrak selama satu tahun. Selama jadi guru kontrak tahun pertama, ia masih ditempatkan sebagai guru bantu, tetapi hanya berada di bawah pembinaan satu guru utama senior. Evaluasi pada masa kontrak satu tahun dilakukan sejak awal kontrak ditandatangani serta terus dibahas antara guru senior pembina dan manajemen sekolah.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 225
Jika lolos masa kontrak tahun pertama, ia akan memasuki masa kontrak tahun kedua. Pada tahap ini, mereka yang terbukti amat berbakat dan berminat menjadi guru profesional ada yang diangkat menjadi guru utama, terutama jika kondisi lapangan memerlukan, misalnya ada guru utama mengundurkan diri. Proses evaluasi akan terus bergulir. Ada yang akhirnya diangkat menjadi guru tetap karena terbukti konsisten terus berinovasi dalam menjalankan profesi. Ada juga yang diberhentikan setelah tahun kedua atau ketiga karena tidak mengalami perubahan signifikan dalam menjalankan profesi. Kurikulum Holistik Prinsip pengutamaan bakat dan minat serta evaluasi proses yang holistik juga diberlakukan kepada siswa, melibatkan orang tua dan profesional terkait, khususnya psikolog. Sekadar contoh, sekolah ini amat menghargai bakat dan minat anak. Di sekolah tersebut terdapat kegiatan teater. Ketika pengelola kegiatan teater menemukan pengumuman audisi pemeran sebuah film yang ditangani seorang sutradara ternama, siswa teater diikutkan audisi dan ada yang lolos. Dalam hal pelajaran inti pun demikian. Siswa berbakat dan berminat terhadap pelajaran matematika, misalnya, difasilitasi mengikuti berbagai kegiatan lomba matematika di luar sekolah. Mungkin saja ada siswa bermasalah yang akhirnya dikeluarkan dari sekolah karena tak dapat ditangani oleh sekolah di satu pihak dan orang tua tak dapat diajak bekerja sama untuk mengatasi masalah anak di pihak lain. Ini terutama terkait dengan masalah moral anak. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa pendidikan karakter jadi bagian integral sistem pendidikan sekolah tanpa harus jadi pelajaran tersendiri.
226 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Pengutamaan bakat dan minat siswa dalam pendidikan berimplikasi pada kurikulum. Selain kurikulum inti yang bersumber dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sekolah juga berusaha menyajikan aneka pelajaran untuk mengakomodasi bakat dan minat siswa di luar kurikulum inti. Olah raga dan seni, misalnya, banyak mewarnai kegiatan siswa di sekolah. Dalam hal strategi pembelajaran, pengikutsertaan siswa peserta pelajaran teater pada audisi pemain film adalah contoh maksimalnya penerapan strategi pembelajaran di sekolah itu. Pelajaran apa pun yang disajikan di sekolah diusahakan berlangsung tuntas sesuai dengan bakat dan minat siswa. Mereka yang berbakat dan berminat besar di bidang tertentu difasilitasi maksimal mengikuti lomba-lomba di luar sekolah. Ini semua bisa berjalan maksimal karena praktis setiap kelas ditangani tiga guru: guru utama dan guru bantu serta guru mata pelajaran untuk pelajaran-pelajaran tertentu. Dengan guru yang profesional, siswa yang belajar sesuai dengan bakat dan minatnya, kurikulum yang holistik serta strategi pembelajaran yang tuntas, praktis tak terdapat masalah dalam evaluasi. Saat menjelang ujian nasional (UN), para guru dan siswa memang ikut terkena demam UN. Namun, seluruh komponen sistem yang dibangun kukuh dan fungsional menyebabkan kehadiran UN disambut bak pesta akhir pendidikan yang tak mungkin dan ak boleh bernoda. Apa yang dikemukakan di atas adalah contoh sekolah yang fungsional. Setiap komponen pendidikan –guru, siswa, kurikulum, strategi pembelajaran, dan evaluasi pembelajarandikelola secara sistemis dan tuntas sehingga setiap komponen mendukung berfungsinya komponen lain demi fungsionalnya sistem pendidikan sekolah. Dengan sistem yang fungsional,
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 227
masalah komponen evaluasi, seperti UN yang tak valid dan tak reliabel terpecahkan dengan sendirinya. Sangkil dan Mangkus Yang dilakukan oleh sekolah ini sesungguhnya sesuai dengan standar teori sistem pendidikan. Kalau ingin pendidikan yang sangkil dan mangkus, alias efisien dan efektif, itulah standar bakunya: guru diseleksi secara tepat; siswa belajar sesuai dengan bakat dan minatnya; kurikulum holistis dan bervariasi untuk mengakomodasi keanekaragaman bakat dan minat siswa; strategi pembelajaran tuntas; serta adanya konsistensi evaluasi proses pembelajaran. Pesan lainnya, sekolah ini dikelola oleh pengelola yang profesional. Pengurus yayasan dan kepala sekolah beserta perangkat pengelola lainnya adalah para profesional yang tidak tersentuh dan tergoda oleh kepentingan politik, sebagaimana dirisaukan berbagai pihak belakangan ini. Belajar dari kasus sekolah tersebut, kalau mau belajar, pemerintah pusat dapat menetapkan secara nasional kerangka normatif pengelolaan sistem pendidikan sekolah. Ini diikuti penyediaan tenaga ahli yang relevan dengan setiap komponen pendidikan–dari guru sampai evaluasi–dan ditempatkan di setiap kabupaten untuk memfasilitasi proses fungsionalisasi setiap komponen pendidikan sekolah berdasarkan kerangka normatif tersebut. Untuk itu, konsep desentralisasi pendidikan perlu direvisi, sebagaimana disarankan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, (Kompas, 22/6/2011). Konkretnya, dalam hal administratif–termasuk pengadaan dan pembinaan personalia pendidikan–misalnya, digunakan sistem sentralisasi, sementara otonomi hanya dalam hal akademis, terutama dengan memaksimalkan pelaksanaan KTSP.
228 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Bukankah secara teoretis KTSP adalah wujud konkret otonomi pendidikan?
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 229
Kurikulum Muatan Lokal dan Potensi Daerah Pos Kupang, 20 Juli 2016 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional antara lain berisi pesan bahwa kurikulum memperhatikan keragaman potensi daerah dan lingkungan (Pasal 36, ayat 3d). Pada bagian lain terdapat pesan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat muatan lokal (Pasal 37, ayat 1 j). Bila diaplikasi secara tepat, sejumlah manfaat dapat diraih dari hadirnya kurikulum muatan lokal berbasis potensi daerah. Tak hanya bagi daerah, juga bagi siswa. Bagi daerah, dapat berfungsi sebagai pelestari potensi daerah sekaligus mendatangkan manfaat ekonomi. Sedangkan bagi siswa, dapat menjadi bekal untuk berkarya setelah menyelesaikan pendidikan. Sebagai contoh, daratan Timor khususnya, dan NTT umumnya, dengan potensi kayu cendana. Kayu cendana yang sempat mengharumkan nama pulau Timor sampai ke berbagai pelosok dunia berabad-abad yang lalu, kini nyaris punah. Melalui kurikulum muatan lokal, tanaman khas daerah ini dapat dilestarikan, bahkan dikembangkan menjadi produk bernilai ekonomi. Demikian juga dengan potensi pertanian, peternakan, pertambangan, bahkan potensi budaya, seperti kain tenun. Hal yang sering ditanyakan dalam diskusi-diskusi tentang kurikulum muatan lokal adalah pada jenjang apa muatan lokal tertentu layak diadakan? SD, SMP, atau SMA? Idealnya, kurikulum muatan lokal ditata sedemikian rupa, sehingga bersifat holistik, mulai dari hulu hingga hilir. Dalam bahasa ekonomi, dimulai dari proses produksi sampai pemasaran. Meskipun demikian, karena pendidikan untuk siswa, dan bukan siswa untuk pendidikan, maka penerapannya mesti disesuaikan dengan kondisi psikologis-akademik siswa.
230 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Sesungguhnya kurikulum muatan lokal apa pun dapat dimulai sejak SD. Tentu saja, sebagaimana dikemukakan di atas, isinya disesuaikan dengan tingkat akademik siswa. Ambil contoh kayu cendana. Untuk anak SD, sebaiknya pendidikan lebih difokuskan pada pengenalan potensi daerah kayu cendana, dan praktik menanam dan merawatnya. Hasil penelitian saya tentang kurikulum muatan lokal bertani apel di Kota Batu misalnya, menunjukkan bahwa siswa SD sudah dapat diajak bertani menanam dan memelihara apel. Mereka ternyata sukses bertani, dalam arti apel yang ditanam dapat tumbuh dan berbuah secara wajar, dalam pendampingan orang tua yang adalah petani apel. Singkatnya, dalam hal kayu cendana, sesungguhnya siswa SD sudah bisa diajak menanam cendana di lingkungan rumah dan kebunnnya masing-masing, dalam kerja sama dengan orang tua mereka, sebagai wujud dari kurikulum muatan lokal. Tentu saja didahului pengenalan kepada mereka tentang jejak sejarah, potensi ekonomi, dan cara-cara sederhana menanam dan merawat kaya berharga ini. Hal yang relatif sama dapat diberlakukan untuk muatan lokal tanaman lain. Misalnya dalam menanam pohon jati, pohon kelor, dan tanaman bernilai ekonomi lainnya. Begitu pula dalam hal peternakan, misalnya memelihara ayam, sapi, kambing, dan babi. Andaikan banyak siswa SD yang tertarik menanam aneka pohon dan memelihara aneka hewan di rumah sebagai bagian dari kurikulum muatan lokal NTT, dapat dibayangkan pada gilirannya betapa makmurnya provinsi relatif kering itu. Ini baru siswa SD, belum siswa SMP dan SMA. Warga daerah ini tak harus mengadu nasib menjadi TKI, misalnya, dengan berbagai risiko sebagaimana terjadi selama ini. Sementara untuk potensi pertambangan, seperti mangan dan marmer, di SD pun sudah bisa diperkenalkan sebagai potensi yang juga menjanjikan, bila dikelola secara tepat. Paling tidak, sejak dini warga daerah ini sudah paham akan potensi daerah
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 231
mereka, dan apa yang kelak dapat mereka lakukan secara bertanggung jawab terhadap potensi anugerah Tuhan itu. Pada jenjang lebih tinggi, baik di SMP maupun SMA, prinsip pendidikan holistik dari hulu ke hilir sudah dapat diterapkan. Siswa sudah dapat diperkenalkan dengan hal-hal lebih spesifik dan rumit, seperti pembibitan, pemberantasan hama penyakit, bahkan pemasaran. Tentu saja, tetap harus disesuaikan dengan kondisi psikologis-akademik siswa. Tentang pengembangan kurikulum muatan lokal, secara teknis ada ilmunya. Di Program Teknologi Universitas negeri Malang misalnya, terdapat mata kuliah Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal. Saya termasuk salah satu pengampu mata kuliah ini. Sejumlah mahasiswa bahkan menulis skripsi pengembangan, dengan mengambil tema pengembangan kurikulum muatan lokal. Boleh jadi, terdapat program pendidikan di perguruan tinggi di NTT yang juga menyajikan mata kuliah ini. Pada prinsipnya, pengembangan kurikulum muatan lokal hendaknya melibatkan ahli disiplin ilmu yang relevan, praktisi di bidang yang relevan, dan tentu saja ahli kurikulum. Serahkanlah pada ahlinya, dan tunggulah hasilnya, atau kepada amatiran dan tuailah kehancurannya. Begitulah substansi pesan antropologi sebagai ilmu sosial, yang menjadi jargon pendidikan masa kini. Salam sukses pendidikan berbasis potensi daerah, lewat kurikulum muatan lokal. Tentu saja, kalau mau.*
232 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
Cara Mendidik Versi Behaviorise Tabloit Gloria, September 2016. Pendidikan yang bertanggung jawab adalah pendidikan yang didasarkan pada teori tertentu. Berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu sosial dan humaniora, menawarkan sejumlah teori yang relevan untuk penyelenggaraan pendidikan. Salah satu di antaranya adalah psikologi. Seperti bidang ilmu lainnya, psikologi pun menghadirkan dua aliran besar, yakni behaviorisme dan humanisme, (Goble, 1987). Tulisan ini akan difokuskan pada cara mendidik versi behaviorisme. Salah satu tokoh di balik psikologi behaviorisme adalah Pavlov, melalui penelitiannya terhadap hewan, khususnya anjing. Dari penelitian-penelitian terhadap hewan, para behavioris menghasilkan teori standar bahwa perilaku manusia merupakan produk dari proses stimulus, respons, dan asosiasi. Dengan diberi stimulus, manusia akan merespons, dan dalam merespons akan terjadi asosiasi. Stimulus dan respons berulang yang diwarnai asosiasi, akan menghasilkan pola perilaku tertentu yang relatif permanen. Begitu rumus dasarnya. Dalam aplikasinya di dunia pendidikan, cara-cara pendidikan behavioristik mengkristal menjadi langkah-langkah berikut. 1) Berikan teladan, 2) jelaskan secara logis makna dibalik hal yang diteladankan, 3) berikan hadiah bila teladan diikuti, 4) nasihati bila teladan tak diikuti, 5) berikan hadiah bila nasihat diikuti, 6) berikan peringatan bila nasihat tak diikuti, 7) berikan hadiah bila peringatan tak dilanggar, 8) berikan hukuman bila peringatan dilanggar.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 233
Realitas Lapangan Psikologi behaviorisme hadir di Indonesia bersamaan dengan keberadaan penjajah di negeri ini. Sejarah mencatat, di mana pun dan siapa pun penjajah, kaum kolonial hanya mengenal satu cara memelihara eksistensi di daerah jajahan: kekerasan, baik fisik maupun psikis. Dalam konteks pendidikan, andaikan penjajah dianalogkan sebagai pendidik, maka hukuman digunakan sebagai satu-satunya cara mendidik. Di sana tak ada teladan, penjelasan, apalagi hadiah, sebagaimana rumus umum pendidikan versi behavioristik. Terjadilah sinergi antara cara mendidik penjajah dan psikologi versi hewan (baca: behaviorisme) yang direduksi, sehingga sempurnalah ketidaksempurnaan cara mendidik anak negeri ini. Kesalahan mendidik masih tetap berlanjut setelah merdeka. Di tangan Orde Baru sebagai rezim tangan besi, semakin kukuh persepsi masyarakat bahwa kekerasan fisik dan psikis adalah alat pertama dan utama pendidikan pada semua lini. Ketegasan lalu identik dengan kekerasan. Hukuman sebagai salah satu cara mendidik, memang ya. Sayangnya, karena ratusan tahun kita dijajah dan dijejali hukuman, hukuman, dan hukuman, maka cara mendidik itulah yang ada dalam memori kita. Gaya pendidikan militer versi penjajah dipandang paling tepat dalam mendidik. Tidak hanya pada praktik pendidikan di keluarga dan sekolah, melainkan juga pada kebijakan pendidikan nasional, bahkan dalam semua lini pengelolaan negara. Rumus mendidik menjadi sangat sederhana: takut-takutilah anak dengan hukuman, dan hukumlah semaksimal mungkin ketika ia melakukan kesalahan, lalu tunggulah hasilnya. Dalam konteks pendidikan sekolah belakangan ini, rumusnya menjadi: takut-takutilah siswa dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM)
234 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
sebagai syarat ujian dan kanaikan kelas, buatlah mereka menjadi cemas, hukumlah mereka ketika tidak serius belajar, dan harapkanlah kenaikan kelas dan kelulusan 100 %. Utuh dan Proporsional Tentu saja apa yang kita tabur di dunia pendidikan, itulah yang kita tuai. Tidak mungkin kita menghasilkan insan penuh welas asih dan empati pada sesama, melalui sitem pendidikan berbasis kekerasan semata. Hasilnya adalah insan-insan yang mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup bersama. Sesungguhnya tak ada yang salah dalam teori pendidikan versi behaviorisme. Teori ini akan bermanfaat bila digunakan secara utuh, dan sesuai konteksnya. Kesalahan terletak pada kita: menggunakannya tak utuh dan tak proporsional. Miskin teladan, miskin penalaran, miskin hadiah, tapi kaya hukuman. Mari kita benahi, dan seimbangkan dengan humanisme. Seperti apa pendidikan versi humanisme? Sampai jumpa di kesempatan lain!
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 235
Cara Mendidik Humanisme Versus Behaviorisme Tabloit Gloria, November 2016 Psikologi behaviorisme dan humanisme adalah dua aliran psikologi yang amat mewarnai dunia pendidikan saat ini. Kalau psikologi behaviorisme dibangun di atas hasil penelitian terhadap hewan, dengan stimulus, respons, dan asosiasi sebagai basisnya, tidak demikian halnya psikologi humanisme. Tulisan ini akan membahas pandangan dan cara mendidik versi humanisme, dan bagaimana sinerginya dengan behaviorisme. Salah satu tokoh utama di balik psikologi humanisme adalah Abraham Maslow. Jika pada masa-masa awal kehadirannya, psikologi behaviorisme dibangun di atas hasil penelitian terhadap hewan, psikologi humanisme justru dibangun di atas hasil penelitian terhadap manusia. Maslow sebagai salah satu tokoh utama humanisme, membangun teorinya dari penelitian terhadap manusia, baik individu, maupun kelompok. Subjek penelitian Maslow adalah orang-orang baik yang bermental sehat versi banyak orang, serta komunitas masyarakat yang sehat secara sosial. Maslow meneliti fenomena di balik hadirnya individu-individu yang dipandang baik dan sehat oleh masyarakat, maupun kelompok-kelompok masyarakat yang sehat dipandang dari kajian sosiologi dan antropologi, (Goble, 1987). Pada pokoknya hasil penelitian Maslow sampai pada kesimpulan bahwa perbuatan manusia merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut bersifat hirarkhis, dari kebutuhan yang disebutnya kebutuhan dasar menuju kebutuhan lanjut. Secara hirarkhis kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan
236 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
kasih sayang, dan kebutuhan penghargaan sebagai kebutuhan dasar, serta kebutuhan aktualisasi diri sebagai kebutuhan lanjut. Menurut Maslow, ketika kebutuhan fisik terpenuhi minimal, maka akan muncul kebutuhan lebih tinggi, yakni kebutuhan rasa aman. Dalam hal kebutuhan makan sebagai kebutuhan fisik misalnya, hanya orang yang kenyang yang akan memikirkan rasa aman. Ketika lapar, orang akan berusaha memenuhi kebutuhan makan, dan mengabaikan sementara kebutuhan rasa aman. Demikian selanjutnya, bila kebutuhan rasa aman terpenuhi minimal, orang akan mulai memikirkan pemenuhan kebutuhan lebih tinggi, yakni kebutuhan kasih sayang. Orang yang belum terpenuhi kebutuhan rasa aman minimal, akan berusaha memenuhi kebutuhan rasa aman, dan mengabaikan kebutuhan kasih sayang. Begitu seterusnya sampai kebutuhan harga diri atau penghargaan. Bila kebutuhan-kebutuhan dasar terpenuhi minimal, maka manusia akan mulai memikirkan kebutuhan lanjut, yakni kebutuhan aktualisasi diri. Para penganut psikologi humanisme memaknai pendidikan sebagai upaya aktualisasi diri manusia. Konkretnya, pendidikan adalah upaya pengembangan bakat dan minat positif dalam diri manusia, berangkat dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Mengacu pada teori kebutuhan manusia menurut Maslow, dapat dikemukakan pokok pikiran tentang pendidikan versi humanisme sebagai berikut. Pertama, pendidikan adalah proses aktualisasi diri melalui pemenuhan kebutuhan hidup. Kedua, anak yang tidak terpenuhi kebutuhan fisik minimalnya, tidak mungkin akan beraktualisasi diri secara efektif dan efisien. Ketiga, anak yang tidak terpenuhi kebutuhan rasa amannya secara memadai, akan berkembang menjadi manusia yang cenderung penakut. Keempat, anak yang tidak terpenuhi
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 237
kebutuhan kasih sayang secara memadai, akan berkembang menjadi manusia yang cenderung mudah merasa terasing. Kelima, anak yang tidak terpenuhi kebutuhan harga dirinya, akan berkembang menjadi manusia yang cenderung mudah sakit hati. Kelima, pendidikan akan efektif dan efisien, bila didasarkan dan berangkat dari kondisi keunikan dan kebutuhan anak. Secara singkat cara pendidikan versi humanisme dapat dirumuskan sebagai berikut. Buatlah anak merasa kenyang, buatlah ia merasa aman, buatlah ia merasa dikasihi, buatlah ia merasa berharga, dan mulailah pendidikan untuk mengembangkan bakat dan minatnya, lalu tunggulah hasilnya. Karena segala sesuatu ada waktunya. Dalam konteks pendidikan sekolah, kesalahan paling umum yang dilakukan sekolah adalah memaksa anak untuk mengenyam pendidikan di luar bakat dan minatnya. Dan ironisnya, tidak jarang, orang tua juga ikut andil di dalamnya, dengan memaksakan kehendaknya kepada anak, bahkan terkadang juga memaksakan kehendaknya kepada sekolah. Jadilah pendidikan tidak didasarkan pada bakat dan minat anak, melainkan pada keinginan sekolah dan orang tua semata. Akibatnya, praktis semua kebutuhan dasar anak tidak terpenuhi, kecuali kebutuhan makan. Anak kehilangan rasa aman, kasih sayang, dan harga diri. Dalam kondisi demikian, hasil pendidikan tidak mungkin akan maksimal. Pendidikan justru menghasilkan manusia-manusia bermasalah di kemudian hari. Lalu, bagaimana dengan cara pendidikan versi bahaviorisme, bila dihadapkan dengan psikologi humanisme. Bagi humanisme, perbuatan-perbuatan anak yang biasanya dikategorikan sebagai kenakalan, sesungguhnya adalah upaya anak untuk memenuhi salah satu dari kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah berusaha
238 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
memahami kebutuhan apa yang sedang dikejar anak, memenuhinya secara benar, dan dengan demikian anak akan melakukan hal-hal positif untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Sementara bagi behaviorisme, perbuatan-perbuatan menyimpang anak adalah akibat dari kemungkinankemungkinan minimnya teladan, kurangnya nasihat, hukuman yang kurang tegas, atau hadiah yang tidak sesuai. Singkatnya, stimulus, respons, dan asosiasi yang salah alamat. Sesungguhnya tidak ada yang salah pada aliran psikologi behaviorisme dan humanisme. Masing-masing memiliki kebenaran sesuai konteksnya. Ibarat pria dan wanita, tak ada yang salah di sana. Persoalannya terletak pada sinergi yang tidak jalan, ketika menikah. Tentang hukuman dan hadiah yang khas behaviorisme misalnya, kedua cara itu akan bersinergi positif dengan humanisme, bila hukuman dan hadiah diberikan sesuai kesepakatan yang dibangun sejak awal secara bersama, antara anak dan orang tua di keluarga, serta guru dan siswa di sekolah. Selamat mendidik dengan mensinergikan psikologi behaviorisme dan humanisme. Salam sukses mendidik. TUHAN memberkati.
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 239
Gereja sebagai Lembaga Pendidikan Majalah Berkat, 23 November 2017 Salah satu pertanyaan mendasar yang muncul terkait agama dan pendidikan adalah bagaimana sesungguhnya posisi agama dalam konteks pendidikan. Salah satu jawaban mendasar adalah agama termasuk salah satu lembaga pendidikan. Literatur klasik tentang pendidikan paling tidak menyebut tiga lembaga pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan agama. Keluarga disebut sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama. Disebut pertama, karena dalam keluargalah pendidikan dimulai. Disebut utama, karena praktis fondasi pribadi manusia dibangun di sana. Dasar yang telah dibangun di dalam keluarga, akan amat menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Secara teoretis dasar yang salah dapat dibenahi, tapi itu berarti diperlukan waktu lebih lama untuk menghantar manusia menjadi dewasa. Pendidikan menjadi tidak efisien, ketika dasarnya tidak ditata dengan baik sejak dini. Agar ada kesamaan persepsi, perlu dikemukakan di sini bahwa berbicara tentang pendidikan sebagai sistem, berarti berbicara tentang komponen pendidik, peserta didik, tujuan dan isi pendidikan, strategi pendidikan, dan evaluasi pendidikan. Komponen-komponen ini ada dalam lembaga pendidikan manapun, entah keluarga, sekolah, maupun agama. Ketika pendidikan tidak maksimal dalam memainkan perannya, maka yang pertama dan utama perlu dikaji adalah kondisi peran komponen-komponen ini. Pertanyaan mendasar terkait lembaga dan komponen pendidikan dalam konteks agama adalah apakah lembaga agama telah memainkan perannya secara memadai sebagai lembaga pendidikan? Konkretnya, apakah komponen-komponen 240 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
pendidikan agama telah ditata logis dan sistematis, dalam mengemban perannya sebagai lembaga pendidikan? Agama yang Pertama dan Utama? Di Indonesia, keluarga menjadi syah oleh agama. Negara hanya mencatat, agamalah yang mensyahkan. Kalau dilihat lebih jauh ke dasar negara, sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa menempati sila pertama. Lalu apakah bisa dikatakan bahwa lembaga agama adalah lembaga pendidikan pertama dan utama? Bagi penulis sebagai akademisi pendidikan, secara yuridisfilosofis, jawabannya adalah ya. Entah secara Theologis. Sebagai guru yang mengampu mata kuliah teori dan filsafat pendidikan, pertanyaan yang hampir selalu muncul di ruang kuliah adalah apakah tugas agamawan selesai hanya sampai pada menikahkan umat? Bukankah itulah tugas termudah agamawan? Dalam konteks agama sebagai lembaga pendidikan, pertanyaannya adalah apakah tugas gereja selesai ketika telah menikahkan jemaat? Kalau hanya sampai di situ, maka begitu mudahnya tugas gereja sebagai lembaga pendidikan. Jadi, seharusnya jawabannya tidak. Tugas gereja tidak hanya sampai menikahkan jemaat, melainkan mengawal pernikahan itu menuju keluarga yang berkenan di mata Tuhan, dan tentu saja berguna bagi sesama. Pertanyaan berikut yang lebih operasional adalah bagaimana cara gereja mengambil peran sebagai lembaga pendidikan? Jawaban terhadap pertanyaan ini dapat diadopsi maupun diadaptasi dari praktik pendidikan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pertanyaan-pertanyaan praktis yang mesti dijawab dalam konteks pendidikan sebagai sistem adalah siapakah yang disebut sebagai pendidik di gereja, siapakah peserta didiknya, apa tujuan dan isi pendidikan atau kurikulum
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 241
gereja, bagaimana sebaiknya kurikulum itu ditata, bagaimana strategi pendidikan di gereja, serta bagaimana evaluasi pendidikan di gereja? Rumus Umum Pendidikan Efektif-Efisien Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, semoga para pengelola gereja, khususnya para pendeta, telah mendapatkan ilmunya ketika mengenyam pendidikan teologia. Tentu saja pengelola gereja dapat pula bertanya atau berguru pada para ahli di bidang ini. Secara garis besar, pendidikan akan efektif dan efisien bila memenuhi ketentuan berikut. Pertama, pendidiknya adalah orang yang berbakat dan berminat menjadi guru. Sejumlah indikator dapat diajukan untuk menemukan guru yang berbakat dan berminat menjadi guru. Meminjam teori kecerdasan majemuk Gardner (Frames of mind: The Theory of Multiple Intelligence, 1993)), misalnya, seorang pendidik idealnya antara lain adalah seseorang yang memiliki kecerdasan interpersonal yang tinggi. Kedua, peserta didik belajar berangkat dari bakat dan minatnya. Rumusnya, temukan bakat peserta didik, jadikan bakat itu sebagai minat, dan dari sana pendidikan dimulai. Ketiga, tujuan dan isi pendidikan ditata secara logis dan sistematis. Konkretnya, misalnya dimulai dari dekat ke jauh, dari khusus ke umum, dari yang sudah diketahui ke yang belum belum diketahui, dari konkret ke abstrak, dan sejenisnya. Keempat, strategi pendidikan, khususnya metode dan media pendidikan, ditata agar mengakomodir berbagai kondisi terkait pendidikan. Kondisi dimaksud misalnya keunikan karakteristik peserta didik, spesifikasi tujuan dan isi, ketersediaan sarana dan prasarana, serta tren teori pendidikan yang menjanjikan perubahan. Untuk saat ini misalnya,
242 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
pendidikan yang melibatkan sedang menjadi tren dan diyakini mampu memaksimalkan hasil belajar siswa. Kelima, efisiensi dan efektifitas pendidikan hanya dapat diketahui melalui evaluasi terstandar. Untuk itu, diperlukan alat evaluasi yang memenuhi prinsip valid dan reliabel. Dapatkah gereja sebagai lembaga pendidikan, dikelola berdasarkan rumus umum di atas? Para pengelola gereja tentu lebih paham jawabannya. Namun, apa pun jawabannya, diperlukan sinergi positif antara berbagai lembaga pendidikan kalau kita ingin efektif dan efisien membangun negeri ini melalui pendidikan. Boleh jadi, pada gilirannya, sekolah justru belajar dari gereja tentang bagaimana cara mengelola pendidikan secara efektif dan efisien, jika gereja dapat memainkan perannya secara signifikan sebagai lembaga pendidikan. Semoga!
Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih
| 243
Profil Penulis Anselmus JE Toenlioe adalah purna tugas tenaga akademik program studi Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang 1 September 2019. Meraih Gelar Sarjana Muda Bimbingan Konseling (1975) dari Universitas Kristen Satyawacana, Sarjana Pendidikan Dasar (1981) dari IKIP Malang, Magister Teknologi Pembelajaran (2000) dari Universitas Negeri Malang, dan Doktor Sosiologi (2008) dari Universitas Brawijaya. Setelah purna tugas, penulis diangkat menjadi dosen tetap dan Wakil Ketua 1 di Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Kristen (STIPAK) Duta Harapan Malang. Penulis penyuka menulis artikel opini untuk koran, tabloid, dan majalah. Ratusan artikel opini, sebagian besar tentang pendidikan, dimuat koran lokal Malang, regional Jawa Timur, maupun nasional. Buku ini berisi artikel opini pendidikan terpilih yang dimuat di media massa cetak sejak tahun 1980 sampai tahun 2016.
244 | Jejak Artikel Opini Pendidikan Terpilih