Proyeksi Bunuh Diri (booklet lyrics)

  • 0 0 0
  • Like this paper and download? You can publish your own PDF file online for free in a few minutes! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Terbangun dari mimpi kelam di petang Menyambut terang yang segera menggelap Merubah segala bentuk kesakitan menjadi kesengsaraan Mengganti masa yang telah dikepung massa dan rakyat dalam tatanan Segala hiburan disesaki ruang gelap dipatroli tubuh-tubuh gelap Sepertiga inchi hasrat terus menggeliat, menjerumus menghuni rumus kalkulus para filsuf lalu mengunci setiap jiwa dalam ruang khusus Altar-altar sesembahan kini dipenuhi jiwa-jiwa hampa yang merana Bertubuh tanpa jiwa, bersetubuh tanpa senyawa Baku tembak Tottenham Outrage, hingga menuju Compton, dan berakhir dalam Sel-sel Ghetto Apa itu baik dan jahat? Sedangkan kami tengah kelaparan dan hanya dikenyangkan oleh secarut manifesto Pintu-pintu ‘Selti’ pun terbuka lebar, menanti para residivis ke dalam singgasana bernama Hotel Prodeo Lalu terdengar kabar di radio, koran, dan artikel digital Basa-basi soal moral, iklan tas terbaru, berita soal brandal yang memvandal Dan bisik-bisik teori ekonomi terpadu dalam wujud semen dan teknologi mutakhir “Ini adalah peradaban terakhir” ucap mereka, maka bentuklah lebih banyak pandir Maka bentuklah industri-industri, maka bentuklah konsumsi anti depresi Hingga kau merasa ingin kembali, atau merasa ingin mati

Maka bekerjalah kau seperti ayat suci tak tercela, bersih, tak ternoda Tunduklah dalam doa, tunduklah dalam caci dan maki Tunduklah saat menerima remisi, Tunduklah saat menerima sanksi, Tunduklah saat menerima gaji, Tunduklah saat menerima inflasi Lalu salahkah kami marah? Saat Pakel kau bredel Kami marah saat Tambakrejo mulai kau geser Kami marah saat kau usir kami dari Tamansari Kami marah saat Bara-Baraya kau gusur, Makassar pun lautan api Kami marah saat Wadas kau ganggu Kami marah saat Toraja mulai kalian serbu Kami marah saat deforestasi Borneo, Binipan Kami murka saat melihat Puger, West Papua, Tuban, Rancaekek, Kulonprogo, Pandeglang, Jambi, hingga Aceh digempur ekspansi penanaman modal. Dan kini pernyataan bodoh menyoal kesalahan iklim, alam jadi alasan Kami tahu, ekologi tidak sakral, ‘antroposentris’ pun tetap ada, tapi mengapa? Maka kami akan alirkan kembali air yang dulu mengalir Kami menyalakan kembali api yang dulu pernah mati Kami tata kembali tanah dan udara yang dulu hilang Kami rakit kembali kehidupan dengan cara kami sendiri Dan kemenangan setiap individu ada dalam diri Kami tak takut soal kota yang menyalak Kami tak takut perihal berhadapan dengan Bos yang galak Kami tak takut dengan ancaman pidana ataupun denda Simpan kesadaranmu untuk dirimu sendiri Sebelum semua terbang dan kembali mati Bentuk jalanmu, hanyalah dirimu yang tahu, sebelum semua sesak menjemputmu menuju sebuah proyek yang bernama: Bunuh Diri

Verse 1 Bentangkan suara dari Spanyol hingga sejarah tak lagi sekilas Melalui Rojava - Chiapas Mengitari sudut resah kota & penggusuran Hingga ancaman mortar dengan sejuta moncong senapan Kaderkan Hitler, memanifestasikan kekerasan Budayakan pembelian adalah kemahsyuran Berjuta diksi ‘toxic’ sebagai pelindung hasrat seksual Merdekamu sebatas hitungan angka berbalut ilusi yang binal Jika N adalah ekspansi keuntungan Maka E G A R & A adalah penjaga sang tuan Tiada tuan, tiada tuan, hidup adalah penindasan bagi perempuan Berapa harga yang pantas bagi sebuah keperawanan? Lalu selidiki kami dengan motif yang janggal Kami diundang masuk pasal Membuka Amsal satu sampai enam Hasrat pembangkangan tak pernah redam Meski moncong loreng senapan sepintas Pindad Melucut konflik serupa Baghdad Loreng sipil berkeliaran Menjajakan diri sebagai preman

Heroik palsu atas nama darah dan tulang Koran jatuh Tempo oleh mainstream TV perdetik Tawarkan politik makan naik kulit putih singkirkan ilalang Melongok tempo September Hitam, polarisasi dalam intrik politik Laksana surya berkibarku dari timur Hancurkan sekat dari timur hingga kugali kubur Menggempur berhala kota & menggelinang dosa Hingga keajaiban kilaunya raksasa merah menembus peraduan Menggempur garis depan kami hitam dalam balut topeng keberanian Kebenaran adalah minor pasca skala kuantitas pasar dagang Matikan televisi, Bookchin lebih berarti Atas skandal kenaikan perampasan tanah - Tuhan adalah uang Lalu akal sehat mati dan... Rampas! Rampas! Tanda tangan! Tanda tangan! Sumpah serapah berdatangan Lahirkan dendam untuk distopia Dan megahnya istana yang biasa memberi tumbal sebuah nyawa Pasca 65, Trikora, dan MP3EI adalah maklumat dari sang saka Verse 2 Bicarakan sekuritas, apa itu? Bicarakan individualitas, apa itu? Tak ada ruang aman bagi siapapun kecuali diri sendiri Maka yang mati biarlah hangus terbakar dalam api Tak ada pula makan siang yang gratis Meski ular dan kucing berhasil memangsa Kusarankan kalian tak berkompromi dengan Serigala Baik ide lama Marx yang kukubur dan kuludahi pula Johan Xax Kafir atau Si Kumis nihilis [...]

Apalah arti Debord dan Kaczynski? Setiap saat kubergulat dengan ‘society’ dan bersenggama dengan teknologi Apa arti bunuh diri jika setiap saat aku bisa mati? Apa arti Messi dan AS? Jika patron dihancurkan oleh Catalunya otonom milisi Apalah arti brutal yang kalian semua cintai? Apalah arti diri sendiri bagi dirimu sendiri? Membusuklah amoral dalam penjara moral Matilah manik dan depresi dalam kurikulum dan muatan lokal Tak butuh salam atau perkenalan jika solidaritas yang dipaksakan adalah hantu Urus urusanmu, garis depan tetap beradu, ada dan tiada dirimu semuanya hanyalah palsu, sebab kalian bagiku hanyalah sebuah hantu Verse 3 “Ini bukan euforia untuk buruh seluruh dunia Bagaimana bisa terjadi pembebasan yang perlu direbut? Padahal kebebasan adalah dirimu sendiri” Lantang teriak penuhi jalanan Berlagak martir yang dijual dan dikomodifikasi sebagai simbol perlawanan Antitesismu bak pantulan cermin yang pantulkan selangkangan untuk diperjualbelikan Nyatanya kau sendiri rasakan kejamnya pengkhianatan, hingga kau dijadikan bahan tertawaan Lelucon tolol yang masih membahas bendera dan pergerakkan Dimana titik kumpul sudah lebih dulu diamankan Keluarlah tikus pengecut di sosial media Coba lawan ‘Dalmas’ yang berseragam antariksa Apakah kalian sudah yakin hidup tersiksa Jika harapanmu adalah mati namun kenapa tak bisa?

Terbunuhlah jiwa-jiwa penghamba dunia farmasi Yang takut mati dalam depresi karena gagal berekspresi Kebodohan personal dalam komunal Ketololan 285 kriminal ex-anal Persetan sindikat serikat murtad, aparat bejat, bangsat, sekarat Lalu teriak “All Everyone All Bastard!” Jika kuamini Deleuze ini Anti-Oedipus Normalisasi saat tertindas hanya akan membuat mampus Apapun itu semunya hanyalah soal bercumbu dengan dunia Mati mampus minum racun Cap Tikus Kalian bukan Zarathustra bukan pula Ikarus Berjalan dan terbang hanya akan buat kalian hangus Satu hari akan kubakar bunga matahari Akan kupandangi hingga menjadi abu setebal lima inchi Dan menyaksikan pula lebah yang mati Ketika mereka berkata “kenapa seperti ini?” Maka kan kukatakan “terserahlah aku tak peduli!” Satu tiga satu dua, mereka semua telah kulalui Jangan coba kau datan dan mengatakan ‘amorfati’ Segala apapun telah kulalui, bicara ini dan nanti semuanya telah kulampaui Depan muka, aku akan memaki Biar kujelaskan apa itu arti dari mati! Depan muka, aku akan memaki Biar kujelaskan apa itu arti dari mati! Baiklah, mulai takdir kalian, kami akan menjadi mimpi buruk serupa tema-tema kenaikkan hutang dalam syarat penurunan stabilitas Untuk utopia, untuk euforia, untuk secarik kebebasan, kami tunggu kalian meski hanya sejarak barisan nisan Masih kami tunggu kalian meski hanya sejarak barisan nisan, persetan!

Verse 1 Merangkum prosa usai lelah diperkosa Lampaui amorfati usai lelah tersiksa Kembali menapaki dunia yang begitu hina Atas nama diri ini kusampaikan pesan lewat sebuah rima Eksistensi senyawa Fanta dan juga Rootbeer Kutolak menjadi candu, kencingi hantu yang teriak ‘takbir’ Buat kembali demarkasi ditengah ilusi demokrasi Mereka mungkin lupa bahwa NKRI itu pandemi Bangkit dari kubur, pemakaman ini bukan Zombie Telisik kembali macam produksi korporasi Umbrella Mungkin hari ini mereka berwujud Spectacle Society Piramida menuju patolopolis konstruksi nyata Menuju apokalips luluhkan surga dan neraka Waspada organi-Nazi semacam Ernest Haeckel *Melampaui imaji ditengah hancurnya dunia disetiap sudut ada sipir dan tentara (2x) Verse 2 Akar mistik darah dan tanah terselubung berjudul ekosistem Bahaya laten Kim Ill Sung siap membredel Bercampur bumbu Murray Rothbard yang dianggap totem

Bercanda tawa dengan 365 Bonnot Gang dalam satu ‘Selti’ bukan Pisarev, boleh kau sebut aku Minor Trippy Saat ku nyalakan api yang ilegal tuk lupakan hidup tak hanya dibatasi arloji Untuk apa Raja? Jika mereka mati oleh Suku Api Injak Anumerta ketika Tamtama terpesona Popor dan ‘Dot Sight’ hancurkan Indigenous yang dituduh membebani Perampas legal atas nama sertifikasi wahana masa depan dan fabrikasi lencana Manuver legal politik dan media serupa bisa penumbal nyawa Namun satu hal yang tak disangka, ini bagai amoeba - ada, tiada, dan mungkin amerta *Melampaui imaji ditengah hancurnya dunia disetiap sudut ada sipir dan tentara (2x)

Verse 1 Biar kulumat semua aspek busukmu Kontra-produktif kau jadikan eskalasi bak kencangnya sabu Anti kerja, anti hierarki, anti eksistensi Terjebak bahasa gagal mendefinisi, segala bentuk kau anggap ‘Its Altru-easy’ Maniak hasrat percumbuan duniawi Orang buta menuntun orang buta, lalu kunyalakan lilin di siang hari Tak ubahnya masyarakat kota yang haus validasi Gagal mengekstraksi sejak dalam pikiran kau anggap resistensi Takut mati, jiwamu masih dikejar arloji “Bukan manusia tapi dinamit” itu basi, bagiku hanya sekedar mesin perancang Abstinensi Kubunuh Tyler Durden sejak di pagi hari Kau bangkitkan ia menjadi iblis pembangkit serotonin Maka cukup kuberi ‘hook’ kanan kiri Seketika kau terkapar tak berdaya bak runtuhnya kota Berlin Kau coba anomali, Newspeak Orwell teriak ungkapkan Tak ubahnya hegemoni dalam sistem totalitarian Crypto-fasis, Napoleon Porg semua terbalut Coba sadari mataku bukan obscura, coba kau proyeksikan pun aku tak terhasut

Jangan kaget jika kau malnutrisi karena kau kenyang dengan janji dan telan ludahmu sendiri Kau hancurkan moralitas dan segala macam bentuk pikiran Namun kau ganti semuanya dan membentuk wujud baru serupa Tuhan Lagi dan lagi terpenjara menjadi dogma gagal mengejawantahkan Apa bedanya dirimu dengan seorang tawanan? Tak perlu ku basa-basi demonstrasi, ku gerak bebasmacam udara tanpa diatur Tiap langkahmu terbatas sudah bagai bidak catur Bajingan sejenis puritan reaksioner yang mungkin terlihat begitu seksi Ku cukup tertawa, belum pula kau lihat nanti Lycan beraksi Verse 2 Ku tak butuh kawanan hanya tuk sekedar bertahan Dinamis saja tak banyak bicara untuk buktikan Macam proyek Holocaust dalam ritme NKVD Tawar-menawar Snitch usai diperkosa polisi Hip-hop dan seni kini sudah mati Mereka angkat bendera setengah tiang macam para Orba dan pengabdi Gestapu menari dalam tumbal onani senikmat LSD Revolusi hijau atau monopoli ekspansi api Tegaskan kembali tuk menuju katastrofe Bukan sebuah kota boleh kau sebut ini Solo Bukan pula Han Solo ini bukan perang bintang Coba saja kau dekonstruksi semacam postmo Maka kuludahi Heidegger dengan destruksi frontal yang panjang Ilusi damai dalam kontrak karya pembangunan infrastruktur Kucatut dawai pembatas teritori delusi soal kelas Rima ini lebih sakit dari Kriss SVD memberi fraktur Menari di atas air, api atau angin - tanpa tanah sekalipun, dimanapun aku tetaplah bebas [...]

Tak pernah takut walau dihantam peradaban Ekspansi Mekdi serta gemuruh suara manufaktur jadi sarapan Tak banyak bicara karena aku tak peduli semuanya Bicara dunia fana belaka, tak berpikir pun tetap ada, berpikirpun akan tiada, maka ku skeptis pada semua Lupakan revolusi dan reformasi jika pemberontakanku setiap hari dan inchi Simpan segala macam ‘isme’ sejak dalam pikiran Ku tak butuh Tuhan dan hantu baru untuk hidup dan mati Cukup bulan purnama dan dini hari yang akan jelaskan nanti

Verse 1 Aku mengantar rima dan bait-bait kematian Diatas dentuman Kalashnikov dan Tommy dalam altar peperangan Setiap sudut pukul tiga bersedih di sepertiga malam Menjaga asa yang telah berjelaga, mengayun kalam yang kelam Dan alam kian bersinergi , menyanyikan semesta yang dirundung bertubi-tubi Dalam sesak usai menenggak Xanax dan Ritalin berwujud Stalin Tak perlu kanan kiri apalagi Lenin serupa kenaikkan dopamin Literatur tak lagi mengisi bak karbohidrat dalam sewajan umbi Apa yang akan terjadi usai kita semua mati? Kuambil sebilah pisau ataupun Parang Salawaku Menghunus tepat ke jantungku, menjemput ajal yang kian meradang anal Kini dan nanti, hidup atau mati, kianlah tidak pasti Tak ada ilmu pasti ketika para Prof menyuarakan algoritma apalagi metafisika Dimana hantu-hantu Stirner atau Kropotkin bergentayangan menyesaki pikiran Melumat habis sel-sel syaraf, menjemput kesakitan bernama bahagia

Lautan kini kian bertaut, setiap luka kurasakan hingga ke ujung lutut Menuju maut kini aku siap berlutut Bukan kepada apa dan siapa namun jiwaku sendiri Tak perlu sumpah, doa, apalagi pengabdi pada makam-makam pahlawan infanteri Masukkan ke dalam sampah yang tak dapat didaur ulang mengenai patriotik atau ideologi Persetan perihal kekosongan dan kekacauan yang biasa kalian banggakan Pergulatan dalam drama sinetron perselingkuhan adalah logika negara Caramu tak ubahnya Maois yang mendoktrinasi para sipil dengan bambu struktural adalah merdeka Lupakan mimpi utopis perihal kebebasan kala fasis bertopeng anarkis Bergerak seragam ala Nazionalis Lupakan hasrat perihal insureksi yang roman nan seksi Diperhadapkan ribuan saksi yang memainkan Boombox tanpa lencana Aku pengantar rima kematian yang mungkin menjemput ajalmu tanpa Karabin dan mesiu Biarlah ini menjadi jalan yang sunyi tanpa sesiapapun tahu Maka kutampilkan sebuah Proyeksi Bunuh Diri, dimana aku berteriak “apa arti bunuh diri?” jika kapanpun aku bisa mati Apa arti bunuh diri jika kapanpun aku bisa mati? Karena tak ada yang pernah benar-benar hidup, tak ada pula yang pernah benar-benar mati Segalanya hanya kerumitan yang coba didefinisi Bak teori yang setiap saat kalian pelajari, yang setiap hari dilakukan para petani tanpa sibuk dipikiri Aku kembali menari di atas sebilah pisau Tersesak risau merasa mati adalah sakau Maka biarkan aku mati dalam anggara Biarkan aku mati dalam sanggama Biarkan aku mati tanpa pertanda

[...]

Menyingkirlah, kalian menghalangi cahaya matahariku Akan kuhampiri Kynosargous walau tak menyalak dan menggonggong Hanya sendiri, tak perlu sesiapa dan apa, dunia hanyalah ruang hampa Angka dan makna tak pernah benar-benar ada “Sosial dan anti-sosial selalu bersama” ucap Novatore Apakah aku ini seorang Unman? Persetan-lah ku tak peduli, aku bukan Tagore Persetan semua! Persetan segala! Aku membenci dan mencintai diriku Sekelumit kiasan yang terlalu rumit hanya menjelaskan tentang aku Panoptikon dalam hidup adalah setiap detik Tak kuat bertahan, ‘suicide’ adalah trik Maka semoga matilah aku kedepan dalam beberapa detik Verse 2 Menginfiltrasi bait-bait sunyi Seperti Sacramento Hanya tersisa puing yang kini kujadikan nirvana Melepas segala berhala di kepala, meniadakan yang telah tiada Apalah ideal seperti yang diucapkan Plato? Di tengah api aku berdansa Tango, di atas tangis ku tersenyum seperti Augustus Pablo Tak bodoh dan patriotik seperti squadron Kamikaze Atom-atom yang menderu hari ini ada di dalam kepala setiap individu Bagaimana kau organisir kekacauan dalam dirimu? Lupakan Sartre! Apa itu kutukan? Apa itu penghakiman? Distorsi Arkais sudah biasa menjadi bumbu Lalu jikalau kau mati, apakah menjadi hantu? Bunuhlah dirimu untuk mengetahui siapa dirimu Satu-satunya yang bisa dikuasai dalam hidup hanyalah dirimu sendiri Jadikan ini sebagai sebuah itikad, dimana lamina panji Sang Baron harus diludahi Maka sudahi, ekspansi hasrat yang haus labelisasi Tak ubahnya partai dan fraksi yang sibuk berideologi ditengah aneksasi

Vesre 1 Satu pagi aku bangun, satu pagi aku pergi Ku ucap selamat tinggal karena aku akan mati Tak perlu mengubur, pusara ku gali sendiri Tak perlu tangis dan tawa karena hari esok berganti Tak dikutuk hidup bebas, aku adalah kebebasan Tanpa penebusan, tanpa pengkultusan, tanpa label, tanpa judul, tanpa identitas Persetan dengan negara, persetan dengan anarki Persetan dengan nihilis, persetan dengan pasifis Persetan dengan altruis, persetan dengan egois Persetan dengan relasi, kucintai diri sendiri Hari ini aku mati, hari esok aku bangkit Perhitungan salah-benar adalah penyakit Bersiaplah menuju sesuatu tanpa batas Buatlah kesadaranmu sendiri karena ini realitas Aku menari di balik jeruji besi Kemarin ku menangis, sekarang senyum berseri Ku kencingi legal politik dan media Dimana akumulasi modal target utama

Tak peduli dengan Undang-Undang yang mengundang, teriak sampai mati Bakar sampai habis berujung normalisasi Cap-lah dirimu dengan label tuk berekspresi Tak pernah coba kau lampaui hasratmu bak rotasi masturbasi Tanpa tunggu kehancuran, tiba kehancuran setiap hari Boleh kau sebut ini manifestasi depresi Bajingan! Ku tak mengenal pesimis atau optimis Tiap detik adalah dinamis Waktu akan selalu menggilas, ini hanya pengulangan Hingga kau temui makna dan tertawakan kehidupan, kesenangan, kesedihan, perjuangan hanyalah peran Duduklah di depan, saksikan ini tontonan Verse 2 Aku yang menempuh jalan sunyi Disaat semua kekangan berwujud televisi Satu per satu individu pergi, tak kembali Tanpa sadar mereka telah kuludahi Ini bukan ratapan bak ziarah pemakaman Kulampai segalanya melintasi mimpi basah para pembangkang Frasa yang kurangkai di atas api buat gentar Satu Tiga Satu Dua, dan... Jadi, mari, menjemput kematian Kita lihat siapa yang kembali pada kehidupan Menempuh jalan ilegal, apa perlu dijual? Ekspetasi, harapan, dan mimpi hanyalah sebuah khayal Segalanya adalah destruktif dan selamat tinggal Tragedi hanyalah sebuah hal yang banal Letusan amarah hanya dapat kuceritakan Kala raga dan jiwa terjebak pada kesunyian Aksi reaksi hanya berakhir manipulatif Kehancuran sedang kunikmati dalam kontemplasi nada menuju kematian reaktif

Ini bukan sekedar perusakkan properti Bukan pula propaganda atau propaganja Aksi kemarin hanyalah bunuh diri Yang meyakinkan bahwa jangan ada harapan dan rasa percaya pada apapun dan siapapun Nikmati saja, terkadang realitas memang tak memberi ampun Muntahan sajak, diiringi muntahan kematian Tetap menjadi teman dalam sudut kesunyian Mulai kembali membuka jalan dan terus berjalan Hingga kembali pada ketiadaan

Teriak lantang di depan megaphone Suaramu serak tak sehalus saxophone Orasi atau onani silahkan pilih sendiri Maaf jika ku hanya tidur saat kau asik eksekusi Eksekutif almamater pegang microphone penis Siswa yang maha memang cocok untuk dioperasi testis Elitis dalam bekerja, efisien buat baru kasta Persetan, kontrol dan kontol, coba berapa mau kau mahar itu gelar raja? Ingin mati tapi takut bunuh diri Ingin hidup tapi juga ingin mati Ingin punya teman tapi lupa ‘anxiety’ Ingin hidup bahagia tapi lupa aku depresi Mari menjemput kematian, ingin sendirian atau butuh tumpangan? Ingin lewat pemakaman atau bakaran? Terserahlah aku tak peduli semua, kalian semua cepat mati Jika tidak, aku mungkin yang lebih dahulu mati