Character Building: Agama CHAR6015


306 106 1MB

Indonesian Pages 192 Year 2021

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD PDF FILE

Table of contents :
TOPIK 8......Page 92
Sekularisme dan Kehidupan Beragama......Page 112
Maka dari itu, di jaman modern kini, kehidupan sekuler secara perlahan telah merasuki kehidupan kita, akibat dampak dari globalisasi, termasuk pula orang yang beragama. Kalaupun memang orang yang beragama itu menolak sekuler, seharusnya ajaran-ajaran .........Page 113
http://www.kompasiana.com/catatanryankurnia/sekularisme-dan-kehidupan-beragama_55171716a333115706b659ce diunduh tanggal 5 September 2015, pkl 15.00 WIB)......Page 114
http://majalahhinduraditya.blogspot.co.id/2013/05/bekerja-menurut-hindu.html......Page 189
http://majalahhinduraditya.blogspot.co.id/2013/05/bekerja-menurut-hindu.html......Page 192
Recommend Papers

Character Building: Agama CHAR6015

  • 0 0 0
  • Like this paper and download? You can publish your own PDF file online for free in a few minutes! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

CHARACTER BUILDING : AGAMA ( CHAR6015 )

Oleh: TIM CBDC

Character Building Development Center (CBDC) Universitas Bina Nusantara Jakarta

DAFTAR ISI Topik

1

: Pengantar Character Building: agama............

hal : 1

Topik

2

: Agama pada umumnya...................................

hal : 18

Topik

3

: Mengenal Tuhan berdasarkan kitab suci........

hal : 30

Topik

4

: Mengenal Tuhan melalui alam.......................

hal : 39

Topik

5

: Mengenal Tuhan melalui sesama manusia.....

hal : 54

Topik

6

: Peran agama menciptakan perdamaian dunia

hal : 66

Topik

7

: Kritik terhadap formalisme agama ................

hal : 80

Topik

8

: Hati nurani…………………………………

hal : 89

Topik

9

: Agama dan sekularisme.................................. hal : 99

Topik

10 : Ritus-ritus dalam agama………………………………………

Topik

11 : Kerendahan hati dan memaafkan…………… hal : 136

Topik

12 : Menjadi pribadi yang religius-spiritual……

Topik

13 : Makna religius kerja....................................... hal : 165

hal : 112

hal : 153

TOPIK 1

PENGANTAR CHARACTER BUILDING: AGAMA1

A. KONSEPTUALISASI AGAMA

Agama pada dasarnya merupakan sikap da sar manusia (beriman) yang seharusnya kepada Tuhan. Agama mengungkapkan diri dalam sembah bakti yang sepenuh hati atas dasar iman kepada Tuhan. Agama adalah wadah yang mengatur berbagai hal yang dikembangan/ditata untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian maka

agama

beda

dengan

iman.

Agama

itu

lebih

condong

kepada

institusional/organisasi/kelompok orang. Sedangkan iman lebih bersifat pribadi/individual sebagai tanggapan manusia atas undangan/wahyu Tuhan. Bagaimana cara manusia memberikan tanggapan/jawaban atas wahyu/sapaan Tuhan itulah yang kemudian diatur, diarahkan

dan

dikembangkan

di

dalam

agama.

Jadi,

agama

lebih

merupakan

wadah/lembaga/institusi yang mengatur bagaimana iman diekspresikan. Pada umumnya, orang yang beragama biasanya memiliki iman yang dianut di dalam agamanya itu. Agama dan iman mestinya berjalan seiring sejalan dalam kehidupan manusia baik sebagai makhluk pribadi maupun sosial. Agama semestinya disinergikan dengan iman sehingga seseorang sungguh bisa memiliki agama dan beriman dengan baik dan benar pula. Idealnya orang beragama seharusnya memiliki iman yang baik sesuai dengan ajaran-ajaran luhur yang diatur di dalam tatanan agama yang dianutnya entah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu dll. Dipandang dari perspektif linguistik, terminologi “agama” diadopsi dari kata din (bahasa Arab dan Semit). Sedangkan dalam bahasa-bahasa Eropa, agama searti dengan kata religion (Inggris), la religion (Perancis), de rielegie (Belanda), die Religion (Jerman).

1

Materi ini merupakan sintesis antara Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat dan Antonia Wulandari (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo: Jakarta; dengan Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. Jakarta: CBDC Bina Nusantara University.

1

Agama berasal dari bahasa Sanskerta yang mempunyai arti “tidak pergi, tetap di tempat, turun-temurun”. Sedangkan makna dari kata din adalah menguasai, menaklukkan, patuh, utang, balasan, atau kebiasaan”. Sebagai konsekuensi logisnya, maka menjadi tidak gampang bagi kita untuk merumuskan satu konsep tunggal yang seragam tentang arti dari terminologi agama itu. Mengapa? Karena term agama dipahami dan dihayati oleh berbagai kelompok masyarakat di berbagai belahan dunia ini dengan latar belakang kehidupan yang kompleks dari dimensi perilaku, keyakinan, struktur organisasi, simbol dan tradisi budaya khas-unik. Sejauh ini berbagai disiplin ilmu memberikan definisi yang beragam dan variatif. Penelitian-penelitian agama pun mengkaji praktek agama dari aspek individu

maupun kelompok. Kita sulit

menemukan konsep yang seragam atau sama persis tentang ’agama’. Kendatipun banyak definisi beraneka ragam, kita dapat mengkonstruksikan satu definisi simpul yang dapat menggambarkan hal substansial-esensial di dalam agama yang dihayati oleh bangsa manusia. Agama dimaknai sebagai keyakinan religius dan sakral yang dipersepsikan dalam konteks antropomorfis ketuhanan, akan suatu kekuatan tertinggi yang melampaui kemampuan manusia (International Encyclopedia of the Social Sciences, 2010: hlm.159). Keyakinan ini terdapat pada semua penganut agama dunia umumnya dan khususnya Agama Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu maupun Konghucu yang dianuti oleh masyakarat Indonesia. Intinya, semua penganut agama mengakui adanya suatu kekuatan impersonal yang disebut Tuhan ataupun kata-kata bermakna paralel yang searti dengannya. Kekuatan impersonal itu merupakan substansi yang supranatural, adikodrati, dan transendental.

B. TERMINOLOGI IMAN Apa itu Iman? Secara etimologis dalam bahasa Arab, kata ”iman”berarti: percaya, merasa aman. Arti ini sejalan dengan pengertian kata Ibrani dalam Perjanjian Lama, ”emuna’, ’he emin’ yang berasal dari kata ’mn’ yang berarti tetap. Kata Ibrani ini memiliki padanannya dalam bahasa Yunani sebagaimana terdapat dalam Septuaginta. Dalam Bahasa Yunani ada kata ’pistis’ yang artinya memberikan kepercayaan kepada seseorang.

2

Kata ini merupakan rumpun dari kata ’peithomai’ yang artinya: percaya kepada, mengandalkan seseorang, mempercayakan diri kepada. Ada juga unsur Semit lain, yaitu kata ’batah’ yang artinya mengandalkan seseorang, percaya kepada. Baik kata Arab ’Iman’ maupun kata Ibrani dan Yunani tadi sama-sama berkaitan dengan kata ’aman’, keamanan. Di dalam kata-kata itu terdapat pengertian mantap, teguh, kokoh, stabil dan tidak tergoncangkan (Gea: 2004, hal. 63-64). Dalam konteks keyakinan keagamaan, terminologi iman dipahami sebagai percaya di dalam batin/hati, pasti tentang sesuatu, pasti tentang Tuhan dan wahyuNya. Artinya seseorang yang beriman tidak ragu tentang kebenaran Tuhan melalui wahyu suci di dalam keyakinan agama masing-masing. Sehingga iman adalah jawaban atau tanggapan manusia atas wahyu Tuhan.

C. ELEMEN DASAR AGAMA Sudah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa sangat sulit merumuskan satu definisi yang lengkap dan memuaskan tentang agama. Karena itulah para peneliti bidang agama lebih memilih untuk menkonsentrasikan diri pada karakter dasar atau elemen umum yang terdapat pada semua agama yang dihayati manusia di planet bumi ini. Umumnya terdapat lima (5) elemen dasar yang terdapat di dalam agama yakni: a. Memiliki kepercayaan agama Kepercayaan merupakan unsur dasar di dalam agama. Kepercayaan artinya keyakinan atau iman yang kukuh dan tidak tergoncangkan pada Tuhan ataupun substansi yang disembah di dalam agama-agama. Kepercayaan identik dengan suatu keyakinan spiritual yang mengkristal di dalam hati orang yang menghayati agama. Keyakinan itu tampak dalam hal-hal seperti pengakuan akan adanya satu Tuhan (monoteisme), keyakinan akan keselamatan di akhirat (parusia), kepercayaan akan reinkarnasi bagi agama Hindu ataupun kepercayaan pada roh nenek moyang yang dihayati oleh para pemeluk agama Shinto. Unsur kepercayaan dalam agama sangat menentukan disposisi batin orang-orang yang menghayati agama. Kalau orang meyakini agamanya secara kukuh dan tidak tergoncangkan, ia akan konsisten untuk mendalami agama itu secara mendalam. 3

Ia akan merasa aman, damai dan bahagia dalam agama bersangkutan. Namun kalau dia tidak memiliki kepercayaan yang baik di dalam agama itu, ia sulit berkembang baik di dalam agama dimaksud. Ia bisa menjadi bosan, malas, apatis, antipati dan bahkan mengalami pengalaman negatif lainnya. Kalau orang memiliki kepercayaan yang teguh dalam agamanya, orang bersangkutan akan menghayati hidup secara bermakna, positif dan produktif. Ia merasa aman dalam agama yang dianutnya. ”Saya bukannya mencoba menyelami keagunganMu ya Tuhan, sebab saya sama sekali tidak membandingkan akal budiku dengan keagunganMu itu. Tetapi saya ingin sedikit melihat kebenaranMu, yang dipercayai dan dicintai oleh hatiku. Dan saya tidak bermaksud untuk memahami agar percaya, tetapi saya percaya agar bisa memahami. Sebab saya percaya juga bahwa saya tidak akan mampu memahami kecuali jika saya percaya.” (Santo Anselmus). b. Memiliki simbol agama Agama-agama biasanya memiliki simbol, tanda dan lambang tertentu di dalamnya. Simbol atau lambang itu bukan hampa makna atau pun nihil nilai. Simbol memiliki kandungan arti dan makna tertentu di baliknya. Simbol hanya dipahami dan dimengerti secara eksklusif oleh kelompok penganut agama bersangkutan. Kelompok agama lain tidak dapat memahami secara baik dan mendalam simbol-simbol yang terdapat di dalam agama kelompok lainnya. Simbol biasanya berkaitan dengan filosofi atau cara pandang para penganut agama berkaitan dengan Tuhan yang mereka sembah dalam agama mereka. Simbol diklaim sebagai unsur bersifat suci, sakral, istimewa dan unik. Simbol biasanya dapat menjadi sarana yang mendukung praktik ibadat atau ritus kelompok penganut agama bersangkutan. Simbol sangat penting artinya bagi penganut agama. Beberapa contoh simbol dalam agama-agama misalnya dalam Islam terdapat simbol tertentu seperti tasbih, dalam agama Katolik ada simbol rosario, dalam agama Kristen Protestan (dan Katolik) ada simbol salib, dalam agama Budha dan Hindu ada simbol patung-patung, dalam agama Konghucu ada Hio dan lain sebagainya. Simbol agama juga dapat dilihat dalam bentuk rumah (bangunan) ibadat yang dapat dilihat secara artifisial. 4

Biasanya simbol agama-agama dihormati, dihargai dan digunakan sebagai instrumen pendukung dalam doa, ibadat, ritus suci dan upacara-upacara keagamaan. Simbol diyakini mampu mengantar para penganut agama masuk lebih khusyuk di dalam ibadat-ibadat yang mereka lakukan. ”Dalam seluruh eksistensi hidupnya, manusia selalu mengeskpresikan diri melalui simbol-simbol unik sebagai ungkapan pikiran dan perasaannya dalam komunikasinya dengan orang lain. Karena itulah manusia disebut sebagai homo symbolicum yang meneguhkan hakikat manusia sebagai makhluk berbudaya” (Ernst Cassirer). c. Memiliki praktik agama Para penganut agama biasanya menjalankan praktik keagamaan sebagai bagian integral dalam kehidupan religius mereka. Ada banyak praktik keagamaan yang biasanya dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok. Praktik keagamaan itu dilakukan sebagai ungkapan iman para pemeluk agama kepada Tuhan. Praktik keagamaan yang dapat dilihat dalam kehidupan religius para penganut agama misalnya berdoa, sembahyang/sholat/yoga, berpuasa pada waktu-waktu tertentu, berpantang makan daging hewan tertentu dan lain sebagainya. Para penganut agama lazim menjalankan praktik keagamaan ini secara serius dan konsisten. Praktik ini pun menjadi tanda penunjuk identitas untuk mengenali jenis agama yang dianut oleh pemeluk agama tertentu. Salah satu unsur dasar yang menyertai praktik agama adalah dimensi sikap patuh untuk melakukan praktik itu dengan penuh ketaatan dan loyalitas. Hal inilah yang lalu membuat praktik agama itu sebagai hal yang rutin dilakukan oleh para penganut agama. Praktik agama itu ada yang bersifat wajib dan harus, ada pula yang bersifat tidak wajib atau fakultatif disertai berbagai konsekuensi aturan dan ketentuan yang menyertainya.

5

d. Memiliki umat atau penganut agama Individu atau orang yang kemudian bergabung dalam kelompok jenis agama tertentu akhirnya membentuk apa yang disebut kelompok atau komunitas pemeluk agama. Lazimnya orang yang memeluk agama tertentu disebut penganut agama atau umat. Umat merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki iman, keyakinan dan kepercayaan yang sama akan Tuhan atau Allah ataupun sebutan lain yang searti dengannya. Penganut masing-masing agama menjalankan ibadat atau upacara keagamaan untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai umat dari golongan agama tertentu. Mereka juga menghayati praktik keagamaan dalam suasana kebersamaan, persaudaraan dan keakraban satu sama lain. Selain kelompok penganut agama dalam jumlah besar, biasanya ada pengelompokan umat dalam bagian-bagian yang lebih kecil lagi dengan jumlah anggota yang lebih kecil atau sedikit. Misalnya ada warga jemaat atau lingkungan di dalam umat Kristiani (Katolik dan Protestan), atau warga pesantren/majelis taklim tertentu, komunitas keagamaan yang terdiri dari anggota suatu gereja tertentu, komunitas pura dan wihara dan lain sebagainya. e. Memiliki pengalaman keagamaan Setiap penganut agama memiliki pengalaman-pengalaman keagamaan tertentu yang khas dan unik. Pengalaman keagamaan itu dihayati secara bersama maupun pribadi. Misalnya saja di kalangan Kristen Protestan ada yang mengalami pengalaman keagamaan lalu menghayati panggilan khusus menjadi pendeta. Di kalangan Katolik seseorang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terpanggil untuk menjadi pastor (romo atau pater) ataupun menjadi biarawan (bruder) dan biarawati (suster). Di dalam agama Islam, orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terdorong untuk pergi menunaikan ibadah haji di Mekkah. Di Budha orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terpanggil untuk menjadi biksu atau pewarta agama yang baik. Pengalaman keagamaan ini hampir ditemukan di dalam setiap agama di dunia. Pengalaman keagamaan ini sering menjadi tolok ukur untuk menentukan kadar kedalaman hubungan orang beragama dengan Tuhan. Semakin dalam hubungan dengan Tuhan, seseorang akan mudah mengalami pengalaman keagamaan.

6

Semakin jauh relasi dengan Tuhan, maka pengalaman keagamaan pun semakin jauh dari hidup orang itu. Maka setiap orang beragama perlu mengembangkan diri dan mengusahakan diri untuk dapat mengalami pengalaman keagamaan dalam hidupnya. Orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa kukuh dan kuat menghayati agama yang telah dipilih dan dianutnya. Ia tidak akan mudah tergoncangkan untuk melakukan hal yang buruk atau hal yang salah dalam hidupnya. Ia tidak akan gampang juga untuk terjatuh ke dalam godaan-godaan dunia ini yang menyesatkan dan menghanyutkan manusia ke dalam jurang dosa. Sebab dosa semakin menjauhkan manusia dari Tuhan sebagai substansi ilahi yang disembah dalam agama-agama.

D. PERAN AGAMA BAGI MANUSIA 1. Membentuk Pribadi yang Religius-Spiritual Agama berurusan dengan kehidupan pribadi manusia dalam mengekspresikan iman kepada Tuhan. Oleh karena itu agama bertujuan untuk membentuk pribadi yang religius-spiritual. Agama memberikan sumbangsih berharga bagi dimensi manusia sebagai pribadi dan sosial agar manusia bertumbuh ideal dalam kesempurnaan dirinya sebagai makhluk rohani. Peran utama agama terletak pada kekuatan nilai-nilai yang dikandungnya. Agama bergelut dengan persoalan nilai-nilai etis-moral sebagai nilai-nilai kebijaksanaan yang sangat dibutuhkan manusia dalam menjalankan kehidupan ini. Manusia tak layak hidup sebagai manusia jika mengabaikan nilai-nilai luhur religius di dalam agama seperti moralitas religius, cinta kasih, empati, peduli, memaafkan, damai dengan sesama dll. Manusia yang hidup tanpa dasar agama akan mudah terpenjara dalam pengaruh materialisme dan profanisme (sekularisme) yang menyesatkan diri. Agama membentuk pribadi yang religius, beriman dan percaya teguh pada Tuhan dalam seluruh ziarah eksistensinya sebagai manusia. Pribadi yang religius menghargai nilai-nilai rohani dan nilai-nilai ke-Tuhanan dalam totalitas dinamika hidupnya. Nilai-nilai rohani sekaligus nilai ke-Tuhanan yang dimaksud yakni nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai keindahan dan nilai religius. Pribadi yang religius akan menghayati dan berkomitmen menghidupi nilai-nilai ini dalam keseluruhan kehidupannya. I

7

a memegang teguh prinsip-prinsip nilai ini dalam segala situasi, dalam segala kondisi dan dalam mengemban profesi apa saja. Ia terus berefleksi, merenung, berpikir dan mengolah diri untuk semakin menjadi pribadi yang religius-spiritual. 2. Membentuk Pribadi yang Bermoral Dari awal sejarah kehidupannya, setiap individu manusia berkembang dalam level perkembangan moral tertentu menurut tahap-tahap khusus. Hal ini sudah ditelusuri secara ilmiah-akademis oleh para pemikir terkenal sebelumnya seperti John Rawls, Jean Piaget maupun Kohlberg. Pemikiran Kohlberg akan sedikit didalami pada bagian ini untuk memperluas pemahaman kita tentang perkembangan moralitas pada manusia umumnya. Kohlberg mengemukakan tiga (3) level/tingkatan moral dan enam (6) tahap perkembangan moral yang dialami oleh setiap orang. Teori perkembangan moral Kohlberg dapat dijabarkan dalam tiga tingkatan perkembangan moral berikut ini. 

Level Moralitas Prakonvensional (usia 0-9 tahun) di mana individu menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial (takut dihukum kalau bersalah dan berharap mendapatkan reward karena berbuat baik). Level ini dibagi atas dua (2) tahap lagi yakni: a. Tahap 1: Hukuman dan orientasi ketaatan. Individu menyesuaikan diri (pikirannya) dengan otoritas superior di atas dirinya yang berkuasa mengadili. Individu takut dan berusaha menghindari hukuman (punishment). b. Tahap 2: Perubahan kepentingan diri. Individu taat supaya mendapatkan imbalan yang ditawarkan oleh orang lain pada dirinya. Individu rela berbuat baik agar orang lain memenuhi keinginan/kebutuhan yang dikehendakinya.



Level Moralitas Konvensional (usia remaja) di mana individu mulai mengerti, menerima dan melaksanakan aturan dan harapan sosial yang ditentukan oleh otoritas superior di atasnya. Aturan-aturan moral sudah diinternalisasikan secara baik di dalam dirinya. Level ini dibagi atas dua (2) tahap lagi yakni: c). Tahap 3: Menjaga relasi interpersonal yang baik. Individu berusaha agar terlihat baik oleh orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha menghidupi nilai-nilai kebaikan yang diharapkan oleh orang-orang yang berada di sekitar misalnya orang tua, keluarga dan teman-teman.

8

Individu akan merasa malu di hadapan teman-temannya kalau melakukan suatu kesalahan. Ia akan berusaha menjaga kepercayaan, loyal, hormat dan menghargai orang lain. d). Tahap 4: Menjaga sistem sosial termasuk relasi dengan otoritas sosial. Individu menyetujui aturan-aturan sosial dan perjanjian-perjanjian yang terlihat adil sebab ia ingin menjaga fungsi sistem sosial. Tahap ini disebut juga penyesuaian diri dengan hukum dan aturan moral (law and order morality). 

Level Moralitas Postkonvensional (level yang dicapai oleh sebagian kecil orang dewasa sampai umur 20-an tahun). Pada tahap ini aturan-aturan sosial diterima namun individu melakukan internalisasi nilai-nilai moral sendiri di bawah hukum-hukum.



Jika prinsip-prinsip moral individu bertentangan dengan aturan-aturan sosial, individu akan diarahkan oleh prinsip-prinsipnya sendiri. Dua (2) tahap moralitas level ini yakni: e). Tahap 5: Moralitas kontrak sosial dan hak-hak individu. Aturan-aturan sosial terlihat relatif

dapat berubah sesuai dengan akibat dari suatu persetujuan.

Agar diterima, hukum-hukum harus lolos dari prosedur demokratis dan imparsial. Individu taat dengan perjanjian-perjanjian yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi dan hormat pada komunitas secara rasional. f). Tahap 6: Moralitas berdasarkan prinsip etika universal. Sebagai pribadi rasional, individu mengenal validitas etika universal. Misalnya hak untuk hidup dan hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan fungsi-fungsi sosial. Individu memiliki perasaan komitmen personal pada prinsip-prinsip etika umum (universal). Tindakan individu lebih berdasarkan kesadaran pribadi, bukan berdasarkan tekanan luar ataupun kontrak-kontrak sosial tertentu. Di sini seharusnya individu mencapai tahap kedewasaan moralnya. Bertitik tolak pada teori moral Kohlberg ini, kita perlu mengatakan bahwa agama merupakan hal yang sangat berkontribusi positif bagi perkembangan moral manusia juga. Agama memberikan sumbangsih penting dalam menumbuhkan manusia untuk berkembang matang dalam keyakinan iman dan moralitasnya.

9

Berbagai macam larangan, aturan, norma, pantangan dalam agama berperan penting membentuk moralitas individu religius. Seseorang penganut agama akan semakin matang dalam moralnya ketika ia mampu bertindak otonom secara moral dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya. Agama diharapkan menjadi elemen yang mendukung pribadi manusia berkembang maksimal menembus tahap ke-6 yakni menghayati moralitas berdasarkan prinsip-prinsip etika universal. Ketika hanya sedikit orang saja yang mampu mencapai tahap ke-6 karena berbagai alasan dan argumentasi, agama bisa tampil sebagai jawaban alternatif dan solusi. Ia bisa tampil sebagai “prinsip jalan ketiga” atau ”jalan tengah” untuk membentuk pribadi bermoral. Inilah fungsi klasik dari agama yang tak dapat tergantikan di samping tradisi dan nilai-nilai bijak lain yang terkandung di dalam etnis, suku dan budaya masyarakat manusia di dunia ini. 3. Membentuk Pribadi Arif dan Bijaksana Peran agama bagi manusia bukan hanya untuk membentuk pribadi yang bermoral, melainkan juga membentuk pribadi yang arif dan bijaksana. Pribadi yang arif artinya pribadi yang mampu menunjukkan perbuatan baik dalam kenyataan/tindakan sehari-hari misalnya menolong sesama yang membutuhkan bantuan dan lain sebagainya. Orang yang arif juga akan bersikap sopan dan santun dalam setiap langkah hidupnya. Bersikap baik dan sopan dalam relasi dengan sesama menjadi kebahagiaan tersendiri yang dikejar dan diperjuangkan secara konsisten. Sedangkan pribadi yang bijaksana adalah pribadi yang mengutamakan hati nurani dan pikiran benar yang terwujud dalam tindakan konkret yang tidak mandatangkan kerugian atau penderitaan-kemalangan bagi sesama (others). Kebijaksanaan adalah filosofi terhadap diri, dunia dan sesama dengan tidak hanya mengandalkan dimensi akal budi (pikiran) namun juga mendengarkan suara hati/nurani. Hati nurani adalah tempat tinggal atau bersemayamnya hal yang baik, suci dan kudus. Kata “nur” dalam Bahasa Arab artinya cahaya. Nur merupakan istilah untuk menyebut hati nurani sebagai pancaran cahaya Ilahi Tuhan. Orang beragama dan penganut aliran spiritual percaya hati nurani sebagai tempat tinggal Tuhan ataupun identik dengan hal-hal yang memantulkan cahaya moral-etis yang baik bagi manusia.

10

Orang beragama dan spiritual akan bertindak menurut hati nurani yang baik sebagai hal tertinggi dalam hidupnya. Ia percaya hati nurani, mendengarkan hati nurani dan taat hati nurani yang mampu mengarahkan diri pada kebaikan dan kebenaran religius-spiritual. Pribadi yang bijaksana terlihat penuh pertimbangan dalam melakukan aktivitas (kegiatan) dalam hidup. Ia tidak akan bertindak ceroboh berhadapan dengan situasi apa saja dalam pengalaman hidupnya. Ia tidak hanya menggunakan pikiran sebab pikiran dapat salah dan merugikan orang lain. Menggunakan pikiran akan membuat orang mudah terjebak pada kesombongan intelektualisme dan rasionalisasi yang keliru. Maka menggunakan pikiran saja tidak cukup. Orang perlu juga mendengarkan bisikan hati nurani (suara hati) agar bisa bertindak baik dan benar dalam hidup. Hati nurani perlu didengarkan karena ia memberikan peran yang luar biasa bagi manusia. Peran hati nurani itu di antaranya: menjadi petunjuk/pedoman bagi manusia untuk menilai suatu tindakan apakah tindakan itu baik atau buruk; menjadi pegangan bagi manusia dalam hidup; menyadarkan manusia akan nilai-nilai penting dan berharga di dalam hidupnya. Atas alasan-asalan inilah maka kita perlu mentaati hati nurani dalam hidup agar kita semakin berkembang menjadi sosok pribadi yang arif-bijaksana. “Selain pikiran yang memiliki logika, hati nurani pun memiliki logikanya sendiri. Itulah yang disebut logika hati”. (Blaise Pascal)

E. CARA-CARA MEMPELAJARI AGAMA Agama disadari urgensinya bagi manusia untuk pengembangan dimensi rohanispiritual diri. Agama adalah salah satu sarana efektif untuk mengembangkan aspek rohani pribadi manusia. Hal itu disebabkan karena agama memiliki arah/visi membentuk pribadi manusia yang memiliki keyakinan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama memiliki kekuatan dan potensi-potensi yang dikembangkan untuk mencapai dimensi rohani-spiritual diri yang semakin baik. Kita bertanya bagaimana caranya kita belajar agama yang benar? Bagian mana dari agama yang dapat kita pelajari dan kita kembangkan menuju kualitas hidup rohani yang semakin ideal?

11

Pada umumnya kita belajar agama atau memperdalam iman keagamaan melalui cara-cara berikut ini: 1. Rajin Berdoa Doa dimaknai dalam agama-agama sebagai berbagai bentuk kegiatan atau aktivitas manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Dalam hidup sehari-hari orang beriman biasanya berdoa kepada Tuhan baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Doa dapat dilakukan di tempat mana saja asalkan layak dan memungkinkan untuk dilakukannya aktivitas komunikasi dengan Tuhan dimaksud. Orang dapat berdoa di tempat ibadah (masjid, gereja, pura, wihara, klenteng) atau pun di tempat-tempat lain yang dianggap layak. Orang beragama juga dapat berdoa di rumah, di kantor, di tempat kerja atau di tempat mana pun asalkan pantas. Biasanya sebelum berdoa orang melakukan persiapan-persiapan, baik itu persiapan fisik maupun persiapan batin. Yang paling penting utamanya yakni persiapan batin. Karena doa berkaitan dengan keterarahan batin manusia kepada Tuhan. Persiapan batin lebih penting dalam berdoa. Persiapan yang baik akan membawa hasil yang efektif juga. Kalau persiapan tidak dilakukan dengan baik, maka hasil akhirnya pun tidak akan berarti apa-apa. Persiapan yang baik mempermudah orang untuk fokus dan konsentrasi berdoa kepada Tuhan. Segala hal lain yang tidak penting, harus disingkirkan dan ditinggalkan kalau mau berdoa dengan khusyuk. Dalam doa manusia berkomunikasi dengan Tuhan. Bentuk komunikasi itu melibatkan seluruh unsur diri manusia. Doa melibatkan unsur badan, emosi, jiwa, hati dan pikiran manusia. Konsentrasi begitu penting dalam doa. Dibutuhkan sikap fokus yang tinggi dan totalitas keterarahan jiwa manusia pada Tuhan. Konsentrasi perlu agar manusia dapat menyerap nilai-nilai religius yang memberikan inspirasi bagi hidupnya. Aktivitas doa yang dilakukan orang beriman dan beragama hendaknya disertai dengan refleksi yang mendalam untuk menemukan nilai-nilai hakiki kehidupan yang mengarahkan manusia untuk semakin mencintai Tuhan, sesama, alam dan diri sendiri. Dalam doa orang beragama dapat merenungkan sifat-sifat mendasar yang ada pada hakikat Tuhan: Maha Pengampun, Maha Adil, Maha Tahu, Maha Kasih, Maha Cinta dan sebagainya.

12

Manusia dapat mengambil inspirasi dari sifat-sifat Tuhan tersebut dan berlatih untuk mengaplikasikannya

dalam

kehidupan

sehari-hari.

Sifat-sifat

Tuhan

dalam

agama-agama merupakan nilai-nilai religius penting yang dapat dihayati oleh orang beragama dalam usaha mengembangkan kecerdasan religius agamanya. Penemuan nilai-nilai religius pokok di dalam doa seperti kasih, damai, dan cinta, dapat memotivasi manusia untuk semakin bertumbuh cerdas dalam dimensi rohaninya. Dr. Howard Kelly, dulunya seorang bocah miskin. Ia pernah meminta segelas air kepada seorang gadis muda yang memberinya segelas susu gratis. Belakangan wanita itu dirawat di rumah sakit. Dr. Kelly mengenalinya. Selesai perawatan, ia menulis kwitansi: “Telah dibayar penuh dengan satu gelas susu”. Si pasien yang semula khawatir tidak akan mampu membayar, berdoa dalam nada syukur: “Terima kasih Tuhan, kasihMu telah memancar melalui hati dan tangan manusia” (Gea: 2004, hlm. 23-24). Kisah di atas menunjukkan bahwa si pasien memiliki kecerdasan religius yang baik. Ia mampu melihat campur tangan (intervensi) Tuhan dalam segala pengalaman hidupnya. Ia spontan berdoa kepada Tuhan di saat ia mengalami sentuhan kasih Tuhan melalui sesama dalam pengalaman hidup yang menakjubkan. Doa si pasien menunjukkan kualitas rohani yang ada pada dirinya. Bahwa ia tahu bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan telah mencurahkan rahmat kasih baginya melalui perantaraan orang lain yang tidak ia duga sama sekali. 2. Setia Melakukan Ritual Peribadatan Agama-agama mengenal praktik-praktik keagamaan yang dilakukan sebagai sarana untuk mengembangkan dimensi religius para penganutnya. Praktik ritual ini dapat dilakukan secara pribadi atau bersama-sama. Praktik ritual umumnya dilakukan di tempat ibadat ataupun di tempat lain yang layak dan pantas untuk itu. Orang Katolik mengenal Misa/Ekaristi, devosi, novena, sharing kitab suci, doa brevir, sakramen dan sakramentali sebagai bentuk-bentuk ritual menunnjukkan rasa hormat kepada Tuhan (Allah). Orang Protestan mengenal penyembahan, perayaan kurban, saat hening, dan doa-doa kristen yang dilakukan dalam persekutuan jemaat. Orang Islam menjalankan al ahkam al khamsa (hukum Islam) agar mendatangkan pahala bagi hidupnya. Orang Budha melakukan ritus penghormatan kepada Sang Budha Gautama untuk menjadi pribadi yang hidup semakin bermoral. 13

Orang Hindu melakukan praktik ritus di tempat tertentu dan pada momentum yang sesuai dengan irama hidup setiap hari seperti di sekitar rumah tinggal, sumber air, saat matahari terbit dan waktu penting lainnya. Orang Konghucu melakukan praktik ritual untuk menghormati thien dan juga agar mencapai manusia budiman (kuncu). Penganut aliran spiritual/kepercayaan melakukan berbagai ritus untuk menunjukkan pengakuan mereka akan Tuhan yang Maha Esa. Aliran-aliran spiritual mengembangkan berbagai teknik/cara untuk mengeksplorasi dimensi kebatinan untuk mengembangkan budi pekerti yang baik dan akhlak mulia. Dalam praktik ritual-ritual tersebut dilakukan ritual ibadat, penyembahan, penghormatan, nyanyian, himne dan kotbah-kotbah rohani yang didaraskan oleh pemimpin ibadat (Ustad/Haji, Pastor/Romo, Pendeta, Biksu, Samanera dll) yang melayani para jemaatnya. Setiap orang yang mengikuti praktik ritual diharapkan melibatkan seluruh dimensi diri termasuk emosi, kesadaran, sikap dan pikirannya secara total. Hasil akhir yang diharapkan dari praktik ritual yakni mendapatkan pahala, berkat, rahmat dari Tuhan atas kehidupan diri manusia. Manusia dapat menemukan inspirasi hidup dari praktik ritual untuk mengembangkan spiritual diri semakin lebih baik. Praktik ritual mendukung perkembangan spiritual diri kita. 3.

Merenungkan Kitab Suci Agama

Semua agama ada kitab sucinya masing-masing. Penganut Agama Islam memiliki Alquran, kaum Kristiani (Katolik dan Protestan) memiliki Alkitab (Perjanjian Lama dan Baru), Agama Budha memiliki Tripitaka, Agama Hindu memiliki Weda, Agama Konghucu memiliki Wu Jing dan Si Shu. Kitab suci ini mengandung wejangan religius-spiritual Tuhan bagi umatNya. Kitab Suci berisikan ajaran-ajaran moral dan etika yang berfungsi sebagai pedoman manusia dalam berpikir, berperilaku dan bersikap. Isi kitab suci merupakan kristalisasi ajaran dan nilai religius-spiritual yang sangat berguna bagi penganut agama dalam menjalankan tanggung jawab religius sebagai insan yang percaya kepada Tuhan. Tulisan kitab suci agama-agama sangat bernilai tinggi dan kaya akan makna rohanispiritual. Orang beragama dapat mengembangkan kualitas religius dirinya dengan membaca, merenungkan dan menghayati kebijaksanaan-kebijaksanaan religius yang tertuang dalam kitab suci agama masing-masing. Di sini kitab suci dapat disebut sebagai ”Kitab Tuhan” orang-orang beragama.

14

Kitab Tuhan tersebut harus dihargai sebagai buku suci yang memberikan spirit, semangat, motivasi dan inspirasi hidup bagi manusia beragama yang beriman pada Tuhan. Maka setiap orang beragama seharusnya rajin membaca dan merenungkan nilai-nilai religio-spiritual luhur yang tercantum dalam kitab suci. Misalnya nilai-nilai moral: kebaikan, cinta kasih, kejujuran, keadilan, kedamaian, kerendahan hati, ketulusan, belas kasihan, peduli sesama dan lain sebagainya. Nilai-nilai religius dimaksud diharapkan bisa diolah lanjut melalui refleksi dan aksi sosial konkret sebagai tanda bahwa kita menghidupkan kitab suci dalam kehidupan nyata sehari-hari. Memiliki kitab suci saja belum cukup. Yang lebih utama yakni membaca, merenungkan, memaknai dan menghidupi pesan kitab suci itu sehingga berdaya guna bagi hidup kita maupun hidup sesama. Kitab suci mendukung perkembangan dimensi religius-spiritual diri. Kitab suci menjadi kekuatan transformatif yang mengubah diri kita ke arah lebih baik dalam aspek rohani. 4.

Mencontohi Ajaran Para Nabi dan Orang Suci

Selain Kitab Suci, semua agama pun mengenal doktrin atau ajaran iman yang berisikan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan usaha mengembangkan kualitas rohanireligius para penganutnya. Biasanya ajaran-ajaran itu diciptakan oleh para pendahulu, para pemimpin agama dan juga para nabi, serta orang kudus dalam periode sejarah hidup mereka di masa silam. Entahkah itu nabi, orang kudus ataupun tokoh religius-spiritual di masa lalu. Ajaran mereka terus bergaung di sepanjang zaman dari dulu hingga sekarang bahkan sampai selama-lamanya. Para tokoh sejarah itu misalnya Nabi Muhammad SAW dan para khalifah, Yesus Kristus dan para rasul serta santo/santa, para orang suci dalam Hinduisme, Sang Budha Gautama, Konfusius dll. Mereka semua mengajarkan kita kebijaksanaan religius yang bernilai luhur yang bisa kita contohi dan teladani untuk hidup keagamaan dan keimanan kita yang lebih baik lagi. Ajaran-ajaran agama dimaksud bisa berupa nasihat, ajakan, imbauan, perintah, larangan atau pun norma-norma yang harus diterapkan secara konsisten oleh para penganut agama. Umumnya ajaran-ajaran agama dimaksud berisikan hal-hal etis-moral bagi perkembangan hidup orang beragama ke arah yang semakin baik dan positif. Ajaran iman agama menjadi sumber norma kebaikan dan ikhtiar kesempurnaan hidup manusiawi. Ajaran agama itu bisa berupa seruan moral bagi penganut agama untuk berperilaku hidup yang baik dan benar dalam realitas sosial.

15

Biasanya ajaran moral itu diserukan oleh pemimpin agama berhadapan dengan masalah-masalah yang muncul dalam konteks pembangunan sosial masyarakat. Seruan itu berfungsi sebagai kendali preventif ataupun represif agar orang beragama menghayati kualitas hidup yang semakin baik dalam tatanan sosial. Ajaran agama di sini memiliki juga aspek relevansi sosialnya. Penganut agama yang baik akan memperhatikan seruan moral para pemimpinnya sehingga ikut bertumbuh menjadi pribadi lebih religius-spiritual.***

16

REFERENSI:

Antonius Atosokhi Gea et all (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo: Jakarta. Ernst Cassirer (1944). AN ESSAY ON MAN: An Introduction to a Philosophy of Human Culture. Louis Storm Memorial Fund: USA Frederikus Fios et all (2012). Diktat Kuliah Character Building: Spiritual Development. Jakarta: Bina Nusantara University. International Encyclopedia of the Social Science (2010). Detroit: Maxmillan Reference

17

TOPIK 2

AGAMA PADA UMUMNYA2

A. AGAMA DALAM KEHIDUPAN MANUSIA Agama merupakan pengakuan atau tanggapan manusia terhadap adanya kekuatan supranatural, kekuatan adikodrati yang melebihi segala realitas ada. Agama merupakan hal yang hakiki dalam kehidupan orang beriman kepada Tuhan. Agama memberikan orientasi/visi dasar bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku sebagai makhluk yang mengakui eksistensi Tuhan dalam realitas kehidupan fana ini. Agama memberikan semacam asuransi atau jaminan keselamatan dan kebahagiaan abadi untuk para penganutnya. Agama memberikan visi eskatologis, visi parusia, visi akhir zaman yang memberikan ketenangan batin bagi manusia yang beriman. Visi ini meresapi sikap dan perilaku manusia sehari-hari di mana saja ia berada, hidup dan berkarya. Agama menjadi sumber ajaran moral bagi penganutnya. Agama menjadi dimensi penting dalam realitas sosial manusia sebagai kenyataan yang tersebar luas, dihayati pada tingkat individu maupun sosial di lingkungan keluarga, di tempat kerja hingga lingkungan masyarakat publik. Hal yang unik dari setiap agama terletak pada sifat ajaran atau doktrin ortodoksifnya yang dipandang sebagai hal yang kudus, suci, sakral dan bernilai luhur. Doktrin dilihat sebagai sumber kebenaran iman keagamaan. Persepsi tentang agama dalam doktrin mempengaruhi sikap manusia dalam totalitas hidup pribadi maupun interaksi sosialnya. Agama menjadi sumber etika dalam sikap dan perilaku. Unsur etika diakui kebenarannya dan diwujudkan dalam sikap dan tingkah laku yang baik dalam realitas sosial. B. MOTIVASI HIDUP BERAGAMA Hampir semua pemeluk agama di dunia ini menganut ideologi atau pun motivasi tertentu dalam menghayati dan menghidupi iman keagamaan mereka. Motivasi itu bisa bersifat personal, bisa juga bersifat komunal. 2

Sebagian besar materi ini bersumber dari Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. Bina Nusantara University: Jakarta.

18

Namun yang jelas, para penganut agama (Kristiani, Islam, Budha, Hindu, Konghucu dll) pasti memiliki motivasi-motivasi internal tertentu dalam memilih agama yang dianutnya. Motivasi keagamaan itu umumnya bersifat psiko-subjektif yang diyakini sebagai hal yang baik dan benar yang mengarahkan perilaku, cara berpikir dan cara bertindak mereka sepanjang hidup. Motivasi-motivasi keagamaan itu bisa banyak sekali, namun pada umumnya para ilmuwan sosial (social scientists) menggarisbawahi beberapa hal pokok sebagai motivasi dasar mengapa para penganut agama menghayati agamanya (Bdk. International Encyclopedia of the Social Sciences, 2010: hlm. 161), antara lain: a). Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan dan teknologi seperti fenomena bencana alam, kematian manusia, dan kemungkinan hidup sesudah kematian. b). Orang menganut agama untuk mengatasi keterbatan-keterbatasan manusiawi yang dialami di dalam hidupnya. Di dalam menghayati hidup, manusia sering kali berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasan yang membuat manusia tertunduk dan terdiam. Ketika semua ini terjadi, manusia akhirnya mengakui adanya kekuatan lain yang jauh melampaui manusia. Dan itu lazim disebut dengan istilah: Yang Kudus, Sang Transenden, Sang Supernatural, Sang Spiritual, Sang Ultimate,Tuhan (Allah). c).

Orang menganut

agama

untuk

menciptakan

keteraturan

dan

kohesi

sosial.

Di dalam masyarakat, seseorang menganut agama untuk mengarahkan hidupnya agar berjalan sesuai tujuan yang benar misalnya bertaqwa kepada Tuhan, atau menjauhi yang jahat dan melakukan perbuatan yang baik dan terpuji. Dengan melakukan perilaku etis, maka perdamaian dan keamanan di dunia ini dapat terealisasi secara ajek. C. TIPE-TIPE AGAMA Sejauh ini para ilmuwan sosial mengkategorikan tipe-tipe agama di dunia ini ke dalam beberapa bagian besar berdasarkan perspektif tertentu, yakni: 1. Berdasarkan tipe revelasi/pewahyuannya: a.

Agama

Revelasi:

agama-agama

yang

diasumsikan

sebagai

hasil

revelasi/wahyu Tuhan yakni Agama Yahudi, Agama Kristiani dan Agama Islam.

19

b.

Agama Non Revelasi: agama-agama yang diasumsikan bukan revelasi namun

bersumberkan tradisi-budaya misalnya Agama Budha, Shinto, Taoisme dan Konghucu. 2. Berdasarkan tipe misionaris/sifat pewartaannya: a. Agama Misionaris: Budha, Islam, Kristiani b. Agama Non Misionaris: Hindu, Zoroastra dan Yahudi 3. Berdasarkan geografis dan ras: a. Semitik: Islam, Kristiani dan Yahudi b. Arya: Hindu, Zoroastra dan Jainisme c. Mongolia: Konghucu. Shintoisme, Taoisme d. Agama Budha merupakan sintesis atau kombinasi antara Arya dan Mongolia. Pembagian ini hanyalah perspektif untuk menunjukkan karakteristik atau ciri khas saja dari tipologi agama-agama yang dianut manusia. Namun sesungguhnya dari filosofi keagamaan, semua agama manusia sebetulnya mengarahkan diri atau mengorientasikan tujuan hidupnya kepada Substansi Tertinggi, Tuhan Yang Maha Esa sebagai Causa Prima, Pengada Pertama segala Ada dalam Alam Semesta ini. Tuhan adalah Pengada dan Ada Primer yang darinya segala ada sekunder lain berasal atau diciptakan. Oleh karena itulah Tuhan diyakini oleh penganut agama sebagai Pencipta Alam Semesta, pencipta segala makhluk baik makhluk hidup (biotik) maupun makhluk infrahuman (abiotik). D. SUBSTANSI AGAMA-AGAMA Karena agama memiliki definisi yang beragam dan demikian banyak, maka definisi agama semakin kabur atau tidak jelas. Karenanya kita perlu menelusuri pandangan kaum intelektualisme, dekonstruksionisme dan strukturalisme tentang definisi agama yang dapat membantu kita memahami substansi agama secara lebih konseptual-komprehensif. Di antara tokoh-tokoh yang ada, Edward Brunet Tylor-lah yang memberikan definisi yang lebih jelas. E.B.Tylor mendefinisikan agama sebagai kepercayaan kepada wujud-wujud spiritual di dalam kehidupan manusia. Ia mengatakan walau agama memiliki banyak perbedaan, namun agama-agama secara substansial semuanya sama dalam satu hal, yakni pengakuan adanya roh-roh di alam ini yang bisa berpikir, bertindak dan merasakan seperti halnya manusia.

20

Auguste Comte dengan ciri khas pemikirannya yang meyakini tiga (3) tahapan dalam evolusi agama, menerima definisi Tylor sebagai tahapan pertama dalam agama. Comte melangkah lebih jauh dari tahapan tersebut dan menganggap agama sebagai rangkaian akidah-akidah yang tersebar dalam bagian-bagian masyarakat dan juga menganggapnya sebagai faktor koherensi masyarakat. Perhatian Comte pada faktor tersebut, secara perlahan-lahan menyimpulkan agama pada sisi tersebut. Hal-hal yang menyebabkan koherensi dan menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama. Agama positivistik yang dibangun Comte, walaupun di dalamnya tidak terdapat kepercayaan terhadap wujud-wujud spiritual, namun menurutnya, agama mampu menyatukan seluruh masyarakat. Comte tetap menerima definisi yang dikemukan Tylor dalam agama tahapan pertama. Kita bisa berasumsi bahwa definisi tersebut sebagai titik kesamaan di antara tokoh intelektualisme. E. ASAL-USUL AGAMA Untuk mengenal lebih jauh pemikiran intelektualisme dan kontekstualisme tentang agama, kita harus mengenal terlebih dahulu pandangan mereka tentang manusia. Pada saat rasialisme meyakini perbedaan mendasar di antara ras-ras yang ada, dan menganggap bahwa antara ras satu memiliki derajat lebih tinggi daripada ras yang lainnya, para petualang dengan pemikiran ini ditimpa kejadian-kejadian tragis yang sangat disesalkan. Para intelektualisme bangkit dan menentang pandangan ini kemudian meyakini bahwa manusia memiliki potensi-potensi yang sama. Martabat manusia bernilai sama secara intrinsik, apapun latar belakangnya. E.B.Tylor kemudian mengorbitkan ide “kesatuan psikis” yang menyebabkan manusia memiliki potensi-potensi spiritual dan pikiran yang sama. Manusia sama dalam berpikir dan bertindak. Kesamaan-kesamaan yang kita saksikan di antara budaya-budaya di seluruh dunia, bersumber

dari

kesamaan

mendasar

dalam

benak

manusia,

karena

kebanyakan

budaya-budaya adalah hasil kreasi manusia. Prinsip kesatuan psikis dalam pandangan intelektualisme memberikan asumsi bahwa agama dalam seluruh ruang dan waktu, selain perbedaan-perbedaan yang dimilikinya, juga memiliki fenomena yang sama, bahkan bersumber dari substansi yang satu.

21

F. KARAKTERISTIK AGAMA Sudah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa sangat sulit merumuskan satu definisi yang lengkap dan memuaskan tentang agama. Karena itulah para peneliti bidang agama lebih memilih untuk menkonsentrasikan diri pada karakter dasar/umum yang terdapat pada semua agama yang dihayati bangsa manusia di planet bumi ini. Umumnya terdapat lima (5) karakter dasar yang terdapat dalam agama yakni: 1. Memiliki kepercayaan agama Kepercayaan merupakan unsur dasar di dalam agama. Kepercayaan artinya keyakinan atau iman yang kukuh dan tidak tergoncangkan pada Tuhan ataupun substansi yang disembah di dalam agama-agama. Kepercayaan identik dengan suatu keyakinan spiritual yang mengkristal di dalam hati orang yang menghayati agama. Keyakinan itu tampak dalam hal-hal seperti pengakuan akan adanya satu Tuhan (monoteisme), keyakinan akan keselamatan di akhirat (parusia), kepercayaan akan reinkarnasi bagi agama Hindu ataupun kepercayaan pada roh nenek moyang yang dihayati oleh para pemeluk agama Shinto. Unsur kepercayaan dalam agama sangat menentukan disposisi batin orang-orang yang menghayati agama. Kalau orang meyakini agamanya secara kukuh dan tidak tergoncangkan, ia akan konsisten untuk mendalami agama itu secara mendalam. Ia akan merasa aman, damai dan bahagia dalam agama bersangkutan. Namun kalau dia tidak memiliki kepercayaan yang baik di dalam agama itu, ia sulit berkembang baik di dalam agama dimaksud. Ia bisa menjadi bosan, malas, apatis, antipati dan bahkan mengalami pengalaman negatif lainnya. Kalau orang memiliki kepercayaan yang teguh dalam agamanya, orang bersangkutan akan menghayati hidup secara bermakna, positif dan produktif. Ia merasa aman dalam agama yang dianutnya. ”Saya bukannya mencoba menyelami keagunganMu ya Tuhan, sebab saya sama sekali tidak membandingkan akal budiku dengan keagunganMu itu. Tetapi saya ingin sedikit melihat kebenaranMu, yang dipercayai dan dicintai oleh hatiku. Dan saya tidak bermaksud untuk memahami agar percaya, tetapi saya percaya agar bisa memahami. Sebab saya percaya juga bahwa saya tidak akan mampu memahami kecuali jika saya percaya.” (Santo Anselmus).

22

2. Memiliki simbol agama Agama-agama biasanya memiliki simbol, tanda dan lambang tertentu di dalamnya. Simbol atau lambang itu bukan hampa makna atau pun nihil nilai. Simbol memiliki kandungan arti dan makna tertentu di baliknya. Simbol hanya dipahami dan dimengerti secara eksklusif oleh kelompok penganut agama bersangkutan. Kelompok agama lain tidak dapat memahami secara baik dan mendalam simbol-simbol yang terdapat di dalam agama kelompok lainnya. Simbol biasanya berkaitan dengan filosofi atau cara pandang para penganut agama berkaitan dengan Tuhan yang mereka sembah dalam agama mereka. Simbol diklaim sebagai unsur bersifat suci, sakral, istimewa dan unik. Simbol biasanya dapat menjadi sarana yang mendukung praktik ibadat atau ritus kelompok penganut agama bersangkutan. Simbol sangat penting artinya bagi penganut agama. Beberapa contoh simbol dalam agama-agama misalnya dalam Islam terdapat simbol tertentu seperti tasbih, dalam agama Katolik ada simbol rosario, dalam agama Kristen Protestan (dan Katolik) ada simbol salib, dalam agama Budha dan Hindu ada simbol patung-patung, dalam agama Konghucu ada Hio dan lain sebagainya. Simbol agama juga dapat dilihat dalam bentuk rumah (bangunan) ibadat yang dapat dilihat secara artifisial. Biasanya simbol agama-agama dihormati, dihargai dan digunakan sebagai instrumen pendukung dalam doa, ibadat, ritus suci dan upacara-upacara keagamaan. Simbol diyakini mampu mengantar para penganut agama masuk lebih khusyuk di dalam ibadat-ibadat yang mereka lakukan. ”Dalam seluruh eksistensi hidupnya, manusia selalu mengeskpresikan diri melalui simbol-simbol unik sebagai ungkapan pikiran dan perasaannya dalam komunikasinya dengan orang lain. Karena itulah manusia disebut sebagai homo symbolicum yang meneguhkan hakikat manusia sebagai makhluk berbudaya” (Ernst Cassirer).

23

3. Memiliki praktik agama Para penganut agama biasanya menjalankan praktik keagamaan sebagai bagian integral dalam kehidupan religius mereka. Ada banyak praktik keagamaan yang biasanya dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok. Praktik keagamaan itu dilakukan sebagai ungkapan iman para pemeluk agama kepada Tuhan. Praktik keagamaan yang dapat dilihat dalam kehidupan religius para penganut agama misalnya berdoa, sembahyang/sholat/yoga, berpuasa pada waktu-waktu tertentu, berpantang makan daging hewan tertentu dan lain sebagainya. Para penganut agama lazim menjalankan praktik keagamaan ini secara serius dan konsisten. Praktik ini pun menjadi tanda penunjuk identitas untuk mengenali jenis agama yang dianut oleh pemeluk agama tertentu. Salah satu unsur dasar yang menyertai praktik agama adalah dimensi sikap patuh untuk melakukan praktik itu dengan penuh ketaatan dan loyalitas. Hal inilah yang lalu membuat praktik agama itu sebagai hal yang rutin dilakukan oleh para penganut agama. Praktik agama itu ada yang bersifat wajib dan harus, ada pula yang bersifat tidak wajib atau fakultatif disertai berbagai konsekuensi aturan dan ketentuan yang menyertainya. 4. Memiliki umat atau penganut agama Individu atau orang yang kemudian bergabung dalam kelompok jenis agama tertentu akhirnya membentuk apa yang disebut kelompok atau komunitas pemeluk agama. Lazimnya orang yang memeluk agama tertentu disebut penganut agama atau umat. Umat merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki iman, keyakinan dan kepercayaan yang sama akan Tuhan atau Allah ataupun sebutan lain yang searti dengannya. Penganut masing-masing agama menjalankan ibadat atau upacara keagamaan untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai umat dari golongan agama tertentu. Mereka juga menghayati praktik keagamaan dalam suasana kebersamaan, persaudaraan dan keakraban satu sama lain. Selain kelompok penganut agama dalam jumlah besar, biasanya ada pengelompokan umat dalam bagian-bagian yang lebih kecil lagi dengan jumlah anggota yang lebih kecil atau sedikit. 24

Misalnya ada warga jemaat atau lingkungan di dalam umat Kristiani (Katolik dan Protestan), atau warga pesantren/majelis taklim tertentu, komunitas keagamaan yang terdiri dari anggota suatu gereja tertentu, komunitas pura dan wihara dan lain sebagainya. 5. Memiliki pengalaman keagamaan Setiap penganut agama memiliki pengalaman-pengalaman keagamaan tertentu yang khas dan unik. Pengalaman keagamaan itu dihayati secara bersama maupun pribadi. Misalnya saja di kalangan Kristen Protestan ada yang mengalami pengalaman keagamaan lalu menghayati panggilan khusus menjadi pendeta. Di kalangan Katolik seseorang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terpanggil untuk menjadi pastor (romo atau pater) ataupun menjadi biarawan (bruder) dan biarawati (suster). Di dalam agama Islam, orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terdorong untuk pergi menunaikan ibadah haji di Mekkah. Di Budha orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terpanggil untuk menjadi biksu atau pewarta agama yang baik. Pengalaman keagamaan ini hampir ditemukan di dalam setiap agama di dunia. Pengalaman keagamaan ini sering menjadi tolok ukur untuk menentukan kadar kedalaman hubungan orang beragama dengan Tuhan. Semakin dalam hubungan dengan Tuhan, seseorang akan mudah mengalami pengalaman keagamaan. Semakin jauh relasi dengan Tuhan, maka pengalaman keagamaan pun semakin jauh dari hidup orang itu. Maka setiap orang beragama perlu mengembangkan diri dan mengusahakan diri untuk dapat mengalami pengalaman keagamaan dalam hidupnya. Orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa kukuh dan kuat menghayati agama yang telah dipilih dan dianutnya. Ia tidak akan mudah tergoncangkan untuk melakukan hal yang buruk atau hal yang salah dalam hidupnya. Ia tidak akan gampang juga untuk terjatuh ke dalam godaan-godaan dunia ini yang menyesatkan dan menghanyutkan manusia ke dalam jurang dosa. Sebab dosa semakin menjauhkan manusia dari Tuhan sebagai substansi ilahi yang disembah dalam agama-agama.

25

APA KARAKTERISTIK AGAMA ANDA? Stasiun kereta bawah tanah Thim Tsa Tsui, Hongkong siang ini agak lengang, tak sepadat pagi atau sore hari yang merupakan rush hours bagi para pekerja kantoran.Tidak begitu lama, tibalah kereta jurusan Mongkok yang saya tunggu. Duduk di deretan bangku panjang sambil membuka koran infotainment yang beberapa hari lalu saya beli dari salah satu toko di Indonesia. Di sebelah saya duduk seorang pria setengah baya berpakain rapi dan berpenampilan ’perlente’ kalau kata sahabat saya. Meski tak secara langsung bertatap muka, saya merasakan matanya sesekali melirik ke arah saya. Merasa risih dipandangi terus, refleks saya membetulkan letak jilbab dan baju, saya khawatir terpasang miring atau tersingkap. “Maaf apakah Anda orang Indonesia?” tiba-tiba pria itu mengajak saya bicara. “Iya betul. Ada yang aneh dengan penampilan saya?” jawabku sambil mencoba tersenyum. “Oh tidak…tidak ada yang aneh kok”, dengan sigap pria tersebut menjawab pertanyaan saya diiringi permintaan maaf. Lalu tanpa saya minta, pria tersebut bercerita bahwa ia pernah berkunjung ke Indonesia. Selain tertarik dengan keindahan dan keramahan orang Indonesia, ia juga tertarik dengan Islam. Ia mengatakan bahwa ajaran Islam indah dan sesuai dengan jiwa orang Hongkong yang suka disiplin. “Kalau boleh saya tahu, apa salah satu karakteristik agama Islam?” jedar!!! Pertanyaan yang tak pernah saya duga sebelumnya. Ingin saya menjelaskan bahwa banyak karakteristik unggul yang ada pada Islam. Bahkan saya ingin menceritakan tentang apa yang sedang saya lakukan yaitu puasa. Tapi saya justru ingat perdebatan panjang dengan si mbok semalam yang menganggap saya gila karena rela berlaparlapar di siang hari hanya demi Tuhan yang kata dia tidak ada wujudnya. Tapi saya tidak mau mengulangi perdebatan itu lagi. Tiba-tiba saya ingat dengan pengalaman sahabat saya yang pernah dipecat dari pekerjannya gara-gara minta ijin saat jam kerja untuk sholat. Islam identik dengan sholat, sholat identik dengan tepat waktu. Nah, bukankah orang Hongkong begitu mengagungkan waktu? Kedisiplinan? yup! Akhirnya saya jawab “salah satu karakteristik agama saya adalah management of quality time”, saya tidak tahu apakah bahasa Inggris saya benar atau salah, bisa diterima atau tidak, yang penting saya berusaha mengatakan semampu saya. Dan kenyataannya pria tersebut manggut-manggut sambil mengacungkan jempol. “Tapi yang saya tahu, kenapa masih banyak para pekerja Indonesia yang kurang bisa menghargai waktu? Sulit dipercaya dan suka menunda-nunda pekerjaan. Padahal saya juga pernah membaca buku tentang Islam, katanya seorang Muslim harus menjalankan amanah dengan baik. Lalu apa pekerjaan itu tidak sama dengan amanah?” Duh! saya kira sudah tak ada pertanyaan lanjutan setelah saya memberikan jawaban. Ternyata….“Betul, pekerjaan sama dengan amanah. Wujudnya adalah tanggung jawab. Pertanggungjawaban di dua masa yaitu: dunia dan akhirat. Di dunia dengan menyelesaikan tugas yang diberikan dengan baik tanpa melihat besar kecilnya tugas. Dan di akhirat pun juga ada pertanggungjawabannya. Tanpa sengaja saya pun seperti tersindir. Sudahkah saya melaksanakan semua amanah yang datang kepada saya dengan baik? Rasanya masih banyak tanggung jawab saya yang terabaikan, padahal saya selalu berkata dengan bangganya ‘ya, saya muslim!’. Dan saya tahu betapa beratnya mengemban amanah ini. 26

Sampai pada akhirnya kereta yang membawa kami sampai pada stasiun Mongkok. Saya pun pamit pada pria tersebut untuk turun duluan. Terimakasih sir, atas tegurannya melalui sebuah pertanyaan yang pada awalnya sempat membuat saya tersentak. Mudah-mudahan ke depannya saya bisa menjadi seorang muslimah yang lebih baik, yang tidak akan mengecewakan orang-orang yang telah memberikan amanah kepada saya. (diadaptasi dari Karina Maulana dalam http://agama.kompasiana.com).

G. MEMBACA DAN MEMAKNAI Sesuai dengan watak evolusi agama yang harus diejawantahkan, maka tradisi kritik dan pemunculan tafsir yang heterogen menjadi suatu keniscayaan dan kemestian wajar tak terelakkan. Tradisi ini bertujuan agar peran-peran profetik agama sebagai kekuatan moral dan pembebasan lewat perilaku pemeluknya dapat muncul lagi ke permukaan. Keragaman tafsir ini bermakna positif sebagai upaya kontekstualisasi teks agama pada problem-problem kemanusiaan aktual kontemporer. Dalam pemunculan keberagaman tafsir keagamaan, metode dekonstruksi yang dicetuskan oleh Jean Jacques Derrida (filsuf Prancis) layak dijadikan alternatif paradigma dan cara kerja. Metode yang awalnya dipakai dalam bidang sastra dan filsafat ini, bertujuan untuk membongkar, menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur yang dipaksakan kebenarannya, sehingga tidak menyisakan ruang untuk bertanya, menggugat, atau pun mengkritik. Dalam bidang keagamaan, dekonstruksi terhadap teks ini memungkinkan kita untuk membongkar monopoli tafsir atas otoritas tertentu yang menegaskan mengenai “kebenaran” atas nama Tuhan, negara atau penguasa. Sehingga definisi dan praktek pencarian “kebenaran” menjadi demokratis dan berparadigma antroposentrik. Dalam hal ini, manusia menjadi pusat tafsir yang berusaha untuk menggali kebenaran yang beragam secara objektif. Evolusi keagamaan yang menghargai pluralitas dengan sendirinya menekankan adanya historisitas logos dalam pembacaan teks. Maksudnya, dalam pembacaan teks agama mutlak diperhatikan rentang waktu kemunculan, kompleksitas, serta latar belakang ideologi yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, Arkoun mengkritik adanya sebuah sakralisasi pengetahuan agama (taqdis al-afkar ad-diniyyah) yang sering terjadi pada umat beragama. Sebab, pensakralan menjadikan manusia terbelenggu pada kebenaran tunggal dan penerimaan tanpa reserve sebuah penafsiran teks keagamaan.

27

Padahal, kemunculan teks pada masa lalu pasti tidak terlepas dari dimensi politis dan ideologis sang pengarang di zamannya. Dalam konteks ini, Arkoun menganjurkan kita agar jeli membedakan pemikiran keagamaan yang ada pada era klasik, skolastik, dan modern. Untuk itu, model pembacaan teks dengan metode hermeneutika yang berusaha menghadirkan teks masa lalu agar bisa terpakai pada zaman sekarang, layak diterapkan. Dalam metode ini, latar belakang kemunculan teks, maksud pengarang, struktur bahasa, nilai atau simbol pengetahuan, dan kontekstualisasi adalah sebuah lingkaran yang senantiasa berkelindan. Sehingga, sebuah teks keagamaan tidak serta merta dipakai secara simbolik tanpa mengkaji makna substantif dan moralitas yang terkandung di baliknya. Teks kitab suci perlu dibaca secara kritis. Dengan bahasa dan istilah berbeda, Mohammad Abed Al-Jabiri juga menegaskan, bahwa kritisisme dalam pembacaan dan pemaknaan kembali teks keagamaan mutlak dilakukan. Sedangkan metodologi yang ditawarkan adalah metode strukturalis: analisis sejarah dan kritik ideologi. Metode strukturalis digunakan sebagai pembacaan teks secara literal dan membatasinya dalam melokalisir kebenaran yang bersifat sementara. Sedangkan analisis sejarah adalah mencari pertautan pemikiran sang pengarang teks dengan ruang lingkup sejarah budaya, sosial, politik, serta sosiologisnya. Kritik idelogi mengungkap maksud pengarang dalam penciptaan karya melalui epistemologi yang dirujuknya. Dengan model pembacaan dan pemaknaan agama yang tidak terjebak pada simbol dan homogenitas seperti di atas, umat beragama diharapkan menjalankan keberagamaan baru yang humanis dan membebaskan. Penegasan Soroush: “agama terakhir sudah datang, akan tetapi pemahaman agama yang terakhir belum datang” adalah kata kunci untuk memulai keberagamaan baru. Ke depan, umat beragama diharapkan dapat saling hidup bersama dengan menghargai perbedaan, melakukan dialog antar-intra iman, dan giat bekerja sama untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan serta menggalakkan demokratisasi dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara.***

28

REFERENSI:

Ernst Cassirer (1944). AN ESSAY ON MAN: An Introduction to a Philosophy of Human Culture. Louis Storm Memorial Fund: USA Frederikus Fios et all (2012). Diktat Kuliah Character Building: Spiritual Development. Jakarta: Bina Nusantara University. International Encyclopedia of the Social Science (2010). Detroit: Maxmillan Reference http://agama.kompasiana.com

29

TOPIK 3

MENGENAL TUHAN BERDASARKAN KITAB SUCI3

A. KONSEP TUHAN Dalam konseptualisasi orang Indonesia, ajaran Islam maupun Kristiani (Katolik dan Protestan), Tuhan biasanya dipanggil dengan sebutan ‘Allah’. Kata ini berasal dari rumpun bahassa Arab, yaitu kata al (sama seperti the dalam bahasa Inggris) dan kata ‘illah’ (Tuhan). Secara harafiah, berarti Tuhan yang Satu dan pasti Satu”. Sejarah awalnya keyakinan dan pemikiran manusia terhadap Tuhan dilukiskan secara berbeda di dalam berbagai masyarakat dan kebudayaan manusia. Yang jelas manusia memiliki anggapan terhadap adanya suatu kekuatan transendental yang jauh melampaui kenyataan alam dan kemampuan manusia. Dinamisme meyakini adanya suatu kekuatan gaib yang mendominasi kehidupan kita manusia. Lalu muncul animisme yang meyakini benda-benda di dalam alam memiliki kekuatan magis. Kemudian kepercayaan akan adanya kekuatan tertinggi yang disebut Tuhan itu dipahami secara berbeda. Ada yang menganggap Tuhan itu banyak (politeisme), ada yang menganggap Tuhan itu banyak namun hanya ada satu Tuhan yang Mahakuasa (henoteisme) namun ada juga yang menganggap Tuhan itu hanya satu saja (monoteisme). Selain konsep tentang hakikat Tuhan seperti yang dikemukakan di atas, terdapat tiga (3) konsep tentang relasi atau hubungan antara Tuhan, manusia dan alam ciptaanNya (Bdk. Gea: 2004, hal. 41-44). Pertama, Deisme berpendapat bahwa Tuhan yang Esa itu, setelah menciptakan alam ini, keluar daripadanya dan tidak pernah kembali lagi. Alam diciptakan serba sempurna dengan segala hukumnya, kemudian semuanya diserahkan kepada alam dan manusia untuk menentukan kehidupannya masing-masing sementara Tuhan tidak ikut campur tangan dalam perbuatan manusia dan dinamika alam.

3

Sebagian besar materi ini diadaptasi dari Antonius Atosokhi Gea et all (2004). Character Building III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo: Jakarta.

30

Semua yang terjadi di dalam kehidupan manusia merupakan pilihan-pilihan bebas yang diambil oleh individu bersangkutan dan menjadi tanggung jawabnya sendiri pula. Sukses atau gagal, susah atau senang, kaya atau miskin itu menjadi pilihan setiap orang, bukan penentuan kuasa Tuhan. Deisme ini menekankan peranan akal budi manusia di dalam agama dan menolak wahyu, mukjizat, dan keterlibatan penyelenggaraan ilahi dalam alam dan sejarah manusia. Kedua, Panteisme berpendapat bahwa Tuhan, setelah selesai menciptakan alam ini, tetap

saja

tinggal

di

dalamnya,

dan

masih

mengendalikan

semua

ciptaanNya.

Semua peristiwa di dalam alam ini, tidak satu pun yang luput dari kehendak Tuhan. Kejadian alam, perbuatan manusia, pandai atau tidak, beruntung atau celaka, sukses atau gagal, semuanya ditentukan Tuhan dan dikendalikan oleh Tuhan. Dari istilah panteisme, yang artinya ‘semuanya adalah Allah’ merupakan suatu ideologi yang menyamakan Allah dengan jagad raya. Pandangan ini begitu memutlakkan imanensi ilahi, sehingga menyamakan Allah dengan realitas dunia ini. Kebebasan dan otonomi dunia ini tidak ada, karena segala sesuatu adalah Allah. Ketiga, Teisme sebagai sintesis (penyatuan) antara deisme dan panteisme. Paham ini mengatakan bahwa setelah selesai menciptakan alam ini, Tuhan keluar dari alam, namun Tuhan masih ikut mengontrol alam. Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia, tetapi masih saja terdapat hal-hal yang di luar kemampuan manusia. Itulah yang sering dikenal dengan istilah hal-hal supranatural atau di luar jangkauan kita manusia. Tidak seperti deisme, paham teisme percaya bahwa Tuhan bukan sekedar Pencipta yang jauh (transenden), melainkan dekat (imanen) juga di dalam kehidupan manusia dan alam. Tuhan dekat dengan alam dan manusia, ia ikut mewahyukan diriNya dan bertindak tanpa henti dalam sejarah hidup manusia dan alam. Teisme adalah suatu kepercayaan akan adanya Tuhan yang transenden dan pribadi, yang menciptakan, memelihara, dan campur tangan di dalam dunia kehidupan manusia.

B. AT-TAUHID (DALAM ISLAM) Seperti apa konsep Islam tentang Tuhan itu? Kitab Suci Umat Islam, Alquran sangat menekankan pandangan akan ke-Esaan atau Ketunggalan Allah.

31

Terminologi bernuansa Arabian untuk menunjukkan Allah yang Esa itu disebut dengan istilah At-Tauhid. Tauhid adalah suatu konsep teologis Islam yang menegaskan hakikat keesaan Allah. Sebagai konsekuensi logisnya, seorang muslin mengamalkan ketauhidan itu dalam tiga (3) macam yakni: tauhid rububiyah, uluhiyah dan Asma wa Sifat. Tauhid Rububiyah maksudnya beriman hanya kepada Allah satu-satunya yang memelihara, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara, memberika rezeki, memberikan

manfaat,

menolak

mudharat,

serta

menjaga

seluruh

alam

semesta.

Hal ini ditegaskan di dalam Al-Quran yang berbunyi: “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu (Az-Zumar 39:62). Tauhid Uluhiyah, artinya beriman hanya kepada Allah semata yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagiNya. Kitab Al-Imran 3: 18 berbunyi: “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. Tauhid Asma wa Sifat maksudnya beriman bahwa Allah memiliki nama dan sifat baik (asma’ul husna) yang sesuai dengan keagunganNya. Islam mengenal 99 asma’ul husna sebagai nama sekaligus sifat-sifat Allah. Dengan demikian maka seseorang yang menganut Islam wajib mengamalkan tauhid dan menjauhi syirik sebagai dampak lanjutan dari kalimat syahadat yang sudah diikrarkan oleh seorang muslim. Dalam pandangan Muslim, Tuhan adalah Allah yang Satu, dan Tuhan itu satu adanya. Allah itu bersifat kekal/abadi. Allah tidak dilahirkan oleh apapun. Tidak ada sesuatu apapun yang ekuivalen dengan Allah (Bdk. QS Al-Ikhlas 112:1-4). Hal ini menunjukkan secara mendasar karakteristik monoteistik di dalam Islam dalam mempersepsikan Allah.

C.

ALLAH

TRITUNGGAL

(DALAM

KEKRISTENAN:

KATOLIK

DAN

PROTESTAN) Pandangan Kristiani (Katolik dan Protestan) pada dasarnya mengakui adanya Tuhan sebagai Allah Yang Esa, sebagai Pencipta Segala Sesuatu yang ada di dalam Alam Semesta termasuk manusia. Bukti biblis paling otentik bisa ditemukan di dalam Kitab Ulangan Bab 6:4 yang mengatakan: “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa”. Di dalam Injil Markus Bab 12:32 dikatakan “Dia (Allah) itu Esa dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia”. Teks-teks ini menunjukkan secara jelas pandangan kristiani akan Tuhan yang pada dasarnya bersifat monoteistik. 32

Yang unik di dalam teologi Kristen tentang Tuhan yakni adanya konsep tentang Allah sebagai pribadi tritunggal (Allah Tritunggal). Konsep keTuhanan dalam Tritunggal adalah: Allah Bapa yang ada di surga (gambaran tentang kesempurnaan, kesenangan, keindahan, ketenangan, kedamaian, dan ketentraman), yang menjelma menjadi manusia Yesus Kristus (yang seratus persen Allah dan seratus persen manusia), yang diutusNya untuk membebaskan manusia dari dosa. Dan setelah kematianNya, Ia bangkit dan naik ke surga, namun tetap berpengaruh atas manusia melalui kuasa Roh Kudus (realitas kuasa Allah yang masih tetap hidup dan melindungi dunia ini hingga kini dan selamanya) (Gea: Ibid., hal. 49-50). Tuhan memiliki tiga pribadi yakni: Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus dengan tugas dan peran masing-masing namun satu dalam hakikat keAllahan. Allah Bapa sebagai Pencipta, Allah Putera sebagai Penebus/Penyelamat dan Allah Roh Kudus sebagai Penghibur. Ketiganya satu dalam hakikat dan subtansi sebagai Allah yang Maha Esa. Memang bagi kebanyakan akan sulit memahami konsep Allah Trinitas ini, namun para penganut kristiani meyakini dan mengakui bahwa mustahil kita memahami segala hal tentang Allah. Kepercayaan akan Allah Tritunggal tidak berarti orang Kristiani percaya pada tiga Allah atau 3 Tuhan (politeistik). Sebaliknya harus dipahami bahwa Allah yang Maha Esa itu menampakkan dirinya dalam tiga cara atau tiga modus. Sehingga intinya bahwa Kitab Suci Alkitab tidak mengajarkan adanya tiga Tuhan, tetapi hanya ada satu Tuhan saja, hanya satu Allah yang Tunggal dan Esa. Iman akan Allah Tritunggal ini pun merupakan suatu misteri dalam keyakinna kristiani, sesuatu yang indah dan mempesona dalam konsep kekristenan akan Allah (Tuhan) itu. D. ALLAH TRIMURTI (HINDUISME) Bagaimana agama Hindu menggambarkan Tuhan itu? Dalam keyakinan penganut agama Hindu, Tuhan diberi sebutan Brahman atau Sanghyang Widhi Wasa. Ungkapan ini merujuk pada pengakuan Hinduisme terhadap eksistensi Tuhan. Di dalam keyakinan agama Hindu, orang awam hanya tahu bahwa penganut agama Hindu juga memiliki kepercayaan kepada tiga (3) dewa yang disebut Trimurti atau tiga Dewa, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa; atau Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Perusak. Kategorisasi tiga dewa itu berasal dari pengamatan yang sangat intensif terhadap gejala alam ini, di mana ada sebuah peristiwa yang meliputi ketiga aspek berikut: Ada proses penciptaan, ada proses pelestarian atau pemeliharaan dan ada proses perusakan atau pemusnahan (lebih tepat: pengembalian kepada bentuk awal). 33

Di dalam Kitab Suci Weda bisa dijumpai di sana ratusan nama Dewa dengan kekuasaan dan fungsinya yang berbeda-beda, sehingga beliau dikenal dengan “sehasra” nama, yaitu seribu nama. Ini bisa dilihat di dalam mantra atau doa yang sehari-hari diucapkan dalam acara ritual yang diberi nama “Trisandhya”. E. ALLAH BUKAN PERSONAL (BUDHISME) Dalam teologi agama Budha, Tuhan itu disebut dengan term “Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatan, yang artinya Sesuatu yang Tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, Tidak diciptakan dan yang Mutlak Adanya. Dengan demikian Tuhan itu tidak dapat dipersonifikasikan dan tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun. Menurut perspektif Budhisme, Tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (impersonal), tidak berkarakter antropomorfisme (ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) ataupun antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari manusia). Budhisme memandang Tuhan sebagai yang Maha Esa, Yang Mutlak, sebagai Yang Maha Tinggi, Maha Luhur, Maha Suci, Maha Sempurna, kekal atau tanpa awal dan akhir. Tuhan memang hanya bisa dikenali secara parsial dari sejumlah atribut yang dikenakan padaNya, tetapi bagaimanapun sifatNya, Yang Esa dan Mutlak itu tidak mengenal dualisme. Artinya Tuhan yang mempunyai sifat Mahapengasih (Brahmavihara) misalnya, tidak mungkin juga pemarah. Tuhan memiliki sifat-sifat baik in se, pada diriNya sendiri.

F. TUHAN DALAM KONGHUCU Konfusionisme tidak eksplisit menyebut nama Allah di dalam kepercayaannya sebagaimana Islam dan Kristiani (Katolik dan Protestan), namun ia tetap mengakui adanya Kekuatan Tertinggi yang menciptakan realitas alam semesta ini. Konghucu lazimnya menyebut Tuhan dengan istilah Thian. Thian adalah Maha Pencipta Alam Semesta (Bidang Litbang PTITD/Matrisia Jawa Tengah: Pengetahuan Umum Tridarma: 2007). Manusia tidak dapat memahami hakikat sejati Thian sehingga Thian digambarkan dengan ciri-ciri:

a). Yuan (yang selalu hadir), b). Heng (yang selalu berhasil), c). Li (yang

selalu membawa berkah) d). Zhen (yang selalu adil dan tidak membeda-bedakan).

34

Di dalam Kongfusionisme, terdapat sebuah doktrin yang terkenal dengan istilah “The Doctrin of the Mean” (Zhongyong) yang merujuk pada suatu visi kebaikan di dalam hakikat manusia yang terpusat (zhong) untuk mengolah diri khususnya perasaan-perasaan agar bisa menjaga harmoni dan kesatuan dengan segala unsur di dalam alam semesta (Bdk. International Encyclopedia of Social Science, Vol. 9, hal. 145). Hal ini menunjukkan bahwa Konghucu mengakui adanya ‘prinsip etika’ di dalam menjalankan kehidupan. Sumber etika itu terdapat di dalam Kitab Suci Konghucu yakni Wu Jing dan Si Shu dan doktrin ajaran iman kepercayaan Konghucu. Prinsip etika religius Konghucu mendorong manusia mengolah wilayah batin demi mencapai nilai kesempurnaan dalam hidup. Terdapat adanya suatu etika kebaikan bagi penganut Konghucu untuk menjalin relasi harmonis dengan Tuhan (Thian), alam dan sesama serta segala makhluk yang lain. Konfusionisme sangat mementingkan relasi atau hubungan yang harmnonis dengan segala kenyataan alam semesta yang diyakini sebagai perwujudan kekuasaan yang lebih tinggi melampaui manusia.

G. CONTOH-CONTOH GAMBARAN TENTANG TUHAN a). Tuhan yang Maha Kuasa Tuhan dianggap sebagai Yang Maha Kuasa. Gambaran ini mendorong kita manusia untuk tidak patah semangat, tetap mau berusaha keras dan tidak pernah mengenal lelah. Kita perlu berusaha keras dan menyerahkan semua pekerjaan kita ke dalam tangan Tuhan sambil mengintrospeksi kekurangan atau kelemahan kita. Kita tidak boleh putus asa dan merasa gagal dalam berusaha dan berjuang karena biarpun kita lemah, Tuhan adalah Maha Kuasa bagi kita. Implikasi lainnya, kendatipun kita suatu saat sukses menjadi pemimpin/pejabat di dalam masyarakat, kita tidak lantas berlaku sebagai penguasa yang otoriter, bengis dan congkak dengan menyalahgunakan kekuasaan. Kita perlu sadar bahwa kekuasaan kita itu terbatas, dan masih ada kekuasaan lain yang lebih tinggi dari kita yakni kekuasaan Tuhan yang MahaKuasa. Kekuasaan Tuhan membantu dan memampukan kita mengatasi segala masalah, kesulitan dan persoalan hidup. Oleh karena itu kita perlu bersikap optimistis dan positif dalam menjalankan hidup ini, karena Tuhan akan menguatkan dan memampukan kita untuk melewati berbagai kesulitan dan tantangan hidup.

35

b). Tuhan Maha Adil Gambaran tentang Tuhan yang Maha Adil ini mendorong kita untuk tidak cemas dan sedih kalau diperlakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tidak adil. Kita tetap percaya bahwa Tuhan Maha Adil bagi kita. Dan kita juga tetap berharap bahwa Tuhan, dalam keadilanNya, mau membantu orang-orang yang diperlakukan tidak adil dalam hidupnya. Kita seharusnya juga berbuat yang adil kepada sesama dan alam karena adil itu adalah salah satu sifat Tuhan yang kita imani. Tindakan kita yang merugikan orang lain dan alam merupakan sikap yang mengkhianati karakter adil yang terdapat pada Tuhan itu sendiri. Kita seharusnya bersikap adil kepada siapapun (alam dan sesama) di mana pun dan kapan pun. c). Tuhan Maha Tahu Dengan gambaran seperti ini, kita percaya bahwa tidak satu pun hal di dunia ini yang tersembunyi di mata Tuhan. Semuanya menjadi jelas-terang di hadapan Tuhan. Dengan gambaran itu kita tidak akan memikirkan dan merencanakan, apalagi melakukan hal yang tidak baik, entah dengan cara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Karena Tuhan tahu semuanya tentang kita dan kehidupan ini. Implikasi lainnya, kita tidak akan merasa lebih tahu dari yang lain, merasa hebat dari yang lain, merasa sok tahu dan lain sebagainya karena DIA lebih tahu dari siapapun. Semua pengetahuan yang kita ketahui semata-mata adalah pemberian dari Tuhan sendiri. Tuhan adalah sumber pengetahuan dan kebijaksanaan Ilahi bagi kita manusia. d). Tuhan Maha Pemaaf dan Maha Pengampun Gambaran ini mendorong kita manusia untuk memaafkan orang lain yang bersalah kepada kita. Di dalam kehidupan setiap hari, kita manusia tak pernah luput dari kesalahan. Manusia adalah makhluk yang rapuh dalam pergaulan sering kali jatuh dalam perbuatan yang tidak berkenan pada sesama. Di sinilah kita sadar bahwa tanpa sikap terbuka untuk memaafkan, maka relasi dengan sesama akan rusak atau hancur. Hubungan antarsesama akan semu, palsu dan tidak langgeng tanpa sikap memaafkan. Kita perlu memaafkan dan mengampuni sesama karena Tuhan itu Maha Pengampun.

36

e). Tuhan Maha Pengasih Gambaran ini akan membuat hati kita penuh hangat dan cinta terhadap sesama dan alam. Tuhan yang Maha Pengasih selalu menginginkan yang terbaik bagi kita umatNya. Walau terkadang kita merasa Tuhan meninggalkan kita dalam derita dan kemalangan, namun Tuhan sebenarnya tidak. Tuhan tetap hadir dengan cintaNya yang Ilahi untuk kita. Dia tetap setia mengasihi dan mencintai kita dalam kondisi apapun, susah atau senang, sukses atau gagal, sehat atau sakit. Ia selalu memberikan yang terbaik untuk kita, menyayangi kita secara langsung maupun tidak langsung melalui alam dan sesama kita. Kita tetap berarti dan bermakna di mata Tuhan. Rencana Tuhan selalu indah, baik dan benar pada waktunya untuk kita. Kita perlu sabar untuk terus mencintai Dia, mencintai sesama manusia dan mencintai alam ini.***

37

REFERENSI:

Alquran (Kitab Suci Islam), Alkitab (Kitab Suci Katolik dan Kristen Protestan), Kitab Weda (Kitab Suci Hindu), Kitab Tripitaka (Kitab Suci Budha), Kitab Wu Jing & Si Shu (Kitab Suci Konghucu) dan ajaran/diktrin suci agama masing-masing yang relevan.

Antonius Atosokhi Gea et all (2004). Character Building III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo. Bidang Litbang PTITD/Matrisia Jawa Tengah (2007). Pengetahuan Umum tentang Tri Dharma. Edisi Pertama. Semarang: Benih Bersemi. Frederikus Fios (2012). “Pengalaman Puncak Keagamaan” dalam Jurnal Humaniora Volume 2 Nomor 2. Jakarta: Bina Nusantara University Publishing. International Encyclopedia of the Social Science (2010). Detroit: Maxmillan Reference

38

TOPIK 4

MENGENAL TUHAN MELALUI ALAM4

A. Memahami Alam Lingkungan

Istilah alam lingkungan memiliki banyak arti dan makna. Namun dari banyak makna itu kiranya kita sepakat bahwa secara praktis, alam lingkungan terdiri dari unsur-unsur non manusiawi (infrahuman) yang terdapat di dalam kosmos atau semesta ini. Unsur-unsur yang dimaksud di antaranya sinar matahari, tanah, udara, air, flora (tumbuhan), fauna (hewan), iklim, suhu, dan lain sebagainya. Dalam perspektif ekologi, manusia hanyalah salah satu elemen saja di dalam jejaring ekosistem alam lingkungan itu. Paradigma seperti ini tentu kontradiktoris dengan paradigma antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dalam tatanan alam semesta atau realitas kosmos ini. Jika segala entitas ada di dalam alam merupakan satu kesatuan ekosistem, maka terdapat sebuah korelasi fundamental antara berbagai unsur kosmik di dalam alam ini. Ada rerantai hubungan integral yang erat satu unsur dengan unsur yang lain. Matahari memberikan sinar yang berfungsi untuk memperlancar proses fotosintesis tumbuhan yang akhirnya menghasilkan daun dan buah yang bisa dikonsumsi oleh manusia dan hewan demi kelangsungan hidupnya. Siklus ini berevolusi, terus berlangsung sepanjang waktu untuk memastikan eksistensi kehidupan itu tetap ada menuju masa depan kehidupan alam itu sendiri. Hubungan atau interaksi antarunsur di dalam alam semesta saling menentukan keberadaan masing-masing. Jika salah satu unsur alam rusak/langka, maka dipastikan bagian lain dari alam ikut rusak, hancur dan binasa. Misalnya ketika mata air di gunung mengering, maka dipastikan segala unsur biotik seperti tumbuhan, hewan dan manusia langsung terkena imbasnya. Krisis air dipastikan melanda seluruh makhluk hidup yang membutuhkan air sebagai sumber kehidupannya.

4

Sebagian besar materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. CBDC Bina Nusantara University: Jakarta.

39

Karena itu ketika alam rusak atau dirusakkan, maka tamatlah riwayat hidup manusia dan seluruh makhluk hidup (biologis) dalam realitas alam semesta ini. Karena itu alam lingkungan kita mutlak dijaga dan dipelihara. Kondisi lingkungan alam bumi kita saban hari terus dihantui problem krusial yang menderanya. Krisis ekologi yang disebabkan oleh aktivitas pembangunan manusia membuat alam tempat kita hidup menjadi tidak seimbang lagi. Bumi hampir di ambang kepunahannya. Dan semua makhluk hidup termasuk kita umat manusia berada pada titik kritis kalau tak mau dikatakan genting atau gawat. Apa akar masalah krisis alam lingkungan bumi ini? Bisa dikedepankan dua (2) penyebab utama krisis alam lingkungan dewasa ini: yakni pada tataran hidup praktis dan pada tataran wilayah teori atau cara berpikir. Pertama, pada tataran praktis, kerusakan alam muncul karena sikap dan perilaku manusia yang tidak berlandaskan nilai-nilai moraletis dalam mengembangkan relasi dengan alam (perilaku yang tidak etis-ekologis). Model ini menunjukkan cara bersikap tidak ramah lingkungan yang berujung pada penciptaan pola relasi eksploitatif terhadap alam. Pola ini dinilai tidak etis dari sudut pandang kebaikan alam lingkungan karena hanya mengedepankan sikap tamak/rakus manusia. Kedua, pada tataran paradigma atau cara berpikir manusia. Bicara soal paradigma berpikir, tentu kita tidak bisa lepas dari prinsip filosofi atau cara pandang manusia terhadap alam. Cara berpikir sesat-keliru pada alam akan terwujud dalam perilaku tidak bijak dalam relasi manusia dengan alam. Mindset pikiran manusia yang keliru menjadi salah faktor penyebab kerusakan alam semesta. Diskursus filsafat lingkungan kontemporer memunculkan kritik atas filsafat rasional (logika) yang diagungkan manusia sejak zaman auflaerung atau masa pencerahan (abad 18). Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dielu-elukan filsafat rasional (logika-atomistik) memunculkan kemajuan di berbagai bidang pembangunan manusia, namun serentak pada saat yang sama membawa petaka berupa kemunduran/ketidakmajuan dalam pembangunan yang tampil dalam wajah alam yang rusak dan memprihatinkan kita. Mestinya kemajuan/kebaikan manusia dibarengi juga dengan kemajuan dalam kebaikan alam itu sendiri. Inilah ambivalensi pembangunan. Banyak kritik ditujukan kepada filsafat rasional (logika-atomistik) yang tidak mempedulikan masa depan alam lingkungan bumi. Salah satu pemikir yang gencar menyerang filsafat rasional yakni Filsuf Polandia, Hendrick Skolimowski.

40

Dalam bukunya Living Philosophy: Eco-Philosphy as A Tree of Life (1992), Skolimowski mengkritik cara berpikir rasional (logika) dan ilmu pengetahuan modern yang cendrung mekanistik-reduksionistik yang berujung pada tindakan eksploitasi atas lingkungan alam. Karena itu Skolimowski memperkenalkan suatu paradigma pikir baru yang disebutnya eko-filosofi (eco-philosophy). Kekuatan utama prinsip eko-filosofi yakni cara berpikir baru yang melihat alam secara religius-spiritual. Maka eko-filosofi sama artinya dengan sebuah eco-spiritual (spiritualitas ekologis alam) baru demi kebaikan alam lingkungan hidup itu sendiri. Eco-spiritual memberikan suatu imperatif religius-spiritual bagi manusia untuk kembali menghargai nilai-nilai intrinsik yang mengkristal di dalam alam. Eco-spiritual mengarahkan kembali tindakan manusia untuk mengembalikan nuansa keindahan dan pesona alam yang luar biasa namun yang kini telah hilang nuansanya karena ekspresi logika rasionalitas keliru dan tindakan tak etis-destruktif atas alam. Saatnya semua manusia melakukan total action (gerakan menyeluruh), sebagaimana dilansir oleh Arne Naess untuk kembali ke alam (back to nature). Gerakan sadar lingkungan ini bukan hanya untuk segelintir orang namun harus menjadi gerakan bersama seluruh masyarakat dunia (total action) semua pihak mulai dari individu, unsur politik, pengambil kebijakan ekonomi, akademisi, tidak secara terpisah-pisah (terkotak-kotak), tetapi dilakukan secara bersamaan (menyeluruh). Gerakan ini harusnya menjadi gerakan semua orang di bumi yang masih memiliki semangat kepedulian tinggi pada kebaikan alam kita. Jika tidak, kita akan kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan alam kita dan kita tunggu kebinsaan kita semua secara total, lambat tapi pasti. Tentu bagi kita orang-orang yang menghayati agama dan spiritualisme, eko-filosofi bisa menjadi suatu kewajiban/kesadaran moral religius-spiritual yang dipakai sebagai modal atau instrumen efektif untuk mengubah cara pikir kita yang keliru/salah pada lingkungan alam. Manusia telah berdosa terhadap alam dengan kejahatan-kejahatan ekologis seperti menebang pohon, membuang sampah sembarangan, merambah hutan secara liar, mengotori air, mempolusikan udara dan lain sebagainya. Perlu dilakukan sebuah metanoia (pertobatan) ekologis untuk mengembalikan kembali keindahan dan kesakralan alam semesta. Cara pikir yang sudah kita ubah, niat luhur yang sudah ada dalam hati, kita tunjukkan juga dalam komitmen tindak-nyata untuk membangun relasi yang lebih etis, estetis, humanis, harmonis dan selaras dengan alam lingkungan. Sesudahnya, mari kita sama-sama songsong sebuah tatanan dunia baru yang bebas dari krisis ekologis. Kita sambut masa depan ekologi bumi yang semakin baik. 41

Sebagai orang-orang yang beragama dan beriman, kita harus sadar untuk menjaga alam. Kita tidak hanya perlu berpikir atau berdoa saja, tapi perlu juga untuk bertindak nyata mengekspresikan kesadaran religius-spiritual untuk peduli pada alam. Menyelamatkan dan menjaga alam adalah bagian dari usaha manusia untuk menjaga keutuhan dan kelanggengan alam. Menjaga dan memelihara alam adalah bagian dari hidup iman keagamaan dan keyakinan spiritual hakiki kita umat manusia di bumi ini.

B. Alam Semesta sebagai Penampakan (Epifani) Tuhan

Semua agama dan aliran spiritual memiliki satu keyakinan mendasar bahwa alam lingkungan termasuk manusia di dalamnya diciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang indah dan baik adanya sejak semula. Alam adalah emanasi, pancaran atau mengalir keluar dari Tuhan itu sendiri. Agama-agama yakin dan percaya bahwa Tuhan berbicara kepada kita umat-Nya melalui fenomena alam yang kita lihat sehari-hari. Oleh karena itu alam semesta (universum) adalah tanda kehadiran Tuhan. Alam semesta adalah epifani (penampakan) Tuhan itu sendiri. Adanya dunia dan proses evolusinya dalam dinamika waktu yang panjang tidak mengurangi kualitas nilai luhur alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Lingkungan alam tempat manusia hidup merupakan sebuah realitas yang bernilai intrinsik pada dirinya sendiri. Nilai intrinsik alam tidak ditentukan oleh manusia, namun memiliki nilai internal pada dirinya sendiri (in se) sejak awal mula diciptakan Tuhan. Nilai intrinsik lingkungan alam diberikan Tuhan sejak proses penciptaan dan berlangsung sampai sekarang dan hingga ke masa depan sepanjang keberadaan alam ini. Manusia tidak berhak sedikitpun menentukan nilai dan martabat lingkungan alam. Lingkungan alam adalah sebuah faktisitas atau kenyataan yang terberikan oleh Tuhan untuk manusia. Karenanya lingkungan alam adalah berkat (rahmat) instimewa Tuhan yang perlu disyukuri oleh setiap manusia di kolong langit ini. Bentuk syukur tersebut harusnya direalisasikan dalam wujud sikap tanggung jawab manusia untuk menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

42

PERAN TUHAN DI LADANG Sebuah penelitian yang dilakukan oleh satu akademi pertanian tentang produksi 3640 liter jagung di ladang seluas 1 hektar. Manusia menyumbangkan tenaganya. Tuhan menyumbangkan beberap hal juga: 4 juta pon air, 6800 pon oksigen, 5200 pon karbon, 1900 pon karbon dioksida, 160 pon nitrogen, 125 pon potasium, 40 pon fosfor, 74 sulfur kuning, 50 pon magnesium, 50 pon kalsium, 2 pon besi dan sejumlah partikel kecil iodine, seng, tembaga dan lain-lain. Dan semuanya itu berada di dalam 3640 liter jagung. Siapa yang membuatnya? (Frank Mihalic). Tuhan berperan tak terlihat menjadikan segala proses yang terjadi di dalam alam ini berlangsung dan mencapai hasil yang indah, tepat, efektif, efisien dan sempurna pada waktunya. Tak satu pun yang tahu bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang agung dan mengagumkan sekali. Tuhan merajut berbagai unsur (elemen) dalam alam semesta dan menciptakan berbagai jenis makhluk hidup termasuk tumbuhan bebijian jagung seperti kisah di atas. Alam adalah ciptaan Tuhan yang sungguh indah dan luar biasa tak terselami akal budi dan logika pikir manusia. Kita manusia pantas dan layak bersyukur atas semua keindahan yang diberikan oleh Tuhan ini. Bentuk rasa syukur itu dapat manusia sampaikan dalam untaian doa dan syair religius pada Tuhan sebagai Sang Pemberi Kehidupan.

TERIMA KASIH UNTUK BUMI

Terima kasih, ya Tuhan untuk bumi yang hijau Tak dapat dibayangkan dunia ini tanpa lumut dan rerumputan Tanpa ilalang dan pepohonan Tanpa kembang dan bebuahan Terima kasih, ya Tuhan untuk pohon-pohon Yang memagar pantai dan menghijaukan pegunungan Yang kami tebang untuk membangun Rumah, jembatan dan perkantoran Terima kasih, ya Tuhan untuk hutan yang menahan erosi Yang menyuburkan tanah Dan yang mendatangkan batu bara dan minyak tanah Terima kasih ya Tuhan untuk dedaunan yang menyedot polusi Dan memberi kami zat untuk bernapas Yang dapat kami olah menjadi Sambal, lalapan, tahu, tempe dan kangkung cah 43

Terima kasih ya Tuhan untuk bunga-bunga yang menghias taman dan kamar Yang dapat kami hadiahkan kepada kekasih tanda cinta dan kesetiaan Yang dapat kami taburkan di atas pusara Tanda kasih dan sayang, kenangan dan persahabatan Terima kasih ya Tuhan untuk buah mangga dan buah salak Untuk buah durian dan buah segala buah. Amin (Y. Lalu). Manusia religius-spiritual yang bijak adalah persona yang memiliki visi jauh dan intuisi mendalam untuk menjaga dan mempertahankan panorama alam sebagai hadiah terindah Tuhan bagi manusia. Bahwa alam bukan semata-mata ada untuk dieksploitasi bagi kebutuhan manusia, melainkan ia hadir sebagai ciptaan yang ikut membuktikan jejak kehadiran Tuhan di dalam realitas dunia ini. Karena itu alam harus dijaga dan dilestarikan sebagai realitas yang bermakna religius-spiritual. Artinya alam adalah salah satu bentuk kesaksian tentang hakikat Tuhan sebagai Maha Pencipta. Segala kehidupan yang berlangsung di dalam alam berlangsung dalam Tuhan dan kelak akan kembali ke fitrah, ke pangkuan Ilahi Tuhan. Filsuf Teilhard de Cardin mengatakan hidup adalah gerakan dari Tuhan sebagai titik alfa (awal) menuju titik omega (akhir) dalam Tuhan sendiri. Karena itulah manusia perlu menyadari kebenaran religio-spiritual ini dan menghayati relasi dengan lingkungan alam dalam suatu hubungan iman/keyakinan pada Tuhan Sang Pencipta alam semesta.

C. Makna Religius Alam dan Eco-Teologi

Pandangan teologi tentang ekologi alam bisa disarikan dalam konsep Eco-Theology atau eko-teologi. Ekologi berasal dari kata Yunani oikos, artinya rumah. Ekologi merupakan studi tentang bagaimana organism di dalam alam saling beriteraksi satu sama lain dalam konteks lingkungannya (Bdk, Roderick Frazier Nash: 1989, hal. 55). Sedangkan teologi artinya pandangan atau filosofis tentang keTuhanan. Inti pemikiran eko-teologi yakni terdapat adanya satu kesatuan intrinsik antara berbagai elemen yakni Tuhan, manusia dan segala entitas ada di dalam alam.

44

Untuk menegaskan prinsip kebenaran ini, Allan R. Brockway menulis: “sebuah teologi tentang dunia alam semesta…..mengandung makna instrinsik bahwa terdapat kesatuan segala sesuatu di dalam alam antara dunia manusia dengan dunia non manusia. Terdapat kesatuan antara dunia manusia dengan dunia non manusiawi yang saling memancarkan dimensi ilahi itu mulai dari batu-batu, pohon-pohon, udara, air, minyak dan mineral, hewanhewan dan termasuk di dalamnya kita manusia juga” (Ibid., 87). Bahkan para teolog dan filsuf aliran agama-agama mengatakan bahwa teologi yang baik seharusnya memperhatikan etika ekologi (ecology ethics) yakni memperhatikan dimensi keadilan terhadap alam. Artinya iman kita tidak boleh hanya sebatas doktrin saja, melainkan harus diwujudkan ke dalam tindakan ekologis yang peduli terhadap hak-hak dan kebaikan alam lingkungan hidup kita. Inilah saatnya kita melakukan penghijauan terhadap agama atau lebih popular dalam istilah Roderick Frazier Nash, “The Greening of Religion” (Ibid., hal. 87-120). Pandangan yang religius agama-agama5 terhadap alam bakal memunculkan sikap-sikap yang manusiawi dan bersahabat dengan alam, etis, bermoral, integratif, holistik dan menyeluruh. Visi religius kita terhadap alam kita realisasikan juga dalam realitas sosial kita dalam relasi dengan segala makhluk hidup (biotic) dan makhluk tidak hidup (abiotik). Visi ekologi-religius akhirnya menjadi bagian dari iman kita kaum beragama dalam menghayati eksistensinya di bumi ini dalam mengembangkan relasi yang harmonis dengan dengan alam. Iman kita kepada Tuhan perlu kita realisasikan dalam relasi harmonis dengan alam. Relasi manusia dengan alam ini bukan jangka pendek saja, melainkan suatu relasi ideal yang perlu dilanjutkan dalam jangka panjang untuk generasi manusia dan makhluk hidup lain di masa depan. Keberlanjutan hidup generasi kehidupan masa depan tergantung pada pikiran, tindakan dan perilaku kita saat ini. Kita perlu menjaga alam pada saat ini untuk menjamin kelangsungan hidup banyak pihak di masa depan. Inilah sikap religius kita sebagai orang-orang yang mengaktualisasikan iman kepada alam sebagai ciptaan Tuhan sendiri. Sudah umum diterima pandangan atau pemahaman bahwa alam semesta ini sungguh adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Banyak filsuf yang berbicara tentang alam dari perspektif agama-agama dunia ini yakni Islam, Kristiani, Budha, Hindu, Konghucu, Yudaisme, Jainisme dll. 5

Pandangan-pandangan yang diuraikan menurut agama-agama di sini diadaptasi dari Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (ed.) Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment. New York: Orbis Book. Bdk. edisi Indonesia berjudul “Agama, Filsafat dan Lingkungan” (2003) terjemahan P. Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius.

45

Agama-agama memandang alam sebagai suatu kenyataan yang bernilai luhur religius sebagai ciptaan Tuhan dan oleh karena itu alam perlu dijaga keberlanjutannya di masa depan. Pandangan Kristiani (Katolik dan Protestan) tentang alam sebagai ciptaan Tuhan bisa ditelusuri di dalam Alkitab maupun para pemikiran para filsuf kristiani. Di dalam Kitab Kejadian Bab 1 di situ jelas ditegaskan bahwa langit dan bumi beserta isinya diciptakan oleh Allah sendiri. Artinya kehadiran alam semesta ini terjadi karena kekuasaan Tuhan. Sementara itu di dalam pandangan filsuf-filsuf kristiani (Teologi Barat), alam dipersepsikan sebagai realitas yang melulu bernilai rohani yakni berasal dari Tuhan sendiri. Pandangan ini tampak dalam pemikiran Origenes (185-254 M), Santo Thomas Aquinas (1225-1274), Santo Bonaventura (1221-1274), Dante (1265-1321), Karl Barth (1886-1968), dan Teilhard de Chardin (1881-1955). Pandangan mereka umumnya mengklaim bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Sementara itu pandangan kristiani yang melihat alam dalam perspektif motiv ekologis masa depan tampak dalam pemikiran Santo Agustinus (354-430), Santo Fransiskus Asisi (1182-1226), Martin Luther (1483-1546), Calvin (1509-1564) yang semuanya mengatakan bahwa alam semesta ini dan manusia serta segala makhluk akan ditebus/diselamatkan pada akhir zaman. Artinya kondisi kebaikan manusia, alam dan segala makhluk akan disempurnakan, diselamatkan pada zaman eskatologis, zaman parusia, akhir zaman ketika Tuhan datang menyelamatkan manusia yang percaya kepadaNya. Pandangan Islam juga tak kalah menariknya atas alam. Dalam Bukunya The Translation of the Meaning of Sahih Al-Bukhari (terjemahan Muhammad Muhsin Khan) Muhammad Ibn Isma’il al-Bukhari mengatakan di Al-Qur’an Allah adalah Pencipta dunia ini yang dilakukan dalam enam hari (7:54; 10:3; 11:7; 25:59; 32:4 dan 57:4). Ini menunjukkan pandangan Islam yang mendasar bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan. Alquran juga menegaskan bahwa Allah itu Esa dan Allah berkuasa atas seluruh ciptaan di dalam alam semesta ini, langit dan bumi adalah milik Allah (2:107; 3:189; 9:116; 23:84-89; 35:13; dan 57:2). Kebiasaan Muhammad SAW berdoa pagi dan sore dihubungkan dengan kuasa Allah atas dunia( bdk. Mishkat, 506. Lihat juga J.M.S. Baljon, “The Amr of God in the Koran”, Acta Orientalia). Implikasinya bahwa pandangan monoteistik Islam tidak mendukung eksploitasi atas bumi oleh karena itu Islam juga memiliki pandangan yang ekologis atas alam sebagai realitas yang bernilai religius yang perlu dijaga dan dipelihara. Di dalam Budhisme khususnya Budha Mahayana, terdapat tradisi Tathagatagarbha dan Alayavijanana yang menggambarkan suatu kosmologi dan antropologi saling berkaitan.

46

Dikatakan semua mahkluk hidup akan mencapai pencerahan atau kebijaksanaan tertinggi dan sempurna dalam KeBudhaan. Jalan Budhis sebagai proses di mana kesadaran individual diubah menjadi kebijaksanaan sempurna. Menurut Budha, segala objek dalam alam berhubungan satu sama lain. Prinsip pratityasamutpada, atau kemunculan bersama benda-benda merupakan suatu proses dinamis dan kolaboratis banyak hal lain. Tidak ada satu objek pun di dalam alam yang ada dari dirinya sendiri, tetapi hanya sebagai suatu konteks hubungan, suatu nexus/jalinan faktor-faktor yang berhubungan satu sama lain. Ada sebuah kanon Pali dari Budha yang mengatakan keterkaitan segala sesuatu di dalam alam ini: “Ini ada, itu menjadi; dari munculnya ini, itu muncul; ini bukan menjadi, itu tidak menjadi; dari mandeknya ini, itu mandek” (Bdk. Najjhima-Nikaya, 2: 32; Samyutta-Nikaya 2:28). Di dalam Hinduisme, alam memiliki nilai religius yang mendalam. Di dalam sejarah India ditemukan kebudayaan kota yang disesuaikan dengan ritme alami, lambang kota Mohenjodaro dan Harapa di lembah Indus melukiskan seseorang yang sedang bermeditasiyang oleh beberapa filsuf dianggap sebagai wujud pertama dewa Siwa-dengan penuh damai dikelilingi oleh tumbuhan lebat dan hewan-hewan jinak. Sementara itu Rig Veda melukiskan pujian-pujian yang tinggi atas pelbagai kekuatan alam, menganggap alam sebagai keilahian yang pantas disembah puji. Sungai-sungai (Ganga, Yamuna, Sarasvati, Sindhu) dan tanah (Prthivi) dilihat sebagai dewa-dewi, sementara angin (Maruts) dan api (Agni) disebut sebagai dewa laki-laki. Malah di dalam nyanyian Purusa Sukta dinyatakan: “Bulan lahir dari budinya, Matanya melahirkan matahari, Indra dan Agni muncul dari mulutnya; Dan Vayu (angin) lahir dari nafasnya; dari pusarnya muncul udara; langit muncul dari kepalanya; dari kaki, bumi; dari telinga, mata angin. Begitulah mereka membentuk dunia-dunia (Bdk. Rig Veda 10:190, 13-14. Terj. Antonio T, de Nicolas, Meditations through the Rig Veda: Four Dimensions Man(New York: Nicolas Hays, 1976). Konfusianisme awal, seperti Taoisme, secara kosmologis memahami dunia ini sebagai bagian dari semesta yang berubah, dinamis dan mekar (Bdk. Terjemahan Arthur Waley mengenai Analects dan D.C. Lau mengenai Mencius, 1970). Proses pemekaran dan kesinambungan dari alam dan harmoni musim sangatlah ditegaskan oleh para Konfusian. Semesta dilihat muncul dengan sendirinya, dibimbing oleh pemekaran Tao, sebuah term yang dipegang teguh oleh Konfusian dan Taoisme dengan makna yang berbeda. Mereka juga mengakui adanya kekuatan-kekuatan yang berlawanan di dalam alam misalnya dalam konsep yin dan yang.

47

D. Cara-Cara Peduli pada Alam Lingkungan Visi eko-spiritual sebagai imperatif religius-spiritual kelompok agama dan penganut spiritualisme harusnya tidak hanya sampai pada cara berpikir, tetapi perlu diaktualisasikan secara nyata dalam aktivitas hidup sehari-hari. Ia perlu diekspresikan, ditunjukkan dan diwujudkan dalam hidup nyata. Visi ini harus tercermin dalam perbuatan yang hidup sebagai bentuk kesaksian yang paling otentik di dalam dunia. Iman itu bukan hanya keyakinan, melainkan juga perbuatan. Iman tanpa perbuatan tak mungkin atau sia-sialah belaka. Karena iman tanpa perbuatan akan kehilangan relevansi praksisnya. Iman kepada Tuhan tidak hanya ditunjukkan dalam ritual ibadah atau perbuatan etis pada sesama, tetapi juga harus dinyatakan dalam relasi yang etis dengan alam. Di sinilah iman ekologis menjadi urgen. Iman ekologis bukan hanya soal masalah pengetahuan, keyakinan dan kata-kata saja. Iman ekologis menuntut realisasi di dalam praksis dalam bentuk perbuatan atau aksi konkret-nyata. Untuk itu kita perlu segera bertindak. Saat ini yang lebih penting adalah keberanian untuk bertindak nyata peduli pada alam daripada sebuah renungan bijak tentang alam. Lalu bagaimana caranya kita menunjukkan iman ekologis itu? Pertama, menyadari lingkungan alam sebagai sumber kehidupan segala makhluk di dunia termasuk hewan dan manusia tentunya. Kesadaran ini wajib dihayati oleh setiap orang beragama dan penganut spiritual. Kesadaran akan nilai dasar lingkungan alam ini akan membuat kita menghargai alam, menghormati alam dan bertoleransi pada alam. Toleransi pada lingkungan alam artinya kita membiarkan alam bertumbuh dan berkembang sesuai dengan tendensi alamiah di dalam dirinya sendiri, tanpa adanya intervensi berlebihan dari pihak manusia. Kalau kita menghidupkan lingkungan alam, maka lingkungan alam juga akan menghidupkan kita manusia dan seluruh makhluk. Sebaliknya jika kita membunuh kehidupan alam, maka alam pun akan semakin sadis lagi membinasakan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kalau kita menjaga alam, alam pun akan menjaga kita. Kalau kita tidak menjaga alam, maka alam pun tidak akan menjaga kita. Kesadaran akan lingkungan alam sebagai sumber kehidupan akan mendorong kita untuk rajin menanam pohon hijau, tidak menebang hutan secara sembarangan, membuang sampah pada tempatnya dan lain sebagainya.

48

Menyitir David C. Korten, “orang yang memiliki kesadaran spiritual akan menginsafi bahwa lingkungan alam merupakan “integral world” dan memaknai keberadaan dirinya sebagai partner aktif atau co-creator

dalam melayani evolusi ciptaan untuk mengaktualisasikan

kemungkinan-kemungkinannya” (Korten: 2006, hal.47). Kesadaran spiritual membuat manusia melakukan tindakan-tindakan kreatif untuk menjaga keberlangsungan hidup alam semesta. Tentu dengan membiarkan alam merealisasikan dan mewujudkan dirinya secara bebas dan otonom tanpa intervensi-dominatif manusia. Kedua,

melakukan

gerakan

minimalis

dalam

hidup

nyata

sehari-hari.

Gerakan minimalis artinya kita hanya butuh sedikit untuk hidup daripada butuh banyak. Kita tidak perlu hidup maksimalis dalam memperlakukan lingkungan alam. Kita cukup mengambil sedikit manfaat saja dari alam tanpa proyeksi nafsu ekstrim untuk menguasainya, apalagi mengedepankan rasa rakus berlebihan untuk menghisap hasil lingkungan alam (bumi) secara sembarangan dan tidak wajar. Gerakan minimalis membuat kita mencukupkan diri dengan hidup apa adanya, tanpa ambisi untuk menguras alam sebesar-besarnya. Gerakan minimalis harusnya terpancar keluar dalam sikap tidak boros dalam memanfaatkan sumber energi alam misalnya hemat air, hemat listrik, hemat menggunakan minyak bumi, bersepeda saja ke kampus atau tempat kerja dan lain sebagainya. Gerakan minimalis urgen kita hayati secara konsisten dalam hidup kita mulai saat ini. Ketiga, berani mengkritik kegiatan pembangunan yang tidak mendukung kebaikan lingkungan alam. Iman ekologis menuntut kita untuk kritis pada segala usaha pembangunan yang tidak mendukung kebaikan lingkungan alam kita. Jika kelompok politik atau pun kaum kapitalis tidak mempedulikan kebaikan dan keselamatan lingkungan alam, maka kelompok spiritualis dan kelompok agama perlu menyuarakan suara kritis menegakkan nilai-nilai kebaikan ekologis kita. Jika ada penjahat lingkungan yang masih saja melakukan kejahatan ekologis, kita perlu mengkampanyekan nilai yang berseberangan dengannya. Kita perlu kritis pada orientasi pembangunan yang tidak pro-life dan gagasan pembangunan berkelanjuntan. Kejahatan ekologis akan terus berkembang jika kita kelompok agama dan spiritual tidak melakukan tindakan apapun untuk menyelamatkan bumi. Artinya kita tidak boleh diam menyaksikan eksploitasi lingkungan yang merusak terus terjadi di depan mata kita. Kita perlu berani melakukan kritik-positif sebagai komitmen mulia untuk menjaga kebaikan lingkungan alam demi keutuhan dan kebaikan bumi. Keempat, mengembangkan hubungan yang spiritual dengan lingkungan alam. Lingkungan alam perlu dipandang sebagai realitas bernilai spiritual pada dirinya sendiri.

49

Visi ini mendorong kita untuk menghargai kesucian, kekudusan dan kekeramatan intrinsik yang melekat pada alam. Sejarah sudah membuktikan bahwa pengrusakan alam terjadi ketika manusia tidak menghargai lagi kesucian alam. Maka usaha menjaga dan melestarikan alam hanya bisa kita lakukan jika melihat alam sebagai realitas yang suci di dalam dirinya sendiri. Visi ini akan mencegah kita untuk mengeksploitasi alam secara membabi-buta untuk kepentingan egoistik manusia. Sudah saatnya kita membangun, menjaga dan melestarikan pola relasi baru dengan alam dalam nuansa spiritual. Pola hidup spiritual seperti ini akan memunculkan semangat respek yang tinggi pada lingkungan alam sebagai realitas keramat yang mutlak dilindungi nilai dan martabatnya. Pola relasi spiritual dengan alam akan membuat kita melakukan tindakan-tindakan positif untuk menjaga kebaikan, keindahan dan kesucian alam tanpa berikhtiar untuk memburukkan, menjelekkan dan menodai lingkungan alam kita.

E. Buah-Buah Kepedulian pada Alam Lingkungan

Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat tentang cara-cara yang dapat dikembangkan untuk menunjukkan sikap peduli pada lingkungan alam. Semua upaya tersebut tentu sangat bermanfaat positif bagi terciptanya situasi masa depan alam yang lebih baik lagi dibandingkan sekarang ini. Buah-buah dari sikap peduli pada lingkungan alam dimaksud bisa diproyeksikan dalam lima (5) pokok pikiran berupa pengkondisian masa depan alam yang lebih baik lagi, yakni: terciptanya situasi lingkungan alam yang seimbang (ekuilibrasi), terciptanya situasi keadilan terhadap alam (yustisial), terciptanya situasi kebaikan alam (etika), terciptanya situasi keindahan alam (estetika), terciptanya kondisi sakralitas alam (spiritualisme). Kita akan melihat pembahasannya satu per satu. Pertama, terciptanya lingkungan alam yang seimbang. Jika kita menerapkan cara-cara peduli pada alam secara konsisten dan konsekuen, maka akan tercipta lingkungan alam yang seimbang. Keseimbangan yang dimaksud di sini artinya kerusakan alam yang signifikan dan dampaknya yang merusakkan kehidupan manusia dan makhluk lain akan semakin berkurang atau bisa diminimalisasi. Sebuah surga di dunia dalam kondisi lingkungan alam yang seimbang dan harmonis mau kita ciptakan kembali sejak sekarang di dunia fana ini. Alam yang seimbang tampak dalam berkurangnya bencana alam banjir, angin topan, badai ganas, krisis energi, pemanasan global, tanah longsor dan lain sebagainya.

50

Peristiwa bencana alam akibat ulah manusia mau kita eliminasi sehingga manusia semakin nyaman tinggal di bumi ini. Kedua, terciptanya situasi keadilan terhadap alam. Segala bentuk tindakan eksploitasi yang berlebihan pada alam menggambarkan perlakukan tidak adil manusia terhadap alam. Perlakuan tidak adil manusia pada alam menunjukkan kekuasaan manusia dan mengedepankan suatu bentuk kolonialisme baru (kriptokolonialisme) manusia pada lingkungan alam. Padahal, hidup manusia seluruhnya tergantung pada alam dan tidak mungkin tanpa lingkungan alam. Sikap peduli pada alam akan menciptakan sikap adil manusia pada alam yang selama ini tidak dipertimbangkan atau bahkan tidak disadari sama sekali. Sikap adil bukan hanya perlu diwujudkan dalam relasi antarmanusia, melainkan juga dalam relasi dengan alam. Keadilan pada alam artinya manusia mau kembalikan nilai-nilai intrinsik luhur yang sudah dirampas dari alam itu sendiri. Kita mau kembalikan apa yang menjadi hak-hak alam untuk bertumbuh secara natural tanpa intervensi kekuasaan manipulatif berlebihan dari pihak manusia. Kita biarkan alam menentukan jalannya sendiri menuju kesempurnaan dirinya. Kesempurnaan alam terletak pada dirinya sendiri (inheren), dan tidak ditentukan oleh tanggapan indrawi-irasional ataupun keputusan rasional-logis manusia. Ketiga, terciptanya situasi kebaikan alam. Alam yang tetap dalam kondisi terjaga baik menjadi arah atau orientasi dasar semua orang yang peduli pada alam. Tindakan peduli pada alam alhasil akan menghasilkan situasi ideal bagi kebaikan alam lingkungan kita sendiri. Alam yang dalam kondisi baik akan tampak dalam nuansanya yang asri, yang tersenyum, yang ramah dan bersahabat dengan manusia dan makhluk lainnya. Alam yang baik tidak akan memberikan bencana bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya di bumi ini. Keempat, terciptanya situasi keindahan alam. Tindakan peduli pada alam akan menghasilkan kembali lingkungan alam yang indah. Kita mau lingkungan alam menjadi realitas surgawi bagi kita manusia. Lingkungan alam yang indah tampak dalam pemandangan alam yang menarik, hutan-hutan lebat menghijau, burung berkicau di atas pohon, hingga embun yang bercahaya pada dedaunan. Situasi indah alam memancarkan pesona eksotis yang menenteramkan hati dan menghidupkan berbagai makhluk hidup. Keindahan alam ibarat ibu yang memberikan rasa nyaman dan kebahagiaan batin bagi manusia yang mampu merasakan nilai estetis.

51

Santo Agustinus pernah bermadah: “Lihatlah keindahan bumi, lihatlah keindahan samudera, tanyakanlah keindahan udara yang menyebarluas, tanyakan keindahan langit, tanyakanlah semua benda dan makhluk; dan semuanya akan menjawab: lihatlah betapa indahnya kami, siapakah yang menciptakan benda-benda yang indah di dunia ini kalau bukan Yang Ilahi? (Leteng:2005, hal. 24). Keindahan alam adalah hasil ciptaan Tuhan yang perlu dipelihara dan dilestarikan eksistensinya oleh manusia. Dan ini hanya mungkin jika manusia memiliki intuisi dan visi spiritual untuk peduli pada alam. Kelima, memulihkan sakralitas alam. Tindakan eksploitatif manusia pada alam telah mengggeruskan sakralitas alam. Dan kita mau peduli pada alam untuk memulihkan sakralitas alam itu. Salah satu hasil atau buah penting dari tindakan peduli pada lingkungan alam tampak dalam kondisi alam yang sakral, kudus, suci. Alam yang sakral sungguh bernilai luhur dan mulia serta kudus karena diciptakan oleh Tuhan sendiri. Sebagai ciptaan Tuhan, alam memiliki kualitas keilahian dan kekudusan di dalam dirinya sendiri. Kualitas sakral ini patut diinsyafi oleh setiap manusia yang masih punya hati nurani yang murni dan bening. Sikap peduli pada lingkungan alam harus dilandasi oleh iman ekologis yang tinggi dan mendalam pada alam sebagai ciptaan Tuhan yang bernilai agung-luhur.***

52

REFERENSI

David C. Korten (2006). The Great Turning From Empire to the Earth Community. Berret Koehler Publisher, San Francisko. FranK Mihalic SVD (2009 terj). 1500 Cerita Bermakna, untuk Renungan dan Khotbah dan Ceramah Anda. Bogor: Grafika Mardi Yuana. Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. CBDC Bina Nusantara University: Jakarta.

Hubert Leteng (2005). “Filsafat dan Spiritualitas” dalam Jurnal Ledalero Vol. 4 No. 2. Maumere: Penerbit Ledalero Henryk Skolimowski (1992). Eco-Philosophy as A Tree of Life. Arkana Penguin Books. Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (ed.) Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment. New York: Orbis Book Roderick Frazier Nash (1989). The Rights of Nature (A History of Environmental Ethics). London: The University of Wisconsin Press.

53

TOPIK 5

MENGENAL TUHAN MELALUI SESAMA MANUSIA

A. SESAMA MANUSIA SEBAGAI PENAMPAKAN TUHAN Apakah sesamaku manusia yang lain adalah pribadi yang lain? Iya, karena sebagai subjek otonom mereka itu unik dan berbeda dengan saya. Mereka adalah aku-ku yang lain yang berbeda dengan saya dalam penampilan fisik, keahlian profesional, cita-cita, tugas pekerjaan, bakat, hobi dll. Namun adakah sesamaku yang lain memiliki kualitas kesamaan dengan diriku? Jawabannya ada! Kesamaan itu terletak pada kenyataan humanis bahwa kita sama-sama sebagai spesis manusia dan secara religius kita sama-sama adalah makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Jadi, manusia berbeda (disting) namun sekaligus mirip (identik). Namun secara rohani-spiritual, kita sama sungguh adalah ciptaan Tuhan. Semua agama (Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu) meyakini satu kebenaran religius dasar, bahwa setiap subjek manusia merupakan makhluk yang bernilai luhur dan mulia. Status keluhuran karakter esensial insan manusia seperti ini didasarkan pada suatu premis keyakinan religius utama bahwa semua manusia sungguh diciptakan oleh Allah atau Tuhan sendiri. Kendatipun semua manusia lahir di dalam suku, ras, agama, etnis, dan bangsa yang berbeda-beda namun sejatinya hakikat setiap manusia sama-sama adalah makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu terdapat adanya struktur kesamaan atau kesederajatan eksistensial semua manusia dari perspektif religius. Kita manusia sungguh adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Setiap manusia apapun dia: sehat atau sakit, cacat atau normal, sukses atau gagal, sedih atau senang, kaya atau miskin, hitam atau putih, kurus atau gemuk, cantik atau tidak,

sungguh bernilai intrinsik-ekuivalen di mata Tuhan

karena ia asasinya diciptakan oleh Tuhan itu sendiri sebagai pencipta segala ada di dalam realitas semesta ini. Tuhan menciptakan setiap manusia sebagai suatu kebaikan dan keindahan sejak awalnya. Tuhan memberikan kualitas fisik dan jiwani bagi manusia untuk bisa mengenali DIA sebagai Tuhan Pencipta melalui sesama

yang lain selain alam kosmos. 54

Tuhan menciptakan manusia dengan kualitas lebih daripada ciptaan yang lain: dianugerahi akal, perasaan moral, dan aspek religius untuk bisa mengembangkan diri, mengolah alam dan memuliakan Tuhan. Asumsi tentang semua manusia adalah ciptaan Tuhan ini memiliki akibat atau konsekuensi logisnya yakni semua manusia sama-sama sebagai makhluk ciptaan Allah. Dan oleh karena itu di wajah sesama yang lain Tuhan juga hadir di sana. Kehadiran atau eksistensi sesama yang lain merupakan penampakan wajah Tuhan yang lain. Untuk itu bisa dikatakan bahwa setiap subjek manusia menampakan wajah Tuhan itu sendiri. Tuhan hadir di dalam setiap subjek manusia dan realitas kemanusiaan setiap kita sebagai manusia yang beriman dan percaya kepadaNya. Tuhan hadir di dalam diri sesama memberikan motivasi atau inspirasi kepada setiap kita manusia untuk berbuat baik, berlaku sopan, bertindak tulus dan penuh cinta untuk mengasihi sesama yang lain sebagai mana kita dikasihi oleh Allah sendiri. Tuhan terlalu luar biasa mencintai setiap kita, sehingga kita pun layak membagikan cinta itu kepada sesama kita yang lain yang belum beruntung nasibnya.

B. DIMENSI-DIMENSI MANUSIA6 1. Tubuh Tubuh manusia merupakan dimensi yang dapat dilihat dan disentuh secara langsung dengan hampir 100 miliar sel yang secara aktif bersama-sama dengan organ tubuh melakukan fungsi kehidupan. Masing-masing sel bekerja secara aktif untuk melangsungkan kehidupan yang terkonstruksi dalam sistem kerangka, otot, peredaran darah, indera, pernafasan, pencernaan, reproduksi, eksresi, kekebalan tubuh, endoktrin dan sistem saraf. Setiap sistem organik tubuh bekerja masing-masing dan terkait satu sama lain untuk menjalankan fungsi kehidupan tubuh secara umum. Jika salah satu bagian sistem tubuh rusak, maka itu berpotensi merusakkan bagian tubuh yang lain. Idealnya semua sistem tubuh berfungsi normal sehingga memberikan efek energi kesehatan bagi kondisi tubuh manusia. Tubuh memiliki kaitan juga dengan dimensi-dimensi manusia yang lain.

6

Bagian ini diadaptasi dari Materi CB : Self Development yang diterbitkan oleh CBDC Bina Nusantara University: Jakarta

55

Kondisi sehat tergantung bagaimana dimensi pikiran, hati dan jiwa manusia. Kesehatan tubuh tergantung pola makan, waktu istirahat, jenis aktivitas kerja, dll. Tubuh yang sehat pada gilirannya akan menjadi kekuatan yang positif bagi ekspresi pikiran, hati dan jiwa seseorang. Ada pepatah klasik mengatakan mensana incorpore sano, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Ada asumsi bahwa tubuh adalah pelayan yang baik bagi manusia, tetapi merupakan tuan yang buruk. Ketidakmampuan manusia untuk mengatur diri secara efektif akan menimbulkan penuaan diri, penurunan kecerdasan, dan menghalangi perkembangan potensi diri. Sebaliknya jika tubuh dikendalikan dengan baik oleh pikiran, hati dan jiwa maka sistem fisiologis manusia akan semakin baik dan memberi dampak positif bagi kesehatan tubuh: segar, gembira, damai, tenang dll. Steven Covey (2005:496) menganjurkan tiga hal yang perlu dilakukan untuk mengolah tubuh agar menjadi pelayan yang baik bagi kita manusia yakni: 1. Mengkonsumsi nutrisi yang baik dan seimbang 2. Berolahraga yang seimbang dan teratur 3. Beristirahat yang cukup, relaks, memanej stres dan berpola pikir preventif Ketiga hal ini tidak hanya sekali-kali dilakukan melainkan dijadikan sebagai kebiasaan (habitual) sehingga dapat meningkatkan kualitas tubuh sebagai pelayan bagi pengembangan pikiran, hati, dan jiwa manusia.

2. Pikiran Realitas dunia kita adalah dunia yang terus dinamis, mengalir dan berubah. Demikian keyakinan filosofis filsuf Heraklitus. Hal ini meneguhkan prinsip filsafat panta rhei, yang artinya segala sesuatu ada senantiasa mengalir dan berproses menjadi (becoming). Sebagaimana air sungai yang terus mengalir, demikian juga realitas dunia ini tidak pernah ada satu pun yang tetap, semuanya berubah terus menerus (Bdk. Bertens: 1975, hal. 9-10). Perubahan itu terjadi dalam hal apa saja di dalam alam ini yakni ledakan populasi makhluk hidup, ledakan hasil-hasil ilmu dan teknologi, arus informasi, dll. Semua fenomena ini menantang pikiran kita untuk terus belajar, berpikir kreatif dan berpikir analitis sehingga bisa menyesuaikan diri dengan gejala kehidupan yang terjadi. Tanpa belajar terus menerus, manusia akan tergerus oleh berbagai perubahan yang ada.

56

Kita manusia suka atau tidak, perlu terbuka untuk belajar agar tidak menjadi korban (the victim) dari berbagai perubahan itu. Makna belajar lebih luas daripada sekedar menghafal atau mengingat, namun mendorong untuk terus terjadi perubahan. Baik pengetahuan, sikap, tindakan, pengalaman, dapat menjadi proses belajar jika semuanya itu mendorong pada perubahan, baik sikap maupun cara pandang akan dunia, manusia, alam dan Tuhan. Collin Rose dalam bukunya Accelerated Learning for the 21st Century, memperkenalkan 6 langkah rencana mengembangkan pikiran dengan rumus M-A-S-T-E-R, yakni: a. Motivating your mind Memotivasi pikiran artinya membuat pikiran selalu dalam keadaan siap untuk belajar, yakni keadaan yang rileks, percaya diri, dan selalu termotivasi. Untuk ini, kita perlu menyelidiki apa manfaat dan dampak yang bermakna dari belajar (pembelajaran) bagi kita. Apa manfaatnya belajar bagi saya untuk masa kini dan masa depan. b. Acquiring the information Proses belajar di sekolah, kampus atau rumah yang bersifat paksaan akan melemahkan kualitas belajar seseorang manusia. Seorang anak kecil memiliki sikap curiosity, bergairah ingin tahu, selalu mencoba dan mencari, bahkan ketika ia dewasa gairah ingin tahunya bisa pudar bahkan mati. Kualitas mesin belajar ini tidak terpelihara dengan baik, sehingga lama kelamaan usang, bahkan berhenti bekerja sebelum waktunya digunakan. Oleh karena itu, kita perlu memperbaiki atau melakukan servis berkala dengan menyalakan kembali gairah belajar si anak kecil yang selalu mencari, bertanya dan mencoba hal-hal yang baru yang belum diketahui atau belum dipahami.

c. Trigering the memory Sebagian informasi yang terpatri pada memori jangka pendek, yang mudah terlupakan atau memori jangka panjang yang akan menetap lama. Kita perlu memastikan informasi penting terpatri di dalam memori jangka pendek sehingga siap digunakan kapan saja dibutuhkan.

57

Informasi yang bersentuhan langsung dengan emosi atau pengalaman langsung atau dipraktikkan dapat menjadi pengalaman belajar yang mematri atau mengkristalkan memori pada jangka panjang.

d. Exhibiting what you know Ujilah setiap informasi dengan mempraktikkan langsung dalam pengalaman atau paling tidak biasakan diri untuk mempresentasikan atau sharing informasi yang kita peroleh kepada sesama di sekitar kita baik secara verbal maupun non verbal.

e. Reflecting how you have learned Tahap terakhir dalam Rumusan MASTER ini yakni berhenti atau stop! Lalu bertanya diri dan merenungkan atau merefleksikan hal-hal berikut: bagaimana pembelajaran berlangsung, bagaimana pembelajaran dapat berjalan dengan baik, apa makna penting pelajaran itu bagi saya?

3. Perasaan atau hati Perasaan adalah kekayaan estetis kita manusia untuk merasakan keindahan dan cinta kasih. Kita bisa merasakan keindahan alam, atau lagu yang indah atau mengagumi kecantaikan wanita atau kegantengan pria ketika perasaan kita disentuh. Perasaan dapat menjadi tuan yang baik atau pun tuan yang buruk. Perasaan tidak boleh dikendalikan oleh perasaan semata-mata, tetapi juga tubuh, pikiran dan jiwa. Bayangkan kalau kita merasa sedih dan larut dalam perasaan sedih itu berkepanjangan, maka kita pasti merana dan tersiksa sekali. Tentang pentingnya kita mengelola perasaan dianjurkan pertama kali oleh Leuner (1966) bahwa pengelolaan emosi ini tergantung pada kemampuan yang disebut emotional intelligence (EI). EI ini lalu dikembangkan atau dipublikasikan secara meluas oleh Wayne Payne’s (1985), lalu Greenspan (1989) yang diperbarui oleh Salovey dan Meyer (1990) lalu Daniel Goleman (1995). Mengelola perasaan itu artinya kita juga mengembangkan dan meningkatkan emosi. Ada 5 cara untuk mengembangkan emosi atau EI ini, yakni: meningkatkan kesadaran diri, memotivasi pribadi, mengatur diri sendiri, berempati, bersosialisasi dll.

58

4. Jiwa Steven Covey berpandangan bahwa jiwa merupakan inti dari ketiga dimensi lain dari manusia. Jiwalah yang menggerakkan pikiran, mengembangkan perasaan, menggerakkan tubuh dll. Tanpa jiwa, manusia lenyap dan musnah. Jiwa membuat sel-sel tubuh membelah diri, sistem organ bekerja, pikiran bergerak dan perasaan berkembang. Kendatipun demikian relasi timbal balik antara ketiga dimensi itu dengan jiwa tidak dapat dihindarkan. Tanpa tubuh yang sehat, pikiran yang selalu belajar, perasaan yang terkontrol, jiwa tidak mungkin dapat berekspresi menjadi manusia yang ideal. Jiwa dapat dikembangkan sehingga bisa menjadi tuan yang baik bagi manusia. Covey memperkenalkan tiga hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan jiwa, yakni: a). Mengembangkan Integritas Melatih integritas artinya mensintesiskan perbuatan dengan nilai, keyakinan, dan hati nurani. Seseorang disebut memiliki integritas yang baik jika sikap atau perbuatannya sesuai dengan nilai, keyakinan dan hati nuraninya. Integritas itu konsistensi antara pikiran, tindakan dan nilai etis-moral yang dianut. b). Makna Apa yang membuat manusia ada adalah pada saat manusia merasa bermakna dalam setiap detik-detik pengalaman dan perjalanan hidupnya. Makna artinya menyadari nilai dan tujuan hidup manusia pada masa kini dan nanti. Kesadaran ini membuat manusia menghargai hidup, menghargai waktu dan merefleksikan pengalamannya. c). Suara hati Melalui suara hati, jiwa dapat berekspresi melebih dimensi rasionalitas. Seorang filsuf bernama Thomas Aquinas (1225-1274) bahkan mengatakan bahwa jiwa mampu melakukan aktivitas-aktivitas yang melebih badani belaka, yakni berpikir dan berkehendak. Itulah aktivitas-aktivitas rohani. Karena aktivitas jiwa itu bersifat rohani, maka jiwa itu bersifat rohani-spiritual pula (agere sequitur esse). Makanya setelah manusia mati, jiwa manusia hidup terus dalam keabadian. Kebesaran jiwa dapat ditemukan ekspresinya dalam suara hati yang tidak terbatas penggunaannya untuk tujuan baik dan positif. 59

Maka di sini jiwa melalui hati nurani dapat menjadi tuan dari manusia atau Sang Aku. Jiwa adalah tuan dari manusia, berbeda dengan tiga dimensi lain yang hanya hanya menjadi pelayan yang baik tuan yang buruk. Ada dua (2) alasan mengapa jiwa adalalah tuan yang baik bagi manusia Sang Aku: Pertama, Jiwa adalah inti atau esensi dari manusia. Kedua, jiwa tidak dapat musnah baik karena pembusukan ataupun peniadaan. Jiwa tidak mati, namun tetap hidup terus dalam keabadian. Penjelasan mengenai tubuh, pikiran, hati dan jiwa memberikan kepada kita wawasan atau orientasi bahwa dimensi-dimensi manusia atau Sang Aku adalah satu walaupun mereka ada masing-masing secara terpisah. Pemahaman ini menuntut kita untuk memperlakukan dimensi-dimensi manusia Sang Aku secara integratif-holistik. Kita menerima keempat dimensi ini dengan penuh kesadaran dan memperlakukan keempatnya secara adil di dalam realitas kemanusiaan kita.

C. MENCINTAI SESAMA KITA MANUSIA DENGAN TULUS Setiap penganut agama yakin dan percaya bahwa Tuhan selalu memberkati umatNya dan menyertai umatNya di mana saja mereka berada. Entah susah atau senang, sedih atau gembira, sukses ataupun gagal Tuhan tetap hadir menyertai kita umatNya. Tuhan selalu ada dan selalu setia untuk kita umatNya. Semua agama percaya bahwa Tuhan memberikan perintah kepada manusia untuk saling membantu, menolong dan mencintai satu sama lain dalam kehidupan ini. Kendatipun agama yang kita anuti itu berbeda (ada yang menganut iman keagamaan Kristiani, Muslim, Hindu, Budha dan Konghucu) namun kita diminta oleh Tuhan untuk saling memperhatikan dan saling peduli. Perbedaan agama yang kita anuti seharusnya tidak membatasi atau tidak menghalangi kita untuk saling menolong dan saling mencintai satu sama lain dengan tulus-ikhlas. Di dalam ajaran agama-agama di sana sudah dinyatakan bahwa kita semua dipersatukan dalam cinta kasih satu sama lain ketika kita saling mencintai dan peduli satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. Perbedaan keyakinan iman kita bukan petaka atau ancaman yang perlu ditakuti, melainkan perbedaan itu adalah kekayaan dan warisan religius yang patut disyukuri dengan penuh kebesaran jiwa.

60

Cinta yang tulus terhadap sesama harus kita pahami dan terlebih kita wujudkan dalam tindakan nyata sehari-hari untuk menolong dan membantu satu sama lain. Ketika ada umat beragama lain yang tertimpa musibah (bencana alam dll), kita seyogyanya menolong tanpa melihat latar belakang perbedaan keyakinan agama yang dianut oleh mereka yang mengalami musibah itu. Doktrin agama mengajarkan kita umatNya untuk mencintai sesama secara universal, yakni mencintai sesama melampaui batas-batas(frontiers) primordial: suku, agama, ras, dan golongan sosial apapun. Cinta terhadap sesama berkarakter umum, publik dan universal untuk semua orang dari golongan agama apapun itu. Itulah makna sejati mencintai sesama dengan tulus tanpa batasan apapun.

D. PERINTAH AGAMA UNTUK SALING MENCINTAI Setiap ajaran agama melalui kitab suci masing-masing telah menggariskan kepada kita suatu imperatif (perintah) untuk saling mencintai satu sama lain. Di dalam agama Hindu, Budha, Islam, Kristiani (Katolik & Protestan) serta Konghucu diajarkan kepada kita nilai-nilai luhur yang perlu kita terapkan dalam hubungan dengan sesama manusia yang lain. Ini berarti mencintai sesama atau saling mencintai adalah suatu etika religius. Lebih tepatnya suatu etika kewajiban religius yang radikal dan mendasar dalam hubungan kita dengan sesama. Artinya mencintai sesama bukan bersifat aksidental atau tambahan saja, melainkan unsur yang mendasar atau substansial di dalam relasi kita dengan sesama manusia. Alkitab Kristiani menunjukkan bahwa cinta kasih merupakan hukum tertinggi dan terutama. Di dalam Injil Matius 22:37-40 tertulis: Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.Itulah hukum yang terutama dan pertama. Dan hukum yang kedua, yaitu Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah terdapat seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”. Ini artinya isi kitab suci bahkan hukum terutama yang terdapat di dalam seluruh Alkitab (Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama) berintikan perintah untuk mengasihi: baik mengasihi Tuhan maupun mengasihi sesama. Dalam konteks ini mengasihi sesama merupakan ekspresi cinta kepada Tuhan juga. Atau cinta kepada Tuhan diekspresikan juga dalam cinta kasih terhadap sesama. Mengikuti perintah Tuhan di dalam Kitab Suci Alkitab artinya kita wajib untuk mencintai sesama tanpa alasan apapun juga.

61

Di dalam Budhisme, aspek cinta kasih merupakan hukum utama dalam relasi antarmanusia. Menurut Buddha, ketidakpedulian khususnya kepada orang miskin membuat kemelaratan bertambah, pencurian meningkat, tindak kekerasan dan berbagai bentuk kejahatan berkembang cepat, pembunuhan menjadi biasa, sehingga usia harapan hidup dari waktu ke waktu semakin pendek (D. III, 65-73). Kalau manusia peduli pada sesamanya, hidup akan menjadi semakin indah, bermakna, penuh cinta dan damai. Peduli pada sesama adalah suatu panggilan untuk mencintai sesama manusia. Budhisme mengakui pentingnya cinta dalam kehidupan. Nikaya Pali memuat satu kata cinta yang berbeda dengan cinta yang lain yakni cinta kasih yang dipancarkan secara universal (tak terbatas) kepada semua makhluk dan cinta kasih yang tanpa pamrih, yaitu: Metta. Metta adalah rasa persaudaraan, persahabatan, pengorbanan, yang mendorong kemauan baik, memandang makhluk lain sama dengan dirinya sendiri. Metta juga suatu keinginan untuk membahagiakan makhluk lain dan menyingkirkan kebencian (dosa) serta keinginan jahat (byapada). Pengembangan Metta dapat mengantarkan manusia pada pencapaian kedamaian Nibbana (Mettacetto vimutti), seperti yang dinyatakan Sang Buddha dalam Dhammapada 368: "Apabila seorang bhikkhu hidup dalam cinta kasih dan memiliki keyakinan terhadap Ajaran Sang Buddha, maka ia akan sampai pada Keadaan Damai (Nibbana), berhentinya hal-hal yang berkondisi(sankhara)". Namun harus diwaspadai bahwa Metta yang dipancarkan secara berlebihan kepada lawan jenis dapat mengalami penyimpangan menjadi cinta nafsu atau cinta egois. Untuk itu manusia harus mengolah batinnya untuk tidak egois. Salah satu kisah tentang keutamaan cinta kasih dalam muslim (Islam) muncul dari sosok

Nabi

Muhammad

SAW

yang

mengubah

benci

jadi

cinta.

Dikatakan Nabi Muhammad SAW sering diperlakukan secara sangat tidak manusiawi di zamannya, seperti dilempari kotoran oleh orang-orang Quraisy Mekkah, namun yang menariknya sang nabi selalu memaafkannya. Sewaktu ada yang hendak membantunya untuk membalas, Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Semoga Allah mengampuni mereka, karena mereka tidak tahu.” Tentang pengampunan Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa pemberian maaf hendaknya diberikan sebelum orang yang melakukan kesalahan itu meminta maaf. Memaafkan seperti ini menandakan kematangan Muhammad dalam mencintai sesama. Cinta mengubah benci menjadi kasih. Inilah yang membuat dunia ini sungguh damai, aman dan nyaman untuk dihuni. 62

Dalam Islam, mencintai sesama manusia dikenal dengan istilah hablun min annas. Cinta terhadap sesama manusia tidak dapat dilepas-pisahkan dari rasa cinta terhadap Penciptanya. Karena dalam ajaran Islam, cinta terhadap Allah SWT, juga berarti cinta terhadap sesama insan manusia yang lain juga sebagai ciptaan-Nya. Rasa cinta terhadap sesama manusia tidak bisa terlepaskan dari sifat kemanusiaan. Pandangan Islam menyatakan, kemanusiaan merupakan satu kesatuan, berbeda-beda bagiannya untuk membentuk satu masyarakat, berjenis-jenis dalam keserasian, dan berlainan pendapat untuk saling melengkapi satu sama lain dalam mencapai tujuan, supaya dengan begitu ia cocok pula untuk saling melengkapi dengan alam, untuk membentuk wujud yang satu pula. Sebagaimana Allah berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah ialah orang-orang yang paling takwa di antara kamu

sekalian.

Sesungguhnya

Allah

Maha

Mengetahui

lagi

Maha

Mengenal.

(Q.S.Al-Hujurat:13).Pada prinsipnya, cinta terhadap sesama manusia adalah dengan tolongmenolong, saling mengenal dan keserasian. Menurut pandangan Islam, rasa cinta terhadap sesama manusia bisa diwujudkan, salah satunya dengan keadilan dan persamaan derajat di antara manusia. Dalam Hinduisme, diyakini bahwa saling mencintai dan mengasihi siapa saja tanpa memandang perbedaan fisik akan memberikan keseimbangan cinta kasih. Dalam Yajur Weda 32. 8 dinyatakan “Sa’atah protasca wibhuh prajasu” yang artinya Tuhan terjalin dalam makhluk yang diciptakan. Sangat menonjol bagi manusia modern mengenai konsep cinta dalam kehidupan berkeluarga dalam Weda adalah keterbukaan. Masalah kehidupan rumah tangga ialah menciptakan keselarasan dan kesesuaian seperti pada alam sesuai dengan hukum abadi (Rta). Dalam Atharwa Weda III.30 dinyatakan perkataan Pendeta kepada kelompok keluarga: ”Aku membuat engkau bersatu dalam hati, bersatu dalam pikiran, tanpa rasa benci, mempunyai ikatan satu sama lain seperti anak sapi yang baru lahir dari induknya. Agar anak mengikuti Ayahnya dalam kehidupan yang mulia dan sehaluan dengan Ibunya. Agar si isteri berbicara yang manis, mengucapkan kata-kata damai kepada suaminya. Agar sesama saudara, laki atau perempuan tidak saling membenci. Agar semua bersatu dan menyatu dalam tujuan yang luhur dan berbicara dengan sopan. Semoga minuman yang engkau minum bersama dan makan makanan bersama.” 63

Konsep hubungan garis vertikal dan horizontal juga berlaku dalam kehidupan keluarga agar mencapai satu tujuan luhur yaitu keharmonisan, ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan bersama. Kebersamaan yang begitu menonjol dalam kehidupan keluarga inti menjadi parameter ke tingkat kehidupan keluarga yang lebih besar dan kehidupan sosial kemasyarakatan. Di dalam Konghucu, cinta (Ren) merupakan salah satu ajaran yang pokok. Ren artinya Cinta Kasih universal, tidak terbatas pada orang tua dan keluarga sedarah belaka, namun juga meluas kepada sahabat, lingkungan terdekat, masyarakat, bangsa, negara, agama dan umat manusia. Ren bebas tidak membeda-bedakan manusia dari latar belakang atau ikatan primordialnya. Ren tidak mengenal segala bentuk diskriminasi atau pertimbangan atas dasar kelompok. Ren dalam pengertian agama Konghucu selalu didasari pada sikap ketulusan, berbakti, memberi, bukan meminta atau menuntut balasan dalam bentuk apapun. Namun perlu diingat bahwa Ren tidak berarti mencinta tanpa dasar pertimbangan baik dan buruk. Dalam salah satu sabdanya Kongzi mengatakan bahwa “Orang yang berperiCintakasih bisa mencintai dan membenci”. Mencintai Kebaikan dan membenci Keburukan. Balaslah Kebaikan dengan Kebaikan; Balaslah Kejahatan dengan Kelurusan”. Ini artinya siapa pun yang bersalah, harus diluruskan, dihukum secara adil dan diberi pendidikan secara optimal agar dapat kembali ke jalan yang benar. Setelah berada di jalan yang benar, kita tidak boleh terkena stigma, menilai atas dasar masa lalu seseorang, melaikan mencintai orang itu secara tulus lagi. Sungguh menakjubkan! Banyak ajaran cinta kasih pada sesama yang bersumberkan tradisi religius agama-agama kita yakni Budha, Hindu, Konghucu, Islam dan Kristiani. Semua ajaran Agama dan Kitab Suci sudah menunjukkan tentang makna hakiki mengasihi dan mencintai sesama dengan tulus sebagai suatu perintah dari Tuhan itu sendiri. Yang penting bagi kita para penganutnya adalah semua ajaran indah tentang cinta kasih ini, tidak ada maknanya kalau kita sendiri sebagai para penganut agama tidak mewujudkan atau mengaktualisasikan semua ajaran yang bagus-bagus itu ke dalam tindakan nyata sehari-hari. Sebab cinta bukan soal kata-kata atau retorika, melainkan lebih jauh daripada itu cinta sesungguhnya adalah berbuat dan bertindak nyata bagi sesama kita apapun latar belakangnya. Semoga kita orang-orang yang mengaku beragama ini tidak hanya bicara tentang cinta, tetapi berlomba-lomba menjadi aktor-aktor cinta yang riil dalam kenyataan hidup setiap hari dalam perjumpaan dengan sesama kita.***

64

REFERENSI Alquran (Kitab Suci Islam), Alkitab (Kitab Suci Katolik dan Kristen Protestan), Kitab Weda (Kitab Suci Hindu), Kitab Tripitaka (Kitab Suci Budha), Kitab Wu Jing & Si Shu (Kitab Suci Konghucu) dan ajaran/diktrin suci agama masing-masing yang relevan. Elenora Sumual et all (2009). CB: Self Development. Jakarta: CBDC Bina Nusantara University.

Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. Jakarta: Bina Nusantara University. K. Bertens (2001). Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Stephen R. Covey (2005). 8 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Diterjemahkan oleh Budijanto. Jakarta: Binarupa Aksara, Jakarta. http://indonesiaindonesia.com/f/41074-konsep-cinta-agama-buddha/ http://www.mediahindu.net/berita-dan-artikel/artikel-umum/81-cinta-kasih-dalam-perspektifhindu.html https://matakin.wordpress.com/agama-khonghucu/

65

TOPIK 6 PERAN AGAMA MENCIPTAKAN PERDAMAIAN DUNIA7

A.

PENDAHULUAN Sebuah pertanyaan yang kadang-kadang dilontarkan oleh beberapa kelompok tertentu

adalah apakah agama memiliki atau dapat diandalkan untuk menciptakan perdamaian dunia? Pertannyaa ini tentu saja sangat penting. Hal ini disebabkan karena dibalik pertannyaan tersebut, sebetulnya ada sebuah pesimisme dan bahkan sinisme terhadap agama mengenai perannya dalam menciptakan perdamaian dunia. Pesimisme dan sinisme tersebut lahir dari kenyataan bahwa hampir semua konflik-konflik antara kelompok masyarakat bahkan antara bangsa berkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan agama. Bahkan agama dapat dijadikan sebagai dasar yang legitimate untuk berkonflik dengan yang lainnya. Konflik yang melibatkan identitas agama tidak hanya terjadi antara kelompok agama yang satu dengan agama yang lainnya, tetapi bahkan sangat sering konflik itu terjadi antara kelompok-kelompok dalam agama yang sama. Tentang fenomena ini tidak terlalu sulit bagi kita untuk mencari dan menemukan contoh-contoh aktualnya. Contoh-contoh itu datang dari berbagai belahan dunia ini. Konflik merupakan satu kasus. Kasus-kasus yang lainnya adalah kemiskinan, keterbelakangan

pendidikan,

dan

berbagai

persoalan-persoalan

social

lainnya.

Dapatkan agama berpatisipasi mengatasi persoalan-persoalan tersebut? Agama seharusnya dapat berpartisipasi dalam menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang lebih adil, dan dunia yang damai. Hal ini disebabkan karena, agama secara historis dan teologis lahir dari kondisi di mana manusia hidup dalam dosa. Agama dalam konteks ini mendorong transformasi social, dari situasi dosa (konflik), ketidakberdayaan (kemisnikan, kebodohan) menjadi situasi yang lebih baik, adil, damai, sukacita. Singkatnya, agama menghadirkan situasi surga di dunia ini. Pesan

transormatif

agama

dan

teologinya

tidak

hanya

bersifat

historis.

Pesan transformatif agama dan teologinya masih terus relevan dewasa ini.

7

Materi ini diadaptasi dari Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari (2004). Character Building III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo.

66

Seperti yang yang telah disinggung, dunia dewasa ini masih terus dilanda dosa (konflik), dan penderitaan-penderitaan. Agama dalam konteks ini dapat menjadi contoh bagaimana dunia harus dibangun, bukan menjadi contoh bagaimana dunia dihancurkan. Untuk dapat menjadi contoh bagi perdamaian dunia, agama tentu harus kembali pada Tuhan, dan mendengarkan pesan-pesanya. Mendengar pesan-pesan Tuhan dapat dilakukan dengan mempelajari Kitab Suci. Dalam Kitab Suci akan ditemukan pesan-pesan asali Tuhan itu untuk perdamaian dunia. Kalau pesan-pesan itu tidak dapat dimengeri, berusahalah untuk mendengarkan hati nurani masing-masing. Hati Nurani adalah tempat pewahyuan Tuhan. Kalau pun itu juga tidak dapat dimengerti berusahalah untuk mendengarkan para pemimpin yang agama yang bijaksana, para pemimpin yang selalu berusaha menciptakan perdamaian. Tuhan selalu memberkan pesan-pesan-Nya dengan berbagai cara. Selain itu, berusahalan untuk membangun dialong dengan berbagai kelompok agama yang berbeda. Perbedaan dalam konteks ini adalah cara Tuhan memberikan pesan-Nya kepada manusia. Tuhan tentu paling tahu bahwa otak manusia dan iman manusia tidak cukup untuk menangkap berbagai pesan-Nya kepada manusia. Oleh karena itu, pesan-pesan itu menjadi terkelompok dalam berbagai agama-agama. Dalam konteks ini, berdialong dengan berbagai macam kelompok agama untuk membangun dunia yang lebih baik merupakan cara agama untuk menemukan pesan Tuhan mengenai bagaiman perdamaian di dunia ini harus diciptakan. Dialog antara kelompok agama dalam konteks ini harus diterima sebagai fitrah agama-agama. Tanpa dialog manusia tidak dapat pernah dapat mendengarkan pesan Tuhan tentang bagiaman dunia harus dibangun.

B.

DIALOG ANTAR AGAMA

1.

Pengertian Dialog Secara sederhana dialog dapat diartikan sebagai pembicaraan langsung antara

orang-orang yang mempunyai pandangan berbeda tentang suatu hal, untuk saling tukar informasi, sehingga memperoleh saling pengertian di antara mereka.

67

2.

Model Dialog Antar Umat Bergama

2.1. Dialog Bertingkat

Ada lagi bentuk dan model dialog yang dikemukakan oleh Dr. Krishnanda Wijaya Mukti (Gea, Rahmat, Wulandari, 2006; 367), dalam bukunya Wacana Budha Dharma dinyatakan bahwa ada beberapa bentuk dialog, tetapi tidak setiap dialog itu cocok untuk setiap orang dalam setiap kesempatan. Karena itu, dialog antar agama dibedakan sebagai berikut;

a. Dialog Kehidupan Sehari-hari Sekalipun tidak langsung menyentuh perspektif iman dan ajaran, semua orang bekerja sama, belajar mencontoh kebaikan dalam praktek sehari-hari, di dalam lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja dan lain sebagainya.

b. Dialog Melakukan Pekerjaan Sosial Bekerja dengan para pengikut agama lain dengan sasaran meningkatkan martabat dan kualitas hidup manusia, misalnya membantu mereka yang mengalami penderitaan, melaksanakan proyek-poryek pembangunan, dan sebagainya.

c. Dialog Pengalaman Keagamaan Saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai dan cita-cita rohani masing-masing pribadi dengan berbagai pengalaman berdoa, meditasi, dan sebagainya. Pemeluk satu agama bisa tinggal untuk beberapa waktu di tengah komunitas pemeluk agama lain. Berkumpul melakukan doa bersama (dengan cara sendiri-sendiri) untuk tujuan yang sama, misalnya untuk perdamaian dunia, keselamatan bersama, dan lain sebagainya.

d. Dialog Pandangan Teologis Dialog ini dilakukan oleh ahli-ahli agama, untuk saling memahami dan menghargai nilai-nilai rohani masing-masing. Melalui dialog ini mereka mengangkat pandangan keagamaan dan warisan tradisi keagamaaan dalam menyikapi persoalan yang dihadapi manusia.

68

2.2. Menghargai Perbedaan Interpretasi Teks Suci

Model lain ditawarkan oleh Muhammad Ali (Gea, Rahmat, Wulandari, 2006; 368), dengan mengetengahkan beberapa sikap yang perlu dipegang dalam melakukan dialog seputar perbedaan pemahaman dan interpretasi atas teks-teks suci, sebagaimana termuat dalam kitab-kitab keagamaan. a) Mengakui perbedaan pemahaman terhadap Kitab Suci orang lain. Karena umat Islam, umat Kristen dan Yahudi misalnya, berbagi sejarah yang sama, maka juga memiliki interpretasi sendiri-sendiri. Kaum Muslim berhak memberikan tafsiran atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru karena mereka merupakan bagian dari warisan ini. Kaum Muslim bisa jadi memiliki kristologi sendiri yang berbeda dengan pandangan Kristen, sebagaimana kaum Kristen dan Yahudi berhak memiliki islamologinya sendiri. Terdapat interpretasi yang berbeda antara umat Islam, Kristem dan Yahudi terhadap sosok Ibrahim (Abraham), Musa dan Isa atau Yesus.

b) Menghargai perbedaan pemahaman terhadap Kitan Suci dalam agama tertentu. Kalangan Liberal Yahudi misalnya, berpendapat bahwa Alkitab merupakan pewahyuan Ilahi, namun tetap merupakan dokumen manusiawi dan bukan produk pewahyuan secara harafiah. Sedangkan kaum konvervatif tidak sependapat dengan itu. Mereka lebih memahami Taurat murni sebagai wahyu ilahi,

sekaligus

teks

dan

isinya.

Perbedaan

pandagan

seperti

ini

memperlihatkan betapa setiap tradisi iman tidak saja memiliki pandangan sejarah dan teologi yang berbeda tentang iman dan Kitab Suci orang atau agama lain, melainkan juga tentang tradisi mereka sendiri.

c) Berdebat secara cerdas dan bukan berdebat kusir. Diskusi dan dialog harus dilakukan dengan cara yang paling baik dan paling tepat. Tidak ada penghujatan, pengkafiran, pelabelan ‘setan’ terhadap mitra

dialog, atau

theological judgment. Lain yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Persoalan siapa yang masuk surge dan siapa yang masuk neraka bukanlah persoalan sesame manusia. Itu Pekerjaan Tuhan dan Tuhan yang menentukan dan menjelaskannya nanti. Yang penting bagi kita ketika di dunia ini adalah pencarian kebenaran secara tulus dan bertanggung jawab. 69

Seorang Muslim misalnya hanya berhak mengatakan “kita memiliki pesan Allah melalui Al=Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW yang otentik secara historis, dan pesan ini harus disampaikan dengan cara terbaik kepada dunia, dan terserahlah manusia apakah mau menerima atau tidak pesan tersebut. Hal yang sama berlaku juga bagi agama-agama lain. Mereka hanya berhak menyatakan sesuatu tentang apa yang mereka imani. Namun siapapun tidak bisa mendahului Allah untuk melakukan penilaian. Dan, tidak boleh suatu agama memaksakan seseorang untuk menerima pernyataan atau pewartaan iman mereka.

C.

AGAMA SEBAGAI KEKUATAN PEMBEBAS

Muncul kritik bahwa teologi cenderung melangit, jauh dari kenyataan dan urgensi kemanusiaan. Teologi juga cenderung tekstual dan dogmatis sekali. Agama dibatasi lebih sebagai kepercayaan teologis dan filosofis, dan tidak dikontekstualisasikan dalam sejarah perjuangan hidup riil manusia. Padahal teologi adalah cara memahami pesan Tuhan dalam konteks yang berbeda-beda. Teologi sebaiknya dikembangkan secara kritis dalam situasi yang serba majemuk dan multi kompleks sekarang ini adalah teologi yang mampu melahirkan pencerahan dan pembebasan dari berbagai belenggu keterikatan dan ketertinggalan. Kita membutuhkan teologi yang membumi, teologi yang kontekstual, teologi yang mampu menjawab masalah-masalah dasar kemanusiaan, serta dapat menjadi pegangan dalam menggumuli berbagai praksis hidup dengan tantangannya.

1. Teologi yang Membebaskan

Dalam sejarah perjalanan agama kristen, teologi pembebasan adalah suatu gerakan yang melibatkan sektor-sektor penting dari Geraja. Ini adalah gerakan keagamaan kaum awam, suatu kegiatan pastoral yang merakyat, yang melibatkan kelompok-kelompok basis dalam Gereja. Kemiskinan dan penindasan membuat mereka sadar dan berjuang dengan dukungan keimanan.

70

Teologi pembebasan dalam lingkup kekristenan adalah wujud dari gugatan moral dan sosial terhadap ketergantungan pada kapitalisme, wujud kesetiakawanan menuntut kebebasan, sebagai alternative terhadap sikap individualistic. Teologi pembebasan adalah suatu pembacaan baru pada Kitab Suci, sebuah paradigm baru mengena perjuangan pembebasan, dan sebagai reaksi penentuan terhadap sturktur-struktur ketidakadilan dan ketergantungan ekonomi yang menindas begitu banyak orang miskin. Ajaran Kristen sendiri diyakini berasal dari praktek-praktek pembebasan Yesus Kristus dari Nazareth bersama dengan masyarakat pengikutnya pada abad pertama Masehi di Palestina. Konsili Vatikan II memberi andil yang amat besar kepada pembaruan dengan menyatakan tatanan masyarakat yang mapan sebagai sumber ketidakadilan, penindasan hak asasi manusia, dan kekerasan yang dilembagakan. Konsili mendukung aspirasi untuk membebaskan diri dari segala bentuk penghambaan terhadap sesame manusia. Pada tahun 1987 dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, Paus Yohanes Paulus I mengajak seluruh dunia untuk mengusahakan perkembangan dan pembebasan, yang mewujudkan diri dalam cinta dan pelayanan sesame, khususnya mereka yang paling miskin.

2. Takdir dan Kebebasan Memilih

Dalam ajaran agama Islam, nilai pembebasan menuju keadilan juga sangat ditekankan. Nabi Muhammad SAW, nabinya orang Islam, juga sangat concern terhadap pembebasan orang-orang yang lemah, seperti menganjurkan pembebasan para budak, karena hal itu bertentangan dengan kesamaan harkat dan martabat manusia di hadapan Tuhan. Doa orang-orang yang tertindas akan sangat ampuh, jika mereka berdoa akan didengar oleh Tuhan. Bagitu juga kerja keras dalam rangka menegakkan kebaikan dan mencegah atau melawan keburukan, adalah nilai luhur yang ditekankan oleh Islam. Wacana kebebasan manusia dan takdir sesungguhnya bermuara pada pemahaman bahwa manusia bebas memilih perbuatanya sendiri. Tuhan memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih dan menentukan pilihannya sendiri di antara sekian banyak kemungkinan. Sesungguhnya Allah tidak akan pernah mengubah nasib seseorang, atau suatu kaum, kecuali orang atau kaum itu mau mengubah nasibnya sendiri (Quran 13:11).

71

Islam mengecam pratek-praktek monopoli dan riba, yang secara umum berarti segala bentuk

penindasan

dan

eksploitasi

oleh

seseorang

atau

sekelompok

orang.

Namun memberikan jalan untuk berdagan dan bertansaksi dalam kesetaraan, dan menganjurkan pemberian bantuan berupa zakat atau sedekah. Berdasarkan nilai tauhid, Islam mengajarakan penegakan keadilan ekonomi, politik, hukum dan moral dalam kehidupan sosial.

Nabi Muhammad SAW, sebagaimana nabi-nabi lain adalah seorang pembebas. Beliau pembebas dari pemberhalaan manusia dan ketidakadilan, kepada penyerahan diri kepada Tuhan dan keadilan; dari ekspolitasi dan dominasi terhadap sesame, kepada keadilan dan kerja sama; dari fanatisme golongan, kepada persaudaraan iman dan manusia.

Islam telah memberikan suatu kode hak asasi manusia yang ideal kepada umat manusia. Tujuan dari hak-hak itu adalah untuk memberikan kehormatan dan harga diri kepada manusia, serta untuk menghapuskan eksploitasi, penindasan dan ketidakadilan.

3.

Usaha Pembebasan yang Disertai Doa

Siddharta Budha Gautama adalah juga sosok yang ingin membebaskan manusia dari rutinitas pikiran dan dharma, yang sebagian orang tidak mengerti dan hanya menerima apa adanya saja. Kedanganan Siddarta justru ingin membebaskan manusia dari belenggu samsara yang tidak berkesudahan dan tidak terelakan. Setelah Siddarta mendapat pencerahan, Ia mencapai pembebasan. Ia mengajarkan bahwa penyebab dari penderitaan itu adalah keinginan-keinginan yang datang dari dalam diri sendiri. Maka untuk membebaskan manusia dari belenggu penderitaan, mesti dilakukan upaya pemadaman, dengan cara menempuh Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dalam hidup keseharian, umat Buddha dituntut berusaha keras dan tidak mengandalkan doa, karena perubahan nasib datang seiring dengan usaha manusia untuk memperbaiki diri. Apalah artinya sebuah doa atau permintaan jika tanpa usaha. Begitu pentingnya karya dan usaha dalam ajaran Buddha, sehingga seolah-olah tidak ada ritual doa. Bagaimana mungkin seseorang mengadalkan permintaan kepada Tuhan, sementara Tuhan sendiri bukalah zat yang riil, nyata atau berwujud, melainkan Dia adalah sosok yang gaib, yang keberadaannya tidak tertangkap jelas oleh manusia.

72

Dari berbagai keterangan yang dikemukakan di atas, nampak dengan jelas bahwa tokoh pendiri agama-agama tampil sebagai pembawa kebebasan kepada manusia. Agama semestianya mewariskan peran ini dalam dirinya. Adalah suatu kesalahan besar apabila

agama

dalam

banyak

hal

justru

menjadi

belenggu

bagi

manusia.

Agama sesungguhnya berperan membebaskan manusia dari berbagai belenggu, baik yang berasal dari dalam dirinya sendiri-dari segala nafsu dan keserakahannya – maupun yang berasal dari luar; seperti penindasan dan penganiayaan oleh sesame. Dengan kebebasan yang semain terhayati, manusia semakin bertanggungjawab atas pilihan dan tindakan hidupnya. Itulah kemerdekaan kita sebagai umat Tuhan. Iman yang dewasa adalah iman yang dihayati dengan bebas, namun yang membuat manusia semakin mampu bertanggung jawab.

D.

KERJASAMA ANTAR AGAMA

Kerjasama merupakan suatu keharusan bagi umat beragama untuk menghasilkan pembaruan yang diperlukan. Kita adalah bagian-bagian yang tak terpisahkan sebagai bangsa, sehingga nasib buruk yang melanda satu bagian atau kelompok akan mempengaruhi juga bagian atau kelompok yang lainnya. Dengan memperkuat atau memberdayakan orang atau kelompok lain, maka kita sendiri akan bisa tetap kuat dan bertahan.

1.

Pentingnya Kerjasama

Untuk lebih efektif menjalankan perannya sebagai sebuah kekuatan pembebas, maka agama-agama harus lebih proaktif lagi mewujudkan koeksistensinya yang paling tinggi, yaitu kerjasama. Semua institusi agama dan juga etnis harus mengembangkan kesadaran akan pentingnya kerjasama, karena hubungan yang paling dekat dan paling erat serta paling berhasil dalam suatu kemajemukan adalah kerja sama. Jika kesadaran dan kerja sama antar kelompok yang berbeda sedang berlangsung, maka apa yang disebut multikulturalisme kolaboratif sedang dibangun. Multikulturalisme kolaboratif merupakan salah satu pendekatan mengatasi masalah-masalah akibat perbedaan etnis, agama dan budaya, seperti konflik dan disitegrasi nasional. Baik keterasingan budaya maupun asimilasi budaya dapat membawa masalah apabila kerja sama tidak dikedepankan. Multikulturalisme kolaboratif menghargai perbedaan budaya secara mendasar dan tidak sekedar bersifat formalistik dan seremonial belaka.

73

2.

Bidang-bidang Kerja Sama

Ada banyak bidang di mana agama-agama dapat bekerja sama memainkan peran pencerahan dan pembebasan yang membuahkan pemberdayaan bagi para penganutnya dan warga Negara Indonesia seluruhnya. Beberapa hal penting di ataranya dapat kita sebut di sini:

a) Penegakan keadilan

Boleh dikatakan bahwa masyarakat kita sudah cukup lama menderita ketidakadilan. Di berbagai sektor kehidupan berlangusng perlakuan yang tidak sama, baik terhadap individu maupun kelompok (suku, etnis, daerah, wilayah, gender, agama, status dan sebagainya). Diskriminasi dalam berbagai bentuk dan cara, berlangsung di berbagai sektor kehidupn, tanpa ada yang sungguh-sungguh peduli denga itu. Di sinilah agama-agama terpanggil untuk memainkan peran pembebasannya. Bukan tidak mungkin agama-agama dapat secara bersama-sama mengambil langkah-langkah sgtrategis untuk mengurangi bahkan memberantas praktek yang sudah menyengsarakan rakyat dan umat dalam waktu yang cukup lama itu.

b) Perbaikan taraf hidup (ekonomi)

Perbaikan taraf hidup warga dan umat sangat mendesak sekali. Ketertinggalan di salah stu bidang akan mempengaruhi bidang-bidang lain juga. Kalau ekonomi lemah, maka peningkatan pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, juga ikut terbengkelai. Bahkan untuk bisa menjalankan kewajiban agama dengan baik, seseorang

dituntut

untuk

mampu

memenuhi

persyaratan

minimal.

Seorang Muslim misalnya, dia harus shalat, harus puasa, zakat dan pergi haji. Keempat rukun Islam itu tidakalh dapat dijalani dengan sempurna kalau dia seorang miskin. Melakukan ritual sholat, perlu berpakaian bersih dan rapi. Menjalani

puasa,

perlu

modal

untuk

berbuka

dan

makan

sahur.

Untuk mengeluarkan zakat, seseorang tidak mungkin akan bisa kalau dirinya sendiri miskin. Apalagi untuk pergi haji yang ongkosnya antara 25 sampai 35 juga rupiah. Jadi untuk bisa menjadi muslim yang baik mesti mempunyai kemampuan harta minimal. 74

Begitu juga seorang Kristen yang baik, harus rajin mengikuti ritual-ritual keagamaannya secara teratur. Untuk bisa melaukan itu, seseorang perlu berpakaian rapi dan bersih, perlu kendaraan atau ongkos jalan ke Gereja. Perlu juga mengisi kas Gereja dan memberi persembahan. Hal yang kurang lebih sama berlaku juga untuk agama-agama lain.

c) Perbaikan akhlak

Tugas utama agama adalah bagaimana agar agama dengan berbagai pesan-pesan moral yang terkandung didalamnya bisa menjadi sumber semangat dan moralitas bagi umatnya. Di sini peran berbagai institusi keagamaan, termasuk departemen agama sendiri sangat diharapkan. Para pemimpin dan tokoh-tokoh agama dituntut untuk bisa menjadi nabi-nabi, guru dan iman zaman ini, yang menyarakan kehendak Allah, bagi kebaikan, perdamaian, kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Departemen agama dituntut untuk tampil sebagai pengayom bagi tumbuh kembang iklim keagamaan yang harmonis, rukun dan damai di bumi persada ini. Lembaga-lembaga keagamaan harus berefleksi kambali apakah sudah memainkan peran yang tepat dalam menumbuh-kembangkan iklim keagamaan yang kondusif di Indonesia. Juga dapat manyakan pada dirinya apakah sudah menjadi sumber pembentukan watak dan akhlak bagi umat yang telah dipercayakan Tuhan kepada mereka.

E.

1.

LANGKAH-LANGKAH YANG PERLU DIAMBIL

Memperbaiki paradigma hidup keagamaan

Sebagai bangsa beragama, kita berharap bahwa pesan-pesan keselamatan dari Tuhan bukan hanya tinggal sebagai yang ideal saja, yang tidak tersentuh oleh manusia. Agama-agama, dengan kerjasama yang semakin baik, harus mencari jalan agar pesan-pesan keselamatan itu dapat menjadi milik manusia dan menyemangati hidupnya. Pada tataran teologis agama-agama perlu mengubah paradigm teologis yang pasif, tekstual dan eksklusif, Agama-agama harus mengembangkan teologi yang inklusif, pluralis, kontekstual, yang mampu mengguggah para pemeluk agama untuk menemukan kehendak Allah dalam berbagai praksis dan pergumulan hidup mereka. 75

Teologi harus memperjuangkan kebebasan dari segala belenggu dan penindasan, sekaligus memberi dorongan dan kekuatan untuk hidup dengan baik, di hadapan Tuhan dan sesame. Dialog antar agama perlu ditingkatkan lagi, untuk secara bersama-sama mencari bagaimana pesan Allah dapat ditangkap oleh manusia Zaman ini, dan dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi dalam menjalankan hidup yang semakin baik.

2.

Membela kaum lemah

Kerja sama yang dibangun hendaknya terutama berorientasi untuk memihak yang lemah dengan memberdayakan mereka. Perbaikan taraf hidup masyarakat sebaiknya dilakukan secara simultan di berbagai sektor penting kehidupan. Namun dalam keyataanya, kalau kemampuan ekonomi semain baik, maka perbaikan di bidang lain lebih mudah dilakukan. Maka dapat dikatakan bahwa perbaikan kondisi ekonomi perlu dijadikan prioritas. Kenyataannya menunjukkan bahwa kalau seseorang belum makan, anaknya tidak bisa sekolah karena tidak ada biaya, kalau kondisi kesehatan mereka memprihatinkan, bagaimana kita mengajak mereka untuk menghayati betapa baiknya Allah kepada mereka? Kebaikan Tuhan bisa sampai kepada seseorang melalui sesamanya. Agama-agama terutama harus dapat menjadi saluran berkat dari Tuhan bagi manusia. Untuk itu, lembaga-lembaga sosial keagamaan harus bekerjasama mencari bentuk-bentuk kerjasama yang orientasinya terarah untuk memberdayakan masyarakat lemah. Kerja sama ini harus bebas dari campur tangan pihak luar serta tujuan-tujuan di luar tujuan yang sebenarnya.

3.

Menghadirkan suasana surga di bumi

Setiap agama harus menujukkan sikap bersahabat yang tulus, sebagai yang sama-sama memiliki tugas dan tangung jawab menciptakan pembaharuan di dunia ini. Keselamatan abadi, sebagaimana dijanjikan oleh setiap agama, yang dalam istilah agama disebut surga, tidak akan kita alami sekarang ini apabila hidup manusia bergeliman penderitaan dan keterbelakangan, baik secara fisik maupun non-fisik. Surga dan nirwana sebagai lambang kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan hidup, bukalah hanya sebagai kenyataan di akhirat nanti, melainkan seharusnya kita sudah mulai menikmatinya dalam kehidupan di dunia ini. Hal itu terjadi dalam bentuk ketenteraman, keamanan, kerukukunan, kedamaian, kesejahteraan, dan segala wujud kebaikan bersama.

76

Itulah yang kita usahakan dalam semangat keagamaan dan iman, yang harus kita tumbuh kembangkan di atara kita semuanya.

4.

Menjadi pelopor perbaikan akhlak

Perbaikan

akhlak

dari

bangasa

kita

ini

sudah

sangat

mendesak

sekali.

Potret keagamaan sebagaimana diungkapkan pada bagian pertama topik ini sangat berkaitan dengan kepemilikan watak dan akhlak buruk sebagian besar orang berpengaruh di Negara ini. Kalau watak, karakter atau akhlak tetap tidak berubah, maka kita akan semakin terperosok ke jurang kehancuran. Sebuah bangsa akan hancur ketiaka moralitasnya hancur, demikian kata penyair Syauqi Beik. Dalam hal perbaikan moralitas bangsa ini, agama tidak boleh berpangku tangan saja. Ada tanggungjawab besar terletak dipundaknya, yang harus dia jalankan dengan sepenuh hati, melebihi yang sudah-sudah. Dalam aktivitas sehari-hari, setiap pribadi beriman hendaknya bisa menjadi teladan bagi sesamanya. Bagi masyarakat Indonesia yang paternalistic, keteladanan sangat penting. Masing-masing tokoh, masing-masing umat beragama yang mendapatkan kepercayaan untuk memimpin, entah itu pimpinan birokrat atau pemimpin organisasi atau bahkan telah dipercaya menjadi wakil rakyat, hendaklah menjadi teladan kebaikan, dengan menjalankan tugas dan pengabidannya penuh tangung jawab.

5.

Bekerja sama memberantas kejahatan dan menebar kebaikan.

Kerjasama antar berbagai agama dapat diarahkan juga dengan bijak untuk memberantas kejahatan di berbagai lingkup kehidupan. Agama secara bersama-sama dapat mencari jalan umpamanya, bagaimana cara mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Indonesia, biar pun tingkat keberagamannya mendapat acungan jempo oleh sementara bangsa dan Negara lain, namun korupsinya telah menjadi seni dan bagian dari budaya-budayanya. Korupsi dan kejahatan lainnya menjadi sangat tidak ada korelasinya dengan ketaatan beragama, padahal budaya korupsi adalah penyebab terjadinya kemunduran dan keterbelakangan suatu masyarakat.

Pertanyaan kemudian adalah, mengapa beragama tidak berarti tidak korupsi atau melakukan kejatahan lain? Kita tidak perlu under-estimate, seolah-olah agama tidak mampu mendorong anti korupsi dan anti kejahatan lainnya.

77

Bukan agama yang gagal melainkan tokoh dan penganut agama itu yang memiliki pemahaman dan penghayatan agama secara tidak benar. Kesalehan indivud nampaknya belum menjadi jaminan kesalehan sosial dan professional. Agama-agama tidak membenarkan kebejatan, ketidakjujuran dan segala bentuk immoralitas sosial lainnya. Agama mengajarkan moral yang mulia, budaya malu, kokok dalam kebaikan, gaya hidup sederhana, ethos kerja tinggi, serta orientasi pada kemajuan dan prestasi. Agama dalam konteks demikian berposisi sebagai pembimbing dan control tgransendental. Panganut agama seharusnya juga merasa dia tetap dikontrol oleh Yang Maha Tahu, kapan pun dan di mana pun dia berada. Selain itu, agama juga mengajarkan kehidupan sesudah mati, yang punya kaitan dengan kehidupan di dunia sekarang ini. Maka, meskipun tindakan korupsi dan kejahatan lain yang dilakukan sekarang ini sempat lepas dari pengawasan manusia, pengadilan di kemudian hari tidak akan melepaskannya begitu saja. Keberagamaan yang substantive akan mampu mencegah penganutnya dari perilaku korup. Melalui aktivigtas kemasyarakatan, hendaknya ada semacam gerakan moral bersama untuk mencegah terjadinya perilaku korup dalam berbagai bentuk, dengan cara memberikan sangsi moral bagi pelakunya. Agama-agama harus memasyarakatkan dan kemanusiaan, dan mempengaruhi sebanyak mungkin orang untuk berbuat baik. Himbauan atau seruan yang terus menerus dari tokoh- menyebarluaskan kebaikan melalui kerja sama di berbagai proyek tokoh agama, yang disertai dengan keteladanan yang terpuji, dapat mendorong umat untuk menjauhi kejahatan, dan berusaha hidup secara baik.***

78

REFERENSI

Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari (2004). Character Building III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo

79

TOPIK 7

KRITIK TERHADAP FORMALISME AGAMA

A. KONSEP FORMALISME AGAMA

Formalisme agama merupakan suatu bentuk penghayatan iman keagamaan yang hanya mementingkan dimensi legalistik-formalistiknya. Ia lebih mengutamakan dimensi ekspresi artifisial daripada dimensi transfisik-subtansialnya. Sehingga penampilan fisik lebih diutamakan daripada penghayatan rohani-batiniah. Formalisme ini bisa terwujud dalam praktik perilaku atau sikap-sikap religius yang terekspresikan dalam penghayatan hidup keseharian yang dangkal dan jauh dari substansi agama yang seharusnya (das sollen). Formalisme agama pada akhirnya bisa berkembang ke arah fundamentalisme agama. “...the behaviorist and and religious fundamentalist focus on structure, order, and firm discipline” (International Encyclopedia of Social Science, Vol. 9, hal. 132). Formalisme agama menghayati agama dengan sangat ketat sambil menekankan struktur, aturan atau hukum yang sangat mengikat bahkan menuntut sikap disiplin diri yang radikal. Jadi sebetulnya formalisme agama merupakan suatu sistem religius keagamaan yang menekankan prinsip-prinsip, aturan dan hukum-hukum sebagai unsur yang paling penting dalam penghayatan hidup religius dan kriteria evaluasi diri. Para penganutnya berpegang teguh pada tradisi-tradisi agama secara kukuh-radikal dan menjadikan itu sebagai patokan dalam menilai tingkat kesalehan hidup religius. Dalam praktiknya, para penganut formalisme agama juga bisa menunjukkan dimensi patriarkalisme ekstrem maupun dominasi subordinatif yang cenderung mendiskreditkan kelompok lain di luar mereka: entah bangsa lain, rasa lain, suku/etnis lain, golongan lain bahkan kaum perempuan dalam konteks isu feminisme. Praktik formalisme agama bisa sangat diskriminatif dalam sikap dan perlakuan pada sesama yang lain. Para formalist agama bisa memposisikan diri jauh lebih tinggi dan superior dari pihak lain. 80

Mereka bersikap ekstremis dan sering kali tidak bisa bertoleransi terhadap perbedaan. Mereka juga tidak terbuka (tertutup) terhadap kelompok lain di luar mereka. Hal ini bisa berbahaya dalam konteks eksistensi dan realitas sosial kita sebagai bangsa yang plural dan multi-religius. Formalisme agama memiliki beberapa karakteristik mendasar yang menonjol, antara lain: Pertama, lebih memperhatikan aturan-aturan formal agama daripada isi atau makna. Kedua, memberikan prioritas terhadap simbol-simbol religius dalam ekspresinya. Ketiga, berpikir sangat tinggi terkait dengan tema-tema agama sehingga cenderung membela diri dan resisten. Keempat, menggunakan istilah-istilah religius dalam praksis keseharian hidupnya. Dalam konteks kebijakan negara, jika negara mengadopsi konsep formalisme agama ini dan menerapkan secara ketat terhadap kehidupan para warganya, maka akan menimbulkan masalah karena dimensi kebebasan individu dikekang bahkan tanggung jawab seolah-olah dipaksakan oleh negara kepada warganya. Hal ini merupakan suatu bentuk tirani kekuasaan negara melalui bidang agama yang bisa tidak menenggang kebebasan individu ataupun mengganggu komunitas/kelompok lain yang tidak sepaham. Jadi sebetulnya formalisme agama bisa berpeluang dilakukan oleh negara, institusi, kelompok atau individu.

B. RADIKALISME AGAMA DAN FAKTOR-FAKTOR PEMICUNYA Untuk membantu kita memahami konsep radikalisme agama, kita perlu terlebih dahulu memahami apa hakikat dasar yang paling esensial dari pengertian kata ‘radikalisme’ itu. Istilah ‘radikal’ merupakan sekumpulan makna-makna yang memiliki arti membawa pulang segala sesuatu kepada akarnya. “The world radical has a number of meaning, one of which involves “getting to the root of matter”(Encyclopedia of the Social Science, hal. 48). Ketika kita mendengarkan kata radikalis, maka itu artinya orang atau subjek yang ingin membawa pulang atau mau mengembalikan suatu konsep/gagasan kepada prinsip-prinsip pertamanya. Radikalisme biasanya berkaitan dengan sistem keyakinan tertentu yang pertama dan terutama. 81

Radikalisme ini bisa diterapkan dan beroperasi di dalam banyak ruang kehidupan: ekonomi, sosial, politik, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, ideologi pemikiran bahkan agama dan spiritualisme. Kaum radikalis ini biasanya membentuk kelompok sendiri yang eksklusif. Ciri khas yang menonjol dari kelompok radikalis itu yakni: terisolasi, parsial, sektarian, partikular, lokal dan terfragmentaris atau sporadis. Meski radikalisme itu bekerja

di dalam

setiap aspek kehidupan, pembahasan kita di sini hanya akan terfokus pada fenomena radikalisme di bidang agama. Radikalisme agama ini pada dasarnya adalah suatu pandangan atau ideologi religius yang ingin mengubah realitas sosial penghayatan agama untuk kembali ke akar-akar tradisi pada awalnya yang ketat dan kaku. Radikalisme agama, oleh karena itu, juga berkarakter konservatif,

normatif,

tradisional,

dan

ortodoksif.

Radikalisme

agama

berpotensi

antikemajuan, anti perkembangan antiprogresif, antisolidaritas dll. Namun para radikalis agama mungkin sungguh mencintai semangat agresivitas, sikap kasar, tidak peduli, teror, kepicikan ideologis berkedok agama dll. Aroma atau nuansa radikalisme agama umumnya hampir tercium di dalam semua keyakinan agama baik Kristiani, Islam, Budha, Hindu dll. Sering dalam ekspresinya bersifat ekstremistis dan fundamentalistis. Malah bisa tercuat keluar dalam berbagai bentuk aksi kekerasaan entah secara verbal atau pun non verbal, fisik maupun psikologis sehingga merugikan pihak lain sebagai sasaran korban kekerasaannya. Bahkan secara psikologis orang-orang yang radikal merasa senang (hedonis) dan tak segan-segan melakukan teror dan intimidasi kepada orang lain misalnya menggunakan ancaman fisik atau sikap kasar yang ditunjukkan pada pihak lain tanpa disaring secara keberadaban humanis. Bahkan mereka sungguh menikmati sebagai suatu tindakan yang diklaim sebagai etis, luhur, mulia dan terpuji dari sisi tilik ideologi radikalisme agama. Misalnya entah itu dengan mengorbankan diri menjadi martir merah seperti mati suci dalam konsep kekristenan atau pun mati sahid alias jihad dalam Islam. Radikalisme ini kontras dengan paham moderat atau toleransi. Dengan demikian maka moderasi atau toleransi merupakan prinsip oposisi dari radikalisme. “Moderates, in the broadest and most general usage, moderates are defined by their opposition to radicalism, extremism, and fanaticism. Moderates value calm, continuity, consensus, tolerance, and stability” (International Encyclopedia of the Social Science, 2010: 226).

82

Jika nilai-nilai yang dibawa oleh kaum radikalisme adalah tidak peduli, tidak kompromi, tidak toleransi maka kelompok moderasiatau toleransi malah sebaliknya. Kelompok toleran atau moderat justru menghargai perbedaan, peduli, kompromi, mencintai keharmonisan dan kedamaian dalam hidup bersama. Radikalisme agama pada gilirannya menurunkan atau melahirkan ideologi-ideologi ekspresif lain misalnya eksklusivisme agama, fundamentalisme agama, ekstremisme agama, terorisme agama, militansi agama dll. Sehingga ideologi ini tertutup terhadap agama atau kelompok lain yang tidak sepaham dengannya. Bahkan sering kali mereka bisa tidak sepaham atau berkonflik di dalam kelompok sendiri, jika cara-cara kerja mereka dihalangi atau dihambat. Terdapat banyak alasan atau motif sebagai latar belakang yang memunculkan gerakan radikalisme agama ini. Namun umumnya bisa dipicu oleh hal-hal seperti: 

Faktor sosial politik dan ekonomi



Rasa emosi/sentimen keagamaan



Faktor budaya-etnis



Faktor ideologi keagamaan



Maupun kebijakan pemerintah yang legalistik-radikal.

C. PETA KRUSIAL FORMALISME AGAMA DAN GELIATNYA DI INDONESIA8 Praktik formalisme agama menjadi tantangan besar untuk Indonesia sebagai bangsa yang majemuk/plural. Di Indonesia, praktik formalisme agama terjadi dalam beberapa dimensi kehidupan. Ada beberapa peta krusial praktik formalisme agama di Indonesia dalam konteks semangat pluralisme dan multikulturalisme. Pertama, pengakuan akan hak-hak untuk menganut agama. Di Indonesia secara de jure sudah ada pengakuan oleh negara dalam memeluk agama sesuai pilihan nurani setiap subjek penganut agama. Rumusan ini tertera dalam Pasal 29 pada Bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Bab XI tentang Agama9: (1). Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios (2013). “Filsafat Multikulturalisme: Sebagai Strategi Kebudayaan Menyiasati Tantangan Pluralisme Agama di Indonesia” dalam Proceeding International Conference Kebhinekaan & Budaya, Universitas Indonesia: Depok, Hal. 275-286. 9 Panduan Pemasyarakatan UUD Negara RI Tahun 1945 (2012) yang diterbitkan oleh Sekjen MPR RI, hal. 183. 8

83

Pengaturan lebih lanjut tentang agama sesuai amanat UUD 1945 di atas, MPR RI menetapkan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Secara de jure cukup jelas menunjukkan adanya kebebasan memeluk agama. Namun de facto, negara masih mengintervensi praktik dan penghayatan agama yang sering kali justru memicu konflik di dalam hidup sosial. Ini menunjukkan negara belum menjamin dengan cukup ideal kehidupan beragama yang baik dan harmonis. Negara belum tegas dalam soal perspektif pengakuan atau politik pengakuan10 akan realitas multikulturalisme. Sebuah politik pengakuan akan kekhasaan dan keunikan entitas di republik ini belum maksimal diakomodasi oleh negara. Hal ini ditegaskan oleh Frans Magnis Suseno juga melansir salah satu tantangan serius di Indonesia yakni persoalan intoleransi, kepicikan, dan fanatisme agama. (Proceeding International Conference Kebhinekaan dan Budaya: Universitas Indonesia 2013, hal. 27) Kedua, merangkai bingkai teoretik atau strategi kebudayaan untuk tumbuhnya iklim toleransi antarumat beragama. Fakta membuktikan, kondisi toleransi belum cukup memadai terealisasi di bumi Indonesia ini. Meskipun ajaran kebanyakan agama sebenarnya toleran dan terbuka, akan tetapi, dalam kenyataan agama-agama sering cenderung bersikap tidak toleran dan tertutup, alias eksklusif.11 Cukup banyak aliran kepercayaan/spiritual yang tidak dibiarkan tumbuh maupun agama minoritas cukup sulit menjalankan ibadah secara wajar karena justru dipersulit. Bahkan izin pendirian tempat ibadah pun sering dipersulit. Kalau toh izinnya sudah ada, masih saja diprotes oleh warga pemeluk agama lain terhadap kelompok minoritas beragama. Koordinator Pemantau Kebijakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Fadjar mengatakan terdapat 64 kasus intoleransi selama tahun 2012 berupa perusakan tempat ibadah (10 kasus), penghalangan aktivitas ibadah (20 kasus), penutupan tempat ibadah (7 kasus), tuduhan sesat (5 kasus), diskriminasi (4 kasus), pengusiran (3 kasus), pembunuhan (2 kasus),

lain-lainnya (6 kasus) dengan

frekuensi tertinggi terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.12 ELSAM juga menunjukkan bahwa para pelaku kekerasan terhadap penganut agama minoritas di Indonesia berasal dari organisasi masyarakat (Ormas), pemerintah daerah,

petugas polisi,

warga

masyarakat, MUI daerah, KUA dll13. 10

Politik pengakuan dalam buku politic of recognition yang ditulis oleh Charles Taylor. Franz Magnis Suseno (2013). “Bhineka Tunggal Ika, Kesatuan Bangsa dalam Tantangan” dalam Proceeding International Conference Kebhinekaan dan Budaya, Universitas Indonesia: Depok, hal. 25-29. 12 Kasus intoleransi beragama di Indonesia sepanjang tahun 2012 ini diekspos dalam vivanews.com edisi online. 13 Sumber: edisi online VIVAnews.com 11

84

Ini peta kedua tantangan tumbuhnya formalisme agama di Indonesia sekaligus memberi sinyal perlunya strategi kebudayaan yang lebih bijak menyiasati dan mengatasi masalahmasalah intoleransi ini. Ketiga, paradoks antara naturalisme dan kulturalisme. Di Indonesia paradoks ini mulai muncul ketika formalisasi agama (hanya 5 agama resmi: Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Hindu) yang tumbuh di Indonesia tidak memberi peluang bagi munculnya religi di bumi nusantara ini berkembang dalam wujud agama-agama asli-etnik. Konghucu baru diformalkan terakhir sebagai agama ke-6 hasil perjuangan reformasi oleh kelompok minoritas Tionghoa Indonesia saat pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). Sebagai konsekuensi logisnya, formalisme agama dalam bentuk hukum positif (negara) yang diberlakukan hingga kini masih sangat diskriminatif, setengah hati saja dalam mengakomodasi praktik-praktik diversitas budaya dan agama lokal di jagad Nusantara ini. Negara Indonesia ini boleh dikatakan belum bisa menerima ‘ide multikulturalisme’ untuk tumbuh berkembang subur di tanah air-ibu pertiwi ini. Padahal Indonesia, kita tahu, adalah negara dengan kuantitas keanekaan etnis terbanyak di dunia yang seharusnya waspada terhadap formalisme agama seperti ini. Keempat, peta lain yakni upaya perumusan bahasa peradaban Indonesia dihadapkan pada persoalan klaim kebenaran kelompok sendiri (eksklusivisme agama) dan arus globalisasi kapitalisme ekonomi dalam bentuk euphoria materialisme orang Indonesia yang tampil dalam berupa gaya hidup popular-wah saat ini. Sebagian penganut agama di Indonesia mencari kesenangan religius dalam bentuk ekstremisme agama yang mengklaim ajaran sendiri paling benar dibandingkkan dengan kebenaran agama sesamanya yang lain. Sebagian lagi mencari kesenangan materilistis dalam sikap konsumtif ekstrem yang terkadang egoistikantisosial. Gerakan fundamentalisme/radikalisme agama dan konsumerisme-materialisme tumbuh subur di Indonesia seiring dengan upaya kita membumikan toleransi di republik ini. Kedua ekstrem ini sama-sama tidak ideal bagi tumbuhnya sikap multikulturalistik yang menenggang perbedaan dan toleransi antarpenganut agama berbeda.

D. KRITIK TERHADAP FORMALISME: KEMBALI KE SUBSTANSI AGAMA Kita telah melihat dampak yang ditimbulkan oleh praktik formalisme agama beserta isme-isme lain yang diturunkan daripadanya seperti radikalisme agama, fundamentalisme agama, ekstremisme agama dan lain sebagainya.

85

Semua isme berkedok agama ini tentu baik namun di sisi yang lain bertentangan dengan kenyataan kita yang beragam, plural, multietnis, multireligius, bervariasi, berbeda dll. Tentu tidak apa-apa jika orang menghayati nilai-nilai agama secara radikal, namun problem muncul ketika itu dipaksakan kepada orang lain atau dijadikan sebagai tolok ukur paling benar dalam menilai praktik hidup bersama dalam ruang-ruang sosial publik. Untuk mencegah agar radikalisme agama tidak merusakkan tatanan kebaikan hidup (good life) kita bersama, maka salah satu jalan untuk mengontrol dan mengendalikan sikap kita yang kurang bijak itu yakni dengan menjadi rasional (a critical person). Menjadi bijak artinya kita menggunakan rasio (akal sehat) dan hati nurani (perasaan moral-etis) yang ada pada kita sebagai spesis manusia. Maka di sini sikap kritis dalam menghayati hidup keagamaan kita menjadi penting. Kritik terhadap formalisme agama bisa ditempuh dengan cara bersikap kritis dalam menghayati iman keagamaan yang kita anuti. Bersikap kritis artinya kita memilah, memfilter, menyaring dan menyensor pola pikir, pola sikap dan pola tindakan kita yang salah, kurang etis dan keliru dalam menghayati keagamaan kita. Kritis artinya menggunakan ukuran yang benar dalam mengevaluasi diri kita dalam menghayati iman keagamaan kita. Ukuran sikap kritis itu kita tempatkan dalam konteks substansi atau esensi universal dari agama itu sendiri. Apa yang menjadi subtansi semua agama itu? Jawabannya sederhana saja: Memuliakan Tuhan Maha Cinta dan mencintai kemanusiaan sesama siapapun etnis dia dan apapun latar belakang agama yang dianutnya. Karena semua agama mengajarkan pesan utama perdamaian, kasih sayang, persaudaraan, cinta kasih, dan solidaritas. Kita perlu mengevaluasi hubungan antara kita dengan Tuhan (teosentris) dan relasi kita dengan sesama (sosio-sentris) bahkan hubungan kita dengan realitas ekologi alam (eko-sentris). Semua agama mengajarkan kita nilai-nilai kebaikan religius sebagai substansi utama yakni: 

Selalu mendekatkan diri pada Tuhan/Allah (setia berdoa, melakukan ritual, rajin berefleksi, bermeditasi, berkontemplasi, rasa takut yang suci akan Tuhan)



Peduli pada sesama manusia tanpa memandang perbedaan agama/etnis (menolong, membantu, memberi, berempati, rela berkorban, solider, mencintai dengan tulus, menghargai sesama dll)

86



Berusaha untuk menciptakan perdamaian menuju kedamaian di dalam realitas sosial masyarakat (tidak berkonflik, hidup harmonis, tenggang rasa, bertoleransi, teposoliro, tasamuh, tolerare, tolerance dll).



Menghargai

ekologi

alam

(menanam

pohon,

hidup

hemat,

hidup

sederhana/ugahari, bersepeda ke kampus, tidak konsumtif, jaga kebersihan diri, menjaga lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan dll).***

87

REFERENSI

Buku Panduan Pemasyarakatan UUD Negara RI Tahun 1945 (2012) yang diterbitkan oleh Sekjen MPR RI. International Encyclopedia of the Social Science (2010). Detroit: Maxmillan Reference Franz Magnis Suseno (2013). “Bhineka Tunggal Ika, Kesatuan Bangsa dalam Tantangan” dalam Proceeding International Conference Kebhinekaan dan Budaya, Universitas Indonesia: Depok, hal. 25-29. Frederikus Fios (2013). “Filsafat Multikulturalisme: Sebagai Strategi Kebudayaan Menyiasati Tantangan Pluralisme Agama di Indonesia” dalam Proceeding International Conference Kebhinekaan & Budaya, Universitas Indonesia: Depok, Hal. 275-286. “Kasus intoleransi beragama di Indonesia Sepanjang tahun 2012”. Diekspos dalam vivanews.com edisi online.

88

TOPIK 8

HATI NURANI A.

PENDAHULUAN

Hati Nurani adalah salah satu bagian penting dari setiap diri manusia. Setiap manusia memiliki hati nurani. Hati nurani untuk setiap orang beriman memiliki tempat tersendiri sebagai pedoman hidup. Prilaku orang beriman tidak hanya dituntun oleh nilai, norma atau berbagai ajaran-ajaran yang berada di luar dirinya. Perilaku orang beriman juga dituntun oleh hati nuraninya sendiri. Ada sebuah pandangan umum bahwa hati nurani merupakan salah satu media Tuhan mewahyukan dirinya sendiri (Gea, Rachmat dan Wulandari, 2006:290). Oleh karena hati nurani diakui sebagai media melalui mana Tuhan mewahyukan dirinya, semua orang beriman dianjurkan untuk selalu memperhatikan suara yang ada dalam hatinya sendiri. Bila dalam satu situasi tertentu yang tidak pasti, situasi yang membingungkan, dan tidak ada panduan bagi manusia bagaimana ia haru keluar dari kebingungan tersebut, biasanya disarankan untuk mendengar suara hati. Tetapi, meskipun orang beriman yang mengakui bahwa suara hati merupakan media bagi pewahyuan Tuhan, tidak semua orang beriman selalu mau mendengarkan suara hatinya sendiri, atau kalaupun ia berusaha mendengarkan suara hatinya, pilihan-pilihan untuk mengambil keputusan lebih dideterminasi oleh pikiran, atau pengalaman. Padahal tidak pernah diungkapkan bahwa pikiran dan pengalaman merupakan tempat instimewa Tuhan mewahyukan diri-Nya secara hidup. Yang nyata dari pikiran dan pengalaman manusia adalah pikiran dan pengalaman manusia itu sendiri, dan bukan suara Allah. Orang beriman seharusnya, selalu mengandalkan suara hatinya sendiri. Sebab suara hati merupakan tempat melalui mana Tuhan mewahyukan dirinya dengan cara yang paling hidup. Hati nurani tidak pernah berbohong. Seperti Tuhan yang tidak pernah berbohong. Sebagai contoh, bila anda terlambat dalang kuliah karena terlambat bagung, dosen anda bertanya mengapa anda terlambat?

89

Pikiran anda mengkalkulasi jawabannya sebagai berikut; (1) kalau saya menjawab “saya terlambat bangun, dosen saya akan memberi saya hukuman”, (2) kalau saya menjawab, “saya terlambat karena dalam perjalanan ke kampus saya menolong orang yang mengalamai kesulitan di jalan”. Kalau saya menjawab seperti ini dosen saya akan memahami keterlambatan saya, dan dia tidak memberi saya hukuman. Pikiran anda cenderung akan memilih jawaban kedua karena sifat dasar dari pilihan yang berdasarkan pikiran adalah pilihan yang menguntungkan. Ketika anda memilih alternatif kedua, anda tidak dihukum oleh dosen, karena dosen anda memahami alasan anda, tetapi meskipun dosen anda tidak menghukum anda, hati nurani anda akan mengatakan bahwa anda berbohong. Ada suara dalam hati anda bahwa anda berbohong. Apakah suara dalam hati itu adalah suara anda yang ada di dalam hati, ataukah suara Allah yang ada di dalam hati anda? Biasanya jauh dari Tuhan dialami oleh orang beriman dapat membuatnya menjadi gelisah. Gelisah dalam konteks ini menandakan terputusnya hubungan dengan Tuhan. Orang

yang

suka

berbohong

biasanya

mengalami

kegelisahan

dalam

hatinya.

Kegelisahan dalam konteks ini tanda bahwa kita jauh dari Tuhan karena berbohong bertentangan dengan perintah Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh hampir semua agama. Berbohon adalah dosa. Dosa menyebabkan terputusnya hubungan antara manusia dengan Tuhannya.

Untuk memulihkan hubungan itu, maka manusia harus berlaku jujur,

mengatakan apa yang sungguh terjadi. Mungkin ia dihukum oleh manusia karena kejujuran itu, tetapi sebagai orang beriman, ia membesarkan jiwanya dihadapan Tuhan. B.

PENGERTIAN HATI NURANI

Para

filsuf

biasanya

menempatkan

suara

hati

sebagai

kesadaran

moral

(Suseno, 1987:53) dalam sebuah situasi yang konkrit. Dalam konteks ini kita akan selalu sadar mengenai peristiwa yang berada di luar kita. Terhadap berbagai pristiwa-peristiwa tersebut ada semacam suara yang ada dalam hati kita untuk melakukan apa yang wajib kita lakukan terhadap peristiwa itu. Suara hati dalam konteks ini menuntun kita bagaimana kita merespons peristiwa yang berada di luar kita. Bila kita sedang berhadapan dengan teman, saudara, seorang sahabat atau kekasih kita yang perilakunya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, biasanya kalau kita memperhatikannya dengan sungguh-sungguh atau berusaha menyadari suara itu dalam hati kita, akan kita dengar atau alami sebuah tuntunan bagiamanan kita harus memberi respon terhadap peristiwa itu.

90

Dalam konteks deskripsi singkat tersebut, kalau kita memahami suara hati sebagai tempat Allah mewahyukan diri secara hidup dalam hati kita, maka respon kita terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan yang lahir dari perilaku teman, saudara, sahabat atau kekasih kita, maka respon kita pasti selalu positif. Mungkin kita tidak memberi respon negative kepada mereka, melainkan sebaliknya respon yang poksitif. Seperti mungkin saja perilaku mereka yang buruk membantu saya untuk dapat mengembangkan sikap sabar atau memaafkan. Sabar dan memaafkan merupakan bagian penting dari pesan setiap agama. Hampir semua agama mengajarkan umatnya bahwa orang yang sabar akan disayangi Tuhan, atau orang yang memaafkan akan dimaafkan oleh Tuhan dosa-dosanya. Sebagai umat beragama kita perlu wajib mendengarkan dan menaati suara hati kita yang meskipun oleh para filsuf dimaknai sebagai kesadaran moral. Kesadaran moral ini berisfat mutlak, tegas dan oleh karena itu sering diakui sebagai pusat otonomi manusia. Sifat kemutlakan suara hati merujuk pada sifat Tuhan yang mutlak (bdk. Suseno, 1987:78). Jadi kemutlakan suara hati merujuk pada Tuhan. Dalam fenoman suara hati kita betul-betul memiliki suatu pengelaman tentang transendensi, tentang Tuhan yang mengatasi segala ciptaan. Kita tidak melihat Tuhan secara langsung, tetapi kita seakan-akan dan bahkan sungguh-sungguh nyata mengalami Tuhan itu yang menyapa kita melalui suara hati kita. Dalam pengalam seperti ini, suara hati merupakan media perjumpaan Tuhan dengan manusia, media yang memungkinkan manusia dapat mengalami Allah secara sungguh-sungguh nyata.

C.

MENGEMBANGKAN SUARA HATI

Suara hati perlu dikembangkan secara terus menerus sebagaimana juga manusia terus mengembangkan dirinya dalam menguasai ilmu pengetahuan dengan menggunakan akal pikirannya. Bagaimana kita dapat mengembangkan suara hati kita? Sebagai orang beriman, suara hati dapat dikembangkan dengan membangun relasi yang terus menerus dengan Tuhan, sesama dan alam. Relasi dengan Tuhan bersifat vertical dan relasi dengan sesame dan alam berifat horizontal. Relasi vertical dengan Tuhan dapat dilakukan dengan doa yang secara umum setiap orang beragama menunjukkannya dalam bentuk permohonan dan puji-pujian. Namun, di sini juga dalam kaitannya dengan suara hati, doa juga mesti dipahami dengan mendengarkan apa yang Tuhan kehendaki untuk kita lakukan dalam hidup kita.

91

Doa mendengarkan ini dapat kita lakukan seperti dalam contoh ini. Bila seorang ibu misalnya memiliki seorang anak. Anak tersebut dalam penilaiannya sangat nakal. Suatu ketika anak tersebut secara tidak sengaja memecahkan gelas. Reaksi kimiawi manusia pada umumnya atau ibu tersebut khususnya mungkin saja marah pada anak tersebut. Tetapi sikap orang beriman yang mau secara terus menerus membina relasi dengan Tuhan, pasti akan menahan diri. Ia bertanya dulu dalam hatinya pada Tuhannya. “Tuhan apa respone saya terhadap anak ku ini”. Semua orang beriman pada khususnya atau orang beragama pada umumnya tahu bahwa Tuhan itu adalah kasih, penyanyang, sabar dan memaafkan. Sifat-sifat Tuhan seperti ini mungkin saja dibagikan kepada ibu yang sedang menghadapi anak yang dalam kategorinya nakal. Oleh karena itu, ibu tersebut mungkin saja mendapat suara dalam hatinya yang mengatakan bahwa anda jangan marah, peristiwa ini hendak mengajarkan anda untuk sabar. Sabar dapat membesarkan jiwa anda, atau suara lain dalam hati anda mungkin saja mengatakan bahwa anda harus memaafkannya, karena ia sedang belajar memaafkan”. Jawaban-jawaban seperti ini tidak saja positif bagi ibu tersebut, tetapi juga positif bagi sang anak. Sang anak kemudian menjadi tahu dan mendapat model dari sang ibu mengenai dalam situasi apa sabar sangat dibutuhkan dan bahwa kesalahan orang lain perlu dimaafkan. Kelak dikemudian hari sang anak tersebut memiliki perbendaharaan positif yang banyak dalam hidupnya. Ia tidak memiliki perbendaharaan negative bila mengahadapi masa-masa sulit dalam berhubungan dengan ibunya. Sebab dari kecil ia mendapat nutrisi jiwa dari sang ibu seperti memaafkan dan sabar. Setiap hari setiap orang beriman berhadapan dengan begitu banyak peristiwa hidup yang menuntut untuk memberi respon. Orang beriman seharusnya selalu berdialog dengan Tuhan untuk mengetahui bagaiman ia harus memberi respon. Tuhan yang baik akan member respon yang perlu dan dibutuhkan oleh manusia untuk menghadapi situasi yang konkret tersebut. Oleh karena itu berusalah untuk terus belajar mendengarkan suara Tuhan dalam hati sebelum and merespon suatu peristiwa. Melalui cara itu, anda terus membina hari nurani anda sebagai tempat Tuhan mewahyukan dirinya. Relasi kedua yang perlu bagi setiap orang beriman adalah relasi horizontal. Relasi horizontal berkaitan dengan relasi dengan sesama manusia dan lingkungan. Relasi

yang

positif

dengan

sesama

dan

lingkungan

akan

sangat

membantu

menumbuhkembangkan hati nurani anda. Sebab melalui relasi yang baik itu, setiap orang beriman mengisi perbendaharaan pengalamannya dengan hal-hal yang baik melalui pengalaman berelasi dengan sesama dan alam.

92

Tentu kita dapat mempersoalkan bahwa tidak semua orang sebagai sesama dapat memberi kita situasi yang positif, bahkan mereka dapat mempengaruhi kita secara negatif. Hal ini tentu saja benar. Namun, kita harus mengakui bahwa seburuk-buruknya peritiwa yang kita alami dari sesama dan alam, peristiwa itu tentu tidak pernah menjadi lebih buruk bila respon kita adalah positif. Jadi peristiwa buruk tersebut juga adalah kesempatan bagi untuk untuk terus mempertegas sikap-sikap positif kita yang kita timba pertama-tama dari relasi yang kita bangun dengan terus mendengarkan apa yang Tuhan maui untuk kita lakukan melalui suara hati kita. Uraian singkat mengenai mengembangkan suara hati dengan membangun relasi dengan Tuhan, sesama dan alam sebetulnya merupakan sebuah ikhtiar untuk membiasakan diri hal-hal yang baik. Setiap orang yang terus menerus membiasakan diri dengan hal-hal yang baik akan secara otomatis dapat merespon setiap peristiwa yang berada di luar dirinya dengan respon-respon yang positif.

Sayangnya tidak semua orang beriman dapat memberi respon yang positif untuk menghadapi setiap peristiwa yang berada di luar dirinya. Banyak orang beriman memberi respon negatif terhadap setiap peristiwa yang berada di luar dirinya, apa lagi kalau peristiwa tersebut tidak masuk dalam ukurannya mengenai apa yang baik menurut dirinya. Karena itu tidak mengherankan, orang beriman hanya kelihatan spiritual pada hari-hari tertentu, waktu-waktu tertentu atau saat-saat tertentu. Sedangkan di luar waktu-waktu, saat-saat, hari-hari tertentu itu, orang beriman cenderung memberikan respon negatif terhadap berbagai peristiwa buruk yang berada di luar dirinya.

Respon negatif terhadap berbagai perisitiwa yang berada di luar dirinya tentu saja tidak akan pernah membantunya untuk menemukan jalan terbaik untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya sebagai suatu peristiwa yang menuntut respon tertentu. Malas, marah, putus asa, cemas, takut merupakan sebagian sedikit dari begitu banyak pilihan respon negative yang biasa ditunjukan oleh orang beriman dalam menghadapi sebuah situasi yang buruk. Respon seperti menandakan bahwa orang beriman belum cukup belajar untuk selalu membangun relasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Bila relasi orang beriman dengan Tuhan, sesame dan alam baik, maka responnya mungkin berupa sikap memaafkan, bersyukur, rajin, optimis dan berbagai sikap-sikap positif yang lainnya.

93

D.

TANTANGAN MENGEMBANGKAN SUARA HATI Tantangan-tantangan untuk mengembangkan suara hati tentu sangat banyak.

Namun di sini dapat kita identifikasi beberapa tantangan yang sering dihadapi oleh orangorang beriman. Beberapa tantangan tersebut berupa ilmu pengetahuan, materialism, dan kebudayaan. 1.

Ilmu Pengetahuan Kita tidak bermaksud mengguggat peran penting ilmu pengetahuan bagi

perkembangan peradaban manusia. Ilmu pengetahuan telah banyak berjasa membantu membawa manusia pada puncak-puncak peradabannya. Sekarang ini kita menjadi lebih bebas untuk memobilisasi diri. Kita dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya dengan begitu mudah, cepat, efisien dan efektif. Semua ini tentu berkat jasa ilmu pengetahuan dibidang teknologi. Selain itu, dewsa ini kita juga dapat menyaksikan berbagai peristiwa dari berbagai belahan dunia dalam hitungan menit dan bahkan detik melalui teknologi informasi. Demikian juga dengan peran ilmu pengetahuan dibidang-bidang lainnya seperti bidang kesehatan, infrastruktur, pangan, sandang dan papan. Singkatnya, peran teknologi untuk memajukan peradaban manusia tidak dapat sangkal signifikansinya. Bagi orang beriman, kemajuan ilmu pengetahuan tersebut harus dilihat dalam konteks peran Allah untuk terlibat dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia. Namun, sayangnya banyak orang beriman yang berusaha mengakui dan mengalami bahwa kemajuan ilmu pengetahuan merupakan salah satu bentuk peran Allah bagi pembebasan manusia. Orang beriman justru memusatkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan tersebut dan bukan pada Tuhan yang memungkinkan ilmu pengetahuan itu bertumbuh dan berkembang bagi manusia. Orang beriman kebanyakan mengganti peran Allah dengan peran ilmu pengetahuan. Namun apakah ilmu pengetahuan dapat memecahkan semua masalah manusia? Seharusnya dewasa ini ancaman penderitaan karena sakit harus berkurang karena tekonologi kedokteran sudah sangat berkembang, demikian juga dengan ancaman kelaparan karena ilmu pengetahuan dibidang pangan telah sangat canggih. Orang beriman dewasa ini harus menjadi lebih bahagia. Namun apa yang terjadi? Manusia terus dihantui oleh berbagai macam ketakutan. Banyak ketakutan tersebut justru dihasilkan oleh ilmu pengetahuan.

94

Sikap yang benar seharusnya bagi orang berima adalah terus menerus membangu dialog dengan Tuhan untuk memecahkan masalah hidupnya, bukannya menggantikan peran Allah dengan ilmu pengetahuan. Bila manusia terus menerus membangun relasinya dengan Allah untuk memecahkan masalahnya, maka manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan yang diperolehnya dalam tuntunan Allah. Dibidang kesehatan misalnya. Bila seseorang mengalami sakit jantung, dari sisi ilmu pengetahuan aka nada metode untuk mengobatinya. Namun bila anda bertanya pada Tuhan terlebih dahulu tentang apa yang harus anda lakukan dengan penderitaan anda, mungkan, jawabannya adalah anda jangan dendam dan marah sebab sikap-sikap seperti itu tidak baik baik kesehatan jantungmu. Jadi jawabannya sangat berbeda dan tidak harus diselesaikan dengan ilmu pengetahuan. Anda cukup belajar untuk bersukacita dalam setiap situasi terutama situasi yang sulit, maka jantung anda sehat. Demikian juga untuk kasus-kasus yang lainnya. 2.

Materialisme Materialisme merupakan salah satu tantangan yang dihadapi oleh orang beriman

dewasa ini untuk mengembangkan hati nuraninya. Materialisme merupakan sebuah sikap yang menempatkan materi sebagai yang utama bagi hidup manusia. Materialisme nampak dalam berbagai sikap hidup manusia seperti membeda-bedakan orang berdasarkan harta kekayaan yang dimilikinya. Bila ada orang yang memiliki kekayaan yang lebi besar atau menggunakan barang-barang atau fasilitas yang mewah dan eksklusif, kepadanya semua kesempatan dan tempat yang terutama diberikan, tetapi bila ada orang miskin yang masuk dalam rumah kita kita cenderung menerimanya dengan setengah hati. Korupsi merupakan wajah lain materialism. Dengan korupsi, mengabil apa yang tidak menjadi haknya atau menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama. Korupsi merupakan tindakan memupuk harta benda dengan mengabaikan hak-hak orang lain. Tentu masih banyak tindakan yang mencerminkan materialism. Materialisme mengabaikan nilai-nila spiritual. Seperti telah diuraikan, nilai-nilai spiritual diperoleh melalui hubungan atau relasi dengan Tuhan. Materialisme dalam konteks ini menggantikan peran Tuhan dengan benda-benda materi. Jadi penekanannya adalah menggantikan peran Tuhan dengan semua hal yang bersifat material. Penekanan tersebut mengindikasikan bahwa materi tetap penting bagi hidup manusia, Materi yang dimiliki oleh manusia juga merupakan tanda berkat Tuhan bagi manusia.

95

Melalui materi yang dimiliki oleh manusia, Tuhan membebaskan manusia dari kemiskinan, dan bahkan melalui mataeri yang diberkan oleh Tuhan kepada manusia, manusia dapat meningkatkan kebajikan hidupnya. Namun persoalannya, adalah bahwa banyak orang beriman telah menggantikan peran Tuhan dengan materi. Materi menjadi ukuran untuk semua prilaku. Rakus makan sebagai contoh lain misalnya merupakan wajah materialism. Orang yang rakus tidak berusaha mengurangi kebutuhannya supaya dia menjadi berkelebihan untuk dibagikan kepada orang lain. Kerakusan seperti ini akan memandag rendah praktek-praktek aksetisme, puasa dan lain sebagainya. Semakin orang beriman tenggelam dalam materialisme, semakin dia kurang menempatkan Tuhan sebagai subyek yang perlu didengarkan petunjuk-petunjuk-Nya yang disampaikan melalui hati nurani setiap orang berman. Bagi orang berman yang mengutamakan

materialism,

materi

merupakan

dasar

dari

seluruh

prilakunya.

Namun persoalannya adalah apakah materialism dapat menciptakan kebahagiaan bagi manusia? Dari berbagai berita televise atau Koran kita dapat meyaksikan bahwa bayak orang beriman menjadi cemas karena barang-barang material yang mereka miliki atau bahkan yang mereka tidak miliki. Bagi yang memilikinya, dia takut rusak, dia cemas akan dicuri orang. Kecemasan dan ketakutan dalam hal ini mendesaknya untuk melihat setiap orang lain sebagai yang perlu diwaspadai. Bahkan ia lebih memilih marah demi barang-barangnya dari pada berusaha untuk memaafkan dan berbagai sikap yang dapat membesarkan jiwanya. Sementara itu, bagi orang yang tidak memiliki materi yang cukup, ia dapat saja tergoda untuk mencuri atau merampok. Dengan membangun relasi yang baik dengan Tuhan, dengan secara terus menerus melatih diri dengan berusaha mendengarkan suara hati kita yang kita akui sebagai ruang di mana Tuhan berbicara kepada kita, kita menjadi tahu, bagaimana kita memperlakukan barang materi yang kita miliki, atau bagaimana kita harus memenuhi kebutuhan hidup kita.

3.

Kebudayaan Kebudayaan merupakan wajah peradaban manusia. Cara berpikir, nilai-nilai, norma,

kebiasaan, perilaku dan berbagai produk yang diciptakan oleh manusia merupakan wajah kebudayaan yang melalui itu manusia mengafirmasi peradabannya sendiri. Namun tidak setiap kebudayaan manusia dapat menuntun setiap orang beriman untuk mengembangkan suara hatinya sebagai media melalui mana Tuhan mewahyukan dirinya. 96

Secara sturktural dapat dijelaskan bahwa setiap orang lahir dalam konteks budaya tertentu. Jadi setiap orang yang lain kedua ini sudah ada budaya yang menuntun hidupnya, budaya yang mengatur bagaimana ia berperilaku, bagaimana itu bertutur kata, bagaimana ia merespon segala perisitiwa yang berada di luar dirinya. Hal ini tentu saja baik bagi setiap manusia, karena dengan itu, keteraturan sosial dapat terjadi. Tetapi bagi orang beriman, mengikuti tuntutan budaya saja tidak cukup. Budaya tidak dapat menggantikan peran Tuhan yang terus membimbing hidupnya. Oleh karena itu, setiap orang beriman tidak cukup menjalani hari-hari hidupnya berdasarkan tuntunan budaya. Orang beriman juga harus selalu berjuang mendengarkan suara Tuhan melalui hati nuraninya. Kebudayaan biasanya merupakan produk yang diwariskan, jadi kebudayaan diciptakan dalam konteks tertentu di masa lalu. Masa sekarang tentu saja sudah berubah. Oleh karena itu, mengandalkan budaya yang merupakan produk masa lalu sebagai satu-satunya tuntunan hidup tidak tepat bagi setiap orang beriman. Setiap orang beriman saharusnya tidak menggantikan peran Tuhan yang berbicara padanya melalu hati nuraninya untuk merespon situasi konkrit yang dialaminya saat sekaran.

E.

PENUTUP

Hati nurani merupakan sesuatu yang penting bagi setiap orang beriman. Setiap orang beriman tidak hanya mengandalkan ilmu pengetahuan, materi, dan kebudayaan sebagai dasar untuk merespon berbagai peristiwa konkrit yang berada di luar dirinya. Kalau orang beriman berperilaku demikian apa bedanya orang beriman dengan orang yang tidak berman? Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa hati nurani merupakan ruang melalui mana Tuhan mewahyukan diri-Nya. Dalam ruang itulah, Tuhan berbicara kepada setiap orang beriman mengenai bagaiman ia harus merespon setiap situasi atau peristiwa konkrit yang dihadapinya setiap hari. Oleh karena itu maka sikap dasar orang beriman adalah mendengarkan tuntutan Tuhan melalui suara hatinya untuk merespon setiap situasi atau peristiwa yang berada di luar dirinya.***

97

REFERENSI

Frans Magnis-Suseno (1987). Etika Dasar, Masalah-Masalah pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius Porat Antonius & Max Biae Dae (2015). Eksegese Orang Jalanan. Tahun Liturgi A Jilid 1; Tahun Liturgi C Jilid 1 dan 2, Kupang: Lembaga Jasa Psikologi Terapan

98

TOPIK 9

AGAMA DAN SEKULARISME

A. KONSEP SEKULARISME Dari mana datangnya istilah sekularisme ini? Terminologi sekularisme ini sebetulnya berasal dari masyarakat dunia barat. Kata-kata sekuler dan sekularisasi berasal dari bahasa Barat yakni Inggris, Belanda, dan lain-lain (Nurcholish Madjid: 1998, hal 216). Kamus Bahasa Indonesia memaknai kata sekuler sebagai duniawi kebendaan atau bukan bersifat kerohanian atau kebendaan. Sebetulnya kata sekuler berakar dari kata bahasa Latin ‘saeculum’ yang makna awalnya berarti masa kini atau generasi sekarang. Bahasa Prancis menggunakan istilah la cit yang merujuk pada kelompok masyarakat biasa dan bukan kalangan pendeta atau klerus. Oleh sebab ini sebetulnya sekularisme kontras atau beroposisi dengan istilah religius, agama dan yang rohaniah-spiritual. Sekularisme itu paham yang bernuansa duniawi belaka. Pemikiran sekularisme dimunculkan oleh para ilmuwan yang beraliran agnostik (pentingkan ilmu melebihi hal lain)

seperti Charles Darwin (biologi), Sigmund Freud

(psikoanalisis), Karl Marx (ekonomis), Einstein (sains IPA), George Elliot, Hardy, Tolstoy Dostoievsky dll yang mengembangkan pemikiran-pemikiran ilmiah yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur kitab suci dan teologi Kristiani (R.Coles: 1999, hal. 50). Bukan hanya ajaran kristianisme yang dilawan, sekularisme juga bertentangan dengan agama-agama lain seperti Islam, Budha, Hindu, dan Konghucu sebagai warisan keyakinan agama yang bernilai luhur oleh penganutnya yang tersebar secara sporadis di seantero bumi. Dengan asumsi-asumsi ilmiah, para ilmuwan sekuler ini dengan lantang menyuarakan asumsi mereka bahwa ilmu pengetahuan dan rasio bisa mengatasi berbagai persoalan hidup di dunia, sehingga peran agama dan religiositas terdepak ke titik fragil dan periferi.

99

Perkembangan sains dan pemikiran ilmiah menjadi primadona, sehingga entitas agama dianggap sebagai aspek yang tidak populer, ketinggalan zaman atau hal yang tidak penting lagi dalam persepsi masyarakat modern hingga kontemporer. Sekularisme asasinya suatu paham yang tertutup dan tidak mau terbuka terhadap agama. Sekularisme merupakan suatu ideologi keduniawian yang tertutup dan mau melepaskan diri dari agama atau menolak adanya kehidupan lain di luar kehidupan dunia ini (Madjid: 1998: hal. 218, 257). Sebagai konsekuensi logisnya, kehidupan hanya berlangsung di dunia ini saja dan tidak ada kehidupan lagi sesudah kematian sebagaimana diajarkan oleh agama-agama tentang keselamatan akan datang, surga, nibana, zaman akhir, parusia atau eskatologis. Tidak ada surga, tidak ada akhirat, tidak ada nibana dll. Sekularisme sangat mengagungkan atau mengkultuskan kebebasan liberal dan menolak hidup di bawah tekanan institusi-instusi religius yang berfungsi mengatur secara normatif dan mengarahkan masa depan manusia. Asumsi ini ditegaskan oleh Steve Bruce dalam bukunya “God is Dead: Secularitation in the West” yang mengatakan sekularisasi dimulai di belahan dunia barat dengan adanya reformasi Protestan lalu menurunkan paham relativisme, spesialisasi ke dalam bagian-bagian (compartmentalization), dan kebebasan pribadi (privatitation). Akar-akar sekularisme juga bisa dilacak mulai dari perkembangan pemikiran manusia sejak Auguste Comte (tahap positif berpikir ilmiah yang menyingkirkan teologi-agama), Karl Marx (agama sebagai candu/opium masyarakat), Max Weber (modernitas harus berdasarkan ratio bukan agama). Selain sebagai ideologi yang kontra agama, sekularisme juga berkembang seiring dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengglobal. Sekularisme merembes masuk ke segala dimensi kehidupan manusia di ruang publik hingga ruang privat penghayatan iman keagamaan kaum beragama alias orang-orang yang beriman pada Tuhan. Semangat utama yang dibawa

oleh fenomena sekularisme yakni kecenderungan

dasariah untuk mengutamakan sistem-sistem filsafat politik dan sosial yang menolak dengan tegas bentuk-bentuk iman keagamaan dan praktik-praktik ritual peribadatan agama. Dampaknya, pelaksanaan aktivitas kerja di ruang-ruang publik misalnya politik, ekonomi dan sosial serta pendidikan harus dilakukan tanpa didasarkan pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai profan (materialisme-duniawi) menjadi pegangan dan orientasi utama sekularisme yang mengarahkan pola sikap, pola pikir dan pola tindakan manusia masa kini.

100

B. TANTANGAN SEKULARISME TERHADAP AGAMA Secara definitif, sekularisme merupakan sebuah tantangan serius bagi penghayatan hidup keagamaan para penganut agama entah secara personal maupun kolektif, individual maupun institusional. Hampir semua agama di dunia termasuk penganut berbagai aliran agama di Indonesia menyaksikan bahwa penghayatan agama dan iman di dalam praksis masyarakat kita dewasa ini semakin tergerus dan luntur. Para pemuka agama pusing tujuh keliling menghadapi pengaruh negatif sekularisme yang luar biasa dahsyatnya ini. Hal ini diperparah dengan perilaku masyarakat yang merasa tidak penting lagi seolah-olah ke gereja, mesjid, pura, wihara dan klenteng. Tempat ibadah telah berpindah lokasi ke tempat hiburan malam (club), kafe, bioskop, dan mall yang bertebaran di seantero kota-kota besar. Di desa pun tempat-tempat ibadah semakin sepi karena banyak orang pun lebih banyak menghabiskan waktu dengan handphone, gadget, dan berbagai alat komunikasi lain yang lebih menggiurkan dan menghipnotis diri. Umat penganut agama-agama termasuk tokoh-tokoh agama di Indonesia kelabakan dan bingung menghadapi gelombang sekularisme yang semakin menerjang ganas ke dalam ruang-ruang agama kita. Agama-agama bergejolak! Kotbah di tempat-tempat ibadah dianggap sia-sia. Tokoh agama bingung menghadapi umatnya maupun generasi muda yang hanyut tenggelam di bawah tarikan arus utama (mainstream) sekularisme itu. Hal ini menjadi tantangan serius yang membuat penghayatan iman keagamaan menjadi dangkal dan tererosi. Penghayatan iman keagamaan semakin jauh dari nilai-nilai otentik luhur di dalam agama. Tantangan utama sekularisme bagi penganut agama tampak jelas di dalam berbagai bentuk godaan-godaan duniawi yang sangat kuat menghantui umat beragama. Gaya hidup (life style), pola sikap dan tindakan para penganut agama semakin jauh dari nilai-nilai kebajikan religius yang ada pada agama. Banyak sekali tantangan sekularisme bagi agama. Namun tantangan yang lazim dan dominan tampak dalam fenomena godaan-godaan duniawi yang deras menerpa masyarakat beragama dewasa ini. Godaan-godaan itu14 tentu menarik sekali bagi subjek manusia sebagai kaum beragama juga. Godaan-godaan itu antara lain:

14

Sebagian materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios et all (2013). CB: Spiritual Development. CBDC Binus University: Jakarta.

101

1). Godaan Kekuasaan Sudah sejak berabad-abad silam Lord Action dari Inggris mensinyalir bahwa setiap bentuk kekuasaan itu pada hakikatnya cendrung korup. “Power tends corrupt”, katanya. Kebenaran historis ini terjadi sepanjang sejarah kekuasaan politik manusia di planet bumi ini. Memegang kekuasaan dan berkuasa atas orang lain adalah suatu kenikmatan, sehingga banyak orang ingin memilikinya (Gea: 2004, hlm. 231). Terkadang orang bisa menggunakan cara-cara jahat, licik, kejam dan kotor untuk mendapatkan kekuasaan. Orang yang memiliki kuasa atau kekuasaan biasanya akan menggunakan kekuasaan itu untuk menindas atau menekan orang lain. Hal ini merupakan sesuatu hal yang melekat erat di dalam kata “kekuasaan” itu karena kekuasaan memberi peluang bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memaksakan kehendak bagi orang lain. Kekuasaan bisa mendatangkan rasa tunduk, taat dan hormat dari orang lain yang ada di bawah pengaruh kekuasaan itu. Secara ekstrem, seorang penguasa bisa saja memperlakukan orang lain secara negatif atau tidak adil bahkan tidak manusiawi asalkan kepentingan penguasa tercapai. Di sinilah terjadi apa yang sering disebut abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Bentuk-bentuk

penyalahgunaan

kekuasaan

misalnya

korupsi,

sewenang-wenang,

memaksakan kehendak, bertindak tak adil, berlaku tak jujur, menghancurkan lawan, menggunakan orang lain sebagai alat pemuas keinginan diri dan lain sebagainya. Umumnya kekuasaan bisa didapatkan oleh manusia dengan cara perjuangan atau kerja keras dan bisa juga diberikan sebagai hadiah dari orang lain kepada seseorang atau sekelompok orang untuk berkuasa. Sering kekuasaan juga bisa didapatkan karena keahlian/skill,

kekayaan,

pengetahuan

ataupun

pendidikan

yang

kompeten.

Namun kekuasaan juga bisa didapatkan karena keberanian seseorang misalnya menang konflik atau perang, unsur kegantengan atau kecantikan, bakat atau talenta spektakuler seseorang dalam hal memimpin dan lain sebagainya. Perlu kita sadari bahwa kekuasaan itu tidak salah, namun yang salah terletak pada orang yang menjalankan roda kekuasaan itu. Kekuasaan penting bagi manusia agar sebuah tujuan tercapai, suatu rencana direalisasikan, suatu kegiatan bisa terlaksana dengan baik, suatu organisasi atau kelompok bisa bergerak maju dan lain sebagainya. Kekuasaan menjadi salah atau disalahgunakan ketika orang yang memegang kekuasaan itu mengedepankan ego sendiri dalam praksis kekuasaan tanpa memperhatikan rambu-rambu etis yang berlaku apalagi sampai menindas orang lain secara kejam dan tidak manusiawi.

102

2). Godaan Materi Satu hal yang tidak bisa kita sangkali adanya yakni bahwa setiap manusia ingin maju dan berkembang secara material dalam hidup ini. Karena toh salah satu indikator kesejahteraan manusia yakni indikator akumulasi material yang dimilikinya entah berupa tanah, rumah mewah, kendaraan (mobil), uang dan lain-lain. Kepemilikan materi merupakan satu daya pikat yang menguasai hati semua orang (Gea: 2004, hlm. 233). Fenomena ini malah sering menjadi suatu keinginan atau kehausan besar yang seolah-olah tak pernah terpuaskan hingga tuntas. Ketika muncul suatu produk barang baru di pasaran, orang akan berlomba-lomba untuk membeli demi mendapatkannya.

Nafsu untuk memiliki barang melecut manusia dewasa ini untuk terus membeli dan membeli. Fenomena inilah yang oleh Magnis Suseno dilihat sebagai megatrend dalam masyarakat sekarang ini. Orang menghayati gaya hidup konsumisme yakni semacam nafsu untuk membeli dan terus membeli tanpa pernah puas ataupun berhenti (Makalah Seminar Character di Binus Uviversity, 2012). Lihat saja di mall-mall dan pusat perbelanjaaan di kota Jakarta dan sekitarnya ini. Banyak orang mulai dari kalangan bawah hingga elit menjadikan mall sebagai tempat menghabiskan uang yang didapatkannya entah dengan cara halal ataupun tidak. Disadari atau tidak, nafsu untuk membeli barang merupakan kekuatan yang sudah seakan menghipnotis banyak orang. Disadari ataupun tidak nafsu untuk terus membelanjakan uang, membeli barang atau memiliki produk trend tertentu merupakan masalah serius di dalam zaman edan kita sekarang ini. Jika tidak diwaspadai, maka lama kelamaan akan mempolusikan bening spiritual dimensi jiwa manusia. Karena orang bisa saja menggunakan cara-cara tak halal untuk mendapatkan materi atau uang misalnya dengan cara korupsi untuk bisa memenuhi nafsu membeli barang material yang diinginkannya.

Raja yang Rakus Harta Dalam legenda Yunani Kuno, diceritakan bahwa telah bertakhta seorang raja yang oleh rakyatnya disebut Raja Midias, sebuah wilayah di Anatolia, Asia Kecil. Oleh rakyaktnya, dia dijuluki “raja yang rakus”, yang selalu menumpuk kekayaan dan tidak rela jika ada orang lain yang lebih kaya dari dirinya. Sedemikian serakahnya Raja Midias ini, sehingga suatu hari ia datang ke Dionysus, seorang dewa Yunani yang sangat sakti, agar ia memiliki tangan ajaib. Midias akhirnya memiliki tangan ajaib yang diinginkannya. Ia pun berjalan masuk dari taman ke taman sehingga secara misterius semua pohon dan bunga yang dia sentuh otomatis berubah menjadi emas.

103

Merasa memiliki kekuatan hebat, ia pun beranjak pergi ke sungai dan dipegangnya air sungai itu yang seketika berubah menjadi bongkahan-bongkahan emas. Tampaknya nafsu untuk memiliki banyak emas makin menjadi-jadi saja. Bergegaslah Raja Midias pulang ke istananya. Seluruh sudut istana disentuh dan dipeluknya dengan gairah mulai dari pagar, pintu, tiang, meja, kursi dan segala peralatan istana tak luput dari sentuhannya. Seluruh istananya dipenuhi dengan lapisan emas yang begitu banyak. Puas melihat semua emas itu, kini Midias pun lapar dan haus. Maka duduklah ia di meja makan untuk makan siang. Apa yang terjadi? Makanan berubah jadi emas sewaktu dia sentuh. Begitu pun halnya dengan air. Akhirnya dia tidak bisa makan dan minum lagi. Ternyata tangan ajaibnya membuat segala sesuatu menjadi emas. Dia sendiri mulai bingung dengan kejadian ini, sehingga ia pun berteriak-teriak memanggil istri dan anaknya. Namun istri dan anaknya pun ikut berubah menjadi emas. Akhirnya dia gila, dan tak seorang pun mau mendekatinya lagi, karena takut terkena tangan ajaib yang sudah menjadi sumber malapetaka itu (Gea: 2004, hlm. 230-231). Materi bukanlah unsur yang salah atau negatif. Karena materi penting bagi kita untuk bertahan hidup di dunia fana ini. Letak kesalahannya justru pada keinginan hati atau nafsu liar manusia untuk memiliki banyak barang secara irasional dan membabi buta. Sehingga ujung-ujungnya nafsu itu mendatangkan kerugian fatal bagi diri manusia dan orang lain. Nafsu memiliki barang malah bisa mendatangkan neraka (derita) bagi manusia dan bukannya surga (bahagia) di hati manusia. Dan inilah salah satu ancaman serius bagi kita manusia yang hidup di era globalisasi berbagai bidang pada abad ke-21 ini.

3). Godaan Seks Manusia dibedakan sebagai pria (laki-laki) dan wanita (perempuan) lengkap dengan organ genital atau alat kelamin yang membedakan keduanya secara lahir. Dengan alat kelamin inilah orang bisa mencari kebahagiaan badaniah bagi dirinya sendiri. Orang bisa menggunakan alat kelamin untuk menghasilkan rangsang seksual demi kepuasan atau kesenangan badan. Kita tidak bisa menyangkal hakikat tubuh manusia yang penuh pesona dan indah ini. Justru karena daya tarik seks inilah maka hubungan antara pria dan wanita menjadi menarik, indah dan selalu baru (Gea: 2004, hlm. 234). Namun pesona keindahan seks manusia ini banyak kali disalahgunakan sehingga keindahan seks akhirnya tercemari. Seks sebagai keindahan yang tercemari tampak dalam berbagai tindakan yang bersifat inferior-rendah seperti prostitusi, seks bebas, perkosaan, pelecehan seks, selingkuh, perzinahan, dan berbagai bentuk manipulasi seksual lain yang merusakkan makna seks yang sejati sebagai hubungan intim antarmanusia yang bersifat personal, indah, sejati dan suci.

104

Seksualitas yang dihayati secara salah akan tergerus nilainya menjadi sebuah fenomena objektivasi antarmanusia. Ketika ini terjadi maka hubungan subjek-subjek menjadi ternodai. Yang ada hanyalah hubungan subjek-objek yang saling mengobjekkan, memperalat dan memanipulasi satu sama lain. Seks harus dihayati sebagai karunia Tuhan yang indah bagi manusia, dan karena itu ia harus diekspresikan secara sadar, etis, dan tanggung jawab agar tidak mendatangkan efek destruktif bagi diri sendiri maupun orang lain. Makna hubungan antarmanusia perlu dihayati secara tepat: etis, estetis dan spiritual. Hubungan manusiawi tidak boleh diredusir nilainya pada hubungan seks yang merendahkan kualitas relasi antarsubjektif manusia.

C. MENGATASI DAMPAK NEGATIF SEKULARISME15 1. Bertindak Bijak Rasional

Kemampuan manusia untuk berpikir merupakan ciri khasnya yang paling menonjol (Polanyi: 2001, hlm. 15). Kualitas berpikir ini menjadi kekuatan utama manusia untuk mengatur dan mengarahkan instingnya menuju tindakan-tindakan yang baik secara etis. Kualifikasi rasionalitas inilah yang merupakan ciri dasar pembeda khas manusia dari binatang yang memang hanya hidup dengan mengandalkan insting untuk bertahan hidup (survive). Manusia tidak akan hidup baik, bahagia dan damai kalau hanya mengikuti dorongan insting belaka. Ia akan hidup tenang dan bahagia, asal saja ia bertindak menurut rasionya; ia akan menguasai nafsu-nafsunya dan mengendalikan diri secara sempurna, supaya dengan penuh keinsyafan ia menaklukkan diri pada hukum-hukum alam (Bertens: 2000, hlm. 16). Orang yang hidup menurut rasionya akan mencapai kebebasan sejati dan tidak tunduk atau terbelenggu di bawah kuasa, tekanan atau kendali insting-insting rendahan. Ia akan bertindak rasional untuk mencapai kebebasan sejati yang membahagiakan diri maupun sesamanya. Orang yang bertindak rasional tidak lagi tunduk pada kuasa insting, tetapi tunduk dan mengarahkan diri pada hal-hal yang benar sesuai pertimbangan rasio sehingga membuatnya hidup gembira dan bahagia secara sempurna.

15

Sebagian materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios (2013). CB: Spiritual Development. Binus University: Jakarta.

105

Karena terlalu banyak mengikuti kesenangan badaniah manusia, akan menggelisahkan batin manusia (Bertens: 2000, hlm. 17). Karena itu manusia perlu membebaskan diri dari kungkungan insting kesenangan badaniah sesaat itu dengan mendasarkan tindakannya di atas pikiran atau rasio. Hanya dengan ini manusia menjadi bebas-otonom dari belenggun kuasa-kuasa instingtif badaniah yang menghancurkan diri.

2. Beriman teguh kepada Tuhan

Orang bijaksana tahu membebaskan diri (dari godaan) dan terutama mencari kebahagiaan rohani supaya keadaan batin tetap tenang (Bertens: 2001, hlm. 17). Orang yang bijak tidak mencari kebahagiaan di dalam daya tarik duniawi yang sesaat dan menyesatkan dirinya. Namun kebahagiaan rohani seorang yang bijak diarahkan secara absolut pada nilai-nilai religius-spiritual yang abadi dan perennial. Sumber kebahagiaan diri tidak ditemukan dalam daya tarik material duniawi, tetapi dicari dan ditemukan dalam dimensi rohani-spiritual. Dalam konteks inilah kita bicara tentang pentingnya beriman dan mendekatkan diri pada Tuhan. Menghadapi daya tarik duniawi yang menggiurkan, kita tentu tidak hanya mengandalkan diri sendiri saja. Sebab kepercayaan diri manusiawi yang berlebihan tanpa sikap iman pada Tuhan, hanya akan melorotkan manusia kembali pada godaan-godaan yang sama. Sebagai orang yang beriman pada Tuhan, usaha mengatasi godaan-godaan kita butuhkan intervensi atau penyelenggaraan Ilahi Tuhan. Karakter kerapuhan yang melekat pada dimensi kemanusiaan kita menuntut kita untuk mengandalkan pertolongan Tuhan yang Maha Kuasa. Karena kendatipun tubuh kita berkarakter rapuh terhadap godaan, namun kita bisa kuat mengatasi kerapuhan itu di dalam nama Tuhan. Bersama dan di dalam Tuhan, kita percaya diri dan berharap mampu mengatasi segala godaan dan daya tarik duniawi. Bersama Tuhan kita menang, tanpa Tuhan kita kalah. Mendekatkan diri pada Tuhan dalam konteks seorang beriman, artinya kita perlu selalu bersikap rendah hati dan berdoa mohon kepada Tuhan untuk membantu kita mengatasi kelemahan-kelemahan manusiawi kita. Doa permohonan itu kita sampaikan terus-menerus kepada Tuhan tanpa henti siang dan malam. Dan kita yakin, dalam semuanya itu Tuhan pasti akan memberikan kekuatan spiritual bagi kita untuk menghadapi godaan-godaan itu dengan penuh keberanian dan jiwa besar. Doa yang kita panjatkan dengan tulus-ikhlas kepada Tuhan akan dikabulkan Tuhan pada waktunya. Sehingga kita tidak hidup di bawah kuasa bayang-bayang godaan duniawi, namun hidup bebas sebagai anak-anak Tuhan yang spiritual. 106

Alhasil, diri kita bisa bertransformasi dari kerapuhan pada godaan menuju pada kekuatan untuk bertahan di tengah godaan dan akhirnya muncul sebagai pahlawan pemenang yang kukuh dalam Tuhan. Kita bisa menjadi bebas dari godaan duniawi. Pada suatu ketika memperoleh penerangan, sekali lagi kita mendapat hasrat akan yang surgawi, dan menyucikan diri dari segala kotoran duniawi: “Orang harus mengabaikan segala sesuatu yang lain untuk berpaling pada Tuhan dan mempersatukan diri dengan-Nya” (Bertens: 2000, hlm. 38). Dekat dengan Tuhan, manusia makin jauh dari godaan-godaan duniawi. Sebaliknya jauh dari Tuhan, manusia makin dekat dengan godaan-godaan duniawi.

3. Menjaga satu sama lain

Sebagai orang-orang yang beriman kepada Tuhan, kita perlu bekerja sama untuk melawan berbagai godaan yang dibawa oleh pengaruh sekularisme itu. Kita perlu peduli pada kebaikan sesama dan tidak menjerumuskan sesama ke dalam godaan-godaan duniawi itu. Kita perlu menjaga satu sama lain, membebaskan sesama dari belenggu godaan. Kita perlu memiliki keberanian moral dan keteguhan hati untuk sama-sama berjuang melawan dosa atau berjuang terus untuk tidak hanyut di bawah oleh arus utama tarikan godaan-godaan itu. Kita harus saling membantu, saling menasihati, saling menjaga untuk tidak menjerumuskan satu sama lain ke dalam godaan-godaan duniawi yang ada. Hanya dengan itu kita sungguh bersikap solider dan ikut bertanggung jawab menjaga kehidupan dan masa depan sesama kita menuju kebaikan.

D. DARI PENGENDALIAN DIRI MENUJU CINTA DAN SOLIDARITAS PADA SESAMA16 Mengendalikan diri (askese) merupakan usaha untuk menahan diri agar kita tidak terjatuh lagi ke dalam godaan-godaan duniawi yang menyesatkan. Mengendalikan diri artinya juga kita berusaha menekan dan mengatasi kecendrungan instingtif kita yang berpotensi merusakkan perkembangan diri kita menuju kebaikan sebagai makhluk religius-spiritual. Mengendalikan diri mengandaikan adanya usaha secara kritis dan sadar untuk selalu mengantisipasi godaan-godaan agar kita tidak terjatuh ke dalam pengaruh jahat godaan-godaan yang merusakkan diri.

16

Diadaptasi dari F. Fios (2013). CB: Spiritual Development. Binus University: Jakarta.

107

Mengendalikan diri tentu kita tidak bermaksud menghilangkan secara total nafsu-nafsu yang ada di dalam diri kita. Pengendalian diri tidak boleh dipikirkan seperti kita memberikan obat instan-efektif bagi diri kita agar tidak bereaksi sama sekali pada godaan-godaan. Bukan artinya kita membius mati insting-insting manusiawi kita. Bukan begitu maksudnya. Karena bagaimanapun juga insting atau nafsu, adalah libido sexualis (energy hidup) menurut Freud sebagai prayarat mutlak bagi kondisi kemanusiaan kita. Namun yang penting bagi kita dalam konteks wacana CB agama ini yakni usaha kita secara sadar dan kritis untuk selalu memegang kendali dalam menghadapi godaan-godaan baik itu godaan material, godaan kuasa maupun godaan seks. Kita perlu berusaha menjadi pribadi yang selalu berpikir jernih dan bertekad kuat untuk menang melawan godaan-godaan itu. Mengendalikan diri merupakan bentuk tanggung jawab etis-religius kita terhadap Tuhan, sesama dan terhadap diri kita sendiri. Dengan berusaha terus-menerus untuk mengendalikan diri, kita mau berikhtiar mencapai suatu taraf penghayatan kualitas hidup rohani-religius yang lebih tinggi dan lebih baik lagi. Dengan mengendalikan diri, kita mau membentuk pribadi kita menjadi sosok yang semakin mencintai sesama dengan murni dari waktu ke waktu, dari hari ke hari sebagai manusia sepanjang hidup. Godaan-godaan yang kita ikuti biasanya menjauhkan kita dari Tuhan dan sesama. Karena kita akan diarahkan untuk cenderung bersikap egoistik demi memenuhi keinginan atau kesenangan sendiri. Dan kita mau bangkit dari situasi keterpurukan ini dalam cinta kasih yang murni pada sesama. Kita mau menjadi pribadi yang semakin mengasihi dan mencintai Tuhan dan sesama dengan tulus-ikhlas. Ini artinya kita mau berusaha dan bangkit untuk bersikap solider atau setia kawan terhadap sesama yang lain. Godaan materi atau harta bisa membuat kita merusakkan alam lingkungan hidup (untuk mendapatkan barang dan uang) dengan mengurasnya untuk kepentingan egoistik kita. Godaan kekuasaan membuat kita melecehkan harga diri sesama karena kita menindas dan memanipulasi mereka dengan menyalahgunakan kekuasaan. Godaan seks membuat kita mengeksploitasi tubuh tanpa cinta dan menghancurkan hidup serta masa depan orang lain. Semua godaan ini mendatangkan dampak destruktif bagi sesama dan lingkungan kita. Dalam konteks pemikiran di atas kita mau melakukan sebuah “metanoia religius” untuk tidak lagi terjatuh atau melakukan kesesatan-kesesatan yang sama melalui tindakan-tindakan mengikuti rayuan gombal godaan-godaan yang menggiurkan. Kita mau berbalik haluan ke arah dan jalur rel yang benar. Semuanya kita lakukan dengan penuh keikhlasan, ketulusan, cinta kasih, dan rasa solider pada sesama yang lain.

108

Kita mau mengendalikan godaan materi agar orang lain pun ikut berkembang dan menikmati kesejahteraan seperti kita. Kita mau mengendalikan godaan kuasa, agar orang lain senang dan bahagia berada di dekat kita. Kita mau mengendalikan godaan seks itu, agar hubungan manusiawi kita terkondisikan berlangsung dalam suasana subjek-subjek dan bukannya subjek-objek

untuk

saling

melecehkan

dan

melukai

perasaan

masing-masing.

Kita mau mengendalikan diri dalam suasana solidaritas atau setia kawan terhadap sesama kita, khususnya yang susah dan menderita. Kita mau berbagi, peduli, peka, dan mengasihi orang lain dengan ikhlas dan tulus sehingga tercipta dunia yang damai, harmonis dan nyaman bagi siapa saja. Inilah saatnya kita menciptakan “surga spiritual” bagi sesama dan bukannya “surga duniawi” untuk kepentingan egoistik kita yang rendah dan murahan. Kasus:

Sekularisme dan Kehidupan Beragama Bagi umat Islam khususnya, sekularisme merupakan suatu paham atau ideologi yang di anggap menyesatkan. Karena, menurut paham ini agama tidaklah dapat mencampuri urusan duniawi. Dan, di dalam sistem sekuler, pemerintah pun juga tidak dapat mencampuri urusan agama. Sebaliknya, ditegaskan bahwa agama tidak bisa masuk pada ranah pemerintahan. Namun, uniknya di Indonesia antara agama dan sekularisme mempunyai perananya masing-masing juga terkadang bisa saling mengisi. Sekularisme adalah suatu aliran atau faham yang tidak memperkenankan agama masuk dan mencampuri urusuan duniawi. Paham ini lahir antara abad 18-19, pada jaman pencerahan di kawasan Eropa Barat. Permulaan munculnya paham ini di akibatkan oleh pengalaman buruk negara-negara Eropa Barat terhadap peran agama dalam pemerintahan maupun kehidupan masyarakat. Maka, dengan diterapkannya sistem sekuler ini masyarakat menjadi bebas dari kungkungan dogma-dogma agama yang pada waktu itu sangatlah mendominasi. Ideologi sekuler ini sudah di terapkan di berbagi negara, mayoritas di terapkan di negara-negara barat, seperti: Amerika Serikat, Perancis dan Jerman. Di Turki misalnya, sekularisme diterapkan pada masa Mustafa Kemal Atatturk. Ia tidak menghendaki sistem monarki yang baginya sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman. Maka, pada waktu itu kerajaan ottoman dibubarkan dan sultan hamid dilengserkan dari jabatannya. Menurut Mustafa, sistem semacam itu akan sangat membatasi kebebasan masyarakat, sehingga dapat menghambat kemajuan. Mustafa juga memandang bahwa negara dan agama haruslah dipisahkan. Dengan demikian, Mustafa berkeyakinan bahwa negara sekuler merupakan konsep yang tepat bagi Turki untuk menciptakan Negara Turki yang modern. Berbeda dengan di Indonesia, agama dan negara justru kadangkala dapat bekerjasama. Kadang pula dapat bersinggungan. Kedekatan pemerintah dengan agama ini ditunjukkan misalnya dengan adanya lembaga yang berorientasikan agama, seperti adanya kementerian agama dan MUI. 109

Lalu, adanya perda-perda yang bernafaskan agama misalnya UU zakat dan UU haji. Akan tetapi, kehidupan sekuler pun nampak jelas dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya khususnya yang hidup di perkotaan. Masyarakat kini cenderung bergaya hidup ke arah hedonistik dan materialistik Selain itu uniknya, menurut saya di Indonesia ini adalah kehidupan masyarakat yang sekuler itu tergambar ketika misalnya: sebuah masjid yang berdekatan dengan tempat hiburan. Maka, tidak heran jika seorang pemikir Islam terkemuka, Ahmad Wahib pernah menyebut dalam bukunya “pergolakan pemikiran Islam” bahwa sebenarnya umat Islam khususnya. tanpa disadari, secara tidak langsung telah menganut sekuler, meskipun dengan keras menentangnya. Senada dengan Ahmad Wahib, Cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra juga berpendapat bahwa kini umat muslim dengan tidak sadar telah menjadi sekuler. Ia mencontohkan: orang yang taat beragama, tapi jika sudah berusan dengan pekerjaan, semangat agama dalam artian ruh-nya itu tidak dibawa. Karena itulah korupsi masih merajalela. Dan kita harus berpandangan objektif, bahwa mayoritas yang melakukan korupsi itu adalah orang yang beragama atau setidaknya orang yang memiliki identitas agama. Sebab demikian, akarnya itu ialah dari semangat agama yang tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, di jaman modern kini, kehidupan sekuler secara perlahan telah merasuki kehidupan kita, akibat dampak dari globalisasi, termasuk pula orang yang beragama. Kalaupun memang orang yang beragama itu menolak sekuler, seharusnya ajaranajaran agama yang dianutnya itu mampu diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Semisal di tempat pekerjaanya ia tidak melakukan KKN. Jadi, jika tidak ingin disebut orang sekuler, maka jalankanlah ajaran agama dengan sebaik-baiknya. Dan terapkanlah dalam kehidupan sehari-hari. Dan niscaya bila para orang yang beragama ini menjalankan agamanya dengan sebaik mungkin, maka korupsi di negara ini pasti tidak akan ada dan terjadi. (http://www.kompasiana.com/catatanryankurnia/sekularisme-dan-kehidupanberagama_55171716a333115706b659ce diunduh tanggal 5 September 2015, pkl 15.00 WIB)

110

REFERENSI: Antonius Atosokhi Gea (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo: Jakarta. Departermen Pendidikan dan Kebudayaan (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. Bina Nusantara University: Jakarta Nurcholish Madjid (1998). Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan. Robert Coles (1999). Secular Mind. New Jersey: Princeton University Press. http://www.kompasiana.com/catatanryankurnia/sekularisme-dan-kehidupanberagama_55171716a333115706b659ce diunduh tanggal 5 September 2015, pkl 15.00 WIB)

111

TOPIK 10

RITUS-RITUS DALAM AGAMA17

A. IBADAT RITUAL DALAM AGAMA ISLAM

Dalam ajaran agama Islam, ada bermacam-macam ritual yang dilakukan. Di antara ibadah-ibadah tersebut ada yang tetap atau terstruktur, tidak bisa diubah-ubah sejak dulu hingga sekarang, yang dalam fikih Islam disebut ibadah khas atau mahdhoh. Tetapi ada juga yang fleksibel sesuai dengan situasi dan kondisi daam fikih Islam disebut ibadah ‘Am atau Ghoir mahdhoh. Ibadah yang tidak bisa berubah misalnya: urutan berwudhu; urutan shalat; kapan puasa mesti dilakukan; syarat, urutan dan tempat menunaikan Haji. Ibadah-ibadah di atas, adalah ibadah yang diwajibkan oleh Allh di dalam Al-Qur’an, namun rinciannya dinyatakan di dalam Hadis Nabi. Hal yang tidak berubah mencakup baik bacaan yang diucapkan maupun gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan. Puasa hanya dilakukan pada buan Ramadhan. Puasa yang jumlahnya kadang 30 hari, kadang 29 hari, karena kadang jumlah hari dalam satu bulan menurut penanggalan Hijriah tidak mesti sama. Begitu pula dengan Haji atau Umroh, tidak boleh disembarang tempat, melainkan hanya ditempat yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad, yaitu di Mekkah. Urutan upacaranya juga sudah tertentu dan tidak bisa diganti-ganti, karena sudah baku. Lebih lanjut mengenai upacara peribadatan dalam agama Islam akan diuraikan secara singkat berikut ini.

1.

Shalat

Shalat adalah ritual utama dalam agama Islam , yang secara singkat, sering diartikan sebagai sebuah ibadah yang diawali ucapan takbir (mengagungkan nama Tuhan) dan diakhir dengan mendoakan keselamatan bagi seluruh umat manusia. Aktivitas ini dilakukan dengan cara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, bisa di rumah, di kantor atau ditempat-tempat ibadah. Sebelum melakukan ritual, seseorang diharuskan menjalani pembersihan yang disebut dengan berwudhu. 17

Sumber bab ini adalah Antonius A. Gea, Noor Rachmat dan Antonia Wulandari (2004). CB III: Relasi Dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo.

112

Urutan dan filosofi dalam berwudhu adalah sebagai berikut; a. Membaca niat, b. Membaca ” BISMILLAAHIR-RAH-MAANIR-RAHIIM”, c. Membasuh kedua tangan, yang dimaksudkan sebagai symbol pembersihan dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik yang pernah dilakukan oleh kedua tangan dan berharap bahwa tangan itu tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatan itu lagi. d. Berkumur sebanyak 3x, adalah symbol dari membersihkan mulut, dengan harapan, mulut

jadi bersih dari kotoran, baik secara jasmaniah, tetapi yang

terpenting adalah agar tidak lagi mengucapkan kata-kata yang tidak baik. e. Mencuci lubang hidung sebanyak 3x f. Mencuci muka sebanyak 3x g. Mencuci/membasuh kedua tangan anda hingga siku-siku anda sebanyak 3x h. Menyapu sebagian rambut bagian depan sebanyak 3x, mengandung arti kepala telah menjadi dingin dan bersih, tidak memikirkan yang tidak baik, sebaliknya hanya memikirkan yang baik-baik saja. i. Menyapu kedua belah telinga sebanyak 3x, mengandung arti simbolis agar telinga tidak digunakan lagi untuk mendengar suara-suara yang tidak baik, dan berharap untuk selanjutnya hanya dipergunakan untuk hal yang baik-baik saja. j. Mencuci kedua kaki sebanyak 3x, mengandung arti simbolis bahwa kaki kita tidak lagi dipergunakan untuk tujuan yang kurang baik, melangkah ke arah yang kurang baik, apalagi dipergunakan untuk menyakiti orang lain.

Setelah selesai berwudhu, lalu mengambil tempat yang bersih dan sudah dengan pakaian yang bersih pula, mulailah melaksanakan shalat. Salat adalah acara ritual yang terdiri atas gerakan dan ucapan-ucapan doa. Dalam ritual Shalat, ada beberapa gerakan, antara lain;

a. Berdiri dengan tegap sambil mengarah ke Kiblat seraya berniat mengerjakan shalat. Lalu mengangkat kedua tangan setinggi bahu sambil mengucapkan lafal takbir “Allahu Akbar”, yang artinya: hanya Allah saja yang Maha Besar. Ini adalah sebuah pernyataan sikap yang mesti selalu diperbaharui beberapa kali dalam satu hari satu malam, melalui beberapakali rakaat dalam 5 kali shalat.

113

Dalam keadaan berdiri ini ada beberapa doa yang dibaca yaitu: membaca doa Iftitah atau doa pembukaan, yang berisi pernyataan tentang sikap dirinya dihadapan Allah; membaca suarat Aftatihah yang berisi antara lain puji-pujian dan doa; dan membaca salah satu surat pendek dari Al-Qur’an, yang isinya bergantung surat apa dan akan berkisah tentang hal-hal tertentu. b. Ruku’ atau menundukan badan. Ini sebagai rasa hormat kepada Allah sambil membaca doa dan pujian. c. Beri’tidal, yaitu bangkit dari ruku’, sebagai sebuah pernyataan bahwa hanya Tuhan saja yang maha mendengar, maha besar disertai pemanjatan puja dan puji. d. Sujud, sebagai symbol gerakan penyerahan diri secara totoal sambil mencium tanah dan menyatakan kesadaran bahwa dulu kita berasal dari tanah dan kelak kembali menjadi tanah, yang juga disertai pemanjatan puja dan puji. e. Duduk diantara sujud, sambil memanjadkan doa, yang intinya bertujuan mohon untuk diampuni, diperhatikan, diangkat derajadnya, dicukupi rizkinya, ditunjukan jalan yang lurus, diberi kesehatan dan dimaafkan segala kesalahan. f. Dan doa terakhir adalah doa tahiyat, yang dibaca pada saat duduk terakhir, yang antara lain berisi sebuah pernyataan bahwa sesungguhnya tidak ada suatu sistem kehidupan

yang

mampu

menciptakan

hidup

hormat-menghormati,

saling

memperlakukan dengan baik satu sama lain, selain dengan sistem kehidupan yang diajarkan oleh Allah melalui kitab suci-Nya. g. Shalat ditutup dengan salam penutup seraya menoleh ke kanan dan ke kiri, yang berarti menebar doa keselamatan kepada siapa saja yang ada di sebelah kanan dan kiri kita.

Di samping ritual shalat di atas (yang wajib dilakukan lima kali dalam satu hari), ada lagi shalat yang dilakukan seminggu sekali, yaitu Shalat Jum’at yang dilakukan secara bersama-sama, diadakan di Mesjid-mesjid dan di aula-aula kantor, yang diawali dengan khotbah. Ada lagi shalat yang dilakukan satu kali dalam satu tahun, yaitu Shalat Idul Adha dan shalat Idul Fitri. Salat Idul Adha dan Idul Fitri dipenuhi dengan takbir, yang artinya penuh dengan nuansa penyebutan kebesaran Tuhan Allah. Shalatnyapun agak berbeda, karena hanya dua rakaat, dibacakan takbir, yaitu penyebutan keagungan Tuhan berkali-kali. Ditutup dengan saling bersalam-salaman sebagai tanda dari saling maaf-memaafkan. Dan, sepulangnya ke rumah dilanjutkan dengan cara saling bersalam-salaman, juga sebagai tanda bermaaf-maafan dan bersilaturahmi. 114

Khusus tentang Idul Adha, setelah selesai melakukan shalat bersama, mendengar khotbah bersama, dilanjutkan dengan acara penyembelihan hewan Kurban bagi mereka yang mampu. Penyembelihan Kurban ini sebagai ukuran tingkat kepedulian kepada fakir miskin, dan sebagai peringatan spiritual tentang ketabahan nabi Ismail sebagai seoang anak, ketika mendengar bahwa bapaknya (Ibrahim) diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih dirinya. Meski akhirnya tidak jadi disembelih sebagai kurban (karena diganti oleh Tuhan dengan kambing Gibas), namun hal tersebut adalah tetap sebagai manifestasi ketaatannya kepada Tuhan, yang memberinya perintah dengan menyembelih hewan kurban berupa kambing atau sapi.

2.

Ibadah Puasa

Ibadah puasa adalah ibadah yang tergolong agak berat karena dilakukan selama sebulan penuh, yakni pada bulan Ramadhan, yang juga disebut bulan Puasa. Puasa dijalankan rata-rata14 jam setiap harinya, dari mulai terbitnya fajar hingga tenggelamnya mata hari. Disamping sebagai bukti ketaatan kepada Allah – sebagaimana disebut dalam Surat Al-Baqarah 183 – juga merupakan sarana pelatihan jangka panjang. Bukan hanya menahan haus dn lapar selama kurang lebih 14 jam, tetapi juga berlatih menahan bermacam-macam nafsu yang tidak baik, yang biasanya mempengaruhi perbuatan seseorang seoerti menghindari bicara yang kurang baik dan menjauhi perilaku-perilaku yang tidak baik. Harapannya adalah manakalah pelatihan itu usai, maka 11 bulan berikutnya seseorang tetap mampu menahan segala hawa nafsu yang umumnya tidak baik. Dalam masa pelatihan ini, seseorang yang berpuasa juga dianjurkan menyibukkan diri untuk banyak berderma atau bersedekah kepada lapisan fakir dan

miskin, yang sehari-harinya mereka hidup serba

kekurangan, kurang makan, kurang minum, kurang sandang dam kurang papan. Demikian pula diajurkan untuk berdzikir, bertafakur, meningkatkan frekuensi membaca firman-frman Allah dengan tujuan untuk mempelajari dan mendalaminya. Kemudian, setelah genap satu bulan, dianjurkan mengeluarkan zakat fitrah, sebagai sarana penyempurnaan pembersihan diri, berupa beras atau uang senilai tiga liter beras, di samping agar hari kemenangan tersebut tidak ada lagi orang yang lapar.

115

3.

Ibadah Ritual Haji

Tidak semua orang Islam mampu untuk melakukan ritual Ibadah Haji ini, mengingat tidak sedikit biaya yang diperlukan. Juga lokasi yang jauh di Mekkah, dengan udara yang kering dan sangat panas, rata-rata 40 derajat Celsius. Kondisi badan yang sehat, stamina yang sempurna adalah syarat yang tidak kalah pentingnya. Untuk itu ibadah ini hanya diwajibkan kepada mereka yang mampu dari segi finansial dan juga dari segi fisiknya saja. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak sedikit di antara mereka yang tidak kuat, meninggal dunia di sana. Upacara Haji dimulai sejak seseorang memasuki Miqot (suat batas di mana seseorang mulai melepaskan pakaian keduniaannya dan berganti pakaian serba putih berupa kain tidak berjahit, yang disebut pakaian ihrom), sambil berniat untuk menunaikan ibadah Haji. Dengan pakaian serbah putih itu mereka melakukan shalat sunat Ihram dan sudah mulai berniat untuk meninggalkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam menjalankan Haji seperti: Jangan melihat cermin; jangan mempergunakan atau mencium wewangian; jangan sakiti binatang; jangan mematahkan atau mencabut pepohonan; jangan berburuh; jangan bercumbu atau mengadakan hubungan seks; jangan kawin; jangan berdandan; jangan berlaku curang, jangan mencaci maki atau bersikap sombong; jangan jahit pakaian Ikhranmu; jangan membawa senjata;

jangan berteduh; jangan mengenakan perhiasan; jangan memotong

rambut; jangan memotong kuku; jangan menggunakan bedak; dan jangan membuat darah tumpah. Acara selanjutnya adalah Thawaf, yaitu mengitari Ka’bah, di mana dapat disaksikan, jika musim Haji, akan tampak lautan manusia membahana berputar mengitari Ka’bah – panutan arah seorang muslim melakukan shalat – secara sirkular berkali-kali, namun setiap kali adalah tujuh putaran. Satu di antara sekian banyak putaran Thawaf ini masing-masing menyempatkan diri untuk berusaha mendekati batu hitam (hajar aswad) untuk melakukan sumpah setia kepada Allah untuk tidak mau tunduk kepada siapa pun kecuai kepada Allah.18 Setelah selesai melakukan Thawaf tujuh kali, kemudian melakukan shalat dua rakaat di makan Ibrahim, dan mulai berjalan kea rah “mas’a”, yaitu jalan menuju bukit Shafa dan Marwa, yang panjangnya kira-kira seperempat mil. Bermula dari bukit Shafa berlari-larilah engkau dari bukit yang satu ke bukit yang lan sebanyak tujuh kali dan berjalanlah seperti biasa menuju bukit Marwah.

18

Ali Syariati, Haji (Bandung, Pusaka, 1983), hal. 31

116

Sewaktu engkau berada di makan Ibarahim, Anda bertindak sebagai Ibrahim, sewaktu engkau Thawaf, engkau bertindak sebagai Siti Hajar dan ketika engkau melakukan Sa’i, engkau bertindak bagaikan Siti Hajar kembali.19 Setelah melakukan ritual Sa’i, kemudian dianjurkan memotong rambut atau kuku sebagai tanda berakhirnya upacara. Dan inilah yang disebut Haji kecil atau Umrah, dan dapat dilakukan setiap waktu. Bagian yang kedua adalah Haji Besar, yang dilakukan hanya setiap tanggal 9 Zulhijah setiap tahunnya. Upacara Haji besar tidak ubahnya upacara Haji kecil, namun ada tambahan lain upacaranya, yaitu:

a. Mengadakan upacara secara bersama dan serentak di lapangan Makhsyar, namanya Wukuf, atau tinggal setengah hari satu malam. b. Bermalam di Mina di hari yang ke sempuluh bulan Zulhijah. c. Berkorban dengan seekor kambing sebagai momen mengenang perjuangan Ismail. d. Melempat Jumrah atau tiga patung perlambang kuasa setan yang menggoda nabi Ibrahim sewaktu hendak menyembelih Ismail.

Banyak sekali perlambang atau symbol-simbol dalam ritual ibadah haji ini, yang merupakan perpaduan perjuangan jasmani berupa tenaga dan rohani berupa kesetiaan, kedisiplinan dan ketepatan, kejujuran dan lain-lain. Harapannya adalah, sekembalinya ke tanah air, buah dari menunaikan ibadah haji ini dapat berimbas dalam amal perbuatan sehari-hari. Ibadah Haji juga sekaligus merupakan pembinaan hubungan interpersonal, dimana umat Islam di seluruh dunia berkumpul, dengan tiada membedakan warga kulit, pangkat, jabatan, bahasa, status sosial, pendidikan dan atribut-atribut lainnya.20

B. IBADAH RITUAL DALAM AGAMA KRISTEN

Dalam hal ibadah atau disebut juga perayaan liturgy yang akan dijelaskan berikut ini tidak dibuat pemisahan yang ketat antara Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Soalnya kedua gereja ini pada mulanya satu dan sama, yang berarti juga memiliki satu ibadat atau perayaan liturgy yang sama.

19

Ibid., hal. 46-53 Zaghful Yusuf (editor), Pendidikan Agama Islam, Suatu Analisis Rangsangan Afeksi, MKDU, (Jakarta, IKIP, 1990), hal. 210-211

20

117

Kalau sekarang terdapat perbedaan disana-sini dalam hal perayaan liturgy atau peribadatan, itu disebabkan karena baik Gereja Katolik maupun Gereja Protestan, selain sama-sama berupaya mengembangkan dan memperbarui tradisi, dalam banyak hal Gereja Katolik mempertahankan tradisi-tradisi tersebut. Dilihat dari kerangka tradisi sangat panjang, yang mendasari perjalanan kedua Gereja, perbedaan perayaan liturgy yang terdapat di antara keduanya, tidaklah meniadakan kenyataan paling utama dan paling dasar bahwa seluruh umat Kristen, baik Katolik maupun Protestan, adalah pengikut Yesus Kristus, umat Kristiani. Umat Kristen Katolik da umat Kristen Protestan dalam beberap hal dapat mengadakan perayaan liturga bersama yang lazim disebut sebagai perayaan oikumenis. Ibadat atau yang lazim disebut ‘kabktian’ dalam agama Kristen, selalu berpusatkan pada Kristus, yang sebagai Imam Agung, telah mempersembahkan kurban perjanjian baru demi umat-Nya. Perayaan ibadat atau kebaktian umum, yang selalu dihadiri oleh jemaat atau umat, diadakan di Gereja atau di tempat lain yang ditentukan, dan dipimpin oleh seorang imam atau gembala, Pastor atau Pendeta. Setiap perayaan liturgy selalu meliputi pujian, syukur, penyerahan diri, tobat, persembahan dan permohonan. Di dalamnya ada pembacaan Firman Tuhan, yang diambil dari Kitab Suci Perjanjian Lama dan/atau Perjanjian Baru, ada khotbah, ada doa-doa, puji-pujian, ada pengakuan iman dan penerimaan berkat. Sikap-sikap tubuh yang diperagakan adalah: duduk, berlutut, berdiri, menunduk, mengatupkan atau mengangkat tangan, mengucapkan doa atau menyanyikan lagi, menyampaikan persembahan, dan sebagainya. Setiap perayaan liturgy selalu diawali dengan salam atau sapaan khas yang menyatakan bahwa damai sejahtera dari Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus selalu menyertai umat-Nya. Pada akhir upacara liturgy juga selalu ada berkat pengutusan, yang menyatakan semua umat atau jemaat diutus ke dalam dunia untuk mewartakan damai dan kebaikan Tuhan, melalui kesaksian hidup yang penuh kebaikan dan keteladanan. Khusus di Gereja Katolik, ketika masuk ke dalam gereja dan keluar meniggalkan gereja, setiap umat menyentuh dengan tanganya (ujung jari-jarinya) air yang sudah disediakan dalam satu tempat, yang biasanya ditempatkan di dekat pintu gereja. Air itu disentukan di badan sendiri dngan cara menandai diri sendiri dengan salib. Begitu juga di dalam gereja, perayaan liturgi selalu diawali dan diakhiri dengan tanda salib (menandai diri dengan salib), yang menandakan bahwa ibadat dimulai dan diakhir dalam nama Yesus (Salib adalah lambang kematian dan juga kemenangan Yesus).

118

Air yang dipergunakan disitu adalah air yang sudah diberkati, sehingga disebut sebagai “air suci”. Air di sini digunakan sebagai symbol pembersihan diri dan penyucian diri, dan menandai badan dengan salib merupakan semangat bahwa apa yang dimulai selalu dalam nama Tuhan (Yesus).

1. Ibadat Mingguan

Upacara perayaan liturgy bisa berbeda dari satu perayaan ke perayaan yang lain, tergantung peryaan liturgi apa yang dijalankan. Liturgi yang umum dilaksanakan adalah upacara kebaktian mengguan, dimana orang-orang Kristen pada hari minggu berkumpul di Gereja untuk mengadakan kebaktian bersama: melambungkan puji-pujian, mendengarkan firman berserta penerapannya (khotbah), mengakui iman, terutama iman akan Allah (Bapa, Putera, dan Roh Kudus), menyampaikan persembahan (bisa uang atau hasil usaha manusia lainnya), memanjatkan doa-doa dan permohonan, mengucap syukur, dan menerima berkat. Biasanya ada acara salam-salaman (salam damai) sebagai tanda kedamaian yang didapati bersama, sebagai buah dari pengorbanan Kristus yang sedang dirayakan bersama.

2. Perayaan Sakramen

Dalam hal ibadat atau perayaan liturgi, perlu disebutkan juga bahwa terdapat sedikit kekhususan antara Katolik dan Protestan. Bagi agama Kristen Katolik perayaan liturgi yang utama adalah perayaan sakramen21, dimana dalam Gereja Katolik dikenal ada 7 sakramen, yakni: Sakramen Ekaristi (Perjamuan Kudus); Sakramen Tobat (Pengakuan dan Pengampunan Dosa); Sakramen Krisma (penguatan); Sakramen Perminyakan orang sakit; Sakramen Perkawinan; dan Sakramen Imamat. Di antara ketujuh sakramen tersebut, sakramen Ekaristi mendapat

kedudukan istimewa. Perayaan Ekaristilah yang selalu

dilakukan oleh umat Katolik setiap menggunya dan hari-hari lain, di Gereja atau tempat lain yang ditentukan di bawah pimpinan seorang Imam. Di Gereja-gereja yang imamnya tidak tersedia, umat tidak merayakan Ekaristi, melainkan merayakan liturgaatau ibadat sabda (merayakan Firman Tuhan), dimana unsur-unsur dalam Ibadat Mingguan di atas selalu ada didalamnya.

Sakramen (dari kata Latin ‘sacrament’=janji setia di hadapan umum) adalah tanda kelihatan yang diadakan oleh Kristus (dan dilanjutkan oleh Gereja) yang menyatakan dan menyampaikan rahmat. 21

119

Agama Kristen Protestan mengenal terutama dua sakramen saja, yakni: Sakramen Pembabtisan dan Sakaramen Perjamuan Kudus. Perayaan lain dilaksanakan juga tetapi tidak disebut sebagai sakramen. Untuk lebih jelas, ketujuh sakramen dalam Gereja Katolik (termasuk dua diataranya yang diakui oleh Gereja Kristen Protestan) akan dijelaskan secara singkat berikut ini; a. Sakramen Permandian (pembabtisan): ini adalah sakramen pertama yang diterima oleh seseorang untuk sah menjadi seorang Kristen setelah menjalani masa persiapan, sebagaimana yang ditetapkan oleh Gereja. Pelaksanaannya sesuai dengan ajaran atau perintah Kristus sendiri kepada para pengikut-Nya: “Pergilah dan jadikanlah semua bangsa Murid-Ku, dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Anak dan Roh Kudus” (Mat. 28:19). Pelaksanaan pembaptisan mengalami perkembangan, ada yang dengan cara menenggelamkan orang ke dalam air, seperti halnya dilakukan oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan dulu waktu zaman Yesus. Ada juga yang dengan cara membasmi atau menuangkan air di kepala atau dahi orang yang dibaptis. Dalam tata cara perayaannya, yang terpenting harus ada adalah air, sebagai lambang pembersihan, yang menandakan seseorang itu lahir baru dalam Kristus. Dalam hal terpenting lain adalah pengucapan teks pembaptisan (Aku membaptis atau mempermandikan engkau dalam nama Bapa, Anak/Putera dan Roh Kudus).

b. Sakramen Ekaristi (Perjamuan Kudus): ini adalah perayaan sebagaimana dilakukan dan diwariskan oleh Yesus kepada para murid-Nya pada malam sebelum kematian-Nya. Di satu tempat menjelang kematian-Nya Yesus mengadakan perjamuan bersama murid-murid-Nya. Perayaan ini dinamakan “Perjamuan Malam Terakhir”. Di situ Yesus mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada para murid-Nya, seraya berkata: “Ambillah, dan makanlah, inilah tubuh-Ku, yang dikurbankan bagimu”. Kemudian ia megambil cawan yang berisi air anggur, mengucap syukur, lalu memberikannya kepada para murid-Nya, seraya berkata: “minumlah kamu semua dari caran ini. Inilah darahKU, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang, demi pengampunan dosa”. Kemudian ia melanjutkan: “Lakukanlah ini sebagai peringatan akan Aku”.22

22

Bandingkan Mat. 26:26-28; Mrk.14:22-24; dan I Kor.11:23-25

120

Oleh sebab itu, setiap kegiatan perayaan ekaristi yang dilakukan merupakan penghadiran atau pengaktualan kembali hal yang dulu dilakukan oleh Yesus. Umat yang mengikuti perayaan ekaristi seakan hadir sendiri pada saat perjamuan yang diadakan Yesus itu berlangsung. Atau sebaliknya, Yesus sendirilah yang hadir dalam perjamuan yang sekarang sedang dilangsungkan. Hal ini terjadi karena upacara Ekaristi yang juga disebut Perjamuan Kudus dipimpin langsung oleh Imam tertabis, menggunakan bahan seperti yang digunakan oleh Yesus sendiri (roti dan anggur di dalam cawan/piala). Kemudian, Imam, dalam melaksanakan pengucapan syukur atas roti dan anggur, dia mengulangi kata-kata Yesus sendiri, sambil memohon kekuatan Roh Kudus bagi perubahan atas roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus, yang menjadi santapan rohani bagi umat yang menerimanya. Perayaan Ekaristi terdiri atas dua bagian yang tidak terpisahkan, yakni Ibadat Sabda dan Upacara Kurban (persembahan).

c. Sakramen Tobat (disebut juga: sakramen pengakuan atau pengampunan dosa): ini adalah sebuah perayaan rekonsiliasi, yang memulihkan hubungan baik seseorang dengan Tuhan yang rusak akibat dosa dan kejahatan yang dilakukannya. Pemberian pengampunan didasarkan pada Sabda Yesus sendiri kepada Petrus (rasul-Nya): “Kepadamu akan kuberikan kunci kerajaan surge. Apa yang kau ikat di dunia akan terikat di surge, dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di surge” (Mat. 16:19). Dan sesudah kebangkitan-Nya, Yesus pernah menampakkan diri-Nya kepada murid-murid-Nya, dan dalam suatu penampakanitu Yesus pernah mengatakan kepada mereka: “Damai sejahtera bagi kamu. Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu””. Sesudah berkata demikian, Ia menghembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. Jika kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh. 20:21-23). Dalam pertengahan upacara liturgi sakramen pengakuan dosa, umat satu persatu masuk ke dalam ruang pengakuan, di mana seorang imam sudah berada di sana. Di situlah pengaku dosa mengakukan dosanya, seraya berjanji untuk tidak berbuat dosa lagi. Imam, yang telah mendapat kuasa untuk itu melalui tahbisan imamat, atas nama Tuhan, dia memberikan pelepasan, dengan memberkatinya dan memberikan semacam “hukuman” (penitensi) yang mesti dijalankan oleh umat tadi.

121

Penitensi biasanya berupa doa-doa atau aktivitas rohani lainnya yang harus dilakukan oleh seseorang yang menerima sakramen Pengampunan.

d. Sakramen Krisma (penguatan): Adalah sakramen yang diterimakan kepada seorang Kristen dewasa, yang menandakan sekaligus menguatkannya untuk menjadi saksi Kristus (siap mewartakan dan membela Iman). Seperti halnya sakramen Permandian atau Pembabtisan, untuk menerima sakramen Krisma perlu persiapan (pelajaran khusus), yang berisi pendalaman iman, sehingga si calon sungguh dewasa dalam iman, dan siap untuk tugas memberi kesaksian iman. Upacaranya biasanya dipimpin oleh seorang Uskup, dengan acara intinya: penumpangan tangan dan pengurapan minyak krisma. Para rasul, sesudah kematian Yesus, mereka bersembunyi karena ketakutan atas pengejaran terhadap mereka. Tetapi sesudah peristiwa turunnya Roh Kudus dalam bentuk lidah-lidah api di atas kepala mereka, keadaan menjadi berubah. Para rasul yang tadinya takut, sekarang berubah menjadi sangat berani, mereka tampil di depan umum, dan menyatakan dengan suara lantang kepada para hadirin bahwa Yesus yang telah kalian bunuh, sudah bangkit dan hidup kembali. Diharapkan orang-orang Kristen dewasa yang sudah menerima sakramen Krisma, punya semangat yang sama, berani menyaksikan iman, terutama melalui tindakan menghayati cinta tulus sebagaimana Tuhan ajarkan dan telandankan.

e. Sakramen Perminyakan Suci (Sakramen pengurapan orang sakit): ini adalah sakramen yang diperuntukkan bagi orang sakit, terutama yang sakit parah dan mau menghadapi ajal. Tujuannya terutama adalah memberikan kekuatan rohani/jiwa bagi yang sakit agar tidak putus asa dalam menghadapi penyakit yang sedang dideritanya, dan supaya mampu menyatukan penderitaannya dengan penderitaan Kristus. Doa-doa yang diucapkan

juga

berisi

permohonan

penyembuhan

bagi

yang

sakit.

Sakramen pengurapan orang sakit berusmber dari tindakan yang dilakukan oleh para rasul sesuai dengan pengutusan mereka oleh Kristus. Para rasul pergi berkeliling untuk mengusir setan dan menyembuhkan berbagai penyakit. “… mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak, dan menyembuhkan mereka” (Mrk. 6:13). Dalam upacara pengurapan orang sakit, imam mengurapi orang sakit dengan minyak disertai dengan doa-doa mohon penyembuhan dan juga penyerahan orang sakit dalam belaskasihan Tuhan.

122

f. Sakramen Perkawinan/Pernikahan: ini adalah sakramen yang diperuntukkan bagi pasangan yang telah sepakat mengikat diri sebagai suami-istri di hadapan Tuhan dan Gereja-Nya. Kedua mempelai saling menerimakan sakramen dengan saling mengucapkan janji nikah, dengan disaksikan oleh para hadirin. Imam memimpin upacara penerimaan sakramen, atas nama Tuhan dan Gereja-Nya meneguhkan janji kedua mempelai, sehingga mereka menjadi sah sebagai suami istri. Kesatuan mereka sebagai suami-istri bersifat “kekal”, dan hanya dipisahkan oleh kematian. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Yesus sendiri ketika menjawab pertanyaan orang-orang Farisi yang mencobai Dia dengan bertanya: Apakah orang dapat menceraikan istrinya dengan alasan apapun saja? Kepada mereka Yesus dengan tegas menjawab: “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mat. 19:6 dan Mrk. 10:9). Hidup saling mencintai dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, dan setia sampai mati, adalah prinsip moral perkawinan Kristen.

g. Sakramen Imamat: Ini adalah satu sakramen yang diperuntukkan bagi seseroang yang telah memenuhi syarat untuk ditabhiskan (dilantik) menjadi imam dalam Gereja Katolik. Setelah melalui proses pembinaan hidup rohani, pendidikan filsafat dan teologi, dengan kesiapan yang matang dari calom imam, kepadanya diterimakan sakramen Imamat melalui suatu tabhisan suci, yang dilakukan oleh seorang Uskup, yang ambil bagian dalam tugas Uskup melayani dan menggembalakan umat di dalam satu bagian dari wilayah keuskupan (wilayah gerejani). Para imam, yang juga lazim disebut Pastor, tinggal di paroki untuk melayani umat, terutama pelayanan sakramen kepada umat di wilayah parokinya (bagian dari keuskupan). Dengan tabhisannya, maka para Imam ambil bagian dalam imamat Kristus, sebagai ‘raja, imam dan nabi’.

123

3. Ibadat Harian Selain yang disebutkan di atas, ada juga ibadat yang dilakukan setiap hari oleh orang-orang Kristen yang hidup membiara (seperti para Bruder, Frater, dan Suster), yang disebut biarawan-biarawati23, serta para imam. Sebenarnya ibadat tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi para biarawan-biarawati dan para imam saja. Semua orang Kristen bisa juga melakukannya, hanya saja dalam prakteknya, yang punya waktu dan secara konsisten mampu melakukakannya adalah orang-orang tersebut di atas. Semua teks dan tata laksana ibadat tersebut sudah tersusun dalam satu buku, dengan nama Ibadat Harian” (yang disebut juga ‘Brevir’ atau ‘Ofis’). Di dalamnya ada Ibadat Bacaan, Ibadat Pagi, Ibadat Siang, Ibadat Sore, dan Ibadat Penutup (ada 5 waktu). Ibadat Bacaan tidak ditentukan waktnya, dapat di doakan siang hari, atau sebelum Ibadat Pagi, atau waktu malam. Disebut Ibadat Bacaan karena dalam ibadat tersebut ada pemabacaan yang agak panjang, yang diambil dari tulisan-tulisan para Bapa Gereja atau penulis bacaan rohani lainnya. Selain melaksanakan Ibadat Harian tersebut, para biarawan-biarawati juga selalu ikut perayaan ekaristi setiap hari, yang diadakan pagi atau sore hari. Para Biarawan-biarawati mampu menjalani cara hidup seperti itu secara konsisten karena memang jenis panggilan mereka bercorak seperti itu. Kehidupan mereka sering dipandang sebagai salah satu kekayaan hidup kerohanian Gereja.

C. IBADAT RITUAL DALAM AGAMA HINDU

Ritual merupakan salah satu dari tiga kerangka agama Hindu disamping filsafat (tatwa) dan etika agama (susila). Ritual adalah kegiatan keagamaan penuh warna untuk memuja Tuhan. Secara garis besar ritual dalam agama Hindu berbentuk Puja atau Pemujaan dan Yajna. Memuja artinya menyampaikan mantra- dalam sikap khusus – yang berisi puji-pujian atau stotra, atau stawa, atau doa yang berisi permohonan, pengakuan atau pujian. Yajna adalah persembahan atau pemberian yang tulus dan ikhlas kepada siapa saja.

23

Biarawan-biarawati adalah sebutan kepada orang yang telah memilih cara hidup membiara, membaktikan seluruh hidup untuk mengikuti Kristus secara lebih dekat, khususnya dengan menghayati secara radikal semangat Injili, dengan mengucapkan kaul-kaul (ikrar), yang umumnya meliputi kaul kemisminan, kaul ketaatan dan kaul kemurnian (tidak menikah).

124

Untuk lebih jelasnya, kedua bentuk ritual tersebut akan diuraikan secara singkat berikut ini: 1. Ritual dalam bentuk Puja a. Trisandhya Trisandhya adalah pemujaan yang wajib dikerjakan oleh seluruh umat Hindu, tiga kali sehari (trisandhya), yaitu pratah sandhya, pagi menjelang matahari terbit; madyama sandhya, di siang hari; dan pascima sandhya, saat magrib. Ada enam bait matra yang diucapkan dalam puja Trisandhya, yang meliputi matra utama yang merupakan ibunya matra (Wedamata), yang berbunyi Om bhur bhuvah svah tat savitur varenyam bhargo devasya dhimahi dhiyo yo nah pracodayat. Artinya, Ya Tuhan penguasa tribhuvana/alam semesta ini, hamba memuja-Mu, semoga dengan tuntunan-Mu, hamba bisa memusatkan pikiran pada kecemerlangan, kemahamuliaan-Mu. Semoga hamba dikaruniakan semangat dan tuntunan berpikir. Bait berikutnya berisi pengakuan akan ke-esa-an Tuhan/Brahman/Sanghyang Widhi. Bait ketiga berisi pengakuan bahwa semua yang ada berasal dari Tuhan. Bait keempat berisi pengakuan manusia akan kekuarangan/kelemahan dirinya sebagai manusia dan sekaligus mohon disucikan. Bait kelima berisi permohonan supaya semua makhluk di dunia ini dianugerahi kesejahteraan (sarwa prani hitangkarah) dan dibebaskan dari segala dosa serta dituntun agar tidak lagi melakukan perbuatan hina. Bait terakhir (keenam) berisi permohonan maaf atas segala kesalahan dalam berpikir, berucap dan berbuat.

b. Suryasewana Disamping Trisandhya, bagi pemimpin agama, pendeta dan tokoh spiritual yang lain ada kewajiban melakukan Suryasewana – yaitu pemujaan kepada Tuhan sebagai Super Power, yang memiliki kemampuan tidak terbatas dalam memancarkan enersi lewat sumber enersi yang kita kenal sebagai matahari (Aditya).

c. Berjapa Ini mungkin sama dengan berdzikir dalam Islam yaitu keigatan keagamaan yang selalu dikaitkan dengan penyucian diri, pemujaan dan sekaligus untuk melaksanakan konsentrasi dengan mengucapakan mantra berulang-ulang. 125

Pengulangan ini dibantu dengan sarana berupa Japamala atau disebut juga Aksamala atau Tasbih yang di Bali disebut Ganitri. Tasbih orang Hindu terdiri dari 108 butir atau mata. Bahanya bisa bermacam-macam, bisa dari kayu cendana, kayu tulasi, permata seperti Sphatika (di Bali disebut manik Banyu), akar teratai atau bahan lain yang mempunyai bilai mitologis yang diyakini bisa menangkal kekuatan negative atau sebagai sarana penyucian. Di Bali, Pendeta (Pedanda) biasanya memakai bahan dari Rudraksa (di Bali disebut Genitri) yang diyakini sangat suci oleh mazhab atau penyembah Siwa. Memutar butir genitri atau tasbih sambil mengucapkan kebesaran Tuhan sesuai dengan mazhab yang diikuti. Misalnya masyarakat Siwa akan menyebut Om nama Siwa ya, Om nama Siwa ya, berulang-ulang sampai 108 kali untuk satu putaran tasbih atau kelipatannya. Kadang dipakai Gayatri atau Savitri mantra, matra utama Puja Trisandhya, yaitu Om Bhur bhuvah svah tat savitur varenyam bhargo devasya dhimahi dhiyo yo nah pracodayat.

d. Sembayang Masyarakat Bali menyebut upacara ini dengan muspa karena menyembah Tuhan dengan memakai sarana kembang. Masyarakat Bali umumnya mengambil sikap Krtanjali, yaitu sikap tubuh duduk bersila (padmasana) bagi Jemaah laki-laki atau bersimpuh

(bajrasana), yaitu posisi duduk berlutut

dengan pantar menduduki tumit untuk wanita, dengan tangan dicakupkan di atas kepada sambil mengepit kembang. Apabila kondisi tempat sembahyang tidak memungkinkan untuk duduk maka bisa juga dilakukan dengan sikap berdiri (padasana). Di India, sikap umat Hindu dalam sembahyang bisa Krtanjali, seperti disebut di atas, juga ada yang mengambil sikap Sastangga, yaitu sujud mencium alas dari altar arca bagian depan, atau sikap Dandavat, yaitu sikap sembahyang atau menghormat dengan telungkup dan badan sejajar degan tanah atau perlataran Pura atau Mandir.

e. Trithayatra Trithayarta yaitu mengunjungi tempat-tempat suci. Istilah lainnya adalah thirtagamana atau thirtagocara.

126

Thirtayatra merupakan kegiatan keagamaan untuk meningkatkan kehidupan spiritual

dengan

mengunjungi

tempat

suci,

kemudian

melakukan

persembayangan, meditasi dan japa di tempat suci tersebut. Sekembalinya dari tempat itu mereka membawa air suci atau tirtha untuk dibagikan kepada sanak keluarga. Disamping pemujaan juga ada Ibadah Puasa (upawasa) yaitu tidak makan dan minum, mona brata (tidak bicara), majagra (tidak tidur) merupaka ibadah pada hari suci tertentu, seperti Hari suci Siwa Ratri, tahun baru Saka (Hari Raya Nyepi) untuk penebusan dosa, penyucian diri, latihan pengendalian diri sekaligus untuk meningkatkan kualitas spiritual.

2. Ritual dalam bentuk Yajna Yajna adalah pemberian yang tulus dan ikhlas kepada siapa saja. Bisa kepada Tuhan, leluhur (pitara) orang suci (rsi), bhutakala dan kepada sesame manusia. Yajna kepada manusia termasuk upacara sakramen penyucian dan peningkatan hakekat diri pribadi yang disebut manusia samskara. Yajna biasanya dilakukan untuk kesejahteraan material manusia. Tentu saja dengan melaksanakan Yajna, seorang manusia secarea tidak langsung akan dibawa makin dekat kepada Tuhan, karena ia secara sepenuhnya memahami kekuasaan Tuhan dalam kehidupan sehari hari. Ritual berupa yajna misalnya dewayajna kepada Tuhan, bhuta yajna, upacara kurban yang dibuat dari banyak bahan utama yang disebut upakara atau sesajen. Upakara terdiri dari makanan, buah, air, daun-daun atau sayur, bubuk cendana, dupa/hio atau api, dan bunga.

Orang yang melakukan atau memimpin Puja di Pura, disebut Pujari atau Pinandita, di masyarakat Bali disebut Pamangku Pura. Setelah pemujaan, kepada rumah tangga, Pujari, membagikan sesajen yang telah dipersembahkan kepada Tuhan, dan telah diberkati Tuhan. Makanan yang sudah diberkati ini disebut Prasadam, dibagikan kepada umat dan atau sanak keluarga untuk dimakan. Hanya makanan yang dipersembahkan kepada bhuta-kala yang tidak dimakan. Pada masyarakat Bali upakara yang dipersembahkan dilengkapi dengan symbolsimbol keagamaan yang mempunyai arti filosofis yang disebut yantra yang kerap divisualisasikan dalam bentuk seni terbuat dari beraneka bahan seperti janur atau daun lontar. 127

Dengan penampilan seperti ini maka masyarakat yang bukan Hindu atau bahkan masyarakat Hindu yang tidak tertarik ingin tahu, sulit membedakan apakah ritual yang dilihat adalah kegiatatan agama atau bagian dari kebudayaan.

Upacara bhutayajna yang kerap bergandengan dengan upacara penyucian secara berkala, mulai dari tingkat rumah tangga, desa, kabupaten atau wilayah, ditambah lagi dengan upacara dewayajna pada ulang tahun berdirinya tempat suci (pura) yang jumlahnya ribuan di Bali, memberi kesan acara ritual agama Hindu di Bali sangat padat. Belum lagi upacara Narayajna atau manusa yajna untuk konsekrasi (sakramen) manusia mulai dari upacara Punsavana, yaitu upacara ketika baru pertama kali diketahui sudah hamil (di Bali jarang di upacarai), upacara enam bulan kandungan disebut Simantonayana atau Magedonggedongan, upacara bayi baru lahir (jatakarma), upacara bayi berusia 42 hari, 3 bulan (Niskramana), enam bulan (Anaprasana), upacara potong gigi, upacara kematian dan lain-lain. Semuanya menjadikan ritual agama Hindu di Bali terkesan relatif padat.

D. RITUAL IBADAH DALAM AGAMA BUDHA

Umat Budha bisa melakukan doa, biak sendiri maupun bersama keluarga di depan altar. Ibadah-ibadah rutin seperti ini kadang telah bercampur dengan tradisi, misalnya tradisi Jawa, tradisi Konghucu, dan Tao bagi pemeluk agama Budha keturunan Tionghoa. Segala perangkat upacara yang berbeda-beda menurut Mazhab memiliki muatan kepercayaan domenstik umat pemeluknya24. Ritual biasanya diperlukan setiap kali ada perubahan sikap sosial, untuk memulihkan keseimbangan karena memasuki status

yang baru,

misalnya kehamilan, dan kelahiran, pertunanganan, perkawinan, kematian, penahbisan, pelantikan, juga dalam peralihan musim, fase-fase bulan, masa-masa tanam dan panen. Tindakan ritual yang sempurna melibatkan ketiga ungkapan keberadaan kita yaitu tubuh, perkataan, dan pikiran. Tubuh bertindak melalui gerak, perkataan melalui matra-matra, pikiran melalui meditasi. Kekuatan efektif sebuah upacara bukan pada bentuk ritual, tetapi yang penting adalah sikap mental dan pikiran seseorang yang memanfaatkan ritual sebagai latihan untuk menjadi semakin maju dalam perjalanan mencapai kesucian.

24

Krisnanda Wijaya-Mukti, Wacana Budha-Dharma (Jakarta, Yayasan Dharma Pembangunan, 2003), hal.74

128

Sikap mental religious yang terbangun melalui keikutsertaan aktif dalam suatu upacara ritual, jelas tidak terbatas hanya pada saat-saat ritual itu, tetapi harus sepenuhnya dikembangkan dalam hidupan sehari-hari.25 1. Doa Bagi agama Budha, doa mengungkapkan pengharapan, bukanlah meminta. Tanpa melakukan usaha, berdoa dalam hal ini dapat dianggap tidak cukup menjamin seseorang yang melakukannya dapat mencapai tujuannya. Umat Budha tidak akan pernah memaksakan sesuatu kepada Tuhan. Tuhan bukanlah suatu pribadi atau makhluk hidup yang menjadi tempat untuk menggantungkan hidup atau memohon. Tidak selayaknya umat Budha menyeret Tuhan untuk berkecimpung dalam masalah duniawi yang fana ini.26 Sesungguhnya yang harus dilakukan oleh umat Budha adalah membersihkan pikiran dari kotoran-kotoran batin. Pikiran itu tidak tampak, dia halus dan licin, karenanya amat sukar diikuti dan sukar dikendalikan. Untuk itu langkah awal adlaah mengendalikan ucapan dan perbuatan. Cara yang mudah untuk itu adalah menjalankan kebiasaan-kebiasaan yang baik, seperti melakukan upacara atau kebaktian. Karena upacara atau kebaktian itu biasanya dilakukan tidak hanya sekali tetapi sering, maka hal itu akan menjadi kebiasaan yang baik. Upacara atau kebaktian yang dilakukan oleh umat Budha merupakan manifestasi pemujaan mereka terhadap Triratna (Budha, Dharma, dan Sangha). Pada saat umat Budha melakukan upacara atau kebaktian yang dilandasi oleh pengertian yang benar, sesuangguhnya mereka tidak memintah-minta kepada Tuhan, Budha atau mahkluk lain.27

2. Paritta dan Mantra

Paritta adalah bacaan perlindungan yang dalam pengertian sekarang disamakan dengan doa. Pembacaan Parittan bermula dari petunjuk Budha kepada siswa-Nya untuk mengucapkan bacaan tertentu agar terhindar dari kesulitan atau terlindung dari kejahatan. Misalnya Angulimala-paritta yang dibacakan menjelang suatu persalinan, berasal dari formula pernyataan kebenaran dan doa agar ibu dan bayinya selamat, yang diajarkan oleh Budha Gotama kepada Angulimala untuk menolong perempuan yang menghadapi kesukaran melahirkan. 25

Ibid., hal. 77 Mettadewi, W.,Budha Dhamma Sebagai Pedoman Hidup (Jakarta, Yayasan Pancaran, 1992), hal.37-38 27 Bdk. Krishnanda Wijaya-Mukti, Wacana, Op.Cit., hal.94-96

26

129

Isi paritta dalam bahasa Pali antara lain: a. Penghormatan dan pujian (misalnya: Vandana, Atanatiya-paritta). b. Persembahan (Puja). c. Pernyataan keyakinan dan perlindungan (misalnya: Tisarana, Saccakiriya-gatha, Chattamanavaka-vimana-gatha). d. Pernyataan janji atau tekad (Misalnya: Panca-sila). e. Pernyataan

kebenaran

(misalnya:

Angulimala-paritta,

Bhojjhanga-paritta,

Mahakarunikonathotiadi-gatha). f. Perenungan (misalnya: Budha-, Dharma-, Sanghanussati). g. Sutta

atau

khotbah

Budha

(misalnya:

Mangala-sutta,

Parabhava-sutta,

Dhammaniyama-sutta, Nidhikhanda-sutta, Vijaya-sutta). h. Ungkapan cinta kasih (misalnya: Kandha-paritta, Karaniya-metta-sutta). i. Pengharapan dan pemberkahan (misalnya: Pattumodana, Sumangala-gatha, Abhaya-paritta, Cullamangala-cakkavala). j. Syukur, terima kasih, sekaligus pelimpahan jasa (misalnya: Ettavata, pattidana). k. Penyesalan dan permohonan bimbingan (misalnya: Visuddhi-gatha). Sebagian dari paritta isinya campuran.28

3. Persembahan Bagi orang Buddha berdoa dapat dilakukan secara pribadi mupun bersama. Begitu juga dalam suatu upacara, berdoa dapat dilakukan dengan atau pun tanpa mempersembahkan sajian. Seperti halnya di agama-agama lain juga, untuk melakukan upacara persembahan perlu altar di dirikan. Berkaitan dengan pemberian persembahan, umat Buddha tidak memberi persembahan karena Buddha dan Bodhisattwa memerlukan persembahan itu. Persembahan yang diberikan

tidak

dimaksudkan

untuk

mengambil

hati

mereka.

Memberi persembahan bukanlah keharusan, tetapi biasaynya dilakukan sebagai cara untuk mengembangkan potensi batin dan melatih pikiran. Lewat persembahan orang mengikis ekoisme, melenyapkan kemelekatan dan kekikiran. Umat membiasakan diri untuk memberi apa yang terbaik dengan terima kasih yang tulus, gembira berbagi, tanpa merasa kehilangan.

28

Krishnanda Wijaya-Mukti, Ibid., hal.98-99

130

Setiap sajian yang dipersembahkan memiliki makna simbolis. Pelita atau lilin melambangkan penerangan, menghapus saput kegelapan dan ketidaktahuan. Air, selaih membersihkan juga melambangkan kerendahan hati. Air jernih yang disajikan di altar yang diikuti pembacaan paritta dianggap sebagai air suci, biasanya dipercikkan sebagai symbol pemberkatan. Dupa yang harum dengan asap membubung ke atas mengingatkan kepada harumnya nama baik dan kebajikan menyebar kemana-mana (bahkan dapat melawan arah angina) hingga ke surge. Bunga mengingatkan ketidakkekalan sehingga kita terdorong untuk mencapai kebebasan.29

4. Uposatha Kata “Uposatha” mengandung arti “masuk untuk berdiam (dalam keluhuran)”, yang menurut prakteknya diartikan di dalam wihara atau kompleks wihara. Di hari Uposatha, yaitu hari-hari bulan purnama, bulan gelap, dan kadang-kadang pertentangan di ataranya (bulan sabit), para brahmana meninggalkan rumah dan keluarnya untuk menyucikan diri dengan menjalani ritus Weda; sedangkan para pertapa memperdalam teori dan latihan mereka. Latihan-latihan yang dilakukan berkaitan dengan pembersihan pikiran yang kotor melalui proses yang benar, melakukan perenungan terhadap Buddha, Dharma dan Sangha, yang membuat batin menjadi tenang, timbul kegembiraan, kotoran batin menjadi lenyap. Pada hari Uposatha, para umat, upasaka dan upasika dapat tinggal sehari semalam di wihara untuk melaksanakan peraturan pelatihan yang dinamakan Atthangikasamanagata Uposatha (delapan unsur Uposatha yang ada pada samana/petapa). Mereka melakukan upacara memasuki hari Uposatha dengan memohon bantuan Atthangika Uposatha kepada biksu. Kedelapan unsur latihan, yang sering disebut Attha-sila adalah berusaha: 1) menghindari pembunuhan; 2) tidak mengambil apa yang tidak diberikan; 3) menghindari hubungan kelamin; 4) menghindari ucapan yang tidak benar; 5) menghindari konsumsi bahan-bahan yang memabukkan atau mengurangi kesadaran; 6) tidak makan di luar waktunya (lewat tengah hari); 7) menghindari tari-tarian, nyanyian, music, tontonan, mengenakan perhiasan, wangi-wangian dan kosmetika; dan

29

Ibid., hal.101-102

131

8) tidak menggunakan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan mewah. Lima hal yang pertama adalah sila, dan tiga hal yang terakhir adalah peraturan pelatihan.30

E. MAKNA IBADAT KEPADA TUHAN

1. Sebagai perayaan iman (celebration of faith)

Kegiatan beribadat tentu saja tidak bisa dilepaskan dari iman. Iman yang dihayati dalam hidup, dan memenuhi seluruh hidup, dirayakan dalam suatu kegiatan khusus, yakni dalam ibadat atau perayaan ritual keagamaan. Yang dirayakan di sana adalah iman, menyangkut hubungan khusus manusia dengan Tuhan. Perayaan atau ibadat yang kita lakukan dengan benar dan penuh kekhusyukan, akan mampu menyemangati iman kita dan memperdalam hubungan kita dengan Tuhan. Sebagai perayaan iman, maka pelaksanaan ibadat dilakukan dengan sukacita, penuh harapan dan kehangatan hubungan, baik dengan Tuhan maupun dengan sesame yang ikut dalam beribadah. Tidak jarang ibadat-ibadat ritual yang besar diikuti dengan makan dan minum bersama, baik dengan keluarga, handai taulan, anggota jemaat dan orang-orang lain yang sengaja dilibatkan.

2. Membawa seluruh aktivitas hidup kepada Tuhan

Sebagai perayaan iman dan penghayatan hubungan khusus dengan Tuhan, beribadat mengandung makna persembahan seluruh hidup, termasuk berbagai aktivitas dan perjuangan hidup ke hadapan Tuhan. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan hidup menghayati cinta dan kebaikan, kita mulai atas nama Tuhan, dan kemudian kita kembalikan kepada-Nya. Segalah keberhasilan, keberuntungan, kegagalan, kekecewaan, kepuasan dan kegelisahan, beserta kesalahan dan dosa-dosa yang kita perbuat, kita bahwa ke hadapan Tuhan. Dari berbagai hal yang kita alami itu, timbul aneka macam luapan hati kepada Tuhan, ada rasa syukur, rasa sesal, permohonan ampun, memuji kebesaran Tuhan, menyampaikan segala kekecewaan dan nasib baik yang dialami, mohon penyertaan Tuhan dalam perjuangan yang akan dilakukan berikutnya, dan sebagainya. Semua pengalaman itu kita jadikan sebagai persembahan diri kita kepada Tuhan.

30

Ibid., hal 81-83

132

3. Menimba kekuatan yang akan dibawa dalam kehidupan

Ibadat sabagai suatu perayaan iman, tidak hanya terbatas sebagai sebuah seremonial keagamaan, yang menjadi suatu peristiwa yang tidak bersambungan dengan aktivitas hidup sehari-hari. Dalam beribadat kita juga membuka hari untuk mendengar pesan-pesan Tuhan yang disampaikan kepada kita melalui Firman-Nya, serta melalui pengarahan dan khotbah yang disampaikan oleh yang sudah diberi tugas dan wewenang untuk itu (imam jemaat). Pesan-pesan inilah yang akan kita jadikan sebagai pengangan bagi pelaksanaan berbagai aktivitas hidup kita selanjutnya. Maka, selain sebagai kesempatan membawa seluruh aktivitas hidup kepada Tuhan, dalam ibadat juga kita menimba kekuatan yang akan kita bawa dalam kehidupan yang kita jalani selanjutnya. Sebagai orang yang sudah “beracara” dengan Tuhan, kita seumpama orang yang sudah dibaharui, yang mendapatkan semangat baru motivasi dan orientasi hidup yang baru. Rahmat yang kita dapatkan dalam beribadat semestinya kita kembangkan dan sebarkan dalam berbagai bidang kehidupan yang kita geluti secara pribadi dan bersama.

A. Menghayati Kekhusyukan Ibadat

1. Mempersiapkan diri dengan baik

Kalau dikatakan beribadat, umumnya hal itu berarti kita datang ke tempat atau rumah ibadat (masjid, gereja, pura, wihara) atau tempat-tempat lain yang sudah ditentukan. Kita sebagai orang beragama percaya dan memperlakukan tempat-tempat ibadah kita sebagai tempat yang disucikan, sebagai tempat untuk beribadat, tempat berdoa/sembayang, sebagai tempat mengangkat hati kepada Tuhan. Kita tidak akan memperlakukan rumah-rumah ibadat kita sebagai tempat semabarangan, apalagi untuk melakukan hal-hal yang tidka baik. Tempat ibadat adalah tempat khusus kita bertemu Tuhan dan sesama umat, yang juga mau menghadap Tuhan. Karena tujuan kita yang khusus dalam perti ke rumah ibadat, maka tentu kita pergi ke sana layaknya kita pergi ke mall atau tempat-tempat umum yang lain. Kita perlu persiapan, terutama persiapan hati. Setiap kita pergi ke rumah ibadat untuk beribadat, perlu kita refleksikan sebentar, kita bahwa apa ke sana.

133

Kita harus berlaku sebagai orang yang hendak bertemu Tuhan. Kita datang dengan hati yang terbuka, membawa seluruh diri, dan mendengar dengan baik apa yang hedak Tuhan katakana kepada kita, untuk kita hayati dengan iman yang hidup.

2. Mengikuti dengan kesungguhan hati

Kita datang ke tempat ibadat untuk beribadat bersama, dan tidak datang untuk sebagai penonotn, yang mengamati apa yang terjadi dalam ruang ibadat. Kita perlu aktif dalam beribadat. Kesungguhan hati itu bisa diperlihatkan melalui keterlibatan aktif fisik kita dalam mengikuti berbagai aktivitas ibadat yang sedang kita rayakan. Setiap ibadat yang kita ikuti tentu ada aturan dan tata caranya sendiri. Kita perlu mengikuti secara aktif tata cara itu dari awal hingga akhir. Kita perlu melakukan gerakan tubuh seperti yang ditentukan, seperti duduk, berlutut, sujud, berdiri, dan sebagainya. Begitu juga kita perlu aktif mengucapkan atau membacakan doa-doa,

nyanyian atau hal lain yang sudah ditentukan. Kita tidak boleh

berbicara atau berbisik-bisik tak karuan ketika ibadat sedang berlangsung. Kita hanya berkonsentrasi pada ibadat yang sedang kita ikuti. Diharapkan, dengan keaktifan seperti ini kita lebih bisa menghayati makna ibadat yang sedang kita rayakan, dan tidak merupakan peristiwa yang berlalu begitu saja, tanpa memberi kesan positif di dalam hati dan kehidupan kita.

3. Hidup sebagai orang yang selalu dibaharui (mengibadahkan seluruh hidup)

Hidup kita sebagai satu siklus antara dua kutup yang saling merajut, surgawi dan duniawi, dari ibadat menuju hidup sehari-hari, dan dari hidup sehari-hari menuju ibadat. Kedua kutup ini menjadi satu dalam diri kita, yang perlu kita hayati dengan kesadaran memadai. Ibadat berperan membaharui hidup kita, yang dalam kenyataannya selalu tenggelam dalam rutinitas sehari-hari. Dengan aktif beribadat berarti kita tidak membiarkan diri kita terus tenggelam dalam kehidupan duniawi, terlepas dari kehidupan ilahi. Ada banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi keterikatan hati pada hal-hal yang bersifat duniawi semata. Kegiatan ibadat adalah satu cara yang mampu mengguggah hati kita, sebagai makhluk yang tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat fana. Keikutsertaan aktif kita dalam ibadat, yang kita lakukan dengan perisiapan yang baik dan penghayatan yang sungguh-sungguh, akan mampu membaharui komitmen kita. Dan, dengan komitmen yang telah dibaharui kita akan lebih siap kembali terjun dalam rutinias kita dengan segala tantangannya.*** 134

REFERENSI:

Antonius A. Gea, Noor Rachmat dan Antonia Wulandari (2004). CB III: Relasi Dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Krisnanda Wijaya-Mukti (2003). Wacana Budha-Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan

Mettadewi, W. (1992). Budha Dhamma Sebagai Pedoman Hidup. Jakarta: Yayasan Pancaran

Zaghful Yusuf (ed.) (1990). Pendidikan Agama Islam, Suatu Analisis Rangsangan Afeksi, MKDU. Jakarta: IKIP.

135

TOPIK 11

KERENDAHAN HATI DAN MEMAAFKAN Berhadapan dengan Tuhan sesungguhnya kita tidak ada apa-apanya. Kita hanya bisa hidup dan bergerak karena Tuhan, yang dengan berbagai cara telah memberi kita kekuatan untuk hidup. Tidak ada alasan bagi manusia untuk menyombongkan diri. Di hadapan Tuhan kita semua sama, yang hanya mengadalkan dan bergantung pada-Nya. Untuk itu manusia harus berlaku rendah hati, baik di hadapan Tuhan, maupun di hadapan sesama. Kita juga bukan tanpa dosa di hadapan Tuhan, tapi karena Tuhan begitu baik pada kita, maka kita tetap bisa selamat dan bahagia. Sebagai orang beriman, kita harus saling memaafkan atau mengampuni satu sama lain, karena Tuhan sendiri terus menerus mau mengampuni kita. Kalau dilihat dari coraknya, tindakan mengampuni memiliki kekhususan di antara berbagai ungkapan cinta lainnya. Ada hambatan cukup besar dalam mewujudkannya. Dibbutuhkan kerendahan hati dan kebesaran jiwa, dan tentu iman yang kuat. Kita mengampuni karena iman kita mengajarkan kita demikian. Dalam hal memperoleh pengampunan dari Tuhan, dari kita dituntut pertobatan, berupa niat dan komitmen untuk hidup kembali dengan baik. Ampun dan tobat adalah dua hal yang diharapkan semakin nyata dalam hidup kita.

A. TUHAN MAHA PENGAMPUN

Kita menggambarkan Tuhan sebagai Maha Pengampun. Ini adalah salah satu gambaran terbaik manusia tentang Tuhan. Gambaran ini sekaligus menumbuhkan semangat dalam hidup manusia, bahwa sekali pun dia telah berdosa, tetap ada kemungkinan untuk diampuni, selamat dan bahagian. Ini adalah sebuah tanda cinta kasih Tuhan kepada manusia. Andaikan Tuhan tidak mau mengampuni, maka manusia akan binasa selamanya. Kita semua orang beragama mengakui juga bahwa kita perlu bertobat. Hanya dengan bertobat maka pengampunan Tuhan akan efektif bagi kita, karena tanpa tobat, kita tidak berubah, dan tetap tinggal dalam suasan keberdosaan. Lalu, semangat untuk mengampuni sesama dikobarkan oleh situasi kita yang sudah mengalami pengampunan, yang juga merupakan buah dari pertobatan kita sendiri.

136

Selain dikobarkan oleh semangat tersebut, kaharusan untuk saling mengampuni juga didesak oleh ajaran dan perintah Tuhan yang telah disampaikan kepada kita melalui para nabi-Nya, sebagai termuat dalam kitab-kitab keagamaan.

1. Tuhan mengampuni umat-Nya

Kesediaan Tuha mengampuni umat-Nya merupakan wujud dari cintah kasih-Nya yang maha besar bagi manusia. Dalam banyak teks kitab suci keagamaan, hal pengampunan Tuhan banyak diungkapkan. Dalam agama Islam diajarkan bahwa Allah itu Maha Pengampun. Ia menyanyangi orang dan suka memberikan pengampunan. Maka mintalah ampun kepada-Nya atas kesalahan-kesalahan yang kamu lakukan terhadap-Nya. Firman yang senada

dengan

ini

dinyatakan

dalam

sedikitnya

13

ayat,

yang

tersebar

dalam 13 surat Al-Qur’an, antara lain pada suarat Al-Haj 60. Dalam firman-firman-Nya yang lain disebutkan bahwa Allah maha Pengasih dan Maha Pengampun. Semua dosa akan diampuni oleh Allah, sebesar apa pun dan seberat apa pun, kecuali orang yang mempersekutukan-Nya dengan yang lain (syirik), atau menyamakan Tuhan dengan tuhan yang lain. Artinya, bagaimana mungkin Tuhan memaafkan atau mengampuni orang yang menjadikan tuhan lain menjadi sesembahannya. Kenapa dia tidak minta ampun saja dengan tuhan yang mereka sembat itu (Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 48 dan 105). Orang yang demikian pastilah tidak akan sadar bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan ajaran Tuhan. Misalnya, orang yang menjadikan setan sebagai penolongnya, atau biasa dikenal dengan orang yang memelihara tuyul atau setan. Atau mereka yang lebih percaya kepada dukun atau perdukunan, lebih memuja harta atau materi disbanding percaya kepada Tuhan. Orang-orang seperti itulah yang disebut menduakan Tuhan atau syirik. Dalam Alkitab terdapa ayat-ayat yang memperlihatkan betapa Tuhan senantiasa mau mengampuni dosa-dosa umat-Nya. Nabi Yesaya pernah menegaskan bagaimana Tuhan membersihkan manusia dari dosa-dosanya: “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan jadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba” (Yes.1:18). Dan, Nabi Daniel mengungkapkan adanya pengampunan dari Tuhan: “Pada Tuhan ada pengampunan, walaupun kami telah memberontak terhadap Dia” (Dan.9:9).

137

Bagi orang kristiani, gambaran tentang kemurahan Allah untuk mengampuni umat-Nya, dilukiskan dalam cerita tentan “Anak yang hilang”, cerita tentang seorang anak muda yang sudah meninggalkan rumah orang tuanya, melakukan berbagai kejahatan dan dosa. Ketika dia kembali ke rumah orang tuanya, dia diterima oleh bapanya dengan sukacita yang amat besar (Luk.15:11-32). Kalau digali lebih dalam lagi, umat Kristiani percaya bahwa tindakan Allah mengutus putra-Nya, Yesus ke dunia, dan pengorbanan Yesus dengan menderita, wafat dan dimakamkan, merupakan tindakan kasih yang tak terhingga besarnya dari Tuhan. Pengorbanan Allah yang terwujud dalam diri Yesus, khususnya dengan kematian-Nya di kayu salib, merupakan tindakan penebusan dan pengampunan bagi manusia. Pernyataan Yeses sendiri sebagaimana tertuang dalam Injil Matius mengungkapkan hal itu: “Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mat.26:28). Satu penegasan mengenai hal muncul dari rasul Paulus sebagaimana dia nyatakan dalam suratnya kepada jemaat di Kolose: “Di dalam Dia (Yesus) kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan Dosa” (Kol.1:14). Berhubung kedudukan Yesus, yang menurut pandangan Kristen, adalah Allah sendiri, maka Yesus pun memiliki kehendak dan kemampuan untuk mengampuni dosa. Ini Dia buktikan ketika Dia menyembuhkan penyakit seorang lumpuh yang dibawa kepada-Nya untuk disembuhkan. Untuk menanggapi pikiran orang Farisi yang dalam hati mereka berpikir bahwa Yesus menghujat Allah dengan mengatakan bahwa Dia dapat mengampuni dosa, Yesus mengatakan: “Tetapi supaya kamu tahu bahwa di dunia ini Anak Manusia (Yesus) berkuasa mengampuni dosa, lalu berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu, ‘Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu, dan pulanglah ke rumahmu!’ Dan, orang itu pun bangun lalu pulang.” (Mat.9:6; Mrk.2:10; Luk.5:24). Dalam agama Hindu Tuhan diakui sebagai Maha Pengampun. Hal ini bisa kita lihat pada kitab suci Bhagavad Gita IX.30: “Sekalipun orang paling jahat, bila memujaku dengan tulus, dengan pengabdian terpusa dan kembali menjadi sang sadhu (orang saleh), Aku terima karena ia telah kembali ke jalan yang benar”. Atau teks lain dalam Bhagavad Gita XVIII.66 mengatakan: “Kerjakanlah kewajibanmu sesuai dengan aturan agama lalu berserah dirilah kepada-Ku, dan engkau tidak usah khawatir, akan aku ampuni seluruh dosamu”. Dari keterangan ayat-ayat suci di atas, tampak bahwa Tuhan adalah Maha Pengampun dan Maha Pengasih. Karena itu manusia tidak henti-hentinya minta maaf. Hal ini tercermin dari: Puja Trisandhya yang wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu.

138

Dari enam baik mantra Puja Trisandhya, tiga bait di antaranya berisi permohonan maaf atas tindakan, ucapan dan pikiran yang keliru; sekaligus mohon disucikan alias disterilkan atau dibebaskan dari dosa-dosa yang melekat pada diri manusia. Tiga baik sebelumnya berisi pengakuan atas ke-Mahaesaan dan ke-Mahakuasaan-Nya. Dari seluruh uraian di atas, jelas tampak bahwa hukum karma berjalan terus, tapi eksekusi hukumannya bisa ditunda apabila manusia mau bertobat (PDS.I.51), atau dosanya menjadi lebuh dengan sendirinya oleh perbuatan baik itu sendiri. Kalau dosa diandaikan setetes tinta hitam, air putih diandaikan sebagai kebaikan, maka setetes tindak hitam dalam gelah tidak tampak lagi jika air putif kebajikan diperbanyak, padahal tinta hitam (dosa) masih ada dalam gelas. Tinta hitam (dosa) itu menjadi lebur dan tidak terasa karena kearifan (mandawa) dan kerendahan hati (mardawa). Dalam agama Buddha, hidup manusia itu dikuasai oleh kehausan-kehausan, yaitu: Pertama, kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kenikmatan hawa nafsu (kama-tanha); Kedua, kehausan (nafsu keinginan yang tak habisnya) akan kelangsungan dan kelahiran (bava-tanha); Ketiga, kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan tidak kelangsungan atau pemusnahan diri (vibhava-tanha). Kehausan ini, yakni nafsu keinginan yang tak habis-habisnya, yang memperlihatkan diri dalam berbagai cara, merupakan sumber dari beraneka ragam penderitaan dan kelangsungan hidup makhlukmakhluk. Namun, korelasi antara tindakan (karma) dan akibat (vipaka atau phala) tidak bersifat deterministic. Karma dalam agama Buddha bersifat kondisional. Hukum karma bukan hukum pembalasan, sehingga terdapat jalan untuk mempengaruhi atau menekan akibat karma buruk dengan cara mengembangkan kemampuan dan kebiasaan baik lahir dan batin (dapat dikatakan sebageai penebusan). Segumpal garam dalam semangkuk kecil air membuatnya asin sehingga tidak terminum karenanya. Jika segumpal garam yang sama dimasukkan ke dalam Sungai Gangga, air sungai itu tidak akan menjadi asin dan dapat diminum (A.I,249). Setiap orang harus mengakui bahwa semua kejahatan dan perselisihan dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Ini tidak susah untuk dimengerti. Tetapi bagaimana keinginan yang egoistis ini dapat mengakibatkan kelangsungan kembali dan kelahiran kembali, mungkin tidaklah mudah untuk dipahami.31

31

Sumeda Widyadharma, Dhamma-Sari (Jakarta, Yayasan Dana Pendidikan NALANDA, 1993), hal. 100-103

139

Maka demi terhentinya dukha ini, hendaklah jangan dipilih dua jalan yang ekstrim yaitu “mencari kebahagiaan dengan menuruti nafsu-nafsu indra, yang dianggap rendah, bisa tak berfaedah dan cara-cara dari orang biasa” atau “mencari kebahagiaan dengan menyiksa diri dengan berbagai cara, yang menyakiti sekali, tidak berharga dan tidak Tetapi ambilah jalan tengah yang dikenal

berfaedah”.

sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan

(Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya upaya Benar, Perhatian Benar, dan Semedi Benar). Pada hakekatnya seluruh ajaran sang Buddha, yang beliau sendiri siarkan selama empat puluh lima tahun, sedikit banyak ada hubungannya dengan jalan ini. Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara dan dengan memakai bahasa yang mudah dimengerti, kepada beraneka ragam orang dengan tingkat pengetahuan dan kesanggupan yang berbeda-beda. Pelajaran yang terdapat dalam ribuan sutta dari kitab-kitab suci Buddha membahas Jalan Mulia Berunsur Delapan ini.

2. Perlu Pertobatan

Pengampunan yang senantiasa ditawarkan oleh Tuhan kepada manusia menghendaki bahwa manusia juga harus bertobat. Pengampunan yang dari Tuhan tidak akan sampai kepada manusia apabila manusia sendiri tidak membuka hati menerimanya. Kata Yunani “Metanoia”32 (meta = perubahan, nous = mentalitas) merupakan maksud yang diungkapkan dengan kata Indonesia “pertobatan”. Pertobatan merujuk pada pertobatan radikal dalam diri manusia, yaitu dalam cara berpikir, bersikap dan bertindak. Pertobatan terjadi apabila manusia mulai sadar akan kesalahannya. Dari kesadaran itu muncul penyesalan, karena tahu bahwa telah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak sepantasnya dia lakukan. Penyesalan sendiri bukanlah pertobatan. Hanya apabila kesadaran dan penyesalan akan dosa diikuti dengan perubahan cara berpikir, sikap hati, dengan mebalikkan arah hidup ke jalan yang benar, yang tampak dalam tindakan nyata buah-buah pertobatan, barulah dikatakan pertobatan sudah terjadi. Jadi pertobatan merupakan perubahan sikap dan orientasi hidup, dari membelakangi Tuhan dengan segala perintah-Nya, kembali mengarahkan hidup kepada-Nya. Bertobat berarti juga bangkit dari kejatuhan. Hal itu memang berat, namun tetap kita bisa melakukannya.

32

Xavier Leon – Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru (Yogyakarta, Kanisius, 1997) hal. 55

140

Dalam ajaran Islam dikatakan bahwa ada kesalahan kecil dan ada pula kesalahan besar dalam perbuatan manusia. Istilah minta maaf hanya layak dimintakan oleh orang yang melakukan kesalahan kecil, sebagaimana kita melakukan permintaan maaf kepada sesama manusia apabila kita melakukan kesalahan kecil atau kesilafan kecil. Tetapi kesalahan besar tidak cukup hanya minta maaf. Begitupula jika itu dilakukan terhadap Tuhan, dia mesti meminta ampun dengan melakukan pertobatan. Untuk mendapatkan pengampunan, ada persyaratan sufistik yang mesti dipenuhi terlebih dahulu. Syarat itu antara lain bertobat, yaitu berjanji dengan diri sendiri bahwa “dia sama sekali tidak mau mengulangi kesalahan yang dilakukannya”. Dia juga berjanji untuk “menyesali perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan”, dan seterusnya. Sebaliknya juga, seseorang yang telah melakukan kesaksian seperti itu, lalu melanggarnya sendiri, maka orang itu dicap sebagai orang munafik atau pengkhianat kepada dirinya sendiri, dan Allah mencatat perbuatan tersebut.33 Agama Islam menekankan, supaya hidup seseorang itu bahagia, aman sentosa, jauh dari penderitaan, ancaman dan segala kejahatan, maka perlu selalu berinstrospeksi (muhasabah). Selalu bertanya pada diri sendiri apakah yang telah saya lakukan hari ini dan sebelumnya baik atau tidak. Hadis Nabi menyatakan bahwa: “Jika hidup kamu hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka kamu benar telah merugi; jika hidup kamu hari ini sama dengan hari kemarin berarti kamu tertipu (Hadis Nabi). Yang baik adalah: Jika hari ini lebih baik dari hari kemarin. Kesalahan demi kesalahan

yang diperbuat, betapapun kecilnya, jika

berlanjut dan berkesinambungan, kelak akan menjadi besar dan menjadi beban yang tidak ringan. Oleh karena itu, agar kita senantiasa dalam keadaan baik, lakukanlahh instrospeksi. Jika sekiranya kita melakukan kesalahan kecil, baik pada Allah atau kepada sesama manusia, segeralah minta maaf, dan bila yang kita lakukan tergolong kesalahan besa atau fatal akibatnya bagi manusia atau di hadapan Tuhan, maka segeralah memohon ampun. Dalam kepercayaan Kristen, pertobatan harus ada agar bisa memperoleh pengampunan. Maka seruan atau ajakan pertobatan sering dikemukakan. Yohanes Pembaptis menyerukan kepada pendengarnya: “bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis, dan Allah akan mengampuni dosamu” (Mrk. 1:4; Luk.3:3). Ketika Yesus datang ke Galilea dan memberitakan Injil, Dia mengaitkan penerimaan Injil dengan pertobatan: “Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk.1:15).

33

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek (Jakarta, UI Press, 1997) hal. 79-80, dan bandingkan juga dengan Majid Fahri, Etika Dalam Islam (Surakarta, Pustaka Pelajar, 1996), hal.133-135

141

Dan, pada kesempatan lain Yesus ungkapkan bahwa ada sukacita besar di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena Sembilan puluh Sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan. (Luk. 15:3) Yesus juga tidak ragu-ragu menyatakan kebinasaan orang yang tidak bertobat. Ketika orang-orang datang kepada-Nya membawa kabar tentang orang-orang Galilea yang darah mereka dicampur oleh Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan, Yesus katakana pada mereka: “Jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian” (Luk. 13:3). Tetapi perkataan Yesus lebih keras terlontar ketika Dia mengecam beberapa kota (orang-orangnya) karena tidak bertobat walau mukjizat Tuhan terjadi di tengah-tengah mereka. Yesus tegaskan bahwa mereka akan diturunkan sampai ke dunia orang mati, dan pada hari penghakiman, tanggungan negeri Sodom akan lebih ringan daripada tanggungan mereka (bdk. Mat.11:2024). Dalam kepercayaan agama Hindu, kesalahan memang tidak bisa dihapus begitu saja. Untuk mendapatkan pengampunan harus ada upaya. Ada beberapa upaya penebusan dosa, tidak dengan uang, melainkan dengan melaksanakan perintah agama, berbuat baik sebanyak-banyaknya, antara lain: 

Melaksanakan dasa yama brata, diantaranya:  Ksamavrata, yaitu kesediaan memaafkan dan kemauan minta maaf kepada sesama dan juga kepada Tuhan sebagai tindakan nyata manusia yadnya (nara yajna) dan dewa yajna dalam arti yang seluas-luasnya.  Pritivrata, yaitu kemampun mengembangkan welas asih terhadap sesama. Ksamavrata dan Pritivrata merupakan dua unsur penting untuk bisa memaafkan. Melaksanakan manusa yajna tidak hanya terbatas melakukan penyucian diri (manusa samskarta) tetapi juga bersedia memberikan sesuatu sebagai wujud rasa hormat, adalah dasar untuk berani meminta maaf.



Melaksanakan acara/upacara penebusan dosa. Acara penebusan dosa banyak diatur dalam Weda Smrti, khususnya dalam Parasara dharmasastra, dan Manawa dharmasastra, misalnya:  Mengulang-ulang mantram Gayatri (Savitri mantram) misalnya 100 kali atau lebih, tergantung jenis kesalahan atau dosa yang dibuat.  Puasa (upawasa) dalam berbagai tingkatan kelengkapan pelaksanaannya.

142

 Mundawa samskara, yang artinya menggunduli kepala.  Mandi suci di sungai Gangga (Prasarana Dharma sastra XII.11)  Melaksanakan perkawinan secara terhormat, yaitu Brahma wiwaha, atau Daiwa wiwaha, atau Prajapati wiwaha, menurut Weda Smrti (Manawa Dharmasastra III 37-38) bisa menebus dosa leluhur dan keturunannya 3-10 tingkat di atas dan di bawahnya.  Melaskanakn upacara kurba, persembahan suci kepada Tuhan (Dewa Yajna) atau kekuatan negative lain (Butha Yajna). Dalam Weda Smrti (PDS I.51) disebutkan: memaafkan pencuri, menyerahkan sirih dan pinang kepada brahmacari (orang yang tidak kawin dan mengabdikan dirinya kepada Tuhan) serta emas kepada pertapa, ditunda hukumannya pada kehidupan berikutnya. Dari pasal ini terlihat bahwa hukuman karma berjalan terus, tetapi eksekusi hukumannya bisa ditunda dan ditunda terus, apabila manusia telah berbuat baik. Ini yang menjadi kriyamana karmaphala, yaitu karma yang aka dialami pada kehidupan yang akan datang.

Dalam ajaran Buddha, perbuatan seseorang itu disebut kamma atau karma, yang secara umum berarti perbuatan, kehendak atau pikiran, kata-kata atau tindakan. Perbuatan sesorang umumnya menimbulkan akibat, dan akibat ini merupakan pula sebab lain yang mengakibatkan akibat yang lain, dan begitu seterusnya, sehingga Kamma serong juga disebut “ hukum sebab akibat”. Melempar batu misalnya, itu adalah sebuah perbuatan. Batu menimpa kaca dan kaca menjadi pecah. Pecahnya kaca adalah akibat dari pelemparan batu. Tetapi peristiwa itu tidak hanya sampai di situ saja. Kaca yang pecah merupakan pula satu sebab dari kesukaran-kesukaran lain. Misalnya akan berakibat pada kekesalan seseorang atau kekecewaan bagi si empunya kaca. Dengan demikian, akibat dari Karma itu tidak akan segera berakhir. Oleh sebab itu, kita harus hati-hati sekali dengan perbuatan kita, supaya akibatnya senantiasa akan bersifat baik. Kita hendaknya selalu berbuat baik, yang bermaksud menolong makhluk-makhluk lain, membuat mahkluk lain bahagia, sehingga perbuata ini akan membawa satu karma-vipaka (akibat) yang baik dan memberi kekuatan kepada kita untuk melakukan karma yang lebih baik pula.34

34

Sumedya Widya Dharma, Dhamma Sari, Op.Cit., hal.100-101

143

3. Perintah untuk mengampuni

Sebagaimana perintah Tuhan kepada umat-Nya agar saling mengasihi, perintah untuk mengampuni juga merupakan pesan terpenting bagi manusia. Sebagaimana Tuhan mau mengampuni umat-Nya, demikian juga Dia mau agar umat-Nya saling mengampuni. Firman Allah dan ajaran para nabi dan rasul-Nya dengan sangat eksplisit mengungkapkan hal ini. Surat Ali-Amran mengatakan sebagai berikut: Dan patuhilah kepada Allah dan Rasul-Nya, biar kalian mendapat rahmat-Nya. Demikian pula segeralah memohon ampun kepada Allah, karena surge yang luasnya seluas bumi dan langit itu dijanjikan kepada orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang mampu mengeluarkan sedekah, baik sewaktu mereka dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memafkan kesalahan orang-orang. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (Ali-Amram ayat 132-134). Dalam Sabda Nabi bahkan dinyatakan bahwa pemberi maaf hendaknya diberikan sebelum yang melakukan kesalahan itu meminta maaf. Hal itu lebih utama untuk dilakukan. Maaf – memaafkan kesalahan juga dikatakan sebagai suatu yang dapat memperpanjang umur seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari Nabi selalu menerapkan perilaku memberi maaf ini. Salah satu contoh Nabi Muhammad seringkali mendapat perlakuan yang sangat tidak manusiawi, seperti dilempari kotoran onta, bahkan kotoran manusia oleh orang-orang Quraisy Mekkah, dan selalu memaafkan serta menganggapnya sebagai akibat dari ketidaktahuan mereka. Sewaktu hendak dibantu untuk membalasnya, Nabi bersabda – dengan sabdanya yang selalu diulang dan akhirnya menjadi terkenal itu – “Semoga Allah mengampuni mereka karena mereka tidak tahu”. Akibat dari itu, kehidupan Nabi yang semula penuh dengan cemoohan, karena umatnya semula belum memahami, kemudian lama-kelamaan berubah menjadi mencintainya. Yesus juga telah memberi teladan dan memberi ajaran dalam hal pengampunan. Yesus sendiri tidak membalas ketia Dia dianianya oleh para pembunuhnya. Ketika Dia ditangkap untuk diadili, salah seorang yang menyertai-Nya menghunushkan pedangnya ke telinga hamba imam besar, salah seorang penangkap-Nya, hingga putus, Yesus berkata: “Masukan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barang siapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang” (Mat.26:52). Yesus sendiri mohon pengampunan bagi para pembunuh-Nya ketika Dia berdoa di atas salib: “Ya Tuhan ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk.23:34).

144

Dalam perumpamaan tentang pengampunan, ketika Petrus bertanya kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?”. Yesus berkata kepadanya: “Bukan, Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat.18:21). Dalam berbagai penafsiran, ungkapan Yesus ini diartikan sebagai ‘tak henti-hentinya kita harus mengampuni’. Dalam berbagai wejangan-Nya Yesus mengajak umat-Nya untuk saling mengampuni: “Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan, janganlah kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum. Ampunilah dan kamu akan diampuni” (Luk.6:37). Rasul Paulus, dalam suratnya kepada umat di Efesus, mengatakan: “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesrah dan saling mengampuni, sebagaiman Allah dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Ef.4:32). Dan, dalam “Doa Bapa Kami” diungkapkan satu pernyataan bahwa kita juga mau mengampuni sesama yang bersalah kepada kita: “…ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami” (Mat.6:9-13). Dengan disemangati oleh pengampunan dari Tuhan, kita pun tergerak untuk mau mengampuni sesama yang bersalah kepada kita, secara tulus. Dapat dikatakan bahwa kesediaan kita untuk mengampuni merupakan suatu tanda syukur kita kepada Tuhan, yang begitu baik terhadap kita, khususnya dengan mengampuni kesalahan dan dosa-dosa kita. Dalam ajaran agama Buddha, salah satu paramita (kesempurnaan) yang harus dikembangkan adalah dana paramita, yang itu kemurah-hatian. Memberi maaf adalah tanda atau sifat dari orang yang murah hati. Tanpa maaf-memaafkan tidaklah mungkin amarah dan kebencian dipadamkan. Dalam dunia ini kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci (Dhp.5). Doa penyucian tidak lain dari doa permohonan maaf (khampapana). Jika dengan tindakan, ucapan dan pikir telah melakukan kesalahan, seseorang menyatakan penyesalan dan mohon maaf, dengan itu diharapkan batinnya menjadi tenteram. Sebalinya, berkat kesediaan memaafkan, diharapkan orang yang berbuat salah dapat selamat dan bebas dari penderitaan, khususnya karena kekuatan pikiran yang tenang dan damai, penuh dengan cinta dan belaskasih. Memaafkan atau mengampuni orang yang bersalah kepada kita bukan hanya bermanfaat bagi orang yang kita ampuni itu, melainkan juga bermanfaat bagi kita. Beban kita menjadi ringan, hidup lebih bebas, lepas dari beban yang semakin lama menekan jiwa.

145

B. MENGAMPUNI HARUS DENGAN KERENDAHAN HATI

Begitu indah didengar oleh telinga berbagai ayat-ayat firman Tuhan yang disampaikan kepada kita mengenai pengampunan, bahwa kita harus mau mengampuni sesama yang bersalah kepada kita. Itu semua kita terima dalam iman, sebagai yang berlaku mengikat bagi kita. Namun dalam kenyataan, mengampuni orang yang sudah sedemikan menyakiti hati kita, sangat sulit kita wujudkan. Dibutuhkan kerendahan hati dan kebesaran jiwa untuk bisa mengalahkan perasaan insani kita, dan bersedia mengampuni dengan tulus. Sikap rendah hati adalah suatu sikap yang hanya mengandalkan Allah dalam hidupnya dan tidak mengandalkan kekuatan diri sendiri. Rendah hati berarti juga tidak menganggap dirinya lebih berharga dan lebih tinggi dari manusia lainnya, karena sadar bahwa kita sama-sama bisa hidup dan bergerak hanya karena kebaikan Tuhan saja. Kesadaran akan hal ini akan membantu kita menyingkirkan berbagai bentuk kesombongan dalam hati kita. Sebaliknya, muncullah sikap mau saling menolong dan menerima satu sama lain sebagai saudara.

1. Berat namun tetap merupakan kewajiban

Amat sulit bagi kita untuk mengampuni atau berbaikan dengan orang yang baru saja menyakiti hati kita, apalagi bila tanpa kesalahan apa pun yang kita perbuat terhadap dia. Banyak dari kita memang benar-benar gagal melaksanakan perintah untuk mengampuni sesama. Mengapa demikian? Hal ini pasti berkaitan dengan kenyataan bahwa kita bertindak hanya atas dasar kemauan dan kehendak manusiawi kita sendiri, yang dikuasai oleh gengsi, ketinggian hati, kesombongan, takut dianggap penakut, harga diri yang terlalu tinggi, suka menyimpan kesalahan, ingin balas dendam, dan sebagainya. Tantangan lain yang bisa muncul dalam pemberian maaf kepada seseorang adalah ketika maaf yang kita berikan dengan tulus hati tidak diterima dengan senang hati, atau malah disalahgunakan. Untuk hal ini dapat dikatakan bahwa kesediaan kita untuk memaafkan tidak ditentukan oleh bagaimana sikap orang yang mau kita maafkan itu, menerimanya atau tidak. Kesediaan kita memberi maaf atau ampun tidak hanya sebatas hubungan kita dengan orang itu, tetapi sudah menyangkut penghayatan iman. Dan itu berarti Tuhan terlibat di dalamnya.

146

Contoh-contoh hidup yang masih ada di tengah-tengah kita dapat membuktikan bahwa mengampuni sesama tetap mungkin untuk dilakukan. Tokoh Nelson Mandela, dapat disebutkan sebagai salah satu contoh hidup bagi kita. Dia dipenjara sebagai tahanan politik selama dua puluh lima tahun, ketika dia sudah kembali ke dunia bebas, sebenarnya dia memiliki kesempatan untuk membalas dendamnya, namun hal itu tidak dilakukannya. Kepada teman-temannya yang ingin menggunakan kesempatan yang ada untuk membalas dendam, Mandela mengatakan: kalau perihal disakiti, sayalah yang paling disakiti dan paling menderita. Selama dua puluh lima tahun saya dipenjara, walau sesungguhnya saya tidak berbuat kejahatan. Jangan kita melakukan pembalasan. Marilah kita membangun perdamaian di antara kita. Mandela berhasil mewujdukan keinginannya yang tentu didorong oleh imannya itu, sehingga dia menjadi seorang tokoh dunia paling dikagumi pada zaman ini. Dia adalah tokoh rekonsiliasi dan perdamaian yang sungguh mengguggah hati banyak orang yang merindukan perdamaian. Banyak juga tokoh selain Mandela yang memberikan teladan mengampuni sesama dengan tulus ikhlas, coba kita cari dan kita jadikan teladan.

2. Dasar bagi kerendahan hati

Manusia hidup karena Tuhan memberinya kehidupan. Lepas dari Tuhan, manusia akan binasa. Orang beriman percaya bahwa Tuhan adalah sumber hidupannya. Pun semua yang dimilikinya adalah pemberian dari kemurahan Tuhan. Walau dia sudah berjuang, namun jika Tuhan tidak memberkati perjuangannya maka sia-sialah segala usahanya. Kenyataan bahwa kita semata-mata bergantung pada Tuhan sebenarnya menjadi alasan kuat mengapa kita seharusnya berlaku rendah hati dalam kehidupan ini. Kita juga hanya mungkin terbebas dari hukuman dosa karena belaskasihan dan pengampunan dari Tuhan, yang selalu bersedia menerima tobat kita dihadapan-Nya. Kita tidak bisa menyelamatkan dan menentukan nasib akhir kita sendiri. Kita tidak bisa menambah sejengkal pun dari perjalanan hidup kita di dunia ini hanya dari kehendak kita sendiri. Keadaan hidup kita bisa berubah dalam sekejap jika Tuhan memang menghendakinya demikian. Sebagai orang beriman kita mengatakan bahwa kehidupan kita semuanya terutama berada di tangan Tuhan.

147

Hal lain yang dapat dipandang sebagai alasan mengapa kita harus berlaku rendah hati dan mau mengampuni adalah kenyataan bahwa di dalam lubuk hati kita yang terdalam tertanam keinginan dan kerinduan kuat untuk mau mengampuni. Kita semua memiliki kerinduan seperti itu dalam hati kita. Hal tersebut sebaiknya mendorong kita untuk dengan tulus mau memaafkan atau mengampuni. Dan hal lain lagi yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk mau mengampuni adalah pengalaman yang dirasakan, yang tidak bisa dibayar dengan uang, ketika kita berhasil mengampuni seseorang yang bersalah kepada kita. Semakin tulus kita memaafkan, semakin dalamlah pengalaman rohani yang kita nikmati.

3. Menghayati dan mengembangkan kerendahan hati

Dalam kaitannya dengan saling mengampuni, kerendahan hati dituntut, baik bagi yang mau memaafkan atau mengampuni, maupun bagi yang meminta maaf atau pengampunan. Bukan hanya untuk bersedia memaafkan, tapi juga untuk mau minta maaf, kerendahan hati diperlukan. Kemampuan kita untuk melakukan yang satu akan membantu kita untuk mampu melakukan yang lain. Ketidakengganan kita untuk minta maaf biasanya juga memperlihatkan sikap dasar kita yang dengan mudah mau memaafkan orang yang bersalah kepada kita. Sebaliknya, kesiapsediaan hati kita untuk memaafkan, memperlihatkan bahwa kita pun tidak segan-segan minta maaf ketika kita sudah melakukan suatu kesalahan. Tidak jarang pengalaman diampuni telah mendorong seseorang untuk melakukan hal yang sama. Dan, pengalaman mengampuni akan membuatnya tidak mau kehilangan anugerah rohani yang dia peroleh dari keberhasilan itu. Ungkapan “mohon maaf lahir batin” tidak hanya menopoli hari Idul Fitri, Natal, Waisak, Nyepi, atau hari-hari besa lain keagamaan. Maaf-memaafkan adalah bagian dari romantisme kebersamaan kita yang harus kita hayati dalam hidup sehari-hari, sebagai orang-orang beriman.

C. WUJUD PEMBERTIAN MAAF DAN AMPUN

1. Memulainya dari hati

Pemberian maaf atau ampun memang harus berawal dari hati yang mau mengampuni. Kita memaafkan seseorang ketika hati kita sedikit pun tidak menyimpang kesalahan orang, dan tidak menaruh dendam dan kebencian terhadapnya. 148

Kita tidak berniat melakukan pembalasan terhadapnya, entah secara langsung atau tidak langsung, dengan perantaraan orang lain atau dengan dilakukan sendiri. Kita telah memaafkan seseorang yang bersalah kepada kita dalam hati tetap menginginkan yang terbaik bagi orang tersebut. Pemberian maaf yang terjadi dalam hati, bukan saja hanya ketika orang bersalah itu minta maaf, tetapi sebelum dia minta maaf pun sebaiknya kita sudah memaafkan.

2. Menunjukkan sikap dan perilaku kebaikan

Kalau orang bersalah kepada kita masih belum meminta maaf kepada kita (bisa jadi dia sebenarnya mau minta maaf, atau juga belum berniat melakukan hal itu), kita tetap dapat meperlihatkan di berbagai kesempatan, bahwa kita sebenarnya telah memaafkan dia. Wujud-wujud dari sini ada bermacam-macam, mulai dari sikap tidak menjauhinya, kesediaan mau bergaul dengan dia, sampai kesediaan mau menolong dia ketika dia sedang membutuhkan. Diharapkan dengan sikap perilaku kita seperti itu, dia akhirnya memahami dan mengalami bahwa kita memang sudah memaafkannya.

3. Menyatakan dengan kata-kata

Hubungan seperti pada nomor dua di atas sebenarnya sudah bagus, dan dapat dianggap memadai. Namun, hubungan seperti itu masih dapat dilanjutkan kalau memang dirasa perlu dan memungkinkan untuk dilakukan. Tujuan dari tahap ketiga ini tidak lain untuk menjernihkan segala keraguan yang masih tersisa dalam hati, baik di hati orang yang bersalah, maupun di hati orang yang memaafkan. Orang yang bersalah bisa jadi masih bertanya-tanya, “benarkah dia sudah memaafkan kesalahan saya pada dia”? Dan pada pihak yang memaafkan bisa jadi juga ragu-ragu dalam hati, “sesungguhkah dia tidak ragu lagi bahwa saya tidak menyimpan kesalahannya di dalam hati saya”? Keragu-raguan semacam ini dapat diselesaikan dengan pernyataan terbuka, baik permintaan maaf maupun pemberian maaf. Diharapkan, keterbukaan semacam ini dapat benar-benar menciptakan suasana baru di antara kedua belah pihak.

149

D. MAKNA PEMBERIAN MAAF DAN AMPUN

1. Terciptanya kedamaian

Fakta bahwa kita mau dimaafkan, dan bahwa iman kita meminta kita untuk mau memaafkan. Juga sudah jelas bahwa untuk sanggup memaafkan sangat diperlukan kerendahan hati. Buah-buah apa dapat kita nikmati dari penghayatan spiritualitas mancam ini? Buah pertama adalah kedamaian. Bagi orang yang dimaafkan, lebih-lebih bila dia sungguh merindukan hal itu, akan mendatangkan kedamaian yang sangat mendalam. Bagi orang yang memaafkan, terutama karena dorongan iman dan kerendahan hati, akan mendatangkan kelegaan dan kebahagiaan yang tidak kalah mendalam dengan orang yang dimaafkan. Bila terjadi maafmemaafkan di antara orang-orang dalam satu kelompok, dalam satu lingkungan atau masyarakat, jelas akan terciptalah kedamaian, kerukunan dan kehangatan hubungan antara satu sama lain. Selain itu, kerendahan hati yang terlatih dengan baik akan membuat orang tidak segera lupa diri ketika sedang mengalami kemujuran; dan sebaliknya, tidak lantas putus asa ketika sedang mengalami kondisi yang buruk. Kerendahan hati yang dihayati akan membuatnya semakin kaya dalam anugerah rohani, yang membuatnya mampu memancarkan pengaruh yang baik dengan melakukan kebajikan-kebajikan lain.

2. Sebuah tanda kemenangan

Kemampuan untuk rendah hati dan mengampuni bukanlah suatu tanda kekalahan, isyarat ketakutan atau ketidakmampuan berkompetisi dalam kehidupan ini. Sebaliknya, hanya orang yang mengerti arti sebuah kemenangan, yang mampu menghayati kerendahan hati dan mampu mengampuni dengan tulus. Oleh karena itu, keberhasilan seseorang menghayati kerendahan hati dan mampu dengan hati tulus mengampuni sesamanya, adalah sebuah tanda kemenangan atas kejatahan, sekaligus sebagai keunggulan hidup yang dimiliki seseorang.

150

3. Memperlihatkan kebesaran jiwa

Ada kesan bahwa sikap-sikap seperti: mau mengalah, tidak menonjolkan diri, mendahulukan orang lain, dan sebagainya, merupakan pertanda kekerdilan jiwa seseorang. Bahkan tidak jarang pembawaan seperti itu dipandang sebagai pembawaan seorang penakut dan pengecut. Namun kenyataan memperlihatkan bahwa hanya dengan kebesaran jiwa kita mampu menghayati sikap-sikap seperti itu. Justru orang yang tidak memiliki jiwa besar lebih cenderung melakukan yang sebaliknya, bersikap tinggi hati, sombong dan tidak mengenal ampun. Semakin seseorang memiliki kebesaran jiwa, semakin dia menjadi orang yang rendah hati dan mau mengampuni.

4. Mengungkapkan kematangan pribadi

Kemampuan untuk tetap konsisten dengan sikap rendah hati dan mau mengampuni, dengan jelas memperlihatkan betapa matangnya pribadi seseorang. Sikapnya tidak ditentukan oleh keadaan yang terjadi di lura dirinya. Bagaimanapun kondisi sosialnya, ekonominya, kedudukannya di dalam masyarakat, dan sebagainya, dia tetap muncul sebagai seorang yang rendah hati, yang tidak dendam, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tetap menghendaki yang terbaik bagi sesamanya. Sikapnya yang tetap kokoh dan konsisten seperti itu, membuatnya menjadi seorang yang terpandang di mata teman-teman dan orang lain di sekitarnya.

5. Memperlihatkan kedewasaan iman

Apabila dikaitkan dengan penghayatan iman, maka harus dikaitkan bahwa kerendahan hati dan kesiapsediaan untuk mengampuni sesama, merupakan suatu tanda kedewasaan iman. Iman yang sudah sedemikian merusak dalam jiwa, telah mengubah

pendirian,

dan

menjadikan

seseorang

berani

menanggung

konsekuensi-konsekuensi yang terjadi akibat penghayatan kekutamaan-keutamaan yang didorong oleh imannya. Adalah satu kedewasaan iman apabila seseorang mampu mengalahkan kecenderungan-kecenderungan rendah insaninya dalam menghadapi berbagai situasi yang dihadapinya. Dia mampu melakukan tindakan bernafaskan iman walau tidak mendapat penghargaan dan penilaian baik dari siapapun.*** 151

REFERENSI:

Antonius A. Gea, Noor Rachmat, Antonia Wulandari (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Sumeda Widyadharma, Dhamma-Sari (1993). Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan NALANDA. Xavier Leon – Dufour (1997). Ensiklopedi Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius Harun Nasution (1997). Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek. Jakarta: UI Press

Majid Fahri (1996). Etika Dalam Islam. Surakarta: Pustaka Pelajar

152

TOPIK 12

MENJADI PRIBADI YANG RELIGIUS-SPIRITUAL

A.

PENDAHULUAN

Bagian ini menjelaskan menjadi pribadi yang religius. Ada empat dimensi penting yang dibahas yakni cinta pada Tuhan, cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama dan cinta pada alam lingkungan. Masing-masing dari aspek ini telah dibahas secara rinci pada setiap bab atau topik terkait di topik-topik lain sebelumnya. Penekanan yang akan menjadi fokus pembahasan di sini adalah bahwa menjadi pribadi yang Religius terutama secara khusus bagi orang beriman mengandaikan adanya sikap percaya pada Tuhan, cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama, dan cinta pada lingkungan. Keempat aspek ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Salah satu ciri setiap orang beragama adalah bahwa ia percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Namun percaya pada Tuhan Yang Maha Esa pada umumnya selalu dikaitkan dengan sikap-sikap positif terhadap diri sendiri, sesama dan alam lingkungan. Dengan demikian bagi orang beriman, cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama dan cinta pada alam lingkungan mengeskpresikan kepercayaan seseorang pada Tuhan Yang Maha Esa. Percaya pada Tuhan saja tidak cukup! Percaya pada Tuhan bersifat vertikal. Hal ini tidak cukup bagi manusia. Percaya pada Tuhan bersifat imperatif yang mendorong manusia untuk mencintai dirinya, mencintai sesama dan alam lingkungan. Cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama dan cinta pada lingkungan merupakan prasyarat bagi setiap manusia untuk dapat hidup dengan baik di muka bumi ini. Cinta pada diri sendiri berarti melakukan semua yang terbaik untuk diri sendiri, seperti mengembangkan bakat yang ada pada diri sendiri, memelihara kesehatan baik fisik, psikologis maupun sosial. Melakukan semua yang terbaik bagi diri sendiri merupakan modal yang dapat digunakan untuk melakukan yang terbaik kepada sesama dan lingkungan. Seseorang yang sakit misalnya tidak dapat melakuakan apa pun kepada orang lain dan lingkungan. Atau orang yang malas belajar tentu saja akan menjadi beban bagi masyarakat secara luas atau keluarga pada khususnya.

153

Sumber cinta pada diri sendiri, sesama dan lingkungan adalah Tuhan sendiri. Oleh karena itu, setiap orang beriman, supaya dapat mencintah diri, sesama dan lingkungan, terlebih dahulu harus membangun relasi yang baik dengan Allah. Dengan membangun relasi yang baik dengan Allah setiap orang beriman tidak saja mendapat makna untuk setiap tindakan mencintai diri, sesame dan lingkungan, tetapi juga dapat memiliki kepastian bagaiaman cinta pada diri sendiri, sesame dan lingkungan harus dilakukan. Orang yang memiliki relasi yang baik dengan Tuhan, selalu dapat memiliki jalan yang baik dan pasti bagaimana ia harus mengembangkan dirinya, melakukan semua upaya yang terbaik bagi dirinya sendiri, bagi sesamanya dan bagi lingkungan hidupnya. Relasi yang terus menerus dengan Tuhan dalam konteks ini menjadi ciri bagi setiap orang beriman. Dari relasi itu, manusia menimba cinta dari Tuhan untuk kemudian dibagikan ditumbuhkan pada diri sendiri, dibagikan kepada sesama dan linkungan.

B.

BERIMAN PADA TUHAN Setiap

orang

beriman

membangun

kehidupan

religius-spiritualnya

berbasis

pada percaya pada Tuhan. Dengan percaya pada Tuhan aspek religius kehidupan orang beriman menjadi berbeda dari orang yang tidak beriman. Kalau orang yang tidak percaya pada Tuhan membangun spiritualitas kehidupannya berbasis pada pemikirannya sendiri, maka religiositas kehidupan orang yang beriman berbasis pada relasinya dengan Allah yang diimaninya. Beriman dalam konteks keagamaan selalu bermakna bahwa seseorang menerma kebenaran tertentu dan apa saja yang berkaitan dengan kebenaran tentang Tuhan. Orang menerima kebenaran itu sebagai sesuatu yang pasti, kokoh dan tetap. Kebenaran itu tidak berubah-ubah. Kita tidak ragu dalam hati tentang kebenaran Tuhan sebagai sesuatu yang pasti. Deskripsi singkat tersebut tentang iman menggambarkan bahwa iman lebih sering dipahami sebagai sikap hati, dan tidak ada orang lain yang tahu, kecuali orang yang percaya itu sendiri. Dengan sikap hati itu manusia mempercayakan dirinya sebulat-bulatnya kepada Tuhan, mengandalkan Tuhan sepenuh-penuhnya. Dalam pengertian ini, Iman berarti penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Iman dalam konteks relasi dengan Allah, dipahami juga sebagi bentuk jawaban manusia terhadap pewahyuan Tuhan. Secara umum agama-agama mengakui bahwa Tuhan telah mewahyukan dirinya kepada manusia. 154

Justru karena telah mewahyukan diri-Nya kepada manusia, maka Tuhan yang tidak dikenal menjadi dikenal dan dapat disembah oleh manusia. Iman dalam konteks ini merupakan tanda penermaan manusia terhadap pewahyuan Tuhan tersebut. Manusia percaya bahwa pewahyuan tersebut adalah pasti. Tuhan mewahyukan dirinya kepada manusia di satu sisi, pada sisi yang lain manusia percaya bahwa pewahyuan tersebut benar adanya (bdk Gea, Rahmat, Wulandari, 2006). Beriman pada Tuhan tidak semata-mata merupakan sikap batin yang sifatnya personal. Beriman pada Tuhan menuntut sikap-sikap tertentu. Sikap-sikap tersebut biasanya dinyatakan dalam bentuk ritus-ritus tertentu. Ritus-ritus tersebu sebagai mana yang dijelaskan pada bagian lain dari pembelajaran ini berkaitan dengan sikap tubuh, waktu dan ruang tertentu dalam membina relasi dengan Tuhan. Ada sikap berdiri, duduk, berlutut, bersujud dan lain sebagainya. Sikap-sikap tersebut biasanya pada umumnya dintunjukan atau dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Setiap agama dalam konteks ini telah menetapkan waktu-waktu tertentu kapan manusia melakukannya. Selain itu, setiap agama juga telah menetapkan dimana sikap-sikap tersebut dilakukan. Secara pribadi sikap-sikap tersebut dapat dilakukan pada ruang-ruang privat, dan secara kolektif, berjemaah, sikap-sikap tersebut dilakukan ditempat-tempat yang ditetapkan sebagai tempat ibadat. Pada waktu dan tempat tersebut, manusia mengubah prilakunya menjadi lebih khusus dan spesial. Kalau dalam waktu-waktu dan tempat-tempat yang lasim dan umum manusia rebut, bergosip, marah, tidak sopan dan lain sebagainya, namun pada waktu dan tempat khusus tersebut, manusia berlaku sopan, tenang dan sikap-sikap pantas lainnya. Beriman, selain ditunjukan melalui sikap batin yang kokoh dan pasti yang pasti pada pewahyuan Allah dan ditunjukan melalui ritus-ritus, beriman juga dintunjukkan melalui secara terus menerus membangun relasi yang dengan Tuhan. Orang beriman akan selalu membangun relasi pribadi dengan Tuhan. Relasi dengan Tuhan dapat dilakukan dengan membiasakan diri berdialog melalui doa-doa pribadi kepada Tuhan. Doa-doa pribadi dapat dilihat dari dua sisi. Sisi pertama adalah bahwa setiap orang beriman menyampaikan peromohan dan pujian kepada Tuhan, dan sisi kedua, setiap orang beriman dilatih untuk mendengarkan pesan-pesan Tuhan. Pesan-pesan Tuhan pada umumnya dapat didengar melalui suara hati orang beriman. Beriman dalam konteks sisi kedua ini berarti mendengarkan apa yang Tuhan kehendaki untuk dilakukan oleh manusia. Dalam kehidupan sehari-hari sisi kedua iman ini sering diabaikan. Hal ini telah mengakibatkan manusia menjadi kurang atau tidak peka terhadap pesan-pesan Tuhan bagi hidupnya.

155

Orang beriman cenderung membiasakan diri dengan sisi pertama dari doa yakni menyampaikan permohanan dan pujian. Setiap orang beriman mengakui bahwa Tuhan mengetahui segala hal mengenai hidup manusia. Orang berman juga mengakui bahwa Tuhan akan selalu memberikan apa yang terbaik bagi manusia menurut rancangan Tuhan sendiri. Namun dalam kehidupan sehari-hari orang beriman cenderung melakukan apa yang mereka maui, dan bukan berdasarkan apa yang Tuhan maui. Bahkan ada kecenderungan manusia memaksakan kehendaknya pada Tuhan. Biasanya orang beriman selalu menghendaki apa yang menyenangkannnya. Atau secara konseptual, orang berman cenderung altrustik. Sikap altruistic ini biasanya berkaitan dengan tubuh dan berisifat material. Oleh karena itu, semua pengalaman yang tidak menyenangkan tubuhnya dianggapnya sebagai penderitaan. Orang yang membiasakan dirinya berdoa dengan mendengarkan pesan-pesan Tuhan dapat saja mengalami penderitaan tubuh sebagai salah satu bentuk sapaan Tuhan baginya. Melalui penderitaan itu, orang beriman menyadari keterbatasannya, atau melalui penderitaan itu orang beriman dapat menjadi lebih dekat dengan Tuhan, atau melalui penderitaan itu manusia dapat merenungkan prilaku-prilaku buruk yang telah ia lakukan di masa-masa yang lalu. Orang yang tekanan darah tinggi, atau debar jantungnya tidak lasim misalnya dapat merenungkan bahwa jangan-jangan ia adalah pendendam atau pemarah. Dua sikap ini dapat saja mempengaruhi tekanan jantung atau daranya. Tekanan darah dalam hal ini merupakan pesan untuk bersikap lebih mengasihi. Sikap mengasihi adalah perintah utama Tuhan untuk dilakukan oleh manusia, yang dalam beragam agama dibahasakan dengan kata yang beragam-ragam. Orang yang mengalami sakit diabetes sebagai contoh yang lain merupakan kondisi melalui mana orang beriman dapat merefleksikan hidupnya bahwa mungkin ia terlalu rakus dan tidak hidup sederhana. Kerakusan dalam konteks ini mengurangi kesempatan untuk berbagi dengan orang lain. Sehingga dengan mengalami sakit diabetes, orang beriman memiliki kesempatan untuk berbagi dengan orang lain. Singkatnya orang beriman mengalami setiap peristiwa hidupnya baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan sebagai tanda berkat Tuhan bagi hidupnya. Oleh karena sebagai tanda berkat Tuhan, orang beriman tidak akan mengeluh terhadap apapun. Sikap orang beriman biasanya lebih tenang, damai dan bersukacita. Ia tenang dan damai sebab ia percaya bahwa Tuhan lah yang menyelenggarakan hidupnya. Kepercayaan seperti ini tentu saja hasil dari relasi yang dibangunnya secara terus menerus dengan Tuhan.

156

Oleh karena ia percaya bahwa Allah lah yang menyelenggarakan hidupnya, ia bersukacita. Dengan demikian, sikap-sikap seperti takut, cemas, murung, cemberut, marah, dendam dan sikap-sikap negatif lainnya merupakan refleksi bahwa orang tersebut kurang atau belum beriman. Setiap orang beriman seharusnya hidup selalu dalam suka cita sebabia percaya bahwa Allah lah yang menyelenggarakan hidupnya.

C.

CINTA PADA DIRI SENDIRI DAN SESAMA Selain beriman pada Tuhan, seseorang yang memiliki religiositas yang baik nampak

pada tindakan mencintai diri sendiri dan orang lain. Ada ungkapan yang sudah lasim disebutsebut hampir oleh begitu banyak orang pada umumnya, dan orang yang beragama pada khususnya yaitu “cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ungkapan ini menunjukan bahwa sebelum mencintai orang lain sebagai sesama, seseorang harus mencintai dirinya sendiri. Dengan demikian mencintai orang lain merupakan gambaran dari cinta pada diri sendiri. Tidak akan pernah dapat mencintai orang lain dengan baik, bila seseorang tidak sanggup mencintai dirinya sendiri. Dua dimensi ini dibahas secara detail berikut ini. 1. Mencintai Diri

a. Yang Terbaik Untuk Tubuh

Yang terbaik untuk tubuh adalah tidak memberikannya apa yang dapat merusak tubuh itu sendiri. Hal-hal yang merusak tubuh adalah makanan yang tidak berfungsi baik bagi tubuh melainkan berfungsi sebagai racun yang mematikan, racun yang membuat tubuh tidak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik. Hal-hal yang merusak tubuh lain adalah minuman yang dapat membuat tubuh menjadi rusak. Kita dapat mengakses berita-berita yang berkaitan dengan dampak buruk dari makanan dan minuman terhadap kesehatan manusia. Selain itu, begitu banyak perilaku yang merusak tubuh manusia.

Tuhan menciptakan tubuh manusia dengan standar yang berbeda-beda. Dua orang memakan daging yang sama. Akibat yang dialami oleh keduanya dari makan daging yang sama itu berbeda-beda. Bagi yang satu, daging dapat meningkatkan energinya, namun bagi yang lain menyebabkan kolesterolnya menjadi naik. Demikian juga dengan makan cabe. Cabe yang sama dimakan oleh dua orang yang berbeda, akibatnya bias berbeda.

157

Pada yang seorang, dengan memakan cabe, gairah makannya menjadi lebih baik, namun bagi seorang yang lainnya, cabe dapat meningkatkan asam lambungnya.

Gejala-gejala ini

menunjukkan bahwa setiap orang memiliki standar tubuh yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, setiap orang harus belajar memberkan apa yang terbaik bagi tubuhnya masing-masing supaya tubuh dapat berfungsi dengan baik dan sehat. Tentu saya minum air putih sebanyakbanyaknya,

berolahraga

secukupnya,

beristirahat

pada

waktunya,

melakukan

aktivitas-aktivitas merupakan juga hal-hal yang baik bagi tubuh kita. Tubuh terbentuk dari air dan secara alamiah membutuhkan aktivitas. Orang yang hanya diam saja dan tidak mengkonsumsi air dengan cukup cenderung menderita sakit. Sakit dalam hal ini dapat disimpulkan karena kita melawan hakekat dan alam tubuh kita.

b. Yang Terbaik Untuk Jiwa

Yang terbaik untuk jiwa adalah tidak memberikan apa yang dapat merusak jiwa itu sendiri. Hal-hal yang merusak jiwa adalah marah, kecewa, putus asa, cemas, tidak sabar, sombong, tidak peduli, tidak memaafkan, dendam, malas, dan lain sebagainya. Yang menghubungkan seseorang dengan seseorang yang lainnya, atau seseorang dengan Allah pada prinsipnya adalah jiwa. Sikap-sikap yang merusak jiwa tersebut akan membuat kita terisolasi. Kita terisolasi dari sesama, dan terutama dari Allah. Berada dalam keterisolasian adalah berada dalam kesepian dan kesepian akan terus memelihara sikap-sikap yang merusaka jiwa. Sebuah lingkaran setan.

Tubuh dan jiwa berkaitan satu dengan yang lainnya. Tubuh yang rusak dapat menghambat ekspresi jiwa. Senyum adalah panggilan jiwa. Media yang digunakan untuk senyum adalah bibir. Kalau kita sariawan tentu mengganggu seyum kita. Kita tidak dapat berbagi kalau tubuh kita tidak berfungsi dengan baik. Demikian juga sebaliknya, jiwa yang rusak dapat mengganggu fungsi tubuh. Marah dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, gangguan pada jantung. Orang yang stress dan cemas dapat mengganggu fungsi lambung, dan demikian seterusnya. Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa mencintai diri berkaitan dengan kesehatan tubuh dan kesehatan jiwa. Kedua hal itu sama-sama pentingnya. Namun, dalam kehidupan sehari-hari jarang kita menempatkan keduanya pada tempat yang layak. Bahkan kecenderungannya, kita menempatkan tubuh lebih penting dan mengorbankan jiwa.

158

Kita marah, cemas, takut, kalau-kalau penampilan tubuh, tidak pas dengan apa yang diiklankan dalam media-media yang kita tatapi saat demi saat. Bukan mendengarkan bagaimana jiwa mengatakan apa yang pantas bagi tubuh kita. Kita memenjarakan jiwa kita dalam tubuh. Penjara tentu membuat hidup kita menjadi kerdil.

Sehat tubuh dan sehat jiwa merupakan syarat penting untuk dapat mencintai sesama. Kalau tubuh dan jiwa tidak sehat tidak dapat mencintai sesama dengan baik. Orang yang suka marah, cemberut, murung, pesimis akan dijauhi orang lain, kalau demikian bagaiman kita dapat mencintai sesama? Sebaliknya orang yang penuh sukacita, gemberi, empati, opitimis pada umumnya memiliki banyak sahabat. Orang yang tubuhnya sakit, tentu tidak dapat bekerja, dan karena itu, ia akan menderita miskin. Kalau ia miskin bagaimana ia dapat mencintai sesamanya?

2. Mencintai Sesama

Siapakah sesamaku? Sesamaku adalah dia yang setempat tidur dengan aku, sesamaku adalah dia yang sedarah dengan aku, sesamaku adalah dia yang serumah dengan aku, sesamaku adalah dia yang sehari-hari berada dan berhubungan dengan aku. Orang-orang seperti ini sangat menentukan sukses hidup kita baik untuk ke surga, maupun untuk karir sukses. Kita hampir-hampir tidak berdosa dengan orang yang tidak kita kenal atau yang jauh dari keseharian kita. Kita biasanya berdosa dengan orang-orang yang selalu dekat dengan kita. Oleh karena itu, sesamaku yang paling pertama adalah mereka yang selalu berada bersama dengan aku dalam ruang dan tempat tertentu. Bila anda marah misalnya, kemarahan anda tidak akan dialami oleh orang yang sedang jauh dengan anda. Kemarahan anda dialami oleh orang yang sedang berada disekeliling anda. Sesamaku dengan demikian dapat aku jumpai dalam pengalaman tatap muka dan karena itu aku dapat memandang wajah mereka. Wajah yang memanggil aku untuk mendengar, mengerti, memaafkan, menolong dan peduli.

Selain itu, sesamaku juga adalah mereka yang secara simbolik hadir dalam hidupku. Mereka hadir dalam karya-karya mereka. Karya-karya mereka aku gunakan saat demi saat dari hidupku. Pakaian yang aku kenakan, rumah yang aku tinggali, mobil yang aku gunakan dan lain sebagainya, semuanya menandai kehadiran orang lain dalam hidupku. Kehadiran mereka juga adalah panggilan bagiku untuk peduli.

159

Sesamaku yang kita alami dalam konteks ini adalah semua mereka yang sepadan dengan aku. Aku memiliki mimpi, mereka juga memiliki mimpi, aku rindu didengarkan, dipedulikan, diperhatikan, mereka juga terus merindu seperti yang aku rindukan. Singkatnya, mereka adalah aku yang lain, dan aku adalah mereka yang lain. Sebab semua hal yang ingin aku peroleh mereka juga demikian. Aku sungguh bergantung pada mereka, dan mereka juga bergantung pada aku. Sebagai anak manusia, mereka menentukan nasibku, seperti nasib mereka juga ditentukan oleh aku. Aku dan mereka sama-sama saling menentukan.

Namun bagaimana aku dapat melakukan semua itu? Atau bagaimana aku dapat mencintai sesamaku? Ada dua hal yang dapat kita lakukan untuk menjawab pertannyaan ini. Pertama berkaitan dengan kesehatan jiwa dan tubuh kita. Bila kita sehat, kita tidak menjadi beban bagi orang lain dan bahkan kita menjadi sumber inspirasi bagi orang lain. Kita dalam hal ini seperti pelita yang meskipun diam pada tempatnya, namun cahanya melampaui tempatnya sendiri. Ini berarti mencintai diri dengan menjadikan diri sehat (tubuh dan Jiwa) pada saat yang sama kita mencintai orang lain. Kita bisa tersenyum, menyampaikan kabar baik kepada orang lain tentang bagaimana hidup harus dijalani.

Kedua adalah bila kita sehat (tubuh dan jiwa) kita dapat keluar dari tempat kita sendiri. Kita melihat, mendengarkan, melangkahkan kaki dan mengulurkan tangan, lalu menjadi bagian dari kehidupan orang lain, dan berada bersama mereka. Berada bersama dengan orang lain sebagai sesama, berarti kita hidup dan bertumbuh bersama orang lain. Semuanya ini hanya dapat kita lakukan bila tubuh dan jiwa kita sehat.

Dari refleksi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa mencintai diri sendiri berarti kita membuat tubuh dan jiwa kita menjadi sehat. Dengan tubuh dan jiwa yang sehat kita dapat mencintai sesama kita. Dengan mencintai sesama, kita membuat hidup kita terus bermakna dan berfungsi. Dengan terus bermakna dan berfungsi kita pada saat yang sama terus memelihara kesehatan kita, baik kesehatan tubuh, maupun kesehatan jiwa.

Pada jaman modern ini dimana pengetahuan menjadi penting, belajar menguasai pengetahuan sangatlah penting. Hampir semua bidang kehidupan menuntut setiap orang untuk menguasainya. Oleh karena itu, mencintai diri berkaitan dengan kerajinan dan ketekunan untuk terus belajar menguasai ilmu dan pengetahuan. 160

Dengan menguasai ilmu dan pengetahuan, setiap orang dapat berpartisipasi menjadikan dunia ini menjadi lebih baik. Dengan berpartisipasi secara aktif, setiap orang tentu saja memelihara hidupnya sendiri. Bekerja adalah tanda keikutsertaan dalam membangun dunia yang lebih baik, dan dengan bekerja pula kita mendapatkan sumber hidup kita.

D.

CINTA ALAM LINGKUNGAN Lingkungan alam sangat penting bagi setiap orang, baik orang beriman maupun orang

yang tidak beriman. Hidup manusia di dunia ini sepenuhnya sangat bergantung pada alam. Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Kalau tubuh saja, itu bukan manusia, demikian juga, kalau jiwa saja, juga bukan manusia. Manusia adalah tubuh yang berjiwa, dan jiwa yang bertubuh. Lingkungan hidup merupakan kondisi dasar yang memungkinkan tubuh manusia terbentuk dan terus terbentuk. Tulang-tulang, kulit, daging, sel-sel, darah dan lain sebagainya berlasal dari tanah. Oksigen yang dihirup oleh manusia juga berasal dari alam yang kualitasnya sangat ditentukan oleh lingkungan hidupnya. Berkaitan dengan itu, kita dapat mengatakan, “Aku sangat bergantung pada alam disekitarku.” Semua syarat yang berkaitan dengan tubuhku sangat bergantung pada alam di sekitarku. Vitamin-vitamin, karbohidrat, zat besi dan semua yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuhku, semuanya berasal dari alam. Sikap hormat, peduli pada alam dalam hal ini adalah sebuah tuntutan nyata, sebuah tuntutan yang harus aku penuhi. Oleh karena aku sangat bergantung pada alam, maka semua yang terbaik untuknya aku lakukan. Tidak membuang sampah sembarangan, tidak boros menggunakan air, menjaga udara tetap bersih, menyediakan ruang hijau, dan sikap-sikap positif lainnya terhadap alam merupakan bagian dari panggilan yang harus aku lakukan. E.

MENGAPA CINTA DIRI, SESAMA DAN ALAM LINGKUNGAN? Pertannyaan penting yang perlu diajukan adalah mengapa Cinta Diri, Sesama dan

Lingkungan perlu untuk menjadi seorang pribadi yang spiritual? Hampir semua agama memberi kesaksian melalui kitab-kitab sucinya masing-masing bahwa manusia dan seluruh alam semesta ini adalah ciptaan Allah. Oleh karena, itu menghormati sesame manusia dan seluruh ciptaan Allah sama dengan dengan menghormati Allah yang menciptakannya. Selain itu, dalam kitab-kita suci agama-agama juga memberikan kesaksian bahwa Allah selalu menggunakan manusia dan alam untuk menyatakan kehendaknya. 161

Oleh karena itu, sikap dasar seorang pribadi yang spiritual adalah meningkatkan kepekaan terhadap kehadiran orang lain dalam hidupnya. Sebab melalui orang lain itu, Allah menunjukkan kasihnya kepada manusia. Allah menunjukan diri sebagai pembebas. Untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan anda membutuhkan orang lain untuk memenuhinya. Melalui orang lain itu, anda dibebaskan dari kesulitan papan, sandang dan pangan. Untuk membesarkan jiwa anda dihadapan Tuhan anda membutuhkan orang lain untuk menerima wajah dan seluruh sikap baik anda. Tanpa kehadiran mereka bagaimana anda dapat membesarkan jiwa Anda dihadapan Tuhan? Selain melalui orang lain, Allah juga menunjukkan kehadirannya melalui lingkungan. Lingkungan memberi anda oksigen, dan berbagai engergi hidup yang dibutuhkan untuk hidup. Melalui alam itu, Allah menampakkan diri sebagai pemberi makan, minum dan kehidupan. Dengan demikian, sikap-sikap yang bertentangan dengan cinta diri, sesama dan lingkungan menunjukkan bahwa anda belum menjadi pribadi yang spiritual. Sumber utama dari cinta diri, sesama dan lingkungan adalah Allah sendiri, yang terus menerus mewahyukan dirinya dalam arus kehidupan manusia. Oleh karena itu tanggung jawab utama orang beriman adalah terus berelasi dengan dengan Tuhannya. Setelah mendapatkan kasih itu dari Tuhan, orang beriman memiliki tangunggjawab untuk membaginya kepada orang lain untuk menjawab berbagai macam kegelisahan sesamanya (Antonius & Dae, 2015). Ada yang gelisah dengan sakit yang diderita. Yang lain gelisah dengan pendapatan keluarga karena harus membiayai anak-anak sekolah. Ada juga yang gelisah karena sulit mendapatkan kerja. Dan masih banyak kegelisahan lainnya. Terhadap situasi gelisah yang dihadapi banyak orang ini, maka tugas utama orang beriman adalah menghibut yang sakit, membantu membayarkan uang sekolah bagi yang membutuhkan biaya sekolah, membantu menyediakan pekerjaan bagi orang yang gelisah karena mengganggur. Tindakan-tindakan seperti inilah yang semestinya lahir dari orang yang beriman. Tanggungjawab orang berman yang lain adalah melahirkan contoh hidup yang suci. Tidak ada orang beriman yang membunuh dengan cara apapun, atau tidak ada orang beriman yang berkorupsi. Orang beriman juga melahirkan contoh rendah hati atau rajin atau setia. Orang beriman hadir di tengah yang lain sebagai batu penjuru contoh hidup beriman.

162

F.

PENUTUP

Menjadi pribadi yang RELIGIUS-SPIRITUAL mengandaikan beberapa sikap seperti; 1. Beriman pada Tuhan 2. Cinta Pada Diri Sendiri 3. Cinta Pada Sesama 4. Cinta Pada Lingkungan***

163

REFERENSI

Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari (2004). Character Building III: Relasi Dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo. Porat Antonius & Max Biae Dae (2015). Eksegese Orang Jalanan, Tahun Liturgi A Jilid 1; Tahun Liturgi C Jilid 1 dan 2. Kupang: Lembaga Jasa Psikologi Terapan.

164

TOPIK 13

MAKNA RELIGIUS KERJA

A. KONSEP RELIGIUS KERJA PADA UMUMNYA Semua agama melalui inspirasi suci dalam ajaran iman masing-masing menyatakan secara jelas bahwa alam semesta atau dunia ini dijadikan oleh Tuhan. Secara religius, alam semesta diyakini sebagai entitas yang diciptakan Tuhan. Tuhan menciptakan dunia dalam kondisi baik dan indah sejak awal mulanya. Kata ’menciptakan’ di sini mau menggambarkan bahwa Tuhan juga bekerja ketika DIA menciptakan langit dan bumi ini. Sesudah menciptakan dunia, manusia diberi tugas (gabe) dan tanggung jawab (aufgabe) oleh Tuhan untuk membangun tatanan dunia agar berkembang sesuai dengan kehendak Tuhan, Sang Pencipta itu sendiri. Dari asumsi ini, maka sebetulnya kerja yang dilakukan manusia bukan untuk kepentingan hidup manusia saja, melainkan bermartabat ilahi juga. Kerja bukan hanya urusan fisik-material, melainkan urusan metafisik atau transfisik juga. Urusan metafisik membuat manusia memiliki visi spiritual-religius menuju keselamatan atau kebaikan masa depan. Manusia perlu memiliki visi religius-spiritual untuk melihat karya Tuhan di dalam setiap pekerjaan yang dilakukan oleh manusia. Dalam bahasa Ibu Teresa dari Calcuta (India), seorang pekerja seharusnya ”melihat wajah Allah dalam segala sesuatu, di dalam diri setiap orang, di manapun, sepanjang waktu, dan tangan-Nya dalam semua pekerjaan, dan membuat kita melakukan segala yang kita lakukan-apakah kita berpikir, belajar, bekerja, berbicara, makan atau beristirahat....” (Leteng: 2005, hlm. 24). Setiap kerja, aktivitas fisik atau tindakan aktif orang beragama layak selalu ditempatkan/dimaknai sebagai tindakan religius melanjutkan karya penciptaan Tuhan di dalam dunia ini. Dengan bekerja, manusia melanjutkan pekerjaan Tuhan di dunia ini. Dengan bekerja, secara religius, sebenarnya manusia berpartisipasi untuk membangun dan mengembangkan dunia bersama Allah Sang Pencipta. Kerja adalah cara keterlibatan riil manusia dalam seluruh rencana keselamatan dan penciptaan Tuhan yang terus berlangsung di dalam dunia. Manusia memiliki kualitas intuitif-rasional untuk mengenal Tuhan dan ciptaan lain. 165

Pengenalan akan Tuhan ini memampukan manusia untuk melakukan interpretasi-hermeneutis terhadap aktivitas kerja sebagai usaha membangun dunia demi kemuliaan Tuhan (Allah) sendiri. Bukan sebaliknya untuk kekuasaan manusia apalagi untuk mempertahankan dominasi absolut manusia atas alam ciptaan Tuhan yang malah terbukti telah merusakkan alam itu sendiri dalam wajah karut-marut krisis-krisis ekologis yang kian menggelisahkan umat manusia dan makhluk hidup lain. Sebagai makhluk yang mengenal Tuhan, manusia menominasikan diri sebagai perpanjangan tangan Allah di dalam alam. Manusia mengira Tuhan menggunakan dirinya untuk melanjutkan karya penciptaan-Nya di dalam dunia. Jika prediksi intuitif-spiritual ini dianggap benar adanya, maka muncul suatu kesadaran religio-spiritual di lubuk hati manusia yang terdalam untuk sadar bahwa kita manusia adalah utusan Tuhan untuk melanjutkan karya-Nya di dunia. Untuk itu kita manusia perlu menjalankan mandat ilahi ini secara baik, benar dan bertanggung jawab. Pekerjaan manusia

adalah wujud partisipasi manusia dalam penciptaan Tuhan.

Karena itu perlu diupayakan agar pekerjaan manusia dilakukan secara mendekati sempurna demi menjaga kelangsungan alam dunia ini. Sejak awal penciptaan, Tuhan sudah menciptakan dunia baik adanya, maka manusia harus bertanggung jawab penuh menjaga dan melestarikan dunia ini melalui aktivitas kerja yang dilakukannya. Kerja adalah jawaban iman manusia yang riil akan amanah Tuhan bagi manusia dalam memperlakukan dunia ini. Berbagai kegiatan kerja yang tidak sesuai dengan rencana Allah, harus ditolak dengan tegas. Rencana Allah kita nyatakan dalam nilai-nilai universal dan kesempurnaan seperti: kebaikan,

keindahan,

kebenaran,

keadilan,

kejujuran,

kemanusiaan,

keharmonisan,

keselarasan, moralitas, kedamaian, dan lain sebagainya. Kerja yang tidak merealisasikan nilai-nilai universal yang disebutkan tadi, sesungguhnya tidak sesuai dengan kehendak Allah. Kerja apapun bentuknya haruslah mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif-etis bagi manusia dan kehidupan. Pekerjaan yang mendatangkan dampak negatif-destruktif bagi manusia, alam dan tatanan sosial masyarakat harus dihindari dan dieliminasi. Manusia harus bekerja untuk memuliakan dan mengagungkan nama Tuhan, bukannya untuk mencari popularitas dan kejayaan bagi diri sendiri yang egoistik. Inilah tugas ilahi manusia dalam melakukan pekerjaannya sebagai partisipasi dalam karya penciptaan Tuhan.

166

Dalam konteks religiositas, kerja tidak hanya dianggap sebagai hal yang duniawi, tetapi dimaknai dan dihayati sebagai sesuatu yang bernilai ilahi dan kudus. Kerja dimaknai sebagai sesuatu yang suci dan ilahi. Konsekuensi logisnya yakni bahwa setiap orang beriman (religius-spiritual) harus melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan ajaran iman agama dan keyakinan masing-masing. Dalam konsep berpikir teologis, kerja merupakan suatu bentuk ibadah manusia kepada Tuhan. Kerja adalah ibadah yang diperpanjang dalam karya nyata sehari-hari. B. PANDANGAN KHUSUS AGAMA-AGAMA TENTANG MAKNA KERJA Banyak ajaran luhur di dalam agama-agama kita yakni Islam, Kristiani, Hindu, Budha dan Konghucu yang membicarakan tentang makna religius kerja atau religiositas kerja. Umumnya pandangan agama-agama menempatkan aktivitas kerja fisik manusia sebagai hal yang bernilai religius. Kerja bukan saja fungsi teknis-mekanistik-pragmatis, melainkan sungguh bernilai religius-spiritual-ilahiah. Melakukan pekerjaan dengan cara religius seharusnya (das sollen) dilakukan dengan setia dan penuh rasa tanggung jawab menurut hukum-hukum Tuhan di dalam ajaran agama-agama. Di dalam Islam, bekerja bukan hanya soal urusan mencari uang untuk hidup melainkan sungguh bernilai religius. Islam menekankan pentingnya niat luhur di dalam bekerja sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Rasulullah SAW bahwa setiap amal perbuatan harus diiringi dengan niat dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang sudah diniatkannya. Niat di dalam bekerja itu ditempatkan sesuai dengan perintah atau hukum Allah Swt sendiri. Banyak filsuf Islam misalnya Yusuf Qardhawi mengatakan moral etika dan ekonomi/kerja merupakan hal yang sangat penting dalam Islam dan etika moral itu berlaku di dalam segala aspek kehidupan (kaffah). Hal ini perlu diwujudkan dalam aktivitas ekonomi, bisnis dan pekerjaan setiap umat Islam. Sementara itu Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan pentingnya akhlak di dalam bekerja. Ghazali mengatakan bahwa seorang pedagang tidak boleh hanya memfokuskan pandangannya pada dunia saja dengan melupakan akhirat. Sebab kalau jika demikian maka umurnya sia-sia belaka. Sebaiknya orang yang memiliki akal dianjurkan untuk menjaga modalnya yakni agama dan bisnis berdagang. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt ”Janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia” (al Qashas 28:77). Dengan demikan maka tujuan utama pekerjaan dan aktivitas ekonomi di dalam Islam bertujuan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat (falah).

167

Selain pandangan di atas banyak teks lain di dalam Alquran juga yang menunjukkan tentang makna kerja dalam perspektif Islam yang bisa dipetik maknanya bagi kehidupan seorang muslimah dalam melakukan pekerjaannya. Pandangan Katolik tentang makna relgius ’kerja’ dapat ditemukan secara terperinci di dalam Kitab Suci Alkitab dan Magisterium Gereja Katolik seperti ensiklik para paus maupun ajaran para Bapa Gereja Katolik yang lainnya. Salah satu ensiklik terkenal yakni ”Laborem Exercens” pernah dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II berbicara tentang makna kerja menurut Katolik. Ensiklik Laborem Exercens mengatakan bahwa manusia adalah citra Allah yang dipanggil oleh Allah untuk bekerja mencari nafkah, menguasai ilmu dan teknologi (iptek), membangun kebudayaan dan kemanusiaan, peduli pada masalahmasalah sosial dan perdamaian dunia, serta melakukan pekerjaan dengan tujuan utama untuk memuliakan Allah Pencipta (Bapa), Allah Penebus (Putera Yesus Kristus) dan Allah Penghibur (Roh Kudus). Ensiklik juga menegaskan bahwa di dalam dunia kerja, manusia harus diperlakukan sebagai subjek kerja dan bukan objek kerja. Kerja untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk kerja. Ini artinya pekerjaan dilakukan untuk memanusiakan manusia dan bukan sebaliknya untuk mengeksploitasi atau mengorbankan kemanusiaan manusia sebagai makhluk luhur citra Allah. Pandangan Kristen (Protestan) tentang kerja intinya dapat ditemukan di dalam Kitab Kejadian Bab 1 di mana Allah dikatakan menciptakan manusia dan alam semesta menurut kehendak Allah dan semua ciptaan itu baik pada awal mulanya. Tuhan memberikan perintah kepada manusia untuk mengembangkan diri, menaklukkan bumi dan menguasai isinya dengan cara bekerja. Tuhan memerintahkan manusia untuk beranak cucu, menaklukkan bumi dan menguasai isinya dengan bekerja. Malah di teks Perjanjian Baru dikatakan bahwa ’barang siapa yang tidak bekerja, janganlah ia makan’. Ini artinya bahwa manusia tidak boleh malas tetapi harus rajin dan giat dalam melakukan pekerjaannya di bidang apa saja untuk mengembangkan diri, memajukan masyarakat dan mengembangkan kehidupan dunia ini ke arah lebih baik sesuai dengan rencana Tuhan sendiri. Budha sangat memperhatikan dimensi etika bekerja. Ada banyak aturan dan larangan yang perlu diperhatikan kaum penganut Budha dalam menjalankan pekerjaannya.

168

Di dalam Iddhipada di sana dijelaskan kondisi-kondisi umum yang memungkinkan seseorang Budhis sukses dalam pekerjaannya: 1.) Chanda: kepuasan/kegembiraan dalam mengerjakan hal yang sedang dikerjakan 2.) Viriya: semangat di dalam mengerjakan sesuatu. 3.) Citta: memperhatikan dengan penuh hati-hati hal-hal yang sedang dikerjakan. 4.) Vimasa: merenungkan dan menyelidiki alasan-alasan dalam hal yang sedang dikerjakan. Selain itu di dalam 8 Jalan Kebenaran khususnya mata pencaharian (samma ajiva) dikatakan mata pencaharian yang benar adalah: tidak mengakibatkan pembunuhan, wajar, tidak berdasarkan penipuan, tidak berdasarkan ilmu rendah (black magic). Ada juga 5 jenis perdagangan yang harus dihindari oleh orang-orang Budha yakni: dilarang berdagang senjata, dilarang berdagang makhluk hidup termasuk manusia, dilarang berdagang minuman keras, dilarang berdagang racun, dilarang berdagang daging. Orang Budha perlu memperhatikan etos kerja di dalam melakukan pekerjaannya. Hal ini di dalam Kitab Dhammapada bab 25: “Dengan usaha yang giat, penuh perhatian, berdisiplin, dengan pengendalian diri yang kuat, maka orang bijaksana membuat pulau yang tidak dapat dilanda oleh banjir”. Ajaran Hindu tak kalah menariknya soal kerja. Ada banyak kutipan yang menarik berkaitan dengan pekerjaan manusia. Bagi umat Hindu, bekerja adalah kewajiban (swadharma), bekerja adalah suatu keharusan, baik itu karena memang perintah dari Tuhan maupun karena tuntutan untuk kelangsungan hidup di dunia. Kutipan suci kerja menurut Hindu kebanyakan ditemukan di dalam Bhagawadgita. “Bekerjalah demi kewajibanmu, bukan demi hasil perbuatan itu, jangan sekali pahala menjadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri tidak bekerja” (Bhagawadgita II.47). “Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab bekerja lebih baik daripada tidak bekerja, dan bahkan tubuh pun tidak berhasil terpelihara jika tanpa bekerja” (Bhagawadgita III.8). “Seperti orang bodoh yang bekerja karena keterikatan atas kerja mereka, demikianlah orang yang pandai bekerja tanpa kepentingan pribadi (tanpa pamrih) dan bekerja untuk kesejahteraan manusia dan memelihara ketertiban sosial“(Bhagawadgita III-25). ”Mereka mempersembahkan semua kerjanya kepada Brahman dan, bekerja tanpa motif keinginan apa-apa, mereka tak terjamah oleh dosa, laksana daun teratai tak basah oleh air” (BhagawadgitaV.10).

169

Konghucu sangat mengharga pekerjaan yang dilakukan oleh manusia sebagai tindakan yang ditujukan kepada Thien, Tuhan. Oleh karena itu Konghucu mengajarkan 7 etos kerja atau sikap kerja yang perlu dimiliki seorang di dalam bekerja, antara lain: 1. Ren, murah hati, mencintai dan bersikap baik kepada sesama 2. Yi: berlaku benar dan bertanggung jawab, adil, keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran. 3. Yong: bersikap berani dan berlaku ksatria 4. Zhi: kebijaksanan dalam memutuskan dengan benar, 5. Cheng: sikap tulus, setulus-tulusnya, sikap sungguh-sungguh tanpa pamrih 6. Li: bersikap santun dan bertindak benar 7. Zhong: setia, loyalitas dan mengabdi C. ASPEK-ASPEK RELIGIUS KERJA35 1. Bekerja sebagai Aktualisasi Diri Aktualisasi diri merupakan kebutuhan kejiwaan seseorang untuk melakukan hal yang terbaik dari apa yang bisa dia lakukan. Aktualisasi diri adalah sebuah keadaan di mana seseorang telah merasa menjadi dirinya sendiri karena dapat mengerjakan sesuatu yang disukainya dengan hati yang riang gembira dan penuh sukacita rohani. Erwin Arianto (2009) mengatakan, orang yang mampu mengaktualisasikan diri, memahami bahwa ada eksistensi lain di dalam atau di luar dirinya sendiri yang mengendalikan perbuatan dan tindakannya untuk melakukan sesuatu. Aktualisasi diri erat kaitannya dengan kesadaran untuk mengenali dan memperbaiki diri dan keinginan untuk mengubah kondisi hidup ke arah yang lebih baik dari waktu ke waktu. Abraham Maslow dalam teorinya tentang piramida kebutuhan manusia, menempatkan aktualisasi diri di posisi titik puncak. Menurutnya aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang paling utama. Jadi, bekerja bukan hanya untuk tujuan-tujuan material, melainkan lebih jauh merupakan sarana/alat untuk mengekspresikan kualitas rohani di dalam diri manusia. Kerja adalah aktualisasi kualitas-kualitas utama manusia, termasuk di dalamnya tentu kualitas religius-spiritual juga.

35

Materi ini diapdatasi dari F. Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. Binus University: Jakarta.

170

Kualitas religius-spiritual diri berkaitan erat juga dengan nilai-nilai etis-moral, keyakinan iman-keagamaan, prinsip-prinsip dasar yang benar, harapan-harapan luhur-abadi, kerinduan-kerinduan imaterial masa depan yang lebih baik lagi dari sekarang. Diri spiritual adalah diri yang mau terus berefleksi dalam bekerja, diri yang mau terus memperbaiki diri, diri yang mau terus kreatif dan berubah menjadi selalu lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Diri yang spiritual selalu merasa kurang dan karena itu selalu terbuka untuk belajar dan menyempurnakan diri melalui aktualisasi kerja yang dihayatinya dalam hidup. Diri yang spiritual selalu melihat kenyataaan hidup, mengolah dalam diri dan selanjutnya menciptakan diri melalui aksi kreatif-aktif sebagai upaya aktualisasi diri menuju ke arah kesempurnaan sejati dalam kerja. 2. Bekerja sebagai Panggilan Tuhan Bekerja

sebagai

panggilan

Tuhan

memerlukan

kesadaran

religius

untuk

mengembangkan diri menurut perintah dan hukum-hukum Tuhan. Bertolak dari kesadaran ini, kita terus-menerus bekerja untuk memperbaiki kondisi tersebut sesuai dengan panggilan Tuhan yang selalu bergema di dalam hati nurani kita. Bekerja sebagai panggilan Tuhan dapat dilukiskan sebagai usaha untuk merealisasikan harapan-harapan, keinginan, dan kebutuhan kita sendiri. Namun terlebih pekerjaan sebagai ekspresi kreatif dari keyakinan iman keagamaan kita kepada Tuhan yang mengutus kita untuk bekerja di bidang apa saja. Kalau Tuhan memanggil dan mengutus kita ke tempat kerja maka kita perlu percaya pada Tuhan, percaya diri, percaya sesama rekan kerja, disiplin,bertanggung jawab, dan memiliki kualitas integritas diri yang baik. Dengan kekayaan religius diri seperti ini, kita bisa mengetahui kekurangan dan kelebihan diri sehingga mampu mencapai apa yang lebih baik lagi sesuai dengan kehendak Tuhan. Kekayaan mental memampukan kita melakukan refleksi (renungan) dan retrospeksi (melihat ke belakang) untuk melakukan retrodiksi (ramalan) antisipatif ke masa depan yang lebih baik lagi di dalam praktik kerja kita sesuai dengan ketentuan Tuhan.

171

Makna Spiritual Kerja Pada hemat saya, hidup dalam saat sekarang adalah kunci spiritualitas di segala bidang, tetapi terutama di tempat kerja. Sangat mudah membiarkan pikiran mengembara dan berjalan begitu saja selama jam-jam kerja, khususnya jika pekerjaan kita membosankan, mengulang-ulang hal yang sama atau menjemukan (seperti yang kadang-kadang terjadi pada jenis pekerjaan apapun). Sepenuhnya hidup dalam saat sekarang, berarti kita dapat melihat nilai kerja yang sedang kita lakukan pada saat kita melakukannya. Akibatnya, pekerjaan diresapi makna, pekerjaan menjadi bermakna secara spiritual. Bagaimana dapat tetap hidup seperti itu, tentu saja merupakan persoalan besar. Menurut hemat saya, kita dapat berbuat seperti itu dengan sebaik-baiknya jika kita menghayati pekerjaan kita sebagai sebuah doa. Maksudnya bukan berdoa ketika kita sedang bekerja, melainkan memandang pekerjaan sebagai sebuah panggilan spiritual (doa). Berpikir mengenai pekerjaan saya sebagai doa, betapapun pekerjaan itu membosankan, menjemukan, atau tidak menyenangkan-rupanya memperbesar perhatian saya kepada hal-hal kecil dan dengan demikian secara otomatis meningkatkan mutu serta ketelitian kerja saya. Sungguh, seandainya saya dapat melakukannya secara konsisten dan teratur! (W.K. Bricker-penulis dan editor).

3. Bekerja dengan Baik sesuai dengan Nilai-Nilai Organisasi yang Benar Bekerja dengan baik itu diharapkan sesuai dengan nilai-nilai luhur di dalam organisasi. Entah itu nilai keadilan, entah itu nilai keimanan, entah itu nilai kejujuran, entah itu nilai disiplin, entah itu nilai persaudaraan dll.Kita bekerja dengan baik sesuai dengan nilai-nilai organisasi yang baik dan positif juga. Bekerja dengan baik dapat juga dilihat dari sudut pandang hak dan kewajiban sebagai pekerja, keduanya harus terlaksana dengan seimbang. Harus ada keadilan di dalam bekerja. Karyawan wajib melakukan pekerjaan sesuai dengan aturan-normatif yang sudah ditetapkan oleh perusahaan (pemilik usaha). Sebaliknya seorang pemilik usaha juga harus memperhatikan hak-hak yang harus didapatkan oleh para karyawannya. Sehingga antara karyawan dan pemilik usaha selalu berusaha untuk saling melakukan yang terbaik, berlaku adil satu sama lain. Saling menjaga antara karyawan dan perusahaan merupakan hal yang mulia di dalam organisasi. Bekerja dengan baik sangat ditentukan juga oleh visi, misi, dan budaya organisasi perusahaan di satu pihak; dan faktor budaya, tradisi, dan etos kerja bekerja di pihak lainnya.

172

Di dalam bekerja kita perlu mengintegrasikan secara harmonis berbagai nilai, filosofi, keutamaan, hak, kewajiban dan nilai rohani dan memperoyeksikannya itu ke dalam tindakan/aksi bekerja dengan baik. Aksi bekerja dengan baik diarahkan pada pencapaian kualitas kerja yang baik. Kualitas kerja yang baik menciptakan kedamaian, kebahagiaan dan ketenteraman di hati karyawan sekaligus pemilik usaha. Namun di atas segalanya, bekerja dengan baik sungguh sesuai dengan hakikat Tuhan sebagai Sang Mahabaik itu sendiri. Julia Balzer Briley seorang perawat, pengarang, dan pembicara, dari Kota Cumming, Georgia menulis pengalamannya terkait aspek pengembangan diri dalam kerja ini. Julia menulis keyakinan rohaninya dalam kisah inspiratif

berikut ini. ”Untuk menambah

kedalaman spiritual dalam kerja saya, saya telah menempatkan diri untuk mengikuti kursuskursus yang memberikan sertifikat dalam bidang perawatan secara menyeluruh. Bagian pertama program ini adalah perawatan diri sendiri. Saya diminta untuk menelaah raga-jiwa-roh saya sendiri. Ini juga meliputi praktikum terstruktur dalam hal-hal seperti menulis catatan harian tentang perawatan diri dan spiritualitas kontemplatif. Irama tetap praktik setiap hari itulah yang akan membantu kita untuk memandang dan menghayati kerja kita sebagai jalan rohani, dan saya berusaha keras, berjuang sungguh-sungguh untuk mewujudkan hal ini. Saya merasakan bahwa batas waktu tugas-tugas selama kursus memberikan kepada saya struktur yang saya perlukan. Saya menjadi terbuka kepada Allah yang berbicara kepada saya melalui intuisi saya tentang cara saya dapat membantu para perawat dan orang lainnya yang sepanggilan untuk melihat spiritualitas kerja mereka” (Pierce: 2010, hlm. 179). Julia sangat menyadari diri sungguh-sungguh bahwa salah satu bagian penting dari aspek religius kerja adalah terus-menerus mengembangkan diri dalam bidang profesi yang digelutinya. Terus mengembangkan diri dalam profesi kerja termasuk bagian religiositas kerja juga. Orang yang terus mengembangkan diri akan menunjukkan kualitas kerja yang baik dan semakin tinggi pula. Kualitas kerja perlu diwujudkan dalam jenis kerja apapun profesi yang digeluti.

173

Benarlah pepatah menarik Martin Luther King Jr, : ”Jika orang dipanggil menjadi penyapu jalan, ia harus menyapu jalan tidak ubahnya seperti Michel Angelo melukis,atau Beethoven menggubah musik, atau Shakespeare menulis puisi.Ia harus menyapu jalan dengan sedemikian baiknya, sehingga segenap penghuni surga dan bumi akan berhenti sejenak dan berkata: Hiduplah seorang penyapu jalan yang besaryang melaksanakan pekerjaannya dengan baik” (Pierce: 2010, hlm. 78).

Pekerjaan itu tidak perlu dibandingkan. Karena semua orang yang bekerja di dalam perusahaan atau organisasi sama-sama memainkan perannya untuk kepentingan bersama. Karena itu semua pekerjaan baik adanya. ”Jika Anda membandingkan pekerjaan dengan pekerjaan, maka ada perbedaan besar antara pekerjaan mencuci piring dan pekerjaan mewartakan firman Tuhan, tetapi dalam hal menyenangkan hati Allah, kedua pekerjaan itu sama sekali tiada bedanya” (William Tyndale).

10 Cara Agar Kerja Dapat Bersifat Rohani Cara 1: Meletakkan barang-barang ”Suci” di sekililing Anda ! Cara 2: Hidup dengan menerima sifat tidak sempurna Cara 3: Menjamin mutu Cara 4: Mengucapkan terima kasih dan selamat Cara 5: Membangun dukungan dan persaudaraan Cara 6: Memperlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan Cara 7: Memutuskan apa yang ”Cukup” dan berpegang teguh pada keputusan Anda Cara 8: Menyeimbangkan berbagai tanggung jawab Cara 9: Bekerja untuk membuat ”Sistem” berjalan dengan baik Cara 10: Terus-menerus mengembangkan pribadi dan profesi (Gregory Pierce)

174

D. MENGHAYATI MAKNA RELIGIUS KERJA 1. Bersikap Disiplin dalam Bekerja Untuk melakukan pekerjaan sampai tuntas, sangat dibutuhkan sikap disiplin. Tanpa sikap disiplin, orang akan sulit menyelesaikan pekerjaannya hingga selesai. Disiplin adalah salah satu nilai penting yang perlu dihayati seorang karyawan di bidang profesi apa saja entah sosial dan ekonomi maupun politik dan pemerintahan. Pekerjaan apa saja tidak mungkin berhasil efektif tanpa adanya sikap disiplin. Sikap disiplin kerja, entah itu disiplin waktu, disiplin terhadap peraturan perusahaan (top-down), maupun disiplin terhadap komitmen bersama tim kerja (bottom-up) sangat berkaitan erat dengan hal-hal bernilai yang seharusnya dihayati seorang pekerja (karyawan/manajer) di lingkungan perusahaan atau tempat kerja. Menurut Hodges (Yuspratiwi:1990) disiplin adalah sikap seseorang atau sekelompok orang yang berniat mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh suatu lingkungan kerja. Disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan atau kepatuhan karyawan terhadap peraturan perusahaan atau organisasi. Tanpa didasari dengan kedisiplinan maka tujuan perusahaan sulit tercapai, sebab roda perusahaan sangat tergantung pada perilaku disiplin manusia-manusia yang bekerja di dalamnya. Sikap dan perilaku taat peraturan/norma perusahaan muncul dari dalam hati nurani karyawannya. Hal ini mengandaikan adanya kesadaran diri yang tinggi dari karyawan dalam bekerja. Sikap disiplin kerja biasanya ditandai oleh adanya berbagai inisiatif, usaha, niat, kemauan, dan kehendak baik untuk mentaati peraturan dengan ikhlas dan loyal. Karyawan yang berdisiplin tinggi, tidak semata-mata patuh/ taat terhadap peraturan secara kaku dan mati, tetapi terlebih berkehendak (berniat) baik untuk menyesuaikan diri dengan peraturanperaturan perusahaan. Ini artinya seorang karyawan perlu bersikap rendah hati untuk taat aturan perusahaan yang ada demi kebaikan dirinya sendiri. Aturan sebetulnya ada untuk melindungi kebaikan pribadi karyawan itu sendiri. Avin Vadilla Helmi (Buletin Psikologi 1996) menunjukkan tiga (3) indikator disiplin kerja sebagai berikut: a). Disiplin kerja tidak semata-mata patuh dan taat terhadap penggunaan jam kerja saja, misalnya datang dan pulang sesuai dengan jadwal, tidak mangkir jika bekerja, dan tidak mencuri-curi waktu saja. 175

b). Upaya dalam mentaati peraturan tidak boleh didasarkan adanya perasaan takut atau terpaksa. c). Komitmen dan loyal pada perusahaan tercermin dari bagaimana sikap dalam bekerja. Alvin menambahkan bahwa yang sering menunjukkan ketidakdisiplinan terlihat dari tingkat absensi yang tinggi, penyalahgunaan waktu istirahat dan makan siang, meninggalkan pekerjaan tanpa ijin, membangkang, tidak jujur, berjudi, berkelahi, berpura-pura sakit, sikap manja yang berlebihan, merokok di tempat terlarang, dan perilaku yang menunjukkan semangat kerja yang rendah. Ini sikap-sikap negatif kontradisiplin yang perlu diinsafi oleh para karyawan dalam dunia profesi apa saja. Umumnya perusahaan memberikan ganjaran dan hukuman (reward and punisment) untuk memperlancar penerapan peraturan perusahaan. Bagi karyawan yang terus-menerus menjalankan peraturan perusahaan diberikan ganjaran (reward), sebaliknya karyawan yang melanggar peraturan diberikan hukuman (punishment) untuk menimbulkan efek jera dan perbaikan kinerja.

Para pimpinan perusahaan sering kali dalam banyak kesempatan

mengungkapkan kata-kata bijak dalam pertemuan-pertemuan: “Give the best to corporation, and the best will return to you”. Disiplin terhadap komitmen bersama tim kerja (bottom-up) berbeda dengan disiplin terhadap peraturan perusahaan. Kegiatan perusahaan bukanlah kegiatan yang bersifat individual semata, melainkan juga membutuhkan disiplin terhadap komitmen kelompok tim kerja. Tim-tim kerja akan menghasilkan pekerjaan yang optimal jika setiap anggota kelompok dapat memberikan andil yang sesuai dengan hak dan tanggung jawab masing-masing. Kaitan antara disiplin terhadap peraturan perusahaan secara top-down dengan disiplin kelompok (tim kerja) secara bottom-up sebagai upaya saling melengkapi dan saling menunjang. Disiplin dari pimpinan tertinggi perusahaan ke bawah (top-down) tidak dapat dikembangkan secara optimal tanpa dukungan disiplin kelompok yang dibangun oleh tim kerja dari karyawan yang paling rendah hingga pimpinan yang tertinggi. Disiplin di tempat kerja tidak hanya semata-mata patuh atau taat terhadap sesuatu yang kasat mata, seperti penggunaan seragam kerja, datang dan pulang sesuai jam kerja, tetapi juga patuh dan taat terhadap sesuatu hal yang tidak kasat mata tetapi melibatkan komitmen, baik dengan diri sendiri ataupun dengan organisasi (kelompok kerja).

176

Disiplin Dalam pekerjaan kita sehari-hari, kita harus juga menjadi pencipta dunia, lebih baik memberikan perhatian kepada apa yang sedang kita lakukan-mempertanyakan nilai, maksud, proses kerja, dan juga sarana-sarana serta tujuan-tujuan dari kerja kita. Kita perlu sedikit disiplin untuk hal-hal ini. Tidak mudah melihat kesempatan-kesempatan untuk mengambil bagian dalam hidup ilahi bila menghadapi sekian banyak telepon yang belum dijawab pada daftar tugas sehari-hari kita, terjadinya gangguan pada komputer, laporan yang harus segera diselesaikan, dan klien yang marah-marah di telepon. Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah memperjelas tujuan-tujuan kita ketika kita sedang tidak bekerja. Kita perlu berpikir-ketika sedang tidak bekerja-baik itu penyair, pencetak, pedagang, pengajar, pengacara, perawat, penjaga parkir, pramuniaga, pastor/pendeta/ustad/biksu, pengusaha, manejer, direktur, ataupun wartawan yang bagaimanakah yang menjadi keinginan kita? Disiplin berpikir seperti ini dapat membangkitkan sikap sadar yang lebih tinggi ketika kita kembali ke tengah hingar-bingar tempat kerja kita. Bagaimana memberikan perhatian yang dapat meningkatkan kesadaran kita akan yang ilahi/transenden? Keduanya merupakan hal yang sama (Michael Coyne).

2. Melaksanakan Kerja sesuai dengan Sistem Nilai dan Lingkungan Dalam bekerja orang cenderung bertindak berdasarkan nilai-nilai dasar yang diyakini dan dianutnya. Hal ini terkait erat dengan masalah sistem nilai. Sistem nilai yang dianut akan terlihat jelas dari sikap yang tercermin dalam perilaku seseorang. Menurut

Kelman

(Brigham: 1994), perubahan sikap ke dalam perilaku terdiri dari tiga (3) tingkatan yaitu disiplin dalam pelaksanaan kerja karena kepatuhan, disiplin pelaksanaan karena identifikasi, dan disiplin pelaksanaan kerja karena internalisasi. Kepatuhan kerja terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan takut dilakukan semata untuk mendapatkan reaksi positif dari pimpinan perusahaan atau atasan yang memiliki wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak ada di tempat kerja, maka disiplin kerja tidak tampak sama sekali. Seorang karyawan akan bersikap pura-pura atau munafik. Ia kurang sadar dalam bekerja dan ini tanda ketidakdewasaan karyawan. Inisiatif, visi dan kreativitas sulit diharapkan dari tipe karyawan seperti ini. Kepatuhan akan aturan kerja yang didasarkan pada identifikasi adalah adanya perasaan kekaguman atau penghargaan pada pimpinan. Pemimpin yang karismatik adalah figur yang dihormati, dihargai, dan sebagai pusat identifikasi. Karyawan menunjukkan disiplin terhadap aturan-aturan organisasi bukan disebabkan karena menghormati aturan tersebut, tetapi lebih disebabkan karena keseganan pada atasannya.

177

Karyawan merasa tidak enak jika tidak mentaati peraturan. Penghormatan dan penghargaan karyawan pada pemimpin dapat disebabkan karena kualitas kepribadian yang baik atau mempunyai kualitas profesional yang tinggi di bidangnya. Jika pusat identifikasi ini tidak ada, maka disiplin pelaksanaan kerja akan menurun dan pelanggaran pun meningkat frekuensinya di tempat kerja. Maka sebetulnya setiap karyawan harus bisa menghayati kerja sampai pada level internalisasi nilai ini. Internalisasi menjadi ukuran kedewasaan sikap, kematangan kepribadian dan kompetensi kerja yang ideal. Hal ini mengandaikan adanya kemampuan untuk memaknai kerja secara spiritual, jika tidak, maka kerja yang dilakukan akan kehilangan makna dan relevansi positifnya bagi organisasi. 3. Berani Menanggung Risiko Kerja Seorang pekerja, baik sebagai karyawan maupun pimpinan (manejer) harus berani menghadapi risiko kerja. Risiko kerja memiliki konsekuensi luas, alternatif ganda, akibat berbeda, tak pasti, dan efek yang sering kali bersifat personal. Konsekuensi luas maksudnya keputusan etis membawa konsekuensi yang besar. Misalnya, karena menyangkut masalah etika bisnis terkait pencemaran lingkungan maka manejemen memutuskan penutupan suatu perusahaan dan pindah ke tempat lain yang jauh dari tempat tinggal karyawan. Hal itu akan berpengaruh terhadap kehidupan karyawan, keluarganya, masyarakat dan urusan lainnya. Alternatif ganda maksudnya, beragam alternatif sering terjadi pada situasi pengambilan keputusan dengan jalur di luar aturan (extra ordinary). Sebagai contoh, perusahaan memutuskan seberapa jauh keluwesan dalam melayani karyawan tertentu dalam hal persoalan keluarga sementara terhadap karyawan lain menggunakan aturan yang ada. Akibat berbeda maksudnya, keputusan-keputusan dengan dimensi-dimensi etika bisa menghasilkan akibat yang berbeda yang positif dan negatif. Misalnya mempertahankan pekerjaan beberapa karyawan di suatu pabrik dalam waktu relatif lama mungkin akan mengurangi peluang para karyawan lainnya untuk bekerja di pabrik itu. Di satu sisi keputusan itu menguntungkan perusahaan tetapi dari pihak karyawan justru dirugikan.

178

Ketidakpastian konsekuensi maksudnya, akibat keputusan-keputusan sering kali tidak diketahui secara tepat. Misalnya pertimbangan penundaan promosi pada karyawan tertentu yang hanya berdasarkan pada gaya hidup (life style) dan kondisi keluarganya padahal karyawan tersebut benar-benar kualified secara personal dan profesional. Efek personal maksudnya

keputusan-keputusan tak etis sering mempengaruhi

kehidupan karyawan dan keluarganya, misalnya akibat pemecatan di samping membuat sedih si karyawan juga akan membuat susah keluarganya. Kasus lain misalnya kalau para pelanggan asing tidak menginginkan dilayani oleh “sales” wanita maka akan berpengaruh negatif pada masa depan karir para “sales” tersebut. 4. Bekerja dengan Penuh Kebebasan a). Bebas dalam Konteks Etika Religius Kerja Etika religius kerja (ERK) adalah prinsip normatif yang mengandung sistem nilai dan keyakinan moral religius sebagai

pedoman bagi setiap individu baik sebagai manejer

maupun karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya di tempat kerja. Kebijakan manejemen terhadap karyawan mesti berlandaskan etika atau nilai-nilai yang etis dan baik. Sebagai contoh, misalnya keadilan dan keterbukaan dalam hal kompensasi, karir, dan evaluasi kinerja karyawan. Termasuk dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang integratif. Jadi, setiap keputusan etika dalam perusahaan tidak saja dikaitkan dengan kepentingan pihak manejemen, tetapi juga perlu melihat akibat baiknya untuk pribadi si karyawan di masa depannya. Masalah kompleks yang sering dihadapi oleh para manejer adalah dalam menghadapi tingkah laku para karyawan. Keadaan ini bisa menjadi tekanan dan bahkan tantangan dalam menerapkan aspek etika kerja seperti ketidak-jujuran, ketidak-disiplinan, ketidak-adilan, kecurangan pertanggung-jawaban administrasi, keegoan dsb. Karena itu muncul perhatian besar bagaimana caranya agar para karyawan dan tentunya juga manajer bekerja dengan standar etika tertentu. Etika religius kerja karyawan terpancar keluar dari keyakinan imannya tentang nilai-nilai kebijaksanaan utama dalam bekerja. Karyawan yang memiliki kualitas religius yang cukup memadai akan bekerja dengan penuh tanggung jawab, adil dan jujur, loyal, ulet dan setia pada pekerjaannya. 179

Etika religius kerja memotivasi karyawan untuk bekerja berlandaskan nilai-nilai keyakinan rohani daripada berorientasi pada motivasi-motivasi materialistik belaka seperti uang, kuasa, ambisi, popularitas dan sebagainya. Etika religius kerja mewajibkan karyawan mengabdi pada pekerjaannya semata-mata sebagai hal yang bernilai rohani tanpa memiliki vested interested (kepentingan khusus) atau pun hidden agenda (agenda terselubung) tertentu yang picik dan murahan. b). Bebas dalam Konteks Etika Religius Bisnis Etika religius bisnis (ERB) adalah suatu prinsip etis-moral, religius-spiritual yang harus diikuti apabila menjalankan bisnis atau usaha di bidang apa saja. Bisnis dimaknai sebagai segala aktivitas produktif untuk mendapatkan keuntungan, uang atau modal. Maka ruang lingkup bisnis bisa mencakup bidang apa saja seperti ekonomi, sosial, politik, hukum, dan praktik kerja profesional apa saja yang mendatangkan kegunaan pragmatis dari sisi uang/modal. Etika religius bisnis mengalir dan meresapi bidang kerja manusia dalam ranah publik dan tatanan sosial. Keputusan perusahaan tanpa etika religius bisnis, biasanya timbul jika pengambilan keputusan hanya untuk menguntungkan pihak perusahaan, tanpa mempedulikan tanggung jawab sosial pada kemanusiaan. Praktik bisnis yang tidak etis-religius dapat berpengaruh buruk terhadap citra perusahaan. Karena perusahaan bisa saja mencapai untung besar namun memperlakukan karyawan secara tidak adil dan tidak manusiawi. Sehingga melecehkan martabat karyawan sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat luhur. Maka di sini perlulah dikembangkan sebuah model etika bisnis yang berkarakter religius di dalam perusahaan. Dalam membangun etika bisnis kita, dalam membantu menciptakan kebudayaan bersama, dalam menegakkan semangat interaksi dengan sesama rekan kerja dan anggota keluarganya, dalam segala sesuatu yang kita lakukan, kita diajar untuk ”melakukan segala sesuatu demi kemuliaan Allah” (Pierce: 2010, hlm. 13). Pelaksanaan etika religius bisnis perlu diarahkan bukan untuk sekedar untuk memenuhi standar formal-normatif, melainkan terlebih dilaksanakan dalam semangat kesadaran rohani untuk meluhurkan dan memuliakan Tuhan (Allah). Etika religius bisnis perlu ditransendensasikan nilai dan maknanya secara rohani. Jadi, bukan soal praktik aturan/norma standar yang mengatur hubungan formal manusiawi saja. Namun perlu diproyeksikan maknanya pada nilai yang lebih tinggi, lebih luhur, lebih agung yakni tindakan religius untuk memuliakan Tuhan.

180

Semua kebijakan, aturan dan hukum bisnis mesti dilihat sebagai inkarnasi dari hukum rohani tertinggi yang berasal dari Tuhan sendiri. Kalau hukum Tuhan adalah hukum tertinggi dalam hidup manusia, mestinya perusahaan takut melakukan kegiatan bisnis yang merugikan pihak lain: baik manusia maupun lingkungan. Pelaksanaan dan implementasi hukum-normatif dalam perusahaan harus membawa efek positif-etis bagi semua komponen. Selain implementasinya yang diperuntukkan bagi karyawan, etika religius bisnis juga perlu menjamin tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pelanggan. Realisasinya dapat diekspresikan melalui penciptaan kode etik relasi perusahaan dengan klien, menampung aspirasi/keluhan mereka, dan meminta umpan balik (feed back) dari pelanggan. Di sini kita belajar untuk mendengarkan saran dan masukan dari bawah, dari pihak pelanggan. Sebuah “spiritualitas mendengarkan” aspirasi arus bawah penting diperhatikan. 5. Bekerja dengan Otonom (Mandiri) a). Memahami Ruang Lingkup Kerja dengan Baik Dari segi manajemen sumber daya manusia (SDM), ada delapan (8) ruang lingkup kerja dalam suatu perusahaan yaitu: perencanaan tenaga kerja, rekrutmen, seleksi dan penempatan,

pelatihan

dan

pengembangan,

penilaian

prestasi

kerja,

konpensasi,

pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja. Perencanaan tenaga kerja disusun untuk menjamin kebutuhan tenaga kerja perusahaan terpenuhi secara konstan dan memadai. Oleh sebab itu perencanaan ini tergantung kepada analisis kebutuhan tenaga kerja yang ada. Proyeksi tenaga kerja disusun setiap tahun untuk diusulkan kepada Biro Personalia (talent management) . Rekrutmen dilakukan bila perusahan memerlukan tenaga kerja baru. Rekrutmen bisa dilakukan dengan penyampaian dari mulut ke mulut apabila karyawan baru yang dibutuhkan hanya beberapa orang. Bila membutuhkan

karyawan baru

lebih dari 10 orang maka

pengumuman rekrutmen dapat disampaikan melalui iklan di media masa atau bekerja sama dengan mitra perusahaan perekrutan. Seleksi dan penempatan tenaga kerja bisa melalui empat (4) tahap yaitu:

menilai

formulir lamaran, mewawancarai, menggunakan tes lainnya bila perlu, dan memperoleh referensi.

181

Pelatihan dan pengembangan dimaksudkan untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap, perilaku, keterampilan, dan pengetahuan para karyawan sesuai dengan visi misi perusahaan.

Kegiatan pelatihan dan pengembangan dilaksanakan bagi karyawan baru,

maupun karyawan lama. Pelatihan dimaksudkan juga untuk menyesuaikan sikap, perilaku, keterampilan dan pengetahuan karyawan dengan tuntutan zaman. Penilaian prestasi kerja dilaksanakan untuk menilai seorang karyawan secara akurat untuk memperoleh dasar pengambilan keputusan promosi, mutasi, demosi atau penurunan pangkat, dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Konpensasi atau balas jasa adalah pemberian penghargaan langsung maupun tidak langsung kepada para karyawan. Adapun jenis-jenis konpensasi itu adalah konpensasi gaji atau upah dan evaluasi jabatan. Pemeliharaan dilakukan setelah karyawan diterima melalui rekrutmen. Hal-hal yang bisa membantu pemeliharaan kemampuan dan sikap-sikap karyawan adalah

membantu

pemeliharaan fisik dan mental mereka seperti pelatihan, rapat kerja (raker), rekreasi bersama, perumahan, transportasi, dan sebagainya. Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena kemauan karyawan, kemauan perusahaan atau kemauan kedua belah pihak. Alasan-alasan pemutusan hubungan kerja antara lain bisa karena sikap-sikap tidak terpuji seorang karyawan misalnya tidak jujur, tidak mampu bekerja, Selain itu

malas, pemabuk,

tidak patuh, mangkir, tidak disiplin, dan lainnya.

pemutusan hubungan kerja juga dapat dilakukan karena keadaan yang tidak

terelakkan misalnya

usia lanjut,

meninggal, sakit-sakitan terus menerus, perampingan

perusahaan, dan sebagainya. Setiap karyawan yang bekerja pada perusahaan perlu memahami ruang lingkup kerjanya dengan baik. Ia merasa diri perlu belajar, melatih diri dan mengembangkan diri secara maksimal di tempat kerja. Orang seperti ini akan bertindak tepat dalam mengembangkan pekerjaannya. Ia tidak ragu-ragu menolak dan menyatakan “tidak” pada suatu pekerjaan yang tidak baik, tidak bermoral dan tidak religius. Orang yang memahami ruang lingkup kerja dengan baik memiliki motivasi spiritual yang kukuh dan berani menentukan sendiri pilihan-pilihan positif dan baik yang patut dikedepankan untuk memajukan perusahaan ke arah kebaikan dan kesempurnaan.

182

Ia mampu menahan dan mengendalikan diri terhadap godaan-godaan tidak etis di tempat kerja untuk melakukan tindakan kontraproduktif yang merusakkan diri maupun perusahaan. Termasuk di dalamnya godaan materi uang (korupsi), seks (pelecehan seksual) dan kuasa (penyalahgunaan kekuasaan). b). Percaya Diri Secara pesikologis, semua orang tentu pernah mempunyai masalah dengan aspek percaya diri ini. Ada tipe orang yang merasa telah kehilangan rasa kepercayaan diri di hampir keseluruhan dimensi hidupnya. Mungkin terkait dengan soal krisis diri, depresi, hilang kendali, merasa tak berdaya menatap sisi cerah masa depan dan lain-lain. Ada juga orang yang merasa belum percaya diri dengan apa yang dilakukannya atau dengan apa yang ditekuninya. Ada juga orang yang merasa kurang percaya diri ketika menghadapi situasi atau keadaan tertentu. Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin atas kemampuan mereka sendiri serta memiliki harapan yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak terwujud, mereka tetap berpikiran positif dan dapat menerimanya dengan ikhlas serta gigih berjuang mencapainya. Orang yang punya kepercayaan diri rendah atau kehilangan kepercayaan diri, memiliki perasaan negatif terhadap dirinya, memiliki keyakinan lemah terhadap kemampuan dirinya, dan punya pengetahuan yang kurang akurat terhadap kapasitas yang dimilikinya. Orang yang memiliki kepercayaan rendah cepat atau lambat akan menjadi momok atau pencipta masalah di dalam perusahaan. Karena mereka bisa saja tidak maksimal dalam bekerja. Dan ini tentu akan merugikan diri, rekan lain maupun pihak perusahaan. Orang yang tidak percaya diri bisa berpeluang untuk menjadi pribadi yang negatif di lingkungan kerja. Apalagi kalau memiliki perasaan pesimisme tinggi di tempat kerja. Orang yang kurang percaya diri di tempat kerja akan tampil sebagai pribadi yang merusakkan sistem-sistem kerja yang ada. Mereka tidak akan mengembangkan profesi secara etis, tetapi mencari pangkat atau kedudukan dengan cara tidak sehat. Ia bisa melakukan hal-hal tidak etis di tempat kerja (curang) untuk menutupi kondisi kurang terampil (unskill) dan kecakapan dirinya.

183

Cuatan keluarnya bisa dalam bentuk sikap mencari muka dengan atasan, munafik atau pura-pura, asal bos senang (ABS), konspirasi atau sekongkol untuk menjatuhkan orang rekan kerja, menyebar gosip atau fitnah pada orang lain untuk mendapatkan posisi tertentu dan sebagainya. Seharusnya kalau orang memiliki skill yang memadai, ia tidak akan mudah mencari kepentingan tertentu di tempat kerja dengan cara-cara licik, keji, tidak santun, tidak religius, tidak bermoral. Maka dari itu, rasa percaya diri sangat mempengaruhi kebebasan dan otonomi kerja seseorang di tempat kerja. Sekalipun peluang begitu besar untuk meniti karier di perusahaan tempat kerja tetapi, kalau Anda menghadapinya dengan kurang percaya diri, maka jalan menuju pintu gagal menjadi semakin terbuka lebar. Sebaliknya, meski begitu banyak tantangan dan hanya memiliki peluang yang kecil untuk melanjutkan jenjang karir yang lebih tinggi di tempat bekerja, kalau kita hadapi dengan penuh percaya diri maka kemungkinan berhasil menjadi lebih besar. Kepercayaan diri memberikan energi perkembangan dan moralitas kepada seseorang untuk bertumbuh ke arah pribadi yang berkarakter positif. Pribadi yang percaya diri akan selalu menjadi pribadi yang optimistis. Kita perlu memupuk dan mengembangkan semangat kepercayaan diri di tempat kerja dengan cara-cara yang fair, profesional, bermoral-etis serta didukung oleh semangat spiritual yang memadai. Hanya dengan itu kepercayaan diri kita di tempat kerja tidak bersifat negatif, melainkan bersifat positif-konstruktif bagi diri kita dan orang lain serta perusahaan atau organisasi. Kepercayaan diri di tempat kerja harus ditempatkan di atas dasar usaha menciptakan kebahagiaan bukan hanya bagi diri sendiri, melainkan juga menciptakan kebahagiaan bagi sesama. Kita mencapai kebahagiaan (dan kesuksesan) dengan memperhatikan hukum-hukum kepatutan dan etika yang bersifat umum sehingga bisa mendatangkan manfaat yang berguna dalam konteks kerja. Kita tidak boleh mencapai kebahagiaan (kesuksesan) di tempat kerja dengan menciptakan ketidak-bahagiaan bagi sesama. Kita harus mencapai kebahagiaan dengan ikut membahagiakan sesama juga. Kita sukses, sesama pun sukses! Dan ini hanya mungkin jika ada hukum cinta kasih pada sesama dalam pelaksanaan kerja kita sehingga pekerjaan tidak mengalienasi manusia yang satu dengan manusia yang lain di tempat kerja.

184

Lingkungan kerja harus menciptakan kondisi yang kondusif bagi karyawan untuk bekerja dengan kebebasan yang berdampak positif bagi perusahaan dan dirinya.*** “Tidak ada yang dapat memaksa saya menjadi bahagia dengan caranya (seperti ia membayangkan kebahagiaan itu bagi orang lain). Setiap orang boleh mencari kebahagiaannya dengan jalannya sendiri. Jalan yang akan membantunya hanya jika ia tidak menginjak kebebasan orang lain (hak orang lain). Yaitu kebebasan untuk mendapatkan tujuan yang sama, kebebasan yang dapat tumbuh bersama dengan kebebasan setiap orang berdasarkan suatu hukum umum” (Immanuel Kant).

185

REFERENSI Alquran (Kitab Suci Islam), Alkitab (Kitab Suci Katolik dan Kristen Protestan), Kitab Weda (Kitab Suci Hindu), Kitab Tripitaka (Kitab Suci Budha), Kitab Wu Jing & Si Shu (Kitab Suci Konghucu) dan ajaran/diktrin suci agama masing-masing yang relevan. Ensiklik Laborem Exercens” dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II tentang Makna Kerja menurut Pandangan Katolik. Vatikan: Sekretariat Kepausan. Frederikus Fios (2012). CB: Spiritual Development. Jakarta: Bina Nusantara University. Hubert Leteng (2005). “Filsafat dan Spiritualitas” dalam Jurnal Ledalero Vol. 4 No. 2. Maumere: Penerbit Ledalero https://www.islampos.com/arti-bekerja-dalam-islam-25564/ http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/laborem-exercens-denganbekerja.html http://majalahhinduraditya.blogspot.co.id/2013/05/bekerja-menurut-hindu.html http://confucius-rohaniwan.blogspot.co.id/2009/12/7-etos-kerja-dalam-perspektif-agama.html

186

BIBLIOGRAFI Alquran (Kitab Suci Islam), Alkitab (Kitab Suci Katolik dan Kristen Protestan), Kitab Weda (Kitab Suci Hindu), Kitab Tripitaka (Kitab Suci Budha), Kitab Wu Jing & Si Shu (Kitab Suci Konghucu) dan ajaran/diktrin suci agama masing-masing yang relevan. Antonius Atosokhi Gea et all (2004). Character Building III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo: Jakarta. Bidang Litbang PTITD/Matrisia Jawa Tengah (2007). Pengetahuan Umum tentang Tri Dharma. Edisi Pertama. Semarang: Benih Bersemi. Buku Panduan Pemasyarakatan UUD Negara RI Tahun 1945 (2012). Jakarta: diterbitkan oleh Sekjen MPR RI.

Ernst Cassirer (1944). AN ESSAY ON MAN: An Introduction to a Philosophy of Human Culture. USA: Louis Storm Memorial Fund David C. Korten (2006). The Great Turning From Empire to the Earth Community. San Francisko: Berret Koehler Publisher. Departermen Pendidikan dan Kebudayaan (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Elenora Sumual et all (2009). CB: Self Development. Jakarta: CBDC Bina Nusantara University. Ensiklik Laborem Exercens; dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II tentang Makna Kerja menurut Pandangan Katolik. Vatikan: Sekretariat Kepausan. Frans Magnis-Suseno (1987). Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius Franz Magnis Suseno (2013). “Bhineka Tunggal Ika, Kesatuan Bangsa dalam Tantangan” dalam Proceeding International Conference Kebhinekaan dan Budaya, Depok: Universitas Indonesia: hal. 25-29. Frank Mihalic SVD (2009 terj). 1500 Cerita Bermakna, untuk Renungan dan Khotbah dan Ceramah Anda. Bogor: Grafika Mardi Yuana. Frederikus Fios (2013). “Filsafat Multikulturalisme: Sebagai Strategi Kebudayaan Menyiasati Tantangan Pluralisme Agama di Indonesia” dalam Proceeding International Conference Kebhinekaan & Budaya. Depok: Universitas Indonesia, hal. 275-286. Frederikus Fios et all (2012). Diktat Kuliah Character Building: Spiritual Development. Jakarta: Bina Nusantara University. 187

Harun Nasution (1997). Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek. Jakarta: UI Press Henryk Skolimowski (1992). Eco-Philosophy as A Tree of Life. London: Marion Boyars Publishers Ltd. Hubert Leteng (2005). “Filsafat dan Spiritualitas” dalam Jurnal Ledalero Vol. 4 No. 2. Maumere: Penerbit Ledalero International Encyclopedia of the Social Science (2010). Detroit: Maxmillan Reference

http://agama.kompasiana.com K. Bertens (2001). Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Krisnanda Wijaya-Mukti (2003). Wacana Budha-Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan Majid Fahri (1996). Etika Dalam Islam. Surakarta: Pustaka Pelajar Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (ed.) Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment. New York: Orbis Book Mettadewi, W. (1992). Budha Dhamma Sebagai Pedoman Hidup. Jakarta: Yayasan Pancaran Nurcholish Madjid (1998). Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan. Porat Antonius & Max Biae Dae (2015). Eksegese Orang Jalanan. Tahun Liturgi A Jilid 1; Tahun Liturgi C Jilid 1 dan 2, Kupang: Lembaga Jasa Psikologi Terapan

Robert Coles (1999). Secular Mind. New Jersey: Princeton University Press. Roderick Frazier Nash (1989). The Rights of Nature (A History of Environmental Ethics). London: The University of Wisconsin Press. Stephen R. Covey (2005). 8 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Diterjemahkan oleh Budijanto. Jakarta: Binarupa Aksara. Sumeda Widyadharma, Dhamma-Sari (1993). Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan NALANDA. Xavier Leon – Dufour (1997). Ensiklopedi Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius Zaghful Yusuf (ed.) (1990). Pendidikan Agama Islam, Suatu Analisis Rangsangan Afeksi, MKDU. Jakarta: IKIP.

188

Sumber online: http://indonesiaindonesia.com/f/41074-konsep-cinta-agama-buddha/ http://www.mediahindu.net/berita-dan-artikel/artikel-umum/81-cinta-kasih-dalam-perspektifhindu.html https://matakin.wordpress.com/agama-khonghucu/ “Kasus intoleransi beragama di Indonesia Sepanjang tahun 2012”. Diekspos dalam vivanews.com edisi online. http://www.kompasiana.com/catatanryankurnia/sekularisme-dan-kehidupanberagama_55171716a333115706b659ce diunduh tanggal 5 September 2015, pkl 15.00 WIB) https://www.islampos.com/arti-bekerja-dalam-islam-25564/ http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/laborem-exercens-denganbekerja.html http://majalahhinduraditya.blogspot.co.id/2013/05/bekerja-menurut-hindu.html

http://confucius-rohaniwan.blogspot.co.id/2009/12/7-etos-kerja-dalam-perspektif-agama.html

189