SINGKEL : MEMAHAMI KISAH DAN INGATAN YANG DISEMBUNYIKAN [1] 6220488835706

Kabupaten Aceh Singkil-Pemko Subulussalam dalam literatur klasik disebut sebagai Singkel. Sejak itu, Singkel masuk ke da

241 66 810KB

Indonesian Pages 68 [79] Year 2023

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD PDF FILE

Recommend Papers

SINGKEL : MEMAHAMI KISAH DAN INGATAN YANG DISEMBUNYIKAN [1]
 6220488835706

  • 0 0 0
  • Like this paper and download? You can publish your own PDF file online for free in a few minutes! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Editor Zulfikar Riza Hariz Pohan & Ramli

SINGKEL: MEMAHAMI KISAH DAN INGATAN YANG DISEMBUNYIKAN Zulfikar Riza Hariz Pohan, Ernawati, Nurhalimah, Ismail Angkat, Muhardiansyah, Yusnil, Rahmad Hidayat Munandar, Ramli, Jaminuddin Djalal dan Khairuddin.

SINGKEL: MEMAHAMI KISAH DAN INGATAN YANG DISEMBUNYIKAN EDITOR: ZULFIKAR RIZA HARIZ POHAN &RAMLI

Diterbitkan pertama kali oleh Institute for Singkel Research on Adat and Culture (ISRAC) Terbitan ertama : Juni 2023 ISRAC (Institute for Singkel Research on Adat and Culture) Editor: Ramli & Zulfikar Riza Hariz Pohan Layout: Zulfikar Riza Hariz Pohan Cover Design: Zulfikar Riza Hariz Pohan Kota Subulussalam

Edisi Pertama , 2023 QRCBN: 62-2048-8835-706

Buku ini dapat diunduh gratis secara mandiri dengan cara apapun, dan kalian dapat menyebarkannya untuk kepentingan diseminasi ilmu pengetahuan. Silakan dicetak sebanyak-banyaknya dengan catatan tidak mengubah muatan dan isi terbitan awal. Dilarang keras menggunakannya untuk keperluan komersial

Daftar Isi

Prakata Editor...........................................................................................1 Etnis Singkil; dari Kejayaan Hingga Terpinggirkan ..........................3 Kayu, Mafia Kayu, Bos Kayu dan Manusia Kilang di singkel ..........9 Banjir Singkel Tanpa Solusi ..................................................................15 Singkel; Rumah Kebhinekaan di Aceh (?)..........................................21 Singkel : Kebhinekaan yang Kita Pertanyakan Kembali .................27 Membesuk Makmur Syahputra, Membaca Aceh Singkil ................33 Pulau Tuanku-Pulau Holoban ............................................................. 41 Kenduri Opom .......................................................................................47 Menangkih Belo, Sebuah Tata Cara ‘Memetik’ Cinta ......................53 Singkel yang (dulunya) Kosmopolitan...............................................57

Data Penulis ................................................................................ 69

V

PRAKATA EDITOR

B

uku yang ada dalam genggaman Anda saat ini adalah buku yang hampir ditakdirkan untuk tidak dilahirkan sama-sekali. Enam tahun naskah buku ini didiamkan, dibiarkan sia-sia, hampir terbuang (softcopy buku ini hilang dan ditemukan dalam tumpukan file yang acak) diberi harapan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil hingga akhirnya kandas. Nasib buku ini lalu diterbitkan dengan dukungan kolektif para penulis Singkel. Mengapa editor perlu menyampaikan hal ini? Sebab, cerita di balik naskah buku ini merepresentasikan buku ini sendiri. Literasi tidak pernah mendapatkan dukungan yang layak, atau jika pun ia didukung, hal tersebut hanyalah bagian dari proyek pemanis bibir dan pendongkrak nama politisi belaka. Buku dengan cara demikian, terikat pada kepentingan modal dan pemodal. Dari buku ini, Institute for Singkel Research on Adat and Culture (ISRAC) untuk berusaha memproduksi pengetahuan melalui penerbitan buku digital. Semuanya dikerjakan dengan semangat pembaktian pada diseminasi ilmu pengetahuan khususnya mengenai Singkel. Tulisan dalam buku ini cenderung tulisan lama. Namun, bukan berarti tidak relevan untuk kajian umum maupun ilmiah. Buku ini menceritakan Singkel (Singkel : Aceh Singkil-Subulussalam) secara apa adanya. Setiap tulisan dalam buku ini memiliki arah penyampaiannya masing-masing, dengan kata lain tidak terpaku pada ideologi dan batasan-batasan lainnya.

Wassalam Subulussalam,2019-2023 Zulfikar Riza Hariz Pohan

1

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

2

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

3

1

ETNIS SINGKIL; DARI KEJAYAAN HINGGA TERPINGGIRKAN

Oleh: Jaminuddin Djalal

P

atut disyukuri bahwa Pemerintahan Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) N0. 52 tahun 2007, tanggal 24 September 2007 telah mengakui keberadaan Suku Singkil sebagai suku bangsa di Negara Indonesia, sekaligus sebagai suku bangsa yang resmi keberadaannya di provinsi Aceh. Meskipun sebenarnya, tanpa Permendagri tersebut sekalipun, etnis Singkil secara de facto telah eksis jauh sebelumnya. Hal ini

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

4

telah dibuktikan juga dengan terpenuhinya unsur-unsur adanya suatu suku bangsa itu sendiri. Diantaranya ialah bahwa masyarakat Singkil memiliki budaya sendiri, bahasa sendiri, adat istiadat sendiri, kesenian sendiri, yang sudah barang tentu berbeda dengan suku bangsa lainnya di atas muka bumi ini. Meskipun terdapat kemiripan di dalamnya, hal ini wajar karena bagaimanapun Singkel memiliki etnis yang serumpun dengannya. Sebagaimana yang tertuang dalam tulisan K.S Depari (WWF. Management Adviser Gunung Leuser Project) mengatakan bahwa Portmen yang pernah jadi Kontelir di Singkil pada abad ke-20 M membuat sebuah hipotesis bahwa orang Singkil, Alas, Gayo, Batak dan Karo diperkirakan bersamaan datang dari teluk Martaban Birma. Ini juga telah tertuang dalam buku yang disusun oleh Muadz Vohry dengan judul Warisan Sejarah dan Budaya Singkil. Banyak yang belum mengetahui dengan jelas tentang etnis Singkil. Hal ini bukan saja ada pandangan yang miring tentang Singkil itu sendiri, akan tetapi juga malahan sebagian generasi muda orang Singkil (Aceh Singkil-Subulussalam) sendiri juga punya pandangan yang salah terhadap siapa etnis Singkil itu sendiri. Ada beberapa sebab mengenai hal ini, antara lain: Faktor terminus (terminologi); Adanya istilah sebutan lain bagi orang Singkil yaitu "Kalak Kampong, Kalak Julu", sehingga timbul istilah suku kampong, kesenian Kampong bahasa Julu dan hilang nama aslinya yaitu suku Singkil, adat Singkil, kesenian Singkil, bahasa Singkil dan rumah Adat Singkil. Penduduk suku bangsa Haru yang di daerah kaya menjadi suku bangsa Gayo, penghuni daerah Talas menjadi suku bangsa Alas, yang mendiami daerah Kluet dinamai suku bangsa Kluet. Dan yang mendiami sepanjang sungai Singkil dinamai Suku Bangsa Singkil (Singkil). (Brahma Putro, 1995). Faktor Komunitas Dan Geografi

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

5

Di Kabupaten Aceh Singkil ada Kota Singkil, Desa Pasar Singkil, Kecamatan Singkil, lalu ada anggapan bahwa orang Singkil itu hanya yang ada di Kota Singkil atau yang di Kecamatan Singkil saja. Hal ini dibuktikan dengan ketika orang Singkil yang tinggal di daerah Rimo hendak pergi ke Kecamatan Singkil, maka orang itu akan mengatakan “pergi ke Singkil” (tanpa menyebut kata Kecamatan Singkil) pun dengan bahasa yang terdapat di Kecamatan Singkil, akan menyebutkan bahasa yang digunakan di desa atau kecamatan tersebut adalah bahasa Singkil. Serta menyebutkan bahasa yang digunakan seseorang tersebut adalah bahasa Kampong. Meskipun maksud "Bahasa Kampong" ini adalah bahasa pribumi atau mayoritas, namun tentu memiliki kesan yang kurang elok. Padahal Singkil adalah sebuah nama etnis. Menurut data tahun 1984, 85% penduduknya adalah suku Singkil, termasuk sebagian besar yang masuk dalam wilayah Kota Subulussalam (Ainal Basri, 1984) dan bahkan sampai ke Aceh Tenggara dan sebagian terisolir di Aceh Utara. Demikian pula sisi geografisnya, bahwa pusat Singkil dahulu adalah 12 mil mudik ke hulu sungai Simpang Kiri (sungraya). T.L Sinar, SH (1976). Bahkan ribuan tahun yang lalu kuala sungai Singkil bukan di Singkil sekarang, tetapi di sekitar bawah gelombang yaitu Kuala Kepeng. H.Usman Efendi, CS (1989). Faktor Bahasa Pergaulan (Lingua Franca) Kalau orang dari luar daerah datang ke ibukota Aceh Singkil atau Kecamatan Singkil sekitarnya, singgah di warung, di pasar, bahkan di kantor banyak yang berbicara seperti bahasa Minang, dalam istilah Aceh bahasa itu disebut "Jame". Memang Suku Jame (bahasa Jame) diakui juga sebagai salah satu suku bangsa asal di Aceh di Permendagri yang sama yakni Permendagri No. 52 Tahun 2007. Tetapi berbedalah orang Jamee dengan orang Singkil, etnis Singkil juga diakui keberadaannya sesuai Permendagri itu.

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

6

Asal mula terjadinya pembauran bahasa dan budaya di Singkil tidak terlepas dari strategi penjajahan Belanda: "Setelah Belanda (VOC) menguasai Sumatera Barat/Padang pada tahun 1667, mereka mulai meluaskan daerah jajahannya sampai ke Singkil, dan Singkil dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Pemerintahan Padang (Sumatera Barat). Orang-orang asal Minangkabau mulai berdatangan ke Singkil, pada saat itu disebut "Aneuk Dagang" (Orang-orang Pedagang), yang kemudian telah resmi pula menjadi suku bangsa di Aceh bernama Aneuk Jamee". (T.L. Sinar, SH, 1989). "Negeri Singkil yang terletak sebelah Barat muara/kuala sungai Singkil, juga berpemerintahan sendiri (zelf standing), merupakan kota pelabuhan dan perkampungan nelayan, yang penduduknya orang Singkil serta pendatang dari Pulau Nias, Natal, Sumatera Barat, Aceh dan lain-lain yang kesemuanya itu telah membaur jadi orang Singkil". (Ainal Basri, 1984). Oleh karena itu pembauran (asimilasi) etnis, budaya dan adat istiadat serta bahasa pergaulan salah satu sebab orang Singkil terpinggirkan, bahkan identitas dan jati dirinya sudah banyak yang hilang terkubur. Sehingga sangat sulit untuk mengungkap kebenaran yang pasti. Padahal jauh dari kenyataan yang telah dipaparkan diatas, bahwa etnis Singkil dahulunya dengan bangga akan mengatakan bahwa mereka adalah Suku Singkil, bukan ‘Suku Kampong’ atau Suku Pak-Pak Boang yang seperti sekarang sering sekali kita dengar. Hal ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang tinggal di Tanoh Singkil saja, akan tetapi juga mereka yang bermigrasi ke Tanoh Alas akan dengan bangga mengatakan bahwa mereka berasal dari Suku Singkil. Padahal Orang Singkil yang bermigrasi ke Tanoh Alas tersebut sama sekali belum pernah memijakan kakinya di Tanoh Singkil. Berbeda seperti sekarang, dimana rasa enggan ingin mengetahui serta menggalinya tampak mulai kurang. Sekarang Orang Singkil hanya menerima, menerima dan menerima saja

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

7

dengan apa yang diklaimkan oleh Sub-etnis lain terhadap mereka. Sikap acuh ini telah lama bersemayam di dalam dada orang Singkil. Seakan orang Singkil masih trauma atas penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dahulu, sehingga aroma "mau dijajah" itu masih ada hingga sampai sekarang. Setiap sebutan Suku Singkil terdengar, orang Singkil seakan risih dan terlebih lagi meninggalkan sikap acuh. Mereka lebih baik dikatakan sebagai Kalak Kampong, pun dengan bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Kampong. Padahal jika ditelusuri lebih jauh lagi sebutan Kalak Kampong adalah sebuah sebutan penghinaan kepada orang Singkil itu sendiri. Orang Kampong atau Kalak Kampong adalah jelmaan dari pelecehan, pengerdilan, penghinaan dan sindiran. Orang Kampong bermakna orang yang kampungan, kolot, kotor, hina, kamseupay dan lain sebagainya yang sudah barang tentu berupa sindiran. Inilah oleh orang Singkil masih memegangnya dengan teguh hingga sekarang, peninggalan penjajah berupa penglabelan "Kalak Kampong" adalah sesuatu yang tak dapat dihindari dan ia-nya sudah menjadi darah daging bagi orang Singkil itu sendiri. 3 Desember 2018

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

8

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

9

2

KAYU, MAFIA KAYU, BOS KAYU DAN MANUSIA KILANG DI SINGKEL

Oleh: Zulfikar Riza Hariz Pohan

A

ceh Singkil adalah daerah yang diisi oleh berbagai kekayaan alam dan budaya, dihamparkan Tuhan di ‘ujung’ provinsi NAD. Aceh Singkil adalah cerita yang hampir tak pernah usai, berjalan terus dalam kerangka sejarah yang pahit sekaligus membuat banyak pengaruh besar kepada dunia akan Sumber Daya Alamnya. Dengan kepahitan sejarah yang hampir melulu dipecundangi dan tereksploitasi budaya dan kekayaan alamnya terlebih masa-masa Orde Baru. Aceh Singkil semakin tergerus oleh tangan-tangan jahat yang semakin memuncak ketika

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

10

korporasi bekerja sama dengan pemerintah Aceh menjadikan Aceh Singkil sebagai ‘anak tiri’. Salah satu hal yang dikenal di Aceh Singkil pada Abad ke-20 adalah kekayaan kayu-kayu yang berkualitas. Sialnya, dengan kekayaan itu pula lah Aceh Singkil menemui penderitaanya. Kayu yang tumbuh berkembang di Aceh Singkil yang menjadi sasaran eksploitasi yang habis-habisan disedot oleh orang-orang kaya. Awal Masuknya Perusahaan Raksasa Awal mula gencarnya pengolahan kayu di Aceh Singkil dimulai pada tahun kurang lebih 1970-an di masa ketika Aceh Singkil masih sebagai kecamatan dari kabupaten Aceh Selatan. Aceh Singkil yang amat jauh dari garis kemapanan sebuah peradaban yang ada di Aceh, akses ekonomi sulit, infrastruktur yang menyebalkan (masyarakat harus belanja kebutuhan ke Sibolga selama sebulan lamanya perjalanan), dan pemerintahan yang benar-benar hampa. Bahkan tidak pernah ada bantuan apapun yang mencoba memberi kelayakan hidup bagi masyarakat Aceh Singkil dari Kabupaten Aceh Selatan terlebih lagi Provinsi Aceh. Dengan melihat kekayaan Sumber Daya Aceh Singkil dan celah yang terbuka lebar untuk mengekspoitasi kekayaannya, Perusahaan-perusahaan raksasa datang. Dengan dimulainya perusahaan kayu di Aceh Singkil. Dimulai oleh CV Gunung Raya yang didirikan oleh etnis Tionghoa dari Langsa. Orang-orang Aceh Singkil mengenal persis nama perintis kayu di Aceh Singkil yaitu si bos kayu, Tuan Simon Raharja. Lalu diikuti oleh perusahaan lainnya Dari luar Aceh Singkil. Seperti PT Hagas dari Malaysia, CV Jaya Timur dari Medan etnik Cina, PT Singkil Pinder dari Medan, dan PT Asjal dari Medan. Pertumbuhan perusahaan besar yang digagas oleh Tuan Simon Raharja ini disusul dengan cepat oleh empat perusahaanperusahaan lainnya. Hanya sekitar maksimal 1 tahun dan minimal 6 bulan untuk mendatangkan perusahaan-perusahaan

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

11

asing ke Aceh singkil untuk mengeksploitasi kayu-kayu Aceh Singkil. Kayu Aceh Singkil tercium harumnya dengan cepat seAsia. Perkembangan Sumber Daya Alam terlebih kayu di Aceh Singkil semakin meluas dan dirasakan kualitasnya, diantara kayu-kayu yang dimanfaatkan dari Aceh Singkil adalah jenisjenis kayu Seperti kayu Kapur, kayu meranti, jelutung, dan damar. Diantara kayu-kayu tersebut kayu yang paling banyak didapatkan adalah kayu kapur. Ratusan juta kubik kayu diperoleh dari Aceh Singkil dan Subulussalam (pada saat itu Pemko Subulussalam masih belum terpisah menjadi Pemko) Dalam mengelola kayu ini banyak proses yang dilakukan: ❖ ❖ ❖ ❖ ❖ ❖ ❖ ❖

Dipotong dengan gergaji mesin (chainsaw/senso) Ditarik dengan buldozer Diangkut dengan Nisan Trail 10 roda Dialirkan kesungai dari antara simpang kanan (cinendang) dan simpang kiri (soraya) Lalu kayu transit di Aceh Singkil atau biasa disebut kuala Singkil Dimuat ke kapal sampai kurang lebih 14.000 Ton Minimal dalam setiap bulan 15 trip kapal mengangkut kayu Aceh Singkil Diekspor ke negara-negara Asia seperti Jepang, Korea, Thailand, Singapura dan lain-lain

Dalam pengerjaan kayu raksasa ini, menurut narasumber tidak satupun yang menghasilkan keuntungan bagi pribumi di Aceh Singkil. ‘Kematian’ rakyat Aceh Singkil semakin parah dan kehancuran adat Aceh Singkil menyertai kehancuran ini. Dalam hal pengerjaannya industri raksasa, rakyat Aceh Singkil tidak diikutkan dengan kata lain, tidak mempekerjakan orang pribumi dalam hal ini, perusahaan-perusahaan besar ini mempekerjakan orang-orang non-pribumi seperti Cina, dan orang Malaysia.

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

12

Dengan pesatnya laju setiap keuntungan yang amat membahagiakan nafsu imprealistik bagi perusahaan-perusahaan besar di Aceh Singkil ini, masyarakat sama sekali tidak diuntungkan sampai disini dan tidak sampai kapan pun selama korporasi-korporasi ini berjalan. Masyarakat hanya menyaksikan ketika tanah moyang mereka diperkosa mentah-mentah oleh korporasi yang kian rakus. Rakyat hanya makan seadanya, tidak ada perubahan nasib. Menanam padi selama setahun habis dalam tiga bulan, Teknologi seperti senso dan mesin-mesin besar pun tidak diberikan ajarkan kepada pribumi Aceh Singkil. Pribumi menatap kematiannya sendiri, dikeruk bersamaan dengan Sumber daya alamnya. Korporasi Melanggar Tanah Adat Saat itu tidak ada lahan yang dipatok masyarakat, otomatis semuanya dimiliki oleh negara, tanah adalah anugrah Tuhan yang Maha Kasih, maka timbul konsep ‘tidak pantas mengklaim kepemilikan sesuatu yang dianugerahkan Tuhan’ dalam benak masyarakat Aceh Singkil. Masyarakat Aceh Singkil yang secara adat tidak terlalu mengenal pembagian lahan membiarkan lahan kosong tersebut. Tanah adat lalu dipergunakan oleh negara dan berujung pada penguasaan lahan oleh orang-orang kaya. Ternyata tidak cukup puas dengan hanya memperkosa alam Aceh Singkil, Perusahaan-perusahaan juga menghabisi setiap peninggalan adat di Aceh Singkil dengan cara melanggar tanah adat Aceh Singkil yang dianggap sebagai adat yang tak boleh dilanggar selama masa kerajaan-kerajaan di Aceh Singkil, alasannya sederhana sekali yaitu disana banyak tersimpan kayukayu kapur yang mahal dan baik kualitasnya. Dengan memakai tangan-tangan pejabat di Kecamatan Singkil, dan Kabupaten Aceh Selatan, korporasi yang kian bernafsu benar-benar melanggar tanah adat. Menghabisi setiap jengkal tanah adat. Janji yang digelontorkan untuk reboisasi hanya kepalsuan belaka. Perusahaan-perusahaan ini melanggar janji, tidak ada reboisasi, reboisasi hanyalah mitos. Apa yang di dapat dari janji-janji korporasi tidak ada. Keuntungan apapun bagi masyarakat Aceh

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

13

Singkil. Nol besar! Semakin lama penindasan dan penjajahan semakin parah saja. Akhir dari Korporasi Pada tahun 1986 kayu di Aceh Singkil sudah hampir habis dikeruk, perusahaan-perusahaan raksasa melihat ini adalah sebuah akhir menjengkelkan dari Aceh Singkil mungkin di dalam benak borjuis-borjuis ini adalah, jika seandainya saja bisa sampai ribuan tahun bisa terus-menerus mengeksploitasi kayu-kayu Aceh Singkil, alangkah bahagianya!’ Alam juga mempunyai batasan, tapi tidak nafsu kotor orangorang kaya ini dengan baju ‘pembangunannya. Mereka mendapatkan keuntungan, peras segalanya dan pergi, Yang tersisa hanya kayu-kayu kecil. Dengan melihat sisa-sisa kayu ini, perusahaan besar jika ingin mengambilnya dan mengeskpornya dirasa tanggung dan merugikan biaya yang dipakai oleh alat-alat besar. Perusahaan lambat laun pergi dari Aceh Singkil dengan kejengkelan dan sedikit kepuasan, mulai pergi Sejak 1986 keatas. Pengambilalihan oleh Masyarakat Tentunya, hutan perawan di Aceh Singkil telah dibuka benarbenar oleh korporasi raksasa yang pernah ada. Jalan-jalan sebagai semata-mata akses korporasi untuk memuat kayu sebagai peninggalan korporasi. Dengan melihat fenomena ini. Pemerintah Kecamatan Singkil mendirikan IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) bekas dari perusahaanperusahaan raksasa. Kayu lahan bekas perusahaan tumbuh sebagai mata pencaharian di daerah transmigrasi di Aceh Singkil. Masyarakat yang mempunyai akses yang baik kepada pemerintah kecamatan dapat memiliki IPK, masyarakat memanfaatkan kayu yang ada dan mulai menjualnya kepada pemilik IPK. Pemilik IPK membuat kilang-kilang di Aceh Singkil. Dengan kayu-kayu kecil yang tersisa masyarakat memanfaatkannya dengan sedemikian rupa. Sampai pada tahun

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

14

1999 kayu-kayu kecil dirasa juga ikut habis dengan pemanfaatan ini. Golongan-golongan ‘bos’ kilang membeli lahan, jual beli tanah mulai diciptakan sistemnya. ‘Bos’ kilang ini membeli tanah dan menanam sawit. Namun, menanam sawit bukanlah prioritas pada awalnya, masyarakat lebih tertarik pada kayu, karena mendapatkan untung yang lumayan lancar. Kemudian, kayu benar-benar habis masa. Dilarang dan dibatasi sejak mulai tahun 1999 dan diganti oleh perkebunan sawit Perkebunan sawit tumbuh, kilang-kilang kayu ditutup, namun luka penindasan akan selamanya hidup dan bisa jadi diwariskan ke anak kita yang dilancarkan oleh borjuis-borjuis yang terus mengincar apapun yang bisa dieksploitasi habis-habisan di Aceh Singkil. Salah satunya perkebunan sawit. 18 September 2017

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

15

3

BANJIR SINGKEL TANPA SOLUSI

Oleh: Muhardiansyah

S

aat tulisan ini diketik, sekitar pukul 01:00 sejumlah titik di wilayah Aceh Singkil seperti wilayah Bulusema Kecamatan Suro diterjang oleh banjir bandang. Tentunya, kejadian ini sangat tidak diharapkan oleh masyarakat dan juga tidak begitu mengejutkan. Dalam waktu yang begitu singkat, banjir bandang menetap di wilayah tersebut. Banyak harta benda yang tidak dapat diselamatkan. Para warga yang terkena banjir hanya bisa menyelamatkan diri sendiri beserta keluarganya. Akibat banjir ini masyarakat kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Akses umum menjadi terputus seperti transportasi yang terpaksa berhenti semantara, listrik padam, dan anak-anak terpaksa tidak bersekolah. Bencana banjir juga dirasakan di wilayah lain Singkohor, Kecamatan Singkil, dan lain-lain. Penyebab utamanya adalah

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

16

hujan yang turun terus menerus selama beberapa hari di wilayah Singkil. Namun, di saat banjir melanda Aceh Singkil siapa yang akan kita salahkan? Sedangkan banjir di Aceh Singkil setiap tahun bisa terjadi sampai tiga atau empat kali. Hal ini merupakan tanda bahwasanya Aceh Singkil adalah daerah yang rawan banjir sejak dulu. Pertanyaannya adalah: apakah banjir ini harus kita terima dengan pasrah? apakah tidak ada solusi untuk mengatasi banjir tersebut? Melihat Singkel dalam Ekonomi-politik Indonesia Sebelum Kabupaten Aceh Singkil memutuskan untuk mandiri mendirikan kabupaten yang terpisah dari Kabupaten Aceh Selatan, pada masa Orde Baru (1965-1998) tanah Singkel (saat ini: Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam) terbuka bagi masyarakat izin membuka lahan untuk ditempati, industri di bidang pengolahan kayu dan juga perkebunan kelapa sawit. Kebijakan ini merupakan sebuah upaya untuk membebaskan masyarakat dari jeritan ekonomi pada masa itu dan guna untuk membayar hutang luar negeri. Kebijakan tersebut akhirnya kita ketahui, bukanlah sebuah jalan untuk memecahkan persoalan jangka panjang. Akibatnya, masyarakat Aceh Singkil juga melakukan penebangan hutan secara brutal tanpa mementingkan dampak yang ditimbulkan. Kegiatan penebangan kayu tersebut sangat disayangkan tidak mendapat respon dari pemerintahan. Sehingga, hutan yang sudah di tebang tidak lagi ditanam dengan hutan yang baru. Hari ini yang tersisa hanyalah gersang di musim kemarau dan banjir di musim hujan karena tidak ada serapan dari pohonpohon. Cuaca juga ikut panas karena tidak ada pohon yang melindungi dari sinar matahari. Celakanya lagi, perluasan Perusahaan Kelapa Sawit secara tidak beraturan karena pembelian lahan dari masyarakat yang tergiur dengan harga tinggi dan industri kelapa sawit yang semakin semarak. Memekarkan Diri

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

17

Pada tahun 1999 Aceh Singkil menentukan sikap untuk mengatur daerahnya sendiri dengan cara melepaskan diri dari Aceh Selatan. Pemekaran Kabupaten Aceh Singkil sudah pasti memiliki banyak pertimbangan, mulai dari luas wilayah yang menjadi syarat dasar pemekaran suatu daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau potensi daerah guna untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya juga merupakan syarat dasar pemekaran daerah tersebut. Selain itu, Sumber Daya Manusia (SDM) juga merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan sebuah daerah. Pemekaran daerah sejatinya merupakan upaya pemerintah untuk melakukan penataan daerah ke taraf yang lebih baik lagi. Bencana alam ini merupakan dampak langsung dari kejadiankejadian masa lalu dimana manusia pada saat itu hanya mengikuti hawa nafsu untuk memiliki lahan seluas-luasnya. Mereka menebang pohon untuk membangun rumah dan menjadikan kegiatan menebang hutan sebagai mata pencarian untuk memperoleh uang dari para toke kayu. Sebagai warga negara, perbuatan itu tidak bisa kita salahkan. Karena, pemerintahan tidak memberi regulasi yang tepat agar masyarakat dapat mengetahui sejauh mana mereka bisa menggarap lahan tersebut. Tidak adanya peran dari pihak keamanan juga sangat berpengaruh bagi perilaku mereka. Dengan adanya hal demikian, hal ini mendorong pembalak hutan semakin leluasa dalam menggarap lahan tanpa peduli dengan dampaknya di masa depan. Selain itu, Aceh Singkil juga terbelenggu dengan keberadaan Perusahaan-perusahan Perkebunan Kelapa Sawit yang terlalu diberikan hak berkuasa secara penuh. Industri kelapa sawit terkesan abai dan tidak mempertimbangkan tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) dan Hak Guna Usaha (HGU). Perusahaan-perusahaan yang berkuasa tersebut secara bebas membeli lahan untuk memperkuat kekuasaan mereka untuk menguasai lahan. Sehingga dampak yang ditimbulkan oleh lingkungan di daerah adalah hutan yang

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

18

semakin berkurang. Pohon-pohon yang mestinya dapat menyerap air musnah begitu saja. Industrialisasi di Aceh Singkil lebih menerima perkebunan yang merusak ekosistem tersebut daripada menjaga pepohonan di dalam hutan. Seharusnya, pemerintahan membuat regulasi dan pengawasan yang baik sesuai dengan kebutuhan daerah. Pemerintah harus melakukan langkah-langkah yang tepat untuk menanggulangi bencana ini dan bekerja sama dengan pihak keamanan seperti polisi kehutanan dan lain-lain. Pemerintah harus berani mengeluarkan sanksi kepada masyarakat yang menggarap lahan secara berlebihan. Selain itu pemerintahan perlu audit CSR dan HGU pada perusahaan-perusahaan perkebunan yang ada di Aceh Singkil. Pemerintah juga harus memberi sanksi kepada toketoke perkebunan apabila mereka merusak hutan dengan cara menanam sawit sebanyak-banyaknya. Untuk upaya lain, pemerintahan juga harus mampu menciptakan hutan lindung dengan cara konservasi lahan guna menciptakan penghijauan kembali di daerah tersebut. Tidak ada gunanya perkebunan sawit luas tapi masyarakatnya miskin dan merasakan banjir setiap tahunnya. Tidak ada guna pembangunan infrastruktur sedangkan pembangunan belum tentu berdampak pada masyarakat dan setiap tahunnya lagi-lagi masyarakat masih merasakan banjir. Pemerintah harus berbuat, pemerintah harus mampu menciptakan perubahan untuk masyarakatnya. Karena majunya sebuah daerah dilihat dari upaya-upaya yang solutif dari pemerintahannya dan peran masyarakat juga dibutuhkan dalam menjaga dan merawat lingkungan demi keberlangsungan hidup anak-cucu nantinya. Upaya pencerdasan dalam bercocok tanam, juga harus dapat diciptakan oleh pemerintahan Aceh Singkil. Supaya, masyarakat yang ada dapat berkreasi dan pintar dalam bercocok tanam. Karena keterbiasaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka hanya ketergantungan pada perkebunan sawit. Padahal, di dalam dunia perkebunan masih banyak lagi yang dapat mereka hasilkan seperti cengkeh, lada, sayur-sayuran, dan

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

19

buah-buahan. Dan apabila pemerintahan tidak tanggap dalam persoalan ini, berarti pemerintahan sama saja mengkerdilkan pemikiran masyarakat yang hanya berpikir bagaimana memiliki lahan perkebunan sawit yang luas. Dalam mengatasi banjir ini, juga harus ada peran langsung dari kabupaten tetangga seperti Subulussalam dan Aceh Tenggara. Karena air yang disuplai Aceh Singkil merupakan air kiriman dari dua kabupaten tersebut. Dengan adanya hal demikian, pemerintahannya juga harus mampu mengupayakan penghijauan dan tata kelola lingkungan seperti konservasi lahan. Karena, itu merupakan solusi yang sangat tepat dalam menjaga hutan daerah. Dengan upaya demikian, semoga dapat mengurangi resiko bencana alam seperti banjir, longsor, dan bencana alam lainya yang diakibatkan oleh penebangan hutan. 20 November 2017.

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

20

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

21

4

SINGKEL; RUMAH KEBHINEKAAN DI ACEH (?)

Oleh: Ismail Angkat

T

ak banyak daerah di Aceh yang memiliki tingkat keberagaman suku, budaya dan agama yang majemuk di tengah masyarakatnya. Aceh Singkil adalah salah satu dari segelintir daerah di Indonesia yang memiliki kemajemukan itu. Kemajemukan di Aceh Singkil bukan saja terjadi dalam 20 tahun terakhir, tapi jauh sebelum itu, pada satu abad yang lalu, Aceh Singkil-Subulussalam yang kala itu disebut bumi Singkil atau bumi Fansur Singkil telah menampilkan keanekaragaman. Sampai hari ini, jejak kebudayaan Singkil, jika ditelusuri secara geneologi merupakan aspirasi rekam jejak dari perpaduan beberapa suku bangsa. Tari dampeng misalnya, dalam catatan Kirstin Pauka (1996) adalah turunan atau variasi dari tari silek atau randai yang berasal dari Minangkabau. Seorang antropolog

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

22

Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad dalam sebuah diskusi pada tanggal 30 September 2019 meyakini bahwa ada arus pertukaran yang amat deras di tahun-tahun sebelum kedatangan Belanda, mulai dari tanah Minang, Barus sampai ke Singkil. Persoalan kebhinekaan di Aceh Singkil tidak bisa dilepas dari berbagai aspek kehidupan masyarakat lainnya, karena jauh sebelum Indonesia merdeka dan Aceh Singkil menjadi kabupaten tahun 1999, perbincangan tentang kebhinekaan telah menghiasi ruang – ruang diskusi para pendiri bangsa “founding father“ saat meletakkan dasar negara. Faktanya, tak banyak negara yang memiliki tingkat multikulturalisme yang tinggi melebihi Indonesia dan tak banyak pula daerah yang memiliki keragaman budaya melebihi Aceh Singkil. Bahkan Damhuri, budayawan Singkil yang juga merupakan Mantan Sekretaris Daerah Kota Subulussalam membanggakan manusia Singkil yang menurutnya rata-rata memiliki kemampuan menuturkan dua sampai tiga bahasa. Indonesia memiliki lebih dari 700-an etnis yang tersebar di lebih dari 17 ribu pulau yang terbentang di sepanjang nusantara. Kini, Indonesia memiliki 6 (enam) agama resmi yang telah diatur oleh pemerintah dan memiliki hari libur khusus keagamaan. Sungguh merupakan keanekaragaman yang besar walaupun berarti berat untuk menjaga kebhinekaan itu tetap dalam keharmonisan. Negara sebesar dan semaju Amerika Serikat bahkan tidak memiliki keberagaman seperti Indonesia, dimana keberagaman telah ada jauh sebelum negara Indonesia ada. Amerika dibentuk dari bangsa – bangsa yang bermigrasi ke Amerika dengan berbagai sebab, mereka memerlukan proses yang sangat panjang untuk membentuk tanah air baru, walaupun terkadang mereka membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk dapat hidup berdampingan dan memiliki cita – cita bersama. Kebhinekaan tidak perlu diperdebatkan di tengah kehidupan masyarakat Indonesia, karena kebhinekaan adalah sebuah fakta yang tidak boleh dijadikan sebuah hambatan dan momok untuk hidup

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

23

bersama. Kebhinekaan harus menjadi suatu kebanggaan yang terus diperkenalkan kepada dunia luar sebagai sebuah energi dalam membangun daerah yang terkenal majemuk ini. *** Letak geografis Aceh Singkil menjadikan daerah ini paduan rajutan tenun kebangsaan yang indah, semua suku dan agama berbeda berdampingan bersama. Aceh Singkil atau negeri Singkil atau Negeri Fansur Singkil adalah negeri yang pernah berjaya dengan keragaman dengan kekayaan perdagangan dan persebaran pengetahuan melalui dua ulama besar yakni Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf Al Singkili. Potret keanekaragaman ini sebenarnya membawa kepada mental kosmopolitan dalam masyarakat, walau entah kenapa, mental demikian tidak lagi tercium dari gelagat manusia Singkil. Sikap eksklusif, tertutup dan penuh rasa curiga telah menjadi semacam benalu yang sewaktu-waktu dapat merontokkan pohon persaudaraan dan kedamaian. Untuk memperkuat kebhinekaan sebagai perekat kebersamaan hanya dapat dicapai dengan saling menghargai dan mengintegrasikan konsep kebhinekaan dalam berbagai aspek pendidikan, keterampilan, dan kebudayaan dalam masyarakat Aceh Singkil yang majemuk. Salah satu pengalaman penulis yang membekas kuat dalam ingatan ialah betapa kebhinekaan itu diajarkan di ruang – ruang kelas, seorang guru pernah membagi kelompok berdasarkan suku dan bahasa, bukan untuk mengkotak – kotakkan siswa, melainkan menjadi ruang untuk saling belajar. Sesaat sebelum presentasi tugas, setiap kelompok diwajibkan menceritakan dan menyanyikan sedikit lagu sesuai dengan latar suku dan kelompok masing-masing. Ada pengalaman menarik lainnya yang memberi kesan bahwa keberagaman itu adalah rahmat. Saat penulis menetap di asrama mahasiswa Aceh Singkil di Yogyakarta, ada banyak mahasiswa yang tinggal dan hampir semuanya berasal dari suku dan bahasa berbeda, ada bahasa Aceh, Singkil, Jawa, Melayu, keberagaman

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

24

bahasa dan suku itu tidak lantas membuat jurang pemisah yang merenggangkan, melainkan memberikan kekayaan khazanah budaya yang beragam. Tak hanya kehidupan di asrama, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kebhinekaan dalam interaksi masyarakat inilah yang menjadikan mayoritas mahasiswa dan masyarakat Aceh Singkil mampu menguasai lebih dari dua bahasa, seperti bahasa Singkil, Jawa, Aceh dan Pesisir. Masyarakat dapat menemukan keberagaman itu di lingkungan sekitarnya, seperti budaya pernikahan yang jelas terlihat. Keberagaman yang begitu berwarna itu tidak hanya didengar dan diperbincangkan di warung dan ruang diskusi, melainkan diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. Berbagai latar agama dan suku bekerja bersama di sektor – sektor pemerintahan dan swasta. Konflik horizontal pada November tahun 2015 lalu tidaklah menggambarkan secara menyeluruh bagaimana toleransi itu dijaga dan dilaksanakan di tengah masyarakat Aceh Singkil. Berbagai media nasional dan internasional seakan menciptakan sebuah persepsi bahwa tidak ada toleransi dan kebersamaan dalam keberagaman pasca kejadian itu. Penulis sebagai putra asli tidak merasakan adanya benteng pemisah antar agama, suku atau bahasa di tengah masyarakat seperti berita di berbagai media. Konflik ini tentu menjadi kerikil kecil dalam proses penguatan kebhinekaan, tetapi persoalan ini hanyalah peringatan kepada seluruh komponen untuk menjaga tenun kebangsaan yang telah dirajut para pendahulu. Harapan Penulis Melalui tulisan ini, penulis berharap bahwa pemerintah pusat dan beberapa daerah di Indonesia terus berikhtiar menjaga kebhinekaan dalam berbagai program di banyak bidang, mulai dari program Sabang Merauke yang menjadi ruang pertukaran pemuda antar daerah, sosialisasi 4 ( empat ) Pilar Kebangsaan yang gencar dilaksanakan MPR ( Majelis Permusyawaratan Rakyat ) dan program lainnya. Ada harapan yang begitu besar dari masyarakat Aceh Singkil pasca pilkada dan penetapan

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

25

pemenang pilkada maupun pemilu legislatif. Bahwa mereka ingin kebhinekaan dan kearifan lokal dapat terjaga dengan baik. Mereka berharap bahwa peristiwa-peristiwa yang memporakporandakan persatuan supaya tidak terulang kembali. Stabilitas keamanan dan kebersamaan dalam pembangunan merupakan salah satu kunci yang harus dijaga untuk mempercepat ketertinggalan dalam menjalankan program. Menjaga kebhinekaan ini adalah tugas kita bersama dengan seluruh stakeholder terkait untuk mewujudkan cita – cita bersama dalam melunasi janji kemerdekaan pendiri bangsa. 2018

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

26

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

27

5

SINGKEL : KEBHINEKAAN YANG KITA PERTANYAKAN KEMBALI

Oleh: Nurhalimah

A

gama, Adat dan istiadat menjadi salah satu identitas bagi masyarakat, terlebih lagi di ‘Tanoh Singkel’ yang memiliki banyak sekali keanekaragamannya termasuk dalam hal agama, kebudayaan dan adat istiadat lainnya. Menjadi masyarakat Singkil tentunya bangga dong, Singkil yang kaya dengan berbagai macam wisata di Pulau Banyak, Danau Bungara, Pantai Gosong Telaga dan yang lainnya serta dihiasi oleh adat istiadat yang berbagai macam ragam lainnya seperti adat pernikahan, sunnah rasul, menyambut bulan mulud, bulan nasi. Tidak terlepas dari itu, agama di Singkil juga cukup

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

28

beragam, seperti Kristen, Islam bahkan juga ada masyarakat yang masih menganut aliran kepercayaan, yaitu Parmalim. Apa itu Parmalim? Nah, saya punya cerita untuk menjelaskan siapa sebenarnya orang Parmalim itu. Serta bagaimana sih sebenarnya mereka itu? Apakah mereka sesat? Atau, apakah kita saja yang tidak peka melihat mereka sehingga mereka terasingkan, bahkan terintimidasi? Berikut ulasan saya: Juni, 2015 “Nama saya Isnaini, agama saya Pambi/Parmalim dan saya tinggal di Suro”. Ucap seorang teman yang berasal dari salah satu aliran kepercayaan tersebut ketika memperkenalkan diri sewaktu duduk di bangku kelas satu SMA Negeri 1 Simpang Kanan, Lipat Kajang. Parmalim pada hakikatnya adalah sistem kepercayaan yang menyembah pada satu Tuhan disebut sebagai Mulajadi Na Bolon, yang mereka yakni menciptakan segala isi langit dan bumi, menciptakan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Kami semua terdiam, termasuk ibu guru yang ketika itu berada di ruangan kelas tersebut seraya memandanginya yang heran akan apa yang diucapkannya, termasuk saya yang baru keluar dari Pesantren Babussalam Batu Korong yang berdampingan dengan STAISAR (Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh Abdurrauf) dan baru pertama kalinya mendengar Pambi/Parmalim. Walaupun begitu, persahabatan tetap terjaga antara sesama sekalipun berbeda agama, tidak pernah melakukan tawuran ataupun hal-hal yang lain. Pada suatu ketika saya diajak duduk oleh teman saya yang menganut kepercayaan Pambi tersebut, dan juga ada temanteman lain yang kesemuanya berbeda agama dengan saya. Kami bercerita dan berbagi pengalaman yang menarik menurut kami dan sampai ke pembahasan yang jauh, yaitu tentang sistem kepercayaan masing-masing. “Pambi itu bagaimana, sich?”. Saya bertanya padanya.

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

29

“Pambi itu sebuah aliran kepercayaan yang juga mempunyai Tuhan, nabi, kitab suci, peribadatan, tidak boleh memakan babi dan anjing, dan juga percaya adanya surga dan neraka, dan ketika ada orang yang meninggal, kami tidak boleh makan apapun dari rumahnya, dan kami yang membawakan makanan kepada mereka yang ditinggalkan”. Ucapnya memberi penjelasan yang singkat namun jelas. Kami semua mangguk-mangguk dan mengiyakan perkataannya. Seolah memahami jelas apa yang disampaikan olehnya. Sejenak eksistensi Parmalim menjadi sangat viral ditelingaku, masih penasaran apa dan bagaimana sebenarnya penghayat kepercayaan tersebut. Juli, 2019 Pagi-pagi sekali, pekerjaan rumah sudah saya selesaikan, karena sesuai dengan rencana pada hari ini saya dan seorang teman akan berkunjung ke sebuah desa. Desa yang masyarakatnya mempunyai solidaritas yang tinggi, rasa hormatmenghormati yang tidak ada kalahnya, rasa tanggung jawab yang baik untuk terus menjaga kehidupan yang aman, damai dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah desa yang terletak di perbatasan Singkil dengan Provinsi Sumatera Utara, masyarakat yang berbeda agama hidup berdampingan, yaitu desa Napa Galuh, Kecamatan Danau Paris yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalku, Lipat Kajang. Perjalanan yang melelahkan dan ditemani dengan debu, batubatuan tajam yang ada di jalan, perkebunan sawit yang sangat lebar dan sampai ke puncak gunung yang dari jauh terlihat sangat indah dan mempesona. Di desa ini, kita akan bertemu dengan masyarakat yang menganut aliran kepercayaan Parmalim. Masyarakat yang ramah dan menerima tamu dengan baik meskipun berbeda agama dengan mereka. Termasuk kami, kami disambut hangat oleh mereka, kami dipersilahkan masuk ke tempat ibadah mereka dan bercerita banyak mengenai mereka. Tidak seperti yang saya bayangkan sewaktu di Sekolah

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

30

Menengah Atas dulu, yang berpikir mereka mempunyai sifat ekstrim dan berada di garis yang keras. Atau seperti yang disebutkan orang-orang awam sebagai orang yang suka melakukan guna-guna. Mereka sangat terbuka dan mudah untuk diajak bertukar pikian. Kedatangan kami membuat hati mereka merasa senang, dan banyak hal-hal lain yang mereka ceritakan. Di sela-sela cerita, salah satu dari mereka berkata “Kami juga percaya dengan ada surga dan neraka, percaya bahwa segala yang kita perbuat di dunia ini pasti ada balasannya dari Tuhan Debata Mula Jadi Na Bolon”. Mereka mempunyai Tuhan yang mereka sebut dengan Debata Mula Jadi Na Bolon. Dalam sebuah buku yang berjudul “Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh” yang dituliskan oleh seorang penulis di Aceh Singkil bernama Sadri Ondang Jaya yang menjelaskan bahwa Parmalim tidak percaya terhadap adanya surga ataupun neraka. Namun, dalam kunjungan kami salah seorang ketua cabang Parmalim mengatakan bahwa mereka percaya terhadap surga ataupun neraka. Saya jadi garuk-garuk kepala dan menyadari bahwa tulisan seorang penulis sangat penting, apalagi kalau salah kasih informasi. Waduh! Masyarakat Singkil mengenal Parmalim sebagai suatu agama yang ekstrim dan berada di garis keras. Parmalim yang hanya berada di daerah-daerah terpencil pun tidak berani menampakkan diri mereka di masyarakat Singkil lainnya, tidak ada perkembangan di Parmalim. Pada zaman dahulu, Singkel adalah salah satu tempat yang sering dikunjungi oleh masyarakat asing yang berbeda ras, agama dan bahasa. Tanoh Singkil menjadi tempat yang ramai, banyak pengunjung yang menjajakan barang bawaannya. Orangorang datang dan pergi silih berganti dengan latar belakang agama yang berbeda, dengan maksud dan tujuan yang berbeda, termasuk berdagang. Perdagangan di Singkil menjadi sangat pesat, tidak kalah dengan mall-mall yang ada di kota sekarang

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

31

ini. Dari latar belakang masyarakat yang berbeda-beda, ada semacam asimilasi dalam masyarakat, menikah dan menetap tinggal di Singkil. Masyarakat yang tinggal di penghujung Singkil dan di daerah pedalaman pelosok Singkil sebagian besar masih menganut sistem kepercayaan selain Islam dan Kristen. Namun, terdapat sistem kepercayaan Parmalim yang dibawa dari Tanah Batak ke Singkel dan berkembang di Singkel, terlebih lagi di daerah pelosok yaitu Napa Galuh, Sikoran dan daerah Mandumpang masuk dalam yang akses jaringannya susah untuk didapat. Masyarakat Parmalim patuh dan taat terhadap ajaran-ajaran yang diberikan kepada mereka. Hari Sabtu adalah hari peribadatan yang selalu mereka jalankan dengan penuh semangat, meraka juga mempunyai tempat ibadah yang disebut dengan Parsatian dan mereka gunakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Debata Mula Jadi Na Bolon. “Pak, apakah tempat ibadah ini tidak pernah diperbaiki?”. Tanya kami pada mereka. Karena melihat dalam ruangan yang kayu-kayunya sudah memburuk, lapuk dan tidak bisa menampung banyak masyarakat ketika mereka sedang melakukan upacara keagamaan ataupun hal lain yang ingin mereka lakukan. Rumah ibadah yang berdiri dari tahun 1856 hingga sekarang, semasa Singkil masih tergolong dalam Kabupaten Aceh Selatan. Sangat memprihatinkan! “Rumah ibadah kami ini tidak pernah diperbaiki, semenjak dari awal berdirinya sampai saat ini, tidak pernah sedikitpun dari tiang-tiangnya yang di ganti dengan layak”. Ucap penasehat Parmalim, nada yang terlihat agak kecewa. Tidak hanya sekedar melihat-lihat, tetapi kami juga dipersilahkan masuk ke dalam rumah ibadah mereka, banyak cerita dan hal-hal lain yang kami dapatkan untuk bertukar pikiran dengan mereka. Termasuk juga keluarga. Penghayat kepercayaan Parmalim yang mempunyai anak, juga ada yang beragama Islam dan Kristen (Bapak; Parmalim, Anak; Islam/Kristen). Sangat menarik bukan? di

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

32

Singkel juga terdapat satu keluarga yang berbeda sistem keyakinan dan kepercayaannya, namun mereka tetap sebagai sebuah keluarga tanpa ada diskriminasi sedikitpun dari sang ayah ataupun anak. Singkel yang katanya sudah merdeka ini, masih ada lho orang di antara kita yang belum merasakan merdeka. Merdeka untuk mengutarakan hak dan kemauan, merdeka untuk bisa hidup dan beribadah dengan nyaman dan tentram, tanpa ada kesalah pahaman yang terdapat dalam diri masyarakat meskipun dengan berbagai latar belakang dan berbeda agama sekalipun. 2019

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

33

6

OBITUARI MAKMUR SYAHPUTRA, MEMBACA ACEH SINGKIL

Oleh: Rahmad Hidayat Munandar

H

Hitungan waktu terus bertambah dan masa - masa telah berlalu. Banyak kenangan dan cerita yang menghampiri dalam memori ingatan. Ada yang menyimpan kisah itu rapi rapi dalam ingatan, namun ada juga yang menuangkan segalanya dalam sebuah buku catatan. Sebelum bercerita jauh, saya ingin mendeskripsikan tentang dua sosok yang ada dalam gambar di atas, foto yang saya ambil dari postingan Bang Zoel Soraya, dua sosok itu adalah Bapak Makmur Syahputra dan Bapak Ridwan Hasan sewaktu masih muda. Persahabatan

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

34

mereka telah terukir sangat lama, hingga mereka menjadi ujung tombak pembangunan di Aceh Singkil kala itu. Pak Makmur sebagai Bupati dan Pak Ridwan Hasan sebagai Sekda. Hampir selama dua dekade perjalanan kabupaten Aceh Singkil, ada sosok yang selalu dikenang sebagai tokoh pembangunan dan pemersatu, beliau adalah H. Makmur Syahputra Bancin. Nama Makmur yang terus dikenang dan dijadikan tauladan. Makmur adalah tokoh dengan segudang talenta dan bakat, aktivis, birokrat, pendidik, budayawan, dan lain sebagainya. Beliau dikenal sebagai peletak pondasi pembangunan di Aceh Singkil. Saya banyak mendapat cerita tentang dua sosok ini dari pegawai yang pernah menjadi bawahan beliau langsung di Pemerintahan Kabupaten Aceh Singkil. Penting untuk mengulas sejarah perjalanan dan pengabdian beliau, agar kita generasi muda mengetahui jasa dan tauladan di setiap fase kehidupan yang ia lalui. Sebagai generasi yang lahir tahun 90-an, tentu saya berbeda jauh generasi dengan beliau. Sehingga tak banyak informasi yang saya ketahui. Saya sendiri juga tak pernah berinteraksi langsung dengan beliau. Sewaktu beliau menjadi bupati, umur saya baru 7 tahun dan masih duduk di bangku sekolah dasar. Kami hanya mengenal nama beliau sebagai bupati, dan sesekali kita melihat mobil dinas bupati lewat di jalan - jalan di kampung kami. Saya merasa harus menuliskan atau mereview kembali perjalanan kisah beliau, karena saya melihat tak banyak tulisan dan ulasan di internet. Sekali lagi saya katakan bahwa saya merasa harus menuliskankan cerita ini karena, saya takut generasi kita nanti hanya mengenal nama saja tanpa pernah tahu kisah dibalik pengabdian beliau dalam membangun tanah kelahiran ini, agar kelak lahir Makmur Makmur muda yang mencintai tanah kelahirannya dalam pikiran dan tindakan. Makmur Syahputra lahir di Penanggalan pada 12 Oktober 1956. Beliau adalah anak ke 15 dari 17 bersaudara, anak dari Raja

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

35

Syamsudin Bancin. Saat itu Penanggalan adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Singkil yang kini sudah menjadi bagian dari Pemko Subulussalam. Jika kita melakukan perjalanan dari Banda atau Medan menuju Singkil, kita pasti melalui kecamatan ini. Semangat menuntut ilmu yang telah terlihat sejak kanak kanak membuat ayahanda beliau juga sangat bersemangat menyekolahkannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ada harapan besar terhadap putranya kedepan agar dapat membangun daerah menjadi lebih baik. Beliau pernah bersekolah di PGA Subulussalam atau setara dengan SMP, namun karena berbagai permasalahan sekolah ini pun tutup. Mengingat permasalahan tersebut, beliau melanjutkan sekolah di MTsN Sidikalang sebagai alternatif yang nyata. Beliau pernah berjalan kaki sejauh 60 km dari Penanggalan - Sukaramai - Sidikalang kala itu, hal ini karena masih sangat sulitnya akses transportasi kesana. Karena jarak yang begitu jauh, dan telah berdirinya satu sekolah MTs di Subulussalam, beliau akhirnya pindah dan menamatkan pendidikan di sekolah tersebut pada tahun 1973. Jiwa kepemimpinan telah terlihat sejak beliau menjadi Ketua OSIS di sekolah pada tahun 1971 - 1973. Masa itu, untuk bersekolah di tingkat SMP saja masih sangat sulit, hingga akhirnya beliau melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum di Singkil. Hanya setahun sekolah di Singkil, beliau pindah ke Tapaktuan. Ayah adalah semangat dan pelita beliau dikala rindu di perantauan, tak tergambar betapa besar dorongan ayahanda beliau agar anaknya bisa bersekolah baik. "Mi jehe kita mi jehe Mi julu kita mi julu Melehe kita melehe Menutu kita menutu Menutu ta rebak - rebak Sejarakken tangan lalu bakken diru Kadepe da cerok na kalak Rembak dalan ta laus meguru "

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

36

Kiasan di atas memberi pandangan yang luas akan kondisi kehidupan masyarakat saat itu. Setelah tidak lagi bersekolah di Singkil, beliau akhirnya melanjutkan pendidikan di SMU Tapaktuan. Saat itu, abanganda beliau Haji Raja Usman Bancin merupakan anggota DPR Tingkat II Kabupaten Aceh Selatan, sehingga beliau mendapat banyak dukungan semangat untuk terus bersekolah. Karena semangat dan bakat yang dimiliki, Makmur terpilih menjadi Ketua OSIS periode 1975 – 1976 di sekolahnya. Kebetulan saya juga pernah merasakan bagaimana sekolah di Tapaktuan, tak mudah rasanya jabatan Ketua OSIS didapatkan oleh siswa yang berasal dari luar Tapaktuan sekitarnya. Tak hanya itu, beliau juga terpilih menjadi siswa teladan tingkat SMA se-Kabupaten Aceh Selatan tahun 1976. Saya rasa prestasi ini harus dijadikan tolak ukur bahwa kita yang berasal dari pinggiran desa, memiliki potensi besar untuk tumbuh dan berkembang. Hanya kemauan dan semangat yang menjadi kunci, serta kesempatan untuk belajar. Memilih Jurusan Hukum Dengan bekal semangat, prestasi dan ilmu selama bersekolah di SMU Tapaktuan, beliau memiliki dua pilihan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, yaitu Yogyakarta dan Banda Aceh. Beliau sempat ingin melanjutkan perjalanan hidup ke Kota Pelajar Yogyakarta, karena beliau percaya bahwa kota ini menjadi kota tempat para petualang ilmu berkelana dan meniti karir. Namun, dengan berbagai pertimbangan akhirnya beliau memilih berangkat ke Banda Aceh. Di sana beliau awalnya kuliah di Kampus Sultan Iskandar Muda dengan jurusan Administrasi Negara. Namun karena ada kampus negeri, beliau melanjutkan pendidikan di Jurusan Hukum Universitas Syiah Kuala. Karena saat itu beliau melihat ada banyak sekali bupati di wilayah Aceh yang berlatar pendidikan hukum. Beliau ingin kuliah di jurusan ini karena beliau punya tekad meniti karir menjadi seorang bupati untuk membangun daerahnya. Pada saat itu, pemilihan bupati dilakukan dengan penunjukan langsung dari atas dan kemudian pengesahan dilakukan oleh DPRD

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

37

tingkat dua. Tahun 70-an masih sangat minim jumlah masyarakat yang melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Fakultas Hukum menjadi impian bagi sebahagian banyak anak muda, karena saat itu banyak sekali lulusan Fakultas Hukum Unsyiah yang berkiprah di pemerintahan dan luar pemerintahan dengan posisi - posisi penting. Bukan karena beliau memiliki impian menjadi bupati sehingga perjalanan karir dan pengabdian beliau mengantarkannya menjadi seorang bupati. Tetapi, saya yakin besarnya pengabdian dan sumbangsih beliau dari masa sekolah hingga menjadikannya seorang bupati adalah karena rasa cintanya yang begitu besar terhadap kemajuan daerah. Keuletan, kesungguhan, serta kecintaan beliau terhadap ilmu dan kondisi masyarakat, membuat beliau terus belajar dan bertekad kuat untuk menjadi orang yang berguna di masyarakat. Saat berada di tahun kedua menyandang predikat seorang mahasiswa, Makmur diberikan kepercayaan memimpin salah satu organisasi besar di kampus, yaitu ketua HMI komisariat Fakultas Hukum. Dimana pun beliau berada, selalu ada amanah yang disematkan kepadanya, ini menjadi ladang untuk mengasah kesabaran, keuletan, kesungguhan sebagai pembentuk karakter. Karena keuletan dan dedikasinya, beliau mendapat amanah lebih tinggi yaitu menjadi Sekretaris III HMI Cabang Banda Aceh tahun 1979 - 1980. Beliau juga mendapat penghargaan dari Mendikbud pada tahun 1981 sebagai mahasiswa teladan III dari Unsyiah. Dengan pergulatan di ibukota dan kesibukan mengurus banyak hal, kerinduan Makmur terhadap kampung halaman terus menggunung. Hingga akhirnya beliau bertempat tinggal di sebuah rumah yang dibeli pada tahun 1959 untuk keperluan tempat tinggal mahasiswa Singkil di Banda Aceh. Banyak sekali sahabat dan teman - teman beliau semasa tinggal di asrama ini, kalau saat ini dikenal dengan nama asrama blower. Banyak sekali penuturan yang saya dapatkan bahwa beliau adalah sosok yang sangat setia dalam menjalin persahabatan. Sahabat - sahabat selama menuntut ilmu kala itu pun banyak yang berkerja di bawah pemerintahan beliau. Beliau dikenal sebagai sosok yang tak pernah melupakan jasa sahabat dan orang terdekatnya dalam setiap perjalanan hidupnya.

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

38

Pernah satu ketika, saat saya sedang ujian akhir untuk skripsi saya. Kebetulan dosen saya itu banyak dari Fakultas Hukum, yang mereka tanyakan pertama itu adalah Sosok Makmur Syahputra. Saat itu beliau sudah berpulang ke Rahmatullah, sehingga saya tak bisa bercerita banyak. Begitulah beliau, dikenal banyak orang karena luasnya persahabatan dan keilmuan, karena melewati banyak momen besar di berbagai daerah untuk menimba ilmu dan pengalaman kala itu. *** Setelah menyandang gelar sarjana, Beliau sempat gundah untuk menentukan arah perjalanan karirnya. Hal ini wajar dialami oleh seorang sarjana, karena saat itu abang dan kakak ipar Beliau telah banyak yang sukses memulai karir. Namun kegundahan itu perlahan hilang saat wisuda, Abangda beliau Haji Raja Usman datang ke acara wisuda beliau sambil membawa titipan pesan dari Drs. Sukardi Is, Bupati Aceh Selatan kala itu. Isi pesan beliau adalah agar Makmur Syahputra pulang ke daerahnya, untuk mengabdi dan bersama dengan teman – teman lain membangun Aceh Selatan. Pesan ini tidak hanya lahir begitu saja, melainkan karena selama ini Bupati Aceh Selatan melihat bahwa Makmur adalah mutiara yang harus dibawa pulang untuk membangun, tidak hanya membangun jalan, jembatan, gedung, melainkan juga membangun aspek kehidupan di tengah masyarakat ". Waktu itu, jika ada pegawai yang pensiun, pejabat yang memegang tanggung jawab di instansi tersebut dapat mengusul pengganti untuk diangkat menjadi pegawai. Kebetulan kala itu Bapak Bachrum Syah akan memasuki masa pensiun dengan jabatan terakhir sebagai Sekretaris Wilayah. Beliau mengikuti seleksi untuk PNS dan formasi yang diminta adalah 5 orang untuk sarjana hukum, namun hanya ada 3 orang yang mendaftar pada formasi itu. Tercatat sejak 15 November 1982, beliau memulai karir sebagai staf bagian hukum di Sekretariat Wilayah. Posisi itu pun dijalaninya selama 7 bulan 7 hari. Tak lama setelah itu, beliau mendapatkan promosi karena terjadi kevakuman disebabkan pergantian pejabat Bupati. Beliau dipromosikan menjadi kepala bidang Pendapatan dan Laporan di

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

39

Bappeda Tingkat II . Di Masa jabatan inilah kebahagian itu terus mekar, beliau dianugerahi seorang anak tampan yang beliau dan istrinya, Nurhalifah beri nama R.M Adli Putra. Tak lama setelah itu, beliau kembali dipromosikan menjadi Sekretaris Bappeda, dan kebahagian itu terus berlanjut karena pasangan ini dianugerahi seorang putri cantik yang diberi nama Siti Annisa Rizki. Setelah itu beliau diberi kepercayaan sebagai Kepala Bagian Perekonomian, jabatan ini adalah posisi yang paling lama dijalani beliau. Beliau mengatakan bahwa apapun jabatan yang ditugaskan atasan, tetap dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Karena ini merupakan amanah untuk kepentingan orang banyak. Demikianlah sekelumit kisah H Makmur Syahputra Bancin SH, MM. Sampai saat ini, penulis masih berusaha mengumpulkan informasi tentang beliau. Tulisan ini adalah sekelumit memoar untuk mengenal pejuang kemajuan daerah Singkil tersebut. 2019

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

40

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

41

7

PULAU TUANKU-PULAU HOLOBAN

Oleh: Yusnil

H

aloban atau yang disebut dengan Tulale (Pulau Tuanku) sekarang Kecamatan Pulau Banyak Barat dihuni pertama kali oleh seorang perantau yang bernama Tutuwon. Menurut sejarah, sebelum mendiami Haloban, Tutuwon terdampar di Teluk Nibung yang sekarang merupakan salah satu Desa di Kecamatan Pulau Banyak. Kemudian Tutuwon berpindah meninggalkan Teluk Nibung ke sebuah tempat yaitu Tulale (Pulau Tuanku).

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

42

Setelah bermigrasi ke Tulale, Tutuwon mulai menetap dan mendiami Haloban dengan memulai penghidupan sebagai petani. Setelah Tutuwon merasa cocok mendirikan pemukiman, Tutuwon menjemput keluarganya yang ditinggalkan di Teluk Nibung untuk berpindah dan menetap di Haloban. Disinilah permulaan awal asal usul adanya Pulau Banyak. Setelah beberapa tahun kemudian terdapat dua pendatang lain yang datang ke Pulau Tuanku, mereka bernama Lawowek dan Lasengak. Keduanya berselisih dan mempermasalahkan tentang siapa penghuni pertama kali yang terlebih dahulu tinggal dan menetap di Haloban. Keduanya tidak tahu bahwa sebelum mereka datang sudah ada yang terlebih dahulu menetap dan bercocok tanam di pulau tersebut. Dalam perselisihan ini antara Lawowek dan Lasengak terjadi pertengkaran yang sengit. Lasengak kalah dari Lawowek dan lari menyeberang sampai ke tengah lautan diantara Pulau Bangkaru dan Pulau Lansia. Peristiwa tersebut kemudian terdengar oleh Tutuwon dan mencoba mencari tahu keberadaan keduanya. Setelah pencarian Tutuwon bertemu dengan Lawowek dan menceritakan perselisihan yang terjadi. Tutuwon menjemput keduanya dan mengajak Lasengak dan Lawowek untuk dibawa ke rumahnya di Tulale (Pulau Tuanku). Perbincangan tersebut berlanjut antara Tutuwon, Lawowek dan Lasengak. Di sela-sela perbincangan, Lasengak dan Lawowek disuguhi ubi rebus oleh keluarga Tutuwon. Tersuguhinya hidangan ubi rebus membuat Lawowek dan Lasengak terheran-heran. Sehingga mereka berpendapat bahwa Tutuwonlah yang pertama kali mendiami Haloban (Pulau Tuanku) di buktikan dengan masakan ubi rebus yang di tanam oleh keluarga Tutuwon. Sementara Lasengak dan Lawowek merupakan pendatang baru yang sama sekali belum tau dan tidak pernah bercocok tanam. Kemudian Lawowek dan Lasengak diajak oleh tutuwon untuk menetap dan tinggal untuk membuat sebuah pemukiman di Tulale di Pulau Tuanku (Sarvina Sulastri 05/0402017.blongspot.com).

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

43

Berselang beberapa bulan kemudian, ketiganya sepakat untuk mengelilingi Pulau Tuanku, Pada waktu ketiganya menjelajahi Pulau Tuanku, Lawowek, Tutuwon dan Lasengak yang saat itu sedang berada di lokasi Air Dingin (pemandian air dingin). Tibatiba melihat sebuah pulau yang mengeluarkan gumpalan asap. Pulau tersebut yang diberi nama Pulo Asok. Sesaat kemudian, dengan rasa penasaran Tutuwon mengajak Lawowek dan Lasengak untuk menyelidiki apa sebenarnya yang terdapat di Pulau Asap tersebut. Setelah diketahui ternyata asap yang menggumpal dan terlihat dari kejauhan tersebut berasal dari seseorang yang sedang memasak air yaitu Hutabarat. Pulau Asok sudah dihuni oleh Hutabarat beberapa tahun sebelumnya. Bertemunya mereka dengan Hutabarat, Tutuwon, Lawowek dan Lasengak bermusyawarah untuk membujuk Hutabarat untuk menetap di Tulale. Kemudian mereka melanjutkan mengelilingi pulau-pulau yang ada di Tulale (Pulau Tuanku), hingga sampailah pada suatu pulau yang dinamai Pulau Aisakhu Tua. Di pulau itu mereka juga menemukan seorang penghuni yaitu Malikul Baraya, kemudian mereka juga segera mengajak Malikul Baraya untuk menetap di Tulale. Setelah merasa cukup untuk mengelilingi Pulau-pulau yang ada di Tulale kelimanya pun kembali ke daratan Tulale, mereka mulai membuat suatu pemukiman yang sekarang disebut Haloban atau sebuah desa yang terdapat di kecamatan Pulau Banyak Barat dari hasil pemekaran Kecamatan Pulau Banyak. (Sarvina sulastri 05/0402017.blogspot.com) Kerajaan Pulau Tuanku Seiring berjalannya waktu, hari-hari semakin berlalu, bulan berganti bulan dan tahun terus berganti tahun. Penduduk Tulale semakin bertambah dan berkembang dengan kehidupan sebagai petani, bercocok tanam. Tulale yang awalnya hutan belantara semakin terbuka dengan semakin banyaknya penduduk setempat. Pada suatu ketika yaitu pada malam hari, Tutuwon, Lawowek, Lasengak, Hutabarat dan Malikul Baraya berumbuk dan bermusyawarah. Dalam perundingan tersebut kelimanya terpikirkan untuk menentukan seorang raja yang bisa memimpin

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

44

penduduk di Tulale (Pulau Tuanku) tersebut. Dari hasil permusyawaratan pada malam itu, mereka memutuskan Malikul Baraya sebagai utusan untuk menjemput seorang raja (sultan) ke Pagaruyung (Sumatra Barat). Malikul Baraya diutus mewakili Pulau Tuanku menjumpai Raja ke Pagaruyung. Pada waktu itu akses untuk menuju ke Pagaruyung belum ada sama sekali, tidak ada transportasi seperti kapal, mobil atau kapal terbang. Menurut tutur oleh tokoh-tokoh adat setempat. Bahwa penjemputan Sultan Pagaruyung dengan cara ghaib. Konon saat itu Malikul Baraya bepergian hanya dengan sebuah sajadah yang diterbangkan sekejap mata dengan ilmu-ilmu ghaib. Ada juga yang berpendapat Malikul Baraya berlayar dengan sebuah perahu layar “balai” kata masyarakat disini (sebuah perahu kecil menggunakan layar yang digiring oleh arah angin). Tidak memakan waktu yang lama dan berharihari Malikul Baraya sampai ke Pagaruyung dan langsung menemui Raja Yang Berdaulat saat itu di Pagaruyung. Sesampainya disana, bertemulah Malikul Baraya dengan raja dan menyampaikan pesan hasil musyawarah dan kesepakatan kelimanya pada waktu itu. Malikul Baraya meminta kepada raja untuk menempatkan seorang pemimpin di Tulale (Pulau Tuanku). Maka pada saat itu juga Tuanku Sultan mengutus adiknya, pangeran yang paling bungsu yaitu Sultan Malingkar Alam untuk menjadi pemimpin atau raja di Tulale, Pulau Tuanku. Sultan Malingkar Alam didampingi oleh seorang yang dijuluki Imam Garang (Malikul Kudus), dan seorang panglima sebagai pendamping Sultan Malingkar Alam. Selanjutnya Malikul Baraya kembali dengan membawa Sultan/ Raja Malingkar Alam, Imam Garang (Malikul Kudus) dan seorang Panglima ke Tulale Pulau Tuanku. Sesampainya di Pulau Tuanku sang Raja menetapkan struktur pemerintahan kedaulatan di Tulale. Dalam penyusunan pemerintahannya. Sultan Malingkar Alam sebagai (Raja), Imam Garang (Malikul Kudus) sebagai Pemimpin Agama, dan Malikul Baraya sebagai Khatib. Susunan pemerintahan dibantu oleh Datuk yang empat

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

45

yaitu Tutuwon sebagai (Datuk Besar), Lawowek sebagai (Datuk Maharaja), Lasengak Sebagai (Datuk Mudo) dan Hutabarat sebagai (Datuk Pamunca). Berselang beberapa tahun kemudian Sultan/ Raja Malingkar Alam meninggal dunia. Sepeninggalnya Malingkar Alam susunan pemerintahan digantikan oleh anaknya Sultan Setangkai Alam yang kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke Luan Bano yang juga berada di Pulau Tuanku. Berselang beberapa tahun kemudian Sultan Setangkai Alam juga meninggal dunia, namun kepemimpinan tetap berlanjut dengan digantikan oleh anak dari Sultan Setangkai Alam yaitu Sutan Alam. Semenjak masa kedaulatan Sutan Alam, pusat pemerintahan Tulale juga dipindahkan dengan Haloban sebagai pusat pemerintahannya. Haloban sendiri dahulu berasal dari kata Alaban, pengertian Alaban sendiri berasal dari jenis kayu yang ada di pemukiman setempat. Saat masyarakat membuka lahan perkampungan sebagian masyarakat ada yang meninggal di timpa oleh kayukayu besar yang dinamakan Alaban. Maka dari itu, terbentuklah sebuah nama perkampungan yaitu Haloban. Sekarang Haloban adalah pusat ibukota kecamatan Pulau Banyak Barat yang sebelumnya tergabung dalam Kecamatan Pulau Banyak sebagai pusat ibukota pemerintahan sebelum pemekaran pada tahun 2010. *** Selama pemerintahan Sutan Alam, perkampungan sudah mulai menyebar dengan dibukanya perkampungan baru yaitu Kampung Lamo, Asantola, Teluk Nibung dan Pulau Balai. Selama itu juga Sutan Alam sudah tidak mampu untuk melanjutkan kepemimpinan dikarenakan sakit-sakitan terus menerus. Saat ini, Kampung Lamo setiap tahun dijadikan tempat ziarahnya masyarakat Pulau Banyak Barat, karena di Kampung Lamo terdapat Makam-makam nenek moyang terdahulu yang

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

46

dimakamkan disana. Selain itu, Kampung Lamo juga sebagai tempat untuk mengistirahatkan pikiran masyarakat disana setelah melakukan tradisi ziarah, bukan hanya dari penduduk setempat saja, melainkan pengunjung juga berasal dari desa-desa seperti Pulau Balai, Pulau Baguk dan Teluk Nibung sampai sekarang. Untuk melanjutkan estafet kerajaan selanjutnya Sutan Alam menyerahkan mandat kepada kemenakannya sendiri yaitu Sutan Umar. Penyerahan kepemimpinan kerajaan sudah disetujui oleh datuk-datuk yang empat. Pada tahun 1950 masa kepemimpinannya sebagai raja di Kepulauan Banyak, Sutan Umar Umar juga mengalami sakit yang cukup parah. Sutan Umar dibawa ke Sibolga namun penyakitnya tidak .juga dapat disembuhkan dan akhirnya meninggal dunia dan dikuburkan di Sibolga. Selanjutnya Pada tahun 1951 Pulau Banyak salah satu wilayah yang diakui di bawah residen pemerintahan Aceh Selatan yang pada waktu itu masih dalam provinsi Sumatera Utara. Pada saat itu juga Ali Basa seorang Asisten Wedana memimpin Pulau Banyak yang berkedudukan di Pulau Banyak, dan kepemimpinan Ali Basa selanjutnya digantikan oleh Kasem Idris. Kepemimpinan Kasem Idris seterusnya digantikan lagi oleh Seorang Asisten Wedana yang bernama Abdul Fo’at. Menurut sejarah yang tertulis bahwa pada saat inilah pemerintahan dipindahkan ke Pulau Balai. Sekarang Pulau Balai adalah ibukota Kecamatan Pulau Banyak. Sebelumnya Kecamatan Pulau Banyak terdiri dari 2 (dua) kemukiman yaitu kemukiman Haloban dan Kemukiman Pulau Salapan yang masing-masing terdiri dari 6 desa antara lain; Desa Haloban, Desa Asantola, Desa Teluk Nibung, Desa Pulau Balai dan Desa Ujung Sialit. Saat ini, kemukiman Haloban masuk dalam wilayah Kecamatan Pulau Banyak Barat. 2019

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

47

8

KENDURI OPOM

Oleh: Khairuddin

I

ndonesia memang terkenal dengan beragam kuliner melalui perpaduan rasa yang menggoda. Salah satu wilayah yang juga terkenal dengan kuliner adalah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang kini sudah berganti nama menjadi Provinsi Aceh. Wilayah yang dikenal dengan julukan Serambi Mekah ini memang memiliki berbagai budaya serta makanan khas Aceh. Beraneka ragam kuliner plus bumbu khas dengan cita rasa rempah yang kuat, menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan untuk mencicipi makanan khas Aceh.

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

48

Aceh Singkil merupakan daerah pesisir barat selatan Aceh yang mendapat perhatian pecinta alam, sebab panorama Pulau Banyak-nya yang dapat mengobati rindu pada orang dicintai. Kabupaten ini mempunyai dua otonomi daerah, yaitu daratan dan kepulauan, dengan ibu kota Singkil. Singkil tidak hanya terkenal dengan keindahannya alamnya, yang terdiri dari laut dan pulau yang sangat memukau. Singkil juga memiliki beragam jenis kuliner khasnya sendiri, yang bisa memanjakan lidah bagi siapa saja, mulai dari cemilan hingga ke makanan berat. Banyak kuliner yang bisa kita jumpai di Singkil, baik yang modern maupun tradisional. Namun tulisan kali ini mengenai makanan tradisional. Di antara makanan tradisional yang paling menarik untuk dibahas adalah "Kue Opom", yang bentuknya mirip dengan serabi. Keberadaan kue Opom membuat masyarakat setempat mengenang makanan nenek moyang tempo dulu. Kue Opom Opom merupakan satu di antara banyak kue tradisional Aceh Singkil dan Subulussalam, yang umumnya bermukim di aliran sungai. Kue Opom telah jadi kue favorit bagi masyarakat setempat karena warga yang tinggal di aliran sungai masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang zaman dahulu. Opom Singkil berbentuk bulat seperti lingkaran, ketebalannya sekitar 1 cm, dan lebar diameter sekitar 10-15 cm. Biasanya berwarna abu-abu dan putih. Opom ini sepintas mirip dengan kue apem. Dalam bahasa Indonesia kerap disebut kue serabi. Namun keduanya memiliki sedikit perbedaan. Serabi terbuat dari tepung beras, santan, air kelapa, air putih, garam dan gula pasir. Sedangkan Opom Singkil terbuat dari tepung pulut/ sepokot, santan dan garam. Kue Opom ini bukanlah makanan tradisional satu-satunya di Aceh Singkil, masih banyak jenis makanan tradisional unik dan lezat lainnya, yang agak susah ditemukan daerah lain seperti, lompong sagu, gedah sagu, dan godekh sagu .

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

49

Kenduri Opom Opom bukan hanya sekedar kue tradisional, namun Opom merupakan nama salah satu bulan bagi masyarakat Singkil, yang dimulai dari bulan Muharram, Safar, Mulud Satu, Mulud Dua, Mulud Tiga, Mulud Empat, Opom, Nasi, Puasa, Khekhaya, Muhafidz dan Haji. Jika hitungan bulan kampung Aceh Singkil dengan bulan Hijriah maka bulan Opom itu bertepatan dengan bulan Rajab. Nama-nama bulan yang menjadi keseharian masyarakat Singkil memang terdengar aneh. Tetapi itu lah kearifan lokal yang patut dilestarikan. Kembali ke topik pembahasan, kue Opom ini tidak dihidangkan di sembarangan bulan dalam tahun Hijriah. Sebaliknya, ada waktu tertentu untuk pesta Opom. Ada beberapa waktu yang biasanya kue Opom ini dibuat oleh masyarakat Singkil di antaranya: pada bulan Opom (bulan Rajab), tepatnya ketika memperingati perjalanan Israk Mikraj Nabi Muhammad Saw. Nah! Biasanya ada tim dari ibu-ibu yang khusus untuk membuat Opom tersebut yang betul-betul ahli di bidangnya. Ibuibu tersebut sibuk dalam mempersiapkan segala kepentingan Opom, sementara bagi anak muda hanya sekedar memperhatikan, sedikit sekali anak muda di masa sekarang ini bisa membuat kue Opom. Dan sebagian yang lain membersihkan masjid maupun musala yang akan dimanfaatkan pada hari H, serta menyiapkan segala peralatan yang diperlukan. Kemudian, setelah menu kue masak, di malam harinya, masyarakat berkumpul di masjid maupun musala (surau), untuk mendengarkan riwayat israk mikraj, yang disampaikan dalam bentuk syair dan prosa. Setelah itu, Kue Opom yang ditunggutunggu pun datang, dan siap dinikmati bersama-sama. Nah! Bagian ini baru tugas kaum lelaki, maksudnya makan Opom. ***

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

50

Sebagian masyarakat Singkil tepatnya Desa Tanah Bara, Kecamatan Gunung Meriah membuat kue Opom ini bukan hanya pada bulan Opom saja, tetapi ada pada hari lain seperti ketika para petani telah menanam padinya dan tumbuh subur, kemudian mereka mengadakan kenduri yang mereka populerkan dengan sebutan kenduri ladang, yang biasanya masyarakat melakukan setahun dua kali. Kemudian warga membawa Kue Opom yang sudah dibuat dan membawa tepung tawar ke lokasi persawahan padi tersebut. Mereka berdoa kepada Allah Swt. Setelah ritual, mereka masingmasing menaburkan air tepung tawar ke sawah miliknya, setelah itu mereka memakan kue tradisional yang disebut Opom itu. Ritual ini dilakukan dengan harapan agar padi mereka selamat dan hasilnya memuaskan, bahkan berharap agar bisa mengeluarkan zakat padi. Alhasil banyak juga di antara mereka yang panen raya dan mampu menunaikan zakat. Tradisi ini sudah dilakukan dari nenek moyang mereka, dan masih dipertahankan hingga sekarang. Kue Opom juga dibuat ketika turun dapur, agar para tamunya dengan lahapnya menyantap makanan tersebut dari segala kalangan, baik anak-anak, remaja maupun orang dewasa, baik yang memiliki gigi asli maupun palsu karena makanannya begitu lembut dan lunak. Turun dapur artinya seorang ibu yang telah selesai menjalankan ritual pengobatan pasca melahirkan selama 40 hari penuh. Setelah ritual pengobatan tersebut selesai biasanya akan diadakan kenduri turun dapur dan jika perekonomian keluarga mencukupi, acara tersebut sekaligus berbarengan dengan acara akikah dari sang anak. Jika tidak, biasanya acara akikah akan ditunda beberapa waktu kemudian. Sebagian dari masyarakat Aceh Singkil bahkan juga membuat kue Opom ketika memperingati empat puluh hari atau pun seratus hari orang meninggal. Intinya, hampir disetiap acara kenduri dan hajatan, Opom kemudian dihadirkan untuk menjadi santapan.

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

51

Kenduri ini konon berasal dari seorang sufi bernama Abdullah Rajab yang hidup miskin bahkan sangat fakir di Mekah. Saat dia meninggal dunia, keluarganya tidak mampu menggelar acara kenduri seperti lazimnya. Orang sekampungnya berinisiatif membuat Opom karena tidak memerlukan banyak bahan untuk membuatnya. Ternyata tradisi membuat Opom masih hidup sampai kini. Namun wisatawan yang datang pada hari-hari tertentu, Anda tidak perlu khawatir, karena Kue Opom ini tidak ada larangan membuat di hari-hari biasa. Jadi kalau ingin menikmatinya, bisa pesan atau buat sendiri. Proses pengolahannya kue Opom tidak serumit membuat burger, spageti, dan pizza. Bahan-bahannya pun terbilang mudah didapatkan. Untuk harga bahannya sangat ekonomis, yang bisa dibuat dan dinikmati dari semua kalangan, baik kalangan elit maupun rakyat jelata. Kue tradisional ini dari perpaduan bahan tepung pulut/sepokot yang diaduk dengan air panas hingga kental, dan ditambah garam secukupnya, agar tidak terlalu asin. Sebab bila kadar garam lebih, dapat membuat kue tersebut tidak enak. Kemudian tuangkan adonan cair yang telah diolah tersebut, dengan ukuran sendok sayur kecil ke dalam lokan besi, jika dibahasa indonesiakan adalah wajan besi, yang telah dioleskan minyak atau margarine. Kemudian dipanaskan dengan kompor gas maupun pemanas lainnya. Kue Opom ini akan terasa hambar jika tidak diiringi dengan kuah manisnya, ibarat nasi tak berlauk, ibarat gulai tak bergaram, ibarat makan tanpa minum. Kuahnya sangat mudah untuk dibuat, dan bisa dibuat oleh siapa saja. Hanya menggunakan santan dan ditabur dengan gula pasir, serta gula merah secukupnya. Rasa kuah manis itu bisa bertambah nikmat jika ditambah dengan durian, nangka, atau daun pandan. Tergantung selera masing-masing. Yang doyan aneka rasa, bisa pilih rasa

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

52

durian, rasa nangka, dan lebih nikmat lagi jika dibuat dengan rasa cinta dan niat ikhlas berbagi. Jika Anda penasaran dengan Opom, bisa datang ke daerah Aceh Singkil. Mari! 12 Agustus 2019

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

53

9

MENANGKIH BELO, SEBUAH TATA CARA ‘MEMETIK’ CINTA

Oleh: Ernawati Tinambunan

K

ata pertunangan biasa sudah lazim kita dengar di Aceh Singkil. Menangkih Bello adalah kelanjutan dari kegiatan Mengido (melamar gadis). Menangkih Bello dilaksanakan apabila lamaran pihak laki-laki sudah diterima oleh pihak perempuan. Menangkih Bello juga sering disebut Bello Belen. Dalam tradisi Menangkih Bello ini selain membawa hadiah atau utang piutang (mahar yang dijanjikan) dari pihak laki-laki. Disini pihak laki-laki juga membawa Dua Sumpit Belo yaitu Bello Keddep/ Belo Mengido dan Bello Bellen /Sirih Menangkih Bello.

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

54

“Sumpit adalah baka keddep atau kantong kecil yang terbuat dari anyaman pandan. Biasanya Sumpit ini diisi dengan sirih, pinang, gamber, kapur, sapen/ tembakau, kayu manis, dan cengkeh yang sudah disusun dalam baka dan dilapisi dengan berapa lembar kain panjang,” Kata Bu Mawarni seorang yang mengetahui adat menangkih belo ini di kampung saya. Kedua jenis sumpit ini ini sama tetapi yang membedakan adalah kalau Sumpit Menanggih Bello atau Bello Bellen ditambah dengan kapas putih yang diberi minyak wangi dan beras gersing (beras kuning) yang dibungkus pakai kain gersing (kain kuning). Dalam tradisi Menangkih Bello ini yang membawa sumpit adalah puhun dan telangke/anak bayo. Puhun (saudara laki-laki dari ibu) membawa sumpit kecil atau sumpit mengido dan telangke membawa sumpit Menangkih Bello atau Bello Bellen. Istilah Menangkih Bello ini dilaksanakan oleh masyarakat Singkil yang hendak melanjutkan ke tahap pernikahan/perkawinan. Tradisi Menangkih Bello ini adalah suatu proses untuk menguatkan perkataan selangke dalam waktu mengido/ melamar kepada pihak perempuan sebelum melakukan Menangkih Bello biasanya masyarakat yang meniti/atau mencari hari yang baik menurut hari bulan. Tradisi Menangkih Bello ini dihadiri rombongan dari pihak laki-laki yang lengkap dengan situa,ninik mamak, kepala desa (geuchik) dan masyarakat lainnya puhun dan telangke/anak Bayo dari pihak laki-laki. Rombongan ini akan disambut oleh pihak perempuan yang lengkap juga dengan situa,ninik mamak dari pihak keluarga perempuan. Biasa Menangkih Bello ini dilaksanakan suatu kanduri. Dalam tradisi Menangkih Bello ini banyak hal-hal yang disampaikan oleh sintua dari pihak laki-laki baik itu mengenai lamaran mereka yang sudah diterima maupun maupun mengenai Bello Mbellen atau acara Menangkih Bello ini dan tanda syukur Alhamdulillah juga disampaikan bahwa niat baik mereka untuk menjalin hubungan dengan pihak perempuan diterima dengan baik. Kata kata sintua dibalas oleh sintua dari

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

55

pihak wanita.dan pihak situa juga menyampaikan kapan dan berapa lama lagi mereka akan melaksanakan proses selanjutnya yaitu proses perkawinan. Dalam tradisi Menangkih Bello ini juga akan dibahas atau dibicarakan oleh Ninik mamak mengenai sanksi apabila salah satu pihak memutuskan tali ikatan yang sudah dijalin ini Kata Syahbatul sebagai mukim kemukiman Rantau Gedang. Bila pihak laki-laki yang memutuskan ikatan. Ini maka hadiah atau mahar baik itu berbentuk uang atau emas yang sudah diterima pihak perempuan akan hangus. Sedangkan bila yang memutuskan tali ikatan ini pihak perempuan maka ia akan kembalikan dua kali lipat dari apa yang mereka sudah terima dari pihak laki-laki. Bila hal pelanggaran ini terjadi maka penyelesaiannya melalui ninik mamak dari kedua belah pihak. Begitu proses tradisi Menangkih Bello di Aceh Singkil. 2019

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

56

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

57

10

SINGKEL YANG (DULUNYA) KOSMOPOLITAN

Oleh: Ramli

A

rtikel ini saya tulis untuk menggantikan tulisan saya yang berjudul Pakpak Bukan Singkil, “Sebuah artikel yang buruk,” kata seorang teman yang kurang ajar. Teman kurang ajar saya itu juga menjadi salah seorang yang menjadi acuan bagi saya di dunia kepenulisan. Untuk itu, sebagai penggantinya saya tulis artikel ini dan saya berharap semoga ini juga tidak dicap sebagai tulisan buruk. Jika ini pun dianggap sebagai tulisan buruk, saya tidak sanggup buat tulisan lain. Jadi cocok tidak cocok, inilah dia.

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

58

Saya menulis artikel ini, untuk mengingatkan manusia Singkil akan kesadaran lama yang sudah terkikis akibat ketertindasan dan keterbelakangan ekonomi. Singkil Baru, begitu saya menyebutnya adalah Singkil yang secara realitas menderita karena keterpinggiran, kerusakan ekosistem, kemiskinan dan penindasan, namun secara konseptual adalah segala kegelisahan dan keinginan serta cara-cara yang dilakukan untuk keluar dari penderitaan dan menyongsong gelombang peradaban baru yang kita sebut saja sebagai Singkil Baru. Singkil Baru sejatinya mencoba mencari akar-akar kebaikan dari masa lalu dan menjadi acuan untuk menuju masa depan yang lebih baik. Singkil Baru, alih-alih menyembuhkan rasa minder dan tidak percaya diri, malah menambah luka menganga dengan suara-suara identitas, sukuisme, eksklusivisme dan berbagai narasi tendensius lainnya. Singkil dengan narasi identitas (yang lebih sering merupakan produk politik) tak akan berhasil membawa kemajuan bagi Singkil Baru, karena mengapa? Karena kita memang kosmopolitan dari dulu, dimana nenek moyang kita Katanya, dekat dengan Pakpak, tapi kok kebudayaan kita dekat dengan Melayu Minangkabau. Tentang siapa yang berhak disebut sebagai Singkil, tentu membawa implikasi bagi pembangunan manusia Singkil. Semua orang yang telah hidup dan tinggal di Singkil dan cinta dengan Singkil pasti menginginkan kesejahteraan dibidang ekonomi tapi bukan berarti bahwa cara-cara yang ditempuh justru memperuncing keadaan dan menegasikan kehadiran yang lain. En mo kalak kita, en mo situhuna, pilih kita kampong, dan lainlain, adalah slogan yang sangat biasa ditampilkan dalam kancahkancah politik semisal Pilkada dan Pilbup, walau untungnya slogan-slogan demikian belum begitu mempan, dan walaupun sedihnya dikalahkan oleh politik uang. Ah, sekacau apapun politik uang, ia mempersatukan persepsi, membuat orang lupa akan sekat identitas. Semua orang membutuhkan uang, dan semua persepsi bisa disamakan dengan uang.

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

59

Singkil, dalam sejarahnya sangatlah kosmopolitan. Dahulu orang Singkil suka merantau, dan setiap mereka yang pulang dari rantau akan membawa benda-benda kebudayaan rantau bersamanya lalu dalam suatu malam, dipertunjukkannya lah benda-benda kebudayaan rantau itu kehadapan sanak saudara yang mendengarkan ceritanya semalam suntuk. Mereka biasa mendengar cerita itu di teras rumah yang dibuat seperti balai. Konon, teras tersebut dahulu dipakai untuk menyimpan alat-alat memancing seperti jaring dan bubu, dan tidak ada orang yang mencurinya, karena keyakinan mereka bahwa ikan yang diperoleh dari hasil mencuri pancingan, ikannya akan mudah busuk. Alur sungai Singkil mengalir dari tanah Alas hingga bermuara ke hilir Singkil. Dahulu manusia Singkil membangun peradaban di pinggir Sungai, dan orang-orang biasa mempengaruhi aliran sungai dengan perahu atau boat selama beberapa hari. Ketika malam sudah tiba dan mereka ingin istirahat, para musafir akan menambatkan perahu di atas lampung, seperti warung terapung yang ditopang oleh balokbalok besar. Di sana mereka bisa menumpang menginap dan membeli makanan dari warung. Jika tidak punya uang, mereka akan memasak sendiri bekal dan persediaan yang dibawa, dan jika tidak punya, orang-orang akan menolong mereka dengan memberikan beras, ikan dan garam seadanya, serta membiarkan mereka menanaknya di atas lampung. Di atas lampung tersebut, jika ada pendatang asing (musafir) yang menginap, masyarakat akan datang berduyun-duyun untuk mendengarkan cerita mereka. Masyarakat Singkil yang kosmopolitan dan tinggal di pinggir sungai itu sangat menyukai cerita dari negeri-negeri jauh. Cerita-cerita itu akan melegenda dan menjadi sesukuten (cerita rakyat) yang diceritakan kepada anak-anak. Nah, soal cerita sesukuten, tema yang dipilih oleh orang Singkil biasanya sesuai kebutuhan. Untuk anak yang bandel dan tidak mau tidur dan asyik bermain, akan diceritakan kisah-kisah horror atau cerita orang-orang jahat yang kena karma. Untuk menenangkan anak-anak pada pesta perkawinan atau sunatan,

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

60

karena orang tua mereka sedang membantu di dapur empunya rumah, atau ahli bait, cerita yang disajikan biasanya tentang pahlawan, peperangan dan segala kisah-kisah heroik yang menegangkan. Sedangkan cerita yang disajikan oleh guru selepas belajar mengaji dan sebelum anak-anak pulang ke rumah masingmasing adalah cerita keteladanan seperti anak yang berbakti kepada kedua orang tua, cerita orang-orang yang berbuat baik dan cerita para nabi. Dan sebenarnya, cerita-cerita tersebut lebih dikembangkan oleh orang-orang Singkil dari cerita para musafir yang singgah di lampung. Kata Damhuri, pecinta budaya Singkil yang juga mantan Sekda Kota Subulussalam, saking kosmopolitannya orang Singkil, teras rumah mereka bahkan disediakan untuk siapa saja datang dan menumpang tidur. Teras yang ditinggikan sebahu orang duduk itu kemudian menjadi tempat menginap sementara orang-orang musafir yang kemalaman dan mau istirahat. Jika di teras rumah sedang ada musafir yang menginap atau menumpang istirahat, maka yang punya rumah akan keluar masuk rumah dari pintu samping yang langsung ke dapur. Biasanya, kata Damhuri “para tamu,” tersebut tidak ditanyai sampai dua atau tiga hari. Jikapun ada sapa menyapa itu hanya sekedarnya dan tidak secara mendalam. Baru setelah dua atau tiga hari, pemilik rumah turun dan menjumpai mereka untuk sekedar untuk sekedar membuka percakapan dan menanyakan asal-usul dan tujuan serta mendengarkan cerita mereka. Itu adalah kearifan lokal orang Singkil di mana tidak serta merta berbaur dengan “tamu yang datang,” sebelum mereka mengawasi terlebih dahulu. Dan telah menjadi kearifan tersendiri ketika itu bahwa insting orang Singkil sangat kuat untuk melihat apakah “tamu” itu orang baik-baik atau bukan. Oleh karena itu, mereka membutuhkan waktu antara dua sampai tiga hari untuk mengamati “sang tamu.” Dan kasus ini hanya berlaku jika tamu memang menginap sampai dua atau tiga hari. Namun jika mereka hanya menginap semalam, maka tidak jadi soal ketika sebelum tuan rumah menyapa, tamu itu telah pamit pergi terlebih dahulu. Dan hal lain yang menarik adalah ketika para

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

61

tamu meninggalkan benda kebudayaan dan makanan kepada tuan rumah, dan hal ini, tuan rumah akan mengundang orang pintar untuk memeriksa benda kebudayaan dan makanan tersebut untuk mengetahui apakah ia mengandung sihir, magis dan berbahaya. Jika tidak, barang tersebut akan dimiliki oleh empunya rumah. Bicara soal Singkil yang dahulunya adalah kosmopolitan, penulis berharap bahwa hari inipun Singkil tetap menjadi negeri yang kosmopolitan. Orang Singkil sejak dahulu dikenal memiliki kemampuan menguasai dua atau tiga bahasa, bahkan lebih, adalah karena mereka memang kosmopolit. Sampai hari ini, mental kosmopolit paling radic terlihat pada anak-anak kecil yang justru diajarkan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu campur-campur terlebih dahulu, sebelum diajarkan bahasa ibu. Walaupun sayang, darah kosmopolit ini dicoba persempit oleh orang-orang yang menampilkan narasi sukuisme atau dalam bahasa Aceh disebut sebagai lontuanisme. Padahal itu hanya membuat Singkil menjadi eksklusif, tertutup, semakin sulit sejahtera dan semakin sulit berkembang. Singkil, harus kembali menampilkan diri sebagai negeri yang kosmopolit yang pernah menggemparkan khazanah ekonomi dunia dengan perdagangannya, dan menggemparkan khazanah ilmu pengetahuan dengan dua syekh utama, Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf yang hidup pada abad ke 16 dan 17 Masehi. Singkil harus terbuka menerima kebudayaan yang berbeda, dan mengikatnya dengan spirit keislaman. Singkil akan maju dan berkembang jika mereka mau belajar dan mau mengajar, mau menerima dan mau memberi, mau menyambut orang yang datang dan mau pergi mencicipi keramahan dunia rantau. Orang Singkil, kemanapun mereka pergi mereka akan sulit dikenali daerah asalnya karena ketika mereka sedang di rantau mampu beradaptasi dengan baik. Karena dengan cara ini Singkil membangun peradabannya, dan karena Singkil adalah bahasa peradaban, bukan sekedar bahasa kesukuan. 23 Oktober 2019

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

62

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

63

Epilog SILAP BOLEH, LUPA JANGAN

Oleh: Ramli dan Ismail Angkat

T

idak ada yang boleh hilang dari negeri Singkil, dan tidak pula boleh ada yang terkena amnesia dan pura-pura tidak tahu bagaimana sejarah sosial Singkil dan bagaimana masa depan negeri batuah ini. Jaminuddin Djalal meyakinkan kita bahwa tanpa “stempel dari pihak berwenang,” Singkil tetaplah entitas yang eksis, yang ada, lengkap dengan wilayah, budaya dan bahasa tersendiri. Jaminuddin Jalal, mengutip Ainal Basri memastikan sebuah wilayah yang terletak di bagian Barat muara Singkil yang penduduknya selain terdiri dari manusia tempatan juga merupakan pendatang dari berbagai wilayah, kesemuanya membaur dan menjadi Singkil. Dan semua mereka, kata Jaminuddin Jalal, dari manapun berasal, memiliki kebanggaan sebagai orang Singkil.

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

64

Tidak ada yang boleh hilang dari Singkil, termasuk sejarah penindasan. Kesadaran yang lugu, atau yang pura-pura amnesia tidak akan dapat menapaki titian sejarah karena tidak mengenal siapa diri, dan juga tidak mengenal bagaimana sejarah kelam masa lalu pengrusakan, baik pada masa kolonial, masa musim kayu sampai masa kavling tanah untuk praktek-praktek pengrusakan ekologi atas nama perkebunan. Dan hari ini, luka itu kata Zulfikar R H Pohan, “ akan menjadi luka kita dan akan diwarisi secara bertahun-tahun.” Dan luka itu perlu diingat jangan diamnesia supaya dicari solusi dan alternatif supaya di masa depan ia tidak terulang kembali, sebari mencari tahu siapa yang harus disalahkan atas luka dan penindasan tersebut. Masalahnya, luka yang demikian terus menganga dan menjadi ancaman yang dapat menggulung wilayah-wilayah di Aceh Singkil ke dalam penderitaan demi penderitaan. Sebut saja banjir yang menerjang Singkil setiap tahun dan seolah seperti kata Muhardiansyah, “Tanpa Solusi!.” Menurutnya, untuk keluar dari kekacauan akibat kesalahan masa lalu, adalah dengan tidak mengulangi kembali kesalahan yang sama di hari ini. Itulah pentingnya kita supaya jangan amnesia. Oleh karena itu kata Muhardiansyah, Pemerintah harus menciptakan regulasi yang mampu membendung praktek-praktek perusakan lingkungan, mampu mengembalikan fungsi hutan lindung, dan mampu memberi kecerdasan pada masyarakat bagaimana membangun pertanian berbasis kebaikan ekologi dan kelestarian hayati. Tidak ada yang boleh hilang dari negeri Singkil, termasuk kenyataan bahwa negeri ini dibangun dari fondasi-fondasi plural. Manusia Singkil itu unik, kata Ismail Angkat. Mereka menguasai lebih dari satu bahasa karena memang Singkil adalah miniature keberagaman di Indonesia. Posisinya yang berada di salah satu pusat jalur maritim tempoe doeloe, membuat Singkil berjaya dengan keanekaragaman suku bangsa dan etniknya. Bagi Ismail Angkat, untuk memperkuat kebhinekaan sebagai perekat kebersamaan hanya dapat dicapai dengan saling menghargai dan mengintegrasikan konsep kebhinekaan dalam berbagai aspek

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

65

pendidikan, keterampilan, dan kebudayaan dalam masyarakat Aceh Singkil yang majemuk. Sayangnya, kemajemukan itu akhir-akhir ini kemudian disikapi secara kontraproduktif oleh mereka yang terlalu mendambakan ketunggalan dan menapikan perbedaan seolah perbedaan itu bukan ciptaan Tuhan. Kemajemukan atau dalam alam pikir kebangsaan Indonesia disebut sebagai kebhinekaan, akhir-akhir ini justru menjadi ajang perpecahan, bagi mereka yang tidak siap menerimanya. Halimah Zulkarnaen, mencatat perjalannya kepada komunitas penghayat Parmalim dan menemukan bahwa mereka tidak memiliki hak-hak politik yang sama dengan manusia lain di Bumi Singkil. Menurut Halimah, ketertinggalan Aceh Singkil, salah satu faktornya adalah karena sebagian diantara kita belum merasakan kemerdekaan untuk mengutarakan hak dan kemauan, untuk bisa hidup dan beribadah dengan tentram. Problem-problem yang demikian, menimbulkan kegelisahan pada generasi muda Singkil. Ketertinggalan dan ketersingkiran, dapat membuat siapapun menjadi sedih. Semua kita, masyarakat Singkil berkeinginan bagaimana memberi kontribusi yang signifikan untuk kemajuan wilayah Singkil. Rahmad Hidayat Munandar, merekam jejak H Makmur Syahputra Bancin, SH.,MM, tentang bagaimana salah seorang tokoh pendiri Aceh Singkil itu berusaha menjadi Singkil Sejati, yakni mereka yang merantau, mencari ilmu dan pengalaman setinggi-tingginya dan mengabdikan diri pada kemajuan wilayah sampai ajal menjemput. Bagaimana seorang Singkil, yang walaupun ketika itu terisolir dalam berbagai aspeknya, mampu berkiprah dan mengharumkan nama daerah. Tidak ada yang boleh hilang dari negeri Singkil, termasuk sejarah kerajaan yang pernah berkembang disana. Yusnil mencatat sejarah kehadiran manusia di Pulau Tuangku, Haloban yang sekarang masuk wilayah administrasi Kecamatan Pulau Banyak Barat. Tentang bagaimana pulau itu dipimpin oleh Sultan Malingkar Alam dari Pagaruyung, bagaimana awal kemerdekaan

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

66

Pulau Tuangku masuk dalam keresidenan Aceh Selatan dan kemudian menjadi bagian dari Provinsi Aceh Selatan lalu kemudian Aceh Singkil. Sejarah yang demikian, dapat memperkokoh eksistensi Aceh Singkil dalam menyongsong kemajuannya. Tidak ada yang boleh hilang dari negeri Singkil, termasuk tradisi dan adat istiadatnya. Khairuddin merekam bagaimana penganan yang dibuat dari bahan sederhana dan disebut sebagai Opom, mampu menjadi simbol bagi eksistensi suatu wilayah. Opom bukan sekedar pengganjal perut, tapi ia memiliki nilai filosofis tentang bagaimana orang Singkil menghargai sesuatu dari hal-hal sederhana, sebuah karakter yang mulai terkikis hingga hari ini. Opom, ketika editor mencoba mengambil makna dari tulisan Khairuddin adalah tentang bagaimana makanan sederhana dapat menjadi penentu bagi pengembangan karakter dan kebudayaan masyarakat. Dan masih tentang tradisi yang tidak boleh hilang, Ernawati mencatat prosesi Menangkih Bello, atau prosesi lamaran resmi sebari menghantar hadiah oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Dalam budaya Timur, perempuan sangat dihargai sehingga untuk melamar dan menjadikannya istri, butuh berbagai prosesi yang panjag dan tidak mudah. Pernikahan dalam kebudayaan Timur adalah perkara sakral, dan tidak boleh main-main. Perlu bagi generasi muda Singkil untuk merekam jejak-jejak tradisi dan geneologi sejarah untuk dapat menghargai betapa keragaman dan pluralitas telah memberi sumbangan bagi kemajuan peradaban dan kebudayaan di negeri Singkil. Terakhir, bagaimanapun itu, Ramli kemudian menyimpulkan betapa amnesia terbesar bagi masyarakat Singkil adalah munculnya suara-suara sumbang sukuisme dan ego-etnik sisa proyek kolonialisme yang sulit untuk dihapuskan. Padahal sejarah membuktikan betapa Singkil sesungguhnya adalah arena plural yang mengimajinasikan kualitas kehidupan bukan sekedar identitas yang lebih cenderung politis dan destruktif. Padahal, jika melihat dari pengalaman para penulis sebelumnya, jelas

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

67

bahwa Singkil adalah Kosmopolit, dan menjadi manusia Singkil adalah menjadi manusia kosmopolitan dan berfikiran universal. 2019-2023

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

68

“Bila umur panjang, sampai jumpa lagi di buku yang lain”

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

69

DATA PENULIS

Nama : Jaminuddin Jalal TTL: Pemuka, 05 April 1994 Pendidikan Terakhir : S1 Fakultas Syari’ah UIN Ar Raniry Banda Aceh, Lulus Tahun 2019 Alamat : Kampong Pemuka Kecamatan Singkil Utara Aceh Singkil Pekerjaan : Pegiat Budaya Singkil, Penulis Esai-esai Kebudayaan dan Fiksi Nama : Zulfikar Riza Hariz Pohan TTL: Cingkam, 07 Juli 1995 Pendidikan Terakhir : Master of Arts (MA) di Universitas Gadjah Mada jurusan Center for Religious and Cross-cultural Studies. Alamat : Sianjo-anjo Kecamatan Gunung Meriah Aceh Singkil Pekerjaan; Peternak cacing tanah

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

70

Nama : Khairuddin TTL: Tanah Bara, 14 November 1988 Pendidikan Terakhir : S2 Fikh Modern UIN Ar Raniry Banda Aceh lulus tahun 2016 Alamat : Tanah Bara Aceh Singkil Pekerjaan : Peneliti, Traveler, Penulis esai-esai kebudayaan dan agama, Da’i Perbatasan dan Tenaga Pendidik di STAIS Syekh Abdurrauf Batu Korong Aceh Singkil.

Nama : Nurhalimah Zulkarnain TTL: Lipat Kajang, 05 Mei 1997 Pendidikan Terakhir : S1 Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin UIN Ar Raniry Banda Aceh, lulus tahun 2019 Alamat : Lipat Kajang Kecamatan Simpang Kanan Aceh Singkil Pekerjaan : Guru Sosiologi

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

71

Nama : Yusnil TTL: Aceh Selatan, 14 Oktober 1991 Pendidikan Terakhir : S1 Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syahkuala Banda Aceh, lulus tahun 2017 Alamat : Desa Pulau Balai Kecamatan Pulau Banyak Aceh Singkil Pekerjaan; Penulis Essai, Sekretaris Bumdes dan PTSL Kampung Pulau Balai Kecamatan Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil Nama : Muhardiansyah TTL: Singkil, 09 Desember 1993 Pendidikan Terakhir : S1 Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syahkuala Banda Aceh, lulus tahun 2018 Alamat : Desa Siti Ambia Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil Pekerjaan: Peneliti, Konsultan, Politisi, Penulis Essay dan Pegiat Kebudayaan.

S IN GK EL: MEMAHAMI K IS AH DAN IN G ATAN YAN G DIS EMBUN YIK AN

72

Nama : Ernawati TTL: Teluk Rumbia, 04 Agustus 1988 Pendidikan Terakhir : S1 Akhwalus Syakhsiyah Fakultas Syari’ah IAIN Ar Raniry, lulus tahun 2013 Alamat : Teluk Rumbia Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil Pekerjaan: Penulis Kebudayaan.

Essay-essay

Nama : Rahmad Hidayat Munandar TTL: Rimo, 03 Februari 1992 Pendidikan Terakhir : S1 Ilmu Politik Universita Syahkuala, lulus tahun 2013 Alamat : Kecamatan Singkil

Desa Tunas Harapan Gunung Meriah Aceh

Pekerjaan: Traveler, Penulis Essay dan Fiksi, Kolektor, ADC Bupati Aceh Singkil

EDITOR : RAMLI & ZULFIKAR RIZA HARIZ POHA N

73

Nama : Ismail Angkat TTL: Samardua, 07 Juni 1990 Pendidikan Terakhir : S2 di Prodi Ilmu Pemerintah, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Lulus tahun 2018 Alamat : Desa Lae Pinang Kec Singkohor Kab Aceh Singkil Pekerjaan: Peneliti dan Penulis, Staf Pengajar di STIT Hamzah Fansuri Kota Subulussalam dan Pimpinan Pesantren Nurussalam Belegen

Nama : Ramli TTL : Teluk Ambon, 07 Januari 1988 Pendidikan Terakhir : S2 Pemikiran Dalam Islam UIN Ar Raniry Banda Aceh, lulus tahun 2017 Alamat : Meulaboh Aceh Barat Pekerjaan : Peneliti, Penulis Esai dan Fiksi, Staf Pengajar di STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh