Basa Basi Papua 9786020644653, 9786020644677

Pada 2010, setelah bertahun-tahun kerja di Aceh, Indonesia, saya diminta untuk mengelola mekanisme hibah kecil USAID di

138 23 1MB

Indonesian Pages 132 [148] Year 2015

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD PDF FILE

Table of contents :
01. Hidup Tanpa Negara
02. Meneropong Sistem Pendidikan
03. Mati Sia-Sia
04. Basa-Basi Papua
05. Cerita Kelaparan Massal
06. Penonton yang Bingung dan Masalah Politik di Tolikara
07. Transmigrasi adalah Hal Terakhir yang Dibutuhkan Masyarakat Papua
08. Saatnya Jakarta Menghargai Martabat Orang Asli Papua yang Sudah Sepatutnya Mereka Dapatkan
09. Tentang Penulis
10. Ucapan Terima Kasih
Recommend Papers

Basa Basi Papua
 9786020644653, 9786020644677

  • Commentary
  • decrypted from 140DFC777B212530E415A348FDDF7D7E source file
  • 0 0 0
  • Like this paper and download? You can publish your own PDF file online for free in a few minutes! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

R ea

di

ng

C op y

Basa-basi Papua

C op y ng di

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

R ea

(1). Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2). Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3). Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4). Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

C op y

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

Bobby Anderson

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Basa-basi Papua Oleh Bobby Anderson

C op y

GM 620222029 © Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29–33, Jakarta 10270 Editor: Andi Tarigan Desain sampul: Suprianto Layout isi: Ryan Pradana

ng

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta, 2020

di

www.gpu.id

R ea

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.



ISBN: 978-602-06-4465-3 978-602-06-4467-7 (digital)

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan

C op y

R ea

di

ng

Buku ini didedikasikan untuk mengenang teman saya, Agustin Anirina “Titin” Wattimena

di

R ea ng C op y

C op y

Daftar Isi

Pengantar ix Pengantar Editor xiii Catatan tentang Terjemahan xv

1 15 37 67 83 101

Tentang Penulis Ucapan Terima Kasih

129 131

R ea

di

ng

01. Hidup Tanpa Negara 02. Meneropong Sistem Pendidikan di Papua 03. Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua 04. Basa-Basi Papua 05. Kelaparan dan Penipuan 06. Penonton yang Bingung dan Masalah Politik di Tolikara 07. Transmigrasi adalah Hal Terakhir yang Masyarakat Papua Butuhkan 08. Saatnya Jakarta Menghargai Martabat Orang Asli Papua yang Sudah Sepatutnya Mereka Dapatkan

113 121

di

R ea ng C op y

C op y

Pengantar

P

R ea

di

ng

ada 2010, setelah bertahun-tahun kerja di Aceh, Indonesia, saya diminta untuk mengelola mekanisme hibah kecil USAID di Papua dan Papua Barat (selanjutnya disebut Tanah Papua). Bagi saya, Tanah Papua adalah misteri. Bagi sebagian orang Indonesia, Papua adalah tempat yang penuh kemiskinan dan tidak beradab. Sedangkan bagi orang asing, Tanah Papua adalah wilayah yang sulit ditembus, terbatas untuk orang asing, di mana pemerintah, melalui aktor keamanannya, mengeksploitasi sumber daya alam yang melimpah di kawasan itu, membunuh orang-orang di sana baik dalam menanggapi keluhan mereka atau hanya karena mereka adalah orang Papua. Setelah bekerja dengan para mantan Gerakan Aceh Merdeka yang telah demiliterisasi, dan mendengar cerita-cerita mereka tentang pembunuhan dan penyalahgunaan yang dilakukan aktor keamanan, saya tidak ragu bahwa Papua akan seperti itu. Lalu, berangkatlah saya ke Tanah Papua. Lima tahun saya di Tanah Papua dengan USAID, mengelola dana untuk kesehatan dan pendidikan melalui LSM dan kelompok masyarakat. Setelah berhenti dari USAID, saya pindah ke Bank Dunia, di mana saya adalah satu-satunya perwakilan instansi tersebut di Papua. Pekerjaan ini membuat saya harus keliling ke seluruh Ta-

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

nah Papua. Apa yang saya saksikan tidak membuktikan terjadinya teror dan genosida seperti yang sering saya baca. Laporan-laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia berskala luas yang diceritakan sebagai berita terkini, malah, sebenarnya, adalah berita lama. Pembunuhan yang terjadi pada akhir 1970-an dan pada akhir “Musim Semi Papua”, telah berakhir. Tanah Papua, seperti daerah lain di Indonesia, dibanjiri korupsi. Namun, yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia, korupsi di Tanah Papua membuat seluruh sistem berhenti dan tidak berfungsi. Tanah Papua dibanjiri uang dan akibatnya seluruh kelas elite pribumi dapat dibeli. Tanah Papua tidak berciri sistem penindasan otoriter: Tanah Papua memang penuh dengan kekerasan—antara suami dan istri, antara keluarga besar dan antara klan, bahkan antara gereja-gereja yang bersaingan. Kekacauan ini ditoleransi oleh negara, karena selama kekerasan itu terjadi dan tidak tertuju pada negara, negara tutup mata. Akan tetapi, ketika kekerasan oleh masyarakat Papua diarahkan pada negara, pembalasan dari sektor keamanan yang kurang terlatih adalah seperti yang diharapkan. Negara memiliki kebijakan mengenai ekstraksi sumber daya alam yang jelas, tetapi tidak ada kebijakan yang jelas terhadap orang Papua. Bagi saya, penolakan layanan ini, dan tentu saja kewarganegaraan, adalah benar-benar penyalahgunaan hak yang sistematis. Di Tanah Papua hal ini mungkin ekstrem, tetapi hal ini juga ditemukan pada tingkat yang lebih rendah hampir di seluruh Indonesia. Itu sebabnya saya mulai menulis tentang segala kerumitan yang saya lihat di Tanah Papua, baik di Inside Indonesia maupun di publikasi lain. Ini memuncak dalam publikasi saya di East West Center, “Papua’s Insecurity: State Failure in the Indonesian Periphery” (Ketidakamanan Papua: Kegagalan Negara di Pinggiran Indonesia). Hampir sembilan tahun sejak saya mulai bekerja di Papua, tidak ada perubahan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari orang

x

Pengantar

R ea

di

ng

C op y

Papua. Sistem kesehatan dan pendidikan di daerah-daerah tetap tidak berfungsi, orang Papua dikeluarkan dari peluang ekonomi di pasar kerja yang didominasi pendatang, korupsi adalah hal biasa yang merusak, dan sektor keamanan tetap keras serta tidak bertanggung jawab pada siapa pun. Kebijakan pembangunan pemerintah sipil masih fokus pada ekstraksi sumber daya alam melalui pembangunan jalan; masyarakat Papua tetap terabaikan. Dan, yang mengejutkan, tulisan saya sejak saat itu masih relevan sampai hari ini, dan dapat digabungkan dengan tulisan-tulisan generasi sebelumnya, yaitu penulis yang dilupakan sejak Dana UNDP 1967 “Rencana Pembangunan Irian Barat” dan bahkan sebelumnya juga. Maka, saya mengumpulkan artikel-artikel ini, dengan harapan, artikel-artikel ini, entah bagaimana, bisa bermanfaat.

xi

di

R ea ng C op y

C op y

Pengantar Editor

M

R ea

di

ng

elihat Papua dengan Hati dan Sudut Pandang Papua. Berbicara Papua adalah bicara soal menghadirkan keadilan dan kesejahteraan terhadap manusia dan alam Papua. Alam yang kaya bukan berarti penduduk Papua sejahtera, tetapi justru tercatat sebagai Provinsi dengan Human Index terendah di Indonesia. Buku karya Bobby Anderson, warga negara Amerika Serikat, yang lama bekerja di akar rumput masyarakat pedalaman Papua, ini membuka fakta tentang ketidakhadiran negara dalam berbagai layanan dasar (medis dan pendidikan) di daerah-daerah. Isu politik, separatisme, dan kekerasan bukanlah fokus dari buku ini. Anderson menerangkan Papua dengan identitas budaya Melanesia, yang terletak di wilayah timur Indonesia, sebagai bagian kekayaan identitas budaya Nusantara yang didominasi masyarakat Austronesia di wilayah barat Indonesia. Keunikan Papua salah satunya adalah keberadaan berbagai denominasi Gereja Protestan dan Gereja Katolik sebagai motor penggerak masyarakat Papua, seperti halnya ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang menjadi lokomotif perubahan, pendidikan, dan layanan publik di Jawa pada masa sebelum kemerdekaan hingga kini. Hal ini juga seperti halnya di negeri jiran Papua

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

Nugini, Kepulauan Solomon, dan negara-negara Pasifik Selatan dengan dominannya peran gereja dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat adat Melanesia dan Polynesia. Terkikisnya peran gereja dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Papua dapat berdampak langsung pada semakin minimnya layanan yang diterima masyarakat Papua terutama di daerah pedalaman, yang sejatinya hanya dijangkau oleh misi gereja. Buku Basa-basi Papua yang ditulis Bobby Anderson ini berdasarkan pengalaman langsung blusukan ke berbagai desa pedalaman dan wilayah Papua. Buku ini sebagian besar membongkar lemahnya layanan pemerintah lokal di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, dan bahkan perkotaan di Papua. Otonomi daerah dengan anggaran yang sedemikian besar belum menghasilkan keadilan sosial. Kesenjangan budaya dan kesejahteraan antara transmigran dan masyarakat Papua serta bagaimana komunikasi Jakarta-Papua dengan mengedepankan nilai kemanusiaan dan menghargai masyarakat Papua sebagai mitra sederajat dalam bingkai negara Republik Indonesia turut diulas. Melihat, mendengar, menyikapi Papua dari hati dan sudut pandang Papua adalah jawaban dari proses komunikasi yang senantiasa diperjuangkan para pemangku kepentingan Papua damai. Dalam Basa-basi Papua diulas berbagai kasus gizi buruk hingga berbagai jenis penyakit yang tidak tertangani seperti TBC, Malaria, serta ketiadaan aparatur pemerintah tingkat lokal di pedalaman, meskipun secara formal dalam Otonomi Khusus Papua disebut adanya pemberdayaan putra daerah sebagai pelayan masyarakat. Berbagai mata rantai yang terputus dalam hal melayani dan mendatangkan keadilan sosial bagi masyarakat Papua adalah fokus dari bunga rampai tulisan Bobby Anderson yang disajikan dengan semangat kemanusiaan tanpa menggurui. (Iwan Santosa)

xiv

C op y

Catatan tentang Terjemahan

A

R ea

di

ng

rtikel-artikel ini awalnya diterbitkan di majalah Inside Indonesia, situs New Mandala, surat kabar Jakarta Globe, dan surat kabar Sydney Morning Herald. Majalah BaKTINews (Makassar) kemudian membuat serial artikel terpilih dalam seri Inside Indonesia. Terjemahan dilakukan oleh Susanna Gosal, Iain Wilson, dan Dr. Ita Perwira.

di

R ea ng C op y

C op y

01.

Hidup Tanpa Negara 1

R ea

di

ng

Masyarakat di pedesaan Papua lebih tertarik pada layanan dasar daripada perjuangan politik

BaKTINews November–Desember 2012, Vol V, Edisi 83.

1

C op y ng di

R ea

Jalan setapak dari Lolat ke Bonohaik. Setiap hari anak-anak di Bonohaik berjalan pergi-pulang sekolah paralel melalui jalan ini. Dibutuhkan sekitar 1,5 jam bagi mereka berjalan tanpa alas kaki. (Foto: Bobby Anderson)

M

R ea

di

ng

C op y

asyarakat Papua di Indonesia bukanlah entitas yang seragam. Saat berpikir tentang Papua, orang membayangkan konflik politik yang terjadi di tingkat provinsi, tingkat nasional, dan protes terhadap pemerintahan Indonesia. Namun, inilah kenyataan bagi minoritas orang Papua di kota-kota utama Jayapura, Wamena, dan Timika, serta di pinggiran kota. Di luar kelompok tertentu di daerah ini, kebanyakan orang tidak terlibat dalam isu-isu politik terkait protes referendum, dialog dengan Jakarta, atau kemerdekaan. Sebaliknya, lebih terasa dalam kehidupan politik sehari-hari. Di provinsi ini, loyalitas utama kebanyakan orang bukanlah untuk memilih Papua atau Indonesia. Kebanyakan orang lebih memilih setia kepada klan mereka ketimbang loyal terhadap suku. Loyalitas terhadap Papua atau Indonesia berada di urutan ketiga. Sementara di Jayapura dan Wamena terdapat banyak sekali kelompok yang bersaing melakukan agitasi untuk kemerdekaan, di beberapa daerah lain, seperti di Puncak Jaya, terjadi banyak aktivitas pemberontakan. Namun, sebagian besar desa di Papua tetap terbelakang dan terpisah dari konflik politik lokal. Isu kunci di banyak tempat di luar daerah perkotaan bukanlah pada penolakan Papua sebagai bagian dari negara Indonesia, tetapi bahwa negara memainkan peran sangat kecil dalam kehidupan mereka.

Masyarakat Tanpa Negara Distrik Lolat, daerah pemekaran baru di pegunungan Kabupaten Yahukimo, menggambarkan kondisi daerah terpencil di mana kebanyakan masyarakat asli Papua bermukim. Apa yang penting bagi orang Lolat, dan yang kurang di sana, adalah hal-hal yang lebih mendesak dan mendasar ketimbang kewenangan atau kemerdekaan, yang biasanya diasumsikan oleh para pendatang untuk men3

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

dominasi pemikiran politik kebanyakan rakyat Papua. Pemerintah kurang hadir di daerah ini, dan itu terbukti dari tidak adanya akses untuk layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Papua menempati ranking 33 dari 34 provinsi di Indonesia dalam Indeks Pembangunan Manusia, dan Yahukimo berada pada peringkat terendah dari kabupaten-kabupaten lain di Papua. Yahukimo adalah salah satu daerah yang paling terpencil di Indonesia, yang hanya bisa diakses dengan pesawat terbang. Kabupaten ini tidak memiliki jalan (kecuali di ibu kota kabupaten baru: Dekai), dan perjalanan antardaerah di dalam Kabupaten Yahukimo hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki atau menggunakan pesawat; di dataran rendah, perahu-perahu kecil juga kerap digunakan. Kabupaten Yahukimo terbentuk pada 2002 saat para politikus memisahkannya dari Kabupaten Jayawijaya. Mereka beranggapan, pemekaran ini dapat meningkatkan layanan publik di daerah terpencil, mendekatkan kehadiran pemerintah dan konstituennya, serta membuat proses pembangunan di sana lebih akuntabel dan transparan. Manfaat yang diharapkan dari proses ini tidak terjadi. Apa yang terjadi malah kebalikannya, dan pemerintah dalam berbagai bentuk dan tujuan, justru menghilang. Distrik Lolat dapat dicapai hanya melalui udara dari Wamena atau Dekai, atau dengan berjalan kaki. Pusat distrik ini, Kampung Lolat (ketinggian 1.959 meter, populasi 1.100 jiwa) memiliki landasan penerbangan, kantor-kantor pemerintah yang kosong, puskesmas yang terkunci, dan sekolah-sekolah yang kosong. Hanya sedikit warga Lolat yang bisa berbahasa Indonesia. Tidak ada toko; warga Lolat masih mempraktikkan sistem barter, dan tabungan mereka berupa peliharaan ternak, seperti babi. Daerah ini dihuni oleh suku Yali. Kontak terakhir Lolat dengan orang luar adalah pada September 1968, saat seorang misionaris asal Australia, Stanley Albert Dale,

4

Hidup Tanpa Negara

di

ng

C op y

mendaki lembah Lolat Seng dari Ninia. Ia dibunuh oleh orang Yali lalu dimakan. Beberapa bulan kemudian tentara Indonesia mendaki ke Lolat, membunuh beberapa orang, membakar beberapa rumah, dan pergi. Tidak ada satu pun petugas keamanan yang kembali sejak itu. Para tetua Lolat mengingat peristiwa pembunuhan Dale dan pembalasan negara. Mereka tidak punya kenangan lain terkait paksaan dari negara dan tidak ada pengalaman dengan kelompokkelompok yang ingin melawannya. Daerah ini juga tidak menerima sinyal telepon genggam; warga mendengarkan radio untuk mengetahui berita terkini. Terlihat jelas anak-anak di daerah ini mengalami malnutrisi, perut yang buncit dan pertumbuhan yang terlambat. Saat penulis berkunjung, kaum lelaki sedang tidak berada di kampung, kebanyakan mereka bekerja di Wamena atau Dekai. Laki-laki yang hadir biasanya membawa busur, panah, dan parang. LSM setempat, Yasumat, menjalankan lima sekolah, 10 klinik kesehatan, dan empat pos kesehatan. Sementara para guru dan petugas kesehatan yang digaji tidak ada, para kader dan sukarelawan lokal berjuang memenuhi kebutuhan pelayanan.

R ea

Dari Pembangunan yang Dipimpin Gereja ke Kejatuhan Negara Di Yahukimo, seperti daerah lainnya di dataran tinggi Papua, gereja-gereja dan para misionaris menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan sampai berakhirnya era Orde Baru pada 1998. Saat ini, sekolah dan pusat kesehatan dilengkapi dengan staf dan berfungsi baik. Jasa kebidanan, program imunisasi, dan kesehatan ibu dan anak dapat diakses dengan mudah. Sistemnya memang masih paternalistik, namun relatif efektif.

5

Basa-basi Papua

Ketidakhadiran pegawai negeri sipil kini menjadi epidemi luas di dataran tinggi, karena pegawai negeri sipil diharuskan menempati pos-pos penugasan mereka; pemecatan karena terlalu sering tidak hadir, di daerah itu, memungkinkan. Gereja dan LSM bekerja menggantikan kehadiran negara dalam menyediakan layanan

C op y

kesehatan dan pendidikan. Namun, mereka bekerja dengan restu

dari negara dan bekerja sama untuk membayar gaji guru dan petugas kesehatan. Para pekerja ini kemudian tidak harus meninggal-

kan posnya dan melakukan perjalanan ke kota untuk mengambil gaji, naik pesawat atau berhari-hari berjalan kaki, seperti yang dila-

kukan sekarang. Karena sistem ini dijalankan oleh gereja setempat, pengelolaan tenaga kerja dapat langsung dilakukan.

Sampai akhir era Orde Baru, pemerintah setempat mengambil

alih layanan kesehatan dan pendidikan. Namun, ini terjadi tanpa

ng

proses yang jelas dan pemahaman yang rendah di tingkat provinsi dan kabupaten, seperti peran gereja di daerah-daerah terpencil. Beberapa badan pemerintah memandang pengambilalihan adalah

di

cara yang benar karena menurut mereka, hal tersebut seharusnya adalah tanggung jawab pemerintah. Segelintir orang percaya bahwa pengaruh gereja harus dikurangi. Tidak diragukan lagi, bebera-

R ea

pa kalangan ingin mendapatkan akses pendanaan yang disediakan untuk layanan ini.

Mengesampingkan alasan-alasan tersebut, pengambilalihan te-

lah menghasilkan rusaknya sistem yang telah lama berjalan. Sama halnya dengan berbagai kegagalan dalam pembentukan kabupaten-kabupaten baru di Papua, tidak ada masa transisi dan tidak ada serah terima tugas. Setelah pengambilalihan, sistem- sistem ini tidak lagi dikelola secara lokal oleh administrator pemerintah yang berbasis di ibu kota kabupaten, di mana mereka menjalankan sistem di tempat-tempat yang tidak pernah mereka datangi, dengan

6

Hidup Tanpa Negara

R ea

di

ng

C op y

petugas-petugas yang tidak pernah mereka temui. Gereja tidak lagi menjalankan peran pengelolaan atau pengawasan pasca-2002 dan lebih berkonsentrasi pada hal-hal keagamaan. Sistemnya kemudian lebih goncang lagi sejak kerusuhan 2001 di Wamena, di mana puluhan pendatang orang Indonesia dibunuh oleh demonstran orang Papua. Pembunuhan ini menciptakan gelombang migran yang pulang ke daerah asal mereka—dan kebanyakan mereka adalah guru serta petugas kesehatan. Serah terima sistem dari Jayawijaya ke Kabupaten Yahukimo pada 2002 adalah puncaknya. Sejumlah sekolah dan klinik akhirnya hanya dikelola oleh guru-guru yang tersisa; kader kesehatan dan petugas administrasi (penyebabnya akan dijelaskan kemudian). Di Yahukimo, kecuali Dekai, hilang sudah manifestasi yang bisa terlihat dari kehadiran pemerintah. Jatuhnya sistem pendidikan berakibat pada meningkatnya angka buta huruf di Lolat hingga 80 persen. Sedangkan untuk kesehatan, Gereja dan LSM program-program imunisasi tidak bekerja menggantikan lagi ada di daerah terpencil; imunisasi lengkap terputus di tahun 2002 kehadiran negara dalam dan tidak ada lagi imunisasi yang menyediakan layanan disediakan oleh pemerintah kabukesehatan dan pendidikan. paten selain yang diberikan oleh Dekai sejak sepuluh tahun terakhir. Penyebaran TB dan HIV di Lolat belum diketahui, tetapi laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang meninggal tanpa penyebab yang pasti jumlahnya tidak sesuai dengan angka rata-rata provinsi. Sepertinya, kaum lelaki yang bekerja di daerah perkotaan, yang menjadi bagian dari maraknya pembangunan akibat terbentuknya banyak kabupaten baru, banyak yang terjangkit HIV dan membawanya kembali ke rumah. Penggunaan kondom tidak pernah terli-

7

Basa-basi Papua

C op y

hat di daerah ini, begitu pula tingkat infeksi HIV, tidak dapat diketahui dengan pasti. Laki-laki juga terjangkit malaria dari dataran rendah Dekai. Saat kembali ke Lolat, yang tidak ada nyamuk dan tidak mengenal penyakit malaria, mereka pun akhirnya meninggal. Klinik-klinik diperlengkapi dengan obat-obatan yang kedaluwarsa dan pengetahuan kesehatan yang masih rendah.

Masalah Kepemerintahan

R ea

di

ng

Masalah dalam bidang pendidikan dan kesehatan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, demikian pula keduanya tak terpisahkan dari berbagai masalah pemerintahan. Di Yahukimo, kata pemerintahan saja masih perlu dijelaskan. Pemerintah di Yahukimo, bila ada, tak lain merupakan orang-orang dari klan suku Yali dan keluarga besarnya. Ini adalah sistem yang rumit. Di daerah Lolat, suku Yali terbagi atas 11 klan: Buesuk, Hwise Oholuk, Kangkin, Wom Ingkik, Sukulik Dindok, Sabumbo, Ngasim, Nguruni, Sahaikani, Sirik Amboloak, dan Suamalik. Kesebelas klan ini lalu dibagi lagi ke dalam setidaknya 41 marga. Klan-klan tersebut biasanya berperang satu sama lain, dan bahkan keluarga-keluarga dalam satu klan pun sering bertengkar satu sama lain. Kelompok-kelompok ini biasanya dipimpin oleh laki-laki, yang paling kuat di antaranya menjadi pemimpin di gereja, kepala desa, dan seterusnya. Mereka cenderung menegaskan wewenang dalam kelompoknya dengan paksaan dan patronasi. Dalam sistem patronasi, pengertian modern tentang korupsi kehilangan stigmanya: praktik-praktik korup yang dibolehkan untuk kebaikan masuk ke dalam sistem patronasi, di mana disebarkan melalui keluarga dan klan. Otonomi Khusus Papua (Otsus) diperkenalkan pada 2011 dengan tujuan mengurangi tekanan untuk

8

Hidup Tanpa Negara

R ea

di

ng

C op y

merdeka, mengatasi ketertinggalan pembangunan, dan meningkatkan pelayanan publik. Kebijakan tersebut juga mengakibatkan peningkatan dramatis dana bantuan pemerintah bagi tujuan-tujuan pembangunan. Namun, kelebihan staf dan birokrasi yang tidak berjalan di tingkat provinsi menyerap sebagian besar dana otsus tersebut. Pengeluaran terbesar dari dana-dana semacam ini di daerah pedesaan dan daerah terpencil lebih pada pembangunan klinik kesehatan dan sekolah-sekolah. Namun, masalah mendasar dari layanan kesehatan dan pendidikan di daerah pegunungan bukan pada kurangnya bangunan fisik, melainkan pada buruknya manajemen sumber daya manusia di daerah-daerah ini. Gedung-gedung baru tetap kosong, dan walaupun pegawai negeri secara teoritis telah ditugaskan untuk bekerja di daerah ini, kebanyakan mereka tidak hadir di lokasi penugasan. Hal ini biasa terjadi di seluruh daerah pegunungan. Ada banyak alasan ketidakhadiran berdasarkan wilayah, tetapi ada alasan yang lebih umum. Pertama, pegawai negeri yang ditugaskan di luar daerah tempat tinggalnya akan sangat resisten untuk hidup terpisah dari keluarga. Orang-orang setempat biasanya memandang remeh pegawai yang berasal dari luar karena afiliasi suku atau klan mereka berbeda dengan yang ada di lokasi penugasan. Kedua, para pegawai negeri yang mangkir biasanya tidak diberi sanksi. Ketiga, para pegawai ini tidak menerima gaji di lokasi penugasan, juga tidak diberikan fasilitas ataupun biaya transportasi di lokasi mereka ditugaskan. Keempat, pendapatan mereka tidak memadai, biasanya karena porsi yang tersedot oleh pemerintah sebelum mereka dibayar (ini bervariasi menurut wilayah: di beberapa daerah, hal ini tidak terjadi sementara di daerah lain, sebagian besar biaya gaji salah tempat). Kelima, tidak ada struktur pendukung yang dibutuhkan: seorang guru yang ingin mengajar harus bekerja sendiri di sekolah, tanpa

9

Basa-basi Papua

Membangun Desa?

C op y

administrator, tidak ada guru lain ataupun materi belajar-mengajar. Seorang guru yang ditugaskan di daerah terpencil mungkin tidak ingin pindah bersama keluarganya karena di tempat bertugas nanti tidak ada layanan kesehatan; seorang petugas kesehatan mungkin mau pindah bersama keluarga, tetapi di tempat baru nanti tidak ada sekolah yang berfungsi.

R ea

di

ng

Satu contoh yang menggambarkan program otonomi khusus menjadi kacau penerapannya di lapangan seperti Yahukimo adalah program bernama Rencana Strategi Pembangunan Kampung (RESPEK) yang dimulai pada 2007. Dengan mentransfer dana langsung dari provinsi ke desa-desa, RESPEK berupaya untuk memangkas lapisan birokrasi di kabupaten sebagaimana yang terjadi pada penyaluran dana normal, tujuannya adalah mencegah terjadinya pemotongan dana yang signifikan. Idenya, komunitas akan membahas sendiri proyek apa yang menjadi prioritas lalu menggunakan dananya untuk itu. Sejauh ini, kebanyakan program yang didanai adalah infrastruktur, termasuk pembangunan jalan, jembatan, sekolah, dan pusat kesehatan. Untuk semua itu, Pemerintah mengeluarkan tiga triliun rupiah melalui program RESPEK. Walaupun program ini telah menjangkau Yahukimo, di masyarakat Lolat akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan tidak meningkat sedikit pun. Walaupun uangnya telah disalurkan ke desa-desa Lolat, orang-orang di sana masih belum tahu metodologi berbasis masyarakat. Mereka juga tidak tahu pengalokasian untuk programprogram perempuan. Mereka lebih memilih peluang-peluang penghidupan seperti penyediaan ternak peliharaan ketimbang infrastruktur, tetapi yang

10

Hidup Tanpa Negara

R ea

di

ng

C op y

didanai RESPEK adalah infrastruktur. Di Yahukimo elite-elite lokal dalam struktur tradisional merupakan keluarga dari 11 klan yang mengendalikan proses seleksi proyek melalui interaksi langsung dengan para fasilitator RESPEK. Program RESPEK dengan mudah diserap ke dalam sistem Yali yang telah ada sebelumnya berdasarkan patronasi, dan ini yang menyebabkan proyek-proyek infrastruktur lebih populer ketimbang yang sebetulnya dibutuhkan masyarakat. Para kontraktor proyek ini adalah elite lokal, harga bahan dan biaya biasanya berbeda dengan nilai aktual, karena banyak uang digelapkan, digunakan untuk hal lain. Konsep tradisional tentang pemilihan pemimpin juga menentukan bagaimana uang digunakan. Di daerah dataran tinggi Yali, juga di banyak masyarakat Melanesia, peran pemimpi—juga dikenal sebagai “orang besar”—adalah untuk membagi-bagikan kesejahteraan pada para pengikutnya. RESPEK kerap secara parsial mengisi kebutuhan para “orang besar” ini dalam mengakses dan membagi-bagikan kemakmuran, dan karenanya dana ini terus turun hingga ke akar rumput, dengan penyaluran sebesar Rp50.000,00 per keluarga per tahun, misalnya. Dan, hanya karena para “orang besar” menyalurkan uang kepada pengikutnya, mereka tidak memasukkan pengikut “orang besar” lain ke dalamnya. Akibatnya, loyalitas suku dan marga bisa diatur ulang berdasarkan kekayaan pemimpin kelompok yang tersedia bagi para anggotanya. Ada pertarungan yang tak kunjung usai di antara para “orang besar” ini, dan konstituen mereka yang semakin luas menggambarkan hal ini. Pertarungan ini berlanjut ke Pemilukada, dan warga yang memilih kandidat yang kalah akan dikeluarkan dari program-program pembangunan dan bantuan lainnya sebagai hukuman. Di Lolat, kepala desa dan kepala suku menggunakan RESPEK untuk membayar uang suap bagi kerja-kerja yang mesti dilakukan tanpa bayaran, seperti memelihara jalan dan jembatan yang meng-

11

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

hubungkan desa-desa. Penggunaan dana ini diputuskan oleh para kepala suku yang juga bekerja sebagai kepala desa. Dana tersebut tidak digunakan untuk layanan kesehatan, pendidikan, atau lainnya yang dapat membuat perubahan jangka panjang bagi kehidupan orang-orang di sana. Pemanfaatan inovatif RESPEK untuk penyediaan layanan, penghidupan, dan penguatan perempuan ditemukan di berbagai tempat di Papua, kecuali di sini. Parahnya, karena banyak sekali laki-laki yang bekerja di luar Lolat beberapa tahun lalu, kebun tradisional milik keluarga yang ditanami ubi, keladi, dan umbiumbian, kini terabaikan. Alokasi RESPEK digunakan oleh pemimpin lokal untuk menyewa pesawat membawa padi yang dibagikan secara cuma-cuma. Nasi ini kemudian dimakan lalu habis, dan warga Lolat kembali terekspos ketergantungan pada pasokan makanan dari luar. Di masa lalu, setiap keluarga memiliki kebun yang menyediakan makanan pokok untuk kebutuhan sehari-hari. Setelahnya, hadirlah RESPEK yang katanya berupaya untuk meningkatkan kehidupan rakyat, tetapi yang terjadi malah membuat mereka makin tergantung, dan lebih berisiko.

Sejauh ini, kebanyakan program yang didanai adalah infrastruktur, termasuk pembangunan jalan, jembatan, sekolah, dan pusat kesehatan.

Membuat Pemerintah Berfungsi Pentingnya mengefektifkan penyediaan layanan di Lolat sama halnya dengan di desa-desa terpencil Papua lainnya, di mana mayoritas masyarakatnya bermukim, tidak bisa disepelekan. Kehidupan masyarakat Papua tidak mudah dan janji-janji para politisi untuk

12

Hidup Tanpa Negara

R ea

di

ng

C op y

hal yang lebih baik masih belum diwujudkan. Hampir di seluruh daerah dataran tinggi kehadiran pemerintah nihil, tidak hanya gedung-gedung sekolah yang kosong, klinik dan rumah sakit pun demikian. Pegawai pemerintah, polisi, dan tentara sangat sedikit jumlahnya dan jauh dari jangkauan. Sering kali pendatang yang bekerja untuk meningkatkan kehidupan masyarakat Papua adalah para misionaris dari Manado dan daerah lainnya, jumlahnya pun tidak banyak. Petugas keamanan jumlahnya sangat sedikit, jumlah pemberontak pun sama: di Yahukimo, tidak ada tanda-tanda kehadiran OPM atau pemberontak lain. Dalam dua kunjungan saya ke daerah tersebut, saya tidak pernah mendengar satu pun sentimen yang melawan negara Indonesia di Lolat. Sebaliknya orang-orang di sana sering bercerita tentang kebutuhan kasat mata mereka: kebutuhan akan dokter dan guru, kebutuhan akan obat-obatan, dan bahan-bahan pokok lainnya. Orang-orang menunjukkan keinginan mereka untuk memiliki masa depan yang lebih baik, bagi mereka dan anak-anak mereka; mereka ingin anak-anaknya bisa belajar komputer dan bahasa Inggris, misalnya. Dan, saat anak-anak menyebutkan cita-cita mereka, mereka ingin menjadi guru dan dokter, tepat seperti apa yang dibutuhkan dan yang selalu kurang jumlahnya. Populasi masyarakat pedesaan Papua adalah penonton bagi intrik politik dan aspirasi elite lawan yang berada jauh di atas mereka, yang membuat mereka bahkan menjadi bagian dari dunia roh. Hingga kini, belum ada politisi yang berbicara untuk kepentingan orang-orang ini. Orang Lolat mengetahui kejadian-kejadian di Jayapura dan daerah lain yang lebih jauh, namun belum tertarik. Dalam jangka panjang, opini dan loyalitaslah yang diperebutkan. Ke mana mereka akan menjadi loyal akan tergantung pada apakah negara yang berfungsi dapat memberi manfaat yang nyata bagi mereka.

13

di

R ea ng C op y

C op y

02.

di

ng

Meneropong Sistem Pendidikan di Papua

R ea

Otonomi Khusus sering kali dinilai sebagai kegagalan, tetapi dampaknya pada sekolah-sekolah di Papua jauh lebih parah dari yang diperkirakan

C op y ng di

R ea

Murid di Sekolah Ob Anggen, Bokondini, Tolikara. (Foto: Bobby Anderson)

D

di

ng

C op y

i bawah Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tahun 2001, sebagian besar hasil sumber daya alam Papua dikembalikan kepada pemerintah provinsi. Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk membahas sumber-sumber politik yang tak habis-habisnya di Papua, dan beragam tantangan yang dihadapi rakyat Papua sehari-hari. Undang-undang itu misalnya dimaksudkan untuk meningkatkan akses rakyat Papua untuk menjadi pegawai pemerintah dan peluang-peluang ekonomi, sama halnya dengan layanan kesehatan dan pendidikan. Sekitar dua belas tahun lalu, dan miliaran rupiah sesudahnya, kebanyakan rakyat Papua masih hidup menderita: mengalami gizi buruk tertinggi, TBC dan HIV tertinggi di Indonesia, menjadi yang termiskin, dan memiliki angka harapan hidup terendah. Otonomi khusus telah gagal. Namun, kegagalan terbesarnya hampir tak ada hubungannya dengan aspek-aspek otonomi khusus yang diterapkan oleh Jakarta. Sebaliknya, kegagalan terletak pada bagian di mana otonomi khusus diserahkan dari pemerintah provinsi ke kabupaten: layanan kesehatan dan pendidikan.

R ea

Sapi Perah Otonomi

Banyak pegawai dan elite yang tidak lagi melihat otonomi khusus sebagai alat pembangunan. Bagi mereka, ini adalah cara untuk mendapatkan subsidi nasional yang lebih besar, yang bisa mereka ambil atau bagi-bagikan ke sanak saudara. Bagi para elite, tindakan setuju tidak lagi menjadi alat untuk memperbaiki keterwakilan rakyat Papua pada posisi-posisi resmi, melainkan menjadi satu cara untuk memerah sistem. “Mangkir” dari pekerjaan semakin menjamur. Jumlah pegawai negeri sipil di Papua kini dua kali lebih banyak dari yang sebenarnya dibutuhkan. Ini merupakan keuntungan

17

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

nyata bagi mereka yang mendapatkan pekerjaan, namun tidak ada nilainya bagi mereka yang masih hidup terpencil. Kegagalan otonomi khusus semakin bertambah dengan tak terkendalinya pembentukan kabupaten, kecamatan, bahkan desadesa baru yang dikenal sebagai “pemekaran”. Secara teori, pemekaran bertujuan membuat entitas pemerintah yang lebih kecil menjadi lebih akuntabel. Kenyataannya, ini memudahkan para elite lokal untuk mendapatkan dana sambil mendorong rakyat jelata Papua semakin jauh dari layanan yang sebenarnya dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Otonomi khusus telah menciptakan garis pemisah antara para elite Papua yang mendapatkan keuntungan langsung dari itu, dan mayoritas rakyat Papua yang menerima sangat sedikit. Pada artikel “Living without a State;  The Middle of Nowhere; Land of Ghosts”, saya mengangkat beberapa daerah tertentu di pegunungan dan dataran rendah Papua. Saya mencoba mengangkat perjuangan dan keprihatinan dari orang-orang yang hidup di sana—perjuangan yang terpisah dari pembahasan politik yang oleh orang luar secara salah telah memercayainya sebagai hal penting dalam kehidupan rakyat Papua. Saat ini saya ingin menjelaskan bagaimana pemerintah Papua menghadapi tekanan tuntutan paling besar dari masyarakatnya. Dalam artikel tersebut, saya akan membahas bagaimana dan mengapa sistem pendidikan di pegunungan mengalami kehancuran. Sedangkan kegagalan-kegagalan serupa dalam bidang kesehatan saya bahas dalam artikel yang lain.

Kematian Sebuah Sistem Di dataran tinggi Papua, interaksi dari penyalahgunaan dana otonomi khusus, pemekaran, lemahnya pengelolaan sumber daya

18

Meneropong Sistem Pendidikan di Papua

R ea

di

ng

C op y

manusia, dan pemahaman setempat tentang apa itu pendidikan, adalah kombinasi yang merusak sistem pendidikan. Hampir tidak ada orang yang menyadari masalah ini. Sebaliknya, banyak pegawai pemerintah terus menyalahkan buruknya sistem pendidikan, buruknya infrastruktur, atau bahkan menyalahkan anak-anak pegunungan. Karena kesalahpahaman inilah, solusi yang ditawarkan menjadi kurang tepat. Rencana pembangunan pendidikan dasar dan menengah provinsi Papua 2010/11 (RPDP) mengindikasikan bahwa pendaftaran sekolah untuk anak-anak berumur tujuh hingga dua belas tahun di seluruh provinsi adalah 73 persen. Ini berarti, setidaknya ada 100.000 dari 400.000 anak di provinsi ini tidak bersekolah. Pendaftaran untuk sekolah menengah pertama adalah 55 persen dan sekolah menengah atas hanya 37 persen. Gambaran suram dan lebih nyata tentang kegagalan sistem pendidikan Papua di daerah terpencil dapat dilihat di Yahukimo, kabupaten pemekaran di daerah pegunungan (diprofilkan dalam artikel saya sebelumnya “Living Without a State” dan “The Middle of Nowhere”. Data Dinas Pendidikan Kabupaten mengindikasikan hanya 18 persen anak yang tamat sekolah dasar di sana. Lebih buruk lagi, tamat sekolah dasar tidak menjamin anak bebas dari buta aksara. Sebagian besar lulusan sekolah menengah atas di pegunungan masih buta huruf.

Sejarah Singkat Pendidikan di Papua Selain kota-kota dan daerah pesisir seperti Sarmi, Biak, dan Yapen, kegagalan sistem pendidikan Papua adalah sistemik. Ini khususnya terjadi di pegunungan, namun tidak selamanya demikian. Sistem pendidikan di pegunungan Papua memiliki program melek aksara

19

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

dasar yang dijalankan oleh berbagai gereja dan kelompok misionaris sejak 1950an. Para misionaris mempelajari bahasa suku-suku setempat, mengadaptasinya ke dalam alfabet romawi, dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa tersebut. Literasi adalah alat untuk menyebarkan Injil, dan para misionaris mengajarkannya dengan serius. Para penguasa Belanda di Papua menyadari ketidakmampuan administrasi kolonial untuk menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat di pegunungan, karenanya mereka menugaskan gereja-gereja untuk melaksanakan tugas tersebut. Mereka membayar gaji guru di tempatnya bertugas melalui badan-badan ini. Para misionaris ini meletakkan dasar tradisi pendidikan di beberapa area misi seperti Pyramid dan Ninia, tradisi ini masih berlanjut hingga sekarang. Mereka mendirikan sekolah-sekolah di Wamena dan Sentani, yang sekarang menjadi sekolah terbaik di Papua. Di sekolah-sekolah tersebut, bahasa lain yang digunakan selain bahasa setempat adalah bahasa Belanda sampai 1962. Setelah itu, Bahasa Indonesia mulai diajarkan. Untuk memastikan standar antar-institusi penyelenggara pendidikan, badan koordinasi pendidikan bernama Yayasan Pendidikan Persekolahan Gereja Injili (YPPGI), didirikan. Penting untuk diperhatikan, sistem yang dipimpin gereja ini tidak pernah menjangkau sebagian besar anak-anak dan pemuda di desa-desa daerah pegunungan. Ini adalah rangkaian dari sekolahsekolah kecil yang berfungsi baik dan tersebar secara luas di daerah-daerah pedesaan, dengan populasi yang berbeda-beda di kebanyakan daerah terpencil yang tidak bisa dijangkau oleh layanan serupa. Kebanyakan warga desa di Papua tidak bersekolah. Banyak anak yang memulai tetapi hanya sedikit yang menyelesaikan sekolahnya. Statistik pemerintah dari 2006 menunjukkan, 5 persen dari populasi masyarakat asli provinsi Papua tidak menamatkan pendidikan dasar. Sebanyak 25 persen masih buta aksara.

20

Meneropong Sistem Pendidikan di Papua

Setelah era Belanda, Indonesia masih melanjutkan pengelolaan ini. Pada era 1980an, negara mulai mengambil alih baik sekolahsekolah tersebut maupun YPPGI. Para guru menjadi pegawai negeri sipil, dan sekolah-sekolah tersebut mulai mengadopsi kurikulum nasional. Pada waktu itu, pemerintah juga memegang kendali

C op y

sistem perawatan kesehatan yang dijalankan para misionaris. Saat pemerintah mulai memegang kendali sistem-sistem ini, banyak gereja yang merasa dapat lebih mudah memfokuskan diri pada pe-

kerjaan “asli” mereka, yakni menyebarkan Injil. Namun, pemerintah tidak benar-benar mengambil alih apa pun. Tidak ada proses serah

terima yang nyata dari institusi-institusi ini. Dalam skenario terba-

ik, layanan ini menurun. Pada kasus terburuk, layanan ini terhenti.

Saat gereja-gereja menyerahkan peran sosial mereka, wewenang mereka pun berkurang.

ng

Sistem pendidikan makin melemah saat jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, dan dimulainya desentralisasi. Tanggung jawab dialihkan dari provinsi ke kantor kabupaten, yang belum siap dengan

di

peralihan tersebut. Tidak ada serah terima yang baik, kecuali jabatan. Sistem ini mulai gagal di pegunungan pada tahun 2000, saat banyak pembunuhan migran terjadi di daerah tersebut yang ke-

R ea

mudian mengarah pada perginya pegawai negeri sipil dari daerah tersebut—pegawai kesehatan dan pegawai sekolah termasuk di antaranya. Pesatnya Papuanisasi dari sistem di bawah aksi afirmatif tidak didasarkan pada kepercayaan, orang yang tidak memenuhi syarat malah mendapatkan pekerjaan hanya karena hubungan darah, bukan karena keterampilan yang mereka miliki. Ini sudah cukup buruk di kabupaten-kabupaten yang ada. Di kabupaten-kabupaten baru hasil pemekaran, layanan-layanan ini hancur.

21

Basa-basi Papua

Sekolah Bukanlah Masalah, Tetapi Guru

R ea

di

ng

C op y

Saat orang bicara soal pendidikan di Papua, mereka otomatis berasumsi bahwa masalahnya adalah infrastruktur: pasti tidak ada sekolah. Ini adalah asumsi yang salah. Papua memiliki banyak sekali sekolah. Gedung-gedung Sekolah Dasar bertambah dari 1895 pada 2006 menjadi 2179 di tahun 2010; gedung SMA/SMK bertambah dari 159 pada 2005 menjadi 272 di tahun 2011. Dengan pengecualian Sinokla (diangkat di artikel “The Middle of Nowhere”), setiap daerah terpencil yang saya kunjungi memiliki gedung sekolah. Kebanyakan adalah gedung baru. Dan terkunci. Kebanyakan dana otonomi khusus yang dialokasikan untuk pendidikan di perdesaan dan daerah terpencil awalnya digunakan untuk membayar gaji, dan, berikutnya membangun gedung-gedung baru. Lagi pula para politisi terus berjanji membangun sekolah untuk menyediakan pendidikan. Dengan mempertimbangkan biaya administratif, Papua secara resmi memiliki guru yang jumlahnya melimpah. Catatan daftar gaji di provinsi menunjukkan saat ini terdapat 15.713 guru Sekolah Dasar, 6.188 guru-guru Sekolah Menengah Pertama, 3.410 guru-guru Sekolah Menengah Atas, dan 1914 guru-guru Sekolah Menengah Kejuruan. Menurut dokumen-dokumen resmi Papua, provinsi ini memiliki satu guru untuk 23 anak; ini tidak jauh dari angka rata-rata nasional yakni 18 siswa per guru. Di daerah pegunungan, sayangnya, kebanyakan dari guru-guru ini tidak pernah muncul di tempat kerja. Mengatakan “ketiadaan guru menjadi masalah”, sama saja berpura-pura menganggap sistem ini berfungsi, padahal cacat dalam hal ketidakhadiran. Di luar Papua, “tidak hadir” bisa berarti seorang guru mungkin tidak datang di hari Jumat, atau tidak datang sehari dua hari setelah mengajar selama dua minggu. Di Papua, seorang guru bisa tidak datang selama satu semester. Hasil peneli-

22

Meneropong Sistem Pendidikan di Papua

R ea

di

ng

C op y

tian saya, juga dialami oleh teman-teman di Papua yang bekerja di berbagai sekolah negeri dan swasta, kebanyakan murid akan hadir di kelas saat gurunya juga hadir secara fisik. Sebagai konsekuensi, kelas yang aktif dengan guru-guru yang hadir menjadi terlalu penuh, lebih dari 50 murid per kelas. Kita secara otomatis menyalahkan ketidakhadiran guru karena kurangnya dukungan dan fasilitas yang ada untuk menggaji para guru. Ini sebagian benar, namun sebenarnya alasannya bermacam-macam dan berbeda di setiap daerah. Walaupun demikian, beberapa generalisasi bisa dibuat. Pertama, guru-guru tidak secara otomatis ditugaskan di daerah tempatnya tinggal atau berasal. Warga di tempatnya bertugas biasanya memandang rendah para guru karena berasal dari suku atau kerabat yang berbeda. Ini bisa membuat penempatan menjadi tidak nyaman. Kedua, ketidakhadiran guru tidak berdampak pada sanksi. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 30, menyebutkan bahwa guru-guru yang mangkir dari pekerjaannya hingga setidaknya satu bulan dapat diberhentikan. Namun, peraturan ini tidak berjalan di tingkat kabupaten yang serempak tidak bersedia menegakkan aturan. Ketiga, para guru tidak menerima gaji di tempatnya bertugas, juga tidak disediakan biaya transportasi dari dan ke tempatnya bertugas. Mereka mungkin dibayar di ibu kota kabupaten yang jaraknya satu jam penerbangan atau lima hari berjalan kaki dari tempatnya bertugas. Keempat, gaji mereka tidak cukup. Ini biasanya karena satu bagian tersedot oleh administrasi sebelum mereka dibayar (ini bervariasi di setiap daerah; di beberapa daerah, ini tidak terjadi, sementara di daerah lain, sebagian besar gaji guru tidak ditemukan). Masalah kelima adalah tidak ada struktur pendukung tambahan: seorang guru yang ingin mengajar bisa menjadi satu-satunya

23

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

orang di sekolah, tanpa petugas administrasi, guru-guru lain, atau materi pendukung. Para guru yang ditugaskan di daerah terpencil biasanya tidak mau mengajak anggota keluarganya karena di tempatnya bertugas sering kali tidak ada layanan kesehatan (ada lingkaran setan di sini: mungkin layanan kesehatan tidak berfungsi karena petugas kesehatan tidak mau pindah karena di tempat tugasnya nanti tidak ada sekolah). Masalah terakhir adalah perumahan yang tidak layak. Rumahrumah guru yang baru dibangun biasanya rusak hanya dalam setahun atau dua tahun (menariknya, rumah-rumah tua para misionaris yang dibangun pada 1950 masih tegak berdiri). Litani dari beragam masalah ini merupakan tantangan nyata. Dan lagi, mereka tidak bisa menjelaskan semua masalah dalam sistem pendidikan. Banyak guru yang direkrut adalah warga setempat, dan karenanya akomodasi, transportasi, kekerabatan, dan hidup terpisah dari keluarga bukanlah masalah. Namun, banyak dari para guru ini juga tidak mengajar. Sebetulnya, pemerintah kabupaten memiliki kuasa dan dana untuk mengubah sistem ini. Jika mau, mereka bisa mempekerjakan guru-guru setempat, dan mereka memiliki sarana untuk membayar di tempat dan memberhentikan para guru yang mangkir. Namun, mereka tidak melakukan apa-apa. Setelah bergelut dengan isu ini berbulan-bulan, akhirnya saya menyadari bahwa penjelasannya sederhana saja: orang-orang yang diberi posisi ini sebenarnya tidak berharap akan mengajar. Seperti yang saya ceritakan dalam “Land of Ghosts”, pemerintah setempat, khususnya di daerah-daerah pemekaran, memberi pekerjaan guru sebagai hadiah bagi para pendukungnya dan anggota keluarganya. Ini adalah pekerjaan-mangkir, dan semua orang tahu itu. Alasan dari mengapa kesulitan-kesulitan di tempat penugasan tidak pernah dibahas adalah bukan karena orang-orang tidak menyadari masalah ini. Persoalan ini tidak dibahas agar se-

24

Meneropong Sistem Pendidikan di Papua

ng

Mencari Solusi

Di daerah pegunungan, sayangnya, kebanyakan dari guru-guru ini tidak pernah muncul di tempat kerja.

C op y

makin banyak alasan yang bisa dipakai untuk tidak bekerja. Di banyak tempat, para guru dan pengurus sekolah telah mengambil gaji selama bertahun-tahun atau bahkan satu dekade—tanpa pernah muncul di tempat kerja. Di daerah pegunungan, kebanyakan pegawai negeri sipil yang hilang dari tempatnya bertugas dapat ditemui hidup nyaman di Wamena atau di ibu kota-ibu kota kabupaten lainnya. Beberapa guru bahkan membuka tempat penitipan anak swasta di sana.

R ea

di

Di beberapa instansi, perwakilan pemerintah dan kelompok masyarakat telah mencoba memperbaiki sistem. Sebuah LSM lokal menawarkan kepada Pemerintah Kabupaten Jayawijaya dan Yahukimo satu sistem di mana mereka dapat memantau kehadiran guru dan mengontrol pembayaran gajinya. Pada awalnya, para pemimpin di kedua kabupaten itu menerima usulan tersebut, namun kemudian harus mengalah pada “kebijakan” setempat agar tidak kehilangan dukungan politis dari klan yang mendukung tawaran pekerja yang tidak hadir tersebut. Di instansi lain, Kepala Dinas Pendidikan Jayawijaya memberhentikan pembayaran gaji bagi para guru yang ketidakhadirannya sangat banyak, tetapi beberapa dari guru-guru tersebut berhasil mengajukan petisi kepada bupati untuk membayarkan kembali gaji mereka. Sekolah-sekolah misionari sepertinya menjadi satu-satunya sekolah yang efektif di dataran tinggi. Namun, sekolah-sekolah tersebut tidak semuanya diakreditasi oleh otoritas pendidikan pe-

25

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

merintah setempat. Sistem alternatif ini malah dipandang sebagai ancaman bagi pengelola sekolah dan guru-guru yang sering absen di daerah tersebut, beberapa dari guru-guru tersebut bekerja di sekolah-sekolah swasta yang sengaja dibangun dekat dengan sekolah-sekolah misionari. Di Bokondini, seorang guru yang sering kali absen, malah terlihat aktif bekerja di sekolah swasta yang berada tepat di seberang sekolah pemerintah tempat di mana ia harusnya mengajar. Ia sendiri tidak pernah menjejakkan kaki sekali pun selama bertahun-tahun di sekolah pemerintah itu. Ironisnya, anak-anaknya sendiri bersekolah di sekolah misionari yang ada di daerah itu, yang dibangun oleh pendatang sebagai alternatif dari gagalnya sistem yang juga diakibatkan oleh guru itu sendiri. Ini adalah jaminan yang baik bagi sekolah misionari; bahwa guru yang sama pernah mendorong penutupan sekolah tersebut karena dipandang sebagai pesaing dalam bisnisnya. Solusi yang lemah atas kondisi yang keras bagi para guru di dataran tinggi juga dapat ditemukan di sekolah asrama; beberapa di Wamena dan Sentani menawarkan pendidikan superior, beberapa misionaris dan petugas setempat mendorong lahirnya institusi pendidikan swasta yang makin menjamur. Namun, entitas ini adalah institusi swasta dengan kualitas pendidikan yang baik, bagi hanya sebagian kecil saja anak-anak yang berasal dari keluarga mampu. Memperluas jangkauan sekolah dapat berarti memperluas basis murid, selayaknya menerapkan uang sekolah yang lebih murah atau bentuk subsidi seperti beasiswa. Ini membutuhkan ukuran kelas yang lebih besar, lebih banyak guru, lebih banyak fasilitas, dan kesepakatan dari para pengelola swasta yang khawatir “perluasan” ini mengakibatkan menurunnya kualitas pelayanan. Institusi swasta lainnya bisa saja tidak memberikan kualitas yang sama dengan institusi asli. Juga tidak realistis untuk mengharapkan negara menciptakan lapisan baru sekolah elite, mengingat kinerja sekolah-sekolah berasrama yang ada.

26

Meneropong Sistem Pendidikan di Papua

R ea

di

ng

C op y

Sebagai tambahan dari sekolah-sekolah berasrama di provinsi tersebut, ada juga institusi di luar Papua yang peduli. Contohnya, Surya Institute dari Jakarta yang mengambil anak-anak dari Tolikara dan daerah lain di Papua, melatih mereka matematika dan ilmu pengetahuan alam secara intensif. Pendekatan ini telah menghasilkan anak-anak yang memenangkan beragam kompetisi matematika internasional, mendobrak stereotip orang luar tentang orang Papua. Namun, pendekatan ini mahal harganya. Mendorong orang Papua untuk mengirimkan anaknya belajar di tempat yang jauh dalam masa-masa pembentukan karakter mereka dapat mengganggu koneksi anak-anak tersebut dari keluarga dan komunitasnya. Praktik yang lebih lazim dari sekolah-sekolah berasrama adalah anak-anak yang mesti berjalan jauh dari rumah untuk dapat hadir di sekolah-sekolah yang beroperasi. Wamena penuh dengan “tempat kos anak sekolah”, masing-masing dimiliki oleh sebuah gereja yang berasal dari daerah tertentu di pegunungan, di mana anakanak yang berasal dari daerah lain juga bisa tinggal. Hanya saja, tempat-tempat kos itu biasanya juga digunakan sebagai penginapan murah bagi siapa saja. Selain tidak ada air mengalir, muncul pula ancaman kesehatan, dan tidak adanya pengawasan. Akibatnya, tempat-tempat ini berpotensi menjadi pusat penularan tuberkulosis, tidak aman bagi anak-anak, khususnya anak-anak perempuan; pemerkosaan biasa terjadi. Penggunaan obat-obatan, khususnya obat-obat saluran pernapasan juga terbilang sangat lazim di tempat-tempat penginapan tersebut.

Kurikulum Kontekstual Solusi lemah lainnya terkait penyelesaian masalah pendidikan di Papua dapat dilihat dari didorongnya penerapan kurikulum kon-

27

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

tekstual atau kurikulum khusus di sekolah-sekolah. Kebutuhan atas kurikulum-kurikulum tersebut biasanya disampaikan oleh Dinas Pendidikan setempat, LSM lokal, dan donor-donor pembangunan. Kurikulum-kurikulum seperti itu bernilai jika fokus pada bahasa. Anak-anak asli Papua tidak menggunakan bahasa Indonesia di rumah, walaupun mereka cenderung menggunakan banyak kosakata Indonesia sebelum mulai memasuki pendidikan dasar. Hari pertama sekolah dengan kurikulum yang menggunakan hanya Bahasa Indonesia membutuhkan adaptasi yang cukup sulit bagi anak-anak asli Papua. Mereka langsung merasa terkalahkan oleh anak-anak migran yang menggunakan bahasa Indonesia di rumah. Satu yayasan di dataran tinggi, Yayasan Kristen Wamena (YKW), mengidentifikasi sekitar 1000 kata Indonesia yang familiar bagi anak-anak dan menyusun kurikulum matematika dan Bahasa Indonesia tahun pertama dan kedua dengan menggunakan kata-kata tersebut. Beberapa dari kurikulum itu juga menggunakan Bahasa Dani. Kurikulum YKW ini disetarakan dengan standar nasional, dan respons anak-anak setempat sangat positif. Mereka merasa lebih tidak terintimidasi dan lebih cepat menguasai pelajaran. Kurikulum ini kemudian diadaptasi oleh sejumlah kabupaten di daerah pegunungan. Namun, di daerah-daerah terpencil, buku-buku yang diproduksi YKW berisiko menjadi solusi sementara saja, karena masalah sebenarnya, yakni sumber daya manusia, masih tetap ada. Banyak pendukung kurikulum khusus yang memperdebatkan terlalu banyak hal. Mereka menganggap kurikulum nasional tidak memuat “konteks” Papua, dan bahwa anak-anak tidak bisa menghubungkan apa yang sedang diajar, sehingga mereka menjadi tidak tertarik. Misalnya, anak-anak “berambut lurus” dan mesinmesin yang tak mereka kenali seperti kapal dan kereta api, sehingga anak-anak Papua lebih memilih untuk keluar dari kelas dan pergi

28

Meneropong Sistem Pendidikan di Papua

C op y

bermain dengan batu. Argumen ini mungkin terasa lucu bila tidak ditambah dengan nada rasis yang agak mengganggu (disturbingly racist undertone). Apa yang kemudian lebih mengganggu adalah betapa seringnya argumen-argumen seperti itu dibuat oleh guruguru dan pengelola sekolah Papua. Dengan argumen yang sama, seseorang bisa menghapus dari kurikulum semua yang tidak terlihat oleh mata telanjang: planet, bakteri, bahkan sejarah di balik ingatan. Anak-anak pegunungan sama dengan anak-anak di dunia lain: spons yang sangat ingin menyerap banyak informasi yang memesona mereka. Isu sebenarnya bukanlah pada kemampuan mereka, tetapi apa yang tidak mereka ketahui akibat sistem yang gagal.

ng

Lemahnya Pemahaman tentang Pendidikan

R ea

di

Di daerah pedesaan Papua, orang tua dan anak-anak menoleransi sistem ini karena kebanyakan mereka tidak mengetahui dengan baik konsep tujuan pendidikan sekolah. Mereka belum pernah melihat sekolah negeri yang berfungsi. Dari generasi terdahulu, kebanyakan orang tidak punya akses ke sistem pendidikan gereja yang terbatas. Mereka buta aksara dan hampir tak pernah bersekolah. Bagi orang tua yang buta aksara, pendidikan bukanlah apa yang diperoleh dari pengetahuan praktis melalui instruksi yang sistematis. Sebaliknya, pendidikan hanya menjadi kunci supranatural untuk peningkatan kesejahteraan dalam sistem kepercayaan animisme yang sarat akan kepercayaan seperti itu. Pendidikan dirasuki oleh para guru, dan peralihannya dibeli dari sang guru seiring waktu melalui rangkaian perayaan dan penyerahan hadiah, ketimbang melalui cara belajar. Seperti inilah yang dilihat oleh kebanyakan orang tua di daerah pedesaan: Orang tua mengirimkan anak-anaknya ke sekolah.

29

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

Anak-anak hadir di gedung sekali seminggu atau kurang dari sekali seminggu, pada waktu yang sudah dijanjikan. Setelah itu, mereka kembali ke rumah. Tidak ada kelas-kelas; siapa saja bisa menghabiskan waktu di lapangan sebuah sekolah di dataran tinggi yang penuh anak-anak dengan seragam lusuh bermain sepak bola, tanpa kehadiran seorang guru pun. Sering sekali seorang guru mengajukan permintaan: “bawa kayu bakar”, atau “bawa rokok”. Orang tua memberikan anak barang-barang yang diminta tersebut untuk dibawa ke sekolah. Pada akhir tahun, ujian nasional akan diberikan. Para guru menuliskan jawaban di papan tulis bagi murid-muridnya (saya mengintip lewat jendela berdebu yang penuh dengan kotoran burung di sejumlah sekolah di desa-desa dataran tinggi dan melihat bagaimana jawaban ditulis di papan tulis; tidak seorang pun berada di sekolah sebelumnya), atau para guru mengisi sendiri lembar jawaban ujian murid-muridnya. Para murid selanjutnya naik ke kelas berikutnya. Akhirnya, setelah kelulusan, mereka menerima ijazah—selembar kertas yang menyatakan kepada orang tua dan murid bahwa pendidikan telah diberikan. Ijazah itu sangat penting; ijazah tersebut memungkinkan murid mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri, di mana, menurut seorang anak muda di Bokondini, seseorang “tidak harus bekerja lagi”. Orang-orang menganggap sangat serius penerbitan ijazah ini. Jika gagal mendapatkan ijazah, sang murid akan mendapatkan ancaman dari orang tuanya. Proses ini berakhir dengan lulusan-lulusan Sekolah Menengah Atas yang tidak bisa membaca, menulis, atau mengerjakan matematika dasar. Universitas Cenderawasih (UNCEN, universitas terbaik di Papua) memiliki daftar sekolah-sekolah terburuk di Papua, dan menolak untuk mempertimbangkan menerima lulusan dari sekolah tersebut. Sekolah menengah lainnya yang tidak terlalu diskriminatif menganggap kegagalan sistemik ini terus terjadi lewat

30

Meneropong Sistem Pendidikan di Papua

R ea

di

ng

C op y

sekolah-sekolah menengah. Ini kemudian berakibat pada lulusanlulusan yang buta aksara yang terkadang juga menjadi guru-guru dan administrator yang buta aksara. Banyak institusi Sekolah Menengah Atas melaporkan bahwa, rata-rata, anak-anak muda dari daerah pedesaan belajar membaca di sekolah dasar mulai dari kelas dua dan tiga. Dengan kata lain, mereka membuang tiga tahun masa sekolah dari periode dua belas tahun pendidikan. Sekolah Tinggi Kristen Ilmu Pendidikan (STKIP) di luar kota Wamena menyediakan waktu satu setengah tahun untuk remedial intensif pengenalan aksara dan angka untuk semua siswa sebelum mulai kurikulum pendidikan; semuanya membutuhkan itu. LSM lain yang bekerja di Yahukimo merekrut anak muda Papua untuk menjadi asisten guru pada sekolah-sekolah di daerah pedesaan yang mengalami kekurangan guru. Para asisten ini, semuanya sukarelawan, memerlukan instruksi dasar dalam matematika dan bahasa. Dan mereka sangat rajin belajar bahkan berada selama empat minggu di kelas intensif dapat membuat mereka mencapai kemajuan berarti dibandingkan dengan masa empat tahun di sekolah dasar. Keingintahuan dan ketertarikan yang besar untuk meningkatkan diri membuat orang-orang muda ini tidak sama dengan stereotip Papua dan menunjukkan bahwa kegagalan sistem pendidikan di sana menjadi tak bisa dimaafkan. Karena para murid dan orang tuanya tidak menyadari bahwa mereka sedang dicurangi dalam hal pendidikan, akan menjadi hal yang mengejutkan bila mereka dikonfrontasi langsung terkait minimnya capaian pendidikan mereka. Dan ini memang sering kali terjadi. Guru-guru yang termotivasi tetap memasuki sistem ini. Mereka berusaha mengajar, dan di kelasnya, para murid yang tidak belajar mendapatkan konsekuensinya. Namun, bila guru-guru itu tidak meluluskan muridnya, kerap kali mereka harus menghadapi

31

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

orang tua yang marah karena berasumsi guru telah melanggar perjanjian pertukaran. Gedung-gedung sekolah bahkan dibakar karena kasus-kasus seperti itu. Guru-guru yang idealis akhirnya menyerah dan mengikuti sistem ini, atau pergi. Kebanyakan mereka bekerja sambilan di sekolah swasta atau sekolah misionari, tempat di mana mereka digaji rendah. Ironis; ada banyak guru yang digaji tetapi tak pernah mengajar sementara para sukarelawan bekerja giat dengan honor sangat sedikit, bahkan kadang tak dibayar sama sekali, terjadi di seluruh daerah pegunungan. Di banyak tempat di pegunungan, kelompok-kelompok alternatiflah yang memenuhi kebutuhan akan pendidikan. Yasumat, yayasan lokal yang berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan tata pemerintahan, mengajar di sebagian besar kecamatan di Yahukimo. Narwastu, LSM lainnya, bahkan mempunyai sejumlah sukarelawan dari Sulawesi Utara. Lembaga ini menyediakan layanan pendidikan di Binima, Memberamo Tengah. Para orang tua menjadi sangat antusias mengamati bagaimana anak-anaknya belajar sehingga Narwastu juga membuka kelas malam bagi para orang tua. Ob Anggen, satu sekolah di Bokondini, Tolikara, menawarkan pendidikan yang mungkin terbaik, tidak hanya di provinsi Papua, tetapi di seluruh kawasan timur Indonesia. Keberhasilan dari institusiinstitusi swasta membuat kegagalan sekolah-sekolah pemerintah di sekitarnya menjadi tak dapat dihindari. Orang tua di Bokondini dan daerah lainnya mulai merasa marah setelah perlahan menyadari bahwa Para guru mengisi ini adalah penipuan. sendiri lembar jawaban Yayasan-yayasan dan kelompok geujian murid-muridnya. reja ini bukanlah satu-satunya pihak yang mengisi kesenjangan pendidikan Para murid selanjutnya yang diabaikan oleh negara. Di daerah naik ke kelas berikutnya. dataran rendah di luar Jayapura, Hol-

32

Meneropong Sistem Pendidikan di Papua

tekamp, kelompok garis keras Islam Hizbut Tahrir mendirikan dua sekolah. Guru-gurunya setiap hari rajin mengajar ratusan muridmurid lokal dan pendatang.

C op y

Solusi

R ea

di

ng

Memperbaiki sistem yang rusak perlu melibatkan pengakuan terhadap masalah nyata yang ada. Dan tidak ada “cara cepat” dalam memperbaikinya. Bangunan sekolah tidak dibutuhkan. Apa yang diperlukan adalah guru-guru yang mengajar, dan administrasi kabupaten yang benar-benar mengelola sekolah. Undang-Undang No. 24 yang mengatur tentang ketidakhadiran guru perlu ditegakkan. Dalam struktur feodal yang secara keliru disebut “desentralisasi”, para bupati sangat berkuasa. Mereka perlu melepaskan hak untuk memengaruhi sumber daya manusia di sekolah-sekolah kabupaten. Selain itu, memberi penghargaan bagi pekerja yang tidak pernah hadir dalam birokrasi sipil, di mana gaji orang-orang tersebut hanya menyedot dana dari sistem tetapi guru-guru tidak pernah hadir— begitu pula petugas kesehatan—berakibat pada kerusakan nyata. Posisi tersebut harus dipertimbangkan sebagai sesuatu yang telah melampaui batas dalam permainan patronasi lokal. Kurikulum kontekstual bisa bermanfaat, namun hanya bila ada guru yang mengajar. Mereka yang terus menyalahkan anak-anak Papua atas ketertinggalan pendidikan, pantas diabaikan. Guruguru yang tetap mangkir harus diberhentikan. Tahun 2012, Universitas Cenderawasih dan Dinas Pendidikan Provinsi Papua menyusun rancangan peraturan daerah untuk menjelaskan kembali tugas dan kewajiban di sektor pendidikan. Rancangan ini termasuk mengatur beasiswa bagi murid-murid lokal; peluang pelatihan teknis dan kejuruan; perekrutan asisten guru se-

33

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

kolah dasar di daerah terpencil; dan dukungan tambahan bagi para guru di daerah terpencil. Rancangan ini adalah awal, sayangnya mengabaikan pembahasan inti masalah yang menyebabkan gagalnya sistem pendidikan: pengelolaan sumber daya manusia yang tidak efektif. Rancangan ini tidak membahas tentang kriteria yang perlu diberlakukan dalam merekrut tenaga guru; pentingnya memberhentikan guruguru yang tidak mengajar; dan konsekuensi bagi para pengelola yang tidak memberi sanksi bagi para guru yang absen. Hingga masalah tersebut diakui, semua pendekatan lainnya untuk mengatasi masalah ini tetaplah tidak efektif. Dan anak-anak serta pemuda di daerah pegunungan akan terus dicurangi. Guru-guru baru perlu direkrut, dan dibayar, di tempat. Dukungan tambahan bagi guru-guru di daerah terpencil seharusnya hanya diberikan kepada guru-guru baru, atau mereka yang telah memiliki rekaman catatan selalu hadir mengajar di sekolahnya. Menyediakan guru-guru yang tidak pernah mengajar dengan dukungan tambahan semacam itu seyogianya bukanlah ide yang baik. Sistem yang rusak ini tidak dapat diperbaiki bila orang-orang seperti itu masih tetap berada di dalam sistem, dan dibayar untuk keingkarannya ketimbang diberikan hukuman. Anak-anak muda dan dewasa dengan kemampuan membaca dan menulis di atas rata-rata di daerahnya dapat dilatih sebagai asisten guru. Mereka kemudian dapat mengambil tanggung jawab untuk pendidikan dasar, dan murid-murid yang lebih tua tidak boleh difungsikan di tingkat pendidikan dasar. Pelatihan enam bulan untuk kandidat-kandidat asisten guru sepertinya baik untuk dilakukan. Kita perlu menyimpan pelajaran bahasa Inggris dan komputer belakangan, dan mulai dengan dasar inti pendidikan: membaca, menulis, dan berhitung. Proses belajar mengajar harus menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa lokal, dan penggunaan kuriku-

34

Meneropong Sistem Pendidikan di Papua

R ea

di

ng

C op y

lum kontekstual linguistik sebagaimana yang dikembangkan dan diterapkan oleh YKW. Selama periode interim perbaikan sistem pendidikan ini, satu pilihan bagi pemerintah provinsi dan kabupaten adalah secara formal mengakui institusi paralel yang telah ada untuk mengatasi kesenjangan pendidikan. Di daerah di mana sekolah-sekolah pemerintah tidak berfungsi, institusi swasta tersebut perlu diakreditasi (selama mereka juga mengajarkan kurikulum nasional). Para sukarelawan yang biasanya mengajar dalam sistem tersebut dapat dimasukkan dalam daftar penerima gaji pemerintah, namun dibayarkan melalui gereja dan institusi swasta yang menjalankan sistem pendidikan tersebut. Penting diingat, kewarganegaraan dihasilkan dari sekolah. Orang Indonesia tidak hanya belajar membaca, menulis, dan matematika di sekolah: mereka juga belajar tentang Pancasila dan apa makna pentingnya bagi seorang warga negara Indonesia, sejarah lahirnya, dan perjuangan para pendiri bangsa ini. Pelajaran-pelajaran tersebut adalah jawaban untuk mencegah radikalisme, apakah itu radikal dalam hal keagamaan ataupun separatisme. Di tempat di mana hanya sedikit sekolah yang berfungsi dengan baik, dan biasanya yang berfungsi itu pun sekolah swasta, apakah masih perlu dipertanyakan mengapa konsep kewarganegaraannya kurang?

35

di

ng

C op y

Basa-basi Papua

R ea

Sekolah yang baru dibangun dan dikunci di Nalca, Yahukimo. Tidak ada anak yang pernah berada di gedung ini. (Foto: Bobby Anderson)

36

C op y

03.

di

ng

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

R ea

2

(Diterjemahkan oleh Dr. Ita Perwira)

2

“Dying for Nothing”, Inside Indonesia 115, Jan–Mar 2014

C op y ng di

R ea

Pintu masuk puskesmas di Bokondini Tolikara yang tutup. Obat-obatan yang seharusnya dimanfaatkan di puskesmas ini dijual lagi di Wamena. Penduduk kampung bergantung pada ketersediaan obat-obatan di sekolah Ob Anggen yang dikelola swasta. (Foto: Bobby Anderson)

D

R ea

di

ng

C op y

i bawah pelaksanaan kebijakan hukum otonomi khusus (OTSUS), mayoritas pengelolaan sumber daya alam Papua dikembalikan ke pemerintah tingkat provinsi. Kebijakan hukum yang disahkan pada 2001 ini dimaksudkan untuk mengatasi penyebab timbulnya kerusuhan politik di Papua serta tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Papua sehari-hari. Kebijakan ini juga ditujukan untuk meningkatkan akses masyarakat Papua terhadap lapangan pekerjaan di pemerintahan, membuka kesempatan ekonomi, serta akses ke pelayanan kesehatan dan pendidikan. Namun, setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun dan uang miliaran rupiah, sebagian besar masyarakat Papua masih hidup dalam penderitaan. Papua masih menjadi salah satu wilayah dengan tingkat malnutrisi, TB (Tuberkulosis), dan HIV tertinggi di Indonesia; juga tingkat pendapatan terendah dan angka kematian tertinggi. Hal ini seolah menunjukkan, pelaksanaan otonomi khusus telah gagal. Namun, kegagalan ini hanya sedikit kaitannya dengan aspek pelaksanaan otonomi khusus yang dilaksanakan oleh Jakarta. Kegagalan terbesar, untuk masyarakat pada umumnya, berkaitan dengan aspek otonomi khusus yang dialihkan ke pemerintah provinsi dan kabupaten: untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan. Di artikel sebelumnya yang berjudul “Kegagalan Pendidikan di Wilayah Pegunungan Tengah, Papua”, saya menggambarkan bagaimana aparat pemerintah dan kelompok elite di daerah sudah tidak lagi memandang otonomi khusus sebagai cara untuk meningkatkan pembangunan. Sebaliknya, mereka memandangnya sebagai cara untuk mendapatkan akses subsidi nasional yang lebih besar, yang dapat mereka ambil keuntungannya secara pribadi atau dibagikan kepada lingkar jejaring mereka; baik dalam bentuk pemberian pekerjaan atau keuntungan lainnya. Saya juga memberikan gambaran bagaimana kegagalan otonomi khusus makin diperkuat dengan banyaknya pembentukan kabupaten, kecamat-

39

Basa-basi Papua

C op y

an, dan kampung baru yang tidak terkontrol sebagai bagian dari proses yang disebut “pemekaran”, lebih sebagai peningkatan akses bagi kelompok elite di daerah, sementara penduduk lokal Papua semakin tersingkirkan dari pelayanan yang seharusnya mereka dapat untuk membantu kehidupan mereka. Kebijakan politik yang saling memengaruhi tersebut telah merusak sistem pendidikan di wilayah pegunungan3. Dalam artikel tersebut, saya mendiskusikan lebih lanjut tentang bagaimana dan mengapa proses yang sama ini juga memberikan dampak terhadap kerusakan sistem pelayanan kesehatan.

Akhir dari Sistem yang Tengah Berjuang

R ea

di

ng

Di wilayah pegunungan Papua, perkawinan antara dana otonomi khusus dan elite politik dan sistem klan yang ada menjadi kombinasi yang ampuh dalam menghancurkan sistem pelayanan kesehatan. Seperti yang terjadi pada pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan di wilayah pegunungan awalnya disediakan oleh pihak gereja lokal dan para misionaris. Pemerintah Belanda—dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia—mengenali hasil kerja gereja-gereja tersebut dan menjaga keberadaan mereka sebagai penyedia layanan yang bekerja mewakili pemerintah. Dalam bentuk ini, pusat pelayanan kesehatan memiliki petugas dan dapat berjalan dengan baik, termasuk memberikan pelayanan kebidanan, program imunisasi, serta pelayanan kesehatan ibu dan anak, semua dapat diakses oleh masyarakat sekitar. Dinas kesehatan kabupaten memberikan gaji kepada petugas kesehatan di lokasi tempat mere-

3 “The Failure of Education in Papua’s Highlands”, Inside Indonesia 113, Jul–Sep 2013.

40

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

R ea

di

ng

C op y

ka bertugas, dan untuk beberapa wilayah seperti Jayapura, terdapat sistem asuransi kesehatan. Dalam kondisi terbaik mereka, pelayanan kesehatan ini mampu memberikan pelayanan kepada kaum minoritas di wilayah pegunungan yang masuk dalam jangkauan mereka atau masih mudah untuk diakses. Sedangkan sebagian besar penduduk hidup di pegunungan dan tinggal di daerah yang sangat terpencil, di mana sama sekali tidak ada pelayanan kesehatan yang tersedia. Rusaknya sistem ini, seperti yang telah saya gambarkan secara detil dalam artikel saya yang berjudul “Hidup Tanpa Negara”4, “Kegagalan Sistem Pendidikan”5, dan artikel lainnya, mulai muncul saat pemerintah mengambil alih pelayanan masyarakat tersebut di akhir era pemerintahan diktator Soeharto. Setelah pengambilalihan tersebut, sistem pelayanan masyarakat tersebut tidak dikelola secara lokal lagi, melainkan dikelola oleh administrator pemerintah baru yang berbasis di ibu kota kabupaten, untuk mengelola sistem tersebut dari kota. Bahkan, banyak dari mereka belum pernah mengunjungi wilayah-wilayah terpencil yang menjadi tanggung jawab mereka, serta mengoordinasi pegawai yang sama sekali belum pernah mereka temui. Sistem ini semakin goyah setelah terjadinya kerusuhan pada 2011 di Wamena, di mana lusinan pekerja migran yang datang dari wilayah lain di Indonesia dibunuh—oleh penduduk asli Papua. Peristiwa ini menyebabkan banyak pendatang pergi—banyak di antara mereka adalah petugas kesehatan—meninggalkan Wamena. Tenaga pengganti yang dipekerjakan sebagai tenaga kesehatan banyak yang tidak memenuhi kriteria atau memiliki keahlian yang diperlukan, melainkan lebih berdasarkan suku atau marga, dan pada umumnya, mereka tidak pernah masuk kerja. “Living without a State”, Inside Indonesia 110, Oct–Dec 2012. “The Failure of Education in Papua’s Highlands”, Inside Indonesia 113, Jul–Sep 2013.

4 5

41

Basa-basi Papua

C op y

Pembentukan struktur administratif baru yang tidak terkontrol telah menghancurkan sistem pelayanan kesehatan yang sejak awal lemah, dan sampai sekarang sistem pelayanan kesehatan itu belum terbangun kembali. Dengan pengecualian wilayah Wamena dan beberapa wilayah terbatas lainnya, pelayanan kesehatan di wilayah pegunungan tengah Papua pada dasarnya menghilang. Hampir segala sesuatu terkait pelayanan kesehatan susah ditemui, mulai dari pelayanan kesehatan untuk ibu hamil, imunisasi untuk bayi dan anak, sampai ketersediaan obat untuk TB dan malaria. Akhir dari sistem ini di banyak wilayah terpencil juga bertepatan dengan mulai munculnya HIV/AIDS.

ng

Kondisi Layanan Kesehatan di Wilayah Pegunungan Saat Ini

R ea

di

Beberapa kelompok masyarakat mampu mengambil keuntungan dari pelayanan yang dikelola oleh lembaga swasta, LSM, atau gereja. Ada juga puskesmas yang dikelola pemerintah yang berjalan di beberapa ibu kota kecamatan, serta pustu dan posyandu di beberapa kampung. Namun, akses ke layanan tersebut umumnya hanya ada di kota atau wilayah yang dekat dengan kota. Ibu kota kabupaten memiliki layanan kesehatan yang berfungsi namun tidak pasti. Di wilayah administratif kabupaten baru, layanan seperti ini baru saja mulai dibangun di ibu kota, meskipun kebijakan otonomi khusus telah dimulai sejak 2001. Di sebagian besar wilayah perkampungan di wilayah pegunungan pada umumnya tidak ada layanan yang tersedia. Beberapa aktor atau lembaga non-pemerintah yang menyediakan layanan di wilayah mereka, misalnya LSM lokal, Yasumat, menyediakan layanan kesehatan secara paralel di hampir setengah wilayah kabupaten Yahukimo. Di wilayah pegunungan

42

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

R ea

di

ng

C op y

yang dapat diakses melalui jalan darat dari Wamena, layanan dari pemerintah yang tidak menentu (tergantung keberadaan tenaga kesehatan) dapat diakses dengan menggunakan sarana transportasi umum (juga tidak menentu) untuk mencapai wilayah yang memiliki puskesmas atau pustu. Keadaan topografi yang sulit selalu dijadikan alasan tidak adanya layanan kesehatan di wilayah terpencil. Padahal, sebelumnya, beberapa kelompok gereja memiliki sistem pengelolaan yang dapat memberikan layanan kesehatan di wilayah terpencil dengan kondisi infrastruktur dan sumber dana yang jauh lebih terbatas, namun rupanya hal ini telah banyak dilupakan. Meskipun demikian, tidak dapat dimungkiri, keadaan topografi yang sulit memang menjadi hambatan yang nyata: menurut program analisis kemiskinan di Indonesia pada 2006 oleh Bank Dunia, rata-rata keluarga atau rumah tangga Papua tinggal di lokasi yang berjarak 32 kilometer dari layanan kesehatan terdekat, sementara di Jawa, jarak rata-rata hanya empat kilometer. Jarak ini semakin meningkat bila keluarga tersebut tinggal menjauh dari pesisir. Di wilayah pegunungan hal ini berarti berjalan selama berhari-hari di medan yang cukup curam untuk mencapai tempat layanan kesehatan. Meskipun demikian, penyebab mendalam dari kegagalan implementasi layanan kesehatan bukanlah terletak pada masalah geologi atau lempeng tektonik. Penyebab utamanya adalah pada kelompok politik (yang lebih mengutamakan marga atau suku) dan kecacatan pada manajemen sumber daya manusia: desentralisasi lebih terpusat pada kekuasaan dalam pengambilan keputusan atas penyediaan layanan di tingkat kabupaten, di mana bupati sering kali bertindak feodal dalam memberikan keuntungan ataupun kesempatan kerja terhadap pihak-pihak tertentu. Dan pembentukan kabupaten baru memberikan peluang yang semakin besar kepada para elite politik lokal untuk menciptakan kerajaan mereka sendiri

43

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

serta akses yang semakin besar terhadap aliran dana. Karena itu muncul gerakan untuk menutupi motivasi ini, salah satunya adalah dengan mengedepankan pemahaman bahwa pembentukan administratif kabupaten baru ditujukan untuk membawa layanan lebih dekat kepada masyarakat yang membutuhkan. Hal ini adalah kebohongan belaka. Di sistem yang baru, pelayanan kesehatan tetap tidak berjalan.

Pusat pelayanan kesehatan yang dikelola oleh relawan di Bonohaik, Kecamatan Lolat, Kabupaten Yahukimo. (Foto: Bobby Anderson)

Di artikel yang berjudul “Tanah Hantu”6, saya memaparkan alasan yang diberikan oleh para birokrat dari dinas kesehatan, yang menjelaskan mengapa mereka tidak bisa menjalankan tugas me-

6 “Land of Ghosts: Papua’s Rural Lowlands and the Global Economy”, Inside Indonesia 112, Apr–Jun 2013.

44

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

R ea

di

ng

C op y

reka dengan baik, dan yang menyebabkan pasien menolak perawatan. Petugas Puskesmas yang berada di kecamatan akan menyarankan pasien yang berasal dari kecamatan baru untuk berobat ke puskesmas yang berada di wilayah kecamatan mereka, meskipun kadang puskesmas atau layanan kesehatan itu belum ada. Hal yang sama terjadi di tingkat kecamatan, di mana pemekaran terjadi sangat cepat (viral). Banyak kecamatan yang telah dibentuk selama satu dekade terakhir, namun belum memiliki pusat layanan kesehatan yang berfungsi dengan baik, yang seharusnya dimiliki oleh setiap kecamatan. Di hampir semua lokasi ini, gedung pusat administrasi telah dibangun, tetapi konstruksi bangunan hanyalah awal. Banyak kantor atau pusat layanan yang tutup, contohnya karena tidak ada kepala kantor atau penanggung jawab yang ditunjuk. Atau, penanggung jawab telah ditunjuk tetapi tidak ada akomodasi yang dibangun untuk memberikan dukungan. Atau, akomodasi telah dibangun tetapi masih di bawah standar. Bahkan, kantor dan pusat layanan telah dibangun dan penanggung jawab telah ditunjuk tetapi tidak ada peralatan penunjang. Lebih lagi, tidak ada staf yang muncul di lokasi. Atau, mereka menolak relokasi karena tidak ada sekolah di wilayah itu untuk anak-anak mereka. Mungkin juga staf telah diangkat dan mereka telah datang ke lokasi, tetapi karena gaji mereka dibayarkan di ibu kota kabupaten, mereka pun harus sering pergi ke kota sehingga mereka jarang ada di tempat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat saat dibutuhkan. Untuk saat ini, satu-satunya layanan yang tersedia adalah puskesmas yang ada di kecamatan yang sudah ada sebelum proses pemekaran, di mana dana tahunan dihitung berdasarkan perkiraan dari jumlah populasi di tingkat kecamatan, setelah dikurangi saat kecamatan baru dibentuk. Sehingga hasil dari desentralisasi adalah sistem administratif yang sama melayani jumlah orang yang sama

45

Basa-basi Papua

C op y

dengan jumlah dana yang menurun secara drastis. Banyak pusat layanan kesehatan yang menolak melayani masyarakat yang bukan penduduk wilayah mereka (masuk dalam kecamatan baru) karena menurunnya dana pelayanan yang mereka peroleh. Dan, hal ini terjadi tanpa penjelasan; dana banyak yang hilang karena relokasi ke kecamatan baru.

Penempatan Pegawai adalah Kunci

R ea

di

ng

Orang mungkin menganggap puskesmas di wilayah yang belum mengalami pemekaran berfungsi dengan baik. Pemikiran ini juga salah. Semua alasan yang digunakan untuk menjelaskan mengapa guru dan pegawai negeri lainnya tidak hadir di tempat kerja mereka yang ada di wilayah terpencil, juga menjadi alasan yang sama untuk petugas kesehatan. Alasan-alasan ini telah digunakan berulang-ulang selama bertahun-tahun dan tidak pernah diselesaikan dengan baik oleh para pemegang kekuasaan dan penanggung jawab keuangan di tingkat kabupaten. Alasan mengapa masalah penempatan pegawai ini tidak pernah terselesaikan dengan baik adalah karena sering kali orang-orang yang dipekerjakan di posisi tersebut memiliki suku atau marga atau hubungan politik dengan pemegang kekuasaan, namun mereka tidak memiliki keahlian yang sesuai (mereka kemungkinan merupakan hasil dari sistem pendidikan di wilayah pegunungan yang gagal), dan mereka juga tidak diharapkan untuk hadir dan bekerja di tempat mereka bertugas. Bupati sering mendikte proses penerimaan pegawai dan memberikan jabatan kepada keluarga atau marga mereka, atau kelompok yang memberikan dukungan kepadanya saat kampanye pemilihan bupati. Jabatan dalam hal ini hanyalah merupakan aset yang dibagi-bagikan di antara kelompok atau marga pemegang

46

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

R ea

di

ng

C op y

kekuasaan, atau sebagai imbalan bagi para pendukung politik. Hal itulah yang menjadi masalah utama: pemekaran unit administratif baru dan pembentukan kantor pemerintahan baru sering kali tidak berhubungan dengan penyedia jasa, terlepas dari semua pembicaraan terkait dengan akibat yang ditimbulkan. Sebagian kecil dari pengambil kebijakan dan petugas kesehatan dalam sistem ini sebenarnya telah berusaha sebaik-baiknya menjalankan tugas mereka, tetapi kinerja mereka tertutupi oleh kondisi mayoritas yang ada. Untuk pegawai di tingkat bawah, di beberapa kabupaten, banyak gaji yang dipotong sebelum mereka menerimanya, sehingga gaji kurang dari seharusnya untuk menghidupi keluarga mereka. Kepala Dinas Kesehatan kabupaten Tolikara mengeluh pada 2011, tingginya tingkat pergantian pegawai yang bertanggung jawab di bidang pelayanan kesehatan (administrator) di wilayahnya menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi tidak memadai. Administrator terakhir dikeluarkan karena dia mencoba melakukan pembayaran gaji petugas kesehatan secara langsung, bukan melalui jalur resmi, sehingga administrator tersebut dapat mengambil potongan 50 persen dari setiap gaji yang dibayarkan. Dan seperti pada sistem pendidikan, masalah pelayanan kesehatan diasumsikan sebagai masalah infrastruktur, sehingga kabupaten, kecamatan, dan kampung baru membangun gedung yang digunakan sebagai pusat layanan kesehatan dengan menggunakan dana otonomi khusus. Hal ini seolah-olah wilayah tersebut memiliki banyak tenaga kerja yang berkualitas dan bersemangat, dan masalah yang mereka hadapi adalah kekurangan atap dan peralatan untuk melayani masyarakat. Padahal, kenyataannya justru sebaliknya. Di ibu kota kecamatan, biasanya ada gedung layanan kesehatan (puskesmas) yang dilengkapi dengan tempat tidur, rak atau lemari, timbangan bayi dan anak, serta perlengkapan lainnya. Di beberapa kampung, bahkan memiliki gedung pustu. Gedung-

47

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

gedung tersebut berdiri di sana, tetapi umumnya terkunci; petugas kesehatan tidak pernah ada di tempat. Saya sempat merawat seorang bapak dengan luka kecil dengan perlengkapan P3K milik saya sendiri, meskipun saya berada selemparan batu dari gedung pustu yang terkunci. Beberapa pustu atau puskesmas yang beroperasi kewalahan melayani pasien yang begitu banyak, yang kadang harus jalan kaki berhari-hari untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan tersebut.

Salah satu relawan melakukan inventarisasi dengan dua staf YASUMAT di tempat penyimpanan obat di sudut gereja di luar wilayah Lolat, Kabupaten Yahukimo. (Foto: Bobby Anderson)

48

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

di

ng

C op y

Sistem layanan kesehatan ini sedang dalam kesulitan dan berjuang agar dapat berjalan dengan baik, dan hal ini ditunjukkan dari paket poster baru terkait kesadaran dan pengetahuan tentang HIV, atau pengiriman obat-obatan yang tidak terjadwal ke puskesmas. Obat-obatan yang dikirim ke puskesmas atau pustu tidak dilengkapi dengan instruksi yang mudah dan jelas, serta sering kali sudah kedaluwarsa. Tahun ini saya melakukan inventarisasi stok obatobatan di salah satu puskesmas di wilayah Yahukimo, Tolikara, dan Mamberamo Tengah, dan saya menemukan obat-obatan yang telah kedaluwarsa sejak 2007. Obat-obatan itu dikirimkan pada 2011. Obat-obatan yang belum kedaluwarsa sering kali juga harus dihancurkan karena rusak akibat penyimpanan yang tidak sesuai—saat puskesmas atau pustu terkunci, obat-obatan biasanya berakhir dalam kardus dan disimpan di pojok gereja. Tanpa kehadiran petugas kesehatan, masyarakat yang sakit akan mencari obat-obatan dari stok yang ada tersebut dan mencoba melakukan pengobatan sendiri, mengambil pil dari botol obat yang label dan keterangannya sulit terbaca karena rusak dan basah terkena air.

R ea

Kesehatan Masyarakat Papua Tidak tersedianya layanan kesehatan ini terjadi di provinsi yang memiliki tingkat harapan hidup terendah di Indonesia. Tingkat harapan hidup penduduk asli Papua menunjukkan angka yang signifikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan populasi migran atau pendatang yang mendekati angka nasional. Para penduduk migran atau pendatang umumnya terkonsentrasi di wilayah perkotaan, di mana sistem layanan kesehatan masih berfungsi. Sebaliknya penduduk asli Papua umumnya berada di wilayah perkampungan yang terpencil di mana sistem layanan kesehatan tidak berjalan.

49

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

Permasalahan kesehatan yang paling signifikan yang dihadapi oleh penduduk asli Papua bukanlah seperti yang menjadi perhatian utama di media nasional maupun internasional. HIV/AIDS adalah masalah yang cukup penting, tetapi itu bukanlah ancaman utama kesehatan masyarakat. Data statistik yang diperoleh di Papua seharusnya dijadikan referensi, dimanfaatkan secara bijak dan berhatihati, dan angka untuk wilayah pegunungan seharusnya berlipat ganda dari yang tercatat. Bagaimanapun juga, angka yang keluar dari beberapa penelitian menunjukkan, Papua menduduki ranking terendah di hampir semua indikator pembangunan sumber daya manusia. Mari kita mulai dengan kondisi kaum muda: penduduk asli Papua memiliki angka kematian bayi, anak, dan ibu tertinggi di Indonesia. Laporan awal dari Survei Kesehatan dan Demografi 2012 yang dilakukan oleh Kemenkes (Kementerian Kesehatan), BKKBN dan instansi lain menunjukkan: di Papua 40 persen bayi dilahirkan oleh tenaga kesehatan yang terlatih, di Jakarta angkanya adalah 99 persen; Di Papua 27 persen bayi dilahirkan di fasilitas kesehatan, sedangkan di Jakarta angkanya adalah 96 persen. Laporan ini secara jelas menunjukkan gambaran negatif, angka kematian anak baik di provinsi Papua maupun Papua Barat, khususnya bila dibandingkan dengan Jakarta. Di Jakarta, 22 dari 1000 bayi meninggal, tetapi di Papua, angka ini meningkat menjadi 54, dan di Papua Barat angka ini meningkat menjadi 74. Di Jakarta, hanya 31 dari 1000 anak di bawah lima tahun yang meninggal, tetapi di Papua Barat angka ini naik menjadi 109 dan di Papua menjadi 115. Survei kesehatan melaporkan adanya indikasi tingginya angka kematian neonatal (1–30 hari), post-neonatal (30 hari–1 tahun), dan bayi (di atas 1 tahun) di provinsi Papua Barat dibandingkan Papua, yang mana cukup mengherankan karena permasalahan pelayanan kesehatan di sana tidak sesulit di wilayah Papua. Saya yakin laporan

50

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

R ea

di

ng

C op y

di wilayah Papua itu tidak realistis. Saya dan juga orang-orang yang telah menghabiskan banyak waktu di wilayah terpencil di Papua dan Papua Barat beranggapan, provinsi yang disebutkan terakhir menunjukkan hasil yang keliru bahwa sebetulnya angka kematian neonatal, post-natal dan bayi lebih tinggi karena peneliti memiliki akses yang lebih baik untuk melakukan penghitungan angka kematian tersebut. Bukan berarti Papua memiliki angka kematian yang lebih rendah di kategori tersebut, namun lebih karena Papua Barat dapat melakukan penghitungan kematian yang lebih baik. Angka tersebut juga dibelokkan karena mereka memasukkan kota dengan penduduk paling besar dan perkampungan yang paling terpencil. Bayi yang lahir di Jayapura dan bayi yang lahir di Sinokla tidak memiliki kemungkinan yang sama untuk bertahan hidup sampai umur lima tahun: perbedaannya sangat besar seperti mereka lahir di benua yang berbeda. Angka kematian semakin buruk di wilayah terpencil di mana angka statistik tersedia. LSM dari Prancis, Medecins du Monde, bekerja di Puncak Jaya sampai saat ini, salah satu wilayah yang sangat terpencil di pegunungan, dan satu-satunya wilayah dengan kehadiran OPM yang cukup aktif. Pada 2008 mereka memperkirakan angka kematian bayi antara 85-150 per 1000 kelahiran hidup di kabupaten. Bagaimana bayi dan anak-anak tersebut meninggal? Penyebab utamanya adalah infeksi saluran napas akut (khususnya pneumonia), diikuti oleh diare, dan malaria. Penyebab kematian ini sangat umum di masyarakat kampung sehingga dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Penyebab utama kematian lainnya adalah malnutrisi; di wilayah pegunungan dan dataran rendah yang terpencil, hal ini terlihat sangat jelas di setiap kelompok anak-anak, dari perut mereka yang buncit dan kaki yang kurus. Sedangkan kematian ibu saat melahirkan umumnya disebabkan karena perdarahan atau infeksi neona-

51

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

tal (neonatal sepsis) dan malnutrisi yang secara tidak langsung berkontribusi dalam penyebab kematian ini juga, khususnya karena adanya anemia dan lemahnya sistem imun. Prevalensi malnutrisi di provinsi Papua (yang diukur berdasarkan berat badan dan umur) adalah 21.2 persen lebih tinggi dibandingkan angka nasional yaitu 18.4 persen. Di wilayah pegunungan, angka ini kemungkinan bisa mencapai 40 persen. Malnutrisi bukanlah semata-mata keadaan kelaparan. Untuk anak-anak, keadaan ini dapat menyebabkan lemahnya sistem imun, menghambat proses pertumbuhan (stunting/pendek) dan juga menghambat perkembangan mental dan kognitif. Parasit merupakan salah satu penyebab utama malnutrisi: anakanak harus bersaing dengan cacing yang bersarang dalam tubuh mereka untuk sejumlah kecil nutrisi yang masuk. Semua kondisi ini diperburuk dengan keterbatasan akses air bersih, rendahnya kebersihan, dan sanitasi yang tidak memadai. Dasar dari kondisi dan praktik yang buruk ini adalah karena kurangnya pengetahuan, yang merupakan hasil dari disintegrasi antara infrastruktur pendidikan dan kesehatan selama bertahun-tahun. Beberapa kondisi malnutrisi di wilayah pegunungan bukanlah disebabkan karena kurangnya bahan pangan, namun lebih karena jenis makanan yang disiapkan untuk anak-anak. Proses menyusui sering kali berakhir terlalu dini ketika bayi dan makanan tambahan diberikan terlalu dini. Ibu-ibu mulai memberikan makanan seperti sagu saat bayi baru berumur beberapa minggu, dan hal ini sangat berbahaya untuk bayi. Poltekes Gizi Jayapura melakukan penelitian terkait dengan praktik pemberian makanan terhadap bayi dan anak di kabupaten Jayapura pada 2012. Penelitian itu menunjukkan, beberapa bayi dan anak dari keluarga yang paling miskin justru paling sehat, hal ini terjadi karena keluarga tidak mampu membeli makanan tambahan dan harus bergantung pada ibu menyusui. Hal

52

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

ng

C op y

ini merupakan pengaruh baik terhadap program menyusui, namun setelah usia enam bulan, makanan tambahan tetap diperlukan.

R ea

di

Sampah medis di Bonohaik, Kecamatan Lolat, Kabupaten Yahukimo. Bila dalam keadaan kering, sampah itu dibakar. Kondisi dalam gambar jauh lebih baik dibandingkan di wilayah lain, di mana sampah medis dibuang dan ditumpuk begitu saja, dan sering kali dimakan oleh babi. (Foto: Bobby Anderson)

Perawatan untuk calon ibu, memonitor kehamilan dan juga berat badan dan kesehatan bayi, imunisasi serta proses belajar dan mengajar, biasanya dilakukan melalui kegiatan posyandu yang dulu sempat dilaksanakan di kampung-kampung di wilayah Papua. Ketika imunisasi dan pelayanan kesehatan lainnya berhenti, penyakit campak mulai muncul kembali. Vaksinasi polio juga terhenti dan saat ini hanya kurang dari setengah atau 50 persen anak yang mendapatkan vaksinasi. Di wilayah pegunungan, umumnya anak-anak tidak mendapatkan imunisasi. Di banyak kabupaten baru, belum

53

Basa-basi Papua

C op y

pernah ada pelaksanaan imunisasi sejak kabupaten tersebut berdiri. Imunisasi berakhir di kabupaten baru Yahukimo sejak 2002, sebulan setelah kabupaten tersebut resmi berdiri, saat mekanisme rantai imunisasi (cold chain) terputus atau rusak. Vaksin rusak dalam suhu ruangan. Diduga beberapa kasus polio mulai muncul di wilayah tersebut, di Sumo, dan beberapa daerah lainnya.

Epidemi Tuberculosis (TB)

R ea

di

ng

Tuberkulosis (TB) adalah ancaman kesehatan masyarakat yang lebih berat dibandingkan HIV/AIDS, karena penyakit ini menyebar melalui aerosol ludah (percikan ludah yang melayang di udara), dan sangat mudah ditularkan, tidak hanya dengan batuk atau bersin tetapi juga pada saat berbicara. Mereka yang tinggal atau bekerja di lingkungan sekitar orang yang terinfeksi TB memiliki 22 persen peluang untuk tertular. Namun, program TB termasuk program yang dananya kurang dibandingkan dengan program seperti HIV/AIDS. Papua memiliki tingkat penularan tertinggi di Indonesia. Yayasan yang bergerak di bidang kesehatan di Wamena memperkirakan ada sekitar 10 persen angka penularan di kota Wamena. Di area pegunungan sekitarnya, kemungkinan angkanya lebih tinggi. Kalvari adalah salah satu klinik swasta di Wamena yang dikenal luas sebagai pusat pemeriksaan dan pengobatan TB di wilayah pegunungan tengah. Hampir semua pelayanan kesehatan di kabupaten merujuk pasien ke sana, pasien datang dari Lanny Jaya, Tolikara, Mamberamo Tengah, Yahukimo, Nduga, dan Yalimo menempuh perjalanan yang cukup jauh selama berhari-hari untuk mencapai klinik tersebut. Kalvari melakukan tes terhadap pasien TB di klinik mereka dan menemukan, 50 persen dari pasien TB juga positif HIV. Ko-infeksi

54

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

R ea

di

ng

C op y

merupakan hal yang umum terjadi pada pasien HIV karena sistem imun mereka melemah sehingga mudah terkena infeksi. Kurangnya pelayanan kesehatan di wilayah pegunungan telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap terjadinya epidemi ini. TB didiagnosa melalui pemeriksaan mikroskopik dahak, dalam hal ini hanya Kalvari dan beberapa pelayanan kesehatan yang mampu melakukan tes tersebut di wilayah pegunungan, hal ini membuat proses diagnosa TB menjadi sangat terbatas. Selain itu, kualitas dan akurasi deteksi TB juga sangat tergantung pada tingkat kesalahan, yang juga dipengaruhi oleh kualitas peralatan yang digunakan untuk tes seperti mikroskop dan reagen. Kadang petugas yang sudah sangat terlatih pun memiliki tingkat kesalahan 25 persen. Perawatan untuk TB membutuhkan waktu cukup lama dan membutuhkan pengawasan: obat-obatan harus disediakan paling tidak untuk jangka waktu setahun. Protokol terapi yang diterapkan Kalvari untuk pasien TB menunjukkan, tidak mungkin menyediakan pelayanan ini tanpa adanya dukungan dari dinas kesehatan di tingkat kabupaten. Pasien TB yang datang ke Kalvari diminta untuk tinggal di Wamena selama dua bulan pertama untuk terapi yang berkelanjutan, dan mereka juga membantu mencarikan hostel untuk pasien yang tidak memiliki keluarga di Wamena. Setelah dua bulan dilakukan pemeriksaan dahak kedua, pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya masih positif harus tinggal selama satu bulan lagi di Wamena. Setelah itu tes lanjutan akan dilakukan, dan bila setelah satu bulan masih juga positif, mereka akan mendapatkan perawatan yang lebih intensif lagi. Kalvari bekerja dalam skala kecil sehingga menjadi hambatan untuk merawat lebih banyak lagi pasien yang menderita TB dengan pelayanan seperti yang dijelaskan di atas. Pasien yang menunjukkan hasil negatif setelah pengobatan awal selama dua bulan akan melanjutkan ke fase berikutnya: me-

55

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

reka akan pulang ke rumah dengan persediaan obat-obatan untuk satu bulan berikutnya. Untuk pasien yang tinggal di luar kabupaten Jayawijaya, Kalvari akan merujuk pengobatan dan pengecekan dahak mereka ke Puskesmas yang berfungsi di wilayah kabupaten mereka yang lokasinya paling dekat dengan tempat tinggal pasien. Namun, meskipun dengan dua bulan pengobatan awal dan edukasi yang cukup komprehensif oleh petugas kesehatan dari Kalvari mengenai pentingnya menyelesaikan pengobatan TB, tingkat putus obat masih cukup tinggi, yaitu berkisar 15 sampai 45 persen. Alasan untuk tidak melanjutkan pengobatan cukup beragam. Pada banyak kasus, setelah menerima pengobatan selama beberapa bulan, pasien umumnya merasa sehat, dan tanpa adanya sistem pengawasan maka mereka putus obat. Efek samping obat juga menjadi salah satu alasan mengapa pasien memutuskan berhenti: nyeri tulang dan kencing yang berwarna merah merupakan keluhan yang umum terjadi. Namun, penyebab terbesar putus obat adalah terkait ketersediaan obat, sering kali Puskesmas tidak memiliki obat-obatan yang dibutuhkan, atau kadang mereka hanya punya persediaan obat untuk beberapa hari saja. Beberapa LSM telah mencoba membantu dengan program pengawasan masyarakat, namun aspek yang utama—suplai obat—terlalu kacau untuk menunjukkan, pelaksanaan program seperti ini dapat membantu meningkatkan tingkat keberhasilan pengobatProgram TB an. Selain itu, ada lagi hal yang lebih buruk tertermasuk kait kurangnya ketersediaan obat di beberapa program yang wilayah: mandat bahwa obat-obatan TB ini disedananya kurang diakan secara gratis. Namun, yang terjadi adalah, dibandingkan obat-obatan ini oleh beberapa orang, seperti dengan program petugas kesehatan, yang mencoba mengambil seperti HIV/AIDS. keuntungan, dijual ke apotek swasta yang kemudian menjual kepada pasien.

56

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

C op y

Kasus TB resisten obat (MDR/Multi Drug Resistant) menjadi meningkat dengan semakin banyaknya putus obat. Indonesia secara nasional cukup kesulitan dalam menangani kasus MDR: Indonesia baru mulai menangani masalah ini pada 2009 dan sejak saat itu telah dibuka 10 pusat layanan TB MDR. Di Jayapura telah terdeteksi 20 kasus dan 11 di antaranya meninggal. Bahaya terbesar adalah ketika pasien TB MDR gagal menyelesaikan pengobatan sehingga terjadi total resisten terhadap obat (Extensive Drug Resistance) atau TB XDR. Untuk saat ini, proses pengobatan yang telah banyak membunuh pasien adalah pengobatan selama dua tahun. Dan satu-satunya pengobatan untuk yang terakhir adalah isolasi sampai meninggal. Kemungkinan munculnya TB XDR di wilayah pegunungan sangatlah dekat.

ng

HIV/AIDS

R ea

di

Penduduk Papua memiliki angka HIV/AIDS yang paling tinggi di Indonesia, dan Papua merupakan salah satu wilayah dengan pertumbuhan infeksi HIV yang paling cepat di Asia. Menurut UNDP, 2,4 persen masyarakat Papua terinfeksi HIV, sedangkan angka nasional adalah 0,2 persen. Penduduk pendatang yang menderita HIV memiliki angka kesakitan mendekati angka nasional. Persentase terbesar infeksi adalah pada masyarakat asli Papua. Pada 2007, Badan pengembangan milik Australia (Australian Development Agency/AUSAID), telah memperkirakan bahwa pada 2025, angka HIV di Papua akan meningkat menjadi 7 persen dibandingkan angka nasional yaitu 1,8 persen. Namun, petugas kesehatan di Wamena telah memperkirakan prevalensi penyakit HIV akan mencapai angka antara 8 ke 10 persen di wilayah mereka. Tingkat HIV di area sangat terpencil di wilayah pegunungan tidak diketahui, namun jumlah laki-laki muda, perempuan, dan anak-anak yang

57

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

meninggal karena penyebab yang tidak diketahui secara jelas yang di luar proporsi yang seharusnya dari sebuah provinsi: hal ini diduga karena HIV.

Buku pasien dan daftar obat-obatan yang dibagikan di Bonohaik, kecamatan Lolat. Ini merupakan salah satu klinik kesehatan terbaik yang dikelola oleh relawan di wilayah pegunungan. (Foto: Bobby Anderson)

Para lelaki yang bekerja di wilayah perkotaan di bidang konstruksi, di mana pembangunan yang marak karena proses pemekaran kabupaten-kabupaten baru dan juga dana yang berasal dari dana otonomi khusus yang mengalir cukup besar dan banyak digu-

58

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

R ea

di

ng

C op y

nakan untuk pembangunan, menyebabkan banyaknya penularan HIV melalui pelacuran. Wamena, Timika, dan kota-kota lainnya berperan sebagai area penularan untuk penyakit ini dan juga penyakit menular seksual lainnya. Data surveilans dari Kemenkes yang dikumpulkan pada 2011 (IBBS) menunjukkan, 25 persen dari pekerja seksual di Wamena positif HIV, 35,4 persen terinfeksi gonore, 31,4 persen menderita sifilis, dan 44,8 persen menderita klamidia. Secara umum transaksi seksual melibatkan pekerja seksual yang tidak aman, dengan beberapa pengecualian usaha (kepercayaan lokal) untuk mengurangi risiko: seperti para laki-laki melukai dirinya untuk mengeluarkan darah kotor setelah mengunjungi pekerja seksual. Penyediaan wanita penghibur atau pekerja seksual sebagai hadiah di jaringan yang dilindungi pegawai pemerintahan saat ini menjadi hal yang biasa atau standar, dan hal ini mungkin bisa membantu menjelaskan adanya bukti anekdot yang menunjukkan bahwa laki-laki Papua yang paling cepat tertular HIV adalah para pegawai negeri, seperti kepala kampung, anggota Komisi Pemilihan Umum, dan seterusnya. Di Kecamatan Ninia yang merupakan bagian dari Kabupaten Yahukimo, kampung halaman bupati yaitu Balingama/Yabi, memiliki angka HIV yang tertinggi saat diidentifikasi oleh LSM lokal yang bekerja di wilayah tersebut. Faktor lain yang ikut mendukung tingginya tingkat penularan adalah budaya dan kepercayaan lokal yang masih menerima pemerkosaan sebagai hak prerogatif laki-laki untuk dianggap kuat: di survei terbaru yang dilakukan oleh lembaga berbasis gereja di Tolikara, mayoritas perempuan muda mengaku bahwa hubungan seksual pertama mereka adalah karena pemaksaan. Banyak lelaki yang bekerja di luar kampung mereka kembali pulang dengan membawa penyakit. Dan karena tidak adanya sistem pelayanan kesehatan di lokasi ini, akibat terburuk yang dapat ditim-

59

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

bulkan sangat terasa. Contohnya, prevalensi penyakit menular seksual mungkin dapat membantu menjelaskan beberapa kasus infertilitas di wilayah pegunungan baik pada pria maupun wanita, yang dicatat oleh beberapa LSM yang bergerak di bidang kesehatan sebagai hal yang mulai banyak terjadi dan patut dipertimbangkan. Bagi mereka yang benar-benar mencari pertolongan untuk mengobati HIV melalui terapi ARV (obat anti-viral), ketersediaan obat cukup sulit, bahkan di Jakarta sekalipun. Di Papua, sangat sulit untuk menjaga ketersediaan obat ARV kecuali bila mereka sangat kaya. Sementara di belahan dunia lain HIV termasuk penyakit yang dapat dikelola, di Papua—dan khususnya di wilayah pegunungan—kondisi ini merupakan hukuman mati untuk beberapa orang. Bukti anekdot mengindikasikan bahwa hampir semua orang Papua yang meninggal karena penyakit yang berhubungan dengan AIDS tidak menyadari bahwa mereka mengidap HIV. Begitu pula dengan keluarga mereka. Di perkampungan wilayah pegunungan saya mendengar kasus demi kasus tentang suami istri yang masih cukup muda meninggal karena penyakit yang tidak diketahui, diikuti oleh kematian anak-anak mereka. Untuk penduduk Papua yang telah didiagnosa, gagasan tentang kerahasiaan pasien tidak ada: kondisi mereka yang positif HIV mungkin akan tersebar di masyarakat dan lingkungannya. Dan mereka sangat ketakutan akan stigma, di mana masyarakat dan keluarga akan segera menjauhi orang-orang yang terkena HIV. Gereja lokal mengkhotbahkan bahwa HIV merupakan hukuman Tuhan bagi yang berbuat dosa. Media spiritual yang digambarkan berdasarkan kepercayaan sebelum Kristen mengajarkan bahwa HIV/AIDS merupakan hasil, bukan karena tindakan atau perilaku, melainkan akibat kutukan yang dapat disembuhkan melalui cara-cara spiritual.

60

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

Memperbaiki sistem

R ea

di

ng

C op y

Langkah-langkah yang perlu digunakan untuk memperbaiki layanan kesehatan yang telah rusak ini secara umum adalah sama dengan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk memperbaiki sistem pendidikan di wilayah pegunungan. Pertama, pihak-pihak terkait harus menyadari alasan mengapa sistem yang ada tidak bekerja. Apa yang dibutuhkan oleh para petugas kesehatan supaya mereka hadir di tempat kerja mereka, termasuk petugas yang mengelola bidang kesehatan di tingkat kabupaten yang bertanggung jawab untuk mengelola pelayanan kesehatan di wilayah tersebut. Obat-obatan harus tersedia untuk pengobatan yang memerlukan jangka waktu lama. Hal ini berarti mampu mengelola keberlangsungan rantai pengadaan obat, penyimpanan yang baik dan benar, dan menjaga agar suhu penyimpanan yang sesuai (secara umum disebut sebagai rantai dingin (cold chain), dengan keberadaan petugas yang terlatih mengiringi setiap langkah ini. Menjaga suhu merupakan hal yang sangat penting: tanpa hal ini, obat-obatan tidak berguna. Pada kenyataannya, dapat lebih buruk daripada tidak berguna, contohnya adalah mencoba melakukan pengobatan TB dengan regimen yang tidak dapat dipenuhi karena adanya kesalahan dalam rantai penyediaan obat atau penyimpanan dengan suhu yang tidak baik (merusak obat), karena akan mengakibatkan kegagalan pengobatan dan mendorong ke arah TB MDR dan XDR yang akan lebih sulit, atau tidak mungkin diobati. Petugas yang tidak masuk kerja atau tidak memiliki kualifikasi yang sesuai harus diganti. Di struktur feodal yang kami sebut “desentralisasi”, bupati memiliki kekuasaan yang sangat besar. Namun, mereka perlu dibebaskan dari hak yang dapat memengaruhi proses pemilihan sumber daya manusia untuk layanan kesehatan di

61

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

kabupaten. Satu hal, untuk menghargai petugas yang tidak hadir di birokrasi sipil, mereka diberi gaji yang diambil dari dana kesehatan yang ada, namun akibat dari hal ini adalah kematian yang seharusnya tidak terjadi. Posisi yang penting seperti ini seharusnya menjadi pertimbangan dan harus dilindungi.

Pasien menunggu pemeriksaan di Bonohaik. Bapak ini berjalan selama beberapa hari untuk mengobati tangannya yang terluka. Dia bisa terkena sepsis bila lukanya terinfeksi dan tidak segera diobati. (Foto: Bobby Anderson)

62

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

R ea

di

ng

C op y

Petugas kesehatan seharusnya digaji di tempat dan juga didukung dengan fasilitas yang mereka butuhkan. Dukungan fasilitas ini seharusnya diberikan hanya kepada petugas kesehatan baru atau mereka yang memiliki catatan yang baik dalam bekerja. Memberikan tambahan dukungan fasilitas kepada mereka yang tidak hadir dalam melaksanakan tugas dengan harapan mereka akan bekerja adalah sama dengan memberikan penghargaan kepada orang yang lalai. Dalam periode sementara perbaikan sistem pemerintahan, salah satu pilihan untuk pemerintah kabupaten dan provinsi adalah secara formal mengenali institusi paralel yang telah dibentuk untuk mengisi kekurangan dalam layanan kesehatan. Pemberi layanan kesehatan berbasis kelompok masyarakat—seperti Yasumat, Kalvari, dll—telah dikenali sebagai bagian yang sangat penting dalam sistem. Para pekerjanya seharusnya dapat dimasukkan dalam sistem pemberian gaji oleh pemerintah, tetapi dibayarkan melalui gereja atau lembaga lainnya yang mengelola sistem tersebut. Bahkan, usaha melakukan perubahan ini hanya akan memperbaiki bagian luarnya saja (kosmetik). Hal yang busuk masih tetap di sana, karena kondisi ini terjadi tidak hanya pada posisi pendidikan dan kesehatan saja, di mana pegawai tidak hadir dan melakukan pekerjaannya. Tidak ada satu pun elemen dalam birokrasi Papua yang tidak terpengaruh dengan penyakit malas ini. Otonomi khusus tidak berUntuk menghargai jalan. Namun, kegagalannya secara mupetugas yang tidak dah ditutupi oleh hal sederhana yang hadir di birokrasi sipil, dikaitkan dengan hak masyarakat Papua mereka diberi gaji yang mana tidak memperbaiki apa yang rusak dalam sistem. Kebijakan hak terhayang diambil dari dana dap minoritas telah disalahartikan sebakesehatan yang ada, gai kembalinya kekayaan Papua menjadi

63

Basa-basi Papua

milik individual. Yang mengambil keuntungan adalah para elite lokal dan mereka yang memiliki koneksi dengan para elite tersebut baik melalui marga, suku, atau ikatan lainnya. Masyarakat umum telah dicurangi haknya untuk mendapatkan pendidikan dan kese-

C op y

hatan karena hal ini.

Digilas Roda Modernitas?

Saya teringat akan peristiwa pada September 2011 di Jayapura.

Saya melihat seorang anak muda Papua dengan badan kurus yang berjongkok di kardus yang telah diratakan, dekat tumpukan sampah yang telah dibuang oleh pemilik toko yang merupakan seo-

rang pendatang atau migran. Saya berjalan ke arahnya pada suatu

ng

malam, berhenti, dan bicara kepadanya. Dia baru saja datang di Jayapura dan berbicara dengan bahasa Indonesia yang terbatas.

Dia berjalan dari kampung di Keerom yang berjarak satu hari. Dia memeluk lututnya, tasnya ditumpuk di belakangnya. Semua keahli-

di

annya yang berasal dari kampung telah usang dan tidak lagi sesuai dengan dunia yang beraspal dan papan sirkuit yang jauh berbeda dari dunianya.

R ea

Hal ini sudah lumrah terjadi dari satu budaya ke budaya lain-

nya yang tidak berhenti berdarah karena masuknya modernitas ke seluruh pelosok dunia. Penetrasi ekonomi modern dan perubahan budaya yang datang bersama mereka tidak dapat dibendung. Namun, efek ini dapat diredam dengan memberikan pengetahuan dan alat bagi masyarakat yang budayanya mulai tenggelam. Hanya dengan persiapan dan perlengkapan yang baik mereka akan mampu bertahan dalam dunia baru ini, dan mereka mampu untuk mengambil keputusan untuk diri mereka sendiri tentang bagaimana cara mereka dapat beradaptasi, tidak peduli seberapa berat 64

Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua

keputusan yang telah mereka ambil. Pendidikan dan kesehatan sangat penting untuk mempertahankan diri. Saat mereka sangat membutuhkan pendidikan dan kesehatan, mereka dicekoki dengan fantasi yang berlebihan tentang kemerdekaan yang harus terjadi dan dijanjikan bahwa hal ini akan me-

C op y

nyelesaikan semua masalah yang ada. Namun, bila daerah perkam-

pungan Papua tidak memiliki akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan yang berfungsi, mereka akan hancur dalam beberapa generasi mendatang. Keberlanjutan akan sistem yang rusak dan

tidak berfungsi akan menghasilkan kampung yang angka buta hu-

ruf dan tingkat pertumbuhan penduduknya negatif, mereka hanya akan berdagang seadanya sampai mereka mati sebelum waktunya.

Setiap orang yang mengambil gaji tanpa datang bekerja, baik di bidang pendidikan atau kesehatan di wilayah pegunungan, ikut

ng

terlibat di dalam proses yang membuktikan adanya autogenocide (genosida yang terjadi dengan sendirinya), ikut menjadi pengamat dalam melanjutkan tragedi ini, dan juga ikut bersekongkol di

di

dalamnya.

R ea

Ini adalah masalah yang mendesak.

65

di

R ea ng C op y

C op y

04.

Basa-Basi Papua

R ea

di

ng

Diterbitkan dalam majalah Inside Indonesia (11 Februari 2014)

C op y ng di

R ea

Sobaham, jalan menuju Ninia: tidak ada polisi, tidak ada tentara, tidak ada pelayanan. (Foto: Bobby Anderson)

S

di

ng

C op y

elama setahun terakhir ini, melalui serangkaian artikel tentang Papua untuk Inside Indonesia, saya mencoba menunjukkan perjuangan dan kekhawatiran banyak orang yang tinggal di sana. Perjuangan ini dipisahkan dari wacana politik kemerdekaan dan integrasi yang banyak orang anggap sebagai persoalan yang paling menonjol dalam kehidupan sebagian besar orang Papua. Baru-baru ini ada respons dari Jenny Munro tentang tulisan saya yang berjudul “Kegagalan Pendidikan di Pegunungan Papua”. Respons tersebut muncul dalam artikel berjudul “Menyalahkan Orang Papua” di mana beliau mengklaim bahwa saya “menyalahkan orang Papua” atas runtuhnya sistem pendidikan di seluruh pegunungan Papua. Munro menegaskan, kesalahan terjadi karena sebab yang sama: sejarah Papua, pihak keamanan, dan industri ekstraktif. Artikel ini membahas kekurangan dalam analisis dan bagaimana analisis tersebut selaras dengan mitos yang lebih luas tentang Papua yang banyak dipercayai oleh penulis asing yang menulis tentang wilayah Papua.

Kegagalan di Papua

R ea

Secara ringkas, berikut adalah tinjauan argumen saya dari semua artikel yang saya tulis tentang Papua. Semua artikel tersebut membahas tentang kegagalan pemerintahan dan layanan di daerah terpencil Papua, di mana saya bekerja, terutama pada dua artikel yang terakhir. (“Kegagalan Pendidikan di Pegunungan Papua” dan “Mati Sia-sia”.) Di dalam dua artikel ini saya menyatakan bahwa OTSUS (Otonomi Khusus) telah gagal dan kegagalan tersebut terjadi BUKAN karena pemerintah pusat tidak mengimplementasikan berbagai aspek OTSUS dengan benar. Bagi masyarakat biasa, kegagalan layanan pemerintah terjadi di level pemerintah daerah, yaitu pro-

69

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

vinsi, kabupaten, maupun distrik (kecamatan), khususnya layanan kesehatan dan pendidikan. Saya telah menjelaskan bagaimana pejabat-pejabat Orang Asli Papua (OAP) menganggap OTSUS sebagai kesempatan untuk mengakses subsidi/dana untuk kepentingan sendiri termasuk membagi ke jaringan pendukung. Akibat ketidakhadiran PNS di tempat tugas, banyak sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, dan lain-lain melemah atau-pun tidak berfungsi sama sekali. Kerusakan yang terjadi di antara layanan-layanan tersebut semakin meningkat melalui pemekaran. Proses pemekaran membagi unit administratif yang lebih besar menjadi lebih kecil, yang secara teori membuat pemerintahan lebih efisien, tetapi dalam kenyataannya memungkinkan elite OAP mengakses lebih banyak dana sambil mendorong OAP biasa lebih jauh dari layanan. Otonomi khusus telah menciptakan garis pembagian antara elite Papua yang mendapat manfaat langsung darinya, dan mayoritas, yang tidak menerima apa-apa. Hampir semua analisis fokus pada sejarah Papua dalam Indonesia, terutama pemberontakan separatis, aparat keamanan negara, dan ekstraksi sumber daya alam. Saya sengaja tidak mendalami masalah-masalah penting ini karena sering dibahas oleh peneliti lain, dan juga karena faktor-faktor itu tidak memengaruhi kehidupan sehari-hari kebanyakan orang Papua. Namun, masalah analisis tentang Papua muncul ketika para pengamat mulai melihat masalah politik dan keamanan Papua sebagai masalah satu-satunya yang perlu perhatian serius. Ketika kita mulai menjauhi karya-karya para akademisi, peneliti, dan wartawan yang banyak menambah pemahaman kita tentang Papua—yaitu Richard Chauvel, Benny Giay, Sidney Jones, Denise Leith, Robin Osborne, dan Jaap Timmer (sebagai contoh)—Anda akan menemukan pandangan yang lebih umum dan menggoda

70

Basa-Basi Papua

R ea

di

ng

C op y

karena sederhana. Pandangan ini menyalahkan negara Indonesia dan militer (TNI) atas semua persoalan Papua saat ini, mulai dari transportasi hingga kesehatan. Akhirnya, analisis ini menjadi cukup sederhana sampai-sampai dapat dilukis di plakat. Sejalan dengan kecaman terhadap pemerintah nasional yang dianggap bertanggung jawab atas semua permasalahan di Papua, adalah pandangan bahwa adanya identitas Papua yang tidak berbentuk yang sakral dan tidak berdosa. Jika pemerintah adalah sumber dari semua kejahatan, maka orang Papua tidak dapat berbuat salah sama-sekali. Pandangan ini menjadikan OAP sebagai anak kecil, di mana mereka tidak dapat mengendalikan takdir sendiri, dan mencegah mereka memaksa orang-orang elite Papua untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Begitu banyak yang telah ditulis tentang orang Papua yang ternyata menjadikan OAP sebagai stereotip yang pasif, telanjang, berbulu, dan dihiasi dengan gaya cowrie. Banyak aktivis Papua memanfaatkan gambar ini ketika membahas masalah Papua dengan orang asing. Berdasarkan logika pendekatan ini, wabah ketidakhadiran guru, administrator dan implikasi yang mengerikan bagi masa depan anak-anak pegunungan adalah akibat represi, rasisme, dan ekstraksi sumber daya alam. Dilihat melalui sudut pandang ini, jika saya menemukan sekolah kosong di Boven Digoel, Jayawijaya, Keerom, Lanny Jaya, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, Tolikara, Otonomi khusus telah Yahukimo, atau salah satu distrik lain, meskipun para guru adalah menciptakan garis pembagian OAP dan sedang mendapatkan antara elite Papua yang gaji untuk mengajar di sana teta- mendapat manfaat langsung pi tidak ada di tempat, saya tidak darinya, dan mayoritas, yang boleh menyalahkan ketidakhatidak menerima apa-apa. diran para guru itu. Masalah buta

71

Basa-basi Papua

C op y

huruf anak-anak yang seharusnya mereka ajar, atau ketidakhadiran petugas pemda yang tidak di tempat atau bupati yang menunjuk kepala departemen pendidikan kabupaten yang kemudian mempekerjakan orang yang tidak memenuhi syarat untuk mengajar— semuanya itu tidak boleh disalahkan. Sebaliknya, saya harus menyalahkan militer Indonesia beserta perusahaan pertambangan. Analisis yang cacat seperti itu tidak akan menghasilkan solusi untuk masalah pemberian layanan publik di Papua. Dan jawaban Munro menyebarkan banyak mitos tentang Papua yang perlu dibongkar.

ng

Mitos 1: Ketidakamanan dan Penindasan adalah Penyebab Kegagalan Sistem Pendidikan dan Sistem Lainnya

R ea

di

Dalam kecaman artikel saya, Munro menulis, “Kekerasan yang membentuk kehidupan sehari-hari di pegunungan lebih sering dibuat oleh sektor keamanan, yang memiliki dampak berkelanjutan pada partisipasi dan kualitas pendidikan daripada satu peristiwa bersejarah apa pun.” Dalam hal ini dia mengutip mitos yang lebih luas bahwa semua masalah Papua kontemporer dapat dihubungkan secara langsung dengan aparat keamanan Indonesia. Namun, tuduhan “police state” (negara di mana polisi mengendalikan semuanya dan tidak ada ruang gerak bagi rakyat) oleh banyak aktivis, akademisi, dan jurnalis adalah fiksi di sebagian besar Papua. Dan jelas itu bukan sumber kegagalan kesehatan dan pendidikan Papua. Militer Indonesia dan polisi bukan alasan mengapa guru tidak mengajar. Dan sangat jelas bukan alasan mengapa anak-anak tidak belajar. Kadang-kadang, orang tua menahan anak-anak mereka dari sekolah (di beberapa daerah pegunungan yang beruntung karena

72

Basa-Basi Papua

R ea

di

ng

C op y

memiliki sekolah yang berfungsi) ketika ada insiden kekerasan tertentu yang melibatkan militer Indonesia (TNI). Terkadang insiden ini melibatkan TNI sebagai agen tunggal dalam kekerasan, seperti dalam peristiwa 6 Juni 2012 di mana para tentara di Wamena mengamuk setelah salah satu dari mereka dibunuh oleh massa. Korban dibunuh setelah menabrak seorang anak dengan motor. Insiden lainnya adalah konflik antara TNI dan Gerakan Papua Merdeka atau OPM; masalah lain terjadi antara pasukan keamanan (TNI) dan siapa pun yang melakukan protes atau ekspresi yang dianggap “makar” atau pengkhianatan. Namun, sebagian besar kekerasan, nyata atau diduga, yang membuat orang tua menahan anak-anak mereka di rumah adalah perseteruan antara klan/suku. Konflik yang diakibatkan oleh perseteruan tersebut terjadi dengan frekuensi yang cukup tinggi sehingga tidak diberitakan oleh media lokal, apa lagi media nasional dan internasional. Konflik terbaru adalah konflik dalam suku Nduga yang telah menewaskan lebih dari 12 orang di Wamena sendiri (yang bukan daerah Nduga) sejak awal 2013. Peperangan antarsuku cenderung meningkat selama ada pemilihan, yang merupakan saingan intens antara pemimpin atau kepala suku yang telah menggunakan cara monopoli politik di Indonesia. Di pegunungan, konflik antarsuku lebih sering menimbulkan jumlah korban yang tinggi. Hal ini mungkin sulit diterima oleh banyak orang luar Papua, tetapi itu kenyataannya. Juga tidak benar bahwa daerah terpencil dibanjiri dengan personel keamanan. Pengecualian adalah Puncak Jaya, terutama Tingginambut, yang menjadi tuan rumah OPM yang paling aktif di Papua, serta perbatasan Indonesia dengan PNG. Fiksi lain adalah dugaan suasana represif yang begitu kuat dan umum bahkan protes non-separatis tidak mungkin dilakukan. Daerah terpencil tempat saya bekerja sering kali diganggu oleh pemalangan jalan (orang lokal), demonstrasi, pameran kekuatan oleh 73

Basa-basi Papua

di

ng

C op y

grup tertentu, dan kadang-kadang kerusuhan antarkelompok. Saya telah melihat runtuhnya sekolah yang dibakar oleh orang tua yang marah karena seorang guru OAP tidak meluluskan anak-anak mereka. Protes dan konflik adalah masalah endemis.

R ea

Sinokla: tidak ada polisi, tidak ada tentara, tidak ada guru, tidak ada dokter. Bahkan, kepala desa berada di Jayapura. (Foto: Bobby Anderson)

Represi memang ada, tetapi terhadap kelompok dan kegiatan yang diberi label separatis. Sayangnya, terlalu sering, orang yang mengangkat masalah pertanggungjawaban, hak asasi manusia, dan kekebalan militer dituduh oleh pihak berwenang sebagai separatis. Namun, kebanyakan komentator/pengamat hanya memperhatikan kekerasan yang dilakukan oleh gerakan separatis dan respons negara terhadapnya.

74

Basa-Basi Papua

Mitos 2: Aspek-Aspek OTSUS yang Diimplementasikan oleh Provinsi Papua Gagal karena Jakarta

R ea

di

ng

C op y

Munro menyatakan, Otonomi Khusus (OTSUS) diberlakukan oleh pemerintah tingkat nasional, dan orang Papua “diabaikan” oleh Jakarta ketika Papua memperkirakan OTSUS akan gagal. Munro bukan hanya lupa bahwa ada konsultasi dengan elite tingkat tinggi Papua ketika rancangan otonomi dibuat (sesuatu yang saat ini cukup membahayakan karena pemerintah provinsi lupa dalam mengembangkan formula Otonomi Khusus Plus yang baru) dan mendukung pendapat para komentator yang terpilih dan tidak bernama. Munro juga gagal membedakan antara aspek otonomi khusus yang akan dilaksanakan oleh Jakarta, dan aspek-aspeknya yang dilaksanakan oleh Papua. Ini adalah kelemahan fatal dalam jawaban Munro: tanggung jawab untuk pengelolaan dan pengawasan sekolah dasar dan menengah di Papua ada di tingkat kabupaten. Kewenangan dalam sistem pendidikan ada di tangan bupati yang menurut Undang-Undang OTSUS hanya dapat diduduki oleh OAP. Dan di setiap distrik yang saya kunjungi, pilihan bupati berasal dari suku atau sekutunya, yang merupakan pendukung terbesar dari kegagalan sistem. Benar bahwa aspek-aspek penting dari otonomi khusus yang disepakati di bawah Gus Dur (Abdurrahman Wahid) tidak diimplementasikan di bawah Megawati, dan ini pasti merusak kepercayaan antara Papua dan Jakarta. Namun, kegagalan terbesar dalam hasil otonomi khusus adalah tidak adanya undang-undang provinsi yang jelas untuk memandu implementasi. Upaya legislatif sesekali untuk mengatur alokasi dana untuk layanan (seperti Peraturan Daerah No. 6 tahun 2005, yang menetapkan aturan pendidikan yang tidak jelas tentang penyampaian layanan) dan menetapkan

75

Basa-basi Papua

C op y

hukuman jika terjadi pelanggaran, gagal. Akibatnya adalah OTSUS menjadi dana gelap bagi elite dan tidak dapat diakses oleh orang Papua. Dorongan untuk membuat undang-undang semacam itu terletak di dalam parlemen provinsi dan para anggota terpilih. Artinya, lembaga tersebut harus mempertanggungjawabkan persoalan penyampaian layanan yang buruk. Pemerintah Indonesia seharusnya berperan dalam pembuatan undang-undang tersebut, tetapi karena hal ini tidak terjadi, mereka juga menjadi bagian dalam kegagalan OTSUS. Namun, bagi banyak orang, “diabaikan oleh Jakarta” menjadi penjelasan yang cukup.

ng

Mitos 3: Semua PNS adalah Orang non-Papua yang Tidak Baik atau Papua yang Baik

R ea

di

Munro menulis, tidak ada bukti yang mendukung pernyataan saya mengenai Papuanisasi PNS Papua (proses di mana petugas PNS dari luar Papua diganti dengan OAP). Saya berpendapat, satu-satunya tempat di Papua di mana otonomi khusus telah membuat perbedaan adalah pada Papuanisasi PNS. Terutama di mana ada pemekaran kabupaten. Saat rezim Soeharto, hampir tidak ada PNS OAP. Sejak munculnya otonomi khusus pada 2001, PNS Non-Papua tidak diutamakan lagi. Angka yang akurat tentang rasio orang Papua terhadap para pendatang tidak ada, tetapi di semua kabupaten baru, daerah terpencil, dan di pegunungan—artinya hampir seluruh Papua—orang Papua dominan dalam posisi pegawai negeri. Karena pemekaran selama dasawarsa terakhir terus berlanjut dengan kecepatan yang tinggi dan terus meningkat, ada lebih banyak posisi baru perlu diisi, jadi memungkinkan lebih banyak orang Papua mengisinya. Pengalaman kualitatif sendiri di distrik tempat saya bekerja menunjukkan hal

76

Basa-Basi Papua

R ea

di

ng

C op y

ini: ketika saya berurusan dengan dinas kesehatan, pendidikan, dan pejabat lainnya, di Tolikara, Mamberamo Tengah, Yahukimo dan kabupaten lain, saya berurusan dengan orang Papua. Tentu saja, masih ada posisi yang ditempati oleh PNS nonPapua di berbagai dinas. Juga perlu diperhatikan bahwa stereotip “sebagian besar pegawai negeri ‘pendatang’ adalah Muslim dari Jawa”, tidak benar. Sebenarnya banyak PNS yang bertugas di Papua berasal dari Maluku atau Sulawesi Utara; banyak yang pengikut Kristen, dan mereka sering menjadi anggota di jemaat gereja yang sama dengan rekan Papua. Banyak dari mereka berasal dari keluarga yang sudah berada di Papua selama beberapa generasi. Orang Papua tidak menyukai keberadaan PNS pendatang di Papua, sama seperti orang pegunungan tidak menyukai keberadaan orang Papua dataran rendah yang bekerja sebagai pegawai negeri di daerah pegunungan. Namun, dalam kategori luas ini ada individu yang menonjol akibat tindakan baik atau buruk. Saya telah melihat situasi di mana orang Papua lebih suka mengunjungi dokter dari luar Papua, tetapi saya juga telah melihat para pendatang yang lebih suka pada guru Papua dibandingkan pendatang. Saya telah mendengarkan kepala dinas pendidikan mengeluhkan kaburnya administrator (pendatang) yang gagal menjalankan sistem yang beliau terapkan. Namun, yang beliau tidak beri tahu saya adalah pria yang bersangkutan berusaha membayar stafnya secara langsung daripada membiarkan beliau mengambil dan memotong gaji mereka. Anggota staf yang berasal dari Papua menyukai administrator tersebut, sedangkan kepala dinas pendidikan membencinya. Namun, cerita semacam itu tidak memiliki arti dalam cerita umum yang disebarkan oleh pemegang mitos-mitos di atas. Ada stereotip mendalam di pemikiran banyak pengamat Papua—yaitu, pegawai negeri Papua selalu baik, dan pegawai negeri pendatang selalu buruk.

77

C op y

Basa-basi Papua

ng

Holuwon: tidak ada polisi, tidak ada militer, tidak ada layanan, kecuali yayasan gereja lokal. (Foto: Bobby Anderson)

R ea

di

Proses Papuanisasi ini telah mengakibatkan pertumbuhan kelas teknokratis Papua di Provinsi Papua Barat dan beberapa daerah di provinsi Papua seperti Jayapura, Merauke, dan daerah lain. Namun, itu belum meningkatkan layanan di daerah terpencil dan daerah pemekaran. Salah satu tujuan OTSUS adalah mengutamakan OAP di pemerintahan, terutama melalui sistem PNS. Ternyata pelaksanaan OTSUS di Papua berbeda dengan tujuan tindakan afirmatif yang dicatat dalam UU Otonomi Khusus. Kebijakan-kebijakan ini tidak lagi dilihat sebagai kesempatan untuk mengangkat orang Papua yang mampu, yang sebelumnya tidak dilibatkan dan menempatkan mereka di jabatan yang penting di mana mereka memerlukan pelatihan dan pendampingan ekstensif. Malah, tindakan afirmatif dilihat sebagai mekanisme untuk memberikan pekerjaan kepada anggota suku dan para pendukung dalam suatu pra-rangka patro-

78

Basa-Basi Papua

C op y

nasi yang ada. Dan sering kali dibenarkan oleh gagasan bahwa gaji pegawai negeri adalah hak masing-masing atas kekayaan mineral Papua: pengaturan Otonomi Khusus milik sendiri. Sepengetahuan saya, hanya Merauke yang memiliki program tindakan afirmatif berdasarkan rencana pemberdayaan. Di hampir setiap wilayah lain, perekrutan tidak terkait dengan kebutuhan pekerjaan. Tentu saja, dalam situasi yang kacau ini banyak orang yang berusaha untuk melakukan pekerjaan mereka dengan benar di dalam, dan orang-orang seperti itu harus dikagumi. Namun, kekacauan yang ada menjebak mereka akibat kurangnya panduan yang jelas untuk Otonomi Khusus.

ng

Mitos 4: Birokrat Papua Tidak Berdaya dan Miskin

R ea

di

Munro juga menulis, di mana kekuatan OAP memang ada, otoritas Papua hanya “boneka”, yang dikendalikan oleh negara, kepentingan perusahaan, dan para pendatang. Menunjuk asumsi tentang “kesederhanaan” orang Papua, dia sebut biaya kampanye pemilihan yang begitu tinggi. Biaya rata-rata untuk mengikuti pemilihan adalah sekitar US$ 41.000. Menurut Munro, ini terlalu berat bagi OAP. Satu-satunya orang dengan uang sebesar itu adalah pebisnis dan aktor keamanan (orang non-Papua). Di sini Munro menunjukkan kurangnya pemahaman politik uang elektoral di seluruh Indonesia, yang didorong oleh tim sukses yang terbentuk oleh siapa saja yang dapat menyediakan dana, dan sering terdiri atas kontraktor, penggerak politik yang berpengalaman, dan aktor keamanan. Di kabupaten baru dan daerah terpencil di Papua, para elite adalah OAP yang cukup kuat dalam sistem ini dan mempunyai sekutu suku dan posisi pemerintahan. Salah satu sumber terbesar pendanaan elektoral daerah terpen-

79

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

cil dapat ditemukan di Rencana Strategis Pembangunan Kampung atau program RESPEK, yang telah menyediakan 120 juta rupiah untuk setiap desa di Papua, setiap tahun, sejak 2007, dengan mayoritas dana ini tidak dipertanggungjawabkan. Ada juga program “tambahan” tingkat kabupaten yang salah sasaran. Papua dibanjiri dana pengembangan otonomi khusus yang dapat dengan mudah disalahgunakan—dan uang ini mendanai kampanye pemilihan. Saya paham, seseorang yang hanya mengunjungi Wamena dan sekitarnya mungkin tidak percaya bahwa kondisinya separah itu. Fungsi sistem relatif baik di daerah seperti ini, yang memiliki birokrasi tertua di pegunungan, dan merupakan kawasan elite perdagangan dan pendidikan. Namun, Jayawijaya itu hanya satu kabupaten di wilayah pegunungan dari 14 (dan terus bertambah). Wamena dan sekitarnya sering disalahpahami oleh peneliti dan pengunjung lainnya sebagai daerah berbahaya yang tidak dapat diakses. Ketika kami bergerak melampaui Wamena, dan kemudian Jayawijaya, kami menemukan banyak unit administrasi baru di mana pemimpin yang baru memberikan posisi berdasarkan loyalitas dan kepentingan pribadi daripada layanan yang dibutuhkan. Di dalam lingkungan di mana sertifikat pendidikan dapat dijual, kami menemukan PNS yang tidak dapat melakukan tugas-tugas/ tanggung jawab administratif yang seharusnya secara resmi dapat mereka laksanakan. Ini juga hasil dari kegagalan sistem pendidikan yang, di puncaknya, hampir tidak menyentuh mayoritas penduduk di daerah pegunungan. Analisis tentang tulisan yang berjudul “Menyalahkan Orang Papua”, dan beberapa karyanya yang lain, menunjukkan bahwa pengalaman Munro terjadi di daerah Papua di mana sistem pendidikan telah berfungsi beberapa generasi. Ini dapat dilihat dalam pernyataannya tentang orang tua yang berpendidikan yang tertarik pada pendidikan anak-anak mereka. Mungkin karena ini

80

Basa-Basi Papua

R ea

di

ng

C op y

Munro tidak dapat mengerti masalah yang saya diskusikan. Sekilas tentang penelitian Munro menunjukkan kemungkinan preferensi untuk sumber yang berasal dari kelas elite dimulai dengan tesis doktoral pada mahasiswa universitas di Manado, Sulawesi Utara, dan berlanjut dalam suatu badan yang kerjanya fokus pada sistem pendidikan yang berfungsi di kota Wamena dan sekitarnya. Secara khusus, dia telah menulis karya yang bagus tentang orang-orang tersebut dalam edisi April 2013 jurnal Cornell University, Indonesia. Fokus Munro pada orang Papua yang masuk bagian hulu sistem pendidikan formal di tempat-tempat seperti Wamena mungkin juga menjadi alasan mengapa Munro tidak memercayai pernyataan saya bahwa banyak orang Papua di pedesaan memandang pendidikan sebagai kunci gaib untuk kemajuan dalam keyakinan sistem animisme: pembicaraan dengan orang-orang kaya dan berpendidikan tidak mengungkapkan ini, beda dengan banyak diskusi yang saya lakukan sendiri dengan penduduk desa biasa di daerah terpencil. Lebih mendasar lagi, dalam tulisan-tulisan saya, saya telah mencoba menggambarkan perjuangan orang-orang yang telah benarbenar dikucilkan dari sistem di mana informan Munro menjadi bagian dari sistem tersebut. Di daerah tempat saya bekerja, anak-anak tidak bisa tumbuh dan kuliah di Manado, karena sekolah-sekolah ditutup dan para guru tidak mengajar. Anak-anak ini korban kecurangan pendidikan akibat tindakan orang Papua lainnya.

Hambatan Kesederhanaan Tulisan Munro “Menyalahkan Orang Papua”, mengandung banyak penyederhanaan yang saya tolak, mulai dari judul sampai isinya. Secara khusus, analisisnya tidak memungkinkan untuk diskusi se-

81

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

cara jujur tentang kesalahan banyak orang Papua dalam kegagalan penyampaian layanan kepada orang Papua lainnya. Pandangannya yang sempit hanya memungkinkan “pro-Papua” dan “anti-Papua”, dan sepertinya, menurut beliau, ketika saya memperlihatkan praktik nepotisme oleh OAP, saya hanya mewakili prasangka anti-Papua yang sudah lama ada. Dan ketika saya bilang barangkali orang tua di pedesaan Papua menerima sistem pendidikan yang rusak karena mereka belum pernah melihat sistem pendidikan yang berfungsi, Munro bilang saya “menyalahkan orang tua Papua”. Isu-isu historis Papua di Indonesia adalah bingkai yang penting untuk membahas banyak permasalahan yang saya diskusikan. Namun, isu-isu tersebut hanya sebagian dari semua masalah yang ada. Sampai kita mengaku bahwa orang Papua juga bertanggung jawab atas nasib mereka sendiri, kemungkinan kecil kita semua akan dapat mengatasi marjinalisasi yang adalah warisan pemerintahan Belanda dan Indonesia. Untuk menetapkan bahwa seluruh kesalahan ada di pemerintah pusat atas semua masalah di Papua adalah dengan menolak peran dan tanggung jawab orang Papua, serta meninggalkan mereka dalam posisi sebagai korban sejarah yang permanen dan tak berdaya.

82

C op y

05.

Kelaparan dan Penipuan

R ea

di

ng

Cerita kelaparan massal menunjukkan bagaimana liputan media dan pemerintah daerah di Papua

C op y ng di

R ea

“Jalan Raya” dari Sorong ke Tambrauw. (Foto: Bobby Anderson)

P

ada April 2013 dilaporkan 95 masyarakat asli Papua meninggal dunia akibat kelaparan di Kecamatan Kwoor, Kabuapten Tambrauw, Papua Barat. Sebanyak 533 orang lainnya dalam

kondisi gawat dan dirawat di Rumah Sakit. Banyak orang mening-

gal dunia sejak Desember 2012 dan banyak korban terkonsentrasi

C op y

di desa-desa terpencil Tambraw seperti Baddei (atau Bakdei), Jokbi Joker (atau Jokjoker), dan Kasyefo.

Tambrauw terletak di pesisir Utara daerah Kepala Burung. Laporan tentang kelaparan ini sangat ironis karena Tambrauw terletak tepat di daerah dengan sumber daya perikanan terkaya di

dunia. Walaupun sebagian besar populasi Tambrauw terkonsentra-

si pada dan hidup dari laut, desa-desa yang dilaporkan terpapar

bencana kelaparan berada di belakang pantai, dengan jarak sekitar enam jam sampai tiga hari berjalan kaki dari Kampung Kwoor. Ce-

ng

rita ini lalu beresonansi: ini menjadi indikasi dari bagaimana pandangan Pemerintah Indonesia terhadap warga asli yang hidup di wilayah paling timur dan paling tertinggal. Dan bagi banyak orang,

di

ini menjadi bukti untuk mendukung bahwa genosida sedang terjadi di Tanah Papua.

Cerita tentang bencana kelaparan menambah kekhawatiran

R ea

saat ada berita bahwa dua aktivis Papua, Yohanis Mambrasar dan ayahnya, Hans, ditahan di kota Tambrauw, Sausapor, karena mengumpulkan jenazah dari warga desa di sana, yang tampaknya tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Komisi Hak Asasi Manusia melaporkan, kedua orang tersebut diinterogasi selama berjam-jam tentang aktivitas separatis di daerah tersebut dan kondisi genting dikeluarkan oleh AHRC. Hal implisit dari berita ditahannya dua orang ini ada dua: bahwa kelaparan telah semakin menyebar dari laporan pertama, dan bahwa pemerintah setempat berupaya menutup-nutupinya.

85

Basa-basi Papua

Asal mula cerita

C op y

Setelah beberapa minggu perhatian ditujukan pada kelaparan oleh beberapa media, cerita ini kemudian menghilang dari peredaran—satu contoh lagi dari kekerasan struktural yang ditujukan bagi masyarakat Papua oleh negara, sementara para aktivis pemberani berupaya membuka tabir kejahatan menghilang akibat ditahan polisi. Insiden ini bahkan menjadi lebih penting karena bencana kelaparan yang dimaksudkan sebenarnya tidak terjadi.

R ea

di

ng

Cerita bencana kelaparan di Kwoor pertama kali dipublikasikan di Suara Papua, sebuah penyedia berita daring. Berita tersebut ditulis Oktovianus Pogau dan sumbernya diperoleh dari koalisi terbesar Indonesia untuk masyarakat asli, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Cerita ini dipilih begitu saja dan didiseminasikan oleh para aktivis termasuk dari Australia West Papua Association, Free West Papua Campaign, West Papua Media, ETAN, dan kelompokkelompok lainnya; segera menjadi perhatian, dan kemudian diliput oleh Suara Pembaruan, Radio New Zealand International, Scoop, Jakarta Post, The Jakarta Globe, Kompas, Waspada, dan media Indonesia lainnya. Saat peristiwa kelaparan ini pertama kali dilaporkan, cerita ini tampaknya cukup masuk akal. Keamanan pangan adalah salah satu isu di Papua dan pernah terjadi situasi darurat yang signifikan, terutama di dataran tinggi, mulai dari pertengahan 1990 hingga 2005 yang membutuhkan perhatian dari luar. Di daerah dataran tinggi yang lebih terpencil di mana saya pernah berkunjung, saya senantiasa melihat tanda-tanda anak yang kurang gizi dan pertumbuhan terhambat. Hal yang tidak biasa tentang Tambrauw adalah bahwa

86

Kelaparan dan Penipuan

di

ng

C op y

ini adalah daerah pesisir, dan daerah yang tergolong terpencil, walaupun sulit diakses, tetap dapat dijangkau dengan berjalan kaki dalam hitungan hari. Bagaimana kemudian, orang-orang bisa mati kelaparan di sana?

R ea

Sebuah tugu tua “ABRI Masuk Desa” di Kwoor, didirikan Juli 1993. (Foto: Bobby Anderson)

Pada April 2014, di hari yang sama di mana seorang teman dengan koneksi ke aktivis kemerdekaan di Selandia Baru mengingatkan saya tentang cerita ini—saya menghubungi dua lembaga sukarelawan bidang pendidikan dan kesehatan yang berbasis di Sorong. Kedua lembaga ini memiliki beberapa program dan staf di Tambrauw. Saya telah bekerja dengan lembaga-lembaga ini dalam beberapa proyek layanan pada 2012, dan saya mengetahui bagaimana mereka sangat gigih mengadvokasi hak-hak rakyat Papua. Ini adalah kelompok yang berupaya menyediakan layanan kese87

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

hatan di tempat di mana layanan yang sama tidak disediakan oleh pemerintah. Tidak satu pun dari kedua lembaga ini maupun stafnya tahu adanya bencana kelaparan di Kwoor, dan ini termasuk para staf mereka yang berdomisili di desa-desa yang disebutkan dalam artikel di Suara Papua. Sementara itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan penolakan yang tidak dianggap serius: ketika pemerintah pertama kali merespons cerita tersebut, hanya dikatakan bahwa mereka baru mengetahui kasus tersebut dan akan menindaklanjutinya. Pernyataan tersebut secara implisit menunjukkan bahwa tidak ada perwakilan pemerintah di daerah tersebut yang peduli. Jawaban yang berkesan tidak peduli ini dianggap sebagai bukti bahwa sesuatu yang buruk pasti tengah terjadi. Dalam beberapa minggu berikutnya, staf dari kedua lembaga ini mencari tahu mengenai kematian yang diakibatkan kelaparan tersebut—tidak hanya di Jokbi Joker, Baddei, dan Kasyefo, tetapi juga di Syubi, dan satu hari perjalanan dari sana, di Kweserer dan Kwekrisnos, di daerah yang katanya menjadi pusat kelaparan dengan korban terbanyak. Namun, mereka tidak menemukan satu pun kejadian kelaparan di sana. Dan mereka sangat tekun mencari, tidak hanya sekadar dengan sinis menginvestigasi kebenaran klaim tersebut. Sebaliknya, mereka mengejar dugaan krisis untuk memberi respons, hal yang sama juga mereka lakukan di saat ada krisis kemanusiaan lainnya. Salah seorang dari beberapa yang terlibat dalam pencarian tersebut adalah dokter ekspatriat, beliau bisa berbahasa Abun dengan lancar, telah hidup dan bekerja selama 14 tahun di Kwoor, Tambrauw—daerah yang masyarakatnya menggunakan bahasa Abun. Mereka mendapati hanya sedikit jumlah kematian yang disebabkan demam di Jokbi Joker, sebuah kampung yang berjarak enam jam perjalanan dari Kampung Kwoor dan pesisir pantai. Me-

88

Kelaparan dan Penipuan

C op y

reka merasa bingung, bagaimana bisa terhitung ada 95 orang meninggal dan 553 dalam keadaan gawat. Kematian yang diakibatkan kondisi demam di Jokbi Joker kerap terjadi. Namun, apakah jumlah 95 orang meninggal dari demam tersebut terjadi dalam tiga tahun lebih? Mereka tidak tahu. Mereka masih belum tahu. Saya ingin tahu bagaimana satu cerita dapat bermula dan bagaimana cerita itu berakhir begitu saja tanpa liputan atau tindak lanjut baik dari para jurnalis maupun aktivis. Jika para pekerja kesehatan dengan cepat menyimpulkan bahwa cerita tersebut bohong belaka, mengapa orang-orang yang menyebarkan cerita itu tidak segera berhenti sejak awal?

ng

Perjalanan ke Tambrauw

R ea

di

Pada Januari 2014, saya pergi dari Sorong ke Sausapor, ibu kota Tambrauw, dan melanjutkan perjalanan ke Kwoor. Jalan menuju Tambrauw mulai rusak begitu memasuki daerah perbukitan di atas Kota Sorong, tempat di mana sampah kota dibuang dan dikelilingi oleh gubuk-gubuk pendaur ulang. Selanjutnya ada jalur jalan besar baru dan dinding penahan longsor yang dibangun dengan dana pembangunan otonomi khusus. Jembatan-jembatan baru menggantikan jembatan lama yang dibuat dari bahan alam dan pepohonan. Semakin jelas terlihat menyedihkan begitu berkendara memasuki pinggiran Sorong dan memasuki Tambrauw, bahwa jalan-jalan ini punya satu tujuan: membantu perusakan hutan-hutan yang masih perawan di sana. Lokasi penebangan liar dan gubukgubuk mulai bermunculan seiring dengan semakin banyaknya tempat pemotongan kayu. Tumpukan-tumpukan kayu jelas terlihat di sepanjang sisi jalan sementara kayu bulat hasil tebangan diapungkan di sungai

89

C op y

Basa-basi Papua

ng

Sebuah pasar di Kwoor, dibangun dan dilupakan. (Foto: Bobby Anderson)

R ea

di

Meninggalkan perbukitan dan masuk ke daerah pesisir, kami menemukan jalan yang mengerikan, di satu sisinya masih ada hutan, namun di sisi lainnya dipenuhi tanaman merambat. Jauh di bawah, deburan ombak membuat kami berdebar dan terjaga sepanjang malam meski berada setengah mil dari pantai. Sausapor dapat dicapai dalam lima jam dari Sorong. Tempat ini mungkin yang paling suram di Papua, dibangun di sekitar landasan udara Amerika yang dibuat pada akhir Perang Dunia II, dengan beberapa jalan dan toko yang sudah tutup. Dua jam dari tepi kota Sausapor terletak Kwoor. Kampung Kwoor, ibu kota kecamatan di mana layanan publik semestinya tersedia dan paling profesional, terdapat sekolah dasar yang sebagian besar kaca jendelanya pecah. Ada juga sekolah menengah yang dikelola oleh yayasan swasta, masih berfungsi. Dari tulisan di papan tulis, tampaknya saat itu para siswa sedang belajar

90

Kelaparan dan Penipuan

R ea

di

ng

C op y

tentang peran Indonesia di ASEAN—pelajaran yang mungkin ditujukan untuk mengajarkan aspek positif tentang negara yang hilang dari hidup mereka. Tanda-tanda proyek pembangunan yang gagal sebelumnya sangat banyak: sarana MCK tanpa air, tangki air yang rusak, generator yang tak berfungsi, pasar tradisional yang tak berdinding dan kemudian dijadikan tempat parkir sepeda motor; dan seterusnya. Pusat birokrasi Kwoor ditandai dengan buruknya layanan, PNS yang mangkir, dan gedung-gedung pemerintah yang kosong: ketidakamanan yang muncul dengan terlalu sedikitnya kehadiran negara. Di sebelah timur Kwoor terletak beberapa desa yang pernah menjadi bagian dari Kampung Kwoor. Desa-desa ini adalah desa hasil pemekaran. Tidak seperti banyak contoh negatif dari pemekaran wilayah, pemecahan Kampung Kwoor menjadi beberapa desa lagi tampaknya memang tepat karena jarak dari Kwoor ke desa-desa tersebut membutuhkan waktu satu hari berjalan kaki. Kami mencoba pergi ke timur, dan mengira perjalanannya mudah, karena peta saya menunjukkan ada jembatan dari sungai di ujung timur kampung, selain itu ada jalur jalan di sepanjang garis pantai. Namun, apa yang ditunjukkan peta berbeda dengan kenyataan: jalanannya berakhir di tepi sungai, tempat di mana dahulu pernah ada jembatan. Kami menyeberangi sungai satu demi satu dalam perahu kecil yang didayung oleh seorang anak perempuan berumur 12 tahun. Ia mendayung sangat cepat karena takut buaya. Setibanya kami di sisi lain sungai, kami berjalan kaki selama 45 menit di pantai sebelum mencengkeram tanaman rambat untuk memanjat bukit curam. Kami menemukan sisa-sisa tanaman merambat memenuhi jalan perintis yang hilang disapu banjir bandang dalam hitungan bulan. Setelah berjalan setengah jam di jalur barulah kami menyadari bahwa jalur yang kami lewati ini dulu adalah jalanan.

91

Basa-basi Papua

di

ng

C op y

Di timur pesisir Tambrauw terletak pantai peneluran penyu belimbing terbesar di dunia. Sementara ke arah darat terdapat daerah penebangan kayu yang besar sekali, dimiliki oleh perusahaan kayu dari Jakarta bernama PT Multi Wahana Wijaya yang memegang hak konsesi selama 45 tahun. Dan setelah beberapa jam kami menyadari, orang yang memandu kami tidak begitu memahami konsep ruang dan waktu. Dia selalu menjawab setiap pertanyaan yang berkaitan dengan jarak: “satu jam setengah”. Semakin beratnya kondisi topografi membuat perjalanan semakin sulit, namun tidak selamanya demikian. Bagi kami perjalanan ini lebih ke masalah waktu, bukan soal medan yang sulit. Bila mencoba hidup di sini, kondisi saya mungkin saja jadi tidak begitu baik karena kekurangan protein, namun saya masih bisa bertahan hidup dengan makan buah, umbi-umbian, dan air. Ancaman terbesar bisa datang dari pemilik kebun yang buah dan umbinya saya ambil. Ancaman lainnya adalah nyamuk. Namun, bagi penduduk setempat yang sudah mengenal seluk beluk daerah ini, hutan, sungai dan laut, kesemuanya berfungsi sebagai supermarket alam.

R ea

Bagaimana Bisa Mati Kelaparan? Bukan hal yang klise untuk mengatakan bahwa Papua adalah tanah yang kaya dan subur. Tambrauw pun demikian. Populasi di distrik ini tersebar dan keberlanjutan birokrasinya sebagai daerah pemekaran adalah kelemahan terbaiknya. Meskipun sudah mulai ditebang, hutan Tambrauw masih cukup lebat, di dalamnya hidup banyak babi hutan, kanguru pohon, dan tikus besar yang dianggap lezat. Masih ada lagi singkong, talas, sagu, dan ubi jalar pada daerah-daerah yang lebih tinggi, juga ada pisang, pepaya, buah merah (yang berbentuk seperti wortel besar), dan buah-buahan lainnya.

92

Kelaparan dan Penipuan

R ea

di

ng

C op y

Mati kelaparan bukanlah cara yang mudah untuk mati. Perlu proses yang panjang di mana sel makro rusak, terjadi atrofi otot, penglihatan berkurang, hingga gagal fungsi organ. Mereka yang meninggal dengan cepat karena kelaparan biasanya terjadi karena juga mengalami dehidrasi. Untuk kejadian kelaparan di tempat di mana air melimpah seperti di Tambrauw yang mengalami musim hujan lebat pada periode November–Maret (saat bencana kelaparan diduga terjadi pada 2012 dan 2013) diperlukan waktu lebih dari sebulan bagi seseorang yang kelaparan untuk sampai pada kematian. Selama masa kelaparan, orang lanjut usia dan anak-anak adalah golongan pertama yang menyerah, diikuti oleh orang dewasa yang akan mengalami kematian berdasarkan kondisinya sebelum terpapar kelaparan dan tergantung pada cadangan otot dan lemaknya. Dalam teori, 90 orang yang diduga meninggal di Kwoor pastinya adalah orang-orang yang paling lemah. Mereka mungkin telah ditinggalkan secara massal oleh orang-orang yang lebih kuat untuk mencari lokasi lain bersama dengan beberapa orang yang mampu dibawa serta. Bahkan, beberapa minggu dalam kondisi kelaparan seperti itu, orang terkuat saja yang bisa mencapai pesisir, menyeret atau menggendong anggota keluarga mereka yang lebih lemah beserta anak-anak. Begitu mereka mencapai pantai, berita tentang kehadiran mereka pastilah menyebar melalui kamera HP, SMS, dan gerakan kemanusiaan di Sausapor dan Sorong. Cerita seperti yang dipublikasikan Suara Papua pastinya akan menjadi awal dari berita besar. Kondisi seperti kelaparan massal di tanah yang kaya, adalah hal yang mustahil kecuali orang-orang sengaja tidak diberi makan karena sumber makanannya ditahan. Walaupun demikian, menahan sumber pangan bukanlah hal yang mudah karena, tidak seperti beras, makanan di sana tidak disimpan di antara musim panen dan

93

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

waktu konsumsi. Satu-satunya cara adalah dengan menahan orang di daerah yang tidak memungkinkan bagi orang untuk meramu. Satu contoh buruk pernah terjadi di bawah militer Indonesia, terjadi di Lalerek Mutin, Timor Timur pada 1983 sehingga dugaan kelaparan menjadi lebih masuk akal bagi mereka yang melihat Papua dalam bingkai genosida—hal yang lebih disukai oleh para pendukung kemerdekaan. Kita sering mengasosiasikan genosida dengan gambaran struktur fisik seperti kelompok hunian atau lapangan tandus yang dikelilingi kawat berduri. Di Papua, gambaran seperti ini, tentu saja tidak masuk akal.

“Jalan” yang semakin menyempit menuju timur dari Kwoor. (Foto: Bobby Anderson)

94

Kelaparan dan Penipuan

ng

C op y

Sewaktu berada di Tambrauw, saya tidak melihat satu pun petugas TNI maupun Polisi. Satu-satunya tanda kehadiran pelindung rakyat di Kwoor adalah monumen beton tua berlumut peninggalan era Soeharto yang dibuat saat program ABRI Masuk Desa sekitar 1993, di mana saat itu tentara dari Komando Militer Cenderawasih melakukan latihan “memenangkan hati dan pikiran” dengan mendirikan bangunan dan membuka pelayanan kesehatan. Alih-alih militer, di Tambraw saya melihat apa yang biasanya saya jumpai di daerah pemekaran: kegagalan dan ketidakhadiran. Orang-orang Papua di Kwoor menjalani hidup seperti biasa, berjalan kaki, menggunakan perahu dan sampan, dengan hanya sedikit polesan negara yang tampak dalam wujud bangunan yang tertutup, jalanan yang rusak, infrastruktur yang tak digunakan, dan tumpukan kayu yang ditakdirkan untuk dunia luar.

Ihwal Cerita yang Bertentangan

R ea

di

Kepala adat Desa Baddei—satu dari beberapa desa yang disebut dalam berita di Suara Papua—masih kesal dengan berita kelaparan, seperti halnya banyak orang Papua yang saya temui di Kwoor dan Sausapor. Namun, Kepala Baddei tidak tau bahwa cerita itu disambut hangat di luar negeri atau digunakan sebagai bukti anekdot mengenai kejahatan Pemerintah Indonesia terhadap masyarakatnya. Sebaliknya, ia dan yang lain percaya bahwa tuduhan itu diciptakan secara sengaja untuk mendiskreditkan Kepala Distrik Tambrauw, Gabriel Asem, dan struktur partai Golkar setempat. Ini adalah bagian dari perjuangan politik, pikir mereka, dimulai dari orang-orang yang tak dikenal. Seseorang membuat klaim yang tidak jelas bahwa mungkin cerita itu dibuat oleh orang-orang yang ditahan di Sausapor, diduga sedang menyusun berkas kema-

95

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

tian. Ada kemungkinan Hans, orang yang lebih tua dari dua lakilaki yang ditangkap, telah bertindak di luar niat baik: ia mungkin mencoba memberi tekanan pada pemerintah distrik untuk segera menyediakan layanan yang diperlukan di daerah terpencil seperti yang disebut dalam cerita tersebut. Sama halnya dengan di dataran tinggi Papua, orang-orang sakit atau bahkan anak-anak yang mau ke sekolah—harus berjalan keluar dari daerah-daerah ini dan mencari layanan di berbagai tempat di mana jalan benar-benar dapat diakses. Puskesmas di Sausapor mempertahankan penggunaan helikopter untuk keadaan darurat di daerah-daerah terpencil ini, namun hal ini pun tidak efektif: tidak ada radio SSB atau jangkauan sinyal telepon genggam di daerah yang disebut mengalami kelaparan, dan karenanya berita tentang orang yang sakit di daerah-daerah tersebut biasanya disampaikan dari mulut ke mulut, pertama ke Kampung Kwoor, lalu ke Sausapor. Dalam berbagai keadaan darurat, seseorang bisa sembuh atau meninggal saat berita tersebut sedang disebarkan untuk bisa mendapatkan bantuan helikopter. Sekembalinya saya dari Jayapura, saya terkejut mendengar bahwa dua yayasan yang berbasis di Sorong bukanlah satu-satunya lembaga yang mencoba merespons krisis pangan tersebut. Seorang pekerja kesehatan dari salah satu “lembaga adik” PBB mengatakan, staf medis dari lembaganya yang berada di Manokwari juga pernah ditugaskan ke sana pada April 2013 untuk melakukan verifikasi atas laporan-laporan kelaparan dan telah mengunjungi desa-desa yang disebut dalam berita Suara Papua. Satu tim kecil menuju ke Sausapor menggunakan helikopter pemerintah distrik untuk mencapai desa-desa di mana diduga terjadi kelaparan. Tim ini pergi sejauh mungkin hingga ke batas pantai untuk menghitung bila ada makam dan mengunjungi anggota keluarga dari mereka yang diduga telah meninggal dunia. Semen-

96

Kelaparan dan Penipuan

C op y

tara tim ini menemukan kurangnya pelayanan publik, mereka juga menemukan kenyataan bahwa tidak ada satu pun bukti kematian akibat kelaparan. Lembaga ini menuliskan dalam laporan mereka yang telah didiseminasikan ke pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, tidak lebih dari itu.

Pelajaran yang Bisa Diambil

R ea

di

ng

Cerita tentang (tidak adanya) kelaparan di Tambrauw sangat relevan untuk beberapa alasan kunci. Cerita ini mengilustrasikan bagaimana tidak kritisnya orang—baik orang Indonesia maupun orang asing—berpikir tentang Indonesia, dan tentang Papua. Cerita ini diterima begitu saja oleh banyak jurnalis dan aktivis hak asasi manusia yang dikenal oleh si penulis, walaupun si penulis berita awal Suara Papua terkenal karena simpati dengan kelompok aktivis Papua. Bagi banyak orang Papua—termotivasi oleh Memoria Passionis yang sulit disangkal—tidak ada niat jahat yang tidak mampu dilakukan dari pemerintah pusat maupun lokal. Mahasiswa Papua di Yogyakarta melakukan demonstrasi atas laporan musibah kelaparan ini. Mereka kaget dan memang wajar bila merasa demikian. Kurangnya akuntabilitas antara pemerintah dan masyarakat di provinsi paling timur saat penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia, dan penderitaan dari semua korban akibat penggabungan tersebut, menjadi dasar semua alasan untuk curiga. Keterasingan itulah yang kemudian membuka ruang bagi cerita-cerita semacam ini untuk berakar. Sementara masyarakat Papua masih mencurigai adanya kedengkian, bagi banyak orang Indonesia cerita ini menunjukkan disfungsi pemerintah. Bagi kebanyakan orang Indonesia, tidak ada

97

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

tindakan yang bisa diambil untuk mengatasi ketidakmampuan pemerintah—mulai dari pemerintah daerah yang baru dimekarkan hingga bupati yang sering absen dan berperilaku seperti raja kecil. Beberapa teman di Yogyakarta, Jakarta, dan Makassar bisa percaya pada laporan tentang adanya musibah kelaparan tersebut, sebab mereka yakin pemerintah Indonesia sudah sangat rusak. Namun, para pengamat Indonesia, mereka yang peduli terhadap Papua dan masyarakat Papua serta masyarakat Indonesia, memiliki tanggung jawab untuk curiga dan kritis. Cerita ini tidak benar. Apa pun tujuan fiksi ini—apakah itu untuk mendukung tuduhan genosida dan kemerdekaan Papua, atau untuk mendiskreditkan pemimpin lokal—kesemuanya telah melemahkan tujuan terCerita tentang (tidak adanya) sebut. Tak satu pun dari tuduhkelaparan di Tambrauw sangat an tersebut bisa meningkatkan pelayanan kesehatan. Lebih relevan untuk beberapa jauh pemerintah Indonesia senalasan kunci. Cerita ini diri tidak memberi reaksi atau mengilustrasikan bagaimana sanggahan terhadap apa yang tidak kritisnya orang—baik sebenarnya sudah diketahui tiorang Indonesia maupun dak benar. Laporan yang dibuat orang asing—berpikir tentang oleh badan PBB sepertinya telah dimasukkan ke kantor Wakil Indonesia, dan tentang Papua. Presiden. Kenapa tidak didorong lebih jauh lagi? Reportase ceroboh dan tak diverifikasi ini kerap kali dibenarkan, setelah diekspose sebagai perangkat yang berfungsi untuk menangkap insiden-insiden lain yang belum pernah dilaporkan. Papua memiliki banyak sekali cerita yang diabaikan, dan tentang kelaparan, dengan kasus yang diverifikasi terakhir terjadi pada 2006. Penulis telah melihat beberapa kasus kekurangan gizi di dataran

98

Kelaparan dan Penipuan

R ea

di

ng

C op y

tinggi pada 2011 dan 2012. Namun, penyebaran fiksi tidak patut dilakukan. Banyak sekali daerah di Papua yang masih tetap terpencil. Di luar kota-kota, pelayanan pendidikan dan kesehatan masih sangat minim, begitu pula dengan jaringan komunikasi, jangkauan sinyal telepon, dan jalur jalan yang dapat dilewati. Berbagai cerita muncul dari berbagai penjuru—tentang perkelahian antarsuku, kedaruratan bencana, penyakit. Kurangnya pembangunan menghalangi cerita-cerita ini tersebar lebih cepat dan akurat adalah tanggung jawab dari pemerintah pusat dan lokal. Dan untuk hal itu mereka pantas dikecam. Namun, cerita-cerita itu tidak perlu sengaja diciptakan untuk mengkritik pemerintah. Di Papua, terdapat cukup banyak kebenaran untuk dipilih tanpa harus menggunakan fiksi.

99

di

R ea ng C op y

C op y

06.

di

ng

Penonton yang Bingung dan Masalah Politik di Tolikara

R ea

Terbit di majalah New Mandala (04 April 2014)

C op y ng di

R ea

Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai Muslim tertua di Indonesia, berdemonstrasi di pegunungan Papua. (Foto: Bobby Anderson)

P

R ea

di

ng

C op y

ria suku Lani berkoteka memakai topi bulu burung bersenjatakan busur berlari dalam lingkaran; gadis-gadis remaja suku Lani dengan wajah dicat, memakai rok yang dibuat dari rumput dan BH, melambaikan bendera partai dan bernyanyi; laki-laki muda berambut gimbal yang mengenakan celana pendek loreng berdiri diam dengan tongkat di tangan; sementara beberapa orang Papua yang lebih tua duduk berkelompok, menyanyikan lagu-lagu Kristen, dan babi-babi bermain di lumpur di tepi lapangan. Ternyata ini hanya kampanye pemilu untuk mendukung partai Muslim tertua di Indonesia, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, kami berada di wilayah pegunungan terpencil di Papua yang hampir 100% agama Kristen. Saya perlu waktu dua hari untuk menempuh perjalanan dari Jayapura ke Bokondini. Kota itu terletak di Tolikara, kabupaten baru: pernah menjadi bagian dari Jayawijaya tetapi “terpilih/terukir” menjadi kabupaten baru sebagai bagian dari tren pemekaran. Pemekaran terkadang diterjemahkan sebagai “mekar” (dalam artian bunga yang mekar), tetapi di Indonesia pemekaran adalah proses di mana badan administrasi baru dilahirkan terus: dampak setelah desentralisasi pasca-Soeharto. Para elite Papua dengan semangat tinggi melaksanakan pemekaran dan menciptakan 30 kabupaten baru sejak 1998 dan 33 lagi sedang direncanakan. Secara teori, terciptanya kabupaten baru membuat pemerintah lebih peka terhadap kebutuhan rakyat, tetapi juga merupakan cara untuk mengakses berbagai subsidi nasional, dapat jabatan tinggi, dan menghukum suku lain. Jumlah populasi dipalsukan untuk meningkatkan subsidi pemerintah pusat. Pemekaran tidak terbatas pada kabupaten: kampung dengan 400 jiwa dapat terbagi menjadi empat kampung untuk melipatgandakan jumlah dana desa dan dana pengembangan.

103

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

Dalam perjalanan menuju Bokondini yang dipenuhi papan iklan kandidat dan benderanya, tiba-tiba terdengar berita melalui radio SSB bahwa ada yang palang jalan sebelum Binime, di kabupaten lain hasil pemekaran baru, Memberamo Tengah, sebuah mobil dibakar. Kami kembali ke Wamena. Keesokan paginya kami melewati dua penghalang jalan; mereka membiarkan kami lewat setelah pengemudi berbohong dan mengatakan bahwa saya adalah seorang pendeta. Pemalangan berikutnya, sebuah balok kayu dengan priapria muda di kedua sisinya, yang minum minuman yang mencurigakan dari kontainer tanpa label. Kami mencoba berbohong lagi, dan saya mengaku sebagai seorang pendeta. Mereka bertanya apakah saya adalah seorang pendeta yang dapat memberi 100.000 rupiah. “Apakah Anda akan memilih dalam pemilu yang akan datang?” Saya bertanya. “Tidak,” adalah jawabannya. Kami pun lanjut ke Bokondini, tujuan kami.

104

Penonton yang Bingung dan Masalah Politik di Tolikara

Bokondini, kota di pegunungan, Kabupaten Tolikara, salah satu dari 30 kabupaten yang baru dibuat di Papua sejak 1998.

R ea

di

ng

C op y

Tolikara memiliki masalah dengan kekerasan dalam pemilu. Februari 2012, ibu kota Tolikara, Karubaga, menjadi tuan rumah perang kecil antara pendukung Bupati Tolikara Jon Tabo dari partai Golkar dan penantang pemilihan Partai Demokrat, Usman Wanimbo. Sebelas orang tewas, 201 terluka, dan 122 rumah dibakar. Usman memenangkan pemilihan. Januari 2013 Husia Yosia Karoba, seorang anggota DPRD Golkar di Tolikara, membujuk masyarakat di Gilibandu untuk memilih calon gubernur dari partai Golkar. Dia kemudian diinjak sampai mati oleh pendukung Partai Demokrat. Di Bokondini, kenyataan konflik pemilu 2012 dapat ditemukan dalam perjuangan antara Bogoga dan Wanui, dua kubu politikgereja-suku yang mencari kabupaten mereka sendiri. Menurut kubu Bogoga, mereka adalah penduduk asli (adat) di lembah, sementara Wanui adalah “pendatang baru”, meskipun orang Bogoga dan Wanui berasal dari satu suku. Bogoga juga menuntut hak “rohani” di daerah mereka sendiri karena katanya mereka adalah yang pertama menerima Injil. Bogoga juga berhubungan dengan orang Karubaga, pendukung Tabo pada 2012: Tabo orang pertama yang mengusulkan kabupaten buat Bogoga, dan dorongan ini barangkali menunjuk ambisinya untuk menjadi pemimpin di Bogoga suatu hari nanti. Kelompok Wanui penuh dengan tokoh dari salah satu gereja terbesar di pegunungan. Golkar mendukung Bogoga; Demokrat mendukung Wanui. Siapa pun yang menang di kabupaten tersebut akan menolak yang lain dari luar kubunya (dalam kesempatan kepemimpinan dan jabatan). Beberapa Bogoga bercakap-cakap hendak mengusir Wanui. Penetapan arti ini dianut oleh minoritas

105

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

lokal yang tidak mewakili sebagian besar Orang Papua (yang adalah penonton yang gugup, bukan peserta, dalam masalah ini), namun kekerasan yang terancam sangat nyata. Sehari sebelum saya tiba, kabar angin menyebar melalui para pendukung Bogoga: surat keputusan pendirian Bogoga ditandatangani oleh Bupati Tolikara! Segera orang akan mendarat di landasan untuk menyebarkan kabar baik. Pertemuan di landasan untuk menunggu seorang nabi, barang, atau kabar baik adalah hal biasa di daerah pegunungan. Seribu pendukung Bogoga turun ke Bokondini dan menunggu pesawat. Ada 200 babi dibunuh dan dimasak di lapangan sepak bola. Dan pesawat pun tiba. Yang keluar adalah caleg Golkar, Agustina Basikbasik, orang Papua yang sudah menjadi warga Jakarta Barat. Basikbasik berbicara kepada massa yang berkumpul: “Jika Anda memilih saya, saya akan memberi Anda kabupaten Bogoga!” Basikbasik adalah anggota Komisi II DPR-RI, yang menangani dan mengusulkan rekomendasi tentang pemekaran. Para pendukung Wanui memiliki cerita mereka sendiri: Bupati Tolikara akan tiba dengan helikopter dan akan berkeliling di wilayah tersebut. Jalur pesawat heli akan menandai batas-batas Wanui untuk mendirikan kabupaten baru. Konflik Bogoga-Wanui adalah salah satu bentuk perjuangan politik yang mengaburkan batas antara suku dan gereja, dengan banyak pria dan wanita yang sesuai ambisi mereka bersekutu dengan pihak yang menawarkan kekuatan yang mereka cari. Yang lain dipaksa memilih, karena geografi, atau arahan dari pemimpin suku mereka, atau berdasarkan apa yang pendeta mereka (yang juga sering menjadi pemimpin suku) katakan. Para pemimpin suku secara rasional telah mengambil pakaian partai politik Indonesia yang sebenarnya tidak ada arti, untuk mendapatkan apa yang diberikan oleh seorang politisi yang jauh di Jakarta. Para pihak mencari sua-

106

Penonton yang Bingung dan Masalah Politik di Tolikara

R ea

di

ng

C op y

ra suku dan anggota suku bergabung dengan cabang partai lokal. Namun, di Bokondini sekarang, topeng perjuangan dan persatuan suku telah terlepas, dan memperlihatkan perjuangan antara unit keluarga di tingkat marga. Perpisahan marga dalam suku yang sama akan memilih kubu yang berlawanan.

PKS duduk di pinggiran lapangan politik yang didominasi oleh Golkar dan Demokrat. (Foto: Bobby Anderson)

Partai pinggiran menunggu dan berusaha dapat sisa suara pemilu yang ditinggalkan oleh partai dominan, Golkar dan Demokrat. Ini menghasilkan adegan-adegan aneh.

107

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

Seperti dua kampanye politik surealis yang saya saksikan di Bokondini, di mana dua partai politik Muslim di Indonesia yang paling “beragama Islam”, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menerapkan pelaksanaan hukum syariah di Indonesia mencari suara orang Kristen.

Tukang PPP bersama dengan pendukung2 lokal. (Foto: Bobby Anderson)

Seorang teman dan saya menunggu dengan para pendukung PPP lokal Papua untuk kedatangan kandidat dari Wamena. Beberapa orang duduk di bawah terpal, bernyanyi. Dua orang santai di belakang tenda, merokok bersama. Sedikit orang tahu bahwa PPP itu Muslim dan mewakili kepentingan orang Islam, dan mereka yang tahu tidak peduli. Mereka di sini untuk makanan, dan kader 108

Penonton yang Bingung dan Masalah Politik di Tolikara

R ea

di

ng

C op y

Papua menjelaskan keterlibatan mereka: “Ini jembatan,” kata dia. Maksudnya, partai itu. “Itu saja.” Jembatan untuk mencapai aspirasi seseorang. Pihak partai meminta agar para caleg membayar “tiket gabungan” mereka. Yang lebih tua dan lebih kuat partainya, semakin tinggi harganya. Artinya, hanya orang Papua dan para pendatang yang punya uang tunai cukup besar dapat membayar “tiket” tersebut pada partai seperti Golkar dan Demokrat. Kandidat juga didukung oleh “tim sukses” yang menyediakan uang dan makanan pada acara kampanye, dan jika caleg mereka menang, mereka akan dapat pemberian terima kasih dalam bentuk kontrak, posisi/jabatan, atau barang. Kaum muda yang ambisius tertarik pada partai pinggiran, seperti PPP, karena biaya pencalonan legislatif daerah jauh lebih sedikit. Siapa peduli mereka Muslim? Di Jakarta, PPP waktu itu adalah partai orang konservatif yang telah menua, yaitu Ali Suryadama— tetapi di Tolikara, PPP adalah partai Orang Kristen, dengan loyalitas suku, yang membiayai. Iche, seorang istri pendeta setempat, memberi tahu saya bahwa dia tidak peduli siapa yang menang, karena, “mereka semua pembohong pula ... orang-orang datang hanya untuk makanan.” Politisi yang banyak disukai adalah Jokowi (Joko Widodo, saat buku ini disusun, adalah Presiden RI). onvoi Hilux tiba, tiga laki-laki berotot dan hampir telanjang dengan busur mulai berlari bolak-balik. Partai-partai membayar untuk menampilkan “keaslian” Papua ini. Lucunya, ternyata beberapa orang yang mereka bayar untuk menampilkan adat ini tidak tahu cara memakainya. Salah satu pemegang busur bahkan tidak tahu cara memakai kotekanya. “Gimana sih orang itu?” Ujar seorang ibu. Yang lain menggelengkan kepala dan mendecakkan lidah saat dia menari-nari tanpa tujuan sambil tangannya bergerak sembarang, koteka terangkat seperti cangkir kecil yang dibuat dari tanduk domba.

109

ng

C op y

Basa-basi Papua

R ea

di

Para calon politik yang muda namun kekurangan uang tertarik pada partai-partai Islam karena mereka menawarkan jembatan yang terjangkau ke dunia elite. (Foto: Bobby Anderson)

Keesokan harinya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tiba, dengan setengah orang dibandingkan PPP sebelumnya dan tidak ada energi. Remaja gadis-gadis yang sama dari kampanye PPP kemarin mengangkat bendera PKS. Acara dibuka dengan doa Kristen. Seekor babi menggali di bawah panggung. Waktu itu, saya terus berpikir, “Seandainya Pak Anis Matta, Ketua partai PKS, bisa melihat ini!!”

110

ng

C op y

Penonton yang Bingung dan Masalah Politik di Tolikara

R ea

di

Itu tidak akan menjadi kampanye cara pegunungan, tanpa perempuan yang memakai rok rumput dan laki-laki yang memakai koteka, walaupun tidak semua orang tahu cara memakainya. (Foto: Bobby Anderson)

Sekelompok kecil orang Papua yang tidak tertarik terlihat tengah menyeruput air yang disediakan oleh kader PKS. Saya duduk di sebelah lelaki tua yang mengira PKS adalah partai Kristen. Saya menyebutkan skandal impor daging sapi yang mengakibatkan mantan presiden partai, Luthfi Hasan Ishaaq, masuk penjara tahun lalu. Orang tua itu ingat. “Ah, baiklah.” Dia bercanda tentang bagaimana dia akan memilih apakah dia hadir di tempat pemungutan suara atau tidak, karena berlaku sistem noken—yaitu cara yang ka-

111

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

tanya digunakan oleh orang asli di Papua, di mana semua orang setuju untuk membiarkan pemimpin adat memilih sesudah ada musyawarah di mana sekelompok orang memutuskan pilihannya. Namun, yang besar di sini tidak akan memilih partai-partai kecil ini. Mereka akan memilih antara Bogoga-Golkar atau Wanui-Demokrat. Kader muda dari PPP bicara dengan bijak. Partai-partai politik Indonesia adalah jembatan; menuju akumulasi kekayaan dan kekuasaan, peluang untuk menerima suap, membuat persetujuan, dan menghubungkan sekutu, teman, kerabat dengan kontrak, pekerjaan, jabatan ...apa pun. Kunci untuk memahami partai-partai di Indonesia adalah mengakui bahwa mereka adalah semacam waralaba. Ideologi tidak diperlukan; partai jarang memiliki posisi jelas. Jadi, tidak masalah jika partai yang mempromosikan hukum Islam berkampanye di distrik Kristen. Jangan berpikir konservatif, liberal atau hijau; berpikirlah macam McDonalds adalah Golkar, Pizza Hut adalah PDI-P, dan jika Anda PKS, mungkin partai Anda adalah Kenny Rogers Roasters. Calon membayar untuk “merek partai”, dukungan dari jaringan, tampilkan diri, dan tidak menawarkan apapun yang berarti. Korupsi merupakan sistem bukan sekadar memengaruhi. Baru belakangan ini ada beberapa politisi—seperti Jokowi, Basuki Tjahaja Purnana, Risma Tri Rismaharini, dan lainnya—mulai memutus paradigma ini. Namun, ini akan membutuhkan waktu untuk mengubah persepsi bahwa “pelayanan publik (pemerintah)” adalah tempat untuk merampas sebanyak mungkin kekayaan. Saya yakin ada caleg di Papua yang berlaku sesuai paradigma ini. Saya tidak tahu siapa mereka, dan teman-teman Papua saya tidak tahu juga. Sekarang hanya Golkar dan Demokrat: belum ada korban tewas di 2014, tetapi mungkin suatu saat nanti ada. Sebagai alternatif dari pertempuran zero-sum ini, hanya ada PKS, PPP, dan beberapa babi di lapangan sepak bola di Tolikara, dan kebanyakan orang malas memilih.

112

C op y

07.

R ea

di

ng

Transmigrasi adalah Hal Terakhir yang Masyarakat Papua Butuhkan

Diterbitkan di Jakarta Globe (10 November 2014)

di

R ea ng C op y

M

R ea

di

ng

C op y

arwan Jafar, yang waktu itu dipilih Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), mengumumkan pada 31 Oktober 2014 bahwa ia akan membuat Papua lebih menarik bagi para migran Jawa dengan bekerja bersama polisi dan TNI untuk menjamin keamanan di daerah tersebut. Menteri Marwan, dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), salah satu partai kecil di kabinet Presiden Jokowi, mungkin berusaha untuk mengesankan atasannya dengan sikap “saya dapat bekerja dengan cerdas dan keras”. Sebaliknya, pernyataannya mengungkapkan ketidaktahuan akan keadaan yang tidak stabil di provinsi paling timur Indonesia, di mana ketegangan antara pendatang dan orang Papua adalah bagiannya. Masyarakat Papua benar-benar terpinggirkan oleh pemerintah Indonesia, dari tingkat yang paling tinggi sampai yang terendah. Mereka memiliki harapan hidup terendah di Indonesia, angka kematian ibu dan anak tertinggi, tingkat pendidikan terendah, dan pendapatan terendah. Di daerah pedalaman di mana sebagian besar penduduk asli Papua hidup, kehadiran negara ditemukan dalam bangunan sekolah yang tutup dan klinik kosong. Daerah ini menjadi tempat pemberontakan aktif terakhir di Indonesia, dan mayoritas orang Papua mendukung kemerdekaan karena negara tidak memiliki arti dalam kehidupan mereka. Otonomi Khusus tidak memberikan manfaat apa pun bagi Orang Papua; pendapatan dari kekayaan mineral Papua diisap birokrasi padat atau sebaliknya disalahgunakan. Lalu, ada masalah transmigrasi. Pendatang dari daerah lain di Indonesia kini menjadi lebih dari separuh penduduk provinsi Papua. Pada 2010, rasio non-Papua terhadap orang Papua adalah 52-48. Penduduk asli Papua tumbuh 1,84 persen setahun; populasi pendatang, 10,82 persen. Rasio pada 2014 mungkin adalah 60 pendatang untuk setiap 40 orang Papua.

115

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

Di kota-kota Papua, di mana sebagian besar sekolah berfungsi dan klinik kesehatan beroperasi baik, dan di mana penduduk pendatang terpusatkan, rasionya bahkan lebih jelas. Jim Elmslie dari Universitas Sydney meramalkan Orang Papua asli akan menjadi hanya 29 persen dari populasi provinsi pada 2020. Jika usaha tambang, perkebunan sawit, dan usaha ekstraktif lainnya terus berkembang, kedatangan pendatang yang tidak diatur akan meningkat, dan barangkali ramalan Pak Elmslie ternyata akan terlalu konservatif. Pendatang benar-benar mendominasi pasar Papua. Kota-kota di Papua dibentuk oleh bisnis pendatang yang beroperasi secara tetap dengan tempat tinggal permanen, sementara bisnis orang Papua berada di trotoar, barang dagangan diletakkan di atas selimut: sayuran dari kebun, sirih, perbaikan sepatu, dan sebagainya. Sebagian besar orang Papua terlibat dalam pertanian tingkat subsisten, perdagangan kecil, dan kerja harian/buruh. Industri jasa lebih suka mempekerjakan pendatang, seperti kontraktor konstruksi. Orang Papua umumnya ditemukan di baik layanan sipil (PNS) atau pertanian subsisten. Orang Papua tidak dapat bersaing untuk beberapa alasan penting. Pertama, pendidikan: para pendatang telah diuntungkan dari sekolah-sekolah di daerah asal mereka. Pendatang generasi kedua dan ketiga terpusatkan di kota-kota di mana anak-anak mereka bersekolah di sekolah-sekolah yang berfungsi dengan baik. Daerah pedesaan di mana mayoritas orang Papua hidup tidak pernah mendapat manfaat dari sistem pendidikan yang sistematis dan berfungsi. Orang Papua tidak mendapatkan pendidikan seperti yang diperlukan untuk belajar transaksi pasar, karena sebagian besar posisi mengajar adalah pekerjaan “tidak perlu hadir”. Soal pasar tidak dipahami secara naluriah: kami orang non-Papua mem-

116

Transmigrasi adalah Hal Terakhir yang Masyarakat Papua Butuhkan

R ea

di

ng

C op y

pelajarinya secara teoretis di sekolah dan praktik dalam bisnis. Pasar kapitalis sebenarnya sesuatu yang asing bagi orang Papua, di mana masyarakat Melanesia menggunakan pertukaran (niaga khas Melanesia) untuk membentuk obligasi timbal balik, bukan untuk menghasilkan laba (makanya sistem tawar-menawar di pasar orang Papua tidak berfungsi). Kedua, diskriminasi: sebagian besar pendatang melakukan bisnis dengan/melalui jaringan keluarga dan etnis/suku. Maka dari itu, orang Papua menempati posisi paling bawah. Ketiga, tindakan afirmatif: aspek otonomi khusus Papua yang memberikan banyak kesempatan kepada orang Papua untuk menjadi pegawai negeri sipil, pada kenyataannya banyak dari mereka yang sering tidak hadir untuk bekerja. Mayoritas orang Papua biasa tertinggal di Indonesia: hak mereka mendapatkan pendidikan, kehidupan sehat, dan pekerjaan yang berarti telah diabaikan. Para pendatang yang di sekitar orang Papua di kota-kota adalah lambang peminggiran mereka. Ini bukan kesalahan pendatang perorangan, yang hanya berusaha memperbaiki kehidupan mereka. Rata-rata orang Papua dan rata-rata pendatang memiliki lebih banyak kesamaan satu sama lain daripada yang mereka miliki dengan pemangsa elite dari masyarakat mereka sendiri. Namun, migrasi saat ini dipandang tidak berbeda dan merupakan kelanjutan program transmigrasi sebelumnya, dengan pendatang baru yang menyerupai massa penjajah di mana mereka mengambil pekerjaan dan peluang ekonomi. Orang Papua melihat migrasi sebagai titik berbeda pada kontinum yang sama yang akhirnya mengarah pada kepunahan mereka. Di bawah program transmigrasi, penduduk miskin dari pulaupulau padat penduduk seperti Jawa, Bali, dan Madura dikirim ke daerah yang lebih sedikit penduduknya, yaitu Maluku, Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Sebanyak 20 juta orang dipindahkan de-

117

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

ngan jumlah terbesar ke Kalimantan dan Sumatra. Orang Jawa adalah target transmigrasi utama karena Jawa adalah salah satu daerah terpadat di dunia, dan ini adalah fokus utama transmigrasi. Proses ini juga merupakan percobaan rekayasa sosial; para pejabat di era Soeharto tidak pernah malu dengan niat mereka mengaburkan batas-batas etnis untuk memperkuat identitas “Indonesia”. Transmigrasi tidak berhasil dalam mengurangi kemiskinan; sebaliknya, malah membagi saja, dan banyaknya transmigran yang sekarang bekerja sebagai pengangkut di pelabuhan udara dan pengemudi ojek di Papua membuktikan hal ini. Antara 750.000 dan satu juta transmigran dikirim ke Papua. Kepadatan penduduk lokal yang rendah memastikan bahwa para pendatang akan menciptakan dampak sosiologis dan demografis yang sangat besar. Para pendatang diberi insentif untuk pindah, termasuk dana hibah, tanah, dan rumah. Orang Papua tidak diberi hal yang sama. Layanan kesehatan dan pendidikan disediakan di daerah pendatang: Wilayah Papua tidak menerima layanan yang sama. Kepemilikan tanah tradisional tidak diakui dan kompensasi tidak diTanah Papua diklaim berikan untuk tanah yang disita. Ketika orang Papua mencoba untuk menegasoleh klan atau keluarga besar yang memperoleh kan hak mereka atas tanah, mereka dijawab dengan kekerasan. Ini juga mengrezeki darinya, memuja ungkapkan ketidaktahuan pak menteri leluhur yang tinggal di yang cukup dalam tentang masalah ini: dalamnya, atau hanya setiap persegi meter Tanah Papua dikmenggunakannya di laim oleh klan atau keluarga besar yang masa lalu dan berencana memperoleh rezeki darinya, memuja leluhur yang tinggal di dalamnya, atau menggunakannya di hanya menggunakannya di masa lalu masa depan. dan berencana menggunakannya di

118

Transmigrasi adalah Hal Terakhir yang Masyarakat Papua Butuhkan

R ea

di

ng

C op y

masa depan. Banyak perbatasan daerah-daerah ini diperjuangkan, diambil dalam darah di masa sebelum Indonesia. Tidak satu pun dari tanah ini “kosong” atau tak berpemilik. Transmigrasi secara drastis berkurang setelah jatuhnya Soeharto. Saat ini, transfer populasi seperti itu umumnya didasarkan pada permintaan provinsi, tetapi permintaan tersebut tak kunjung datang—baik dari Papua ataupun Papua Barat. Pemerintah setempat menolak program tersebut. Orang Papua membutuhkan apa yang orang Indonesia juga butuh: aturan hukum dan perlindungan dari pemangsaan elite mereka sendiri. Orang Papua butuh perawatan kesehatan; sistem pendidikan yang berfungsi; kontrol pada migrasi; program tindakan afirmatif yang sah, bukan hanya di Papua, tetapi secara nasional; dan distribusi kekayaan yang adil yang dihasilkan tanah mereka, bukan sekadar uang saku elite untuk menyedot dana. Orang Papua membutuhkan undang-undang otonomi khusus yang dipandu oleh undang-undang dan dengan dana tanpa syarat yang terbatas: Draf paket “Otonomi khusus plus” yang dibuat oleh pemerintah daerah Papua mengandung banyak dari ketentuan ini tetapi tidak dimasukkan dalam rancangan akhir yang cacat; akhirnya ditolak oleh Jakarta. Penolakan itu adalah peluang di bawah Pemerintahan Jokowi. Hal terakhir yang dibutuhkan orang Papua adalah transmigrasi. Dengan menegaskan bahwa transmigrasi Jawa akan dimulai kembali di Papua, entah sang menteri tidak tahu apa-apa tentang soal ini, atau, yang lebih menakutkan, beliau tahu persis tentang soal ini. Menurut saya, kemungkinan beliau tidak tahu tentang soal ini. Ia harus melakukan sedikit riset sebelum bicara: Papua bukanlah panggung bagi seorang menteri baru yang mau menegaskan pers. Hal ini mendasari perlunya pemerintahan Jokowi untuk dengan cepat merancang kebijakan inovatif tentang Papua yang melam-

119

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

paui kegagalan pendekatan masa lalu yang didirikan dengan keyakinan bahwa setiap masalah dapat diselesaikan dengan uang tunai atau senjata. Pemerintah dengan berbagai kementerian administrasi harus berbicara tentang Papua dengan satu suara, dan ditegur ketika mereka berbicara sebaliknya.

120

08.

R ea

di

ng

C op y

Saatnya Jakarta Menghargai Martabat Orang Asli Papua yang Sudah Sepatutnya Mereka Dapatkan Diterbitkan dalam di koran Sydney Morning Herald (04 Juli 2014)

di

R ea ng C op y

A

R ea

di

ng

C op y

lmarhum Ali Alatas yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pernah menggambarkan Provinsi Timor Timur yang jauh dari pusat dan melakukan pemberontakan sebagai “kerikil di dalam sepatu Indonesia”. Papua juga merupakan batu kerikil di dalam sepatu Indonesia. Batu kerikil tersebut seukuran California, yang mempunyai hutan terluas dan merupakan perawan yang tersisa di Asia Tenggara. Papua kaya akan batu bara, emas, tembaga, minyak, gas, dan hasil perikanan yang sangat besar. Salah satu perusahaan tambang pembayar pajak terbesar di Indonesia juga berada di Papua. Pendatang dari seluruh Nusantara berbondong-bondong ke Papua, yang menjadi tuan rumah pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. Mereka masuk dan tinggal di kota-kota seperti Jayapura dan Timika yang tidak memiliki perencanaan tata kota yang baik dan menjadi beban bagi rangka dasar; mereka mengoperasikan mesin-mesin, menjadi staf hotel dan toko-toko, dan bekerja di perkebunan yang mengubah tanah asli menjadi papan sirkuit hijau. Namun, kekayaan Papua tidak tercermin dalam kehidupan anak-anaknya. Masyarakat Papua umumnya tidak memiliki akses ke layanan kesehatan dan pendidikan. Umur rata-rata orang Papua adalah yang terendah di Indonesia, angka kematian ibu dan anak tertinggi, tingkat pendidikan terendah, kasus tuberkulosis tertinggi, dan tingkat penularan infeksi HIV 10 kali lipat di atas angka ratarata nasional, dan terus naik. Mereka adalah yang termiskin, yang paling sakit, dan yang tercepat mati. Setelah kemerdekaan Indonesia, pada 1949 Papua tetap dipertahankan sebagai koloni Belanda sebab ada kemungkinan Belanda memerlukan tanah bebas untuk perpindahan kolaborator Nazi Belanda. Altruisme baru diartikulasikan kemudian. Untuk melucuti senjata Partai Komunis Indonesia (PKI), pemerintahan Kennedy

123

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

memaksa Belanda menyerahkan wilayah tersebut kepada PBB pada 1961 sebelum pengambilalihan administrasi Indonesia dan referendum Act of Free Choice. Pengalaman Papua di Indonesia di bawah kekuasaan diktator Soeharto adalah pendulum yang berayun di antara pengabaian dan kekerasan luar biasa yang diarahkan kepada masyarakat Papua atas segala bentuk pemberontakan sekecil apa pun. Pemberontakan anti-pemerintah di Papua kadang berkembang kadang menyusut sejak penggabungan, tetapi tidak pernah mati: ini adalah pemberontakan aktif terakhir di Indonesia. Sejak kejatuhan Soeharto, reformasi administratif tidak memperbaiki keadaan di Papua. Desentralisasi melimpahkan tanggung jawab negara kepada kabupaten yang tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan tanggung jawab tersebut. Proses desentralisasi mempunyai mitra, yaitu pemekaran, rangka administratif yang menciptakan struktur-struktur pemerintahan baru pada tingkat viral. Secara teoritis, seharusnya proses ini menjadikan pemerintah lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Namun, di Papua, para elite Orang Asli Papua (OAP) yang baru diberdayakan, berusaha mendapatkan daerah administrasi untuk kepentingan mereka sendiri (melalui pemekaran) untuk memberikan pekerjaan tanpa tanggung jawab kepada pendukungnya dan untuk mengakses subsidi nasional secara langsung. Jadi, desentralisasi melemahkan layanan pemerintah, pemekaran membunuh layanan publik. Pemerintah Indonesia telah berusaha mencari jalan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di Papua. Namun, kebijakankebijakan yang dibuat gagal. Peluang besar terakhir untuk meningkatkan kesejahteraan orang Papua dan menyesuaikan Papua dengan Indonesia terjadi di bawah Almarhum Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang memulai suatu periode yang diingat oleh OAP sebagai “musim pembaruan” Papua. Undang-undang otonomi khusus Papua yang dibuat dengan konsultasi bersama

124

Saatnya Jakarta Menghargai Martabat Orang Asli Papua

R ea

di

ng

C op y

orang Papua mengembalikan sebagian besar kekayaan Papua ke daerah tersebut dengan tujuan meningkatkan kesehatan, pendidikan, dan layanan lainnya. Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) didirikan dan diberikan kewenangan luas. Setelah Gus Dur diturunkan, Presiden Megawati Soekarnoputri yang sekarang memimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), mengebiri otonomi khusus dan MRP, melarang semua simbol kemerdekaan, dan membagi Papua menjadi dua provinsi walaupun tindakan tersebut melanggar hukum. Kepercayaan yang baru lahir dan dikembangkan oleh Gus Dur telah berhasil diberantas. Otonomi khusus menjadi sumber dana gelap, dengan banyak kekayaan diserap oleh biaya administrasi atau “hilang”. Kebijakan tindakan afirmatif yang dimaksudkan untuk menciptakan kader teknokrat Papua malah menyebabkan lebih banyak lagi pekerjaan “ketidakhadiran/no-show jobs” (di mana pegawai tidak hadir dan tidak melaksanakan tugasnya untuk memberikan layanan): di tengah kegagalan tata kelola, Papua memiliki dua kali lipat pegawai negeri dibandingkan rata-rata nasional. Pemerintahan Yudhoyono hanya mengeluarkan arahan yang tidak bergigi: suatu INPRES tahun 2007 dan penciptaan badan pengembangan daerah yang tidak berdaya. Negara tidak memberikan pengaruh pada sebagian besar kehidupan orang Papua. Di daerah pedalaman di mana banyak penduduk OAP hidup, dapat dilihat dari sekolah yang tutup dan klinik atau puskesmas yang kosong. Jika kehadiran pemerintah ada, yang paling terlihat biasanya ada di bentuk aktor keamanan: pos pemeriksaan di tepi jalan yang mengenakan denda untuk pelanggaran yang dibuat-buat. Kekebalan aktor keamanan negara terhadap hukum telah berkurang, tetapi pelanggaran terus berlanjut. Apa saja yang berbau “makar” dihukum: Keengganan pemerintah terhadap lambang separatis telah menyebabkan hukuman berat bagi pengibar ben-

125

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

dera di Papua dan Maluku. Pemerintah selalu menyangkal bahwa tahanan semacam itu adalah tahanan politik (TAPOL): artinya lebih banyak amunisi diberikan kepada pendukung kemerdekaan oleh Jakarta sendiri. Terlepas dari semua masalah itu, orang Papua sangat menyukai calon presiden yang waktu itu dipilih oleh Ibu Megawati untuk partainya: Joko Widodo atau Jokowi, yang waktu itu menjadi gubernur Jakarta yang sangat populer di Indonesia. Orang Papua kurang menyukai kandidat lainnya, mantan komandan pasukan khusus Prabowo Subianto, tetapi tidak semuanya merasa seperti itu—di luar bayangan banyak orang. Kejahatan masa lalu beliau dapat ditemukan di Timor Timur: batu kerikil yang sudah dikeluarkan dari sepatu Indonesia. Populasi penduduk asli Papua mungkin 2 juta: 1,25 persen dari populasi Indonesia. Presiden berikutnya mungkin akan kesulitan mengalihkan perhatian ke Papua. Tetapi, harus. Sebuah badan pembangunan pemerintah tingkat kementerian yang bertanggung jawab atas berbagai layanan tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten diperlukan untuk memusatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan layanan lainnya di tingkat provinsi. Badan ini akan memainkan peran koordinasi dalam menjalani reformasi lainnya yang mendesak: pengendalian migrasi sangat dibutuhkan, dan beberapa pendatang mungkin harus dipulangkan. Moratorium atas pemekaran diperlukan. Yayasan agama yang menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan perlu disahkan dan didanai. Portofolio Dana Sosial (CSR) perusahaan yang terlibat dalam industri ekstraktif memerlukan pengawasan dari dan sinkronisasi dengan badan semacam itu, agar kekayaan Papua dapat memberikan dampak nyata dalam kehidupan orang Papua. Badan ini juga harus mengeluarkan rekomendasi kebijakan atas isu-isu yang sensitif: pada legalitas simbol-simbol separatis, ten-

126

Saatnya Jakarta Menghargai Martabat Orang Asli Papua

R ea

di

ng

C op y

tang proses Papuanisasi kepolisian Papua, tentang batas pendaftaran OAP di TNI (yang tidak resmi), dan untuk mengubah struktur komando teritorial militer, yang sama sekali tidak sesuai untuk lingkungan pertahanan modern di Indonesia. Pemberontakan di Papua sangat kecil dan sebenarnya lebih pada permasalahan hukum dan ketertiban, bukan masalah militer. Badan tersebut akan melapor ke gubernur Papua dan Papua Barat, serta ke presiden. Badan tersebut akan dikelola oleh teknokrat, dan didorong oleh orang Papua. Pengalaman saya menunjukkan, untuk beberapa pegawai sipil yang tidak hadir di tempat tugas, ada yang bertanggung jawab dan hadir. Sekolah pedesaan Papua mungkin tidak ada guru, tetapi mereka mempunyai sukarelawan yang tidak dibayar. Sukarelawan tersebut tidak hanya perlu diakui, tetapi juga memerlukan kewenangan. Badan tersebut juga akan berperan membantu proses rekonsiliasi. The Indonesian Institute of Sciences atau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah mengusulkan hal ini beberapa tahun yang lalu dalam bentuk dialog, tetapi rekomendasi mereka dikesampingkan. Dialog ditafsir- Para elite Orang Asli Papua kan oleh banyak pendukung (OAP) yang baru diberdayakan, kemerdekaan sebagai hybrid berusaha mendapatkan daerah tribunal (sarana) untuk memakadministrasi untuk kepentingan sa Indonesia membuka diskusi. mereka sendiri (melalui Hal ini adalah fantasi. Proses penggabungan Papua menjadi pemekaran) untuk memberikan bagian Indonesia mungkin me- pekerjaan tanpa tanggung rupakan sesuatu yang dipaksa- jawab kepada pendukungnya kan, namun bukan berarti tidak dan untuk mengakses subsidi mungkin untuk dilakukan. Ke- nasional secara langsung. merdekaan Papua kemungkin-

127

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

an menjadi dampak ketidaksengajaan setelah kegagalan pemerintah Indonesia. Akan tetapi, orang yang telah mati perlu disebut. Penderitaan harus diakui. Bagi Jakarta, langkah ini paling murah secara finansial dan paling mahal secara politis. Dengan tidak adanya tindakan pengungkapan kebenaran, pernyataan fiktif akan tetap dapat dipercaya, terutama karena pemerintah membatasi wartawan asing. Banyak politisi dengan naif berharap bahwa luka nasional ini akan sembuh sendiri. Hal ini tidak akan terjadi. Malah, Memoria Passionis (Kenangan Kesedihan) di Papua akan bertambah dan bertahan terus. Atau presiden berikutnya dapat mengabaikan masalah ini. Mungkin masalahnya akan memudar; bukan dengan ledakan besar tetapi dengan rengekan. Imigrasi telah membuat orang Papua menjadi minoritas di atas tanah mereka, dan banyak lagi pendatang tiba setiap hari. Kegagalan kronis pada layanan kesehatan dan pendidikan di daerah akan mempercepat kematian mereka. Banyak OAP percaya bahwa kegagalan ini adalah bagian dari kebijakan tersembunyi Indonesia. Atau barangkali ketidakpuasan orang Papua akan memicu pemberontakan baru, dan pemberontak amatir saat ini akan disingkirkan oleh organisasi baru yang dapat mengumpulkan dana dan mengakses senjata berkualitas: memicu era bom pinggir jalan dan pembakaran depot bahan bakar. Jika presiden berikutnya serius tentang Papua, beliau harus memperlakukan orang Papua secara serius dan menghargai martabat mereka yang selama ini tidak dihargai. Sebab tidak ada siasat militer yang dapat mengalahkan pemberontakan dalam hati manusia: cara lain sangat dibutuhkan.

128

C op y

Tentang Penulis

B

R ea

di

ng

obby Anderson ([email protected]) adalah penulis “Papua’s Insecurity: State Failure in the Indonesian Periphery” (EastWest Center Policy Studies 73, 2015). Pernah bekerja di Indonesia (Papua) dari 2010 sampai 2015; Sebelumnya di Aceh, Sulawesi Tengah, dan Maluku; Juga Myanmar, Timor-Leste, Afghanistan, dan mantan Yugoslavia. Sebagai pakar di bidang ekonomi politik dan kerapuhan, konflik dan kekerasan, Bobby Anderson berpengalaman mengelola program stabilisasi, pembangunan berbasis masyarakat, reintegrasi mantan gerilyawan, mata pencaharian, pemberian layanan garis depan, dan program lain untuk USAID, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, Bank Dunia, Organisasi Internasional untuk Migrasi, dan lain-lain. Lulusan Studi Perdamaian Universitas Bradford (Inggris), alumnus Rotary Fellow di Chulalongkorn University, alumnus Sarjana Lee Kuan Yew di Universitas Nasional Singapura, Lee Kuan Yew School of Public Policy, dan berkesempatan menjadi Research Associate di Sekolah Studi Oriental dan Afrika, saat ini Bobby Anderson bekerja di Myanmar.

di

R ea ng C op y

P

C op y

Ucapan Terima Kasih

R ea

di

ng

enulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Edward Aspinall atas ulasan dan dorongannya untuk tulisan ini dan karya lainnya. Banyak yang berkontribusi pada pemahaman saya tentang Papua dalam konteks Indonesia yang lebih luas. Banyak dari mereka mungkin tidak setuju dengan saya: saya tetap belajar dari mereka. Yang paling menonjol di antara mereka yang telah berkontribusi pada pemahaman saya adalah rekan-rekan dari Yayasan Sosial Untuk Masyarakat Terpencil (Yasumat) dan Sekolah Ob Anggen, serta banyak orang Papua dan Indonesia lainnya yang terlibat dalam perjuangan yang menyakitkan dan sering kali tanpa rasa terima kasih untuk melayani rakyat mereka. Di negeri yang penuh korupsi dan penyerahan diri, mereka membuat dunia lebih baik, satu-satu, dan saya merasa terhormat kenal mereka. Saya ingin mengucapkan terima kasih pada: Leila Abu-Gheida, Dewi Arsanti, Michael Bachelard, Javed Bahobol, Jacqui Baker, James Bean, Pria Santri Beringin, Yan Busup, Sigit Darmawanto, George Darroch, Kusno Dermawan, Otniel Elopere, Micah Fisher,

Basa-basi Papua

R ea

di

ng

C op y

Enda Ginting, Salmon Gombo, James Grall, Jesse Grayman, Scott Guggenheim, Timmi Gurik, Menasye Hilapok, Obeth Holago, Susanne Holste, Calum Hyslop, Alinus Ilitimon, Robert Itlay, Sidney Jones, Markus Kajoi, Klinik Kalvari, Petra Karetji, Astrid Kartika, Eleanor Kennedy, Murni Kobak, Sonja Litz, Victor Mambor, Brata Manggala, Ica Manoppo, Joerg Meier, Marcus Mietzner, Julius Arry Mollet, Timo Mohi, Adrian Morel, Donatus Motte, Adelle Neary, Ita Perwira, Elisabeth Pisani, Jackie Pomeroy, Anissa Lucky Pratiwi, Zakharia Primaditya, Chris Rosado, Tony Ryan, Iwan Santosa, Joseph Pieter “Odie” Seumahu, Deni Siep, Justin Snyder, Javier Sosa, Naomi Sosa, Agus Sumule, Andre Therik, Martjin Van Driel, Rode Wanimbo, Oneis Wenda, Pones Wenda, Ted Weohau, Iain Wilson, Jonathan Wilson, Heidi Wisley, Scotty Wisley, Rob Wrobel, Ester Yahuli, dan kolega lain yang telah meminta untuk tidak disebutkan namanya di Dekai, Jakarta, Jayapura, Manokwari, Sorong, Wamena, dan daerah lain. Kesalahan fakta atau interpretasi adalah kesalahan penulis sendiri.

132