179 47 2MB
Indonesian Pages 197 Year 2020
Catatan Keolahragaan Hysa Ardiyanto
Penyunting Sumarno Tata letak & sampul Red Design
Penerbit
CATATAN KEOLAHRAGAAN
Catatan Keolahragaan Hysa Ardiyanto
Penyunting Sumarno Tata letak & sampul Red Design
Penerbit Komojoyo Press Jl. Komojoyo 21A, Mrican Caturtunggal, T, Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta.
Cetakan 1, April 2020
14x20 cm, 182 + xiv halaman. ISBN: 978-602-6723-83-3
Isi di luar tanggung jawab percetakan
CATATAN KEOLAHRAGAAN: KATA PENGANTAR
|v
KATA PENGANTAR
IBARATKAN karya seni, buku ini adalah bricolage. Bagi Anda yang tidak familar dengan istilah ini, bricolage adalah karya seni yang dikreasi dari bahan-bahan yang ada di sekitar: lebih tepatnya bahan rongsok. Claude LéviStrauss, seorang antropolog Perancis, mengumpamakan proses artistik bricolage seperti seorang tukang yang mengatasi masalah teknis dengan barang apapun yang ada di tangannya. Demikan pula seniman bricolage, mereka mencampur ulang, merekonstruksi, dan menggunakan barang-barang yang sudah diemohi manusia untuk memproduksi pemahaman dan makna baru. Berasa posmo, ya? Bricolage memang salah satu bentuk praktik berkesenian posmodernisme. Beberapa seniman bricolage bahkan bertindak subversif dengan cara-cara yang penuh senda gurau: merampok elemen-elemen mahakarya dan kemudian mengoplosnya dengan perabot, piranti, dan perkakas yang tidak hanya remeh temeh, tapi juga usang dan rombeng.
vi |
HYSA ARDIYANTO
Buku ini didominasi oleh “sampah teks,” yakni sisa-sisa dan bekas, dari apa yang sudah dipakai penulis untuk pemenuhan tugas kuliah dan dimuat di media massa. Tentu karya tulisan itu tidak akan pernah menjadi sampah dalam arti harfiahnya. Tapi di dunia akademik, kebanyakan teks mahasiswa akan berakhir di suatu sudut ruang virtual laptop mereka. Tidak hanya tugastugas semesteran, PDF karya penelitian seperti tesis dan disertasi sekalipun hanya akan menggantung di langitlangit repositori kampus. Jika beruntung, mungkin ada satu atau dua pengais teks yang menumpuk kutipan tanpa ada yang benar-benar berniat membacanya. Jangankan mengharap orang lain membaca, acap kali penulis sendiri akan malu berjumpa dengan tulisan lamanya ketika perjalanan intelektualnya sudah jauh melintasi titik-titik kilometer. Hysa Ardiyanto, penulis buku ini, tidak menyerah dengan apa yang jamak terjadi di kalangan mereka yang tumbuh melalui jalur akademik pendidikan tinggi. Bangkai teks yang berserakan direkonstruksi menjadi satu karya yang menawarkan makna baru tentang wawasan keolahragaan. Sebelum penulis mengkreasi karya bricolage ini, saya pernah membaca beberapa tulisannya secara terpisah. Asal muasal teks di buku ini memang tetaplah “rongsokan” pengalaman akademik, akan tetapi ide dalam tulisannya menyajikan perspektif yang segar tentang apa itu olahraga ditinjau dari ragam disiplin. Oleh sebab itu, membaca buku ini tidak hanya berasa
CATATAN KEOLAHRAGAAN: KATA PENGANTAR
| vii
menikmati karya seni, tapi sekaligus juga merayakan gagasan yang jarang direproduksi oleh kultur akademik keolahragaan. Saya “orang dalam” ilmu keolahragaan. Tapi saya tidak bisa membayangkan bagimana penulis betah menjalani pelajaran demi pelajaran ilmu keolahragaan. Ternyata, seperti halnya bricolage yang posmo, perjalanan akademik penulis adalah laku pembangkangan. Penulis merampas elemen-elemen grand narrative yang dituturkan oleh ilmu-ilmu sosial; khususnya ilmu komunikasi. Hysa juga merampok gagasan-gagasan congkak saintisme olahraga yang dipenuhi dengan klaim “positivisme sebagai satu-satunya jalan menuju martabat tertinggi ilmu keolahragaan.” Jika mendambakan pengembangan intelektual seperti yang ada di buku ini, Anda sesungguhnya tidak akan menemukannya di ruang-ruang kuliah ilmu keolahragaan. Apa yang dilakukan Hysa untuk melahirkan rentetan tulisan dalam buku ini adalah perbuatan subversif: pemberontakan atas tirani wacana dominan dari kubu fisiologi, biomekanika, teori latihan, tes dan pengukuran. Di antara ruang gerak wacana yang sempit inilah, tulisan-tulisan di buku ini lahir. Penulis menyajikan buku ini dengan cita rasa jurnalisme. Saya yakin pembaca akan dimanjakan dengan empuknya tulisan Hysa sebagai karya akademik. Tapi tidak sebatas itu, perlu dicatat juga bahwa gaya jurnalisme dalam iklim akademik itu layaknya kelakar yang
viii |
HYSA ARDIYANTO
renyah. Di dalamnya terselip maksud untuk bermainmain. Maka dari itu, lengkap sudah karakter bricolage dalam buku ini sebagai playfully subversive. Memetaforakan buku ini layaknya karya seni bricolage adalah semata-mata subyektivitas saya. Sebagai pembaca dengan latar belakang akademisi (dan juga praktisi) olahraga, pengalaman membaca buku ini merupakan dialog internal yang pada gilirannya membangun bentuk dan makna baru atas wacana keolahragaan yang muasalnya memang barang-barang berserakan. Pembaca dengan latar belakang yang berbeda tentu akan mengkonstruksi makna subyektif yang unik atas pengalaman membaca buku ini. Tapi siapapun Anda, saya menjanjikan sebuah pengalaman bergulat dengan wacana yang tidak biasa dalam melihat apa itu olahraga yang selama ini diterima begitu saja. Yogyakarta, April 2020 Caly Setiawan, Ph.D.
CATATAN KEOLAHRAGAAN: PENDAHULUAN
| ix
PENDAHULUAN
ILMU keolahragaan merupakan suatu bidang ilmu yang baru bagi saya. Maklum saja, latar belakang pendidikan sarjana saya adalah ilmu komunikasi. Beberapa orang yang tahu akan hal ini berkomentar bahwa apa yang saya pelajari ini nggak nyambung atau setidak-tidaknya menunjukkan ekspresi keheranan. Saya bisa memahami kondisi tersebut, meskipun sebenarnya kedua bidang ini sudah saling berinteraksi. Wujud yang paling nyata tentu saja adalah komunikasi olahraga (sport communication) sebagai kajian akademik yang sudah berkembang, terutama di belahan Amerika Utara. Tantangan untuk mengajukan argumen yang meyakinkan bahwa bekas mahasiswa ilmu komunikasi bisa dan berguna mempelajari ilmu keolahragaan pertama kali saya hadapi pada saat wawancara seleksi beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Waktu yang tersedia habis untuk membahas “perpindahan jurusan” ini saja. Rasanya saat itu saya berhasil meyakin-
x |
HYSA ARDIYANTO
kan para pewawancara, dan semoga karya sederhana ini dapat dilihat sebagai (sebagian) buktinya. Buku yang ada di tangan Anda ini merupakan kumpulan tulisan seputar ilmu keolahragaan dan olahraga. Isinya (semacam) catatan yang dibuat sepanjang masa studi di Prodi Ilmu Keolahragaan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (2017 – 2019). Ada beberapa macam topik yang dibahas di dalamnya. Sebenarnya mengaver bermacam-macam topik bukanlah hal yang bagus karena justru mengaburkan bidang keahlian seorang penulis. Tapi mau bagaimana lagi, sudah telanjur. Sejak awal saya menyadari bahwa buku kumpulan tulisan memang memiliki kelemahan pada keutuhan gagasan serta keterbatasan pada relevansi yang semakin pudar seiring waktu. Saya juga berkali-kali menemui kebuntuan saat mulai membangun struktur buku ini. Pembagian kategori olahraga prestasi, rekreasi dan pendidikan (UU 3/2005) memang cukup membantu. Namun demikian, membedakannya secara tegas tidaklah mudah, selain juga tidak urgen. Akhirnya, pembagian kategori tulisan lebih berdasarkan pada kedekatan alasan penulisan (artikel untuk media atau tugas kampus) serta topik pembahasan saja. Daftar referensi hanya ditampilkan pada “tulisan akademik.” Bagian pertama berisi tulisan-tulisan yang berupa gagasan eksploratori. Beberapa topik yang berkaitan dengan olahraga sebagai bidang keilmuan coba saya jelajahi. Konsekuensinya, tulisan yang dihasilkan masih
CATATAN KEOLAHRAGAAN: PENDAHULUAN
| xi
belum cukup matang. Gagasan-gagasan di dalamnya masih belum cukup solid, namun harus dikonkretkan dalam bentuk teks. Seluruh tulisan di bagian ini belum pernah dipublikasikan. Bagian kedua berasal dari perkuliahan. Tulisan pertama dikembangkan dari makalah Analisis Performa Atlet pada konsentrasi Pendidikan Kepelatihan. Artikel mengenai integrasi teknologi dalam pendidikan jasmani sudah dipublikasikan dalam prosiding seminar nasional. Tulisan tentang O2SN pernah dimuat di situs web media kampus dan artikel lainnya diangkat dari tugas-tugas perkuliahan. Berdasarkan temanya, bagian ini dapat mewakili olahraga dalam lingkup pendidikan. Selanjutnya, di bagian ketiga, olahraga dibahas sebagai fenomena sosial (dan politik). Tulisan-tulisan di bagian ini pada dasarnya mengomentari atau memberikan catatan atas suatu peristiwa atau isu yang sedang hangat pada saat tulisan dibuat. Lebih dari separuh isi bagian ini pernah dimuat di media. Keterbatasan ruang di media, sekitar 700 kata, kadang membuat beberapa kalimat terpaksa disisihkan. Di buku ini, kalimat-kalimat tersebut dihidupkan kembali dengan tambahan atau perbaikan informasi. Topik di bagian terakhir mewakili minat yang saya kembangkan saat studi, yaitu pengembangan bakat olahraga. Tulisan-tulisan di dalamnya berkaitan dengan pembinaan olahraga yang, dapat dikatakan, tujuan utamanya adalah prestasi. Dua dari enam tulisan di bagian ini
xii |
HYSA ARDIYANTO
pernah dipublikasikan. Satu di sebuah surat kabar dan lainnya di sebuah jurnal. Atas terbitnya buku kumpulan tulisan bekas ini, saya mengucapkan terimakasih kepada LPDP Kemenkeu R.I. atas beasiswanya sehingga saya berkesempatan belajar dan menulis, kepada redaksi media dan editor jurnal yang telah memuat tulisan di buku ini, serta kepada para dosen dan rekan-rekan mahasiswa Prodi Ilmu Keolahragaan Pascasarjana UNY. Secara khusus, ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pembimbing tesis saya, Caly Setiawan, Ph.D yang telah meluangkan waktu untuk membuat kata pengantar, sebuah tulisan yang melemparkan ingatan saya pada masa-masa menggandrungi bacaan posmodernisme. Terimakasih juga untuk teman ngopi dan ngobrol, Sumarno, M.Pd yang telah membantu menyunting buku ini. Buku ini tentu saja memiliki kekurangan, baik dalam argumen yang dikemukakan maupun teknis penulisan. Oleh karena itu, masukan dan saran dari pembaca saya harapkan. Selamat membaca. Selamat menikmati. Semoga bermanfaat. Sleman, April 2020 Hysa Ardiyanto
CATATAN KEOLAHRAGAAN: DAFTAR ISI
| xiii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
v
Pendahuluan
ix
B AGIA N I 1. Ilmu Keolahragaan: Saat Ini dan Masa Mendatang
1
2. Beberapa Cara Pandang terhadap Filsafat Olahraga
7
3. Olahraga sebagai Bidang Kajian Sosiologi
17
4. Tentang Kompetisi Olahraga
25
B AGIA N I I 5. Analisis Performa Atlet: Sepakbola sebagai Suatu Sociotechnical System
31
6. Integrasi Teknologi dalam Pendidikan Jasmani: Peluang untuk Menjawab Krisis Identitas dan Legitimasi?
43
7. O2SN dan Tantangan terhadap Paradigma Pendidikan Jasmani
67
xiv |
HYSA ARDIYANTO
8. Belajar Gerak
73
9. Don’t Over Measure
83
10. Model yang Bikin Penasaran
89
B AGIA N I II 11. Politisi, Media dan Organisasi Olahraga
95
12. Futsal dan Brand Kota Pelajar
103
13. Daerah Istimewa Olahraga?
109
14. Era Baru Sepakbola Yogyakarta?
113
15. Sebuah Stadion, Masyarakat ASRI dan Mimpi Sepakbola Wonosobo
117
16. Merayakan Sepakbola Tarkam
123
B AGIA N I V 17. Pemanduan Bakat Olahraga: Keterbatasan Istilah
129
18. Polemik Eksploitasi Anak dalam Audisi Bulu Tangkis
135
19. Dilema Sumber Pembiayaan untuk Pembinaan Olahraga
143
20. Kurikulum Sekolah Sepakbola: Untuk Apa?
149
21. Jangan Meniru Islandia
157
22. Mempertahankan Prestasi Setelah Asian Games 2018
163
Riwayat Tulisan
179
Tentang Penulis
181
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
|1
1. ILMU KEOLAHRAGAAN: SAAT INI DAN MASA MENDATANG
BAGAIMANA pandangan seorang mahasiswa Ilmu Keolahragaan tentang bidang keilmuan yang dipelajarinya saat ini dan masa mendatang? Pertanyaan tersebut muncul dalam lembar Ujian Akhir Semester mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Keolahragaan. Respon saya atas pertanyaan ini ada dua: pertama, apakah saya layak memberi pandangan pada sesuatu yang belum saya tahu dengan baik. Respon kedua, sebaliknya, saya begitu bersemangat menjawab soal ini sebagai kesempatan untuk mengenali bidang ilmu yang baru saja saya jelajahi. Saya memilih respon kedua. Saya menduga, arah pembahasan dari topik ini menuju gagasan bahwa Ilmu Keolahragaan merupakan “pergulatan yang belum selesai,” sebagaimana judul buku kado bagi 65 tahun Prof. Toho Cholik Mutohir pada 2013 yang lalu. Dinamika di dalam bidang ilmu ini masih
2 |
HYSA ARDIYANTO
terjadi dan sepertinya akan terus berlanjut di masa mendatang. Dinamika ini dapat diindikasikan dari adanya pengelompokan subdisiplin pembentuk batang tubuh ilmu keolahragaan ke dalam subdisiplin yang sudah mapan dan subdisiplin yang sedang berkembang. Kelompok subdisiplin yang sudah mapan terdiri dari kedokteran olahraga, biomekanika olahraga, psikologi olahraga, pedagogi olahraga, sosiologi olahraga, sejarah olahraga, dan filsafat olahraga. Di luar itu, subdisiplin seperti informasi olahraga, politik olahraga, hukum olahraga, dan ekonomi olahraga dimasukkan dalam subdisiplin yang sedang berkembang. Meskipun teori tersebut telah berlalu beberapa dekade, subdisiplin yang saat itu dianggap sedang berkembang belum beranjak dari posisinya, dan sepertinya masih menempati pinggiran tubuh Ilmu Keolahragaan. Dari sisi keilmuan, hal ini menunjukkan Ilmu Keolahragaan masih jauh dari titik jenuh dan terus mengundang perhatian dari berbagai kajian. Di luar itu, dinamika di dalam Ilmu Keolahragaan tidak luput dari perubahan yang terjadi di tingkat praktis. Isu-isu seperti kemajuan teknologi yang mencuatkan istilah “e-sport”, misalnya, membuat Ilmu Keolahragaan selalu dalam tantangan untuk merespon perkembangan zaman. Untuk memberi pandangan tentang Ilmu Keolahragaan saat ini, saya merasa belum memiliki alat bantu yang memadai. Saya gunakan saja landasan legal formal yang sudah lazim dipakai untuk menunjukkan pembagi-
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
|3
an lingkup olahraga. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional menyebutkan tiga ruang lingkup olahraga, yaitu: olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi. Saat ini, secara umum, Ilmu Keolahragaan di Indonesia diajarkan di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Jurusan-jurusan yang menempatkan olahraga sebagai objek kajian, di banyak kampus, berada di bawah fakultas ilmu pendidikan. Melihat kenyataan kecil ini, Ilmu Keolahragaan di Indonesia dapat dilihat cenderung menonjol pada nuansa olahraga pendidikannya. Meskipun olahraga prestasi dan olahraga rekreasi juga menjadi bagian dari lingkup yang diajarkan, namun mengingat pengaruh lingkungan dimana Ilmu Keolahragaan diajarkan, maka kajian olahraga tidak dilepaskan begitu saja dari cara pandang olahraga pendidikan. Saat ini sepertinya belum ada pilihan yang cukup luas untuk mempelajari Ilmu Keolahragaan di luar lingkup pendidikan. Ini berarti, calon mahasiswa yang ingin mendalami olahraga sebagai objek kajian tidak punya pilihan kecuali harus mengambil di fakultas ilmu keolahragaan atau fakultas pendidikan di kampus-kampus LPTK. Kondisi ini berbeda dengan negara-negara yang dianggap maju di bidang ilmu-ilmu yang berkaitan dengan olahraga. Kajian ilmu-ilmu keolahragaan dapat dipelajari di rumpun eksakta melalui fisiologi, biomekanika, dan kesehatan olahraga. Sementara di bidang ilmu sosial, muncul kajian semacam manajemen olahraga, dan
4 |
HYSA ARDIYANTO
sosiologi olahraga, bahkan cultural studies juga menawarkan program tersendiri untuk mengkaji olahraga. Dengan demikian, calon mahasiswa memiliki pilihan yang luas dalam mempelajari olahraga, tidak hanya di kampus-kampus keguruan saja. Saya tidak mengatakan dominasi nuansa pendidikan terhadap Ilmu Keolahragaan sebagai hal tidak bagus. Sama sekali tidak. Hanya saja, jika olahraga ingin dikaji secara lebih komprehensif, maka perlu dipertimbangkan untuk membebaskan Ilmu Keolahragaan dari kecenderungan nuansa pendidikan semata. Olahraga prestasi mendapat perhatian tersendiri, demikian pula olahraga kesehatan yang keberadaannya dirasa semakin penting mengingat perkembangan isu-isu kesehatan yang berdampak pada kualitasi hidup manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, pada masa mendatang, isu-isu yang mungkin bisa dibahas antara lain: Pertama, memperluas fokus Ilmu Keolahragaan pada bidang-bidang keilmuan non-pendidikan dengan memperkuat tenaga pengajar berlatar belakang keilmuan non-pendidikan. Hanya saja, persoalan linieritas bidang keilmuan masih menjadi prasyarat yang berlaku di dunia akademik. Padahal, perkembangan keilmuan olahraga yang berinteraksi dengan bidang ilmu lain telah melahirkan kajian-kajian baru seperti ekonomi olahraga, hukum olahraga, atau komunikasi olahraga. Bahkan sifat dasar Ilmu Keolahragaan sendiri adalah dibangun oleh berbagai disiplin kajian keilmuan. Menempatkan linearitas
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
|5
dalam ilmu keolahragan justru mengingkari sejarah kelahiran ilmu ini sekaligus membatasi perkembangannya di masa depan. Kedua, mengembangkan kajian olahraga sebagai konsentrasi di jurusan-jurusan lain yang sudah mapan, seperti misalnya ekonomi dan manajemen olahraga, sosiologi olahraga, atau teknologi olahraga. Beberapa kajian yang dilakukan oleh peneliti di bidang komunikasi yang pernah saya temui, antara lain, membahas mengenai identitas supporter sepakbola. Dari lapangan ekonomi dan politik, muncul penelitian tentang pemain sepakbola sebagai tenaga kerja internasional dan persoalan yang melingkupinya. Tidak bisa dimungkiri, olahraga merupakan aktivitas yang semakin menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat. Perkembangan ini pun menimbulkan kompleksitas area kajian olahraga. Maka bukanlah gagasan yang asing jika olahraga dikaji oleh disiplin ilmu yang sudah mapan sebagai konsentrasi yang dapat dipilih oleh para mahasiswa. Ketiga, mengembangkan lembaga pendidikan tinggi yang berfokus pada kajian olahraga setingkat universitas. Negara-negara yang memiliki perguruan tinggi olahraga seperti Jerman, China dan Jepang menunjukkan kemajuannya di bidang olahraga, baik prestasi maupun olahraga sebagai budaya masyarakatnya. Mungkinkah hal ini dapat diwujudkan di Indonesia? Bagaimana kabar politeknik olahraga?
6 |
HYSA ARDIYANTO
Dengan berkembangnya dimensi yang lebih luas dalam mempelajari Ilmu Keolahragaan, pilihan untuk mempelajarinya pun menjadi lebih beragam. Mahasiswa yang berminat mempelajari Ilmu Keolahragaan tidak dibatasi pada aspek dan nuansa pendidikan saja. Minat (calon) mahasiswa terhadap olahraga pada aspek manajemen, ekonomi, hukum atau kajian sosial lainnya juga layak diberi ruang. Dengan ragam kajian yang lebih banyak, Ilmu Keolahragaan justru akan mendapatkan manfaat karena semakin luas aspek kajiannya dan semakin menyentuh seluruh subdisiplin dalam batang tubuhnya itu. Bukankah ini berarti kembali ke jati diri ilmu keolahragaan? []
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
|7
2. BEBERAPA CARA PANDANG TERHADAP FILSAFAT OLAHRAGA
GERAK tubuh, yang dinilai sebagai esensi olahraga, sebagai bagian dari aktivitas manusia sudah dikenal sejak zaman pra-sejarah. Namun demikian, olahraga primordial tersebut belum terwujud dalam bentuk yang terlembaga dengan seperangkat aturan seperti saat ini. Meskipun secara fakta apa yang dapat disebut sebagai aktivitas olahraga telah muncul ribuan tahun yang lalu, tetapi olahraga sebagai sebuah ilmu belum cukup lama diterima jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Kehadiran olahraga sebagai suatu ilmu secara internasional baru disadari pada pertengahan abad ke-20 (Pramono, 2003). Kelahiran ilmu keolahragaan melewati eksplorasi struktur yang membangunnya. Beragam teori dikemukakan oleh para ahli guna menjelaskan struktur ilmu keolahragaan. Salah satunya, struktur ilmu keolahragaan yang berorientasi pada bidang ilmu yang sudah eksis oleh Haag, Grupe dan Kirsch (1992). Struktur ilmu
8 |
HYSA ARDIYANTO
keolahragaan yang berorientasi pada bidang ilmu yang sudah eksis dibedakan dalam kelompok subdisiplin yang sudah mapan dan subdisiplin yang sedang berkembang. Kelompok subdisiplin yang sudah mapan terdiri dari kedokteran olahraga, biomekanika olahraga, psikologi olahraga, pedagogi olahraga, sosiologi olahraga, sejarah olahraga, dan filsafat olahraga. Sementara yang termasuk subdisiplin yang sedang berkembang adalah informasi olahraga, politik olahraga, hukum olahraga, dan ekonomi olahraga. Struktur ini mengacu pada konteks Jerman di tahun 1970-an. Setelah lebih dari empat dasawarsa, subdisiplin yang tadinya dianggap sedang berkembang dapat menempati posisi subdisiplin yang sudah mapan. Menurut para pencetusnya, struktur ilmu keolahragaan merupakan model yang dinamis dan terbuka bagi perubahan. Meskipun demikian, melihat perkembangan ilmu keolahragaan di Indonesia, struktur ini relatif tidak banyak berubah. Jika dilihat sebagai sebuah urutan hierarki, dasar pembentuk ilmu keolahragaan dimulai dari subdisiplin kedokteran olahraga kemudian biomekanika olahraga dan seterusnya hingga filasafat olahraga. Ini menunjukkan bahwa basis ilmu olahraga berasal dari rumpun ilmu alam (natural science) dan teknologi. Konsekuensinya, bidang-bidang penelitian kedokteran olahraga (anatomi, fisiologi) dan biomekanika olahraga terlihat lebih “mewarnai” dibandingkan subdisiplin lainnya.
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
|9
Di antara tujuh subdisiplin yang mapan dalam struktur ilmu keolahragaan, filsafat olahraga dapat disebut sebagai anak bungsu. Tidak mengherankan jika identitasnya belum sematang kedokteran olahraga atau psikologi olahraga, misalnya. Kebungsuan filsafat olahraga ini senasib dengan apa yang dialami oleh ilmu olahraga jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain yang sudah mapan. Kombinasi kata antara filsafat dan olahraga sendiri membuat sebagian pengamat terkejut. Di satu sisi berhubungan dengan kegiatan yang sangat pragmatis aplikatif, di sisi lain bergandengan dengan “sahabat kebijaksanaan” yang kontemplatif (Haag, 1992). Ini menimbulkan spekulasi yang agak kabur mengenai apa saja area studi filsafat olahraga dan bagaimana menjalin benang merah antara olahraga dengan filsafat atau filsafat dengan olahraga. Teori mengenai area studi filsafat olahraga telah dikemukakan oleh beberapa ahli filsafat dan olahraga. Sebelum struktur ilmu olahraga dikemukakan pada 1978, di Amerika Serikat telah didirikan Philosophic Society for the Study of Sport (PSSS) pada 1972 di Boston dengan media publikasinya bernama Journal of the Philosophy of Sport (Haag, 1992). Haag kemudian mengompilasikan berbagai pandangan dari organisasi, ahli dan kongres filsafat dan olahraga, termasuk The 8th annual convention and 13th general assembly of the Philosophic Society for the Study of Sport di Karlsruhe pada 1982 sehingga menghasilkan kompilasi area studi yang memungkinkan
10 |
HYSA ARDIYANTO
dalam filsafat olahraga. Ada delapan area yang diajukan, yaitu (1) Teori ilmu, (2) Antropologi, (3) Filsafat aksi (performance) dalam olahraga, (4) Filsafat bermain, (5) Estetika dan olahraga, (6) Filsafat sosial olahraga, (7) Etika dan olahraga, dan (8) Filsafat gerak (Haag, 1992). Dalam menguraikan cara pandang terhadap filsafat olahraga atau upaya menghubungkan filsafat dengan olahraga, tulisan ini mencoba menyajikan beberapa kombinasi yang mungkin terjadi. Pertama, menggunakan filsafat secara praktis sebagai kacamata dalam melihat olahraga sebagaimana dipakai oleh Husdarta (2011:125). Dalam menjelaskan filsafat olahraga, cara yang digunakan sama dengan bidang filsafat lain pada umumnya, yaitu untuk memahami hakikat, mempersoalkan suatu isu secara kritis, guna memperoleh pengetahuan yang paling hakiki dalam bidang olahraga. Dengan cara ini, pandangan filsafat digunakan untuk menjelaskan beberapa konsep seperti bermain, pendidikan jasmani, olahraga, rekreasi dan gerak. Menggunakan filsafat untuk menjelaskan hakikat konsep yang terkandung dalam olahraga merupakan cara yang paling tampak jelas untuk melihat bagaimana filsafat olahraga beroperasi. Di dalam penelitian, menjelaskan konsep-konsep dalam olahraga secara hakiki merupakan bagian yang tidak terelakkan apabila variabel yang digunakan menyangkut hal-hal yang abstrak seperti bermain, pendidikan jasmani, moral, atau karakter. Cara ini seperti mengangkut berbagai ragam konsep dalam olahraga (dan pendidikan jasmani)
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
| 11
ke laboratorium filsafat untuk kemudian didapatkan hasil analisisnya. Cara berikutnya, dalam tataran yang lebih pragmatis-aplikatif, menggunakan salah satu cabang filsafat untuk mengekstrak nilai-nilai yang terkandung dalam aktivitas olahraga. Contoh dari cara ini adalah penelitian Sumaryanto (2016). Melalui penyelidikan secara aksiologis, ia berusaha memaparkan nilai-nilai olahraga yang bermanfaat dalam pengembangan karakter bangsa. Olahraga sebagai perilaku gerak yang dilakukan oleh manusia, dinilai berimplikasi pada munculnya nilai-nilai yang kompleks. Dalam hal ini filsafat berperan untuk menguraikan nilai-nilai. Mempreteli cabang-cabang filsafat, kemudian menggunakannya untuk menganalisis sebuah objek merupakan modus yang juga lumrah digu-nakan. Seperti contoh di atas, hubungan antara olahraga dan aksiologi dapat dianalogikan seperti kopi dan mesin espresso. Melalui seperangkat metode filsafat dan proses perenungan secara aksiologis, aktivitas bernama olahraga diekstraksi sehingga menghasilkan nilai-nilai tertentu yang siap dinikmati. Sementara itu, Mike McNamee (2005), dengan menyasar jantung pemikiran filsafat, mengajukan kritik yang sangat mendasar secara filsafat dalam ilmu keolahraga. Pertanyaan reflektif semacam: bisakah seorang peneliti/ilmuwan meneliti latihan olahraga, mengukur kebugaran, atau mengevaluasi tingkat kesehatan tanpa terlebih dahulu mengklarifikasi mengenai konsep dasar
12 |
HYSA ARDIYANTO
apa yang akan diteliti, menjadi sorotannya. Sebuah pertanyaan contoh, apakah manfaat latihan olahraga bersifat objektif atau sebenarnya subjektif? Ini bukanlah semata-mata soal metode dan klaim kebenaran, melainkan implikasi dari paradigma peneliti dalam melihat masalah, apakah pandangannya postitivistik atau fenomenologis. Lebih jauh ia mengajukan kekhawatiran pada tingkat kemampuan dan kemauan peneliti untuk melakukan refleksi atas metode yang digunakan dalam riset. Dalam metodologi penelitian, menurutnya, ada kecenderungan untuk menjelaskan metode penelitian sebatas operasionalnya saja, tanpa refleksi yang memadai. Padahal pertanyaan filsafat dalam riset sangat penting guna menjawab apa sesungguhnya yang hendak dijawab dari riset tersebut. Pada intinya, ia ingin mengajukan gagasan tentang pentingnya posisi filsafat dalam penelitian yang merupakan penopang tegaknya sebuah ilmu. Kehadiran filsafat dalam batang tubuh ilmu olahraga memberikan landasan berpikir yang ilmiah. Hal ini sebenarnya berlaku bagi semua cabang ilmu di mana filsafat menjadi ruang perenungan eksistensi sebuah disiplin ilmu. Bagian ini coba dijelaskan oleh Pramono (2003) melalui upaya menjabarkan dasar-dasar filosofis olahraga. Menurutnya, filsafat memiliki tanggungjawab dalam hal mempersatukan dan memadukan berbagai kajian ilmu menuju ilmu keolahragaan dalam dimensi ontologi, epistemologi dan aksiologi hingga posisinya sejajar dengan ilmu-ilmu lain. Pemikiran filosofis ber-
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
| 13
peran seperti pondasi pada bangunan rumah. Karena ilmu olahraga dibangun oleh sub-disiplin dari berbagai akar ilmu yang berbeda, maka diperlukan komunikasi lintas, inter dan multidisipliner ilmu-ilmu terkait untuk menjawab persoalan yang muncul dari fenomena olahraga. Kemampuan filsafat untuk mengkritisi, memetakan dan memadukan hal-hal tersebut merupakan kunci bagi eksistensi ilmu keolahragaan. Di area kontemplatif, analisis filsafat digunakan oleh Setiawan (2004) dalam mengidentifikasi dugaan munculnya krisis identitas dan legitimasi pendidikan jasmani. Pendekatan ini berupaya melampaui pembahasan aspek teknis yang mengungkung penelitian-penelitian pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan. Kecenderungan pendidikan jasmani pada penelitian yang teknis empiris tidak bisa dilepaskan dari hasrat saintifikasi yang membangunnya. Dalam tataran paradigma, penelitian dengan pendekatan positivistik begitu mendominasi sehingga menumpulkan kemampuan peneliti dalam mengungkap masalah-masalah makna, insight (wawasan), dan nilai-nilai. Kemampuan (pendidikan) olahraga dalam membentuk nilai-nilai positif bisa jadi tinggal slogan semata karena minimnya penelitian-penelitian yang reflektif dan fenomenologis. Di sini filsafat berperan mengkritisi suatu kecenderungan yang terjadi di dalam sebuah bidang ilmu. Refleksi internal semacam ini sangat diperlukan guna menghadirkan bangunan ilmu keolahragaan yang lebih utuh dan holistik.
14 |
HYSA ARDIYANTO
Beberapa cara pandang terhadap filsafat olahraga, sebagaimana telah diungkapkan, jelas tidak memadai untuk dianggap sebagai upaya menjawab keterkejutan atas pertemuan antara olahraga yang pragmatis aplikatif dengan filsafat yang kontemplatif. Upaya ini pun masih jauh dari konseptualisasi yang ideal. Setidaknya, adanya beberapa kemungkinan cara pandang terhadap filsafat olahraga menunjukkan area penyelidikan filsafat olahraga yang luas untuk digarap. Dengan demikian, ketika filsafat olahraga ditampilkan, pembahasan yang mengiringinya tidak berjalan sendiri-sendiri atau filsafat tidak melulu dipaksa untuk menjelaskan hakikat dari variabelvariabel penelitian olahraga. [] Daftar Referensi Haag, H. (1992). Sport philosophy: fundamental aspects. Dalam H. Haag, O. Grupe, A. Kirsch (Eds.), Sport science in Germany: an interdisciplinary anthology. Berlin: Springer. Haag, H., Grupe, O. & Kirsch, A. (1992). Introduction. Dalam H. Haag, O. Grupe, A. Kirsch (Eds.), Sport science in Germany: an interdisciplinary anthology. Berlin: Springer. Husdarta, H. (2011). Sejarah dan filsafat olahraga. Bandung: Alfabeta. McNamee, M. (2005). Positivism, popper, and paradigms: an introductory essay in the philosophy of science.
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
| 15
Dalam M. McNamee (Ed.), Philosophy and the sciences of exercise, health and sport (pp.1-19). London: Routledge. Pramono, M. (2003). Dasar-dasar filosofis ilmu olahraga. Jurnal Filsafat, 34(2), 138-146. Setiawan, C. (2004). Krisis identitas dan legitimasi dalam pendidikan jasmani. Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, 1(1), 1-7. Sumaryanto, S. (2016). Aksiologi olahraga dalam perspektif pengembangan karakter bangsa. Yogyakarta: UNY Press.
16 |
HYSA ARDIYANTO
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
| 17
3. OLAHRAGA SEBAGAI BIDANG KAJIAN SOSIOLOGI
UNTUK menempatkan olahraga sebagai bidang kajian sosiologi, diperlukan adanya suatu landasan yang menjelaskan konteks relasi antara olahraga dan masyarakat. Olahraga, dengan demikian, perlu menandai posisinya di dalam area kajian masyarakat yang sudah lebih mapan. Dalam hal ini, kita dapat meminjam pandangan Laker (2011) dalam menunjukkan fungsi-fungsi olahraga pada masyarakat dan kebudayaan. Fungsi-fungsi olahraga dalam masyarakat dan kebudayaan yang diajukannya antara lain: Pertama, olahraga sebagai pengalaman emosi bersama. Adanya kelompok penggemar sebuah klub sepakbola fanatik, yang bahkan menjadikan sepakbola layaknya ekspresi agama, merupakan contoh bagaimana olahraga mampu memberikan pengalaman merasakan emosi bersama sebagai sebuah kelompok atau masyarakat. Pengalaman emosi dalam olahraga bersifat tidak lang-
18 |
HYSA ARDIYANTO
sung (vicarious), berbeda dengan perang. Perseteruan emosional antara dua negara dapat dijinakkan melalui pertandingan olahraga dengan dampak destruktif yang jauh lebih kecil dibandingkan perang sungguhan. Olahraga juga dapat berperan sebagai kanalisasi perayaan atas usaha manusia serta pemenuhan kebutuhan akan hasrat pemujaan pada tubuh dan semangat manusia. Ini merupakan peran spesifik yang dapat dimainkan oleh olahraga. Peran ini dapat terlihat, contohnya, pada perayaan kemenangan tim olahraga suatu negara atas negara lain dan pengakuan terhadap atlet-atlet yang mampu mencetak rekor. Emosi memang dinilai memiliki tempat yang penting dalam pengalaman sosial budaya manusia, dan nyatanya olahraga mampu menyediakan pengalaman tersebut. Kedua, olahraga sebagai bentuk interaksi sosial dan bahasa. Di kebudayaan Barat, di mana olahraga telah menempati ruang di dalam struktur sosial dan budaya masyarakatnya, topik pembicaraan mengenai olahraga sering masuk dalam setting keseharian. Dua orang pria yang tidak saling mengenal di sebuah pub seketika bisa mencairkan suasana dengan obrolan mengenai pertandingan baseball, misalnya. Dalam konteks lokal, olahraga sangat mungkin menjadi obrolan basa-basi di angkringan, “Piye Lik, mau bengi Emyu (bagaimana pertandingan MU semalam)?” begitu kira-kira. Selain menjadi topik pembicaraan, beberapa istilah khas olahraga dipetik kemudian dicangkokkan dalam interaksi bahasa sehari-
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
| 19
hari. Sebagai contoh adalah kata “fair play” atau “sportif”. Sebagai anjuran kepada orang-orang untuk berbuat jujur atau baik, sering digunakan kalimat “Jadilah orang yang sportif.” Ketiga, olahraga sebagai pembentuk tradisi dan mitos. Rekor dalam olahraga sering kali didramatisasi sedemikian rupa sehingga menciptakan legenda. Ceritacerita yang melingkupi kemenangan tim sepakbola di suatu kejuaraan diwariskan secara sengaja diteruskan pada generasi fans berikutnya. Segala hal yang berhubungan dengan momentum pencapaian prestasi olahraga itu dijaga terus dalam ingatan sampai membentuk sebuah tradisi dan bahkan mitos. Mitos itu kemudian sesekali dibangkitkan kembali ketika masyarakat menghadapi situasi yang relevan. Fungsi olahraga berhubungan erat dengan makna yang dikembangkan oleh individu dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, berdasarkan fungsinya yang berkaitan dengan fenomena sosial, olahraga tidak bisa diabaikan begitu saja oleh sosiologi. Sosiologi olahraga kemudian dapat didefinisikan sebagai suatu subdisiplin ilmu di bawah sosiologi yang fokus kajiannya pada olahraga sebagai fenomena sosial. Definisi ini relatif sama pada beberapa pandangan sosiolog. Sedikit perbedaan dikemukakan oleh Delaney dan Madigan (2015) yang menggunakan istilah hubungan antara (between) olahraga dan masyarakat. Perbedaan ini berimplikasi pada posisi olahraga terhadap masyarakat, apakah olahraga semata-mata bagian dari fenome-
20 |
HYSA ARDIYANTO
na sosial dalam masyarakat atau olahraga berdiri sejajar dengan masyarakat dalam hubungan yang saling berinteraksi? Perbedaan ini tampaknya tidak begitu menjadi isu yang panas karena keduanya saling berkelindan. Pada awal perkembangannya, sosiologi olahraga tidak berdiri sebagai wilayah kajian yang mandiri. Sosiologi olahraga menjadi bagian dari sosiologi kebudayaan, konflik sosial dan perubahan sosial. Catatan penerbitan yang menunjukkan kemunculan sosiologi olahraga bisa dilacak kembali ke tahun 1969 saat John W. Loy dan Gerald S. Kenyon menyunting dan menerbitkan buku berjudul Sport, Culture and Society. Buku ini merupakan upaya pertama yang berusaha mengumpulkan catatan jurnalistik, artikel dan bab dalam buku untuk menjelaskan perkembangan institusi olahraga dalam masyarakat Amerika. Usaha ini kemudian diteruskan oleh Harry Edwards dalam disertasi doktornya berjudul Sociology of Sport hingga didaulat sebagai buku pertama oleh ilmuwan sosial yang secara sistematis menggunakan teori sosial untuk secara empirik meneliti dan mengidentifikasi fenomena olahraga sebagai bagian dari mikrokosmos masyarakat (Smith, 2010). Seiring dengan internasionalisasi ilmu olahraga dan perkembangan sosiologi itu sendiri, sosiologi olahraga kemudian mulai diakui sebagai bidang kajian yang mandiri. Dalam struktur Ilmu Keolahragaan, sosiologi olahraga merupakan subdisiplin yang diadopsi dari rumpun ilmu sosial dan perilaku. Sosiologi olahraga dianggap
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
| 21
berada dalam kategori yang sama dengan pedagogi olahraga dan psikologi olahraga. Dibandingkan kedua subdisiplin ilmu sosial lainnya, dalam lingkup akademik Indonesia, kajian sosiologi olahraga relatif masih kurang. Padahal jika dibandingkan dengan psikologi, sosiologi berpotensi memberikan perspektif yang lebih memadai terhadap olahraga. Jika psikologi semata-mata berfokus pada individu dengan mengabaikan pengaruh sosial yang mungkin mempengaruhi perilaku atau keputusan individu, sosiologi berusaha menguji pengaruh sosial terhadap individu atau memahami individu dalam konteks sosial (Delaney & Madigan, 2015). Olahraga yang ditinjau dari sudut pandang sosiologi, dengan demikian, dapat dianalisis menggunakan teori-teori sosial. Teori-teori dalam sosiologi dapat dibagi ke dalam dua kelompok berdasarkan fokus kajiannya. Pertama adalah teori-teori sosiologi yang melihat masyarakat sebagai suatu strukutur (dikenal dengan teori makro), di dalamnya terdapat teori fungsionalisme dan teori konflik. Kedua, teori-teori sosiologi yang diangkat dari perspektif individu (disebut teori mikro) yang mencakup teori interaksionisme, kritik dan feminis. Teoriteori ini berguna untuk membantu memahami jenis pertanyaan seperti apa dari setiap teori guna membantu menjawab pertanyaan seputar fenomena olahraga dalam masyarakat (Craig & Beedie, 2010). Teori merupakan alat utama yang harus dimiliki dan dikuasai oleh seorang sosiolog. Hal ini tentunya juga
22 |
HYSA ARDIYANTO
berlaku dalam sosiologi olahraga. Teori memberikan landasan asumsi dasar bagi seorang sosiolog sebagai cara melihat dunia (worldview). Melalui sebuah teori, seorang peneliti tidak berangkat dengan pandangan yang kosong dalam melihat fenomena olahraga. Ia akan mendekati subjek penelitiannya dengan asumsi-asumsi tertentu sesuai dengan perspektif teoritis yang dianutnya. Pandangan yang dianut oleh peneliti akan berimplikasi pada jenis pertanyaan penelitian yang relevan dan metodologi yang dikembangkan. Dari sinilah idealnya penelitianpenelitian olahraga melalui kajian sosiologi berangkat. Fenomena olahraga yang ditemui di lapangan, oleh peneliti sosiologi, selalu dilihat menggunakan kacamata teori sosial. Setiawan (2013) memberikan satu contoh pandang bagaimana sosiologi olahraga dapat berperan untuk melihat pendidikan jasmani (olahraga dan kesehatan) secara kritis. Sosiolog sudah sejak lama menaruh perhatian pada olahraga sebagai arena untuk mereproduksi dan menegaskan ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial. Sosiologi olahraga menyasar isu-isu seperti bias dan kesenjangan gender, rasisme, dan diskriminasi. Isu-isu yang diambil dari sosiologi ini kemudian dipakai sebagai cara pandang dalam mengajarkan kandungan isi pelajaran olahraga dalam pendidikan jasmani agar tidak ikut terjebak dalam melanggengkan ketidakadilan sosial. Berbekal pengetahuan sosiologi olahraga, seorang guru, pelatih atau pihak-pihak yang terlibat dalam olahraga
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
| 23
berkesempatan mendapatkan perspektif yang lebih kaya dalam memandang fenomena olahraga. Untuk menutup tulisan ini, saya ingin merefleksikan sepintas pengalaman saya membaca beberapa buku teks sosiologi olahraga dalam Bahasa Indonesia. Kesan yang pertama saya tangkap adalah nuansa yang begitu Amerika. Selain referensi yang digunakan, ilustrasi yang kerap dipakai juga dalam konteks masyarakat Amerika Serikat. Tentu tidak semua buku sosiologi olahraga demikian. Sepertinya ada proses adaptasi teks yang kurang berjalan dengan mulus. Kondisi antara satu masyarakat dengan lainnya tentu berbeda-beda, penerjemahan saja tidak akan memadai dalam memotret suatu konteks secara utuh. Hal ini mungkin menjadi salah satu tantangan untuk menulis sebuah buku sosiologi olahraga yang lebih terasa Indonesianya. [] Daftar Referensi Craig, P., & Beedie, P. A. (2010). Sport sociology (2nd ed.). Exeter: Learning Matters. Delaney, T., & Madigan, T. (2015). The sociology of sports: an introduction (2nd ed.). Jefferson: McFarland & Company. Laker, A. (2002). Culture, education, and sport. Dalam A. Laker (Ed.), The sociology of sport and physical education: an introductory reader (pp.1-14). London: RoutledgeFalmer.
24 |
HYSA ARDIYANTO
Setiawan, C. (2013). Mencari jalan baru: telaah kritis atas kondisi pendidikan jasmani di Indonesia. Dalam T.C. Mutohir, A. Maksum, & M. Muhyi (Eds), Ilmu keolahragaan di Indonesia, pergulatan yang belum selesai (pp.177-194). Surabaya: Graha Media. Smith, E. (Ed.). (2010). Sociology of sport and social theory. Champaign, IL: Human Kinetics.
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
| 25
4. TENTANG KOMPETISI OLAHRAGA
SEA GAMES 2017 telah usai. Meskipun membawa pulang hasil yang kurang memuaskan, perjuangan seluruh anggota Kontingan Indonesia patut diapresiasi. Seperti amanat Presiden Joko Widodo saat pelepasan kontingen, hal yang lebih penting dari meraih medali adalah menunjukkan pada dunia bahwa kita adalah bangsa yang tangguh. Ditambahkannya, "Indonesia harus bisa bersaing, memiliki mental pemenang, disiplin, dan tentu yang paling krusial adalah fair play" (jawapos.com, 7/8/2017). Tidak sekedar bicara target dan medali, pesan Presiden saat itu menarik karena menyentuh ide paling dasar dari olahraga. Olahraga dianggap merepresentasikan nilai-nilai ideal seperti kejujuran, saling menghargai, menerima kemenangan atau kekalahan secara terhormat dan human excellence (Loland, 2015: 333). Sayangnya nilainilai tersebut tidak otomatis melekat. Semua itu harus dibuktikan melalui wadah bernama kompetisi.
26 |
HYSA ARDIYANTO
Pada SEA Games kali ini tampaknya isu fair play cukup mengemuka. Indikasi adanya kecurangan oleh tuan rumah terjadi di cabang pencak silat, atletik hingga sepak takraw yang membuat Tim Indonesia walkout dari pertandingan. Bagaimanapun juga, tindakan walkout kurang bisa dibenarkan dan tidak menunjukkan bangsa yang tangguh dan bermental pemenang. Namun di luar hal itu, pelanggaran nilai-nilai sportivitas seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi kita yang akan menjadi tuan rumah Asian Games tahun depan agar selalu menjunjung tinggi fair play. Untuk melihat bagaimana hakikat kompetisi, kita bisa merujuk pada etimologinya. Akar kata kompetisi (competition) berasal dari Bahasa Latin, petere yang berarti berjuang, berusaha keras dengan awalan com yang artinya bersama. Menurut pengertian ini, kompetisi bukanlah “berjuang melawan” melainkan “berjuang bersama” (Boxill, 2014: 343). Dalam hal ini kompetisi mengandaikan terjadinya mutual excellence di antara pihak yang berkompetisi. Bagaimana mungkin kompetisi dapat mencapai keunggulan bersama jika salah satu pihak berbuat curang atau menyerah di tengah pertandingan? Agar mencapai hakikat kompetisi olahraga yang sebenarnya (true competition), menurut Shields (2010), terdapat tiga keseimbangan yang harus dijaga. Pertama adalah keseimbangan antara hasil dan proses. Jenis keseimbangan yang kedua adalah keseimbangan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik. Sedangkan yang ketiga
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
| 27
adalah keseimbangan antara keseriusan dan bermainmain. Hasil dan proses dalam konsep kompetisi dinilai sama pentingnya. Penekanan yang berlebihan pada hasil saja kerap mengorbankan proses yang merupakan bagian dari perjalanan seorang juara. Sebaliknya, proses yang tidak berujung pada hasil berpotensi membuat atlet berhenti di tengah jalan. Kompetisi yang sesungguhnya mengarah pada nilai-nilai instrinsik dalam olahraga, sedangkan kecenderungan pada pencapaian nilai-nilai ekstrinsik mengarah pada apa yang disebut sebagai dekompetisi (bisa dikatakan lawan dari kompetisi). Sementara itu, play harus dipertahankan sebagai salah satu elemen utama dari kompetisi olahraga. Bagaimana implementasi hakikat kompetisi ini di lapangan? Kompetisi olahraga di Tanah Air telah dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga Pekan Olahraga Nasional (PON). Secara ideal, hasil kejuaraan di suatu tingkat menjadi input bagi proses kompetisi di atasnya. Pada umumnya insan olahraga telah menyadari bahwa pembinaan olahraga merupakan sebuah proses. Hal ini sebenarnya merupakan modal psikologis yang penting dalam menerima hasil kompetisi, baik menang atau pun kalah. Kita tidak bisa mengharapkan hasil yang memuaskan tanpa adanya proses. Sebagai tuan rumah sebuah event olahraga internasional, dengan segala keuntungannya, keinginan menjadi juara merupakan hal yang wajar. Namun, hal ini harus diiringi dengan proses yang
28 |
HYSA ARDIYANTO
baik sehingga tidak membuat kita terjebak pada tindakan yang kurang etis bahkan melanggar semangat fair play. Mungkin paragraf ini terdengar begitu normatif, bahkan naif. Tidak bisa dimungkiri jika perolehan jumlah medali menjadi ukuran kesuksesan suatu kontingen di event olahraga. Dalam hal ini, unsur ekstrinsik seperti bonus materi dan popularitas bisa menjadi ancaman bagi unsur intrinsik olahraga. Pada ajang kompetisi sekelas PON, kecenderungan pada unsur ekstrinsik olahraga dapat menimbulkan kasus rebutan atlet antar daerah dan manipulasi registrasi atlet dari luar daerah. Di tingkat internsional, bisa terjadi proses naturalisasi dan migrasi atlet demi upaya mendulang medali. Tetapi hal ini nyata terjadi bukan? Faktor ekstrinsik dalam bentuk dramatisasi olahraga juga begitu kuat menerpa. Melalui media massa, olahraga diposisikan sebagai representasi kebanggaan, harga diri dan martabat sebuah bangsa. Menumpahkan emosi kebangsaan dalam kompetisi olahraga merupakan hal yang wajar, namun jangan sampai hal ini justru mengaburkan nilai-nilai intrinsik olahraga. Mengirim atlet ke arena pertandingan bukanlah seperti mengirim tentara ke medan perang. Meskipun kompetisi olahraga sering disebut sebagai “perang yang sudah dijinakkan”, pemikiran nasionalisme dan militerisme yang rancu pada olahraga itu sebaiknya dihindari. Dalam multievent seperti Asian Games, ada unsur festival di dalamnya dan
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I
| 29
olahraga berfungsi sebagai sarana menjalin persahabatan. Ada perayaan atas kemanusiaan yang tidak bisa diabaikan di dalamnya. Olahraga adalah bentuk kesenangan, hobi bagi sebagian besar orang. Namun dalam kompetisi olahraga antar negara, dituntut keseriusan penyelenggara agar kesenangan itu tidak terusik. Kealpaan menyediakan makanan bagi atlet negara lain, misalnya, bisa berbuntut protes dan tuduhan kesengajaan. Keseimbangan antara keseriusan dan bermain merupakan dosis yang perlu dijaga dalam penyelenggaraan kompetisi olahraga. Ketiga macam keseimbangan yang digagas oleh Shield ini menjadi penting untuk diperhatikan dalam kompetisi olahraga. Kompetisi, ketika dipandang sebagai tantangan bersama untuk mencapai keunggulan, di bidang apapun, akan mengarah pada kemajuan, semangat untuk menghormati orang lain, persahabatan, dan keunggulan. Bukankah ini sesungguhnya inti dari sebuah kompetisi? [] Daftar Referensi Boxill, J. (2014). Competition. Dalam C.R. Torres (Ed.), Bloomsbury companion to the philosophy of sport (pp.343-344). London: Bloomsbury. Loland, S. (2015). Fair play. Dalam M. McNamee & W.J. Morgan (Eds.), Routledge handbook of the philosophy of sport (pp.333-350). Abingdon: Routledge.
30 |
HYSA ARDIYANTO
Shields, D. (2010, April 14). Rethinking competition. Retrieved from http://truecompetition.org/ resources/rethinking-competition/
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 31
5. ANALISIS PERFORMA ATLET: SEPAKBOLA SEBAGAI SUATU
SOCIOTECHNICAL SYSTEM
SEPAKBOLA dapat dikatakan sebagai permainan yang mulitifaset, kompleks, di dalamnya terjadi banyak interaksi yang unpredictable sehingga indikator performanya dipengaruhi oleh faktor yang tidak tunggal. Karakteristik sepakbola yang demikian kemudian mengalami benturan konsep dan persoalan kompatibilitas ketika analisis performa atletnya dimulai dengan parameter seperti fisiologi, sistem energi, macam dan irama gerak, serta durasi pertandingan. Dalam praktiknya, sebagai contoh, seorang pemain yang “divonis” terlambat menutup pergerakan lawannya sering dianggap karena persoalan fisik. Kesimpulan yang sering diambil: pemain terlambat lari, kecepatanya kurang, atau tenaganya habis. Apakah kesimpulan tersebut memadai? Parameter fisik seperti VO2 Max dan kecepatan cenderung ditempatkan sebagai faktor analisis performa atlet yang utama.
32 |
HYSA ARDIYANTO
Padahal, jika dilihat lebih detail, dalam permainan sepakbola, ada faktor-faktor lain yang menentukan keberhasilan seorang pemain dalam melakukan aksinya. Faktor pemosisian pemain yang merupakan turunan formasi, misalnya. Belum lagi soal komunikasi yang terjadi antar pemain dalam satu tim sebagai implementasi dari taktik yang dipersiapkan. Faktor-faktor ini sangat kompleks. Oleh karena itu, ketika menyusun analisis performa atlet pada sepakbola, pikiran saya segera saja dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan seperti: 1. Di mana idealnya menempatkan analisis performa yang berkaitan dengan fisiologi, sistem energi, macam dan irama gerak, lama pertandingan, serta teknik dan taktik dalam sepakbola? Adakah hierarki yang dapat dijadikan kerangka sehingga menghasilkan analisis yang komprehensif? 2. Kemudian pada masalah konteks, apakah analisis performa sepakbola yang terisolasi dapat memberikan informasi yang bermakna? 3. Lebih dari itu, sepakbola merupakan olahraga permainan. Apakah tidak sebaiknya analisis performa dimulai dari permainan itu sendiri (game model)? Saya kemudian mencoba menelusuri literatur yang berkaitan dengan analisis performa atlet pada sepakbola. Salah satu artikel yang saya temukan menyebutkan bahwa “physical parameters are highly dependent on the role played by technical and tactical factors” (Castellano,
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 33
Alvarez-Pastor, & Bradley, 2014). Parameter fisik sangat tergantung pada peran yang dimainkan berdasarkan faktor teknik dan taktik. Artinya, kebutuhan fisik para pemain sepakbola merupakan turunan dari keputusan atas taktik dan teknik yang digunakan. Selanjutnya, dalam menganalisis statistik yang menentukan antara tim yang menang dan kalah dalam Piala Dunia FIFA, “physical performance was not the factor to discriminate between winners and losers” (Rumpf, Silva, Hertzog, Farooq, & Nassis, 2017). Faktanya, berdasarkan hasil studi, performa fisik bukanlah faktor yang membedakan antara tim yang menang dan yang kalah di sepakbola top level. Temuan ini sangat menarik. Bukankah masih sering terdengar komentar yang menuding faktor fisik sebagai penyebab apabila Tim Nasional Sepakbola kita kalah dalam sebuah pertandingan? Tidak hanya komentator di televisi sebenarnya, pembahasan di kelas yang bernuansa akademik pun sama saja. Saya menjadi tidak terkejut ketika mendapati hasil studi Mackenzie dan Cushion (2013) yang menunjukkan adanya kecenderungan “investigating isolated variables without context” dalam analisis performa sepakbola. Kecenderungan meneliti atau menganalisis variabel yang terisolasi tanpa adanya konteks masih terjadi. Bukankah analisis berdasarkan aspek fisik, teknik, taktik (dan mental) dalam sepakbola menunjukkan pendekatan yang cenderung terisolasi? Hasil analisis performa atlet sepakbola yang terisolasi ini berpotensi menimbulkan suatu
34 |
HYSA ARDIYANTO
incompatibility dalam penerapannya di lapangan. Jika konteks demikian dianggap penting dalam analisis performa sepakbola, model atau kerangka seperti apa yang dapat digunakan untuk membantu melakukan analisis performa dalam sepakbola? Sepakbola sebagai suatu sociotechnical system Sejauh ini kerangka (framework) yang saya temui berpotensi dipakai untuk melakukan analisis performa dalam sepakbola adalah kerangka yang dikembangkan oleh McLean, Salmon, Gorman, Read, dan Solomon (2017). Mereka mencoba mengidentifikasi, sebenarnya terdiri dari apa 'performa' dalam pertandingan sepakbola dan bagaimana berbagai aspek performa itu berinteraksi untuk memengaruhi dan menentukan hasil pertandingan? Pendekatan ini mereka tempuh dengan alasan: 1. Pendekatan analisis performa sepakbola yang saat ini ada cenderung reduksionis. (Pada kasus di kelas Analisis Performa Atlet, hal ini saya duga terjadi sebagai dampak dari “template” analisis performa atlet cabang atletik atau cabang olahraga indvidual lainnya). 2. Performa dalam sepakbola bukan sekedar penjumlahan dari bagian-bagian (football performance is more than the sum of its parts). 3. Pertandingan sepakbola memiliki banyak karakteristik sociotechnical system yang kompleks, yaitu
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 35
terdapat banyak interaksi komponen manusia dan non-manusia yang beroperasi dalam lingkungan pertandingan yang dinamis dan selalu berubah. Pendekatan alternatif yang ditawarkan untuk memahami performa dalam sepakbola pada studi yang dilakukan oleh McLean dan timnya berasal dari disiplin Human Factors (HF) yaitu studi tentang performa manusia dalam suatu sociotechnical system. Secara sederhana, HF dapat didefinisikan sebagai studi ilmiah mengenai hubungan antara manusia dan lingkungan kerjanya (Salmon, Stanton, Gibbon, Jenkins, & Walker, 2010). Kontribusi utama HF adalah kemampuannya untuk merepresentasikan sistem yang kompleks dengan faktor-faktor yang berinteraksi dan memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana sistem bekerja (McLean et al., 2017). HF dinilai dapat diaplikasikan dalam sepakbola karena dapat mempelajari kemampuan dan keterbatasan manusia (pemain) dalam suatu konteks (pertandingan) di mana terdapat berbagai constrains (lawan, garis batas area permainan, gawang, waktu dan hambatan-hambatan lain). Dalam kajian McLean et al. (2017), kerangka kerja (framework) yang dikembangkan untuk memodelkan sistem kerja sosioteknik yang kompleks adalah Cognitive Work Analysis (CWA). CWA memodelkan berbagai jenis keterbatasan (constraints) untuk kemudian membangun sebuah model tentang bagaimana pekerjaan bisa dilak-
36 |
HYSA ARDIYANTO
sanakan dalam sebuah sistem kerja tertentu. Asumsinya, dengan memahami keterbatasan yang ada maka memungkinkan untuk menghasilkan rekomendasi desain kerja atau operasional. Selain itu, adanya keterbatasan yang ditampilkan secara eksplisit dapat dijadikan rujukan guna mengeksplorasi keuntungan potensial, menyingkirkan hambatan itu sendiri atau bahkan memanfaatkan hambatan yang ada untuk mendukung suatu perilaku (behavior). Pada tahap selanjutnya, Work Domain Analysis (WDA) yang merupakan fase pertama dari CWA digunakan untuk mengkonstruksi deskripsi secara mendalam dari struktur fungsional (functional structure) sistem yang dianalisis. Struktur fungsional ini meliputi tujuan, objek yang digunakan, tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai performa yang berhasil, dan kriteria yang digunakan untuk menentukan pengukuran performa (bagus atau buruk) dalam sebuah sistem. Hierarki Konseptual dalam Analisis Performa Sepakbola Dengan menggunakan Abstraction Hierarchy (AH), McLean dan kawan-kawan menemukan lima tingkat konseptual dalam sistem permainan sepakbola. Kelima tingkat tersebut meliputi: 1. Functional Purpose (Tujuan Fungsional). Tujuan ini dapat disesuaikan dalam konteks apa pertandingan tersebut dimainkan. Tujuan antara satu
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 37
pertandingan dengan pertandingan berikutnya bisa berbeda-beda. Tujuan fungsional dalam menganalisis performa pada pertandingan dapat berupa: a) Achieve desired result (meraih hasil yang diharapkan). Termasuk dalam tujuan fungsional ini adalah pertandingan dalam musim kompetisi atau major championship. Hasil pertandingan menjadi indikator performa tim dan individual pemain. Inilah tujuan fungsional yang paling banyak dilakukan. b) Implement game plan (mengimplementasikan rencana atau skema permainan). Tujuan fungsional ini dapat diterapkan pada pertandingan-pertandingan pra-musim. Pada fase persiapan kompetisi, game plan pada umumnya masih dalam pembentukan yang membutuhkan uji coba terus-menerus. Analisis performa dalam hal ini digunakan untuk menilai bagaimana tingkat keberhasilan suatu rencana. c) Play in line with club ethos (bermain sesuai dengan etos atau nilai filosofis klub). Tujuan fungsional jenis ini bisa diterapkan pada pertandingan tim akademi atau tim kelompok umur di klub. Analisis performa pada jenis ini menekankan pada kesesuaian dengan etos atau filosofi bermain klub. d) Progressive team improvement (peningkatan performa tim secara progresif). Tujuan fung-
38 |
2.
3.
4.
5.
HYSA ARDIYANTO
sional ini dapat diterapkan pada saat pembentukan tim untuk mengikuti suatu event tertentu, misalnya tim untuk Pekan Olahraga Daerah/Nasional. Analisis perkembangan tim secara progresif dalam hal ini dibutuhkan karena biasanya anggota tim (pemain) berasal dari sumber yang berbeda melalui seleksi sehingga belum padu sebagai sebuah tim. Values and Priority Measures (dilihat dalam konteks posisi terjadinya di dalam lapangan). a) blocking penetration through defensive lines b) successful penetration through defensive lines, c) time to regain possession, d) forced turnovers e) second ball wins Generalised Functions (Fungsi Umum). Fungsi ini dibutuhkan untuk mencapai Tujuan Fungsional. Contoh: menyerang, bertahan, transisi, dan mempertahankan penguasaan bola. Physical Functions (Fungsi Fisik / Jasmani). Fungsi ini dibutuhkan untuk mengeksekusi aksi. Contoh: menendang, menundul, lari, dan tackle. Physical Objects (Objek Fisik). Objek fisik yang dimaksud dalam hal ini adalah benda-benda dalam sistem seperti: pemain, lapangan, penonton, wasit, dan pelatih.
Gambar 1. Ekstraksi dari Abstraction Hierarchy (McLean et al., 2017)
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 39
40 |
HYSA ARDIYANTO
Abstraction Hierarchy ini kemudian diekstraksi lagi sehingga menghasilkan tiga tingkatan konseptual yang baru dalam pengukuran analisis performa sepakbola sebagaimana terlihat pada Gambar 1 yaitu ekstraksi yang merepresentasikan pengukuran analisis performa sepakbola. Pada hasil ekstraksi terdapat satu tingkatan yang disebut dengan Purpose-related Functions sebagai turunan aplikatif dari generalized function yang meliputi: (a) verbal and non-verbal communication, (b) playing at the appropriate tempo, dan (c) team adaptability (adapting the style of play to suit a particular scenario). Sampai di sini dapat dilihat bahwa kerangka analisis performa atlet sepakbola berdasarkan sociotechnical system tidak secara spesifik memberi petunjuk aplikasinya. Kalau dicermati, hal ini karena sasarannya memang pada tataran konseptual. Meskipun demikian, kerangka ini menjawab pertanyaan saya atas hierarki seperti apa yang relevan digunakan untuk menganalisis performa atlet sepakbola. Gagasan ini dapat membantah metode analisis performa atlet sepakbola yang berangkat dari parameter fisiologi, sistem energi, macam dan irama gerak, serta durasi pertandingan. Tambahan lagi, gagasan dalam kerangka sosioteknik menunjukkan bahwa menganalisis performa atlet sepakbola tanpa konteks akan cenderung mengarah pada kesimpulan yang kurang bermakna. Sebagai sebuah langkah awal, upaya melakukan analisis performa atlet sepakbola menggunakan kerangka
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 41
sistem sosioteknik menghadapi beberapa persoalan. Dalam studi yang digunakan, performa yang muncul di luar pertandingan (latihan dan nutrisi) serta komponen fisik dan fisiologi (penggunaan energi, kapasitas paruparu, detak jantung rata-rata) tidak dipertimbangkan. Persoalan lain, hierarki ini berasal dari studi yang dilakukan pada sepakbola profesional yang dianggap sudah selesai dengan urusan teknik dan fisik. Hal ini tentu berbeda dengan sepakbola di tingkat junior yang masih dalam tahap pengembangan, terutama fisik dan teknik. Artinya, kerangka analisis performa sepakbola secara sosioteknik ini tidak bisa serta merta digunakan untuk semua jenjang atlet sepakbola. Sebagai kesimpulan, analisis performa sepakbola menggunakan kerangka abstraksi hierarki bukan berarti meniadakan keberadaan analisis dasar seperti fisiologi, namun analisis tersebut ditempatkan dalam sebuah hierarki untuk mendapatkan pemahaman yang kontekstual. Adanya hierarki membuat analisis performa atlet sepakbola tidak tiba-tiba saja meloncat pada analisis faktor fisik. Analisis performa atlet sepakbola juga tidak boleh terpisah dengan konteksnya. Alih-alih menekankan pada tingkat individu, analisis performa atlet sepakbola akan lebih bermakna ketika berangkat dari suatu kerangka yang hierarkis. []
42 |
HYSA ARDIYANTO
Daftar Referensi Castellano, J., Alvarez-Pastor, D., & Bradley, P. S. (2014). Evaluation of research using computerised tracking systems (Amisco® and Prozone®) to analyse physical performance in elite soccer: a systematic review. Sports Medicine, 44(5), 701–712. Mackenzie, R., & Cushion, C. (2013). Performance analysis in football: A critical review and implications for future research. Journal of Sports Sciences, 31(6), 639–676. McLean, S., Salmon, P. M., Gorman, A. D., Read, G. J. M., & Solomon, C. (2017). What’s in a game? A systems approach to enhancing performance analysis in football. Plos One, 12(2), 1–15. Rumpf, M. C., Silva, J. R., Hertzog, M., Farooq, A., & Nassis, G. (2017). Technical and physical analysis of the 2014 FIFA World Cup Brazil: winners vs. losers. The Journal of Sports Medicine and Physical Fitness, 57(10), 1338–1343. Salmon, P. M., Stanton, N. A., Gibbon, A. C., Jenkins, D. P., & Walker, G. H. (2010). Human factors methods and sports science: A practical guide. Boca Raton: CRC Press.
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 43
6. INTEGRASI TEKNOLOGI DALAM PENDIDIKAN JASMANI: PELUANG UNTUK MENJAWAB KRISIS IDENTITAS DAN LEGITIMASI?
TULISAN ini berusaha melihat literatur-literatur dengan topik integrasi teknologi dan Pendidikan Jasmani. Pembahasan meliputi dua hal, yaitu teknologi dalam proses pembelajaran dan teknologi dalam pengembangan guru Pendidikan Jasmani. Asumsinya, ketika teknologi dapat diintegrasikan dalam proses pembelajaran dan penyiapan guru, maka akan muncul peluang untuk mengadvokasi hasil-hasil pembelajaran sehingga berpotensi menjawab krisis identitas dan legitimasi dalam Pendidikan Jasmani. Jika Anda pernah membaca “Krisis Identitas dan Legitimasi dalam Pendidikan Jasmani” yang ditulis oleh Caly Setiawan tahun 2004, Anda bisa menduga tulisan ini mengambil ide dari sana. Dugaan Anda benar belaka. Artikel ini memang berangkat dari artikel tersebut. Saya
44 |
HYSA ARDIYANTO
akan memosisikan tulisan ini sebagai tanggapan sekaligus membuka kembali diskusi yang telah dipantik lebih dari satu dekade yang lalu dengan mengajukan suatu pertanyaan: apakah saat ini, ketika perkembangan teknologi telah mendorong perubahan di berbagai bidang, dapat juga dimanfaatkan oleh Pendidikan Jasmani untuk mengklaim (kembali) identitas dan legitimasinya? Pendahuluan Tantangan yang dihadapi oleh Pendidikan Jasmani sebagai dampak dari perkembangan teknologi sangat nyata. Tidak jarang teknologi dianggap membawa dampak negatif bagi peserta didik dalam persoalan kurangnya gerak. Penggunaan gawai yang berkorelasi dengan kurangnya gerak ditemui pada anak usia dini yang belajar di PAUD (Paramitha & Anggara, 2018). Pada satuan pendidikan yang lebih tinggi, tampaknya terjadi fenomena yang serupa. Kondisi semacam ini mendesak Pendidikan Jasmani untuk memberikan respon, mengingat gerak badan dapat dianggap sebagai pokok pembelajaran dalam Pendidikan Jasmani. Peningkatan keterampilan abad ke-21 dalam dunia pendidikan dengan isu-isu seperti inovasi, riset, dan pemanfaatan teknologi semakin menguat. Para guru hari ini dihadapkan dengan tantangan untuk memenuhi kebutuhan siswa generasi baru yang tidak pernah mengenal kehidupan tanpa komputer, konsol video-game,
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 45
telepon seluler, atau akses internet. Kondisi ini merupakan tantangan yang secara dramatis mengubah ruang lingkup pendidikan (Krause, Franks, & Lynch, 2017). Penggunaan teknologi untuk meningkatkan kualitas pendidikan pun dinilai telah menjadi standar bagi semua mata pelajaran, tidak terkecuali Pendidikan Jasmani. Namun demikian, karena sifat dasar (ruang) kelasnya yang unik, ada beberapa hal yang mungkin membuat implementasi teknologi pada Pendidikan Jasmani menjadi tidak semudah mata pelajaran lain. Teknologi dan Pendidikan Jasmani kadang diposisikan pada ujung yang spektrum pendidikan berlawanan, yang satu dianggap kurang membutuhkan gerak sedangkan yang lain harus melalui gerak (Pyle & Esslinger, 2014). Hal ini agaknya membuat relasi antara Pendidikan Jasmani dengan teknologi terlihat tidak kompatibel. Pada masa sebelumnya, Pendidikan Jasmani dan teknologi dianggap berpotensi mengalami benturan dalam persaingan legitimasi. Krisis identitas dan legitimasi dalam Pendidikan Jasmani yang pernah dilontarkan di awal abad ke-21, salah satunya, didorong oleh adanya desakan untuk penyelenggaraan mata pelajaran baru semacam teknologi informasi (Setiawan, 2004). Perkembangan teknologi yang direspon dengan menambah alokasi waktu untuk mata pelajaran keterampilan teknologi (informasi dan komunikasi) berpotensi mengorbankan alokasi waktu mata pelajaran lain. Pendidikan Jasmani pun berada di posisi kritis untuk digusur. Setelah
46 |
HYSA ARDIYANTO
lebih dari satu dasawarsa, apakah Pendidikan Jasmani dapat menjawab gugatan tersebut (justru) dengan memanfaatkan potensi yang terdapat pada teknologi? Apakah teknologi yang tadinya dianggap sebagai ancaman dapat diubah menjadi peluang? Pembahasan Teknologi yang berkaitan dengan identitas dan legitimasi dalam Pendidikan Jasmani dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, persaingan dalam satuan mata pelajaran seperti sudah disinggung sebelumnya. Kedua, dalam hal tindakan belajar di mana penggunaan teknologi dinilai dapat merebut fungsi seorang guru pendidikan sebagai fasilitator siswa dalam belajar. Krisis dalam Pendidikan Jasmani tidak lepas dari pandangan bahwa banyak guru yang tidak cukup berkomitmen dan terdorong untuk “mengajar” sebagai suatu yang esensial dari usaha pendidikan jasmani. Ketiga, teknologi (bersama dengan kultur dan demografi) dianggap sebagai sub-konteks di mana Pendidikan Jasmani diselenggarakan. Dari ketiga sub-konteks itulah legitimasi pentingnya Pendidikan Jasmani mulai digarap (Setiawan, 2004). Respon Pendidikan Jasmani terhadap perubahan di abad ke-21, salah satunya, diwujudkan dalam pertemuan tingkat dunia “Global Forum for Physical Education Pedagogy” GoFPEP 2010 yang diadakan di Grundy Center, Iowa, Amerika Serikat. Teknologi menjadi salah
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 47
satu penekanan, selain isu “standar” seperti keterikatan dengan komunitas, kerjasama antar stakeholder, dan upaya menggali bentuk-bentuk pedagogi serta metodemetode dalam mempersiapkan guru Pendidikan Jasmani (Edginton, Chin, Geadelmann, & Ahrab-Fard, 2011). Meminjam pernyataan konsensus dalam Global forum tersebut, pembahasan dalam tulisan ini berangkat dengan mengangkat tiga isu, yaitu: (1) teknologi dalam proses pembelajaran Pendidikan Jasmani serta (2) teknologi dan penyiapan guru Pendidikan Jasmani, sehingga dapat dijadikan landasan argumen dalam (3) mengadvokasi hasil Pendidikan Jasmani. Teknologi dalam Pembelajaran Pendidikan Jasmani Pada dasarnya, teknologi dinilai dapat diterapkan untuk membantu guru Pendidikan Jasmani dalam proses pembelajaran yang meliputi: persiapan rencana pengajaran, manajemen kelas, komunikasi dengan orang tua dan siswa, pembuatan instruksi dan umpan balik, serta penilaian (Adkins, Bice, Worrell, & Unruh, 2017). Secara umum sudah dikenal teknologi yang digunakan dalam membantu guru Pendidikan Jasmani mulai dari stopwatch hingga alat yang canggih seperti heart rate monitors. Selain itu, sebagaimana mata pelajaran lain, dalam persiapan mengajar guru Pendidikan Jasmani dapat memanfaatkan internet, kemudian dalam pengarsipan data dan nilai menggunakan piranti lunak dalam komputer, serta
48 |
HYSA ARDIYANTO
menggunakan media pembelajaran video dalam penyajian materi pembelajaran. Pengunaan teknologi dengan cara seperti ini relatif tidak berbeda dengan mata pelajaran lainnya. Penelitian Krause, Franks, & Lynch (2017) menunjukkan bahwa topik teknologi yang paling sering dibahas dalam Pendidikan Jasmani di Amerika Serikat adalah pengukuran aktivitas (activity monitors), gawai (mobile devices) dan (penggunaan) media sosial. Pengukuran aktivitas bisa dikatakan sebagai salah satu topik khas yang dimiliki oleh Pendidikan Jasmani. Sementara itu tema-tema utama yang muncul pada pembahasan teknologi dalam Pendidikan Jasmani meliputi berjaringan dan berbagi sumber daya (networking and sharing resources), mengimplementasikan teknologi untuk mengajar, pemilihan teknologi, serta solusi atas pengumpulan dan manajemen data. Menariknya, penelitian tersebut menunjukkan bahwa para pendidik profesional sadar dan tertarik untuk mengimplementasikan berbagai teknologi ke dalam proses pembelajaran, namun mereka masih tidak yakin dalam bagaimana memilih, mengelola, dan mengimplementasikannya. Situasi yang hampir sama muncul pada studi Brenner dan Brill (2016) yang menunjukkan bahwa para calon guru merasa cukup mahir dengan teknologi dasar, tetapi tidak memiliki pengalaman yang cukup dengan teknologi yang lebih maju, meskipun
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 49
mereka menunjukkan pandangan yang positif terhadap integrasi teknologi dalam pengajaran. Persoalan inilah yang kemudian diangkat oleh Mishra dan Koehler (2006) ketika muncul kecenderungan dalam pendidikan untuk melihat hanya pada teknologi namun kurang menyentuh aspek bagaimana teknologi tersebut digunakan. Mereka kemudian mengajukan argumen perlunya sebuah kerangka secara teori dan konsep untuk memahami bagaimana menggunakan (infusing) teknologi dalam pendidikan. Kerangka yang saat ini berkembang dan diminati oleh para peneliti dan pendidik adalah technological pedagogical content knowledge (TPACK). Kerangka TPACK dikembangkan dari pedagogical content knowledge (PCK) yang dicetuskan oleh Lee Shulman. Ketika PCK pertama kali dikembangkan, isuisu teknologi bukannya tidak dianggap penting, namun kehadirannya tidak seperti saat ini. Ruang kelas tradisional pada dasarnya menggunakan berbagai teknologi mulai dari buku teks, mesin ketik, tabel periodik di dinding laboratorium sampai proyektor. Hanya saja sebagian besar teknologi terebut sudah menjadi hal yang biasa dan bahkan tidak dianggap sebagai teknologi. Berbeda dengan saat ini, di mana semakin umum ditemui penggunaan teknologi yang mengacu pada komputer digital dan perangkat lunak komputer dengan mekanisme yang kadang sama sekali baru dan belum pernah ditemui sebelumnya.
50 |
HYSA ARDIYANTO
Pertanyaan utama yang mendorong lahirnya kerangka TPACK adalah bagaimana guru dapat mengintegrasikan teknologi ke dalam pembelajaran mereka. Upaya integrasi ini harus secara kreatif dirancang atau terstruktur untuk dapat digunakan sesuai dengan karakteristik (baik materi maupun metode pengajaran) mata pelajaran tertentu dalam konteks situasi kelas yang spesifik. Dalam inti pembelajaran menggunakan teknologi yang baik terdapat tiga komponen pokok: konten, pedagogi, dan teknologi, ditambah hubungan di antara ketiga komponen. Interaksi antara ketiga komponen, menunjukkan perbedaan yang beragam dalam berbagai konteks yang menggambarkan kualitas integrasi teknologi pendidikan. Ketiga basis pengetahuan (konten, pedagogi, dan teknologi) membentuk inti dari kerangka TPACK (Koehler & Mishra, 2009). Kerangka yang dikembangkan ini memberi pemahaman bahwa mengajar merupakan aktivitas kompleks yang perlu memanfaatkan banyak jenis pengetahuan. Artinya teknologi tidak serta merta diinfuskan ke dalam proses pembelajaran, melainkan membutuhkan suatu kerangka secara teori dan konsep seperti TPACK. Dalam TPACK terdapat tujuh komponen pengetahuan. Tiga komponen merupakan basis pengetahuan inti yaitu content knowledge (CK), pedagogical knowledge (PK) dan technological knowledge (TK). Hubungan (relationship) di antara dua komponen (between) dan interaksi ketiga----
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 51
Gambar 1. Kerangka TPACK dan komponen-komponen pengetahuannya. Sumber: Koehler & Mishra (2009)
komponen (among) membentuk empat komponen pengetahuan lainnya. Ketiga komponen pengetahuan yang dihasilkan oleh hubungan antara dua komponen adalah technological pegadogical knowledge (TPK) yang merupakan hubungan antara pengetahuan pedagogi dan pengetahuan teknologi, technological content knowledge (TCK) berupa irisan antara pengetahuan materi pembelajaran dengan pengetahuan teknologi, pedagogical content knowledge (PCK) yang merupakan pengetahuan materi pembelajaran dan cara mengajarkannya. Komponen di tengah yang
52 |
HYSA ARDIYANTO
beririsan dengan ketiga komponen inti pengetahuan (konten, pedagogi dan teknologi) adalah technological pedagogical content knowledge atau yang disebut dengan TPACK. TPACK merupakan kerangka mengintegrasikan teknologi ke dalam pembelajaran secara umum, lalu bagaimana Pendidikan Jasmani dapat memanfaatkannya? Padahal ada relasi yang unik antara keduanya. Roth (2014) mencoba meng-gunakan kerangka TPACK dalam rangka menunjukkan bahwa Pendidikan Jasmani justru merupakan salah satu educational setting terbaik untuk mengintegrasikan teknologi. Tabel 1. Kerangka TPACK dalam Pendidikan Jasmani. Diadaptasi dari: Scrabis-Fletcher, Juniu, & Zullo (2016); Roth (2014). Tipe pengetahuan
Definisi operasional
Contoh/ isu yang berkaitan
Content Knowledge (CK)
Pengetahuan tentang materi/konten Pendidikan Jasmani yang harus diajarkan
Belajar gerak, komponen kebugaran
Pedagogical Knowledge (PK)
Pengetahuan tentang proses dan praktik atau metode pengajaran Pendidikan Jasmani
Gaya belajar, manajemen kelas, desain instruksi
Technology Knowledge (TK)
Pengetahuan tentang teknologi baik standar maupun canggih
Google forms, email, aplikasi ponsel, dll.
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 53
Pedagogical Content Knowledge (PCK)
Pengetahuan tentang bagaimana mengajarkan Pendidikan Jasmani
Praktikum, instruksi, penugasan.
Technological Content Knowledge (TCK)
Pengetahuan tentang teknologi dalam Pendidikan Jasmani
Jump It App, running app berbasis GPS, dll.
Technological Pedagogical Knowledge (TPK)
Pengetahuan tentang cara mengajar menggunakan teknologi
Pemilihan teknologi yang sesuai, cara kerja alat
Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK)
Memahami dan menggabungkan ketiga komponen: teknologi, pengajaran, dan Pendidikan Jasmani
Keberhasilan integrasi teknologi dalam Pendidikan Jasmani
Seperti disinggung dalam artikel Eberline dan Richards (2013), perangkat seperti iPad menyediakan fasilitas untuk menerapkan teknologi dalam Pendidikan Jasmani. Manajemen kelas, rencana pelajaran, data siswa, dan jenis informasi lainnya dapat dikelola menggunakan iPad. Penggunaan lainnya adalah untuk merekam dan memutar ulang klip video. Guru dapat merekam video penampilan siswa kemudian memutar ulang video untuk menunjukkan kepada siswa elemen keterampilan yang mereka lakukan dengan benar dan elemen-elemen yang membutuhkan perbaikan. Video juga dapat digunakan
54 |
HYSA ARDIYANTO
untuk menyoroti siswa yang berhasil pada tugas tertentu, yang dapat secara positif memperkuat perilaku siswa. Studi tentang penggunaan teknologi dalam Pendidikan Jasmani umumnya diambil dari penelitian di Amerika Serikat. Akibatnya, pada tingkat aplikasi secara teknis kadang ditemui ketidaksesuaian dengan konteks di tempat lain. Sebagai contoh, gawai yang sering dijadikan rujukan penggunaan teknologi dalam Pendidikan Jasmani di Amerika Serikat adalah iPad. Sementara di Indonesia, misalnya, lebih dikenal perangkat teknologi berbasis Android. Hal ini seharusnya tidak mengecoh para pendidik dalam mengaplikasikan teknologi pada proses pembelajaran. Contoh-contoh teknis penggunaan teknologi sebaiknya ditempatkan sebagai inspirasi alihalih ditiru secara mutlak. Setelah pembahasan pada area teori dan konsep, lalu bagaimana teknologi yang efektif untuk meningkatkan kesempatan belajar bagi para calon guru? Jawaban singkat muncul dari pernyataan Juniu (2011), “choose your technology to aid your teaching, rather than designing your lesson to fit the available technology.” Teknologi yang efektif, menurutnya, berawal dari cara pandang dalam memilih teknologi yang membantu pengajaran, bukan merancang pelajaran agar sesuai dengan teknologi yang tersedia. Ketika hendak melangkah pada tataran aplikatif, cara pandang melalui kerangka teori menentukan efektivitas teknologi yang digunakan. Dengan demikian dalam mempersiapkan calon guru, teknologi sebagai alat
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 55
saja tidak menjamin kualitas pendidikan. Cara pandang dan penguasaan atas kerangka teori dan konsep adalah yang pertama berperan (Mishra & Koehler, 2006). Teknologi dan Penyiapan Guru Pendidikan Jasmani Kembali pada konsensus GoFPEP 2010, penggunaan teknologi dalam Pendidikan Jasmani juga dikaitkan dengan penyiapan guru. Tugas menyiapkan guru terutama ada pada institusi perguruan tinggi yang memiliki latar belakang dan perhatian pada pedagogi. Sasaran respon Pendidikan Jasmani terhadap teknologi adalah mempromosikan penggunaan teknologi yang efektif untuk meningkatkan kesempatan belajar bagi para calon guru (Edginton et al., 2011), mempersiapkan lingkungan pembelajaran calon guru yang dapat memfasilitasi penggunaan teknologi (Juniu, 2011) dan persuasi sosial guna mencapai kepercayaan diri calon guru dalam memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran (Krause, 2017). Sebelum menuju pembahasan aplikasi teknologi yang efektif, menurut Griban et al. (2018) ada satu isu yang harus diperhatikan terlebih dahulu, yaitu persoalan persepsi. Perkembangan teknologi kebugaran (fitness technologies) diprediksi akan membawa perubahan radikal dalam persepsi yang berlaku bagi guru Pendidikan Jasmani. Disamping persyaratan guru Pendidikan Jasmani yang telah mapan secara tradisional, muncul kebutuhan yang mendesak dalam pembentukan kualitas profesi-
56 |
HYSA ARDIYANTO
onal yang memenuhi tujuan pendidikan tinggi sekaligus menjawab tantangan inovasi teknologi modern. Penanaman persepsi ini perlu dimulai sejak para calon pendidik mengenyam pendidikan atau sebagai calon guru (preservice teacher). Penanaman persepsi ini dilakukan pada lingkungan pendidikan tinggi dengan para pengajar sebagai pihak yang berperan penting. Temuan Scrabis-Fletcher et al. (2016) menunjukkan bahwa kerangka TPACK membantu untuk menggambarkan apa pengetahuan konten, pengetahuan pedagogis, dan pengetahuan teknologi spesifik yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa calon guru. Oleh karena itu pengajar di perguruan tinggi dituntut untuk sadar akan kerangka TPACK sehingga mereka dapat menunjukkan peluang-peluang integrasi teknologi dalam Pendidikan Jasmani melalui berbagai macam cara. Berkaitan dengan teknologi dan penyiapan calon guru Pendidikan Jasmani, peran para pengajar di perguruan tinggi dapat dilihat dalam dua hal. Pertama, mereka memberi pemahaman kerangka integrasi teknologi dan pengajaran bagi calon guru. Kedua, memanfaatkan teknologi itu sendiri untuk berkontribusi dalam upaya pengembangan pengetahuan untuk memantapkan batang tubuh keilmuan (a tenable body of knowledge) Pendidikan Jasmani (Zeigler, 2014). Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta pertumbuhan internet yang pesat merupakan suatu peluang untuk mengakses pengetahuan. Teknologi kom-
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 57
puter juga berpotensi dalam penyebaran pengetahan untuk membantu calon guru sebagai seorang profesional. Pendidik harus memiliki pengetahuan, kompetensi, dan keterampilan yang diperlukan untuk memberikan layanan perkembangan aktivitas jasmani yang berkualitas kepada publik melalui sekolah. Pada peran yang kedua, teknologi dapat dilihat sebagai sesuatu yang aplikatif di luar konteks pengajaran secara khusus, namun tetap memiliki kontribusi bagi penyiapan calon guru. Dalam mempersiapkan calon guru, selain teknologi itu sendiri, ada setidaknya dua hal yang penting untuk dilakukan. Pertama adalah merancang pengalaman pendidikan yang dapat mendorong mahasiswa calon guru mengonstruksi pengetahuan. Kedua, membuat calon guru memahami dasar-dasar mengajar materi pelajaran saat mengintegrasikan teknologi. Konsep ini kembali berkaitan dengan pemahaman kerangka TPACK. Kuncinya terletak pada penyiapan guru dengan lingkungan yang mendorong penggunaan teknologi inovatif melalui pengalaman langsung. Pengalaman belajar untuk calon guru harus menyentuh berbagai jenis teknologi, aspek pertimbangan pedagogis, serta pengajaran dan pembelajaran menggunakan teknologi. Selama mendapatkan pembelajaran melalui pengalaman ini, para calon guru mengeksplorasi berbagai aktivitas yang dapat digunakan dalam Pendidikan Jasmani, merancang pelajaran berbasis teknologi yang menyasar tujuan dan sasaran spesifik
58 |
HYSA ARDIYANTO
dalam kurikulum Pendidikan Jasmani, serta menerapkannya dalam praktik mengajar (Juniu, 2011). Teknologi yang dapat meningkatkan pembelajaran siswa harus dimulai dengan guru yang merasa nyaman dan percaya diri dalam menggunakan teknologi. Hasil penelitian Krause, (2017) menginformasikan mengenai penilaian kemampuan seseorang guru untuk berhasil (self-efficacy) dalam mengintegrasikan teknologi pada tingkatan tertentu dipengaruhi oleh pengalaman (mastery experience), pengalaman secara tidak langsung (vicarious experience), dan persuasi sosial (social persuasion). Di perguruan tinggi, persuasi sosial ini dapat dilakukan dengan memasukkan rencana pengajaran yang memberi peluang bagi calon guru untuk merasakan pengalaman penguasaan teknologi dalam konteks pengajaran. Persuasi sosial yang konstruktif dan secara teratur diberikan kepada calon guru dapat membantu dalam membangun kepercayaan diri mereka (Krause, 2017). Ketika sudah menjalani profesi sebagai guru, pengembangan profesional menjadi faktor utama dalam implementasi teknologi. Harapanya, setelah menginvestasikan waktu dan usaha untuk mempelajari teknologi, guru Pendidikan Jasmani dapat secara mahir menggunakan teknologi untuk persiapan rencana pelajaran, manajemen kelas, komunikasi dengan orang tua dan siswa, instruksi dan umpan balik, serta penilaian (Adkins et al., 2017). Integrasi teknologi dalam Pendidikan Jasmani tentu tidak terlepas dari hambatan. Brenner dan Brill (2016)
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 59
menemukan hambatan paling kuat dalam integrasi teknologi yang diakui oleh guru-guru pada awal karir adalah terlalu banyak konten untuk dibahas, kurangnya waktu untuk membuat dan menerapkan pelajaran berbasis teknologi dan kurangnya perangkat lunak yang tersedia di sekolah. Hambatan yang berasal dari luar seperti lingkungan sekolah lebih besar daripada hambatan dari dalam berupa pengetahuan guru atau akses ke pengetahuan. Ini menunjukkan guru tidak bisa bekerja sendiri, dan perlunya dukungan lingkungan dalam upaya integrasi teknologi dalam Pendidikan Jasmani. Teknologi dalam Advokasi Hasil Pendidikan Jasmani Setelah menyasar integrasi dalam proses pembelajaran dan perannya dalam penyiapan guru, apakah teknologi dapat membantu mengadvokasi hasil (outcome) pembelajaran Pendidikan Jasmani? Sesuai pandangan Setiawan (2004), krisis identitas dan legitimasi dalam Pendidikan Jasmani berkaitan dengan skeptisisme terhadap outcome pembelajaran. Para pakar Pendidikan Jasmani di perguruan tinggi terlalu sibuk dengan klaim bahwa Pendidikan Jasmani mampu menjadi alat yang ampuh dalam membentuk karakter bangsa, moral, disiplin dan nilai positif lainnya, tetapi lupa untuk meneliti keampuhannya tersebut. Pendidikan Jasmani dinilai berpotensi memberikan kontribusi kepada perkembangan generasi muda dalam
60 |
HYSA ARDIYANTO
domain fisik, sosial, afektif dan kognitif. Keuntungan yang diklaim oleh Pendidikan Jasmani ini tidak serta merta muncul, namun berkaitan erat dengan konteks dan berbagai variabel pedagogis lainnya (Bailey et al., 2009). Penelitian-penelitian untuk menunjukkan manfaat Pendidikan Jasmani yang sudah dilakukan mungkin mulai menjawab skeptisisme di atas, namun belum dikomunikasikan dengan baik. Temuan atas manfaat Pendidikan Jasmani secara umum tampak menggembirakan, namun tantangan berikutnya adalah bagaimana guru Pendidikan Jasmani mampu mengomunikasikan hasil program ini dengan cara yang berarti. Dalam hal ini, teknologi dinilai dapat membantu mengadvokasi keuntungan-keuntungan yang bisa didapatkan dari pembelajaran Pendidikan Jasmani (Krause et al., 2017). Salah satu keuntungan yang dapat diraih dari penggunaan teknologi dalam mengadvokasi manfaat Pendidikan Jasmani adalah dapat dicapainya akuntabilitas dengan lebih baik. Mengomunikasikan hasil-hasil atau manfaat Pendidikan Jasmani dapat dimulai dengan penilaian yang akuntabel, objektif dan terukur. Guru Pendidikan Jasmani secara tradisional mengandalkan pengamatan (observasi) sebagai metode utama penilaian untuk menentukan hasil belajar siswa. Kini, kemajuan teknologi yang berkaitan dengan aktivitas fisik dapat memberikan hasil pengukuran yang lebih valid dan andal. Guru dapat secara efisien meringkas catatan proses pembelajaran
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 61
siswa melalui tabel dan grafik. Hasil ini membantu guru dalam mendokumentasikan hasil belajar siswa dengan lebih baik. Berbekal data yang dikumpulkan melalui teknologi, guru Pendidikan Jasmani menjadi lebih siap ketika mencoba untuk meyakinkan berbagai pemangku kepentingan (diantaranya siswa, orang tua, kolega, dan pemerintah) mengenai manfaat dari program Pendidikan Jasmani yang diajarkannya (Eberline & Richards, 2013). Klaim atas hasil Pendidikan Jasmani dengan demikian dapat dilihat secara lebih objektif berdasarkan data-data. Objektivitas ini pada gilirannya berpotensi memberikan dampak positif terhadap legitimasi Pendidikan Jasmani. Seiring perkembangan konsep literasi jasmani, hasil Pendidikan Jasmani tidak terbatas hanya di sekolah. Advokasi atas hasil pembelajaran Pendidikan Jasmani ketika diletakkan dalam kerangka literasi jasmani dapat mempromosikan perkembangan manusia secara utuh. Sebagaimana pandangan Durden-Myers, Whitehead, dan Pot (2018), Pendidikan Jasmani memiliki potensi untuk mendorong upaya mewujudkan manusia yang utuh sepanjang hayat. Hal ini dapat menjadi landasan bagi arah identitas dan legitimasi Pendidikan Jasmani. Teknologi, dalam hal ini, dapat digunakan untuk mendorong literasi jasmani seperti mendokumentasikan hasil-hasil Pendidikan Jasmani yang objektif, dan mengomunikasikan literasi jasmani secara berkelanjutan.
62 |
HYSA ARDIYANTO
Kesimpulan Terjadinya krisis identitas dan legitimasi dalam Pendidikan Jasmani, salah satunya, didesak oleh kemajuan teknologi. Integrasi teknologi dalam pembelajaran Pendidikan Jasmani dengan mempertimbangkan kerangka TPACK membuat desakan terebut dapat diakomodasi ke dalam mata pelajaran yang sudah eksis. Dengan kata lain, tidak perlu mata pelajaran khusus teknologi informasi. Teknologi secara integral dapat dipelajari dan diaplikasikan dalam pembelajaran Pendidikan Jasmani dan mata pelajaran lainnya. Dengan memanfaatkan teknologi secara konseptual, guru dapat meraih kembali fungsinya sebagai fasilitator pembelajaran Pendidikan Jasmani. Peluang untuk mengadvokasi dan mengomunikasikan hasil pembelajaran Pendidikan Jasmani juga bisa didapatkan melalui teknologi. Ketika hal ini dilakukan, pada gilirannya dapat menjadi jalan bagi peneguhan identitas dan meligitimasi keberadaan Pendidikan Jasmani. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, potensi ini berpeluang untuk bisa diwujudkan. [] Daftar Referensi Adkins, M., Bice, M. R., Worrell, V., & Unruh, N. (2017). Keeping the physical educator “connected”: an examination of comfort level, usage and professional development available for technology integration in the curricular area of physical education. Contempo-
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 63
rary Issues in Education Research, 10(4), 225–230. Bailey, R., Armour, K., Kirk, D., Jess, M., Pickup, I., & Sandford, R. (2009). The educational benefits claimed for physical education and school sport: An academic review. Research Papers in Education, 24(1), 1–27. Brenner, A. M., & Brill, J. M. (2016). Investigating practices in teacher education that promote and inhibit technology integration transfer in early career teachers. TechTrends, 60, 136–144. Durden-Myers, E. J., Whitehead, M. E., & Pot, N. (2018). Physical literacy and human flourishing. Journal of Teaching in Physical Education, 37(3), 308–311. Eberline, A. D., & Richards, K. A. R. (2013). Teaching with tech-nology in physical education. Strategies: A Journal for Physical and Sport Educators, 26(6), 38–39. Edginton, C. R., Chin, M., Geadelmann, P. L., & AhrabFard, I. (2011). Revitalizing health and physical education in the 21st century. Journal of Physical Education, Recreation & Dance, 82(8), 6–10. Griban, G., Prontenko, K., Zhamardiy, V., Zhamardiy, V., Tkachenko, P., Kruk, M., … Zhukovskyi, Y. (2018). Professional stages of a physical education teacher as determined using fitness technologies. Journal of Physical Education and Sport, 18(2), 565–569. Juniu, S. (2011). Pedagogical uses of technology in physical education. Journal of Physical Education, Recreation & Dance, 82(9), 41–49. Koehler, M. J., & Mishra, P. (2009). What is technological pedagogical content knowledge? Contemporary Issues
64 |
HYSA ARDIYANTO
in Technology and Teacher Education, 9(1), 60–70. Krause, J. M. (2017). Physical education student teachers’ technology integration self-efficacy. The Physical Educator, 74, 476–496. Krause, J. M., Franks, H., & Lynch, B. (2017). Current techno-logy trends and issues among health and physical education professionals. Physical Educator, 74(1), 164–180. Mishra, P., & Koehler, M. J. (2006). Technological pedagogical content knowledge: a framework for integrating techno-logy in teacher knowledge. Teachers College Record, 108(6), 1017–1054. Paramitha, S. T., & Anggara, L. E. (2018). Revitalisasi pendidikan jasmani untuk anak usia dini melalui penerapan model bermain edukatif berbasis alam. Jurnal Pendidikan Jasmani dan Olahraga, 3(1), 41–51. Pyle, B. B., & Esslinger, K. (2014). Utilizing technology in physical education: addressing the obstacles of integration. The Delta Kappa Gamma Bulletin, 80(2), 35–40. Roth, K., Journal, K., & Education, P. (2014). Technology for tomorrow’s teachers. Journal of Physical Education, Recreation & Dance, 84(4), 3–5. Scrabis-Fletcher, K., Juniu, S., & Zullo, E. (2016). Preservice physical education teachers’ technological pedagogical content knowledge. The Physical Educator, 73(1), 704–718. Setiawan, C. (2004). Krisis identitas dan legitimasi dalam pendidikan jasmani. Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, 1(1), 1–7.
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 65
Zeigler, E. F. (2014). Fostering physical activity values in the world of the future. International Journal of Kinesiology and Sports Science, 2(2), 16–35.
66 |
HYSA ARDIYANTO
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 67
7. O2SN DAN TANTANGAN TERHADAP PARADIGMA PENDIDIKAN JASMANI
BALIHO dan spanduk bertulisakan Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) 2018 masih terlihat di beberapa lokasi di sekitar kampus Universitas Negeri Yogyakarta. Pada 16-22 September 2018, D.I. Yogyakarta menjadi tuan rumah event olahraga pelajar tersebut untuk tingkat nasional. Menurut keterangan Dirjen Dikdasmen Kemdikbud, O2SN tahun ini diikuti lebih dari 4.000 orang yang terdiri dari atlet, pelatih, ofisial, pendamping dan wasit. Kegiatan ini dapat disebut sebagai salah satu hajatan besar di dunia pendidikan. Dalam sambutannya saat membuka O2SN, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Muhadjir Efendy berharap agar dari ajang ini dapat terlihat bibit-bibit unggul. Mereka diharapkan dapat menjadi penerus atletatlet Indonesia di tingkat internasional. Tidak lupa beliau menyebut ada alumni O2SN yang berhasil meraih medali emas pada Asian Games 2018. Ungkapan itu tentu saja
68 |
HYSA ARDIYANTO
tidak lepas dari semangat yang masih menggelora selepas usainya ajang kompetisi olahraga tertinggi seAsia belum lama ini. Tidak hanya itu saja, Pak Menteri juga berharap agar juara olimpiade olahraga siswa nasional dapat mengikuti olimpiade internasional. Apakah pernyataan tersebut sekedar menyesuaikan momentum, atau memang sebuah visi yang direncanakan, pandangan Mendikbud ini berimplikasi sangat serius bagi paradigma Pendidikan Jasmani. Mata pelajaran yang “memikul beban” secara langsung dari maksud pernyataan tersebut tentunya adalah Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK, selanjutnya disebut Pendidikan Jasmani). Pernyataan Pak Menteri seakanakan meneguhkan kembali paradigma pelatihan dalam Pendidikan Jasmani yang sebenarnya sudah banyak dikritik. Jangan-jangan kritik ini tidak sampai? Menguatnya paradigma pelatihan dalam Pendidikan Jasmani berpotensi mengebiri tujuan aktivitas fisik dan olahraga. Sebagaimana diakui dalam UU 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, olahraga tidak hanya dilakukan untuk prestasi, tetapi juga untuk tujuan rekreasi dan pendidikan. Para ahli menilai menguatnya paradigma pelatihan dapat mengikis nuansa pedagogis dalam Pendidikan Jasmani. Menilik kembali artikel Nuruddin Priya BS (2011) berjudul “Isu, Tantangan dan Masa Depan Pendidikan Jasmani dan Olahraga,” permasalahan paradigma pelatihan dalam Pendidikan Jasmani agaknya masih revelan untuk dibahas sampai
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 69
saat ini. Setidaknya ada tiga implikasi jika paradigma pelatihan menguat dalam Pendidikan Jasmani. Implikasi pertama terlihat pada ruang lingkup Pendidikan Jasmani. Demi menghasilkan bibit atlet, kriteria keberhasilan Pendidikan Jasmani kemudian diarahkan pada penguasaan teknik dasar. Jika harapan Pak Menteri dituruti, bukan tidak mungkin Pendidikan Jasmani akan diatur untuk menghasilkan manfaat nyata berupa bibit atlet. Materi pembelajaran kemudian banyak didominasi oleh keterampilan kecabangan olahraga. Akibatnya, ruang lingkup Pendidikan Jasmani bisa menyempit dan terbatas pada cabang olahraga formal seperti contohnya yang dipertandingkan dalam O2SN. Akibat lanjutan dari penekanan pada olahraga formal, aktivitas jasmani yang tidak termasuk kategori “olahraga” seperti gerak dasar, permainan tradisional dan sederhana, serta tari-tarian pun semakin terpinggirkan. Padahal aktivitas-aktivitas tersebut dinilai dapat memfasilitasi anak dalam mengekspresikan dirinya tanpa aturan-aturan yang mengikat seperti dalam permainan olahraga tertentu. Ruang kreasi dalam pembelajaran menjadi terbatas. Menyempitnya ruang lingkup pembelajaran ini jelas merupakan suatu kerugian yang besar bagi Pendidikan Jasmani. Kedua, mengenai ukuran keberhasilan Pendidikan Jasmani. Ketika pembelajaran berubah menjadi pelatihan karena adanya tuntutan untuk menghasilkan bibit atlet, maka ukuran keberhasilannya pun bergeser menjadi
70 |
HYSA ARDIYANTO
penilaian formal sesuai dengan kaidah cabang olahraga. Instrumen penilaian bibit atau bakat atlet kemudian menjadi titik berangkat dalam proses pembelajaran Pendidikan Jasmani. Kebutuhan dan kemampuan peserta didik yang berbeda-beda akhirnya kurang mendapat perhatian. Dalam konteks ini, pendidikan dapat dinilai telah gagal sebagai sebuah proses pembelajaran. Apabila keterampilan olahraga menjadi dasar penilaian, maka hanya ada sedikit siswa yang bisa memenuhi kriteria tersebut dan akan ada lebih banyak peserta didik yang harus mengalami kegagalan. Sesuai sifat alamiahnya, bakat hanya dimiliki oleh sebagian kecil populasi. Pengalaman merasakan kegagalan yang terakumulasi dapat mengakibatkan siswa kehilangan kepercayaan diri. Pendidikan Jasmani yang digadang-gadang mampu menumbuhkan karakter dan kepercayaan diri, karena kesalahan dalam menentukan paradigma, justru dapat mengakibatkan ketidakpedulian, ketidaksukaan hingga hilangnya kepercayaan diri siswa. Ketiga, berkaitan dengan peran guru Pendidikan Jasmani. Dalam hal ini posisi guru kadang menjadi serba sulit. Guru Pendidikan Jasmani yang sejatinya adalah pendidik kemudian dipaksa untuk menjalani peran sebagai pelatih karena tuntutan dari sekolah untuk menghasilkan prestasi. Bukan rahasia jika kemenangan di O2SN menjadi salah satu sumber kebanggaan bagi sekolah. Pernyataan Pak Menteri semakin melegitimasi praktik glorifikasi prestasi olahraga di ranah pendidikan.
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 71
Peraturan O2SN mensyaratkan para guru pendamping memiliki kualifikasi kepelatihan di cabang olahraga yang didampinginya. Bagi guru yang juga berprofesi sebagai pelatih olahraga, secara teknis, kendala tersebut mungkin bisa diatasi. Tidak sedikit guru Pendidikan Jasmani yang berprofesi sebagai pelatih olahraga. Akan tetapi, secara mental tetap saja terdapat perbedaan fungsi antara menjadi guru dan menjadi pelatih. Ketika peran ganda ini dipaksakan dalam Pendidikan Jasmani dapat menimbulkan masalah. Terkait dengan penyiapan bibit unggul, guru Pendidikan Jasmani selanjutnya dituntut untuk menjadi garda terdepan dalam pencarian bakat atlet. Posisi guru dalam hal ini memang strategis untuk mengidentifikasi siswa yang berbakat, namun jangan dilupakan bahwa siswa yang tidak dianggap berbakat juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan Pendidikan Jasmani. Guru yang tertarik dan memiliki kompetisi kepelatihan sebaiknya mengabdikan diri di klub olahraga. Dengan demikian, ketika berada di sekolah, ia dapat mendedikasikan dirinya sebagai seorang pendidik yang utuh. Ini mungkin bentuk kompromi yang dapat dilakukan. Jika mencermati pernyataan Mendikbud secara kritis, Pendidikan Jasmani yang bernuansa pelatihan sepertinya masih mengakar kuat. Bayangkan, yang berbicara adalah seorang menteri. Kritik yang sudah disampaikan oleh para ahli Pendidikan Jasmani bagaikan angin lalu. Seolah terlupakan begitu saja. Dan dalam momen-
72 |
HYSA ARDIYANTO
tum seperti O2SN ini, paradigma pelatihan tersebut semakin mendapatkan legitimasi. Sementara itu, pada saat yang bersamaan, hasilhasil studi menunjukkan bahwa tingkat keterlaksanaan Pendidikan Jasmani diakui masih rendah. Belum lagi permasalahan lain seperti minimnya alokasi waktu pelajaran, keterbatasan sarana, fenomena guru remote control hingga guru yang tidak memenuhi kualifikasi. Belum selesai dengan persoalan di atas, Pendidikan Jasmani harus menghadapi tantangan yang semakin berat dalam tataran paradigma.[]
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 73
8. BELAJAR GERAK
GERAK adalah muatan pokok dari pendidikan jasmani. Bisa dikatakan bahwa pendidikan jasmani tidak dapat terlaksana tanpa adanya aktivitas gerak di dalamnya. Gerak dalam pendidikan jasmani adalah gerak yang dipelajari. Ini artinya melibatkan konsep belajar. Apa yang membedakan belajar gerak dengan belajar yang lain? Apa tujuan belajar gerak dan bagaimana tahapannya? Tulisan ini akan membahas pengertian belajar gerak, tujuan belajar gerak dan tahapan belajar gerak. Pengertian Belajar Gerak Dalam belajar gerak (motor learning) terdapat dua konsep pengertian, yaitu belajar dan gerak. Belajar gerak merupakan bagian dari belajar yang lebih luas sehingga pengertian belajar gerak tidak lepas dari pengertian belajar pada umumnya (Sugiyanto, 2008). Menurut Schunk (2012: 3-4) pengertian belajar adalah “… an enduring
74 |
HYSA ARDIYANTO
change in behavior, or in the capacity to behave in a given fashion, which result from practice or other forms of experience”. Berdasarkan pengertian tersebut, di dalam belajar terdapat tiga kriteria. Pertama, terjadi perubahan. Suatu aktivitas dapat dikatakan belajar jika terjadi perubahan dalam perilaku atau kapasitas untuk berperilaku. Belajar tidak bisa diamati secara langsung, melainkan dari produk atau hasilnya. Perbedaan hasil atau kapasitas inilah yang bisa diamati antara sebelum dan sesudah proses belajar. Kedua, berlangsung terus-menerus. Perubahan perilaku tidak serta-merta dapat dikatakan sebagai hasil dari belajar jika hanya sementara. Perubahan perilaku atau kapasitas disebut hasil belajar jika bertahan dalam waktu yang cukup lama dan dipelihara secara terus-menerus. Ketiga, melalui pengalaman. Belajar muncul melalui pengalaman. Bentuk-bentuk pengalaman dalam belajar dapat terwujud seperti latihan, pengamatan, atau interaksi dengan lingkungan. Dalam pandangan Edwards (2011), usaha untuk mendefinisikan belajar gerak harus dimulai dari menjelaskan perbedaan penting antara penampilan/performa (performance) dan belajar (learning). Perbedaan antara penampilan dan belajar bukan hanya persoalan definisi akan tetapi merupakan upaya membedakan keduanya merupakan hal yang penting. Kegagalan dalam melihat perbedaan antara belajar dan performa akan mengarah pada kesimpulan yang salah mengenai metode intruksi-
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 75
onal dan latihan, penilaian belajar dan bahkan kesimpulan apakah belajar telah terjadi. Menariknya, atau anehnya, evaluasi belajar gerak sering menekankan pada performa dalam mengeksekusi suatu teknik gerak. Performa adalah perilaku yang dapat diamati (observable behavior), sedangkan belajar adalah proses di mana seseorang mencapai kapasitas baru untuk menampilkan suatu keahlian/keterampilan. Memang belajar dapat dilihat dari pengamatan terhadap performa, “… learning has occurred (or has not) based upon observation of performance” (Edwards, 2011: 169), tetapi penilaian performa yang terbatas tidak menjamin terjadinya belajar. Ungkapan ini senada dengan kriteria pertama Schunk di atas, bahwa belajar tidak dapat diamati secara langsung, yang dapat dilihat adalah selalu penampilan, bukan belajar. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan apakah belajar telah terjadi dari pengamatan terhadap tiga kondisi: (1) Belajar merupakan perubahan dalam penampilan atau kapasitas untuk menampilkan gerak, (2) Belajar merupakan hasil dari latihan atau pengalaman, dan (3) Belajar relatif menetap atau permanen. Apakah hasil belajar gerak yang menetap selama satu semester, misalnya, dapat disebut permanen? Tujuan Pendidikan dan Belajar Gerak Belajar gerak yang merupakan “sarana inti” dalam pendidikan jasmani dan kesehatan merupakan sentral
76 |
HYSA ARDIYANTO
dalam pembentukan manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan. Tidak ada pendidikan yang lengkap tanpa pendidikan jasmani, dan tidak ada pendidikan jasmani tanpa media gerak (Husdarta, 2011: 64). Dengan demikian, secara umum, tujuan pendidikan dan belajar gerak adalah sebagai bagian dari tujuan pendidikan dalam membentuk manusia seutuhnya yang berkembang secara fisik, mental, intelektual, emosional, dan sosial. Konsep taksonomi tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh Benjamin Bloom dapat menjabarkan tujuan pendidikan gerak secara lebih spesifik. Taksonomi tujuan pendidikan didasarkan pada aspek-aspek fungsi yang membentuk perilaku manusia yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga domain. Domain-domain yang dapat berkembang dalam tujuan pendidikan dan belajar gerak adalah: 1. Domain kognitif. Domain ini berkaitan dengan aktivitas berpikir. Dalam belajar gerak, siswa dirangsang untuk mengolah informasi yang berkaitan dengan gerak tersebut. Aktivitas belajar kognitif dapat terjadi misalnya pada saat siswa melihat demonstrasi gerak yang dilakukan oleh guru. 2. Domain afektif. Siswa melakukan pembelajaran gerak dengan melibatkan perasaan dan emosi. Domain afektif berkaitan dengan gambaran mental siswa dalam melakukan suatu gerak. Ketika informasi secara kognitif telah diperoleh, siswa kemu-
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 77
dian akan mengambil keputusan tentang bagaimana akan melakukan gerakan tersebut. 3. Domain psikomotorik. Aktivitas psikomotor berorientasi pada gerak tubuh yang menekankan pada respon-respon fisik yang dapat dilihat atau perilaku gerak tubuh. Domain ini berkaitan dengan bagaimana “tubuh berpikir” sehingga terwujud dalam suatu gerak. Dengan demikian dapat dikatakan domain ini merupakan domain utama belajar gerak. Pandangan domain psikomotor yang disusun oleh ahli pendidikan sepintas cukup mendasar, padahal gerak merupakan inti pendidikan jasmani. Pertanyaannya, lalu di mana perkembangan fisik diletakkan? Untuk itu selain domain psikomotorik, para ahli yang berasal dari pendidikan jasmani memasukkan domain fisik khusus dalam taksonomi tujuan belajar gerak. Perbedaannya terletak pada kualitas fisik yang tidak tercakup dalam domain psikomotorik, seperti: kapasitas aerobik/anaerobik, kekuatan otot, power, dan fleksibilitas. Berdasarkan taksonomi tujuan pendidikan di atas, tujuan belajar gerak dapat dilihat dari domain yang diperkuatnya. Belajar gerak dapat dibedakan dengan belajar lain dalam hal domain utama di mana belajar terjadi. Pada belajar gerak, domain fisik dan psikomotorik lebih dominan dibandingkan domain kognitif dan domain afektifnya. Adanya satu domain yang lebih dominan bukan berarti meniadakan domain-domain
78 |
HYSA ARDIYANTO
lainnya. Domain yang kurang dominan tetap ada hanya dalam porsi yang lebih sedikit. Mengenai tujuan belajar gerak, ada dua konsep dalam aktivitas pendikan jasmani dan olahraga yang kadang dipertukarkan antara satu dan lainnya. Padahal perbedaan di antara keduanya cukup signifikan. Kedua konsep tersebut adalah belajar gerak (motor learning) dan latihan fisik (physical training). Latihan fisik bertujuan untuk meningkatkan kemampuan fisik sedangkan belajar gerak untuk meningkatkan kualitas gerak (Sugiyanto, 2008). Ini merupakan catatan tambahan bagi domain psikomotorik dan domian fisik dalam belajar gerak. Untuk menentukan apakah sebuah tujuan telah tercapai dibutuhkan suatu penilaian. Menariknya atau susahnya, penilaian belajar gerak dalam pendidikan jasmani tidak semudah penilaian pelajaran lain. Jika pada pelajaran kelas yang menonjolkan domain kognitif, guru dapat menilai belajar siswa dari “produk permanen” seperti esai, jawaban soal atau tugas akhir, sementara itu pada domain psikomotorik pendidikan jasmani produk yang dinilai tidak permanen. Sebagaimana pandangan Siedentop, Hastie dan van der Mars (2011: 158): “… many of the unique outcomes of physical education are in the psychomotor domain and thus need to be assessed while students are engaged in physical activities (e.g., physical activity, technique practice, games, dance, weight training) during class time. In other words, the products (or outcomes) in physical education most often
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 79
are not permanent in the way that written papers, quizzes, and exams are.” Kabar baiknya, penilaian atas belajar gerak dalam pendidikan jasmani bisa dikatakan sebagai penilaian yang jujur dan bebas kecurangan. Seorang siswa tidak bisa menggunakan hasil pekerjaan temannya untuk penilaian gerak, ia harus melakukannya sendiri. Tahapan Belajar Gerak Setelah pengertian dan tujuan belajar gerak, selanjutnya akan dibahas mengenai tahapan belajar gerak. Sekali lagi, belajar hanya bisa diamati dari penampilan yang tampak. Dalam belajar gerak bisa dijumpai adanya kekaburan perbedaan antara kematangan dan belajar. Pada tahap awal berjalan, apakah kemampuan berjalan merupakan hasil belajar atau karena kematangan fisik? Ini bisa dilihat dari tahapan belajar gerak. Belajar gerak dapat dianalisis melalui tahapantahapan yang dilaluinya. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan tahapan/fase belajar gerak adalah teori Paul Fitts dan Michael Posner. Teori Fitts dan Posner lebih menekankan pada tingkat penguasaan pelajar. Hal ini cenderung memiliki kesesuaian dengan pendidikan jasmani yang mencakup adanya aspek penilaian. Menurut Fitts dan Posner, belajar gerak terjadi dalam tiga fase, yaitu fase kognitif, fase asosiatif, dan fase otonom. Berikut penjelasan dari masing-masing fase:
80 |
HYSA ARDIYANTO
1. Fase kognitif. Fase ini merupakan fase awal dalam belajar gerak. Pada fase ini siswa secara aktif berpikir tentang gerak yang akan dipelajari. Proses berpikir melibatkan pengolahan informasi yang didapatkan baik bersifat verbal maupun visual. Setelah informasi diproses hingga menghasilkan makna, langkah berikutnya adalah pengambilan keputusan. Otak kemudian mengirimkan sinyal ke sistem muskular untuk melakukan gerak. Pada fase ini pada umumnya siswa belum bisa melakukan gerakan dengan baik. 2. Fase asosiatif. Merupakan fase antara atau fase menengah. Pada fase ini siswa sudah mulai mengerti secara kognitif untuk kemudian melakukan asosiasi atas gerakan-gerakan yang dipelajari. Kunci dalam fase ini adalah siswa berusaha meningkatkan penguasaan geraknya dengan mengevaluasi kesalahan yang dilakukan. Adanya masukan (feedback) dari guru/pelatih sangat dibutuhkan. 3. Fase otonom. Fase akhir dalam belajar penguasaan gerak. Fase ini ditandai dengan kemampuan siswa untuk melakukan gerak secara otomastis. Fase otonon dapat dicapai dengan cara mengulang gerak secara terus-menerus dengan evaluasi yang memadai. Gerak siswa yang sudah mencapai tahap otonom akan sulit untuk diubah sehingga dari awal perlu diperhatikan agar gerakan yang dikuasainya benar dan efisien (Sugiyanto, 2008). []
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 81
Daftar Referensi Edwards, W.H. (2011). Motor learning and control: from theory to practice. Belmont, CA: Wadsworth. Husdarta, H. (2011). Sejarah dan filsafat olahraga. Bandung: Alfabeta. Schunk, D.H. (2012). Learning theories: an educational perspective. (6th ed.). Boston, MA: Pearson. Siedentop, D., Hastie, P.A., van der Mars, H. (2011). Complete guide to sport education. Champaign, IL: Human Kinetics. Sugiyanto, S. (2008). Materi pokok perkembangan dan belajar motorik. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.
82 |
HYSA ARDIYANTO
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 83
9.
DON’T OVER MEASURE
JUDUL tersebut sengaja saya tuliskan dalam Bahasa Inggris, sebagaimana yang dituturkan oleh Prof. Michael Chia, seorang profesor di bidang paediatric exercise
science di National Institute of Education (NIE), Nanyang Technological University (NTU). Kalimat tersebut muncul saat ia menjawab pertanyaan di salah satu sesi Yogyakarta International Seminar on Health, Physical Education, and Sports Science (YISHPESS) 2018 yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta. Saya menanyakan pendapatnya mengenai risetriset yang menunjukkan “keampuhan” pendidikan jasmani dalam membangun nilai-nilai dan karakter siswa serta bagaimana pengalaman Singapura dalam hal ini. Ia kemudian menjelaskan beberapa hal untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hasil dari bertanya ini saya tidak hanya mendapatkan jawaban, tetapi juga sekeping compact disc berisi pembelajaran pendidikan jasmani yang
84 |
HYSA ARDIYANTO
membantu mengurangi bagasi Prof. Michael saat kembali ke Singapura. Untuk jawaban pertanyaan, saya menangkap, inti dari jawabannya adalah kalimat dalam judul tulisan ini: “Don’t over measure.” Pada saat coffee break, saya pun menghampirinya. Setelah sedikit basa-basi, saya menunjukkan ketertarikan saya pada gagasannya, “I love your statement: don’t over measure. I really love it.” Menurutnya, sebuah program, kebijakan atau rencana dalam pendidikan harus melibatkan sebanyak mungkin stakeholder. Dalam riset, peneliti perlu menanyakan pendapat guru, orang tua, wakil pemerintah, dan yang terpenting adalah pendapat siswa itu sendiri. Ujung kalimatnya ini yang menarik bagi saya. Pendapat siswa! Saya kemudian berangan-angan menjelajahi memori saya atas artikel-artikel pendidikan yang pernah saya baca. Apakah pendapat siswa dianggap penting dalam sebuah pengembangan model pembelajaran, misalnya? Ataukah pendapat ahli yang selalu dijadikan indikator utama (bahkan kadang satu-satunya) untuk menilai efektivitas suatu program, model, atau rencana dalam pendidikan? Saat memberi penjelasan di sesi tanya jawab, Prof. Michael melanjutkan dengan persoalan pengukuran. Scientific evidence dan pengukuran-pengukuran memang perlu terus didapatkan, namun jangan lupakan bahwa perkembangan manusia sangat kompleks. Kata kuncinya pada proses human endeavor. Nah, human endeavor ini terlalu rumit untuk dapat disederhanakan melalui peng-
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 85
ukuran. Ia kemudian menyarankan, sembari mengukur, kita juga sebaiknya mencatat, mendokumentasikan, dan niteni perubahan yang sedang terjadi. Jika berbicara karakter, misalnya, sikap apa yang dapat dilihat? Seperti apa polanya? Dalam konteks seperti apa? Artinya, interpretasi kualitatif berperan di sini. Penjelasan Prof. Michael yang lebih lengkap dapat Anda cari videonya di Youtube dengan kata kunci YISHPESS 2018. Pengukuran yang berlebihan pada aspek-aspek tindakan manusia, termasuk dalam proses pembelajaran, sempat membuat saya resah. Isu ini menghantui pikiran saya cukup lama. Saya merasa ada sesuatu yang menarik untuk diungkap, tetapi apa saya belum tahu. Beberapa bulan kemudian, bersama seorang rekan, akhirnya saya dapat menuliskan keresahan itu secara lebih sistematis dalam bentuk sebuah artikel jurnal. Artikel berjudul “Tinjauan atas artikel penelitian dan pengembangan pendidikan di Jurnal Keolahragaan” pun terbit di Jurnal Keolahragaan edisi April 2019 (Volume 7 Nomor 1). Gagasan dalam artikel tersebut, setelah saya sadari, ternyata turut didorong pandangan “don’t over measure.” Kami mencoba menganalisis artikel-artikel penelitian dan pengembangan yang sudah diterbitkan di Jurnal Keolahragaan. Asumsi kami, jenis penelitian ini hampir mendominasi konten jurnal sehingga dapat dianggap merepresentasikan cara pandang komunitas akademik yang ada di dalamnya. Satu dari tiga temuan yang dibahas dalam artikel tersebut berkaitan dengan isu pengukuran.
86 |
HYSA ARDIYANTO
Temuan yang menarik berkaitan dengan pengukuran adalah prosedur pada evaluasi formatif. Berdasarkan hasil analisis dalam studi kami, sebagai bagian dari prosedur pengembangan, fase ini didominasi oleh pengukuran secara kuantitatif dengan bertumpu pada data-data statistik yang diperoleh dari instrumen berupa angket dan rubrik penilaian oleh ahli. Padahal, sesuai anjuran pencetus model pengembangan desain instruksional (dalam studi ini banyak mengacu pada Dick dan Carey), evaluasi formatif seharusnya menekankan metode kualitatif seperti wawancara dan observasi. Saran ini tidak mengherankan, mengingat metode kualitatif memiliki kemampuan untuk menggali insight atau makna yang dialami oleh partisipan, seperti dengan mendengar pendapat siswa melalui wawancara dan observasi. Dalam mengembangkan sebuah metode atau produk pembelajaran, siapa sebenarnya pihak yang paling terlibat sehingga hasil pengembangannya dapat dipakai dengan baik? Siapa yang nantinya akan menggunakan hasilnya? Kemungkinan besar adalah guru dan siswa. Lalu mengapa pendapat ahli yang tidak secara langsung terlibat dalam prosedur pengembangan mendapat porsi yang jauh lebih besar bahkan menjadi standar validitas? Mungkinkah ini terjadi karena adanya semacam desakan untuk bersikap objektif dan menjunjung tinggi validitas dalam melakukan penelitian? Penekanan yang kuat pada apa yang dianggap sebagai objektivitas, dengan mengandalkan penilaian ahli, pada satu sisi justru dapat
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 87
mengkerdilkan potensi penelitian dan pengembangan sebagai penelitian terapan untuk mengisi celah antara penelitian pendidikan dan praktiknya. Absennya analisis data kualitatif seperti melalui wawancara dan observasi terhadap siswa sebagai stakeholder yang paling signifikan dari suatu kebijakan atau produk pendidikan merupakan kehilangan yang besar dari penelitian dan pengembangan. Peneliti/pengembang akhirnya kehilangan kesempatan untuk melakukan interpretasi dan refleksi guna mendapatkan wawasan yang lebih bermakna. Penelitian terapan seharusnya tidak sekadar merekam aspek eksternal dari suatu situasi secara kuantitatif dan mendemonstrasikan bagaimana metode bekerja sehingga melupakan konstruksi makna dan wawasan yang kontekstual. Setelah melakukan studi tersebut, rasanya saya semakin setuju dengan gagasan “don’t over measure.” Mari kembali ke coffee break YISHPESS 2018. Saat berkenalan, kepada Prof. Michael saya menceritakan sedikit latar belakang saya yang berasal dari ilmu sosial, bukan physical education. Komentarnya malah lucu dan mengejutkan. Lebih kurang ia mengatakan begini, “Kamu kayak orang convert (pindah agama). Justru posisi itu bisa menguntungkan buatmu dalam melihat hal yang baru.” Benarkah? []
88 |
HYSA ARDIYANTO
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 89
10. MODEL YANG BIKIN PENASARAN
PADA tulisan sebelumnya, saya sempat menyinggung artikel jurnal berjudul “Tinjauan atas artikel penelitian dan pengembangan pendidikan di Jurnal Keolahragaan” yang saya tulis bersama Syarief Fajaruddin. Bagi Anda yang berminat membaca artikel lengkapnya dapat mengunjungi halaman situs web Jurnal Keolahragaan: https://journal.uny.ac.id/index.php/jolahraga/article/view /26394 . Di tulisan kali ini saya akan mencoba menyajikan semacam “behind the scene” dari artikel tersebut. Bagi saya, penulisan artikel “Tinjauan atas …” dilatarbelakangi oleh setidaknya dua faktor. Pertama, faktor eksternal. Kata ‘model’ dan ‘pengembangan’ merupakan dua kata yang paling menonjol di tag cloud halaman situs web Jurnal Keolahragaan. Dua kata tersebut paling banyak digunakan sebagai kata kunci (keyword) pada artikel yang telah diterbitkan. Artinya, ada indikasi artikel pengembangan model paling banyak dilaporkan di Jurnal Keolahragaan. Bagaimana penelitian
90 |
HYSA ARDIYANTO
jenis ini dihidupkan, di-laku-kan, kemudian dapat dianggap sebagai representasi terkuat atas “warna” ilmu keolahragaan pada komunitas ilmuwan di mana jurnal tersebut berada, dalam hal ini Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Alasan kedua, faktor internal. Saya berkali-kali terusik ketika mendengar penelitian tesis yang mengembangkan “model”, entah “model” pembelajaran atau “model” latihan. Ketika mendengar kata ‘model’, saya langsung membayangkan sesuatu yang besar, filosofis dan membutuhkan curahan pemikiran yang besar dan konsisten. Referensi saya, tentu saja, adalah model-model dalam komunikasi. Model penyampaian pesan dalam komunikasi itu dibuat oleh para begawan dan pendiri mazhab ilmu komunikasi berdasarkan landasan filosofisnya masing-masing. Sebuah model sangat erat kaitannya dengan landasan teori. Saya pun dibuat penasaran, apakah “semudah” itu membuat sebuah model? Kedua alasan ini kemudian mengarahkan saya untuk melakukan studi pendahuluan dan pengumpulan data. Setelah data terkumpul, lalu mulai menulis, saya langsung terbentur oleh persoalan metode penelitian. Sebenarnya ada metode penelitian yang sudah saya baca dan berpotensi untuk digunakan. Hanya saja, saya masih dihantui kebimbangan apakah metode tersebut cukup “objektif” dan bisa diterima. Persoalan ini akhirnya beres ketika saya mengikuti klinik penulisan artikel di Malang. Seorang pembicara yang ditunjuk oleh Kementerian Riset
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 91
dan Teknologi, selaku salah satu pihak penyelenggara, menjelaskan metode penelitian dalam penulisan artikel jurnal dengan begitu inspiratif. Gagasan yang saya tangkap dari pemaparan beliau adalah: metode mengikuti tujuan. Jangan sampai tujuan penelitian tidak tercapai karena mengalah pada (ketiadaan) metode. Saya kemudian berpikir, soal metode bisa diperdebatkan nanti setelah artikel selesai, yang lebih penting saat ini adalah tujuan penelitian dapat tercapai. Proses penulisan artikel “Tinjauan atas …”, bagi saya, memberi kesempatan untuk menggali informasi lebih dalam guna menjawab rasa penasaran saya. Kata ‘model’ digunakan dalam judul dan atau abstrak pada artikel yang kami teliti sebagai upaya menunjukkan tujuan atau sesuatu yang ingin dihasilkan dari penelitian dan pengembangan. Namun demikian, ketika dicocokkan dengan hasil pengembangannya, tujuan ini menjadi tidak sesuai. Hasil dari artikel pengembangan yang mencantumkan kata ‘model’ ternyata adalah produk atau benda, berupa buku panduan atau buku pedoman. Dengan demikian tujuan ini menjadi kabur. Dari ketidakcocokan ini kita bisa mendiskusikan tentang definisi model. Saya mempersepsikan sumber “persoalan” ini adalah perbedaan dalam menggunakan kata ‘model’ yang terjadi karena berangkat dari dua titik yang berbeda. Jika mengacu pada bahasa kamus, Cambridge English Dictionary misalnya, model memang dapat diartikan sebagai “suatu contoh yang sangat baik
92 |
HYSA ARDIYANTO
sehingga bisa ditiru.” Pengembangan yang menghasilkan “model” pembelajaran atau “model” latihan dapat ditengarai mengikuti pendekatan kamus semacam ini. Hasil pengembangannya memang berusaha diklaim sebagai “suatu contoh yang sangat baik sehingga bisa ditiru.” Hasil penelitian yang dinilai menunjukkan inovasi, kebaruan, pioneer dalam suatu ceruk kajian kemudian disebut sebagai “model” karena ada dorongan untuk menjadikannya agar dapat ditiru setelah melewati berlapis-lapis prosedur validasi. Di sisi lain, jika kita berbicara dalam konteks sains, kata ‘model’ telah dipakai dan disepakati penggunaannya. Artinya, ketika menggunakan kata ini, siapapun harus mengikuti kesepakatan yang berlaku. Istilah ‘model’ dalam pembahasan ilmiah mengacu pada gambar, skema, grafik atau bentuk lain yang merupakan abstraksi dari suatu fenomena. Sebuah model didesain hanya menampilkan komponen-komponen yang dianggap sebagai kunci dengan mengabaikan komponenkomponen lain yang sebenarnya begitu kompleks pada fenomena sesungguhnya. Model juga sering dipertukarkan dengan teori. Keduanya dapat dilihat sebagai perangkat penjelas atau skema yang memiliki kerangka kerja konseptual untuk memberikan representasi dari fenomena tertentu. Jika mengikuti kesepakatan ini, maka “model” adalah sesuatu yang abstrak. Dengan membandingkan dua jalur definisi ‘model’ seperti di atas, meskipun agak serampangan (baca: tidak
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 93
metodologis), rasa penasaran saya sedikit mereda. Secara perlahan, saya mulai menarik kesimpulan bahwa penggunaan kata ‘model’ dalam artikel penelitian dan pengembangan dapat diperdebatkan. Suatu istilah yang dianggap benar pada suatu tempat bisa jadi tidak relevan jika diletakkan pada konteks yang lebih luas. Mungkin ini yang terjadi. Persoalan lain yang membuat saya penasaran adalah: apakah mungkin sebuah model dibuat dalam waktu yang tidak lebih lama dari masa studi, katakanlah dua tahun? Jawabannya bisa “ya” jika “model” yang dimaksud adalah suatu bentuk, ragam metode, purwarupa produk, panduan, pedoman atau variasi yang dianggap sebagai “suatu contoh yang sangat baik sehingga bisa ditiru,” tetapi jika “model” yang dimaksud adalah suatu teori sepertinya mustahil. Pengembangan sebuah model bisa memakan waktu yang panjang, mengalami sanggahan, bantahan, kritik, revisi, hingga dapat diterima sebagai bentuk representasi yang paling baik yang mungkin. Model TGfU misalnya, model ini telah dibahas sejak tahun 2001 sampai 2012, dan masih berlanjut pada Konferensi khusus TGfU. Tidak hanya diseminarkan, sebuah model juga pada umumnya wajib memiliki komunitas pendukung yang rutin menerbitkan publikasi ilmiah agar eksis. Pembahasan terakhir, ketika suatu penelitian dan pengembangan menghasilkan benda atau produk, apakah tidak lebih baik menghilangkan kata ‘model’ pada
94 |
HYSA ARDIYANTO
judulnya? Jika hasil penelitian bukan merupakan sebuah model berupa skema, grafik atau bentuk lain yang dapat dianggap sebagai model, mungkinkah istilah ‘bentuk’, ‘jenis’, atau ‘variasi’ pembelajaran lebih tepat digunakan? Untuk ini mungkin membutuhkan diskusi yang lebih panjang. Sambil ngopi barangkali? [] .
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 95
11. POLITISI, MEDIA DAN ORGANISASI OLAHRAGA
PADA pertengahan tahun 2017 muncul kasus ancaman SMS terhadap jaksa yang dilakukan oleh seorang politisi sekaligus ketua organisasi olahraga nasional. Permasalahan lebih kompeks lagi karena SMS yang dianggap sebagai ancaman tersebut berkaitan dengan urusan bisnis. Jadi terdapat tiga unsur dalam kasus ini: politik, bisnis dan olahraga. Kasus tersebut merupakan konteks dari artikel berikut ini. Hary Tanoesoedibjo (HT), ketua Federasi Futsal Indonesia (FFI), menjadi tersangka dalam kasus ancaman SMS kepada seorang jaksa. Statusnya sudah menjadi tersangka. Kini segenap cara dilakukannya untuk mengatasi kasus yang mengganggu popularitasnya di dunia poitik itu. Bagaimana kaitan kasus tersebut dengan FFI sebagai organisasi olahraga yang sedang dipimpinnya? Organisasi olahraga yang menginduk pada Komite Olahraga Nasional Indonesia seharusnya dapat berperan
96 |
HYSA ARDIYANTO
sebagai alat bagi kepentingan nasional. Namun tidak bisa dimungkiri jika organisasi olahraga nasional dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Kemunculan kasus HT ini adalah contoh kasus yang sekaligus dapat dijadikan sebagai alarm bagi federasi olahraga di Indonesia. Setidaknya ada tiga persoalan yang bisa diangkat dalam kasus HT ini: bagaimana organisasi olahraga dimanfaatkan untuk membangun opini dalam kasus yang melibatkan sang ketua melalui media, resiko ketergantungan organisasi olahraga pada figur tertentu, dan rancunya struktur organisasi olahraga yang diisi oleh personel partai. Pertama, kita sudah melihat bagaimana beberapa pemain Timnas Futsal Putra dimanfaatkan sebagai pembentuk opini. Situs Okezone.com, salah satu media yang dimiliki HT, berperan dalam hal ini. Portal berita daring tersebut menampilkan berita-berita dengan judul: “Kriminalisasi SMS Hary Tanoe, Pefutsal Bayu Saptaji: SMS Itu Tidak Mengancam”, “Hary Tanoe Dizalimi, Pefutsal Rama Ramdhani: Pak Hary Tanoe Selalu Ingin Memajukan Futsal Indonesia” dan “Sayangkan Soal Kriminalisasi SMS Hary Tanoe, Pefutsal Randy Satria: Pak Hary Tanoe Perhatian Kepada Pemain.” Selain itu, dalam pemberitaan-nya Okezone.com membuat framing terjadi kriminalisasi terhadap Hary Tanoe. Isi “berita” di atas sangat mudah ditebak. Pernyataan para pemain dimanfaatkan untuk mendukung opini media. Kutipan-kutipan langsung yang dimuat sebenar-
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 97
nya menunjukkan pernyataan yang normatif dan cenderung mendekati netral. Wajar saja, siapapun jika ditanya mengenai isu sensitif akan berusaha memberikan jawaban yang aman. Begitu juga para pemain itu, kecuali mereka sudah siap mengakhiri karirnya di Timnas Futsal. Pemberitaan Okezone.com dalam hal ini tidak lebih dari pekerjaan jurnalistik yang menggelikan. Media milik HT telah menjadi perpanjangan tangan kepentingannya. Cara-cara seperti ini bisa dianggap menunggangi pers untuk kepentingan pribadi. Sebagai figur utama, apakah kasus ini akan memengaruhi mood HT dalam membina futsal? Hingga saat tulisan ini dibuat, Timnas Futsal Putra belum juga melakukan seleksi untuk SEA Games 2017 yang akan digelar 14 Agustus mendatang, padahal sesuai rencana, seleksi seharusnya sudah dimulai pada 4 Juli 2017. Sebagai catatan, Timnas Futsal Putra tidak termasuk dalam kontingan SEA Games yang dibiayai pemerintah. Hanya cabang olahraga yang berpotensi meraih emas dan perak saja yang akan masuk prioritas Satlak Prima, sedangkan pada tiga SEA Games sebelumnya Timnas Futsal Putra hanya meraih perunggu serta dianggap gagal di Piala Futsal AFF 2016. Agar bisa tampil di Kuala Lumpur, Timnas Futsal Putra membutuhkan dukungan dana dari pihak selain pemerintah, dan kepada siapa lagi selain sang ketua mereka berharap? Apakah kasus yang menimpa HT ini akan menentukan berangkat atau tidaknya Timnas Futsal
98 |
HYSA ARDIYANTO
Putra membela Merah Putih? Bayangkan saja Anda sudah habis-habisan membiayai sebuah tim nasional lalu kemudian dibalas dengan ganjaran sebagai tersangka sebuah kasus? Apakah Anda masih bisa memiliki mood yang bagus? Bagi federasi futsal sebagai organisasi, mungkin inilah resiko yang harus ditanggung ketika terlalu bergantung pada satu figur. Mengenai SEA Games 2017, isu yang melingkupi tidak hanya urusan dana. Lebih menarik lagi adalah urusan persaingan bisnis. Hak siar SEA Games 2017 sudah pasti jatuh ke tangan pesaing bisnis HT. Emtek Grup melalui SCTV, Indosiar dan O Channel akan menjadi official broadcaster SEA Games 2017. Apakah Bos MNC Grup akan rela mengongkosi tim yang hak siar dan iklannya nanti akan dinikmati oleh pesaing bisnisnya? Agaknya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas layak ditunggu dalam beberapa waktu ke depan. Terakhir, bagaimana respon FFI sebagai sebuah organisasi olahraga menyikapi kasus yang sedang menimpa ketuanya. Induk organisasi FFI, yaitu PSSI, lebih berpengalaman dalam menghadapi kasus ketua yang bermasalah dengan hukum, bahkan berstatus terpidana sekalipun. Agaknya contoh ini yang akan dijadikan pedoman oleh FFI, seperti dalam pemberitaan Bolalob.com melalui artikel berjudul “Hary Tanoe Jadi Tersangka Bagaimana Nasib Futsal Indonesia”1. 1
https://bolalob.com/read/56403/hary-tanoe-jadi-tersangka-bagaimana-nasibfutsal-indonesia
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 99
Dalam kasus seperti yang dialami HT ini, sikap organisasi untuk membela ketuanya agaknya menjadi sebuah keniscayaan. Menariknya, ada unsur partai politik dalam urusan bela-membela itu. Struktur organisasi FFI seperti saudara kembar dengan Partai Perindo. Pada jabatan ketua sudah jelas orang yang sama, yaitu HT sendiri. Lima dari enam anggota komite FFI adalah pengurus DPP Partai Perindo. Belum lagi kantor sekretariat FFI menumpang di MNC Tower milik ketuanya. Lengkap sudah tantangan yang dialami FFI dalam menghadapi “cobaan” ini. Hubungan mesra organsisasi olahraga dan partai ini turun hingga struktur lebih bawah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Beberapa waktu yang lalu Partai Perindo secara masif mengelar kompetisi futsal di beberapa daerah. Tentu program tersebut membutuhkan “kerja sama” yang baik dengan FFI. Dengan kuatnya dominasi kepentingan partai dalam organisasi olahraga, apa ancaman yang paling besar bagi semangat fair play yang merupakan jiwa dari olahraga? hal ini mungkin bisa didiskusikan pada kesempatan yang lain. Dari kasus yang menimpa HT ini ada pelajaran yang mungkin bisa diambil. Sebagai sebuah alarm, kasus tersebut mengingatkan organisasi induk olahraga akan adanya potensi konflik kepentingan. Di sisi lain, kasus ini juga menjadi tantangan bagi organisasi olahraga untuk
100 |
HYSA ARDIYANTO
mampu memproduksi kader penerus yang beritegritas sehingga organisasi tidak mudah tergiur oleh figur yang tiba-tiba datang menawarkan sejumlah sumber daya yang menyilaukan. Uang memang bisa menyelesaikan masalah, tapi di sisi sebaliknya, juga bisa mendatangkan masalah.[]
Post scriptum: Sempat muncul kabar Timnas Futsal Putra memutuskan tidak berangkat ke SEA Games 2017. Menurut Sekjend PSSI, kesimpangsiuran tersebut disebabkan oleh masalah non-teknis dan kurang lancarnya komunikasi antara FFI dan PSSI. Pada perkembangan selanjutnya, Timnas Futsal Putra secara resmi dipastikan berangkat SEA Games 2017. Kepastian tersebut didapatkan setelah FFI dan PSSI mengadakan pertemuan pada tanggal 20 Juli 2017. Tidak disebutkan dari mana dananya, tetapi difasilitasi oleh PSSI.2 Ketika tulisan ini pertama kali dimuat di Fandom Indonesia, seorang pembaca berkomentar bahwa HT sudah mengeluarkan dana yang banyak untuk memajukan futsal di Indonesia dan “menuduh” saya tidak menghargai jasa-jasa tersebut. Jawaban saya: justru sebaliknya, saya mencoba berempati dengan kalimat “Bayangkan saja Anda sudah habis-habisan membiayai sebuah tim 2
https://www.jawapos.com/sepak-bola/sepak-bolaindonesia/31/07/2017/kemenpora-pastikan-timnas-futsal-indonesiaberangkat-ke-sea-games-2017/
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 101
nasional lalu kemudian dibalas dengan ganjaran sebagai tersangka sebuah kasus?” Namun lebih dari itu, dalam konteks ini, melihat suatu “pengorbanan” tanpa melihat kepentingan di baliknya adalah suatu pemikiran yang naif. Dua tahun kemudian, kasus ini pun menguap.
102 |
HYSA ARDIYANTO
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 103
12. FUTSAL DAN BRAND KOTA PELAJAR
KABAR gembira bagi masyarakat D.I. Yogyakarta terdengar dari arena olahraga. Tahun 2017 ini dipastikan futsal Yogya kembali unjuk gigi di pentas nasional. Ini merupakan penantian enam tahun sejak kali terakhir Elektrik PLN berkiprah di liga futsal nasional pada 2010, sebelum hijrah ke Jakarta. Adalah SFC Planet dari Kabupaten Sleman yang akan merepresentasikan kekuatan futsal Yogyakarta di Pro Futsal League (PFL) 2017. Tak hanya lolos ke PFL 2017, klub yang bermarkas di Planet Futsal itu melengkapi prestasinya dengan meraih juara Liga Futsal Nusantara (LFN) 2016. Pada laga final di GOR ITB Jatinangor, mereka mengalahkan APK Kalimantan Timur. Bagi SFC Planet, keberhasilan ini menebus kegagalan LFN tahun lalu saat bermain di depan publik sendiri. Bagi pecinta futsal Yogyakarta, kehadiran SFC Planet di PFL 2017 membuat mereka tak sekedar menjadi penonton seperti pada Final PFL 2016. Kedua event utama
104 |
HYSA ARDIYANTO
futsal (LFN dan PFL) memang digelar di GOR Among Rogo dan GOR UNY. Sayangnya, di luar kabar gembira tersebut, kasus kekerasan di kalangan pelajar belum juga hilang dari ingatan kita. Di halaman depan koran lokal, Kedaulatan Rakyat, tersaji berita sidang kasus klithih yang memprihatinkan. Kasus-kasus klithih memang kembali marak belakangan ini. Karena melibatkan pelajar sekolah, kasus-kasus tersebut tentu saja mencoreng nama Yogyakarta yang telah lama dikenal sebagai kota pelajar. Memanfaatkan momentum prestasi olahraga yang diusung oleh SFC Planet dengan menjadi Juara LFN 2016 sekaligus menembus liga profesional, dampak positif apa yang kiranya bisa dipetik Yogyakarta sebagai kota pelajar? Pertanyaan ini sekaligus menyambut ajakan dari beberapa kalangan untuk mengembalikan brand Yogyakarta sebagai kota pelajar. Ada beberapa kemungkinan yang akan coba saya ajukan melalui tulisan ini. Pertama, dari segi kelembagaan olahraga, futsal berkesempatan mempromosikan dirinya sebagai kegiatan yang positif bagi para pelajar. Dalam tataran eksekusi, ide ini sebenarnya agak dilematis. Di satu sisi futsal diharapkan mampu membentuk jiwa sportivitas, namun sebaliknya, pertandingan futsal bisa memicu kericuhan antar pendukung sebagai akibat dari insiden di dalam lapangan. Di sinilah peran profesionalisme sebagai jalur yang ditempuh oleh SFC Planet, meskipun belum seutuhnya atau semi profesional.
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 105
Dengan adanya semangat profesionalisme melalui klub, diharapkan dapat mengikis tindakan yang berlawanan dengan semangat fair play. Cita-cita untuk bermain profesional akan menjaga seorang pemain dari tindakan yang merugikan lawan dan dirinya. Turunan dari semangat profesionalisme dapat terwujud dalam kemauan pemain untuk memahami peraturan, memahami taktik dan melatih teknik dengan lebih baik. Dengan demikian kompetisi mengarah pada konsep human excellence. Para pendukung (fans) pun bisa mendapatkan pertandingan yang menarik dan menghibur. Selain itu, dalam etika pemain profesional, permainan diselesaikan di dalam lapangan. Tidak ada lagi “urusan yang belum selesai”. Biasanya “buntut” inilah yang berpotensi memicu kekerasan di luar arena olahraga. Urusan di luar lapangan akibat pertandingan harus diselesaikan sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan. Protes atau keberatan hanya boleh dilakukan oleh pihak tertentu, ofisial misalnya. Pelatih dan pengelola klub, sebagaimana pemain, juga ikut membawa semangat profesionalisme sehingga tidak membiarkan masalah meluap sampai di luar arena olahraga. SFC Planet dapat menjadi inspirasi bagi para pelajar (dan mahasiswa) untuk berkarier sebagai pemain futsal profesional. Dari awalnya sebagai hobi, mereka bisa menekuni futsal secara profesional tanpa mengesampingkan pendidikan. Ya, tanpa menafikan pendidikan formal.
106 |
HYSA ARDIYANTO
Hal ini bisa dilihat pada klub SFC Planet dimana skuadnya diisi pemain yang berstatus mahasiswa. SFC Planet mengandalkan suplai pemainnya dari kampus-kampus di Yogyakarta. Erat kaitannya dengan kota pelajar adalah keberadaan sekolah dan kampus. Mahasiswa plus atlet mendapat kesempatan yang luas. Beberapa kampus membuka pendaftaran jalur khusus atlet berprestasi. Tidak hanya itu, di Yogyakarta juga terdapat universitas yang memiliki program studi ilmu keolahragaan. Kehadiran klub olahraga profesional di Yogyakarta berpotensi semakin mendorong berkembangnya kajian dan penelitian olahraga. Di luar kampus, diskusi bertema olahraga (dalam hal ini sepak bola) sedang berkembang pesat di Jogja. Seminar dan pelatihan dengan narasumber yang mumpuni di bidangnya dihelat di kota pelajar ini. Beberapa penerbit Jogja menerbitkan buku-buku bertema sepak bola. Hal ini membuat Yogyakarta tetap menarik sebagai tujuan belajar karena ada nilai tambah tersebut. Terakhir, bermain futsal dengan sekolah/kuliah sangat bisa berjalan beriring. Pelajar yang bermain futsal di klub bisa mendapat beberapa manfaat, seperti menjaga kebugaran, mengasah kecerdasan berpikir taktis, dan memperluas pergaulan. Dengan waktu dan energi yang tersalurkan untuk berolahraga, maka kemungkinan akan mengurangi potensi kegiatan yang negatif. Keberhasilan SFC Planet layak disambut oleh masyarakat kota pelajar, setidaknya para penggemar futsal.
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 107
Jika dampak positif sebagaimana telah dipaparkan terus berkembang, maka ada kesempatan mengembalikan brand Yogyakarta sebagai kota pelajar. Futsal khususnya dan olahraga lain pada umumnya bisa ikut berperan. []
108 |
HYSA ARDIYANTO
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 109
13. DAERAH ISTIMEWA OLAHRAGA?
MASIH di awal tahun 2018, atmosfir olahraga di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah langsung bergairah. Dalam kurun waktu dua pekan saja, setidaknya empat event olahraga berkelas nasional dan internasional digelar di Yogyakarta. Mulai dari bola voli, futsal, bola basket hingga balap sepeda digeber dalam waktu yang relatif bersamaan. Dimulai dengan Voli Proliga Seri I pada Jumat sampai Minggu 19-21 Januari 2018 di GOR UNY. Pada akhir pekan yang sama, Pro Futsal League juga memainkan Putaran I Grup A di GOR Among Rogo. Empat hari kemudian, bendera start Balap Sepeda Tour de Indonesia Etape I dikibarkan dari Candi Prambanan. Pada akhir pekan berikutnya, 26-28 Januari 2018, di GOR UNY berlangsung lanjutan kompetisi Indonesian Basketball League. Ternyata, dari keempat gelaran kompetisi olahraga yang sudah disebutkan, hanya klub bola basket Bima
110 |
HYSA ARDIYANTO
Perkasa Jogja yang ikut bersaing sebagai tuan rumah. Sisanya, publik olahraga Yogyakarta cukup puas sebagai penonton. Untuk melihat kenyataan ini kita dapat menggunakan dua perspektif yang berbeda. Pertama, kita dapat melihat kondisi ini secara negatif. Di tengah gegap gempita kompetisi olahraga yang sedang berlangsung, ternyata tim olahraga dari D.I. Yogyakarta yang eksis di tingkat nasional sangat minim. Tahun lalu SFC Planet sempat menjadi wakil D.I. Yogyakarta di Pro Futsal League 2017, namun sayangnya kiprah mereka hanya bertahan semusim. Voli Proliga tahun ini diikuti tim-tim yang membawa nama kota Jakarta, Palembang, Surabaya, Bekasi, Gresik dan Bandung. Tidak ada nama Yogyakarta di sana. Sementara itu, di cabang olahraga yang dianggap paling populer, tiga klub sepakbola dari Sleman, Kota Yogyakarta dan Bantul pada tahun 2018 belum ada yang berlaga di kasta tertinggi sepakbola nasional. Dari perspektif yang berlawanan, kita bisa melihat hal ini sebagai sesuatu yang membanggakan dan patut disyukuri. Yogyakarta selalu dipercaya menggelar eventevent olahraga bergengsi. Memang benar, Pro Futsal League di GOR Among Rogo tidak terlepas dari keadaan yang memaksa SKN memindahkan venue homebase dari Kebumen ke kota yang terjangkau bandara terdekat. Sementara itu Voli Proliga di GOR UNY merupakan jatah Jakarta Pertamina Energi sebagai tuan rumah. Meskipun demikian, pemilihan Yogyakarta sebagai tuan rumah
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 111
pastinya bukan tanpa alasan. Antusiasme pecinta olahraga Yogyakarta adalah salah satu alasan PP PBVSI menunjuk Yogyakarta sebagai tempat pembuka dan penutup Proliga 2018. Jika kita melihat agak ke belakang, Yogyakarta kerap dipercaya menggelar kegiatan olahraga besar. Beberapa waktu sebelumnya digelar pertandingan sepakbola persahabatan internasional antara Indonesia Selection melawan Tim Nasional Islandia di Stadion Maguwoharjo. Pada Oktober 2017 yang lalu, di GOR Among Rogo, berlangsung BWF World Junior Championship, sebuah turnamen bulu tangkis tingkat dunia. Dalam catatan sejarah, momentum hubungan istimewa antara Yogyakarta dan olahraga yang akan selalu dikenang adalah pendirian PSSI pada tahun 1930. Saat itu perkumpulan sepakbola dari berbagai daerah datang ke Yogyakarta untuk berkongres. Kini, klub-klub sepakbola rajin melakukan pemusatan latihan di Yogyakarta saat pramusim. Baru-baru ini ada dua klub elit nasional, Persib dan Borneo FC, yang menggelar latihan pramusim di Stadion Sepakbola UNY. Tim Nasional sepakbola kelompok umur juga langganan menggunakan fasilitas olahraga UNY ini. Sepertinya ada sesuatu yang istimewa di Yogyakarta bagi olahraga. Mungkin ini yang dilihat oleh salah satu klub sepakbola Liga 1 sehingga berencana memindahkan markasnya ke Bantul untuk musim kompetisi mendatang.
112 |
HYSA ARDIYANTO
Keistimewaan Yogyakarta ternyata tidak hanya terbatas pada bidang seni budaya dan pariwisata seperti yang umumnya dikenal. Pariwisata olahraga (sport tourism) juga mendapat tempat yang istimewa. Padahal dilihat dari ukuran prestasi olahraga, seperti disinggung sebelumnya, Yogyakarta tidak cukup menonjol. Bukankah ini sesuatu yang istimewa? Berbagai hajatan olahraga menunjukkan kepercayaan dan kecintaan dunia olahraga pada Yogyakarta. Keistimewaan semacam ini bukanlah hal yang mudah untuk didapatkan oleh daerah-daerah lainnya. Yogyakarta begitu beruntung memiliki keistimewaan semacam ini. []
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 113
14. ERA BARU SEPAKBOLA YOGYAKARTA?
MENJELANG dimulainya kompetisi sepakbola nasional tahun 2019 ada beberapa hal yang menarik untuk ditunggu oleh publik sepakbola Yogyakarta. Salah satunya terwakili pada sebuah grafiti daerah Balirejo Muja Muju. Kalimat yang tertulis di dinding bekas bangunan: “Sambut Era Baru. Mari Berbenah”. Di bawah tulisan itu tampak lambang klub sepakbola berjuluk Laskar Mataram. Sepertinya ada suatu momentum yang menggerakkan coretan tengan itu. Era baru yang dimaksud erat kaitannya dengan kehadiran investor baru di tim biru Mataram. Menyusul setelah itu, berita tentang kontrak pelatih baru dan pemain-pemain andalan segera menghiasi media massa. Tidak ketinggalan kabar kembalinya klub ke stadion kebanggaan. Informasi di media sosial bahkan lebih semarak lagi. Para fans pun dihinggapi euforia.
114 |
HYSA ARDIYANTO
Pada saat yang bersamaan, di utara, klub hijau juga merayakan era baru dengan kembali ke kasta tertinggi sepakbola Tanah Air. Kedatangan pemain-pemain baru disambut antusias. Latihan rutin sudah digelar guna menghadapi kompetisi musim ini. Tak ketinggalan, pertandingan uji coba melawan tim papan atas masuk agenda pelatih. Ancaman boikot yang sempat mencuat sepertinya hanya menjadi romantika sebuah hubungan belaka. Dari selatan tidak banyak tersiar kabar. Klub merah kurang terlihat dinamikanya. Namun jika melihat ke utara, pada kegairahan yang ditunjukkan sedulursedulurnya, bisa jadi hal itu akan mendorong geliat di sana. Mungkinkah rencana mengungsinya klub tentara ke Kota Hujan dapat membuat situasi yang berbeda? Era baru jelas terlihat di tubuh federasi. Organisasi yang menaungi aktivitas sepakbola di D.I. Yogyakarta belum lama ini membentuk kepengurusan baru. Ketua Asosiasi Provisnsi (Asprov) bahkan sudah menampilkan dirinya di pentas nasional, melalui final liga futsal profesional. Pelaksanaan program seperti penyegaran wasit menunjukkan aktivitas organisasi yang sudah kembali berjalan. Jika melihat gejala-gejala di atas, apakah dapat dianggap sepakbola Yogyakarta sedang memasuki era baru? Rasanya tidak berlebihan untuk menganggap demikian. Melalui tulisan ini saya ingin membayangkan, era baru ini dapat mendorong kemajuan dalam hal apa?
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 115
Era baru ini semoga dapat mendorong lahirnya kembali semangat persaingan yang sehat. Rivalitas antar suporter merupakan isu yang hampir tidak ada habisnya. Namun, melalui pesan di grafiti, sepertinya para fans menyadarinya dengan ungkapan kata ‘berbenah’. Semangat berbenah ini sepertinya juga sudah menyebar melalui media sosial. Investor tentu ingin pertandingan sepakbola menjadi tontonan yang menarik, menguntungkan, sehingga dapat menjaga keberlangsungan hidup klub. Selanjutnya, era baru ini merupakan saat yang tepat untuk meningkatkan pengembangan pemain junior. Salah satu persoalan yang sering dikeluhkan para pelatih mengenai pemain-pemain muda Yogyakarta adalah level of competitive-ness. Tidak jarang ditemui pemain-pemain Yogyakarta mampu bersaing di tingkat lokal, namun seperti kehilangan kemampuan ketika berhadapan dengan talenta-talenta dari provinsi lain. Akibatnya, pemain asal Yogyakarta yang mengisi barisan Tim Nasional bisa dibilang sangat sedikit. Kembalinya salah satu klub Yogyakarta ke top tier liga sepakbola Indonesia merupakan peluang untuk menjawab persoalan tadi. Adanya kompetisi akademi elit pro mulai usia 16 hingga 20 tahun bagi peserta Liga 1 memaksa klub mengem-bangkan pemain muda yang dimilikinya. Melalui kompetisi ini pemain-pemain junior terbiasa bersaing di top level sejak muda.
116 |
HYSA ARDIYANTO
Era baru ini juga pas untuk membahas pengembangan sumber daya pelatih. Dalam beberapa bulan terakhir saya menyaksikan pelatih-pelatih yang berafiliasi dengan berbagai klub/perkumpulan sepakbola di Yogyakarta rutin mengadakan diskusi mingguan. Mereka saling berbagi pengetahuan cara melatih, wawasan taktik, cara mengelola pemain dan berbagai hal yang berkaitan dengan kepelatihan. Diskusi dilakukan secara terbuka, meskipun di hadapan pelatih tim yang berpotensi menjadi “lawan”. Kini bukan eranya lagi pelatih yang menyimpan bahan latihan sendiri. Atmosfer keterbukaan pada informasi justru menantang para pelatih untuk terus meningkatkan kemampuan. Ini yang terjadi di negara-negara dengan liga sepakbola yang kompetitif. Disadari atau tidak, kultur Yogyakarta yang identik dengan kota pelajar memungkinkan berkembangnya diskusi-diskusi. Kondisi ini sangat mungkin menjadi keuntungan yang dimiliki para pelatih di Yogyakarta. Kini kita akan melihat bagaimana dinamika suporter, para pelatih, pemain dan seluruh elemen klub dalam menyambut kompetisi musim ini. Mungkin jika para fans menunjukkan dukungan yang loyal, para pelatih berkepentingan sama untuk memajukan sepakbola Yogyakarta, hingga para stakeholder berkolaborasi membangun sistem kompetisi yang berkualitas, maka era baru sepakbola Yogyakarta benar-benar sudah di depan mata. []
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 117
15. SEBUAH STADION, MASYARAKAT ASRI DAN MIMPI SEPAKBOLA WONOSOBO
JIKA ketiga tulisan sebelumnya berlatar Yogyakarta, tulisan ini dan berikutnya berasal dari tanah kelahiran saya, Wonosobo. Tulisan tersebut telah dimuat pada Februari dan Agustus 2019. Keduanya membahas olahraga yang sama: sepakbola. Suatu pagi di bulan Februari 2019, saat membuka Instagram, muncul sebuah posting yang mengejutkan saya. Dari tagar #sepakbolawonosobo yang saya ikuti, muncul kabar seorang aktivis dan kini pengelola klub sepakbola nasional menjalin kesepakatan dengan Askab PSSI Wonosobo dan Kepala Dinas Pariwisata Wonosobo untuk merevitalisasi lapangan Kalianget menjadi stadion yang layak bagi pertan-dingan liga nasional. Saya lalu teringat pada sambutan Ketua Askab PSSI Wonosobo saat membuka workshop pelatih sepakbola di Wonosobo pertengahan tahun lalu. Dia menyoroti perkembangan sepakbola di kotanya yang unik. Wonosobo
118 |
HYSA ARDIYANTO
adalah satu-satunya kabupaten di Jawa Tengah yang tidak memiliki stadion sepakbola. Namun di sisi lain, Wonosobo menjadi penyelenggara open tournamen sepakbola (yang dikenal dengan tarkam) terbanyak. Pernyataan senada diungkapkan oleh Ketua Komisi A DPRD Wonosobo saat penyerahan trofi juara Pendawa Cup di Lapangan Welahan, Watumalang. Menurutnya, setiap tahun di Wonosobo setidaknya terdapat 30 turnamen sepakbola yang digelar, bahkan hampir ada di setiap kecamatan.3 Data ini memang masih perlu diverifikasi, namun secara sepintas, hal ini menunjukkan antusiasme masyarakat Wonosobo yang begitu tinggi pada pertandingan sepakbola. Beberapa waktu sebelumnya, seorang fan memperkenalkan Wonosobo dan sepakbolanya yang dingin di fandom.id.4 Dia menumpahkan keresahan seorang penggemar atas perkembangan sepakbola di daerahnya, sekaligus menunjukkan geliat suporter lokal. Dia pun menengarai lahirnya basis suporter baru PSIW Wonosobo yang menamakan diri Laskar Kolodete 189. Gairah suporter ini adalah momentum yang tepat untuk menata sepakbola Wonosobo, begitu menurutnya. Perpaduan antara kegairahan dan keresahan pada sepakbola Wonosobo memuncak pada gagasan untuk 3
Suaramerdeka.com, 30 Juli 2018, Link berita: https://www.suaramerdeka.com/ smcetak/ baca/109393/pemkab-diminta-serius-dukung-sepak-bola-wonosobo
4
Fandom Indonesia, 26 September 2017. Link artikel: https://fandom.id/artikel/ feature/kultur/mengenal-wonosobo-dan-sepakbolanya-yang-dingin/
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 119
menghadirkan sebuah stadion. Lapangan Kalianget yang ada saat ini dinilai tidak layak disebut sebagai stadion. Padahal stadion yang memenuhi syarat merupakan suatu kebutuhan bagi klub untuk menggelar pertandingan. Tanpa stadion, Wonosobo dan PSIW-nya tidak akan bisa bergaul dengan daerah lain melalui sepakbola. Dengan demikian sepakbola Wonosobo akan semakin tertinggal dengan daerah lain. Wonosobo mau membangun stadion? Apakah mungkin? Buat apa? Mungkin pertanyaan-pertanyaan skeptis semacam ini segera muncul. Hal itu memang bisa dimengerti. Apalagi jika melihat GOR Wonolelo yang sempat tersendat pembangunannya. Beberapa video di Youtube yang menampilkan imajinasi desain “calon stadion” Wonosobo juga lebih banyak menuai komentar sinis dibanding harapan atau setidaknya apresiasi. Wacana pembangunan stadion Wonosobo sempat datang dari ketua KONI Wonosobo saat memastikan mulai difungsikannya GOR Wonolelo. Menurutnya, stadion tersebut akan dibangun di belakang GOR dan diperkirakan baru tuntas pada 2020.5 Pernyataan ini agaknya sempat menghidupkan kembali harapan. Namun demikian, sebagaimana diakui para pegiat sepakbola, untuk mewujudkannya bukan hal yang mudah dan membutuhkan dukungan dari banyak pihak. 5
Suaramerdeka.com, 3 Februari 2018. Link berita: https://www.suaramerdeka.com/ smcetak/baca/64436/gor-wonolelo-mulaidifungsikan
120 |
HYSA ARDIYANTO
Dukungan yang berasal dari banyak pihak, tidak hanya penggemar sepakbola, sepertinya menjadi kunci. Idealnya, stadion sebagai fasilitas publik, menjadi milik seluruh warga sejak dalam bentuk gagasan. Lain persoalan jika stadion akan dibangun oleh swasta. Namun jika dillihat dari kesepakatan yang disinggung dalam awal tulisan, sepertinya pemerintah daerah tetap terlibat. Siapapun aktor utama pembangunannya (jika jadi dilakukan), saya melihat ide pembangunan stadion ini sebagai kesempatan untuk merevitalisasi slogan ASRI (Aman Sehat Rapi Indah) yang sudah lama melekat pada Wonosobo. Dampak langsung yang diharapkan dari fasilitas olahraga tentunya adalah prestasi. Lebih dari itu, keberadaan stadion berpotensi membangun kembali nilai-nilai masyarakat Wonosobo dalam slogan ASRI. Pertama, ada unsur keamanan merupakan faktor yang tidak bisa ditawar-tawar bagi stadion. Kedua, manfaat stadion harus dilihat dari kemampuannya dalam membangun budaya hidup sehat. Selain fasilitas kesehatan dasar untuk upaya kuratif dan rehabilitatif, adanya stadion dapat menunjukkan kepedulian pada kesehatan dari segi promotif dan preventif. Berikutnya, pertandingan sepakbola membutuhkan koordinasi yang rapi mulai dari penjualan tiket sampai warna kaos kaki pemain. Penyelenggaraan event sepakbola dapat berpotensi melahirkan budaya atau setidaknya sub-kultur baru untuk berpikir dan bertindak
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 121
dengan rapi. Budaya ini diharapkan akan dapat menular ke tempat-tempat lain di luar stadion. Terakhir adalah unsur keindahan. Keindahan ini bukan hanya soal fisik, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Revitalisasi keindahan dalam hal ini adalah bagaimana stadion dapat mencerminkan kebersamaan dan harmoni dalam masyarakat. Saya kemudian membayangkan sebuah stadion yang dapat menjadi tempat berbaur bagi seluruh lapisan masyarakat. Sebagai sebuah gagasan, keberadaan stadion di Wonosobo adalah mimpi yang layak dirawat dan diperjuangkan bersama. Kabar yang lewat di post tagar #sepakbolawonosobo tentu saja memberi harapan bagi pecinta sepakbola Wonosobo untuk dapat melihat tim kesayangannya berkiprah di liga nasional. Semoga itu bukan sekedar mimpi. []
122 |
HYSA ARDIYANTO
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 123
16. MENIKMAT I SEPAKBOLA TARKAM
AKHIR pekan kemarin saya menonton pertandingan sepakbola di suatu open tournament yang lazim disebut Tarkam. Bagi penggemar sepakbola lokal, istilah Tarkam ini saya kira tidak perlu dijelaskan lagi. Sebenarnya menyebut “menonton pertandingan” kurang tepat karena saya lebih banyak mengarahkan pandangan ke penonton dan atmosfir di luar lapangan. Acara menonton ini sebenarnya tidak begitu direncanakan. Kebetulan saya sedang berada di Wonosobo untuk menengok orang tua. Selepas Jumatan, seorang kawan lama bercerita habis menonton turnamen itu kemarin. Lama nggak ketemu kok malah yang dibicarakan bal-balan. Obrolan ini sepertinya menguatkan teori fungsi olahraga dalam masyarakat sesuai pandangan sosiologi olahraga, yaitu sebagai pengalaman emosional bersama serta sebagai interaksi sosial dan bahasa. Jarak dari rumah ke venue pertandingan sekitar lima kilometer. Untuk mencapai tempat tersebut, saya
124 |
HYSA ARDIYANTO
menggunakan angkutan umum jurusan Wonosobo– Garung. Saya turun di gerbang Desa Sendang Sari, Kecamatan Garung. Setelah itu, perjalanan saya lanjutkan dengan berjalan kaki menanjak lebih kurang satu kilometer. Jarak ini saya ketahui dari aplikasi peta di ponsel. Sesampainya di area venue, dua buah ticket box tersedia. Bentuknya sederhana saja, terbuat dari kombinasi anyaman bambu dan seng. Tiket dibanderol seharga sepuluh ribu rupiah. Setiap harinya digelar dua pertandingan, pada jam 14.15 WIB dan jam 16.00 WIB. Saya tiba di venue sekitar pukul tiga sore, menjelang babak pertama usai. Penonton belum begitu ramai. Mungkin warga sekitar belum usai dengan pekerjaan sehari-hari mereka. Tiket menonton pertandingan berbentuk selembar kertas tanpa identitas, apalagi barcode. Meskipun begitu, para petugas penjaga gate lebih canggih daripada alat pendeteksi wajah. Mereka mampu mengenali mana warga yang boleh keluar masuk dan penonton dari luar yang harus bertiket. Para petugas ini dapat dikenali dari seragam yang mereka pakai, kaus beridentitas organisasi karang taruna. Tidak ada pembagian kategori untuk tiket yang dijual. Tidak ada kelas VIP atau ekonomi. Tidak ada perbedaan tribun utara atau selatan. Apalagi nomor kursi. Penonton bebas menentukan sendiri mau menonton dari sisi mana saja. berpindah-pindah pun tidak masalah.
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 125
Mau berdiri, jongkok atau lesehan di pinggir lapangan silakan saja. Para penonton mengitari lapangan pertandingan. Mereka hanya dibatasi oleh tali yang berjarak hanya dua langkah dari garis lapangan. Dua utas tali pembatas membuat lapangan sepakbola lebih mirip arena tinju. Jika beberapa dekade yang lalu klub-klub Liga Inggris merombak desain stadion menjadi tanpa pagar sekaligus mendekatkan tribun penonton ke lapangan, Tarkam lebih maju lagi, dalam pengertian yang sebenarnya. Jarak penonton dengan lapangan tentu saja mengundang isu soal keamanan, baik bagi pemain maupun wasit. Hakim garis bekerja paling keras dalam menghadapi tekanan suporter. Saya tidak tahu bagaimana pertandingan lain, namun di pertandingan yang saya lihat, keamanan cukup terjaga. Saat terjadi gol, segerombol suporter memang menyerbu lapangan untuk merayakannya, namun bisa segera ditertibkan. Bisa jadi karena nama turnamen ini Koramil Cup, maka personel tentara ikut ditugaskan menjaga keamanan. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini contoh yang sempurna tentang bagaimana militer seharusnya terlibat dalam sepakbola Indonesia? Mereka sebaiknya mengambil peran sebagai bagian dari penyelenggara dan memberikan panggung kepada masyarakat sipil untuk bertanding, bukannya malah ikut-ikutan bermain dengan membuat klub segala.
126 |
HYSA ARDIYANTO
Menjelang pertandingan kedua, suasana semakin ramai. Di sekitar lapangan terlihat anak-anak berlarian, remaja putra dan putri tampil modis, sepasang suamiistri membawa serta anak mereka yang masih balita, orang-orang tua tidak ketinggalan dengan fesyen sarung dan pecinya. Mereka tidak hanya menonton sebuah pertandingan sepakbola. Mereka, dan saya, menikmati sebuah social event. Melalui tarkam ini olahraga agaknya benar-benar mengejawantahkan dirinya sebagai sebuah fenomena sosial. Dari arah jalan masuk ke lapangan, berduyunduyun datang sekelompok suporter tim yang bermain di laga kedua. Sebagian besar diantara mereka memakai kaus seragam bertuliskan salah satu tim. Alunan alat musik perkusi segera membahana. Bendera-bendera dikibarkan. Nyanyian dilantunkan. Saya sepertinya pernah mendengar lagu yang sedang dinyanyikan. Ternyata chant-chant yang diteriakkan adalah lagu-lagu PSS Sleman. Teriakan “Bianco verde ale...” segera terdengar di telinga saya. Tetapi tunggu dulu, di lapangan hanya ada tim kuning dan hitam. Kultur suporter Sleman tampaknya telah menjalar ke daerah-daerah lain di sekitarnya yang bahkan “tidak memiliki” klub lokal yang cukup eksis. Klub luar mengisi kekosongan klub lokal atau justru kekosongan klub lokal terjadi karena “invasi” klub luar? Diskusi yang juga mungkin menarik adalah bagaimana nama besar Persib
CATATAN KEOLAHRAGAAN: B A G I A N I I I
| 127
Bandung atau PSIS Semarang menggulung klub-klub kabupaten lain di provinsinya masing-masing. Kultur suporter Sleman diakui oleh penghayatnya diimpor dari Italia. Tidak pelak lagi, globalisasi menemukan spesimen yang sempurna di sepakbola. Saya jadi teringat Franklin Foer yang “berkeliling dunia” ketika menulis buku How soccer explains the world: An unlikely theory of globalization. Sayangnya, ia tidak mampir Wonosobo sehingga sepakbola Tarkam di kaki gunung luput dari pandangannya. Saya pun agak sok menggantikan perannya yang berusaha “memahami dunia lewat sepakbola.” Aroma jagung bakar masih berseliweran di udara, berkelindan dengan kabut tipis yang mulai turun. Saya masih ingin menikmati suasana ini dan berusaha keras memahami dunia lewat sepakbola. Apa daya, saya harus bergegas sebelum gelap agar tidak kehabisan angkutan yang membawa saya pulang. []
128 |
HYSA ARDIYANTO
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 129
17. PEMANDUAN BAKAT OLAHRAGA: KETERBATASAN ISTILAH
BAKAT dinilai sebagai salah satu konsep penting dalam pencapaian prestasi olahraga. Konsep ini menurunkan gagasan tentang bagaimana bakat dalam olahraga dilihat dan diperlakukan. Hal ini kemudian melahirkan istilah yang beragam dalam konsep bakat seperti: participation, identification, detection, recognition, scouting, selection, dan development. Di tingkat lokal muncul istilah: pemasalan, pembibitan, pemanduan, pengembangan, dan pembinaan. Tulisan ini membahas salah satu saja dari istilahistilah tersebut, yaitu pemanduan bakat (talent scouting). Pemilihan suatu istilah dalam kajian akademik tentu berdasarkan pertimbangan yang memiliki konsekuensi tersendiri. Dalam kurikulum Program Studi Ilmu Keolahragaan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2017-2018 terdapat mata kuliah berjudul Pemanduan Bakat Olahraga. Sebagai sebuah judul, tentu dapat diasumsikan bahwa istilah tersebut dapat me-
130 |
HYSA ARDIYANTO
mayungi seluruh atau setidaknya sebagian besar konsep dalam pembahasan bakat olahraga. Konsep pemanduan bakat dalam mata kuliah ini diposisikan sebagai suatu istilah yang meliputi identifikasi, seleksi dan pengembangan bakat dalam olahraga. Identifikasi dan pengembangan adalah dua istilah yang pada umumnya dipakai dalam pembahasan bakat olahraga. Konsep identifikasi dan pengembangan bakat muncul sebagai akibat dari adanya perbedaan perspektif dalam melihat bakat olahraga. Diskusi mengenai konsep bakat memang secara umum berada pada perdebatan antara nature versus nurture. Perdebatan ini berlanjut dalam menentukan apakah bakat olahraga merupakan hasil dari bahan biologis (gen) atau pengaruh lingkungan dan pengalaman (Cobley, Schorer, & Baker, 2012). Guna menerangkan duduk perkaranya, Abbott (2006) menjelaskan bahwa para ‘nativist’, yang melihat bakat sebagai suatu bawaan, percaya bahwa lingkungan memainkan peran yang sedikit dalam perkembangan seorang bakat. Perspektif ini mendukung konsep bahwa kunci penentu bakat olahraga dapat diidentifikasi sejak dini. Karena terdapat perbedaan karakter genetik yang menunjang pencapaian prestasi olahraga, konsekuensinya harus dilakukan seleksi untuk menentukan bakat yang paling berpotensi. Di sisi yang berbeda, terdapat pandangan ‘nurture’ yang melihat bakat sebagai hasil dari latihan yang disengaja. Perspektif ini memang mengakui adanya potensi bawaan bakat, namun melihat
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 131
potensi tersebut sebagai modal untuk menguasai keterampilan dan pengetahuan. Lingkungan pengembangan bakat olahraga menjadi penekanan karena berperan penting untuk menguasai keterampilan dan pengetahuan tersebut. Pandangan ‘Darwinian’ kemudian muncul untuk berusaha menengahi perbedaan kedua kubu di atas. Penelitian-penelitian yang menyelidiki peran lingkungan dalam pengembangan bakat olahraga menunjukkan semakin berbaurnya pandangan nativist dan nurture dalam melihat bakat. Keduanya tidak lagi mempertentangkan mana yang lebih berpengaruh terhadap bakat, genetik (nature) atau lingkungan (nurture), akan tetapi bagaimana keduanya berinteraksi. Bakat olahraga dilihat sebagai gabungan yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan latihan, dibandingkan sekedar hasil salah satu dari dua faktor tersebut. Padangan yang mencerminkan sudut pandang interaksionis dalam perdebatan nature/nurture diajukan oleh Henriksen (2010). Definisi yang dikemukakannya menekankan bahwa bakat olahraga terdiri dari potensi bawaan dan karakteristik, kompetensi dan keterampilan yang dikembangkan melalui latihan. Definisi ini menekankan bahwa potensi bawaan hanya dapat diwujudkan melalui proses yang disengaja dalam waktu yang lama baik di dalam maupun di luar konteks olahraga. Perspektif interaksionis ini tidak lagi melihat identifikasi dan pengembangan bakat sebagai dua hal yang berpijak
132 |
HYSA ARDIYANTO
dari landasan yang berseberangan. Jargon nature versus nurture kemudian berganti menjadi nature via nurture. Kembali ke pemanduan bakat olahraga. Pandangan yang melihat pemanduan bakat sebagai identifikasi, seleksi dan pengembangan ternyata bukan satu-satunya yang mengemuka. De Bosscher, Brockett, dan Westerbeek (2016: 523) justru melihat pemanduan bakat (bersama dengan seleksi) sebagai bagian dari identifikasi bakat. Dalam pandangan mereka, identifikasi bakat terdiri dari (1) talent recognition (sistem monitoring berdasarkan kriteria yang mengenali bakat-bakat muda), (2) talent scouting (proses yang dilakukan untuk merekrut atletatlet muda), dan (3) selection process (proses memilih atletatlet muda untuk tujuan khusus). Perbedaan dalam menempatkan setiap konsep yang berkaitan dengan bakat olahraga ini menarik. Dari dua pandangan yang berbeda ini saja dapat kita lihat bagaimana pemanduan bakat olahraga diposisikan. Pada satu sisi pemanduan bakat dilihat sebagai sesuatu yang utuh dengan ‘bagian-bagiannya’ yang meliputi identifikasi, seleksi dan pengembangan. Di sisi lain, bakat olahraga hanya dilihat dari dua hal: identifikasi dan pengembangan. Pandangan yang disebutkan belakangan menempatkan pemanduan bakat sebagai salah satu tahap (saja) dalam identifikasi bakat. Perbedaan konsep dalam menempatkan pemanduan bakat olahraga dapat diduga karena terjadi pertukaran istilah antara area praktik dan area teori. Artikel yang
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 133
menggunakan istilah pemanduan bakat pada umumnya berhubungan dengan manfaat praktis di lapangan seperti rekrutmen pemain oleh klub atau memprediksi ‘nilai’ pemain. Pemanduan bakat juga berhubungan dengan profesi pemandu bakat yang bekerja merekrut bakat untuk organisasi olahraga. Pada penelitian yang bersifat konseptual, sedikit sekali ditemukan istilah pemanduan atau scouting. Istilah yang lebih banyak dipakai adalah identifikasi dan pengembangan bakat. Istilah pemanduan bakat sepertinya tidak umum dipakai pada pembahasan bakat secara teori atau konseptual. Istilah pemanduan bakat juga lebih sedikit ditemukan dalam literatur internasional dibandingkan istilah talent identification (TID) dan/atau talent development (TDE). Hal ini dapat dibuktikan melalui pencarian kata kunci pada jurnal-jurnal internasional. Implikasi dari istilah “pemanduan bakat” yang didefinisikan secara berbeda menjadi kurang terkoneksi dengan literatur yang ada. Situasi ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa sebuah istilah yang dipakai di suatu komunitas akademik (dalam hal ini suatu negara) memiliki keterbatasan dengan perdebatan yang sedang terjadi. Apakah keterbatasan yang terkandung dalam istilah pemanduan bakat ini berkaitan dengan penelitian bakat olahraga di Indonesia yang lebih banyak menekankan pada fase identifikasi? []
134 |
HYSA ARDIYANTO
Daftar Referensi Abbott. A.J. (2006). Talent identification and development in sport. Disertasi. Tidak diterbitkan, Edinburgh University, Edinburgh. Cobley, S., Schorer, J., & Baker, J. (2012). Indentification and development of sport talent: a brief introduction to a growing field of research and practice. Dalam J. Baker, S. Cobley & J. Schorer (Eds.), Talent identification and development in sport: international perspectives (pp.1-10). Abingdon: Routledge. De Bosscher, V., Brockett, C., & Westerbeek, H. (2016). Elite youth sport policy and dual career support services in fifteen countries. Dalam K. Green & A. Smith (Eds.), Routledge handbook of youth sport (pp.521-532). Abingdon: Routledge. Henriksen, K. (2010). The ecology of talent development in sport: a multiple case study of successful athletic talent development environments in Scandinavia. Disertasi, tidak diterbitkan, University of Southern Denmark, Odense.
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 135
18. POLEMIK EKSPLOITASI ANAK DALAM AUDISI BULU TANGKIS
SEKITAR bulan Juli 2019 muncul pemberitaan yang viral di media daring berisi tudingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap Perkumpulan Bulutangkis (PB) Djarum yang dinilai melakukan eksploitasi terhadap anak melalui audisi pencarian bibit atlet bulu tangkis. Dalam memberitakan kasus ini, beberapa media menggunakan kata ‘polemik’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, polemik berarti perdebatan mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka dalam media massa. Kata polemik ini mengingatkan pada Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an yang terkenal itu. Apakah tudingan eksploitasi anak ini dapat disebut sebagai suatu polemik? Bobotnya mungkin tidak seberat Polemik Kebudayaan. Namun, di era media digital ini, skalanya bisa sangat luas dan terbuka bagi siapapun untuk ikut berpolemik. Lagi pula, polemik dalam konteks pembina-
136 |
HYSA ARDIYANTO
an olahraga nasional melibatkan berbagai kepentingan. Perbedaannya, pada masa lalu, balas-membalas argumen dalam berpolemik membutuhkan waktu bermingguminggu bahkan lebih. Sementara sekarang adu argumen bisa terjadi hanya dalam hitungan jam saja. Dasar yang dipakai oleh KPAI dalam memulai polemik ini adalah hasil survei oleh sebuah LSM bernama Yayasan Lentera Anak (YLA). Pemaparan hasil survei melalui jumpa pers pada Februari 2019 menyebutkan, “Kegiatan Audisi Beasiswa Djarum Bulu-tangkis yang melibatkan ribuan anak Indonesia, bukan saja mendekatkan brand image rokok Djarum yang berbahaya pada anak, tetapi juga mengambil keuntungan dengan memanfaatkan tubuh anak sebagai media promosi brand image Djarum dan ini adalah bentuk eksploitasi anak.” Kalimat ini banyak dikutip oleh media. Menurut keterangan Ketua YLA, yang disampaikan kepada redaksi Tempo, pihaknya melakukan survei daring pada 7 November hingga 3 Desember 2018 dengan melibatkan 514 responden dari 29 provinsi berusia kurang dari 18 tahun hingga 25 tahun. Hasilnya, "Terdapat 60 persen lebih responden menginterpretasikan bahwa tulisan Djarum pada kaos yang dikenakan anak adalah brand image rokok Djarum, sedangkan sisanya menginterpretasikan kompetisi badminton sebanyak 31 persen, dan 1 persen menjawab alat jahit."1 1
https://sport.tempo.co/read/1178584/audisi-bulu-tangkis-ditudingeksploitasi-anak-apa-kata-djarum
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 137
Judul penelitian itu begitu tendensius, “Interpretasi tulisan Djarum pada kaos yang dikenakan anak.” Sampai di sini sebenarnya bisa muncul beberapa pertanyaan terkait dengan bagaimana penelitian itu dilakukan. Pertama, dengan pemilihan kata ‘interpretasi’ pada judul penelitian, apakah metode survei memadai? Hasil survei hanya bisa memberikan gambaran kuantitatif. Sementara interpretasi umumnya digunakan untuk menggali makna dengan pendekatan kualitatif. Survei tidak mampu mengungkap data sampai tingkat makna. Lalu penarikan kesimpulan diambil dari mana? Selanjutnya, bagaimana pertanyaan survei dibuat? Apakah jawabannya terbuka, atau ada pilihan yang sudah ditetapkan? Jika respondennya anak-anak, apakah pengisian survei tersebut sudah mendapatkan izin dan pendampingan dari orang tua? Dalam rilis yang dimuat media, hal-hal tersebut tidak diungkapkan. Kedua, laporan menyebutkan bahwa responden penelitiannya berusia kurang dari 18 tahun hingga 25 tahun. Bukankah orang yang berusia di atas 18 tahun tidak lagi dikategorikan anak-anak? Bahkan pada usia tersebut seseorang sah-sah saja untuk mengkonsumsi produk rokok. Jika demikian, tentu saja mereka sudah mengenal berbagai brand rokok. Mengapa hasil survei YLA perlu dipertanyakan? Hal ini tidak lepas dari pengakuan Ketua YLA yang mendapat aliran dana dari Bloomberg Philantrophies untuk
138 |
HYSA ARDIYANTO
kampanye anti tembakau.2 Apakah survei itu merupakan pesanan sponsor? Sampai di sini dapat dilihat bahwa akar polemik ini adalah industri rokok yang digugat oleh lembaga yang mengusung isu-isu anak-anak. Dengan demikian, mengalihkan pembicaraan ke persoalan KPAI yang dikaitkan dengan sinetron, demo, atau produk lain yang melibatkan anak-anak menjadi kurang tepat konteksnya. Djarum tentu saja menolak tuduhan itu. Kata “Djarum” di sini memang bisa multitafsir, PB Djarum sebagai klub bulu tangkis, Djarum Foundation sebagai yayasan dan PT Djarum sebagai perusahaan. Mereka bersikukuh aktivitasnya adalah pencarian bibit atlet melalui program corporate social responsibility (CSR). Argumen yang diajukan untuk menolak disebut sebagai pemasaran rokok adalah tidak ada display, promosi dan penjualan produk dalam kegiatan tersebut. Menanggapi tuduhan eksploitasi anak pada pihaknya, Program Director Bakti Olahraga Djarum Foundation akhirnya mengambil sikap yang disampaikan melalui sebuah konferensi pers. Pada audisi di Purwokerto, panitia menurunkan semua brand PB Djarum dan menyampaikan akan menghentikan audisi umum di tahun 2020. Menurut pihaknya, keputusan itu diambil guna mereduksi polemik.
2
https://nasional.kontan.co.id/news/nama-bloomberg-ikut-terseret-dalampolemik-kpai-vs-djarum
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 139
Menanggapi polemik tersebut publik terbelah ke dalam beberapa kelompok. Posisi yang berbeda-beda, yang kadang saling berhadapan, dalam menanggapi sebuah isu inilah yang membuat polemik menjadi menarik sekaligus berharga sebagai sarana belajar beradu argumen dengan sehat. Dari suatu isu di arena olahraga, ternyata kita bisa belajar berdemokrasi. Posisi yang mendukung pihak tertuduh pertama kali ditunjukkan oleh para penggemar bulu tangkis Tanah Air. Mereka terlihat sebagai kelompok besar yang paling terusik. Mereka khawatir soal prestasi bulu tangkis Indonesia di masa depan. Komunitas Badminton Lovers (BL) pada umumnya menaruh simpati pada Djarum sembari menyerang KPAI. Apalagi status mereka sebagai warganet, maka selesai sudah itu lembaga yang mencoba mengusik pabrik rokok. Kelompok lain yang terlihat menentang KPAI adalah kretekus. Istilah ini digunakan oleh komunitas yang peduli pada kelestarian kretek sebagai warisan budaya. Memang apa bedanya rokok dan kretek? Kretek dapat disebut sebagai rokok khas nusantara yang ditambahkan cengkeh dalam racikan tembakaunya. Tidak seperti “rokok putih” yang hanya berisi tembakau. Umumnya mereka berposisi menentang upaya pelemah-an industri tembakau dalam negeri yang dilakukan oleh kepentingan asing. Mereka bersikap karena ada nama Bloomberg di belakang yayasan yang merilis penelitian soal rokok dan anak-anak itu.
140 |
HYSA ARDIYANTO
Tanggapan pro KPAI muncul dari pihak “antirokok”. Penamaan ini sebenarnya bukan self-labelling, melainkan penamaan oleh pihak “lawannya.” Kelompok ini sering berseberangan dengan industri rokok dalam isu tembakau. Dalam padangan mereka, CSR yang dilakukan oleh pabrik rokok sama saja dengan strategi marketing. Alasannya, seperti disampaikan oleh Kak Seto, keputusan Djarum menghentikan audisi adalah sikap kekanak-kanakan. Kelompok ini lalu mempertanyakan soal ketulusan dari CSR yang dilakukan. Kalau mau berbuat baik ya mbok gak perlu bawa-bawa nama perusahaan rokok, begitu. Pemerintah yang mengurusi olahraga, diwakili oleh Menpora, sepertinya santai-santai saja. Pihaknya menilai tidak ada masalah dan audisi bisa diteruskan dengan penyesuaian. Pak Menteri menganggap penting peran swasta dalam pembinaan olahraga. Sementara dari Pengurus Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI), yang bersuara Sekretaris Jenderal dan Kabid Pembinaan Prestasinya. Mereka menyayangkan tuntutan KPAI. Bagaimana dengan ketuanya? Beliau kayaknya lagi ribet sama urusan Papua. Jangan diganggu. Kedua institusi ini secara implisit berada di pihak Djarum. Pandangan terakhir (dalam tulisan ini, dan tidak menutup kemungkinan pandangan-pandangan lain), ada sekelompok intelektual, akademisi dan aktivis yang melihat polemik ini dalam kacamata relasi kuasa antara negara dengan korporat. Padangan ini saya temui pada
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 141
status-status Facebook beberapa dosen dan aktivis yang saya follow. Dalam banyak kasus, korporat besar selalu mempunyai trik untuk memenangkan pertarungan. Dan hal itu mulai terbukti dalam polemik ini. Korporasi besar mendapat simpati netizen, yang di saat bersamaan membully lembaga negaranya sendiri. Polemik eksploitasi anak dalam audisi bulu tangkis menunjukkan bahwa sebagai komunitas dalam sebuah bangsa, pilihan dan pandangan kita tidak pernah benarbenar sama. Inilah makna demokrasi yang substansial. Munculnya polemik memicu perdebatan yang bisa jadi melahirkan momentum untuk membongkar yang lama dan menyusun yang baru, seperti kebijakan pembinaan olahraga nasional, misalnya? []
142 |
HYSA ARDIYANTO
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 143
19. DILEMA PEMBIAYAAN UNTUK PEMBINAAN OLAHRAGA
TULISAN ini melanjutkan artikel sebelumnya untuk ikut menanggapi polemik terjadi antara KPAI dan PB Djarum. Saya mencoba gaya bertutur yang agak berbeda, entah dalam pengertian bagus atau malah sebaliknya. Hal ini saya pertimbangkan sebagai sarana belajar masuk ke media daring zaman now yang cenderung informal. Kata-kata asing dan yang tidak sesuai pedoman ejaan umum Bahasa Indonesia sengaja tidak dicetak miring. KPAI melayangkan tuduhan eksploitasi anak pada PB Djarum. Alasannya, peserta audisi memakai kaus yang terdapat logo, tulisan dan warna-warna yang identik dengan perusahaan rokok. Oleh KPAI, ini dianggap sebagai strategi pemasaran rokok dengan memanfaatkan tubuh anak-anak. Landasan hukum yang dipakai KPAI adalah pasal 47 UU 109 tahun 2012. Tudingan ini berdasar hasil survei Yayasan Lentera Anak beberapa bulan sebelumnya.
144 |
HYSA ARDIYANTO
Polemik yang berlarut-larut, pada satu titik, memuncak pada sebuah klimaks pengumuman oleh PB Djarum yang berisi rencana akan menghentikan audisi bibit atlet bulu tangkis di tahun depan. Istilah yang dipakai oleh Djarum adalah pamitan. Banyak pihak jadi baper karena keputusan itu. Sebagian besar khawatir pada masa depan pembinaan olahraga paling berprestasi di Indonesia itu. Secara implisit, apa yang dikhawatirkan dari keputusan PB Djarum adalah soal pembiayaan untuk pembinaan olahraga. Para penggemar bulu tangkis (BLbadminton lovers) Tanah Air terlihat paling bersuara keras. Tidak disangkal, pembinaan atlet hingga meraih prestasi tertinggi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sayangnya, biaya ini tidak bisa sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Kalau begitu, dari manakah sumber dana untuk pembinaan olahraga selain anggaran pemerintah? Perusahaan swasta sudah tentu, seperti yang telah dilakukan oleh Djarum. Untuk membuka kemungkinan lain, bagai-mana kalau kita coba lihat di negara lain? Cara yang akan dipakai adalah metode yang paling digemari anggota dewan perwakilan rakyat: studi banding. Mari kita cari negara yang pembinaan olahraganya menarik untuk dilihat. Karena gak ada budget, ya online saja studi bandingnya. Modalnya cukup laptop, internet sama kopi.
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 145
Buat menentukan negara tujuan studi banding, tentu kita membutuhkan suatu kriteria. Kriterianya harus objektif dong, bukan karena makanannya enak, tempat wisatanya bagus. Eh. Kalo soal prestasi olahraga, kriteria yang gampang diukur ya hasil perolehan medali. Hasil Olimpiade (summer dan winter) bisa menunjukkan negara-negara yang pembinaan olahraganya dinilai bagus. Tapi hasil Olimpiade sudah bisa ketebak. Negara itu-itu saja yang langganan juara. Ya kan? Jadi kok rasanya cara ini kurang insightful. Nah, ada website yang menawarkan cara menilai prestasi olahraga suatu negara dengan cara berbeda. Namanya Greatest Sporting Nation (GSN), alamatnya di greatestsportingnation.com. Website ini membuat daftar urutan negara-negara dengan prestasi olahraga, tidak hanya dari Olimpiade, tetapi juga cabang-cabang dan kejuaraan olahraga lain. Menariknya, mereka juga menyajikan prestasi olahraga per kapita. Hasil penghitungan GSN untuk negara yang paling berprestasi berbeda dengan hasil Olimpiade. Pada Global Cup 2018 yang dirilis oleh GSN, Norwegia menempati urutan pertama, di atas Amerika Serikat dan Jerman. Bahkan Norwegia juga selalu menempati lima besar Per Capita Cup dalam lima tahun terakhir. Jadi, ayo kita ke Norwegia. Keberhasilan olahraga Norwegia ditempuh dengan meluncurkan program sentralisasi bernama Project 88. Bukan salep lho ya. Salah satu fokusnya adalah program
146 |
HYSA ARDIYANTO
pengembangan atlet secara holistik yang meliputi kemampuan fisiologis, intelektual, dan sosial mereka. Sentralisasi ini didukung dengan adanya suatu organisasi bernama Olympiatoppen. Perannya sebagai koordinator aktivitas kepelatihan seluruh cabang olahraga elit. Olympiatoppen juga berperan dalam menawarkan dukungan finansial dan kerja sama lintas organisasi cabang olahraga. Dari mana sumber dukungan finansial bagi olahraga di sana? Nah ini dia! Pendanaan program olahraga Norwegia didapatkan dari sponsor dan lotre yang dikelola oleh Norsk Tipping. Sentralisasi dan lotre? Waduh! Pembinaan olahraga di Indonesia pada umumnya memang sudah tersentralisasi. Bulu tangkis misalnya, cabor andalan itu menerapkan Pelatihan Nasional (Pelatnas) untuk atlet-atletnya di Cipayung (ada lho yang menyebutnya Ciumbella). Melihat perbedaan dari segi luas wilayah dan kondisi geografis antara Indonesia dan Norwegia, tentu efektivitas sentralisasinya bisa berbeda. Setelah sentralisasi, kebijakan berikutnya ini yang bikin dilema. Dana yang dikumpulkan dari lotre untuk mendanai olahraga bisa sangat besar. Bisa mencukupi, bahkan melebihi kebutuhan untuk pembinaan olahraga. Ini ada buktinya lho. Dulu olahraga kita pernah dibiayai oleh lotre bernama Porkas (Pekan Olahraga dan Ketangkasan), kemudian disusul oleh SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah). Karena efek buruknya dianggap lebih
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 147
banyak daripada manfaatnya, akhirnya program ini ditutup. Sekarang kalau mau ungkit-ungkit soal duit lotre untuk olahraga, siap-siap saja dibully. Kesimpulannya, lotre kita coret saja dari daftar alternatif sumber pembiayaan untuk pembinaan olahraga. Pilihannya kembali lagi ke dana dari perusahaan swasta. Dana ini bisa dalam bentuk sponsorship atau corporate social responsibility. Pembinaan olahraga oleh perusahaan swasta ini yang sekarang kita lihat. Perusahaan seperti Djarum, rutin mengalokasikan dana untuk mendukung kegiatan olahraga di Indonesia, khususnya bulu tangkis. Dana tersebut disalurkan melalui yayasan, antara lain, untuk klub di bawah naungannya dan sponsor kejuaraan bulu tangkis. Perusahaan menyebut dana yang digelontorkan ini sebagai bentuk tanggung jawab sosial karena keluar dari rekening yayasan. Namun, sebagai entitas bisnis, perusahaan tentu mempertimbangkan soal investasi. Djarum sudah setengah abad mendukung pembinaan olahraga melalui klub bulu tangkis yang bernama sama, PB Djarum. Dari klub ini juara-juara dunia juga sudah banyak dihasilkan, mulai dari King sampai Kevin. Efeknya, image perusahaan dalam pembinaan olahraga sudah tersimpan dengan sangat baik dalam ingatan kolektif masyarakat. Hasilnya, ketika ada pihak yang mengusik aktivitas perusahaan, seperti saat ini, publik merasa ikut terganggu. Mereka kemudian secara sekarela tergerak untuk
148 |
HYSA ARDIYANTO
membela dan melawan pihak yang mengusik. Inilah hasil dari investasi berpuluh-puluh tahun itu. Maka wajar jika Djarum menuai dukungan yang begitu besar dalam polemik yang terjadi. Keuntungan semacam ini sulit dikalkulasi dengan material. Masalah pun muncul, pembelaan yang dilakukan oleh sebagian publik sudah tidak lagi proporsional. Komentar-komentar yang diberikan cenderung membully dan mengaburkan substansi. Ketika rencana audisi pencarian bibit atlet dihentikan, maka publik seketika gempar. Ada kesan pembinaan atlet melalui pencarian bibit berhenti. Seolah-olah hanya satu perusahaan saja yang dianggap paling peduli pada bulu tangkis di Indonesia. Ini tidak fair karena nyatanya ada klub-klub lain yang tidak kalah dalam menghasilkan atlet juara dunia. Klub-klub ini juga disponsori oleh perusahaan. Lebih mengerikan lagi, menteri yang mengurusi olahraga seolah tak berdaya pada kepentingan korporasi. Inilah dilema ketika menyerahkan nasib olahraga pada swasta. Pihak yang seharusnya berperan sentral dalam pembinaan olahraga menjadi tertawan. Lembaga yang sama-sama merepresentasikan negara, KPAI dan Kemenpora, jadi saling bertabrakan. Ya sudah lah. Anggap saja polemik ini jadi bahan pelajaran: ketergantungan yang terlalu tinggi memang gak sehat. Berat. Apalagi kalo ujung-ujungnya cuma jadi mantan. Jadinya baperan. []
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 149
20. KURIKULUM SEKOLAH SEPAKBOLA: UNTUK APA?
PENGEMBANGAN (dalam tulisan ini saya menggunakan kata ‘pengembangan’ yang lebih sesuai dengan konsep talent development dibandingkan ‘pembinaan’) pemain sepakbola di Indonesia umumnya dimulai dari wadah bernama sekolah sepakbola. Istilah yang populer adalah SSB. Saya sendiri pernah mendirikan sebuah SSB. Saya tidak dapat membanggakan hasilnya, namun bisa belajar sesuatu yang berguna darinya. Sebagai tempat mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, salah satu hal yang saya pikirkan untuk SSB yang saya bikin adalah kurikulum. Persoalan kurikulum ternyata muncul kali pertama ketika saya akan membuat brosur. Apa yang bisa saya cantumkan untuk menarik calon “pembeli” SSB saya? Bagaimana kalau ada orang tua yang menanyakan kurikulumnya? Apa saja yang harus diajarkan dan penilaian seperti apa yang nanti akan diisikan di rapor? Singkatnya, saya berpikir jika ada kurikulum maka SSB ini akan terlihat kredibel dan layak
150 |
HYSA ARDIYANTO
dijual. Pada kasus yang saya alami, kebutuhan akan adanya kurikulum sekolah sepakbola pertama-tama muncul atas dorongan “bisnis,” bukan pendidikannya. Kini, setelah lebih dari tujuh tahun berlalu, saya kembali memikirkan soal kurikulum ini. Untuk apa kurikulum sekolah sepakbola itu dibuat? Dan kurikulum seperti apa yang dibutuhkan? Tentu saja mempertanyakan perlu atau tidaknya sebuah kurikulum pengembangan pemain sepakbola bukan untuk menafikan karya dan pemikiran yang telah dilakukan sebelumnya. Sebelum mencoba menjawabnya, saya kira perlu sedikit pembahasan mengapa kurikulum dibutuhkan saat mendirikan SSB. Isu utamanya terletak pada struktur jenjang pengembangan pemain sepakbola kita. Aktivitas pengembangan pemain di tingkat grassroots sampai usia muda terjadi di sekolah-sekolah sepakbola yang sebagian besar tidak terintegrasi dengan klub. Indikasinya, klubklub menempuh metode seleksi massal guna merekrut pemain jelang kompetisi bergulir. Seleksi terbuka terjadi karena input dari akademi dan kelompok usia di bawah klub sangat sedikit atau hampir tidak ada. Minimnya jenjang pengembangan pemain yang dikelola oleh klub membuka peluang bagi setiap orang untuk bisa mendirikan SSB. Keberadaan SSB ini patut diakui memberikan kontribusi pada sistem pengembangan pemain sepakbola Indonesia. Memang pada akhirnya terjadi seleksi alam, mana SSB yang bertahan dan yang terpaksa tutup. Pada saat mulai merekrut siswa, SSB
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 151
debutan berburu apa yang dianggap sebagai kurikulum. Dari sinilah kurikulum menjadi suatu kebutuhan. Alasan lain mengapa kurikulum SSB dianggap perlu saya duga adalah karena terdapat kata sekolah di dalamnya. Penggunaan kata ‘sekolah’ membuat komparasi antara SSB dengan sekolah formal tidak terelakkan. Namanya sekolah ya harus ada kurikulumnya, lebih kurang begitu. Jika membicarakan sekolah dan pendidikan, kurikulum memang akhirnya tidak dapat dihindari. Kurikulum dapat diibaratkan sebagai jantungnya pendidikan. Pendidikan merupakan suatu konsep yang abstrak, intagible dan dapat terjadi di mana saja. Sementara kurikulum adalah subjek yang spesifik dan tangible sebagai hasil suatu pengambilan keputusan oleh suatu lembaga pendidikan tentang apa saja yang seharusnya diajarkan. Kurikulum mengkombinasikan antara pikiran, tindakan dan tujuan. 3 Menggarisbawahi pendapat Null, dengan demikian, kurikulum berkaitan dengan tujuan yang harus dicapai, atau diharapkan dapat dicapai, dan apa saja yang seharusnya diajarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Lalu apa tujuan sepakbola? Secara permainan, tujuan sepakbola adalah mencetak gol ke gawang lawan dan mencegah lawan mencetak gol dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan. Tujuan bermain sepakbola adalah mencetak gol lebih banyak daripada lawan. Ber3
Wesley Null, Curriculum: From Theory to Practice, Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, 2011, hlm. 1.
152 |
HYSA ARDIYANTO
dasarkan tujuan itu, maka bukankah kurikulum melatih sepakbola cukup mengacu pada game model dan pengetahuan tentang aturannya? Model permainan sepakbola dikembangkan dari cara pandang yang objektif: momen dalam sepakbola yang terdiri dari menyerang dan bertahan dengan transisi diantara keduanya; hierarki aksi sepakbola mulai dari komunikasi, logika permainan, pengambilan keputusan dan kondisi fisik. Inilah yang diturunkan ke dalam latihan-latihan sebagai, katakanlah, kurikulum. Berbicara tentang kurikulum SSB, izinkan saya melebarkan pembahasan sedikit. Saya pernah menemui beberapa artikel jurnal dan prosiding yang mencoba menempatkan kurikulum SSB dengan tujuan di luar dua hal tadi (game model dan laws of the game), misalnya untuk membangun karakter. Sebagai tujuan tidak langsung, mungkin membahas pengembangan karakter sebagai bagian dari kurikulum terdengar menarik. Namun demikian, langkah ini bisa jadi malah kontra-produktif. Olahraga sering digadang-gadang dapat membentuk karakter. Pada kenyataannya, hal itu kadang tidak lebih dari klaim-klaim di atas kertas. Olahraga tidak membentuk karakter, melainkan mencerminkan karakter. Ini merupakan satu isu yang perlu dibereskan terlebih dahulu. Persoalan lain, mengapa sepakbola harus menanggung “beban” di luar hal-hal yang menjadi urusannya, seperti pembinaan karakter? Lalu di mana peran lembaga pendidikan utama jika penanaman nilai-
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 153
nilai itu juga harus menjadi urusan sepakbola? Upaya untuk membangun memang karakter bagus, namun apakah kurikulum sepakbola harus menanggungnya? Lebih disayangkan lagi jika dengan beban ini materi kurikulum sepakbolanya menjadi tidak tersampaikan seutuhnya. Belum lagi waktu yang dihabiskan untuk menyusun kurikulum dengan nilai karakter, melakukan pengukuran dan tes, hingga hampir-hampir tidak menyentuh game model sebagai inti kurikulum sepakbola. Kembali kepada pembahasan kurikulum untuk mencapai tujuan permainan sepabola, saya kemudian mencoba mencari tahu bagaimana kurikulum diterapkan. Secara sepintas saya menemukan setidaknya tiga tipe penempatan kurikulum dalam pengembangan pemain sepakbola. Pertama, kurikulum diposisikan sebagai semacam ingredients atau bahan-bahan dalam produk yang ditawarkan. Kurikulum semacam ini biasanya dimiliki oleh sekolah sepakbola rekreasional dan tidak berafiliasi dengan klub profesional. Sampel yang saya temukan, misalnya, adalah Brazilian Football Academy di Hong Kong (ww.bfa.hk). Akademi sepakbola ini menawarkan model pelatihan yang disebut dengan “Model Empat Sudut”. Empat sudut yang dimaksud adalah Physical, Technical, Psychosocial, dan Social. Istilah-istilah ini sebenarnya sangat umum ditemui dalam pembahasan pengembangan pemain sepakbola. Dalam hal ini, aspek-
154 |
HYSA ARDIYANTO
aspek tersebut diramu sebagai sebuah feature sehingga menambah daya tarik sebuah produk. Tipe kedua, kurikulum yang diambil dari klub mapan atau dapat disebut sebagai klub profesional. Tipe ini dapat dlihat, contohnya, pada Puma Futbol Academy (www.pumafc.org). Puma FC mengadopsi kurikulum Southampton Academy dari Liga Primer Inggris. Kurikulum ini diterapkan di semua tim dan diawasi oleh Direktur Akademi SFC di Southampton, Inggris. Jenis kurikulum ini dipakai oleh sekolah sepakbola atau akademi yang berafisiasi dengan klub profesional. Tipe yang ketiga adalah kurikulum pada akademi yang merupakan bagian terintegrasi dari struktur klub seperti Ajax Amsterdam. Sebagaimana dituturkan oleh salah satu pelatihnya, Arnold Muhren, Ajax adalah klub yang tidak takut memberi pemain muda kesempatan untuk mulai bermain dan senang melihat pemain muda mereka naik pangkat dan debut di tim utama.4 Pada jenis ini, kurikulum sama dengan filosofi klub. Kurikulum sudah menjadi bagian dari budaya organisasi. Mudahnya, tanpa perlu menunjukkan kurikulumnya, setiap pihak percaya pada hasilnya. Jika ketiga tipologi kurikulum yang telah disebutkan tadi berada dalam konteks klub, bagaimana dengan konteks suatu negara. Bagi suatu federasi sepakbola, kurikulum dapat dilihat sebagai panduan cara bermain 4
http://generationadidasinternational.com/afcajax-youth-developmentphilosophy-arnold-muhren
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 155
tim nasionalnya. PSSI, melalui kerja High Performance Unit, mewakili seluruh insan pelaku sepakbola Indonesia berusaha memotret kondisi sepakbola Indonesia, kemudian meriset kelebihan dan kelemahan sebagai titik awal untuk merumuskan suatu Filosofi Sepakbola Indonesia. Perumusan ini mempertimbangkan kelebihan-kelebihan pemain Indonesia, kultur geografis-sosiologis masyarakat Indonesia dan tentunya tuntutan sepakbola top level dunia. Kurikulum ini juga memberikan penjelasan tentang karakteristik pesepakbola usia muda sesuai dengan kelompok usianya. Ketika federasi telah berhasil menyusun kurikulum pengembangan pemain secara nasional, apakah kurikulum itu digunakan untuk menyeragamkan materi dan cara melatih seluruh SSB dan klub di negara itu sebagaimana kurikulum sekolah formal? Mari bayangkan klubklub di negara dengan sepakbola yang mapan. Real Madrid dan Barcelona, Juventus dan Napoli, River Plate dan Boca Juniors. Setiap klub dan akademinya mengembangkan ciri permainannya masing-masing. Mereka menaruh ekspektasi tertentu terhadap para pemain yang dihasilkan. Jika federasi sepakbola Spanyol membuat kurikulum nasional, misalnya, apakah akademi Real Madrid dan Barcelona bersedia diseragamkan? Kurikulum dapat dianggap sebagai suatu aplikasi permainan sepakbola yang dipengaruhi oleh konteks. Kurikulum sepakbola nasional lebih berperan menunjukkan prinsip-prinsip umum. Mungkin dalam hal ini tidak
156 |
HYSA ARDIYANTO
perlu sampai menyentuh aspek teknis komponen kurikulum. Kurikulum merupakan turunan dari cara bermain Tim Nasional. Jika ingin pemainnya masuk Timnas, mau tidak mau SSB dan klub, harus mengajari pemainpemain binaannya agar “berguna” dan sesuai dengan “standar kompetensi” yang dibutuhkan oleh Timnas. Semacam link and match dalam bahasa pendidikan dan industri. Bukankah itu sesungguhnya alasan mengapa kurikulum pendidikan dibuat? Kurikulum merupakan kombinasi antara pemikiran, tindakan dan tujuan. Kurikulum dibuat untuk menentukan apa saja yang seharusnya diajarkan untuk mencapai suatu tujuan. Dalam pembahasan ini tentu saja tujuan bermain sepakbola yang dapat dipadatkan dalam dua hal: model dan aturan permainan sepakbola. Jadi, untuk apa membuat kurikulum sekolah sepakbola untuk tujuan di luar sepakbola? []
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 157
21. JANGAN MENIRU ISLANDIA
HASIL pertandingan terakhir Timnas Sepakbola Indonesia melawan Timnas Islandia agaknya sudah terkubur berita hasil-hasil pertandingan Piala Presiden 2018. Timnas kembali berkonsentrasi untuk Asian Games 2018 beberapa bulan mendatang. Anak asuh Heimir Hallgrimsson meninggalkan Indonesia dengan senyum mengembang. Selain kemenangan meyakinkan dalam dua kesempatan pertandingan uji coba, yang menunjukkan kualitas tim peserta putaran final Piala Dunia FIFA 2018, mereka juga sepertinya menikmati jalan-jalan ke Candi Prambanan dan tepukan khas Viking bersama pendukung Timnas Indonesia. Tidak mengherankan jika kisah kesuksesan “Our Boys” menimbulkan keingintahuan yang begitu besar. Bagaimana negara dengan stok manusia yang terbatas itu bisa membentuk tim yang akan bermain di putaran final Piala Dunia FIFA. Beragam artikel tulisan pun telah mengulas strategi pengembangan bakat sepakbola
158 |
HYSA ARDIYANTO
Islandia. Beberapa tulisan bahkan mengisyaratkan agar Indonesia bisa meniru atau setidaknya mencontoh cara yang dilakukan oleh Islandia. Mulai dari lapangan indoor hingga pemain-pemain yang merantau ke luar negeri, adalah beberapa “rahasia” yang diungkap dari kesuksesan sepakbola Islandia. Pengembangan sumber daya pelatih juga tidak luput dari sorotan. Proyek pembinaan bakat sepakbola Islandia memang memberi hasil yang fenomenal, lolos ke putaran final Piala Dunia FIFA 2018! Meskipun demikian, sebaiknya Indonesia tidak begitu saja meniru Islandia. Mengapa demikian? Alasan pertama, ini berkaitan dengan kelatahan pembinaan bakat sepakbola Indonesia sejak zaman dulu. Di era 90-an, saat Serie A sedang begitu berjaya, PSSI mengirim bakat-bakat terbaik ke Italia untuk menimba ilmu dengan bendera Primavera dan Baretti. Proyek ini memang menghasilkan para pemain yang kini dianggap sebagai legenda. Pada dekade sebelumnya, pelatih asal Belanda, Wiel Coerver, didatangkan untuk menggembleng para pemain Timnas di SEA Games 1979. Saat itu permainan Timnas Belanda dinilai sangat atraktif dengan Total Football-nya. Cara berpikir yang revolusioner terhadap strategi bermain sepakbola pada era itu agaknya membuat pelatih-pelatih asal Belanda menjadi daya tarik yang kuat.
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 159
Ketika Spanyol mencetak hattrick juara di tahun 2008, 2010, dan 2012, kiblat sepakbola seketika pindah ke Negeri Matador itu. Pemilihan pelatih Timnas Indonesia untuk Asian Games 2018 (Luis Milla) sepertinya tidak lepas dari pengaruh tersebut. Arah pembinaan bakat sepakbola kita hampir saja menghadap ke Jepang saat Tom Byer mengunjungi Jakarta pada 2013, namun agaknya kesepakatan dengan PSSI tidak tercapai. Thailand, negara tetangga yang industri sepakbolanya sedang melejit, juga sempat dilirik pembinaannya. Jangan lupakan Uruguay, tuan rumah dan juara Piala Dunia FIFA pertama yang juga sempat menjadi tempat persemaian bakat-bakat sepakbola Indonesia. Harus diakui, proyek seperti Primavera dan Baretti berhasil mencetak pemain-pemain Timnas yang hebat. Sentuhan tangan Meneer Belanda menghasilkan emas SEA Games di cabang sepakbola. Namun demikian, caracara seperti itu membuat arah pembinaan sepakbola kita menjadi tidak jelas dan selalu berubah sesuai tren yang sedang terjadi atau selera pengurus federasi. Kecenderungan untuk lirik sana lirik sini pada negara yang sedang melejit prestasinya sepertinya belum akan berhenti. Kedua, meniru cara pembinaan bakat sepakbola Islandia tidaklah relevan. Kondisi geografis, demografis, ekonomi, sosial, politik, budaya dan hampir seluruh aspek lain antara Indonesia dan Islandia sangat jauh berbeda. Di sana, sepakbola hanya bisa dimainkan dalam
160 |
HYSA ARDIYANTO
lima bulan sepanjang tahun. Itulah mengapa mereka harus membangun lapangan indoor di beberapa tempat yang kemudian menjadi salah satu kunci keberhasilan. Di sini, jumlah lapangan relatif cukup dan bisa digunakan sepanjang tahun. Jika ada hal yang perlu ditingkatkan, tentu adalah kualitasnya. Anehnya, ketika turun dana hibah pemerintah untuk lapangan sepakbola, di beberapa tempat yang pernah saya lihat, justru yang pertama dibangun adalah pagar atau tribun. Bagaimana pengaruh pemagaran lapangan atau pembangunan tribun terhadap pembinaan bakat sepakbola? Ini sempat mengganggu pikiran saya. Sadar akan pentingnya pembinaan bakat pada usia di bawah 11 tahun, KSI (federasi sepakbola Islandia) mewajibkan para pelatih di usia tersebut untuk memiliki lisensi B UEFA. Jika lisensi pelatih dengan standar AFC (konfederasi sepakbola Asia) diterapkan di Indonesia, bisa-bisa tidak ada lagi pelatih yang mengurusi anakanak di lapangan-lapangan desa dan kemungkinan besar sekolah-sekolah sepakbola akan tutup. Pelatih berlisensi untuk tingkat grassroots memang sangat penting dan wajib untuk dipenuhi, hanya saja dengan jumlah populasi anak yang sangat besar, perlu prioritas di mana pelatih-pelatih berlisensi ditempatkan. Bakat-bakat yang tidak terjangkau oleh pelatih berlisensi bisa dikembangkan oleh para pelatih sukarelawan. Idealnya para pelatih tidak hanya dituntut untuk memiliki lisensi, namun juga difasilitasi agar bisa memperolehnya.
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 161
Salah satunya dengan kursus kepelatihan yang sedang gencar dilakukan. Alasan ketiga berkaitan dengan cara berpikir yang sangat mendasar. Apapun metode pembinaan bakat sepakbola yang ditempuh sebaiknya bukan langkah reaktif semata. Tidak kalah penting, pembinaan seharusnya tidak mengabaikan konteks Indonesia. Jangan sampai karena negara A sedang bagus kita contoh negara A, lain waktu negara B lolos Piala Dunia, kita pindah haluan ke negara B. Dalam hal ini perumusan Filosofi Sepakbola Indonesia (Filanesia) dalam buku Kurikulum Pembinaan Sepakbola Indonesia di bawah komando Direktur Teknik PSSI menjadi sebuah potensi. Mungkin ada yang berpendapat jika Vietnam U-23 saja sudah sampai Final Piala Asia U-23 2018 kita kok masih berpikir filosofi. Mikir terus kapan majunya, mungkin begitu. Perenungan filosofi memang sepertinya hanya duduk-duduk dan tidak melakukan sesuatu, tetapi seperti ungkapan John Dewey, bapak pragmatisme, “mendudukkan masalah dengan tepat adalah setengah dari solusi”. Bagi orang yang sedang tersesat di gunung, diam lebih baik sambil mengunggu bantuan daripada bergerak menghabisakan energi. Di sepakbola pun, kick and stay kadang lebih berguna daripada kick and rush. Alasan terakhir, sebaiknya kita tidak meniru cara federasi sepakbola Islandia yang mendorong bakat-bakat terbaiknya berkarier di liga-liga luar negeri yang lebih
162 |
HYSA ARDIYANTO
kompetitif. Kalau itu dilakukan, bisa-bisa dituduh tidak nasionalis. Alasan yang terakhir ini, jika Anda ingat, tentu saja mengingatkan pada Ketua PSSI yang melarang dua pemain Timnas bergabung dengan liga di negara tetangga. []
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 163
22. MEMPERTAHANKAN PRESTASI SETELAH ASIAN GAMES 2018
ASIAN GAMES 2018 dianggap menarik karena menggabungkan keberhasilan olahraga dan non-olahraga sekaligus. Indonesia dinilai telah mencapai kesuksesan dalam penyiapan sarana dan prasarana, penyelenggaraan, dan perolehan medali. Hal ini memang tidak bisa dilepaskan dari keuntungan sebagai tuan rumah. Sebelum event bergulir, Pemerintah Indonesia mencanangkan target 16 emas dan menempati posisi sepuluh besar. Kenyataannya cukup mengejutkan, prestasi yang dicapai jauh melampaui target tersebut. Ini merupakan pencapaian terbaik Kontingen Indonesia selama berpartisipasi di ajang olahraga terbesar di benua Asia itu. Prestasi ini membanggakan, sekaligus menjadi tantangan untuk dipertahankan. Tantangan ini perlu dijawab. Untuk itu, dengan segala keterbatasan, tulisan ini berupaya mendiskusikan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan langkah-langkah
164 |
HYSA ARDIYANTO
yang dinilai dapat ditempuh guna mempertahankan prestasi olahraga Indonesia setelah Asian Games 2018. Dalam pembahasannya tentu saja tidak bisa mengabaikan tujuan esensial dari penyelenggaraan event olahraga internasional yang menjunjung tinggi nilai-nilai Olympism, yaitu friendship (persahabatan), excellence (keunggulan), dan respect (rasa hormat). Dalam tulisan ini, pertama, akan disajikan perolehan hasil medali Kontingen Indonesia di Asian Games 2018. Data tersebut kemudian dikaitkan dengan event olahraga berikutnya seperti Olimpiade 2020 dan Asian Games 2022. Selanjutnya, dibahas langkah-langkah yang dapat dilaku-kan beserta isu-isu di sekitarnya. Pembahasan meliputi: (1) investasi pada cabang olahraga Olimpiade, (2) optimalisasi cabang potensial, (3) diplomasi olahraga, dan (4) perhatian pada prestasi non-medali. Pembahasan Perolehan medali Kontingen Indonesia disajikan pada Tabel 1 yang diolah dari situs web resmi Asian Games 2018 (www.asiangames2018.id). Medali-medali tersebut telah dipetakan sesuai kategori cabang olahraga yang menyumbangkan. Cabang olahraga yang menghasilkan medali dibagi ke dalam kategori (1) cabang olahraga wajib di Olimpiade, (2) cabang olahraga di Asian Games dan (3) cabang olahraga Non-Olimpiade dan Non-
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 165
Asian Games. Cabang olahraga yang tidak memperoleh medali tidak dimasukkan dalam tabel ini. Tabel 1. Perolehan Medali Kontingen Indonesia di Asian Games 2018 Cabang olahraga
Emas
Perak Perunggu
Total
Olimpiade 1 Panjat Tebing
3
2
1
6
2 Bulu Tangkis
2
2
4
8
3 Dayung
1
2
2
5
4 Angkat Besi
1
1
1
3
5 Karate
1
0
3
4
6 Tenis
1
0
0
1
7 Taekwondo
1
0
0
1
8 Kano/Kayak Sprint
0
3
2
5
9 Atletik
0
2
1
3
10 Voli Pantai
0
1
2
3
11 Panahan
0
1
1
2
12 Balap Sepeda BMX
0
1
1
2
13 Senam Artistik
0
1
1
2
14 Menembak
0
1
0
1
15 Tinju
0
0
2
2
16 Skateboard
0
2
2
4
17 Sepak Takraw
1
1
3
5
18 Wushu
1
1
3
5
12
21
29
62
19 Pencak Silat
14
0
1
15
20 Paralayang
2
1
3
6
21 Balap sepeda donwhill
2
0
1
3
22 Jet Ski
1
1
1
3
23 Soft Tennis
0
1
3
4
24 Bridge
0
0
4
4
25 Kurash
0
0
1
1
Asian Games
Non Asian Games
166 |
HYSA ARDIYANTO
Berdasarkan data tersebut, ada beberapa hal yang dapat dilihat. Pertama, dari 33 cabang olahraga yang akan dipertandingkan di Olimpiade 2020, Indonesia berhasil meraih medali di 16 cabang Asian Games 2018. Di cabang olahraga Asian Games Non-Olimpiade, sepak takraw dan wushu, juga menghasilkan emas. Artinya, ada 18 cabang olahraga yang berpotensi menghasilkan medali bagi Indonesia. Dari 18 cabang olahraga, separuhnya menghasilkan emas di Asian Games 2018. Kedua, selain bridge, seluruh cabang olahraga yang diusulkan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018 yaitu pencak silat, paralayang dan jet ski memperoleh medali emas. Ini menunjukkan strategi yang tepat dalam memanfaatkan keuntungan sebagai tuan rumah. Sayangnya, keuntungan ini tidak bisa lagi dinikmati di luar kandang. Ketiga, jika menghitung cabang olahraga yang akan dipertandingkan di Asian Games 2022, dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa Indonesia “hanya” mendapatkan 12 emas, 21 perak dan 29 perunggu. Jumlah ini belum aman untuk menempati posisi sepuluh besar. Posisi ke-10 di Asian Games 2018 ditempati oleh Korea Utara dengan 12 emas 12 perak dan 13 perunggu. Perbedaan jumlah medali ini sangat tipis. Di bawah Korea Utara, pada peringkat ke-11, ada Bahrain yang juga mengoleksi 12 emas. Menariknya, atau celakanya, seluruh emas yang diperoleh kedua
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 167
negara tersebut berasal dari cabang olahraga Olimpiade. Ini tentu bukan kabar yang menggembirakan. Berdasarkan analisis tersebut, yang dimaksud dengan mempertahankan prestasi di Asian Games 2022 mendatang adalah mempertahankan di sekitar posisi sepuluh besar, bukan empat besar. Menengok kembali pencanangan target sebelum Asian Games 2018, posisi sepuluh besar dinilai sudah realisitis. Hanya saja, pada event berikutnya Indonesia tidak berposisi sebagai tuan rumah. Lalu bagaimana mencapai target tersebut? Investasi pada Pembinaan Cabang Olahraga Olimpiade Data pada Tabel 1 menunjukkan Indonesia lemah pada cabang olahraga Olimpiade yang menyediakan emas dalam jumlah banyak, seperti atletik dan akuatik. Sebagai juara umum Asian Games 2018, China mengumpulkan 19 emas dari renang dan 12 dari atletik. Sementara Jepang, yang berada di posisi kedua, juga meraih 19 emas dari renang dan 6 emas dari atletik. Mencapai prestasi yang signifikan di cabang akuatik dan atletik, harus diakui, bukanlah pekerjaan mudah. Proses membina atlet di atletik membutuhkan timeline yang tidak pendek (Lumintuarso, 2011). Beragam faktor yang meliputi atlet, pelatih, fasilitas, pemusatan latihan dan pembiayaan perlu diserasikan agar menunjang prestasi di tingkat internasional. Selain itu, secara politis, cabang atletik dan akuatik dinilai kurang menarik. Kajian
168 |
HYSA ARDIYANTO
Alatas dan Sutanto (2018) menunjukkan bahwa meskipun political will dari pemerintah kesan positif, namun kebijakan meningkatkan prestasi olahraga melalui peran BUMN cenderung pada olahraga populer seperti sepakbola, bulu tangkis, bola voli dan bola basket. Kalangan industri memang diakui berperan dalam pembinaan prestasi olahraga, namun peran tersebut terbatas hanya pada olahraga yang dianggap memiliki “pasar”. Atletik dan akuatik agaknya termasuk dalam cabang olahraga yang secara pasar kurang menarik bagi kalangan industri. Untuk itu dibutuhkan perhatian yang lebih dari pemerintah, tanpa terlalu mengandalkan kontribusi pelaku industri. Dukungan industri umumnya berkaitan dengan pendanaan kegiatan olahraga. Persoalan sumber dana hanyalah salah satu isu saja. Jika ditarik pada hal yang lebih mendasar, isu yang tidak kalah penting adalah pengembangan kualitas pelatih. Dua hal yang dapat disasar adalah peningkatan mutu sumber daya manusia khususnya pelatih dan pengembangan struktur dan sistem pendidikan dan profesi pelatih yang mapan (Lumintuarso, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada atlet track and field di Australia, kesuksesan mereka di Olimpiade atau Kejuaraan Dunia ditunjang oleh pembinaan dalam bentuk linieritas jalur dari junior sampai menjadi atlet elit senior. Ini artinya atlet atletik perlu dipersiapkan sejak dini. Temuan lain yang menarik adalah para atlet track and field yang berhasil menunjukkan kesamaan ciri
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 169
umum yaitu tumbuh di kota besar dan memasuki jenjang pendidikan perguruan tinggi (Huxley, O’Connor, & Larkin, 2017). Hal ini bisa jadi berkaitan dengan fasilitas olahraga seperti stadion dan lintasan atletik berkualitas di kampus yang berada di kota-kota besar. Di beberapa kampus di Indonesia telah tersedia fasilitas atletik. Beberapa kampus bahkan memiliki fasilitas olahraga akuatik. Keberadaan fasilitas ini dapat menjadikan kampus sebagai rumah bagi pembinaan olahraga atletik dan akuatik. Potensi ini dapat dilihat sebagai peluang untuk mengkompensasi keterbatasan peran industri pada dua cabang olahraga Olimpiade yang “kurang diminati pasar” tersebut. Kerjasama antara pemerintah, induk olahraga dan kampus menjadi krusial sebagai bagian dari investasi pembinaan cabang olahraga Olimpiade, khususnya atletik dan akuatik. Selain fasilitas, di kampus juga tersedia potensi penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi olahraga. Keberadaan fakultas dan atau jurusan ilmu keolahragaan di beberapa kampus yang tersebar di seluruh Indonesia memungkinkan aplikasi IPTEK olahraga ini. Riset-riset olahraga di perguruan tinggi juga dapat menemukan relevansinya di lapangan. Investasi cabang olahraga Olimpiade yang berbasis di kampus ini dapat dilihat sebagai bentuk kebangkitan riset dan teknologi olahraga sebagaimana pandangan Kristiyanto (2017). Investasi tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Langkah ini membutuhkan waktu panjang dan
170 |
HYSA ARDIYANTO
secara hitungan cukup sulit untuk menggeser dominasi China dan Jepang di kedua cabang olahraga tersebut. Sayangnya, mau tidak mau, inilah langkah yang harus ditempuh. Mengoptimalkan Cabang Olahraga Potensial Program yang bersifat fundamental, seperti pada atletik dan akuatik, perlu terus dijalankan. Seiring dengan itu, langkah jangka pendek yang mungkin ditempuh adalah memaksimalkan potensi cabang olahraga yang sudah menunjukkan prestasi di Asian Games 2018. Terdapat 18 cabang olahraga penyum-bang medali Asian Games 2018 yang pasti dipertandingkan di Asian Games 2022. Beberapa cabang olahraga yang potensial tersebut akan dibahas berikut ini: Pada urutan teratas ada sport climbing. Panjat tebing akan dipertandingkan untuk pertama kalinya di Olimpiade pada 2020 di Tokyo. Ini artinya panjat tebing akan kembali dimainkan di Asian Games 2022. Sesuai dengan regulasi sistem kualifikasi sport climbing di Olimpiade 2020, peserta di setiap nomor sebanyak 20 atlet dan setiap negara mendapatkan kuota maksimal dua atlet per nomor. Berdasarkan Ranking Dunia per 4 Juli 2019, dari situs web International Federation of Sport Climbing, atlet Indonesia menduduki posisi 4 dan 22 di speed putri sedangkan di speed putra menempati peringkat 9, 14 dan 23. Sementara itu di nomor boulder tidak ada atlet Indo-
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 171
nesia yang menempati ranking dunia. Di kategori lead, posisi terbaik atlet Indonesia masih jauh dari 20 besar, yaitu 71 untuk putra dan 85 untuk putri. Dengan demikian, peluang terbaik dimiliki oleh atlet-atlet di nomor speed. Masalahnya, event yang dipertandingkan di Tokyo 2020 adalah combined putra dan putri yang menuntut seorang atlet menguasai tiga keahlian sekaligus: bouldering, lead dan speed. Mengantisipasi hal ini, FPTI telah menggelar simulasi pertandingan di Yogyakarta dan mempertandingan nomor combined di berbagai kejuaraan nasional. Di urutan kedua cabang penyumbang emas Asian Games 2018 ada bulu tangkis. Cabang ini sepertinya tidak perlu diragukan lagi sebagai tulang punggung peraih emas bagi Indonesia dalam setiap kejuaraan multievent. Peraih medali emas bulu tangkis Asian Games 2018 dari sektor tunggal putra dan ganda putra masih dalam usia emas dan dinilai masih akan menunjukkan grafik penampilan yang meningkat. Berdasarkan peringkat “Road to Tokyo 2020” pekan ke-28 (9 Juli 2019), dua tunggal putra andalan Indonesia bahkan sedang menduduki peringkat 1 dan 2. Di sektor ganda campuran ada dua pasangan yang sudah masuk kualifikasi, sementara di ganda putra, ganda putri dan tunggal putri masing-masing sementara ini menempatkan satu pemain/ pasangan di kualifikasi. Sampai saat ini sektor andalan masih dalam track yang benar menuju Tokyo 2020.
172 |
HYSA ARDIYANTO
Balap sepeda BMX dapat dinilai berpotensi kembali meraih medali di Asian Games. Wiji Lestari, atlet putri balap sepeda BMX mendapat beasiswa untuk berlatih di World Cycling Center di Swiss setelah meraih peraih perunggu di Asian Games 2018. Di usianya yang baru 18 tahun, ini merupakan kesempatan yang berharga dan dapat meningkatkan performanya tiga tahun ke depan. Di cabang balap sepeda, selain BMX, ada balap sepeda downhill yang menyumbangkan emas. Balap sepeda merupakan salah satu cabang dalam Olimpiade, namun balap sepeda downhill tidak termasuk. Jika nomer downhill kembali dimainkan pada Asian Games 2022 tentu ini merupakan suatu potensi emas. Selain sport climbing, cabang olahraga yang juga menjadi cabang baru di Olimpiade Tokyo 2020 mendatang adalah skateboarding. Cabang ini cukup menjanjikan bagi Tim Indonesia mengingat atlet yang berseluncur pada Asian Games 2018 yang lalu masih berusia muda. Dua atlet Tim Indonesia peraih perak skateboarding masih berusia belasan tahun. Bahkan peraih medai perunggu skaterboarding Asian Games 2018 masih berusia 12 tahun. Dari segi pembinaan dan pengembangan bakat, ini tentu berita yang baik. Angkat besi selain sebagai cabang andalan Asian Games juga menjadi andalan di Olimpiade bagi Tim Indonesia. Sayangnya, dalam kurun waktu sampai tiga tahun mendatang, cabang ini akan menghadapi masalah regenerasi. Hasil studi di salah satu padepokan angkat besi
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 173
terkemuka menunjukkan perlunya perhatian pada regenerasi (Nuruhidin, Putra, Pamungkas, Ardiyanto, & Saputro, 2018). Lifter andalan di cabang ini dinilai telah mencapai titik puncak penampilannya sehingga sulit untuk dikembangkan lebih jauh. Sementara itu belum terlihat pengganti yang setara. Kondisi atlet-atlet pada cabang olahraga potensial tentu terus berubah. Perubahan dapat berarti perkembangan positif maupun negatif. Selain itu juga terjadi perkembangan pada kompetitor. Oleh karena itu, bagian ini masih perlu terus diperbarui seiring dengan data-data terkini yang terjadi pada atlet dan cabang olahraganya. Menggalang Diplomasi Olahraga Pencak silat merajai perolehan medali emas Tim Indonesia dengan 14 emas dan 1 perunggu. Tanpa menafikan perjuangan para atletnya, hasil ini tentu tidak dapat dijadikan acuan pada Asian Games berikutnya. Harapan bisa muncul jika Indonesia bisa meyakinkan Olympic Council of Asia (OCA) untuk mempertahankan pencak silat dipertandingkan di Asian Games. Pencak silat perlu terus diperjuangkan agar masuk Asian Games 2022 di Hangzhou. Jika strategi memasukkan pencak silat ke Asian Games 2022 dinilai layak untuk dilakukan, maka langkah yang harus ditempuh adalah melalui diplomasi olahraga. Indonesia harus “mengajarkan” pencak silat sehingga
174 |
HYSA ARDIYANTO
dapat diterima oleh dua per tiga negara peserta Asian Games. Langkah ini tentu membutuhkan sumber daya manusia (pelatih yang mengajarkan), finansial (transportasi, akomodasi, logistik) dan waktu. Selain menyebarkan pencak silat, secara teknis, langkah lain yang perlu ditempuh adalah meyakinkan negara-negara peserta untuk lebih banyak memainkan kategori tanding dan memastikan penjurian yang objektif (Irianto, 2018). Pertanyaannya kemudian apakah mungkin meyakinkan China selaku tuan rumah Asian Games 2022 untuk memainkan pencak silat? Mungkin ini langkah yang sulit atau mustahil. Mungkin juga sebaliknya, China dengan potensi perolehan emas yang besar dan hampir bisa dipastikan menjadi juara umum lagi tidak akan terusik dengan perolehan medai emas Indonesia dari cabang pencak silat jika dipertandingkan. Pilihan ini tentu membutuhkan usaha yang tidak mudah dan bisa dibilang spekulasi. Hasilnya akan banyak tergantung pada lobby dan situasi politik ekonomi diantara kedua negara. Perhatian pada Prestasi Non-medali Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018 dengan status menggantikan Vietnam yang mengundurkan diri karena masalah finansial. Posisi sebagai “ban serep” ini diakui berdampak pada tahap persiapan. Waktu yang mepet untuk melakukan sosialisasi dan mempersiapkan infrastruktur menjadi persoalan yang
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 175
sempat mengemuka. Bahkan sempat muncul kasus korupsi dana sosialisasi. Meskipun demikian, secara umum Indonesia dinilai berhasil menyelenggarakan Asian Games 2018. Prestasi post-event yang kadang kurang diekspos adalah prestasi-prestasi non-medali. Di luar mempertahankan medali, menjaga dan memanfaatkan fasilitas olahraga yang sudah dibangun tidak kalah pentingnya. Fasilitas olahraga peninggalan suatu event dinilai dapat menunjang pembinaan dan pembudayaan olahraga bagi masyarakat sekitar yang mendukung perekrutan atlet bagi Tim Indonesia. Keberhasilan Asian Games 2018 seharusnya dinilai tidak hanya sampai event berakhir, namun juga “setelah pesta usai”. Mempertahankan infrastruktur yang telah dibangun juga merupakan suatu prestasi tersendiri. Terbengkalainya fasilitas olahraga setelah berakhirnya event sering menjadi isu yang mengemuka. Burak (2015) melihat bagaimana keberhasilan sebuah event olahraga dilihat dari dampaknya pada partisipasi olahraga dan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Partisipasi olahraga setelah event selesai menjadi ukuran kesuksesan berikutnya. Hal ini, antara lain, berkaitan dengan pemanfaatan fasilitas olahraga dan infrastruktur yang telah ada. Penelitian untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan fasilitas olahraga setelah event tampaknya perlu dilakukan untuk menilai tingkat keberhasilan tersebut.
176 |
HYSA ARDIYANTO
Ketersediaan fasilitas seperti kolam renang, taman, dan lapangan merupakan faktor penting dan prasyarat dalam partisipasi olahraga (Wicker, Hallmann, & Breuer, 2012). Tidak mengherankan jika partisipasi dalam olahraga kerap diposisikan sebagai landasan dalam pembinaan prestasi olahraga. Hal ini dapat dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya mengenai investasi pada cabang olahraga Olimpiade. Artinya, selain dari kampus, investasi ini juga dapat terbantu oleh ketersediaan fasilitas yang telah dibangun untuk Asian Games 2018. Fasilitas peninggalan Asian Games 2018 juga diharapkan dapat mendukung pertumbuhan industri olahraga. Tidak hanya fasilitas yang berkaitan langsung dengan olahraga, namun juga pendukungnya seperti transportasi, komunikasi dan akomodasi. Pemerintah sebagai pemilik aset dapat bekerja sama dengan kalangan pelaku industri olahraga untuk mendayagunakan fasilitas yang telah tersedia. Selain industri, dukungan sosial yang kuat berperan menjaga keberlangsungan fungsi fasilitas melalui pembudayaan olahraga yang baik (Huxley et al., 2017). Sebelum menutup bagian ini, perlu disampaikan satu lagi prestasi yang layak dikenang dari Asian Games 2018, yaitu jiwa voluntary masyarakat Indonsia. Kajian terhadap mega sport event harus mengakui potensi untuk melahirkan warisan berupa jiwa kesukarelawanan (Doherty, 2009). Warisan post-event semacam ini meru-
CATATAN OLAHRAGA: B A G I A N I V
| 177
pakan suatu prestasi atau pencapaian yang sangat berarti bagi suatu bangsa. [] Daftar Referensi Alatas, S., & Sutanto, V. (2018). Penggunaan olahraga sebagai strategi komunikasi politik Jokowi. In Conference on Dynamic Media, Communications, and Culture (pp. 88–109). Burak, H. (2015). Examining the legacy of largescale sports events as a governance issue: A case study from Trabzon, Turkey. Journal of Black Sea Studies, 47, 151–161. Doherty, A. (2009). The volunteer legacy of a major sport event. Journal of Policy Research in Tourism, Leisure and Events, 1(3), 185–207. Huxley, D. J., O’Connor, D., & Larkin, P. (2017). The pathway to the top: Key factors and influences in the development of Australian Olympic and World Championship Track and Field athletes. International Journal of Sports Science and Coaching, 0(0), 1–12. Irianto, D. P. (2018, September 4). Kebangkitan olahraga. Kedaulatan Rakyat, p. 1. Kristiyanto, A. (2017, July 6). Kebangkitan ristek olahraga. Solopos, p. 4. Lumintuarso, R. (2008). Asia harus bangkit. Bulletin IAAF, 4–5. Lumintuarso, R. (2011). Long term athletic development and performance plan in Indonesia. In The
178 |
HYSA ARDIYANTO
International Conference Solidarity for Unity Through Sports (pp. 57–69). Jakarta. Nuruhidin, A., Putra, F., Pamungkas, O. I., Ardiyanto, H., & Saputro, D. P. (2018). An evaluation of powerlifting and weightlifting development program. Psychology, Evaluation, and Technology in Educational Research, 1(1), 1–8. Wicker, P., Hallmann, K., & Breuer, C. (2012). Micro and macro level determinants of sport participation. Sport, Business and Management: An International Journal, 2(1), 51–68.
Sebagai sebuah identifikasi awal, tulisan ini masih membutuhkan studi yang lebih lengkap dan data-data baru seiring dengan persiapan Tim Indonesia di event-event olahraga pada tahun-tahun mendatang. Selanjutnya artikel ini menjadi semacam dokumen yang perlu terus dilengkapi dan diperbarui berdasarkan data-data yang lebih mutakhir.
CATATAN OLAHRAGA: R I W A Y A T T U L I S A N
| 179
RIWAYAT TULISAN
BAGIAN I Seluruh artikel di bagian ini merupakan pengembangan dari makalah dalam perkuliahan dan belum pernah dipublikasikan. BAGIAN II “Integrasi Teknologi dalam Pendidikan Jasmani: Peluang untuk Menjawab Krisis Identitas dan Legitimasi?” Dipresentasikan di Seminar Nasional Implementasi Riset dan Literasi untuk Meningkatkan Keterampilan Abad XXI. Keluarga Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 3 November 2018. “O2SN dan Tantangan bagi Paradigma Pendidikan Jasmani” dimuat di Ekspresi, 23 Oktober 2018. BAGIAN III “Politisi, Media dan Organisasi Olahraga” pernah dimuat di Fandom Indonesia dengan judul “Kasus Hary
180 |
HYSA ARDIYANTO
Tanoesoedibjo Sebagai Alarm Bagi Organisasi Olahraga”, 18 Juli 2017. “Inikah Era Baru Sepakbola Yogyakarta?” dimuat di Football Tribe Indonesia, 13 Mei 2019. “Stadion Kalianget, Masyarakat ASRI dan Mimpi Sepakbola Wonosobo” dimuat di Fandom Indonesia, 4 Februari 2019. “Menikmati Sepakbola Tarkam” dimuat di Football Tribe Indonesia dengan judul “Oleh-Oleh dari Wonosobo: Sepotong Cerita Sepak Bola Tarkam”, 27 Agustus 2019. Tulisan di buku ini telah mengalami sedikit penambahan. BAGIAN IV “Jangan Meniru Islandia” pernah dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 19 Januari 2018. Tulisan dalam buku ini telah mengalami beberapa penambahan tanpa mengubah substansi isi. “Mempertahankan Prestasi Setelah Asian Games 2018” merupakan artikel di Journal Power of Sports (JPSO) Vol. 2 No. 2 (Agustus 2019) yang telah disesuaikan untuk keperluan buku ini.
CATATAN OLAHRAGA: T E N T A N G P E N U L I S
| 181
TENTANG PENULIS
Hysa Ardiyanto menyelesaikan studi sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada. Pada 2012 mendirikan sebuah sekolah sepakbola di Sleman, D.I. Yogyakarta yang hanya bertahan beberapa tahun saja. Dari situ berkenalan dengan orang-orang sepakbola dan tercebur dalam dunia olahraga. Dengan beasiswa LPDP Kemenkeu R.I., berkesempatan belajar di Program Studi Ilmu Keolahragaan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Saat ini bekerja di dunia olahraga sebagai Administrator Akademi PS Sleman. Kontak penulis: [email protected]. Caly Setiawan, Ph.D. Penulis Kata Pengantar buku ini adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta. Ia meraih Master of Science dari State University of New York at Albany, dilanjutkan pendidikan Doktoral di University of Northern Colorado,
182 |
HYSA ARDIYANTO
USA dengan disertasi studi fenomenologi atas pengalaman dan makna olahraga di kalangan anak-anak imigran Indonesia di Amerika. Di luar aktivitas akademik, ia aktif di Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI), menjabat sebagai Kepala Pelatih Tim Nasional Panjat Tebing yang ikut mengantarkan para pemanjat Indonesia meraih medali emas di Asian Games 2018 dan beberapa Kejuaraan Dunia.